Anda di halaman 1dari 102

UNIVERSITAS INDONESIA

KEABSAHAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI YANG


DIIKUTI SEWA MENYEWA DENGAN CAUSA PENGAKUAN
UTANG YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI DELIK
PENIPUAN
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 51PK/PID/2022)

TESIS

REINATTA AMELIA UTAMI


2106668775

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JULI 2023
HALAMAN JUDUL

UNIVERSITAS INDONESIA

KEABSAHAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI YANG


DIIKUTI SEWA MENYEWA DENGAN CAUSA PENGAKUAN
UTANG YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI DELIK
PENIPUAN
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 397K/PID/2021)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister


Kenotariatan

REINATTA AMELIA UTAMI


2106668775

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JULI 2023

Universitas Indonesia
iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip mauoun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Reinatta Amelia Utami


NPM : 2106668775
Tanda Tangan :
Tanggal : Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Diikuti
Sewa Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang
Yang Dikualifikasikan sebagai Delik Penipuan (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 51PK/PID/2022)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diwajibkan utuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada
program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Penguji : Dr. Yuli Indrawati, S.H., LL.M.


Pembimbing : Dr. Daly Erni, S.H., M.Si., LL.M.
Pembimbing : Dr. Pieter Everhardus Latumenten, S.H., M.H., Sp.N.
Penguji : Dr. Yoni Agus Setyono , S.H., M.H.

Universitas Indonesia
iv

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Reinatta Amelia Utami
NPM : 2106668775
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang
Diikuti Sewa Menyewa dengan Causa Pengakuan
Utang yang Dikualifikasikan sebagai Delik Penipuan
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor
51PK/PID/2022)

Ditetapkan di : Depok
Tanggal :

Universitas Indonesia
v

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN


AKADEMISI

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini :

Nama : Reinatta Amelia Utami


NPM : 2106668775
Program Studi : Magister Kenotariatan
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berujudul:

“Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Diikuti Sewa Menyewa dengan
Causa Pengakuan Utang yang Dikualifikasikan Sebagai Delik Penipuan (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 51PK/PID/2022)”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-
kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memupblikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada Tanggal :

Yang menyatakan

(Reinatta Amelia Utami)

Universitas Indonesia
vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang
atas sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim-nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
sebuah bentuk tesis dengan judul Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang
Diikuti Sewa Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang yang Dikualifikasikan
Sebagai Delik Penipuan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 397K/PID/2021).
Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam perjalanan membuat
tesis ini, Penulis sadar betul bahwa tidaklah dapat diselesaikan apabila tidak
mendapat bantuan-bantuan serta dukungan-dukungan dan pula pengorbanan yang
diberikan. Oleh karenanya, dalam kesempatan ini Penulis hendak mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Daly Erni, S.H., M.Si., LL.M., dan Dr. Pieter Everhardus Latumenten,
S.H., M.H., Sp.N selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II
Penulis yang senantiasa memberikan waktu, tenaga, serta pikirann untuk
membimbing Penulis dalam penyusunan Tesis ini. Penulis menghaturkan
permohonan maaf apabila selama dalam bimbingan, Penulis banyak
melakukan kesalahan;
2. Dr. Yuli Indrawati S.H., LL.M selaku Ketua Penguji dan Dr. Yoni Agus
Setyoni S.H., M.H selaku dewan Penguji dalam Ujian Tesis Penulis.
3. Dr. Henny Marlyna, S.H., M.H., M.L.I., selaku dosen pembimbing akademik
Penulis selama 4 semester ini. Terima kasih atas kesabaran serta pengertian
yang dicurahkan kepada saya setiap semesternya selama saya menempuh studi
serta semangat dan dukungan yang diberikan kepada Penulis;
4. Seluruh jajaran dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, khususnya
program studi Magister Kenotariatan, yang pernah memberikan ilmu kepasa
Penulis. Terima kasih untuk semua pembelajaran-pembelajaran yang begitu
membuka pemikiran Penulis selama Penulis menempuh pendidikan di
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis
berharap semua pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan, dapat Penulis
pergunakan sebaik-baiknya untuk membantu masyarakat serta memajukan
hukum di Indonesia;
5. Seluruh jajaran staff Biro Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Terima kasih untuk kebaikannya dalam mengurus segala bentuk administrasi
yang Penulis butuhkan selama Penulis menempuh studi;
6. Papa, Mama, serta Kakek Penulis. Terima kasih untuk semua do’a cinta, kasih
sayang, dukungan, semangat, nasehat, dan didikan kepada Penulis selama 24
tahun ini. Untuk adik Penulis, terima kasih sudah menjadi saudara sekaligus
teman yang begitu pengertian. Untuk Alm. Kakak dan Nenek saya, walaupun
Allah memanggilmu jauh lebih dahulu, but I know you’re shinning down on
me from heaven. Tesis ini dipersembahkan untuk kalian, keluarga terbaik

Universitas Indonesia
vii

yang pernah saya miliki. Semoga gelar Magister Kenotariatan ini dapat
menjadi salah satu bakti Penulis dan menjadi sebuah kebanggan bagi kalian;
7. Ferry Akbar Trijayanto S.Kom. Terima kasih untuk semangat, dukungan, dan
afeksi yang diberikan selama saya mengerjakan tesis ini. Terima kasih untuk
selalu berada di sisi saya dan secara tulus menemani saya selama ini. You’re
one of the people that I admire for accepting me for who I m without judging
me.
8. Tiffany Amalia S.Psi, Kalmar Dapestiara S.P, Putri Shafa Kamila S.T dan
Aditya Maulana S.P., Terima kasih karena menjadi support systems yang
selalu mendengar segala keluh kesah dan kegundahan hati Penulis serta tidak
lelah membantu menyemangati Penulis selama dalam penulisan Tesis ini.
You’re all heaven-sent gift from God.
9. Nadia Karimah S.H., M.Kn, Putri Ridzka Maheswari Djasmine, S.H., M.Kn,
dan Aulia Safara S.H. Terima kasih sudah membuat hari-hari Penulis menjadi
penuh warna serta menjadi teman diskusi dan teman melewati segala hal yang
telah kita lewati bersama, Penulis sangat bersyukur karena diberikan
kesempatan untuk bertemu orang-orang yang sangat baik seperti kalian
semua. Semoga pertemanan ini dapat berlangsung tanpa lekang oleh waktu.
10. Untuk pihak-pihak lain yang telah banyak membantu dalam penyusunan Tesis
ini, maaf apabila dalam kesempatan ini Penulis tidak dapat menyebutkan satu
persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih Penulis.

Akhir kata, penulis menyadari tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan, baik secara sistematika penulisan hingga substansi yang
dibawakan. Oleh karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran demi
menyempurnakan skripsi ini. Semoga dengan penelitian yang dituangkan dalam
tulisan ini dapat membawa kemajuan bagi ilmu hukum kedepannya.

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama


kesulitan itu ada kemudahan.”
Q.S. 94:5-6.

Universitas Indonesia
viii

ABSTRAK

Nama : Reinatta Amelia Utami


Program Studi : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Judul : Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Diikuti dengan
Sewa Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang yang
Dikualifikasikan sebagai Delik Penipuan (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 51PK/PID/2021)

Tesis ini membahas tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang diikuti
dengan sewa menyewa dengan causa pengakuan utang. Putusan yan menjadi fokus
peneltian adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 51PK/PID/2022. Dalam kasus ini
Notaris TAH melakukan tipu muslihat dengan mensiasati utang tersebut untuk
dijadikan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti sewa menyewa. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang
diikuti sewa menyewa dengan causa pengakuan utang serta delik penipuan serta delik
penipuan yang dinyatakan oleh Hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah
doktrinal dengan tipologi penelitian Eksplanatoris-analisis. Penelitian ini
menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa keabsahan
dari PPJB terdapat perubahan dari pengadilan negeri adalah sah sedang pada
pengadilan tinggi dianggap tidak sah dan mahkamah agung mengutakan menjadi
tidak sah. Penulis menyatakan PPJB adalah sah karena sejatinya para pihak sudah
mengakui bahwa objek sudah beralih dengan adanya PPJB. Delik penipuan yang
didakwakan oleh hakim Mahkamah Agung karena berdasarkan putusan perkara
perdata PPJB dianggap sah. Dari perjalanan sidang dapat diketahuibahwa hakim
mengesampingkan semua alat bukti yang ada.

Kata Kunci: Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Sewa Menyewa, Pengakuan Utang,
Delik Penipuan

Universitas Indonesia
ix

ABSTRACT

Name : Reinatta Amelia Utami


Major : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Title : The Legitimacy of the Sale and Purchase Binding Agreement
Followed by Leasing with Causa Recognition of Debt Qualified as
Fraud Offenses (Study of Supreme Court Decision Number
51PK/PID/2022).

This thesis discusses the sale and purchase binding agreement (PPJB) followed by
leasing with causa acknowledgment of debt. The decision that is the focus of the
research is the Supreme Court Decision Number 51PK/PID/2022. In this case the
TAH Notary committed a trick by tricking the debt into a binding sale and purchase
agreement followed by a lease. The formulation of the problem in this study is the
validity of the binding sale and purchase agreement followed by leasing with the
causa of acknowledgment of debt and fraudulent offenses and fraudulent offenses
stated by the Judge. The research method used is doctrinal with an explanatory-
analytic research typology. This study uses secondary data. The results of this study
reveal that the validity of the PPJB has changed from the district court which is valid
while the high court is considered invalid and the supreme court declares it to be
invalid. The author states that the PPJB is valid because actually the parties have
acknowledged that the object has changed with the existence of the PPJB. The delict
of fraud charged by the Supreme Court judge because based on the decision on the
PPJB civil case was deemed valid. From the course of the trial it can be seen that the
judge overruled all available evidence.
Key Words: Sale and purchase binding agreements, leasing, acknowledgment of debt,
fraud offenses

Universitas Indonesia
x

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................ii
PERNYATAAN ORISINALITAS..............................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMISI.................................................................................................................v
KATA PENGANTAR..................................................................................................vi
ABSTRAK.................................................................................................................viii
ABSTRACT.................................................................................................................ix
DAFTAR ISI.................................................................................................................x
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Penelitian Terdahulu..........................................................................................9
C. Rumusan Masalah............................................................................................10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................................11
E. Definisi Operasional........................................................................................12
F. Metode Penelitian............................................................................................14
G. Sistematika Penulisan......................................................................................16
BAB II.........................................................................................................................18
KEWENANGAN NOTARIS, KEABSAHAN AKTA-AKTA YANG DIBUAT
OLEH NOTARIS, DELIK PENIPUAN YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS,
DAN KASUS POSISI.................................................................................................18
A. Jabatan Notaris................................................................................................18
1. Definisi, Tugas, dan Kewenangan Notaris..................................................18
2. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris............................................................21
3. Larangan dan Kewajiban Notaris................................................................24
4. Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Kecermatan Notaris..........................25
5. Teori Pertanggungjawaban Notaris.............................................................33
6. Pengawasan Terhadap Notaris.....................................................................39
B. Hukum Perjanjian dan Akta-akta yang Dibuat Oleh Notaris..........................42
1. Hukum Perjanjian........................................................................................42
2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli...................................................................50
3. Perjanjian Sewa Menyewa...........................................................................54

Universitas Indonesia
xi

4. Perjanjian Pengakuan Utang........................................................................58


C. Kasus Posisi.....................................................................................................62
BAB III........................................................................................................................71
KEABSAHAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DIIKUTI SEWA
MENYEWA DENGAN CAUSA PENGAKUAN UTANG (PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 51 PK/PID/2022)................................................71
A. Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Diikuti Sewa Menyewa Dengan Causa
Pengakuan Utang.....................................................................................................71
B. Delik Penipuan yang Terdapat pada Perjanjian Jual Beli Diikuti Sewa
Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang dalam Putusan Mahkamah Agung
51PK/PID/2022.......................................................................................................76
BAB IV........................................................................................................................81
PENUTUP...................................................................................................................81
DAFTAR RUJUKAN..................................................................................................84

Universitas Indonesia
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) yang diikuti dengan perjanjian sewa
menyewa atas dasar pengakuan utang, menyimpang dari kewenangan Notaris dalam
pembuatan akta. Sebab causa pengakuan utang tersebut dapat disalahartikan dan
dikualifikasikan sebagai tindak pidana penipuan. Kegiatan pembuatan akta ini
mengidentifikasikan adanya niat tidak baik dari salah satu pihak yang bekerja sama
dengan Notaris. Hal ini perlu dilakukan pengawasan dengan ketat dari Majelis
Pengawas Notaris.

Akta pengakuan utang adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang dibuat satu
pihak secara sukarela, umunya oleh debitor, sebagai sebuah jaminan agar kreditor
memiliki keyakinan lebih dalam sebuah perjanjian utang piutang. 1 Perjanjian sewa
menyewa merupakan sebuah perjanjian yang diantara para pihak, di mana seseorang
yang menyewa objek tertentu telah mengakui bahwa objek tersebut merupakan milik
orang yang menyewakan. Hal ini sejalan dengan definisi pada Pasal 1548 KUHPer
mengenai perjanjian sewa menyewa. Sewa menyewa ialah suatu perjanjian konsensual
di mana perjanjian itu mengikat dan sah pada saat tercapainya kata sepakat mengenai
unsur-unsur pokoknya yakni barang dan harga. Adapun risiko dalam sewa menyewa
kerap kali berhubungan dengan adanya overmacht yakni suatu perisitiwa yang terjadi
kepada salah satu pihak dan oleh karenanya pihak tersebut memiliki kewajiban untuk
memikul kerugian akibat dari keadaan memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1553
KUHPer.2

Kewenangan Notaris dalam implementasinya bisa dilihat dalam Undang-undang


Jabatan Notaris, bahwa Notaris diangkat oleh penguasa tinggi negara dan kepadanya

1
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 2008), hlm. 2.
2
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 89.

Universitas Indonesia
2

diberikan jasa bagi kepentingan masyarakat. Hanya orang-orang yang sudah diketahui
sifat jujur, serta memiliki kapabilitas serta pengetahuan di bidang hukum saja yang
diberikan izin untuk memangku jabatan sebagai seorang Notaris. Oleh karena itu
pemegang jabatan Notaris harus menjaga keluhuran martabat jabatannya dengan
menghindari pelanggaran aturan dan tidak melakukan kesalahan propersi yang dapat
menimbulkan kerugian kepada orang lain.3
Ketentuan hukum yang menjadi landasan bagi keberadaan Notaris di Indonesia
adalah Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang
menyatakan bahwa akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan
pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Selama Pasal 1868 KUHPer tersebut ada, maka eksistensi Notaris akan terus mendapat
pengakuan dan senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat. Pejabat umum yang dimaksud
oleh Pasal 1868 KUHPer, hanyalah Notaris, karena hanya saat ini tidak ada satupun
Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum selain Notaris, sebagai mana
yang tercantum dalam Undang-undang Jabatan Notaris (“UUJN”) kalaupun saat ini ada
pejabat umum lain yang diberi wewenang untuk membuat akta, tentu, ternyata
eksistensi pejabat umum lain tersebut tidak diatur berdasarkan undang–undang
sebagaimana ditentukan Pasal 1868 KUHPer. Padahal autentik suatu akta menurut
pasal 1868 KUHPer adalah jika akta tersebut dibuat dalam bentuk yang di tentukan
oleh undang-undang oleh pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu berdasarkan
Undang-undang yang mengaturnya.4 Sementara kewenangan notaris diatur dengan
UUJN, Soerjono Soekanto menguraikan perbedaan antara kekuasaan dan wewenang.
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain dapat disebut kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada
diri seseorang atau sekelompok orang, yang mendapat dukungan atau mendapat
pengakuan dari masyarakat. Kewenangan atau kewenangan merupakan istilah yang
umum digunakan dalam bidang hukum publik.5 Namun sesungguhnya terdapat

3
Husni Thamrin dan M. Khoidin, Hukum Notariat dan Pertanahan Kewenangan Notaris dan PPAT
Membuat Akta Pertanahan, (Yogyakarta:Laks Bang Justitia, 2021), hlm. 26.
4
Ibid, hlm. 27
5
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 91-92.

Universitas Indonesia
3

perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan


formal” kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang
atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan
kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang
pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang
hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang (authority)
adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi.
Berdasarkan sumbernya, wewenang dibedakan menjadi dua, yaitu wewenang personal
dan wewenang ofisial. Wewenang personal yaitu wewenang yang bersumber pada
intelegensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin.
Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi yang diterima dari
wewenang yang berada di atasnya. Berdasarkan prinsip negara hukum, yaitu adanya
asal legalitas yang dianut di Indonesia, maka wewenang pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan.
Jabatan notaris merupakan jabatan seorang pejabat negara atau pejabat umum, yang
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia yang
termuat dalam Ordonantie Staatblads 1860 Nomor 3, yang mulai berlaku tanggal 1 Juli
tahun 1860, berdasarkan ketentuan Pasal 1 menyatakan, bahwa Notaris adalah pejabat
umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau
oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan,
kutipannya semuanya sepanjang perbuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Kewenangan yang
dimiliki Notaris dalam menjalankan jabatannya tentunya telah diatur secara tegas dan
jelas dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tepatnya pada Pasal 15. Pasal 15 ayat (2)
menjelaskan bahwa Notaris juga mempunyai kewenangan lain selain melakukan akta
autentik yaitu Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menentukan tanggal
surat dibawahtangan dengan catatan harus didaftarkan dalam buku khusus,
mendaftarkan surat dibawahtangan itu dan juga harus didaftarkan dalam buku khusus,

Universitas Indonesia
4

membuat akta fotokopi surat dibawahtangan asli yang tentunya isinya sama dengan
surat dibawahtangan aslinya, mengesahkan surat fotokopi yang telah dicocokkan atau
dicocokkan dengan aslinya, memberikan penyuluhan atau penjelasan hukum kepada
klien atau kepada pihak lain yang membutuhkan informasi terkait pembuatan akta,
pembuatan akta terkait tanah, dan pembuatan risalah lelang.6 Selanjutnya dalam Pasal
15 ayat (3) menggambarkan bahwa Notaris memiliki kewenangan lain yang kemudian
diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.7
Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta autentik apabila memenuhi dua unsur, yaitu
dibuat oleh pejabat yang berwenang dan dibuat menurut ketentuan perundang-
undangan. Banyak orang yang tidak mengetahui bagaimana cara membuat akta
autentik. Ketentuan mengenai pembuatan akta autentik sendiri terkadang diabaikan oleh
banyak pihak, termasuk di antaranya oleh pejabat umum yang telah ditunjuk untuk
membuat akta autentik. Suatu hal yang ironis tentunya mengingat fungsi pejabat umum
yang ditunjuk untuk membuat akta autentik adalah pejabat yang memiliki kewenangan
untuk melegalkan dan mencatat suatu akta autentik. Sekalipun pembuatan akta tidak
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, akibatnya suatu akta akan kehilangan
sifat autentisitasnya. Hal ini mempunyai konsekuensi dimana akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagaimana halnya dengan akta di bawah tangan dan bukan akta
autentik. Akta autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPer adalah akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat akta itu dibuat. Sedangkan menurut
Sudikno Mertokusumo, pengertian akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan pihak yang berkepentingan, terutama yang
memuat keterangan dari pihak lain. pihak lain. seorang pejabat menjelaskan apa yang
dia lakukan. dan melihat ke hadapannya.8

6
Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undnag-undang Nomor 30
Tahun 2004 tetang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, TLN No. 5491, LN No. 3/2014, Ps. 15 ayat (2).
7
Perubahan UUJN, Ps. 15 ayat (3).
8
Ibid., hlm. 10-13.

Universitas Indonesia
5

Suatu perjanjian ialah suatu peristiwa yang mana seseorang berjanji kepada orang
lain, ataupun kedua orang tersebut berjanji melakukan maupun melaksanakan suatu hal.
Dari peristiwa demikian timbulah kemudian sebuah hubungan antara kedua orang
tersebut yang disebut sebagai perikatan. Suatu perjanjian ada kalanya pula disebut
sebagai persetujuan dikarenakan kedua pihak itu setuju untuk melaksanakan suatu hal
tertentu. Lebih lanjut, perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian
merupakan suatu hal yang konkret. Apabila dalam suatu perikatan dari masing-masing
pihak terdiri hanya satu orang dan hal yang dituntut hanya berupa satu hal dengan
penuntutannya berikut dapat dilakukan seketika, maka perikatan sebagai berikut
merupakan bentuk yang paling sederhana. Selain itu, hukum perdata juga mengenal
bentuk perikatan lain yang lebih kompleks, yaitu:9
a. Perikatan bersyarat;
b. Perikatan dengan ketetapan waktu;
c. Perikatan mana suka (alternatif);
d. Perikatan tanggung-menanggung atau solider;
e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi;
f. Perikatan dengan ancaman hukuman
Akta autentik yang dibuat oleh notaris dapat digunakan sebagai alat bukti yang
sempurna apabila dikemudian hari ada salah satu pihak yang lalai menjalankan
kewajiban yang sudah diperjanjikan sebelumnya. Dengan adanya akta notariil ini maka
masing-masing pihak akan mendapat kepastian hukum tentang apa saja yang telah
diperjanjikan sebelumnya. Apabila debitur tidak dapat melunasi utangnya kepada
kreditur sesuai dengan waktu dan jumlah yang sudah diperjanjikan maka kreditur
berhak untuk menuntut pelunasan utang dengan cara mengeksekusi barang jaminan
yang dijaminkan oleh debitur. Adapun barang jaminan tersebut biasanya diagunkan ke
bank dengan lembaga jaminan Hak Tanggungan, Gadai, hipotik dan Fidusia, di mana
lembaga jaminan ini memberikan keistimewaan kepaa kreditur untuk dapat melakukan
eksekusi barang jaminan tanpa perlu mengajukan gugatan terlebih dahulu ke Pengadilan
untuk membuktikan adanya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur. Kreditur dapat

9
Subekti, Aneka Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2014), hlm. 2-4.

Universitas Indonesia
6

langsung mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Lelang setempat untuk


menjual di muka umum barang jaminan tersebut atau menjual dibawahtangan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak agar dapat memperoleh keuntungan yang
lebih besar dari hasil penjualan. Apabila tidak terdapat barang jaminan dari pihak
debitur maka seluruh harta kekayaan yang dimiliki debitur dapat dijadikan sebagai
barang jaminan untuk pelunasan utang. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1131
KUHPer yang menyatakan bahwa seluruh harta kekayaan seseorang itu, baik yang
sudah ada maupun yang akan diperolehnya kemudian, merupakan jaminan dari
pelunasan utang-utangnya. Dari ketentuan pasal ini, jelas kepentingan dari pihak
kreditur telah dilindungi oleh hukum.10
Dalam menjalankan tugas dan jabatannya, secara normatif seorang notaris harus
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan segala
perbuatan yang akan dilakukannya dan kemudian dituangkan dalam suatu akta.
Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku tentunya akan memberikan
kepastian hukum kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat dihadapan atau oleh
Notaris sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku sehingga apabila terjadi suatu
permasalahan maka akta Notaris tersebut dapat menjadi pedoman bagi para pihak. Akta
notaris harus memberikan jaminan bahwa peristiwa dan fakta yang disebutkan dalam
akta benar-benar dilakukan oleh notaris atau dijelaskan oleh para pihak yang hadir pada
waktu yang tertera dalam akta sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dalam
pembuatan akta. Namun selain kejujuran, ketelitian dan ketidakberpihakan dari sudut
pandang Notaris, surat palsu dan keterangan palsu dari para penghadap masih menjadi
masalah dan ancaman bagi Notaris. Bahkan bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi
celah pidana bagi seorang notaris. Hal ini dikarenakan Notaris sebagai orang yang
mempunyai kedudukan mulia wajib menjalankan kewenangannya sesuai dengan
sumpah jabatan, UUJN, Kode Etik Notaris, dan peraturan lain yang masih berkaitan
dengan jabatan Notaris. Seorang Notaris dituntut untuk selalu dapat dipercaya, jujur,
penuh tanggung jawab dan mandiri sehingga tidak memihak salah satu pihak dalam
pembuatan akta.Namun demikian, dewasa kini ditemukan banyak Notaris yang

10
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Notaris, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.6.

Universitas Indonesia
7

bersekongkol dengan para pihak untuk melakukan suatu perbuatan melawan hukum
untuk menguntungkan dirinya sendiri. Penipuan secara bersama-sama adalah suatu
bentuk kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 378
yang menyatakan bahwa:11 12 13
“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengana memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohonganmenggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.”

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam membuat suatu akta baik itu perjanjian
pengakuan utang, akta sewa menyewa, maupun akta mengenai jaminan lainnya, Notaris
harus memperhatikan klausula yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-
syarat sahnya suatu perjanjian. Sebuah akta perjanjian yang tidak memenuhi syarat tersebut
tidak hanya dapat dibatalkan namun kekuatannya menjadi seperti akta dibawahtangan. 14

Bilamana dalam pembuatan akta tersebut terdapat unsur penipuan maka berdasarkan Pasal
56 UUJN, Notaris tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dalam hal ini,
Notaris bertindak tidak amanah atas kepercayaan yang telah diberikan oleh para pihak,
tidak pula jujur dan tidak menjaga kepentingan para pihak karena mendahulukan
kepentingannya sendiri sehingga tidak hanya melanggar Pasal 16 UUJN melainkan pula
melanggar Pasal 17 ayat (1) UUJN.15 Menurut Pasal 85 UUJN, pelanggaran terhadap Pasal
16 ayat (1) huruf a dan e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian

11
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bandung:Fokusmedia, 2012), Ps. 378.
12
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya, (Jakarta: Sofmedia,
2012), hlm. 13-14.
13
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 21-23.
14
Jesseline Tiopan, Winanto Wiryomartani, dan Widodo Suryandono, “Implikasi Hukum atas
Penipuan Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai Pengganti Akta Pinjam
Meminjam dengan Jaminan (Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta
Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017)”, (Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok, 2019).
15
Fitra Deni dan Dara Fauziah, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Tindak Pidana Penipuan Dalam
Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli”, Autentik’s: Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 5 No. 1
(Januari 2023), hlm. 48-49.

Universitas Indonesia
8

dengan tidak hormat. Penjatuhan saksi administratid dilakukan oleh Majelis Pengawas
Notaris dengan cara berjenjang. Dalam hal sanksi kode etik, bilamana Notaris bersangkutan
terbukti melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 3 Kode
Etik Notaris maka sanksi yang akan diterima dapat berupa teguran, peringatan,
pemberhentian sementara dari keanggotaan perkumpulan, pemberhentian dengan tidak
hormat dari keanggotaan perkumpulan. Adapun sanksi perdata diberlakukan apabila
terbukti telah terjadi perbuatan melawan hukum atau wanprestasi di muka persidangan.
Sanksi pidana dikenakan kepada Notaris bilamana Notaris tersebut terbukti melakukan
sebuah perbuatan yang melanggar UUJN dalam pembuatan akta dan memberikan celah
yang mempermudah seseorang dalam akta tersebut untuk melakukan tindak pidana
penipuan. Uraian berikut menggambarkan bahwa notaris dapat dikenakan lebih dari satu
jenis sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi kode etik, sanksi perdata, maupun sanksi
pidana. 16
Dalam Kasus yang akan diteliti mengenai putusan Kasasi Mahkamah Agung Studi
Putusan Nomor 397K/PID/2021, di mana Terdakwa adalah seorang Notaris di wilayah
jabatan Daerah Istimewa Khusus Yogyakarta berinisial TAH. Notaris TAH bersama
dengan saksi Nyonya NL melakukan serangkaian tipu muslihat dengan mensiasasti utang
piutang antara Saksi Nyonya NL dengan saksi Nyonya S untuk dikemas menjadi akta
perikatan jual beli menjadi perjanjian sewa menyewa. Atas bujuk rayu dan tipu muslihat
dari Terdakwa Notaris TAH dan saksi Nyonya NL, Saksi Nyonya S menjadi tergerak
hatinya untuk menyerahkan hak kepemilikan atas 11 (sebelas) bidang tanah yang telah
bersertipikat dengan cara dibuatkan perikatan jual beli beserta akta kuasa menjualnya.
Tindakan Notaris TAH tersebut terang telah merugikan saksi Nyonya S. Hal tersebut
mendorong penulis untuk meneliti tentang bagaimana keabsahan pengakuan utang yang
diejawantahkan ke dalam perjanjian pengikatan jual beli diikuti sewa menyewa oleh
Notaris TAH dengan Nyonya NL terhadap akta yang dibuatnya terhadap Nyonya S dalam
judul tesis “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Diikuti dengan Sewa Menyewa

16
Cindy Daniela Lamandasa dan Surastini Fitriasih, “Akibat Hukum bagi Notaris atas Akta yang
Dijadikan Sarana Tindak Pidana Penipuan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
1276/Pid.B/2019/PN.Mdn)”, (Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2022).

Universitas Indonesia
9

dengan Causa Pengakuan Utang yang Dikualifisikasi Sebagai Delik Penipuan (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 397/K/Pid/2021)”.

B. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai perjanjian pengikatan jual beli atau sewa menyewa dan
kaitannya dengan tindak pidana penipuan sebelumnya memang telah dilakukan oleh
beberapa penulis lain, diantara penelitian tersebut terdapat rumusan masalah yang sekilas
terlihat mirip. Pertama, penelitian Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, yang
ditulis oleh Jesseline Tiopan, yang berjudul, “Implikasi Hukum atas Penipuan Notaris
dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai Pengganti Akta Pinjam
Meminjam dengan Jaminan (Studi Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris
Provinsi DKI Jakarta Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKIJakarta/XI/2017” dengan salah satu
rumusan masalahnya adalah “bagaimana implikasi hukum atas penipuan notaris dalam
pebuatan akta perjanjian pengikatan jual beli sebagai pengganti akta pinjam meminjam
dengan jaminan?” di mana hasil penelitiannya adalah bahwa implikasi dari penipuan yang
dilakukan oleh Notaris dalam Putusan Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKI Jakarta/XI/2017
ialah tidak terlindunginya hak pelapor yang membuahkan kerugian secara finansial dan
oleh karena akta tersebut mengandung unsur penipuan maka akta dapat dibatalkan serta
kekuatannya menjadi seperti akta dibawahtangan.
Kedua, penelitian Tesis Magister Kenotariatan Universitas Pancasila, yang
dilakukan oleh Dara Fauziah yang berjudul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Tindak
Pidana Penipuan Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli” dengan salah
satu rumusan masalahnya “bagaimana tanggung jawab Notaris atas tindak pidana penipuan
dalam pembuatan akta pengikatan jual beli”. Adapun hasil penelitiannya adalah bahwa akta
tersebut tidak memenuhi dan tidak sesuai dengan Pasal 1320 KUHPer. Hal ini disebabkan
akta tidak memenuhi unsur objektif yang karenanya membuat akta tersebut batal demi
hukum sehingga notaris patut bertanggung jawab dan diberikan sanksi. Tidak hanya sanksi
pidana, tetapi juga sanksi secara administrasi dan kode etik karena melanggar Pasal 16
UUJN dan tidak memiliki iktikad baik untuk menjaga kehormatan jabatan Notaris.

Universitas Indonesia
10

Ketiga, penelitian Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang


dibuat oleh Amalia Sari, dengan judul “Perbuatan Melawan Hukum oleh Notaris atas
Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli serta Kuasa Jual dengan Dasar Penipuan
(Studi Putusan Nomor 54/PDT.G/2020/PN.UNR)”. adapun salah satu rumusan masalah
yang diteliti adalah “bagaimana pertanggungjawaban notaris atas pelanggaran jabatan
Notaris terkait kasus pada putusan Nomor 54/Pdt.G/2020/PN.Unr?”. Hasil penelitian
tersebut menyatakan bahwa Notaris serta salah satu pihak telah melakukan siasat atau tipu
muslihat dengan meminta pihak lain untuk menandatangani tanpa dibacakan terlebih
dahulu akta tersebut dengan mana tujuannya adalah untuk melakukan penipuan. Atas
tindakannya tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
karena telah melanggar Pasal 378 KUHP jo. Pasal 55 KUHP dan dapat dijatuhi hukuman
penjara maksimal 5 tahun. Kemudian tindakan Notaris yang merugikan salah satu pihak
dengan membuat akta PPJB diluar kehendak para pihak dianggap sebagai Perbuatan
Melawan Hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata dan oleh karenanya dapat
dimintai pertanggungjawaban secara perdata dengan mengganti kerugian. Selanjutnya,
tinakan Notaris dalam pembuatan akta PPJB dan Surat Kuasa Jual telah melanggar Pasal 16
UUJN. Sedangkan yang diteliti dalam tesis ini adalah terkait keabsahan perjanjian
pengikatan jual beli diikuti dengan sewa menyewa dengan causa pengakuan utang serta
membahas bilamana causa pengakuan utang tersebut disalahartikan dengan dikualifisir
sebagai delik penipuan.

C. Rumusan Masalah
Dalam tesis ini, permasalahan yang akan diangkat antara lain:
1. Bagaimanakah keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti sewa
menyewa dengan causa pengakuan utang?
2. Bagaimanakah delik penipuan yang terdapat pada Perjanjian Jual Beli diikuti sewa
menyewa dengan causa pengakuan utang dalam Putusan Mahkamah Agung
397K/PID/2021?

Universitas Indonesia
11

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis keabsahan perjanjian pengikatan jual beli diikuti dengan sewa
menyewa dengan causa pengakuan utang;
b. Menganalisis kualifikasi delik penipuan yang terdapat pada Perjanjian
Pengikatan Jual Beli diikuti dengan sewa menyewa dengan causa pengakuan
utang yang dikualifikasikan sebagai delik penipuan berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung 397K/PID/2021.

2. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan dan
keilmuan mengenai pembuatan akta autentik dan memberikan pandangan
serta solusi hukum mengenai permasalahan seputar pertanggungjawaban
Notaris.
Penelitian ini dapat memberikan masukan untuk mata kuliah…
b. Manfaat Praktis
1) Diharapkan dapat memberi masukan mengenai cara-cara yang
menunjang kinerja Majelis Pengawas Daerah Notaris dan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Agraria untuk melakukan
pengawasan lebih terhadap para Notaris/PPAT beserta akta yang
dibuatnya di Kota/Kabupaten dalam wilayah kerjanya;
2) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat atau
masyarakat umum secara keseluruhan sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan

Universitas Indonesia
12

masyarakat pengguna jasa notaris dan bagi notaris dapat dijadikan


sebagai pengalaman dan pelajaran yang berharga. . sehingga resiko yang
ada pada saat menjalankan profesinya dapat diminimalisir. dengan
menjunjung tinggi profesionalisme pekerjaannya.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan sebuah bagian teknis penyusunan suatu penelitian


yang kemudian menggambarkan konsep khusus mengenai penulisan yang hendak atau
sedang diteliti. Definisi operasional pula berfungsi sebagai pedoman konkrit dalam
penelitian untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman atas berbagai istilah yang
dipergunakan.17 Dalam penulisan ini, penulis akan memberikan definisi serta beberapa
istilah yang akan akan digunakan, antara lain:
1. Akta notaris merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris dengan
bentuk maupun tata cara yang diatur dalam Undang-undang.18
2. Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk menurut ketentuan undnag-
undang, dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, dan pejabat umum tersebut
harus berwenang membuatnya di tempat akta itu dibuat.19
3. Perikatan dalam hukum perdata didefinisikan sebagai sebuah hukum yang
kemudian timbul sebagai akibat dari perjanjian maupun undang-undang yang dibuat
oleh dua pihak atau lebih yang di mana mereka saling mengikatkan diri. Salah satu
pihak mempunyai hak untuk dipenuhi atas suatu prestasi yang timbul sedangkan
pihak lainnya memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi itu.20

17
Soerjono Soekanto, Pengatar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.
132.
18
Ajeng Hanifa Caesar Aprilia, “Akta Risalah Lelang sebagai Akta Autentik”,
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14819/Akta-Risalah-Lelang-sebagai-Akta-Autentik.html,
diakses pada 9 Maret 2023.
19
Subekti, Ps. 1868.
20
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPer Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan ,
(Bandung: Alumni, 1996), hlm. 1.

Universitas Indonesia
13

4. Perjanjian adalah salah satu dari sumber yang dapat melahirkan sebuah perikatan di
mana didalamnya berisikan rangkaian kata janji-janji, baik yang diutarakan secara
tertulis maupun secara lisan.21
5. Causa atau Kausa menurut KBBI adalah sebab yang menimbulkan suatu kejadian.22
6. Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu perbuatan yang tidak hanya dianggap
melanggar undang-undang tetapi juga sebuah tindakan yang bertentangan dengan
kepatutan, kesusilaan, serta sifat kehati-hatian yang hidup dan tumbuh di dalam
masyarakat. 23
7. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Jabatan Notaris.
24

8. Kode Etik Notaris adalah prinsip-prinsip moral yang ditentukan oleh Ikatan Notaris
Indonesia, selanjutnya disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan Kongres
Ikatan dan/atau ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai hal ini. dan yang berlaku dan harus dipatuhi oleh setiap
notaris, serta pejabat sementara notaris dan notaris pengganti.25
9. Delik penipuan merupakan tipu muslihat atau serangkaian kata-kata bohong yang
diucapakan sehingga mengakibatkan pihak lain terpedaya karena ucapannya
tersebut. Rumusan Penipuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bukanlah
suatu definisi melainkan berisikan unsur-unsur dari suatu perbuatan yang dikatakan
sebagai penipuan dan pelakunya dapat dikenakan pidana. 26
10. Akta Perikatan Jual Beli merupakan salah satu instrumen perikatan yang memiliki
kekuatan pembuktian sempurna atau bersifat autentik. 27
Akta Perikatan Jual Beli
21
Ibid., hlm. 147.
22
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/kausa, diakses pada 27 Maret 2023.
23
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 50.
24
Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, LN 2004/No. 117, TLN No.
4432.
25
Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia 2015, Ps. 1 angka 2,
https://www.ini.id/uploads/images/image_750x_5bd7a3727eccd.pdf, diakses pada 9 Maret 2023.
26
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 37.
27
Agustiro Nugroho Ariwibowo, “Kepastian Hukum Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli Di
hadapan Notaris Tanpa Dihadiri Para Saksi”, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan
Keadilan Volume 11 Nomor 1 (Maret 2020), hlm. 85.

Universitas Indonesia
14

memiliki sifat bebas yang berisikan janji-janji para kontraktan dengan mengalihkan
hak kepada pihak lain sehingga peralihan hak tersebut mendapatkan kepastian dan
perlindungan hukum.28
11. Akta Sewa Menyewa adalah akta yang berisikan persetujuan untuk pemakaian
sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak, dengan pembayaran dan suatu
harga tertentu.29
12. Surat Pengakuan Utang adalah suatu surat berharga yang diterbitkan untuk
mengikat secara hukum seluruh jaminan debitur bagi kepentingan kreditur yang
termasuk dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tagun 1992 tentang Perbankan. 30

F. Metode Penelitian

Penelitian tentang “Keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Diikuti Sewa
Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang yang Dikualifikasi Sebagai Delik Penipuan
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/PID/2022)” mengenai
pertanggungjawaban pembuatan akta yang dibuat oleh Notaris merupakan suatu
penelitian hukum doktrinal. Penelitian doktrinal ialah suatu penelitian hukum yakni
ilmu hukum yang menjelaskan dan menganalisis tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, maupun norma-norma hukum.31
Sedangkan penelitian non-doktrinal ialah penelitian hukum yang dikonsepsikan sebagai
pranata riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain. Jenis penelitian dalam
penyusunan penulisan hukum ini bersifat Eksplanatoris-analisis analitis yaitu penelitian
yang bermaksud untuk menguji hipotesa-hipotesa yang ada guna memperkuat atau
bahkan menolak hipotesa hasil penelitian sebelumnya32 Juga guna mengetahui

28
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm. 14.
29
Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),
hlm. 59.
30
Karmila Sari Sukarno dan Pujiyono, Penghapusan Leglaisasi Surat Pengakuan Utang dalam
Perjanjian Kredit Perbankan, (Surakarta: CV Indotama Solo.2019), hal. 134.
31
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 33.

Universitas Indonesia
15

gambaran mengenai jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang diajukan.33


Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Di mana data sekunder tersebut diperoleh melalui sumber kedua, yaitu
melalui studi kepustakaan, yaitu dari data-data yang sudah tersedia. Data sekunder
terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan–bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari 34
norma atau kaedah dasar, yakni Undang-undang Jabatan Notaris beserta
Perubahannya, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-
pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Peraturan Menteri
Agraria Nomor 3 Tahun 1997, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan,
Pemberhentian dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris, Putusan Mahkamah
Agung Nomor 397K/PID/2021 yang didapatkan dari Direktori Putusan
Mahkamah Agung.35
b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum36 Dalam sumber hukum sekunder ini
yang akan digunakan oleh penulis terdiri dari buku-buku, jurnal, tesis, disertasi,
artikel internet, perundang-undangan, dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; Bahan hukum tersier
yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
serta Black’s Law Dictionary. 37

32
Soetandyo Wignjosoebroto, Silabus Metode Penelitian Hukum, (Surabaya: Universitas Airlangga,
2008), hlm. 1-3.
33
Amiruddin dan Zainal Aisikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press,
2006), hlm. 133.
34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2012),
hlm. 44.
35
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Univesitas Indonesia), hlm.36-39.
36
Ibid., hlm.49-44.
37
Ibid., hlm. 45-48.

Universitas Indonesia
16

Alat pengumpulan data yang digunakan berupa studi dokumen atau studi
kepustakaan yang meliputi peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan
kepustakaan lain yang dapat dijadikan sebagai penunjang. Studi dokumen atau
bahan pustaka ini berfungsi untuk memberikan fakta yang secara tidak langsung
memberikan pemahaman tentang masalah yang sedang diteliti. Data-data hasil
studi kepustakaan yang saya kumpulkan berasal dari Perpustakaan Universitas
Indonesia dan Pusat Studi Dokumen dan Referensi Hukum Soediman
Kartohadiprojo (PDRH).

Metode analisis data yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif,
yakni tata cara penelitian yang menghasilkan penelitian Eksplanotis-analisis
untuk memberikan gambaran atas permasalahan hukum yang terjadi serta
memberikan solusinya. Kemudian mengenai bentuk dari peneilitian yang
dilakukan penulis ialah berupa Eksplanotis-analisis dengan tujuan untuk
mendeskripsikan dan memberikan usulan terkait permasalahan-permasalahan
hukum sejalan dengan konsep serta teori yang ada dalam ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.

G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini digunakan beberapa tahap atau sistematika penulisan
untuk dapat mempermudah pemahaman terhadap tesis ini. Adapun sistematika
dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Bab ini mengantarkan kepada bab-bab selanjutnya. Bab ini
berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian,
metode penelitian, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
Bab II Kewenangan Notaris, Keabsahan Akta-akta Yang dibuat Oleh Notaris,
Kasus Posisi yang berisikan tinjauan umum mengenai jabatan Notaris, akta-akta
yang dibuat oleh Notaris dalam mengampu jabatannya, Tindak pidana penipuan
yang dilakukan oleh notaris, serta kasus posisi.
Bab III Pembahasan, berisikan analisis mengenai keabsahan perjanjian
pengikatan jual beli diikuti dengan sewa menyewa dengan causa pengakuan utang,

Universitas Indonesia
17

serta keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti dengan sewa menyewa
dengan causa pengakuan utang yang dikualifiisikan sebagai delik penipuan.
Bab IV Penutup. Bab ini menguraikan akhir penulisan tesis yang terdiri dari
simpulan yang berisi tentang hasil akhir penulisan dan saran yang dapat
diaplikasikan.

Universitas Indonesia
18

BAB II

KEWENANGAN NOTARIS, KEABSAHAN AKTA-AKTA YANG DIBUAT OLEH


NOTARIS, DELIK PENIPUAN YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS, DAN
KASUS POSISI

A. Jabatan Notaris
1. Definisi, Tugas, dan Kewenangan Notaris

Notaris secara definisi diartikan sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan
untuk membuat akta autentik serta menjalankan kewenangan lainnya sebagai yang
dimaksud dalam undang-undang jabatan Notaris. Keberadaan Notaris memiliki peranan
penting dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum, khususnya perihal hukum perdata.
Selanjutnya, Notaris ialah seorang pejabat publik yang diberikan kewenangan untuk
membantu masyarakat luas dalam hal pembuatan akta-akta autentik maupun
kewenangan lainnya. Selain itu, hadirnya Notaris pula diperlukan masyarakat karena
setiap keterangan yang diberikan oleh Notaris dianggap benar keberadaannya,
begitupula mengenai tanda tangan atau cap dari Notaris yang dapat memberikan suatu
jaminan dan alat menjadi sebuah alat bukti yang kuat atas terjadinya suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki kepentingan. 38 Kewenangan yang
dimiliki Notaris ini ialah berupa kewenangan atribusi. Kewenangan jenis ini ialah
kewenangan yang diberikan langsung oleh Undang-undang, dalam hal ini ialah UUJN,
dan tidak diberikan oleh lembaga pemerintah. 39 Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 15
Undang-undang Jabatan Notaris yang mengatur bahwa:
“Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan uang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau

38
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2011), hlm. 449.
39
Denico Doly, “Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta yang Berhubungan dengan Tanah”,
Negara Hukum (November 2011), hlm. 279.

Universitas Indonesia
19

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.”40
Kewenangan utama Notaris ialah membuat suatu akta autentik, namun tidak
semua akta autentik dapat dibuat oleh Notaris sebagaimana contohnya adalah
Notaris tidak memiliki kewenangan untuk mmebuat akta kelahiran, akta kematian,
maupun akta perkawinan. Hal ini dikarenakan, akta-akta tersebut merupakan
kewenangan dari instansi pemerintah yang lain. Adapun yang dimaksud sebagai
akta autentik yang dibuat notaris adalah mengenai suatu perjanjian antara satu pihak
dengan pihak lainnya yang dibuat atas dasar permintaan pihak-pihak tersebut.
Selain itu akta yang dapat dibuat Notaris dapat pula suatu akta yang dibutuhkan
oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai alat bukti di kemudian hari bilamana
dibutuhkan. 41
Pada Pasal 15 ayat (2) UUJN mengatur pula kewenangan lain yang
diberikan kepada Notaris, yaitu:42
1) “Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawahtangan dengan mendaftar pada buku khusus;
2) Membukukan surat dibawahtangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
3) Membuat kopi dari asli surat dibawahtangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan aslinya;
5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan kata;
6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
7) Membuat akta risalah lelang.”
Seiring perjalanan waktu, Notaris pula diberikan kewenangan untuk
membuat dan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik atau dalam
arti lain dikenal pula sebagai cyber notary, membuat akta ikrar wakaf, serta
membuat akta hipotek pesawat terbang. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 15
ayat (3) UUJN mengenai kewenangan lain yang dimiliki oleh seorang Notaris. 43

lebih lanjut, seorang Notaris dalam menjalankan kewenangannya dalam membuat


akta akan berada dalam kuasa Notaris apabila meliputi 4 (empat) hal. Pertama,
40
Perubahan UUJN, Ps. 15 ayat (1).
41
Ghansham Anand, Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2018), hlm. 96.
42
Perubahan UUJN, Ps. 15 ayat (2).
43
Perubahan UUJN, Penjelasan Ps. 15 ayat (3).

Universitas Indonesia
20

terhadap akta yang dibuatnya merupakan kewenangan dari Notaris yang mana tidak
setiap pejabat umum memiliki kewenangan untuk senantiasa selalu membuat akta
autentik. Karena hanya seorang Notaris saja yang diperkenankan untuk membuat
akta autentik mengenai akta-akta tertentu saja dan telah ditetapkan serta
dikecualikan oleh undang-undang yang mengatur. Kedua, seorang Notaris hanya
dapat membuat akta untuk orang-orang yang diizinkan oleh undang-undang
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN.44
“Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, suami/istri,
atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan denganNotaris baik
karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturuna ke bawah
dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, mapun dalam suatu
kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.”45

Keberadaan dari pengecualian-pengecualian yang disebutkan oleh Pasal 52


ayat (1) tersebut tidak lain adalah untuk memberikan Notaris pembatasan diri dan
tidak memihak pada salah satu pihak saja. Selain itu, ketentuan tersebut pula
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan jabatan Notaris. Ketiga, yakni
kewenangan Notaris dalam pembuatan akta autentik senantiasa akan berada dalam
kuasa Notaris apabila akta tersebut tidak dibuat di luar tempat kedudukan dan
wilayah jabatan Notaris. Apabila hal itu terjadi akta tersebut menjadi tidak sah dan
Notaris dianggap telah melakukan sebuah pelanggaran atas jabatannya. 46
Wilayah
kedudukan Notaris ialah kabupaten atau kota, sedangkan wilayah jabatannya
meliputi satu provinsi dari tempat kedudukannya tersebut, sebagaimana sejalan
dengan ketentuan Pasal 18 UUJN. Dengan demikian Notaris hanya dapat membuat
akta di tempat ia berkedudukan dan wilayah jabatannya saja. Keempat, yakni
Notaris yang sedang menjalankan cuti atau seorang Notaris yang telah dipecat dari
jabatannya tidak boleh membuat suatu akta autentik. Lebih lanjut, Notaris yang

44
G.H.S. Lumban Tobing , Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 49.
45
Perubahan UUJN, Ps. 52 ayat (1).
46
Tobing, Peraturan…, hlm. 50.

Universitas Indonesia
21

belum diangkat sumpah jabatan pula tidak diperbolehkan membuat suatu akta
autentik. 47
2. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2004, Notaris adalah


pejabat publik yang berwenang untuk pembuatan akta autentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU. Dalam Pasal 1 angka 7 ditegaskan
bahwa akta notaris adalah akta asli yang dibuat oleh atau sebelumnya Notaris sesuai
dengan bentuk dan tata caranya diatur dalam Undang-undang ini.
Pembuatan akta autentik yang dibuat diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan dalam rangka mewujudkan kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum. Selain akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, bukan hanya
karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena pihak
yang berkepentingan ingin menjamin hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak dan bagi masyarakat secara
keseluruhan.
Akta autentik pada hakekatnya memuat kebenaran formil sesuai dengan hal-
hal yang diberitahukan oleh para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk
memasukkan apa yang tercantum dalam akta notaris, benar dan sesuai dengan
keinginan para pihak. Salah satu caranya adalah dengan membacanya agar isi akta
notaris menjadi jelas, serta memberikan akses informasi, termasuk akses terhadap
peraturan perundang-undangan terkait untuk penandatanganan akta, sehingga para
pihak dapat dengan bebas menentukan dan menyepakati isi akta tersebut. akta. akta
notaris yang akan ditandatangani.
Bukti dari kasus ini adalah untuk menentukan hubungan hukum sebenarnya
kepada pihak-pihak tersebut proses pengadilan. Pembuktian dilakukan tidak hanya
pada peristiwa atau peristiwa, tetapi juga terhadap eksistensi hak untuk dapat
dibuktikan. Pada pada dasarnya hanya hal-hal yang menjadi sengketa saja yang
perlu dibuktikan.

47
Ibid.

Universitas Indonesia
22

Berdasarkan Pasal 1867 KUHPer disebutkan bahwa akta dapat berupa akta
dibawahtangan dan akta autentik. Kedua akta tersebut merupakan bukti tertulis
namun terdapat perbedaan mengenai kekuatan pembuktian di antara keduanya.
Berbeda dengan surat biasa, sebuah akta dibuat dengan sengaja untuk diberlakukan
sebagai alat bukti di persidangan. Akan tetapi suatu akta ialah sebuah bukti bahwa
telah terjadi suatu peristiwa hukum dan akta-lah yang menjadi buktinya. 48 Dengan
demikian, tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta autentik yang memiliki
kekuatan hukum dan dapat dipergunakan sebagai alat bukti tertulis bagi para pihak
di dalamnya. Namun dalam prakteknya, para pihak yang telah melakukan perbuatan
hukum tersebut tetap dapat bersengketa satu sama lain mengenai isi dari akta
Notaris tersebut.
Sebagai suatu akta autentik, akta Notaris memiliki fungsi sebagaimana akta-
akta lainnya. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa suatu akta dapat memiliki
fungsi formill dan dapat pula berfungsi sebagai alat bukti, yaitu:
a. Fungsi formil (formalitas causa)
Akta mempunya fungsi formil, artinya agar lengkap serta sempurnanya suatu
perbuatan hukum, harus dibuatkan suatu akta terkait. Para pihak yang hendak
melakukan perbuatan hukum wajib membuatnya dalam bentuk tertulis, baik
itu akta autentik maupun akta dibawahtangan.
b. Fungsi alat bukti (probationis causa)
Sejak awal para pihak dengan sengaja membuat akta (asli atau lebih rendah
tangan) sebagai bukti di kemudian hari. sifat tertulis perjanjian itu tidak
membuatnya sah suatu perjanjian, tetapi agar akta itu dapat digunakan oleh
mereka sebagai alat bukti jika terjadi sengketa di kemudian hari.
Akta autentik termasuk didalamnya akta Notaris, pada dasarnya memiliki 3
(tiga) kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian sendiri diatur dalam Pasal 1870,
1871, 1875 KUHPer yang pada intinya menyatakan bahwa pembuktian sempurna
dan mengikat mengenai kebenaran yang terdapat dalam akta tidak hanya bagi para
48
Dedy Purnomo, “Kekuatan Pembuktian Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Selaku Pejabat Umum
Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia”, Lex Jurnalia, Volume 12, Nomor 13, Desember 2015, hal. 249-
250.

Universitas Indonesia
23

pihak yang bersangkutan. Akan tetapi berlaku pula kepada ahli waris dan penerima
hak. Adapun kekuatan pembuktian tersebut yaitu:49
a. Kekuatan pembuktian lahiriah
Pembuktian lahiriah artinya kemampuan dari suatu akta itu untuk
membuktikan dirinya merupakan sebuah akta autentik. Berdasarkan Pasal
1875 KUHPer, kekuatan pembuktian ini tidak dimiliki pada akta
dibawahtangan. Akta dibawahtangan dapat berlaku sah terhadap siapa akta itu
akan dipergunakan selama pihak tersebut menyatakan benar bahwa ialah yang
menandatangani akta dibawahtangan tersebut. Lain halnya dengan akta
dibawahtangan, akta autentik dapat membuktikan sendiri keabsahannya.
Artinya, suatu akta yang memenuhi syarat dan mempunyai bentuk seperti akta
uatentik, maka akta tersbeut berlaku dan dianggap seperti aslinya sampai
terbukti sebaliknya (acta publica probant seseipsa). Dengan demikian
permasalahan pembuktian akta autentik hanya berdasarkan keaslian tanda
tangan pejabat yang membuat akta.
Kekuatan pembuktian lahiriah suatu akta autentik adalah berupa
pembuktian yang lengkap, penerapannya untuk semua orang, dan tidak
terbatas pada para pihak. Demikian pula akta notaris yang bentuk lahiriahnya
sempurna, sah dan dapat mengikat setiap orang sebagai akta autentik karena
dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk membuatnya.
b. Kekuatan pembuktian formal
Kekuatan pembuktian formal artinya bahwa suatu akta terjamin akan
kebenaran serta kepastian tanggal akta, kebenaran tanda tangan yang ada
dalam akta, identitas diri dari para pihak yang hadir, serta tempat di mana akta
itu dibuat. Pembuktian dormal akta, tanpa mengurangi pembuktian
sebaliknya, merupakan pembuktian lengkap. Hal ini berarti bahwa keterangan
pejabat yang berada dalam dua golongan akta maupun keterangan para pihak
dalam akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal yang berlaku
bagi setiap orang.

49
Ibid., hlm. 254-255.

Universitas Indonesia
24

c. Kekuatan pembuktian material


Kekuatan alat bukti material akta autentik adalah kepastian bahwa para pihak
tidak hanya menghadap dan menjelaskan kepada notaris tetapi juga
membuktikan bahwa mereka juga melakukan seperti yang tertera di dalam
materi akta.

3. Larangan dan Kewajiban Notaris

Larangan dalam pengertiannya ialah suatu perintah yang dibuat untuk tidak
diplakukannya sesuatu hal tertentu.50 Larangan yang diperintahkan kepada seorang
Notaris dalam selama menjalankan jabatannya ditentukan dalam Pasal 17 UUJN
yang mengatur bahwa sebagai berikut: 51
1. “Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya
2. Meninggalkan wilayah jabatan lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
3. Merangkap sebagai pegawai negeri;
4. Merangkap sebagai pejabat negara;
5. Merangkap sebagai advokat;
6. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7. Merangkap jabatan jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris
8. Menjadi Notaris Pengganti;
9. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama.
Kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.”
Selain daripada larangan yang telah disebutkan, seorang Notaris pula
memiliki kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
16 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris, yakni:
a. “Bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta;

50
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/larang, diakses pada 9 Maret 2023.
51
Perubahan UUJN, Ps. 17 ayat (1)

Universitas Indonesia
25

d. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan


minuta akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan kententuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku dan
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari
satu buku dan mencatat jumlah minuta akta,bulanan, dan tahun
pembuatannya pada sampul tiap buku
h. Membuat daftar akta dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf I atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu
5 (lima) hari pada minggi pertama setiap bulan berikutnya;
k. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
l. Mempunyai cap atau stemple yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit
2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusu untuk pembuatan akta
wasiat dibawahtangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan Notaris, dan;
n. Menerima magang calon Notaris.”52

Kewajiban-kewajiban yang dinyatakan Pasal 16 ayat (1) tersebut patutlah


harus ditaati oleh Notaris serta memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan
dalam Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (INI) khususnya dalam Bab III Pasal 3.
Dalam Kode Etik Notaris tersebut berisikan kewajiban-kewajiban yang harus
dijalani sebagaimana ditentukan oleh UUJN besetta dengan larangan-larangan yang
harus dipatuhi oleh Notaris selama menjalankan jabatannya sebagai Pejabat.

52
Perubahan UUJN, Ps. 16 ayat (1).

Universitas Indonesia
26

4. Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Kecermatan Notaris


Selama menjalankan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk senantiasa
memiliki prasangka baik kepada setiap orang yang hadir datang di hadapannya.
Iktikad baik menjadi suatu hal yang penting dalam proses terciptanya perjanjian.
Sama halnya dengan proses pembuatan akta Notaris, iktikad baik menjadi sebuah
tolak ukur untuk melihat dan memberikan gambaran mengenai sifat, karakter
ataupun perilaku dari tiap-tiap orang atau pihak-pihak yang nantinya akan memiliki
kepentingan dalam pembuatan akta agar dikemudian hari tidak timbul resiko atau
masalah di kemudian hari.
Definisi iktikad baik dalam Black’s Law Dictionary dikatakan sebagai, “in our
good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually,
without simulation or pretense.”53 Bila ditinjau dari sudut pandang perjanjian,
iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap
perjanjian yang dibuat haruslah dilandaskan pada suatu iktikad baik. Dalam sudut
pandang lainnya, akta notaris memiliki dua sisi pandang lain mengenai iktikad baik
yaitu dilihat dari sisi penghadap selaku pembuat akta serta dari sisi Notaris sebagai
pihak yang berwenang mengerluarkan akta. Bilamana dilihat dari sisi penghadap,
penerapan asas iktikad baik dimaksudkan agar perjanjian yang dibuat dapat berjalan
dengan baik agar menguntukan para pihak dan diharapkan tidak aka menimbulkan
permasalahan di kemudian hari. Selain itu, para pihak dapat membuktikan mengenai
keabsahan atau keaslian dari dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk membuat
perjanjian yang dimaksud. Kemudian bila dilihat dari sisi Notaris, iktikad baik di
sini memiliki fungsi sebagai sebuah pengingat bagi Notaris bahwa setiap akta yang
dibuat olehnya dapat berakibat hukum serta menimbulkan sebuah tanggung jawab
baru yang harus dipikul Notaris tersebut. Artinya, dalam setiap proses pembuatan
akta selama Notaris menjalankan jabatannya, Notaris harus memiliki intuisi yang
baik selain dari mengandalkan iktikad baik. Hal ini untuk menyaring dan
melindungi Notaris dari pihak-pihak yang memiliki iktikad buruk serta memastikan

53
Abriged, Black’s Law Dictionary, 7th Edition, (Minnesotta, West Publishing Co.: 2000),
278.

Universitas Indonesia
27

bahwa para pihak yang datang kepada Notaris memang berniat baik dan dapat
dibuktikan keabsahannya melalui dokumen-dokumen yang para pihak itu sertakan
dan lainnya.54 Penerapan asas iktikad baik oleh seorang Notaris dalam pembuatan
sebuah akta seyogyanya merupakan suatu hal yang wajib dimiliki dan diterapkan
oleh Notaris. 55
Selain dengan menerapkan iktikad baik dalam membuat akta, Notaris pula perlu
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan jabatannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN, yang menyatakan bahwa Notaris harus
menjalankan jabatannya secara seksama atau dalam hal ini adalah hati-hati.
Penerapan prinsip ini juga sebagai benteng yang melindungi Notaris serta bentuk
perlindungan bagi produk-produk hukum yang nantinya diterbitkan oleh Notaris
selama ia memangku kewenangannya tersebut. Lebih lanjut, prinsip kehati-hatian
juga dapat difungsikan sebagai sebuah jalan untuk meminimalisir terjadinya hal-hal
yang dapat merugikan Notaris khususnya dalam hal ini adalah timbulnya gugatan
atas produk hukum yang dibuat Notaris yang diajukan oleh para pihak dalam akta.
Prinsip kehati-hatian dapat diterapkan dengan beberapa cara. Salah satunya
dengan melakukan pemeriksaan terhadap subjek secara terperinci atas pihak-pihak
yang hadir di hadapannya seperti memeriksa data diri dalam hal ini Kartu Tanda
Penduduk, Kartu Keluarga, atau passport yang kemudian dicocokan dengan foto
yang ada dalam dokumen fisik dengan para pihak yang sedang berhadapan dengan
Notaris. Maksud dari pemeriksaan ini tidak lain untuk memastikan bahwa pihak
yang sedang menghadap benar merupakan pihak yang memiliki kecakapan dan
berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang sah. Selain itu, Notaris
juga perlu memriksa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek yang dibawa
oleh para pihak yang bersangkutan seperti memeriksa keaslian dari sertipikat tanah
melalui pengecekan ke Badan Pertanahan Negara serta memastikan bahwa objek
yang bersangkutan bebas dari sengketa atau sedang berada di bawah Hak
54
Wardah Aprilia, Dian Puji N. Simatupang, Pieter Everhardus Lantumenten, “Analisis Penerapan
Iktikad Baik dan Pertanggungjawaban Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah Terhadap Akta Jual Beli dan
Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Terhadap Objek Warisan Yang Belum Dibagi Waris (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 156K/Pdt/2020)”, Indonesian Notary, Vol. 4, No. 1, (2022), hlm. 294-295.
55
Ibid.

Universitas Indonesia
28

Tanggungan. Notaris perlu pula memberikan suatu bentuk penyuluhan hukum dan
membantu para pihak untuk membuat kerangka sebelum akta yang dibutuhkan oleh
para pihak dibuat. Selain itu Notaris harus memenuhi segala hal yang memiliki
keterkaitan dengan syarat verlijden pada saat pembuatan akta. Artinya Notaris harus
melakukan penyusunan, pembacaan, dan penandatanganan terhadap akta serta
melakukan kewajiban-kewajiban yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-
undang Jabatan Notaris.56
Prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan oleh Notaris dapat pula diterapkan
dengan cara Notaris memperhatikan ketentuan tentang tenggang waktu dalam
pembuatan akta, artinya adalah Notaris memberikan batasan waktu dibuatnya akta
agar pada proses pembuatannya tidak terburu-buru dan dapat dilakukan dengan
cermat mengenai kebenaran aktanya. hal ini dimaksudkan agar akta-akta tersebut
terhindar dari masalah seperti terdapatnya kata-kata multitafsir pada isi akta. Notaris
pula perlu memperhatikan dan memastikan mengenai penggunaan teknik
pembuatan akta Notaris seperti memastikan terpenuhinya syarat-syarat formal
pembuatan akta yang ditentukan dalam Pasal 38 Perubahan UUJN, demikian pula
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Dalam prosesnya Notaris memiliki tanggung jawab untuk melaporkan
kepada pihak berwajib bilamana ditemukan indikasi tindakan pencucian uang dalam
transaksi serta pembuatan akta Notaris.57
Notaris selama dalam kewenangannya sebagai Pejabat dituntut pula menerapkan
asas kecermatan. Kecermatan berarti selalu melaksanakan pekerjaan dengan sangat
hati-hati dan selalu memperhatikan norma atau kaidah profesi yang ada serta
memperhatikan kaidah moral yang berlaku di lingkungan profesi. Proses
pelaksanaan ketelitian yang diharapkan dari seorang Notaris adalah berupa
tanggung jawab, yang dimaksudkan sebagai tanggung jawab profesional yang
dilakukan oleh seorang Notaris dalam menjalankan kewenangannya. Perlunya

56
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (kumpulan Notaris dan PPAT),
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 86.
57
Ida Bagus Paramaningrat Manuaba, I Wayan Parsa dan I Gusti Ketut Ariawan, “Prinsip Kehati-
hatian Notaris dalam Membuat Akta Autentik”, Acta Comitas (2018), hlm. 68-69.

Universitas Indonesia
29

kecermatan sebagai Notaris merupakan salah satu hal yang harus dimiliki dan selalu
ada dalam jiwa seorang Notaris, misalnya seorang Notaris harus selalu
mempertimbangkan dan mendengarkan dengan seksama informasi yang diberikan
oleh para penghadap apakah sesuai berdasarkan hukum yang berlaku dan relevan. 58
Pentingnya asas kecermatan ini untuk dimiliki Notaris dapat dilaksanakan dengan
Notaris menjalankan tugasnya dengan baik sebagaimana ketentuan yang diatur oleh
Undang-undang Jabatan Notaris serta Kode Etik Notaris maupun aturan lainnya
yang terkait dengan jabatan Notaris. Selain itu Notaris seyogyanya harus memiliki
kemampuan mumpuni, selalu bersikap waspada dan teliti dalam setiap pembuatan
akta, menerapkan dan memiliki sikap seksama dalam menjalankan kewenangan dan
tugasnya, serta memiliki kesediaan untuk senantiasa melakukan evaluasi diri
terhadap tindakan-tindakan yang hendak dikakukan serta pada saat pengambilan
keputusan dalam membuat akta.59
Selain dari penerapan ketiga hal penting di atas, dalam menjalankan jabatannya
Notaris wajib memiliki asas-asas lainnya yang perlu diterapkan, yakni:
1. Asas Persamaan
Asas persamaan ini dimaksudkan agar Notaris dapat menjalankan
jabatannya dan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara merata, artinya
tidak ada perlakuan khusus atau tidak ada perbedaan dalam memberikan pelayanan
kepada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perlakuan diskriminatif atas
dasar ekonomi, sosial atau lainnya bukanlah hal yang dapat dibenarkan ketika
seorang Notaris melayani masyarakat. Selain itu, Notaris dilarang menolak untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat apabila alasan penolakan tersebut tidak
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dalam
keadaan tertentu bahkan Notaris wajib untuk memberikan pelayanan jasa secara

58
Thea Farina, “Asas Kecermatan Dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014
tentang Jabatan Notaris”, (Disertasi Doktoral Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014), hlm.
82.
59
Ibid.

Universitas Indonesia
30

cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu untuk membayar jasanya sebagaimana
diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUJN Perubahan.60
2. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan adalah asas yang menyatakan bahwa Notaris dalam
menjalankan jabatannya harus bertumpu pada hubungan saling percaya antara
Notaris dengan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya. Asas kepercayaan ini perlu
diterapkan oleh Notaris karena dalam menjalankan jabatannya Notaris akan
menerima honorarium dari para pihak sebagai imbalan atas jasa yang diberikan oleh
Notaris, artinya para pihak telah memilih Notaris yang bersangkutan karena
pertimbangan para pihak serta adanya rasa percaya kepada Notaris, begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang Notaris untuk selalu
menjunjung tinggi asas kepercayaan ini, sebagai wujud bahwa Notaris telah
menjaga dengan baik segala bentuk amanah yang telah dipercayakan oleh para
pihak kepada Notaris, sehingga para pihak juga tetap menaruh kepercayaannya. di
Notaris. Selain itu, asas kepercayaan juga dikenal dengan istilah legal expection,
artinya segala bentuk harapan yang dimiliki oleh para pihak, baik berupa janji
maupun pernyataan yang disampaikan kepada Notaris, maka semua yang
diharapkan dari para pihak dapat direalisasikan. dipenuhi oleh Notaris, tetapi harus
tetap berada di tangan Notaris. jalan yang benar yaitu tidak melanggar ketentuan
UUJN atau Kode Etik Notaris.61
3. Asas Kepastian Hukum
Asas ini mengingatkan bahwa seorang Notaris dalam menjalankan
jabatannya harus senantiasa berpegang pada pedoman yang telah ditetapkan yaitu
menaati peraturan-peraturan yang berkaitan dengan segala jenis perbuatan yang
akan dilakukan oleh Notaris dan kemudian dituangkan dalam Akta. Menjalani
jabatan dengan berpegang pada pedoman dan tata cara yang telah ditetapkan
membuat masyarakat yakin dan percaya bahwa Notaris dalam menjalankan
60
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm. 34.
61
Aganita Dhaneswara, “Keterlibatan Notaris dalam Pemberantasan Money Laundering
Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2015 Dikaitkan dengan Asas Kerahasiaan Terbatas,” Lex Renaissance (Januari
2020), hlm. 172.

Universitas Indonesia
31

jabatannya telah dapat memberikan kepastian hukum, akta yang dibuat telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga ketika suatu terjadi
perselisihan, akta yang dibuat oleh Notaris dapat dijadikan pedoman yang
mempunyai nilai pembuktian yang sempurna dalam ranah hukum perdata.62
4. Asas Kecermatan
Seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya perlu menerapkan asas
kecermatan ini. Kehati-hatian yang nyata harus selalu melekat baik pada jiwa
pribadi maupun dalam menjalankan jabatannya. Dalam menerapkan asas ketelitian
ini, misalnya pada proses identifikasi pihak-pihak yang mendahuluinya, identifikasi
dilakukan berdasarkan identitas yang diberikan oleh pihak-pihak tersebut,
menyimak dengan seksama dan melihat dengan seksama apa keinginan dan maksud
dari pihak-pihak tersebut. para pihak, melakukan pemeriksaan dan pemeriksaan
terkait. dokumen yang diserahkan dan dibutuhkan oleh Notaris. Asas kecermatan
merupakan bentuk penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-undang Jabatan
Notaris, Selain dari penjelasan sebelumnya tersebut di atas, Notaris juga dalam
menjalankan jabatannya dalam hal membuat akta wajib melakukan cara-cara
tertentu yaitu memberi nasihat dan membuat kerangka akta untuk memenuhi apa
yang dikehendaki atau dikehendaki oleh para pihak, melaksanakan segala teknis
administrasi dalam pembuatan akta seperti membaca akta, menandatangani,
memberikan salinan dan risalah akta, dan Notaris wajib melaksanakan segala
kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Hal ini dilakukan
dengan maksud agar setiap akta yang dibuat oleh dan di hadapan Notaris ini
mempunyai alasan dan fakta hukum sebagai pendukung akta tersebut, yang
selanjutnya harus dijelaskan kepada pihak yang berkepentingan.63
5. Asas Pemberian Alasan
Asas ini bertujuan agar setiap akta yang dibuat oleh atau dibuat di hadapan
notaris harus selalu mempunyai fakta-fakta hukum dan alasan-alasan pendukung
yang berkaitan dengan akta yang telah dikeluarkannya yang kemudian dijelaskan
62
Adjie, Hukum Notaris Indonesia…, hlm. 36.
63
Eka Susylawati, Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Perkara Kewarisan Islam
Berdasarkan Undang-undang Peradilan Agama, (Pamekasan: Duta Media Publishing), hlm. 238.

Universitas Indonesia
32

kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Artinya, asas pemberian alasan


dimaksudkan agar setiap Notaris harus dapat memberikan pemahaman hukum
terhadap akta yang dibuatnya kepada para pihak, karena dalam prakteknya banyak
akta yang dikeluarkan oleh Notaris dengan judul akta yang sama, namun tentu
masing-masing Notaris memiliki pertimbangan atau alasan hukum yang berbeda.
berbeda. dasar pembuatan akta oleh Notaris.64
6. Larangan Penyalahgunaan Wewenang
Ketententuan tentang larangan penyalahgunaan wewenang ialah suatu
perbuatan yang diperbuat oleh Notaris di luar dari batas kewenangan yang
dimilikinya, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 15 UUJN Perubahan. Asas ini
bertujuan agar Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak bertindak sewenang-
wenang atau tidak menyimpang dari jalan yang telah ditentukan baginya. Oleh
karena itu, apabila Notaris melampaui batas kewenangannya, maka Notaris tersebut
telah melakukan perbuatan atau perbuatan dengan menyalahgunakan kewenangan
yang dimilikinya. Jadi, jika perbuatan tersebut dapat merugikan para pihak, maka
Notaris dapat dituntut ganti rugi.65
7. Larangan Bertindak Sewenang-wenang
Asas ini merupakan pedoman bagi seorang Notaris dalam menjalankan
jabatannya, dimana Notaris harus dapat menentukan apakah keinginan yang
diungkapkan oleh para pihak dapat dituangkan dalam suatu akta atau tidak dan
sebelumnya Notaris harus meneliti dan melihat semua dokumen yang diperlukan
berkaitan sampai dengan pembuatan akta itu.66
8. Asas Proporsionalitas
Asas proporsionalitas adalah asas yang didasarkan pada pemenuhan hak dan
kewajiban secara adil antara para pihak yang menghadap Notaris. 67 Asas

64
Virany Inkiriwang, “Notaris dalam Menjalan Jabatannya Bertindak Sebagai Makelar Tanah dan
Pengurusannya Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, (Tesis
Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Juni, 2010), hlm. 73.
65
Habib Adjie, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 86.
66
Ibid., hlm. 90.
67
Anita Kamilah, “Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Pemanfaatan Aset negara Melalui Model
Build Operate and Transfer/Bot”, Jurnal Hukum & Pembangunan (November, 2019), hlm. 609.

Universitas Indonesia
33

proporsionalitas ini merupakan penerapan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN


Perubahan (UUJN-P), dimana notaris berkewajiban menjaga kepentingan masing-
masing pihak dan menjamin keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban para
pihak dapat dipenuhi secara proporsional.68
9. Asas Profesionalitas
Asas ini mensyaratkan Notaris dalam menjalankan jabatannya harus
senantiasa mentaati dan mentaati segala ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris dan Kode Etik Notaris. Notaris juga dituntut untuk memiliki pemahaman
atau pengetahuan yang mumpuni, karena pengetahuan yang dimiliki oleh seorang
Notaris merupakan modal utama agar seorang Notaris dapat menjalankan
keahliannya sehingga tercipta suatu pekerjaan yang dilaksanakan secara
profesional.69 Profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang notaris selain harus
didukung dengan pengetahuan yang mumpuni, juga harus didukung dengan
ketundukan seorang notaris pada Kode Etik yang telah ditetapkan, yang dijadikan
landasan etika bagi seorang notaris dalam menjalankan tugasnya. / posisi. Dengan
demikian, profesionalisme dan kode etik harus selalu berdampingan atau dijalankan
secara bersamaan oleh seorang Notaris, karena seorang Notaris tidak diperkenankan
untuk menolak memberikan jasa kepada para pihak apabila tidak ada alasan hukum
yang kuat.70

5. Teori Pertanggungjawaban Notaris


Setiap tindak tanduk seorang Notaris selama memangku jabatannya akan selalu
menimbulkan tanggung jawab, baik itu dalam pembuatan akta autentik, kewenangan
lain yang diatur dalam UUJN, maupun kewenangan yang terlahir dari hukum kebiasaan
atau living law. Tanggung jawab sendiri memiliki arti sebagai suatu kewajiban yang
harus dipenuhi untuk memikul sesuatu yang terjadi karenanya dan ditanggung serta

68
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 87.
69
M Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan tanggung Jawab Notaris, Cet. 1, (Yogyakarta: UII
Press, 2017), hlm. 25-26.
70
Ignatius Ridwan Widyadharma, Etika Profesi Hukum, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1996), hlm. 15-16.

Universitas Indonesia
34

dipersalahkan kepada yang bersangkutan. Tanggung jawab juga berarti suatu bentuk
kewajiban untuk melaksanakan apa yang diminta dan dibebankan kepadanya.71
Bentuk tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada notaris atas kelalaiannya
biasanya berupa sanksi. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum
Indonesia dimana setiap ada kesalahan yang dilanggar maka akan ada sanksi yang
menunggu untuk dilaksanakan dan dipenuhi sebagai bentuk pertanggungjawaban atau
untuk menebus kesalahan yang telah dilakukan. Hakikat sanksi yang diterapkan adalah
sebagai bentuk pemaksaan berdasarkan hukum yang berlaku sebagai bentuk teguran
kepada Notaris yang melakukan kelalaian atau kesalahan dan pelanggaran dalam
menjalankan jabatannya sebagaimana ditentukan dalam UUJN dan Perubahan UUJN
serta adanya hal tersebut. Sanksi ada dengan harapan agar Notaris dapat kembali
menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun
peraturan yang berlaku lainnya dan tidak melakukan kesalahan yang sama atau
kesalahan lainnya, serta sebagai bentuk untuk mengingatkan Notaris bahwa apabila
dalam menjalankan jabatannya tidak sesuai dengan peraturan, tentu akan ada sanksi
yang menimpanya.72 Tanggung jawab yang dapat dituntut kepada Notaris terdiri dari
beberapa aspek, yakni:
1. Tanggung Jawab Sanksi Administratif
Notaris dapat dijatuhi sanksi administratif bila selama menjalankan
jabatannya melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal yang ditentukan dalam
Undang-undang Jabatan Notaris begitupula dengan Perubahan dalam Undang-
undang tersebut, yaitu Pasal 7 ayat (1), Pasal 16, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 32, Pasal
37, Pasal 54, Pasal 58, dan Pasal 59. Sanksi administratif tersebut diatur dalam pasal
85 UU Jabatan Notaris yang terdiri dari 5 jenis sanksi yang dapat diterima oleh
Notaris. Pertama, berupa teguran lisan, yaitu teguran pertama yang diberikan
kepada Notaris yang melakukan pelanggaran dalam menjalankan jabatannya,
teguran lisan ini biasanya disampaikan oleh Majelis Pengawas Notaris. Teguran
71
Ainur Rofix Subastyo, “Ketentuan Batas Waktu Tanggung Jawab Notaris sebagai Pejabat Umum
Terhadap Akta yang Dibuat Di Hadapannya Setelah Masa Jabatan Berakhir”, (Tesis Magsiter Kenotariatan
Universitas Brawijaya, Malang, 2019), hlm. 68.
72
Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, (Bandung: Mandar
Maju, 2011), hlm.194-195.

Universitas Indonesia
35

lisan ditempatkan pada posisi pertama untuk menguji Notaris, bahwa dengan
teguran lisan ini untuk menguji ketelitian dan ketelitian Notaris untuk memperbaiki
dan mempertanggungjawabkan kesalahan yang dilakukannya. 73 Kedua, teguran
tertulis yang merupakan kelanjutan dari teguran lisan yang disampaikan sebelumnya
kepada Notaris. Teguran tertulis adalah teguran yang disampaikan oleh Majelis
Pengawas kepada Notaris dalam bentuk tertulis yang wajib dipatuhi dan
dilaksanakan oleh Notaris. Ketiga, pemberhentian sementara, yaitu pemberhentian
sementara Notaris dari menjalankan jabatan dan wewenangnya atau disebut dengan
pemberhentian sementara Notaris.74 Pemberhentian sementara yang ditentukan
dalam Pasal 9 ayat (1) UUJN perubahan yaitu:
“Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
a. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran
utang;
b. Berada di wilayah pengampuan;
c. Melakukan perbuatan tercela;
d. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan
serta Kode Etik Notaris; atau
e. Sedang menjalani masa penahanan.”75
Pemberhentian sementara diberikan untuk memberikan jeda pada Majelis
Pengawas yang melakukan pemeriksaan terkait dengan pelanggaran yang
dilakukan oleh Notaris dengan memberikan penetapan jangka waktu sehingga
dapat memberikan kepastian kepada Notaris mengenai lamanya waktu Notaris
tersebut tidak dapat menjalankan jabatannya tersebut. Sanksi pemberhentian
sementara ini ialah merupakan sanksi paksaan76 dan pemberiannya akan berakhir
dengan dilakukannya pemulihan kepada Notaris yang bersangkutan untuk dapat
kembali menjalankan tugas jabatannya atau setelah ada penjatuhan sanksi
selanjutnya kepada Notaris. 77

73
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 114.
74
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 115.
75
Perubahan UUJN, Ps. 9 ayat (1).
76
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 115
77
Etheldrea Tikatama Ayutiar dan Widodo Suryandono, “Tanggung Jawab Dan Sanksi Terhadap
Notaris Yang Turut Serta Memberikan Keterangan Palsu dalam Akta Jual Beli Saham (Studi Kasus Putusan
Nomor 9/PID/2019/PT.PTN)”, Indonesian Notary (2020), hlm. 192. .

Universitas Indonesia
36

Kemudian pemberhentian tidak hormat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
UUJN yakni mengatur bahwa:
“Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat
karena:
a. Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
c. Permintaan sendiri;
d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk
melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih
dari 3 (tiga) tahun; atau
e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf
g.”78
Selanjutnya pemberian sanksi pemberhentian tidak hormat sebagaimana
yang ditentukan Pasal 12 dan 13 Undang-undang Jabatan Notaris dan Pasal 68
ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun
2014 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian,
dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris, yang mana keseluruhannya memiliki
inti bunyi yang sama yaitu:
“Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh
Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila:
a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3
(tiga) tahun;
c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat jabatan notaris; dan
d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan
jabatan.”79
Pasal 13 kemudian menyatakan bahwa Notaris akan diberikan sanksi
pemberhentian dengan tidak hormat bilamana Notaris dijatuhi pidana penjara
dengan masa hukuman lima tahun dan putusan telah berkekuatan hukum tetap.
Pemberhentian sanksi ini merupakan tahap final. Dengan demikian, teknis
penjatuhan tanggung jawab administratif ini dilakukan secara langsung oleh
Majelis Pengawas yang mempunyai kewenangan untuk menjatuhi sanksi
terhadap notaris yang memiliki pelanggaran dalam menjalankan jabatannya.

78
Perubahan UUJN, Ps. 8 ayat (1).
79
UUJN, Ps. 12.

Universitas Indonesia
37

Proses pemberian tanggung jawab administratif dilakukan secara berkala dengan


memperhatikan berat dan beratnya pelanggaran yang dilakukan oleh notaris yang
bersangkutan.80
Sebagaimana telah disebutkan di atas, penyerahan tanggung jawab
administrasi dilakukan secara langsung oleh Majelis Pengawas yang dalam
penyerahan tanggung jawab tersebut secara lisan dan tertulis sebagai upaya
pertama dilakukan untuk mengingatkan Notaris agar tetap kembali ke jalan yang
benar yang dilakukan oleh Notaris Daerah. Majelis Pengawas (MPWN), untuk
sanksi pemberhentian sementara dilakukan oleh Majelis Pengawas Pusat (MPP),
sedangkan pemberhentian tidak dengan hormat dan pemberhentian dengan
hormat dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri setelah
mendapat usul dari Majelis Pengawas Pusat. MPP) yang artinya dalam kedua
tanggung jawab tersebut Majelis Pengawas Pusat hanyalah pihak yang
mengajukan usul untuk membebankan tanggung jawab tersebut kepada Notaris
yang terbukti melakukan kesalahan dan melanggar Undang-Undang Jabatan
Notaris.81
2. Tanggung Jawab Sanksi Kode Etik
Tanggung jawab berupa sanksi atas Kode Etik ini tentunya berasal dari
Kode Etik dikeluarkan oleh Ikatan Notaris Indonesia. Kode Etik adalah kode etik
yang ditetapkan oleh Ikatan Notaris Indonesia dimana peraturan tersebut harus
dipenuhi, dilaksanakan dan dipatuhi oleh seluruh anggota Notaris.82
3. Tanggung Jawab Sanksi Perdata
Tanggung jawab perdata adalah tanggung jawab yang dikenakan karena
kelalaian dilakukan oleh Notaris baik karena wanprestasi maupun perbuatan
melawan hukum. Tanggung jawab perdata biasanya berupa penggantian biaya, ganti
kerugian dan bunga bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat kelalaian yang
dilakukan notaris selama menjalankan jabatannya. Sasaran penjatuhan tanggung
80
Ayutiar, Suryandono, Tanggung Jawab dan Sanksi…, hlm. 193.
81
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 165.
82
Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Banten 29-30 Mei
2015, Ps. 1 angka 2, https://www.ini.id/uploads/images/image_750x_5bd7a3727eccd.pdf, diakses pada 10
Maret 2023.

Universitas Indonesia
38

jawab berupa sanksi perdata dan administrasi sebagaimana diuraikan sebelumnya


adalah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris. Sanksi perdata dan administrasi
adalah sanksi korektif artinya tanggung jawab atau sanksi tersebut bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan notaris atau memperbaiki keadaan agar tidak terjadi
kesalahan yang sama.
Sanksi perdata dan administrasi juga bersifat regresif, yaitu sanksi tersebut
diberikan dengan tujuan agar dapat kembali ke keadaan semula atau keadaan
sebelum terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Notaris. Sedangkan tata cara
pertanggungjawaban perdata ini didasarkan pada Putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan putusan yang tertuang dalam putusan
tersebut menyatakan bahwa Notaris bersalah dan wajib melakukan pembayaran
ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas kesalahan yang dilakukan oleh Notaris
tersebut.83 Mengenai sanksi kode etik ini diatur dalam Bab IV Pasal 6 Kode Etik, di
mana sanksi kode etik diberikan kepada Notaris yang terbukti melakukan
pelanggaran berupa teguran, peringatan, pemberhentian sementara dari keanggotaan
perkumpulan, pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan perkumpulan dan
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.84
4. Tanggung Jawab Sanksi Pidana
Pertanggungjawaban berupa sanksi pidana tidak diatur dalam undang-undang.
Undang-undang Jabatan Notaris dan Perubahannya. Sanksi pidana yang dijatuhkan
kepada Notaris tetap akan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Pembebanan tanggung jawab pidana ini hanya
dapat dilakukan apabila pertama-tama telah dilakukan perbuatan hukum oleh
Notaris yang berkaitan dengan segi fisik, formil dan materil akta yang disengaja,
penuh kesadaran dan keyakinan serta adanya rencana untuk melakukan tindak
pidana yang aktanya dibuat di hadapannya atau disepakati oleh Notaris untuk
dijadikan dasar perbuatannya, kedua ada tindakan yang dilakukan Notaris dalam

83
Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 123-124.
84
I Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Banten 29-30 Mei
2015, Ps. 6, https://www.ini.id/uploads/images/image_750x_5bd7a3727eccd.pdf, diakses pada 10 Maret
2023.

Universitas Indonesia
39

hal membuat akta tidak dapat ditentukan dan tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Perubahan UUJN dan UUJN, dan ketiga dan tindakan yang
dilakukan oleh Notaris jelas melanggar apa yang telah dilakukan oleh pejabat yang
berwenang dalam hal ini adalah Majelis Pengawas Notaris. Dengan demikian,
seorang Notaris hanya dapat dijatuhi sanksi pidana apabila ketiga hal yang
disebutkan di atas telah dilanggar oleh Notaris.85 Penjatuhan pidana merupakan
langkah ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir yang ditempuh untuk
mendapatkan tanggung jawab atas perbuatan Notaris yang telah melanggar
kententuan-ketentuan yang berlaku. Meninjau dari Pasal 9 dan Pasal 13 UUJN,
apabila seorang Notaris dijatuhi hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan
telah memiliki kekuatan hukum yang tepat, makaNotaris tersebut dapat
diberhentiksan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri yang berwenang.

6. Pengawasan Terhadap Notaris


Pengawasan adalah proses mengamati seluruh pelaksanaan kegiatan organisasi
untuk memastikan bahwa semua pekerjaan sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan sebelumnya.86 Menurut P. Nicolai, pengawasan merupakan
sebuah langka preventif yang berfungsi untuk memaksan kepatuhan.87 Sedangkan
menurut Lord Acton, pengawasan adalah tindakan penguasaan kekuasaan yang
dilakukan oleh pejabat tata usaha negara (pemerintah) yang cenderung disalahgunakan.
Tujuan pengawasan adalah untuk membatasi pemerintah agar tidak menggunakan
kekuasaan diluar batas kewajaran yang bertentangan dengan ciri negara hukum yaitu
melindungi masyarakat dari tindakan diskresi pemerintah dan melindungi pemerintah
agar dapat menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar menurut hukum.88
Sebelum berlaku UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi
terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana
85
Billy Adhi Pramarta, Rachmad Safa’at, Prija Djatmika, “Pertanggungjawaban Pidana Notaris dan
Para Pihak Yang Memalsukan Surat Keterangan Objek Pewaris”, Jurnal Ilmiah Pendiidkan Pancasila dan
Kewarnegaraan, (2018), hlm. 26.
86
Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), hlm. 53.
87
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), hlm. 311.
88
Diana Hakim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Tangerang: Ghalia Indonesia, 2004), hlm.
70.

Universitas Indonesia
40

pernah diatur dalam Pasal 140 Reglementopde RechtelijkeOrganisatie en


HetDerJustitie (Stbl. 1847 No. 23), Pasal 96 Reglement Buitengewesten, Pasal 3
Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen — Lembaran Negara 1946 Nomor 135,
dan Pasal 50 PJN, kemudian Pengawasan terhadap Notaris dilakukan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal 32 dan 54 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris,
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/
006/ SKBMI/ 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri
Notaris, dan terakhir dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.89
Undang-undang Jabatan Notaris tidak memberikan definisi mengenai
pengawasan. Pengertian pengawasan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 8
Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor: M-01.HT.03.01 Tahun 2003 tentang
Kenotarisan yang mencantumkan bahwa:
“Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif
oleh menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam
menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Pengawasan baik yang dilakukan preventif maupun represif sangat penting


adanya bagi pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum. Pengawasan preventif
dilakukan oleh negara sebagai pemberi wewenang yang dilimpahkan pada Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan pengawasan represif dilakukan oleh
organisasi profesi notaris dengan acuan Kode Etik Notaris beserta UUJN. Selain itu
dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian
Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis
Pengawas Notaris disebutkan bahwa pengawasan ialah kegiatan yang bersifat preventif
dan kuratif termasuk didalamnya kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis
Pengawas terhadap Notaris.
89
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, (bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 169-170.

Universitas Indonesia
41

Pasal 67 ayat (1) UUJN menetapkan bahwa pengawasan terhadap Notaris


dilakukan oleh Menteri yang kemudian dibentuklah Majelis Pengawas sebagaimana
Pasal 67 ayat (2). Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang
berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan, serta pembinaan terhadap Notaris,
memiliki jenjang-jenjang yang berbeda sesuai dengan cangkupan wilayahnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UUJN. Pengawasan di tingkat daerah dilakukan
oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD), di tingkat provinsi dilakukan oleh Majelis
Pengawas Wilayah (MPW), dan di lingkungan nasional dilakukan oleh Majelis
Pengawas Pusat (MPP). Pengawasan Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas
meliputi pengawasan perilaku Notaris serta pengawasan pelaksanaan jabatan Notaris.
Majelis Pengawas Nasional (MPN) memiliki ruang lingkup kewenangan
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau
pelanggaran kinerja Notaris. Hal itu berdasarkan Pasal 70 huruf a yang menyebutkan
bahwa Majelis Pengawas Daerah berwenang mengadakan sidang. memeriksa dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran prestasi kerja Notaris
Ketentuan Pasal 73 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Majelis Pengawas
Daerah berwenang mengadakan rapat untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas
laporan masyarakat yang diterima oleh Majelis Pengawas Daerah. Selain itu, Majelis
Pengawas Daerah berwenang memanggil Notaris terlapor untuk melakukan
pemeriksaan atas laporan yang diterima Majelis Pengawas Daerah. Kemudian
kewenangan Pasal 77 huruf a dan b UUJN menyebutkan bahwa Majelis Pengawas
Pusat berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan memutus dalam
tingkat banding terhadap pengenaan sanksi dan penolakan cuti serta memanggil Notaris
terlapor untuk diperiksa. sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Berdasarkan substansi pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa MPN
berwenang melakukan sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, dugaan
pelanggaran pelaksanaan tugas Notaris, dan memeriksa perilaku Notaris. di luar
menjalankan tugasnya sebagai Notaris yang dapat mengganggu atau mempengaruhi
pelaksanaan tugas jabatan. Notaris. Selanjutnya, Majelis Pengawas juga melakukan
pemeriksaan fisik terhadap berita acara akta Notaris.

Universitas Indonesia
42

Tujuan pengawasan adalah agar Notaris dalam menjalankan tugasnya memenuhi


segala persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Notaris, guna melindungi
kepentingan umum. Hal ini karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk
kepentingan masyarakat. Notaris untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kepentingan
masyarakat yang dilayaninya. Tujuan lain dari pengawasan notaris adalah notaris
dihadirkan untuk melayani kepentingan masyarakat yang memerlukan alat bukti berupa
akta autentik sesuai dengan permintaan yang bersangkutan kepada notaris, sehingga
tidak ada kehadiran publik yang membutuhkan. jasa notaris, keberadaan notaris tidak
lagi penting.
Selain daripada Majelis Pengawas Notaris, terhadap pengawasan kode etik
Notaris dibentuk pula Dewan Kehormatan Notaris yang memiliki fungsi untuk
memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik
yang bersifat internalk atau yang tidak memiliki keterkaitan dengan kepentingan
masyarakat secara langsung. Pasal 12 ayat 3 Anggaran dasar Ikatan Notaris Indonesia
menetapkan bahwa Dewan Kehormatan memiliki tugas sebagai berikut:
1. Melakukaan pembinaan, bimbingan, pengawasan, dan pemenahan anggota
dalam menjunjung tinggi kode etik;
2. Memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat
internal atau tidak berkaitan langsung dengan kepentingan umum;
3. Memberikan saran serta pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan
pelanggaraan kode etik dan jabatan notaris.

B. Hukum Perjanjian dan Akta-akta yang Dibuat Oleh Notaris


1. Hukum Perjanjian
Perjanjian atau yang umum dikenal dalam hukum Belanda sebagai overeenkomst,
lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan beragam istilah yang diusung
oleh beberapa sarjana. Penggunaan kata “perjanjian” dipergunakan pertama kali dalam
Utrecht dalam bukunya “Pengantar dalam Hukum Indonesia”. Prof Subekti dan R.
Tjitrosudibio mempergunakan kata “persetujuan” sebagai kata lain dari overeenkomst.
Suatu perjanjian sejatinya adalah sebuah persetujuan dikarenakan para pihak

Universitas Indonesia
43

didalamnya setuju untuk melaksanakan sesuatu hal sehingga daripadanya “perjanjian”


dan “persetujuan” merupakan sebuah kesamaan. Sudikno Mertokusumo selanjutnyta
memberikan istilah lain yakni bahwa hakikatnya perjanjian adalah sebuah hubungan
hukum yang lahir antara dua pihak atau lebih berdasarkan dari kata sepakat sehingga
karenanya melahirkan akibat hukum. Hubungan hukum timbul karena perjanjian itu
sendiri baik yang bersifat penwaran (offer, aanbod) maupun perbuatan penerimaan
(acceptance, aamvading). 90
Pengertian perjanjian secara umum diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata sebagai
sebuah peristiwa untuk berjanji melakukan suatu hal tertentu yang dibuat oleh para
pihak.91 Perjanjian ini kemudian melahirkan suatu hubungan hukum antara para pihak
yang memberi wewenang kepada salah satu pihak untuk menuntut sesuatu dari pihak
yang lain, sedangkan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu. Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan
salah satu sumber perikatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1233 KUHPer. 92
Namun demikian pengertian perjanjian dalam konstruksi Pasal 1313 KUHPerdata
adalah kurang sempurna dan terlalu luas cangkupannya. Adapun kekurangan yang
ditemukan dalam pasal ini yaitu:93
a. Pengertian yang digambarkan hanya menjelaskan mengenai perjanjian
sepihak. Hal ini dapat ditemukan pada pemilihan kata “mengikatkan” yang
menurut pemikiran beberapa sarjana memiliki sifat bahwa perbuatan
tersebut hanya timbul dari salah satu pihak saja, bukan dari dua pihak atau
lebih sebagaimana semestinya.
b. Dalam keadaan tertentu, “perbuatan” dapat meliputi pula tindakan tanpa
persetujuan/consensus, seperti contohnya perbuatan untuk membantu orang
(zaakwaakenming), serta perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
c. Bahwa sesungguhnya konstruksi Pasal 1313 KUHPer memiliki ruang
lingkup mengenai harta kekayaan.
90
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 4.
91
Subekti, Ps. 1313.
92
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001), hlm. 1.
93
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
(Jakarta: Kencama Prenada Media Group, 2013), hlm. 17-18.

Universitas Indonesia
44

Pengertian perikatan sendiri sejatinya lebih luas dibandingan dengan pengertian


perjanjian.94 Apabila menilik pada ketentuan perundang-undangan bahwa perjanjian
atau undang-undnag dapat menjadi sumber lahirnya sebuah perikatan.95 Kemudian
perjanjian yang timbul karena undang-undang dikumpulkan kembali yaitu
perjanjian yang lahir karena undang-undang saja dan perjanjian yang lahir karena
perbuatan seseorang. Selanjutnya perbuatan yang bersangkutan adalah perbuatan
yang dilakukan bertentangan dengan hukum atau menurut hukum sendiri perbuatan
tersebut diizinkan.96
Sebuah perjanjian memiliki beberapa unsur yaitu hubungan hukum dalam
wujud sebuah persetujuan, hubungan hukum mengenai harta benda, hubungan itu
dilakukan antara dua orang atau lebih, dan dalah satu dari orang tersebut memiliki
hak untuk mendapatkan prestasi sedangkan pihak lain memiliki kewajiban untuk
melakukan sebuah prestasi. Lebih lanjut, Herlien Budiono menguraikan unsur-unsur
itu menjadi sebagai berikut:97
1. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih
Sepakat memiliki pengertian bahwa perjanjian lahir karena adanya kesepakatan
dari para pihak. Namun perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan mengenai
perjanjian atas perbuatan hukum yang dilakukan sepihak seperti penerimaan
warisan, membuat wasiat, atau pengakuan anak di luar kawin.
2. Kata yang diambil didasarkan dari kesepakatan kedua belah pihak
Kata sepakat timbul jika tawaran dari salah satu pihak disetujui oleh pihak lain,
dengan catatan bahwa sepakat itu dinyatakan dengan jelas agar lahirlah
perjanjian yang dikendaki oleh para pihak.
3. Kehendak atau maksud dari para pihak dalam hal timbulnya masalah hukum
Dalam kehidupan sehari-hari, timbulnya suatu akibat hukum tidak selalu
merupakan akibat dari suatu janji. Itu tidak dapat ditafsirkan sebagai hasil
94
Salim H.S., Hukum Kontrak:Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 4, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hlm. 4.
95
Ibid.
96
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan Dalam KUHPer Buku Ketiga: Yurisprudensi,
Doktrin, Serta Penjelasan, Cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 10.
97
Herlien Budiono, Ajaran Utama Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cet. 4, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 5.

Universitas Indonesia
45

hukum, bahkan jika janji itu menimbulkan kewajiban sosial atau moral. Selalu
ada kemungkinan para pihak tidak menyadari bahwa janji yang dibuatnya
mempunyai akibat hukum tergantung pada keadaan dan kebiasaan masyarakat.
4. Akibat hukum untuk kepentingan para pihak
Kehendak dan kemauan para pihak belum tentu lepas dari aturan namun
implikasi hukum yang tidak merugikan salah satu pihak dan jelas merugikan
pihak lainnya penting untuk dilakukan sebuah kesepakatan.
5. Dibentuk dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan
Bentuk dari suatu susunan perjanjian pada hakikatnya tidak diatur dan oleh
karena itu menjadi sebuah kebebasan bagi para pihak. Namun beberapa jenis
perjanjian ditentukan oleh undang-undang sehingga menimbulkan akibat bahwa
perjanjian tersebut akan dapat menjadi syarat mutlak untuk lahirnya sebuah
perbuatan melawan hukum.
Selain unsur-unsur yang dijelaskan di atas, J.Satrio mengemukakan unsur-
unsur lainnya yaitu:98
1. Unsur essensialia merupakan unsur yang wajib dimiliki dalam sebuah
perjanjian. Hal ini diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
2. Unsur naturalia merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang di mana
keberadaanya mungkin saja digantikan oleh kehendak para pihak. Contohnya
dalam ketentuan Pasal 1476 KUHPer yang dapat disimpangi apabila para pihak
sepakat untuk tidak tunduk pada ketentuan pasal tersebut.
3. Unsur accidentalia merupakan sebuah unsur yang keberadaanya tidak
ditentukan dalam undang-undang sehingga dapat ditambahkan oleh para pihak
bila mereka menghendakinya.
Pengaturan mengenai perjanjian sepenuhnya tunduk pada ketentuan Pasal 1338
KUHPer dimana perjanjian yang sah akan berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya. Para pihak yang membuat perjanjian mempunyai
kedudukan yang sama dan dengan kehendak bebas mereka membuat perjanjian

98
Marilang, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari perjanjian, (Makassar: Indonesia Prime,
2017), hlm. 169-174.

Universitas Indonesia
46

dengan cara saling mengungkapkan kehendak masing-masing secara jelas untuk


diketahui bersama. Sebagai contohnya adalah perjanjian jual beli, perjanjian sewa
menyewa, dan sebagainya. Dalam hubungan hukum perdata Indonesia diketahui
pula perjanjian dengan cuma-cuma atau atas beban, perjanjian konsensuil, riil, dan
formil, perjanjian timbal balik dan sepihak, perjanjian bernama, tidak bernama, dan
campuran.99
Dalam ranah hukum, asas merupakan buah pikir yang terletak di segala arah
dari sebuah sistem hukum yang kemudian diimplementasikan ke dalam hukum baik
itu hukum materiil maupun hukum formiil. 100 Keberadaan asas-asas hukum tersebut
berfungsi untuk mendukung pembangunan hukum, mewujudkan harmonisasi,
menciptakan keseimbangan dan kepastian hukum, menentukan titik perkembangan
sistem hukum, serta menghindari tumpang tindih antar norma hukum yang berlaku
dalam masyarakat.101 Hukum perikatan dan perikatan tertuang dalam buku ketiga
KUHPer yang memuat ketentuan-ketentuan umum dan khusus. Ketentuan umum
memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan secara umum, seperti
pembatalan dan timbulnya perikatan, bentuk perikatan, dan lain-lain. Sedangkan
ketentuan khusus memuat pengaturan mengenai perjanjian yang berlaku umum
dalam masyarakat.102
a. Asas kebebasan berkontrak
Dalam Pasal 1338 ayat (1), sebagaimana ketentuan Buku Ketiga KUHPerdata,
menerapkan sistem terbuka yakni bahwa perikatan memberikan hak kebebasan
sepenuh-penuhnya untuk para pihak memilih sendiri bentuk hubungan hukum
yang mereka kehendaki dalam perjanjian.103 Namun perlu diketahui bahwa
kebebasan ini tetap memiliki batasan-batasan tertentu yaitu bahwa perjanjian

99
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 87.
100
Nyoman Serikat Putra Jaya, Politik Hukum, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan Penyediaan
Bahan Kuliah Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 23.
101
Abdu Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm.
107.
102
Subekti, Hukum Perdata…, hlm. 127.
103
Hernoko, Hukum Perjanjian.., hlm. 95.

Universitas Indonesia
47

tetap harus memperhatikan ketentuan dalam undang-undang disertai kepatutan,


kesusilaan, serta ketertiban umum. 104
b. Asaas konsensualisme
Asas ini memiliki keterkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas daya
mengikat karena ketiganya berada dalam rumusan pasal yang sama yakni Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata.105 Asas ini mengandung arti bahwa keselarasan
kehendak para pihak untuk saling meningkatkan dan membangun rasa saling
percaya dalam suatu perjanjian. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu apabila
ditemukan cacat kehendak, hal ini dapat menyebabkan keberadaan perjanjian
itu terancam di mata hukum.106
c. Asas daya mengikat kontrak
Dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) ditentukan pula bahwa adanya usatu ikatan
yang menggambarkan posisi para pihak yang membuat perjanjian adalah sama
dengan pembuat undang-undang. Artinya, perjanjian yang sah memberikan para
pihak pembuatnya kewajiban untuk menundukkan diri kepada isi dari
perjanjian tersebut bahkan apabila diperlukan dapat pula dilakukan upaya paksa
dengan bantuan prosedur penegakan hukum melalui pengadilan oleh juru sita.
107

d. Asas iktikad baik


Adanya asas ini ditemukan dalam kontruksi Pasal 1338 ayat (3) bahwa
sejatinya persetujuan harus dilaksanakan dengan suatu kehendak jujur dan
dilaksanakan menurut kepatutan serta keadilan. 108 Asas ini kemudian dibagi
menjadi dua bentuk, yaitu iktikad baik yang dimulai pada saat berlakunya suatu

104
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkentrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Cet. 1, (Jakarta Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 54.
105
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001),
hlm. 82.
106
Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 11.
107
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 60.
108
P. L. Werry, Perkembangan Hukum tentang Iktikadi Baik di Netherland, (Jakarta: Percetakan
Negara RI, 1990), hlm. 9. Hernoko, Hukum Perjanjian…, hlm. 117.

Universitas Indonesia
48

hubungan hukum dan iktikad baik yang ada pada saat dilaksanakannya hak dan
kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian.109
Hadirnya perjanjian karena telah tercapainya kesepakatan antara oara pihak
mengenai isi yang diatur dalam perjanjian. perjanjian dianggap sah apabila
memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1) Adanya kesepakatan antara para pihak;
2) Para pihak dalam perjanjian harus cakap dalam membuatnya;
3) Mengenai suatu hal yang ditentukan;
4) Mengenai suatu sebab yang halal.
Persyaratan pada poin pertama dan kedua merupakan persyaratan subjektif
yang mengatur tentang subjek hukum pembuat perjanjian, sedangkan poin ketiga
dan keempat merupakan syarat objektif. Perbedaan antara kedua kategori syarat ini
terletak pada akibat yang akan terjadi jika syarat tersebut tidak dipenuhi. Apabila
syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak berwenang untuk menuntut
pembatalan perjanjian. Sedangkan jika syarat objektif tidak terpenuhi, akan selalu
ada ancaman pembatalan (cancelling).110
Pengertian adanya kesepakatan di antar apara pihak bahwa apa yang
dikehendaki masing-masing pihak harus saling bertemu dan diucapkan dengan
terang sehingga dapat dimengerti oleh mereka yang membuat perjanjian itu.111
Selanjutnya terdapat tiga teori yang berkaitan dengan kesepakatan ini yaitu:112
a. Teori kehendak, yakni karena perjanjian memiliki sifat mengikat setelah
bertemunya kehendak dari masing-masing pihak sehingga akan sering
berhubungan. Oleh karenanya kehendak tersebut harus dihormati oleh masing-
masing pihak.

109
Soenandar, Kompilasi…, hlm. 11.
110
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan berkontrak, (Disertasi Magister Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004), hlm. 167.
111
Rendy Saputra, Kedudukan Hukum Penyalahgunaan Keadaan (Missbruik van Omstandigheden)
dalam Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016), hlm. 28.
112
Subekti, Pokok-pokok…, hlm. 17.

Universitas Indonesia
49

b. Teori pernyataan, bahwa merujuk pada kebiasaan dalam masyarakat di mana


sesuatu yang dinyatakan oleh para pihak pada umumnya dapat dipercaya
ucapannya oleh para pihak yang bersangkutan.
c. Teori kepercayaan, bahwa lahirnya kesepakatan ialah ketika adanya pernyataan
dari para pihak bahwa peristiwa itu telah terjadi. Undang-undang kemudian
mengisyaratkan bahwa kesepakatan tidak sah bilamana terjadi kekhilafan,
paksaan, maupun penipuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1328
KUHPerdata. 113
Unsur selanjutnya mengenai pengaturan diatur dalam Pasal 1329 KUHPer
bahwa semua yang mampu adalah mereka yang masih di bawah umur, orang yang
berada di bawah perwalian, wanita yang disesuaikan dengan ketentuan undang-
undang, dan mereka yang juga dilarang oleh undang-undang. hukum untuk
mengadakan perjanjian semacam itu. Namun, bagi perempuan, penerapannya sudah
tidak berlaku lagi karena terjadi perubahan paradigma masyarakat tentang
kesetaraan gender di depan hukum.114
Salah satu butir yang dimaksud dalam Pasal 1320 adalah bahwa perjanjian itu
harus mempunyai objek pokok yang setidak-tidaknya berdasarkan kesepakatan para
pihak dapat dibuat dalam bentuk yang diinginkan. Objek tersebut berupa barang dan
jasa atau permintaan untuk tidak melakukan sesuatu.115 Unsur terakhir adalah sebab
yang halal, artinya perbuatan itu harus dilakukan dengan maksud yang
diperbolehkan oleh undang-undang sehingga mempunyai kekuatan di mata hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUHPer. Kemudian Pasal 1337 KUHP
memberikan rumusan alasan yang dilarang yaitu alasan yang tidak hanya dilarang
oleh undang-undang tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.116

113
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja
Grafindo Perkasa, 2008), hlm. 34.
114
Miru Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2011), hlm. 29.
115
Ibid., hlm. 30.
116
Ibid.

Universitas Indonesia
50

2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli


Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta autentik diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menyatakan bahwa akta autentik yang
dimaksud pasal sebelumnya ialah akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang Jabatan
Notaris. Kewenangan dalam membuat akta autentik ini harus didasarkan pada
permintaan penghadap. Notaris memiliki kewajiban untuk mendengarkan
keterangan maupun pernyataan para pihak dan wajib untuk tidak memihak kepada
salah satu dari para pihak. Keterangan atau pernyataan yang disampaikan tersebut
kemudian dikonstantir dan dituangkan ke dalam akta Notaris sehingga demikian
akta Notaris merupakan kehendak dari para pihak. Setelah akta dibacakan di
hadapan para pihak dan disetujui oleh para pihak, akta tersebut ditandatangani di
hadapan Notaris. Dekimian penjelasan tersebut sejalan dengan Pasal 38 UUJN. 117
Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan bahwa akta autentik adalah suatu akta
yang bentuknya diatur dengan undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang
pejabat umum yang mempunyai kuasa untuk itu di tempat dibuatnya akta itu.
Notaris dalam hal ini menyimpan akta yang dibuatnya sebagai risalah akta yang
kemudian menjadi bagian dari protokol notaris. Autensitas akta Notaris
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata merupakan dasar legalitas
dari keberadaan akta Notaris. Namun demikian ini tidak menjelaskan secara rinci
siapa pejabat umum itu dan hanya merumuskan definisi dari akta autentik serta
mengenai bentuk akta dan kapan pejabat umum itu berwenang membuat akta.
Secara implisit pasal ini mensyaratkan adanya undang-undang yang mengatur
pejabat publik dan berbagai bentuk akta. Lahirnya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan undang-undang organik yang
mengatur Notaris sebagai pejabat umum sebagaimana telah disebutkan sebelumnya

117
UUJN, Ps. 38.

Universitas Indonesia
51

dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Notaris merupakan perpanjangan tangan dari
Pemerintah, dalam hal ini negara.118
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata dapat dijelaskan bahwa bentuk akta
sendiri terdiri dari dua jenis akta, yaitu akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas)
dan akta yang dibuat dihadapan notaris (akta partij). Akta relaas adalah akta yang
memuat relaas atau secara autentik menggambarkan suatu perbuatan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh Notaris dalam menjalankan
jabatannya sebagai pejabat umum.119 Akta partij adalah akta yang memuat cerita
tentang apa yang terjadi karena tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh para
pihak sebagai penghadap, diceritakan dan dijelaskan oleh para pihak kepada
Notaris. Para pihak sengaja menghadap Notaris agar pernyataan atau tindakan
tersebut dikukuhkan oleh Notaris sebagai akta autentik. Akta ini disebut juga akta
yang dibuat di hadapan (ten overstaan) seorang Notaris 120
Dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam praktek jual beli terutama
bagi barang-barang tidak bergerak, umumnya para pihak mengadakan sebuah
perjanjian tertulis dalam bentuk akta autentik. Hal demikian bertujuan untuk
memberikan jaminan akan kepastian hukum bagi kedua belah pihak atas transaksi
yang mereka lakukan. Dalam pelaksanaannya, terdapat akta Notaris yang khusus
diperlukan dalam proses jual beli yakni salah satu diantaranya adalah Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan sebuah perjanjian
bantuan yang memiliki fungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan berbentuk bebas.
Umunya PPJB ini berisikan mengenai janji-janji yang harus terlebih dahulu harus
dipenuhi oleh salah satu pihak sebelum dapat melaksanakan perjanjian pokok yang
pada hakikatnya menjadi tujuan akhir dari para pihak. PPJB tersebut kemudian akan
ditindaklanjuti dengan dibuatnya Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembuatan akta PPJB ini dibuat pada

118
Soegondo Notodirejo, Hukum Notariat di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 4.
119
I Ketut Tjukup, et.al., “Akta Notaris (Akta Autentik) sebagai Alat Bukti dalam Peristiwa Hukum
Perdata”, Acta Comitas Vol. 2 (2016), hlm. 185.
120
Ibid.

Universitas Indonesia
52

umumnya dikarenakan adanya situasi yang belum memungkinkan bagi para pihak
untuk membuat AJB, misalnya dalam keadaan di mana sertipikat tanah yang
menjadi objek jual beli masih dalam proses penyelesaian balik nama di Badan
Pertanahan Nasional (BPN) namun penjual sebagai pemilik tanah hendak menjual
tanah tersebut.121 Untuk mengatasi permasalahan itu maka dibuatlah perjanjian
pendahuluan sementara menantikan dapat dipenuhinya syarat untuk perjanjian
pokoknya yaitu Akta Jual Beli di hadapan PPAT.
Menurut Naria Sumardjono, PPJB ialah perjanjian yang termasuk dalam
ruang lingkup perjanjian yang tunduk pada hukum Perdata, namun demikian jual
belinya merupakan lingkup hukum tanah nasional yang tunduk pada ketentuan
Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan-peraturan pelaksanaanya. 122
Sedangkan menurut R. Subekti, PPJB adalah sebuah perjanjian yang dilakukan
antara para pihak, salah satu pihak merupakan penjual dan pihak lainnya merupakan
pembeli, yang dilakukan sebelum terlaksananya jual beli dikarenakan antara lain
sertipikat belum tersedia sebab masih dalam proses ataupun belum terjadinya
pelunasan harga tanah. 123
Kemudian pengertian PPJB menurut Herlien Budiono,
merupakan suatu perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan
dan memiliki bentuk bebas, sehingga PPJB dapat diklasifikasikan dalam perjanjian
pendahuluan yang dibuat sebelum dilakukannya perjanjian pokok/utama.124
Praktik di dalam masyarakat, banyak pihak yang tidak ingin langsung
membuat AJB yang disebabkan oleh berbagai macam alasan. Oleh karenanya, para
pihak membuka jalan alternatif dengan membuat PPJB yang dilakukann di luar
PPAT yakni hanya cukup melalui Notaris. Secara prinsip, pengaturan mengenai
perjanjian yang dituangkan dalam PPJB ini tunduk pada ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. PPJB berisikan ketentuan
121
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cet. 3, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2018), hlm. 270.
122
Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, (Jakarta: Buku
Kompas, 2001), hlm. 161.
123
Subekti, Perjanjian…., hlm. 15.
124
Dewi Kurnia Putri dan Amin Purnawan, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas
dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas”, Jurnal Akta, Vol. 4, No. 4, (Desember 2017), hlm. 623-
634.

Universitas Indonesia
53

syarat subjektif serta syarat objektif yang diatur dalam Pasal tersebut. Dalam PPJB
terdapat janji-janji yang harus dipatuhi oleh para pihak dalam rangka jual beli di
kemudian hari sehingga apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka sudah
sepatutnya para pihak menghadap kembali untuk melaksanakan jual beli di hadapan
PPAT.125
Pembuatan PPJB dapat dilakukan oleh para pihak dalam akta ataupun
dilakukan di hadapan Notaris. Adapun bentuk PPJB terbagi menjadi 2 (dua) bentuk,
yaitu:126
1. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas
PPJB Lunas sedianya harus mencantumkan adanya klausula kuasa, pemberi
harus mendapatkan kuasa yang sifatnya mutlak demi menjamin terlaksananya
hak pembeli dalam transaksi jual beli tersebut dan tidak dapat berakhir karena
sebab apapun. PPJB tidak akan batal karena meninggalnya salah satu pihak
dan akan menurun serta berlaku selanjutnya bagi para ahli waris dan atau
penerima hak tersebut, wajib memenuhi segala ketentuan-ketentuan yang
disebutkan dalam PPJB sampai pada maksud dan tujuan dari dibuatnya PPJB
tersebut. PPJB lunas dibuat apabila harga jual beli telah dibayar lunas oleh
pembeli kepada penjual tetapi AJB tidak dapat dilaksanakan antara lain karena
pajak jual beli masih diasuransikan, akta masih dalam proses untuk diproses
dan lain-lain. PPJB juga memuat pasal-pasal mengenai kapan akan
dilaksanakan, syarat dan ketentuan, serta surat kuasa dari penjual kepada
pembeli untuk menandatangani AJB sehingga penandatanganan AJB tidak
memerlukan kehadiran penjual. Perjanjian jual beli secara penuh pada
umumnya dilakukan untuk transaksi atas objek jual beli yang berada di luar
wilayah kerja Notaris atau PPAT yang bersangkutan. Jika yang dibuat adalah
PPJB lunas maka akan terdapat surat kuasa untuk menjual dengan redaksi

125
Ibid.
126
Sherin Fatima, “Ledudukan Akta Kuasa Menjual dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Belum
Lunas Untuk Melaksanakan Pembuatan Akta Jual Beli (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor 758/Pdt/2018/PT.DKI)”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2020), hlm. 49.

Universitas Indonesia
54

kuasa itu ditujukkan kepada pembeli sehingga Notaris/PPAT dapat segera


membuatkan AJB untuk kemudian dilakukan proses balik nama sertipikat.
2. Perjanjian Pengikatan Jual Beli Belum Lunas
PPJB belum lunas sejatinya perlu pula bermuara dengan AJB pada saat
pelunasan. PPJB ini dibuat apabila pembayaran harga jual beli belum lunas
dan diterima oleh penjual. Dalam pasal-pasal PPJB yang belum lunas,
sekurang-kurangnya harus mencantumkan jumlah uang muka yang
dibayarkan pada saat penandatanganan PPJB atau syarat-syarat pembayaran,
kapan akan dilakukan pelunasan dan sanksi yang disepakati jika salah satu
pihak wanprestasi. Selain itu, dalam PPJB belum lunas harus pula
melampirkan mengenai langkah yang akan dilakukan apabila jual beli tersebut
sampai batal akibat dari salah satu pihak. Bentuk PPJB ini tidak dapat
dibuatkan akta kuasa menjual yang dibuat secara terpisah dari PPJB.

3. Perjanjian Sewa Menyewa


Perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian yang diatur dalam Buku III, Bab
Ketujuh, Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600 KUHPerdata. Bila dilihat
berdasarkan proses terjadinya, maka perjanjian sewa menyewa termasuk ke dalam
perjanjian konsensuil. Artinya, perjanjian telah sah dan mengikat pada detik saat
tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan jasa. 127
Terbentuknya perjanjian sewa menyewa harus memenuhi ketentuan Pasal 1320
sebagai syarat sah sebuah perjanjian.
R. Subekti mendeskripsikan mengenai subjek perjanjian yang antara lain
adalah:128
1. Orang yang berperan sebagai pihak dalam perjanjian haruslah memiliki
kecakapan atau dinyatakan mampu untuk melaksanakan perbuatan hukum
sesuai dengan yang ditentukan dalam perjanjian;
2. Adanya kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian. kesepakatan tersebut
haruslah tercapai atas dasar kebebasan bagi para pihak untuk menentukan
127
Subekti, Aneka Perjanjian…, hlm. 48.
128
Subekti, Hukum Perjanjian…, hlm. 16.

Universitas Indonesia
55

kehendaknya masing-masing. Artinya, dalam kesepakatan ini tidak terdapat


paksaan, khilaf, atau penipuan sehingga perjanjian yang dibuat itu mengikat
para pihak yang membuatnya.
Terkait dengan objek perjanjian, Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan
mengenai barang-barang yang tidak diizinkan untuk menjadi objek perjanjian sewa
menyewa, yaitu:
1. Barang-barang di luar perdagangan, contohnya senjata resmi yang dipakai oleh
negara;
2. Barang-barang yang melanggar kententuan peraturan perundang-undangan,
contohnya narkotika;
3. Warisan yang berstatus belum terbuka;
Pada perjanjian sewa menyewa, terdapat objek yang ditentukan yaitu:129
1. Objek yang dijanjikan oleh para pihak harus terang untuk dapat mengikat
dan mengakibatkan kewajiban dari masing-masing pihak;
2. Objek yang dijanjikan oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
KUHPerdata mengatur secara khusus mengenai sewa menyewa rumah dan
perabotan rumah dalam Pasal-pasal 1581 sampai dengan Pasal 1587 KUHPerdata.
Sedangkan sewa menyewa tanah diatur khusus dalam Pasal 1588 sampai dengan
Pasal 1600 KUHPerdata. Perjanjian sewa menyewa pula diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan
Kawasan Pemukiman Pasal 28 sampai dengan Pasal 29.130
Selanjutnya bentuk perjanjian sewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis maupun
lisan. Apabila perjanjian sewa dibuat secara tertulis, maka perjanjian itu akan
berakhir demi hukum apabila waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah berakhir
tanpa pemberitahuan untuk itu. Sedangkan dalam perjanjian sewa lisan, penghentian
sewa harus dilakukan dengan pemberitahuan. Pemutusan perjanjian sewa pada

129
Ibid.
130
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman, PP No. 14 Tahun 2016, LN Nomor 101 Tahun
2016, TLN Nomor 5883.

Universitas Indonesia
56

hakekatnya sejalan dengan ketentuan mengenai pemutusan perjanjian pada


umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1381 KUHPer, yakni dikarenakan:131
a. Pembayaran
b. Penawaran pembayaran tunai yang pula diikuti penyimpanan produk yang
hendak dibayarkan itu di suatu tempat;
c. Pembayaran utang;
d. Kompensasi;
e. Pencampuran utang;
f. Musnahnya barang yang terutang;
g. Kebatalan atau pembatalan;
h. Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan;
i. Lewat waktu.
Bila dipelajari lebih rinci, secara khusus perjanjian sewa menyewa berakhir karena 2
(dua) hal, yaitu:132
1. Berakhirnya masa sewa
Berakhirnya masa sewa menyewa pada perjanjian sewa menyewa yang tidak
diperpanjang adalah berakhir demi hukum tanpa perlu adanya penetapan
pengadilan. Pada Pasal 1570 KUHPerdata mengatur bahwa apabila perjanjian
sewa menyewa berakhir demi hukum tanpa perlu dilakukan pemberitahuan
untuk itu.133
2. Telah terpenuhinya syarat tertentu dalam perjanjian sewa menyewa
Perjanjian sewa menyewa pada umumnya mencantumkan syarat batal maupun
syarat tangguh terhadap perjanjian bilamana telah terpenuhinya syarat yang
diperjanjikan tersebut.
Pada perjanjian sewa menyewa pula berlaku ketentuan Pasal 1575
KUHPerdata yang mengatur bahwa perjanjian sewa menyewa tidak akan berakhir
karena meninggalnya salah satu pihak, baik dari pihak penyewa maupun pihak yang
menyewakan. Hak serta kewajiban pada perjanjian sewa menyewa akan beralih
131
Subekti, Ps. 1381.
132
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 25.
133
Subekti, Ps. 1580.

Universitas Indonesia
57

kepada ahli warisnya. Selain itu, perjanjian sewa menyewa tidak dapat diputus
apabila barang yang disewaka beralih kepemilikannya melalui jual beli, kecuali jika
ditentukan sebelumnya di dalam perjanjian. lebih lanjut, perjanjian sewa menyewa
dapat dimasukkan ke dalam perjanjian obligatoir, yakni perjanjian yang
menimbulkan perikatan sejak terjadinya perjanjian sehingga atasnya mengakibatkan
terlahirnya hak dan kewajiban bagi para pihak. 134 Perjanjian sewa menyewa pula
membutuhkan tindakan penyerahan atas objek yang akan disewakan.135 Berkenaan
dengan resiko dalam perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553
KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:136
“jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demi hukum.
Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut
keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia aka
nmeminta bahkan pembatalan perjanjian swa; tetapi tidak dalam satu dari kedua hal
itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.”
Dalam hal barang sewa musnah sama sekali, perjanjian sewa sudah tidak ada lagi
atau kembali seperti keadaan semula seperti saat sebelum terjadinya perjanjian sewa
menyewa. Dalam hal ini, barang yang hancur merupakan tanggung jawab dari pihak
yang menyewakan selaku pemilik barang. Sama halnya apabila terdapat barang-barang
yang dimiliki si penyewa yang turut musnah, tanggung jawab tetap pada si penyewa.
Dapat disimpulkan bahwa kerugian yang timbul dari suatu kejadian atau peristiwa yang
terjadi di luar kesalahan para pihak, dipikul oleh masing-masing dari para pihak sesuai
dengan resiko yang terjadi terhadapnya.

4. Perjanjian Pengakuan Utang


Pengertian perjanjian utang piutang tidak disebutkan secara eksplisit dalam
KUHPer. Ketentuan pada Buku III KUHPer yang mengatur mengenai ketentuan umum
tentang hal-hal umum baik yang diatur dalam KUHPerdata maupun yang berada di luar
KUHPerdata, serta ketentuan khusus atau perjanjian yang berbeda dengan perjanjian
pada umumnya, maka kemudian perjanjian utang piutang diatur dalam Buku III

134
J. Satrio, Hukum Perikatan…, hlm. 38.
135
Ibid.
136
Subekti, Ps. 1553.

Universitas Indonesia
58

KUHPerdata yang memiliki sifat terbuka. Artinya, isi dari suatu perjanjian dapat
ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yakni tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang. Hal ini bermaksud bahwa ketentuan
dalam Buku III KUHPerdata dapat diikuti oleh para pihak dalam perjanjian atau dapat
pula para pihak menentukan lain atau bahkan menyimpanginya dengan beberapa syarat
yang mana syarat tersebut adalah syarat pelengkap saja karena dalam ketentuan umum
disebutkan ada yang bersifat pemaksa dan pelengkap. 137 Menurut Herlien Budiono,
perjanjian utang piutang ialah perjanjian pinjam meminjam. 138 Di mana ketentuannya
diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang mengatur bahwa:139
“Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang tertentu barang-
barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu
yang sama pula.”
Ketentuan yang wajib ada dalam perjanjian utang piutang antara lain adalah bahwa apa
yang diperjanjikan dalam perjanjian utang piutang harus terang mengenai jangka waktu
berakhirnya suatu perjanjian sehingga pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur
dapat selaras dengan waktu yang disepakati. Ketentuan mengenai jangka waktu dalam
perjanjian utang piutang demikian diatur dalam Pasal 1759 yang menyatakan:140
“Orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang teklah
dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam
perjanjian.”
Terkait dengan peminjaman uang, maka utang yang terjadi hanya terdiri atas jumlah
uang yang disebutkan dalam perjanjian. apabila sebelum pelunasan terjadi suatu
kenaikan atau kemunduran dari nilai maupun adanya perubahan mengenai berlakunya
mata uang, maka pengaturan dalam Pasal 1756 KUHPerdata menyatakan bahwa
pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku
pada saat pelunasan yang dihitung menurut harga/nilai yang berlaku saat itu.141 Lebih

137
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009), hlm. 39.
138
Budiono, Ajaran Umum…, hlm. 44.
139
Subekti, Ps. 1754.
140
Subekti, Ps. 1759.
141
Subekti, Aneka Perjanjian…, hlm. 126.

Universitas Indonesia
59

lanjut, maka untuk menetapkan jumlah utang haruslah berdasarkan pada jumlah utang
yang disepakati dalam perjanjian.
Kewajiban-kewajiban kreditur antara lain bahwa orang yang meminjamkan
barang senantiasa tidak diizinkan meminta kembali suatu barang yang telah
dipinjamkan sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian berakhir.
Apabila dalam perjanjian utang piutang tersebut tidak disebutkan mengenai jangka
waktu pelunasan maka hakim dapat memberikan kelonggaran kepada debitur dalam
bentuk putusan yang membebankan debitur untuk melunasi utangnya. Namun
demikian bila kreditur sudah memberikan waktu yang cukup kepada debitur sebelum
melakukan gugatan ke pengadilan, maka tidak pada hakikatnya hakim tidak berada
dalam kewenangannya lagi untuk menentukan jangka waktu dalam perjanjian
tersebut.142 Jika telah dibuat kesepakatan bahwa debitur akan mengembalikannya jika
ia mampu mengembalikannya, maka hakim dengan mempertimbangkan keadaan
akan menentukan waktu pengembaliannya. Penilaian hakim terhadap kemampuan
kreditur sangat sulit, sehingga hakim akan menetapkan tanggal pembayaran
sebagaimana dilakukan untuk suatu perjanjian yang tidak mencantumkan waktu
tertentu.143
Kewajiban debitur dalam sebuah perjanjian utang piutang ialah
mengembalikan uang dalam jumlah serta keadaan yang sama serta dalam waktu yang
telah disepakati, namun bila tidak ditentukan waktu itu maka hakim memiliki kuasa
untuk memberikan batas waktu pelunasan utang. Apabila debitur tidak dapat
melunasi utangnya dalam jumlah dan keadaan yang sama, maka debitur tetap wajib
membayar harganya. Dengan kata lain debitur harus memperhatikan waktu dan
tempat di mana barangnya, menurut perjanjian, wajib dikembalikan. Jikalau waktu
dan tempat itu tidak disepakati dalam perjanjian maka ditentukan berdasarkan waktu
serta tempat di mana utang piutang itu terjadi. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 1764
KUHPerdata menentukan bahwa bilamana dalam perjanjian utang piutang tidak

142
Ibid., hlm. 159.
143
Aisha Kartika Fitriasma, “Analisis Yuridis Akta Perjanjian Utang Piutang Yang Memuat Klausula
Pengakuan Utang”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013), hlm.
69-70.

Universitas Indonesia
60

terdapat penunjukan tempat pengembalian, maka haruslah diambil tempat di mana


pinjaman telah terjadi dalam menetapkan jumlah pinjaman yang wajib dilunasi oleh
debitur.144
Pengertian surat pengakuan utang diatur dalam Hukum Acara Perdata atau
HIR (Herzien Indasch Reglement) yang berlaku di pulau Jawa dan Madura yakni
dalam Pasal 224 yang mengatur sebagai berikut:
“Surat asli dari pada surat hipotek dan surat utang yang di perkuat di
hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan “ Atas
nama Undang-Undang’ berkekuatan sama dnegan putusan hakim, jika surat
yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perial
menjalankannya, dengan perintah dan pinjaman ketua pengadilan negeri
yang dalam daerah hukumnya orang yang berutang itu diam atau tinggal
atau memilih tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan pada pasal-
pasal di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa
paksaan badan itu hanya dapat dilakukan, jika sudah diizinkan dengan
keputusan. Jika hal keputusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebagian
di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan
menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada Pasal 195 ayat kedua dan
yang berikutnya dituruti.”
Bila dilihat secara rinci, dalam pasal tersebut menentukan mengenai 2 (dua)
hal yaitu surat hipotek yang merupakan surat jaminan utang terhadap barang-barang
yang tidak bergerak berupa sertipikat Hipotek. Sejalan dengan perkembangan
hukum, setelah ketentuan hipotek yang diatur dalam KUHPerdata dicabut dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan berupa sertipikat
Hak Tanggungan. Adapun surat utang atau surat pengakuan utang, berisi tentang
utang orang yang membuat surat tersebut. Surat pengakuan utang dibuat hanya dari
satu pihak saja yakni pihak yang meminjam uang atau debitur. Dalam surat ini
menyatakan pada pokoknya debitur mengakui telah berutang sejumlah uang kepada
kreditur. Surat pengakuan utang tidak dibuat oleh kreditur dan debitur, karena surat
ini bukan perjanjian baru. Akad pinjam pakai sebagai akad pokok hanya perlu
dibuat satu kali dan masih berlaku bagi mereka. Walaupun debitur membuat surat
pengakuan hutang, tidak mengakibatkan perjanjian hutang menjadi hapus. Selain
itu, surat pengakuan utang mempunyai kekuatan mengikat yang sangat kuat karena

144
Ibid., Hlm. 70-71.

Universitas Indonesia
61

apabila debitur lalai melunasi atau melunasi utangnya, maka surat pengakuan utang
tersebut dapat menjadi bukti sekaligus dasar untuk melakukan pelunasan utang
debitur, dengan ketentuan bahwa surat harus dalam bentuk gross akta.145
Selanjutnya pernyataan debitur dalam surat pengakuan utang setidak-tidaknya
berisikan:146
a. Nama kreditur atau pihak yang memberikan uang;
b. Tanggal diterimanya uang;
c. Jumlah besaran utang dari debitur;
d. Jangka waktu atau tanggal pengembalian utang;
e. Tanda tangan serta nama debitur.
Sedianya, perjanjian utang piutang dengan surat pengakuan utang memiliki
keterkaitan satu sama lain. Surat pengakuan utang baru akan lahir setelah adanya
perjanjian utang piutang. Oleh karenanya, perjanjian utang piutang selalu dibuat
lebih dahulu dari surat pengakuan utang. Tidak akan terjadi, suatu surat pengakuan
utang lahir lebih dulu setelah itu dibuat perjanjian utang piutangnya. Seyogyanya
orang mengakui memiliki utang setelah orang tersebut menerima pinjaman berupa
uang. Kedua perubahan itu masing-masing tidak berdiri sendiri, akan tetapi
merupakan sebuah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keberadaan surat
pengakuan utang sangat bergantung pada perjanjian pokoknya yakni perjanjian
utang piutang. Surat pengakuan utang selalu mengikuti perjanjian utang. Jika
perjanjian pokok selesai, surat pengakuan utang juga selesai. Tidak ada orang yang
mau mengaku berutang, jika utang sudah lunas. Oleh karenanya, surat pengakuan
utang merupakan perbuatan hukum yang memiliki sifat accesoir.147

C. Kasus Posisi
Berawal dari macetnya angsuran pinjaman dengan jaminan seluruhnya 14 (empat
belas) sertipikat milik saksi S di Bank BRI terhitung mulai tahun 2010 dan telah

145
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Intermasa, 2008),
hlm. 230.
146
Fitriasma, Analisis Yuridis…, hlm. 71-72.
147
Ibid., hlm. 72-74.

Universitas Indonesia
62

diberikannya surat peringatan dari Bank BRI tersebut dengan jumlah surat peringatan
sebanyak 3 (tiga) kali yang terakhir disampaikan pada tanggal 09 Juni 2010. Akan
tetapi saksi S belum dapat menunaikan kewajibannya untuk melunasi angsuran
pinjamannya tersebut sehingga pada tanggal 4 November 2010, Bank BRI
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pendaftaran Lelang kepada saksi S.
Mengetahui hal tersebut, Saksi S berusaha agar 14 (empat belas) sertipikat yang
menjadi jaminan tidak dilelang oleh pihak bank dengan meminta bantuan kepasa rekan
bisnisnya yaitu Saksi R untuk minta dicarikan pinjaman uang guna menutupi kreditnya
kepada bank. Kemudian Saksi R mengenalkan saksi S kepada NL yang telah dikenal di
kalangan pedagang sebagai seseorang yang kerap kali memberikan pinjaman yang
dalam jumlah besar.
Pada bulan November 2010, saksi S dan NL bertemu dan terjadi kesepakatan di
antara keduanya utuk terjadi pemberian pinjaman uang sebesar Rp6.000.000.000,00
(enam milyar rupiah) dengan tambahan bunga 2% per bulan dengan jaminan 11
(sebelas) sertipikat. Adapun kesepatan tambahannya adalah bahwa NL akan
memberikan kembali sertipikat tanah tersebut kepada saksi S apabila saksi RY (anak
dari saksi S) mendapatkan pinjaman untuk mengembalikan uang NL. Pada tanggal 29
Desember 2010, saksi S, Saksi RY, saksi YTIP dan saksi LJ bertolak ke Bank BRI
untuk meminta penundaan lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
Yogyakarta dengan cara menyetor uang sebesar Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta
rupiah).
Saksi S kemudian menerima telepon dari NL pada 19 Januari 2011 untuk menemui
saksi SW selaku AO pada Bank BRI untuk membahas tentang kesepakatan pinjaman
uang antara saksi S dengan NL senilai Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) secara
lisan, dan bukan perjanjian jual beli. Setelah itu NL berkata akan segara mencarikan
Notaris untuk membuat perjanjian utang piutang agar dapat segera selesai. Atas saran
saksi SW, maka dipertemukanlah saksi S dan NL dengan Notaris/PPAT AS. Namun
demikian Notaris/PPAT AS menolaj untuk membuatkan perjanjian utang piutang
dikarenakan sertipikat tanah masih menjadi jaminan di Bank. NL kemudian menemui
Notaris/PPAT ER namun Notaris tersebut juga menolak dikarenakan alasan yang sama

Universitas Indonesia
63

dengan Notaris/PPAT AS selain itu masih ada tanah yang berupa sawah. Oleh
karenanya kemudian saksi SW menyarankan agar NL dan saksi S menghadap terdakwa
Notaris/PPAT TAH.
Atas saran saksi SW, NL menemui terdakwa Notaris TAH dan mengutarakan
niatnya untuk membuat perjanjian utang piutang tetapi dibuat seolah-olah terjadi jual
beli dengan dibuatkan perikatan jual belinya. Niat ini kemudian disanggupi oleh
terdakwa TAH sehingga terjadilah kesepakatan antara NL dengan terdakwa TAH untuk
mensiasati utang piutang sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) antara saksi
S dengan NL untuk dibuat menjadi perikatan jual beli dan bunga pinjaman sebesar 2%
per bulan sebesar Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) yang dikemas
menjadi perjanjian sewa menyewa. Terdakwa TAH kemudian membuat surat tugas
tertanggal 20 Juli 2011 yang berisi tentang penugasan saksi SP, staf Notaris/PPAR
khusus untuk dan atas nama pemberi tugas guna mengambil 11 (sebelas) sertipikat di
Bank BRI yang disanggupi oleh saksi SW selaku AO dari bank tersebut untuk
menyerahkan 11 (sebelas) sertipikat yang menjadi jaminan utang saksi S di Bank BRI
sebagai berikut:
1. Sertipikat Hak Milik Nomor 622/Bokoharjo seluas 95 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 4 Maret 1994 Nomor 2251;
2. Sertipikat Hak Milik Nomor 2079/Bokoharjo seluas 96 M2 diuraikan dalam
surat ukur tertanggal 19 Desember 2002 Nomor 00416/2002;
3. Sertipikat Hak Milik Nomor 01383/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tanggal tertanggal 28 April 1997 Nomor 03708/1997;
4. Sertipikat Hak Milik Nomor 01384/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03708/1997;
5. Sertipikat Hak Milik Nomor 01385/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03712/1997;
6. Sertipikat Hak Milik Nomor 01386/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03711/1997
7. Sertipikat Hak Milik Nomor 1387/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03710/1997

Universitas Indonesia
64

8. Sertipikat Hak Milik Nomor 1388/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam


gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03709/1997
9. Sertipikat Hak Milik Nomor 1389/Bokoharjo seluas 94 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 28 April 1997 Nomor 03715/1997
Kesembilan sertipikat tersebut atas nama H. Slamet Sarjono
10. Sertipikat Hak Milik Nomor 325/Bokoharjo seluas 2.228 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 8 Juni 1989 Nomor 3230 lebih jauh diuraikan dalam
sertipikat tertanggal 23 Juni 1989
11. Sertipikat Hak Milik Nomor 324/Bokoharjo seluas 2.050 M2 diuraikan dalam
gambar situasi tertanggal 23 Juni 2003 Nomor 00689/2003 lebih jauh diuraikan
dalam sertipikat tertanggal 10 Juli 2003
Kedua sertipikat tersebut atas nama Saksi S
Setelah 11 (sebelas) sertipikat tersebut diambil dari Bank BRI, terdakwa
TAH memerintahkan stafnya yang bernama AZ untuk menyiapkan dan membuat
draft perikatan jual beli berikut kelengkapannya, oleh karena terdapat 2 (dua)
bidang tanah sawah yaitu terhadap Sertipikat Hak Milik Nomor 325/Bokoharjo
seluas 2.228 M2 dan Sertipikat Hak Milik Nomor 324/Bokoharjo seluas 2.050 M2
sehingga memerlukan pengajuan Izin Pemanfaatan Tanah (IPT) di Kantor
Pelayanan Perizinan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Pada tanggal 2 Agustus 2011, NL mentransfer uang sejumlah
Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) kepada terdakwa TAH untuk
pengurusan pengajuan Izin Pemanfaatan Tanah (IPT) sedangkan pada saat itu belum
terjadi penandatanganan perikatan jual beli antara saksi S dengan NL. Selanjutnya
terdakwa TAH memerintahkan stafnya yang bernama AZ untuk mengurus
pengajuan Izin Pemanfaatan Tanah (IPT) di Kantor Pelayanan Perizinan Pemerintah
Kabupaten Sleman terhadap Sertipikat Hak Milik Nomor 325/Bokoharjo seluas
2.228 M2 dan Sertipikat Hak Milik Nomor 324/Bokoharjo seluas 2.050 M2 atas
nama saksi S sehingga Kantor Pelayanan Perizinan Pemerintah Kabupaten Sleman
menerima permohonan pengajuan Izin Pemanfaatan Tanah (IPT) tersebut di atas
dengan Bukti Penerimaan Berkas Nomor: 008132.04.11 tertanggal 4 Agustus 2011,

Universitas Indonesia
65

sedangkan pada saat itu belum terjadi realisasi penandatanganan akta-akta antara
NL dengan saksi S di hadapan terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT. Pemanggilan
terhadap saksi S dilakukan setelah semua administrasi kelengkapan perikatan jual
beli dan sewa menyewa telah selesai disiapkan oleh AZ dan terdakwa TAH yakni
tepatnya pada hari Jumat pada tanggal 19 Agustus 2011, Notaris/PPAT TAH
bersama-sama dengan NL bertempat di Jalan Nogorojo Nomor 3, Gowok Catur
Tunggal Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saksi S pada saat itu
ditemani pula dengan anak-anak saksi yakni IRBH dengan LJ serta hadir pula saksi
SW selaku AO Bank BRI yang membawa 3 (tiga) dari 14 (empat belas) buku
sertipikat Hak Milik yang menjadi agunan di Bank BRI dan kemudian diserahkan
kembali ke saksi S karena 11 (sebelas) sertipikat sisanya telah diserahkan kepada
terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT melalui stafnya yang bernama saksi SP.
Setelah Saksi S pada saat itu ditemani pula dengan anak saksi yakni IRBH
serta NL di hadapan terdakwa TAH, selanjutnya dengan tipu muslihat yang sudah
diatur sedemikian rapinya oleh Terdakwa TAH bersama-sama NL maka dengan
rangkaian kata-kata bohong terdakwa TAH pada saat itu mengatakan kepada saksi S
dengan kata-kata : “ini akan ada perikatan jual beli antara Hj. S dengan Sdri. NL
terkait 11 (sebelas) sertipikat “, mendengar perkataan Terdakwa TAH maka dan saat
itu juga saksi S langsung merasa keberatan dengan mengatakan : “Saya tidak pernah
jual tanah. Saya hanya pinjam uang kepada NL sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam
milyar rupiah) untuk menutup utang pinjaman di BRI dengan bunga 2% perbulan”
setelah itu terdakwa TAH selaku Notaris/ PPAT dengan rangkaian kata-kata bohong
mengatakan kepada saksi Suhartinah dengan kata-kata : “ndak apa apa ini di
buatkan Perikatan Jual Beli saja, karena bu NL hanya mau membantu, tidak akan
memiliki, tidak akan menghaki, tidak akan menguasai, selama saya masih hidup
saya sebagai saksinya berat ini lo bu dan kalau ibu sudah punya uang bisa diambil
lagi dan untuk bunganya 2% di buat sewa menyewa saja ya biar kelihatan cantik
karena tidak boleh di sebut bunga nilainya Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta) yaitu 2% dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) “ . rangkaian kata-
kata itu ditimpali oleh NL, “tenang saja bu Slamet (Slamet adalah nama suami

Universitas Indonesia
66

saksi S) saya hanya membantu, nanti kalau udah punya uang, segera dikembalikan“
setelah itu terdakwa TAH selaku Notaris/ PPAT masih dengan rangkaian kata-kata
bohong mengatakan kepada saksi Suhartinah: “karena ibu juga ada utang bisnis
kepada Ny. R sebesar Rp850.000.000,00 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) akan
di lunasi oleh bu NL dan sisanya pinjaman di bulatin menjadi Rp2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah) akan diserahkan sisanya oleh bu NL kepada ibu S untuk modal
kerja“. Realisasi atas sisa uang sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)
dikurangi Rp850.000.000,00 (delapan ratus lima puluh juta rupiah) tidak pernah
terealisasi penyerahannya kepada saksi S. Selanjutnya dengan tipu muslihat yang
telah disusun sedemikian rapinya, terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT
mengeluarkan 2 (dua) lembar kwitansi kosong, satu lembar diserahkan kepada saksi
IRNH sedangkan yang lainnya diserahkan kepada NL. Setelah itu terdakwa TAH
selaku Notaris/PPAT meminta kepada saksi IRNH dan NL untuk menulis pada
masing-masing satu kwitansi dengan cara didikte sesuai kata kata dari terdakwa
TAH selaku Notaris/PPAT yaitu sebagai berikut:
1. Pada kwitansi yang pertama tertanggal 19 Agustus 2011 :
Telah terima dari Nora Laksono uang sebanyak Rp6.726.500.000,00 guna
membayar 2 bidang tanah hak milik Nomor 325 kurang lebih 228 m2 dan Hak
Milik Nomor 324 luas 2050 m2 berikut bangunan dan mesin-mesin
penggilingan poles yang terletak di Bokoharjo, Prambanan, Sleman. Kwitansi
tersebut ditandatangani oleh Saksi S dan Saksi IRNH.
2. Pada kwitansi kedua tertanggal 19 Agustus 2011
Telah terima dari Nora Laksono uang sebanyak Rp1.273.50.000,00 guna
membayar 9 (sembilan) bidang tanah hak milik masing-masing Nomor 622,
2079, 1383, 1384, 1385, 1386, 1387, 1388, dan 1389 luas keseluruhannya 849
m2 yang terletak di Bokoharjo, Prambanan, Sleman atas nama Ny. S beserta
bangunan dan mesin-mesin penggilingan poles.
Kwitansi tersebut ditandatangani oleh Saksi S dan saksi IRNH.
Kemudian Terdakwa TAH memerintahkan stafnya AZ untuk mengambil
berkas-berkas yakni Akta Perikatan Jual Beli Nomor 9 tertanggal 19 Agustus 2011,

Universitas Indonesia
67

Akta Kuasa Nomor 10 tertanggal 19 Agustus 2011, Akta Kuasa Menjual Nomor 11
tertanggal 19 Agustus 2011, Akta Kuasa Nomor 15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 31
tertanggal 19 Agustus 2011, serta Akta Kuasa Menjual Nomor 16, 18, 20, 22, 24,
26, 28, 20, 32 tertanggal 19 Agustus 2011. Selanjutnya terdakwa meminta kepada
saksi S dan NL untuk menandatangani akta-akta tersebut layaknya penandatanganan
akta di hadapan Notaris/PPAT. Sedangkan yang sebenarnya saksi S hanya berutang
kepada NL sebesar dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah).
Perikatan Jual Beli Nomor 9 tertanggal 19 Agustus 2011 yang menerangkan
bahwa NL telah membayar lunas sebesar Rp6.726.500.000,00 (enam milyar tujuh
ratus dua puluh enam juta lima ratus ribu rupiah) atas 2 (dua) bidang tanah sawah
yakni tanah dengan srtifikat Hak Milik Nomor 325/Bokoharjo seluas 2.228 M2 dan
tanah dengan sertipikat Hak Milik Nomor 324/Bokoharjo seluas 2.050 M2. Kedua
tanah tersebut telah dimohonkan Izin Pemanfaatan Tanah (IPT). Selain itu dibuat
perikatan jual beli nomor 14 tertanggal 19 Agustus 2011 yang menerangkan bahwa
NL telah membayar lunas sebesar Rp1.273.500.000,00 (satu milyar dua ratus tujuh
puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah) atas 9 (sembilan) bidang tanah kosong
lainnya. Sedangkan sebenarnya perikatan jual beli itu hanyalah sebuah tipu muslihat
yang sudah disusun sedimikian rupa oleh terdakwa TAH dengan NL untuk
mengelabui saksi S yang berutang kepada NL sebesar dari Rp6.000.000.000,00
(enam milyar rupiah) dengan pembayaran ditambah bunga 2% per bulan sebesar
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah).
Pada kenyataannya saksi S tidak pernah menerima pembayaran sebagaimana
keterangan yang termuat dalam Perikatan Jual beli Nomor 9 tertanggal 19 Agustus
2011 dan Perikatan Jual Beli Nomor 14 tertanggal 19 Agustus 2011, selain itu saksi
Suhartinah juga tidak pernah mengajukan izin pemanfaatan tanah (IPT) di Kantor
Pelayanan Perijinan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Sekitar bulan Juni 2012 saksi S yang telah berhasil memperoleh uang tunai
sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah), hendak mengembalikan pokok
utangnya kepada NL namun NL tidak bersedia menolak penerimaan pelunasan
utang dari saksi S dan meminta pengembalian pokok utang sebesar

Universitas Indonesia
68

Rp9.000.000.000,00 (sembilan milyar rupiah) yang kemudian disanggupi oleh saksi


S pada tahun 2013. Akan tetapi NL kembali menolaj dan tidak menerima pelunasan
utang tersebut karena tanpa sepengetahuan saksi S ternyata NL bersama dengan
terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT telah memproses peralihan hak kepemilikan
tanah atas 11 (sebelas) sertipikat milik saksi S menjadi atas nama anak-anak
terdakwa NL yakni AYR dan AR. Melalui persetujuan NL dan AR, 11 (sebelas)
sertipikat tanah milik saksi S yang masih dalam proses penurunan hak dan balik
nama kepada AYR dan AR. Oleh saksi AYR dipergunakan untuk mengajukan
kredit ke Bank UOB Semarang dan berhasil mendapatkan kredit sebesar
Rp7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah) pada tanggal 28 Juni 2013.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 63/Pid.B/2020/PN.Smn,
Terdakwa Notaris TAH dinyatakan tidak bersalah dan tidak terbukti melakukan
tindak pidana. Selanjutnya dilakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi
yang menjatuhkan Terdakwa TAH tindak pidana penipuan secara bersama-sama
yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 PK/PID/2022.
Sebelumnya ditemukan fakta hukum bahwa pada Putusan Nomor
53/Pdt.G/2014/PN.Smn bahwa hubungan pinjam meminjam uang tersebut
disepakati dengan pembayaran jasa bunga. Perbuatan hukum ini dilakukan dengan
cara menyewakan 11 (sebelas) bidang objek tanah sertipikat atas nama saksi S yang
diperjualbelikan antara saksi S sebagai penerima sewa dengan NL sebagai pemberi
sewa. Kesepakatan ini lalu dituangkan ke dalam perjanjian sewa menyewa di
hadapan terdakwa TAH. Hakim mengabulkan gugatan para penggugat untuk
sebagaian, menyatakan sebagai hukukmnya Tergugat telah melakukan Perbuatan
Melawan Hukum (PMH), menghukum Tergugat maupun siapa saja yang
memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan dan menyerahkan tanah objek
sengketa kepada para penggugat rekovensi secara seketika dalam keadaan semula.
Pada Putusan Nomor 68/PDT/2015/PT.Yyk amarnya menguatkan putusan
pengadilan pertama. Pada Putusan Kasasi Nomor 1495K/Pdt/2020 menyatakan
bahwa tidak sah/tidak memiliki kekuatan hukum mengikat segala penetapan-
penetapan yang menyangkut eksekusi terhdap ke-11 bidang tanah objek sengketa

Universitas Indonesia
69

sebagaimana dalam perkara eksekusi Nomor 5/Pdt.E/2018/PN.Smn jo. Nomor


53/Pdt.G/2014/PN.Smn juncto Nomor 68/Pdt/2015/PT.YYk jo. Nomor
2385K/Pdt/2016. Putusan Kasasi ini menolak putusan kasasi pelawan Nyonya S
dan memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor
41/PDT/2019/PT.YYK yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Sleman
Nomor 107/Pdt.G/2018/PN Smn. Adapun amar selengkapnya ialah bahwa
Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak benar serta menolak perlawanan
Pelawan untuk seluruhnya. Putusan Peninjauan Kembali Nomor 143 PK/Pdt/2019
kemudian menguatkan putusan kasasi sebelumnya. Nyonya S selanjutnya
melayangkan Peninjauan Kembali yang kedua kalinya dikarenakan Putusan
Peninjauan Kembali Pidana dan Perdata bertolak belakang. Putusan hakim dalam
Putusan Nomor 1048 PK/Pdt/2022 menyatakan secara hukum bahwa perbuatan
Tergugat I Konvensi, Tergugat II Konvensi, dan Tergugat III Konvensi adalah
merupakan suatu perbuatan yang tidak sah dan melawan hukum, menyatakan secara
hukum tidak sah dan batal secara hukum atas segala akta-akta, perjanjian-perjanjian,
dan surat kuasa antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat I Konvensi yang
dibuat di hadapan Turut Tergugat II yang berkaitan terhadap 11 (sebelas) bidang
tanah sertipikat objek sengketa, menyatakan dan menetapkan secara hukum
hubungan antara Penggugat Konvensi dengan Tergugat I Konvensi adalah
hubungan pinjam meminjam uang sebesar Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah), antara Penggugat Konvensi sebagai penerima pinjaman dan Tergugat I
Konvensi sebagai pemberi pinjaman; menyatakan dan enetapkan secara hukum
pembayaran sewa menyewa sebagaimana dalam perjanjian sewa menyewa antara
Penggugat Konvensi dengan Tergugat I Konvensi yang dibuat di hadapan Turut
Tergugat II Konvensi adalah sebagai pembayaran jasa bunga; Menyatakan tidak sah
dan batal secara hukum Perikatan Jual Beli Nomor 9 tanggal 19 Agustus 2011 dan
Perikatan Jual Beli Nomor 14 tanggal 19 Agustus 2011, yang dibuat di hadapan
Turut Tergugat II, menyangkut atas 11 (sebelas bidang) tanah.

Universitas Indonesia
70

BAB III

KEABSAHAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DIIKUTI SEWA


MENYEWA DENGAN CAUSA PENGAKUAN UTANG (PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 51 PK/PID/2022)

4. Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang Diikuti Sewa Menyewa Dengan


Causa Pengakuan Utang

Putusan pengadilan tingkat pertama, hakim pada pokoknya memutuskan bahwa


Terdakwa TAH tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana penipuan secara
bersama-sama. Dalam pertimbangannya hakim menilai bahwa tidak terpenuhinya unsur
tipu muslihat dikarenakan menurut alat bukti dan yang telah dicocokan dengan
keterangan saksi-saksi, saksi S sebagai korban sebenarnya sadar dan mengetahui bahwa
akta yang dibuat merupakan perjanjian pengikatan jual beli. Hal ini dikuatkan pula
dengan adanya Putusan Nomor 53/Pdt.G/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo.
Putusan Banding No. 68/PDT/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan
Kasasi No. 2385K/PDT/2016 tertanggal 14 Desember 2016 di mana ketiga putusan
tersebut tetap dimenangkan oleh saksi NL sebagai tergugat yakni NL. Namun demikian,
Putusan pada pengadilan tinggi dan putusan kasasi mahkamah agung menyatakan
sebaliknya. Hakim melihat perbuatan terdakwa TAH dengan NL memenuhi unsur
pidana penipuan sebagaiman yang diatur dalam Pasal 378 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Sehingga karenanya perikatan jual beli antara NL dan saksi S merupakan perjanjian
cacat hukum.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan sebuah perjanjian bantuan yang
dijadikan perjanjian pendahuluan, di mana para pihak di hadapan mengikatkan diri
untuk membuat perjanjian pokok baru yang disebut sebagai jual beli di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).148 Namun dikarenakan dalam kasus ini objek sengketa
adalah tanah maka haruslah tunduk pada ketentuan Pasal 5 Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) dan aturan pelaksanaannya. Adapun Pasal 5 UUPA mengatur bahwa:

148
Supriyadi, “Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah dalam Perspektif Hukum
Pertanahan”, Jurnal Arena Hukum, Volume 9, Nomor 2, Agustus 2016, hlm. 210.

Universitas Indonesia
71

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan, yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang
bersandar pada hukum agama.”
Menurut hukum adat, pemindahan hak atas tanah harus dilakukan secara terang
dan tunai.149 Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa akta PPAT memiliki dua
fungsi yakni sebagai alat bukti dan sebagai dalam hal pendaftaran peralihan hak di
kantor pertanahan kota/kabupaten setempat.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan permulaan sebelum akhirnya
dilaksanakan perjanjian utamanya yakni Akta Jual Beli (AJB). Pembuatan akta
berdasarkan perjanjian harus memenuhi ketentuan pada pasal 1320 KUHPer. Oleh
karena itu, AJB bukanlah merupakan keabsahan dalam bentuk formil ataupun
keabsahan peralihan hak atas tanah. Syarat peralihan harus dibuktikan dengan
terpenuhinya Pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sah perjanjian. Selain itu peralihan
hal harus dilaksanakan secara terang, artinya tidak berdiri sendiri dan dilakukan di
hadapan Kepala Desa/PPAT. Lebih lanjut, dalam pengertian tunai ialah pembayaran
dilakukan pada saat itu juga yang diikuti penyerahan fisiknya. 150 Jika perbuatan hukum
ini dilakukan, maka peralihan hak atas tanah beralih secara hukum sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 hasil rapat kamar perdata
yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah yang didasarkan pada PPJB secara
hukum terjadi bilamana pihak pembeli telah membayar lunas, sehingga selanjutnya
objek dapat dikuasai secara fisik dan dilakukan dengan iktikad baik. Kekuatan mengikat
PPJB diatur dalam Pasal 1315 yang menyatakan:
“Seseorang boleh menanggung seorang pihak ketiga dan menjanjikan bahwa
pihak ketiga ini akan berbuat sesuatu; tetapi hal ini tidak mengurangi

149
Nur Hayati, “Peralihan Hak Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah (Suatu Tinjauan Terhadap
Perjanjian Jual Beli dalam Konsep Hukum Barat dan Hukum Adat dalam Kerangka Hukum Tanah Nasional),
Lex Jurnalica, Volume 13, Nomor 3, Desember 2016, hlm. 283.
150
Desvia Winandra dan Hanafi Tanawijaya, “Penerapan Asas Terang dan Tunai dalam Jual Beli
Tanah yang Merupakan Harta Bersama dalam Perkawinan (Studi Putusan Nomor 1/Pdt.G/2019/PN.Lbt)”,
Jurnal Hukum Adigama, Volume 3, Nomor 2, Desember 2020, hlm. 5.

Universitas Indonesia
72

tuntutan ganti rugi terhadap penanggung atau orang yang berjanji itu jika
pihak ketiga tersebut menolak untuk memenuhi perjanjian itu.”
Lebih lanjut dalam Pasal 1318 KUHPer yang mencantumkan:
“Orang dianggap memperoleh sesuatu dengan perjanjian untuk diri sendiri
dan untuk ahli warisnya dan orang yang memperoleh hak daripadanya,
kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau telah nyata dari sifat perjanjian itu
bahwa bukan itu maksudnya.”

Selain itu dalam Pasal 1340 KUHPer mengatur bahwa perjanjian hanya berlaku di
antara para pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung arti bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku dan mengikat bagi mereka yang
membuatnyaDapat disimpulkan dari ketiga pasal tersebut bahwa selain mengikat para
pihak secara internal, perjanjian itu pula mengikat kepada para ahli warisnya. Dalam
kasus, terdapat tanah yang masih berupa tanah sawah/pertanian maka pengajuan IPT
merupakan tindakan hukum sepihak yang tidak melahirkan hak apapun sehingga tidak
akan menghilangkan keabsahan PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam
Pasal 99 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Negara Nomor 3 Tahun
1997 tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1961 yang
menyatakan:
1) “Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima
hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:
a. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan
maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah
kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d. bahwa yang bersangkutan bersedia menang-gung semua akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b
tidak benar.”

Pada hakikatnya sebuah akta merupakan perjanjian. Perjanjian dapat berupa


perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama yaitu perjanjian
yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer, sedangkan perjanjian bernama ialah

Universitas Indonesia
73

perjanjian yang bentuknya diatur dalam KUHPer. Selain itu terdapat pula perjanjian
campuran, contohnya ialah perjanjian sewa beli. 151 Dalam kasus ini, disebutkan bahwa
NL yang bertindak sebagai pihak pertama dan saksi S merupakan pihak kedua dengan
obyek 11 (sebelas sertipikat) atas nama saksi S yang kemudian ditandatangani oleh NL
dan saksi S beserta kedua anaknya. Dalam akta tersebut pula terdapat janji untuk
menyewa dari pihak kedua tetapi sewa menyewa tersebut sudah dilaksanakan. Selain itu
terdapat janji untuk membeli tanah berikut bangunan milik pihak kedua oleh pihak
pertama sebesar Rp8.000.000.000 (delapan milyar rupiah). Bilamana dalam kurun
waktu 3 bulan tidak dapat dilunasi pembayarannya, maka akan dibalik nama oleh pihak
pertama. Hal ini berarti bahwa telah terjadi perjanjian tidak bernama. Walaupun
demikian, perjanjian tersebut tidak bernama tetapi kekuatannya sah dan mengikat
kepada para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPer. Kemudian dalam akta
Nomor 09, yang merupakan akta pejabat yang diberikan nomor, judul, dan bentuknya
sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang yaitu dengan bentuk akta perikatan
jual beli, Bahwa berdasarkan Pasal 16 UU Kenotariatan, Notaris harus membaca isi
akta terlebih dahulu di hadapan para penghadap, jika isi akta sesuai dengan kehendak
para pihak maka akta itu dapat ditandatangani. Dalam kasus ini terjadi Perjanjian
Perikatan Jual Beli (PPJB) yang disebutkan dalam fakta persidangan telah dibayar lunas
oleh pihak kedua dengan uang tunai sebesar Rp6.726.500.000 (enam milyar tujuh ratus
dua puluh enam juta lima ratus ribu rupiah) secara tunai. Tunai dalam hal ini ialah demi
memberikan beban pembuktian. Oleh karenanya, adanya akta ini mengakibatkan
pembeli tidak perlu lagi dibebankan pembuktian karena harga yang ditentukan sudah
dibayar tunai sehingga akta berlaku menjadi kuitansi.
Disebutkan bahwa perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548-1575
KUHPer yang pada intinya mangatur bahwa ada satu pihak sebagai pemilik yang
memberikan kepada pihak lain sebagai penyewa untuk menikmati suatu barang dalam
jangka waktu tertentu dan dengan harga tertentu sehingga unsur perjanjian sewa
menyewa dengan begitu telah terpenuhi. Artinya ada satu pihak yang mengakui bahwa

151
Hukum Kontrak dalam Perspektif Komparatif (Menyorot Perjanjian Bernama dengan Perjanjian
Tidak Bernama), Jurnal Serambi Hukum, Volume 8, Nomor 2, Agustus 2014-Januari 2015, hlm. 138.

Universitas Indonesia
74

objek tersebut tidak lagi menjadi miliknya dan oleh karenanya PPJB sudah beralih dan
sah. Begitu pula dalam kasus ini. Bila melihat pada putusan Nomor
53/Pdt.G/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Banding No.
68/PDT/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Kasasi No.
2385K/PDT/2016 tertanggal 14 Desember 2016 di mana ketiga putusan tersebut tetap
dimenangkan oleh saksi NL sebagai tergugat. Hal ini membuktikan bahwa perjanjian
pengikatan jual beli antara saksi S dan NL telah sah karena dalam fakta hukumnya saksi
S mengakui dan menyetujui kesepakatan jual beli tanah sebagai jaminan atas utang
piutangnya. Hal ini diperkuat dengan keterangan saksi dari bank BRI bahwa pada
tanggal 19 Agustus 2019 dibuatlah perjanjian jual beli, kuasa, dan kuasa menjual.
Selain itu, IPL merupakan saksi aktif. Artinya, pun jika dikatakan ada pemalsuan maka
pemalsuan tersebut diketahui oleh yang para pihak yang menandatangani dan sudah
pula disetujui oleh saksi S.
Bahwa dalil saksi S yang menyatakan tidak sahnya hubungan hukum jual beli atas
tanah dengan objek sengketa yang sebenarnya merupakan perjanjian utang piutang
dengan hak untuk membeli kembali, tidak sesuai dengan alat bukti dalam persidangan
yaitu akta pengikatan jual beli, akta pemberian kuasa, serta akta kuasa untuk menjual.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 53/Pdt.G/2014/PN.Slm, disebutkan
bahwa saksi S dan NL mengakui telah membuat dan menandatangani perjanjian
pengikatan jual beli, akta kuasa, akta kuasa menjual, dan akta sewa menyewa. Akta-
akta tersebut di buat di hadapan Terdakwa TAH selaku Notaris/PPAT. Sehingga
karenanya akta-akta itu merupakan akta autentik yang memberikan efek mengikat serta
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana Pasal 1868 KUHPer.
Dengan demikian isi dan maksud dari akta tersebut telah benar diketahui dan disetujui
oleh saksi S dan NL dan oleh karenanya pula memenuhi unsur Pasal 1320 KUHPer
mengenai syarat sah perjanjian.
Terdakwa TAH dalam keterangannya di persidangan mangatakan bahwa dalam
pembuatan akta dalam kasus ini, sudah meneliti berkas-berkas yang dihadirkan di
hadapannya. Terdakwa TAH pula mengetahui 2 (dua) bidang tanah sawah beserta
bangunannya sehingga karenanya Terdakwa TAH menyampaikan kepada para saksi

Universitas Indonesia
75

bahwa proses peralihan tanah masih sangat panjang karena masih tersangkut masalah
waris dan perlu diurus izin tanahnya. Menurut Terdakwa TAH, maksud dari diurusnya
izin tersebut tidak lain adalah untuk meluruskan yang tidak benar. Tanah sawah dan
adanya bangunan di atasnya merupakan sebuah pelanggaran sehingga perlu diurus
izinnya. Dalam hal ini, terlihat bahwa sejatinya Terdakwa TAH sudah menerapkan asas
kehati-hatian sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) UUJN.
Mengenai iktikad baik, hukum perdata melihatnya dari dua sisi. Pertama dari sisi
Notaris sendiri dan yang kedua dari sisi para pihak. Dalam kasus ini, Terdakwa TAH
telah menerapkan iktikad baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku Terdakwa TAH yang
memberikan saran dan menyampaikan perlunya izin agar tanah tersebut dapat diproses.
Selain dari bentuk iktikad baik, hal tersebut juga merupakan bentuk penyuluhan hukum
dan seharusnya membantu para pihak untuk membuat kerangka sebelum akta yang
dibutuhkan oleh para pihak dibuat.

4. Delik Penipuan yang Terdapat pada Perjanjian Jual Beli Diikuti Sewa
Menyewa dengan Causa Pengakuan Utang dalam Putusan Mahkamah
Agung 51PK/PID/2022
Terdakwa Notaris TAH didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan
alternatif satu yakni Pasal 378 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dengan unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Barangsiapa
b. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang
c. Yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan turut serta melakukan perbuatan
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 63/Pid.B/2020/Pn.Slm,
terdakwa TAH dinyatakan tidak bersalah dan tidak terbukti melakukan tindak pidana
penipuan secara bersama-sama. Dalam perjalanannya, saksi S kemudian mengajukan
kasasi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 PK/PID/2022 memutuskan berbeda.

Universitas Indonesia
76

Terdakwa TAH dinyatakan sah dan terbukti melakukan tindak pidana penipuan secara
bersama-sama dengan NL terhadap saksi S.
Unsur barang siapa yang dimaksud dalam Pasal 378 KUHP adalah orang
(natuurlijke persoon) yang diduga melakukan suatu tindak pidana, atau dengan kata lain
merupakan subjek dari tindak pidana (delik). Unsur ini bukanlah unsur utama tetapi
hanya sekedar menunjuk kepada orang atau persoon yang dimana si terduga melakukan
tindak pidana.152 Oleh karenanya pembuktian unsur ini hanya sekedar menentukan
apakah identitas terdakwa dalam surat dakwaan sudah selaras dengan orang yang
dihadarikan dalam persidangan. Hakim tidak menemukan error in persona dalam
Dakwaan Penuntut Umum sehingga unsur ini telah terpenuhi.
Mengenai unsur kedua, bahwa yang dimaksud “dengan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain” tiada lain adalah si pembuat (dader) atau orang lain yang ikut
menikmati hasil perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung.153 Adapun martabat palsu (hoedanigheid) ialah setiap
ciri dari pribadi yang membuat seseorang itu menyerahkan suatu benda mejadi menaruh
kepercayaan lebih kepada orang lain bahwa orang lain itu sejatinya berhak meminta
penyerahan benda yang bersangkutan. artinya, orang yang menyerahkan benda itu harus
tergerak sendiri hatinya oleh sifat tersebut. 154
Tipu muslihat adalah tindakan yang bisa
disaksikan oleh orang lain baik disertai atau tidak disertai sesuatu ucapan, di mana si
pelaku menimbulkan suatu kepercayaan yang mengarah pada suatu keyakinan tentang
sesuatu atau harapan bagi orang lain sedangkan apa yang dimaksud dengan "rangkaian
kebohongan" adalah beberapa pernyataan yang saling mengisi dan terlihat seolah-olah
isi dari pernyataan itu adalah benar. Dalam hal lain isi dari setiap pernyataan tidak harus
seluruhnya terkandung kebohongan. Terdapat "rangkaian kebohongan", jika di antara
berbagai kebohongan ada hubungan sedemikian rupa sehingga dan satu kebohongan
melengkapi kebohongan lainnya, sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan
152
Rony A. Walandouw, Pangeman Diana, dan Hendrik Pondaag, “Unsur Melawan Hukum Yang
Subjektif dalam Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 KUHP”, Lex Crimen, Volume IX, Nomor 3, Juli-
September 2020, hlm. 251-252.
153
P.A.F. Lamintang dan C.D Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm.
148.
154
Dudung Mulyadi, “Unsur-unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan Dengan Jual Beli
Tanah”, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi,Volume 5, Nomor 2, September 2017, hlm. 213-214.

Universitas Indonesia
77

suatu gambaran palsu seakan-akan merupakan sebuah kebenaran.155 Dalam hal


membuat utang/membuat perjanjian utang berarti mengakui bahwa seseorang berhutang
kepada si pembuat (dader), tetapi tidak harus tepat dan sesuai dengan yang diatur dalam
hukum perdata. Pengakuan utang sejumlah uang di atas selembar kertas atau disaksikan
secara lisan oleh orang lain. Sementara menghapuskan piutang, disini tidak terbatas
pada piutang karena pinjaman, tetapi juga piutang karena gadai atau karena keuntungan
dengan merobek surat kredit atau mengatakan secara lisan yang disaksikan oleh orang
lain.156
Dalam kasus putusan ini keterlibatan Terdakwa berawal sebagaimana yang
diterangkan oleh saksi S adalah ketika pada saat penandatanganan akta pada hari Jumat,
tertanggal 19 Agustus 2011 di Kantor Terdakwa. Saksi S hadir karena dihubungi oleh
NL yang berperan aktif dalam mencari Notaris untuk membuat akta pengikatan utang
piutang. Kemudian pada saat penandatangan akta di mana Terdakwa dikatakan
melakukan tipu muslihat dan perkataan bohong untuk membujuk saksi S guna
mengubah perjanjian hutang piutang menjadi perjanjian sewa menyewa ditemukan
fakta dalam persidangan. Bahwa asal mula permasalahan kredit macet atas saksi S
sehingga saksi R memberikan rekomendasi kepada saksi S untuk melakukan membuat
perjanjian jual beli tanah kepada NL. Menurut pertimbangan hakim mahkamah agung
dalam putusan kasasi menyatakan bahwa tipu muslihat dan bujuk rayu yang diutarakan
Terdakwa dan NL telah terbukti. Hal ini berdasarkan keterangan Saksi S bahwa
Terdakwa pada saat itu mengatakan kepada Saksi S dengan kata-kata: "lni akan ada
perikatan jual beli antara Hj. S dengan Saudari NLterkait 11 (sebelas) sertipikat",
mendengar perkataan dari Terdakwa maka pada saat itu juga Saksi S langsung merasa
keberatan dengan mengatakan: "Saya tidak pernah jual tanah, saya hanya pinjam uang
kepada NL sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah) untuk menutup utang
pinjaman di BRI dengan bunga 2% sebulan”. setelah itu Terdakwa dengan rangkaian
kata-kata bohong dan janji-janji palsu mengatakan kepada Saksi S dengan kata-kata
"ndak apa apa ini di buatkan Perikatan Jual Beli saja, karena NL hanya mau membantu,

155
Ibid., hlm. 214-216.
156
Ibid.

Universitas Indonesia
78

tidak akan memiliki, tidak akan menghaki, tidak akan menguasai, selama saya masih
hidup saya sebagai saksinya berat ini lo bu" dan kalau ibu sudah punya uang bisa
diambil lagi dan untuk bunganya 2% (dua persen) dibuat sewa menyewa saja ya biar
kelihatan cantik karena tidak boleh disebut bunga nilainya Rp120.000.000 (seratus dua
puluh juta rupiah) yaitu 2% (dua persen) dari Rp6.000.000.000,00 (enam milyar
rupiah). Kemudian NL melakukan rangkaian kata-kata bohong dengan janji-janji palsu
sehingga atas bujuk rayu tersebut pun saksi S menjadi tergerak hatinya untuk
menyerahkan hak kepemilikan atas 11 (sebelas) bidang tanah.
Menimbang berdasarkan putusan perkara perdata Nomor 53/Pdt.G/2014/PN.Smn
jo. Putusan Banding No. 68/PDT/2014/PN.Smn 2015 jo. Putusan Kasasi No.
2385K/PDT/2016 tetap dimenangkan oleh saksi NL sebagai tergugat. Oleh sebab itu
penulis tidak sependapat dengan putusan hakim dalam putusan kasasi yang menyatakan
bahwa Terdakwa TAH terbukti bersalah atas delik penipuan bersama-sama dengan NL.
Karena sebenarnya berdasarkan putusan perdata Nomor 53/Pdt.G/2014/PN.Smn jo.
Putusan Banding No. 68/PDT/2014/PN.Smn jo. Putusan Kasasi No. 2385K/PDT/2016,
objek sengketa telah dilaksanakan eksekusi oleh Pengadilan Negeri Sleman maka
terhadap segala akta-akta yang menyertai dalam perkara tersebut disimpulkan bahwa
yang terjadi adalah jual beli antara saksi S dengan NL. Oleh karenanya Hakim
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung gagal mempertimbangkan keterkaitan antara
saksi-saksi dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan Dikarenakan Pasal 378
KUH di atas tidak terbukti, maka Pasal 55 ayat (1) mengenai tindak pidana penyertaan
pula tidak terpenuhi.
Dalam Putusan 1048 PK/Pdt/2022 dinyatakan bahwa PPJB cacat karena ada tipu
muslihat sebagaimana Pasal 378 Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP sehingga dalam perkara
pidana, PPJB tidak berlaku melainkan pinjam meminjam. Hal ini kemudian sejalan
dengan Pasal 1328 KUHPer menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan untuk
membatalakan suatu perjanjian karena adanya cacat kehendak.157

157
Roknel Maadia, “Tindak Pidana Penipuan dalam Hubungan Kontraktual Menurut Hukum Pidana
Indonesia”, Lex Crimen Vol. IV Nomor 2 (April 2015), hlm. 74.

Universitas Indonesia
79

Meninjau kembali adalah upaya hukum luar biasa yang diberikan kepada seseorang
untuk sesuatu bertentangan dengan keputusan hakim. Meskipun Keputusan hakim telah
ditetapkan masih ada kemungkinan untuk dilakukan permohonan kasasi, jika ternyata
terdapat alasan untuk itu dan merasa tidak adil untuk atas keputusan seperti itu.
Peninjauan kembali tidak menghilangkan kepastian hukum putusan hakim, tetapi justru
untuk mempertahankan keadilan itu sendiri dan memberikan kepastian hukum atas
perbuatannyan yang adil.158 Ketentuan Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa alasan peninjuan kembali ini bersifat
limitatif. Artinya, alasan untuk dimohonkannya peninjuan kembali hanya terbatas atas
alasan yang disebut secara enumeratif satu persatu dalam pasal dan tidak boleh
ditambahkan alasan di luar pasal tersebut. 159
Pengajuan Peninjauan Kembali kedua
sebagaimana dalam Putusan Nomor 1048PK/Pdt/2022 sejatinya tidak dapat dilakukan
karena dalam perkara perdata sudah dinyatakan sah dan terbukti hingga sebagaimana
tertuang dalam Putusan Nomor 143 PK/Pdt/2019. Pengadilan pidana tidak boleh
menganalisis bahwa PPJB itu adalah pengakuan utang karena dalam putusan perdata
sudah diuji dinyatakan sah. PPJB bukanlah causa pengakuan hutang dan tidak
mengandung cacat apapun. Putusan dalam perkara perdata kasus ini adalah ditolak yang
mana mengenai pokok perkara. Sehingga secar a contario PPJB itu harus dianggap sah
dan mengikat.

158
Ali Marwan Hsibuan, “Putusan Peijauan Kembali Perkara Pidana Sebagai Novum dalam
Peninjuan Kembali Perkara Perdata” Jurnal Yudisial Volume 12 Nomor 1, (April 2019)., hlm. 113.
159
Ibid.

Universitas Indonesia
80

BAB IV

PENUTUP
A. Simpulan

1. Keabsahan perjanjian pengikatan jual beli yang diikuti sewa menyewa dengan
causa pengakuan utang seharusnya dapat dinyatakan sah sebagaimana putusan
Pengadilan Negeri. Adapun pengadilan tinggi yang menganulir menjadi tidak
sah dan kemudian dikuatkan dengan putusan mahkamah agung Nomor 51
PK/PID/2022. Peneliti menyatakan bahwa PPJB tersebut adalah tetap sah
dengan alasan para pihak telah menyatakan kesediannya untuk hadir
menandatangani perjanjian pengikatan jual beli di hadapan Terdakwa TAH
selaku Notaris/PPAT. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor
53/Pdt.G/2014 diketahui fakta bahwa sebenarnya baik saksi S dan NL telah
sepakat untuk membuat dan menandatangani perjanjian pengikatan jual beli
yang diikuti sewa menyewa atas dasar utang piutang. Artinya bila ada satu pihak
yang mengakui bahwa objek tersebut tidak lagi menjadi miliknya dan oleh
karenanya PPJB sudah beralih dan sah. Hal ini sejalan dengan Pasal 1320
KUHPer tentang syarat sah perjanjian, Pasal 1868 KUHPer mengenai akta
autentik serta Pasal 1 UUJN. Terdakwa TAH juga telah menerapkan asas kehati-
hatian dan melakukan iktikad baik. Hal ini dibuktikan dengan keterangan
terdakwa yang meneliti dan membaca berkas-berkas yang dihadapkan padanya
serta adanya niat baik Terdakwa TAH untuk memberikan penyuluhan hukum
tentang proses peralihan tanah yang menjadi objek perjanjian.
2. Delik penipuan yang dikualifikasikan oleh putusan Mahkamah Agung, adalah
tidak tepat karena berdasarkan putusan perkara perdata Nomor
53/Pdt.G/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Banding No.
68/PDT/2014/PN.Smn tertanggal 19 Januari 2015 jo. Putusan Kasasi No.
2385K/PDT/2016 tertanggal 14 Desember 2016 tetap dimenangkan oleh saksi
NL sebagai tergugat. Terhadap objek sengketa telah dilaksanakan eksekusi oleh
Pengadilan Negeri Sleman maka terhadap segala akta-akta yang menyertai

Universitas Indonesia
81

dalam perkara tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang terjadi adalah jual
beli antara saksi S dengan NL. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 51
PK/PID/2022 memutuskan Notaris telah terbukti bersalah melakukan tindak
pidana penipuan secara bersama-sama dengan NL yang merugikan saksi S.
Namun demikian Oleh karenanya Hakim Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung gagal mempertimbangkan keterkaitan antara saksi-saksi dan alat-alat
bukti yang diajukan di persidangan Dikarenakan Pasal 378 KUH di atas tidak
terbukti, maka Pasal 55 ayat (1) mengenai tindak pidana penyertaan pula tidak
dapat terpenuhi dan tidak sah.

B. Saran
1. Sebagaimana yang terjadi pada praktiknya, pembuatan perjanjian pengikatan
jual beli atas objek tanah dipergunakan tidak sebagaimana mestinya, baik itu
yang dilakukan oleh salah satu pihak, para pihak maupun Notaris dalam
pembuatan akta. Bukan tidak mungkin atas iktikad tidak baik tersebut
menimbulkan kerugian. Untuk itu, Notaris selaku pejabat umum yang
dilimpahkan kewenangan untuk membuat suatu akta autentik haruslah benar-
benar menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian dan asas ketidakberpihakan
kepada salah satu pihak demi menjunjung tinggi martabat jabatannya. Selain itu,
diperlukan pula asas kecermatan ini. Hal ini dimaksudkan agar pada proses
identifikasi pihak-pihak yang berhadapan dengan Notaris, Notaris dapat
menyimak dengan seksama apa keinginan dan maksud dari pihak-pihak tersebut
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuangkan maksud dari para pihak
dalam akta yang dibuatnya
2. Penjatuhan pidana pada Notaris selama menjalankan jabatannya menjadi
catatan penting yang perlu diperhatikan oleh Majelis Pengawas dan Dewan
Kehormatan Notaris. Pengawasan haruslah berjalan secara efektif. Pengawasan
sejatinya tidak hanya akan melindungi masyarakat tetapi juga pribadi Notaris itu
sendiri dari iktikad tidak baik para pihak dalam akta. Hendaknya Majelis
Pengawas sebagai suatu bentuk pengawasan yang merupakan perpanjangan

Universitas Indonesia
82

tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dapat
memberikan perlindungan dari dua sisi secara seimbang. Notaris yang
berkonflik dengan hukum harus diberikan kesempatan dan bantuan di muka
persidangan bilamana dalam faktanya Notaris tersebut sudah menjalankan
jabatannya seseuai dengan Perhimpunan Notaris Indonesia Nomor:
08/PERKUM/INI/2017 tentang tata cara pemberian bantuan dan pendampingan
hukum kepada anggota Ikatan Notaris Indonesia.

Universitas Indonesia
83

DAFTAR RUJUKAN

A. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 14
Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No. 3316.
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, UU No.2 Tahun 2014, LN No.3 Tahun 2014, TLN
No.549.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Syarat dan Tata Cara
Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian dan Perpanjangan Masa Jabatan
Notaris. No.25 Tahun 2014.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Permohonan
Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjuan Kembali.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan
oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Kode Etik Notaris. Tanggal 20-30 Mei 2015.

B. Putusan Pengadilan
Pengadilan Negeri Sleman. Putusan No. 63/Pid.B/2020/PN.Slm.,
Mahkamah Agung. Putusan Kasasi No, 379K/PID/2021.
Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali No. 51 PK//PID/2021.
Pengadilan Negeri Sleman. Putusan No. 107/Pdt.G/2018/PN.Snm.
Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Putusan Banding No. 41/Pdt/2019/PT.Yyk.
Mahkamah Agung. Putusan Kasasi No.1495K/PDT/2020.
Pengadilan Negeri Sleman. Putusan No. 53/Pdt.G/2014/PN.Smn.
Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Putusan Kasasi No. 68/Pdt/2015/PT.Yyk

Universitas Indonesia
84

Mahkamah Agung. Putusan Kasasi No. 2385K/PDT/2019


Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali No. 1048 PK/Pdt/2022

C. Buku
Adjie, Habib. Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan
Tulisan tentang Notaris dan PPAT. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2008.
______. Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik.
Bandung: Refika Aditama, 2017.
______. Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Bandung: Rafika Aditama,
2008.
Ahmadi, Miru. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
Amiruddin dan Zainal Aisikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Rajawali Press, 2006.
Anand, Ghansham. Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018.
Anshori, Abdu Ghofur. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2006.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPer Buku III: Hukum Perikatan dengan
Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996.
Badrulzaman, Mariam Darus. Hukum Perikatan Dalam KUHPer Buku Ketiga:
Yurisprudensi, Doktrin, Serta Penjelasan, Cet. 1. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2015.
Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001.
Budiono, Herlien. Ajaran Utama Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan. Cet. 4. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.

Universitas Indonesia
85

______. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cet. 3.


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018.
Darus, M Luthfan Hadi. Hukum Notariat dan tanggung Jawab Notaris, Cet. 1,
Yogyakarta: UII Press, 2017.
Hamzah, Andi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya.
Jakarta: Sofmedia, 2012.
Harahap, M Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
H. S, Salim. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2003.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Kencama Prenada Media Group, 2013), hlm. 17-18.
Jaya, Nyoman Serikat Putra. Politik Hukum. Semarang: Badan Penyediaan Bahan
Penyediaan Bahan Kuliah Program Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, 2007.
Lumban Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, 1983.
Koentjoro, Diana Hakim. Hukum Administrasi Negara. Tangerang: Ghalia
Indonesia, 2004.
Lamintang, P.A.F. dan C.D Samosir. Hukum Pidana Indonesia,. Bandung: Sinar
Baru, 1983.
Mamudji, Sri. et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, 2005.
Manan, Bagir. Dimensi Hukum Dan Politik Dalam Pengembangan Demokrasi
Ekonomi. Bandung: Republika, 2011.
Marilang. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Makassar:
Indonesia Prime, 2017.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2006.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Notaris. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Universitas Indonesia
86

Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2008.
Notodirejo, Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1982.
Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melawan Hukum Dipandang dari Sudut Hukum
Perdata. Bandung: Mandar Maju, 2000.
______. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju, 2000.
Raharjo, Handri. Hukum Perjanjian Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009.
Saputra, Rendy. Kedudukan Hukum Penyalahgunaan Keadaan (Missbruik van
Omstandigheden) dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2016.
Sjahdeini, Sutan Remi. Kebebasan Berkentrak dan Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Cet. 1. Jakarta
Pustaka Utama Grafiti, 2009.
Sjaifurrachman. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta.
Bandung: Mandar Maju, 2011.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
______. Pengatar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Subekti. Aneka Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2014.
_______. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2001.
_______. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1996.
Sujamto. Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1987.
Susylawati, Eka. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili Perkara
Kewarisan Islam Berdasarkan Undang-undang Peradilan Agama.
Pamekasan: Duta Media Publishing, 2009.
Soenandar, Taryana. Kompilasi Hukum Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty, 2008.
Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2009.

Universitas Indonesia
87

Sukarno, Karmila Sari dan Pujiyono. Penghapusan Leglaisasi Surat Pengakuan


Utang dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Surakarta: CV Indotama Solo,
2019.
Sumardjono, Maria S. W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi.
Jakarta: Buku Kompas, 2001.
Tan, Thong Kie. Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 2011.
Thamrin, Husni dan M. Khoidin. Hukum Notariat dan Pertanahan Kewenangan
Notaris dan PPAT Membuat Akta Pertanahan. Yogyakarta: Laks Bang
Justitia, 2021.
Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta:
Intermasa, 2008.
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi. Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Widyadharma, Ignatius Ridwan. Etika Profesi Hukum. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1996
Wignjosoebroto, Soetandyo. Silabus Metode Penelitian Hukum. Surabaya:
Universitas Airlangga, 2008.

D. Tesis/Disertasi
Fatima, Sherin. “Ledudukan Akta Kuasa Menjual dalam Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Belum Lunas Untuk Melaksanakan Pembuatan Akta Jual Beli (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
758/Pdt/2018/PT.DKI)”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, 2020).
Thea Farina, “Asas Kecermatan Dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Juncto Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris”,
(Disertasi Doktoral Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2014)

Universitas Indonesia
88

Fitriasma, Aisha Kartika. “Analisis Yuridis Akta Perjanjian Utang Piutang Yang
Memuat Klausula Pengakuan Utang”, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013).
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan berkontrak, (Disertasi Magister
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004).
Inkiriwang, Virany. “Notaris dalam Menjalan Jabatannya Bertindak Sebagai
Makelar Tanah dan Pengurusannya Dikaitkan dengan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, (Tesis Magister Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, Juni, 2010).
Lamandasa, Cindy Daniela dan Surastini Fitriasih, “Akibat Hukum bagi Notaris atas
Akta yang Dijadikan Sarana Tindak Pidana Penipuan (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 1276/Pid.B/2019/PN.Mdn)”, (Tesis
Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2022).
Subastyo, Ainur Rofix. “Ketentuan Batas Waktu Tanggung Jawab Notaris sebagai
Pejabat Umum Terhadap Akta yang Dibuat Di Hadapannya Setelah Masa
Jabatan Berakhir”, (Tesis Magsiter Kenotariatan Universitas Brawijaya,
Malang, 2019).
Tiopan, Jesseline, Winanto Wiryomartani, dan Widodo Suryandono, “Implikasi
Hukum atas Penipuan Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan
Jual Beli sebagai Pengganti Akta Pinjam Meminjam dengan Jaminan (Studi
Kasus Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta
Nomor 1/PTS/Mj/PWN.Prov.DKI Jakarta/XI/2017)”, (Tesis Magister
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2019).

E. Artikel/Jurnal
Aprilia, Wardah Dian Puji N. Simatupang, Pieter Everhardus Lantumenten,
“Analisis Penerapan Iktikad Baik dan Pertanggungjawaban Notaris/Pejabat
Pembuat Akta Tanah Terhadap Akta Jual Beli dan Akta Pelepasan Hak Atas
Tanah Terhadap Objek Warisan Yang Belum Dibagi Waris (Studi Kasus

Universitas Indonesia
89

Putusan Mahkamah Agung Nomor 156K/Pdt/2020)”, Indonesian Notary,


Vol. 4, No. 1, (2022). Hlm. 290-302.
Ariwibowo, Agustiro Nugroho. “Kepastian Hukum Pengikatan Akta Perjanjian Jual
Beli Di hadapan Notaris Tanpa Dihadiri Para Saksi”, Jurnal Surya Kencana
Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Volume 11 Nomor 1 (Maret
2020). Hlm. 84-91.
Ayuningtyas, Pratiwi. “Sanksi Terhadap Notaris dalam Melanggar Kode Etik”,
Jurnal Repertorium: Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan Volume 9 Nomor 2
(2020). Hlm. 95-105.
Ayutiar, Etheldrea Tikatama dan Widodo Suryandono, “Tanggung Jawab Dan
Sanksi Terhadap Notaris Yang Turut Serta Memberikan Keterangan Palsu
dalam Akta Jual Beli Saham (Studi Kasus Putusan Nomor
9/PID/2019/PT.PTN)”, Indonesian Notary (2020). Hlm. 189-199.
Denico Doly, “Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta yang Berhubungan
dengan Tanah”, Negara Hukum (November 2011). Hlm. 279-288.
Dhaneswara, Aganita. “Keterlibatan Notaris dalam Pemberantasan Money
Laundering Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2015 Dikaitkan dengan Asas
Kerahasiaan Terbatas,” Lex Renaissance (Januari 2020), hlm. 170-181.
Deni, Fitra dan Dara Fauziah, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Tindak Pidana
Penipuan Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli”,
Autentik’s: Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 5 No. 1 (Januari 2023). Hlm.
40-51.
Hayati, Nur. “Peralihan Hak Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah (Suatu Tinjauan
Terhadap Perjanjian Jual Beli dalam Konsep Hukum Barat dan Hukum Adat
dalam Kerangka Hukum Tanah Nasional), Lex Jurnalica, Volume 13,
Nomor 3, Desember 2016. hlm. 279-291.
Kamil, Azahery Insan, Pandji Ndaru Sonatra, dan Nico Pratama, Hukum Kontrak
dalam Perspektif Komparatif (Menyorot Perjanjian Bernama dengan
Perjanjian Tidak Bernama), Jurnal Serambi Hukum, Volume 8, Nomor 2,
Agustus 2014-Januari 2015. Hlm. 138-151.

Universitas Indonesia
90

Kamilah, Anita “Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Pemanfaatan Aset Negara


Melalui Model Build Operate and Transfer/Bot”. Jurnal Hukum &
Pembangunan (November, 2019). Hlm. 605-617.
Hasibuan, Ali Marwan. “Putusan Peijauan Kembali Perkara Pidana Sebagai Novum
dalam Peninjuan Kembali Perkara Perdata”. Jurnal Yudisial Volume 12
Nomor 1, (April 2019). Hlm. 105-120.
Maadia, Rokmel, “Tindak Pidana Penipuan dalam Hubungan Kontraktual Menurut
Hukum Pidana Indonesia”. Lex Crimen Vol. IV Nomor 2 (April 2015), hlm.
73-79.
Manuaba, Ida Bagus Paramaningrat, I Wayan Parsa dan I Gusti Ketut Ariawan,
“Prinsip Kehati-hatian Notaris dalam Membuat Akta Autentik”, Acta
Comitas (2018). Hlm. 65-79.
Dudung Mulyadi, “Unsur-unsur Penipuan dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan
Dengan Jual Beli Tanah”, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi,Volume 5, Nomor 2,
September 2017. Hlm. 206-223..
Putri, Dewi Kurnia dan Amin Purnawan, “Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli Lunas dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas”, Jurnal
Akta, Vol. 4, No. 4, (Desember 2017). Hlm. 623-634.
Pramarta, Billy Adhi, Rachmad Safa’at, Prija Djatmika, “Pertanggungjawaban
Pidana Notaris dan Para Pihak Yang Memalsukan Surat Keterangan Objek
Pewaris”, Jurnal Ilmiah Pendiidkan Pancasila dan Kewarnegaraan, (2018),
hlm. 23-34.
Purnomo, Dedy. “Kekuatan Pembuktian Akta Yang Dibuat Oleh Notaris Selaku
Pejabat Umum Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia”, Lex Jurnalia,
Volume 12, Nomor 13, Desember 2015. Hlm. 248-258.
Purwaningsih, “Bentuk Pelanggaran Hukum Notaris di Wilayah Provinsi Banten
dan Penegakan Hukumnya”, Mimbar Hukum: Jurnal Hukum Universias
Gadjah Mada Volume 27 Nomor 1 (2015). Hlm. 123-131.

Universitas Indonesia
91

Supriyadi, “Kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah dalam
Perspektif Hukum Pertanahan”, Jurnal Arena Hukum, Volume 9, Nomor 2,
Agustus 2016. Hlm. 210-223.
Tjukup, I Ketut et.al., “Akta Notaris (Akta Autentik) sebagai Alat Bukti dalam
Peristiwa Hukum Perdata”, Acta Comitas Vol. 2, 2016. Hlm. 182-195.
Walandouw, Rony A. Pangeman Diana, dan Hendrik Pondaag, “Unsur Melawan
Hukum Yang Subjektif dalam Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 KUHP”,
Lex Crimen, Volume IX, Nomor 3, Juli-September 2020, hlm. 249-257.
Winandra, Desvia dan Hanafi Tanawijaya, “Penerapan Asas Terang dan Tunai
dalam Jual Beli Tanah yang Merupakan Harta Bersama dalam Perkawinan
(Studi Putusan Nomor 1/Pdt.G/2019/PN.Lbt)”, Jurnal Hukum Adigama,
Volume 3, Nomor 2, Desember 2020, hlm. 5-17.

F. Internet
Aprilia, Ajeng Hanifa Zahra Caesar. “Akta Risalah Lelang sebagai Akta Otentik.”
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14819/Akta-Risalah-Lelang-
sebagai-Akta-Otentik.html. Diakses pada 9 Maret 2023.
Abriged. Black’s Law Dictionary. 7th Edition. Minnesotta, West Publishing Co.:
2000).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/kausa. Diakses pada 27
September 2022.
_______. https://kbbi.web.id/larang. Diakses pada 9 Maret 2023.
Ikatan Notaris Indonesia. Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan
Notaris Indonesia, Banten 29-30 Mei 2015.
https://www.ini.id/uploads/images/image_750x_ 5bd7a3727eccd.pdf.
Diakses pada 9 Maret 2023.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai