Anda di halaman 1dari 81

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA ISTRI POLIGAMI

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG


PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
(Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1392/Pdt.G/2017/Pa.Srg)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum (S-1) Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Sultan Ageng Tirtayasa

Disusun Oleh:
Nama : Budiarto Meylando Bangun
NIM : 1111160156
Konsentrasi : Hukum Perdata

Dosen Pembimbing
Pembimbing I : Prof. Dr. Palmawati Tahir, S.H., M.H
Pembimbing II : Dede Agus, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2022
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : BUDIARTO MEYLANDO BANGUN

Nim : 1111160156

Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Terhadap Para Istri Poligami

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus: Putusan

Pengadilan Agama Serang Nomor

1392/Pdt.G/2019/PA.Srg).

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan bukan

merupakan plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini adalah

plagiat, saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai ketentuan yang berlaku di

Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan dalam keadaan sadar, sehat

wal’afiat dan tanpa tekanan dari manapun juga.

Yang Menyatakan

BUDIARTO MEYLANDO BANGUN


NIM. 1111160156

i
LEMBAR PERSETUJUAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA ISTRI POLIGAMI


MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
(Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1392/Pdt.G/2017/Pa.Srg)

“Disetujui untuk diajukan pada Ujian Skripsi Program Studi S1 Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa”

Pembimbing I Pembimbing II

Prof, Dr. Palmawati Taher, M.H. Dede Agus, S.H.,M.H.


NIP. 195902031986012002 NIP. 1970080202005011002

Mengetahui,

Koordinator Prodi S-1 Ketua Bidang Hukum Perdata

Nurikah, S.H, M.H. Jarkasi Anwar, S.H., M.H.


NIP. 197612112001122001 NIP. 197003012008121002

Dekan Fakultas Hukum Wakil Dekan Bidang Akademik

Dr. Agus Prihartono PS, S.H., M.H. Ridwan, S.H., M.H.


NIP. 197904192002121002 NIP. 197204032006041002

ii
LEMBAR PENGESAHAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA ISTRI POLIGAMI


MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
(Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1392/Pdt.G/2017/Pa.Srg)

“Dipertahankan dihadapat Tim Penelaah Sidang Ujian Skripsi Program Studi S1


Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa”

Serang, Februari 2022


Tim Penelaah Sidang Tanda Tangan
1. Penelaah I
Aris Suhadi, S.H. M.H. (.................................)
NIP. 196002082003121001

2. Penelaah II
Hj, Sariyah, S.H., M.H. (.................................)
NIP. 196010251989891007

3. Penelaah III
Prof. Dr. Palmawati Taher, M.H. (.................................)
NIP. 195902031986012002

4. Penelaah IV
Dede Agus, S.H., M.H. (.................................)
NIP. 1970080202005011002

Mengetahui,
Koordinator Prodi S-1 Ketua Bidang Hukum Perdata

Nurikah, S.H., M.H. Jarkasi Anwar, S.H., M.H.


NIP. 197612112001122001 NIP. 197003012008121002

Dekan Fakultas Hukum Wakil Dekan Bidang Akademik

iii
Dr. Agus Prihartono PS, S.H.,M.H. Ridwan, S.H., M.
NIP. 19790419200212102 NIP.19720403 200604 1 002
LEMBAR MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Berdoa dan berusaha, semua akan indah tepat pada waktunya

-Budiarto Meylando Bangun

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-ku mengenai

kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan

rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh

harapan

(ALKITAB Yeremia 29:11)

PERSEMBAHAN

Dengan ini saya mempersembahkan karya untuk orang tua terkasih, serta

orang-orang baik di sekelilingku yang selalu mendoakan ku dan

memberikan cinta kasihnya, sehingga hal tersebut menjadi kekuatan bagi

saya untuk menyelesaikan Skripsi ini.

Dengan Segenap rasa syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan saya kehidupan yang sangat indah. Semoga keberhasilan ini

menjadi satu langkah awal untuk masa depan saya dalam meraih cita-cita.

Amin.

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yesus

Kristus yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat dan tugas akhir untuk

memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Program S1 Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ISTERI POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi

Kasus : Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg).

Peneliti menyadari bahwa tanpa adanya bantuan, bimbingan serta doa dari

seluruh pihak, maka skripsi ini tidak akan terealisasikan dengan baik. Oleh karena

itu pada kesempatan kali ini dengan penuh kerendahan hati dan rasa hormat,

peneliti ucapkan terima kasih dengan tulus kepada :

1. Prof. Dr. H. Fatah Sulaeman, S.T, M.T., selaku Rektor Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa;

2. Dr. Agus Prihartono PS, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sultan Ageng Trtayasa;

3. Ridwan, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan 1 Bidang Akademik Pengembangan

Inovasi Pengabdian dan Hilirisasi Riset Fakultas Hukum Universitas Sultan

v
Ageng Tirtayasa; sekaligus Penelaah I dari skripsi peneliti yang telah

memberikan masukan dan saran pada peneliti;

4. Rully Syahrul Mucharom, S.H., M.H., selaku Wakli Dekan II Perencanaan

Pengelolaan Keuangan Dan Fasilitas Fakultas Hukum Universitas Sultan

Ageng Trtayasa;

5. Dr. Rena Yulia, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan

Alumni dan Penguatan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa;

6. Nurikah, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi SI Fakultas Hukum

Universitas Sultan Ageng Trtayasa;

7. Jarkasi Anwar, S.H., M.H., selaku Ketua Bidang Hukum Perdata Fakultas

Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

8. Muhamad Muslih, SHI., MA, selaku Sekertaris Bidang Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

9. Prof. Dr. Palmawati Taher, M.H., selaku Pembimbing I dari skripsi peneliti

yang telah memberikan masukan dan saran pada peneliti ;

10. Dede Agus, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah memberikan ilmu,

arahan dengan sabar dan ikhlas serta dukungan dan motivasi kepada peneliti

sehingga dapat selesainya skripsi ini.;

11. Efriyanto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan nasihat dan semangat selama masa perkuliahan

12. Seluruh Dosen dan Staff Tenaga Pendidik Fakultas Hukum Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa yang telah membantu peneliti dalam prosesnya ;

vi
13. Sangat spesial buat kedua Orangtua Penulis, Bapak dan Ibu Penulis,

terimakasih atas segala semangat, Doa, serta kasih dan sayang yang tiada

hentinya kepada penulis;

14. Kakak Ayu, Abang Kristo, Abang Arizona, Kakak Alde yang selalu

memberikan semangat dan nasehat kepada Penulis Untuk menyelesaikan

Penulisan Skripsi ini.

15. Kakak, Abang, Teman-Teman Permata Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)

Sitelusada yang memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

16. Teman-teman seperjuangan selama perkuliahan dan skripsi Adi Kersa Galih

SH, Adi Hartono Nainggolan SH, Yohanes SH, Jeffri Marpaung SH, Reyhan,

Yani Suryani, dan teman teman seperjuangan lainnya yang tidak bisa saya

sebutkan satu-satu, yang telah menemani penulis selama perkuliahan sampai

proses skripsian ;

17. Teman-teman Calon Sarjana Hukum Kelas C angkatan 2016 Fakultas Hukum

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

18. Teman-teman Satu Dosen Pembimbing dan satu Dosen Akademik yang

selalu memberikan dukungan dan semangat dalam proses bimbingan

19. Serta untuk semua pihak yang turut mendukung dan membantu penulis baik

materil dan moril;

Penulis menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna, dikarenakan terbatasnya pengelaman dan pengetahuan yang dimiliki

penulis. Oleh katena itu, penulis memohon maaf apabila masih terdapat

vii
banyaknya kekurangan sehingga penulis mengharapkan segala bentuk saran serta

masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak, guna kesempurnaan

pada skripsi.

Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi para pembaca dan semua pihak khususnya dalam bidang Hukum Perdata dan

semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberi lindunga bagi kita semua.

Amin.

Serang, Februari 2022

Budiarto Meylando Bangun


Nim: 1111160156

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERYATAAN............................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ iii
MOTTO & PERSEMBAHAN....................................................................... iv
KATA PENGANTAR.................................................................................... vii
DAFTAR ISI................................................................................................... ix
ABSTRAK....................................................................................................... xi
ABSRACT........................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian .................................................................. 11
E. Kerangka Pemikiran................................................................... 12
F. Metode Penelitian ...................................................................... 16
G. Sistematika penulisan................................................................. 19

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG HUKUM PERKAWINAN


DAN POLIGAMI
A. Pengertian Perkawinan............................................................... 22
B. Pengertian Poligami................................................................... 23
C. Pengertian Perlindungan Hukum............................................... 24
D. Teori Tanggung Jawab............................................................... 26
E. Teori Kepastian Hukum ..................... 29

BAB III PUTUSAN TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI


SERTA PENGATURAN POLIGAMI DALAM UNDANG-
UNDANG PERKAWINAN
A. Deskripsi Putusan Nomor 1392/PdtG/2017/PA.Srg.................. 32
B. Aturan Hukum ........................................................................... 37

ix
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA ISTRI
POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16
TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
A. Hak dan Kewajiban Isteri Poligami........................................... 42
B. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Poligami......................... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan ................................................................................... 63
B. Saran .......................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BIODATA MAHASISWA

x
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA ISTERI POLIGAMI
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
(Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor
1392/Pdt.G/201T/PA.Srg)

Budiarto Meylando Bangun


1111160156

ABSTRAK

Poligami merupakan suatu problematika yaitu seorang suami boleh


memiliki isteri lebih dari 1 (satu). Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut, hukum
Perkawinan Indonesia berasaskan monogami. Sehingga, identifikasi masalah yang
penulis angkat yaitu bagaimana hak dan kewajiban para isteri poligami dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga bagaimana perlindungan
Hukum Terhadap Para Isteri Poligami Menurut Undang-undang tersebut dan juga
dihubungkan dengan izin poligami yang dilakukan Bapak JS dan pertimbangan
hakim dalam memutus perkara Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg. Adapun teori
yang dipakai adalah teori tanggung jawab dan teori kepastian hukum dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif dan
menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), Pendekatan
Konseptual (conceptual approach), dan Pendekatan Kasus (case approach)
melalui perolehan data sekunder berupa buku, majalah, koran, dan juga Putusan
Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg yang kemudian dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Putusan Nomor
1392/Pdt.G/2017/PA.Srg sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam hal ini Kesimpulan yang
didapat yaitu, Persyaratan izin poligami yang dikumpulkan oleh Bapak JS sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan juga Kompilasi Hukum
Islam. Hak dan Kewajiban Isteri yang dipoligami juga tercantum pada Pasal 30-34
Undang-Unsang Nomor 16 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 77-79
KHI. Perlindungan terhadap isteri yang dipoligami juga berkaitan dengan
kewajiban suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang dan tercantum dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 82 KHI.

Kata Kunci: Poligami, Izin Poligami, Hak dan Kewajiban Isteri Poligami,
Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Poligami.

xi
LEGAL PROTECTION AGAINST POLYGAMOUS WIVES ACCORDING TO
LAW NUMBER 16 YEAR 2019 CONCERNING AMENDMENT TO LAW
NUMBER 1 YEAR 1974 CONCERNING MARRIAGE
(Case Study: Serang Religious Court Decision Number
1392/Pdt.G/201T/PA.Srg)

Budiarto Meylando Bangun


1111160156

ABSTRACT

Polygamy is a problem, namely a husband may have more than 1 (one)


wife. Marriage is an inner and outer bond between a man and a woman as
husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family (household)
based on the One Godhead. So, based on these provisions, Indonesian marriage
law is based on monogamy. Thus, the identification of the problem that the author
raises is how the rights and obligations of polygamous wives are in Law Number
16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning
Marriage and also how is the legal protection for polygamous wives according to
the law and also related to the permit for polygamy by Mr. JS and the judge's
considerations in deciding the case Number 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg. The theory
used is the theory of responsibility and the theory of legal certainty by using a
qualitative normative juridical research method and using a statute approach, a
conceptual approach, and a case approach through the acquisition of secondary
data. in the form of books, magazines, newspapers, and also Decision Number
1392/Pdt.G/2017/PA.Srg which was then analyzed descriptively qualitatively.
This study concludes that Decision Number 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg is in
accordance with Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law
Number 1 of 1974 concerning Marriage and the Compilation of Islamic Law
(KHI). In this case, the requirements for the polygamy permit collected by Mr. JS
are in accordance with Law No. 16 of 2019 and also the Compilation of Islamic
Law. The rights and obligations of a polygamous wife are also listed in Articles
30-34 of the Unsang Law Number 16 of 2019 and the Compilation of Islamic Law
Articles 77-79 of the KHI. Protection of polygamous wives is also related to the
obligations of husbands who have more than one wife and are listed in the
Compilation of Islamic Law Article 82 of the KHI.

Keywords: Polygamous, Polygamy Permit, Rights and Obligations of


Polygamous Wives, Legal Protection Against Polygamous Wives.

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Poligami merupakan suatu problematika yaitu seorang suami boleh

memiliki isteri lebih dari 1 (satu). Poligami pada masa sekarang ini merupakan

sebuah fenomena sosial dalam masyarakat, dimana fenomena poligami pada

saat ini menemui puncak kontroversinya, begitu banyak tanggapan-tanggapan

dari khalayak mengenai poligami, baik yang pro ataupun kontra. Masalah

poligami bukanlah masalah baru lagi, begitu banyak pertentangan didalamnya

yang sebagian besar dinilai karena perbedaan pandangan masyarakat dalam

memberikan sudut pandang pada berbagai hal yang terkait masalah poligami

baik ketentuan, batasan, syarat, masalah hak, kewajiban dan kebebasan serta

hal-hal lainnya.

Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani

yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila

pengertian ini digabungkan maka akan berarti suatu perkawinan yang banyak

atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki

mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang

perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang

bersamaan, pada dasarnya disebut poligami.1

Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah sistem

perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan

1
Tihami, Sohari Sahrani,  Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 351.

1
2

jenis di waktu yang bersamaan.2 Para ahli membedakan istilah bagi seorang

laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang

berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan

bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri

yang berasal dari kata  polus  yang berarti banyak dan andros berarti laki-laki.3

Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih

dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan poligami.

Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari yang dimaksud dengan

poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang

perempuan dalam waktu yang bersamaan. Yang dimaksud poligini itu

menurut masyarakat umum adalah poligami.

Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-

orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia,

Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah

bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa timur seperti

bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar

apabila ada tuduhan bahwa islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami,

sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan

berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut islam, seperti Afrika, India,

Cina dan Jepang.

Dalam Islam, masalah poligami juga tidak serta merta diperbolehkan

dan masih juga berupa perkara yang masuk dalam konteks pertimbangan", hal

2
Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut, Qultum Media, Jakarta 2006, hlm. 2
3
Tihami, Sobari Sahrani, Op.Cit, h. 352
3

ini terbukti dalam ayat-ayat ataupun suatu riwayat yang dijadikan dasar

sumber hukum dalam perkara poligami sendiri juga terikat aturan- aturan,

syarat-syarat serta ketentuan lain berupa yang kesanggupan, keadilan dan

faktor lainnya yang harus dipenuhi dalam berpoligami. Di Indonesia sendiri

juga terdapat kebijakan hukum yang mengatur masalah poligami diantaranya

terdapat dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI).

Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena

tidak ada satu ayat pun dalam injil yang secara tegas melarang poligami.

Apabila orang-orang Kristen di Eropa melaksanakan monogami tidak lain

hanyalah karena kebanyakan bangsa Eropa  yang kebanyakan Kristen pada

mulanya seperti orang Yunani dan romawi sudah lebih dulu melarang

poligami, kemudian setelah mereka memeluk kristen mereka tetap mengikuti

kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian

peraturan tentang monogami atau kawin hanya dengan seorang istri bukanlah

peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negara mereka, tetapi monogami

adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama

berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya

sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembaran dari kitab Injil

sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami.

Mengenai poligami, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh

beberapa golongan tertentu, meliputi:

1. Pendapat dari golongan anti poligami


4

Memperbolehkan poligami adalah suatu tindakan yang bearti

meletakkan suatu hambatan di hadapan wanita, di tengah-tengah

perjalanannya menuju kemajuan masyarakat. Sebaliknya, melarang

poligami berarti menghilangkan sebagian dari rintangan-rintangan yang

memperlambat pergerakan wanita dan merampas hak-haknya serta

merendahkan kedudukannya.4

2. Pendapat dari golongan pendukung poligami

Dari segi ini para pendukung poligami itu berpendapat bahwa

poligami adalah suatu sistem kehidupan masyarakat yang andaikata

merupakan tekanan terhadap wanita demi kepentingan laki-laki, maka

mestinya lebih pantas untuk tiap-tiap wanita, bahwa ia tidak mau

menikah dengan seorang laki-laki yang sudah pernah menikah dan

kalau hal itu dipraktekkan maka tidak mungkin lagi laki-laki

berpoligami. Disamping itu, kalau  kita misalkan bahwa poligami itu

menyebabkna timbulnya semacam perasaan sakit pada istri yang lama,

maka pihak lain justru dalam waktu yang bersamaan juga menimbulkan

harapan di dalam jiwa istri yang baru, yang memberikan kemungkinan

kepadanya untuk hidup sebagai istri dalam pengayoman rumah tangga

yang mulia.

3. Poligami dan persamaan hak antara pria dan wanita

Persamaan dalam masalah poligami atau jelasnya persamaan hak

pria dan hak wanita dalam masalah perkawinan mestinya

4
Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang-Undangan, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 11.
5

mengakibatkan jangan ada yang boleh untuk salah satunya tetapi tidak

oleh untuk yang lain. Persamaan hak itu kalau menyebabkan bolehnya

suami beristri banyak, tetapi istri tidak boleh bersuami banyak, jelas

bertentangan dengan ketentuan persamaan hak secara bebas.5

Dasar pokok Islam yang membolehkan poligami adalah firman Allah

SWT yaitu:

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga,


atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki,
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qs.
An  Nisa :3).

Berlaku adil yang dimaksudkan adalah perlakuan yang adil dalam

meladeni istri, seperti : pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat

lahiriah. Islam memang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat

tertentu. Dan ayat tersebut membatasi diperbolehkannya poligami hanya

empat orang saja. Namun, apabila akan berbuat durhaka apabila menikah

dengan lebih dari seorang perempuan maka wajiblah ia cukupkan dengan

seorang saja. Namun ironisnya, pada pasal 59 dinyatakan bahwa :

"Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan


izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu
alasan yang diatur diatur dalam pasal 55 ayat 2 dan 5, Pengadilan
Agama  dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa
dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi."  

Alasan yang dipakai Pengadilan Agama untuk memberikan izin

poligami kepada suami antara lain :

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.


5
Ibid, hlm. 15-17.
6

2. Isteri menderita cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 6

Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan ialah ikatan lahir

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut,

hukum Perkawinan Indonesia berasaskan monogami.

Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk

beristeri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut

(Pasal 5 ayat [1] UU Perkawinan):

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri

dan anak-anak mereka.

Menurut KHI, suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus

mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Jika perkawinan berikutnya

dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan tersebut tidak

mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).

6
Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, Stain Ponorogo Press,
Ponorogo, 2009, hlm. 40-41.
7

Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawinan, menurut Pasal 57 KHI,

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan

beristri lebih dari seorang jika:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. istri tidak dapat melahirkan keturunan;

Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam

juga memberikan syarat lain untuk memperoleh izin Pengadilan Agama.

Syarat-syarat tersebut juga merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu:

(Pasal 58 KHI)

a. adanya persetujuan istri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup

istri-istri dan anak-anak mereka.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 PP 9/1975 yang

menyatakan bahwa: ”Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan

bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan

memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang”.

Adapun manfaat dari melakukan poligami, yaitu:

1. Poligami memberi peluang kepada isteri untuk mengurangkan

tanggung jawabnya dalam memenuhi hak suami karena hak itu

diberikan isteri lain.


8

2. Poligami yang dilakukan atas dasar ibadat akan menghasilkan pahala

untuk suami dan isteri-isterinya untuk mendapatkan keberkahan dan

kejayaan untuk mereka di dunia maupun akhirat.

Sedangkan, kekurangan dari melakukan poligami, meliputi:

1. Poligami menyebabkan sebuah keluarga yang harmonis menjadi

hancur karena ada pihak ketiga yang hadir dakam rumah tangga

mereka.

2. Poligami dapat membuat para pihak baik suami dan para isteri untuk

berbohong dan melakukan perbuatan dosa lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti mengambil Putusan Pengadilan

Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg sebagai objek penelitian

untuk peneliti analisis dalam Penulisan Skripsi ini. Dalam putusan nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini pihak yang berperkara adalah JS Umur 38 tahun

sebagai Pemohon dan IW Umur 29 tahun sebagai Termohon dan keduanya

bertempat tinggal di Taman Krakatau, Desa Waringin Kurung Kecamatan

Waringin Kurung, Kabupaten Serang. Duduk Perkara dalam Kasus ini adalah

bahwa pemohon ingin menikah lagi dengan seorang perempuan bernama

DKC Umur 32 tahun karena JS dan DKC saling cinta, dan pernikahan antara

JS dan IW juga pernikahan yang dijodohkan oleh orang tua. Pada kasus ini IW

sebagai istri sah dari JS juga tidak keberatan dan rela apabila sang suami ingin

menikah lagi dan melakukan poligami. Dalam pernikahan JS dan IW ini sudah

memiliki 2 anak yang berumur 9 tahun dan 4 tahun. Pada kasus dengan

Putusan Pengadilan Agama Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, sang suami


9

yang bernama JS mengaku akan berlaku adil terhadap kedua istrinya baik adil

secara lahir dan bathin, dan memenuhi kebutuhan hidup istri-istri dan anak-

anak pemohon.

Pertimbangan Hakim pada putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg

yaitu bahwa maksud dari tujuan Permohonan Pemohon adalah agar tidak ada

fitnah di sekitar masyarakat kepada JS sebagai pemohon pada kasus ini dan

menghindari perbuatan dosa. Selain itu pemohon berjanji untuk berlaku adil

terhadap kedua istrinya baik secara lahir dan bathin. Meskipun alasan

Pemohon untuk izin poligami tidak memenuhi salah satu syarat alternatif

Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa syarat kumulatif untuk beristri

lebih dari satu orang dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 telah

dipenuhi oleh Pemohon, adanya perjanjian kedua belah pihak antara Pemohon

dan Termohon bahwa Termohon telah menyatakan bersedia untuk dimadu

Pemohon juga bersedia memenuhi kebutuhan hidup istri-istri Pemohon beserta

anak-anaknya dan Pemohon sanggup berlaku adil terhadap Termohon dan

calon istri kedua. Pemohon juga menyatakan tidak akan mengganggu gugat

harta bersama antara Pemohon dan Termohon, maka Majelis berpendapat

bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Penetapan Majelis Hakim Pada

Putusan Pengadilan Agama Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg yaitu Majelis

Hakim Mengeluarkan Penetapan yang isinya meliputi:

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon;

2. Memberi izin kepada Pemohon (JS) untuk menikah lagi (Poligami)

dengan calon istri kedua bernama DKC;


10

3. Menetapkan harta bersama;

Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini

sejumlah Rp. 291.000,00 (dua ratus Sembilan puluh ribu rupiah).7

Sesuai dengan uraian diatas, maka peneliti tertarik dalam mengkaji

penelitian ini dan selanjutnya akan melakukan penelitian yang dibuat dalam

bentuk skripsi dengan judul : “ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PARA ISTRI POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16

TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.” (Studi Kasus :

Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dikemukakan oleh

peneliti maka permasalahan yang akan dirumuskan peneliti yaitu sebagai

berikut:

1. Apakah hak dan kewajiban para istri poligami diatur dalam UU No. 16

Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para istri poligami menurut UU

No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian

7
Permohonan Izin Poligami (Studi Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg),
http://jurnal.uinbanten.ac.id dilihat pada Sabtu 23 Mei 2020 Pukul 11.30 WIB.
11

Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dikemukakan oleh

peneliti maka permasalahan yang akan dirumuskan peneliti yaitu sebagai

berikut:

1. Untuk memahami hak dan kewajiban para istri poligami menurut UU No.

16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

2. Untuk memahami perlindungan hukum terhadap para istri poligami

menurut UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan dalam pembuatan

skripsi ini, maka penyusunan penelitian ini mempunyai tujuan untuk

mengetahui:

1. Kegunaan Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam kemajuan ilmu

hukum dan dikhususkan kepada ilmu hukum perdata serta dapat

memberikan kontribusi ilmu pengetahuan mengenai dasar

pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg.

b. Penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi bahan pertimbangan guna

memperbaiki mutu pendidikan di bidang hukum serta memperkaya

pengetahuan dalam bidang ilmu hukum di Indonesia mengenai hukum

perdata.
12

2. Kegunaan Praktis

a. Penelitian ini diharapkan akan berguna untuk menjawab permasalahan-

permasalahan mengenai dasar pertimbangan hukum hakim dalam

memutus perkara nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi tentang

Perlindungan Hukum Terhadap Istri Poligami Menurut UU No. 16

Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka teoretis.

Kerangka teoretis menurut Abdulkadir Muhammad merupakan susunan dari

beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu

kesatuan yang logis yang menjadi acuan, landasan, dan pedoman untuk

mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.8

Teori hukum pada hakikatnya merupakan sesuatu keseluruhan

pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-

aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian

penting dipositifkan. Definisi tersebut terlebih dahulu harus memperhatikan

makna ganda dalam istilah teori hukum. Definisi diatas muncul, sehingga

sebagai produk keseluruhan pernyataan yang berkaitan ini adalah hasil

kegiatan teoristik di bidang hukum. Teori merupakan generalisasi yang

8
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 73.
13

dicapai setelah mengedepankan pengujian hasilnya mencakup ruang lingkup

dan fakta yang luas.9

Kerangka Teoritis merupakan salah satu jenis kerangka yang

didalamnya itu menegaskan mengenai teori yang dijadikan yakni sebagai

landasan serta digunakan untuk menjelaskan fenomena yang sedang diteliti.

Kerangka pemikiran yang digunakan untuk penelitian di atas adalah sebuah

teori hukum. Teori tersebut digunakan untuk meneliti permasalahan di atas

guna menemukan jawaban atas permasalahan yang ada dalam penulisan

skripsi ini. Adapun mengenai teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

meliputi Teori Tanggung Jawab dan Teori Kepastian Hukum

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek

berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan

yang bertentangan.10

Sebagai kerangka teori yang membahas tentang perlindungan hukum

terhadap isteri poligami menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan ini digunakan Teori Tanggung Jawab, yakni teori yang

menjelaskan bahwasanya sebuah pernikahan poligami tentunya ada tanggung

9
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Univesitas Indonesia Press, Jakarta,
1986, hlm. 126
10
https://yuokysurinda.wordpress.com/2018/02/24/beberapa-teori-hukum-tentang-
tanggung-jawab/ diakses tanggal 22 Juli 2020 Pukul 14.10.
14

jawab yang diemban kedua belah pihak maupun sebagai suami dan juga

sebagai istri.

Selain teori tanggungjawab peneliti juga menggunakan Teori

Kepastian Hukum. Menurut Jan Michiel Otto kepastian hukum adalah tersedia

aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh diterbitkan

oleh dan diakui oleh kekuasaan negara. Menurut Kelsen, hukum adalah

sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek

“seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang

apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia

yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat

umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat,

baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya

dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam

membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan

pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.11 Kepastian

hukum juga mendefinisikan dalam kondisi bahwa keputusan peradilan harus

konkrit dilaksanakan.

Selain itu, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan kerangka

konseptual. Kerangka Konseptual merupakan sebuah kerangka yang

didalamnya menjelaskan mengenai konsep yang terdapat di dalam asumsi

teoritis, yang setelah itu digunakan unttuk bisa mengistilahkan unsur yang

11
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.158.
15

terdapat di dalam objek yang akan diteliti serta juga menunjukkan adanya

hubungan antara konsep tersebut.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah usaha untuk memperoleh data yang akurat

serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum

merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan

pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisis. Selain itu, diadakan

pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala

yang bersangkutan.12 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

1. Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 13

Yuridis Normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis

positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma

tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh Lembaga atau Pejabat

berwenang. Konsep ini memandang hukum sebagai suatu sistem

normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan


12
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 32
13
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, 2006, hlm. 295
16

masyarakat yang nyata.14 Penelitian ini dilakukan dengan meneliti bahan

pustaka atau data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, maupun bahan hukum tersier.

2. Spesifikasi Penelitian

Adapun jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam pembuatan

skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang

menggambarkan suatu kejadian-kejadian atau peristiwa yang

berlangsung pada waktu penelitian dilaksanakan, dengan cara

pengumpulan data, disusun, diolah, dianalisis melalui pembahasan yang

sistematis.15

Penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue

Approach), Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan cara

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan Perundang-

Undangan yang sesuai dengan penelitian ini adalah Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Adapun pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di

dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas


14
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jutimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm. 13-14
15
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, BPK, Jakarta, 1970, hlm. 10
17

hukum yang relevan dengan isu yang dihadap. Pendekatan konsep yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu pemberian izin poligami yang

dilakukan Bapak JS.

Adapun pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-

kasus terkait dengan isu-isu yang sedang dihadapi, dan telah menjadi

putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus yang ditelaah

dalam penelitian ini yaitu mengenai kasus pemberian izin poligami yang

dilakukan Bapak JS.

3. Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

hukum ini untuk menunjang hasil penelitian adalah data sekunder. Data

sekunder, yaitu data yang di ambil dari bahan pustaka yang terdiri dari

3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer,sekunder dan

tersier. Untuk lebih jelasnya peneliti akan mengemukakan sebagai

berikut:

1) Bahan Hukum Primer : Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Putusan Pengadilan Agama

Serang Nomor 1392/Pdt.G//2017/PA.Srg.

2) Bahan Hukum Sekunder. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan

hukum yang memperkuat Bahan Hukum Primer, biasanya

bersumber dari majalah, Koran, Artikel yang berkaitan dengan

topik penelitian ini.


18

3) Bahan Hukum Tersier. Bahan Hukum Tersier yang

menguatkan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder

yaitu berupa kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data. Peneliti menggunakan penelitian

kepustakaan (Library Research). Studi pustaka merupakan teknik

pengumpulan data dari bahan-bahan tertulis. Dalam hal ini, peneliti

meneliti dari putusan Pengadilan Agama Serang Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg. Peneliti meneliti dari artikel, koran atau jurnal

yang berkaitan dengan kasus putusan yang diteliti oleh peneliti ini.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis

kualitatif, artinya menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam

bentuk kalimat-kalimat (deskriptif) dengan tidak menggunakan rumus

matematika berdata statistika. Analisis kualitatif adalah analisis data

yang dapat diperoleh dari rekaman, pengamatan, wawancara, atau bahan

tertulis (Undang-Undang, buku-buku, dan sebagainya). Berdasarkan

hasil analisis ditarik kesimpulan secara dedukatif, yaitu cara berpikir

yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum untuk kemudian

ditarik suatu kesimpulan bersifat khusus.16

6. Lokasi Penelitian

16
http://digilib.unila.ac.id/525/8/BAB%20III.pdf dilihat pada Rabu 4 Maret 2020 Pukul
11.30 WIB.
19

Adapun, lokasi / tempat penelitian dalam penelitian skripsi ini

bertempat di Pengadilan Agama Serang untuk menunjang data dalam

penelitian skripsi ini. Dalam hal ini, peneliti melakukan pihak-pihak

yang terkait dalam kasus ini.

G. Sistematika Penulisan

Didalam penulisan ini terdapat 5 bab yang mana masing-masing bab

saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan utuh dan tidak dapat dipisahkan

satu sama lainnya, dan bab tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang menjadi latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pokok permasalahan,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode

penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG HUKUM PERKAWINAN

DAN POLIGAMI

Dalam bab ini akan menguraikan Tinjauan teoritis mengenai teori

kepastian hukum dan tanggung jawab, serta teori-teori yang

berkenaan dengan permasalahan yang ada.

BAB III PUTUSAN TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI

SERTA PENGATURAN POLIGAMI DALAM UNDANG-

UNDANG PERKAWINAN

Dalam bab ini peneliti akan membahas mengenai kasus pemberian

izin poligami yang dilakukan suami dari contoh kasus Bapak JS.
20

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA ISTRI

POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16

TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

Dalam bab ini merupakan analisis terhadap pokok permasalahan

tentang persetujuan melakukan tindakan poligami oleh Pengadilan

Agama Serang ditinjau dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan sudut pandang Hukum Islam.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan disampaikan mengenai kesimpulan yang

diambil sesuai dari hasil penulisan skripsi ini, berdasarkan

penguraian bab-bab sebelumnya, dan saran peneliti terhadap

masalah yang peneliti bahas.


BAB II
TINJAUAN TEORI TENTANG HUKUM PERKAWINAN
DAN POLIGAMI

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang berarti membentuk suatu

keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.

Perkawinan berasal dari kata “an-nikah” yang berarti mengumpukan, saling

memasukkan, dan “wathi” yang berarti bersetubuh.17

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawian

dijelaskan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.18 Adapun pengertian Perkawinan dalam Hukum Islam adalah

pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

Adapun pengertian perkawinan menurut beberapa ahli. Menurut Prof.

Subekti, perkawinan adalah ikatan pertalian yang sah antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Sedangkan, menurut Prof.

DR. R. Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah hidup bersama antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat

termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.19 Menurut Dr. Anwar Haryono.

17
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, 2003, hlm. 8.
18
http://www.hukumonline.com dilihat pada Kamis 16 September 2021 Pukul 13.30 WIB.
19
Anonim, “Hukum Perdata Pengertian Perkawinan”, https://tommizhuo.wordpress.com
diunduh pada Kamis 16 September 2021 pukul 14.10 WIB.

21
22

Sh mengatakan pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-

laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Menurut

Abdyllah Siduq, Pernikahan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki

dan seorang perempuan yang hidup bersama (bersetubuh) dan yang tujuannya

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan

dan menjaga ketentraman jiwa dan bathin. 20 Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia kawin adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami

atau beristeri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa

nikah adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan

ketentuan hukum dan ajaran agama.21

B. Pengertian Poligami

Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani

yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila

pengertian ini digabungkan maka akan berarti suatu perkawinan yang banyak

atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki

mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang

perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang

bersamaan, pada dasarnya disebut poligami.

Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah sistem

perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan

jenis di waktu yang bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi seorang

20
“Pengertian Perkawinan Menurut Para Ahli”, https://repository.unpas.ac.id diunduh
pada Selasa 16 November 2021 Pukul 17.00 WIB.
21
https://kbbi.web.id dilihat pada Kamis 16 September 2021 Pukul 14.30 WIB.
23

laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang

berasal dari kata polus berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan

bagi seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri

yang berasal dari kata  polus  yang berarti banyak dan andros berarti laki-laki.

Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan ialah ikatan lahir

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Agama Islam, poligami itu diperbolehkan asal bisa berlaku

adil terhadap istrinya. Adapun ayat Al-Qur’an yang sering digunakan sebagai

landasan untuk dilakukan izin melakukan poligami melalui Surah An-Nisa

ayat (3) yang berbunyi “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka

nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah)

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.”

C. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi

masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai

dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai


24

manusia.22 Adapun, pengertian perlindungan hukum menurut para ahli, yaitu

sebagai berikut: 23

1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan

orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar

mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

2. Menurut CST Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya

hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk

memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari

gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

3. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau

kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama

manusia.

4. Menurut Hetty Hasanah perlindungan hukum yaitu merupakan segala

upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat

memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang

bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.

5. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa perlindungan hukum

adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan

22
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004, hal. 3.
23
Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, http://tesishukum.com (diakses pada
Rabu 11 Agsustus 2021)
25

terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum

berdasarkan ketentuan hukum dan kesewenangan.

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

1) Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam

melakukan suatu kewajiban.

2) Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan Hukum Represif merupakan perlindungan akhir

berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang

diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran.

D. Teori Tanggung Jawab

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab

adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung

jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang

telah diwajibkan kepadanya. Dalam kamus hukum, tanggung jawab dapat


26

diistilahkan sebagai liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu

tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum dan juga

responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.24 Teori tanggung

jawab lebih menekankan pada makna tanggung jawab yang lahir dari

ketentuan Peraturan Perundang-undangan sehingga teori tanggung jawab

dimaknai dalam arti liability.25 Adapun pengertian tanggung jawab hukum

menurut para ahli, meliputi:26

1. Ridwan halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu

akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan

hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum, tanggung jawab

hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau

berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang

telah ada.

2. Purbacaraka berpendapat bahwa tanggung jawab hukum bersumber atau

lahir atau penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang

untuk menggunakan hak dan/atau melaksanakan kewajibannya. Lebih

lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan

hak baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun dilakukan secara

memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan

pertanggungjawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.

24
HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.
337.
25
Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandotary, Raja
Grafindo Press, Jakarta, 2011, hlm. 54.
26
http://www.kumpulanpengertian.com dilihat pada Senin 15 November 2021 Pukul 13.28
WIB.
27

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek

berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan

yang bertentangan.27 Selanjutnya, Hans Kelsen menyatakan bahwa :

“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum

disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai

satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang

terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud

jahat, akibat yang membahayakan”.28 Hans Kelsen juga membagi tanggung

jawab yang terdiri dari:29

1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung

jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan orang lain

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan kesalahan yang berarti

bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang

dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan

menimbulkan kerugian;

27
Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory of Law and
State, Teori Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum
Deskriptif Empririk, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 81.
28
Ibid, hlm. 83
29
Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni,
Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2006, hlm. 140.
28

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu

bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak

sengaja dan tidak diperkirakan.

Adapun menurut Abdulkadir Muhammad, teori tanggung jawab dalam

perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori,

meliputi:30

1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

dilakukan dengan sengaja, tergugat sudah harus melakukan perbuatan

sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui

bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

karena kelalaian(negligence tort liability), didasarkan pada konsep

kesalahan(concept of fault), yang berkaitan dengan moral dan hukum

yang sudah bercampur (interminglend).

3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (strict liability), didasarkan pada

perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Dalam putusan ini, si suami (JS) diizinkan untuk melakukan tindakan

poligami, dan juga diizinkan untuk menikah lagi dengan seorang perempuan

yang bernama DKC. Pada putusan ini, si suami (JS) juga mengaku akan

berlaku adil terhadap para isterinya baik adil secara lahir maupun adil secara

30
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010, hlm. 336.
29

bathiniah. Adapun alasan lainnya si suami (JS) ingin menikah lagi agar

terhindar dari fitnah dan terhindar dari perbuatan dosa.

E. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, hukum secara hakiki

harus pasti dan adil. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara pasti

dan logis.31 Kepastian hukum secara normatif adalah suatu peraturan

perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur

secara jelas dan logis tidak menimbulkan keraguan karena adanya multitafsir

sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum didefinisikan sebagai

kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu, yaitu:32

1. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten, dan mudah

diperoleh, diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara.

2. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.

3. Warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-

aturan tersebut.

4. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpikir menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten waktu mereka

menyelesaikan sengketa hukum.

5. Keputusan hukum secara konkrit dilaksanakan.


31
CST Kansil, Kamus Istilah Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hal. 385.
32
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 45.
30

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua yaitu berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja

yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Menurut

Aveldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal

dapat dibentuknya hukum dalam hal-hal yang konkret. Artinya, pihak-pihak

yang mencari keadilan ingin mengetahui hukum dalam hal yang khusus

sebelum memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum,

artinya adalah perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.33

Berdasarkan pengertian diatas, dalam putusan ini diputuskan bahwa si

suami (JS) diizinkan untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang

bernama DKC. Pada kasus ini, si suami juga harus menjalankan putusan itu

dan harus bertanggung jawab baik secara lahiriah maupun bathiniah. Selain

itu, pada putusan ini si suami (JS) harus berlaku adil terhadap kedua istrinya.

33
L.J Van Aveldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, PT Revika Aditama, Bandung, 2006, hal. 82-83.
BAB III
PUTUSAN TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI SERTA
PENGATURAN POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN

A. Deskripsi Putusan Nomor 1392/Pdt.G/PA.Srg.

1. Duduk Perkara

Dalam Putusan ini pihak yang berperkara dalam kasus ini yaitu

saudara JS (Pemohon) yang berumur 38 Tahun dan saudari IW (Termohon)

yang berumur 29 Tahun. Keduanya bertempat tinggal di Taman Krakatau,

Desa Waringin Kurung Kecamatan Waringin Kurung Kabupaten Serang.

Adapun duduk perkara dalam putusan ini yaitu bahwa pemohon

dalam surat permohonannya tertanggal 19 juli 2017 yang didaftarkan di

Kepaniteraan Pengadilan Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg,

tanggal 20 juli 2017, telah mengajukan permohonan izin poligami dengan

alasan sebagau berikut:

a. Bahwa pemohon adalah suami sah dari termohon yang telah

melangsungkan pernikahan pada tanggal 26 Mei 2006, dihadapan

pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kapas,

Kabupaten Bojonegoro.

b. Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup bersama

berumah tangga dan tinggal di Taman Krakatau, Desa Waringin

Kurung, Kecamatan Waringin Kurung, Kabupaten Serang.

31
32

c. Bahwa selama menikah dan berumah tangga, Pemohon dan Termohon

telah berhubungan layaknya suami isteri dan telah dikaruniai 2 orang

anak yaitu FRP berumur 9 tahun dan RA berumur 4 tahun.

d. Bahwa pemohon hendak menikah lagi (poligami) dengan seorang

wanita/perempuan yang bernama DKC yang berumur 32 tahun.

e. Bahwa pemohon mengajukan izin poligami ini karena pemohon dan

DKC saling mencintai sejak tahun 1999, karena suatu hal pemohon

dan DKC terpisah dan hilang komunikasi. Sampai pada akhirnya,

pemohon menikah pada tahun 2006 dengan termohon yang dijodohkan

oleh orang tua, dan pada tahun 2017 Pemohon bertemu kembali

dengan DKC, dan antara pemohon dan DKC masih memiliki perasaan

yang sama dan selama ini DKC belum menikah dan masih

mengharapkan pemohon, DKC pun bertekad untuk tidak menikah

dengan pria lain dan hanya ingin menikah dengan pemohon, maka hal

ini dilakukan pemohon untuk menghindari fitnah dan dosa.

f. Bahwa termohon menyatakan rela dan tidak keberatan apabila

pemohon ingin menikah lagi dengan calon isteri pemohon yang kedua

tersebut, serta termohon bersedia dimadu oleh pemohon.

g. Bahwa pemohon sanggup berlaku adil dan mampu memenuhi

kebutuhan hidup isteri-isteri dan anak-anak pemohon.

h. Bahwa antara pemohon dan calon isteri kedua pemohon tidak ada

larangan melakukan perkawinan, baik menurut syariat Islam dan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.


33

i. Bahwa pemohon sanggup membayar biaya yang timbul akibat perkara

ini.

Berdasarkan alasan diatas, pemohon mohon agar Ketua Pengadilan

Agama Serang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini dengan

menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan pemohon.

b. Menetapkan memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi

(poligami) dengan calon isteri kedua pemohon yang bernama DKC.

c. Menetapkan harta bersama.

d. Menetapkan biaya perkara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Penyelesaian Perkara Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg

Majelis hakim yang menangani perkara nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg telah memanggil kedua pihak untuk menghadap

ke persidangan. Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan,

pemohon dan termohon datang menghadap sendiri di persidangan. Bahwa

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA RI) Nomor 1 Tahun

2016 semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat

Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian lewat mediasi

dengan bantuan mediator. Namun, mediasi yang dijalankan JS dan IW

tidak berhasil, sehingga persidangan tetap dilanjutkan.

Pada perkara dengan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg yang

menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menangani perkara ini adalah


34

bahwa di muka sidang Majelis Hakim telah menasehati dengan

memberikan pandangan dan pokok serta beratnya memenuhi keadilan

dalam melaksanakan pernikahan poligami sebaigaimana diisyaratkan

Allah dalam Firman-Nya dalam surat An-Nisa ayat 129. Majelis Hakim

mengingatkan Pemohom agar berpikir kembali untuk melakukan poligami

mengingat konsekuensi dan tanggung jawab yang tidak ringan yang

dilakukan oleh Pemohon sebagai suami, namun tidak berhasil.

Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengungkapkan

bahwa maksud dari tujuan permohonan pemohon adalah sebagaimana

yang telah diuraikan dalam surat permohonan yang dikuatkan dalam

pernyataan termohon yang menyatakan bahwasannya termohon memiliki

pokok-pokok jawaban yang isinya berbunyi:

a. Bahwa Termohon mengakui dan membenarkan seluruh dalil yang

dikemukakan oleh Pemohon;

b. Bahwa Termohon tidak keberatan apabila pemohon bermaksud

hendak beristeri lagi (poligami) dengan ISTERI BARU;

c. Bahwa Termohon percaya Pemohon dapat berlaku adil kepada

isteri-isteri dan anak-anaknya, karena selama berumah tangga

perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh Pemohon tidak

berkurang;

Meskipun alasan pemohon untuk izin poligami tidak memenuhi salah

satu syarat alternatif, Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa syarat

kumulatif untuk beristeri lebih dari seorang dalam pasal 5 ayat (1) Undang-
35

Undang Nomor 1 tahun 1974 telah dipenuhi oleh pemohon, adanya

perjanjian kedua belah pihak antara Pemohon dan Termohon bahwa

Termohon telah menyatakan bersedia untuk dimadu dan pemohon juga

bersedia memenuhi kebutuhan hidup isteri-isteri pemohon beserta anak-

anaknya dan pemohon sanggup berlaku adil terhadap Termohon dan calon

isteri kedua baik lahiriyah maupun bathiniyah. Calon isteri kedua pemohon

juga menyatakan tidak akan mengganggu gugat harta bersama antara

Pemohon dan Termohon, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa

permohonan tersebut dikabulkan.

Majelis Hakim menimbang, bahwa karena ketentuan berlaku adil

bagi Pemohon ditetapkan Pasal 55 ayat (2) juncto pasal 58 ayat (1)

Kompilasi Hukum Islam juncto penjelasan huruf (a) angka (1) Pasal 49

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, merupakan syarat utama dan

bahkan ada larangan meninggalkannya seperti ketentuan Pasal 55 ayat (3)

Kompilasi Hukum Islam, maka untuk meneguhkan secara maksimal

pelaksanaannya haruslah Pemohon dihukum melaksanakan adil bagi

kedua isteri dan bagi seluruh anak-anaknya yang berakibat sanksi hukum

bagi Pemohon bila terjadi pelanggaran yang ditetapkan Pengadilan

kemudian.

Selanjutnya, Majelis Hakim menimbang, bahwa perkara iini

termasuk bidang perkawinan, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 89

ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

sebagaimana telah diubah dengan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 3


36

Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009, maka seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini harus dibebankan

kepada Pemohon.

Dalam menyelesaikan perkara Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg

Mejelis Hakim mengeluarkan Penetapan yang isinya adalah:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon;

b. Memberi izin kepada Pemohon (JS) untuk menikah lagi (poligami)

dengan calon isteri kedua bernama DKC;

c. Menetapkan harta bersama;

d. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini

sejumlah Rp. 291.000,00 (dua ratus sembilan puluh satu ribu

rupiah);.34

B. Aturan Hukum

Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg, si pemohon juga ingin menikah lagi karena ingin

menghindari perbuatan zinah dan si pemohon juga sanggup untuk berlaku adil

terhadap isteri-isterinya. Dalam Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, si Termohon (IW) juga bersedia untuk dimadu

dengan calon isteri kedua pemohon (JS). Termohon (IW) percaya kalau

suaminya akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya karena selama pemohon

(JS) dan termohon (IW) berumah tangga, si pemohon (JS) perhatian dan

sayang terhadap termohon (IW) dan anak-anaknya. Pada Putusan Pengadilan

34
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/pengadilan/profil/pengadilan/pa-serang.html diunduh
pada Rabu 22 September 2021
37

Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg, si calon isteri kedua (DKC)

juga memberi kesaksian bahwa yang isinya seperti berikut:

1. Bahwa ISTERI BARU mengetahui status Pemohon mempunyai isteri sah

bernama (Termohon) bahkan sudah saling mengenal;

2. Bahwa benar dia tidak keberatan Pemohon menikahinya;

3. Bahwa ISTERI BARU berstatus gadis, sehingga tidak terikat perkawinan

dengan laki-laki lain;

4. Bahwa antara ISTERI BARU dengan Pemohon dan Termohon tidak ada

hubungan darah atau sesusuan yang menghalangi sahnya perkawinan

ISTERI BARU dengan Pemohon;

5. Bahwa antara ISTERI BARU dengan Termohon dan kedua orang anak

kandungnya hasil perkawinan dengan Pemohon, telah terjalin komunikasi

dan silaturahmi yang baik, terkadang saling berkunjung;

Setelah membaca Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg, Majelis Hakim menggunakan ketentuan pasal 4 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto pasal 40 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto pasal 56 ayat (2) Inpres Nomor 1

tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam) yang dimana pasal-pasal ini terkait

dengan permohonan izin poligami secara tertulis oleh pemohon (JS) dan

permohonan itu juga telah terpenuhi. Pada Putusan Pengadilan Agama Serang

Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg, Majelis Hakim juga menimbang

menggunakan pasal 4 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 57

huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yang menjadi syarat alternatif dalam
38

melakukan izin poligami. Dalam hal ini, syarat alternatif yang tertuang dalam

pasal 4 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 57 huruf (a)

Kompilasi Hukum Islam juga telah terpenuhi oleh Pemohon (JS). Majelis

Hakim menggunakan pasal 4 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 57 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam karena si Pemohon (JS) takut dan

khawatir terjerumus dalam perbuatan yang dilarang Allah. Dalam hal ini

Pengadilan berpendirian kepada Firman Allah Surat Al-Israa’ ayat 32 yang

berbunyi : “Dan janganlah kamu mendekati zinah, sesungguhnya zinah itu

adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

Selain syarat alternatif, Majelis Hakim juga menimbang juga

menimbang berdasarkan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan juncto pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 juncto pasal 58 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam. Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga

menjadi syarat kumulatif. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 1974

Tentang Perkawinan berisi bilamana seorang suami ingin beristeri lebih dari

seorang harus ada alasan sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri mereka;

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anak mereka;

3. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan

anak-anak mereka;
39

Pada Putusan Pngadilan Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg

ini, Majelis Hakim juga menimbang berdasarkan Pasal 145 yang terkait

dengan 2 (dua) orang saksi yang dihadirkan oleh pemohon dan tidak

bertentangan dengan pasal tersebut. Kedua orang saksi tersebut juga disumpah

berdasarkan tata cara menurut agamanya dan keterangan antara saksi 1 (satu)

dan saksi 2 (dua) juga saling bersesuaian dank arena itu saksi-saksi dapat

diterima sebagai alat bukti di persidangan. Kedua saksi yang dihadirkan dalam

persidangan ini adalah adik kandung Pemohon dan sepupu Pemohon.

Pada Putusan Pngadilan Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg

ini, Majelis Hakim mengetengahkan dalil naqli dalam surat An-Nisa ayat 3

yang berbunyi sebagai berikut : “Maka nikahilah wanita-wanita lain yang

kamu sukai dua, tiga, atau empat, kemudian jika kamu takut tidak dapat

berlaku adil, maka nikahilah seorang saja”. Majelis Hakim juga menimbang

karena kasus zinah cukup meningkat, oleh karena itu Majelis Hakim

berpendapat bahwa permohonan pemohon cukup beralasan sesuai dengan

Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, oleh karena itu

permohonan pemohon dikabulkan.

Pada Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Majelis Hakim menimbang, bahwa karena

ketentuan berlaku adil bagi Pemohon ditetapkan Pasal 55 ayat (2) juncto pasal

58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam juncto penjelasan huruf (a) angka (1)

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, merupakan syarat utama dan

bahkan ada larangan meninggalkannya seperti ketentuan Pasal 55 ayat (3)


40

Kompilasi Hukum Islam, maka untuk meneguhkan secara maksimal

pelaksanaannya haruslah Pemohon dihukum melaksanakan adil bagi kedua

isteri dan bagi seluruh anak-anaknya yang berakibat sanksi hukum bagi

Pemohon bila terjadi pelanggaran yang ditetapkan Pengadilan kemudian.

Pada Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Majelis Hakim menimbang, bahwa perkara iini

termasuk bidang perkawinan, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

sebagaimana telah diubah dengan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,

maka seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini harus dibebankan kepada

Pemohon.

Secara keseluruhan, Permohonan Izin Poligami yang dilakukan oleh

Pemohon (JS) dikabulkan oleh Majelis Hakim. Pemohon diizinkan untuk

menikah lagi oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Serang dengan seorang

perempuan yang bernama DKC. Dalam Putusan ini, juga si Termohon (IW)

juga bersedia untuk dimadu oleh Pemohon (JS) dan si Pemohon juga

menyakan bersedia berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan sanggup

memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan isteri-isterinya. Selanjutnya, calon

isteri kedua (DKC) juga mengetahui status Pemohon kalau Pemohon juga

sudah menikah dan calon isteri kedua (DKC) bersedia untuk menikah dengan

Pemohon (JS) karena saling cinta.


BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA ISTERI POLIGAMI
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

A. Hak dan Kewajiban Isteri Poligami

Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang

yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia hak adalah sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan,

kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh

undang-undang, aturan), kekuasaan yang benar atas sesuatu, derajat atau

martabat.35 Adapun macam-macam hak meliputi:

1. Hak Legal dan Hak Moral. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas

hukum dalam satu bentuk. Hak legal ini lebih berbicara tentang hukum

atau sosial. Sedangkan, Hak moral didasarkan atas prinsip atau

peraturan etis saja. Hak moral lebih bersifat individu.

2. Hak Positif dan Hak Negatif. Hak positif memiliki sifat positif pada

seseorang merasa berhak mendapatkan atau melakukan sesuatu.

Contoh hak positif yaitu hak katas pendidikan, pelayanan, dan

kesehatan. Sedangkan, hak negatif yaitu sesuatu yang bersifat negatif

yang berarti seseorang bebas melakukan atau memiliki sesuatu dan

orang lain tidak boleh menghindarkan atau menghilangkan hak

35
http://id.m.wikipedia.org dilihat pada Rabu 6 Oktober 2021 pukul 13.10 WIB.

41
42

tersebut. Contoh hak negatif yaitu hak atas hidup dan hak

mengemukakan pendapat.

3. Hak khusus dan Hak umum. Hak khusus timbul dalam sustu relasi

khusus antara manusia atau karena fungsi khusus yang dimiliki satu

orang dengan orang lainnya. Sedangkan, hak umum sering disebut

sebagai Hak Asasi Manusia.

4. Hak individu dan hak sosial. Hak individu adalah hak yang dimiliki

individu terhadap negara. Sedangkan, hak sosial adalah bukan hanya

kepentingan terhadap negara saja, tetapi juga sebagai anggota

masyarakat dengan masyarakat yang lain. Contoh hak sosial yaitu hak

atas pekerjaan dan hak atas pendidikan.

5. Hak absolut. Hak absolut ini adalah hak yang bersifat mutlak tanpa

pengecualian, berlaku di mana saja tidak dipengaruhi oleh situasi atau

keadaan apapun.36

Adapun pengertian hak menurut ahli. Menurut Srijanti, hak merupakan

unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi

kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam

menjaga harkat dan martabatnya. Sedangkan, menurut Prof. Dr. Notonegoro

hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya

diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh

pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa

olehnya. Menurut soerjono Soekanto, hak dibedakan dibedakan menjadi 2

(dua) yaitu meliputi:


36
http://www.kompas.com dilihat pada Rabu 6 Oktober 2021 pukul 13.20 WIB.
43

1. Hak searah atau relatif. Pada umumnya, hak ini muncul dalaam hukum

perikatan atau perjanjian.

2. Hak jamak arah atau absolut. Hak ini terdiri dari:

a. Hak dalam hukum tata negara pada penguasa menagih pajak, pada
warga hak asasi.

b. Hak kepribadian, hak atas kehidupan, hak tubuh, hak kehormatan


dan kebebasan.

c. Hak kekeluargaan, hak suami isteri, hak orang tua, hak anak.

d. Hak atas objek imateriel, hak cipta, merek dan paten.

Kewajiban adalah tindakan yang harus disambil seseorang, baik secara

hukum maupun secara moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

kewajiban adalah sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan,

atau suatu keharusan. Kewajiban juga diartikan sebagai tugas atau pekerjaan.

Dalam ilmu hukum, kewajiban adalah segala sesuatu yang menjadi tugas

manusia (membina kemanusiaan).37

Adapun pengertian kewajiban menurut ahli. Menurut Prof. Dr.

Notonegoro kewajiban adalah beban untuk memberikan sesuatu yang

semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat

oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa

oleh orang yang berkepentingan. Menurut Curzon, kewajiban dikelompokkan

menjadi 5 (lima) macam, meliputi:38

37
http://m.liputan6.com dilihat pada Rabu 6 Oktober 2021 pukul 13.50 WIB.
38
http://www.sumbartoday.net dilihat pada Rabu 6 Oktober 2021 Pukul 14.10 WIB
44

1. Kewajiban Mutlak. Kewajiban Mutlak yaitu kewajiban yang tertuju

kepada diri sendiri maka tudak berpasangan dengan hak dan nisbi,

yang melibatkan hak di lain pihak.

2. Kewajiban Publik. Di dalam hukum publik yang berkorelasi dengan

hak publik adalah wajib mematuhi hak publik daan juga kewajiban

perdata, yang muncul dari perjanjian yang berkorelasi dengan hak

perdata.

3. Kewajiban Positif. Kewajiban Positif adalah hal yang menghendaki

yang dilakukan dengan sesuatu dan kewajiban yang negatif, yang tidak

melakukan sesuatu.

4. Kewajiban Universal/Umum. Kewajiban Universal/Umum adalah

kewajiban yang ditujukan pada semua warga negara, atau secara

umum yang ditujukan kepada golongan tertentu dan kewajiban yang

khusus muncul dari bidang hukum tertentu.

5. Kewajiban Primer. Kewajiban ini tidak muncul dari perbuatan

melawan hukum. Contoh kewajiban yang tidak mucul dari perbuatan

melawan hukum yaitu tidak mencemarkan nama baik. Kewajiban ini

juga adalah kewajiban yang sifatnya memberi sanksi, timbul dari

perbuatan melawan hukum. Contoh kewajiban yang timbul dari

perbuatan melawan hukum seperti membayar kerugian dalam hukum

perdata.

Adapun, jenis kewajiban meliputi:


45

1. Kewajiban Mutlak. Kewajiban mutlak adalah kewajiban seseorang

terhadap dirinya sendiri dan tidak berhubungan dengan hak dan tidak

mutlak melibatkan hak pihak lain.

2. Kewajiban Publik. Kewajiban ini berhubungan dengan hak-hak publik.

Misalnya, kewajiban untuk patuh terhadap peraturan dan hukum yang

berlaku.

3. Kewajiban Positif dan Kewajiban Negatif. Kewajiban yang

mengharuskan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu. Kewajiban positif menghendaki dilakukannya sesuatu,

sedangkan kewajiban negatif menghendaki tidak dilakukannya

sesuatu.

4. Kewajiban Umum dan khusus. Kewajiban umum ditujukan kepada

seluruh warga negara secara umum. Sedangkan, kewajiban khusus

ditujukan kepada golongan tertentu, bidang hukum tertentu atau

perjanjian.

5. Kewajiban Primer. Kewajiban primer dapat timbul dari tindakan yang

tidak melawan hukum dan timbul akibat perbuatan melawan hukum.

Contoh dari kewajiban primer yang timbul dari tidakan tidak melawan

hukum seperti tidak mencemarkan nama baik dan kewajiban yang

sifatnya memberikan sanksi. Sedangkan, contoh kewajiban primer


46

yang timbul dari tidakan melawan hukum seperti membayar

kerugian.39

Adapun hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami

terhadap isteri-isteri yang dipoligami maupun hak dan kewajiban yang harus

dilaksanakan isteri yang dipoligami terhadap suami. Dalam hubungan suami-

isteri hak ini berarti adalah sesuatu yang diterima oleh seseorang dari orang

lain. Maksudnya hak ini adalah sesuatu yang diterima oleh isteri dari suami

mapun sesuatu yang diterima suami dari isteri. Sedangkan, dalam hubungan

suami isteri yang dimaksud kewajiban disini yaitu sesuatu yang harus

dilakukan seseorang terhadap orang lain. Maksudnya, kewajiban ini adalah

sesuatu yang harus dilakukan oleh suami terhadap isterinya maupun sesuatu

yang harus dilakukan oleh isteri terhadap suaminya.

Adapun hak dan kewajiban suami-isteri diatur dalam Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 bab IV pasal 30-34 yang berbunyi:

1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat.

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

4. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

5. Suami harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

39
http://www.kompas.com dilihat pada Rabu 6 Oktober 2021 pukul 14.30 WIB.
47

6. Rumah tempat kediaman ditentukan oleh suami-isteri bersama.

7. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia

dan memberi bantuan lahir bathin yang satu pada yang lain.

8. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

9. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

10. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Kewajiban suami terhadap isterinya dibagi menjadi 2 (dua) bagian

yaitu meliputi:40

1. Kewajiban yang bersifat materi yang bersfat nafaqah yang meliputi:

a. Menggauli isterinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dalam surat

an-Nisa ayat 19 yang berbunyi : “pergauilah mereka (isteri-isterimu)

secara baik. Kemudian bila kamu tidak ,menyukai mereka

(bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal

Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. Yang dimaksud

dengan pergaulan disini secara khusus adalah pergaulan suami isteri

termasuk hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan

seksual.

b. Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada

suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan

dan mara bahaya. Dalam ayat ini, terkandung suruhan untuk menjaga
40
Prof. Dr. Amir Syariffudin,  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2006, hlm. 160-161
48

kehidupan beragama isterinya, membuat isterinya tetap menjalankan

ajaran agama; dan menjauhkan isterinya dari segala sesuatu yang

dapat menimbulkan kemarahan Allah. Suami wajib memberikan

pendidikan agama dan pendidikan lain yang berguna bagi isteri dalam

kedudukannya sebagai isteri. Adapun firman Allah yang

mengatakan : “Pelirahalah dirimu dan peliharalah diri keluargamu

dari neraka”.

c. Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan

Allah dapat terwujud, yaitu mawaddah, rahmah, dan sakinah.

Maksudnya, suami wajib memberikan rasa tenang bagi isterinya,

memberikan cinta dan kasih sayang kepada isterinya. Hal ini sesuai

dengan surat ar-Rum (30) ayat 21 yang berbunyi : “di antara tanda-

tanda kebesaran Allah, Ia menjadikan untukmu pasangan hidup

supaya kamu menemukan ketenangan padanya dan menjadikan di

antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Yang demikian merupakan

tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

2. Kewajiban yang tidak bersifat materi.

Dalam kehidupan rumah tangga, isteri juga memiliki kewajiban yang

bersifat nonmateril. Adapun kewajiban isteri yang bersifat nonmateril

yang berbunyi sebagai berikut:41

a. Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya.

41
Ibid, hlm. 162-163.
49

b. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya; dan

memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam

batas-batas yang berada dalam kemampuannya.

c. Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak

menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat. Kewajiban ini

sesuai surat an-Nisa ayat 34 yang berbunyi : “Perempuan yang saleh

ialah perempuan yang taat kepada Allah (dan patuh kepada suami)

memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah

memelihara mereka”. Mematuhi suami di sini mengandung arti

mengikuti apa yang disuruhnya dan menghentikan apa yang

dilarangnya, selama suruhan dan larangan itu tidak menyalahi

ketentuan agama.

d. Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang

tidak berada di rumah.

e. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak

disenangi oleh suaminya.

f. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak

dipandang dan suara yang tidak enak didengar.

Adapun hak bersama suami-isteri. Hak bersama suami-isteri adalah hak

bersama secara timbal balik dari timbal balik dari pasangan suami-isteri

terhadap yang lain. Hak bersama itu meliputi:42

1. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya.

42
Ibid, lm. 163.
50

2. Timbulnya gabungan suami dengan keluarga isterinya dan sebaliknya,

hubungan isteri dengan keluarga suaminya, yang disebut mushaharah.

3. Hubungan saling mewarisi di antara suami-isteri.

Sedangkan, adapun kewajiban secara bersama antara suami-isteri yang

meliputi:43

1. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan

tersebut.

2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

warahmah.

Kewajiban suami dan isteri juga diatur dalam kitab Kompilasi Hukum

Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur tentang kewajiban suami

pada pasal 80 yang berbunyi:

1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan

tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting

diputuskan oleh suami isteri bersama.

2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan

kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi

agama, nusa, dan bangsa.

4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri;

43
Ibid, hlm. 163-164.
51

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi

anak dan isteri;

c. Biaya pendidikan bagi anak.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), diatur juga mengenai

kewajiban isteri dalam pasal 83 yang berbunyi:

1. Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan bathin

kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum

Islam.

2. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah sehari-hari

dengan baik.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga mngatur hak dan

kewajiban yang dimuat dalam pasal 77 yang berbunyi:

1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga uang sakinah, mawaddah, dan warahmah yang menjadi sendi

dasar dari susunan masyarakat.

2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia

dan memberikan bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain.

3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara

anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani,

maupun kecerdasannya, dan pendidikan agamanya.

4. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

5. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.


52

Dalam kehidupan berumah tangga, sebagai suami dan isteri, bahwa

antara suami dan isteri juga memiliki kedudukan. Kedudukan suami isteri

dantur dalam pasal 79 KHI yang berbunyi:

1. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat.

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Pemohon dan

Termohon telah menikah tanggal 25 Mei 2006 dihadapan Pegawai Pencatat

Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro

sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 152/49/V/2006 pada tanggal

29 Mei 2006. Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Pemohon

telah menjalankan kewajibannya untuk memberikan kediaman tempat tinggal

yang layak. Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Pemohon dan

Termohon bertempat tinggal di Taman Krakatau, Desa Waringin Kurung,

Kecamatan Waringin Kabupaten Serang. Pada Putusan Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, si suami telah menjalankan kewajibannya untuk

memberikan tempat tinggal sesuai yang tertera pada pada pasal 78 KHI dan

pasal 32 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Pemohon dan

Termohon telah memiliki 2 (dua) orang anak yang berumur 9 (Sembilan)

tahun dan berumur 4 (empat) tahun. Maka dari itu, pemohon dan termohon
53

sudah saling mencintai dan memenuhi kebutuhan mereka sebagai suami isteri

baik secara lahir maupun bathin. Pada Putusan Nomor

1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, si suami dsn isteri telah menjalankan

kewajibannya untuk saling cinta mencintai antara Pemohon dan Termohon.

Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Pemohon dan Termohon

juga telah memberikan bantuan baik secara lahir dan bathin sesuai dengan

pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang dan Pasal pasal 77

KHI.

Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Pemohon juga

memiliki harta bersama selama pernikahan antara Pemohon dan Termohon.

Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, si suami telah telah

memberikan keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan pasal 80 KHI dan

pasal pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Pada Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Termohon sebagai isteri

juga telah menjaga harta bersama selama perkawinan Pemohon dan Termohon

sesuai dengan pasal pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Poligami

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-

kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya

ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. Menurut Muchsin,

perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek


54

hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Menurut Philipus M. Hadjon, sarana

perlindungan hukum ada 2 (dua) macam yaitu:

1. Sarana perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan

kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah

mencegah terjadinya sengketa.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan

sengketa. penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan

Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan

hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah

bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya

konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan

kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari

perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara

hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi


55

manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari

negara hukum.44

Dalam perkawinan Poligami ada syarat-syarat yang harus dilakukan

oleh suami untuk melakukan perkawinan poligami. Syarat untuk mendapatkan

izin berpoligami ini bisa meliputi syarat yang sesuai dari Pengadilan Agama,

Undang-Undang maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun persyaratan

untuk izin berpoligami/memiliki isteri lebih dari seorang yaitu:45

1. Surat gugatan/permohonan (bila ada).

2. Foto Copy Surat Nikah dengan isteri pertama yang dimateraikan Rp.

6000,00 (Enam Ribu Rupiah).

3. Foto Copy KTP Pemohon, isteri pertama, dan calon isteri kedua

masing-masing 1 (satu) lembar folio 1 (satu) muka (tidak boleh

dipotong).

4. Surat pernyataan berlaku adil dari pemohon.

5. Surat keterangan tidak keberatan dimadu dari isteri pertama dan calon

isteri kedua bermaterai Rp. 6000,-.

6. Surat keterangan gaji/penghasilan dari perusahaan/kantor/kelurahan

diketahui oleh camat setempat.

7. Surat izin atasan (bagi PNS/TNI/POLRI)

8. Surat keterangan status calon isteri kedua dari kelurahan.

44
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hlm. 30.
45
http://www.pa-girimenang.go.id dilihat pada Kamis 14 Oktober 2021 pukul 14.26 WIB.
56

Selanjunya, ada persyaratan untuk melakukan izin berpoligami yang

tertuang dalam Undang-Undang. Syarat untuk izin berpoligami tertuang dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 4 dan 5

yang berbunyi:

1. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia

wajib menagajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat

tinggalnya.

2. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

3. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, harus

dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-

isteri dan anak-anak mereka.

Dalam Islam, suami diperbolekan untuk memiliki isteri lebih dari satu

orang. Dalam Islam, ada batas seorang laki-laki boleh memiliki 4 (empat)

isteri. Hal ini didasari oleh Surat An-Nisa 4 ayat 3 yang berbunyi :
57

“Jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim,
kawinilah perempuan yang kamu senangi, dua orang, tiga orang,
atau empat orang. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
diantara mereka, maka kawinilah satu orang saja, atau hamba
sahaya. Demikian itu cara paling dekat untuk tidak menyimpang”.
Tentang kesulitan dalam memenuhi tuntutan keadilan dalam
perkawinan poligami itu dijelaskan dalam Surat An-Nisa 4 ayat
129 yang berbunyi : “Dan kamu tidak akan mungkin berlaku adil
di antara isteri-isterimu walau kamu berusaha untuk itu. Oleh
karena itu, janganlah kamu cenderung kepada salah seorang
diantara mereka dan kamu meninggalkannya seperti tergantung
dan jika kamu berbuat baik dan bertakwa, Allah Maha Pengampun
dan Maha Penyayang”.

Keadilan yang dijadikan prasyarat untuk perkawinan poligami itu

dinyatakan Allah secara umum, mencakup kewajiban yang bersifat materi dan

juga kewajiban yang tidak bersifat materi. Ulama sepakat tentang keharusan

adil dalam kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah. Sebagian ulama

memahami arti adil dalam hal menyamakan nafaqah, antara satu isteri dengan

isteri lainnya secara kuantitatif. Misalnya harus memiliki jumlah uang yang

sama dalam hal uang belanja terhadap isteri-isterinya. Kemudian suami juga

harus adil dalam memberikan pakaian kepada isteri-isterinya, si suami juga

harus adil dalam memberikan tempat tinggal kepada isteri-isterinya. Dalam hal

ini, suami harus menyediakan tempat tinggal tersendiri bagi isteri-isterinya.

Suami juga boleh menempatkan isteri-isterinya bila para isteri-isteri dan suami

juga telah menyepakatinya.

Ulama juga membatasi keadilan dalam hal keadilan bergaul dengan

para isteri-isterinya. Dalam hal ini, ulama berpendapat ada penggiliran dalam

melakukan penggaulan antara suami dengan isteri-isterinya. Pengaturan

penggiliran ini dilakukan setiap malam. Bila seseorang mengawini perempuan


58

dalam waktu yang berbeda,, maka untuk isteri yang baru suami diberi hak

istimewa untuk memulai giliran. Bila isteri baru itu seorang perawan, si suami

boleh menetap di rumah isteri barunya itu selama tujuh hari sesudah itu baru

dimulai masa giliran. Bila seseorang kawin yang kedua itu dengan seorang

janda, dia boleh menetap di rumah isteri barunya itu selama tiga hati sebelum

memulai giliran.

Ulama juga menetapkan bahwa suami hanya boleh bermalam dengan

isteri yang sudah ditentukan gilirannya. Tidak boleh suami mengunjungi

isterinya di luar gilirannya di waktu malam kecuali, dalam keadaan yang

sangat mendesak, sedangkan kunjungan siang hari dibolehkan, namun terbatas

dalam kunjungan biasa, seperti singgah ataupun keperluan lainnya. Seorang

isteri boleh menyerahkan gilirannya kepada salah seorang diantara madunya

bila yang demikian dilakukan atas dasar kerelaan dan untuk itu perlu menuntut

penggantian waktu yang lain. Demikian pula dalam keadaan tertentu, seperti

sakit yang tidak memungkinkan untuk keluar rumah, suami dapat tinggal di

rumah salah seorang isterinya di luar gilirannya dengan syarat isteri-isteri yang

lain yang berhak atas giliran itu memberikan persetujuan.

Adapun syarat-syarat seorang suami beristeri lebih dari seorang diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 55-59 yang isinya sebagai

berikut:

1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya

sampai empat isteri.


59

2. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku

adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

3. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin

dari Pengadilan Agama.

4. Pengajuan permohonan izin dilakukan menurut pada tata cara

sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9

tahun 1975.

5. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat

tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

6. Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang

akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

7. Selain syarat utama, maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama,

harus juga dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan isteri.

b. Adanya kepastian bahwa suami dapat menjamin keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anak mereka.

8. Persetujuan isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan

lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini


60

dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan

Agama.

Selanjutnya, perlindungan Hukum Terhadap Isteri Poligami juga

berkaitan dengan kewajiban suami untuk memberikan rasa aman, dan

kenyamanan kepada para isteri dalam perkawinan poligami. Kewajiban suami

yang melakukan pekawinan poligami atau suami yang beristeri lebih dari

seorang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 82 yang berbunyi:

1. Suami yang Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban

memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri

secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang

ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

2. Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya

dalam satu tempat kediaman.

Pada putusan nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, dalam

permohonannya, Pemohon telah mengajukan persyaratan untuk melakukan

izin poligami yaitu seperti menyerahkan Surat Akta Nikah, Fotokopi KTP

Pemohon, surat pernyataan sanggup berbuat adil oleh yang telah

ditandatangani pemohon, fotokopi surat keterangan penghasilan pemohon,

surat pernyataan sanggup dimadu yang ditandatangani Termohon. Pada

putusan nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, syarat izin poligami tidak

dilengkapi dengan fotokopi KTP Termohon.

Pada putusan nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg ini, Termohon

menyerahkan surat bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya.


61

Berlaku di adil yang dimaksudkan di sini, bahwa termohon harrus sanggup

untuk berlaku adil baik secara lahir maupun bathin. Termohon harus berlaku

adil dalam hal mengatur uang belanja kepada isteri-isterinya. Termohon juga

harus adil dalam pembagian jatah dalam memberikan nafkah bathin kepada

isteri-isterinya. Pemohon harus membuat aturan giliran dalam hal memberikan

nafkah bathin dalam hal menggauli isteri-isterinya. Dalam hal ini, si suami dan

isteri-isterinya harus membuat kesepakatan waktu giliran yang adil, agar para

isteri-isteri juga dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri kepada

pemohon sebagai suami. Setelah kesepakatan waktu giliran itu dibuat, si suami

harus menjalankan kesepakatan itu sesuai waktunya. Pemohon boleh

mengunjungi kedua isterinya itu pada waktu siang hari bisa dengan cara

bertemu dalam waktu yang bersamaan pada waktu siang hari. Tetapi, ketika

malam hari tiba, si pemohon sebagai suami ini, harus ke salah satu isterinya

sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat pemohon dan isteri-isterinya.

Dalam hal ini, termohon dan calon isteri kedua harus menaati perintah

suami sebagai kepala keluarga. Termohon dan calon isteri kedua ini juga harus

memberikan rasa aman, tenang dalam rumah tangganya. Termohon dan calon

isteri kedua harus berbakti kepada pemohon sebagai suami. Termohon dan

calon suami juga harus mengatur keperluan rumah tangga dengan baik sebagai

kewajiban termohon dan calon isteri kedua sebagai seorang isteri.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 82, seorang suami yang

melakukan perkawinan poligami berkewajiban memberikan tempat tinggal

dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar
62

kecilnya jumlah keluarga dari masing isteri, dan bila para isteri ikhlas, para

isteri bisa tinggal di satu kediaman tempat tinggal yang sama. Dalam hal ini,

Pemohon (JS) juga harus memberikan tempat tinggal yang layak dan nyaman

untuk para isteri-isterinya baik bisa dalam satu rumah tempat tinggal yang

sama ataupun bisa dalam dua rumah tempat tinggal yang berbeda, dan

pemohon (JS) juga harus memberikan biaya hidup untuk para isteri-isterinya

secara adil dan sesuai dengan jumlah orang dalam keluarga dengan isteri yang

satu maupun dalam keluarga dengan isteri yang lainnya.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan perlindungan hukum terhadap isteri

poligami ini, maka perlindungan hukum terhadap isteri yang dipoligami oleh

suami ini disimpulkan sebagai berikut:

1. hak dan kewajiban istri yang dipoligami yaitu meliputi hak dan kedudukan

isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah

tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Suami-isteri wajib

saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan

lahir bathin yang satu pada yang lain. Isteri wajib mengatur urusan rumah

tangga sebaik-baiknya.

2. perlindungan Hukum Terhadap Isteri Poligami itu diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam Pasal 82 yang berkaitan dengan kewajiban suami yang

beristeri lebih dari seorang yang berbunyi: “ Suami yang mempunyai isteri

lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup

kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya

jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada

perjanjian perkawinan. Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat

menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman “.

63
64

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, terdapat beberapa saran

dalam penelitian ini, sebagai bentuk masukan dan bertujuan untuk

memberikan informasi tentang perlindungan hukum terhadap isteri poligami

yaitu sebagai berikut:

1. Menurut peneliti, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), para isteri juga harus

menjalankan hak dan kewajibannya sebagai isteri kepada suami, para isteri

harus bisa mengurus urusan rumah tangganya dengan suami dengan

sebaik-baiknya baik secra lahir maupun bathin. Selain itu, para isteri juga

harus ada perjanjian melakukan penggiliran dalam memberikan nafkah

bathin kepada suaminya.

2. Menurut peneliti, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), Perlindungan

Hukum Terhadap Isteri Poligami berkaitan dengan kewajiban suami yang

beristeri lebih dari seorang. Dalam hal ini, si Pemohon (JS) harus

memenuhi kebutuhan hidup para isteri-isterinya dan anak-anaknya, dan

juga Pemohon (JS) juga harus memberikan tempat tinggal kepada isteri-

isterinya baik bisa tinggal dalam satu rumah yang sama ataupun tinggal

dengan dua rumah yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Nasir Taufiq Al 'Atthar., Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial
dan Perundang-Undangan, Bulan Bintang, Jakarta, 1976

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta,


2003

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2010

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2004

Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi


Mandotary, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2011

CST Kansil, Kamus Istilah Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009.

Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut, Qultum Media, Jakarta 2006.

Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum


Murni, Nuansa dan Nusa Media, Bandung, 2006.

Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory of


Law and State, Teori Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empririk, BEE Media
Indonesia, Jakarta, 2007.

HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta,


2003.

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia


Publishing, Malang, 2006

L.J Van Aveldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, PT Revika Aditama, Bandung, 2006, hal. 82-83.

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994

O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, BPK, Jakarta, 1970

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT Bina


Ilmu, Surabaya, 1987

65
66

Prof. Dr. Amir Syariffudin,  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana


Prenadamedia Group, Jakarta, 2006

Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, Stain


Ponorogo Press, Ponorogo, 2009

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jutimetri, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 1998

Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program


Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Univesitas Indonesia Press,


Jakarta, 1986

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Tihami, Sohari Sahrani,  Fikh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap,


Rajawali Pers, Jakarta, 2010

B. Perundang-Undangan

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

C. Jurnal

Hukum Perdata Pengertian Perkawinan, https://tommizhuo.wordpress.com

Metode Penelitian, http://digilib.unila.ac.id/525/8/BAB%20III.pdf

Pengertian Perkawinan Menurut Para Ahli, https://repository.unpas.ac.id

Permohonan Izin Poligami (Studi Putusan Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg),


http://jurnal.uinbanten.ac.id

Putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 1392/Pdt.G/2017/PA.Srg,


https://putusan3.mahkamahagung.go.id/pengadilan/profil/pengadilan/pa-
serang.html
67

D. Internet

Arti Kewajiban dan Jenis-Jenisnya, http://www.kompas.com

Beberapa Teori Hukum Tentang Tanggung Jawab


https://yuokysurinda.wordpress.com/2018/02/24/beberapa-teori-hukum-
tentang-tanggung-jawab/

Hak dan Kewajiban Menurut Para Ahli, http://www.sumbartoday.net

Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id

Pengertian Hak dan Bagiannya, http://www.kompas.com

Pengertian Hak dan Kewajiban Dalam Kehidupan, Hubungan Serta Jenisnya,


http://m.liputan6.com

Pengertian Hak, http://id.m.wikipedia.org

Pengertian Perkawinan, http://www.hukumonline.com

Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, http://tesishukum.com

Pengertian Tanggung Jawab Hukum Menurut Ahli,


http://www.kumpulanpengertian.com

Persyaratan Pengajuan Gugatan/Permohonan, http://www.pa-girimenang.go.id


68

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. BIODATA DIRI

Nama : Budiarto Meylando Bangun

Tempat Tanggal Lahir : Bekasi, 1 Mei 1998

Alamat : Jalan Penegak 1 Nomor 73 RT/RW 003/005

Kel. Pengasinan, Kec. Rawalumbu, Bekasi

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Email : budilando@yahoo.com

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Mutiara Baru Bekasi 2004-2010

2. SMP Santa Lusia Bekasi 2010-2013

3. SMA Marsudirini Bekasi 2013-2016

4. S1 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2016-2022

Anda mungkin juga menyukai