Anda di halaman 1dari 59

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR

Oleh : LINDADARI USWATUN KHASANAH NRP : 06.01.111.00493

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA FAKULTAS HUKUM 2013

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh : LINDADARI USWATUN KHASANAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA 2013

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR

OLEH LINDADARI USWATUN KHASANAH

Pembimbing I

H.Boedi Moestiko, S.H.,M.Hum NIP : 195810011988111001

Pembimbing II

Dr.Wartiningsih, S.H.,M.Hum NIP : 196202022001122001

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura, Pada Hari Jumat, Tanggal 30 Agustus 2013

DEWAN PENGUJI KETUA

SAIFUL ABDULAH,SH.,MH NIP.

Penguji I

Penguji II

A. Agus Ramdlany,S.H.,M.H NIP.

Dr. Eny Suwastutik ,S.H.,M.H NIP.

Penguji III

Penguji IV

H.Boedi Mustiko,S.H.,M.Hum NIP. 195810011988111001

Dr.Wartiningsih,S.H.,M.Hum NIP. 196202022001122001

Mengesahkan : Dekan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura

H.Boedi Moestiko, S.H.,M.Hum NIP : 195810011988111001

iii

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan sepanjang pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila suatu saat ada pihak lain yang melakukan klaim bahwa karya ilmiah ini merupakan plagiat karya ilmiah lain, dan ternyata terbukti, saya bersedia menerima segala sanksi yang akan diberikan oleh Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.

Bangkalan, 30 Agustus 2013

LINDADARI USWATUN KHASANAH

iv

MOTTO

Hidup merupakan suatu perjalanan yang selalu dipenuhi dengan ujian dan cobaan, jalani semua dengan perjuangan dan pengorbanan, jangan mudah mengeluh dan putus asa, niscaya Allah SWT senantiasa akan membukakan jalan

PERSEMBAHAN Akan saya persembahkan skripsi ini untuk semuanya yang saya sayangi 1. Buat orang tua dan adek ku Moch.Windy Saputro yang selama ini selalu memberikan semangat, motivasi serta doa agar menyelesaikan skripsi hingga akhir. Buat keluarga besar saya Eyang Putri, bibi Elisar Riana Sari, paman Djarot Efendy, bibi Inda fulhanifah, paman Sentot Boedi Satria terima kasih atas semua dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini. Buat mas Achmad Efendi dan sahabatku Risma Ardiantina yang setiap saat sudah memberikan semangat dan motifasinya untuk menyelesaikan skripsi ini. Buat mas Nana Tresna yang sudah memberi inspirasi dan suportnya dalam segala hal mengenai pembuatan skripsi ini, Akan Aku Ingat Pelajaran Hidup Yang Selalu Engkau Ajarkan Kepada Ku, bahwa kesabaran dan usaha itu adalah kunci dari keberhasilan yang sesungguhnya . Buat mas Arnes, Joshanda Aghadia, mas Nino, mas Arief Andrianda, mbak Merry Purnamasari, adek Uswatun Hasanah terimakasih yang sebesarbesarnya untuk semangat, motivasi serta suportnya selama pembuatan skripsi ini. Untuk semua kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura yang belum satu-persatu saya sebutkan terima kasih untuk semuanya. Buat mbak Selfin Laka,S.H.,M.H dan bunda Eva Savitry Bariah,SH yang selama ini membimbing saya di POSBAKUM Pengadilan Negeri Surabaya. Buat Brigadir Afiq Siswanto (abi) yang bertugas di Polsek Galis, Bribda Shofi Fatqul Mubarok, dan seluruh teman-teman yang bertugas di Bangkalan Madura terima kasih atas semangatnya. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang terdekat saya yang belum saya sebutkan.

2.

3.

4.

5.

6. 7. 8.

9.

LINDADARI USWATUN KHASANAH

vi

KATA PENGANTAR

Pertama-tama perkenankanlah penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena hanya dengan Ridho Nya lah Skripsi dengan judul : Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena terbatasnya pengetahuan, referensi, waktu dan pemahaman yang penulis miliki, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif guna perbaikannya nanti. Dalam menyusun Skripsi ini penulis sangat banyak memperoleh bantuan, dorongan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini diperkenankanlah pula penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnyakepada : 1. Bapak H. Boedi Moestiko, S.H., Mhum, selaku dekan Fakultas Hukum dan dosen pembimbing I, segenap jajaran pimpinan di lingkungan Universitas Trunojoyo Madura. 2. Bapak Muhklis, selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura. 3. Ibu Dr. Wartiningsih,SH., Mhum selaku dosen pembimbing II yang senantiasa memberi saya semanagat dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Ibu Masyirah Whidayati,SH., MH selaku PANMUD HUKUM di Pengadilan Negeri Surabaya dan segenap jajaran pimpinan di lingkungan Pengadilan Negeri Surabaya. 5. Buat orang tua dan adek ku Moch.Windy Saputro yang selama ini selalu memberikan semangat, motivasi serta doa agar menyelesaikan skripsi hingga akhir. 6. Buat keluarga besar saya Eyang Putri, bibi Elisar Riana Sari, paman Djarot Efendy, bibi Inda fulhanifah, paman Sentot Boedi Satria terima kasih atas semua dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Buat mas Achmad Efendi dan sahabatku Risma Ardiantina yang setiap saat sudah memberikan semangat dan motifasinya untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Buat mas Nana Tresna yang sudah memberi inspirasi dan suportnya dalam segala hal mengenai pembuatan skripsi ini, Akan Aku Ingat Pelajaran Hidup Yang Selalu Engkau Ajarkan Kepada Ku, bahwa kesabaran dan usaha itu adalah kunci dari keberhasilan yang sesungguhnya . 9. Buat mas Arnes, Joshanda Aghadia, mas Nino, mas Arief Andrianda, mbak Merry Purnamasari, adek Uswatun Hasanah terimakasih yang sebesar-

vii

besarnya untuk semangat, motivasi serta suportnya selama pembuatan skripsi ini. 10. Buat semua kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura yang belum satu-persatu saya sebutkan terima kasih untuk semuanya. 11. Buat mbak Selfin Laka,S.H.,M.H dan bunda Eva Savitry Bariah,SH yang selama ini membimbing saya di POSBAKUM Pengadilan Negeri Surabaya. 12. Buat Brigadir Afiq Siswanto (abi) yang bertugas di Polsek Galis, Bribda Shofi Fatqul Mubarok, dan seluruh teman-teman yang bertugas di Bangkalan Madura terima kasih atas semangatnya. 13. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang terdekat saya yang belum saya sebutkan.

Akhirnya kepada Allah SWT, penulis pasrahkan semoga amal dan sumbangsih yang telah diberikan kepada penulis memperoleh balasan yang setimpal dari Allah SWT. Harapan terakhir penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan tambahan cakrawala ilmu dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya serta sebagai darma bakti penulis kepada almamater tercinta.

Bangkalan, 30 Agustus 2013 Penulis

LINDADARI USWATUN KHASANAH

viii

10

ABSTRAK Terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar beberapa faktor, salah satunya seperti faktor ekonomi yang mendesak (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur. Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi agama. Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun UndangUndang Perlindungan Anak, walaupun kedua undang-undang tersebut menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya saja undang-undang tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal apabila terjadi pelanggaran karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga apabila perkawinan di bawah umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dapat dibatalkan. Ketentuan ini sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan dan tidak adil bagi anak. Bagaimanapun jika perkawinan sudah berlangsung pasti membawa akibat, baik dari aspek fisik maupun psikis, maka dapat saya rumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana formulasi/pengaturan hukum pidana terhadap perkawinan anak di bawah umur saat ini ? Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang (Statute Approacht), Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan adalah bahan hukum yaitu berupa : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, sedangkan untuk metode pengolahan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah aktivitas setelah pengumpulan bahan hukum selesai. Dalam hal ini bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dipilah-pilah yang kemudian disusun sistematis sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dan di dalam pelaksanaan analisis data dilakukan secara deduktif. Artinya, analisis bahan hukum dari yang bersifat umum pada yang bersifat khusus. Kemudian didiskripsikan atau dipaparkan secara rinci sesuai rumusan masalah yang dikaji. Pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya, oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini/harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Namun di lain pihak permasalahan pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi agama islam, karena menurut agama islam jika dengan menikah muda mampu

ix

11

menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama. Bahwa meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan Anak sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan untuk dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara lain diatur dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak. Dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa pidana penjara maksimal 8 (delapan) tahun penjara bila mengakibatkan luka dan pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun bila mengakibatkan kematian. Sedangkan dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak menyebutkan bahwa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun serta paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan maksimal 15 (lima belas) tahun serta Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

12

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ HALAMAN TIM PENGUJI ......................................................................... PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ MOTTO .......................................................................................................... PERSEMBAHAN........................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................... ABSTRAK ...................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 Latar Belakang ....................................................................................... Rumusan Masalah .................................................................................. Alasan Pemilihan Judul ......................................................................... Tujuan Penulisan ................................................................................... Metodologi Penelitian ............................................................................ 1.5.1 Jenis Penelitian .......................................................................... 1.5.2 Pendekatan Penelitian ................................................................ 1.5.3 Bahan Hukum ............................................................................ 1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 1.5.5 Metode Pengolahan Bahan Hukum ........................................... 1.5.6 Analisis Bahan Hukum .............................................................. 1.6 Pertanggungjawaban Sistematika ..........................................................

i ii iii iv v vi vii ix xi 1 4 4 4 4 5 5 6 6 7 7 7 8

BAB II: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR ..........................................................................

10

2.1

Perkawinan ........................................................................................... 2.1.1 Pengertian perkawinan ...............................................................

10 10

xi

13

2.1.2 Asas Perkawinan ........................................................................ 2.1.3 Tujuan Perkawinan .................................................................... 2.1.4 Syarat Perkawinan ..................................................................... 2.2 Perlindungan Anak ................................................................................ 2.2.1 Pengertian Perlindungan Anak .................................................. 2.2.2 Jenis Tindak Pidana ................................................................... 2.2.3 Sanksi ......................................................................................... 2.2.4 Subyek Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ................................... 2.3 Perkawinan Yang Dapat Diklasifikasikan Sebagai Tindak Pidana ....... 2.3.1 Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur .................................... 2.3.2 Pengertian Anak Menurut Hukum Yang Berlaku Di Indonesia .

13 15 16 22 22 22 23 24 25 25 26

BAB III : PEMBAHASAN ...........................................................................

28

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur..........

28

BAB IV : PENUTUP .....................................................................................

43

4.1 4.2

Kesimpulan ............................................................................................ Saran ......................................................................................................

43 44

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

45

xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Fenomena pernikahan dini bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta-fakta yang terjadi pada zaman dulu, yaitu bahwa nenek moyang bangsa Indonesia dulu sudah banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan pernikahan di usia matang akan menimbulkan pemikiran buruk di mata masyarakat. Fenomena yang terjadi di kebanyakan Negara berkembang seperti Indonesia, nikah atau perkawinan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah cukup umur (dewasa) saja. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal perkawinan seseorang adalah berusia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, namun juga terjadi di kalangan anak di bawah umur, khususnya anak perempuan. Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi di Indonesia terutama di pedesaan, contohnya saja seperti pernikahan dini yang terjadi Ulfa yang waktu itu masih berumur 12 tahun dan Pujiono yang berusia 46 tahun. Berkaitan dengan konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam Pasal 26 Ayat 1 butir c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk mencegah perkawinan di usia anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini. Di sisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar beberapa faktor, salah satunya seperti faktor ekonomi yang mendesak (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur.1 Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi agama. Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun UndangUndang
1

Perlindungan

Anak,

walaupun

kedua

undang-undang

tersebut

http://sosiologihukum.blogspot.com, diakses tanggal 10 Februari 2013

menentukan

umur

yang

berbeda

dalam

penentuan

kedewasaan,

tidak

menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya saja undang-undang tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal apabila terjadi pelanggaran karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga apabila perkawinan di bawah umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dapat dibatalkan. Ketentuan ini sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan dan tidak adil bagi anak. Bagaimanapun jika perkawinan sudah berlangsung pasti membawa akibat, baik dari aspek fisik maupun psikis. Selain itu, jika dikaji dari aspek hukum pidana, walaupun dalam KUHP dimuat ketentuan dalam pasal 288 ayat (1) yang memberi ancaman hukuman 4 tahun, tetapi haruslah ada pengaduan dan pembuktian peristiwa tersebut memenuhi unsur-unsur pidana yang ada serta proses persidangan yang dapat menimbulkan dampak psikologis bagi anak sehingga untuk membawa persoalan tersebut menjadi peristiwa pidana tidaklah mudah. Tampaklah bahwa dari aspek hukum, perkawinan di bawah umur merupakan perbuatan melanggar undang-undang, terutama terkait ketentuan batas umur untuk kawin. Perkawinan di bawah umur merupakan bentuk ketidakadilan yang dialami anak akibat kuat berakarnya budaya patriarki pada masyarakat yang menganggap anak sebagai barang dan selalu berada di bawah (subordinasi). Perkawinan di bawah umur merupakan masalah yang pelik dan sensitif. Oleh karena itu,

penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat saya rumuskan permasalahan sebagai berikut : bagaimana formulasi/pengaturan hukum pidana terhadap perkawinan anak di bawah umur saat ini ?

1.3 Alasan Pemilihan Judul Adapun alasan judul skripsi Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur adalah sebagai berikut : mengetahui dan menganalisa formulasi/pengaturan hukum pidana terhadap perkawinan anak di bawah umur.

1.4 Tujuan Penulisan Penulisan ini dilakukan dengan tujuan : 1. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya, dan bagi Hukum Perkawinan pada khususnya. 2. Manfaat praktis : Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai masukan bagi para Hakim, Notaris, Pengacara dan Profesi lainnya dalam penemuan hukumnya dan dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang aktual mengenai tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan anak di bawah umur.

1.5 Metodologi Penelitian 1.5.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Secara umum yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah suatu pendekatan dengan cara melakukan pembahasan terhadap norma-norma hukum yang berlaku berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat.2 Dalam hal ini untuk peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan adalah peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur. Menurut Jhonny Ibrahim yang dimaksud dengan jenis penelitian yuridis normatif adalah jenis penelitian yang berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.3 1.5.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang (Statute Approacht). Artinya bahwa penelitian yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi (norma) yang bersangkut paut dengan isu hukum

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, (Surabaya:Bayumedia Publishing, 2005) Surabaya, hlm. 444. 3 Ibid, hlm. 444

yang sedang dibahas yaitu tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur.4

1.5.3

Bahan Hukum

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut : 10. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur yaitu : a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 11. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur-literatur atau pendapat ahli, antara lain : a. Kompilasi Hukum Islam. 12. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang bersifat melengkapi berupa kamus-kamus hukum, dan atau kamus-kamus umum.

1.5.4

Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Adapun yang dimaksud dengan metode pengumpulan
4

Ibid, hlm. 391

bahan hukum studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mempelajari pendapat-pendapat para sarjana/ahli hukum yang berkaitan dengan perundang-undangan yang mengatur tentang tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 1.5.5 Metode Pengolahan Bahan Hukum

Metode pengolahan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah aktivitas setelah pengumpulan bahan hukum selesai. Dalam hal ini bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dipilah-pilah yang kemudian disusun sistematis sesuai dengan kebutuhan yang ada. 1.5.6 Analisis Bahan Hukum Di dalam pelaksanaan analisis data dilakukan secara deduktif. Artinya, analisis bahan hukum dari yang bersifat umum pada yang bersifat khusus. Kemudian didiskripsikan atau dipaparkan secara rinci sesuai rumusan masalah yang dikaji.5 1.6 Pertanggungjawaban Sistematika Sistematika penulisan penelitian ini dibagi menjadi 1 (satu) bab dengan susunan sebagai berikut :

Ibid, hlm. 383

Bab I, Pendahuluan, merupakan bagian awal dari seluruh rangkaian pembahasan penelitian yang disajikan dalam bentuk pengantar. Sub bab pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metodologi penelitian dan pertanggungjawaban sistematika. Bab II, dalam bab ini membahas tentang tinjauan pustaka mengenai tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur. Sub bab tinjauan pustaka terdiri dari : undang-undang perkawinan yang meliputi pengertian perlindungan anak, jenis tindak pidana, sanksi dan subyek tindak pidana dalam pengertian perkawinan, undang-undang perkawinan yang meliputi : pengertian perkawinan, asas perkawinan, tujuan perkawinan dan syarat perkawinan serta perkawinan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana yang meliputi : pengertian perkawinan di bawah umur, dan pengertian anak menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Bab III, dalam bab ini membahas tentang tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur. Dalam bab ini membahas tentang sanksi/ancaman pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur. Sanksi/ancaman pidana ini diharapkan agar dapat membuat jera para pelaku perkawinan dibawah umur, sebab perkawinan di bawah umur lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Sanksi/ancaman ini diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).

Bab IV, Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran untuk memberikan solusi dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur.

BAB II TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR

2.1 Perkawinan Beberapa aspek perkawinan antara lain meliputi : 2.1.1 Pengertian perkawinan Menurut Mohd. Idris Ramulyo yang dimaksud dengan Nikah (kawin) menurut arti aslinya adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami isteri, antara seorang pria atau wanita.6 Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat yaitu kehamilan dan kelahiran yang meminta pengorbanan.7 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berarti undang-undang ini merupakan Undang-Undang Perkawinan
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Perundangundangan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Cetakan IV, (Jakarta: Bina Aksara, 1985) hlm. 1 7 Ibid, hlm. 1
6

10

11

Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia. Menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini. Jadi demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah : 1. 2. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Menurut

12

pendapat Ali Afandi mengatakan bahwa Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.8 Perkawinan atau pernikahan dalam literature fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Quran dan Hadist Nabi. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad.9 Menurut Scholten menyatakan bahwa Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.10 Jadi dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) hlm.94 9 Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Cetakan II, (Jakarta: Kencana, 1990) hlm. 45. 10 R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung: Alumni, 1985) hlm.31

13

Jadi dari beberapa pendapat di atas, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. 2.1.2 Asas Perkawinan Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, bahwa asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan Komplikasi Hukum Islam. Terhadap asas monogami ini KUH Perdata mengaturnya pula di dalam Pasal 27 yang bunyinya : Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya. Asas monogamy ini menurut KUH Perdata mutlak tanpa pengecualian. Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah asas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, kecuali karena hukum dan agama yang bersangkutan mengijinkan seorang pria dapat beristri lebih dari seorang, dengan alasan : 1. 2. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan

14

3.

Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Menurut Ali Muhammad Daud menyebutkan bahwa dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, pada Hukum Islam berlaku asas-asas antara lain : 1. Kesukarelaan Merupakan asas terpenting perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam. 2. Persetujuan Persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas kesukarelaan. Dalam perkawinan tidak boleh ada paksaan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta lebih dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut Sunnah Nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh Pengadilan. 3. Keabsahan memilih pasangan Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah mengahadp Rasullullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya. 4. Kemitraan suami istri Dalam Al Quran Surat Al Nisa (4) Ayat 34 dan Surat Al Baqarah (2) Ayat 187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda yakni suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga misalnya.

15

5.

Untuk selama-lamanya Perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih saying selama hidup (Q.S Al Rum (30) : 21). Karena asas ini maka perkawinan mutah yakni perkawinan sementara untuk bersenangsenang selama waktu tertentu saja, seperti dalam masyarakat Jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad.

6.

Monogami terbuka Disimpulkan dari Al Quran Surat Al Nisa (4) Ayat 3 jo Ayat 29. Di dalam Ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, diantaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya. Dalam Ayat 29 surat yang sama, Allah menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itu maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang wanita saja. Ini berarti bahwa boleh dilalui oleh seorang laki-laki muslim kalau terjadi bahaya, antara lain untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau istrinya, misalnya tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri.11

2.1.3 Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasal pun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Perkawinan di negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut

Ali Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 139

11

16

kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (Pasal 84 KUHPerdata).12 Menurut P.N.H. Simajuntak menerangkan bahwa : pada Pasal 56 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar undang-undang ini.13 Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

2.1.4 Syarat Perkawinan Menurut Arief Budiman menerangkan bahwa : Perkawinan menurut teori Positivis Yuridis dinyatakan dapat diterima sebagai perkawinan yang berkekuatan hukum apabila sudah memenuhi ketentuan hukum, yakni apabila telah ditentukan secara positif oleh Negara. Sederhananya, hukum hanya berlaku apabila hukum itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang (neagra), yang dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama atau KUA, bagi orang-orang yang beragama Islam. Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan rasa

12

P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Djambatan, 1999) Ibid, hlm. 76

hlm.56
13

17

keadilan dalam hati nurani manusia sering kali tidak mempunyai tempat dalam sistem sosiologis seperti ini.14 Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam, dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Selanjutnya Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam diterangkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.

14

Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, (Jakarta: Padi dan Kapas, 1991), hlm. 19-

21

18

Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai,usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah. Menurut hukum Islam yang berlaku di Indonesia, perkawinan itu sah dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat mempelai, di Masjid atau Kantor Agama, dengan Ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab adalah ucapan menikahkan dari wali calon istri dan Kabul adalah kata penerimaan dari calon suami. Ucapan ijab dan Kabul dari kedua pihak harus terdengar dihadapan Majelis dan jelas didengar oleh kedua orang yang bertugas sebagai saksi akad nikah. Jadi sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah diucapkannya ijab dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang sama di dalam suatu Majelis yang disaksikan oleh dua orang saksi yang sah. Akad nikah harus dilakukan dengan lisan dan tidak boleh dengan tulisan saja. Kecuali perkawinan yang dilakukan oleh orang tuna wicara yang bisa cukup

19

dengan isyarat tangan atau menganggukan kepala yang dapat dimengerti maksudnya. Syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam akad nikah yakni harus beragama islam, sudah dewasa (baliqh), berakal sehat, dapat melihat, mendengar dan memahami tentang akad nikah dan berlaku adil. 2.2 Perlindungan Anak Beberapa aspek Perlindungan Anak antara lain meliputi : 2.2.1 Pengertian Perlindungan Anak Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2.2.2 Jenis Tindak Pidana Dalam membahas tindak pidana kita pasti menemukan beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik itu sengaja maupun tidak sengaja. Menurut Adami Chazawi yang berkaitan dengan tindak pidana itu sendiri dibaginya sebagai berikut : 1. Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II dan pelanggaran dimuat dalam buku III. Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi

20

berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara. Antara lain yang membedakan kejatan dan pelanggaran yakni kejahatan itu meruapakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. 2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materril. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materril, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. 3. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan kealpaan. Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa. 4. Berdasarkan macam perbuatan perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi. Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggotan tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materiil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat

21

terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul. 5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. 6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP. 7. Dilihat dari sudut subjek hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu). Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. 8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan. Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak. 9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.

22

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi: a. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk strandar; b. Dalam bentuk yang diperberat; c. Dalam bentuk ringan. Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada aktor pemberatnya atau aktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya. 10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi. Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan misalnya dalam Buku II. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII), Penggelapan (Bab XXIV), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII) dan seterusnya. 11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan dilakukan secara berulang.15

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007) hlm. 121

15

23

Jenis tindak pidana pada anak yang berkaitan dengan perkawinan anak di bawah umur yaitu memaksakan anak yang masih di bawah umur untuk menikah dengan seorang laki-laki demi mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa hal ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh

berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini. 2.2.3 Sanksi Adapun sanksi terhadap pelaku yang melakukan perkawinan anak di bawah umur dapat dikenakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa : Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 2.2.4 Subyek Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menurut E. Utrecht dalam hukum ada 2 (dua) pengertian yang sangat penting yakni: a. Pengertian subyek hukum;

24

b.

Pengertian obyek hukum.16 Menurut E. Utrecht bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum (persoon)

ialah suatu pendukung hak, yaitu manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Suatu subyek hukum mempunyai kekuasaan untuk mendukung hak (rechtsvoegdheid).17 Menurut E. Utrecht jenis subyek hukum ini bisa berbeda untuk setiap ranah hukum yang berlainan, namun secara umum, ada dua macam subyek hukum yakni manusia dan badan hukum.18 Contoh subyek hukum pada ranah hukum perdata adalah manusia dan badan hukum. Pada ranah hukum pidana, subyek hukumnya adalah manusia dan badan hukum. Sedangkan, subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain: a. b. c. d. e. f. g. Negara; Tahta Suci Vatikan; Organisasi Internasional; Palang Merah Internasional; Kelompok Pemberontak; Perusahaan Multinasional; Individu.19

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada 2005), hlm. 234 17 Ibid, hlm. 234 18 Ibid, hlm. 235 19 Ibid, hlm 236

16

25

Subyek tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak antara lain : 1. 2. Orang tua atau Wali; dan Pihak laki-laki yang ingin menikahi;

2.3 Perkawinan Yang Dapat Diklasifikasikan Sebagai Tindak Pidana Beberapa aspek dalam perkawinan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana antara lain : 2.3.1 Pengertian Perkawinan di Bawah Umur

Istilah pernikahan di bawah umur atau yang lebih dikenal dengan pernikahan dini adalah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluarsa. Pernikahan dini adalah agar tidak melebar dari tujuan utama penulisan ini, mengingat banyaknya definisi usia dini dalam ungkapan pernikahan dini maka penulis membatasi definisi pernikahan dini sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Undang-undang negara Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.

26

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang.20 Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

2.3.2 1.

Pengertian Anak Menurut Hukum yang Berlaku Di Indonesia.

Pengertian anak menurut hukum adat, yaitu seseorang yang masih di bawah umur 21 tahun, belum pernah melakukan perkawinan dan masih dalam pengawasan.

2.

Pengertian anak menurut Pasal 330 ayat (1) B.W. adalah segala orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

3.

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu: Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat perkawinan bagi seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya.

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2240923-pengertian-pernikahan-dibawah-umur, diakses tanggal 15 Juni 2013

20

27

Pasal 7 ayat (1) mengatur batas minimum untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun. 4. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 dan Pasal 2 adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. 5. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak adalah orang yang dalam perkara nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. 6. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (26) adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun, belum pernah melakukan suatu perkawinan dan masih dalam pengawasan orang tua atau wali.

BAB III TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR

Formulasi/Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak di Bawah Umur Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan

mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (yang diatur dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Dalam hukum positif Indonesia, mengatur tentang perkawinan yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka yang telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan seperti dalam

28

29

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria sudah berusia 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum berusia 19 tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai Perkawinan dibawah umur. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas usia perkawinan, pada hakikatnya disebut masih berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan tegas dikatakan adalah perkawinan di bawah umur. Dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris bawahi agama. Jika anak masih berusia muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak seperti yang telah dijelaskan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak, dimana jelas bagi orang tua berkewajiban untuk mencegah adanya perkawinan pada usia muda. Tetapi perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat Indonesia, namun perkawinan di bawah umur bisa menjadi isu yang menarik perhatian publik dan berlanjut menjadi kasus hukum

30

contohnya seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh Puji dengan Lutviana ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi terhadap kasus perkawinan di bawah umur ini. Berita ini menarik perhatian khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Dampak terhadap hukum. Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu: a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dan pada Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan

kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

31

2.

Dampak biologis Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.21

3.

Dampak psikologis. Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.22

4.

Dampak sosial. Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat

http://macanbanci.wordpress.com/2010/10/15/makalah-pernikahan-dini/, tanggal 15 Juni 2013 22 Ibid, diakses tanggal 15 Juni 2013

21

diakses

32

bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan. Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan. 5. Dampak prilaku seksual menyimpang. Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya Pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain. Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan

menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan

33

penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada antara lain : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Aspek hukum perkawinan di bawah umur diatur dalam Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa pengertian suatu Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan hal tersebut diatas maka tentunya ada beberapa persyaratan yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, salah satunya adalah mengenai batas usia minimum untuk seseorang bisa melakukan

perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa : Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Namun ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas

ternyata tidak berlaku absolut/mutlak, karena dalam Pasal 7 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau

34

pihak wanita. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini mengandung pengertian bahwa perkawinan dibawah umur dapat dilakukan apabila ada permintaan dispensasi yang dimintakan oleh salah satu pihak orang tua dari kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan. Apalagi dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tidak langsung menyatakan bahwa permintaan dispensasi tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lainnya dengan alasan bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan memperbolehkannya (vide Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut seolah-olah membuat Undang Undang Perkawinan tersebut menjadi tidak tegas (firm) dan strict, karena dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesungguhnya tidak melarang perkawinan dibawah umur jika agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain, yang artinya secara tidak langsung batas usia minimum untuk melaksanakan suatu perkawinan dapat dikompromikan atas dasar suatu keyakinan/kepercayaan. Celah hukum seperti inilah yang mungkin dapat dipakai oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari dilakukannya perkawinan dibawah umur tersebut. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah seharusnya direvisi atau dikaji ulang.

35

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka mengenai batas usia dewasa untuk melangsungkan perkawinan bagi orang yang beragama Islam (Muslim) adalah 21 (dua puluh satu) tahun, batas usia dewasa untuk melakukan perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa : Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Perlu diakui bahwa peran pengadilan dalam hal pencegahan suatu perkawinan dibawah umur adalah sangat vital, hal ini terkait dengan adanya upaya hukum yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu permohonan untuk meminta dispensasi pelaksanaan perkawinan dibawah umur. Disinilah pengadilan mempunyai peranan penting untuk mencegah perkawinan dibawah umur yang dimohonkan oleh pemohon yang beritikad buruk. Selain daripada peran pengadilan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memberikan upaya pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa : Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam upaya pencegahan perkawinan tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis

36

keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan (pihak yang masih terikat perkawinan dengan salah satu dari kedua belah pihak tersebut dengan dasar masih adanya perkawinan yang sah). Bahwa usaha untuk melindungi kepentingan dari anak perempuan yang masih dibawah umur dari segala akibat dan konsekuensi dari perkawinan dibawah umur, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah mewajibkan orang tua dan keluarga dari anak yang masih dibawah umur tersebut untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (vide Pasal 26 ayat (1) Poin c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Bahwa selain upaya pencegahan perkawinan, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memberikan upaya lain yaitu upaya pembatalan perkawinan. Perkawinan tersebut diatas dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (vide Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), misalnya pelanggaran terhadap batas usia minimum untuk melangsungkan suatu perkawinan. Selain itu yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah : Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, suami atau isteri, Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan, Pejabat yang ditunjuk tersebut Ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum

37

secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus (vide Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Permohonan pembatalan perkawinan tersebut diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri (vide Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Batalnya suatu perkawinan tersebut dimulai sejak adanya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Bahwa meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan Anak sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan untuk dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara lain : (1) Pasal 228 KUH Pidana 1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

38

(2)

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak 1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi di Indonesia terutama di pedesaan, salah satu contohnya saja seperti pernikahan dini yang terjadi Ulfa yang waktu itu masih berumur 12 tahun dan Pujiono yang berusia 46 tahun. Dalam kasus ini H.M. Pujiono Cahyo W atau yang dikenal dengan syeh Puji dijadikan terdakwa oleh penuntut umum yang mendasarkan dakwaanya atas beberapa perbuatan yang diduga telah dilakukan oleh H.M.Pujiono Cahyo W., pada waktu antara tanggal 20 Juli 2008 sampai dengan bulan Oktober 2008 atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2008, yaitu : 1. Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak, melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 2. Telah mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu terdakwa telah melakukan eksploitasi seksual terhadap Lutviana Ulfah yang masih berumur 12 tahun 8 bulan.

39

3.

Telah melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawini, yaitu terdakwa telah melakukan perbuatan cabul dengan Lutviana Ulfah yang umurnya baru 12 tahun 8 bulan.

Adapun dakwaan dari penuntut umum terhadap H.M. Pujiono antara lain : 1. Dakwaan Pertama Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 2. Dakwaan Kedua Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual

40

anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 3. Dakwaan Ketiga Pasal 290 KUHP yang berbunyi : Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: (1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya; (2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin; (3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Dalam kasus ini penuntut umum mengajukan tuntutan terhadap H.M.Pujiono Cahyo W., sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin Hartono alias Suramin telah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak, melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sebagaimana yang diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

41

2.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin Hartono alias Suramin berupa pidana penjara 6 (enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa ditahan, dan dipidana denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Sehingga dalam kasus ini Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut : 1. Menyatakan bahwa terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin Alm. Hartono alias Suramin telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya. 2. Oleh karena itu, menghukum terdakwa H.M. Pujiono Cahyo Widiyanto bin Alm. Hartono alias Suramin dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan. 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa H.M Pujiono Cahyo Widiyanto bin Alm. Hartono alias Suramin dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

42

Putusan Pengadilan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Semarang yang tertuang dalam Putusan perkara No. 493/Pid/2010/PT.Smg. tertanggal 7 Februari 2011.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya, oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini/harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Namun di lain pihak permasalahan pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi agama islam, karena menurut agama islam jika dengan menikah muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama. Bahwa meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan Anak sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan untuk dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara lain diatur dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak. Dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa pidana penjara maksimal 8 (delapan) tahun penjara bila mengakibatkan luka dan pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun bila mengakibatkan kematian.

43

44

Sedangkan dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak menyebutkan bahwa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun serta paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan maksimal 15 (lima belas) tahun serta Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 4.2 Saran 1. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait perkawinan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan perkawinan dengan anak di bawah umur berpikir 2 (dua) kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. 2. Pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang-undang yang terkait perkawinan anak di bawah umur beserta sanksinya sehingga masyarakat tahu dan sadar bahwa perkawinan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. 3. Pemerintah harus memberikan pemahaman kepada oaring tua dan masyarakat tentang hak-hak anak yang melekat pada diri seorang anak itu sendiri dan memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sejak anak-anak. 4. Anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka.

45

DAFTAR PUSTAKA Buku : Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta. Amir, Syarifudin. 1990. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Cetakan II. Jakarta: Kencana. Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan. Jakarta: Padi dan Kapas. Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Daud, Ali Muhammad. 2004. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia. Cetakan II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ibrahim, Jhonny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi Revisi. Surabaya: Bayumedia Publishing. Idris Ramulyo, Mohd. 1985, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam. Cetakan IV. Jakarta: Bina Aksara. Simanjuntak, P.N.H. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Djambatan. Soetojo, R. Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin. 1985. Hukum Orang dan Hukum Keluarga. Bandung: Alumni. Utrecht. E. 2005. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Perundang-undangan : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kompilasi Hukum Islam

46

Kamus : Subekti dan Tjitrosoedibio. 2001. Kamus Hukum. Jakarta : Intermasa. Susi Moeimam dan Hein Steinhauer. 2006. Kamus Belanda-Indonesia. Yogyakarta : Liberty. Umi Chulsum dan Windy Novia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Intermasa.

Anda mungkin juga menyukai