TESIS
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JULI 2023
HALAMAN JUDUL
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JULI 2023
Universitas Indonesia
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip mauoun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diwajibkan utuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada
program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Universitas Indonesia
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Ditetapkan di : Depok
Tanggal :
Universitas Indonesia
v
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini :
“Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Diikuti Sewa Menyewa dengan
Causa Pengakuan Utang yang Dikualifikasikan Sebagai Delik Penipuan (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 51PK/PID/2022)”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-
kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memupblikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal :
Yang menyatakan
Universitas Indonesia
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang
atas sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim-nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
sebuah bentuk tesis dengan judul Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang
Diikuti Sewa Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang yang Dikualifikasikan
Sebagai Delik Penipuan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 397K/PID/2021).
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam perjalanan membuat
tesis ini, Penulis sadar betul bahwa tidaklah dapat diselesaikan apabila tidak
mendapat bantuan-bantuan serta dukungan-dukungan dan pula pengorbanan yang
diberikan. Oleh karenanya, dalam kesempatan ini Penulis hendak mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Daly Erni, S.H., M.Si., LL.M., dan Dr. Pieter Everhardus Latumenten,
S.H., M.H., Sp.N selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II
Penulis yang senantiasa memberikan waktu, tenaga, serta pikirann untuk
membimbing Penulis dalam penyusunan Tesis ini. Penulis menghaturkan
permohonan maaf apabila selama dalam bimbingan, Penulis banyak
melakukan kesalahan;
2. Dr. Yuli Indrawati S.H., LL.M selaku Ketua Penguji dan Dr. Yoni Agus
Setyoni S.H., M.H selaku dewan Penguji dalam Ujian Tesis Penulis.
3. Dr. Henny Marlyna, S.H., M.H., M.L.I., selaku dosen pembimbing akademik
Penulis selama 4 semester ini. Terima kasih atas kesabaran serta pengertian
yang dicurahkan kepada saya setiap semesternya selama saya menempuh studi
serta semangat dan dukungan yang diberikan kepada Penulis;
4. Seluruh jajaran dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya
program studi Magister Kenotariatan, yang pernah memberikan ilmu kepasa
Penulis. Terima kasih untuk semua pembelajaran-pembelajaran yang begitu
membuka pemikiran Penulis selama Penulis menempuh pendidikan di
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis
berharap semua pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan, dapat Penulis
pergunakan sebaik-baiknya untuk membantu masyarakat serta memajukan
hukum di Indonesia;
5. Seluruh jajaran staff Biro Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Terima kasih untuk kebaikannya dalam mengurus segala bentuk administrasi
yang Penulis butuhkan selama Penulis menempuh studi;
6. Papa, Mama, serta Kakek Penulis. Terima kasih untuk semua do’a cinta, kasih
sayang, dukungan, semangat, nasehat, dan didikan kepada Penulis selama 24
tahun ini. Untuk adik Penulis, terima kasih sudah menjadi saudara sekaligus
teman yang begitu pengertian. Untuk Alm. Kakak dan Nenek saya, walaupun
Allah memanggilmu jauh lebih dahulu, but I know you’re shinning down on
me from heaven. Tesis ini dipersembahkan untuk kalian, keluarga terbaik
Universitas Indonesia
vii
yang pernah saya miliki. Semoga gelar Magister Kenotariatan ini dapat
menjadi salah satu bakti Penulis dan menjadi sebuah kebanggan bagi kalian;
7. Ferry Akbar Trijayanto S.Kom. Terima kasih untuk semangat, dukungan, dan
afeksi yang diberikan selama saya mengerjakan tesis ini. Terima kasih untuk
selalu berada di sisi saya dan secara tulus menemani saya selama ini. You’re
one of the people that I admire for accepting me for who I m without judging
me.
8. Tiffany Amalia S.Psi, Kalmar Dapestiara S.P, Putri Shafa Kamila S.T dan
Aditya Maulana S.P., Terima kasih karena menjadi support systems yang
selalu mendengar segala keluh kesah dan kegundahan hati Penulis serta tidak
lelah membantu menyemangati Penulis selama dalam penulisan Tesis ini.
You’re all heaven-sent gift from God.
9. Nadia Karimah S.H., M.Kn, Putri Ridzka Maheswari Djasmine, S.H., M.Kn,
dan Aulia Safara S.H. Terima kasih sudah membuat hari-hari Penulis menjadi
penuh warna serta menjadi teman diskusi dan teman melewati segala hal yang
telah kita lewati bersama, Penulis sangat bersyukur karena diberikan
kesempatan untuk bertemu orang-orang yang sangat baik seperti kalian
semua. Semoga pertemanan ini dapat berlangsung tanpa lekang oleh waktu.
10. Untuk pihak-pihak lain yang telah banyak membantu dalam penyusunan Tesis
ini, maaf apabila dalam kesempatan ini Penulis tidak dapat menyebutkan satu
persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih Penulis.
Akhir kata, penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan, baik secara sistematika penulisan hingga substansi yang
dibawakan. Oleh karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran demi
menyempurnakan skripsi ini. Semoga dengan penelitian yang dituangkan dalam
tulisan ini dapat membawa kemajuan bagi ilmu hukum kedepannya.
Universitas Indonesia
viii
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang diikuti
dengan sewa menyewa dengan causa pengakuan utang. Putusan yan menjadi fokus
peneltian adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 51PK/PID/2022. Dalam kasus ini
Notaris TAH melakukan tipu muslihat dengan mensiasati utang tersebut untuk
dijadikan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti sewa menyewa. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang
diikuti sewa menyewa dengan causa pengakuan utang serta delik penipuan serta delik
penipuan yang dinyatakan oleh Hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah
doktrinal dengan tipologi penelitian Eksplanatoris-analisis. Penelitian ini
menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa keabsahan
dari PPJB terdapat perubahan dari pengadilan negeri adalah sah sedang pada
pengadilan tinggi dianggap tidak sah dan mahkamah agung mengutakan menjadi
tidak sah. Penulis menyatakan PPJB adalah sah karena sejatinya para pihak sudah
mengakui bahwa objek sudah beralih dengan adanya PPJB. Delik penipuan yang
didakwakan oleh hakim Mahkamah Agung karena berdasarkan putusan perkara
perdata PPJB dianggap sah. Dari perjalanan sidang dapat diketahuibahwa hakim
mengesampingkan semua alat bukti yang ada.
Kata Kunci: Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Sewa Menyewa, Pengakuan Utang,
Delik Penipuan
Universitas Indonesia
ix
ABSTRACT
This thesis discusses the sale and purchase binding agreement (PPJB) followed by
leasing with causa acknowledgment of debt. The decision that is the focus of the
research is the Supreme Court Decision Number 51PK/PID/2022. In this case the
TAH Notary committed a trick by tricking the debt into a binding sale and purchase
agreement followed by a lease. The formulation of the problem in this study is the
validity of the binding sale and purchase agreement followed by leasing with the
causa of acknowledgment of debt and fraudulent offenses and fraudulent offenses
stated by the Judge. The research method used is doctrinal with an explanatory-
analytic research typology. This study uses secondary data. The results of this study
reveal that the validity of the PPJB has changed from the district court which is valid
while the high court is considered invalid and the supreme court declares it to be
invalid. The author states that the PPJB is valid because actually the parties have
acknowledged that the object has changed with the existence of the PPJB. The delict
of fraud charged by the Supreme Court judge because based on the decision on the
PPJB civil case was deemed valid. From the course of the trial it can be seen that the
judge overruled all available evidence.
Key Words: Sale and purchase binding agreements, leasing, acknowledgment of debt,
fraud offenses
Universitas Indonesia
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................ii
PERNYATAAN ORISINALITAS..............................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMISI.................................................................................................................v
KATA PENGANTAR..................................................................................................vi
ABSTRAK.................................................................................................................viii
ABSTRACT.................................................................................................................ix
DAFTAR ISI.................................................................................................................x
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Penelitian Terdahulu..........................................................................................9
C. Rumusan Masalah............................................................................................10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................................11
E. Definisi Operasional........................................................................................12
F. Metode Penelitian............................................................................................14
G. Sistematika Penulisan......................................................................................16
BAB II.........................................................................................................................18
KEWENANGAN NOTARIS, KEABSAHAN AKTA-AKTA YANG DIBUAT
OLEH NOTARIS, DELIK PENIPUAN YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS,
DAN KASUS POSISI.................................................................................................18
A. Jabatan Notaris................................................................................................18
1. Definisi, Tugas, dan Kewenangan Notaris..................................................18
2. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris............................................................21
3. Larangan dan Kewajiban Notaris................................................................24
4. Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Kecermatan Notaris..........................25
5. Teori Pertanggungjawaban Notaris.............................................................33
6. Pengawasan Terhadap Notaris.....................................................................39
B. Hukum Perjanjian dan Akta-akta yang Dibuat Oleh Notaris..........................42
1. Hukum Perjanjian........................................................................................42
2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli...................................................................50
3. Perjanjian Sewa Menyewa...........................................................................54
Universitas Indonesia
xi
Universitas Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) yang diikuti dengan perjanjian sewa
menyewa atas dasar pengakuan utang, menyimpang dari kewenangan Notaris dalam
pembuatan akta. Sebab causa pengakuan utang tersebut dapat disalahartikan dan
dikualifikasikan sebagai tindak pidana penipuan. Kegiatan pembuatan akta ini
mengidentifikasikan adanya niat tidak baik dari salah satu pihak yang bekerja sama
dengan Notaris. Hal ini perlu dilakukan pengawasan dengan ketat dari Majelis
Pengawas Notaris.
Akta pengakuan utang adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang dibuat satu
pihak secara sukarela, umunya oleh debitor, sebagai sebuah jaminan agar kreditor
memiliki keyakinan lebih dalam sebuah perjanjian utang piutang. 1 Perjanjian sewa
menyewa merupakan sebuah perjanjian yang diantara para pihak, di mana seseorang
yang menyewa objek tertentu telah mengakui bahwa objek tersebut merupakan milik
orang yang menyewakan. Hal ini sejalan dengan definisi pada Pasal 1548 KUHPer
mengenai perjanjian sewa menyewa. Sewa menyewa ialah suatu perjanjian konsensual
di mana perjanjian itu mengikat dan sah pada saat tercapainya kata sepakat mengenai
unsur-unsur pokoknya yakni barang dan harga. Adapun risiko dalam sewa menyewa
kerap kali berhubungan dengan adanya overmacht yakni suatu perisitiwa yang terjadi
kepada salah satu pihak dan oleh karenanya pihak tersebut memiliki kewajiban untuk
memikul kerugian akibat dari keadaan memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1553
KUHPer.2
1
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 2008), hlm. 2.
2
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 89.
Universitas Indonesia
2
diberikan jasa bagi kepentingan masyarakat. Hanya orang-orang yang sudah diketahui
sifat jujur, serta memiliki kapabilitas serta pengetahuan di bidang hukum saja yang
diberikan izin untuk memangku jabatan sebagai seorang Notaris. Oleh karena itu
pemegang jabatan Notaris harus menjaga keluhuran martabat jabatannya dengan
menghindari pelanggaran aturan dan tidak melakukan kesalahan propersi yang dapat
menimbulkan kerugian kepada orang lain.3
Ketentuan hukum yang menjadi landasan bagi keberadaan Notaris di Indonesia
adalah Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang
menyatakan bahwa akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan
pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Selama Pasal 1868 KUHPer tersebut ada, maka eksistensi Notaris akan terus mendapat
pengakuan dan senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat. Pejabat umum yang dimaksud
oleh Pasal 1868 KUHPer, hanyalah Notaris, karena hanya saat ini tidak ada satupun
Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum selain Notaris, sebagai mana
yang tercantum dalam Undang-undang Jabatan Notaris (“UUJN”) kalaupun saat ini ada
pejabat umum lain yang diberi wewenang untuk membuat akta, tentu, ternyata
eksistensi pejabat umum lain tersebut tidak diatur berdasarkan undang–undang
sebagaimana ditentukan Pasal 1868 KUHPer. Padahal autentik suatu akta menurut
pasal 1868 KUHPer adalah jika akta tersebut dibuat dalam bentuk yang di tentukan
oleh undang-undang oleh pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu berdasarkan
Undang-undang yang mengaturnya.4 Sementara kewenangan notaris diatur dengan
UUJN, Soerjono Soekanto menguraikan perbedaan antara kekuasaan dan wewenang.
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain dapat disebut kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada
diri seseorang atau sekelompok orang, yang mendapat dukungan atau mendapat
pengakuan dari masyarakat. Kewenangan atau kewenangan merupakan istilah yang
umum digunakan dalam bidang hukum publik.5 Namun sesungguhnya terdapat
3
Husni Thamrin dan M. Khoidin, Hukum Notariat dan Pertanahan Kewenangan Notaris dan PPAT
Membuat Akta Pertanahan, (Yogyakarta:Laks Bang Justitia, 2021), hlm. 26.
4
Ibid, hlm. 27
5
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 91-92.
Universitas Indonesia
3
Universitas Indonesia
4
membuat akta fotokopi surat dibawahtangan asli yang tentunya isinya sama dengan
surat dibawahtangan aslinya, mengesahkan surat fotokopi yang telah dicocokkan atau
dicocokkan dengan aslinya, memberikan penyuluhan atau penjelasan hukum kepada
klien atau kepada pihak lain yang membutuhkan informasi terkait pembuatan akta,
pembuatan akta terkait tanah, dan pembuatan risalah lelang.6 Selanjutnya dalam Pasal
15 ayat (3) menggambarkan bahwa Notaris memiliki kewenangan lain yang kemudian
diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.7
Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta autentik apabila memenuhi dua unsur, yaitu
dibuat oleh pejabat yang berwenang dan dibuat menurut ketentuan perundang-
undangan. Banyak orang yang tidak mengetahui bagaimana cara membuat akta
autentik. Ketentuan mengenai pembuatan akta autentik sendiri terkadang diabaikan oleh
banyak pihak, termasuk di antaranya oleh pejabat umum yang telah ditunjuk untuk
membuat akta autentik. Suatu hal yang ironis tentunya mengingat fungsi pejabat umum
yang ditunjuk untuk membuat akta autentik adalah pejabat yang memiliki kewenangan
untuk melegalkan dan mencatat suatu akta autentik. Sekalipun pembuatan akta tidak
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, akibatnya suatu akta akan kehilangan
sifat autentisitasnya. Hal ini mempunyai konsekuensi dimana akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagaimana halnya dengan akta di bawah tangan dan bukan akta
autentik. Akta autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPer adalah akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat akta itu dibuat. Sedangkan menurut
Sudikno Mertokusumo, pengertian akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan pihak yang berkepentingan, terutama yang
memuat keterangan dari pihak lain. pihak lain. seorang pejabat menjelaskan apa yang
dia lakukan. dan melihat ke hadapannya.8
6
Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undnag-undang Nomor 30
Tahun 2004 tetang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, TLN No. 5491, LN No. 3/2014, Ps. 15 ayat (2).
7
Perubahan UUJN, Ps. 15 ayat (3).
8
Ibid., hlm. 10-13.
Universitas Indonesia
5
Suatu perjanjian ialah suatu peristiwa yang mana seseorang berjanji kepada orang
lain, ataupun kedua orang tersebut berjanji melakukan maupun melaksanakan suatu hal.
Dari peristiwa demikian timbulah kemudian sebuah hubungan antara kedua orang
tersebut yang disebut sebagai perikatan. Suatu perjanjian ada kalanya pula disebut
sebagai persetujuan dikarenakan kedua pihak itu setuju untuk melaksanakan suatu hal
tertentu. Lebih lanjut, perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian
merupakan suatu hal yang konkret. Apabila dalam suatu perikatan dari masing-masing
pihak terdiri hanya satu orang dan hal yang dituntut hanya berupa satu hal dengan
penuntutannya berikut dapat dilakukan seketika, maka perikatan sebagai berikut
merupakan bentuk yang paling sederhana. Selain itu, hukum perdata juga mengenal
bentuk perikatan lain yang lebih kompleks, yaitu:9
a. Perikatan bersyarat;
b. Perikatan dengan ketetapan waktu;
c. Perikatan mana suka (alternatif);
d. Perikatan tanggung-menanggung atau solider;
e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi;
f. Perikatan dengan ancaman hukuman
Akta autentik yang dibuat oleh notaris dapat digunakan sebagai alat bukti yang
sempurna apabila dikemudian hari ada salah satu pihak yang lalai menjalankan
kewajiban yang sudah diperjanjikan sebelumnya. Dengan adanya akta notariil ini maka
masing-masing pihak akan mendapat kepastian hukum tentang apa saja yang telah
diperjanjikan sebelumnya. Apabila debitur tidak dapat melunasi utangnya kepada
kreditur sesuai dengan waktu dan jumlah yang sudah diperjanjikan maka kreditur
berhak untuk menuntut pelunasan utang dengan cara mengeksekusi barang jaminan
yang dijaminkan oleh debitur. Adapun barang jaminan tersebut biasanya diagunkan ke
bank dengan lembaga jaminan Hak Tanggungan, Gadai, hipotik dan Fidusia, di mana
lembaga jaminan ini memberikan keistimewaan kepaa kreditur untuk dapat melakukan
eksekusi barang jaminan tanpa perlu mengajukan gugatan terlebih dahulu ke Pengadilan
untuk membuktikan adanya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur. Kreditur dapat
9
Subekti, Aneka Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2014), hlm. 2-4.
Universitas Indonesia
6
10
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Notaris, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.6.
Universitas Indonesia
7
bersekongkol dengan para pihak untuk melakukan suatu perbuatan melawan hukum
untuk menguntungkan dirinya sendiri. Penipuan secara bersama-sama adalah suatu
bentuk kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 378
yang menyatakan bahwa:11 12 13
“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengana memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohonganmenggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.”
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam membuat suatu akta baik itu perjanjian
pengakuan utang, akta sewa menyewa, maupun akta mengenai jaminan lainnya, Notaris
harus memperhatikan klausula yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian. Sebuah akta perjanjian yang tidak memenuhi syarat tersebut
tidak hanya dapat dibatalkan namun kekuatannya menjadi seperti akta dibawahtangan. 14
Bilamana dalam pembuatan akta tersebut terdapat unsur penipuan maka berdasarkan Pasal
56 UUJN, Notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam hal ini,
Notaris bertindak tidak amanah atas kepercayaan yang telah diberikan oleh para pihak,
tidak pula jujur dan tidak menjaga kepentingan para pihak karena mendahulukan
kepentingannya sendiri sehingga tidak hanya melanggar Pasal 16 UUJN melainkan pula
melanggar Pasal 17 ayat (1) UUJN.15 Menurut Pasal 85 UUJN, pelanggaran terhadap Pasal
16 ayat (1) huruf a dan e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian
11
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bandung:Fokusmedia, 2012), Ps. 378.
12
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, (Jakarta: Sofmedia,
2012), hlm. 13-14.
13
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 21-23.
14
Jesseline Tiopan, Winanto Wiryomartani, dan Widodo Suryandono, “Implikasi Hukum atas
Penipuan Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai Pengganti Akta Pinjam
Meminjam dengan Jaminan (Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta
Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017)”, (Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2019).
15
Fitra Deni dan Dara Fauziah, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Tindak Pidana Penipuan Dalam
Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli”, Autentik’s: Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 5 No. 1
(Januari 2023), hlm. 48-49.
Universitas Indonesia
8
dengan tidak hormat. Penjatuhan saksi administratid dilakukan oleh Majelis Pengawas
Notaris dengan cara berjenjang. Dalam hal sanksi kode etik, bilamana Notaris bersangkutan
terbukti melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 3 Kode
Etik Notaris maka sanksi yang akan diterima dapat berupa teguran, peringatan,
pemberhentian sementara dari keanggotaan perkumpulan, pemberhentian dengan tidak
hormat dari keanggotaan perkumpulan. Adapun sanksi perdata diberlakukan apabila
terbukti telah terjadi perbuatan melawan hukum atau wanprestasi di muka persidangan.
Sanksi pidana dikenakan kepada Notaris bilamana Notaris tersebut terbukti melakukan
sebuah perbuatan yang melanggar UUJN dalam pembuatan akta dan memberikan celah
yang mempermudah seseorang dalam akta tersebut untuk melakukan tindak pidana
penipuan. Uraian berikut menggambarkan bahwa notaris dapat dikenakan lebih dari satu
jenis sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi kode etik, sanksi perdata, maupun sanksi
pidana. 16
Dalam Kasus yang akan diteliti mengenai putusan Kasasi Mahkamah Agung Studi
Putusan Nomor 397K/PID/2021, di mana Terdakwa adalah seorang Notaris di wilayah
jabatan Daerah Istimewa Khusus Yogyakarta berinisial TAH. Notaris TAH bersama
dengan saksi Nyonya NL melakukan serangkaian tipu muslihat dengan mensiasasti utang
piutang antara Saksi Nyonya NL dengan saksi Nyonya S untuk dikemas menjadi akta
perikatan jual beli menjadi perjanjian sewa menyewa. Atas bujuk rayu dan tipu muslihat
dari Terdakwa Notaris TAH dan saksi Nyonya NL, Saksi Nyonya S menjadi tergerak
hatinya untuk menyerahkan hak kepemilikan atas 11 (sebelas) bidang tanah yang telah
bersertipikat dengan cara dibuatkan perikatan jual beli beserta akta kuasa menjualnya.
Tindakan Notaris TAH tersebut terang telah merugikan saksi Nyonya S. Hal tersebut
mendorong penulis untuk meneliti tentang bagaimana keabsahan pengakuan utang yang
diejawantahkan ke dalam perjanjian pengikatan jual beli diikuti sewa menyewa oleh
Notaris TAH dengan Nyonya NL terhadap akta yang dibuatnya terhadap Nyonya S dalam
judul tesis “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Diikuti dengan Sewa Menyewa
16
Cindy Daniela Lamandasa dan Surastini Fitriasih, “Akibat Hukum bagi Notaris atas Akta yang
Dijadikan Sarana Tindak Pidana Penipuan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
1276/Pid.B/2019/PN.Mdn)”, (Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2022).
Universitas Indonesia
9
dengan Causa Pengakuan Utang yang Dikualifisikasi Sebagai Delik Penipuan (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 397/K/Pid/2021)”.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai perjanjian pengikatan jual beli atau sewa menyewa dan
kaitannya dengan tindak pidana penipuan sebelumnya memang telah dilakukan oleh
beberapa penulis lain, diantara penelitian tersebut terdapat rumusan masalah yang sekilas
terlihat mirip. Pertama, penelitian Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, yang
ditulis oleh Jesseline Tiopan, yang berjudul, “Implikasi Hukum atas Penipuan Notaris
dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai Pengganti Akta Pinjam
Meminjam dengan Jaminan (Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris
Provinsi DKI Jakarta Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017” dengan salah satu
rumusan masalahnya adalah “bagaimana implikasi hukum atas penipuan notaris dalam
pebuatan akta perjanjian pengikatan jual beli sebagai pengganti akta pinjam meminjam
dengan jaminan?” di mana hasil penelitiannya adalah bahwa implikasi dari penipuan yang
dilakukan oleh Notaris dalam Putusan Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKI Jakarta/XI/2017
ialah tidak terlindunginya hak pelapor yang membuahkan kerugian secara finansial dan
oleh karena akta tersebut mengandung unsur penipuan maka akta dapat dibatalkan serta
kekuatannya menjadi seperti akta dibawahtangan.
Kedua, penelitian Tesis Magister Kenotariatan Universitas Pancasila, yang
dilakukan oleh Dara Fauziah yang berjudul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Tindak
Pidana Penipuan Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli” dengan salah
satu rumusan masalahnya “bagaimana tanggung jawab Notaris atas tindak pidana penipuan
dalam pembuatan akta pengikatan jual beli”. Adapun hasil penelitiannya adalah bahwa akta
tersebut tidak memenuhi dan tidak sesuai dengan Pasal 1320 KUHPer. Hal ini disebabkan
akta tidak memenuhi unsur objektif yang karenanya membuat akta tersebut batal demi
hukum sehingga notaris patut bertanggung jawab dan diberikan sanksi. Tidak hanya sanksi
pidana, tetapi juga sanksi secara administrasi dan kode etik karena melanggar Pasal 16
UUJN dan tidak memiliki iktikad baik untuk menjaga kehormatan jabatan Notaris.
Universitas Indonesia
10
C. Rumusan Masalah
Dalam tesis ini, permasalahan yang akan diangkat antara lain:
1. Bagaimanakah keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti sewa
menyewa dengan causa pengakuan utang?
2. Bagaimanakah delik penipuan yang terdapat pada Perjanjian Jual Beli diikuti sewa
menyewa dengan causa pengakuan utang dalam Putusan Mahkamah Agung
397K/PID/2021?
Universitas Indonesia
11
2. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan dan
keilmuan mengenai pembuatan akta autentik dan memberikan pandangan
serta solusi hukum mengenai permasalahan seputar pertanggungjawaban
Notaris.
Penelitian ini dapat memberikan masukan untuk mata kuliah…
b. Manfaat Praktis
1) Diharapkan dapat memberi masukan mengenai cara-cara yang
menunjang kinerja Majelis Pengawas Daerah Notaris dan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Agraria untuk melakukan
pengawasan lebih terhadap para Notaris/PPAT beserta akta yang
dibuatnya di Kota/Kabupaten dalam wilayah kerjanya;
2) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat atau
masyarakat umum secara keseluruhan sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan
Universitas Indonesia
12
E. Definisi Operasional
17
Soerjono Soekanto, Pengatar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.
132.
18
Ajeng Hanifa Caesar Aprilia, “Akta Risalah Lelang sebagai Akta Autentik”,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14819/Akta-Risalah-Lelang-sebagai-Akta-Autentik.html,
diakses pada 9 Maret 2023.
19
Subekti, Ps. 1868.
20
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPer Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan ,
(Bandung: Alumni, 1996), hlm. 1.
Universitas Indonesia
13
4. Perjanjian adalah salah satu dari sumber yang dapat melahirkan sebuah perikatan di
mana didalamnya berisikan rangkaian kata janji-janji, baik yang diutarakan secara
tertulis maupun secara lisan.21
5. Causa atau Kausa menurut KBBI adalah sebab yang menimbulkan suatu kejadian.22
6. Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu perbuatan yang tidak hanya dianggap
melanggar undang-undang tetapi juga sebuah tindakan yang bertentangan dengan
kepatutan, kesusilaan, serta sifat kehati-hatian yang hidup dan tumbuh di dalam
masyarakat. 23
7. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Jabatan Notaris.
24
8. Kode Etik Notaris adalah prinsip-prinsip moral yang ditentukan oleh Ikatan Notaris
Indonesia, selanjutnya disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan Kongres
Ikatan dan/atau ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai hal ini. dan yang berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap
notaris, serta pejabat sementara notaris dan notaris pengganti.25
9. Delik penipuan merupakan tipu muslihat atau serangkaian kata-kata bohong yang
diucapakan sehingga mengakibatkan pihak lain terpedaya karena ucapannya
tersebut. Rumusan Penipuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bukanlah
suatu definisi melainkan berisikan unsur-unsur dari suatu perbuatan yang dikatakan
sebagai penipuan dan pelakunya dapat dikenakan pidana. 26
10. Akta Perikatan Jual Beli merupakan salah satu instrumen perikatan yang memiliki
kekuatan pembuktian sempurna atau bersifat autentik. 27
Akta Perikatan Jual Beli
21
Ibid., hlm. 147.
22
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/kausa, diakses pada 27 Maret 2023.
23
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 50.
24
Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, LN 2004/No. 117, TLN No.
4432.
25
Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia 2015, Ps. 1 angka 2,
https://www.ini.id/uploads/images/image_750x_5bd7a3727eccd.pdf, diakses pada 9 Maret 2023.
26
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 37.
27
Agustiro Nugroho Ariwibowo, “Kepastian Hukum Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli Di
hadapan Notaris Tanpa Dihadiri Para Saksi”, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan
Keadilan Volume 11 Nomor 1 (Maret 2020), hlm. 85.
Universitas Indonesia
14
memiliki sifat bebas yang berisikan janji-janji para kontraktan dengan mengalihkan
hak kepada pihak lain sehingga peralihan hak tersebut mendapatkan kepastian dan
perlindungan hukum.28
11. Akta Sewa Menyewa adalah akta yang berisikan persetujuan untuk pemakaian
sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak, dengan pembayaran dan suatu
harga tertentu.29
12. Surat Pengakuan Utang adalah suatu surat berharga yang diterbitkan untuk
mengikat secara hukum seluruh jaminan debitur bagi kepentingan kreditur yang
termasuk dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tagun 1992 tentang Perbankan. 30
F. Metode Penelitian
Penelitian tentang “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Diikuti Sewa
Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang yang Dikualifikasi Sebagai Delik Penipuan
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/PID/2022)” mengenai
pertanggungjawaban pembuatan akta yang dibuat oleh Notaris merupakan suatu
penelitian hukum doktrinal. Penelitian doktrinal ialah suatu penelitian hukum yakni
ilmu hukum yang menjelaskan dan menganalisis tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, maupun norma-norma hukum.31
Sedangkan penelitian non-doktrinal ialah penelitian hukum yang dikonsepsikan sebagai
pranata riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain. Jenis penelitian dalam
penyusunan penulisan hukum ini bersifat Eksplanatoris-analisis analitis yaitu penelitian
yang bermaksud untuk menguji hipotesa-hipotesa yang ada guna memperkuat atau
bahkan menolak hipotesa hasil penelitian sebelumnya32 Juga guna mengetahui
28
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm. 14.
29
Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),
hlm. 59.
30
Karmila Sari Sukarno dan Pujiyono, Penghapusan Leglaisasi Surat Pengakuan Utang dalam
Perjanjian Kredit Perbankan, (Surakarta: CV Indotama Solo.2019), hal. 134.
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 33.
Universitas Indonesia
15
32
Soetandyo Wignjosoebroto, Silabus Metode Penelitian Hukum, (Surabaya: Universitas Airlangga,
2008), hlm. 1-3.
33
Amiruddin dan Zainal Aisikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press,
2006), hlm. 133.
34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2012),
hlm. 44.
35
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Univesitas Indonesia), hlm.36-39.
36
Ibid., hlm.49-44.
37
Ibid., hlm. 45-48.
Universitas Indonesia
16
Alat pengumpulan data yang digunakan berupa studi dokumen atau studi
kepustakaan yang meliputi peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan
kepustakaan lain yang dapat dijadikan sebagai penunjang. Studi dokumen atau
bahan pustaka ini berfungsi untuk memberikan fakta yang secara tidak langsung
memberikan pemahaman tentang masalah yang sedang diteliti. Data-data hasil
studi kepustakaan yang saya kumpulkan berasal dari Perpustakaan Universitas
Indonesia dan Pusat Studi Dokumen dan Referensi Hukum Soediman
Kartohadiprojo (PDRH).
Metode analisis data yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif,
yakni tata cara penelitian yang menghasilkan penelitian Eksplanotis-analisis
untuk memberikan gambaran atas permasalahan hukum yang terjadi serta
memberikan solusinya. Kemudian mengenai bentuk dari peneilitian yang
dilakukan penulis ialah berupa Eksplanotis-analisis dengan tujuan untuk
mendeskripsikan dan memberikan usulan terkait permasalahan-permasalahan
hukum sejalan dengan konsep serta teori yang ada dalam ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini digunakan beberapa tahap atau sistematika penulisan
untuk dapat mempermudah pemahaman terhadap tesis ini. Adapun sistematika
dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Bab ini mengantarkan kepada bab-bab selanjutnya. Bab ini
berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
metode penelitian, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
Bab II Kewenangan Notaris, Keabsahan Akta-akta Yang dibuat Oleh Notaris,
Kasus Posisi yang berisikan tinjauan umum mengenai jabatan Notaris, akta-akta
yang dibuat oleh Notaris dalam mengampu jabatannya, Tindak pidana penipuan
yang dilakukan oleh notaris, serta kasus posisi.
Bab III Pembahasan, berisikan analisis mengenai keabsahan perjanjian
pengikatan jual beli diikuti dengan sewa menyewa dengan causa pengakuan utang,
Universitas Indonesia
17
serta keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti dengan sewa menyewa
dengan causa pengakuan utang yang dikualifiisikan sebagai delik penipuan.
Bab IV Penutup. Bab ini menguraikan akhir penulisan tesis yang terdiri dari
simpulan yang berisi tentang hasil akhir penulisan dan saran yang dapat
diaplikasikan.
Universitas Indonesia
18
BAB II
A. Jabatan Notaris
1. Definisi, Tugas, dan Kewenangan Notaris
Notaris secara definisi diartikan sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan
untuk membuat akta autentik serta menjalankan kewenangan lainnya sebagai yang
dimaksud dalam undang-undang jabatan Notaris. Keberadaan Notaris memiliki peranan
penting dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum, khususnya perihal hukum perdata.
Selanjutnya, Notaris ialah seorang pejabat publik yang diberikan kewenangan untuk
membantu masyarakat luas dalam hal pembuatan akta-akta autentik maupun
kewenangan lainnya. Selain itu, hadirnya Notaris pula diperlukan masyarakat karena
setiap keterangan yang diberikan oleh Notaris dianggap benar keberadaannya,
begitupula mengenai tanda tangan atau cap dari Notaris yang dapat memberikan suatu
jaminan dan alat menjadi sebuah alat bukti yang kuat atas terjadinya suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki kepentingan. 38 Kewenangan yang
dimiliki Notaris ini ialah berupa kewenangan atribusi. Kewenangan jenis ini ialah
kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-undang, dalam hal ini ialah UUJN,
dan tidak diberikan oleh lembaga pemerintah. 39 Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 15
Undang-undang Jabatan Notaris yang mengatur bahwa:
“Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan uang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
38
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2011), hlm. 449.
39
Denico Doly, “Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta yang Berhubungan dengan Tanah”,
Negara Hukum (November 2011), hlm. 279.
Universitas Indonesia
19
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.”40
Kewenangan utama Notaris ialah membuat suatu akta autentik, namun tidak
semua akta autentik dapat dibuat oleh Notaris sebagaimana contohnya adalah
Notaris tidak memiliki kewenangan untuk mmebuat akta kelahiran, akta kematian,
maupun akta perkawinan. Hal ini dikarenakan, akta-akta tersebut merupakan
kewenangan dari instansi pemerintah yang lain. Adapun yang dimaksud sebagai
akta autentik yang dibuat notaris adalah mengenai suatu perjanjian antara satu pihak
dengan pihak lainnya yang dibuat atas dasar permintaan pihak-pihak tersebut.
Selain itu akta yang dapat dibuat Notaris dapat pula suatu akta yang dibutuhkan
oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai alat bukti di kemudian hari bilamana
dibutuhkan. 41
Pada Pasal 15 ayat (2) UUJN mengatur pula kewenangan lain yang
diberikan kepada Notaris, yaitu:42
1) “Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawahtangan dengan mendaftar pada buku khusus;
2) Membukukan surat dibawahtangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
3) Membuat kopi dari asli surat dibawahtangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan aslinya;
5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan kata;
6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
7) Membuat akta risalah lelang.”
Seiring perjalanan waktu, Notaris pula diberikan kewenangan untuk
membuat dan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik atau dalam
arti lain dikenal pula sebagai cyber notary, membuat akta ikrar wakaf, serta
membuat akta hipotek pesawat terbang. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 15
ayat (3) UUJN mengenai kewenangan lain yang dimiliki oleh seorang Notaris. 43
Universitas Indonesia
20
terhadap akta yang dibuatnya merupakan kewenangan dari Notaris yang mana tidak
setiap pejabat umum memiliki kewenangan untuk senantiasa selalu membuat akta
autentik. Karena hanya seorang Notaris saja yang diperkenankan untuk membuat
akta autentik mengenai akta-akta tertentu saja dan telah ditetapkan serta
dikecualikan oleh undang-undang yang mengatur. Kedua, seorang Notaris hanya
dapat membuat akta untuk orang-orang yang diizinkan oleh undang-undang
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN.44
“Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, suami/istri,
atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan denganNotaris baik
karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturuna ke bawah
dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, mapun dalam suatu
kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.”45
44
G.H.S. Lumban Tobing , Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 49.
45
Perubahan UUJN, Ps. 52 ayat (1).
46
Tobing, Peraturan…, hlm. 50.
Universitas Indonesia
21
belum diangkat sumpah jabatan pula tidak diperbolehkan membuat suatu akta
autentik. 47
2. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris
47
Ibid.
Universitas Indonesia
22
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPer disebutkan bahwa akta dapat berupa akta
dibawahtangan dan akta autentik. Kedua akta tersebut merupakan bukti tertulis
namun terdapat perbedaan mengenai kekuatan pembuktian di antara keduanya.
Berbeda dengan surat biasa, sebuah akta dibuat dengan sengaja untuk diberlakukan
sebagai alat bukti di persidangan. Akan tetapi suatu akta ialah sebuah bukti bahwa
telah terjadi suatu peristiwa hukum dan akta-lah yang menjadi buktinya. 48 Dengan
demikian, tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta autentik yang memiliki
kekuatan hukum dan dapat dipergunakan sebagai alat bukti tertulis bagi para pihak
di dalamnya. Namun dalam prakteknya, para pihak yang telah melakukan perbuatan
hukum tersebut tetap dapat bersengketa satu sama lain mengenai isi dari akta
Notaris tersebut.
Sebagai suatu akta autentik, akta Notaris memiliki fungsi sebagaimana akta-
akta lainnya. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa suatu akta dapat memiliki
fungsi formill dan dapat pula berfungsi sebagai alat bukti, yaitu:
a. Fungsi formil (formalitas causa)
Akta mempunya fungsi formil, artinya agar lengkap serta sempurnanya suatu
perbuatan hukum, harus dibuatkan suatu akta terkait. Para pihak yang hendak
melakukan perbuatan hukum wajib membuatnya dalam bentuk tertulis, baik
itu akta autentik maupun akta dibawahtangan.
b. Fungsi alat bukti (probationis causa)
Sejak awal para pihak dengan sengaja membuat akta (asli atau lebih rendah
tangan) sebagai bukti di kemudian hari. sifat tertulis perjanjian itu tidak
membuatnya sah suatu perjanjian, tetapi agar akta itu dapat digunakan oleh
mereka sebagai alat bukti jika terjadi sengketa di kemudian hari.
Akta autentik termasuk didalamnya akta Notaris, pada dasarnya memiliki 3
(tiga) kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian sendiri diatur dalam Pasal 1870,
1871, 1875 KUHPer yang pada intinya menyatakan bahwa pembuktian sempurna
dan mengikat mengenai kebenaran yang terdapat dalam akta tidak hanya bagi para
48
Dedy Purnomo, “Kekuatan Pembuktian Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Selaku Pejabat Umum
Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia”, Lex Jurnalia, Volume 12, Nomor 13, Desember 2015, hal. 249-
250.
Universitas Indonesia
23
pihak yang bersangkutan. Akan tetapi berlaku pula kepada ahli waris dan penerima
hak. Adapun kekuatan pembuktian tersebut yaitu:49
a. Kekuatan pembuktian lahiriah
Pembuktian lahiriah artinya kemampuan dari suatu akta itu untuk
membuktikan dirinya merupakan sebuah akta autentik. Berdasarkan Pasal
1875 KUHPer, kekuatan pembuktian ini tidak dimiliki pada akta
dibawahtangan. Akta dibawahtangan dapat berlaku sah terhadap siapa akta itu
akan dipergunakan selama pihak tersebut menyatakan benar bahwa ialah yang
menandatangani akta dibawahtangan tersebut. Lain halnya dengan akta
dibawahtangan, akta autentik dapat membuktikan sendiri keabsahannya.
Artinya, suatu akta yang memenuhi syarat dan mempunyai bentuk seperti akta
uatentik, maka akta tersbeut berlaku dan dianggap seperti aslinya sampai
terbukti sebaliknya (acta publica probant seseipsa). Dengan demikian
permasalahan pembuktian akta autentik hanya berdasarkan keaslian tanda
tangan pejabat yang membuat akta.
Kekuatan pembuktian lahiriah suatu akta autentik adalah berupa
pembuktian yang lengkap, penerapannya untuk semua orang, dan tidak
terbatas pada para pihak. Demikian pula akta notaris yang bentuk lahiriahnya
sempurna, sah dan dapat mengikat setiap orang sebagai akta autentik karena
dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk membuatnya.
b. Kekuatan pembuktian formal
Kekuatan pembuktian formal artinya bahwa suatu akta terjamin akan
kebenaran serta kepastian tanggal akta, kebenaran tanda tangan yang ada
dalam akta, identitas diri dari para pihak yang hadir, serta tempat di mana akta
itu dibuat. Pembuktian dormal akta, tanpa mengurangi pembuktian
sebaliknya, merupakan pembuktian lengkap. Hal ini berarti bahwa keterangan
pejabat yang berada dalam dua golongan akta maupun keterangan para pihak
dalam akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal yang berlaku
bagi setiap orang.
49
Ibid., hlm. 254-255.
Universitas Indonesia
24
Larangan dalam pengertiannya ialah suatu perintah yang dibuat untuk tidak
diplakukannya sesuatu hal tertentu.50 Larangan yang diperintahkan kepada seorang
Notaris dalam selama menjalankan jabatannya ditentukan dalam Pasal 17 UUJN
yang mengatur bahwa sebagai berikut: 51
1. “Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya
2. Meninggalkan wilayah jabatan lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
3. Merangkap sebagai pegawai negeri;
4. Merangkap sebagai pejabat negara;
5. Merangkap sebagai advokat;
6. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7. Merangkap jabatan jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris
8. Menjadi Notaris Pengganti;
9. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama.
Kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.”
Selain daripada larangan yang telah disebutkan, seorang Notaris pula
memiliki kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
16 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris, yakni:
a. “Bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta;
50
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/larang, diakses pada 9 Maret 2023.
51
Perubahan UUJN, Ps. 17 ayat (1)
Universitas Indonesia
25
52
Perubahan UUJN, Ps. 16 ayat (1).
Universitas Indonesia
26
53
Abriged, Black’s Law Dictionary, 7th Edition, (Minnesotta, West Publishing Co.: 2000),
278.
Universitas Indonesia
27
bahwa para pihak yang datang kepada Notaris memang berniat baik dan dapat
dibuktikan keabsahannya melalui dokumen-dokumen yang para pihak itu sertakan
dan lainnya.54 Penerapan asas iktikad baik oleh seorang Notaris dalam pembuatan
sebuah akta seyogyanya merupakan suatu hal yang wajib dimiliki dan diterapkan
oleh Notaris. 55
Selain dengan menerapkan iktikad baik dalam membuat akta, Notaris pula perlu
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan jabatannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN, yang menyatakan bahwa Notaris harus
menjalankan jabatannya secara seksama atau dalam hal ini adalah hati-hati.
Penerapan prinsip ini juga sebagai benteng yang melindungi Notaris serta bentuk
perlindungan bagi produk-produk hukum yang nantinya diterbitkan oleh Notaris
selama ia memangku kewenangannya tersebut. Lebih lanjut, prinsip kehati-hatian
juga dapat difungsikan sebagai sebuah jalan untuk meminimalisir terjadinya hal-hal
yang dapat merugikan Notaris khususnya dalam hal ini adalah timbulnya gugatan
atas produk hukum yang dibuat Notaris yang diajukan oleh para pihak dalam akta.
Prinsip kehati-hatian dapat diterapkan dengan beberapa cara. Salah satunya
dengan melakukan pemeriksaan terhadap subjek secara terperinci atas pihak-pihak
yang hadir di hadapannya seperti memeriksa data diri dalam hal ini Kartu Tanda
Penduduk, Kartu Keluarga, atau passport yang kemudian dicocokan dengan foto
yang ada dalam dokumen fisik dengan para pihak yang sedang berhadapan dengan
Notaris. Maksud dari pemeriksaan ini tidak lain untuk memastikan bahwa pihak
yang sedang menghadap benar merupakan pihak yang memiliki kecakapan dan
berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang sah. Selain itu, Notaris
juga perlu memriksa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek yang dibawa
oleh para pihak yang bersangkutan seperti memeriksa keaslian dari sertipikat tanah
melalui pengecekan ke Badan Pertanahan Negara serta memastikan bahwa objek
yang bersangkutan bebas dari sengketa atau sedang berada di bawah Hak
54
Wardah Aprilia, Dian Puji N. Simatupang, Pieter Everhardus Lantumenten, “Analisis Penerapan
Iktikad Baik dan Pertanggungjawaban Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah Terhadap Akta Jual Beli dan
Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Terhadap Objek Warisan Yang Belum Dibagi Waris (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 156K/Pdt/2020)”, Indonesian Notary, Vol. 4, No. 1, (2022), hlm. 294-295.
55
Ibid.
Universitas Indonesia
28
Tanggungan. Notaris perlu pula memberikan suatu bentuk penyuluhan hukum dan
membantu para pihak untuk membuat kerangka sebelum akta yang dibutuhkan oleh
para pihak dibuat. Selain itu Notaris harus memenuhi segala hal yang memiliki
keterkaitan dengan syarat verlijden pada saat pembuatan akta. Artinya Notaris harus
melakukan penyusunan, pembacaan, dan penandatanganan terhadap akta serta
melakukan kewajiban-kewajiban yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-
undang Jabatan Notaris.56
Prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan oleh Notaris dapat pula diterapkan
dengan cara Notaris memperhatikan ketentuan tentang tenggang waktu dalam
pembuatan akta, artinya adalah Notaris memberikan batasan waktu dibuatnya akta
agar pada proses pembuatannya tidak terburu-buru dan dapat dilakukan dengan
cermat mengenai kebenaran aktanya. hal ini dimaksudkan agar akta-akta tersebut
terhindar dari masalah seperti terdapatnya kata-kata multitafsir pada isi akta. Notaris
pula perlu memperhatikan dan memastikan mengenai penggunaan teknik
pembuatan akta Notaris seperti memastikan terpenuhinya syarat-syarat formal
pembuatan akta yang ditentukan dalam Pasal 38 Perubahan UUJN, demikian pula
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Dalam prosesnya Notaris memiliki tanggung jawab untuk melaporkan
kepada pihak berwajib bilamana ditemukan indikasi tindakan pencucian uang dalam
transaksi serta pembuatan akta Notaris.57
Notaris selama dalam kewenangannya sebagai Pejabat dituntut pula menerapkan
asas kecermatan. Kecermatan berarti selalu melaksanakan pekerjaan dengan sangat
hati-hati dan selalu memperhatikan norma atau kaidah profesi yang ada serta
memperhatikan kaidah moral yang berlaku di lingkungan profesi. Proses
pelaksanaan ketelitian yang diharapkan dari seorang Notaris adalah berupa
tanggung jawab, yang dimaksudkan sebagai tanggung jawab profesional yang
dilakukan oleh seorang Notaris dalam menjalankan kewenangannya. Perlunya
56
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (kumpulan Notaris dan PPAT),
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 86.
57
Ida Bagus Paramaningrat Manuaba, I Wayan Parsa dan I Gusti Ketut Ariawan, “Prinsip Kehati-
hatian Notaris dalam Membuat Akta Autentik”, Acta Comitas (2018), hlm. 68-69.
Universitas Indonesia
29
kecermatan sebagai Notaris merupakan salah satu hal yang harus dimiliki dan selalu
ada dalam jiwa seorang Notaris, misalnya seorang Notaris harus selalu
mempertimbangkan dan mendengarkan dengan seksama informasi yang diberikan
oleh para penghadap apakah sesuai berdasarkan hukum yang berlaku dan relevan. 58
Pentingnya asas kecermatan ini untuk dimiliki Notaris dapat dilaksanakan dengan
Notaris menjalankan tugasnya dengan baik sebagaimana ketentuan yang diatur oleh
Undang-undang Jabatan Notaris serta Kode Etik Notaris maupun aturan lainnya
yang terkait dengan jabatan Notaris. Selain itu Notaris seyogyanya harus memiliki
kemampuan mumpuni, selalu bersikap waspada dan teliti dalam setiap pembuatan
akta, menerapkan dan memiliki sikap seksama dalam menjalankan kewenangan dan
tugasnya, serta memiliki kesediaan untuk senantiasa melakukan evaluasi diri
terhadap tindakan-tindakan yang hendak dikakukan serta pada saat pengambilan
keputusan dalam membuat akta.59
Selain dari penerapan ketiga hal penting di atas, dalam menjalankan jabatannya
Notaris wajib memiliki asas-asas lainnya yang perlu diterapkan, yakni:
1. Asas Persamaan
Asas persamaan ini dimaksudkan agar Notaris dapat menjalankan
jabatannya dan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara merata, artinya
tidak ada perlakuan khusus atau tidak ada perbedaan dalam memberikan pelayanan
kepada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perlakuan diskriminatif atas
dasar ekonomi, sosial atau lainnya bukanlah hal yang dapat dibenarkan ketika
seorang Notaris melayani masyarakat. Selain itu, Notaris dilarang menolak untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat apabila alasan penolakan tersebut tidak
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dalam
keadaan tertentu bahkan Notaris wajib untuk memberikan pelayanan jasa secara
58
Thea Farina, “Asas Kecermatan Dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris”, (Disertasi Doktoral Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014), hlm.
82.
59
Ibid.
Universitas Indonesia
30
cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu untuk membayar jasanya sebagaimana
diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUJN Perubahan.60
2. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan adalah asas yang menyatakan bahwa Notaris dalam
menjalankan jabatannya harus bertumpu pada hubungan saling percaya antara
Notaris dengan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya. Asas kepercayaan ini perlu
diterapkan oleh Notaris karena dalam menjalankan jabatannya Notaris akan
menerima honorarium dari para pihak sebagai imbalan atas jasa yang diberikan oleh
Notaris, artinya para pihak telah memilih Notaris yang bersangkutan karena
pertimbangan para pihak serta adanya rasa percaya kepada Notaris, begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang Notaris untuk selalu
menjunjung tinggi asas kepercayaan ini, sebagai wujud bahwa Notaris telah
menjaga dengan baik segala bentuk amanah yang telah dipercayakan oleh para
pihak kepada Notaris, sehingga para pihak juga tetap menaruh kepercayaannya. di
Notaris. Selain itu, asas kepercayaan juga dikenal dengan istilah legal expection,
artinya segala bentuk harapan yang dimiliki oleh para pihak, baik berupa janji
maupun pernyataan yang disampaikan kepada Notaris, maka semua yang
diharapkan dari para pihak dapat direalisasikan. dipenuhi oleh Notaris, tetapi harus
tetap berada di tangan Notaris. jalan yang benar yaitu tidak melanggar ketentuan
UUJN atau Kode Etik Notaris.61
3. Asas Kepastian Hukum
Asas ini mengingatkan bahwa seorang Notaris dalam menjalankan
jabatannya harus senantiasa berpegang pada pedoman yang telah ditetapkan yaitu
menaati peraturan-peraturan yang berkaitan dengan segala jenis perbuatan yang
akan dilakukan oleh Notaris dan kemudian dituangkan dalam Akta. Menjalani
jabatan dengan berpegang pada pedoman dan tata cara yang telah ditetapkan
membuat masyarakat yakin dan percaya bahwa Notaris dalam menjalankan
60
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm. 34.
61
Aganita Dhaneswara, “Keterlibatan Notaris dalam Pemberantasan Money Laundering
Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2015 Dikaitkan dengan Asas Kerahasiaan Terbatas,” Lex Renaissance (Januari
2020), hlm. 172.
Universitas Indonesia
31
jabatannya telah dapat memberikan kepastian hukum, akta yang dibuat telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga ketika suatu terjadi
perselisihan, akta yang dibuat oleh Notaris dapat dijadikan pedoman yang
mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dalam ranah hukum perdata.62
4. Asas Kecermatan
Seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya perlu menerapkan asas
kecermatan ini. Kehati-hatian yang nyata harus selalu melekat baik pada jiwa
pribadi maupun dalam menjalankan jabatannya. Dalam menerapkan asas ketelitian
ini, misalnya pada proses identifikasi pihak-pihak yang mendahuluinya, identifikasi
dilakukan berdasarkan identitas yang diberikan oleh pihak-pihak tersebut,
menyimak dengan seksama dan melihat dengan seksama apa keinginan dan maksud
dari pihak-pihak tersebut. para pihak, melakukan pemeriksaan dan pemeriksaan
terkait. dokumen yang diserahkan dan dibutuhkan oleh Notaris. Asas kecermatan
merupakan bentuk penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-undang Jabatan
Notaris, Selain dari penjelasan sebelumnya tersebut di atas, Notaris juga dalam
menjalankan jabatannya dalam hal membuat akta wajib melakukan cara-cara
tertentu yaitu memberi nasihat dan membuat kerangka akta untuk memenuhi apa
yang dikehendaki atau dikehendaki oleh para pihak, melaksanakan segala teknis
administrasi dalam pembuatan akta seperti membaca akta, menandatangani,
memberikan salinan dan risalah akta, dan Notaris wajib melaksanakan segala
kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Hal ini dilakukan
dengan maksud agar setiap akta yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris ini
mempunyai alasan dan fakta hukum sebagai pendukung akta tersebut, yang
selanjutnya harus dijelaskan kepada pihak yang berkepentingan.63
5. Asas Pemberian Alasan
Asas ini bertujuan agar setiap akta yang dibuat oleh atau dibuat di hadapan
notaris harus selalu mempunyai fakta-fakta hukum dan alasan-alasan pendukung
yang berkaitan dengan akta yang telah dikeluarkannya yang kemudian dijelaskan
62
Adjie, Hukum Notaris Indonesia…, hlm. 36.
63
Eka Susylawati, Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Perkara Kewarisan Islam
Berdasarkan Undang-undang Peradilan Agama, (Pamekasan: Duta Media Publishing), hlm. 238.
Universitas Indonesia
32
64
Virany Inkiriwang, “Notaris dalam Menjalan Jabatannya Bertindak Sebagai Makelar Tanah dan
Pengurusannya Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, (Tesis
Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Juni, 2010), hlm. 73.
65
Habib Adjie, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 86.
66
Ibid., hlm. 90.
67
Anita Kamilah, “Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Pemanfaatan Aset negara Melalui Model
Build Operate and Transfer/Bot”, Jurnal Hukum & Pembangunan (November, 2019), hlm. 609.
Universitas Indonesia
33
68
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 87.
69
M Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan tanggung Jawab Notaris, Cet. 1, (Yogyakarta: UII
Press, 2017), hlm. 25-26.
70
Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1996), hlm. 15-16.
Universitas Indonesia
34
dipersalahkan kepada yang bersangkutan. Tanggung jawab juga berarti suatu bentuk
kewajiban untuk melaksanakan apa yang diminta dan dibebankan kepadanya.71
Bentuk tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada notaris atas kelalaiannya
biasanya berupa sanksi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum
Indonesia dimana setiap ada kesalahan yang dilanggar maka akan ada sanksi yang
menunggu untuk dilaksanakan dan dipenuhi sebagai bentuk pertanggungjawaban atau
untuk menebus kesalahan yang telah dilakukan. Hakikat sanksi yang diterapkan adalah
sebagai bentuk pemaksaan berdasarkan hukum yang berlaku sebagai bentuk teguran
kepada Notaris yang melakukan kelalaian atau kesalahan dan pelanggaran dalam
menjalankan jabatannya sebagaimana ditentukan dalam UUJN dan Perubahan UUJN
serta adanya hal tersebut. Sanksi ada dengan harapan agar Notaris dapat kembali
menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun
peraturan yang berlaku lainnya dan tidak melakukan kesalahan yang sama atau
kesalahan lainnya, serta sebagai bentuk untuk mengingatkan Notaris bahwa apabila
dalam menjalankan jabatannya tidak sesuai dengan peraturan, tentu akan ada sanksi
yang menimpanya.72 Tanggung jawab yang dapat dituntut kepada Notaris terdiri dari
beberapa aspek, yakni:
1. Tanggung Jawab Sanksi Administratif
Notaris dapat dijatuhi sanksi administratif bila selama menjalankan
jabatannya melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal yang ditentukan dalam
Undang-undang Jabatan Notaris begitupula dengan Perubahan dalam Undang-
undang tersebut, yaitu Pasal 7 ayat (1), Pasal 16, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 32, Pasal
37, Pasal 54, Pasal 58, dan Pasal 59. Sanksi administratif tersebut diatur dalam pasal
85 UU Jabatan Notaris yang terdiri dari 5 jenis sanksi yang dapat diterima oleh
Notaris. Pertama, berupa teguran lisan, yaitu teguran pertama yang diberikan
kepada Notaris yang melakukan pelanggaran dalam menjalankan jabatannya,
teguran lisan ini biasanya disampaikan oleh Majelis Pengawas Notaris. Teguran
71
Ainur Rofix Subastyo, “Ketentuan Batas Waktu Tanggung Jawab Notaris sebagai Pejabat Umum
Terhadap Akta yang Dibuat Di Hadapannya Setelah Masa Jabatan Berakhir”, (Tesis Magsiter Kenotariatan
Universitas Brawijaya, Malang, 2019), hlm. 68.
72
Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung: Mandar
Maju, 2011), hlm.194-195.
Universitas Indonesia
35
lisan ditempatkan pada posisi pertama untuk menguji Notaris, bahwa dengan
teguran lisan ini untuk menguji ketelitian dan ketelitian Notaris untuk memperbaiki
dan mempertanggungjawabkan kesalahan yang dilakukannya. 73 Kedua, teguran
tertulis yang merupakan kelanjutan dari teguran lisan yang disampaikan sebelumnya
kepada Notaris. Teguran tertulis adalah teguran yang disampaikan oleh Majelis
Pengawas kepada Notaris dalam bentuk tertulis yang wajib dipatuhi dan
dilaksanakan oleh Notaris. Ketiga, pemberhentian sementara, yaitu pemberhentian
sementara Notaris dari menjalankan jabatan dan wewenangnya atau disebut dengan
pemberhentian sementara Notaris.74 Pemberhentian sementara yang ditentukan
dalam Pasal 9 ayat (1) UUJN perubahan yaitu:
“Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
a. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran
utang;
b. Berada di wilayah pengampuan;
c. Melakukan perbuatan tercela;
d. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan
serta Kode Etik Notaris; atau
e. Sedang menjalani masa penahanan.”75
Pemberhentian sementara diberikan untuk memberikan jeda pada Majelis
Pengawas yang melakukan pemeriksaan terkait dengan pelanggaran yang
dilakukan oleh Notaris dengan memberikan penetapan jangka waktu sehingga
dapat memberikan kepastian kepada Notaris mengenai lamanya waktu Notaris
tersebut tidak dapat menjalankan jabatannya tersebut. Sanksi pemberhentian
sementara ini ialah merupakan sanksi paksaan76 dan pemberiannya akan berakhir
dengan dilakukannya pemulihan kepada Notaris yang bersangkutan untuk dapat
kembali menjalankan tugas jabatannya atau setelah ada penjatuhan sanksi
selanjutnya kepada Notaris. 77
73
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 114.
74
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 115.
75
Perubahan UUJN, Ps. 9 ayat (1).
76
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 115
77
Etheldrea Tikatama Ayutiar dan Widodo Suryandono, “Tanggung Jawab Dan Sanksi Terhadap
Notaris Yang Turut Serta Memberikan Keterangan Palsu dalam Akta Jual Beli Saham (Studi Kasus Putusan
Nomor 9/PID/2019/PT.PTN)”, Indonesian Notary (2020), hlm. 192. .
Universitas Indonesia
36
Kemudian pemberhentian tidak hormat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
UUJN yakni mengatur bahwa:
“Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat
karena:
a. Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
c. Permintaan sendiri;
d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk
melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih
dari 3 (tiga) tahun; atau
e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
g.”78
Selanjutnya pemberian sanksi pemberhentian tidak hormat sebagaimana
yang ditentukan Pasal 12 dan 13 Undang-undang Jabatan Notaris dan Pasal 68
ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun
2014 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian,
dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris, yang mana keseluruhannya memiliki
inti bunyi yang sama yaitu:
“Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh
Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila:
a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3
(tiga) tahun;
c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat jabatan notaris; dan
d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan
jabatan.”79
Pasal 13 kemudian menyatakan bahwa Notaris akan diberikan sanksi
pemberhentian dengan tidak hormat bilamana Notaris dijatuhi pidana penjara
dengan masa hukuman lima tahun dan putusan telah berkekuatan hukum tetap.
Pemberhentian sanksi ini merupakan tahap final. Dengan demikian, teknis
penjatuhan tanggung jawab administratif ini dilakukan secara langsung oleh
Majelis Pengawas yang mempunyai kewenangan untuk menjatuhi sanksi
terhadap notaris yang memiliki pelanggaran dalam menjalankan jabatannya.
78
Perubahan UUJN, Ps. 8 ayat (1).
79
UUJN, Ps. 12.
Universitas Indonesia
37
Universitas Indonesia
38
83
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 123-124.
84
I Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Banten 29-30 Mei
2015, Ps. 6, https://www.ini.id/uploads/images/image_750x_5bd7a3727eccd.pdf, diakses pada 10 Maret
2023.
Universitas Indonesia
39
hal membuat akta tidak dapat ditentukan dan tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Perubahan UUJN dan UUJN, dan ketiga dan tindakan yang
dilakukan oleh Notaris jelas melanggar apa yang telah dilakukan oleh pejabat yang
berwenang dalam hal ini adalah Majelis Pengawas Notaris. Dengan demikian,
seorang Notaris hanya dapat dijatuhi sanksi pidana apabila ketiga hal yang
disebutkan di atas telah dilanggar oleh Notaris.85 Penjatuhan pidana merupakan
langkah ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir yang ditempuh untuk
mendapatkan tanggung jawab atas perbuatan Notaris yang telah melanggar
kententuan-ketentuan yang berlaku. Meninjau dari Pasal 9 dan Pasal 13 UUJN,
apabila seorang Notaris dijatuhi hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan
telah memiliki kekuatan hukum yang tepat, makaNotaris tersebut dapat
diberhentiksan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri yang berwenang.
Universitas Indonesia
40
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
42
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
Universitas Indonesia
45
hukum, bahkan jika janji itu menimbulkan kewajiban sosial atau moral. Selalu
ada kemungkinan para pihak tidak menyadari bahwa janji yang dibuatnya
mempunyai akibat hukum tergantung pada keadaan dan kebiasaan masyarakat.
4. Akibat hukum untuk kepentingan para pihak
Kehendak dan kemauan para pihak belum tentu lepas dari aturan namun
implikasi hukum yang tidak merugikan salah satu pihak dan jelas merugikan
pihak lainnya penting untuk dilakukan sebuah kesepakatan.
5. Dibentuk dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan
Bentuk dari suatu susunan perjanjian pada hakikatnya tidak diatur dan oleh
karena itu menjadi sebuah kebebasan bagi para pihak. Namun beberapa jenis
perjanjian ditentukan oleh undang-undang sehingga menimbulkan akibat bahwa
perjanjian tersebut akan dapat menjadi syarat mutlak untuk lahirnya sebuah
perbuatan melawan hukum.
Selain unsur-unsur yang dijelaskan di atas, J.Satrio mengemukakan unsur-
unsur lainnya yaitu:98
1. Unsur essensialia merupakan unsur yang wajib dimiliki dalam sebuah
perjanjian. Hal ini diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
2. Unsur naturalia merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang di mana
keberadaanya mungkin saja digantikan oleh kehendak para pihak. Contohnya
dalam ketentuan Pasal 1476 KUHPer yang dapat disimpangi apabila para pihak
sepakat untuk tidak tunduk pada ketentuan pasal tersebut.
3. Unsur accidentalia merupakan sebuah unsur yang keberadaanya tidak
ditentukan dalam undang-undang sehingga dapat ditambahkan oleh para pihak
bila mereka menghendakinya.
Pengaturan mengenai perjanjian sepenuhnya tunduk pada ketentuan Pasal 1338
KUHPer dimana perjanjian yang sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya. Para pihak yang membuat perjanjian mempunyai
kedudukan yang sama dan dengan kehendak bebas mereka membuat perjanjian
98
Marilang, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari perjanjian, (Makassar: Indonesia Prime,
2017), hlm. 169-174.
Universitas Indonesia
46
99
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 87.
100
Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan Penyediaan
Bahan Kuliah Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 23.
101
Abdu Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.
107.
102
Subekti, Hukum Perdata…, hlm. 127.
103
Hernoko, Hukum Perjanjian.., hlm. 95.
Universitas Indonesia
47
104
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkentrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Cet. 1, (Jakarta Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 54.
105
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001),
hlm. 82.
106
Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 11.
107
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 60.
108
P. L. Werry, Perkembangan Hukum tentang Iktikadi Baik di Netherland, (Jakarta: Percetakan
Negara RI, 1990), hlm. 9. Hernoko, Hukum Perjanjian…, hlm. 117.
Universitas Indonesia
48
hubungan hukum dan iktikad baik yang ada pada saat dilaksanakannya hak dan
kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian.109
Hadirnya perjanjian karena telah tercapainya kesepakatan antara oara pihak
mengenai isi yang diatur dalam perjanjian. perjanjian dianggap sah apabila
memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1) Adanya kesepakatan antara para pihak;
2) Para pihak dalam perjanjian harus cakap dalam membuatnya;
3) Mengenai suatu hal yang ditentukan;
4) Mengenai suatu sebab yang halal.
Persyaratan pada poin pertama dan kedua merupakan persyaratan subjektif
yang mengatur tentang subjek hukum pembuat perjanjian, sedangkan poin ketiga
dan keempat merupakan syarat objektif. Perbedaan antara kedua kategori syarat ini
terletak pada akibat yang akan terjadi jika syarat tersebut tidak dipenuhi. Apabila
syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak berwenang untuk menuntut
pembatalan perjanjian. Sedangkan jika syarat objektif tidak terpenuhi, akan selalu
ada ancaman pembatalan (cancelling).110
Pengertian adanya kesepakatan di antar apara pihak bahwa apa yang
dikehendaki masing-masing pihak harus saling bertemu dan diucapkan dengan
terang sehingga dapat dimengerti oleh mereka yang membuat perjanjian itu.111
Selanjutnya terdapat tiga teori yang berkaitan dengan kesepakatan ini yaitu:112
a. Teori kehendak, yakni karena perjanjian memiliki sifat mengikat setelah
bertemunya kehendak dari masing-masing pihak sehingga akan sering
berhubungan. Oleh karenanya kehendak tersebut harus dihormati oleh masing-
masing pihak.
109
Soenandar, Kompilasi…, hlm. 11.
110
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan berkontrak, (Disertasi Magister Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004), hlm. 167.
111
Rendy Saputra, Kedudukan Hukum Penyalahgunaan Keadaan (Missbruik van Omstandigheden)
dalam Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), hlm. 28.
112
Subekti, Pokok-pokok…, hlm. 17.
Universitas Indonesia
49
113
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja
Grafindo Perkasa, 2008), hlm. 34.
114
Miru Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), hlm. 29.
115
Ibid., hlm. 30.
116
Ibid.
Universitas Indonesia
50
117
UUJN, Ps. 38.
Universitas Indonesia
51
dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Notaris merupakan perpanjangan tangan dari
Pemerintah, dalam hal ini negara.118
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata dapat dijelaskan bahwa bentuk akta
sendiri terdiri dari dua jenis akta, yaitu akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas)
dan akta yang dibuat dihadapan notaris (akta partij). Akta relaas adalah akta yang
memuat relaas atau secara autentik menggambarkan suatu perbuatan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh Notaris dalam menjalankan
jabatannya sebagai pejabat umum.119 Akta partij adalah akta yang memuat cerita
tentang apa yang terjadi karena tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh para
pihak sebagai penghadap, diceritakan dan dijelaskan oleh para pihak kepada
Notaris. Para pihak sengaja menghadap Notaris agar pernyataan atau tindakan
tersebut dikukuhkan oleh Notaris sebagai akta autentik. Akta ini disebut juga akta
yang dibuat di hadapan (ten overstaan) seorang Notaris 120
Dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam praktek jual beli terutama
bagi barang-barang tidak bergerak, umumnya para pihak mengadakan sebuah
perjanjian tertulis dalam bentuk akta autentik. Hal demikian bertujuan untuk
memberikan jaminan akan kepastian hukum bagi kedua belah pihak atas transaksi
yang mereka lakukan. Dalam pelaksanaannya, terdapat akta Notaris yang khusus
diperlukan dalam proses jual beli yakni salah satu diantaranya adalah Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan sebuah perjanjian
bantuan yang memiliki fungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan berbentuk bebas.
Umunya PPJB ini berisikan mengenai janji-janji yang harus terlebih dahulu harus
dipenuhi oleh salah satu pihak sebelum dapat melaksanakan perjanjian pokok yang
pada hakikatnya menjadi tujuan akhir dari para pihak. PPJB tersebut kemudian akan
ditindaklanjuti dengan dibuatnya Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembuatan akta PPJB ini dibuat pada
118
Soegondo Notodirejo, Hukum Notariat di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 4.
119
I Ketut Tjukup, et.al., “Akta Notaris (Akta Autentik) sebagai Alat Bukti dalam Peristiwa Hukum
Perdata”, Acta Comitas Vol. 2 (2016), hlm. 185.
120
Ibid.
Universitas Indonesia
52
umumnya dikarenakan adanya situasi yang belum memungkinkan bagi para pihak
untuk membuat AJB, misalnya dalam keadaan di mana sertipikat tanah yang
menjadi objek jual beli masih dalam proses penyelesaian balik nama di Badan
Pertanahan Nasional (BPN) namun penjual sebagai pemilik tanah hendak menjual
tanah tersebut.121 Untuk mengatasi permasalahan itu maka dibuatlah perjanjian
pendahuluan sementara menantikan dapat dipenuhinya syarat untuk perjanjian
pokoknya yaitu Akta Jual Beli di hadapan PPAT.
Menurut Naria Sumardjono, PPJB ialah perjanjian yang termasuk dalam
ruang lingkup perjanjian yang tunduk pada hukum Perdata, namun demikian jual
belinya merupakan lingkup hukum tanah nasional yang tunduk pada ketentuan
Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan pelaksanaanya. 122
Sedangkan menurut R. Subekti, PPJB adalah sebuah perjanjian yang dilakukan
antara para pihak, salah satu pihak merupakan penjual dan pihak lainnya merupakan
pembeli, yang dilakukan sebelum terlaksananya jual beli dikarenakan antara lain
sertipikat belum tersedia sebab masih dalam proses ataupun belum terjadinya
pelunasan harga tanah. 123
Kemudian pengertian PPJB menurut Herlien Budiono,
merupakan suatu perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan
dan memiliki bentuk bebas, sehingga PPJB dapat diklasifikasikan dalam perjanjian
pendahuluan yang dibuat sebelum dilakukannya perjanjian pokok/utama.124
Praktik di dalam masyarakat, banyak pihak yang tidak ingin langsung
membuat AJB yang disebabkan oleh berbagai macam alasan. Oleh karenanya, para
pihak membuka jalan alternatif dengan membuat PPJB yang dilakukann di luar
PPAT yakni hanya cukup melalui Notaris. Secara prinsip, pengaturan mengenai
perjanjian yang dituangkan dalam PPJB ini tunduk pada ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. PPJB berisikan ketentuan
121
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cet. 3, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2018), hlm. 270.
122
Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, (Jakarta: Buku
Kompas, 2001), hlm. 161.
123
Subekti, Perjanjian…., hlm. 15.
124
Dewi Kurnia Putri dan Amin Purnawan, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas
dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas”, Jurnal Akta, Vol. 4, No. 4, (Desember 2017), hlm. 623-
634.
Universitas Indonesia
53
syarat subjektif serta syarat objektif yang diatur dalam Pasal tersebut. Dalam PPJB
terdapat janji-janji yang harus dipatuhi oleh para pihak dalam rangka jual beli di
kemudian hari sehingga apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka sudah
sepatutnya para pihak menghadap kembali untuk melaksanakan jual beli di hadapan
PPAT.125
Pembuatan PPJB dapat dilakukan oleh para pihak dalam akta ataupun
dilakukan di hadapan Notaris. Adapun bentuk PPJB terbagi menjadi 2 (dua) bentuk,
yaitu:126
1. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas
PPJB Lunas sedianya harus mencantumkan adanya klausula kuasa, pemberi
harus mendapatkan kuasa yang sifatnya mutlak demi menjamin terlaksananya
hak pembeli dalam transaksi jual beli tersebut dan tidak dapat berakhir karena
sebab apapun. PPJB tidak akan batal karena meninggalnya salah satu pihak
dan akan menurun serta berlaku selanjutnya bagi para ahli waris dan atau
penerima hak tersebut, wajib memenuhi segala ketentuan-ketentuan yang
disebutkan dalam PPJB sampai pada maksud dan tujuan dari dibuatnya PPJB
tersebut. PPJB lunas dibuat apabila harga jual beli telah dibayar lunas oleh
pembeli kepada penjual tetapi AJB tidak dapat dilaksanakan antara lain karena
pajak jual beli masih diasuransikan, akta masih dalam proses untuk diproses
dan lain-lain. PPJB juga memuat pasal-pasal mengenai kapan akan
dilaksanakan, syarat dan ketentuan, serta surat kuasa dari penjual kepada
pembeli untuk menandatangani AJB sehingga penandatanganan AJB tidak
memerlukan kehadiran penjual. Perjanjian jual beli secara penuh pada
umumnya dilakukan untuk transaksi atas objek jual beli yang berada di luar
wilayah kerja Notaris atau PPAT yang bersangkutan. Jika yang dibuat adalah
PPJB lunas maka akan terdapat surat kuasa untuk menjual dengan redaksi
125
Ibid.
126
Sherin Fatima, “Ledudukan Akta Kuasa Menjual dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Belum
Lunas Untuk Melaksanakan Pembuatan Akta Jual Beli (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor 758/Pdt/2018/PT.DKI)”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2020), hlm. 49.
Universitas Indonesia
54
Universitas Indonesia
55
129
Ibid.
130
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman, PP No. 14 Tahun 2016, LN Nomor 101 Tahun
2016, TLN Nomor 5883.
Universitas Indonesia
56
Universitas Indonesia
57
kepada ahli warisnya. Selain itu, perjanjian sewa menyewa tidak dapat diputus
apabila barang yang disewaka beralih kepemilikannya melalui jual beli, kecuali jika
ditentukan sebelumnya di dalam perjanjian. lebih lanjut, perjanjian sewa menyewa
dapat dimasukkan ke dalam perjanjian obligatoir, yakni perjanjian yang
menimbulkan perikatan sejak terjadinya perjanjian sehingga atasnya mengakibatkan
terlahirnya hak dan kewajiban bagi para pihak. 134 Perjanjian sewa menyewa pula
membutuhkan tindakan penyerahan atas objek yang akan disewakan.135 Berkenaan
dengan resiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553
KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:136
“jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.
Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut
keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia aka
nmeminta bahkan pembatalan perjanjian swa; tetapi tidak dalam satu dari kedua hal
itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.”
Dalam hal barang sewa musnah sama sekali, perjanjian sewa sudah tidak ada lagi
atau kembali seperti keadaan semula seperti saat sebelum terjadinya perjanjian sewa
menyewa. Dalam hal ini, barang yang hancur merupakan tanggung jawab dari pihak
yang menyewakan selaku pemilik barang. Sama halnya apabila terdapat barang-barang
yang dimiliki si penyewa yang turut musnah, tanggung jawab tetap pada si penyewa.
Dapat disimpulkan bahwa kerugian yang timbul dari suatu kejadian atau peristiwa yang
terjadi di luar kesalahan para pihak, dipikul oleh masing-masing dari para pihak sesuai
dengan resiko yang terjadi terhadapnya.
134
J. Satrio, Hukum Perikatan…, hlm. 38.
135
Ibid.
136
Subekti, Ps. 1553.
Universitas Indonesia
58
KUHPerdata yang memiliki sifat terbuka. Artinya, isi dari suatu perjanjian dapat
ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yakni tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Hal ini bermaksud bahwa ketentuan
dalam Buku III KUHPerdata dapat diikuti oleh para pihak dalam perjanjian atau dapat
pula para pihak menentukan lain atau bahkan menyimpanginya dengan beberapa syarat
yang mana syarat tersebut adalah syarat pelengkap saja karena dalam ketentuan umum
disebutkan ada yang bersifat pemaksa dan pelengkap. 137 Menurut Herlien Budiono,
perjanjian utang piutang ialah perjanjian pinjam meminjam. 138 Di mana ketentuannya
diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang mengatur bahwa:139
“Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu barang-
barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu
yang sama pula.”
Ketentuan yang wajib ada dalam perjanjian utang piutang antara lain adalah bahwa apa
yang diperjanjikan dalam perjanjian utang piutang harus terang mengenai jangka waktu
berakhirnya suatu perjanjian sehingga pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur
dapat selaras dengan waktu yang disepakati. Ketentuan mengenai jangka waktu dalam
perjanjian utang piutang demikian diatur dalam Pasal 1759 yang menyatakan:140
“Orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang teklah
dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam
perjanjian.”
Terkait dengan peminjaman uang, maka utang yang terjadi hanya terdiri atas jumlah
uang yang disebutkan dalam perjanjian. apabila sebelum pelunasan terjadi suatu
kenaikan atau kemunduran dari nilai maupun adanya perubahan mengenai berlakunya
mata uang, maka pengaturan dalam Pasal 1756 KUHPerdata menyatakan bahwa
pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku
pada saat pelunasan yang dihitung menurut harga/nilai yang berlaku saat itu.141 Lebih
137
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009), hlm. 39.
138
Budiono, Ajaran Umum…, hlm. 44.
139
Subekti, Ps. 1754.
140
Subekti, Ps. 1759.
141
Subekti, Aneka Perjanjian…, hlm. 126.
Universitas Indonesia
59
lanjut, maka untuk menetapkan jumlah utang haruslah berdasarkan pada jumlah utang
yang disepakati dalam perjanjian.
Kewajiban-kewajiban kreditur antara lain bahwa orang yang meminjamkan
barang senantiasa tidak diizinkan meminta kembali suatu barang yang telah
dipinjamkan sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian berakhir.
Apabila dalam perjanjian utang piutang tersebut tidak disebutkan mengenai jangka
waktu pelunasan maka hakim dapat memberikan kelonggaran kepada debitur dalam
bentuk putusan yang membebankan debitur untuk melunasi utangnya. Namun
demikian bila kreditur sudah memberikan waktu yang cukup kepada debitur sebelum
melakukan gugatan ke pengadilan, maka tidak pada hakikatnya hakim tidak berada
dalam kewenangannya lagi untuk menentukan jangka waktu dalam perjanjian
tersebut.142 Jika telah dibuat kesepakatan bahwa debitur akan mengembalikannya jika
ia mampu mengembalikannya, maka hakim dengan mempertimbangkan keadaan
akan menentukan waktu pengembaliannya. Penilaian hakim terhadap kemampuan
kreditur sangat sulit, sehingga hakim akan menetapkan tanggal pembayaran
sebagaimana dilakukan untuk suatu perjanjian yang tidak mencantumkan waktu
tertentu.143
Kewajiban debitur dalam sebuah perjanjian utang piutang ialah
mengembalikan uang dalam jumlah serta keadaan yang sama serta dalam waktu yang
telah disepakati, namun bila tidak ditentukan waktu itu maka hakim memiliki kuasa
untuk memberikan batas waktu pelunasan utang. Apabila debitur tidak dapat
melunasi utangnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka debitur tetap wajib
membayar harganya. Dengan kata lain debitur harus memperhatikan waktu dan
tempat di mana barangnya, menurut perjanjian, wajib dikembalikan. Jikalau waktu
dan tempat itu tidak disepakati dalam perjanjian maka ditentukan berdasarkan waktu
serta tempat di mana utang piutang itu terjadi. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 1764
KUHPerdata menentukan bahwa bilamana dalam perjanjian utang piutang tidak
142
Ibid., hlm. 159.
143
Aisha Kartika Fitriasma, “Analisis Yuridis Akta Perjanjian Utang Piutang Yang Memuat Klausula
Pengakuan Utang”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013), hlm.
69-70.
Universitas Indonesia
60
144
Ibid., Hlm. 70-71.
Universitas Indonesia
61
apabila debitur lalai melunasi atau melunasi utangnya, maka surat pengakuan utang
tersebut dapat menjadi bukti sekaligus dasar untuk melakukan pelunasan utang
debitur, dengan ketentuan bahwa surat harus dalam bentuk gross akta.145
Selanjutnya pernyataan debitur dalam surat pengakuan utang setidak-tidaknya
berisikan:146
a. Nama kreditur atau pihak yang memberikan uang;
b. Tanggal diterimanya uang;
c. Jumlah besaran utang dari debitur;
d. Jangka waktu atau tanggal pengembalian utang;
e. Tanda tangan serta nama debitur.
Sedianya, perjanjian utang piutang dengan surat pengakuan utang memiliki
keterkaitan satu sama lain. Surat pengakuan utang baru akan lahir setelah adanya
perjanjian utang piutang. Oleh karenanya, perjanjian utang piutang selalu dibuat
lebih dahulu dari surat pengakuan utang. Tidak akan terjadi, suatu surat pengakuan
utang lahir lebih dulu setelah itu dibuat perjanjian utang piutangnya. Seyogyanya
orang mengakui memiliki utang setelah orang tersebut menerima pinjaman berupa
uang. Kedua perubahan itu masing-masing tidak berdiri sendiri, akan tetapi
merupakan sebuah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keberadaan surat
pengakuan utang sangat bergantung pada perjanjian pokoknya yakni perjanjian
utang piutang. Surat pengakuan utang selalu mengikuti perjanjian utang. Jika
perjanjian pokok selesai, surat pengakuan utang juga selesai. Tidak ada orang yang
mau mengaku berutang, jika utang sudah lunas. Oleh karenanya, surat pengakuan
utang merupakan perbuatan hukum yang memiliki sifat accesoir.147
C. Kasus Posisi
Berawal dari macetnya angsuran pinjaman dengan jaminan seluruhnya 14 (empat
belas) sertipikat milik saksi S di Bank BRI terhitung mulai tahun 2010 dan telah
145
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Intermasa, 2008),
hlm. 230.
146
Fitriasma, Analisis Yuridis…, hlm. 71-72.
147
Ibid., hlm. 72-74.
Universitas Indonesia
62
diberikannya surat peringatan dari Bank BRI tersebut dengan jumlah surat peringatan
sebanyak 3 (tiga) kali yang terakhir disampaikan pada tanggal 09 Juni 2010. Akan
tetapi saksi S belum dapat menunaikan kewajibannya untuk melunasi angsuran
pinjamannya tersebut sehingga pada tanggal 4 November 2010, Bank BRI
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pendaftaran Lelang kepada saksi S.
Mengetahui hal tersebut, Saksi S berusaha agar 14 (empat belas) sertipikat yang
menjadi jaminan tidak dilelang oleh pihak bank dengan meminta bantuan kepasa rekan
bisnisnya yaitu Saksi R untuk minta dicarikan pinjaman uang guna menutupi kreditnya
kepada bank. Kemudian Saksi R mengenalkan saksi S kepada NL yang telah dikenal di
kalangan pedagang sebagai seseorang yang kerap kali memberikan pinjaman yang
dalam jumlah besar.
Pada bulan November 2010, saksi S dan NL bertemu dan terjadi kesepakatan di
antara keduanya utuk terjadi pemberian pinjaman uang sebesar Rp6.000.000.000,00
(enam milyar rupiah) dengan tambahan bunga 2% per bulan dengan jaminan 11
(sebelas) sertipikat. Adapun kesepatan tambahannya adalah bahwa NL akan
memberikan kembali sertipikat tanah tersebut kepada saksi S apabila saksi RY (anak
dari saksi S) mendapatkan pinjaman untuk mengembalikan uang NL. Pada tanggal 29
Desember 2010, saksi S, Saksi RY, saksi YTIP dan saksi LJ bertolak ke Bank BRI
untuk meminta penundaan lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
Yogyakarta dengan cara menyetor uang sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Saksi S kemudian menerima telepon dari NL pada 19 Januari 2011 untuk menemui
saksi SW selaku AO pada Bank BRI untuk membahas tentang kesepakatan pinjaman
uang antara saksi S dengan NL senilai Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) secara
lisan, dan bukan perjanjian jual beli. Setelah itu NL berkata akan segara mencarikan
Notaris untuk membuat perjanjian utang piutang agar dapat segera selesai. Atas saran
saksi SW, maka dipertemukanlah saksi S dan NL dengan Notaris/PPAT AS. Namun
demikian Notaris/PPAT AS menolaj untuk membuatkan perjanjian utang piutang
dikarenakan sertipikat tanah masih menjadi jaminan di Bank. NL kemudian menemui
Notaris/PPAT ER namun Notaris tersebut juga menolak dikarenakan alasan yang sama
Universitas Indonesia
63
dengan Notaris/PPAT AS selain itu masih ada tanah yang berupa sawah. Oleh
karenanya kemudian saksi SW menyarankan agar NL dan saksi S menghadap terdakwa
Notaris/PPAT TAH.
Atas saran saksi SW, NL menemui terdakwa Notaris TAH dan mengutarakan
niatnya untuk membuat perjanjian utang piutang tetapi dibuat seolah-olah terjadi jual
beli dengan dibuatkan perikatan jual belinya. Niat ini kemudian disanggupi oleh
terdakwa TAH sehingga terjadilah kesepakatan antara NL dengan terdakwa TAH untuk
mensiasati utang piutang sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) antara saksi
S dengan NL untuk dibuat menjadi perikatan jual beli dan bunga pinjaman sebesar 2%
per bulan sebesar Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) yang dikemas
menjadi perjanjian sewa menyewa. Terdakwa TAH kemudian membuat surat tugas
tertanggal 20 Juli 2011 yang berisi tentang penugasan saksi SP, staf Notaris/PPAR
khusus untuk dan atas nama pemberi tugas guna mengambil 11 (sebelas) sertipikat di
Bank BRI yang disanggupi oleh saksi SW selaku AO dari bank tersebut untuk
menyerahkan 11 (sebelas) sertipikat yang menjadi jaminan utang saksi S di Bank BRI
sebagai berikut:
1. Sertipikat Hak Milik Nomor 622/Bokoharjo seluas 95 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 4 Maret 1994 Nomor 2251;
2. Sertipikat Hak Milik Nomor 2079/Bokoharjo seluas 96 M2 diuraikan dalam
surat ukur tertanggal 19 Desember 2002 Nomor 00416/2002;
3. Sertipikat Hak Milik Nomor 01383/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tanggal tertanggal 28 April 1997 Nomor 03708/1997;
4. Sertipikat Hak Milik Nomor 01384/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03708/1997;
5. Sertipikat Hak Milik Nomor 01385/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03712/1997;
6. Sertipikat Hak Milik Nomor 01386/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03711/1997
7. Sertipikat Hak Milik Nomor 1387/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03710/1997
Universitas Indonesia
64
Universitas Indonesia
65
sedangkan pada saat itu belum terjadi realisasi penandatanganan akta-akta antara
NL dengan saksi S di hadapan terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT. Pemanggilan
terhadap saksi S dilakukan setelah semua administrasi kelengkapan perikatan jual
beli dan sewa menyewa telah selesai disiapkan oleh AZ dan terdakwa TAH yakni
tepatnya pada hari Jumat pada tanggal 19 Agustus 2011, Notaris/PPAT TAH
bersama-sama dengan NL bertempat di Jalan Nogorojo Nomor 3, Gowok Catur
Tunggal Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saksi S pada saat itu
ditemani pula dengan anak-anak saksi yakni IRBH dengan LJ serta hadir pula saksi
SW selaku AO Bank BRI yang membawa 3 (tiga) dari 14 (empat belas) buku
sertipikat Hak Milik yang menjadi agunan di Bank BRI dan kemudian diserahkan
kembali ke saksi S karena 11 (sebelas) sertipikat sisanya telah diserahkan kepada
terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT melalui stafnya yang bernama saksi SP.
Setelah Saksi S pada saat itu ditemani pula dengan anak saksi yakni IRBH
serta NL di hadapan terdakwa TAH, selanjutnya dengan tipu muslihat yang sudah
diatur sedemikian rapinya oleh Terdakwa TAH bersama-sama NL maka dengan
rangkaian kata-kata bohong terdakwa TAH pada saat itu mengatakan kepada saksi S
dengan kata-kata : “ini akan ada perikatan jual beli antara Hj. S dengan Sdri. NL
terkait 11 (sebelas) sertipikat “, mendengar perkataan Terdakwa TAH maka dan saat
itu juga saksi S langsung merasa keberatan dengan mengatakan : “Saya tidak pernah
jual tanah. Saya hanya pinjam uang kepada NL sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam
milyar rupiah) untuk menutup utang pinjaman di BRI dengan bunga 2% perbulan”
setelah itu terdakwa TAH selaku Notaris/ PPAT dengan rangkaian kata-kata bohong
mengatakan kepada saksi Suhartinah dengan kata-kata : “ndak apa apa ini di
buatkan Perikatan Jual Beli saja, karena bu NL hanya mau membantu, tidak akan
memiliki, tidak akan menghaki, tidak akan menguasai, selama saya masih hidup
saya sebagai saksinya berat ini lo bu dan kalau ibu sudah punya uang bisa diambil
lagi dan untuk bunganya 2% di buat sewa menyewa saja ya biar kelihatan cantik
karena tidak boleh di sebut bunga nilainya Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta) yaitu 2% dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) “ . rangkaian kata-
kata itu ditimpali oleh NL, “tenang saja bu Slamet (Slamet adalah nama suami
Universitas Indonesia
66
saksi S) saya hanya membantu, nanti kalau udah punya uang, segera dikembalikan“
setelah itu terdakwa TAH selaku Notaris/ PPAT masih dengan rangkaian kata-kata
bohong mengatakan kepada saksi Suhartinah: “karena ibu juga ada utang bisnis
kepada Ny. R sebesar Rp850.000.000,00 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) akan
di lunasi oleh bu NL dan sisanya pinjaman di bulatin menjadi Rp2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah) akan diserahkan sisanya oleh bu NL kepada ibu S untuk modal
kerja“. Realisasi atas sisa uang sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)
dikurangi Rp850.000.000,00 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) tidak pernah
terealisasi penyerahannya kepada saksi S. Selanjutnya dengan tipu muslihat yang
telah disusun sedemikian rapinya, terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT
mengeluarkan 2 (dua) lembar kwitansi kosong, satu lembar diserahkan kepada saksi
IRNH sedangkan yang lainnya diserahkan kepada NL. Setelah itu terdakwa TAH
selaku Notaris/PPAT meminta kepada saksi IRNH dan NL untuk menulis pada
masing-masing satu kwitansi dengan cara didikte sesuai kata kata dari terdakwa
TAH selaku Notaris/PPAT yaitu sebagai berikut:
1. Pada kwitansi yang pertama tertanggal 19 Agustus 2011 :
Telah terima dari Nora Laksono uang sebanyak Rp6.726.500.000,00 guna
membayar 2 bidang tanah hak milik Nomor 325 kurang lebih 228 m2 dan Hak
Milik Nomor 324 luas 2050 m2 berikut bangunan dan mesin-mesin
penggilingan poles yang terletak di Bokoharjo, Prambanan, Sleman. Kwitansi
tersebut ditandatangani oleh Saksi S dan Saksi IRNH.
2. Pada kwitansi kedua tertanggal 19 Agustus 2011
Telah terima dari Nora Laksono uang sebanyak Rp1.273.50.000,00 guna
membayar 9 (sembilan) bidang tanah hak milik masing-masing Nomor 622,
2079, 1383, 1384, 1385, 1386, 1387, 1388, dan 1389 luas keseluruhannya 849
m2 yang terletak di Bokoharjo, Prambanan, Sleman atas nama Ny. S beserta
bangunan dan mesin-mesin penggilingan poles.
Kwitansi tersebut ditandatangani oleh Saksi S dan saksi IRNH.
Kemudian Terdakwa TAH memerintahkan stafnya AZ untuk mengambil
berkas-berkas yakni Akta Perikatan Jual Beli Nomor 9 tertanggal 19 Agustus 2011,
Universitas Indonesia
67
Akta Kuasa Nomor 10 tertanggal 19 Agustus 2011, Akta Kuasa Menjual Nomor 11
tertanggal 19 Agustus 2011, Akta Kuasa Nomor 15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 31
tertanggal 19 Agustus 2011, serta Akta Kuasa Menjual Nomor 16, 18, 20, 22, 24,
26, 28, 20, 32 tertanggal 19 Agustus 2011. Selanjutnya terdakwa meminta kepada
saksi S dan NL untuk menandatangani akta-akta tersebut layaknya penandatanganan
akta di hadapan Notaris/PPAT. Sedangkan yang sebenarnya saksi S hanya berutang
kepada NL sebesar dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah).
Perikatan Jual Beli Nomor 9 tertanggal 19 Agustus 2011 yang menerangkan
bahwa NL telah membayar lunas sebesar Rp6.726.500.000,00 (enam milyar tujuh
ratus dua puluh enam juta lima ratus ribu rupiah) atas 2 (dua) bidang tanah sawah
yakni tanah dengan srtifikat Hak Milik Nomor 325/Bokoharjo seluas 2.228 M2 dan
tanah dengan sertipikat Hak Milik Nomor 324/Bokoharjo seluas 2.050 M2. Kedua
tanah tersebut telah dimohonkan Izin Pemanfaatan Tanah (IPT). Selain itu dibuat
perikatan jual beli nomor 14 tertanggal 19 Agustus 2011 yang menerangkan bahwa
NL telah membayar lunas sebesar Rp1.273.500.000,00 (satu milyar dua ratus tujuh
puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah) atas 9 (sembilan) bidang tanah kosong
lainnya. Sedangkan sebenarnya perikatan jual beli itu hanyalah sebuah tipu muslihat
yang sudah disusun sedimikian rupa oleh terdakwa TAH dengan NL untuk
mengelabui saksi S yang berutang kepada NL sebesar dari Rp6.000.000.000,00
(enam milyar rupiah) dengan pembayaran ditambah bunga 2% per bulan sebesar
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
Pada kenyataannya saksi S tidak pernah menerima pembayaran sebagaimana
keterangan yang termuat dalam Perikatan Jual beli Nomor 9 tertanggal 19 Agustus
2011 dan Perikatan Jual Beli Nomor 14 tertanggal 19 Agustus 2011, selain itu saksi
Suhartinah juga tidak pernah mengajukan izin pemanfaatan tanah (IPT) di Kantor
Pelayanan Perijinan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Sekitar bulan Juni 2012 saksi S yang telah berhasil memperoleh uang tunai
sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah), hendak mengembalikan pokok
utangnya kepada NL namun NL tidak bersedia menolak penerimaan pelunasan
utang dari saksi S dan meminta pengembalian pokok utang sebesar
Universitas Indonesia
68
Universitas Indonesia
69
Universitas Indonesia
70
BAB III
148
Supriyadi, “Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah dalam Perspektif Hukum
Pertanahan”, Jurnal Arena Hukum, Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, hlm. 210.
Universitas Indonesia
71
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan, yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang
bersandar pada hukum agama.”
Menurut hukum adat, pemindahan hak atas tanah harus dilakukan secara terang
dan tunai.149 Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa akta PPAT memiliki dua
fungsi yakni sebagai alat bukti dan sebagai dalam hal pendaftaran peralihan hak di
kantor pertanahan kota/kabupaten setempat.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan permulaan sebelum akhirnya
dilaksanakan perjanjian utamanya yakni Akta Jual Beli (AJB). Pembuatan akta
berdasarkan perjanjian harus memenuhi ketentuan pada pasal 1320 KUHPer. Oleh
karena itu, AJB bukanlah merupakan keabsahan dalam bentuk formil ataupun
keabsahan peralihan hak atas tanah. Syarat peralihan harus dibuktikan dengan
terpenuhinya Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sah perjanjian. Selain itu peralihan
hal harus dilaksanakan secara terang, artinya tidak berdiri sendiri dan dilakukan di
hadapan Kepala Desa/PPAT. Lebih lanjut, dalam pengertian tunai ialah pembayaran
dilakukan pada saat itu juga yang diikuti penyerahan fisiknya. 150 Jika perbuatan hukum
ini dilakukan, maka peralihan hak atas tanah beralih secara hukum sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 hasil rapat kamar perdata
yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah yang didasarkan pada PPJB secara
hukum terjadi bilamana pihak pembeli telah membayar lunas, sehingga selanjutnya
objek dapat dikuasai secara fisik dan dilakukan dengan iktikad baik. Kekuatan mengikat
PPJB diatur dalam Pasal 1315 yang menyatakan:
“Seseorang boleh menanggung seorang pihak ketiga dan menjanjikan bahwa
pihak ketiga ini akan berbuat sesuatu; tetapi hal ini tidak mengurangi
149
Nur Hayati, “Peralihan Hak Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah (Suatu Tinjauan Terhadap
Perjanjian Jual Beli dalam Konsep Hukum Barat dan Hukum Adat dalam Kerangka Hukum Tanah Nasional),
Lex Jurnalica, Volume 13, Nomor 3, Desember 2016, hlm. 283.
150
Desvia Winandra dan Hanafi Tanawijaya, “Penerapan Asas Terang dan Tunai dalam Jual Beli
Tanah yang Merupakan Harta Bersama dalam Perkawinan (Studi Putusan Nomor 1/Pdt.G/2019/PN.Lbt)”,
Jurnal Hukum Adigama, Volume 3, Nomor 2, Desember 2020, hlm. 5.
Universitas Indonesia
72
tuntutan ganti rugi terhadap penanggung atau orang yang berjanji itu jika
pihak ketiga tersebut menolak untuk memenuhi perjanjian itu.”
Lebih lanjut dalam Pasal 1318 KUHPer yang mencantumkan:
“Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri
dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak daripadanya,
kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dari sifat perjanjian itu
bahwa bukan itu maksudnya.”
Selain itu dalam Pasal 1340 KUHPer mengatur bahwa perjanjian hanya berlaku di
antara para pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung arti bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku dan mengikat bagi mereka yang
membuatnyaDapat disimpulkan dari ketiga pasal tersebut bahwa selain mengikat para
pihak secara internal, perjanjian itu pula mengikat kepada para ahli warisnya. Dalam
kasus, terdapat tanah yang masih berupa tanah sawah/pertanian maka pengajuan IPT
merupakan tindakan hukum sepihak yang tidak melahirkan hak apapun sehingga tidak
akan menghilangkan keabsahan PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam
Pasal 99 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Negara Nomor 3 Tahun
1997 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1961 yang
menyatakan:
1) “Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima
hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:
a. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan
maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah
kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d. bahwa yang bersangkutan bersedia menang-gung semua akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b
tidak benar.”
Universitas Indonesia
73
perjanjian yang bentuknya diatur dalam KUHPer. Selain itu terdapat pula perjanjian
campuran, contohnya ialah perjanjian sewa beli. 151 Dalam kasus ini, disebutkan bahwa
NL yang bertindak sebagai pihak pertama dan saksi S merupakan pihak kedua dengan
obyek 11 (sebelas sertipikat) atas nama saksi S yang kemudian ditandatangani oleh NL
dan saksi S beserta kedua anaknya. Dalam akta tersebut pula terdapat janji untuk
menyewa dari pihak kedua tetapi sewa menyewa tersebut sudah dilaksanakan. Selain itu
terdapat janji untuk membeli tanah berikut bangunan milik pihak kedua oleh pihak
pertama sebesar Rp8.000.000.000 (delapan milyar rupiah). Bilamana dalam kurun
waktu 3 bulan tidak dapat dilunasi pembayarannya, maka akan dibalik nama oleh pihak
pertama. Hal ini berarti bahwa telah terjadi perjanjian tidak bernama. Walaupun
demikian, perjanjian tersebut tidak bernama tetapi kekuatannya sah dan mengikat
kepada para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPer. Kemudian dalam akta
Nomor 09, yang merupakan akta pejabat yang diberikan nomor, judul, dan bentuknya
sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang yaitu dengan bentuk akta perikatan
jual beli, Bahwa berdasarkan Pasal 16 UU Kenotariatan, Notaris harus membaca isi
akta terlebih dahulu di hadapan para penghadap, jika isi akta sesuai dengan kehendak
para pihak maka akta itu dapat ditandatangani. Dalam kasus ini terjadi Perjanjian
Perikatan Jual Beli (PPJB) yang disebutkan dalam fakta persidangan telah dibayar lunas
oleh pihak kedua dengan uang tunai sebesar Rp6.726.500.000 (enam milyar tujuh ratus
dua puluh enam juta lima ratus ribu rupiah) secara tunai. Tunai dalam hal ini ialah demi
memberikan beban pembuktian. Oleh karenanya, adanya akta ini mengakibatkan
pembeli tidak perlu lagi dibebankan pembuktian karena harga yang ditentukan sudah
dibayar tunai sehingga akta berlaku menjadi kuitansi.
Disebutkan bahwa perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548-1575
KUHPer yang pada intinya mangatur bahwa ada satu pihak sebagai pemilik yang
memberikan kepada pihak lain sebagai penyewa untuk menikmati suatu barang dalam
jangka waktu tertentu dan dengan harga tertentu sehingga unsur perjanjian sewa
menyewa dengan begitu telah terpenuhi. Artinya ada satu pihak yang mengakui bahwa
151
Hukum Kontrak dalam Perspektif Komparatif (Menyorot Perjanjian Bernama dengan Perjanjian
Tidak Bernama), Jurnal Serambi Hukum, Volume 8, Nomor 2, Agustus 2014-Januari 2015, hlm. 138.
Universitas Indonesia
74
objek tersebut tidak lagi menjadi miliknya dan oleh karenanya PPJB sudah beralih dan
sah. Begitu pula dalam kasus ini. Bila melihat pada putusan Nomor
53/Pdt.G/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Banding No.
68/PDT/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Kasasi No.
2385K/PDT/2016 tertanggal 14 Desember 2016 di mana ketiga putusan tersebut tetap
dimenangkan oleh saksi NL sebagai tergugat. Hal ini membuktikan bahwa perjanjian
pengikatan jual beli antara saksi S dan NL telah sah karena dalam fakta hukumnya saksi
S mengakui dan menyetujui kesepakatan jual beli tanah sebagai jaminan atas utang
piutangnya. Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi dari bank BRI bahwa pada
tanggal 19 Agustus 2019 dibuatlah perjanjian jual beli, kuasa, dan kuasa menjual.
Selain itu, IPL merupakan saksi aktif. Artinya, pun jika dikatakan ada pemalsuan maka
pemalsuan tersebut diketahui oleh yang para pihak yang menandatangani dan sudah
pula disetujui oleh saksi S.
Bahwa dalil saksi S yang menyatakan tidak sahnya hubungan hukum jual beli atas
tanah dengan objek sengketa yang sebenarnya merupakan perjanjian utang piutang
dengan hak untuk membeli kembali, tidak sesuai dengan alat bukti dalam persidangan
yaitu akta pengikatan jual beli, akta pemberian kuasa, serta akta kuasa untuk menjual.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 53/Pdt.G/2014/PN.Slm, disebutkan
bahwa saksi S dan NL mengakui telah membuat dan menandatangani perjanjian
pengikatan jual beli, akta kuasa, akta kuasa menjual, dan akta sewa menyewa. Akta-
akta tersebut di buat di hadapan Terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT. Sehingga
karenanya akta-akta itu merupakan akta autentik yang memberikan efek mengikat serta
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana Pasal 1868 KUHPer.
Dengan demikian isi dan maksud dari akta tersebut telah benar diketahui dan disetujui
oleh saksi S dan NL dan oleh karenanya pula memenuhi unsur Pasal 1320 KUHPer
mengenai syarat sah perjanjian.
Terdakwa TAH dalam keterangannya di persidangan mangatakan bahwa dalam
pembuatan akta dalam kasus ini, sudah meneliti berkas-berkas yang dihadirkan di
hadapannya. Terdakwa TAH pula mengetahui 2 (dua) bidang tanah sawah beserta
bangunannya sehingga karenanya Terdakwa TAH menyampaikan kepada para saksi
Universitas Indonesia
75
bahwa proses peralihan tanah masih sangat panjang karena masih tersangkut masalah
waris dan perlu diurus izin tanahnya. Menurut Terdakwa TAH, maksud dari diurusnya
izin tersebut tidak lain adalah untuk meluruskan yang tidak benar. Tanah sawah dan
adanya bangunan di atasnya merupakan sebuah pelanggaran sehingga perlu diurus
izinnya. Dalam hal ini, terlihat bahwa sejatinya Terdakwa TAH sudah menerapkan asas
kehati-hatian sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) UUJN.
Mengenai iktikad baik, hukum perdata melihatnya dari dua sisi. Pertama dari sisi
Notaris sendiri dan yang kedua dari sisi para pihak. Dalam kasus ini, Terdakwa TAH
telah menerapkan iktikad baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku Terdakwa TAH yang
memberikan saran dan menyampaikan perlunya izin agar tanah tersebut dapat diproses.
Selain dari bentuk iktikad baik, hal tersebut juga merupakan bentuk penyuluhan hukum
dan seharusnya membantu para pihak untuk membuat kerangka sebelum akta yang
dibutuhkan oleh para pihak dibuat.
4. Delik Penipuan yang Terdapat pada Perjanjian Jual Beli Diikuti Sewa
Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang dalam Putusan Mahkamah
Agung 51PK/PID/2022
Terdakwa Notaris TAH didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan
alternatif satu yakni Pasal 378 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dengan unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Barangsiapa
b. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang
c. Yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan turut serta melakukan perbuatan
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 63/Pid.B/2020/Pn.Slm,
terdakwa TAH dinyatakan tidak bersalah dan tidak terbukti melakukan tindak pidana
penipuan secara bersama-sama. Dalam perjalanannya, saksi S kemudian mengajukan
kasasi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 PK/PID/2022 memutuskan berbeda.
Universitas Indonesia
76
Terdakwa TAH dinyatakan sah dan terbukti melakukan tindak pidana penipuan secara
bersama-sama dengan NL terhadap saksi S.
Unsur barang siapa yang dimaksud dalam Pasal 378 KUHP adalah orang
(natuurlijke persoon) yang diduga melakukan suatu tindak pidana, atau dengan kata lain
merupakan subjek dari tindak pidana (delik). Unsur ini bukanlah unsur utama tetapi
hanya sekedar menunjuk kepada orang atau persoon yang dimana si terduga melakukan
tindak pidana.152 Oleh karenanya pembuktian unsur ini hanya sekedar menentukan
apakah identitas terdakwa dalam surat dakwaan sudah selaras dengan orang yang
dihadarikan dalam persidangan. Hakim tidak menemukan error in persona dalam
Dakwaan Penuntut Umum sehingga unsur ini telah terpenuhi.
Mengenai unsur kedua, bahwa yang dimaksud “dengan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain” tiada lain adalah si pembuat (dader) atau orang lain yang ikut
menikmati hasil perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.153 Adapun martabat palsu (hoedanigheid) ialah setiap
ciri dari pribadi yang membuat seseorang itu menyerahkan suatu benda mejadi menaruh
kepercayaan lebih kepada orang lain bahwa orang lain itu sejatinya berhak meminta
penyerahan benda yang bersangkutan. artinya, orang yang menyerahkan benda itu harus
tergerak sendiri hatinya oleh sifat tersebut. 154
Tipu muslihat adalah tindakan yang bisa
disaksikan oleh orang lain baik disertai atau tidak disertai sesuatu ucapan, di mana si
pelaku menimbulkan suatu kepercayaan yang mengarah pada suatu keyakinan tentang
sesuatu atau harapan bagi orang lain sedangkan apa yang dimaksud dengan "rangkaian
kebohongan" adalah beberapa pernyataan yang saling mengisi dan terlihat seolah-olah
isi dari pernyataan itu adalah benar. Dalam hal lain isi dari setiap pernyataan tidak harus
seluruhnya terkandung kebohongan. Terdapat "rangkaian kebohongan", jika di antara
berbagai kebohongan ada hubungan sedemikian rupa sehingga dan satu kebohongan
melengkapi kebohongan lainnya, sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan
152
Rony A. Walandouw, Pangeman Diana, dan Hendrik Pondaag, “Unsur Melawan Hukum Yang
Subjektif dalam Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 KUHP”, Lex Crimen, Volume IX, Nomor 3, Juli-
September 2020, hlm. 251-252.
153
P.A.F. Lamintang dan C.D Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm.
148.
154
Dudung Mulyadi, “Unsur-unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan Dengan Jual Beli
Tanah”, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi,Volume 5, Nomor 2, September 2017, hlm. 213-214.
Universitas Indonesia
77
155
Ibid., hlm. 214-216.
156
Ibid.
Universitas Indonesia
78
tidak akan memiliki, tidak akan menghaki, tidak akan menguasai, selama saya masih
hidup saya sebagai saksinya berat ini lo bu" dan kalau ibu sudah punya uang bisa
diambil lagi dan untuk bunganya 2% (dua persen) dibuat sewa menyewa saja ya biar
kelihatan cantik karena tidak boleh disebut bunga nilainya Rp120.000.000 (seratus dua
puluh juta rupiah) yaitu 2% (dua persen) dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar
rupiah). Kemudian NL melakukan rangkaian kata-kata bohong dengan janji-janji palsu
sehingga atas bujuk rayu tersebut pun saksi S menjadi tergerak hatinya untuk
menyerahkan hak kepemilikan atas 11 (sebelas) bidang tanah.
Menimbang berdasarkan putusan perkara perdata Nomor 53/Pdt.G/2014/PN.Smn
jo. Putusan Banding No. 68/PDT/2014/PN.Smn 2015 jo. Putusan Kasasi No.
2385K/PDT/2016 tetap dimenangkan oleh saksi NL sebagai tergugat. Oleh sebab itu
penulis tidak sependapat dengan putusan hakim dalam putusan kasasi yang menyatakan
bahwa Terdakwa TAH terbukti bersalah atas delik penipuan bersama-sama dengan NL.
Karena sebenarnya berdasarkan putusan perdata Nomor 53/Pdt.G/2014/PN.Smn jo.
Putusan Banding No. 68/PDT/2014/PN.Smn jo. Putusan Kasasi No. 2385K/PDT/2016,
objek sengketa telah dilaksanakan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Sleman maka
terhadap segala akta-akta yang menyertai dalam perkara tersebut disimpulkan bahwa
yang terjadi adalah jual beli antara saksi S dengan NL. Oleh karenanya Hakim
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung gagal mempertimbangkan keterkaitan antara
saksi-saksi dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan Dikarenakan Pasal 378
KUH di atas tidak terbukti, maka Pasal 55 ayat (1) mengenai tindak pidana penyertaan
pula tidak terpenuhi.
Dalam Putusan 1048 PK/Pdt/2022 dinyatakan bahwa PPJB cacat karena ada tipu
muslihat sebagaimana Pasal 378 Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP sehingga dalam perkara
pidana, PPJB tidak berlaku melainkan pinjam meminjam. Hal ini kemudian sejalan
dengan Pasal 1328 KUHPer menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan untuk
membatalakan suatu perjanjian karena adanya cacat kehendak.157
157
Roknel Maadia, “Tindak Pidana Penipuan dalam Hubungan Kontraktual Menurut Hukum Pidana
Indonesia”, Lex Crimen Vol. IV Nomor 2 (April 2015), hlm. 74.
Universitas Indonesia
79
Meninjau kembali adalah upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada seseorang
untuk sesuatu bertentangan dengan keputusan hakim. Meskipun Keputusan hakim telah
ditetapkan masih ada kemungkinan untuk dilakukan permohonan kasasi, jika ternyata
terdapat alasan untuk itu dan merasa tidak adil untuk atas keputusan seperti itu.
Peninjauan kembali tidak menghilangkan kepastian hukum putusan hakim, tetapi justru
untuk mempertahankan keadilan itu sendiri dan memberikan kepastian hukum atas
perbuatannyan yang adil.158 Ketentuan Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa alasan peninjuan kembali ini bersifat
limitatif. Artinya, alasan untuk dimohonkannya peninjuan kembali hanya terbatas atas
alasan yang disebut secara enumeratif satu persatu dalam pasal dan tidak boleh
ditambahkan alasan di luar pasal tersebut. 159
Pengajuan Peninjauan Kembali kedua
sebagaimana dalam Putusan Nomor 1048PK/Pdt/2022 sejatinya tidak dapat dilakukan
karena dalam perkara perdata sudah dinyatakan sah dan terbukti hingga sebagaimana
tertuang dalam Putusan Nomor 143 PK/Pdt/2019. Pengadilan pidana tidak boleh
menganalisis bahwa PPJB itu adalah pengakuan utang karena dalam putusan perdata
sudah diuji dinyatakan sah. PPJB bukanlah causa pengakuan hutang dan tidak
mengandung cacat apapun. Putusan dalam perkara perdata kasus ini adalah ditolak yang
mana mengenai pokok perkara. Sehingga secar a contario PPJB itu harus dianggap sah
dan mengikat.
158
Ali Marwan Hsibuan, “Putusan Peijauan Kembali Perkara Pidana Sebagai Novum dalam
Peninjuan Kembali Perkara Perdata” Jurnal Yudisial Volume 12 Nomor 1, (April 2019)., hlm. 113.
159
Ibid.
Universitas Indonesia
80
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti sewa menyewa dengan
causa pengakuan utang seharusnya dapat dinyatakan sah sebagaimana putusan
Pengadilan Negeri. Adapun pengadilan tinggi yang menganulir menjadi tidak
sah dan kemudian dikuatkan dengan putusan mahkamah agung Nomor 51
PK/PID/2022. Peneliti menyatakan bahwa PPJB tersebut adalah tetap sah
dengan alasan para pihak telah menyatakan kesediannya untuk hadir
menandatangani perjanjian pengikatan jual beli di hadapan Terdakwa TAH
selaku Notaris/PPAT. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor
53/Pdt.G/2014 diketahui fakta bahwa sebenarnya baik saksi S dan NL telah
sepakat untuk membuat dan menandatangani perjanjian pengikatan jual beli
yang diikuti sewa menyewa atas dasar utang piutang. Artinya bila ada satu pihak
yang mengakui bahwa objek tersebut tidak lagi menjadi miliknya dan oleh
karenanya PPJB sudah beralih dan sah. Hal ini sejalan dengan Pasal 1320
KUHPer tentang syarat sah perjanjian, Pasal 1868 KUHPer mengenai akta
autentik serta Pasal 1 UUJN. Terdakwa TAH juga telah menerapkan asas kehati-
hatian dan melakukan iktikad baik. Hal ini dibuktikan dengan keterangan
terdakwa yang meneliti dan membaca berkas-berkas yang dihadapkan padanya
serta adanya niat baik Terdakwa TAH untuk memberikan penyuluhan hukum
tentang proses peralihan tanah yang menjadi objek perjanjian.
2. Delik penipuan yang dikualifikasikan oleh putusan Mahkamah Agung, adalah
tidak tepat karena berdasarkan putusan perkara perdata Nomor
53/Pdt.G/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Banding No.
68/PDT/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Kasasi No.
2385K/PDT/2016 tertanggal 14 Desember 2016 tetap dimenangkan oleh saksi
NL sebagai tergugat. Terhadap objek sengketa telah dilaksanakan eksekusi oleh
Pengadilan Negeri Sleman maka terhadap segala akta-akta yang menyertai
Universitas Indonesia
81
dalam perkara tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang terjadi adalah jual
beli antara saksi S dengan NL. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 51
PK/PID/2022 memutuskan Notaris telah terbukti bersalah melakukan tindak
pidana penipuan secara bersama-sama dengan NL yang merugikan saksi S.
Namun demikian Oleh karenanya Hakim Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung gagal mempertimbangkan keterkaitan antara saksi-saksi dan alat-alat
bukti yang diajukan di persidangan Dikarenakan Pasal 378 KUH di atas tidak
terbukti, maka Pasal 55 ayat (1) mengenai tindak pidana penyertaan pula tidak
dapat terpenuhi dan tidak sah.
B. Saran
1. Sebagaimana yang terjadi pada praktiknya, pembuatan perjanjian pengikatan
jual beli atas objek tanah dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, baik itu
yang dilakukan oleh salah satu pihak, para pihak maupun Notaris dalam
pembuatan akta. Bukan tidak mungkin atas iktikad tidak baik tersebut
menimbulkan kerugian. Untuk itu, Notaris selaku pejabat umum yang
dilimpahkan kewenangan untuk membuat suatu akta autentik haruslah benar-
benar menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian dan asas ketidakberpihakan
kepada salah satu pihak demi menjunjung tinggi martabat jabatannya. Selain itu,
diperlukan pula asas kecermatan ini. Hal ini dimaksudkan agar pada proses
identifikasi pihak-pihak yang berhadapan dengan Notaris, Notaris dapat
menyimak dengan seksama apa keinginan dan maksud dari pihak-pihak tersebut
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuangkan maksud dari para pihak
dalam akta yang dibuatnya
2. Penjatuhan pidana pada Notaris selama menjalankan jabatannya menjadi
catatan penting yang perlu diperhatikan oleh Majelis Pengawas dan Dewan
Kehormatan Notaris. Pengawasan haruslah berjalan secara efektif. Pengawasan
sejatinya tidak hanya akan melindungi masyarakat tetapi juga pribadi Notaris itu
sendiri dari iktikad tidak baik para pihak dalam akta. Hendaknya Majelis
Pengawas sebagai suatu bentuk pengawasan yang merupakan perpanjangan
Universitas Indonesia
82
tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dapat
memberikan perlindungan dari dua sisi secara seimbang. Notaris yang
berkonflik dengan hukum harus diberikan kesempatan dan bantuan di muka
persidangan bilamana dalam faktanya Notaris tersebut sudah menjalankan
jabatannya seseuai dengan Perhimpunan Notaris Indonesia Nomor:
08/PERKUM/INI/2017 tentang tata cara pemberian bantuan dan pendampingan
hukum kepada anggota Ikatan Notaris Indonesia.
Universitas Indonesia
83
DAFTAR RUJUKAN
A. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 14
Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316.
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, UU No.2 Tahun 2014, LN No.3 Tahun 2014, TLN
No.549.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Syarat dan Tata Cara
Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian dan Perpanjangan Masa Jabatan
Notaris. No.25 Tahun 2014.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Permohonan
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjuan Kembali.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan
oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Kode Etik Notaris. Tanggal 20-30 Mei 2015.
B. Putusan Pengadilan
Pengadilan Negeri Sleman. Putusan No. 63/Pid.B/2020/PN.Slm.,
Mahkamah Agung. Putusan Kasasi No, 379K/PID/2021.
Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali No. 51 PK//PID/2021.
Pengadilan Negeri Sleman. Putusan No. 107/Pdt.G/2018/PN.Snm.
Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Putusan Banding No. 41/Pdt/2019/PT.Yyk.
Mahkamah Agung. Putusan Kasasi No.1495K/PDT/2020.
Pengadilan Negeri Sleman. Putusan No. 53/Pdt.G/2014/PN.Smn.
Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Putusan Kasasi No. 68/Pdt/2015/PT.Yyk
Universitas Indonesia
84
C. Buku
Adjie, Habib. Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan
Tulisan tentang Notaris dan PPAT. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2008.
______. Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik.
Bandung: Refika Aditama, 2017.
______. Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Bandung: Rafika Aditama,
2008.
Ahmadi, Miru. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
Amiruddin dan Zainal Aisikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Rajawali Press, 2006.
Anand, Ghansham. Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018.
Anshori, Abdu Ghofur. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2006.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPer Buku III: Hukum Perikatan dengan
Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996.
Badrulzaman, Mariam Darus. Hukum Perikatan Dalam KUHPer Buku Ketiga:
Yurisprudensi, Doktrin, Serta Penjelasan, Cet. 1. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2015.
Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001.
Budiono, Herlien. Ajaran Utama Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Cet. 4. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.
Universitas Indonesia
85
Universitas Indonesia
86
Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2008.
Notodirejo, Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1982.
Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melawan Hukum Dipandang dari Sudut Hukum
Perdata. Bandung: Mandar Maju, 2000.
______. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju, 2000.
Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009.
Saputra, Rendy. Kedudukan Hukum Penyalahgunaan Keadaan (Missbruik van
Omstandigheden) dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2016.
Sjahdeini, Sutan Remi. Kebebasan Berkentrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Cet. 1. Jakarta
Pustaka Utama Grafiti, 2009.
Sjaifurrachman. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta.
Bandung: Mandar Maju, 2011.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
______. Pengatar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Subekti. Aneka Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2014.
_______. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2001.
_______. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1996.
Sujamto. Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1987.
Susylawati, Eka. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Perkara
Kewarisan Islam Berdasarkan Undang-undang Peradilan Agama.
Pamekasan: Duta Media Publishing, 2009.
Soenandar, Taryana. Kompilasi Hukum Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty, 2008.
Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2009.
Universitas Indonesia
87
D. Tesis/Disertasi
Fatima, Sherin. “Ledudukan Akta Kuasa Menjual dalam Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Belum Lunas Untuk Melaksanakan Pembuatan Akta Jual Beli (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
758/Pdt/2018/PT.DKI)”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, 2020).
Thea Farina, “Asas Kecermatan Dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Juncto Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris”,
(Disertasi Doktoral Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014)
Universitas Indonesia
88
Fitriasma, Aisha Kartika. “Analisis Yuridis Akta Perjanjian Utang Piutang Yang
Memuat Klausula Pengakuan Utang”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013).
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan berkontrak, (Disertasi Magister
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
Inkiriwang, Virany. “Notaris dalam Menjalan Jabatannya Bertindak Sebagai
Makelar Tanah dan Pengurusannya Dikaitkan dengan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, (Tesis Magister Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, Juni, 2010).
Lamandasa, Cindy Daniela dan Surastini Fitriasih, “Akibat Hukum bagi Notaris atas
Akta yang Dijadikan Sarana Tindak Pidana Penipuan (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 1276/Pid.B/2019/PN.Mdn)”, (Tesis
Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2022).
Subastyo, Ainur Rofix. “Ketentuan Batas Waktu Tanggung Jawab Notaris sebagai
Pejabat Umum Terhadap Akta yang Dibuat Di Hadapannya Setelah Masa
Jabatan Berakhir”, (Tesis Magsiter Kenotariatan Universitas Brawijaya,
Malang, 2019).
Tiopan, Jesseline, Winanto Wiryomartani, dan Widodo Suryandono, “Implikasi
Hukum atas Penipuan Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan
Jual Beli sebagai Pengganti Akta Pinjam Meminjam dengan Jaminan (Studi
Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta
Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKI Jakarta/XI/2017)”, (Tesis Magister
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2019).
E. Artikel/Jurnal
Aprilia, Wardah Dian Puji N. Simatupang, Pieter Everhardus Lantumenten,
“Analisis Penerapan Iktikad Baik dan Pertanggungjawaban Notaris/Pejabat
Pembuat Akta Tanah Terhadap Akta Jual Beli dan Akta Pelepasan Hak Atas
Tanah Terhadap Objek Warisan Yang Belum Dibagi Waris (Studi Kasus
Universitas Indonesia
89
Universitas Indonesia
90
Universitas Indonesia
91
Supriyadi, “Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah dalam
Perspektif Hukum Pertanahan”, Jurnal Arena Hukum, Volume 9, Nomor 2,
Agustus 2016. Hlm. 210-223.
Tjukup, I Ketut et.al., “Akta Notaris (Akta Autentik) sebagai Alat Bukti dalam
Peristiwa Hukum Perdata”, Acta Comitas Vol. 2, 2016. Hlm. 182-195.
Walandouw, Rony A. Pangeman Diana, dan Hendrik Pondaag, “Unsur Melawan
Hukum Yang Subjektif dalam Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 KUHP”,
Lex Crimen, Volume IX, Nomor 3, Juli-September 2020, hlm. 249-257.
Winandra, Desvia dan Hanafi Tanawijaya, “Penerapan Asas Terang dan Tunai
dalam Jual Beli Tanah yang Merupakan Harta Bersama dalam Perkawinan
(Studi Putusan Nomor 1/Pdt.G/2019/PN.Lbt)”, Jurnal Hukum Adigama,
Volume 3, Nomor 2, Desember 2020, hlm. 5-17.
F. Internet
Aprilia, Ajeng Hanifa Zahra Caesar. “Akta Risalah Lelang sebagai Akta Otentik.”
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14819/Akta-Risalah-Lelang-
sebagai-Akta-Otentik.html. Diakses pada 9 Maret 2023.
Abriged. Black’s Law Dictionary. 7th Edition. Minnesotta, West Publishing Co.:
2000).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/kausa. Diakses pada 27
September 2022.
_______. https://kbbi.web.id/larang. Diakses pada 9 Maret 2023.
Ikatan Notaris Indonesia. Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan
Notaris Indonesia, Banten 29-30 Mei 2015.
https://www.ini.id/uploads/images/image_750x_ 5bd7a3727eccd.pdf.
Diakses pada 9 Maret 2023.
Universitas Indonesia