Anda di halaman 1dari 107

UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK


MENURUT HUKUM ADAT JAWA
SKRIPSI
Guntur Pitut DK
0606044890
Fakultas Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat
Depok
Juli 2012
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK
MENURUT HUKUM ADAT JAWA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Guntur Pitut DK
0606044890
Fakultas Hukum
Program Studi Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat
Depok
Juli 2012
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Guntur Pitut DK
NPM : 0606044890
Tanda Tangan :
Tanggal : 13 Juli 2012
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
iii
Universitas Indonesia
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt sehingga
Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun tujuan utama dari
penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memenuhi gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Maka untuk maksud
tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM
PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan. Segala saran-saran dan pendapat serta kritikan yang sifatnya
membangun akan penulis terima dengan senang hati, guna perbaikan di waktu yang
akan datang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Allah swt, yang masih memberikan kesempatan hingga dapat terselesaikannya
skripsi ini;
2. Bapak Afdol S.H., M.H., selaku pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk memeriksa, memberikan saran serta memberikan
koreksi atas skripsi penulis;
3. Ibu Farida Prihatini S.H., M.H., C.N., Ibu Meliyana Yustikarini S.H.,M.H.,
Ibu Wirdyaningsih S.H., M.H., selaku para Penguji yang telah memberikan
banyak koreksi, saran dan masukan kepada penulis dalam menuntaskan
skripsi ini;
4. Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis;
5. Ayahku, almarhum Marsma (purn) Drs. Poerwanto S.H., M.A., Msi., yang
selalu memberikan semangat kepada penulis, mendoakan dan membiayai
kuliah penulis hingga akhir hayatnya;
6. Ibuku, almarhumah Niek Partini, S.H., C.N., yang selalu menyayangi,
mendukung dan mendoakan penulis semasa hidupnya;
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








v
Universitas Indonesia
7. Kakak perempuanku beserta suami, Nuri Danaryanti dan Drs. Darmansyah
H.S., Akt., M.M., yang selalu mendoakan dan mendukung hingga
terselesaikannya skripsi ini;
8. Kakak laki-lakiku beserta istri, R. Roy Happy Danardono, S.H., S.kom.,
M.kom., dan RA. Ayu Kusumastuti, S.E., yang selalu memberikan semangat
kepada penulis serta mendoakan penulis sejak awal menyusun sampai dengan
terselesaikannya skripsi ini;
9. Keponakan-keponakanku, Natasya, Dimas, alm. Adit, Raras, Miralda N.A.,
S.ked., Andar F., S.E., Iyan, dan Gerry, yang menjadi penyemangat penulis
hingga terselesaikannya skripsi penulis;
10. Om Faisol dan Tante Dewi, yang membiayai penulis serta selalu memberikan
dukungan spiritual dan moril hingga dapat terselesaikannya skripsi ini;
11. Calon mertuaku, bapak Bekti Harsono dan Ibu Rosfita Roesli yang menjadi
motivasi penulis hingga dapat terselesaikannya skripsi ini;
12. Calon Istriku, Kartika Prasasta Wenursita S.E., yang selalu menjadi inspirasi
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dan selalu memberikan semangat
dan doa kepada penulis sejak awal menyusun sampai dengan terselesaikannya
skripsi ini;
13. Dr. Suryadharma Hari Respati, Drg. Yanuarti Retnaningrum, Drg. Presti
Bhakti Pratiwi, Sunu Wahyu Trijati yang selalu mendukung dan memberi
semangat kepada penulis;
14. Sahabatku Metty Widyastari S.S., Andy Gunawan, Denovan Mahesa, Aris
Wihardi, Gede Rezza, Marota Adhiguna, Alloysius Bimo, yang selalu
mendukung penulis, memberikan semangat kepada penulis hingga dapat
terselesaikannya skripsi penulis;
15. Rekan-rekanku Angkatan Program Ekstensi dan Alumni Program Ekstensi
Joseph Orth S.H., Ridwan Ashari S.H., Agung Cahyono S.H., Joko Triyanto
S.H., Dimas Maderi S.H., Bima Anwar S.H., Yoseph Pardede cSH, Teuku
Safriansyah S.H., Moh. Nizar S.H., Immanuel Julius S.H., Dimas Julianto
S.H., Astari Amalia S.H., Dea Dwi S.H., Yulia Prihatini S.H., Imam
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








vi
Universitas Indonesia
Hermanda cSH, Abimantrana cSH, Daniel Mamesah cSH, Joan Caeserine
S.H., Endang Purwanti cSH, Gery Novrano S.H., Ricky Errens S.H., Renol
Sihombing S.H., Ajie Prasetyo S.H., Moh. Thariq S.H., Doddy S.H., M.
Donny S.H., Nathan Goeltom S.H., Sondang Tiurista S.H., Yulia Astri
Dewanty Harun S.H., dan yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu;
16. Rekan-rekan kerjaku di PT. Mata Binar Kalingga, Meivy Bonetha, Monty,
Oni, Pak Yudhi, Pak Moch. Nassarudin, Akkad Setiadi, Pak Wahyu, yang
selalu mendukung penulis hingga terselesaikannya skripsi ini;
17. Semua pihak yang telah membantu memberikan saran dan nasehat hingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga Allah Swt berkenan memberikan dan melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, hingga dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Depok, 13 Juli 2012
Guntur Pitut D.K.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Guntur Pitut DK
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum
Adat Jawa.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda-beda.
Hukum adat Jawa memiliki karakteristik yang unik dan menarik untuk digali
termasuk pula mengenai pengangkatan anaknya, karena hadirnya anak begitu
pentingnya di dalam suatu keluarga yang jika seorang suami isteri dalam
perkawinannya tidak mendapatkan keturunan akan menimbulkan suatu peristiwa
hukum, salah satunya adalah adopsi. Skripsi ini membahas mengenai mekanisme
pengangkatan anak berdasarkan hukum adat Jawa, pada umumnya di Jawa
pengangkatan anak yang dilakukan adalah secara diam-diam dan tidak menggunakan
konsep terang dan tunai. Di Jawa anak angkat mempunyai kedudukan yang seimbang
dengan anak kandung, anak angkat di Jawa berhak mendapat warisan dari orang tua
angkatnya dan ia tidak terputus hubungannya dengan orang tua kandungnya sehingga
ia juga tetap mendapat warisan dari orang tua kandungnya. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, dimana alat pengumpulan datanya
adalah studi dokumen, yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.
Kata Kunci : Mekanisme Pengangkatan Anak, Akibat Hukum Pengangkatan Anak,
Hukum Adat Jawa.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Guntur Pitut DK
Study Program : Law
Title : Legal Status of Adopted Child According to Javanese
Customary Law
Indonesia consist of various ethnic groups with different customs. Java customary
law has a unique and interesting characteristics to be extracted also include the
appointment of his son, due to presence of children is so important in a family that if
husband and wife in marriage is not a descendant of the law will cause an event, one
of which is adoption. This thesis describes how child adoption mechanisms based on
customary law, in Javanese culture ilegal child adoption which doesnt use bright and
cash consept. In Javanese culture, adopted child has the same equal position as the
legitimate child. Adopted child in Javanese culture has the same rights for heritage
from his/her foster parents. Alas he/she will still have a benefit from their parents
royalty incase of deceased. This study used yuridis normatif research metode, which
the data collected from doctrine and jurisprudence which based on primary and
secondary source.
Keywords: adoption child mechanisms, Legal Status Adopted Child , Javanese
Costumary Law.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








ix
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Guntur Pitut DK
NPM : 0606044890
Program Studi : Ilmu Hukum
Departemen : Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif ( Non-exclusive Royalty-
FreeRigth) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan
tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 13 Juli 2012
Yang menyatakan,
Guntur Pitut DK
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..........................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN..................................... Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv
ABSTRAK..................................................................................................................vii
ABSTRACT...............................................................................................................viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................... ix
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................ ix
DAFTAR ISI................................................................................................................. x
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Permasalahan............................................................................ 1
1.2. Pokok Permasalahan .......................................................................................... 4
1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................ 4
1.4. Kerangka Konsepsional ..................................................................................... 4
1.5. Metode Penelitian............................................................................................. 10
1.6. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 12
BAB 2 SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT JAWA...................... 14
2.1. Sistem Kekeluargaan Adat Jawa...................................................................... 14
2.2. Bentuk Perkawinan dan Akibat Hukumnya..................................................... 18
2.2.1. Perkawinan Adat Jawa ............................................................................. 21
2.2.2. Kedudukan Suami Isteri ............................................................................ 23
2.2.3. Hubungan Orang Tua dan Anak/Keturunan ............................................. 26
2.2.4. Tentang Harta Benda Perkawinan............................................................. 30
2.3. Hukum Kewarisan Adat Jawa.......................................................................... 32
2.3.1. Subyek Hukum Waris ............................................................................... 35
2.3.2. Objek Hukum Waris ................................................................................. 39
2.3.3. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat ..................................................... 39
2.3.4. Harta Warisan............................................................................................ 41
BAB 3 TINJAUAN TENTANG ADOPSI SECARA UMUM................................... 43
3.1. Pengertian Adopsi ............................................................................................ 43
3.2. Adopsi Sebagai Suatu Lembaga Hukum.......................................................... 43
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








xi
Universitas Indonesia
3.3. Adopsi/Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat............................................ 45
3.3.1. Tata Cara/Mekanisme Adopsi Menurut Hukum Adat .............................. 47
3.3.2. Syarat-syarat Adopsi ................................................................................. 47
3.3.3. Mekanisme Adopsi atau Pengangkatan Anak........................................... 47
3.3.4. Kriteria Orang Yang Melakukan Adopsi .................................................. 49
3.3.5. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat ..................... 50
3.3.6. Hak Mewaris Anak Angkat Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung. 51
3.4. Pengaturan Tentang Adopsi ............................................................................. 52
3.5. Adopsi Dalam Hukum Barat (BW).................................................................. 57
3.5.1. Syarat dan Tata Cara Adopsi Menurut Hukum Barat ............................... 58
3.5.2. Akibat Hukum Adopsi Menurut Hukum Barat ......................................... 59
3.6. Adopsi Menurut Hukum Islam ........................................................................ 60
3.6.1. Pengertian Adopsi Dalam Pandangan Islam............................................. 60
3.6.2. Hubungan Anak Angkat Dalam Hubungan Perkawinan .......................... 62
3.6.3. Hak Mewaris Anak Angkat....................................................................... 62
BAB 4 AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM
ADAT JAWA ................................................................................................. 64
4.1. Tata Cara Pengangkatan Anak di Jawa............................................................ 64
4.2. Perbedaan Anak Angkat Dan Anak Piara Di Jawa .......................................... 65
4.3. Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa................................. 66
4.4. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa ................... 67
4.5. Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa ........................................................... 68
4.6. Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan Menurut Hukum Adat Jawa
......................................................................................................................... 68
4.7. Putusnya Hubungan Pengangkatan Anak ........................................................ 73
BAB 5 PENUTUP ...................................................................................................... 75
5.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 75
5.2. Saran................................................................................................................. 77
DAFTAR REFERENSI .............................................................................................. 78
LAMPIRAN
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia pada dasarnya ingin mempunyai anak karena anak sangat
besar artinya dalam keluarga, masyarakat dan umat manusia. Di samping itu, anak
merupakan penghibur yang sangat dekat dengan ibu bapaknya dan dapat
membangkitkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang. Manusia dalam proses
perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup
yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pada
dasarnya untuk mendapatkan keturunan adalah melalui suatu perkawinan.
Perkawinan pada kenyataannya dipandang sebagai jalan untuk mewujudkan suatu
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, dan perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak
boleh berakhir begitu saja. Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang yang
telah dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin
atau kaya, tinggal di desa atau di kota, dan lain sebagainya.
Dengan perkawinan maka akan terbentuk suatu keluarga (dalam arti sempit)
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga mempunyai peranan yang penting
dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok
masyarakat terkecil. Namun di dalam kenyataannya tidak selalu unsur yang
terpenting, yaitu adanya anak itu terpenuhi, sehingga seringkali pula suatu
keluarga tidak memiliki anak atau keturunan.
Begitu pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga dapat menimbulkan
berbagai peristiwa hukum karena ketiadaan seorang anak di dalam suatu
perkawinan. Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa
peristiwa hukum yang dapat saja terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu
tidak diperoleh keturunan. Dengan demikian, seolah-olah apabila suatu
perkawinan tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan dianggap tidak
tercapai. Dengan demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








2
Universitas Indonesia
keturunan (anak), maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses
pelanjutan generasi dapat berjalan.
1
Sebagai salah satu dari beberapa jalan hukum yang diambil oleh keluarga
yang telah kawin namun tidak dianugerahi keturunan/anak adalah dengan
melakukan perbuatan hukum Adopsi/Pengangkatan anak. Tujuan seseorang
melakukan pengangkatan anak atau adopsi adalah untuk meneruskan keturunan.
Dengan mengangkat anak diharapkan supaya kelak ia ada yang memelihara di
hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya.
Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar sebagai
alternatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak
dalam pelukan keluarga.
Mengangkat anak adalah merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu
perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari
peristiwa pengangkatan anak adalah munculnya persoalan mengenai sah atau
tidaknya pengangkatan anak tersebut di mata hukum, serta kedudukan anak
angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, atau juga dengan orang tua
kandungnya sendiri.
Pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia setiap daerah satu berbeda
dengan daerah yang lain karena dilakukan sesuai dengan hukum adat yang berlaku
di daerah yang bersangkutan. Salah satu masyarakat adat yang masih melestarikan
dan menjaga nilai-nilai kebudayaannya hingga kini adalah masyarakat adat Jawa.
Masyarakat Jawa memiliki adat istiadat yang dihormati, ditaati serta dilaksanakan
oleh seluruh warganya, dan juga memiliki Hukum Adat yang mengatur segala
kehidupan masyarakat Jawa yang berisikan suruhan, larangan dan kebolehan.
Suku Jawa atau masyarakat adat Jawa memiliki karakteristik adat istiadat yang
menarik untuk diselami dan diketahui, begitu pula dengan hukum adatnya, hal
inilah yang membuat penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan tema hukum
adat khususnya hukum adat Jawa. Di dalam masyarakat adat Jawa sebagai suatu
akibat dari pengangkatan anak, saudara-saudara dari orang tua angkat si anak
adopsi sering mempermasalahkan sah atau tidaknya kedudukan anak angkat/anak
1
Soerjono Soekanto dan Soleman b.Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cet. 1, ( Jakarta:
CV. Rajawali, 1981), hal.275 dan 276.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








3
Universitas Indonesia
adopsi ini sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya tersebut. Apakah anak
angkat/anak adopsi tersebut berhak menjadi ahli waris dan mendapatkan seluruh
harta pewaris sementara saudara-saudara orang tua angkatnya (pewaris) masih
hidup, dan berhak pula mendapatkan bagian harta warisan. Permasalahan inilah
yang membuat penulis tertarik dan ingin menggali lebih dalam lagi mengenai
pengangkatan anak/adopsi yang terjadi di dalam masyarakat hukum adat Jawa.
Prosedur pengangkatan anak menurut Hukum Adat terdapat banyak cara,
namun secara umum pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi dua :
2
1) Pengangkatan anak secara terang dan tunai.
2) Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai
Adapun maksud dari kata terang, ialah suatu prinsip legalitas yang berarti
bahwa perbuatan itu dilakukan di hadapan dan diumumkan di depan orang banyak
dengan sepengetahuan Kepala Adat secara resmi dan formal, dengan demikian
dianggap bahwa semua orang atau warga masyarakat mengetahui terjadinya
perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut. Sedangkan kata tunai berarti
perbuatan itu akan selesai saat itu juga.
3
Di dalam perbuatan tunai ini ada
pemberian berupa benda-benda tertentu dari calon orang tua angkat kepada orang
tua kandung si anak. Tujuan pemberian itu pada dasarnya adalah sebagai simbol
untuk melepaskan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua
kandungnya sendiri. Prosedur tersebut membawa konsekuensi atau akibat hukum,
pertama, mengenai hubungan hukum anak angkat dengan orang tua asli atau
kandungnya, dimana proses pengangkatan anak akan berakibat putus atau
tidaknya hubungan hukum antara anak dengan orang tua kandungnya. Kedua,
akibat hukum yang menyangkut tentang pewarisan anak angkat dengan orang tua
angkatnya.
Pengangkatan anak atau adopsi di Jawa mempunyai pengertian yang hampir
sama dengan pemeliharaan anak, akan timbul suatu masalah apabila orang tua
angkat si anak adopsi atau anak pelihara ini meninggal dunia, bagaimanakah
membedakan antara anak angkat dengan anak pelihara ini sehubungan dengan
2
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, ,( Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hal.
35.
3
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cet. 10 (Jakarta: Pradnya Paramita,
2006), hal. 33.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








4
Universitas Indonesia
masalah warisan, sedangkan di jawa tidak dikenal konsep terang dan tunai. Sistem
pengangkatan anak pada masyarakat Jawa memiliki keunikan tersendiri
dikarenakan masyarakat Jawa adalah masyarakat bilateral atau masyarakat keibu-
bapaan yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak. Anak angkat di
dalam masyarakat adat Jawa selain mempunyai hubungan dengan orang tua
angkatnya, ia juga tidak terputus hubungan dengan orang tua kandungnya.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka pokok pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana mekanisme pengangkatan anak dan kedudukan anak angkat
dalam masyarakat adat Jawa ?
2. Bagaimanakah akibat hukum pengangkatan anak terhadap masalah-
masalah kewarisan menurut Hukum Adat Jawa ?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka :
1. Menjelaskan mekanisme pengangkatan anak serta kedudukan anak angkat
pada Masyarakat Hukum Adat Jawa.
2. Menjelaskan akibat hukum pengangkatan anak terhadap masalah-masalah
pewarisan menurut Hukum Adat jawa dan menurut Hukum Nasional
1.4 Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai
pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini konsep-konsep yang digunakan dan perlu
didefinisikan adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat (1),
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








5
Universitas Indonesia
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
4
Pengertian Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
5
Dalam Kompilasi Hukum
Islam pada Bab II tentang Dasar-dasar Perkawinan di dalam pasal 2
disebutkan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
6
Pengertian perkawinan yaitu, suatu hidup bersama dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk
dalam peraturan. Yang dimaksud dengan peraturan ialah Hukum
Perkawinan.
7
Imam Muhammad Abu Zahrah seorang ahli hukum Islam dari Universitas
Al-Azhar mengemukakan definisi nikah yaitu akad yang menjadikan
halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita,
saling menolong antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban
diantara keduanya
8
.
2. Warisan
Warisan adalah Harta warisan berupa sejumlah harta kekayaan yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan
pasiva yang berpindah kepada ahli waris.
9
Warisan berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
10
4
Pasal 1 dan 2 (1), Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974
5
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5 ( Jakarta: UI-Press, 2007), hal. 47.
6
Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam.
7
Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. 6,(Jakarta: Sumur
Bandung, 1974), hal. 7.
8
www. Lontar.ui.ac.id/file=digital/125064-PK%201%202139..., diakses tanggal 28
Desember 2011.
9
J. Satrio, 1990, Hukum Waris, Bandung, PT. Citra Aditya, hal. 8
10
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, cet. 2 (Bandung: Mandar Maju,
1990), hal. 2.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








6
Universitas Indonesia
Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat.
11
3. Hukum Adat
Hukum Adat adalah peraturan-peraturan yang menjelma di dalam
keputusan-keputusan para pejabat hukum, yang mempunyai kewibawaan
dan pengaruh serta yang didalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan
tersebut.
12
Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda
: Adat-Recht, yang pertama kali dikemukakan oleh : Snouck Hurgronje
yang kemudian dipakai dalam bukunya : De Atjehers (orang-orang
Aceh). Istilah Adat-Recht ini kemudian dipakai pula oleh : van
Vollenhoven yang menulis buku-buku/pokok tentang Hukum Adat dalam 3
jilid yaitu : Het Adat-Recht van Nederlandsch I ndie (Hukum Adat
Hindia Belanda).
13
Menurut Van Vollenhoven, Hukum Adat ialah :
Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai
sanksi (oleh karena itu : Hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (oleh karena itu : Adat).
-positif : Hukum yang dinyatakan berlaku disini dan kini.
-sanksi : reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma.
Menurut Ter Haar, apa yang dinamakan Hukum adat itu di dalam pidato
dies natalies tahun 1930, dengan judul : Peradilan Landraad berdasarkan
hukum tak tertulis, disebutkan bahwa Hukum Adat lahir dari dan
dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat
hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang
membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal
11
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 butir (e).
12
Soekanto dan Soerjono Soekanto,Pokok-pokok Hukum Adat, cet. 1 (Bandung: Alumni,
1978), hal. 16.
13
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, cet. 4(Yogyakarta: Liberty,
1981), hal. 1.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








7
Universitas Indonesia
pertentangan kepentingan, keputusan para Hakim yang bertugas mengadili
sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu, karena kesewenangan atau
kurang pengertian, tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat,
melainkan senapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui
atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.
14
Sementara itu di dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek : Hukum
Adat Hindia-Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran, Ter Haar
menyatakan bahwa Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian-
bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat-
surat perintah Raja, adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam
keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang
mempunyai wibawa (Macht Authority) serta pengaruh dan yang dalam
pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan
sepenuh hati. (Fungsionaris disini terbatas pada dua kekuasaan yaitu :
Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu
hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para
Fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tapi juga kepala Adat, rapat
desa, wali tanah, petugas-petugas dilapangan Agama, petugas-petugas desa
lainnya. Keputusan itu bukan saja mengenai suatu sengketa yang resmi,
tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan-
keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan
alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu.
Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran : Beslissingenleer (ajaran
keputusan).
15
Ajaran keputusan ini adalah aturan adat /kebiasaan yang
mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-
penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, Hakim, baik di dalam
maupun di luar persengketaan. Menurut Ter Haar, jika tidak ada
keputusan, maka belum bisa dikatakan sebagai hukum.
14
Ibid. hlm. 6.
15
Ibid.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








8
Universitas Indonesia
Hukum Adat adalah hukum dari suatu negara tertentu yang kebanyakan
tidak tertulis dalam bentuk perundangan yang resmi dibuat oleh pihak
penguasa pemerintah umum, pengertian hukum adat di Indonesia,
dikatakan Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung
unsur agama (BPHN, 1976:250).
16
4. Adopsi atau Anak Angkat
Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris Adoption yang
berarti pengangkatan atau pemungutan sehingga sering dikatakan
Adoption of Child yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bangsa Arab dengan istilah
Attabani. Yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau
menjadikannya anak. Surojo Wingjodipura. S.H. mengatakan Adopsi
(mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang
memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum
kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.
17
Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh suatu keluarga dan
dianggap sebagai anak kandungnya sendiri dan biasanya anak angkat ini
dilakukan oleh suatu keluarga oleh karena mereka tidak mempunyai anak
sama sekali.
18
Pengertian Adopsi yang diterjemahkan dengan
Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak oleh seseorang dengan
maksud untuk menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.
19
Pengertian
16
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Cet.3, ( Bandung : P.T.
Alumni, 2010 ), hlm. 19-20.
17
Relasi untuk berbagi: Adopsi dalam pandangan Islam,
http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-pandangan-islam.html, diakses tanggal 26 April
2011.
18
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, hlm. 276.
19
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, cet. 1 (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 148.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








9
Universitas Indonesia
adopsi atau pengangkatan anak menurut Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan anak: perbuatan hukum yang
mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua
yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan
penetapan/Putusan Pengadilan Negeri, tanpa mempersoalkan apakah
pengangkatan anak tersebut mempunyai akibat hukum yang
penuh/sempurna atau akibat hukum yang terbatas.
20
Pengertian
mengangkat anak menurut Soerojo Wignjodipoero, adalah :
21
Suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak
yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti
yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.
Kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak
orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
22
5. Masyarakat Adat Jawa
Adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi satu sama lain
menurut sistem adat Jawa, yang sifatnya terus menerus dan terikat dengan
rasa identitas bersama. Masyarakat adat jawa adalah semua orang yang
berbudaya Jawa, yang berasal dari dan bertempat kediaman di daerah
propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pusat budayanya di
Yogyakarta dan Surakarta yang menurut istilah M.M. Djojodigoeno
disebut daerah Kejawen. Jadi semua orang Jawa itu berbudaya satu.
Mereka berpikiran dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa
20
Ibid, hlm. 151.
21
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, ( Jakarta: Gunung
Agung, 1992), hlm. 117-118.
22
Poerwadarminta, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 1976),
hlm. 120.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








10
Universitas Indonesia
Tengah dengan kota-kota Yogya dan Solo sebagai pusat-pusat
kebudayaan.
23
1.5. Metode Penelitian
Suatu penelitian yang baik membutuhkan metode untuk mengarahkan
penelitian ke arah yang benar secara sistematis dan kronologis, sesuai dengan
tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Untuk menciptakan penelitian ini menjadi
penelitian yang terarah secara sistematis dibutuhkan metode penelitian yang tepat.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini
dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai
kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa. Sedang
untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak angkat terhadap
harta warisan ini, maka kemudian diadakan penelitian pustaka, data tersebut
diambil dari bahan primer dan bahan skunder. bahan primer tersebut, antara lain:
buku-buku tentang hukum adat, makalah tentang anak angkat, dan penelitian
mengenai anak angkat. Sedang yang termasuk bahan sekunder, adalah: kamus
dan bibliografi. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan Hukum yang mengikat,
Peraturan Perundang-undangan. Dalam penelitian ini Hukum Primer yang
digunakan ialah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan seperti Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam dan
yurisprudensi.
2. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang tidak mengikat dan
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, artikel ilmiah, skripsi, tesis,
makalah, rancangan undang-undang, laporan penelitian, buku dan lain-
lain. Bahan hukum sekunder yang dipakai adalah buku-buku yang terkait
dengan Hukum Adat, artikel-artikel dari Koran, berita-berita dari internet.
23
Hilman Hadikusuma, Op.cit., hlm. 153.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








11
Universitas Indonesia
3. Bahan Hukum Tertier, Adapun bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, penerbitan
pemerintah.
Penelitian ini berbentuk Yuridis Normatif, kajian terhadap Peraturan
Perundangan yang sudah ada dan Yuridis Sosiologis, Hukum Adat. Tipe
penelitian atau Tipologi Penelitian ini adalah deskriptif-analitis, yaitu bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu, atau untuk menentukan suatu gejala. Dengan sifat tersebut, maka pada
penelitian ini akan digambarkan bagaimana keberadaan anak angkat dalam
keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan menurut hukum
adat Jawa. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana anak angkat dapat
memperoleh harta warisan dari orang tua angkat. Adapun jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data
yang diperoleh dari kepustakaan. Seluruh data di dapat dari pengumpulan atau
penelusuran data yang dilakukan melalui data tertulis. Sehingga dalam teknik
pengumpulan data studi dokumen, melalui mengumpulkan data, mempelajari
literatur-literatur, buku-buku, tulisan-tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan
objek penelitian, yang berhubungan dengan Adopsi dan Kewarisan. Data yang
diperoleh dari penelitian melalui studi dokumen atau bahan pustaka tersebut,
selanjutnya dianalisis dengan pendekatan kualitatif, Namun diperlukan, penulis
juga akan menggunakan alat pengumpul data lain selain studi dokumen, yakni
wawancara dengan narasumber. Hal ini dilakukan untuk menarik asas-asas
hukum. Analisa yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif merupakan
pelaksanaan analisis data secara mendalam, komprehensif dan holistik untuk
memperoleh kesimpulan terhadap masalah yang diteliti. Data yang akan dianalisa
secara Kualitatif (ilmu hukum) dan Kuantitatif (ilmu sosial). Hasil penelitian ini
berbentuk Deskriptif-analitis.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








12
Universitas Indonesia
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini sistematika penulisan disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu :
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisikan 6 (enam) sub-bab yaitu mengenai Latar
Belakang Masalah, Pokok Permasalahan, Tujuan Penulisan,
Definisi Operasional, Metode Penulisan, dan Sistematika
Penulisan.
BAB 2 SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT
JAWA
adalah uraian tentang sistem kekerabatan masyarakat adat
Jawa, yaitu tentang sistem kekeluargaan adat Jawa, cara
menarik garis keturunan, perkawinan adat Jawa, bentuk
perkawinan adat Jawa serta akibat hukumnya, kedudukan
suami isteri, harta perkawinan, uraian mengenai hukum
kewarisan adat Jawa, subyek dan obyek hukum waris, sistem
pewarisan serta harta warisan.
BAB 3 TINJAUAN ADOPSI SECARA UMUM
adalah uraian tentang adopsi, pengertian adopsi, jenis-jenis
adopsi, adopsi sebagai suatu lembaga hukum, pengaturan
tentang adopsi, adopsi menurut hukum perdata barat (BW)
berikut syarat dan tata cara serta akibat hukum adopsi, adopsi
menurut hukum Islam berikut pengertian adopsi dalam
pandangan Islam, hubungan anak angkat dalam hubungan
perkawinan serta hak mewaris anak angkat menurut Islam,
kemudian menguraikan pula adopsi menurut hukum Adat,
manguraikan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak
menurut hukum adat serta akibat hukumnya.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








13
Universitas Indonesia
BAB 4 AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK
MENURUT HUKUM ADAT JAWA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tata cara
mengangkat anak khususnya pada masyarakat adat Jawa,
perbedaan anak angkat dan anak piara di Jawa, akibat hukum
pengangkatan anak menurut hukum adat Jawa terhadap
hubungan anak angkat dengan orang tua kandung, terhadap
hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan terhadap
masalah kewarisan yang ditimbulkan serta putusnya hubungan
pengangkatan anak.
BAB 5 KESIMPULAN
Dalam bab penutup ini penulis memberikan kesimpulan serta
berusaha untuk dapat menguraikan secara garis besar seluruh
hasil dari penelitian dan pembahasan serta penyelesaian atas
masalah yang terjadi terhadap kedudukan serta akibat hukum
pengangkatan anak menurut hukum adat Jawa.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








14
Universitas Indonesia
BAB II
SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT JAWA
2.1 Sistem Kekeluargaan Adat Jawa
Sejak dahulu kala, sistem-sistem kekerabatan menarik perhatian para ahli
ilmu-ilmu sosial maupun kalangan-kalangan lainnya. Hal itu terutama disebabkan,
oleh karena manusia selalu ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan
keluarga dalam masyarakat, sebagai suatu sistem sosial yang menyeluruh.
Walaupun di dalam antropologi lazimnya istilah kekerabatan sering dipergunakan
dalam arti kekerabatan dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan,
dimana kekerabatan merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan
diberi istilah affinity. Maka di dalam bahasa Inggris orang tua dengan anak
adalah kerabat (kin) sedangkan suami dan isteri adalah affines.
24
Pada
kebanyakan masyarakat, seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua
orang tuanya, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang
dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri
melalui ayah, biasanya disebut paternal atau patrilineal, sedangkan yang
melalui ibu, lazimnya dinamakan maternal atau matrilineal.
25
Sistem
kekerabatan masyarakat adat Jawa adalah yang mempunyai hubungan
kekerabatan yang dapat ditelusuri baik melalui ayah maupun melalui ibu, yang
disebut dengan prinsip kekerabatan bilateral. Hazairin mengatakan bahwa dari
seluruh hukum yang ada, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang
menentukan dan mencerminkan sistem kekerabatan yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
26
24
Prof.H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Ibid. Hlm.153.
25
Ibid.
26
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Cet. 5, (Jakarta:
Tintamas, 1981), hlm. 11.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








15
Universitas Indonesia
Secara teoritis sistem keturunan/sistem kekerabatan dapat dibedakan dalam
tiga jenis, yaitu:
27
1. Sistem Patrilineal
Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis bapak, di mana
kedudukan laki-laki lebih menonjol daripada kedudukan perempuan. Seorang
anggota keluarga merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang laki-laki
maka anggapan seketurunan semacam itulah yang menghubungkan laki-laki
sebagai garis pengikatnya. Pertalian keturunan garis laki-laki ini terdapat
dalam masyarakat : Batak, Bali, Ambon, Papua, dan sebagainya.
2. Sistem Matrilineal
Menurut sistem ini garis keturunan ditarik menurut garis ibu, di mana
kedudukan perempuan lebih menonjol daripada kedudukan laki-laki. Prinsip
garis keturunan Matrilineal yaitu bahwa setiap orang laki-laki dan
perempuan, menarik garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung
yang perempuan saja sebagai saluran darah yaitu setiap orang itu menarik
garis keturunannya kepada ibunya dan dari neneknya itu kepada ibunya serta
dari nenek itu dan begitu seterusnya. Pertalian keturunan semacam ini
terdapat pada masyarakat Minangkabau dan Kerinci.
3. Sistem Parental atau Bilateral
Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis orang tua atau
menurut garis ibu-bapak. Di mana kedudukan laki-laki dan perempuan adalah
sama, tidak dibedakan. Dengan demikian, maka setiap anggota keluarga
menarik garis keturunannya dan menghubungkan dirinya melalui bapak
ibunya. Hal itu dilakukan oleh bapak ibunya, di mana kedua garis keturunan
itu dinilai dan diberi derajat yang sama. Pertalian hukum semacam ini,
terdapat pada masyarakat Jawa, Sulawesi, Aceh, dan Riau.
28
Sistem
27
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, ( Penerbit Sumur Bandung, 1983
), hlm.159.
28
Bushar Muhammad, Susunan Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( Jakarta : PT. Pradnya
Paramita, 1985 ), hlm.3.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








16
Universitas Indonesia
kekerabatan pada umumnya dan prinsip garis keturunan khususnya, perlu
dipelajari terlebih dahulu karena merupakan faktor-faktor yang menjadi dasar
bagi masyarakat Indonesia karena mempunyai pengaruh yang besar dalam
bidang-bidang hukum adat tertentu, terutama yang mengatur kehidupan
pribadi dari masyarakat misalnya dalam kaitannya dengan hukum perkawinan
dan hukum waris. Di dalam perkembangannya di Indonesia sekarang nampak
besarnya pengaruh bapak-ibu (parental atau bilateral) dan bertambah surutnya
pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal menyangkut hak waris
29
. Hukum
keluarga sebenarnya menyangkut the relationship between husband and wife
and between parent and child, with the rights and duties which spring from
these relationships, and with the status of married women and children
(E.A. Farnsworth: 1968)
30
. Sementara Ter Haar menyatakan, bahwa ruang
lingkup hukum keluarga adalah hubungan antara anak dengan orang tua,
hubungan anak dengan kelompok kekerabatan, pengurusan anak yatim-piatu
dan mengenai anak angkat
31
. Masyarakat Adat jawa adalah masyarakat keibu-
bapaan yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak, sebuah istilah
yang sering dipakai oleh Prof. Dr. Hazairin, untuk menunjukkan pada suatu
sistem kemasyarakatan atau sistem menarik garis keturunan dimana
seseorang menarik garis melalui ibu dan bapak, serta keluarga ibu dan
keluarga bapak, sama nilai dan sama derajatnya. Masyarakat Jawa yang
menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan keluarga/gezin,
yaitu suatu unit terkecil yang dalam keseluruhannya merupakan sebuah desa.
Sistem kekeluargaan Bilateral ini memiliki ciri-ciri, yaitu :
1) Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan. yang
dimaksud menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan
adalah, seorang anak menarik garis keturunan dari pihak ayah juga menarik
garis keturunan dari pihak ibu. Dengan demikian bahwa seorang anak secara
29
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Anak, ( Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti,
1987 ), hlm. 23.
30
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, ( Bandung : Alumni, 1980), Hal.10.
31
Ibid.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








17
Universitas Indonesia
serentak mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya dan juga
dengan kerabat kedua orang tuanya tersebut.
2) Kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan sama. Anak laki-laki
dengan anak perempuan adalah sama, maksudnya sama disini adalah tidak ada
perbedaan kedudukan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dua-
duanya dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Kedua-duanya
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan sederajat dari orang tuanya.
3) Tidak mengenal klan. Karena di dalam sistem kekeluargaan bilateral ini tidak
mengutamakan pertalian darah ke salah satu pihak saja (pihak ayah saja atau
pihak ibu saja) akan tetapi sistem kekeluargaan bilateral ini menarik garis
keturunan dari kedua belah pihak. Contoh klan ada pada suku Batak, klan
pada suku Batak sering disebut dengan marga, misalnya Lubis, Nasution,
Siregar, Panggabean, Tobing, dan Hasibuan. Pada masyarakat Minangkabau
istilah klan disebut juga suku yang merupakan gabungan dari kampung-
kampung yang ada, misalnya Caniago dan Piliang.
4) Dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Khususnya oleh masyarakat
Jawa dan Kalimantan. Pada masyarakat Jawa, sistem kekeluargaan bilateral ini
bersifat batih, yaitu apabila anak-anak telah kawin, maka mereka akan mencar
(hidup terpisah dari orang tua atau keluarga batih). Pada masyarakat
Kalimantan (suku Dayak) anak-anak yang telah menikah tersebut kemudian
berhimpun kedalam satu rumpun yang sama dengan keluarga asalnya.
Mengenai cara menarik garis keturunan, dengan menyebut masyarakat Jawa
sebagai contoh. Hazairin menjelaskannya, sebagai berikut Orang Jawa
merupakan masyarakat yang sistem kekeluargaannya menurut cara bilateral, yaitu
setiap orang menarik garis keturunannya ke atas baikpun melalui ayahnya ataupun
melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya itu dan ibunya itu dan terus
begitu selanjutnya. Ditinjau dari atas maka setiap orang Jawa mempunyai
keturunan bukan saja melalui anaknya yang laki-laki dan anaknya yang
perempuan, tetapi juga buat selanjutnya mempunyai keturunan yang lahir dari
cucunya yang perempuan dan dari cucunya yang laki-laki, tidak perduli apakah
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








18
Universitas Indonesia
cucunya itu lahir dari anaknya yang perempuan atau dari anaknya yang laki-laki.
Demikian pula piutnya ialah semua orang yang dilahirkan oleh cucu laki-lakinya
atau cucu perempuannya. Teranglah bahwa setiap saluran darah bagi orang Jawa
itu berarti penghubung dalam keturunannya dan berarti pula menghasilkan
anggota keluarga bagi dirinya
32
. Khususnya mengenai daerah Solo, maka
Marbangun Hardjowirogo memberikan catatan-catatan, sebagai berikut
Berdasarkan keturunan, masyarakat Solo terbagi atas ndoro, bangsawan dan
wong cilik, orang biasa dan berdasarkan profesi terbagi atas priyayi dan saudagar.
Status ndoro di Solo didapat karena adanya keturunan dalam garis lurus melalui
seorang pria atau seorang wanita yang asal-usulnya berpangkal pada seorang
Susuhunan atau seorang Mangku Negoro dan tergantung pada pangkal
kendoroannya. Seseorang bisalah seorang ndoro Kasunan atau Kidulan dan juga
seorang ndoro Mangkunegaran atau Loran. Perlu dicatat dalam hubungan ini,
bahwa gelar ndoro bisa diwariskan bukan saja melalui seorang pria, melainkan
juga melalui seorang wanita, fakta mana membuktikan bahwa kedudukan
genealogis wanita bangsawan di dalam masyarakat Solo sedari dulu sama kuatnya
dengan pria bangsawan. Semua orang yang berada di luar kelompok ndoro
terbatas, kompak dengan eksklusif dengan mudah bisa diketahui siapa-siapa saja
yang termasuk dan tidak termasuk di dalamnya
33
.
2.2 Bentuk Perkawinan dan akibat hukumnya
Tujuan perkawinan pada asalnya adalah sebagai wadah atau cara untuk
mempertahankan sistem kekeluargaan. Oleh karenanya bentuk-bentuk perkawinan
sangat terkait dengan sistem kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat tersebut.
Dengan demikian, ada hubungan langsung antara bentuk perkawinan dengan
sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat hukum adat tersebut. Secara
sederhana dapatlah dikatakan, bahwa di Indonesia dapat dijumpai tiga bentuk
perkawinan, yaitu :
34
32
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, hlm. 62. dan 63.
33
Ibid, hlm. 63 dan 64.
34
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, Op.cit, hlm. 23.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








19
Universitas Indonesia
1. Bentuk perkawinan jujur (bride-gift marriage),
2. Bentuk kawin semendo (suitor service marriage),
3. Bentuk kawin bebas (exchange marriage).
Macam-macam bentuk perkawinan dimaksud adalah :
Perkawinan jujur/Kawin jujur (bride-gift marriage) merupakan bentuk
perkawinan dimana pihak pria memberikan jujur kepada pihak wanita;yang dapat
dijadikan jujur adalah benda-benda yang mempunyai kekuatan magis. Perkawinan
jujur dijumpai pada masyarakat-masyarakat patrilineal,baik yang murni maupun
yang beralih-alih. Ciri umum dari perkawinan tersebut adalah patrilokal.
Perkawinan patrilokal adalah perkawinan dimana seorang isteri hidup di tengah
keluarga besar suaminya dan dihormati sebagai ibu dari anak-anak yang
dilahirkannya. Perkawinan jujur ini ada pada masyarakat patrilineal untuk
mempertahankan garis keturunan laki-laki. Seorang wanita yang menikah maka
harus melepaskan kedudukan adat dan kekerabatannya dengan keluarga
biologisnya sendiri dan masuk dalam kekerabatan suaminya. Perkawinan ini dapat
ditemui pada masyarakat Batak, Lampung, Bali, Maluku dan Irian. Kewajiban
ditanggung suami dalam menegakkan rumah tangga, sedangkan istri hanya
pendamping. Jadi hak dan kedudukan suami istri tidak seimbang. Istri tidak bebas
melakukan perbuatan hukum tanpa ijin suami
35
.
Perkawinan semendo (suitor service marriage) pada hakekatnya bersifat
matrilokal dan exogami. Matrilokal berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk
bertempat tinggal di kediaman suami, sebaliknya suami yang tinggal di kediaman
isteri. Sedangkan exogami berarti bahwa setiap orang diharuskan menikah dengan
orang luar sukunya. Bentuk perkawinan ini dijumpai di kalangan orang-orang
Minangkabau. Masyarakat Minangkabau terikat oleh satu keturunan yang ditarik
menurut garis ibu (matrilineal), kesatuan dasar keturunan itu disebut suku.
Perempuan/ibu yang disebut bundokanduang digambarkan sebagai limpapeh
(tiang) rumah nan gadang (rumah tangga). Peran utamanya ada dua; pertama,
35
http://www.scribd.com/doc/38109485/Tugas-Adat-Per-Bab. diakses pada tanggal 2
Januari 2012.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








20
Universitas Indonesia
melanjutkan keberadaan suku dalam garis Matrilineal dan kedua, menjadi ibu
rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Dalam sistim keluarga
matrilineal, selain memiliki keluarga inti (ayah, ibu dan anak) juga punya
keluarga kaum (extended family). Dalam keluarga kaum terhimpun keluarga
Samande (se-ibu). Anggota keluarga Samande berasal dari satu Rumah Gadang
dan dari saudara seibu. Pimpinan dari keluarga Samande adalah Mamak Rumah
(yaitu seorang saudara laki-laki tertua dari ibu). Sistem ini menempatkan laki-laki
pada peran sebagai pelindung, dan pemelihara harta dari perempuan dan anak
turunan saudara perempuannya. Keterkaitan dan keterlibatan seorang individu
dalam sistim matrilineal terhadap keluarga inti dan keluarga kaum adalah sama.
Dimana seorang perempuan, walau sudah menikah tidak lepas dari ikatan
kaumnya. Perempuan Minang dikatakan memegang kekuasaan seluruh
kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum, ia memiliki kebesaran yang bertuah
(kata-katanya didengar oleh anak cucu).
36
Bentuk perkawinan yang ketiga adalah bentuk kawin bebas (exchange
marriage). Kawin bebas tidak menentukan secara tegas dimana suami atau isteri
harus tinggal. Hal ini tergantung pada keinginan masing-masing pihak, yang pada
akhirnya ditentukan oleh konsensus antara pihak-pihak tersebut. Pada umumnya
bentuk kawin bebas bersifat endogami, artinya, suatu anjuran untuk kawin dengan
warga kelompok kerabat sendiri.
37
Kawin Bebas, artinya orang boleh kawin
dengan siapa saja, sepanjang hal itu diijinkan dan sesuai dengan kesusilaan
masyarakat setempat di sepanjang peraturan yang digariskan oleh agama. Yang
dimaksud dengan sepanjang kesusilaantadi, ialah perkawinan tadi tidak
mengadatkan, tidak menentukan keharusan dengan siapa boleh kawin dan dengan
siapa tidak boleh kawin.
38
Berbeda dengan bentuk perkawinan jujur dan bentuk
perkawinan semendo yang menentukan tempat tinggal suami isteri itu setelah
menikah, maka pada bentuk perkawinan bebas tidak ditentukan dimana suami
36
http://almakkiyat.wordpress.com/2011/07/27/romantika-perempuan-di-ranah-minang,
diakses pada tanggal 2 Januari 2012.
37
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, Ibid, hlm.25.
38
Bushar Muhammad, Op.cit., hal 28-29.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








21
Universitas Indonesia
atau isteri harus tinggal. Suami atau isteri bebas menentukan dimana mereka harus
tinggal. Dimungkinkan bahwa isteri bertempat tinggal di kediaman suami ataupun
sebaliknya suami bertempat tinggal di kediaman isteri dan tidak menutup
kemungkinan untuk hidup membangun keluarga/rumah tangganya sendiri secara
mandiri (diluar kediaman isteri atau suami), yang disebut dengan mentas atau
mencar. Bentuk perkawinan bebas ini dianut oleh masyarakat Jawa.
2.2.1 Perkawinan Adat Jawa
Menurut Hukum Adat, perkawinan bukan semata-mata urusan dari
pribadi-pribadi yang akan kawin saja melainkan juga merupakan urusan kerabat,
keluarga, persekutuan, martabat. Dapat merupakan urusan pribadi, bergantung
kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok
wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-
persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya
(pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup
kelompoknya secara tertib-teratur; sarana yang dapat melahirkan generasi baru
yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di dalam lingkungan
persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara
meneruskan (yang diharap dapat meneruskan) garis keluarga tertentu yang
termasuk persekutuan tersebut; jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak-
ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan
39
. Orang Jawa tidak mengenal tata-
tertib adat pergaulan bujang gadis untuk berkasih cinta. Pertemuan bujang gadis
dapat terjadi pada kesempatan-kesempatan terluang, ketika diadakan acara
selamatan keluarga, acara ziarah ke kuburan, makam leluhur (sadranan), acara
kesenian (wayang), acara kematian dan sebagainya. Dalam keadaan yang biasa
jika seorang pemuda berniat untuk kawin, maka ia harus membicarakannya
kepada orang tuanya begitu pula sebaliknya jika orang tua telah berminat
mengawinkan anaknya maka akan dibicarakan dengan anaknya. Orang tua
menurut adat lama akan merasa senang jika putranya atau putrinya dapat kawin
dengan pria atau wanita yang masih ada hubungan sanak (misanan) atau masih
39
Iman Sudiyat, Op.cit, hlm 107.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








22
Universitas Indonesia
satu kakek nenek yang menurunkan mereka (nakdulur) atau masih satu canggah
(mindoan). Tetapi anak muda sekarang apalagi yang sudah banyak bergaul, tidak
suka lagi kawin dengan anggota yang masih ada hubungan kerabat atau yang
sekampung, mereka lebih suka kawin dengan pria atau wanita pilihan mereka
sendiri, dan jika telah mendapatkan bakal pasangannya mereka meminta kepada
orang tuanya agar mengajukan lamaran. Orang tua tidak begitu saja menerima
pilihan anaknya, ia harus melihat bagaimana bibit, bebetdan bobot bakal
pasangan anaknya itu. Apakah pria atau wanita itu keturunan baik-baik, apakah
orang tuanya tidak berprilaku buruk, bagaimana pula prilaku dan agama bujang
atau gadis dimaksud, apakah dapat diandalkan menjadi bapak atau ibu rumah
tangga, dan bagaimana pula kedudukan sosial ekonomi orang tua atau bakal
besannya, apakah mereka tidak berbeda agama, yang akan menyulitkan
perkawinan dan kehidupan rumah tangga di kemudian hari. Untuk mengetahui
hal-hal tersebut adakalanya orang tua meminta bantuan seseorang penghubung
(dandan) yang akan berperan menghubungi pihak gadis dan meneliti keadaan
kehidupan mereka, demikian sebaliknya dari pihak gadis
40
.
Menurut adat Jawa, jika orang tua akan menjodohkan anaknya, maka
acaranya sederhana saja, ialah dimulai dari penjajakan, kemudian nontoni,
ngelamar, sasrahan, paningset dan pelaksanaan upacara perkawinan. Penjajakan
dilakukan oleh pihak pria dengan menyuruh anggota kerabat atau tetangga dekat
untuk berkunjung pada orang tua wanita. Dalam kunjungan itu suruhan itu akan
bertanya-tanya tentang apakah si gadis sudah bersedia untuk momong anak. Jika
dijawab belum karena masih sekolah atau sudah ada yang meminang, maka
penjajakan tidak perlu dilanjutkan. Tetapi jika dijawab sudah pandai momong
anak tetapi belum ada yang mau, maka artinya bersedia untuk dilamar, atau
dijawab sebenarnya sudah bisa, tetapi ia harus nglangkahi gunung artinya masih
ada kakaknya yang belum kawin. Apabila ada kemungkinan si gadis bisa dilamar,
maka pihak pria akan melakukan kunjungan memperkenalkan diri dan
memperkenalkan si pemuda yang melamar, agar dapat saling melihat-lihat
(nontoni) satu sama lain. Kedatangan pihak pria terdiri dari orang tuanya,
beberapa anggota keluarga, dan tetangga dekat pria dan wanita. Dalam acara
40
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 156-157.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








23
Universitas Indonesia
nontoni ini pertemuan antara dua pihak dilayani oleh bapak si gadis atau
wakilnya, yaitu paman si gadis atau kakak laki-lakinya dengan juru bicara iparnya
atau yang lain. Tujuan nontoni adalah agar si bujang dan si gadis dapat mengenal
rupa dan gayanya sepintas, lalu begitu pula agar orang tua dan keluarga kedua
pihak dapat saling mengenal dan saling memberikan penilaian terhadap si pemuda
dan si gadis. Jika dalam pertemuan nontoni telah terbayang jalan terbuka untuk
melanjutkan lamaran, maka pada hari atau malam yang telah disepakati bersama,
pihak pemuda akan datang lagi berkunjung ke tempat pihak wanita guna
menyampaikan lamaran resmi, terang di hadapan kerabat tetangga sekampung
bahkan juga sering disaksikan perangkat desa setempat. Pelamaran itu dapat
langsung dikaitkan dengan penyampaian hadiah pertunangan (sasrahan). Acara
sasrahan bagi orang yang mampu dapat berwujud pemberian ternak kerbau atau
sapi dan perabot rumah tangga, bagi yang tidak mampu cukup sekedar memberi
hadiah perhiasan atau beberapa potong bahan pakaian untuk si gadis sebagai tanda
pengikat (paningset). Biasanya pemberian hadiah pertunangan dari pihak pria
kepada pihak wanita dilakukan seminggu atau sepuluh hari sebelum upacara
perkawinan dan jarang yang sampai melebihi waktu satu bulan. Masa sejak
paningset diterima oleh pihak wanita merupakan masa pertunangan bagi kedua
sejoli yang akan dikawinkan itu
41
.
2.2.2 Kedudukan Suami Isteri
Di dalam kekeluargaan yang bersifat kebapa-ibuan (Jawa), pada
hakekatnya tiada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannya dalam
keluarga masing-masing. Si suami sebagai akibat dari perkawinan menjadi
anggota keluarga si isteri, dan si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami.
42
Namun, dalam kenyataan hidup sehari-hari pada masyarakat adat Jawa yang
masih memegang teguh tradisi dan kebudayaannya, sebagian masyarakat masih
menganggap bahwa kedudukan suami itu lebih tinggi dibandingkan dengan istri
(tidak sederajat), hal ini dapat dilihat dari karakteristik pria Jawa yang kadang-
41
Ibid, hlm. 158-159.
42
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit,hlm. 19.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








24
Universitas Indonesia
kadang bersifat egois, ketika menghadapi wanita, pria Jawa selalu ingin menang,
ingin lebih, dan ingin lebih terhormat. Dalam tradisi kehidupan orang Jawa, pria
memang dipandang lebih terhormat. Pria selalu berada di depan. Pembedaan pria
dan wanita Jawa semakin jelas, ketika orang Jawa melakukan hukum waris.
Dalam tradisi Jawa, dikenal budaya sepikul segendhongan, bagi pria dan wanita.
Pria dalam hukum waris mendapat sepikul (2 bagian) dan wanita segendhongan (1
bagian). Hal ini menggambarkan sikap orang Jawa yang meninggikan pria
dibandingkan wanita. Pria harus mendapatkan bagian lebih dalam segala hal.
Budaya sepikul segendhongan ini adalah pengaruh dari Hukum Islam, dimana di
dalam Hukum Islam ditentukan bagian warisan antara laki-laki dengan perempuan
adalah 2:1 (dua banding satu) karena pada adat J awa banya k
di pengar uhi ol eh aga ma Islam yang didasarkan pada Al Quran dan Hadits.
Kaitan antara adat dan agama ini senada dengan teori receptio in complexu yang
dicetuskan oleh Van Den Berg. Menurut Van Den Berg dengan teorinya yang
terkenal dengan istilah receptio in complexu tersebut yang berarti bahwa hukum
adat yang dianut didalam masyarakat adalah keseluruhan hukum agama yang
dianutnya, h u k u m p r i b u m i h a r u s m e n g i k u t i a g a m a y a n g
d i p e l u k o l e h masyarakat. Oleh karena itu jika memeluk suatu
agama, maka harus mengikuti hukum-hukum agama itu dengan
sebenarnya.
43
Dengan demikian, apabila masyarakat memeluk agama
Islam, ma ka hukum- hukum l okal j uga har us mengi kut i aga ma
I s l am yang dipeluk oleh masyarakat. Jadi maksud dari pernyataan Van Den
Berg disini adalah bahwa hukum/kaidah agama sama dengan hukum adat. Seperti
pada masyarakat muslim di jawa pasti menggunakan hukum/kaidah agamanya
sebagai hukum adatnya. Sehingga dalam hal ini agama sebagai unsur kebudayaan
mempengaruhi setiap bidang kehidupan manusia secara keseluruhan dan menjadi
unsur kebudayaan
44
. Namun pada per kembangan s el anj ut nya, t eor i
t er s ebut berhasil dipatahkan oleh teori receptie yang diusung oleh Snouck
43
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk mempelajari
Hukum Adat, Cet. 3. (Jakarta: Rajawali Pers. 1996), hlm. 53.
44
http://theadvocateofchange.wordpress.com/2011/04/19/hukum-budaya-dan-agama.
diakses pada tanggal 2 Januari 2012.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








25
Universitas Indonesia
Hur gr onj e. Teor i r ecept i e i ni yang ol eh Hazai r i n di s ebut
s ebagai t eor i iblis.
45
Sangat ber l awanan dengan t eor i
s ebel umnya, di mana menurut teori ini, sebenarnya yang berlaku di
Indonesia adalah hukum adat as l i mes ki pun ada pengar uh dar i
hukum I s l am.
46
Le bi h l anj ut t eor i i ni menyebut kan bahwa
hukum I s l am bar u mempunyai kekuat an hukum j i ka s udah
di t er i ma ol eh hukum adat dan produk hukum yang keluar berupa hukum
adat.
47
Itulah sebabnya pria Jawa juga memiliki tugas dan tanggung jawab lebih
besar dibanding wanita. Pria bertugas melaksanakan lima-A, yaitu : angayani
(memberikan nafkah lahir bathin), angomahi (membuat rumah sebagai tempat
berteduh), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga), angayemi
(menjaga kondisi keluarga aman, tentram, bebas dari gangguan), angamatjani
(mampu menurunkan benih unggul). Konsep pria yang terahir ini sering
diwujudkan ketika akan memilih isteri dengan mempertimbangkan bibit
(keturunan), bobot (kekayaan), dan bebet (kedudukan). Maksudnya, keturunan
menjadi hal yang istimewa bagi seorang laki-laki, karena anak dipandang akan
melanjutkan sejarah orang tua. Dalam mengenakan pakaian adat jawa pun,
tampak sekali bahwa laki-laki memakai udheng ( iket ). Berarti bahwa laki-laki
dipandang lebih mudheng ( paham ) tentang hidup
48
.
Di dalam Undang-undang, perihal kedudukan suami isteri berkaitan dengan
hak dan kewajiban antara suami dan isteri, diatur dalam Undang-undang
Perkawinan seperti dibawah ini :
49
45
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet. 2, (Jakarta: Tintamas, 1968), hlm. 28.
46
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 297.
47
Ibid, hlm. 298.
48
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Cet. 3, ( Yogyakarta: Cakrawala, 2010 ),
hlm. 54.
49
Andjar Any, Perkawinan Adat Jawa Lengkap, ( Surakarta: PT. Pabelan, 1986 ),hlm. 23.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








26
Universitas Indonesia
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat (UUP pasal 31 ayat 1).
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (UUP
pasal 31 ayat 2).
3. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga (UUP
pasal 31 ayat 3). Bahwa suamilah sebagai kepala keluarga yang harus
bertanggung jawab atas baik buruknya keluarga. Sedangkan isteri mengatur
dan menata rumah tangga sebaik-baiknya. Hal ini menunjukkan adanya
pembagian tugas pokok, yang harus sama-sama disadari oleh masing-
masing pihak.
4. Suami-isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (UUP pasal 33).
Unsur saling memberi bantuan lahir batin, juga merupakan suatu karakter
tersendiri yang merupakan suatu kepribadian bangsa Indonesia yang
bersumber kepada adat dan kebiasaan hidup bergotong royong. Bahwa baik
dan buruk, kaya dan melarat; menjadi tanggung jawab bersama.
Apabila ditelaah adat pada orang Jawa yang bilateral, maka preferensi umum
adalah, bahwa pria dan wanita yang merupakan calon mempelai adalah sederajat
kedudukan sosialnya, walaupun di sana sini ada pelbagai variasi mengenai
preferensi pada perkawinan ini, tidak dijumpai kaedah-kaedahnya di dalam
Undang-Undang Perkawina
2.2.3 Hubungan Orang tua dan anak/keturunan
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat mempengaruhi status
hukum seseorang. Dalam arti bahwa, dengan perkawinan timbul kedudukan
sebagai suami isteri dan bila dalam perkawinan lahir anak, maka akan timbul
hubungan antara orang tua dan anak.
50
50
www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126017-PK%20III%20695. diakses pada tanggal
07 Oktober 2011.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








27
Universitas Indonesia
Dasar bilateral/parental atau keibu-bapaan dalam keluarga menunjukkan
betapa kekuasaan antara ibu dan ayah itu berimbang sama terhadap anak-anak dan
anggota somahnya. Baik anak kandung, maupun anak angkat, demikian juga
dengan anak tiri dan anak piara serta anak di luar kawin, semuanya mempunyai
hak untuk dipelihara oleh orang tuanya. Anak angkat, anak piara dan anak tiri
memperoleh hak untuk dipelihara dengan baik oleh orang tua angkat, orang tua
tiri, dan orang tua piara. Bagi mereka terdapat larangan untuk melakukan
perkawinan (antara anak dengan bapak atau antara ibu dengan anak), kecuali di
Bali, terdapat kasus dimana anak tiri dapat dikawini oleh bapak tirinya (Harian
Kompas, tanggal 10 April 1981). Oleh karenanya anak angkat dan anak piara itu
mendapat hak untuk dipelihara oleh orang tua angkat dan orang tua piara, maka
hal ini sekaligus mengenyampingkan hak dan kewajiban dari orang tua kandung
mereka; namun demikian di dalam hal tertentu kewajiban itu tetap ada, misalnya
wewenang untuk mengawinkan, dan bagi anak piara hubungan dengan orang tua
kandungnya dalam hukum waris. Sedangkan bagi anak luar kawin, maka ia
memperoleh hak untuk dipelihara oleh ibunya (apabila ibunya itu tidak berkawin),
akan tetapi apabila ibunya itu melakukan perkawinan (kawin darurat atau kawin
paksa), maka ia berhak untuk dipelihara oleh kedua orang tuanya itu
51
.
Seorang ayah/bapak pada masyarakat adat jawa mempunyai peranan yang
sangatlah penting karena di Jawa tradisi patrimonial masih sangat terasa, sehingga
bapak menjadi penguasa rumah tangga. Kadang-kadang decision maker
keluarga hampir seluruhnya berada pada tangan seorang bapak. Kepercayaan anak
kepada bapak pun amat berbeda dibanding kepada ibu. Anak lebih takut dan
menurut kepada bapaknya. Apa yang dikatakan bapak, biasanya diikuti oleh anak
dan isteri. Tentu, sikap pria demikian menjadi otokratis, karena berbau kratonik.
Budaya kratonik memang menghendaki demikian, yaitu anak-anak harus sungkem
kepada pinisepuh, terutama kepada bapak
52
.
Akibat hukum yang terjadi terhadap hubungan orang tua disini berkaitan
dengan bentuk tanggung Jawab orang tua. Ketika seorang anak lahir ke dunia,
maka sudah sepantasnya orang tua yang memiliki hubungan darah memelihara
51
Ibid, hlm. 278 dan 279.
52
Suwardi Endraswara, Op.cit, hlm. 53.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








28
Universitas Indonesia
anak tersebut. Bila dikaitkan dengan aspek hukum, maka si anak itu memiliki
hubungan hukum baik pada bapak maupun ibunya. Seorang anak mempunyai hak
dan kewajiban yang berbanding lurus dengan hak dan kewajiban kedua orang
tuanya.
Undang-undang Perkawinan mengatur tentang hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak yang terdapat di dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49
sebagai berikut :
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang
tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan
bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam
dan di luar Pengadilan.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








29
Universitas Indonesia
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua
yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang
telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan
dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk
memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
Akibat-akibat hukum dari hubungan antara orang tua dengan anak menurut
hukum adat, adalah (B ter Haar Bzn : 1950) adanya larangan perkawinan antara
anak dengan orang tuanya, artinya disini ialah seorang ayah atau ibu dilarang
untuk kawin dengan anak kandungnya sendiri. Seorang ayah tidak diperbolehkan
kawin dengan anak perempuannya begitu pula seorang ibu tidak diperbolehkan
untuk kawin dengan anak laki-lakinya, kemudian adanya kewajiban orang tua
untuk mengurus anak-anaknya, orang tua wajib menyayangi anak-anaknya,
merawat dengan baik dan mendidik dengan baik anak-anaknya, menyekolahkan
dan mengajarkan nilai-nilai positif kepada anak-anaknya, serta pada perkawinan
anak perempuan, ayah menjadi wali. Jika memiliki anak perempuan yang akan
menikah, seorang ayah wajib untuk menjadi wali nikah anak perempuannya.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








30
Universitas Indonesia
2.2.4 Tentang Harta Benda Perkawinan
Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta-benda merupakan pokok
pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam
hidup perkawinan, sehingga memungkinkan akan dapat menghilangkan atau
mempengaruhi kerukunan hidup rumah tangga. Masyarakat adat Jawa, Jawa
tengah khususnya, mengadakan pemisahan harta perkawinan dalam dua golongan,
yakni :
53
(1) barang asal atau barang yang dibawa ke dalam perkawinan. Barang asal ini
adalah barang atau harta pribadi suami atau isteri yang didapat sebelum
menikah.
(2) barang milik bersama atau barang perkawinan. Barang milik bersama atau
barang perkawinan adalah barang atau harta yang di dapat setelah mereka
menikah atau yang di dapat secara bersama-sama di dalam perkawinan antara
suami dengan isteri.
Tentang harta bersama, baik suami atau isteri dapat mempergunakannya
dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami
atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu.
Selanjutnya ditentukan, apabila perkawinan putus, maka tentang harta bersama,
dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud
dengan hukumnya itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
lainnya.
Dalam suatu perkawinan menurut Hukum Adat ada kemungkinan sebagian
dari kekayaan suami dan isteri mesing-masing terpisah satu dari yang lain, dan
sebagian merupakan campur kaya.
54
Campur kaya adalah harta yang diperoleh
selama perkawinan, baik atas usaha istri maupun suami, masing-masing ataupun
bersama-sama.
55
53
http://yayiz.wordpress.com/2010/01/04/harta-perkawinan-adat/ , diakses pada tanggal
16 Januari 2012.
54
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit,hlm. 109.
55
www.deskripsi.com/c/campur-kaya , diakses pada tanggal 12 Juni 2012.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








31
Universitas Indonesia
Bagian ke satu dari kekayaan tersebut, jadi kepunyaan masing-masing dari
suami dan isteri, dapat dibagi lagi dalam dua bagian yaitu :
Ke 1 : barang-barang yang masing-masing didapat secara warisan dari orang tua
atau nenek moyang,
Ke 2 : barang-barang yang masing-masing didapat secara hibah atau melalui
usaha sendiri.
Barang-barang yang terdapat secara warisan ini namanya bermacam-macam
di pelbagai daerah, seperti misalnya pimbit di tanah Ngaju Dayak, Sisila di
Makasar, Babakan di Bali, Asal asli atau Pusaka di Jawa dan Sumatera, Gono,
Gawan di Jawa. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa barang-barang yang
masing-masing suami dan isteri mendapat secara warisan ini, tetap menjadi milik
masing-masing, juga kalau mereka bercerai. Selanjutnya, apabila mereka
meninggal dunia, barang-barang itu diwaris oleh anak. Apabila tidak ada anak,
maka barang barang itu kembali kepada keluarga dari suami atau isteri yang
meninggal dunia itu. Jadi tidak beralih kepada pihak lain atau keluarga dari pihak
lain itu. Jadi pada pokoknya, barang-barang kepunyaan masing-masing dari suami
dan isteri, yang diterima sebagai warisan, tetap terpisah satu dari yang lain,
sampai pada saatnya barang-barang itu secara warisan beralih pada anak-anak
mereka, kalau ada. Anak-anak inilah yang melanjutkan hak atas kekayaan dari
suatu keluarga.
56
Di samping barang-barang kepunyaan masing-masing suami dan isteri yang
terpisah satu dari yang lain ini. Hukum adat mengenal barang-barang, yang
menjadi milik bersama dari dua-duanya suami dan isteri. Barang-barang semacam
ini dinamakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur Barang Gono-Gini, di Jawa
Barat Guna-Kaya atau Campur Kaya. Milik Bersama dari suami dan isteri ini
adalah suatu gejala dalam hukum adat, yang memperlihatkan tumbuh dan makin
kuatnya suatu kelompok dalam masyarakat, yang dapat dinamakan Serumah atau
Somah, yaitu suatu kekeluargaan kecil, yang terdiri dari suami-isteri dan anak-
anaknya.
57
56
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ibid .hlm.109.
57
Ibid, hlm. 111.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








32
Universitas Indonesia
.Berhubung oleh karena itu, Undang-undang Perkawinan memberikan ketentuan-
ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37
sebagai berikut :
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya
masing-masing.
2.3 Hukum Kewarisan Adat Jawa
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum
yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan
harta-kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh
aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai
berikut :
58
1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan
membatasi pewarisan tanah;
2. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli
waris;
58
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. 2, (Yogyakarta : Liberty, 1981), hlm.
151.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








33
Universitas Indonesia
3. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap
berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal;
4. Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan
turut menentukan bentuk dan isi pewarisan;
5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak,
pemberian bekal/modal berumah tangga kepada pengantin wanita, dapat
pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris; hukum waris
dalam arti yang luas, yaitu : penyelenggaraan pemindah-tanganan dan
peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.
Soepomo, dalam buku beliau yang berjudul bab-bab tentang hukum adat,
menulis, mewarisi, menurut anggapan tradisional orang Jawa bermaksud
mengoperkan harta keluarga kepada turunan, yaitu terutama kepada anak-anak
lelaki dan anak-anak perempuan
59
. Dari pengertian diatas, nampaklah dari proses
meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta keluarga kepada anak-anak,
kepada keturunan keluarga itu, telah mulai selagi orang tua masih hidup.
Demikian pula dapat dilihat tidak ada perbedaan anak laki-laki dan anak
perempuan dalam hal menerima barang-barang harta warisan dari orang tuanya.
Mengenai jumlah bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan anak perempuan
masih menunjukkan untuk beberapa daerah memakai sistem sepikul-
segendongan(1: ), ada beberapa daerah yang juga memakai sistem sigar-
semongko (1:1).
60
Sigar dalam bahasa Jawa artinya adalah
membelahsedangkan semongko artinya adalah buah semangka, jadi sigar
semongko maksudnya adalah membelah buah semangka, karena membelah buah
semangka pasti menghasilkan bagian yang sama.
Menurut hukum adat Jawa dalam hal pewarisan berlaku asas kesamaan hak
dan asas kerukunan, artinya dalam pembagian warisan antara anak laki-laki dan
anak perempuan mempunyai nilai yang sama atas harta warisan dari orang tuanya.
Begitu pula dalam penyelesaiannya dilakukan dengan damai diantara para waris
59
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cet 14, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996),
Hlm. 73.
60
IGN. Sugangga, Hukum Waris Adat Jawa Tengah, (Semarang : Biro Konsultasi Hukum
dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1998), hlm. 1.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








34
Universitas Indonesia
dan mereka tidak suka membawa masalah warisan ke pengadilan. Pembagian
warisan itu dilakukan di bawah pimpinan anak tertua atau anak yang lain yang
dipandang mempunyai pengetahuan luas dan dapat bertindak adil. Adakalanya
dalam pembagian warisan itu dimintakan kesaksian dari tetangga (magersari,
gedongpalang, tangga saeyubing blarak) atau anggota perangkat desa yang tidak
saja dapat berkedudukan sebagai saksi tetapi juga sebagai juru damai dalam
penyelesaian pembagian warisan itu. Jalannya pewarisan berlaku sejak pewaris
masih hidup, dengan melakukan lintiran, artinya pewaris telah memindahkan
sesuatu bagian harta peninggalannya kepada waris tertentu sebagai dasar
kebendaan bagi waris yang mulai berumah tangga dalam rangka memisah hidup
dari orang tua (mencar mentas), misalnya orang tua memberi tanah atau rumah
kepada anak laki-laki dan perhiasan kepada anak perempuan, sebagaimana kata
orang Jawa wong lanang ngomahi, wong wadon ngiseni, orang laki-laki
membuat rumah dan orang perempuan mengisinya. Adakalanya juga kepada anak
perempuan diberikan tanah, karena kata orang Jawa, bocah wadon mono
ringkih, anak perempuan itu lemah, karena ia mudah dicerai oleh suaminya.
61
Cara melintir harta peninggalan (ngelintirake) dapat dilakukan dengan
cungan, garisan atau perangan, yang mana pemilikan atas harta itu baru beralih
kepada waris setelah pewaris meninggal dunia. Cungan artinya menunjukkan
sesuatu benda tertentu, garisan artinya menunjukkan batas-batas tanahnya,
sedangkan perangan artinya menunjukkan bagian kebendaan tertentu yang dilintir.
Disamping itu dikenal pula yang disebut welingan, wekas atau wasiyat, yaitu
merupakan pesan orang tua kepada anak-anaknya bagaimana harta
peninggalannya kelak apabila ia wafat harus dibagi atau digunakan oleh waris.
Pembagian harta peninggalan dalam kedudukannya sebagai harta warisan
dilakukan dengan berpedoman pada hukum waris Islam yaitu dua berbanding satu
yang disebut nggendong mikul yaitu dua bagian untuk anak laki-laki dan satu
bagian untuk anak prempuan, atau dilakukan pembagian berimbang sama. Jika
tidak ada anak laki-laki yang akan memimpin pembagian warisan, maka ibu
61
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 166.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








35
Universitas Indonesia
selaku janda dapat pula melakukan pembagian warisan itu kepada anak-anaknya,
asal saja setiap anak memperoleh bagian yang pantas.
62
Jadi, pada dasarnya semua anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan
menurut hukum adat Jawa mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan
orang tuanya. Hak sama (gelijk gerechtigd) yang mengandung hak untuk
diperlakukan sama (gelijk befegend) oleh orang tuanya di dalam proses
meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarganya.
63
2.3.1. Subyek Hukum Waris
Subyek hukum waris adalah siapa-siapa saja yang berhak menerima
warisan dari si pewaris, adalah :
a. Anak Laki-Laki
Tiap tiap anak mendapat bagian yang layak berdasar atas prinsip hak
sama dari tiap-tiap ahli waris. Demikian jugalah terhadap anak laki-laki,
hanya kedudukan anak laki-laki yang tertua dan telah dewasa setelah orang
tuanya (ayah)meninggal dunia, maka anak tersebut mengambil alih
kedudukan hukum almarhum bapaknya, mengurus rumah tangganya apabila
adik-adiknya laki-laki maupun perempuan belum dewasa, mengurus ibu
(janda), serta menjaga serta mengatur peruntukan serta kegunaan harta
peninggalan orang tuanya khususnya untuk pembiayaan kelangsungan hidup
keluarga tersebut. Sesudah adik-adiknya remaja dan hendak menikah, anak
laki-laki tertua inilah yang bertugas mengawinkannya. Sesudah saatnya
berbagi waris, maka dia juga yang mengatur pembagian warisan sedemikian
rupa, agar layak dan sedapat mungkin senantiasa berpegang kepada
kepatutan dan kepantasan untuk bagian masing-masing.
64
b. Anak Perempuan
Menurut adat tradisional Jawa, semua anak baik laki-laki maupun
perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan, mempunyai hak sama atas
62
Ibid, hlm. 167.
63
Ibid, hlm. 2.
64
IGN. Sugangga, Op.cit, hlm. 3.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








36
Universitas Indonesia
harta peninggalan orang tuanya. Menurut hukum waris adat Jawa Tengah,
tidak ada perbedaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan sebagai
ahli waris. Hanya mengenai jumlah bagian yang diterima antara anak laki-
laki dengan anak perempuan untuk beberapa daerah ada yang menggunakan
sistem sepikul-segendongan (2:1) di mana anak laki-laki mendapat bagian
dua kali lipat lebih banyak dari pada bagian anak perempuan dan ada yang
memakai sistem sigar semongko (1:1) dimana bagian anak laki-laki sama
dengan bagian anak perempuan.
65
c. Anak Luar Kawin
Menurut hukum waris adat Jawa Tengah, seorang anak yang lahir diluar
perkawinan, hanya menjadi waris terhadap harta peninggalan ibunya
maupun waris terhadap harta peninggalan keluarga ibunya. Dapat dikatakan
untuk anak yang dilahirkan diluar perkawinan terhadap anak ini hukum adat
waris diseluruh Indonesia ada persamaan, yaitu hanya ahli waris dari ibunya
dan keluarga ibunya.
66
d. Anak angkat
Di Jawa Tengah pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian
keluarga antara anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak angkat
masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya
sebagai anak angkat sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid) akan
tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk
meneruskan turunan bapak angkatnya. Menurut hukum waris adat Jawa,
khusunya Jawa Tengah, anak angkat hanya mewaris barang Gono-gini dan
harta pencaharian orang tua angkatnya dan anak angkat tidak mewaris harta
asal orang tua angkatnya. Ketentuan ini telah berlaku sejak dahulu, baik
pada zaman penjajahan maupun sesudah kemerdekaan.
65
Ibid, hlm. 4.
66
Ibid, hlm. 5.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








37
Universitas Indonesia
e. Anak Tiri
Anak tiri adalah anak yang dibawa oleh ibu atau bapak kandungnya
kedalam perkawinan. Oleh karena itu anak tiri termasuk anggota rumah
tangga dalam keluarga tersebut. Hampir sama diseluruh Indonesia mengenai
kedudukan hukum dari anak tiri ini, yaitu ia hanya ahli waris terhadap ayah
kandungnya atau ibu kandungnya. Terhadap ayah tirinya ia bukan ahli waris
demikian juga terhadap ibu tirinya ia bukan ahli waris.
f. Hak Waris Mereka Selain Daripada Anak
Dalam hal ini apabila pewaris meninggal tanpa anak juga tidak ada
anak angkat maupun Janda, maka warisan pulang kembali setingkat dalam
silsilah almarhum. Dalam hal orang meninggal tanpa keturunan, maka
warisan jatuh keatas untuk orang tua yang meninggal itu, kalau tidak ada
untuk saudara-saudara laki-laki maupun perempuan yang ada.
g. Penggantian Waris (Plaatsvervulling)
Lembaga penggantian waris ini mengandung makna, bahwa harta benda
keluarga itu dari sejak pertama dan semula disediakan sebagai dasar materiil
kehidupan keluarga dan turunannya. Ini berarti, bahwa bila seorang anak
meninggal terlebih dahulu dari orang tuanya (pewaris) maka anak keturunan
dari anak yang meninggal lebih dahulu itu, menggantikan hak mewaris dari
almarhum bapaknya. Dapat dikatakan bahwa lembaga penggantian waris ini
terdapat dalam hukum adat di seluruh Indonesia, baik pada masyarakat
hukum yang bersistem Patrilineal, Parental maupun Matrilineal.
67
h. Kedudukan Janda
Pada asasnya menurut hukum adat Jawa, janda bukan ahli waris dari
suami yang meninggal. Akan tetapi, mereka berhak mendapatkan bagian
dari harta peninggalan suami bersama-sama dengan ahli waris lain atau
menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya.
Dalam hukum adat, janda bukan ahli waris suaminya karena janda tidak
memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris sebagai berikut:
67
Ibid.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








38
Universitas Indonesia
a) Ahli waris harus memiliki hubungan darah dengan pewaris,dalam
hal ini janda tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dan
b) Ahli waris dengan pewaris harus seklen, kedudukan janda disini
adalah orang luar dan tidak seklen dengan pewaris.
Namun, hukum yang menyatakan janda bukan ahli waris suaminya,
hanya ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan setelah kemerdekaan, janda
merupakan ahli waris dari suaminya. Sebelum kemerdekaan Janda bukanlah
ahli waris karena janda dianggap orang luar yang tidak memiliki hubungan
darah dengan keluarga suami. Seperti apa yang telah diputus oleh kamar ke
III Raad van Yustisi Jakarta dahulu, memutuskan : bahwa Janda tidak
dapat dianggap sebagai ahli waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak
menerima penghasilan dari harta peninggalan si suami, jika ternyata bahwa
harta gono-gini tidak mencukupi. Janda berhak untuk terus hidup sedapat-
dapatnya seperti keadaannya pada waktu perkawinan. Dari putusan diatas,
jelas janda bukan ahli waris, hanya saja dia hanya punya hak menikmati
harta peninggalan almarhum suaminya untuk menjaga jangan sampai
terlantar hidupnya. Dengan demikian hak janda dapat mempertahankan
harta peninggalan almarhum suaminya untuk hidupnya selama ia menjanda
atau sampai ia kawin lagi atau meninggal dunia. Sesudah kemerdekaan, ada
perubahan besar terhadap kedudukan janda ini. Terutama arahan-arahan
maupun keputusan-keputusan Mahkamah Agung. Misalnya : Keputusan
Mahkamah Agung tertanggal 25 Februari 1959, Reg. No. 387k/SIP/1948,
mengatakan : Menurut Hukum Adat yang berlaku di Jawa Tengah seorang
Janda mendapat separuh dari harta gono-gini. Keputusan Mahkamah
Agung tertanggal 20 April 1960, Reg. No. 110k/SIP/1960 sebagai berikut :
Menurut Hukum Adat, seorang janda adalah juga menjadi ahli waris
almarhum suaminya.
68
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pengadilan-pengadilan di
lingkungan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menunjukkan hal-hal sebagai
berikut : dalam hal seorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang
68
Ibid, hlm. 9.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








39
Universitas Indonesia
janda dan anak-anak, caranya orang disini membagi warisan sebagai berikut
: Penelitian Pengadilan Negeri Purworejo di kecamatan Loano pada tahun
1981 menunjukkan hal-hal sebagai berikut : untuk harta bersama (gono-
gini) janda mendapat 1/3 dan yang 2/3 untuk anak-anak. Untuk harta gawan,
janda mendapat 1/8 dan sisanya untuk anak-anak. Kalau anak-anak itu
belum dewasa, semua harta peninggalan dikuasai janda itu sebagai walinya.
Dengan demikian jelaslah baik berdasar keputusan-keputusan Mahkamah
Agung maupun hasil Penelitian menunjukan janda adalah ahli waris dan
mempunyai hak untuk menerima warisan.
69
2.3.2. Obyek Hukum Waris
Obyek hukum waris ialah harta peninggalan si pewaris yang menjadi sasaran
pelaksanaan hukum waris beserta segala permasalahan berkaitan dengan harta
peninggalan tersebut. Harta peninggalan terdiri dari semua piutang dan tagihan
serta hak-hak yang dipunyai si pewaris pada saat ia meninggal dunia. Pada
hakekatnya yang beralih dari tangan si pewaris kepada ahli waris adalah barang-
barang peninggalan dalam keadaan bersih dalam arti hutang-hutang telah di bayar
dan hibah wasiat telah disampaikan kepada yang berhak. Mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan obyek hukum waris ialah : tujuan utama pewarisan lainnya
adalah untuk membuat para penerima warisan (ahli waris) hidup dengan sejahtera,
fungsi harta warisan ialah sebagai bekal/modal dasar bagi pembinaan kehidupan
para ahli waris.
70
2.3.3. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat
Sistem pewarisan dalam hukum adat selalu berhubungan dengan sistem
kekerabatan. Di Indonesia kita jumpai tiga sistem pewarisan dalam hukum adat,
yaitu :
1. Sistem Pewarisan Individual
69
Ibid, hlm. 10.
70
Ibid, hlm. 11.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








40
Universitas Indonesia
Sistem pewarisan individual yakni merupakan system pewarisan di mana para
ahli waris mewarisi secara perseorangan (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain - lain).
71
Ciri-ciri dari sistem ini, adalah harta peninggalan dapat dibagi-bagi di antara ahli
waris secara individu. Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan ini
dapat dikatakan bahwa setiap waris mendapat hak untuk menguasai dan memiliki
harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta peninggalan
itu dibagi, maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
peninggalannya untuk diusahakan, dinikmati atau dialihkan (dijual) kepada
sesame waris anggota kerabat atau orang lainnya. Faktor lain yang menyebabkan
perlu diadakan pembagian warisan secara individual, adalah tidak ada lagi yang
berhasrat memimpin penguasaan dan pemilikan harta warisan secara bersama,
karena para waris tidak terikat lagi pada suatu kerabat atau orang tua, dan
lapangan kehidupan masing-masing anggota waris telah tersebar diberbagai
tempat kediaman baru.
72
Sistem ini terdapat pada masyarakat bilateral Jawa dan
juga patrilineal Batak.
2. Sistem Pewarisan Kolektif
Sistem kewarisan kolektif yaitu merupakan sistem kewarisan di mana para
ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak
dapat dibagai-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris
(Minangkabau).
73
Ciri-ciri dari sistem ini adalah harta peninggalan diwarisi oleh
sekumpulan ahli waris bersama-sama yang merupakan semacam badan hukum, di
mana harta tersebut disebut dengan harta pusaka. Harta semacam ini tidak boleh
dibagi-bagikan pemiliknya kepada ahli waris, tetapi kepada ahli waris hanya
dibagikan dalam hal pemakaiannya saja. Dengan demikian, kepada seorang ahli
waris hanya diberi hak pakai bukan hak milik karena hak milik atas harta
peninggalan tersebut dimiliki oleh semua ahli warisnya. Oleh karena itu,
diteruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai
suatu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan kepemilikannya melainkan
71
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999 ),
hal. 285.
72
Ibid, hal. 24.
73
Ibid,hal.145.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








41
Universitas Indonesia
setiap waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mandapat hasil dari
harta peninggalan tersebut. Cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan
masingmasing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh
semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan
kepala kerabat. Ada kemungkinan sistem kolektif ini berubah kearah system
individual, apabila harta pusaka yang pada mulanya tidak terbagi-bagi itu
kemudian dapat dibagi secara individu akibat ulah dari para anggota kerabat itu
sendiri.
3. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem Pewarisan Mayorat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni :
74
1) Mayorat laki-laki yaitu, apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris
meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan
ahli waris tunggal.
2) Mayorat perempuan yaitu, apabila anak perempuan tertua pada saat
pewaris meninggal, adalah ahli tunggal, misalnya pada saat masyarakat di
Tanah Semendo.
Ciri-ciri sistem ini, adalah harta peninggalan diwariskan seluruhnya atau
sebagian kepada seorang ahli waris saja. Umumnya harta peninggalan ini
diwariskan kepada anak tertua.
2.3.4. Harta Warisan
Harta warisan terdiri dari :
75
a. Barang asal/barang gawan, yang terdiri lagi atas :
1) Barang Pusaka, yaitu barang-barang yang diwaris secara turun temurun
dari leluhurnya. Contohnya : keris, tombak, kitab-kitab dan lain-lain.
2) Barang bawaan/ gawan, yaitu barang yang dibawa oleh masing-masing
pihak yaitu suami dan isteri sebelum perkawinan berlangsung.
3) Barang hadiah yang diperoleh secara pribadi selama perkawinan
berlangsung, misalnya : tanah atau sawah yang diperoleh oleh masing-
74
Ibid, Hal. 286.
75
Ibid.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








42
Universitas Indonesia
masing pihak suami atau isteri sebagai warisan. Hadiah berupa kalung,
cincin atau barang-barang lainnya yang didapat dari hadiah perkawinan
atau bekal perkawinan.
b. Barang gono-gini
Barang-barang atau harta kekayaan ini dihasilkan oleh suami isteri secara
kerjasama gotong royong, yang dimaksud dengan gotong royong disini ialah
secara bersama-sama saling bantu antara suami dengan isteri dalam suatu usaha
untuk mendapatkan penghasilan. Sering juga dinamakan harta atau barang-barang
pencaharian bersama. Harta ini di Jawa Tengah merupakan hak bersama dari
suami-isteri tersebut. Di dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan, dikenal azas asal kembali ke asal. Di dalam praktek, oleh
karena janda/duda adalah ahli waris, maka di dalam pembagian harta warisan
persoalan barang asal jarang muncul, baru muncul bilamana ternyata kelak setelah
meninggalnya suami atau isteri, duda atau jandanya kawin lagi sedang ia tidak
mempunyai keturunan dengan mendiang suami atau isterinya. Demikian juga
halnya dengan harta/barang gono-gini. Di dalam praktek, masalah barang gono-
gini timbul bilamana terjadi perceraian. Di dalam hal terjadi perceraian, maka
pembagian harta dipisahkan antara gono-gini dan barang asal/gawan, sehingga
yang dibagi adalah barang gono-gini, sedang barang asal kembali ke asal.
76
76
Ibid, hal. 12.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








43
Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN TENTANG ADOPSI SECARA UMUM
3.1. Pengertian Adopsi
Adopsi adalah suatu perbuatan hukum pengangkatan anak dengan tujuan
untuk menjadikannya sebagai anak kandung bagi yang mengangkatnya. Secara
umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang
menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor
hubungan darah.
77
3.2. Adopsi sebagai suatu Lembaga Hukum
Eksistensi lembaga adopsi merupakan suatu keperluan masyarakat yang
mengandung unsur-unsur positif. Sebagai salah satu kebutuhan masyarakat yang
positif dapat dilihat dari motif-motif yang mendasari adanya lembaga adopsi atau
pengangkatan anak di Indonesia. Inti dari motif pengangkatan anak atau adopsi di
Indonesia dapat diringkaskan sebagai berikut :
78
1. Karena tidak mempunyai anak, keinginan untuk mendapat keturunan bagi
sepasang suami isteri yang belum atau tidak mendapat karunia anak, meskipun
mereka telah berusaha. Misalnya A menikah dengan B dan telah bertahun-
tahun tidak dikaruniai anak, maka karena sangat menginginkan seorang anak
sebagai pelengkap sebuah keluarga, A dan B melakukan pengangkatan anak.
2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak
mampu memberikan nafkah kepadanya, umumnya dalam hal ini latar
belakang keluarga si anak adalah dari golongan kurang mampu sehingga
orang tua kandung si anak tidak mampu untuk membesarkan si anak dengan
baik, sehingga menimbulkan rasa belas kasihan dan ingin membantu dengan
77
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 52.
78
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.5, ( Jakarta: Sinar
Grafika,2006), hal. 14-15.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








44
Universitas Indonesia
mendidik dan merawat serta memberikan nafkah kepada si anak dengan jalan
adopsi.
3. Karena anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu),
bila dilihat dari sisi agama, merawat anak yatim piatu adalah perbuatan yang
mulia sehingga dengan jalan adopsi dapat meringankan beban penderitaan si
anak tersebut.
4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak
perempuan atau sebaliknya.
5. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai
anak kandung, khususnya di Jawa, selain didorong oleh kepercayaan dan
keyakinan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, Yaitu: pancingan
dimaksudkan untuk lebih cepat mendapatkan anak yang diharapkan, sepasang
suami isteri yang setiap melahirkan selalu meninggal dunia sebelum dewasa.
Dengan mengambil/ mengangkat anak, mereka percaya bahwa anak mereka
nantinya akan panjang umur, kemudian juga kepercayaan adanya mimpi oleh
sebagian masyarakat bahwa jika anak suatu keluarga tidak diserahkan kepada
orang lain, maka kesehatan anak tersebut akan terganggu.
6. Untuk menambah tenaga di dalam keluarga, hal ini dimaksudkan bahwa
dengan mengangkat anak, si anak angkat diharapkan dapat membantu
pekerjaan orang tua angkatnya di dalam keluarga, misalnya jika yang diangkat
anak adalah seorang anak perempuan maka dapat membantu untuk memasak,
mencuci pakaian, merawat orang tua angkatnya dan lain sebagainya
sedangkan bila yang diangkat anak itu adalah seorang anak laki-laki maka
akan dapat membantu membetulkan atap rumah, mengangkat perabot rumah
yang tidak mungkin dilakukan oleh orang tua angkatnya dan lain sebagainya.
7. Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak,
karena anak adalah sebagai penerus generasi bangsa yang harus mendapatkan
pendidikan guna masa depan si anak itu sendiri.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








45
Universitas Indonesia
8. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak
mempunyai anak kandung;
9. Adanya hubungan keluarga, lagi pula tidak mempunyai anak, maka diminta
oleh orang tua kandung si anak kepada suatu keluarga tersebut, supaya
anaknya dijadikan anak angkat;
10. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan, dengan mengangkat anak maka
antara orang tua kandung dengan orang tua angkat si anak akan timbul suatu
rasa kekeluargaan karena telah terjadi saling bantu membantu, pada
masyarakat jawa pengangkatan anak yang dilakukan umumnya adalah anak
dari saudaranya sendiri/masih terdapat hubungan kekerabatan sehingga
dengan perbuatan mengangkat anak ini dapat menjaga tali silaturahmi diantara
mereka.
11. Anak dahulu sering penyakitan atau selalu meninggal, maka anak yang baru
lahir diserahkan kepada keluarga atau orang lain untuk diadopsi, dengan
harapan anak yang bersangkutan selalu sehat dan panjang umur.
Demikian antara lain beberapa motivasi pengangkatan anak yang dilakukan
oleh orang-orang yang berkepentingan di Indonesia, sehingga jelas adanya
lembaga adopsi ini adalah suatu kebutuhan masyarakat di Indonesia. Berangkat
dari beberapa permasalahan diatas, maka jelaslah bahwa lembaga adopsi ini
merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan sekaligus memerlukan suatu
ketertiban dan ketuntasan dalam mekanisme pelaksanaannya.
Dalam hal adopsi ini, dimana kepentingan orang tua yang mengangkat anak
dengan sejumlah motif tersebut diatas dapat terpenuhi dengan baik di satu pihak,
sedang di pihak lain kepentingan anak yang diangkat atas masa depannya yang
lebih baik harus lebih terjamin kepastiannya.
3.3. Adopsi/Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat
Secara umum sistem hukum adat Indonesia berlainan dengan Hukum Barat
yang individualistis liberalistis. Menurut R. Soepomo, hukum adat kita
mempunyai corak sebagai berikut :
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








46
Universitas Indonesia
1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat artinya manusia
menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan
yang erat, rasanya kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum
adat. Dalam hal pengangkatan anak ini sifat kebersamaan yang
terkandung di dalamnya dapat terlihat dari ketentuan adat yang berbeda-
beda di setiap daerah, seorang anggota masyarakat adat yang ingin
mengangkat anak harus diketahui oleh masyarakat setempat dan ketua
adat berdasarkan aturan adat yang berlaku di daerah tersebut.
2. Mempunyai corak religious-magis yang berhubungan dengan pandangan
hidup alam Indonesia. Masih percayanya masyarakat dengan hal-hal
magis, pengangkatan anak yang tidak dilakukan secara tunai (dengan
suatu pemberian baik harta maupun benda) dipercaya akan membawa
bencana walaupun sebenarnya hal tersebut hanya sebagai suatu simbolik
untuk menyatakan sahnya perpindahan anak angkat dari orang tua
kandungnya kepada orang tua angkat.
3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit artinya hukum
adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya
perhubungan hidup yang konkrit. Dalam hal pengangkatan anak, cara dan
ketentuan adat yang berlaku dilaksanakan secara turun temurun yang
menjadi suatu ketentuan baku dengan memperhatikan norma-norma yang
hidup dalam masyarakat tersebut.
4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum
dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang
dapat dilihat (tanda yang kelihatan). Sebagai contoh adalah hubungan
antara orang tua angkat dengan anak angkat yang saling mengasihi seperti
layaknya anak kandung dan orang tua kandungnya, menurut pandangan
masyarakat yang melihatnya anak angkat tersebut diperlakukan seperti
layaknya anak kandungnya, maka masyarakat mengetahui bahwa adanya
perhubungan hukum yang terjadi diantara keduanya (masyarakat
mengetahui perihal pengangkatan anak tersebut). Hal itu mempunyai sifat
visual karena mempunyai tanda-tanda yang terlihat.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








47
Universitas Indonesia
Dengan demikian, khusus masalah anak angkat atau adopsi bagi
masyarakat Indonesia juga pastilah mempunyai sifat-sifat kebersamaan
antar berbagai daerah hukum, kendatipun tentunya karakteristik masing-
masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan kultural suku bangsa
Indonesia.
79
3.3.1 Tata Cara/Mekanisme Adopsi Menurut Hukum Adat
Dalam konteks hukum adat, tidak semua masyarakat hukum adat mengenal
perbuatan hukum pengangkatan anak ini. Bagi masyarakat yang mengenal adopsi
ini, maka pada dasarnya terdapat tata cara atau mekanisme tertentu serta syarat-
syarat tertentu pula.
3.3.2 Syarat syarat Adopsi
1) Adopsi harus bersifat terang. Yang dimaksud bersifat terang ialah
pengangkatan anak atau adopsi yang dilaksanakan dengan suatu upacara-
upacara tertentu dengan bantuan pemuka-pemuka rakyat atau
pengangkatan anak yang dilakukan di hadapan dan sepengetahuan
pemuka-pemuka rakyat atau kepala adat. Misalnya pengangkatan anak di
Bali (Nyentanayang) yang dilakukan dengan upacara-upacara dalam
prosesinya.
2) Adopsi harus bersifat tunai. Yang dimaksud bersifat tunai adalah adanya
pemberian suatu imbalan yang diberikan oleh calon orang tua angkat
kepada keluarga kandung calon anak angkat sebagai pengganti atau
penukar anak yang akan diangkat. Setelah penggantian dan penukaran
tersebut berlangsung, anak yang akan diangkat tersebut masuk ke dalam
lingkungan orang tua yang mengangkatnya sebagai anak.
3.3.3 Mekanisme Adopsi atau Pengangkatan Anak
1) Adopsi Langsung (mengangkat anak). Yaitu untuk keperluan hukum,
maka seorang anak langsung diangkat menjadi anak, misalnya
79
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), hlm.42-43.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








48
Universitas Indonesia
Nyentanayang di Bali yang diselenggarakan hampir selalu dalam
lingkungan klan besar dari kaum keluarga, akhir-akhir ini telah terjadi
lebih banyak lagi dari luar lingkungan keluarga atau juga dalam beberapa
dusun telah terjadi pengangkatan anak dari lingkungan sanak saudara isteri
atau Pradana. Bila isteri tua tidak mempunyai anak dan isteri selir
mempunyainya, maka anak-anak itu dengan jalan adopsi diangkat menjadi
anak isteri tua. Bilamana tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil
anak, maka dapat juga seorang anak perempuan dipungut menjadi santana;
anak itu diangkat dengan jalan perbuatan hukum rangkap, yaitu pertama
dipisahkan dari kerabatnya sendiri dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri
dengan jalan pembayaran adat berupa Seribu Kepeng serta
Seperangkat pakaian Perempuan, kemudian baru ia dihubungkan dengan
kerabat yang mengangkat : diperas. Suami yang mengambil anak
bertindak dengan persetujuan kerabatnya lalu diumumkan dalam desa
(Siar) dari pihak Raja sebagai Kepala Adat dikeluarkan ijin yang
disusun dalam suatu penetapan Raja, berupa akta yang disebut Surat
Peras. Alasan dari pengangkatan semacam ini adalah suatu kekhawatiran
akan kepunahan. Malahan sesudah meninggalnya sang suami, isteri pun
dapat mengangkat anak atas nama sang suami. Jadi janda pun dengan
memegang keris sang suami dapat mengangkat anak atas nama sang suami
sebagai wakilnya. Dalam hubungan ini, masih tetap hubungannya dengan
diatas, adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang anak perempuan
dijadikan, diangkat sebagai laki-laki pelanjut keturunan (sentana), oleh
sebab disana hanya ada anak laki-laki saja yang dapat menerima Harta
Peninggalan dan dapat melanjutkan kedudukan sang ayah sebagai kepala
keluarga. Bilamana tidak ada anak laki-laki, dapatlah seorang anak laki-
laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya : seorang
bapak mengangkat anak perempuan sendiri menjadi sentana melanjutkan
keluarga, dengan anak laki-laki tertua (prinsip mayorat). Anak perempuan
yang demikian hanya dapat kawin secara kawin ambil anak, suaminya
disebut sentana tarikan. Nyatalah disini, bahwa mengangkat anak
merupakan suatu rechtsplicht, suatu kewajiban menurut hukum dan suatu
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








49
Universitas Indonesia
urgensi mendesak, karena hanya anak laki-lakilah yang dapat
menggantikan sang ayah di dalam berbagai kedudukan hukum.
80
Di Jawa,
adopsi kemenakan adalah lebih banyak dilakukan dibanding pengangkatan
anak dari luar kerabat, karena dapat memperkokoh kekerabatan. Anak
angkat tersebut adalah seperti anak sendiri, hanya dalam urusan warisan ia
tak berhak atas harta pusaka orang tua angkat, tetapi mendapat bagian
tertentu dari Harta Pencaharian. Hubungan anak angkat tidak putus dari
orang tua aslinya, karena itu ia juga menjadi ahli waris dari orang tua
asli.
81
2) Adopsi tidak langsung tetapi melalui perkawinan. Adopsi ini terjadi
bilamana seseorang kawin dan sesudah itu atau selanjutnya ia mengangkat
seorang anak yang akan melanjutkan keturunan, kadang-kadang juga
sebagai ahli waris sepenuhnya.
82
Berbeda dari mekanisme adopsi secara
langsung yang ditujukan demi kepentingan hukum, adopsi secara tidak
langsung ini sebagai contoh apabila seorang wanita dan pria menikah dan
telah lama mereka tidak kunjung diberikan keturunan, maka adopsi ini
dilakukan atas persetujuan suami isteri tersebut guna melengkapi
ketidaksempurnaan dalam tujuan perkawinannya demi melanjutkan
keturunan.
Perbedaan dari kedua mekanisme pengangkatan anak tersebut diatas adalah
terdapat pada tujuannya. Adopsi langsung bertujuan demi kepentingan hukum
sedangkan pada adopsi tidak langsung lebih bertujuan kepada kepentingan
pribadi suami isteri.
3.3.4 Kriteria Orang yang melakukan Adopsi
1) Bisa siapa saja, tidak harus orang yang telah kawin. Artinya adalah siapa
saja yang telah dewasa dan dengan tujuan yang positif yang ingin
melakukan perbuatan adopsi atau mengangkat anak adalah diperbolehkan.
80
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat , Ibid. hal. 34 dan 35.
81
Ibid. hal. 37.
82
Ibid.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








50
Universitas Indonesia
2) Janda/Duda/orang yang tidak menikah juga boleh melakukan perbuatan
Adopsi atau mengangkat anak. Tidak harus seseorang yang telah terikat
pada ikatan perkawinan yang boleh melakukan pengangkatan anak
sepanjang tujuan yang dilakukan tidak bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku.
3.3.5 Akibat Hukum Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat
a. Dengan orang tua kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang
tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur
atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang
tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di
daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak
hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja,
tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua
kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut
orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam
hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat.
b. Dengan orang tua angkat.
Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan
sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan
keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia,
seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum
melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan
anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut
berkedudukan sebagai anak kandung.
83
Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak
dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan
83
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.99.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








51
Universitas Indonesia
hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak
angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya
84
.
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam
bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : Selain pengurusan dan
perwalian anak dimaksud bagi keluarga-keluarga yang mempunyai anak, apalagi
tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak
berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan
anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara
anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang
bersangkutan
85
.
3.3.6 Hak Mewaris Anak Angkat Berdasarkan Keputusan Mahkamah
Agung
Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat
tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung
tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas
harta gono-gini orang tua angkat, sedang terhadap harta asal orang tua angkat
anak angkat tidak berhak mewaris. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa keputusan
Mahkamah Agung di bawah ini :
86
1) Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959 Menurut hukum adat
yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi
harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang
asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
2) Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957 Anak kukut (anak
angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini
kembali kepada waris keturunan darah.
84
Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari, ( Jakarta : Rajawali Pers, 1989 ), hal.117.
85
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 114.
86
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Masalah Hukum Perdata Adat,
( Departemen Kehakiman, 1980 ),hal. 17.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








52
Universitas Indonesia
3) Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959 Anak angkat berhak
mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta
yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.
3.4.Pengaturan Tentang Adopsi
Belum ada pengaturan Undang-undang yang mengatur secara khusus
mengenai adopsi atau pengangkatan anak ini, namun diatur secara sepintas di
dalam :
a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Disebutkan di dalam pasal :
87
Pasal 4
(1) Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh
Negara atau orang atau badan.
Pasal 12
(1) Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
(2) Kepentingan kesejahteraan anak yang termaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan
di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan
perundang-undangan.
Kemudian di dalam penjelasan undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, disebutkan :
Pada Bagian Umum, Paragraf ke delapan (8), yaitu :
Apabila orang tua anak itu sudah tidak ada, tidak diketahui adanya, atau
nyata-nyata tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, maka
dapatlah pihak lain, baik karena kehendak sendiri maupun karena ketentuan
hukum, diserahi hak dan kewajiban itu.
87
Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979, LN No. 32
Tahun 1979, TLN No. 3143, Ps. 4 dan 12
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








53
Universitas Indonesia
Pada pasal 12
(1) Pengangkatan anak berdasarkan pasal ini tidak memutuskan: menetapkan
hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang
tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan.
(2) Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan antara lain perlu mengatur
pencatatan sebagai bukti sah, adanya pengangkatan anak guna
pemeliharaan kepentingan kesejahteraan anak yang bersangkutan.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, sebagai
penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979
tentang Pengangkatan Anak. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun
1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia
(WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan
antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga
tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara
Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah
(single parent adoption).
c. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989. Di dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung ini dilakukan perubahan atas Surat Edaran
Mahkamah Agung nomor 6 tahun 1983, perubahan tersebut mengenai syarat-
syarat bagi calon orang tua angkat warga Negara asing untuk berdomisili dan
bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya selama tiga (3) tahun dan
mengenai social report untuk pengangkatan anak antar negara yang berbunyi
: Surat keterangan atas dasar penelitian social worker dari
instansi/lembaga social yang berwenang dari Negara asal calon orang tua
angkat warga Negara asing. Dirubah menjadi berbunyi : Surat
keterangan/laporan social atas dasar penelitian petugas/pejabat social
setempat. Dengan catatan: harus didaftarkan dan disetujui kebenaran isinya
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








54
Universitas Indonesia
oleh perwakilan Negara calon orang tua angkat warga Negara asing di
Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.
88
d. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Keputusan Menteri Sosial ini
menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua
angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan
anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini
berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
89
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak. Di dalam Bab 1 ketentuan umum pada pasal
1 disebutkan definisi anak angkat, pengangkatan anak, orang tua, orang tua
angkat, lembaga pengasuhan anak, masyarakat. Pada pasal 2 disebutkan
tujuan pengangkatan anak yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi
anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak
yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
perundang-undangan. Pada pasal 3 ayat 1 mengatur tentang agama calon
orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat, ayat 2 mengatur
tentang dalam hal asal-usul anak tidak diketahui maka agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Dalam pasal 4
menyebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Pasal 5
menyebutkan bahwa pengangkatan anak warga Negara Indonesia oleh warga
Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 6
mengenai pemberitahuan asal usul anak angkat dan orang tua kandungnya
oleh orang tua angkat. Kemudian di dalam Bab 2 adalah diatur jenis-jenis
pengangkatan anak baik antar warga Negara Indonesia maupun antar warga
Negara Indonesia dengan warga Negara Asing. Bab 3 adalah tentang syarat-
88
http://www.docstoc.com/docs/20484074/SURAT-EDARAN-MAHKAMAH-AGUNG-
NOMOR-4-TAHUN-1989. diakses pada tanggal 28 Maret 2012.
89
http://bambang-rustanto.blogspot.com/2009/12/adopsi-anak.html. diakses pada tanggal
28 Maret 2012.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








55
Universitas Indonesia
syarat pengangkatan anak. Bab 4 tentang tata cara pengangkatan anak. Bab 5
adalah bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak. Bab 6 pengawasan
pelaksanaan pengangkatan anak. Bab 7 pelaporan. Bab 8 ketentuan peralihan
dan Bab 9 penutup.
90
f. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan. Di dalam
pasal 2 Undang-undang ini disebutkan :
91
(1) Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang
warga negara Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan
sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat
anak itu;
(2) Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh
orang yang mengangkat anak tersebut dalam 1 tahun setelah undang-
undang ini mulai berlaku.
Kemudian di dalam memori penjelasan mengenai undang-undang tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia, dijelaskan bahwa pengangkatan anak
adalah biasa di Indonesia. Sah atau tidak sahnya pengangkatan anak itu
ditentukan oleh hukum yang mengangkat anak. Adakalanya anak yang
diangkat itu anak (orang) asing, akan tetapi karena betul-betul diperlukan
sebagai anak sendiri, tidak diketahui atau dirasakan lagi asal orang itu.
Maka hendaknya kepada anak demikian itu diberikan status orang tua yang
mengangkatnya. Sebagai jaminan bahwa pengangkatan anak itu sungguh-
sungguh pengangkatan sebagai digambarkan di atas dan supaya anak asing
yang diangkat itu betul-betul masih bisa merasa warga negara Indonesia,
maka pemberian kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak angkat
itu hendaknya dibatasi pada anak yang masih muda sekali (lihat pasal 2).
92
90
http://siak-banjar.webs.com/Undang-Undang/PP%20RI%20No%2054
2007%20ttg%20Pengangkatan%20Anak.pdf . diakses pada tanggal 25 April 2012.
91
Arif Djohan Tunggal, Peraturan Perundang-undangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia Tahun 1950-1996, Cet. 1, (Jakarta: Harvarindo, 1998), Hlm. 16.
92
Ibid.,Hlm. 33.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








56
Universitas Indonesia
g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdapat
di dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41, sebagai berikut :
93
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandung.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak
yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
93
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN No. 109
Tahun 2002, Ps. 39, 40 dan 41.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








57
Universitas Indonesia
3.5.Adopsi dalam Hukum Barat (BW)
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPER) atau BW, kita tidak
menemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau ank angkat, yang
ada hanyalah ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin, yaitu seperti yang
diatur dalam buku I BW bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289, tentang
pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini dapat dikatakan tidak
ada sama sekali hubungannya dengan masalah adopsi ini. Oleh karena Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak, maka
bagi orang-orang Belanda sampai kini tidak dapat memungut anak secara sah.
Namun di negeri Belanda sendiri, yaitu di Nederland telah diterima baik oleh
Staten General Nederland sebuah Undang-undang Adopsi.
94
Landasan diterimanya Undang-undang tersebut adalah bahwa setelah perang
dunia II, dimana seluruh Eropa timbul golongan manusia baru; orang tua yang
telah kehilangan anak yang tidak bisa mendapatkan anak baru lagi secara wajar;
anak-anak piatu yang telah kehilangan orang tuanya dalam peperangan, dan
lahirnya banyak anak di luar perkawinan. Atas landasan itulah, maka Staten
General Nederland telah menerima baik sebuah Undang-undang Adopsi (adoptie
wet) tersebut yang membuka kemungkinan terbatas untuk adopsi ini. Adopsi
merupakan salah satu perbuatan manusia termasuk perbuatan perdata yang
merupakan bagian Hukum Kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan
persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Bagaimana
pun juga lembaga adopsi ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu
sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan
masyarakat walaupun dalam KUHPER tidak mengatur masalah adopsi ini, sedang
adopsi itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat, maka pemerintah Hindia
Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang adopsi ini.
Karena itulah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Staatsblad nomor 129
tahun 1917, khusus pasal 5 sampai 15 yang mengatur masalah adopsi atau anak
angkat ini untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah Staatsblad 1917
nomor 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan
masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing. Oleh
94
Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Masalah Hukum Perdata Adat,
Op.cit.,hlm. 31.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








58
Universitas Indonesia
karena hanya satu-satunya Staatsblad 1917 nomor 129 seperti disebutkan, oleh
Pemerintah Belanda yang merupakan kelengkapan dari KUHPER/BW yang ada,
maka untuk mengemukakan data adopsi menurut versi Hukum Barat ini semata-
mata beranjak dari Staatsblad tersebut.
3.5.1 Syarat dan Tata Cara Adopsi Menurut Hukum Barat
Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh pasal 8 sampai 10 Staatsblad
1917 nomor 129, yaitu :
95
a. Adopsi harus dilakukan dengan akte Notaris (pasal 10). Dengan akte Notaris
ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, adopsi yang dilakukan
tidak dengan akte Notaris (dibawah tangan) adalah tidak sah.
b. Persetujuan yang melakukan adopsi. Adalah persetujuan dari seseorang yang
berniat untuk melakukan adopsi atau pengangkatan anak.
c. Persetujuan orang tua atau ayah atau ibu dari orang yang diadopsi, jika salah
satu orang tua meninggal lebih dulu, seorang dari mereka yang masih hidup,
jika si ibu sudah kawin. Jika kedua orang tua telah meninggal, maka untuk
adopsi anak dibawah umur diperlukan persetujuan dari wali dan dari Balai
Harta Peninggalan. Jika anak itu anak luar kawin, maka perlu adanya
persetujuan orang tua yang mengakui dan jika tidak ada yang mengakui maka
diperlukan persetujuan wali dan Balai Harta Peninggalan.
d. Persetujuan orang yang diadopsi sendiri jika ia telah berusia 15 tahun.
e. Jika adopsi dilakukan oleh seorang janda maka perlu persetujuan dari saudara
lelaki yang dewasa dan ayah dari suami yang telah meninggal dan jika orang-
orang ini telah meninggal atau tidak berada di Indonesia, maka harus ada
persetujuan dari keluarga laki-laki yang telah dewasa dari pancer ayah suami
yang telah meninggal dunia hingga derajat ke-4. Jika semua itu tidak
didapatkan maka dapat diganti dengan izin Pengadilan Negeri, kecuali dalam
hal persetujuan dari seorang ayah atau wali yang tidak dapat diganti.
95
Dr. Winarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, Cet. 1, ( Jakarta: Gitama Jaya, 2005 ), hal. 149.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








59
Universitas Indonesia
Persetujuan yang termaktub dalam syarat ke empat diatas, dapat diganti
dengan suatu izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin
mengangkat anak tadi.
3.5.2 Akibat Hukum Adopsi Menurut Hukum Barat
Setelah dilangsungkannya pengadopsian yang dilakukan dihadapan
Notaris, maka timbul akibat :
96
a. Orang atau anak yang diadopsi harus memakai nama keluarga yang
melakukan adopsi itu (pasal 11).
b. Jika adopsi itu dilakukan oleh suami isteri maka anak yang diadopsi dianggap
lahir dalam perkawinan mereka.
c. Jika yang melakukan adopsi seorang duda/janda, maka orang yang diadopsi
itu dianggap lahir dari perkawinan dengan isteri/suami yang telah meninggal.
(pasal 12).
d. Dengan adopsi maka hubungan keperdataan yang berdasarkan kepada
keturunan darah antara orang yang diadopsi dengan orang tuanya yang
keluarganya sedarah dan semenda terputus kecuali dalam hal :
1) Perderajatan dalam hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda sebagai
larangan untuk kawin.
2) Ketentuan-ketentuan di dalam bidang hukum pidana yang didasarkan
keturunan sedarah, (tidak berlakunya KUHP jika yang melakukan
kejahatan itu keluarga sendiri, juga dalam hal persaksian).
3) Kompensasi ongkos perkara.
4) Pembuktian dengan saksi (ketentuan-ketentuan yang mengenai persaksian
keluarga).
5) Persaksian di dalam membuat akte otentik (pasal 14).
96
Ibid, hal. 150.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








60
Universitas Indonesia
Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan suatu persetujuan timbal balik.
Adopsi terhadap seorang perempuan atau adopsi dengan cara lain daripada dengan
akte notaris adalah batal demi hukum sebagaimana diatur dalam pasal 15. Adopsi
dapat dibatalkan di dalam hal ada pelanggaran terhadap orang-orang yang akan
diadopsi, syarat-syarat adopsi dan pelaksanaan adopsi sebagaimana yang diatur
dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10.
3.6 Adopsi menurut Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadist,
dimana peraturan-peraturan yang tercipta adalah langsung dari sang pencipta,
yaitu Allah Swt. Hukumnya adalah pasti dan abadi, karena tidak ada campur
tangan manusia di dalamnya (hukum Tuhan). Berbagai ketentuan hukum telah
diatur Nya termasuk mengenai pengangkatan anak atau adopsi ini, bagaimana
pandangan Islam terhadap perihal pengangkatan anak, pertama-pertama akan saya
bahas mengenai definisi atau pengertian adopsi menurut sudut pandang Hukum
Islam.
3.6.1 Pengertian Adopsi dalam Pandangan Islam
Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut ajaran agama
Islam keturunan itu tidak dapat diganti. Adopsi adalah memperlakukan seseorang
sebagai anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan
dalam segala kebutuhannya yang bukan memperlakukan sebagai anak nasabnya
sendiri, menurut pandangan Hukum Islam hukumnya adalah mubah atau boleh
saja (diperbolehkan). Adopsi ini tidak mempunyai pengaruh selain hanya sekedar
sebagai suatu amal sosial yang terpuji. Di samping itu juga karena mempunyai
berbagai variasi motif/latar belakang yang positif. Maka menurut pandangan
Hukum Islam status hukumnya boleh saja atau bahkan dianjurkan (sunat).
Adopsi yang dilarang menurut ketentuan surah Al-Ahzab ayat 4-5 adalah
yang dalam pengertian aslinya, yakni menurut versi Hukum Barat, yakni
mengangkat secara mutlak. Dalam hal ini adalah memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya yang tidak ada
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








61
Universitas Indonesia
pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sendiri, seperti hak menerima warisan
sepeninggalnya dan larangan kawin dengan keluarganya.
97
Dalam perjalanan sejarah ummat manusia, kita mengenal pula eksistensi
lembaga adopsi ini. Dalam Al Quran Kitab suci ummat Islam dikenal atau
ditemukan beberapa cerita yang berkenaan dengan pengangkatan anak, yaitu
diantaranya adalah cerita Nabi Yusuf A.S, yang terdapat pada surah Yusuf,
dimana Yusuf dijual oleh salah seorang saudagar Mesir kepada pembesar
Kerajaan Firaun untuk kemudian dijadikan anak angkat. Pembesar Mesir itu
adalah seorang raja muda, Kotifar namanya. Demikian sayangnya kepada Yusuf,
sehingga ia minta kepada isterinya untuk memperlakukan Yusuf dengan baik
sebagai anak asuhnya. Mudah-mudahan kata raja itu ia kalau dikala dewasa akan
membalas budi baik kita. Namun dalam perjalanan hidupnya Yusuf ini dikhianati
oleh ibu angkatnya (sang permaisuri) yang telah jatuh hati padanya, dengan jalan
menuduh Yusuf ingin berbuat serong dengannya. Kemudian Allah yang Maha
Mengetahui, membersihkan Yusuf dari segala tuduhan yang semena-mena itu.
Itulah kisah Nabi Yusuf bin Yakub bin Ishak bin Ibrahim AS.
Dalam cerita diatas tendensinya bukanlah pada masalah pengangkatan anak.
Namun kalau dikaitkan juga sesuai dengan apa yang dikemukakan ayat 111 dalam
surah Yusuf ini menyatakan bahwa sesungguhnya kisah-kisah yang terdapat
dalam Al Quran mengandung pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. Atas
dasar ini dapat dikemukakan, bahwa :
98
a. Bagaimana pun juga tidak dapat dipersamakan dalam pengertian pertalian
nasabnya antara anak kandung sendiri dengan anak angkat;
b. Mengangkat anak dengan motivasi yang dibenarkan oleh Islam harus benar-
benar dengan niat yang tulus, yaitu karena Allah semata, dalam rangka ibadah
kepada-Nya, agar dijauhkan dari segala hal yang negatif;
c. Apabila hendak mengangkat anak dengan motivasi yang benar, harus
diperhatikan juga eksistensi calon si anak angkat itu sendiri dan lingkungan
97
Muderis Zaini, Op.cit, hal. 66.
98
Ibid, hal. 68.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








62
Universitas Indonesia
rumah tangga kita yang akan menerimanya sebagai anak angkat dari segala
aspeknya, sehingga terjamin kelanjutan yang baik bagi semua pihak.
3.6.2 Hubungan Anak Angkat dalam Hubungan Perkawinan
Penyebutan seseorang dengan nama bapaknya itu dapat kita lihat dalam
asbabunnuzul (hubungan keterangan tentang turunnya sesuatu ayat) dari
Q.XXXIII : 4 dan 5 itu adalah mengenai seseorang yang bernama Zaid bin
Haritsah. Zaid bin Haritsah ini mulanya dipanggil Zaid bin Muhammad karena dia
diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai anak angkat. Kemudian, dengan turunnya
ayat tersebut, dipanggilah ia kembali dengan Zaid bin Haritsah. Pentingnya
penegasan kedudukan lembaga anak angkat ini terasa sekali dalam hubungan
dengan hukum perkawinan. Bagaimanapun juga dekatnya terlihat dalam bentuk
lahirnya hubungan sehari-hari mereka yang dikatakan mengangkat anak dan yang
diangkat anak, sesungguhnya kedudukan hubungan mereka itu tidak
menimbulkan hubungan sedarah. Hubungan sedarah yang sedemikian dekatnya
menyebabkan seseorang haram dan terlarang untuk melakukan perkawinan.
Mereka tidak mempunyai hubungan yang disebut dengan muhrim dalam
hubungan perkawinan. Dengan demikian mereka yang bertalian angkat itu masih
diperbolehkan kawin sesamanya.
99
3.6.3 Hak Mewaris Anak Angkat
Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam
untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam
kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam.
Perhubungan kewarisan karena pengangkatan saudara angkat yang telah ada
di zaman sebelum datangnya Islam di tanah Arab mulanya diterima dalam Islam
selama 15 tahun permulaan perkembangan Islam di Mekkah dan di Medinah.
Kemudian pembolehan mewaris karena hubungan saudara angkat itu telah
dihapus dengan datangnya hukum kewarisan Islam pada awal tahun ke-empat
Hijrah. Dengan demikian sekaligus dihapus pulalah hubungan mewaris antara
99
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 1986), hal. 137.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








63
Universitas Indonesia
orang yang mengangkat anak dengan anak angkatnya yang selama ini
dimungkinkan dalam hal anak angkat itu telah dewasa dan sanggup berperang
pada saat terbukanya warisan dari bapak angkatnya itu.
100
Karena pengangkatan anak itu tidak diatur di dalam agama Islam, maka
segala sesuatu yang diberikan kepada anak angkat, dapat dilakukan dengan cara
hibah yaitu suatu pemberian dari orang tua kepada anaknya sebagai tanda kasih
sayang serta wasiat waljibah. Dalam hukum Islam persoalan yang tampaknya
seakan-akan atau mendekati bentuk hubungan anak angkat itu dalam hubungan
kewarisan sebaiknya diselesaikan dengan lembaga wasiat. Kalau seseorang
hendak memberikan hartanya kepada orang lain bukan hubungan darahnya yang
dia sebut-sebut sebagai anak angkat sebaiknya dia membuat wasiat yang akan
dilaksanakan nanti sesudah dia meninggal dunia oleh pelaksana yang bertugas
mengurus penyelesaian atau oleh penguasa.
100
Ibid.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








64
Universitas Indonesia
BAB 4
AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT
JAWA
4.1 Tata Cara Pengangkatan Anak di Jawa
Menurut Hukum Adat Jawa pengangkatan anak yang dilakukan tidak melalui
suatu upacara-upacara tertentu, namun pada umumnya dilakukan hanya sebatas
pada acara selamatan saja baik dalam bentuk suatu pengajian maupun tumpengan
(membuat nasi kuning untuk dibagi-bagikan kepada saudara dekat maupun
tetangga-tetangga), selamatan ini dilakukan setelah adanya persetujuan antara
orang tua angkat dengan pihak yang menyerahkan anak tersebut dengan
disaksikan oleh keluarga dan tetangga dekat dari orang tua angkat baik dengan
dihadiri oleh Kepala Desa/Kelurahan sebagai Kepala Adat atau tanpa dihadiri oleh
Kepala Desa/Kelurahan sebagai Kepala Adat.
Berdasarkan Hukum adat Jawa, pengangkatan anak yang dilakukan sudah sah
tanpa adanya pengesahan dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama,dengan
proses pengangkatan anak seperti yang disebutkan diatas maka dengan demikian
anak yang bersangkutan secara otomatis telah memperoleh status anak yang sah
walaupun hanya mengadakan acara selamatan seperti tersebut diatas tanpa harus
dilakukannya pencatatan oleh Kepala Desa/Kelurahan. Hal ini dapat menimbulkan
permasalahan bila dikemudian hari orang tua angkatnya meninggal dunia dan
terjadi persengketaan mengenai harta peninggalan antara anak angkat dengan
janda orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, maupun antara anak
angkat dengan keluarga orang tua angkat yang telah meninggal dunia yang mana
dalam hal ini anak angkat tidak dapat menunjukkan bukti-bukti maupun saksi-
saksi, jika misalnya para saksi telah meninggal dunia ataupun telah berpindah
tempat yang tidak diketahui keberadaannya. Apabila permasalahan tersebut timbul
maka pada umumnya masyarakat Jawa lebih memilih untuk dilakukannya suatu
penyelesaian yang bersifat kekeluargaan dengan cara musyawarah.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








65
Universitas Indonesia
4.2 Perbedaan Anak Angkat dan Anak Piara di Jawa
Di Jawa, selain dikenal anak angkat juga dikenal anak piara, keduanya
mempunyai pengertian yang hampir sama namun berbeda akibat hukumnya.
Dimana letak perbedaannya adalah :
1. Anak angkat, adalah anak orang lain yang diambil seseorang sebagai anak
kandung baginya melalui proses pengangkatan anak yang dilakukan
menurut hukum adat yang berlaku di daerah seseorang tersebut tinggal.
Pada umumnya anak yang diangkat ini adalah masih mempunyai
hubungan darah dengan seseorang yang ingin mengangkat anak itu (
keponakannya sendiri) yang kemudian anak tersebut dipelihara, diberi
Sandang Pangan ( pakaian dan makan ), dirawat dikala sakit,
disekolahkan hingga dewasa serta diperlakukan selayaknya anak kandung
sendiri. Bilamana jika suatu saat orang tua angkatnya meninggal dunia,
anak angkat ini berhak untuk mendapatkan warisan dari orang tua
angkatnya tersebut.
2. Anak piara, adalah anak yang di pelihara oleh seseorang dengan maksud
hanya untuk mensejahterakan anak tersebut tanpa adanya proses
pengangkatan anak. Di Jawa pada umumnya anak piara ini tidak
mempunyai hubungan darah dengan yang memelihara, anak tersebut
biasanya disekolahkan, diberi makan, dibesarkan hingga dewasa. Tujuan
piara anak ini hanya demi kepentingan sosial si anak tersebut tidak
terdapat hubungan kasih sayang selayaknya kepada anak kandung sendiri.
Perbedaan dengan anak angkat adalah anak piara ini tidak berhak untuk
mendapatkan warisan dari yang memelihara jikalau si pemelihara
meninggal dunia.
Definisi anak angkat dan anak piara tersebut diatas sedikit memiliki
persamaan namun berbeda dalam hal akibat hukum. Sekilas Nampak sulit untuk
membedakan keduanya. Untuk menentukan bahwa seseorang itu adalah anak
angkat atau anak piara adalah berdasarkan cara pandang masyarakat setempat.
Bagaimana masyarakat mengetahui dan melihat perlakuan orang tua angkat atau
orang tua pelihara terhadap anak angkat atau anak piara ini. Jika dalam hal
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








66
Universitas Indonesia
pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai maka baik masyarakat
maupun kepala adat setempat mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak
angkat. Mengenai anak piara biasanya masyarakat setempat dan kepala adatnya
mengetahuinya dari pengakuan anak piara ataupun orang tua yang memeliharanya
bahwa anak yang dipiara tersebut hanya sebatas disekolahkan/diberikan
pendidikan yang layak hingga dewasa karena faktor ketidak mampuan ekonomi
dari orang tua kandung anak piara itu sendiri.
Pada hakekatnya adalah seorang anak baru dapat dianggap sebagai anak
angkatnya, apabila orang tua yang mengangkatnya itu memandang secara lahir
dan bathin bahwa anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.
4.3 Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa
Tidak ada persyaratan khusus yang mengatur mengenai pengangkatan anak
dan tidak ada pula ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan
adopsi/pengangkatan anak serta batasan usianya. Adanya anak angkat adalah
karena seseorang dijadikan anak oleh orang lain. Anak angkat dapat laki-laki
maupun perempuan dan jumlahnya pun tidak terbatas, sesuai dengan kemampuan
seseorang untuk mengangkat anak, dapat saja ia mengangkat anak dua orang, tiga
orang ataupun lebih dari itu. Namun, pengangkatan anak ini harus sesuai dengan
kemampuan orang yang akan mengangkat anak itu sendiri serta tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai susila yang hidup di dalam masyarakat,
mengangkat anak yang usianya tidak jauh berbeda dengan yang mengangkat
anak adalah tidak diperbolehkan. Masyarakat adat Jawa juga tidak membedakan
jenis kelamin anak yang akan diangkat. Baik laki-laki maupun perempuan dapat
menjadi anak angkat, kecuali di beberapa daerah seperti di daerah Jawa Barat
kecamatan Leuwidamar (Bandung) disini anak perempuan tidak bisa dijadikan
anak angkat. Mengenai usia, di Kecamatan Garut yang dapat dijadikan anak
angkat adalah mereka yang berusia dibawah 15 (lima belas) tahun dan dapat pula
mereka yang diatas 15 (lima belas) tahun, asalkan belum menikah.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








67
Universitas Indonesia
4.4 Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa
Di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara
anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Pengangkatan anak
yang dilakukan oleh masyarakat adat Jawa, memiliki suatu keunikan, yaitu tidak
dilakukannya konsep terang dan tunai dalam proses pengangkatannya, meskipun
pada sebagian masyarakat jawa terdapat juga yang memakai proses tunai nya
saja, namun pada umumnya yang terjadi proses terang dan tunai ini jarang bahkan
tidak pernah dilakukan, proses tunai nya pun juga berbeda karena dengan
selesainya perbuatan tunai ini maka tidak terputus hubungan antara orang tua
kandung dengan anak yang diangkat tersebut. Perbuatan tunai ini hanya sebagai
simbolisasi saja atau untuk sekedar membantu perekonomian keluarga si anak
angkat apabila keluarga kandung dari anak angkat ini kurang mampu dalam hal
perekonomian/anak angkat berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan.
Perbuatan tunai ini juga bukan sebagai suatu pembelian yang dengan selesai
proses tunai nya maka berpindah pula hubungan orang tua kandung beralih
kepada orang tua angkat. Di Jawa Timur untuk sekedar tanda yang bisa dilihat,
bahwa hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya telah diputuskan,
maka kepada orang tua kandung anak yang bersangkutan diserahkan sebagai
syarat (magis) uang sejumlah rongwang segobang sebagai suatu bentuk
perbuatan tunai. Selanjutnya untuk proses terang yang umumnya pada
masyarakat adat dilakukan di hadapan kepala adat, kepala desa, lurah, camat atau
pemuka-pemuka adat yang di hormati atau di tuakan di daerahnya, namun pada
masyarakat adat Jawa pengangkatan anak yang terjadi pada kenyataannya tidak
dilakukannya konsep terang ini, perbuatan yang mengandung konsep terang
tersebut hanya disaksikan sebatas keluarga orang tua kandung, orang tua angkat
dengan calon anak angkat saja.
Anak angkat sebagaimana yang telah dikemukakan, adalah seseorang yang
bukan keturunan dari sepasang suami isteri, yang dipelihara dan diperlakukan
sebagai anak keturunannya sendiri. Akibat hukum terhadap pengangkatan anak ini
ialah bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang
mengangkatnya, yang bagi beberapa daerah di Indonesia seperti di Jawa, anak
angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunannya
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








68
Universitas Indonesia
sendiri, juga termasuk hak untuk dapat mewarisi kekayaan yang ditinggalkan
orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia.
4.5 Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa
Menurut hukum adat, bila menggunakan lembaga adat penentuan waris bagi
anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Masyarakat adat Jawa,
dalam hal kewarisan menganut asas/sistem kewarisan individual dan sistem
kekerabatannya menganut sistem parental atau bilateral. Sistem ini mengharuskan
setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki
haknya masing-masing. Faktor yang menyebabkan perlu dilaksanakan pembagian
warisan secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi keinginan untuk
memiliki harta waris tersebut secara kolektif. Hal itu disebabkan para ahli waris
tidak lagi tinggal pada rumah kerabat atau rumah orang tuanya tetapi telah
tersebar sendiri-sendiri mengikuti para istri atau suaminya (mencar). Kebaikan
dari sistem individual ini adalah bahwa para ahliwaris yang telah memiliki bagian
harta warisan secara pribadi dapat dengan leluasa untuk menguasai dan
mengembangkan harta tersebut sebagai bekal kehidupan selanjutnya tanpa
dipengaruhi oleh saudara yang lain.
4.6 Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan
Sebelum melihat secara pasti kedudukan anak angkat terhadap harta warisan
di dalam hukum adat Jawa khususnya, dapat dikemukakan di sini hubungan
kekeluargaan yang terjadi, yaitu :
a) Hubungan kekeluargaan antara bapak angkat dengan anak angkat itu
adalah sebagaimana hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak
kandung.
b) Demikian pula kewajiban bapak ibu angkat terhadap anak angkat adalah
memelihara dan mendidik mereka sampai dewasa, sehingga tercipta
hubungan dalam rumah tangga yang pada akhirnya menimbulkan hak dan
kewajiban serta konsekwensi terhadap harta benda dalam rumah tangga
tersebut
101
.
101
Soepomo, Op.cit., hlm. 104.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








69
Universitas Indonesia
c) Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, pengakuan/pengangkatan
anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangga
yang mengangkatnya, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara
anak dengan orang tuanya sendiri. Anak angkat di daerah ini tidak
mempunyai kedudukan sebagai anak kandung dan tidak diambil sebagai
anak dengan maksud meneruskan keturunan orang tua angkatnya.
Anak angkat di dalam Hukum Adat Jawa, tidak mempunyai hak dan
kedudukan untuk mewarisi harta pusaka dari ayah dan ibu angkatnya, karena harta
pusaka hanya dapat diwarisi oleh keluarga yang masih mempunyai hubungan
darah dengan si pewaris sebagai suatu bentuk harta peninggalan turun temurun
sebagai suatu identitas silsilah keluarga. Benda-benda pusaka (keris, tombak)
hanya dapat diwarisi oleh keluarga yang sedarah baik dalam garis keturunan
kebawah maupun kesamping, karena harta pusaka seperti tersebut diatas bagi
masyarakat Jawa dianggap sakral/suci, disamping diantaranya sebagai suatu
bentuk pelestarian budaya, benda-benda pusaka dianggap mempunyai kekuatan
magis, sehingga dipercaya akan mendatangkan musibah jika harta pusaka
diberikan kepada seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah serta
menyalahi aturan-aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Anak
angkat berhak sepenuhnya mewarisi harta gono-gini ayah dan ibu angkatnya,
dalam keadaan tidak memiliki anak kandung, anak angkat mempunyai kedudukan
keutamaan pertama untuk mewarisi seluruh harta gono-gini orang tua angkatnya,
apabila ada anak kandung, hak dan kedudukan anak angkat sederajat dalam hal
jumlah pembagiannya dengan anak kandung. Iman Sudiyat menegaskan bahwa, di
lapangan hukum waris anak angkat tetap mempunyai pretensi atas harta kekayaan
orang tua kandungnya. Atas harta kekayaan orang tua angkatnya ia juga
mempunyai pretensi tertentu, tetapi mungkin tidak atas harta warisan (barang-
barang asal) yang harus kembali kepada kerabat suami sendiri atau kerabat isteri
sendiri (justru karena pengangkatan anak di sini bukan urusan kerabat dan karena
perbuatannya tidak dibuat terang).
102
102
Iman Sudiyat., hlm.104.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








70
Universitas Indonesia
Mengenai hak mewaris anak angkat terhadap waris orang tuanya sendiri,
hal ini sejalan dengan prinsip di Jawa, bahwa pertalian keluarga antara anak
angkat dan orang tua kandungnya tidak terputus. Sehingga anak angkat tetap
tinggal waris orang tua kandung.
103
Adapun hak perolehan harta kekayaan atau peninggalan dari orang tua
angkat seperti tersebut di atas kepada anak angkat di sini nampaknya belum begitu
jelas. Untuk lebih dapat diketahui secara jelas, berikut akan saya berikan contoh
kasus mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkat
di beberapa daerah, yaitu:
Pengangkatan anak yang dilakukan sejak si anak masih kecil bahkan
masih bayi, yang berlaku di Salatiga Jawa Tengah menjadikan anak tersebut
sebagai waris penuh dari orang tua angkatnya. Demikian, hingga di Jawa pada
umumnya anak angkat itu ngangsu sumur loro artinya mempunyai dua sumber
warisan, kata ngangsu berarti mencari atau memperoleh, sumur berarti
tempat mengambil air, dan loro berarti dua. Karena di samping ia mendapat
warisan dari orang tua kandung, ia juga mendapat warisan dari orang tua
angkatnya. Keputusan Pengadilan Purworejo tanggal 6 Januari 1937 (T.148 hal.
307) dijelaskan bahwa anak angkat masih mewarisi orang tua kandungnya dan
kerabatnya sendiri. Hanya di dalam pewarisan terhadap orang tua angkat, jika
anak kandung masih ada maka anak angkat mendapat warisan yang tidak
sebanyak anak kandung, dan jika orang tua angkat takut anak angkatnyatidak
mendapat bagian yang wajar/ mungkin tersisih sama sekali oleh anak kandung
dengan menggunakan hukum Islam, maka sudah menjadi adat kebiasaan orang tua
angkat itu memberi bagian harta warisan kepada anak angkat sebelum ia wafat
dengan cara penunjukan atau hibah/ wasiat.
Meskipun anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya, namun
bagiannya tidak boleh melebihi bagian dari anak kandung. Sebagaimana di daerah
Bojonegoro,
104
perkara Surijah lawan Kartomejo Karijo; MA No.37 K/Sip/1959-
tgl. 18-3-1959 (Adat, h. 93-97), diputuskan bahwa:
103
Soepomo, Bab-bab., hlm. 106.
104
Achmad Samsudin, dkk, Yurisprudensi Hukum Waris Seri Hukum Adat (II), cet. ke-1,
(Bandung: Alumni, 1983), hlm. 27.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








71
Universitas Indonesia
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya
diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya; jadi
terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak
mewarisinya.
Di daerah Banyuwangi,
105
perkara Kasrin lawan Siti Masum; a. MA
No.102 K/Sip/1972 tgl. 23-7-1973, b. PT Surabaya No. 135/1971/Perdt tgl.
14-6-1971, c. PN Banyuwangi No.77/1966/Pdt tgl. 27-5-1969, (YI, 1974, h.
205-225), diputuskan bahwa Menurut hukum adat yang berlaku, seorang anak
angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa,
sehingga ia menutup hak waris para saudara orang tua angkatnya. Dalam sidang
Mahkamah Agung RI tanggal 18 maret 1996 no. 53 K/pdt/95 atas perkara Ny. Siti
Djubaidah melawan M. Toha dkk, tentang hak mewaris anak angkat terhadap
harta orang tua angkatnya. Menurut kaidah hukum bahwa: Menurut hukum adat
di daerah Jawa barat, seseorang dianggap sebagai anak angkat bila telah
memenuhi syarat-syarat berikut: diurus, dikhitankan, disekolahkan dan
dikawinkan, dimana anak angkat tersebut berasal dari keluarga ibu angkatnya,
maka anak angkat tersebut mewarisi harta gono gini orang tua angkatnya.
106
Pengadilan Negeri Purworejo dalam putusannya tanggal 25 Agustus 1937,
menetapkan bahwa barang pencarian dan barang gono-gini jatuh pada janda dan
anak angkat. Sedang barang asal kembali pada saudara-saudara si peninggal
warisan, jika yang wafat itu tidak mempunyai anak keturunannya sendiri.
107
Adapun barang atau harta gono-gini yang dimaksud di atas adalah harta selama
perkawinan. Harta ini disebut juga Harta pencaharian, yaitu yang diperoleh oleh
suami-isteri dalam ikatan perkawinan, baik secara bersama-sama maupun sendiri-
sendiri. Menurut hukum adat semua harta yang diperoleh selama perkawinan
105
Ibid., hlm. 27.
106
Perpustakaan Nasional RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI, 1998), hlm. 48.
107
Dimuat dalam majalah Indicsh Tijdschrift Van het Recht bagian 148, hlm. 299. atau
Soepomo, Bab-bab., hlm.104.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








72
Universitas Indonesia
termasuk gono-gini. Meskipun mungkin harta yang bersangkutan adalah kegiatan
suami sendiri.
Dalam catatan soepomo, dari Raad Yustisi Jakarta menentukan:
108
Bahwa jikalau barang gono gini ini tidak mencukupi, pada pembagian harta
peninggalan oleh para waris orang tua angkatnya, anak angkat boleh minta bagian
dari barang asal, hingga jumlah yang menurut keadaan dianggap adil. Begitu pula
bunyi putusan hakim: Jikalau orang tua angkat pada waktu mereka masih hidup,
telah mewariskan barang-barang kepada anak angkatnya, sejumlah sedemikian
hingga nafkah anak angkat itu telah dijamin seperlunya, maka ia pada pembagian
harta peninggalan tidak berhak apa-apa lagi. pada waktu perkara waris di Jawa,
diperiksa oleh Pengadilan Agama (sebelum 1 April 1937), yang mengadili
menurut hukum Islam dan yang tidak mengakui sedikitpun hak anak angkat
terhadap harta peninggalan, maka orang tua angkat biasanya mewariskan sebagian
dari harta bendanya kepada anak angkat dengan cara hibah, agar bagian itu tetap
tidak diganggu pada waktu pembagian harta peninggalan menurut hukum Islam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa kedudukan
anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa, yaitu :
1. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua asal (kandung).
2. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua angkat dengan bagian
tertentu atau dalam jumlah terbatas (tidak boleh melebihi bagian anak
kandung).
3. Anak angkat berhak atas harta gono-gini.
Adalah hal yang menguntungkan bagi anak angkat adalah meskipun ia telah
diangkat sebagai anak orang lain namun ia tetap mendapat warisan dari orang tua
kandungnya, serta berhak mendapat warisan pula dari orang tua angkatnya.
108
Soepomo, Bab-bab., hlm. 105.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








73
Universitas Indonesia
4.7 Putusnya Hubungan Pengangkatan Anak
Hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat dapat terputus
apabila anak tersebut durhaka kepada orang tua angkatnya. Alasan ini adalah
merupakan suatu alasan yang bersifat umum, karena maksud dari pengangkatan
anak tersebut adalah ketersediaan dari orang tua angkat untuk menjadikan seorang
anak sebagai anak asuh dan dididik agar kelak dikemudian hari menjadi anak
yang berguna dan berbakti, selanjutnya diharapkan anak tersebut dapat menaikkan
derajat dan nama orang tua angkatnya, akan menjadi pembela bagi orang tua
angkat di hari tua, serta akan menjadi generasi penerusnya. Namun demikian
segala harapan keinginan dari orang tua angkat tersebut menjadi hancur, karena si
anak angkat tidak patuh kepadanya, dimana anak angkat tersebut selalu
membangkang dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak patut dan tidak
layak serta tidak terpuji terhadap orang tua angkatnya. Anak angkat tersebut
dengan sendirinya mencemarkan nama baik orang tua angkat dan keluarganya.
Disamping itu, anak tersebut juga melakukan penganiayaan terhadap orang
tua angkat ataupun hendak membunuh orang tua angkatnya. Dengan perbuatan-
perbuatan tersebut di atas, maka anak angkat tersebut dapat dikembalikan kepada
orang tua kandungnya dengan sepengetahuan para kepala adat ataupun
lurah/kepala desa. Ada juga hubungan hukum antara orang tua angkat dan anak
angkat tersebut menjadi putus, karena si anak angkat mempergunakan harta
peninggalan orang tua angkatnya tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, dengan
cara menghambur-hamburkannya.
Kemungkinan lain juga disebabkan karena dikehendaki oleh salah satu pihak,
yaitu orangtua angkat sendiri yang mengembalikannya kepada orang tua kandung,
karena orang tua angkat tidak mampu memeliharanya lagi. Atau mungkin karena
anak tersebut menghendaki supaya la dikembalikan kepada orang tua
kandungnya. Ataupun orang tua kandungnya sendiri menghendaki supaya anak
tersebut dikembalikan kepadanya, karena orang tua angkat tidak memelihara anak
tersebut sebagaimana mestinya. Mungkin pula hubungan tersebut terputus
disebabkan terjadinya perselisihan atau pertengkaran antara orang tua angkat
dengan orang tua kandung. Hal ini dapat disebabkan oleh pengangkatan anak
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








74
Universitas Indonesia
tersebut tidak diketahui atau tidak disetujui oleh keluarga orang tua angkat
maupun orang tua kandung.
Dapat juga terjadi hubungan tersebut terputus disebabkan anak tersebut telah
dewasa dan kembali kepada orang tuanya. Hal ini biasanya terjadi apabila anak
tersebut diangkat dari kalangan keluarga sendiri, namun pengabdian anak tersebut
kepada orang tua angkat tetap ada.
109
Apabila putusnya hubungan antara orang tua angkat dengan anak disebabkan
orang tua kandung menghendaki supaya anak tersebut dikembalikan kepadanya
atau karena anak tersebut telah dewasa dan kembali kepada orang tua kandung,
maka orang tua kandung harus membayar ongkos pemeliharaan dari sejak kecil
sampai anak tersebut kembali kepada orang tuanya. Ongkos pemeliharaan tersebut
menurut adat tergantung dari kesepakatan antara orang tua kandung dengan
orang tua angkat. Apabila orang tua kandung tidak dapat membayar ongkos piara
tersebut, maka anak tersebut tetap dipelihara oleh orang tua angkat dengan
ketentuan bahwa apabila ia anak perempuan, maka orang tua angkat berhak
menerima mas kawin dan apabila ia anak laki-laki orang tua angkatlah yang
menyediakan mas kawin.
Seorang anak angkat dapat juga dapat kehilangan hak mewarisnya karena
perbuatan yang dilakukan seperti tersebut diatas. Namun perbuatan-perbuatan
tersebut diatas dapat dibatalkan apabila si pewaris ataupun keluarga si pewaris
telah memberikan maaf, mengampuni dengan nyata dalam perkataan ataupun
dalam perbuatan, sebelum atau ketika dilakukan pembagian warisan.
109
Bastian B. Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat
Hukumnya di Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989 ), Hal. 50.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








75
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai proses pengangkatan anak
serta akibat hukum yang timbul berdasarkan hukum adat Jawa, penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut, antara lain
sebagai berikut:
1. Mekanisme pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat adat
Jawa berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Mekanisme
pengangkatan anak yang dilakukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur pada umumnya dilakukan tanpa adanya konsep terang dan
tunai, proses pengangkatan anak dilakukan tanpa sepengetahuan
Kepala Adat/Pemuka Adat setempat dan dilakukan tanpa
sepengetahuan masyarakatnya pula, proses pengangkatan anak tersebut
hanya diketahui oleh kedua belah pihak yang berkepentingan yaitu
hanya diketahui oleh calon orang tua angkat beserta keluarganya dan
orang tua kandung calon anak yang akan diangkat tanpa adanya
pemberian-pemberian suatu barang baik berupa uang maupun suatu
benda sebagai tanda berpindahnya anak yang akan diangkat dari orang
tua kandungnya kepada calon orang tua angkat, namun ada juga
masyarakat yang melaksanakan konsep tunai ini, pemberian dilakukan
kepada orang tua kandung calon anak angkat sebagai hadiah atau
hanya sebagai bantuan untuk menolong perekonomian orang tua
kandung calon anak angkat. Sedangkan di daerah Jawa Barat
mekanisme pengangkatan anak ini pada umumnya dilakukan dengan
menggunakan konsep terang dan tunai, proses pengangkatan anak ini
dilakukan dengan sepengetahuan dari Kepala Adat/Pemuka Adat
sebagai saksi berlangsungnya perbuatan pengangkatan anak tersebut.
Adopsi atau pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum adat
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








76
Universitas Indonesia
Jawa adalah adopsi secara illegal, karena adopsi illegal adalah adopsi
yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua
yang mengangkat dengan orang tua kandung anak, sedangkan yang
dimaksud dengan adopsi secara legal adalah adopsi yang dikuatkan
berdasarkan keputusan Pengadilan. Kedudukan anak angkat di Jawa
tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya karena pada umumnya anak yang
diangkat adalah anak dari kemenakan calon orang tua angkat sendiri,
masih ada hubungan persaudaraan, walaupun tidak menutup
kemungkinan dapat mengangkat anak dari orang lain.
2. Pengangkatan anak dapat menimbulkan akibat hukum dalam hal
pewarisan, anak angkat dapat menjadi ahli waris dari orang tua
angkatnya namun hanya dapat mewarisi harta gono-gini atau harta
pencaharian dari orang tua angkatnya dan tidak berhak untuk mewarisi
harta pusaka dari orang tua angkatnya, tidak ada ketentuan baku
mengenai jumlah bagian harta warisan yang dapat diterima oleh anak
angkat, namun jika tidak ada anak kandung dari orang tua angkatnya
anak angkat dapat saja mewarisi seluruh harta gono-gini, jika anak
angkat mewaris bersama anak kandung dari orang tua angkatnya maka
bagiannya adalah 1:1 ( satu banding satu ) sesuai istilah Sigar
Semongko (membelah semangka). Bila timbul suatu konflik atau
permasalahan seperti sengketa kewarisan antara anak angkat dengan
keluarga kandung si pewaris (orang tua angkat), masyarakat Jawa lebih
memilih untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan cara
musyawarah untuk mufakat baik diselesaikan antara pihak-pihak yang
berkepentingan itu sendiri maupun dengan bantuan Kepala Adat
melalui Lembaga Adat yang bertindak sebagai penengah bagi pihak-
pihak tersebut.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








77
Universitas Indonesia
1.2 Saran
1. Perlunya dibentuk suatu Undang-undang yang mengatur secara khusus
mengenai adopsi atau pengangkatan anak ini sehingga dapat
terciptanya keseragaman pengaturan karena hingga saat ini belum ada
suatu undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai adopsi
atau pengangkatan anak. Karena antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain belum memiliki keseragaman dalam hal ketentuan
hukum mengenai pengangkatan anak.
2. Lembaga adat adalah suatu payung hukum adat yang eksistensinya di
beberapa daerah sudah memudar bahkan menghilang, namun di
sebagian daerah Jawa seperti Solo, Yogyakarta dan Subang lembaga
adat ini masih ada dan masih memiliki pengaruh yang kuat bagi
masyarakatnya, perlunya pelestarian lembaga adat selain sebagai salah
satu bentuk pelestarian budaya namun juga sebagai poros dalam
penyelesaian maupun pengaturan mengenai hukum adat yang berlaku
baik dalam hal pengangkatan anak maupun hal-hal lain yang berkaitan
dengan hukum adat.
3. Perlunya sosialisasi yang dilakukan oleh Kepala Adat atau Lembaga
Adat mengenai tata cara pengangkatan anak di daerah-daerah
khususnya di Jawa untuk dilakukannya pengesahan pengangkatan anak
melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama muslim dan
pengesahan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri bagi yang
beragama non muslim guna memberikan perlindungan hukum yang
lebih kuat bagi hak-hak anak angkat khususnya dalam hal pewarisan
tanpa merubah atau menghilangkan kebiasaan dan tata cara
pengangkatan anak berdasarkan hukum adat yang berlaku.
4. Perlunya peran dan kesadaran masyarakat itu sendiri akan penting
dilakukannya pengesahan oleh Pengadilan mengenai pengangkatan
anak ini.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








78
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Any, Andjar. Perkawinan Adat Jawa lengkap. Surakarta: PT. Pabelan, 1986.
Direktorat Jendral pembinaan Badan Peradilan Umum. Masalah Hukum perdata
adat. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1980.
Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2010.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Kekerabatan Anak. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,
1987.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1999.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni,
2010.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadits. Jakarta:
Tintamas, 1981.
Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas, 1968.
Imam Subekti, Winarsih dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2006.
Muhammad, Bushar. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Muhammad, Bushar. Susunan Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1985.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Sumur
Bandung, 1974.
Poerwadarminta. Kamus Hukum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung,
1983.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








79
Universitas Indonesia
Satrio, J. Hukum Waris. Bandung: PT. Citra Aditya, 1990.
Suparman, Eman. Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju,
1990.
Soekanto, dan Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung: Alumni,
1978.
Soekanto, Soerjono dan Soleman b. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV.
Rajawali, 1981.
Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995.
Sudiyat, Iman. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty,
1981.
Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluarga. Bandung: Alumni, 1980.
Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk Mempelajari
Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty, 1981.
Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat Jawa tengah. Semarang: Biro Konsultasi
Hukum dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
1998.
Samsudin, Achmad, et all. Yurisprudensi Hukum Waris Seri Hukum Adat (III).
Bandung: Alumni, 1983.
Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 2007.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 1986.
Tafal, Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-akibat
Hukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
Tunggal, Arif Djohan. Peraturan Perundang-undangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia Tahun 1950-1996. Jakarta: Harvarindo, 1998.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung
Agung, 1992.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








80
Universitas Indonesia
Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika, 2002.
II. SKRIPSI/TESIS
Novi Kartiningrum. Implementasi Pelaksanaan Adopsi Anak Dalam Perspektif
Perlindungan Anak (Studi di Semarang dan Surakarta). Tesis Magister
Hukum Universitas Diponegoro. 2008
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
________. Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, LN No.
42 tahun 1974. TLN No. 3821.
________. Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak. UU No. 4 Tahun 1979.
LN No. 32 Tahun 1979. TLN No. 3143.
________. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak. UU No. 23 Tahun
2002. LN No. 109 Tahun 2002.
IV. INTERNET
Lontar. www. Lontar.ui.ac.id/file=digital/125064-PK%201%202139. Diunduh
28 Desember 2011.
Adopsi dalam pandangan Islam .http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-
pandangan-islam.html. Diunduh 26 April 2011.
Tugas Adat Per Bab. http://www.scribd.com, diunduh pada tanggal 2 Januari
2012.
Romantika Perempuan di Ranah Minang. http://almakkiyat.wordpress.com,
diunduh pada tanggal 2 Januari 2012.
Hukum Budaya dan Agama. http://theadvocateofchange.wordpress.com, diunduh
pada tanggal 2 Januari 2012.
Harta Perkawinan Adat. http://yayiz.wordpress.com, diunduh pada tanggal 16
Januari 2012.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








81
Universitas Indonesia
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989. www.docstoc.com,
diunduh pada tanggal 28 Maret 2012.
Adopsi Anak. http://bambang-rustanto.blogspot.com ,diunduh pada tanggal 28
Maret 2012.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54. http://siak-banjar-webs.com,
diunduh pada tanggal 25 April 2012.
Campur Kaya. www.deskripsi.com , diunduh pada tanggal 12 Juni 2012.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2007

TENTANG

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN
ANAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
2. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak
dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkat.
3. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat.
4. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan
membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan.
5. Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang
berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah
mendapat izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak.
6. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
7. Pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk oleh lembaga
pengasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial dalam pengangkatan anak.
8. Instansi sosial adalah instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial baik di pusat
maupun di daerah.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pasal 2
Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan
adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3
(1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat.
(2) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama
mayoritas penduduk setempat.

Pasal 4
Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandungnya.

Pasal 5
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 6
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-
usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

BAB II
JENIS PENGANGKATAN ANAK

Pasal 7
Pengangkatan anak terdiri atas:
a. pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

Bagian Pertama
Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia

Pasal 8
Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a, meliputi:
a. pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan
b. pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas
yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan
bermasyarakat.
(2) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan
penetapan pengadilan.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








Pasal 10
(1) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mencakup pengangkatan anak secara langsung dan
pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak.
(2) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Bagian Kedua
Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia
Dengan Warga Negara Asing

Pasal 11
(1) Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, meliputi:
a. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing; dan
b. pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara
Indonesia.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui putusan
pengadilan.

BAB III
SYARAT-SYARAT PENGANGKATAN ANAK

Pasal 12
(1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
(2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun,
sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Pasal 13
Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan
diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








Pasal 14
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat:
a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau
perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan
c. melalui lembaga pengasuhan anak.

Pasal 15
Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, harus memenuhi syarat:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia; dan
b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.

Pasal 16
(1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara
Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada
kepala instansi sosial di provinsi.

Pasal 17
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, calon orang tua
angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat:
a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan
c. membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia
setempat.

Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur dengan
Peraturan Menteri.

BAB IV
TATA CARA PENGANGKATAN ANAK
Bagian Pertama
Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia

Pasal 19
Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku
di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pasal 20
(1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.
(2) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait.

Pasal 21
(1) Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu
paling singkat 2 (dua) tahun.
(2) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan
sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012









Bagian Kedua
Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia
Dengan Warga Negara Asing

Pasal 22
(1) Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing
yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
pengadilan.
(2) Pengadilan menyampaikan salinan putusan pengangkatan anak ke instansi terkait.

Pasal 23
Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara
Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.

Pasal 24
Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah Indonesia maupun
di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing yang berada di luar negeri harus
dilaksanakan di Indonesia dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12.

Pasal 25
(1) Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim Pertimbangan
Perizinan Pengangkatan Anak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB V
BIMBINGAN DALAM PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Pasal 26
Bimbingan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan
masyarakat melalui kegiatan:
a. penyuluhan;
b. konsultasi;
c. konseling;
d. pendampingan; dan
e. pelatihan.

Pasal 27
(1) Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dimaksudkan agar
masyarakat mendapatkan informasi dan memahami tentang persyaratan, prosedur dan
tata cara pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. meningkatkan pemahaman tentang pengangkatan anak;
b. menyadari akibat dari pengangkatan anak; dan
c. terlaksananya pengangkatan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28
(1) Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dimaksudkan untuk
membimbing dan mempersiapkan orang tua kandung dan calon orang tua angkat atau
pihak lainnya agar mempunyai kesiapan dalam pelaksanaan pengangkatan anak.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. memberikan informasi tentang pengangkatan anak; dan
b. memberikan motivasi untuk mengangkat anak.

Pasal 29
(1) Konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dimaksudkan untuk
membantu mengatasi masalah dalam pengangkatan anak.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. membantu memahami permasalahan pengangkatan anak; dan
b. memberikan alternatif pemecahan masalah pengangkatan anak.

Pasal 30
(1) Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d dimaksudkan untuk
membantu kelancaran pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. meneliti dan menganalisis permohonan pengangkatan anak; dan
b. memantau perkembangan anak dalam pengasuhan orang tua angkat.

Pasal 31
(1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dimaksudkan agar petugas
memiliki kemampuan dalam proses pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. meningkatkan pengetahuan mengenai pengangkatan anak; dan
b. meningkatkan keterampilan dalam pengangkatan anak.

BAB VI
PENGAWASAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Pasal 32
Pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran dalam
pengangkatan anak.

Pasal 33
Pengawasan dilaksanakan untuk:
a. mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. mengurangi kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran pengangkatan anak; dan
c. memantau pelaksanaan pengangkatan anak.

Pasal 34
Pengawasan dilaksanakan terhadap:
a. orang perseorangan;
b. lembaga pengasuhan;
c. rumah sakit bersalin;
d. praktek-praktek kebidanan; dan
e. panti sosial pengasuhan anak.

Pasal 35
Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan
masyarakat.

Pasal 36
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh
Departemen Sosial.

Pasal 37
Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan antara lain
oleh:
a. orang perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok;
d. lembaga pengasuhan anak; dan
e. lembaga perlindungan anak.

Pasal 38
(1) Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap
pelaksanaan pengangkatan anak, masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada
aparat penegak hukum dan/atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia, instansi sosial
setempat atau Menteri.
(2) Pengaduan diajukan secara tertulis disertai dengan identitas diri pengadu dan data awal
tentang adanya dugaan penyimpangan atau pelanggaran.

BAB VII
PELAPORAN

Pasal 39
Pekerja sosial menyampaikan laporan sosial mengenai kelayakan orang tua angkat dan
perkembangan anak dalam pengasuhan keluarga orang tua angkat kepada Menteri atau
kepala instansi sosial setempat.

Pasal 40
Dalam hal pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, orang
tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali
dalam 1 (satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 41
Semua administrasi yang berkaitan dengan pengangkatan anak berada di departemen yang
bertanggung jawab di bidang sosial.

Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bimbingan, pengawasan, dan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 32, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan
Menteri.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012









Pasal 44
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 123
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012








PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2007
TENTANG
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

I. UMUM

Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan
sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk mewujudkan sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan sejak dini yang berlangsung
secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental dan sosial anak.
Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi
perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak Indonesia.
Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak dijumpai
anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak
ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan
berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang memerlukan penanganan,
pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat.
Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak
lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang
dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hakhak dan peningkatan
kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak dimaksud
yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan
pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi
kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.
Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan
pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang
benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh
anak. Untuk itu, perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang
dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan
anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan anak, syarat-syarat
pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan dalam pelaksanaan
pengangkatan anak, pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak dan pelaporan.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini juga dimaksudkan agar pengangkatan
anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga
dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan
meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi
anak.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012









Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setempat adalah setingkat desa atau
kelurahan.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengangkatan anak secara langsung adalah
pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap
calon anak angkat yang berada langsung dalam pengasuhan orang tua
kandung.
Yang dimaksud dengan pengangkatan anak melalui lembaga
pengasuhan anak adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon
orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga
pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan sepanjang ada alasan mendesak seperti
anak korban bencana, anak pengungsian dan sebagainya. Hal ini
dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan anak memerlukan perlindungan khusus
adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan; anak yang menjadi korban penyalahgunaan
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012









narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza); anak
korban penculikan, penjualan dan perdagangan; anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental; anak yang menyandang cacat;
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan orang tua tunggal adalah seseorang yang
berstatus tidak menikah atau janda/duda.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah Mahkamah Agung melalui
Panitera Mahkamah Agung, Departemen Sosial, Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Luar
Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan
Agung dan Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 20 ayat (2).

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012









Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan
Anak yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas memberikan
pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan anak dan
beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan konseling adalah kegiatan yang dilakukan
setelah tahap konsultasi dalam hal terjadinya permasalahan
pengangkatan anak.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Ayat (1)
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012









Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah suatu badan yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang bertugas:
1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
2. Memberikan laporan, sasaran, masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4768
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai