Anda di halaman 1dari 111

SITA JAMINAN DALAM SENGKETA HARTA BAWAAN DAN HARTA

BERSAMA PADA PERKAWINAN CAMPURAN

(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor


2582/Pdt.G/2013/PA.JS)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

AHMAD RIDHWAN AL’ARIDHY


NIM : 1113044000082

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2019 M
SITA JAMINAN DALAM SENGKETA HARTA BAWAAN DAN HARTA
BERSAMA PADA PERKAWINAN CAMPURAN

(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor


2582/Pdt.G/2013/PA.JS)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh

AHMAD RIDHWAN AL’ARIDHY


NIM : 1113044000082

Pembimbing

Dr. Kamarusdiana, M.H.


NIP.197202241998031003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2019 M

i
ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi yang saya buat merupakan karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil plagiasi dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 14 Januari 2019

Ahmad Ridhwan Al‟aridhy


NIM : 1113044000082

iii
ABSTRAK

Ahmad Ridhwan Al‟Aridhy. NIM 11130440000082. Sita Jaminan dalam


Sengketa Harta Bawaan dan Harta Bersama pada Perkawinan Campuran
(Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor
2582/Pdt.G/2013/PA.JS) Skripsi Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440
H / 2019 M.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui proses sita jaminan di dalam
Pengadilan Agama, dan juga untuk mengetahui proses pembagian harta bawaan
dan harta bersama pasca perceraian pada perkawinan campuran menurut Undang-
Undang Pernikahan No 1 tahun 1974, KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam,
serta menjelaskan dalam pembagian harta bawaan dan harta bersama terhadap
suami istri pasca perceraian. Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif bersifat
deskriptif.
Kriteria yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Tekhnik
pengolahan data dilakukan dengan metode studi dokumentasi (document
research) dan studi pustaka (library research). Untuk menjawab permasalahan
tersebut dilakukan dengan metode studi dokumentasi dan studi pustaka. Sumber
data primer diperoleh dari berkas putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Nomor 2582/Pdt.G/2013/PA.JS. Sumber data sekunder, yakni data primer yang
sudah jadi atau sudah tersaji dalam bentuk sistem hukum, norma, atau kaidah dari
peraturan perundang-undangan, seperti buku-buku, skripsi terdahulu,
jurnal,artikel, dan beberapa bahan bacaan lainnya yang ada hubungannya dengan
permasalahan harta bersama dan harta bawaan.
Hasil kesimpulan menunjukan bahwa pembagian harta bawaan dan harta
bersama pasca perceraian, bagi suami adalah berkewarganegaraan asing dan istri
Warga Negara Indonesia (WNI). Dengan demikian ada beberapa faktor yang
menjadikan pihak suami dan istri mempermalasahkan harta bawaan dan harta
bersamanya selama perkawinan, yakni harta bawaan dan harta bersama tersebut
berupa hak milih tanah/rumah, keduanya beratas namakan pihak istri yang
berkewarganegaraan Indonesia, karena pihak suami Warga Negara Asing tidak
mendapatkan hak atas milik tanah, namun asal usul tanah/rumah tersebut
melainkan bermula dari pihak suami yang berkewarganegaraan Asing. Hal ini
jelas di dalam UUPA warga negara asing tidak mendapatkan hak milik tanah,
namun Majelis Hakim berpendapat lain dalam menyelesaikan perkara tersebut,
yakni Majelis Hakim menilai dengan dasar Yurisprudensi No.808 K.Sip.1974
tanggal 30 Juli 1974 yang mana berisi “dilihat darimana uang itu berasal untuk
pembelian tanah/rumah tersebut”.
Kata Kunci : Harta Bawaan, Harta Bersama, Sita Jaminan, Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
Pembimbing : Dr. Kamarusdiana, M.H.

iv
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul, “SITA
JAMINAN DALAM SENGKETA HARTA BAWAAN DAN HARTA
BERSAMA PADA PERKAWINAN CAMPURAN (Studi Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan Perkara Nomor
2582/Pdt.G/2013/PA.JS)”. Sholawat serta salam tercurahkan kepada kekasih
Allah Muhammad SAW, pembawa misi perubahan terbesar dalam sejarah Islam
beserta keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa
terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran
penulisan skripsi ini, baik untuk mereka yang selalu ada lewat kata motivasi,
selalu dekat dan jadi inspirasi dan yang dermawan dalam memberikan segala
bentuk donasi. Izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H., selaku
Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga, yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini.
4. Rosdiana M.A, selaku Pembimbing Akademik yang telah sabar dalam
mendampingi penulis hingga sampai pada semester akhir ini dan juga telah
membantu dalam proses perumusan judul dalam skripsi ini.
5. Dr. Kamarusdiana, M.H sebagai dosen Pembimbing Skripsi yang telah
begitu sangat sabar, mengayomi, mendidik penulis dan berkenan
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan
Skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat

v
dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan semoga
kelak dapat menjadikan kami orang yang berguna bagi Bangsa dan Agama
di dunia dan akhirat.
7. Ungkapan terima kasih dan penghargaan serta dedikasi yang sangat spesial
penulis haturkan dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang
tua tersayang yang menjadi motivasi terbesar bagi penulis, Ayahanda
(Alm) H. Habibullah dan Ibunda Hj.Zulaelah. Kalian adalah guru hidup
pertama saya yang telah mengajarkan banyak hal tentang arti sebuah
kehidupan ini.
8. Abang ku Achmad Fairuz Zabadi S.H, Rifa‟i Al-Ghifari S.SI, dan Kakak
ku Eka Napisah, S.Ag, M.Hum yang selalu mendoakan dan tak henti-
hentinya mengingatkan penulis dalam mengerjakan skripsi ini hingga
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi.
9. Kepada sahabat, teman-teman angkatan 2013 yang selalu mendoakan dan
menyuport dan terkhusus Abdul Ghofur, Khuzaifi Amir, Agung Nugraha,
Izzatus Syafaat, yang tak bosan-bosannya mengingatkan dan membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada sahabat sahabat gambus SyababunNajah dan juga Al Hamidiyyah
dan terkhusus Ustadz Alfi Fajri selaku Guru penulis yang telah
mendoakan, membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Kepada kawan-kawan TIM GSI (Gallery Seni Islam) Iqbal, Yusril, Teja
yang telah membantu, menghibur dikala dalam penyusunan skripsi ini.

Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberi manfaat dan
sebagai bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya dan pembaca pada
umumnya.

Jakarta, 13 Desember 2018


Penulis

Ahmad Ridhwan Al-„Aridhy

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................


PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................ 5
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
E. Metode Penelitian...................................................................... 6
F. Review Studi Terdahulu ............................................................ 8
G. Sitematika Penulisan ................................................................. 9
BAB II HARTA BAWAAN DAN BERSAMA DALAM
PERKAWINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama dan Bawaan .... 12
B. Ruang Lingkup Harta Bersama dan Bawaan .......................... 17
C. Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukum Terhadap Harta
Bersama dan Bawaan .............................................................. 20
BAB III SITA JAMINAN DALAM SENGKETA HARTA BAWAAN
DAN BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA
A. Pengertian sita ......................................................................... 22
B. Tujuan Sita .............................................................................. 24
C. Macam dan Prosedur Sita........................................................ 27

vii
BAB IV SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN DAN ANALISIS PUTUSAN
NOMOR 2582/Pdt.G/2013/PA.JS
A. Sejarah dan Perkembangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
................................................................................................. 35
B. Posisi Kasus ............................................................................ 38
C. Pertimbangan Hakim ............................................................... 42
D. Analisis Putusan ...................................................................... 47
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 54
B. Saran ........................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56
LAMPIRAN PUTUSAN

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah
SAW sebagai penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan
ukhrowi. Rasulullah menyebutkan adanya keinginan atau motivasi
seseorang dalam seorang wanita bahwa, “wanita itu dinikahi karena salah
satu di antara empat hal; karena kecantikannya, karena hartanya, karena
akhlaknya, dan karena agamanya. Maka engkau harus memilih wanita
yang beragama dan berakhlak, niscaya engkau akan beruntung” (H.R.
Ahmad dan Al-Hakim dari Sa’id Al-Khudri).1 Tujuan dari perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, namun sering kali apa
yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan. Sebenarnya
putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar
sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan
pada dasarnya adalah kontrak (ikatan).2
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal,
antara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap
istri, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena
sebab-sebab lain. Oleh karena itu putus nya perkawinan tercapai apabila
dari ke dua diantaranya memutuskan untuk melakukan perceraian (talak).
Jadi, talak (perceraian) adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya.
Perceraian berarti putus hubungan suami-istri, disebut juga dengan
talak yaitu perceraian dalam hukum islam antara suami-istri yang
1 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010),
h., 15

2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal T, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h., 55

1
2

dijatuhkan oleh suami. Talak merupakan suatu kata yang diambil dari
bahasa arab yaitu thalaq, yang berarti athlaqa al-mawaasyiy (melepaskan)
dan athlaqa al-asiir (membebaskan).3 Adapun dalam istilah fikih, thalaq
ialah segala bentuk perceraian atau pemutusan ikatan perkawinan yang
dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim atau perceraian
yang jatuh dengan sendirinya karena meninggalnya salah satu pasangan
suami-istri. Perceraian merupakan salah satu jalan keluar yang dapat
ditempuh bila mana tali perkawinan memang benar-benar sudah tidak
dapat dipertahankan lagi, tentu saja dengan alasan-alasan yang kuat.4
Sebagian dari salah satu keluarga yang melakukan perceraian di
hadapan pengadilan itu yang tak lain membicarakan persoalan harta, baik
harta bawaan maupun harta bersama, harta bawaan yang dibawa dari
masing-masing pihak dan harta bersama yang di peroleh dari suami dan
istri di masa perkawinannya. Harta kekayaan dalam perkawinan bisa
berupa harta yang dihasilkan istri maupun yang dihasilkan suami pada saat
perkawinan juga berupa harta bawaan suami istri sebelum perkawinan.
Artinya harta benda yang tidak termasuk harta gono-gini atau harta
bersama adalah harta bawaan yang diperoleh sebelum menikah dan harta
benda yang diperoleh oleh masing-masing pihak baik istri maupun suami
sebelum menikah maupun selama pernikahan yang berupa hadiah atau
warisan dari orang tua.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh
selama perkawinan. Sedangkan harta bawaan adalah harta dari masing-
masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.5 Keduanya dapat dijadikan
3 Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h., 861
4 Nur Taufiq Sanusi, Fiqih Rumah Tangga Perspektif Al-Qur’an dalam Mengelola
Konflik Menjadi Harmoni, (Depok: elSAS, 2010), h., 174

5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35


3

jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari salah satu pihak.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, dijelaskan bahwa harta gono gini adalah
harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selama perkawinan.
Di Indonesia, harta bersama dalam perkawinan diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974, Bab VII pada Pasal 35, 36 dan 37. 6 Harta bersama yang
diperoleh pada saat perkawinan berlangsung jika perkawinan tersebut
putus, maka harta bersama dibagi antara suami istri, kecuali jika ada
ketentuan lain pada perjanjian sebelum perkawinan terikat.7
Dalam pernikahan perihal uang, kekayaan atau harta benda adalah
salah satu hal yang sangat sensitif. Hakikatnya perselisihan harta bersama
ini muncul apabila suami istri melakukan putusnya perkawinan (cerai),
dan apabila suami dan istri menginginkan semua masalah yang ada kaitan
nya dengan bercerai (dalam hal harta bersama) ingin tuntas.
Pengadilan Agama berwenang dalam berproses dalam pemberian
keadilan berdasarkan hukum Islam kepada orang Islam yang mencari
keadilan di Pengadilan Agama atau Pengadilam Tinggi Agama, dalam
sistem Peradilan Nasional di Indonesia.8 Pengadilan Agama juga
berwenang untuk menangani kasus-kasus atau perkara-perkara perkawinan
serta menangani dampak-dampaknya. Terkait dengan harta dalam
perkawinan ada dua macam, yaitu : harta bawaan (Pasal 36 ayat 2 Undang
Undang Perkawinan), dan harta bersama (Pasal 36 ayat 1 UU
Perkawinan), dalam Kompilasi Hukum Islam harta bawaan akan
dikembalikan kepada pemilik asalnya selama tidak ditentukan dalam
perjanjian perkawinan (Pasal 87 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam),
sedangkan harta bersama akan dibagi dua secara merata atau setengah-
6 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010),
h., 179-180

7 Moch. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dari Segi Perkawinan Islam, (Jakarta : IND-HIIILCO, 1985), h., 212-213

8 Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h., 92
4

setengah. Harta bersama ini yang kita kenal dengan istilah harta gono-gini,
yang termasuk dalam harta gono-gini adalah semua harta yang terbentuk
atau terkumpul sejak tanggal terjadinya perkawinan.
Maka dari itu Pengadilan Agama berwenang untuk menangani
kasus perceraian serta dampak-dampaknya. Di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan terdapat perceraian yang mana setelah itu menyelesaikan persoalan
harta bawaan dan harta bersama. Di dalam putusan tersebut pihak
penggugat yang berkebangsaan Warga Negara Asing menggugat persoalan
sengketa harta bawaan dan harta bersama kepada tergugat yang mana
pihak tergugat tersebut berkebangsaan Warga Negara Indonesia. Dari salah
satu pihak meminta agar dikabulkan dalam permohonan sita jaminan
(conservatoir beslag) terhadap harta bersama selama perkawinannya.
Sita jaminan merupakan bentuk penyitaan terhadap barang-barang
yang disengketakan status kepemilikannya, atau dalam sengketa hutang
piutang atau tuntutan ganti rugi yang mana ini diatur dalam pasal 227 HIR.
Di dalam ayat (1) pasal 227 tersebut dinyatakan bahwa jika terdapat
persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum
dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya
belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa
barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan
menjauhkan barang-barang itu dari penagih hutang, maka atas surat
permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan dapat memberi
perintah supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang lain.
Sita Jaminan (revindicatoir atau devindicatoir) merupakan
tindakan hukum yang diambil pengadilan. Sebelum pengadilan
menyatakan pihak mana yang bersalah, pengadilan terlebih dahulu
mengamankan harta yang akan disengketakan untuk menjaga
keutuhannya. Jadi, dapat dikatakan bahwa tindakan penyitaan merupakan
suatu tindakan hukum yang eksepsional. Pengabulan sita jaminan,
5

merupakan tindakan hukum pengecualian, yang penerapannya harus


dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan hati-hati sekali.9
Dari permasalahan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang akan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah, yang mana dari pihak
penggugat berkerwarganegaraan asing, memohon kepada Majelis Hakim
agar mengkabulkan permohonannya, yang mana ini bertentangan dengan
apa yang dijelaskan di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) pasal 21 ayat 1 bahwa hanya
warganegara Indonesia lah yang dapat mempunyai hak milik, yang artinya
bahwa Warga Negara Asing tidak boleh memiliki hak atas tanah. Untuk itu
permasalahan ini akan diangkat sebagai kajian skripsi yang berjudul “Sita
Jaminan dalam Sengketa Harta Bawaan dan Harta Bersama pada
Perkawinan Campuran” (Studi Analisis Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Perkara Nomor 2582/Pdt.G/2013/PA.JS)”.

B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sita jaminan?
2. Apa faktor diadakannya sita jaminan?
3. Apa yang dimaksud dengan conservatoir beslag?
4. Apa faktor diadakannya sita conservatoir beslag?
5. Apa yang di maksud harta bawaan dan harta bersama?

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan
penulis. Maka dari itu penulis hanya memfokuskan pada sita jaminan

9 M. Yahya Harahap (a), Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir


Beslag, (Bandung Pustaka, 1990), h., 5
6

dalam sengketa harta bawaan dan harta bersama dalam perkawinan


campuran di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana proses pemeriksaan sengketa harta bawaan dan harta
bersama pada perkawinan campuran di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
b. Faktor apa yang melatarbelakangi adanya pemeriksaan sita jaminan
harta bersama dalam perkawinan campuran?
c. Bagaimana Majelis Hakim memeriksa dan memutus sengketa harta
bawaan dan harta bersama dalam kasus perkawinan campuran?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui bagaimana proses pemeriksaan sengketa harta bawaan
dan harta bersama di Pengadilan Agama.
b. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemeriksaan
dalam sita jaminan.
c. Mengetahui bagaimana Majelis Hakim memeriksa dan memuttus
sengketa harta bawaan dan harta bersama didalam Pengadilan
Agama.
2. Manfaat Penelitian
a. Memperkaya keilmuan intelektualitas di bidang Hukum Islam serta
hukum-hukum lainya yang diterapkan di Indonesia.
b. Menjadikan bahan pertimbangan para penegak hukum dalam hal
ini untuk lebih mengedepankan prinsip keadilan dalam
memutuskan perkara selain mengedepankan pertimbangan hukum.
c. Memberikan informasi atau wawasan kepada masyarakat lainya
terkait dengan persoalan sengketa harta bawaan dan harta bersama.

E. Metode Penelitian
7

Dalam mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini,


maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasar pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan memakai pendekatan normatif. Dilakukan pendekatan ini
karena lebih banyak meneliti aturan hukum baik secara tertulis
maupun tidak tertulis.10 Maka dapat mengidentifikasi konsep yang
dituangkan dalam meneliti bentuk analisis hasil pertimbangan hakim
dalam memutus perkara putusan No. 2582/Pdt.G/2013/PA.JS.
2. Jenis Penelitian
Dalam jenis penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat
memberikan data yang sejelas mungkin tentang objek yang diteliti.11
3. Sumber Data
Jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dengan
sumber data yaitu: Data Sekunder, data ini didapat dari bahan pustaka
yang berisikan informasi tentang bahan primer.12 Yang didapatkan dari
peraturan perundang-undangan, data-data resmi dari instansi
pemerintah yang berwenang, buku-buku literature, karangan ilmiah,
jurnal, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul
penelitian ini. Dengan dibantu juga melalui penelitian dokumentasi
yang didapat dari putusan perkara No.2582/Pdt.G/2013/PA.JS.
4. Tekhnik Pengolahan Data

10 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah,


2010), h., 30.

11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press, 1986), h., 43.

12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h., 35.
8

Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan


bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data
dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Dokumentasi (document research)
Melalui penelitian ini, penulis memfokuskan untuk dapat
menelaah bahan-bahan atau data-data yang diambil dari
dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan
putusan yang terkait masalah sengketa harta bawaan dan harta
bersama dalam putusan perkara No. 2582/Pdt.G/2013/PA.JS.
b. Studi Pustaka (library research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang
berhubungan dengan putusan dengan penulisan skripsi ini yaitu
Undang-undang, buku-buku, jurnal, literatur-literatur dan sumber
bacaan lainya yang memuat laporan hasil penelitian,13 yang
kemudian sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.
Pengolahan data studi pustaka ini dilakukan dengan cara dibaca,
dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang
terdapat dalam skripsi ini.
c. Pengolahan Data
Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis
mengolah data dengan metode deskriptif. Dan kemudian data
yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka dan
kenyataan sesunguhnya yang didapatkan dari penelitian di
lapangan dan data-data yang menyangkut masalah sengketa harta
bersama dan bawaan.
d. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis
kualitatif, yaitu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analisis, yang tujuanya untuk menggambarkan masalah-masalah

13 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, h., 18.


9

yang terkait terhadap kasus-kasus yang diteliti, yang kemudian


analisis ini didasarkan pada dokumen, wawancara, buku-buku
serta sumber data lainya. Dan dalam teknik penulisan ini, penulis
berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi dan buku
metode penelitian.

F. Review Studi Terdahulu


Skripsi Agus Yanto tentang Gugatan Atas Harta Bersama Akibat
Perceraian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 (studi analisis putusan no.
73/Pdt/G/2003/PN.Bgr), Program Kekhususan Hukumt tentang Hubungan
Antar Anggota Masyarakat, 2012. Skripsi ini membahas harta bersama
ataupun persatuan meliputi semua aktiva dan passiva baik yang diperoleh
suami ataupun istri baik sebelum ataupun selama perkawinan. Pasal 128
KHUPerdata menentukan, bahwa harta benda kesatuan dibagi dua antara
suami dan istri atau antara para ahli warisnya masing-masing, dengan
tidak memperdulikan asalnya barang-barang tersebut.
Skripsi M. Sapuan tentang Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sengketa
Harta Bersama (studi terhadap putusan Pengadilan Agama Yogyakarta
Nomor 160/Pdt.G/2005/PA.YK). Skripsi ini membahas, pasal 35 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”, dan pasal 1 huruf
“f” KHI sebagai alasan harta benda apa saja yang menjadi harta bersama
dari objek sengketa yang digugat oleh penggugat.
Skripsi Hanna Abdullah tentang Kedudukan Harta Bersama Setelah
Putus Perkawinan (studi analisis putusan Pengadilan Aagama Jakarta
Selatan), Akhwal Syakhsiyah. Skripsi ini membahas, yang pada dasarnya
pada Islam pembagian harta bersama tersebut tidak ada, namun lebih
dikenal dengan istilah syirkah yang maknanya percampuran suatu harta
dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan. Dan didalam KHI dalam
10

penerapan harta bersama ialah berupa yang diperoleh selama


berlangsungnya perkawinan, yang mana dalam pembagiannya 50% : 50%.

G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab
berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:
Bab pertama, memuat latar belakang yang berhubungan dengan
persoalan penelitian analisis yang akan dibahas. Identifikasi masalah,
mendata dan mengidentifikasi permasalahan yang berhubungan dengan
tema penelitian. Pembatasan dan perumusan masalah, yang dimaksudkan
agar lebih terfokuskan dalam persoalan supaya tidak tumpang tindih
dengan persoalan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan penelitian
analitis. Rumusan masalah, berisikan tentang uraian mengenai persoalan
yang akan diteliti, yaitu pernyataan tegas mengenai apa yang akan menjadi
tema penelitian. Tujuan penelitian, yaitu rumusan mengenai apa yang
sebenarnya yang ingin diketahui oleh peneliti sehingga menjawab seluruh
pertanyaan penelitian. Manfaat penelitian, diharapkan dari hasil penelitian
yang dilakukan menghasilkan nilai guna penelitian bagi peneliti dan juga
pembaca lainnya. Metode penelitian, menguraikan bagaimana cara kerja
dan prosedur pelaksanaan penelitian, dalam arti lain metode apa yang akan
digunakan menjalankan penelitian ini. Review studi terdahulu,
menjelaskan mengenai kajian-kajian terdahulu yang berkaitan dengan
tema penelitian agar tidak ada kesamaan dalam menentukan tema
penelitian. Sistematika penulisan, menjelaskan sistematika penulisan yang
berisikan deskripsi karya tulis per-bab, uraian tersebut menggambarkan
alur dari bahan skripsi yang akan dijelaskan.
Bab kedua, tinjauan teoritis mengenai harta bawaan dan harta
bersama di dalam perkawinan, yang diawali dengan pengertian harta
bersama dan harta bawaan dan dilanjutkan dengan dasar-dasar hukumnya.
Ruang lingkup harta bersama dan harta bawaan. Serta perjanjian
perkawinan dan akibat hukum terhadap harta bersama dan harta bawaan.
11

Bab ketiga, membahas mengenai sita jaminan dalam sengketa harta


bawaan dan harta bersama di Pengadilan Agama, dimulai dengan
pengertian sita, tujuan sita, macam-macam sita dan prosedur permintaan
bantuan sita jaminan.
Bab keempat, menguraikan sejarah dan perkembangan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan serta analisis putusannya sesuai dengan nomor
perkara 2582/Pdt.G/2013/PA.JS. Dimulai dari sejarah dan perkembangan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta dasar-dasar hukum dan landasan
kerjanya. Dilanjutkan dengan pembahasan kasus yang bahwasannya
penggugat yang berkewarganegaraan asing mengajukan gugatan harta
bersama pada tanggal 25 Oktober 2013 kepada tergugat atau mantan
istrinya yang berkewarganegaraan Indonesia, dan dilanjutkan dengan
pertimbangan hakim yang mengambil keputusan dari gugatan harta
bersama yakni dari segi fakta peristiwa hukum, peraturan perundang-
undangan serta hukum syara’ yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Selanjutnya
analisis penulis untuk mengambil intisari yang terkandung di dalam
putusan yang diberikan hakim dalam penerimaan gugatan serta ketetapan
akhirnya.

Bab kelima, merupakan bab terakhir dalam penelitian ini. Terdiri


dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang bersifat membangun
untuk penyempurnaan penelitian ini
BAB II
HARTA BAWAAN DAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama dan Harta Bawaan


1. Harta Bersama
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh oleh suami dan
istri selama perkawinan menjadi harta dan benda bersama. 1 Harta bersama
merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki
seseorang, karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan
hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam
bermasyarakat. Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri
dari kata harta dan bersama. Menurut kamus besar bahasa Indonesia harta
dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan
dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai.
Harta bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-
sama”.2
Harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan
di luar warisan dan hadiah, maksudnya adalah harta yang diperoleh
mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.3 Harta gono-
gini (harta bersama) adalah harta milik bersama dari suami istri yang
diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan di mana keduanya
bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga.4 Namun harta yang
diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara langsung otomatis menjadi
harta gono-gini, sebagai perincian sebagai berikut yakni secara umum
suamilah yang

1 Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada, 2001), h., 72
2 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h., 342
3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h., 200
4 Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, t.th.), h., 42

12
13

bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini
sesuai dengan firman Allah.

‫الليفناففق لذفو نسنعةَة لمفن نسنعاتاه نونمفن لقادنر نعنلفياه ارفزلقله نففلليفناففق املماً آنتاًله الل نللينكلللف الل نفسساً الل‬
‫نماً آنتاًنهاً نسنيفجنعنل الل نبفعند لعفسةَر ليفسسرا‬
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. (At-Thalaq: 7)
Dari Aisyah, sesugguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak
memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya
ambil sendiri tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda
“Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.”
(HR. Bukhori No.5364 dan Muslim No. 1714). Dari Hakim bin
Mu’awiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah
hak istri kami?” Beliau bersabda “Engkau memberinya makan jika kamu
makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad,
Abu Daud, dan lainnya. Al-Irwa’: 2033).5
Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-
masing secara pasti. Misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, tidak ada
nash yang mewajibkan demikian baik di Al-Qur’an maupun Sunnah.
Namun pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan. Pertama,
jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri. Yaitu hasil
kerja suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya,
demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitunga
harta gono-gininya sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
Kedua, jika tidak diketahui perhitungan harta suami dan istri.
5 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, (Jakarta: Ummul Qura,
2015), h., 700
14

Gambarannya seperti, suami dan istri sama-sama kerja atau saling bekerja
sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga pun
ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. Sehingga sisanya berapa bagian
dari harta suami dan beberapa bagian dari harta istri tidak jelas, dan inilah
gambaran kebanyakan keluarga di negara Indonesia. Dalam kondisi
demikian, harta gono-gini tersebut tidak mungkin dibagi kecuali dengan
jalan sulh, ‘urf, atau qadha (putusan).6
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal dengan
istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (harta
bersama), hanya diistilahkan secara beragam dalam hukum adat yang
berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini
diistilahkan dengan “haeruta sihareukat”, di Minangkabau masih
dinamakan harta suarang, di Sunda digunakan dengan istilah guna kaya, di
Bali disebut dengan druwe gabro, dan di Kalimantan digunakan istilah
barang perpantangan.7 Konsep harta bersama berasal dari adat istiadat
yang berkembang di Indonesia, konsep ini kemudian didukung dengan
hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita.8
Dalam kompilasi hukum Islam dalam Pasal 85 menyebutkan bahwa,
adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau istri. 9 Namun di dalam
rumusan Pasal 35 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
mengandung arti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan
ialah dihitung sejak tanggal peresmian perkawinan sampai perkawinan
terputus, baik terputus karena kematian di antara salah seorang suami/istri
(cerai mati) ataupun karena perceraian (cerai hidup) tanpa mempersoalkan
dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal baik harta yang diperoleh

6 Muhammad Nabil Kazhim, Buku Pintar Nikah, (Solo: Samudera, 2007), h., 91
7 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h., 18
8 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Jakarta:
Visimedia, 2003), h., 8
9 H. Wildan Suyuthi, Kompilasi Hukum Islam, (T.tp: MARI, 2001), h., 26
15

secara bersama-sama suami-istri atau secara sendiri-sendiri.10 Di dalam


Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 ayat 1 bahwa, apabila terjadi cerai mati,
maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,
adapun di ayat 2 dijelaskan bahwa, pembagian harta bersama bagi seorang
suami dan istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai
ada kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar
putusan Pengadilan Agama. Dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian
perkawinan.11
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 119 disebutkan bahwa
“sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama antara suami dan istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu,
selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan
suatu persetujuan antara suami istri”.12 Jika merujuk pada ketentuan
KUHPerdata yang dimaksud dengan harta bersama adalah segala bentuk
harta baik berupa warisan, hadiah, bahkan bawaan suami istri sejak
dilangsungkannya perkawinan menjadi harta bersama. Ini berbeda dengan
yang dijelaskan pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada pasal 35 ayat
(1) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah
harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Artinya, harta
kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut
sebagai harta bersama.

2. Harta Bawaan

10 Trusto Subekti, Hukum Keluarga dan Perkawinan Bahan Pembelajaran Fakultas


Hukum Unsoed, (Purwokerto: ttm, 2005), h., 80-81
11 Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,(T.tp: t.tm,
2001), h., 77.
12 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: KENCANA, Prenadamedia
Group, 2015), h., 50
16

Berbeda hal dengan penjelasan harta bersama, yang berkaitan


dengan harta bawaan yakni telah di jelaskan di UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 35 ayat 2 bahwa harta bawaan ialah harta yang dibawa oleh masing-
masing suami dan istri harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Kemudian di dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 87 ayat 2 ialah suami dan istri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-
masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.13 Menurut Inpres Pasal
89 dan 90 Nomor 1 Tahun 1991 wajib bertanggung jawab dan melindungi
harta istri atau harta suaminya serta harta milik bersama. Harta / barang
bawaan adalah segala perabot rumah tangga yang dipersiapkan oleh istri
dan keluarga, sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya. 14
Jika harta bawaan itu merupakan hak milik pribadi masing-masing, jika
terjadi kematian di antara salah satunya maka yang hidup menjadi ahli
waris dari si mati, kalau harta bawaan itu bukan hak miliknya maka
kembali sebagaimana sebelumnya, kalau keduanya meninggal maka ahli
waris mereka adalah anak-anaknya.15
Dalam harta bawaan antara suami dan istri, pada dasarnya tidak ada
percampuran antara keduanya karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi
hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga dengan harta suami
tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Harta bawaan adalah
harta yang diperoleh sebelum terjadinya akad nikah, setelah akad nikah,
maka akan menjadi harta bersama tanpa mempermasalahkan atas nama
siapa harta tersebut, adapun harta bawaan yang digunakan untuk renovasi

13 H. Abdul Manan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,(T.tp:


t.tm, 2001), h., 72-73.
14 Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 1 Untuk Fakultas
Syari’ah Komponen MKDK, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) h., 181
15 Abidinsuccesmen, Makalah Harta Benda Dalam Perkawinan, diakses dari
http://abidinsuccesmen.blogspot.co.id/2011/01/makalah-harta-benda-dalam-perkawinan.html,
pada tanggal 25 Januari 2011.
17

rumah, maka rumahnya adalah harta bersama, nilai renovasinya dapat


dihitung sebagai harta bawaan karena di ambil dari harta bawaan.16

B. Ruang Lingkup Harta Bersama dan Harta Bawaan


Harta bersama adalah konsekuensi hukum dari perkawinan, menurut
pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bersama meliputi beberapa
sub yang di antaranya adalah:
Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan,
sekalipun harta atau barang terdaftar diatasnamakan salah seorang suami istri,
maka harta yang atas suami istri itu dianggap harta bersama. Patokan pertama
yang menentukan apakah suatu barang termasuk objek harta bersama atau
tidak, ditentukan pada saat pembeliannya. Setiap barang yang dibeli selama
perkawinan maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami istri
tanpa mempersoalkan apakah suami atau istri yang membeli, apakah harta
terdaftar atas nama suami atau istri, dan dimana harta tersebut diletakkan.
Seperti itulah patokan umum untuk menentukan barang yang dibeli selama
perkawinan. Hal ini dipertegas dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 5
Mei 1971 No. 803K/Sip/1970. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa harta
yang dibeli oleh suami atau istri di tempat yang jauh dari tempat tinggal
mereka adalah termasuk harta bersama, jika pembelian dilakukan selama
perkawinan berlangsung. Lain halnya jika uang yang digunakan untuk
membeli barang berasal dari harta pribadi suami atau istri. Jika uang yang
digunakan untuk membeli barang secara murni berasal dari harta pribadi,
maka barang yang dibeli itu tidak termasuk objek harta bersama.
Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari
harta bersama. Patokan berikut untuk menentukan suatu barang termasuk
objek harta bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan asal-usul uang

16 Konsultasi Hukum Online, Perbedaan Harta Bersama dan Harta Bawaan, diakses
dari http://konsultasi-hukum-online.com/2013/12/harta-bersama-dan-harta-bawaan/, pada tanggal
10 Desember 2013.
18

biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun


barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadinya perceraian.17
Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan. Patokan
ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni semua harta yang
diperoleh selama perkawinan diluar dari harta pribadi, warisan dan hibah
dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun disadari bahwa dalam
suatu sengketa harta bersama, tentu tidak semulus dan semudah itu. Pada
umumnya, dalam setiap perkara harta bersama pihak yang digugat selalu
mengajukan bantahan terhadap harta yang digugat dengan dalih, bahwa harta
yang digugat bukan harta bersama, melainkan harta pribadi milik tergugat.
Jika penggugat mengajukan dalih bahwa harta tersebut berasal dari warisan
atau hibah maka ditetapkannya objek gugatan tersebut berdasarkan
kemampuan dan keberhasilan tergugat atau penggugat untuk membuktikan
bahwa harta tersebut adalah harta bersama atau tidak.
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh
menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama,
sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Tetapi bukan hanya
yang tubuh dari harta bersama yang jatuh menjadi objek harta bersama
diantara suami dan istri. Penghasilan suami istri yang tumbuh dari harta
bersama pun akan jatuh menjadi objek harta bersama. Sekalipun hak dan
kepemilikan harta pribadi mutlak di bawah penguasaan pemiliknya masing-
masing akan tetapi harta pribadi tidak lepas fungsinya dari kepentingan
keluarga. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan. jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur
mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi, maka seluruh hasil yang
diperoleh dari harta pribadi suami dan harta pribadi istri jatuh menjadi objek
harta bersama.
Segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang
diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-

17 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan,


(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h., 45
19

masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami istri. 18
Kalau harta itu dipelihara / diusahai dan telah dialihnamakan ke atasnama
adik suami, jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh
selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap sebagai harta
bersama suami istri.
Harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian
dianggap harta bersama suami istri jika biaya pembangunan atau pembelian
suatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama
perkawinan.19 Di dalam Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan ayat 2
menyatakan, mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan hukum mengenai harta
bendanya yang mana harta bawaan itu ialah harta yang di bawa dari salah satu
suami istri sebelum terjadinya perkawinan.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 87 ayat 1 harta bawaan suami
atau istri yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah
dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawinan. Islam memang mengenal adanya harta
bawaan, sebagaimana yang dimaksud dalam KHI pasal 87 ayat 1 namun
apabila terjadi di dalam suatu hubungan suami dan istri mengembangkan
usaha yang mana modal awalnya di dapat dari harta bawaan si suami, namun
setelah itu hendak bercerai setelah memiliki hasil dari usaha tersebut yang
mana terjadi setelah pernikahan, maka dapat disimpulkan hasil yang telah di
miliki seusai pernikahan maka dapat dikatakan harta bersama, karena hasil
yang didapat oleh suami istri tersebut setelah terjadinya pernikahan.20

C. Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukum Terhadap Harta bersama


dan Harta Bawaan.

18 Mahkamah Agung, 11 Maret 1971, No.454 K/Sip/1970


19 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, t.th), h. 119-122.
20 Purnamasari, I. D. (2014, 05 30). Hukum Online. Diambil kembali dari
www.hukumonline.com:http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt537c47d00be1f/apakah-
hasil-pengembangan-harta-bawaan-menjadi-harta-gono-gini
20

Perjanjian perkawinan yaitu, “persetujuan yang dibuat oleh kedua


calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan
masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan
itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah. 21 Menurut Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 29, pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.22 Menurut Kompilasi Hukum Islam waktu pembuatan perjanjian
ialah pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan (Pasal 47 ayat 1 KHI).
Perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata harus dibuat dengan akta notaris
(Pasal 147 KUHPerdata) dan dibuat pada saat sebelum perkawinan
dilangsungkan (Pasal 148 KUHPerdata). Perjanjian perkawinan tidak boleh
diubah setelah perkawinan berlangsung (Pasal 149 KUHPerdata).23
Pada dasarnya, belum banyak yang membahas masalah perjanjian
perkawinan apalagi jika dikaitkan dengan harta bersama. Bagaimana
seharusnya bunyi uraian pengertian mengenai perjanjian perkawinan. Dalam
arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang antara calon suami istri mengenai
perkawinan mereka.24
Perjanjian perkawinan adalah sebagai suatu hubungan hukum
mengenai harta benda kekayaan antara 2 pihak dalam mana satu pihak

21 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, t.th), h., 120.
22 Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1983), h., 220
23 R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (cet. 39,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008), h. 35-36
24 H.A. Damanhuri, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung :
Mandar Maju, 2007), h. 1.
21

berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan sesuatu hal,
sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.25
Perjanjian dalam perkawinan sebagaimana yang diuraikan di atas
mendapat pengertian yang luas dalam UU Perkawinan, yang bunyinya:26
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat dipisahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Mengenai perjanjian perkawinan, Kompilasi Hukum Islam
memperinci sebagai berikut:27 KHI Pasal 47 ayat 1 “ Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan. Namun dijelaskan kembali di dalam KHI
Pasal 47 ayat 2 yang berbunyi “ Perjanjian tersebut pada ayat 1 dapat meliputi
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

25 Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Peretujuan-persetujuan Tertentu,


(Bandung: Sumur, 1981), h. 11.
26 Amir Syarifudin, Hukum Perkwinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, t.th), h. 149-150.
27 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, t.th), h. 121-122.
BAB III
SITA JAMINAN DALAM SENGKETA HARTA BAWAAN DAN HARTA
BERSAMA DI PENGADILAN AGAMA

A. Pengertian Sita
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda)1, dan istilah Indonesia
beslah istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung
di dalamnya adalah:
1. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan2.
2. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim. Sita dapat dilakukan hakim,
sebagai hukuman untuk tergugat berupa tindakan penempatan harta
kekayaan di bawah penjagaan meskipun putusan tentang kesalahannya
belum dijatuhkan. Dengan demikian sebelum putusan diambil dan
dijatuhkan, tergugat telah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta
sengketa atau harta kekayaan tergugat.3 Penyitaan membenarkan putusan
yang belum dijatuhkan yang merupakan tindakan perampasan, karena
penyitaan dilakukan sebelum dijatuhkan putusan berkekuatan hukum tetap
(in kracht). Namun sebelum sita diputuskan, pengabulan permohonan sita
harus benar-benar dinilai dan dipertimbangkan dengan seksama dan
objektif.
3. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan berupa barang yang
disengketekan tapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitur atau tergugat dengan jalan
menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut.

1 Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia (Jakarta: Djambatan,


1999), h. 49.
2 Meriem Webster’s, Dictionary of Law (Massachusets: Merriam Webster Springfield,
1996), h. 451.
3 M. Yahya Harahap 1, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 283.

22
23

4. Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses


pemeriksaan sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.
Sita marital memiliki tujuan utama untuk membekukan harta bersama
suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga
selama proses perkara atau pembagian harta bersama berlangsung.
Pembekuan harta bersama di bawah penyitaan, berfungsi untuk
mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas
tindakan yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.4
Sita marital bagi perceraian suami istri yang beragama islam atau
muslim diatur pada Pasal 78 huruf c Undang-Undang No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama jo. Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau
barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
istri.5
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat
meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta
bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. Selama masa sita dapat dilakukan
penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga denga izin
Pengadilan Agama.6
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atau permohonan penggugat
atau tergugat Pengadilan Agama dapat menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suami, dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau

4 Harahap M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h., 369
5 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, pasal 78 huruf c
6 Kompilasi Hukum Islam pasal 95 ayat (1) dan (2).
24

barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
istri.7
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam memungkinkan untuk dilakukan sita
marital oleh suami atau istri dalam suatu perkawinan tanpa melakukan
gugatan perceraian. Sedangkan, Pasal 136 ayat (2) mengatur sita marital yang
dilakukan selama berlangsungnya sidang perceraian. Jadi, berdasarkan Pasal
95 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, pelaksanaan sita marital
hanya dapat dilakukan oleh seorang suami atau istri yang masih terikat dalam
ikatan perkawinan dengan cara mengajukan permohonan sita marital kepada
Pengadilan Agama.
B. Tujuan Sita
Tujuan diadakannya penyitaan adalah untuk menjaga agar harta
kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau
penghibahan, dan agar harta kekayaan tidak dibebani dengan sewa menyewa
atau diagunkan kepada pihak ketiga. Pihak penggugat yang khawatir adanya
itikad buruk (bad faith)8 dari pihak tergugat dapat mengadakan upaya hukum
permohonan sita agar harta kekayaan yang disita dapat tetap utuh terjamin
sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap ( inkrach ).
Tujuan utama sita jaminan agar tergugat tidak memindahkan atau
membebankan hartanya kepada pihak ketiga. Inilah salah satu tujuan sita
jaminan, menjaga keutuhan keberadaan harta terperkara atau harta kekayaan
tergugat selam proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara
memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan perintah
pensitaan atas harta tergugat atau harta sengketa, secara hukum telah terjamin
keutuhan keberadaan barang yang disita.9
Sita jaminan merupakan upaya hukum terjaminnya keutuhan dan
keberadaan harta yang disita sampai putusan dapat dieksekusi, agar gugatan
penggugat pada saat eksekusi tidak hampa. Karena dengan diletakkan sita

7 Kompilasi Hukum Islam pasal 136 ayat (2)


8 Istilah ini tidak diatur namun jika mengacu ketentuan KUHPER yang mengatur Asas
itikad baik (good faith) yang menurut Subekti merupakan salah satu sendi terpenting dalam hukum
perjanjian merupakan lawan katanya. Lihat Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa,
Cet.XXVIII, Jakarta, 1996., h., 41.
9 M. Yahya Harahap 1, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h., 8.
25

jaminan pada harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dan pelaksanaan
penyitaan telah didaftarkan dan telah diumumkan kepada masyarakat sesuai
dengan ketentuan pasal 198 HIR atau pasal 213 Rbg, maka terhitung sejak
tanggal pendaftaran dan pengumuman sita, telah digariskan akibat hukumnya
seperti yang diatur dalam pasal 199 HIR atau pasal 214 Rbg:
1. Hukum melarang tergugat untuk menjual, menghibahkan atau
memindahkan barang sitaan kepada siapapun.
2. Pelanggaran atas larangan penjualan atau pemindahan barang sitaan
diancam dalam Pasal 199 HIR atau Pasal 215 Rbg:
a. dari segi perdatanya: jual beli atau pemindahan itu batal demi hukum
b. dari segi pidananya: diancam oleh Pasal 231 KUHP
Tujuan dan manfaat conservatoir beslag atau sita jaminan yang
diuraikan di atas jangan sampai disalahgunakan di dalam pelaksanaanya
terhadap penyitaan barang karena pembatasan dan yang dilarang disita.
Adapun maksud dari pembatasan conservatoir beslag adalah untuk
mencukupi kepentingan jumlah tagihan hutang atau tuntutan ganti kerugian
yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya.
Tindakan penyitaan barang milik Tergugat sebagai debitur adalah bukan
untuk diserahkan dan dimiliki oleh Penggugat (pemohon sita), namun
diperuntukkan guna melunasi pembayaran utang Tergugat kepada
Penggugat.10
Pelaksanaan penyitaan terdapat dalam Pasal 197 ayat (8) HIR secara
tidak langsung telah memberikan klasifikasi dan pembatasan. Yang dimaksud
dari pembatasan dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dahulukan penyitaan terhadap barang yang bergerak.
2. Penyitaan tidak boleh melampaui jumlah tagihan.11
Juga dalam ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR dan Pasal 221 Rbg, yang
mengatur barang yang dilarang untuk disita yaitu:
1. Hewan
2. Perkakas yang sifatnya sungguh-sungguh berfungsi sebagai alat yang
dipergunakan tergugat untuk menjalankan mata pencaharian.
10 M. Yahya Harahap, (b). Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 339-340.
11 M. Yahya Harahap, (b). Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 339-340.
26

Dalam hal itu kita melihat pendapat Subekti, bahwa Pasal tersebut
digunakan untuk melindungi masyakat kecil, antara lain petani yang
disebabkan negara Indonesia adalah negara yang bersifat agraris, untuk
melindungi petani kecil tersebut agar tidak mati mata pencahariannya.
Maksud dari pendapat tersebut ialah hewan dan perkakas lain yang sungguh-
sungguh berguna bagi yang bersangkutan untuk menjalankan mata
pencahariannya sendiri.
Jadi jelaslah maksud dan larangan menyita barang-barang tertentu yang
telah disebutkan pasal tadi adalah memberikan perlindungan kepada
seseorang tergugat dari kemusnahan total. Artinya jangan sampai kegiatan
untuk melangsungkan pemenuhian kebutuhan nafkah sehari-hari tidak dapat
dilakukannya.
Namun, kini pemerintah memberikan izin orang asing untuk bisa
memiliki rumah atau tempat tinggal di Indonesia sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia. Dalam PP itu
disebutkan, yang dimaksud Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia
yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga
Negara Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan
usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. Orang Asing yang dapat
memiliki rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud adalah
Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
C. Macam dan Prosedur Sita
1. Macam Sita
Ada banyak jenis sita jaminan, namun secara umum dikenal dua jenis:12
a. Sita jaminan terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)
Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitur. Kata conservatoir
sendiri berasal dari kata conserveren yang berarti menyimpan
sedangkan conservatoir beslag berarti menyimpan hak seseorang.

12 Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Sutantio. Hukum Acara Perdata dalam


Teori dan Praktek. Cet. viii. (Bandung: Mandar Maju, 1997), h. 73.
27

Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang
nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.
b. Sita jaminan terhadap harta benda milik penggugat sendiri
Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda
penggugat/pemohon sendiri, yang ada dalam kekuasaan orang lain
(termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu
tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan
dari pemohon.Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (i) sita
revindicatoir (Pasal 226 HIR, Pasal 260 Rbg) dan (ii) sita marital (Pasal
823 dan Pasal 823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata
sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan
kembali (barang yang memang miliknya).
Di samping kedua jenis sita tersebut, masih juga dikenal beberapa
jenis/varian sita jaminan lain, misalnya (i) Sita conservatoir terhadap kreditur;
(ii) sita gadai atau pandbeslag; (iii) sita conservatoir atas barang-barang
debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau
orang asing bukan penduduk Indonesia; sita conservatoir atas pesawat terbang
dan sita jaminan pada kepailitan.
Menurut John Z. Loudoe, macam-macam sita jaminan dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu:
a. Sita jaminan biasa (Pasal 227 HIR)
Sita jaminan biasa, barang-barang yang disita itu selanjutnya dapat
dijadikan sita eksekusi agar dapat dijual untuk memenuhi putusan hakim
yang bersangkutan. Karena dalam sita jaminan biasa, barang-barang yang
disita itu merupakan milik pihak yang digugat untuk menjamin hak pihak
penggugat (Pasal 227 ayat (2) HIR). Pihak yang digugat dapat saja
menolak sita tersebut dengan tidak menandatangani berita acara yang
bersangkutan, karena sita tersebut tanpa daya on-deugdelijk atau dianggap
tidak perlu on-nodig.
b. Sita jaminan revindicatoir (Pasal 226 HIR)
Dalam sita jaminan revindikasi, tujuannya tidak lain agar barang yang
berada dalam tangan pihak lawan itu dikembalikan pada yang menuntut.
28

Sita jaminan revindikasi ini hanya diperbolehkan terhadap barang yang


bergerak.
c. Sita jaminan marital (Pasal 24 PP No. 9/1975)
Adapun dalam sita jaminan marital hanya dikenal dalam proses perceraian,
dalam hal istri meminta agar barang-barang dalam perkawinan disita untuk
mencegah suami menjual atau mengalihkannya.13
Sudikno Mertokusumo, membedakan sita jaminan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu14:
a. Sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri
1) Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, 260 Rbg)
Pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain
dapat diminta, baik secara lisan maupun tertulis kepada Ketua
Pengadilan Negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut
tinggal, agar barang tersebut disita. Barang bergerak yang disita harus
dibiarkan ada pada pihak tersita untuk disimpannya, atau dapat juga
barang tersebut disimpan di tempat lain yang patut.
Akibat hukum dari pada sita revindicatoir, ialah bahwa pemohon
atau penyita barang tidak dapat menguasai barang yang telah disita,
sebaiknya yang terkena sita dilarang untuk mengasingkan.
Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dalam dictum
putusan, sita revindicatoir itu dinyatakan sah dan berharga dan
diperintahkan agar barang yang bersangkutan diserahkan kepada
penggugat, sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita revindicatoir
yang telah dijalankan itu dinyatakan dicabut.
2) Sita marital (Pasal 823-823j Rv)
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau
penyerahan barang, melainkan menjamin agar barang yang disita tidak
dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak pemohon selama
pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung antara

13 John Z. Loudoe, Fakta dan Norma dalam Hukum Acara, (Surabaya: Bina Aksara,
1981), h. 137.
14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
1999), h. 142.
29

pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-


barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.
Barang yang dapat disita secara marital, ialah baik barang
bergerak dari kesatuan harta kekayaan atau milik isteri maupun barang
tetap dari kesatuan harta kekayaan (Pasal 823 Rv).
b. Sita jaminan terhadap barang milik debitur:
1) Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Pasal 227 jo Pasal
197 HIR, Pasal 261 jo Pasal 208 Rbg).
2) Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur (Pasal 227, 197,198,
199 HIR, Pasal 261,208, 214 Rbg)
3) Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tangan
pihak ketiga (Pasal 728 Rv, 197 ayat (8) HIR, Pasal 211 Rbg)
4) Sita conservatoir terhadap kreditur (Pasal 75 a Rv)
5) Sita gadai atau panbeslag (Pasal 751-756 Rv)
6) Sita conservatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai
tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan
penduduk Indonesia (Pasal 757 Rv)
7) Sita conservatoir atas pesawat terbang (Pasal 763 h-763 k Rv) 15
Pembagian tersebut di atas, hampir sama dengan apa yang dikemukakan
oleh Djazuli Bachar, bahwa jenis-jenis sita jaminan dibedakan terhadap
barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur serta barang
bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak ketiga.16
2. Prosedur sita
Prosedur sita jaminan meliputi dua segi. Segi pertama berkenaan
dengan Prosedur pengajuan permohonan sita jaminan. Segi kedua,
berkaitan dengan Prosedur pelaksanaan sita jaminan oleh pengadilan.
Bentuk Prosedur permohonan sita jaminan yang diajukan dalam surat
gugatan. Penggugat mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir
beslag) secara tertulis dalam surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan
pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita jaminan dalam
bentuk ini, tidak dapat dipisahkan dengan dalil gugatan atau gugatan
15 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
1999), h. 58.
16 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan
Hukum, (Jakarta: Akademika Presindo, 1987), h. 56.
30

pokok. Jika permohonan sita jaminan disatukan bersamaan dengan


gugatan, perumusan permohonan sita jaminan dalam surat gugatan,
biasanya mengikuti pedoman sistimatis sebagai berikut:17
a. Dirumuskan setelah uraian perumusan posita atau dalil gugat
Cara inilah yang tepat. Perumusan dalil gugat merupakan landasan.
Dari landasan dalil gugat itulah layak atau tidak layak diajukan
permohonan sita. Sebab dari perumusan dalil gugat serta uraian fakta
dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih tepat dan lebih
mudah dirumuskan permohonan sita serta alasan kepentingan pensitaan.
b. Permintaan pernyataan sah dan berharga biasanya diajukan pada
petitum kedua
Di samping perumusan permohonan sita diakhir posita gugat
permohonan itu dipertegas lagi dalam petitum gugat, yang berisi
permintaan kepada pengadilan, supaya sita jaminan yang diletakkan
atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dinyatakan sah dan
berharga.
Apabila permintaan pernyataan sah dan berharga tidak diajukan
dalam petitum, pengadilan dapat mencantumkan amar pernyataan sah
dan berharga. Alasannya: pertama, pencantuman amar yang seperti
tersebut tidak dapat dianggap melebihi permintaan atas petitum. Tidak
dianggap ultra petita partium. Karena amar yang sedemikian masih
sejalan dan sejiwa dengan isi dan maksud gugatan. Bahkan permohonan
sita maupun amar pernyataan sah dan berharga sita jaminan, pada
dasarnya bukan merupakan gugatan pokok atau bukan gugat materiil
tetapi hanya merupakan tambahan atas gugat materiil. Alasan kedua,
dengan dikabulkannya permohonan sita jaminan oleh pengadilan, sudah
dengan sendirinya terkandung kehendak hakim yang bersangkutan
untuk menyatakan sah dan berharga. Oleh karena itu, sekalipun
penggugat lupa mengajukan permintaan pernyataan sah dan berharga
sita jaminan dalam petitum, hakim dapat menyempurnakannya dalam

17 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan
Hukum, h. 23.
31

amar. Sekiranya hakim tidak mencantumkan amar yang demikian,


berarti hakim telah mengingkari sita jaminan yang dikabulkannya.18
Apabila penggugat mengajukan permintaan sah dan berharga
dalam petitum, hakim yang memutus perkara lalau mencantumkan
pernyataan sah dan berharga dakan amar, maka kelalaian tersebut, tidak
mengakibatkan sita jaminan batal demi hukum. Kelalaian itu tidak
mempunyai kualitas membatalkan sita demi hukum, dan kelalaian itu
nanti diperbaiki oleh hakim dalam tingkat banding atau tingkat kasasi.
Sebab jika dikaitkan dengan keabsahan dan kekuatan mengikatnya
suatu jaminan baik kepada pihak tergugat maupun kepada pihak ketiga
oleh Pasal 198 HIR atau Pasal 214 Rbg, ialah terpenuhinya syarat
pendaftaran dan pengumuman sita. Dengan demikian sahnya sita
menurut undang-undang pada prinsipnya, dititikberatkan pada
pelaksanaan sita dan pendaftaran serta pengumuman sita.19
Bentuk pengajuan permohonan sita yang diajukan secara terpisah
dari pokok perkara. Maksudnya di samping gugatan perkara, penggugat
mengajukan permohonan sita jaminan dalam surat yang lain. Bahkan
mungkin dan boleh pengajuan permohonan sita jaminan tersendiri
secara lisan, tetapi bentuk permohonan sita secara lisan jarang terjadi
dalam praktek pengadilan.
Berdasarkan dua bentuk cara pengajuan gugatan yang sering
dipakai dalam praktek adalah permohonan sita jaminan dalam surat
gugatan. Seseorang dapat mengajukan surat permohonan sita jaminan
kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan pada ketentuan Pasal 227
ayat (1) HIR dan Pasal 261 ayat (1) Rbg, yaitu pengajuan permohonan
conservatoir beslag dapat dilakukan selama putusan belum dijatuhkan
atau selama putusan belum berkekuatan hukum yang tetap.
Oleh karena itu, dengan adanya sita jaminan yang berupa penyitaan
atas harta kekayaan tergugat, maka tergugat dilarang untuk
memindahkan dan membebani barang yang disita. Tujuannya, adalah
18 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan
Hukum, h. 24.
19 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakan
Hukum, h. 25.
32

untuk menjamin keutuhan barang itu supaya tetap terpelihara dan ada
sehingga pada saat putusan dijalankan atau dieksekusi sudah tersedia
harta kekayaan tergugat untuk memenuhi pelaksaan isi putusan dan
sekaligus untuk menjamin agar hak dan kepentingan pihak penggugat
dapat terpenuhi.
Sita jaminan mencegah barang dibebani hak-hak,barang diserahkan
kepada orang lain dan barang disalahgunakan dan dirusak. Sedangkan
waktu penyitaan sebelum ada putusan biasanya permohonan sita
dicantumkan sekaligus dalam surat gugat tetapi juga dapat dalam surat
permohonan tersendiri selama sidang berjalan. Adapun waktu penyitaan
sesudah ada putusan, tetapi belum dapat dilaksanakan. Artinya sudah
diputus, akan tetapi karena lawan mengajukan upaya hukum (banding,
atau verzet), maka belum dapat dieksekusi.20
Sita conservatoir diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
memeriksa perkara. Juga dalam banding kalau ada permohonan sita
menyusul, yang memeriksa soal sita adalah pengadilan negeri yang
memutus perkara yang bersangkutan.21 Adapun mengenai pendelegasian
sita jaminan dikemukakan dalam Pasal 195 ayat (2) HIR atau Pasal 206
(3) Rbg: “Jika hal itu harus diakukan sekaligus atau sebagian, di luar
daerah hukum Pengadilan Negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya
meminta bantuan Ketua Pengadilan yang berhak, dengan surat
demikian juga halnya di luar Jawa-Madura.”
Pengertian pendelegasian sita penerapannya menggunakan hukum
analogi, yakni jika seluruh atau sebagian harta tergugat yang hendak di
sita terletak di luar wilayah hukumnya. Pengadilan Negeri yang
bersangkutan dapat meminta bantuan pelaksanaannya kepada
Pengadilan Negeri tempat di mana barang itu terletak. Jadi artinya
pendelegasian sita jaminan adalah apabila Pengadilan Negeri yang

20 Sariyono, L. (2016, 04 11). Student Unidar. Diambil kembali dari


yono133.student.unidar.ac.id: http://yono133.student.unidar.ac.id/2016/04/kapan-putusan-
pengadilan-dinyatakan.html
21 Jaka, M. (2014, 11 04). Blogspot. Diambil kembali dari mirdinatajaka.blogspot.co.id:
https://mirdinatajaka.blogspot.co.id/2014/11/dasar-hukum-eksekusi-sukarela-dan.html
33

memerintahkan sita jaminan, mendelegasikan pelaksanaannya dengan


jalan meminta bantuan kepada Pengadilan Negeri lain.
Tata urutan pendelegasian permintaan bantuan pelaksanaan sita
jaminan adalah sebagai berikut22:
a. Menyampaikan salinan penetapan kepada Pengadilan Negeri yang
dimintakan bantuannya.
b. Pengadilan Negeri yang mendapat delegasi mengeluarkan surat
penetapan pelaksanaan.
c. Mengirim berita acara sita kepada Pengadilan Negeri yang
mendelegasikan.
Memang di dalam soal pendelegasian sita itu sangat penting untuk
diterapkan, karena untuk menghindari terjadinya saling sengketa antara
Pengadilan Negeri yang dimintakan bantuan dengan Pengadilan Negeri
yang meminta bantuan.23

22Yahya Harahap (b). Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009)
23Netizen. (2017, 4 16). Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang. Diambil kembali dari
www.awambicara.com: https://www.awambicara.id/2017/04/eksekusi-pembayaran-sejumlah-
uang.html
BAB IV
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN DAN ANALISIS PUTUSAN NOMOR 2582/Pdt.G/2013/PA.JS

A. Sejarah dan Perkembangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan


Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai salah satu instansi yang
melaksanakan tugasnya, memiliki dasar hukum dan landasan kerja sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24;
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
6. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963, tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
7. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan Tata Kerja dan
Wewenang Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat
keputusan Menteri Agama RI Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya
Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang
dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk
Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya
Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976, semua
Pengadilan Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang

35
36

berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum
Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya
istilah Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA).
Berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI Nomor 61 Tahun
1985, Pengadilan Tinggi Agama Surakata dipindah ke Jakarta, akan tetapi
realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara
otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah
menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta.
Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan merupakan
jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada tahun
1967 merupakan cabang di Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya yang
berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur
Sebutan pada waktu itu adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai
dengan banyaknya jumlah penduduk dan bertambahnya pemahaman
penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan yang wilayahnya cukup
luas. Keadaan kantor ketika itu masih dalam keadaan darurat yaitu menempati
gedung bekas kantor Kecamatan Pasar Minggu di suatu gang kecil yang
sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama Pasar Minggu Jakarta
Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. Polana.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian, kalaupun ada
tentang warisan, masuk kepada komparisi. Itu pun dimulai pada tahun 1969,
kerjasama dengan Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bismar
Siregar, S.H.
Sebelum tahun 1969, pernah pula membuat fatwa waris, akan tetapi
hal itu ditentang oleh pihak keamanan karena bertentangan dengan
kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Hasan Mughni
ditahan karena Penetapan Fatwa Waris. Oleh karenanya, sejak saat itu Fatwa
Waris ditambah dengan kalimat "jika ada harta peninggalan".
Pada tahun 1976, gedung kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati
37

serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan kantor cabang pun


dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kemudian diangkat
pula beberapa hakim honorer yang di antaranya adalah H. Ichtijanto, S.A.,
S.H.
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat pula oleh Drs. H. Muhdi Yasin. Seiring dengan
perkembangan tersebut, diangkat pula 8 karyawan untuk menangani tugas-
tugas kepaniteraan yaitu, Ilyas Hasbullah, Hasan Jauhari, Sukandi, Saimin,
Tuwon Haryanto, Fathullah AN., Hasan Mughni, dan Imron. Keadaan
penempatan kantor di serambi Masjid tersebut, bertahan hingga tahun 1979.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian pada
awal Mei 2010, diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas
perkantoran di gedung baru tersebut. Pada saat itu Ketua Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dijabat oleh Drs. H. Ahsin A. Hamid, S.H.
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam
segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun
dalam hal peningkatan TI (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih
disertai dengan aplikasi-aplikasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok,
seperti aplikasi SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan
Agama) yang sudah berjalan, sistem informasi mandiri dengan layar sentuh
(touchscreen), serta situs web "http://www.pa-jakartaselatan.go.id".
Anggaran pembangunan Gedung Pengadilan Agama Jakarta Selatan:
1. Tahun 2007 s/d 2008: pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru
seluas ± 6000 m2 yang terletak di jalan Harsono RM Ragunan, Jakarta
Selatan dengan anggaran Rp. 19.353.700.000 (sembilan belas milyar tiga
ratus lima puluh tiga juta tujuh ratus ribu rupiah) yang berasal dari DIPA
PTA Jakarta.
2. Tahun 2008: tahap pertama pembangunan gedung baru sesuai dengan
purwarupa Mahkamah Agung RI dengan anggaran Rp. 7.393.270.000
38

(tujuh milyar tiga ratus sembilan puluh tiga juta dua ratus tujuh puluh ribu
rupiah) yang berasal dari DIPA Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Tahun 2009: tahap kedua pembangunan gedung baru dengan anggaran
Rp. 14.110.820.000 (empat belas milyar seratus sepuluh juta delapan ratus
dua puluh ribu rupiah) yang berasal dari DIPA Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.

B. Posisi Kasus
Penggugat dalam surat gugatannya tanggal 24 Oktober 2013 telah
mengajukan gugatan harta bersama, yang didaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dengan Nomor 2582/Pdt.G/2013/PA JS., tanggal 25
Oktober 2013.
Dalam kasus ini, Penggugat adalah Warga Negara Amerika dan
memiliki ijin tinggal untuk bertempat tinggal dan bekerja di wilayah Negara
Republik Indonesia, tepatnya pada PT. Equinox Publishing Indonesia1
sebagaimana ternyata pada Kartu Izin Tinggal Tetap (K1TAP) atas nama
Penggugat Nomor 2D4JE3021-M tertanggal 15 Februari 2013 yang berlaku
sampai tanggal 11 Februari 2018 sedangkan Tergugat adalah Warga Negara
Indonesia.
Di antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perceraian
berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan nomor:
2571/Pdt.G/2012/PAJS, tertanggal 13 Mei 2013 M/03 Rajab 1434 Hijriyah
yang telah berkekuatan hukum tetap dengan AKTA CERAI:
No.1623/AC/2013/PA/JS, tertanggal 28 Mei 2013.
Sebelum Penggugat menikahi Tergugat, Penggugat memiliki harta
bawaan berupa sebidang tanah dan bangunan berdasarkan Sertifikat Hak
Milik Nomor 376/pasar Manggis dan Akta Jual Beli Nomor 22/2004 yang
terletak dan diketahui beralamat di Kota Jakarta Selatan seluas 427m2 (empat
ratus dua puluh tujuh meter persegi) yang karena Penggugat
berkewarganegaraan asing maka diatasnamakan Tergugat.
1 PT. Equinox Publishing Indonesia berdomisili hukum di Jl. H R Rasuna Said Kav C17,
Kota Administrasi Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia
39

Tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam poin 4 tersebut di


atas semula dipergunakan sebagai tempat kediaman dari keluarga pasangan
Penggugat dan Tergugat bersama anaknya2, namun sejak diajukannnya
perkara perceraian oleh Tergugat, maka Penggugat keluar dari rumah tersebut
dan memilih tinggal di Apartemen milik Penggugat hingga gugatan ini
diajukan.
Selama berlangsungnya pernikahan antara Penggugat dan Tergugat
memiliki harta bersama yang diperoleh sepenuhnya dari hasil jerih payah dan
keringat Penggugat yang diatasnamakan Tergugat, yang terdiri atas:
1. Sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui beralamat di
sebuah apartemen3 di Kota Jakarta Selatan seluas 385 m2;
2. Sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui di wilayah
Jakarta Selatan.
Harta bawaan dan harta bersama yang didapat tersebut terutama
terhadap harta tidak bergerak diatas namakan Tergugat oleh karena
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan tidak diperkenankan atas harta
bergerak tersebut diatas namakan warga negara asing berdasarkan pasal 21
ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 4:
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak
milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarga-
negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah
jangka waktu tersebut lampau hak milik tidak dilepaskan, maka hak tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

2 Nama anak tidak bisa disebut karena penulis mendapatkan data putusan dimana nama
anak ditutup guna dirahasiakan.
3 Lokasi tempat pada putusan tersebut dihilangkan oleh panitera saat penulis
mengambilnya
4 pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960
menyebut “Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.”
40

Pada harta kekayaan berupa benda tidak bergerak berupa tanah dan
bangunan yang didapat dari hasil kerja Penggugat seluruhnya diatasnamakan
Tergugat dan sebelum diadakannya perkawinan antara Penggugat dengan
Tergugat terlebih dahulu diadakan perjanjian perkawinan Kawin yang
tertuang dalam Akta Nomor 13, tertanggal 13 Juni 2005 dibuat dihadapan Ny.
Syarmeini S Chandra.S.H., Notaris di Jakarta (“Perjanjian Kawin”)5.
Jika berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Peradilan
Agama, pasal 97, menyebutkan:
“...janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat 1/2
(seperdua) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Bahwa dalam perjanjian kawin pasal 2 menyatakan:
“...Semua harta benda yang bersifat apapun, yag dibawa oleh masing-
masing pihak dalam perkawinan atau yang diperolehnya selama perkawinan
karena pembelian, warisan, hibah atau cara apapun tetap menjadi milik dari
masing-masing pihak yang membawa atau memperolehnya”.
Bahwa dalam perjanjian kawin pasal 8 menyatakan:
“...semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan karena pembelian,
warisan, hibah, hibah wasiat atau berdasarkan sebab sebab lain harus
senantiasa dapat ternyata dari surat-surat yang dibuat secara lengkap oleh
kedua belah pihak, harta benda yang tdak dapat dibuktikan dengan cara yang
dimaksud di atasi, merupakan milik bersama”.
Sehingga jelas berdasarkan ketentuan di atas, Penggugat berhak atas
kepemilikan hartokekayaan berupa benda tidak bergerak yang terdiri atas:
1. Harta Bawaan berupa:
-sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui beralamat di
…..Kota Jakarta Selatan, seluas 427m2 yang karena Pemohon
berkewarganegaraan asing maka diatasnamakan Termohon;

5 perjanjian perkawinan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta


benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu. Wirjono
Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981),
h. 11.
41

2. Harta Bersama berupa:


-Sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui beralamat di
apartemen di Kota Jakarta Selatan, seluas 385 m2, yang karena Pemohon
berkewarganegaraan asing maka diatasnamakan Termohon;
-Sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui di wilayah
Jakarta Selatan yang karena Pemohon berkewarganegaraan asing maka
diatasnamakan Termohon.
Dalam kasus tersebut, Penggugat memandang seluruh harta kekayaan
tersebut di atas didapat dan dibeli dari sebagian besar hasil keringat dan kerja
keras Penggugat.
Mengingat Penggugat dan Tergugat beragama Islam, maka
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
yang menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang, Perkawinan, Kewarisan, Wasiat,
Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, serta Ekonomi Syariah 6, sehingga ”
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili Gugatan Pembagian Harta
Bersama ini ada pada Pengadilan Agama, dan oleh karena Penggugat dan
Tergugat bertempat tinggal di….Kota Jakarta Selatan, sehingga Pengadilan
Agama Jakarta Selatan memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus
atas permohonan yang diajukan oleh Penggugat;
Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan
memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Melakukan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta bersama sebagai
berikut;
a. Sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui beralamat di
apartemen di Kota Jakarta Selatan, seluas 385m2;

6 jenis dan macamnya mengenai ekonomi syari’ah yang disebut dalam Penjelasan Pasal
49 UU No.3 Th. 2006 huruf (i) menyebutkan 11 jenis
42

b. Sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui di Kota


Jakarta Selatan, seluas 427 m2 (empat ratus dua puluh, tujuh meter
persegi);
c. Sebidang tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui di wilayah
Jakarta Selatan;
Tentang sita Jaminan (conservatoir beslag) dalam kasus ini, Majelis
Hakim telah menjatuhkan penetapan sela Nomor 2582/Pdt/G/2013/PA JS
tanggal 21 Mei 2014, yang amarnya:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menolak permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) Penggugat.
3. Menyatakan harta kekayaan berupa benda tidak bergerak berupa sebidang
tanah dan bangunan yang terletak dan diketahui di apartemen di Kota
Jakarta Selatan, seluas 427m2, sebagai harta bawaan Penggugat;
4. Menyatakan harta kekayaan Penggugat dan Tergugat sebagai harta
bersama adalah berupa sebidang tanah tanpa bangunan yang terletak dan
diketahui beralamat di Kota Jakarta Selatan, seluas 385 m2
5. Menyatakan Penggugat dan Tergugat masing-masing berhak “A (setengah)
bahagian dari harta bersama pada diktum no.4.
6. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan harta bawaan Penggugat pada
diktum no. 3 dan menyerahkan “A (setengah) bahagian dari harta bersama
pada diktum no.4. kepada Penggugat.
7. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.

C. Pertimbangan Hakim
Kasus perceraian yang memperebutkan harta bersama dan harta
bawaan yang terjadi pada suami istri pasca perceraian, maka yang menjadi
pertimbangan hakim dalam mengambil suatu keputusan adalah dari segi fakta
peristiwa hukum, peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yaitu al-
quran dan hadits.
Majlis hakim mempertimbangkan gugatan dari penggugat dalam
perkara Nomor 2582/Pdt.G/2013/PA.JS., bahwa antara penggugat dan
43

tergugat bukan hanya terjadi dalam perceraian saja, namun telah


mempersoalkan harta yang telah ada pada masa sebelum terlaksananya
perkawinan dan telah terlaksananya perkawinan, namun yang di titik beratkan
oleh penggugat atas ajuan kepada majlis hakim tersebut yakni penggugat
membawa harta bawaan ketika setelah menikah yakni sebidang rumah,
namun pihak tergugat membantah atas ajuan tersebut, karena di dalam
sertifikat tanah tersebut tercantum nama pihak tergugat.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, majlis hakim berkesimpulan antara
penggugat dan tergugat terjadi perselisihan pasca perceraian yakni
mempersoalkan harta yang ada pada masa sebelum perkawinan dan pada
masa perkawinan, maka telah cukup dengan fakta-fakta yang ada untuk dapat
diadili di dalam majlis hakim.
Pembagian harta yang diajukan dari pihak penggugat harus diuji
melalui proses pengadilan dan akan diberikan setelah putusan dibacakan oleh
majelis hakim. Demi keadilan majelis hakim menimbang segala sesuatunya
hanya untuk kepentingan bersama. Hal ini didasari pemikiran, agar dari kedua
belah pihak berhak mendapatkan hak-haknya.
Majelis hakim pengadilan agama Jakarta Selatan sedikit
mengenyampingkan ketentuan hukum yang mengatur harta bersama dan harta
bawaan karena di dalam pihak penggugat berkewarganegaraan asing, yang
mana bahwa warga negara asing tidak boleh memiliki hak milik tanah yang
sesuai dijelaskan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA ) pasal 21
ayat (3) Nomor 5 Tahun 1960. Namun pihak penggugat membeli hartanya
berupa tanah dan bangunan pada saat sebelum perkawinan terlaksana, akan
tetapi sertifikat tanah dan bangunan diatasnamakan pihak tergugat tersebut.
Oleh karena itu, terhadap harta kekayaan berupa benda tidak bergerak berupa
tanah dan bangunan yang di dapat hasil pihak penggugat seluruhnya
diatasnamakan tergugat dan sebelum diadakannya perkawinan antara
penggugat dan tergugat terlebih dahulu diadakan perjanjian perkawinan yang
tertuang dalam Akta Nomor 13, tertanggal 13 Juni 2005 dibuat dihadapan Ny.
Syarmeini S Chandra, S.H., notaris di Jakarta.
44

Namun terhadap gugatan penggugat tersebut, tergugat telah


memberikan jawaban yang pada pokoknya membenarkan dalil gugatan
penggugat sebagian dan membantah selebihnya adapun yang dibenarkan:
1. Penggugat dan tergugat menikah pada tanggal 25 Juni 2005 namun pada
tanggal 13 Mei 2013 penggugat dan tergugat bercerai.
2. Penggugat dan tergugat sebelum melangsungkan pernikahan membuat dan
menandatangani Perjanjian kawin Nomor 13 pada tanggal 13 Juni 2005.
Dengan demikian majelis hakim menilai bahwa berdasarkan Pasal 1925
KUHPerdata jo Pasal 174 HIR pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim
adalah merupakan bukti yang sempurna dan memikat yang tidak memerlukan
bukti tambahan
Adapun bahwa dalil penggugat ada beberapa yang di bantah oleh
tergugat, yakni ialah:
1. Penggugat tidaklah memiliki hak atas benda baik bergerak maupun tidak,
yang nyatanya tertulis atas nama tergugat dalam akta-akta dan dokumen
kepemilikannya
2. Gugatan penggugat seluruhnya tentang harta bersama, sedangkan nyatanya
antara penggugat dan tergugat tidak memiliki percampuran harta, karena
penggugat dan tergugat telah membuat dan mentandatangani perjanjian
perkawinan sebelum perkawinan berlangsung.
3. Nyata dan tegas semua harta dalam penggugat yakni di dalam akta dan
dokumen kepemilikannya adalah atas nama tergugat, oleh sebab itu
gugatan penggugat tidaklah memiliki dasar hukum dan tidak sepatutnya
untuk tidak diterima.
Untuk menguatkan dalil gugatan dan bantahannya serta untuk
memenuhi ketentuan di atas, penggugat telah mengajukan bukti surat P.1
sampai P.21, 2 orang saksi.
Dengan demikian pihak tergugat pun mengajukan bukti surat T.1
sampai T.16 dan 1 orang saksi ahli hukum,
Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan nilai alat bukti dari
pihak penggugat, yakni bukti P.1, P.2 adalah fotokopi dari akta otentik dan
45

mempunyai nilai kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijkracht) dan


mengikat (bindende bewijkrahct). Kemudian bukti P.5, P.6, P.7 adalah akta
yang sengaja dibuat dihadapan pejabat publik (in casu notaris) yang nilai
kekuata,n pada pembuktiannya mengikat kepada kedua pihak yang melalukan
perjanjian sepanjang tidak ada bukti sebaliknya yang senilai atau lebih tinggi
dari alat bukti aquo dan dapat dijadikan alat bukti sepanjang relevan dengan
perkara ini. Kemudian dalam bukti P.8, P.9, P.10, P.11, P.12, P.13, dan P.14
telah dicocokan dengan aslinya merupakan surat biasa yang apabila diakui
dan tidak dibantah memiliki kekuatan pembukian yang berdiri sendiri da
apabila dibantah, maka hanya sebagai bukti permulaan. Dan 2 orang saksi
yang dibawa oleh penggugat tersebut telah memenuhi syarat formil maupun
materil dan memenuhi batas minimal sebagai alat bukti saksi, yakni
keterangan 2 orang saksi tersebut mempunyai kekuatan pembuktian hukum,
dengan demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 154 HIR alat bukti saksi
yang mempunyai nilai pembuktian bebas, maka penilaian bukti diserahkan
keoada Hakim yang akan dipertimbangkan lebih lanjut dalam putusan ini.
Adapun ketentuan lain yakni untuk menetapkan seseorang sebagai saksi ahli
harus dilihat dari pendidikan, pengalaman dan pelatihan sesuai dengan bidang
keahliannya, selaras dengan saksi ahli yang telah diajukan oleh penggugat
adlah berlatar belakang pendidikan hukum, bekerja sebagai dosen hukum
perdata termasuk hukum Islam pada fakultas hukum Universitas Indonesia,
dan Universitas lainnya yang bergerak dibidang hukum, menulis buku yang
berkaitan dengan hukum Islam, maka saksi tersebut dapat diterima sebagai
saksi ahli yang sesuai dengan ketentuan Pasal 154 HIR alat bukti saksi yang
mempunyai nilai pembuktian bebas (vrij bewijskracht).
Kemudian Majelis Hakim mempertimbangkan terhadap alat bukti
surat dari pihak tergugat, yakni alat bukti T.1, T.2, T.3, T.4, T.5, T.6, T.7
merupakan fotokopi surat yang dibuat oleh pejabat berwenang dan sesuai
dengan aslinya, sehingga kekuatan pembuktian sebagai bukti sempurna. Alat
bukti T.12 dn T.13 berupa fotokopi surat keterangan nomor rekening dan surat
reperensi, sebagai surat biasa, alat bukti tersebut tidak memiliki nilai
46

pembuktian sehinga cukup dikesampingkan kecuali diakui oleh pihak lawan


atau ada bukti lain, maka penilaian terhadap bukti tersebut diserahkan kepada
majelis Hakim. Alat bukti T.13, T.14, T.15, dan T.16 adalah berupa print
fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960, tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, fotokopi Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996, tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal Ataau Hunian Oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia,
Fotokopi Peraturan Menteri Agraia/ Kepala Badan Pertahanan Nasional
Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Persyatan Pemilik Rumah Tempat Tinggan atau
Hunian Oleh Orang Asing dan fotokopi Kpetusan Menteri Agraria/ Kepala
Bada Pertahanan Nasional Nomor 15 Tahun 1997 tentang perubahan
Keputusan Menteri Agraria/ kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 9
Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat
Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) berupa peraturan perundang-
undangan dan peraturan pemerintah yang apabila relevan dengan perkara
dapat dijadikan dasar-dasar pertimbangan bukan merupakan alat bukti, oleh
karena demikian, maka alat bukti tersebut dikesampignkan. Alat bukti T.8,
T.9, T.10, T.11 adalah copy dari copy dan tergugat tidak dapat
memperlihatkan aslinya untuk disesuaikan dengan aslinya, oleh karnanya
Majelis Hakim menilai terhadap bukti tersebut merupakan bukti awal atau
alat bukti yang tidak sah dipersidangan sebagaimana ketentuan Pasal 1888
KUH.Perdata yang menyatakan bahwa “kekuatan pembuktian suatu bukti
tulisan adala pada akta aslinya” sehingga diperlukan bukti lain untuk
penunjangnya. Sebagaimana Yurisprudensi MA No. 701.K/Sip./2974 tanggal
4 April 1976.
Kemudian saksi ahli yang diajukn oleh tergugat berlatar belakang
pendidikan hukum (S1, S2, dan S3), bekerja sebagai dosen hukum pada
fakultas hukum Universitas Padjajaran, menulis buku dan makalah huku,
maupun lainnya, maka saksi tersebut dapat diterima sebagai saksi ahli, namun
demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 154 HIR alat bukti saksi yang
47

mempunyai nilai pembuktian bebas, maka nilai pembuktiannya diserahkan


kepada majelis hakim.
Berdasarkan alat bukti P.3, P.4 dan bukti T.3,T.4, berupa salinan
putudan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Akta Cerai dihubungkan
denga dalil gugatan penggugat terbukti bahwa penggugat dengan tergugat
pernah menjadi suami istri sah sejak tanggal 25 Juni 2005 dan pada tanggal
13 Mei 2013 penggugat dan tergugat bercerai, dengan demikian penggugat
dan tergugat mempunyai hubungan hukum (legal standing), karenanya
penggugat dan tergugat mempunyai kapasitas sebagai pihak-pihak dalam
perkara ini.

D. Analisis Putusan
Dalam kasus ini, seharusnya Penggugat dapat membuktikan alasan
untuk diajukan sita jaminan atas harta bersama, maka Majelis Hakim tidak
mengabulkan Permohonan Sita jaminan. Dalam pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam yang merupakan modifikasi dari pasal 186 KUHPer. Salah satu dasar
diajukannya permohonan sita adalah adanya perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta kekayaan perkawinan seperti salah satu contohnya
adanya pemborosan atau kelalaian lain dalam menjaga harta kekayaan
perkawinan. Hal ini dapat dirujuk ke dalam Nash Al Qur’an. Allah tidak
menyukai keborosan dalam Surah Al Isra’ (27): Sesungguhnya orang-orang
pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya.
Penggugat tidak mengajukan alasan adanya kekhawatiran yang
beralasan terhadap keamanan bawaan maupun harta bersama, walaupun ada
ketentuan yang mengatur bahwa harta bersama tidak bisa dipindah tangankan
ke pihak lain tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak hal ini tidak
memberi suatu jaminan harta bersama tidak berpindah tangan. Untuk itu,
Penggugat ingin mengamankan harta bersamanya dengan tergugat dijamin
secara legal formal yaitu dengan meletakkan sita agar Penggugat dan anak-
anaknya tidak dirugikan.
48

Tentunya terdapat persangkaan Tergugat dapat melakukan perbuatan


yang membahayakan harta bersama yang akibatnya akan merugikan
Penggugat dan anak-anak dari Penggugat dan Tergugat.
Persangkaan Majelis Hakim tersebut dapat menjadi alat bukti,
sebagaimana diatur dalam pasal 1866 KUHPerdata jo. Pasal 164 HIR. Majelis
memandang hubungan Tergugat dan wanita lain dapat dilihat sebagai
muttawattir adanya Qorinah menyebabkan Tergugat sewenang-wenang
terhadap harta bersamanya dengan Penggugat.
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa sita dapat
dilakukan oleh Pengadilan Agama jika salah satu pihak melakukan perbuatan
yang merugikan dan membahayakan harta bersama. Tujuan dari peletakan
sita adalah untuk menjamin keutuhan seluruh harta kekayaan bersama dalam
perkawinan.
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam merupakan modifikasi dan sejiwa
dengan pasal 186 KUH Perdata di mana diatur bahwa tuntutan pemisahan
harta oleh isteri. Dalam pasal 95 Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa di
luar gugatan perceraian isteri atau suami dapat mengajukan pemisahan harta
perkawinan yang masih utuh ke Pengadilan. menunjukkan bahwa
permohonan sita tidak mutlak bersifat asesoir kepada gugatan cerai atau
pembagian harta bersama.
Dapat diperhatikan, pasal 95 Kompilasi Hukum Islam tidak sama
mutlak dengan pasal 186 KUHPerdata, mengingat pasal 186 KUHPer terlalu
kebarat-baratan dengan menganggap isteri tidak cakap melakukan perbuatan
hukum sehingga hanya isteri yang dapat mengajukan permohonan sita. Sita
jaminan identik dengan adanya harta persatuan bulat sehingga isteri dapat
meminta pemisahan harta. Sedangkan Hukum Islam tidak membedakan
kedudukan antara suami dan isteri, dan tidak mengenal harta persatuan bulat,
masing-masing pihak cakap melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya
masing-masing. Hal yang diadopsi dari pasal 186 KUHPer ke dalam pasal 95
Kompilasi Hukum Islam adalah mengenai cara mengajukan sita yang
independent, berdiri sendiri tanpa adanya gugatan cerai.
49

Hal ini tidak bertentangan dengan Sumber Hukum Islam yang utama
yakni Al Qur’an, dalam Surah Al Baqarah ayat 279 untuk tidak saling
merugikan. Jika kamu tidak melaksanakanya maka umumkanlah perang dari
Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas
pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi
(dirugikan).
Di sini Penggugat sebagai warga Negara asing, sebenarnya
Penggugat tidak menginginkan terjadinya perceraian, juga tidak membahas
mengenai pembagian harta bersamanya, karena Penggugat masih
menginginkan keutuhan rumah tangga. Sementara suami atau isterinya
melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan harta bersama yang
merupakan sumber bagi penghidupan dan kesejahteraan bagi keluarganya,
dibutuhkanlah suatu tindakan preventif agar harta bersama tidak habis dan
berpindah tangan ke pihak lain selain isteri dan anak-anaknya yang berhak
atas harta bersamanya.
Tujuan pokok sita yang diatur dalam pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam adalah menyelamatkan keutuhan harta bersama tanpa merusak ikatan
hubungan keluarga.
Permohonan sita jaminan berdasarkan pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam sifatnya tidak assesoir. Pernyataan “tanpa adanya permohonan gugatan
cerai” dapat diinterpretasikan tidak tergantung apakah terjadi perceraian atau
tidak. Sita tetap dapat dilaksanakan karena tujuannya adalah untuk
melindungi harta bersama saat perkawinan masih berlangsung. Jika sekalipun
terjadi perceraian harta tersebut dapat aman terbagi, antara suami isteri
mendapatkan masing-masing seperdua sebagaimana diatur dalam pasal 97
Kompilasi Hukum Islam.
Karena sifat sita berdasarkan pasal 95 KHI tidak bersifat assesoir
maka tidak akan bertentangan dengan akibat hukum putusnya perkawinan.
Seandainya perkawinan putus, sementara harta bersamanya diletakkan sita
justru memudahkan untuk langsung dilakukan pembagian harta bersama. Jika
perkawinan tidak putus dalam arti kata tidak terjadi perceraian, perkawinan
50

tetap utuh sedangkan harta bersama suami isteri sudah diletakkan sita, harta
bersama tidak akan beralih ke pihak lain, justru terlindungi dengan adanya
sita marital.
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam ini merupakan dasar hukum yang
digunakan untuk mengajukan permohonan sita marital pertama kali. Dalam
yurisprudensi sebelumnya dasar hukum mengajukan permohonan sita marital
adalah Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, di mana antara permohonan
sita maritalnya diajukan menjadi satu bagian dalam proses gugatan
perceraian. Antara Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam dengan pasal 24 ayat (2)
huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam tidak perlu dihubungkan, karena jelas antara pasal-
pasal tersebut mengatur hal yang esensinya berbeda.
Menurut Hukum Perkawinan Islam, thalak merupakan jalan terakhir,
jika sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk memperbaiki
kerukunan rumah tangga namun tidak juga dapat memperbaiki keadaan.
Mengingat perkawinan dalam ajaran Islam merupakan pertalian seteguh-
teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri
dan turunan bahkan antara dua keluarga Thalak harus mempertimbangkan
akibat perceraian baik yang menyangkut kuasa atas anak, terhadap harta
kekayaaan perkawinan, status sosial dan lain sebagainya. Jika benar-benar
tidak dimungkinkan upaya lain untuk menyelamatkan perkawinan, barulah
jalan perceraian terbuka. Dalam memutuskan perkawinan apakah akan
mendapatkan manfaat atau justru mudharat, Allah sesungguhnya ingin
hambaNya mengambil jalan yang penuh manfaat dibanding jalan yang
mudharat. Sebagaimana yang dimaksud Rasulullah, perceraian bukanlah
suatu permainan. Jika pihak isteri masih mau mempertahankan suatu
perkawinan ada baiknya pihak suami masih memberikan kesempatan bagi
isteri untuk memperbaiki semua, terlebih lagi jika isteri sungguh-sungguh
berusaha untuk melakukan perubahan.
51

Barang tentu harta bersamanya dikuasai istri Tergugat sehingga akan


merugikan Penggugat dan anak-anaknya. Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam
dapat diterapkan. Sita jaminan dalam Kompilasi Hukum Islam hanya diatur
secara tegas dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam. Jika menggunakan
dasar hukum Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam barulah permohonan
sita harus assesoir. Sifat sita yang diatur dalam pasal 95 Kompilasi Hukum
Islam seperti yang di atas tidak bersifat asesoir, sehingga dapat berdiri sendiri
tanpa tergantung gugatan cerai. Dengan demikian tidak ada hubungan yang
bertentangan antara peletakan sita dengan status hukum perkawinan, apakah
perkawinan itu putus atau tetap utuh.
Dan dalam sisi lain yang mempertimbangkan dalam pembagian harta
khususnya yakni setelah perceraian berlangsung kedua belah pihak yang
terlibat maka harus dapat dipertimbangkan di hadapan majelis hakim didalam
persidangan. Yang mana dari pihak penggugat telah mengajukan sita yang
mana pihak penggugat membawa harta bawaan yang di beli nya sebelum
berlangsungnya pernikahan, dan juga terlibat dalam pembelian harta tanah
dan bangunan rumah semasa dalam perkawinannya, namun pihak tergugat
membantah gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat, dengan dasar
bahwa akta tertulis dan dokumen tanah tersebut yakni atas nama pihak
tergugat. Namun telah diajukannya dihadapan Majelis Hakim yang mana
didalam pembuktian untuk menguatkan adanya kebenaran dalam
memposisikan hak tanah dan bangunan tersebut, yang telah sesuai dengan
penjelasan didalam pertimbangan hakim, bahwa Majelis Hakim menilai
dengan kekuatan posisi pembuktian yang diajukan kedua belah pihak. Namun
ada sebagian pembuktian dai pihak tergugat dikesampingkan yakni T.13,
T.14, T.15, T.16 yang mana berupa fotokopian Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undng Pokok Agraria,
fotokopi peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996,
Pemilikan rmah tempat tinggal dan hunian oleh orang asing berkedudukan di
Indonesia, fotokopi peraturan Menteri Agraria, adalah berupa peraturan
52

perundangan-undangan dan peraturan pemerintah yang apabila relevan


dengan perkara dapat dijadikan dasar pertimbangan bukan merupakan alat
bukti.
Majelis hakim telah mempertimbangkan tentang harta bawaan yang
didalilkan masing-masing pihak terhadap sebidang tanah dan bangunan.
Didalam bukti P.1 dan P.2 serta pengakuan dari pihak tergugat terbukti,
penggugat adalah warga negara asing, sehingga tidak bisa untuk
mengatasnamakan dirinya untuk harta tidak bergerak yang sesai dengan
perundang-undangan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) Nomor 5 tahun 1960. Dengan demkian majelis hakim sependapat
dengan saksi ahli yang menyatakan bahwa orang asing tidak dapat
mempunyai atau memegang hak milik atas tanah dan bangunan, sehingga
agar dapat memiliki harta tidak bergerak yakni diatasnamakan warga negara
Indonesia yang dipercayai oleh orang asing tersebut. Namun dalam
kepemilikan suatu tanah/rumah dibuktikan dengan sertifikat di dalam perkara
aquo semua benda dituntut sertifikat atas nama orang Warga Negara
Indonesia. Namun Majelis Hakim menilai bahwa tidak melihat sertifikat
tersebut tertulis atas nama siapa saja, sebagaimana yang tertera didalam
Yurisprudensi No.808 K./Sip.1974 tanggal 30 Juli 1974, akan tetapi dilihat
darimana uang terebut berasal untuk pembelian tanah/rumah tersebut. Jadi
bisa dapat disimpulkan bahwa didalam persoalan pembagaian harta pasca
perceraian yang mana pada pihak penggugat berkewarganegaraan asing dan
pihak tergugat Warga Negara Indonesia, namun pada dasarnya di dalam
sertifikat tanah beratasnamakan Warga Negara Indonesia yang selaku
tergugat, namun Majelis Hakim tak hanya dapat menilai dari atas nama siapa
yang tertera di dalam akta-akta dan dokumen yang jelas tertera harus Warga
Negara Asing yang dapat memiliki hak benda tidak bergerak, yakni Majlis
Hakim menilai dengan dasar Yurisprudensi No.808 K./Sip.1974 tanggal 30
Juli 1974 yang mana berisi yang dilihat darimana uang itu berasal untuk
pembelian tanah/rumah terebut.
53

Menurut penulis yang di dalam kasus tersebut, dalam perkara No


2582/Pdt.G/2013/PA.JS, yakni Sita Jaminan Dalam Sengketa Harta Bawaan
dan Harta Bersama, yang melibatkan yang mana pihak penggugat Warga
Negara Asing dan pihak Tergugat Warga Negara Indonesia, yang
mempermasalahkan persoalan harta nya pasca perceraian.
Persoalan harta tak lepas dari pembahasan pernikahan, yang mana
mempesoalkan harta pasca perceraian, pasca perceraian pihak penggugat
maupun pihak tergugat mempersoalkan hartanya untuk kepntingan dirinya
dan juga anak-anaknya yang mana pihak penggugat melaporkan kepada
pengadilan bahwa terdapat harta bersama dan harta bawaan di dalam nya.
Undang-Undang Perkawinan pasal 35 ayat 1, yakni harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan juga di dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 87 ayat 1 juga dijelaskan bahwa harta bawaan
suami atau istri yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Di dalam kasus ini pihak
penggugat meminta kepada Majlis Hakim, di dalam pengadilan yakni agar
harta bawaan penggugat di kembalikan dan harta bersama nya agar di bagi
berdua, yakni penggugat sebelum menikah dengan tergugat memiliki harta
benda tidak bergerak berupa sebidang tanah seluas 427m2, dan selama
berlangsungnya pernikahan antara penggugat dan tergugat memiliki sebidang
tanah seluas 385m2. Namun, pihak tergugat membatahnya (esepsi) atas harta
bawaan yang telah dimaksud oleh penggugat bahwasanya pihak penggugat
mengatas namakan tergugat untuk di dalam surat akta tanah, karena
penggugat melainkan bekewarganegaraan asing, yang mana tidak boleh
memiliki hak atas tanah. Terlepas harta bawaan yang diajukan oleh pihak
penggugat, yakni penggugat meminta kepada Majlis Hakim agar harta
bersama nya dibagi menjadi dua, seperti yang telah dijelaskan oleh Kompilasi
Hukum Islam, tetapi pihak tergugat membantahnya lagi dengan sebab
perjanjian perkawinan yang telah dilaksanakan sebelum pernikahan
berangsung.
54

Di dalam kasus tersebut bahwa majlis hakim menyimpulkan dalam


mengambil keputusan di dalam perkara tersebut yakni dalam persoalan
pembuktian akta surat tanah tidaklah hanya sebagai atas nama di dalam akta
surat tanah tersebut melainkan dibutuhkan mengetahui dilihat darimana uang
terebut berasal untuk pembelian tanah/rumah tersebut.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis penulis pada bab-bab sebelumnya dapat
diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Proses pemeriksaan sengketa harta bawaan dan harta bersama
dilakukan oleh pengadilan Agama dengan menyertakan data dan fakta
mana yang harta bawaan dan mana yang harta bersama.
2. Faktor diadakannya sita jaminan karena adanya perceraian pasangan
suami istri dan pengadilan mendapat laporan dari penggugat untuk
mengamankan harta bersama agar tidak dipindahtangankan kepada
orang lain sampai ada putusan yang berkekuatan hukum. Sita jaminan
merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan untuk
mengamankan harta bersama pasangan suami istri yang bercerai dan
khawatir hartanya akan tidak aman dan tidak bisa diselamatkan yang
dapat merugikan salah satu pihak ataupun keturunannya di kemudian
hari.
3. Setelah melihat fakta yang ada dan menentukan harta bawaan dan
harta bersama, majelis hakim memutuskan harta bawaan kepada
masing-masing pasangan dan membagi harta bersama dengan adil
(dibagi dua sama rata antara suami dan istri) sesuai haknya masing-
masing.

B. Saran

Dari penelitian ini, penulis mempunyai saran sebagai berikut:

1. Penggunaan harta bersama atau kekayaan baik kepentingan salah satu


pihak ataupun kepentingan bersama harus berdasarkan musyawarah
sehingga akan tercapai tujuan perkawinan. Penggunaan maupun

54
pendayagunaan harta bersama perkawinan harus dengan persetujuan
kedua belah pihak, jika suami atau istri akan melakuka perbuatan
hukum

55
56

mengenai harta bersama seharusnya disertakan keterangan tertulis


bahwa suami istri sepakat untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini
akan memudahkan menentukan mana yang termasuk dalam harta
bersama, karena adanya kejelasan. Mengingat harta bersama tidak
mempedulikan terdaftar atas nama siapa, dengan adanya surat
keteragan walaupun terdaftar atas nama pihak lain namun ternyata ada
kesepakatan suami istri dapat digunakan sebagai harta bersama.

2. Landasi penggunaan harta bersama dengan kejujuran. Islam tidak


membolehkan suatu perikatan/syirkah yang mengandung ghurur
(penipuan). Pernikahan adalah perikatan, sejenis dengan syirkah
abdaan, harus dilakukan dengan jiwa keluruhan salah satunya adalah
kejujuran. Masing-masing pihak harus saling terbuka, apakah itu
termasuk dalam harta bersama ataupun harta pribadi.

3. Untuk menghindari pertentangan pendapat mengenai kedudukan


Kompilasi Hukum Islam yang hanya merupakan Intruksi Presiden
dibawah Undang-Undang, akan lebih baik jika Kompilasi Hukum
Islam tersebut dibentuk dalam sebuah Undang-Undang, sehingga
Hakim Pengadilan Agama mutlak terikat. Seperti contohnya
Rancangan Undangan-Undangan Hukum Terapan Peradilan Agama
Bidang Perkawinan dapat segera diselesaikan dan disahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 untuk Fakultas Syari’ah


Komponen MKDK, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999

Ali, Zainuddin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006

Al-Asqalani Ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Jakarta: Ummul
Qura, 2015
Bachar, Djazuli, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum dan Penegakkan
Hukum, Jakarta: Akademika Presindo, 1987

Damanhuri A., Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama,


Bandung: Mandar Maju, 2007

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2001

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika,
2006

--------------, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conversatoir Beslag,


Bandung: Bandung Pustaka, 1990

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1983

Kazhim, Muhammad Nabil, Buku Pintar Nikah, Solo: Samudera, 2007

Loude, Jhon Z., Fakta dan Norma dalam Hukum Acara, Surabaya: Bina Aksara,
1981

56
57

Manan, Abdul, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,


1999

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal T., Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2004

Projodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih


Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media

Rahman, Fachtur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, t.th

Ramulyo, Moch. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 dari segi Perkawinan Islam, Jakarta: IND-HIIILCO, 1985

Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Sutantio, Hukum Acara Perdata


dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1997

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada


1995

Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta Benda dalam Perkawinan,


Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016
Simanjuntak, P.N.H, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Grup, 2015
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986

Sopyan, Yayan, Pengantar Metode Penelitian, Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah,


2010

Subekti, R., dan R. Tjirosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:


PT. Pradnya Paramita, 2008

Subekti, Trusto, Hukum Keluarga dan Perkawinan Bahan Pembelajaran Fakultas


Hukum Unsoed, Purwokerto: 2005
58

Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 2013

Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian,


Jakarta: Visimedia, 2003

Suyuthi, H. Wildan, Kompilasi Hukum Islam, 2001

Syah, Muhammad Ismail, Pencaharian Bersama, Jakarta: Bulan Bintang, 1965

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat ( Kajian Fiqih Nikah Lengkap),
Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2010

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,


2008

Webster’s, Meriem, Dictionary of Law, Massachusets: Merriam Webster


Springfield, 1996

Kamus

Termorshuizen, Marriane, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan,


1999

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Pasal 49

Mahkamah Agung, No. 454 K/Sip/1970, 11 Maret 1971

Internet

http://abidinsuccesmen.blogspot.co.id/2011/01/makalah-harta-benda-dalam-
perkawinan.html

http://konsultasi-hukum-online.com/2013/12/harta-bersama-dan-harta-bawaan/
59

www.hukumonline.com:http://mirdinatajaka.blogspot.co.id/2014/11/dasar-hukum-
eksekusi-sukarela-dan.html

www.awambicara.com:https://www.awambicara.id/2017/04/eksekusi-
pembayaran-sejumlah-uang.html

Anda mungkin juga menyukai