Anda di halaman 1dari 78

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PERKARA

ISBAT NIKAH ISTRI BERSTATUS POLIANDRI


(Studi Penetapan Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr di Provinsi Lampung)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Andi St Nur Azizah Akram

11190440000080

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1444 H/ 2023 M
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PERKARA
ISBAT NIKAH ISTRI BERSTATUS POLIANDRI
(Studi Penetapan Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr di Provinsi Lampung)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Andi St Nur Azizah Akram


NIM. 111904400000080

Di bawah bimbingan:

Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H

NIP. 19771217 2007101 002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1444 H / 2023 M

i
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Andi St Nur Azizah Akram
NIM : 11190440000080
Program Studi : Hukum Keluarga
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya pada bagian-bagian yang merujuk
pada sumbernya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 30 Juni 2023

Andi St Nur Azizah Akram


11190440000080

ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

iii
ABSTRAK
Andi St Nur Azizah Akram. NIM 11190440000080. PERTIMBANGAN
HAKIM DALAM MENETAPKAN PERKARA ISBAT NIKAH ISTRI
BERSTATUS POLIANDRI (Studi Penetapan Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui) di
Provinsi Lampung. Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1444 H/2023 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan
hakim sehingga pemohon tidak memperoleh hak penetapan isbat nikah baik melalui
penetapan dengan amar tidak menerima serta implikasi hukum penetapan isbat
nikah tersebut terhadap status anak dan hak-hak hukum anak yang lahir dari
perkawinan poliandri.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif yuridis dengan metode
pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang. Teknik
pengumpulan data menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan
studi dokumen dengan mengkaji artikel maupun jurnal yang berkaitan dengan judul
yang dibahas. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah metode analisis
deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemohon tidak memperoleh hak
penetapan isbat nikah karena Hakim Pengadilan Agama Krui menilai bahwa
perkawinan para pemohon terdapat cacat materiil dengan mengetahui bahwa status
Pemohon II adalah poliandri, ketika Pemohon II melangsungkan perkawinan
dengan Pemohon I ia belum bercerai dengan suami pertamanya. Sehingga
penetapannya tidak diterima oleh Hakim karena melanggar ketentuan hukum islam
dan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya status hukum poliandri, maka
perkawinannya rusak (fasid) karena syarat perkawinannya belum terpenuhi dan
belum dianggap sah secara yuridis formal, perkawinan pemohon I dan Pemohon II
dianggap haram sehingga perkawinannya tidak dapat diisbatkan ke Pengadilan
Agama. Secara Hukum, status anak dari Poliandri tidak dapat dinasabkan kepada
Ayah Kandungnya. Tetapi ada dua pendapat yang berbeda dalam menetapkan status
dan hukum anak. Pertama, status hukum anaknya tidak sah. Sehingga secara
hukum, anak tersebut tidak berhak mendapatkan hak-hak nafkah dan warisan dari
ayah kandungnya. Kedua, perkawinan yang terjadi antara keduanya dinilai sebagai
perkawinan yang fasid. Menurut mazhab hanafiyah, anak lahir dari perkawinan
yang fasid dapat dinasabkan kepada ayah kandungnya, Sedangkan menurut Hukum
Positif di Indonesia, anak dari Pemohon I dan Pemohon II dianggap sebagai Anak
Luar Kawin karena terlahir dari perkawinan orang tuanya yang tidak sah. Sehingga
akibat hukum anak luar nikah menurut KHI hanya mempunyai hubungan saling
mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, Putusan Mahkamah
Konstitusi nomor No.46/PUU-VIII/2010 memberikan kepastian hukum terhadap
status anak luar kawin yang mana anak tersebut dapat mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan ayahnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti melakukan tes DNA. Adapun Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor 10 tahun 2012 untuk melindungi
hak-hak anak hasil zina atau tidak sah, MUI memberikan hukuman takzir kepada

iv
laki-laki berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan
memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
Kata Kunci: Isbat Nikah, Poliandri, Anak Luar Nikah
Pembimbing: Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H
Daftar Pustaka : 1996 s.d 2022

v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Dengan Rahmat dan
Ridha nya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik sebagai salah satu
syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam semoga tercurahkan
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut
beliau sampai akhir zaman nanti.

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini


dengan judul “Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Isbat Nikah Istri yang
berstatus Poliandri (Studi Penetapan 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr). Penulis
menyampaikan terima kasih banyak kepada berbagai pihak, yang telah membantu
dan mendukung penulis dalam proses Menyusun skripsi. Terutama kepada Orang
Tua Penulis yaitu Abi Dr. H. Andi Akram, S.H., M.H dan Ummi Dra.Hj. Sitti
Maryam Adam yang turut memberi bantuan dan dukungan serta doa sejak kecil
hingga kuliah saat ini. Dan juga kepada kepada adikku tercinta Andi St. Nur
Syahadah Akram (Yaya) dan Andi St. Nur Hafidzah Akram (Aisyah) yang telah
menyemangati kakaknya agar bisa menyelesaikan studinya tepat waktu, semoga
kalian diberikan Kesehatan selalu dimanapun dan kapanpun aamiin

Penulis mengucapkan terimakasih pula kepada para pihak yang telah memberikan
dukungan selama perkuliahan diantaranya:

1. Prof. Asep Saefudin Jahar, M.A., Ph.D., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof Dr. Muhammad Maksum, SH.,M.A,MDC. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta jajarannya
3. Ibu Dr. Hj. Mesraini S.Ag., S.H., M.Ag., dan bapak Ahmad Chairul Hadi,
M.A., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga periode
2019-2023 dan Ibu Dr. Rosdiana, M.A periode 2023-2027 selaku Ketua
Program Studi Hukum Keluarga 2023-2027 yang telah memberikan

vi
perhatian, nasihat, pembinaan, arahan, dan bimbingan yang telah diberikan
selama ini.
4. Bapak Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Skripsi
penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
5. Ibu Dr. Wardah Nuroniyah, S.H.I, M.S.I, selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah membantu selama proses perkuliahan.
6. Seluruh Dosen dan jajaran kepala bagian umum, khususnya pada Fakultas
Syari’ah Dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis dengan membimbing, mengarahkan
serta memotivasi penulis selama menjalani perkuliahan.
7. Kepada sahabat seperjuangan penulis Siti Nur Hanifah, Umi Fitrotul Uyuni,
Ummu Asrah Lw, Silvana Mujtahidah Gaos, Desti Latifah, Dini Nur Wulan
Sari yang selalu support selama perkuliahan hingga saat ini.
8. Kepada sahabat penulis Kharisma Dewi, Haifa Zahra, Intan Fatikhasari, Lili
Suryani, Ely Safitri, Indah, Dea Ayuni Mumtahanah, Luthfiah Firda dan Siti
Kholidah yang telah menjadi teman ngobrol, menghibur dan sharing apapun
selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian dimudahkan selalu
urusan kedepannya yaa aamiin.
9. Kepada Keluarga Besar Abba Aji dan Ummi Aji, Keluarga Besar Etta Unga
dan Etta Aqil, Teman-teman Hukum Keluarga 2019, Teman-teman
KKN’08 2022, Teman-teman IKAMI Sulsel-Ciputat, Komunitas
Kabupaten Bogor Mengajar yang selama ini senantiasa mengingatkan,
membantu dan mendukung penulis dalam perkuliahan maupun diluar
urusan perkuliahan. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu, yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian
ini. Semoga kalian semua diberikan kemudahan selalu dan diberikan
kesehatan oleh Allah SWT aamiin.

Jakarta, 24 Juni 2023

Andi St. Nur Azizah Akram

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii


LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 4
C. Rumusan Masalah .................................................................................. 5
D. Pembatasan Masalah ............................................................................. 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6
F. Kajian Terdahulu ................................................................................... 6
G. Metode Penelitian ................................................................................... 9
H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 12
BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ISBAT NIKAH & POLIANDRI 13
A. Aspek Hukum Isbat Nikah .................................................................. 13
1. Pengertian Isbat Nikah ........................................................................ 13
2. Dasar Hukum Isbat Nikah................................................................... 15
3. Syarat-Syarat Isbat Nikah ................................................................... 17
4. Implikasi Hukum Adanya Isbat Nikah ............................................... 18
B. Aspek Hukum Poliandri ...................................................................... 19
1. Pengertian Poliandri ............................................................................ 19
2. Dasar Hukum Larangan Poliandri ...................................................... 20
3. Poliandri menurut Sistem Perkawinan Indonesia ............................... 21
4. Faktor-faktor terjadinya Poliandri ...................................................... 23
BAB III DESKRIPSI PENETAPAN ISBAT NIKAH POLIANDRI NOMOR
0011/Pdt.P/2021/PA.Kr ....................................................................................... 24
1. Identitas Para Pihak yang Berperkara .................................................. 24
2. Duduk Perkara ......................................................................................... 24

viii
3. Petitum (Permohonan Para Pemohon) .................................................. 25
4. Proses Pemeriksaan Perkara .................................................................. 25
5. Pertimbangan Hukum ............................................................................. 26
BAB IV ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH POLIANDRI ................ 31
A. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ............................................... 33
B. Implikasi Hukum terhadap Status dan Hak Hukum Anak yang
Lahir dari Perkawinan Poliandri .................................................................. 43
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 52
A. Kesimpulan ........................................................................................... 52
B. Saran-Saran. ......................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53

ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poliandri menjadi pembahasan yang ramai dibicarakan oleh masyarakat saat
ini. Praktik poliandri telah lama dikenal sebagai perempuan yang memiliki lebih
dari satu pria. Kasus Poliandri yang terjadi di Indonesia, daerah kecamatan
Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, terdapat empat perkawinan poliandri. 1
Sedangkan di Cianjur, pelaku poliandri diusir oleh warga dari rumahnya
lantaran ia ketahuan memiliki dua suami tetapi pernikahannya yang kedua
dilakukan secara siri2. Adapun kasus poliandri di Kecamatan Sail Pekanbaru,
terdapat seorang Wanita yang memalsukan dokumen akta cerai palsu supaya ia
bisa menikah dengan suami keduanya. 3 Bahkan beberapa negara ada yang
melegalkan perkawinan poliandri seperti Daerah Otonomi Tibet yang memiliki
tradisi poliandri menempatkan saudara lelaki yang menjadi pasangannya di satu
rumah yang sama.4 Dengan demikian, poliandri selalu menjadi kontroversi baik
di banyak negara, terlebih negara Muslim.

Islam membolehkan poligami meskipun dengan syarat khusus tetapi


melarang dilakukannya praktek poliandri. Hingga saat ini, masyarakat
Indonesia lebih mengenal laki-laki yang beristri lebih dari satu alias poligami.
Namun, terdapat juga kasus dimana seorang perempuan memiliki lebih dari satu
suami dikenal sebagai poliandri. Dalam Q.S An Nisa ayat 24 menegaskan
diharamkan menikahi perempuan yang sudah menikah karena dapat
mempengaruhi ketentuan hukum nasab sesuai syariat, sehingga jika poliandri

1
Misran dan Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi
kasus di Kabupaten Pidie Jaya),” Jurnal Samarah: Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 1.1 (2017),
248–74 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1582>.
2
Andi. Ichsyan, “5 Fakta Kasus Poliandri di Cianjur,” 2022
<https://jabar.inews.id/berita/5-fakta-kasus-poliandri-di-cianjur-nomor-2-modusnya-bikin-geleng-
kepala> [diakses 28 Juni 2022].
3
Pardi, “Analisis Perkawinan Poliandri Menurut Hukum Islam (Kasus dalam Putusan
Pengadilan Agama Kelas I.A Pekanbaru Nomor 1186/PDT.G/2010/PA.PBR)” (Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, 2013).
4
MNC Portal, “5 Negara Jadikan Praktik Poliandri sebagai Tradisi,” 2021
<https://news.okezone.com/read/2021/11/29/18/2508804/5-negara-jadikan-praktik-poliandri-
sebagai-tradisi-india-salah-satunya> [diakses 28 Juni 2022].

1
2

terjadi maka akan susah menentukan keturunan dari anak yang dilahirkan, dan
juga akan berdampak pada warisan anak dan pasangan yang ditinggalkan.
Dalam konteks tujuan perkawinan yaitu melanjutkan keturunan, melindungi
diri dari perbuatan terlarang, menciptakan rasa cinta kepada pasangan, dan
membersihkan keturunan.5

Berkaitan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 1


Tahun 1974 yang diubah menjadi UU No. 16 Thn 2019, yaitu : “Perkawinan
adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri mempunyai tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan rumusan KHI yaitu:
“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizhan untuk menaati dan menjalankan perintah Allah adalah
ibadah”

Diketahui bahwa orang yang melakukan poliandri pada dasarnya ia


melakukan pernikahannya dengan cara siri dan tidak tercatatkan pernikahannya
oleh KUA atau PPN yang berwenang. Bahwasanya setiap perkawinan harus
dicatatkan termasuk perkawinan poligami. Pasangan suami dan istri yang
perkawinannya tidak tercatat seringkali menimbulkan sejumlah konsekuensi
yuridis terhadap akibat perkawinannya karena tidak memiliki bukti autentik
yang bisa digunakan untuk melindungi hak-hak suami-istri dari perkawinannya
tersebut seperti hak-hak keperdataan, memiliki kewajiban memberikan nafkah,
dan hak kewarisan. Perkawinan yang tidak tercatat menyebabkan istri tidak
diakui, sehingga ia tidak berhak atas nafkah dan waris. Hal ini karena pencatatan
perkawinan menjadi syarat formal untuk mengabsahkan suatu peristiwa agar
konsekuensi yuridis tersebut diakui.6

5
Misran dan Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi
kasus di Kabupaten Pidie Jaya),” Jurnal Samarah: Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 1.1 (2017),
248–74 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1582>.
6
Ida Sanjaya, “Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Tercatat Di Catatan Sipil
Apabila Terjadi Perceraian,” Jurnal Hukum Bisnis, 2.2 (2018), 83–101.
3

Pemerintah berupaya memberikan pelayanan serta solusi kepada


Masyarakat bagi perkawinannya tidak tercatat adalah dengan menghadirkan
lembaga isbat nikah.7 Masyarakat dapat mencatatkan kembali perkawinannya
melalui isbat nikah yang telah mereka lakukan sebelumnya hanya berdasarkan
hukum islam dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama setempat, yang
dikenal dengan istilah nikah siri atau nikah di bawah tangan.8

Nikah siri diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Jadi
nikah siri adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita yang
seharusnya dilakukan menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja
melaksanakan perkawinannya di bawah tangan sehingga tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) atau dirahasiakan. 9 Pada dasarnya, Hukum nikah
siri secara agama Islam adalah sah atau legal dan diperbolehkan jika syarat dan
rukun nikahnya terpenuhi. Tetapi sahnya perkawinan ini secara hukum islam
dan kepercayaan masyarakat saja sehingga perlu juga pengesahan oleh Negara
yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tentang Pencatatan
Perkawinan. Pasal ini menjelaskan mengenai perkawinan sah menurut agama
tapi tidak tercatat, maka perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan
tidak diakui oleh negara.

Dengan mencatatkan perkawinannya, maka suami istri akan mendapatkan


jaminan perlindungan dan kepastian hukum dengan memperoleh Akta Nikah
sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut sebagaimana pasal 7 ayat 1
Kompilasi Hukum Islam yaitu “Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan

7
Aisyah Yusriyyah Ahdal, Syahruddin Nawi, dan Hasbuddin Khalid, “Pelaksanaan Isbat
Nikah Terhadap Perkawinan Tidak Tercatat di Pengadilan Agama Raha,” Journal of Lex Generalis,
4.1 (2023).
8
Riswan Munthe dan Sri Hidayani, “Kajian Yuridis Permohonan Itsbat Nikah pada
Pengadilan Agama Medan,” Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9.2 (2017), 121
<https://doi.org/10.24114/jupiis.v9i2.8240>.
9
Irawati Bahri, “Siri Marriage In Islamic Perspective: Nikah Siri Dalam Perspektif Islam,”
Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9.1 (2023), 224–30.
4

Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah” di Kantor Urusan
Agama (KUA) Setempat.10

Namun pada kenyataannya, masih banyak masyarakat muslim di Indonesia


yang melakukan perkawinan tanpa mencatatkannya kepada Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) tersebut sehingga masalah yang terjadi yaitu perkawinannya yang
tidak tercatat kemudian ia berusaha menyelesaikannya dengan mengajukan
permohonan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama Setempat.11

Penulis akan menganalisis penetapan nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui,


Pemohon I dan Pemohon II melaksanakan perkawinan secara siri tahun 2013.
Pada saat menikah, Pemohon I berstatus duda cerai mati sedangkan Pemohon 2
berstatus janda cerai hidup. Mereka memiliki 2 anak dari perkawinan tersebut.
Namun Pemohon II masih terikat perkawinan dengan suami pertamanya dan
baru resmi bercerai pada tahun 2019, Oleh karena itu, berdasarkan dengan pasal
310 Rbg jo Pasal 1916 KUHPerdata telah menjadi persangkaan hakim serta
fakta persidangan bahwa pemohon 2 mempunyai dua orang suami dalam waktu
bersamaan. Sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa perkawinan kedua
antara Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat dinyatakan sah menurut hukum.12

Sehubungan dengan penetapan diatas tentang permohonan isbat nikah yang


faktanya istri menikah poliandri menarik dibahas, karena itu penulis ingin
menelitinya dengan Judul Skripsi “Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan
Perkara Isbat Nikah Istri Berstatus Poliandri (Studi Penetapan Nomor
0011/Pdt.P/2021/PA.Krui)”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka diperoleh identifikasi masalah
sebagai berikut:

10
Margo Hadi Pura dan Hana Faridah, “Aspek Sosiologis Tindak Pidana Perzinaan Atas
Suami Yang Nikah Dibawah Tangan (Siri) Tanpa Izin Poligami,” KRTHA BHAYANGKARA, 14.2
SE-Articles (2020) <https://doi.org/10.31599/krtha.v14i2.141>.
11
Yusriyyah Ahdal, Nawi, dan Khalid.
12
Penetapan Perkara Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr
5

1. Status pernikahan antara Pemohon II dengan suami pertama masih


terikat sebagai suami istri hingga tahun 2019, sebagaimana dibuktikan
dengan akta cerai nomor 1423/AC/2019/PA.Gsg
2. Pada saat terjadinya pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II, pada
2013 di Pemangku Kampung Sawah Rt 02/Rw 02 Pekon Sukarame,
Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat, Pemohon II masih
berstatus sebagai isteri sah dari suaminya.
3. Pemohon II (istri) mengajukan isbat nikah terhadap pernikahan kedua
yang menikahn secara poliandri.
4. Perkawinan antara pemohon I dan pemohon II telah dilahirkan dua
orang anak bernama Rizqya Liandra Bilqis lahir di Lambar tanggal 13
Oktober 2014 dan Zefin Alvino lahir di Lambar tanggal 29 Maret 2018.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, yang menjadi pokok masalah
dalam Penulisan ini adalah:

1. Apa yang menjadi pertimbangan Hakim sehingga pemohon tidak


memperoleh hak penetapan isbat nikah melalui penetapan dengan amar
tidak menerima perkara tersebut?
2. Bagaimana implikasi hukum akibat tidak memperoleh hak penetapan
isbat nikah tersebut terhadap status anak dan hak-hak hukum anak yang
lahir dari perkawinan poliandri?

D. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini, Penulis membatasi
masalah yang akan dibahas. Sehingga bahasannya akan menjadi lebih jelas dan
terarah. Disini Penulis akan membahas mengenai Pertimbangan hakim dalam
menetapkan Isbat Nikah Poliandri yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara, Adapun objek kajian Penulis akan berfokus pada penetapan perkara
isbat nikah nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui di Provinsi Lampung yang
amarnya menyatakan Permohonan Pemohon l dan Pemohon ll tidak dapat
diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
6

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ditetapkan sesuai dengan rumusan
masalah adalah:
a. Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Krui yang mengadili perkara penetapan isbath nikah nomor
0011/Pdt.P/2021/PA.Krui. yang amarnya menyatakan Permohonan
Pemohon l dan Pemohon ll tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk
Verklaard).
b. Untuk mengetahui implikasi hukum atau dampak penetapan isbath
nikah nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui. yang amarnya menyatakan
Permohonan Pemohon l dan Pemohon ll tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijk Verklaard) terhadap status dan hak-hak keperdataan
anak yang lahir dari perkawinan poliandri

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat terhadap Publik dan Akademisi, diharapkan dengan adanya
penelitian ini dapat memberikan informasi dan pembelajaran apa
saja pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Krui dalam
membuat penetapan isbat nikah pernikahan poliandri serta
dampaknya terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
b. Manfaat terhadap Penulis, dengan mengetahui pertimbangan
Majelis Hakim diharapkan mampu memahami pentingnya
pencatatan perkawinan dan perceraian sesuai ketentuan hukum
sehingga dapat menghindari masalah yang timbul di kemudian hari
jika terjadi pernikahan kedua dalam ikatan perkawinan.

F. Kajian Terdahulu
Syahrizal Abbas dan Datul Mutia (2019) dalam artikelnya berjudul
“Putusan Talak Raj’I pada Kasus Poliandri: Analisis Hukum Islam terhadap
Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho” menjelaskan dasar hukum dan
pertimbangan hakim dalam putusan nomor 216/Pdt.G/2015/MS-JTH mengacu
7

kepada dua ketentuan yaitu ketentuan hukum Islam (Q.S An-Nisa ayat 24, Q.S
Ar Rum ayat 21) dan hukum positif apabila tujuan perkawinan tidak tercapai
lagi oleh Penggugat dan Tergugat dikarenakan tergugat telah berpoliandri yang
mengakibatkan tidak memungkinkan untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangganya.13

Makmur Syarif (2016) dalam artikelnya berjudul “Poliandri pada


Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman: Studi Kasus di Pengadilan Agama
Pariaman” menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya Poliandri, baik
dengan memilih sesuai keinginannya maupun memfasilitasi terjadinya
Poliandri yaitu masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dapat
mempermudah seseorang untuk melakukan poliandri.14

Ernayanti (2018) dalam skripsi yang berjudul “Praktik Poliandri (Studi


Kasus pada masyarakat di desa jelapat II di Kabupaten Barito Kuala”
menjelaskan tentang praktik poliandri yang dilakukan oleh salah satu warga
adalah perkawinan yang diharamkan, nyatanya masih dilakukan. Meskipun
tokoh masyarakat dan guru telah memberikan nasihat, mereka masih
melanjutkan perkawinan mereka.15

Nanda Arofatul Karimah (2021) dalam skripsi yang berjudul “Perkawinan


Poliandri (Studi Kasus di Desa Karanganyar Kecamatan Gresik Kabupaten
Gresik)” menjelaskan praktek perkawinan poliandri dimana pasangan pertama
tidak mampu menafkahi keluarganya. Sementara itu perkawinan dengan
pasangan kedua dilakukan tanpa perceraian dari pasangan pertama. Meskipun
suami pertama tidak mengindahkan permohonan cerai tetapi mengizinkan
istrinya untuk menikah lagi. Dijelaskan pula dampak yang terjadi diantaranya

13
Syahrizal Abbas dan Datul Mutia, “Putusan Talak Raj’i pada kasus Poliandri: Analisis
Hukum Islam terhadap Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho nomor 216/Pdt.G/2015/MS-
JTH,” Jurnal Samarah, 3.1 (2019), 205–22 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v3i1.4865>.
14
Makmur Syarif, “Poliandri Pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman (Studi Kasus
di Pengadilan Agama Pariaman),” Jurnal Ilmiah Kajian Gender, 6.2 (2016), 215–34.
15
Ernayanti, “Praktik Poliandri (Studi Kasus Pada Masyarakat Di Desa Jelapat II
Kabupaten Barito Kuala)” (UIN Antasari Banjarmasin, 2018) <http://idr.uin-antasari.ac.id/10710/>
[diakses 28 Juni 2022].
8

dampak dari segi hukum yaitu perkawinan dengan suami kedua dianggap haram
dan hubungannya dianggap berzina, sedangkan dampak sosiologis poliandri
yaitu dapat timbul reaksi negatif dari berbagai pihak, serta dampak psikologis
disebabkan oleh adanya ketidakharmonisan keluarga terhadap kesehatan mental
dan fisik pelaku poliandri.16

Hasliza Lublis (2020) dalam artikelnya yang berjudul “Poliandri di


Kalangan Masyarakat Muslim: Studi Sosiologis di Kelurahan Bunur
Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan” menjelaskan tentang Faktor-
Faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan poliandri dipengaruhi oleh
faktor ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, dan pengetahuan masyarakat
tentang pemahaman hukum yang masih kurang karena tidak mengikuti aturan-
aturan yang terdapat dalam syariat Islam, UU Perkawinan maupun KHI. Suami
pertama tidak bertanggung jawab, suami bekerja jauh dari istri, suami
berpoligami lagi, memiliki hawa nafsu yang tinggi dan pengawasan KUA yang
lemah saat warga disana ingin menikah. Selama menikah, perempuan tersebut
masih terikat perkawinan yang sah dengan suami pertamanya. Si Perempuan
menikah bersama laki-laki lain tanpa bercerai karena sudah berpisah dari suami
pertama.17

Siti Munawarah (2021) dalam skripsi yang berjudul “Perkawinan Poliandri


(Studi Kasus di Desa Mahang Sungai Hanyar Kecamatan Pandawan
Kabupaten Hulu Sungai Tengah” menjelaskan pihak perempuan inisial NL
menikah lagi dengan suami kedua, sementara ia masih terikat perkawinan
sebelumnya dengan suami pertama sewaktu menjadi TKW di Arab Saudi dan
ketika ia dipulangkan karena menjadi pekerja illegal, beberapa bulan kemudian
suaminya menghilang dan putus kontak. Untuk melanjutkan hidupnya,
kemudian ia menikah lagi. Berdasarkan hukum Islam dan hukum positif di

16
Nanda Arofatul Karimah, “(Studi Kasus di Desa Karanganyar Kecamatan Gresik
Kabupaten Gresik )” (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021).
17
Hasliza Lubis, “Poliandri di Kalangan Masyarakat Muslim: Studi Sosiologis di
Kelurahan Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan,” Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam,
5.1 (2020), 1 <https://doi.org/10.29240/jhi.v5i1.1198>.
9

Indonesia, perkawinan si perempuan ini dengan suami kedua dinyatakan tidak


sah karena belum bercerai dengan suami pertama sehingga tidak memenuhi
rukun dan syarat perkawinan. Perkawinan oleh NL juga melanggar ketentuan
hukum positif dan dapat dikenakan sanksi pidana. Akibatnya, perkawinan
kedua kalinya tidak sah dan setiap berhubungan diantara keduanya dilarang dan
ia tidak memiliki kewajiban untuk mengurus anak-anak dari suami keduanya.18

Mukhtaruddin Bahrum (2019) dalam artikelnya berjudul “Problematika


Isbat Nikah Poligami Siri” menjelaskan masih rendahnya kesadaran masyarakat
Sidenreng Rappang untuk mendaftarkan perkawinannya disebabkan oleh
silitnya mendapat izin berpoligami di Pengadilan, sehingga mereka memilih
menikah siri. Setelahnya mereka tertarik untuk melegalkan perkawinan mereka
di Pengadilan Agama. Isbat nikah terhadap poligami siri akan menimbulkan sisi
positif dan sisi negatif dalam pelaksanaannya. Sisi positifnya diperlukan agar
pelaku nikah siri mendapat jaminan hukum sebagaimana ketentuan dalam pasal
6 ayat 2 khi. Sedangkan sisi negatifnya, jika poligami nikah siri itu boleh dan
dinyatakan terima, berarti ia telah mengakui dan membenarkan suatu perbuatan
yang telah menyimpang dari hukum. Dampak tidak langsungnya yaitu
pengingkaran nilai-nilai yang dilindungi oleh ketentuan hukum tentang
persyaratan poligami.19

G. Metode Penelitian
Metode yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Jenis Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, Penulis menggunakan Metode
Penelitian Hukum Normatif Yuridis. Jenis penelitian hukum normatif
yaitu suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-

18
Siti Munawarah, “Perkawinan Poliandri (Studi Kasus di Desa Mahang Sungai Hanyar
Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah)” (UIN Antasari Banjarmasin, 2021)
<http://idr.uin-antasari.ac.id/17616/> [diakses 28 Juni 2022].
19
Mukhtaruddin Bahrum, “Problematika Isbat Nikah Poligami Sirri,” Al-Adalah: Jurnal
Hukum dan Politik Islam, 4.2 (2019), 194–213 <https://doi.org/10.35673/ajmpi.v4i2.434>.
10

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu


hukum yang dihadapi.20
Penelitian yuridis-normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka dan
melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Penelitian ini menganalisis Penetapan Pengadilan Agama Krui
nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui tentang penetapan isbat nikah
poliandri.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
undang-undang (Statute Approach), pendekatan Undang-Undang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang akan diteliti. Dengan
mengetahui makna hukum pendekatan ini, maka penulis dapat
menyandingkan peraturan perundang-undangan dengan melakukan
analisis terhadap perkara 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui tentang penetapan
isbat nikah poliandri.

3. Sumber Data Penelitian dan Bahan Hukum


Adapun sumber data pada penelitian ini adalah:
1. Data Hukum Primer yaitu sumber pertama dimana sebuah data
tersebut dihasilkan. Sumber primer dalam penelitian ini yakni
Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Agama nomor
0011/Pdt.P/2021/PA.Kr dalam menetapkan perkara Isbat Nikah
Istri yang Berstatus Poliandri dan amar penetapan isbat nikah yang

20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia, 2016) hlm 35.
11

menyatakan: tidak dapat menerima permohonan Pemohon l dan


Pemohon ll
2. Data Hukum Sekunder, yaitu Bahan Hukum yang menjelaskan
Bahan Hukum Primer. Diperoleh atau dikumpulkan dari berbagai
sumber yang sudah ada, bisa didapatkan dari berbagai sumber
buku, skripsi, tesis, jurnal dan lain-lain yang berkaitan dengan
penelitian sebagai berikut: 21
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan.
b. Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-
Viii/2010.
d. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012.
e. Hasil penelitian terdahulu. Skripsi, tesis, jurnal dan
literatur lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini, Penulis akan
menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi
dokumen. Studi kepustakaan yaitu melakukan penelusuran bahan
hukum dengan cara membaca, menelusuri serta mengumpulkan data
yang didapatkan dari Internet dengan memperhatikan tema-tema yang
diangkat dalam penelitian. Sedangkan Studi Dokumen yaitu berupa
salinan Penetapan Pengadilan Agama Krui perkara nomor
0011/Pdt.P/2021/PA.Krui tentang penetapan isbat nikah poliandri.
5. Metode Analisis Data
Setelah semua data diperoleh penulis, data tersebut akan dianalisis
dengan menggunakan analisis kualitatif dan dirumuskan secara
deskriptif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk memperoleh

21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia, 2016) h. 181
12

gambaran yang sistematis, faktual dan nakurat tentang pengaturan


pengesahan perkawinan di Pengadilan Agama.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan penulis dalam penulisan proposal ini
berdasarkan pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2017

H. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana masing-masing Bab
berisikan pembahasan yang berkelanjutan sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan


dibahas seperti Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Rumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Metode Penelitian dan
Sistematika Pembahasan.

Bab II: Tinjauan Hukum Mengenai Isbat Nikah yaitu Pengertian Isbat Nikah,
Dasar Hukum Isbat Nikah dan Prosedur Pengajuan Isbat Nikah & Poliandri
yaitu Pengertian Poliandri, Dasar Hukum Larangan Poliandri dalam Islam

Bab III: Mendeskripsikan Penetapan Hakim Pengadilan Agama Krui


0011/Pdt.P/2021/PA.Krui mengenai Penetapan Isbat Nikah Poliandri yaitu
Identitas Para Pihak, Posita, Petitum, Proses Pemeriksaan Perkara,
Pertimbangan Hukum dan Amar Penetapan Hakim

Bab IV: Menjelaskan analisis penetapan isbat nikah mengenai pertimbangan


Hakim Pengadilan Agama Krui Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui dalam
perkara isbat nikah poliandri dan implikasi hukumnya terhadap status dan hak-
hak hukum anak yang lahir dari perkawinan poliandri tersebut.

Bab V: Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat


membangun bagi penyempurnaan penelitian ini dan menjadi evaluasi untuk
penelitian berikutnya.
BAB II
TINJAUAN HUKUM TENTANG ISBAT NIKAH &
POLIANDRI

A. Aspek Hukum Isbat Nikah


1. Pengertian Isbat Nikah

Isbat Nikah berasal dari dua kata yaitu isbat dan nikah. Kata isbat adalah
isim Masdar dari Bahasa arab atsbata-yatsbitu-itsbatan yang berarti
penentuan atau penetapan. Sedangkan nikah menurut bahasa adalah
adhdhommu atau at-tadakhul yang berarti berkumpul atau saling memasuki.
Isbat nikah secara istilah merupakan suatu penetapan, penentuan,
pembuktian atau pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan yang telah
dilakukan dengan alasan-alasan tertentu. 1
Isbat Nikah sebagai penetapan atas perkawinan seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri yang pelaksanaannya sesuai dengan
hukum Islam yaitu terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun
pernikahannya belum dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
Kantor Urusan Agama Kecamatan Setempat.2
Penetapan isbat nikah merupakan upaya yang ditempuh untuk
mengesahkan perkawinan yang belum memiliki akta nikah dengan cara
mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama agar perkawinan yang tidak
dicatatkan menjadi sah.3
Isbat nikah merupakan produk Pengadilan Agama berupa penetapan
yang dikenal dengan istilah jurisdikti ovoluntair karena dalam perkara ini
hanya ada pemohon yang bermohon ditetapkannya suatu penetapan nikah.

1
Yayan Sofyan,. Isbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catat Setelah
Diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1984 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, (Ahkam IV, No.8),
2002, Hlm. 75
2
Muflih Rangkuti, “Itsbat Nikah Terhadap Nikah Siri Di Provinsi Sumatera Utara
Perspektif Hukum Positif Dan Maqashid As-Syari’ah,” Tesis Pascasarjana UIN Sumatera Utara
(UIN Sumatera Utara Medan, 2020).
3
Arif Bijaksana, “Problematika Itsbat Nikah Istri Poligami dalam Penyelesaian di
Pengadilan,” Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan, 6.1 (2019), 36–85
<https://doi.org/10.59635/jihk.v6i1.123>.

13
14

Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya


tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Perkara voluntair yang
dapat diajukan ke Pengadilan Agama seperti: (1) Penetapan wali pengampu
bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan Tindakan hukum; (2)
Penetapan pengangkatan wali; (3). Penetapan Pengangkatan Anak; (4)
Penetapan Nikah (Isbat Nikah); (5) Penetapan Wali Adhol. Karena
penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan-
permohonan yang tidak berlawan maka dalam putusan penetapan tidak akan
berbunyi menghukum melainkan bersifat menyatakan (declaratoir).4
Pengajuan Isbat nikah menjadi solusi dari berlakunya UU Perkawinan
No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) yang mengwajibkan pencatatan
perkawinan, karena masih banyak perkawinan yang tidak dicatatkan, tetapi
dapat bermohon ke Pengadilan Agama agar mendapatkan akta nikah.
Kewenangan mengajukan isbat nikah di Pengadilan Agama ditujukan bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan dibawah tangan sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengacu pada pasal 64 yang
berbunyi: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang
dijalankan menurut peraturan lama adalah sah”5
Dengan dikabulkannya penetapan isbat nikah, maka suami istri
mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara termasuk pengakuan
terhadap anak-anaknya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan yang dicatatkan merupakan bentuk perlindungan
hukum apabila dikemudian hari terjadi permasalahan dalam hubungan

4
Fahmi Muwahid dan Riyan Ramdhani, “Batasan Waktu Perkawinan Dalam Perkara Isbat
Nikah Pada Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Cianjur,” Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal
Hukum Keluarga dan Peradilan Islam, 1.1 (2020), 27–38 <https://doi.org/10.15575/as.v1i1.7800>.
5
Yayan Sofyan,. Isbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catat Setelah
Diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1984 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, (Ahkam IV, No.8)
2002
15

perkawinan seperti sengketa hukum mengenai perceraian, pembagian harta


waris, wakaf dan lain sebagainya. Apabila pencatatan perkawinan tidak
dilakukan, maka perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan
hukum. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama akan mendapatkan Akta
Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.

2. Dasar Hukum Isbat Nikah

Pada mulanya, baik dalam al-Qur’an maupun As-sunnah tidak secara


jelas mengatur tentang adanya isbat nikah yaitu untuk dicatatkannya
perkawinan. Namun seiring berkembangnya zaman dalam
mempertimbangkan kemaslahatan, Hukum Islam di Indonesia
mengaturnya. Dalam beberapa literatur hukum Islam adanya istilah isbat
nikah tidak dikenal. Sah atau tidaknya suatu perkawinan tidak tergantung
kepada ada atau tidaknya pencatatan, tetapi diukur dari ada atau tidaknya
syarat dan rukun nikah.6
Tidak adanya dalil secara tekstual baik dari al-Qur’an maupun Hadis
yang menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan atau isbat nikah bagi yang
sudah menikah dibawah tangan merupakan ukuran sahnya suatu
perkawinan. Namun setelah diteliti lebih lanjut, ada Riwayat hadits yang
menyatakan bahwa perkawinan harus diumumkan dan dibunyikan rebana
untuk disaksikan banyak orang. Hadits lain meriwayatkan bahwa
perkawinan dirayakan meskipun hanya menyembelih kambing sebagai
makanan bagi mereka yang hadir di acara perkawinan. Hal ini dilakukan
agar perkawinan yang dilangsungkan dapat diketahui orang lain. Semakin
banyak orang tahu tentang perkawinan seseorang, maka akan semakin baik.
Hal ini menjadi isyarat bahwa sangat pentingnya pencatatan perkawinan

6
M Sanusi, Azi Ahmad Tadjudin, dan Sofia Gussevi, “Urgensi Itsbat Nikah bagi
Perkawinan di Bawah Tangan (Studi Kasus pada Warga di Desa Ciherang Kecamatan Pasawahan
Kabupaten Purwakarta),” Muttaqien; Indonesian Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, 3.2
(2022) <https://doi.org/10.52593/mtq.03.2.03>.
16

atau isbat nikah bagi mereka yang menikah di bawah tangan dan harus
dilakukan.7
Pengaturan mengenai isbat nikah diatur dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 1975 dalam pasal 39 ayat (4) menyebutkan:
“Apabila KUA tidak bisa membuktikan duplikat akta nikah karena
catatannya rusak atau hilang, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak,
rujuk atau cerai harus dibuktikan dengan penetapan atau Putusan
Pengadilan Agama”
Mengenai dasar hukum Isbat Nikah diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2)
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :
1.Perkawinan hanya dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah
2.Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Berdasarkan ketentuan pasal di atas mengenai penetapan isbat nikah


merupakan wewenang dari Pengadilan Agama. Sesuai dengan ketentuan
UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Kewenangan Lembaga Peradilan Agama
dalam bidang perkawinan yang bertugas memeriksa, mengadili, dan
memutuskan setiap perkara yang diajukan, dan Pengadilan tidak boleh
menolak terhadap perkara yang diajukan kepadanya meskipun belum ada
ketentuan hukum yang jelas.

Isbat Nikah juga diatur dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang
pada ayat (3) menjelaskan bahwa isbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan
Agama berkenaan dengan: (a) adanya perkawinan dalam rangka
menyelesaikan perceraian; (b) hilangnya akta nikah; (c) adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) adanya
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No.1 tahun 1974; (e)

7
Sanusi, Ahmad Tadjudin, dan Gussevi.
17

Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan


perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974.8

Dari bunyi pasal 7 ayat (3) huruf e inilah yang menjadi dasar bagi
pasangan yang melakukan nikah dibawah tangan untuk mengajukan isbat
nikah ke Pengadilan Agama Setempat. 9 Yaitu suami istri yang menikah
secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan pengakuan dari
negara atas perkawinan yang dilakukan oleh keduanya dan anak-anak yang
lahir selama pernikahan, sehingga pernikahannya mempunyai kekuatan
hukum.

3. Syarat-Syarat Isbat Nikah

Ketentuan Syarat Isbat Nikah tidak dijelaskan dalam kitab Fiqh Klasik
maupun kontemporer, tetapi dapat dianalogikan dengan syarat pernikahan.
Hal ini karena isbat nikah pada dasarnya adalah penetapan suatu pernikahan
yang telah dilakukan sesuai dengan syariat Islam yaitu sah memenuhi syarat
dan rukun nikah tetapi pernikahan tidak dicatatkan ke pejabat berwenang
yakni pegawai pencatat nikah (PPN). Oleh karena itu untuk mendapatkan
penetapanm terlebih dahulu harus mengajukan permohonan isbat nikah ke
Pengadilan Agama.10
Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (4) menjelaskan bahwa orang yang
dapat mengajukan permohonan isbat nikah ialah (a) suami atau istri, (b)
anak-anak mereka, (c) wali nikah, dan (d) pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu. Adapun prosedur dalam pengajuan perkara

8
Ahmad Sanusi, “Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Pandeglang,” AHKAM :
Jurnal Ilmu Syariah, 16.1 (2016), 8
<https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/2901/2270>.
9
Liza Elfitri, “Dasar Hukum Pengajuan Itsbat Nikah Bagi Pasangan Kawin Siri,”
hukumonline.com, 2013 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/dasar-hukum-pengajuan-itsbat-
nikah-bagi-pasangan-kawin-siri-lt50a1e91040231/>.
10
Nurhidayah, “Kajian Yuridis Penetapan Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama
Watampone Kelas 1.B,” Jurnal Hukum Keluarga Islam, III.2 (2017), 129–53
<https://doi.org/10.30863/al-risalah.v2i2.441>.
18

permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama dengan ketentuan-ketentuan


antara lain:
1) Setiap permohonan pengesahan nikah atau isbat nikah yang
diajukan ke pengadilan agama adalah atas dasar adanya
perkawinan yang telah dilaksanakan menurut syari’at Islam,
akan tetapi tidak dicatatkan di PPN yang berwenang
2) Permohonan pengesahan nikah atau isbat nikah tersebut
diajukan karena adanya kepentingan yang jelas dan konkrit,
antara lain; dalam rangka perceraian, untuk melaksanakan
ibadah haji, untuk kepentingan pembagian warisan, untuk
kepentingan urusan pensiun dan kepentingan ingin mendapatkan
kepastian hukum.

Berdasarkan syarat-syarat isbat nikah diatas, tidak semua peristiwa


perkawinan dapat disahkan oleh pengadilan agama. Apabila setelah
melalui proses persidangan, syarat-syaratnya terpenuhi, maka majelis
hakim akan mengabulkan permohonan penetapan nikah tersebut.
Sebaliknya, jika syarat-syarat nya tidak terpenuhi, maka permohonan
akan ditolak.

Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan isbat nikah apabila


Majelis Hakim mempunyai argumentasi logis dalam pertimbangannya
seperti pertimbangan psikologis, sosiologis, atau pertimbangan lainnya
yang apabila tidak dikabulkan akan menimbulkan kerugian bagi para pihak
atau keluarganya, misalnya dengan tidak dikabulkan permohonan
pengesahan nikah akan menentukan nasib seseorang atau anaknya akan
kesulitan dalam memperoleh akta kelahiran dan lain sebagainya.11

4. Implikasi Hukum Adanya Isbat Nikah

11
Meita Djohan Oe, “Isbat Nikah Dalam Hukum Islam dan Perundang-Undangan di
Indonesia,” Pranata Hukum, 5.3 (2013), 248–53.
19

Apabila permohonan isbat nikah dikabulkan oleh hakim, terdapat


implikasi hukum yang akan menyertai, diantaranya: (1). Perkawinan
dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum sehingga menjadi dasar KUA
melakukan pencatatan nikah untuk membuat akta nikah. (2). Terhadap
perkawinan yang dinyatakan sah membawa konsekuensi bahwa anak yang
dilahirkan menjadi anak sah. (3). Akta nikah dapat digunakan untuk
mengurus akta kelahirkan yang berguna memenuhi hak anak atas
identitasnya. (4). Terhadap perkawinan yang dinyatakan sah membawa
konsekuensi adanya hubungan hukum antara suami istri dan anak-anak yang
dilahirkannya. Konsekuensi ini berdampak pada adanya hak dan kewajiban
yang timbul di antara mereka, menyangkut harta bersama maupun harta
kewarisan.12

B. Aspek Hukum Poliandri

1. Pengertian Poliandri
Poliandri berbeda dengan poligami. Poliandri secara Bahasa berasal dari
Bahasa Yunani yaitu Polus artinya banyak, Aner artinya negatif dan Andros
artinya laki-laki. Dalam bahasa poliandri disebut Polyandri dan dalam
bahasa arab disebut ‫ تعدد البعول‬yang berarti bersuami lebih dari satu. 13
Sedangkan di dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan
bahwa poliandri adalah system perkawinan yang membolehkan seorang
perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu
bersamaan.
Secara istilah, Poliandri memiliki makna seorang perempuan yang
memiliki banyak suami, atau seorang istri yang memiliki dua suami atau
lebih pada waktu yang bersaman. Poliandri dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu poliandri fatrenal dan poliandri non fatrenal. Pengertian

12
Karimatul Ummah, “Isbat Nikah: Prosedur, Syarat, dan Implikasi Hukumnya,”
hukumonline.com, 2020 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/isbat-nikah--prosedur--syarat--
dan-implikasi-hukumnya-lt56ce748d48ca5/>.
13
Yusup Abdurrohman, Pernikahan Poliandri dalam Filsafat Kebebasan Manusia
(Bandung, 2022).
20

poliandri fatrenal adalah laki-laki yang menikah dengan perempuan masih


memiliki hubungan kakak dan adik. Sedangkan poliandri non fatrenal
adalah laki-laki yang menikah dengan perempuan yang tidak memiliki
hubungan saudara kandung.
Musfir al-Jahrani menjelaskan perkawinan poliandri adalah perkawinan
seorang wanita pada waktu yang sama mempunyai suami lebih dari satu.14
Di negara Indonesia, poliandri tidak memiliki aturan hukum baik dalam
hukum Islam maupun hukum positif. Poliandri dikenal oleh masyarakat
tertentu di masa lalu tetapi tidak berhasil dan akhirnya ditinggalkan.
Kegagalan itu disebabkan karena poliandri bertentangan dengan kodrat laki-
laki dan kodrat perempuan sekaligus juga menyebabkan kekaburan status
anak yang lahir nantinya.

2. Dasar Hukum Larangan Poliandri


Dalam segi filosofis, hukum perkawinan poliandri merupakan bentuk
yang dilarang dan bertentangan dengan takdir seorang wanita. Sejalan
dengan perspektif filosofis, dalam perspektif normatif poliandri hukumnya
Haram berdasarkan dalil Q.S An-Nisa ayat 24:

ُُ َ ۡ َ َ َّ ٓ ِّ ُ ٰ ۡ
ۚ ۡ ‫َّوال ُم ۡح َصنت ِم َن الن َسا ِء ِاَّل َما َملـكت ا ۡي َمانك‬
..... ‫م‬
yang artinya “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu
miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” Dalam ayat ini menunjukkan
bahwa salah satu wanita yang haram di nikahi adalah wanita yang bersuami.
Imam Syafi’I menafsirkan ayat dengan mengatakan: “Wanita-wanita yang
bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-
suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka
karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu

14
Irma Nur Hayati, “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif Yuridis, Psikologis
dan Sosiologis),” Qolamuna, 3.2 (2018), 181–206.
21

budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak


ikut tertawan bersamanya).15
Ayat ini juga menjelaskan bahwa diantara perempuan-perempuan yang
untuk sementara waktu dilarang menikah dan juga tidak boleh menikah,
yaitu istri-istri orang lain atau para perempuan yang sudah menikah,
perempuan-perempuan ini termasuk golongan perempuan yang haram
dinikahi karena berada dibawah tanggung jawab dan perlindungan orang
lain. Oleh karena itu, haram bagi mereka untuk menikah dengan orang lain
selain suami mereka dan tidak halal untuk dinikahi orang lain.16
Kesulitan utama dalam perkawinan poliandri yang menyebabkan
perkawinan ini diharamkan adalah ayah dari anak tersebut tidak diketahui,
meskipun dapat dibuktikan secara medis, namun yang tidak bisa diabaikan
adalah status dalam masyarakat yang sosial. Pelarangan perkawinan
poliandri bertujuan untuk menjaga kesucian keturunan dan kepastian hukum
seorang anak. Karena sejak anak berada dalam kandungan, ia memiliki hak
dan perlu diberikan perlindungan dan kepastian hukum.17

3. Poliandri menurut Sistem Perkawinan Indonesia


Di Indonesia, model perkawinan poliandri dilarang secara tegas, dan
dianggap sebagai perkawinan ilegal, termasuk perkawinan yang melanggar
hukum. Pada umumnya, perkawinan poligami lebih banyak terjadi dan
diterima di Masyarakat daripada perkawinan poliandri. Sehingga pada
kenyataannya sangat jarang terjadi perempuan menikah lebih dari satu laki-
laki, kalaupun ada itu hanya terbatas dan dimungkinkan karena seorang
perempuan lebih mengandalkan perasaannya dan mempertimbangkan
adanya anak.18

15
Muhammad Shiddiq, “Adakah Dalil Haramnya Poliandri dalam Islam?,” 2007.
16
Sayyid Qutub, Fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001) h.322
17
Pardi.
18
Abdurrohman.
22

Keharaman seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki selain


ketentuan hukum Islam, juga diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu “pada
dasarnya seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Dan juga
dijelaskan dalam pasal 40 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ayat (a) dan (b)
yang menerangkan larangan perkawinan pada kondisi atau keadaan tertentu:
(a). Perempuan yang bersangkutan masih terikat perkawinan dengan laki-
laki lain, (b). Perempuan yang bersangkutan masih berada dalam masa
iddah dengan laki-laki lain.19

Pada pasal 284 KUHP jo Pasal 27 KUHPerdata juga menghukumi zina


kepada seorang yang telah terikat perkawinan dengan orang lain baik pria
maupun wanita kemudian ia menikah Kembali dengan orang lain.20

Apabila perkawinan yang dilaksanakan termasuk ke dalam larangan


perkawinan, maka dapat dibatalkan sebagaimana Pasal 71 huruf b KHI.
Apabila wanita tersebut ingin menikah lagi maka ia harus diceraikan oleh
suaminya atau istri yang menggugat cerai (Pasal 114 KHI) dengan alasan
yang disebutkan dalam Pasal 116 KHI huruf (a) yaitu “Salah satu pihak
meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
yang lain dan tanpa ada alasan yang sah atau karena ada hal yang lain di luar
kemampuannya”. Setelah resmi bercerai, kemudian wanita tersebut harus
menunggu selesai masa iddah sebagaimana diatur dalam pasal 153 KHI.21

Dalam perspektif yuridis, hukum poliandri bertentangan dengan Pasal 3


Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memakai asas monogami dengan menyatakan bahwa : ….. seorang istri
hanya boleh menikah dengan seorang suami.22 Hal ini ditegaskan dalam

19
Abbas dan Mutia.
20
Siti Karimah, “Perkawinan Poliandri (Kasus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)” (Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2017).
21
Abdurrohman.
22
Willa Wahyuni, “Hukum Poliandri di Indonesia,” hukumonline.com, 2022
<https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-poliandri-di-indonesia-lt624fde954f97d#!>
[diakses 7 Maret 2023].
23

salah satu syarat perkawinan yakni Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan,


bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi.

4. Faktor-faktor terjadinya Poliandri


Menurut Misran (2017)23 yang dikutip oleh Ayunda Nurul dalam Jurnal
Hukum dan HAM Wara Sains24. Praktik terjadinya poliandri telah terjadi
dengan faktor-faktor dari beberapa aspek antara lain:

1. Aspek ekonomi, yaitu keadaan kebutuhan yang tidak terpenuhi akibat


finansial yang sedang krisis dalam rumah tangga. Perempuan yang
melakukan poliandri karena faktor ini menganggap bahwa poliandri
merupakan solusi agar mereka memiliki kehidupan yang baik.
2. Aspek jarak, yaitu adanya jarak fisik antara suami dengan istri, misalnya
karena tuntutan kerja di luar daerah yang membuat suami jarang pulang,
sehingga hasrat biologis istri tidak terpenuhi.
3. Aspek usia dan kesehatan, yaitu keadaan suami sudah lanjut usia atau
mengalami gangguan kesehatan sehingga tidak mampu memberi nafkah
lahir dan nafkah batin kepada istrinya.
4. Aspek keharmonisan rumah tangga, yaitu kondisi suami istri tidak lagi
memiliki komunikasi yang baik. Biasanya konflik ini disebabkan oleh
perasaan suami yang tidak sepenuhnya mencintai istrinya sehingga
menimbulkan kasus perselingkuhan.
5. Aspek keyakinan dan pemahaman agama, yaitu bahwa agama menjadi
kontrol sosial atas perbuatan manusia. Kurangnya pemahaman terhadap
hukum poliandri memudahkan seseorang menuruti hawa nafsunya,

23
Misran dan Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi
kasus di Kabupaten Pidie Jaya),” Jurnal Samarah: Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 1.1 (2017),
248–74 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1582>.
24
Ayunda Nurul Afifatur Rizqiyah, “Peran Hukum Nasional dan Hukum Islam dalam
Menyikapi Lahirnya Pemahaman Poliandri sebagai Gerakan Feminisme di Indonesia,” Jurnal
Hukum dan HAM Wara Sains, 1.02 (2022) <https://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/view/63%0Ahttps://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/download/63/31>.
24

sehingga menimbulkan berbagai kemudharatan atas tindakan


poliandrinya.
24

BAB III
DESKRIPSI PENETAPAN ISBAT NIKAH POLIANDRI NOMOR
0011/Pdt.P/2021/PA.Kr
Perkara Nomor 0011 di Pengadilan Agama Krui didaftarkan oleh para Pemohon
pada tanggal 01 Februari 2021, kemudian diperiksa lalu ditetapkan oleh Majelis
Hakim pada tanggal 25 Februari 2021 dengan data sebagai berikut:

1. Identitas Para Pihak yang Berperkara


Perkara pada penetapan ini mengenai permohonan isbat nikah siri (istri
berstatus poliandri) yang diajukan oleh Pemohon I (Suami), umur 56 tahun,
pekerjaan Petani, bertempat tinggal di Pemangku Kampung Sawah Pekon,
Pekon Sukarame, Kabupaten Lampung Barat. Dalam perkara ini, Pemohon
mengajukan permohonannya bersama Pemohon II (Istri), umur 37 tahun,
pekerjaan mengurus rumah tangga, bertempat tinggal di Pemangku Kampung
Sawah Pekon, Pekon Sukarame, Kabupaten Lampung Barat.

2. Duduk Perkara
Adapun kasus pada perkara ini adalah kasus permohonan isbat nikah
pernikahan siri yang dilakukan oleh Pemohon I dan Pemohon II. Pada tanggal
28 Juni 2013, Pemohon I dan Pemohon II melangsungkan akad nikah menurut
syari’at Islam di Rumah milik Pemohon I di Pemangku Kampung Sawah Rt/Rw
002/002 Pekon Sukarame, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.
Pemohon l dan Pemohon ll, melaksanakan perkawinan tanpa
mencatatkannya di KUA setempat. Perkawinan tersebut dilangsungkan dengan
wali nikah adalah Wali Nasab yaitu Paman Pemohon II dan disaksikan oleh dua
orang saksi bernama Saksi I dan Saksi II. Dengan maskawin berupa seperangkat
alat shalat dibayar tunai.
Pada saat perkawinan tersebut, Pemohon l dan Pemohon ll beragama Islam,
tidak ada hubungan darah dan bukan saudara sepersusuan serta memenuhi
syarat dan tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan menurut
ketentuan hukum Islam maupun perundang-undangan yang berlaku. Pemohon
I berstatus Duda Cerai Mati dibuktikan dengan surat keterangan kematian
25

sedangkan Pemohon II berstatus Janda Cerai Hidup dibuktikan dengan akta


cerai.
Selama pernikahan, antara Pemohon I dan Pemohon II bertempat tinggal di
rumah milik Pemohon I, keduanya hidup rukun sebagaimana layaknya suami
istri dan telah dikaruniai 2 orang anak bernama Rizqya berusia 7 tahun dan
Zefin berusia 3 tahun. Selama dalam perkawinan Pemohon l dan Pemohon ll
tidak pernah bercerai dan tidak ada pihak lain yang menggugat terhadap
pernikahan tersebut dan selama itu pula antara Pemohon I dan Pemohon II tetap
Beragama Islam.
Selama menjalin rumah tangga, Pemohon l dan Pemohon ll tidak memiliki
kutipan akta nikah sehingga tidak mempunyai kejelasan hukum tentang status
perkawinan mereka menurut hukum, karena perkawinan keduanya tidak tercatat
di Kantor Urusan Agama Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat. Oleh
karena itu, Pemohon l dan Pemohon ll mengajukan permohonan penetapan isbat
nikah dari Pengadilan Agama Krui agar pernikahannya dapat disahkan sesuai
keytentuan hukum dan dapat mengurus administrasi kependudukan.
3. Petitum (Permohonan Para Pemohon)
Berdasarkan alasan atau dalil keterangan di atas, para pemohon memohon
kepada Pengadilan Agama Krui untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.
Selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II;


2. Menyatakan sah perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II yang
dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 28 Juni 2013 di rumah Pemohon
I di Pemangku Kampung Sawah Rt/Rw 002/002 Pekon Sukarame,
Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat;
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum; dan apabila Pengadilan
Agama Krui berpendapat lain, mohon penetapan yang seadil-adilnya.

4. Proses Pemeriksaan Perkara


Sebelum perkara ini disidangkan, Pengadilan Agama Krui telah
mengumumkan kehendak Isbat Nikah Para Pemohon dalam masa 14 hari
26

sebagaimana ketentuan yang berlaku, agar pihak-pihak yang berkepentingan


dapat mengajukan sanggahan kepada Pengadilan Agama Krui selama 14 hari
sejak pengumuman tersebut atau mengajukan keberatan pada hari persidangan
tersebut, dan ternyata tidak ada pihak yang keberatan;
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan para Pemohon telah hadir
sendiri ke muka persidangan kemudian dibacakan surat permohonan para
Pemohon dengan penjelasan bahwa Pemohon I pada saat pernikahan mengaku
berstatus duda cerai, sedangkan Pemohon II mengakui bahwa masih terikat
perkawinan dengan suami pertamanya dan baru bercerai secara resmi pada
tahun 2019 sesuai dengan akta cerai nomor: 1423/AC/2019/PA.Gsg atas nama
Pemohon II;

5. Pertimbangan Hukum
Setelah Majelis Hakim memperhatikan permohonan para pemohon dan
keterangan para pemohon di persidangan, yang menjadi masalah pokok dalam
perkara ini adalah Para Pemohon memohon agar Majelis Hakim menyatakan
sah perkawinan Pemohon I dan Pemohon yang dilangsungkan pada tanggal 28
Juni 2013 di rumah milik Pemohon I dengan wali nikahnya adalah Wali Nasab
yaitu Paman Pemohon II dan disaksikan oleh dua orang saksi nikah dengan
maskawin berupa seperangkat alat shalat dibayar tunai. Kemudian terjadi ijab
Kabul antara Pemohon I dengan wali nikahnya tersebut.
Majelis hakim memeriksa perkara pemohon bahwa benar Alamat Pemohon
I dan Pemohon II sebagaimana yang tercantum dalam surat permohonan para
pemohon berada di wilayah Kabupaten Lampung Barat, oleh karenanya
Pengadilan Agama Krui secara kewenangan relative berwenangan mengadili
perkara a quo, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
dalam perkara a quo, serta tidak ada pihak yang keberatan atas permohonan
tersebut, maka pemeriksaan terhadap perkara a quo dapat dilanjutkan
Diketahui pokok perkara ini adalah permohonan pengesahan / isbat nikah.
Para Pemohon sangat membutuhkan bukti pernikahan sah, oleh karenanya
permohonan ini diajukan ke Pengadilan Agama bertujuan untuk mendapatkan
penetapan pengesahan nikah untuk memenuhi persyaratan mendapatkan buku
27

kutipan akta nikah dari KUA, maka Majelis Hakim akan memeriksa lebih lanjut
permohonan Para Pemohon.
Saat para pemohon memberikan keterangan di persidangan, Pemohon I
mengakui Ketika menikah ia berstatus duda cerai sedangkan Pemohon II
mengakui masih terikat perkawinan dengan suami pertamanya dan baru
bercerai secara resmi pada tahun 2019 yang artinya Pemohon II baru mengurus
perceraiannya di Pengadilan Agama setelah 6 tahun menikah siri dengan
Pemohon I.
Berdasarkan fakta di persidangan, Hakim menilai bahwa Pemohon II
mempunyai 2 (dua) orang suami dalam waktu bersamaan (poliandri), sehingga
perkawinan para pemohon terdapat cacat materiil yaitu mengenai status
Pemohon II yang pada saat menikah dengan Pemohon I masih terikat
perkawinan yang sah dengan orang lain, dan perkawinan Pemohon II yang ke
dua merupakan perkawinan poliandri, sedangkan poliandri tidak dibenarkan
sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan perkawinan tersebut melanggar asas
suatu perkawinan yaitu “Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”
dan “larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang masih terikat satu perkawinan dengan pria lain” (vide pasal 3 ayat
(1) dan pasal 9 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo pasal 40 huruf a
Kompilasi Hukum Islam), oleh sebab itu Majelis Hakim berpendapat bahwa
perkawinan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat disahkan secara hukum.
Hakim menimbang bahwa apabila wanita yang belum bercerai dengan
suaminya walaupun sudah tidak tinggal bersama, masih tetap terikat dalam
ikatan perkawinan dan putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat
dibuktikan dengan akta cerai (vide pasal 39 UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Jo Pasal 8 KHI). Dan apabila wanita tersebut ingin menikah lagi
maka ia harus bercerai dahulu dengan suaminya dan telah melewati waktu
tunggu sebagaimana yang diatur pada pasal 11 ayat (1) UU No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan Jo Pasal 39 PP No. 9 tahun 1975 tentang aturan pelaksana
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
28

Bahwa Majelis Hakim mengutip dalil-dalil syar’i terhadap larangan


perkawinan poliandri, diantaranya:
1. Q.S An-Nisaa ayat 23-24
ُ َ ‫َّ ۡ ُ ۡ َ ٰ ُ َ ِّ َ ٓ َّ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ُ ُ ۡ ٰ َ ه‬
... ۚ ‫اّٰلل َعل ۡيك ۡم‬
ِ ‫والمحصنت ِمن النسا ِء ِاَّل ما ملـكت ايمانكمۚ ِكتب‬
artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan Allah atas kamu”.
Dalam Tafsir Ibni Katsir dijelaskan makna
“walmuhshonaatu min an-nisaa” maksudnya: Diharamkan bagimu
menikahi para wanita ajnabiyah yang muhshanat yaitu yang sudah
menikah. (Tafsir Ibni Katsir, 2/256)
2. Hadits Rasulullah

)‫ (رواه احمد‬...‫أَ يُّمَا اِمْرَأَةٍ زَوَجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلْ أَ ْْل َوَلِ مِنْهُّ َما‬

Artinya: “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali,
maka (pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang
pertama dari keduanya.”
Hadits ini bisa dimaknai dengan menunjukkan bahwa jika ada dua
wali menikahkan seorang wanita dengan dua laki-laki secara
berurutan, maka akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama
dianggap sah, dengan kata lain hadits tersebut menunjukkan bahwa
perkawinan seorang Wanita hanya sah dengan satu suami saja.
Dengan demikian sudah jelas bahwa poliandri adalah haram
hukumnya bagi wanita muslimah, baik berdasarkan dalil Al-Qur’an
maupun dalil al-Sunnah.
Secara psikologis, perkawinan poliandri merupakan bentuk perkawinan
yang bertentangan dengan hati nurani dan fitrah manusia, sebab poliandri dapat
mengganggu kejiwaan atau ketenangan jiwa seorang istri, sebab ia harus
melayani beberapa suami. sementara perempuan (istri) merupakan pihak yang
disayang, dijaga, dilindungi dan dihormati, bahkan dalam kodratnya sebagai
29

wanita ia harus diperlakukan lemah lembut bukan sebagai pemuas laki-laki


(suami). Demikian juga apabila seorang istri mengambil posisi suami, tentunya
kewajiban sebagai istri yang sesungguhnya akan terganggu;
Secara sosiologis, poliandri dapat mendatangkan banyak masalah, baik
terhadap keluarga maupun masyarakat, di lingkungan keluarga, seorang istri
yang mempunyai lebih dari seorang suami akan mendapat celaan dari
keluarganya, sebab itu tidak bisa menjadi contoh bagi anak-anak dan keluarga
pada umumnya, begitu juga di mata suami tentunya ia tidak mempunyai harga,
sebab ia dianggap wanita (istri) yang tidak bisa menjaga martabat keluarga,
sehingga bisa jadi oleh keluarga akan diasingkan. Demikian halnya di
lingkungan masyarakat, seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami
akan dinilia hina oleh masyarakat, bahkan akan dianggap sebagai wanita (istri)
murahan.
Dengan adanya permohonan isbat nikah Para Pemohon terhadap pernikahan
poliandri yang melanggar ketentuan syari’at dan peraturan perundang-
undangan maka pernikahan tersebut tidak dapat disahkan.
Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 3
tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan pada rumusan kamar agama angka 8 “permohonan isbat nikah
poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak
harus dinyatakan tidak dapat diterima” maka berdasarkan penafsiran ekstensif
(perluasan hukum) dan kontruksi hukum argumentum per analogiam terhadap
permohonan isbat nikah poligami yang secara hukum syara’ tidak dilarang
dinyatakan tidak dapat diterima apalagi permohonan isbat nikah poliandri yang
secara jelas dilarang oleh hukum syara’ dan peraturan perundang-undangan
tentunya permohonan isbat nikah tersebut harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
Berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis Hakim menetapkan bahwa
permohonan para pemohon tidak memenuhi ketentuan pasal 3 ayat (1) dan pasal
9 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo pasal 7 dan 40 huruf a Kompilasi
30

Hukum Islam dan Permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima
(Niet Ontvankelijke Verklaard); dan Menghukum Pemohon I dan Pemohon II
untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.320.000,00 (tiga ratus dua puluh
ribu rupiah).1

1
Salinan Penetapan Perkara Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr
BAB IV
ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH POLIANDRI

Berikut ini Penulis akan menguraikan kasus dalam pembahasan pertama


mengenai status Perkawinan antara Pemohon II dan Suami pertamanya

Kasus Poliandri yang terjadi pada perkara ini adalah Pemohon II (Istri) yang
sebelumnya telah bercerai dengan suami terdahulunya lalu ia melakukan
perkawinan keduanya dengan Pemohon I. Akan tetapi pernikahannya tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama setempat. Setelah melewati 8 tahun
pernikahan dengan Pemohon I, ia baru menyadari bahwa ia memerlukan akta
nikah untuk mengurus administrasi kependudukan anaknya dan mengesahkan
pernikahannya agar diakui secara negara dengan cara proses mengisbatkan
pernikahannya dulu dengan pemohon II. Setelah penulis amati seksama,
ternyata pemohon II sebelum menikah dengan pemohon I, ia tidak melakukan
prosedur perceraian secara hukum yang berlaku yaitu bercerai di Pengadilan
Agama. Sehingga pemohon II baru mengurus perceraiannya setelah 6 tahun
menikah dengan Pemohon I.

Diketahui bahwasanya dalam Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam, pada pasal


ini menjelaskan mengenai pembuktian perceraian hanya dapat dibuktikan
dengan akta cerai yaitu: “Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat
dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang
berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.”
Sehingga kasus perkawinan Pemohon II dengan suami pertamanya dapat
diistilahkan dengan istilah “Talak di Bawah Tangan”. Yang dapat diartikan
sebagai talak yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya tanpa mengurus
prosesnya dan tidak mengucapkannya di depan Sidang Pengadilan Agama.1

1
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).

31
32

Pengadilan Agama merupakan instansi yang diberi kewenangan oleh Undang-


Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi antara suami dan istri dalam rumah tangga,
mengesahkan terjadinya suami dan isteri di dalam rumah tangga dan
mengesahkan putusnya perkawinan di antara suami dan isteri. Kemudian
kepada suami dan istri yang telah sah bercerai tersebut diberikan surat
keterangan bukti telah terjadinya perceraian. Dengan terjadinya talak di bawah
tangan, perceraian tersebut tidak diputus oleh Pengadilan Agama melainkan ia
mengucapkan kata “Talak” kepada Istrinya di luar pengadilan sehingga pihak-
pihak suami istri yang bercerai tidak memiliki surat bukti perceraian dari
Pengadilan Agama atau Pemerintah RI. Jika terjadi hal seperti ini, maka
perceraian tersebut dipandang tidak sah dan pemerintah menganggap pasangan
suami istri tersebut masih sebagai suami istri yang sah dan masih terikat kepada
hak dan kewajiban mereka masing-masing. Apabila keduanya ingin menikah
lagi, maka pernikahannya dilaksanakan secara dibawah tangan dan tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama. Dengan demikian mereka tidak memiliki
Surat Keterangan Menikah yang Baru. 2

Selanjutnya penulis akan menguraikan pembahasan kedua tentang Status


Perkawinan Pemohon I dan Pemohon II yakni Perkawinan Bawah Tangan
karena melakukan perkawinannya bukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
dan keduanya tidak memiliki Akta Nikah. Dalam pasal 6 ayat (2) KHI
dijelaskan bahwa “Perkawinan yang di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”. Menurut hukum perkawinan yang
berlaku di Indonesia, maka perkawinan semacam ini: (1) tidak mempunyai
kekuatan hukum karena dianggap tidak ada perkawinan sehingga ia tidak
menimbulkan akibat hukum. (2). Tidak dapat dijadikan alasan untuk
membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 UU No.
1 tahun 1974; (3) Tidak dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana

2
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).
33

berdasarkan pasal 219 KUHP; dan (4) Tidak dapat dijadikan dasar untuk
menuntut hak oleh pihak wanita sebagai isteri dan juga anak-anaknya. Dalam
hal ini cara penyelesaiannya yaitu dapat mengisbatkan nikahnya ke Pengadilan
Agama sebagaimana yang diatur oleh Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ayat (2).3

Perkawinan di bawah tangan adalah pelanggaran perkawinan yang dapat


berupa: (1) Pelanggaran terhadap Hukum Materiil yaitu: Perkawinan dapat
dibatalkan dengan putusan Pengadilan Agama jika perkawinan tersebut
diketahui tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, dan (2). Pelanggaran
terhadap Prosedur Perkawinan yaitu Orang yang melangsungkan perkawinan
dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah tetapi tidak di hadapan/di
bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.4

Dengan demikian, bagi mereka yang perkawinannya tidak dicatatkan, ia


dapat mengajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama dengan memohon agar
perkawinannya dinyatakan sah dan memerintahkan kepada Pegawai Pencatat
Nikah di KUA Kecamatan Setempat mencatatkan perkawinan tersebut dan
memberikan kutipan akta nikah berdasarkan Keputusan Pengadilan Agama. 5

A. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Pertimbangan Hakim merupakan kerangka berpikir terhadap suatu perkara.


Dalam memutuskan perkara, seorang hakim harus mempertimbangkannya
dengan baik dan benar, juga perlu memperhatikan fakta-fakta yang terungkap
selama persidangan, kemudian melihat aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis

3
Rustanti Aulia Fadjartini, “Penyelesaian Perkara Isbat Nikah dan Problematikanya (Studi
Analisis terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Cilegon tahun 2016)” (Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
4
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).
5
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).
34

perkara tersebut. Sehingga putusan tersebut harus memberi manfaat dan


memenuhi rasa keadilan.6
Hakim yang mengadili perkara isbat nikah, hendaknya ia berpedoman pada
Al-Qur’an dan Hadits Nabi serta ijtihad Ulama tentang nilai-nilai filosofis
hukum perkawinan dalam ajaran Islam. Dalam perkara isbat nikah, fakta-fakta
di persidangan menjadi dasar pertimbangan hakim untuk meyakinkan bahwa
para pemohon telah melangsungkan perkawinan dengan adanya bukti
keterangan para saksi, tetapi belum secara resmi melaksanakan pencatatan
perkawinannya menurut hukum negara.7
Permohonan isbat nikah adakalanya diterima dan ditolak oleh Hakim
Pengadilan Agama. Alasan diterimanya perkara itu karena hakim menerapkan
pasal Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dengan
menilai rukun dan syarat perkawinan terpenuhi sesuai hukum Islam dan status
perkawinan kedua pihak berdasarkan pernyataan di depan majelis hakim.
Ketika rukun dan syarat terpenuhi, maka permohonan tersebut dikabulkan.
Sehingga perkawinan tidak dicatatkan oleh negara menjadi sah menurut
ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, adanya jaminan hak-hak
perlindungan hukum bagi kedua pasangan dan anak yang lahir dari perkawinan
tersebut.
Berbeda dengan perkara yang tidak dikabulkan oleh Hakim karena
kurangnya bukti bahwa perkawinan telah dilangsungkan sesuai ketentuan
agama Islam sehingga permohonan tersebut dianggap tidak sah karena tidak
memiliki kekuatan hukum. Alasan lainnya Hakim Pengadilan Agama menolak
isbat nikah berkaitan dengan penetapan yang sesuai dengan hukum Islam, jika
proses pemeriksaan dan pembuktian selama persidangan tidak sesuai dengan

6
Nurhayati Hasibuan, S.H.I, “Pemeriksaan Perkara Itsbat Nikah Kaitannya Dalam
Menghindari Terjadinya Penyelundupan Hukum di Pengadilan Agama,” 2020, hal. 13
<http://www.pa-tasikmalaya.go.id/artikel-pengadilan/664-pemeriksaan-perkara-itsbat-nikah-
kaitannya-dalam-menghindari-terjadinya-penyelundupan-hukum-di-pengadilan-agama-oleh-
nurhayati-hasibuan-s-h-i>.
7
Armalina dan Ardiana Hidayah, “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Perkara
Isbat Nikah,” Solusi, 18.1 (2020), 20–32 <https://doi.org/10.36546/solusi.v18i1.253>.
35

prosedur yang berlaku, maka permohonan isbat nikah yang ditolak berarti ada
persyaratan atau pelaksanaan pernikahan yang tidak tercatat belum terpenuhi.8
Majelis Hakim mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam dalam menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara isbat nikah.
Dalam pengajuan Isbat Nikah pada penetapan Isbat Nikah PA Krui,
Pemohon I dan Pemohon II bertujuan mengajukan perkara ini untuk membuat
dan melengkapi persyaratan administrasi kependudukan serta pembuatan akta
kelahiran anak di Kantor Urusan Agama setempat, Oleh karena itu, alasan Para
pemohon I dan II termasuk dalam hal-hal yang tercantum dalam pasal 7 ayat 2
KHI. Kemudian Hakim Pengadilan Agama memeriksa apakah perkawinan
Pemohon I terpenuhinya pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019
tentang Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya” dan Hakim juga
memeriksa apakah pemohon I dan pemohon II telah memenuhi syarat-syarat
yang termuat dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu: (1) Calon Suami,
(2) Calon Isteri, (3) Wali Nikah, (4) 2 Orang Saksi, (5). Ijab dan Qabul.
Hal ini menjadi penting bagi Majelis Hakim dalam memulai dan mendalami
sebuah kasus yang sedang ditangani dan menjadi hal pertama yang akan
dipertanyakan oleh Majelis Hakim dalam persidangan Isbat Nikah.
Pertimbangan Fakta Hukum
Setelah memeriksa lebih lanjut permohonan para pemohon, Majelis
Hakim akan mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi dalam persidangan,
Majelis Hakim harus berhati-hati dalam menetapkan perkara isbat nikah karena
menyangkut tentang benar atau tidaknya seseorang telah melakukan
pernikahan. Misalnya jika ada pihak diketahui berbohong mengenai
pernikahannya, hakim dapat dianggap telah melegalkan perzinahan jika ia
mengabulkan permohonan isbat nikah tersebut. Apabila dalam persidangan

8
Rizky Amelia dan Dian Septiandani, “Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap
Pemenuhan Hak Anak,” Jurnal Usm Law Review, 5.2 (2022)
<https://doi.org/10.26623/julr.v5i2.5681>.
36

ditemukan fakta hukum (peristiwa hukum), maka atas dasar itulah majelis
hakim dapat menarik kesimpulan. 9
Adapun fakta yang dapat dijadikan pertimbangan hakim yaitu Fakta
Kejadian dan Fakta Hukum. Fakta Kejadian yakni tanggal berlangsungnya
pernikahan seperti penikahan tersebut dapat dibuktikan dengan telah
dilaksanakannya proses ijab Kabul oleh wali dengan mempelai pria dan
disaksikan oleh minimal 2 orang saksi dan Fakta Hukum yakni pernikahan
tersebut sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.10
Pada perkara ini, Majelis Hakim menemukan fakta persidangan bahwa
ketika Pemohon I dan Pemohon II menikah, saat itu status perkawinan Pemohon
II masih berstatus sebagai istri orang lain sebab Pemohon II baru bercerai secara
resmi dengan suaminya terdahulu pada tahun 2019, oleh karena itu majelis
hakim menilai pernikahan tersebut adalah penikahan kedua bagi Pemohon II
sehingga Pemohon II dipandang telah melakukan pernikahan olehnya itu
poliandri. Menurut Ali Husein Hakim, Poliandri adalah seorang perempuan
mempunyai lebih dari seorang suami dalam waktu yang sama. Dalam ketentuan
hukum Islam poliandri tidak dibenarkan.
Pertimbangan Alat Bukti
Untuk menemukan fakta hukum, Majelis Hakim juga perlu
mempertimbangan Alat Bukti, dalam perkara ini Majelis Hakim tidak sampai
dalam tahap pembuktian karena mengetahui keterangan Para Pemohon bahwa
Perkawinan Keduanya terdapat cacat materiil yaitu mengenai status Pemohon
II yang Poliandri dan perkawinannya bertentangan dengan hukum Islam dan
melanggar asas suatu perkawinan yaitu Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : “Pada

9
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019).
10
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019).
37

azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai


seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami” dan
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 40
huruf a Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Larangan melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang masih terikat
satu perkawinan dengan pria lain”.11
Diantara alat bukti yang diperiksa dalam mengambil keputusan, Salah
satu cara yang dilakukan oleh Majelis Hakim adalah menanyakan apakah kedua
pihak telah menikah menurut ketentuan syari’at Islam atau tidak. Dan apakah
betul Ketika menikah syarat dan rukun nikahnya terpenuhi.12
Menurut Fatha Aulia Riska (dalam Nuzuluddin, 2019), Alasan Pemohon
mengajukan Isbat Nikah adalah untuk membuatkan akta kelahiran anaknya,
sebelumnya keduanya perlu mendapatkan buku nikah terlebih dahulu,
pembuatan akta kelahiran tidak bisa diurus apabila para pemohon isbat nikah
belum memiliki buku nikah. Majelis Hakim disini harus memperhatikan dasar
hukum permohonan yang dapat dibuktikan di persidangan dan harus
mengabulkan perkara tersebut apabila dalil permohonan yang diajukan para
pemohon terbukti di persidangan. Demikian pula majelis hakim bisa menolak
atau tidak menerima permohonan tersebut jika perkara tersebut tidak bisa
dibuktikan.
Pertimbangan Kemaslahatan
Dalam mengambil keputusan, Majelis Hakim juga menggunakan
pertimbangan kemaslahatan berupa kondisi atau keadaan yang menjadi alasan
pengajuan Isbat Nikah. Pertimbangan kemaslahatan ini harapannya dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia. Majelis
hakim dalam mengabulkan permohonan isbat nikah tersebut harus

11
Ahmad Sadzali, Lc, M.H, “Bisakah Menuntut Pria yang Menikahi Wanita Bersuami?,”
2021 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-menuntut-pria-yang-menikahi-wanita-
bersuami-lt611bfbee8191d/>.
12
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019)..
38

mempertimbangkan apakah mendatangkan manfaat yang lebih besar ataukah


mudharatnya lebih besar. Karena saat memberikan suatu penetapan, ini sangat
diperlukan oleh para hakim.13
Menurut Hakim Pengadilan Agama Krui dalam pertimbangannya,
poliandri secara sosiologis dapat menimbulkan banyak masalah bagi keluarga
maupun masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, istri yang mempunyai suami
lebih dari satu akan mendapatkan celaan dari keluarganya karena tidak dapat
dijadikan contoh bagi anak-anak dan keluarga pada umumnya. Hal yang sama
juga akan dialami oleh suaminya yang dianggap tidak berharga dan tidak
mampu menjaga martabat keluarga sehingga keluarganya dapat mengasingkan
dirinya. Dan bagi istri akan tidak disukai oleh masyarakat karena dianggap
sebagai wanita yang murahan.
Pertimbangan Dalil Syar’i
Selain menggunakan beberapa pertimbangan di atas, Majelis Hakim
Pengadilan Agama Krui dalam menetapkan perkara isbat nikah juga
mempertimbangkan dalil-dalil sunnah yang merujuk kepada dalil syar’i Q.S
An-Nisaa ayat 24 dan Hadits Rasulullah terhadap larangan perkawinan
poliandri.
Q.S An-Nisa ayat 24 yang berbunyi:
ُ َ ‫َّ ۡ ُ ۡ َ ٰ ُ َ ِّ َ ٓ َّ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ ُ ُ ۡ ٰ َ ه‬
... ۚ ‫اّٰلل َعل ۡيك ۡم‬
ِ ‫والمحصنت ِمن النسا ِء ِاَّل ما ملـكت ايمانكمۚ ِكتب‬

Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu.”

Imam Asy-Syafi’i menafsirkan ayat ini: maksudnya 'wanita-wanita yang


bersuami, baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami
mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian,

13
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019).
39

cerai dan fasakh nikah, kecuali hamba sahaya (budak-budak perempuan yang
dimiliki karena perang yang suaminya tidak ikut tertawan bersama).

Ketentuan yang ditetapkan dalam Quran surah An Nisa ayat 24 tersebut


menegaskan bahwa haram hukumnya seorang laki-laki menikahi perempuan
yang sudah menikah. Dalam salah satu hadis diriwayatkan At Tirmidzi: ‘Telah
meriwayatkan Umar ibn Hafshi Syaibani Basyri, telah meriwayatkan Abdullah
bin Wahbi telah meriwayatkan kepada kami dari Yahya Ibnu Aiyub dari Rabiah
Ibn Sulaim, dari Busri Ibn Ubaidillah dari Ruwaifa Ibnu Sabit dari Nabi
Muhammad SAW, bahwa: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, maka ia tidak boleh menyirami air benih orang lain (maksudnya tidak
boleh mengumpuli istri orang lain)”.14
Adapun Hadits Rasulullah mengenai larangan poliandri, bahwa Nabi SAW telah
bersabda :

)‫ (رواه احمد‬...‫أَ يُّمَا اِمْرَأَةٍ زَوَجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلْ أَْلْ َوَلِ مِنْهُّمَا‬
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang
sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad,
dan dinilai hasan oleh Tirmidzi)
Makna hadits ini menjelaskan bahwa apabila seorang perempuan dinikahkan
oleh dua wali dengan dua orang lelaki berbeda, maka yang sah hanyalah pernikahan
pertamanya dan pernikahan keduanya dihukumi tidak sah. Dengan kata lain
menunjukkan bahwa seorang perempuan tidak boleh menikah atau dinikahkan lagi
selama ia masih dalam status menjadi istri sah orang lain.
Dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, di Indonesia menganut prinsip
bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi, dan bahwa setiap
perkawinan yang dilakukan oleh seseorang harus menggunakan wali dengan urutan
kedudukan wali yang benar dalam hukum Islam. Dalam hal ini, pemohon memakai
wali nasab yaitu Pamannya. Akan tetapi karena pemohon II melakukan perkawinan
kedua tetapi statusnya masih sebagai istri dari Suami pertamanya. Maka

14
Irma Nur Hayati, “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif, Yuridis, Psikologis,
Sosiologis)”, Qolamuna, Volume 3 Nomor 2 Februari 2018, h.184
40

perkawinan Pemohon I dan Pemohon II cacat hukum dan dikategorikan sebagai


nikah bathil atau nikah rusak.
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim juga mempertimbangkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 pada rumusan kamar agama angka
8 yaitu “Permohonan Isbat Nikah Poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan
alasan untuk kepentingan anak harus dinyatakan tidak dapat diterima.” Maka
hakim dalam menafsirkan permohonan isbat nikah poligami yang dinyatakan tidak
dapat diterima, menganalogikannya juga terhadap permohonan isbat nikah
poliandri karena secara jelas dilarang oleh hukum syara’ dan peraturan perundang-
undangan yang tentunya harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dari hasil rapat pleno Kamar Agama dalam SEMA Nomor 3 tahun 2018 bisa
dipahami bahwa Mahkamah Agung memutuskan suatu ketentuan diantaranya tidak
diperbolehkan dan tidak dibenarkan kepada Hakim Pengadilan Agama untuk
mengabulkan suatu permohonan Isbat Nikah Poligami atas dasar nikah siri
meskipun alasannya kepentingan anak. Dan anak yang lahir dari perkawinan siri
orang tuanya bisa mengajukan permohonan asal usul anak, demi kepentingan
hukum anak tersebut.15
Walaupun Pemohon II dengan suami pertamanya telah bercerai secara hukum
islam tanpa dilakukan di Pengadilan Agama, meskipun dalam Pemahaman Hukum
Islam talak adalah Hak suami sehingga talak yang dilakukan oleh suami dimanapun
otomatis akan jatuh talaknya, akan tetapi menurut Hukum Positif, talak atau
perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan itu tidak sah. Hal ini merujuk pada
ketentuan Pasal 39 Ayat (1) UUP yang menyatakan: “Perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan”.16
Hukum Positif Indonesia tidak mengenal istilah talak di bawah tangan.
Pengertian Talak menurut Pasal 117 KHI adalah Ikrar suami di hadapan sidang

15
Aisyah Yusriyyah Ahdal, Syahruddin Nawi, dan Hasbuddin Khalid, “Pelaksanaan Isbat
Nikah Terhadap Perkawinan Tidak Tercatat di Pengadilan Agama Raha,” Journal of Lex Generalis,
4.1 (2023).
16
Nafiatul Munawaroh S.H., M.H, “Sahkah Perceraian Tanpa Sidang Pengadilan?,”
hukumonline.com, 2023 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/perceraian-tanpa-sidang-
lt5288d5715f76a/>.
41

Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Dengan
demikian, talak yang sah menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di
depan sidang Pengadilan Agama. Apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar
pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara
hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama.17
Pada dasarnya, suami menceraikan istrinya dengan hanya mengucapkan kata
talak di depannya, hukum nya sah menurut hukum islam, tetapi kita sebagai warga
negara Indonesia harus mematuhi peraturan pemerintah, selama aturan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum islam itu sendiri.
Sehingga dapat kita pahami perkawinan para pemohon memiliki cacat hukum
karena tidak tercatat dan secara hukum negara Pemohon II masih berada dalam
ikatan perkawinan dengan suaminya pertama, Ia pada saat menikah dengan
Pemohon II belum memiliki akta cerai, akta cerai ini sebagai bukti autentik untuk
menunjukkan bahwa perceraian telah sah terjadi dan mempunyai ketentuan hukum
tetap, inilah alasan perkawinan para pemohon yang permohonannya tidak sah dan
tidak diterima oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Terkait dengan keadaan Pemohon II yang statusnya poliandri, menurut jumhur
ulama poliandri merupakan perkawinan yang rusak (fasid) sehingga tidak sah. Hal
ini dijelaskan dalam Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 7, halaman 109-
111, sebagai berikut:18

‫ـ ـ ـ ـ ــا م ـ ـ ـ ـ ــن و‬ ‫ال ـ ـ ـ ـ ـ واح الةاه ـ ـ ـ ـ ـ عو ـ ـ ـ ـ ـ الحوةي ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ م ـ ـ ـ ـ ــا ـ ـ ـ ـ ـ‬


‫ـ ـ ـ ـ ـ ـ ج وال ـ ـ ـ ـ ـ ـ واح الم ـ ـ ـ ـ ـ ــتج‬ ‫الص ـ ـ ـ ـ ـ ــح ج وغن اع ـ ـ ـ ـ ـ ــت ال ـ ـ ـ ـ ـ ـ واح ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬
‫وجم ـ ـ ـ ـ ــا جمـ ـ ـ ـ ـ ــت ا ع ـ ـ ـ ـ ـ ـ ج وال مـ ـ ـ ـ ـ ــا ـ ـ ـ ـ ـ ـ المـ ـ ـ ـ ـ ـ غ وغجت ـ ـ ـ ـ ـ ــا غوعمت ـ ـ ـ ـ ـ ــا‬
‫غوجالت ـ ـ ـ ـ ـ ــاج وبواح ام ـ ـ ـ ـ ـ ـ غ ال ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ علـ ـ ـ ـ ـ ــم ن ـ ـ ـ ـ ـ ــا م وج ـ ـ ـ ـ ـ ـ ج ون ـ ـ ـ ـ ـ ــا‬
. ‫المحارم ما العلم ع م الحل؛ اه عو الحوةي‬
Artinya:

17
Findy Pratama Asfara, “Keabsahan Talak di Bawah Tangan dalam Perspektif Hukum
Islam (Fiqih) dan Hukum Positif” (Universitas Brawijaya, 2017).
18
Fatimatuzzahro, “Metode Penentuan Nasab dalam Pernikahan Fasid menurut Wahbah
Zuhaili dan Penerapannya dalam Hukum Perkawinan di Indonesia” (Universitas Islam Negeri
Profesor K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto, 2022).
42

“Nikah fasid menurut Mazhab Hanafi adalah pernikahan yang tidak


memenuhi salah satu syarat sah nikah. Jenis nikah yang dikategorikan fasid
menurut Mazhab Hanafi adalah sebagai berikut; 1). nikah tanpa saksi; 2).
nikah kontrak; 3). menikahi perempuan lebih dari 4 (empat) orang dalam
satu waktu; 4). menikahi dua orang perempuan bersaudara secara
bersamaan, menikahi istri dan bibinya secara bersamaan baik bibi dari
pihak ayah atau bibi dari pihak ibu; 5). menikahi seorang perempuan tanpa
mengetahui bahwa statusnya masih istri orang lain (poliandri); 6).
menikahi mahram meskipun mengetahui bahwa itu tidak dibolehkan.”

Perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon tergolong kepada Nikah Fasid


karena syarat pernikahannya tidak terpenuhi. Dalam Pasal 70 Kompilasi
Hukum Islam yang menjelaskan perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1. Poligami yang dilakukan oleh suami tanpa izin pengadilan terkait
(Pengadilan Agama).
2. Perempuan yang dinikahi oleh seorang pria dan dikemudian hari
diketahui masih berstatus sebagai istri pria lain secara sah.
3. Perempuan yang dikawini masih dalam masa “iddah” dari suami lain
atau suami sebelumnya.
4. Pernikahan atau perkawinan di bawah umur sehingga melanggar batas
usia yang ditentukan oleh Undang-Undang.
5. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali dari pihak perempuan atau
dilakukan oleh yang tidak berhak untuk memberikan wali
6. Nikah paksa atau pernikahan yang dilakukan dengan paksaan.
7. Perkawinan dilaksanakan dengan penipuan seperti pria yang mengaku
sebagai jejaka padahal ia sudah menikah. 19
Perkawinan kedua pemohon dianggap haram karena tidak sah dan hubungan
Pemohon II dengan suami keduanya dihukumi zina, sehingga permohonannya
tidak memenuhi ketentuan pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan Jo Pasal 7 ayat 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang
menerangkan tentang larangan perkawinan poliandri. Oleh karena itu,
perkawinan Pemohon II dengan suami keduanya adalah tidak sah dan haram

19
Ariesthina Lelah, “Memahami Kedudukan Nikahul Fasid Dalam Hukum Islam,” Al-
Tafaqquh: Journal of Islamic Law, 2.1 (2021), 1–15.
43

baik di mata hukum islam maupun hukum perdata.20 Dengan demikian, dampak
yang diperoleh istri ketika permohonan isbat nikahnya tidak dikabulkan oleh
Majelis Hakim yaitu a. Status Istri tidak dianggap sebagai istri sah secara hukum
negara; b. Istri tidak bisa mengugat harta warisan dari suami apabila suaminya
meninggal dunia; c. Istri tidak mempunyai hak terhadap harta gono-gini jika
suatu saat bercerai dengan suaminya karena perkawinan yang dilakukannya
dianggap tidak pernah terjadi. 21 Menurut penulis, Para pemohon tetap dapat
hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan cara menikah ulang di Kantor
Urusan Agama setempat setelah kelengkapan syarat-syarat menikah terpenuhi.

B. Implikasi Hukum terhadap Status dan Hak Hukum Anak yang


Lahir dari Perkawinan Poliandri

Penetapan Isbat Nikah Pemohon I dan Pemohon II yang amarnya:


Menyatakan Permohonan Pemohon l dan Pemohon ll tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijk Verklaard), berimplikasi bagaimana dampaknya terhadap status
nasab anak dan akibat hukumnya yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Seorang anak yang terlahir dari perkawinan di bawah tangan dianggap anak
tidak sah karena perkawinan orangtuanya tergolong perkawinan yang tidak
dicatatkan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 2 Ayat (2). “Apabila suatu
perkawinan yang tidak dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak sah.”
Akibat hukumnya, perkawinan tersebut tidak memperoleh legalitas yang sah,
dampaknya kepada sang anak tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah
kandungnya termasuk hubungan nasabnya.
Penulis akan menguraikan terlebih dahulu mengenai sebab ketetapan nasab
anak terhadap ayah kandungnya dapat terjadi karena tiga hal, yaitu melalui
perkawinan yang sah, melalui perkawinan yang fasid (cacat), dan melalui

20
Rita Faura dan Rangga Prayitno, “Kesadaran Masyarakat dalam Melaksanakan
Perkawinan Ke Dua Setelah Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan di Pasaman Barat,”
Ekasakti Jurnal Penelitian & Pengabdian, 3.1 (2022).
21
Mutiarany dan Putri Ramadhani, “Penolakan Isbat Nikah Dalam Penetapan Pengadilan
Agama (Studi Kasus Penetapan Nomor 0108/Pdt.P/2018/PAJT),” Binamulia Hukum, 10.1 SE-
Articles (2023), 79–90 <https://doi.org/10.37893/jbh.v10i1.379>.
44

hubungan senggama karena adanya nikah syubhat yang terdapat keragu-raguan


didalamnya mengenai sah tidaknya perkawinan.
1. Melalui perkawinan yang sah
Para Ulama sepakat bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad yang
sah, ketika ia melahirkan anak maka anak itu dinasabkan kepada suaminya.
Menurut ulama Hanafiyah, ketentuan anak yang dinasabkan kepada
ayahnya yaitu jika anak itu lahir enam bulan setelah perkawinan. Jumhur
ulama menambahkan bahwa syarat suami istri telah melakukan hubungan
intim minimal satu kali setelah akad. Jika kelahirannya kurang dari enam
bulan, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada suaminya.
Batasan nasab yang disepakati para ulama adalah enam bulan. Nasab
seseorang menurut ketentuan syariat islam hanya dapat dinisbatkan kepada
kedua orang tuanya jika anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah.
2. Melalui perkawinan Fasid
Perkawinan fasid adalah perkawinan yang dilangsungkan dalam keadaan
kekurangan syarat, seperti tidak adanya wali (bagi mazhab Hanafi, wali
tidak menjadi syarat sahnya perkawinan), tidak adanya saksi atau saksinya
adalah saksi palsu. 22 Para ulama fiqih bersepakat bahwa anak yang lahir
dalam perkawinan fasid dapat dinasabkan kepada kedua orang tuanya,
sehingga kedudukannya sama dengan anak yang lahir dari perkawinan yang
sah. Namun ulama fiqih menyatakan adanya tiga syarat dalam menentukan
nasab anak yang lahir dari perkawinan fasid yaitu:
1) Suami mampu menghamili istrinya yaitu laki-laki yang sudah baligh
dan tidak punya penyakit yang dapat mengganggu kesuburannya untuk
menghamili istrinya
2) Hubungan suami istri karena adanya nikah subhat.
3) Anak yang lahir dalam waktu minimal 6 bulan setelah akad nikahnya
fasid tersebut (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama

22
Rustanti Aulia Fadjartini, “Penyelesaian Perkara Isbat Nikah dan Problematikanya (Studi
Analisis terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Cilegon tahun 2016)” (Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
45

dilakukan oleh suami dan istri (menurut mazhab Hanafi). Jika anak lahir
kurang dari 6 bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan
senggama, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada suami
Wanita tersebut.23
Ulama mazhab Hanafi yang secara tegas membolehkan anak yang lahir
dari pernikahan fasid dinasabkan kepada ayah kandungnya ialah Imam al-
Kasani menurutnya:
“Nikah fasid tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun selagi belum
terjadi hubungan suami-istri di antara pasangan yang menikah tersebut.
Namun jika telah terjadi hubungan suami-istri, maka ada beberapa
konsekuensi hukum yang melekat padanya, antara lain anak yang lahir
dari pernikahan tersebut tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya,
wajib beriddah bagi pihak perempuan dan wajib bagi pihak laki-laki
menyerahkan mahar kepada pihak perempuan”
Dan menurut Ulama mazhab Hanafi lain yang berpendapat
memperbolehkan anak dari perkawinan fasid dinasabkan kepada ayah
kandungnya adalah al-‘Allamah Humam Mawlana al-Syeikh Nizham yang
menurutnya: Anak yang lahir dari nikah fasid tetap dinasabkan kepada
ayah kandungnya dan waktu menentukan nasab dihitung sejak terjadinya
hubungan suami-istri. Apabila belum terjadi hubungan suami-istri dalam
nikah fasid, maka tidak memiliki konskuensi hukum apa pun dalam
pernikahan tersebut.”

3. Melalui Senggama yang Syubhat


Hubungan senggama yang syubhat adalah hubungan senggama yang
dilakukan dalam suatu situasi atau kondisi yang diliputi ketidakjelasan
sebuah peristiwa hukum, sehingga ketentuan hukumnya tidak dapat
diketahui secara pasti, apakah dibenarkan atau tidak dibenarkan menurut
ketentuan syara’.

23
Fahmi Al Amruzi, “Nasab Anak Dari Perkawinan Siri,” Al-Adl : Jurnal Hukum, 14.1
(2022), 1.
46

Dalam konteks fiqih, senggama syubhat atau wati’ al syubhat adalah


hubungan yang terjadi bukan dalam perkawinan yang sah atau fasik dan
bukan pula termasuk dalam kategori perbuatan zina. Kesyubhatan ini bisa
diakibatkan oleh kesalahpahaman atau ketidaktahuan seseorang mengenai
status hukumnya.24

Penetapan isbat nikah yang tidak dikabulkan oleh Hakim tentu akan
merugikan anak karena kedudukannya dianggap tidak sah. Kedudukan Anak
menurut Hukum Positif di Indonesia membedakan keturunan yang sah dan
keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya
perkawinan yang sah. Sedangkan keturunan yang tidak sah adalah keturunan
yang tidak berdasarkan perkawinan yang sah, sehingga disebut anak luar kawin.
Dalam perkara 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr, Perkawinan antara pemohon I dan
Pemohon II dianggap haram karena tidak sah dan hubungan Pemohon II dengan
suami keduanya dihukumi zina. Sehingga secara Hukum, status anak dari
Poliandri tidak dapat dinasabkan kepada Ayah Kandungnya.
Mengutip dari (Susanto, 2021) pada Jurnal Justisi. Akibat Hukum yang
ditimbulkan kepada anak yang statusnya tidak sah atau luar kawin, ia tetap
memiliki hak sebagai berikut:25
Pertama, Hak Mengetahui Asal-Usul. Asal usul anak dapat dipastikan
apabila ia memiliki akta kelahiran atau alat bukti lainnya sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 103 KHI. Anak luar kawin berhak mendapat akta
kelahiran sebagai identitas kewarganegaraannya dan mengetahui asal usulnya
namun tidak mencantumkan nama ayahnya.
Kedua, Hak Pemeliharaan dan Pendidikan. Dalam pasal 4-18 UU Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa Setiap anak berhak
mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari orang tuanya dan setiap anak

24
Rustanti Aulia Fadjartini, “Penyelesaian Perkara Isbat Nikah dan Problematikanya (Studi
Analisis terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Cilegon tahun 2016)” (Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
25
Muhammad Hajir Susanto, Yonika Puspitasari, dan Muhammad Habibi Miftakhul Marwa,
“Kedudukan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Perspektif Hukum Islam,” Justisi, 7.2 (2021), 105–
17.
47

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Ketiga. Hak Nafkah. Anak luar kawin dalam hal pemberian nafkah hanya
ditanggung oleh pihak ibu dan keluarga ibunya. Sebagaimana dalam Pasal 100
KHI “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya”, disini ayah kandung tidak ada kewajiban
untuk memberikan nafkah kepada anaknya walaupun ada yang sang ayah
memberi nafkah kepadanya, tetapi itu hanya sebagai tanggung jawab
kemanusiaan dan bukan tanggung jawab hukum.
Keempat, Hak Perwalian. Jika anak luar kawin tersebut adalah Perempuan
lalu ketika telah dewasa ia menikah dengan laki-laki pilihannya, maka ayah
kandungnya tidak berhak menikahkan anak tersebut sebagai wali nikah.
Melainkan wali nya adalah wali hakim.
Kelima. Hak Warisan. Kewarisan anak luar kawin hanya memiliki
hubungan nasab dengan ibunya dan tidak saling mewarisi dengan ayahnya.
Karena salah satu rukun & syarat untuk dapat saling mewarisi adalah adanya
hubungan nasab dengan pewaris.

Dari uraian di atas, dalam menetapkan status hukum anak dan akibat
hukumnya terdapat simpulan dua pernyataan yang berbeda.
Pernyataan Pertama, menyatakan karena permohonan isbat nikah Pemohon
l dan Pemohon ll tidak dapat diterima, sehingga pernikahan keduanya
dinyatakan tidak sah, maka anak yang lahir dari perkawinan mempunyai status
hukum anak yang tidak sah dan memiliki akibat hukum terhadap hak-hak
keperdataannya. Secara hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak sah,
hanya bernasab kepada ibu kandungnya dan keluarga ibunya. Dan ia tidak
berhak atas nafkah dan warisan dari ayah kandungnya, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
48

Pernyataan Kedua, menyatakan karena penetapan isbat nikah Pemohon l


dan Pemohon ll tidak dapat diterima, maka perkawinan keduanya tergolong
nikah fasid. Karena pada saat terjadinya perkawinan antara Pemohon l dan
Pemohon ll ada ketentuan syarat yang tidak terpenuhi yakni masih berstatus
sebagai isteri dari orang lain, walaupun kenyataannya meyakini bahwa
Pemohon ll sudah bukan isteri dari suami pertamanya karena sudah pisah
rumah. Ulama dari mazhab Hanafiah berpendapat bahwa anak yang lahir dari
perkawinan yang fasid dapat dinasabkan kepada ayah kandungnya. Sehingga
secara hukum anak tersebut berhak untuk mendapatkan hak-hak keperdataan
dari ayah kandungnya, baik berupa hak nafkah maupun hak kewarisan dari ayah
kandungnya tersebut.
Hak-hak anak yang lahir dari perkawinan poliandri sehingga statusnya
menjadi anak zina atau anak luar kawin, seringkali terabaikan karena laki-laki
yang menyebabkan ia lahir ke dunia itu tidak bertanggung jawab memenuhi
kebutuhan dasarnya, dan seringkali anak tersebut mendapatkan perlakuan tidak
pantas dalam Masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan
perlindungan kepada anak dan menghukum laki-laki untuk bertanggung jawab
dengan menetapkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang di dalamnya
mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan agar ia
mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya.26
Hubungan Keperdataan Anak bisa dipenuhi jika orang tua dari anak itu
melakukan pembuktian sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-
VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, pada putusan MK ini bahwa Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang harus
dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau

26
Dr. H. M Nurul Irfan, M.Ag., Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, ed. oleh Nur
Laily Nusroh, II (Jakarta: AMZAH, 2018).
49

alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk


hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” 27

Sehingga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan kejelasan


hukum terhadap status anak untuk memiliki hubungan perdata dengan ibu dan
ayah kandungnya membuktikan bahwa ia anak kandungnya melalui alat bukti
yang didasarkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti melakukan tes
DNA untuk memperoleh perlindungan jaminan hukum serta hubungan perdata
ayah kandung dengan anaknya. Namun kedudukan anak dari perkawinan bawah
tangan ini tetap berstatus sebagai anak luar kawin.
Mahkamah Konstitusi memfokuskan anak luar kawin dalam putusannya
adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak memenuhi administrasi
perkawinan yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan. Dalam ketentuan ini,
Mahkamah Konstitusi tidak menyinggung ia adalah anak hasil zina atau anak
yang lahir tanpa perkawinan.
Adapun Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor 10
tahun 2012 perihal Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya
untuk melindungi hak-hak anak hasil zina atau tidak sah, MUI tidak seperti
putusan MK yang memberi hubungan keperdataan sang anak dengan ayah
kandungnya, melainkan Fatwa MUI memberikan hukuman takzir kepada laki-
laki berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan
memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.28
Dengan ditetapkannya Fatwa MUI, adanya beberapa ketentuan mengenai
pembaruan hukum Islam di Indonesia, diantaranya:
Pertama, setiap ayah memiliki kewajiban berupa tanggung jawab terhadap
biaya hidup anaknya. Kedua, jika ayah meninggal dunia, maka tanggung jawab
ayah terhadap anaknya berlanjut menjadi pewarisan; Ketiga, jika anak terhalang
menerima warisan karena suatu sebab di luar kesalahannya, maka ayah wajib

27
Dewi Arista Haniifah, “Skripsi: Analisis Putusan Pengadilan Agama Siak Sri Indrapura
Nomor: 69/Pdt.P/2020/PA.SAK tentang Penetapan Asal Usul Anak” (Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2022).
28
Drs. A. Mukti Arto, S.H., “Hukuman Ta’zir Mewajibkan Ayah Biologis memberi Bagian
dari Harta Waris untuk Anak Luar Nikah dan Penyelesaiannya di Pengadilan Agama,” Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, 2013.
50

membuat wasiat untuk anaknya; Keempat, jika ayah tidak membuat wasiat,
maka hakim yang berwenang dapat menetapkan pemberlakuan wasiat wajibah
bagi anaknya; Kelima, bahwa ayah kandungnya memiliki kewajiban untuk
memenuhi kebutuhan hidup anaknya; Keenam, bahwa ayah kandungnya wajib
memberikan bagian dari harta peninggalannya melalui wasiat wajibah kepada
anaknya; dan Ketujuh, pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir atas
lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan cara mewajibkan
mereka untuk : a. mencukupi kebutuhan hidup anaknya; dan b. memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.29
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan di awal, meskipun pada perkara
ini Pemohon I dan Pemohon II isbat nikahnya tidak diterima oleh Majelis
Hakim, untuk mendapatkan kepastian hukum status anaknya dengan
membuktikan bahwa anak yang dilahirkannya adalah benar Anak Kandung dari
Perkawinan Pemohon I dan Pemohon II, maka Para Pemohon dapat
mengajukan permohonan asal usul anak di Pengadilan Agama untuk
mendapatkan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang. Apabila Pengadilan Agama mengabulkan dan mengeluarkan
penetapan asal usul anak, atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut,
maka instansi Pencatat Kelahiran bisa mengeluarkan akta kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.

29
Arto, S.H., “Hukuman Ta’zir Mewajibkan Ayah Biologis memberi Bagian dari Harta
Waris untuk Anak Luar Nikah dan Penyelesaiannya di Pengadilan Agama.”
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, Penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemohon tidak memperoleh hak penetapan isbat nikah karena Hakim


Pengadilan Agama Krui menilai bahwa perkawinan para pemohon terdapat
cacat materiil dengan mengetahui bahwa status Pemohon II adalah
poliandri, ketika Pemohon II melangsungkan perkawinan dengan Pemohon
I ia belum bercerai dengan suami pertamanya. Sehingga penetapannya tidak
diterima oleh Hakim karena melanggar ketentuan hukum islam dan
peraturan perundang-undangan. Dengan adanya status hukum poliandri,
maka perkawinannya rusak (fasid) karena syarat perkawinannya belum
terpenuhi dan belum dianggap sah secara yuridis formal, perkawinan
pemohon I dan Pemohon II dianggap haram sehingga perkawinannya tidak
dapat diisbatkan ke Pengadilan Agama.
2. Secara Hukum, status anak dari Poliandri tidak dapat dinasabkan kepada
Ayah Kandungnya. Tetapi ada dua pernyataan dalam menetapkan status dan
hukum anak. Pertama, status hukum anaknya tidak sah dan tidak berhak
mendapatkan hak-hak nafkah dan warisan dari ayah kandungnya. Kedua,
perkawinan yang terjadi antara keduanya dinilai sebagai perkawinan yang
fasid. Menurut mazhab hanafiyah, anak lahir dari perkawinan yang fasid
dapat dinasabkan kepada ayah kandungnya, Sedangkan menurut Hukum
Positif di Indonesia, anak dari Pemohon I dan Pemohon II dianggap sebagai
Anak Luar Kawin karena terlahir dari perkawinan orang tuanya yang tidak
sah. Sehingga akibat hukum anak luar nikah menurut KHI hanya
mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi nomor No.46/PUU-VIII/2010
memberikan kepastian hukum terhadap status anak luar kawin yang mana
anak tersebut dapat mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan ayahnya

52
53

apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi


seperti melakukan tes DNA. Adapun Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dalam fatwanya Nomor 10 tahun 2012 untuk melindungi hak-hak anak hasil
zina atau tidak sah, MUI memberikan hukuman takzir kepada laki-laki
berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan
memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

B. Saran-Saran.
Dari uraian diatas penulis akan memberikan saran yang terkait dengan
penelitian ini

1. Bagi istri yang status hukum nya poliandri, ia hendak menikah lagi
tetapi masih belum bercerai secara hukum negara di pengadilan agama,
sebaiknya ia mengurus terlebih dahulu status perceraiannya di
Pengadilan Agama Setempat sebelum menikah kembali dengan suami
kedua.
2. Kepada para perempuan dan laki-laki yang hendak melakukan menikah
dibawah tangan dapat dihindari agar tidak terjadi permasalahan di
kemudian hari yang akan berdampak kepada anaknya.
3. Ditujukan kepada Lembaga atau Institusi agar memberikan sosialisasi
dan edukasi kepada Masyarakat dan Tokoh Agama setempat berupa
pemahaman hakikat sebuah perkawinan dan prosedur hukumnya mana
yang dianjurkan dan mana yang dilarang agar tidak ada lagi
kesalahpahaman lain dalam melaksanakan perkawinannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal, dan Datul Mutia, “Putusan Talak Raj’i pada kasus Poliandri:
Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho
nomor 216/Pdt.G/2015/MS-JTH,” Jurnal Samarah, 3.1 (2019), 205–22
<https://doi.org/10.22373/sjhk.v3i1.4865>

Abdurrohman, Yusup, Pernikahan Poliandri dalam Filsafat Kebebasan Manusia


(Bandung, 2022)

Afifatur Rizqiyah, Ayunda Nurul, “Peran Hukum Nasional dan Hukum Islam
dalam Menyikapi Lahirnya Pemahaman Poliandri sebagai Gerakan
Feminisme di Indonesia,” Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains, 1.02 (2022)
<https://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/view/63%0Ahttps://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/download/63/31>

Amelia, Rizky, dan Dian Septiandani, “Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap
Pemenuhan Hak Anak,” Jurnal Usm Law Review, 5.2 (2022)
<https://doi.org/10.26623/julr.v5i2.5681>

Al Amruzi, Fahmi, “Nasab Anak Dari Perkawinan Siri,” Al-Adl : Jurnal Hukum,
14.1 (2022), 1

Arista Haniifah, Dewi, “Skripsi: Analisis Putusan Pengadilan Agama Siak Sri
Indrapura Nomor: 69/Pdt.P/2020/PA.SAK tentang Penetapan Asal Usul
Anak” (Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2022)

Armalina, dan Ardiana Hidayah, “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan


Perkara Isbat Nikah,” Solusi, 18.1 (2020), 20–32
<https://doi.org/10.36546/solusi.v18i1.253>

Arto, S.H., Drs. A. Mukti, “Hukuman Ta’zir Mewajibkan Ayah Biologis memberi
Bagian dari Harta Waris untuk Anak Luar Nikah dan Penyelesaiannya di
Pengadilan Agama,” Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

53
54

Agung, 2013

———, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, No.26


(Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam
Ditjen Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen
Agama, 1996)

Aulia Fadjartini, Rustanti, “Penyelesaian Perkara Isbat Nikah dan Problematikanya


(Studi Analisis terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Cilegon
tahun 2016)” (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)

Bahri, Irawati, “Siri Marriage In Islamic Perspective: Nikah Siri Dalam Perspektif
Islam,” Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9.1 (2023), 224–30

Bahrum, Mukhtaruddin, “Problematika Isbat Nikah Poligami Sirri,” Al-Adalah:


Jurnal Hukum dan Politik Islam, 4.2 (2019), 194–213
<https://doi.org/10.35673/ajmpi.v4i2.434>

Bijaksana, Arif, “Problematika Itsbat Nikah Istri Poligami dalam Penyelesaian di


Pengadilan,” Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan, 6.1 (2019), 36–85
<https://doi.org/10.59635/jihk.v6i1.123>

Djohan Oe, Meita, “Isbat Nikah Dalam Hukum Islam dan Perundang-Undangan di
Indonesia,” Pranata Hukum, 5.3 (2013), 248–53

Elfitri, Liza, “Dasar Hukum Pengajuan Itsbat Nikah Bagi Pasangan Kawin Siri,”
hukumonline.com, 2013 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/dasar-
hukum-pengajuan-itsbat-nikah-bagi-pasangan-kawin-siri-lt50a1e91040231/>

Ernayanti, “Praktik Poliandri (Studi Kasus Pada Masyarakat Di Desa Jelapat II


Kabupaten Barito Kuala)” (UIN Antasari Banjarmasin, 2018) <http://idr.uin-
antasari.ac.id/10710/> [diakses 28 Juni 2022]

Fatimatuzzahro, “Metode Penentuan Nasab dalam Pernikahan Fasid menurut


Wahbah Zuhaili dan Penerapannya dalam Hukum Perkawinan di Indonesia”
(Universitas Islam Negeri Profesor K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto, 2022)
55

Faura, Rita, dan Rangga Prayitno, “Kesadaran Masyarakat dalam Melaksanakan


Perkawinan Ke Dua Setelah Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan di
Pasaman Barat,” Ekasakti Jurnal Penelitian & Pengabdian, 3.1 (2022)

Hasibuan, S.H.I, Nurhayati, “Pemeriksaan Perkara Itsbat Nikah Kaitannya Dalam


Menghindari Terjadinya Penyelundupan Hukum di Pengadilan Agama,” 2020,
hal. 13 <http://www.pa-tasikmalaya.go.id/artikel-pengadilan/664-
pemeriksaan-perkara-itsbat-nikah-kaitannya-dalam-menghindari-terjadinya-
penyelundupan-hukum-di-pengadilan-agama-oleh-nurhayati-hasibuan-s-h-i>

Hayati, Irma Nur, “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif Yuridis,


Psikologis dan Sosiologis),” Qolamuna, 3.2 (2018), 181–206

Ichsyan, Andi., “5 Fakta Kasus Poliandri di Cianjur,” 2022


<https://jabar.inews.id/berita/5-fakta-kasus-poliandri-di-cianjur-nomor-2-
modusnya-bikin-geleng-kepala> [diakses 28 Juni 2022]

Irfan, M.Ag., Dr. H. M Nurul, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, ed. oleh
Nur Laily Nusroh, II (Jakarta: AMZAH, 2018)

Karimah, Nanda Arofatul, “(Studi Kasus di Desa Karanganyar Kecamatan Gresik


Kabupaten Gresik )” (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021)

Karimah, Siti, “Perkawinan Poliandri (Kasus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo


Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)” (Institut Agama Islam Negeri
Salatiga, 2017)

Lelah, Ariesthina, “Memahami Kedudukan Nikahul Fasid Dalam Hukum Islam,”


Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law, 2.1 (2021), 1–15

Lubis, Hasliza, “Poliandri di Kalangan Masyarakat Muslim: Studi Sosiologis di


Kelurahan Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan,” Al-Istinbath :
Jurnal Hukum Islam, 5.1 (2020), 1 <https://doi.org/10.29240/jhi.v5i1.1198>

Misran, dan Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat


(Studi kasus di Kabupaten Pidie Jaya),” Jurnal Samarah: Hukum Keluarga
56

dan Hukum Islam, 1.1 (2017), 248–74


<https://doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1582>

Munawarah, Siti, “Perkawinan Poliandri (Studi Kasus di Desa Mahang Sungai


Hanyar Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah)” (UIN
Antasari Banjarmasin, 2021) <http://idr.uin-antasari.ac.id/17616/> [diakses 28
Juni 2022]

Munawaroh S.H., M.H, Nafiatul, “Sahkah Perceraian Tanpa Sidang Pengadilan?,”


hukumonline.com, 2023 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/perceraian-
tanpa-sidang-lt5288d5715f76a/>

Munthe, Riswan, dan Sri Hidayani, “Kajian Yuridis Permohonan Itsbat Nikah pada
Pengadilan Agama Medan,” Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9.2
(2017), 121 <https://doi.org/10.24114/jupiis.v9i2.8240>

Mutiarany, dan Putri Ramadhani, “Penolakan Isbat Nikah Dalam Penetapan


Pengadilan Agama (Studi Kasus Penetapan Nomor 0108/Pdt.P/2018/PAJT),”
Binamulia Hukum, 10.1 SE-Articles (2023), 79–90
<https://doi.org/10.37893/jbh.v10i1.379>

Muwahid, Fahmi, dan Riyan Ramdhani, “Batasan Waktu Perkawinan Dalam


Perkara Isbat Nikah Pada Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Cianjur,” Al-
Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam, 1.1
(2020), 27–38 <https://doi.org/10.15575/as.v1i1.7800>

Nurhidayah, “Kajian Yuridis Penetapan Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan


Agama Watampone Kelas 1.B,” Jurnal Hukum Keluarga Islam, III.2 (2017),
129–53 <https://doi.org/10.30863/al-risalah.v2i2.441>

Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di


Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM
dan No. 721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah
Pascasarjana (Universitas Islam Negeri Mataram, 2019)

Pardi, “Analisis Perkawinan Poliandri Menurut Hukum Islam (Kasus dalam


57

Putusan Pengadilan Agama Kelas I.A Pekanbaru Nomor


1186/PDT.G/2010/PA.PBR)” (Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Pekanbaru, 2013)

Portal, MNC, “5 Negara Jadikan Praktik Poliandri sebagai Tradisi,” 2021


<https://news.okezone.com/read/2021/11/29/18/2508804/5-negara-jadikan-
praktik-poliandri-sebagai-tradisi-india-salah-satunya> [diakses 28 Juni 2022]

Pratama Asfara, Findy, “Keabsahan Talak di Bawah Tangan dalam Perspektif


Hukum Islam (Fiqih) dan Hukum Positif” (Universitas Brawijaya, 2017)

Pura, Margo Hadi, dan Hana Faridah, “Aspek Sosiologis Tindak Pidana Perzinaan
Atas Suami Yang Nikah Dibawah Tangan (Siri) Tanpa Izin Poligami,”
KRTHA BHAYANGKARA, 14.2 SE-Articles (2020)
<https://doi.org/10.31599/krtha.v14i2.141>

Rangkuti, Muflih, “Itsbat Nikah Terhadap Nikah Siri Di Provinsi Sumatera Utara
Perspektif Hukum Positif Dan Maqashid As-Syari’ah,” Tesis Pascasarjana
UIN Sumatera Utara (UIN Sumatera Utara Medan, 2020)

Sadzali, Lc, M.H, Ahmad, “Bisakah Menuntut Pria yang Menikahi Wanita
Bersuami?,” 2021 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-
menuntut-pria-yang-menikahi-wanita-bersuami-lt611bfbee8191d/>

Sanjaya, Ida, “Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Tercatat Di Catatan


Sipil Apabila Terjadi Perceraian,” Jurnal Hukum Bisnis, 2.2 (2018), 83–101

Sanusi, Ahmad, “Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Pandeglang,”


AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah, 16.1 (2016), 8
<https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/2901/2270>

Sanusi, M, Azi Ahmad Tadjudin, dan Sofia Gussevi, “Urgensi Itsbat Nikah bagi
Perkawinan di Bawah Tangan (Studi Kasus pada Warga di Desa Ciherang
Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta),” Muttaqien; Indonesian
Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, 3.2 (2022)
<https://doi.org/10.52593/mtq.03.2.03>
58

Shiddiq, Muhammad, “Adakah Dalil Haramnya Poliandri dalam Islam?,” 2007

Susanto, Muhammad Hajir, Yonika Puspitasari, dan Muhammad Habibi Miftakhul


Marwa, “Kedudukan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Perspektif Hukum
Islam,” Justisi, 7.2 (2021), 105–17

Syarif, Makmur, “Poliandri Pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman (Studi


Kasus di Pengadilan Agama Pariaman),” Jurnal Ilmiah Kajian Gender, 6.2
(2016), 215–34

Ummah, Karimatul, “Isbat Nikah: Prosedur, Syarat, dan Implikasi Hukumnya,”


hukumonline.com, 2020 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/isbat-
nikah--prosedur--syarat--dan-implikasi-hukumnya-lt56ce748d48ca5/>

Wahyuni, Willa, “Hukum Poliandri di Indonesia,” hukumonline.com, 2022


<https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-poliandri-di-indonesia-
lt624fde954f97d#!> [diakses 7 Maret 2023]

Yusriyyah Ahdal, Aisyah, Syahruddin Nawi, dan Hasbuddin Khalid, “Pelaksanaan


Isbat Nikah Terhadap Perkawinan Tidak Tercatat di Pengadilan Agama Raha,”
Journal of Lex Generalis, 4.1 (2023)
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
PENETAPAN
Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr.

ne
ng
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

do
gu Pengadilan Agama Krui yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu
pada tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam

In
A
perkara pengesahan nikah oleh:
ah

lik
Pemohon.I, umur 56 tahun, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan Petani,
tempat tinggal di Pemangku Kampung sawah
Rt/Rw.002/002 Pekon Sukarame Kecamatan Belalau
m

ub
Kabupaten Lampung Barat, sebagai Pemohon.I;
ka

Pemohon.II, umur 37 tahun, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan


ep
Mengurus Rumah Tangga, bertempat tinggal di
ah

Pemangku Kampung sawah Rt/Rw.002/002 Pekon


R
Sukarame Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung

si
Barat, sebagai Pemohon.II;

ne
ng

Selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II disebut Para Pemohon;

do
gu

Pengadilan Agama Tersebut ;


Setelah mempelajari berkas perkara;
Setelah mendengar keterangan Pemohon I dan Pemohon II, keterangan saksi-
In
A

saksi serta memeriksa bukti-bukti yang dikemukakan di persidangan ;


ah

lik

DUDUK PERKARA

Bahwa para Pemohon berdasarkan surat permohonannya tertanggal 01


m

ub

Februari 2021, yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Krui, di


bawah register Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr, tanggal 01 Februari 2021 telah
ka

ep

mengajukan permohonan pengesahan nikah dengan alasan-alasan sebagai


berikut:
ah

Hal. 1 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
1. Bahwa pada hari Jum'at tanggal 28 Juni 2013 Pemohon I (Indra Gunawan
bin Hasanudin) melangsungkan pernikahan menurut agama islam dengan

ne
ng
Pemohon II (Lily Susi Yanti binti Mohammad Ali);
2. Di rumah milik Pemohon I di Pemangku Kampung sawah Rt/Rw.002/002

do
gu Pekon Sukarame Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat;
3. Bahwa pada saat pernikahan tersebut wali nikahnya adalah Wali Nasab yaitu
Paman Pemohon II (Nurdin) dan disaksikan oleh dua orang saksi bernama:

In
A
Saksi I : Syahrizal , Saksi II : Herdaman, Dengan maskawin berupa
seperangkat alat solat dibayar tunai;
ah

lik
4. Bahwa pada saat pernikahan tersebut Pemohon I berstatus Duda Cerai mati
dengan surat keterangan kematian nomor : 140/19/2006/2021 sedangkan
m

ub
Pemohon II berstatus Janda cerai hidup dengan akta cerai nomor :
1423/AC/2019/PA.Gsg;
ka

5. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan darah dan
ep
tidak sesusuan serta memenuhi syarat dan tidak ada larangan untuk
ah

melangsungkan pernikahan menurut ketentuan hukum islam maupun


R

si
perundang-undangan yang berlaku;
6. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon I dan Pemohon II bertempat

ne
ng

tinggal di rumah milik Pemohon I di Pemangku Kampung sawah


Rt/Rw.002/002 Pekon Sukarame Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung

do
Barat sampai saat ini;
gu

7. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II telah hidup rukun sebagaimana


layaknya suami istri dan dikaruniai dua orang anak yang bernama : Rizqya
In
A

Liandra Bilqis, lahir di Lambar tanggal 13 Oktober 2014; Zefin Alvino, lahir di
Lambar tanggal 29 Maret 2018;
ah

lik

8. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II selama Pernikahan tidak pernah


bercerai, dan tidak ada pihak lain yang menggugat terhadap pernikahan
m

ub

tersebut dan selama itu pula antara Pemohon I dan Pemohon II tetap
beragama islam;
ka

9. Bahwa Pemohon tidak pernah menerima buku nikah karena tidak tercatat di
ep

Kantor Urusan agama Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat oleh


ah

karenanya Pemohon sangat membutuhkan Penetapan Pengesahan Nikah


R

Hal. 2 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
dari Pengadilan agama Krui guna dijadikan sebagai alasan hukum untuk
melengkapi administrasi penduduk dan perkawinan;

ne
ng
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pemohon mohon agar Ketua

do
gu Pengadilan Agama Krui segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
PRIMAIR:

In
A
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II;
2. Menyatakan sah perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II yang
ah

lik
dilaksanakan pada hari Jum'at tanggal 28 Juni 2013 di rumah Pemohon
I di Pemangku Kampung sawah Rt/Rw.002/002 Pekon Sukarame
m

ub
Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat;
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum;
ka

SUBSIDAIR:
ep
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon menjatuhkan penetapan
ah

yang seadil-adilnya;
R

si
Bahwa sebelum perkara ini disidangkan, Pengadilan Agama Krui telah
mengumumkan kehendak Itsbat Nikah Para Pemohon dalam masa 14 hari

ne
ng

sebagaimana ketentuan yang berlaku, agar pihak-pihak yang berkepentingan


dapat mengajukan sanggahan kepada Pengadilan Agama Krui selama 14 hari

do
sejak pengumuman tersebut atau mengajukan keberatan pada hari
gu

persidangan tersebut, dan ternyata tidak ada pihak yang keberatan;


Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan para Pemohon telah
In
A

hadir sendiri ke muka persidangan kemudian dibacakan surat permohonan para


Pemohon tertanggal 01 Februari 2021, yang didaftarkan di Kepaniteraan
ah

lik

Pengadilan Agama Krui, di bawah register Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr,


tanggal 01 Februari 2021, yang pada pokok isinya tetap dipertahankan oleh
m

ub

para Pemohon;
Bahwa pada sidang agenda pembacaan surat permohonan, Pemohon I
ka

dan Pemohon II menikah pada 28 Juni 2013 dan pada saat pernikahan
ep

Pemohon I mengakui berstatus duda cerai sedangkan Pemohon II mengakui


ah

masih terikat perkawinan dengan suami pertamanya dan baru bercerai secara
R

Hal. 3 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
resmi pada tahun 2019 sesuai dengan akta cerai nomor :
1423/AC/2019/PA.Gsg atas nama Pemohon II;

ne
ng
Bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan ini, maka segala sesuatu
yang terjadi dalam persidangan sebagaimana termuat dalam berita acara

do
gu persidangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan dianggap termuat
dalam putusan ini;

In
A
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan pengesahan nikah
ah

Pemohon I dan Pemohon II adalah sebagaimana tersebut di atas ;

lik
Menimbang, bahwa permohonan para Pemohon telah diumumkan pada
papan pengumuman Pengadilan Agama Krui selama 14 hari sebelum perkara
m

ub
ini disidangkan, namun ternyata tidak ada pihak yang mengajukan keberatan
atas permohonan para Pemohon tersebut, maka Majelis Hakim menganggap
ka

ep
perkara ini dapat dilanjutkan pemeriksaannya;
Menimbang, bahwa alamat Pemohon I dan Pemohon II sebagaimana
ah

yang tercantum dalam surat Permohonan Para Pemohon berada di wilayah


R

si
Kabupaten Lampung Barat oleh karenanya Pengadilan Agama Krui secara
kewenangan relative berwenangan mengadili perkara a quo, Para Pemohon

ne
ng

memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo, serta tidak
ada pihak yang keberatan atas permohonan tersebut, maka pemeriksaan

do
gu

terhadap perkara a quo dapat dilanjutkan;


Menimbang, bahwa pokok perkara ini adalah adalah permohonan itsbat /
In
A

pengesahan nikah, Para Pemohon sangat membutuhkan bukti pernikahan sah,


oleh karenanya permohonan ini diajukan ke Pengadilan Agama bertujuan untuk
ah

mendapatkan penetapan pengesahan nikah untuk memenuhi persyaratan


lik

mendapatkan buku kutipan akta nikah dari KUA, maka Majelis Hakim akan
memeriksa lebih lanjut permohonan Para Pemohon;
m

ub

Menimbang, bahwa para Pemohon telah memberikan keterangan di


persidangan bahwa Para Pemohon telah menikah pada 28 Juni 2013 dan pada
ka

ep

saat pernikahan Pemohon I mengakui berstatus duda cerai sedangkan


Pemohon II mengakui masih terikat perkawinan dengan suami pertamanya dan
ah

Hal. 4 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
baru bercerai secara resmi pada tahun 2019 sesuai dengan akta cerai nomor :
1423/AC/2019/PA.Gsg atas nama Pemohon II, maka berdasarkan dengan

ne
ng
pasal 310 Rbg Jis Pasal 1916 KUHPer telah menjadi persangkaan Hakim dan
fakta persidangan bahwa Pemohon II mempunyai 2 (dua) orang suami dalam

do
gu waktu bersamaan (poliandri);
Menimbang, bahwa perkawinan Para Pemohon terdapat cacat materiil
yaitu mengenai status Pemohon II yang pada saat menikah dengan Pemohon I

In
A
masih terikat perkawinan yang sah dengan orang lain, dan perkawinan
Pemohon II yang ke dua merupakan perkawinan poliandri, sedangkan poliandri
ah

lik
tidak dibenarkan sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan perkawinan
tersebut melanggar asas suatu perkawinan yaitu “seorang wanita hanya boleh
m

ub
memiliki seorang suami” dan “larangan melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang masih terikat satu perkawinan
ka

dengan pria lain” (vide pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974
ep
Tentang Perkawinan Jo pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam), oleh sebab
ah

itu Majelis Hakim berpendapat perkawinan Pemohon I dan Pemohon II tidak


R

si
dapat disahkan secara hukum
Menimbang, bahwa wanita yang belum bercerai dengan suaminya

ne
ng

walaupun sudah tidak tinggal bersama, masih tetap terikat dalam ikatan
perkawinan dan putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan

do
dengan akta cerai (vide pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo
gu

Pasal 8 KHI). Dan apabila wanita tersebut ingin menikah lagi maka ia harus
bercerai dahulu dengan suaminya dan telah melewati waktu tunggu
In
A

sebagaimana yang diatur pada pasal 11 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Jo Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksana UU
ah

lik

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;


Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga perlu mengutip dalil-dalil syar’I
m

ub

terhadap larangan perkawinan poliandri:


1. QS. An Nisaa: 23-24
ka

‫علَ ْي ُك ْم‬ َ َ ‫ت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ِكت‬


ِ ِّ ‫اب‬
َ ‫ّللا‬ ْ ‫ساء ِإالَّ َما َملَ َك‬ َ ‫… َو ْال ُم ْح‬.
َ ِِّ‫صنَاتُ ِمنَ الن‬
ep
ah

Hal. 5 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)

ne
ng
sebagai ketetapan-Nya atas kamu.

َ ِِّ‫الن‬
Dalam Tafsir Ibni Katsir dijelaskan makna ‫ساء‬ َ‫مِن‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
ُ‫صنَات‬

do
gu maksudnya: ‘Diharamkan bagimu menikahi para wanita ajnabiyah yang
muhshanat yaitu yang sudah menikah (Tafsir Ibni Katsir, 2/256).
2. Hadist Rasulullah

In
A
)‫ايما امرأة زوجها وليان فهي لألول منهما (رواه أحمد‬
Artinya: “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali, maka
ah

lik
(pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari
keduanya."
m

ub
Hadis tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa jika dua orang wali
menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan,
ka

maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan wali yang
ep
pertama, dengan kata lain hadis tersebut menunjukkan bahwa tidaklah sah
ah

pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja. Dengan
R

si
demikian jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah,
baik berdasarkan dalil Al-Qur’an maupun dalil al-Sunnah.

ne
ng

Menimbang, bahwa secara psikologis perkawinan poliandri merupakan


bentuk perkawinan yang bertentangan dengan hati nurani dan fitrah manusia,

do
gu

sebab poliandri dapat menganggu kejiwaan atau ketenangan jiwa seorang istri,
sebab ia harus melayani beberapa suami. Sementara perempuan (istri)
In
A

merupakan pihak yang disayang, dijaga, dilindungi dan dihormati, bahkan


dalam kodratnya sebagai wanita ia harus diperlakukan lemah lembut bukan
ah

lik

sebagai pemuas laki-laki (suami). Demikian juga apabila seorang istri


mengambil posisi suami, tentunya kewajiban sebagai istri yang sesungguhnya
m

akan terganggu;
ub

Menimbang, bahwa secara sosiologis poliandri dapat mendatangkan


ka

banyak masalah, baik terhadap keluarga maupun masyarakat, di lingkungan


ep

keluarga, seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami akan
ah

mendapat celaan dari keluarganya, sebab itu tidak bisa menjadi contoh bagi
R

Hal. 6 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
anak-anak dan keluarga pada umumnya, begitu juga di mata suami tentunya ia
tidak mempunyai harga, sebab ia dianggap wanita (istri) yang tidak bisa

ne
ng
menjaga martabat keluarga, sehingga bisa jadi oleh keluarga akan diasingkan.
Demikian halnya di lingkungan masyarakat, seorang istri yang mempunyai lebih

do
gu dari seorang suami akan dinilai hina oleh mayarakat, bahkan akan dianggap
sebagai wanita (istri) murahan;
Menimbang, bahwa dengan adanya permohonan itsbat nikah Para

In
A
Pemohon terhadap pernikahan poliandri yang melanggar ketentuan syari’at dan
peraturan perundang-undangan maka pernikahan tersebut tidak dapat
ah

lik
disahkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan SEMA Mahkamah Agung Nomor 3
m

ub
Tahun 2018 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
ka

Pengadilan pada rumusan kamar agama angka 8 “permohonan isbat nikah


ep
poligami atas dasar nikah siri meskipun dengan alasan untuk kepentingan anak
ah

harus dinyatakan tidak dapat diterima” maka berdasarkan penafsiran ekstensif


R

si
(perluasan hukum) dan kontruksi hukum argumentum per analogiam terhadap
permohonan isbat nikah poligami yang secara hukum syara’ tidak dilarang

ne
ng

dinyatakan tidak dapat diterima apalagi permohonan isbat nikah poliandri yang
secara jelas dilarang oleh hukum syara’ dan peraturan perundang-undangan

do
tentunya permohonan isbat nikah tersebut harus dinyatakan tidak dapat
gu

diterima ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
In
A

Majelis Hakim berkesimpulan bahwa permohonan Para Pemohon tidak


memenuhi ketentuan pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974
ah

lik

Tentang Perkawinan Jo pasal 7 dan 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam dan


Permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke
m

ub

verklaard);
Menimbang, bahwa karena perkara ini termasuk dalam bidang
ka

perkawinan, maka sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 3


ep

tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Perubahan


ah

Hal. 7 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka
biaya perkara dibebankan kepada Pemohon I dan Pemohon II;

ne
ng
Memperhatikan dalil-dalil syar'i dan segala ketentuan yang berlaku dan
berkaitan dengan perkara ini;

do
gu MENETAPKAN
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat

In
diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard);
A
2. Menghukum Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar biaya
perkara sejumlah Rp.320.000,00 (tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
ah

lik
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan
m

ub
Majelis Hakim Pengadilan Agama Krui pada hari Kamis tanggal 25 Februari
2021 Masehi. bertepatan dengan tanggal 13 Rajab 1442 Hijriyyah . oleh kami
ka

ep
Arif Fortunately, S.Sy. sebagai Ketua Majelis, Yoga Maolana Wiharja, Lc dan
M. Beni Kurniawan, S.Sy. masing-masing sebagai Hakim Anggota Majelis, dan
ah

pada hari itu juga diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam persidangan
R

si
yang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota dan Defi
Tri Andari, S.H. sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri oleh Pemohon I

ne
ng

dan Pemohon II;

do
gu

Ketua Majelis In
A

Arif Fortunately, S.Sy.


ah

lik

Hakim Anggota Hakim Anggota


m

ub

Yoga Maolana Wiharja, Lc M. Beni Kurniawan, S.Sy.


ka

ep

Panitera Pengganti
ah

Hal. 8 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Defi Tri Andari, S.H.

ne
ng
Perincian biaya :
1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,00

do
gu 2. Biaya Proses : Rp. 50.000,00
3. Biaya Panggilan : Rp. 200.000,00
4. PNBP Panggilan : Rp. 20.000,00

In
A
5. Biaya Redaksi : Rp. 10.000,00
6. Biaya meterai : Rp. 10.000,00
ah

lik
Jumlah : Rp. 320.000,00
(tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
m

ub
ka

ep
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

Hal. 9 dari 9 Hal. Penetapan No.0011/Pdt.P/2021/PA.Kr


s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9

Anda mungkin juga menyukai