Anda di halaman 1dari 101

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA SUAMI PENYUKA SESAMA

JENIS
(Perbandingan Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor
981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
795/Pdt.G/2020/PA.Tng)

Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:
ACHMAD RAFLI

11180440000108

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2022
PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA SUAMI PENYUKA SESAMA
JENIS
(Perbandingan Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng)

Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:
Achmad Rafli
NIM: 11180440000108

Di Bawah Bimbingan

Dr. Hj. Azizah, M.A.


NIP. 196304091989022001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Achmad Rafli

NIM : 11180440000108

Prodi : Hukum Keluarga

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya, kecuali pada bagian-bagian yang
merujuk pada sumbernya. Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
karya jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerika sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Maret 2022

Achmad Rafli

iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “Pembatalan Perkawinan Karena Suami Penyuka Sesama Jenis
(Perbandingan Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng)” telah diajukan
dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Huum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 14 Maret 2022. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 14 Maret 2022

Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie. M.A


NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag


NIP. 197602132003122001

2. Sekretaris : Achmad Chairul Hadi, M.A. (................................)


NIP. 197205312007101002

3. Pembimbing : Dr. Hj. Azizah M.A. (................................)


NIP. 196304091989022001

4. Penguji I : Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag (................................)


NIP. 197304242002121007

5. Penguji II : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. (................................)


NIP. 198506102019031007

iv
ABSTRAK
Achmad Rafli. NIM 11180440000108, PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA
SUAMI PENYUKA SESAMA JENIS (Perbandingan Putusan Pengadilan Agama
Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang
Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng). Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443H/2022 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan perbandingan Putusan Pengadilan
Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng tentang suami penyuka sesama jenis.
Apakah alasan penyuka sesama jenis dapat dijadikan alasan untuk mengajukan
pembatalan perkawinan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
penelitiannya menggunakan yuridis normatif. Penelitian ini pula menggunakan teknik
pengumpulan data berupa studi dokumentasi, yang mengumpulkan beberapa bahan
hukum guna keperluan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menemukan pada putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl,
bahwa homoseksual yang baru diketahui setelah pernikahan berlangsung dapat
dijadikan alasan pembatalan perkawinan, karena termasuk dalam salah sangka atau
penipuan. Sehingga penggunaan pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 27 ayat (2) KHI oleh Majelis Hakim adalah langkah yang tepat. Sedangkan pada
putusan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, penulis menemukan bahwa alasan suami
penyuka sesama jenis merupakan salah satu alasan terjadinya perselisihan terus
menerus. Penulis setuju dengan pertimbangan hakim, karena memasukkan pasal 19
huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f KHI pada pertimbangannya,
sehingga pernikahan tersebut harus dibubarkan. Ternyata dapat ditemukan bahwa
kedua putusan ini memiliki implikasi/akibat hukum yang bervariasi baik itu untuk
pasangan maupun masyarakat.
Kata Kunci : Pembatalan Perkawinan, Homoseksual, Putusan Pengadilan Agama
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A
Daftar Pustaka : 1978 s.d. 2020

v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT., yang telah memberikan nikmat,
rahmat, dan hidayah. Shalawat beserta salam senantiasa kita haturkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah berkat kuasa dan karunia Allah
SWT., penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pembatalan Perkawinan
karena Suami Penyuka Sesama Jenis (Perbandingan Putusan Pengadilan Agama Bantul
Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
795/Pdt.G/2020/PA.Tng”.
Berkenaan dengan itu, penulis mengucapkan ungkapan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua, H. Rahmat dan Zulfliana yang selalu
mendoakan langkah kaki penulis kemanapun pergi. Beliau yang telah berjuang
mengorbankan tenaga, waktu, dan materi untuk membesarkan, menyayangi, dan
memberikan pendidikan yang tinggi kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu wujud bakti penulis terhadap kedua orang
tua. Tidak lupa juga kepada kakak-kakak penulis dan Selvi Putri yang telah menemani
dan memberikan motivasi selama penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu
dan memberikan kontribusinya selama masa perkuliahan dan menyelesaikan skripsi
ini:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA., selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,
M.H., M.A.
3. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Ibu Dr. Hj.
Mesraini M.Ag., dan Achmad Chairul Hadi M.A.
4. Dr. Azizah, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing
Skripsi yang selalu sabar dan ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing dan
memberikan nasihat serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan dan skripsi ini.

vi
5. Kepada Keluarga Besar Hukum Keluarga 2018, kawan-kawan yang menjadi
teman seperjuangan. Terimakasih telah menemani selama masa perkuliahan ini.
6. Para dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis menuntut ilmu di Prodi
Hukum Keluarga.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh


pihak, semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata, penulis
sangat berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca
khususnya mahasiswa Prodi Hukum Keluarga yang ingin menulis skripsi. Aamiin.

Jakarta, 21 Januari 2022

Achmad Rafli

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ............................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................................... 3
C. Pembatasan Masalah .................................................................................... 3
D. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
E. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
G. Tinjauan Kajian Terdahulu .......................................................................... 5
H. Kerangka Teori ............................................................................................ 8
I. Metode Penelitian ........................................................................................ 9
J. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBATALAN PERKAWINAN
DAN PENYIMPANGAN SEKSUAL ............................................................ 12
A. Pembatalan Perkawinan ............................................................................. 12
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan ..................................................... 12
2. Alasan Pembatalan Perkawinan ........................................................... 13
3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan .............................................. 16
B. Perceraian ................................................................................................... 17
1. Pengertian Perceraian ........................................................................... 17
2. Rukun dan Syarat Thalak dalam Hukum Islam ................................... 18
C. Penyimpangan Seksual .............................................................................. 20

viii
ix

1. Pengertian Penyimpangan Seksual ...................................................... 20


2. Macam-macam Penyimpangan Seksual .............................................. 21
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA
SUAMI PENYUKA SESAMA JENIS (PUTUSAN NOMOR
981/PDT.G/2020/PA.BTL DAN PUTUSAN NOMOR 795/PDT.G/2020/PA.TNG)
........................................................................................................................... 27
A. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl
.................................................................................................................... 27
B. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
795/Pdt.G/2020/PA.Tng ............................................................................ 31
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANTUL NOMOR
981/PDT.G/2020/PA.BTL DAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
TANGERANG NOMOR 795/PDT.G/2020/PA.TNG .................................. 36
A. Analisis Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl
.................................................................................................................... 36
B. Analisi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng
.................................................................................................................... 44
C. Perbandingan Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl
dengan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng
.................................................................................................................... 46
D. Implikasi Putusan Pengadilan Agama Bantul dan Pengadilan Agama Tangerang
Terhadap Pasangan dan Masyarakat .......................................................... 51
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 56
A. Kesimpulan ................................................................................................ 56
B. Saran .......................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 58
LAMPIRAN .................................................................................................... 58
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Homoseksual pada zaman sekarang ini, bukan merupakan hal yang tabu lagi
dalam masyarakat. Pada zaman dahulu, jarang sekali seseorang mengakui dirinya
adalah kaum homoseksual, namun pada zaman sekarang, banyak orang secara terbuka
mengakui dirinya adalah seorang homoseksual. Bahkan, dibeberapa negara melegalkan
perkawinan homoseksual sesama jenis1, seperti negara Belanda yang menjadi negara
pertama di Eropa yang melegalkan perkawinan homoseksual.2 Meski demikian, hal ini
tetap menjadi kontroversi baik di banyak negara, terlebih negara Muslim.
Islam menjunjung tinggi kemuliaan seorang manusia, sehingga Islam hanya
menghalalkan perilaku seks dalam perkawinan dan mengharamkan perilaku zina,
apalagi perilaku seks yang menyimpang, yaitu perilaku homoseksual. Dalam kitab Fiqh
Sunnah dikatakan bahwa homoseksual merupakan perbuatan hina dan keji, yang dapat
merusak etika, agama, jiwa, dan fitrah manusia.3 Maka dari itu, perbuatan ini sudah
jelas diharamkan dalam Islam, karena konsep perkawinan dalam Islam bukanlah
dengan sesama jenis (homoseks), melainkan dengan lawan jenis (heteroseks).4
Perkawinan dianggap sah jika rukun dan syarat perkawinan telah terpenuhi,
yang telah di tentukan dalam Undang-Undang Perkawinan maupun KHI. Namun
sebaliknya, apabila pernikahan yang telah dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan
syarat perkawinan, maka perkawinan itu menjadi tidak sah dan putus perkawinannya.

1
Agust Supriadi, “Amerika, Negara ke-21 yang Legalkan Pernikahan Sesama Jenis”
(https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150627020426-134-62714/amerika-negara-ke-21-
yang-legalkan-pernikahan-sesama-jenis, Diakses pada 25 Juli 2021).
2
Desti Ananda Prihatini, “Daftar Negara yang Melegalkan Pernikahan Sesama Jenis”
(https://tirto.id/daftar-negara-yang-melegalkan-pernikahan-sesama-jenis-ekhS, Diakses pada 25 Juli
2021).
3
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, VI (Libanon: Dar al-FIkr, 1968), hlm. 427.
4
Fajar Wajdu, “Perkawinan Sejenis dalam Konstruksi Teori Mashlahah”, Al-Syakhshiyyah
Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, Vol. 1, 1 (2019), hlm. 2.

1
2

Putusnya perkawinan dapat disebabkan karena perkawinan dibatalkan oleh


hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam.5 Pengadilan
Agama dapat membatalkan perkawinan pasangan suami istri, jika diketahui
perkawinannya ternyata tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang telah
ditentukan.6 Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.7
Pembatalan perkawinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, lazimnya di
Indonesia karena pemalsuan identitas. Seperti yang terjadi di NTB, seorang pria
memalsukan identitasnya menjadi wanita, sehingga terjadi perkawinan sejenis antara
kedua lelaki.8 Selain pemalsuan identitas, pembatalan perkawinan disebabkan karena
poligami yang tidak memiliki izin dan masih banyak lagi. Penulis tidak mengangkat
kasus tersebut, karena penulis lebih tertarik kepada kasus putusan Pengadilan Agama
Bantul yang tercatat pada Nomor 981/ Pdt.G/2020/PA.Btl.
Perkara pada putusan ini disebabkan oleh sang istri yang merasa di tipu oleh
suaminya, yang merupakan penyuka sesama jenis (homoseksual). Sang suami
menyembunyikan perihal orientasi seksnya dari sebelum diadakan perkawinan. Sang
istri baru mengetahui penyimpangan seks dari suaminya setelah diadakan akad
perkawinan. Sang suami telah melakukan penipuan sehingga sangat merugikan diri
sang istri selaku pemohon. Maka dari itu, sang istri mengajukan pembatalan pernikahan
ke PA Bantul. 9
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam lagi tentang pembatalan pernikahan yang disebabkan karena
salah satu pasangan ternyata seorang penyuka sesama jenis dalam Putusan PA Bantul
Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, dan mengapa Hakim memutuskan perkara ini dengan

5
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, Cet.3,
2008), hlm. 141
6
KHI (Kompilasi Hukum Islam), (Bandung: Citra Umbara, 2007), Cet. I, hlm. 253.
7
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, 2010,
hlm. 147.
8
Tim detikcom, ”Heboh ‘Istri’ Ternyata Pria di NTB, Jaksa Ajukan Pembatalan
Perkawinan” (https://news.detik.com/berita/d-5056729/heboh-istri-ternyata-pria-di-ntb-jaksa-ajukan-
pembatalan-perkawinan, Diakses pada 25 Juli 2021).
9
Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan Nomor 981/ Pdt.G/2020/PA. Btl, hlm. 2.
3

pembatalan perkawinan. Berbanding terbalik dengan putusan Pengadilan Agama


Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, yang mana Hakim dalam putusan ini
memutus perkara dengan perceraian.

B. Identifikasi Masalah
Persoalan yang muncul dari latar belakang masalah diatas, penulis
klasifikasikan menjadi beberapa masalah yang penting dengan identifikasi, yaitu:
1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi.
2. Pembatalan Perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
3. Penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri dapat dikategorikan
sebagai pembatalan perkawinan.
4. Penyuka sesama jenis adalah rasa ketertarikan seksual seseorang terhadap
orang lain yang mempunyai gender yang sama.
5. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
mengenai suami penyuka sesama jenis.
6. Pertimbangan hukum hakim dalam menyelesaikan perkara dalam putusan di
Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl.
7. Pertimbangan hukum hakim dalam menyelesaikan perkara dalam putusan di
Pengadilan Agama Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng.

C. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi masalah pada penilitian ini, agar objek penelitian menjadi
fokus utama dan menghindari perluasan masalah, sehingga penelitian ini menjadi lebih
terarah. Maka dari itu penulis membatasi masalah hanya seputar pada pembatalan
perkawinan karena kelainan seksual yaitu penyuka sesama jenis pada Putusan
Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng.

D. Rumusan Masalah
4

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas perihal suami/
termohon yang ternyata homoseksual sehingga pernikahannya dengan pemohon
dibatalkan, maka masalah pokok pembahasannya yaitu bagaimana pertimbangan
hakim di Pengadilan Agama Bantul dan Pengadilan Agama Tangerang dalam perkara
pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam. Untuk menjawab masalah pokok di atas, maka penulis merumuskan
beberapa pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana alasan homoseksual dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan dan
perceraian dalam hukum perkawinan di Indonesia?
2. Bagaimana alasan homoseksual dapat dijadikan alasan pembatatalan perkawinan
dan perceraian pada Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor
981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
795/Pdt.G/2020/PA.Tng?
3. Bagaimana implikasi putusan Pengadilan Agama Bantul dan putusan Pengadilan
Agama Tangerang terhadap pasangan dan masyarakat?

E. Tujuan Penelitian
Setelah penulis menjelaskan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah alasan homoseksual dapat dijadikan alasan
pembatalan perkawinan dan perceraian dalam hukum perkawinan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apakah alasan homoseksual dapat dijadikan alasan
pembatalan perkawinan dan perceraian pada Putusan Pengadilan Agama Bantul
Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang
Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng.
3. Untuk mengetahui bagaimana implikasi putusan Pengadilan Agama Bantul dan
putusan Pengadilan Agama Tangerang terhadap pasangan dan masyarakat.

F. Manfaat Penelitian
5

Penilitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya sebagai


berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahanan
terhadap ilmu hukum Islam yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan
karena penyuka sesama jenis.
2. Secara praktis, diharapkan dapat menambah pemahaman kepada masyarakat
dan diharapkan menjadi tambahan rujukan bagi peneliti-peneliti lain yang
berkaitan dengan pembatalan perkawinan karena penyuka sesama jenis.
3. Secara pribadi, untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Hukum dalam
Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum.

G. Tinjauan Kajian Terdahulu


Kajian tentang pembatalan perkawinan bukanlah hal yang baru, banyak
penelitian sebelum penelitian ini yang membahas tentang pembatalan perkawinan,
seperti pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas, poligami ilegal, dan
sebagainya. Penelitian terdahulu tersebut ada yang berupa buku, artikel, bahkan skripsi.
Artikel yang ditulis oleh Tami Rusli yang berjudul “Pembatalan Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penelitian
ini membahas tentang pembatalan perkawinan secara umum dan menjelaskan akibat
hukumnya berdasarkan Undang-undang Perkawinan.10
Artikel yang berjudul: “Konsep Pembatalan Perkawinan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” yang ditulis oleh Deni
Rahmatillah dan A.N Khofify. Penelitian ini menjelaskan tentang Undang-undang
Perkawinan dan KHI yang berhubungan dan saling melengkapi dalam mengatur
pembatalan perkawinan.11

10 Tami Rusli, “Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan”, Pranata Hukum, Vol. 8, 2 (2013).
11 D. Rahmatillah dan A. Khofify, ”Konsep Pembatalan Perkawinan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, Hukum Islam, Vol. 17, 2 (2018).
6

Artikel yang ditulis oleh Ahmad Fauzan Hakim yang berjudul “Pembatalan
Perkawinan Karena Penipuan Identitas”. Penelitian ini menjelaskan bagaimana
pembatalan perkawinan yang disebabkan salah satu pasangan melakukan
penipuan tentang jenis kelaminnya menurut perspektif hukum Islam dan hukum
positif.12
Artikel yang berjudul, “Penyelesaian Sengketa Pembatalan Pernikahan Karena
Adanya Penipuan Status Istri” yang ditulis oleh Amelia Haryanti. Penelitian ini
membahas mengenai proses penyelesaian perkara pembatalan perkawinan pada
putusan Pengadilan Agama Makasar Nomor 1098/Pdt.G/2011/PA.Mks. Putusan ini
mengakibatkan perkawinan antara suami dan istri tidak pernah terjadi. 13
Artikel yang berjudul “Pembatalan Perkawinan Akibat Poligami” yang ditulis
oleh Abd. Hakim. Penelitian ini menjelaskan pembatalan perkawinan yang disebabkan
poligami ilegal menurut KHI dan Mazhab Syafi’i, yang mana KHI dan Mazhab Syafi’i
mempunyai kebijakan dan produk hukum yang berbeda mengenai pembatalan
perkawinan karena poligami ilegal.14
Tesis yang berjudul “Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya di
Pengadilan Agama Slawi” yang disusun oleh Yusnidar Rachman, SH. Dalam tesis ini
menggunakan data primer yaitu putusan Pengadilan Agama Slawi Nomor
59/Pdt.G/2005/PA.Slw, yang mana pada putusan ini mengenai pembatalan perkawinan
yang diakibatkan adanya penipuan.15
Skripsi yang disusun oleh Siwi Mettarini yang berjudul “Pembatalan
Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Oleh Suami dan Akibat Hukumnya (Analisis
Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 925/Pdt.G/2018/PA.Btl)”. Dalam penelitian
ini dibahas pembatalan perkawinan secara umum dan dibahas juga bagaimana

12 Ahmad Fauzan Hakim, “Pembatalan Perkawinan Karena Penipuan Identitas”, Dinamika.


Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 25, 2 (Februari, 2019).
13 Amelia Haryanti, “Penyelesaian Sengketa Pembatalan Pernikahan Karena Adanya
Penipuan Status Istri”, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 4, 2 (September, 2017).
14 A. Holik, “Perkawinan Akibat Poligami”, Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian
Keislaman, Vol. 1, 2 (2013).
15 Yusnidar Rachman, “Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya di Pengadilan
Agama Slawi”, (Tesis S-2 Program Pascasarjana Kenotariatan, Universitas Diponegoro, 2006).
7

pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan karena


suami memalsukan identitasnya.16
Skripsi dengan judul “Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan
Identitas: Ditinjau dari Pasal 27 UU Perkawinan (Analisis Kasus Putusan Nomor
106/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel)” yang disusun oleh Naskel Thiopulus Baharsyah. Pada
skripsi ini dibahas mengenai pembatalan perkawinan menurut UU Perkawinan dan
juga upaya hukum dalam menyelesaikan perkawinan yang dimana suami mengaku
lajang tetapi ternyata sudah mempunyai istri. Pada akhir penelitian ini dibahas
mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan yang
salah satu pihaknya melakukan pemalsuan identitas diri.17
Skripsi dengan judul “Pembatalan Perkawinan Akibat Manipulasi Identitas
Ditinjau Al-Maslahah Al-Mursalah (Studi Putusan Nomor 469/Pdt.G/2019/PA.Wng di
Pengadilan Agama Wonogiri)” yang disusun oleh Kharisma Yogi Maritika Arumdani
. Skripsi ini membahas mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor
469/Pdt.G/2019/PA.Wng, yang mana pada putusan ini si istri sebelum menikah
mengaku lajang, namun diketahui setelah menikah si istri ternyata sedang mengandung
anak. Hal ini yang mengakibatkan suami mengajukan permohonan pembatalan
pernikahan nya ke Pengadilan Agama, karena merasa tertipu oleh istrinya tersebut.
Penelitian ini juga membahas bagaimana Al-Maslahah Al-Mursalah terhadap
pembatalan perkawinan yang disebabkan karena manipulasi identitas.18
Skripsi dengan judul “Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas
dalam Perkawinan Poligami (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor
1624/Pdt.G/2009/PA.SDA) yang disusun oleh Frisko Dwi Karisma Yudha. Skripsi ini
membahas tentang faktor penyebab terjadinya pemalsuan identitas di dalam

16 Siwi Mettarini, “Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Oleh Suami dan
Akibat Hukumnya (Analisis Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor: 925/Pdt.G/2018/PA.Btl)”,
(Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah, IAIN Purwokerto, 2021).
17 Naskel Thiopulus Baharsyah, “Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan
Identitas: Ditinjau dari Pasal 27 UU Perkawinan (Analisis Kasus Putusan Nomor
106/Pdt.G/2016/PN.Jak.Sel)”, (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2018).
18 Kharisma Yogi Maritika Arumdani, “Pembatalan Perkawinan Akibat Manipulasi Identitas
Ditinjau Al-Muslahah Al-Mursalah (Studi Putusan Nomor: 469/Pdt.G/2019/PA.Wng di Pengadilan
Agama Wonogiri)”, (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah, IAIN Surakarta, 2020).
8

perkawinan, yang mana hal ini disebabkan karena kurangnya filterisasi yang
dilakukan oleh pembuat identitas, sehingga pelaku dengan mudah mendapatkan
identitas yang tidak sama dengan kondisi aslinya. Diakhir penelitian, dibahas
bagaimana akibat hukum dari pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas.19
Perbedaan antara sepuluh penelitian tersebut dengan penilitian skripsi ini
adalah penelitian ini berfokus pada pembatalan perkawinan yang disebabkan
suami/istri merupakan penyuka sesama jenis. Disamping hal itu, data primer yang
digunakan pada penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor
981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
795/Pdt.G/2020/PA.Tng.

H. Kerangka Teori
1. Pengertian Pembatalan Perkawiinan
Pembatalan perkawinan adalah sebuah putusan melalui persidangan dari
pengadilan yang menyatakan perkawinan tersebut cacat hukum. Hal ini dapat
dibuktikan dari syarat dan rukun nikah yang tidak terpenuhi ataupun disebabkan oleh
dilanggarnya katentuan yang mengharamkan perkawinan tersebut.20
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut dengan fasakh. Fasakh
berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti
membatalkan.21 Fasakh secara terminologi adalah pembatalan akad perkawinan,
sehingga memutuskan tali perkawinan yang mengikat antara suami dan istri.
Pembatalan Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang
termuat dalam Bab IV Pasal 22-28 dan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Bab
XI Pasal 70-76.
2. Pengertian Penyuka Sesama Jenis

19 Frisko Dwi Karisma Yudha, “Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas dalam
Perkawinan Poligami (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor:
1624/Pdt.G/2009/PA.Sda)”, (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur, 2012).
20 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 187
21 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
190
9

Penyuka sesama jenis adalah hubungan biologis antara sesama jenis kelamin,
baik pria dengan pria, dan wanita dengan wanita. Penyuka sesama jenis lebih sering
disebut dengan homoseks, seks sesama pria, dan disebut lesbian, yang sesama wanita.
Hubungan ini merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa yang besar, yang merusak
etika, fitrah, dan agama.22

I. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah proses penelitian yang berupa kata-kata tertulis
dalam bentuk deskriptif. Penelitian jenis ini biasanya menekankan pada kata-kata,
deskriptif, dan menggunakan analisis.

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan yuridis normatif yang menekankan pada
penggunaan data sekunder dengan mempelajari prinsip-prinsip hukum, khususnya
kaidah hukum perkawinan. Dalam pendekatan penelitian jenis yuridis normatif,
terdapat pendekatan turunan yang penulis gunakan dalam penelitian ini, yaitu
pendekatan perundang-undangan atau statue approach. Pendekatan perundang-
undangan adalah pendekatan yang meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam
penerapannya masih terdapat kekurangan. Peraturan perundang-undangan yang
digunakan pada penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.

3. Sumber Data
a. Sumber data primer terdiri dari putusan hakim dan perundang-undangan,
meliputi Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl,
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng,

22 R.R.Y Rangkuti, “Homoseksual dalam Perspektif Hukum Islam”, Asy-Syir’ah: Jurnal


Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46, 1 (2012)
10

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
b. Sumber data sekunder yaitu penelitian kepustakaan yang sumber datanya
berbentuk tulisan dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas, yaitu pembatalan perkawinan karena penyuka sesama jenis.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah studi
dokumentasi. Studi Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengkajian terhadap dokumen hukum untuk mendapatkan datanya.
Data ini bersumber dari Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan
Pengadilan.23

5. Teknis Analisis Data


Setelah seluruh data yang penulis peroleh, data tersebut akan dianalisa dan
diformulasikan dalam bentuk deskripsi sehingga dapat menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.

J. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan secara terperinci, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penelitian terdahulu, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

23
Muhaimin, “Metode Penelitian Hukum”, (Mataram: Mataram University Press, 2020), hlm.
66.
11

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBATALAN PERKAWINAN


DAN PENYIMPANGAN SEKSUAL
Pada bab ini membahas pembatalan perkawinan dan penyimpangan seksual
secara umum. Pembahasan pembatalan perkawianan mencakup: pengertian, alasan
pembatalan perkawinan, dan akibat hukumnya. Adapun pembahasan penyimpangan
seksual mencakup: pengertian dan macam-macam penyimpangan seksual.
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENYELESAIKAN
PERKARA SUAMI PENYUKA JENIS (PUTUSAN NOMOR
981/PDT.G/2020/PA.BTL DAN PUTUSAN NOMOR
795/PDT.G/2020/PA.TNG
Pada bab ini membahas duduk perkara, posisi kasus, dan hasil putusan pada
Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan
Pengadilan Agama Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.TNG.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANTUL NOMOR
981/PDT.G/2020/PA.BTL DAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
TANGERANG NOMOR 795/PDT.G/2020/PA.TNG
Pada bab ini membahas dan menganalisis putusan Pengadilan Agama Bantul
Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan putusan Pengadilan Agama Tangerang nomor
795/Pdt.G/2020/PA.Tng, serta perbandingan kedua putusan tersebut.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini terdapat kesimpulan dan saran dari penulis yang merupakan bagian
akhir dari penelitian ini.
BAB II

PEMBATALAN PERKAWINAN, PERCERAIAN, DAN PENYIMPANGAN


SEKSUAL

A. Pembatalan Perkawinan

1. Pengertian Pembatalan Perkawian


Pembatalan berasal dari kata batal, yang berarti menganggap suatu peristiwa
menjadi tidak sah, peristiwa tersebut tidak pernah ada. Jika kata pembatalan
dihubungkan dengan perkawinan, maka maknanya perkawinan tersebut tidak sah atau
tidak pernah ada. Jadi, pembatalan perkawinan adalah suatu putusan dari pengadilan
melalui persidangan yang menyatakan bahwa sebuah perkawinan mempunyai cacat
hukum. Perkawinan dinilai cacat hukum dapat dibuktikan dengan tidak terpenuhinya
syarat dan rukun nikah ataupun perkawinan nya melanggar ketentuan yang
mengharamkan perkawinan tersebut.1
Dalam ilmu fikih, pembatalan perkawinan disebut juga dengan fasakh, yang
artinya merusakkan atau membatalkan.2 Ibnu Manzur dalam Lisan a-Arab
mendefinisikan fasakh secara bahasa yaitu batal (naqada) atau bubar (faraqa).3 Dari
pengertian secara bahasa ini, berarti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan sebuah
perkawinan sehingga menyebabkan putusnya perkawinan tersebut.4
Imam Syafi’i mendefinisikan fasakh ialah pembatalan sebuah perkawinan yang
muncul karena adanya aib, kenyataan tidak terpenuhinya syarat, atau dugaan tidak
terpenuhinya syarat. 5Pendapat lain dari Imam Abu Zahroh dalam kitabnya Al-Ahwal

1
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 187.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama, Cet.5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014),
hlm. 242.
3
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Juz III, (Qatar: Dar Al-Fikr, 1994), hlm. 45
4
Ahmad Ahzar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 85.
5
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqihu asy-Syafi’i Al-Muyassar, (Beirut: Darul Fikr, 2008), hlm. 31.

12
13

Al-Syakhsiyyah yang menyebutkan bahwa fasakh ialah sesuatu yang terjadi atau
diketahui belakangan bahwa ada sesuatu yang menghalangi langgengnya sebuah
pernikahan, atau sebuah konsekuensi dari ketidakdiketahuinya sesuatu yang
mengiringi akad yang menjadikan akad tersebut tidak sah.6
Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya fasakh ialah
putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan karena sesuatu yang merusakkan atau
membatalkan perkawinan yang terjadi saat atau setelah akad.
Di hukum positif Indonesia, pembatalan perkawinan diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
disebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Selain diatur di Undang-Undang
Perkawinan, pembatalan perkawinan juga diatur di Kompilasi Hukum Islam (KHI).
KHI mengatur pembatalan perkawinan dengan membedakan berdasarkan dua hal,
yaitu perkawinan batal demi hukum dan perkawinan dapat dibatalkan. Mengenai
perkawinan batal demi hukum, berarti perkawinan tersebut melakukan pelanggaran
terhadap apa saja yang menjadi larangan perkawinan. Sedangkan, perkawinan dapat
dibatalkan yaitu salah satu pihak dirugikan haknya sehingga ia dapat memintakan
pembatalan perkawinan tersebut.

2. Alasan Pembatalan Perkawinan


Bagi masyarakat yang beragama Islam, permohonan pembatalan perkawinan
dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri.
Permohonan ini dapat diterima selama alasan yang melatarbelakangi seseorang
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan itu jelas. Alasan pembatalan
perkawinan diatur di dalam hukum positif Indonesia, Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.

6
Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beirut: Darul Fikr Al-Arabi, 1950), hlm. 324.
14

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan


dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.7 Kemudian, di pasal 27 UU Perkawinan yang selaras
dengan Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan hak-hak suami atau hak-
hak istri untuk mengajukan pembatalan perkawinan manakala perkawinan
dilangsungkan dalam keadaan diancam, ditipu, atau salah sangka.8
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau istri.
3) Apabila ancaman terlah terhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaanya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Menurut Yahya Harahap pengertian ancaman yang melanggar hukum pada
Pasal 27 ayat (1) diatas ialah ancaman kekerasan yang merupakan perbuatan tindak
pidana sehingga dapat menghilangkan hak-hak calon mempelai. Lalu, pada ayat (2)
yang dimaksud salah sangka adalah salah sangka mengenai diri suami atau istri, bukan
keadaan orangnya.9 Kemudian, mengenai perkawinan dapat dibatalkan berarti
sebelumnya pernah terjadi perkawinan lalu dibatalkan disebabkan melanggar beberapa
hal diatas, walaupun putusan Pengadilan Agama nantinya akan menganggap
perkawinan itu tidak pernah terjadi.

7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998), hlm. 148.
9
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia, (Medan: Cv Zahir Co, 1978), hlm. 71.
15

Selain Undang-Undang Perkawinan, pembatalan perkawinan juga diatur dalam


Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 70 KHI disebutkan bahwa perkawinan batal
apabila:
1) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat
istrinya dalam iddah talak raj’i.
2) Seseorang menikahi istrinya yang telah di li’annya.
3) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian
bercerai lagi ba’da al-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri;
d. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
Kemudian, pada Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
lain yang mafqud;
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;
16

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan


dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kecuali ada dispensasi dari
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Selanjutnya pada Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
mengenai diri suami atau istri.
3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari
keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup
sebagai suami atau istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan
pemohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Suatu perkawinan dapat dibatalkan atau batal secara hukum oleh pengadilan,
jika alasan-alasan diatas terjadi di sebuah perkawinan. Pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan permohonan pembatalan, pengadilan dapat membatalkan
perkawinan tersebut, dan memutus sebuah putusan yang menganggap perkawinan nya
batal dan tidak pernah terjadi.

3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan


Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah dikeluarkannya putusan dari
Pengadilan Agama. Putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak
berlangsungnya perkawinan. Namun putusan tersebut tidak berlaku surut terhadap 3
17

hal yaitu; anak, harta bersama, dan pihak kegita. Hal ini lebih lanjut di jelaskan pada
Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa keputusan
tidak berlaku surut terhadap:
1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
2) Suami atau istri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar adanya perkawinan
lain yang terlebih dahulu;
3) Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kemudian, Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
1) Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad;
2) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa batalnya perkawinan
tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tauanya.

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian
Di dalam literatur Fiqih, perceraian dikenal dengan istilah thalaq. Secara
bahasa, kata thalaq diambil dari bahasa arab yaitu athlaqa, yang berarti athlaqa al-
mawasyiy (melepaskan) dan athlaqa al-asir (membebaskan). Dihubungkan dengan
18

kata thalaq dengan putusnya perkawinan berarti antara suami dan istri sudah lepas
hubungannya atau masing-masing sudah bebas.10
Cerai thalak merupakan hak suami yang dijatuhkan kepada istrinya di depan
Pengadilan Agama dengan menajukan permohonan terlebih dahulu. Ketika
permohonan thalak suami dikabulkan oleh Pengadilan Agama, maka Pengadilan
Agama menjadwalkan pembacaan ikrar yang akan dibacakan oleh suami atau
seseorang yang dikuasakan untuk membacanya.
Dalam literasi hukum Islam ditemukan setidaknya ada dua macam thalak, yaitu:
a. Thalak sunni, yaitu thalak yang dijatuhakn oleh suami terhadap istrinya
dalam keadaan suci dan belum dikumpuli. Pada thalak sunni, hendaknya
seseorang menthalak dalam keadaan suci tanpa menggaulinya terlebih
dahulu.
b. Thalak bid’i, yaitu thalak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya
dalam masa haid atau dalam keadaan suci tetapi sudah dikumpuli pada saat
itu.11
2. Rukun dan Syarat Thalak dalam Hukum Islam
Rukun thalak adalah kata-kata yang menyebabkan jatuhnya talak, baik berupa
kata yang tegas, seperti kamu dithalak atau sejenisnya, ataupun berupa kata-kata
kiasan, seperti kembalilah kekeluargamu. Adapun rukun thalak itu antara lain yakni:
Pertama, suami yang menthalak istrinya; Kedua, perempuan yang dithalak; Ketiga,
shigat atau ucapan thalak. Ucapan yang dapat menjatuhkan thalak tersebut ada dua,
yaitu: Asharih (jelas) dan Kinayah (kiasan).
Adapun syarat thalak dalam hukum Islam itu yakni: Pertama, suami yang
menjatuhkan thalak harus baligh dan berakal sehat (tidak gila); Kedua, harus dalam

10
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam dan
Hukum Materil, (Tangerang Selatan: YASMI, 2018), hlm. 267
11
Ibid., hlm. 269-270
19

keadaan sadar tanpa ada paksaan. Kemudian, bagi perempuan yang di thalak harus
memiliki persyaratan yaitu perempuan yang dithalak harus masih terikat dalam tali
perkawinan. Demikian pula, istri yang sudah diceraikan dalam bentuk thalak raj’i
masih berada dalam iddah, karena perempuan ini status hukumnya seperti istri dalam
hampir seluruh seginya.12

C. Penyimpangan Seksual

1. Pengertian Penyimpangan Seksual


Kebutuhan seksual pada manusia dapat disamakan dengan kebutuhan manusia
akan mencari makan. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahwa kebutuhan seksual pada
manusia merupakan suatu kebutuhan yang penting untuk dipenuhi seperti kebutuhan
manusia akan makan. Dalam memenuhi kebutuhan seksual tersebut harus mengikuti
dan memperhatikan norma dan aturan yang ada. Namun, seiring zaman yang semakin
maju dan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat, ada saja manusia yang
memenuhi kebutuhan seksualnya dengan cara yang wajar sehingga terdapat
penyimpangan dalam aktivitas seksualnya.
Penyimpangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa
pengertian. Pertama, penyimpangan sebagai bentuk proses atau cara perbuatan yang
menyimpang. Kedua, penyimpangan berarti membelok menempuh jalan yang lain.
Ketiga, tidak sesuai yang sudah ditentukan atau yang sudah direncanakan. Keempat,
penyimpangan ialah menyalahi kebiasaan, menyeleweng dari kebenaran, hukum, atau
agama.13
Dari pengertian penyimpangan di atas jika kita hubungkan dengan aktivitas
seksual, penyimpangan seksual merupakan sebuah aktivitas seksual yang dilakukan

12
Ibid., hlm. 271-272
13
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1995), hlm. 488.
20

seseorang dengan cara yang tidak wajar dan menyalahi hukum ataupun agama.
Menurut Dianawati penyimpangan seksual adalah cara yang ditempuh seseorang dalam
mencari kenikmatan seksualnya dengan jalan yang tidak wajar.14
Penyimpangan seksual yaitu perilaku atau fantasi seksual yang ditempuh untuk
mendapatkan orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual, dengan
jenis kelamin yang sama, atau dengan partner yang belum dewasa, dan bertentangan
dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara
umum.15
Menurut Suyatno dalam bukunya yang berjudul “Penyimpangan Seksual”,
menjelaskan penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang
untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang
digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan objek seks yang tidak wajar.
Penyebab terjadinya kelainan ini adalah psikologis dan genetik.16
Dari beberapa pengertian di atas tentang penyimpangan seksual, dapat ditarik
kesimpulan. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang
untuk mendapatkan kenikmatan dengan cara yang tidak wajar dan menyalahi norma,
agama, dan hukum.

2. Macam-Macam Penyimpangan Seksual


Penyimpangan aktivitas seksual terbagi menjadi beberapa macam, antara lain:

a. Homoseksual
Homoseksual merupakan sebuah kelainan seksual dimana seseorang tertarik
dan berhubungan seksual dengan sesama jenis. Laki-laki yang menyukai laki-laki

14
A. Dianawati, Pendidikan Seks untuk Remaja, (Tangerang: Kawan Pustaka, 2003), hlm. 75
15
Didi Junaedi, Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-Qur’an, Menikmati Seks Tidak
Harus Menyimpang, (Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2016), hlm. 7.
16
Suyatno, Penyimpangan Seksual, (Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Diponegoro,
2009), hlm. 14.
21

disebut gay dan perempuan yang menyukai perempuan disebut lesbian.17 Di zaman
yang sudah berkembang dan adanya perubahan sosial di masyarakat, kaum
homoseksual ini semakin berkembang. Kaum homoseksual jarang menyatakan dirinya
bahwa mereka seorang penyuka sesama jenis. Perbuatan ini tidak hanya terjadi pada
zaman sekarang, namun telah ada sejak zaman Nabi Luth a.s. Hal ini sesuai dengan
firmal Allah dalam QS. Al-A’raf ayat 80 dan 81:
َ َ َٰ َ ۡ َ َ َ ۡ َ ُ ََ َ َ َ َ َۡ َ ََُۡ َ َ َ ۡ ً َُ
٠٨ ‫وطا إذ قال لق ۡومهۦ أتأتون ٱلفَٰحشة ما سبقكم بها من أح ٖد من ٱلعلمي‬ ‫ول‬
َ ُ ۡ ُّ ٞ ۡ َ ۡ ُ َ ۡ َ َ ُ َٗ ۡ َ َ َ َ ُ ۡ َ َ ۡ ُ َّ
٠٨ ‫إنكم َلأتون ٱلرجال شهوة من دون ٱلنساء بل أنتم قوم مۡسفون‬
Artinya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada
kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan
oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan
syahwatmu kepada semua lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum
yang melampaui batas.”
Banyak teori yang menyebutkan penyebab seseorang mengalami
penyimpangan seksual jenis homoseksualitas, diantaranya:
1) Faktor herediter yaitu ketidak seimbangan hormon seks seseorang.
2) Pengaruh lingkungan yang tidak baik sehingga mengganggu
perkembangan kematangan seksual secara normal.
3) Seseorang pernah merasakan pengalaman homoseksual yang
menggairahkan pada saat remaja.

17
Sarlito Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 14
22

4) Seorang anak laki-laki yang memiliki pengalaman buruk dengan


ibunya, sehingga muncul kebencian terhadap ibunya dan berujung
membenci semua wanita.18

b. Sadaomasokisme atau Masokisme Seksual


Penyimpangan seksual yang kedua yaitu sadisme. Sadisme seksual merupakan
penyimpangan seksual dimana seseorang akan merasakan kenikmatan berhubungan
intim jika menyakiti pasangan seksnya. Mayoritas orang dengan penyimpangan
seksual model ini akan menjalin hubungan dengan sadisme pula, dengan tujuan untuk
mencapai kenikmatan seksual secara bersama-sama. Berbahaya jika seorang dengan
aktivitas seksual yang normal terjalin hubungan dengan seorang sadisme, karena dapat
membahayakan seseorang. Contoh kegiatan menyakiti pasangan yang dilakukan
seorang masokis adalah pencambukan, pemukulan, mempermalukan, dan lain-lain.
Penyebab seseorang menjadi sadisme ketika berhubungan seksual sangatlah
beragam, diantaranya:
1) Pendidikan yang salah, seseorang menganggap perbuatan seks
merupakan sebuah perbuatan yang tercela, sehingga musti ditindak
dengan perbuatan yang kasar bahkan kejam.
2) Seseorang perlu menampilkan kesadisannya di depan pasangan, karena
didorong oleh nafsu yang berkuasa secara ekstrim.
3) Pengalaman buruk di masa lalu dengan seorang wanita, menimbulkan
seseorang diselimuti oleh dendam yang membara, sehingga secara sadar
ataupun tidak sadar melakukan perbuatan yang sadis saat berhubungan
seksual.19

18
Kartono Kartini, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, (Bandung: Mandar Maju,
1989), hlm. 248.
19
Ibid, hlm. 260-261.
23

Kebalikan dari sadisme ialah masokisme seksual. Masokisme ini akan


membiarkan dirinya disakiti bahkan disiksa untuk mencapai kepuasan seksualnya.
Kepuasan seksualnya bersumber dari seberapa besar ia merasakan kesakitan saat
berhubungan seksual. Masokisme merupakan sebuah kelanjutan dari aktivitas seksual
sadisme yang diarahkan kepada diri sendiri.20

c. Ekshibisionisme
Seseorang dengan kelainan seksual ekshibisionisme akan mencapai klimaks
atau kepuasan seksual jika ia memperlihatkan kelaminnya kepada orang lain. Bila
seseorang yang diperlihatkan kelaminnya oleh pengidap ekshibisionisme ketakutan
ataupun menjerit, akan semakin merangsang pelaku ekshibisionisme. Penyimpangan
seksual jenis ini banyak diderita oleh laki-laki, dengan cara memperlihatkan penisnya
di depan perempuan secara acak.21
Sebab-sebab terjadinya ekshibisionisme:
1) Rasa rendah diri, merasa diabaikan, ataupun perasaan tidak aman.
2) Untuk membuktikan jika pelaku ekshibisionisme merupakan lelaki
yang jantan dan hebat.
3) Hiperseks.

d. Hiperseks
Hiperseks merupakan penyimpangan seksual dimana pelakunya merasa satu
pasangan tidak akan cukup untuk memuaskan hasrat seksnya. Pelaku hiperseks
ditandai dengan sulitnya mengontrol hasrat seksnya sehingga keinginan seksnya akan
terus memuncak.22 Penyimpangan seksual jenis ini dapat disebabkan oleh pengalaman
masa kecil yang sudah menjadi pecandu seks dengan sering menonton film porno.

20
Sigmund Freud, Teori Seks, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 30.
21
Kartono, Op.Cit., hlm. 264.
22
Ahmad Ramli. K. St, Pamoentjak, Kamus Kedokteran, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm.
159
24

Pengalaman trauma saat masih kecil karena sering mendapatkan kekerasan mental atau
seksual pun bisa menjadi penyebab seseorang menjadi hiperseks.

e. Voyeurisme
Voyeurisme berasal dari bahasa Prancis yang artinya mengintip. Penderita
kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksualnya jika mengintip orang lain yang
sedang melakukan hubungan seksual, sedang telanjang, mandi, dan lain-lain. Orang
yang sedang diintip ini menjadi objek pelaku untuk mencapai klimaknya. Biasanya
pelaku mengintip sambil masturbasi. Dengan kata lain, kegiatan mengintip bagi pelaku
merupakan rangsangan seksual untuk memperoleh kepuasan seksual.23

f. Fetishisme
Fetishisme merupakan sebuah aktivitas seksual yang disalurkan melalui
masturbasi dengan macam-macam benda yang dapat meningkatkan dorongan seksual
penderitanya.24 Perlu diketahui, penderita ini mempunyai minat seksual terhadap
beberapa bagian tubuh seseorang, seperti rambut, lutut, ketiak, atau bisa juga dengan
beberapa benda, seperti celana dalam, stoking, BH, dan lain sebagainya. Mereka
biasanya akan menciumi, memainkan, atau mengecap benda-benda tersebut sambil
melakukan masturbasi untuk mencapai kepuasan seksualnya.
g. Pedophilia
Penyimpangan seksual yang sedang marak di zaman ini, yaitu orang dewasa
yang mempunyai ketertarikan terhadap seorang anak dibawah umur. Pelaku nya akan
sangat bergairah ketika melakukan kontak fisik atau hubungan seksual dengan anak
dibawah umur. Umumnya para pedofil memilih anak perempuan antara 8 tahun sampai

23
Kartono, Op.Cit., hlm. 264
24
Kartono, Op.Cit., hlm. 253
25

dengan umur 10 tahun, sedangkan untuk anak lelaki mereka memilih anak kecil
berumur 10 tahun sampai dengan umur 12 tahun.25
h. Incest
Hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami istri,
contohnya ibu yang melakukan hubungan seksual dengan anak laki-lakinya ataupun
seorang ayah yang melakukan aktivitas seksual dengan anak perempuannya, atau
hubungan seksual antara pertalian keluarga karena perkawinan menjadi terlarang untuk
melakukan hubungan seksual.26
i. Necrophilia/ Necrofil
Hubungan seks dengan mayat. Seseorang memiliki ketertarikan terhadap mayat
sehingga melakukan hubungan seks dengan mayat tersebut.
j. Zoophilia
Seseorang akan terangsang ketika melihat hewan sehingga akan memaksa
hewan tersebut untuk melayani nafsu seksnya. Penyebab seseorang menjadi bergairah
dengan binatang bagi zoophilia ini, karena merasa kekurangan untuk melakukan
hubungan seks dengan manusia. Baginya hewan dipadang rendah dan mudah dikuasi
sehingga kepuasan seksual terasa sempurna.27
k. Sodomi
Pria yang senang berhubungan seks dengan pasangannya melalui dubur, baik
itu pasangannya berjenis kelamin perempuan ataupun laki-laki (homo).
l. Frotteurisme/ Frotteuris
Salah bentuk penyimpangan seksual, dimana seorang lelaki mendapatkan
kepuasan seks dengan cara mengesek-gesek alat kelaminnya ke tubuh perempuan

25
A. Fachri, Perkawinan Sek dan Hukum, (Pekalongan: Bahagia, 1986), hlm. 11
26
Kartono, Op.Cit., hlm. 254
27
A. Fachri, Op.Cit., hlm. 26
26

secara acak. Biasanya mereka lakukan di tempat umum yang ramai dan berdesak-
desakan, seperti kereta ataupun bus.
m. Gerontopilia
Suatu perilaku penyimpangan seksual, seseorang lebih tertarik dan mencari
kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut, seperti kakek-kakek atau
nenek-nenek. Keluhan awal gerontopilia biasanya tidak nafsu dan impoten jika
melakukan hubungan seks dengan pasangan hidupnya, namun akan merasa gairah jika
ia bertemu dengan idamannya yang sudah lanjut usia.
BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA SUAMI


PENYUKA SESAMA JENIS (PUTUSAN NOMOR 981/PDT.G/2020/PA.BTL
DAN PUTUSAN NOMOR 795/PDT.G/2020/PA.TNG)

A. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor


981/Pdt.G/2020/PA.Btl

Kasus ini diajukan oleh Penggugat yang namanya disamarkan. Penggugat ini
ialah seorang perempuan selaku istri, ia berumur 31 tahun, beragama islam,
berpendidikan terakhirnya SLTA, dan mempunyai pekerjaan yang disamarkan.
Penggugat bertempat tinggal di Kabupaten Bantul dengan rumah milik Bapak
Suharyono. Kemudian, yang menjadi tergugat ialah seorang suami dari Penggugat,
yang namanya juga disamarkan. Tergugat berumur 34 tahun, beragama islam,
pendidikan terakhir SLTA, pekerjaan disamarkan. Tergugat bertempat tinggal di
Kabupaten Bantul.1
Berawal dari diajukannya surat gugatan oleh Penggugat pada tanggal 23
September 2020. Kemudian, surat ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Bantul dengan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl pada tanggal 23 September 2020. Isi
surat gugatan tersebut menyebutkan bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah
melangsungkan perkawinan. Keduanya melakukan perkawinan pada tanggal 29 Juni
2020 dan telah di catat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN
KUA) Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, dengan Kutipan Akta Nikah yang
bernomor 0115/035/VI/2020 pada tanggal 29 Juni 2020.2
Penggugat dalam surat gugatannya menjelaskan bahwa Penggugat sebelum
menikah statusnya adalah perawan dan Tergugat adalah jejaka. Penggugat

1
Salinan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, hlm. 1
2
Salinan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, hlm. 1

27
28

menambahkan bahwa selama perkawinan, ia dan tergugat belum pernah melakukan


hubungan badan atau qobla dukhul. Beberapa hari setelah pernikahan, Penggugat
merasa aneh dalam rumah tangganya, karena Tergugat sama sekali tidak ingin
menyentuh dan tidak ingin memulai sentuhan untuk melakukan hubungan badan
layaknya suami istri.
Pada pertengahan bulan Juli tahun 2020, Penggugat menemukan foto pria tanpa
busana di handphone Tergugat. Selain foto pria tanpa busana, Penggugat juga
menemukan teks obrolan pesan singkat yang berisikan konten seksual sesama jenis
antara Tergugat dengan banyak pria. Kemudian, Penggugat membicarakan
kecurigaannya tentang Tergugat yang dicurigai seorang penyuka sesama jenis kepada
kakak kandung Tergugat. Kakak kandung tergugat membenarkan hal tersebut bahwa
Tergugat memang benar mempunyai kelainan pandangan seksual.1
Setelah adanya pengakuan dari Kakak kandung Tergugat dan beberapa bukti,
seperti foto pria tanpa busana dan obrolan seksual mengenai penyuka sesama jenis,
Penggugat sebagai istri merasa dibohongi. Oleh karena itu, Penggugat mengajukan
gugatan pembatalan nikah dengan alasan perkawinannya dengan Tergugat tidak
memenuhi syarat pernikahan, sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Selain itu
Penggugat dan Tergugat dari sejak menikah, tidak pernah hidup layaknya suami istri
dan tidak mungkin untuk tetap dipersatukan dalam suatu ikatan perkawinan sehingga
berdasar hukum untuk menyatakan pembatalan perkawinan dapat dikabulkan.
Adanya dalil-dalil dan alasan-alasan diatas, maka diajukanlah gugatan
pembatalan perkawinan kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Bantul. Penggugat
meminta kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1
Salinan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, hlm. 2
29

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan Penggugatt


untuk seluruhnya;
2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang
dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul,
pada tanggal 29 Juni 2020;
3. Menyatakan, Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah Nomor: 0115/035/VI/2020
Tanggal 29 Juni 2020 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Piyungan, tidak berkekuatan hukum;
4. Menghukum Tergugat untuk menaati isi putusan ini;
5. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini sesuai dengan peraturan yang
berlaku;2

Setelah penggugat mengajukan alat bukti surat dan dua orang saksi, maka
pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini sebagai berikut:

1. Hakim menimbang bahwa bukti surat berupa fotokopi Kartu Tanda


Penduduk penggugat dan fotokopi Kutipan Akta Nikah telah memenuhi
syarat formil dan materil. Kemudian, bukti surat berupa fotokopi
screenshoot percakapan WhatApp antara termohon dan beberapa laki yang
memperlihatkan hubungan sesama jenis, sesuai dengan dalil yang hendak
dibuktikan oleh penggugat, sehingga telah memenuhi syarat materil.
2. Hakim menimbang bahwa keterangan dua orang saksi cocok antara satu
dengan yang lainnya oleh karena itu katerangan dua orang saksi ini sudah
memenuhi Pasal 171 dan Pasal 172 HIR.
3. Majelis Hakim menemukan beberapa fakta dari dalil-dalil gugatan dan alat
bukti yang diajukan pemohon, bahwasanya hakim menimbang antara

2
Salinan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, hlm. 3
30

pemohon dan termohon sudah tidak bisa lagi meneruskan perkawinannya


karena termohon sebagai suami mempunyai kelainan seksual, yaitu
penyuka sesama jenis atau homoseksual.
4. Hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, maka perkawinan antara pemohon dan termohon patut untuk
dibatalkan.
5. Hakim menimbang bahwa alasan pemohon pada perkara pembatalan
perkawinan ini sesuai dengan keadaan salah sangka sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
sehingga permohonan pembatalan perkawinan antara pemohon dan
termohon patut untuk dikabulkan.
6. Hakim menimbang bahwa akta nikah dan kutipan akta nikah nomor
0115/035/VI/2020 yang diterbitkan KUA harus dinyatakan tidak berlaku
dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
7. Hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2006 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, pemohon dibebani untuk
membayar biaya perkara.3

Hasil Putusan
Setelah hakim melihat dan mendengar apa yang terjadi di persidangan dan
menimbang berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada, maka Pengadilan
Agama Bantul memutus gugatan ini sebagai berikut:
1. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
datang ke persidangan tidak hadir;

3
Salinan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, hlm. 6-9
31

2. Mengabulkan Permohonan Pemohon dengan verstek;


3. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Pemohon (PENGGUGAT)
dengan Termohon (Tergugat) yang dilangsungkan pada tanggal 29 Juni
2020 di KUA;
4. Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah Nomor
0115/035/VI/2020 Tidak berkekuatan hukum;
5. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 501.000,00 (Lima ratus satu ribu rupiah).4

Demikian putusan tersebut, diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis


Hakim yang dilangsungkan pada tanggal 19 Oktober 2020.

B. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor


795/Pdt.G/2020/PA.Tng

Kasus ini diajukan oleh Penggugat yang namanya disamarkan. Penggugat ini
ialah seorang perempuan selaku istri, ia berumur 32 tahun, beragama islam, dan
mempunyai pekerjaan sebagai karyawan swasta. Penggugat bertempat tinggal di
Kecamatan Cibodas Kota Tangerang. Kemudian, yang menjadi tergugat ialah seorang
suami dari Penggugat, yang namanya juga disamarkan. Tergugat berumur 35 tahun,
beragama islam, dan bertempat tinggal di Jl Letkol Kecamatan Sukarame, Kota Bandar
Lampung. 5
Berawal dari diajukannya surat gugatan oleh Penggugat pada tanggal 21 April
2020. Kemudian, surat ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tangerang
dengan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng pada tanggal 23 April 2020. Isi surat gugatan
tersebut menyebutkan bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan

4
Salinan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, hlm. 9
5
Salinan Putusan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, hlm. 1
32

perkawinan. Keduanya melakukan perkawinan pada tanggal 5 Januari 2020 dan telah
di catat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan, dengan
Kutipan Akta Nikah yang bernomor 0025/025/I/2020 pada tanggal 5 Januari 2020.
Penggugat dalam surat gugatannya menjelaskan bahwa antara penggugat dan
tergugat hidup rukun layaknya suami istri dan belum dikaruniai keturunan. Namun
sejak bulan Maret 2020, rumah tangganya dengan tergugat mulai tidak harmonis
dengan banyaknya perselisihan yang disebabkan oleh tergugat yang merupakan
penyuka sesama jenis.
Penggugat menjelaskan dalam surat gugatannya bahwa pernikahannya antara
penggugat dan tergugat adalah pernikahan ta’aruf. Setelah akad dan resepsi atau lebih
tepatnya pada malam pertama, tergugat sama sekali tidak menggauli tergugat. Sampai
pada hari ke empat setelah pernikahan pun, tergugat tidak menyentuh sama sekali
istrinya (penggugat). Pada hari ke lima setelah pernikahan, tergugat berusaha keras
untuk menggauli penggugat dengan cara bermain sendiri dengan alat kelaminnya dan
seketika yang terjadi tiba-tiba tergugat mengeluarkan air mani dengan sendirinya
sehingga terjadi hubungan suami istri. Pada saat itu, penggugat sudah mempunyai
firasat bahwa tergugat tidak normal.6
Penggugat sering mendapatkan tergugat bertingkah dan berperilaku layaknya
perempuan. Setiap kali penggugat hendak memeluk tergugat, tergugat selalu risih dan
menjauh. Pada hari ke enam setelah pernikahan, tergugat mencoba menggauli
penggugat, namun saat melakukan hubungan intim, tergugat selalu menutup mata
seakan-akan terpaksa dan tidak nyaman. Penggugat juga merasa dirinya ketika
berhubungan tidak pernah dibelai layaknya suami yang cinta istrinya. Selama bersama
dan selama honeymoon, tergugat sama sekali tidak tertarik terhadap istrinya (tergugat)
padahal tergugat sudah memancing untuk mendapatkan perhatian tergugat. Atas dasar

6
Salinan Putusan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, hlm. 2
33

hal-hal tersebut, penggugat merasa bahwa suaminya dalam hal ini tergugat adalah
seorang homoseksual.7
Atas dasar firasatnya, penggugat mencari tahu dengan bertanya kepada rekan
kerja tergugat. Rekan kerja tergugat mengatakan bahwa tergugat adalah seorang
homoseksual dan berada di dalam komunitas Gay dan juga memberikan beberapa foto
tergugat yang menunjukan 90% tergugat adalah homoseksual. Pada malam hari,
penggugat memberanikan diri bertanya kepada tergugat perihal orientasi seksnya, dan
seketika tergugat berteriak keras sambil memukul dadanya dan berkata, “Iya saya
homoseksual puas kamu”. Tergugat juga mengakui bahwa dirinya mengidap HIV-Aids
karena narkoba sebelum menikah dengan penggugat, namun penggugat tidak percaya,
atas dasar homoseksualnya lah yang membuat ia mengidap penyakit tersebut. Puncak
keretakan rumah tangga penggugat dengan tergugat terjadi pada 24 Maret 2020,
sehingga penggugat dan tergugat sudah tidak lagi tinggal bersama, dan tergugat pergi
meninggalkan penggugat.
Adanya dalil-dalil dan alasan-alasan diatas, maka diajukanlah cerai gugat
kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Tangerang. Penggugat meminta kepada
Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
I. Primair:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menyatakan hubungan perkawinan antara Penggugat dengan
Tergugat putus karena perceraian;
3. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;
II. Subsider:
Atau, Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya (ex Aquo et bono);8

7
Salinan Putusan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, hlm. 5
8
Salinan Putusan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, hlm. 7
34

Setelah penggugat mengajukan alat bukti surat dan dua orang saksi, maka
pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini sebagai berikut:

1. Hakim menimbang bahwa bukti surat berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk
penggugat dan fotokopi Kutipan Akta Nikah telah memenuhi syarat formil dan
materil.
2. Hakim menimbang bahwa keterangan dua orang saksi cocok antara satu dengan
yang lainnya oleh karena itu katerangan dua orang saksi ini sudah memenuhi
Pasal 171 dan Pasal 172 HIR.
3. Hakim menimbang bahwa berdasarkan keterangan penggugat, alat bukti tulis
dan dua orang saksi, Majelis Hakim menemukan fakta hukum bahwa sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena tergugat tidak
perhatian dengan penggugat dan tergugat mengakui sebagai homoseksual,
sehingga penggugat dan tergugat tidak lagi tinggal bersama dan tidak
mejalankan hak dan kewajiban sebagai suami istri.
4. Hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 19 huruf Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f KHI ditegaskan
bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan suami istri terus menerus terjadi
perselisihan dan tidak ada harapan untuk rukun.
5. Hakim menimbang bahwa gugatan penggugat telah cukup alasan untuk
melakukan perceraian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam, sehingga gugatan penggugat patut untuk dikabulkan.
6. Hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan
35

kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, penggugat dibebani


untuk membayar biaya perkara.9

Hasil Putusan
Setelah hakim melihat dan mendengar apa yang terjadi di persidangan dan
menimbang berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang ada, maka Pengadilan
Agama Tangerang memutus gugatan ini sebagai berikut:
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
meghadap di persidangan; tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek;
3. Menjatuhkan talak 1 (satu) ba’in sughra Tergugat (TERGUGAT) terhadap
Penggugat (PENGGUGAT);
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang
hingga kini dihitung sejumlah Rp. 306.000,00 (tiga ratus enam ribu
rupiah).10

Demikian putusan tersebut, diputuskan dalam musyawarah Majelis Hakim


Pengadilan Agama Tangerang pada hari Selasa tanggal 16 Juni 2020.

9
Salinan Putusan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, hlm. 11-20
10
Salinan Putusan Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, hlm. 20
BAB IV

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA BANTUL NOMOR


981/PDT.G/2020/PA.BTL DAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
TANGERANG NOMOR 795/PDT.G/2020/PA.TNG

A. Analisis Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl

Pada putusan ini, penggugat menerangkan dalam dalilnya, bahwa ia dan


suaminya yang menjadi tergugat sudah menikah yang disaksikan oleh Pegawai
Pencatat Nikah di KUA Piyungan, Bantul. Yang mana pernikahan ini sah bila ditinjau
dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.” Penggugat dan tergugat beragama Islam, maka
perkawinan antara penggugat dan tergugat dilangsungkan menurut ketentuan agama
mereka yaitu Islam. Di dalam Islam terdapat syarat dan rukun nikah yaitu: adanya calon
laki-laki dan perempuan, wali, saksi, dan ijab kabul.
Jika dilihat dari syarat pernikahan dalam Islam yang pertama yaitu adanya calon
mempelai laki-laki dan perempuan, maka syarat ini tentu saja terpenuhi. Calon
mempelai wanita yaitu penggugat dan calon mempelai pria yaitu tergugat, walaupun
tergugat diketahui mempunyai kelainan seksual yaitu penyuka sesama jenis. Memang
di dalam Islam, salah satu syarat menjadi seorang suami yaitu jelas orangnya. Jelas
disini berarti jelas identitas calon suaminya, jelas kelaminnya, jelas latar belakangnya,
jelas keluarganya, bahkan jelas orientasi seksnya. Jika syarat menjadi suami ini
dicirikan dengan tergugat, sudah jelas tergugat tidak memenuhi persyaratan untuk
menjadi suami, mengigat tergugat seorang penyuka sesama jenis. Namun, sangat
disayangkan tergugat yang menutup-nutupi dan tidak menjelaskan tentang orientasi
seksnya kepada calon istrinya. Sudah seharusnya seorang yang ingin menikah atau
menikahi sudah mengenal betul pasangannya.

36
37

Pernikahan antara penggugat dan tergugat disaksikan dan dicatatkan oleh


Pegawai Pencatat Nikah dan juga dikeluarkannya Kutipan Akta Nikah oleh KUA
Piyungan, Bantul. Kutipan Akta Nikah yang bernomor 0115/035/VI/2020 tanggal 29
Juni 2020, membuktikan bahwa pernikahan antara penggugat dan tergugat telah resmi,
sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Hal ini juga
membuktikan pernikahan mereka telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan,
sehingga syarat pernikahan selanjutnya yaitu: wali, saksi, dan ijab kabul juga sudah
terpenuhi.
Pernikahan antara penggugat dan tergugat juga sudah memenuhi syarat-syarat
yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan, terdapat dua macam syarat dalam perkawinan. Syarat yang pertama
adalah syarat materiil, merupakan syarat yang melekat pada diri masing-masing pihak.
Kemudian, syarat formil yang merupakan tata cara atau prosedur mengadakan
perkawinan menurut Undang-Undang dan hukum agama.1
Mengenai syarat materiil pernikahan, pernikahan antara penggugat dan tergugat
sudah memenuhi hal ini. Pernikahan ini tentu saja sudah melalui persetujuan kedua
belah pihak dan kedua calon mempelai sudah menyetujui pernikahan ini. Pasal 6 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menjelaskan bahwa pernikahan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, sudah terpenuhi. Kemudian, umur
penggugat dan tergugat pada saat melangsungkan perkawinan sudah melewati minimal
batas umur untuk nikah, sehingga sudah sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Pernikahan mereka tidak termasuk pernikahan yang dilarang, karena antara
penggugat dan tergugat tidak memiliki hubungan darah. Tergugat pada saat menikahi

1
Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000, hlm. 76
38

penggugat, tidak dalam keadaaan sedang menikah dengan orang lain dan tidak ada
tujuan untuk poligami. Apalagi, dalam dalil gugatannya, penggugat mengatakan bahwa
penggugat dan tergugat sebelum menikah statusnya adalah perawan dan jejaka. Hal ini
membuat Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terpenuhi.
Pernikahan penggugat dan tergugat juga sudah memenuhi syarat formil
pernikahan. Hal ini dikarenakan pernikahannya telah tercatat dan tercantum dalam
Kutipan Akta Nikah Nomor 0115/035/VI/2020 tanggal 29 Juni 2020. Dengan
dikeluarkannya Kutipan Akta Nikah tersebut, syarat formil juga sudah terpenuhi,
sehingga pernikahan penggugat dengan tergugat sudah memenuhi syarat perkawinan,
baik yang terdapat dalam Undang-Undang maupun dalam agama.
Hakim menimbang bahwasanya penggugat dan tergugat adalah pasangan suami
istri yang sah.2 Penulis setuju dengan pertimbangan hakim mengenai hal ini karena
sesuai dengan analisis penulis yang menyatakan bahwa pernikahan antara penggugat
dan tergugat sah secara hukum yang terdapat dalam Undang-Undang maupun sah
secara hukum Islam.
Namun, sangat disayangkan pernikahan yang dilangsungkan antara penggugat
dan tergugat, tidak dapat memenuhi tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk
keluarga yang bahagia kekal abadi. Pernikahan mereka harus terhenti dengan usia
pernikahan yang singkat. Hal ini disebabkan karena tergugat diketahui merupakan
homoseksual, sehingga hak penggugat sebagai istri untuk mendapatkan nafkah batin
tidak dapat terpenuhi. Penggugat pun melayangkan gugatan pembatalan perkawinan
kepada tergugat. Gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Agama Bantul.
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa,
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Penggugat merasa suaminya atau tergugat, tidak
memenuhi persyaratan untuk menjadi suami. Suami yang seharusnya memberikan

2
Salinan Putusan Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, hlm. 7
39

nafkah batin kepada sang istri, karena suami yang seorang homoseksual, hanya tertarik
dengan sesama jenis, sang istri tidak mendapatkan nafkah batin tersebut. Hal inilah
yang dirasakan oleh penggugat, sehingga ia mengajukan gugatan pembatalan
perkawinan ke pengadilan.
Seorang istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan, karena ia termasuk
salah satu dari empat macam orang yang berhak untuk mengajukan pembatalan
perkawinan. Hal diatur pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:

a. Para keluarga dalim garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu diputus.

Hal ini juga selaras dengan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, bahwa seorang istri dapat
mengajukan pembatalan perkawinan. Penggugat yang mana pada kasus ini sebagai istri
sah dari tergugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Bantul.
Mengigat kedua belah pihak beragama Islam, maka menjadi tugas dan
kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, salah satunya di
bidang perkawinan.3 Pengadilan Agama Bantul merupakan pengadilan yang daerah
kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya pernikahan antara penggugat dan
tergugat, sehingga pengajuan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama Bantul
adalah langkah yang tepat. Hal ini sesuai dengan Pasal 74 ayat (1) Kompilasi Hukum

3
Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
40

Islam dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kewenangan pembatalan


perkawinan ada pada Pengadilan Agama akan membawa akibat yang jauh baik
terhadap suami istri, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan.4
Pada perkara ini, penggugat menyampaikan dalil gugatannya bahwa suaminya
atau tergugat merupakan penyuka sesama jenis, hal inilah yang menjadi alasan
penggugat mengajukan pembatalan perkawinan. Alasan-alasan diajukan pembatalan
perkawinan diatur dan dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 dan
Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 24, 26, dan 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1975, dijelaskan bahwa alasan-alasan diajukan pembatalan perkawinan adalah sebagai
berikut:
1. Seseorang yang melakukan perkawinan kedua kali, sedang ia masih terikat
dalam suatu perkawinan yang sah dengan orang lain;
2. Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilansungkan
tanpa dua orang wali;
3. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum;
4. Salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Alasan yang ke empat inilah yang menjadi alasan penggugat mengajukan pembatalan
perkawinan. Selama perkawinan berlangsung, tergugat tidak pernah menceritakan
dirinya kepada sang istri atau penggugat, bahwa dirinya adalah seorang penyuka
sesama jenis. Penggugat tentu saja mengira suaminya adalah lelaki yang normal, yang
menyukai lawan jenis. Namun, diketahui tergugat tidak dapat melakukan hubungan
layaknya suami istri, sehingga terjadilah salah sangka terhadap tergugat.
Penggugat menyangka bahwa tergugat yang akan menjadi suaminya adalah
lelaki yang tertarik secara emosional dan seksual kepada seorang perempuan, namun

4
Penjelasan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
41

kenyataannya malah sebaliknya, sehingga penggugat telah salah sangka mengenai diri
tergugat. Hal ini dibuktikan dengan tidak terjadinya hubungan seksual setelah
pernikahan antara penggugat dan tergugat (Qobla Dukhul). Ketidaktertarikan tergugat
membuat penggugat merasa aneh terhadap dirinya. Akhirnya pada pertengahan bulan
Juli, tergugat menemukan beberapa bukti yang membuktikan bahwa tergugat adalah
homoseksual. Penggugat menemukan teks obrolan pesan WhatsApp yang berisi konten
penyuka sesama jenis dan foto pria tanpa busana di handphone tergugat. Tidak hanya
itu, kakak tergugat juga mengakui kebenaran bahwa tergugat adalah seorang
homoseksual.
Sesuai fakta hukum di atas, penulis setuju dengan pertimbangan hakim yang
membatalkan perkawinan ini karena sudah sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Kemudian, penulis juga setuju dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dikenakan dalam kasus ini, sehingga pertimbangan
hakim sudah benar karena sudah sesuai dengan keadaan salah sangka.
Selaras dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam juga
menjelaskan alasan-alasan diajukannya pembatalan perkawinan. Pada Pasal 72 ayat (2)
dijelaskan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau
salah sangka mengenai diri suami atau istri. Pasal 72 ayat (2) KHI menambahkan
bahwa alasan pembatalan perkawinan bukan hanya salah sangka tetapi juga termasuk
adanya penipuan.
Penipuan pada pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam juga dapat dijadikan
alasan oleh penggugat. Penggugat merasa ditipu dan dibohongi mengenai diri tergugat.
Penggugat mengira calon suaminya adalah lelaki yang tertarik dengan lawan jenis,
namun tertipu, karena pada kenyataannya tergugat adalah seorang homoseksual.
Penipuan inilah yang menjadi alasan penggugat mengajukan pembatalan perkawinan
42

terhadap tergugat ke Pengadilan Agama Bantul. Dengan demikian, Pasal 72 ayat (2)
dapat dijadikan alasan untuk melangsungkan pembatalan perkawinan.
Setelah hakim memutus dan mengabulkan gugatan penggugat, batalnya suatu
perkawinan ini dimulai setelah keputusan Pengadilan dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Hal ini mengakibatkan perkawinan antara penggugat dan
tergugat yang mereka pernah selenggarakan menjadi batal demi hukum dan dianggap
tidak pernah terjadi, sebagaimana di jelaskan pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 74 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
Penulis setuju dengan mengenai pertimbangan hakim yang memutus kasus ini
dengan pembatalan perkawinan. Hal ini dikarenakan analisis penulis di atas, yang
menyatakan bahwa Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 72 Ayat
(2) KHI sangat tepat untuk dikenakan dalam kasus ini, sehingga pertimbangan Hakim
memutus perkara ini dengan pembatalan perkawinan sudah benar.
Di dalam fikih, mayoritas Ulama berpendapat bahwasanya salah satu alasan
adanya khiyar perkawinan adalah adanya kecatatan di dalam diri suami atau istri.
Suami atau istri dapat memilih melanjutkan atau membatalkan akad nikah jika di dalam
diri pasangannya terdapat kecacatan. Kecacatan dalam hal ini maksudnya ialah
kecacatan yang dapat menghalangi pasangan suami istri untuk melakukan hubungan
seksual.5 Hal ini menunjukan jika seorang suami yang homoseksual sehingga tidak
dapat melakukan hubungan intim antara suami istri, maka pernikahannya dapat
dibatalkan.
Maka dari itu, sesuai dengan analisis penulis dan pendapat ulama di atas,
penulis mengapresiasi Majelis Hakim yang sudah tepat memutus perkara ini dengan
pembatalan perkawinan. Membatalkan perkawinan antara penggugat dan tergugat

5
Abu Zakaria Muhyiddin Al-Nawawi, “Raudhah Al-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin”,
(Beirut: Maktabah al-Islami. 1991), hlm. 176-177.
43

merupakan langkah yang tepat dalam mengakhiri perkawinan ini, sehingga


menimbulkan maslahat bagi semua pihak.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas, penulis menyimpulkan bahwa
tidak ada permasalahan yang penulis dapati selama analisa putusan ini. Putusan ini
sudah sangat jelas dan tegas mengenai pembatalan perkawinan, yang mengakibatkan
perkawinan antara penggugat dan tergugat batal demi hukum dan juga Kutipan Akta
Nikahnya tidak berlaku lagi. Penulis juga merasa tidak ada permasalahan mengenai
akibat dari pembatalan perkawinan, tidak ada permasalahan mengenai anak dan harta.

B. Analisis Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor


795/Pdt.G/2020/PA.Tng

Pada kasus ini, penggugat mengajukan gugatan cerai gugat ke Pengadilan


Agama Tangerang, dengan maksud ingin menyudahi pernikahannya dengan tergugat.
Pernikahan yang diadakan pada tanggal 5 Januari 2020, dibuktikan dengan
dikeluarkannya Kutipan Akta Nikah Nomor 0025/025/I/2020 tanggal 5 Januari 2020
oleh KUA Kecamatan Pondok Aren. Hal ini membuktikan bahwa pernikahan antara
penggugat dan tergugat sah secara aturan Perundang-Undangan dan hukum agama.
Dari fakta hukum ini, penulis setuju dengan Majelis Hakim dalam pertimbangannya
yang menyatakan bahwa penggugat dan tergugat adalah pasangan suami istri yang sah.
Alasan penggugat mengajukan cerai gugat karena perkawinannya tidak
harmonis yang disebabkan adanya perselisihan antara penggugat dan tergugat.
Sehingga tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga yang sakinah, bahagia kekal
dan abadi, sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 3
KHI tidak tercapai. Perselisihan ini berlanjut sehingga sulit untuk dirukunkan membuat
penggugat mengajukan gugatan cerai gugat ke Pengadilan Agama Tangerang, yang
mewilayahi tempat tinggal penggugat.
44

Pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa untuk


melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan
hidup rukun sebagai suami istri. Penggugat merasa tidak mendapati hidup rukun
dengan tergugat, karena sering terjadi perselisihan yang terjadi terus menurus.
Perselisihan ini disebabkan karena tergugat yang tidak mempunyai ketertarikan dengan
penggugat. Penggugat merasa ia tidak pernah dicinta dan disayang sebagaimana
layaknya seorang istri. Hal ini dikarenakan tergugat merupakan seorang homoseksual,
sehingga penggugat tidak terpenuhi nafkah batinnya.
Maka dari itu, penulis setuju dengan pertimbangan hakim yang memasukkan
pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dengan alasan
perselisihan yang terjadi terus menerus karena suami homoseksual.
Salah satu kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah batin kepada
seorang istri. Seorang istri dapat menuntut untuk mendapatkan itu, karena hal tersebut
merupakan haknya sebagai istri. Pada Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dijelaskan bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Kata melalaikan kewajiban di
pasal ini bisa menjadi melalaikan kewajiban jasmani maupun rohani. Dikarenakan,
tergugat seorang penyuka sesama jenis, tidak tertarik terhadap istrinya, sudah jelas
kewajibannya untuk memberikan kewajiban rohani yaitu kebutuhan biologis tidak
dapat ia penuhi. Sehingga hal ini juga yang menjadi alasan penggugat mengajukan
gugatan cerai gugat ke muka Pengadilan.
Tergugat sebagai suami yang merupakan seorang homoseksual mengakibatkan
perselisihan yang berlanjut dalam perkawinan ini. Dari perselisihan ini, tergugat pergi
meninggalkan penggugat dan tidak pernah datang kembali, seakan-akan tergugat tidak
punya hasrat untuk melanjutkan perkawinan ini. Perlakuan ini tentu sangat menyakiti
hari perasaan seorang istri, disamping tidak terpenuhinya nafkah batin bagi istri, hal ini
45

juga membuat istri ditelantarkan sehingga perkawinan tidak harmonis karena sering
terjadinya perselisihan yang tidak bisa didamaikan.
Maka sudah sepatutnya alasan cerai gugat ini senada dengan Pasal 39 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Analisis
penulis diatas membenarkan majelis hakim yang memasukkan kedua pasal tersebut
kedalam pertimbangannya, sehingga putusan ini diputus dengan perceraian karena
perselisihan yang terjadi terus menerus.
Jika perkawinan ini tetap dilanjutkan, maka akan lebih banyak efek negatif
yang ditimbulkan. Tujuan pernikahan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah sudah pasti tidak akan tercapai, karena perselisihan yang terus
menerus terjadi tidak dapat dirukunkan, apalagi tergugat yang pergi meninggalkan
penggugat menyebabkan hilang rasa saling cinta, saling sayang, dan saling melindungi.
Tujuan pernikahan juga untuk menghasilkan keturunan berupa buah hati, bagaimana
hal ini bisa tercapai, jika tergugat sama sekali tidak tertarik dengan istrinya sehingga
hubungan seksual tidak dapat terjadi dengan semestinya.
Menurut Abu Khattan, seorang tokoh hukum Islam dari kalangan Hanabilah,
bahwa hal-hal yang membolehkan dijatuhkan fasakh adalah seluruh penyakit yang
membuat pasangan tidak sabar bergaul dengannya. Satria Effendi Zein dalam bukunya
Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (2005) berpendapat bahwa,
pendapat Abu Khattan sesuai dengan tujuan syari’at dalam perkawinan karena tidak
membatasi macam penyakit yang bisa dijadikan alasan untuk suami atau istri menuntut
cerai.6
Penulis sependapat dengan pernyataan Satria Effendi Zein di atas, bahwasanya
segala macam penyakit yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat tercapai,
sehingga muncul permasalahan dan perselisihan dalam keluarga tersebut, dapat

Satria Effendi M. Zein, “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:


6

Prenada Media, 2005), hlm. 133-136


46

dijadikan alasan perceraian. Seperti pada kasus ini, suami yang homoseksual
mengakibatkan suami tidak dapat menjalankan kewajibannya dan membuat sang istri
menderita.
Penulis menganalisis bahwa sudah semestinya pernikahan ini dibubarkan,
disamping karena alasan cerai gugat yang sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-
Undangan dan hukum agama, juga karena pernikahan ini sudah tidak ada lagi yang
mesti dipertahankan. Sudah tidak ada perasaan saling cinta dan sayang, dan tergugat
pergi meninggalkan penggugat. Terlebih lagi, perselisihan dalam perkawinan ini terjadi
terus menerus yang disebabkan karena tergugat seorang homoseksual. Berpisah lebih
baik dari pada tetap bersatu tetapi efek mudaratnya akan lebih besar.

Maka dari itu, penulis setuju dengan pendapat para Ulama dan pertimbangan
hakim yang memutus perkara ini dengan perceraian. Penulis juga setuju dengan
pertimbangan hakim yang memasukkan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar hukum perceraian
ini.

C. Perbandingan Putusan Pengadilan Agama Bantul Nomor


981/Pdt.G/2020/PA.Btl dengan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
795/Pdt.G/2020/PA.Btl

Putusan Pengadilan Agama Bantul dan putusan Pengadilan Agama Tangerang


diatas sama-sama memutuskan perkawinan, karena putusan yang terjadi pada
Pengadilan Agama Bantul berupa pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan
Agama Tangerang yang berupa perceraian, keduanya merupakan salah satu alasan
putusnya perkawinan. Pembatalan nikah dan perceraian hanya dapat dilakukan di
pengadilan, karena pihak-pihak yang berpekara pada kedua kasus ini beragama Islam,
maka kasus ini hanya dapat dilakukan di Pengadilan Agama. Ketika mengajukan
pembatalan perkawinan, pengadilan yang berhak menangani gugatan ini adalah
47

pengadilan yang mewilayahi tempat perkawinan berlangsung atau tempat tinggal


kedua suami istri. Sedangkan cerai gugat diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggalnya.
Pembatalan perkawinan selain dapat diajukan oleh suami atau istri, bisa juga
diajukan oleh pihak lain. Pada kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Bantul,
pembatalan perkawinan diajukan oleh istri selaku penggugat. Sedangkan perceraian
hanya dapat dilakukan oleh suami atau istri, yang mana pada kasus yang terjadi di
Pengadilan Agama Tangerang, permohonan perceraian dilakukan oleh istri. Kedua
putusan berawal karena adanya gugatan yang dilakukan oleh istri, yang merasa dirinya
tidak mendapatkan nafkah batin karena suaminya mempunyai kelainan seksual.
Mengenai alasan diajukan permohonan pembatalan perkawinan dan cerai
gugat, didasari oleh suami yang merupakan homoseksual. Pada kasus pembatalan
perkawinan, istri mendapati dirinya salah sangka mengenai diri sang suami. Ia mengira
bahwa suaminya adalah seorang lelaki yang normal, namun setelah pernikahan, sang
istri baru mengetahui bahwa suaminya adalah seorang homoseksual. Kasus cerai gugat
yang terjadi di Pengadilan Agama Tangerang, didasari karena suami penyuka sesama
jenis sehingga pernikahan yang telah dilangsungkan muncul berbagai macam
perselihan. Hal ini menimbulkan pernikahan yang tidak lagi harmonis sebab
perselisihan karena suami penyuka sesama jenis. Membuat perselisihan tidak dapat lagi
didamaikan dan rukun, sehingga pernikahannya harus dibubarkan.
Pada kasus pembatalan perkawinan, alasan penggugat mengajukan gugatan ini
adalah karena tergugat merupakan seorang penyuka sesama jenis. Penggugat
mengetahui tergugat sebelum menikah adalah seorang pria yang normal, yang tertarik
dengan wanita. Namun setelah pernikahan diadakan, barulah diketahui bahwa tergugat
adalah seorang homoseksual. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya teks obrolan
tergugat dengan pria lain melalui aplikasi WhatsApp, yang obrolannya
memperlihatkan bahwa tergugat adalah seorang penyuka sesama jenis. Bukti lain ialah
48

penggugat menemukan di handphone korban, beberapa foto pria tanpa busana. Bukti
ini semakin kuat, setelah kakak kandung tergugat membenarkan bahwasanya tergugat
adalah seorang homoseksual. Dari bukti-bukti ini, penggugat merasa salah sangka
mengenai diri tergugat yang merupakan seorang homoseksual.
Penulis menganalisis bahwa Pertimbangan Majelis Hakim sudah tepat karena
mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan berdasarkan salasan salah sangka
mengenai diri tergugat seorang homoseksual yang diketahui setelah pernikahan sesuai
dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Tergugat tidak
memberitahukan orientasi seksnya terhadap penggugat sebelum pernikahan, sehingga
setelah pernikahan penggugat baru mengetahui bahwa tergugat adalah seorang
penyuka sesama jenis. Hal ini membuat penggugat merasa ditipu oleh tergugat. Di
dalam Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, penipuan atau salah sangka dapat
dijadikan alasan oleh seorang suami atau istri untuk mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan. Hal ini semakin membenarkan alasan penggugat.
Dilihat dari putusan hakim yang mengabulkan pembatalan perkawinan karena
alasan salah sangka, penulis menyimpulkan bahwa alasan suami homoseksual dapat
diterima sebagai salah sangka dan penipuan. Salah sangka karena penggugat mengira
suaminya adalah seorang lelaki normal, namun setelah pernikahan dilangsungkan baru
diketahui bahwa suaminya adalah seorang homoseksual. Tentu hal ini membuat
penggugat merasa ditipu oleh tergugat. Kelainan seksual ini membuat pernikahan tidak
akan berjalan dengan semestinya sesuai Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
sehingga tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal tidak
akan tercapai. Maka dari itu, sudah seharusnya pernikahan ini dibatalkan demi hukum
dan dinyatakan tidak sah.
Lantas apakah alasan suami penyuka sesama jenis dapat juga dijadikan alasan
perceraian. Pada putusan nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng didapati pernikahan yang
tidak harmonis karena seringnya perselisihan yang tidak dapat rukun. Perselisihan ini
49

terjadi karena tergugat yang menjadi suami dari penggugat adalah seorang penyuka
sesama jenis. Dibuktikan dari tergugat yang membenarkan bahwa dirinya seorang
homoseksual dihadapan penggugat. Memang alasan suami seorang homoseksual
bukan faktor utama, permohonan ini dikabulkan. Namun, karena suami yang penyuka
sesama jenis membuat timbul banyaknya perselisihan yang tidak dapat didamaikan
sehingga pernikahan ini menjadi tidak harmonis. Maka dapat dikatakan, homoseksual
menjadi salah satu alasan yang membuat hubungan suami istri menjadi tidak rukun.
Pada intinya, Majelis Hakim mengabulkan permohonan penggugat untuk
menjatuhkan talak satu ba’in sughra tergugat kepada penggugat, didasari adanya
perselisihan yang terus menerus, yang penyebabnya adalah suami penyuka sesama
jenis. Suami homoseksual menjadi alasan adanya pertengkaran yang terus menerus
sehingga pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tidak didapati di
pernikahan ini. Tergugat sebagai suami tidak dapat menjalankan kewajibannya,
membuat pernikahan yang kekal dan abadi tidak dapat tercapai. Terlebih lagi, tergugat
yang meninggalkan penggugat, membuat pernikahan ini tidak dapat dilanjuti karena
telah hilang rasa cinta, sayang, dan saling melindungi antara satu sama lain.
Penulis menyimpulkan bahwa alasan suami penyuka sesama jenis dimaknai
berbeda pada kedua putusan ini. Pada putusan pembatalan perkawinan, suami penyuka
sesama jenis menjadi faktor utama terjadinya pembatalan perkawinan. Suami penyuka
sesama jenis dapat dikategorikan alasan salah sangka atau penipuan yang menjadi salah
satu alasan mengajukan pembatalan perkawinan. Permohonan pembatalan perkawinan
ini harus diketahui terlebih dahulu kapan sang istri mengetahui pasangannya seorang
homoseksual. Jika sebelum pernikahan, seorang istri tidak mengetahuinya dan baru
mengetahuinya setelah perkawinan berlangsung, namun sang istri tidak menerima
kondisi pasangan tersebut, maka permohonan pembatalan perkawinan karena alasan
adanya salah sangka atau penipuan dapat diajukan. Sesuai Pasal 27 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, batas
50

pengajuan permohonan pembatalan perkawinan adalah enam bulan setelah yang


bersalah sangka itu menyadari keadaanya. Ketika seorang istri selama enam bulan
setelah ia mengetahui pasangannya seorang homoseksual, tidak mengajukan
permohonannya ke Pengadilan Agama, maka pengajuan pembatalan perkawinnanya
menjadi gugur.
Pada putusan cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Tangerang, suami
penyuka sesama jenis menjadi alasan terjadinya perselisihan terus menerus di
pernikahan ini. Majelis Hakim mengabulkan permohonan cerai gugat ini dengan
menggunakan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 116
huruf f Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi
karena alasan antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Seorang suami yang
homoseksual, sudah tentu tidak bisa memberikan istrinya nafkah batin. Jika hal ini
dibiarkan, hanya akan timbul kemudharatan bagi istri, sementara hukum Islam lebih
mengutamakan kemaslahatan. Akibat selanjutnya akan muncul banyak perselisihan
yang tidak dapat didamaikan. Kedua alasan ini membuat istri berhak mengajukan
gugatan cerai dengan alasan perselisihan yang diakibatkan suami homoseksual,
sehingga istri tidak mendapatkan nafkah batin berupa hubungan biologis.
Dengan demikian, penulis sangat sependapat dengan Putusan Pengadilan
Agama Bantul yang membolehkan istri menuntut pembatalan perkawinan karena
suaminya homoseksual, karena suami yang homoseksual tujuan pernikahan tidak dapat
tercapai, dilain sisi homoseksual merupakan sebuah perbuatan yang dimurkai oleh
Allah Swt.
Penulis juga setuju dengan Majelis Hakim Pengadilan Agama Tangerang, yang
lebih menitikberatkan sebagai pemicu dari perceraian. Dan jika pernikahan antara
51

penggugat dan tergugat diteruskan akan menimbulkan mudharat yang lebih besar lagi
bagi sang istri.

D. Implikasi Putusan Pengadilan Agama Bantul dan Pengadilan Agama


Tangerang Terhadap Pasangan dan Masyarakat
Pada Putusan Pengadilan Agama Bantul, Majelis Hakim tidak menuliskan atau
menjelaskan mengenai implikasi atau akibat akibat hukum yang ditimbulkan dari
putusan pembatalan perkawinan ini. Penulis akan menjabarkan analisis penulis
mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawinan antara penggugat dan tergugat.

1. Terhadap bekas suami dan bekas istri

Pada putusan ini, pernikahan antara penggugat dan tergugat sudah batal demi
hukum dan pernikahannya dianggap tidak pernah terjadi. Jadi Buku Nikah dan Akta
Nikah perkawinan antara penggugat dan tergugat tidak berkekuatan hukum lagi. Hal
ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa, “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan”.

Perkawinan yang dinyatakan dibatalkan oleh pengadilan, maka perkawinan


tersebut dianggap tidak pernah ada, dan apabila bekas suami atau bekas istri ingin
melakukan hubungan badan maka hukumnya haram. Hal ini diakibatkan karena
pembatalan atau fasakh berbeda dengan talak. Talak raj’i mengakibatkan
pernikahannya berakhir seketika, talak ba’in mengakhiri pernikahan seketika itu juga,
sedangkan fasakh mengakhiri pernikahan seketika itu. Kemudian, talak dapat
52

mengurangi bilangan talak, sedangkan pisahnya suami istri karena fasakh, tidak
mengurangi bilangan talak.7

2. Terhadap Anak

Wibowo Reksopradoto memberikan ulasan terhadap Pasal 28 ayat (2) yang


berbunyi: “Keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut”. Ia mengatakan bahwa, anak-anak yang dilahirkan dalam
perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku surut, sehingga anak-anak tersebut
adalah anak sah, walaupun kedua orang tuanya beritikad buruk.8

Sebelum menikah, penggugat dan tergugat statusnya adalah perawan dan


jejaka. Begitupun setelah menikah, karena selama pernikahan tidak terjadi hubungan
layaknya suami istri. Hal ini ditambah kuat dengan tergugat yang tidak mempunyai
ketertarikan secara seksual terhadap penggugat, bahkan menyentuh penggugat pun
tergugat tidak pernah.

Maka dari itu, penulis berpendapat tidak mungkin tergugat mengandung anak
yang diakibatkan pernikahannya dengan tergugat. Namun apabila suatu perkawinan
dilahirkan anak, maka sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974,anak tersebut tetap merupakan anak yang sah, walaupun perkawinnya mengalami
pembatalan. Hal ini juga diperjelas pada Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam, batalnya
suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya.

3. Terhadap Harta

7
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2008),
hlm. 272
8
Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jidil II Tentang Batal dan Putusnya
Perkawinan, (Itikad Baik: Semarang, 1978), hlm. 25
53

Hubungan perkawinan putus disebabkan pembatalan perkawinan, maka harta


bersama harus dibagi secara rata. Rata dalam artian sejauh mana suami istri
menggunakan usaha dan jasanya dalam menghasilkan harta bersama itu dahulunya.
Jika istri tidak bekerja, maka istri hanya berhak mendapatkan harta yang berasal dari
suami sebagai nafkah. Sedangkan apabila keperluan rumah tangga diperoleh dari hasil
bekerja antara suami dan istri, maka suami atau istri akan mendapatkan harta sesuai
dengan banyak atau sedikitnya harta yang suami atau istri hasilkan.9

Mengenai akibat pembatalan perkawinan yang kedua, yaitu mengenai harta.


Akibat ini tidak dijelaskan lebih lanjut di dalam putusan. Namun, jika dilihat dari
lamanya perkawinan ini, yang mana perkawinannya terbilang cukup singkat, dapat
dikatakan belum adanya percampuran harta antara satu sama lain. Perkawinan ini
berlangsung di tanggal 29 Juni 2020, namun pada bulan Agustus, tergugat
meninggalkan penggugat. Hanya kurang 2 bulan, penggugat dan tergugat bersama.
Apabila, penggugat dan tergugat mempermasalahkan harta bersama, maka pembagian
harta sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menjelaskan
bahwa bila perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing.

4. Terhadap Pihak Ketiga

Mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawinan terhadap pihak ketiga


juga tidak dijelaskan di dalam putusan. Namun, terhadap pihak ketiga yang beritikad
baik terhadap pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku
surut. Jika penggugat dan tergugat sebelum pernikahannya dibatalkan, pernah terikat
urusan perdata dengan pihak ketiga, hal ini harus dilaksanakan walaupun setelah

9
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
Hukum Agana, (Mandar Maju: Bandung, 2003), hlm. 176
54

adanya pembatalan perkawinan. Hal ini agar pihak ketiga yang beritikad baik tidak
merasa dirugikan.

Pada Putusan Pengadilan Agama Tangerang, Hakim memutuskan kasus ini


dengan perceraian, menjatuhkan talak ba’in sughra terhadap penggugat. Talak ba’in
sughra adalah talak dimana seorang suami tidak dapat kembali rujuk dengan istri yang
diceraikannya kecuali dengan akad baru dan mahar yang baru.10 Selain dengan akad
dan mahar yang baru, akibat dari talak ba’in sughra ini juga mengakibatkan bilangan
talak yang dimiliki suami berkurang.

Sayangnya pada putusan ini, Majelis Hakim tidak menjelaskan lebih lanjut dari
implikasi putusan ini terhadap bekas suami atau istri, anak, dan harta bersama. Padahal
di dalam Undang-Undang Perkawinan, akibat hukum perceraian berdampak pada anak,
harta bersama, dan nafkah.

1. Terhadap pemeliharaan anak, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak mereka sebaik-baiknya, meskipun perkawinan antara kedua orang tua
terputus.
Namun jika dilihat dari dalil penggugat, pertimbangan hakim, dan pernyataan
dari para saksi, pernikahan antara penggugat dan tergugat tidak menghasilkan
anak.
2. Terhadap harta bersama, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta
suami dan harta istri karena harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasi penuh
olehnya, begitupun sebaliknya. Jika adanya perselisihan antara suami istri
tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan tersebut diajukan
kepada Pengadilan Agama.

10
Abu Kamal Malik ibn Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Qohirah: Maktabah
Taufiqiyah, 2003), hlm. 274
55

Pada putusan Pengadilan Agama Tangerang, pernikahan antara penggugat dan


tergugat hanya singkat sekali. Penulis berpendapat bahwa belum adanya
percampuran harta antara penggugat dan tergugat.
3. Terhadap nafkah, biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi
tangggungan lagi, terutama dalam perceraian itu si istri yang bersalah. Namun
dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai
biaya hidupnya ialah pembiyaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang
lebih kurang selama 90 hari.11

Selain hal itu putusan pengadilan agama ini dapat dijadikan informasi dan
edukasi bagi masyarakat dan pencari keadilan. Implikasi putusan hakim ini sudah
sepatutnya sebagai pembelajaran bagi masyarakat. Agar kasus-kasus seperti ini,
khususnya yang disebabkan pasangan homoseksual tidak terjadi lagi. Sudah
seharusnya seseorang yang ingin menikahi pasangannya, sudah mengenal betul dan
tahu latar belakagnya. Seseorang yang sekiranya mengidap homoseksual, sudah
seharusnya terbuka, menceritakan dirinya yang seorang homoseksual kepada
pasangannya. Agar kasus-kasus ini tidak terjadi lagi.

Putusan pengadilan agama ini juga diharapkan memberikan kesadaran bagi


seseorang yang mempunyai penyimpangan seksual. Diperlukannya kesadaran terhadap
pihak yang berperilaku menyimpang bahwa tindakannya tidak baik untuk kesehatan
dan dapat merugikan orang lain. Disamping itu juga, perilakunya sangat dibenci oleh
Allah Swt. Maka dari itu, penulis menghimbau para orang tua untuk memberikan
pendidikan mengenai hal ini terhadap anaknya sedari kecil, sehingga mengantisipasi
anaknya menjadi homoseksual.

11
Nunung Rodliyah, “Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun Tentang Perkawinan”, Keadilan Progresif, Vol. 5, 1 (2014)
56

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menyelesaikan pembahasan tentang “Pembatalan Perkawinan


karena Suami Penyuksa Sesama Jenis (Perbandingan Putusan Pengadilan Agama
Bantul Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang
Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng)” dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Pada perkara pembatalan perkawinan yaitu Putusan Pengadilan Agama Bantul


Nomor 981/Pdt.G/2020/PA.Btl, pertimbangan hakim telah memenuhi
ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur di Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Disini hakim dalam mempertimbangkan pembatalan perkawinan
karena suami homoseksual berdasarkan salah sangka yang dialami penggugat,
sehingga penggunaan Pasal 27 Udang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal
72 ayat (2) KHI sudah tepat. Sedangkan pada Putusan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor 795/Pdt.G/2020/PA.Tng, penulis menemukan bahwa alasan
suami penyuka sesama jenis merupakan salah satu alasan yang membuat
hubungan suami istri menjadi tidak rukun. Muncul banyak perselisihan yang
tidak dapat di rukun kan kembali karena suami penyuka sesama jenis. Maka
dari itu, alasan homoseksual dapat diterima sebagai salah satu alasan pemicu
perselisihan, sehingga memasukkan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam juga sudah
tepat. Dengan demikian, keputusan Majelis Hakim sudah tepat dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Alasan suami penyuka sesama jenis dimaknai berbeda pada kedua putusan ini.
Pada putusan pembatalan perkawinan, suami penyuka sesama jenis menjadi
faktor utama terjadinya pembatalan perkawinan. Sedangkan, pada putusan cerai
57

gugat, suami penyuka sesama jenis menjadi alasan terjadinya perselisihan terus
menerus, sehingga perkawinannya harus dibubarkan.
3. Implikasi kedua putusan ini sangat bervariasi. Pada Putusan Pengadilan Agama
Bantul, implikasi atau akibat hukum yang ditimbulkan dari putusan pembatalan
perkawinan ini tidak berlaku surut terhadap anak, harta, dan pihak ketiga.
Begitu pun pada Putusan Pengadilan Agama Tangerang yang mempunyai
akibat hukum terhadap pemeliharaan anak, harta bersama, dan nafkah. Selain
terhadap pasangan, kedua putusan ini juga diharapkan sebagai pembelajaran
bagi masyarakat agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian terhadap masalah yang penulis paparkan, maka
dapatlah penulis sampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Di Indonesia, persoalan orientasi seks yang menyimpang, seperti homoseksual
ataupun LGBT masih menjadi hal yang tabu. Pembahasan homoseksual
hendaknya seorang dapatkan sejak bersekolah ditingkat Menengah ataupun
tingkat Atas sehingga dapat menghindarkan seseorang menjadi penyuka
sesama jenis. Minimnya edukasi mengenai hal tersebut, membuat
permasalahan yang diakibatkan oleh penyimpangan seksual melebar ke
beberapa masalah perkawinan. Maka dari itu, pemerintah hendaknya
mengedukasi masyarakat hingga ke akar dalam hal perkawinan dan
permasalahannya yang disebabkan oleh penyimpangan seksual.
2. Sudah sepatutnya seseorang yang hendak menikah, ia sudah mengenal baik
pasangannya. Sebelum menikah, hendaknya setiap pasangan saling terbuka
satu sama lain mengenai kondisi masing-masing, agar permasalahan-
permasalahan dalam perkawinan dapat terhindarkan. Hendaknya masyarakat
agar proaktif terhadap masalah-masalah perkawinan sesuai dengan UU yang
58

berlaku di Indonesia, sehingga salah sangka atau penipuan dalam perkawinan


tidak terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Arumdani, Kharisma Yogi Maritika Arumdani. (2020). Pembatalan Perkawinan


Akibat Manipulasi Identitas Ditinjau Al-Muslahah Al-Mursalah (Studi Putusan
Nomor: 469/Pdt.G/2019/PA.Wng di Pengadilan Agama Wonogiri). (Skripsi S-
1 Fakultas Syaria’ah, IAIN Surakarta).

Baharsyah, Naskel Thiopulus. (2018). Pembatalan Perkawinan Karena Adanya


Pemalsuan Identitas: Ditinjau dari Pasal 27 UU Perkawinan (Analisis Kasus
Putusan Nomor 106/Pdt.G/2016?PN.Jak.Sel). (Skripsi S-1 Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara).

Basyir, Ahmad Azhar. (2000). Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.

Wajdu, Fajar. (2019). Perkawinan Sejenis dalam Konstruksi Teori Mashlahah. Al-
Syakhshiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, 1(1).

Dianawati, A. (2003). Pendidikan Seks untuk Remaja. Tangerang: Kawan Pustaka.

Fachri, A. (1986). Perkawinan Seks dan Hukum. Pekalongan: Bahagia.

Ghozali, Abdul Rahman. (2008). Fiqh Munakahat. (Cet. 3). Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.

Hakim, Ahmad Fauzan. (2019). Pembatalan Perkawinan Karena Penipuan Identitas.


Dinamika Jurnal Ilmu Hukum, 25(2).

Hakim, Rahmat. (2000). Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Harahap, Yahya. (1978). Hukum Perkawinan Indonesia. Medan: Cv Zahir Co.

Haryanti, Amelia. (2017). Penyelesaian Sengketa Pembatalan Pernikahan Karena


Adanya Penipuan Status Istri. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 4(2).

59
60

Holik, A. (2013). Perkawinan Akibat Poligami. Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian
Keislaman, 1(2).

Junaedi, Didi. (2016). Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-quran. Jakarta: PT.
Alex Media Komputindo.

K., Ahmad Ramli dan St. Pamoentjak. (2000). Kamus Kedokteran. Jakarta: Djambatan.

Kartini, Kartono. (1989). Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Banndung:


Mandar Maju.

KHI (Kompilasi Hukum Islam).(2007). Bandung: Citra Umbara.

Mahkamah Agung RI. (2010). Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi


Peradilan Agama.

Muhammad, Abdulkadir. (2000). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti.

Mettarini Siwi. (2021). Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Oleh


Suami dan Akibat Hukumnya (Analisis Putusan Pengadilan Agama Bantul
Nomor: 925/Pdt.G/2018/PA.Btl). (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah, IAIN
Purwokerto).

Moh. Ali Wafa. (2018). Hukum Perkawinan Di Indonesia: Sebuah Kajian Dalam
Hukum Islam Dan Hukum Materil. Tangerang Selatan: YASMI.

Nunung Rodliyah. (2014). Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 1 Tahun Tentang Perkawinan. Keadilan Progresif Vol. 5, 1

Pusat Pembinaan Bahasa. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
61

Rachman, Yusnidar. (2006). Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya di


Pengadilan Agama Slawi. (Tesis S-2 Program Pascasarjana Kenotariatan,
Universitas Diponegoro).

Rahmatillah, D. Dan A. Khofifiy. (2018). Konsep Pembatalan Perkawinan dalam


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hukum
Islam, 17(2).

Rangkuti, R.R.Y. Homoseksual dalam Persepektif Hukum Islam. Asy-Syir-ah: Jurnal


Imu Syari’ah dan Hukum, 46(1).

Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan.

Rofiq, Ahmad. (1998). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada.

Rusli, Tami. (2018). Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pranata Hukum, 8(2).

Sabiq, Sayyid. (1968). Fiqh al-Sunnah. Libanon: Dar al-Fikr.

Sarwono, Sarlito. (2002). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suyatno. (2009). Penyimpangan Seksual. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas


Diponegoro.

Syarifuddin, Amir. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Yudha, Frisko Dwi Karisma. (2012). Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan


Identitas dalam Perkawinan Poligami (Studi Kasus Putusan Pengadilan
Agama Sidoarjo Nomor; 1624/Pdt.G/2009/PA.Sda). (Skripsi S-1 Fakultas
Hukum, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur).
Lampiran

62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92

Anda mungkin juga menyukai