Anda di halaman 1dari 103

LARANGAN PERKAWINAN ANTAR PEGAWAI DALAM SATU PERUSAHAAN

SERTA PENERAPANNYA DI PT. PLN DAN BANK MANDIRI

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

YOGI SURYA
NIM. 1113044000054

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M / 1440 H
LARANGAN PERKAWINAN ANTAR PEGAWAIDALAM SATU PERUSAⅡ AAN
SERTA PENERAPANNYA DIPToPLN DAN BANK VIIANDIRI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

C)leh:


  、


YOGISURYA
NIⅣ I。 1113044000054

′ 0`ユ
7
NIP。 1976021

PROGRAⅣ ISTUDI ⅡUKUⅣI KELUARGA


FAKULTASSYARIAⅡ DAN HUKUM
UNIVERSITASISLAⅣ I NEGRI
SYARIF ⅡIDAYATULLAH
JAKARTA
1441111/2019M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "Larangan Perkawinan Antar Pegawai dalam Satu


Perusahaan Serta Penerapannya Di PT. PLN dan Bank Mandiri", Telah diujikan
dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UfN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 20 Mei 2019. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H,)
pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Al Syakhshiyyah).

Jakalta, Juli 2019

DFl Ahmad Tholabi Karlie,S.H"M=L M2▲ ,

NIP.197608072003121001

PANITIA UJIAN ⅣIUNAQAsAH

1. Ketua Dr.Hi.Mcsrdni,S.H"M.A2.
NIP.197602132003122001
つ4

Sekretaris Ahmad Chairul Hadi,M.A.


卜]IP. 197205312007101002
うD

Pernbimbing Dr.Hi.Mcsrainin S.H"M.Ag.


NIP.19710215 1997032002
4. Penguji I S● Hidavati3 M.A2.
NIP.19710215 1997032002
Penguji II Hotnida Nasu■ on.S.A2"M.A.
NIP,19710131 19970320210
PERNYATAAN

Yang bcrtanda― tangan di bawah ini:

Nalna :Yogi Surya

NIM :111304400054

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul LARANGAN


PERKAWINAN ANTAR PEGAWAI DALAM SATU PERUSAHAAN SERTA
PENERAPANNYA DI PT. PLN DAN BANK MANDIRI adalah benar karya saya
sendiri dau tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan
yang ada dalam pen].usunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya
dalam skripsi.

Saya bersedia mclakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan


perundang-undangan yang berlaku jika ternyata d<ripsi ini sebagian atau keseluruhan
merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan seperlunya.

Ciputat, 2 November 2018

YOGISURYA
NIM:1113044000054
ABSTRAK
Yogi Surya. NIM 1113044000054. LARANGAN PERKAWINAN ANTAR
PEGAWAI DALAM SATU PERUSAHAAN SERTA PENERAPANNYA DI PT.
PLN DAN BANK MANDIRI. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018M/1440H. viii+78 halaman.
Pada dasarnya dalam Islam tidak ada larangan perkawinan antar pegawai dalam
satu perusahaan, akan tetapi dalam realita di lapangan terjadi larangan perkawinan antar
pegawai dalam satu perusahaan berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13
Tahun 2003 Pasal 153 ayat 1 huruf F. Namun pada tahun 2017 Mahkamah Konstitusi
mengabulkan Judicial Review dengan Nomor 13/PUU-XV/2017 yang membolehkan
perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk: a)
Mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-undang perkawinan di
Indonesia terhadap ketentuan larangan perkawinan antar pegawai dalam satu
perusahaan menurut Undang-undang Ketenagakerjaan pra judicial review. b)
Mengetahui bagaimana penerapan perusahaan atas adanya larangan perkawinan pra
judicial review. c) Mengetahui bagaimana respon perusahaan setelah Mahkamah
Konstitusi mengabulkan judicial review.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif. Data primer dalam penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 13/PUU-XV/2017, Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003,
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, KHI, dan hasil wawancara dengan
Pimpinan PT. PLN dan Bank Mandiri. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan
menganalisis secara cermat mengenai larangan perkawinan antar pegawai dalam satu
perusahaan. Teknik pengumpulan data berupa interview (wawancara) dan studi pustaka.
Analisis data menggunakan analisis deduktif yaitu menelaah peraturan mengenai
larangan perkawinan dalam satu perusahaan, komperatif yaitu membandingkan
peraturan larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan pra dan pasca
putusan MK menurut hukum Islam dan UU No 1 Tahun 1974.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan di PT.PLN dan Bank Mandiri tentang
larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan yaitu: a). larangan
perkawinan dalam hukum islam hanya melarang pertalian darah, hubungan sepersusuan,
hubungan semenda dll, 2) Sebelum adanya putusan MK No 13/PUU-XV/2017 PT. PLN
melarang perkawinan antar pegawai yang diatur dalam Peraturan Perusahaan Nomor
108.K/7006/DI/1997 dan Nomor 025.K/DIR/2011, sama hal nya dengan Bank Mandiri
yang mengatur secara langsung melarang perkawinan antar pegawainya karena
dikhawatirkan terjadi kecurangan antar pegawai yang menikah, c) Setelah adanya
Putusan MK, PT. PLN dan Bank Mandiri menerapkan Peraturan baru sesuai dengan
putusan MK yang membolehkan perkawinan antar pegawai. Tercatat sudah banyak
yang melangsungkan perkawinan setelah PT. PLN dan Bank Mndiri menerapkan nya
per tanggal 14 November 2017.

Kata Kunci : Larangan Perkawinan, Putusan MK, PT. PLN, Bank Mandiri.
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d. Tahun 2018

iii
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الحمن الحيم‬

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
LARANGAN PERKAWINAN ANTAR PEGAWAI DALAM SATU
PERUSAHAAN SERTA PENERAPANNYA DI PT. PLN DAN BANK
MANDIRI. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah
mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan kebenaran.

Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan
rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.H, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.Ag, dan Ahmad Chairul Hadi, M.A, Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.Ag, Dosen Pembimbing skripsi dan Penasihat
Akademik yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu untuk
membimbing, memberikan arahan, saran-saran serta motivasi kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Giovany., Deputi Manajer PT. PLN (Persero) yang telah mengizinkan
penulis diadakannya penelitian ini dan berkenan menjadi narasumber
dalam skripsi ini.
5. Korry Sitorus., Manajer Trade Servicing Center PT. Bank Mandiri
(Persero) yang telah mengizinkan penulis diadakannya penelitian ini dan
berkenan menjadi narasumber dalam skripsi ini.

iv
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staff pengajar pada lingkungan
program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
7. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff
Perpustakaan Fakultas Syarifah dan Hukum, yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
8. Orang tua Penulis ayahanda alm. Ahmad Saugi dan Ibunda Yulia, kaka-
kaka kandung penulis, Aprizainah, Mira Maulida, Junaidy Salad yang
telah memberikan kasih sayang, dukungan dan doanya untuk kesuksesan
penulis.
9. Para sahabat dan kawan seperjuangan Hukum Keluarga 2013, baik dalam
lingkup Formasas, dan kawan-kawan SAS B.
10. Keluarga Besar PMII KOMFAKSYAHUM yang telah mengizinkan
penulis untuk hidup berkembang didalam lingkungan organisasi.
11. Kawan-kawan KKN BUMI 2016 di Desa Sukamulya Rumpin Bogor yang
telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman kepada penulis
selama di KKN.
12. Para sahabat penulis baik diluar kampus maupun didalam kampus yang
telah menerima dan meluangkan waktu nya untuk sekedar bercerita,
berdiskusi dan melepas tawa. Semoga kita semua menjadi orang-orang
yang sukses
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini semoga Allah membalasnya. Aamiin.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya


untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

v
Jakarta, 2 November 2018

Penulis

Yogi Surya

vi
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i

PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................. ...... ii

ABSTRAK ............................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................1

B. Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah ..............................................4

C. Tujuan Masalah ..............................................................................................5

D. Manfaat Penelitian .........................................................................................6

E. Review Studi Terdahulu .................................................................................6

F. Metode Penelitian............................................................................................8

G. Sistematika Penulisan ...................................................................................11

BAB II KETENTUAN PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM

DAN PERATURAN HUKUM DI INDONESIA

A. Rukun dan Syarat Perkawinan......................................................................13

1. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam ............................15

2. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 ..............19

3. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut KHI ...........................................23

B. Larangan Perkawinan ..................................................................................24

1. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Islam ..........................................24

2. Larangan Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974............................33

vii
3. Larangan Perkawinan Menurut KHI ........................................................35

BAB III LARANGAN PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG


KETENAGAKERJAAN DAN PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017

A. Larangan Perkawinan Antar Pegawai dalam Satu Perusahaan

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan ................................................39

1. Sekilas Tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan .................................39

2. Larangan Perkawinan Dalam Pasal 153 ...................................................44

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 Yang Me-

Judicial Review Pasal 153 Ayat 1 Huruf F Undang-

Undang Ketenagakerjaan, Tentang Larangan Perkawinan ...........................46

1. Posisi Kasus Yang Melatar belakangi Pengajuan Judicial Review ..........46

2. Putusan Hakim ..........................................................................................49

3. Pertimbangan HakimMengabulkan Judicial Review Pasal 153

Ayat 1 Huruf F Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan ...........................................................................51

BAB IV LARANGAN PERKAWINAN ANTAR PEGAWAI DALAM


SATU PERUSAHAAN PRA DAN PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2013

A. Penerapan Larangan Perkawinan Antar Pegawai dalam Satu Perusahaan

Pra dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017. ..53

1. PT. PLN ....................................................................................................53

2. Bank Mandiri ........................................................................................... 57

B. Larangan Perkawinan Antar Pegawai dalam Satu Perusahaan

Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Pra dan Pasca Judicial

Review ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan


viii
di Indonesia ..................................................................................................62

C. Penerapan Kaidah Ushul Fiqh Terhadap Ketentuan Larangan

Perkawinan Antar Pegawai Dalam Satu Perusahaan ................................... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................74

B. Rekomendasi.................................................................................................76

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................79

LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan dianjurkan dan diatur dalam Islam karena ia memiliki tujuan yang
mulia secara umum. Perkawinan antara pria dan wanita dimaksudkan sebagai upaya
memelihara penghormatan diri (hifzh al’irdh) agar mereka tidak terjerumus kedalam
perbuatan terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/ keturunan (hifzh
an’nash) yang sehat mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang
antara suami dan istri serta saling membantu diantara keduanya untuk kemaslahatan
bersama.1
Perkawinan menurut syara’ adalah akad yang menimbulkan kebolehan bergaul
antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan,
dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-
kewajiban.2 Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat 1
Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.3 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 dijelaskan
bahwa “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.4
Di Indonesia, Undang-Undang yang mengatur mengenai Perkawinan adalah
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, selanjutnya disebut sebagai

1
Husein Muhammad, fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta LKS, 2007), h. 101
2
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Prenada Media. 2009), h. 39
3
Undang-Undang R.I., No. 1 Tahun 1974, L.N.R.I. Tahun 1974 No. 1 Pasal 1
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010),
h. 114.

1
2

Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan mengatur mengenai dasar


dan syarat-syarat sahnya perkawinan bagi Warga Negara Indonesia. Dalam pasal 2
ayat 1 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Kemudian diatur lebih lanjut pada ayat 2, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.5
Terkait perkawinan, saat ini beberapa perusahaan baik perusahaan pemerintah,
maupun swasta, menetapkan suatu klausul yang membatasi hak untuk
melangsungkan perkawinan antara sesama pekerja yang bekerja dalam perusahaan
tersebut. Salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur pembatasan
tersebut adalah pasal 153 huruf f Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengizinkan Pemutusan Hubungan Kerja dengan
alasan adanya ikatan perkawinan antara sesama pekerja, sepanjang itu telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.6
Pembatasaan tersebut artinya apabila antara pekerja melangsungkan
perkawinan, maka salah satu dari mereka harus mundur dari perusahaan atau bahkan
mendapat PHK (pemutusan hubungan kerja) berdasarkan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal ini tidak secara eksplisit dinyatakan
sebagai larangan kawin, namum perusahaan dalam hal ini secara halus menghimbau
pekerjaannya untuk tidak bekerja satu atap dengan pasangan sumi/istrinya.
Adapun alasan perusahaan melarang perkawinan antar pegawainya dalam satu
perusahaan yaitu:7
1. Mewujudkan pemerataan pendapatan di masyarakat. Aturan tersebut
diharapkan bisa membuka peluang kerja yang lebih luas bagi keluarga-

5
Undang-Undang R.I., No. 1 Tahun 1974, Perkawinan, L.N.R.I. Tahun 1974 No. 1, Pasal 2
ayat 1
6
Undang-Undang R.I., No. 13 Tahun 2003, Ketenagakerjaan, L.N.R.I. Tahun 2003 No. 39,
Pasal 153 huruf f
7
Maria Wurianalya Novenanty, Jurnal Pembatasan Hak Untuk Menikah Antara Pekerja
Dalam Satu Perusahaan, dalam jurnal Veritas etjustitia, tahun 2016 diterbitkan oleh
journal.unpair.ac.id h. 62
3

keluarga lainnya, sehingga kesejahteraan tidak hanya terpusat pada keluarga-


keluarga tertentu saja.
2. Menghindari konflik pribadi. Apabila pasangan suami istri bekerja di satu
perusahaan yang sama, maka ada kekhawatiran urusan rumah tangga bisa
terbawa ke kantor, begitupun sebaliknya. Hal semacam itu bisa berpengaruh
pada kinerja pasangan tersebut di perusahaan.
3. Menghindari unsur subyektivitias dalam penerapan aturan di kantor. Apabila
pasangan suami istri bekerja di perusahaan yang sama, maka dikhawatirkan
pemberian reward dan punishment tidak akan maksimal. Hal ini
dimungkinkan terjadi apabila salah satu dari pasangan tersebut memiliki
jabatan yang lebih tinggi dan memiliki kewenangan dalam memberikan
reward dan menjatuhkan punishment.
4. Menghindari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ada resiko terciptanya korupsi,
kolusi, dan nepotisme apabila ada hubungan kekeluargaan di dalam suatu
kantor yang dilandasi motif memperkaya keluarga.
Salah satu perusahaan yang telah melaksanakan hal tersebut adalah PT. PLN
yang melakukan pemecatan atan PHK karena memiliki hubungan perkawinan dengan
8
suaminya yang juga bekerja di PT.PLN wilayah Mamuju Sulawesi Selatan. Hal
serupa terjadi juga pada Bank Mandiri di Jakarta, adanya pegawai yang di PHK
karena memiliki hubungan perkawinan, hal itu diungkapkan oleh pegawai Bank
Mandiri sendiri yang istrinya sudah di PHK oleh perusahaan.9
Dengan itu, banyak yang harus dikaji dalam hal memahami perundang-
undangan yang mengatur pembatasan tersebut adalah pasal 153, huruf f, Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengizinkan
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan adanya ikatan perkawinan antara sesama
pekerja.
8
http://www.hukumonline.com/berita/baca/ketika-phk-akibat-sesama-pekerja-dipersoalkan,
diakses pada 22 Februari 2017.
9
Hasil wawancara dengan Bpk Gilang Ramadhan, Pegawai Bank Mandiri Jakarta, dikantor
Bank Mandiri, pada tanggal 6 Juni 2018
4

Namun, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 hakim


menyatakan bahwa frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama” dalam pasal 153 ayat (1) huruf F Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan paparan latar belakang tersebut, maka penulis bermaksud
mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul penelitian “LARANGAN
PERKAWINAN ANTAR PEGAWAI DALAM SATU PERUSAHAAN SERTA
PENERAPANNYA DI PT. PLN DAN BANK MANDIRI”

B. Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diidentifikasikan beberapa
masalah sebagai berikut:
a. Apa akibat yang muncul karena adanya larangan perkawinan dalam satu
perusahaan?
b. Apa dampak positif dari penghapusan larangan tersebut?
c. Bagaima tanggapan perusahaan yang menerapkan larangan perkawinan
antar pegawai pra dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XV/2017?
d. Apakah larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945?

2. Batasan Masalah
Karena cukup banyaknya perusahaan yang menerapkan larangan perkawinan
antar pegawai dalam satu perusahaan maka penulis hanya membatasi larangan
yang berlaku di PT. PLN Pusat dan Bank Mandiri Pusatk. Keduanya berlokasi
5

di Jakarta. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2018 sampai bulan


September 2018.

3. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam dan Undang-undang perkawinan di
Indonesia terhadap ketentuan larangan perkawinan antar pegawai dalam
satu perusahaan menurut Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003 pra dijudicial Review Mahkamah Konstitusi ?
b. Bagaimana larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan
diterapkan pra putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 di
PT PLN dan Bank Mandiri ?
c. Bagaimana respon pimpinan PT PLN dan Bank Mandiri setelah
ditetapkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017
yang membolehkan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan ?

C. Tujuan Masalah
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-undang
perkawinan di Indonesia terhadap ketentuan larangan perkawinan antar
pegawai dalam satu perusahaan menurut Undang-undang Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003 pra dijudicial Review Mahkamah Konstitusi.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan perusahaan atas adanya
laranagan perkawinan dalam satu perusahaan sebelum adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 di PT PLN dan Bank
Mandiri.
3. Untuk mengetahui bagaimana respon pimpinan PT PLN dan Bank
Mandiri setelah ditetapkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XV/2017 yang membolehkan perkawinan antar pegawai dalam
satu perusahaan.
6

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk membuat suatu karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang merupakan
salah satu persyaratan mendapat gelar Sarjana Hukum (S.H) yang telah
ditentukan oleh Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, bagi para mahasiswa dan mahasiswi yang akan menyelesaikan
studinya di fakultas Syariah dan Hukum khususnya program studi Hukum
Keluarga.
2. Memberi pengetahuan untuk pembaca dan penulis mengenai mengapa
terjadinya larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan yang
tidak sesuai dengan undang-undang yang ada.
3. Bagi dunia pustaka hasil skripsi ini dapat dijadikan sebagai koleksi
tambahan dalam ruang lingkup karya ilmiah.
4. Dan bagi mahasiswa dapat digunakan untuk menambah referensi
pengetahuan lebih luas dan kritis.

E. Review Studi Terdahulu


Untuk menghindari terjadinya persamaan terhadap penelitian yang ada
sebelumnya, maka penulis mengadakan penelusuran terhadap penelitian-
penelitian yang telah ada sebelumnya diantaranya adalah;
1. Naqih Finesha, dengan judul ”Mitos Larangan Perkawinan Antara
Penduduk Desa Sadang Kecamatan Jekulo, Dukuh Gambir Desa
Hadiwarno dan Desa Kesambi Kecamatan Mejebo Kabupaten Kudus
dalam Prespektif Aqidah Islamiyah”. Skripsi ini mengkaji tentang Mitos
larangan perkawinan antara penduduk desa Sadang, dukuh Gambir desa
Hadiwarno dan desa Kesambiini jika dilihat dalam perspektif aqidah
Islamiyah, sebenarnya mitos tersebut bisa dikatakan menyalahi aqidah
7

Islam jika diyakini secara berlebihan.10 Dalam arti, masyarakat lupa


bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dari Allah SWT. Karena
dalam aqidah Islam tidak ada perintah untuk menaati mitos seperti itu.
Tapi, jika masyarakat desa Sadang, dukuh Gambir desa Hadiwarno dan
desa Kesambi masih memiliki keyakinan bahwa mereka mendapatkan
wala’ atau musibah ketika melanggar mitos tersebut karena melanggar
larangan orang yang disayangi oleh Allah (Wali Allah) sehingga Allah
menghukum mereka, maka sah-sah saja.
2. Nur Aisyah dengan judul “Larangan Menikah Sesuku di Desa Sipungguk
Kecamatan Salo Kabupaten Kampar Ditinjau dari Pandangan Islam”.
Skripsi ini mengkaji tentang larangan menikah sesuku, maka dijelaskan
Pernikahan sesuku di Desa Sipungguk tidak sesuai dengan hukum Islam.
Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian, baik dari angket maupun dari
wawancara. Faktor penyebab dilarang nya menikah sesuku di Desa
Sipungguk yaitu antara lain renggangnya hubungan kekerabatan,
takutakan merusak hubungan silaturrahim, dan menganggap sesuku itu
saudara dan untuk mendidik rasa malu. Adapun sanksi dari pelanggaran
menikah sesuku yaitu :pelaku diusir dari kampung untuk selama-lamanya,
dikucilkan dari pergaulan, tidak beradat, dan denda seekor sapi,sanksi ini
telah ada sejak dulu. Pandangan Islam terhadap larangan pernikahan
sesuku yaitu dibolehkan hanya menurut adat saja yang tidak dibolehkan.11
3. Ahmad Khoirul Huda dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Larangan Mentelu di Desa Sumberejo Kecamatan Lamongan Kabupaten
Lamongan Jawa Timur” skripsi ini mengkaji bahwa dalam agama Islam

10
Naqih Finesha, Mitos Larangan Perkawinan Antara Penduduk Desa Sadang Kecamatan
Jekulo, Dukuh Gambir Desa Hadiwarno dan Desa Kesambi Kecamatan Mejebo Kabupaten Kudus
dalam Prespektif Aqidah Islamiyah, skripsi pada strata I IAIN wali songo Semarang, Semarang,2014,
dipublikasikan
11
Nur Aisyah, Larangan Menikah Sesuku di desa Sipungguk Kecamatan Salo Kabupaten
Kampar Ditinjau dari Pandangan Islam, skripsi pada strata I UIN suska Riau, Riau 2015,
dipublikasikan
8

sendiri tidak terdapat larangan menikah dengan karena mentelu. Berangkat


dari penjelasan di atas bisa ditarik benang merah bahwa seseorang laki-
laki dan perempuan tidak dapat melaksanakan pernikahan jika antara
keduanya terdapat hubungan mentelu.12

F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif.
Kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dan lain-lain yang menghasilkan data deskripsi berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.13
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif, yakni penerapan yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.14Dalam
kaitannya pendekatan yuridis normatif disini akan digunakan beberapa
pendekatan turunan yaitu :
a. Pendekatan kasus (case approach).15Pendekatan kasus ini bertujuan
untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktek hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang

12
Ahmad Khoirul Huda, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Mentelu di Desa
Sumberejo Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur, skripsi pada strata I UIN sunan
ampel Surabaya, Surabaya 2014, dipublikasikan
13
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), Cet. Ke 31, Ed. Revisi, h. 4
14
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang
objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada
dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif.
Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia,
2008), h. 295
15
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Bayumedia, 2008), h. 302
9

telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi


terhadap perkara-perkara yangmenjadi fokus penelitian.
b. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang
dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan
larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan, seperti:
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Undang-
Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
c. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami
konsep-konsep tentang: larangan perkawinan antar pegawai dalam satu
perusahaan. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan
penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak lagi terjadi pemahaman
yang kabur dan ambigu.
3. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu menganalisis
secara cermat mengenai larangan perkawinan antar pegawai di dalam satu
perusahaan.
4. Sumber Data
Seperti penelitian pada umumnya, data dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang
diperolehkan langsung dari sumber, sedangkan data sekunder ialah data yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka.
a. Sumber data primer, yaitu:
- Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 13/PUU-XV/2017
- Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
- Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
- Kompilasi Hukum Islam
- Hasil wawancara dengan PT.PLN dan Bank Mandiri.
b. Sumber data sekunder, yaitu:
10

- Studi kepustakaan yang berupa buku-buku, Al-quran, As-


Sunnah, jurnal, skripsi, artikel, ensiklopedia, dan penelitian-
penelitian yang berkaitan yang dapat dipertanggung-jawabkan
yang tentunya memiliki keterkaitan dengan masalah skripsi,
pendapat para ahli atau sumber data yang lain yang relevan
dan berhubungan dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu:
a) Melakukan Wawancara dengan Bapak Giovany Deputi Manajer
Perencanaan Kebijakan HCMS PT. PLN dan Ibu Korry Sitorus
Manajer Trade Servicing Center PT. BANK Mandiri
Wawancara dilakukan di Kantor PT. PLN (Persero) Pusat yang
berlokasi di jl. Turnojoyo Blok M-I No. 135, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, dan di Kantor PT. Bank Mandiri (Persero) yang berlokasi di
jl. R.P. Soeroso No. 2-4, Jakarta Pusat. Wawancara dilakukan dengan
metode wawancara berstruktur (structured interview) yaitu
wawancara yang tidak menggunakan daftar pertanyaan dengan
susunan kata dan tata urut yang harus dipatuhi pewawancara. Tetapi
wawancara ini dilakukan tanpa cara dan aturan bertaya.16
b) Studi Pustaka
Dilakukan untuk mendapatkan data tentang teori-teori yang
berkaitan dengan larangan perkawinan antar pegawai dalam satu
perusahaan pra dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi, dan
Undang-undang yang memuat larangan perkawinan.

16
Metode Pengumpulan Data dengan Wawancara (Interview),
https://www.perpusku.com/2016/06/metode-pengumpulan-data-dengan-metode-wawancara-
interview.html, diakses pada 22 Februari 2017
11

6. Metode Analisis Data


Deduktif, yakni dengan memiliki aturan yang terdapat dalam Undang-
undang (Khususnya Undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan)
yang berlaku untuk menelaah peraturan mengenai larangan perkawinan
dalam satu perusahaan.
Komperatif ,yaitu membandingkan peraturan larangan perkawinan
antar pegawai dalam satu perusahaan pra dan pasca putusan Mahkamah
Konstiusi. Menurut Hukum Islam dan juga menurut Undang-undang No.
1 Tahun 1974.

G. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini
terdiri dari lima bab, dan setiap bab meiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari
masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi
rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun
sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:
BAB I Pembahasan dalam skripsi ini yang di awali dengan pendahuluan yang
merupakan suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi. Latar
belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, review studi terdahulu,
sistematika penulisan dan daftar pustaka sementara.
BAB II Membahas tentang larangan perkawinan dalam hukum positif, larangan
perkawinan dalam hukum islam, dan kompilasi hukum islam.
BAB III Membahas tentang larangan perkawinan dalam undang-undang
ketenagakerjaan dan putusan mahkamah konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017
BAB IV Menjawab semua rumusan masalah yang ada yaitu, larangan perkawinan
antar pegawai dalam satu perusahaan menurut UU Ketenagakerjaan pra dan pasca
judicial review ditinjau dari hukum islam dan peraturan perkawinan di Indonesia, dan
12

penerapan larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan pra dan pasca
putusan mahkamah konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017.
BAB V Yaitu penutup yang berisikan kesimpulan dari permasalahan yang telah
dibahas pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran sebagai solusi dari permasalahan.
BAB II
KETENTUAN PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM DAN
PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Rukun dan Syarat Perkawinan


Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-
wathi dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu
wa al-jam‟u, atau „ibarat „an al-wath‟ wa al-aqd yang bermakna bersetubuh,
berkumpul dan akad. Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta
(persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi, dan berkumpul
selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab
keturunan, atau sepersusuan.1
Dalam hukum perdata barat tidak ditemukan definisi dari perkawinan.
Tetapi istilah perkawinan huwelijk sendiri dalam hukum perdata barat digunakan
dalam suatu arti, yaitu :
1. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan “melangsungkan
perkawinan” (Pasal 104 BW). Selain itu juga dalam arti “setelah
perkawinan” (Pasal 209 sub 3 BW). Dengan demikian perkawinan
adalah suatu perbuatan hukum yang pada suatu saat tertentu.
2. Sebagai “suatu keadaan hukum” yaitu keadaan bahwa seorang pria dan
seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.
Ketentuan tentang perkawinan diatur dalam KUH Perdata Pasal 26 sampai
dengan 102 BW. Ketentuan umum tentang perkawinan hanya terdiri dari satu
pasal yang disebutkan dalam pasal 26 BW, bahwa undang-undang memandang
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan keperdataan saja.Hal ini
berimplikasi bahwa suatu perkawinan hanya sah apabila memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam kitab undang-undang (BW) sementara itu persyaratan serta
peraturan agama dikesampingkan.2

1
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 38.
2
Titik Triwulantutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Prenadmedia, 2008), h. 100.

13
14

Sedangkan ketentuan hukum perkawinan menurut hukum perdata barat


sangat berbeda dengan hukum Islam. Perkawinan yang dalam istilah hukum islam
disebut “nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan
diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak
untuk mewujudkan suatu kebahagaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.3Tidak jauh
berbeda dengan pengertian-pengertian sebelumnya, pengertian perkawinan
menurut Undang-undang No.1 Tahun1974 Pasal 1 tentang perkawinan
menyatakan “ perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam
kehidupan seseorang.Bagi bangsa Indonesia ritual perkawinan tidak hanya
dipandang sebagai peristiwa social keduniawian, melainkan juga dipandang
sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual, timbul ikatan perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menimbulkan akibat dalam
berbagai bidang, meliputi hubungan lahiriah dan spiritual diantara mereka (suami-
istri) itu sendiri secara pribadi dan kemasyarakatan, serta hubungan antara mereka
dengan harta kekaayaan yang diperoleh sebelum selama, dan sesudah perkawinan.
Seorang laki-laki dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas
tanpa ikatan hukum, setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai
suami istri.Ikatan yang ada diantara mereka adalah ikatan lahiriah, rohaniah
spiritual dan kemanusiaan.Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum
terhadap diri masing-masing suami dan istri yang berupa hak dan kewajiban.
Apabila dalam perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak, maka anak tersebut
mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah.Selanjutnya ikatan perkawinan

3
Titik Triwulantutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Prenadmedia, 2008), h. 102.
4
Titik Triwulantutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Prenadmedia, 2008), h. 103.
15

antar seorang pria dan seorang wanita juga mempunyai pengaruh yang besar
terhadap masyarakat sekitarnya.5

1. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam


Di dalam suatu perkawinan seorang laki-laki dan perempuan harus
mengetahui dan mengikuti rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan.
Diskursus tentang rukun merupakan masalah yang serius dikalangan fuqaha.
Sebagai konsekuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang
termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam
menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang syarat.Jadi bisa jadi
sebagian ulama yang lainnya menyebutkan sebagai syarat.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri yang termasuk rukun perkawinan adalah
al-ijab dan al-qabul dimana tidak akan ada nikah apabila tidak ada keduanya.6
Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun nikah terdiri dari al-
ijab dan al-qabul, sedangkan yang lain masuk kedalam syarat. Menurut
Hanafiah, nikah terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan dengan
sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dengan kesaksian.Menurut
syafi‟iyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat,
wali, calon suami-istri danjuga syuhud. Berkenaan dengan rukunnya, bagi
mereka rukun nikah ada lima, calon suami-istri, wali, dua orang saksi, dan
sighat. Sedangkan menurut Malikiyyah, rukun nikah itu ada lima, wali, mahar,
calon suami-istri dan sighat. Jelaslah para ulama tidak saja berbeda dalam
menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam
detailnya.Malikiyyah tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan
syafi‟iyyah menjadikan dua orang saksi sebagai rukun.7
Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun itu memiliki syaarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan

5
Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.
7.
6
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 60
7
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 61.
16

maka uraian perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari


rukun tersebut sebagaimana berikut:8
1) Calon suami,
Syarat-syarat calon suami:
1. Beragama Islam.
2. Laki-laki.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat memberikan persetujuan.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Calon istri,
Syarat-syarat calon istri:
1. Beragama, meskipun yahudi atau nasrani.
2. Perempuan.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat diminta persetujuannya.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali nikah,
Syarat-syarat wali nikah:
1. Laki-laki.
2. Dewasa.
3. Mempunyai hak perwalian.
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi nikah,
Syarat-syarat saksi nikah:
1. Minimal dua orang laki-laki.
2. Hadir dalam ijab qabul.
3. Dapat mengerti maksud akad.
4. Islam.
5. Dewasa.
5) Ijab Qabul,

8
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali pers,1998), h.71
17

Syarat-syarat ijab qabul:


1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut.
4. Antara ijab dan qabul bersambungan.
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji
atau umrah.
7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang
yaitu calon mempelai atau wakilnnya, wali dari mempelai wanita
dan dua orang saksi.
Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dan saksi ikhtilaf
dikalangan ulama, namun mayoritas sepakat dengan rukun yang lima ini.9
Dan pada pokoknya rukun perkawinan yang disepakati oleh para ulama
fikih ialah “ijab” dan qabul”. Ijab dan qabul akan melahirkan hubungan-
hubungan hukum antara kedua belah pihak. Pengucapan merupakan simbol dan
bukti persetujuan secara lahir oleh kedua belah pihak sebagai tanda kerelaan
mereka secara batin. Karena itu ia harus diucapkan dengan bahasa yang mudah
dimengerti. Oleh karena itu dengan alasan tertentu, ijab qabul boleh berupa
tulisan atau isyarat. Lafaz ijab kabul yang disepakati oleh para ulama fikih
adalah: an-nikah atau at-tazwij (pernikahan atau perkawinan) atau kata yang
semakna dengan keduanya itu.
Selain ijab dan Kabul, mayoritas ulama menetapkan bahwa adanya calon
suami, calon istri dan wali termasuk rukun perkawinan.Di Indonesia sesuai
dengan pendapat sebagaimana ulama syafi‟iyyah, memasukan dua orang saksi
sebagai rukun perkawinan.Namun, masyoritas ulama memasukannya kedalam

9
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 62.
18

syarat perkawinan. Tentang mahar, kendati merupakan kewajiban bagi suami


terhadap istri, tetapi ia tidak termasuk ke dalam rukun perkawinan.10
Wahbah az-Zuhaili sangat menekankan perlunya pemeriksaan kesehatan
oleh dokter atau ahli kesehatan untuk meyakinkan keduannya kesehatan calon
untuk melangsungkan pekawinan. Hal ini sangat penting dilakukan untuk
mengantisipasi berbagai penyakit menular atau penyakit yang bisa
mengganggu keharmonisan rumah tangga.Umpamanya penyakit kelamin atau
penyakit yang lebih parah lagi yakni terserang oleh virus yang menurunkan
kekebalan tubuh seperti HIV atau AIDS yang mematikan.11
Rasulullah menekankan pentingnya wali dalam perkawinan. Bahkan jika
wali (mujbir)nya tidak berkenan lantaran suatu sebab, maka hak wali dapat
dipindahkan kepada hakim atau kadi yang memperoses perkawinannya itu.
Sabda Rasulullah diriwayatkan dari Aisyah sebagai berikut:

‫ل اهلل لَهّا اهلل عَهَهْ ِ سَسَّه َ يَ َمُاَا‬ ُ ‫ل رَسُو‬ َ ‫ قَا‬: ‫ت‬


ْ ‫عَنْ عَائِشَ َة رَضِيَ اهلل عنها قَاَن‬
‫م ِب ِهاَا فََههَا ا ْن َاهْ ُر ِباَا‬
َ‫خ‬َ ‫م فَإِنْ َد‬
ٌ‫ط‬ِ َ‫حهَا ب‬ُ ‫ن سَنِ ِههَا فَ ِنكَا‬
ِ ْ‫ت ِبغَ ْه ِر ِإذ‬
ْ ‫ح‬َ ‫ِإ ْمرََي ٍة َن َك‬
ُ َ‫ي ن‬
َ ِ‫ن سَنِيَ مَنْ ال سَن‬ ُ ‫جرُسا فَا اسَهْطَا‬ َ ‫ن اشْ َت‬ ِ ِ‫جهَا فَإ‬ ِ ‫ن فَ ْر‬
ْ ِ‫حمَ م‬ َ ‫اِسْ َت‬

“apabila seorang perempuan (gadis) kawin tanpa izinwalinya, maka


perkawinannya dinyatakan batal. Jika si suami telah bergaul dengannya,ia
berhak atas mahar itu lantaran ia telah menyerahkan kehormatannya. Bagi
para wali yang enggan menjadi wali, maka hakim menjadi walinya.12

Berdasarkan hadis Rasulullah sebagaimana yang disebutkan diatas telihat


bahwa yang diharuskan izin wali adalah perempuan. Karena itu mayoritas
ulama, berdasarkan satu riwayat berpendapat bahwa perempuan tidak sah

10
Yaswirman, Hukum Keluarga, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 185
11
Wahbah az-Zuhaili, Nazhariyyah ad-Dharurah asy-Syar‟iyyah al-Islamiyah Muqaranah
ma‟a al-Qanun al-Wadh‟i h.191, sebagaimana dikutip oleh Yaswirman, Hukum Keluarga,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 189.
12
Yaswirman, Hukum Keluarga, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 191.
19

melakukan perkawinan sendiri atau mengawinkan perempuan lain kendati ia


memperoleh izin dari wali perempuan lain itu,
‫سهَا سَانزَانِهَةُ انَتا‬
َ ْ‫ال ُتزَسِجُ ا ْن َارَْي ُة نَف‬
َ َ‫ال ُتزَسِجُ ا ْن َارَْيةُ ا ْن َارْيَ َة س‬
َ ‫ل‬َ ‫ن يبِي ُهرَ ْمُ َر َة قَا‬
ْ َ‫ع‬
‫ن سَنِهِهَا‬
ِ ْ‫سهَا ِبغَ ْه ِر ِإذ‬
َ ْ‫ح نَف‬
ُ ِ‫تُ ْنك‬
(HR. Ibn Majah dan ad-Daruqutni berdasarkan riwayat dari Abi
Hurairah).Pada waktu akad nikah inilah berpindahnya tanggung jawab
wali menjadi tanggung jawab suami dari anaknya.

2. Rukun dan Syarat Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974


Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di sebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan
ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis
dan terpadu erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan
mengungkapkan hubungan hukum antar seorang pria dan seorang wanita untuk
hidup bersama sebagai suami istri [hubungan formal].Sedangkan ikatan batin
merupakan hubungan yang nonformal, suatu ikatan yang tidak tampak, tidak
nyata, yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya.Ikatan
batin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan fundasi dalam
membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang
wanita.Dengan demikian undang-undang ini tidak melegalkan hubungan
perkawinan pria dengan pria, wanita dengan wanita, atau antara waria dengan
waria.Selain itu juga bahwa unsur ini mrngandung asas perkawinan monogami.
Dan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, persekutuan antara
seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami-istri, apabila
ikatan mereka didasarkan pada suatau perkawinan yang sah.Suatu perkawinan
dianggap sah, bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
20

undang, baik syarat-syarat intern maupun syarat-syarat ekstern. Syarat intern


adalah syarat yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan,
yaitu; kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain
yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat
ekstern adalah syarat yang menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan
perkawinan.13
Akan tetapi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berbeda dengan fikih
karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengenal adanya rukun
perkawinan. Tampaknnya UUP hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan
syarat-syarat perkawinan. Di dalam Bab II pasal 6 ditemukan syarat-syarat
perkawinan sebagai berikut:
1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh
dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu

13
Titik Triwulantutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Prenadmedia, 2008), h. 104.
21

mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
dalam pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukun masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.14
Selanjutnya pada pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih
rinci.Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, undang-undang
mensyaratkan batas minimum calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Selanjutnya dalam
hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun pihak wanita.
Ternyata UUP melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut
persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan
perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut.Ketiga hal ini sangat
menentukan untuk mencapai tujuan perkawinan itu sendiri.Persetujuan kedua
calon meniscayakan perkawinan itu tidak didasari oleh paksaan.Syarat ini
setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita
dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan
maslahat sebagai suaminya.Jadi disini tidak ada paksaan, terlebih lagi pada
masyarakat yang telah maju.15
Selanjutnya dinyatakan bagi calon mempelai yang belum mencapai umur
21 haruss mendapat izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat
2, 3, 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 197. Dalam hal ini kompilasi hukum islam
tampaknya memberikan aturan yang sama dengan Undang-undang
Perkawinan. Jika dianalisis lebih jauh, peraturan batas usia perkawinan ini
memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan
batasan umur ada kesan, Undang-undang Perkawinan bermasud untuk

14
Undang-Undang R.I., No. 1 Tahun 1974, L.N.R.I. Tahun 1974 No. 1, Pasal 6
15
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 68.
22

merekayasa untuk tidak mengatakan menahan laju perkawinan yang membawa


akibat pada laju pertambahan penduduk.
Tidak dapat dipungkiri, ternyata batas umur yang rendah bagi seorang
wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan berakibat
pula pada pada kematian ibu hamil yang juga cukup tinggi pula.Penggaruh
buruk lainnya adalah kesehatan reproduksi wanita menjadi ternganggu. Dengan
demikian pengaturan tentang usia ini sebenarnya sesuai dengan prinsip
perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harus telah masak
jiwadan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan perkawinan untuk menciptakan
keluarga yang kekal dan bahagia secara baik tanpa berakhir dengan perceraian
dan mendapat keturunan yang baik dan sehat dapat diwujudkan.Kebalikannya
perkawinan dibawah umur atau yang sering diistilahkan dengan perkawinan
dini seperti yang telah ditetapkan oleh undang-undang semestinyalah dihindari
karena membawa efekyang kurang baik, baik terutama bagi pribadi yang
melaksanakannya.16
Syarat perkawinan monogami dan syarat perkawinan poligami termasuk
dalam macam-macam syarat-syarat perkawinan, perkawinan monogami adalah
perkawinan yang terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Selama ada
ikatan perkawinan tersebut, suami tidak boleh melangsungkan perkawinan
kedua dengan seorang wanita lain sebagai istri kedua. Jika perkawinan itu
dilangsungkan juga, perkawinan tersebut juga dapat digugat pembatalannya
melalui pengadilan.17
Pada asasnya dalam satu tenggang waktu perkawinan, seorang pria hanya
boleh mengawini seorang wanita.Akan tetapi, apabila syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang dipenuhi oleh seorang suami yang ingin beristri
lebih dari satu, pengadilan dapat memberikan izinapabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.Walaupun pada asasnya perkawinan
monogami, suami masih dimungkinkan untuk kawinlagi dengan wanita lain,

16
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 71.
17
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
1990), h. 87.
23

dengan ketentuan yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang


bersangkutan.Artinya, suami meghendaki perkawinan dengan wanita lain itu,
sedangkan istri tidak keberatan dengan perkawinan tersebut.18
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 2
menetapkan alasan-alasan yang harus dipenuhi oleh suami-suami apabila dia
akan kawin lagi dengan wanita lain. Alasan-alasan tersebut sifatnya alternatif,
artinnya perlu dipenuhi salah satu saja, itu sudah cukup. Alasan-alasan itu
adalah sebagai berikut:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

3. Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam


Berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum
Islam ketika membahas rukun perkawinan tanpaknya mengikuti sistematika
fikih yang mengaitkan rukun dan syarat.Pendekatan perumusan KHI
mengambil bahan sumber utama dari nash Al-Qur‟an dan Sunnah. Melalui
pendekatan yang menitiksentralkan kepada nash Al-Qur‟an dan Sunnah, sejak
semula penyusunan perumusan melepaskan diri dari ikatan pendapat berbagai
madzhab yang ditulis dalam kitab-kitab fiqh. Akan tetapi meskipun perumusan
mengacu kepada sumber nash Al-Qur‟an dan Sunnah, diperlukan langkah-
langkah luwes. Langkah-langkah itu mengacu kepada beberapa pemikiran dan
pengkajian.19
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka,
amatlah tepat jika kompilasi menegaskannya sebagai akad yang sanGat kuat
untuk mentaati perintah Allah, dan melakukannya merupakan ibadah.

18
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
1990), h. 91.
19
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu,1999), hal. 39
24

Pada pasal 2 KHI dipertegas landasan filosofis perkawinan sesuai dengan


ajaran islam tanpa mengurangi landasan filosofis perkawinan berdasar
Pancasila yang diatur dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1 Undang-undang Nomer 1 Tahun
1974, landasan filosofis perkawinan nasional ialah Pancasila dengan
mengkaitkan perkawinan berdasar sila pertama, yaitu berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Landasan filosofis itudipertegas dan diperluas dalam pasal 2
KHI yang berisi:20
a. Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah.
b. Melaksanakan perkawinan adalah ibadah.
c. Ikatan perkawinan bersifat mitsaqan ghalizhan.
Didalam ketentuan syarat perkawinan yang diatur pada Bab II Pasaal 7
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 masih bersifat umum. Tidak
diatur bagaimana kekhususan rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam.
Jika semata-mata berdasar pasal 7 itu masyarakat luas belum tahu secara utuh apa-
apa rukun dan syarat perkawinan.Untuk itu dianggap sangat perlu untuk
mengaturnya secara enumerative atau limitative dalam KHI. Maka apa yang
dimaksud dalam pasal 7 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 diatur
lebih luas dalam Bab IV KHI, mulai dari paal 14 sampai dengan pasal 29.
Adapun rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam
Bab IV yaitu; bagian I yang memuat pasal 14 tentang Rukun Perkawinan, bagian
II yang memuat pasal 15-18 tentang Calon Mempelai, bagian III yang memuat
pasal 19-23 tentang wali nikah, bagian IV yang memuat pasal 24-26 tentang Saksi
Nikah, dst.21

B. Larangan Perkawinan
1. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Islam
Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
dengan sebuah asas selektifitas. Maksud dari asas ini adalah seseorang yang
20
Cik Hasaan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 51
21
Kompilasi Hukum Islam R.I., INPRES No. 1 Tahun 1991, Bab IV pasal 14-29
25

hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh


menikah, dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah.
Di dalam hukum adatpun sebenarnya dikenal dengan adanya larangan
perkawinan yang lebih spesifik melampaui apa yang diatur oleh agama dan
perundang-undangan. Dalam adat masyarakat batak misalnya, yang bersifat
patrilineal dan bersendi “daliha natolu (tungku tiga) berlaku larangan
perkawinan semarga, pria dari satu keturunan (marga) yang sama dilarang
melakukan perkawinan. Jika pria batak akan kawin harus mencari wanita lain
dari marga yang lain pula, begitu juga wanitanya. Sifat perkawinan demikian
disebut “asymetris comnubium” dimana ada marga pemberi bibit wanita
(marga hula-hula), ada marga dengan sabutuha (marga sendiri yang satu
turunan) da nada marga penerima wanita (marga boru). Antara ketiga tungku
marga ini tidak boleh melakukan perkawinan tukar menukar (ambil beri).22
Didalam masyarakat Minang berlaku eksogami suku dan eksogami
kampung.Ini berarti orang yang sesuku didalam stu negari tidak boleh kawin,
demikian pula orang yang sekampung tidak dapat kawin didalam kampung
sendiri, walaupun suku nya berlainan.Perkawinan sesuku dianggap tidak baik
karena itu berarti kawin seketurunan dan merupakan kejahatan daerah atau
incest.23
Dan masyarakat Minang juga menganut kekerabatan matrilineal,
kekerabatan matrilineal adalah garis keturunan yang disandarkan kepada
perempuan (ibu lurus keatas, anak perempuan lurus kebawah).Tidak diketahui
secara pasti siapa yang pertama membawa system ini ke Minangkabau. Navis,
menyebutkan bahwa sistem kekerebatan berpuak mianagkabau hamper sama
dengan dinegeri Cina yang sama-sama ada larangan kawin sesama puak
(endogami). Perbedaannya terletak pada kekerabatannya.Masyarakat cina
menganut stelsel patrilineal, minangkabau menganut matrilineal.24

22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan,
Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 63-64
23
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 144
24
Yaswirman, Hukum Keluarga, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 115
26

Hukum Islam juga mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam


fikih disebut dengan mahram (orang yang haram untuk dinikahi).Dimasyarakat
istilah ini sering disebut dengan muhrim sebuah istilah yang tidak terlalu
tepat.Muhrim kalaupun kita ingin digunakan maksudnya adalah suami, yang
menyebabkan istrinya tidak boleh kawin dengan pria lain selama masih terikat
dalam sebuah perkawinan atau masih berada dalam „iddah talak raj‟i.
Disamping itu muhrim itu juga digunakan untuk menyebut orang yang sedang
ihram.25
Ulama fikih telah membagi mahram ini kepada dua macam.Pertama
disebut dengan mahram mu‟aqqat (larangan untuk waktu tertentu) dan kedua
mahram mu‟abbad (larangan untuk selamanya). Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
a. Haram kawin untuk selama-lamanya disebabkan oleh faktor
hubungan nasab, hubungan semenda, dan hubungan sesusuan. Di
jelaskan dalam Surat An-Nisa‟ 4:23

      


 

       

        

          

        

           

“diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak

25
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 145
27

perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang


menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campuri dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ulama fikih sepakat memasukkan nenek ke pihak ibu sebagai yang
haram dikawini karena ibu berasal dari nenek dan nenek juga disebut
sebagai ibu asal. Apabila Al-Qur‟an mengharamkan kawin dengan bibi,
maka keharamannya terhadap nenek sama keharamannya dengan ibu
kareena nenek yang menghubungkan ibu dengan bibi. Oleh karena itu,
keharaman nenek dalam ushul fikih dilakukan dengan dilalah an-
nash.Demikian juga cucu, baik dari anak laki-laki atau perempuan, sebab
cucu perempuan secara kekerabatan lebih dekat kepada ibu disbanding
bibi.Secara metafora, cucu itu sering juga dipanggil sebagai anak. Bahkan
ulama Hanafiyah memasukkan anak zina menjadi haram dikawini oleh
”bapaknya”, kendati ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan
bapaknya itu. Lagi pula anak itu sudah pasti bagian dari darah dagingnya
dan disebut sehubungan darah. Sementara as-syafii berpendpat bahwa
anak zina boleh kawin dengan anak laki-lakiyang menjadi “bapaknya” itu,
sebab yang diharamkan karena hubungan perkawinan yang sah sebagai
persyaratan hubungan nasab.
Karena semenda (al-mushaharah), yang mencakup empat bagian,
yakin; istri ayah atau istri kakek dan seterusnya secara garis lurus keatas,
baik kakek dari jalur ayuh atau dari jalur ibu, baik sebelum atau sesudah
digauli, istri anak dan istri cucu, baik dari jalur anak laki-laki maupun
perempuan, baik sebelum ataupun sesudah digauli, mertua, baik mertua
kandung atau ibu sususan, baik anaknya yang dikawini itu belum atau
sudah digauli, anak tiri pereempuan jika ibunya (sebagai istri) telah digauli
dari perkawinan yang sah atau fasid. Jika belum digauli, boleh kawin
dengannya.
28

Karena sesusuan, baik ibu susuan atau saudara-saudara susuan.


Rasulullah bersabda susuan sama dengan keharaman karena hubungan
nasab. Jika ada tujuh macam yang diharamkan kawin karena nasab, maka
ada tujuh macam pula haram kawin karena sususan menurut garis yang
sama. Apabila ditarik garis lurus dari ibu sampai keatas dan kebawah, lalu
kesamping kiri dan kanan, maka tujuh macam haram kawin karena nasab
akan dijumpai pula pada susuan.
Abu Hanifa dan Malik berpendapat baik banyak atau sedikit dalam
batas usia menyusui, satu kali atau berkali-kali termasuk haram kawin.
Imam asy-Syafi‟i dan Ibn Hazm berpendapat tidak haram jika kurang dari
lima kali sususan dalam waktu yang berbeda. Keterangan Aisyah dalam
kutipan diatas merupakan penjelas ayat Al-Qur‟an yang bersifat mutlak
tersebut. Jika dihubungkan yang mutlak dengan keterangan lain, maka ia
dapat dijadikan penjelasan untuk diamalkan, bukan sebagai nask
(peerubahan hukum) atau takhish (pengkhususan hukum). Karena itu kalau
kurang dari lima kali menyusus dalam waktu yang berbeda, itu merupakan
karunia dari Allah SWT. Mahmud Syaltout menganalisis berbagai
pendapat ini karena tidak ada penjelasan lebih lanjut. Katanya, kalimat wa
ummahaatukum al-laati ardha‟naakum (QS an-Nisa/4:23) diatas
mengandung makna memerlukan waktu yang lama menyusui sehingga
timbul rasa keibuan, cinta dan sayang sebagai ibu kepada “anak”
susuannya. Jadi tidak akan berhasil hanya dengan satu, tiga atau limakali
selama dua tahun susuan tersebut.26
Jadi untuk mengamalkan ayat Al-Qur‟an yang bersifat mutlak itu
perlu petunjuk penjelasan lain sebagai petunjuk. Beberapa hadis di atas
tidak cukup kuat dijadikan petunjuk karena satu sama lain berbeda
menentukan jumlahnya. Perasaan keibuan dari ibu susuan tidak bisa
diketahui. Begitu juga perasaan bahwa anak sususan itu adalah anaknya.
Apalagi kalau ia ingkar kemudian dari perbuatannya.

26
Yaswirman, Hukum Keluarga, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 205-208
29

b. Haram kawin untuk sementara waktu mencakup: mengumpulkan


dua orang bersaudara atau semahram; istrinya yang telah ditalak tiga;
kawin dengan budak; poligami lebih dari empat istri; kawin dengan
istri orang lain; dengan perempuan yang masih dalam masa iddah;
dengan perempuan non muslim dan dalam keadan ihram.
Mengumpulkan dua orang bersaudara atau se-mahram baik se-nasab
atau sesusuan atau dengan bibinya, berdasarkan firman Allah ayat 23 surat
an-Nisa‟ di atas.Larangan ini mencakup mengumpulan karena mereka
dalam satu perkawinan sekaligus atau dalam waktu yang berbeda. Ayat
ini dijelaskan oleh Rasulullah sebagai berikut:
‫ن ا ْن َا ْريَ ِة سَخَانَ ِتهَا‬
َ ْ‫ال بَه‬
َ َ‫عاَ ِتهَا س‬
َ َ‫ن ا ْن َا ْريَ ِة س‬
َ ْ‫ال مُُجْاَ ُع بَه‬
َ
seseorang itu tidak boleh mengumulkan perempuan dengan bibinya, baik
dari pihak ayat atau pihak ibu.
Kawin dengan istri yang ditalak tiga diharamkan kendati masa
idahnya telah habis. Jika bekas istrinya itu kawin dengan laki-laki lain dan
bergaul, lalu bercerai dan habis masa idahnya, maka bekas suami
pertamanya tadi bisa kawin lagi dengan melalui akad perkawinan yang
baru.Dalam hal ini Allah SWT. Berfirman:27

              

             

   


“kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan
suaminya yang lain. Kemudian jika suaminya yang lain itu mentalaknya,
maka tidak berdosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah.‟‟

27
Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 230
30

Kawin dengan budak terjadi pada masa awal Islam.Pada masa ini
dilaraang kawin dengan budak milik sediri (milk al-yamin) karena status
ini lebih kuat dari pemilikan melalui akad. Terhadap milk al-yamin, yang
mempunya bebas memanfaatkan budaknya dengan cara yang ia kehendaki.
Memiliki melalui akad hanya pada hal-hal tertentu saja. Oleh karena
secara yuridis sekrang ini perbudakan tidak dibenarkan lagi,maka
pembahasannya tidak relevan lagi untuk dikemukakan.
Poligami lebih dari empat istri, diharamkan karena isyarat
berpoligami dalam Al-Qur‟an hanya sampai empat istri, sebagaimana
firman Allah menjelaskan:28

            

             

   


“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (kalau kamu kawin dengannya), maka kawinilah perempuan-perempuan
(lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat orang . kemudian jika kamu takut
tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau hamba sahaya yang
kamu miliki.
Ayat di atas tersebut memberi isyarat bahwa berpoligami hanya
sampai empat orang istri ; itu pun kalau bisa berlaku adil. Jika tidak bisa
berlaku sampai empat orang, cukup tiga orang saja.Jika tidak bisa, cukup
dua orang saja.Jika tidak bisa juga cukup satu orang saja.Jadi prinsip
utama Islam adalah satu orang istri (monogami). Di Indonesia, untuk
mengantisipasi kecenderungan tidak mungkin berlaku adil itu, undang-
undang memperketat kawin lebih dari satu istri, apalagi sampai empat
orang istri. Ini sejalan dengan prinsip ayat diatas yang menganut asas
monogami terbuka.
Kawin dengan istri orang lain diharamkan karena antara dia dengan
suaminya masih terikat perkawinan yang sah. Hal yang sama juga berlaku
bagi seorang perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain. Demikian
28
Al-Qur‟an Surat An-Nisa Ayat 3
31

juga terhadap peempuan dalam masa idah sampai idahnya berlalu. Jika
suaminya telah menceraikan atau seseorang membatalkan pinangannya
ataupun telah berlalu masa idahnya, maka baru boleh kawin dengannya
Kawin dengan perempuan non muslim diharamkan sampai ia
beriman; mengawini para budak islam yang islam lebih baik dari mereka.
Firman Allah menjelaskan:29

           

           

            

        

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka


beriman. Dan sesungguhnya hamba sahaya yang beriman lebih baik dari
wanita musyrik, kendati ia (yang musyrik) menerima hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
beriman) sampai mereka beriman. Dan sesunggguhnya hamba sahaya
yang beriman lebih baik dari orang musyrik , kendati ia (yang musyrik)
menarik hatimu..”
Ulama berbeda pendapat tentang ahlul kitab.Bahkan ada berpendapat
yang mengatakan bahwa ahlul kitab tersebut tergolong kepada musyrik,
seperti yahudi, nasrani dan majusi. Tanpa bermaksud menguraikan hal ini
lebih lanjut, sedangkan menurut pendapat asy-Syafi‟I yang mengatakan
bahwa oeremouan ahlul kitab yang halal dikawini oleh muslim adalah
yang menganut agama yahudi dan nasrani sebagaiman yang telah dianut
oleh nenek moyang mreka sebelum kerasulan Muhammad SAW. Jadi bagi
pemeluk agama ini setelah diturunkannya Al-Qur‟an tidak termasuk
golongan ahlul kitab lagi, karena kiamat.30
Kawin dalam keadaan ihram dilarang karena terkait dengan masa
ibadah haji atau umrah. Mayoritas ulama fikihSyafi‟i , Hambali serta yang
29
Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah Ayat 221
30
Yaswirman, Hukum Keluarga, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 211
32

lain, selain Hanafi berpendapat bahwa orang yang sedang berihram


dilarang kawin dan dikawinkan, sampai ibadah haji atau umrah selesai
atau telah menanggalkan ihram.31
Berpijak dari ayat-ayat yang melarang perkawinan maka para ulama
juga membuat rumusan-rumusan yang lebih sistematis sebagai berikut:32
1. Karena pertalian nasab (hubungan darah).
a. Ibu, nenek (dari garis ibu atau bapak) dan seterusnya.
b. Anak perempuan, cucu perempuan dan stereusnya kebawah
c. Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu
d. Saudar perempuan ibu (bibi atau tante)
e. Saudara perempuan bapak (bibi atau tante)
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
g. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah
h. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu
i. Anak perempuan saudara perempuan sekandung
j. Anak perempuan saudara perempuan seayah
k. Anak perempuan saudara sperempun seibu
2. Karena hubungan semenda.
a. Ibu dari istri (mertua)
b. Anak (bawaan) istri yang telah dicaampuri (anak tiri)
c. Istri bapak (ibu tiri)
d. Istri anak (menantu)
e. Saudara perempuan istri adik atau kaka ipar selama dalam ikatan
perkawinan
3. Karena pertalisan sepersusuan.
a. Wanita yang menyusui seterusnya keatas
b. Wanita sepersusuan dan seterusnya garis menurun kebawah
c. Wanita saudara sepersususan dan kemanakan sususan kebawah
d. Waanita bibi sesusuan dan bibi sessusuan ke atas
31
Yaswirman, Hukum Keluarga, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 211
32
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 147
33

e. Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

2. Larangan Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974


Perkawinan dilarang dalam hubungan dan keadaan tertentu menurut
agama dan undang-undang, misalnya, karena hubungan darah terlalu dekat,
karena semenda, telah bercerai tiga kali, atau belum habis masa tunggu.Apabila
perkawinan dilangsungkan, padahal ada larangan atau tidak dipenuhi syarat-
syarat, perkawinan itu dibatalkan.33Larangan perkawinan dengan alasan
tertentu berguna untuk mencegah kemungkinan terjadi perkawinan antara ayah
dan anak kandungnya sendiri.Status anak yang dikawini itu menjadi sulit
dilihat dari garis keturunan dan juga hubungan hak mewaris.Dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974. Larangan perkawinan telah diatur dengan jelas
seperti yang terdapat dalam pasal 8 yang menyatakan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawahataupun
keatas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar
saudara, antara seorang dengan saudaraa orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua sususan, anak sususan, saudara
sesusuan dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan
dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.
Hubungan keluarga dan hubungan darah adalah dua konsep yang
berbeda. Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga yang
terjadi karena ikatan perkawinan dan karenaa ikatan hubungan darah.hubungan

33
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT CITRA ADITYA
BAKTI, 1990), h. 82
34

keluarga karena perkawinan disebut hubungan semenda seperti mertua,


ipar,anak tiri dan menaantu. Antara suami atau istri dan mereka yang
disebutkan itu tidak ada hubungan darah, tetapi ada hubungan keluarga.
Hubungan keluarga karena pertalian darah, seperti:
a. Ayah, ibu, nenek, puyung (lurus keatas).
b. Anak, cucu, cicit (lurus kebawah).
c. Saudara kandung dan anak-anak saudara kandung (lurus kesamping).
Hubungan darah adalah pertalian darah antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain karena dari leluhur yang sama (tunggal leluhur). Hubungan
darah ada dua garis, yaitu:
a. Hubungan darah menurut garis lurus keatas dan kebawah.
b. Hubungan darah menurut garis kesamping.
Hubungan darah menurut garis lurus keatas disebut “leluhur”, sedangkan
hubungan darah menurut garis lurus kebawah disebut “keturunan”.Hubungan
darah menurut garis lurus kesamping adalah pertalian darah antar manusia
bersaudara kandung dan keturunannya.
Daftar yang menggambarkan tunggal leluhur antara manusia-manusia
yang mempunyai pertalian darah disebut “istilah”. Dari satu silsilah dapat
dikethui dekat-jauhnya hubungan darah antar manusia yang satu dengan
manusia yang lain dari leluhur yang sama. Dekat-jauh hubungan darah itu
dapat dinyatakan dengan istilah atau sebutan dalam keluarga . Istilah atau
sebutan tersebut menunjukan tingkat hubungan darah. Istilah atau sebutan dan
tingkat dalam hubungan darah dihitung sebagai berikut:34
a. Hubungan darah antara anak dan ayah/ibu disebut hubungan satu tingkat
b. Hubungan darah antara anak dan kakek/nenek disebut hubungan dua
tingkat
c. Hubungan darah antara anak dan puyang/moyang disebut hubungan tiga
tingkat
d. Hubungan darah antara ayah/ibu dan anak disebut hubungan satu tingkat

34
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
1990), h. 70
35

e. Hubungaan darah antara ayah/ibu dan cucu disebut hubungan dua tingkat
f. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cicit disebut hubungan tiga tingkat
g. Hubungan darah antara saudara kandung disebut hubungan dua tingkat
h. Hubungan darah antara anak dan paman/bibi disebut hubungan tiga tingkat
i. Hubungan darah antara anak dan anak paman/bibi disebut hubungan empat
tingkat
j. Hubungan darah antara saya dan anak saudara kandung saya (antara saya
dan keponakan saya) disebu hubungan tiga tingkat
k. Hubungan darah antara anak saya dan anak saudara kandung saya (antara
anak saya dan keponakan saya) disebut hubungan tiga tingkat.
Garis keturunan sebenarnya hanya memberikan keistimewaan tertentu
dalam hubungan keluarga.Ada tiga hubungan darah diliat dari garis keturunan,
yaitu patrilineal, hubungan darah yang mengutamakan garis ayah; matrilineal,
hubungan darah yang mengutamakan garis ibu; dan parental atau bilateral,
hubungan darah yang mengutamakan garis ayah dan ibu atau garis orang tua
bersama-sama.35
Selanjutnya pada pasal 9 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dinyatakan. Bahwasannya “seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3
ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.”.

3. Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam


Larangan perkawinan dalam bahasa agama disebut dengan
mahram.Larangan perkawinan ada dua macam, pertama larangan abadi
(muabbad), dan kedua larangan dalam waktu tertentu (muaqqat).Larangan
abadi diatur dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pasal 39 angka 1 Kompilasi Hukum Islam mendahulukan mahram nasab,
yaitu mahram yang timbul karena hubungan darah.yang refrensinya adalah
surat an-Nisa‟, 4:23,Sementara angka 2 mahram karena kerabat semenda

35
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
1990), h. 72
36

(musharah) atau perkawinan, didasarkan pada ayat 22 surat an-Nisa‟, dan pada
angka 3 mahram karena pertalian sesusuan yang refrensinya sama dengan
angka 1 yaitu surat an-Nisa‟, 4:23 pengutipan ayat-ayat pada surat diatas
semata-mata dimaksud agar berurutan. Sementara kompilasi juga bermaksud
mengatur secara tertib, dari mahram nasab, mahram akibat perkawinan, dan
mahram seperssusuan.36
Ketentuan hukum tersebut apabila dirinci dapat dijelaskan sebagai berikut:37
1. Karena pertalian nasab (hubungan darah).
a. Ibu, nenek (dari garis ibu atau garis bapak) dan seterusnya keatas.
b. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya kebawah.
c. Saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
d. Saudara peempuan ibu (bibi atau tante).
e. Saudara perempuan bapak (bibi atau tante).
f. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung (kemenakan).
g. Anak perempuan saudara laki-laki seayah (kemenakan).
h. Anak perempuan saudara laki-laki seibu (kemenakan).
i. Anak perempuan saudara perempuan sekandung (kemenakan).
j. Anak perempuan saudara perempuan seayah (kemenakan).
k. Anak perempuan saudara perempuan seibu (kemenakan).
2. Karena pertalian kerabat semenda (perkawinan/musaharah):
a. Ibu dari istri (mertua).
b. Anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri).
c. Isteri bapak (ibu tiri).
d. Istri anak (menantu).
e. Saudara perempuan istri (adik atau kaka ipar) selama dalam ikatan
perkawinan.
Adapun larangan perkawinan yang sewaktu-waktu dapat berubah
(muaqqat) dijelaskan dalam pasaal 40 Kompilasi Hukum Islam. Yang melarang

36
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,2002), h.
122
37
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,2002), h.
125
37

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena


keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan wanita lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama islam.
Dan KHI sama sekali tidak mentolerir terjadinya perkawinan antar agama,
baik pria maupun wanita. Wanita muslim dilarang kawin dengan pria non
muslim. Sebaliknya, pria muslim juga dilarang kawin dengan wanita non
muslim. Keberhasilan KHI dalam merumuskan hal tersebut tergantung kepada
kesadaran pemeluknya.38
Pada pasal 41 KHI serupa dengan pasal 39 KHI diatas, yang membedakan
pasal tersebut dengan pasal 39 ialah, seorang pria dilarang memadu istrinya
dengan seseorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau
sepersususaan dengan istrinya.Artinya seorang pria tidak boleh memadu atau
menikah lagi dengan saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya
(kakak atau adik kandung dari isterinya), dan wanita dengan bibinya atau
kemenakannya.
Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristeri
lebih dari empat dan masih terikat dalam tali perkawinan atau ditalak raj‟i
masih dalam masa iddah. Hal tersebut diatur dalam pasal 42 sebagai berikut:39
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita apabila
pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-
empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj‟i
ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yng lainnya dalam masa iddah talak raj‟i.40

38
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h.56
39
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h.151
40
Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h.152
38

Larangan perkawinan berikutnya adalah antara seoraang pria bekas


istrinya yang telah ditalak bain (tiga) atau di lian, larangan perkawinan
seseorang dengan bekas istrinya yang telah ditalak bain (tiga) gugur apabila
bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain. Dan lian adalah tuduhan seorang
suami terhadap isterinya, bahwa isterinya telah melakukan zina.Apabila isteri
yang dituduh oleh suaminya itu mengingkari maka dia juga diminta untuk
bersumpah empat kali, dan yang kelima siap menerima laknat Allah apabila
berdusta.Pelarangan tersebut telah diatur oleh KHI pada pasal 43.
BAB III
LARANGAN PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG
KETENAGAKERJAAN DAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 13/PUU-XV/2017

A. Larangan Perkawinan Antar Pegawai dalam Satu Perusahaan Menurut


Undang-undang Ketengakerjan

1. Sekilas Tentang Undang-undang Ketenagakerjaan


Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dilaksanakan
dalam rangka pembangunan manusia Indonsia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga
diri tenagakerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan
merata, baik materil, maupun spiritual. Kemajuan ilmu pengetahun dan
teknologi, perkembangan zaman, serta peluang pasar di dalam dan di luar negri
menurut peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia pada umumnya
serta peningkatan peranan dan kedudukan tenaga kerja dalam pelaksanaan
pembangunan nasional pada khususnya, baik sebagai pelaku pembangunan
maupun sebagai tujuan pembangunan.
Sebagai tujuan pembangunan, tenaga kerja perlu memperoleh perlindungan
dalam semua aspek, termasuk perlindungan untuk memperoleh pekerjaan di
dalam atau di luar negri, perlindungan hak-hak dasar pekerja, perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan upah dan jaminan sosial.
Berbagai perlindungan ini diperlukan untuk menjamin rasa aman, tentram,
terpenuhinya keadilan, serta terwujudnya kehidupan yang sejahtera lahir dan
batin, selaras, serasi dan seimbang. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai
banyak dimensi dan banyak keterkaitan. Keterkaitan itu tidaak hanya dengan
kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja tetapi juga

39
40

keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk


itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komperhensif, antara lain
mencakup pengembangan sumber daya manusia, upaya perluasan kesempatan
kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial,
peningkatan prlindungan tenaga kerja serta peningkatan produktivitas dan daya
saing tenaga kerja Indonesia.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang
berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial,
menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan
penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan insdustrial yang menonjolkan
perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang.1
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi
manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar
Internastional Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri dari 4
kelompok yaitu:
- Kebebasan berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan No. 89);
- Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100, dan No. 111);
- Kerja paksa (Konvensi ILO No. 29, dan No. 105); dan
- Usia minimum (Konvensi ILO No. 138, dan No. 182)
Komitmen Bangsa Indonesia terhadap pembangunan pada hak asasi
manusia ditempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi ke 8
(delapan) Konvensi Dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi Konvensi mengenai
hak dasar tersebut, maka Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun ini harus
pula mencermonkan ketaatan dan penghargaan pada kedelapan prinsip dasar
tersebut.
Undang-undang ini antara lain memuat:

1
Penjelasan , Rencana Undang-Undang Tentang Pembinaan Dan Perlindungan
Ketenagakerjaan (Umum), h. 72- 73
41

- Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;


- Kesempatan dan perlakuan sama
- Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan sebagai dasar
penyusunan kebijaksanaan, strategi, dan program pembangunan
ketenagakerjaan;
- Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan serta keahlian ketenagakerjaan guna meningkatkan
produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.
- Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga
kerja secara optimal, penempatan tenaga kerja pada pekerja yang tepat
tanpa diskriminasi sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabat
kemanusiaan;
- Penggunaan tenaga kerja warga Negara asing;
- Pembinaan hungan industrial sesuai dengan nilai-nilai pancasila diarahkan
untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis antara para
pelaku proses produksi;
- Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk
peraturan perusahaan, lembaga kerjasama tripartite, pemasyarakatan
Hubungan industrial Indonesia, dan penyelesaian perselisihan industrial;
- Perlindungan tenaga kerja, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja untuk berorganisasi dan berunding dengan pengusaha,
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan khusus
tenaga kerja wanita, anak, orang muda, dan penyandang cacat, serta
perlindungan upah, kesejahteraan dan jaminan sosial tenaga kerja;
- Pengawasan ketenagakerjaan dengn masksud agar dalam peraturan
perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan ini benar dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
42

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa adanya Undang-undang


ketenagakerjaan bertujuan untuk pembangunan, perlindungan tenaga kerja dalam
semua aspek, termasuk memperoleh pekerjaan di dalam negri maupun luar negri.
Berbagai perlindungan ini diberikan agar menjamin rasa aman, tentram,
terpenuhinya keadilan. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak
dimensi dan banyak keterkaitan, keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu Undang-undang Ketenaga kerjaan
No 13 Tahun 2003 yang disahkan pada 25 Februari Tahun 2003 membahas
dalam bab per bab, sebagai berikut:2
Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum
Bab II Pasal 2, 3 dan 4 tentang Landasan, Asas, dan Tujuan
Bab III Pasal 5 dan 6 tentang Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama
Bab IV Pasal 7 dan 8 tentang Perencanaan Kerja dan Informasi
Ketenagakerjaan
Bab V Pasal 8-30 tentang Pelatihan Kerja
Bab VI Pasal 31-38 tentang Penempatan Tenaga Kerja
Bab VII Pasal 39-41 tentang Perluasan Kesempatan Kerja
Bab VIII Pasal 42-49 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Bab IX Pasal 50-66 tentang Hubungan Kerja
Bab X Pasal 67-101 tentang Perlindungan, Pengupahan, dan
Kesejahteraan
- Bagian kesatu Perlindungan:
 Paragraf 1 Penyandang Cacat
 Paragraf 2 Anak
 Paragraf 3 Perempuan
 Paragraf 4 Waktu Kerja
 Paragraf 5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

2
Republik Indonesia, Undang-undang tentang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
43

- Bagian kedua Pengupahan


- Bagian ketiga Kesejahteraan
Bab XI Pasal 102-149 tentang Hubungan Industrial
- Bagian kesatu Umum
- Bagian kedua Serikat Pekerja / Serikat Buruh
- Bagian ketiga Organisasi Pengusaha
- Bagian keempat Lembaga Kerja Sama Bipartit
- Bagian kelima Lembaga Kerja Sama Tripartit
- Bagian keenam Peraturan Perusahan
- Bagian ketujuh Perjanjian Kerja Bersama
- Bagian kedelapan :
 Paragraf 1 Perselisihan Hubungan Industrial
 Paragraf 2 Mogok Kerja
 Paragraf 3 Penutupan Perusahaan (lock-out)
Bab XII Pasal 150-172 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
Bab XIII Pasal 173-175 tentang Pembinaan
Bab XIV Pasal 176-181 tentang Pengawasan
Bab XV Pasal 182 tentang Penyidikan
Bab XVI Pasal 183-190 tentang Ketentuan Pidana dan Sanksi
Administratif
- Bagian kesatu Ketentuan Pidana
- Bagian kedua Sanksi Administratif
Bab XVII Pasal 191 tentang Ketentuan Peralihan
Bab XVIII Pasal 192-193 tentang Ketentuan Penutup.
44

2. Larangan Perkawinan dalam Pasal 153


Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Pasal 153 yang termasuk
dalam Bab XII perihal Pemutusan Hubungan Kerja yang berbunyi “(1)
pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:3
a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus.
b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya memenuhi
kewajiban terhadap Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. Pekerja/buruh menikah;
e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturaan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
g. Perkerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh diluar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuaan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;

3
Undang-undang Ketenagakerjaan R.I., No.13 Tahun 2003, Bab XII pasal 153 ayat (1).
45

i. Karena perbedaan paham, agama aliran poitik, suku, warna kulit,


golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan
dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Di dalam suatu perusahaan perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha dan
pekerja, peraturan perusahaan dibuat oleh pihak pengusaha sedangkan
perjanjian kerja bersama (PKB) dibuat oleh pengusaha dan para pekerja
buruh. Apabila dilihat bahwa kedudukannya perjanjian kerja harus tunduk
pada perjanjian kerja bersama, begitupun peraturan perusahaan tidak perlu ada
apabila sudah ada perjanjian kerja bersama. Akan tetapi terdapat kesamaan
diantaranya, yakni mengenai hak dan kewajiban para pihak serta syarat-syarat
kerja. Di dalam syarat-syarat kerja inilah diatur untuk membatasi atau
melarang antar pegawai biasanya diatur.
Aturan tersebut diantaranya addalah apabila sesama pegawai
perusahaan melangsungkan perkawinan, maka salah satu diantara mereka
harus mundur dari perusahaan atau bahkan mendapatkan PHK dari
perusahaan. Perusahaan dalam hal ini secara halus menghimbau pekerjanya
agar tidak bekerja satu atap dengan pasangannya suami/istri.
Larangan tersebut tercantum dalam Pasal 153 ayat 1 Huruf F Undang-
undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menjadi alasan perusahaan
melarangan perkawinan antar pegawai dalam satu perussahaan perihal
pemutusan hubungan kerja, karena dalam pasal tersebut berbunyi “pengusaha
dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh
memiliki pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh
lainnya dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturaan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Jadi selama aturan
tersebut ada didalam peraturan kerja, peraturan perusahaan, dan peraturan
46

kerja bersama maka pekerja /buruh wajib tunduk pada aturan tersebut dengan
untuk tidak menikah antar pegawai.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 Yang Me-Judicial


Review Pasal 153 Ayat 1 Huruf F Undang-undang Ketenagakerjaan, Tentang
Larangan Perkawinan

1. Posisi Kasus yang Melatar belakangi Pengajuan Judicial Review


Pernikahan yang sejatinya memberikan kebahagiaan kepada tiap pasangan
laki-laki dan perempuaan kini kian terhalang lantaran adanya Undang-undang
yang membatasi larangan perkawinan antar pegawai didalam satu perusahaan
yang berakibat dengan pemutusan hubungan kerja, hal ini yang dialami oleh
karyawan dan karyawati dalam satu perusahaan yang sama, diantaranya oleh PT.
Perusahaan Listik Negara (PLN).
Karyawati yang bernama Yekti Kurniasih. Dia mengenal sosok lelaki
bernama Erik Ferdiyan yang kemudian hari menjadi suaminya dalam moment
pelatihan sesama karyawan baru PLN. Yekti bekerja dikantor PLN Kota Jambi,
sementara Erik setelah pelatihan ditugaskan ke Kota Mamuju, Sulawesi Selatan.
Mereka berdua memadu kasih walau jarak mereka yang cukup jauh, dan sampai
saat Yekti dan Erik memutuskan untuk menikah.
Tak disangka-sangka, kado pernikahan Yekti dan Erik sebagai pengantin
baru setelah resepsi perikahannya adalah surat pemecatan dari BUMN energi
tersebut. PLN menetapkan peraturan yang sangat ketat terkait pernikahan sesama
rekan kerja. Seperti yang dibunyikan Pasal 153 Ayat 1 Huruf F bahwa,
pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan
“Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.” Walaupun
Yekti dan Erik berkerja di provinsi yang berbeda, aturan harus ditegakan di mata
47

manajemen. Mereka sama sekali tidak diperbolehkan terikat suatu hubungan


pernikahan.
Dengan terjadi pemecatan atas dirinya, Yekti tidak dapat menerima atas
pemecatan dirinya oleh Perusahaan.4 Dia kemudian menyadari ada banyak
pegawai PLN lainnya yang bernasib serupa dengan dirinya. Dan pada akhirnya
sejumlah 8 (delapan) pegawai PT. PLN yang tergabung dalam Serikat Pegawai
PLN mengajukan gugatan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi,
pelapor tersebut ialah:5
1. Ir. H. Jhonie Boedja, S.E. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan daerah
Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN area
Palembang.
2. Edy Supriyanto Saputro, Amd. Sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan
Daerah Serikat Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN area
Palembang.
3. Ir. Airtas Asnawi. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat
Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN area Palembang.
4. Saiful. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pegawai
Perusahaan Listrik Negara PT. PLN area Jambi.
5. Amdi Susanto. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat
Pegawai Perusahaan Listrik Ngeara PT. PLN area Palembang.
6. Taufan, S.E. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat
Pegawai Perusahaan Lisrik Negara PT. PLN area Bngkulu.
7. Muhamad Yunus. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat
Pegawai Perusahaan Listrik Negara PT. PLN area Sumanjalu.
8. Yekti Kurniasih, Amd. Sebagai Anggota Serikat Pegawai Perusahaan
Listrik Negara PT.PLN area Jambi.
4
Arzia Tivany Wargadireja,”berjuang dipengadilan demi menikahi teman sekantor”, vice,
Mei 18 2007, https://www.google.co.id/amp/s/www.vice.com/amp/id_id/article/xyepdd/berjuang-di-
pengadilan-demi-menikahi-teman-sekantor, diakses pada tanggal 8 April 2018
5
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, h.1
48

Para pegawai yang tergabung dalam Serikat Pegawai Perusahaan Listrik


Negara (PLN) menginginkan agar frasa, „kecuali‟ yang telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
tercantum pada Pasal 153 Ayat (1) Huruf F Undang-undang Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003 agar dihapuskan, karena itu pemohon menganggap bahwa
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 153 Ayat (1) Huruf F tentang
Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan beberapa pasal yang ada, diantaranya:
Pasal 28B Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 dan dituangkan kembali
dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang HAM (Hak Asasi Manusia), “Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah” kemudian dalam Ayat (2) menyatakan perkawinan yang
sah hanya dapat berlangsung atas dasar kehendak bebas calon suami dan calon
istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, hal ini yang dijadikan sebagai bukti.
Selain itu di dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1
dinyatakan “Perkawinan sah adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu Pasal 2
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan, hal ini sebagai bukti.
Atas dasar itu, mereka mengajukan petitum yaitu mengabulkan permohon.
Kemudian, menyatakan : Membatalkan sebagian Pasal 153 Ayat (1) Huruf F
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi
“kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama” adalah bertentangan dengan Undang-undang Dasar
1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak
diputuskan oleh mahkamah konstitusi. Lalu, memerintahkan pemuatan putusan
ini di dalam lembaran Berita Negara Republik Indonesia.
49

Berdasarkan petitum tersebut bahwa pada tanggal 30 Januari 2017 para


pemohon mengajukan permohonan ke Kepanitraan Mahkamah Konstitusi yang
diterima oleh di Kepanitraa Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 Februari 2017,
berdasarkan Akta penerimaan Permohonan Nomor 17/PAN.MK/2017 dan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 13 Februari 2017 dengan
Nomor 13/PAN.MK/2017, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepanitraan
Mahkamah pada tanggal 6 Maret 2017.

2. Putusan Hakim
Sebelum hakim mengeluarkakan putusan, mereka meminta pendapat DPR
RI dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terlebih dahulu. Menurut
pandangan DPR RI tidak benar ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f UU
Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan kebebasan membentuk sebuah
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas dasar
kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan. Pekerja bebas
melakukan perkawinan dengan siapapun yang dikehendaki dan dirasa telah
cocok, namun dengan adanya ketentuan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja
bersama atau peraturan perusahaan yang melarang untuk menikah dengan sesama
pekerja pada perusahaan tersebut, maka salah satu pekerja dapat mengundurkan
diri karena ketentuan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama ataupun
peraturan perusahaan tersebut telah disepakati dan berlaku mengikat bagi seluruh
pekerja di instansi tersebut. Sebaliknya, apabila pekerja memaksakan untuk
melakukan pernikahan dengan sesama pekerja pada instansi dimana ia bekerja,
maka pekerja tersebut telah melakukan wanprestasi dan kepadanya dapat
dikenakan sanksi tertentu sesuai dengan ketentuan perusahaan dan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.6

6
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, h. 24
50

Kemudian menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berpendapat


bahwa:
a. Ketentuan Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada prinsipnya
menegaskan bahwa Pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan bahwa pekerja/ buruh mempunyai
pertalian darah dan/ atau ikatan perkawinan dengan pekerja/ buruh
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal
28D ayat (2) UUD 1945.
b. Dengan adanya pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini memberikan jaminan
kondusivitas hubungan kerja sesama pekerja maupun pekerja dan
manajemen perusahaan, sehingga mempengaruhi profesionalitas
kerja dan memberikan keadilan baik antara pekerja itu sendiri
maupun bagi perusahaan.7
Berdasarkan peniliaan dan keterangan pemerintah atas fakta dan hukum
sebagaimana dijelaskan pada diatas, maka Mahkamah Konstitusi memutuskan:
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
b. Menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersam” dalam Pasal
153 Ayat 1 Huruf F Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tenntang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang

7
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, h. 29
51

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 dan tidak


mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.8

3. Pertimbangan Hakim Mengabulkan Judicial Review Pasal 153 Ayat 1


Huruf F Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Hakim mengabulkan permintaan judicial review yang diajukan oleh 8
orang pegawai PT. PLN adalah bahwa kewajiban melindungi hak untuk
mendapatkan pekerjaan bukan hanya menjadi kewajiban konstitusional Negara
tetapi juga telah menjadi kewajiban yang lahir dari hukum internasional, dalam
hal ini kewajiban yang adil dari keturut sertaan Indonesia dalam internasional
coventan on economic, social, and cultural rights. Benar bahwa konstitusi
memberikan wewenang konstitusional kepada negara, untuk membuat
pembatasan terhadap hak asasi manusia, namun kewenangan itu tunduk pada
persyaratan yang ditentukan oleh konstitusi.9
Kemudian hakim berpendapat bahwa Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO) dan PT. PLN (Persero), menyatakan telah memberlakukan pasal 153
ayat 1 huruf F UU 13 tahun 2003 di lingkungan internal mereka merupakan
tujuan untuk mencegah hal-hal negative yang terjadi di lingkungan perusahaan
dan membangun kondisi kerja yang baik, professional, dan berkeadilan, serta
mencegah potensi timbulnya konflik kepentingan dalam mengambil suatu
keputusan dalam internal perusahaan. Berbeda dalam pemberlakuan 28D ayat 2
UUD 1945, yang mengkhawatirkan akan terjadinya hal-hal negative di
lingkungan perusahaan dan potensi timbulnya konflik kepentingan dalam
mengambil suatu keputusan dalam internal perusahaan Hal tersebut dapat

8
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, h.52
9
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, h. 49
52

dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat sehingga


memungkinkan terbangunnya integritas pekerja/ buruh yang tinggi sehingga
terwujud kondisi yang baik, professional dan berkeadilan.10 Dengan demikian,
hakim berpendapat bahwa larangan perkawinan antar pegawai dalam satu
perusahaan yang sudah diterapkan oleh PT.PLN adalah tidak tepat.

10
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017, h. 51
BAB IV
LARANGAN PERKAWINAN ANTAR PEGAWAI DALAM SATU
PERUSAHAAN PRA DAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 13/PUU-XV/2017

A. Penerapan Larangan Perkawinan Antar Pegawai dalam Satu Perusahaan


Pra dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017.

1. PT. PLN
a. Profil Singkat
Jenis entitas bisnis : BUMN / Perseroan Terbatas
Sektor : kelistrikan
Didirikan : 27 Oktober 1945 di Jakarta, Indonesia
Markas :Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jakarta,
Indonesia
Tokoh : Sofyan Basir (Direktur Utama)
Produk : Listrik
Pemilik : Pemerintah Indonesia
Situs web : www.pln.co.id
Visi
 Diakui sebagai Perusahaan Kelas Dunia yang Bertumbuh kembang,
Unggul dan terpercaya dengan bertumpu pada Potensi Insani.
Misi
 Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait,
berorientasi pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan
pemegang saham.
 Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat.

53
54

 Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan


ekonomi.
 Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.

Perusahaan Listrik Negara (disingkat PLN) atau nama resminya adalah PT.
PLN (Persero) adalah sebuah BUMN yang mengurusi semua
aspek kelistrikan yang ada di Indonesia. Unit PT. PLN (Persero) dibagi dalam
beberapa Wilayah untuk mengurusi Pembangkitan, Penyaluran (Transmisi)
dan Pengaturan Beban, dan Distribusi kepada pelanggan. Namun khusus
untuk kawasan dengan listrik terinterkoneksi Jawa - Bali bagian unit-unit
dibagi tersendiri, untuk Pembangkitan tersendiri, Penyaluran (Transmisi)
tersendiri, Pengaturan Beban tersendiri dan Distribusi tersendiri. Khusus
untuk pembangkitan listrik kebanyakan pembangkitan listrik di Indonesia
dipasok oleh Perusahaan Swasta walaupun ada beberapa milik PLN.1

b. Penerapan Larangan Perkawinan Pra Putusan MK di PT. PLN


Alasan perusahaan melarang menikah antar pegawai dalam satu
perusahaan adalah. PT PLN menghindari conflict of interest, karena
dikhawatirkan adanya penyimpangan ketika adanya ikatan perkawinan sesama
pegawai maupun pertalian darah sesama pegawai. Adapun kasus apabila
seseorang memiliki ikatan perkawinan dan ikatan darah akan mengurangi
kualitas keputusan yang telah dibuat. PT PLN telah mengetahui tentang
Undang-Undang yang bertentangan dengan pelanggaran perkawinan yang
juga disebutkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Bunyi pelanggaran perkawinan yang terdapat di dalam
peraturan perusahaan adalah sebenarnya tidak melarang seutuhnya tetapi

1
Profil perusahaan PT.PLN, http://www.pln.co.id/tentang-kami/profil-perusahaan, diakses
pada tanggal 20 juli 1018.
55

hanya melarang perkawinan antar pegawai. Untuk jumlah karyawan yang di


PHK karena menikah antar sesama pegawai sebelum adanya putusan
mahkamah konstitusi yang menghapus pelanggaran tersebut rata-rata 50 orang
per tahun di seluruh Indonesia, namun perusahaan tidak mencatat secara
detail. Tingkat efektifitas pelanggaran perkawinan tersebut untuk perusahaan,
sangatlah efektif dimana dapat mempengaruhi kinerja pegawai itu sendiri
untuk termotivasi dalam bekerja. Dampak dari adanya larangan perkawinan
adalah dalam jangka pendek memang belum begitu berpengaruh jika pegawai
tersebut belum memiliki tingkat jabatan yang tinggi.2
Di PT.PLN terdapat beberapa perubahan peraturan tentang larangan
perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan, yaitu:
1) Pada tahun 1974 dalam peraturan Nomor 108.K/7006/DIR/1997 tentang
Perkawinan Antar Pegawai, Pasal 2 Ayat 1 “Pegawai atau calon pegawai
perseroan yang akan melaksanakan perkawinan dengan pegawai atau
calon pegawai perseroan, maka salah satu harus mengundurkan diri
sebagai pegawai atau calon pegawai perseroan” pada Ayat 2 “Dalam hal
pegawai atau calon pegawai perseroan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tersebut diatas mengundurkan diri sedangkan yang bersangkutan
masih terikat oleh perjanjian ikatan dinas, maka yang bersangkutan tidak
diwaajibkan untuk mengganti kerugian kepada perseroan”.3
2). Pada tahun 2000 dalam peraturan Nomor 92.K/010/DIR/2000 tentang
Perkawinan Antar Pegawai, Pasal 2 Ayat 1 “Pegawai yang akan
melakukan perkawinan antar pegawai, dapat melaksanakan
perkawinannya tanpa kewajiban mengajukan permohonan berhenti
bekerja bagi salah satu diantara mereka”. Ayat 2 “Pegawai yang telah
terikat hubungan perkawinan antar pegawai, dalam hal satu diantara
2
Hasil wawancara dengan Bpk. Giovany, Deputi Manajer Perencanaan Kebijakan HCMS,
dikantor PT.PLN, 25 Juli 2018.
3
Peraturan Perusahaan PT. PLN No. 108.K/7006/DIR/1997 Tahun 1997 tentang Perkawinan
Antar Pegawai PT.PLN (PERSERO)
56

mereka dipindahkan ke unit lain yang tidak satu kota dengan tempat
bekerja sebelumnya, maka suami/istri yang bersangkutan tidak otomatis
dapat dipindahkan untuk mengikutinya”.4
3). Pada tahun 2011 dalam peraturan Nomor 025.K/DIR/2011 tentang
Perkawinan Antar Pegawai, Pasal 3 Ayat 1 “Dalam hal terjadi
perkawinan antar pegawai, masing-masing pegawai melaporkan
perkawinan tersebut ke perseroan dengan menyerahkan fotocopy akta
perkawinan disertai dengan surat pengunduran diri salah satu pegawai
dari perseroan, paling lambat 1 bulan kalender setelah tanggal
perkawinan.” Ayat 2 “Apabila tidak menyertakan surat permohonan
pengunduran diri, salah satu pegawai dari pasangan suami istri tersebut
dianggap mengundurkan diri, yang akan ditentukan oleh perseroan.” Ayat
3 “Pegawai yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diberikan keputusan
pemberhentian bekerja sebagai pegawai yang berlaku terhitung sejak
tanggal 1 pada atau setelah tanggal surat pengunduran diri, dengan
menerima hak-hak sesuai ketentuan yang berlaku.” Ayat 4 “Pegawai yang
melakukan perkawinan dengan seseorang yang kemudian pasangannya
menjadi pegawai, pasangannya wajib mengundurkan diri atau tidak
diangkat sebagai pegawai.” Ayat 5 “Dalam hal tidak dilakukan pelapor
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masing-masing
pegawai dikenakan pelanggaran disiplin berat yang akan diproses sesuai
peraturan disiplin pegawai yang berlaku.5

c. Penerapan Larangan Perkawinan Pasca Putusan MK di PT. PLN

4
Peraturan Peruahaan PT. PLN No. 92.K/010/DIR/2000 Tahun 2000 tentang Perkawinan
Antar Pegawai PT. PLN (PERSERO)
5
Peraturan Perusahaan PT.PLN No. 025.K/DIR/2011 Tahun 2011 tentang Perkawinan Antar
Pegawai PT. PLN (PERSERO)
57

Diperbolehkannya pernikahan dalam satu perusahaan itu sudah sesuai


dengan putusan oleh Mahkamah Konstitusi, maka perusahaan pun harus
mematuhi peraturan tersebut dengan tidak melakukan PHK pada salah satu
pegawai yang melakukan perkawinan sesama pegawai. PT PLN menerapkan
dibolehkannya pernikahan sesama pegawai terhitung sejak putusan
Mahkamah Konstitusi meskipun peraturan perusahaan, perjanjian kerja,
perjanjian kerja bersama belum diperbaharui, namun larangan perkawinan
antar pegawai sudah tidak diberlakukan. Setelah terlaksana, sebanyak 30
pasang pegawai yang memutuskan untuk menikah dalam satu perusahaan.
Mengenai larangan perkawinan yang pernah dijalani, untuk keadaan
perusahaan berjalan dengan baik, namun kebijakan perusahaan untuk
mengatur penempatan pasangan pegawai tersebut untuk tidak ditempatkan
pada unit kerja yang saling berhubungan. Dampak positif setelah MK
menetapkan putusan yaitu lebih meringankan konflik yang ditimbulkan oleh
pegawai yang menyetujui perkawinan sesama pegawai itu sendiri, sedangkan
dampak negatif setelah MK menetapkan putusan yaitu harus lebih mengatur
dan mengawasi pegawai agar tidak menimbulkan kehancuran dalam
perusahaan dengan adanya mengevaluasi keterikatan hubungan kerja antar
pegawai yang melakukan perkawinan. Peraturan yang lebih menguntungkan
untuk perusahaan dari segi profesi adalah dengan tidak mengizinkan
perkawinan sesama pegawai karena hal tersebut menimbulkan resiko yang
cukup tinggi bagi perusahaan.6

2. Bank Mandiri
a. Profil Singkat
Jenis entitas bisnis : Badan Usaha Milik Negara/publik
Sektor : Jasa keuangan

6
Hasil wawancara dengan Bpk. Giovany, Deputi Manajer Perencanaan Kebijakan HCMS,
dikantor PT.PLN, 25 Juli 2018.
58

Pendahulu : Bank Bumi Daya


Bank Dagang Negara
Bank Ekspor Impor Indonesia
Bank Pembangunan Indonesia
Didirikan : 2 Oktober 1998
Pendiri : Pemerintah Indonesia
Markas : Jakarta, Indonesia
Cabang : 1.296 kantor cabang
Wilayah operasi : Indonesia, Kepulauan Cayman, Timur Leste,
Tiongkok,HongKong, Singapura, Britania Raya.
Tokoh : Wimboh Santoso (Presiden Komisaris)
Kartika Wirjoatmodjo (Direktur Utama)
Produk : Mandiri Tabungan, Mandiri Deposito, e-Toll
Card, dll.
Jasa : Tabungan, giro, deposito, pinjaman, investasi.
Induk : Kementerian BUMN
Anak : Bank Syariah Mandiri
Mandiri Sekuritas
AXA-Mandiri Financial Services
Bank Mandiri Taspen Pos
Mandiri Tunas Finance
Asuransi Jiwa InHealth Indonesia
Situs web : www.bankmandiri.co.id
Visi
 Menjadi Lembaga Keuangan Indonesia yang paling dikagumi dan
selalu progresif.
Misi
 Berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar
59

 Mengembangkan sumber daya manusia professional


 Memberi keuntungan yang maksimal bagi stakeholder
 Melaksanakan manajemen terbuka
 Peduli terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan

Bank Mandiri berkomitmen membangun hubungan jangka panjang yang


didasari atas kepercayaan baik dengan nasabah bisnis maupun perseorangan.
Kami melayani seluruh nasabah dengan standar layanan internasional
melalui penyediaan solusi keuangan yang inovatif. Kami ingin dikenal
karena kinerja, sumber daya manusia dan kerjasama tim yang terbaik.
Dengan mewujudkan pertumbuhan dan kesuksesan bagi pelanggan, kami
mengambil peran aktif dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang
Indonesia dan selalu menghasilkan imbal balik yang tinggi secara konsisten
bagi pemegang saham.
Bank Mandiri adalah bank yang berkantor pusat di Jakarta, dan
merupakan bank terbesar di Indonesia dalam hal aset, pinjaman, dan deposit.
Bank ini berdiri pada tanggal 2 Oktober 1998 sebagai bagian dari program
restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Pada bulan Juli 1999, empat bank milik Pemerintah yaitu, Bank Bumi
Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor
Indonesia (Bank Exim), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo),
digabungkan ke dalam Bank Mandiri.
Bank Mandiri membentuk sebuah perusahaan baru yang diberi nama
Mandiri Capital, merupakan modal ventura pertama yang berbasis teknologi
di Indonesia. Mandiri Capital akan menanamkan modal ke bisnis-bisnis
start-up yang berpotensi besar. Bank Mandiri menambah dua kantor cabang
baru di di pulau Gili Trawangan dan Sengigi, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Penambahan kantor cabang ini dilakukan karena melihat prospek ekonomi
60

yang bagus di sektor pariwisata. Dengan tambahan dua cabang baru itu, saat
ini perseroan sudah memiliki 2.456 kantor cabang di seluruh Indonesia.7
Bank Mandiri menyediakan layanan perbankan bagi Pos Indonesia untuk
meningkatkan efisiensi pengelolaan kas. Melalui penyediaan layanan ini,
Bank Mandiri akan mengelola kas Pos Indonesia seperti penyediaan
likuiditas, penerimaan setoran dana, pengelolaan dana dan rekening, fasilitas
cash management, serta layanan perbankan lain untuk pegawai dan mitra
bisnis Pos Indonesia. Sinergi Bank Mandiri dengan Pos Indonesia telah
menghasilkan banyak pengembangan bisnis, seperti pembentukan bank joint
venture bersama-sama TASPEN dengan nama Bank Mantap (sebelumnya
Bank Sinar) yang menjadi kendaraan untuk penyaluran kredit pensiunan.
Mandiri dan Pos Indonesia juga berkolaborasi dalam mendukung kelancaran
penyaluran PSKS melalui Layanan Keuangan Digital. Bahkan, untuk
memudahkan transaksi keuangan masyarakat, sekitar 4.000 electronic data
capture (EDC) Bank Mandiri telah ditempatkan di kantor pos yang berada di
berbagai wilayah Tanah Air. Selain kerjasama tersebut, Bank Mandiri juga
menyediakan layanan keuangan bagi pegawai dan pensiunan Pos Indonesia
yang saat ini tercatat memiliki sekitar 26 ribu pegawai dan 16 ribu
pensiunan.8

b. Penerapan Larangan Perkawinan Pra Putusan MK di Bank


Mandiri
Alasan perusahaan melarang menikah antar pegawai dalam satu
perusahaan adalah, karena di bank sangat menyimpan kerahasian sehingga

7
Profil Perusahaan Bank Mandiri, https://id.wikipedia.org/wiki/Bank_Mandiri, diakses pada
tangaal 20 Juli 2018
8
Profil Perusahaan Bank Mandiri, https://www.bankmandiri.co.id/web/guest/profil-
perusahaan, diakses pada tanggal 20 Juli 2018
61

dikhawatirkan terjadi kecurangan antar pegawai yang menikah, apabila


suami dan istri ada dalam satu perusahaan yang sama dan saling berkaitan
maka mereka mudah untuk bekerja sama melakukan kecurangan dalam
perusaahaan. PT. Bank Mandiri tidak mengetahui bahwa adanya Undang-
undang yang bertentangan dengan peraturan perusahaan yang melarang
perkawainan antar pegawai dalam satu perusahaan, sejak dari berdirinya
perusahaan pelarangan perkawinan antar pegawai sudah diterapkan karena
beralasan seperti disebutkan tadi. Diawal setiap pegawai yang masuk Bank
Mandiri, dijelaskan secara langsung tentang bagaimana tidak
diperbolehkannya memiliki ikatan darah dan ikatan perkawinan oleh
sesama pegawai, sehingga hal tersebut menjadi ketentuan umum oleh para
pegawai. Untuk karyawan yang menikah sebelum adanya putusan
Mahkamah Konstitusi belakangan ini baru ada 1 pasang namun
sebelumnya juga sudah ada tetapi perusahaan tidak pernah mencatat secara
detail. Terkait dengan efektifitasnya larangan perkawainan antar pegawai
dalam satu perusahaan sangat baik untuk perusahaan akan tetapi
memberikan dampak pada perusahaan salah satu dampak negatifnya adalah
perusahaan harus mencari pegawai baru lagi akibat salah satu dari
pasangan yang menikah harus keluar.9

c. Penerapan Larangan Perkawinan Pasca Putusan MK di Bank


Mandiri
Diperbolehkannya pernikahan dalam satu perusahaan itu sudah sesuai dengan putusan
oleh Mahkamah Konstitusi, maka perusahaan pun harus mematuhi peraturan tersebut
dengan tidak melakukan PHK pada salah satu pegawai yang melakukan perkawinan
sesama pegawai. PT. Bank Mandiri memperbolehkan pernikahan antar pegawai sejak
adanya putusan Mahkamah Konstitusi dengan menyebarkan edaran tertulis dari

9
Hasil wawancara dengan Ibu Korry Sitorus, Manajer Trade Servicing Center, dikantor Bank
Mandiri, pada tanggal 6 September 2018.
62

perusahaan, menurut perusahaan tentang diperbolehkannya perkawinan antar pegawai


sangat bagus karena tidak adanya salah satu pihak yang keluar, karena sangat rugi
apabila pegawai tersebut kompeten dibidangnya, namun saja perusahaan harus lebih
ekstra mengawasi pegawai yang menikah dengan sesama pegawai perusahaan agar
tidak berkaitan satu sama lain pekerjaannya. Sejak diterapkannya putusan Mahkamah
Konstitusi yang memperbolehkan perkawinan antar pegawai, sudah ada 1 pasang
pegawai yang melaksanakan perkawinan. Mengenai larangan perkawinan yang
pernah dijalani, untuk keadaan perusahaan berjalan dengan baik, namun perusahaan
mengantisipasi dengan mengatur penempatan pasangan pegawai tersebut untuk tidak
ditempatkan pada unit kerja yang saling berhubungan. Sejauh ini dalam segi profesi
dengan diperbolehkannya perkawinan antar pegawai cukup positif, dan sependapat
dengan putusan Mahkamah Konstitusi selama perusahaan masih mampu mengawasi
pegawai yang menikah.10

B. Larangan Perkawinan Antar Pegawai dalam Satu Perusahaan menurut


Undang-Undang Ketenagakerjaan Pra dan Pasca Judicial Review ditinjau
dari Hukum Islam dan Peraturan Perkawinan di Indonesia.
Perkawinan sebagai hak-hak individu seseorang terkadang bertentangan dengan
kewenangan pemerintah yang mengatur tentang jajaran di bawahnya. Keduanya ini
saling bertentangan karena memiliki peraturan-peraturan tersendiri, Baik
perusahaan/negara maupun individu yang memiliki kepentingan masing-masing
untuk menciptakan keadilan baginya. Tidak dapat kita pungkri, bahwa dari keduanya
memiliki keterkaitan satu sama lain, banyak peraturan yang berkembang dan tidak
berfungsi atau menjadi pro dan kontra di kalangan individu maupun
perusahaan/negara. Mungkin karena adanya kepentingan-kepentingan yang berkuasa
sehingga peraturan terkadang pro kepada perusahaan/negara. Misalnya aturan tentang
larangan perkawinan antar pegawai yang belakangan menjadi polemik dan belum

10
Hasil wawancara dengan Ibu Korry Sitorus, Manajer Trade Servicing Center, dikantor
Bank Mandiri, pada tanggal 6 September 2018.
63

adanya peraturan perusahaan yang baru yang mengatur dibolehkannya perkawinan


antar pegawai sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Maka dari itu penulis
berupaya meneliti permasalahan ini secara lebih lanjut tentang peraturan-peraturan
tersebut yang terjadi di instansi-instansi pemerintahan.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 153 Ayat 1 huruf F tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan “Perusahaan dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan /atau
ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali
telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama”.11 Pelarangan tersebut terdapat pada frasa kecuali yang melarang
perkawinan apabila telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama.
Adanya Undang-undang tersebut menjadi permasalahan di perusahaan, karena
adanya larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan, yang membuat
salah satu pekerja/buruh dari Perusahaan Listrik Negara atau PT.PLN di PHK
(Pemutusan Hubungan Kerja) karena melakukan perkawinan sesama pegawai
perusahaan.
Dengan ketidakterimaannya atas pemutusan hubungan kerja pada dirinya,
pekerja/buruh tersebut memohon kepada Mahkmah Konstitusi untuk melakukan uji
materi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan yang melarang perkawinan antar
pegawai, karena pegawai/buruh beralasan Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Undang-Undang Dasar 1945. Pada tanggal 14 Desember 2017 Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan para pemohon untuk mejudicial review dengan No
Putusan 13/PUU-XV/2017 , “Menyatakan frasa kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama’ dalam Pasal 153 Ayat 1

11
Undang-undang Ketenagakerjaan R.I.,No. 13 Tahun 2003, Bab XII pasal 153 ayat (1).
64

Huruf F Undang-Undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Tahun 1945


dan tidak mempunyai hukum tetap.
Dengan demikian, saat ini Pasal 153 Ayat 1 Huruf F Undang-Undang
Ketenagakerjaan secara keseluruhan berbunyi,”Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh mempunyai pertalian darah
dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya didalam satu
perusahaan”.12
Di dalam Hukum Islam juga mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam
fikih disebut dengan mahram (orang yang haram untuk dinikahi). Ulama fikih telah
membagi mahram ini menjadi dua macam. Pertama disebut dengan mahram
mu’aqqat (larangan untuk waktu tertentu) dan kedua mahram mu’abbad (larangan
untuk selamanya). Adapun dijelaskan sebagai berikut:
1. Larangan untuk sementara waktu atau mahram mu’aqqat ialah melarang
menikah dua orang bersaudara atau semahram dalam satu waktu,
melarang menikahi istrinya yang telah ditalak tiga, melarang kawin
dengan budak,melarang poligami lebih dari empat istri, melarang kawin
dengan istri orang lain, melarang menikah dengan perempuan yang masih
dalam masa iddah, melarang menikah dengan perempuan non muslim dan
melarang menikah dalam keadan ihram.
2. Larangan untuk selamanya atau mahram mu’abbad ialah melarang
menikah dengan seseorang apabila memiliki hubungan nasab, hubungan
semenda, dan hubungan sesusuan.

12
Agus Sahbani, “Alasan MK Pertegas Larangan PHK Karena Menikah Sesama Pekerja”,
hukumonline.com,Desember 14 2017, http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a3269e4b37c3/alasan-
mk-pertegas-larangan-phk-karena-menikah-sesama-pekerja. diakses pada tanggal 26 september 2018
65

        

        

           

          

              
Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-
ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu
dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Berpijak dari ayat-ayat yang melarang perkawinan tersebut maka para ulama
juga membuat rumusan-rumusan yang lebih sistematis sebagai berikut:
1. Karena pertalian nasab (hubungan darah).
a. Ibu, nenek (dari garis ibu atau bapak) dan seterusnya.
b. Anak perempuan, cucu perempuan dan stereusnya kebawah
c. Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu
d. Saudara perempuan ibu (bibi atau tante)
e. Saudara perempuan bapak (bibi atau tante)
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
g. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah
h. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu
66

i. Anak perempuan saudara perempuan sekandung


j. Anak perempuan saudara perempuan seayah
k. Anak perempuan saudara perempuan seibu
2. Karena hubungan semenda.
a. Ibu dari istri (mertua)
b. Anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri)
c. Istri bapak (ibu tiri)
d. Istri anak (menantu)
e. Saudara perempuan istri adik atau kaka ipar selama dalam ikatan
perkawinan
3. Karena pertalisan sepersusuan.
a. Wanita yang menyusui seterusnya keatas
b. Wanita sepersusuan dan seterusnya garis menurun kebawah
c. Wanita saudara sepersususan dan kemanakan sususan kebawah
d. Wanita bibi sesusuan dan bibi sessusuan ke atas
e. Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Selajutnya, larangan perkawinan menurut peraturan perkawinan di Indonesia


ada 2 yaitu:
1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Perkawinan dilarang dalam hubungan dan keadaan tertentu menurut
agama dan undang-undang, misalnya, karena hubungan darah terlalu
dekat, karena semenda, telah bercerai tiga kali, atau belum habis masa
tunggu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Larangan perkawinan telah
diatur dengan jelas seperti yang terdapat dalam pasal 8 yang menyatakan:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas.
67

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar


saudara, antara seorang dengan saudaraa orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua sususan, anak sususan, saudara
sesusuan dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan
dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin.

2. Kompilasi Hukum Islam


Larangan perkawinan dalam bahasa agama disebut dengan mahram.
Larangan perkawinan ada dua macam, pertama larangan abadi
(muabbad), dan kedua larangan dalam waktu tertentu (muaqqat). Pada
Kompilasi Hukum Islam larangan perkawinan diatur pada Pasal 39 angka
1 mendahulukan mahram nasab, yaitu mahram yang timbul karena
hubungan darah, angka 2 mahram karena kerabat semenda (musharah)
atau perkawinan, angka 3 mahram karena pertalian sesususan, larangan
pada Pasal 39 KHI tersebut adalah larangan abadi (mubbad), pada Pasal
40 KHI mengatur tentang larangan perkawinan dalam waktu tertentu
(muaqqat) yaitu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan wanita lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama islam

Dengan demikian, Larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan


menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan pra Judicial Review ditinjau dari Hukum
68

Islam bahwa tidak adanya larangan untuk menikah antar pegawai dalam satu
perusahaan, karena Hukum Islam hanya melarang perkawinan dalam larangan untuk
waktu tertentu (mahram mu’aqqat) dan larangan untuk selamanya (mahram
mu’abbad). Dikatakan larangan waktu tertentu karena larangan perkawinannya
dibatasi, contohnya dilarang menikah dalam satu waktu, dilarang menikahi istrinya
yang sudah ditalak tiga sebelum terlebih dahulu dinikahi oleh orang lain, dilarang
menikah lebih dari 4 istri pada waktu bersamaan, dilarang nikah dengan istri orang
lain, dilarang nikah dengan perempuan yang masih dalam masa iddah, dilarang
menikah dengan perempuan non muslim dan melarang menikah dalam keadan ihram.
Sedangkan larangan perkawinan untuk selamanya yaitu dilarang menikah dengan
seseorang apabila memiliki hubungan nasab, dilarang menikah apabila memiliki
hubungan semenda dikatakan semenda ialah garis turunan bapak atau ibu, dan
dilarang menikah apabila memiliki hubungan saudara sepersusuan.
Dalam hukum Islam tidak ada apa-apa atau tidak ada masalah jika ada peraturan yang
dibuat oleh sebuah perusahaan yang menambah larangan perkawinan yang mana larangan
tersebut tidak dikenal dalam hukum Islam, karena yang tidak boleh dalam Islam itu adalah
menghalalkan yang dilarang agama, sebagaimana diungkapkan dalam kaidah fiqhiyyah: 13
ً‫الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِالَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَالَ يَنْهَى اِالَّ عَمَّا مَفْسَذَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَة‬
“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau
kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali
mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan”.
Dan setelah di Judicial Reviewnya Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut
oleh Mahkamah Konstitusi, maka perkawinan antar pegawaipun diperbolehkan dalam
satu perusahaan dan tidak bertentangan dengan Hukum Islam, karena tanpa adanya
Judicial Review yang dilakukan Mahkamah Konstitusi larangan perkawinan antar
pegawai tidak ada di dalam Hukum Islam. Menurut Hukum Islam perkawinan sah
apabila rukun dan syaratnya telah terpenuhi.
13
Yulia Purnama, “Ketika Agama Telah Mengharamkan”, muslim.or.id, Mei 23 2010,
“http://muslim.or.id/3319-ketika-agama-telah-mengharamkan.html. diakses pada tanggal 26 November
2018
69

Kemudian dalam larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan


menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan pra dan pasca Judicial Review ditinjau
dari Peraturan Perkawinan di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Islam, melarang
perkawinan karena pertalian nasab dan pertalian kerabat semenda. Lalu ditinjau dari
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 2, ayat 1, menyatakan
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan dalam Pasal 8 yang mengatur tentang
larangan perkawinan juga tidak mengatur tentang larangan perkawinan antar pegawai
dalam satu perusahaan. Dan disisi lain Pasal 28 B Ayat 1 Undang-Undang Dasar
1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
Dengan diperbolehkannya perkawinan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
ditinjau dari Peraturan Perkawinan di Indonesia, maka sudah diperbolehkan untuk
melangsungkan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan, dan sudah sesuai
dengan Peraturan Perkawinan yang ada di Indonesia karena tidak adanya Peraturan
Perkawinan di Indonesia mulai dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Dasar 1945.

C. Penerapan Kaidah Ushul Fiqh Terhadap Ketentuan Larangan Perkawinan


Antar Pegawai dalam Satu Perusahaan

Dalam hukum Islam dikenal juga Ijtihad yaitu untuk memecahkan


persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, yang mana
persoalannya selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum yang baru,
dimana dalam Al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma para sahabat tidak ditemukan
solusi hukumnya, ada juga ulama yang menggunakan metode istinbath maslahah
apabila masalah yang dihadapi tidak ada satupun nash yang mendasarinya, baik
yang membenarkan maupun yang melarangnya. Maslahah sendiri berarti
“manfaat”, dan kata maslahah tersebut tidak terpisah dari mursalah yang berarti
70

“lepas” gabungan dari dua kata tersebut yaitu maslahah mursalah yang menurut
istilah berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan
hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang
mendukung maupun yang menolak”.14 Beberapa persyaratan dalam
memfungsikan maslahah mursalah sebagai dasar hukum yaitu:
1. Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki yaitu
yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak
kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya
mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat
negative yang ditimbulkannya.
2. Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum,
bukan kepentingan pribadi.
3. Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan
yang ada ketegasan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah, atau
bertentangan dengan ijma.
Adapun metode yang dijadikan dasar hukum yang mengatur larangan
perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan pra putusan Mahkamah
Konstitusi dalam hukum Islam ialah kaidah-kaidah fiqh yaitu:
‫الضرر وال ضرار‬ yang berarti “tidak boleh melakukan sesuatu yang
membahayakan diri sendiri ataupun orang lain”. Apabila perusahaan beralasan
dikhawatirkan terjadi adanya penyimpangan ketika adanya ikatan perkawinan
sesama pegawai maupun pertalian darah sesama pegawai. Oleh karena itu ‫الضرر‬
‫يزال‬ “bahaya harus dihilangkan” dengan adanya larangan perkawinan antar
pegawai dalam satu perusahaan, perusahaan berusaha untuk mencegah atau
menghilangkan adanya penyimpangan dan kecurangan yang terjadi pada
pegawainya, tetapi ‫“ الضرر ال يزال بالضرر‬suatu dlarar tidak boleh dihilangkan
dengan dlarar” apabila perusahaan khawatir terjadinya penyimpangan sesama

14
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prena Media, 2005), h. 148
71

pegawai akibat adanya perkawinan antar pegawai. Perusahaan sebaiknya tidak


melarang perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan, dan karena itu ‫الضرر‬
‫“ األشذ يزال بالضرر الخف‬dlarar yang lebih besar dihilangkan dengan dlarar yang
lebih ringan” maka perusahaan sebaiknya tidak melarang perkawinan antar
pegawai dalam satu perusahaan, akan tetapi membolehkannya dengan syarat
suami dan istri tidak memiliki pekerjaan atau tugas yang berkaitan.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 yang telah


melakukan uji materil (judicial reviw) terhadap Undang-Undang Nomer 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 153 ayat 1 huruf F dan memperbarui
peraturan tentang diperbolehkannya perkawinan antar pegawai dalam satu
perusahaan. Setiap peraturan diciptakan untuk mendatangkan kemaslahatan bagi
masyarakat umum, begitu juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
13/PUU-XV/2017 yang memperbolehkan nikah antar pegawai dalam satu
perusahaan.
Dalam hukum Islam terlepas dari Al-Qur’an dan Hadist ada juga Istinbath
hukum yaitu untuk memecahkan permasalah yang belum ada solusinya dalam
Al-Qur’an dan Hadist, yang mana terdapat beberapa metode penetapan hukum
salah satu nya adalah “sadduz zari’ah”. Secara etimologi sadd adz-dzari’ah
merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, as-sadd dan
adz’dzari’ah. Kata as-sadd yang berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak
dan menimbun lobang, sedangkaan adz-dzari’ah merupakan benda (isim) bentuk
tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu.15
Sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Dasar hukum sad adz-dzari’ah:

15
Muhammad bin Mukkaram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar
Shadir, tt), juz 3, h. 207
72

              

           

Artinya: dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka


sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.

Diantara kaidah fiqh yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-
dzari’ah adalah:
ِ‫دَ ْرءُ اْلمَفَاسِذِ مُقَذَمُ عَلَى جَ ْلبِ المَصَالِح‬
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itu lah sadd dza-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga
bisa dipahami, karena dalam sadd dza-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang
harus dihindari.
Dalam kasus ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review, jika
mengaju kepada kaidah ushul fiqh tersebut maka menolak mafsadah dalam kasus
ini berupa “menghindari perzinahan antar pegawai apabila adanya larangan
perkawinan antar pegawai dalam satu perussahaan, dan menikah tanpa seizin
perusahaan sehingga menyebabkan PHK dari perusahaan”
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017
yang telah mengabulkan permohonan Judicial Review sehingga menetapkan
untuk memperbolehkan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan.
73

Bahwa perusahaan sebagai lembaga atau badan hukum yang ada di bawah
pemerintahan harus mengikuti aturan pemerintah, karena Mahkamah Konstitusi
adalah bagian dari pemerintahan.
Seperti dalam Al-Qur’an ayat 59 surat An-Nisa:

              

               

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Kesimpulannya maka perusahaan sudah tidak boleh lagi melarang


pegawainya untuk kawin dengan pegawai lain dalam satu perusahaan, karena
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari pemerintah sehingga harus ditaati
keputusannya. Keputusan tersebut tertera dalam pasal 153 ayat 1 huruf F
Undang-Undang Ketenagakerjaan “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buuruh mempunyai pertalian darah dan
atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perushaan”.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada PT. PLN dan Bank Mandiri
tentang larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Larangan perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
sebelum dijudicial review oleh Mahkamah Konsttitusi, apabila ditinjau dari
Hukum Islam, maka tampak bahwa larangan tersbut tidak ditentukan dalam
Hukum Islam maupun Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Dalam
Hukum Islam dan juga Undang-undang Perkawinan di Indonesia tidak
dilarangan orang yang bekerja dalam satu perusahaan untnuk melakukan
perkawinan. Larangan yang ada dalam Hukum Islam hanyalah larangan
karena adanya hubungan darah, hubungan sepersusuan, dan hubungan
semenda, serta larangan dalam kasus tertentu seperti dilarang menikah lebih
dari 4 istri atau poligami 4 istri, dilarang menikah dalam satu waktu, dll.
Begitu juga dengan peraturan perkawinan di Indonesia.
2. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017
yang mejudicial review Undang-Undang No 13 Tahun 2003, tanpak bahwa
PT PLN dan Bank Mandiri sudah menerapkan larangan perkawinan antar
pegawai dalam satu perusahaan. Hal ini bisa dirinci sebagai berikut:
a. Pada tahun 1974 dalam peraturan Nomor 108.K/7006/DIR/1997 tentang
Perkawinan Antar Pegawai dan tahun 2011 dalam peraturan Nomor
025.K/DIR/2011 tentang Perkawinan Antar Pegawai. PT PLN melarang
perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan karena pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya didalam satu perusahaan alasan mereka melarang

74
75

perkawinan antar pegawai adalah untuk menghindari conflict of interest,


karena dikhawatirkan adanya penyimpangan ketika adanya ikatan
perkawinan sesama pegawai maupun pertalian pegawai sesama pegawai.
b. Bank Mandiri melarang perkawinan antar pegawai dalam satu perusahaan
dikhawatirkan terjadi kecurangan antar pegawai yang menikah, apabila
suami dan istri ada dalam satu perusahaan yang sama dan saling berkaitan
maka mereka mudah untuk bekerja sama melakukan kecurangan dalam
perusaahaan.
3. Sesudah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017
yang menghapus frasa “kecuali” pada Undang-Undang No 13 Tahun 2003
pasal 153 ayat 1 huruf f maka PT PLN dan Bank Mandiri mengambil sikap,
sebagai berikut:
a. Pada tanggal 14 November 2017, PT PLN menerapkan dibolehkannya
pernikahan sesama pegawai terhitung sejak putusan Mahkamah Konstitusi
meskipun peraturan perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama
belum diperbaharui, namun larangan perkawinan antar pegawai sudah
tidak diberlakukan lagi. konsekuensinya, sejak itu sampai tanggal 25 juli
2018 sebanyak 30 pasang pegawai yang sudah menikah dalam satu
perusahaan. Namaun, kebijakan perusahaan adalah mengatur ulang
penempatan pasangan pegawai yang suami istri tersebut agar tidak
ditempatkan pada unit kerja yang saling berhubungan.
b. Pada Bank Mandiri memperbolehkan pernikahan antar pegawai sejak
adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 November 2017
dengan menyebarkan edaran tertulis dari perusahaa. Menurut Manajer
Trade Servicing Center Bank Mandiri tentang diperbolehkannya
perkawinan antar pegawai itu sangat bagus, karena tidak adanya salah satu
pihak yang dikeluarkan, perusahaan akan sangat rugi apabila pegawai
yang dikrluarkan tersebut kompeten di bidangnya. Namun saja,
perusahaan harus lebih ekstra mengawasi pegawai yang menikah dengan
76

sesama pegawai perusahaan agar tidak berkaitan satu sama lain


pekerjaannya sehingga tidak terjadi kecurangan.

B. Saran
Berdasarkan penelitian ini maka penulis membuat saran-saran yang hendaknya
menjadi perhatian bagi peneliti selanjutnya, yaitu :
1. Kepada Pemerintah DPR selaku yang membentuk Undang-undang harus
bijaksana dalam membuat peraturan yang sudah ada dengan
mempertimbangkan aspek yang akan timbul bagi perusahaan dan pegawai
2. Kepada Perusahaan yang akan melakukan penelitian lanjutan terkait dengan
tema ini, mengingat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-
XV/2017 yang telah membolehkan perkawinan antar pegawai dalam satu
perusahaan ini adalah putusan baru. Tidak menutup kemungkinan bahwa nanti
kedepannya putusan tersebut yang memperbolehkan perkawinan antar
pegawai dalam satu perusahaan menjadi polemik baru untuk perusahaan atau
pegawai perusahaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Al-Qur’an, Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT Sinerhi


Pustaka Indonesia, 2012.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta; Akademika Pressindo;


2010.

Ahmad Khoirul Huda, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Mentelu di Desa
Sumberejo Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan Jawa Timur, skripsi
pada strata I UIN sunan ampel Surabaya, Surabaya 2014, dipublikasikan

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali pers, 1998

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu,1999

Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990

Husein Muhammad, fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta LKS, 2007

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:


Bayumedia, 2008

Kompilasi Hukum Islam R.I., INPRES No. 1 Tahun 1991

77
78

Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2013, Cet. Ke 31, Ed. Revisi

Maria Wurianalya Novenanty, Jurnal Pembatasan Hak Untuk Menikah Antara


Pekerja Dalam Satu Perusahaan, dalam jurnal Veritas etjustitia, tahun 2016
diterbitkan oleh journal.unpair.ac.id

Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,


1990

Naqih Finesha, Mitos Larangan Perkawinan Antara Penduduk Desa Sadang


Kecamatan Jekulo, Dukuh Gambir Desa Hadiwarno dan Desa Kesambi
Kecamatan Mejebo Kabupaten Kudus dalam Prespektif Aqidah Islamiyah,
skripsi pada strata I IAIN wali songo Semarang, Semarang,2014, dipublikasikan

Nur Aisyah, Larangan Menikah Sesuku di desa Sipungguk Kecamatan Salo


Kabupaten Kampar Ditinjau dari Pandangan Islam, skripsi pada strata I UIN
suska Riau, Riau 2015, dipublikasikan

Nuruddin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Prenada Media, 2004

Peraturan Perusahaan PT. PLN No. 108.K/7006/DIR/1997 Tahun 1997 tentang


Perkawinan Antar Pegawai PT.PLN (PERSERO)

Peraturan Peruahaan PT. PLN No. 92.K/010/DIR/2000 Tahun 2000 tentang


Perkawinan Antar Pegawai PT. PLN (PERSERO)
79

Peraturan Perusahaan PT.PLN No. 025.K/DIR/2011 Tahun 2011 tentang Perkawinan


Antar Pegawai PT. PLN (PERSERO)

Rencana Undang-Undang Tentang Pembinaan Dan Perlindungan Ketenagakerjaan,


2003

Saekan. Effendi, Irniati. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.


Surabaya, Arkola Surabaya; 1997.

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017

Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prena Media, 2005

Sayyid, Syaikh. Fiqih as-Sunnah. Bandung; al-Ma’arif 1997.

Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat


dan Undang-Undang Perkawina. Jakarta; Prenada Media; 2009.

Sidharta, Arief, B. “Konsepsi Hak Asasi Manusia”. Jurnal Hukum Pro Justitia, No. 4,
2002.

Titik Triwulantutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:


Prenadmedia, 2008

Undang-Undang R.I., No. 1 Tahun 1974, Perkawinan.

Undang-Undang R.I., No. 13 Tahun 2003, Ketenagakerjaan.

Yaswirman, Hukum Keluarga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011


80

Sumber Internet:

https://www.bankmandiri.co.id/web/guest/profil-perusahaan, diakses pada tanggal 20


Juli 2018

http://muslim.or.id/3319-ketika-agama-telah-mengharamkan.html. diakses pada


tanggal 26 November 2018

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a3269e4b37c3/alasan-mk-pertegas-
larangan-phk-karena-menikah-sesama-pekerja. diakses pada tanggal 26
september 2018

https://www.perpusku.com/2016/06/metode-pengumpulan-data-dengan-metode-
wawancara-interview.html, diakses pada 22 Februari 2017

http://www.pln.co.id/tentang-kami/profil-perusahaan, diakses pada tanggal 20 juli


2018.

https://www.vice.com/amp/id_id/article/xyepdd/berjuang-di-pengadilan-demi-
menikahi-teman-sekantor, diakses pada tanggal 8 April 2018

Sumber Wawancara:

Wawancara dengan Bpk Gilang Ramadhan, Pegawai Bank Mandiri Jakarta, dikantor
Bank Mandiri, pada tanggal 6 Juni 2018
81

Wawancara dengan Bpk. Giovany, Deputi Manajer Perencanaan Kebijakan HCMS,


dikantor PT.PLN, 25 Juli 2018

Wawancara dengan Ibu Korry Sitorus, Manajer Trade Servicing Center, dikantor
Bank Mandiri, pada tanggal 6 September 2018
HASIL WAWANCARA DENGAN DEPUTI
MANAJER PERENCANAAN KEBIJAKAN HCMS PT. PLN (Persero)
Bapak Giovany Tanggal, 25 Juli 2018

1. Baik sebelumnya terimakasih saya Yogi Surya, dengan Bapak/Mas siapa saya
berbicara dan dari bagian apa?
Jawaban: dengan Giovany , bagian HCMS KEBIJAKAN.

2. Apa alasan perusahaan melarang menikah antar pegawai dalam satu persahaan
?
Jawaban: jadi alasan utamanya adalah menghindari konflik of interest, karena
seperti kita ketahui GCG disuatu perusahaan itu dengan adanya pernikahan itu
banyak adanya kemungkinan untuk adanya penyimpangan ketika seseorang
itu adanya ikatan kekeluargaan, inti bukan tentang suami-istri saja tapi
mertua, orang tua, anak, pertalian darah, dan perkawinan. Banyak kasus juga
seperti itu, ketika seseorang memiliki suatu hubungan entah itu perkawinan
atau darah dia bisa mengurangi kualitas keputusan dari kewenangan dia, gitu
loh. Dimana seharusnya engga menjadi diperbolehkan atau lebih dimudahkan.
Intinya lebih menjaga conflict of interest.

3. Apakah perusahaan tersebut mengetahui tentang Undang-undang yang


bertentangan dengan pelarangan perkawinan ?
Jawaban: kalau mengatahui, ya tahu karena ada diundang-undang 13 ada
bunyinya “kita tidak boleh memPHKkan ketika bla-bla tetapi untuk
perkawinan dapat diatur diperusahaannya sendiri”, itulah yang digugat.
Kalimat yang kecuali itulah yang digugat.

4. Bagaimana bunyi pelarangan perkawinan yang terdapat didalam peraturan


perusahaan?
Jawaban: jadi “ketika pegawai menikah maka salah satu harus mengundurkan
diri” kurang lebih seperti itu bunyinya.

5. Sejauh ini sudah berapa karyawan yang di PHK karena menikah, sebelum
adanya putusan mahkamah konstitusi yang menghapus pelarangan tersbut ?
Jawaban: rata-rata pertahun 50 orangan, tahun 2017 tahun lalu 67 tapi rata-
rata 50 orangan.

6. Menurut bapak apakah efektifitas pelarangan perkawinan tersebut untuk


perusahaan?
Jawaban: sebenernya efektif banget sih,kenapa efektif karena di PLN itu
ketika orang itu berpasangan ada sedikit hambatan dalam memindah
mindahkan orang, jadi tidak dapat perform dengan baik ada menganggu untuk
mengembangkannya.

7. Dan apa dampak dari adanya larangan perkawinan ?


Jawaban: dari 2011 sampai 2017 dalam jangka pendek sejauh ini belum
terlihat karena orang-orang tersbeut belom memiliki jabatan besar
diperusahaan.

8. Aapa tanggapan anda tentang diperbolehkannya pernikahan dalam satu


perusahaan ?
Jawaban; keputusan MK itu sudah menjadi Undang-undang, maksudnya level
nya sama dengan Undang-undang 13, mau bagaimana caranya itu harus
dipatuhi, kita tidak bisa melawan apapun itu karena itu levelnya sudah
undang-undang, mau diatur diperaturan perusahaan atau peraturan kerja
bersama tetap kalah, jadi kita harus mencabut peraturan itu.
9. Apakah perusahaan ini sudah menerapkan dibolehkannya pernikahan sesama
pegawai ?
Jawaban: untuk yang sekarang aturan secara resmi nya bulan ini keluar, tapi
setelah adanya putusan MK kita sudah melaksanakannya.

10. Jika sudah terlaksana, berapa karyawan yang memutuskan untuk menikah
dalam satu perusahaan ini ?
Jawaban: ketika itu mungkin nasional 30 pasang sudah ada, pas sudah dibuka
langsung pada kawin lagi.

11. Berdasarkan alasan bapak mengenai larangan perkawinan yang pernah


dijalani, bagaimana dengan keadaan sekarang, apakah masih aman terkendali
tanpa terjadinya hal-hal yang bapak sebutkan tadi ?
Jawaban: jadi sekarang kita tidak bisa lagi memPHK kan salah satunya, yang
bisa kita lakukan sekarang membatasi biar konflik off interens nya kurang,
kita mengatur dari sisi penempatannya jadi pasangan itu tidak boleh satu unit,
ketika ada hubungan dari pekerjaan kita pindahkan, konsekuensinya itu kita
mengatur agar dia tidak dalam garis perintah yang sama.

12. Apa dampak positif dan negatif setelah MK menetapkan putusan ?


Jawaban: positifnya lebih meringankan dari sisi dispiut yang banyak diminta
oleh pegawai, negatifnya kita harus ekstra untuk mentritmen untuk pasangan-
pasangan itu.

13. Menurut bapak peraturan mana yang lebih menguntungkan untuk perusahaan
dalam segi profesi ?
Jawaban: Mending tidak usah diizinkan, karena kalo ranahnya perusahaan
berbicara bisnis, karena resikonya besar jadi harus terpisahkan lah mana yang
urusan keluarga mana yang urusan perusahaan, ketika perusahaan bersih dari
“hubungan-hubungan kekeluargaan dan perkawinan jalannya pasti lebih
mulus”.

14. Apa alasannya apabila setuju dan apa alasannya apabila tidak setuju ?
Jawaban: Ya jadi sekarang sudah dimasukan ketentuan dari perseroan sendiri
jadi tanggung jawabnya SDM ada evaluasinya. Jadi setiap ada yang menikah
wajib lapor, dievaluasi lah apakah punya keterikatankah job suami dengan job
istri, kalo ternyata ada selalu dimonitor dipastikan
HASIL WAWANCARA DENGAN MANAGER
TRADE SERVICING CENTER PT. BANK MANDIRI (Perero)
Ibu Korry Sitorus Tanggal 6 September 2018

1. Baik ibu terimakasih sebelumnya, perkenalkan nama sya Yogi Surya,


mahasiswa dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan ibu siapa dan bagian
apa saya berbicara?
Jawaban: Hmm iya, saya Korry Sitorus, Manager Trade Servicing Center

2. Apa alasan perusahaan melarang menikah antar pegawai dalam satu persahaan
?
Jawaban: karena ini dibank dimana ada kerahasiaan dan sebagainya, yang
dikhawatirkan kalau terjadi kemungkinan kecurangan, karena dibank itu kan
segala transaksi harus ada 2 kali pengecekan tapi kalau suami istri itu ada
dalah satu perusahaan apalagi dalam unit yang sama bisa saja mereka kerja
sama dalam melakukan kecurangan

3. Apakah perusahaan tersebut mengethui tentang Undang-undang yang


bertentangan dengan pelarangan perkawinan ?
Jawaban: kalau perusahaan sendiri kurang mengetahui karena dari dulu sudah
menerapkan larangan perkawinan.

4. Bagaimana bunyi pelarangan perkawinan yang terdapat didalam peraturan


perusahaan?
Jawaban: lebih spesifiknya sih tidak ada, tetapi awal bekerja pasti ditanyakan
hal-hal mengenai kekeluargaannya apakah ada ikatan kekeluargaan atau
perkawinan dengan pegawai yang sudah ada, dan dijelaskan tidak
diperbolehkannya memiliki ikatan kekeluargaan dan ikatan perkawinan, hal
tersebut menjadi ketentuan umun oleh para pegawai.

5. Sejauh ini sudah berapa karyawan yang di PHK karena menikah, sebelum
adanya putusan mahkamah konstitusi yang menghapus pelarangan tersbut ?
Jawaban: diunit ini sih baru ada satu tetapi sebelumnya sudah ada diunit2 lain
tetapi perusahaan tidak mencatat secara spesifik.
6. Menurut ibu apakah efektifitas pelarangan perkawinan tersebut untuk
perusahaan?
Jawaban: terus terang buat saya positif ,tetapi terpaksa harus mencari orang
baru dan mengajari semua dari ulang itu dampak negatifnya

7. Dan apa dampak dari adanya larangan perkawinan ?


Jawaban: seperti yang jelaskan tadi, agak rugi apabila pegawai tersebut bagus
dalam bekerja

8. Aapa tanggapan anda tentang diperbolehkannya pernikahan dalam satu


perusahaan ?
Jawaban: sebenernya itu menurut saya bagus ya, jangan sampai karena nikah
satu orang harus keluar, tetapi perusahaan bener-bener harus mengawasi
apakah pasangan suami istri itu dalam unit yang hubungan pekerjaannya
nyambung, kita menghindari yang tadi yah. Dan otomatis pegawai harus
berdsedia dipindah.

9. Apakah perusahaan ini sudah menerapkan dibolehkannya pernikahan sesama


pegawai ?
Jawaban: sudah boleh sejak adanya putusan mahkamah konstitusi.

10. Jika sudah terlaksana, berapa karyawan yang memutuskan untuk menikah
dalam satu perusahaan ini ?
Jawaban: disini baru satu, salah satu saya pindahkan karena berhubungan
pekerjaannya

11. Berdasarkan alasan bapak mengenai larangan perkawinan yang pernah


dijalani, bagaimana dengan keadaan sekarang, apakah masih aman terkendali
tanpa terjadinya hal-hal yang bapak sebutkan tadi ?
Jawaban: sofar masih karena baru satu orang yah, dan kita juga
mengantisipasi begitu ada yang menikah salah satu langsung dipindah.

12. Menurut bapak peraturan mana yang lebih menguntungkan untuk perusahaan
dalam segi profesi ?
Jawaban: dibolehkan sih, karena kita belom liat ada dampak negatifnya ya,
kita juga tidak boleh menghalangi orang yah kalau mau menikah, kita juga
tidak mau menghalangi karirnya orang kalau masih mau bekerja di bank
mandiri.

13. Apakah perusahaan setuju atau sependapat dengan putusan MK?


Jawaban: saya sependapat dengan putusan mahkamah konstitusi, selama itu
tadi yah perusahaan bisa menjaga bahwa suami istri yang bekerja satu
perusahaan tidak berda dalam satu unit yang sama dan tidak berkaitan, dan
pegawainya juga bisa menja.
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERS1lMLS ISLAM NEGERI(UIN)

ulロ
■ ■


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LKUETASSYARIAH DAN HUKUR/1
Telp.(021)74711537
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan ヽ
Vebsite:ww‐ uinjkt.acoid,Email:humas.fs量 2墾 i山・aC.id
Nomor : B- lF.4lTL.00l4l2018 Jakarta, April 2018
Lampiran : -
Hal : Permohonan DataMawancara

Kepada Yth.
Bank Mandiri
di
Tempat

Assalammu'alaikum, Wr. Wb.


Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menerangkan bahwa :
Nama :Yogi Surya
TempaUTanggal : Jakarta,27A/1ei 1 994
NIM : 1113044000054
Semester : 10(Sepuluh)
Program Studi : Hukum Keluarga(Ahwal Syakhshiyyah)
Alamat : JI.Ⅷ ShOllah No.38 Rt.07 Rw.03 Kel.Kelapa Dua Kec.
Kebon Jeruk,Kota Adrninistrasi Jakarta Barat,Dki
Telp/Hp : 085772638034

adalah benar yang bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:

LARANGAN PERKAWINAN ANTAR PEGAWAI DALAM SATU PERITSAHAAN PRA DAN PASCA
PUrusAN MAHKAMAH KoNsflrus'r:{*":^ri,,[i,N:#lii17 DAN aENERAqANNyA Dt pr. pLN

Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerima
yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsi
dimaksud.

Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.


Wa ssalam u' al aiku m, Wr.Wb.
a.n. Dekan
Kepala Bagian Tata Usaha

ruh,M.Pd
Tembusan :
βRFi肥 :::l記 1987101001
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2. Kaprodi/Sekprodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah)
BERITA ACARA
PENELTTIAN/RtSET

Menindaklanjuti Surat Manajer Senior Pengembangan Kepemimpinan dan Pengalolaan Pegawai Kantor Pusat
Nomoe 1571/SDM.04.06/DIWLN/2018 perihal Persetujuan Pelaksanaan Penelitian Mahasiswa tanggal 11Juli
2018, dengan ini disampaikan bahwa pada hari Selasa, tanggal 24 (dua puluh empat ) Juli 2018 di Divisi Human
Capital Management System, Gedung Wisma Adityawarman Lantai 7 Aditiawarman I No.42, RT.6/RW.2,
Melawai, Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus lbukota Jakarta 12160 telah dilaksanakan Wawancara
oleh :

Nama : Yogi Surya


NIM : 1113044000054
Ju rusa n : Hukum Keluarga
Universitas : Universitas lslam Negeri (UlN) Syarid Hidayatullah Jakarta

Kepada

Nama : Giovany
NIP :82082912
Jabatan : Deputi Manajer Perencanaan Kebijakan Human Capital Management System (HCMS)
Divisi : Divisi Human Capital Management System
Direktorat : Human Capital Management

Demikian disampaikan, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.


mandtn
Nomor :DSD.R04/TB.TSC. trt"t' DO\B
Tanggal : 07 september 2018

Kepada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.


Dekan kepala bagian Tata Usaha Trade Servicing Center Jakarta
Sentra Mandiri Building A, 1st Floor
Universitas lslam Negeri (UlN) Syarif Hidayatullah Jakarta il. R.P Soeroso No. 2 - 4
.Jakarra 10330 - lndonesia
Telp. (02 1 ) 23567 453, 23567 454
Fax. (021 ) 39832873, -11 6141 0
www.ba n km a n d iri.co.id

Sesuai surat saudara No. B-26461F.41-fL.001812018 tanggal 31 Agustus 2018 perihal


Permohonan DataAl/awancara a. n

Nama : YogiSurya
Nim : 11 13044000054
Jurusan : Hukum Keluarga
Universitas : Universitas Islam Negeri (UlN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Kami konfirmasikan yang bersangkutan telah melaksanakan wawancara

Demikian kami sampaikan, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya

PT BANK MAND!Rl
Trade Servicing Center

FM 001
DOKUⅣ IENTASI


緻 │

Dengan Manager Trader Service Center Bank Mandiri, Ibu Korry Sitorus

1書

Dengan Deputi Manajer HCMS PT. PLN, Bapak Giovany

Anda mungkin juga menyukai