Anda di halaman 1dari 104

KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2014


TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

(STUDI DI RT 03 RW 06 KELURAHAN JATI PADANG KECAMATAN


PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
ABDUL GHOFUR
NIM : 1113044000077
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H
2020 M
KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2014
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

(STUDI KASUS DI RT 03 RW 06 KELURAHAN JATI PADANG


KECAMATAN PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Abdul Ghofur
NIM : 1113044000077

Pembimbing:

Mu’min Roup, M.Ag


NIP:197004161997031004

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H
2020 M
SI]RAT PERTTYATAAI\i KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Abdul Ghotur

NIM I I 13044000077

Jurusan Hukum Keluarga

Alamat Jl. Jati Padang RT 10 RW 06 No. 75 Kelurahan Jati Padang

Kecamatan Pasar Minggu Jakarta selatan

MEI\TYATAKAII DENGAI\ SEST]NGGUIINYA


Bahwa skripsi yang berjudul Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga
Perspektif llukum Islam Dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak (Studi di RT 03 RW 06 Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar
Minggu Jakarta Selatan) adalah benar hasil karya sendiri di bawatr bimbingan
dosen:

Nama Pembimbing : Mu'min Roup, M.Ag

NIP :197004161997031004.

Jurusan/Program Studi : Hukum Keluarga

Demikian surat pernyataan ini


saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap
menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya
sendiri.

Jakarta, 13 Mei 2020

Yang menyatakan
ABSTRAK

Abdul Ghofur. NIM 1113044000077. Kekerasan Terhadap Anak Dalam


Keluarga Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (Studi di RT 03 RW 06 Kelurahan Jati Padang
Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan). Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2020 M.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor, bentuk-bentuk dan


perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan yang terjadi didalam
keluarga. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus (case studi)
dengan pendekatan normatif sosiologis dan metode penelitian kualitatif. Data yang
digunakan berupa data primer dan sekunder melalui teknik wawancara,
dokumentasi dan triangulasi. Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
pengumpulan data, mereduksi data, menyajikan data dan terakhir menarik
kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor terjadinya kekerasan


terhadap anak itu ada tiga, yaitu: 1. Faktor anak meliputi hubungan yang tidak
harmonis sehingga mempengaruhi watak, anak sulit diatur sikapnya dan anak yang
meminta perhatian khusus. 2. Faktor orang tua meliputi pecandu minuman keras,
menganggur atau pendapatan tidak mencukupi, karakter pribadi yang belum
matang dan adanya kekerasan yang pernah terjadi terhadap orang tua saat masih
kecil yang diturunkan kepada anaknya. 3. Faktor lingkungan sosial meliputi
kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis serta adanya
nilai dalam masyarakat bahwa anak merupakan milik orang tua sendiri.

Kata Kunci: Kekerasan, Anak, Keluarga, Hukum Islam, Perlindungan Anak.

Pembimbing : Mu’min Roup, M.Ag


Daftar Pustaka : 1988 s.d 2019

i
KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama, saya panjatkan puji dan syukur kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, serta kekuatan
dari-Nya saya dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam
saya haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammmad Shallallah ‘Alayhi wa
Sallam, semoga sampai kepada keluarga sertakepada kita selaku umatnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini begitu banyak
hambatan dan kesulitan sehingga tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A, selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Mesraini, S. H., M.Ag, selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Ahmad Chairul Hadi, M. A. Selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Mu’min Rouf M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi, yang selalu
meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing dari awal sampai akhir
pembuatan skripsi.
6. Ibu Rosdiana M.A, selaku Dosen Penasihat Akademik, yang telah meluangkan
waktu, memberikan tenaga dan pikirannya untuk membimbing hingga
selesainya skripsi ini.
7. Orang tua, Ayah H. Mashur S.Ag dan Bunda Hj. Nur Komariah yang selalu
mendukung, memberi motivasi dan mendoakan, serta selalu memberi bantuan
baik moril maupun materil. Karena doa mereka saya dapat menyelesaikan
skripsi ini.
8. Kakak Ahmad Hafidhurrohman, S.Pd, Adik Husnul Khotimah S.Pd dan Nur
Azizah yang selalu menyemangati dari awal hingga akhir pembuatan skripsi.

ii
9. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga kelas C 2013 yang telah
menemani saya dari awal perkuliahan hingga saat ini yang selalu memberikan
dukungan kepada saya.
10. Teman-teman Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan 2013.
Skripsi ini telah disusun secara maksimal. Terlepas dari itu, penulis
menyadari bahwa masih ada kekurangan baik itu dari sistematika penulisan maupun
penggunaan bahasa. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik dan
saran dari semua pihak yang membaca untuk kebaikan di masa mendatang.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga Allah membalas semua
kebaikan kalian. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat diterima dan memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, 13 Mei 2020


Penulis

Abdul Ghofur

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
PERNYATAAN HASIL KARYA ILMIAH
ABSTRAK ................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah....................................................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah...................................................................................................... 4
D. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................................... 5
F. Review Kajian Terdahulu .............................................................................................. 6
G. Metode Penelitian ......................................................................................................... 7
H. Sistematika Penulisan ................................................................................................. 13
BAB II KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN
KONVENSIONAL ................................................................................................... 15
A. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga .............................................. 15
1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Hukum Islam ............................ 16
2. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak ................................................................................................ 21
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga ...................................... 23
1. Kekerasan Secara Fisik ......................................................................................... 23
2. Kekerasan Secara Psikis......................................................................................... 24
3. Kekerasan Secara Seksual ..................................................................................... 24
4. Kekerasan Secara Sosial........................................................................................ 26
C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasaan Terhadap Anak dalam Keluarga
.................................................................................................................................... 27
1. Faktor Kondisi Anak ............................................................................................ 28
2. Faktor Kondisi Orang Tua ................................................................................. 28
3. Faktor Lingkungan Sosial .................................................................................... 28
iv
BAB III GAMBARAN UMUM KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA
DI RT 03 RW 06 KELURAHAN JATI PADANG KECAMATAN PASAR MINGGU
JAKARTA SELATAN ........................................................................................... 30
A. Letak Geografis Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan
..................................................................................................................................... 30
B. Kronologis Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga di Kelurahan Jati Padang
Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan ................................................................... 35
C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Dalam
Keluarga ...................................................................................................................... 38
1. Faktor Kondisi Anak .............................................................................................. 38
2. Faktor Kondisi Orang Tua ...................................................................................... 39
3. Faktor Lingkungan Sosial ...................................................................................... 39
BAB IV ANALISIS KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA .............. 41
A. Problematika Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga ......................................... 41
1. Kekerasan Secara Fisik ......................................................................................... 41
2. Kekerasan Secara Psikis ....................................................................................... 42
3. Kekerasan Secara Seksual .................................................................................... 42
B. Respon Masyarakat dan Keluarga Mengenai Kekerasan Yang Terjadi Pada Anak di
Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan
.................................................................................................................................... 43
C. Kondisi Anak Akibat Kekerasan dalam Keluarga ...................................................... 55
1. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Fisik ...................................................... 55
2. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Psikis .................................................... 56
3. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Seksual .................................................. 57
4. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Sosial .................................................... 58
D. Solusi-Solusi Memecahkan Masalah Kekerasan yang Terjadi dalam Keluarga ........ 59
E. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Menurut Hukum Islam ................................... 61
F. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014.63
G. Terbentuknya Konvensi Hak Anak ............................................................................. 66
H. Pelaksanaan Konvensi di Indonesia ............................................................................ 67
I. Upaya Pencegahan Kasus Kekerasan Anak ................................................................ 68
J. Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 ............................................................................................................................ 69

v
BAB V PENUTUP ................................................................................................................. 73
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 73
B. Saran ........................................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami
istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya,
atau keluarga sedarah dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai dengan
derajat ketiga.1 Struktur keluarga yang ideal adalah keluarga yang di dalamnya
terdiri atas suami sebagai kepala rumah tangga, istri sebagai ibu rumah tangga
dan anak-anak sebagai anggota keluarga. Kehadiran seorang atau beberapa anak
di tengah-tengah keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam tujuan
suatu perkawinan yang ingin membentuk rumah tangga dalam keluarga
bahagia. Dengan hadirnya anak, maka suasana keluarga dalam rumah tangga
terasa senang dan bahagia yang dapat menambah semangat kerja dan
membangun keluarga.
Seorang anak memiliki peranan yang sangat penting dalam sebuah
kehidupan rumah tangga, karena tujuan melangsungkan perkawinan selain
untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan sejahtera juga untuk
mempersatukan keluarga dan meneruskan keturunan, sehingga tidak heran jika
banyak pasangan suami istri yang baru melangsungkan perkawinan begitu
menginginkan kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangganya,
karena selain anak akan menjadi penerus keturunan bagi orang tuanya juga akan
membuktikan kesempurnaan ikatan cinta dan kasih sayang diantara mereka.
Keluarga merupakan salah satu institusi yang tidak bisa dipisahkan dari ruh
keberagaman yang bertanggung jawab atas perkembangan kepribadian anak,
karena keluarga merupakan peletak fondasi kehidupan yang cukup mendasar
dalam perjalanan hidup manusia. Selain itu anak merupakan amanah dari Allah,
tidak semua pasangan yang menempuh suatu pernikahan dikaruniai anak.
Hanya keluarga yang dikehendaki oleh Allah yang akan dititipi anak. Oleh

1
Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 3.

1
2

karena itu suatu hari kelak tanggung jawab orang tua akan diperhitungkan oleh
Allah. Anak yang terlahir suci akan menjadi menyimpang jika orang tuanya
tidak menjaga fitrahnya.2
Begitu besar peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya, hingga di
tangan orang tualah seorang anak akan menjadi baik atau sebaliknya. Orang tua
yang tidak mendidik anaknya dengan benar akan melahirkan anak yang tidak
bermoral. Hal ini menyebabkan anak terdzolimi secara fisik dan mental
sehingga seringkali menyebabkan kegersangan iman dibatinnya.3 Selain itu
dasarnya semua agama menolak kekerasaan sebagai prinsip dalam melakukan
suatu tindakan, karena kekerasaan merupakan tindakan yang bersifat amoral
yang menghendaki pemaksaan terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran
terhadap asas kebebasan dalam interaksi sosial.4
Kekerasan dalam keluarga merupakan siksaan emosional, fisik dan seksual
yang dilakukan secara sadar, sengaja, atau kasar dan diarahan kepada anggota
keluarga atau rumah tangga. Kekerasaan emosional atau kekerasan verbal,
misalnya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan
memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak,
termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut didengar oleh anak. Adapun
kekerasan fisik, bisa meliputi pemukulan dengan benda tumpul maupun benda
keras, menendang, menampar, menjewer, menyundut dengan api rokok dan
menempelkan setrika pada tubuh serta membenturkan kepala anak ke tembok.
Sementara itu, kekerasan seksual bisa dilakukan dalam bentuk perkosaan,
pemaksaan seksual, pelecehan seksual dan incest (hubungan seksual yang
terjadi di antara anggota kerabat dekat atau keluarga).5

2
Maisaroh. “Kekerasan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Perspektif Hukum Pidana
Islam”, Vol. 2 No. 2 Mei 2013, h. 261.
3
Maisaroh. “Kekerasan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Perspektif Hukum Pidana
Islam”, h. 262.
4
Maisaroh. “Kekerasan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Perspektif Hukum Pidana
Islam”, h. 263.
5
Abu Huraerah, “Kekerasan Terhadap Anak”, Cet-1 edisi IV, (Bandung: Nuansa
Cendekia, 2018), h. 66-67.
3

Sejak dahulu hingga saat ini terjadi fenomena yang mengerikan, kita sering
melihat tindak kekerasan fisik menimpah anak-anak dalam berbagai bentuk.
Dari pembuangan bayi sampai pembunuhan dengan cara mencekik atau
mengubur hidup-hidup. Hampir setiap hari berbagai kejadian kekerasan
menjadi lembaran berita koran maupun televisi. Budaya jahiliyah mulai hidup
ditengah-tengah kehidupan modern, dengan latar belakang yang berbeda. Tidak
jarang terjadi, anak-anak menjadi sasaran pemerkosaan. Lebih bejat lagi
kekerasan sampai kepada pemerkosaan justru dilakukan oleh orang tua kandung
sendiri. Sesuangguhnya kekerasan terhadap anak sangat tidak sesuai dengan
budaya kita yang berlandaskan Islam yang menyebar kasih sayang.6
Merujuk laporan yang di terima Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), masih banyak “predator” kekerasan seksual yang berkeliaran disekitar
anak-anak. Seperti yang diketahui, di periode bulan januari sampai agustus
2019, KPAI mencatat ada 124 kasus kekerasan terhadap anak di Jakarta. Dalam
laporan itu, rumah, sekolah, ruang publik bahkan boarding school maupun
panti-panti menjadi tempat para predator. Sementara itu, komisioner komisi
perlindungan anak DKI Jakarta Retno listyartie mengatakan, wilayah DKI
Jakarta juga tercatat sebagai daerah tertinggi dalam angka pelanggaran hak anak
bidang pendidikan. Sehingga kekerasan anak di DKI Jakarta patut menjadi
pengawasan serius pemerintah daerah. Karena dari 37 kasus pelanggaran,
sembilan kasus diantaranya terjadi di dunia pendidikan.7
Secara umum di kota Jakarta ada sekitar 650 anak yang terkena kekerasan,
sedangkan di Jakarta Selatan ada sekitar 202 anak yang terkena kekerasan sejak
Januari–Desember 2019.8 Peneliti menemukan ada 8 anak mengalami
kekerasan secara seksual yang terjadi di kawasan RT 03 RW 06 kelurahan Jati

6
Purnama Rozak. “Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum
Islam”, Vol. 9 No.1 oktober 2013, h. 46
7
Darul fatah,“Jakarta Darurat Kekerasan Anak”, https://indopos.co.id /read/ 2019/ 09/
13/194151/ jakarta-darurat-kekerasan-anak (diakses pada jum’at, 13 september 2019, pukul 22:19).
8
Dokumentasi Suku Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak Dan Pengendalian
Penduduk (PPAPP) Jakarta Selatan.
4

Padang kecamatan Pasar Minggu.9 Terjadi kekerasan terhadap anak secara fisik
atau psikis umumnya disebabkan oleh tingkah laku anak yang tidak disukai oleh
orang tuanya, seperti anak yang nakal atau rewel, menangis terus menerus dan
meminta jajan. Adapun secara psikis seperti penyampaian kata-kata yang tidak
baik oleh orang tua kepada anak.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik dan menganggap


perlu untuk melakukan penelitian atas hal tersebut dengan judul penelitian
skripsi “Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Perspektif Hukum Islam
Dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” (Studi Kasus di
RT 03 RW 06 Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta
Selatan).

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada beberapa masalah yang
dapat di identifikasi sebagai berikut:
1. Masih adanya kekerasan terhadap anak yang terjadi di dalam keluarga.
2. Hukum Islam dan konvensional terhadap kekerasan terhadap anak dalam
keluarga.
3. Sanksi pidana kekerasan terhadap anak dalam keluarga.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dibutuhkan pembatasan masalah agar
pembahasan yang dibahas tidak melampaui batas. Adapun pembatasan masalah
pada penelitian ini yaitu penelitian ini dilakukan di kawasan RT 03 RW 06
kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Waktu
pelaksanaan penelitian ini dimulai sejak bulan November 2019 sampai dengan
bulan Maret 2020. Pada penelitian ini peneliti mengambil objek dikawasan RT
03 RW 06 kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar minggu karena kawasan ini
merupakan kawasan yang memiliki jumlah kepala keluarga terbanyak

9
Hasil Wawancara dengan ibu Eva Hamidah selaku sekertaris pemberdayaan kesejahteraan
keluarga (PKK) pada hari Rabu tanggal 13 November 2019 pukul 16:00 WIB.
5

dibandingkan RT lain di kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu dan


termasuk kawasan yang paling banyak terjadinya kekerasan terhadap anak.
D. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah yaitu:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap
anak dalam keluarga di RT 03 RW 06 kelurahan Jati Padang kecamatan
Pasar Minggu Jakarta Selatan?
2. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak dalam
keluarga di kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu Jakarta
Selatan?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam
keluarga menurut hukum Islam dan Undang-Undang no. 35 tahun 2014
tentang perubahan atas Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat penelitian skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan


terhadap anak dalam keluarga di kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar
Minggu Jakarta Selatan.

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak


dalam keluarga di kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu Jakarta
Selatan.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan
dalam keluarga menurut hukum Islam dan Undang-Undang no. 35 tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
6

F. Review Kajian terdahulu


Sebelum peneliti melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti
membaca dan mengkaji literatur-literatur yang berkaitan dengan variabel-
variabel penelitian tersebut antara lain:
1. Skripsi yang berjudul “Penetapan Hak Hadhonah Anak Yang Belum
Mumyiz Kepada Ayah (Analisis Putusan Pengadilan Agama Purwokerto
Nomor: 0295/Pdt.G/2015/PA.Pwt)” yang ditulis oleh anggun retno wardani
(2016). Dalam skripsi ini membahas terkait tinjauan Islam terhadap Putusan
pengadilan Agama purwokerto nomor 0295/Pdt.G/2015/PA.Pwt) tentang
hak hadhonah anak yang belum mumayiz yang jatuh kepada ayah. Sehingga
dalam skripsi ini hanya fokus pada putusan pengadilan Agama Purwokerto
nomor: 0295/Pdt.G/2015/PA.Pwt).10
2. Skripsi yang berjudul “Analisis Maslaha Terhadap Tanggung Jawab Orang
Tua Dalam Perlindungan Anak Terlantar Dari Hasil Nikah Siri (Studi Kasus
Di Desa/Kelurahan Bongkaran Kecamatan Pabean Cantian Kota Surabaya)”
yang di tulis oleh Lusi Ratnasari (2017). Dalam Skripsi ini lebih fokus pada
penerapan perlindungan anak yang terlantar akibat nikah sirih yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga banyak orang tua di Desa
Bongkaran Kecamatan Pabean Cantian kota surabaya yang lalai terhadap
tanggung jawabnya.11
3. Skripsi yang berjudul “kewajiban negara terhadap anak-anak jalanan yang
masih memiliki orang tua yang tinggal di rumah singgah dihubungkan
dengan undang-undang nomor 23 tahun 2002 dan undang-undang nomor 4
tahun 1979 tentang kesejahteraan anak” yang di buat oleh Maya S
Tunggagini, fakultas hukum universitas padjajaran (2013). Dalam skripsi
ini bertujuan mengetahui peran atau kewajiban negara terhadap anak-anak
jalanan yang masih memiliki orang tua yang tinggal di rumah singgah

10
Anggun Retno Wardani. “Penetapan Hak Hadhonah Anak Yang Belum Mumayiz Kepada
Ayah (Analisis Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor: 0295/Pdt.G/2015/PA.Pwt)” Skripsi
IAIN Purwokerto, Purwokerto, 2016).
11
Lusi Ratnasari, “Analisis Maslaha terhadap tanggung jawab orang tua dalam
perlindungan anak terlantar dari hasil nikah siri (studi kasus di desa/kelurahan bongkaran
kecamatan pabean cantian kota surabaya)” (skripsi-UIN Sunan Ampel, surabaya, 2017).
7

dengan cara mengkaji undang-undang nomor 23 tahun 2002 di hubungkan


dengan undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.12

Berdasarkan review kajian di atas dapat diketahui bahwa persamaan


penelitian tersebut dengan yang akan dilakukan adalah membahas tentang anak.
Sedangkan perbedaannya adalah lokasi penelitian, persepektif dalam penelitian
dan hanya menfokuskan permasalahan yang terjadi pada kekerasan terhadap
anak dalam keluarga perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak” (Studi di RT 03 RW 06 Kelurahan Jati Padang
Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan).

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan dengan


menggunakan normatif sosiologis. penelitian hukum normatif sering disebut
studi hukum dalam buku sedangkan penelitian sosiologis disebut studi hukum
dalam aksi/tindakan. Disebut demikian karena penelitian menyangkut
hubungan timbal balik antara hukum dan lembaga-lembaga sosial lain, jadi
merupakan studi sosial yang non-doktrinal dan bersifat empiris, artinya
berdasarkan data di lapangan.13

Perbedaan penelitian hukum yang normatif dan sosiologis terletak pada


pendekatan atau desainnya. Penelitian hukum yang normatif menekankan
pada langka-langka spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Sebaliknya, penelitian hukum yang sosiologis memberikan arti penting pada

12
Maya S Tunggagini, “kewajiban negara terhadap anak-anak jalanan yang masih
memiliki orang tua yang tinggal di rumah singgah di hubungkan dengan undang-undang no. 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak dan undang-undang no. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak”. (skripsi fakultas hukum universitas padjajaran, 2013).
13
Johannes Supranto,”Metode Penelitian Hukum dan Statistik”.Cet. 1 (Jakarta: Penerbit
Rinek Cipta, 2003), hal. 2.
8

langka-langka observasi dan analisis yang bersifat empiris-kuantitatif, maka


sering disebut legal research.14

2. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian studi kasus


(case studi). Studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian
yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan
personalitas.15 Tujuan dari studi kasus adalah untuk memberikan gambaran
secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter
yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-
sifat khas di atas akan jadikan suatu hal yang bersifat umum.16

3. Sumber data

Peneliti menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber primer


adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul
data.17 Adapun data primer ini merupakan hasil wawancara dengan korban,
orang tua dan masyarakat yang terdiri atas tetangga, ketua Rukun Warga
(RW), ketua Rukun Tetangga (RT), ketua atau anggota Suku Dinas
Perberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) kota
Jakarta Selatan, ketua atau Sekertaris Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK), warga RT 003 RW 006 kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar
Minggu. Adapun sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data.18 Data ini berfungsi sebagai
sumber data pelengkap dan pendukung dari data primer. Data sekunder ini
didapat dari beberapa sumber yang terkait informasi tentang penelitian ini,
seperti Al-Qur’an dan hadits, undang-undang tentang perlindungan anak,

14
Johannes Supranto,”Metode Penelitian Hukum dan Statistik”, hal. 3.
15
Mohammad Nazir, Metode Penelitian. Cet Ke 3. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988. h. 66.
16
Mohammad Nazir, Metode Penelitian, h. 67.
17
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Cet Ke-21
Bandung Penerbit Alfabeta. 2014. h. 225.
18
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 225.
9

Jurnal, media online dan masyarakat yang mengetahui data-data yang


dibutuhkan.

4. Metode dan teknik pengumpulan data

Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah kualitatif. Metode


penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandasan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
(sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Teknik pengumpulan data merupakan langka yang paling strategis dalam


penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.19
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah Interview
(wawancara), dokumentasi dan Triangulasi (gabungan).20

a. Interview (wawancara)
Interview (wawancara) adalah pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara
dilakukan bersama ibu Fatimah selaku RT 03 Rw 06 kelurahan Jati
Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta selatan, ketua atau
sekertaris Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), warga RT
003 RW 006 kelurahan Jati padang kecamatan Pasar Minggu.
b. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.21
Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumentasi yang didapat pada

19
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 224.
20
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 225.
21
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 240.
10

penelitian ini adalah berkas-berkas dari kelurahan dan PPAPP serta


foto-foto kegiatan penelitian.
c. Triangulasi
Triangulasi di artikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber
data yang telah ada.22 Proses triangulasi sumber, peneliti berusaha
mewawancarai lebih dari satu orang di RT 003 RW 006 kelurahan Jati
padang kecamatan Pasar Minggu, yakni ibu Fatimah selaku RT 03 Rw
06 kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta selatan,
ketua atau sekertaris Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK),
warga RT 003 RW 006 kelurahan Jati padang kecamatan Pasar
Minggu. Mengumpulkan data-data yang di butuhkan dari kelurahan
Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu dan PPAPP Jakarta selatan,
seperti data geografi lokasi penelitian, data jumlah penduduk, dan data
jumlah kekerasan terhadap anak yang terjadi. Pada saat triangulasi,
peneliti berusaha menggali informasi dengan pertanyaan-
pertanyaanyang berbeda namun dengan maksud yang sama, dengan
tujuan memperoleh ke akuratan data.
5. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah orang yang diminta untuk memberikan
keterangan suatu fakta atau pendapat. Adapun subjek dalam penelitian ini
adalah korban kekerasan, ketua Rukun Warga (RW), ketua Rukun Tetangga
(RT), ketua atau sekertaris Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK),
warga RT 003 RW 006 kelurahan Jati padang kecamatan Pasar Minggu.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam katagori,
menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam

22
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 241.
11

pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat
kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.23
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai di lapangan.
Dalam hali ini Nasution menyatakan “Analisis telah mulai sejak
merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan
berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi
pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin, teori
yang“grounded”.24 Namun dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih
difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan
data.
1. Analisis sebelum di lapangan
Analisis sebelum di lapangan atau bisa juga disebut studi
pendahuluan ini dilakukan dengan berkunjung ke RT 03 RW 06
kelurhan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan untuk
melihat kondisi sosial disana, lalu membaca hasil penelitian yang telah
dilakukan, bertujuan untuk menentukan fokus penelitian agar tidak
terjadi kesamaan pada hasil penelitian yang di peroleh. Kemudian,
peneliti mencari kajian teori yang digunakan sebagai landasan berpikir,
karena penelitian kualitatif juga bertujuan untuk mengembangkan teori
yang telah di temukan. Namun demikian fokus penelitian ini masih
bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan
selama di lapangan.25
2. Analisis data di lapangan
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data
dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan
analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang

23
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 244.
24
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 245.
25
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 245.
12

diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti


akan melanjutkan pertanyaannya lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh
data yang dianggap kredibel. Miles and Huberman mengemukakan
bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data
display dan conclusion drawing/verification. 26
a. Data Reduction
Setelah memperoleh data di lapangan dilakukan analisis
data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema dan polanya.27 Dikarenakan data yang
didapat dilapangan cukup banyak, maka peneliti menggunakan
alat bantu untuk menyimpan atau pun mencatat data yang
didapatkan selama penelitian. Pada saat wawancara, peneliti
menggunakan ponsel untuk merekam data hasil wawancara lalu
mencatat garis-garis besar atau kesimpulan yang menyeluruh
dari data yang diperoleh.
b. Data display
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori,
flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles dan Huberman
menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan
data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat
naratif.28 Sebelum melakukan pembahasan penelitian, peneliti
mencoba menjabarkan data hasil wawancara dengan teks naratif,
agar lebih mudah dipahami dan dikaitkan dengan teori yang
dijadikan landasan berpikir. Penyajian data dalam penelitian

26
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 246.
27
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 247.
28
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 249.
13

kualitatif ini dilakukan dengan membuat uraian singkat dan


sebaginya, karena penelitian kualitatif ini menggambarkan
kejadian alamiah atau pun kejadian yang sebenarnya terjadi pada
objek penelitian.
c. Conclusion drawing/verification
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah temuan baru
yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa
deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih
remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi
jelas.29 Kesimpulan dalam penelitian ini merupakan gambaran
umum yang didapat dari penelitian yang telah dilakukan, sebuah
temuan baru yang menjawab rumusan masalah yang telah
diuraikan..

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami apa yang ada di dalam skripsi ini,
maka sistematikanya dapat dibagi menjadi lima bab, yang masing-masing bab
terdiri dari sub-sub yang satu sama lainnya saling berkaitan, sehingga terperinci
sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang penguraikan tentang latar


belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode
penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, menjelaskan teori yang digunakan untuk menganalisis dan


menginterpretasi data penelitian, yaitu: pengertian kekerasan terhadap anak
dalam keluarga, bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam keluarga dan
faktor-faktor penyebab timbulnya kekerasaan terhadap anak dalam keluarga.

29
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, h. 253
14

Bab ketiga, penulis mendeskripsikan tentang gambaran umum kekerasan


terhadap anak dalam keluarga di RT 03 RW 06 kelurahan Jati Padang
kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan, di antaranya yaitu: letak goegrafis
kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu, kronologis kekerasan terhadap
anak dalam keluarga di kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu dan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak dalam
keluarga.

Bab keempat, berisi tentang analisis kekerasan terhadap anak dalam


keluarga. Bab ini menjelaskan tentang problematika kekerasan terhadap anak
dalam keluarga, respon masyarakat dan keluarga mengenai kekerasan yang
terjadi pada anak di kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu Jakarta
Selatan, kondisi anak akibat kekerasan dalam keluarga, solusi-solusi
memecahkan masalah kekerasan yang terjadi dalam keluarga, perlindungan
hukum terhadap anak menurut hukum Islam, perlindugan hukum terhadap anak
menurut undang-undang no. 35 tahun 2014, terbentuknya konvensi hak anak,
pelaksanaan konvensi di Indonesia, upaya pencegahan kasus kekerasan anak
dan sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap anak menurut undang-undang no. 35
tahun 2014.

Bab kelima, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran, kesimpulan yang


akan menjawab pokok-pokok permasalahan yang terdapat dalam rumusan
masalah dan berisi tentang saran-saran yang menjadi agenda pembahasan yang
lebih lanjut dimasa yang akan datang.
BAB II

KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM ISLAM


DAN KONVENSIONAL

A. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak


Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian
atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami
individu maupun kelompok. Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Article
From Encarta, mengartikan child abuse sebagai “intentional acts that
result in physical or emotional harm to childern. The term child abuse
covers a wide range of behavior, from actual physical assault by parents or
other adult caretakers to neglect at a child’s basic needs (kekerasan
terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulan kerugian atau
bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child
abuse meliputi berbagai macam tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik
secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada
penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak).1
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak dapat didefinisikan sebagai
peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan
oleh orang–orang yang memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan
anak, yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman
terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.2 Sedangkan Henry Kempe
menyebut kasus kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak –
anak dengan istilah Batered Child Syndrome yaitu: “setiap keadaan yang
disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh
orang tua atau pengasuh lain”. Di sini yang diartikan sebagai tindak
kekerasan terhadap anak tidak hanya luka berat saja, tetapi termasuk juga

1
Abu Huraerah, “Kekerasan Terhadap Anak”, Cet-1 edisi IV, (Bandung: Nuansa
Cendekia, 2018), h. 46.
2
Bagong Suyanto, “Masalah Sosial Anak”, Cet-3, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 28.

15
16

luka memar atau membengkak sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk
berkembang baik secara fisik maupun intelektualnya.3
1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Hukum Islam
Hukum Islam salah satu norma yang dianut oleh masyarakat di
Indonesia perlu diintensifkan untuk dijadikan salah satu piranti oleh
negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak dari bentuk-
bentuk kekerasan dan tindak eksploitasi. Sebab, di dalam norma hukum
Islam terdapat nilai transendental yang hakiki dan memiliki keunggulan
dan kelebihan tersendiri. Hal ini menyebabkan para penganutnya lebih
yakin jika ajaran agama dipahami dengan baik, maka akan muncul jika
agama tidak menghendaki terjadinya eksploitasi sesama manusia.4
Islam dalam kontek kekinian lebih dikenal dengan sebutan Islamic
law-pada dasarnya berisikan perintah-perintah suci dari Allah SWT
bertujuan untuk mengatur aspek kehidupan setiap muslim dan meliputi
materi-materi hukum secara murni serta materi-materi spiritual
keagamaan.5 Hukum Islam memiliki kontribusi yang sangat urgen
dalam rangka menciptakan dan melaksanakan pembangunan manusia
seutuhnya, yakni baik pembangunan dunia maupun pembangunan
akhirat-di bidang materil, maupun di bidang mental-spiritual. Di sinilah
terlihat jika ruang lingkup hukum Islam tidak ter-margin atau terbatas
pada pemeluk dan penganutnya saja, akan tetapi mengakomodir setiap
hak asasi manusia. Artinya, hukum Islam tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia
dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda dan antara manusia dengan lingkungan
hidupnya. Hal tersebut juga telah ditegaskan di dalam Alquran sebagai

Bagong Suyanto, “Masalah Sosial Anak”, h. 27.


3

Siti Nurjanah, “Jurnal Keberpihakan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Anak”, Vol.
4

14, No. 2, 2017, h.421.


5
Siti Nurjanah, “Jurnal Keberpihakan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Anak”, h.
392-393.
17

dasar hukum Islam yang utama, banyak memuat ayat-ayat yang


berkaitan dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan
pelanggaran hak asasi manusia.6
Kekerasan dalam hukum Islam bisa disebut juga dengan tindak
pidana atas selain jiwa. Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain
jiwa, seperti dikemukakan Abdul Qadir Audah adalah setiap perbuatan
menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai
menghilangkan nyawanya. Pengertian ini juga sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain
jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik
berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan,
sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.7
Dalam Hukum Islam tindakan kekerasan terhadap anak
merupakan pelanggaran atas nilai-nilai ajaran agama. Hak seorang anak
benar-benar dilindungi mulai dari dalam kandungan sampai berusia 18
tahun atau sampai menikah. Tetapi di sini masih ada toleransi sedikit
“kekerasan” yang boleh dilakukan selama hal itu tidak mempengaruhi
terhadap perkembangan fisik dan mental sebagai sarana pendidikan
terhadap anak. Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan khusus dari
kekerasan fisik, psikis dan seksual.8
Pencederaan atau kekerasan adalah perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk melukai atau

Siti Nurjanah, “Jurnal Keberpihakan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Anak”, h.


6

395.
Ahmad Wardi Muslich, “Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 179.
7
8
Syukron Mahbub, “Kekerasan Terhadap Anak Perspektif HAM dan Hukum Islam Serta
Upaya Perlindungannya”, Jurnal Studi Keislaman, Vol. 1, No 2, Desember 2015, h. 223.
18

mencederai orang lain.9 Menurut para fukaha, tindak pidana atas selain
jiwa (penganiayaan) adalah setiap perbuatan menyakitkan yang
mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian. Ini
adalah pendapat yang sangat teliti dan mampu memuat setiap bentuk
melawan hukum dan kejahatan yang bisa digambarkan, sehingga masuk
di dalamnya seperti melukai, memukul, mendorong, menarik, memeras,
menekan, memotong rambut dan mencabutnya, dan lain-lain.10
Dalam hukum Islam, tindak kekerasan fisik termasuk perbuatan
jarimah, yaitu perbuatan yang melanggar hukum di mana pelakunya
mendapat sanksi atau hukuman. Kekerasan yang dilakukan orang tua
ini selain berimplikasi pada diberlakukannya hukum qisas atas orang
tua, orang tua juga bisa dicabut kekuasaannya karena telah melalaikan
tanggung jawabnya sebagai orang tua yang seharusnya mendidik,
menjaga dan memeliharanya dari hal-hal yang dapat membahayakan
keselamatan jiwanya. Selain itu dasarnya semua agama menolak
kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan, karena
kekerasan merupakan tindakan yang bersifat amoral yang menghendaki
pemaksaan terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran terhadap asas
kebebasan dalam interaksi sosial.11

Seperti firman Allah dalam surat Al-Qasas ayat 77 yang berbunyi:

ِ ‫ب ا ْل ُم ْف‬
َ‫س ِدين‬ ُّ ‫َّللاَ ََل يُ ِح‬ ِ ‫سا َد فِي ْاْلَ ْر‬
َّ َّ‫ض ۖ إِن‬ َ َ‫َو ََل تَب ِْغ ا ْلف‬
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”.
Ayat ini memberikan pemahaman bahwa manusia dilarang
membuat kerusakan di bumi ini. Kerusakan adalah segala sesuatu yang

9
Zainudin Ali, “Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 33.
10
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam IV, (Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008), h. 19.
11
Misaroh, “Kekeraasan Orang Tua dalam Mendidik Anak Perspektif Hukum Pidana
Islam”, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 2, No. 2, Mei 2013, h. 263.
19

dapat membuat kerugian bagi pihak lain, sehingga Allah sangat


membenci para pelaku kerusakan. Tindakan perusakan ini sendiri dapat
menimpa apa saja dan siapa saja dan dalam bentuk apapun juga, seperti
pembunuhan, penganiayaan dan perbuatan keji lainnya. Oleh sebab itu,
keseriusan syariat Islam terhadap perlindungan anak adalah mutlak,
tidak ada keraguan didalamnya dan mampu menjadi pelopor
keberlangsungan hak asasi manusia di dunia.
Perlu dikemukakan di sini bahwa perhatian syariat Islam terhadap
perlindungan anak sudah dimulai sejak kurang lebih 1398 tahun yang
lalu. Islam selalu memelihara kepentingan anak bukan hanya setelah
lahir, melainkan semenjak ia masih berada dalam kandungan. Islam
secara khusus telah menggariskan hak-hak yang harus diberikan pada
anak. Dalam Alquran surat al-Balad ayat 1, 2, dan 3:
٣ٓ‫ٓ َو َوا ِل ٓدٓ َّو َمٓآ َولَ َٓد‬٢ٓ‫ٓ َواَ ْنتَٓٓ ِحلٓٓ ِبهٰ َذآ ْال َبلَ ِٓد‬١ٓ‫لٓا ُ ْق ِس ُٓمٓ ِبهٰ َذآ ْال َبلَ ِٓد‬
ٓ‫َا‬
"Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah). Dan kamu
(Muhammad) bertempat di kota Mekah ini. Dan demi bapak dan
anaknya." (Q.S. al-Balad:1-3).
Dalam ayat di atas Allah Swt telah bersumpah dengan anak sebagai
bukti kecintaan Tuhan terhadap anak. Pelajaran yang diberitahu oleh
Allah Swt melalui sumpah-Nya, bahwa Allah Swt memenuhi janji -Nya
untuk penaklukan kota Mekkah dari tangan kafir Quraiys,
menyelamatkan manusia dan juga anak-anak.12
Hukum Islam melarang semua bentuk kekerasan fisik terhadap
anak, akan tetapi dalam permasalahan tertentu dan dalam aturan
tertentu diperbolehkan menggunakan tindakan ta’dib (pengajaran)
demi kemaslahatan anak untuk masa depan. Terdapat dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud Rasulullah menyampaikan:

12
Taufik Hidayat, “Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap
Anak”, Jurnal Ilmiah Syariah, Vol 15, No. 2, 2016, h.116.
20

‫عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫مروا أوالدكم با لصالة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر‬
)‫سنين وفرقوا بينهم في المضاجع (روه ابو دود‬
“Dari ‘Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata:
Rasulullah SAW telah bersabda: “Suruhlah anak kalian shalat sejak usia
7 tahun dan pukullah ia apabila meninggalkan shalat bila telah berusia
10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara laki-laki dan
perempuan) masing-masing”. (H.R. Abu Dawud).
Syekh Jalaludin al-Mahali menyampaikan, apabila anak telah
berumur 7 tahun maka orang tua sudah boleh memerintahkan anaknya
shalat dan dipukul apabila ia berumur 10 tahun (apabila
meninggalkannya). Memukul adalah kewajiban bagi para wali (ayah
atau kakek atau orang yang telah diberi wasiat atau penanggung jawab).
Shalat merupakan kewajiban yang telah menjadi beban taklif bagi
manusia yang telah dewasa (akil baligh), usia itu penulis perkirakan
umur 10 tahun sesuai dengan Hadis, karena tidak mungkin hukum
diterapkan pada anak yang belum dewasa.13 hukum pidana Islam
membenarkan pengajaran walaupun dalam bentuk pemukulan asalkan
tidak dalam konteks penganiayaan yang berakibat kesengsaraan atau
penderitaan bagi anak. Akan tetapi jika terlepas dari ketentuan yang
telah diuraikan di atas maka kekerasan tersebut termasuk tindak pidana
penganiayaan dalam hukum pidana Islam.14
Dalam pidana hukum Islam, tindak pidana kekerasan fisik terhadap
anak ini bisa tergolong pada tindak pidana penganiayaan karena
mengakibatkan kerusakan bagi tubuh anak juga bisa tergolong tindak
pidana pembunuhan jika kekerasan tersebut mengakibatkan hilangnya
nyawa anak. Menurut para fuqaha tindak pidana penganiayaan adalah

13
Taufik Hidayat, “Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap
Anak”, Jurnal Ilmiah Syariah, Vol 15, No. 2, 2016, h. 120-121.
14
Taufik Hidayat, “Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap
Anak”, h. 122.
21

setiap perbuatan yang menyakitkan mengenai badan seseorang namun


tidak mengakibatkan kematian. Ini pendapat yang sangat teliti dan
mampu memuat setiap bentuk melawan hukum dan kejahatan yang bisa
digambarkan, sehingga masuk di dalamnya: melukai, memukul,
mendorong, menarik, memeras, menekan, memotong rambut,
mencabut rambut dan lain-lain.15
Tindak pidana penganiayaan ini terbagi menjadi tindak pidana
penganiayaan sengaja dan tidak sengaja. Penganiayaan sengaja adalah
perbuatan yang dilakukan pelaku secara sengaja dengan maksud
melawan hukum. Misalnya: seorang guru yang memukul muridnya
dengan tujuan menganiaya muridnya. Adapun tindak pidana
penganiayaan yang tidak sengaja yaitu perbuatan yang dilakukan
pelaku tanpa ada niat untuk melawan hukum. Misalnya: seorang
melempar batu tanpa ia sadari batu tersebut mengenai anak kecil. 16
2. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang
No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual
dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasaan kemerdekaan secara melawan hukum.17
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.18 Keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya atau keluarga

15
Taufik Hidayat, “Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap
Anak”, h. 123-124.
16
Taufik Hidayat, “Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap
Anak”, h. 124.
17
Pasal 15a Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undng-Undang
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 5.
18
Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undng-Undang
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 3.
22

sedarah dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai dengan derajat
ketiga.19 Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung atau ayah dan/atau
ibu tiri atau ayah dan/atau ibu angkat.20 Wali adalah orang atau badan
yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang
tua terhadap anak.21
Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.22 Anak angkat
adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.23 Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh
seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan,
perawatan, pendidikan dan kesehatan karena orang tuanya atau salah
satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara
wajar.24 Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh,
mendidik, memelihara, membina, melindungi dan menumbuh
kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai
dengan kemampuan, bakat serta minatnya.25

Dari keterangan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa kekerasan


terhadap anak adalah perbuatan menyakiti badan anak tetapi tidak

19
Pasal 1 (3) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 3.
20
Pasal 1 (4) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 3.
21
Pasal 1 (5) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 3.
22
Pasal 1 (6) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 3.
23
Pasal 1 (9) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 4.
24
Pasal 1 (10) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 4.
25
Pasal 1 (11) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 4.
23

sampai menimbulkan kematian. Kekerasan yang terjadi terhadap anak


seperti memukul, mencambak rambut, menyulut benda panas,
mendorong, menarik dan kekerasan lainnya.

B. Bentuk- Bentuk Kekerasan Terhadap Anak


Terry E. Lawson, psikiater anak yang dikutip rakhmat dalam baihaqi
mengklarifikasikan kekerasan terhadap anak (child abuse) menjadi empat
bentuk, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual
abuse. Sementara itu, Suharto mengelompokkan child abuse menjadi:
physical abuse (kekerasan secara fisik), psychological abuse (kekerasan
secara psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social
abuse (kekerasan secara sosial).26 Keempat bentuk child abuse ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Kekerasan Secara Fisik
Kekerasan anak secara fisik, yaitu penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-
benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada
anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan
atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat
pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas
atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Terjadinya kekerasan
terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang
tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis
terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang tempat,
memecahkan barang berharga.27 Kekerasan fisik seperti berupa
tamparan, pemukulan berlebihan dan sebagainya, yang biasanya
dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, akibat dari
kekerasan ini anak sering mengalami trauma ketakutan yang selalu

26
Abu Huraerah, “Kekerasan Terhadap Anak”, Cet-1 edisi IV, (Bandung: Nuansa
Cendekia, 2018), h. 49.
27
Abu Huraerah, “Kekerasan Terhadap Anak”, h. 49.
24

mencekam, hal ini berpengaruh pada tingkat perkembangannya di


kemudian hari.28
2. Kekerasan Secara Psikis
Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian
kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film
pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya
menunjukan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu,
menangis jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan
orang lain.29 Kekerasan psikis, psychological abuse bisa berpengaruh
pada adanya perasaan selalu cemas dirasakan oleh si anak, selalu
terkejut, depresi, apatis, kurang responsif, agresi kuat dan kelakuan
abnurmal lainnya dibanding anak seusianya. Ini disebabkan karena anak
selalu dipenjarakan dalam kebebasannya, dibentak bahkan dikerdilkan,
ini sungguh pengalaman yang sangat jelek sekali bagi si anak, si anak
akan menjadi pemalu dan hilang kepercayaan dirinya di antara teman
seusianya.30
3. Kekerasan Secara Seksual
Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan pra-kontak
seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata,
sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak
seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest,
perkosaan, eksploitasi seksual).31 Yang tergolong dalam kekerasan
seksual terhadap anak di antaranya adalah: mempertontonkan anak
kepada hal-hal pornografi misalnya situs/gambar/ film/bacaan porno,
mempertontonkan anak kepada aktivitas seksual misalnya intercourse,
mengarahkan anak kepada tindakan/gerakan seksual, mempertontonkan

28
Syukron Mahbub, “Kekerasan Terhadap Anak Perspektif HAM dan Hukum Islam Serta
Upaya Perlindungannya”, Jurnal Studi Keislaman, Vol. 1, No 2, 2015, h. 224-225
29
Abu Huraerah, “Kekerasan Terhadap Anak”, h. 50.
30
Syukron Mahbub, “Kekerasan Terhadap Anak Perspektif HAM dan Hukum Islam Serta
Upaya Perlindungannya”, h. 225.
31
Abu Huraerah, “Kekerasan Terhadap Anak”, h. 50.
25

alat kelamin kepada anak (exhibitionism), berhubungan seksual dengan


anak, meraba-raba atau memainkan organ vital anak, melakukan sodomi
terhadap anak, mengintip dan memata-matai anak ketika sedang mandi
(voyeurism), memandikan anak di atas usia 5 tahun sehingga anak tidak
pernah merasa malu, memotret anak dalam keadaan telanjang,
menyebarkan potret anak dalam keadaan telanjang, mengajarkan anak
masturbasi, memaksa anak meraba alat kelamin pelaku dan semua
tindakan yang bertujuan mengeksploitasi anak secara seksual. 32 Tanda-
tanda anak mengalami kekerasan seksual: mempunyai minat atau
pengetahuan yang tidak biasa tentang perilaku seksual, pergaulan bebas,
prostitusi remaja, kehamilan di luar pernikahan, infeksi Penyakit
Menular Seksual (PMS), kesulitan berjalan atau duduk, mengeluh
kesakitan saat akan buang air besar maupun kecil, memiliki perubahan
pola perilaku dan emosi, menjadi sangat pasif atau sangat agresif, anak
membuat gambar seksual yang tidak pantas untuk usia mereka, anak
membenci sejenis/lawan jenisnya, kesulitan berkonsentrasi belajar di
sekolah dan anak mengatakan/ menunjukkan keinginan untuk
mengakhiri hidup. 33
Kekerasan seksual bisa berupa pemerkosaan, pencabulan, sodomi
terhadap anak, banyak media mengabarkan tentang hal ini, padahal
terdapat dampak buruk yang diakibatkan dari perbuatan ini, diantaranya
adalah: (1) terjangkitnya penyakit menular seksual, anak bisa menjadi
pemalu, selalu mengurung diri dan bahkan kalau tidak dapat
diselamatkan mengancam terhadap kematian. (2) kehamilan yang tidak
direncanakan, ini justru menjadi aib bagi masyarakat padahal pelakunya
adalah masyarakat juga. (3) vagina nyeri/ luka, dan terjadinya
pendarahan oleh karena seorang anak masih belum siap untuk
melakukan hubungan sebadan, keadaan demikian menghancurkan

32
Suzie Sugijokanto, “Cegah Kekerasan pada Anak”, (Jakarta: PT Eleksmdia Komputindo,
2014), h. 53-54.
33
Suzie Sugijokanto, “Cegah Kekerasan pada Anak”, h. 58-59.
26

kehidupan anak di masa depan, memang, masa depan adalah sebuah


proses, tapi masa sekarang sungguh sangat menyakitkan yang tidak bisa
terbayangkan bagi si korban. (4) perasaan bersalah dan menyalahkan
diri sendiri, perasaan ini selalu datang menghantui seorang anak korban
kekerasan tersebut akibat terdapat perasaan takut yang berlebihan
kepada orang lain, tumbuhlah anak menjadi penakut karena trauma
mendalam, dan bisa jadi si anak terasingkan dari dunia kecilnya. (5)
gangguan stres pasca trauma mendalam tersebut, hal ini memicu pada
kehidupan yang makin suram kedepan, kecerdasan pemikirannya di
bawah rata-rata seusianya, sungguh memalukan, dan (6) banyak
mengalami kesulitan-kesulitan baik di sekolah, lingkungan sekitar
karena termarjinalkan dari hubungan antar teman sebayanya, terutama
karena penyakit menular seksual yang dideritanya.34
4. Kekerasan Secara Sosial
Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak
dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan
orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses
tumbuh-kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari
keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan
layak.
Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan
sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau
masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu
demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan
hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya. Misalnya, anak
dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan
(pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa
peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata atau

34
Gandik Siswono, “Kasus-kasus dan Penanganan anak korban kekerasan”, (Surabaya:
Biro Mintal Spiritual PPT, 2007), h. 6
27

dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas


kemampuannya.35 Penelantaran anak jangan sampai terjadi apalagi
dalam masalah pendidikan, berilah kesempatan pada anak untuk
bersekolah, jadikan sekolah sebagai lingkungan yang ramah terhadap
anak sehingga bisa memperoleh pendidikan dengan baik, berproses diri
untuk merubah sikap dan prilaku ke arah lebih baik serta tumbuh
berkembang potensi yang dimilikinya, jauh dari segala bentuk tindak
kekerasan, apalagi sampai dilakukan oleh sang guru.36
Menurut Tammi Prastowo, bentuk kekerasan terhadap anak yang lazim
ditemukan sebagai berikut:
a. Kekerasan dalam bentuk fisik, seperti pemukulan, penganiayaan,
penganiayaan berat yang menyebabkan jatuh sakit, bahkan kematian.
b. Kekerasan psikis, seperti ancaman, pelecehan, sikap kurang
menyenangkan yang menyebabkan rasa takut, rendah diri, trauma,
depresi, atau gila.
c. Kekerasan ekonomi, misalnya melantarkan anak.
d. Kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual, pencabulan dan
pemerkosaan.
e. Eksploitasi kerja dan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
f. Eksploitasi seksual komersial anak.
g. Perdagangan anak.37
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya
dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu faktor kondisi sang anak sendiri, faktor
orang tua dan faktor lingkungan.38

35
Abu Huraerah, “Kekerasan Terhadap Anak”, h. 50.
36
Syukron Mahbub, “Kekerasan Terhadap Anak Perspektif HAM dan Hukum Islam Serta
Upaya Perlindungannya”, h. 225.
37
Tammi Prastowo, “Waspadai Kekerasan di Sekitar Kita”, (Kalimantan Barat: PT.
Maraga Borneo Tarigas, 2018), h. 31.
38
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 35.
28

1. Faktor Kondisi Anak


Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak dapat terjadi
karena faktor pada anak, seperti: anak yang mengalami kelahiran
prematur, anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah,
hubungan yang tidak harmonis sehingga memengaruhi watak, adanya
proses kehamilan atau kelahiran yang sulit, kehadiran anak yang tidak
dikehendaki, anak yang mengalami cacat baik mental maupun fisik, anak
yang sulit diatur sikapnya dan anak yang meminta perhatian khusus.39
2. Faktor Orang Tua
Faktor pada orang tua meliputi: pernah tidak orang tua mengalami
kekerasan atau penganiayaan sewaktu kecil, menganggur atau karena
pendapatan tidak mencukupi, pecandu narkotika atau peminum alkohol,
pengasingan sosial atau dikucilkan, waktu senggang yang terbatas,
karakter pribadi yang belum matang, mengalami gangguan emosi atau
kekacauan urat saraf yang lain, mengidap penyakit jiwa, sering kali
menderita gangguan kepribadian, berusia terlalu muda sehingga belum
matang, terutama sekali mereka yang mendapatkan anak sebelum usia 20
tahun. Kebanyakan orang tua dari kelompok ini kurang memahami
kebutuhan anak dan mengira bahwa anak dapat memenuhi perasaannya
sendiri dan latar belakang pendidikan orang tua yang rendah.40
3. Faktor Lingkungan Sosial
Faktor lingkungan sosial seperti: kondisi kemiskinan dalam
masyarakat dan tekanan nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi yang
rendah, adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak merupakan milik
orang tua sendiri, status wanita yang rendah, nilai masyarakat yang
terlalu individualistis dan sebagainya.41
Kasus kekerasan fisik, psikis dan seksual terhadap anak sebagian besar
terjadi karena alasan kemiskinan dan tekanan hidup. Faktor kemiskinan dan

39
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 35.
40
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 35.
41
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, h. 36.
29

tekanan hidup yang semakin meningkat disertai kemarahan/kekecewaan


pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah
ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi,
kemarahan, kekecewaan dan ketidakmampuannya kepada orang
terdekatnya. Anak, sebagai pihak lemah, rentan dan dianggap sebagai milik
orang tua, paling mudah menjadi sasaran.42
Faktor yang lain adalah cara pandang orang tua tentang anak yang
keliru. Sebagian besar orang tua menganggap anak adalah milik orang
tuanya sehingga boleh diperlakukan sesuka hatinya asal dengan alasan yang
menurut orang tua masuk akal. Anak dianggap tidak memiliki hak dan harus
selalu menurut kemauan orang tuanya.43
Selain itu, ada faktor lain lagi, yaitu adanya ambisi orang tua untuk
menjadikan anaknya yang terbaik di sekolah, masyarakat atau menjadi
selebritis cilik yang sering tampil di televisi. Alasan ini melahirkan
kekerasan terhadap anak di kalangan keluarga menengah ke atas. Keadaan
yang seperti ini menjadikan anak sebagai orang yang tidak bisa menemukan
jati dirinya sendiri.44

42
Tammi Prastowo, “Waspadai Kekerasan di Sekitar Kita”, h. 25.
43
Tammi Prastowo, “Waspadai Kekerasan di Sekitar Kita”, h. 25.
44
Tammi Prastowo, “Waspadai Kekerasan di Sekitar Kita”, h. 25.
BAB III
GAMBARAN UMUM KEKERASAN TERHADAP ANAK
DALAM KELUARGA DI RT 03 RW 06 KELURAHAN JATI
PADANG KECAMATAN PASAR MINGGU
JAKARTA SELATAN
A. Letak Geografis Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu
Jakarta Selatan
Kelurahan Jati Padang, Pasar Minggu memiliki kode pos 12540.
Kelurahan ini terletak di kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Kelurahan ini memiliki penduduk sebanyak 45.737 jiwa, 14.831 Kepala
Keluarga (KK) dan luas wilayah 249,77 HA. Kelurahan Jati Padang ini
memiliki 10 Rukun Warga (RW) dan 101 Rukun Tetangga (RT).
Kelurahan ini berbatasan dengan:
1. Sebelah utara Jl. Pejaten Raya berbatasan dengan kelurahan Pejaten
Barat.
2. Sebelah barat Jl. Warung Jati Barat berbatasan dengan kelurahan
Ragunan.
3. Sebelah timur Jl. Salihara, Jl. Holtikultura, Jl. Aup Barat berbatasan
dengan kelurahan Pasar Minggu.
4. Sebelah Selatan Jl. Ring Roud TB. Simatupang berbatasan dengan
kelurahan Kebagusan.

Gambar 3.1: Peta Wilayah Kelurahan Jati Padang 1

1
Dokumentasi Kelurahan Jati Padang

30
31

PEMERINTAH DAERAH KHUSUS IBU KOTA JAKARTA DINAS


KEPENDUDUKAN
Jalan Letjen S. Parman No. 7
Telp. 5666243 Model : LSL.1
STATISTIK PENDUDUK KELURAHAN
Bulan November 2019
Kelurahan: Jati Padang Kecamatan: Pasar Minggu Kota: Jakarta Selatan
Tabel 3.1: Statistik Penduduk Kelurahan2
WNI WNA
NO URAIAN LK-2 PR JML LK- PR JML JUMLAH
2
1. Jumlah 22.701 23.023 45.724 4 0 4 45.728
penduduk akhir
bulan lalu
2. Banyak 39 42 81 81
kelahiran dalam
bulan ini
3. Banyak kematian 15 8 23 23
dalam bulan ini
4. Banyak 24 34 58 58
kelahiran
dikurangi dengan
kematian (lajur
2&3)
5.a. Banyaknya 7 5 12 12
orang masuk ke
kelurahan dari
kelurahan lain

2
Dokumentasi Kelurahan Jati Padang
32

dalam satu
kecamatan
5.b. Banyaknya 12 3 15 15
oorang masuk ke
wilayah
kelurahan
berasal dari
kecamatan lain
dalam satu
wilayah kota
5.c. Banyaknya
orang masuk
kelurahan antar
wilayah kota:
◼ Jakarta 0 0 0 0
Pusat
◼ Jakarta 1 0 1 1
Utara
◼ Jakarta 2 2 2
Barat
◼ Jakarta 2 2 2
Timur
5.d. Banyaknya 8 13 21 21
orang masuk
kelurahan dari
luar DKI Jakarta
6.a. Banyaknya 8 6 14 14
orang keluar dari
kelurahan
kekelurahan lain
33

dalam satu
kecamatan
6.b. Banyaknya 10 16 26 26
orang keluar dari
kelurahan ke
kelurahan lain
dalam satu
wilayah kota
6.c. Banyaknya
orang keluar dari
kelurahan ke
kelurahan lain
antar wilayah
kota:
◼ Jakarta 1 1 2 2
pusat
◼ Jakarta 0 0 0 0
utara
◼ Jakarta 0 1 1 1
barat
◼ Jakarta 1 3 4 4
timur
6.d. Banyaknya 38 17 55 55
orang keluar dari
wilayah DKI
Jakarta
7. Banyaknya -30 -19 -49 -49
orang masuk
dikurangi orang
yang keluar
34

(5a+5b+5c+5d)-
(6a+6b+6c+6d)
8. Perubahan status
kewarganegaraan
WNA ke WNI ... - - - -
WNA)(...)
WNI ke WNA ... - - - -
WNI (...)
9. Jumlah 22.695 23.038 45.733 45.737
penduduk pada
akhir bulan ini
( 1+4+7+8)
Keterangan lain-lain (harus diisi)
1. Luas wilayah : 249.77 HA
2. Jumlah RT : 101 RT
3. Jumlah RW : 10 RW
4. Jumlah KK : 14.831
5. Jumlah kepala keluarga laki-laki: 8.457
6. Jumlah kepala keluarga perempuan : 6.374
7. Jumlah penduduk wajib KTP: 31.825
8. Jumlah penduduk WNI turunan Cina: 0
9. Penduduk yang pindah ke - Jawa Barat - Kal Sel
- Jawa Timur - Sul Bar
- Jawa Tengah - Sul Sel

Jakarta 05 November 2019

Plt. Kepala satuan pelaksana administrasi

Kependudukan kel. Jati Padang

Mengetahui
Lurah Jati Padang
35

B. Kronologis Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga di Kelurahan


Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan
Perkembangan seorang anak akan tergantung pada fungsi keluarganya.
Keluarga yang berfungsi secara sehat akan memberikan kesempatan yang
besar bagi perkembangan anak. Namun demikian, pada masa sekarang ini
banyak anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga seperti yang
diamati oleh peneliti di RT 03 RW 06 kelurahan Jati Padang kecamatan
Pasar Minggu. Kenyataan ini menarik peneliti untuk mengetahui gambaran
umum keluarga yang melakukan tindak kekerasan tersebut.
Keluarga ini adalah salah satu keluarga yang bertempat tinggal di RT
03 RW 06 kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu. Keluarga ini
memiliki perekonomian yang rendah serta pendidikan yang tidak tinggi.
Adapun pelaku hanya bekerja sebagai buruh cuci dan suaminya bekerja
sebagai tukang ojek. Pelaku memiliki dua orang anak, anak yang pertama
berusia 12 tahun dan yang kedua berusia 5 tahun. Keadaan pelaku yang
memiliki perekonomian rendah, membuat pelaku sering emosi terhadap
orang-orang yang ada disekitarnya bahkan sering melakukan tindak
kekerasan terhadap anaknya sendiri.
Berdasarkan gambaran umum di atas, peneliti dapat mengemukakan
kronologis yang terjadi di keluarga tersebut, yaitu:
R (korban) adalah anak kandung dari T (pelaku). Saat ini R (korban)
duduk di bangku sekolah kelas 6 SD. Suatu ketika R (korban) berangkat ke
sekolah bersama A (ayah). Setelah selesai dari belajar di sekolah, R (korban)
pun main bersama teman-temannya.
R (korban) main bersama teman-temannya namun memiliki pengaruh
yang buruk. R (korban) mengisap rokok sepanjang bermain, hingga
akhirnya dia lupa pada saat pulang dia masih mengisapnya. T (pelaku) dan
A (ayah) nya sudah berada di rumah.
A (ayah) yang melihat kelakuan R (korban) hanya bisa terdiam karena
shock dengan kelakuan anaknya. T (pelaku) akhirnya juga melihat kelakuan
R (korban) tersebut. T (pelaku) langsung memarahi, menarik dan memukul
36

R (korban) karena merasa kesal jika anaknya melakukan hal tersebut. R


(korban) pun hanya bisa menangis karena dipukul oleh T (pelaku).3
Selanjutnya adalah gambaran umum dari keluarga bapak A (samaran).
Keluarga ini memiliki perekonomian yang cukup namun pendidikannya
tidak tinggi. Adapun pelaku bekerja sebagai supir pribadi dan istrinya
bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pelaku memiliki 1 orang anak yang
berusia 5 tahun. Setiap pulang bekerja, anaknya selalu menghampiri dan
meminta sesuatu darinya karena keadaan pelaku sangat lelah menyebabkan
pelaku kesal dengan tingkah anaknya yang seperti itu, keadaan ini yang
menimbulkan adanya kekerasan psikis terhadap anak tersebut yaitu dengan
melontarkan kata-kata yang tidak baik kepada anak..
Berdasarkan gambaran umum di atas, peneliti dapat mengemukakan
kronologis yang terjadi di keluarga tersebut, yaitu:
I (korban) adalah anak kandung dari A (pelaku). Saat ini I (korban)
berusia 5 tahun. Pada pukul 16:00 A (pelaku) pulang dari kerja kemudian
menyuruh I (korban) untuk mandi sore, akan tetapi I (korban) tidak mau
untuk mandi melainkan menginginkan jajan dan meminta uang kepada A
(pelaku). A (pelaku) tidak memberikan uang kepada I (korban) karena
dirinya masih merasa sangat lelah setelah bekerja, akan tetapi anak tetap
merayu pelaku agar tetap mendapatkan yang dia mau, pelaku pun akhirnya
marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, seperti “lu jadi anak
jangan jajan mulu bego” dan akhirnya si A (pelaku) memarahi I (korban)
dan I (korban) hanya bisa menangis karena si A (pelaku) memarahinya
dengan keras dan kasar.
Perlakuan A (pelaku) kepada I (korban) membuat I (korban) merasa tidak
aman. I (korban) menjadi anak yang tidak percaya diri dan takut kepada A
(pelaku). Sehingga I (korban) melarikan diri dari rumah tanpa
sepengetahuan keluarganya.4

3
Hasil Wawancara bapak Ali (samaran) Pada Tanggal 13 November 2019.
4
Hasil Wawancara dengan ibu Titin (samaran) Pada Tanggal 13 November 2019.
37

Peneliti juga menemukan gambaran umum dari keluarga bapak S


(samaran). Keluarga ini memiliki perekonomian yang rendah serta
pendidikan yang hanya sampai jenjang Sekolah Dasar (SD). Adapun pelaku
hanyalah seorang pengangguran dan Istrinya bekerja sebagai asisten rumah
tangga. Pelaku memiliki satu orang anak yang berusia 8 tahun. Keadaan
pelaku yang tidak memiliki pekerjaan, membuat pelaku melakukan
perbuatan yang tidak baik seperti berjudi, meminum minuman keras dan
sering emosi terhadap orang-orang yang ada disekitarnya. Karena seringnya
melakukan perbuatan tersebut di hadapan anak, hal tersebut membuat anak
menirukan tingkah laku pada saat meminum minuman keras.
Berdasarkan gambaran umum di atas, peneliti dapat mengemukakan
kronologis yang terjadi di keluarga tersebut, yaitu:
S (Pelaku) adalah bapak dari R (korban). Suatu malam S (pelaku)
keluar untuk berkumpul bersama teman-temannya, ternyata S (pelaku) dan
teman-temanya selain mengobrol juga meminum minuman keras yang
memabukan. Setelah itu, S (pelaku) pulang ke rumah pada pagi hari dalam
keadaan mabuk. Sesampainya S (Pelaku) di rumah ternyata yang
membukakan pintu adalah anaknya yaitu R (korban).
R (korban) melihat S (pelaku) yang berjalan masuk ke dalam rumah
dengan keadaan sempoyongan. Hal tersebut sering sekali dilihat oleh R
(korban). Karena seringnya R (korban) melihat S (pelaku) dalam keadaan
mabuk, R (korban) menjadi terbayang akan tingkah laku S (pelaku).
Sehingga R (korban) sering menirukan gaya/kelakuan (sikap mabuk) S
(pelaku) di depan orang lain.5
Gambaran umum yang selanjutnya adalah dari keluarga Z (samaran).
Keluarga ini merupakan keluarga yang mengalami broken home akibat
perceraian orang tuanya. Pelaku berusia 16 tahun. Keadaan ini membuat Z
tinggal bersama neneknya. Pelaku merasa dirinya kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan neneknya. hal ini membuat

5
Hasil Wawancara dengan Ibu Eva (samaran) Pada Tanggal 14 November 2019.
38

pelaku merasa bebas untuk melakukan apapun di dalam hidupnya. Hingga


akhirnya Z melakukan perbuatan yang senonoh yang mengakibatkan
dirinya terjerat oleh hukum.
Berdasarkan gambaran umum di atas, peneliti dapat mengemukakan
kronologis yang terjadi di keluarga tersebut, yaitu:
Z (pelaku) adalah sepupu dari S (Korban) yang mengalami broken
home akibat perceraian orang tuanya, yang membuat Z (pelaku) menjadi
kurang perhatian orang tua dan berlaku seenaknya. Mereka tinggal bersama
di rumah neneknya. Suatu ketika S (korban) masuk ke dalam kamar mandi
dan Z (pelaku) sudah memperhatikan S (korban) dari sebelum-sebelumnya.
Pada saat S (korban) keluar dari kamar mandi, Z (pelaku) pura-pura
ketiduran di dalam kamarnya S (korban). Ternyata di situlah Z (pelaku)
melakukan aksinya. B (ibu korban) merasa aneh dengan tingkah
keponakannya itu. Namun masih belum mempunyai prasangka kepadanya.
Pada suatu hari ada warga yang menemui rumah itu dalam keadaan gelap.
Warga pun sebenarnya sudah mempunyai prasangka kepada Z (pelaku) dan
mulai memata-matai. Penggerebekan itu pun terjadi dan Z (pelaku)
memberhentikan aksinya dan warga langsung melaporkan kejadian tersebut
kepada pihak yang berwajib.6
C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan Terhadap
Anak dalam Keluarga
Adanya kekerasan terhadap anak dalam keluarga tidak lepas dari beberapa
faktor, di antaranya yaitu:
1. Faktor Kondisi Anak
Faktor kondisi anak merupakan keadaan anak yang kurang baik
dalam keluarga. Salah satu kondisi tersebut adalah keberadaan anak
dalam keadaan yang tidak normal (disabilitas). Keadaan anak tersebut
membuat orang tua mengeluh dalam mendidiknya. Sehingga
menimbulkan masalah baru dalam keluarga yang dapat menyebabkan

6
Hasil Wawancara dengan Ibu Imah Selaku Ibu RT 03 RW 06 Pada Tanggal 13 November
2019.
39

adanya kekerasan terhadap anak. Jika tidak diberikan perhatian yang


khusus maka jutaan anak-anak akan terjebak dan terlupakan serta
menjadi anak-anak terabaikan, yang menimbulkan konsekuensi sangat
merusak terhadap kesejahteraan hidup jangka panjang mereka, serta
pada pembangunan bangsa masyarakat yang menaruh perhatian
terhadap kesejahteraan anak-anak di masa depan bangsa.7
2. Faktor Kondisi Orang Tua
Faktor orang tua merupakan faktor yang sering terjadi adanya
kekerasan anak dalam keluarga. Orang tua yang tidak mampu menahan
emosi terhadap anaknya hanya akan mengikuti amarah yang sudah
penuh di dalam dirinya. Kejadian yang terjadi di masa lalu pada diri
orang tua pun mampu membuat orang tua menjadi keras dalam
mendidik anaknya. Keadaan seperti inilah yang sering membuat anak
menjadi diam dan banyak orang tua yang semena-mena dalam
mendidik anak.
Masih banyak orang tua yang belum memperhatikan apa yang
menjadi hak dan kewajibannya dalam melindungi anak-anak mereka
dan apa yang menjadi hak dan kewajiban anak. Tindak kekerasan orang
tua terhadap anak bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan
dalam mendidik, membina dan mengarahkan anak agar dapat tumbuh
dan berkembang sehingga memiliki kepribadian yang baik. Kurangnya
pengetahuan agama dan banyak orang tua yang kurang memahami apa
yang menjadi hak anak dalam kelangsungan hidup juga merupakan
sebab terjadinya kekerasan terhadap anak.8
3. Faktor Lingkungan Sosial
Faktor lingkungan sosial merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi pribadi anak. Adanya lingkungan yang tidak baik

7
Eva Harianti dan Nina Siti Salmaniah Siregar, “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak”, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, Vol.2, No. 1,
2014, H. 45.
8
Eva Harianti dan Nina Siti Salmaniah Siregar, “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya
Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak”, h. 45-46.
40

menjadikan anak sebagai orang yang tidak baik pula. Perilaku anak
dapat berubah secara drastis jika memiliki teman dan lingkungan yang
kurang baik. Karena mereka dapat merubah pikiran anak secara cepat.
Selain itu faktor lingkungan sosial juga meliputi kondisi ekonomi
keluarga. Anak-anak yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas
dikatakan memiliki taraf pendidikan yang cukup untuk dapat
memfasilitasi perkembangan anak. Biasanya dengan kondisi ekonomi
menengah ke atas, orang tua akan memberikan perhatian lebih kepada
anaknya dibandingkan dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.9

9
Lilis Sumaryanti, “Peran Lingkungan Terhadap Perkembangan Bahasa Anak”, Jurnal
Muaddib, Vol. 07 No. 01, 2017, h. 82-83.
BAB IV

ANALISIS KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM


KELUARGA

A. Problematika Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga


1. Kekerasan Secara Fisik
Kekerasan terhadap anak secara fisik yang terjadi di RT 003 RW
006 disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu faktor orang tua
yang mengalami kekerasan semasa kecilnya. Mereka merasa mampu
mendidik anak-anaknya dengan melakukan kekerasan yang ada agar
anak mereka cepat mengerti. Namun keadaan yang seperti itu mampu
membuat anak menjadi seorang yang akan mengikuti jejak orang tuanya
dalam mendidik anaknya di masa yang akan datang.
Selain itu kekerasan secara fisik juga terjadi karena faktor anak
yang tidak mau menuruti perintah orang tuanya. Anak merasa apa yang
mereka inginkan harus terpenuhi tanpa memikirkan keadaan orang
tuanya. Orang tua merasa kesal dan marah jika anaknya sukar untuk
diberitahu, sehingga terjadi kekerasan terhadap anak berupa pukulan
dan cubitan.
Kekerasan terhadap anak secara fisik di RT 003 RW 006 seperti
yang sudah tertera di atas tidak ada yang dibawa ke jalur hukum karena
beberapa masyarakat pun melakukan hal serupa demi kebaikan masa
depan anak-anaknya. Kekerasan secara fisik yang terjadi pun tidak
semuanya melampaui batas kadar kesabaran orang tua sehingga anak-
anak mereka masih mampu melakukan aktivitas seperti layaknya anak-
anak lainnya. Selain itu, kekerasan ini hanya terjadi pada sebagian
anggota keluarga saja.1

1
Hasil wawancara dengan Ibu Eva selaku sekertaris PKK pada tanggal 13 November 2019.

41
42

2. Kekerasan Secara Psikis


Berdasarkan kronologis yang sudah tertera di pembahasan
sebelumnya, kekerasan secara psikis yang terjadi disebabkan oleh faktor
orang tua yang memiliki ekonomi di bawah rata-rata. Hal ini
menyebabkan keluarnya kata-kata kasar dari mulut orang tua kepada
anaknya. Keadaan seperti ini membuat anak menangis dan merasa takut
untuk mengulanginya kembali.
Kekerasan secara psikis bisa diatasi dengan cara orang tua
memberikan kasih sayang kepada anaknya. Tidak perlu melontarkan
kata-kata kasar yang bisa membuat psikis anak menjadi sakit. Untuk saat
ini kekerasan psikis tidak ada yang dibawa ke jalur hukum, di karenakan
tidak ada yang mengetahui hal tersebut termasuk sebagai kekerasan.
Sebagian orang tua menginginkan anaknya untuk menjadi anak yang
baik dengan cara seperti itu.2
3. Kekerasan Secara Seksual
Kekerasan terhadap anak secara seksual yang terjadi di RT 003 RW
006 disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu faktor anak
yang melakukan pergaulan bebas dan faktor orang tua yang kurang
memberikan perhatian kepada anaknya. Kekerasan secara seksual ini
menyebabkan trauma terhadap korban. Oleh karena itu, orang tua
korban dianjurkan untuk memberikan perhatian yang lebih kepada
anaknya.
Kekerasan terhadap anak secara seksual yang terjadi di RT 003 RW
006 seperti yang sudah tertera pada pembahasan sebelumnya, kasus ini
dibawa ke jalur hukum karena masyarakat merasa resah jika pelaku
dibiarkan begitu saja. Ibu Imah (nama samaran) selaku ibu RT
mengatakan: “Kekerasan seksual ada yang dibawa ke jalur hukum.
Korbannya 8 orang anak di bawah umur yaitu berusia 8-10 tahun dan

2
Hasil wawancara dengan Ibu Eva selaku sekertaris PKK pada tanggal 13 November 2019.
43

pelakunya 1 orang yang berusia di bawah 18 tahun. Pelaku dihukum


selama 4 tahun karena status pelaku juga masih anak di bawah umur.”3
B. Respon Masyarakat dan Keluarga Mengenai Kekerasan yang Terjadi
Pada Anak di Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu
Jakarta Selatan
Mengenai kekerasan terhadap anak merupakan sesuatu yang sering
terjadi di kehidupan, karena kasus-kasus kekerasan terhadap anak ini
berakar pada konsep pembinaan dan pendidikan yang telah terkontruksi
dalam paradigma masyarakat, sehingga menyebabkan kesulitan dalam
mengatasinya. Akan tetapi, ada beberapa alternatif pemecahan yang dapat
ditawarkan agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak dapat direduksi
secara maksimal. Kekerasan terhadap anak ini memiliki akar permasalahan
yang berasal dari perilaku menyimpang masing-masing individu yang jika
terjadi secara kolektif akan menimbulkan masalah sosial.4
Respon masalah sosial yang berupa nilai dan norma sosial di
masyarakat juga dengan jelas menunjukkan paralelitas. Dengan hubungan
tersebut, penulis berargumen bahwa kekerasan terhadap anak berakar pada
perilaku menyimpang dan jika kekerasan terhadap anak ini semakin
bertambah kuantitasnya, akan berimbas pada masalah sosial. Sebagai
sandaran dalam menetapkan sanksi dan batasan.5
Negara kita telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah kekerasan terhadap anak. Dalam 12 tahun sebelum
disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan
Anak, atau tepatnya pada tahun 1990, pemerintah telah menerbitkan
Keputusan Presiden (Keppres) No 36 tahun 1990. Intinya adalah
pengembangan nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa Indonesia bagi
perlindungan dan pengembangan anak yang serasi dengan agama, sosial,

3
Hasil Wawancara dengan Ibu Imah Selaku Ibu RT Pada Tanggal 04 Maret 2020.
4
Jarnhari, Ismatu Ropi, Citra Perempuan Dalam Islam, Pandangan Ormas Keagamaan
(Jakarta, Ikapi, 2003), h. 146.
5
Muhammad Tholhah Hasan. “Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia” (Jakarta: Lantabora
Press, 2003), h. 35
44

budaya, dan ekonomi. Secara tegas menyebutkan empat prinsip


perlindungan anak yang harusnya dijalani, yakni non diskriminasi, terbaik
bagi anak, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta penghargaan
terhadap pendapat anak.
Dalam konteks kekerasan terhadap anak, dapat kita lihat bahwa
perilaku-perilaku tersebut yang dilakukan oleh orang tua bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Hal
ini berarti bahwa anak belum dewasa secara fisik dan mental, memerlukan
pengawalan dan perlindungan khusus, termasuk perlindungan legal dan
layak, sebelum dan sesudah lahir. Selain itu, keluarga sebagai agen terkecil
dalam masyarakat juga memegang peranan yang sangat krusial, keluarga
yang harmonis biasanya akan dapat membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Sebaliknya keluarga yang sering ada masalah baik dalam maupun luar
akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Serta peran orang
tua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya menjadi insan
cerdas dan mandiri. Keluarga yang tertata dengan baik juga akan
menjauhkan diri dari tindak kekerasan terhadap anak.
Ibu Imah (nama samaran) selaku ibu RT 03 RW 006 mengatakan:

“Masih ada sebagian dari masyarakat yang berprinsip bahwa


anaknya adalah urusan mereka, tak peduli mereka harus memperlakukan
anaknya seperti apa, ingin menggunakan kekerasan pun itu menjadi tidak
masalah, namun banyak juga yang mulai terbiasa dengan adanya peringatan
bahwa mendidik anak tidak harus dengan kekerasan. Mereka pun mulai
mendidik anak-anaknya dengan baik, karena mereka mulai mengerti bahwa
anak adalah titipan atau amanah dari Allah swt yang harus dijaga dengan
sebaik mungkin”.6

Anak yang dibesarkan dari berbagai konflik biasanya akan lebih


agresif dalam artian sering bertindak brutal dan kurang mampu
mengendalikan diri dengan baik. Hal ini tentunya berbeda dengan anak-

6
Hasil Wawancara dengan Ibu Imah Selaku Ibu RT Pada Tanggal 04 Maret 2020.
45

anak yang dibesarkan dalam situasi yang aman dan jauh dari konflik.
Mereka pada dasarnya dapat tumbuh kembang dan belajar dengan baik.
Paradigma masyarakat bahwa kekerasan yang dialami anak adalah hal
yang lumrah dan biasa saja yang sudah terkonstruksi juga sudah seharusnya
diubah, Apalagi di tengah kultur masyarakat yang menempatkan posisi anak
selalu asimeteris dengan orang dewasa. Semuanya itu harus sedikit demi
sedikit diubah dengan pendekatan persuasif melalui pemerintah sebagai
agen sosialisasi. Akan tetapi, dengan adanya anggapan bahwa kekerasan
merupakan bagian dari proses pendidikan yang dibutuhkan untuk
mendisiplinkan anak, sulit bagi kita untuk mengharapkan kasus - kasus child
abuse dapat dieliminasi.
Meski demikian, bukan berarti kasus child abuse bisa kita biarkan
terjadi terus menerus dan memakan korban. OIeh karena itu, kerjasama yang
sinergis antara masyarakat, media, keluarga, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan Pemerintah sangat penting dalam mengampanyekan pentingnya
penghindaran kekerasan terhadap anak dalam keluarga dan lingkungan
sosial. Diwajibkan kepada masyarakat untuk menghentikan semua praktik
kekerasan terhadap anak, baik yang dilakukan secara fisik maupun psikis,
karena kekerasan terhadap anak jelas-jelas telah bertentangan dengan
hukum dan norma yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat.7
Bapak H. Mamat (nama samaran) salah satu tokoh agama mengatakan:

“Adanya kekerasan terhadap anak di sini disebabkan karena


ekonomi orang tuanya kurang. Kurangnya ekonomi ini mengakibatkan
anggota keluarga emosi dalam melakukan segala tindakan. Selain itu,
kekerasan terhadap anak di sini juga disebabkan karena kurangnya perhatian
dari orang tua yang mengakibatkan anak melakukan pergaulan bebas hingga
melakukan hubungan seksual sebelum menikah yang mengakibatkan hamil.
Karena hal tersebut orang tua menjadi marah, sehingga orang tua tidak sadar
dengan kemarahannya dan akhirnya orang tua mengusir anaknya sendiri
dari rumah karena telah hamil di luar nikah”.8

Farha, Ciciek, “Ihtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga: belajar dari
7

kehidupan Rasululah saw”, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), h.34.
8
Hasil Wawancara dengan Bapak Mamat Pada Tanggal 13 November 2019.
46

Dalam teori fakta sosial, Durkheim menjelaskan bahwa semua aktivitas


seorang inidividu dalam masyarakat dipengaruhi oleh faktor eksternal atau
faktor di luar dirinya yang bersifat memaksa. Kenyataan itu juga terjadi pada
anak yang hidup dalam lingkungan keluarganya. Durkheim menjelaskan
bahwa semua perilaku anak sejak lahir hingga dewasa selalu mendapat
kontrol dari luar dirinya dan ketika dia melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh keluarga dan masyarakat maka ia
akan mendapatkan sanksi dari luar, dalam hal ini yang dimaksud luar adalah
keluarga dan masyarakat.9
Hasil survey kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa pelaku
kekerasan dalam keluarga dilakukan oleh orang tua, baik ayah maupun ibu
dan kerabat. Kekerasan yang terjadi di dalam keluarga ini berhubungan
dengan ekonomi keluarga dan kondisi keluarga. Keluarga dengan ekonomi
yang tidak baik akan mendorong orang tua untuk pergi mencari pekerjaan
dengan meninggalkan keluarga. Anak-anak ditinggalkan baik itu dengan
ayah atau ibu maupun dengan anggota keluarga lainnya. Kurangnya
perhatian terhadap anak menyebabkan anak menjadi korban kekerasan atau
menjadi pelaku kekerasan terhadap anak lainnya.
Anak korban kekerasan pun pada dasarnya dilakukan oleh orang-orang
terdekat dengan anak atau keluarga. Kasus kekerasan yang terjadi tersebut
menunjukkan bahwa kekerasan yang bersifat personal. Ini berarti bahwa
kekerasan terhadap anak bisa saja terjadi dalam keluarga dan dilakukan
justru oleh orang-orang dekat. Selain faktor ekonomi, faktor keharmonisan
keluarga juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.
Keluarga yang tidak harmonis cenderung terjadi kekerasan terhadap
anak, baik dilakukan oleh orang tua maupun saudara. Ayah dan ibu yang

9
Sandhi Praditama, Nurhadi, Atik Catur Budiarti, “Kekerasan Terhadap Anak Dalam
Keluarga Dalam Perspektif Fakta Sosial”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Sosiologo, Vol. 5 No. 2, 2015,
h. 14.
47

tidak harmonis cenderung bersikap tidak peduli dengan anak-anaknya.


Orang tua sibuk dengan permasalahan yang dihadapinya.
Dengan demikian, orang tua menjadi lalai dengan perkembangan dan
pergaulan anak-anaknya. Anak-anak yang butuh perhatian dan
perlindungan selanjutnya mencari perhatian di luar rumah. Dalam kondisi
demikian, anak menjadi rentan untuk menjadi korban kekerasan atau
menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak lainnya.
Anak pelaku kekerasan pada dasarnya melampiaskan kekecewaannya
serta menjadikan kekerasan sebagai sarana untuk mencari perhatian, baik
dari orang tuanya maupun dari masyarakat sekitar. Struktur yang tidak
mendukung kehidupan yang harmonis ini menjadikan terjadinya tindak
kekerasan terhadap anak. Keluarga yang tidak harmonis menunjukkan
bahwa struktur keluarga tersebut terganggu yang selanjutnya mendorong
terjadinya kasus kekerasan terhadap anak.10
Bapak Ami (nama samaran) salah satu keluarga dekat korban
mengatakan: “Kekerasan yang dilakukan orang tua berupa omelan atau
pukulan terhadap anak bertujuan untuk mendidik anak supaya anak dapat
menjadi pribadi yang lebih baik”.11

Strategi penanganan dan pencegahan kekerasan terhadap anak dan


perlidungan anak menurut United Nations Emergency Children’s Fund
(UNICEF), yaitu:
1. Supporting parents, caregivers and families. Pendekatan ini berusaha
untuk mencegah kekerasan terjadi, mengurangi faktor-faktor yang
membuat keluarga rentan terhadap perilaku kekerasan dengan
memperkuat keterampilan pengasuhan anak. Menyediakan layanan
dukungan lembaga seperti mempersiapkan penyalur pengasuh anak yang
terlatih. Home visit yang dilakukan oleh pekerja sosial dan ahli lainnya
untuk meningkatkan dan memberikan pengetahuan kepada orang tua dan

10
Ika Harni Lestyoningsih,“Penanganan Kekerasan Terhadap Anak berbasis Masyarakat
di Indonesia”, Jurnal Berkala Kesehatan, Vol 5, No. 1, 2019, h. 4-5.
11
Hasil Wawancara dengan Bapak Ami Pada Tanggal 04 Maret 2020.
48

pengasuh tentang interaksi orang tua dan anak yang positif termasuk
penerapan disiplin anti kekerasan dalam pengasuhan anak. Strategi ini
berupaya penuh dalam mendukung orang tua, pengasuh dan keluarga
dalam penyediaan informasi, pendidikan dan pengetahuan mengenai
“parenting skill”. Dengan tujuan mengurang atau dapat mencegah
potensi perilaku kekerasan terhadap anak.
2. Helping children and adolescents manage risk and challenges.
Pendekatan ini memberikan keterampilan terhadap anak-anak dan remaja
untuk mengatasi dan mengelola risiko kekerasan sehingga dapat
membantu anak untuk mengurangi terjadinya kekerasan di sekolah dan
masyarakat. Mengajarkan anak berpikir kritis, bertindak asertif, berani
menolak dan mengeluarkan pendapat, memecahkan masalah secara
kooperatif sehingga mereka dapat melindungi dirinya sendiri dari tindak
kekerasan yang terjadi di lingkungannya.
3. Changing attitudes and social norms that encourage violence and
discrimination. Pendekatan ini memberikan pengetahuan mengenai cara
merespon ketika melihat dan mengalami tindak kekerasan. Memahami
ketika ada perbedaan yang terjadi pada norma dan nilai yang berlaku di
masyarakat sehingga ketika kita melihat ada perilaku salah, itu dapat
dikatakan sebagai tindakan yang wajar atau tidak, dapat di toleransi atau
tidak. Mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap kekerasan
adalah bentuk dari disiplin sehingga dapat membedakan antara norma
yang sesuai dan norma sosial yang membahayakan bagi anak. Disini
terlihat peran dari masyarakat yang turut menjadi agen perubahan.12
4. Promoting and providing support services for children. Pendekatan ini
berupaya menyediakan layanan bagi anak, seperti layanan pengaduan
ketika mengalami tindak kekerasan. Memberikan informasi dan bantuan
agar anak mendapatkan pemulihan dan tindakan yang tepat. Pemerintah

12
Uswatun Hasanah, Santoso Tri Raharjo, “Penanganan Kekerasan Anak Berbasis
Masyarakat”, Social Work Jurnal, Vol. 6, No. 1, Juli 2016, h. 83.
49

dan masyarakat harus sadar akan pentingnya ketersediaan layanan di


lingkungan tempat tinggal.
5. Implementing laws and policies that protect children. Pembuat kebijakan
memainkan peran penting untuk melindungi anak-anak. Mereka dapat
memastikan bahwa Negara memiliki proses nasional untuk mencegah
dan menanggapi kekerasan terhadap anak. Pemerintah harus membangun
kerangka hukum yang kuat bahwa implementasi dan monitoring perlu
dilakukan.
6. Carrying out data collection and research. Peningkatan pengumpulan
data nasional dan sistem informasi untuk mengidentifikasi kelompok
rentan. Hal ini dilakukan untuk memantau kekerasan yang terjadi pada
anak. Mengoptimalkan ketersediaan data tentang isu-isu kekerasan anak.
Bapak H. Oim (nama samaran) selaku masyarakat mengatakan:
“Kekerasan seksual yang telah terjadi bisa dijadikan pelajaran bagi orang
tua supaya lebih memperhatikan anak-anaknya. Dan memberikan kasih
sayang yang lebih kepada anak agar anak tidak terjerumus ke dalam
pergaulan bebas”.13

Orang dewasa atau orang tua sadar atau tidak sadar telah membangun
ketidakseimbangan kultural (ketidakseimbangan secara budaya) dalam
hubungan mereka dengan anak, yang menguntungkan orang dewasa.
Hasilnya adalah anak-anak menerima hubungan yang tidak seimbang antara
mereka dengan orang dewasa atau orang tua di sekelilingnya. Di sini anak
tanpa sadar telah mereproduksi hubungan asimetris yang merugikan. Inilah
realita yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat saat ini dan ini pula
gambaran nyata kondisi kultural yang menyebabkan kekerasan terhadap
anak akan terjadi kapan pun dan di mana pun selama pemahaman kutural
tersebut terus berkembang dan hidup dalam masyarakat.
Respons kekerasan dari lingkungan masyarakat juga kian lemah.
Maraknya kasus kekerasan tidak menjadi sumber pembelajaran bagi orang
lain. Hukuman yang berat bagi para pelaku kekerasan pada anak terbukti

13
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Oim Pada Tanggal 04 Maret 2020.
50

tidak menjerakan. Terbukti, meski kekerasan pada anak sudah berlangsung


lama di lingkungan masyarakat, namun respons tetangga nyaris minim.
Kekerasan pada anak sering dipandang sebagai ranah domestik
keluarga bersangkutan sehingga tetangga bahkan pengurus RT atau RW
tidak dapat campur tangan. Tidak saling mengenal satu sama lain menjadi
penyebab respons kekerasan pada anak tidak memadai. Masyarakat perlu
disadarkan untuk melindungi anak dari kekerasan, salah satu caranya adalah
mengontrol anggota masyarakat.
Bapak Ocid (nama samaran) selaku masyarakat mengatakan:

“Sebaiknya orang tua lebih telaten dalam mendidik anak-anaknya.


Jika mendidik anak bisa dengan kelembutan dan kebaikan, kenapa harus
menggunakan kekerasan? Kita sebagai orang tua harus melatih kesabaran
melalui anak-anak kita, karena anak adalah amanah dari Allah yang harus
dijaga. Dan kita sebagai orang tua harus terus mendoakan anak-anak kita
supaya menjadi anak yang sholeh dan sholeha agar bisa membanggakan
orang tuanya di masa depan nanti”. 14

Anak yang menjadi korban kekerasan tentu akan mengalami trauma


baik fisik maupun psikisnya. Anak yang mengalami kekerasan di masa
lalunya akan berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan (pelaku) ketika
mereka dewasa. Oleh karena itu anak yang menjadi korban kekerasan perlu
mendapatkan perhatian khusus dan penanganan secara khusus yang
melibatkan orang tua, keluarga, pemerintah dan masyarakat.
Sesuai yang tercantum pada pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak adalah : “Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak.” Dari pasal diatas, terlihat mengenai
bahwa setiap warga Negara wajib ikut serta berperan dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Jadi, ketika ada kasus kekerasan
terhadap anak, maka sudah menjadi perhatian dan tanggung jawab setiap
warga negara.

14
Hasil Wawancara dengan Bapak Ocid Pada Tanggal 04 Maret 2020.
51

Bagi masyarakat, keluarga atau orang tua diperlukan kebijakan,


layanan, sumber daya dan pelatihan pencegahan kekerasan pada anak yang
konsisten dan terus menerus. Dalam hal ini strategi pencegahan kekerasan
terhadap anak meliputi: Pencegahan primer untuk semua orang tua dalam
upaya meningkatkan kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan
salah atau abuse tidak terjadi, meliputi perawatan anak dan layanan yang
memadai, kebijakan tempat bekerja yang medukung, serta pelatihan life
skill bagi anak. Yang dimaksud dengan pelatihan life skill meliputi
penyelesaian konflik tanpa kekerasan, keterampilan menangani stress,
manajemen sumber daya, membuat keputusan efektif, komunikasi
interpersonal secara efektif, tuntunan atau guidance dan perkembangan
anak, termasuk penyalahgunaan narkoba.
Pencegahan sekunder ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan
risiko tinggi dalam upaya meningkatkan keterampilan pengasuhan,
termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah
tidak terjadi pada generasi berikutnya. Kegiatan yang dilakukan di sini di
antaranya dengan melalukan kunjungan rumah bagi orang tua yang baru
mempunyai anak untuk melakukan self assessment apakah mereka berisiko
melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari. Pencegahan tersier
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan yang menjaga
agar perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan adalah
layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling,
pelatihan tata laksana stres. Pada saat kasus kekerasan pada anak ditemukan,
sebenarnya ada masalah dalam pengasuhan anak (parenting disorder).15

Intervensi sosial dalam penanganan kekerasan anak, dilakukan dengan


cara prevensi. Prevensi merupakan serangkaian kegiatan yang ditujukan
untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan
keluarga maupun di lingkungan luar keluarga, seperti di lingkungan sosial

15
Uswatun Hasanah, Santoso Tri Raharjo, “Penanganan Kekerasan Anak Berbasis
Masyarakat”, Social Work Jurnal, Vol. 6, No. 1, Juli 2016, h. 84.
52

dan bermain anak. Berbagai sistem sumber yang dapat didayagunakan


dalam upaya prevensi kekerasan terhadap anak, yaitu:

1. Keluarga.

Keluarga yang dimaksud di sini bukan hanya keluarga dalam


pengertian keluarga inti (nucleur family), tetapi juga keluarga dalam
pengertian keluarga luas (extended family). Keluarga sebagai lingkungan
pertama bagi setiap orang, akan memberikan berbagai jenis kebutuhan
bagi seseorang, baik untuk sikorganis maupun psiko-sosial seperti
dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, informasi dan perhatian.
Selain pemenuhan kebutuhan yang bersifat dometik, keluarga perlu
memilih teman bagi anak dan memantau pertemanan anak. Prinsipnya
anak akan mendapatkan teman yang aman, nyaman dan mendukung
tumbuh kembangnya. Ikatan kekerabatan perlu aktualisasikan kembali
untuk dilembagakan nilai dan norma kekeluargaan dan kepedulian sosial.

2. Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan yang dimaksud mencakup sekolah negeri,


swasta dan pondok pesantren. Institusi-institusi ini sesuai dengan
peranannya telah menyelenggarakan proses pendidikan, baik dalam
kaitannya dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik anak
didik. Namun masih diperlukan materi pelayanan atau mata kuliah yang
bermuatan moral dan kepribadian. Anak didik perlu diberikan ruang
untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi,
permasalahan dan seluk beluk yang berkaitan dengan kesejahteraan
sosial anak.16

16
Uswatun Hasanah, Santoso Tri Raharjo, “Penanganan Kekerasan Anak Berbasis
Masyarakat”, Social Work Jurnal, Vol. 6, No. 1, Juli 2016, h. 85.
53

3. Lembaga Kesejahteraan Sosial

Upaya prevensi dilakukan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial


(LKS) lokal, baik yang tumbuh secara alamiah di tingkat lokal
(kelompok agama, rukun lingkungan, paguyuban dan lain-lain), maupun
yang tumbuh dari inisiasi pemerintah (Posyandu, PAUD, Dasa Wisma,
Family Care Unit dan lain-lain). Berbagai LKS tersebut memerlukan
sebuah media agar potensi dan sumber daya yang dimiliki dapat
disinergikan, sehingga memberikan hasil yang lebih optimal. LKS yang
ada di akar rumput perlu diberikan kesempatan yang luas sebagai media
pertolongan bagi anak, remaja dan orang dewasa yang berpotensi
menjadi korban, pelaku atau pemicu terjadinya tindak kekerasan.17
Maka dari itu, strategi pencegahan kekerasan pada anak yang mendasar
adalah dengan memberikan informasi pengasuhan bagi para orang tua
khususnya. Di sisi lain, para orang tua harus diyakinkan bahwa mereka
adalah orang yang paling bertanggung jawab atas semua pemenuhan hak
anak. Maka semua usaha yang dilakukan dalam rangka mengubah perilaku
orang tua agar tahu informasi pengasuhan dan hak anak membutuhkan
upaya edukasi yang terus menerus. Dengan demikian, pendidikan
pengasuhan bagi orang tua sebagai bagian dari strategi pencegahan
kekerasan pada anak menjadi sangat penting.
Kekerasan terhadap anak akan mempunyai dampak. Dampak yang
muncul akibat dari kekerasan terhadap anak ini tergantung dari jenis
kekerasan yang dialami. Dampak kekerasan fisik terhadap anak terlihat ada
beberapa perubahan dalam kehidupannya. Anak menjadi pendiam, berusaha
menjadi baik sehingga tidak ada alasan bagi pelaku untuk melakukan
kekerasan fisik.
Namun bagi beberapa yang lain dapat menjadi agresif, memperlihatkan
perilaku yang bermasalah dan bertentangan dengan orang dewasa. Perilaku

17
Uswatun Hasanah, Santoso Tri Raharjo, “Penanganan Kekerasan Anak Berbasis
Masyarakat”, Social Work Jurnal, Vol. 6, No. 1, Juli 2016, h. 86.
54

agresif ini sebagai bentuk pertahanan dan perlindungan anak-anak dari


kekerasan orang lain. Perilaku agresif ini menjadi bagian dari anak-anak
belajar dalam “social learning” karena orang dewasa telah menjadi model
bahwa agresi dan kekerasan adalah cara untuk menghadapi dunia.
Dampak lainnya dari kekerasan fisik ini adalah anak akan menyalahkan
dirinya sendiri atas kekerasan yang terjadi. Anak membuat rasionalisasi
bahwa perilaku kekerasan orang dewasa merupakan respon yang perlu
dilakukan terhadap “anak nakal”. Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak
yang mengalami kekerasan memiliki konsep diri yang buruk dan kurang
percaya diri terhadap kemampuan dirinya.
Kekerasan fisik akan menyebabkan keterlambatan perkembangan. Hal
ini disebabkan anak-anak akan menghabiskan perhatian dan energinya
untuk menghadapi situasi yang dihadapinya. Selain itu, bentuk kekerasan
lain selain kekerasan fisik adalah penelantaran anak.
Anak yang diterlantarkan dapat terluka secara psikologis, fisik dan
perkembangannya, bahkan dapat berujung kematian. Anak yang mengalami
penelantaran, setelah dewasa cenderung menjadi orang yang tidak
mempercayai orang lain, memiliki penghargaan diri yang rendah, memiliki
masalah dengan kemarahan dan janggal secara sosial dan terisolasi.18
Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam
lingkup keluarga dapat menimbulkan banyak pengaruh negatif pada
keamanan dan stabilitas hidup serta kesejahteraan anak. Dalam hal ini anak
menjadi korban secara tidak langsung atau disebut sebagai korban laten
(laten victim). Oleh karena itu sebaiknya orang tua yang sedang bertengkar
agar tidak melibatkan anak dan tidak bertengkar di depan anak-anak karena
akan menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan kepribadian anak.
Anak-anak yang pernah mengalami tindak kekerasan agar diberi
pendampingan bantuan moril dari orang terdekat Seperti keluarga, teman

18
Nandang Mulyana, Risna Resnawaty, Gigin Ginanjar Kamil Basar, “Penanganan Anak
Korban Kekerasan”, Al Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian, Vol. 13, No. 1, 2018, h. 81-82.
55

atau seorang tenaga ahli seperti seorang psikolog supaya anak bisa tumbuh
menjadi orang yang lebih percaya diri. Perlunya pendampingan dari seorang
psikolog atau tenaga ahli agar dapat menumbuhkan sikap terbuka sehingga
anak mau bercerita mengenai masalah yang sedang dihadapinya untuk
mengurangi trauma, beban psikologis dan emosi-emosi yang terpendam.
Segala bentuk dukungan dan bantuan moril yang diberikan oleh masyarakat,
keluarga terdekat, teman maupun seorang psikolog kepada anak yang
pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan di dalam rumah, semoga
dapat mengurangi potensi untuk menjadi pelaku kekerasan yang akan
datang.
Anak korban kekerasan memerlukan tidak hanya pemulihan secara
fisik, tetapi juga secara psikologis. Penanganan secara psikologis ini sangat
penting karena akan berpengaruh terhadap kemampuan anak-anak korban
kekerasan untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Selain itu adalah tidak
ada psikolog yang secara khusus bertugas untuk menangani anak korban
kekerasan.
Sementara itu, kualitas sumber daya manusia dalam menangani anak
korban kekerasan di Jati padang masih terbatas. Pemahaman terhadap
kebijakan juga masih perlu mendapatkan perhatian.19 Oleh karena itu,
pentingnya orang tua untuk menambah wawasan dan bersosialisasi kepada
pihak yang lebih mengetahui tentang mendidik dan mengasuh anak dengan
baik.
C. Kondisi Anak Akibat Kekerasan dalam Keluarga
1. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Fisik
Tindak kekerasan secara fisik sering kali paling mudah diamati
karena menimbulkan luka fisik yang terlihat. Luka atau penderitaan fisik
yang dialami anak bisa berupa luka memar, luka-luka simetris di wajah,
punggung, pantat dan tungkai. Luka memar pada penganiayaan anak

19
Nandang Mulyana, Risna Resnawaty, Gigin Ginanjar Kamil Basar, “Penanganan Anak
Korban Kekerasan” , h. 86.
56

sering juga membentuk gambaran benda atau alat yang untuk


menganiaya, misalnya gesper atau sabuk.20
Dampak lainnya bisa juga berupa luka-luka pada organ dalam
tubuh. Trauma pada bagian perut bisa mengakibatkan pecahnya
lambung, usus, hati, pankreas yang tak dapat dijelaskan penyebabnya
dan yang nampak yaitu luka pada dinding perut. Anak-anak yang
mengalami penganiayaan berat kebanyakan datang ke rumah sakit
sudah dalam keadaan koma, kejang dan sebagian sudah meninggal
dunia.21
Berdasarkan kronologis yang sudah tertera di pembahasan
sebelumnya, kekerasan secara fisik yang dialami oleh korban tidak
sampai menghilangkan nyawa atau luka berat akan tetapi hanya
menyebabkan anak mengalami luka-luka ringan saja seperti luka dari
sabetan gesper, dipukul dan dijewer. Kekerasan yang terjadi tidak
semuanya melampaui batas kesabaran orang tua, masih ada juga orang
tua yang sabar dalam mendidik anaknya sehingga anak-anak mereka
masih mampu melakukan aktivitas seperti layaknya anak-anak lainnya.
Kekerasan yang terjadi membuat anak-anak tidak mau mengulangi
kembali kesalahan yang sama.22
2. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Psikis
Anak-anak korban kekerasan psikis akan menjadi: depresi,
memiliki kecemasan ekstrim, mengalami ketergantungan, tertutup,
agresif, apatis dan pasif, melarikan diri dari rumah, berperilaku berbeda
di rumah dan sekolah, berupaya bunuh diri, harga diri rendah, sulit
menjalin hubungan sosial, tidak sabar, kurang percaya diri dan cita-
citanya tidak terealistis.23

20
Bagong Suyanto, “Sosiologi anak”, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2019), h. 72.
21
Bagong Suyanto, “Sosiologi anak”, h. 73.
22
Hasil wawancara dengan ibu Eva selaku sekertaris PKK pada tanggal 13 November
2019.
23
Tammi Prastowo, “Waspadai Kekerasan di Sekitar Kita”, (Kalimantan Barat: PT.
Maraga Borneo Tarigas, 2018), h. 39.
57

Berdasarkan kronologi yang sudah tertera di pembahasan


sebelumnya, kekerasan secara psikis yang dialami oleh korban tidak
membuat korban menjadi stres yang berkepanjangan. Korban saat ini
menjadi seorang anak yang tidak malu lagi untuk bermain bersama
teman-temannya.
3. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Seksual
Pada penganiayaan seksual bisa terjadi luka memar, rasa sakit,
gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari vagina atau anus,
inveksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari vagina.
Sering pula didapati korban menunjukan gejala sulit untuk berjalan atau
duduk dan terkena inveksi penyakit kelamin bahkan bisa terjadi risiko
kehamilan yang tidak dikehendaki. Jadi, bisa dibayangkan, apa yang
terjadi jika ada seorang anak perempuan yang menjadi korban
perkosaaan, kemudian ternyata ia hamil? Seorang anak perempuan yang
dilacurkan, ia juga rawan menderita terkontaminasi Pre-Menstruation
Syndrome (PMS) karena harus melayani lelaki hidung belang yang
sebelumnya sudah terkena PMS.24
Anak yang menjadi korban kekerasan seksual kerap menunjukan
keluhan-keluhan somatik tanpa adanya dasar penyebab organik,
kesulitan di sekolah atau kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan
teman, gelisah, kehilangan kepercayaan diri, tumbuh rasa tidak percaya
pada orang dewasa, perasaan terluka yang sifatnya permanen.
Kekerasan seksual sering juga merupakan faktor predisposisi untuk
berkembangnya gangguan kepribadian ganda. Gangguan kepribadian
ambang juga dilaporkan pada beberapa penderita yang mempunyai
sejarah pernah mengalami kekerasan seksual. Demikian juga dilaporkan
bahwa di antara mereka yang remaja banyak terlibat pada penggunaan
zat.25

24
Bagong Suyanto, “Sosiologi anak”, h. 73.
25
Bagong Suyanto, “Sosiologi anak”, h. 75-76.
58

Anak-anak korban kekerasan seksual akan menjadi: permisif


terhadap pakaian, memiliki perilaku seksual menyimpang, hubungan
dengan teman sebaya lemah, menjauhi orang dewasa, sering berbohong,
menyiksa diri, tidak mau mematuhi aturan, mengalami gangguan
makan, memiliki obsesi terhadap kesucian, berperilaku nakal,
mengkonsumsi alkohol dan narkoba, berupaya bunuh diri, bersikap
kekanak-kanakan dan menghindari olahraga.26
Berdasarkan kronologis yang sudah tertera di pembahasan
sebelumnya, kekerasan secara seksual yang dialami oleh korban
mengakibatkan korban merasa trauma. Selain itu, korban juga merasa
ketakutan jika bertemu dengan orang lain apalagi lawan jenisnya.
Keadaan korban pun membuat masyarakat merasa empati kepadanya.
Masyarakat mengajak korban untuk berusaha menghilangkan
traumanya dengan melakukan refleksi, senam bersama dan
perlindungan kepada korban.27
4. Kondisi Anak Akibat Kekerasan Secara Sosial
Dampak kekerasan pada anak dalam masyarakat menurut
Saptandari yaitu sebagai berikut: (1) pewarisan lingkaran kekerasan
secara turun menurun atau dari generasi ke generasi, (2) tetap bertahan
kepercayaan yang keliru bahwa orang tua mempunyai hak untuk
melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk hak melakukan
kekerasan, (3) kualitas hidup semua anggota masyarakat merosot, sebab
anak-anak yang dianiaya tak mengambil peran yang selayaknya dalam
kehidupan kemasyarakatan.28
Menurut lestari, pada anak-anak yang mengalami penelantaran
dapat terjadi kegagalan dalam tumbuh kembangnya, malnutrisi, anak-
anak ini kemungkinan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi inveksi kronis,
hormon pertumbuhan turun. Apabila kegagalan tumbuh kembang anak

26
Tammi Prastowo, “Waspadai Kekerasan di Sekitar Kita”, h. 37.
27
Hasil Wawancara dengan Ibu Eva Hamidah Selaku Sekertaris PKK Pada Tanggal 13
November 2019.
28
Bagong Suyanto, “Sosiologi anak” h. 74.
59

tarafnya sangat berat, maka anak-anak akan menjadi kerdil dan apabila
ini terjadi secara kronis maka anak tidak bisa tumbuh meskipun diberi
makan yang cukup. Anak-anak ini proporsi tubuhnya normal akan tetapi
sangat kecil untuk anak seusianya. Kadang-kadang ada dari mereka
mengalami perbaikan hormon pertumbuhannya dan kemudian mengejar
ketinggalan pertumbuhan yang pernah dialaminya.29
Dari segi tingkah laku anak-anak yang mengalami penganiayaan
sering menunjukan: penarikan diri, ketakutan atau mungkin juga
tingkah laku agresif dan emosi yang labil. Mereka juga sering
menunjukan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya
gangguan tidur, fobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi
bersifat keras, gangguan setres pasca trauma dan terlibat dalam
penggunaan zat adiktif.30
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan, tidak ditemukan anak
yang mengalami kekerasan secara sosial. Para orang tua sudah
mengetahui bahwa melakukan kekerasan secara sosial itu tidak baik
untuk masa perkembangan anak. Dan orang tua sudah memberikan
kasih sayang yang cukup kepada anak-anaknya.31
D. Solusi-Solusi Memecahkan Masalah Kekerasan yang Terjadi dalam
Keluarga
Dari beberapa faktor yang telah dibahas, maka perlu diketahui bahwa
tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap
perkembangannya baik psikis maupun fisik. Oleh karena itu, perlu
dihentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi
dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik
anaknya ke arah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak
kekerasan.

29
Bagong Suyanto, “Sosiologi anak”, h. 74.
30
Bagong Suyanto, “Sosiologi anak”, Cet. 1, h. 74.
31
Hasil wawancara dengan Ibu Eva selaku sekertaris PKK pada tanggal 13 November
2019.
60

Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak


adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga, sehingga yang
muncul adalah stereotyping (stigma) dan prejudice (prasangka). Dua hal itu
kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi
pihak ketiga. Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah
bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang
efektif. Seringkali orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai
keinginan pribadi yang sangat dominan dan menganggap anak sebagai hasil
produksi orangtua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat
diperlakukan apa saja.
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang
dan selalu dilindungi, maka akan tumbuh menjadi anak yang penakut dan
tidak mempunyai kepercayaan diri. Dalam usaha untuk mengatasi hal
tersebut, maka anak akan berontak dan berbuat sesuatu dilarang orang tua.
Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak karena anak
tidak mau, maka terjadi pemaksaan dari orang tua.
Berbeda dengan pola asuh yang lebih memberikan ruang anak untuk
berpendapat, mengemukakan keinginannya dengan baik pada orang tua.
Orang tua memberikan kasih sayang berupa perhatian dan perilaku
mendampingi dalam hal segala bentuk ketidaktahuan, keingintahuan,
kebersamaan, berbagi dan dalam menyikapi pergaulan. Anak akan merasa
lebih mempunyai tempat untuk bertanya dan mencurahkan keluh kesahnya.
Mendapatkan kasih sayang dari orang tua dan merasa terlindungi sehingga
anak merasa lebih nyaman dalam rumah atau tempat tinggalnya.32
Ibu Imah selaku ibu RT mengatakan bahwa solusi yang dilakukan untuk
memecahkan masalah kekerasan yang terjadi dalam keluarga yaitu:
“Dengan mensosialisasikan tentang perlindungan anak kepada orang tua”.33
Beberapa masyarakat masih tidak mengetahui cara mengasuh dan mendidik

32
Penny Naluria Utami, “Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Perspektif Hak
Atas Rasa Aman Di Nusa Tenggara Barat”, Jurnal HAM, Vol. 9, No. 1, 2018, h. 12.
33
Hasil Wawancara dengan Ibu Imah Selaku Ibu Rukun Tetangga Pada Tanggal 04 Maret
2020.
61

anak dengan baik, dengan adanya sosialisasi tentang perlindungan anak


dimaksudkan untuk mengurangi angka kekerasan yang selalu meningkat
setiap tahunnya.
E. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Menurut Hukum Islam
Terhadap kasus-kasus pidana (jarimah/jinayah) sebagaimana
disebutkan di atas, meskipun terjadi dalam lingkungan keluarga, bila
ditinjau dari Hukum Pidana Islam, ada yang terkena hukuman qisas, hadd
dan ta’zir. Hukuman bagi tindak penganiayaan sengaja dibagi menjadi dua
yaitu hukuman pokok dan hukuman pengganti. Adapun hukuman pokoknya
adalah qisash dan hukuman penggantinya adalah diyat dan takzir. Qisash
adalah hukuman pokok untuk tindak pidana penganiayaan disengaja
sedangkan diyat dan takzir adalah hukuman pengganti yang menempati
posisi qisash.
Untuk tindak pidana penganiayaan tidak sengaja hukuman pokoknya
adalah diyat atau denda, yaitu satu-satunya hukuman pokok dan tidak ada
hukuman pengganti yang sesuai untuk diyat. Akan tetapi apabila lembaga
peradilan menghendaki untuk menjadikan hukuman tindak pidana ini
dengan takzir sebagai hukuman pokok ataupun pengganti tidak ada nash
agama yang melarangnya.34
Hukum Islam menjatuhkan hukuman qisash bagi pelaku tindak pidana
penganiayaan. Adapun qisash itu sendiri adalah menghukum pelaku sama
seperti apa yang telah ia lakukan terhadap korban. Jika pelaku melakukan
kekerasan fisik terhadap anak hingga anak tersebut luka atau patah tulang
maka pelaku juga harus dilukai atau dipatahkan tulangnya.
Apabila kekerasan terhadap anak tersebut sampai menghilangkan
nyawa anak maka pelaku juga harus dibunuh. Adapun sumber hukum Islam
mengenai qisash sebagai hukuman pokok tindak pidana penganiayaan
sengaja adalah Alquran surat al-Baqarah ayat 178-179, sebagai berikut:

34
Taufik Hidayat, “Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap
Anak”, Jurnal Ilmiah Syariah, Vol 15, No. 2, 2016, h. 124.
62

‫اص فِى ْالقَتْل ۗى اَ ْل ُح ُّر ِب ْال ُح ِر َو ْال َع ْب ُد ِب ْال َع ْب ِد َو ْاْلُ ْنثى‬ ُ ‫ص‬ َ ‫علَ ْي ُك ُم ْال ِق‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا ُكت‬
ٌ ‫ان ۗ ذلِكَ تَ ْخ ِفي‬
‫ْف‬ ٍ ‫س‬ َ ْ‫ف َواَ َد ۤا ٌء اِلَ ْي ِه ِباِح‬ِ ‫ش ْي ٌء فَاتِبَاعٌ ۢ ِب ْال َم ْع ُر ْو‬َ ‫ي لَهٗ ِم ْن اَ ِخ ْي ِه‬ ُ ‫ِب ْاْلُ ْنث ۗى فَ َم ْن‬
َ ‫ع ِف‬
ٌ ‫اص َحيوة‬
ِ ‫ص‬َ ‫ َولَ ُك ْم فِى ْال ِق‬١٧٨ ‫ع َذابٌ اَ ِل ْي ٌم‬
َ ٗ‫ِم ْن َّر ِب ُك ْم َو َرحْ َمةٌ ۗفَ َم ِن ا ْعتَدى بَ ْع َد ذلِكَ فَلَه‬
ِ ‫يٰٓاُو ِلى ْاْلَ ْل َبا‬
١٧٩ َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُ ْون‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barang
siapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik
(pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 178-179).
Ayat ini menjelaskan tentang keharusan bagi penguasa memberlakukan
hukuman qisash atas para pelaku tindak pembunuhan. Yaitu apabila
seseorang melakukan tindak pembunuhan terhadap orang lain maka ia harus
dibunuh pula.35 Sedangkan dalam kasus pelecehan seksual menurut hukum
Islam tidak memformulasikan apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual.
Terkait pelecehan seksual yang masuk dalam kategori tindak pidana dalam
hukum Islam dikenal dengan istilah Jarimah, yang terbagi atas tiga jenis yaitu
jarimah hudud, jarimah qishas/diyat dan jarimah ta’zir.
Jarimah hudud adalah jarimah yang pengaturan hukumannya telah
ditentukan dalam syara’ dan menjadi hak Allah. Jarimah qishash adalah
jarimah yang hukumannya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan pelaku

35
Taufik Hidayat, “Pandangan Hukum Pidana Islam Mengenai Kekerasan Fisik Terhadap
Anak”, h. 124.
63

sebagai upaya mewujudkan keamanan dan ketertiban.36Jarimah diyat adalah


denda harta sebagai pengganti kerugian akibat membunuh atau melukai.
Jarimah takzir, yaitu jenis hukuman yang tidak ditentukan oleh nash baik
dalam Al-qur’an maupun hadist, diberlakukan kepada orang yang berbuat
maksiat atau melakukan jenis pidana tertentu yang tidak ada sanksi atau
kifaratnya.
Berdasarkan uraian di atas maka pelecehan seksual masuk kategori
jarimah ta’zir yang pengaturan hukumnya menjadi hak penguasa negara.
Perbuatan pelecehan seksual dapat disetarakan dengan zina.37 Sanksi pidana
bagi pelaku kekerasan seksual menurut hukum Islam mengikuti hukuman
bagi pezina, Islam telah memberi aturan-aturan yang jelas mengenai had zina
dan ada tiga bentuk hukuman yang ditentukan, yaitu hukuman cambuk (dera
atau jilid), pengasingan dan rajam (dilempari batu). Hukuman dera 100 kali
(sesuai surah An-Nur ayat 2 dan 3) dan pengasingan (selama satu tahun)
dikenakan bagi pelaku zina ghair muhsan yaitu perilaku zina yang belum
menikah, sedangkan bagi pelaku zina muhsan yaitu pelaku zina yang telah
menikah baik berstatus masih menikah atau sudah putus perkawinannya,
berlaku dera dan rajam.38
F. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Menurut Undang- Undang No. 35
Tahun 2014
Dalam ilmu hukum dikenal adanya subjek hukum, yaitu segala sesuatu
yang merupakan pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum iniatau
pendukung hak dan kewajiban dibagi menjadi dua, yaitu manusia atau
natuurlijk persoon dan badan hukum atau rechts persoon. Manusia termasuk
di dalamnya anak adalah merupakan subjek hukum, walaupun dalam hal
tertentu masih terdapat pengecualian, namun peraturan perundang-undangan

36
Heni Hendrawati, Yulia Kurniaty, “Formulasi Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, University
Research Colloquium, 2018, h. 29.
37
Heni Hendrawati, Yulia Kurniaty, “Formulasi Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, h. 29.
38
Heni Hendrawati, Yulia Kurniaty, “Formulasi Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, h. 30.
64

yang ada sudah menempatkan anak sebagai subjek hukum yang juga harus
mendapat perlindungan.
Sedangkan badan hukum menjadi salah satu dari subjek hukum
disebabkan memang dalam realitanya menghendaki demikian. Penjelasan
UU No. 35 tahun 2014 menjelaskan bahwa anak adalah amanah sekaligus
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam
dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab
untuk menjaga dan memelihara hak asasitersebut sesuai dengan kewajiban
yang dibebankan oleh hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak,
negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya secara optimal dan terarah. Undang-undang No. 35 tahun
2014 menegaskan bahwa pertanggung jawaban orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak.39
Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna
menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual
maupun sosial. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,
yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18
(delapanbelas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang
utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan
kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas
sebagai berikut:

a. Non diskriminasi.
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

39
Evi Deliana HZ, “Perlindungan Hukum Terhadap Anak dari Konten berbahaya dalam
Media Cetak dan Elektronik”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 1, h . 6.
65

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.


Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak,
perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan beserta
komponen masyarakat lainnya. Soerjono Soekanto menyatakan penegakan
hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.40 Ia juga
berpendapat bahwa manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya
mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yangbaik dan apa
yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam
pasangan, misalnya pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman.
Di dalam penegakan hukum pasangan nilai tersebut perlu diserasikan, hal
ini disebabkan nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan sedangkan nilai
ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan. Soerjono Soekanto juga
berpendapat bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut,
adalah sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum tersebut berlakuatau
diterapkan;

40
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.5-8.
66

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berdasarkan kelima faktor yang disampaikan diatas, maka faktor
kebudayaan memiliki peranan dalam penegakan hukum di masyarakat.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas
penegakan hukum. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen
untuk mengatur hak-hak dan kewajiban subjek hukum agar masing-masing
subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan
mendapatkan haknya secara wajar.
Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak
menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar
hak-hak subjek hukum lain. Hukum bertujuan menjamin adanya kepastian
hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada
keadilan, yaitu asas keadilan dari masyarakat itu.41 Hukum berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi,
hukum harus dilaksanakan.42
G. Terbentuknya Konvensi Hak Anak ( Convention on The Rights of The
Childs)
Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi kedua dari
Hak Anak. Sementara itu Komisi Hak Asasi Manusia kelompok PBB mulai
bekerja pada draft Konvensi Hak Anak (CRC). Kemudian pada tahun 1989
yang bekerja pada CRC selesai dan Konvensi diadopsi oleh Majelis Umum
PBB. Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) telah
disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tanggal 20 November 1989 dan mulai mempunyai kekuatan memaksa

41
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h.41
42
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakartai: Liberty,
1991, h.134.
67

(entered in force) pada tanggal 2 September 1990. Konvensi hak anak ini
merupakan instrumen yang merumuskan prinsip prinsip yang universal dan
norma hukum mengenai kedudukan anak. Oleh karena itu, konvensi hak anak
ini merupakan perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang
memasukkan hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak budaya.
Konvensi ini telah di ratifikasi oleh semua negara di dunia, kecuali
Somalia dan Amerika Serikat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak
Anak ini dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996. Presiden
Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mengesahkan Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Undang-
Undang inilah secara keseluruhan menjamin, menghargai dan melindungi hak
anak. Kemudian, Pemerintah Indonesia membentuk Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sebagai lembaga
koordinasi dan advokasi perlindungan anak di Indonesia.
Kementerian ini bertugas menyusun Rencana Aksi Nasional Pembangunan di
Bidang Anak. Dan terakhir, Indonesia membentuk Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), sebagai lembaga independen untuk menjamin,
menghargai dan melindungi hak-hak anak sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan dan prinsip dasar KHA.
H. Pelaksanaan Konvensi di Indonesia
Konvensi Hak Anak merupakan wujud nyata atas upaya perlindungan
terhadap anak, agar hidup anak menjadi lebih baik. Sejak Indonesia
meratifikasi Konvensi Hak Anak di Tahun 1990 banyak kemajuan yang telah
ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia dalam melaksanakan Konvensi Hak
Anak. Dalam menerapkan Konvensi Hak Anak, negara peserta konvensi
punya kewajiban untuk melaksanakan ketentuan dan aturan-aturannya dalam
kebijakan, program dan tata laksana pemerintahannya.
Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian yang mengikat, yang
artinya ketika disepakati oleh suatu negara, maka negara tersebut terikat pada
janji-janji yang ada di dalamnya dan negara wajib untuk melaksanakannya.
68

Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian hukum international


tentang hak-hak anak. Konvensi ini secara sederhana dapat dikelompokkan
kedalam 3 hal.
Pertama, mengatur tentang pihak yang berkewajiban menanggung
tentang hak yaitu negara. Kedua, pihak penerima hak yaitu anak-anak. Ketiga,
memuat tentang bentuk-bentuk hak yang harus dijamin untuk dilindungi,
dipenuhi dan ditingkatkan. Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Hak
Anak (KHA) melalui Keppres No.36 tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus
1990.
I. Upaya Pencegahan Kasus Kekerasan Anak
Upaya pencegahan dilakukan dengan kegiatan sosialisasi, penyuluhan,
focus group discussion (FGD), pelatihan, dan lain sebagainya. Sosialisasi dan
penyuluhan dilakukan terhadap berbagai sasaran meliputi beragam kelompok
umur (anak, remaja, orangtua), organisasi profesi seperti guru dan kepala
sekolah, dokter dan paramedis, wartawan, Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), beragam organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, Gabungan
Organisasi Wanita (GOW), paguyuban, majelis taklim, mahasiswa, dosen,
masyarakat kelompok rentan di berbagai lokasi dan lain-lain. Sosialisasi juga
lewat media cetak, media elektronik seperti di televisi dan radio dalam
bentuk talkshow, pemberitaan, artikel opini, iklan layanan masyarakat, dan
lain-lain.
Pelatihan membangun kapasitas (capasity building) diberikan kepada
komisioner, pekerja sosial, dan pegawai atau staf yang bekerja dalam
menangani korban anak di berbagai lembaga. Implementasi konvensi Hak
Anak di RT 03 RW 06 kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar Minggu
masih belum terlaksana dengan baik, masih banyak terjadi tingkat kekerasan
terhadap anak, seperti anak berhadapan dengan hukum, anak yang memiliki
perlindungan khusus dan anak yang hak dasarnya belum terpenuhi. Dengan
jumlah korban sebanayak 8 anak yang mengalami kekerasan secara seksual
dan 1 orang anak yang berhadapan dengan hukum dan sekitar 30% dari 287
kepala keluarga yang melakukan tindak kekerasan fisik dan psikis.
69

Anak yang belum mendapatkan hak dasar yang dimilikinya sebanyak 70


% karena masih banyaknya orang tua yang menganggur dan pendapatan tidak
mencukupi.43 Pelaksanaan Konvensi Hak Anak belum efektif karena
kebijakan yang di lakukan di RT 03 RW 06 kelurahan Jati Padang Kecamatan
Pasar Minggu belum dilaksanakan dengan semestinya. Kurangnya sosialisasi
yang disampaikan ke masyarakat tentang kekerasan terhadap anak dan
lembaga lembaga yang terkait tentang pelaksanaan hak anak belum
melaksanakan tugas dengan semestinya.
J. Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Menurut Undang-
Undang No. 35 Tahun 2014
Pasal tentang penganiayaan anak diatur khusus dalam pasal 76C Undang-
Undang No. 35 Tahun 2014 yang berbunyi “Setiap Orang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan kekerasan terhadap Anak”.44 Adapun sanksi bagi orang yang
melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/peganiayaan) ditentukan dalam
pasal 80 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, yakni:45
1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh
puluh dua juta rupiah).
2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

43
Hasil wawancara dengan Ibu fartimah selaku ketua rt pada tanggal 04 maret 2020.
44
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 40.
45
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 43.
70

4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan
tersebut Orang Tuanya.
Adapun Pasal tentang kekerasan secara seksual diatur dalam pasal 76D
dan 76E Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Pasal 76D berbunyi “Setiap
orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.46 Sedangkan
pasal 76E berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.47
Sanksi bagi orang yang melanggar pasal 76D di atas ditentukan dalam pasal
81 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, yakni:48
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.
3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

46
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 40.
47
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 40.
48
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 44.
71

Sanksi bagi orang yang melanggar pasal 76E di atas ditentukan dalam pasal
82 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014, yakni:49
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya pasal tentang kekerasan secara sosial diatur dalam pasal 76B
dan 76F Undang-Undang No. 35 Tahun 2014. Pasal 76B berbunyi “Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran”.50 Adapun
pasal 76F berbunyi “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan,
penjualan, dan/atau perdagangan anak”.51 Sanksi bagi orang yang melanggar
pasal 76B di atas ditentukan dalam pasal 77B Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 yang berbunyi “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.00 (seratus juta
rupiah).52
Adapun sanksi bagi orang yang melanggar pasal 76F ditentukan dalam pasal
83 yang berbunyi “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3

49
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 44-45.
50
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 40.
51
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 41.
52
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 43.
72

(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 60.000.000.00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah).53

53
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, h. 45.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekerasan yang terjadi di RT 003 RW 006 kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar
Minggu disebabkan karena beberapa faktor di antaranya yaitu:
1. Faktor anak yang meliputi: hubungan yang tidak harmonis sehingga memengaruhi
watak, anak yang sulit diatur sikapnya dan anak yang meminta perhatian khusus.
2. Faktor orang tua yang meliputi: pecandu minuman keras, menganggur atau karena
pendapatan tidak mencukupi, karakter pribadi yang belum matang dan adanya
kekerasan yang pernah terjadi terhadap orang tua saat masih kecil yang diturunkan
kepada anaknya.
3. Faktor lingkungan sosial yang meliputi: kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan
tekanan nilai materialistis serta adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak
merupakan milik orang tua sendiri.
Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak dalam keluarga di RT 003 Rw
006 kelurahan Jati Padang kecamatan Pasar Minggu ada 3 macam yaitu kekerasan
secara fisik, kekerasan secara psikis dan kekerasan secara seksual. Adapun kekerasan
yang dibawa ke jalur hukum hanya kekerasan secara seksual saja, sedangkan kekerasan
secara fisik dan psikis tidak dibawa ke jalur hukum. Karena menurut mereka perilaku
keras dalam mendidik anak itu adalah hal yang wajar.
Hukum Islam sangat memperhatikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan
adanya ayat Al-qur’an dan hadis yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku tindak
kekerasan terhadap anak. Hukuman bagi pelaku kekerasan yaitu berupa qisash, diyat
dan ta’zir. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yaitu dengan
adanya sanksi bagi pelaku kekerasan yaitu seperti pasal tentang penganiayaan anak
diatur khusus dalam pasal 76C, pasal tentang kekerasan secara seksual diatur dalam
pasal 76D dan 76E serta pasal tentang kekerasan secara sosial diatur dalam pasal 76B
dan 76F.

73
74

B. Saran
1. Untuk orang tua
- Orang tua harus lebih menyayangi anak karena anak adalah titipan/amanah dari
Allah swt yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
- Lebih sabar dalam mendidik anak.
- Lebih memperhatikan perkembangan anak.
2. Untuk anak
- Diwajibkan untuk menghormati dan menghargai orang tua.
- Bertingkah laku yang baik kepada orang tua.
- Memilih teman yang baik dalam pergaulan.
3. Untuk pemerintah
- Memberikan pelatihan kepada orang tua mengenai cara mendidik anak dengan
baik.
- Memperbanyak tempat dan sarana bermain anak.
- Mengadakan pengecekan kekerasan yang terjadi di masyarakat secara rutin.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. 2012. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Deliana HZ, Evi. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak dari Konten berbahaya
dalam Media Cetak dan Elektronik”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 1
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam IV. 2008. Bogor: PT Kharisma Ilmu.

Fatah, Darul Fatah, 2019. Jakarta Darurat Kekerasan Anak, https://Indopos.Co.Id


/Read/ 2019/ 09/ 13/194151/ Jakarta-Darurat- Kekerasan-Anak (Diakses
Pada 13 September ).
Harni Lestyoningsi, Ika. 2019. Penanganan Kekerasan Terhadap Anak Berbasis
Masyarakat di Indonesia. Vol. 5 No. 1.

Hasanah, Uswatun. Santoso Tri Raharjo. 2016. Penanganan Kekerasan Anak


Berbasis Masyarakat. Vol. 6. No. 1.

Harianti, Eva. Nina Siti Salmania Siregar. 2014. Faktor-Faktor Penyebab


Terjadinya Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak. Vol. 2. No. 1

Hendrawati, Heni. Yulia Kurniati. 2018. Formulasi Pelecehan Seksual Terhadap


Anak Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, University Research Colloquium.
Hidayat, Taufik. 2016. Pandangan Hukum Islam Mengenai Kekerasan Fisik
Terhadap Anak. Vol. 15. No. 2.

Huraerah, Abu. 2018. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa Cendekia.

Ismatu Ropi, Jarnhari. 2003. Citra Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Ikapi.
Kansil, C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Maisaroh. 2013. Kekerasan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Perspektif Hukum
Pidana Islam, Vol. 2 No. 2.

Mahbub, Syukron. 2015. Kekerasan Terhadap Anak Perspektif HAM dan Hukum
Islam Serta Upaya Perlindungannya. Vol. 1. No. 2.

75
76

Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakartai:


Libertyh.

Mulyana, Nandang, dkk. 2018. Penanganan Anak Korban Kekerasan. Vol. 13. No.
1.

Naluria Utami, Penny. 2018. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Dalam


Persepktif Hak Atas Arasa Aman Di Nusa Tenggara Barat. Vol. 09. No.
1.

Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Nurjannah, Siti. 2017. Keberpihakan Hukum Islam Terhadap Perlindungan
Anak. Vol. 14. No. 2.

Prastowo. Tammi. 2018. Waspadai Kekerasan Di Sekitar Kita. Kalimantan Barat:


PT Maraga Borneo Tarigas

Praditama, Sandhi, dkk.. 2015. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga


Perspektif Fakta Sosial. Vol. 5. No. 2.

Ratnasari, Lusi. 2017. Analisis Maslaha Terhadap Tanggung Jawab Orang Tua
Dalam Perlindungan Anak Terlantar Dari Hasil Nikah Siri (Studi Kasus Di
Desa/Kelurahan Bongkaran Kecamatan Pabean Cantian Kota Surabaya).
Skripsi. Surabaya (ID): UIN Sunan Ampel.
Rozak, Purnama. 2013. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga
Perspektif Hukum Islam. Vol. 9 No.1 .
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugijokanto, Suzie. 2014. Cegah Kekerasan Pada Anak. Jakarta: PT Eleksmedia
Komputindo.

Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


Jakarta: Raja Grafindo Persada.
77

Siswono. Gandik. 2007. Kasus-Kasus Dan Penanganan Anak Korban Kekerasan.


Surabaya: Biro Mintal Spiritusl PPT.

Sumaryanti, Lilis. 2017. Peran Lingkungan Terhadap Perkembangan Bahasa


Anak. Vol. 7. No. 1.

Supranto, Johannes. 2003. Metode Penelitian Hukum Dan Statistik. Jakarta:


Penerbit Rinek Cipta

Suyanto, Bagong. 2016. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.

Suyanto, Bagong. 2019. Sosiologi Anak. Jakarta: Kencana.

Tunggagini, MS. 2013. Kewajiban Negara Terhadap Anak-Anak Jalanan Yang


Masih Memiliki Orang Tua Yang Tinggal di Rumah Singgah di Hubungkan
Dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.

Tholhah Hasan, Muhammad. 2003. Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Lantabora Press.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Wardani, AR. 2016. Penetapan Hak Hadhonah Anak Yang Belum Mumayiz Kepada
Ayah (Analisis Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor:
0295/Pdt.G/2015/PA.Pwt). Skripsi. Purwokerto (ID): IAIN Purwokerto.

Wardi Muslich, Ahmad. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Telp. (021) 74711537 ext. 1605, Fax. (021) 7491821
JI. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan Website : www.uinjkt.ac.id, e-mail : humas.fsh@uinjkt.ac.id

Nomor : B-6965 /F.4/HM.03.5/11/2019 Jakarta, 18 November 2019


Lampiran : -

Hal : Permohonan Data dan Wawancara

Kepada Yth,

Ketua Rukun Tetangga 03

Di Tempat

Assalamu 'alaikum, Wr. Wb.

Dalam rangka melengkapi data mahasiswa dalam penulisan skripsi, kami mohon
kiranya dapat berkenan menerima dan membantu memberikan informasi untuk
melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibu dapat menerima yang
bersangkutan untuk memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud.

Nama : Abdul Ghofur


NIM : 1113044000077
Semester : 13 (Tiga Belas)
Program Studi : Hukum Keluarga
Telp / Email : 082114536631/abdulghofu1996@gmail.com

Adalah benar yang bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:

"Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Perspektif Hukum Islam dan


Undang- Undang Nomor No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak"

Sehubungan dengan itu, data yang dibutuhkan untuk melengkapi bahan


penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibu dapat menerima yang bersangkutan
untuk memperoleh data/wawancara guna penulisan skripsi dimaksud.

Atas kerjasama dan bantuannya kami ucapkan terimakasih.

Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Tembusan:
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Telp. (021) 74711537 ext. 1605, Fax. (021) 7491821
JI. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan Website : www.uinjkt.ac.id, e-mail : humas.fsh@uinjkt.ac.id

Nomor : B-6965 /F.4/HM.03.5/11/2019 Jakarta, 18 November 2019


Lampiran : -

Hal : Permohonan Data dan Wawancara

Kepada Yth,
Kepala Dinas PPAPP
Jakarta Selatan
Di Tempat

Assalamu 'alaikum, Wr. Wb.

Dalam rangka melengkapi data mahasiswa dalam penulisan skripsi, kami mohon
kiranya dapat berkenan menerima dan membantu memberikan informasi untuk
melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibu dapat menerima yang
bersangkutan untuk memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud.

Nama : Abdul Ghofur


NIM : 1113044000077
Semester : 13 (Tiga Belas)
Program Studi : Hukum Keluarga
Telp / Email : 082114536631/abdulghofu1996@gmail.com

Adalah benar yang bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:

"Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga Perspektif Hukum Islam dan


Undang- Undang Nomor No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak"

Sehubungan dengan itu, data yang dibutuhkan untuk melengkapi bahan


penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibu dapat menerima yang bersangkutan
untuk memperoleh data/wawancara guna penulisan skripsi dimaksud.

Atas kerjasama dan bantuannya kami ucapkan terimakasih.

Wassalamu 'alaikum Wr.Wb.

Tembusan:
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara untuk orang tua:
1. Sudah memiliki anak berapa bapak/ibu?
2. Bagaimana hubungan anda dengan suami/istri anda?
3. Bagaimana cara anda mendidik anak ? jika mereka melakukan kesalahan apa yang
bapak/ibu lakukan?
4. Ketika bapak/ibu sedang berselisih atau cekcok dengan pasangan, apakah terjadi di
hadapan anak-anak atau tidak? Ketika cekcok terjadi dihadapan anak-anak apa yang
dilakukan?
5. Ketika pasangan anda mengomel/melakukan tindakan fisik ke anak, apa yang anda
lakukan?
6. Apabila anda menghukum anak karena sebuah kesalahan apakah anak meminta maaf
atau tidak?
7. Apakah anda mengetahui tentang undang-undang yang mengatur tentang kekerasan
terhadap anak?
Nama :
Umur :
Berikan tanda centang ( √ ) pada kejadian yang anda alami!

No. Tanggal Tindak kekerasan Pelaku Akibat


Kejadian yang di
rasa
Bicara Pukulan/cubitan/ Tendangan/ Seksual/
kasar/ tamparan/tarikan Injakan Pelecehan/
ancaman cium/
remasan
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.
Angket Penelitian
Nama :
Usia :
Petunjuk: Berikan tanda centang ( √ ) pada keterangan yang sesuai!
No Pernyataan Keterangan
Pernah Tidak Pernah Sering Kadang-kadang
1 Saya dipukul oleh orang tua
2 Saya ditendang oleh orang tua
3 Saya ditampar oleh orang tua
4 Saya dicubit keras oleh orang
tua
5 Saya dimarahi oleh orang tua
dengan kata-kata kasar
6 Saya diolok-olok oleh orang
tua
7 Saya menonton film
pornografi
8 Saya melihat orang tua mabuk

9 Saya dipaksa melakukan


adegan ciuman dengan salah
satu anggota keluarga dekat

10 Saya diajak melihat


film/gambar pornografi oleh
salah satu anggota keluarga
dekat
11 Saya diajak berhubungan
badan oleh salah satu anggota
keluarga dekat
12 Saya diminta untuk bekerja
oleh orang tua
13 Saya dikucilkan oleh orang tua

14 Saya diasingkan dari keluarga

15 Saya dipaksa melakukan


pekerjaan rumah melebihi
batas kemampuan
HASIL WAWANCARA

Nama : Titin (nama samaran) Orang Tua.

1. Sudah memiliki anak berapa bapak/ibu?


= Saya sudah memiliki 2 anak
2. Bagaimana hubungan anda dengan suami/istri anda?
= Alhamdulillah hubungan kami baik-baik saja
3. Bagaimana cara anda mendidik anak? jika mereka melakukan kesalahan apa yang
bapak/ibu lakukan?
= Mendidiknya dengan cara saya sendiri, jika anak saya melakukan kesalahan dilihat
dulu kesalahannya seperti apa, jika dia berkata-kata kasar dan kotor saya omelin, jika
dia tidak mau nurut dengan saya kadang saya pukul supaya nurut.
4. Ketika bapak/ibu sedang berselisih atau cekcok dengan pasangan, apakah terjadi di
hadapan anak-anak atau tidak? Ketika cekcok terjadi dihadapan anak-anak apa yang
dilakukan?
= Terkadang memang terjadi di depan anak, karena keadaan rumah saya ngontrak jadi
tidak ada kamar khusus, semuanya digabung sama anak. Jika sudah terjadi cekcok di
depan anak-anak, saya menyuruh anak-anak untuk main di luar rumah untuk sementara.
5. Ketika pasangan anda mengomel/melakukan tindakan fisik ke anak, apa yang anda
lakukan?
= Saya hanya diam dan melihatnya saja.
6. Apabila anda menghukum anak karena sebuah kesalahan apakah anak meminta maaf
atau tidak?
= Sebenarnya anak masih takut, tapi saya yang meminta maaf duluan ke anak
7. Apakah anda mengetahui tentang undang-undang yang mengatur tentang kekerasan
terhadap anak?
= Hanya tau kalau memang ada, tapi tidak tahu isi undang-undangnya seperti apa.
HASIL WAWANCARA

Nama : Ali (nama samaran) Orang tua.

1. Sudah memiliki anak berapa bapak/ibu?


= Saya memiliki satu anak.
2. Bagaimana hubungan anda dengan suami/istri anda?
= Hubungan kami baik
3. Bagaimana cara anda mendidik anak? jika anak melakukan kesalahan apa yang
bapak/ibu lakukan?
= Saya mendidik dengan apa yang saya bisa, misalnya saya menyekolahkan anak saya.
Jika anak melakukan kesalahan saya menegurnya.
4. Ketika bapak/ibu sedang berselisih atau cekcok dengan pasangan, apakah terjadi di
hadapan anak-anak atau tidak? Ketika cekcok terjadi dihadapan anak-anak apa yang
dilakukan?
= Kami tidak pernah melakukan cekcok di hadapan anak. Kalau pun pernah pasti saya
suruh dia masuk ke dalam kamar. Tapi karena ruangannya kecil mungkin anak saya
bisa suka mengintip dan mendengarnya.
5. Ketika pasangan anda mengomel/melakukan tindakan fisik ke anak, apa yang anda
lakukan?
= Saya langsung mengambil anak saya dan menyuruhnya kekamar , karena hal itu tidak
baik dan dapat berakibat buruk kepada anak.
6. Apabila anda menghukum anak karena sebuah kesalahan apakah anak meminta maaf
atau tidak?
= Iya anak saya pasti meminta maaf kepada saya.
7. Apakah anda mengetahui tentang undang-undang yang mengatur tentang kekerasan
terhadap anak?
= Iya saya tahu, tetapi karena kadang-kadang suasananya berbeda-beda jadinya saya
suka lupa memarahi anak dengan sangat keras..
HASIL WAWANCARA

Nama : Rifai (nama samaran) Orang Tua.

1. Sudah memiliki anak berapa bapak/ibu?


= Saya memiliki 2 anak
2. Bagaimana hubungan anda dengan suami/istri anda?
= Kurang baik ka, suami saya sering mabuk-mabukan.
3. Bagaimana cara anda mendidik anak? jika mereka melakukan kesalahan apa yang
bapak/ibu lakukan?
= Sebisa saya aja ka karena bapaknya juga tidak ada tanggung jawabnya kepada anak.
4. Ketika bapak/ibu sedang berselisih atau cekcok dengan pasangan, apakah terjadi di
hadapan anak-anak atau tidak? Ketika cekcok terjadi dihadapan anak-anak apa yang
dilakukan?
= Selalu ka, saya cekcok sama suami karena dia sering mabuk-mabukan hingga pagi.
Anak saya biarkan saja jika dia melihat, supaya anak saya tidak mengikuti jejak
bapaknya.
5. Ketika pasangan anda mengomel/melakukan tindakan fisik ke anak, apa yang anda
lakukan?
= Saya memisahkan ka, saya lebih sayang kepada anak saya dibanding suami saya.
6. Apabila anda menghukum anak karena sebuah kesalahan apakah anak meminta maaf
atau tidak?
= Anak saya baik ka, tidak pernah saya hukum karena sebuah kesalahan.
7. Apakah anda mengetahui tentang undang-undang yang mengatur tentang kekerasan
terhadap anak?
= Sedikit ka, tapi isinya tidak semuanya tahu.
HASIL WAWANCARA
Nama : Ibu Imah (nama samaran)
Jabatan : Ibu RT 03 RW 06
1. Jika ada salah satu rumah tangga melakukan kekerasan terhadap anak apa yang Ibu
lakukan?
Yang saya lakukan adalah dengan menegur ibunya karena anak merupakan amanah/
titipan yang harus dilindungi.
2. Bagaimana respon keluarga tersebut ?
Respon orang tua ada yang menerima ada yang tidak. Jika kita sudah menjelaskan
kepada orang tuanya kadang-kadang mereka berprinsip “ini anak saya urusan saya
bukan urusan kamu” tapi itu dulu, alhamdulillah sekarang sudah tidak ada lagi, karena
sudah ada UU yang melindungi dan sudah tidak boleh bermain hakim sendiri.
3. Jika kekerasan terjadi berulang apa yang Ibu lakukan/solusi yang diberikan?
Solusinya dengan adanya sosialisasikan tentang perlindungan anak kepada orang tua.
4. Apakah pernah terjadi keluarga yang melakukan kekerasaan dibawa ke ranah hukum?
Untuk kekerasan fisik tidak ada yang dibawa ke ranah hukum, tapi kalau kekerasan
seksual ada. Korbannya 8 orang anak di bawah umur, pelaku 1 orang. Dihukum 4 tahun
karena pelaku masih anak di bawah umur. Inisial pelaku (Z) usia di bawah 18 tahun.
Korbannya usia dari 8-10 tahun.
5. Apakah di lingkungan ini sudah ada shelter untuk menangani anak korban kekerasan?
Shelter ada di pertemuan-pertemuan saja, ada di TPA sabili. Bahkan di arisan juga kita
saling mengingatkan agar anak-anak mereka dijaga dengan baik.
HASIL WAWANCARA
Nama : Bapak H. Mamat
Jabatan : Tokoh Agama/Masyarakat
1. Jika ada salah satu rumah tangga melakukan kekerasan terhadap anak apa yang bapak
lakukan?
Yang saya lakukan adalah dengan menegur bapak atau ibunya karena saya merasa
kasihan terhadap anak itu.
2. Bagaimana respon keluarga tersebut ?
Respon orang tua ada yang menerima ada yang tidak. Jika saya sudah menjelaskan
kepada orang tuanya kadang-kadang mereka punya omongan sendiri “ini anak saya
urusan saya bukan urusan kamu”, tapi saya tetap menegurnya.
3. Jika kekerasan terjadi berulang apa yang bapak lakukan/solusi yang diberikan?
Saya melaporkan kejadian tersebut ke pak RT biar pak RT yang memberitahunya.
4. Apakah pernah terjadi keluarga yang melakukan kekerasaan dibawa ke ranah hukum?
Setau saya Ada tapi saya kurang tahu lebih jauhnya.
5. Apakah di lingkungan ini sudah ada shelter untuk menangani anak korban kekerasan?
belum ada, yang ada ruang pertemuan-pertemuan saja seperti pos RT.
HASIL WAWANCARA
Nama : Bapak Ocid (nama samaran)
Jabatan : Masyarakat
1. Jika ada salah satu rumah tangga melakukan kekerasan terhadap anak apa yang bapak
lakukan?
Menegurnya dengan cara menasehatinya.
2. Bagaimana respon keluarga tersebut ?
Respon orang tua ada yang menerima ada yang tidak. Jika kita sudah kasih tau kepada
orang tuanya mereka malah bilang “ini anak saya urusan saya bukan urusan kamu” tapi
saya tetap saja kasih tau supaya anaknya tidak dimarahi lagi.
3. Jika kekerasan terjadi berulang apa yang bapak lakukan/solusi yang diberikan?
Paling saya adukan ke Pak RT.
4. Apakah pernah terjadi keluarga yang melakukan kekerasaan dibawa ke ranah hukum?
Saya sih tidak tau sampai situ, setau saya tidak ada.
5. Apakah di lingkungan ini sudah ada shelter untuk menangani anak korban kekerasan?
Setau saya tidak ada, hanya ada taman bermain saja itu juga cuma satu.
HASIL WAWANCARA
Nama : bapak oim (nama samaran)
Jabatan : Masyarakat
1. Jika ada salah satu rumah tangga melakukan kekerasan terhadap anak apa yang bapak
lakukan?
Saya menegurnya
2. Bagaimana respon keluarga tersebut ?
Respon orang tua ada yang menerima ada yang tidak. Jika kita sudah menjelaskan
kepada orang tuanya kadang-kadang mereka malah marah sama saya, jadinya galakan
dia.
3. Jika kekerasan terjadi berulang apa yang bapak lakukan/solusi yang diberikan?
Saya biarkan saja tapi kalau saya lihat sudah keterlaluan saya laporka ke pak RT.
4. Apakah pernah terjadi keluarga yang melakukan kekerasaan dibawa ke ranah hukum?
Saya kira tidak ada, karena jarang yang lapor juga.
5. Apakah di lingkungan ini sudah ada shelter untuk menangani anak korban kekerasan?
Setau saya tidak ada.
HASIL WAWANCARA
Nama : Bapak Aim (nama samaran)
Jabatan : Keluarga dekat Korban
1. Jika ada salah satu rumah tangga melakukan kekerasan terhadap anak apa yang bapak
lakukan?
Saya menegurnya.
2. Bagaimana respon keluarga tersebut ?
Respon orang tua ada yang menerima ada yang tidak. Jika saya sudah menjelaskan
kepada orang tuanya kadang-kadang mereka marah sama saya dan mengusir saya,
sambil bilang “jangan ikut campur”. Yasudah dari pada saya berantem saya keluar saja
dari rumahnya.
3. Jika kekerasan terjadi berulang apa yang bapak lakukan/solusi yang diberikan?
Saya hanya bisa diam, mau dilaporin juga dia saudara saya.
4. Apakah pernah terjadi keluarga yang melakukan kekerasaan dibawa ke ranah hukum?
Setau saya tidak pernah.
5. Apakah di lingkungan ini sudah ada shelter untuk menangani anak korban kekerasan?
Tidak ada setau saya, ada hanya taman itu juga jauh.
HASIL WAWANCARA
Nama : Ibu Midah (nama samaran)
Jabatan : Sekertaris PKK
1. Jika ada salah satu rumah tangga melakukan kekerasan terhadap anak apa yang Ibu
lakukan?
Yang saya lakukan adalah dengan menegur ibunya karena saya kasihan kepada anak
kalau setiap saat di marahin orang tuanya.
2. Bagaimana respon keluarga tersebut ?
Respon orang tua ada yang menerima ada yang tidak. Jika saya sudah menjelaskan
kepada orang tuanya kadang-kadang mereka ngomong “ini anak saya urusan saya
bukan urusan kamu”. Tapi saya tetap menegurnya.
3. Jika kekerasan terjadi berulang apa yang ibu lakukan/solusi yang diberikan?
Solusinya dengan mengadakan sosialisasi tentang perlindungan anak kepada orang tua.
4. Apakah pernah terjadi keluarga yang melakukan kekerasaan dibawa ke ranah hukum?
Untuk kekerasan fisik tidak ada yang dibawa ke ranah hukum, tapi kalau kekerasan
seksual ada. Korbannya 8 orang anak di bawah umur, pelaku 1 orang. Dihukum 4 tahun
karena pelaku masih anak di bawah umur. Inisial pelaku (Z) usia di bawah 18 tahun.
Korbannya usia dari 8-10 tahun.
5. Apakah di lingkungan ini sudah ada shelter untuk menangani anak korban kekerasan?

Shelter ada di pertemuan-pertemuan saja, ada di TPA sabili. Bahkan di arisan juga kita
saling mengingatkan agar anak-anak mereka dijaga dengan baik.
FOTO KEGIATAN WAWANCARA
BIODATA PENULIS

Abdul Ghofur, dilahirkan di Jakarta Selatan tepatnya di


Jati Padang Pasar Minggu pada hari Senin, 11 Maret
1996. Anak kedua dari empat bersaudara pasangan dari
H. Mashur, S.Ag dan HJ. Nur Komariah. Penulis
menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah yaitu
MI. Al-Barkah Jati Padang Pasar Minggu pada tahun
2007. Penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah
Tsanawiyah (Pondok Pesantren) Al-Awwabin Depok
dan tamat pada tahun 2010. Kemudian melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah
(Pondok Pesantren) Al-Awwabin Depok dan tamat pada tahun 2013. Pada tahun
2013 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Keluarga (HK)
dan tamat pada tahun 2020.

Dengan tekunan, motivasi tinggi untuk terus belajar dan berusaha. Penulis telah
berhasil menyelesaikan pengerjaan tugas akhir skripsi ini. Semoga dengan
penulisan tugas akhir skripsi ini mampu memberikan kontribusi positif bagi dunia
pendidikan.

Motto:

“ADAB/AKHLAK ITU LEBIH BAIK DARI PADA ILMU”

Anda mungkin juga menyukai