Anda di halaman 1dari 30

DAMPAK OVERCAPACITY PADA LAPAS DAN RUTAN TERHADAP TINDAK

PIDANA NARKOTIKA

Usulan Penelitian Tesis


Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Penelitian dan Penulisan Tesis
Pada Program Studi Ilmu Hukum Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa

Disusun Oleh :

NAMA : IMANSAH

NIM : 7773190039

DOSEN PEMBIMBING

PEMBIMBING I :Dr. H. Benny Irawan, SH.,MH.,M.Si.

PEMBIMBING II :Ferry Faturokman, SH.,MH.,Ph.D.

PROGRAM ILMU HUKUM MAGISTER HUKUM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2022
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Imansah

NIM : 7773190039

Alamat : Perum. Pesona sindang heula Blok E3 No 10 Serang -

Banten

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Proposal Tesis yang berjudul


“DAMPAK OVERCAPACITY PADA LAPAS DAN RUTAN TERHADAP
TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG
NARKOTIKA” adalah benar karya saya, adapun bagian-bagian tertentu dalam
penulisan Usulan Tesis yang saya kutip dari karya orang lain telah dituliskan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan karya
ilmiah serta tidak melakukan plagiat dan penjiplakan karya orang lain. Apabila
terbukti pernyataan saya tersebut diatas tidak benar, saya bersedia menerima
sanksi sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
termasuk pencabutan gelar.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sehat dan sadar
tidak ada paksaan dari siapapun dan untuk apapun.

Serang,

Imansah

2
LEMBARPERSETUJUAN

DAMPAK OVERCAPACITY PADA LAPAS DAN RUTAN TERHADAP


TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Usalan Proposal Tesis ini siap diuji dihadapan penguji:

Tanggal, Juni2022 Tanggal, Juni 2022

Pembimbing I, Pembimbing II

Dr. H. Benny Irawan, SH.,MH.,M.Si. Ferry Faturokman, SH.,MH.,Ph.D.


NIP. 196010251989091001 NIP. 198102152006041001

Diketahui
Tanggal, Juni 2022 Tanggal, Juni 2022

Wakil Direktur I, Ketua Program Studi,


Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. Ir. Hj. Kartina A.M., M.P Dr. Azmi Polem, S.Ag., S.H., M.H
NIP. 196707042002122001 NIP. 197402282005011003

3
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Segala puji bagi allah Subhanahu Wa Ta’alla yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya, serta nikmat Iman Islam dan kesehatan sehingga

penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian tesis ini, dengan judul

“DAMPAK OVERCAPACITY PADA LAPAS DAN RUTAN TERHADAP

TINDAK PIDANA NARKOTIKA”.

Shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Besar,

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga kepada keluarganya, para

sahabatnya, pengikutnya dan semoga kita semua diakui sebagai umatnya

sehingga mendapat syafaatnya di hari akhir kelak, Aamin Allahuma Amin.

Proposal tesis ini dapat diselesaikan dengan baik tak lepas dari sumber –

sumber yang terkait serta kontribusi yang sangat besar dari berbagai pihak.

Penulis menyadari bahwausulan penelitian Tesis ini masih jauh dari kata

sempurna, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kedua Orang tua ku Darto

dan Kamariyah yang telah membesarkanku dengan cita dan kasih sayang dan

terima kasih kepada istri ku chaerunnisa dan anak ku havva yang selalu support

penulis untuk lebih giat dan semangat mengerjakan tesis ini serta tim

pembimbing: Dr. H. Benny Irawan, SH.,MH.,M.Si sebagai Pembimbing I dan

Ferry Faturokman, SH.,MH.,Ph.D. Pembimbing II yang telah menyediakan

waktu membimbing penulis memberi arahan dan masukan sehingga mampu

4
menulis usulan penelitian tesis ini. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan

terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Fatah Sulaiman ST, MT., sebagai Rektor Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa;

2. Dr. H. Aan Asphianto, S.Si., SH., MH., sebagai Direktur Pasca

Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

3. Prof. Dr. Ir. Hj. Kartina AM., MP., sebagai Wakil Direktur I

Bidang Akademik Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

4. Dr.H. Helmi Yazid SE., M.Si., AK.,CA., sebagai Wakil Direktur II

Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

5. Prof. Alfirano, ST., MT., Ph.D., sebagai Wakil Direktur III

Bidang Kemahasiswaan Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa;

6. Dr Azmi, S.Ag., SH., MH., sebagai Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa;

7. Dr. Fatkhul Muin SH., LL.M., sebagai Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa;

8. Seluruh Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum

Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

9. Segenap Tenaga Kependidikan pada Program Studi Ilmu Hukum

Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

5
10. Sahabat-sahabat seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum Pasca

Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang selalu bersama-sama

dalam menempuh Pendidikan di Pasca Sarjana Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa khususnya teman-teman konsentrasi Hukum Pidana.

Semoga Usulan Penelitan Tesis ini dapat memberi manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan baik bagi penulis maupun bagi setiap

yang membacanya.

Serang, 14 Juni 2021

Imansah

6
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................ ii

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

A. Latar Belakang ...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................10

C. Tujuan Penelitian .....................................................................................10

D. Kegunaan Penelitian .................................................................................11

E. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 12

F. Metode Penelitian .....................................................................................18

G. Sistematika Penulisan ...............................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

7
USULAN PROPOSAL TESIS

JUDUL : DAMPAK OVERCAPACITY PADA LAPAS DAN RUTAN


TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Latar Belakang

Pada zaman pemerintahan Belanda (1816-1942) tepatnya pada tahun

1942, Oude Batavische Statutenvan Batavia mulai berlaku di Hindia Belanda

sebagai dasar penyelenggaraan peradilan pidana dan perdata. Berdasarkan Oude

Batavische Statutenvan tersebut, dikenal tiga jenis tempat penampungan orang

yang melakukan tindak pidana, yaitu bui, ketingkwartier, dan

vroiwentuchthuis.1

Bui berfungsi untuk menampung orang-orang yang didakwa dan ditahan

karena perjudian, mabuk, budak belian yang melawan tuannya, dan orang-

orang yang disandera. Tahanan kerap kali meninggal karena terjangkit

penyakit. Pada masa ini, hakim hanya memeriksa perkara dua kali setahun,

yaitu Mei dan Desember sehingga banyak tahanan yang meninggal sebelum

perkaranya disidangkan.

Kettingkwartier berfungsi untuk menempatkan orang-orang Cina yang

datang secara tidak sah dan orang-orang yang disandera. Situasi penjara kurang

baik, mulai penuh dan tidak ada pemidanaan menurut kesalahannya. Namun,

situasinya lebih baik daripada bui. Para tahanan juga mendapatkan upah dari

pekerjaan mengolah kayu.

1
Sanusi Has, Pengantar Penologi : Ilmu Pengetahuan tentang Pemasyarakatan Khusus
Terpidana, Monora , Medan, 1976, hal. 50.

1
2

Berbeda dengan kedua tempat penampungan sebelumnya,

Vrouwentuchthuis hanya berfungsi menampung wanita Belanda yang dianggap

melanggar kesusilaan.2

Sistem pemidanaan di Indonesia mengalami transformasi konseptual dari

konsepsi retribusi ke arah konsepsi rehabilitasi. Hal ini dapat dilihat dari

munculnya gagasan perubahan mengenai lembaga penjara (dalam sejarah

disebut sebagai rumah penjara).3 Menjadi Lembaga Permasyarakatan(Lapas)

sejak tahun 1963. 4 Pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih

berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan narapidana untuk

dikembalikan lagi ke masyarakat, yang didasarkan pada nalar pembinaan

(treatment, rehabilitation, correction).5 Lapas diharapkan bukan saja sebagai

tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat

untuk membina atau mendidik narapidana, agar mereka setelah selesai

menjalankan pidananya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan kehidupan di luar Lapas sebagai warga negara yang baik dan taat pada

hukum yang berlaku.6

Peningkatan jumlah penghuni Lapas dan Rutan yang mengakibatkan

overcapacity tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah fasilitas serta

sarana dan prasarana yang memadai. Kondisi tersebut jauh dari harapan untuk
2
ibid, hal. 51-52.
3
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2010, hal. 31.
4
Andi Hamzah, Sistem Pidana di Indonesia: Dari Retribusi ke Reformasi, dalam Jimly
Asshiddiqie,Pembaharuan Hukum, hal. 161.
5
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidaana, Jakarta, Pusat
Pelayanan Keadilan danPengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas
Indonesia, 2006, hal. 151.
6
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit., hal. 31.
3

dapat memenuhi tuntutan dari standard minimum rules (SMR). Salah satu

persyaratan SMR yaitu satu sel bagi setiap narapidana atau setidak-tidaknya

tempat yang memberikan ruang gerak yang memadai bagi mereka ketika

mereka tidur.7 Bersamaan dengan kondisi overcapacity tersebut, sejumlah LP

(Lapas) dan rutan mengalami persoalan pembinaan terhadap narapidana.

Semakin besar jumlah narapidana, semakin besar potensi konflik sehingga

petugas akan lebih terkonsentrasi kepada pendekatan keamanan dengan

konsekuensi pendekatan pembinaan atau rehabilitasi terhadap narapidana

kurang memperoleh perhatian.8 Lebih dari itu, hal yang utama dan pertama

yang sangat mempengaruhi tingginya angka overcapacity di Indonesia adalah

kehendak negara yang serta merta masih berorientasi pemenjaraan dalam setiap

proses politik pembuatan hukum yang memuat ketentuan pidana. Yang saat ini

lebih menghawatirkan adalah tingginya penjatuhan pidana penjara bagi

pengguna narkotika yang sangat dimungkinkan untuk dilakukan upaya lain

seperti rehabilitasi.

Lapas yang menjadi salah satu bagian dari sistem pemasyarakatan

hakikatnya diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

7
Lidya Suryani Widayati, Rehabilitasi Narapidana dalam Overcrowded Lembaga
Pemasyarakatan, Jurnal Negara Hukum, Vol.3, No. 2, Desember 2012, FH UII, hal. 212
8
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Departemen Kehakiman dan HAM RI,
PelaksanaanStandard Minimum Rules (SMR) di Lembaga Pemasyarakatan, Jakarta,
Departemen Kehakiman dan Ham
4

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.9

Permasalahan-permasalahan yang timbul yang muncul dari dalam Lapas

dan Rutan bukan semata mata hanya karena adanya kesalahan dan kekeliruan

dalam penanganan oleh petugas Lapas, namun terjadi secara kompleks antara

sistem dengan pelaksanaan di lapangan dengan seluruh keterbatasannya.

Orientasi tentang pemasyarakatan tentunya harus sejalan dengan perubahan

konseptual tujuan pemasyarakatan dari konsepsi retribusi kearah konsepsi

rehabilitasi. Tergambar dari munculnya gagasan perubahan mengenai

lembaga penjara (dalam sejarah disebut sebagai rumah penjara) menjadi

Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ).10

Secara khusus Indonesia juga telah menjadi salah satu negara yang

memiliki tingkat penggunaan dan peredaran narkotika yang cukup tinggi,

bahkan telah ada beberapa daerah yang dijadikan sebagai lokasi pemasaran dan

produksi narkotika. Selain itu, sasaran dari tindak pidana narkotika ini juga

semakin meluas, tidak lagi meliputi kalangan dewasa, melainkan sudah

menyentuh kekalangan remaja bahkan anak-anak, tentunya dengan modus

operandi yang berbeda dengan modus operandi yang biasanya digunakan

untuk menjerat kalangan dewasa. Daerah peredaran gelap narkotika pun tidak

9
Yang dimaksud dengan “agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya memulihkan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam hubungan manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia
dengan lingkungannya. Lihat penjelasan Pasal 2 UU No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan
10
Lembaga Pemasyarakatan digunakan secara resmi sejak tanggal 27 April 1964 bersamaan
dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan, Lihat Petrus Irwan
Panjaitan dan Pendapatan Simorangkir, Lembaga Pemasyaraakatan Dalam Prespektif
Sistem Peradilan Pidana Penjara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal.25.
5

lagi hanya di kota-kota besar, melainkan telah memasuki wilayah-wilayah

pedesaan.11

Sehubungan dengan itu untuk menanggulangi adanya penyalahgunaan

narkoba di Indonesia telah mempunyai perangkat hukum berupa Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang

No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Kedua Undang-Undang tersebut

peraturannya serupa tetapi tidak sama, karena objeknya berbeda.12 Kemudian

aturan tersebut digantikan ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika.

Tabel 1.1 jumlah Narapidana Narkotika Tahun 2021 di Wilayah

Kementerian Hukum dan Ham Banten

Jumlah Kapasitas Jumlah Keterangan kantor Hukum dan


Bulan Narapidana Narapid Ham Banten
Narkotika ana
Khusus
Januari 1.834 600 45 Lapas Kelas I Tangerang
Januari 864 700 139 Lapas Kelas II A Cilegon
Januari 411 425 24 Lapas Kelas IIA Serang

Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika ialah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

11
Anton Yosef S, Pelaksanaan Teknik Pembelian Terselubung Oleh Penyelidik Dalam
Tindak Pidana Peredaran Gelap Narkotika Di Kota Padang, Artikel, Fakultas
Hukum Mandirii Universitas Andalas Padang, 2012, hal 4
12
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, hlm 3.
6

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.13

Untuk mengantisipasi lebih parahnya kasus penyalahgunaan narkotika,

dibutuhkan kerja sama yang sinergis antara institusi pendidikan, aparat penegak

hukum, lingkungan, termasuk disini orang tua dan generasi muda. Penegakan

hukum memang sangat dibutuhkan di dalam masyarakat, utamanya dalam era

reformasi yang sedang berlangsung sekarang ini.14 Diperlukan dinamisasi

antara penegakan hukum dan sistem hukum. Pada hakikatnya kualitas

penegakan hukum tidak dapat dilepas dari tujuan meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat dan kualitas pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam setiap perkara narkotika, sebenarnya para penegak hukum hingga

pemutus perkaranya mesti berangkat dari aturan yang sama, yaitu Undang-

undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang itu

merupakan regulasi ‘khusus’ yang menyimpang dari sistem pemidanaan yang

selama ini berlaku di Indonesia. Dikatakan ‘khusus’ karena undang-undang ini

menganut double track system pemidanaan bagi penyalah guna untuk diri sendiri

dengan kewajiban bagi seluruh lembaga pengadilan di Indonesia untuk

menghukum rehabilitasi.

Anggapan bahwa semakin banyak orang ke penjara merupakan suatu

prestasi merupakan anggapan yang nyata. Polisi jarang mempergunakan

kewenangan diskresi yang dimiliki, sedangkan jaksa selalu berusaha

13
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2009 Nomor 5062.
14
Rena Yulia, Viktimologi:Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2013, hlm 84
7

membuktikan dakwaannya yang seringkali dipaksakan, dan hakim terkesan

terburu-buru dalam menjatuhkan pidana penjara. Padahal apabila penjatuhan

pidana percobaan dimaksimalkan, maka jumlah penghuni di Lembaga

Pemasyarakatan tidak mengalami overcrowded.15

Sejak dikeluarkannya UU No 9 Tahun 1976 tentang Narkotika,

pemerintah memberikan sanksi pidana kepada pengguna narkotika. Hukuman

pidana yang diberikan kepada pengguna narkotika terus meningkat sampai

dikeluarkannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun

pemberian sanksi pidana kepada pengguna narkotika tidak membawa dampak

menurunnya angka perdagangan gelap narkotika malah justru menimbulkan

permasalahan baru. Karena tidak adanya pemisahan yang tegas antara pengedar

narkotika dan pengguna narkotika, yang mengakibatkan pemerintah kehilangan

fokusnya dalam mengatasi dan menangani permasalahan narkotika di Indonesia.

Kebijakan yang menggunakan pendekatan punitif terhadap pengguna narkotika

ini nyatanya tidak juga menyelesaikan permasalahan narkotika. Masalah-

masalah yang timbul akibat hal ini salah satunya adalah overcrowding rumah

tahanan dan lembaga pemasyarakatan, dimana kasus narkotika memberikan

sumbangsih yang tinggi terhadap situasi overcrowding.16

Selain itu dalam Pasal 55 ayat (2) UU No 35 tahun 2009 tentang

Narkotika disebutkan bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna


15
Lampiran Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2017 Tentang Grand Design Penanganan Overcrowded Pada Rumah Tahanan
Negara Dan Lembaga Pemasyarakatan,hal. 17

16
Supriyadi Widodo Eddyono, et.al, 2017. Kertas Kerja : Memperkuat Revisi Undang-
Undang Narkotika Indonesia Usulan Masyarakat
Sipil,http://icjr.or.id/data/wpcontent/uploads/2017/11/Memperkuat-Revisi-UU-
Narkotika.pdf Maret 2018
8

Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Wajib

rehabilitasi yang merupakan rangkaian dari wajib lapor, serta adanya ancaman

pidana bila tidak melaporkan diri berpotensi melanggar hak atas kesehatan. Hak

atas kesehatan adalah jaminan yang diberikan negara terkait informasi mengenai

jenis pelayanan yang akan diberikan kepada pengguna narkotika dan pemberian

pelayanan atau tindakan medis itu harus berdasarkan persetujuan dari orang

yang dirawat.

Perlu diingat bahwa penanganan penyalahguna narkotika di Lapas/Rutan

memerlukan special treatment. Seharusnya telah terjadi perubahan pendekatan

penanganan terhadap pengguna narkotika, yaitu dari pendekatan pemidanaan

kepada pendekatan kesehatan masyarakat. Alasannya sederhana, dengan

ditekannya angka pengguna dan pecandu, maka akan secara signifikan merusak

peredaran gelap narkotika, Namun hal ini baru dapat terjadi bila dengan

kesehatan masyarakat, bukan dengan pemidanaan yang keras. Namun apa yang

terjadi? Pemerintah melalui tangan aparat penegak hukum masih saja

mengirimkan pengguna dan pecandu narkotika ke penjara sehingga membanjiri

lapas. Padahal semestinya menurut UU No 35 tahun 2009, baik pengguna dan

pecandu lebih tepat direhabilitasi atau diberikan penanganan dengan perspektif

kesehatan.17

Belum lagi kebijakan alternatif penahanan dan alternatif penjatuhan

pidana yang seakan tidak pernah dipertimbangkan oleh aparat penegak

hukum. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010

tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna, dan Pecandu


17
Ibid
9

Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Selain

itu juga Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2011 tentang

Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi

Medis dan Rehabilitasi Sosial, dan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. SE-

002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika

ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial serta aturan teknis

dalam pelaksanaan SEJA tersebut dalam SEJA No. SE-002/A/JA/02/2013

tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga

Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, seluruh aturan SEMA dan SEJA

terkait penempatan pengguna dan pecandu narkotika di tempat-tempat

rehabilitasi tersebut tidak berjalan. Dari data yang dimiliki oleh Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan, pada bulan Februari 2017, penghuni rumah tahanan

negara dan lembaga pemasyarakatan yang teridentifikasi sebagai tahanan dan

narapidana pengguna narkotika hingga mencapai angka 35.598 orang.18

Diperlukan dinamisasi antara penegakan hukum dan sistem hukum.

Pada hakikatnya kualitas penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari tujuan

meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas pembangunan

yang berkelanjutan.

Penegakan hukum sendiri pun telah bekerja keras dalam mengurangi

overcapacity di wilayah Hukum Dan Hak Asasi Manusia khususnya di Provinsi

Banten. Oleh sebab itu perlu adanya pembahasan terkait Overcrowding di

Banten.

18
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/year/2017/month/
12pada19Februari2021.
10

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam

dan menyusun penelitian dalam bentuk Tesis dengan judul “DAMPAK

OVERCAPACITY PADA LAPAS DAN RUTAN TERHADAP TINDAK

PIDANA NARKOTIKA”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang akan dikaji

adalah:

a. Bagaimana kondisi kepadatan dan kelebihan penghuni serta

permasalahan overcapacity yang terjadi di lapas/rutan di Wilayah Hukum

dan Ham di Banten?

b. Bagaimana penyebab dan dampak dari situasi overcapacity yang terjadi

pada lapas/rutan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari permasalahan yang akan dibahas dan diteliti di dalam

penulisan skripsi ini, tujuan yang ingin dicapai peneliti adalah:

1. Untuk memberikan gambaran yang utuh terhadap kondisi dan

implikasi Overcapacity yang terjadi Lapas dan Rutan di Banten.

2. Penelitian ini ditunjukan sebagai bahan acuan yang terarah dan

terukur bagi instansi terkait maupun pihak lain yang berkempentingan

dalam pemecahan permasalahan overcapacity yang terjadi, sehingga

tujuan pemasyarakatan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

D. Kegunaan Penelitian
11

Penelitian ini selain memiliki tujuan penelitian juga memiliki kegunaan

penelitian. Kegunaan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Secara Teoritis, penelitian yang telah dijabarkan dalam beberapa

rumusan masalah dan dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang

ingin dicapai sebagaimana diuraikan di atas, maka kegunaan

penelitian ini termasuk dalam lingkungan penelitian deskriptif

analitis. Dikatakan bersikap deskriptif karena merupakan suatu

upaya untuk mendeskripsikan (mengungkapkan dan memaparkan)

situasi, penyebab dan dampak dari kepadatan dan kelebihan penghuni

lapas/rutan serta situasi Overcapacity yang terjadi di lapas/rutan di

Banten.

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

masukan dan penyelesaian permasalahan yang ada sehingga

akhirnya dapat diambil kesimpulan untuk memunculkan strategi

mengatasi persoalan yang dikemukakan.

E. Kerangka Pemikiran

Untuk lebih mudah mengulas permasalahan yang akan dijabarkan dalam

penulisan ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu makna kata yang

terkandung dalam variable judul antara lain ; hukum dalam kamus bahasa

Indonesia memiliki arti : 19

Capacity dalam bahasa indonesia adalah kapasitas ruang yang tersedia. 20

Maka sesuai dengan penjelasan yang telah di terangkan penulis.

19
Tim Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, 2008, hlm. 531
20
https://kbbi.web.id/kapasitas 13.05 Kamis 17 Juni 2021
12

Untuk melakukan pembahasan dalam penelitian ini peneliti perlu

menggunakan kerangka teori sebagai acuan untuk memecahkan masalah yang

akan dibahas dlam penelitian ini.

Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari

pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak

atau landasan untuk memecahkan dan mambahas masalahnya. Untuk itu

perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang

menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati.21

Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, dengan adanya teori

akan memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, susunan dari

beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu

kesatuan yang menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan

dalam penelitian, Menggungkap teori yang digunakan berarti

mengemukakan teori-teori yang relevan yang memang benar-benar

digunakan untuk membantu menganalisis fenomena sosial yang diteliti.

Adapun teori hukum yang dapat digunakan berkenaan dengan judul penelitian

di atas.

A .Teori Sistem Peradilan Pidana

Pelaksanaan sistem peradilan pidana masih memiliki banyak kelemahan

dalam berbagai aspek. Kelemahan tersebut salah satunya bersumber dari

perangkat hukum positif yang belum sepenuhnya mendukung terciptanya

21
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Universitas Gajah Mada Press,
Yogyakarta, 2003, hlm. 39-40.
13

sistem peradilan pidana yang transparan, akuntabel. Kelemahan- kelemahan

tersebut dapat turut mempengaruhi kegagalan sistem peradilan pidana dalam

mencapai tujuannya. Pada gilirannya, akan menghambat upaya pengendalian

kejahatan di masyarakat karena pada dasarnya, menurut Mardjono

Reksodiputro, sistem peradilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat

untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas

toleransi yang dapat diterimanya.

Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal

Justice System (ICJS) merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting

dalam kerangka penegakan hukum pidana materil. Philip P. Purpura

menyatakan bahwa:

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu

sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga

Pemasyarakatan yang bertujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban

masyarakat, mengendalikan kejahatan, melakukan penangkapan, dan penahanan

terhadap pelaku kejahatan, memberikan batasan bersalah atau tidaknya

seseorang, memidana pelaku yang bersalah dan melalui komponen sistem secara

keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa.

Tujuan Sistem Peradilan Pidana Menurut Muladi dapat di katagorikan

sebagai berikut:22

1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan

rehabilitasi pelaku tindak pidana ;


22
Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga
Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2008, hlm. 54
14

2. Dikatagorikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak

dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam

konteks politik criminal (criminal policy);

3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah

kesejahteraan masyarakat (socialwelfare) dalam konteks politik sosial

(criminal policy);

Loebby Loqman berpendapat tujuan sistem peradilan pidana adalah

menghilangkan kejahatan ( bukan penjahatnya ) untuk mencapai suatu

masyarakat yang terbebas dari kejahatan.23

Menurut Roeslan Saleh: Pidana penjara adalah pidana utama diantara

pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan untuk

seumur hidup atau untuk sementara waktu.24

Barda Nawawi Arief menyatakan25

Pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan,

tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang

berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. Akibat

negatif itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang

normal dari seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual

dan masturbasi di kalangan terpidana.

Terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya

kemerdekaan berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat serius
23
Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana, Datacom,
Jakarta,2002, hlm. 22-23
24
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 2011, hlm. 62.
25
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada,
Jakarta,2008, hlm. 44.
15

bagi kehidupan sosial ekonomi keluarganya.Terlebih pidana penjara itu

dikatakan dapat memberikan cap jahat (stigma) yang akan terbawa terus

walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan. Akibat lain

yang juga sering disoroti ialah bahwa pengalaman penjara dapat

menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan derajat dan harga diri

manusia.

Sistem Kepenjaraan sebagai suatu cara pelaksanaan pidana hilang

kemerdekaan, yang diatur dalam Gestichten Reglemen Penjara (Stb. 1917-

708) sebagai pelaksanaan dari Pasal 29 KUHP, sudah tidak sesuai dengan

Pancasila, karena berasal dari pandangan individualisme yang memandang

dan memperlakukan narapidana tidak sebagai anggota masyarakat.26

Sistem Pemasyarakatan adalah satu rangkaian kesatuan penegakan

hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari

pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.27

B .Teori Pemasyarakatan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Pemasyarakatan

berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembimbingan yang merupakan

bagian akhir dari sitem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.


26
H.R. Soegondo, Sistem Pembinaan Napi, Insania Citra, Yogyakarta, 2006, hlm. 2
27
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2006, hlm. 103.
16

Sistem pemasyarakatan adalah suatu bagian tatanan mengenai arah batas serta

cara pembinanan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pncasila yang di

maksud secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk

meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

perbaikan diri, dan tidak mengulangi tindak pidana.

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan Kepada

Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap damn perilaku, profesional ( Pasal 1

ayat(1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.28

Pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1995. Pada saat ini

Indonesia menggunakan sistem pemasyarakatan sebagai pembaharuan sistem

penjaraan. Sistem kepenjaraan yang menekankan pada unsur penjara dan

mengunakan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai individu

semata-mata dipandang sudah tidak sesuai dengan kepibadian bangsa Indonesia

yang berdasarakan UUD 194529

F. Metodeologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif yang penelitian pada norma hukum yang terdapat dalam perundang-

undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan

perkembangan dalam masyarakat.30

28
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
29
Saharjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pncasila, Pidato Pengukuhan Pada tanggal 3 Juli
1963, Iatana Negara, (Jakarta : UI Press, 1983) hlm. 8
30
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hal.105.
17

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian normatif, pendekatan yuridis

normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan

serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat yang berhubungan

dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam thesis ini.31

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan

undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan menelaah

undang-undang yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani.32

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini ialah data sekunder yaitu data yang diperoleh

dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan

objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, thesis,

disertasi dan peraturan perundang-undangan. Data sekunder tersebut

dapat dibagi menjadi.33

a. Bahan Hukum Primer.

Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan objek penelitian antara lain:

31
Ibid.Hlm.105.
32
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta,2005,hlm.133.
33
Zainudin Ali, Op.Cit, hlm.106.
18

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

bahwa pecandu wajib di rehabilitasi

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah

hukum yang terkait dengan objek penelitian ini. 34 Objek penelitian ini

yaitu tentang Overcrowding yang terjadi di Lapas/Rutan.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan

hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus,

ensiklopedia, majalan, surat kabar, dan sebagainya.35

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data yaitu studi pustaka atau studi dokumen, namun apabila

diperlakukan akan dilengkapi dengan wawancara untuk mendukung data

sekunder.

5. Analisis Data

Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis data

kualitatif. Meliputi, isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan

yang dilakukan oleh peneliti untuk menemukan isi atau makna aturan

34
Ibid. Hlm.106.
35
Ibid. Hlm. 106.
19

hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan

hukum yang menjadi objek kajian.36

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus

diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan thesis ini, maka

diperlukan adanya sistematika penulisan yang terbagi dalam bab per bab yang

saling berkaitan satu sama lain.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang akan menguraikan latar

belakang dilakukan peneliti ini, perumusan masalah dalam

penulisan thesis, tujuan dan manfaat penelitian yang diharapkan,

kerangka pemikiran yang membahas mengenai teori-teori yang

berhubungan dengan objek penelitian serta metode yang

digunakan dalam penelitian.

BAB II :TINJAUAN UMUM MENGENAI DAMPAK

OVERCROWDING PADA RUTAN DAN LAPAS

Bab ini akan membahas mengenai gambaran-gambaran umum

mengenai Overcapacity di wilayah Hukum dan Hak Asasi manusia

(Lapas/Rutan).

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERPIDANA

PEYALAHGUNAAN NARKOTIKA Bab ini diuraikan

analisis mengenai implementasi terpidana narkotika dalam hak

36
Ibid.Hlm.107.
20

terpidana pada sistem peradilan pidana dan mekanisme dalam

memenuhi hak korban tindak pidana narkotika.

BAB IV IMPLEMENTASI OVERCAPACITY LEMBAGA

PERMASYARAKATAN DAN RUTAN DALAM

MEMENUHI HAK KORBAN TINDAK PIDANA.

Bab ini diuraikan analisis mengenai implementasi overcrowding di

Lapas/Rutan pada sistem peradilan pidana dan mekanisme dalam

memenuhi hak korban penyalahgunaan narkotika.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah

dibahas pada bab-bab sebelumnya dan saran yang diharapkan

berguna bagi semua pihak dalam mengoptimalkan overcrowding

di wilayah Hukum dan Ham di Banten.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Andi Hamzah, Sistem Pidana di Indonesia: Dari Retribusi ke Reformasi,


dalam Jimly Asshiddiqie,Pembaharuan Hukum.

Anton Yosef S, Pelaksanaan Teknik Pembelian Terselubung Oleh


Penyelidik Dalam Tindak Pidana Peredaran Gelap Narkotika Di
Kota Padang, Artikel, Fakultas Hukum Mandirii Universitas
Andalas Padang, 2012.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana


Prenada, Jakarta,2008.

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, 2008, Op.Cit.

Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,


Refika Aditama, Bandung, 2006.

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004.

H.R. Soegondo, Sistem Pembinaan Napi, Insania Citra, Yogyakarta, 2006.

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Universitas Gajah


Mada Press, Yogyakarta, 2003.

Lidya Suryani Widayati, Rehabilitasi Narapidana dalam Overcrowded


Lembaga Pemasyarakatan, Jurnal Negara Hukum, Vol.3, No. 2,
Desember 2012, FH UII.

Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana,


Datacom, Jakarta,2002.

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidaana,


Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan danPengabdian Hukum (d/h
Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2006.

Muladi dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga


Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 2008.

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia,


Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

Rena Yulia, Viktimologi:Perlindungan Hukum terhadap Korban


Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 2011.

Sanusi Has, Pengantar Penologi : Ilmu Pengetahuan tentang


Pemasyarakatan Khusus Terpidana, Monora , Medan, 1976.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012.

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

B. HUKUM/Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945


Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010

C. Kamus/ Ensiklopedia/ Internet/ Media Sejenis Lainnya :

Budiono, Kamus Lengkap 50 Triliyun Inggirs-Indonesia Indonesia-


Inggris, Bintang Indonesia, Jakarta.

http://icjr.or.id/data/wpcontent/uploads/2017/11/Memperkuat-Revisi-UU-Narkotika.pdf
Maret 2018
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/year/2017/month/
12pada19Februari2021.
https://kbbi.web.id/kapasitas 13.05 Kamis 17 Juni 2021
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI DAMPAK OVERCAPACITY PADA
RUTAN DAN LAPAS
1. TEORI PEMASYARAKATAN

Anda mungkin juga menyukai