Skripsi
Oleh:
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
SITA JAMINAN DALAM SENGKETA HARTA BAWAAN DAN HARTA
BERSAMA PADA PERKAWINAN CAMPURAN
Skripsi
Oleh
Pembimbing
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
iii
ABSTRAK
iv
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul, “SITA
JAMINAN DALAM SENGKETA HARTA BAWAAN DAN HARTA
BERSAMA PADA PERKAWINAN CAMPURAN (Studi Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor
2582/Pdt.G/2013/PA.JS)”. Sholawat serta salam tercurahkan kepada kekasih
Allah Muhammad SAW, pembawa misi perubahan terbesar dalam sejarah Islam
beserta keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa
terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran
penulisan skripsi ini, baik untuk mereka yang selalu ada lewat kata motivasi,
selalu dekat dan jadi inspirasi dan yang dermawan dalam memberikan segala
bentuk donasi. Izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H., selaku
Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga, yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini.
4. Rosdiana M.A, selaku Pembimbing Akademik yang telah sabar dalam
mendampingi penulis hingga sampai pada semester akhir ini dan juga telah
membantu dalam proses perumusan judul dalam skripsi ini.
5. Dr. Kamarusdiana, M.H sebagai dosen Pembimbing Skripsi yang telah
begitu sangat sabar, mengayomi, mendidik penulis dan berkenan
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan
Skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat
v
dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan semoga
kelak dapat menjadikan kami orang yang berguna bagi Bangsa dan Agama
di dunia dan akhirat.
7. Ungkapan terima kasih dan penghargaan serta dedikasi yang sangat spesial
penulis haturkan dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang
tua tersayang yang menjadi motivasi terbesar bagi penulis, Ayahanda
(Alm) H. Habibullah dan Ibunda Hj.Zulaelah. Kalian adalah guru hidup
pertama saya yang telah mengajarkan banyak hal tentang arti sebuah
kehidupan ini.
8. Abang ku Achmad Fairuz Zabadi S.H, Rifa‟i Al-Ghifari S.SI, dan Kakak
ku Eka Napisah, S.Ag, M.Hum yang selalu mendoakan dan tak henti-
hentinya mengingatkan penulis dalam mengerjakan skripsi ini hingga
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi.
9. Kepada sahabat, teman-teman angkatan 2013 yang selalu mendoakan dan
menyuport dan terkhusus Abdul Ghofur, Khuzaifi Amir, Agung Nugraha,
Izzatus Syafaat, yang tak bosan-bosannya mengingatkan dan membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada sahabat sahabat gambus SyababunNajah dan juga Al Hamidiyyah
dan terkhusus Ustadz Alfi Fajri selaku Guru penulis yang telah
mendoakan, membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Kepada kawan-kawan TIM GSI (Gallery Seni Islam) Iqbal, Yusril, Teja
yang telah membantu, menghibur dikala dalam penyusunan skripsi ini.
Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberi manfaat dan
sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya dan pembaca pada
umumnya.
vi
DAFTAR ISI
vii
BAB IV SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN DAN ANALISIS PUTUSAN
NOMOR 2582/Pdt.G/2013/PA.JS
A. Sejarah dan Perkembangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
................................................................................................. 35
B. Posisi Kasus ............................................................................ 38
C. Pertimbangan Hakim ............................................................... 42
D. Analisis Putusan ...................................................................... 47
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 54
B. Saran ........................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56
LAMPIRAN PUTUSAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal T, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h., 55
1
2
dijatuhkan oleh suami. Talak merupakan suatu kata yang diambil dari
bahasa arab yaitu thalaq, yang berarti athlaqa al-mawaasyiy (melepaskan)
dan athlaqa al-asiir (membebaskan).3 Adapun dalam istilah fikih, thalaq
ialah segala bentuk perceraian atau pemutusan ikatan perkawinan yang
dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim atau perceraian
yang jatuh dengan sendirinya karena meninggalnya salah satu pasangan
suami-istri. Perceraian merupakan salah satu jalan keluar yang dapat
ditempuh bila mana tali perkawinan memang benar-benar sudah tidak
dapat dipertahankan lagi, tentu saja dengan alasan-alasan yang kuat.4
Sebagian dari salah satu keluarga yang melakukan perceraian di
hadapan pengadilan itu yang tak lain membicarakan persoalan harta, baik
harta bawaan maupun harta bersama, harta bawaan yang dibawa dari
masing-masing pihak dan harta bersama yang di peroleh dari suami dan
istri di masa perkawinannya. Harta kekayaan dalam perkawinan bisa
berupa harta yang dihasilkan istri maupun yang dihasilkan suami pada saat
perkawinan juga berupa harta bawaan suami istri sebelum perkawinan.
Artinya harta benda yang tidak termasuk harta gono-gini atau harta
bersama adalah harta bawaan yang diperoleh sebelum menikah dan harta
benda yang diperoleh oleh masing-masing pihak baik istri maupun suami
sebelum menikah maupun selama pernikahan yang berupa hadiah atau
warisan dari orang tua.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh
selama perkawinan. Sedangkan harta bawaan adalah harta dari masing-
masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.5 Keduanya dapat dijadikan
3 Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h., 861
4 Nur Taufiq Sanusi, Fiqih Rumah Tangga Perspektif Al-Qur’an dalam Mengelola
Konflik Menjadi Harmoni, (Depok: elSAS, 2010), h., 174
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari salah satu pihak.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa harta gono gini adalah
harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan.
Di Indonesia, harta bersama dalam perkawinan diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974, Bab VII pada Pasal 35, 36 dan 37. 6 Harta bersama yang
diperoleh pada saat perkawinan berlangsung jika perkawinan tersebut
putus, maka harta bersama dibagi antara suami istri, kecuali jika ada
ketentuan lain pada perjanjian sebelum perkawinan terikat.7
Dalam pernikahan perihal uang, kekayaan atau harta benda adalah
salah satu hal yang sangat sensitif. Hakikatnya perselisihan harta bersama
ini muncul apabila suami istri melakukan putusnya perkawinan (cerai),
dan apabila suami dan istri menginginkan semua masalah yang ada kaitan
nya dengan bercerai (dalam hal harta bersama) ingin tuntas.
Pengadilan Agama berwenang dalam berproses dalam pemberian
keadilan berdasarkan hukum Islam kepada orang Islam yang mencari
keadilan di Pengadilan Agama atau Pengadilam Tinggi Agama, dalam
sistem Peradilan Nasional di Indonesia.8 Pengadilan Agama juga
berwenang untuk menangani kasus-kasus atau perkara-perkara perkawinan
serta menangani dampak-dampaknya. Terkait dengan harta dalam
perkawinan ada dua macam, yaitu : harta bawaan (Pasal 36 ayat 2 Undang
Undang Perkawinan), dan harta bersama (Pasal 36 ayat 1 UU
Perkawinan), dalam Kompilasi Hukum Islam harta bawaan akan
dikembalikan kepada pemilik asalnya selama tidak ditentukan dalam
perjanjian perkawinan (Pasal 87 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam),
sedangkan harta bersama akan dibagi dua secara merata atau setengah-
6 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010),
h., 179-180
7 Moch. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dari Segi Perkawinan Islam, (Jakarta : IND-HIIILCO, 1985), h., 212-213
8 Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h., 92
4
setengah. Harta bersama ini yang kita kenal dengan istilah harta gono-gini,
yang termasuk dalam harta gono-gini adalah semua harta yang terbentuk
atau terkumpul sejak tanggal terjadinya perkawinan.
Maka dari itu Pengadilan Agama berwenang untuk menangani
kasus perceraian serta dampak-dampaknya. Di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan terdapat perceraian yang mana setelah itu menyelesaikan persoalan
harta bawaan dan harta bersama. Di dalam putusan tersebut pihak
penggugat yang berkebangsaan Warga Negara Asing menggugat persoalan
sengketa harta bawaan dan harta bersama kepada tergugat yang mana
pihak tergugat tersebut berkebangsaan Warga Negara Indonesia. Dari salah
satu pihak meminta agar dikabulkan dalam permohonan sita jaminan
(conservatoir beslag) terhadap harta bersama selama perkawinannya.
Sita jaminan merupakan bentuk penyitaan terhadap barang-barang
yang disengketakan status kepemilikannya, atau dalam sengketa hutang
piutang atau tuntutan ganti rugi yang mana ini diatur dalam pasal 227 HIR.
Di dalam ayat (1) pasal 227 tersebut dinyatakan bahwa jika terdapat
persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum
dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya
belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa
barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan
menjauhkan barang-barang itu dari penagih hutang, maka atas surat
permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan dapat memberi
perintah supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang lain.
Sita Jaminan (revindicatoir atau devindicatoir) merupakan
tindakan hukum yang diambil pengadilan. Sebelum pengadilan
menyatakan pihak mana yang bersalah, pengadilan terlebih dahulu
mengamankan harta yang akan disengketakan untuk menjaga
keutuhannya. Jadi, dapat dikatakan bahwa tindakan penyitaan merupakan
suatu tindakan hukum yang eksepsional. Pengabulan sita jaminan,
5
B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sita jaminan?
2. Apa faktor diadakannya sita jaminan?
3. Apa yang dimaksud dengan conservatoir beslag?
4. Apa faktor diadakannya sita conservatoir beslag?
5. Apa yang di maksud harta bawaan dan harta bersama?
E. Metode Penelitian
7
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986), h., 43.
12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h., 35.
8
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab pertama, memuat latar belakang yang berhubungan dengan
persoalan penelitian analisis yang akan dibahas. Identifikasi masalah,
mendata dan mengidentifikasi permasalahan yang berhubungan dengan
tema penelitian. Pembatasan dan perumusan masalah, yang dimaksudkan
agar lebih terfokuskan dalam persoalan supaya tidak tumpang tindih
dengan persoalan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan penelitian
analitis. Rumusan masalah, berisikan tentang uraian mengenai persoalan
yang akan diteliti, yaitu pernyataan tegas mengenai apa yang akan menjadi
tema penelitian. Tujuan penelitian, yaitu rumusan mengenai apa yang
sebenarnya yang ingin diketahui oleh peneliti sehingga menjawab seluruh
pertanyaan penelitian. Manfaat penelitian, diharapkan dari hasil penelitian
yang dilakukan menghasilkan nilai guna penelitian bagi peneliti dan juga
pembaca lainnya. Metode penelitian, menguraikan bagaimana cara kerja
dan prosedur pelaksanaan penelitian, dalam arti lain metode apa yang akan
digunakan menjalankan penelitian ini. Review studi terdahulu,
menjelaskan mengenai kajian-kajian terdahulu yang berkaitan dengan
tema penelitian agar tidak ada kesamaan dalam menentukan tema
penelitian. Sistematika penulisan, menjelaskan sistematika penulisan yang
berisikan deskripsi karya tulis per-bab, uraian tersebut menggambarkan
alur dari bahan skripsi yang akan dijelaskan.
Bab kedua, tinjauan teoritis mengenai harta bawaan dan harta
bersama di dalam perkawinan, yang diawali dengan pengertian harta
bersama dan harta bawaan dan dilanjutkan dengan dasar-dasar hukumnya.
Ruang lingkup harta bersama dan harta bawaan. Serta perjanjian
perkawinan dan akibat hukum terhadap harta bersama dan harta bawaan.
11
12
13
bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini
sesuai dengan firman Allah.
الليفناففق لذفو نسنعةَة لمفن نسنعاتاه نونمفن لقادنر نعنلفياه ارفزلقله نففلليفناففق املماً آنتاًله الل نللينكلللف الل نفسساً الل
نماً آنتاًنهاً نسنيفجنعنل الل نبفعند لعفسةَر ليفسسرا
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. (At-Thalaq: 7)
Dari Aisyah, sesugguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak
memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya
ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda
“Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.”
(HR. Bukhori No.5364 dan Muslim No. 1714). Dari Hakim bin
Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah
hak istri kami?” Beliau bersabda “Engkau memberinya makan jika kamu
makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad,
Abu Daud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033).5
Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-
masing secara pasti. Misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada
nash yang mewajibkan demikian baik di Al-Qur’an maupun Sunnah.
Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan. Pertama,
jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri. Yaitu hasil
kerja suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya,
demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitunga
harta gono-gininya sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
Kedua, jika tidak diketahui perhitungan harta suami dan istri.
5 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, (Jakarta: Ummul Qura,
2015), h., 700
14
Gambarannya seperti, suami dan istri sama-sama kerja atau saling bekerja
sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga pun
ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. Sehingga sisanya berapa bagian
dari harta suami dan beberapa bagian dari harta istri tidak jelas, dan inilah
gambaran kebanyakan keluarga di negara Indonesia. Dalam kondisi
demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan
jalan sulh, ‘urf, atau qadha (putusan).6
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal dengan
istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (harta
bersama), hanya diistilahkan secara beragam dalam hukum adat yang
berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini
diistilahkan dengan “haeruta sihareukat”, di Minangkabau masih
dinamakan harta suarang, di Sunda digunakan dengan istilah guna kaya, di
Bali disebut dengan druwe gabro, dan di Kalimantan digunakan istilah
barang perpantangan.7 Konsep harta bersama berasal dari adat istiadat
yang berkembang di Indonesia, konsep ini kemudian didukung dengan
hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita.8
Dalam kompilasi hukum Islam dalam Pasal 85 menyebutkan bahwa,
adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau istri. 9 Namun di dalam
rumusan Pasal 35 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
mengandung arti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan
ialah dihitung sejak tanggal peresmian perkawinan sampai perkawinan
terputus, baik terputus karena kematian di antara salah seorang suami/istri
(cerai mati) ataupun karena perceraian (cerai hidup) tanpa mempersoalkan
dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal baik harta yang diperoleh
6 Muhammad Nabil Kazhim, Buku Pintar Nikah, (Solo: Samudera, 2007), h., 91
7 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h., 18
8 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2003), h., 8
9 H. Wildan Suyuthi, Kompilasi Hukum Islam, (T.tp: MARI, 2001), h., 26
15
2. Harta Bawaan
16 Konsultasi Hukum Online, Perbedaan Harta Bersama dan Harta Bawaan, diakses
dari http://konsultasi-hukum-online.com/2013/12/harta-bersama-dan-harta-bawaan/, pada tanggal
10 Desember 2013.
18
masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami istri. 18
Kalau harta itu dipelihara / diusahai dan telah dialihnamakan ke atasnama
adik suami, jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh
selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap sebagai harta
bersama suami istri.
Harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian
dianggap harta bersama suami istri jika biaya pembangunan atau pembelian
suatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama
perkawinan.19 Di dalam Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan ayat 2
menyatakan, mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan hukum mengenai harta
bendanya yang mana harta bawaan itu ialah harta yang di bawa dari salah satu
suami istri sebelum terjadinya perkawinan.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 87 ayat 1 harta bawaan suami
atau istri yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah
dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawinan. Islam memang mengenal adanya harta
bawaan, sebagaimana yang dimaksud dalam KHI pasal 87 ayat 1 namun
apabila terjadi di dalam suatu hubungan suami dan istri mengembangkan
usaha yang mana modal awalnya di dapat dari harta bawaan si suami, namun
setelah itu hendak bercerai setelah memiliki hasil dari usaha tersebut yang
mana terjadi setelah pernikahan, maka dapat disimpulkan hasil yang telah di
miliki seusai pernikahan maka dapat dikatakan harta bersama, karena hasil
yang didapat oleh suami istri tersebut setelah terjadinya pernikahan.20
21 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, t.th), h., 120.
22 Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1983), h., 220
23 R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (cet. 39,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008), h. 35-36
24 H.A. Damanhuri, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung :
Mandar Maju, 2007), h. 1.
21
berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan sesuatu hal,
sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.25
Perjanjian dalam perkawinan sebagaimana yang diuraikan di atas
mendapat pengertian yang luas dalam UU Perkawinan, yang bunyinya:26
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat dipisahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Mengenai perjanjian perkawinan, Kompilasi Hukum Islam
memperinci sebagai berikut:27 KHI Pasal 47 ayat 1 “ Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan. Namun dijelaskan kembali di dalam KHI
Pasal 47 ayat 2 yang berbunyi “ Perjanjian tersebut pada ayat 1 dapat meliputi
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
A. Pengertian Sita
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda)1, dan istilah Indonesia
beslah istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung
di dalamnya adalah:
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan2.
2. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim. Sita dapat dilakukan hakim,
sebagai hukuman untuk tergugat berupa tindakan penempatan harta
kekayaan di bawah penjagaan meskipun putusan tentang kesalahannya
belum dijatuhkan. Dengan demikian sebelum putusan diambil dan
dijatuhkan, tergugat telah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta
sengketa atau harta kekayaan tergugat.3 Penyitaan membenarkan putusan
yang belum dijatuhkan yang merupakan tindakan perampasan, karena
penyitaan dilakukan sebelum dijatuhkan putusan berkekuatan hukum tetap
(in kracht). Namun sebelum sita diputuskan, pengabulan permohonan sita
harus benar-benar dinilai dan dipertimbangkan dengan seksama dan
objektif.
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan berupa barang yang
disengketekan tapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat dengan jalan
menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut.
22
23
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
istri.7
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam memungkinkan untuk dilakukan sita
marital oleh suami atau istri dalam suatu perkawinan tanpa melakukan
gugatan perceraian. Sedangkan, Pasal 136 ayat (2) mengatur sita marital yang
dilakukan selama berlangsungnya sidang perceraian. Jadi, berdasarkan Pasal
95 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, pelaksanaan sita marital
hanya dapat dilakukan oleh seorang suami atau istri yang masih terikat dalam
ikatan perkawinan dengan cara mengajukan permohonan sita marital kepada
Pengadilan Agama.
B. Tujuan Sita
Tujuan diadakannya penyitaan adalah untuk menjaga agar harta
kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau
penghibahan, dan agar harta kekayaan tidak dibebani dengan sewa menyewa
atau diagunkan kepada pihak ketiga. Pihak penggugat yang khawatir adanya
itikad buruk (bad faith)8 dari pihak tergugat dapat mengadakan upaya hukum
permohonan sita agar harta kekayaan yang disita dapat tetap utuh terjamin
sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap ( inkrach ).
Tujuan utama sita jaminan agar tergugat tidak memindahkan atau
membebankan hartanya kepada pihak ketiga. Inilah salah satu tujuan sita
jaminan, menjaga keutuhan keberadaan harta terperkara atau harta kekayaan
tergugat selam proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara
memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan perintah
pensitaan atas harta tergugat atau harta sengketa, secara hukum telah terjamin
keutuhan keberadaan barang yang disita.9
Sita jaminan merupakan upaya hukum terjaminnya keutuhan dan
keberadaan harta yang disita sampai putusan dapat dieksekusi, agar gugatan
penggugat pada saat eksekusi tidak hampa. Karena dengan diletakkan sita
jaminan pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dan pelaksanaan
penyitaan telah didaftarkan dan telah diumumkan kepada masyarakat sesuai
dengan ketentuan pasal 198 HIR atau pasal 213 Rbg, maka terhitung sejak
tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, telah digariskan akibat hukumnya
seperti yang diatur dalam pasal 199 HIR atau pasal 214 Rbg:
1. Hukum melarang tergugat untuk menjual, menghibahkan atau
memindahkan barang sitaan kepada siapapun.
2. Pelanggaran atas larangan penjualan atau pemindahan barang sitaan
diancam dalam Pasal 199 HIR atau Pasal 215 Rbg:
a. dari segi perdatanya: jual beli atau pemindahan itu batal demi hukum
b. dari segi pidananya: diancam oleh Pasal 231 KUHP
Tujuan dan manfaat conservatoir beslag atau sita jaminan yang
diuraikan di atas jangan sampai disalahgunakan di dalam pelaksanaanya
terhadap penyitaan barang karena pembatasan dan yang dilarang disita.
Adapun maksud dari pembatasan conservatoir beslag adalah untuk
mencukupi kepentingan jumlah tagihan hutang atau tuntutan ganti kerugian
yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya.
Tindakan penyitaan barang milik Tergugat sebagai debitur adalah bukan
untuk diserahkan dan dimiliki oleh Penggugat (pemohon sita), namun
diperuntukkan guna melunasi pembayaran utang Tergugat kepada
Penggugat.10
Pelaksanaan penyitaan terdapat dalam Pasal 197 ayat (8) HIR secara
tidak langsung telah memberikan klasifikasi dan pembatasan. Yang dimaksud
dari pembatasan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dahulukan penyitaan terhadap barang yang bergerak.
2. Penyitaan tidak boleh melampaui jumlah tagihan.11
Juga dalam ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR dan Pasal 221 Rbg, yang
mengatur barang yang dilarang untuk disita yaitu:
1. Hewan
2. Perkakas yang sifatnya sungguh-sungguh berfungsi sebagai alat yang
dipergunakan tergugat untuk menjalankan mata pencaharian.
10 M. Yahya Harahap, (b). Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 339-340.
11 M. Yahya Harahap, (b). Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 339-340.
26
Dalam hal itu kita melihat pendapat Subekti, bahwa Pasal tersebut
digunakan untuk melindungi masyakat kecil, antara lain petani yang
disebabkan negara Indonesia adalah negara yang bersifat agraris, untuk
melindungi petani kecil tersebut agar tidak mati mata pencahariannya.
Maksud dari pendapat tersebut ialah hewan dan perkakas lain yang sungguh-
sungguh berguna bagi yang bersangkutan untuk menjalankan mata
pencahariannya sendiri.
Jadi jelaslah maksud dan larangan menyita barang-barang tertentu yang
telah disebutkan pasal tadi adalah memberikan perlindungan kepada
seseorang tergugat dari kemusnahan total. Artinya jangan sampai kegiatan
untuk melangsungkan pemenuhian kebutuhan nafkah sehari-hari tidak dapat
dilakukannya.
Namun, kini pemerintah memberikan izin orang asing untuk bisa
memiliki rumah atau tempat tinggal di Indonesia sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia. Dalam PP itu
disebutkan, yang dimaksud Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia
yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga
Negara Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan
usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. Orang Asing yang dapat
memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud adalah
Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
C. Macam dan Prosedur Sita
1. Macam Sita
Ada banyak jenis sita jaminan, namun secara umum dikenal dua jenis:12
a. Sita jaminan terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)
Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitur. Kata conservatoir
sendiri berasal dari kata conserveren yang berarti menyimpan
sedangkan conservatoir beslag berarti menyimpan hak seseorang.
Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang
nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.
b. Sita jaminan terhadap harta benda milik penggugat sendiri
Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda
penggugat/pemohon sendiri, yang ada dalam kekuasaan orang lain
(termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu
tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan
dari pemohon.Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (i) sita
revindicatoir (Pasal 226 HIR, Pasal 260 Rbg) dan (ii) sita marital (Pasal
823 dan Pasal 823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata
sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan
kembali (barang yang memang miliknya).
Di samping kedua jenis sita tersebut, masih juga dikenal beberapa
jenis/varian sita jaminan lain, misalnya (i) Sita conservatoir terhadap kreditur;
(ii) sita gadai atau pandbeslag; (iii) sita conservatoir atas barang-barang
debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau
orang asing bukan penduduk Indonesia; sita conservatoir atas pesawat terbang
dan sita jaminan pada kepailitan.
Menurut John Z. Loudoe, macam-macam sita jaminan dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu:
a. Sita jaminan biasa (Pasal 227 HIR)
Sita jaminan biasa, barang-barang yang disita itu selanjutnya dapat
dijadikan sita eksekusi agar dapat dijual untuk memenuhi putusan hakim
yang bersangkutan. Karena dalam sita jaminan biasa, barang-barang yang
disita itu merupakan milik pihak yang digugat untuk menjamin hak pihak
penggugat (Pasal 227 ayat (2) HIR). Pihak yang digugat dapat saja
menolak sita tersebut dengan tidak menandatangani berita acara yang
bersangkutan, karena sita tersebut tanpa daya on-deugdelijk atau dianggap
tidak perlu on-nodig.
b. Sita jaminan revindicatoir (Pasal 226 HIR)
Dalam sita jaminan revindikasi, tujuannya tidak lain agar barang yang
berada dalam tangan pihak lawan itu dikembalikan pada yang menuntut.
28
13 John Z. Loudoe, Fakta dan Norma dalam Hukum Acara, (Surabaya: Bina Aksara,
1981), h. 137.
14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
1999), h. 142.
29
17 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan
Hukum, h. 23.
31
untuk menjamin keutuhan barang itu supaya tetap terpelihara dan ada
sehingga pada saat putusan dijalankan atau dieksekusi sudah tersedia
harta kekayaan tergugat untuk memenuhi pelaksaan isi putusan dan
sekaligus untuk menjamin agar hak dan kepentingan pihak penggugat
dapat terpenuhi.
Sita jaminan mencegah barang dibebani hak-hak,barang diserahkan
kepada orang lain dan barang disalahgunakan dan dirusak. Sedangkan
waktu penyitaan sebelum ada putusan biasanya permohonan sita
dicantumkan sekaligus dalam surat gugat tetapi juga dapat dalam surat
permohonan tersendiri selama sidang berjalan. Adapun waktu penyitaan
sesudah ada putusan, tetapi belum dapat dilaksanakan. Artinya sudah
diputus, akan tetapi karena lawan mengajukan upaya hukum (banding,
atau verzet), maka belum dapat dieksekusi.20
Sita conservatoir diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
memeriksa perkara. Juga dalam banding kalau ada permohonan sita
menyusul, yang memeriksa soal sita adalah pengadilan negeri yang
memutus perkara yang bersangkutan.21 Adapun mengenai pendelegasian
sita jaminan dikemukakan dalam Pasal 195 ayat (2) HIR atau Pasal 206
(3) Rbg: “Jika hal itu harus diakukan sekaligus atau sebagian, di luar
daerah hukum Pengadilan Negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya
meminta bantuan Ketua Pengadilan yang berhak, dengan surat
demikian juga halnya di luar Jawa-Madura.”
Pengertian pendelegasian sita penerapannya menggunakan hukum
analogi, yakni jika seluruh atau sebagian harta tergugat yang hendak di
sita terletak di luar wilayah hukumnya. Pengadilan Negeri yang
bersangkutan dapat meminta bantuan pelaksanaannya kepada
Pengadilan Negeri tempat di mana barang itu terletak. Jadi artinya
pendelegasian sita jaminan adalah apabila Pengadilan Negeri yang
35
36
berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum
Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya
istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61 Tahun
1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakata dipindah ke Jakarta, akan tetapi
realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara
otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah
menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun
1967 merupakan cabang di Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur
Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai
dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman
penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup
luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu menempati
gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu di suatu gang kecil yang
sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta
Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. Polana.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian, kalaupun ada
tentang warisan, masuk kepada komparisi. Itu pun dimulai pada tahun 1969,
kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bismar
Siregar, S.H.
Sebelum tahun 1969, pernah pula membuat fatwa waris, akan tetapi
hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan
kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Hasan Mughni
ditahan karena Penetapan Fatwa Waris. Oleh karenanya, sejak saat itu Fatwa
Waris ditambah dengan kalimat "jika ada harta peninggalan".
Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati
37
(tujuh milyar tiga ratus sembilan puluh tiga juta dua ratus tujuh puluh ribu
rupiah) yang berasal dari DIPA Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Tahun 2009: tahap kedua pembangunan gedung baru dengan anggaran
Rp. 14.110.820.000 (empat belas milyar seratus sepuluh juta delapan ratus
dua puluh ribu rupiah) yang berasal dari DIPA Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
B. Posisi Kasus
Penggugat dalam surat gugatannya tanggal 24 Oktober 2013 telah
mengajukan gugatan harta bersama, yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dengan Nomor 2582/Pdt.G/2013/PA JS., tanggal 25
Oktober 2013.
Dalam kasus ini, Penggugat adalah Warga Negara Amerika dan
memiliki ijin tinggal untuk bertempat tinggal dan bekerja di wilayah Negara
Republik Indonesia, tepatnya pada PT. Equinox Publishing Indonesia1
sebagaimana ternyata pada Kartu Izin Tinggal Tetap (K1TAP) atas nama
Penggugat Nomor 2D4JE3021-M tertanggal 15 Februari 2013 yang berlaku
sampai tanggal 11 Februari 2018 sedangkan Tergugat adalah Warga Negara
Indonesia.
Di antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perceraian
berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan nomor:
2571/Pdt.G/2012/PAJS, tertanggal 13 Mei 2013 M/03 Rajab 1434 Hijriyah
yang telah berkekuatan hukum tetap dengan AKTA CERAI:
No.1623/AC/2013/PA/JS, tertanggal 28 Mei 2013.
Sebelum Penggugat menikahi Tergugat, Penggugat memiliki harta
bawaan berupa sebidang tanah dan bangunan berdasarkan Sertifikat Hak
Milik Nomor 376/pasar Manggis dan Akta Jual Beli Nomor 22/2004 yang
terletak dan diketahui beralamat di Kota Jakarta Selatan seluas 427m2 (empat
ratus dua puluh tujuh meter persegi) yang karena Penggugat
berkewarganegaraan asing maka diatasnamakan Tergugat.
1 PT. Equinox Publishing Indonesia berdomisili hukum di Jl. H R Rasuna Said Kav C17,
Kota Administrasi Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia
39
2 Nama anak tidak bisa disebut karena penulis mendapatkan data putusan dimana nama
anak ditutup guna dirahasiakan.
3 Lokasi tempat pada putusan tersebut dihilangkan oleh panitera saat penulis
mengambilnya
4 pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960
menyebut “Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.”
40
Pada harta kekayaan berupa benda tidak bergerak berupa tanah dan
bangunan yang didapat dari hasil kerja Penggugat seluruhnya diatasnamakan
Tergugat dan sebelum diadakannya perkawinan antara Penggugat dengan
Tergugat terlebih dahulu diadakan perjanjian perkawinan Kawin yang
tertuang dalam Akta Nomor 13, tertanggal 13 Juni 2005 dibuat dihadapan Ny.
Syarmeini S Chandra.S.H., Notaris di Jakarta (“Perjanjian Kawin”)5.
Jika berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Peradilan
Agama, pasal 97, menyebutkan:
“...janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat 1/2
(seperdua) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Bahwa dalam perjanjian kawin pasal 2 menyatakan:
“...Semua harta benda yang bersifat apapun, yag dibawa oleh masing-
masing pihak dalam perkawinan atau yang diperolehnya selama perkawinan
karena pembelian, warisan, hibah atau cara apapun tetap menjadi milik dari
masing-masing pihak yang membawa atau memperolehnya”.
Bahwa dalam perjanjian kawin pasal 8 menyatakan:
“...semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan karena pembelian,
warisan, hibah, hibah wasiat atau berdasarkan sebab sebab lain harus
senantiasa dapat ternyata dari surat-surat yang dibuat secara lengkap oleh
kedua belah pihak, harta benda yang tdak dapat dibuktikan dengan cara yang
dimaksud di atasi, merupakan milik bersama”.
Sehingga jelas berdasarkan ketentuan di atas, Penggugat berhak atas
kepemilikan hartokekayaan berupa benda tidak bergerak yang terdiri atas:
1. Harta Bawaan berupa:
-sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui beralamat di
…..Kota Jakarta Selatan, seluas 427m2 yang karena Pemohon
berkewarganegaraan asing maka diatasnamakan Termohon;
6 jenis dan macamnya mengenai ekonomi syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal
49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) menyebutkan 11 jenis
42
C. Pertimbangan Hakim
Kasus perceraian yang memperebutkan harta bersama dan harta
bawaan yang terjadi pada suami istri pasca perceraian, maka yang menjadi
pertimbangan hakim dalam mengambil suatu keputusan adalah dari segi fakta
peristiwa hukum, peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yaitu al-
quran dan hadits.
Majlis hakim mempertimbangkan gugatan dari penggugat dalam
perkara Nomor 2582/Pdt.G/2013/PA.JS., bahwa antara penggugat dan
43
D. Analisis Putusan
Dalam kasus ini, seharusnya Penggugat dapat membuktikan alasan
untuk diajukan sita jaminan atas harta bersama, maka Majelis Hakim tidak
mengabulkan Permohonan Sita jaminan. Dalam pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam yang merupakan modifikasi dari pasal 186 KUHPer. Salah satu dasar
diajukannya permohonan sita adalah adanya perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta kekayaan perkawinan seperti salah satu contohnya
adanya pemborosan atau kelalaian lain dalam menjaga harta kekayaan
perkawinan. Hal ini dapat dirujuk ke dalam Nash Al Qur’an. Allah tidak
menyukai keborosan dalam Surah Al Isra’ (27): Sesungguhnya orang-orang
pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya.
Penggugat tidak mengajukan alasan adanya kekhawatiran yang
beralasan terhadap keamanan bawaan maupun harta bersama, walaupun ada
ketentuan yang mengatur bahwa harta bersama tidak bisa dipindah tangankan
ke pihak lain tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak hal ini tidak
memberi suatu jaminan harta bersama tidak berpindah tangan. Untuk itu,
Penggugat ingin mengamankan harta bersamanya dengan tergugat dijamin
secara legal formal yaitu dengan meletakkan sita agar Penggugat dan anak-
anaknya tidak dirugikan.
48
Hal ini tidak bertentangan dengan Sumber Hukum Islam yang utama
yakni Al Qur’an, dalam Surah Al Baqarah ayat 279 untuk tidak saling
merugikan. Jika kamu tidak melaksanakanya maka umumkanlah perang dari
Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas
pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi
(dirugikan).
Di sini Penggugat sebagai warga Negara asing, sebenarnya
Penggugat tidak menginginkan terjadinya perceraian, juga tidak membahas
mengenai pembagian harta bersamanya, karena Penggugat masih
menginginkan keutuhan rumah tangga. Sementara suami atau isterinya
melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan harta bersama yang
merupakan sumber bagi penghidupan dan kesejahteraan bagi keluarganya,
dibutuhkanlah suatu tindakan preventif agar harta bersama tidak habis dan
berpindah tangan ke pihak lain selain isteri dan anak-anaknya yang berhak
atas harta bersamanya.
Tujuan pokok sita yang diatur dalam pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam adalah menyelamatkan keutuhan harta bersama tanpa merusak ikatan
hubungan keluarga.
Permohonan sita jaminan berdasarkan pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam sifatnya tidak assesoir. Pernyataan “tanpa adanya permohonan gugatan
cerai” dapat diinterpretasikan tidak tergantung apakah terjadi perceraian atau
tidak. Sita tetap dapat dilaksanakan karena tujuannya adalah untuk
melindungi harta bersama saat perkawinan masih berlangsung. Jika sekalipun
terjadi perceraian harta tersebut dapat aman terbagi, antara suami isteri
mendapatkan masing-masing seperdua sebagaimana diatur dalam pasal 97
Kompilasi Hukum Islam.
Karena sifat sita berdasarkan pasal 95 KHI tidak bersifat assesoir
maka tidak akan bertentangan dengan akibat hukum putusnya perkawinan.
Seandainya perkawinan putus, sementara harta bersamanya diletakkan sita
justru memudahkan untuk langsung dilakukan pembagian harta bersama. Jika
perkawinan tidak putus dalam arti kata tidak terjadi perceraian, perkawinan
50
tetap utuh sedangkan harta bersama suami isteri sudah diletakkan sita, harta
bersama tidak akan beralih ke pihak lain, justru terlindungi dengan adanya
sita marital.
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam ini merupakan dasar hukum yang
digunakan untuk mengajukan permohonan sita marital pertama kali. Dalam
yurisprudensi sebelumnya dasar hukum mengajukan permohonan sita marital
adalah Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, di mana antara permohonan
sita maritalnya diajukan menjadi satu bagian dalam proses gugatan
perceraian. Antara Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam dengan pasal 24 ayat (2)
huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam tidak perlu dihubungkan, karena jelas antara pasal-
pasal tersebut mengatur hal yang esensinya berbeda.
Menurut Hukum Perkawinan Islam, thalak merupakan jalan terakhir,
jika sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki
kerukunan rumah tangga namun tidak juga dapat memperbaiki keadaan.
Mengingat perkawinan dalam ajaran Islam merupakan pertalian seteguh-
teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri
dan turunan bahkan antara dua keluarga Thalak harus mempertimbangkan
akibat perceraian baik yang menyangkut kuasa atas anak, terhadap harta
kekayaaan perkawinan, status sosial dan lain sebagainya. Jika benar-benar
tidak dimungkinkan upaya lain untuk menyelamatkan perkawinan, barulah
jalan perceraian terbuka. Dalam memutuskan perkawinan apakah akan
mendapatkan manfaat atau justru mudharat, Allah sesungguhnya ingin
hambaNya mengambil jalan yang penuh manfaat dibanding jalan yang
mudharat. Sebagaimana yang dimaksud Rasulullah, perceraian bukanlah
suatu permainan. Jika pihak isteri masih mau mempertahankan suatu
perkawinan ada baiknya pihak suami masih memberikan kesempatan bagi
isteri untuk memperbaiki semua, terlebih lagi jika isteri sungguh-sungguh
berusaha untuk melakukan perubahan.
51
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis pada bab-bab sebelumnya dapat
diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Proses pemeriksaan sengketa harta bawaan dan harta bersama
dilakukan oleh pengadilan Agama dengan menyertakan data dan fakta
mana yang harta bawaan dan mana yang harta bersama.
2. Faktor diadakannya sita jaminan karena adanya perceraian pasangan
suami istri dan pengadilan mendapat laporan dari penggugat untuk
mengamankan harta bersama agar tidak dipindahtangankan kepada
orang lain sampai ada putusan yang berkekuatan hukum. Sita jaminan
merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan untuk
mengamankan harta bersama pasangan suami istri yang bercerai dan
khawatir hartanya akan tidak aman dan tidak bisa diselamatkan yang
dapat merugikan salah satu pihak ataupun keturunannya di kemudian
hari.
3. Setelah melihat fakta yang ada dan menentukan harta bawaan dan
harta bersama, majelis hakim memutuskan harta bawaan kepada
masing-masing pasangan dan membagi harta bersama dengan adil
(dibagi dua sama rata antara suami dan istri) sesuai haknya masing-
masing.
B. Saran
54
pendayagunaan harta bersama perkawinan harus dengan persetujuan
kedua belah pihak, jika suami atau istri akan melakuka perbuatan
hukum
55
56
Buku
Ali, Zainuddin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006
Al-Asqalani Ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Jakarta: Ummul
Qura, 2015
Bachar, Djazuli, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakkan
Hukum, Jakarta: Akademika Presindo, 1987
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1983
Loude, Jhon Z., Fakta dan Norma dalam Hukum Acara, Surabaya: Bina Aksara,
1981
56
57
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal T., Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2004
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat ( Kajian Fiqih Nikah Lengkap),
Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2010
Kamus
Peraturan Perundang-undangan
Internet
http://abidinsuccesmen.blogspot.co.id/2011/01/makalah-harta-benda-dalam-
perkawinan.html
http://konsultasi-hukum-online.com/2013/12/harta-bersama-dan-harta-bawaan/
59
www.hukumonline.com:http://mirdinatajaka.blogspot.co.id/2014/11/dasar-hukum-
eksekusi-sukarela-dan.html
www.awambicara.com:https://www.awambicara.id/2017/04/eksekusi-
pembayaran-sejumlah-uang.html