Anda di halaman 1dari 161

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST


ENRICHMENT PADA PUTUSAN PENGADILAN DI INDONESIA

SKRIPSI

CUT TALITHA AZARIA


1306451364

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JANUARI 2017

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN UNJUST


ENRICHMENT PADA PUTUSAN PENGADILAN DI INDONESIA

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

CUT TALITHA AZARIA


1306451364

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JANUARI 2017

ii Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


PERNYATAAN ORISINALITAS

Penulis dengan ini menyatakan bahwa skripsi:

“Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust Enrichment pada


Putusan Pengadilan di Indonesia”

adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis
sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.

Depok, 4 Januari 2017


Yang menyatakan

Cut Talitha Azaria


1306451364

iii Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


HALAMAN PENGESAHAN

Tim Penguji mengesahkan Skripsi yang diajukan oleh:

Nama : Cut Talitha Azaria


NPM : 1306451364
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust
Enrichment Pada Putusan Pengadilan di Indonesia

dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai
bagian persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Sarjana Hukum
(S.H.) pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

TIM PENGUJI

1. Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H. Pembimbing ( )

2. Surini Ahlan Syarif, S.H., M.H. Penguji ( )

3. Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H. Penguji ( )

4. Afdol, S.H., M.H. Penguji ( )

Disahkan di : Depok
Tanggal : 4 Januari 2017

iv Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS

Saya, yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Cut Talitha Azaria


NPM : 1306451364
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum

untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan


kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive,
Royalty-Free Right) untuk memublikasikan skripsi saya yang berjudul:

Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust Enrichment pada


Putusan Pengadilan di Indonesia

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan memublikasikan skripsi saya selama tetap menyantumkan nama saya
sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok,
Yang menyetujui

(Cut Talitha Azaria)

v Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


ABSTRAK

Nama : Cut Talitha Azaria


NPM : 1306451364
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dan Unjust Enrichment
Pada Putusan Pengadilan di Indonesia

Hukum kontrak di Indonesia mengenal asas itikad baik, terutama dalam tahap
pelaksanaan kontrak. Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, asas
itikad baik juga dikenal dalam tahap pra kontrak sehingga dalam suatu proses
negosiasi atau perundingan pun juga harus diterapkan. Skripsi ini akan
membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum common law,
yaitu mengenai itikad baik pada tahap pra kontrak dengan doktrin promissory
estoppel dan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata dengan doktrin unjust enrichment.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan deskriptif komparatif.
Hasil penelitian menyarankan untuk menerapkan doktrin promissory estoppel
pada kondisi dimana salah satu pihak percaya bahwa sudah lahir perjanjian
diantara keduanya sehingga pihak tersebut melakukan tindakan demi tercapainya
janji-janji pihak lawan, dan juga doktrin unjust enrichment dalam kondisi apabila
salah satu pihak memperkaya diri sendiri secara tidak sah dari pengeluaran yang
dilakukan pihak lain. Asas itikad baik juga harus dijunjung tinggi mengingat tidak
adanya ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur mengenai pra kontrak
secara tersurat.

Kata Kunci:
Itikad baik, pra kontrak, promissory estoppel, unjust enrichment.

vi Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


ABSTRACT

Name : Cut Talitha Azaria


Student Number : 1306451364
Program : Legal Studies
Title :

Contract law in Indonesia identify the principle of good faith, especially in the
implementation of the contract. Along with the development contract law, the
principle of good faith is also known in the pre-contractual phase so that in a
negotiation process this principle must be applied. This paper compares the law of
contracts in Indonesia with a common law system, which is about the good faith
in the pre-contractual phase with the doctrine of promissory estoppel and Article
1359 paragraph (1) of the Indonesian Civil Code with the doctrine of unjust
enrichment. This study is a normative juridical research with comparative
descriptive. Results of the study were advised to apply the doctrine of promissory
estoppel in circumstances where one party believes that it has been born an
agreement between the two so that the parties take action in order to achieve the
promises of the opposition, and also the doctrine of unjust enrichment in a state
where one party is enriching himself not legitimate expenses incurred from other
parties. The principle of good faith must also be upheld because of the absence of
any provision in the Civil Code concerning about pre-contractual phase.

Keywords:
Good faith, pre-contract, promissory estoppel, unjust enrichment.

vii Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah swt. yang senantiasa memberikan karunia dan
hidayah-Nya kepada penulis. Tanpa kasih sayang-Nya yang melimpah dan tak
terhingga ini, penulis tentu tidak mungkin mampu menyelesaikan skripsi dan studi
pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dia-lah Maha
Rahman dan Rahim yang selalu memberikan hidayah di saat bahagia maupun
sulit.
Tak lupa penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang senantiasa mendukung penulis.
1. Yang pertama dan selalu utama, kepada orang tua penulis, Teuku Sony
Tjut Lidansyah dan Hilda Tyasari. Terima kasih Ayah, walaupun Ayah
telah pergi, Ayah selalu menjadi motivasi dan penyemangat untuk menjadi
lebih baik. Terima kasih Ibu, karena selalu menyebutkan namaku di setiap
doa dan selalu mendukung tiada hentinya. Gelar ini sepenuhnya penulis
persembahkan untuk Ayah dan Ibu. Kepada kakakku, Teuku Priananda
Dewangga Lidansyah Budiman, terima kasih untuk dukungan dan sikap
positif yang diberikan selama ini.
2. Kepada Prof. Rosa Agustina, S.H., M.H. yang senantiasa membimbing
penulis dengan penuh kesabaran sampai selesai skripsi ini. Kepada para
dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah menempa dan
berkenan membagi ilmunya kepada penulis sejak penulis menjadi
mahasiswa baru sampai saat ini. Juga kepada seluruh staf pada Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
5. Kepada Edwina Warman Putri, teman seperjuangan penulis selama
menulis skripsi. Terima kasih telah menjalani beberapa bulan mengerjakan
skripsi ini bersama-sama, telah bersedia mendengar keluh kesah penulis,
susah senang bersama, saling mendoakan dan menguatkan. Semoga kita
senantiasa diberi kemudahan di jalan selanjutnya dan bisan melanjutkan
S2 keluar negeri.
6. Kepada sahabat-sahabat penulis yang selalu memberikan motivasi kepada
penulis dan memberi dukungan di saat mudah dan sulit. Terima kasih

viii Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


kepada Putri Apriyanti, Anbiya Annisa, Nuruzzhahrah Diza, Septina, dan
Dionisia Widyarini. Semoga persahabatan kita tidak berhenti disini dan
kita dapat mencapai cita-cita dan sukses dunia dan akhirat.
7. Kepada Achmad Farhan Ambroissi, yang senantiasa memberi dukungan
kepada penulis selama menulis skripsi, yang telah sabar menghadapi
penulis. Semoga kita, terutama penulis, bisa menjadi manusia yang lebih
baik lagi dan selalu diberi kelancaran untuk kedepannya.
8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, yang tanpa mengurangi rasa hormat, tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.

Terakhir, penulis menyadari skripsi ini masih jauh untuk dikatakan


sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi menyempurnakan tesis ini. Terima kasih.

Jakarta, 4 Januari 2011


Penulis,

Cut Talitha Azaria

ix Universitas Indonesia

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN ORISINALITAS iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI ix

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 6
1. Bagaimana perkembangan dan pengaturan Hukum Perjanjian
di Indonesia?
2. Apa yang dimaksud dengan doktrin promissory estoppel dan
unjust enrichment?
3. Bagaimana penerapan doktrin promissory estoppel dan
unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 7
D. Kerangka Konsepsional 7
E. Metode Penelitian 8
F. Sistematika Penulisan 10

BAB 2 TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN


A. Pengertian Hukum Perikatan 11
B. Pengertian Perjanjian 12
C. Asas-Asas dalam Perjanjian 13
D. Unsur-Unsur Perjanjian 17
E. Macam-Macam Perjanjian 18
F. Syarat Sah Perjanjian 21
G. Tahapan Perjanjian 28
H. Momentum Terjadinya Perjanjian 35
I. Hapusnya Perikatan 37
J. Wanprestasi 40
1. Pengertian Wanprestasi
2. Akibat Wanprestasi

BAB 3 TINJAUAN UMUM DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL


DAN UNJUST ENRICHMENT
A. Promissory Estoppel dalam Sistem Common Law
1. Pengertian Promissory Estoppel 47
2. Sejarah Doktrin Promissory Estoppel 48
3. Hubungan Doktrin Promissory Estoppel dengan Consideration 51
4. Penerapan Doktrin Promissory Estoppel 53
B. Unjust Enrichment dalam Sistem Common Law

x
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017 Universitas Indonesia
1. Pengertian Unjust Enrichment 58
2. Sejarah Unjust Enrichment 60
3. Unjust Enrichment dan Quantum Meruit 65
4. Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment 66
5. Hambatan dalam Unjust Enrichment 67

BAB 4 ANALISIS
A. Kasus Posisi 70
B. Analisis Kasus
1. Asas itikad baik pada tahap pra kontrak dan perbandingannya
dengan doktrinpromissory estoppels 72
2. Pasal 1359KUH Perdata dan perbandingannya dengan doktrin
unjust enrichment 79

BAB 5 PENUTUP
A. Kesimpulan 83
B. Saran 85

DAFTAR PUSTAKA 86
LAMPIRAN 90

xi Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017Universitas Indonesia


Penerapan Doktrin...,
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan masyarakat dalam masa pembangunan
menimbulkan pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum, terutama
hukum perjanjian. Perjanjian merupakan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, baik yang dilakukan antar individu maupun hubungan antar
perusahaan. Perjanjian-perjanjian tersebut lahir dengan adanya kesepakatan antara
dua pihak atau lebih yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.1
Menurut pendapat lain, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai
harta kekayaan. 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1313
KUH Perdata, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan, dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini berupa lisan atau tertulis. Dari sini
timbul suatu usul dan suatu penerimaan, sehingga timbul hubungan antara dua
orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perjanjian, yaitu asas kebebasan
berkontrak seperti tersirat dalam pasal 1338 KUH Perdata, maka pihak-pihak yang
akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerjasama dapat mendasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata. Akan tetapi, dapat pula
mendasarkan pada kesepakatan bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang
memaksa, harus sesuai dengan ketentuan KUH Perdata, sedangkan dalam hal
ketentuan tidak memaksa, diserahkan kepada para pihak. Dengan demikian,
perjanjian kerjasama selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian, juga
dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak.

1 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 1.


2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata di Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 225.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
2

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat,
yaitu timbulnya hak dan kewajiban bagi para pihak, hak adalah suatu kenikmatan
dan kewajiban adalah suatu beban3 Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang
Jasa Konstruksi mengatur akibat hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa,
dimana Penyedia Jasa berkewajiban untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
konstruksi sesuai apa yang telah diperjanjikan dengan Pengguna Jasa sebelumnya,
sedangkan Pengguna Jasa berhak atas suatu pekerjaan konstruksi yang telah
dikerjakan oleh Penyedia Jasa. Adanya kontrak antara Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa ini, berfungsi untuk memberikan kepastian hukum para pihaknya
dan menggerakkan (hak milik) sumber daya dari nilai ekonomi yang lebih rendah
menjadi nilai ekonomi yang lebih tinggi. 4
Hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa didasarkan atas
hukum dan dituangkan dalam bentuk kontrak kerja konstruksi. Kontrak kerja
konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum atara
pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. 5
Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi
yang didukung oleh dokumen pembuktiandari lembaga perbankan dan/atau
lembaga keuangan bukan bank. Dalam teori dan praktek, istilah konstruksi dan
pemborongan dianggap sama, terutama jika dikaitkan dengan istilah kontrak jasa
kontruksi. Sebenarnya istilah pemborongan memiliki cakupan yang lebih luas
daripada istilah konstruksi. Sebab istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa
yang di borong tersebut bukan hanya konstruksinya/pembangunannya, melainkan
dapat juga berupa pengadaan barang saja. 6
Saat ini pelaksanaan pekerjaan pengadaan barang dan jasa, termasuk
pemborongan, yang seluruh biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD),
harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan, yaitu Peraturan Presiden

3 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak: Teori


dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 5.
4 __________, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU),

(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 23.


5 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2010), hlm. 596.


6 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1998), hlm. 12

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
3

Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden


Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Seperti yang sudah diketahui, dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas
yang dinamakan asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari bahasa latin
consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah
sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Terhadap
asas ini ada juga pengecualiannya, yaitu apabila oleh undang-undang ditetapkan
formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian. Atas ancaman
batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud.
Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan
perjanjian formil.7
Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan
mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary
negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam
uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka
mengenai kontrak yang dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak
begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh
pihak lawan. Misalnya janji-janji dari developer yang tercantum dalam brosur-
brosur yang diedarkan sebagai iklan, menurut teori klasik hukum kontrak tidak
dapat dituntut pertanggungjawabannya, karena janji-janji tersebut adalah janji-
janji pra kontrak yang tidak tercantum dalam pengikatan jual beli sehingga
konsumen tidak dapat menuntut ganti rugi. 8
Di negara-negara maju yang menganut sistem civil law, seperti Perancis,
Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya
dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak, tetapi juga dalam tahap
perundingan (the duty of good faith in negotiation) sehingga janji-janji pra kontrak
mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut di
ingkari. Akan tetapi, Indonesia masih menganut teori klasik, beberapa putusan

7Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 15-16.


8Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, cet. 3, (Jakarta:
Kencana, 2004), hlm. 2.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
4

pengadilan tidak menerapkan asas itikad baik dalam proses negosiasi. Akibatnya
pihak-pihak yang dirugikan selama proses negosiasi tidak terlindungi. Sedangkan
di negara yang menganut sistem common law, seperti di Amerika Serikat,
pengadilan menerapkan doktrin promissory estoppel untuk memberikan
perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh
pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan lawannya dalam tahap pra
kontrak (preliminiary negotiation).9
Di Indonesia, pihak yang dirugikan karena telah melakukan perbuatan
karena percaya pada janji-janji yang diberikan pada tahap sebelum terjadinya
perjanjian, tidak dapat menuntut ganti rugi berdasarkan wanprestasi pada
gugatannya. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
gugatan berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam hal ini perbuatan
melawan hukum dalam arti luas, yang meliputi melanggar hak subyektif orang
lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kaedah
kesusilaan, atau bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas
masyarakat terhadap diri dan orang lain.10
Hubungan antara pihak yang memberikan janji (promisor) dengan pihak
yang menerima janji (promisee) juga merupakan perikatan, yaitu perikatan yang
bersumber dari undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang
sebagai akibat perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya
serangkaian tingkah laku seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat
hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi
mungkin berupa perbuatan yang menurut hukum (dibolehkan undang-undang)
atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak dibolehkan undang-undang
(melawan hukum). 11
Dengan dilakukannya perbuatan oleh promisee pada tahap sebelum adanya
perjanjian, apabila promisor menarik kembali janjinya atau tidak melaksanakan
kewajiban hukumnya untuk membayar manfaat yang telah ia terima, hal ini akan

9 Ibid, hlm.3.
10 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 38-40.
11 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan

dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 8.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
5

mengakibatkan penambahan kekayaan yang tidak sah pada pihak promisor (unjust
enrichment). Doktrin unjust enrichment dikenal dalam sistem common law, di
Indonesia sendiri ada istilah yang serupa tercantum dalam Pasal 1359 ayat (1)
KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap pembayaran memperhatikan
adanya suatu utang dan apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat
dituntut kembali.
Dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, tidak jarang terjadi pihak
pengguna jasa, yaitu pemerintah, tidak melakukan pembayaran penuh ataupun
sebagaian atas pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia jasa. Karena
kedudukannya yang lebih tinggi, pengguna jasa dapat mengajukan berbagai dalih
yang dapat berujung pada penagihan pengembalian uang muka secara penuh dan
memasukkan penyedia barang/jasa dalam daftar hitam. Sementara itu, pihak
penyedia jasa akan berusaha untuk mengajukan berbagai alasan dan pembelaan.
Dengan demikian, pengadaan barang/jasa dapat menimbulkan berbagai sengketa
di antara pengguna jasa dan penyedia jasa.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor 2815K/Pdt/2014, pihak
pengguna jasa konstruksi/Tergugat, yaitu dalam hal ini Pemerintah Kota Bontang
khususnya Dinas Pekerjaan Umum, tidak mengakui adanya hubungan hukum
dengan penyedia jasa konstruksi/Penggugat, yaitu Ungkap Simamora selaku
Direktur Utama PT. Perucha dalam tahap pra kontrak karena tidak adanya kontrak
kerja konstruksi dan Surat Perintah Kerja yang dibuat.
Sehubungan dengan tidak adanya kepastian hukum dalam permasalahan
yang terjadi pada saat sebelum terjadinya perjanjian atau pra kontrak tersebut,
dilakukan kajian atau tinjauan yuridis tentang penerapan doktrin promissory
estoppel dan unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan pokok yang akan
dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan dan pengaturan Hukum Perjanjian dalam hal
asas itikad baik di Indonesia?

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
6

2. Apa yang dimaksud dengan doktrin promissory estoppel dan unjust


enrichment?
3. Bagaimana penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment
dalam putusan pengadilan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum,
terutama dalam bidang Hukum Perjanjian terkait dengan penerapan doktrin
promissory estoppel dan unjust enrichment ada putusan pengadilan di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum di atas, terdapat
juga tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
a. Memberikan gambaran mengenai perkembangan dan pengaturan Hukum
Perjanjian di Indonesia.
b. Memberikan gambaran mengenai doktrin promissory estoppel dan unjust
enrichment.
c. Memberikan penjelasan mengenai penerapan doktrin promissory estoppel
dan unjust enrichment dalam putusan pengadilan di Indonesia.

D. Kerangka Konsepsional
Definisi operasional yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-
subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya
untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang
berhak atas sikap yang demikian itu. 12

12 L.C. Hoffman, sebagaimana dikutip dari R. Setiawan, , Pokok-Pokok Hukum


Perikatan, cet. 4, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 2

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
7

2. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang


lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.13
3. Negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang
mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan bertemu dan
berbicara dengan maksud untuk mencapai suatu kesepakatan. 14
4. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan
masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu
bangunan atau bentuk fisik lain.15
5. Promissory estoppel adalah salah satu doktrin hukum yang mencegah
seseorang (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak
yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji
tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu,
sehingga dia (promise) akan menderita kerugian jika (promisor) yaitu
pihak yang memberi janji diperkenankan untuk menarik janjinya (Paul
Latimer, 1989: 280).16
6. Unjust Enrichment adalah memperkaya diri atas beban orang lain secara
tidak sah.17

E. Metode Penelitian
Dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan
yang yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment
pada putusan pengadilan di Indonesia.

13 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 1.


14 Robert Heron dan Caroline Vandenabeele, Effective Negotiation, A Practical
Guide, (Jenewa: International Labour Office, 1997), hlm. 5.
15 Pasal 1 angka 3 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
16 Suharnoko, Hukum Perjanjian, hlm. 11.
17 Henk Snijders dan Jaap Hijma, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

Baru, (Jakarta: National Legal Reform Program, 2010), hlm. 23.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
8

Tipologi penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksploratoris, karena


pengetahuan tentang suatu gejala yang akan diselidiki masih kurang sekali.
Terkadang penelitian semacam ini disebut feasibility study yang bermaksud untuk
memperoleh data awal. 18
Jenis data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan data
sekunder yaitu berseumber dari data kepustakaan. Data sekunder dalam penelitian
hukum terdiri dari literatur serta sumber hukum seperti Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan peraturan-peraturan lainnya.
Bahan hukum yang digunakan ialah bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. 19 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang
mengikat, yang dipakai dalam penelitian ini ialah peraturan perundang-undangan
dan yurisprudensi. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu buku, laporan penelitian, dan
artikel ilmiah.
Alat pengumpulan data yang digunakan ialah studi dokumen. Studi
dokumen merupakan langkah awal dari seorang peneliti dalam melakukan
penelitian untuk menjawab apakah penelitan itu layak diteliti dan sebagai bahan
masukan dalam pembuatan usul dan rancangan penelitian. Studi dokumen penting
untuk dilakukan untuk merumuskan kerangka teori dan konsep. 20 Selain itu,
wawancara juga dapat dilakukan kepada narasumber atau informan.
Metode analisis data penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat,
kepercayaan orang yang akan diteliti dan kesemuanya itu tidak dapat diukur
dengan angka. 21 Metode ini digunakan untuk mengetahui secara mendalam
bagaimana penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment dalam
putusan pengadilan di Indonesia. Pendekatan kualitatif ini akan menghasilkan data
deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang

18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982),


hlm. 10.
19 Ibid, hlm. 52.
20 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 29.
21 Sulistyo dan Basuki, Metode Penelitian (Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006), hlm. 24.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
9

22
bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata. Bentuk hasil
penelitian dari penelitian ini adalah skripsi.

F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) Bab, dan di setiap Bab terbagi
dalam beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannya ialah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini akan menjelaskan mengenai latar belakang masalah sehingga penulis
melakukan penelitian mengenai penerapan doktrin promissory estoppel dan unjust
enrichment pada putusan pengadilan di Indonesia. Bab ini juga berisikan pokok
permasalahan, tujuan penulisan, kerangka konsepsional, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN


Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian perikatan, pengertian perjanjian,
asas-asas perjanjian, unsur-unsur perjanjian, macam-macam perjanjian, syarat sah
perjanjian, tahapan perjanjian, momentum terjadinya perjanjian, hapusnya
perikatan, dan wanprestasi.

BAB III TINJAUAN UMUM DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN


UNJUST ENRICHMENT
Pada bab ini akan dibahas mengenai doktrin promissory estoppels mulai dari
pengertian, sejarah, hubungannya dengan consideration, dan penerapan doktrin
promissory estoppel. Bab ini juga berisikan pengertian, sejarah, dan hambatan
unjust enrichment serta perbandingan unjust enrichment dengan quantum meruit.

BAB IV ANALISA PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL


DAN UNJUST ENRICHMENT DALAM PUTUSAN NO. 2815K/PDT/2014

22 Mamudji, Metode Penelitian, hlm. 67.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
10

Dalam bab ini akan dibahas mengenai penerapan doktrin promissory estoppel dan
unjust enrichment pada perkara antara Ungkap Simamora dengan Dinas Pekerjaan
Umum Kota Bontang.

BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dari pembahasan yang
dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. Kemudian penulis menyertakan saran bagi
pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang di bahas dalam skripsi ini.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
11

BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Hukum Perikatan


Buku III KUH Perdata berjudul van verbintenissen. Istilah verbintenis
dalam KUH Perdata merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil
Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah
obligation. 1 Penggunaan istilah perikatan untuk verbintenis tampaknya lebih
umum dipergunakan dalam kepustakaan hukum Indonesia. Definisi perikatan
tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa
dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua
pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur)
berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi
prestasi itu.2
Menurut Hofmann, perikatan atau verbintenis adalah suatu hubungan
hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu,
seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Sementara
itu, menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. 3
Dari pengertian di atas, perikatan adalah hubungan hukum
(rechtsbetrekking) dimana oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara
penghubungannya. Oleh karena itu, perjanjian yang mengandung hubungan
hukum antara perorangan (person) adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam
lingkungan hukum. Hubungan hukum dalam perjanjian bukan merupakan suatu
hubungan yang timbul dengan sendirinya, akan tetapi hubungan yang tercipta

1 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina Ilmu,


1979), hlm. 10 dalam Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,
(Bandung: Alumni, 2006), hlm. 195.
2 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung:

Alumni, 2006), hlm. 196.


3 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet. 4, (Bandung: Binacipta,

1987), hlm. 2

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
12

karena adanya tindakan hukum (rechtshandeling). Tindakan atau perbuatan


hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum
perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk
memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri
dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. 4
Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, sumber perikatan adalah perjanjian dan
undang-undang. Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-
undang saja atau undang-undang akibat perbuatan manusia. 5 Perikatan yang
dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari
perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum.6

B. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau kontrak, dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih lainnya. Ketentuan pasal ini kurang tepat, karena ada
beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut antara
lain:7
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata
kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak
dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan
diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.
2. Kata “perbuatan” mencakup juga konsensus. Dalam pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang
tidak mengandung suatu consensus. Seharusnya dipakai istilah
“persetujuan”.

4 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986),


hlm. 7.
Pasal 1352 KUH Perdata: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi
5

undang-undang timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai


akibat perbuatan orang”.
6 Pasal 1353 KUH Perdata: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari

undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau
dari perbuatan melanggar hukum”.
7 Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 224.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
13

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga


perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang
dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta
kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya
hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat
kepribadian (personal).
4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan
mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak
jelas untuk apa.
Berdasarkan alasan-alasan diatas maka perjanjian dapat dirumuskan
sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan”. Apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur
sebagai berikut: (1) ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang (subjek); (2) ada
persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus); (3) ada objek yang berupa benda;
(4) ada tujuan yang bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan); dan (5) ada
bentuk tertentu, lisan atau tulisan. 8
Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan contract adalah:
An agreement between two or more person which creates an obligation to do or
not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua
orang atau lebih. Kontrak itu menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. (Black’s Law Dictionary, 1979:
291)

C. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian


Dalam hukum perjanjian, terdapat beberapa asas dan prinsip yang harus
diperhatikan dalam membuat perjanjian sebagai pegangan dalam proses dan
pelaksanaan perjanjian tersebut dan juga dalam hal terjadi permasalahan hukum.
Asas-asas atau prinsip-prinsip hukum perjanjian antara lain:
1. Asas Pacta Sunt Servanda

8 Ibid, hlm. 225.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
14

Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas
ini berhubungan dengan akibat dari perjanjian yang mengharuskan para pihak
serta hakim dan pihak ketiga untuk menghormati substansi perjanjian yang dibuat
oeh para pihak selayaknya undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
Asas ini pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja yang menyebutkan
bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan
dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sacral dan dikaitkan
dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt
servanda diberi arti pactum, yang artinya sepakat tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Adapun mudus pactum sudah cukup
dengan kata sepakat saja. 9

2. Asas Kebebasan Berkontrak


Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir di Yunani, yang diteruskan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans melalui ajaran-ajaran
Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rosseau. Menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.
Dalam hukum perjanjian, paham ini diwujudkan dalam asas kebebasan
berkontrak. Teori laissez faire ini menganggap bahwa “the invisible hand” akan
menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas, karenanya pemerintah sama
sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi)
masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada
golongan ekonomi kuat untuk menguasai golongan ekonomi lemah. Pihak yang
kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam

9 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak,


hlm. 3.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
15

cengkraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam “exploitation de l’homme par


l’homme”.10
Pada akhir abad ke-19, paham individualisme ini mulai pudar akibat
desakan-desakan paham etis dan sosialis, terlebih pada saat berakhirnya Perang
Dunia II karena paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak
yang lebih lemah banyak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu, kehendak
bebas tidak lagi diberi secara mutlak, akan tetapi diberi arti relatif yang dikaitkan
selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi perjanjian tidak semata-
mata dibiarkan kepada para pihak, namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai
pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan individu dan kepentingan
masyarakat.
Asas ini juga dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan bagi para pihak untuk: 1) membuat atau tidak membuat perjanjian; 2)
mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3) menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan, dan persyaratannya; dan 4) menentukan bentuk perjanjian, yaitu
tertulis atau lisan. Para pihak dapat membuat perjanjian asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dengan
demikian, para pihak diberi kesempatan untuk membuat klausula-klausula yang
menyimpang dari ketentuan Buku III KUH Perdata. Ketentuan yang dapat
disimpangi yang bersifat optional atau pilihan, sedangkan ketentuan yang bersifat
memaksa seperti syarat sahnya perjanjian adalah ketentuan yang tidak dapat
dikesampingi oleh para pihak. 11

3. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dalam perjanjian berarti perjanjian sudah mengikat
para pihak yang membuatnya sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-
hal yang diperjanjikan. Dengan demikian, perjanjian sudah sah dan mengikat para
pihak tanpa perlu suatu formalitas atau perbuatan tertentu. Asas ini tercermin
dalam Pasal 1458 KUH Perdata tentang perjanjian jual beli. Dalam pasal tersebut,

10 Ibid, hlm. 2.
11 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata,
(Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008), hlm. 134-135.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
16

jual beli dianggap telah terjadi dan mengikat secara hukum sejak tercapainya
kesepakatan mengenai barang dan harga, meskipun harga belum dibayar dan
barang belum diserahkan.
Pengecualian terhadap asas ini yaitu dalam perjanjian formil dan
perjanjian riel. Perjanjian formil ialah perjanjian yang disamping memenuhi syarat
kata sepakat juga harus memenuhi formalitas tertentu. Sedangkan perjanjian riel
adalah perjanjian yang harus memenuhi kata sepakat dan adanya pelaksanaan
perjanjian (riel) guna melahirkan perjanjian tersebut. 12

4. Asas Kepribadian
Asas kepribadian terdapat dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata yang
menjelaskan bahwa pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas
nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya
sendiri. Yang dimaksud disini ialah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hanya
berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Ada beberapa
pengecualian dalam asas kepribadian, yaitu dalam bentuk perjanjian untuk pihak
ketiga dimana seorang membuat suatu perjanjian yang memperjanjikan hak-hak
bagi orang lain (Pasal 1317 KUH Perdata). Selanjutnya dalam perjanjian garansi
yang diatur dalam Pasal 1316 KUH Perdata. Pengecualian yang terakhir dalam hal
mengenai kewarisan dimana suatu perjanjian meliputi juga para ahli waris dari
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1318 KUH Perdata).

5. Asas Itikad Baik


Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyebutkan bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini memberi wewenang kepada
hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar tidak bertentangan dengan
rasa keadilan. Itikad baik dalam perjanjian mengacu pada kepatutan dan keadilan,
13
sehingga pelaksanaannya disyaratkan harus dengan itikad baik. Dalam
prakteknya, hakim dapat mencampuri isi perjanjian yang berat sebelah yang

12 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata,
hlm. 134.
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono,
13

Hukum Perdata Suatu Pengantar, cet. 1, (Jakarta: CV Gitama Jaya, 2005), hlm. 146.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
17

merugikan pihak yang lemah dan tidak sesuai dengan rasa keadilan. Asas ini
merupakan pembatasan dari asas kebebasan berkontrak agar tidak terjadi
perjanjian yang berat sebelah.

6. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak yang membuat perjanjian untuk
memenuhi dan melaksanakan kewajiban dari perjanjian tersebut. Asas ini
memberikan kekuatan bagi salah satu pihak untuk menuntut pelaksanaan prestasi
dari pihak lain namun pihak lain tersebut juga dapat menuntut pelaksanaan
prestasi dari pihak satunya. Dalam hal ini, apabila salah satu pihak lebih kuat
posisinya dari pihak lainnya, pihak tersebut memiliki kewajiban untuk
memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kedua belah pihak menjadi
seimbang.

D. Unsur-Unsur Perjanjian
Unsur-unsur pokok di dalam suatu perjanjian dapat dijadikan pedoman
dalam hal melakukan penggolongan suatu perjanjian ke dalam salah satu jenis
perikatan. Unsur-unsur tersebut ialah sebagai berikut:
1. Unsur Esensialia
Unsur esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian,
bahwa tanpa keberadaan unsur tersebut, maka perjanjian yang
dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat
menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan
kehendak pada pihak. 14
2. Unsur Naturalia
Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara
diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dari
benda yang dijual (vrijwaring).15
3. Unsur Aksidentalia

14 Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari


Perjanjian, cet. 4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 86.
15 Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, hlm. 25.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
18

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang


merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang
oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan
persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.
Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu
bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.16
Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas
diperjanjikan oleh para pihak.17

E. Macam-Macam Perjanjian
Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu,
dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat
sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian
undang-undang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk itu tidak dituruti,
perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tadi tidak semata-mata
merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya
(bestaanwaarde) perjanjian. Misalnya, perjanjian mendirikan perseroan terbatas
harus dengan akta notaris (Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Para ahli bidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian
kontrak. Ada ahli yang mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya,
bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya. 18
Pada dasarnya, kontrak menurut namanya dibagi menjadi dua, yaitu
kontrak nominaat (bernama) dan inominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat
merupakan kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata. 19 Hal-hal yang termasuk
dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa,
persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam,
pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain. Kontrak
inominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam

16 Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari


Perjanjian, hlm. 89-90.
17 Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, ibid.
18 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak, hlm.

27.
19 Lihat Pasal 1319 KUH Perdata dan 1355 KUH Perdata.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
19

masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan.
Kontrak yang termasuk dalam kontrak inominaat adalah kontrak surogasi, kontrak
terapeutik, perjanjian kredit, standar kontrak, perjanjian kemitraan, perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batu bara, kontrak pengadaan barang, dan lain-
lain.20
Disamping itu, hukum perdata mengenal pula berbagai macam perikatan
yang agak lebih rumit. Bentuk-bentuk yang lain itu adalah:21
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan dengan ketepatan waktu
3. Perikatan mana suka (alternatif)
4. Perikatan tanggung-menanggung atau solider
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
6. Perikatan dengan ancaman hukuman

Perikatan Bersyarat
Suatu perikatan adalah bersyarat, apabila ia digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara
menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu,
maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut. Dalam hal yang pertama, perikatan lahir hanya apabila
peristiwa yang dimaksud itu terjadi dan perikatan lahir pada detik terjadinya
peristiwa itu. Perikatan semacam ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat
tangguh. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah lahir, justru berakhir
atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam
ini dinamakan perikatan dengan suatu syarat batal.

Perikatan dengan Ketepatan Waktu


Berlainan dengan suatu syarat, suatu ketetapan waktu (termijn) tidak
menangguhkan lahirnya suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya

Salim H. S., Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, Buku I,


20

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 1.


21 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 4-12.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
20

suatu perjanjian atau perikatan. Apabila saya menyewakan rumah saya per 1
Januari 1964, ataupun menyewakan sampai tanggal 1 Januari 1969, maka
perjanjian sewa mengenai rumah itu adalah suatu perjanjian dengan ketetapan
waktu. Pengaksepan sebuah surat wesel yang hari bayarnya ditetapkan pada suatu
tanggal tertentu atau satu bulan sesudah hari pengaksepan, adalah suatu perjanjian
(antara pengaksep dan penarik wesel) dengan suatu ketetapan waktu.

Perikatan Mana Suka (Alternatif)


Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan
salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh
memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan
sebagian barang yang lainnya. Hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini
tidak secara tegas diberikan kepada si berpiutang. Misalnya, saya mempunyai
suatu tagihan uang seratus ribu rupiah pada seorang petani, yang sudah lama tidak
dibayarnya. Sekarang saya mengadakan suatu perjanjian dengan dia bahwa ia
akan saya bebaskan dari utangnya kalau ia menyerahkan kudanya kepada saya
ataupun sepuluh kwintal berasnya.

Perikatan Tanggung-Menanggung
Dalam perikatan semacam ini, di salah satu pihak terdapat beberapa orang.
Dalam hal beberapa orang terdapat di pihak debitur (dan ini yang paling lazim),
maka tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Dalam hal
beberapa terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut
pembayaran seluruh utang. Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh
salah seorang debitur membebaskan debitur-debitur lainnya. Begitu pula
pembayaran yang dilakukan kepada salah seorang kreditur membebaskan si
berutang terhadap kreditur-kreditur lainnya. Dalam hal si berutang berhadapan
dengan beberapa kreditur, maka terserah kepada si berutang untuk memilih
kepada kreditur yang mana ia hendak membayar utangnya selama ia belum
digugat oleh salah satu.

Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
21

Suatu perikatan, dapat atau tak dapat dibagi, adalah sekedar prestasinya
dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi
hakekat prestasi itu. Soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa
oleh sifat barang yang tersangkut didalamnya, tetapi juga dapat disimpulkan dari
maksudnya perikatan itu. Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya suatu perikatan
untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya, tak
dapat dibagi kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat
dibagi tanpa kehilangan hakekatnya. Perikatan ini hanya mempunyai arti apabila
lebih dari satu orang debitur atau lebih dari satu orang kreditur yang tersangkut
dalam perikatan tersebut.

Perikatan dengan Ancaman Hukuman


Perikatan semacam ini, adalah suatu perikatan dimana ditentukan bahwa si
berutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan
sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan
sebagai gantinya penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena
tidak terpenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Ia mempunyai dua maksud:
pertama, untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi si berutang supaya ia
memenuhi kewajibannya. Kedua, untuk membebaskan si berpiutang dari
pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya. Sebab,
berapa besarnya kerugian itu harus dibuktikan oleh si berpiutang.

F. Syarat Sah Perjanjian


Dewasa ini, banyak hal tentang perjanjian yang tidak diatur, baik dalam
undang-undang maupun dalam yurisprudensi. Apabila diatur, tidak selamanya
bersifat memaksa, para pihak dapat mengenyampingkan aturan tersebut sesuai
dengan kesepakatan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Namun, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak agar perjanjian tersebut
dapat mengikat. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sah
perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Kesepakatan para pihak

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
22

Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan


perundingan (negosiasi), pihak yang satu memberitahukan kepada pihak
yang lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain
juga menyatakan pula kehendaknya, sehingga tercapai suatu persetujuan
yang mantap. Kadang kehendak itu dinyatakan secara tegas dan kadang
secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki
oleh pihak-pihak itu. Menurut Hoge Raad arrest 6 Mei 1926, persetujuan
kehendak itu dapat dilihat dari tingkah laku berhubung dengan kebutuhan
lalu lintas masyarakat dan kepercayaan, yang diakui oleh pihak lainnya,
baik secara lisan ataupun secara tertulis, misalnya telegram atau surat. 22
Pernyataan-pernyataan secara diam-diam (atau secara tak
dikatakan) di dalam lalu lintas hukum sangat sering terjadi, dan jika
dikehendaki suatu perumusan yang bersifat umum, hal ini bisa digali dari
dalam sebuah arres Hoge Raad tahun 1926 (arrest H. R. 6 Mei 1926)
dalam mana itu dirumuskan bahwa persetujuan (untuk mengadakan
kontrak) dapat ternyata dari dalam kelakuan-kelakuan dari orang-orang
yang terikat dalam hubungannya dengan apa-apa yang diminta oleh lalu
lintas masyarakat dan kepercayaan yang dibangkitkan pada pihak lain oleh
itu semua.23
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu,
harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian, ada tiga sebab
yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu paksaan, kekhilafan, dan
penipuan.
a) Paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psikis), jadi
bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena
diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Jadi kalau seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa
menulis tanda tangan di bawah sepucuk surat perjanjian, itu
bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan disini, yaitu sebagai
salah satu alasan untuk meminta pembatalan yang telah dibuat itu.

22 Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 229.


23 H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995), hlm. 147.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
23

Orang yang dipegang tangannya tidak memberikan persetujuannya,


sedangkan yang dipersoalkan disini adalah orang yang
memberikan persetujuan (perizinan) tetapi secara tidak bebas.
b) Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf
tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek
perjanjian, ataupun mengenai orang yang dengan siapa diadakan
perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga
seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia
tidak akan memberikan persetujuannya.
c) Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan
tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya. 24

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada beberapa teori untuk


menyatakan kapan terjadinya kesepakatan pada suatu perjanjian.
Mengenai hal ini ada beberapa ajaran, yaitu: 25
1. Teori Kehendak (wilstheorie), dimana dalam teori ini mengajarkan
bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima
dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
2. Teori Pengiriman (verzendtheorie), menurut teori ini kesepakatan
terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirimkan oleh
pihak yang menerima tawaran.
3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini pihak
yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa
tawarannya diterima.

24 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 23-24.


25 Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, hlm. 24.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
24

4. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie), dalam teori ini


kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak
diterima oleh pihak yang menawarkan.

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak
untuk mencapai kesepakatan adalah secara tertulis. Tujuan diadakan
kesepakatan secara tertulis ini agar memberikan kepastian hukum apabila
di kemudian hari terjadi sengketa.

2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian (capacity)


Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-
undang. Orang yang cakap dan berwenang adalah orang yang sudah
dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun dan/atau sudah
kawin. Orang yang tidak cakap atau tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum ialah:26
a) Anak di bawah umur (minderjarigheid)
b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
c) Istri.
Pengaturan Pasal 1330 KUH Perdata mengenai orang-orang yang
tidak cakap membuat perjanjian masih kurang jelas sehingga harus
merujuk ke pasal-pasal lain. Untuk pengaturan mengenai orang yang
sudah dianggap dewasa, secara tegas diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa orang yang dewasa adalah setiap orang yang
telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.
Terhadap mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, pengaturan
lebih lanjut terdapat dalam Pasal 433 KUH Perdata yang menyebutkan

26 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak, hlm.


33-34.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
25

bahwa orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah setiap orang


dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap, atau
boros terhadap hartanya.
Mengenai perempuan yang oleh Pasal 1330 KUH Perdata
dinyatakan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan tersebut dinyatakan
tidak berlaku lagi. Hal ini karena pengaturan tersebut dipandang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman dimana sudah tidak mengenal
lagi adanya pembedaan antar gender.
Vollmar berpendapat bahwa undang-undang menyamakan dua
bentuk yang seharusnya dibedakan, yaitu ketidakcakapan dan
ketidakwenangan. Ketidakcakapan ada, apabila orang pada umumnya
berdasarkan ketentuan undang-undang, tidak dapat mengadakan
perjanjian-perjanjian sendiri dengan akibat hukum yang lengkap, seperti
para belum dewasa, orang-orang yang ditempatkan dibawah pengampuan
dan para isteri. Ketidakwenangan ada, apabila seorang yang pada
umumnya memang cakap untuk mengikatkan diri, namun tidak dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu atau tidak dapat
melakukan itu tanpa kuasa dari seorang ketiga. Itu bukanlah hanya
merupakan soal peristilahan, tetapi juga penting untuk akibat-akibatnya.27

3. Suatu hal tertentu (objek)


Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus
mengenai hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit sudah ditentukan jenisnya.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian tidak diharuskan sudah ada
dan juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat
dihitung atau ditetapkan. 28 Dengan demikian, suatu hal tertentu yang dapat

27 H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi, hlm. 155.


28 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 19.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
26

dijadikan objek dalam suatu perjanjian harus memenuhi hal-hal sebagai


berikut:
a) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan
Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa: “hanya barang-
barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi
pokok persetujuan-persetujuan”. Ketentuan pasal ini
menegaskan kembali bahwa yang dapat menjadi objek dalam
perjanjian adalah kebendaan yang termasuk dalam lapangan
harta kekayaan. Dengan demikian, kebendaan yang berada
diluar lapangan harta kekayaan, baik berwujud maupun tidak
berwujud, tidak dapat menjadi pokok perjanjian.
b) Barang yang akan ada
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1334 KUH Perdata
mengenai perjanjian yang melahirkan perikatan bersyarat
dengan rumusan: “kebendaan yang baru akan ada dikemudian
hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.
c) Barang tersebut dapat ditentukan jenisnya
Hal ini diatur dalam Pasal 1333 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya sah dan mengikat
jika objeknya yang berupa kebendaan paling sedikit telah
ditentukan jenisnya.

4. Sebab yang halal (causa)


Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian,
yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan
causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam
arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian,
melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak, apakah
dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak (Pasal 1337 KUHPerdata).
Akibat hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah batal

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
27

(nietig, void). Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut


perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada
perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa
(sebab), ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata).29
Sahnya causa dari suatu persetujuan (perjanjian) ditentukan pada
saat persetujuan dibuat. Hal ini ternyata dari arrest Hoge Raad 6 Januari
1922, dimana setelah terjadi penjualan pohon-pohon, keluar suatu
larangan penebangan pohon; kenyataan ini yang timbul kemudian tidak
dapat mengganggu causa dari persetujuan. Persetujuan tanpa causa yang
halal adalah batal, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Kebatalan
ini bersifat mutlak. Dari sini Hoge Raad menarik kesimpulan bahwa juga
para pihak sendiri dalam persetujuan dapat mengemukakan batalnya
persetujuan.30

Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena


menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun syarat ketiga dan
keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila
syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan.
Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk
membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak
ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Apabila syarat ketiga
dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari
semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui
oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak-
pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, kendatipun tidak
memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai
suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya sehingga menimbulkan sengketa,
maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal. Dengan kata

29 Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 232-233.


30 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, hlm. 62-63.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
28

lain, para pihak tidak mendapatkan perlindungan hukum apabila perjanjian


tersebut dikemudian hari menimbulkan sengketa.

G. Tahapan Perjanjian
Dalam mempersiapkan perjanjian atau kontrak, ada dua prinsip hukum
yang harus diperhatikan. Pertama, beginselen der contrachtsvrijheid atau party
autonomy, yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka
inginkan, dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan kesusilaan. Kedua, pacta sunt servanda, yaitu kepastian hukum. 31
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus dirancang dengan benar.
Dalam perancangan kontrak tersebut, harus diperhatikan berbagai tahap dalam
perancangannya. Para ahli berbeda pandangan tentang tahap-tahap dalam
perancangan kontrak. Hikmahanto Juwana mengemukakan ada tujuh tahap dalam
perancangan kontrak, khususnya kontrak bisnis. Ketujuh tahap itu meliputi
kesepakatan para pihak, pembuatan kontrak, penelaahan kontrak, negosiasi
rancangan kontrak, penandatangan kontrak, pelaksanaan, dan sengketa.
Pandangan ini kurang lengkap, karena tidak menganalisis tahap perancangan
kontrak pada tahap prakontraktual. Oleh karena itu, tahapan dalam perancangan
kontrak ada 8 (delapan), antara lain: 32
1. Penawaran dan penerimaan
Dalam sistem Anglo Amerika, tahap penawaran dan penerimaan
disebut offer dan acceptance. Offer (penawaran) adalah suatu janji untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang
akan datang. Penawaran ini ditujukan kepada setiap orang. Acceptance
adalah kesepakatan antara pihak penerima dan penawar tawaran terhadap
persyaratan yang diajukan penawar. Penerimaan itu harus disampaikan
penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan itu harus bersifat
absolut dan tanpa syarat atas tawaran itu. Penerimaan yang belum
disampaikan kepada pemberi tawaran, belum berlaku sebagai penerimaan
tawaran. Akan tetapi, dalam perundingan yang dilakukan dengan

31 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Hukum Kontrak, hlm.


123.
32 _________, Perancangan Kontrak, hlm. 83-85.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
29

korespondensi, penerimaan yang dikirim dengan media yang sama


dianggap sudah disampaikan. Dalam pelelangan umum, penawaran dan
penerimaan diatur dengan prosedur khusus. Bilamana memungkinkan,
baik tawaran maupun penerimaan tawaran sebaiknya dinyatakan secara
tertulis dan jelas. Lagi pula, suatu penerimaan kalau dapat harus diterima
sendiri, serta jangan sampai membuat atau memberikan penawaran yang
belum dapat diketahui tindakannya.
2. Kesepakatan para pihak
Kesepakatan para pihak merupakan tahap persesuaian pernyataan
kehendak para pihak tentang objek perjanjian. Dalam sistem Anglo
Amerika, kesepakatan para pihak disebut dengan meeting of minds
(persesuaian kehendak). Meeting of minds yaitu adanya persesuaian
pernyataan kehendak antara para pihak tentang objek kontrak. Apabila
objeknya jelas maka kontrak itu dikatakan sah. Persesuaian kehendak itu
harus dilakukan secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan dengan
adanya penipuan (fraud), kesalahan (mistake), paksaan (duress), dan
penyalahgunaan keadaan (undue influence), maka kontrak itu menjadi
tidak sah, dan kontrak itu dapat dibatalkan (Jesse S. Raphael, 1962: 15).
3. Pembuatan kontrak
Pembuatan kontrak merupakan tahap untuk menyusun dan
merancang substansi kontrak yang akan disetujui dan ditandatangani para
pihak. Penyusunan dan pembuatan kontrak ini dapat dilakukan oleh salah
satu pihak atau kedua belah pihak dengan menyiapkan rancangan kontrak
yang diinginkan oleh para pihak.
4. Penelaahan kontrak
Tahap penelaahan kontrak merupakan tahap untuk mempelajari,
menyelidiki, dan memeriksa substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Hal-hal yang ditelaah meliputi judul kontraknya, tanggal mulai
berlakunya kontrak, komparisinya, pengaturan hak dan kewajiban para
pihak, serta cara penyelesaian sengketa. Biasanya, yang menjadi fokus
pada tahap ini adalah berkaitan dengan pengaturan hak dan kewajiban para
pihak.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
30

5. Negosiasi rancangan kontrak


Negosiasi merupakan tahap untuk melakukan perundingan
terhadap naskah rancangan kontrak yang telah disusun oleh salah satu
pihak atau kedua belah pihak. Hal-hal yang dirunding meliputi pengaturan
hak-hak dan kewajiban para pihak, pilihan hukum, dan penyelesaian
sengketa. Salah satu pihak selalu menginginkan agar substansi kontrak
yang dirancangnya harus menguntungkan yang bersangkutan. Apabila
salah satu pihak dirugikan dalam naskah kontrak, maka pihak yang
dirugikan dapat meminta kepada pihak lainnya untuk mengubah naskah
kontrak yang telah dirancangnya.
6. Penandatanganan kontrak
Tanda tangan kontrak merupakan tahap untuk menyetujui dan
menandatangani kontrak yang telah disusun oleh para pihak. Sejak
ditandatanganinya kontrak, maka sejak saat itu timbullah hak dan
kewajiban para pihak.
7. Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan kontrak disebut dengan tahap postcontractual.
Pelaksanaan kontrak merupakan tahap implementasi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, seperti para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban
sebagaimana yang telah ditentukan dalam kontrak. Misalnya, dalam
kontrak telah ditentukan bahwa Pihak Kedua menyetorkan saham sebesar
3% dari total investasi atau Pihak Kedua berkewajiban untuk membayar
sejumlah uang kepada Pihak Pertama. Pelaksanaan kewajiban itu
merupakan implementasi dari substansi kontrak yang telah disepakati
bersama oleh para pihak.
8. Sengketa
Tidak dilaksanakannya substansi kontrak dengan baik oleh salah
satu pihak akan menimbulkan sengketa bagi para pihak. Penyelesaian
sengketa merupakan tahap untuk mengakhiri pertentangan, konflik,
sengketa yang timbul antara kedua belah pihak. Timbulnya sengketa ini
karena salah satu pihak tidak melaksanakan substansi kontrak
sebagaimana yang telah disepakatinya walaupun mereka telah diberikan

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
31

somasi sebanyak tiga kali berturut-turut. Ada dua cara yang akan ditempuh
oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa, yaitu melalui penyelesaian
sengketa di luar pengadilan atau melalui litigasi (pengadilan).

Salim H. S. menyebutkan bahwa ada tiga tahap dalam perancangan


kontrak di Indonesia, yaitu:
1. Praperancangan kontrak
Tahap praperancangan merupakan tahap sebelum kontrak
dirancang dan disusun. Sebelum kontrak disusun, ada empat hal yang
harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu sebagai berikut:
a. Identifikasi para pihak
Tahap identifikasi para pihak merupakan tahap untuk
menentukan dan menetapkan identitas para pihak yang akan
mengadakan kontrak. Identitas para pihak harus jelas dan para
pihak harus mempunyai kewenangan hukum untuk membuat
kontrak. Orang yang berwenang untuk membuat kontrak adalah
orang yang sudah dewasa/sudah kawin. Ukuran kedewasaan adalah
telah berumur 21 tahun. Orang yang tidak berwenang untuk
melakukan perbuatan hukum adalah (1) anak di bawah umur
(minderjarigheid), (2) orang yang di taruh di bawah pengampuan,
dan (3) istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi, dalam
perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974
jo. SEMA No. 3 Tahun 1963. 33
b. Penelitian awal aspek terkait
Pada dasarnya, pihak-pihak berharap bahwa kontrak yang
ditandatangani dapat menampung semua keinginannya sehingga
apa yang menjadi hakikat kontrak benar-benar terperinci secara
jelas. Perancangan kontrak harus menjelaskan hal-hal yang
tertuang dalam kontrak yang bersangkutan, konsekuensi yuridis,
serta alternative lain yang mungkin dapat dilakukan. Pada

33 Ibid, hlm. 86.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
32

akhirnya, penyusunan kontrak menyimpulkan hak dan kewajiban


masing-masing pihak, memperhatikan hal terkait dengan isi
kontrak, seperti unsur pembayaran, ganti rugi, serta perpajakan. 34
c. Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU)
Memorandum of Understanding (MoU) merupakan nota
kesepahaman yang dibuat oleh para pihak sebelum kontrak itu
dibuat secara rinci. MoU ini memuat berbagai kesepakatan para
pihak dalam berbagai bidang, seperti di bidang investasi, pasar
modal, pengembangan pendidikan, kesepakatan dalam bidang
ekonomi, dan lain-lain.35
d. Negosiasi
Hoge Raad Belanda memutus bahwa proses negosiasi
perjanjian dapat dibagi dalam tiga tahap sebagai berikut: 36
1) Tahap pertama (initial stage) dimana pada tahap ini penentuan
negosiasi tidak akan menimbulkan hak untuk menuntut atas
kerugian yang terjadi selama proses negosiasi. Disini para
pihak bebas untuk menghentikan negosiasi dan tidak ada
kewajiban untuk memberikan ganti rugi.
2) Tahap kedua (continuing stage) dimana negosiasi dapat
dihentikan oleh salah satu pihak, walaupun dengan kewajiban
untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang telah
mengeluarkan biaya.
3) Tahap ketiga (final stage) adalah tahap dimana salah satu
pihak tidak diperbolehkan lagi menghentikan negosiasi yang
bertentangan dengan itikad baik. Pelanggaran terhadap
kewajiban ini melahirkan kewajiban untuk memberikan ganti
rugi kepada pihak lain atas segala biaya yang telah dikeluarkan
dan juga kehilangan keuntungan yang diharapkannya.
2. Perancangan kontrak

34 Ibid.
35 Ibid.
36 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta:
Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 256.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
33

Salah satu tahap yang menentukan dalam pembuatan kontrak, yaitu


tahap perancangan kontrak. Perancangan kontrak ini memerlukan
ketelitian dan kejelian dari para pihak maupun notaris. Karena, apabila
terjadi kekeliruan di dalam pembuatan kontrak, akan timbul persoalan
dalam pelaksanaannya. Ada lima tahap dalam perancangan kontrak di
Indonesia, sebagaimana dikemukakan berikut ini: 37
a. Pembuatan draf kontrak
Draf kontrak merupakan naskah atau konsep kontrak yang
dirancang para pihak. Masing-masing pihak nantinya akan
menyodorkan konsepnya kepada pihak lainnya untuk dikaji secara
mendalam. Draf kontrak meliputi judul kontrak, pembukaan
kontrak, pihak-pihak dalam kontrak, recital, substansi kontrak, dan
penutup.
b. Saling menukar draf kontrak
Setelah draf kontrak yang dibuat masing-masing pihak
telah selesai, maka tahap selanjutnya adalah saling menukar draf
kontrak yang telah dibuatnya. Tujuan dari tahap ini adalah untuk
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mempelajari isi
draf kontrak yang telah disusunnya. Apabila salah satu pihak tidak
menyetujui tentang draf kontrak tersebut, maka salah satu pihak
dapat mengusulkan atau merundingkan tentang apa-apa yang tidak
disetujuinya. Apabila dari hasil perundingan itu telah tercapai
kesepakatan, maka usulan tadi dimasukkan dalam draf kontrak.
c. Perlu diadakan revisi
Apabila naskah kontrak telah selesai dirancang, maka salah
satu naskah tersebut harus diserahkan kepada pihak lainnya,
apakah pihak pertama atau pihak kedua. Penyerahan kepada salah
satu pihak mempunyai arti yang sangat penting, yaitu salah satu
pihak bisa melakukan revisi terhadap rancangan naskah.revisi
adalah suatu upaya melakukan perubahan-perubahan terhadap
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

37 Ibid, hlm. 90-91.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
34

d. Penyelesaian akhir
Penyelesaian akhir merupakan upaya untuk membereskan
atau menyudahi naskah kontrak yang dibuat oleh para pihak dan
para pihak telah menyetujui naskah kontrak yang telah dirancang,
baik oleh salah satu pihak maupun dirancang secara bersama oleh
kedua belah pihak.
e. Penutup
Bagian penutup merupakan bagian akhir dari tahap
perancangan kontrak. Bagian ini merupakan tahap
penandatanganan kontrak oleh masing-masing pihak.
Penandatanganan kontrak merupakan wujud persetujuan atas
segala substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
3. Pascaperancangan kontrak
Apabila kontrak telah dibuat dan ditandatangani para pihak, maka
ada dua hal yang harus diperhatikan oleh para pihak, yaitu penafsiran
terhadap kontrak dan penyelesaian sengketa.
a. Pelaksanaan dan Penafsiran
Setelah kontrak disusun barulah dapat dilaksanakan.
Kadang-kadang kontrak yang telah disusun tidak jelas/tidak
lengkap sehingga masih diperlukan adanya penafsiran. Penafsiran
tentang kontrak diatur dalam Pasal 1342 s.d. Pasal 1351 KUH
Perdata. Pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak
haruslah dapat dimengerti dan dipahami isinya. Namun, dalam
kenyataannya banyak kontrak yang isinya tidak dimengerti oleh
para pihak. Di dalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa
apabila kata-katanya jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang
daripadanya dengan jalan penafsiran. Ini berarti bahwa para pihak
haruslah melaksanakan isi kontrak dengan itikad baik. Apabila
kata-katanya tidak jelas, dapat dilakukan penafsiran terhadap isi
kontrak yang di buat para pihak. 38
b. Alternatif Penyelesaian Sengketa

38 Ibid, hlm. 92.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
35

Dalam pelaksanaan kontrak mungkin terdapat sengketa. Para pihak


bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa
di kemudian hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara
tegas dalam kontrak. Para pihak dapat memilih melalui pengadilan
atau di luar pengadilan. Setiap cara yang dipilih mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang harus
dipertimbangkan sebelum memilih cara yang dianggap cocok
untuk diterapkan. Jika memilih melalui pengadilan, perlu
dipertimbangkan, misalnya apakah pengadilan berwenang
menyelesaikan sengketa tersebut, kemungkinan dapat
dilaksanakannya secara penuh, juga waktu dan biaya yang
diperlukan selama proses pengadilan. 39

H. Momentum Terjadinya Perjanjian


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan secara jelas
tentang momentum terjadinya kontrak. Pada Pasal 1320 KUHPerdata hanya
disebutkan cukup dengan adanya konsensus para pihak. Arti asas konsensualisme
ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu
sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah
diperlukan sesuatu formalitas. 40
Dalam berbagai literatur disebutkan empat teori yang membahas
momentum terjadinya kontrak, antara lain: 41
1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat
pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima
penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru
menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah

39 Ibid, hlm. 93.


40 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 15.
41 Salim H. S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak,

hlm. 25-26.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
36

terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap


terjadinya kesepakatan secara otomatis.
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini,
bagaimana hal itu bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi
tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoritis,
dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak
yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi
penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu
apabila ia belum menerimanya.
4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

Momentum terjadinya perjanjian yaitu pada saat terjadinya persesuaian


antara pernyataan dan kehendak antara para pihak. Namun, ada kalanya tidak ada
persesuaian antara pernyataan dan kehendak. Ada tiga teori yang menjawab
tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, yaitu: 42
1. Teori Kehendak (wilstheorie)
Menurut teori kehendak bahwa perjanjian terjadi apabila ada
persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi
ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian.
Kelemahan teori ini menimbulkan kesulitan apabila tidak ada
persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
2. Teori Pernyataan (verklaringtheorie)
Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak
diketahui orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya

42 Ibid, hlm. 42.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
37

perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak


dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi. Dalam praktiknya, teori
ini menimbulkan berbagai kesulitan seperti bahwa apa yang
dinyatakan berbeda dengan yang dikehendaki. Misalnya, A
menyatakan Rp500.000,00 tetapi yang dikehendaki Rp50.000,00.
3. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian,
tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang
menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu
benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah bahwa
kepercayaan itu sulit dinilai.

I. Hapusnya Perikatan
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata, terdapat 10 (sepuluh) cara hapusnya
suatu perikatan, yaitu sebagai berikut:
1. Pembayaran
Pembayaran yang dimaksudkan disini ialah setiap pemenuhan perjanjian
secara sukarela. Dalam arti yang luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar
harga pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia
menyerahkan barang yang dijualnya. Pengertian pembayaran tidak boleh
diartikan secara sempit. 43 Ditinjau dari segi yuridis teknis, pembayaran tidak
selamanya mesti berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu, bisa saja
dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dengan bentuk tak berwujud atau
yang immaterial. 44
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
Perbuatan ini merupakan suatu cara pembayaran yang harus dilakukan
apabila kreditur menolak pembayaran. Barang atau uang yang akan
dibayarkan itu dibuat perinciannya dan ditawarkan secara resmi oleh seorang
notaris atau jurusita pengadilan kepada kreditur. Apabila kreditur menolak,
notaris atau jurusita akan mempersilakan kreditur menandatangani proses-

43 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 64.


44 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, hlm. 107.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
38

perbal dan apabila kreditur tidak bersedia menandatangani maka hal itu akan
dicatat oleh notaris atau jurusita di atas surat tesebut. Dengan demikian,
terdapatlah suatu bukti yang resmi bahwa kreditur menolak pembayaran.
Langkah selanjutnya, debitur mengajukan permohonan ke pengadilan agar
mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukannya. Setelah
disahkan, uang atau barang yang akan dibayarkan itu disimpan atau dititipkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah utang
debitur.45
3. Pembaharuan utang atau novasi
Novasi lahir atas dasar perjanjian, para pihak membuat perjanjian dengan
jalan menghapuskan perjanjian lama, dan pada saat yang bersamaan dengan
penghapusan tadi, perjanjian diganti dengan perjanjian baru. Dengan hakikat,
jiwa perjanjian baru serupa dengan perjanjian terdahulu. 46
Ada 3 (tiga) macam cara untuk melaksanakan pembaharuan utang atau
novasi menurut Pasal 1413 KUH Perdata, yaitu:47
a) Novasi obyektif, apabila seorang yang berutang membuat suatu
perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang
menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b) Novasi subyektif pasif, apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk
menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang
dibebaskan dari perikatannya.
c) Novasi subyektif aktif, apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru,
seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama,
terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
Pasal 1424 KUH Perdata menerangkan jika dua orang saling berutang satu
pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Perlu diketahui bahwa
perjumpaan atau kompensasi ini tidak terjadi secara otomatis, tetapi harus
diajukan atau diminta oleh pihak yang berkepentingan. Agar dua utang dapat

45 Subekti, , Hukum Perjanjian, hlm. 69.


46 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, hlm. 142.
47 Subekti, , Hukum Perjanjian, hlm. 70.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
39

diperjumpakan, perlulah dua orang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau
jumlah utangnya dan seketika dapat ditagih. 48
5. Percampuran utang
Apabila kedudukan sebagai orang yang berpiutang dan orang berutang
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran
utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, debitur dalam
suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau debitur
kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang
piutang dalam percampuran ini terjadi demi hukum, dalam arti secara
otomatis.49
6. Pembebasan utang
Apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi
dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan
perjanjian, maka perikatan – hubungan utang piutang – hapus. Pengembalian
sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur
merupakan bukti pembebasan utang. 50
7. Musnahnya barang yang terutang
Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian msnah, tidak lagi dapat
diperdagangkan, atau hilang, sehingga sama sekali tidak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah
atau hilang diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. 51
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa perjanjian hapus dengan musnah atau hilangnya barang tertentu yang
menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk
menyerahkannya kepada kreditur.
8. Pembatalan
Pembatalan perjanjian dapat dimintakan apabila perjanjiannya tidak
memenuhi syarat obyektif sesuai Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal
1454 KUH Perdata untuk menuntut pembatalan secara aktif ditetapkan batas

48 Ibid, hlm. 72.


49 Ibid, hlm. 73.
50 Ibid, hlm. 74.
51 Ibid.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
40

waktu 5 tahun. Suatu perjanjian yang batal demi hukum maka tidak ada suatu
perikatan hukum yang dilahirkan karenanya dan barang sesuatu yang tidak ada
tentu saja tidak bisa dihapus.52
9. Berlakunya suatu syarat batal
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan
pada suatu peristiwa yang masih akan dating dan masih belum tentu akan
terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya
peristiwa maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut. Dalam hukum perjanjian, suatu syarat batal
selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Berdasarkan Pasal
1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi,
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan
semula seolah tidak pernah terjadi perjanjian. Syarat batal itu mewajibkan
deditur mengembalikan apayang diterimanya apabila peristiwa tersebut
terjadi.53
10. Lewat waktu
Pasal 1946 KUH Perdata menyatakan bahwa yang dinamakan daluwarsa
atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, daluwarsa
untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan
daluwarsa extinctif.54

J. Wanprestasi
1. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk, 55
artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik
perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena

52 Ibid, hlm. 75.


53 Ibid, hlm. 76.
54 Ibid, hlm. 77.
55 Ibid, hlm. 45.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
41

undang-undang. 56 Menurut Prof. Subekti, wanprestasi seorang debitur adalah


berupa kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu: 57
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; dan
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Apabila seseorang tidak melaksanakan prestasinya sesuai ketentuan dalam


kontrak atau perjanjian, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian)
tidak dengan sendirinya ia dianggap telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak
ditentukan lain dalam perjanjian atau dalam undang-undang, maka wanprestasi
debitur resmi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur
(ingebrehstelling) yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur.
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri,
ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan.”

Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa debitur dinyatakan wanprestsi


apabila sudah ada somasi (akta lalai). Somasi adalah pemberitahuan atau
pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa debitur
menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu. Bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238
KUH Perdata adalah:
a. Surat perintah yang berasal dari hakim, biasanya berbentuk penetapan.
Dengan surat penetapan ini, juru sita memberitahukan secara lisan kepada
debitur kapan selambat-lambatnya ia harus melaksanakan prestasinya.
b. Akta sejenis, akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta
notaris.

56 Muhammad, Hukum Perdata, hlm. 20.


57 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 45.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
42

c. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri, maksudnya sejak pembuatan


perjanjian kreditur, sudah menentukan saat adanya wanprestasi.

Dalam perkembangannya, somasi biasanya diajukan oleh kreditur secara


lisan. Akan tetapi, untuk mempermudah pembuktian di depan hakim apabila
masalah tersebut berlanjut ke pengadilan, somasi biasanya diajukan secara
tertulis. Somasi tidak diperlukan dalam keadaan tertentu, misalnya dalam hal
adanya batas waktu dalam perjanjian atau perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu.

2. Akibat Wanprestasi
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang
melakukannya sehingga ia diharuskan untuk memberikan ganti kerugian kepada
pihak yang dirugikan oleh perbuatannya. Terhadap kelalaian atau kealpaan
debitur, dapat dikenakan sanksi atau hukuman sebagai berikut:
a. Membayar ganti kerugian
b. Pembatalan perjanjian
c. Peralihan risiko
d. Membayar biaya perkara

Ad. a Membayar ganti kerugian


Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata mengatur lebih lanjut
mengenai masalah ganti rugi. Prinsip dasarnya adalah bahwa wanprestasi
mewajibkan penggantian kerugian; yang diganti meliputi biaya, rugi, dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak. Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian
dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjkan, dan
pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan,
maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi,
dan lain-lain. Istilah rugi dalam hal ini adalah kerugian karena kerusakan barang-
barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur, misalnya
rumah yang baru diserahkan pemborong ambruk karena salah konstruksinya
sehingga merusak segala perabot rumah. Sedangkan yang dimaksud dengan

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
43

bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (winstderving) yang


sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam jual beli barang,
barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga
pembeliannya.58
Pada dasarnya, besarnya ganti kerugian adalah sebesar kerugian yang
diderita. Namun, Pasal 1249 KUH Perdata memberikan pengecualian, yaitu
kecuali antara para pihak telah ada suatu kesepakatan mengenai besarnya ganti
rugi yang harus dibayar dalam hal debitur wanprestasi. Dalam hal demikian, maka
– terlepas dari berapa jumlah kerugian yang sebenarnya – kepada kreditur harus
diberikan jumlah sebagai yang diperjanjikan atau menurut ketentuan Pasal 1249:
tidak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang daripada
jumlah itu. Janji seperti itu dalam suatu perjanjian disebut “janji ganti rugi/denda”
atau “schadevergoedings/boete beding”.59
Ganti rugi sebagai yang dikatakan dalam Pasal 1236 dan Pasal 1243 bisa
berupa ganti rugi dalam arti:60
1) sebagai pengganti daripada kewajiban prestasi perikatannya: untuk
mudahnya dapat kita sebut “prestasi pokok” perikatannya, yaitu apa yang
ditentukan dalam perikatan yang bersangkutan, atau
2) sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya, seperti kalau ada prestasi
yang tidak sebagaimana mestinya, tetapi kreditur mau menerimanya
dengan disertai penggantian kerugian – sudah tentu dengan didahului
protes – atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi
3) sebagai pengganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur oleh karena
keterlambatan prestasi dari debitur, jadi suatu ganti rugi yang dituntut oleh
kreditur disamping kewajiban perikatannya
4) kedua-duanya sekaligus; jadi disini dituntut baik penggantian kewajiban
prestasi pokok perikatannya maupun ganti rugi keterlambatannya.

58 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 47.


59 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni,
1999), hlm. 145.
60 Ibid, hlm. 146-147.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
44

Menurut J. Satrio, ganti rugi adalah mengembalikan kreditur ke dalam


keadaan seandainya debitur tidak wanprestasi. Untuk itu berarti kita harus
mengembalikan apa yang telah menjadi berkurang dari kekayaan kreditur karena
wanprestasi dari pihak debitur dan harus menambahkan apa yang seharusnya
diterima oleh kreditur, kalau debitur tidak wanprestasi (Pasal 1246 KUH Perdata).
Jadi, kerugian bisa terdiri dari:61
1) Kerugian yang diderita
a) kerugian prestasi yang diperjanjikan, kalau debitur tidak berprestasi
b) biaya
c) kerugian keterlambatan
d) kerugian yang diakibatkan karena prestasi debitur yang tidak baik
2) Keuntungan yang diharapkan
a) yang bagi seorang penjual adalah selisih antara harga yang telah
disepakati dengan pembelinya, dengan harga yang ia – setelah adanya
wanprestasi dari pihak pembeli – peroleh dari pihak lain, sedang bagi
seorang pembeli – jadi pada wanprestasi dari pihak penjual –
keuntungan yang diharapkan pembeli adalah selisih antara harga yang
sebenarnya bisa jual kepada orang lain dengan harga yang ia (benar-
benar) bayar untuk mendapatkan barang itu
b) kehilangan penghasilan yang seharusnya diperoleh.

Pasal 1247 memberikan pembatasan mengenai tuntutan ganti rugi dengan


mengatakan bahwa debitur hanya diwajibkan memberikan ganti rugi atas kerugian
yang nyata telah atau seharusnya dapat diduga pada waktu perikatan dilahirkan,
kecuali kalau tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya yang
dilakukan olehnya. Dalam hal terhadap timbulnya kerugian ada unsur kesalahan,
baik pada kreditur maupun debitur, undang-undang tinggal diam, tetapi
pengadilan – dalam perkara-perkara mengenai onrechtmatige daad – berpendapat
bahwa kerugian itu harus ditanggung oleh kedua belah pihak menurut
perbandingan kesalahan masing-masing.62 Pembatasan lainnya dalam pembayaran

61 Ibid, hlm. 177-178.


62 Ibid, hlm. 204.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
45

ganti kerugian terdapat dalam pengaturan mengenai bunga moratoir. Istilah


moratoir berasal dari bahasa latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian.
Jadi, bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena
debitur alpa atau lalai membayar utangnya. Menurut ketentuan Pasal 1250 KUH
Perdata, bunga yang dapat dituntut itu tidak boleh melebihi persenan yang
ditetapkan dalam Lembaran Negara Tahun 1848 No. 22, yaitu 6 (enam) persen.
Serangkaian Pasal 1247, Pasal 1248, dan Pasal 1250 bertujuan untuk membatasi
ganti rugi yang dapat dituntut terhadap seorang debitur yang lalai. 63

Ad. b Pembatalan perjanjian64


Pembatalan perjanjian atau disebut juga pemecahan perjanjian bertujuan
untuk membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian
diadakan. Kalau satu pihak sudahh menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang
maupun barang, maka harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena
wanprestasi pihak debitur dapat dilihat dalam Pasal 1266 KUH Perdata yang
mengatur mengenai perikatan bersyarat. Pembatalan ini harus diminta kepada
hakim, bukan batal secara otomatis pada saat debitur secara nyata melalaikan
kewajibannya. Perjanjian itu tidak batal demi hukum.
Dalam hal ini, kesulitan ditemui pada sengketa mengenai perjanjian sewa
menyewa. Pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya
perjanjian dan apa yang sudah diterima oleh satu pihak harus dikembalikan
kepada pihak lainnya. Menurut Prof. Subekti, berlaku surutnya pembatalan itu
adalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan.
Dalam sewa menyewa, kenikmatan itu tidak mungkin dikembalikan sehingga
pemilik barang dapat tetap memiliki uang sewa yang sudah diterimanya. Begitu
pula dalam suatu perjanjian perburuhan.

Ad. c Peralihan risiko65


Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur
disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan

63 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 49.


64 Ibid, hlm. 49-51.
65 Ibid, hlm. 52

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
46

risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian. Persoalan risiko ini merupakan masalah yang erat kaitannya dengan
keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). Ketentuan ini hanya berlaku
bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, risiko dalam jual beli barang tertentu
dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Apabila si
penjual terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan
mengalihkan risiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya
penjual, risiko dapat beralih kepadanya.

Ad. d Membayar biaya perkara66


Pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi dari wanprestasi,
tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan
diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat (1) HIR). Seorang debitur
yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan
hakim. Berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata, kreditur dapat memilih antara
tuntutan-tuntutan sebagai berikut:67
1) Pemenuhan perjanjian
2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
3) Ganti rugi saja
4) Pembatalan perjanjian
5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.

66 Ibid.
67 Ibid, hlm. 53.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
47

BAB III
TINJAUAN UMUM DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN
UNJUST ENRICHMENT

A. Promissory Estoppel
1. Pengertian Promissory Estoppel
Doktrin promissory estoppels merupakan doktrin yang lahir untuk
mengatasi kekakuan doktrin consideration yang ada di sistem hukum common
law. Promissory estoppel mencegah seseorang (promisor) untuk menarik kembali
janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya
terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat
sesuatu, sehingga dia (promisee) akan menderita kerugian jika promisor
diperkenankan untuk menarik kembali janjinya (Paul Latimer, 1989: 280).1
Doktrin ini merupakan doktrin yang dihasilkan oleh equity courts, dimana
pengadilan (courts) ini merupakan pengadilan yang dibentuk untuk memperbaiki
keadaan yang diakibatkan oleh akibat hukum atas suatu perbuatan maupun
putusan yang dianggap tidak memenuhi unsur keadilan salah satu pihak yang
bersengketa. 2 Doktrin promissory estoppel lahir pada kondisi-kondisi tertentu
disaat salah satu pihak secara beralasan meyakini bahwa dirinya telah terikat
dalam suatu kontrak, walaupun dalam kenyataannya kontrak tersebut belum
dibentuk atau dilahirkan. 3 Keadaan tersebut bisa muncul apabila salah satu pihak
(promisee) menaruh pengharapan yang besar dari janji-janji yang diucapkan oleh
pihak lain (promisor) sehingga ia melakukan suatu perbuatan demi terpenuhinya
janji-janji tersebut. Menurut sistem common law, hal ini bukan merupakan
hubungan kontraktual, walaupun pada awalnya terkesan bahwa promisor akan
membuat kontrak di masa yang akan datang.
Apabila perbuatan yang dilakukan promisee atas dasar janji yang
diberikan promisor itu menimbulkan kerugian dikarenakan promisor tidak
menepati apa yang telah dikatakannya sebelumnya, maka perbuatan promisor

1 Suharnoko, Hukum Perjanjian, hlm. 11.


2 Jeffrey A. Helewitz, Basic Contract Law for Paralegals, ed.5, (New York:
Aspen Publishers, 2007), hlm. 91.
3 Ibid.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
48

tersebut dapat dituntut atau dimintakan kompensasi berdasarkan hukum. 4 Hal itu
dapat dilakukan selama dapat dibuktikan bahwa perbuatan promisee benar-benar
didasarkan atas janji promisor, sehingga pada akhirnya promisor bertanggung
jawab dengan memberikan kompensasi atas kerugian yang dialami oleh
promisee.5 Persyaratan untuk dapat diterapkannya doktrin promissory estoppel ini
adalah adanya perbuatan yang dilakukan oleh promisee berdasarkan atas janji dari
promisor sehingga promisee dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan kerugian
nyata karena janji dari promisor tersebut.
Doktrin promissory estoppel tidak mengakibatkan pelaksanaan suatu
kontrak, tetapi sebagai dasar untuk pelaksanaan janji yang bersifat alternatif dan
mandiri. Dengan demikian, doktrin ini bukan berasal dari sebuah tawar menawar,
melainkan berasal dari suatu perbuatan yang menimbulkan ketergantungan dan
kepercayaan.6

2. Sejarah Doktrin Promissory Estoppel


Doktrin ini awalnya muncul pada akhir abad ke-19 dengan nama equitable
estoppel. Pengadilan mengembangkan suatu doktrin yang digunakan untuk
mengantisipasi situasi dimana suatu perjanjian tidak mengandung consideration
antara para pihak yang berjanji. 7 Hal ini mengingat semakin banyaknya perjanjian
yang tidak mengandung consideration sehingga banyak perjanjian yang dianggap
tidak berlaku dan tidak dapat dilaksanakan. Untuk menghindari hal tersebut,
pengadilan membentuk doktrin yang bernama equitable estoppel. doktrin ini
digunakan dalam salah satu kasus ternama yakni kasus antara Hughes v.
Metropolitan Railway Co. pada tahun 1877. Dalam kasus ini, terjadi perundingan
kerja sama sewa beli terkait alat yang digunakan untuk memperbaiki properti
milik Metropolitan. Proses negosiasi berlangsung hingga dua bulan sampai
akhirnya menemukan permasalahan dimana Hughes mengklaim bahwa properti
yang disewakan tersebut masih miliknya karena Metropolitan gagal untuk

4 Ibid.
5 Ibid.
6 Brian A. Blum, Contracts, ed. 4, (New York: Aspen Publishers, 2007), hlm.

207.
7 T. Antony Downes, A Textbook on Contract, ed. 5, (London: Blackstore Press
Limited, 1997), hlm. 126.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
49

memperbaikinya dalam jangka waktu enam bulan yang diberikan. Sedangkan


Metropolitan menganggap bahwa perbaikan tersebut tidak perlu dilakukan apabila
negosiasi yang dilakukan kedua belah pihak berhasil dan selanjutnya masa
peringatan akan perbaikan itu pun tidak akan lagi dilaksanakan.
Anggapan terhadap suatu janji yang secara implisit disebutkan tersebut
menunjukkan bahwa tidak adanya consideration diantara kedua belah pihak,
sehingga menurut konsep common law kesepakatan yang mereka buat pun tidak
dapat dilaksanakan. Namun, dalam kasus tersebut, Lord Cairns LC
mengemukakan pendapatnya yang terkenal sebagai berikut:
“Its is the first principle upon which all Courts of Equity proceed, that if
parties who have entered into definite and distinct terms involving certain
legal results… afterwards by their own act or with their own consenct
enter upon a course of negotiations which has the effect of leading one of
the parties to suppose that the strict rights arising under the contract will
not be enforced or will be kept in suspense or held in abeyance, the person
who might otherwise have enforced those rights will not be allowed to
enforce them where it would be inequitable having regard to the dealings
which have thus taken place between the parties.”8

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terdapat pihak yang
berjanji atau melakukan kesepakatan melalui tindakannya dan persetujuan mereka
sendiri atas suatu hal dalam suatu proses negosiasi, yang mana dalam persetujuan
tersebut menimbulkan asumsi salah satu pihak bahwa perjanjian tersebut belum
akan dilaksanakan selama proses penundaan, maka dalam kondisi seperti itu pihak
lain yang dianggap dapat melaksanakan perjanjian untuk mendapatkan hak
tersebut, tidak dapat melaksanakannya karena akan menimbulkan kondisi yang
tidak adil dan tidak sesuai dengan apa yang sudah disepakati para pihak sejak
awal. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diketahui bahwa doktrin ini
mengedepankan prinsip keadilan para pihak yang telah melakukan perjanjian,
tanpa harus perjanjian tersebut mengandung consideration.9
Salah satu yurisprudensi yang paling berpengaruh dalam munculnya
doktrin promissory estoppel adalah kasus antara Central London Property Trust

8 Ibid, hlm. 127.


9 Ibid.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
50

Ltd. v. High Trees House Ltd.10 Kasus ini merupakan kasus yang membuktikan
bahwa dapat muncul suatu perjanjian atau kontrak yang tidak memerlukan suatu
consideration namun tetap dianggap mengikat para pihak. Kasus ini bermula dari
hubungan sewa menyewa antara penggugat yang merupakan pemilik sebuah blok
rumah susun (flats) di London yang disewakan kepada tergugat seharga 2.500
poundsterling per tahun. Pada tahun 1939 setelah Perang Dunia II terjadi, tergugat
tidak dapat menemukan rumah susun yang dapat disewakan kembali karena
begitu banyak masyarakat yang meninggalkan kota London. Oleh karena itu,
penggugat setuju untuk menurunkan harga sewanya sebesar 50% (lima puluh
persen) menjadi 1.250 poundsterling per tahun. Pengaturan mengenai pembayaran
ini berlanjut hingga setelah perang berakhir pada tahun 1945 dan kondisi sulit
untuk mencari rumah susun pun sudah tidak terjadi lagi. Lalu, penggugat pun
meminta tergugat untuk membayar kembali biaya sewanya seperti harga awal
serta mempertanyakan apakah mereka tidak berhak untuk mengklaim setengah
dari harga yang dibayarkan selama waktu perang, mengingat janji untuk
menerima harga tersebut (1.250 poundsterling) tidak didukung oleh adanya
consideration. Dalam kasus ini, hakim Denning J menyatakan bahwa penggugat
dalam hal ini tidak berhak untuk meminta tambahan uang untuk menutupi
kerugiannya pada masa-masa perang tersebut karena di dalamnya terdapat general
equitable principle yang bermakna “a promise intended to be binding, intended to
be acted upon, and in fact acted on, is binding so far as its terms properly apply.”
Hal ini berarti bahwa selama suatu kondisi ataupun persyaratan sudah ditentukan
untuk perjanjian dapat berlaku, maka janji tersebut dapat dianggap mengikat dan
dapat dilakukan.
Pendapat dari Lord Denning tersebut menggambarkan bahwa yang
dibutuhkan dalam suatu perjanjian untuk dapat dianggap mengikat ataupun dapat
dilaksanakan atau tidak adalah dengan melihat apakah pihak yang menerima janji
tersebut telah melakukan suatu perbuatan hukum yang didasarkan atau dilakukan
atas kepercayaan atau ketergantungan promisee terhadap janji yang telah
diberikan kepadanya itu (has acted in reliance on it). Dengan kata lain, hal

10D. G. Cracknell, 150 Leading Cases-Obligations: Contract Law, ed. 2,


(London: Old Bailey Press, 2002), hlm. 16-18.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
51

tersebut mengadopsi teori ketergantungan atau kepercayaan dari pemberlakuan


kontrak (reliance-based theory of the enforceability of contracts). Pendapatnya ini
tidak sejalan dengan doktrin consideration yang mengharuskan adanya hubungan
timbal balik yang harus diberikan oleh promisee atas janji dari promisor demi
keuntungan yang didapatkan promisor dari janjinya tersebut. Sebagai contoh,
apabila pernyataan Denning digunakan maka jika A berjanji untuk memberikan B
uang sebesar 10.000 poundsterling, dan berdasarkan janji tersebut B akan
memutuskan untuk pergi dan membeli mobil, maka A sudah terikat dengan janji
tersebut. Namun, apabila yang digunakan adalah doktrin consideration maka A
tidak terikat dengan janji tersebut dan tidak dapat dibebankan untuk memberikan
uang sebesar 10.000 poundsterling dikarenakan B tidak dibebankan dengan
kewajiban apapun yang bersifat timbal balik untuk A, sehingga dianggap tidak
memenuhi adanya unsur consideration. Berdasarkan kasus tersebut diketahui
adanya penerapan doktrin equitable estoppel yang dalam perkembangannya
dikenal dengan promissory estoppel. Perubahan terminologi ini terjadi akibat
adanya perkembangan hukum dalam sistem common law pada tahun 1947.11

3. Hubungan Promissory Estoppel dengan Consideration


Dalam sistem common law, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau
kontrak harus memenuhi enam elemen (the six element of a contract), yaitu: 1)
Offer, 2) Acceptance, 3) Mutual Assent, 4) Capacity, 5) Consideration, dan 6)
Legality. Jika dijelaskan lebih lanjut keenam elemen tersebut ialah sebagai
berikut:
a. Pihak pertama, selaku orang yang mempunyai prakarsa dan disebut
sebagai pihak yang menawarkan (the offeror) menyampaikan usul
(proposal) yang menunjukkan keinginan (willingness) untuk membuat
kontrak kepada pihak lain.
b. Pihak kedua, sebagai pihak yang ditawari (the offeree) yang menerima
(acceptance) dan setuju (agrees) diikat dengan persyaratan yang termuat
dalam penawaran. Penawaran disini sebenarnya merupakan langkah awal
dalam mewujudkan hubungan kontraktual antara kedua belah pihak.

11 Downes, A Textbook, hlm. 127.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
52

Begitu pentingnya, penawaran harus sungguh-sungguh diinginkan


(intended), jelas (clear), dan pasti (definite) serta secara bebas (freely)
dikomunikasikan kepada yang ditawarkan. Kemudian bergantung kepada
yang ditawarkan, akan menerima ataukah menolak.
c. Penawaran dan penerimaan ini mewujudkan kesepakatan timbal balik
(mutual assent) atau disebut juga perjumpaan keinginan. Namun,
kesepakatan tersebut dapat dibuyarkan atau dirusak (destroyed) oleh
penipuan (fraud), salah menjelaskan (misinterpretation), kekeliruan
(mistake), paksaan (dures), atau hubungan yang berat sebelah (undue
influence) sehingga mengakibatkan “defective agreement”, jadi
kesepakatan itu harus bebas.12
d. Para pihak yang membuat perjanjian, menurut hukum dianggap bahwa
masing-masing pihak mempunyai kecakapan (has the legal capacity)
untuk berbuat demikian.
e. Sesuatu yang bernilai yang diperjanjikan terhadap pihak lain sebagai
pertukaran untuk sesuatu yang bernilai lainnya yang diperjanjikan dalam
kontrak mengikat para pihak bersama disebut consideration.
f. Para pihak dilarang melangsungkan kontrak yang melibatkan sesuatu
tindakan yang tidak legal/ illegal (element legality).

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, doktrin


promissory estoppel sangat erat kaitannya dengan doktrin consideration sehingga
perlu terlebih dahulu menjelaskan mengenai consideration. Pada sistem common
law, suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut
pelaksanaannya. Menurut Paul Latimer, “consideration is something be given in
return, consideration can be viewed as counter promise, price or action”. 13
Berdasarkan pernyataan tersebut, consideration dapat diartikan sebagai suatu
kontra prestasi yang berupa harga atau perbuatan. Penerapan doktrin ini dapat
mengakibatkan suatu kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum

12 Lihat juga S. B. Marsh and J. Soulsby, diterjemahkan oleh Abdulkadir


Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 122-138.
13 Paul Latimer, Australian Business Law, (Sydney: CCH Australia Limited,

1998), hlm. 271.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
53

karena alasan yang bersifat teknis. Dalam perkembangannya, untuk mengatasi


kekauan doktrin consideration, maka pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat
membuat doktrin promissory estoppel.14 Doktrin ini merupakan jalan keluar untuk
menentukan mengikatnya suatu perjanjian yang tidak mengandung consideration
di dalamnya.

4. Pembatasan Doktrin Promissory Estoppel


Dalam menerapkan doktrin promissory estoppel, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan karena tidak semua perbuatan dapat diterapkan doktrin ini.
Menurut Richard Stone, terdapat lima batasan atau syarat yang harus diterapkan
dalam menggunakan doktrin promissory estoppel, antara lain sebagai berikut:15
a. Promissory estoppel hanya dapat diterapkan apabila ada hubungan
hukum yang terjadi diantara para pihak
Hal ini berarti bahwa doktrin ini tidak dapat dilaksanakan dalam
kondisi yang vacuum dimana tidak ada hubungan hukum yang terjadi.
Hubungan hukum merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki, seperti
yang ada pada kasus High Trees dimana terdapat hubungan sewa
menyewa yang memang terjadi di antara keduanya. 16 Sejalan dengan kasus
High Trees, dalam kasus lain yaitu Combe v. Combe juga memperlihatkan
hubungan hukum antara para pihak. Kasus ini merupakan persoalan antara
suami istri yang bercerai, dimana pada awalnya sang suami berjanji untuk
membayar tunjangan untuk istrinya sejumlah 100 poundsterling per
tahunnya. Namun, kenyataannya sang suami tidak pernah membayarkan
uang tersebut. Sang istri menuntut hal tersebut didasarkan pada janji yang
telah diberikan suaminya. Hakim Byrne J mengungkapkan bahwa dalam
hal tidak terdapat consideration di dalam perjanjian tersebut, sang istri
dapat menuntut haknya merujuk pada yurisprudensi pada kasus High

14 Suharnoko, Hukum Perjanjian, hlm. 12-13.


15 Richard Stone, The Modern Law of Contract, 6th ed, (London: Cavendish
Publishing Limited, 2005), hlm. 98-103
https://books.google.co.id/books?id=uLd4qy7LJJYC&pg=PA105&dq=promissory+e
stoppel&hl=id&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwjo_eXk17jQAhVBq48KHV15AM0Q6AEI
KTAC#v=onepage&q=promissory%20estoppel&f=false diakses 9 November 2016
16 Lihat kasus Central London Property Ltd v. High Trees hlm. 49-51.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
54

Trees, yakni menggunakan doktrin promissory estoppel. hal ini


menunjukkan bahwa dengan tidak adanya consideration (mengandung
hubungan timbal balik) maka dapat diterapkan doktrin ini. Adanya
hubungan hukum di antara para pihak memang penting, karena apabila
tidak ada, tentu saja tidak ada yang dapat mendasari mengapa mereka
bersengketa atas janji yang telah diberikan salah satu pihak.

b. Harus ada suatu kepercayaan, ketergantungan, atau pengharapan


(reliance) terhadap janji yang diberikan
Dalam membuat perjanjian pada umumnya, tanggung jawab para
pihak baru muncul ketika terdapat pertukaran janji diantara kedua belah
pihak, yang mana tidak diperlukan suatu pengharapan maupun
ketergantungan satu pihak terhadap pihak lain atas janji yang diberikan.
Hal ini berbeda dengan apa yang diterapkan dalam doktrin promissory
estoppel, dimana pihak yang ingin melaksanakan janji tersebut harus
melakukan suatu perbuatan yang didasarkan kepada janji tersebut. Sebagai
contoh, dalam kasus High Trees telah ada perbuatan yang dilakukan oleh
tergugat yakni membayar uang sewa kepada Central London dengan harga
setengah lebih murah. Perbuatan membayar itu lah yang termasuk dalam
kategori melakukan suatu perbuatan yang didasarkan pada janji. Dalam
kasus lain, dapat juga dikatakan bahwa kepercayaan atau ketergantungan
tersebut dibuktikan dengan dialaminya sejumlah kerugian oleh promisee
yang disebabkan oleh dilakukannya suatu perbuatan berdasarkan janji
promisor, walaupun menurut Lord Denning kerugian ini bukanlah hal
mutlak yang harus selalu ada.

c. Doktrin ini hanya dapat digunakan sebagai perisai, bukan pedang (as
a shield not a sword)
Istilah ini memiliki makna bahwa doktrin promissory estoppel
hanya dapat digunakan sebagai pertahanan untuk membela hak yang telah
dilanggar sebelumnya oleh salah satu pihak atas dasar kepercayaan
terhadap janji yang diberikan tersebut, bukan sebagai alasan untuk

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
55

menuntut sesuatu yang terdapat pada masa yang akan datang. Hal ini
mendukung syarat sebelumnya yakni penggunaan doktrin promissory
estoppel hanya dapat diterapkan pada hubungan hukum yang sudah atau
sedang terdapat pada para pihak, bukan untuk membuat suatu hubungan
hukum baru.

d. Harus terdapat kondisi yang membuat keadaan tidak adil apabila


promisor melanggar janji yang telah diberikannya
Perlu diketahui sebelumnya bahwa doktrin promissory estoppel
merupakan perkembangan dari konsep persamaan (equitable estoppel).
Oleh karena itu, doktrin ini digunakan berdasarkan diskresi hakim
pengadilan karena walaupun unsur-unsur lain terpenuhi, tetapi dengan
adanya pelanggaran janji dari promisor membuat keadaan yang tidak adil,
maka doktrin ini akan tetap diterapkan. Salah satu aspek yang
dikedepankan oleh doktrin ini adalah aspek keadilan.

e. Doktrin ini bersifat hanya menunda akibat yang akan terjadi di masa
mendatang (suspensory in its effect)
Pembatasan yang kelima ini masih diragukan dan tergantung pada
kondisi kasus masing-masing. Dalam beberapa, bahkan mayoritas, kondisi
dimana promissory estoppel diterapkan, sifat yang muncul adalah
menunda akibat-akibat dari pelanggaran janji tersebut yang dapat terjadi di
masa mendatang. Dengan kata lain, janji tersebut hanya berlaku untuk
jangka waktu tertentu. 17 Selain itu, promissory estoppel juga dapat
membuat suatu hak salah satu pihak terpenuhi dan menunda hak dari pihak
lainnya. Hal ini seperti yang terjadi dalam kasus High Trees dimana hak
untuk menerima bayaran sewa seharga penuh selama perang terjadi tidak
dapat dipenuhi karena diterapkannya doktrin promissory estoppel. namun,

17 Richard Stone, Contract Law, 5th ed, (London: Cavendish Publishing


Limited, 2003), hlm. 34
https://books.google.co.id/books?id=HXsvJKb0bqkC&pg=PA34&dq=limitation+pro
missory+estoppel&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj6pJS8tfbQAhVHNo8KHXPaCzAQ6A
EIGTAA#v=onepage&q=limitation%20promissory%20estoppel&f=false diakses 14
Desember 2016

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
56

karena janji tersebut di interpretasikan sebagai janji yang hanya berlaku


selama perang saja, maka dianggap bahwa setelah perang kondisi akan
kembali seperti semula, yakni pembayaran kembali sejumlah 2500
poundsterling. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kasus tersebut maka
promissory estoppel memiliki sifat menunda saja pemenuhan hak yang
seharusnya didapatkan oleh promisee.

Proses pembuatan kontrak seringkali diawali dengan adanya proses


negosiasi, dimana para pihak yang ingin melakukan kerjasama menyamakan
persepsinya tentang apa yang ingin mereka lakukan. Sebagai bentuk penerapan
asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas menentukan bagaimana struktur dari
proses negosiasi yang akan mereka lakukan, yang nantinya akan menghasilkan
sejumlah kewajiban-kewajiban pra kontraktual. Para pihak dapat pula mengatur
hal-hal yang dianggap perlu, seperti misalnya kewajiban untuk menjaga
kerahasiaan, kewajiban memberikan informasi maupun hal-hal yang menyangkut
biaya negosiasi yang akan mereka lakukan. 18
Kewajiban pra kontraktual ini akan muncul ketika telah ditentukan dan
disepakati para pihak dengan didasari oleh adanya asas itikad baik. Asas ini pada
dasarnya dikenal dalam sistem civil law yang kemudian berkembang dan dikenal
pula dalam sistem common law. Dalam civil law, asas itikad baik memegang
peranan yang sangat penting dan mendasar sebagaimana disebutkan dalam Pasal
242 German Civil Code yang mengatur mengenai pelaksanaan perjanjian itikad
baik.19 Hal tersebut sejalan dengan asas itikad baik di Indonesia yang diatur dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Subekti menjelaskan bahwa itikad baik
menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata merupakan satu dari beberapa
sendi yang terpenting dari hukum kontrak yang memberikan kekuasaan kepada

18 Ingeborg Schwenzer, Pascal Hachem, dan Cristopher Kee, Global Sale and
Contract Law, (New York: Oxford University Press Inc, 2012), hlm. 276.
19 Section 242 (Performance in good faith): An obligor has a duty to perform

according to the requirements of good faith, taking customary practice into


consideration. German Civil Code, Bundesministerium der Justiz and fur
Verbraucherschutz, http://gesetze-im-
internet.de/englisch_bgb/englisch_bgb.html#p0725 diakses 31 Oktober 2016

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
57

hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu kontrak agar tidak melanggar


kepatutan dan keadilan. Ini berarti bahwa hakim berwenang untuk
menyimpang dari kontrak jika pelaksanaan kontrak yang melanggar perasaan
keadilan (recht gevoel) satu diantara dua pihak. Asas itikad baik menuntut
adanya kepatutan dan keadilan, dalam arti tuntutan adanya kepastian hukum
yang berupa pelaksanaan kontrak tidak boleh melanggar norma-norma
kepatutan dan nilai-nilai keadilan.20
Dalam sistem common law, terutama sistem hukum Inggris, asas itikad
baik tidak menjadi sebuah asas yang mendasar dan harus diterapkan dalam
pembuatan suatu perjanjian. Para pihak diberikan kebebasan untuk mengambil
resiko atas apa yang diperjanjikannya sendiri serta mengatur dan menjaga apa
21
yang menjadi kepentingannya dalam perjanjian tersebut. Dalam
perkembangannya, asas itikad baik menjadi dikenal dan diterapkan dalam sistem
common law walaupun tidak mendasar dan cara penerapannya berbeda dengan
dalam sistem civil law.
Asas itikad baik juga berkaitan dengan penerapan doktrin promissory
estoppel. Keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk melindungi kepentingan
hukum para pihak, terutama promisee. Kaitan diantara keduanya adalah doktrin
promissory estoppel dapat diterapkan pada janji yang didasari oleh itikad baik.
Dengan adanya suatu proses negosiasi oleh para pihak, maka dapat diketahui dari
hubungan tersebut, terdapat suatu pihak yang telah memberikan janji (promisor)
baik secara terang-terangan (eksplisit) maupun secara diam-diam (implisit) yang
mana ia harus memiliki itikad baik untuk dapat mencapai kesepakatan dengan
pihak lain yang terkait (promisee). 22 Apabila terjadi pelanggaran terhadap janji
tersebut, pihak lain dapat menuntut pihak yang memberikan janji berdasarkan
doktrin promissory estoppel.

20 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012),


hlm. 94
21 Giuditta Cordero Moss, “The Function of Letters of Intent and their

Recognition in Modern Legal Systems” dalam New Features in Contract Law,


(Munchen: Sellier, European Law Publishers, 2007), hlm. 147.
22 Steven L. Emanuel, Contracts, ed. 8, (New York: Aspen Publisher Inc,

2010), hlm. 143.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
58

B. Unjust Enrichment
1. Pengertian Unjust Enrichment
Dalam beberapa literatur, istilah unjust enrichment dipersamakan dengan
restitution. Kedua istilah ini memiliki perbedaan dalam pengertian dan
penggunaannya. Sebuah gugatan berdasarkan unjust enrichment dikenal sebagai
gugatan restitution atau ganti kerugian. Penggugat meminta pengadilan untuk
mengembalikan manfaat yang telah diperoleh tergugat atas pengeluaran
penggugat. Gugatan ini dikenal dengan gugatan ganti kerugian yang berdasarkan
atas doktrin unjust enrichment. Namun, restitution dan unjust enrichment berada
dalam satu bidang hukum disampinng contract dan tort. Dengan kata lain, unjust
enrichment merupakan sebab dan restitution merupakan akibat.
Doktrin unjust enrichment menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh
memperkaya dirinya sendiri karena pengeluaran pihak lain secara tidak adil 23 .
Dalam Black’s Law Dictionary, unjust enrichment merupakan “doctrine is
general principle that one person should not be permited unjustly to enrich
himself at ekspense of another but should be required to make restitution of or
property or benefits received, retained or appropriated, where it is just and
equitable that such restitution be made, and where such action violation or
frustration of law or opposition to publik policy, either directly or indirectly”.
Artinya, suatu prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya
secara tidak adil yaitu dengan biaya dari pihak lain dan karena itu harus
mengembalikan harta atau manfaat keuntungan yang telah diterimanya,
ditahannya atau diambilnya, dan pengambilan ini dirasakan adil dan layak serta
tidak bertentangan atau menghalangi hukum atau berlawanan dengan kepentingan
umum baik secara langsung maupun tidak langsung.
Doktrin ini biasanya berlaku dalam kasus antara owner dan kontraktor.
Tidak semua perbuatan hukum dapat dikatakan unjust enrichment, hal ini
bergantung pada 3 (tiga) keadaan:24
a. Kontraktor telah menyediakan barang atau jasa untuk kepentingan pemilik

23 Richard J. Long dan Andrew Avalon, The Doctrine of Unjust Enrichment,


(Colorado: Long International, Inc., 2016), hlm. 1.
24 Ibid, hlm. 3.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
59

b. Pemilik mendapatkan keuntungan dari barang atau jasa yang diberikan


oleh kontraktor
c. Ada pengharapan yang wajar akan bayaran atas barang atau jasa yang
disediakan oleh kontraktor.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Philip Davenport dan Christina Harris
yang menyatakan bahwa gugatan ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment
harus memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:25
a. Benefit or enrichment. Tergugat memperkaya diri sendiri dengan
menerima suatu manfaat, seperti pembangunan gedung.
b. At the plaintiff’s expense. Penggugat melakukan pekerjaan yang
menguntungkan tergugat tanpa dibayar.
c. Unjust factor. Tidak adil untuk memperkenankan tergugat memperoleh
manfaat tersebut.
d. No bars to the restitutionary claim. Tidak ada pertimbangan lain yang
dapat membatasi gugatan, sepeerti kontrak diantara para pihak.

Pada dasarnya, ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment tidak dapat


dilakukan terhadap kontrak yang nyata/eksplisit atau (contracts implied in fact).
Apabila kontraktor ingin mengajukan gugatan ganti kerugian berdasarkan unjust
enrichment karena ada perubahan dalam pekerjaan, maka kontraktor harus
membuktikan bahwa tidak ada ketentuan yang secara tegas tertuang dalam
kontrak mengenai ganti rugi akibat perubahan pekerjaan. Jika ketentuan tersebut
ada, maka ganti rugi berdasarkan unjust enrichment tidak dapat diterapkan. 26
Dalam kasus Arcadis U.S., Inc v. Department of The Interior tanggal 4
Maret 2008, pengadilan menolak dalil kontraktor yang menyatakan bahwa
pemerintah telah memperkaya diri sendiri secara tidak sah karena menerima
sebuah lahan untuk proyek rehabilitasi lingkungan tanpa membayar untuk itu
karena terdapat kontrak yang menyatakan bahwa kontraktor harus mengerjakan
lahan tersebut dengan bayaran tertentu.

25 Philip Davenport dan Christina Harris, Unjust Enrichment, (New South


Wales: The Federation Press, 1997), hlm. 34.
26 Ibid.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
60

“… an argument that the government was unjustly enriched by accepting


soil without paying for it was rejected because a valid contract required
the contractor to perform the work for a fixed price. The dispute arose
from a contract to provide environmental remediation sevices. The
contractor sought additional payment for the cost of fill required by a task
order modification. The doctrine of unjust enrichment applies when the
rights and remedies of the parties are not defined in a valid contract.
Here, there was a valid contract and, therefore, the theory of unjust
enrichment did not apply.” 27

Dengan demikian, keadaan yang paling tepat untuk menerapkan ganti


kerugian berdasarkan doktrin unjust enrichment ialah melalui quasi contracts atau
contracts implied in law. Quasi contracts bukanlah sebuah kontrak karena syarat-
syarat terjadinya kontrak tidak terpenuhi. Quasi kontrak ialah suatu kewajiban
karena hukum pada seseorang atas keuntunngan dari orang lain. Hal ini berasal
dari prinsip equity yan artinya tidak ada seorang pun yang dapat memperkaya
dirinya sendiri secara tidak adil atas pengeluaran orang lain. Keadaan ini disebut
quasi kontrak karena akibat hukumnya sama dengan apabila terjadi kontrak.
Persyaratan dari quasi kontrak ialah: 1) karena hukum, bukan berdasarkan
perjanjian; 2) yang menjadi dasar ialah kewajiban para pihak, bukan janji; 3)
haknya selalu hak atas uang/pembayaran, meskipun tidak selalu, juga likuidasi
sejumlah uang; 4) hak untuk menuntutnya terhadap seorang yang spesifik, bukan
terhadap semua pihak; 5) gugatan atas pelanggarannya dapat dilakukan seperti
dalam pelanggaran kontrak biasa. 28

2. Sejarah Unjust Enrichment


Doktrin unjust enrichment terkadang dikatakan sebagai suatu bidang
hukum yang relatif baru. Pada kenyataannya, Roman Law menyatakan bahwa
doktrin ini sudah ada sejak lama berdampingan dengan munculnya hukum
kontrak dan delik. Pada zaman klasik, unjust enrichment digambarkan sebagai
suatu kewajiban quasi ex contractu: ‘obligations which cannot strictly be seen as

27Ibid, hlm. 4.
28 P. C. Tulsian, Business Law, 2nd ed, (New Delhi: Tata McGraw-Hill
Publishing Company Limited, 2000), hlm. 173
https://books.google.co.id/books?id=DbbneyBacdcC&pg=SA11-
PA1&dq=quasi+contract&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwju1ejW0bjQAhUBNY8KHZcICi
EQ6AEISDAE#v=onepage&q=quasi%20contract&f=false diakses 21 November 2016

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
61

arising from contract but which, because they do not owe their existence to
wrongdoing, are said to arise as though from a contract’ 29 yang berarti suatu
kewajiban yang mana tidak bisa semata-mata dilihat timbul dari kontrak, karena ia
tidak menggantungkan keberadaannya berdasarkan adanya suatu kesalahan,
meskipun demikian dapat dikatakan timbul berdasarkan kontrak. Hal ini yang
kemudian menyadarkan bahwa quasi-contract bukanlah nama yang tepat untuk
bidang hukum ini.
Perkembangan unjust enrichment di Inggris memiliki pola yang sama
dengan Roman Law. Pada awalnya, sistem common law menyatakan bahwa
unjust enrichment berkaitan dengan utang piutang. Misalnya, utang piutang
melawan kepala biara dimana seorang biarawan membeli sebuah barang yang
digunakan untuk biara. Asal muasal keadaan ini menunjuk kepada quasi kontrak
di Roman Law.30
Setelah tahun 1648, pengadilan dalam sistem common law mulai
membolehkan seseorang mengajukan gugatan dengan mendalilkan unjust
enrichment yang dikenal dengan indebitatus assumpsit, daripada dengan utang
piutang. Gugatan ini berisi tentang dugaan penggugat bahwa tergugat berhutang
(indebitatus) dan menjanjikan untuk membayar (assumpsit) tapi gagal untuk
membayar utang tersebut. Salah satu anggapan yang paling umum mengenai
indebitatus assumpsit ialah mengenai ‘money had and recieved’ yang berasal dari
janji yang sungguh-sungguh (genuine promises). Tergugat memiliki dan
menerima uang (money had and recieved) untuk penggunaan kepentingan
penggugat dan harus membayarnya kembali karena demikianlah yang dijanjikan.
Keadaan ini kemudian mengarah pada janji-janji palsu (fictional promises) yang
selanjutnya termasuk juga gugatan ganti kerugian yang dikenal dengan unjust
enrichment.31 Pada tahun 1802 dalam essay Sir William Evans, On the Action for

29 P. Birks dan McLeod, Justinian’s Institutes, (London: Duckworth, 1987),


hlm. 117.
30 D. J. Ibbetson, A Historical Introduction to the Law of Obligations, (Oxford:
Oxford University Press, 1999), hlm. 266.
31 James Edelman dan Elise Bant, Unjust Enrichment, (Australia: Hart

Publishing, 2006), hlm. 98


https://books.google.co.id/books?id=3gqGDAAAQBAJ&pg=PT97&dq=history+of+un
just+enrichment&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjW65X6la_QAhVMOo8KHQo-

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
62

Money Had and Received, on the Law of Insurances, and on the Law of Bills of
Exchange and Promissory Notes. Sir William Evans mengidentifikasi bahwa
suatu tindakan memiliki dan menerima uang (action for money had and received)
merupakan unjust enrichment.32
Pada pertengahan abad ke-18, Lord Mansfield menjelaskan mengenai
unjust factor atau faktor tidak adil dalam kasus Moses v. Macferlan sebagai
berikut:
“If the defendant be under an obligation, from the ties of natural justice,
to refund; the law implies a debt, and gives this action, founded in the
equity of the plaintiff’s case, as it were upon a contract (quasi ex
contractu, as the Roman Law expresses it). This species of assumpsit, (for
money had and received to the plaintiff’s use) lies in numberless
instances…”33

Dari pernyataan Lord Mansfield tersebut, dapat diartikan bahwa apabila tergugat
berada dalam sebuah kewajiban, berdasarkan keadilan, untuk mengembalikan
uang maka hukum menyatakannya sebagai utang, dan keadaan ini, jika dilihat dari
keadilan bagi penggugat, seolah-olah berdasarkan kontrak (dalam Romman Law
dinyatakan sebagai quasi ex contractu).
Salah satu pengaruh yang paling penting dalam perkembangan unjust
enrichment modern di Anglo-Australian Law ialah tulisan dari Professor James
Barr Ames. Ames mengajarkan bahwa “the equitable principle which lies at the
foundation of the great bulk of quasi contracts, namely, that one person shall not
unjustly enrich himself at the expense of another”. Dalam sebuah artikel di tahun
1888, Ames menyebutkan 3 (tiga) kategori dari quasi kontrak: (1) judgment debts;
(2) statutory (and customary) dues; (3) the fundamental principle of justice that
no one ought unjustly to enrich himself at the expense of another.34
Di Amerika Serikat, James Barr Ames dikenal sebagai founding father
doktrin unjust enrichment. Ames dikenal sebagai seorang sejarawan hukum dan

BggQ6AEIGTAA#v=onepage&q=history%20of%20unjust%20enrichment&f=false
diakses 17 November 2016
32 W Swain,’ Unjust Enrichment and the Role of Legal History in England and

Australia’ dalam University of New South Wales Law Journal Research Paper No. 14-
02, hlm. 1033.
33 James Edelman dan Elise Bant, Unjust Enrichment, hlm. 99.
34 Ibid, hlm. 101.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
63

jelas bahwa keahliannya mempengaruhi pandangannya mengenai unjust


enrichment. Dalam sebuah artikel, Ames mengambil kesimpulan bahwa:

“Once is often bound by those same ties of justice and equity to pay for an
unjust enrichment enjoyed at the expense of another, although no money
has been received. The quasi-contractual liability to make restitution is the
same in reason, whether, for example, one who has converted another’s
goods turns them into money or consumes them.”35

Dari pernyataan tersebut, Ames menyatakan bahwa setiap orang terikat kewajiban
untuk membayar apabila ia menikmati pengeluaran orang lain demi memperkaya
diri sendiri berdasarkan keadilan dan kesetaraan, meskipun ia tidak menerima
uang. Tanggung jawab quasi-kontrak untuk memberi ganti kerugian adalah sama
alasannya baik yang menjual barang tersebut maupun yang mengkonsumsinya.
Pemikiran Ames juga bermula pada kasus Moses v. Macferlan pada tahun
1760. Kasus ini berkaitan dengan sengketa mengenai promissory notes. Kasus
Penulis-penulis berikutnya memperdebatkan apakah kasus ini termasuk dalam
unjust enrichment atau tidak. Namun, Ames berpendapat bahwa kasus tersebut
jika dikombinasikan dengan Roman Law maka termasuk dalam doktrin unjust
enrichment. Sejak awal doktrin unjust enrichment sebagian besar merupakan
ciptaan law school di Amerika Serikat. Doktrin ini bermula di Harvard dan karena
muncul berbagai badan literatur, unjust enrichment mulai dikenal di tempat lain. 36
Seorang kolega Ames, Professor Keener, menggambarkan berdasarkan
tulisan Ames bahwa contoh pertanggungjawaban dalam quasi kontrak
disandarkan pada doktrin bahwa seseorang tidak dibolehkan memperkaya dirinya
sendiri secara tidak adil karena pengeluaran orang lain. Dalam konteks quasi
kontrak, pada tahun 1913, dua kategori pertama Ames diabaikan dan quasi
kontrak disamakan artinya dengan unjust enrichment. Setengah abad kemudian,
pandangan ini dikonfirmasi dengan munculnya United States Restatement of the
Law of Restitution. Selanjutnya termasuk juga gugatan ganti kerugian yang
dikenal dengan unjust enrichment.37

35 James Edelman dan Elise Bant, Unjust Enrichment, hlm. 101.


36 Ibid.
37 Ibid, hlm. 102.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
64

Diikuti dengan ketidakpuasan akademis dan yudisial dengan gagasan


mengenai quasi kontrak, titik balik dari perkembangan unjust enrichment di
Inggris datang dari pidato Lord Wright dalam House of Lords Fibrosa Spolka
Akcyjna v. Fairbairn Lawson Combe Barbour Ltd. Lord Wright mengetahui isi
Restatement of the Law of Restitution dengan baik dilihat dari ulasannya pada
tahun 1938. Kasus Fibrosa merupakan kasus pertama di Inggris mengenai unjust
enrichment. Penggugatnya adalah sebuah perusahaan cat yang telah memberikan
uang muka untuk mendapatkan pengiriman mesin-mesin dari Britain pada tahun
1941. Lalu terjadilah perang. House of Lords berpendapat bahwa kontrak tersebut
telah gagal dan penggugat berhak atas pembayaran uang muka tersebut dalam
indebitatus assumpsit. Lord Wright mengatakan bahwa hal ini, seperti halnya
perkataan Lord Mansfield, menjelaskan bahwa sebab dari pemberian ganti
kerugian dalam konteks gugatan berdasarkan kegagalan suatu consideration atau
kontra prestasi adalah kewajiban untuk membayar yang timbul dari suatu
keadaan.38
Terpisah dari pemikiran Lord Wright, pada tahun 1966 Goff (kemudian
dikenal dengan Lord Goff) dan Jones (kemudian dikenal dengan Professor Jones)
mengeluarkan karya tulis yang menentang teori kontrak tersirat atau quasi
kontrak. Pada waktu yang sama, telah terjadi penolakan terhadap teori yang sama
oleh hakim-hakim di Australia. Pada tahun 1987 di Australia dan tahun 1991 di
Inggris, doktrin unjust enrichment barulah dikenal secara meyakinkan oleh
pengadilan-pengadilan tinggi sebagai suatu konsep hukum. Pada tahun 1995,
tulisan pertama mengenai ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment dan juga
ganti kerugian berdasarkan kesalahan baru muncul di Australia. 39
Pengakuan doktrin unjust enrichment sebagai suatu bidang hukum
memerlukan pemahaman dalam hal definisi dan penerapan. Ada dua
kemungkinan yang luas, antara lain:40
a. Pendekatan pertama, unjust enrichment dilihat sebagai suatu prinsip
keadilan yang samar. Mayoritas tulisan dan putusan mengenai unjust
enrichment di Amerika Serikat memiliki karakteristik ide bahwa

38 Ibid, hlm. 103.


39 Ibid, hlm. 103-104.
40 Ibid.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
65

doktrin ini merupakan gagasan yang tidak dapat dilukiskan, sama


seperti keadilan yang tidak dapat dilukiskan.
b. Pendekatan kedua, diadaptasi dari Inggris dan Australia, pendekatan
ini menjelaskan bahwa unjust enrichment merupakan suatu bidang
hukum, seperti konsep tort yang menyediakan berbagai contoh
pertanggungjawaban.

3. Unjust Enrichment dan Quantum Meruit


Sering kali doktrin unjust enrichment dipersamakan dengan quantum
meruit. Quantum meruit adalah:41
A certain action of the case, brought where one employs a person to do a
piece of work for him, without making any agreement about the same; in
this case it is by law implied, that he must pay for the work as much as
shall be reasonably demanded; that is to say, so much as he has deserved.

Dengan kata lain berarti “mendapat kompensasi atau ganti kerugian sebanyak
yang sepantasnya diterima”. Quantum meruit dirancang untuk mengimbangi
kurangnya ketentuan yang spesifik mengenai pembayaran dalam suatu perjanjian
kerja. Apabila ada kesepakatan untuk melakukan pekerjaan, dan dapat dipahami
bahwa pekerjaan tersebut harus dibayar, pengadilan akan menyimpulkan suatu
jumlah pembayaran yang masuk akal. Misalnya, A menyewa B untuk mengecat
rumahnya, tetapi sebelum A dan B sepakat mengenai ketentuan pembayaran, B
muncul dan melakukan pekerjaan. Disini jelas bahwa B telah melakukan
pekerjaan yang A inginkan dan A telah menerima manfaat, sehingga B berhak
mendapat pembayaran yang sesuai. Quantum meruit akan memberikan jumlah
yang sewajarnya, misalnya biaya cat dan biaya jasa B. Jumlah tersebut mungkin
akan lebih sedikit dari yang akan B dapatkan jika disepakati dalam perjanjian,
tetapi dalam hal ini B tidak akan pergi dengan tangan kosong. Berbeda dengan
unjust enrichment, quantum meruit dapat timbul meskipun suatu pekerjaan
sama sekali tidak memberi keuntungan.42

41 Tariq A Baloch, Unjust Enrichment and Contract, (Oregon: Hart Publishing,


2009), hlm. 129.
42 Jason W. Neyers, Mitchell McInnes, dan Stephen G. A. Pitel, Understanding

Unjust Enrichment, (North America: Hart Publishing, 2004), hlm. 155

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
66

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, unjust enrichment muncul


dalam situasi dimana salah satu pihak mendapat keuntungan dari pengeluaran
pihak lain dan keberadaannya untuk memastikan bahwa pihak yang mendapat
keuntungan tersebut tidak memanfaatkan hal tersebut. Tidak harus ada kontrak
dalam unjust enrichment. Misalnya,

4. Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment


Amerika Serikat memiliki peran yang penting dalam perkembangan
doktrin unjust enrichment di negara-negara common law, terutama dengan
diterbitkannya The Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment
pada tahun 2011.
Restatement ini menyatakan ada 2 (dua) macam tanggung jawab
berdasarkan manfaat (benefit-based liability). Pertama, yaitu manfaat yang
dinikmati oleh salah satu pihak atas kerugian yang di alami pihak lain, misalnya
dalam hal terjadi kesalahan transfer uang (direct transfer). Pihak yang mengirim
tersebut dapat menuntut ganti kerugian karena ia salah mengirim uang ke pihak
lain. Jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut ialah sejumlah uang yang telah di
transfer sehingga dengan kata lain pihak yang menerima uang tersebut harus
“mengembalikan” uang yang diterimanya itu (disgorgement). Kedua, yaitu dalam
fiduciary obligation dimana Tergugat mendapatkan manfaat bukan dari
Penggugat, melainkan perjanjian yang dibuatnya dengan pihak ketiga. Penggugat
dapat meminta kembali keuntungan yang seharusnya tidak diperoleh oleh
Tergugat karena menurut restatement ini hal tersebut merupakan unjust
enrichment.
Dalam bagian pemulihan hak (remedies), ditekankan bahwa pemulihan
hak dalam unjust enrichment lebih menekankan pada apa yang diperoleh atau
dimanfaatkan oleh Tergugat, bukan pada kerugian dari Penggugat. Bagian ini
menjelaskan mengenai perbedaan penting antara penerima yang tidak bersalah,
penerima yang sadar akan kesalahannya, dan kreditur pihak ketiga. Bagian
terakhir dalam restatement mengatur mengenai pembelaan terhadap unjust

https://books.google.co.id/books?id=0_A8BzUQo7YC&pg=PA155&dq=quantum+me
ruit+and+unjust+enrichment&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiCvJqo2bjQAhXGQY8KHf
TxBQsQ6AEIMDAD diakses 21 November 2016

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
67

enrichment, yaitu the recipient was not unjustly enriched, equitable


disqualification (unclean hands), passing on and rights of third persons, change
of position, bona fide purchaser, bona fide payee, value, notice, and limitation of
actions and laches. Bagian ini akan memberikan panduan Penggugat yang
mencari pertanggung jawaban alternatif dimana gugatan perbuatan hukum dan
wanprestasi tidak dapat dilakukan dan panduan bagi Tergugat yang ingin
menegaskan adanya batasan dalam undang-undang, pembelaan dalam hal
keterlambatan yang tidak masuk akal, dan prasangka yang disebabkan perubahan
intervensi keadaan.

5. Hambatan dalam Doktrin Unjust Enrichment


Hambatan atau persoalan penting yang menghalangi seseorang dari
mendapat ganti kerugian melalui unjust enrichment dalam quasi kontrak meliputi
officiousness, acceptance, reasonable expectation, tortuous conduct, and
authority.43
a. Officiousness. Apabila seseorang melakukan suatu pekerjaan secara
sukarela tanpa permintaan dari owner, kompensasi atau kompensasi
terhadap pekerjaan tersebut tidak dapat dimintakan. Hal ini untuk
melindungi pihak yang memberi manfaat kepada orang lain dan
menghukum pihak yang memanfaatkan oran lain. Jika owner tidak
memina dilakukan pekerjaan tersebut maka dapat dikatakan sebagai
sukarela. Apabila kontraktor melakukan pekerjaan tersebut dengan itikad
baik karena terhadap harta kekayaan, barang-barang, atau investasi owner
terancam mengalami kerugian, maka dalam hal ini kontraktor dapat
memina kompensasi atas pekerjaannya.
b. Acceptance. Penerimaan pekerjaan atau penyediaan jasa oleh kontraktor
harus ada sebelum owner dikatakan memperkaya dirinya sendiri. Hal ini
akan memberikan kebebasan kepada owner untuk menolak atau menerima
pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor. Apabila owner menolak
pekerjaan tersebut, tidak mungkin terjadi memperkaya diri sendiri. Hal ini
melindungi owner dari membayar kompensasi atas kesalahan atau

43 Richard J. Long dan Andrew Avalon, The Doctrine, hlm. 7.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
68

pekerjaan kontraktor yang tidak selesai. Kontraktor, dalam hal ingin


mengajukan gugatan berdasarkan unjust enrichment tanpa penerimaan,
harus membuktikan bahwa owner menahan penerimaan tanpa sebab yang
jelas.
c. Reasonable expectation. Perkiraan yang wajar akan jumlah ganti kerugian
juga harus diperhatikan. Apabila kontraktor telah melakukan
pekerjaannya, ia harus menjelaskan maksudnya dan owner juga harus
mengerti bahwa ia berkewajiban untuk membayar jasa kontraktor tersebut.
Jika maksud para pihak tidak terlihat, maka hal tersebut dapat dibuktikan
dengan memperkirakan bahwa orang pada umumnya akan melakukan
sesuatu pada situasi yang sama. Jika perkiraan yang wajar akan jumlah
ganti kerugian tidak dapat dilakukan, maka pekerjaan yang dilakukan
kontraktor tersebut dapat dikatakan tidak beralasan.
d. Tortuous conduct. Pemenuhan ganti kerugian secara penuh terhadap
pekerjaan yang dilakukan kontraktor mungkin tidak dapat diberikan
apabila perilaku owner tidak jujur. Jika owner tidak melakukan kesalahan
dan telah melakukan perbuatan yang beralasan, dan jika owner akan
menderita kerugian jika membayar secara penuh, maka ganti kerugian
secara penuh tidak dapat diberikan. Begitu pula jika kontraktor melakukan
kesalahan maka ganti kerugian tidak dapat diberikan. Jika kesalahan
kontraktor lebih sedikit daripada owner atau kesalahan kontraktor tidak
berhubungan dengan permasalahan yang ada, maka ganti kerugian dapat
dikabulkan. Bagaimanapun juga, jika owner tidak jujur, telah mengetahui
manfaat yang diterimanya dari pekerjaan kontraktor dan memiliki
kesempatan untuk mengganti kerugian, maka kontraktor dapat
mengajukan gugatan ganti kerugian berdasarkan unjust enrichment.
e. Authority. Hal terakhir yang harus diperhatikan ialah mengenai
kewenangan pihak yang menggunakan jasa. Misalnya, sebuah perusahaan
kontraktor diminta untuk melakukan perbaikan jalan oleh dua orang
karyawan pemerintah. Setelah perbaikan selesai, pemerintah tidak mau
melakukan pembayaran terhadap kontraktor tersebut karena dua orang
karyawan tersebut tidak berwenang untuk memerintahkan perbaikan jalan.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
69

Dalam contoh kasus ini, hal penting yang harus diperhatikan bagi
kontraktor ialah untuk membuktikan bahwa dua orang karyawan tersebut
bertindak atas nama pemerintah dan pemerintah mendapatkan manfaat dari
pekerjaan yang dilakukan kontraktor. Agar ganti kerugian dapat terpenuhi,
kontraktor harus membuktikan bahwa karyawan tersebut mempunyai
kewenangan yang cukup untuk memerintahkan perbaikan jalan.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
70

BAB IV
ANALISA PENERAPAN DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DAN
UNJUST ENRICHMENT PADA PUTUSAN NO. 2815K/PDT/2014 ANTARA
UNGKAP SIMAMORA MELAWAN DINAS PEKERJAAN UMUM KOTA
BONTANG

A. Kasus Posisi
Perkara bermula dari penunjukan langsung untuk proyek Pembangunan
Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan, Bontang Barat yang dilakukan
oleh Pemerintah Kota Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang
(Tergugat) kepada Ungkap Simamora selaku Direktur Utama PT. Perucha
(Penggugat) dengan nilai Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh
empat juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah).
Dalam dalil gugatannya, Penggugat menyatakan bahwa pelaksanaan
proyek tersebut pernah diawasi oleh pegawai Tergugat dan setelah proyek selesai
dikerjakan, Penggugat menagih pembayaran proyek tersebut kepada Tergugat.
Namun, Tergugat menolak untuk membayar, bahkan meragukan dengan berbagai
dalih dan menyangkal kesepakatan dengan cara penunjukan langsung.
Berdasarkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) pelaksanaan proyek dinyatakan
bahwa Penggugat merupakan Direktur Utama PT. Perucha yang sah sesuai
kesepakatan secara penunjukan oleh Tergugat. Dengan tidak dikeluarkannya Surat
Perintah Kerja (SPK) oleh Tergugat mengakibatkan Penggugat mengalami
kerugian karena telah mengeluarkan banyak biaya untuk mengerjakan proyek
tersebut. Tindakan Tergugat yang tidak mau membayar nilai proyek yang telah
Penggugat kerjakan adalah tindakan melawan hukum, sehingga berdasarkan
hukum Penggugat memohon agar Tergugat dihukum untuk mengerjakan nilai
proyek yang telah Penggugat kerjakan. Dalam petitumnya, Penggugat memohon
untuk menyatakan Penggugat adalah pelaksana proyek yang sah dari Tergugat dan
menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah perbuatan
wanprestasi.
Berdasarkan gugatan tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang pada
pokoknya menyatakan bahwa gugatan Penggugat obscuur libel dan error in

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
71

persona. Gugatan Penggugat adalah gugatan mengenai perbuatan melawan


hukum, tetapi dalam gugatan sama sekali tidak menguraikan ketentuan mana yang
dilanggar oleh Tergugat. Gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona
karena Tergugat tidak memiliki persona standi in judisio di depan Pengadilan dan
tidak mempunyai kapasitas atau kedudukan hukum untuk digugat dan seharusnya
yang ditarik sebagai Tergugat adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum.
Pengadilan Negeri Bontang memberikan Putusan Nomor
13/Pdt.G/2013/PN.BTG tanggal 5 September 2013 dengan amar mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian dan menyatakan Tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Pada tingkat banding, Tergugat mengajukan
permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda
dengan Putusan Nomor 107/PDT/2014/PT.KT-SMDA tanggal 8 April 2014
dengan amar membatalkan Putusan Nomor 13/Pdt.G/2013/PN.BTG.
Setelah putusan terakhir diberitahukan kepada Penggugat pada tanggal 1
Juni 2014, Penggugat melalui kuasanya mengajukan kasasi pada tanggal 20 Juni
2014. Terhadap alasan-alasan permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat
dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung, oleh karena Judex Facti/Pengadilan
Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda telah salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan bahwa pada dasarnya perbuatan ingkar janji adalah perbuatan yang
telah melanggar hak subjektif pihak lain yang esensinya juga merupakan
perbuatan melawan hukum. Secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis
(SPK) yang mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon
Kasasi, namun faktanya selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada
keberatan dari pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya menjadi
tanggung jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat bagi masyarakat
maka menjadi kewajiban Termohon Kasasi untuk membayar segala biaya dalam
pekerjaan proyek tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi
Pemohon Kasasi/Penggugat.

B. Analisis Kasus

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
72

1. Asas itikad baik pada tahap pra kontrak dan perbandingannya


dengan doktrin promissory estoppel
Pengadaan barang/jasa Pemerintah diatur dalam Undang-Undang No. 18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang ini menjelaskan terdapat
dua pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi, yaitu Pengguna Jasa dan Penyedia
Jasa. Pengguna Jasa adalah orang perseorangan atau badan hukum sebagai
pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa
konstruksi.1 Dalam perkara ini, pengguna jasa adalah Pemerintah Kota Bontang.
Sedangkan Penyedia Jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi, yaitu Ungkap Simamora selaku
Direktur Utama PT. Perucha Dalam hal ini, Ungkap Simamora sebagai Pemohon
Kasasi/Terbanding/Penggugat merupakan Penyedia Jasa berdasarkan penunjukan
langsung oleh Pemerintah Kota Bontang sebagai Termohon
Kasasi/Pembanding/Tergugat.
Pasal 3 ayat (1) PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi menyebutkan bahwa:
“Pemilihan penyedia jasa yang meliputi perencana konstruksi, pelaksana
konstruksi, dan pengawas konstruksi oleh pengguna jasa dapat dilakukan
dengan cara pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung,
atau penunjukan langsung.”

Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa pemilihan Penyedia Jasa salah
satunya dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Sesuai dengan syarat
yang berlaku, 2 penunjukan langsung dapat dilakukan dalam perkara ini karena
proyek yang dikerjakan oleh Penggugat merupakan keadaan darurat dalam hal
penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat yang
pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda akibat kerusakan sarana/prasarana
yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan publik
Perlu juga diperhatikan Pasal 20 ayat (4) Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

1 Pasal 14 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi


2 Pasal 8 ayat (1) PP No. 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan Pasal 38
ayat (4) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
73

mengenai tata cara pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya


dengan metode penunjukan langsung yang tahap terakhirnya ialah
penandatanganan kontrak kerja konstruksi. Berdasarkan ketentuan tersebut,
seharusnya pada suatu hubungan pekerjaan konstruksi, dibuat suatu kontrak yang
berisi hal-hal yang diatur dalam Keppres ini. 3 Akan tetapi, dalam perakara ini
tidak ada kontrak atau perjanjian yang dibuat. Ketiadaan suatu kontrak tertulis
antara para pihak tidak berarti bahwa tidak ada hubungan hukum diantara
keduanya. Penggugat dan Tergugat baru sampai pada tahap perundingan dimana
tercapai persesuaian kehendak bahwa Tergugat berhak atas pekerjaan konstruksi
dan berkewajiban untuk membayar biaya yang sesuai, sedangkan Penggugat
berkewajiban untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi dan berhak atas sejumlah
pembayaran. Dengan kata lain, telah terjadi kesepakatan antara para pihak, yaitu
pada tahap pra kontrak.
Apabila dikaitkan dengan tahapan kontrak, tahap dalam perancangan
kontrak di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu praperancangan kontrak,
perancangan kontrak, dan pascaperancangan kontrak. Kesepakatan antara
Penggugat dan Tergugat tercapai pada tahap praperancangan kontrak dimana pada
tahap ini Penggugat dan Tergugat telah mencapai tahap akhir dari negosiasi.
Tahap terakhir negosiasi merupakan tahap dimana salah satu pihak tidak
diperbolehkan lagi menghentikan negosiasi yang bertentangan dengan itikad baik.
Jika kewajiban ini dilanggar, maka akan melahirkan kewajiban untuk memberikan
ganti rugi kepada pihak lain atas segala biaya yang telah dikeluarkan dan juga
kehilangan keuntungan yang diharapkannya. Hal ini membuktikan bahwa pada
tahap ini pun telah terjadi hubungan hukum diantara kedua belah pihak.
Hukum kontrak di Indonesia sendiri masih belum menerapkan asas itikad
baik pada tahap pra kontrak. Dengan kata lain, pengadilan masih menerapkan
teori klasik hukum kontrak dimana asas itikad baik tidak melindungi pihak yang
menderita kerugian dalam tahap pra kontrak karena dalam tahap ini perjanjian
belum memenuhi syarat hal tertentu. 4 Teori ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan

3 Pasal 29 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


4 Suharnoko, Op. Cit., hlm. 5.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
74

itikad baik. Ketentuan ini menyebutkan penerapan asas itikad baik hanya pada
pelaksanaan kontrak saja, bukan pada tahap pra kontrak. Berbeda dengan negara-
negara maju dalam sistem civil law, seperti Perancis, Belanda, dan Jerman,
pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam tahap
penandatanganan dan pelaksanaan kontrak tetapi juga dalam tahap perundingan
(the duty of good faith in negotiation), sehingga janji-janji pra kontrak
mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut
diingkari.5
Pengaturan itikad baik dalam KUH Perdata tidak hanya terdapat dalam
Pasal 1338 ayat (3) saja, melainkan juga dalam Pasal 530, 531, 548, 1965, 1966,
dan 1977 ayat (1) yang disebut dengan itikad baik subjektif. Itikad baik dalam
pasal-pasal tersebut berbeda maknanya dengan Pasal 1338 ayat (3), yaitu itikad
baik objektif. Wirjono Prodjodikoro memahami itikad baik dalam anasir subjektif
ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan
hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya
berupa pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat
yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi
semua. Jika kemudian ternyata sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka
pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi
semua. Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik tidak boleh dirugikan sebagai
akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut. 6 Jika diperhatikan secara seksama,
konsep itikad baik subjektif atau itikad baik pada waktu mulai berlakunya
hubungan hukum ini merupakan itikad baik pada tahap pra kontrak. Dengan
demikian, hukum kontrak di Indonesia pun mengenal itikad baik pada tahap pra
kontrak meskipun tidak ada pasal yang menyatakannya secara tersurat.
Dalam yurisprudensi di Indonesia sendiri sudah banyak perkara yang
menerapkan asas itikad baik pada tahap pra kontrak, terutama dalam perjanjian
jual beli. Salah satunya dalam kasus Fatimah cs v. M. Saleh,7 itikad baik pada
tahap pra kontrak harus ditunjukan oleh kedua belah pihak, dalam hal ini penjual

5 Ibid, hlm. 3.
6 Wijono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, cet. 11, (Bandung: Sumur, 1992),
hlm. 61-62.
7 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No 4340/K/Pdt 1986.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
75

dan pembeli. Selain membebankan kepada penjual untuk menjelaskan fakta


material, Mahkamah Agung juga mengharuskan pembeli untuk menilai fakta
material yang berkaitan dengan transaksi tersebut. Kasus ini berawal ketika H.
Ahmad menghibahkan sebidang tanah beserta rumah kepada anak dari istri
pertamanya, yang bernama M. Saleh. Di samping itu, ia juga menghibahkan tanah
sawah kepada Fatimah, Hamisah, dan Mustamin, anak-anaknya yang lain dari istri
keduanya. Akan tetapi, karena anak-anaknya ini masih belum dewasa, maka tanah
pertanian itu untuk sementara waktu dititipkan kepada anak tertuanya, M. Saleh,
agar di kemudian hari diserahkan kepada adik-adiknya ketika mereka sudah
dewasa. Setelah H. Ahmad wafat, tanah sawah itu justru dijual-gadai oleh M.
Saleh kepada Mansyur Samlun dan Abd. Wahab. Bahkan, kemudian tanah
tersebut juga telah dijual-lepas kepada H. Abd. Rahman Abu Landa yang hak
garapnya tetap pada Mansyur Samlun dan Abd. Wahab.
Ketika dewasa, adik-adiknya meminta kembali tanah sawah pemberian
almarhum ayah mereka tersebut. Akan tetapi, M. Saleh menolak permintaan
mereka karena tanah itu memang sudah dijual sehingga Fatimah cs mengajukan
gugatan ke pengadilan. Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat fakta
dalam Surat Jual Beli tanah tersebut keterangan bahwa M. Saleh, selaku penjual,
bertindak untuk dan atas nama ayahnya, tetapi tidak pernah terdapat kuasa untuk
menual. Di samping itu, terdapat keterangan yang justru bertolak belakang, yang
menyatakan M. Saleh adalah pemilik sah atas tanah tersebut. Mahkamah Agung
berpendapat bahwa pertentangan-pertentangan ini sepatutnya menimbulkan
kecurigaan bagi pembeli, sehingga pembeli seharusnya meneliti terlebih dahulu
siapakah sebenarnya pemilik tanah ini. Oleh karena pembeli tidak berbuat sesuatu
untuk menelitinya, maka pembeli dinilai sebagai pembeli yang beritikad buruk.
Dengan melihat kasus tersebut, dapat dilihat bahwa pada prakteknya itikad baik
pada tahap pra kontrak sudah diterapkan dalam hukum kontrak di Indonesia,.
Sehubungan dengan itikad baik tersebut, Tergugat seharusnya tidak
diperbolehkan untuk melanggar apa yang telah disepakati pada tahap pra kontrak
karena bertentangan dengan asas itikad baik, terutama karena Penggugat telah
menaruh kepercayaan atas perkataan dan janji-janji Tergugat sehingga telah
mengeluarkan segala biaya demi terselesaikannya pekerjaan yang diminta. Oleh

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
76

karena itu, pelanggaran terhadapnya akan melahirkan kewajiban untuk


memberikan ganti rugi atas segala biaya yang telah dikeluarkan Penggugat.
Dalam dalil gugatan, Penggugat menyebutkan bahwa selama berjalannya
pelaksanaan proyek, Penggugat pernah di awasi oleh pegawai Tergugat dan
sampai proyek tersebut selesai, Tergugat tidak pernah menghentikan jalannya
proyek tersebut padahal Tergugat menyadari bahwa proyek tersebut tidak ada
dalam APBD Kota Bontang. Hal ini berarti Tergugat telah melakukan pembiaran
yang dapat merugikan Penggugat. Saat Penggugat menagih pembayaran,
Tergugat mengingkari adanya penunjukan langsung terhadap Penggugat untuk
proyek tersebut karena tidak adanya kontrak. Selain itu, Penggugat juga telah
mengajukan bukti dimana dana untuk pekerjaan bagi program percepatan
pembangunan sudah pernah dianggarkan, tetapi oleh Tergugat dikembalikan ke
Negara dengan alasna yang tidak rasional. Berdasarkan tindakan-tindakan
tersebut, dapat dilihat bahwa Tergugat telah menunjukan itikad buruk.
Untuk menguatkan dalil gugatannya, Penggugat juga mengajukan saksi
ahli yang menyatakan bahwa Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek pekerjaan
pembangunan jembatan tersebut adalah valid dan dapat dipastikan dibuat oleh
konsultan yang professional dengan mengikuti kaidah-kaidah atau norma standar
penyusunan Rencana Anggaran Biaya Proyek Pemerintah dan tidak mungkin
dibuat oleh kontraktor biasa. Di samping itu, tidak mungkin RAB tersebut dibuat
tanpa berkoordinasi dengan pihak Pengguna Jasa dilihat dari data-data yang
dituangkan dalam RAB tersebut karena RAB termasuk dalam tahap perencanaan
dan harus melakukan verifikasi dengan Tergugat. Sehingga pernyataan Tergugat
yang mengingkari adanya hubungan dengan Penggugat tidak beralasan.
Kondisi lainnya yang dapat membuktikan Tergugat beritikad buruk dapat
dilihat dari pernyataan saksi yang diajukan Penggugat pada pengadilan tingkat
pertama, yaitu Barnabas, salah satu team delegasi Musrenbang Kecamatan
Bontang Barat sejak dari tingkat RT, Kelurahan, Kecamatan sampai dengan
Musrenbang tingkat Kota Bontang pada tahun 2005-2006. Karena pekerjaannya,
saksi dapat mengetahui keberadaan proyek-proyek sejak diusulkan oleh
masyarakat sehingga disetujuinya usulan-usulan tersebut oleh Pemerintah Kota
Bontang yang ditandai dengan masuknya usulan proyek tersebut ke dalam Daftar

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
77

Isian Proyek (DIP) Kota Bontang Tahun Anggaran (TA) 2005/2006 yang
pelaksanaannya pada tahun 2007. Perjanjian tertulis antara kontraktor dengan
Pemerintah Kota Bontang memang tidak ada, namun 85% proyek-proyek pada
periode sebelum tahun 2005 dikerjakan tanpa SPK (Surat Perintah Kerja) dan
setelah proyek selesai dikerjakan oleh kontraktor, baru dibuatkan SPK. SPK
adalah surat resmi yang berisi perintah untuk mengerjakan proyek. Dari
keterangan tersebut, terlihat bahwa Tergugat tidak beritikad baik dalam
menjalankan kewajibannya untuk mengeluarkan SPK yang seharusnya
dikeluarkan sebelum proyek dikerjakan.
Itikad buruk dari Tergugat juga dapat dilihat dari sisi perolehan manfaat
yang didapat oleh Tergugat atas pekerjaan yang dilakukan Penggugat. Pekerjaan
konstruksi yang telah selesai dilakukan Penggugat memberikan keuntungan bagi
Tergugat karena Tergugat tidak perlu mengerjakan proyek tersebut untuk
kepentingan umum yang seharusnya menjadi tanggung jawab Tergugat. Di
samping itu, dengan selesainya pembangunan jembatan yang menjadi proyek
dalam perkara ini, manfaatnya sangat dirasakan juga oleh masyarakat sekitar
karena sangat mempengaruhi kelancaran lalu lintas dan masalah banjir sehingga
keluhan terhadap Tergugat pun akan berkurang. Seharusnya dengan hal yang
demikian, Tergugat melakukan pembayaran kepada Penggugat atas pekerjaannya
meskipun tidak ada kontrak diantara keduanya, tetapi berdasarkan itikad baik.
Oleh karena itu, itikad baik merupakan asas yang paling penting dalam suatu
hubungan hukum.
Suatu kondisi dimana Tergugat tidak menunjukan itikad baik pada tahap
pra kontrak dengan Penggugat, dalam sistem common law serupa dengan doktrin
promissory estoppel. Pada hakekatnya, doktrin ini lahir pada kondisi-kondisi
tertentu disaat salah satu pihak secara beralasan meyakini bahwa dirinya telah
terikat dalam suatu kontrak, walaupun dalam kenyataannya kontrak tersebut
belum dibentuk atau dilahirkan sehingga doktrin ini sangat erat kaitannya dengan
itikad baik pada tahap pra kontrak seperti pada hukum kontrak di Indonesia.
Keadaan tersebut bisa muncul apabila salah satu pihak (promisee) menaruh
pengharapan yang besar dari janji-janji yang diucapkan oleh pihak lain (promisor)
sehingga ia melakukan suatu perbuatan demi terpenuhinya janji-janji tersebut.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
78

Pada intinya konsep ini merupakan larangan untuk mengingkari janji


dengan menggugurkan atau mencegah segala bentuk argumentasi yang
bertentangan dengan apa yang telah dilakukan atau dikatakan seseorang walaupun
tidak secara tegas diperjanjikan karena berdasarkan tindakan tersebut pihak lain
mebuat suatu asumsi atau meyakini akan adanya suatu perjanjian. Sederhananya,
suatu gugatan wanprestasi hanya dapat di buat apabila telah ada perjanjian
sebelumnya, namun karena ada kemungkinan salah satu pihak dapat dirugikan
pada saat perjanjian itu belum terjadi, maka doktrin promissory estoppel ini akan
menjadi argumen pembantu bagi pihak yang dirugikan.
Penggugat dan Tergugat memiliki hubungan hukum dimana keduanya
telah mencapai kesepakatan pada tahap pra kontrak dan memiliki hak dan
kewajibannya masing-masing. Penggugat berkewajiban untuk melaksanakan
pekerjaan konstruksi dan berhak atas pembayaran, sedangkan Tergugat berhak
atas penyelesaian pekerjaan konstruksi dan berkewajiban untuk melakukan
pembayaran. Karena Penggugat percaya akan janji-janji yang diucapkan Tergugat
bahwa apabila proyek tersebut selesai akan dibayar sebesar Rp1.624.295.000,00,
Penggugat mengerjakan proyek yang diminta Tergugat dengan harapan akan
mendapat pembayaran yang sesuai. Dengan tindakan Tergugat yang ingkar janji,
akan membawa ketidakadilan bagi Penggugat karena ia sudah mengeluarkan
biaya untuk menyelesaikan pekerjaan yang diminta Penggugat.
Sejalan dengan fakta-fakta tersebut, Mahkamah Agung dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa:
“Secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis (SPK) yang
mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon Kasasi,
namun faktanya selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada
keberatan dari pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya
menjadi tanggung jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat
bagi masyarakat maka menjadi kewajiban Termohon Kasasi untuk
membayar segala biaya dalam pekerjaan pembangunan Jembatan Jalan
Perjuangan, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat yang telah
dikeluarkan oleh Pemohon Kasasi/Penggugat.”

Berdasarkan pertimbangan tersebut, hubungan hukum antara kedua pihak tetap


ada meskipun tidak ada dasar hukum tertulis yang mendasarinya. Majelis hakim
melihat fakta yang terjadi dimana tindakan atau perbuatan yang dilakukan para
pihaklah yang melahirkan hubungan hukum diantara keduanya sehingga terhadap

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
79

satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak
yang lain itupun bersedia dibebankan dengan kewajiban untuk menunaikan
prestasi. Seperti dalam ketentuan doktrin promissory estoppel, pertimbangan
majelis hakim tersebut mencegah timbulnya kerugian bagi Pemohon
Kasasi/Penggugat apabila Termohon Kasasi/Tergugat diperkenankan untuk
menarik kembali janjinya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, doktrin promissory
estoppel ini relevan dan dapat diterapkan pada perkara ini.

2. Pasal 1359 KUH Perdata dan perbandingannya dengan doktrin


unjust enrichment
Selain asas itikad baik pada tahap pra kontrak, Pasal 1359 ayat (1) KUH
Perdata juga dapat diterapkan pada perkara ini. Ketentuan dalam pasal ini
menyatakan bahwa “tiap-tiap pembayaran memperhatikan adanya suatu utang dan
apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut kembali”.
Dalam hal ini, biaya yang dikeluarkan oleh Penggugat untuk pembangunan
jembatan bukan merupakan kewajibannya, biaya tersebut terjadi karena
permintaan dari Tergugat untuk menjadi Penyedia Jasa bagi pekerjaan
pembangunan jembatan di kota tersebut sehingga biaya tersebut seharusnya
merupakan tanggung jawab Tergugat. Oleh karena itu, segala biaya yang telah
dikeluarkan Penggugat merupakan utang bagi Tergugat sehingga Penggugat
seharusnya dapat menuntut kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan demi
kepentingan Tergugat dan Tergugat berkewajiban untuk membayarnya terlepas
dari adanya kontrak atau tidak.
Dalam sistem common law, kondisi yang serupa dengan Pasal 1359 ayat
(1) KUH Perdata ialah doktrin unjust enrichment, yaitu suatu perolehan manfaat
yang diberikan orang lain tanpa melakukan pembayaran, dalam keadaan dimana
seharusnya orang tersebut melakukan pembayaran. Dengan kata lain, seseorang
memperoleh manfaat dari pekerjaan yang dilakukan orang lain tanpa
mengeluarkan biaya yang seharusnya. Persamaan dari kedua ketentuan dari dua
sistem hukum yang berbeda ini ialah bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh
memperkaya diri sendiri secara tidak sah/tidak adil. Pada Pasal 1359 ayat (1)
KUH Perdata, apabila seseorang yang memperoleh suatu pembayaran atas suatu

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
80

hal yang bukan haknya, orang tersebut dikatakan telah memperkaya diri sendiri
secara tidak sah dan diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran tersebut.
Sementara itu, dalam doktrin unjust enrichment, seseorang memperkaya dirinya
sendiri karena tidak membayar suatu hal yang seharusnya menjadi kewajibannya
sehingga ia memperoleh keuntungan/manfaat dari biaya yang dikeluarkan orang
lain.
Sama halnya dengan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata yang termasuk
dalam perikatan berdasarkan undang-undang, doktrin ini tidak dapat dilakukan
terhadap kontrak yang nyata/eksplisit atau contracts implied in fact. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, kesepakatan di antara Penggugat dan Tergugat
tercapai pada tahap pra kontrak, yaitu tahap sebelum lahirnya suatu kontrak yang
nyata.
Pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur Kota
Samarinda, putusan PN Bontang dibatalkan. Hal yang menarik dalam putusan
tingkat banding ini ialah adanya dissenting opinion dari salah satu Hakim
Anggota. Hakim Anggota mendasarkan pertimbangannya pada yurisprudensi
putusan Mahkamah Agung terdahulu bahwa dasar gugatan Penggugat apakah
merupakan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi tidak perlu
dipertentangkan dalam kasus ini. Bahwa di dalam perkara ini terdapat kenyataan
hukum yang tidak dapat dibantah oleh Tergugat, yaitu:
a. bahwa Penggugat telah selesai mengerjakan pekerjaan proyeknya
b. bahwa dengan selesainya pekerjaan ternyata telah memberi manfaat bagi
masyarakat sekitar
c. bahwa semua pihak tahu bahwa Penggugat telah mengerjakan pekerjaan
dan menyelesaikan pekerjaannya
d. bahwa Penggugat dari mulai sampai dengan selesai mengerjakan
pekerjaan adalah tanpa Surat Perintah Kerja (SPK) dan/atau tanpa
membuat ikatan dengan pihak Tergugat.
Selain itu, Hakim Anggota tersebut juga menyatakan bahwa terlepas apakah
pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam proyek APBD atau tidak, jenis pekerjaan
yang dikerjakan adalah tanggung jawab Pemerintah dan dirasa tidak adil jika
Penggugat tidak diberikan pembayaran atas pekerjaan yang dilakukannya dengan

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
81

biaya sendiri, sedangkan pekerjaan tersebut adalah demi kepentingan umum dan
sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hakim Anggota menekankan segi
“manfaat” yang diperoleh dari hasil pekerjaan yang dilakukan Penggugat dan
“ketidakadilan” bagi Penggugat jika Tergugat tidak membayar ganti kerugiannya.
Dalam sistem common law, kondisi tersebut seperti penekanan yang ada dalam
doktrin unjust enrichment. Penggugat telah menyelesaikan pekerjaan
pembangunan jembatan yang diminta oleh Tergugat dimana Tergugat jelas
mendapatkan keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan Penggugat. Dengan
selesainya pembangunan jembatan tersebut sangat memberikan manfaat bagi
masyarakat Bontang, lalu lintas menjadi lancar dan masalah banjir dapat teratasi.
Karena sifat dari pekerjaan ini pada dasarnya merupakan tanggung jawab
Tergugat, sudah sewajarnya Penggugat mengharapkan pembayaran atas biaya-
biaya yang telah dikeluarkannya unuk pembangunan jembatan tersebut.
Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
Pemohon Kasasi/Penggugat dengan alasan bahwa Judex Facti/Pengadilan Tinggi
Kalimantan Timur di Samarinda telah salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan bahwa pada dasarnya perbuatan ingkar janji adalah perbuatan yang
telah melanggar hak subjektif pihak lain yang esensinya juga merupakan
perbuatan melawan hukum. Secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis
(SPK) yang mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon
Kasasi, namun faktanya selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada
keberatan dari pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya menjadi
tanggung jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat bagi masyarakat
maka menjadi kewajiban Termohon Kasasi untuk membayar segala biaya dalam
pekerjaan proyek tersebut.
Dari pertimbangan hakim tersebut, majelis hakim juga memberi
penekanan pada manfaat yang telah diperoleh Termohon Kasasi/Tergugat.
Pemohon Kasasi/Penggugat telah mengerjakan pekerjaan Pembangunan Jembatan
di Kelurahan Kanaan, Bontang Barat, dengan biaya sendiri, yang oleh Tergugat
tidak mau dibayar karena Penggugat dalam mengerjakan pekerjaan tersebut
adalah tanpa ada ikatan atau hubungan hukum antara keduanya. Faktanya,

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
82

Termohon Kasasi/Tergugat telah memperoleh keuntungan atas pekerjaan yang


dilakukan Pemohon Kasasi/Penggugat dan karena pekerjaan tersebut pada
dasarnya merupakan tanggung jawab pemerintah, sudah seharusnya Termohon
Kasasi/Tergugat membayar segala biaya yang telah dikeluarkan Pemohon
Kasasi/Penggugat untuk kepentingannya. Jika Termohon Kasasi/Tergugat tidak
melakukan kewajibannya untuk membayar biaya yang dikeluarkan Pemohon
Kasasi/Penggugat, dapat dikatakan bahwa ia telah memperkaya dirinya sendiri
secara tidak adil. Dengan demikian, pada dasarnya doktrin unjust enrichment juga
relevan untuk diterapkan dalam perkara ini.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
83

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam perancangan kontrak di Indonesia, dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pra
perancangan, perancangan, dan pasca perancangan kontrak. Permasalahan
sering terjadi apabila kesepakatan telah tercapai pada tahap pra perancangan
kontrak dimana kontrak tertulis belum dibuat. Hukum perjanjian di Indonesia
menganut teori klasik hukum kontrak dimana asas itikad baik tidak
melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak karena
dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu. Ketentuan
mengenai itikad baik terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Ketentuan ini menyebutkan penerapan asas itikad baik hanya pada
pelaksanaan kontrak saja, bukan pada tahap pra kontrak. Selain dalam Pasal
1338 ayat (3), itikad baik juga diatur dalam Pasal 530, 531, 548, 1965, 1966,
dan 1977 ayat (1) yang disebut dengan itikad baik subjektif. Itikad baik dalam
pasal-pasal tersebut berbeda maknanya dengan Pasal 1338 ayat (3), yaitu
itikad baik objektif. Itikad baik subjektif merupakan itikad baik pada waktu
mulai berlakunya hubungan hukum, biasanya berupa perkiraan dalam diri
yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai
berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian
ternyata sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang
beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua.
Jika diperhatikan dengan baik, konsep itikad baik subjektif atau itikad baik
pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum ini merupakan itikad baik
pada tahap pra kontrak. Dengan demikian, dalam perkembangannya hukum
kontrak di Indonesia pun mengenal itikad baik pada tahap pra kontrak
meskipun tidak ada pasal yang menyatakannya secara tersurat. Selain itu,
itikad baik pada tahap pra kontrak juga banyak diterapkan dalam putusan-
putusan hakim terdahulu dimana hakim lebih menjunjung tinggi keadilan
daripada kepastian hukum.
2. Doktrin promissory estoppel dan unjust enrichment merupakan doktrin yang
lahir dari perkembangan hukum kontrak di sistem hukum common law.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
84

Doktrin promissory estoppel muncul dengan nama equitable estoppel, yaitu


suatu doktrin yang digunakan untuk mengantisipasi jika tidak ada
consideration dalam perjanjian sehingga banyak perjanjian yang dianggap
tidak berlaku dan tidak dapat dilaksanakan. Situasi tersebut bisa muncul
apabila salah satu pihak (promisee) menaruh pengharapan yang besar dari
janji-janji yang diucapkan oleh pihak lain (promisor) sehingga ia melakukan
suatu perbuatan demi terpenuhinya janji-janji tersebut. Menurut Richard
Stone, terdapat 5 (lima) batasan yang harus diterapkan dalam menggunakan
doktrin promissory estoppel, yaitu: 1) promissory estoppel hanya dapat
diterapkan apabila ada hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak; 2)
harus ada suatu kepercayaan, ketergantungan, atau pengharapan (reliance)
terhadap janji yang diberikan; 3) doktrin ini hanya dapat digunakan sebagai
perisai, bukan pedang; 4) harus terdapat kondisi yang membuat keadaan tidak
adil apabila promisor melanggar janji yang diberikannya; dan 5) doktrin ini
hanya bersifat menunda akibat yang akan terjadi di masa mendatang.
Sementara itu, doktrin unjust enrichment merupakan suatu prinsip umum
bahwa seseorang tidak boleh memperkaya dirinya secara tidak adil yaitu
dengan biaya dari pihak lain dan karena itu harus mengembalikan harta atau
manfaat keuntungan yang telah diterimanya, ditahannya atau diambilnya, dan
pengambilan ini dirasakan adil dan layak serta tidak bertentangan atau
menghalangi hukum atau berlawanan dengan kepentingan umum baik secara
langsung maupun tidak langsung. Doktrin ini tidak dapat diterapkan pada
semua perbuatan hukum, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu,
antara lain: 1) benefit or enrichment, tergugat memperkaya diri sendiri dengan
menerima suatu manfaat, seperti pembangunan gedung; 2) at the plaintiff’s
expense, penggugat melakukan pekerjaan yang menguntungkan tergugat tanpa
dibayar; 3) unjust factor, tidak adil untuk memperkenankan tergugat
memperoleh manfaat tersebut; 4) no bars to the restitutionary claim, tidak ada
pertimbangan lain yang dapat membatasi gugatan, sepeerti kontrak diantara
para pihak.
3. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim di tingkat kasasi menyatakan bahwa
tidak adanya dasar hukum tertulis (kontrak) yang mendasari hubungan hukum
antara Penggugat dan Tergugat tidak menghilangkan kewajiban Tergugat
untuk mengganti kerugian Penggugat. Faktanya selama proses pengerjaan

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
85

proyek tersebut tidak ada bantahan dari pihak Tergugat dan pekerjaan tersebut
yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab Tergugat telah selesai dan
memberi manfaat bagi masyarakat, maka menjadi kewajiban Tergugat untuk
membayar segala biaya dalam pekerjaan pembangunan jembatan yang
dikeluarkan oleh Penggugat. Dalam hal ini, majelis hakim menerapkan asas
itikad baik dimana asas ini tidak hanya diterapkan pada tahap pelaksanaan
kontrak saja, tetapi juga pada tahap pra kontrak. Dalam sistem common law,
itikad baik pada tahap kontrak ini erat kaitannya dengan doktrin promissory
estoppel. Selain itu, majelis hakim juga menekankan manfaat yang diperoleh
Tergugat karena pekerjaan yang dilakukan Penggugat sehingga tidak
menghilangkan kewajibannya membayar ganti rugi meskipun tidak ada
kontrak tertulis. Aspek perolehan manfaat atau keuntungan tersebut berkaitan
dengan Pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata yang dalam sistem common law
dapat dibandingkan dengan doktrin unjust enrichment. Persamaan dari kedua
ketentuan dari dua sistem hukum yang berbeda ini ialah bahwa pada dasarnya
seseorang tidak boleh memperkaya diri sendiri secara tidak sah/tidak adil.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, doktrin promissory estoppel dan unjust
enrichment relevan untuk diterapkan dalam perkara ini.

B. Saran
1. Pada hakikatnya, proses beracara dalam sistem hukum di Indonesia masih
bersifat formal. Seperti negara-negara yang menganut teori hukum modern,
ada baiknya sistem hukum di Indonesia cenderung untuk menghapuskan
syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan pada
keadilan. Apabila tidak ada peraturan yang mengatur mengenai tahap pra
kontrak, hakim diharapkan dapat mengedepankan asas-asas dalam hukum
perjanjian, salah satunya itikad baik pada tahap pra kontrak. Terlepas dari ada
tidaknya suatu kontrak, pihak yang sudah mengeluarkan biaya karena percaya
dan menaruh harapan terhadap janji-janji yang telah diberikan dalam proses
perundingan lebih mudah untuk menuntut ganti kerugian yang dideritanya atas
perbuatan pihak lain seperti dalam perkara ini. Selain itu, pemanfaatan
yurisprudensi yang sudah ada juga memberikan peran penting. Putusan hakim
yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan tanggung jawab pemerintah.

Universitas Indonesia
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
86

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1994.
Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996.
Baloch, Tariq A. Unjust Enrichment and Contract. Oregon: Hart Publishing,
2009.
Birks, P. dan McLeod, Justinian’s Institutes, London: Duckworth, 1987.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata.
Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008.
Cracknell. D. G.. 150 Leading Cases-Obligations: Contract Law. London: Old
Bailey Press, 2002.
Davenport, Philip dan Christina Harris. Unjust Enrichment. New South Wales:
The Federation Press, 1997
Emanuel, Steven L. Contracts. New York: Aspen Publisher Inc, 2010.
Fuady, Munir. Kontrak Pemborongan Mega Proyek. Bandung: Citra Aditya Bakti,
1998.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata di Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2010.
H. S., Salim, H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih. Hukum Kontrak: Teori dan
Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
__________. Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU).
Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
__________. Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata. Buku I.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986.
Helewitz. Jeffrey A. Basic Contract Law for Paralegals. New York: Aspen
Publishers, 2007.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
87

Heron, Robert dan Caroline Vandenabeele. Effective Negotiation. A Practical


Guide. Jenewa: International Labour Office. 1997.
Ibbetson, D. J. A Historical Introduction to the Law of Obligations. Oxford:
Oxford University Press, 1999.
Khairandy. Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta:
Pascasarjana FHUI, 2003.
Long, Richard J. dan Andrew Avalon. The Doctrine of Unjust Enrichment.
Colorado: Long International Inc, 2016.
Mahdi. Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono. Hukum
Perdata Suatu Pengantar. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2005.
Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muljadi. Kartini Dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Neyers, Jason W, Mitchell McInnes dan Stephen G. A. Pitel. Understanding
Unjust Enrichment. North America: Hart Publishing, 2004.
Paul Latimer. Australian Business Law. Sydney: CCH Australia Limited, 1998.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Hukum Perikatan. Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perdata. Bandung: Sumur, 1992.
Satrio. J. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1999.
Schwenzer, Ingeborg. Pascal Hachem. dan Cristopher Kee. Global Sale and
Contract Law. New York: Oxford University Press Inc, 2012.
Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1987.
Snijders, Henk dan Jaap Hijma. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
Baru. Jakarta: National Legal Reform Program, 2010.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1982.
Stone, Richard. The Modern Law of Contract. London: Cavendish Publishing
Limited, 2005.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2002.
Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004.
Sulistyo dan Basuki. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
88

Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni,
2006.
Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju, 2012.
Vollmar. H. F. A.. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995.

JURNAL
Moss, Giuditta Cordero. “The Function of Letters of Intent and their Recognition
in Modern Legal Systems” dalam New Features in Contract Law.
Munchen: Sellier. European Law Publishers, 2007.
Swain, W. “Unjust Enrichment and the Role of Legal History in England and
Australia”, University of New South Wales Law Journal Research Paper
No. 14-02. Hlm. 1033.

PERATURANAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh
Subekti
dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramitha, 2008.
Indonesia. Undang-Undang Jasa Konstruksi, UU No. 18 Tahun 1999. TLN No.
3833
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, PP No.
59 Tahun 2010. LN No. 95.
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
No. 54 Tahun 2010 t
Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, Keppres No. 80 Tahun 2003. LN No. 120.

INTERNET
Edelman, James dan Elise Bant. Unjust Enrichment. Australia: Hart Publishing,
2006.
https://books.google.co.id/books?id=3gqGDAAAQBAJ&pg=PT97&dq=history+

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
89

of+unjust+enrichment&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjW65X6la_QAhVMOo8K
HQo-
BggQ6AEIGTAA#v=onepage&q=history%20of%20unjust%20enrichment&f=fal
sehttps://books.google.co.id/books?id=3gqGDAAAQBAJ&pg=PT97&dq=history
+of+unjust+enrichment&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjW65X6la_QAhVMOo8
KHQo-
BggQ6AEIGTAA#v=onepage&q=history%20of%20unjust%20enrichment&f=fal
se diakses 17 November 2016
Stone, Richard. Contract Law. 5th ed. (London: Cavendish Publishing Limited.
2003). hlm. 34
https://books.google.co.id/books?id=HXsvJKb0bqkC&pg=PA34&dq=limitation+
promissory+estoppel&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj6pJS8tfbQAhVHNo8KHXP
aCzAQ6AEIGTAA#v=onepage&q=limitation%20promissory%20estoppel&f=fal
se diakses 14 Desember 2016
Tulsian, P. C. Business Law. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company
Limited, 2000. https://books.google.co.id/books?id=DbbneyBacdcC&pg=SA11-
PA1&dq=quasi+contract&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwju1ejW0bjQAhUBNY8K
HZcICiEQ6AEISDAE#v=onepage&q=quasi%20contract&f=false diakses 21
November 2016

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Universitas Indonesia
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
PUTUSAN

R
Nomor 2815 K/Pdt/2014

si
ne
ng
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai

do
gu berikut dalam perkara:
UNGKAP SIMAMORA, bertempat tinggal di Jalan Awang Long,

In
A
Gang Adhyaksa, Nomor 24, RT. 11, Kelurahan Bontang Baru,
Kecamatan Bontang Utara, Kota Bontang, dalam hal ini memberi
ah

kuasa kepada: ROSTAN, S.H., M.H., Advokad, beralamat di Jalan

ik
Pelabuhan RT. 10 Nomor 13, Kelurahan Tanjung Laut Indah,

l
Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Kalimantan Timur,
m

ub
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 April 2012;
Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding;
ka

ep
Melawan
PEMERINTAH KOTA BONTANG Cq. DINAS PEKERJAAN UMUM
ah

(PU) KOTA BONTANG, berkedudukan di Jalan Moh. Roem,


R

si
Kelurahan Bontang Lestari, Kecamatan Bontang Selatan, Kota
Bontang;

ne
ng

Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding;


Mahkamah Agung tersebut;

do
gu

Membaca surat-surat yang bersangkutan;


Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat/Terbanding telah menggugat
In
A

sekarang Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding dimuka persidangan


Pengadilan Negeri Bontan pada pokoknya atas dalil-dalil:
ah

lik

1. Bahwa Ungkap Simamora, Direktur Utama PT. Perucha, Penggugat adalah


mempunyai paket Pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan
m

ub

Kanaan, Kecamatan Bontang Barat dengan nilai Rp1.624.295.000,00 (satu


miliar enam ratus dua puluh empat juta dua ratus sembilan puluh lima ribu
ka

rupiah);
ep

2. Bahwa selama proyek tersebut berjalan pernah diawasi oleh Pegawai dari
ah

Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang dan kemudian setelah proyek selesai
R

dikerjakan, Penggugat menagih pembayaran proyek yang telah dikerjakan


es

oleh Penggugat tersebut ke Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan


M

ng

Umum Kota Bontang dimana proyek itu dikeluarkan, namun saat ditagih
on
gu

Hal. 1 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
kepada Tergugat agar membayar kewajibannya, Tergugat menolak

R
membayar, bahkan meragukan dengan berbagai dalih dan menyangkal

si
kesepakatan dengan cara penunjukan langsung dan tindakan Tergugat

ne
ng
yang tidak mau menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) terhadap
Penggugat yang telah melaksanakan proyek Tergugat tersebut
mengakibatkan Penggugat mengalami kerugian karena telah banyak uang

do
gu yang Penggugat keluarkan untuk mengerjakan proyek tersebut, tindakan
Tergugat yang tidak mau membayar nilai proyek yang telah Penggugat

In
A
kerjakan adalah tindakan melawan hukum karena telah mengakibatkan
Penggugat mengalami kerugian, sehingga berdasar hukum jika Penggugat
ah

memohon agar Tergugat dihukum untuk membayar nilai proyek yang telah

ik
Penggugat kerjakan;

l
3. Bahwa berdasarkan RAB pelaksana proyek dinyatakan sebagai Direktur
m

ub
Utama PT. Perucha yang sah sesuai kesepakatan secara penunjukan
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum
ka

ep
Kota Bontang sesuai paket yang dikerjakan oleh Penggugat yakni
Pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan Bontang
ah

Barat;
R

si
4. Bahwa akibat perbuatan tersebut maka menimbulkan kerugian bagi
Penggugat dimana uang yang dipinjam dari Bank dengan bunga 5%

ne
ng

tersendat selama kurang lebih sejak tahun 2007 sampai sekarang diperinci
sebagai berikut:

do
gu

a. Kerugian Materil lebih kurang Rp1.624.295.000,00 X 5% X 60 bulan =


Rp4.872.888.000,00 (empat miliar delapan ratus tujuh puluh dua juta
delapan ratus delapan puluh delapan rupiah);
In
A

b. Kerugian Immateril lebih kurang mulai dana tersebut tidak dibayar sampai
sekarang ditaksir Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);
ah

lik

5. Bahwa untuk menjamin Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan


Umum Kota Bontang tidak mengalihkan aset-aset yang dimiliki baik benda
m

ub

bergerak maupun tidak bergerak, maka berdasar hukum jika diletakan Sita
Jaminan (Conservatoir Beslag);
ka

6. Bahwa gugatan ini sesuai dengan Pasal 191 Rbg/180 HiR maka putusan
ep

dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu sekalipun ada banding,
ah

verset dan kasasi;


R

7. Bahwa untuk menjamin terlaksananya putusan dalam perkara ini maka


es

berdasar hukum jika Tergugat dibebani membayar uang paksa


M

ng

on
gu

Hal. 2 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
(dwangsom) sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap hari

R
keterlambatan pelaksanaan putusan ini;

si
8. Bahwa kebijakan Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan Umum

ne
ng
Kota Bontang mengeluarkan proyek dengan cara penunjukan telah
merugikan Penggugat dan beberapa Direktur Pelaksana Proyek yang lain.
Untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan bertambahnya orang-

do
gu orang Direktur PT yang tertipu akibat perbuatan Tergugat tersebut, maka
beralasan hukum jika segala hal ini yang mengeluarkan proyek secara

In
A
penunjukan dihentikan sekarang;
9. Bahwa Penggugat telah berupaya untuk menyelesaikan perkara ini secara
ah

kekeluargaan akan tetapi Tergugat tidak mengindahkan dan selalu

ik
berusaha menghindari kewajibannya, sehingga berdasar hukum jika

l
Tergugat dihukum untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara
m

ub
ini;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat mohon
ka

ep
kepada Pengadilan Negeri Bontang untuk memberikan putusan sebagai berikut:
I. Dalam Provisi:
ah

1. Memerintahkan kepada Tergugat dan atau siapa saja atas kuasa atau
R

si
perintah Tergugat untuk menghentikan segala macam aktifitas yang
mengatas namakan Tergugat dan atau untuk atas nama Dinas Pekerjaan

ne
ng

Umum secara penunjukan kepada Pelaksana Proyek;


2. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu

do
gu

walaupun ada upaya banding, verset dan atau kasasi;


II. Dalam Pokok Perkara :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
In
A

2. Menyatakan Penggugat adalah Pelaksana Proyek yang sah dari


Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;
ah

lik

3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah perbuatan


Cedera Janji (Wanprestasi);
m

ub

4. Menyatakan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) yang diletakan oleh Juru


Sita Pengadilan Negeri Bontang adalah sah dan berharga;
ka

5. Menghukum Tergugat untuk membayar dan atau mengembalikan dana-


ep

dana Penguggat yang telah dipergunakan atas pelaksanaan proyek


ah

tersebut beserta bunganya yakni Rp1.624.295.000,00 X 5% X 60 bulan =


R

Rp4.872.888.000,00 (empat miliar delapan ratus tujuh puluh dua juta


es

delapan ratus delapan puluh delapan rupiah);


M

ng

on
gu

Hal. 3 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
6. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian immateril yang dialami

R
oleh Penggugat sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah);

si
7. Menghukum Tergugat menyerahkan seluruh asset milik Tergugat baik

ne
ng
bergerak maupun tidak bergerak;
8. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap hari keterlambatan,

do
gu terhitung sejak perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum yang sah;
9. Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam

In
A
perkara ini;
Dan atau;
ah

Jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya

ik
(Ex Aquo Et Bono);

l
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat mengajukan
m

ub
eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Gugatan Penggugat merupakan gugatan kabur (Obscuur Libel);
ka

ep
- Gugatan Penggugat adalah gugatan mengenai perbuatan melawan
hukum, sekalipun demikian isi gugatan sama sekali tidak menguraikan
ah

ketentuan mana yang dilanggar oleh Tergugat;


R

si
- Bahkan Penggugat dalam posita gugatan sama sekali tidak
mencantumkan satu pasal pun dari ketentuan hukum yang berlaku yang

ne
ng

merupakan ketentuan hukum yang telah dilanggar oleh Tergugat;


- Uraian di atas menunjukkan bahwa gugatan yang diajukan oleh

do
gu

Penggugat merupakan gugatan kabur (obscuur libel), karena gugatan


tersebut mendalilkan adanya perbuatan melawan hukum tetapi tidak
menunjukkan ketentuan hukum mana yang telah dilanggar oleh
In
A

Tergugat;
- Berdasarkan alasan hukum tersebut di atas, jelas dan tegas bahwa
ah

lik

gugatan Penggugat adalah kabur (obscuur libel). Oleh karena itu cukup
alasan bagi Majelis Hakim untuk menyatakan gugatan Penggugat tidak
m

ub

dapat diterima;
2. Gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona;
ka

Bahwa gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona karena


ep

Tergugat tidak memiliki persona standi in judisio di depan Pengadilan dan


ah

tidak mempunyai kapasitas atau kedudukan hukum untuk digugat dan


R

semestinya yang ditarik sebagai Tergugat adalah Kepala Dinas Pekerjaan


es

Umum bukan Dinas Pekerjaan Umum sebagaimana termuat dalam


M

ng

gugatan Penggugat;
on
gu

Hal. 4 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Bontang telah

R
memberikan Putusan Nomor 13/Pdt.G/2013/PN.BTG. tanggal 5 September

si
2013, dengan amar sebagai berikut:

ne
ng
I. Dalam Eksepsi:
- Menyatakan Eksepsi Tergugat seluruhnya tidak dapat diterima;
II. Dalam Provisi:

do
gu - Menyatakan tuntutan provisi Penggugat tidak dapat diterima;
III. Dalam Pokok Perkara:

In
A
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat adalah Pelaksana Proyek dari Pemerintah Kota
ah

Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;

ik
3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah Perbuatan

l
Melawan Hukum;
m

ub
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat
sebesar Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat
ka

ep
juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) ditambah bunga sebesar
2% perbulan, selama 60 bulan sehingga totalnya sebesar
ah

Rp3.573.449.000,00 (tiga miliar lima ratus tujuh puluh tiga juta empat
R

si
ratus empat puluh sembilan ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

ne
ng

6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar


Rp1.146.000.000,00 (satu juta seratus empat puluh enam ribu rupiah);

do
gu

Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat


putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Kalimantan Timur di Samarinda dengan Putusan Nomor 107/PDT/2013/PT.KT-
In
A

SMDA, tanggal 8 April 2014 dengan amar sebagai berikut:


- Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding tersebut;
ah

lik

- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor 13/PDT.G/2013/


PN.Btg, tanggal 5 September 2013 yang dimohonkan banding tersebut;
m

ub

MENGADILI SENDIRI
Dalam Eksepsi:
ka

- Mengabulkan eksepsi Tergugat/Pembanding;


ep

Dalam provisi:
ah

- Menyatakan tuntutan provisi Penggugat/Terbanding tidak dapat


R

diterima;
es

Dalam Pokok Perkara:


M

ng

on
gu

Hal. 5 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- Menyatakan gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima (niet

R
ontvankelijk verklaard);

si
- Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara

ne
ng
dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding ditetapkan
sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada

do
gu Penggugat/Terbanding pada tanggal 1 Juni 2014 kemudian terhadapnya oleh
Penggugat/Terbanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat

In
A
Kuasa Khusus tanggal 2 April 2012 diajukan permohonan kasasi sebagaimana
ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 20 Juni 2014 yang dibuat oleh
ah

Panitera Pengadilan Negeri Bontang, permohonan tersebut diikuti dengan

ik
memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan

l
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 4 Juli 2014;
m

ub
Bahwa memori kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat/Terbanding
tersebut telah diberitahukan kepada Tergugat/Pembanding pada tanggal 8 Juli
ka

ep
2014;
Bahwa kemudian Termohon Kasasi/Tergugat/Pembanding mengajukan
ah

jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri


R

si
Bontang pada tanggal 21Juli 2014;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya

ne
ng

telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam


tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, oleh

do
gu

karena itu permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima;


Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Penggugat/Terbanding dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya
In
A

sebagai berikut:
1. Bahwa pada halaman 6 alenia ke 4 (empat) Putusan Pengadilan Tinggi
ah

lik

menyatakan: Menimbang, bahwa mengenai hal tersebut Pengadilan Tinggi


tidak sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat pertama karena
m

ub

menurut pendapat Pengadilan Tinggi sebelum mempertimbangkan


mengenai pokok perkara a quo seharusnya Hakim tingkat pertama
ka

mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai eksepsi Tergugat/


ep

Pembanding soal gugatan kabur tersebut, karena hal itu berkaitan erat
ah

dengan syarat formalitas dari suatu surat gugatan, dimana apabila


R

persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka surat gugatan tersebut dapat


es

dikualifikasikan sebagai gugatan yang kabur (obsduur libel) dan patut untuk
M

ng

dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);


on
gu

Hal. 6 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Menanggapi hal ini bahwa tampak dengan jelas sikap Pengadilan Tinggi

R
Samarinda yang membuat keputusan dengan lebih mengedepankan segi

si
formalitasnya ketimbang menemukan substansi permasalahan penyebab

ne
ng
timbulnya sengketa lalu berupaya menegakkan keadilan dan kebenaran
dengan mengedepankan argumentasi hukum dan kondisi wajar yang
berkembang dimasyarakat. serta hati nuraninya;

do
gu Bahwa M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang
gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan

In
A
(halaman 456) berpendapat bahwa dalam putusan tersebut posita gugatan
didasarkan atas perjanjian, namun dalam petitum dituntut agar tergugat
ah

dinyatakan melakukan PMH (perbuatan melawan hukum). Apabila hal ini

ik
dianggap menimbulkan kontradiksi (obscuur libel) berarti terlalu bersifat

l
formalitas karena jika petitum itu dihubungkan dengan posita, Hakim dapat
m

ub
meluruskannya sesuai denga maksud posita;
Bahwa demikian pula dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 194 K/
ka

ep
Pdt/1996 tanggal 28 Desember 1998 dipertimbangkan sebagai berikut:
• Bahwa Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah mengabulkan eksepsi
ah

dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima atas dasar dalil
R

si
gugatan telah mencampur aduk antara wanprestasi dengan Perbuatan
Melawan Hukum yang berakibat gugatan mengandung cacat obscuur

ne
ng

libel;
• Bahwa pendapat dan kesimpulan Pengadilan Tinggi tersebut berpijak pada

do
gu

pendekatan hukum yang sangat kaku (stric law) dan dianggap pendapat
ini bersifat formalistik (Formalistic Legal Thingking). Menghadapi dalil
demikian semestinya Hakim menyesuaikan dengan peristiwa atau fakta
In
A

kejadian yang sebenarnya;


2. Bahwa alat bukti surat dan keterangan saksi yang dijadikan bahan
ah

lik

pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Tinggi Kalimantan-Timur Samarinda)


dalam mengambil kesimpulan adalah alat bukti dan keterangan saksi yang
m

ub

hanya menguntungkan pihak Termohon Kasasi/Pembanding/Tergugat saja


sedangkan alat bukti dan keterangan saksi yang sangat penting yang
ka

muncul dipersidangan Pengadilan Negeri Bontang, tidak digunakan oleh


ep

Judex Facti dalam pertimbangannya sehingga sudah barang tentu


ah

kesimpulan serta keputusannyapun adalah lemah oleh karena kelalaian


R

tersebut, yakni tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh


es

Peraturan Perundang-undangan dimana kelalaian tersebut mengancam


M

ng

on
gu

Hal. 7 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
batalnya putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi Kalimantan-Timur

R
Samarinda);

si
Bahwa disamping kelalaian yang telah dilakukan oleh Judex Facti

ne
ng
sebagaimana uraian tersebut di atas, yang dengan demikian itu pula Judex
Facti juga telah melanggar Asas Audi et Alteram Partem dimana Hakim
harus mendengarkan kedua pihak. Hakim tidak memihak, para pihak

do
gu diperlakukan sama;
Bahwa adalah tidak mungkin Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bontang

In
A
melakukan kecerobohan sebagaimana yang disinyalir oleh Judex Facti
dalam statement atau pernyataannya serta pertimbangannya;
ah

Bahwa yang sebenarnya dan senyatanya adalah bahwa Majelis Hakim

ik
Pengadilan Negeri Bontang "tidak mungkin tidak" dan "bisa dipastikan"

l
sudah melakukan atau membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum
m

ub
membuat putusan dimana pertimbangan maupun Putusan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bontang tersebut adalah sudah tepat dan benar karena
ka

ep
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bontang dalam membuat pertimbangan
dan putusannya sudah melalui tahapan-tahapan proses; mempelajari,
ah

meneliti, melakukan pengecekan terhadap kebenaran dari fakta-fakta


R

si
pendukungnya yang diajukan dipersidangan, bahkan dengan melihat secara
langsung objek perkara pada acara Pemeriksaan Setempat (PS) sesuai

ne
ng

dengan peran dan wewenangnya. Sehingga sekali lagi dalam hal ini Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Bontang dalam pertimbangan dan keputusannya

do
gu

adalah sudah tepat dan benar karena didasari oleh peran dan
wewenangnya dalam menilai kebenaran fakta-fakta gugatan Penggugat,
Jawaban Tergugat, bukti-bukti, dan keterangan saksi-saksi dibawah
In
A

sumpah yang diajukan dipersidangan serta hasil Pemeriksaan Setempat


(PS) dan tentu saja atas dasar keyakinan yang muncul dari hati nurani
ah

lik

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bontang akan kebenaran dan keadilan


serta merupakan bentuk konkret pengejawantahan pada rasa dukanya para
m

ub

26 warga anggota masyarakat Kota Bontang beserta keluarganya [dalam


kasus yang sama) yang sudah mengorbankan apa yang mereka miliki guna
ka

turut mendukung program pembangunan kotanya dengan penantian yang


ep

panjang dari mereka yang masih hidup akan munculnya keajaiban dalam
ah

bentuk kebijakan dari pemimpin kotanya untuk membayar hak-hak


R

mereka,... karena salah satu dari mereka sudah tak sanggup lagi menunggu
es

dan menunggu hingga datangnya panggilan Ilahi Robbi, Allah


M

ng

Subhanahuwataala, dan telah berpulang ke Rakhmatullah (meninggalkan


on
gu

Hal. 8 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dunia) ..Innalillahi Wainna llaihi Roojiun, (datangnya dari Allah kembali ke

R
Rakhmatullah),.. selamat jalan kawan.. dan rasa dan sentuhan jiwa akan

si
hal-hal ini justru tidak dimiliki dan dirasakan oleh Judex Facti (Pengadilan

ne
ng
Tinggi Kalimantan-Timur Samarinda Kecuali Hakim Aanggota I yang telah
melakukan Dissenting Opinion);
Bahwa adapun alat-alat bukti/keterangan saksi yang nyata-nyata ada yang

do
gu muncul dipersidangan dan sudah dijadikan bahan pertimbangan dimaksud
antara lain adalah:

In
A
a. Bahwa saksi Barnabas, dibawah sumpah menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa pada tahun 2005-2006 saksi adalah salah satu team delegasi
ah

Musrenbang Kecamatan Bontang Barat sejak dari tingkat

ik
RT,Kelurahan, Kecamatan sampai dengan Musrenbang tingkat Kota

l
Bontang, sehingga saksi dapat mengetahui keberadaan proyek-proyek
m

ub
sejak dari diusulkannya oleh masyarakat hingga disetujuinya usulan
proyek-proyek tersebut oleh Pemerintah Kota Bontang yang ditandai
ka

ep
dengan masuknya usulan proyek tersebut ke dalam DIP (Daftar Isian
Proyek) Kota Bontang TA (Tahun Anggaran) 2005/2006 yang
ah

pelaksanaannya pada tahun 2007;


R

si
- Bahwa perjanjian tertulis antara kontraktor dengan Pemerintah Kota
Bontang memang tidak ada, namun 85% proyek-proyek pada priode

ne
ng

sebelum tahun 2005 dikerjakan tanpa SPK (Surat Perintah Kerja) dan
setelah proyek selesai dikerjakan oleh kontraktor, baru dibuatkan SPK;

do
gu

- Bahwa adalah omong kosong apabila pihak pemerintah kota Bontang


mengatakan tidak tahu tentang keberadaan proyek-proyek tersebut
karena disamping sudah tertuang dalam DIP Kota Bontang TA
In
A

2005/2006 juga sudah di rekomendir oleh DPRD Kota Bontang serta


adanya surat H. Nurdin, Kepala Dinas PU Kota Bontang tertanggal 24
ah

lik

September 2009 dan pernyataan/pengakuannya bahwa untuk proyek-


proyek dengan skala prioritas tersebut dananya sudah ada. Dalam hal
m

ub

ini saksi mengatakan bahwa H. Nurdin adalah seorang pejabat yang


paling jujur yang telah berani mengatakan yang sebenar-benarnya;
ka

- Bahwa saksi juga menerangkan diantara proyek-proyek tersebut ada


ep

yang sudah dibayar oleh Pemerintah yakni proyek pembangunan


ah

jembatan yang berlokasi dibelakang Bank Dhanarta yang kontraktornya


R

bernama H. Rusdi dimana proyek tersebut dikerjakan terlebih dahulu


es

dan setelah itu baru dibuatkan SPK. Bahwa H. Rusdi sudah pernah
M

ng

dihubungi dan diminta untuk menjadi saksi dipersidangan ini namun


on
gu

Hal. 9 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
yang bersangkutan tidak mau dengan alasan "takut". Disamping proyek

R
pembangunan jembatan di belakang Bank Dhanarta tersebut menurut

si
sepengetahuan saksi ada proyek lain yang juga sudah dibayar oleh

ne
ng
Pemerintah yakni proyek Expo;
- Bahwa untuk proyek lainnya (yang saat ini sedang disidangkan)
sebenarnya juga pada waktu itu sudah akan dibuatkan SPKnya karena

do
gu semua pekerjaan proyeknya sudah selesai dikerjakan yang ditandai
dengan adanya opname oleh Dinas PU, namun karena adanya

In
A
keributan yang dimotori oleh oknum pengusaha kontraktor sendiri
dengan mengatasnamakan masyarakat sehingga pihak Kejaksaan
ah

sempat melakukan pemeriksaan. Dampak dari kejadian tersebut adalah

ik
munculnya surat pemberhentian pekerjaan proyek dari Dinas PU Kota

l
Bontang dalam kondisi dimana proyek-proyek terebut saudah selesai
m

ub
dikerjakan oleh para kontraktor. Bahwa saksi juga menerangkan
Pemerintah Kota Bontang bekerjasama dengan DPRD Kota Bontang
ka

ep
pernah menawarkan untuk melakukan approach/pendekatan dengan
pihak BAPPENAS di Jakarta dalam rangka untuk mendapatkan payung
ah

hukum guna menyelesaikan proyek bermasalah ini dengan syarat agar


R

si
pihak kontraktor harus menyediakan/menyiapkan dana sejumlah
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Namun karena pihak

ne
ng

kontraktor hanya mampu menyediakan dan sebesar Rp200.000.000,00


maka opsi untuk mendapatkan payung hukum melalui jalur BAPPENAS

do
gu

ini gagal dilaksanakan;


Bahwa untuk mencari solusi lain terhadap proyek-proyek ini maka
Walikota Bontang pernah membentuk team kecil yang anggotanya
In
A

terdiri dari unsur-unsur: Dinas PU Kota Bontang, Bagian Hukum


Sekwilda Kota Bontang, dan Inspektorat (dulu BAWASDA) yang
ah

lik

menawarkan 3 (tiga) pilihan alternative solusinya yakni:


1. Diberi proyek baru;
m

ub

2. Dicarikan payung hukum;


3. Ajukan gugatan ke Pengadilan Negeri;
ka

Saksi menerangkan bahwa untuk opsi pertama yakni "diberikan proyek


ep

baru" adalah tidak dapat disetujui oleh para kontraktor karena nilai
ah

proyeknya tidak dapat menutupi atau mengembalikan dana mereka


R

yang sudah di keluarkan/di investasikan. Untuk opsi kedua juga gagal


es

dilaksanakan karena guna pengurusannya ke BAPPENAS di Jakarta


M

ng

team membutuhkan dana sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta


on
gu

Hal. 10 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
rupiah) sedangkan kemampuan para kontraktor hanya mampu

R
menyediakan dana sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

si
Sedangkan opsi ke tiga adalah bahwa team menyarankan kepada para

ne
ng
kontraktor untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri guna
mendapatkan payung hukum untuk membayar dana para kontraktor
dimaksud (sebagaimana sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim ini)

do
gu Bahwa saksi juga menerangkan ada pertemuan di Hotel Sintuk
Bontang pada detik-detik kemenangan Adi Darma menjadi Walikota

In
A
Bontang dimana para kontraktor diminta untuk segera melengkapi
dokumen dalam rangka pembayaran dana mereka. Bahwa saksi juga
ah

menerangkan tentang adanya pertemuan antara Pemerintah Kota

ik
Bontang yang dalam hal ini diwakili oleh Bapak Asmudin Hamzah

l
selaku Sekretaris Daerah Kota Bontang dan difasilitasi oleh Bapak
m

ub
KAJARI (Kejaksaan Negeri) Kota Bontang, bertempat diruang kerja
Sekda Kota Bontang dalam rangka mencarikan solusi dari
ka

ep
permasalahan para kontraktor. Bahwa saksi memohon kepada Majelis
Hakim agar kepada pihak-pihak yang telah saksi sebutkan namanya
ah

dalam kesaksian ini agar diberi kesempatan untuk diperiksa dan


R

si
dikonfirmasikan guna membuktikan kebenaran kesaksiannya. Dan
saksi juga memohon kepada Majelis Hakim agar diberi izin untuk

ne
ng

mengambil hak miliknya dalam bentuk bangunan jembatan dll yang


sudah dibangun oleh para kontraktor sejak tahun 2007 apabila

do
gu

pengorbanan dan niat baik yang mereka telah lakukan dalam


mendukung program pembangunan Pemerintah Kota Bontang selama
lebih dari 7 tahun ini, tidak mendapat penghargaan dan perhatian serta
In
A

penyelesaian yang baik oleh Pemerintah Kota Bontang karena


perkerjaan proyek yang telah dibangun dan dimanfaatkan oleh
ah

lik

masyarakat tersebut oleh Pemerintah dianggap "barang haram". Hal ini


akan saksi berserta kontraktor lainnya lakukan agar kiranya masyarakat
m

ub

Kota Bontang tidak terkena dampak atau imbasnya menggunakan


barang haram;
ka

a. Keterangan saksi ahli Sukarno, di bawah sumpah sebagai


ep

konsultan independen memberikan keterangan sebagai berikut:


ah

Bahwa Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek pekerjaan


R

pembangunan pembuatan jembatan Jin Perjuangan Kelurahan


es

Kanaan, Kecamatan Bontang Barat dengan nilai


M

ng

Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh emapt juta


on
gu

Hal. 11 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dua ratus Sembilan puluh lima ribu rupiah) yang telah dibaca dan

R
dipelajari dengan saksama serta dapat disimpulkan bahwa adalah

si
RAB dimaksud valid dan dapat dipastikan dibuat oleh konsultan

ne
ng
yang profesional dengan mengikuti kaidah-kaidah atau norma
standar penyusunan Rencana Anggaran Biaya Proyek Pemerintah
yang benar dan tidak mungkin dibuat oleh kontraktor biasa.

do
gu Disamping itu saksi ahli berkeyakinan pula bahwa konsultan tidak
mungkin membuat RAB tersebut tanpa berkoordinasi dengan pihak

In
A
Pemberi Pekerjaan, dalam hal ini pihak Tergugat karena data-data
dan fakta-fakta yang dituangkan kedalam RAB sangat dipastikan
ah

bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;

ik
Adapun data dan fakta dimaksud antara lain adalah:

l
- Nama paket pekerjaan,
m

ub
- Lokasi pekerjaan;
- Format penyusunan RAB;
ka

ep
- Koefisien perhitungan penyusunan RAB;
- Daftar harga satuan bahan;
ah

- Daftar harga satuan upah;


R

si
- dll.
Bahwa saksi menyakini bahwa RAB tersebut dapat diterapkan atau

ne
ng

di applikasikan dilapangan dalam proses proyek pekerjaan


pembangunan pembuatan jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan

do
gu

Kanaan, Kecamatan Bontang Barat dengan nilai


Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh emapt juta
dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) dengan nilai
In
A

Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh emapt juta


dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah);
ah

lik

Hasil Pemeriksaan Setempat (PS) membuktikan bahwa pekerjaan


proyek pekerjaan pembangunan pembuatan jembatan Jalan
m

ub

Perjuangan Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat dengan


nilai Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat
ka

juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) telah dikerjakan
ep

dengan baik oleh kontraktor pelaksana yang dibuktikan bahwa


ah

hingga saat Pemeriksaan Setempat (PS) dilaksanakan, jembatan


R

tersebut masih berfungsi dengan baik melancarkan arus lalu lintas


es

Kota Bontang;
M

ng

on
gu

Hal. 12 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
b. Bahwa saksi Umar Tanatta, Ketua DPRD Kota Bontang Tahun

R
2004-2009, di bawah sumpah memberikan keterangan sebagai

si
berikut:

ne
ng
- Bahwa Dewan pada Tahun 2006-2007 menyerap aspirasi
masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan dengan Skala
Prioritas;

do
gu - Bahwa Dewan menganggap penting usulan masyarakat dengan
Skala Prioritas tersebut dan diajukan dalam Rapat Pleno DPRD

In
A
Kota Bontang;
- Bahwa hasil Rapat Pleno pada dasarnya menyetujui usulan
ah

proyek dengan Skala Prioritas tersebut dan mengusulkannya

ik
kepada Walikota Bontang;

l
- Bahwa jawaban lisan dari Walikota Bontang atas usulan Dewan
m

ub
tersebut adalah : "... akan diselesaikan".
- Bahwa saksi berpendapat bahwa proyek Skala Prioritas tersebut
ka

ep
sangat bermanfaat bagi masyarakat karena itu harus dibayar
oleh Pemerintah apalagi sudah dimanfaatkan;
ah

- Bahwa saksi meyakini bahwa proyek tersebut kalau tidak ada


R

si
perintah tidak ada yang mau mengerjakan;
- Bahwa saksi juga meyakini pasti proyek Pemerintah yang

ne
ng

dikerjakan oleh kotraktor;


3. Bahwa pertimbangan Judex Facti pada halaman 5, dalam eksepsi, alenia ke

do
gu

2 (dua), (Menimbang, bahwa Tergugat dalam jawabannya telah mengajukan


eksepsi yaitu pada pokoknya sebagai berikut :1. Gugatan Penggugat
merupakan gugatan Kabur (obscuur libel) dst...);
In
A

Bahwa dalam hal ini Judex Facti telah melakukan kesalahan dalam
menerapkan hukum;
ah

lik

Bahwa menyangkut hal ini M.Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara
Perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan
m

ub

pengadilan (halaman 456) menyatakan; Bahwa dalam prakteknya masalah


penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan juga
ka

ditolehkan. Hal ini dapat dilihat dari yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
ep

Nomor 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987. Yahya Harahap


ah

menjelaskan bahwa dalam putusan tersebut meskipun dalil gugatan yang


R

dikemukakan dalam gugatan adalah PMH sedangkan peristiwa hukum yang


es

sebenarnya adalah wanprestasi, gugatan itu tidak obscuur libel, karena


M

ng

on
gu

Hal. 13 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hakim dapat mempertimbangkan bahwa dalil gugatan itu dianggap

R
wanprestasi;

si
Hal yang serupa juga dapat ditemui dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

ne
ng
886K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 2007 Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan:
Bahwa sesungguhnya dalam gugatan terdapat posita wanprestasi dan

do
gu Perbuatan Melawan Hukum akan tetapi dengan tegas diuraikan secara
terpisah, maka gugatan demikian yang berupa kumulasi objektif dapat

In
A
dibenarkan;
Bahwa dalam buku yang sama M. Yahya Harahap berpendapat; bahwa
ah

dalam putusan tersebut posita gugatan didasarkan atas perjanjian, namun

ik
dalam petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan PMH (perbuatan

l
melawan hukum). Apabila hal ini dianggap menimbulkan kontradiksi (obscuur
m

ub
libel) berarti terlalu bersifat formalitas karena jika petitum itu dihubungkan
dengan posita, Hakim dapat meluruskannya sesuai denga maksud posita;
ka

ep
Bahwa demikian juga dengan Keterangan Saksi ahli Prof. DR. Herawati
Poesoko S.H., M.H., Guru Besar dan Dekan Fakultan Hukum Universitas
ah

Jember (Saksi Ahli pihak Tergugat) dibawah sumpah di persidangan, antara


R

si
lain menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa perjanjian lahir karena adanya kesepakatan menurut Pasal 1330

ne
ng

BW, Pasal 1337 BW, 1243-1365 BW;


- Perikatan lahir karena adanya perjanjian sepakat lahirlah suatu perjanjian;

do
gu

- Bahwa mengenai wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum boleh


digabung dan tidak melanggar tata tertib hukum acara;
- Bahwa kumulasi gugatan dapat dibenarkan asalkan memenuhi unsur-unsur
In
A

sebagai berikut:
a. Adanya hubungan hukum yang erat;
ah

lik

b. Subjek hukum para pihak sama;


c. Memudahkan proses dan menghindarkan putusan yang kontradiksi;
m

ub

d. Prinsip beracara yang murah;


Sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan hukum acara
ka

(Bandingkan Putusan Raad Van Justitie, kamar ketiga, Jakarta tanggal 20


ep

Juni 1939, T.150 halaman 192);


ah

- Bahwa kumulasi gugatan yang diajukan oleh Penggugat dalam perkara ini
R

tidaklah bertentangan dengan Tata Tertib Hukum Acara (Vide Putusan


es

Mahkamah Agung RI Nomor l652.K/Sip/1975 karena gugatan wanprestasi


M

ng

dan Perbuatan Melawan Hukum dalam perkara ini adalah korelasi antara
on
gu

Hal. 14 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
satu perbuatan dengan perbuatan lainnya , yang merupakan satu kesatuan

R
yang tidak dapat dipisahkan (Koneksitas) sehingga penggabungan gugatan

si
dapat dibenarkan sebab ketentuan acara yang dianut dalam perkara ini

ne
ng
adalah Hukum Acara yang bersifat umum. Sedangkan perkara yang lainnya
tunduk pada Hukum Acara yang bersipat umum (Vide Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 677 K/SI P/1972, tanggal 20 Desember 1972;

do
gu 4. Bahwa pada Putusan Pengadilan Tinggi Dalam Eksepsi angka 2 menyatakan
bahwa gugatan Penggugat mengandung cacat error in persona, karena

In
A
Penggugat tidak memiliki Persona standi in judisia didepan Pengadilan dan
tidak mempunyai kapasitas atau kedudukan hukum untuk digugat dan
ah

semestinya yang ditarik sebagai Tergugat adalah Kepala Dinas Pekerjaan

ik
Umum bukan Dinas Pekerjaan Umum sebagaimana termuat dalam gugatan

l
Penggugat;
m

ub
Menanggapi hal ini untuk diketahui bahwa yang benar yang digugat dalam
gugatan Penggugat adalah Pemerintah Kota Bontang Cq Dinas Pekerjaan
ka

ep
Umum (Pu) Kota Bontang;
Bahwa yang dimaksud Pemerintah Daerah menurut Undang-Undang Nomor
ah

32 Tahun 2004 Pasal 1 adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan


R

si
perangkat daerah sebagai urusan penyelenggara Pemerintahan Daerah;
Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang

ne
ng

Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bahwa Menteri, Gubernur,

do
gu

Bupati, Walikota, dan lain-lain adalah " Pejabat Negara";


Maka berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut tampak jelas pada
Pemerintah Daerah automatically (secara otomatis) melekat jabatan seorang
In
A

Pejabat Negara pada jabatan itu, meskipun tidak disebutkan secara


gamblang (eksplisit);
ah

lik

Berkenaan dengan hal hal tersebut diatas maka tentu adalah tidak beralasan
mengatakan Gugatan Penggugat Kabur (Obcscuur Libel);
m

ub

5. Bahwa sesuai dengan pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi pada


Putusan Halaman 8 alenia l (satu) sampai dengan halaman 23 (dua puluh
ka

tiga), "...Menimbang, bahwa walaupun demikian, putusan dalam perkara


ep

tingkat banding tidak diperoleh dengan musyawarah/mufakat bulat dimana


ah

Hakim Anggota I Eduard Manalip., S.H., M.H., mengajukan disenting opinion


R

dan sesuai dengan peraturan, pendapat tersebut harus dimuat dalam


es

putusan ini selengkapnya sebagai berikut :...dst


M

ng

on
gu

Hal. 15 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
6. Bahwa Hakim Anggota I Eduard Manalip., S.H., M.H., telah menguraikan

R
disenting opinionnya dalam pertimbangan-pertimbangan tentang:

si
I. Formalitas pengajuan gugatan oleh Penggugat/Terbanding dan

ne
ng
II. tentang substansi Pokok Gugatan Penggugat/Terbanding yang terinci pada
Putusan Nomor 107/PDT/2013/PT.KT.SMDA, dari halaman 8 (delapan)
sampai dengan halaman 25 (dua puluh lima) dan yang kesimpulannya

do
gu sebagaimana tertuang pada halaman 25 alenia 3 serta halaman 26
sebagai berikut:

In
A
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Tergugat/Pembanding telah
ah

melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat/

ik
Terbanding;

l
Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan
m

ub
tersebut di atas, maka Putusan Pengadilan Negeri Bontang tanggal 5
September 2013 Perdata Nomor 13/Pdt.G/2013/PN.Btg, dapat dikuatkan
ka

ep
dengan perbaikan-perbaikan sebagaimana tersebut di atas maupun pada
amar putusan sebagaimana tersebut di bawah ini:
ah

I. Dalam Eksepsi:
R

si
Menyatakan Eksepsi Tergugat/Pembanding seluruhnya tidak dapat
diterima;

ne
ng

II. Dalam Provisi


Menyatakan tuntutan provisi Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima;

do
gu

III. Dalam Pokok Perkara:


1. Mengabulkan Gugatan Penggugat/Terbanding untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat/Terbanding adalah Pelaksana Proyek
In
A

Pemerintah Kota Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;


3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah
ah

lik

Perbuatan Melawan Hukum;


4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat
m

ub

sebesar Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat


juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) ditambah dengan
ka

bunga sebesar 2 % perbulan, selama 60 bulan sehingga total sebesar


ep

Rp3.573.449.000,00 (tiga miliar lima ratus tujuh puluh tiga juta empat
ah

ratus empat puluh sembilan ribu rupiah;


R

5. Menolak gugatan Penggugat/Terbanding selain dan selebihnya;


es

6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar


M

ng

Rp1.146.000,00 (satu juta seratus empat puluh enam ribu rupiah);


on
gu

Hal. 16 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Bahwa adapun pointers materi disenting opinion Hakim Anggota I Bpk.

R
Eduard Manalif., S.H., M.H., kiranya dapat dirangkum sebagai berikut:

si
a. Bahwa apa yang telah dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama

ne
ng
tentang eksepsi menurut Hakim Anggota I sudah tepat dan dapat
dibenarkan;
b. Bahwa tentang dalil Penggugat/Terbanding yang merupakan dasar

do
gu Penggugat/Terbanding dalam mengajukan gugatannya kepada
Tergugat/Pembanding apakah merupakan perbuatan melawan hukum

In
A
atau wanprestasi menurut Hakim Anggota I tidak perlu dipertentangkan
in casu dapat di konstatir;
ah

Untuk hal ini Hakim Anggota I mengajak untuk membandingkan dan

ik
menghubungkannya dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 194

l
K/Pdt/1996 tanggal 26 Desember 1998 dan Putusan Mahkamah Agung
m

ub
Nomor 204K/Pdt/1998 Tanggal 30 Juni 1999;
c. Bahwa dalam perkara in casu didapat kenyataan hukum yang tak
ka

ep
dibantah dan diakui oleh Tergugat/Pembanding maupun oleh Tergugat/
Pembanding yaitu:
ah

a) Bahwa Tergugat/Terbanding telah selesai mengerjakan pekerjaan


R

si
pekerjaan proyeknya ;
b) Bahwa dengan selesainya pekerjaan a quo ternyata telah memberi

ne
ng

manfaat bagi masyarakat disekitar pekerjaan;


c) Bahwa semua pihak termasuk Tergugat/Pembanding tahu bahwa

do
gu

Penggugat/Terbanding mengerjakan pekerjaan a quo dan telah


selesai dikerjakan;
d) Bahwa Pengugat/Terbanding dari mulai sampai dengan selesai
In
A

mengerjakan pekerjaan a quo adalah tanpa Surat Perintah Kerja


(SPK) dan atau tanpa membuat ikatan tertulis dengan pihak
ah

lik

Tergugat/Pembanding;
d. Bahwa semua perkerjaan-perkerjaan in casu yang dikerjakan
m

ub

Penggugat/Terbanding apabila telah tertata atau telah masuk dalam


DIPA APBD, otomatis dan mutlak menurut hukum mekanismenya harus
ka

tunduk pada Kepres Nomor 80 Tahun 2003 dengan segala perubahan


ep

dan peraturan pelaksanaannya;


ah

e. Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap ternyata pekerjaan proyek


R

dimaksud yang telah dikerjakan oleh Penggugat/Terbanding, sama


es

sekali tidak masuk sebagai proyek APBD dan otomatis tidak tertata
M

ng

dalam DIPA Kota Bontang maka mekanisme pekerjaannya tidak harus


on
gu

Hal. 17 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dilakukan menurut Kepres Nomor 80 Tahun 2003 dengan segala

R
perubahan dan peraturan pelaksanaannya, in casu tidak mungkin

si
kepada Penggugat/Terbanding diberikan SPK dan atau tidak mungkin

ne
ng
antara Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/Pembanding dibuat
surat perjanjian kerja secara tertulis;
f. Bahwa, terlepas apakah pekerjaaan dimaksud tertata atau telah masuk

do
gu dalam DIPA APBD Kota Bontang akan tetapi menurut Hakim Anggota I
pekerjaan a quo adalah jenis pekerjaan yang karaktetristiknya adalah

In
A
menjadi tanggung jawab Pemerintah in casu Pemerintah dalam hal ini
Dinas Pekerjaan Umum/Tergugat/Terbanding harus bertanggung jawab
ah

untuk membuat pekerjaan a quo jika Penggugat/Terbanding tidak

ik
mengerjakan;

l
g. Bahwa pertentangan antara Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/
m

ub
Pembanding akan tetap merupakan sengketa yang sepertinya sulit,
sebab dari satu sisi apa yang merupakan alasan Tergugat/Pembanding
ka

ep
untuk tidak membayar kepada Penggugat/Terbanding adalah bisa saja
dibenarkan karena tidak ada ikatan hukum atau perjanjian tertulis antara
ah

Penggugat/Terbanding dengan Tergugat/Pembanding Bahwa


R

si
Penggugat/Terbanding diperintahkan untuk mengerjakan pekerjaan
a quo, akan tetapi dari rasa keadilan adalah sangat tidak adil kepada

ne
ng

Tergugat/Pembanding tidak diberikan pembayaran atas pekerjaan yang


telah Penggugat/Terbanding kerjakan dengan biaya sendiri sedangkan

do
gu

pekerjaan a quo adalah untuk kepentingan umum in casu kepentingan


umum terlayani, dimana dengan adanya pekerjaan a quo sudah tidak
lagi terjadi banjir, transportasi berjalan lancar dan masyarakat telah
In
A

meniktinya in casu sangat bermanfaat bagi masyarakat;


h. Bahwa selama pekerjaan pembangunan pihak pemerintah dalam hal ini
ah

lik

Tergugat/Pembanding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas


pekerjaan-pekerjaan Pemerintah termasuk pekerjaan yang dikerjakan
m

ub

oleh Penggugat/Terbanding yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan


yang demikian in casu ada 26 (dua puluh enam) jenis pekerjaan yang
ka

dikerjakan sama dengan Penggugat/Terbanding (tanpa melalui suatu


ep

mekanisme yang diatur) dan Tergugat/Pembanding sangat tahu bahwa


ah

pekerjaan a quo sama sekali belum merupakan proyek yang dibiayai


R

oleh APBD Kota Bontang, in casu belum tertata dalam DIPA Kota
es

Bontang. Dan untuk itu jelas-jelas tidak ada dana yang tersedia dan lalu
M

ng

Terggugat/Pembanding melakukan pembiaran kepada Penggugat/


on
gu

Hal. 18 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Terbanding untuk mengerjakan pekerjakan tersebut, maka menurut

R
hukum dan harus demikian Tergugat/Pembanding (sebagai pihak

si
Pemerintah) yang bertanggung jawab akan pekerjaan-pekerjaan

ne
ng
Pemerintah dipandang telah melakukan persetujuan secara diam-diam
dan untuknya Tergugat/Pembanding terikat atas persetujuan secara
diam-diam tersebut dan resikonya Tergugat/Pembanding harus

do
gu membayar semua biaya yang dikeluarkan oleh Penggugat/Terbanding
untuk mengerjakan pekerjaan dimaksud;

In
A
Bahwa disamping apa yang telah dipertimbangkan oleh Hakim tingkat
pertama, Pengadilan Tinggi memberikan pertimbangan sebagai berikut:
ah

• Bahwa Penggugat/Terbanding dalam mengerjakan pekerjaan

ik
pembangunan, diketahui oleh Pemerintah dalam hal ini tentu

l
Tergugat/Pembanding akan tetapi Tergugat/Pembanding
m

ub
membiarkan terus sampai pekerjaan a quo selesai dikerjakan oleh
Penggugat/Terbanding kendati Tergugat/Pembanding tahu persis
ka

ep
dan menyadari bahwa pekerjaan a quo tidak ada anggaran karena
belum tertata dalam APBD/DIPA Kota Bontang. Hal mana dianggap
ah

sebagai pembiaran oleh Tergugat/Pembanding yang dapat


R

si
merugikan Penggugat/Terbanding;
• Bahwa disamping itu pula dengan tidak dialokasikannya dana untuk

ne
ng

pekerjaan a quo selama + 7 (terhitung sejak tahun 2006 sampai


sekarang) oleh Tergugat/Pembanding (sebagai Instansi yang

do
gu

berkompeten) untuk itu, kiranya dapat dikatakan bahwa


Tergugat/Pembanding telah lalai dalam mewujudkan kepentingan
umum, in casu pembangunan pekerjaan pembangunan pembuatan
In
A

parit pas batu jalan Bung Karno I, IV dan Londorundu Kelurahan


Gunung Telihan Kecamatan Bontang Barat adalah pekerjaan untuk
ah

lik

kepentingan umum yang harus diprioritaskan dalam mengatasi


banjir;
m

ub

Berdasarkan dalil-dalil yang kami uraikan di atas, kiranya dapat


disimpulkan:
ka

1. Bahwa seluruh pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan


ep

Negeri Bontang sudah tepat dan benar dalam melakukan


ah

pertimbangkan hukum. Justru Judex Facti (Pengadilan Tinggi


R

Kalimantan-Timur Samarinda) yang melakukan kesalahan dalam


es

menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;


M

ng

on
gu

Hal. 19 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Bahwa seluruh pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri

R
Bontang sudah tepat dan benar di dalam menerapkan hukum.

si
Yang dengan demikian justru Judex Facti (Pengadilan Tinggi

ne
ng
Kalimantan-Timur) yang melakukan kelalaian yang mengancam
dibatalkannya putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi
Kalimantan-Timur) Nomor 106/PDT/2013/PT.KT.SMDA

do
gu tertanggal 8 April 2014;
3. Bahwa Hakim Anggota I (Bpk. Eduard Manalif, S.H., M.H.,)

In
A
Majelis Pengadilan Tinggi Samarinda dalam Disenting
Opinionnya menyimpulkan dan berpendapat bahwa dari
ah

pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan pada halaman

ik
8 sampai dengan halaman 26 Putusan Pengadilan Tinggi

l
Samarinda Nomor 107/PDT/2013/PT.KT.SMDA, Tergugat/
m

ub
Pembanding, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang
merugikan Penggugat/Terbanding;
ka

ep
4. Bahwa sesungguhnya adalah benar apa yang disinyalir oleh
Hakim Anggota I dalam Disenting Opinionnya bahwa antara
ah

Tergugat/Pembanding dengan Penggugat/Terbanding telah


R

si
terjadi kesepakatan diam-diam dan jika hal tersebut
dihubungkan dengan bukti P-7 dimana dana untuk pekerjaan

ne
ng

bagi program percepatan pembangunan sudah pernah


dianggarkan akan tetapi oleh Tergugat/Pembanding

do
gu

dikembalikan ke Negara dengan alasan yang tidak rasional dan


tidak bisa diterima oleh akal sehat. Hal ini sungguh merupakan
kelalaian dan menunjukkan iktikat buruk dari Tergugat/
In
A

Pembanding;
5. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor
ah

lik

13/Pdt.G/2013/PN.BTG, tertanggal 5 September 2013 sudah


tepat dan benar menurut hukum, sehingga adalah berdasarkan
m

ub

hukum untuk dikuatkan oleh Mahkamah Agung Republik


Indonesia;
ka

6. Bahwa, sekiranya pada saatnya nanti pada akhir perjalanan


ep

proses hukum ini argumentasi hukum yang demikian kuat dan


ah

ilmiahnya yang telah dipaparkan dan diajukan oleh para pihak


R

baik Termohon Kasasi/Pembanding/Tergugat atau Para Majelis


es

Hakim Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda


M

ng

(kecuali Hakim Anggota I yang disenting opinion) yang


on
gu

Hal. 20 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
berdampak pada kalah/lemahnya argumentasi hukum dari

R
Pemohon Kasasi/Terbanding/Penggugat serta kalah/lemahnya

si
pertimbangan hati nurani Majelis Hakim Yang Mulia maka

ne
ng
tentunya secara hukum kekalahan itu dapat dimaknai/diartikan
sebagai alasan pembenar bagi Pemohon Kasasi/Terbanding/
Penggugat untuk membatalkan investasi yang sudah tertanam

do
gu selama lebih dari 6 (enam) tahun dan menarik/mengambil
kembali asset-asset baik dalam bentuk fisik atau lainnya)

In
A
bersama 26 (dua puluh enam proyek lainnya) yang tersebar
Kota Bontang;
ah

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung

ik
berpendapat:

l
Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex
m

ub
Facti/Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda telah salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
ka

ep
Bahwa pada dasarnya perbuatan ingkar janji adalah perbuatan yang
telah melanggar hak subjektif pihak lain yang esensinya juga merupakan
ah

perbuatan melawan hukum atau melawan hak;


R

si
Bahwa terbukti pihak Pemohon Kasasi telah menyelesaikan pekerjaan
pembangunan jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan, Kecamatan

ne
ng

Bontang Barat sedangkan pihak Termohon Kasasi tidak membayar biaya yang
telah dikeluarkan oleh pihak Pemohon Kasasi dengan alasan tidak adanya

do
gu

Surat Perintah Kerja (SPK) atau perjanjian antara keduanya;


Bahwa secara formal memang tidak ada dasar hukum tertulis (SPK) yang
mendasari hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon Kasasi namun
In
A

faktanya, selama proses pengerjaan proyek tersebut tidak ada keberatan dari
pihak Termohon Kasasi dan pekerjaan yang pada dasarnya menjadi tanggung
ah

lik

jawab Termohon Kasasi telah selesai dan bermanfaat bagi masyarakat maka
mejadi kewajiban Termohon Kasasi untuk membayar segala biaya dalam
m

ub

pekerjaan pembangunan Jembatan Jalan Perjuangan, Kelurahan Kanaan,


Kecamatan Bontang Barat yang telah dikeluarkan oleh Pemohon Kasasi;
ka

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagipula ternyata


ep

putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) dalam perkara ini telah bertentangan
ah

dengan hukum dan/atau undang-undang, maka Mahkamah Agung berpendapat


R

bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari


es

Pemohon Kasasi UNGKAP SIMAMORA dan membatalkan Putusan


M

ng

Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda Nomor 107/PDT/2013/PT-


on
gu

Hal. 21 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
KT-SMDA, tanggal 8 April yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri

R
Bontang Nomor 13/PDT.G/2013/PN.Btg, tanggal 5 September 2013 serta

si
Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan

ne
ng
sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon Kasasi berada di pihak yang
kalah, maka dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat

do
gu peradilan;
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

In
A
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
ah

Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang

ik
Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangan lain yang bersangkutan;

l
MENGADILI:
m

ub
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi UNGKAP
SIMAMORA tersebut;
ka

ep
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda
Nomor 107/PDT/2013/PT-KT-SMDA tanggal 8 April yang membatalkan
ah

Putusan Pengadilan Negeri Bontang Nomor 13/PDT.G/2013/ PN.Btg tanggal


R

si
05 September 2013;
MENGADILI SENDIRI:

ne
ng

I. Dalam Eksepsi:
- Menyatakan Eksepsi Tergugat tidak dapat diterima;

do
gu

II. Dalam Provisi:


- Menyatakan tuntutan Provisi Penggugat tidak dapat diterima;
III. Dalam Pokok Perkara:
In
A

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;


2. Menyatakan Penggugat adalah Pelaksana Proyek dari Pemerintah Kota
ah

lik

Bontang Cq. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang;


3. Menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat adalah Perbuatan
m

ub

Melawan Hukum;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat
ka

sebesar Rp1.624.295.000,00 (satu miliar enam ratus dua puluh empat


ep

juta dua ratus sembilan puluh lima ribu rupiah) ditambah bunga sebesar
ah

2% perbulan, selama 60 bulan sehingga totalnya sebesar


R

Rp3.573.449.000,00 (tiga miliar lima ratus tujuh puluh tiga juta empat
es

ratus empat puluh sembilan ribu rupiah);


M

ng

5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;


on
gu

Hal. 22 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat/Pembanding untuk membayar

R
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini

si
ditetapkan sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

ne
ng
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Rabu tanggal 8 Juli 2015 oleh H. Mahdi Soroinda Nasution,
S.H., M.Hum, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung

do
gu sebagai Ketua Majelis, Dr. Yakup Ginting, S.H., C.N., M.Kn. dan Dr. Nurul
Elmiyah, S.H., M.H. Hakim-Hakim Agung sebagai anggota dan diucapkan dalam

In
A
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan
dihadiri para anggota tersebut dan dibantu oleh Liliek Prisbawono Adi,
ah

S.H.,M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh para pihak.

l ik
Hakim-hakim Anggota Ketua Majelis
m

ub
ttd./ Dr. Yakup Ginting, S.H., C.N., M.Kn. ttd./
ttd./ Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H. H. Mahdi Soroinda Nasution, S.H., M.Hum,
ka

ep
Biaya – biaya : Panitera Pengganti
ah

1. M e t e r a i……………… Rp6.000,00 ttd./


R
2. R e d a k s i ................... Rp5.000,00 Liliek Prisbawono Adi, S.H.,M.H.,

si
3. Administrasi perkara
kasasi perdata …………. Rp489.000,00

ne
ng

J u m l a h……………….. Rp500.000,00

do
gu

Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG RI.
a.n. Panitera
In
A

Panitera Muda Perdata


ah

lik

DR. PRI PAMBUDI TEGUH, SH.,MH.


Nip. 19610313 198803 1003
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on
gu

Hal. 23 dari 23 hal. Put. No. 2815 K/PDT/2014


d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG
JASA KONSTRUKSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan


makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945;
b. bahwa jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial,
dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna
menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional;
c. bahwa berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi baik
kepada kepentingan pengembangan jasa konstruksi sesuai dengan karakteristiknya,
yang mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan
daya saing secara optimal, maupun bagi kepentingan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c diperlukan Undang-
undang tentang Jasa Konstruksi;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG JASA KONSTRUKSI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


2. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerjaan konstruksi;
3. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta
kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain;
4. Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau
pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi;
5. Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya
menyediakan layanan jasa konstruksi;
6. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum
antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi;
7. Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh
penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan
maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat
kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa;
8. Forum jasa konstruksi adalah sarana komunikasi dan konsultasi antara masyarakat jasa
konstruksi dan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah jasa
konstruksi nasional yang bersifat nasional, independen, dan mandiri;
9. Registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan
keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin
usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat;
10. Perencana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan atau bentuk fisik
lain;
11. Pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi
bentuk bangunan atau bentuk fisik lain;
12. Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu
melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi
sampai selesai dan diserahterimakan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Pengaturan jasa konstruksi berlandaskan pada asas kejujuran dan keadilan, manfaat,
keserasian, keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, keamanan dan keselamatan
demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pasal 3

Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk :

a. memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan


struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas;

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


b. mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan
kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta
meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.

BAB III
USAHA JASA KONSTRUKSI

Bagian Pertama
Jenis, Bentuk, dan Bidang Usaha

Pasal 4

(1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan
konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh
perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.

(2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan
konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi
pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.

(3) Usaha pelaksanaan konstruksi memberikan layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan
konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari
penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.

(4) Usaha pengawasan konstruksi memberikan layanan jasa pengawasan baik keseluruhan
maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai
dengan penyerahan akhir hasil konstruksi.

Pasal 5

(1) Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha.

(2) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selaku pelaksana konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil,
yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil.

(3) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan
yang sesuai dengan bidang keahliannya.

(4) Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang
berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau
badan usaha asing yang dipersamakan.

Pasal 6

Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil dan/atau mekanikal
dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya.

Pasal 7

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Ketentuan tentang jenis usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), bentuk usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Persyaratan Usaha, Keahlian, dan Keterampilan

Pasal 8

Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan
usaha harus :

a. memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi;


b. memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.

Pasal 9

(1) Perencana konstruksi dan pengawas konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat
keahlian.

(2) Pelaksana konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat keterampilan kerja dan
sertifikat keahlian kerja.

(3) Orang perseorangan yang dipekerjakan oleh badan usaha sebagai perencana konstruksi atau
pengawas konstruksi atau tenaga tertentu dalam badan usaha pelaksana konstruksi harus
memiliki sertifikat keahlian.

(4) Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada pelaksana
konstruksi harus memiliki sertifikat keterampilan dan keahlian kerja.

Pasal 10

Ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha,


sertifikasi keterampilan, dan sertifikasi keahlian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Tanggung Jawab Profesional

Pasal 11

(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan orang perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 harus bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilandasi prinsip-prinsip keahlian
sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan
profesinya dengan tetap mengutamakan kepentingan umum.

(3) Untuk mewujudkan terpenuhinya tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dapat ditempuh melalui mekanisme pertanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Bagian Keempat
Pengembangan Usaha

Pasal 12

(1) Usaha jasa konstruksi dikembangkan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan
efisien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah, dan kecil serta
antara usaha yang bersifat umum, spesialis, dan keterampilan tertentu.

(2) Usaha perencanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi dikembangkan ke arah usaha
yang bersifat umum dan spesialis.

(3) Usaha pelaksanaan konstruksi dikembangkan ke arah :

a. usaha yang bersifat umum dan spesialis;


b. usaha orang perseorangan yang berketerampilan kerja.

Pasal 13

Untuk mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha melalui :

a. perluasan dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan


persyaratan dalam pendanaan,
b. pengembangan jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan
tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau
akibat dari kegagalan bangunan.

BAB IV
PENGIKATAN PEKERJAAN KONSTRUKSI

Bagian Pertama
Para Pihak

Pasal 14

Para pihak dalam pekerjaan konstruksi terdiri dari :

a. pengguna jasa;
b. penyedia jasa.

Pasal 15

(1) Pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dapat menunjuk wakil untuk
melaksanakan kepentingannya dalam pekerjaan konstruksi.

(2) Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang
didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan
bukan bank.

(3) Bukti kemampuan membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diwujudkan dalam
bentuk lain yang disepakati dengan mempertimbangkan lokasi, tingkat kompleksitas, besaran

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


biaya, dan/atau fungsi bangunan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara pengguna jasa
dan penyedia jasa.

(4) Jika pengguna jasa adalah Pemerintah, pembuktian kemampuan untuk membayar
diwujudkan dalam dokumen tentang ketersediaan anggaran.

(5) Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan
pekerjaan konstruksi.

Pasal 16

(1) Penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b terdiri dari:

a. perencana konstruksi;
b. pelaksana konstruksi;
c. pengawas konstruksi.

(2) Layanan jasa yang dilakukan oleh penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tiap-tiap penyedia jasa secara terpisah dalam pekerjaan konstruksi.

(3) Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dapat dilakukan secara
terintegrasi dengan memperhatikan besaran pekerjaan atau biaya, penggunaan teknologi
canggih, serta risiko besar bagi para pihak ataupun kepentingan umum dalam satu pekerjaan
konstruksi.

Bagian Kedua
Pengikatan Para Pihak

Pasal 17

(1) Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan
yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas.

(2) Pelelangan terbatas hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang dinyatakan telah lulus
prakualifikasi.

(3) Dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan
langsung atau penunjukan langsung.

(4) Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara
kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa.

(5) Pemilihan penyedia jasa hanya boleh diikuti oleh penyedia jasa yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.

(6) Badan-badan usaha yang dimiliki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada
pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi
secara bersamaan.

Pasal 18

(1) Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup :

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


a. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-
ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami;
b. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan.

(2) Dalam pengikatan, penyedia jasa wajib menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip
keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa.

(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi kedua
pihak dan salah satu pihak tidak dapat mengubah dokumen tersebut secara sepihak sampai
dengan penandatanganan kontrak kerja konstruksi.

(4) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti penetapan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk menjamin
terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi
dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Pasal 19

Jika pengguna jasa mengubah atau membatalkan penetapan tertulis, atau penyedia jasa
mengundurkan diri setelah diterbitkannya penetapan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) huruf b, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, maka
pihak yang mengubah atau membatalkan penetapan, atau mengundurkan diri wajib dikenai ganti
rugi atau bisa dituntut secara hukum.

Pasal 20

Pengguna jasa dilarang memberikan pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi untuk
mengerjakan satu pekerjaan konstruksi pada lokasi dan dalam kurun waktu yang sama tanpa
melalui pelelangan umum ataupun pelelangan terbatas.

Pasal 21

(1) Ketentuan mengenai pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, dan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 berlaku juga dalam pengikatan antara penyedia jasa dan subpenyedia jasa.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17, penerbitan dokumen dan penetapan penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Kontrak Kerja Konstruksi

Pasal 22

(1) Pengaturan hubungan kerja berdasarkan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(3) harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi.

(2) Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai :

a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak;

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai
pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu
pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli
untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi.
e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan
konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak
penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya
melaksanakan pekerjaan konstruksi.
f. cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam
melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
g. cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian
perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak
kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang
timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi
salah satu pihak.
k. kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau
pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
l. perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
m. aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan
tentang lingkungan.

(3) Kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan tentang hak
atas kekayaan intelektual.

(4) Kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif.

(5) Kontrak kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi, dapat
memuat ketentuan tentang sub-penyedia jasa serta pemasok bahan dan atau komponen
bangunan dan atau peralatan yang harus memenuhi standar yang berlaku.

(6) Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja
konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

(7) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
juga dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dengan subpenyedia jasa.

(8) Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak atas
kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemberian insentif sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dan mengenai pemasok dan/atau komponen bahan bangunan dan/atau
peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PENYELENGGARAAN
PEKERJAAN KONSTRUKSI

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pasal 23

(1) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan
beserta pengawasannya yang masing-masing tahap dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan,
pengerjaan, dan pengakhiran.

(2) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan,


keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan
setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

(3) Para pihak dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat menggunakan


subpenyedia jasa yang mempunyai keahlian khusus sesuai dengan masing-masing tahapan
pekerjaan konstruksi.

(2) Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.

(3) Penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi hak-hak subpenyedia
jasa sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan
subpenyedia jasa.

(4) Subpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi kewajiban-
kewajibannya sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja konstruksi antara penyedia jasa dan
subpenyedia jasa.

BAB VI
KEGAGALAN BANGUNAN

Pasal 25

(1) Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan.

(2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama
10 (sepuluh) tahun.

(3) Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga
selaku penilai ahli.

Pasal 26

(1) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan perencana atau
pengawas konstruksi, dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


perencana atau pengawas konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang profesi dan
dikenakan ganti rugi.

(2) Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi
dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib
bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi.

Pasal 27

Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pengguna jasa dalam
pengelolaan bangunan dan hal tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pengguna
jasa wajib bertanggung jawab dan dikenai ganti rugi.

Pasal 28

Ketentuan mengenai jangka waktu dan penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
tanggung jawab perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 serta tanggung jawab pengguna jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PERAN MASYARAKAT

Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban

Pasal 29

Masyarakat berhak untuk :

a. melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi;


b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung
sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Pasal 30

Masyarakat berkewajiban :

a. menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa
konstruksi;
b. turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan
umum.

Bagian Kedua
Masyarakat Jasa Konstruksi

Pasal 31

(1) Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan
dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


(2) Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat(1)
dilaksanakan melalui suatu forum jasa konstruksi.

(3) Penyelenggaraan peran masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat(1)
dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga yang
independen dan mandiri.

Pasal 32

(1) Forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) terdiri atas unsur-unsur :

a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi;


b. asosiasi profesi jasa konstruksi;
c. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha jasa konstruksi;
d. masyarakat intelektual;
e. organisasi kemasyarakatan yang berkaitan dan berkepentingan di bidang jasa konstruksi
dan/atau yang mewakili konsumen jasa konstruksi;
f. instansi Pemerintah; dan
g. unsur-unsur lain yang dianggap perlu.

(2) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berperan dalam upaya menumbuhkembangkan usaha jasa konstruksi nasional yang
berfungsi untuk :

a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;


b. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan jasa konstruksi nasional;
c. tumbuh dan berkembangnya peran pengawasan masyarakat;
d. memberi masukan kepada Pemerintah dalam merumuskan pengaturan, pemberdayaan,
dan pengawasan.

Pasal 33

(1) Lembaga sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3) beranggotakan wakil-wakil dari:

a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi;


b. asosiasi profesi jasa konstruksi;
c. pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa konstruksi; dan
d. instansi Pemerintah yang terkait.

(2) Tugas lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi;


b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi;
c. melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan
sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja;

d. melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi;


e. mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa
konstruksi.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


(3) Untuk mendukung kegiatannya, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengusahakan perolehan dana dari masyarakat jasa konstruksi yang berkepentingan.

Pasal 34

Ketentuan mengenai forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PEMBINAAN

Pasal 35

(1) Pemerintah melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan,
dan pengawasan.

(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan peraturan
perundang-undangan dan standar-standar teknis.

(3) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap usaha jasa
konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan
perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi.

(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama-
sama dengan masyarakat jasa konstruksi.

(6) Sebagian tugas pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada
Pemerintah Daerah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA

Bagian Pertama
Umum

Pasal 36

(1) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

(3) Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para
pihak yang bersengketa.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Pasal 37

(1) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-
masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi,
serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan.

(2) Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak.

(3) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat jasa konstruksi.

Bagian Ketiga
Gugatan Masyarakat

Pasal 38

(1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan
gugatan ke pengadilan secara :

a. orang perseorangan;
b. kelompok orang dengan pemberian kuasa;
c. kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.

(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi peri kehidupan pokok masyarakat,
Pemerintah wajib berpihak pada dan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Pasal 39

Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) adalah tuntutan untuk melakukan
tindakan tertentu dan/atau tuntutan berupa biaya atau pengeluaran nyata, dengan tidak menutup
kemungkinan tuntutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 40

Tata cara pengajuan gugatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1)
diajukan oleh orang perseorangan, kelompok orang, atau lembaga kemasyarakatan dengan
mengacu kepada Hukum Acara Perdata.

BAB X
SANKSI

Pasal 41

Penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas
pelanggaran Undang-undang ini.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pasal 42

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada
penyedia jasa berupa:

a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi;
e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang dapat dikenakan kepada
pengguna jasa berupa :

a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi;
e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi;
f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi.

(3) Ketentuan mengenai tata laksana dan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

(1) Barang siapa yang melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi
ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan
bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak
10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

(2) Barang siapa yang melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau
tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan
pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun
penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.

(3) Barang siapa yang melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan
sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi
melakukan penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima)
tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44

(1) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan jasa konstruksi yang
telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku
sampai diadakan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


(2) Penyedia jasa yang telah memperoleh perizinan sesuai dengan bidang usahanya dalam
waktu 1 (satu) tahun menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, terhitung sejak
diundangkannya.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 45

Pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur hal yang sama dan bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini, dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 46

Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini, dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 54

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


PENJELASAN
ATAS
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG

JASA KONSTRUKSI

I. U M U M

1. Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan


strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau
bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi
mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang
ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan
pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya berbagai industri barang dan jasa
yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
2. Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam
pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur
usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.

Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan


pekerjaan konstruksi secara lebih efisien dan efektif, sedangkan struktur usaha yang
kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik
yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis,
dan terampil, serta perlu diwujudkan pula ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi
untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa
dalam hak dan kewajiban.

3. Dewasa ini, jasa konstruksi merupakan bidang usaha yang banyak diminati oleh anggota
masyarakat di berbagai tingkatan sebagaimana terlihat dari makin besarnya jumlah
perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi.

Peningkatan jumlah perusahaan ini ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualifikasi
dan kinerjanya, yang tercermin pada kenyataan bahwa mutu produk, ketepatan waktu
pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal, dan teknologi
dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan.

Hal ini disebabkan oleh karena persyaratan usaha serta persyaratan keahlian dan
keterampilan belum diarahkan untuk mewujudkan keandalan usaha yang profesional.

Dengan tingkat kualifikasi dan kinerja tersebut, pada umumnya pangsa pasar pekerjaan
konstruksi yang berteknologi tinggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa
konstruksi nasional.

Kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi perlu ditingkatkan,


termasuk kepatuhan para pihak, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa, dalam
pemenuhan kewajibannya serta pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan
aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, agar dapat mewujudkan
bangunan yang berkualitas dan mampu berfungsi sebagaimana yang direncanakan.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan manfaat dan arti penting jasa konstruksi masih
perlu ditumbuhkembangkan agar mampu mendukung terwujudnya ketertiban dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi secara optimal.

Kondisi jasa konstruksi nasional dewasa ini sebagaimana tercermin dalam uraian
tersebut di atas disebabkan oleh dua faktor:

a. faktor internal, yakni:

1) pada umumnya jasa konstruksi nasional masih mempunyai kelemahan dalam manajemen,
penguasaan teknologi, dan permodalan, serta keterbatasan tenaga ahli dan tenaga terampil;

2) struktur usaha jasa konstruksi nasional belum tertata secara utuh dan kokoh yang tercermin
dalam kenyataan belum terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa dalam
berbagai klasifikasi dan/atau kualifikasi;

b. faktor eksternal, yakni;

1) kekurangsetaraan hubungan kerja antara pengguna jasa dan penyedia jasa;


2) belum mantapnya dukungan berbagai sektor secara langsung maupun tidak langsung
yang mempengaruhi kinerja dan keandalan jasa konstruksi nasional, antara lain akses
kepada permodalan, pengembangan profesi keahlian dan profesi keterampilan,
ketersediaan bahan dan komponen bangunan yang standar;
3). belum tertatanya pembinaan jasa konstruksi secara nasional, masih bersifat parsial
dan sektoral.

Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya, dalam dua dasa warsa terakhir,
jasa konstruksi nasional telah menjadi salah satu potensi Pembangunan Nasional dalam
mendukung perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja serta peningkatan penerimaan
negara. Dengan demikian potensi jasa konstruksi nasional ini perlu ditumbuhkembangkan agar
lebih mampu berperan dalam pembangunan nasional.

4. Sejalan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan perluasan cakupan, kualitas


hasil maupun tertib pembangunan, telah membawa konsekuensi meningkatnya
kompleksitas pekerjaan konstruksi, tuntutan efisiensi, tertib penyelenggaraan, dan
kualitas hasil pekerjaan konstruksi. Selain itu, tata ekonomi dunia telah mengamanatkan
hubungan kerja sama ekonomi internasional yang semakin terbuka dan memberikan
peluang yang semakin luas bagi jasa konstruksi nasional.

Kedua fenomena tersebut merupakan tantangan bagi jasa konstruksi nasional untuk
meningkatkan kinerjanya agar mampu bersaing secara profesional dan mampu menghadapi
dinamika perkembangan pasar dalam dan luar negeri.

5. Peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional memerlukan iklim usaha yang
kondusif, yakni :

a. terbentuknya kepranataan usaha, meliputi :

1) persyaratan usaha yang mengatur klasifikasi dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi;

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


2) standard klasifikasi dan kualifikasi keahlian dan keterampilan yang mengatur bidang dan
tingkat kemampuan orang perseorangan yang bekerja pada perusahaan jasa konstruksi ataupun
yang melakukan usaha orang perseorangan;

3) tanggung jawab profesional yakni penegasan atas tanggung jawab terhadap hasil
pekerjaannya;

4) terwujudnya perlindungan bagi pekerja konstruksi yang meliputi: kesehatan dan keselamatan
kerja, serta jaminan sosial;

5) terselenggaranya proses pengikatan yang terbuka dan adil, yang dilandasi oleh persaingan
yang sehat;

6) pemenuhan kontrak kerja konstruksi yang dilandasi prinsip kesetaraan kedudukan antarpihak
dalam hak dan kewajiban dalam suasana hubungan kerja yang bersifat terbuka, timbal balik, dan
sinergis yang memungkinkan para pihak untuk mendudukkan diri pada fungsi masing-masing
secara konsisten;

b. dukungan pengembangan usaha, meliputi:

1) tersedianya permodalan termasuk pertanggungan yang sesuai dengan karakteristik usaha


jasa konstruksi;

2) terpenuhinya ketentuan tentang jaminan mutu;

3) berfungsinya asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi dalam memenuhi kepentingan


anggotanya termasuk memperjuangkan ketentuan imbal jasa yang adil;

c. berkembangnya partisipasi masyarakat, yakni:

timbulnya kesadaran masyarakat akan mendorong terwujudnya tertib jasa konstruksi


serta mampu untuk mengaktualisasikan hak dan kewajibannya;

d. terselenggaranya pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan yang dilakukan oleh


Pemerintah dan/atau Masyarakat Jasa Konstruksi bagi para pihak dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi agar mampu memenuhi berbagai ketentuan yang
dipersyaratkan ataupun kewajiban-kewajiban yang diperjanjikan;
e. perlunya Masyarakat Jasa Konstruksi dengan unsur asosiasi perusahaan dan asosiasi
profesi membentuk lembaga untuk pengembangan jasa konstruksi.

f. Untuk meningkatkan pemberdayaan potensi nasional secara optimal dalam


penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, pengguna jasa dan penyedia jasa perlu
mengutamakan penggunaan jasa dan barang produksi nasional/dalam negeri
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang mengenai usaha kecil.
g. Untuk mengembangkan jasa konstruksi sebagaimana telah diuraikan di atas memerlukan
pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, terpadu, dan menyeluruh dalam
bentuk Undang-undang sebagai landasan hukum.
h. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi mengatur tentang ketentuan umum, usaha jasa
konstruksi, pengikatan pekerjaan konstruksi, penyelenggaraan pekerjaan konstruksi,
kegagalan bangunan, peran masyarakat, pembinaan, penyelesaian sengketa, sanksi,
ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


i. Pengaturan tersebut dilandasi oleh asas kejujuran dan keadilan, manfaat, keserasian,
keseimbangan, kemandirian, keterbukaan, kemitraan, serta keamanan dan keselamatan
demi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
j. Dengan Undang-undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa
konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik
nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam
Undang-undang tentang Jasa Konstruksi.
k. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi ini menjadi landasan untuk menyesuaikan
ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait
yang tidak sesuai. Undang-undang ini mempunyai hubungan komplementaritas dengan
peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain:

1) Undang-undang yang mengatur tentang wajib daftar perusahaan;


2) Undang-undang yang mengatur tentang perindustrian;
3) Undang-undang yang mengatur tentang ketenagalistrikan;
4) Undang-undang yang mengatur tentang kamar dagang dan industri;
5) Undang-undang yang mengatur tentang kesehatan kerja;
6) Undang-undang yang mengatur tentang usaha perasuransian;
7) Undang-undang yang mengatur tentang jaminan sosial tenaga kerja;
8) Undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas;
9) Undang-undang yang mengatur tentang usaha kecil;
10)Undang-undang yang mengatur tentang hak cipta;
11)Undang-undang yang mengatur tentang paten;
12)Undang-undang yang mengatur tentang merek;
13)Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup;
14)Undang-undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan;
15)Undang-undang yang mengatur tentang perbankan;
16)Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen;
17)Undang-undang yang mengatur tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat;
18)Undang-undang yang mengatur tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian
sengketa;
19)Undang-undang yang mengatur tentang penataan ruang.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1
Dalam jasa konstruksi terdapat 2 (dua) pihak yang mengadakan hubungan kerja berdasarkan
hukum yakni pengguna jasa dan penyedia jasa.

Angka 2
Pekerjaan arsitektural mencakup antara lain : pengolahan bentuk dan masa bangunan
berdasarkan fungsi serta persyaratan yang diperlukan setiap pekerjaan konstruksi.

Pekerjaan sipil mencakup antara lain : pembangunan pelabuhan, bandar udara, jalan kereta api,
pengamanan pantai, saluran irigasi/kanal, bendungan, terowongan, gedung, jalan dan jembatan,
reklamasi rawa, pekerjaan pemasangan perpipaan, pekerjaan pemboran, dan pembukaan lahan.

Pekerjaan mekanikal dan elektrikal merupakan pekerjaan pemasangan produk-produk rekayasa


industri.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pekerjaan mekanikal mencakup antara lain : pemasangan turbin, pendirian dan pemasangan
instalasi pabrik, kelengkapan instalasi bangunan, pekerjaan pemasangan perpipaan air, minyak,
dan gas.

Pekerjaan elektrikal mencakup antara lain: pembangunan jaringan transmisi dan distribusi
kelistrikan, pemasangan instalasi kelistrikan, telekomunikasi beserta kelengkapannya.

Pekerjaan tata lingkungan mencakup antara lain: pekerjaan pengolahan dan penataan akhir
bangunan maupun lingkungannya.

Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan
baik yang ada di atas, di bawah tanah dan/atau air.

Dalam pengertian menyatu dengan tempat kedudukan terkandung makna bahwa proses
penyatuannya dilakukan melalui penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Pengertian menyatu dengan tempat kedudukan tersebut dalam pelaksanaannya perlu


memperhatikan adanya asas pemisahan horisontal dalam pemilikan hak atas tanah terhadap
bangunan yang ada di atasnya, sebagaimana asas hukum yang dianut dalam Undang-undang
mengenai agraria.

Hasil pekerjaan konstruksi ini dapat juga dalam bentuk fisik lain, antara lain : dokumen, gambar
rencana, gambar teknis, tata ruang dalam (interior), dan tata ruang luar (exterior), atau
penghancuran bangunan (demolition).

Angka 3
Pengertian orang perseorangan adalah warga negara, baik Indonesia maupun asing. Pengertian
badan adalah badan usaha dan bukan badan usaha, baik Indonesia maupun asing.

Badan usaha dapat berbentuk badan hukum, antara lain, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi,
atau bukan badan hukum, antara lain: CV, Firma.

Badan yang bukan badan usaha berbentuk badan hukum, antara lain instansi dan lembaga-
lembaga Pemerintah.

Pemilik pekerjaan/proyek adalah orang perseorangan atau badan yang memiliki


pekerjaan/proyek yang menyediakan dana dan bertanggung jawab di bidang dana.

Angka 4
Pengertian orang perseorangan dan badan usaha, penjelasannya sama dengan penjelasan pada
angka 3.

Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi penyedia jasa dapat berfungsi sebagai subpenyedia
jasa dari penyedia jasa lainnya yang berfungsi sebagai penyedia jasa utama.

Angka 5
Cukup jelas

Angka 6
Kesalahan penyedia jasa adalah perbuatan yang dilakukan secara sadar dan direncanakan atau
akibat ketidaktahuan atau kealpaan yang menyimpang dari kontrak kerja konstruksi sehingga
menimbulkan kerugian.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Kesalahan pengguna jasa adalah perbuatan yang disebabkan karena pengelolaan bangunan
yang tidak sesuai dengan fungsinya.

Angka 7
Cukup jelas

Angka 8
Cukup jelas

Angka 9
Cukup jelas

Angka 10
Cukup jelas

Angka 11
Cukup jelas

Pasal 2
Asas Kejujuran dan Keadilan

Asas Kejujuran dan Keadilan mengandung pengertian kesadaran akan fungsinya dalam
penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban
guna memperoleh haknya.

Asas Manfaat
Asas Manfaat mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus
dilaksanakan berlandaskan pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung
jawab, efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi
para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional.

Asas Keserasian
Asas Keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa dan
penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan lingkungan untuk
menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi.

Asas Keseimbangan
Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan
penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib
mematuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain
dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada
penyedia jasa.

Asas Kemandirian
Asas Kemandirian mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa
konstruksi nasional.

Asas Keterbukaan
Asas Keterbukaan mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses sehingga
memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajiban secara

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi
sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan.

Asas Kemitraan
Asas Kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis, terbuka,
bersifat timbal balik, dan sinergis.

Asas Keamanan dan Keselamatan


Asas Keamanan dan Keselamatan mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan
jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja, serta pemanfaatan hasil pekerjaan
konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum.

Pasal 3

Huruf a
Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam sistem pembangunan nasional,
untuk mendukung berbagai bidang kehidupan masyarakat dan menumbuhkembangkan berbagai
industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c.
Peran masyarakat meliputi baik peran yang bersifat langsung sebagai penyedia jasa, pengguna
jasa, dan pemanfaat hasil pekerjaan konstruksi, maupun peran sebagai warganegara yang
berkewajiban turut melaksanakan pengawasan untuk menegakkan ketertiban penyelenggaraan
pembangunan jasa konstruksi dan melindungi kepentingan umum.

Pasal 4

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pekerjaan perencanaan konstruksi dapat dilakukan dalam satu paket kegiatan mulai dari studi
pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi atau perbagian
dari kegiatan.

Studi pengembangan mencakup studi insepsion, studi fasibilitas, penyusunan kerangka usulan.

Ayat (3)
Pekerjaan pelaksanaan konstruksi dapat diadakan dalam satu paket kegiatan mulai dari
penyiapan lapangan sampai dengan hasil akhir pekerjaan atau per bagian kegiatan.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)
Cukup jelas

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Ayat (2)
Pembatasan pekerjaan yang boleh dilakukan oleh orang perseorangan dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan terhadap para pihak maupun masyarakat atas risiko pekerjaan
konstruksi.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

a. Fungsi perizinan yang mempunyai fungsi publik, dimaksudkan untuk melindungi


masyarakat dalam usaha dan/atau pekerjaan jasa konstruksi.

b. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat


keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di
bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang
dilakukan oleh badan/lembaga yang ditugasi untuk melaksanakan tugas-tugas
tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui
kegiatan registrasi, yang meliputi : klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan
demikian hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan
untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi.

Penyelenggaraan jasa konstruksi berskala kecil pada dasarnya melibatkan pengguna jasa dan
penyedia jasa orang perseorangan atau usaha kecil.

Untuk tertib penyelenggaraan jasa konstruksi ketentuan yang menyangkut keteknikan misalnya
sertifikasi tenaga ahli harus tetap dipenuhi secara bertahap tergantung kondisi setempat.

Namun penerapan ketentuan perikatan dapat disederhanakan dan pemilihan penyedia jasa
dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung sesuai ketentuan
Pasal 17 ayat (3).

Pasal 9

(ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4)

a. Standar klasifikasi dan kualifikasi keterampilan kerja dan keahlian kerja adalah
pengakuan tingkat keterampilan kerja dan keahlian kerja setiap orang yang
bekerja di bidang usaha jasa konstruksi ataupun yang bekerja orang
perseorangan.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga
yang ditugasi untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk
mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi yang
meliputi : klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi. Dengan demikian hanya orang
perseorangan yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di
bidang usaha jasa konstruksi.

b. Standardisasi klasifikasi dan kualifikasi keterampilan dan keahlian kerja


bertujuan untuk terwujudnya standar produktivitas kerja dan mutu hasil kerja
dengan memperhatikan standard imbal jasa, serta kode etik profesi untuk
mendorong tumbuh dan berkembangnya tanggung jawab profesional.

c. Pelaksanaan ketentuan sertifikasi khususnya ayat (4) dilaksanakan secara


bertahap sesuai dengan kondisi tenaga kerja konstruksi nasional dan tingkat
kemampuan upaya pemberdayaannya.

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Mekanisme pertanggungan dimaksud dapat dilakukan melalui antara lain sistem asuransi. Di
samping itu untuk memenuhi pertanggungjawaban kepada pengguna jasa, dikenakan sanksi
administratif yang menyangkut profesi.

Pasal 12

Ayat (1)
Dengan pendekatan ini diharapkan terwujud restrukturisasi bidang usaha jasa konstruksi yang
menunjang efisiensi usaha, karena kemampuan penyedia jasa baik dalam skala usaha maupun
kualifikasi usaha akan saling mengisi dalam kemitraan yang sinergis dan komplementer, karena
saling memerlukan, yang dalam hubungan transaksionalnya dilandasi oleh kesetaraan dalam hak
dan kewajiban.

Ayat (2)
Dalam pengembangan usaha tersebut, dimungkinkan tumbuhnya jasa antara lain dalam bentuk
manajemen proyek, manajemen konstruksi, serta bentuk jasa lain sesuai dengan tuntutan dan
pertumbuhan dunia jasa konstruksi.

Ayat (3)
Sama dengan penjelasan ayat (2).

Pasal 13

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pendanaan berupa modal untuk investasi dan modal kerja dapat diperoleh melalui lembaga
keuangan yang terdiri dari bank atau bukan bank sebagai mitra usaha.

Untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dapat
ditempuh melalui pertanggungan dengan mitra usaha antara lain : Jaminan penawaran, jaminan
pelaksanaan, jaminan uang muka, jaminan sosial tenaga kerja, Construction All Risk Insurance,
Professional Liability Insurance, Professional Indemnity Insurance.

Di samping itu jasa konstruksi juga memerlukan dukungan sumber informasi mengenai
ketersediaan peralatan, bahan dan komponen bangunan.

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "wakil" adalah orang perseorangan atau badan yang diberi kuasa secara
hukum untuk bertindak mewakili kepentingan pengguna jasa secara penuh atau terbatas dalam
hubungannya dengan penyedia jasa.

Penunjukan wakil tersebut tidak melepaskan tanggung jawab pengguna jasa atas semua
kewajiban dalam pekerjaan konstruksi yang harus dipenuhi kepada penyedia jasa.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "bukti kemampuan membayar dalam bentuk lain" antara lain jaminan
dalam bentuk barang bergerak dan/atau tidak bergerak.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "kelengkapan yang dipersyaratkan" adalah berbagai surat keterangan
dan izin yang harus dimiliki oleh pengguna jasa yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan
konstruksi.

Pasal 16

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Penggabungan ketiga fungsi tersebut dikenal antara lain dalam model penggabungan
perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement, and construction) serta
model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build) dengan tetap
menjamin terwujudnya efisiensi.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan pada umumnya bersifat kompleks, memerlukan
teknologi canggih serta berisiko besar seperti: pembangunan kilang minyak, pembangkit tenaga
listrik, dan reaktor nuklir.

Dalam pemilihan penyedia jasa untuk pekerjaan tersebut di atas, tetap diwajibkan mengikuti
ketentuan pengikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 17.

Pasal 17

Ayat (1)
Pengikatan merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengguna jasa dan penyedia jasa pada
kedudukan yang sejajar dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan pekerjaan
konstruksi. Dalam setiap tahapan proses ditetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak
yang adil dan serasi yang disertai dengan sanksi.

Prinsip persaingan yang sehat mengandung pengertian, antara lain:

a. diakuinya kedudukan yang sejajar antara pengguna jasa dan penyedia jasa;
b. terpenuhinya ketentuan asas keterbukaan dalam proses pemilihan dan
penetapan;
c. adanya peluang keikutsertaan dalam setiap tahapan persaingan yang sehat bagi
penyedia jasa sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan;
d. keseluruhan pengertian tentang prinsip persaingan yang sehat tersebut dalam
huruf a, b, dan c dituangkan dalam dokumen yang jelas, lengkap, dan diketahui
dengan baik oleh semua pihak serta bersifat mengikat.

Dengan pemilihan atas dasar prinsip persaingan yang sehat, pengguna jasa mendapatkan
penyedia jasa yang andal dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana konstruksi
ataupun bangunan yang berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang ditetapkan. Di
sisi lain merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuh dan
berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing.

Pemilihan yang didasarkan atas persaingan yang sehat dilakukan secara umum, terbatas,
ataupun langsung. Dalam pelelangan umum setiap penyedia jasa yang memenuhi kualifikasi
yang diminta dapat mengikutinya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Keadaan tertentu antara lain meliputi :

1. penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat;


2. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang
sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;
3. pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan
negara;
4. pekerjaan yang berskala kecil.

Ayat (4)
Pertimbangan antarkesesuaian bidang serta keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja
serta kinerja penyedia jasa dimaksudkan agar penyedia jasa yang terpilih betul-betul memiliki

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


kualifikasi dan klasifikasi sebagaimana yang diminta serta memiliki kemampuan nyata untuk
melaksanakan pekerjaan.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "prinsip keahlian dalam menyusun dokumen penawaran" adalah dengan
mengindahkan prinsip profesionalisme, kesesuaian, dan pemenuhan ketentuan sebagaimana
tersebut dalam dokumen pemilihan dan dokumen tersebut dapat dipertanggung jawabkan.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "mengikat", adalah bahwa materi yang tercantum dalam dokumen
penawaran yang disampaikan penyedia jasa, atau dokumen pemilihan yang diterbitkan oleh
pengguna jasa tidak diperkenankan diubah secara sepihak sejak penyampaian dokumen
penawaran sampai dengan penetapan secara tertulis.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Yang dimaksud dengan "perusahaan terafiliasi" adalah perusahaan yang saham mayoritasnya
dimiliki oleh satu perusahaan induk. Pemberian pekerjaan kepada penyedia jasa yang terafiliasi
dengan pengguna jasa tersebut dapat dibenarkan apabila pemilihannya didasarkan pada proses
pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

Pasal 21

Ayat (1)
Pada dasarnya subpenyedia jasa adalah penyedia jasa. Oleh karena itu sebagaimana perlakuan
terhadap penyedia jasa yang berfungsi sebagai penyedia jasa utama, subpenyedia jasa
mempunyai kewajiban yang sama dalam keikutsertaan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi
melalui persaingan yang sehat sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Yang dimaksud dengan "identitas para pihak" adalah nama, alamat, kewarganegaraan,
wewenang penandatanganan, dan domisili.

Huruf b
Lingkup kerja meliputi hal-hal berikut.

1. Volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan termasuk


volume pekerjaan tambah atau kurang. Dalam mengadakan perubahan volume
pekerjaan, perlu ditetapkan besaran perubahan volume yang tidak memerlukan
persetujuan para pihak terlebih dahulu.

Bagi pekerjaan perencanaan dan pengawasan, lingkup pekerjaan dapat berupa


laporan hasil pekerjaan konstruksi yang wajib dipertanggungjawabkan yang
merupakan hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen
tertulis.

2. Persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak
dalam mengadakan interaksi.

3. Persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh


penyedia jasa.

4. Pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain


untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga
kerja dan

masyarakat. Perlindungan tersebut dapat berupa antara lain asuransi atau


jaminan yang diterbitkan oleh bank atau lembaga bukan bank.

5. Laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang


dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis.

Nilai pekerjaan, yakni jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk
pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan.

Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup
pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.

Huruf c dan d
Cukup jelas

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Huruf e
Yang dimaksud dengan "informasi" adalah dokumen yang lengkap dan benar yang harus
disediakan pengguna jasa bagi penyedia jasa agar dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan
tugas dan kewajibannya.

Dokumen tersebut, antara lain, meliputi izin mendirikan bangunan dan dokumen
penyerahan penggunaan lapangan untuk bangunan beserta fasilitasnya.

Huruf f
Pembayaran dapat dilaksanakan secara berkala, atau atas dasar persentase tingkat kemajuan
pelaksanaan pekerjaan, atau cara pembayaran yang dilakukan sekaligus setelah proyek selesai.

Huruf g
Cidera janji adalah suatu keadaan apabila salah satu pihak dalam kontrak kerja konstruksi:

1. tidak melakukan apa yang diperjanjikan; dan/atau


2. melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan; dan/atau
3. melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat; dan/atau
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Yang dimaksud dengan tanggung jawab, antara lain, berupa pemberian kompensasi,
penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil
pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, atau pemberian ganti rugi.

Huruf h
Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang tatacara penyelesaian perselisihan yang
diakibatkan antara lain oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau
pelaksanaan berbagai ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi serta ketentuan tentang tempat
dan cara penyelesaian.

Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun
pengadilan.

Huruf i
Cukup jelas

Huruf j
Keadaan memaksa mencakup:

1. keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak
mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya;
2. keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak
masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya;

Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain,
melalui lembaga pertanggungan (asuransi).

Huruf l
Perlindungan pekerja disesuaikan dengan ketentuan undang-undang mengenai keselamatan dan
kesehatan kerja, serta undang-undang mengenai jaminan sosial tenaga kerja.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Huruf m
Aspek lingkungan mengikuti ketentuan undang-undang mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Ayat (3)
Kekayaan intelektual adalah hasil inovasi perencana konstruksi dalam suatu pelaksanaan
kontrak kerja konstruksi baik bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya yang
kepemilikannya dapat diperjanjikan.

Penggunaan hak atas kekayaan intelektual yang sudah dipatenkan harus dilindungi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "insentif" adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas
prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang
diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai dengan yang dipersyaratkan.

Insentif dapat berupa uang ataupun bentuk lainnya.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)
Tahapan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi adalah perencanaan yang meliputi :
prastudi kelayakan, studi kelayakan, perencanaan umum, dan perencanaan teknik; serta
pelaksanaan beserta pengawasannya yang meliputi : pelaksanaan fisik, pengawasan, uji coba,
dan penyerahan bangunan.

Kegiatan dalam setiap tahap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi meliputi:

a. penyiapan, yaitu kegiatan awal penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk memenuhi


berbagai persyaratan yang diperlukan dalam memulai pekerjaan perencanaan atau
pelaksanaan fisik dan pengawasan;

b. pengerjaan, yaitu ;

1) dalam tahap perencanaan, merupakan serangkaian kegiatan yang menghasilkan


berbagai laporan tentang tingkat kelayakan, rencana umum/induk, dan rencana teknis;
2) dalam tahap pelaksanaan, merupakan serangkaian kegiatan pelaksanaan fisik beserta
pengawasannya yang menghasilkan bangunan;

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


1. pengakhiran, yaitu kegiatan untuk menyelesaikan penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi.

1) dalam tahap perencanaan, dengan disetujuinya laporan akhir dan dilaksanakannya


pembayaran akhir;
2) dalam tahap pelaksanaan dan pengawasan, dengan dilakukannya penyerahan akhir
bangunan dan dilaksanakannya pembayaran akhir.

Ayat (2)
Ketentuan tentang keteknikan meliputi : standar konstruksi bangunan, standar mutu hasil
pekerjaan, standar mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan standar mutu peralatan.

Ketentuan tentang ketenagakerjaan meliputi : persyaratan standar keahlian dan keterampilan


yang meliputi bidang dan tingkat keahlian serta keterampilan yang diperlukan dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi.

Ayat (3)
Kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi :

a. Dalam kegiatan penyiapan :

1. pengguna jasa, antara lain :

a. menyerahkan dokumen lapangan untuk pelaksanaan konstruksi, dan fasilitas


sebagaimana ditentukan dalam kontrak kerja konstruksi;
b. membayar uang muka atas penyerahan jaminan uang muka dari penyedia jasa
apabila diperjanjikan.

2. penyedia jasa, antara lain :

a) menyampaikan usul rencana kerja dan penanggung jawab pekerjaan untuk mendapatkan
persetujuan pengguna jasa;

b) memberikan jaminan uang muka kepada pengguna jasa apabila diperjanjikan;

c) mengusulkan calon subpenyedia jasa dan pemasok untuk mendapatkan persetujuan


pengguna jasa apabila diperjanjikan.

b. Dalam kegiatan pengerjaan :

1. pengguna jasa, antara lain :

memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan kontrak kerja dan menanggung semua risiko atas
ketidakbenaran permintaan, ketetapan yang dimintanya/ditetapkannya yang tertuang dalam
kontrak kerja;

1. penyedia jasa, antara lain:

mempelajari, meneliti kontrak kerja, dan melaksanakan sepenuhnya semua materi kontrak kerja
baik teknik dan administrasi, dan menanggung segala risiko akibat/kelalaiannya.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


c. Dalam kegiatan pengakhiran :

1. pengguna jasa, antara lain :

memenuhi tanggung jawabnya sesuai kontrak kerja kepada penyedia jasa yang telah berhasil
mengakhiri dan melaksanakan serah terima akhir secara teknis dan administratif kepada
pengguna jasa sesuai kontrak kerja.

1. penyedia jasa, antara lain :

meneliti secara seksama keseluruhan pekerjaan yang dilaksanakannya serta menyelesaikannya


dengan baik sebelum mengajukan serah terima akhir kepada pengguna jasa.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)
Pengikutsertaan subpenyedia jasa dibatasi oleh adanya tuntutan pekerjaan yang memerlukan
keahlian khusus dan ditempuh melalui mekanisme subkontrak, dengan tidak mengurangi
tanggung jawab penyedia jasa terhadap seluruh hasil pekerjaannya.

Bagian pekerjaan yang akan dilaksanakan subpenyedia jasa harus mendapat persetujuan
pengguna jasa.

Pengikutsertaan subpenyedia jasa bertujuan memberikan peluang bagi subpenyedia jasa yang
mempunyai keahlian spesifik melalui mekanisme keterkaitan dengan penyedia jasa.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Hak-hak subpenyedia jasa, antara lain adalah hak untuk menerima pembayaran secara tepat
waktu dan tepat jumlah yang harus dijamin oleh penyedia jasa. Dalam hal ini pengguna jasa
mempunyai kewajiban untuk memantau pelaksanaan pemenuhan hak subpenyedia jasa oleh
penyedia jasa.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Penetapan kegagalan hasil pekerjaan konstruksi oleh pihak ketiga selaku penilai ahli

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan penetapan suatu kegagalan hasil
pekerjaan konstruksi.

Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang atau lembaga yang disepakati
para pihak, yang bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara obyektif dan
profesional.

Pasal 26

Ayat (1)
Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan yang
pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem pertanggungan bagi
perencana dan pengawas konstruksi.

Ayat (2)
Pertanggungjawaban pelaksana konstruksi di bidang usaha dikenakan kepada pelaksana
konstruksi maupun sub pelaksana konstruksi dalam bentuk sanksi administrasi sesuai tingkat
kesalahan.

Besaran ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaksana konstruksi dalam hal terjadi
kegagalan hasil pekerjaan konstruksi diperhitungkan dengan mempertimbangkan antara lain
tingkat kegagalannya.

Pelaksanaan ganti rugi dapat dilakukan melalui mekanisme pertanggungan yang


pemberlakuannya disesuaikan dengan tingkat pengembangan sistem pertanggungan bagi
pelaksana konstruksi.

Pasal 27

Lihat penjelasan Pasal 25 ayat (3).

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Hak masyarakat dalam melakukan pengawasan, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan pekerjaan, maupun pemanfaatan hasil-hasilnya.

Penggantian yang layak diberikan kepada yang dirugikan sepanjang dapat membuktikan bahwa
secara langsung dirugikan sebagai akibat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan
pekerjaan konstruksi didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

Kewajiban dimaksud mengandung makna bahwa setiap orang turut berperan serta dalam
menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang jasa konstruksi.

Pasal 31

Cukup jelas

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pasal 32

Ayat (1)
Asosiasi perusahaan jasa konstruksi, merupakan satu atau lebih wadah organisasi dan atau
himpunan para pengusaha yang bergerak di bidang jasa konstruksi untuk memperjuangkan
kepentingan dan aspirasi para anggotanya.

Asosiasi profesi jasa konstruksi, merupakan satu atau lebih wadah organisasi atau himpunan
perorangan, atas dasar kesamaan disiplin keilmuan di bidang konstruksi atau kesamaan profesi
di bidang jasa konstruksi, dalam usaha mengembangkan keahlian dan memperjuangkan aspirasi
anggota.

Asosiasi bersifat independen, mandiri dan memiliki serta menjunjung tinggi kode etik profesi.

Mitra usaha asosiasi perusahaan barang dan jasa adalah orang perseorangan atau badan usaha
yang kegiatan usahanya di bidang penyediaan barang atau jasa baik langsung maupun tidak
langsung mendukung usaha jasa konstruksi.

Wakil-wakil instansi Pemerintah yang duduk dalam forum jasa konstruksi adalah pejabat yang
ditunjuk oleh instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi pembinaan dalam bentuk
pemberdayaan dan pengawasan di bidang jasa konstruksi.

Peran Pemerintah dalam pembinaan jasa konstruksi masih dominan, dengan Undang-Undang
ini, pengembangan usaha jasa konstruksi diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat jasa
konstruksi.

Dalam tahap awal pelaksanaan Undang-Undang ini peran Pemerintah masih diperlukan untuk:

a. mengambil inisiatif/prakarsa dalam mewujudkan peran forum;


b. memberikan dukungan fasilitas termasuk pendanaan untuk memungkinkan
terwujud dan berfungsinya peran masyarakat jasa konstruksi (wadah organisasi
pengembangan jasa konstruksi) berikut lembaga-lembaga pelaksanaannya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)
Wakil instansi Pemerintah yang duduk dalam lembaga adalah yang ditunjuk oleh instansi yang
mempunyai tugas dan fungsi pembinaan di bidang jasa konstruksi.Dalam mewujudkan peran
lembaga, pada tahap awal Pemerintah dapat mengambil inisiatif dalam menetapkan
pembentukan lembaga, serta memberikan dukungan fasilitas termasuk pendanaan
operasionalnya.

Ayat (2)
Huruf a

Pengembangan jasa konstruksi yang dilakukan oleh lembaga dimaksudkan, antara lain:

1) agar penyedia jasa mampu memenuhi standar-standar nasional, regional, dan internasional;

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


2) mendorong penyedia jasa untuk mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional;

3) mengembangkan sistem informasi jasa konstruksi.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

(ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, ayat 5, dan ayat 6)

a. Mengingat peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional, maupun dalam


mendukung perluasan kesempatan usaha dan lapangan kerja, serta mengingat
kewajiban Pemerintah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan
kepentingan nasional pada umumnya, maka Pemerintah berkewajiban untuk
melakukan pembinaan terhadap jasa konstruksi.
b. Pembinaan yang meliputi pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan,
dilakukan oleh Pemerintah terhadap:

(1) jasa konstruksi, dengan tujuan:

a. menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan peran strategisnya dalam


pelaksanaan pembangunan nasional yang membawa konsekuensi timbulnya hak
dan kewajiban yang harus dipenuhinya;
b. mendorong terwujudnya penyedia jasa untuk meningkatkan kemampuannya,
baik secara langsung maupun melalui asosiasi, agar mampu memenuhi hak dan
kewajibannya;
c. menjamin terpenuhinya kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga
mendorong terwujudnya tertib usaha jasa konstruksi maupun tertib
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

2) pengguna jasa, dengan tujuan:

a. menumbuhkan pemahaman dan kesadaran akan tugas dan fungsinya serta hak dan
kewajibannya dalam pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi;

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


b. menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku
sehingga mendorong terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

3) masyarakat, dengan tujuan:

a. menumbuhkan pemahaman akan peran strategis jasa konstruksi dalam pelaksanaan


pembangunan nasional;
b. menumbuhkan kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam mewujudkan tertib usaha
jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam memanfaatkan
hasil pekerjaan konstruksi;
c. dalam pelaksanaannya, pembinaan dapat dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu
kegiatan dalam bentuk forum dan lembaga.
d. Forum merupakan fasilitas dan/atau sarana untuk mendorong terciptanya pemanfaatan
dan pengawasan secara optimal terhadap penyelenggaraan jasa konstruksi nasional
bagi masyarakat pada umumnya dan atau masyarakat jasa konstruksi pada khususnya.
e. Lembaga merupakan wadah pembinaan pelaksanaan pengembangan jasa konstruksi.
f. Sebagian pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat dilimpahkan kepada
Pemerintah Daerah.

Pasal 36

Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang
bersengketa.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda
mengenai suatu sengketa jasa konstruksi untuk menjamin kepastian hukum.

Pasal 37

Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini untuk mempertegas bahwa sengketa jasa konstruksi dapat terjadi pada
kegiatan para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Ayat (2)
Sejalan dengan ketentuan tentang kontrak kerja konstruksi para pihak telah menyetujui bahwa
sengketa diantara mereka dapat diselesaikan dengan menggunakan jasa pihak ketiga sesuai
dengan ketentuan yang berlaku tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian sengketa.

Penunjukan pihak ketiga tersebut dapat dilakukan sebelum sesuatu sengketa terjadi, yaitu
dengan menyepakatinya dan mencantumkannya dalam kontrak kerja konstruksi.

Dalam hal penunjukan pihak ketiga dilakukan setelah sengketa terjadi, maka hal itu harus
disepakati dalam suatu akta tertulis yang ditandatangani para pihak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Jasa pihak ketiga yang dimaksud di atas antara lain: arbitrase baik berupa lembaga atau ad-hoc
yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi, konsiliasi atau penilai ahli.

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hak mengajukan gugatan perwakilan" pada ayat ini adalah hak
kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang
dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan
karena kerugian atau gangguan sebagai akibat kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 39

Khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan
membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu:

a. memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan
kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
b. menyatakan seseorang (salah satu pihak) telah melakukan perbuatan melanggar hukum
karena melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan bersama dalam kontrak kerja
konstruksi;
c. memerintahkan seseorang (salah satu pihak) yang melakukan usaha/kegiatan jasa
konstruksi untuk membuat atau memperbaiki atau mengadakan penyelamatan bagi para
pekerja jasa konstruksi.

Yang dimaksud dengan "biaya atau pengeluaran riil" adalah biaya yang nyata-nyata dapat
dibuktikan sudah dikeluarkan oleh masyarakat dalam kaitan dengan akibat kegiatan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017


Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 45

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3833

Penerapan Doktrin..., Cut Talitha Azaria, FH UI, 2017

Anda mungkin juga menyukai