TESIS
SORAYA AN NISAA
1806276990
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2021
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
SORAYA AN NISAA
1806276990
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JULI 2021
PERNYATAAN ORISINALITAS
adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai
dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Jakarta,
………………..
Yang Menyatakan,
Soraya An Nisaa
1806276990
ii
HALAMAN PENGESAHAN
dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai bagian
persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Magister Kenotariatan
(M.Kn.) pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
TIM PENGUJI
Disahkan di : Depok
Tanggal :
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah Subhanahuata’ala atas ridho dan
rahmat-Nya serta junjungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sehingga
peneliti dapat mengajukan tugas akhir atau tesis berjudul “Akibat Hukum Akta
Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Yang Tidak Sesuai
Dengan Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas” (Putusan
Pengadilan Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG) guna memenuhi
syarat untuk menyusun tesis dan menyelesaikan masa studi serta memperoleh gelar
Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Peneliti menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya
doa, dukungan, nasihat dan petunjuk baik berupa saran maupun bahan referensi yang
menunjang topik penelitian yang dikaji dari beberapa pihak. Untuk itu, peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia;
2. Ibu Dr. Sonyendah Retnaningsih, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing,
atas waktu, perhatian, dan kesabaran telah membimbing dan mengarahkan
Penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini;
3. Bapak Tjhong Sendrawan, S.H., M.Kn., selaku dosen pembimbing, atas
waktu, perhatian, dan kesabaran telah membimbing dan mengarahkan
Penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini;
4. Orang tua Penulis, Ali dan Sri Murbowati, serta adik Penulis Muhammad
Fadhil atas doa, ridho dan kasih sayangnya kepada Penulis;
5. Almarhum Harry Rochmana dan Almarhumah Sabella Liberty, atas
dukungan, doa dan kasih sayang yang tak terhingga kepada Penulis semasa
hidupnya. Penulis persembahkan ilmu dan gelar ini sekiranya dapat menjadi
amal jariyah bagi keduanya;
6. Sahabat terdekat Penulis, Budi Trisna, Gusti Al Ghifari, Muhammad
Falyanda, Fajar Julian, Adha Raihannur atas doa, kasih sayang, dan
dukungan kepada Penulis selama menyelesaikan penelitian;
iv
7. Keluarga Besar JAC Consulting Indonesia, Jansen Tambunan, Rika Arofi
Ayu Sheila, Gustyasa Faizi, Chesa Helsin, Widi Permatasari, Luqman
Fauzan, Rizky Kurniawan, Heber Gilionstono, Dida Khamidah, Kenny
Tjhandra, Destira Soraya, Retta Lestarina, Luthfi Agasya, Yenni Juwita,
Nurul Hidayati, Yuwan Julianingtyas, Angga Prawira, Mariani
Tampubulon, Muhammad Iqbal, Ilham atas kasih sayang, doa, tawa canda
dan perhatian kepada Penulis setiap harinya. Semoga ilmu dan gelar Penulis
menjadi barokah dan manfaat untuk JAC;
8. Kepada Notaris Dian Fitriana S.H., M.Kn., Muhammad Muazzir S.H.,
M.Kn., Najiana Daroini S.H., M.Kn., Edwina Gucci S.H., M.Kn., atas doa,
dukungan dan bantuannya kepada Penulis selama perkuliahan hingga dapat
menyelesaikan penelitian;
9. Seluruh teman-teman angkatan 2018 Genap dan 2019 Ganjil MKn UI; dan
10. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini,
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis doakan Allah membalas kebaikan setiap pihak yang telah menemani dan
membantu Penulis. Penulis menyadari bahwa dalam pengerjaan tesis ini penulis tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, Penulis
mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi khalayak banyak
untuk kedepannya.
Penulis
(Soraya An Nisaa)
v
PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan
sebagai pemilik hak cipta.
Jakarta, ………………….
Yang menyetujui,
Soraya An Nisaa
vi
ABSTRAK
Kata kunci: Pemanggilan Rapat, Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham, Tanggung Jawab Notaris
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI………………………………………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………... vii
ABSTRACT……………………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… ix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………....... 11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….… 11
1.4 Metode Penelitian ………………………………………………… 12
1.5 Sistematika Penulisan …………………………………….………. 14
ix
DENGAN KETENTUAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG
PERSEROAN TERBATAS (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
3.1. Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Pasal 81
Undang-Undang Perseroan Terbatas……………………………… 65
3.2. Pertanggungjawaban Notaris terhadap Pembuatan Akta terkait
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham yang Tidak
Sesuai dengan Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan
Terbatas dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg…………………………………................... 76
BAB 4 PENUTUP
4.1. Simpulan ………………………………………………………….. 86
4.2. Saran………………………………………………………………. 88
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 89
LAMPIRAN…………………………………………………………………... ..
x
BAB 1
PENDAHULUAN
Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar
Terhindar dari Jerat Hukum, (Depok: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 27.
3
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, “Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas”. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 78.
4
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk-Bentuk
Perusahaan, Jilid 2, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 36.
Universitas Indonesia
2
liability.5 RUPS sebagai organ perseroan tidak terlepas dari esensi pendirian suatu PT,
yang berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT merupakan persekutuan modal dari para
pendiri PT tersebut. Sebagai pendiri PT dan sekaligus pemegang saham PT yang telah
memberikan kontribusi modal awal (initial capital) untuk menjalankan kegiatan usaha,
sudah seharusnya setiap keputusan yang menyangkut tujuan awal (original objective)
para pendiri dalam mendirikan PT berada di tangan mereka melalui lembaga RUPS.6
Wewenang eksklusif yang ditetapkan dalam UUPT akan ada selama UUPT be-
lum dirubah. Sedangkan wewenang eksklusif dalam AD perseroan yang disahkan atau
disetujui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(“Kemenkumham”) dapat diubah melalui perubahan AD sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan UUPT.7 Walaupun tidak ada ketentuan yang tegas dalam undang-
undang mengenai batas-batas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh
RUPS dalam suatu PT, tetapi dapat ditarik beberapa pedoman sebagai berikut:
5
Agus Sardjono, Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty dan Togi Pangaribuan,
Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 72.
6
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hlm 2.
7
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 78.
8
Ibid., hlm. 180.
Universitas Indonesia
3
Pelaksanaan RUPS adalah bagian dari tugas direksi, sehingga yang mempunyai
kewenangan untuk menyelenggarakan RUPS adalah direksi. Hal ini dinyatakan jelas
dalam Pasal 79 ayat (1) UUPT yang menentukan bahwa direksi menyelenggarakan
RUPS Tahunan (“RUPST”) dan RUPS lainnya dengan didahului dengan pemanggilan
RUPS.11 Kewajiban tersebut merupakan amanah yang diberikan UUPT kepada direksi
untuk melaksanakan RUPS. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 UUPT, direksi melakukan
pemanggilan kepada pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS.
Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal
pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS dapat dilakukan dengan surat
tercatat dan/atau dengan iklan dalam surat kabar. Adapun yang perlu dicantumkan
dalam panggilan RUPS adalah tanggal, waktu, tempat dan mata acara rapat disertai
9
Nugroho Hirman, S.S dan Yuni Purwati, Hukum Perseroan Terbatas Prinsip Good
Corporate Governance dan Doktrin Piercing the Corporate Veil, (Solo: Iltizam, 2007), hlm. 66.
10
Usman Rachmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas (Bandung: Alumni,
2004), hlm. 131.
11
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40
Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 79 ayat (1).
Universitas Indonesia
4
pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor
perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan RUPS diadakan.12
Pemanggilan RUPS harus memuat informasi yang cukup (sufficient
information) yang benar-benar dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi
pemegang saham untuk menentukan apakah dia akan menghadiri atau tidak RUPS
tersebut, meskipun dia tahu resikonya, bahwa dia tunduk kepada hasil keputusan RUPS
sekalipun dia absen pada RUPS yang dimaksud.13 RUPS juga dapat dilaksanakan atas
pemanggilan oleh komisaris atau pemegang saham. Selain atas pemanggilan RUPS oleh
direksi, Pasal 79 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa penyelenggaraan RUPS dapat
dilakukan atas permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-
sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil. Permintaan
dari pemegang saham untuk penyelenggaraan RUPS harus diajukan kepada direksi
dengan surat tercatat disertai alasannya, dan pemegang saham harus menyampaikan
tembusannya kepada dewan komisaris.
Alasan yang menjadi dasar permintaan diadakan RUPS oleh pemegang saham,
antara lain karena direksi tidak mengadakan RUPS tahunan sesuai dengan batas waktu
yang telah ditentukan atau masa jabatan anggota direksi dan/atau anggota dewan
komisaris akan berakhir. Selanjutnya dalam hal direksi tidak melakukan pemanggilan
RUPS dimaksud, maka permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada
dewan komisaris. Berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (7) UUPT, dewan komisaris
melakukan pemanggilan sendiri RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima
belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
Pasal 80 UUPT kemudian lebih lanjut mengatur mengenai hal apabila direksi
atau dewan komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7) UUPT, maka pemegang
saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan Negeri (“PN”) yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri
12
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm.
99-100.
13
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 324.
Universitas Indonesia
5
15
Subandi Martha, Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta:
Tatanusa, 2015) hlm. 81.
16
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps.15 ayat (1).
Universitas Indonesia
6
notarial. Oleh karenanya, akta PKR atas RUPS PT disebut juga sebagai “partij akte”
atau “akta pihak”. Akta Berita Acara RUPS, yaitu dibuat oleh notaris atas permintaan
direksi suatu PT agar notaris berkenan menjadi notulis atas RUPS. Penghadap atau yang
berada dihadapan notaris adalah para pemegang saham yang mengadakan RUPS
tersebut. Berita acara RUPS PT ditulis atau dicatat notaris atas semua yang didengar,
dilihat, dibicarakan dan diputuskan dalam RUPS tersebut. Akta Berita Acara RUPS
yang dibuat oleh atau dihadapan notaris disebut sebagai “akta pejabat” atau “relas akta”
(ambtelijke akte).17
Dalam melaksanakan tugas jabatannya, notaris tidak hanya menjalankan
pekerjaan yang diamanatkan oleh undang-undang saja tapi juga sekaligus menjalankan
suatu fungsi sosial yang sangat penting yaitu bertanggung jawab untuk melaksanakan
kepercayaan yang diberikan masyarakat umum yang dijalaninya, seorang notaris harus
berpegang teguh kepada Kode Etik Notaris dan juga berkewajiban menegakkan Kode
Etik Notaris dan memiliki perilaku profesional (professional behavior) yaitu
mempunyai integritas moral, menghindari sesuatu yang tidak baik, jujur, sopan santun,
tidak semata-mata karena pertimbangan uang dan berpegang teguh pada Kode Etik
profesi yang menentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaris.18
Notaris sebagai pejabat umum selanjutnya menurut N. G. Yudara adalah organ
negara yang dilengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), yang
berwenang menjalankan sebagian kekuasaan negara khususnya dalam pembuatan dan
peresmian alat bukti tertulis dan autentik dalam bidang hukum perdata, sebagaimana
ditentukan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). 19
Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta
autentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
17
Mulyoto, Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas (PT),
(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010), hlm. 10.
18
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Cet.3, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006),
hlm. 90.
19
N. G. Yudara, Mencermati Undang-Undang Hak Tanggungan dan Permasalahannya,
Makalah Diskusi Panel UUHT, Program Studi Notariat, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 15 Juni
1996, hlm. 4.
Universitas Indonesia
7
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta autentik.20
Akta autentik memberikan suatu bukti yang sempurna di antara para pihak dan
memiliki kekuatan mengikat. Sempurna, berarti suatu akta autentik sudah cukup untuk
membuktikan suatu peristiwa atau keadaan tanpa diperlukannya penambahan bukti-
bukti lainnya. Mengikat berarti segala sesuatu yang dicantumkan di dalam akta harus
dipercayai dan dianggap benar telah terjadi, jadi jika ada pihak-pihak yang membantah
atau meragukan kebenarannya maka pihak tersebutlah yang harus membuktikan
keraguan dan ketidakbenaran akta autentik tersebut. Akta autentik juga dinyatakan
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena di dalamnya telah termasuk
semua unsur bukti berupa tulisan, saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah.21
Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan Notaris dalam masyarakat serta
kekuatan pembuktian dari akta autentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan
notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan yang diberikan undang-
undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai notaris
bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan terebut dengan sebaik-baiknya
serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya. 22 Seorang
pejabat notaris seringkali dalam praktiknya terlibat dengan perkara hukum baik sebagai
saksi maupun sebagai tersangka.23 Notaris pada dasarnya tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, karena notaris hanya bertanggungjawab pada sisi formal
pembuatan akta.24
20
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 58.
21
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm.
6.
22
Laurensius Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, (Yogyakarta: Deepublish
CV Budi Utama, 2012), hlm. 5.
23
Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Anggaran Dasar CV,
(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010), hlm. 2.
24
Pieter Latumeten, Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model
Aktanya, Makalah Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya, 2009.
Universitas Indonesia
8
Dalam praktiknya, muncul berbagai kasus yang berkaitan dengan akta notaris
yang menjadi sengketa karena dianggap merugikan pihak yang terlibat di dalamnya.
Salah satunya adalah akta PKR yang memuat risalah RUPS suatu PT, yang dalam
pelaksanaannya RUPS tersebut tidak memenuhi syarat formil yang ditetapkan UUPT
terkait pemanggilan rapat. Contoh kasus yang terjadi pada Notaris HJ di Palembang,
Sumatera Selatan yang turut menjadi tergugat dalam sebuah kasus perdata karena
dinyatakan telah membuat akta RUPS untuk PT XYZ yang tidak sesuai dengan fakta
sebenarnya.
Kasus tersebut bermula di tahun 2008 ketika IA yang merupakan salah satu
pemegang saham yang juga menjabat sebagai direktur utama PT XYZ
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (“RUPSLB”) untuk
mengambil keputusan atas perubahan AD perseroan, perubahan susunan pemegang
saham dan perubahan susunan direksi serta komisaris perseroan. PT XYZ sendiri
sahamnya dimiliki oleh 4 (empat) orang pemegang saham yaitu IA, ET, AB dan AP.
Ketiga pemegang saham terkecuali ET hadir dalam RUPSLB tersebut dengan mewakili
80% (delapan puluh persen) dari total keseluruhan saham perseroan. Ketiga pemegang
saham tersebut menyetujui seluruh keputusan yang diputuskan dalam rapat sehingga IA
menghadap Notaris HJ untuk menuangkannya dalam sebuah akta PKR. Dalam
keterangannya kepada Notaris HJ, IA menyatakan bahwa keputusan yang diambil
dalam RUPSLB tersebut telah disetujui oleh seluruh pemegang saham perseroan
termasuk ET yang dibuktikan dengan tanda tangan ET dalam risalah RUPSLB tersebut.
Pada tahun 2016, ET baru mengetahui bahwa pada tahun 2008 telah
diselenggarakan RUPSLB tanpa sepengetahuannya. ET merasa tidak pernah menerima
undangan atas pemanggilan rapat RUPSLB tersebut sehingga keterangan yang
menyatakan dirinya hadir dan tanda tangannya pada risalah RUPSLB di tahun 2008
tersebut adalah palsu. Keputusan yang diambil dalam RUPS tersebut dianggap telah
merugikan dirinya baik sebagai pemegang saham maupun direktur perseroan PT XYZ.
ET kemudian mengajukan gugatan ke PN Palembang untuk meminta pengadilan
membatalkan RUPS dan akta PKR yang dibuat dihadapan Notaris HJ di tahun 2008
tersebut.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun kuorum
atas pengambilan keputusan rapat tanpa kehadiran ET telah terpenuhi sesuai ketentuan
Universitas Indonesia
9
Universitas Indonesia
10
pertanggungjawaban pidana. Kode Etik Notaris ditetapkan dan ditegakkan oleh Ikatan
Notaris Indonesia selaku organisasi notaris satu-satunya. Sehingga, dalam
melaksanakan tugasnya notaris harus selalu memperhatikan kode etik yang melekat
pada jabatannya.25 Berdasarkan peraturan dan kode etik yang mengikat notaris, maka
apabila notaris melakukan pelanggaran dalam menjalankan jabatannya baik dengan
unsur kesengajaan maupun dengan unsur kelalaian, maka notaris harus diberikan sanksi
yang tegas sesuai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, penelitian ini ditujukan untuk
mengangkat permasalahan mengenai keabsahan akta PKR atas RUPS yang
diselenggarakan tanpa pemanggilan rapat terlebih dahulu dan pertanggungjawaban
notaris terhadap akta PKR tersebut dengan suatu judul Akibat Hukum Akta
Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang Tidak Sesuai dengan
Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas (Putusan Pengadilan
Negeri Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg).
Universitas Indonesia
11
Selain bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan, penelitian
ini juga memiliki tujuan yang diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca penelitian
ini terkait lingkup pembahasan yang dituju peneliti. Tujuan dalam penelitian ini dibagi menjadi
dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Dalam penelitian yang dilakukan terdapat dua tujuan
yang diharapkan dicapai peneliti yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan penjelasan bahwa
penyelenggaraan RUPS yang tidak memenuhi persyaratan formil UUPT terkait
pemanggilan rapat dapat mengakibatkan konsekuensi hukum tersendiri terhadap
risalah dan akta atas RUPS tersebut. Penelitian ini juga bertujuan meneliti
peraturan-perundang-undangan terkait proses penyelenggaraan RUPS PT dan
dasar hukum atas penjatuhan sanksi kepada Notaris atas pelanggaran yang
dilakukannya dalam pembuatan akta autentik. Lebih lanjut, diharapkan penelitian
ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi berbagai pihak termasuk kalangan
akademisi maupun praktisi yang memiliki kebutuhan akan informasi dan bahan
penelitian lebih lanjut mengenai kewenangan dan peran Notaris dalam
penyelenggaraan RUPS PT.
b. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi dan menganalisis akibat hukum akta Pernyataan Keputusan
RUPS yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UUPT; dan
2) Mengidentifikasi dan menganalisis pertanggungjawaban notaris terhadap
pembuatan akta terkait penyelenggaraan RUPS yang tidak sesuai dengan Pasal
81 UUPT dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg.
2. Manfaat Penelitian
Sebagai sebuah penelitian, Tesis ini hendaknya memiliki manfaat keilmuan
dalam bidang kenotariatan. Diharapkan berdasarkan penelitian ini dapat diambil
manfaat secara teoretis maupun manfaat praktis yang membantu mahasiswa magister
kenotariatan dan Notaris. Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dalam
Penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Universitas Indonesia
12
26
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia., 2005), hlm. 21
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 13.
28
Ibid, hlm. 6.
Universitas Indonesia
13
29
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 47.
30
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm.10.
Universitas Indonesia
14
BAB 4 PENUTUP
Bab ini memuat simpulan dan saran atas hasil peneliti.
Universitas Indonesia
BAB 2
PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS NOMOR 40
TAHUN 2007 DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS
Hirman Sigit Sapto Nugroho dan Yuni Purwati, Hukum Perseroan Terbatas (Prinsip Good
2
Corporate Governance dan Doktrin Piercing the Corporate Veil), (Solo: Iltizam, 2017), hlm. 66.
Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan direksi Perseroan Terbatas agar
3
Terhindar dari Jerat Hukum, (Depok: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 27.
16
Setiap pemegang saham mempunyai hak menghadiri RUPS. UUPT pada masa
modern mengatur ketentuan yang menegaskan hak tersebut, begitu juga Anggaran
Dasar (“AD”) Perseroan, mengatur ketentuan perseroan harus mengadakan RUPS
paling tidak satu kali dalam satu tahun. Pada dasarnya, dalam RUPS pemegang saham
melakukan kontrol atas jalannya kepengurusan perseroan yang dilakukan direksi.4
RUPS dapat dilakukan di tempat kedudukan perseroan atau di tempat
perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama. RUPS dapat dilakukan dimanapun
dalam wilayah Republik Indonesia dengan syarat, semua pemegang saham hadir dan
setuju dengan agenda tertentu dan dapat mengambil keputusan apabila disetujui secara
bulat. Penyelenggaraan RUPS juga dapat dimungkinkan melalui telekonferensi, video
konferensi/sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS
saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat dengan
kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam UUPT atau
AD Perseroan.5
4
James D. Cox, Thomas Lee Hazen, Hedge O’Neal, Corporations, Alpen Law & Business,
1977, hlm. 306.
5
Mulyoto, Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas, (Yogyakarta:
Cakrawala Media, 2010), hlm. 22.
6
Agus Sardjono, Yetty Komalasari, Rosewitha Irawaty, Togi Pangaribuan, Pengantar Hukum
Dagang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 79.
7
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas. (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm. 315.
Universitas Indonesia
17
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40 Tahun
8
9
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 315.
10
Universitas Indonesia
18
11
Ibid.
12
Ibid., hlm. 317.
Universitas Indonesia
19
13
Ibid., hlm. 318.
14
Ibid.
15
Ibid.
Universitas Indonesia
20
16
Ibid., hlm. 319.
17
Frans Satriyo Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, direksi dan Komisaris
Perseroan Terbatas (PT), (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009), hlm. 22.
Universitas Indonesia
21
penjelasan pasal 80 ayat (6) UUPT, ketentuan ini dimaksudkan agar pelaksanaan RUPS
tidak tertunda.18
18
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 322.
19
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm. 22.
20
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 323.
Universitas Indonesia
22
21
Ibid., hlm. 324.
22
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm.23.
23
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 324.
Universitas Indonesia
23
diiklankan dalam surat kabar yang menjangkau seluruh pemegang saham. Begitu juga
letak dan ukuran iklannya, harus patut dan proporsional, yakni mudah dilihat dan
dibaca.24
Mengenai isi panggilan RUPS kepada pemegang saham, digariskan pada Pasal
82 ayat (3) UUPT harus mencantumkan:25
1. tanggal RUPS diadakan;
2. tempat RUPS diadakan;
3. waktu RUPS diadakan;
4. mata acara RUPS;
5. pemberitahuan bahwa bahan RUPS yang akan dibicarakan, tersedia di kantor
Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS
diadakan.
Menurut Yahya Harahap, “hal yang paling penting diperhatikan, pemanggilan
RUPS harus memuat informasi yang cukup (sufficient information)”. Informasi yang
cukup benar-benar dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi pemegang saham
untuk menentukan apakah dia akan menghadiri atau tidak RUPS tersebut, meskipun dia
tahu resikonya, bahwa dia akan tunduk kepada hasil keputusan RUPS sekalipun dia
absen pada RUPS yang dimaksud.26
Apabila pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan
Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUPT, maka berdasarkan ketentuan Pasal 82
ayat (5) UUPT, RUPS tetap dapat dilangsungkan dan keputusan RUPS tetap sah dengan
syarat:
1. semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS; dan
2. keputusan RUPS disetujui dengan suara bulat.
Jika syarat tersebut terpenuhi, yakni semua pemegang saham dengan hak suara,
hadir atau diwakili dalam RUPS, panggilan itu tidak batal. RUPS dapat dilangsungkan
dan keputusan yang diambil saham apabila disetujui dengan suara bulat oleh peserta
RUPS.27 Khusus bagi perseroan terbuka, Pasal 83 UUPT menambah syarat pemanggilan
24
Ibid., hlm. 325.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid., hlm. 326.
Universitas Indonesia
24
yang ditentukan Pasal 82 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pemanggilan RUPS perseroan
terbuka wajib memenuhi syarat:
1. sebelum pemanggilan RUPS dilakukan, wajib didahului dengan pengumuman yang
memberitahukan akan diadakan pemanggilan RUPS;
2. pengumumannya harus memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal;
3. pengumuman dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum pemanggilan RUPS.
Maksud pengumuman tersebut menurut penjelasan Pasal 83 ayat (1), bertujuan
untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham mengusulkan kepada direksi
penambahan mata acara RUPS. Ketentuan mengenai pemanggilan harus didahului
dengan pengumuman pada perseroan terbuka, bersifat imperatif. Apabila dilanggar,
mengakibatkan panggilan tidak sah.28
28
Ibid., hlm. 327.
29
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm. 24.
30
Ibid.
Universitas Indonesia
25
Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa prinsip umum yang melekat pada
hak suara pemegang saham, yaitu:31
a. Satu saham, satu suara (one vote, for one share)
Prinsip ini ditegaskan pada Pasal 84 ayat (1) yang mengatakan bahwa setiap
saham yang dikeluarkan, mempunyai satu hak suara, kecuali AD perseroan menentukan
lain. Maksud dari kecuali AD perseroan menentukan lain, adalah apabila AD perseroan
mengeluarkan satu saham tanpa hak suara. Jika AD perseroan tidak menentukan hak
yang seperti itu, berlaku prinsip umum bahwa setiap saham yang dikeluarkan perseroan
mempunyai satu hak suara.32
Bertitik dari prinsip ini, hak suara merupakan hak yang melekat secara
inherent pada diri setiap pemegang saham (is inherent in ownership of share). Berarti
setiap pemegang saham berhak menghadiri dan berbicara serta mengeluarkan suara
dalam RUPS. Maka atas dasar hak hadir dan bersuara (is entitled to attend and speak)
dalam RUPS mewajibkan direksi harus memanggil pemegang saham.33
b. Saham yang dimiliki perseroan baik langsung atau tidak, tidak mempunyai hak
suara
Pada dasarnya, hanya saham yang dimiliki atau dikuasai pemegang saham
yang mempunyai hak suara. Sebaliknya saham yang dimiliki atau dikuasai perseroan
baik langsung atau tidak, tidak mempunyai hak suara. Prinsip ini ditegaskan Pasal 84
ayat (2). Bahkan dalam penjelasan pasal ini digariskan bahwa saham yang dimiliki atau
dikuasai perseroan tidak hanya terbatas tidak mempunyai hak suara, tetapi juga tidak
dihitung dalam penentuan kuorum.
Ketentuan tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 40 UUPT dimana saham yang
dikuasai perseroan karena pembelian kembali, perolehan karena hukum, hibah atau
hibah wasiat, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS, dan tidak
dihitung dalam menentukan kuorum, serta tidak berhak mendapat pembagian dividen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (2), kriteria saham yang tidak memiliki hak suara
adalah:
31
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 327.
32
Ibid.
33
Ibid.
Universitas Indonesia
26
35
Ibid.
Universitas Indonesia
27
saham yang dimilikinya. Namun bagi perseroan terbuka, suara berbeda yang
dikeluarkan oleh bank kustodian atau perusahaan efek yang mewakili pemegang saham
dalam dana bersama (mutual fund) bukan merupakan suara yang berbeda sebagaimana
yang dimaksud pada ketentuan ini.37 Mengenai siapa saja yang dapat ditunjuk sebagai
kuasa oleh pemegang saham untuk menghadiri RUPS, Pasal 85 ayat (4) mengatur
bahwa anggota direksi, anggota dewan komisaris dan karyawan perseroan dapat
ditunjuk sebagai kuasa yang dihitung dalam menetapkan kuorum RUPS. Namun, dalam
pemungutan suara, anggota direksi anggota dewan komisaris dan karyawan perseroan
sebagai kuasa pemegang saham tidak berhak mengeluarkan suara.38
36
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm.
160.
37
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 330
38
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40
Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 85 ayat (4)
39
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm 23.
Universitas Indonesia
28
kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh
satu) hari dari RUPS pertama. RUPS kedua adalah sah dan berhak mengambil
keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili keputusan jika dihadiri
oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/3 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah. Namun jika kuorum RUPS kedua tetap tidak
tercapai, ketua PN atas permohonan perseroan ditetapkan kuorum. Isi permohonan
meminta kepada ketua PN agar menetapkan kuorum RUPS ketiga.40
Adapun untuk perubahan AD perseroan, kuorum RUPS pertama adalah 2/3
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan diambil
berdasarkan 2/3 dari jumlah suara tersebut. Apabila RUPS pertama gagal, dan kuorum
RUPS kedua tetap sama, maka keputusan dapat diambil berdasarkan suara terbanyak
dari jumlah suara tersebut.41 Sementara untuk penggabungan, peleburan, pengambil-
alihan, kepailitan dan pembubaran perseroan, kuorum RUPS minimum 3/4 bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan diambil berdasarkan
3/4 dari jumlah suara tersebut.42
40
Ibid.
C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-
41
Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 12.
42
Ibid.
43
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 340.
Universitas Indonesia
29
ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Penandatanganan tersebut dimaksudkan untuk
menjamin kepastian dan kebenaran isi risalah RUPS tersebut.44
Berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1), risalah RUPS wajib ditandatangani.
Apabila risalah RUPS tidak dibuat dengan akta notaris, yang dibebani kewajiban untuk
menandatangani adalah:
1. ketua rapat; dan
2. paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta
RUPS.
Berlawanan dengan ketentuan Pasal 90 ayat (2), risalah RUPS yang dibuat
dengan akta notaris, tidak disyaratkan harus ditandatangani ketua rapat dan 1 (satu)
orang pemegang saham. Tanpa ditandatangani, risalah RUPS yang dibuat dengan akta
notaris dianggap pasti kebenarannya. Hal tersebut sesuai dengan fungsi yuridis akta
notaris sebagai akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
(volledig) tentang apa yang dimuat di dalamnya dan mengikat (bindend) kepada para
pihak yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak dari mereka.45
2.1.7. Pengambilan Keputusan di Luar RUPS
UUPT juga memberikan kemungkinan kepada para pemegang saham untuk
mengambil keputusan di luar RUPS yang mengikat PT yang bersangkutan. Caranya
dilakukan dengan mengedarkan surat berisi usulan yang harus diputuskan oleh para
pemegang saham. Cara ini biasanya disebut dengan istilah keputusan sirkuler. Agar
keputusan para pemegang saham itu mengikat PT yang bersangkutan, syaratnya semua
pemegang saham harus menyetujui secara tertulis usulan yang bersangkutan dengan
menandatangani surat yang berisi usulan tersebut. Namun yang perlu dicatat adalah
bahwa keputusan sirkuler bukanlah keputusan RUPS.46 Hal tersebut ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 91 UUPT bahwa pemegang saham dapat juga mengambil keputusan
yang mengikat di luar RUPS selama semua pemegang saham menyetujui secara tertulis
dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
Subandi Martha, Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta:
44
46
Agus Sardjono dkk, Pengantar Hukum Dagang, hlm. 81.
Universitas Indonesia
30
47
Ibid.
48
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 341.
Universitas Indonesia
31
49
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta: UII Press, 2009) hlm. 25.
50
Laurensius Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, (Jogjakarta: Deepublish,
2015), hlm. 1.
51
53
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 27.
54
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 58.
Universitas Indonesia
32
memiliki kewenangan untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang
lainnya.55
Wewenang membuat akta autentik ini hanya dilaksanakan oleh notaris sejauh
pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.56
Pemberian kualifikasi notaris sebagai pejabat umum berkaitan dengan wewenang
notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, notaris berwenang membuat akta autentik,
sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti
Kantor Catatan Sipil, tidak memberikan kualifikasi sebagai pejabat umum tapi hanya
menjalankan fungsi sebagai pejabat umum saja ketika membuat akta-akta yang
ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti
semula sebagai pegawai negeri.57
Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau
menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta autentik. Pembuatan akta
tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan
akta notaris, sehingga jabatan notaris sebagai pejabat umum tidak perlu lagi diberi
sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris, seperti notaris sebagai pembuat
akta koperasi; notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Pemberian sebutan
lain kepada notaris seperti tersebut di atas telah mencederai makna pejabat umum,
seakan-akan notaris akan mempunyai kewenangan tertentu jika disebutkan dalam suatu
aturan hukum dari instansi pemerintah.58
55
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps. 1 angka 1.
56
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notari, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 40.
57
Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan Notaris sebagai
Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem Hukum di Indonesia, (Ikatan Notaris
Indonesia: Jawa Timur, 22 – 23 Mei 1998), hlm. 7.
58
Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum, (Majalah Renvoii
Nomor 04, Th. II), 3 September 2004, hlm. 32.
Universitas Indonesia
33
Menurut Kode Etik Notaris 2015, notaris adalah setiap orang yang memangku
dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud
dalam UUJN. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 angka 4 Kode Etik Notaris 2015. Jabatan
notaris sebagai jabatan umum mempunyai karakteristik yaitu notaris sebagai jabatan,
notaris yang mempunyai kewenangan tertentu, notaris yang diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah, tidak menerima gaji maupun pensiunan dari yang mengangkatnya, dan
akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat. Notaris merupakan jabatan yang
diberikan oleh negara. Dalam melakukan pekerjaannya, notaris tidak menerima gaji,
melainkan menerima honorarium dari kliennya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.59 Ciri pengembanan profesi notaris menurut Herlien
Budiono meliputi enam hal pokok, antara lain:
1. jujur, mandiri, tidak berpihak, dan bertanggung jawab;
2. mengutamakan pengabdian pada kepentingan masyarakat dan negara;
3. tidak mengacu pamrih (disinterestedness);
4. rasionalitas yang berarti mengacu kebenaran obyektif;
5. spesifitas fungsional;
6. solidaritas antara sesama rekan dengan tujuan menjaga kualitas dan martabat profesi.
Dengan demikian pejabat umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau
diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan
akta autentik, dan notaris sebagai pejabat umum kepadanya diberikan kewenangan
untuk membuat akta autentik. Oleh karena itu, notaris sudah pasti pejabat umum, tapi
pejabat umum belum tentu notaris, karena pejabat umum dapat disandang pula oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.60
60
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 30.
61
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm. 77.
Universitas Indonesia
34
63
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm. 15.
64
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 49.
Universitas Indonesia
35
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan tanah; atau
g. membuat akta risalah lelang.
Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa notaris berwenang untuk membetulkan
kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah
ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat berita acara dan
memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan
tanggal dan nomor berita acara pembetulan. Salinan akta berita acara tersebut wajib
disampaikan kepada para pihak.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat
(notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.65
65
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif hlm. 33.
66
Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV, (Jogjakarta:
Cakrawala Media, 2010), hlm. 1.
67
Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta
Keterangan Ahli Waris), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008) hlm. 13.
Universitas Indonesia
36
68
Ibid.
69
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan, hlm. 49.
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia
38
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap
halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris.
(8) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan
kepala akta, komparasi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas, serta
penutup akta.
(9) jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7)
tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan.
(10) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan akta
wasiat.
(11) notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
(12) selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap
ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.
(13) notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n
dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.
Kewajiban Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN tersebut di
atas, dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. kewajiban moral normatif sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf a;
2. kewajiban teknis prosedural sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf b
sampai dengan huruf n.
Larangan bagi Notaris diatur dalam pasal 17 PJN juncto UUJN, dalam
penjelasan Pasal 17 UUJN, adanya ketentuan terhadap larangan notaris dimaksudkan
diantaranya untuk untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa notaris
dan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah
terjadinya persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan jabatannya, yaitu:
(1) notaris dilarang:
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti. Akta
juga memiliki pengertian lain yaitu suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk
membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, yang karenanya suatu akta haruslah
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersepakat.72
Dalam Pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah akta autentik, dan Pasal
1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta
autentik yaitu:73
a. akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat
umum;
b. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
c. pegawai umum (pejabat umum) oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Autentik atau authentiek dapat diartikan sebagai bersifat umum, bersifat
jabatan, memberi pembuktian yang sempurna (dari surat-surat), khususnya dalam kata
authentieke akte. Para notaris secara istimewa ditunjuk untuk membuat akta autentik
baik atas permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang
berhak membuatnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya.74
Menurut Djoko Soepadmo akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan atau menurut aturan dalam undang-undang oleh atau dihadapan umum
yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat.75 Menurut Husni Thamrin,
akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari
pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat
dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, akta autentik tersebut memuat
71
Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123,
(Desember 1995), hlm. 43.
72
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 178.
73
Ibid., hlm. 6.
74
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel – dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda –
Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 37.
75
Universitas Indonesia
41
keterangan seorang pejabat yang menerangakan tentang apa yang dilakukannya atau
dilihat dihadapanya.76
Menurut ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan autentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah
tangan. Pasal 1868 KUHPerdata lebih lanjut menjelaskan bahwa tulisan-tulisan autentik
berupa akta autentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-
undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan
di tempat dimana akta tersebut dibuat. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di
bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa
perantara atau tidak di hadapan pejabat umum yang berwenang.
Baik akta autentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk
dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan
tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini
terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung dengan alat
bukti yang lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu
dalam nilai pembuktian, akta autentik mempunyai pembuktian yang sempurna. 77 Satu
syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta autentik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta autentik tersebut di dalamnya telah
termasuk semua unsur bukti:78
a. tulisan;
b. saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
Arti akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula
ditentukan bahwa siapa pun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa
dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
76
Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, cetakan 2, (Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2011), hlm. 11.
77
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 7.
78
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 6.
Universitas Indonesia
42
hukum tetap.79 Bahwa akta autentik merupakan sebutan yang diberikan kepada pejabat
tertentu yang dikualifikasikan sebagai pejabat umum, seperti akta autentik tidak saja
dibuat oleh notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat
Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.80 Pengertian akta autentik didefinisikan
dalam pasal 1868 KUHPerdata yang mendefinisikan akta autentik sebagai suatu akta
yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.81
Akta notaris sebagai akta autentik berisikan hal-hal yang mencakup mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum
atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta.
Otentisitas dari akta notaris bersumber dari undang-undang yaitu UUJN, yang mana
notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam
kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta autentik.
Menurut G.H.S Tobing, akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat
autentik, bukan karena undang-undang menetapkan demikian, akan tetapi oleh karena
akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, seperti dimaksud dalam pasal 1868
KUHPerdata.82 Bahwa disebut akta notaris, karena akta tersebut sebagai akta autentik
yang dibuat dihadapan atau oleh notaris yang memenuhi syarat yang dibuat di hadapan
atau oleh notaris yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam UUJN. Akta
notaris sudah pasti akta autentik, tapi akta autentik bisa juga akta notaris, akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah,Risalah Lelang Pejabat Lelang dan Akta Catatan Sipil.83
Pasal 1 angka 7 UUJN menjelaskan akta yang dibuat di hadapan atau oleh
notaris berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam UUJN, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon bahwa
syarat akta autentik, yaitu “di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
79
Ibid., hlm. 6.
80
M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hlm. 146.
81
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 178.
82
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 38.
83
Universitas Indonesia
43
(bentuknya baku) dan dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum”. 84 Menurut Irawan
Soerodjo, ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta
autentik, yaitu “dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan
dihadapan pejabat umum dan tempat dimana akta itu dibuat”.85
Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap notaris,
tanpa adanya keinginan seperti demikian maka akta notaris tidak akan pernah dibuat.
Kewajiban notaris membingkainya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga akta
tersebut dikualifikasikan sebagai akta autentik. Isi akta yang bersangkutan merupakan
kehendak para pihak, bukan kehendak atau keinginan notaris. Notaris berkewajiban
memberikan penjelasan kepada para penghadap, agar tindakannya yang dituangkan
dalam akta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.86
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris,
yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang:
1. tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang;
2. menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan
hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3. mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu
dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan;
4. berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat
kedudukan dan wilayah jabatan notaris;
5. mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin kepastian
waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
Habib Adjie memberikan beberapa karakter yuridis dari suatu akta notaris
yaitu:87
Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31
84
85
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surayabaya: Arkola,
2003), hlm. 148.
86
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung : Refika Aditama, 2015),
hlm. 84.
87
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm.38.
Universitas Indonesia
44
1. akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang
(uujn);
2. akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan karena keinginan
notaris;
3. meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, dalam hal ini notaris tidak
berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang
namanya tercantum dalam akta;
4. mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta
notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain selain yang tercantum dalam akta tersebut;
5. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak
yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, pihak yang tidak
setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang
bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat
dibuktikan.
Akta yang dibuat oleh (door) notaris dalam praktek notaris disebut akta relaas
atau akta berita acara yang berisi berupa uraian yang dilihat dan disaksikan notaris
sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang
dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat dihadapan (ten
overstaan) notaris, dalam praktek notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau
keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan
notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam
bentuk akta notaris.88
Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi
dasar utama atau inti dalam pembuatan akta notaris, yaitu harus ada keinginan atau
kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan
para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk
memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, notaris dapat memberikan saran
dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran notaris diikuti oleh para pihak
dan dituangkan dalam akta notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap
88
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 51.
Universitas Indonesia
45
merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat notaris
atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan notaris.89
89
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 10.
90
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:
Rajawali, 1982), hlm. 55.
91
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 19.
Universitas Indonesia
46
92
Ibid.
93
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 61.
94
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 20.
Universitas Indonesia
47
bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta
di bawah tangan.95
Akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang
membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal
1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian mengatur ada 2
(dua) syarat, yaitu syarat subjektif yang berkaitan dengan yang subjek yang
mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kemudian syarat obyektif, yaitu
syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan obyek yang
dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab
yang tidak dilarang.96
Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan
syarat obyektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian
dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu
atau yang berkepentingan. Jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal
demi hukum (nietig) tanpa perlu ada permintaan dari para pihak. Perjanjian dengan
demikian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.97 Perjanjian
dikarenakan sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak
untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.98
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta notaris. Syarat
subjektif dicantumkan dalam awal akta dan syarat obyektif dicantumkan dalam badan
akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata
mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya.99Jika dalam awal akta, terutama
95
Ibid., hlm. 21.
96
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 52.
97
Ibid.
98
Hukum Universitas Airlangga, Vol. XVIII, No. 3, Mei 2003), hlm. 219.
Universitas Indonesia
48
syarat-syarat para pihak yang menghadap notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka
atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Akta notaris yang dapat
dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex nunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari
akta tersebut dianggap ada sampai dilakukan pembatalan. Jika dalam isi akta tidak
memenuhi syarat obyektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Akta notaris yang
batal demi hukum berarti akta tersebut termasuk ex tunc, yang berarti perbuatan dan
akibat dari akta tersebut dianggap tidak pernah ada (inexistence).100
Menurut Habib Adjie, “oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah
menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat obyektif bagian dari badan akta, maka
timbul kerancuan antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi
hukum”. Jika pembatalan diajukan untuk membatalkan akta notaris karena tidak
memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk
membatalkan syarat obyektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal
akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada
pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta
yang berisi syarat obyektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat
obyektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.101
Berkaitan dengan kebatalan atau pembatalan akta notaris, Pasal 84 UUJN telah
mengatur tersendiri, yaitu jika notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi
hukum.102 Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dan
ditentukan dari:
1. isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika notaris
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan;
100
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 53.
101
Ibid., hlm. 54.
102
Ibid., hlm. 66.
Universitas Indonesia
49
2. jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka pasal lainnya
yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta
batal demi hukum.103
Akta notaris batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat
yang sudah ditentukan menurut hukum, tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu
dari yang bersangkutan yang berkepentingan, sehingga bersifat pasif. Oleh karena itu,
kebatalan bersifat pasif, artinya tanpa ada tindakan aktif atau upaya apapun para pihak
yang terlibat dalam suatu perjanjian, maka akan batal atau batal demi hukum karena
serta merta ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi.104
Istilah pembatalan bersifat aktif, meskipun syarat-syarat perjanjian telah
dipenuhi, tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berkehendak agar
perjanjian yang dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi dengan alasan tertentu, baik
atas dasar kesepakatan atau dengan mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan
umum, misalnya para pihak telah sepakat untuk membatalkan akta yang pernah
dibuatnya, atau diketahui ada aspek formal akta yang tidak dipenuhi yang tidak
diketahui sebelumnya, dan para pihak ingin membatalkannya.105
Herlien Budiono menguraikan bahwa:
“Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum,
maka dinyatakan dengan istilah yang sederhana “batal”, tetapi adakalanua
menggunakan istilah “batal dan tak berhargalah” (Pasal 879 KUHPerdata) atau
“tidak mempunyai kekuatan” (Pasal 1335 KUHPerdata). Penggunaan istilah-
istilah tersebut cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama
hendak digunakan untuk pengertian yang berbeda untuk “batal demi hukum”
atau “dapat dibatalkan”. Pada Pasal 1446 KUHPerdata dan seterusnya untuk
menyatakan batalnya suatu perbuatan hukum, kita temukan istilah-istilah “batal
demi hukum”, “membatalkannya” (Pasal 1449 KUHPerdata), “pernyataan
batal” (Pasal 1451 – 1452 KUHPerdata), “gugur” (Pasal 1545 KUHPerdata),
dan “gugur demi hukum” (Pasal 1553 KUHPerdata).”
103
Ibid.
104
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum, hlm. 58.
105
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 67.
Universitas Indonesia
50
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta notaris dan
notaris, jika suatu akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka:106
1. para pihak datang kembali ke notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta
tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para
pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut;107
2. jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu
pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta
notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang
memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta notaris yang
sudah didegradasikan. Apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan, hal ini
tergantung pembuktian dan penilaian hakim.108
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta
yang dibuat notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan
berupa tuntutan ganti rugi kepada notaris yang bersangkutan dengan kewajiban
penggugat dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan
akibat langsung dari akta notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat
membuktikan apa saja yang dilanggar oleh notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan
aspek materiil atas akta notaris.
Akta notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika
ada prosedur yang tidak dipenuhi, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat
dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu maka nilai pembuktiannya diserahkan
kepada Hakim.109
106
Ibid., hlm. 11.
107
Ibid. Menurut Habib Adjie, pembatalan dengan cara seperti ini selaras dengan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1420 K/Sip/1978, tanggal 1 Mei 1979, bahwa pengadilan
tidak dapat membatalkan suatu akta notaris, tetapi hanya dapat menyatakan akta notaris yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. berarti hanya para pihaklah yang dapat
membatalkannya.
108
Ibid.
109
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 55.
Universitas Indonesia
51
111
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 84.
112
Anshori, Lembaga Kenotariatan, hlm. 34.
Universitas Indonesia
52
114
Anita Afriana, “Kedudukan dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pihak dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Indonesia terkait Akta yang Dibuatnya”, Jurnal Poros Hukum Padjajaran, Vol. I,
No. 2 (Mei 2020), hlm. 246-261
Universitas Indonesia
53
demikian, seharusnya suatu akta notaris yang batal demi hukum tidak menimbulkan
akibat untuk memberikan penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada para pihak
yang tersebut dalam akta.115
Berkaitan dengan tanggung jawab notaris secara perdata, R. Wirjono
Prodjodikoro dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban, menyatakan bahwa
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru muncul ketika
orang itu melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum. Sebagian besar
dari perbuatan-perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang dalam KUHPerdata
dinamakan dengan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad).116 Perbuatan
melawan hukum diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab III tentang perikatan-perikatan
dari Pasal 1365 hingga Pasal 1380. Secara lengkap bunyi Pasal 1365 KUHPerdata
adalah bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
orang, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, unsur-unsur perbuatan melawan
hukum adalah sebagai berikut:
a. perbuatan yang melawan hukum;
b. harus ada kesalahan;
c. harus ada kerugian yang ditimbulkan;
d. adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.117
Apabila profesi notaris dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum, maka
apabila notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan suatu
perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang menghadap di dalam
pembuatan suatu akta dan hal itu benar-benar dapat diketahui, bahwa sesuatu yang
dilakukan oleh notaris misalnya bertentangan dengan undang-undang, maka notaris
dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.118
115
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 91
116
R. Wirjono Prodjodikiro, Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari sudut Hukum
Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 80.
117
Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abidin, 1999), hlm.
76.
118
Nico, Tanggung Jawab Notaris, hlm. 86
Universitas Indonesia
54
119
Ibid.
120
Agnes M. Toar, Kursus Hukum Perikatan tentang Perbuatan Melawan Hukum,
sebagaimana dikutip dalam Makalah Cipto Soenaryo, Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam
Pelayanan kepada Publik sesuai dengan Moral Etika Profesi dan Undang-Undang, (Medan, 2011), hlm.
10
121
Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam
Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, (Yogyakarta: Tesis Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, 2008), hlm. 32.
Universitas Indonesia
55
123
Ibid.
124
Ibid., hlm. 109
Universitas Indonesia
56
tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN yaitu pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16
ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1)
huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i,
Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal
32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63.125
Teguran lisan ditempatkan oleh Pasal 85 UUJN pada urutan pertama
pemberian sanksi, yang merupakan suatu peringatan kepada notaris dari majelis
pengawas yang jika tidak dipenuhi ditindaklanjuti dengan sanksi teguran tertulis.
Apabila sanksi tersebut tidak juga dipatuhi oleh notaris yang bersangkutan, maka dapat
dijatuhi sanksi yang berikutnya secara berjenjang. Sebelum menjatuhkan sanksi
administratif berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap notaris tersebut,
ditempuh dulu penjatuhan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, untuk kemudian
mengusulkan pemberian sanksi pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan
6 (enam) bulan dan selanjutnya mengusulkan untuk pemberhentian dengan tidak hormat
dari jabatannya. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada
yang bersangkutan untuk membela diri dan memperbaiki diri.126
Penempatan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis sebagai awal untuk
menjatuhkan sanksi yang selanjutnya bukan termasuk sanksi administratif. Dalam
sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, sebelum dijatuhkan sanksi harus
didahului oleh teguran lisan dan teguran tertulis, hal ini dimasukkan sebagai aspek
prosedur paksaan nyata.127 Pelaksanaan teguran lisan dan maupun tertulis bertujuan
untuk menguji ketepatan dan kecermatan (akurasi) antara teguran lisan dan tertulis
dengan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku.128
125
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps.85.
126
Ibid., hlm. 104
127
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), hlm. 245.
128
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 115.
Universitas Indonesia
57
130
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 92.
131
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps.70.
132
Ibid., Pasal 73
Universitas Indonesia
58
133
Ibid., hlm. 119
134
Soegeng Santosa, Doddy Radjasa Waluyo, Zulkifli Harahap, “Aspek Pidana Dalam
Pelaksanaan Tugas Notaris”, Majalah Renvoi No. 22, (Maret 2005), hlm 30.
Universitas Indonesia
59
2.2.7. Peran Notaris dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas
Salah satu syarat dari Akta Pendirian PT yang diatur pada Pasal 7 ayat (1)
UUPT adalah cara mendirikan perseroan harus dibuat secara tertius (schriftelijk, in
writing), dalam bentuk akta, yakni:135
1. berbentuk akta notaris, tidak boleh berbentuk akta bawah tangan;
2. keharusan akta pendirian mesti berbentuk akta notaris, tidak hanya berfungsi sebagai
probationis causa. Maksudnya, akta notaris tersebut tidak hanya berfungsi sebagai
alat bukti atas perjanjian pendirian perseroan. Tetapi, akta notaris itu berdasar Pasal 7
ayat (1) UUPT, sekaligus bersifat dan berfungsi sebagai solemnitatis causa yakni
apabila tidak dibuat dalam akta notaris, akta pendirian perseroan itu tidak memenuhi
syarat, sehingga terhadapnya tidak dapat diberikan pengesahan oleh pemerintah
dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(“Kemenkumham”).
Menurut Dr. Mulyoto, di masa lalu pihak Kemenkumham turut membantu atas
kebenaran secara keseluruhan akta pendirian PT demikian juga yang berlaku dalam hal
perubahan AD yang memerlukan persetujuan menteri. Hal tersebut dikarenakan di masa
lalu permohonan pengesahan atas akta pendirian PT, salinan akta pendirian PT dikirim
ke Kemenkumham kemudian dikoreksi oleh korektor, jika ada kesalahan di coret-coret
dan diberi catatan pembetulan kemudian dikirim kembali ke kantor notaris untuk
dibetulkan.136
Dr. Mulyoto menyatakan lebih lanjut bahwa sekarang ini segala sesuatu
diusahakan dengan serba cepat, praktis, efisien dan menghindarkan sejauh mungkin
kontak person (face to face) untuk menghindari kolusi dan sebagainya, yaitu dengan
diterapkannya Sistem Administrasi Badan Hukum (“SABH”) dimana segala sesuatunya
dilakukan secara elektronik melalui internet. Untuk keperluan mendapatkan pengesahan
atas akta pendirian PT, notaris tidak lagi harus mengirimkan dokumen fisik ke
135
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 168.
136
Mulyoto, Pertanggungjawaban Notaris, hlm. 14.
Universitas Indonesia
60
137
Ibid.
Universitas Indonesia
61
(diformulasikan) oleh notaris di dalam suatu akta autentik. Akta yang sedemikian itu
dinamakan akta yang dibuat di hadapan notaris.
Universitas Indonesia
62
salinan surat tercatat atau pemberitahuan rapat, salinan tanda terima pemberitahuan
rapat dan salinan dari daftar hadir rapat itu sendiri.
Para tergugat menyatakan pengambilan keputusan dalam RUPS adalah sah
dikarenakan ketiga pemegang saham yang secara bersama-sama mewakili 80% (delapan
puluh) saham telah hadir dan menyetujui agenda rapat dalam RUPSLB tersebut,
sehingga kehadiran dan hak suara ET tidak lagi diperlukan. Para tergugat juga
menyatakan bahwa apabila ET sebagai penggugat merasa keterangan atas kehadiran
dirinya pada saat RUPSLB adalah tidak benar dan tanda tangan dirinya pada risalah
rapat adalah palsu, seharusnya ET melaporkan IA atas tuduhan pemalsuan keterangan
dan tanda tangan ke pihak kepolisian bukan malah mengajukan gugatan untuk
membatalkan akta PKR atas RUPSLB tersebut ke pengadilan negeri.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun kuorum
atas pengambilan keputusan rapat tanpa kehadiran ET telah terpenuhi sesuai ketentuan
Pasal 86 UUPT, pelaksanaan pemanggilan rapat harus tetap dilaksanakan sesuai
ketentuan UUPT dan Pasal 22 Anggaran Dasar PT XYZ yaitu 7 (tujuh) hari sebelum
diselenggarakannya RUPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim
memutuskan bahwa risalah RUPSLB cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
Berdasarkan risalah RUPSLB yang dinyatakan cacat hukum dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat tersebut, maka akta PKR Nomor 2 tanggal 23 April
2008 yang dibuat IA selaku Tergugat dihadapan turut tergugat Notaris HJ juga
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Para tergugat termasuk Notaris HJ
juga dihukum secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara.
Universitas Indonesia
63
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.138
Dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas-asas hukum yang menjadi
dasar pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum dapat
diartikan sebagai “jantungnya” peraturan hukum.139 Dalam pembentukan aturan hukum,
terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas
tersebut ialah kepastian hukum. Gagasan mengenai asas kepastian hukum ini awalnya
diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam bukunya yang berjudul “einführung in die
rechtswissenschaften”. Radbruch menuliskan bahwa di dalam hukum terdapat 3 (tiga)
nilai dasar, yakni keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan
kepastian hukum (rechtssicherheit).140
Sejatinya keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah
pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan.
Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi
yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu.141 Kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum saat ini sangat krusial dan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga setiap
elemen-elemen dalam masyarakat yang berhubungan baik langsung maupun tidak
langsung dengan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut haruslah memiliki
parameter yang sama yaitu tercapainya kepastian hukum.142
Peningkatan kebutuhan akan jaminan kepastian hukum ini berakibat dengan
semakin dibutuhkannya keberadaan notaris untuk pembuatan akta dalam semua aspek
perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Profesi notaris sangatlah penting
138
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58.
139
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 45.
140
Ibid., hlm. 19.
141
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 2.
142
Abdul Hakim, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998), hlm. 70.
Universitas Indonesia
64
karena sifat dan hakikat dari pekerjaaan notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi,
sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan
kewajiban para pihak yang terlibat. Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang
notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris.143
Profesi notaris merupakan profesi yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat untuk pembuatan alat-alat bukti yang berupa akta, sehingga notaris tidak
memihak kesalah satu pihak dan harus berprilaku adil terhadap kedua belah pihak serta
menjelaskan akibat-akibat perjanjian yang dibuatnya terhadap masing-masing. Tugas
dan wewenang notaris erat hubungannya dengan perjanjian-perjanjian, perbuatan-
perbuatan dan juga ketetapan-ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara
para pihak, yaitu memberikan jaminan atau alat bukti terhadap perbuatan, perjanjian,
dan juga ketetapan tersebut agar para pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai
kepastian hukum.144
143
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm.51.
144
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 32.
Universitas Indonesia
BAB 3
AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM
PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN PASAL 81 UNDANG-
UNDANG PERSEROAN TERBATAS (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
3.1. Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
yang Tidak Sesuai dengan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas
0
Putri A. R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, (Medan: Sofmedia, 2011), hlm. 21-31.
0
Habib Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan tulisan Tentang
Notaris dan PPAT, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 185.
66
semua dokumen yang diperlihatkan kepadanya sebelum membuat akta, meneliti semua
bukti yang ditunjukkan dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak
secara seksama. Peran utama notaris dalam menciptakan kepastian hukum di
masyarakat adalah dengan pembuatan akta, baik akta partij maupun akta relaas.
Berkaitan dengan peran notaris dalam Perseroan Terbatas (“PT”), notaris menciptakan
otentisitas dari akta yang dibuatnya berisi kehendak-kehendak para pemegang saham
dalam memutuskan hal-hal terkait keberlangsungan perseroan. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), wewenang untuk
mengambil keputusan dalam perseroan tersebut diberikan kepada Rapat Umum
Pemegang Saham (“RUPS”).
1. akta tersebut dibuat dihadapan Notaris HJ yang bertindak sebagai seorang pejabat
umum;
2. akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan
Notaris (“UUJN”); dan
3. Notaris HJ sebagai pejabat umum yang membuat akta PKR tersebut mempunyai
kewenangan untuk membuat akta sesuai kewenangannya dalam UUJN.
Universitas Indonesia
67
Berdasarkan sifatnya sebagai akta autentik maka akta PKR PT XYZ tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga kebenaran dan nilai
pembuktian akta tersebut tidak diragukan lagi apabila digunakan sebagai alat bukti di
pengadilan. Semua pihak yang terlibat dalam akta tersebut terikat untuk mematuhi apa
yang tercantum di dalamnya tanpa dapat ditafsirkan lain. Pembatalan daya ikat akta
notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum
dalam akta.
Seperti yang telah diuraikan dalam Bab 2 sebelumnya, akta PKR yang menjadi
obyek sengketa dalam perkara Putusan Pengadilan 43/PDT.G/2017.PN.PLG adalah akta
partij yang dibuat Notaris HJ selaku turut tergugat atas penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa (“RUPSLB”) PT XYZ pada tanggal 18 April 2008.
Penghadap akta adalah IA yang merupakan pemegang saham dan direktur utama PT
XYZ. IA menerangkan bahwa PT XYZ telah menyelenggarakan RUPSLB untuk
menyetujui beberapa keputusan yaitu penyesuaian Anggaran Dasar (“AD”) perseroan
dengan UUPT, perubahan kepemilikan pemegang saham dan perubahan susunan direksi
perseroan. IA menyatakan dalam keterangannya kepada Notaris HJ bahwa seluruh
pemegang saham hadir dan menyetujui secara bulat keputusan yang diambil dalam
RUPSLB tersebut. Padahal, ET selaku direktur dan juga pemilik atas 20% (dua puluh
persen) saham perseroan baru mengetahui perihal mengenai pelaksanaan RUPSLB
tersebut di tahun 2016 sehingga sangat mustahil bagi ET untuk hadir dan
menandatangani risalah RUPSLB di tahun 2008 tersebut.
Universitas Indonesia
68
Akta notaris sesuai dengan fungsi yuridisnya berlaku sebagai akta autentik
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) tentang
apa yang dimuat di dalamnya dan mengikat (bindende bewijskracht) kepada para pihak
yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak dari mereka. Kekuatan
pembuktian akta autentik diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang mengatakan
bahwa suatu akta autentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat didalamnya.
Berdasarkan kekuatan yang melekat pada akta autentik, maka dengan demikian
kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum dalam akta PKR Nomor 2 tanggal 23
April 2008 menjadi sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang
disebut dalam akta. Sehingga, apabila diajukan suatu gugatan untuk membatalkan isi
dari akta PKR tersebut, Penggugat ET harus membuktikan terlebih dahulu bahwa unsur
nilai pembuktian akta PKR sebagai akta autentik tidak terpenuhi agar akta tersebut
kekuatan pembuktiannya terdegradasi menjadi akta berkekuatan di bawah tangan.
Apabila akta PKR PT XYZ yang dibuat oleh Notaris HJ dikaitkan dengan
kekuatan nilai pembuktian yang bersifat lahiriah (uitwendige bewijskracht) dan formal
(formele bewijskracht), maka akta PKR tersebut telah mampu membuktikan
keabsahannya sebagai sebuah akta autentik (acta publica probant sese ipsa). Parameter
untuk menentukan akta notaris sebagai akta autentik secara lahiriah, yaitu tanda tangan
dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya
awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Selama jalannya persidangan,
baik ET dalam gugatannya maupun majelis hakim dalam pertimbangan putusannya,
sama sekali tidak menyebutkan dalil yang berkaitan dengan tanda tangan Notaris HJ
ataupun atau awal serta dan akhir akta PKR yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya
sehingga dapat disimpulkan bahwa akta PKR atas RUPSLB PT XYZ di tahun 2008
tersebut telah terpenuhi unsur kekuatan pembuktian lahiriahnya sebagai akta autentik.
Berkaitan dengan kekuatan pembuktian formal akta notaris, akta PKR PT XYZ
yang menjadi obyek perkara tersebut telah memberikan kepastian bahwa kejadian dan
fakta atas penyelenggaraan RUPS pada tahun 2008 benar-benar terjadi dan diterangkan
Universitas Indonesia
69
oleh IA selaku penghadap dan tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah
ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal, akta PKR tersebut membuktikan
kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, waktu menghadapnya IA
kepada Notaris HJ serta membuktikan kebenaran atas paraf dan tanda tangan IA selaku
penghadap, saksi dan Notaris HJ selaku pejabat yang berwenang membuat akta PKR
tersebut.
Untuk membuktikan aspek materiil dari akta PKR dalam kasus PT XYZ, maka
ET sebagai pihak yang menderita kerugian atas adanya akta PKR tersebut dalam
persidangan harus dapat membuktikan bahwa keterangan yang diberikan IA selaku
penghadap akta di hadapan notaris menjadi tidak benar. Dalam gugatannya, ET
menyatakan beberapa hal untuk menyangkal isi dari akta PKR atas RUPSLB yang
menjadi obyek sengketa sebagai berikut:
Universitas Indonesia
70
2. bahwa tidak benar apabila ET hadir dalam RUPSLB PT XYZ yang dilaksanakan
pada 18 April 2008 tersebut di Jl. H. Faqih Umar, Palembang;
4. bahwa tidak benar apabila tanda tangan yang tercantum dalam RUPSLB PT XYZ
tertanggal 18 April 2008 tersebut adalah tanda tangan dirinya.
0
Habib Adjie, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 48
Universitas Indonesia
71
tidak terpenuhi, maka akta PKR tersebut telah terdegradasi kekuatan pembuktiannya
menjadi akta dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan.
Setelah dapat membuktikan bahwa nilai pembuktian akta PKR PT XYZ kini
hanya bersifat di bawah tangan, maka selanjutnya adalah tugas majelis hakim untuk
menilai keabsahan dari akta tersebut berdasarkan keterangan dan bukti-bukti yang
diajukan para pihak yang bersengketa dalam persidangan. Parameter untuk mengukur
keabsahan suatu akta adalah dengan menilai keabsahan dan kebenaran peristiwa hukum
yang terjadi di dalamnya, karena sejatinya suatu akta partij atau akta para pihak
berisikan keterangan-keterangan yang diceritakan atau diterangkan pihak yang
menghadap kepada notaris agar keterangan tersebut dituangkan dalam suatu akta.
Peristiwa hukum yang dimuat dalam akta PKR Nomor 2 tertanggal 23 April
2008 adalah RUPSLB PT XYZ yang diselenggarakan pada 18 April 2008. Sehingga,
untuk menilai keabsahan akta PKR tersebut, maka prosedur atas penyelenggaraan
RUPSLB harus dianalisa terlebih dahulu kesesuaiannya terhadap tata cara pelaksanaan
RUPS oleh UUPT dan AD PT XYZ itu sendiri. Tata cara pelaksanaan RUPS
sebagaimana diatur dalam UUPT tidak hanya menentukan persyaratan material yang
harus dipenuhi pada saat jalannya RUPS seperti keputusan yang diambil dalam rapat,
namun juga mengatur persyaratan formil sebelum RUPS tersebut dilangsungkan yaitu
mengenai pemanggilan rapat.
Universitas Indonesia
72
Syarat sah pemanggilan RUPS diatur dalam Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) UUPT yaitu dilakukan minimal dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum tanggal RUPS diadakan, berbentuk surat tercatat dan/atau iklan dalam
surat kabar serta mencantumkan tanggal, waktu, tempat dan mata acara yang akan
0
Pengadilan Negeri Palembang, Putusan Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG.
Universitas Indonesia
73
dibicarakan dalam RUPS. Pasal 82 ayat (5) kemudian menjelaskan akibat hukum
apabila pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan syarat-syarat tersebut yaitu bahwa
RUPS tetap dapat dilangsungkan dan keputusannya berlaku sah selama semua
pemegang saham dengan hak suara hadir dan keputusan yang diambil dapat RUPS
tersebut disetujui dengan suara bulat.
Merujuk pada ketentuan mengenai syarat sah pemanggilan RUPS sesuai UUPT
tersebut, maka keputusan yang diambil dalam RUPSLB PT XYZ pada tanggal 18 April
2008 adalah menjadi tidak sah, karena selain pemanggilan RUPS yang tidak
dilaksanakan oleh direksi maupun komisaris PT XYZ, ET selaku pemegang saham
dalam perseroan juga tidak hadir dan menyetujui agenda rapat yang diputuskan dalam
RUPSLB tersebut. Berdasarkan penyelenggaraan RUPSLB yang tidak sah, maka sudah
sepatutnya risalah atas RUPSLB PT XYZ tertanggal 18 April 2008 juga dinyatakan
sebagai cacat hukum dan tidak sah mengikat para pemegang saham yang terikat dalam
akta tersebut.
Atas risalah RUPSLB PT XYZ yang cacat hukum, maka gugatan yang
diajukan oleh Penggugat ET adalah untuk membatalkan akta PKR Nomor 2 tertanggal
23 April 2008 yang dibuat Notaris HJ. Gugatan tersebut diajukan berdasarkan fakta
bahwa walaupun keputusan yang diambil dalam RUPSLB sebagaimana tertuang dalam
risalah rapat tersebut adalah tidak sah, tetapi akta yang memuat keterangan dan
persetujuan atas RUPSLB tersebut telah diterbitkan oleh notaris dan berlaku mengikat
bagi para pihak yang terlibat di dalamnya hingga adanya putusan perkara perdata yang
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan sebaliknya.
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
75
keterangan palsu Penghadap IA yang menyatakan bahwa seluruh pemegang saham telah
menyetujui keputusan yang diambil dalam RUPS tertanggal 18 April 2003 tersebut.
Atas akta notaris yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat, maka isi
akta tersebut tidak lagi dapat diterapkan kepada para pihak, namun eksistensi lahiriah
atas akta tersebut tetap ada karena unsur-unsur yang menyatakan bahwa akta PKR
tersebut adalah akta notaris telah terpenuhi. Notaris HJ secara prosedural telah membuat
akta PKR tersebut berdasarkan ketentuan undang-undang, hanya saja isi atas akta
tersebut yang dinyatakan cacat hukum karena tindakan hukum yang terjadi di dalam isi
akta tersebut yaitu pelaksanaan RUPSLB dapat dibuktikan dalam persidangan tidak
sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga menyebabkan isi dari akta tersebut tidak
lagi memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Keberadaan
akta PKR tersebut sebagai akta notaris masih diakui sehingga notaris tetap wajib
menyimpan akta tersebut dalam reportorium dan buku daftar akta sehingga kronologi
yang runtut atas penyelenggaraan RUPSLB sebagai perbuatan hukum PT XYZ tersebut
tetap tercatat.
Universitas Indonesia
76
Universitas Indonesia
77
tercantum dalam AD yang termuat dalam Akta Pendirian PT XYZ adalah tidak sah
karena bertentangan dengan UUPT 1995 yang berlaku pada masa itu.
Pada UUPT yang berlaku saat ini, jangka waktu minimal pemanggilan rapat
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) yaitu bahwa pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Penjelasan pasal tersebut
lebih lanjut menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat belas) hari adalah jangka waktu
minimal untuk memanggil RUPS. Oleh karena itu, AD perseroan tidak dapat atau
dilarang menentukan jangka waktu pemanggilan RUPS yang lebih singkat dari 14
(empat belas) hari. Seharusnya majelis hakim dalam pertimbangannya harus
menyampaikan perihal mengenai minimal jangka waktu pemanggilan RUPS yang
diamanatkan UUPT, baik UUPT 1995 yang masih berlaku pada saat PT XYZ didirikan
pada 2003 maupun UUPT 2007 yang saat ini diberlakukan, sehingga PT XYZ dapat
melaksanakan RUPS kembali untuk memutuskan perubahan atau penyesuaian AD
perseroan sesuai UUPT terutama terkait jangka waktu minimal pemanggilan rapat.
Majelis hakim yang dianggap paling mengetahui peraturan hukum positif di Indonesia
dalam sebuah persidangan, sudah semestinya memasukkan perihal tersebut dalam
pertimbangan putusannya agar ke depannya, PT XYZ dapat menyelenggarakan RUPS
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari perkara serupa.
Universitas Indonesia
78
Dalam akta PKR yang merupakan akta para pihak, notaris tidak
bertanggungjawab secara seutuhnya atas kebenaran materiil dari keterangan para pihak
berkaitan dengan akta yang dibuatnya karena notaris hanya menuangkan keinginan para
pihak kedalam akta. Namun walaupun tidak bertanggungjawab atas kebenaran materiil
akta, notaris tetap bertugas dan memiliki kewenangan untuk memberikan penyuluhan
hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf e
(“UUJN”). Penyuluhan hukum yang dimaksud dapat diartikan sebagai usaha
menyebarluaskan informasi dan pemahaman atas norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk mewujudkan dan mengembangkan kesadaran
0
Lily Harjati Soedewo, ”Peranan dan Tanggung Jawab Notaris, dalam Pembuatan Kata
Notaris, Pengesahan (Legalisasi), Serta Pendaftaran (Waarmerking) Akta Dibawah Tangan”, (Tesis
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: 2004), hlm. 59.
Universitas Indonesia
79
hukum pihak-pihak yang membuat akta agar taat atau patuh terhadap norma hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Isi akta yang dituangkan dalam akta merupakan kehendak para pihak, sehingga
notaris tidak memiliki kewenangan dan tidak diperkenankan untuk mengarahkan apa
yang hendak dituangkan dalam akta, namun notaris memiliki kewenangan untuk
memberikan masukan sebagai informasi dalam bentuk penyuluhan hukum untuk
dipertimbangkan oleh para pihak. Notaris tidak hanya menerima begitu saja apa yang
diminta oleh para pihak untuk dituangkan dalam akta, melainkan juga harus membuat
penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan tidak segan untuk
menyatakan kebenaran atau menolak jika para pihak meminta Notaris melakukan
perbuatan yang tidak sesuai dengan kelayakan umum maupun undang-undang.
Pada proses pembuatan akta PKR, notaris hanya menuangkan isi akta
berdasarkan keterangan para pihak, namun sebelum membuat akta, notaris wajib
meminta bukti dokumen pendukung yang berkaitan dengan pembuatan akta tersebut.
Pada praktiknya, dokumen yang biasanya dibutuhkan adalah dokumen yang hanya
berkaitan dengan awal akta yakni mengenai identitas dan kewenangan penghadap.
Kebenaran dokumen yang berkaitan dengan keterangan para pihak bukanlah menjadi
tanggung jawab notaris sepenuhnya, contohnya ketika notaris diminta untuk membuat
akta atas peristiwa jual beli, notaris tidak diwajibkan untuk memeriksa kebenaran
tentang pembayaran atas transaksi jual beli tersebut. Notaris hanya akan mendapatkan
keterangan berdasarkan cerita dari para penghadap saja baik secara lisan maupun dalam
bentuk kwitansi yang tidak resmi. Padahal seharusnya untuk menjamin hak dan
kewajiban para pihak mengenai kebenaran materiil peristiwa jual beli tersebut, notaris
dapat meminta dokumen berupa bukti transfer dari pihak bank. Ketelitian dan
Universitas Indonesia
80
Universitas Indonesia
81
yang akan dibahas dalam RUPSLB tersebut. Selain bukti pemanggilan tersebut, Notaris
HJ juga seharusnya memastikan kehadiran seluruh pemegang saham dalam rapat sesuai
keterangan IA sebagai penghadap dalam daftar hadir RUPSLB tertanggal 18 April
tersebut. Notaris HJ dapat memeriksa apakah tanda tangan para pemegang saham yang
tercantum dalam daftar hadir rapat telah sesuai dan sama dengan tanda tangan di
dokumen identitas masing-masing pemegang saham (KTP dan passport).
Pada Bab 2 tesis ini, penulis telah menjelaskan mengenai kewajiban notaris,
yang mana dari kewajiban tersebut lahirlah tanggung jawab notaris. Ketika ada
Universitas Indonesia
82
pelanggaran yang dilakukan oleh notaris, maka ada sanksi yang dikenakan kepadanya.
Adapun dalam kasus ini, karena Notaris HJ melanggar isi Pasal 16 ayat (1) huruf a
UUJN, maka ia dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 85 UUJN,
yang mana apabila terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat
(1) huruf a, maka notaris dapat dikenai sanksi berupa teguran lisan; teguran tertulis;
pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian dengan
tidak hormat oleh Majelis Pengawas Notaris.
Sanksi terhadap notaris tidak hanya sebatas pada ketentuan di dalam UUJN,
akan tetapi dalam menjalankan jabatannya, notaris juga bisa dikenakan sanksi secara
perdata, administratif dan pidana, tergantung kerugian apa yang ditimbulkan dari
perbuatan notaris tersebut. Sanksi perdata merupakan penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga sebagai akibat yang diterima notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang
bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan
atau akta menjadi batal demi hukum.
Berdasarkan analisis yang dikemukakan pada sub bab 3.1 tesis ini, akta PKR
Nomor 2 tertanggal 23 April 2008 yang dibuat oleh Notaris HJ berdasarkan putusan
majelis hakim dinyatakan sebagai akta yang tidak memiliki kekuatan mengikat karena
peristiwa hukum yang dituangkan ke dalam akta tersebut yaitu RUPSLB PT XYZ
tertanggal 18 April 2008 adalah cacat hukum. Oleh karena itu, Notaris HJ dapat digugat
di pengadilan agar dijatuhi sanksi perdata untuk melakukan penggantian biaya, ganti
rugi atau bunga kepada pihak yang menderita kerugian atas akta PKR yang isinya tidak
dapat diberlakukan lagi karena tidak memiliki kekuatan mengikat.
Universitas Indonesia
83
1. wanprestasi; atau
2. perbuatan melawan hukum (oonrechmatigedaad); atau
3. pemberian kuasa (zaakwarneming); atau
4. pemberian kuasa (lastgeving); atau
5. perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan.
Apabila dikaitkan dengan kasus PT XYZ, maka yang berhak untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga adalah IA sebagai penghadap kepada Notaris
HJ. Hubungan hukum keduanya tidak dapat digolongkan dalam bentuk wanprestasi
karena IA datang menghadap Notaris HJ bukan berdasarkan kontraktual. IA datang
0
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 100
0
Ibid.
Universitas Indonesia
84
menghadap kepada Notaris HJ atas keinginannya sendiri untuk meminta dibuatkan akta
PKR atas penyelenggaraan RUPSLB perusahaannya yaitu PT XYZ. Dengan tidak
adanya perjanjian tertulis atau lisan yang dinyatakan secara tegas atas pembuatan akta
tersebut, maka tidak tepat apabila hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan
kontraktual sehingga Notaris HJ tidak dapat dituntut dengan dasar gugatan Notaris HJ
telah wanprestasi.
Perbuatan melawan hukum terjadi apabila satu pihak merugikan pihak lain
sehingga mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Pada praktiknya, notaris melakukan suatu pekerjaan berdasarkan
kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai notaris berdasarkan
UUJN. Sepanjang notaris melaksanakan tugas jabatannya sesuai UUJN, dan telah
memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuatan akta, serta akta yang
bersangkutan telah pula sesuai dengan kehendak para pihak yang menghadap, maka
tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum tidak dapat diajukan.
Universitas Indonesia
85
Notaris HJ juga telah lalai dalam memeriksa dan mencocokkan tanda tangan
para pemegang saham dalam risalah RUPSLB tersebut dengan tanda tangan yang
tercantum dalam dokumen identitas pemegang saham sehingga fakta bahwa Penggugat
ET tidak pernah hadir dan menyetujui mata rapat yang diambil dapat RUPSLB tersebut
tidak diketahui lebih awal. Sengketa yang terjadi dalam kasus PT XYZ sejatinya dapat
terhindarkan apabila Notaris HJ dapat menyadari lebih awal bahwa pemanggilan rapat
RUPSLB PT XYZ tidak pernah dilakukan oleh IA selaku direktur utama dan tanda
tangan yang Penggugat ET yang tertera di risalah RUPSLB tersebut adalah palsu.
Universitas Indonesia
86
akta. Berdasarkan hubungan hukum antara Notaris HJ dengan IA, maka hubungan
hukum yang terjalin adalah berdasarkan perbuatan melawan hukum. Unsur perbuatan
melawan hukum yang terpenuhi antara Notaris HJ dengan IA adalah sebagai berikut:
1. IA sebagai penghadap yang bertindak selaku pemegang saham dan juga direktur
utama PT XYZ menjadi rugi akibat putusan pengadilan yang menyatakan akta PKR
tertanggal 23 April 2003 menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat. Kerugian
tersebut antara lain bahwa PT XYZ tidak memiliki legal standing atas RUPSLB
yang dilaksanakan pada 18 April 2003. Keputusan yang diambil dalam rapat
tersebut, yaitu penyesuaian AD; perubahan kepemilikan saham; serta perubahan
susunan direksi dan dewan komisaris menjadi tidak dapat diberlakukan lagi. Hal
tersebut tentu saja melahirkan konsekuensi baru bagi PT XYZ, yang mana ketentuan
mengenai AD perseroan, kepemilikan saham dan perubahan susunan direksi menjadi
tunduk pada akta sebelumnya. Untuk menerapkan ketentuan faktual dan sesuai
dengan kenyataan, maka PT XYZ wajib menyelenggarakan RUPS kembali untuk
mengambil keputusan yang sebelumnya telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan
mengikat oleh putusan pengadilan. Oleh karena keputusan yang diambil dalam rapat
tersebut wajib mendapatkan pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, maka sudah seharusnya keputusan dalam RUPS
tersebut nantinya dituangkan ke dalam sebuah akta notaris. Pelaksanaan RUPS dan
pengulangan pembuatan akta notaris tersebut tentu saja menimbulkan biaya dan
energi yang harus ditanggung oleh PT XYZ;
2. bahwa kerugian yang diderita PT XYZ tersebut merupakan akibat dari kelalaian
Notaris HJ karena dalam pembuatan akta tidak bertindak secara seksama sesuai
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN serta melalaikan kewenangannya sesuai
ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUJN dalam memberikan penyuluhan terkait akta yang
dibuatnya. Apabila pada saat IA menghadap, Notaris HJ secara teliti dan seksama
memeriksa dokumen kelengkapan atas RUPSLB sesuai UUPT dan AD, maka
Notaris HJ dapat menyadari bahwa sejatinya pelaksanaan RUPSLB tersebut adalah
cacat hukum dan tidak sah, antara lain karena pemanggilan rapat tidak dilaksanakan
sesuai ketentuan Pasal 81 UUPT dan AD PT XYZ, serta tanda tangan ET yang
sangat berbeda antara yang tercantum dalam KTP dengan yang tertera dalam risalah
rapat tersebut. Notaris HJ juga berwenang untuk kemudian memberikan penyuluhan
Universitas Indonesia
87
terkait persyaratan formil penyelenggaraan RUPS sesuai UUPT serta bahaya dan
akibat hukum dari pemberian keterangan palsu dan pemalsuan tanda tangan. Apabila
hal tersebut dilakukan Notaris HJ, maka seharusnya perkara yang terjadi dapat
terhindarkan.
Dengan demikian, IA sebagai penghadap yang meminta Notaris HJ untuk
membuatkan akta atas peristiwa hukum yang diterangkannya, dapat mengajukan
penggantian biaya, ganti rugi atau bunga kepada Notaris HJ walaupun dalam
kenyataannya, IA juga dinilai terlibat dalam pemalsuan keterangan dan tanda tangan
ET dalam risalah RUPSLB tersebut. Notaris HJ dalam jalannya persidangan tidak
pernah hadir untuk menyangkal, memberikan keterangan ataupun mengajukan bukti
atas gugatan yang diajukan dalam pengadilan sehingga majelis hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa tindakan Notaris HJ tersebut membenarkan
gugatan yang didalilkan oleh ET sebagai penggugat. Majelis hakim juga menghukum
Notaris HJ secara tanggungrenteng dengan Para Penggugat lainnya untuk membayar
biaya perkara persidangan, dan menurut penulis putusan tersebut sudah tepat kiranya
untuk diberikan.
Universitas Indonesia
BAB 4
PENUTUP
4.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan berdasarkan teori dan
peraturan hukum yang berlaku, serta dengan melakukan analisis terhadap kasus serta
putusan maka berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Akibat hukum akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
yang tidak sesuai dengan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40
Tahun 2007 (UUPT) adalah sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Palembang
Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG yaitu akta tersebut dinyatakan tidak memiliki
kekuatan mengikat bagi pihak yang terlibat di dalamnya. Akta PKR tersebut
kekuatan pembuktiannya tidak lagi sempurna sebagaimana sifatnya sebagai sebuah
akta autentik. Isi akta tersebut tidak memiliki kekuatan untuk diterapkan kepada para
pihak, sehingga para pihak yang terlibat di dalamnya tidak lagi terikat atas
pemenuhan kewajiban dan hak yang tercantum dalam isi akta tersebut. Eksistensi
atas akta tersebut tetap dianggap ada sehingga notaris masih berkewajiban untuk
mencatatkan akta tersebut dalam buku daftar akta notaris, sehingga kronologis yang
runtut atas perbuatan hukum dalam akta tersebut tetap tercatat. Akta PKR tersebut
dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat karena tidak sahnya peristiwa hukum
yang terjadi yaitu RUPS yang diselenggarakan tanpa pemanggilan rapat terlebih
dahulu sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UUPT. Risalah atas RUPS yang
diselenggarakan dinyatakan cacat hukum karena RUPS tidak diselenggarakan
dengan didahului prosedur pemanggilan rapat. Pada kenyataannya, akta PKR yang
menjadi obyek sengketa dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/PDT.G/2017.PN.PLG sebenarnya juga mengandung unsur pemalsuan keterangan
dan pemalsuan tanda tangan. Namun dalam pertimbangannya, Majelis hakim
menyatakan bahwa prosedur pemanggilan rapat dalam RUPS harus tetap
dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUPT dan AD Perseroan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemanggilan rapat yang merupakan syarat formil atas
penyelenggaraan RUPS merupakan suatu esensi yang penting karena dapat
89
menentukan keabsahan atas keputusan yang diambil dalam RUPS tersebut. Majelis
hakim terlebih dahulu menilai keabsahan prosedural penyelenggaraan RUPS itu
sendiri sebagai pertimbangan untuk memutus perkara dalam menyatakan akta PKR
yang menjadi obyek sengketa menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat.
2. Notaris tidak bertanggungjawab secara sepenuhnya dalam memastikan kebenaran
materiil atas penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT XYZ
yang diminta penghadap untuk dituangkan dalam akta Pernyataan Keputusan Rapat
(PKR), namun Notaris HJ dalam kasus PT XYZ dalam bertindak berdasarkan
jabatannya telah lalai dan tidak seksama dalam memeriksa dokumen terkait
pelaksanaan RUPS seperti bukti pemanggilan rapat dan daftar hadir RUPS. Hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN
yang mana Notaris telah bertindak secara tidak seksama dalam membuat akta. Atas
pelanggaran tersebut, Notaris dapat dikenakan sanksi administratif berdasarkan Pasal
85 UUJN yang diawali dengan teguran lisan hingga pemberhentian oleh Majelis
Pengawas Notaris. Notaris HJ juga dapat dikenakan sanksi secara perdata yaitu
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga karena akta PKR yang dibuatnya
menimbulkan kerugian bagi pihak penghadap (direksi dan pemegang Saham), yaitu
bahwa PT XYZ tidak memiliki legal standing atas RUPS yang diselenggarakan pada
tanggal 18 April 2003 karena RUPS dan akta PKR yang dibuat Notaris HJ
dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh putusan pengadilan.
4.2 Saran
1. Notaris yang diminta untuk membuatkan akta, terutama akta terkait PT seperti akta
PKR, harus lebih berhati-hati dan teliti sebelum membuat akta. Sebelum
membuatkan akta PKR, notaris wajib mengumpulkan dan memeriksa dokumen-
dokumen yang menunjukkan bahwa penyelenggaraan RUPS telah berjalan sesuai
prosedur yang disyaratkan undang-undang dan AD perseroan itu sendiri. Apabila
notaris menemukan fakta bahwa dokumen-dokumen yang diajukan tidak sesuai
dengan keaslian dan keterangan yang diberikan oleh para pihak terkait, atau notaris
menyadari bahwa dokumen-dokumen yang disyaratkan tidak dapat dipenuhi oleh
pihak-pihak yang minta dibuatkan akta, maka sudah semestinya notaris tersebut
menolak untuk membuatkan akta yang diminta;
Universitas Indonesia
90
Universitas Indonesia
91
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan
B. Putusan Pengadilan
C. Buku
Adjie, Habib. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama,
2015.
__________. Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris Dalam Bentuk Akta
Keterangan Ahli Waris. Bandung: CV. Mandar Maju, 2008.
Boediarto, M. Ali. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad. Jakarta: Swa Justitia, 2005.
Cox, James D, Thomas Lee Hazen, Hedge O’Neal. Corporations, Alpen Law &
Business, 1977.
Dewi, Santia dan R.M Fauwas Diradja. Panduan Teori dan Praktik Notaris.
Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2011.
Hakim, Abdul. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998).
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cetakan kedua.
Jawa Timur: Media Publishing, 2006.
Kansil, C.S.T dan Christine Kansil. Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Latumeten, Pieter E. Cacat Yuridis Akta Notaris Dalam Peristiwa Hukum Konkrit dan
Implikasi Hukumnnya. Jakarta: Tuma Press, 2011.
Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2005
Nadapdap, Binoto. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.
Nico. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Yogyakarta: Center for
Documentation and Studies of Business Law (CDSBL), 2003.
Nugroho, Hirman S.S dan Yuni Purwati. Hukum Perseroan Terbatas Prinsip Good
Corporate Governance dan Doktrin Piercing The Corporate Veil. Solo:
Iltizam,
2007.
Purba, Orinton. Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan
Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum. Depok: Raih Asa Sukses, 2011.
Salim, HS. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak). Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Sardjono, Agus, Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty dan Togi Pangaribuan.
Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016.
Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. Organ Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Soerodjo, Irawan. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya: Arkola,
2003.
Subandi, Martha. Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007. Jakarta:
Tatanusa, 2005.
Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Suratman, dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2013.
Syarief, Elza. Sengketa Antar Organ Perseroan Perspektif Teori, Praktik, dan
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.
Wicaksono, Frans Satrio. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas. Jakarta: Visimedia, 2009.
Widjaja, Gunawan. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Yani, Ahmad, dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003.
D. Jurnal
Afriana, Anita. “Kedudukan dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pihak dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia terkait Akta yang Dibuatnya”.
Jurnal Poros Hukum Padjajaran. Volume I Nomor 2 (Mei 2020). hlm. 246-
261.
Septianingsih, Komang Ayuk. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian
Perkara Perdata”. Jurnal Analogi Hukum. Volume 2 Nomor 3 (2020). hlm.
336-340.
E. Makalah/Artikel
Adjie, Habib. “Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum”. Majalah
Renvoii Nomor 04, 2004.
96
Erawati, Elly dan Herlien Budiono. “Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian”.
Nasional Legal Reform Program. Jakarta, 2010.
Hadjon, Philipus M. “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”. Surabaya Post,
3 Januari 2010.
Latumeten, Pieter E. “Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta
Model Aktanya”. Makalah Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya,
2009.
Santosa, Soegeng, Doddy Radjasa Waluyo, Zulkifli Harahap. “Aspek Pidana Dalam
Pelaksanaan Tugas Notaris”. Majalah Renvoi Nomor 22 (Maret 2005). hlm 30.
Setiawan, “Wawan. Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan Notaris
sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem
Hukum di Indonesia”. Ikatan Notaris Indonesia: Jawa Timur, 22 – 23 Mei
1998.
Soenaryo, Cipto. “Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Pelayanan kepada Publik
sesuai dengan Moral Etika Profesi dan Undang-Undang”. Medan, 2011.
LAMPIRAN
Putusan Pengadilan Negeri Palembang 43/PDT.G/2017/PN.PLG