SKRIPSI
Oleh:
11190440000080
1444 H/ 2023 M
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PERKARA
ISBAT NIKAH ISTRI BERSTATUS POLIANDRI
(Studi Penetapan Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr di Provinsi Lampung)
SKRIPSI
Oleh:
Di bawah bimbingan:
1444 H / 2023 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
iii
ABSTRAK
Andi St Nur Azizah Akram. NIM 11190440000080. PERTIMBANGAN
HAKIM DALAM MENETAPKAN PERKARA ISBAT NIKAH ISTRI
BERSTATUS POLIANDRI (Studi Penetapan Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui) di
Provinsi Lampung. Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1444 H/2023 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan
hakim sehingga pemohon tidak memperoleh hak penetapan isbat nikah baik melalui
penetapan dengan amar tidak menerima serta implikasi hukum penetapan isbat
nikah tersebut terhadap status anak dan hak-hak hukum anak yang lahir dari
perkawinan poliandri.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif yuridis dengan metode
pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang. Teknik
pengumpulan data menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan
studi dokumen dengan mengkaji artikel maupun jurnal yang berkaitan dengan judul
yang dibahas. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah metode analisis
deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemohon tidak memperoleh hak
penetapan isbat nikah karena Hakim Pengadilan Agama Krui menilai bahwa
perkawinan para pemohon terdapat cacat materiil dengan mengetahui bahwa status
Pemohon II adalah poliandri, ketika Pemohon II melangsungkan perkawinan
dengan Pemohon I ia belum bercerai dengan suami pertamanya. Sehingga
penetapannya tidak diterima oleh Hakim karena melanggar ketentuan hukum islam
dan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya status hukum poliandri, maka
perkawinannya rusak (fasid) karena syarat perkawinannya belum terpenuhi dan
belum dianggap sah secara yuridis formal, perkawinan pemohon I dan Pemohon II
dianggap haram sehingga perkawinannya tidak dapat diisbatkan ke Pengadilan
Agama. Secara Hukum, status anak dari Poliandri tidak dapat dinasabkan kepada
Ayah Kandungnya. Tetapi ada dua pendapat yang berbeda dalam menetapkan status
dan hukum anak. Pertama, status hukum anaknya tidak sah. Sehingga secara
hukum, anak tersebut tidak berhak mendapatkan hak-hak nafkah dan warisan dari
ayah kandungnya. Kedua, perkawinan yang terjadi antara keduanya dinilai sebagai
perkawinan yang fasid. Menurut mazhab hanafiyah, anak lahir dari perkawinan
yang fasid dapat dinasabkan kepada ayah kandungnya, Sedangkan menurut Hukum
Positif di Indonesia, anak dari Pemohon I dan Pemohon II dianggap sebagai Anak
Luar Kawin karena terlahir dari perkawinan orang tuanya yang tidak sah. Sehingga
akibat hukum anak luar nikah menurut KHI hanya mempunyai hubungan saling
mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, Putusan Mahkamah
Konstitusi nomor No.46/PUU-VIII/2010 memberikan kepastian hukum terhadap
status anak luar kawin yang mana anak tersebut dapat mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan ayahnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti melakukan tes DNA. Adapun Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor 10 tahun 2012 untuk melindungi
hak-hak anak hasil zina atau tidak sah, MUI memberikan hukuman takzir kepada
iv
laki-laki berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan
memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
Kata Kunci: Isbat Nikah, Poliandri, Anak Luar Nikah
Pembimbing: Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H
Daftar Pustaka : 1996 s.d 2022
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Dengan Rahmat dan
Ridha nya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik sebagai salah satu
syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam semoga tercurahkan
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut
beliau sampai akhir zaman nanti.
Penulis mengucapkan terimakasih pula kepada para pihak yang telah memberikan
dukungan selama perkuliahan diantaranya:
1. Prof. Asep Saefudin Jahar, M.A., Ph.D., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof Dr. Muhammad Maksum, SH.,M.A,MDC. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta jajarannya
3. Ibu Dr. Hj. Mesraini S.Ag., S.H., M.Ag., dan bapak Ahmad Chairul Hadi,
M.A., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga periode
2019-2023 dan Ibu Dr. Rosdiana, M.A periode 2023-2027 selaku Ketua
Program Studi Hukum Keluarga 2023-2027 yang telah memberikan
vi
perhatian, nasihat, pembinaan, arahan, dan bimbingan yang telah diberikan
selama ini.
4. Bapak Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Skripsi
penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
5. Ibu Dr. Wardah Nuroniyah, S.H.I, M.S.I, selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah membantu selama proses perkuliahan.
6. Seluruh Dosen dan jajaran kepala bagian umum, khususnya pada Fakultas
Syari’ah Dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis dengan membimbing, mengarahkan
serta memotivasi penulis selama menjalani perkuliahan.
7. Kepada sahabat seperjuangan penulis Siti Nur Hanifah, Umi Fitrotul Uyuni,
Ummu Asrah Lw, Silvana Mujtahidah Gaos, Desti Latifah, Dini Nur Wulan
Sari yang selalu support selama perkuliahan hingga saat ini.
8. Kepada sahabat penulis Kharisma Dewi, Haifa Zahra, Intan Fatikhasari, Lili
Suryani, Ely Safitri, Indah, Dea Ayuni Mumtahanah, Luthfiah Firda dan Siti
Kholidah yang telah menjadi teman ngobrol, menghibur dan sharing apapun
selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian dimudahkan selalu
urusan kedepannya yaa aamiin.
9. Kepada Keluarga Besar Abba Aji dan Ummi Aji, Keluarga Besar Etta Unga
dan Etta Aqil, Teman-teman Hukum Keluarga 2019, Teman-teman
KKN’08 2022, Teman-teman IKAMI Sulsel-Ciputat, Komunitas
Kabupaten Bogor Mengajar yang selama ini senantiasa mengingatkan,
membantu dan mendukung penulis dalam perkuliahan maupun diluar
urusan perkuliahan. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu, yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian
ini. Semoga kalian semua diberikan kemudahan selalu dan diberikan
kesehatan oleh Allah SWT aamiin.
vii
DAFTAR ISI
viii
3. Petitum (Permohonan Para Pemohon) .................................................. 25
4. Proses Pemeriksaan Perkara .................................................................. 25
5. Pertimbangan Hukum ............................................................................. 26
BAB IV ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH POLIANDRI ................ 31
A. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ............................................... 33
B. Implikasi Hukum terhadap Status dan Hak Hukum Anak yang
Lahir dari Perkawinan Poliandri .................................................................. 43
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 52
A. Kesimpulan ........................................................................................... 52
B. Saran-Saran. ......................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poliandri menjadi pembahasan yang ramai dibicarakan oleh masyarakat saat
ini. Praktik poliandri telah lama dikenal sebagai perempuan yang memiliki lebih
dari satu pria. Kasus Poliandri yang terjadi di Indonesia, daerah kecamatan
Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, terdapat empat perkawinan poliandri. 1
Sedangkan di Cianjur, pelaku poliandri diusir oleh warga dari rumahnya
lantaran ia ketahuan memiliki dua suami tetapi pernikahannya yang kedua
dilakukan secara siri2. Adapun kasus poliandri di Kecamatan Sail Pekanbaru,
terdapat seorang Wanita yang memalsukan dokumen akta cerai palsu supaya ia
bisa menikah dengan suami keduanya. 3 Bahkan beberapa negara ada yang
melegalkan perkawinan poliandri seperti Daerah Otonomi Tibet yang memiliki
tradisi poliandri menempatkan saudara lelaki yang menjadi pasangannya di satu
rumah yang sama.4 Dengan demikian, poliandri selalu menjadi kontroversi baik
di banyak negara, terlebih negara Muslim.
1
Misran dan Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi
kasus di Kabupaten Pidie Jaya),” Jurnal Samarah: Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 1.1 (2017),
248–74 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1582>.
2
Andi. Ichsyan, “5 Fakta Kasus Poliandri di Cianjur,” 2022
<https://jabar.inews.id/berita/5-fakta-kasus-poliandri-di-cianjur-nomor-2-modusnya-bikin-geleng-
kepala> [diakses 28 Juni 2022].
3
Pardi, “Analisis Perkawinan Poliandri Menurut Hukum Islam (Kasus dalam Putusan
Pengadilan Agama Kelas I.A Pekanbaru Nomor 1186/PDT.G/2010/PA.PBR)” (Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, 2013).
4
MNC Portal, “5 Negara Jadikan Praktik Poliandri sebagai Tradisi,” 2021
<https://news.okezone.com/read/2021/11/29/18/2508804/5-negara-jadikan-praktik-poliandri-
sebagai-tradisi-india-salah-satunya> [diakses 28 Juni 2022].
1
2
terjadi maka akan susah menentukan keturunan dari anak yang dilahirkan, dan
juga akan berdampak pada warisan anak dan pasangan yang ditinggalkan.
Dalam konteks tujuan perkawinan yaitu melanjutkan keturunan, melindungi
diri dari perbuatan terlarang, menciptakan rasa cinta kepada pasangan, dan
membersihkan keturunan.5
5
Misran dan Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi
kasus di Kabupaten Pidie Jaya),” Jurnal Samarah: Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 1.1 (2017),
248–74 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1582>.
6
Ida Sanjaya, “Kedudukan Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Tercatat Di Catatan Sipil
Apabila Terjadi Perceraian,” Jurnal Hukum Bisnis, 2.2 (2018), 83–101.
3
Nikah siri diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Jadi
nikah siri adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita yang
seharusnya dilakukan menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja
melaksanakan perkawinannya di bawah tangan sehingga tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) atau dirahasiakan. 9 Pada dasarnya, Hukum nikah
siri secara agama Islam adalah sah atau legal dan diperbolehkan jika syarat dan
rukun nikahnya terpenuhi. Tetapi sahnya perkawinan ini secara hukum islam
dan kepercayaan masyarakat saja sehingga perlu juga pengesahan oleh Negara
yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tentang Pencatatan
Perkawinan. Pasal ini menjelaskan mengenai perkawinan sah menurut agama
tapi tidak tercatat, maka perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan
tidak diakui oleh negara.
7
Aisyah Yusriyyah Ahdal, Syahruddin Nawi, dan Hasbuddin Khalid, “Pelaksanaan Isbat
Nikah Terhadap Perkawinan Tidak Tercatat di Pengadilan Agama Raha,” Journal of Lex Generalis,
4.1 (2023).
8
Riswan Munthe dan Sri Hidayani, “Kajian Yuridis Permohonan Itsbat Nikah pada
Pengadilan Agama Medan,” Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9.2 (2017), 121
<https://doi.org/10.24114/jupiis.v9i2.8240>.
9
Irawati Bahri, “Siri Marriage In Islamic Perspective: Nikah Siri Dalam Perspektif Islam,”
Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9.1 (2023), 224–30.
4
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah” di Kantor Urusan
Agama (KUA) Setempat.10
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka diperoleh identifikasi masalah
sebagai berikut:
10
Margo Hadi Pura dan Hana Faridah, “Aspek Sosiologis Tindak Pidana Perzinaan Atas
Suami Yang Nikah Dibawah Tangan (Siri) Tanpa Izin Poligami,” KRTHA BHAYANGKARA, 14.2
SE-Articles (2020) <https://doi.org/10.31599/krtha.v14i2.141>.
11
Yusriyyah Ahdal, Nawi, dan Khalid.
12
Penetapan Perkara Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr
5
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, yang menjadi pokok masalah
dalam Penulisan ini adalah:
D. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian ini, Penulis membatasi
masalah yang akan dibahas. Sehingga bahasannya akan menjadi lebih jelas dan
terarah. Disini Penulis akan membahas mengenai Pertimbangan hakim dalam
menetapkan Isbat Nikah Poliandri yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara, Adapun objek kajian Penulis akan berfokus pada penetapan perkara
isbat nikah nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Krui di Provinsi Lampung yang
amarnya menyatakan Permohonan Pemohon l dan Pemohon ll tidak dapat
diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
6
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat terhadap Publik dan Akademisi, diharapkan dengan adanya
penelitian ini dapat memberikan informasi dan pembelajaran apa
saja pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Krui dalam
membuat penetapan isbat nikah pernikahan poliandri serta
dampaknya terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
b. Manfaat terhadap Penulis, dengan mengetahui pertimbangan
Majelis Hakim diharapkan mampu memahami pentingnya
pencatatan perkawinan dan perceraian sesuai ketentuan hukum
sehingga dapat menghindari masalah yang timbul di kemudian hari
jika terjadi pernikahan kedua dalam ikatan perkawinan.
F. Kajian Terdahulu
Syahrizal Abbas dan Datul Mutia (2019) dalam artikelnya berjudul
“Putusan Talak Raj’I pada Kasus Poliandri: Analisis Hukum Islam terhadap
Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho” menjelaskan dasar hukum dan
pertimbangan hakim dalam putusan nomor 216/Pdt.G/2015/MS-JTH mengacu
7
kepada dua ketentuan yaitu ketentuan hukum Islam (Q.S An-Nisa ayat 24, Q.S
Ar Rum ayat 21) dan hukum positif apabila tujuan perkawinan tidak tercapai
lagi oleh Penggugat dan Tergugat dikarenakan tergugat telah berpoliandri yang
mengakibatkan tidak memungkinkan untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangganya.13
13
Syahrizal Abbas dan Datul Mutia, “Putusan Talak Raj’i pada kasus Poliandri: Analisis
Hukum Islam terhadap Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho nomor 216/Pdt.G/2015/MS-
JTH,” Jurnal Samarah, 3.1 (2019), 205–22 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v3i1.4865>.
14
Makmur Syarif, “Poliandri Pada Masyarakat Kabupaten Padang Pariaman (Studi Kasus
di Pengadilan Agama Pariaman),” Jurnal Ilmiah Kajian Gender, 6.2 (2016), 215–34.
15
Ernayanti, “Praktik Poliandri (Studi Kasus Pada Masyarakat Di Desa Jelapat II
Kabupaten Barito Kuala)” (UIN Antasari Banjarmasin, 2018) <http://idr.uin-antasari.ac.id/10710/>
[diakses 28 Juni 2022].
8
dampak dari segi hukum yaitu perkawinan dengan suami kedua dianggap haram
dan hubungannya dianggap berzina, sedangkan dampak sosiologis poliandri
yaitu dapat timbul reaksi negatif dari berbagai pihak, serta dampak psikologis
disebabkan oleh adanya ketidakharmonisan keluarga terhadap kesehatan mental
dan fisik pelaku poliandri.16
16
Nanda Arofatul Karimah, “(Studi Kasus di Desa Karanganyar Kecamatan Gresik
Kabupaten Gresik )” (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2021).
17
Hasliza Lubis, “Poliandri di Kalangan Masyarakat Muslim: Studi Sosiologis di
Kelurahan Bunut Kecamatan Kisaran Barat Kabupaten Asahan,” Al-Istinbath : Jurnal Hukum Islam,
5.1 (2020), 1 <https://doi.org/10.29240/jhi.v5i1.1198>.
9
G. Metode Penelitian
Metode yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Jenis Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, Penulis menggunakan Metode
Penelitian Hukum Normatif Yuridis. Jenis penelitian hukum normatif
yaitu suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-
18
Siti Munawarah, “Perkawinan Poliandri (Studi Kasus di Desa Mahang Sungai Hanyar
Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah)” (UIN Antasari Banjarmasin, 2021)
<http://idr.uin-antasari.ac.id/17616/> [diakses 28 Juni 2022].
19
Mukhtaruddin Bahrum, “Problematika Isbat Nikah Poligami Sirri,” Al-Adalah: Jurnal
Hukum dan Politik Islam, 4.2 (2019), 194–213 <https://doi.org/10.35673/ajmpi.v4i2.434>.
10
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia, 2016) hlm 35.
11
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia, 2016) h. 181
12
H. Sistematika Penulisan
Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 (lima) Bab, dimana masing-masing Bab
berisikan pembahasan yang berkelanjutan sebagai berikut:
Bab II: Tinjauan Hukum Mengenai Isbat Nikah yaitu Pengertian Isbat Nikah,
Dasar Hukum Isbat Nikah dan Prosedur Pengajuan Isbat Nikah & Poliandri
yaitu Pengertian Poliandri, Dasar Hukum Larangan Poliandri dalam Islam
Isbat Nikah berasal dari dua kata yaitu isbat dan nikah. Kata isbat adalah
isim Masdar dari Bahasa arab atsbata-yatsbitu-itsbatan yang berarti
penentuan atau penetapan. Sedangkan nikah menurut bahasa adalah
adhdhommu atau at-tadakhul yang berarti berkumpul atau saling memasuki.
Isbat nikah secara istilah merupakan suatu penetapan, penentuan,
pembuktian atau pengabsahan pengadilan terhadap pernikahan yang telah
dilakukan dengan alasan-alasan tertentu. 1
Isbat Nikah sebagai penetapan atas perkawinan seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri yang pelaksanaannya sesuai dengan
hukum Islam yaitu terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun
pernikahannya belum dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
Kantor Urusan Agama Kecamatan Setempat.2
Penetapan isbat nikah merupakan upaya yang ditempuh untuk
mengesahkan perkawinan yang belum memiliki akta nikah dengan cara
mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama agar perkawinan yang tidak
dicatatkan menjadi sah.3
Isbat nikah merupakan produk Pengadilan Agama berupa penetapan
yang dikenal dengan istilah jurisdikti ovoluntair karena dalam perkara ini
hanya ada pemohon yang bermohon ditetapkannya suatu penetapan nikah.
1
Yayan Sofyan,. Isbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catat Setelah
Diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1984 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, (Ahkam IV, No.8),
2002, Hlm. 75
2
Muflih Rangkuti, “Itsbat Nikah Terhadap Nikah Siri Di Provinsi Sumatera Utara
Perspektif Hukum Positif Dan Maqashid As-Syari’ah,” Tesis Pascasarjana UIN Sumatera Utara
(UIN Sumatera Utara Medan, 2020).
3
Arif Bijaksana, “Problematika Itsbat Nikah Istri Poligami dalam Penyelesaian di
Pengadilan,” Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan, 6.1 (2019), 36–85
<https://doi.org/10.59635/jihk.v6i1.123>.
13
14
4
Fahmi Muwahid dan Riyan Ramdhani, “Batasan Waktu Perkawinan Dalam Perkara Isbat
Nikah Pada Sidang Keliling Di Pengadilan Agama Cianjur,” Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal
Hukum Keluarga dan Peradilan Islam, 1.1 (2020), 27–38 <https://doi.org/10.15575/as.v1i1.7800>.
5
Yayan Sofyan,. Isbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak di Catat Setelah
Diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1984 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, (Ahkam IV, No.8)
2002
15
6
M Sanusi, Azi Ahmad Tadjudin, dan Sofia Gussevi, “Urgensi Itsbat Nikah bagi
Perkawinan di Bawah Tangan (Studi Kasus pada Warga di Desa Ciherang Kecamatan Pasawahan
Kabupaten Purwakarta),” Muttaqien; Indonesian Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, 3.2
(2022) <https://doi.org/10.52593/mtq.03.2.03>.
16
atau isbat nikah bagi mereka yang menikah di bawah tangan dan harus
dilakukan.7
Pengaturan mengenai isbat nikah diatur dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor 3 Tahun 1975 dalam pasal 39 ayat (4) menyebutkan:
“Apabila KUA tidak bisa membuktikan duplikat akta nikah karena
catatannya rusak atau hilang, maka untuk menetapkan adanya nikah, talak,
rujuk atau cerai harus dibuktikan dengan penetapan atau Putusan
Pengadilan Agama”
Mengenai dasar hukum Isbat Nikah diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2)
Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :
1.Perkawinan hanya dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah
2.Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Isbat Nikah juga diatur dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang
pada ayat (3) menjelaskan bahwa isbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan
Agama berkenaan dengan: (a) adanya perkawinan dalam rangka
menyelesaikan perceraian; (b) hilangnya akta nikah; (c) adanya keraguan
tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) adanya
perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No.1 tahun 1974; (e)
7
Sanusi, Ahmad Tadjudin, dan Gussevi.
17
Dari bunyi pasal 7 ayat (3) huruf e inilah yang menjadi dasar bagi
pasangan yang melakukan nikah dibawah tangan untuk mengajukan isbat
nikah ke Pengadilan Agama Setempat. 9 Yaitu suami istri yang menikah
secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan pengakuan dari
negara atas perkawinan yang dilakukan oleh keduanya dan anak-anak yang
lahir selama pernikahan, sehingga pernikahannya mempunyai kekuatan
hukum.
Ketentuan Syarat Isbat Nikah tidak dijelaskan dalam kitab Fiqh Klasik
maupun kontemporer, tetapi dapat dianalogikan dengan syarat pernikahan.
Hal ini karena isbat nikah pada dasarnya adalah penetapan suatu pernikahan
yang telah dilakukan sesuai dengan syariat Islam yaitu sah memenuhi syarat
dan rukun nikah tetapi pernikahan tidak dicatatkan ke pejabat berwenang
yakni pegawai pencatat nikah (PPN). Oleh karena itu untuk mendapatkan
penetapanm terlebih dahulu harus mengajukan permohonan isbat nikah ke
Pengadilan Agama.10
Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (4) menjelaskan bahwa orang yang
dapat mengajukan permohonan isbat nikah ialah (a) suami atau istri, (b)
anak-anak mereka, (c) wali nikah, dan (d) pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu. Adapun prosedur dalam pengajuan perkara
8
Ahmad Sanusi, “Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Pandeglang,” AHKAM :
Jurnal Ilmu Syariah, 16.1 (2016), 8
<https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam/article/view/2901/2270>.
9
Liza Elfitri, “Dasar Hukum Pengajuan Itsbat Nikah Bagi Pasangan Kawin Siri,”
hukumonline.com, 2013 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/dasar-hukum-pengajuan-itsbat-
nikah-bagi-pasangan-kawin-siri-lt50a1e91040231/>.
10
Nurhidayah, “Kajian Yuridis Penetapan Permohonan Isbat Nikah di Pengadilan Agama
Watampone Kelas 1.B,” Jurnal Hukum Keluarga Islam, III.2 (2017), 129–53
<https://doi.org/10.30863/al-risalah.v2i2.441>.
18
11
Meita Djohan Oe, “Isbat Nikah Dalam Hukum Islam dan Perundang-Undangan di
Indonesia,” Pranata Hukum, 5.3 (2013), 248–53.
19
1. Pengertian Poliandri
Poliandri berbeda dengan poligami. Poliandri secara Bahasa berasal dari
Bahasa Yunani yaitu Polus artinya banyak, Aner artinya negatif dan Andros
artinya laki-laki. Dalam bahasa poliandri disebut Polyandri dan dalam
bahasa arab disebut تعدد البعولyang berarti bersuami lebih dari satu. 13
Sedangkan di dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan
bahwa poliandri adalah system perkawinan yang membolehkan seorang
perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu
bersamaan.
Secara istilah, Poliandri memiliki makna seorang perempuan yang
memiliki banyak suami, atau seorang istri yang memiliki dua suami atau
lebih pada waktu yang bersaman. Poliandri dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu poliandri fatrenal dan poliandri non fatrenal. Pengertian
12
Karimatul Ummah, “Isbat Nikah: Prosedur, Syarat, dan Implikasi Hukumnya,”
hukumonline.com, 2020 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/isbat-nikah--prosedur--syarat--
dan-implikasi-hukumnya-lt56ce748d48ca5/>.
13
Yusup Abdurrohman, Pernikahan Poliandri dalam Filsafat Kebebasan Manusia
(Bandung, 2022).
20
ُُ َ ۡ َ َ َّ ٓ ِّ ُ ٰ ۡ
ۚ ۡ َّوال ُم ۡح َصنت ِم َن الن َسا ِء ِاَّل َما َملـكت ا ۡي َمانك
..... م
yang artinya “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu
miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” Dalam ayat ini menunjukkan
bahwa salah satu wanita yang haram di nikahi adalah wanita yang bersuami.
Imam Syafi’I menafsirkan ayat dengan mengatakan: “Wanita-wanita yang
bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-
suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka
karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu
14
Irma Nur Hayati, “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif Yuridis, Psikologis
dan Sosiologis),” Qolamuna, 3.2 (2018), 181–206.
21
15
Muhammad Shiddiq, “Adakah Dalil Haramnya Poliandri dalam Islam?,” 2007.
16
Sayyid Qutub, Fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001) h.322
17
Pardi.
18
Abdurrohman.
22
19
Abbas dan Mutia.
20
Siti Karimah, “Perkawinan Poliandri (Kasus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)” (Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2017).
21
Abdurrohman.
22
Willa Wahyuni, “Hukum Poliandri di Indonesia,” hukumonline.com, 2022
<https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-poliandri-di-indonesia-lt624fde954f97d#!>
[diakses 7 Maret 2023].
23
23
Misran dan Muza Agustina, “Faktor-Faktor terjadinya Poliandri di Masyarakat (Studi
kasus di Kabupaten Pidie Jaya),” Jurnal Samarah: Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 1.1 (2017),
248–74 <https://doi.org/10.22373/sjhk.v1i1.1582>.
24
Ayunda Nurul Afifatur Rizqiyah, “Peran Hukum Nasional dan Hukum Islam dalam
Menyikapi Lahirnya Pemahaman Poliandri sebagai Gerakan Feminisme di Indonesia,” Jurnal
Hukum dan HAM Wara Sains, 1.02 (2022) <https://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/view/63%0Ahttps://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/download/63/31>.
24
BAB III
DESKRIPSI PENETAPAN ISBAT NIKAH POLIANDRI NOMOR
0011/Pdt.P/2021/PA.Kr
Perkara Nomor 0011 di Pengadilan Agama Krui didaftarkan oleh para Pemohon
pada tanggal 01 Februari 2021, kemudian diperiksa lalu ditetapkan oleh Majelis
Hakim pada tanggal 25 Februari 2021 dengan data sebagai berikut:
2. Duduk Perkara
Adapun kasus pada perkara ini adalah kasus permohonan isbat nikah
pernikahan siri yang dilakukan oleh Pemohon I dan Pemohon II. Pada tanggal
28 Juni 2013, Pemohon I dan Pemohon II melangsungkan akad nikah menurut
syari’at Islam di Rumah milik Pemohon I di Pemangku Kampung Sawah Rt/Rw
002/002 Pekon Sukarame, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.
Pemohon l dan Pemohon ll, melaksanakan perkawinan tanpa
mencatatkannya di KUA setempat. Perkawinan tersebut dilangsungkan dengan
wali nikah adalah Wali Nasab yaitu Paman Pemohon II dan disaksikan oleh dua
orang saksi bernama Saksi I dan Saksi II. Dengan maskawin berupa seperangkat
alat shalat dibayar tunai.
Pada saat perkawinan tersebut, Pemohon l dan Pemohon ll beragama Islam,
tidak ada hubungan darah dan bukan saudara sepersusuan serta memenuhi
syarat dan tidak ada larangan untuk melangsungkan pernikahan menurut
ketentuan hukum Islam maupun perundang-undangan yang berlaku. Pemohon
I berstatus Duda Cerai Mati dibuktikan dengan surat keterangan kematian
25
5. Pertimbangan Hukum
Setelah Majelis Hakim memperhatikan permohonan para pemohon dan
keterangan para pemohon di persidangan, yang menjadi masalah pokok dalam
perkara ini adalah Para Pemohon memohon agar Majelis Hakim menyatakan
sah perkawinan Pemohon I dan Pemohon yang dilangsungkan pada tanggal 28
Juni 2013 di rumah milik Pemohon I dengan wali nikahnya adalah Wali Nasab
yaitu Paman Pemohon II dan disaksikan oleh dua orang saksi nikah dengan
maskawin berupa seperangkat alat shalat dibayar tunai. Kemudian terjadi ijab
Kabul antara Pemohon I dengan wali nikahnya tersebut.
Majelis hakim memeriksa perkara pemohon bahwa benar Alamat Pemohon
I dan Pemohon II sebagaimana yang tercantum dalam surat permohonan para
pemohon berada di wilayah Kabupaten Lampung Barat, oleh karenanya
Pengadilan Agama Krui secara kewenangan relative berwenangan mengadili
perkara a quo, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
dalam perkara a quo, serta tidak ada pihak yang keberatan atas permohonan
tersebut, maka pemeriksaan terhadap perkara a quo dapat dilanjutkan
Diketahui pokok perkara ini adalah permohonan pengesahan / isbat nikah.
Para Pemohon sangat membutuhkan bukti pernikahan sah, oleh karenanya
permohonan ini diajukan ke Pengadilan Agama bertujuan untuk mendapatkan
penetapan pengesahan nikah untuk memenuhi persyaratan mendapatkan buku
27
kutipan akta nikah dari KUA, maka Majelis Hakim akan memeriksa lebih lanjut
permohonan Para Pemohon.
Saat para pemohon memberikan keterangan di persidangan, Pemohon I
mengakui Ketika menikah ia berstatus duda cerai sedangkan Pemohon II
mengakui masih terikat perkawinan dengan suami pertamanya dan baru
bercerai secara resmi pada tahun 2019 yang artinya Pemohon II baru mengurus
perceraiannya di Pengadilan Agama setelah 6 tahun menikah siri dengan
Pemohon I.
Berdasarkan fakta di persidangan, Hakim menilai bahwa Pemohon II
mempunyai 2 (dua) orang suami dalam waktu bersamaan (poliandri), sehingga
perkawinan para pemohon terdapat cacat materiil yaitu mengenai status
Pemohon II yang pada saat menikah dengan Pemohon I masih terikat
perkawinan yang sah dengan orang lain, dan perkawinan Pemohon II yang ke
dua merupakan perkawinan poliandri, sedangkan poliandri tidak dibenarkan
sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan perkawinan tersebut melanggar asas
suatu perkawinan yaitu “Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”
dan “larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita yang masih terikat satu perkawinan dengan pria lain” (vide pasal 3 ayat
(1) dan pasal 9 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo pasal 40 huruf a
Kompilasi Hukum Islam), oleh sebab itu Majelis Hakim berpendapat bahwa
perkawinan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat disahkan secara hukum.
Hakim menimbang bahwa apabila wanita yang belum bercerai dengan
suaminya walaupun sudah tidak tinggal bersama, masih tetap terikat dalam
ikatan perkawinan dan putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat
dibuktikan dengan akta cerai (vide pasal 39 UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Jo Pasal 8 KHI). Dan apabila wanita tersebut ingin menikah lagi
maka ia harus bercerai dahulu dengan suaminya dan telah melewati waktu
tunggu sebagaimana yang diatur pada pasal 11 ayat (1) UU No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan Jo Pasal 39 PP No. 9 tahun 1975 tentang aturan pelaksana
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
28
) (رواه احمد...أَ يُّمَا اِمْرَأَةٍ زَوَجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلْ أَ ْْل َوَلِ مِنْهُّ َما
Artinya: “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali,
maka (pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang
pertama dari keduanya.”
Hadits ini bisa dimaknai dengan menunjukkan bahwa jika ada dua
wali menikahkan seorang wanita dengan dua laki-laki secara
berurutan, maka akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama
dianggap sah, dengan kata lain hadits tersebut menunjukkan bahwa
perkawinan seorang Wanita hanya sah dengan satu suami saja.
Dengan demikian sudah jelas bahwa poliandri adalah haram
hukumnya bagi wanita muslimah, baik berdasarkan dalil Al-Qur’an
maupun dalil al-Sunnah.
Secara psikologis, perkawinan poliandri merupakan bentuk perkawinan
yang bertentangan dengan hati nurani dan fitrah manusia, sebab poliandri dapat
mengganggu kejiwaan atau ketenangan jiwa seorang istri, sebab ia harus
melayani beberapa suami. sementara perempuan (istri) merupakan pihak yang
disayang, dijaga, dilindungi dan dihormati, bahkan dalam kodratnya sebagai
29
Hukum Islam dan Permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima
(Niet Ontvankelijke Verklaard); dan Menghukum Pemohon I dan Pemohon II
untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.320.000,00 (tiga ratus dua puluh
ribu rupiah).1
1
Salinan Penetapan Perkara Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr
BAB IV
ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH POLIANDRI
Kasus Poliandri yang terjadi pada perkara ini adalah Pemohon II (Istri) yang
sebelumnya telah bercerai dengan suami terdahulunya lalu ia melakukan
perkawinan keduanya dengan Pemohon I. Akan tetapi pernikahannya tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama setempat. Setelah melewati 8 tahun
pernikahan dengan Pemohon I, ia baru menyadari bahwa ia memerlukan akta
nikah untuk mengurus administrasi kependudukan anaknya dan mengesahkan
pernikahannya agar diakui secara negara dengan cara proses mengisbatkan
pernikahannya dulu dengan pemohon II. Setelah penulis amati seksama,
ternyata pemohon II sebelum menikah dengan pemohon I, ia tidak melakukan
prosedur perceraian secara hukum yang berlaku yaitu bercerai di Pengadilan
Agama. Sehingga pemohon II baru mengurus perceraiannya setelah 6 tahun
menikah dengan Pemohon I.
1
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).
31
32
2
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).
33
berdasarkan pasal 219 KUHP; dan (4) Tidak dapat dijadikan dasar untuk
menuntut hak oleh pihak wanita sebagai isteri dan juga anak-anaknya. Dalam
hal ini cara penyelesaiannya yaitu dapat mengisbatkan nikahnya ke Pengadilan
Agama sebagaimana yang diatur oleh Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ayat (2).3
3
Rustanti Aulia Fadjartini, “Penyelesaian Perkara Isbat Nikah dan Problematikanya (Studi
Analisis terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Cilegon tahun 2016)” (Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
4
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).
5
Drs. A. Mukti Arto, S.H., Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,
No.26 (Yayasan Al-Hikmah dengan Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Bimbingan Musyawarah Islam dan Penyelenggaraan Haki Departemen Agama, 1996).
34
6
Nurhayati Hasibuan, S.H.I, “Pemeriksaan Perkara Itsbat Nikah Kaitannya Dalam
Menghindari Terjadinya Penyelundupan Hukum di Pengadilan Agama,” 2020, hal. 13
<http://www.pa-tasikmalaya.go.id/artikel-pengadilan/664-pemeriksaan-perkara-itsbat-nikah-
kaitannya-dalam-menghindari-terjadinya-penyelundupan-hukum-di-pengadilan-agama-oleh-
nurhayati-hasibuan-s-h-i>.
7
Armalina dan Ardiana Hidayah, “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penetapan Perkara
Isbat Nikah,” Solusi, 18.1 (2020), 20–32 <https://doi.org/10.36546/solusi.v18i1.253>.
35
prosedur yang berlaku, maka permohonan isbat nikah yang ditolak berarti ada
persyaratan atau pelaksanaan pernikahan yang tidak tercatat belum terpenuhi.8
Majelis Hakim mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam dalam menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara isbat nikah.
Dalam pengajuan Isbat Nikah pada penetapan Isbat Nikah PA Krui,
Pemohon I dan Pemohon II bertujuan mengajukan perkara ini untuk membuat
dan melengkapi persyaratan administrasi kependudukan serta pembuatan akta
kelahiran anak di Kantor Urusan Agama setempat, Oleh karena itu, alasan Para
pemohon I dan II termasuk dalam hal-hal yang tercantum dalam pasal 7 ayat 2
KHI. Kemudian Hakim Pengadilan Agama memeriksa apakah perkawinan
Pemohon I terpenuhinya pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019
tentang Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya” dan Hakim juga
memeriksa apakah pemohon I dan pemohon II telah memenuhi syarat-syarat
yang termuat dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu: (1) Calon Suami,
(2) Calon Isteri, (3) Wali Nikah, (4) 2 Orang Saksi, (5). Ijab dan Qabul.
Hal ini menjadi penting bagi Majelis Hakim dalam memulai dan mendalami
sebuah kasus yang sedang ditangani dan menjadi hal pertama yang akan
dipertanyakan oleh Majelis Hakim dalam persidangan Isbat Nikah.
Pertimbangan Fakta Hukum
Setelah memeriksa lebih lanjut permohonan para pemohon, Majelis
Hakim akan mempertimbangkan fakta hukum yang terjadi dalam persidangan,
Majelis Hakim harus berhati-hati dalam menetapkan perkara isbat nikah karena
menyangkut tentang benar atau tidaknya seseorang telah melakukan
pernikahan. Misalnya jika ada pihak diketahui berbohong mengenai
pernikahannya, hakim dapat dianggap telah melegalkan perzinahan jika ia
mengabulkan permohonan isbat nikah tersebut. Apabila dalam persidangan
8
Rizky Amelia dan Dian Septiandani, “Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap
Pemenuhan Hak Anak,” Jurnal Usm Law Review, 5.2 (2022)
<https://doi.org/10.26623/julr.v5i2.5681>.
36
ditemukan fakta hukum (peristiwa hukum), maka atas dasar itulah majelis
hakim dapat menarik kesimpulan. 9
Adapun fakta yang dapat dijadikan pertimbangan hakim yaitu Fakta
Kejadian dan Fakta Hukum. Fakta Kejadian yakni tanggal berlangsungnya
pernikahan seperti penikahan tersebut dapat dibuktikan dengan telah
dilaksanakannya proses ijab Kabul oleh wali dengan mempelai pria dan
disaksikan oleh minimal 2 orang saksi dan Fakta Hukum yakni pernikahan
tersebut sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.10
Pada perkara ini, Majelis Hakim menemukan fakta persidangan bahwa
ketika Pemohon I dan Pemohon II menikah, saat itu status perkawinan Pemohon
II masih berstatus sebagai istri orang lain sebab Pemohon II baru bercerai secara
resmi dengan suaminya terdahulu pada tahun 2019, oleh karena itu majelis
hakim menilai pernikahan tersebut adalah penikahan kedua bagi Pemohon II
sehingga Pemohon II dipandang telah melakukan pernikahan olehnya itu
poliandri. Menurut Ali Husein Hakim, Poliandri adalah seorang perempuan
mempunyai lebih dari seorang suami dalam waktu yang sama. Dalam ketentuan
hukum Islam poliandri tidak dibenarkan.
Pertimbangan Alat Bukti
Untuk menemukan fakta hukum, Majelis Hakim juga perlu
mempertimbangan Alat Bukti, dalam perkara ini Majelis Hakim tidak sampai
dalam tahap pembuktian karena mengetahui keterangan Para Pemohon bahwa
Perkawinan Keduanya terdapat cacat materiil yaitu mengenai status Pemohon
II yang Poliandri dan perkawinannya bertentangan dengan hukum Islam dan
melanggar asas suatu perkawinan yaitu Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : “Pada
9
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019).
10
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019).
37
11
Ahmad Sadzali, Lc, M.H, “Bisakah Menuntut Pria yang Menikahi Wanita Bersuami?,”
2021 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-menuntut-pria-yang-menikahi-wanita-
bersuami-lt611bfbee8191d/>.
12
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019)..
38
13
Nuzuluddin, “Analisis Putusan Hakim terhadap Perkara Isbat Nikah Poligami di
Pengadilan Agama Giri Menang (Studi Putusan No. 225/Pdt.G/2016/PA.GM dan No.
721/Pdt.G/2017/PA.GM),” Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2019).
39
cerai dan fasakh nikah, kecuali hamba sahaya (budak-budak perempuan yang
dimiliki karena perang yang suaminya tidak ikut tertawan bersama).
) (رواه احمد...أَ يُّمَا اِمْرَأَةٍ زَوَجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلْ أَْلْ َوَلِ مِنْهُّمَا
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang
sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad,
dan dinilai hasan oleh Tirmidzi)
Makna hadits ini menjelaskan bahwa apabila seorang perempuan dinikahkan
oleh dua wali dengan dua orang lelaki berbeda, maka yang sah hanyalah pernikahan
pertamanya dan pernikahan keduanya dihukumi tidak sah. Dengan kata lain
menunjukkan bahwa seorang perempuan tidak boleh menikah atau dinikahkan lagi
selama ia masih dalam status menjadi istri sah orang lain.
Dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, di Indonesia menganut prinsip
bahwa wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi, dan bahwa setiap
perkawinan yang dilakukan oleh seseorang harus menggunakan wali dengan urutan
kedudukan wali yang benar dalam hukum Islam. Dalam hal ini, pemohon memakai
wali nasab yaitu Pamannya. Akan tetapi karena pemohon II melakukan perkawinan
kedua tetapi statusnya masih sebagai istri dari Suami pertamanya. Maka
14
Irma Nur Hayati, “Hikmah Dilarangnya Poliandri (Kajian Normatif, Yuridis, Psikologis,
Sosiologis)”, Qolamuna, Volume 3 Nomor 2 Februari 2018, h.184
40
15
Aisyah Yusriyyah Ahdal, Syahruddin Nawi, dan Hasbuddin Khalid, “Pelaksanaan Isbat
Nikah Terhadap Perkawinan Tidak Tercatat di Pengadilan Agama Raha,” Journal of Lex Generalis,
4.1 (2023).
16
Nafiatul Munawaroh S.H., M.H, “Sahkah Perceraian Tanpa Sidang Pengadilan?,”
hukumonline.com, 2023 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/perceraian-tanpa-sidang-
lt5288d5715f76a/>.
41
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Dengan
demikian, talak yang sah menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di
depan sidang Pengadilan Agama. Apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar
pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara
hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama.17
Pada dasarnya, suami menceraikan istrinya dengan hanya mengucapkan kata
talak di depannya, hukum nya sah menurut hukum islam, tetapi kita sebagai warga
negara Indonesia harus mematuhi peraturan pemerintah, selama aturan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum islam itu sendiri.
Sehingga dapat kita pahami perkawinan para pemohon memiliki cacat hukum
karena tidak tercatat dan secara hukum negara Pemohon II masih berada dalam
ikatan perkawinan dengan suaminya pertama, Ia pada saat menikah dengan
Pemohon II belum memiliki akta cerai, akta cerai ini sebagai bukti autentik untuk
menunjukkan bahwa perceraian telah sah terjadi dan mempunyai ketentuan hukum
tetap, inilah alasan perkawinan para pemohon yang permohonannya tidak sah dan
tidak diterima oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Terkait dengan keadaan Pemohon II yang statusnya poliandri, menurut jumhur
ulama poliandri merupakan perkawinan yang rusak (fasid) sehingga tidak sah. Hal
ini dijelaskan dalam Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid 7, halaman 109-
111, sebagai berikut:18
17
Findy Pratama Asfara, “Keabsahan Talak di Bawah Tangan dalam Perspektif Hukum
Islam (Fiqih) dan Hukum Positif” (Universitas Brawijaya, 2017).
18
Fatimatuzzahro, “Metode Penentuan Nasab dalam Pernikahan Fasid menurut Wahbah
Zuhaili dan Penerapannya dalam Hukum Perkawinan di Indonesia” (Universitas Islam Negeri
Profesor K.H Saifuddin Zuhri Purwokerto, 2022).
42
19
Ariesthina Lelah, “Memahami Kedudukan Nikahul Fasid Dalam Hukum Islam,” Al-
Tafaqquh: Journal of Islamic Law, 2.1 (2021), 1–15.
43
baik di mata hukum islam maupun hukum perdata.20 Dengan demikian, dampak
yang diperoleh istri ketika permohonan isbat nikahnya tidak dikabulkan oleh
Majelis Hakim yaitu a. Status Istri tidak dianggap sebagai istri sah secara hukum
negara; b. Istri tidak bisa mengugat harta warisan dari suami apabila suaminya
meninggal dunia; c. Istri tidak mempunyai hak terhadap harta gono-gini jika
suatu saat bercerai dengan suaminya karena perkawinan yang dilakukannya
dianggap tidak pernah terjadi. 21 Menurut penulis, Para pemohon tetap dapat
hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan cara menikah ulang di Kantor
Urusan Agama setempat setelah kelengkapan syarat-syarat menikah terpenuhi.
20
Rita Faura dan Rangga Prayitno, “Kesadaran Masyarakat dalam Melaksanakan
Perkawinan Ke Dua Setelah Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan di Pasaman Barat,”
Ekasakti Jurnal Penelitian & Pengabdian, 3.1 (2022).
21
Mutiarany dan Putri Ramadhani, “Penolakan Isbat Nikah Dalam Penetapan Pengadilan
Agama (Studi Kasus Penetapan Nomor 0108/Pdt.P/2018/PAJT),” Binamulia Hukum, 10.1 SE-
Articles (2023), 79–90 <https://doi.org/10.37893/jbh.v10i1.379>.
44
22
Rustanti Aulia Fadjartini, “Penyelesaian Perkara Isbat Nikah dan Problematikanya (Studi
Analisis terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Cilegon tahun 2016)” (Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
45
dilakukan oleh suami dan istri (menurut mazhab Hanafi). Jika anak lahir
kurang dari 6 bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan
senggama, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada suami
Wanita tersebut.23
Ulama mazhab Hanafi yang secara tegas membolehkan anak yang lahir
dari pernikahan fasid dinasabkan kepada ayah kandungnya ialah Imam al-
Kasani menurutnya:
“Nikah fasid tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun selagi belum
terjadi hubungan suami-istri di antara pasangan yang menikah tersebut.
Namun jika telah terjadi hubungan suami-istri, maka ada beberapa
konsekuensi hukum yang melekat padanya, antara lain anak yang lahir
dari pernikahan tersebut tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya,
wajib beriddah bagi pihak perempuan dan wajib bagi pihak laki-laki
menyerahkan mahar kepada pihak perempuan”
Dan menurut Ulama mazhab Hanafi lain yang berpendapat
memperbolehkan anak dari perkawinan fasid dinasabkan kepada ayah
kandungnya adalah al-‘Allamah Humam Mawlana al-Syeikh Nizham yang
menurutnya: Anak yang lahir dari nikah fasid tetap dinasabkan kepada
ayah kandungnya dan waktu menentukan nasab dihitung sejak terjadinya
hubungan suami-istri. Apabila belum terjadi hubungan suami-istri dalam
nikah fasid, maka tidak memiliki konskuensi hukum apa pun dalam
pernikahan tersebut.”
23
Fahmi Al Amruzi, “Nasab Anak Dari Perkawinan Siri,” Al-Adl : Jurnal Hukum, 14.1
(2022), 1.
46
Penetapan isbat nikah yang tidak dikabulkan oleh Hakim tentu akan
merugikan anak karena kedudukannya dianggap tidak sah. Kedudukan Anak
menurut Hukum Positif di Indonesia membedakan keturunan yang sah dan
keturunan yang tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya
perkawinan yang sah. Sedangkan keturunan yang tidak sah adalah keturunan
yang tidak berdasarkan perkawinan yang sah, sehingga disebut anak luar kawin.
Dalam perkara 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr, Perkawinan antara pemohon I dan
Pemohon II dianggap haram karena tidak sah dan hubungan Pemohon II dengan
suami keduanya dihukumi zina. Sehingga secara Hukum, status anak dari
Poliandri tidak dapat dinasabkan kepada Ayah Kandungnya.
Mengutip dari (Susanto, 2021) pada Jurnal Justisi. Akibat Hukum yang
ditimbulkan kepada anak yang statusnya tidak sah atau luar kawin, ia tetap
memiliki hak sebagai berikut:25
Pertama, Hak Mengetahui Asal-Usul. Asal usul anak dapat dipastikan
apabila ia memiliki akta kelahiran atau alat bukti lainnya sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 103 KHI. Anak luar kawin berhak mendapat akta
kelahiran sebagai identitas kewarganegaraannya dan mengetahui asal usulnya
namun tidak mencantumkan nama ayahnya.
Kedua, Hak Pemeliharaan dan Pendidikan. Dalam pasal 4-18 UU Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa Setiap anak berhak
mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari orang tuanya dan setiap anak
24
Rustanti Aulia Fadjartini, “Penyelesaian Perkara Isbat Nikah dan Problematikanya (Studi
Analisis terhadap Penetapan Isbat Nikah Pengadilan Agama Cilegon tahun 2016)” (Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
25
Muhammad Hajir Susanto, Yonika Puspitasari, dan Muhammad Habibi Miftakhul Marwa,
“Kedudukan Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Perspektif Hukum Islam,” Justisi, 7.2 (2021), 105–
17.
47
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Ketiga. Hak Nafkah. Anak luar kawin dalam hal pemberian nafkah hanya
ditanggung oleh pihak ibu dan keluarga ibunya. Sebagaimana dalam Pasal 100
KHI “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya”, disini ayah kandung tidak ada kewajiban
untuk memberikan nafkah kepada anaknya walaupun ada yang sang ayah
memberi nafkah kepadanya, tetapi itu hanya sebagai tanggung jawab
kemanusiaan dan bukan tanggung jawab hukum.
Keempat, Hak Perwalian. Jika anak luar kawin tersebut adalah Perempuan
lalu ketika telah dewasa ia menikah dengan laki-laki pilihannya, maka ayah
kandungnya tidak berhak menikahkan anak tersebut sebagai wali nikah.
Melainkan wali nya adalah wali hakim.
Kelima. Hak Warisan. Kewarisan anak luar kawin hanya memiliki
hubungan nasab dengan ibunya dan tidak saling mewarisi dengan ayahnya.
Karena salah satu rukun & syarat untuk dapat saling mewarisi adalah adanya
hubungan nasab dengan pewaris.
Dari uraian di atas, dalam menetapkan status hukum anak dan akibat
hukumnya terdapat simpulan dua pernyataan yang berbeda.
Pernyataan Pertama, menyatakan karena permohonan isbat nikah Pemohon
l dan Pemohon ll tidak dapat diterima, sehingga pernikahan keduanya
dinyatakan tidak sah, maka anak yang lahir dari perkawinan mempunyai status
hukum anak yang tidak sah dan memiliki akibat hukum terhadap hak-hak
keperdataannya. Secara hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak sah,
hanya bernasab kepada ibu kandungnya dan keluarga ibunya. Dan ia tidak
berhak atas nafkah dan warisan dari ayah kandungnya, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
48
26
Dr. H. M Nurul Irfan, M.Ag., Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, ed. oleh Nur
Laily Nusroh, II (Jakarta: AMZAH, 2018).
49
27
Dewi Arista Haniifah, “Skripsi: Analisis Putusan Pengadilan Agama Siak Sri Indrapura
Nomor: 69/Pdt.P/2020/PA.SAK tentang Penetapan Asal Usul Anak” (Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2022).
28
Drs. A. Mukti Arto, S.H., “Hukuman Ta’zir Mewajibkan Ayah Biologis memberi Bagian
dari Harta Waris untuk Anak Luar Nikah dan Penyelesaiannya di Pengadilan Agama,” Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, 2013.
50
membuat wasiat untuk anaknya; Keempat, jika ayah tidak membuat wasiat,
maka hakim yang berwenang dapat menetapkan pemberlakuan wasiat wajibah
bagi anaknya; Kelima, bahwa ayah kandungnya memiliki kewajiban untuk
memenuhi kebutuhan hidup anaknya; Keenam, bahwa ayah kandungnya wajib
memberikan bagian dari harta peninggalannya melalui wasiat wajibah kepada
anaknya; dan Ketujuh, pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir atas
lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan cara mewajibkan
mereka untuk : a. mencukupi kebutuhan hidup anaknya; dan b. memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.29
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan di awal, meskipun pada perkara
ini Pemohon I dan Pemohon II isbat nikahnya tidak diterima oleh Majelis
Hakim, untuk mendapatkan kepastian hukum status anaknya dengan
membuktikan bahwa anak yang dilahirkannya adalah benar Anak Kandung dari
Perkawinan Pemohon I dan Pemohon II, maka Para Pemohon dapat
mengajukan permohonan asal usul anak di Pengadilan Agama untuk
mendapatkan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang. Apabila Pengadilan Agama mengabulkan dan mengeluarkan
penetapan asal usul anak, atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut,
maka instansi Pencatat Kelahiran bisa mengeluarkan akta kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.
29
Arto, S.H., “Hukuman Ta’zir Mewajibkan Ayah Biologis memberi Bagian dari Harta
Waris untuk Anak Luar Nikah dan Penyelesaiannya di Pengadilan Agama.”
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, Penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
52
53
B. Saran-Saran.
Dari uraian diatas penulis akan memberikan saran yang terkait dengan
penelitian ini
1. Bagi istri yang status hukum nya poliandri, ia hendak menikah lagi
tetapi masih belum bercerai secara hukum negara di pengadilan agama,
sebaiknya ia mengurus terlebih dahulu status perceraiannya di
Pengadilan Agama Setempat sebelum menikah kembali dengan suami
kedua.
2. Kepada para perempuan dan laki-laki yang hendak melakukan menikah
dibawah tangan dapat dihindari agar tidak terjadi permasalahan di
kemudian hari yang akan berdampak kepada anaknya.
3. Ditujukan kepada Lembaga atau Institusi agar memberikan sosialisasi
dan edukasi kepada Masyarakat dan Tokoh Agama setempat berupa
pemahaman hakikat sebuah perkawinan dan prosedur hukumnya mana
yang dianjurkan dan mana yang dilarang agar tidak ada lagi
kesalahpahaman lain dalam melaksanakan perkawinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal, dan Datul Mutia, “Putusan Talak Raj’i pada kasus Poliandri:
Analisis Hukum Islam terhadap Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho
nomor 216/Pdt.G/2015/MS-JTH,” Jurnal Samarah, 3.1 (2019), 205–22
<https://doi.org/10.22373/sjhk.v3i1.4865>
Afifatur Rizqiyah, Ayunda Nurul, “Peran Hukum Nasional dan Hukum Islam
dalam Menyikapi Lahirnya Pemahaman Poliandri sebagai Gerakan
Feminisme di Indonesia,” Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains, 1.02 (2022)
<https://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/view/63%0Ahttps://wnj.westscience-
press.com/index.php/jhhws/article/download/63/31>
Amelia, Rizky, dan Dian Septiandani, “Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap
Pemenuhan Hak Anak,” Jurnal Usm Law Review, 5.2 (2022)
<https://doi.org/10.26623/julr.v5i2.5681>
Al Amruzi, Fahmi, “Nasab Anak Dari Perkawinan Siri,” Al-Adl : Jurnal Hukum,
14.1 (2022), 1
Arista Haniifah, Dewi, “Skripsi: Analisis Putusan Pengadilan Agama Siak Sri
Indrapura Nomor: 69/Pdt.P/2020/PA.SAK tentang Penetapan Asal Usul
Anak” (Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2022)
Arto, S.H., Drs. A. Mukti, “Hukuman Ta’zir Mewajibkan Ayah Biologis memberi
Bagian dari Harta Waris untuk Anak Luar Nikah dan Penyelesaiannya di
Pengadilan Agama,” Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah
53
54
Agung, 2013
Bahri, Irawati, “Siri Marriage In Islamic Perspective: Nikah Siri Dalam Perspektif
Islam,” Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9.1 (2023), 224–30
Djohan Oe, Meita, “Isbat Nikah Dalam Hukum Islam dan Perundang-Undangan di
Indonesia,” Pranata Hukum, 5.3 (2013), 248–53
Elfitri, Liza, “Dasar Hukum Pengajuan Itsbat Nikah Bagi Pasangan Kawin Siri,”
hukumonline.com, 2013 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/dasar-
hukum-pengajuan-itsbat-nikah-bagi-pasangan-kawin-siri-lt50a1e91040231/>
Irfan, M.Ag., Dr. H. M Nurul, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, ed. oleh
Nur Laily Nusroh, II (Jakarta: AMZAH, 2018)
Munthe, Riswan, dan Sri Hidayani, “Kajian Yuridis Permohonan Itsbat Nikah pada
Pengadilan Agama Medan,” Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9.2
(2017), 121 <https://doi.org/10.24114/jupiis.v9i2.8240>
Pura, Margo Hadi, dan Hana Faridah, “Aspek Sosiologis Tindak Pidana Perzinaan
Atas Suami Yang Nikah Dibawah Tangan (Siri) Tanpa Izin Poligami,”
KRTHA BHAYANGKARA, 14.2 SE-Articles (2020)
<https://doi.org/10.31599/krtha.v14i2.141>
Rangkuti, Muflih, “Itsbat Nikah Terhadap Nikah Siri Di Provinsi Sumatera Utara
Perspektif Hukum Positif Dan Maqashid As-Syari’ah,” Tesis Pascasarjana
UIN Sumatera Utara (UIN Sumatera Utara Medan, 2020)
Sadzali, Lc, M.H, Ahmad, “Bisakah Menuntut Pria yang Menikahi Wanita
Bersuami?,” 2021 <https://www.hukumonline.com/klinik/a/bisakah-
menuntut-pria-yang-menikahi-wanita-bersuami-lt611bfbee8191d/>
Sanusi, M, Azi Ahmad Tadjudin, dan Sofia Gussevi, “Urgensi Itsbat Nikah bagi
Perkawinan di Bawah Tangan (Studi Kasus pada Warga di Desa Ciherang
Kecamatan Pasawahan Kabupaten Purwakarta),” Muttaqien; Indonesian
Journal of Multidiciplinary Islamic Studies, 3.2 (2022)
<https://doi.org/10.52593/mtq.03.2.03>
58
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
PENETAPAN
Nomor 0011/Pdt.P/2021/PA.Kr.
ne
ng
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
do
gu Pengadilan Agama Krui yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu
pada tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam
In
A
perkara pengesahan nikah oleh:
ah
lik
Pemohon.I, umur 56 tahun, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan Petani,
tempat tinggal di Pemangku Kampung sawah
Rt/Rw.002/002 Pekon Sukarame Kecamatan Belalau
m
ub
Kabupaten Lampung Barat, sebagai Pemohon.I;
ka
si
Barat, sebagai Pemohon.II;
ne
ng
do
gu
lik
DUDUK PERKARA
ub
ep
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
1. Bahwa pada hari Jum'at tanggal 28 Juni 2013 Pemohon I (Indra Gunawan
bin Hasanudin) melangsungkan pernikahan menurut agama islam dengan
ne
ng
Pemohon II (Lily Susi Yanti binti Mohammad Ali);
2. Di rumah milik Pemohon I di Pemangku Kampung sawah Rt/Rw.002/002
do
gu Pekon Sukarame Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat;
3. Bahwa pada saat pernikahan tersebut wali nikahnya adalah Wali Nasab yaitu
Paman Pemohon II (Nurdin) dan disaksikan oleh dua orang saksi bernama:
In
A
Saksi I : Syahrizal , Saksi II : Herdaman, Dengan maskawin berupa
seperangkat alat solat dibayar tunai;
ah
lik
4. Bahwa pada saat pernikahan tersebut Pemohon I berstatus Duda Cerai mati
dengan surat keterangan kematian nomor : 140/19/2006/2021 sedangkan
m
ub
Pemohon II berstatus Janda cerai hidup dengan akta cerai nomor :
1423/AC/2019/PA.Gsg;
ka
5. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan darah dan
ep
tidak sesusuan serta memenuhi syarat dan tidak ada larangan untuk
ah
si
perundang-undangan yang berlaku;
6. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon I dan Pemohon II bertempat
ne
ng
do
Barat sampai saat ini;
gu
Liandra Bilqis, lahir di Lambar tanggal 13 Oktober 2014; Zefin Alvino, lahir di
Lambar tanggal 29 Maret 2018;
ah
lik
ub
tersebut dan selama itu pula antara Pemohon I dan Pemohon II tetap
beragama islam;
ka
9. Bahwa Pemohon tidak pernah menerima buku nikah karena tidak tercatat di
ep
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
dari Pengadilan agama Krui guna dijadikan sebagai alasan hukum untuk
melengkapi administrasi penduduk dan perkawinan;
ne
ng
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pemohon mohon agar Ketua
do
gu Pengadilan Agama Krui segera memeriksa dan mengadili perkara ini,
selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
PRIMAIR:
In
A
1. Mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II;
2. Menyatakan sah perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II yang
ah
lik
dilaksanakan pada hari Jum'at tanggal 28 Juni 2013 di rumah Pemohon
I di Pemangku Kampung sawah Rt/Rw.002/002 Pekon Sukarame
m
ub
Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat;
3. Membebankan biaya perkara menurut hukum;
ka
SUBSIDAIR:
ep
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon menjatuhkan penetapan
ah
yang seadil-adilnya;
R
si
Bahwa sebelum perkara ini disidangkan, Pengadilan Agama Krui telah
mengumumkan kehendak Itsbat Nikah Para Pemohon dalam masa 14 hari
ne
ng
do
sejak pengumuman tersebut atau mengajukan keberatan pada hari
gu
lik
ub
para Pemohon;
Bahwa pada sidang agenda pembacaan surat permohonan, Pemohon I
ka
dan Pemohon II menikah pada 28 Juni 2013 dan pada saat pernikahan
ep
masih terikat perkawinan dengan suami pertamanya dan baru bercerai secara
R
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
resmi pada tahun 2019 sesuai dengan akta cerai nomor :
1423/AC/2019/PA.Gsg atas nama Pemohon II;
ne
ng
Bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan ini, maka segala sesuatu
yang terjadi dalam persidangan sebagaimana termuat dalam berita acara
do
gu persidangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan dianggap termuat
dalam putusan ini;
In
A
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan pengesahan nikah
ah
lik
Menimbang, bahwa permohonan para Pemohon telah diumumkan pada
papan pengumuman Pengadilan Agama Krui selama 14 hari sebelum perkara
m
ub
ini disidangkan, namun ternyata tidak ada pihak yang mengajukan keberatan
atas permohonan para Pemohon tersebut, maka Majelis Hakim menganggap
ka
ep
perkara ini dapat dilanjutkan pemeriksaannya;
Menimbang, bahwa alamat Pemohon I dan Pemohon II sebagaimana
ah
si
Kabupaten Lampung Barat oleh karenanya Pengadilan Agama Krui secara
kewenangan relative berwenangan mengadili perkara a quo, Para Pemohon
ne
ng
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara a quo, serta tidak
ada pihak yang keberatan atas permohonan tersebut, maka pemeriksaan
do
gu
mendapatkan buku kutipan akta nikah dari KUA, maka Majelis Hakim akan
memeriksa lebih lanjut permohonan Para Pemohon;
m
ub
ep
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
baru bercerai secara resmi pada tahun 2019 sesuai dengan akta cerai nomor :
1423/AC/2019/PA.Gsg atas nama Pemohon II, maka berdasarkan dengan
ne
ng
pasal 310 Rbg Jis Pasal 1916 KUHPer telah menjadi persangkaan Hakim dan
fakta persidangan bahwa Pemohon II mempunyai 2 (dua) orang suami dalam
do
gu waktu bersamaan (poliandri);
Menimbang, bahwa perkawinan Para Pemohon terdapat cacat materiil
yaitu mengenai status Pemohon II yang pada saat menikah dengan Pemohon I
In
A
masih terikat perkawinan yang sah dengan orang lain, dan perkawinan
Pemohon II yang ke dua merupakan perkawinan poliandri, sedangkan poliandri
ah
lik
tidak dibenarkan sesuai dengan ketentuan syari’at Islam dan perkawinan
tersebut melanggar asas suatu perkawinan yaitu “seorang wanita hanya boleh
m
ub
memiliki seorang suami” dan “larangan melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang masih terikat satu perkawinan
ka
dengan pria lain” (vide pasal 3 ayat (1) dan pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974
ep
Tentang Perkawinan Jo pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam), oleh sebab
ah
si
dapat disahkan secara hukum
Menimbang, bahwa wanita yang belum bercerai dengan suaminya
ne
ng
walaupun sudah tidak tinggal bersama, masih tetap terikat dalam ikatan
perkawinan dan putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan
do
dengan akta cerai (vide pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo
gu
Pasal 8 KHI). Dan apabila wanita tersebut ingin menikah lagi maka ia harus
bercerai dahulu dengan suaminya dan telah melewati waktu tunggu
In
A
sebagaimana yang diatur pada pasal 11 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Jo Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tentang aturan pelaksana UU
ah
lik
ub
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
ne
ng
sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
َ ِِّالن
Dalam Tafsir Ibni Katsir dijelaskan makna ساء َمِن َ َْو ْال ُمح
ُصنَات
do
gu maksudnya: ‘Diharamkan bagimu menikahi para wanita ajnabiyah yang
muhshanat yaitu yang sudah menikah (Tafsir Ibni Katsir, 2/256).
2. Hadist Rasulullah
In
A
)ايما امرأة زوجها وليان فهي لألول منهما (رواه أحمد
Artinya: “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh kedua orang wali, maka
ah
lik
(pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari
keduanya."
m
ub
Hadis tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa jika dua orang wali
menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan,
ka
maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan wali yang
ep
pertama, dengan kata lain hadis tersebut menunjukkan bahwa tidaklah sah
ah
pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja. Dengan
R
si
demikian jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah,
baik berdasarkan dalil Al-Qur’an maupun dalil al-Sunnah.
ne
ng
do
gu
sebab poliandri dapat menganggu kejiwaan atau ketenangan jiwa seorang istri,
sebab ia harus melayani beberapa suami. Sementara perempuan (istri)
In
A
lik
akan terganggu;
ub
keluarga, seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami akan
ah
mendapat celaan dari keluarganya, sebab itu tidak bisa menjadi contoh bagi
R
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
anak-anak dan keluarga pada umumnya, begitu juga di mata suami tentunya ia
tidak mempunyai harga, sebab ia dianggap wanita (istri) yang tidak bisa
ne
ng
menjaga martabat keluarga, sehingga bisa jadi oleh keluarga akan diasingkan.
Demikian halnya di lingkungan masyarakat, seorang istri yang mempunyai lebih
do
gu dari seorang suami akan dinilai hina oleh mayarakat, bahkan akan dianggap
sebagai wanita (istri) murahan;
Menimbang, bahwa dengan adanya permohonan itsbat nikah Para
In
A
Pemohon terhadap pernikahan poliandri yang melanggar ketentuan syari’at dan
peraturan perundang-undangan maka pernikahan tersebut tidak dapat
ah
lik
disahkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan SEMA Mahkamah Agung Nomor 3
m
ub
Tahun 2018 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
ka
si
(perluasan hukum) dan kontruksi hukum argumentum per analogiam terhadap
permohonan isbat nikah poligami yang secara hukum syara’ tidak dilarang
ne
ng
dinyatakan tidak dapat diterima apalagi permohonan isbat nikah poliandri yang
secara jelas dilarang oleh hukum syara’ dan peraturan perundang-undangan
do
tentunya permohonan isbat nikah tersebut harus dinyatakan tidak dapat
gu
diterima ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
In
A
lik
ub
verklaard);
Menimbang, bahwa karena perkara ini termasuk dalam bidang
ka
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka
biaya perkara dibebankan kepada Pemohon I dan Pemohon II;
ne
ng
Memperhatikan dalil-dalil syar'i dan segala ketentuan yang berlaku dan
berkaitan dengan perkara ini;
do
gu MENETAPKAN
1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat
In
diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard);
A
2. Menghukum Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar biaya
perkara sejumlah Rp.320.000,00 (tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
ah
lik
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan
m
ub
Majelis Hakim Pengadilan Agama Krui pada hari Kamis tanggal 25 Februari
2021 Masehi. bertepatan dengan tanggal 13 Rajab 1442 Hijriyyah . oleh kami
ka
ep
Arif Fortunately, S.Sy. sebagai Ketua Majelis, Yoga Maolana Wiharja, Lc dan
M. Beni Kurniawan, S.Sy. masing-masing sebagai Hakim Anggota Majelis, dan
ah
pada hari itu juga diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam persidangan
R
si
yang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota dan Defi
Tri Andari, S.H. sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri oleh Pemohon I
ne
ng
do
gu
Ketua Majelis In
A
lik
ub
ep
Panitera Pengganti
ah
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am
ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
Defi Tri Andari, S.H.
ne
ng
Perincian biaya :
1. Biaya Pendaftaran : Rp. 30.000,00
do
gu 2. Biaya Proses : Rp. 50.000,00
3. Biaya Panggilan : Rp. 200.000,00
4. PNBP Panggilan : Rp. 20.000,00
In
A
5. Biaya Redaksi : Rp. 10.000,00
6. Biaya meterai : Rp. 10.000,00
ah
lik
Jumlah : Rp. 320.000,00
(tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
m
ub
ka
ep
ah
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
ne
ng
do
gu
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9