Anda di halaman 1dari 108

UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT


UMUM PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN
KETENTUAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN
TERBATAS
(PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALEMBANG NOMOR
43/PDT.G/2017.PN.PLG)

TESIS

SORAYA AN NISAA
1806276990

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2021
UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT


UMUM PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN
KETENTUAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN
TERBATAS
(PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALEMBANG NOMOR
43/PDT.G/2017.PN.PLG)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister


Kenotariatan

SORAYA AN NISAA
1806276990

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JULI 2021
PERNYATAAN ORISINALITAS

Penulis dengan ini menyatakan bahwa tesis:

“AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM


PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN PASAL
81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS” (PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)

adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai
dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Jakarta,
………………..

Yang Menyatakan,

Soraya An Nisaa
1806276990

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Tim Penguji mengesahkan Tesis yang diajukan oleh:

Nama : Soraya An Nisaa


NPM : 1806276990
Program Studi : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Judul Tesis : Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham Yang Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Pasal 81 Undang-
Undang Perseroan Terbatas (Putusan Pengadilan Negeri Palembang
Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG)

dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai bagian
persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Magister Kenotariatan
(M.Kn.) pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

TIM PENGUJI

1. Dr. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. Ketua Penguji (………………………)

2. Dr. Sonyendah Retnaningsih, S.H., M.H. Pembimbing 1 (………………………)

3. Tjhong Sendrawan, S.H., M.Kn. Pembimbing 2 (………………………)

4. Mohamad Fajri Mekka Putra, S.H., M.Kn. Penguji (...…………………….)

Disahkan di : Depok

Tanggal :

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah Subhanahuata’ala atas ridho dan
rahmat-Nya serta junjungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sehingga
peneliti dapat mengajukan tugas akhir atau tesis berjudul “Akibat Hukum Akta
Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Yang Tidak Sesuai
Dengan Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas” (Putusan
Pengadilan Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG) guna memenuhi
syarat untuk menyusun tesis dan menyelesaikan masa studi serta memperoleh gelar
Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Peneliti menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena adanya
doa, dukungan, nasihat dan petunjuk baik berupa saran maupun bahan referensi yang
menunjang topik penelitian yang dikaji dari beberapa pihak. Untuk itu, peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia;
2. Ibu Dr. Sonyendah Retnaningsih, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing,
atas waktu, perhatian, dan kesabaran telah membimbing dan mengarahkan
Penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini;
3. Bapak Tjhong Sendrawan, S.H., M.Kn., selaku dosen pembimbing, atas
waktu, perhatian, dan kesabaran telah membimbing dan mengarahkan
Penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tesis ini;
4. Orang tua Penulis, Ali dan Sri Murbowati, serta adik Penulis Muhammad
Fadhil atas doa, ridho dan kasih sayangnya kepada Penulis;
5. Almarhum Harry Rochmana dan Almarhumah Sabella Liberty, atas
dukungan, doa dan kasih sayang yang tak terhingga kepada Penulis semasa
hidupnya. Penulis persembahkan ilmu dan gelar ini sekiranya dapat menjadi
amal jariyah bagi keduanya;
6. Sahabat terdekat Penulis, Budi Trisna, Gusti Al Ghifari, Muhammad
Falyanda, Fajar Julian, Adha Raihannur atas doa, kasih sayang, dan
dukungan kepada Penulis selama menyelesaikan penelitian;

iv
7. Keluarga Besar JAC Consulting Indonesia, Jansen Tambunan, Rika Arofi
Ayu Sheila, Gustyasa Faizi, Chesa Helsin, Widi Permatasari, Luqman
Fauzan, Rizky Kurniawan, Heber Gilionstono, Dida Khamidah, Kenny
Tjhandra, Destira Soraya, Retta Lestarina, Luthfi Agasya, Yenni Juwita,
Nurul Hidayati, Yuwan Julianingtyas, Angga Prawira, Mariani
Tampubulon, Muhammad Iqbal, Ilham atas kasih sayang, doa, tawa canda
dan perhatian kepada Penulis setiap harinya. Semoga ilmu dan gelar Penulis
menjadi barokah dan manfaat untuk JAC;
8. Kepada Notaris Dian Fitriana S.H., M.Kn., Muhammad Muazzir S.H.,
M.Kn., Najiana Daroini S.H., M.Kn., Edwina Gucci S.H., M.Kn., atas doa,
dukungan dan bantuannya kepada Penulis selama perkuliahan hingga dapat
menyelesaikan penelitian;
9. Seluruh teman-teman angkatan 2018 Genap dan 2019 Ganjil MKn UI; dan
10. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini,
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis doakan Allah membalas kebaikan setiap pihak yang telah menemani dan
membantu Penulis. Penulis menyadari bahwa dalam pengerjaan tesis ini penulis tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, Penulis
mengharapkan adanya saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi khalayak banyak
untuk kedepannya.

Jakarta, 31 Juli 2021

Penulis

(Soraya An Nisaa)

v
PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Soraya An Nisaa


NPM : 1806276990
Program Studi : Magister Kenotariatan
Fakultas : Hukum

untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive, Royalty-Free
Right) untuk mempublikasikan tesis saya yang berjudul:

“AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM


PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN PASAL
81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS” (PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan
sebagai pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Jakarta, ………………….
Yang menyetujui,

Soraya An Nisaa

vi
ABSTRAK

Nama : Soraya An Nisaa


NPM : 1806276990
Program Studi : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Judul : Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham yang Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Pasal 81
Undang-Undang Perseroan Terbatas (Putusan Pengadilan Negeri
Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
Pembimbing : Dr. Sonyendah Retnaningsih, S.H., M.H.
: Tjhong Sendrawan, S.H., M.Kn.

Tesis ini membahas akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang


Saham (RUPS) yang menjadi dasar timbulnya perkara perdata dalam Putusan
Pengadilan Negeri (PN) Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg. Akta tersebut dibuat
dihadapan notaris untuk menuangkan risalah RUPS sebuah Perseroan Terbatas (PT)
yang diselenggarakan tanpa didahului oleh prosedur pemanggilan rapat kepada seluruh
pemegang saham. Oleh karena itu, permasalahan pokok yang diangkat dalam tesis ini
adalah akibat hukum akta Pernyataan Keputusan RUPS yang tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) serta pertanggungjawaban notaris terhadap pembuatan akta terkait
penyelenggaraan RUPS tersebut dalam Putusan PN Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg. Metode yang digunakan untuk menganalisis pokok permasalahan
adalah yuridis normatif yang diolah melalui tipologi penelitian eksplanatoris. Simpulan
dari penelitian tesis ini bahwa akta Pernyataan Keputusan RUPS dinyatakan tidak
memiliki kekuatan mengikat akibat penyelenggaraan RUPS yang cacat hukum karena
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UU PT. Notaris bersangkutan dapat dikenakan
sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagai
pertanggungjawabannya terhadap akta Pernyataan Keputusan RUPS yang dinyatakan
tidak memiliki kekuatan mengikat oleh putusan pengadilan. Notaris tersebut dalam
menjalankan jabatannya juga telah bertindak secara tidak seksama sehingga dapat
dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan hingga pemberhentian oleh Majelis
Pengawas Notaris. Saran dalam tesis ini adalah diperlukannya ketelitian ekstra dari
notaris dalam memeriksa dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan RUPS terutama
bukti pemanggilan rapat, serta diperlukannya fitur tambahan dalam sistem Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk verifikasi dokumen terkait
penyelenggaraan RUPS, guna memastikan keabsahan dari RUPS sebelum menerbitkan
Surat Keputusan atas pengesahan akta yang diajukan.

Kata kunci: Pemanggilan Rapat, Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham, Tanggung Jawab Notaris

vii
ABSTRACT

Name : Soraya An Nisaa


Student Number : 1806276990
Programme : Master of Notary Faculty of Law Universitas Indonesia
Title : The Legal Effects of General Meeting of Shareholders Resolution
Deed That is Not in Accordance with the Article 81 of Limited
Liability Company Law (Verdict of District Court Palembang
Number 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
Advisor : Dr. Sonyendah Retnaningsih, S.H., M.H.
: Tjhong Sendrawan, S.H., M.Kn.

This thesis examines the General Meeting of Shareholders (GMS) Resolution


Deed that became a basis of dispute on Verdict of District Court Palembang Number
43/PDT.G/2017.PN.PLG. Those deed is made before the notary to accumulate the
resolution of GMS that is performed without summoning the meeting. The main issues
that will be analized is the legal effects to the GMS Resolution Deed that is not in
accordance with Article 81 of Law Number 40 Year 2007 concerning Limited Liability
Company and the responsibility of notary in relate to the making of the deed in Verdict
of District Court Palembang Number 43/PDT.G/2017.PN.PLG. This thesis uses a
normative-juridical research method through an explanatory research typology. The
summary is that the GMS Resolution Deed to be not binding for the relevant parties due
to the legal defect of the GMS performance that is violating the Article 81 of Limited
Liability Company Law. The notary may be subjected to a civil sanction such a
reimbursement of costs, compensation and interest due to the GMS Resolution Deed
which is declared to have no binding force by a court verdict. The notary is also
considered careless while performing her duties hence may be subjected to an
administrative sanction such a verbal warning to the dismissal by the Notary
Supervisory Board. The suggestion of this thesis is for the notary to be more thorough
to verify the relevant documents of GMS especially relating to the meeting summons,
also for the Ministry of Law and Human Rights Republic of Indonesia to add new
feature on their system to verify the completion of GMS documents. Thus to ensure the
legality of GMS performance before issuing a Decree Letter of an approval of the
submitted deed.

Keywords: Meeting Summons, General Meeting of Shareholders Resolution Deed,


Responsibility of Notary

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI………………………………………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………... vii
ABSTRACT……………………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… ix

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………....... 11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….… 11
1.4 Metode Penelitian ………………………………………………… 12
1.5 Sistematika Penulisan …………………………………….………. 14

BAB 2 PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM


MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS
NOMOR 40 TAHUN 2007 DAN TANGGUNG JAWAB
NOTARIS
2.1. Tata Cara Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham………...... 15
2.1.1. Jenis RUPS………………………………………………… 16
2.1.2. Penyelenggara RUPS……………………………………… 18
2.1.3. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham……………. 21
2.1.4. Hak Suara (Voting Right)…………………………………. 24
2.1.5. Kuorum Rapat Umum Pemegang Saham ………………… 27
2.1.6. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham………………….. 29
2.1.7. Pengambilan Keputusan di Luar Rapat Umum Pemegang
Saham……………………………………………………… 30
2.2. Peran dan Tanggung Jawab Notaris……………………………….. 31
2.2.1. Notaris sebagai Pejabat Umum……………………………… 31
2.2.2. Kewenangan Notaris………………………………………… 34
2.2.3. Kewajiban dan Larangan Notaris…………………………… 36
2.2.4. Akta Notaris sebagai Akta Otentik…………………………. 40
2.2.5. Nilai Pembuktian Akta Notaris……………………………… 46
2.2.6. Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta…………... 52
2.2.7. Peran Notaris dalam Penyelenggaraan RUPS………………. 60
2.3. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/PDT.G/2017.PN.PLG….………………………………………. 62
2.4. Asas Kepastian Hukum dalam Pembuatan Akta…………………... 63

BAB 3AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN


RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI

ix
DENGAN KETENTUAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG
PERSEROAN TERBATAS (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
3.1. Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Pasal 81
Undang-Undang Perseroan Terbatas……………………………… 65
3.2. Pertanggungjawaban Notaris terhadap Pembuatan Akta terkait
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham yang Tidak
Sesuai dengan Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan
Terbatas dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg…………………………………................... 76

BAB 4 PENUTUP
4.1. Simpulan ………………………………………………………….. 86
4.2. Saran………………………………………………………………. 88

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 89
LAMPIRAN…………………………………………………………………... ..

x
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perseroan Terbatas (“PT”) sebagai salah satu bentuk usaha ekonomi memiliki
organ-organ yang spesifik. Organ pertama disebut Rapat Umum Pemegang Saham
(“RUPS”), yang secara umum bertugas untuk menentukan segala kebijaksanaan umum
perseroan. Organ kedua adalah direksi yang bertugas menjalankan kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang telah ditetapkan RUPS. Organ ketiga adalah dewan komisaris yang
bertugas sebagai pengawas untuk dan atas nama pemegang saham.1
RUPS merupakan organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk
menentukan arah dan tujuan perseroan dan memiliki segala kewenangan yang tidak
diberikan kepada direksi dan komisaris perseroan. Konkretnya, RUPS merupakan
sebuah forum yang mewakili seluruh pemegang saham perseroan, yang mana para
pemegang saham memiliki kewenangan utama untuk memperoleh keterangan-
keterangan mengenai perseroan, baik dari dewan komisaris maupun direksi.2
Kewenangan tersebut merupakan kewenangan eksklusif (exclusive authority) yang tidak
dapat diserahkan kepada organ lain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) dan Anggaran Dasar
(“AD”) perseroan.3
Berbeda dengan persekutuan, tanggung jawab pemegang saham adalah terbatas
(limited liability) sebesar modal yang dimasukkannya, tidak meliputi harta pribadinya. 4
Karakteristik limited liability ini terkait erat dengan karakteristik PT sebagai legal entity
yang eksistensinya terpisah (separate existence) dari para pemodal, direksi, dan
karyawannya. Istilah PT sendiri pada hakikatnya mengacu pada sifat limitation of
1
Anisitus Amanat, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan
Penerapannya dalam Akta Notaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 103.
2

Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar
Terhindar dari Jerat Hukum, (Depok: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 27.

3
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, “Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas”. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 78.

4
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk-Bentuk
Perusahaan, Jilid 2, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 36.

Universitas Indonesia
2

liability.5 RUPS sebagai organ perseroan tidak terlepas dari esensi pendirian suatu PT,
yang berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT merupakan persekutuan modal dari para
pendiri PT tersebut. Sebagai pendiri PT dan sekaligus pemegang saham PT yang telah
memberikan kontribusi modal awal (initial capital) untuk menjalankan kegiatan usaha,
sudah seharusnya setiap keputusan yang menyangkut tujuan awal (original objective)
para pendiri dalam mendirikan PT berada di tangan mereka melalui lembaga RUPS.6
Wewenang eksklusif yang ditetapkan dalam UUPT akan ada selama UUPT be-
lum dirubah. Sedangkan wewenang eksklusif dalam AD perseroan yang disahkan atau
disetujui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(“Kemenkumham”) dapat diubah melalui perubahan AD sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan UUPT.7 Walaupun tidak ada ketentuan yang tegas dalam undang-
undang mengenai batas-batas dan ruang lingkup kewenangan yang dapat dilakukan oleh
RUPS dalam suatu PT, tetapi dapat ditarik beberapa pedoman sebagai berikut:

1. “RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum


yang berlaku;
2. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan
ketentuan dalam Anggaran Dasarnya. Namun demikian, AD dapat dirubah
oleh RUPS asal memenuhi syarat untuk itu;
3. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan
kepentingan yang dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan stakeholders,
seperti pemegang saham minoritas, karyawan, kreditor, masyarakat sekitar,
dan sebagainya;
4. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan dari
direksi dan dewan komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak
menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari
prinsip kewenangan residual dari RUPS”.8

5
Agus Sardjono, Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty dan Togi Pangaribuan,
Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 72.

6
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hlm 2.

7
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 78.

8
Ibid., hlm. 180.

Universitas Indonesia
3

Umumnya, RUPS diadakan setahun sekali dengan ketentuan untuk membahas


segala masalah-masalah penting yang berkaitan dengan jalannya perusahaan.9
Wewenang RUPS tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang dikeluarkan dalam
setiap rapat. Hak suara dalam RUPS dapat digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan
diantaranya ialah menyetujui atau menolak:

1. Rencana perubahan AD;


2. Rencana penjualan asset dan pemberian jaminan hutang;
3. Pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dan/ atau komisaris;
4. Laporan keuangan yang disampaikan oleh direksi;
5. Pertanggungjawaban direksi;
6. Rencana penggabungan, peleburan dan pengambilalihan;
7. Rencana pembubaran perseroan.10

Pelaksanaan RUPS adalah bagian dari tugas direksi, sehingga yang mempunyai
kewenangan untuk menyelenggarakan RUPS adalah direksi. Hal ini dinyatakan jelas
dalam Pasal 79 ayat (1) UUPT yang menentukan bahwa direksi menyelenggarakan
RUPS Tahunan (“RUPST”) dan RUPS lainnya dengan didahului dengan pemanggilan
RUPS.11 Kewajiban tersebut merupakan amanah yang diberikan UUPT kepada direksi
untuk melaksanakan RUPS. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 UUPT, direksi melakukan
pemanggilan kepada pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS.
Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari sebelum RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal
pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS dapat dilakukan dengan surat
tercatat dan/atau dengan iklan dalam surat kabar. Adapun yang perlu dicantumkan
dalam panggilan RUPS adalah tanggal, waktu, tempat dan mata acara rapat disertai

9
Nugroho Hirman, S.S dan Yuni Purwati, Hukum Perseroan Terbatas Prinsip Good
Corporate Governance dan Doktrin Piercing the Corporate Veil, (Solo: Iltizam, 2007), hlm. 66.

10
Usman Rachmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas (Bandung: Alumni,
2004), hlm. 131.

11
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40
Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 79 ayat (1).

Universitas Indonesia
4

pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor
perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan RUPS diadakan.12
Pemanggilan RUPS harus memuat informasi yang cukup (sufficient
information) yang benar-benar dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi
pemegang saham untuk menentukan apakah dia akan menghadiri atau tidak RUPS
tersebut, meskipun dia tahu resikonya, bahwa dia tunduk kepada hasil keputusan RUPS
sekalipun dia absen pada RUPS yang dimaksud.13 RUPS juga dapat dilaksanakan atas
pemanggilan oleh komisaris atau pemegang saham. Selain atas pemanggilan RUPS oleh
direksi, Pasal 79 ayat (2) UUPT menyebutkan bahwa penyelenggaraan RUPS dapat
dilakukan atas permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-
sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil. Permintaan
dari pemegang saham untuk penyelenggaraan RUPS harus diajukan kepada direksi
dengan surat tercatat disertai alasannya, dan pemegang saham harus menyampaikan
tembusannya kepada dewan komisaris.
Alasan yang menjadi dasar permintaan diadakan RUPS oleh pemegang saham,
antara lain karena direksi tidak mengadakan RUPS tahunan sesuai dengan batas waktu
yang telah ditentukan atau masa jabatan anggota direksi dan/atau anggota dewan
komisaris akan berakhir. Selanjutnya dalam hal direksi tidak melakukan pemanggilan
RUPS dimaksud, maka permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada
dewan komisaris. Berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (7) UUPT, dewan komisaris
melakukan pemanggilan sendiri RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima
belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
Pasal 80 UUPT kemudian lebih lanjut mengatur mengenai hal apabila direksi
atau dewan komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7) UUPT, maka pemegang
saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan Negeri (“PN”) yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri
12
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm.
99-100.

13
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 324.

Universitas Indonesia
5

pemanggilan RUPS tersebut. Pelaksanaan RUPS yang dilakukan tanpa pemanggilan


terlebih dahulu adalah sah dan keputusannya mempunyai kekuatan mengikat selama
dihadiri oleh seluruh pemegang saham dan disetujui secara bulat. Apabila pelaksanaan
RUPS tidak didahului dengan pemanggilan dan tidak dihadiri oleh seluruh pemegang
saham, maka RUPS tidak dapat dilaksanakan.14
Berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UUPT, disebutkan bahwa setiap
penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua rapat
dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta
RUPS. Penandatanganan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan
kebenaran isi risalah RUPS tersebut.15 Pasal 90 ayat (2) UUPT kemudian menegaskan
bahwa tanda tangan dalam risalah RUPS tidak disyaratkan apabila risalah RUPS
tersebut dibuat dengan akta Notaris.
Risalah RUPS yang dibuat dengan akta notaris adalah sesuai dengan salah satu
kewenangan notaris, yaitu membuat akta autentik mengenai perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang16.
Akta notaris sendiri terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu akta yang dibuat oleh (door)
notaris yang dalam praktek disebut akta relaas atau akta berita acara dan akta yang
dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris, yang dalam prakteknya disebut akta pihak.
Berkaitan dengan penyelenggaraan RUPS, akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR) atas
RUPS yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris, mendasarkan risalah RUPS dibuat di
bawah tangan. Dalam akta PKR atas RUPS, notaris hanya sebatas menuangkan risalah
RUPS di bawah tangan yang dibawa oleh kuasa risalah RUPS tersebut ke dalam akta
14
Elza Syarief, Sengketa Antar Organ Perseroan Perspektif Teori, Praktik, dan Penyelesaian
Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), hlm. 24.

15
Subandi Martha, Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta:
Tatanusa, 2015) hlm. 81.

16
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps.15 ayat (1).

Universitas Indonesia
6

notarial. Oleh karenanya, akta PKR atas RUPS PT disebut juga sebagai “partij akte”
atau “akta pihak”. Akta Berita Acara RUPS, yaitu dibuat oleh notaris atas permintaan
direksi suatu PT agar notaris berkenan menjadi notulis atas RUPS. Penghadap atau yang
berada dihadapan notaris adalah para pemegang saham yang mengadakan RUPS
tersebut. Berita acara RUPS PT ditulis atau dicatat notaris atas semua yang didengar,
dilihat, dibicarakan dan diputuskan dalam RUPS tersebut. Akta Berita Acara RUPS
yang dibuat oleh atau dihadapan notaris disebut sebagai “akta pejabat” atau “relas akta”
(ambtelijke akte).17
Dalam melaksanakan tugas jabatannya, notaris tidak hanya menjalankan
pekerjaan yang diamanatkan oleh undang-undang saja tapi juga sekaligus menjalankan
suatu fungsi sosial yang sangat penting yaitu bertanggung jawab untuk melaksanakan
kepercayaan yang diberikan masyarakat umum yang dijalaninya, seorang notaris harus
berpegang teguh kepada Kode Etik Notaris dan juga berkewajiban menegakkan Kode
Etik Notaris dan memiliki perilaku profesional (professional behavior) yaitu
mempunyai integritas moral, menghindari sesuatu yang tidak baik, jujur, sopan santun,
tidak semata-mata karena pertimbangan uang dan berpegang teguh pada Kode Etik
profesi yang menentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaris.18
Notaris sebagai pejabat umum selanjutnya menurut N. G. Yudara adalah organ
negara yang dilengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), yang
berwenang menjalankan sebagian kekuasaan negara khususnya dalam pembuatan dan
peresmian alat bukti tertulis dan autentik dalam bidang hukum perdata, sebagaimana
ditentukan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). 19
Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta
autentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh

17
Mulyoto, Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas (PT),
(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010), hlm. 10.

18
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Cet.3, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006),
hlm. 90.

19
N. G. Yudara, Mencermati Undang-Undang Hak Tanggungan dan Permasalahannya,
Makalah Diskusi Panel UUHT, Program Studi Notariat, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 15 Juni
1996, hlm. 4.

Universitas Indonesia
7

peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta autentik.20
Akta autentik memberikan suatu bukti yang sempurna di antara para pihak dan
memiliki kekuatan mengikat. Sempurna, berarti suatu akta autentik sudah cukup untuk
membuktikan suatu peristiwa atau keadaan tanpa diperlukannya penambahan bukti-
bukti lainnya. Mengikat berarti segala sesuatu yang dicantumkan di dalam akta harus
dipercayai dan dianggap benar telah terjadi, jadi jika ada pihak-pihak yang membantah
atau meragukan kebenarannya maka pihak tersebutlah yang harus membuktikan
keraguan dan ketidakbenaran akta autentik tersebut. Akta autentik juga dinyatakan
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena di dalamnya telah termasuk
semua unsur bukti berupa tulisan, saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah.21
Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan Notaris dalam masyarakat serta
kekuatan pembuktian dari akta autentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan
notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan yang diberikan undang-
undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai notaris
bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan terebut dengan sebaik-baiknya
serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya. 22 Seorang
pejabat notaris seringkali dalam praktiknya terlibat dengan perkara hukum baik sebagai
saksi maupun sebagai tersangka.23 Notaris pada dasarnya tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, karena notaris hanya bertanggungjawab pada sisi formal
pembuatan akta.24

20
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 58.
21

Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm.
6.

22
Laurensius Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, (Yogyakarta: Deepublish
CV Budi Utama, 2012), hlm. 5.

23
Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Anggaran Dasar CV,
(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010), hlm. 2.

24
Pieter Latumeten, Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model
Aktanya, Makalah Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya, 2009.

Universitas Indonesia
8

Dalam praktiknya, muncul berbagai kasus yang berkaitan dengan akta notaris
yang menjadi sengketa karena dianggap merugikan pihak yang terlibat di dalamnya.
Salah satunya adalah akta PKR yang memuat risalah RUPS suatu PT, yang dalam
pelaksanaannya RUPS tersebut tidak memenuhi syarat formil yang ditetapkan UUPT
terkait pemanggilan rapat. Contoh kasus yang terjadi pada Notaris HJ di Palembang,
Sumatera Selatan yang turut menjadi tergugat dalam sebuah kasus perdata karena
dinyatakan telah membuat akta RUPS untuk PT XYZ yang tidak sesuai dengan fakta
sebenarnya.
Kasus tersebut bermula di tahun 2008 ketika IA yang merupakan salah satu
pemegang saham yang juga menjabat sebagai direktur utama PT XYZ
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (“RUPSLB”) untuk
mengambil keputusan atas perubahan AD perseroan, perubahan susunan pemegang
saham dan perubahan susunan direksi serta komisaris perseroan. PT XYZ sendiri
sahamnya dimiliki oleh 4 (empat) orang pemegang saham yaitu IA, ET, AB dan AP.
Ketiga pemegang saham terkecuali ET hadir dalam RUPSLB tersebut dengan mewakili
80% (delapan puluh persen) dari total keseluruhan saham perseroan. Ketiga pemegang
saham tersebut menyetujui seluruh keputusan yang diputuskan dalam rapat sehingga IA
menghadap Notaris HJ untuk menuangkannya dalam sebuah akta PKR. Dalam
keterangannya kepada Notaris HJ, IA menyatakan bahwa keputusan yang diambil
dalam RUPSLB tersebut telah disetujui oleh seluruh pemegang saham perseroan
termasuk ET yang dibuktikan dengan tanda tangan ET dalam risalah RUPSLB tersebut.
Pada tahun 2016, ET baru mengetahui bahwa pada tahun 2008 telah
diselenggarakan RUPSLB tanpa sepengetahuannya. ET merasa tidak pernah menerima
undangan atas pemanggilan rapat RUPSLB tersebut sehingga keterangan yang
menyatakan dirinya hadir dan tanda tangannya pada risalah RUPSLB di tahun 2008
tersebut adalah palsu. Keputusan yang diambil dalam RUPS tersebut dianggap telah
merugikan dirinya baik sebagai pemegang saham maupun direktur perseroan PT XYZ.
ET kemudian mengajukan gugatan ke PN Palembang untuk meminta pengadilan
membatalkan RUPS dan akta PKR yang dibuat dihadapan Notaris HJ di tahun 2008
tersebut.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun kuorum
atas pengambilan keputusan rapat tanpa kehadiran ET telah terpenuhi sesuai ketentuan

Universitas Indonesia
9

Pasal 86 UUPT, pelaksanaan pemanggilan rapat harus tetap dilaksanakan sesuai


ketentuan UUPT dan Pasal 22 AD PT XYZ yaitu 7 (tujuh) hari sebelum
diselenggarakannya RUPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim
memutuskan bahwa risalah RUPSLB cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat. Kasus tersebut merupakan salah satu contoh bahwa prosedur pemanggilan
rapat dalam RUPS sesuai ketentuan Pasal 81 UUPT menjadi unsur penting yang wajib
untuk dipenuhi karena dapat menentukan keabsahan atas pelaksanaan RUPS dan
keputusan yang disepakati di dalamnya.
Pada persidangan kasus PT XYZ tersebut, para tergugat yang terdiri dari
pemegang saham IA, AB, AP menyatakan pemanggilan rapat telah dilakukan sebelum
penyelenggaraan RUPS dan ET dinyatakan telah menerima pemanggilan tersebut.
Namun, para tergugat termasuk Notaris HJ sebagai turut tergugat tidak dapat
menunjukkan warkah-warkah sebagai bukti bahwa pemanggilan rapat benar telah
dilakukan, seperti salinan surat tercatat atau pemberitahuan rapat, salinan tanda terima
pemberitahuan rapat dan salinan dari daftar hadir rapat. Pemanggilan RUPS sendiri
bertujuan untuk memberitahukan kepada para pemegang saham bahwa perseroan
dipandang perlu mengambil keputusan-keputusan penting terkait jalannya perseroan,
yang mana kewenangan untuk menyetujui keputusan tersebut hanya diberikan kepada
pemegang saham. Pemanggilan yang tidak dilaksanakan dapat menyebabkan
ketidaktahuan pemegang saham atas RUPS yang akan diselenggarakan, sehingga
pemegang saham tersebut tidak dapat menggunakan hak suaranya dalam mengambil
keputusan yang disepakati dalam rapat.
Prosedur pemanggilan rapat dalam RUPS juga merupakan unsur yang
seharusnya diperhatikan oleh notaris setiap kali diminta untuk membuat akta atas
pelaksanaan RUPS sebuah perseroan. Notaris yang memastikan bahwa pelaksanaan
RUPS telah sesuai dengan syarat formil UUPT, terutama terkait prosedur pemanggilan
rapat dapat meminimalisir risiko terjadinya sengketa sehingga pertanggungjawabannya
sebagai notaris yang membuat akta tersebut tidak dapat dipermasalahkan oleh pihak
yang terlibat di dalamnya. Tugas notaris dalam pembuatan akta autentik adalah
berkaitan dengan kebenaran formil. Suatu akta notaris akan memiliki
pertanggungjawaban hukum baik dari segi Kode Etik Notaris, Undang-Undang Jabatan
Notaris (“UUJN”) maupun bentuk pertanggungjawaban perdata bahkan

Universitas Indonesia
10

pertanggungjawaban pidana. Kode Etik Notaris ditetapkan dan ditegakkan oleh Ikatan
Notaris Indonesia selaku organisasi notaris satu-satunya. Sehingga, dalam
melaksanakan tugasnya notaris harus selalu memperhatikan kode etik yang melekat
pada jabatannya.25 Berdasarkan peraturan dan kode etik yang mengikat notaris, maka
apabila notaris melakukan pelanggaran dalam menjalankan jabatannya baik dengan
unsur kesengajaan maupun dengan unsur kelalaian, maka notaris harus diberikan sanksi
yang tegas sesuai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, penelitian ini ditujukan untuk
mengangkat permasalahan mengenai keabsahan akta PKR atas RUPS yang
diselenggarakan tanpa pemanggilan rapat terlebih dahulu dan pertanggungjawaban
notaris terhadap akta PKR tersebut dengan suatu judul Akibat Hukum Akta
Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang Tidak Sesuai dengan
Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas (Putusan Pengadilan
Negeri Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg).

1.2. Rumusan Masalah


Penelitian ini lebih lanjut menganalisa dan meneliti permasalahan hukum yang
dibahas berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana akibat hukum akta Pernyataan Keputusan RUPS yang tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal 81 UUPT?
2. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap pembuatan akta terkait
penyelenggaraan RUPS yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UUPT dalam
Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Sebagai sebuah penelitian, tesis hendaknya memiliki tujuan agar penelitian dapat
dilaksanakan dengan tepat sasaran. Tujuan penelitian terdiri dari tujuan penelitian yang umum
dan khusus. Adapun tujuan penelitian yang bersifat khusus akan memaparkan tujuan yang
memiliki keterkaitan erat dengan topik pembahasan, khususnya terkait rumusan masalah.
1. Tujuan Penelitian
25
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1982), hlm. 47.

Universitas Indonesia
11

Selain bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan, penelitian
ini juga memiliki tujuan yang diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca penelitian
ini terkait lingkup pembahasan yang dituju peneliti. Tujuan dalam penelitian ini dibagi menjadi
dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Dalam penelitian yang dilakukan terdapat dua tujuan
yang diharapkan dicapai peneliti yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan penjelasan bahwa
penyelenggaraan RUPS yang tidak memenuhi persyaratan formil UUPT terkait
pemanggilan rapat dapat mengakibatkan konsekuensi hukum tersendiri terhadap
risalah dan akta atas RUPS tersebut. Penelitian ini juga bertujuan meneliti
peraturan-perundang-undangan terkait proses penyelenggaraan RUPS PT dan
dasar hukum atas penjatuhan sanksi kepada Notaris atas pelanggaran yang
dilakukannya dalam pembuatan akta autentik. Lebih lanjut, diharapkan penelitian
ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi berbagai pihak termasuk kalangan
akademisi maupun praktisi yang memiliki kebutuhan akan informasi dan bahan
penelitian lebih lanjut mengenai kewenangan dan peran Notaris dalam
penyelenggaraan RUPS PT.
b. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi dan menganalisis akibat hukum akta Pernyataan Keputusan
RUPS yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UUPT; dan
2) Mengidentifikasi dan menganalisis pertanggungjawaban notaris terhadap
pembuatan akta terkait penyelenggaraan RUPS yang tidak sesuai dengan Pasal
81 UUPT dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg.

2. Manfaat Penelitian
Sebagai sebuah penelitian, Tesis ini hendaknya memiliki manfaat keilmuan
dalam bidang kenotariatan. Diharapkan berdasarkan penelitian ini dapat diambil
manfaat secara teoretis maupun manfaat praktis yang membantu mahasiswa magister
kenotariatan dan Notaris. Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dalam
Penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis

Universitas Indonesia
12

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman serta penegasan terhadap


pentingnya melaksanakan RUPS sesuai prosedur dan persyaratan formil dalam
UUPT terutama terkait pemanggilan rapat. Dengan demikian, akan terdapat
kesamaan pemahaman di kalangan PT bahwa penyelenggaraan RUPS yang sesuai
prosedur dan persyaraan formil UUPT dapat menjamin kepastian hukum atas
keputusan yang diambil dalam rapat, termasuk keabsahan atas akta notaris yang
diterbitkan untuk menuangkan risalah atas RUPS tersebut.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi kalangan profesi
notaris dan organ PT, yaitu pemegang saham, direksi dan dewan komisaris bahwa
sebuah akta notaris yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna dapat
dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh pengadilan akibat
penyelenggaraan RUPS yang tidak sesuai persyaratan formil UUPT. Dengan
demikian, dapat disepakati kesamaan persepsi mengenai prosedur
penyelenggaraan RUPS dan pemanggilan rapat sesuai UUPT.

1.4. Metode Penelitian


Metode penelitian merupakan hal yang penting dan merupakan blueprint suatu
penelitian, artinya segala gerak dan aktivitas penelitian tercermin di dalam metode
penelitian.26 Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang merupakan
metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan.27 Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder, yaitu jenis data-data yang diperoleh dari kepustakaan berupa buku-buku,
jurnal ilmiah, dan peraturan perundang-undangan terkait. 28 Data sekunder digolongkan
ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Penelitian ini akan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

26
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia., 2005), hlm. 21

27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Depok: Rajawali Pers, 2019), hlm. 13.

28
Ibid, hlm. 6.

Universitas Indonesia
13

Bahan hukum primer, merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu


berupa norma dasar; peraturan dasar; dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum
primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Bahan hukum sekunder, merupakan bahan yang memberikan penjelasan lebih
lanjut mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum ini diperoleh melalui buku-buku
seperti buku Hukum Perseroan Terbatas yang ditulis oleh Yahya Harahap; buku Sanksi
Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik yang ditulis oleh
Habib Adjie; dan buku Petunjuk Praktis bagi Rapat Umum Pemegang Saham,
Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum yang ditulis
oleh Orinton Purba. Adapun bahan hukum sekunder lainnya berupa artikel jurnal
hukum.
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif
karena didasarkan atas kebenaran dan kemampuan penalaran terhadap data yang
tersedia. Tipologi penelitian dilihat berdasarkan sifat dan bentuknya. Berdasarkan
sifatnya, tipologi penelitian dalam penelitian ini menggunakan penelitian eksplanatoris
yang dimaksud untuk menguji hipotesa tertentu serta terhadap hasil-hasil penelitian
lainnya.29 Berdasarkan bentuknya, tipologi penelitian yang digunakan adalah penelitian
preskriptif, yaitu penelitian yang ditujukan untuk mendapat saran mengenai apa yang
harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.30 Berdasarkan tujuannya,
tipologi penelitian dalam penelitian ini adalah menggambarkan keadaan yang
sebenarnya dan menyampaikan keadaan tersebut menurut teori, dan peraturan
perundang-undangan. Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, maka kasus yang
dianalisis dalam penelitian ini adalah Putusan PN Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg.

29
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 47.

30
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm.10.

Universitas Indonesia
14

1.5. Sistematika Penulisan


Tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab, dan di setiap bab terbagi dalam beberapa
sub bab. Sistematika penulisannya ialah seperti yang diuraikan berikut ini:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang dipilihnya topik serta
permasalahan yang dianalisis. Setelah dijabarkan latar belakang atas
permasalahan yang diangkat, isi dari Pendahuluan selanjutnya secara
berturut-turut adalah rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2 PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM


MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS DAN
PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS
Bab ini berisikan uraian teori mengenai penyelenggaraan RUPS sesuai
UUPT, definisi mengenai akta notaris serta nilai pembuktiannya, jenis
pertanggungjawaban notaris, uraian kasus posisi serta teori yang
digunakan dalam menganalisa kasus.

BAB 3 AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT


UMUM PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN
KETENTUAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN
TERBATAS (PUTUSAN PNENGADILAN NEGERI PALEMBANG
NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)”.
Bab ini membahas dan menjawab rumusan masalah serta memuat
analisis mengenai akibat hukum akta Pernyataan Keputusan RUPS
yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UUPT dan
pertanggungjawaban notaris terhadap pembuatan akta terkait
penyelenggaraan RUPS dalam Putusan PN Palembang Nomor
43/PDT.G/2017.PN.PLG.

BAB 4 PENUTUP
Bab ini memuat simpulan dan saran atas hasil peneliti.

Universitas Indonesia
BAB 2
PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS NOMOR 40
TAHUN 2007 DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS

Bab ini menjelaskan prosedur penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang


Saham (“RUPS”) berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, akan dibahas
juga mengenai peran dan tanggung jawab notaris dalam berkaitan dengan pembuatan
akta. Sub-bab terakhir menjelaskan kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Palembang
Nomor 43/PDT.G/2017/PN.PLG dan pertimbangan majelis hakim dalam memutus
perkara.

2.1. Tata Cara Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham


Otoritas tertinggi di dalam suatu perusahaan disebut sebagai Rapat Umum
Pemegang Saham (“RUPS”). Umumnya RUPS diadakan setahun sekali dengan
ketentuan untuk membahas segala masalah-masalah penting yang berkaitan dengan
berjalannya perusahaan.1 RUPS atau algemene vergardering van aandeelhourders
merupakan lembaga yang mewadahi para pemegang saham (stockholder,
aandeelhourder) dan merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi
dan memegang kewenangan yang tidak diserahkan kepada direksi dan komisaris.2
RUPS merupakan organ perseroan yang memiliki kewenangan eksklusif,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), tidak akan pernah diberikan atau dialihkan
kepada komisaris ataupun direksi. Konkretnya, RUPS merupakan sebuah forum yang
mewakili seluruh pemegang saham perseroan, dimana para pemegang saham memiliki
kewenangan utama untuk memperoleh keterangan-keterangan mengenai perseroan, baik
dari komisaris maupun direksi.3
1
Elza Syarief, Sengketa Antar Organ Perseroan Perspektif Teori, Praktik, dan Penyelesaian
Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), hlm. 20.

Hirman Sigit Sapto Nugroho dan Yuni Purwati, Hukum Perseroan Terbatas (Prinsip Good
2

Corporate Governance dan Doktrin Piercing the Corporate Veil), (Solo: Iltizam, 2017), hlm. 66.

Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan direksi Perseroan Terbatas agar
3

Terhindar dari Jerat Hukum, (Depok: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 27.
16

Setiap pemegang saham mempunyai hak menghadiri RUPS. UUPT pada masa
modern mengatur ketentuan yang menegaskan hak tersebut, begitu juga Anggaran
Dasar (“AD”) Perseroan, mengatur ketentuan perseroan harus mengadakan RUPS
paling tidak satu kali dalam satu tahun. Pada dasarnya, dalam RUPS pemegang saham
melakukan kontrol atas jalannya kepengurusan perseroan yang dilakukan direksi.4
RUPS dapat dilakukan di tempat kedudukan perseroan atau di tempat
perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama. RUPS dapat dilakukan dimanapun
dalam wilayah Republik Indonesia dengan syarat, semua pemegang saham hadir dan
setuju dengan agenda tertentu dan dapat mengambil keputusan apabila disetujui secara
bulat. Penyelenggaraan RUPS juga dapat dimungkinkan melalui telekonferensi, video
konferensi/sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS
saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat dengan
kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam UUPT atau
AD Perseroan.5

2.1.1 Jenis RUPS


UUPT sebagai hukum perseroan di Indonesia, mengatur mengenai RUPS pada
Bab VI, yang terdiri atas Pasal 75 – 91. Berdasarkan jenisnya, RUPS dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. RUPS Tahunan (“RUPST”); dan
2. RUPS Luar Biasa (“RUPSLB”).
RUPST biasanya diselenggarakan dalam kaitannya dengan tahun buku
perseroan yang bersangkutan.6 Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) sifat dan syarat RUPS
Tahunan adalah:7
1. wajib diadakan setiap tahun; dan

4
James D. Cox, Thomas Lee Hazen, Hedge O’Neal, Corporations, Alpen Law & Business,
1977, hlm. 306.

5
Mulyoto, Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas, (Yogyakarta:
Cakrawala Media, 2010), hlm. 22.

6
Agus Sardjono, Yetty Komalasari, Rosewitha Irawaty, Togi Pangaribuan, Pengantar Hukum
Dagang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 79.

7
Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas. (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm. 315.

Universitas Indonesia
17

2. syarat penyelenggaraannya, diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam)


bulan setelah tahun buku berakhir.
Selanjutnya menurut pasal 78 ayat (3), dalam RUPST direksi harus
mengajukan semua dokumen dari laporan tahunan perseroan sesuai ketentuan Pasal 66
ayat (2) yang terdiri atas:8
1. laporan keuangan;
2. laporan mengenai kegiatan perseroan;
3. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL);
4. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan
perseroan;
5. laporan tugas pengawasan yang dilaksanakan dewan komisaris;
6. nama anggota direksi dan dewan komisaris; dan
7. gaji dan tunjangan anggota direksi dan dewan komisaris.
Bertitik tolak dari ketentuan dimaksud, setiap perseroan harus mengadakan
RUPST setiap tahun kalender. Ketentuan itu tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi
diterapkan pada semua negara seperti yang dikatakan Walter Coon, “every company
must hold an annual general meeting once every calender year”.9 Menurut Yahya
Harahap, ketentuan Pasal 78 ayat (2) adalah bersifat imperatif (mandatory rule).
Rumusannya dengan tegas mempergunakan kata “wajib”. Oleh karena itu, RUPST
wajib dilaksanakan oleh direksi dalam batas jangka waktu yang ditentukan undang-
undang, yaitu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.10
Pasal 78 ayat (1) maupun ayat (4), menyebut RUPS lainnya, akan tetapi
penjelasan Pasal 78 ayat (1) mengatakan, yang dimaksud dengan RUPS lainnya dalam
praktik, sering dikenal dengan RUPSLB yang diadakan setiap waktu dan digantungkan
berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan, jadi kapan saja kepentingan
perseroan membutuhkan diadakan RUPS, direksi dapat menyelenggarakan RUPSLB
asal benar-benar secara obyektif kepentingan perseroan membutuhkannya. Selain

Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40 Tahun
8

2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 78.

9
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 315.
10

Ibid., hlm. 316.

Universitas Indonesia
18

RUPST (general annual meeting), dapat dilihat bahwa undang-undang


memperbolehkan diadakan RUPSLB (extraordinary meeting), baik hal itu atas ini setiap
direksi maupun atas permintaan pemegang saham atau dewan komisaris.11

2.1.2 Penyelenggara RUPS


Pada dasarnya yang berfungsi dan berwenang menyelenggarakan RUPST
maupun RUPSLB adalah direksi. Hal tersebut ditegaskan oleh Pasal 79 ayat (1) UUPT
bahwa penyelenggaraan diadakannya RUPS sepenuhnya merupakan inisiatif dari
direksi. Namun, tidak menutup kemungkinan penyelenggara atas RUPST atau RUPSLB
adalah selain direksi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (2) UUPT, RUPS dapat dilakukan atas
permintaan:
1. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu
per sepuluh) atau lebih dan jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali AD
menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
2. dewan komisaris.
Menurut penjelasan Pasal 79 ayat (3), alasan yang menjadi dasar permintaan
diadakannya RUPS, adalah karena direksi tidak mengadakan RUPST sesuai dengan
batas waktu yang ditentukan Pasal 78 ayat (2), yang mewajibkan RUPST diadakan
dalam jangka waktu paling 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir atau masa
jabatan anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris akan berakhir. Alasan
tersebut tidak hanya terbatas pada apa yang dikemukakan di atas, karena penjelasan
pasal tersebut menyebut antara lain sehingga bisa dipergunakan alasan lain yang
dianggap mendasar untuk kepentingan perseroan.12
Apabila ada permintaan dari pemegang saham atau dari dewan komisaris yang
memenuhi syarat kepada direksi agar diadakan RUPS, maka menurut pasal 79 ayat (5):
1. direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS;
2. Panggilan RUPS harus dilakukan direksi, paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima direksi.

11
Ibid.

12
Ibid., hlm. 317.

Universitas Indonesia
19

RUPS yang diselenggarakan direksi berdasarkan panggilan RUPS atas


permintaan, pada prinsipnya hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan
alasan yang dikemukakan pada surat permintaan. Namun demikian, Pasal 79 ayat (8)
UUPT, memperbolehkan pemegang saham untuk membicarakan mata acara rapat
lainnya yang dipandang perlu oleh direksi. 13 Apabila direksi tidak melakukan
pemanggilan RUPST dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari dari tanggal permintaan
diterimanya, maka dapat ditempuh upaya sebagai berikut berdasarkan ketentuan pasal
79 ayat (6):
1. Pemegang saham dapat mengajukan kembali permintaan tersebut kepada dewan
komisaris; atau
2. Jika yang meminta kepada direksi adalah dewan komisaris, maka dewan komisaris
melakukan pemanggilan sendiri RUPS tersebut.
Dewan komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS
diterima, jika permintaan kembali penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham
diajukan kepada dewan komisaris. Selanjutnya, RUPS yang diselenggarakan dewan
komisaris berdasarkan panggilan RUPS atas permintaan pemegang saham, hanya
membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan yang dikemukakan dalam surat
permintaan.14
Berbeda dengan ketentuan Pasal 79 ayat (9) UUPT tersebut, Pasal 79 ayat (8)
UUPT menyatakan RUPS yang diadakan direksi berdasarkan permintaan, selain
membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan yang dikemukakan dalam
permintaan, dapat juga membicarakan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu
oleh direksi. Sedangkan apabila yang mengadakan RUPS adalah dewan komisaris atas
permintaan pemegang saham, hanya terbatas membicarakan masalah yang berkaitan
dengan alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan. Tidak dibenarkan untuk
membicarakan mata acara lain.15

13
Ibid., hlm. 318.

14
Ibid.
15
Ibid.

Universitas Indonesia
20

Permintaan penyelenggaraan RUPS kepada ketua PN diatur dalam Pasal 80


UUPT, yang memberi hak kepada pemegang saham untuk mengajukan permohonan
penyelenggaraan RUPS kepada ketua PN:
1. apabila direksi atau dewan komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari dari tanggal penerimaan surat permintaan;
2. bentuknya adalah permohonan yang dituangkan dalam surat permohonan
(verzoekschrift, petition), bukan gugatan (vordering, claim);
3. diajukan kepada ketua PN sesuai asas actor sequitur forum rei, yakni yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan;
4. isi permintaan permohonan, agar ketua PN menetapkan pemberian izin kepada
pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS.
Memperhatikan ketentuan di atas, hak pemegang saham mengajukan
permohonan meminta penyelenggaraan RUPS, tidak langsung demi hukum terbuka.
Harus ditempuh lebih dahulu permintaan kepada direksi atau dewan komisaris. Apabila
mereka tidak memenuhi permintaan paling lambat dalam jangka waktu 15 (lima belas)
hari dari tanggal surat permintaan diterima, baru terbuka hak pemegang saham
mengajukan permohonan kepada ketua PN.16 Ketua PN dapat menetapkan bentuk, isi,
dan jangka waktu pemanggilan RUPS serta menunjuk ketua rapat tanpa terikat pada
ketentuan UUPT atau AD. Jika RUPS diselenggarakan atas izin ketua PN, maka ketua
PN dapat memerintahkan direksi atau komisaris untuk hadir. Penetapan ketua PN
mengenai pemberian izin merupakan penetapan instansi pertama dan terakhir.17
Mata acara RUPS berdasarkan permohonan pemegang saham, menurut Pasal
80 ayat (6) UUPT hanya boleh membicarakan mata acara yang tercantum dalam amar
penetapan pengadilan. RUPS dilarang membicarakan mata acara lain, di luar yang
disebut dalam penetapan. Apabila ketua PN mengabulkan permohonan, hal tersebut
dituangkan dalam bentuk penetapan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap, yang terhadapnya tertutup segala upaya hukum biasa (banding dan kasasi)
maupun upaya luar biasa (peninjauan kembali). Hal tersebut ditegaskan dalam

16
Ibid., hlm. 319.

17
Frans Satriyo Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, direksi dan Komisaris
Perseroan Terbatas (PT), (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009), hlm. 22.

Universitas Indonesia
21

penjelasan pasal 80 ayat (6) UUPT, ketentuan ini dimaksudkan agar pelaksanaan RUPS
tidak tertunda.18

2.1.3 Pemanggilan RUPS


Untuk menyelenggarakan RUPS, direksi melakukan pemanggilan kepada
pemegang saham, namun untuk hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam AD perseroan,
pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh dewan komisaris. Pemanggilan RUPS
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS diadakan. 19 Dewan
komisaris baru berwenang melakukan pemanggilan RUPS dalam hal yang ditentukan
Pasal 79 ayat (6) UUPT dan Penjelasan Pasal 81 ayat (2) UUPT, dalam hal:20
1. direksi tidak melakukan panggilan RUPS dalam tempo 15 (lima belas) hari dari
tanggal permintaan RUPS yang diajukan dewan komisaris diterima direksi. Pasal 79
ayat (2) huruf b UUPT memberi hak kepada dewan komisaris meminta
penyelenggaraan RUPS kepada direksi. Dalam hal direksi tidak melakukan
pemanggilan RUPS berdasarkan permintaan dewan komisaris dalam tempo 15 (lima
belas) hari dari tanggal direksi menerima surat permintaan, maka berdasarkan Pasal
79 ayat (6) huruf b UUPT, memberi hak kepada dewan komisaris untuk melakukan
pemanggilan sendiri;
2. direksi berhalangan;
3. terdapat pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan.
Dalam hal-hal yang demikian, undang-undang memberikan wewenang kepada dewan
komisaris melakukan pemanggilan RUPS.
Pasal 81 ayat (1) UUPT juga memberikan hak kepada pemegang saham untuk
mengajukan permohonan kepada ketua PN untuk memberikan izin melakukan sendiri
pemanggilan RUPS. Hak itu terbuka apabila direksi atau dewan komisaris tidak
melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari dari tanggal
direksi atau dewan komisaris menerima surat permintaan penyelenggaraan RUPS dari
pemegang saham. Apabila pengadilan mengabulkan permohonan pemegang saham

18
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 322.

19
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm. 22.

20
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 323.

Universitas Indonesia
22

tersebut, maka berdasarkan penetapan pengadilan tersebut, pemegang saham dimaksud


melakukan pemanggilan RUPS.21
Perseroan wajib memberikan salinan bahan rapat kepada pemegang saham
secara cuma-cuma. Jika pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan, keputusan tetap
sah jika RUPS dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak
suara yang sah dan disetujui dengan suara bulat. Bagi perseroan terbuka, sebelum
pemanggilan RUPS dilakukan, wajib didahului pengumuman mengenai akan diadakan
pemanggilan RUPS dalam surat kabar. Pengumuman tersebut dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.22
Secara rinci mengenai tenggang waktu pemanggilan RUPS, diatur pada Pasal
82 ayat (1) UUPT bahwa yang dipanggil adalah seluruh pemegang saham yang
sahamnya mempunyai hak suara, pemanggilan RUPS kepada pemegang saham
dilakukan sebelum RUPS diselenggarakan dan pemanggilan RUPS harus dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS
diadakan dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS.
Menurut penjelasan Pasal 82 ayat (1) UUPT, jangka waktu 14 (empat belas)
hari adalah jangka waktu minimal untuk memanggil RUPS. Oleh karena itu, AD
perseroan tidak dapat atau dilarang menentukan jangka waktu pemanggilan RUPS yang
lebih singkat dari 14 (empat belas) hari. Kecuali untuk RUPS kedua atau RUPS ketiga
yang disebutkan Pasal 86 ayat (6), Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (4) UUPT,
pemanggilan dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua
atau ketiga dilangsungkan.23
Bentuk pemanggilan RUPS yang sah menurut Pasal 82 ayat (2) UUPT harus
dilakukan dalam bentuk surat tercatat dan/atau berbentuk iklan dalam surat kabar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 UUPT, surat kabar adalah surat kabar
berbahasa Indonesia yang beredar atau yang berskala nasional. Tidak ditentukan berapa
besar ukuran iklannya, dan di halaman mana dicantumkan. Namun demikian, harus
sesuai dengan kepatutan dan kewajaran. Jika pemegang sahamnya tersebar luas, harus

21
Ibid., hlm. 324.

22
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm.23.

23
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 324.

Universitas Indonesia
23

diiklankan dalam surat kabar yang menjangkau seluruh pemegang saham. Begitu juga
letak dan ukuran iklannya, harus patut dan proporsional, yakni mudah dilihat dan
dibaca.24
Mengenai isi panggilan RUPS kepada pemegang saham, digariskan pada Pasal
82 ayat (3) UUPT harus mencantumkan:25
1. tanggal RUPS diadakan;
2. tempat RUPS diadakan;
3. waktu RUPS diadakan;
4. mata acara RUPS;
5. pemberitahuan bahwa bahan RUPS yang akan dibicarakan, tersedia di kantor
Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal RUPS
diadakan.
Menurut Yahya Harahap, “hal yang paling penting diperhatikan, pemanggilan
RUPS harus memuat informasi yang cukup (sufficient information)”. Informasi yang
cukup benar-benar dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi pemegang saham
untuk menentukan apakah dia akan menghadiri atau tidak RUPS tersebut, meskipun dia
tahu resikonya, bahwa dia akan tunduk kepada hasil keputusan RUPS sekalipun dia
absen pada RUPS yang dimaksud.26
Apabila pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan
Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUPT, maka berdasarkan ketentuan Pasal 82
ayat (5) UUPT, RUPS tetap dapat dilangsungkan dan keputusan RUPS tetap sah dengan
syarat:
1. semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS; dan
2. keputusan RUPS disetujui dengan suara bulat.
Jika syarat tersebut terpenuhi, yakni semua pemegang saham dengan hak suara,
hadir atau diwakili dalam RUPS, panggilan itu tidak batal. RUPS dapat dilangsungkan
dan keputusan yang diambil saham apabila disetujui dengan suara bulat oleh peserta
RUPS.27 Khusus bagi perseroan terbuka, Pasal 83 UUPT menambah syarat pemanggilan
24
Ibid., hlm. 325.

25
Ibid.

26
Ibid.
27
Ibid., hlm. 326.

Universitas Indonesia
24

yang ditentukan Pasal 82 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pemanggilan RUPS perseroan
terbuka wajib memenuhi syarat:
1. sebelum pemanggilan RUPS dilakukan, wajib didahului dengan pengumuman yang
memberitahukan akan diadakan pemanggilan RUPS;
2. pengumumannya harus memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal;
3. pengumuman dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
sebelum pemanggilan RUPS.
Maksud pengumuman tersebut menurut penjelasan Pasal 83 ayat (1), bertujuan
untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham mengusulkan kepada direksi
penambahan mata acara RUPS. Ketentuan mengenai pemanggilan harus didahului
dengan pengumuman pada perseroan terbuka, bersifat imperatif. Apabila dilanggar,
mengakibatkan panggilan tidak sah.28

2.1.4 Hak Suara (Voting Right)


Keputusan RUPS, diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Jika
keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak biasa dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah,
kecuali UUPT dan AD PT menentukan bahwa keputusan harus diambil berdasrkan
suara yang lebih besar dari suara terbanyak biasa.29
Pemegang saham dengan hak suara yang sah, baik sendiri maupun dengan
kuasa tertulis berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya. Dalam
pemungutan suara, anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan karyawan perseroan
yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham. Setiap
saham yang dikeluarkan memiliki satu hak suara, kecuali AD perseroan menentukan
lain. Saham perseroan yang dimiliki oleh perseroan itu sendiri tidak memiliki hak suara.
Saham induk perusahaan yang dimiliki oleh anak perusahaannya juga tidak memiliki
hak suara.30

28
Ibid., hlm. 327.

29
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm. 24.
30
Ibid.

Universitas Indonesia
25

Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa prinsip umum yang melekat pada
hak suara pemegang saham, yaitu:31
a. Satu saham, satu suara (one vote, for one share)
Prinsip ini ditegaskan pada Pasal 84 ayat (1) yang mengatakan bahwa setiap
saham yang dikeluarkan, mempunyai satu hak suara, kecuali AD perseroan menentukan
lain. Maksud dari kecuali AD perseroan menentukan lain, adalah apabila AD perseroan
mengeluarkan satu saham tanpa hak suara. Jika AD perseroan tidak menentukan hak
yang seperti itu, berlaku prinsip umum bahwa setiap saham yang dikeluarkan perseroan
mempunyai satu hak suara.32
Bertitik dari prinsip ini, hak suara merupakan hak yang melekat secara
inherent pada diri setiap pemegang saham (is inherent in ownership of share). Berarti
setiap pemegang saham berhak menghadiri dan berbicara serta mengeluarkan suara
dalam RUPS. Maka atas dasar hak hadir dan bersuara (is entitled to attend and speak)
dalam RUPS mewajibkan direksi harus memanggil pemegang saham.33
b. Saham yang dimiliki perseroan baik langsung atau tidak, tidak mempunyai hak
suara
Pada dasarnya, hanya saham yang dimiliki atau dikuasai pemegang saham
yang mempunyai hak suara. Sebaliknya saham yang dimiliki atau dikuasai perseroan
baik langsung atau tidak, tidak mempunyai hak suara. Prinsip ini ditegaskan Pasal 84
ayat (2). Bahkan dalam penjelasan pasal ini digariskan bahwa saham yang dimiliki atau
dikuasai perseroan tidak hanya terbatas tidak mempunyai hak suara, tetapi juga tidak
dihitung dalam penentuan kuorum.
Ketentuan tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 40 UUPT dimana saham yang
dikuasai perseroan karena pembelian kembali, perolehan karena hukum, hibah atau
hibah wasiat, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS, dan tidak
dihitung dalam menentukan kuorum, serta tidak berhak mendapat pembagian dividen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (2), kriteria saham yang tidak memiliki hak suara
adalah:

31
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 327.

32
Ibid.

33
Ibid.

Universitas Indonesia
26

1. saham perseroan yang dikuasai sendiri oleh perseroan;


2. saham induk perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau
tidak langsung; atau
3. saham perseroan yang dikuasai oleh perseroan lain yang sahamnya secara langsung
atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan.
Menurut penjelasan Pasal 84 ayat (2) huruf a, yang dimaksud dengan dikuasai sendiri
adalah dikuasai baik karena hubungan kepemilikian, pembelian kembali maupun karena
gadai.
c. Hak suara (voting right), merupakan pelaksanaan kontrol akhir pemegang
saham
Dari segi tujuan, hak suara mengandung maksud sebagai pelaksanaan kontrol
akhir dari pemegang saham terhadap perseroan, direksi dan dewan komisaris. Artinya,
pada forum RUPS melalui hak suara yang dimilikinya pemegang saham dapat
menentukan sikap apakah tindakan yang dilakukan perseroan, direksi dan dewan
komisaris yang berlangsung sebelum RUPS diadakan, dapat dibenarkan atau disetujui
atau tidak oleh para pemegang saham. 34 Pasal 85 ayat (1) UUPT mengatur bahwa
pemegang saham dalam RUPS menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham
yang dimilikinya. Hal tersebut sejalan dengan prinsip satu saham satu suara (one vote
for one share).35 Pasal 85 ayat (3) UUPT kemudian lebih lanjut mengatur bahwa
pemegang saham dalam menghadiri RUPS baik secara sendiri maupun diwakili
berdasarkan surat kuasa, namun pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa
kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya
dengan suara yang berbeda. Menurut penjelasan Pasal 85 ayat (3) UUPT, ketentuan
tersebut merupakan perwujudan asas musyawarah mufakat, oleh karena itu suara yang
berbeda (split voting) tidak dibenarkan. Dalam pemungutan suara, suara yang
dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan
pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa
untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda.
Ini artinya UUPT melarang voting yang terbelah.36 Oleh karena itu, dalam
pemungutan suara, suara yang dikeluarkan pemegang saham berlaku untuk seluruh
34
Ibid., hlm. 329.

35
Ibid.

Universitas Indonesia
27

saham yang dimilikinya. Namun bagi perseroan terbuka, suara berbeda yang
dikeluarkan oleh bank kustodian atau perusahaan efek yang mewakili pemegang saham
dalam dana bersama (mutual fund) bukan merupakan suara yang berbeda sebagaimana
yang dimaksud pada ketentuan ini.37 Mengenai siapa saja yang dapat ditunjuk sebagai
kuasa oleh pemegang saham untuk menghadiri RUPS, Pasal 85 ayat (4) mengatur
bahwa anggota direksi, anggota dewan komisaris dan karyawan perseroan dapat
ditunjuk sebagai kuasa yang dihitung dalam menetapkan kuorum RUPS. Namun, dalam
pemungutan suara, anggota direksi anggota dewan komisaris dan karyawan perseroan
sebagai kuasa pemegang saham tidak berhak mengeluarkan suara.38

2.1.5. Kuorum Rapat Umum Pemegang Saham


Permasalahan kuorum diatur pada Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88 dan Pasal 89
UUPT. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, diatur kuorum yang berbeda
besarnya. Perbedaan besarnya kuorum untuk setiap RUPS, digantungkan pada materi
acara yang dibicarakan dalam rapat. RUPS dapat dilangsungkan jika dihadiri oleh
pemegang saham yang mewakili lebih dari 1/2 bagian jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah, kecuali undang-undang dan atau AD menentukan lain. 39 Menurut
penjelasan Pasal 86 ayat (1) UUPT, ketentuan besarnya kuorum kehadiran tidak boleh
disimpangi. Oleh karena itu AD tidak boleh mengatur kuorum kehadiran yang lebih
kecil dari 1/2 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, tetapi yang boleh
diatur dalam AD adalah kuorum kehadiran yang lebih besar dari patokan yang
ditentukan dalam Pasal 86 ayat (1) UUPT tersebut, yaitu 1/2 bagian.
Jika kuorum tidak tercapai, diadakan pemanggilan RUPS kedua, yang harus
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua diselenggarakan. RUPS

36
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm.
160.

37
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 330

38
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40
Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 85 ayat (4)
39
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm 23.

Universitas Indonesia
28

kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh
satu) hari dari RUPS pertama. RUPS kedua adalah sah dan berhak mengambil
keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili keputusan jika dihadiri
oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/3 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah. Namun jika kuorum RUPS kedua tetap tidak
tercapai, ketua PN atas permohonan perseroan ditetapkan kuorum. Isi permohonan
meminta kepada ketua PN agar menetapkan kuorum RUPS ketiga.40
Adapun untuk perubahan AD perseroan, kuorum RUPS pertama adalah 2/3
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan diambil
berdasarkan 2/3 dari jumlah suara tersebut. Apabila RUPS pertama gagal, dan kuorum
RUPS kedua tetap sama, maka keputusan dapat diambil berdasarkan suara terbanyak
dari jumlah suara tersebut.41 Sementara untuk penggabungan, peleburan, pengambil-
alihan, kepailitan dan pembubaran perseroan, kuorum RUPS minimum 3/4 bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan diambil berdasarkan
3/4 dari jumlah suara tersebut.42

2.1.6. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham


Mengenai penyelenggaraan RUPS, menurut Yahya Harahap “setiap
penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalahnya”. Oleh karena itu, pembuatannya
bersifat imperatif (mandatory rule). RUPS yang tidak dibuat risalahnya, tidak sah dan
dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam
RUPS tidak dapat dilaksanakan.43 Berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UUPT,
disebutkan bahwa setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan
ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang

40
Ibid.

C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-
41

Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 12.
42
Ibid.

43
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 340.

Universitas Indonesia
29

ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Penandatanganan tersebut dimaksudkan untuk
menjamin kepastian dan kebenaran isi risalah RUPS tersebut.44
Berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1), risalah RUPS wajib ditandatangani.
Apabila risalah RUPS tidak dibuat dengan akta notaris, yang dibebani kewajiban untuk
menandatangani adalah:
1. ketua rapat; dan
2. paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta
RUPS.
Berlawanan dengan ketentuan Pasal 90 ayat (2), risalah RUPS yang dibuat
dengan akta notaris, tidak disyaratkan harus ditandatangani ketua rapat dan 1 (satu)
orang pemegang saham. Tanpa ditandatangani, risalah RUPS yang dibuat dengan akta
notaris dianggap pasti kebenarannya. Hal tersebut sesuai dengan fungsi yuridis akta
notaris sebagai akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
(volledig) tentang apa yang dimuat di dalamnya dan mengikat (bindend) kepada para
pihak yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak dari mereka.45
2.1.7. Pengambilan Keputusan di Luar RUPS
UUPT juga memberikan kemungkinan kepada para pemegang saham untuk
mengambil keputusan di luar RUPS yang mengikat PT yang bersangkutan. Caranya
dilakukan dengan mengedarkan surat berisi usulan yang harus diputuskan oleh para
pemegang saham. Cara ini biasanya disebut dengan istilah keputusan sirkuler. Agar
keputusan para pemegang saham itu mengikat PT yang bersangkutan, syaratnya semua
pemegang saham harus menyetujui secara tertulis usulan yang bersangkutan dengan
menandatangani surat yang berisi usulan tersebut. Namun yang perlu dicatat adalah
bahwa keputusan sirkuler bukanlah keputusan RUPS.46 Hal tersebut ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 91 UUPT bahwa pemegang saham dapat juga mengambil keputusan
yang mengikat di luar RUPS selama semua pemegang saham menyetujui secara tertulis
dengan menandatangani usul yang bersangkutan.

Subandi Martha, Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta:
44

Tatanusa, 2015) hlm. 81.


45

Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 340.

46
Agus Sardjono dkk, Pengantar Hukum Dagang, hlm. 81.

Universitas Indonesia
30

Pasal tersebut menegaskan bahwa keputusan itu adalah keputusan di luar


RUPS. Dengan demikian, keputusan itu tetap bukanlah keputusan organ PT. Namun
demikian, jika AD yang bersangkutan secara tegas menetapkan kemungkinan bahwa
keputusan sirkuler dapat menggantikan kedudukan keputusan RUPS, maka daya
lakunya (validity) juga sama dengan keputusan RUPS. Tentu saja semua persyaratan
formal dan material dari keputusan sirkuler harus tetap dipenuhi, antara lain
menyangkut tata cara dan substansi keputusan yang tidak boleh bertentangan atau
melanggar aturan di dalam AD yang bersangkutan dan UUPT.47
Persetujuan dari seluruh pemegang saham, merupakan syarat mutlak keabsahan
keputusan di luar RUPS. Tidak boleh satu pemegang saham pun yang tidak setuju. Jika
terjadi hal yang seperti itu, mengakibatkan usul keputusan yang diedarkan atau circular
resolution tersebut menjadi tidak sah (onwettig, unlawful). Keputusan di luar RUPS
yang disetujui oleh seluruh pemegang saham merupakan keputusan yang mengikat,
maksudnya keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
keputusan RUPS yang dilakukan secara fisik dan konvensional.48

2.2. Peran dan Tanggung Jawab Notaris


Notaris sebagai pejabat umum memiliki peran sentral dalam menegakkan
hukum di Indonesia, karena selain kuantitas yang begitu besar, notaris dikenal masuk
kelompok elit di Indonesia. Notaris berwenang membuat akta otentik dan memiliki
posisi yang strategis dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
khususnya bidang perikatan yang terjadi karena perjanjian. Ruang lingkup
pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran formil atas akta yang dibuatnya.
Notaris merupakan profesi hukum dan dengan demikian notaris adalah suatu profesi
mulia (nobile officium) karena profesi notaris sangat erat hubungannya dengan
kemanusiaan. Akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta
benda dan hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta notaris dapat
menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu
kewajiban.49

47
Ibid.

48
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 341.

Universitas Indonesia
31

2.2.1 Notaris sebagai Pejabat Umum


Keberadaan lembaga notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk
mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Mengingat
dalam wilayah hukum perdata (privat), negara menempatkan notaris sebagai pejabat
umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta autentik, untuk kepentingan
pembuktian atau alat bukti.50 Pengaturan tentang jabatan notaris telah dimulai diatur
dengan Reglement op Het Notarisin Nederlands Indie (stbl.1860:3)51. Pada tahun 2004,
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(“PJN”). PJN lebih disempurnakan lagi dengan adanya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (“UUJN”), yang telah disahkan pada tanggal 17
Januari tahun 2014 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).52
Istilah pejabat umum merupakan terjemah dari istilah openbare amtbtenaren
yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 KUHPerdata. Khusus berkaitan
dengan openbare amtbtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum diartikan
sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta autentik yang melayani
kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada notaris. 53 Notaris adalah
pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai
semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau
oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik.54
Perubahan UUJN memberikan pengertian bahwa notaris adalah pejabat umum yang

49
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta: UII Press, 2009) hlm. 25.

50
Laurensius Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, (Jogjakarta: Deepublish,
2015), hlm. 1.
51

Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie (stbl.1860:3) merupakan peraturan


pembaharuan mengenai jabatan Notaris di Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, peraturan ini
merupakan pengganti dari Instructie voor de Notarissen Residerende in Ambit in Nederlands Indie.
52
Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum, hlm. 2.

53
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 27.

54
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 58.

Universitas Indonesia
32

memiliki kewenangan untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang
lainnya.55
Wewenang membuat akta autentik ini hanya dilaksanakan oleh notaris sejauh
pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.56
Pemberian kualifikasi notaris sebagai pejabat umum berkaitan dengan wewenang
notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, notaris berwenang membuat akta autentik,
sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti
Kantor Catatan Sipil, tidak memberikan kualifikasi sebagai pejabat umum tapi hanya
menjalankan fungsi sebagai pejabat umum saja ketika membuat akta-akta yang
ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti
semula sebagai pegawai negeri.57
Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau
menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta autentik. Pembuatan akta
tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan
akta notaris, sehingga jabatan notaris sebagai pejabat umum tidak perlu lagi diberi
sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris, seperti notaris sebagai pembuat
akta koperasi; notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Pemberian sebutan
lain kepada notaris seperti tersebut di atas telah mencederai makna pejabat umum,
seakan-akan notaris akan mempunyai kewenangan tertentu jika disebutkan dalam suatu
aturan hukum dari instansi pemerintah.58

55
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps. 1 angka 1.

56
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notari, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 40.

57
Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan Notaris sebagai
Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem Hukum di Indonesia, (Ikatan Notaris
Indonesia: Jawa Timur, 22 – 23 Mei 1998), hlm. 7.

58
Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum, (Majalah Renvoii
Nomor 04, Th. II), 3 September 2004, hlm. 32.

Universitas Indonesia
33

Menurut Kode Etik Notaris 2015, notaris adalah setiap orang yang memangku
dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud
dalam UUJN. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 angka 4 Kode Etik Notaris 2015. Jabatan
notaris sebagai jabatan umum mempunyai karakteristik yaitu notaris sebagai jabatan,
notaris yang mempunyai kewenangan tertentu, notaris yang diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah, tidak menerima gaji maupun pensiunan dari yang mengangkatnya, dan
akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat. Notaris merupakan jabatan yang
diberikan oleh negara. Dalam melakukan pekerjaannya, notaris tidak menerima gaji,
melainkan menerima honorarium dari kliennya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.59 Ciri pengembanan profesi notaris menurut Herlien
Budiono meliputi enam hal pokok, antara lain:
1. jujur, mandiri, tidak berpihak, dan bertanggung jawab;
2. mengutamakan pengabdian pada kepentingan masyarakat dan negara;
3. tidak mengacu pamrih (disinterestedness);
4. rasionalitas yang berarti mengacu kebenaran obyektif;
5. spesifitas fungsional;
6. solidaritas antara sesama rekan dengan tujuan menjaga kualitas dan martabat profesi.
Dengan demikian pejabat umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau
diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan
akta autentik, dan notaris sebagai pejabat umum kepadanya diberikan kewenangan
untuk membuat akta autentik. Oleh karena itu, notaris sudah pasti pejabat umum, tapi
pejabat umum belum tentu notaris, karena pejabat umum dapat disandang pula oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.60

2.2.2. Kewenangan Notaris


Menurut Habib Adjie, dalam hukum administrasi wewenang bisa diperoleh
secara atribusi, delegasi, dan mandaat.61 Wewenang secara atribusi adalah pemberian
wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-
59
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Bigraf Publishing, 1995), hlm. 28.

60
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 30.

61
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm. 77.

Universitas Indonesia
34

undangan atau aturan hukum. Wewenang secara delegasi merupakan


pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-
undangan atau aturan hukum. Sedangkan wewenang yang diperoleh secara mandaat
sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang
berkompeten berhalangan.62
Berdasarkan UUJN, notaris memperoleh wewenang secara atribusi karena
wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri, bukan berasal dari
lembaga lain. Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya, dengan demikian jika seorang pejabat
(notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.63
Wewenang notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya menurut G.H.S.
Lumban Tobing meliputi empat hal, yaitu sebagai berikut:64
a. notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuatnya itu;
b. notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang atau untuk kepentingan siapa
akta tersebut dibuat;
c. notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta tersebut dibuat;
d. notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa notaris berwenang membuat akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan salinan, dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Pasal 15 ayat (2) UUJN lebih lanjut
kemudian mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan
hukum tertentu, seperti:
62

Ibid., hlm. 78.

63
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm. 15.

64
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 49.

Universitas Indonesia
35

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan
dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan tanah; atau
g. membuat akta risalah lelang.
Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa notaris berwenang untuk membetulkan
kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah
ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat berita acara dan
memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan
tanggal dan nomor berita acara pembetulan. Salinan akta berita acara tersebut wajib
disampaikan kepada para pihak.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat
(notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.65

2.2.3. Kewajiban dan Larangan Notaris


Otoritas notaris diberikan oleh undang-undang untuk pelayanan kepentingan
publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi notaris. 66 Oleh karena itu kewajiban-
kewajiban yang diemban notaris adalah kewajiban jabatan (ambtsplicht). Notaris wajib
melakukan perintah tugas jabatannya itu, sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak
memangku jabatan notaris.67 Batasan seorang notaris dikatakan mengabaikan tugas atau

65
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif hlm. 33.

66
Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV, (Jogjakarta:
Cakrawala Media, 2010), hlm. 1.
67
Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta
Keterangan Ahli Waris), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008) hlm. 13.

Universitas Indonesia
36

kewajiban jabatan, apabila notaris tidak melakukan perintah imperatif undang-undang


yang dibebankan kepadanya.68
Kewajiban notaris diatur dalam Bagian Kedua UUJN tentang kewajiban Pasal
16 PJN juncto UUJN yaitu:69
(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari
protokol notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta;
d. mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta
akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat
tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat
dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul
setiap buku;
h. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya
surat berharga;
i. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil
yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang

68

Ibid.

69
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan, hlm. 49.

Universitas Indonesia
37

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima)


hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir
bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia
dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat
kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta
wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan notaris; dan
n. menerima magang calon notaris.
(2) kewajiban menyimpan minuta akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan akta in originali.
(3) akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. akta penawaran pembayaran tunai;
c. akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. akta kuasa;
e. akta keterangan kepemilikan; dan
f. akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata berlaku sebagai satu dan satu berlaku
untuk semua.
(5) akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya
dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l
ditetapkan dengan peraturan menteri.
(7) pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib
dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan

Universitas Indonesia
38

ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap
halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris.
(8) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan
kepala akta, komparasi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas, serta
penutup akta.
(9) jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7)
tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan.
(10) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan akta
wasiat.
(11) notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
(12) selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap
ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.
(13) notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n
dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.
Kewajiban Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN tersebut di
atas, dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. kewajiban moral normatif sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf a;
2. kewajiban teknis prosedural sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf b
sampai dengan huruf n.
Larangan bagi Notaris diatur dalam pasal 17 PJN juncto UUJN, dalam
penjelasan Pasal 17 UUJN, adanya ketentuan terhadap larangan notaris dimaksudkan
diantaranya untuk untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa notaris
dan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah
terjadinya persaingan tidak sehat antar notaris dalam menjalankan jabatannya, yaitu:
(1) notaris dilarang:

Universitas Indonesia
39

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;


b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7
(tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau
pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau badan
usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan notaris;
h. menjadi notaris pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan
dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan notaris.
(2) notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan
hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak
hormat.

2.2.4. Akta Notaris sebagai Akta Autentik


Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, akta berasal dari kata acta, yang
merupakan bentuk jamak dari kata actum dan berasal dari bahasa Latin yang berarti
perbuatan-perbuatan.70 Menurut Pitlo yang dikutip oleh Suharjono, akta merupakan
suatu surat yang ditanda tangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk
dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. 71 Sedangkan
menurut Veegens-Oppenheim-Polak yang dikutip oleh Tan Thong Kie, akta adalah
70
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya, 1980), hlm. 9.

Universitas Indonesia
40

suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti. Akta
juga memiliki pengertian lain yaitu suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk
membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, yang karenanya suatu akta haruslah
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersepakat.72
Dalam Pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah akta autentik, dan Pasal
1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta
autentik yaitu:73
a. akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat
umum;
b. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
c. pegawai umum (pejabat umum) oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Autentik atau authentiek dapat diartikan sebagai bersifat umum, bersifat
jabatan, memberi pembuktian yang sempurna (dari surat-surat), khususnya dalam kata
authentieke akte. Para notaris secara istimewa ditunjuk untuk membuat akta autentik
baik atas permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang
berhak membuatnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya.74
Menurut Djoko Soepadmo akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan atau menurut aturan dalam undang-undang oleh atau dihadapan umum
yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat.75 Menurut Husni Thamrin,
akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari
pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat
dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, akta autentik tersebut memuat

71
Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123,
(Desember 1995), hlm. 43.

72
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 178.

73
Ibid., hlm. 6.

74
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel – dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda –
Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 37.
75

Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum, hlm. 1.

Universitas Indonesia
41

keterangan seorang pejabat yang menerangakan tentang apa yang dilakukannya atau
dilihat dihadapanya.76
Menurut ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan autentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah
tangan. Pasal 1868 KUHPerdata lebih lanjut menjelaskan bahwa tulisan-tulisan autentik
berupa akta autentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-
undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan
di tempat dimana akta tersebut dibuat. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di
bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa
perantara atau tidak di hadapan pejabat umum yang berwenang.
Baik akta autentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk
dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan
tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini
terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung dengan alat
bukti yang lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu
dalam nilai pembuktian, akta autentik mempunyai pembuktian yang sempurna. 77 Satu
syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta autentik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta autentik tersebut di dalamnya telah
termasuk semua unsur bukti:78
a. tulisan;
b. saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
Arti akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula
ditentukan bahwa siapa pun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa
dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

76
Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, cetakan 2, (Yogyakarta:
Laksbang Pressindo, 2011), hlm. 11.

77
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 7.

78
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 6.

Universitas Indonesia
42

hukum tetap.79 Bahwa akta autentik merupakan sebutan yang diberikan kepada pejabat
tertentu yang dikualifikasikan sebagai pejabat umum, seperti akta autentik tidak saja
dibuat oleh notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat
Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.80 Pengertian akta autentik didefinisikan
dalam pasal 1868 KUHPerdata yang mendefinisikan akta autentik sebagai suatu akta
yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.81
Akta notaris sebagai akta autentik berisikan hal-hal yang mencakup mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum
atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta.
Otentisitas dari akta notaris bersumber dari undang-undang yaitu UUJN, yang mana
notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam
kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta autentik.
Menurut G.H.S Tobing, akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat
autentik, bukan karena undang-undang menetapkan demikian, akan tetapi oleh karena
akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, seperti dimaksud dalam pasal 1868
KUHPerdata.82 Bahwa disebut akta notaris, karena akta tersebut sebagai akta autentik
yang dibuat dihadapan atau oleh notaris yang memenuhi syarat yang dibuat di hadapan
atau oleh notaris yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam UUJN. Akta
notaris sudah pasti akta autentik, tapi akta autentik bisa juga akta notaris, akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah,Risalah Lelang Pejabat Lelang dan Akta Catatan Sipil.83
Pasal 1 angka 7 UUJN menjelaskan akta yang dibuat di hadapan atau oleh
notaris berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam UUJN, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon bahwa
syarat akta autentik, yaitu “di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
79
Ibid., hlm. 6.

80
M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hlm. 146.
81

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 178.

82
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 38.
83

Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 8.

Universitas Indonesia
43

(bentuknya baku) dan dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum”. 84 Menurut Irawan
Soerodjo, ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta
autentik, yaitu “dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan
dihadapan pejabat umum dan tempat dimana akta itu dibuat”.85
Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap notaris,
tanpa adanya keinginan seperti demikian maka akta notaris tidak akan pernah dibuat.
Kewajiban notaris membingkainya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga akta
tersebut dikualifikasikan sebagai akta autentik. Isi akta yang bersangkutan merupakan
kehendak para pihak, bukan kehendak atau keinginan notaris. Notaris berkewajiban
memberikan penjelasan kepada para penghadap, agar tindakannya yang dituangkan
dalam akta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.86
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris,
yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang:
1. tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang;
2. menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan
hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3. mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu
dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan;
4. berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat
kedudukan dan wilayah jabatan notaris;
5. mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin kepastian
waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
Habib Adjie memberikan beberapa karakter yuridis dari suatu akta notaris
yaitu:87

Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31
84

Januari 2001, hlm. 3.

85
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surayabaya: Arkola,
2003), hlm. 148.

86
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung : Refika Aditama, 2015),
hlm. 84.
87
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm.38.

Universitas Indonesia
44

1. akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang
(uujn);
2. akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan karena keinginan
notaris;
3. meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, dalam hal ini notaris tidak
berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang
namanya tercantum dalam akta;
4. mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta
notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain selain yang tercantum dalam akta tersebut;
5. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak
yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, pihak yang tidak
setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang
bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat
dibuktikan.
Akta yang dibuat oleh (door) notaris dalam praktek notaris disebut akta relaas
atau akta berita acara yang berisi berupa uraian yang dilihat dan disaksikan notaris
sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang
dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat dihadapan (ten
overstaan) notaris, dalam praktek notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau
keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan
notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam
bentuk akta notaris.88
Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi
dasar utama atau inti dalam pembuatan akta notaris, yaitu harus ada keinginan atau
kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan
para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk
memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, notaris dapat memberikan saran
dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran notaris diikuti oleh para pihak
dan dituangkan dalam akta notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap

88
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 51.

Universitas Indonesia
45

merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat notaris
atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan notaris.89

2.2.5. Nilai Pembuktian Akta Notaris


Akta notaris sebagai akta autentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian
sebagai berikut:90
1. lahiriah (uitwendige bewijskracht);
2. formal (formele bewijskracht);
3. material (materiele bewijskracht).
Kemampuan lahiriah akta notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri
untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta autentik (acta publica probant sese
ipsa). Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta autentik, yaitu tanda
tangan dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan dan
adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Penyangkalan atau
pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai akta autentik, bukan akta
autentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan pada syarat-syarat akta
notaris sebagai akta autentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya
gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta
yang menjadi obyek gugatan bukan akta notaris.91
Kekuatan pembuktian formal akta notaris adalah memberi kepastian bahwa
suatu kejadian dan fakta yang tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris
atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam
akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara
formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun,
waktu menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para
pihak/penghadap, saksi dan notaris dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para
pihak/penghadap (pada akta pihak).92

89
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 10.

90
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:
Rajawali, 1982), hlm. 55.

91
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 19.

Universitas Indonesia
46

Pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta notaris dapat


dilakukan jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan
atau oleh notaris, dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus
dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam
akta yang bersangkutan, misalnya bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa
menghadap notaris pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta pukul yang tersebut dalam
awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan
dirinya. jika hal bersangkutan terjadi, penghadap tersebut dapat menggugat notaris dan
membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.93
Nilai pembuktian material merupakan kepastian materi suatu akta, bahwa apa
yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada
pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang
dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan atau para
pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus
dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan dalam akta berlaku sebagai yang benar
atau setiap orang yang datang menghadap notaris yang keterangannya
dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata
pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal
tersebut menjadi tanggung jawab pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu.
Dengan demikian, isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya,
menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para
penerima hak mereka.94
Ketiga aspek tersebut merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta
autentik dan siapapun yang terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu
persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta
yang bersangkutan hanya mampu mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di

92
Ibid.

93
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 61.

94
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 20.

Universitas Indonesia
47

bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta
di bawah tangan.95
Akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang
membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal
1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian mengatur ada 2
(dua) syarat, yaitu syarat subjektif yang berkaitan dengan yang subjek yang
mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kemudian syarat obyektif, yaitu
syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan obyek yang
dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab
yang tidak dilarang.96
Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan
syarat obyektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian
dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu
atau yang berkepentingan. Jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal
demi hukum (nietig) tanpa perlu ada permintaan dari para pihak. Perjanjian dengan
demikian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.97 Perjanjian
dikarenakan sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak
untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.98
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta notaris. Syarat
subjektif dicantumkan dalam awal akta dan syarat obyektif dicantumkan dalam badan
akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata
mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum
kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya.99Jika dalam awal akta, terutama

95
Ibid., hlm. 21.

96
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 52.

97
Ibid.
98

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Internasa, 2005), hlm. 22.

Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, (Jurnal Yuridika Fakultas


99

Hukum Universitas Airlangga, Vol. XVIII, No. 3, Mei 2003), hlm. 219.

Universitas Indonesia
48

syarat-syarat para pihak yang menghadap notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka
atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Akta notaris yang dapat
dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex nunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari
akta tersebut dianggap ada sampai dilakukan pembatalan. Jika dalam isi akta tidak
memenuhi syarat obyektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Akta notaris yang
batal demi hukum berarti akta tersebut termasuk ex tunc, yang berarti perbuatan dan
akibat dari akta tersebut dianggap tidak pernah ada (inexistence).100
Menurut Habib Adjie, “oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah
menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat obyektif bagian dari badan akta, maka
timbul kerancuan antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi
hukum”. Jika pembatalan diajukan untuk membatalkan akta notaris karena tidak
memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk
membatalkan syarat obyektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal
akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada
pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta
yang berisi syarat obyektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat
obyektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.101
Berkaitan dengan kebatalan atau pembatalan akta notaris, Pasal 84 UUJN telah
mengatur tersendiri, yaitu jika notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi
hukum.102 Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dan
ditentukan dari:
1. isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika notaris
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan;

100
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 53.

101
Ibid., hlm. 54.

102
Ibid., hlm. 66.

Universitas Indonesia
49

2. jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka pasal lainnya
yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta
batal demi hukum.103
Akta notaris batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat
yang sudah ditentukan menurut hukum, tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu
dari yang bersangkutan yang berkepentingan, sehingga bersifat pasif. Oleh karena itu,
kebatalan bersifat pasif, artinya tanpa ada tindakan aktif atau upaya apapun para pihak
yang terlibat dalam suatu perjanjian, maka akan batal atau batal demi hukum karena
serta merta ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi.104
Istilah pembatalan bersifat aktif, meskipun syarat-syarat perjanjian telah
dipenuhi, tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berkehendak agar
perjanjian yang dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi dengan alasan tertentu, baik
atas dasar kesepakatan atau dengan mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan
umum, misalnya para pihak telah sepakat untuk membatalkan akta yang pernah
dibuatnya, atau diketahui ada aspek formal akta yang tidak dipenuhi yang tidak
diketahui sebelumnya, dan para pihak ingin membatalkannya.105
Herlien Budiono menguraikan bahwa:
“Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum,
maka dinyatakan dengan istilah yang sederhana “batal”, tetapi adakalanua
menggunakan istilah “batal dan tak berhargalah” (Pasal 879 KUHPerdata) atau
“tidak mempunyai kekuatan” (Pasal 1335 KUHPerdata). Penggunaan istilah-
istilah tersebut cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama
hendak digunakan untuk pengertian yang berbeda untuk “batal demi hukum”
atau “dapat dibatalkan”. Pada Pasal 1446 KUHPerdata dan seterusnya untuk
menyatakan batalnya suatu perbuatan hukum, kita temukan istilah-istilah “batal
demi hukum”, “membatalkannya” (Pasal 1449 KUHPerdata), “pernyataan
batal” (Pasal 1451 – 1452 KUHPerdata), “gugur” (Pasal 1545 KUHPerdata),
dan “gugur demi hukum” (Pasal 1553 KUHPerdata).”

103
Ibid.

104
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum, hlm. 58.

105
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 67.

Universitas Indonesia
50

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta notaris dan
notaris, jika suatu akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka:106
1. para pihak datang kembali ke notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta
tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para
pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut;107
2. jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu
pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta
notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang
memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta notaris yang
sudah didegradasikan. Apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan, hal ini
tergantung pembuktian dan penilaian hakim.108
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta
yang dibuat notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan
berupa tuntutan ganti rugi kepada notaris yang bersangkutan dengan kewajiban
penggugat dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan
akibat langsung dari akta notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat
membuktikan apa saja yang dilanggar oleh notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan
aspek materiil atas akta notaris.
Akta notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika
ada prosedur yang tidak dipenuhi, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat
dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu maka nilai pembuktiannya diserahkan
kepada Hakim.109

106
Ibid., hlm. 11.

107
Ibid. Menurut Habib Adjie, pembatalan dengan cara seperti ini selaras dengan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1420 K/Sip/1978, tanggal 1 Mei 1979, bahwa pengadilan
tidak dapat membatalkan suatu akta notaris, tetapi hanya dapat menyatakan akta notaris yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. berarti hanya para pihaklah yang dapat
membatalkannya.

108
Ibid.

109
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 55.

Universitas Indonesia
51

2.2.6. Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta


Notaris diberi kewenangan dalam pembuatan suatu akta autentik, oleh karena
itu notaris yang bersangkutan berkewajiban memenuhi segala persyaratan yang telah
ditentukan, khususnya dalam pembuatan akta agar akta yang dibuat tersebut memenuhi
segala persyaratan sebagai akta autentik. Konsekuensi yang timbul atas kewenangan
tersebut adalah notaris tersebut harus bertanggungjawab dan apabila terjadi pelanggaran
atau penyimpangan persyaratan pembuatan akta yang dibuatnya, maka akan membawa
akibat terhadap tidak sahnya akta yang dibuat oleh notaris tersebut.110
Dalam melaksanakan tugasnya sesuai undang-undang, notaris berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya mempunyai tanggung jawab terhadap jabatannya serta
tanggung jawab kepada kliennya dalam membuat akta. Menurut Sudarsono, tanggung
jawab adalah keharusan kepada seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa
yang telah diwajibkan kepadanya. Obyek tanggung jawab adalah tindakan yang
sungguh-sungguh manusiawi bertolak dari bagian manusia yang bertindak melalui
kehendak bebas.”111
Tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan
kebenaran materiil dibedakan dalam:
1. tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta
yang dibuatnya;
2. tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil akta yang
dibuatnya;
3. tanggungjawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris terhadap kebenaran
materiil dalam akta yang dibuatnya; dan
4. tanggungjawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik
notaris.112

Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, (Surabaya:


110

Mandar Maju, 2011), hlm. 17.

111
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 84.

112
Anshori, Lembaga Kenotariatan, hlm. 34.

Universitas Indonesia
52

Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap kewajiban yang diemban notaris


berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, mengakibatkan ketidakteraturan yang
sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum yang bersangkutan. Oleh karena itu
fungsi sanksi diterapkan sebagai instrumen yuridis yang biasanya diberikan apabila
kewajiban-kewajiban yang ditentukan telah dilanggar. Sanksi kepada notaris merupakan
penyadaran bahwa notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar
ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan notaris sebagaimana
tercantum dalam UUJN, dan untuk mengembalikan tindakan notaris dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN. Pasal 84 dan
Pasal 85 UUJN mengatur mengenai 2 (dua) macam sanksi terhadap notaris, yaitu sanksi
perdata dan sanksi administratif.113

2.2.6.1. Sanksi Perdata


Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga yang merupakan
akibat yang akan diterima notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang
bersangkutan berubah kekuatan pembuktiannya. Pasal 84 UUJN menyebutkan bahwa
pihak yang dirugikan dengan berubahnya kekuataan pembuktian akta notaris dapat
mengajukan gugatan terhadap notaris. Sanksi perdata dapat dijatuhkan kepada notaris
apabila akta yang dibuatnya hanya mempunyai kekuataan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau menjadi batal demi hukum. Pihak yang karena perbuatannya
menimbulkan kerugian kepada pihak pihak harus bertanggung jawab dan mengganti
kerugian yang timbul karena perbuatan tersebut, termasuk notaris.114
Akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena
melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta bawah tangan. Sedangkan suatu akta
yang batal demi hukum, maka akta tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah
dibuat. Menurut Habib Adjie, sesuatu yang tidak pernah dibuat tidak dapat dijadikan
dasar suatu tuntutan dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Dengan
113
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 90

114
Anita Afriana, “Kedudukan dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pihak dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Indonesia terkait Akta yang Dibuatnya”, Jurnal Poros Hukum Padjajaran, Vol. I,
No. 2 (Mei 2020), hlm. 246-261

Universitas Indonesia
53

demikian, seharusnya suatu akta notaris yang batal demi hukum tidak menimbulkan
akibat untuk memberikan penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada para pihak
yang tersebut dalam akta.115
Berkaitan dengan tanggung jawab notaris secara perdata, R. Wirjono
Prodjodikoro dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban, menyatakan bahwa
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru muncul ketika
orang itu melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum. Sebagian besar
dari perbuatan-perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang dalam KUHPerdata
dinamakan dengan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad).116 Perbuatan
melawan hukum diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab III tentang perikatan-perikatan
dari Pasal 1365 hingga Pasal 1380. Secara lengkap bunyi Pasal 1365 KUHPerdata
adalah bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
orang, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, unsur-unsur perbuatan melawan
hukum adalah sebagai berikut:
a. perbuatan yang melawan hukum;
b. harus ada kesalahan;
c. harus ada kerugian yang ditimbulkan;
d. adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.117
Apabila profesi notaris dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum, maka
apabila notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan suatu
perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang menghadap di dalam
pembuatan suatu akta dan hal itu benar-benar dapat diketahui, bahwa sesuatu yang
dilakukan oleh notaris misalnya bertentangan dengan undang-undang, maka notaris
dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.118
115
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 91

116
R. Wirjono Prodjodikiro, Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari sudut Hukum
Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 80.

117
Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abidin, 1999), hlm.
76.

118
Nico, Tanggung Jawab Notaris, hlm. 86

Universitas Indonesia
54

Namun, apabila notaris yang tugasnya juga memberikan pelayanan kepada


masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau
pembuatan suatu akta, kemudian di dalam akta itu terdapat suatu klausula yang
bertentangan misalnya dengan undang-undang, sehingga menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, sedangkan para pihak yang menghadap sama sekali tidak
mengetahuinya, maka dengan sikap pasif atau diam itu notaris yang bersangkutan dapat
dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata.119
Sejalan dengan hal tersebut, M.A. Moegni Djojodirdjo menyatakan bahwa
Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur ketika seseorang yang mengalami kerugian
karena perbuatan orang lain, maka seseorang itu dapat mengajukan gugatan ganti
kerugian kepada pengadilan negeri. Artinya dalam hal ini terhadap pihak yang dirugikan
dalam pembuatan akta autentik yang dibuat baik oleh maupun di hadapan notaris, dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan supaya notaris mengganti kerugian yang
ditimbulkan.120
Tanggung jawab yang dimiliki oleh notaris menganut prinsip tanggung jawab
berdasarkan kesalahan, dalam pembuatan akta autentik notaris harus bertanggung jawab
apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja
oleh notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para
pihak penghadap, maka sepanjang notaris melaksanakan kewenangannya sesuai
peraturan, notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Hal
tersebut dikarenakan notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak
untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak
adalah menjadi tanggung jawab para pihak.121

119
Ibid.

120
Agnes M. Toar, Kursus Hukum Perikatan tentang Perbuatan Melawan Hukum,
sebagaimana dikutip dalam Makalah Cipto Soenaryo, Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam
Pelayanan kepada Publik sesuai dengan Moral Etika Profesi dan Undang-Undang, (Medan, 2011), hlm.
10

121
Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam
Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, (Yogyakarta: Tesis Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, 2008), hlm. 32.

Universitas Indonesia
55

Habib Adjie menyimpulkan bahwa tuntutan terhadap notaris dalam bentuk


penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga akibat akta notaris mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya:
1. hubungan hukum yang khas antara notaris dengan para penghadap dengan bentuk
sebagai perbuatan melawan hukum;
2. ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketidaktepatan dalam:
a. teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN;
b. penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan
untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai
keilmuan bidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.122
Sebelum notaris dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi
dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa:
1. adanya diderita kerugian;
2. antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari notaris terdapat
hubungan kausal;
3. pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada notaris yang bersangkutan.123

2.2.6.2. Sanksi Administratif


Dalam Pasal 85 UUJN, ditentukan ada 5 (lima) jenis sanksi administratif,
yaitu:
1. teguran lisan;
2. teguran tertulis;
3. pemberhentian sementara;
4. pemberhentian dengan hormat; dan
5. pemberhentian tidak hormat.124
Sanksi-sanksi tersebut berlakunya secara berjenjang mulai dari teguran lisan
sampai dengan pemberhentian tidak hormat, karena notaris melanggar pasal-pasal
122
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 104.

123
Ibid.

124
Ibid., hlm. 109

Universitas Indonesia
56

tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN yaitu pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16
ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1)
huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i,
Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal
32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63.125
Teguran lisan ditempatkan oleh Pasal 85 UUJN pada urutan pertama
pemberian sanksi, yang merupakan suatu peringatan kepada notaris dari majelis
pengawas yang jika tidak dipenuhi ditindaklanjuti dengan sanksi teguran tertulis.
Apabila sanksi tersebut tidak juga dipatuhi oleh notaris yang bersangkutan, maka dapat
dijatuhi sanksi yang berikutnya secara berjenjang. Sebelum menjatuhkan sanksi
administratif berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap notaris tersebut,
ditempuh dulu penjatuhan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, untuk kemudian
mengusulkan pemberian sanksi pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan
6 (enam) bulan dan selanjutnya mengusulkan untuk pemberhentian dengan tidak hormat
dari jabatannya. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada
yang bersangkutan untuk membela diri dan memperbaiki diri.126
Penempatan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis sebagai awal untuk
menjatuhkan sanksi yang selanjutnya bukan termasuk sanksi administratif. Dalam
sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, sebelum dijatuhkan sanksi harus
didahului oleh teguran lisan dan teguran tertulis, hal ini dimasukkan sebagai aspek
prosedur paksaan nyata.127 Pelaksanaan teguran lisan dan maupun tertulis bertujuan
untuk menguji ketepatan dan kecermatan (akurasi) antara teguran lisan dan tertulis
dengan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku.128

125
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps.85.

126
Ibid., hlm. 104

127
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), hlm. 245.

128
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 115.

Universitas Indonesia
57

Menurut Ten Berge, penegakan hukum menyebutkan bahwa instrumen


penegakkan hukum meliputi pengawasan dan penegakkan sanksi. Pengawasan
merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, dan penerapan sanksi
merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.129 Dalam menegakkan
sanksi administratif terhadap notaris, majelis pengawas menjadi instrumen pengawas
yang mengambil langkah-langkah preventif untuk menerapkan sanksi yang represif
serta memaksakan kepatuhan agar sanksi-sanksi tersebut dapat dilaksanakan.130
Langkah-langkah preventif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan secara
berkala 1 (satu) kali dalam satu tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu untuk
memeriksa ketaatan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang dilihat dari
pemeriksaan protokolnya oleh Majelis Pengawas Daerah (“MPD”). 131 MPD kemudian
dapat memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah (“MPW”), jika atas laporan
yang diterima MPD menemukan adanya unsur pidana, kemudian juga dapat
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik
Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris. Jika hasil pemeriksaan MPD
menemukan pelanggaran, maka MPD tidak dapat menunjukkan sanski yang represif
kepada Notaris melainkan hanya dapat melaporkan kepada MPW.
MPW dapat melakukan langkah preventif dengan menyelenggarakan sidang
untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan
melalui MPW dan memanggil notaris sebagai terlapor untuk dilakukan pemeriksaan,
MPW juga memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan MPD. MPW dapat melakukan
langkah represif, yaitu menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanski
ini bersifat final, dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat (MPP) berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam)
bulan, atau pemberhentian dengan tidak hormat.132

Arief B. Sidharta, Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan


129

yang Layak, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1996, hlm. 337

130
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 92.

131
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN
No. 4356, Ps.70.

132
Ibid., Pasal 73

Universitas Indonesia
58

2.2.6.3. Sanksi Pidana


Sanksi pidana terhadap notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas
jabatan notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus
berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal tersebut, yaitu UUJN. Apabila
semua tata cara pembuatan akta sudah ditempuh, suatu hal yang tidak mungkin secara
sengaja notaris melakukan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan akta tersebut.
Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan oleh notaris, merupakan suatu tindakan yang
disadari atau direncanakan dan diinsyafi segala akibat hukumnya, dalam hal notaris
sebagai sumber untuk melakukan kesengajaan bersama-sama dengan para penghadap.
Sanksi pidana terhadap notaris tunduk kepada ketentuan pidana umum, yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). UUJN tidak mengatur mengenai tindak
pidana khusus untuk notaris.133
Banyaknya kasus pidana yang berkaitan dengan profesi jabatan notaris,
sehingga notaris harus dapat mempertanggung jawabkan terhadap akta autentik yang
dibuat dan berindikasi perbuatan pidana, mengharuskan notaris hadir dalam
pemeriksaan awal yaitu penyidikan di tingkat kepolisian, penuntutan di kejaksaan
sampai dengan proses persidangan di pengadilan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan
dapat membuat pengaduan ke pihak Majelis Pengawas Notaris dan kepolisian. Adapun
pasal-pasal tindak pidana yang sering muncul dalam pelaksanaan tugas notaris yaitu
Pasal 263 KUHP juncto Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat.
Pasal 263 KUHP menyebutkan ada (2) dua macam pemalsuan surat, yaitu
membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yang merupakan perbuatan membuat surat
yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar. Dalam hal ini dibuat suatu surat
yang isinya tidak benar namun suratnya sendiri asli karena tidak ada sesuatu yang
dirubah, ditambah ataupun dikurangi. Pemalsuan yang kedua yaitu memalsukan surat
(vervalscht) dengan cara merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian
tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya ada tetapi surat itu kemudian
dilakukan perubahan sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya.134

133
Ibid., hlm. 119

134
Soegeng Santosa, Doddy Radjasa Waluyo, Zulkifli Harahap, “Aspek Pidana Dalam
Pelaksanaan Tugas Notaris”, Majalah Renvoi No. 22, (Maret 2005), hlm 30.

Universitas Indonesia
59

2.2.7. Peran Notaris dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas
Salah satu syarat dari Akta Pendirian PT yang diatur pada Pasal 7 ayat (1)
UUPT adalah cara mendirikan perseroan harus dibuat secara tertius (schriftelijk, in
writing), dalam bentuk akta, yakni:135
1. berbentuk akta notaris, tidak boleh berbentuk akta bawah tangan;
2. keharusan akta pendirian mesti berbentuk akta notaris, tidak hanya berfungsi sebagai
probationis causa. Maksudnya, akta notaris tersebut tidak hanya berfungsi sebagai
alat bukti atas perjanjian pendirian perseroan. Tetapi, akta notaris itu berdasar Pasal 7
ayat (1) UUPT, sekaligus bersifat dan berfungsi sebagai solemnitatis causa yakni
apabila tidak dibuat dalam akta notaris, akta pendirian perseroan itu tidak memenuhi
syarat, sehingga terhadapnya tidak dapat diberikan pengesahan oleh pemerintah
dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(“Kemenkumham”).
Menurut Dr. Mulyoto, di masa lalu pihak Kemenkumham turut membantu atas
kebenaran secara keseluruhan akta pendirian PT demikian juga yang berlaku dalam hal
perubahan AD yang memerlukan persetujuan menteri. Hal tersebut dikarenakan di masa
lalu permohonan pengesahan atas akta pendirian PT, salinan akta pendirian PT dikirim
ke Kemenkumham kemudian dikoreksi oleh korektor, jika ada kesalahan di coret-coret
dan diberi catatan pembetulan kemudian dikirim kembali ke kantor notaris untuk
dibetulkan.136
Dr. Mulyoto menyatakan lebih lanjut bahwa sekarang ini segala sesuatu
diusahakan dengan serba cepat, praktis, efisien dan menghindarkan sejauh mungkin
kontak person (face to face) untuk menghindari kolusi dan sebagainya, yaitu dengan
diterapkannya Sistem Administrasi Badan Hukum (“SABH”) dimana segala sesuatunya
dilakukan secara elektronik melalui internet. Untuk keperluan mendapatkan pengesahan
atas akta pendirian PT, notaris tidak lagi harus mengirimkan dokumen fisik ke

135
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 168.

136
Mulyoto, Pertanggungjawaban Notaris, hlm. 14.

Universitas Indonesia
60

Kemenkumham, melainkan notaris selaku kuasa dari pendiri PT cukup memasukkan


sebagian data.137
Selain berperan untuk membuat akta pendirian perseroan, peran notaris lainnya
yang berkaitan dengan PT yaitu membuat akta atas penyelenggaraan RUPS yang
diselenggarakan perseroan. Berkaitan dengan fungsinya sebagai pejabat umum, notaris
oleh undang-undang diberi kewenangan untuk menuangkan semua perbuatan, perjanjian
dan penetapan yang dikehendaki oleh para pemegang saham untuk ke dalam sebuah
akta. Hal tersebut agar akta yang dibuatnya tersebut memiliki kekuatan bukti yang
sempurna untuk dimintakan pengesahan kepada pemerintah.
Mengenai penyelenggaraan RUPS, menurut Yahya Harahap “setiap
penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalahnya”. Oleh karena itu, pembuatannya
bersifat imperatif (mandatory rule). RUPS yang tidak dibuat risalahnya, tidak sah dan
dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam
RUPS tidak dapat dilaksanakan. Dalam penyelenggaraan RUPS, Notaris selaku Pejabat
Umum berwenang untuk membuatkan akta autentik/akta notaris atas pelaksanaan RUPS
tersebut. Terdapat 2 (dua) jenis akta autentik berkaitan dengan RUPS, yaitu:
1. akta Berita Acara RUPS; dan
2. akta Pernyataan Keputusan RUPS.
Kedua jenis akta tersebut melahirkan pertanggungjawaban yang berbeda bagi notaris
yang membuatnya. Akta berita acara RUPS adalah termasuk akta relaas yang
menguraikan secara autentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang
dilihat atau disaksikan notaris sebagai pembuat akta itu. Akta yang dibuat sedemikian
dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu
dinamakan akta yang dibuat oleh.
Sedangkan akta Pernyataan Keputusan RUPS merupakan akta para pihak atau
partij akta yang berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang
dilakukan oleh orang-orang (para pihak) di hadapan notaris. Artinya yang diterangkan
atau yang diceritakan oleh orang-orang ataupun para pihak yang menghadap kepada
notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak/orang-orang itu
sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu, atau melakukan
perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatannya itu dikonstatir

137
Ibid.

Universitas Indonesia
61

(diformulasikan) oleh notaris di dalam suatu akta autentik. Akta yang sedemikian itu
dinamakan akta yang dibuat di hadapan notaris.

2.3. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Palembang 43/PDT.G/2017.PN.PLG


Pada 18 April 2008, IA yang merupakan salah satu pemegang saham dan juga
menjabat sebagai direktur utama PT XYZ memprakarsai penyelenggaraan RUPSLB
dengan agenda untuk merubah AD perseroan, merubah susunan pemegang saham dan
merubah susunan direksi serta komisaris. PT XYZ sendiri sahamnya dimiliki oleh 4
(empat) orang pemegang saham yaitu IA, ET, AB dan AP. Ketiga pemegang saham
kecuali ET hadir dalam RUPSLB tersebut dengan mewakili 80% (delapan puluh persen)
dari total keseluruhan saham perseroan. Ketiga pemegang saham tersebut menyetujui
seluruh keputusan yang dibahas dalam rapat.
IA kemudian menghadap Notaris HJ untuk meminta agar risalah RUPSLB
tersebut dibuatkan akta PKR. Dalam keterangannya kepada Notaris HJ, IA menyatakan
bahwa keputusan yang diambil dalam RUPSLB tersebut telah disetujui oleh seluruh
pemegang saham perseroan termasuk ET yang dibuktikan dengan tanda tangan ET
dalam risalah RUPSLB tersebut. Pada tahun 2016, ET baru mengetahui bahwa pada 18
April 2008 telah diselenggarakan RUPSLB tanpa sepengetahuannya. ET merasa tidak
pernah menerima undangan atas pemanggilan rapat RUPSLB tersebut sehingga
keterangan yang menyatakan dirinya hadir dan tanda tangannya pada risalah RUPSLB
di tahun 2008 tersebut adalah palsu.
Keputusan yang diambil dalam RUPSLB PT XYZ pada 18 April tersebut
dianggap telah merugikan dirinya baik sebagai pemegang saham maupun direktur
perseroan PT XYZ. ET kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
Palembang untuk meminta pengadilan membatalkan RUPSLB dan akta PKR Nomor 2
tanggal 23 April 2008 yang dibuat dihadapan Notaris HJ.
Pada jalannya persidangan, para tergugat yang terdiri dari pemegang saham IA,
AB, AP menyatakan pemanggilan rapat telah dilakukan sebelum penyelenggaraan
RUPSLB dan ET dinyatakan telah menerima pemanggilan tersebut. Namun para
tergugat termasuk Notaris HJ sebagai turut tergugat tidak dapat menunjukkan warkah-
warkah yang membuktikan bahwa pemanggilan rapat benar telah dilakukan, seperti

Universitas Indonesia
62

salinan surat tercatat atau pemberitahuan rapat, salinan tanda terima pemberitahuan
rapat dan salinan dari daftar hadir rapat itu sendiri.
Para tergugat menyatakan pengambilan keputusan dalam RUPS adalah sah
dikarenakan ketiga pemegang saham yang secara bersama-sama mewakili 80% (delapan
puluh) saham telah hadir dan menyetujui agenda rapat dalam RUPSLB tersebut,
sehingga kehadiran dan hak suara ET tidak lagi diperlukan. Para tergugat juga
menyatakan bahwa apabila ET sebagai penggugat merasa keterangan atas kehadiran
dirinya pada saat RUPSLB adalah tidak benar dan tanda tangan dirinya pada risalah
rapat adalah palsu, seharusnya ET melaporkan IA atas tuduhan pemalsuan keterangan
dan tanda tangan ke pihak kepolisian bukan malah mengajukan gugatan untuk
membatalkan akta PKR atas RUPSLB tersebut ke pengadilan negeri.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun kuorum
atas pengambilan keputusan rapat tanpa kehadiran ET telah terpenuhi sesuai ketentuan
Pasal 86 UUPT, pelaksanaan pemanggilan rapat harus tetap dilaksanakan sesuai
ketentuan UUPT dan Pasal 22 Anggaran Dasar PT XYZ yaitu 7 (tujuh) hari sebelum
diselenggarakannya RUPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim
memutuskan bahwa risalah RUPSLB cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
Berdasarkan risalah RUPSLB yang dinyatakan cacat hukum dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat tersebut, maka akta PKR Nomor 2 tanggal 23 April
2008 yang dibuat IA selaku Tergugat dihadapan turut tergugat Notaris HJ juga
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Para tergugat termasuk Notaris HJ
juga dihukum secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara.

2.4. Asas Kepastian Hukum dalam Pembuatan Akta


Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan
beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan
aksi manusia yang deliberative. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik
dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan

Universitas Indonesia
63

tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.138
Dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas-asas hukum yang menjadi
dasar pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum dapat
diartikan sebagai “jantungnya” peraturan hukum.139 Dalam pembentukan aturan hukum,
terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas
tersebut ialah kepastian hukum. Gagasan mengenai asas kepastian hukum ini awalnya
diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam bukunya yang berjudul “einführung in die
rechtswissenschaften”. Radbruch menuliskan bahwa di dalam hukum terdapat 3 (tiga)
nilai dasar, yakni keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan
kepastian hukum (rechtssicherheit).140
Sejatinya keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah
pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan.
Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi
yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu.141 Kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum saat ini sangat krusial dan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga setiap
elemen-elemen dalam masyarakat yang berhubungan baik langsung maupun tidak
langsung dengan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut haruslah memiliki
parameter yang sama yaitu tercapainya kepastian hukum.142
Peningkatan kebutuhan akan jaminan kepastian hukum ini berakibat dengan
semakin dibutuhkannya keberadaan notaris untuk pembuatan akta dalam semua aspek
perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Profesi notaris sangatlah penting

138
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58.

139
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 45.

140
Ibid., hlm. 19.

141
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 2.

142
Abdul Hakim, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998), hlm. 70.

Universitas Indonesia
64

karena sifat dan hakikat dari pekerjaaan notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi,
sehingga dapat menjadi fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan
kewajiban para pihak yang terlibat. Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang
notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris.143
Profesi notaris merupakan profesi yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat untuk pembuatan alat-alat bukti yang berupa akta, sehingga notaris tidak
memihak kesalah satu pihak dan harus berprilaku adil terhadap kedua belah pihak serta
menjelaskan akibat-akibat perjanjian yang dibuatnya terhadap masing-masing. Tugas
dan wewenang notaris erat hubungannya dengan perjanjian-perjanjian, perbuatan-
perbuatan dan juga ketetapan-ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara
para pihak, yaitu memberikan jaminan atau alat bukti terhadap perbuatan, perjanjian,
dan juga ketetapan tersebut agar para pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai
kepastian hukum.144

143
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm.51.

144
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 32.

Universitas Indonesia
BAB 3
AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM
PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN PASAL 81 UNDANG-
UNDANG PERSEROAN TERBATAS (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)

3.1. Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
yang Tidak Sesuai dengan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas

Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum memiliki peran


untuk memberikan kepastian hukum dalam masyarakat khususnya yang berkaitan
dengan hubungan hukum keperdataan. Untuk dapat menciptakan suatu kepastian hukum
perdata di masyarakat, dalam menjalankan jabatannya notaris harus menjalankan
jabatannya dengan berlandaskan asas kepastian hukum,0 artinya notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum
yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan
dalam akta.

Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku sepatutnya akan


memberikan kepastian bagi para pihak yang melakukan perjanjian dalam akta, bahwa
akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan dikemudian hari, akta tersebut dapat
dijadikan pedoman untuk menyelesaikan masalah diantara para pihak.0 Notaris dalam
menjalankan jabatannya harus berdasarkan asas kepastian hukum tersebut, sehingga
walaupun notaris tidak bertanggungjawab atas keterangan para pihak, namun notaris
tetap harus menelaah keterangan para pihak tersebut agar apa yang hendak dituangkan
ke dalam akta bukan merupakan keterangan atau kesepakatan yang bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku.

Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat


dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Notaris harus mempertimbangkan dan melihat

0
Putri A. R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, (Medan: Sofmedia, 2011), hlm. 21-31.

0
Habib Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan tulisan Tentang
Notaris dan PPAT, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 185.
66

semua dokumen yang diperlihatkan kepadanya sebelum membuat akta, meneliti semua
bukti yang ditunjukkan dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak
secara seksama. Peran utama notaris dalam menciptakan kepastian hukum di
masyarakat adalah dengan pembuatan akta, baik akta partij maupun akta relaas.
Berkaitan dengan peran notaris dalam Perseroan Terbatas (“PT”), notaris menciptakan
otentisitas dari akta yang dibuatnya berisi kehendak-kehendak para pemegang saham
dalam memutuskan hal-hal terkait keberlangsungan perseroan. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), wewenang untuk
mengambil keputusan dalam perseroan tersebut diberikan kepada Rapat Umum
Pemegang Saham (“RUPS”).

Dalam penyelenggaraan RUPS sebuah PT, notaris berdasarkan jabatannya


berwenang untuk membuatkan akta autentik/akta notaris atas pelaksanaan RUPS
tersebut, baik berbentuk Akta Berita Acara RUPS atau akta Pernyataan Keputusan
Rapat (“PKR”). Akta Berita Acara RUPS merupakan akta relaas, sedangkan akta PKR
merupakan akta para pihak atau partij acta yang berisikan uraian atau keterangan,
pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan notaris untuk
dikonstatir (diformulasikan) sedemikian rupa oleh notaris ke dalam suatu akta autentik.
Akta yang sedemikian itu dinamakan akta yang dibuat di hadapan notaris.

Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata (“KUHPerdata”) yang merupakan sumber untuk otentisitas akta notaris, Akta
PKR PT XYZ Nomor 2 tanggal 23 April 2008 yang dibuat oleh Notaris HJ telah
memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai akta autentik karena:

1. akta tersebut dibuat dihadapan Notaris HJ yang bertindak sebagai seorang pejabat
umum;

2. akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan
Notaris (“UUJN”); dan

3. Notaris HJ sebagai pejabat umum yang membuat akta PKR tersebut mempunyai
kewenangan untuk membuat akta sesuai kewenangannya dalam UUJN.

Universitas Indonesia
67

Berdasarkan sifatnya sebagai akta autentik maka akta PKR PT XYZ tersebut
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga kebenaran dan nilai
pembuktian akta tersebut tidak diragukan lagi apabila digunakan sebagai alat bukti di
pengadilan. Semua pihak yang terlibat dalam akta tersebut terikat untuk mematuhi apa
yang tercantum di dalamnya tanpa dapat ditafsirkan lain. Pembatalan daya ikat akta
notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum
dalam akta.

Seperti yang telah diuraikan dalam Bab 2 sebelumnya, akta PKR yang menjadi
obyek sengketa dalam perkara Putusan Pengadilan 43/PDT.G/2017.PN.PLG adalah akta
partij yang dibuat Notaris HJ selaku turut tergugat atas penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa (“RUPSLB”) PT XYZ pada tanggal 18 April 2008.
Penghadap akta adalah IA yang merupakan pemegang saham dan direktur utama PT
XYZ. IA menerangkan bahwa PT XYZ telah menyelenggarakan RUPSLB untuk
menyetujui beberapa keputusan yaitu penyesuaian Anggaran Dasar (“AD”) perseroan
dengan UUPT, perubahan kepemilikan pemegang saham dan perubahan susunan direksi
perseroan. IA menyatakan dalam keterangannya kepada Notaris HJ bahwa seluruh
pemegang saham hadir dan menyetujui secara bulat keputusan yang diambil dalam
RUPSLB tersebut. Padahal, ET selaku direktur dan juga pemilik atas 20% (dua puluh
persen) saham perseroan baru mengetahui perihal mengenai pelaksanaan RUPSLB
tersebut di tahun 2016 sehingga sangat mustahil bagi ET untuk hadir dan
menandatangani risalah RUPSLB di tahun 2008 tersebut.

ET yang merasa dirugikan atas keputusan yang diambil dalam RUPSLB


tersebut kemudian mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Palembang untuk
menyatakan RUPSLB PT XYZ di tahun 2008 tersebut adalah cacat hukum dan tidak
memiliki kekuatan berlaku secara yuridis serta menyatakan akta PKR Nomor 2 tanggal
23 April 2008 yang telah diterbitkan atas RUPSLB tersebut menjadi cacat hukum
sehingga batal dan juga tidak memiliki kekuatan berlaku secara yuridis. ET selaku
penggugat menggugat para tergugat yang bersama-sama terdiri dari IA bersama 2 (dua)
pemegang saham PT XYZ lainnya, yaitu AB dan AP serta Notaris HJ selaku pembuat
akta PKR sebagai turut tergugat.

Universitas Indonesia
68

Akta notaris sesuai dengan fungsi yuridisnya berlaku sebagai akta autentik
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) tentang
apa yang dimuat di dalamnya dan mengikat (bindende bewijskracht) kepada para pihak
yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak dari mereka. Kekuatan
pembuktian akta autentik diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang mengatakan
bahwa suatu akta autentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli
warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat didalamnya.

Berdasarkan kekuatan yang melekat pada akta autentik, maka dengan demikian
kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum dalam akta PKR Nomor 2 tanggal 23
April 2008 menjadi sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang
disebut dalam akta. Sehingga, apabila diajukan suatu gugatan untuk membatalkan isi
dari akta PKR tersebut, Penggugat ET harus membuktikan terlebih dahulu bahwa unsur
nilai pembuktian akta PKR sebagai akta autentik tidak terpenuhi agar akta tersebut
kekuatan pembuktiannya terdegradasi menjadi akta berkekuatan di bawah tangan.

Apabila akta PKR PT XYZ yang dibuat oleh Notaris HJ dikaitkan dengan
kekuatan nilai pembuktian yang bersifat lahiriah (uitwendige bewijskracht) dan formal
(formele bewijskracht), maka akta PKR tersebut telah mampu membuktikan
keabsahannya sebagai sebuah akta autentik (acta publica probant sese ipsa). Parameter
untuk menentukan akta notaris sebagai akta autentik secara lahiriah, yaitu tanda tangan
dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya
awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Selama jalannya persidangan,
baik ET dalam gugatannya maupun majelis hakim dalam pertimbangan putusannya,
sama sekali tidak menyebutkan dalil yang berkaitan dengan tanda tangan Notaris HJ
ataupun atau awal serta dan akhir akta PKR yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya
sehingga dapat disimpulkan bahwa akta PKR atas RUPSLB PT XYZ di tahun 2008
tersebut telah terpenuhi unsur kekuatan pembuktian lahiriahnya sebagai akta autentik.

Berkaitan dengan kekuatan pembuktian formal akta notaris, akta PKR PT XYZ
yang menjadi obyek perkara tersebut telah memberikan kepastian bahwa kejadian dan
fakta atas penyelenggaraan RUPS pada tahun 2008 benar-benar terjadi dan diterangkan

Universitas Indonesia
69

oleh IA selaku penghadap dan tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah
ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal, akta PKR tersebut membuktikan
kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, waktu menghadapnya IA
kepada Notaris HJ serta membuktikan kebenaran atas paraf dan tanda tangan IA selaku
penghadap, saksi dan Notaris HJ selaku pejabat yang berwenang membuat akta PKR
tersebut.

Pada jalannya persidangan, baik ET dalam gugatannya maupun majelis hakim


dalam pertimbangan putusannya tidak menyebutkan dalil untuk menyangkal aspek
formal akta PKR tersebut seperti misalnya bahwa IA selaku penghadap dapat disangkal
kehadirannya pada saat menghadap Notaris HJ pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta
pukul yang tersebut dalam awal akta, atau dinyatakan tanda tangan IA selaku
penghadap yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Berdasarkan tidak
adanya dalil dalam persidangan yang menyangkal aspek formal akta PKR PT XYZ yang
disengketakan, maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian formal akta PKR
atas risalah RUPSLB PT XYZ sebagai akta autentik telah terpenuhi unsurnya.

Nilai pembuktian materil akta (materiele bewijskracht) merupakan kepastian


tentang materi suatu akta, bahwa apa yang dicantumkan dalam akta merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta, kecuali ada pembuktian
sebaliknya (tegenbewijs). Apabila dikaitkan dengan kekuatan pembuktian material,
maka akta PKR yang dibuat oleh Notaris HJ atas keterangan yang diberikan IA
dihadapannya mengenai RUPSLB PT XYZ telah dinilai benar dan mempunya kepastian
sebagai yang sebenarnya serta menjadi bukti yang sah untuk atau di antara para
pemegang saham sebagai pihak yang terikat di dalamnya.

Untuk membuktikan aspek materiil dari akta PKR dalam kasus PT XYZ, maka
ET sebagai pihak yang menderita kerugian atas adanya akta PKR tersebut dalam
persidangan harus dapat membuktikan bahwa keterangan yang diberikan IA selaku
penghadap akta di hadapan notaris menjadi tidak benar. Dalam gugatannya, ET
menyatakan beberapa hal untuk menyangkal isi dari akta PKR atas RUPSLB yang
menjadi obyek sengketa sebagai berikut:

Universitas Indonesia
70

1. bahwa tidak benar apabila ET pernah menerima undangan atas pemanggilan


RUPSLB PT XYZ yang diadakan pada tanggal 18 April 2008;

2. bahwa tidak benar apabila ET hadir dalam RUPSLB PT XYZ yang dilaksanakan
pada 18 April 2008 tersebut di Jl. H. Faqih Umar, Palembang;

3. bahwa tidak benar apabila ET menandatangani risalah RUPSLB atas persetujuan


agenda rapat;

4. bahwa tidak benar apabila tanda tangan yang tercantum dalam RUPSLB PT XYZ
tertanggal 18 April 2008 tersebut adalah tanda tangan dirinya.

Untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya di muka pengadilan, ET


mengajukan beberapa alat bukti tertulis antara lain seperti salinan risalah RUPSLB PT
XYZ yang didalilkan para tergugat telah ditandatangani oleh ET, salinan Kartu Tanda
Penduduk (“KTP”) dan salinan passport ET. Dalam pertimbangan putusan, majelis
hakim menyatakan bahwa secara kasat mata, tanda tangan ET yang tertera dalam risalah
RUPSLB PT XYZ tertanggal 18 April 2008 adalah sangat berbeda dengan yang
tercantum dalam KTP dan passport ET. Bukti-bukti tertulis yang menunjukkan bahwa
pemanggilan rapat atas RUPSLB di tanggal 18 April 2008 tersebut juga tidak pernah
dihadirkan dalam persidangan, terutama oleh para tergugat.

Hal tersebut menunjukkan bahwa keterangan yang didalilkan ET dalam


persidangan terbukti dapat menyangkal keterangan yang diberikan IA selaku penghadap
akta kepada Notaris HJ mengenai RUPSLB yang diselenggarakan pada 18 April 2008
tersebut. Dengan demikian, nilai pembuktian materil atas akta PKR yang disengketakan
menjadi tidak terpenuhi, sehingga kekuatan pembuktian akta PKR tersebut sebagai akta
autentik menjadi tidak utuh. Akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna sehingga akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau
ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. 0 Berkaitan dengan akta PKR
PT XYZ yang dalam persidangan dapat dibuktikan bahwa aspek pembuktian materilnya

0
Habib Adjie, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 48

Universitas Indonesia
71

tidak terpenuhi, maka akta PKR tersebut telah terdegradasi kekuatan pembuktiannya
menjadi akta dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan.

Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak


mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari satu pihak. Menurut Pasal 1875
KUHPerdata, jika para pihak mengakuinya maka akta di bawah tangan mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta autentik. Namun jika ada salah
satu pihak yang tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang
menyangkal akta tersebut. Penilaian atas penyangkalan bukti tersebut diserahkan kepada
majelis hakim untuk dapat menafsirkan dan memutus keabsahan atas akta yang
disengketakan.

Setelah dapat membuktikan bahwa nilai pembuktian akta PKR PT XYZ kini
hanya bersifat di bawah tangan, maka selanjutnya adalah tugas majelis hakim untuk
menilai keabsahan dari akta tersebut berdasarkan keterangan dan bukti-bukti yang
diajukan para pihak yang bersengketa dalam persidangan. Parameter untuk mengukur
keabsahan suatu akta adalah dengan menilai keabsahan dan kebenaran peristiwa hukum
yang terjadi di dalamnya, karena sejatinya suatu akta partij atau akta para pihak
berisikan keterangan-keterangan yang diceritakan atau diterangkan pihak yang
menghadap kepada notaris agar keterangan tersebut dituangkan dalam suatu akta.

Peristiwa hukum yang dimuat dalam akta PKR Nomor 2 tertanggal 23 April
2008 adalah RUPSLB PT XYZ yang diselenggarakan pada 18 April 2008. Sehingga,
untuk menilai keabsahan akta PKR tersebut, maka prosedur atas penyelenggaraan
RUPSLB harus dianalisa terlebih dahulu kesesuaiannya terhadap tata cara pelaksanaan
RUPS oleh UUPT dan AD PT XYZ itu sendiri. Tata cara pelaksanaan RUPS
sebagaimana diatur dalam UUPT tidak hanya menentukan persyaratan material yang
harus dipenuhi pada saat jalannya RUPS seperti keputusan yang diambil dalam rapat,
namun juga mengatur persyaratan formil sebelum RUPS tersebut dilangsungkan yaitu
mengenai pemanggilan rapat.

Berkaitan dengan pemanggilan rapat, penggugat menyatakan bahwa dirinya


tidak pernah menerima pemberitahuan apapun sebelum RUPSLB PT XYZ

Universitas Indonesia
72

dilangsungkan pada 18 April 2008. Para tergugat dalam jawabannya terhadap


pernyataan penggugat tersebut menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa sebelum dilaksanakannya RUPS, seluruh pemegang saham sudah


diberikan undangan untuk menghadiri RUPS dimaksud, termasuk dalam hal ini
adalah Penggugat juga pasti sudah diberikan surat undangan untuk pelaksanaan
RUPS tersebut.”0

Pada jalannya persidangan, para tergugat bersama-sama dengan Notaris HJ


selaku turut tergugat tidak pernah mengajukan pernyataan terkait waktu atas
pelaksanaan pemanggilan rapat sebelum RUPSLB diselenggarakan, baik dalam tenggat
waktu 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan rapat sesuai Pasal 22 AD perseroan atau
diluar tenggat waktu tersebut. Para tergugat dalam mengajukan bukti-bukti tertulis di
persidangan juga tidak pernah menyerahkan salinan atas bukti pemanggilan rapat
tersebut seperti misalnya bukti salinan atas surat tercatat dan/atau iklan dalam surat
kabar mengenai pemberitahuan rencana rapat maupun salinan tanda terima atas
undangan pemanggilan rapat yang telah diterima Penggugat ET. Notaris HJ selaku
pejabat yang membuat akta PKR atas risalah RUPSLB yang disengketakan tersebut
juga tidak pernah hadir dalam persidangan untuk membuktikan bahwa apa yang
dinyatakan penggugat adalah tidak benar, sehingga majelis hakim menyatakan dalam
pertimbangannya bahwa apa yang didalilkan oleh para tergugat bahwa pemanggilan
rapat telah dilakukan dan Penggugat ET telah diberikan surat undangan atas
pemanggilan rapat tersebut adalah tidak benar.

Syarat sah pemanggilan RUPS diatur dalam Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) UUPT yaitu dilakukan minimal dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum tanggal RUPS diadakan, berbentuk surat tercatat dan/atau iklan dalam
surat kabar serta mencantumkan tanggal, waktu, tempat dan mata acara yang akan
0
Pengadilan Negeri Palembang, Putusan Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG.

Universitas Indonesia
73

dibicarakan dalam RUPS. Pasal 82 ayat (5) kemudian menjelaskan akibat hukum
apabila pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan syarat-syarat tersebut yaitu bahwa
RUPS tetap dapat dilangsungkan dan keputusannya berlaku sah selama semua
pemegang saham dengan hak suara hadir dan keputusan yang diambil dapat RUPS
tersebut disetujui dengan suara bulat.

Merujuk pada ketentuan mengenai syarat sah pemanggilan RUPS sesuai UUPT
tersebut, maka keputusan yang diambil dalam RUPSLB PT XYZ pada tanggal 18 April
2008 adalah menjadi tidak sah, karena selain pemanggilan RUPS yang tidak
dilaksanakan oleh direksi maupun komisaris PT XYZ, ET selaku pemegang saham
dalam perseroan juga tidak hadir dan menyetujui agenda rapat yang diputuskan dalam
RUPSLB tersebut. Berdasarkan penyelenggaraan RUPSLB yang tidak sah, maka sudah
sepatutnya risalah atas RUPSLB PT XYZ tertanggal 18 April 2008 juga dinyatakan
sebagai cacat hukum dan tidak sah mengikat para pemegang saham yang terikat dalam
akta tersebut.

Atas risalah RUPSLB PT XYZ yang cacat hukum, maka gugatan yang
diajukan oleh Penggugat ET adalah untuk membatalkan akta PKR Nomor 2 tertanggal
23 April 2008 yang dibuat Notaris HJ. Gugatan tersebut diajukan berdasarkan fakta
bahwa walaupun keputusan yang diambil dalam RUPSLB sebagaimana tertuang dalam
risalah rapat tersebut adalah tidak sah, tetapi akta yang memuat keterangan dan
persetujuan atas RUPSLB tersebut telah diterbitkan oleh notaris dan berlaku mengikat
bagi para pihak yang terlibat di dalamnya hingga adanya putusan perkara perdata yang
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan sebaliknya.

Hal tersebut berdasarkan penerapan Asas Praduga Sah (Vermoeden van


Rechmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa, yang mana akta notaris sebagai produk
yang sah dikeluarkan oleh pejabat umum harus diakui kebenarannya dan dianggap sah
sampai ada yang membuktikan sebaliknya atau menyatakan akta tersebut tidak sah.
Pembuktian untuk menyatakan bahwa sebuah akta notaris adalah tidak sah harus
dilakukan dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan. Selama gugatan berjalan
hingga ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akta
notaris tetap sah dan mengikat para pihak yang berkepentingan dengan akta tersebut.

Universitas Indonesia
74

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa persyaratan


pengambilan keputusan memang telah terpenuhi karena RUPSLB pada tanggal 18 April
2008 tersebut telah dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili lebih dari ½ (satu
perdua) dari jumlah seluruh saham, akan tetapi syarat pemanggilan rapat terhadap
pemegang saham tidak terpenuhi karena tidak dilakukan dalam waktu paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum diselenggarakan rapat sesuai ketentuan Pasal 22 AD PT XYZ.

Lebih lanjut dalam pertimbangannya, majelis hakim menegaskan bahwa terkait


pemanggilan RUPS yang dimaksud, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para
pihak, khususnya oleh tergugat tidak pernah diajukan dalam persidangan. Fakta bahwa
Notaris HJ sebagai pembuat akta tidak hadir dalam persidangan menjadi pembenaran
atas apa yang didalilkan oleh Penggugat ET bahwa keterangan bahwa dirinya hadir dan
ikut bertandatangan dalam risalah RUPSLB tersebut adalah tidak benar. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, pengadilan mengabulkan gugatan ET untuk
menyatakan bahwa risalah RUPSLB PT XYZ tanggal 18 April 2008 cacat hukum dan
tidak mempunyai kekuatan mengikat. Akta PKR Nomor 2 tanggal 23 April 2008 yang
dibuat oleh Notaris HJ dan segala dokumen yang dibuat berdasarkan akta PKR tersebut
juga tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan pengadilan tersebut juga
menghukum para tergugat dan Notaris HJ selaku turut tergugat secara tanggung renteng
untuk membayar perkara.

Atas akta yang dinyatakan menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat,


sejatinya sama dengan akta yang batal karena isi atas akta tersebut sama-sama tidak
dapat diberlakukan kepada pihak yang terikat di dalamnya. Menurut pendapat Herlien
Budiono, ketika undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum, maka
dinyatakan dengan istilah yang sederhana “batal”, atau “tidak mempunyai kekuatan”
seperti yang diatur dalam KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata mengatur bahwa
kontrak dilarang untuk dibuat tanpa causa, atau dibuat berdasarkan causa yang palsu
atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan. Ketentuan
tersebut menjadi dasar hukum majelis hakim dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri
Palembang 43/PDT.G/2017.PN.PLG untuk menyatakan akta PKR PT XYZ tidak
mempunyai kekuatan mengikat, karena pada dasarnya akta tersebut dibuat berdasarkan

Universitas Indonesia
75

keterangan palsu Penghadap IA yang menyatakan bahwa seluruh pemegang saham telah
menyetujui keputusan yang diambil dalam RUPS tertanggal 18 April 2003 tersebut.

Atas akta notaris yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat, maka isi
akta tersebut tidak lagi dapat diterapkan kepada para pihak, namun eksistensi lahiriah
atas akta tersebut tetap ada karena unsur-unsur yang menyatakan bahwa akta PKR
tersebut adalah akta notaris telah terpenuhi. Notaris HJ secara prosedural telah membuat
akta PKR tersebut berdasarkan ketentuan undang-undang, hanya saja isi atas akta
tersebut yang dinyatakan cacat hukum karena tindakan hukum yang terjadi di dalam isi
akta tersebut yaitu pelaksanaan RUPSLB dapat dibuktikan dalam persidangan tidak
sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga menyebabkan isi dari akta tersebut tidak
lagi memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Keberadaan
akta PKR tersebut sebagai akta notaris masih diakui sehingga notaris tetap wajib
menyimpan akta tersebut dalam reportorium dan buku daftar akta sehingga kronologi
yang runtut atas penyelenggaraan RUPSLB sebagai perbuatan hukum PT XYZ tersebut
tetap tercatat.

Apabila dikaitkan dengan penerapan UUPT mengenai prosedur pelaksanaan


RUPS, maka penulis setuju dengan Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/PDT.G/2017.PN.PLG yang menyatakan bahwa risalah RUPSLB dan akta PKR atas
RUPSLB tersebut adalah cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat untuk
diterapkan kepada para pihak yang berkepentingan. Namun penulis tidak setuju dengan
beberapa hal yang termuat dalam pertimbangan majelis hakim yang menyatakan:

“Menimbang, bahwa menurut majelis, walaupun persyaratan pengambilan


keputusan dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang saham yang
mewakili lebih dari ½ (satu perdua) dari jumlah seluruh saham telah terpenuhi
(vide pasal 86 UU No.40 tahun 2007) , akan tetapi panggilan terhadap
pemegang saham haruslah dipanggil secara sah, sesuai dengan Anggaran Dasar
Perusahaan (Bukti P-1 A, P-1 B), di dalam pasal 22, disebutkan panggilan
rapat harus dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum diselenggarakan
rapat”.0
0
Pengadilan Negeri Palembang, Putusan Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG.

Universitas Indonesia
76

Berdasarkan ketentuan Pasal 86 UUPT, RUPS dapat dilangsungkan apabila


RUPS dihadiri oleh lebih dari ½ (satu perdua) bagian, kecuali anggaran dasar
menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. Kemudian mengenai perubahan AD
perseroan, maka kuorum yang dibutuhkan berdasarkan Pasal 88 UUPT adalah paling
sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian. Aturan yang sama mengenai kuorum juga berlaku pada
UUPT 1995. Keputusan yang diambil dalam RUPSLB PT XYZ tanggal 18 April 2003
antara lain mengenai perubahan AD perseroan; perubahan kepemilikan saham; dan
perubahan susunan direksi dan dewan komisaris.

Untuk perubahan kepemilikan saham dan perubahan susunan direksi serta


dewan komisaris perseroan, kuorum yang diperlukan untuk dapat membuat keputusan
tersebut menjadi yang sah dan mengikat harus disetujui oleh paling sedikit ½ (satu
perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan. Perihal tersebut sudah sesuai
dengan yang dikemukakan dalam pertimbangan majelis hakim. Namun, majelis hakim
tidak menyatakan bahwa sejatinya, untuk menyetujui perubahan AD perseroan, maka
RUPS harus dihadiri paling sedikit pemegang saham yang mewakili paling sedikit 2/3
(dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham. Walaupun tanpa kehadiran ET kuorum
2/3 juga telah terpenuhi dalam RUPSLB tertanggal 18 April 2003 tersebut, majelis
hakim seharusnya dalam pertimbangannya juga perlu memasukkan penemuan ini guna
menjamin kepastian hukum mengenai persyaratan kuorum suatu RUPS berdasarkan
UUPT kepada masyarakat.

Fakta di persidangan kasus PT XYZ menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 22


AD PT XYZ yang termuat dalam Akta Pendirian Nomor 48 tanggal 23 April 2001
menentukan bahwa pemanggilan rapat harus dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari
sebelum diselenggarakannya rapat. Pada tahun 2001, undang-undang perseroan yang
berlaku adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(“UUPT 1995”). Pasal 69 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa
pemanggilan RUPS dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS
diadakan. Seharusnya, pengaturan atas batas minimal pemanggilan rapat yang

Universitas Indonesia
77

tercantum dalam AD yang termuat dalam Akta Pendirian PT XYZ adalah tidak sah
karena bertentangan dengan UUPT 1995 yang berlaku pada masa itu.

Pada UUPT yang berlaku saat ini, jangka waktu minimal pemanggilan rapat
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) yaitu bahwa pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Penjelasan pasal tersebut
lebih lanjut menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat belas) hari adalah jangka waktu
minimal untuk memanggil RUPS. Oleh karena itu, AD perseroan tidak dapat atau
dilarang menentukan jangka waktu pemanggilan RUPS yang lebih singkat dari 14
(empat belas) hari. Seharusnya majelis hakim dalam pertimbangannya harus
menyampaikan perihal mengenai minimal jangka waktu pemanggilan RUPS yang
diamanatkan UUPT, baik UUPT 1995 yang masih berlaku pada saat PT XYZ didirikan
pada 2003 maupun UUPT 2007 yang saat ini diberlakukan, sehingga PT XYZ dapat
melaksanakan RUPS kembali untuk memutuskan perubahan atau penyesuaian AD
perseroan sesuai UUPT terutama terkait jangka waktu minimal pemanggilan rapat.
Majelis hakim yang dianggap paling mengetahui peraturan hukum positif di Indonesia
dalam sebuah persidangan, sudah semestinya memasukkan perihal tersebut dalam
pertimbangan putusannya agar ke depannya, PT XYZ dapat menyelenggarakan RUPS
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari perkara serupa.

3.2. Pertanggungjawaban Notaris terhadap Pembuatan Akta terkait


Penyelenggaraan RUPS yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Pasal 81 UUPT
dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg

Bentuk tanggung jawab notaris dalam menjalankan jabatannya adalah dengan


melaksanakan kewajibannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
berdasarkan Kode Etik Notaris maupun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam menjalani pelaksanaan jabatannya seorang notaris
haruslah bersikap sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) bahwa dalam
pelaksanaan jabatannya notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak,
dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, bahwa dalam
pembuatan akta notaris dituntut untuk bersikap cermat dan hati-hati. Sikap cermat
notaris merupakan salah satu sikap profesional dalam pelaksanaan jabatannya.

Universitas Indonesia
78

Selanjutnya, notaris wajib membacakan isi akta yang dibuatnya, pembuatan


akta PKR atas penyelenggaraan RUPS memiliki syarat dimana para pihak yang
menghadap notaris harus dikenal notaris dan notaris harus memperoleh keyakinan
bahwa identitas serta kewenangan penghadap yang diuraikan dalam aktanya adalah
sesuai dengan keadaan sebenarnya. Apabila Notaris tidak yakin atau merasa ragu, maka
penghadap dapat diperkenalkan oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Pembacaan akta oleh
notaris wajib dilakukan kepada penghadap dan para saksi sebelum dilakukan
penandatanganan agar notaris memperoleh keyakinan dan kepastian bahwa apa yang
tertuang dalam akta benar telah sesuai dengan keinginan penghadap serta penghadap
benar telah memahami apa yang tertuang dalam akta.

Pembacaan akta yang dilakukan oleh notaris memiliki konsekuensi bahwa


notaris akan memperoleh keyakinan mengenai apa yang tertuang dalam akta benar telah
sesuai dengan keinginan penghadap serta penghadap benar telah memahami apa yang
tertuang dalam akta. Dengan telah dilakukannya pembacaan akta, maka notaris juga
turut bertanggungjawab bahwa isi akta telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Setelah pembacaan akta selesai, maka akta tersebut harus
ditandatangani oleh penghadap dan para saksi dihadapan notaris.0 Dalam pembuatan
akta autentik, notaris bertanggungjawab atas akta tersebut baik secara formil mengenai
otentisitas akta yang dibuat dihadapannya maupun secara materiil bahwa akta yang
dibuatnya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Dalam akta PKR yang merupakan akta para pihak, notaris tidak
bertanggungjawab secara seutuhnya atas kebenaran materiil dari keterangan para pihak
berkaitan dengan akta yang dibuatnya karena notaris hanya menuangkan keinginan para
pihak kedalam akta. Namun walaupun tidak bertanggungjawab atas kebenaran materiil
akta, notaris tetap bertugas dan memiliki kewenangan untuk memberikan penyuluhan
hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf e
(“UUJN”). Penyuluhan hukum yang dimaksud dapat diartikan sebagai usaha
menyebarluaskan informasi dan pemahaman atas norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk mewujudkan dan mengembangkan kesadaran
0
Lily Harjati Soedewo, ”Peranan dan Tanggung Jawab Notaris, dalam Pembuatan Kata
Notaris, Pengesahan (Legalisasi), Serta Pendaftaran (Waarmerking) Akta Dibawah Tangan”, (Tesis
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: 2004), hlm. 59.

Universitas Indonesia
79

hukum pihak-pihak yang membuat akta agar taat atau patuh terhadap norma hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyuluhan hukum yang dimaksud bukan untuk masyarakat secara umum


dengan materi tidak terbatas, melainkan merupakan kewajiban notaris kepada para
pihak atau para penghadap terbatas berkaitan dengan pembuatan akta yang dimintakan
kepadanya. Notaris memberikan penyuluhan hukum dalam bentuk memberikan
penjelasan, penerangan dan pemahaman yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang
akan diterapkan dalam akta.

Isi akta yang dituangkan dalam akta merupakan kehendak para pihak, sehingga
notaris tidak memiliki kewenangan dan tidak diperkenankan untuk mengarahkan apa
yang hendak dituangkan dalam akta, namun notaris memiliki kewenangan untuk
memberikan masukan sebagai informasi dalam bentuk penyuluhan hukum untuk
dipertimbangkan oleh para pihak. Notaris tidak hanya menerima begitu saja apa yang
diminta oleh para pihak untuk dituangkan dalam akta, melainkan juga harus membuat
penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan tidak segan untuk
menyatakan kebenaran atau menolak jika para pihak meminta Notaris melakukan
perbuatan yang tidak sesuai dengan kelayakan umum maupun undang-undang.

Pada proses pembuatan akta PKR, notaris hanya menuangkan isi akta
berdasarkan keterangan para pihak, namun sebelum membuat akta, notaris wajib
meminta bukti dokumen pendukung yang berkaitan dengan pembuatan akta tersebut.
Pada praktiknya, dokumen yang biasanya dibutuhkan adalah dokumen yang hanya
berkaitan dengan awal akta yakni mengenai identitas dan kewenangan penghadap.
Kebenaran dokumen yang berkaitan dengan keterangan para pihak bukanlah menjadi
tanggung jawab notaris sepenuhnya, contohnya ketika notaris diminta untuk membuat
akta atas peristiwa jual beli, notaris tidak diwajibkan untuk memeriksa kebenaran
tentang pembayaran atas transaksi jual beli tersebut. Notaris hanya akan mendapatkan
keterangan berdasarkan cerita dari para penghadap saja baik secara lisan maupun dalam
bentuk kwitansi yang tidak resmi. Padahal seharusnya untuk menjamin hak dan
kewajiban para pihak mengenai kebenaran materiil peristiwa jual beli tersebut, notaris
dapat meminta dokumen berupa bukti transfer dari pihak bank. Ketelitian dan

Universitas Indonesia
80

keseksamaan notaris dalam menjalankan tugasnya tersebut merupakan kewajiban yang


seharusnya dimiliki setiap notaris, karena pada dasarnya fungsi notaris adalah
memberikan kepastian hukum dan menghindarkan para pihak dari kemungkinan apapun
berkenaan dengan risiko terjadinya sengketa di masa depan.

Apabila dikaitkan dengan kasus sengketa PT XYZ dalam Putusan Pengadilan


Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG, maka Notaris HJ dapat
dikategorikan telah melalaikan kewenangannya dalam memberikan penyuluhan hukum
sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(“UUJN”) serta melakukan pelanggaran atas ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN
yang mana Notaris HJ dalam pelaksanaan jabatannya tidak bertindak secara seksama.
Peristiwa hukum yang ingin dituangkan IA sebagai penghadap adalah penyelenggaraan
RUPSLB PT XYZ yang diselenggarakan pada 18 April 2008. Walaupun Notaris HJ
tidak bertanggungjawab sepenuhnya terhadap kebenaran materiil atas penyelenggaraan
RUPSLB tersebut, namun Notaris HJ memiliki kewenangan berdasarkan undang-
undang untuk melakukan penyuluhan hukum terkait akta yang dibuatnya serta bertindak
secara seksama dalam meneliti dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan RUPSLB
tersebut.

Notaris HJ sebagai pejabat umum yang ditunjuk berdasarkan undang-undang


sudah seharusnya dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian hukum mengenai akta
yang dibuatnya. Notaris HJ seharusnya terlebih dahulu memastikan bahwa
penyelenggaraan RUPSLB PT XYZ yang diterangkan oleh IA sebagai penghadap telah
memenuhi persyaratan materiil dan formil UUPT dan AD PT XYZ itu sendiri. Dalam
memastikan keabsahan RUPSLB yang sesuai UUPT dan AD PT XYZ, Notaris HJ
sudah seharusnya meminta dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan RUPSLB
tersebut terutama bukti pemanggilan rapat yang wajib dilakukan direksi 14 (empat
belas) hari sebelum tanggal RUPS seperti yang tercantum dalam Pasal 81 UUPT.

Berkaitan dengan pemanggilan rapat, seharusnya IA ketika menghadap Notaris


HJ dapat memperlihatkan bukti dalam bentuk salinan surat tercatat atau iklan di surat
kabar yang memuat informasi terkait pelaksanaan dan mata acara atau agenda rapat

Universitas Indonesia
81

yang akan dibahas dalam RUPSLB tersebut. Selain bukti pemanggilan tersebut, Notaris
HJ juga seharusnya memastikan kehadiran seluruh pemegang saham dalam rapat sesuai
keterangan IA sebagai penghadap dalam daftar hadir RUPSLB tertanggal 18 April
tersebut. Notaris HJ dapat memeriksa apakah tanda tangan para pemegang saham yang
tercantum dalam daftar hadir rapat telah sesuai dan sama dengan tanda tangan di
dokumen identitas masing-masing pemegang saham (KTP dan passport).

Majelis hakim dalam pertimbangannya pada Putusan Pengadilan Negeri


Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG menyatakan keterangan bahwa Penggugat
ET hadir dan bertandatangan dalam risalah RUPSLB tertanggal 18 April 2008 adalah
tidak benar. Hal tersebut didasarkan atas fakta di persidangan bahwa panggilan-
panggilan sah dalam RUPSLB yang dimaksud, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak, khususnya oleh para tergugat tidak pernah dimunculkan, sedangkan
tanda tangan Penggugat ET dalam akta PKR secara kasat mata sangat berbeda dengan
tanda tangan di KTP maupun paspor Penggugat ET.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim mengabulkan gugatan


Penggugat ET untuk menyatakan risalah atas RUPSLB tertanggal 18 April 2008
tersebut cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Akta PKR yang dibuat
oleh Notaris HJ berdasarkan RUPSLB tersebut juga turut dinyatakan tidak memiliki
kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Putusan pengadilan
tersebut juga yang menyatakan Notaris HJ sebagai turut tergugat dihukum secara
tanggung renteng dengan para tergugat untuk membayar biaya perkara. Notaris HJ
dinilai tidak teliti atau seksama dalam menjalankan jabatannya pada saat membuat akta
PKR atas RUPSLB PT XYZ. Walaupun dalam pembuatan akta PKR Notaris HJ tidak
bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran materiil dari keterangan yang
disampaikan IA sebagai penghadap, Notaris HJ tetap melalaikan kewajibannya sesuai
Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN dalam bertindak secara seksama serta tidak
menjalankan kewenangannya dalam melakukan penyuluhan hukum berkaitan dengan
akta yang dibuatnya sesuai Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN.

Pada Bab 2 tesis ini, penulis telah menjelaskan mengenai kewajiban notaris,
yang mana dari kewajiban tersebut lahirlah tanggung jawab notaris. Ketika ada

Universitas Indonesia
82

pelanggaran yang dilakukan oleh notaris, maka ada sanksi yang dikenakan kepadanya.
Adapun dalam kasus ini, karena Notaris HJ melanggar isi Pasal 16 ayat (1) huruf a
UUJN, maka ia dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 85 UUJN,
yang mana apabila terjadi pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat
(1) huruf a, maka notaris dapat dikenai sanksi berupa teguran lisan; teguran tertulis;
pemberhentian sementara; pemberhentian dengan hormat; dan pemberhentian dengan
tidak hormat oleh Majelis Pengawas Notaris.

Dengan demikian, Majelis Pengawas Notaris berdasarkan aduan dari


masyarakat dapat menjatuhi sanksi administratif sesuai Pasal 85 UUJN tersebut, yang
didahului oleh teguran lisan. Apabila teguran lisan telah dijatuhkan kepada Notaris HJ
sebagai tindak awal dari sanksi administrative tidak dipenuhi, akan ditindaklanjuti
dengan sanksi berupa teguran tertulis. Apabila Notaris HJ tetap tetap tidak mematuhi
sanksi tersebut dalam kurun waktu yang ditentukan, maka Notaris HJ dapat dikenakan
sanksi berikutnya secara berjenjang yaitu sanksi pemberhentian sementara hingga
pemberhentian tidak hormat.

Sanksi terhadap notaris tidak hanya sebatas pada ketentuan di dalam UUJN,
akan tetapi dalam menjalankan jabatannya, notaris juga bisa dikenakan sanksi secara
perdata, administratif dan pidana, tergantung kerugian apa yang ditimbulkan dari
perbuatan notaris tersebut. Sanksi perdata merupakan penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga sebagai akibat yang diterima notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang
bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan
atau akta menjadi batal demi hukum.

Berdasarkan analisis yang dikemukakan pada sub bab 3.1 tesis ini, akta PKR
Nomor 2 tertanggal 23 April 2008 yang dibuat oleh Notaris HJ berdasarkan putusan
majelis hakim dinyatakan sebagai akta yang tidak memiliki kekuatan mengikat karena
peristiwa hukum yang dituangkan ke dalam akta tersebut yaitu RUPSLB PT XYZ
tertanggal 18 April 2008 adalah cacat hukum. Oleh karena itu, Notaris HJ dapat digugat
di pengadilan agar dijatuhi sanksi perdata untuk melakukan penggantian biaya, ganti
rugi atau bunga kepada pihak yang menderita kerugian atas akta PKR yang isinya tidak
dapat diberlakukan lagi karena tidak memiliki kekuatan mengikat.

Universitas Indonesia
83

Penjatuhan sanksi perdata dapat dituntut kepada notaris dengan didasarkan


pada suatu hubungan hukum antara notaris dengan para pihak yang menghadap notaris.
Jika ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta notaris,
maka yang bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap notaris. Dengan
demikian, tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap notaris tidak
berdasarkan atas penilaian atau kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena
melanggar ketentuan tertentu menurut Pasal 84 UUJN, tapi hanya dapat didasarkan pada
hubungan hukum yang ada atau yang terjadi antara notaris dengan para penghadap.

Hubungan hukum terjadi ketika penghadap datang ke notaris agar


perbuatannya diformulasikan ke dalam sebuah akta autentik sesuai kewenangan notaris,
dan kemudian notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap
tersebut. Atas adanya hubungan hukum tersebut, maka notaris harus menjamin bahwa
akta yang dibuatnya telah sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan, sehingga
kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. Dengan hubungan
hukum yang seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut
yang merupakan awal dari tanggunggugat notaris.0

Untuk memberikan landasan kepada hubungan hukum seperti di atas, perlu


ditentukan tanggunggugat notaris, apakah berlandaskan kepada:0

1. wanprestasi; atau
2. perbuatan melawan hukum (oonrechmatigedaad); atau
3. pemberian kuasa (zaakwarneming); atau
4. pemberian kuasa (lastgeving); atau
5. perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan.

Apabila dikaitkan dengan kasus PT XYZ, maka yang berhak untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga adalah IA sebagai penghadap kepada Notaris
HJ. Hubungan hukum keduanya tidak dapat digolongkan dalam bentuk wanprestasi
karena IA datang menghadap Notaris HJ bukan berdasarkan kontraktual. IA datang
0
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 100
0

Ibid.

Universitas Indonesia
84

menghadap kepada Notaris HJ atas keinginannya sendiri untuk meminta dibuatkan akta
PKR atas penyelenggaraan RUPSLB perusahaannya yaitu PT XYZ. Dengan tidak
adanya perjanjian tertulis atau lisan yang dinyatakan secara tegas atas pembuatan akta
tersebut, maka tidak tepat apabila hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan
kontraktual sehingga Notaris HJ tidak dapat dituntut dengan dasar gugatan Notaris HJ
telah wanprestasi.

Perbuatan melawan hukum terjadi apabila satu pihak merugikan pihak lain
sehingga mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Pada praktiknya, notaris melakukan suatu pekerjaan berdasarkan
kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai notaris berdasarkan
UUJN. Sepanjang notaris melaksanakan tugas jabatannya sesuai UUJN, dan telah
memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuatan akta, serta akta yang
bersangkutan telah pula sesuai dengan kehendak para pihak yang menghadap, maka
tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum tidak dapat diajukan.

Pertanggungjawaban dan ganti rugi dapat dibebankan kepada notaris apabila


akta itu batal karena tidak memenuhi syarat-syarat formal dalam pembuatan akta
autentik. Akibatnya, Notaris yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi dengan
membayar ganti kerugian, bunga dan biaya. Dalam hal ini terlebih dahulu harus
dibuktikan:0

1. adanya kerugian yang diderita.


2. bahwa kerugian yang diderita itu pelanggaran atau kelalaian dari notaris.
3. bahwa pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian itu disebabkan kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.

Apabila dikaitkan dengan kasus PT XYZ, maka hubungan hukum antara


notaris HJ dengan Penghadap IA dilandasi oleh perbuatan melawan hukum sehingga
Penghadap IA dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap Notaris
HJ. Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris HJ adalah Notaris
HJ telah lalai dan tidak seksama dalam membuat akta PKR PT XYZ yang diminta IA
sebagai penghadap dengan tidak memeriksa dokumen-dokumen terkait persyaratan
0
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 36.

Universitas Indonesia
85

formil pelaksanaan RUPS berdasarkan UUPT dan AD Perseroan yaitu berkenaan


dengan pemanggilan rapat.

Berdasarkan analisis yang diuraikan, maka pertanggungjawaban Notaris HJ


dalam perkara Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG
terhadap akta PKR Nomor 2 tertanggal 23 April 2008 yang menjadi obyek sengketa
terbagi menjadi 2 (dua). Pertanggungjawaban pertama terkait akta PKR tersebut adalah
pertanggungjawaban Notaris HJ terhadap kerugian yang disebabkan akta yang
dibuatnya kepada Penggugat ET. Atas pelanggaran yang dilakukan Notaris HJ terhadap
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a, maka Notaris HJ dapat dikenakan sanksi
administratif oleh Majelis Pengawas Notaris yang diawali dengan sanksi berupa teguran
lisan. Sanksi tersebut dijatuhkan karena Notaris HJ terbukti tidak seksama dalam
menjalankan tugasnya dalam membuat akta PKR yang dimaksud, dengan tidak meneliti
dokumen-dokumen menyangkut pemanggilan rapat RUPSLB PT XYZ yang merupakan
syarat formil dan parameter atas keabsahan penyelenggaraan RUPS berdasarkan UUPT
dan AD perseroan.

Notaris HJ juga telah lalai dalam memeriksa dan mencocokkan tanda tangan
para pemegang saham dalam risalah RUPSLB tersebut dengan tanda tangan yang
tercantum dalam dokumen identitas pemegang saham sehingga fakta bahwa Penggugat
ET tidak pernah hadir dan menyetujui mata rapat yang diambil dapat RUPSLB tersebut
tidak diketahui lebih awal. Sengketa yang terjadi dalam kasus PT XYZ sejatinya dapat
terhindarkan apabila Notaris HJ dapat menyadari lebih awal bahwa pemanggilan rapat
RUPSLB PT XYZ tidak pernah dilakukan oleh IA selaku direktur utama dan tanda
tangan yang Penggugat ET yang tertera di risalah RUPSLB tersebut adalah palsu.

Pertanggungjawaban selanjutnya yang dapat dibebankan kepada Notaris HJ


selaku pembuat akta PKR tersebut yaitu berupa gugatan untuk dikenakan sanksi perdata
berupa permintaan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Tergugat IA adalah pihak
yang menderita kerugian atas putusan pengadilan yang menyatakan bahwa akta PKR
tertanggal 23 April 2008 tidak memiliki kekuatan mengikat, dikarenakan IA adalah
penghadap yang memberikan keterangan terkait keputusan yang diambil dalam
RUPSLB tertanggal 18 April 2008 dan meminta kepada Notaris HJ untuk dibuatkan

Universitas Indonesia
86

akta. Berdasarkan hubungan hukum antara Notaris HJ dengan IA, maka hubungan
hukum yang terjalin adalah berdasarkan perbuatan melawan hukum. Unsur perbuatan
melawan hukum yang terpenuhi antara Notaris HJ dengan IA adalah sebagai berikut:

1. IA sebagai penghadap yang bertindak selaku pemegang saham dan juga direktur
utama PT XYZ menjadi rugi akibat putusan pengadilan yang menyatakan akta PKR
tertanggal 23 April 2003 menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat. Kerugian
tersebut antara lain bahwa PT XYZ tidak memiliki legal standing atas RUPSLB
yang dilaksanakan pada 18 April 2003. Keputusan yang diambil dalam rapat
tersebut, yaitu penyesuaian AD; perubahan kepemilikan saham; serta perubahan
susunan direksi dan dewan komisaris menjadi tidak dapat diberlakukan lagi. Hal
tersebut tentu saja melahirkan konsekuensi baru bagi PT XYZ, yang mana ketentuan
mengenai AD perseroan, kepemilikan saham dan perubahan susunan direksi menjadi
tunduk pada akta sebelumnya. Untuk menerapkan ketentuan faktual dan sesuai
dengan kenyataan, maka PT XYZ wajib menyelenggarakan RUPS kembali untuk
mengambil keputusan yang sebelumnya telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan
mengikat oleh putusan pengadilan. Oleh karena keputusan yang diambil dalam rapat
tersebut wajib mendapatkan pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, maka sudah seharusnya keputusan dalam RUPS
tersebut nantinya dituangkan ke dalam sebuah akta notaris. Pelaksanaan RUPS dan
pengulangan pembuatan akta notaris tersebut tentu saja menimbulkan biaya dan
energi yang harus ditanggung oleh PT XYZ;
2. bahwa kerugian yang diderita PT XYZ tersebut merupakan akibat dari kelalaian
Notaris HJ karena dalam pembuatan akta tidak bertindak secara seksama sesuai
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN serta melalaikan kewenangannya sesuai
ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUJN dalam memberikan penyuluhan terkait akta yang
dibuatnya. Apabila pada saat IA menghadap, Notaris HJ secara teliti dan seksama
memeriksa dokumen kelengkapan atas RUPSLB sesuai UUPT dan AD, maka
Notaris HJ dapat menyadari bahwa sejatinya pelaksanaan RUPSLB tersebut adalah
cacat hukum dan tidak sah, antara lain karena pemanggilan rapat tidak dilaksanakan
sesuai ketentuan Pasal 81 UUPT dan AD PT XYZ, serta tanda tangan ET yang
sangat berbeda antara yang tercantum dalam KTP dengan yang tertera dalam risalah
rapat tersebut. Notaris HJ juga berwenang untuk kemudian memberikan penyuluhan

Universitas Indonesia
87

terkait persyaratan formil penyelenggaraan RUPS sesuai UUPT serta bahaya dan
akibat hukum dari pemberian keterangan palsu dan pemalsuan tanda tangan. Apabila
hal tersebut dilakukan Notaris HJ, maka seharusnya perkara yang terjadi dapat
terhindarkan.
Dengan demikian, IA sebagai penghadap yang meminta Notaris HJ untuk
membuatkan akta atas peristiwa hukum yang diterangkannya, dapat mengajukan
penggantian biaya, ganti rugi atau bunga kepada Notaris HJ walaupun dalam
kenyataannya, IA juga dinilai terlibat dalam pemalsuan keterangan dan tanda tangan
ET dalam risalah RUPSLB tersebut. Notaris HJ dalam jalannya persidangan tidak
pernah hadir untuk menyangkal, memberikan keterangan ataupun mengajukan bukti
atas gugatan yang diajukan dalam pengadilan sehingga majelis hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa tindakan Notaris HJ tersebut membenarkan
gugatan yang didalilkan oleh ET sebagai penggugat. Majelis hakim juga menghukum
Notaris HJ secara tanggungrenteng dengan Para Penggugat lainnya untuk membayar
biaya perkara persidangan, dan menurut penulis putusan tersebut sudah tepat kiranya
untuk diberikan.

Universitas Indonesia
BAB 4
PENUTUP

4.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan berdasarkan teori dan
peraturan hukum yang berlaku, serta dengan melakukan analisis terhadap kasus serta
putusan maka berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Akibat hukum akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
yang tidak sesuai dengan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40
Tahun 2007 (UUPT) adalah sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri Palembang
Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG yaitu akta tersebut dinyatakan tidak memiliki
kekuatan mengikat bagi pihak yang terlibat di dalamnya. Akta PKR tersebut
kekuatan pembuktiannya tidak lagi sempurna sebagaimana sifatnya sebagai sebuah
akta autentik. Isi akta tersebut tidak memiliki kekuatan untuk diterapkan kepada para
pihak, sehingga para pihak yang terlibat di dalamnya tidak lagi terikat atas
pemenuhan kewajiban dan hak yang tercantum dalam isi akta tersebut. Eksistensi
atas akta tersebut tetap dianggap ada sehingga notaris masih berkewajiban untuk
mencatatkan akta tersebut dalam buku daftar akta notaris, sehingga kronologis yang
runtut atas perbuatan hukum dalam akta tersebut tetap tercatat. Akta PKR tersebut
dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat karena tidak sahnya peristiwa hukum
yang terjadi yaitu RUPS yang diselenggarakan tanpa pemanggilan rapat terlebih
dahulu sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UUPT. Risalah atas RUPS yang
diselenggarakan dinyatakan cacat hukum karena RUPS tidak diselenggarakan
dengan didahului prosedur pemanggilan rapat. Pada kenyataannya, akta PKR yang
menjadi obyek sengketa dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/PDT.G/2017.PN.PLG sebenarnya juga mengandung unsur pemalsuan keterangan
dan pemalsuan tanda tangan. Namun dalam pertimbangannya, Majelis hakim
menyatakan bahwa prosedur pemanggilan rapat dalam RUPS harus tetap
dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUPT dan AD Perseroan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemanggilan rapat yang merupakan syarat formil atas
penyelenggaraan RUPS merupakan suatu esensi yang penting karena dapat
89

menentukan keabsahan atas keputusan yang diambil dalam RUPS tersebut. Majelis
hakim terlebih dahulu menilai keabsahan prosedural penyelenggaraan RUPS itu
sendiri sebagai pertimbangan untuk memutus perkara dalam menyatakan akta PKR
yang menjadi obyek sengketa menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat.
2. Notaris tidak bertanggungjawab secara sepenuhnya dalam memastikan kebenaran
materiil atas penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT XYZ
yang diminta penghadap untuk dituangkan dalam akta Pernyataan Keputusan Rapat
(PKR), namun Notaris HJ dalam kasus PT XYZ dalam bertindak berdasarkan
jabatannya telah lalai dan tidak seksama dalam memeriksa dokumen terkait
pelaksanaan RUPS seperti bukti pemanggilan rapat dan daftar hadir RUPS. Hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN
yang mana Notaris telah bertindak secara tidak seksama dalam membuat akta. Atas
pelanggaran tersebut, Notaris dapat dikenakan sanksi administratif berdasarkan Pasal
85 UUJN yang diawali dengan teguran lisan hingga pemberhentian oleh Majelis
Pengawas Notaris. Notaris HJ juga dapat dikenakan sanksi secara perdata yaitu
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga karena akta PKR yang dibuatnya
menimbulkan kerugian bagi pihak penghadap (direksi dan pemegang Saham), yaitu
bahwa PT XYZ tidak memiliki legal standing atas RUPS yang diselenggarakan pada
tanggal 18 April 2003 karena RUPS dan akta PKR yang dibuat Notaris HJ
dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh putusan pengadilan.

4.2 Saran
1. Notaris yang diminta untuk membuatkan akta, terutama akta terkait PT seperti akta
PKR, harus lebih berhati-hati dan teliti sebelum membuat akta. Sebelum
membuatkan akta PKR, notaris wajib mengumpulkan dan memeriksa dokumen-
dokumen yang menunjukkan bahwa penyelenggaraan RUPS telah berjalan sesuai
prosedur yang disyaratkan undang-undang dan AD perseroan itu sendiri. Apabila
notaris menemukan fakta bahwa dokumen-dokumen yang diajukan tidak sesuai
dengan keaslian dan keterangan yang diberikan oleh para pihak terkait, atau notaris
menyadari bahwa dokumen-dokumen yang disyaratkan tidak dapat dipenuhi oleh
pihak-pihak yang minta dibuatkan akta, maka sudah semestinya notaris tersebut
menolak untuk membuatkan akta yang diminta;

Universitas Indonesia
90

2. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (“AHU”), Kementerian Hukum dan


Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham) selaku operator dan
pengawas Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH), sebaiknya merubah alur
sistem layanan pengesahan Akta Perseroan secara daring yang selama ini dapat
dengan mudahnya diakses oleh Notaris guna menghindari kesalahan dan kejadian
serupa. Sebaiknya SABH ditambahkan checklist dan fitur unggah dokumen
pendukung RUPS yang aktanya dimohonkan Surat Keputusan (SK) nya kepada
Kemenkumham. Apabila notaris tidak dapat memenuhi checklist dan mengunggah
dokumen terkait, seperti salinan undangan rapat, salinan surat tercatat dan/atau
salinan iklan dalam surat kabar, maka sudah semestinya SABH tidak menerbitkan
SK yang dimohonkan.

Universitas Indonesia
91

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijke Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 41. Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013.

Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UU PT No. 40


Tahun 2007. LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756.

________. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2004, LN
No. 6 Tahun 2004, TLN No. 4356.

B. Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Palembang. Putusan tentang Perkara Gugatan Perdata. Putusan


Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG

C. Buku
Adjie, Habib. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama,
2015.

__________. Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris Dalam Bentuk Akta
Keterangan Ahli Waris. Bandung: CV. Mandar Maju, 2008.

__________. Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama,
2015.

__________. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat


Publik. Bandung: Refika Aditama, 2007.
92

Arliman, Laurensius. Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim. Yogyakarta:


Deepublish, 2015.

Arikunto, Suharmisi. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.

Boediarto, M. Ali. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad. Jakarta: Swa Justitia, 2005.

Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
93

Cox, James D, Thomas Lee Hazen, Hedge O’Neal. Corporations, Alpen Law &
Business, 1977.

Dewi, Santia dan R.M Fauwas Diradja. Panduan Teori dan Praktik Notaris.
Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2011.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press, 2005.

Hakim, Abdul. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998).

Harahap, Yahya. “Hukum Perseroan Terbatas”. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cetakan kedua.
Jawa Timur: Media Publishing, 2006.

Kansil, C.S.T dan Christine Kansil. Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Latumeten, Pieter E. Cacat Yuridis Akta Notaris Dalam Peristiwa Hukum Konkrit dan
Implikasi Hukumnnya. Jakarta: Tuma Press, 2011.

Lumban Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, 1983.

Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Marzuki, Peter Mahmud. Batas-Batas Kebebasan Berkontrak. Surabaya: Yuridika


Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2003.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2005

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.


2008.

Mulyoto. Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV,


Yogyakarta: Cakrawala Media. 2010.

_______. Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas PT.


Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010.

_______. Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas.


Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010.

_______. Pertanggungjawaban Notaris-PPAT dalam Menjalankan Tugas Jabatannya.


Yogjakarta: Cakrawala Media, 2004.
94

Nadapdap, Binoto. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.

Nico. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Yogyakarta: Center for
Documentation and Studies of Business Law (CDSBL), 2003.

Nugroho, Hirman S.S dan Yuni Purwati. Hukum Perseroan Terbatas Prinsip Good
Corporate Governance dan Doktrin Piercing The Corporate Veil. Solo:
Iltizam,
2007.

Notodisoerjo, R. Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan. Jakarta:


Rajawali, 1982.

Prodjodikoro, R. Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju, 2000.

____________________, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta.


Surabaya: Mandar Maju, 2011.

Purba, Orinton. Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan
Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum. Depok: Raih Asa Sukses, 2011.

Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Bentuk-Bentuk


Perusahaan, Jakarta: Djambatan, 2007.

Rachmadi, Usman. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung:


Alumni, 2004.

Salim, HS. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak). Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.

Sardjono, Agus, Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty dan Togi Pangaribuan.
Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016.

Sembiring, Sentosa. Hukum Perusahaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan.


Bandung: Nuansa Aulia, 2006.

Setiawan, Rachmat. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abidin, 1999.

Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. Organ Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.

Sjaifurrachman. Aspek Pertanggung jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta.


Surabaya: Mandar Maju, 2011.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press,


2008.
95

Soerodjo, Irawan. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya: Arkola,
2003.

Subandi, Martha. Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007. Jakarta:
Tatanusa, 2005.

Subekti, R. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, 1989.

Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.

Suratman, dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2013.

Syarief, Elza. Sengketa Antar Organ Perseroan Perspektif Teori, Praktik, dan
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.

Thamrin, Husni. Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris. Yogyakarta: Laksbang


Pressindo, 2011.

Wicaksono, Frans Satrio. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas. Jakarta: Visimedia, 2009.

Widjaja, Gunawan. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.

Yani, Ahmad, dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003.

D. Jurnal
Afriana, Anita. “Kedudukan dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pihak dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia terkait Akta yang Dibuatnya”.
Jurnal Poros Hukum Padjajaran. Volume I Nomor 2 (Mei 2020). hlm. 246-
261.

Marzuki, Peter Mahmud. “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”. Jurnal Yuridika


Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Volume XVIII Nomor 3 (Mei 2003).
hlm. 219.

Septianingsih, Komang Ayuk. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian
Perkara Perdata”. Jurnal Analogi Hukum. Volume 2 Nomor 3 (2020). hlm.
336-340.

E. Makalah/Artikel
Adjie, Habib. “Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum”. Majalah
Renvoii Nomor 04, 2004.
96

Erawati, Elly dan Herlien Budiono. “Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian”.
Nasional Legal Reform Program. Jakarta, 2010.

Hadjon, Philipus M. “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”. Surabaya Post,
3 Januari 2010.

Latumeten, Pieter E. “Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta
Model Aktanya”. Makalah Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya,
2009.

Mertokusumo, Sudikno. “Arti Penemuan Hukum Bagi Notaris”. Majalah Renvooi


Nomor 2, (3 Mei 2004)

Santosa, Soegeng, Doddy Radjasa Waluyo, Zulkifli Harahap. “Aspek Pidana Dalam
Pelaksanaan Tugas Notaris”. Majalah Renvoi Nomor 22 (Maret 2005). hlm 30.

Setiawan, “Wawan. Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan Notaris
sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem
Hukum di Indonesia”. Ikatan Notaris Indonesia: Jawa Timur, 22 – 23 Mei
1998.

Soenaryo, Cipto. “Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Pelayanan kepada Publik
sesuai dengan Moral Etika Profesi dan Undang-Undang”. Medan, 2011.

Yudara, N. G. “Mencermati Undang-Undang Hak Tanggungan dan Permasalahannya”.


Makalah Diskusi Panel UUHT. Program Studi Notariat Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 5 Juni 1996.
97

LAMPIRAN
Putusan Pengadilan Negeri Palembang 43/PDT.G/2017/PN.PLG

Anda mungkin juga menyukai