Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH

UMUR DI KECAMATAN BAOLAN

SEMINAR HASIL
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Penulisan Skripsi
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata Satu (S1)
Pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako

Oleh
Usmiati Putri
D 101 19 017

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas nikmat
karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Analisis Hukum
Terhadap Perkawinan Di Bawah Umur Di Kecamatan Baolan” dapat
terselesaikan. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai suatu syarat yang harus
dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Fakultas Hukum
Universitas Tadulako Palu. Shalawat serta salam tidak lupa penulis terpanjatkan
kepada junjungan dan teladan ummat manusia, Nabi Muhammad SAW., beserta
keluarga, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini, secara tulus, ikhlas, dan penuh syukur penulis
haturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada orang tua bapak Usman Ali
dan Ibu Wati, kepada kedua saudara laki-laki penulis Rama dan Ikhsan, kepada
teman-teman penulis Raoda, Nena, Rosita dan Salmia, terima kasih telah
memberikan dukungan melalui doa dan kasih sayangnya. Sekalipun ucapan ini
tidak dapat menggantikan dan membalas kebaikan keluarga, tetapi dengan ucapan
ini penulis ingin memberikan setitik kebanggaan atas pencapaian yang telah
dilakukan oleh penulis.
Penulis menyadari memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan
pengetahuan, tetapi atas bimbingan dan pendampingan yang telah diberikan oleh
Dosen Pendamping, Ibu Dr. Susi Susilawati S.HI., MH selaku Dosen Pembimbing
pertama dan bapak M. Ayyub Mubarak, S.HI, MH selaku dosen pembimbing
kedua sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Pembimbing telah
banyak memberikan pencerahan, saran, masukan serta pengetahuan atas penulisan
tugas akhir ini. Pada bagian ini, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih
kepada Dosen Pembimbing atas tenaga, pikiran dan waktunya dalam
membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Pada bagian akhir, penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan dan partisipasinya, baik secara
langsung maupun tidak langsung sejak awal Universitas Tadulako sampai pada
proses pembuatan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Amar, ST,MT, selaku Rektor Universitas Tadulako.
2. Bapak Dr. H. Sulbadana, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Tadulako.
3. Bapak Dr. Agus Lanini, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I (Bidang
Akademik), Ibu Hj. Sitti Fatimah Maddusila, S.H., M.H, selaku Wakil
Dekan II (Bidang Umum dan Keuangan), dan Bapak Dr. Rahmat Bakri,
S.H., M.H, selaku Wakil Dekan III (Bidang Kemahasiswaan) Fakultas
Hukum Universitas Tadulako.
4. Bapak Dr. Syamsudin Baco. S.H., M.H, Ketua Bagian Hukum Perdata
Universitas Tadulako, dan Bapak Sulwan Pusadan S.H.,M.H, Selaku
Sekertaris Bagian Hukum Perdata.

ii
5. Bapak Dr. Lembang Palipadang, SH,MH, selaku Dosen Wali yang telah
memberikan masukan dan saran bagi penulis selama menempuh
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Tadulako.
6. Ibu Dr. Susi Susilawati S.HI., MH dan bapak M. Ayyub Mubarak, S.HI,
MH selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu,
memberikan saran, dan motivasi, serta bimbingan kepada Penulis,
sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan.
7. Seluruh Tim Dosen Penguji Ibu Dr. Hj. Nurhayati Sutan Noko e,
S.Ag,MH, Bapak H. Ashar Ridwan, Lc.MA, dan ibu Hj. Rosnani Lakunna,
SH, MH, yang telah memberikan saran demi perbaikan dan
penyempurnaan skripsi ini.
8. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum, yang sudah memberikan
ilmu pengetahuan kepada Penulis sejak awal perkuliahan hingga
selesainya penulisan skripsi ini.
9. Seluruh Staf Pegawai dan Staf Pegawai Perpustakaan Fakultas Hukum,
terima kasih atas pelayanan dan kesempatan yang sudah diberikan kepada
Penulis selama menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum.
10. Para sahabat seperjuangan mulai dari awal kuliah sampai sekarang yang
selalu menemani penulis selama perkuliahan berlansung baik suka maupun
duka serta teman-teman Fakultas Hukum Univesitas Tadulako Angkatan
2019.
11. Terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga seluruh dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis
menjadi amal kebaikan untuk semuanya dan mendapatkan balasan kebaikan serta
diberikan rahmat dan pahala oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini masih terhadap banyak kekurangan dan masih jauh dari
kata sempurna dan masih memiliki banyak kelemahan, maka dari itu izinkan
penulis menghaturkan permohonan maaf. Untuk itu penulis harapkan segala
bentuk saran dan masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Besar harapan penulis dikemudian hari skripsi ini bisa menjadi patokan
atau tolak ukur pembuatan karya tulis maupun tugas lainnya. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak khususnya dalam bidang
Ilmu Hukum.

Palu, Maret 2023

Usmiati Purti
Penulis

iii
ABSTRAK
Usmiati Putri, D10119017, Analisis Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah
Umur Di Kecamatan Baolan, Pembimbing I: Dr. Susi Susilawati S.HI., MH,
Pembimbing II: M. Ayyub Mubarak, S.HI, MH.

Perkawinan merupakan salah satu bentuk beribadah dan mempunyai akibat


hukum terhadap para pihak yang melakukannya. Perkawinan bisa dianggap sah
bila dicatat. Syarat pencatatan perkawinan yaitu kedua calon mempelai pria dan
wanita sudah cukup umur, yakni umur 19 tahun. Meskipun telah dibatasi
pencatatan perkawinan di bawah umur dapat dilakukan dengan mengajukan
permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Meskipun begitu
kenyataannya tak jarang ditemui perkawinan di bawah umur yang dilakukan tanpa
mengajukan permohonan dispensasi kawin, salah satunya di masyarakat yang
terdapat di Kecamatan Baolan Kabupaten Tolitoli. Permasalahan dalam penelitian
ini adalah penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur tanpa mengajukan
permohonan dispensasi kawin dan penyebab terjadinya mengajukan permohonan
perkawinan di bawah umur dengan mengajukan dispensasi kawin. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, dengan mengkaji
atau menganalisis data berupa data primer dan data sekunder. Hasil penelitian ini
dapat ketahui bahwa alasan masyarakat melakukan perkawinan di bawah umur
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ekstenal dan internal. Faktor ekternal
seseorang melakukan perkawinan tanpa mengajukan dispensasi yaitu biaya
pengurusan ke pengadilan dan kesulitan dalam mengurus beberapa dokumen.
Sedangkan faktor internalnya yaitu ketidaktahuan tentang aturan yang berlaku,
kurangnya kesadaran akan pentingnya pencatatan perkawinan dan faktor
kepercayaan yang dianut. Adapula alasan seseorang melakukan perkawinan di
bawah umur dengan mengajukan dispensasi kawin yaitu faktor pekerjaan yang
mengharuskan adanya pengesahan perkawinan dengan mengurus buku nikah, dan
kesadaran diri akan pentingnya pencatatan perkawinan agar anak yang dilahirkan
memperoleh akta kelahiran.
Kata kunci : Perkawinan di bawah umur, dispensasi, kesadaran hukum

iv
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Usmiati Putri


Stambuk : D 101 19 017
Bagian : Hukum Perdata
Judul : Analisis Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah
Umur Di Kecamatan Baolan

Palu, Maret 2023


Telah diperiksa dan disetujui untuk diseminarkan pada ujian hasil.

Pembimbing 1 Pembimbing II

Dr. Susi Susilawati S.HI., MH M. Ayyub Mubarak, S.HI, MH


NIP. 19781119 200501 2 003 NIP.19750525 200501 1 002

Mengetahui
Dekan Fakultashukum
Universitas Tadulako,

Dr,H.SULBADANA,S.H.,M.H
NIP. 19620505 198803 1 002

v
DAFTAR ISI

JUDUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
ABSTRAK............................................................................................................v
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii
DAFTAR TABEL.................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................4
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................5
E. Metode Penelitian......................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................9
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan.......................................................9
B. Dispensasi kawin......................................................................................20
C. Kesadaran Hukum....................................................................................22
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................30
A. Faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur tanpa meminta
dispensasi kawin di Kecamatan Baolan.................................................30
B. Faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur dengan
mengajukan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan................................40

BAB IV PENUTUP..............................................................................................46
A. Kesimpulan................................................................................................46
B. Saran .........................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................48
LAMPIRAN DOKUMENTASI.............................................................................51
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Peristiwa Perkawinan Di Bawah Umur Di Kecamatan Baolan.............31
Tabel 2 Data Dispensasi Kawin Di Kecamatan Baolan Yang Terdapat Di
Pengadilan Agama.................................................................................40

vi
vii
BAB l
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Tuhan
menciptakan manusia secara berpasangan, pria dan wanita. Oleh karena itu untuk
menyalurkan hasrat berpasang-pasangan manusia kemudian melakukan
perkawinan, dimana hubungan perkawinan itu merupakan salah satu bentuk
beribadah dan mempunyai akibat hukum terhadap para pihak yang melakukannya.
Perkawinan sebagai bentuk beribadah terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
yaitu Pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat
(mitsaaqoon gholiizhoon) untuk menaati perintah Allah SWT, dan
melaksanakannya merupakan ibadah.1 Selain itu perkawinan dapat menimbulkan
akibat hukum bagi para pihak yang melakukannya. Hal ini disebabkan karena
Negara Indonesia sebagai negara hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Berdasarkan hal tersebut maka semua perbuatan hukum yang dilakukan
warga negara harus diatur, agar dapat memberikan kepastian hukun dan
perlindungan hukum dari Negara.
Perkawinan di Indonesia diatur dan diundangkan dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan ( selanjutnya disebut UU Perkawinan). Undang-undang
ini membuat legitimasi terhadap perkawinan yang dilakukan oleh para pihak serta
akibat yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut.
Adapun syarat-syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan yang harus
dipenuhi agar perkawinan tersebut dianggap sah. Perkawinan dinyatakan sah
apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
secara tertib menurut hukum syari’ah bagi yang beragama Islam dan dicatat
menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh pegawai pencatatan nikah. Hal
ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Menurut undang-undang perkawinan salah satu syarat untuk bisa dicatat
perkawinannya yaitu kedua calon mempelai pria dan wanita sudah cukup umur,
yakni umur 19 Tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang
perkawinan yang rumusannnya sebagai berikut: “Perkawinan hanya diizinkan
apabila pria dan wanita sudah mencapai 19 tahun (sembilan belas tahun)”.
Pembatasan umur perkawinan dilakukan bukan tanpa tujuan mengingat
membangun sebuah keluarga yang harmonis tidak dapat diciptakan dengan
mudah. oleh karena itu, untuk mencapai tujuan perkawinan tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. maka diatur ketentuan
tersebut untuk meminimalisir perkawinan di bawah umur.
Meskipun telah dibatasi, dalam undang-undang perkawinan perkawinan di
bawah umur masih bisa dilakukan dengan mengajukan dispensasi kawin ke

1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 7

1
Pengadilan. Hal ini diperjelas dalam Pasal 7 ayat (2) UU No.16 Tahun 2019, yang
menjelaskan bahwa “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua
pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”
Dari isi pasal di atas sangat jelas jika seseorang yang ingin melangsungkan
perkawinan di bawah umur dapat dilakukan dengan orang tua pihak yang di
bawah umur mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan
Agama. Kenyataannya perkawinan di bawah umur tak jarang masih ada yang
melakukan tanpa mengajukan dispensasi kawin, salah satunya yang terjadi di
masyarakat Kecamatan Baolan Kabupaten Tolitoli. Kecamatan ini memiliki
wilayah 258,03 km2 dan terdiri dari 6 Kelurahan dan 4 Desa diantaranya Desa
Dadakitan, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Panasakan, Kelurahan Sidoarjo,
Kelurahan Baru, Kelurahan Nalu, Kelurahan Tambun, Desa Buntuna, Desa
Leleannono, Dan Desa Pangi. Perkawinan di bawah umur masih sering dijumpai
di wilayah ini baik yang mengajukan permohoan dispensasi kawin maupun tanpa
mengajukan permohonan dispensasi kawin. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor eksternal dan faktor internal. faktor ekternalnya seseorang melakukan
perkawinan di bawah umur tanpa mengajukan permohonan dispensasi kawin yaitu
biaya pengurusan ke pengadilan dan kesulitan dalam mengurus beberapa
dokumen. Sedangkan faktor internalnya yaitu ketidaktahuan tentang aturang yang
berlaku, kurangnya kesadaran akan pentingnya pencatatan serta pengaruh dari
faktor kepercayaan yang dianut yang membuat masyarakat merasa tidak perlu
mencatatakan perkawinannya karena dengan menikah secara agama masyarakat
merasa sudah cukup untuk menghidari zina, Selain itu adapula yang tidak
mengajukan dispensasi kawin karena merasa tingginya biaya yang diperlukan
untuk mengurus ke Pengadilan dan adapula yang menganggap mengurus
dispensasi kawin itu sulit sehingga mereka menunda untuk mengurusnya. Adapula
alasan seseorang melakukan perkawinan dibawah umur dengan mengajukan
dispensasi kawin yaitu karena pekerjaan yang mengharuskan perlu pengesahan
perkawinan dengan mengurs buku nikah. Selain itu, adanya kesadaran diri akan
pentingnya pencatatan agar anak yang dilahirkan memperoleh akta kelahiran juga
menjadi faktor sesorang mengajukan dispensasi kawin. Maka berdasarkan uraian
diatas perlu dilakukan pembahasan isu hukum yang berjudul “ANALISIS
HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI KECAMATAN
BAOLAN”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur tanpa
mengajukan permohonan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan?
2. Bagaimanakah penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur dengan
mengajukan permohonan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur tanpa
mengajukan permohonan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur
dengan mengajukan permohonan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan.

2
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi dalam bidang hukum
perdata terkait perkawinan di bawah umur di Kecamatan Baolan. Selain itu
penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi
mahasiswa dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih lanjut
tentang masalah ini.
2. Secara praktis
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat, dan
bagi pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini. Bagi penulis dapat
bermanfaat agar lebih menambah wawasan penulis mengenai analisis hukum
terhadap perkawinan di bawah umur di Kecamatan Baolan. Sedangkan bagi
masyarakat, dapat memberikan pemahaman terkait undang-undang
perkawinan serta pengetahuan akan pentingnya pencatatan perkawinan. Selain
itu penulisan ini juga dapat dimanfaatkan bagi aparat penegak hukum untuk
mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian mengenai “Analisis Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah
Umur Di Kecamatan Baolan” menggunakan metode penelitian empiris,
penelitian ini difokuskan pada perilaku masyarakat terhadap aturan hukum
yang berlaku. penulisan hukum empiris adalah bagian dari jenis penelitian
hukum dengan menganalisis dam mengkaji bekerjanya hukum dalam
masyarakat.2
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data3. Dalam penelitian ini sumber data diperoleh dari
Kantor Urusan Agama, Pengadilan Agama, aparat penegak hukum, serta
masyarakat.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah sumber data yang
dapat memberikan informasi atau data tambahan yang dapat memperkuat
data pokok. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal, peraturan perundang-undangan,
dan tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini..
c. Data Tersier
Data tersier dalam penelitian ini adalah bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder. Data tersier
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum dan bahan dari
internet.
3. Lokasi Penelitian
2
Rony Hamiti Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang, 1982 Hlm 37
3
Sugiyo, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatig Dan R&D, (Bandung: Cv. Alfabeta Suryabrata,
2015)

3
Adapun Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih, sebagai
tempat untuk mengumpulkan data di lapangan sehingga menemukan jawaban
terhadap masalah yang diteliti. Lokasi yang penulis tetapkan dalam melakukan
penelitian ini adalah Kecamatan Baolan.
4. Teknik pengumpulan data
a. Wawancara
Tehnik ini merupakan pengumpulan data dan melakukan wawancara
dengan menentukan beberapa indikator-indikator sehingga dapat
diketahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terkait Undang-undang
Perkawinan di Kecamatan Baolan, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman
hukum, sikap hukum dan perilaku hukum.4 Penelitian ini melakukan
wawancara dengan Kepala KUA, Bapak Falatehan,Lc, dan beberapa
pasangan di bawah umur yang melakukan perkawinan tanpa dispensasi
kawin serta beberapa pasangan di bawah umur yang mengajukan
permohonan dispensasi kawin ke pengadilan Agama. Selain itu penulis
juga melakukan wawancara dengan bapak Usman Ali, SH selaku advokat
yang melayani POSBAKUM di Pengadilan Agama.
b. Studi Kepustakaan
Data kepustakaan diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang
bersumber pada data sekunder, baik berupa bahan hukum primer,
maupun bahan hukum sekunder. Dan sumber pendukung lainnya yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
5. Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis mengunakan penelitian
kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat
teratur, logis dan efektif sehingga dapat memudahkan intrepretasi data dan
pemahaman hasil guna menjawab permasalahan yang ada kemudian dapat di
tarik kesimpulan.5

4
Soerjono Soekarto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)
hlm.217-219.
5
Muh.Abdul Kadir, Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,2004, Hlm.124

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Perkawinan merupakan kata yang diambil dari kata dasar “kawin” yang
berarti “Menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau beristri”. Menurut kamus
bahasa Indonesia, terdapat istilah lain yang menjadi sinonim dari kata kawin,
yakni kata nikah. Kata nikah itu sendiri merupakan kata serapan dari bahasa arab
yaitu nikaahun yang merupakan masdar dari kata kerja nakaha.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dapat diketahui definisi dari
perkawinan, “ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
Melihat dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa perkawinan tidak
hanya merupakan ikatan lahir dan batin saja, akan tetapi mencakup ikatan
keduanya. Ikatan lahir merupakan ikatan formil yang sifatnya nyata, yang terjadi
dengan adanya upacara akad nikah bagi yang beragama Islam. Sebagai ikatan
batin perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan
yang sama antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai
suami istri. Dengan adanya perkawinan pula maka terbentuk sebuah keluarga
yang sebelumnya seorang pria dan seorang wanita tidak ada hubungan apapun,
menjadi terikat satu sama lain sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi
para pihak.6
Hak dan kewajiban layaknya sepasang sepatu yang saling melengkapi satu
sama lain. Adanya hak menunjukkan adanya kewajiban, begitu pula sebaliknya.
Hak dapat dipahami sebagai sesuatu yang patut atau layak diterima, sedangkan
kewajiban sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Ketika seseorang mempunyai
kewajiban, maka disana ada hak orang lain yang akan menerima hasil pelaksanaan
kewajiban tersebut.
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Alquran dan
Alhadis, yang kemudian dikompilasikan dalam Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam Nomor 1 Tahun 1991 mengandung 7 (tujuh) asas atau
kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Sebagai Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai
kesejahteraan spritual dan material.
2. Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum Agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus
dicatat oleh petugas yang berwenang.
3. Asas monogami terbuka.
Berdasarkan Alquran Surah An-Nisa Ayat 3 menjelaskan bahwa “jika
suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari
seorang maka cukup seorang istri saja”.
6
Aulia Muthiah, Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga, Pustaka Baru Press,
Yogyakarta, 2020, hlm.61

5
4. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa raganya dapat
melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga
tidak berpikir kepada perceraian.
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian. Berdasarkan hadis, Allah
membenci perceraian maka perceraian itu dipersulit. Sebagaiman
dinyatakan dalam Hadis Riwayat Abu Daud mengatakan bahwa Nabi
Muhammad Saw Bersabda : “Perbuatan yang halal yang paling di benci
oleh Allah SWT Adalah talak”.
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Oleh karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarakan
dan diputuskan bersama oleh suami istri.
7. Asas pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan mempermudahkan mengetahui manusia yang
sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.7
Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan
perkembangannnya. Sehingga diperlukan pencatatan tiap-tiap perkawinan untuk
menjadi legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu
konsekuensi yuridis dalam hak-hak keperdataaan dan kewajibannya seperti
kewajiban memberi nafkah dan hak waris. 8 Hal ini diatur dalam Pasal 2 Ayat (1)
dan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang rumusannya. Sebagai
berikut :9 “Perkawinan yang dianggap sah yaitu dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku”.
Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang jelas
dan tegas, yakni berdasarkan Alquran surah Ar-Ruum Ayat 21 yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.”
Ayat ini menjelaskan bahwasanya tujuan perkawinan adalah untuk
menciptakan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah,
mawaddah wa rahmah). Kehidupan yang seperti ini merupakan kebutuhan yang
telah menjadi fitrah atau naluri setiap manusia. Hal ini dapat berlangsung lancar
jika suami maupun istri sadar bahwa menikah merupakan ibadah yang dilakukan
untuk mendapatkan ridhoi Allah SWT.
Selain ayat Alquran, adapula hadist Nabi yang menyatakan “Wahai para
pemuda, siapa saja diantara kalian yang memiliki kemampuan untuk menikah,
hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih
7
Zainuddin Ali, Op.Cit hlm. 8
8
Rachmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Perkawinan Di Indonesia,” Jurnal Legalitas Indonesia, Vol. 14 No. 03 September, 2017, hlm.
255 – 274
9
Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 50

6
menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah,
hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu merupakan peredam (syahwat).”10
Dalam agama Islam perkawinan memiliki hukum yang disesuaikan dengan
kondisi atau situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut
Islam:11
a. Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk menikah dan jika
tidak menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina.
b. Sunnah, bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun
jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina.
c. Makruh, jika ia memiliki kemampuan menikah dan mampu menahan diri
dari zina tapi ia memiliki keinginan kuat menikah
d. Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan
untuk menikah dan mampu menghindari diri dari zina, ia hanya menikah
untuk kesenangan semata.
e. Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan
dikhawatirkan jika ia menikah akan menelantarkan istrinya atau tidak
dapat memenuhi kewajiban terhadap istrinya dan sebaliknya istri tidak
dapat memenuhi kewajiban terhadap suaminya.
2. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah perintah agama, setiap perintah agama merupakan
bagian dari ibadah setiap makhluk ciptaan Allah SWT. Tiap-tiap perintah yang
diberikan kepada hambanya bukan hanya sesuatu yang dikehendakinya, tetapi
jelas mempunyai tujuan tersendiri. Tujuannya dari perkawinan adalah menjadikan
keluarga yang bahagia. Keluarga yang bahagia itu adalah keluarga yang mencapai
sakinah, mawaddah, dan rahmah ketiga hal ini merupakan suatu keniscayaan
yang sepatutnya tercapai.12
Perkawinan sebagaimana telah dikemukakan, bahwa yang menjadi tujuan
perkawinan menurut Undang-undang perkawinan adalah membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pengertian ini berarti pernikahan mengandung aspek akibat hukum yaitu
saling mendapatkan hak dan kewajiban, serta bertujuan mengadakan pergaulan
yang dilandasi tolong-menolong. Oleh karena perkawinan termasuk dalam
pelaksanaan syariat agama, maka didalamnya terkandung tujuan dan maksud. 13
Adapun tujuan dari perkawinan menurut Islam adalah sebagai berikut:14
a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
Perkawinan merupakan fitra manusia untuk memenuhi tuntutan
naluri manusia melakukan perkawinan yang dilakukan dengan cara-cara
yang telah diatur diundang-undang perkawinan dan beberapa hukum
agama, sehingga suatu hubungan sah dan halal.
10
Anwar Rachman et al., Hukum Perkawinan Indonesia Dalam Perspektif Hukum Perdata, Hukum
Islam, Dan Hukum Administrasi, Kencana, Jakarta, 2020 hlm.109
11
Ibid
12
Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Mizan, Bandung
1997, hlm 96-97
13
Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta,1995,
hlm.114
14
Ibid

7
b. Untuk menjaga akhlak yang mulia.
Sasaran utama dari syariat pernikahan adalah untuk menjaga
martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang telah menurunkan
martabat manusia yang mulia. Dalam konteks ini ajaran agama Islam
melihat perkawinan sebagai keluarga yang menjadi media efektif yang
dapat mengontrol pemuda maupun pemudi dari kerusakan serta
melindungi masyarakat dari kekacauan.
c. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami
Dalam keluarga Islam membenarkan adanya perceraian, jika suami
tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah SWT, sebagaimana
firman Allah SWT:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduannya khawatir
tidal akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah SWT, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah SWT, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
SWT mereka itulah orang orang yang zalim.”
Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin dapat
disimpulkan tujuan perkawinan sebagai berikut:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung-jawab menjalankan
kewajiban dan memenuhi hak, juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta kekayaan yang kekal.
e. Membangun rumah tanggah untuk membentuk masyarakat yang tenteram
atas dasar cinta dan kasih sayang.15
Dari penjelasan diatas dapat dilihat manfaat melaksanakan perkawinan
salah satunya yaitu untuk menjaga diri dari kejahatan dan kerusakan. Maka dari
itu agar tujuan perkawinan dapat terwujud, maka setiap orang yang ingin
melaksanakan perkawinan menurut undang-undang perkawinan harus melengkapi
syarat-syarat tertentu dan juga sesuai dengan prosedur tertentu.
3. Rukun dan syarat perkawinan
Terlaksananya suatu perkawinan tentu menimbulkan akibat hukum karena
hal ini merupakan bagian dari perbuatan hukum yang melibatkan para pihak yang
mengikatkan diri dalam suatu akad yang dilakukan sesuai dengan ketentuan

15
Purnomo dan Moch. Azis Qoharuddin, Maqosid Nokah Menurut Imam Ghozali Dalam Kitab
Ihya’ulumuddin,” Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam, Vol VII No. 01 April 2021, hlm. 117.

8
hukum dan agama. Dalam hukum Islam suatu perkawinan dapat dilaksanakan
apabila memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Yang dimaksud dengan rukun
perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah
satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud
dengan syarat yaitu sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak
termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jika salah satu syarat tidak
terpenuhi maka akibatnya perkawinan tidak sah.16
Dalam Kompilasi Hukum Islam ketika membahas rukun perkawinan
mengikuti sistematika fikih yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, bahwa : “Untuk melaksanakan perkawinan
harus ada: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab dan
kabul.” Meskipun Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lima rukun perkawinan
sebagaimana fikih, ternyata dalam uraian persyaratannya Kompilasi Hukum Islam
mengikuti UU Perkawinan yang melihat syarat hanya berkenaan dengan
persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.17
Menurut Kompilasi Hukum Islam syarat untuk melangsungkan
perkawinan yaitu persetujuan kedua calon mempelai wanita dan calon mempelai
pria. Hal ini dimaknai sebagai bentuk bahwa keduanya telah menyetujui untuk
melangsungkan pernikahan, maka dari itu mereka dapat menjalani kehidupan
berumah tangga dengan baik tanpa ada paksaan dari orang lain. Dalam Pasal 16
Kompilasi Hukum Islam menegaskan tentang persetujuan nikah yaitu:
1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai
2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas
dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam
dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Selain dari persetujuan calon mempelai juga dipertimbangkan kesiapan
kedua calon mempelai dimulai dari aspek kesehatan reproduksi, pemenuhan
ekonomi keluarga, hingga ancaman perceraian karena menikahkan dua orang
yang belum matang jiwa raganya. Karena itu, negara berupaya menekan dampak
dari perkawinan di bawah umur tersebut dengan merekayasa batas usia
perkawinan.18
Pembatasan usia perkawinan calon mempelai pria dan calon mempelai
wanita menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 7
ayat (1) yaitu Pria 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita 16 (Enam belas) tahun.
Adapun perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada
Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan apabila pria
dan wanita sudah mencapai umur 19 (seembilan belas) tahun. Para ulama fiqih
tidak menentukan batas usia minimal yang sah untuk dapat melangsungkan
perkawinan. Tetapi menurut Kompilasi Hukum Islam jika calon mempelai belum
cukup umur 21 tahun dapat melangsungkan perkawinan dengan mendapakan izin
16
Rizky Perdana Kiay Demak, “Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum Islam Di
Indonesia,” Jurnal Lex Privatum Vol.VI,No.6 Ags, 2018, hlm. 123
17
Aulia muthiah,Op.Cit, hlm.62
18
Dani Ramdani, Aspek Hukum Perlingungan Anak Perkembangan Produk Hukum Dan
Implementasinya di Pengadilan, kencana, Jakarta, 2020, hlm. 38-39.

9
dari kedua orang tua masing-masing karena dianggap belum mandiri secara
hukum. Hal ini terdapat pada Pasal 15 ayat 2 kompilasi hukum Islam Bab VI
Bagian kedua calon mempelai, bahwa “Bagi calon mempelai yang belum
mencapai Umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.”
Berikut ini Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6
dan Pasal 7 (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019). Di dalam ketentuan pasal
ini dijelaskan lebih jelas syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat perkawinan
dalam pasal tersebut yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Berdasarkan pasal diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu
syarat untuk mengajukan pernikahan adalah persetujuan kedua calon mempelai
juga restu kedua orangtua dan yang tidak kalah penting ialah usia calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan. Sebab bila di bawah umur dipandang
masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orangtua/wali. Sebagaimana
diatur dalam undang-undang perkawinan terdapat dalam Pasal 7 Ayat (1) yaitu:
1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur
19 tahun (sembilan belas tahun).
2. Dalam hal penyimpangan terhadap Ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undangan-undang ini, berlaku

10
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 Ayat (6).
Berdasarkan ketentuan diatas, usia menjadi syarat bagi calon mempelai
untuk menikah yakni 19 tahun. Sebab untuk menjalani kehidupan pernikahan
dibutukan kematangnya jiwa dan raga agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan
dan terhindar dari perceraian dan juga mendapat keturunan yang sehat dan
berkualitas.19
B. Dispensasi kawin
1. Pengertian dispensasi kawin
Menurut Kamus Hukum, dispensasi merupakan suatu pengecualian terhadap
ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan hukum ataupun undang-undang yang
seharusnya berlaku secara formil; Suatu keputusan yang memperkenankan
dilakukannya suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh pembuat
peraturan. (H.Administrasi Negara). Sedangkan kawin adalah pengikatan diri pada
sesuatu perjanjian dalam suatu hubungan perdata dengan mematuhi syarat-syarat,
baik untuk calon pengantin laki-laki atau pun calon pengantin perempuan.
(H.Perdata).20 Jadi, dispensasi kawin adalah pemberian izin dari perbuatan yang
pada umumnya dilarang menjadi boleh dilakukan untuk kedua calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan. Selain itu menurut Roihan A. Rasyid,
dispensasi kawin adalah dispensasi yang diberikan pengadilan Agama kepada
calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan.21
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa dispensasi kawin adalah
pemberian izin kawin oleh Pengadilan Agama kepada calon suami/istri di bawah
umur, yaitu 19 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan. Dispensasi kawin
dapat diajukan ke pengadilan yang berwenang dengan ketentuan, Pengadilan yang
sama sesuai domisili salah satu orang tua/wali calon suami atau istri apabila calon
suami dan istri di bawah umur batas umur perkawinan.
2. Syarat Pemberian Dispensasi Dalam Perkawinan Di Bawah Umur
Pemberian dispensasi dalam perkawinan di bawah umur pada dasarnya
dapat dilakukan apabila terdapat syarat-syarat antara lain sebagai berikut:
a. Telah terpenuhi rukun sahnya perkawinan.
b. Karena adanya tujuan untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Dispensasi
dalam perkawinan dibawah umur dapat diberikan kepada calon mempelai
yang telah terpenuhi rukun sahnya perkawinan dan pemberian dispesasi
tersebut bertujuan untuk kemaslahatan kehidupan calon mempelai meskipun
syarat sahnya perkawinan belum terpenuhi.
3. Tujuan pemberian dispensasi dalam perkawinan di bawah umur
Pemberian dispensasi dalam perkawinan di bawah umur diberikan kepada
calon mempelai yang hendak melaksanakan perkawinan yang sebenarnya belum
memenuhi syarat sahnya perkawinan yaitu belum mencapai umur sesuai dengan
yang diterangkan pada Pasal 7 Ayat (1) yaitu umur Perkawinan, sebab adanya
19
Dani Ramdani, Op.Cit hlm. 43.
20
Charlie Rudyat, Kamus Hukum, Tim Pustaka Mahardika, 2013.
21
Ummu kalsum, Pengaruh Dispensasi Nikah Terhadap Tingkat Perceraian Dipengadilan Agama
Watampone Kelas I A (Jurusan Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan Fakultas Syariah dan
hukum UIN Alaudin Makasaar , 2017, hlm 23.

11
tujuan kemaslahatan kehidupan manusia sehingga dispensasi diberikan kepada
calon mempelai yang mengajukan permohonan untuk dapat menikah.
4. Dispensasi Kawin Dalam UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 Perubahan
Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Perkawinan di Indonesia mendapat legalitas menurut hukum selama
dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan yang dianut serta tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan
perkawinan yang berlaku di Indonesia menurut Undang-Undang Perkawinan
berkaitan dengan batas minimal perkawinan yaitu umur 19 (sembilan belas)
tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat 1 undang-undang perkawinan Nomor 16
Tahun 2019 perubahan atas undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) di atas tidak menutup kemungkinan
seseorang tidak dapat melangsungkan perkawinan karena dapat dilihat dalam
rumusan Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan, bahwa “Dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita”. Jadi apabila terjadi penyimpangan dari persyaratan usia
perkawinan tersebut, maka perkawinan dapat dilaksanakan dengan cara
mengajukan pemohonan dispensasi ke Pengadilan. Sejauh ini, sering kali orang
tua calon mempelai pria dan calon mempelai wanita mengajukan permohonan ke
Pengadilan Agama agar anaknya yang belum mencapai batas usia perkawinan
dapat diberikan dispensasi agar dapat melangsungkan perkawinan.
C. Kesadaran Hukum
1. Pengertian Kesadaran Hukum (Legal Awareness)
Kesadaran hukum dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana setiap orang
atau suatu kelompok masyarakat memahami terkait aturan-aturan hukum yang
berlaku. Kesadaran hukum sangat diperlukan ditengah masyarakat. Hal ini bukan
tanpa tujuan, melihat dari kepentingan setiap orang itu berbeda-beda yang kadang
menimbulkan konflik itu sendiri. Oleh karena itu untuk meminimalisir terjadinya
hal tersebut diperlukan suatu hukum yang mengatur sehingga ketertiban,
kedamaian, ketenteraman, dan keadilan dapat diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Tanpa memiliki kesadaran hukum yang tinggi, tujuan tersebut
akan sangat sulit tercapai.
Selain itu kesadaran hukum tidak boleh disamakan dengan perasaan hukum
karena keduanya perbedaan. Jika perasaan hukum itu ialah penilaian yang timbul
secara spontan (langsung), maka kesadaran hukum merupakan penilaian yang
secara tidak langsung diterima dengan jalan pemikinan secara rasional dan
berargumentasi. Biasanya kesadaran hukum itu dirumuskan sebagai hasil dari
perasaan-perasaan hukum di dalam masyarakat. Dengan demikian, kesadaran
hukum tidak lain merupakan pandangan hidup dalam masyarakat tentang apa
hukum itu. Pandangan hidup ini bukan hanya sebagai produk dari pertimbangan

12
menurut akal saja, tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa faktor seperti
agama, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.22
Sudikno mertokusumo mengatakan bahwa kesadaran hukum muncul dari
keinginan bersama untuk melindungi kepentingan bersama agar tidak terjadi
benturan di antara sesama anggota masyarakat.23 H.C.Kelman dan L. Pospisil
dalam buku Achmad Ali mengatakan bahwa ketaatan hukum dibedakan
kualitasnya dalam tiga hal, yaitu:
1. Compliance, yaitu suatu kepatuhan seseorang didasarkan pada harapan
adanya imbalan jika ia patuh atau untuk menghindari diri sanksi yang
akan dikenakan jika melanggar hukum. Sehingga akibatnya kepatuhan
hukum selalu didukung dengan pengawasan yang ketat dari
pelaksanaan aturan tersebut.
2. Identification, yaitu kepatuhan terhadap hukum bukan berasal dari
nilai intrinsiknya tetapi agar tetap menjaga hubungan baik dengan
anggota kelompok masyarakat lainnya. Sehingga kepatuhan seseorang
bergantung dari baik-buruknya hubungan antara individu.
3. Internalization, yaitu kepatuhan kepada hukum karena merupakan
bagian darinya dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dari anggota
masyarakat tersebut dan merupakan bagian dari dirinya yang
merupakan nilai intrinsiknya.
Masalah kesadaran hukum masyarakat mempunyai faktor-faktor yang
menjadi ketentuan hukum tertentu sehingaa dapat diketahui, dipahami, ditaati, dan
dihargai. Jika masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka
taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang memahaminya, dan
seterusnya. Menurut Soerjono Soekanto, ada empat indikator kesadaran hukum
yaitu diantaranya:
1. Pengetahuan hukum
Bila suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan diterbikan
menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundang-
undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa setiap warga masyarakat
dianggap mengetahui adanya undang-undang tersebut, misalnya kesadaran hukum
itu tidak hanya berhubungan dengan hukum tertulis. Tetapi dalam kaitannya
dengan kepatuhan hukum, maka kesadaran hukum itu muncul dari proses
penerapan hukum positif tertulis. Konsep kesadaran hukum meliputi 1) kesadaran
pada rasa takut akan ancaman hukum, dan 2) kesadaran karena hukum.
2. Pemahaman hukum
Pengetahuan mengenai hukum yang dimiliki oleh masyarakat belum cukup
untuk memberikan pemahaman terkait hukum itu sendiri. Sehingga masih
diperlukan penjelasan lebih rinci agar warga masyarakat dapat memahami hukum
yang berlaku tersebut. Dari pemahaman hukum tersebut, masyarakat diharapkan
bisa mengerti atau paham tujuan dari peraturan perundang-undangan serta

22
Amran Suardi, Sosiologi Hukum Penegakan, Realitas Dan Nilai Moralitas Hukum, Kencana,
Jakarta, 2018hlm .193
23
Ibid.

13
manfaatnya dalam kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh perundang-
undangan.24
Kalau ditelaah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan,
terkait batasan umur walaupun telah diatur bahwa pria dan wanita dapat menikah
jika sudah cukup umur, yakni berusia 19 tahun. Pada kenyataannya masyarakat
masih ada yang melakukan perkawinan di bawah umur. Padahal dalam Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memberikan ruang bagi masyarakat untuk
menyimpangi batas minimal usia perkawinan dengan cara mengajukan dispensasi
kepada pengadilan. Hal ini terdapat pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua
pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat
mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.
Meskipun demikian, tak jarang ditemui perkawinan di bawah umur tanpa
mengajukan permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Hal ini
menunjukan sebagian besar masyarakat belum mengetahui sepenuhnya terkait isi
dari Pasal 7 ayat (2) tersebut sehingga masih terjadi perkawinan di bawah umur
tanpa mengajukan dispensasi kawin.
Pemahaman hukum masyarakat bisa diketahui dengan mengajukan beberapa
pertanyaaan terkait pemahaman hukum tertentu. Setelah pertanyaan tersebut,
dijawab dengan benar dan tepat maka dapat diketahui bahwa masyarakat tersebut
sudah mempunyai pemahaman hukum atau belum memahami hukum.
3. Sikap hukum
Sikap hukum adalah seseorng mempunyai kecenderungan untuk
mengadakan penilaian pendapat serta sikap tertentu terhadap hukum tertentu.
Sebagaimana kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat. Suatu sikap akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai dalam dirinya sehingga maayarakat bisa
menerima hukum berdasakan penghargaan terhadapnya.
4. Perilaku hukum
Perilaku hukum merupakan pola perilaku seseorang dalam mematuhi
peraturan yang berlaku.25 Perilaku yang sesuai dengan hukun menunjukan akan
adanya tingkat kesadaran hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tinggi
atau rendanya tinggat kesadaran hukum dapat dilihat dari ketaatan hukum yang
terwujud dalam pola perilaku manusia yang nyata. Jika hukum itu berjalan sesuai
aturanya maka hal itu menandakan bahwa suatu aturan itu berjalan efektif dalam
masyarakat.
Dari empat indikator di atas dapat diketahui tingkat kesadaran hukum di
tengah masyarakat. Apabila seseorang hanya mengetahui hukum, maka dapat
dikatakan bahwa tingkat kesadaran masih rendah, kalau telah berperilaku sesuai
dengan hukum, maka kesadaran hukumnya tinggi.
Membahas tentang kesadaran hukum masyarakat, tentu mempunyai
hubungan dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi
dengan masyarakat, yaitu Undang-undang, penegak hukum, masyarakat, sarana
24
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 67
25
Iman Jauhari, Sosiologi Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009, hlm 173-174

14
pendukung, dan budaya. Sebagaimana pendapat Soerjono Soekanto terkait
beberapa faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum, yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri,
Terdapat beberapa teori ilmu hukum, yang dapat dibedakan menjadi tiga
hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Diantaranya sebagai berikut:
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuanya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang
telah ditetapkan.
2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif.
Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau
kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita-cita
hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Artinya kaidah hukum tersebut
sesuai dengan apa yang menjadi cita hukum yaitu dapat menjamin
ketertiban, kesejahteraan dan kemanfaatan.
Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap
kaidah hukum harus memenuhi tiga macam unsur diatas, sebab : (1) bila
kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu
merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti
teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (3) apabila
hanya berlaku secara filosofis, kemungkinan kaidah itu hanya merupakan
hukum yang dicita-citakan.
b. Faktor penegak hukum
Penegakan hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum
mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata
atas, menengah, dan bawah. Maknanya di dalam melaksanakan tugas-tugas
penerapan hukum, petugas semestinya harus memiliki pedoman, yaitu pihak-
pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas
Fasilitas atau sarana adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh
mengefektifkan suatu aturan tertentu, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai
faktor pendukung. Misalnya, seseorang anak yang masih dibawah umur ingin
melangsungkan perkawinan tetapi tidak mempunyai pengetahuan terkait
dispensasi kawin. Bagaimana seorang anak ini dapat mencatatakan
perkawinannya apabila tidak ada yang memberikan informasi bahwa boleh
melakukan perkawinan di bawah umur dengan mengajukan dispensasi kawin ke
Pengadilan Agama.
d. Faktor masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifitas suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadaranya untuk mematuhi suatu
peraturan perundang-undangan, yang biasa disebut kepatuhan. Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang dapat
dilihat dari lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan

15
Salah satu faktor yang menjadi mendukung faktor-faktor penegakan
hukum adalah faktor kebudayaan yang dihasilkan dari pergaulan hidup. Menurut
soerjono soekanto kebudayaan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat,
baik dari cara seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya jika
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan menjadi dasar
untuk berperilaku yang menentukan mengenai apa yang harus dilakukan dan
dilarang.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

16
A. Penyebab Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur Tanpa Mengajukan
Dispensasi Kawin Di Kecamatan Baolan
Pada dasarnya, Perkawinan di bawah umur bisa dilakukan apabila seseorang
yang melakukan perkawinan di bawah umur tersebut mengajukan dispensasi
kawin ke Pengadilan Agama. Namun sayangnya kenyataan dilapangan
menunjukkan fenomena sebaliknya. Perkawinan di bawah umur tanpa meminta
dispensasi kawin masih terjadi khususnya di Kecamatan Baolan. hal ini tentu
dipengaruhi oleh beberapa penyebab sehingga masyarakat masih melakukan hal
tersebut. maka dari itu penulis melakukan penelitian secara empiris untuk melihat
langsung di lapangan tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap Undang-
Undang Perkawinan dengan melakukan wawancara terhadap aparat penegakan
hukum, instansi pencatatan perkawinan serta masyarakat.
Untuk itu penulis melakukan penelitian di kantor pencatatan perkawinan
dengan melakukan wawancara kepada petugas dan kepala KUA dan mengambil
data perkawinan di bawah umur yang tercatat dan ditolak oleh pihak KUA. Bukan
hanya itu untuk mendapatkan hasil penulis yang lebih baik, penulis juga
melakukan wawancara langsung dengan beberapa pasangan yang melakukan
perkawinan di bawah umur tanpa mengajukan dispensasi kawin di Kecamatan
Baolan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa terdapat peristiwa perkawinan di bawah
umur yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu pada Tahun 2021
terdapat 18 pasangan dan berkas yang ditolak ada 19 Pasangan. Untuk lebih detail
berikut ini data dua tahun terakhir 2021-2022 perkawinan di bawah umur yang
ditolak dan yang dicatat perkawinannya sebagai berikut:
Tabel 1
Peristiwa Perkawinan Di Bawah Umur Di Kecamatan Baolan
No Tahun Penolakan Tercatat Tidak Melanjutkan
1 2021 19 18 1
2 2022 40 24 16

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa masyarakat yang
melakukan perkawinan di bawah umur meningkat dua tahun terakhir. Pada tahun
2021 terdapat 19 pasangan yang ditolak berkasnya, 18 pasangan yang tercatat
perkawinannya dan 1 pasangan yang tidak melanjutkan pencatatan. Sedangkan
pada tahun 2022 terdapat 40 pasangan yang ditolak berkasnya, 24 pasangan yang
tercatat perkawinanya dan 16 yang tidak melanjutkan pencatatan. Bagi pasangan
yang berkasnya ditolak, biasanya tidak melanjutkan perkawinan dan adapula yang
tetap melangsunkan perkawinan tanpa mengajukan dispensasi kawin.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, menurut bapak Falatehan, Lc
selaku kepala KUA mengatakan bahwa “Yang dicatatkan perkawinanya itu ada
yang melalui penolakan berkas diberikan penjelasan bahwa boleh dicatat
perkawinannya dengan mengurus dispensasi kawin ke Pengadilan dan ada juga
yang sudah tahu melalui tokoh agama/ tokoh masyarakat”.26

26
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 05 januari 2023

17
Berdasarkan analisis penulis terhadap pernyataan di atas adalah ada dua
kelompok masyarakat terkait Undang-Undang Perkawinan terbaru. Pertama
masyarakat yang mengetahui adanya dispensasi kawin dan masyarakat yang tidak
mengetahui dispensasi kawin. Masyarakat yang mengetahui adanya dispensasi
kawin berasal dari tokoh masyarakat dan tokoh agama. Kedua masyarakat yang
tidak mengetahui mengetahui aturan tersebut, diberitahukan oleh Staaf KUA
bahwa untuk dapat dicatatkan perkawinannya harus mengajukan dispensasi kawin
ke Pengadilan Agama. Atas dasar itu bapak kepala KUA menyatakan bahwa
tingkat kesadaran hukum masyarakat sudah ada namun masih relatif rendah,
dikatakan ada karena datangnya mereka ke KUA menunjukkan Kesadaran hukum
namun masih relatif rendah karena masyarakat masih ada yang tidak mencatatan
perkawinannya walaupun telah mengetahui aturan tentang dispensasi kawin.
Sehingga tak jarang ditemui terjadinya perkawinan di bawah umur tanpa
mengajukan permohonan dispensasi kawin.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa penyebab terjadinya
perkawinan di bawah umur tanpa mengajukan permohonan dispensasi kawin di
Kecamatan Baolan, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pengetahuan hukum
Pengetahuan hukum adalah keadaan dimana seseorang mengetahui adanya
ketentuan-ketentuan dalam berperilaku ditengah masyarakat yang diatur oleh
hukum. Untuk mengetahui pengetahuan hukum masyarakat terkait dispensasi
kawin, penulis melakukan wawancara terkait permasalahan tersebut. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan dapat dinyatakan bahwa masyarakat lebih banyak
yang mengetahui aturan dispensasi kawin.
Dispensasi kawin merupakan salah satu aturan hukum yang membuat
perkawinan di bawah umur yang tidak dibolehkan menjadi boleh dilakukan
dengan mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang perkawinan, ditinjau dari
pembatasan umur, pada dasarnya merupakan bentuk pencegahan perkawinan di
bawah umur, karena dalam prosesnya perkawinan di bawah umur sering terjadi
perceraian di usia muda karena hal tersebut maka perkawinan perlu pembatasan
umur yaitu 19 tahun yang dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Hal tersebut merupakan hal yang ingin dicapai
namun dalam perkembangannya tak bisa dipungkiri pergaulan bebas remaja tak
jarang terjadi kehamilan. akibatnya terjadinya perkawinan yang tidak
direncanakan karena alasan mendesak sehingga tidak mengurus dispensasi kawin.
Sebagaimana yang dituturkan oleh seorang anak dengan inisial kinan yang
melakukan perkawinan di bawah umur tanpa mengajukan pemohonan dispensasi
kawin. “Saya tidak tahu itu dispensasi diurus untuk dicatat perkawinan. Waktu
saya menikah semua diuruskan cepat-cepat orang disini. Pak iman disini yang
kase menikah saya.”27
Salah satu alasan perkawinan di bawah umur dilakukan tanpa mengajukan
dispensasi kawin seperti pernyataan di atas, membuat pasangan yang melakukan
perkawinan tidak mengetahui bagaimana proses pencatatan perkawinan yang
benar. Seringkali perkawinan yang dilakukan karena alasan mendesak, membuat
27
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 4 Februari 2023, jam 16:30 Wita.

18
masyarakat langsung menikahkan kedua pasangan tersebut. Selain itu karena
pengurusan perkawinan biasanya diserahkan kepada seseorang dianggap paham
terkait perkawinan, akibatnya pasangan yang melakukan perkawinan tersebut
tidak mengetahui terkait urusan pencatatan perkawinan.
Hal demikian juga dibenarkan oleh ibu masna orang tua dari anak ema
yang melakukan perkawinan di umur 15 tahun dan anak miwa yang melakukan
perkawinan di umur 18 tahun. “Saya de..tidak tahu itu tentang dispensasi karena
omnya yang urus berkasnya itu waktu menikah, torang hanya tau dia kalau mau
dapat buku nikah nanti cukup umur baru menikah ulang di KUA.”28
Pengetahuan masyarakat terkait Undang-Undang perkawinan masih relatif
rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara bahwa pencatatan perkawinan
selalu di nomor duakan karena ada alasan nanti sudah cukup umur baru
perkawinan dapat dicatatkan di KUA padahal pencatatan kembali bisa dilakukan
sebelum melangsungkan perkawinan. Yaitu dengan mengajukan dispensasi kawin
Ke Pengadilan Agama.
2. Pemahaman hukum
Penjelasan mengenai pemahaman hukum dapat dinilai dari pengetahuan
seseorang yang mempunyai pengetahuan yang lebih dari sekedar mengetahui
suatu hal. Biasanya pemahaman dapat diukur dari respon langsung dari pasangan
yang melakukan perkawinan di bawah umur. Pemahaman masyarakat terkait
dispensasi kawin dapat diketahui melalui beberapa pertanyaan mengenai apakah
masyarakat paham tentang dispensasi kawin.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa kebanyakan dari
masyarakat paham tentang dispensasi kawin. Namun perlu diketahui bahwa dari
kebanyakan yang paham terkait dispensasi adapula yang tidak paham tentang
aturan tersebut. Hal ini ditunjukan dalam salah satu perbincangan penulis dengan
salah satu masyarakat yang bernama nani menyatakan bahwa beliau mempunyai
keponakan yang melakukan perkawinan di bawah umur dan mengajukan
dispensasi kawin ke pengadilan tetapi buku nikanya ditahan. “Ada lalu keluagaku
menikah di bawah umur, di sidang tetapi buku nikahnya ditahan”. 29
Dari pernyataan di atas menunjukan masyarakat masih belum paham
terkait dispensasi kawin. Karena apabila seseorang mengajukan dispensasi kawin
ke Pengadilan dan di kabulkan permohonanya maka buku nikah tidak ditahan
tetapi langsung diberikan setelah sidang selesai. Pengetahuan terkait dispensasi
kawin di tengah masyarakat masih asing, hal ini diketahui dalam beberapa
wawancara jika disebut apakah perkawinan ini dikut sidang, masyarakat langsung
menjawab tetapi jika ditanyakan apakah perkawinan ini dimintakan dispensasi
pasti mereka diam dan kebingungan. Maka dari itu agar masyarakat lebih paham
terkait dispensasi kawin maka perlu diberikan penjelasan terkait istilah-istilah
hukum agar dapat memahami lebih jelas terkait aturan hukum yang berlaku.

3. Sikap hukum

28
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 18 Februari 2023
29
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 5 Februari 2023

19
Sikap hukum adalah keadaan dimana seseorang atau masyarakat
mempunyai pendapat serta sikap yang ditimbulkan terkait aturan hukum tertentu.
Sikap hukum masyarakat terkait dispensasi kawin dapat diketahui melalui
beberapa pertanyaan mengenai seberapa penting dispensasi kawin.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa
kebanyakan masyarakat menjawab penting adanya dispensasi kawin. Disamping
itu adapula yang menjawab tidak perlu, maka dari itu penulis melakukan
wawancara dengan salah satu masyarakat yang menjawab tidak perlu adanya
dispensasi kawin. Untuk mengetahui alasan sehingga dispensasi kawin
menurutnya tidak penting. Dan berdasarkan wawancara yang lakukan ditemukan
jawaban bahwa menikah secara agama sudah cukup. Seperti yang dinyatakan oleh
ibu timang orang tua dari salah satu anakknya melakukan perkawinan di bawah
umur. “Waktu anakku bilang ada orang mau datang melamar dia. saya langsung
tanya keluarga dan keluarga bilang kase menikah secara agama saja dulu supaya
menghindari zina karena kalau mau diurus lagi, lamakan... apalagi anak-anak
sudah baku suka jadi dinikahkan.“30
Anggapan bahwa anak sudah saling menyukai juga menjadi alasan
perkawinan dilakukan terlebih dahulu secara agama. Hal tersebut menyebabkan
penundaan pencatatan perkawinan karena menganggap sudah sah secara agama.
Tidak sedikit orang tua yang enggan melakukan pencatatan perkawinan, setelah
sang anak memiliki keturunan dan ingin menempuh pendidikan maka orang tua
tersebut kembali ke KUA untuk melakukan perkawinan.
Dari hasil wawancara di atas menunjukan sikap masyarakat terhadap
dispensasi kawin masih kurang paham terkait keberadaan dispensasi kawin.
Walaupun menikah secara agama memang sudah dianggap sah tetapi masyarakat
juga harus patuh pada undang-undang perkawinan agar perkawinanya punya
kepastian hukum dari negara. Maka dari itu negara sebagai pelindung perlu
memberikan sosialisasi bahwa perlunya pencatatan perkawinan dan dispensasi
kawin ini adalah solusi untuk menyimpangi batas umur perkawinan serta
keberadaan dispensasi kawin ini juga bukan untuk mempersulit perkawinan.
4. Perilaku hukum
Perilaku hukum adalah keadaan dimana seseorang atau masyarakat yang
sadar akan hukum yang berperilaku sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Indikator perilaku hukum juga merupakan salah satu dari cara untuk mengetahui
tingkat kesadaran yang dapat dilihat yang bersangkutan patuh atau taat pada
hukum. Kepatuhan masyarakat akan undang-undang perkawinan dapat diketahui
dengan perkawinan yang dilakukan di bawah umur yaitu dibawah umur 19 tahun.
Perkawinan di bawah umur yang patuh menurut undang-perkawinan adalah yang
dimintakan dispensasi kawin. Namum berdasarkan hasil wawancara seseorang
yang mengetahui adanya dispensasi kawin justru tidak mengajukan dispensasi
kawin. menurutnya pencatatan perkawinanya masih bisa dilakukan jika sudah
cukup 19 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian diatas menunjukan bahwa meskipun
kebanyakan dari masyarakat menjawab pentingnya dispensasi kawin kenyataanya
masyarakat masih ada yang melakukan perkawinan di bawah umur tanpa meminta
30
Wawancara yang di lakukan pada tanggal 21 Februari 2023

20
dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Berikut ini beberapa alasan tidak
mengajukan dispensasi kawin. Salah satunya alasannya, penentuan acara
perkawinan dilakukan tanpa memeriksa umur calon pengantin. Hal ini menjadi
salah satu alasan penundaan pengurusan dispensasi kawin, seperti pernyataan
seseorang yang melakukan perkawinan di bawah umur yang bernama syarifa yang
menyatakan bahwa “Saya sempat mengurus dispensasi di pengadilan tapi nda
dilanjutkan karena sudah sibuk urus pesta orang di rumah. dan kalau mau dapat
buku nikah masih bisa di urus pas umurku 19 tahun di KUA.”31
Selain dari pelaksanaan perayaan pesta (acara perkawinan) yang menjadi
alasan tidak melanjutkan pengurusan dispensasi. Adapula alasan dari salah satu
pasangan yang bernama harim mengatakan mengurus dispensasi cukup sulit
sehingga enggan mengajukan ke Pengadilan, seperti keterangan beliau
mengatakan bahwa “Saya tidak mengurus dispensasi karena keluargaku malas
urus ke Kua, sebenarnya kalau menikah di kampung suami dari dulu sudah di
urus ke Pengadila untuk nikah secara negara.”32
Adapula alasan pasangan lain tidak mengajukan dispensasi kawin selain
dari mengurus dispensasi kawin cukup sulit, pengurusan dispensasi kawin juga
perlu biaya sehingga masyarakat memilih untuk menunda mengurusnya. Padahal
biaya yang dibutuhkan tidaklah mahal dan jika tidak mampu, mengurus dispensasi
dapat dilakukan secara gratis karena seseorang yang tidak mampu dapat bantuan
hukum dari negara untuk dapat berperkara di pengadilan. Sebagaimana diatur
dalam undang-undang nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum.
Selain itu masalah kesulitan mengurus dokumen juga menjadi alasan tidak
melanjutkan yang mengurus dispensasi seperti yang dinyatakan advokat yang
bernama Usman pernah menangani perkara dispensasi, menyatakan bahwa “Saya
pernah menerima klien perkawinan di bawah umur, tetapi pada saat berkasnya
saya terima ternyata namanya di akta dan kartu keluaarga berbeda sehingga
mereka tidak datang melanjutkan permohonan dispensasi. Mungkin karena proses
perbaikan itu butuh waktu dan biaya sehingga mereka tidak melanjutkan
pengurusannya.”33
Berdasarkan dari hasil penelitian di atas dapat disimpulakan yang menjadi
penyebab perkawinan di bawah umur tanpa mengajukan permohonan dispensasi
kawin karena masyarakat menganggap mengurusnya dispensasi itu membutukan
waktu untuk serta biaya yang tidak murah. Walaupun demikian dapat disimpulkan
bahwa kesadaran hukum masyarakan sudah ada namun masih rendah karena
berdasarkan data terdapat masyarakat yang mengajukan dispensasi kawin
walaupun tidak dilanjutkan karena beberapa alasan. Dan jika dilihat lebih banyak
yang mengurus daripada yang tidak mengurus. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat di Kecamatan Baolan sudah ada
tetapi masih rendah.
B. Faktor penyebab terjadinya permohonan perkawinan di bawah umur
dengan mengajukan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan

31
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 29 Desember 2023
32
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 7 Maret 2023
33
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 8 Februari 2023

21
Salah satu cara agar perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu
dengan mencatatkan perkawinan tersebut. Khusus untuk perkawinan di bawah
umur dapat dicatatkan di KUA dengan mengajukan permohonan dispensasi kawin
di Pengadilan Agama. Pencatatan perkawinan menjadi penting karena beberapa
alasan tentunya. Maka dari itu untuk mengetahui penyebab terjadinya perkawinan
di bawah umur dengan mengajukan dispensasi kawin di Kecamatan baolan,
penulis melakukan penelitian secara empiris untuk melihat langsung di lapangan
bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap UU Perkawinan.
Berdasarkan hasil data yang di peroleh dari Pengadilan Agama Tolitoli maka
dapat diketahui bahwa terdapat beberapa peristiwa perkawinan di bawah umur
yang telah terhimpun dalam rekapitulasi data perkawinan di bawah umur di
Kecamatan Baolan dari waktu tahun 2021 sampai dengan tahun 2022 sebagai
berikut:
Tabel 2
Data Dispensasi Kawin Di Kecamatan Baolan Yang Terdapat
Di Pengadilan Agama
No Tahun Masuk Cabut Kabul Gugur
1 2021 20 2 18 0
2 2022 30 4 24 2
Sumber data : Pengadilan Agama dan dikelolah sendiri
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah kasus pada
Tahun 2021 berjumlah 20 kasus, ada 2 kasus dicabut, dan 18 dikabulkan
sedangkan pada Tahun 2022 sebanyak 30 kasus, 2 kasus dicabut, 4 kasus gugur
dan 24 dikabulkan. Perlu dipahami bahwa maksud dari gugur adalah pasangan
yang tidak menghadiri panggilan sidang sebanyak 3 kali sedangkan cabut adalah
permohon bermohon mencabut perkara diruang sidang dan dikabulkan oleh
hakim.
Dari data diatas dapat di disimpulkan bahwa jumlah kasus pada Tahun
2022 terjadi peningkatan. Hal ini mengartikan bahwa semakin meningkatnya
tingkat perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kecamatan Baolan.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa penyebab terjadinya perkawinan
di bawah umur dengan mengajukan permohonan dispensasi kawin di Kecamatan
Baolan, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pengetahuan hukum
Pengetahuan hukum adalah keadaan dimana seseorang mengetahui adanya
ketentuan-ketentuan dalam berperilaku ditengah masyarakat yang diatur oleh
hukum. Berdasarkan hasil wawancara penulis menentukan bahwa kebanyakan
pasangan mengetahui tentang aturan dispensasi kawin meskipun kebanyakan
masyarakat yang mengetahui adanya dispensasi kawin itu setelah datang ke KUA,
melalui penolakan berkas karena belum memenuhi persyaratan perkawinan yaitu
umur 19 tahun. Hal ini sesuai dengan wawancara penulis dengan salah satu
responden yang bernama halifa, anak yang menikah di bawah umur mengatakan
bahwa “Saya tahu dispensasi kawin itu waktu saya datang ke KUA berkasku
ditolak dan di kasih tau kalau mau perkawinannya dicatat harus datang ke
Pengadilan ikut sidang.”34
34
Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Februari 2023

22
2. Pemahaman hukum
Pemahaman hukum adalah pengetahuan masyarakat yang dinilai lebih dari
sekedar mengetahui. Dari hasil wawancara yang dilakukan menunjukan bahwa
kebanyakan dari pasangan di bawah umur mengerti atau paham terkait dispensasi
kawin. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu masyarakat yang bernama
Tihaj mengatakan bahwa “Saya paham mengapa perkawinan di bawah umur harus
dimintakan dispensasi ke Pengadilan karena kalau tetap menikah nanti perempuan
tidak dianggap istri yang sah.”35
Pemaham masyarakat terkait pencatatan perkawinan dapat tercermin dengan
kepedulian masyarakat terhadap Status perkawinannya, karena hal ini menjadi
salah satu alasan sesorang yang melakukan perkawinan di bawah umur dengan
mengajukan dispensasi kawin. Sebab mereka sadar jika tidak dicatatakan
perkawinannya di khawatirkan terjadi masalah dikemudian hari.
3. Sikap hukum
Sikap hukum adalah keadaan seseorang atau masyarakat mempunyai
pendapat serta sikap yang timbul dari aturan hokum yang berlaku. Berikut ini
sikap masyarakat terhadap dispensasi kawin. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan menunjukan bahwa kebanyakan dari masyarakat menganggap perlu
adanya dispensasi kawin. Terkait hal ini penulis melakukan wawancara dengan
salah satu responden yang bernama sandi menyatakan bahwa “Dispensasi kawin
ini diperlukan sebab kami perlu mencatatkan perkawinan untuk mendapatkan
kepastian hukum dan kelahiran anak.”36
Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa masyarakat menganggap
dispensasi kawin ini penting dan sangat diperlukan, agar perkawinannya
mempunyai kepastian hukum. Sehingga bila terjadi kekerasan dalam rumah
tanggahnya mereka dapat menuntut. seperti yang dinyatakan oleh ibu muda yang
bernama sakinah yang menyatakan bahwa “Menurut saya dispensasi kawin itu
sangat diperlukan karena kita butuh itu buku nikah. Untuk jadi bukti kalau kita
suami istri. Kan kalau dalam rumah tangga nda diminta-minta terjadi cekcok kan
bisa menuntut kalau perkawinan itu punya buku nikah.” 37
Kedua narasumber di atas mempunyai pandangan yang sama bahwa
dispensasi kawin itu sangat penting untuk kelangsungan perkawinanya karena
dengan mengajukan dispensasi kawin mereka dapat mencatatkan perkawinannya
sehingga mempunyai bukti bahwa mereka merupakan suami dan istri yang sah
dimata negara agar mendapatkan perlindungan hukum.
4. Perilaku hukum
Perilaku hukum adalah keadaan dimana seseorang atau masyarakat yang
sadar akan hukum yang berperilaku sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Indikator perilaku hukum juga merupakan salah satu dari cara untuk mengetahui
tingkat kesadaran yang dapat dilihat yang bersangkutan patuh atau taat pada
hukum. hal ini menjadi dasar bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum.
kalau hukum ditaati, berarti tujuan hukm tersebut telah tercapai atau efektif.
Untuk itu penulis melakukan wawancara terkait apakah perkawinan di bawah
35
Wawancara dilakukan pada tanggal 8 Maret 2023
36
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 8 maret 2023
37
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 4 Februari 2023

23
umur yang dilakukan tercatat, dan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
dengan salah satu orang tua yang bernama opang menyatakan bahwa:
Saya datang ke KUA untuk mencatatkan perkawinan anak saya tapi pas
sampe di sana... berkasnya di tolak. karena masih di bawah umur jadi
disuruh mengajukan dispensasi, ke Pengadilan Agama untuk bisa di catat
pekawinnanya. karena kami mau perkawinan ini tercatat jadi langsung
diurus hari itu juga ke Pengadilan.38

Dari pernyataann di atas menunjukkan bahwa orang tua mempunyai


kesadaran akan pentingnya pencatatan perkawinan akan langsung mengurus
dispensasi kawin tanpa harus menunda atau menunggu anaknya cukup umur. Hal
yang sama juga dilakukan oleh salah satu pasangan yang melakukan perkawinan
di bawah umur namun dengan kasus yang berbeda. Keperluan identitas anak yang
akan di lahirkan menjadikan salah satu penyebab seseorang mengajukan
dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Selain itu ada juga pasangan yang calon
suaminya merupakan abdi negara yang ingin menikah dengan seorang wanita di
bawah umur sehingga perlu dimintakan dispensasi kawin untuk mendapatkan
pengesahan perkawinan.
Berdasarkan dari hasil wawancara penulis dengan menggunakan empat
indikator di atas untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dapat disimpulan
bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat sudah ada karena dari hasil penelitian
menunjukan bahwa dengan mengajukan dispensasi kawin masyarakat telah sadar
akan hukum dan jika dilihat dari hasil penelitian menujukan kebanyakan
mengajukan dispensais kawin dengan beberapa alasn yaitu disebabkan karena
kesadaran diri akan pentingnya pencatatan perkawinan agar mempunyai status
sebagai pasangan yang sah, pekerjaan yang mengharuskan adanya pengesahan
perkawinan, serta untuk memberikan identitas anak yang akan dilahirkan.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat kesimpulan bahwa:

38
Wawancara yang dilakukan pada tanggal 18 Februari 2023

24
1. Penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur tanpa mengajukan
permohonan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
ekternalnya adalah disebabkan biaya pengurusan ke Pengadilan dan
faktor kesulitan dalam mengurus beberapa dokumen sedangkan, faktor
internalnya adalah karena ketidaktahuan tentang aturan yang berlaku,
kurangnya kesadaran akan pentingnya pencataan perkawinan dan
kepercayaan yang dianut menggangap perkawinan secara agama
sudah cukup untuk pengesahan perkawinannya.
2. Adapula penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur dengan
mengajukan permohonan dispensasi kawin di Kecamatan Baolan,
yaitu faktor pekerjaan yang mengharuskan adanya pengesahan
perkawinan dengan mengurus buku nikah dan kesadaran diri akan
pentingnya pencatatan perkawinan agar anak yang dilahirkan
memperoleh akta kelahiran.

B. Saran
1 Diperlukan sosialisasi tentang Undang-Undang Perkawinan terbaru
agar masyarakat yang ingin melangsungkan perkawinan mengetahui
dan lebih memahami isi dari aturan tersebut dan dapat mencatatkan
perkawinannya.
2 Disarankan aparat penegak hukum untuk menyelanggarakan
penyuluhan hukum tentang dispensasi kawin. Agar masyarakat yang
melakukan perkawinan anak di bawah umur dapat mengetahui serta
memahami tentang dispensasi kawin.

Daftar Pustaka
A. BUKU

25
Abdurrahman, (1995). Kompilasi hukum Islam di Indonesia. Jakarta :
Akademika Pressindo.
Amran Suardi, 2018, Sosiologi Hukum Penegakan, Realitas Dan Nilai
Moralitas Hukum, Jakarta:Kencana.
Charlie Rudyat, Kamus Hukum, Tim Pustaka Mahardika, 2013
Dani Ramdani, (2020) Aspek Hukum Perlingungan Anak Perkembangan
Produk Hukum Dan Implementasinya di Pengadilan, Jakarta, kencana
Dzulkifli Umar, U. H. (2010). Kamus Hukum (Dictionary of Law New
Edition.Surabaya: Quantum Media Press.
Ghozali, A. R. (2008). Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
H.Moh.Isnaeni. (2016). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: PT Refika
aditama.
Hanafi, A. (1975). Ushul Fikih. Jakarta: WiDjaya.
Haroen, N. (1997). Ushul Fiqh, . Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Idris Ramulyo, Moh. (1996). Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Iman Jauhari, 2004. Sosiologi Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia 2015 Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Mardjono, H. (1997). Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks
Keindonesiaan, Bandung: Mizan.

Muthiah, A. (2020). Hukum Islam Dinamika Seputar Hukum Keluarga.


Yogyakarta : Pustaka Baru.
Muh.APbdul Kadir, 2004 Hukum Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung,
Anwar Rachman, Thalib, P. Muhtar, S, Hukum Perkawinan Indonesia Dalam
Perspektif Hukum Perdata, Hukum Islam, Dan Hukum Administrasi,
Jakarta: Kencana, 2020
Rony Hamiti Sumitro, 1982. Metodologi Penelitian Hukum, Semarang: Ghalia
Indonesia.
Soerjono Soekarto. 1994 Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,
Sugiyo, 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatig Dan R&D, (Bandung:
Cv. Alfabeta Suryabrata,
Sudarsono. (2005). Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

26
Tim Penyusun Pusat Pembinaaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus besar
bahasa Indonesia, Balai pustaka, Jakarta, 1990
wardah Nuroniyah, W. (2011). Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia.
Yogyakarta: teras.
Zainuddin, A. (2012). Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Zainudin Ali, 2010. Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Pasal 7 Ayat (1) Atas Perubahan Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI)

C. JURNAL
Perdana Kiay Demak, Rizky, “Rukun Dan Syarat Perkawinan Menurut Hukum
Islam Di Indonesia,” Jurnal Lex Privatum Vol.06,No.6 Tahun 2018,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/21508
diakses tanggal 23 September2022.
Usman, Rachmadi, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam Peraturan
Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia,” Jurnal Legalitas
Indonesia, Vol. 14 No. 03 tahun 2017
http://eprints.ulm.ac.id/4581/1/43-96-1-SM5.pdfdiakses tanggal 20
September 2022
Tulus Prijanto, “Tinjauan Dan Pandangan Hukum Terhadap Perkawinan Yang Tidak
Tercatat Pemerintah Serta Dampaknya Secara Ekonomi,” Jurnal Edunomika,
Vol. 05, No.02 tahun 2021
https://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jie/article/view/2376 diakses tanggal
2022

Purnomo dan Moch. Azis Qoharuddin, Maqosid Nokah Menurut Imam Ghozali
Dalam Kitab Ihya’ulumuddin,” Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam,
Vol VII No. 01 April 2021 http://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih
diakses tanggal 06 November 2022
Ummu kalsum, pengaruh dispensasi nikah terhadap tingkat perceraian
dipengadilan agama watampone kelas I A (Jurusan Hukum Acara
Peradilan dan Kekeluargaan Fakultas Syariah dan hukum UIN Alaudin
Makasaar , Skripsi tidak diterbitkan, 2017, hlm 23.
Irfan Listianto, Padangan hakim terhadap dispensasi perkawinana anak
dibawah umur (jurusan hukum keluarga islam Fakultas syariah IAIN
Surakarta, skripsi tidak diterbitkan , 2017) hlm 40.

27
LAMPIRAN DOKUMENTASI
A. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Baolan

28
Wawancara Di Kantor Urusan Agama
B. Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Tolitoli

Penganbilan Data
C. Masyarakat Di Kecamatan Baolan

29
30

Anda mungkin juga menyukai