MENURUT HUKUM ADAT JAWA SKRIPSI Guntur Pitut DK 0606044890 Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat Depok Juli 2012 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Guntur Pitut DK 0606044890 Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat Depok Juli 2012 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012 ii Universitas Indonesia HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Guntur Pitut DK NPM : 0606044890 Tanda Tangan : Tanggal : 13 Juli 2012 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012 iii Universitas Indonesia Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
iv Universitas Indonesia KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memenuhi gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Maka untuk maksud tersebut. penulis menyusun skripsi ini dengan judul AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA. Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Segala saran-saran dan pendapat serta kritikan yang sifatnya membangun akan penulis terima dengan senang hati, guna perbaikan di waktu yang akan datang. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah swt, yang masih memberikan kesempatan hingga dapat terselesaikannya skripsi ini; 2. Bapak Afdol S.H., M.H., selaku pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memeriksa, memberikan saran serta memberikan koreksi atas skripsi penulis; 3. Ibu Farida Prihatini S.H., M.H., C.N., Ibu Meliyana Yustikarini S.H.,M.H., Ibu Wirdyaningsih S.H., M.H., selaku para Penguji yang telah memberikan banyak koreksi, saran dan masukan kepada penulis dalam menuntaskan skripsi ini; 4. Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah memberikan ilmunya kepada penulis; 5. Ayahku, almarhum Marsma (purn) Drs. Poerwanto S.H., M.A., Msi., yang selalu memberikan semangat kepada penulis, mendoakan dan membiayai kuliah penulis hingga akhir hayatnya; 6. Ibuku, almarhumah Niek Partini, S.H., C.N., yang selalu menyayangi, mendukung dan mendoakan penulis semasa hidupnya; Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
v Universitas Indonesia 7. Kakak perempuanku beserta suami, Nuri Danaryanti dan Drs. Darmansyah H.S., Akt., M.M., yang selalu mendoakan dan mendukung hingga terselesaikannya skripsi ini; 8. Kakak laki-lakiku beserta istri, R. Roy Happy Danardono, S.H., S.kom., M.kom., dan RA. Ayu Kusumastuti, S.E., yang selalu memberikan semangat kepada penulis serta mendoakan penulis sejak awal menyusun sampai dengan terselesaikannya skripsi ini; 9. Keponakan-keponakanku, Natasya, Dimas, alm. Adit, Raras, Miralda N.A., S.ked., Andar F., S.E., Iyan, dan Gerry, yang menjadi penyemangat penulis hingga terselesaikannya skripsi penulis; 10. Om Faisol dan Tante Dewi, yang membiayai penulis serta selalu memberikan dukungan spiritual dan moril hingga dapat terselesaikannya skripsi ini; 11. Calon mertuaku, bapak Bekti Harsono dan Ibu Rosfita Roesli yang menjadi motivasi penulis hingga dapat terselesaikannya skripsi ini; 12. Calon Istriku, Kartika Prasasta Wenursita S.E., yang selalu menjadi inspirasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dan selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis sejak awal menyusun sampai dengan terselesaikannya skripsi ini; 13. Dr. Suryadharma Hari Respati, Drg. Yanuarti Retnaningrum, Drg. Presti Bhakti Pratiwi, Sunu Wahyu Trijati yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis; 14. Sahabatku Metty Widyastari S.S., Andy Gunawan, Denovan Mahesa, Aris Wihardi, Gede Rezza, Marota Adhiguna, Alloysius Bimo, yang selalu mendukung penulis, memberikan semangat kepada penulis hingga dapat terselesaikannya skripsi penulis; 15. Rekan-rekanku Angkatan Program Ekstensi dan Alumni Program Ekstensi Joseph Orth S.H., Ridwan Ashari S.H., Agung Cahyono S.H., Joko Triyanto S.H., Dimas Maderi S.H., Bima Anwar S.H., Yoseph Pardede cSH, Teuku Safriansyah S.H., Moh. Nizar S.H., Immanuel Julius S.H., Dimas Julianto S.H., Astari Amalia S.H., Dea Dwi S.H., Yulia Prihatini S.H., Imam Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
vi Universitas Indonesia Hermanda cSH, Abimantrana cSH, Daniel Mamesah cSH, Joan Caeserine S.H., Endang Purwanti cSH, Gery Novrano S.H., Ricky Errens S.H., Renol Sihombing S.H., Ajie Prasetyo S.H., Moh. Thariq S.H., Doddy S.H., M. Donny S.H., Nathan Goeltom S.H., Sondang Tiurista S.H., Yulia Astri Dewanty Harun S.H., dan yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu; 16. Rekan-rekan kerjaku di PT. Mata Binar Kalingga, Meivy Bonetha, Monty, Oni, Pak Yudhi, Pak Moch. Nassarudin, Akkad Setiadi, Pak Wahyu, yang selalu mendukung penulis hingga terselesaikannya skripsi ini; 17. Semua pihak yang telah membantu memberikan saran dan nasehat hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt berkenan memberikan dan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, hingga dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 13 Juli 2012 Guntur Pitut D.K. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
vii Universitas Indonesia ABSTRAK Nama : Guntur Pitut DK Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda-beda. Hukum adat Jawa memiliki karakteristik yang unik dan menarik untuk digali termasuk pula mengenai pengangkatan anaknya, karena hadirnya anak begitu pentingnya di dalam suatu keluarga yang jika seorang suami isteri dalam perkawinannya tidak mendapatkan keturunan akan menimbulkan suatu peristiwa hukum, salah satunya adalah adopsi. Skripsi ini membahas mengenai mekanisme pengangkatan anak berdasarkan hukum adat Jawa, pada umumnya di Jawa pengangkatan anak yang dilakukan adalah secara diam-diam dan tidak menggunakan konsep terang dan tunai. Di Jawa anak angkat mempunyai kedudukan yang seimbang dengan anak kandung, anak angkat di Jawa berhak mendapat warisan dari orang tua angkatnya dan ia tidak terputus hubungannya dengan orang tua kandungnya sehingga ia juga tetap mendapat warisan dari orang tua kandungnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, dimana alat pengumpulan datanya adalah studi dokumen, yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Kata Kunci : Mekanisme Pengangkatan Anak, Akibat Hukum Pengangkatan Anak, Hukum Adat Jawa. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
viii Universitas Indonesia ABSTRACT Name : Guntur Pitut DK Study Program : Law Title : Legal Status of Adopted Child According to Javanese Customary Law Indonesia consist of various ethnic groups with different customs. Java customary law has a unique and interesting characteristics to be extracted also include the appointment of his son, due to presence of children is so important in a family that if husband and wife in marriage is not a descendant of the law will cause an event, one of which is adoption. This thesis describes how child adoption mechanisms based on customary law, in Javanese culture ilegal child adoption which doesnt use bright and cash consept. In Javanese culture, adopted child has the same equal position as the legitimate child. Adopted child in Javanese culture has the same rights for heritage from his/her foster parents. Alas he/she will still have a benefit from their parents royalty incase of deceased. This study used yuridis normatif research metode, which the data collected from doctrine and jurisprudence which based on primary and secondary source. Keywords: adoption child mechanisms, Legal Status Adopted Child , Javanese Costumary Law. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
ix Universitas Indonesia HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Guntur Pitut DK NPM : 0606044890 Program Studi : Ilmu Hukum Departemen : Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat Fakultas : Hukum Jenis Karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif ( Non-exclusive Royalty- FreeRigth) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa. beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 13 Juli 2012 Yang menyatakan, Guntur Pitut DK Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
x Universitas Indonesia DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..........................................................ii HALAMAN PENGESAHAN..................................... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv ABSTRAK..................................................................................................................vii ABSTRACT...............................................................................................................viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................... ix TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................ ix DAFTAR ISI................................................................................................................. x BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang Permasalahan............................................................................ 1 1.2. Pokok Permasalahan .......................................................................................... 4 1.3. Tujuan Penulisan................................................................................................ 4 1.4. Kerangka Konsepsional ..................................................................................... 4 1.5. Metode Penelitian............................................................................................. 10 1.6. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 12 BAB 2 SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT JAWA...................... 14 2.1. Sistem Kekeluargaan Adat Jawa...................................................................... 14 2.2. Bentuk Perkawinan dan Akibat Hukumnya..................................................... 18 2.2.1. Perkawinan Adat Jawa ............................................................................. 21 2.2.2. Kedudukan Suami Isteri ............................................................................ 23 2.2.3. Hubungan Orang Tua dan Anak/Keturunan ............................................. 26 2.2.4. Tentang Harta Benda Perkawinan............................................................. 30 2.3. Hukum Kewarisan Adat Jawa.......................................................................... 32 2.3.1. Subyek Hukum Waris ............................................................................... 35 2.3.2. Objek Hukum Waris ................................................................................. 39 2.3.3. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat ..................................................... 39 2.3.4. Harta Warisan............................................................................................ 41 BAB 3 TINJAUAN TENTANG ADOPSI SECARA UMUM................................... 43 3.1. Pengertian Adopsi ............................................................................................ 43 3.2. Adopsi Sebagai Suatu Lembaga Hukum.......................................................... 43 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
xi Universitas Indonesia 3.3. Adopsi/Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat............................................ 45 3.3.1. Tata Cara/Mekanisme Adopsi Menurut Hukum Adat .............................. 47 3.3.2. Syarat-syarat Adopsi ................................................................................. 47 3.3.3. Mekanisme Adopsi atau Pengangkatan Anak........................................... 47 3.3.4. Kriteria Orang Yang Melakukan Adopsi .................................................. 49 3.3.5. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat ..................... 50 3.3.6. Hak Mewaris Anak Angkat Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung. 51 3.4. Pengaturan Tentang Adopsi ............................................................................. 52 3.5. Adopsi Dalam Hukum Barat (BW).................................................................. 57 3.5.1. Syarat dan Tata Cara Adopsi Menurut Hukum Barat ............................... 58 3.5.2. Akibat Hukum Adopsi Menurut Hukum Barat ......................................... 59 3.6. Adopsi Menurut Hukum Islam ........................................................................ 60 3.6.1. Pengertian Adopsi Dalam Pandangan Islam............................................. 60 3.6.2. Hubungan Anak Angkat Dalam Hubungan Perkawinan .......................... 62 3.6.3. Hak Mewaris Anak Angkat....................................................................... 62 BAB 4 AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA ................................................................................................. 64 4.1. Tata Cara Pengangkatan Anak di Jawa............................................................ 64 4.2. Perbedaan Anak Angkat Dan Anak Piara Di Jawa .......................................... 65 4.3. Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa................................. 66 4.4. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa ................... 67 4.5. Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa ........................................................... 68 4.6. Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan Menurut Hukum Adat Jawa ......................................................................................................................... 68 4.7. Putusnya Hubungan Pengangkatan Anak ........................................................ 73 BAB 5 PENUTUP ...................................................................................................... 75 5.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 75 5.2. Saran................................................................................................................. 77 DAFTAR REFERENSI .............................................................................................. 78 LAMPIRAN Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia pada dasarnya ingin mempunyai anak karena anak sangat besar artinya dalam keluarga, masyarakat dan umat manusia. Di samping itu, anak merupakan penghibur yang sangat dekat dengan ibu bapaknya dan dapat membangkitkan rasa tanggung jawab dan kasih sayang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pada dasarnya untuk mendapatkan keturunan adalah melalui suatu perkawinan. Perkawinan pada kenyataannya dipandang sebagai jalan untuk mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang yang telah dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota, dan lain sebagainya. Dengan perkawinan maka akan terbentuk suatu keluarga (dalam arti sempit) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil. Namun di dalam kenyataannya tidak selalu unsur yang terpenting, yaitu adanya anak itu terpenuhi, sehingga seringkali pula suatu keluarga tidak memiliki anak atau keturunan. Begitu pentingnya hal keturunan (anak) ini, sehingga dapat menimbulkan berbagai peristiwa hukum karena ketiadaan seorang anak di dalam suatu perkawinan. Perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan beberapa peristiwa hukum yang dapat saja terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak diperoleh keturunan. Dengan demikian, seolah-olah apabila suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan dianggap tidak tercapai. Dengan demikian, apabila di dalam suatu perkawinan telah ada Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
2 Universitas Indonesia keturunan (anak), maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan. 1 Sebagai salah satu dari beberapa jalan hukum yang diambil oleh keluarga yang telah kawin namun tidak dianugerahi keturunan/anak adalah dengan melakukan perbuatan hukum Adopsi/Pengangkatan anak. Tujuan seseorang melakukan pengangkatan anak atau adopsi adalah untuk meneruskan keturunan. Dengan mengangkat anak diharapkan supaya kelak ia ada yang memelihara di hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar sebagai alternatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga. Mengangkat anak adalah merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah munculnya persoalan mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut di mata hukum, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, atau juga dengan orang tua kandungnya sendiri. Pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia setiap daerah satu berbeda dengan daerah yang lain karena dilakukan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di daerah yang bersangkutan. Salah satu masyarakat adat yang masih melestarikan dan menjaga nilai-nilai kebudayaannya hingga kini adalah masyarakat adat Jawa. Masyarakat Jawa memiliki adat istiadat yang dihormati, ditaati serta dilaksanakan oleh seluruh warganya, dan juga memiliki Hukum Adat yang mengatur segala kehidupan masyarakat Jawa yang berisikan suruhan, larangan dan kebolehan. Suku Jawa atau masyarakat adat Jawa memiliki karakteristik adat istiadat yang menarik untuk diselami dan diketahui, begitu pula dengan hukum adatnya, hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan tema hukum adat khususnya hukum adat Jawa. Di dalam masyarakat adat Jawa sebagai suatu akibat dari pengangkatan anak, saudara-saudara dari orang tua angkat si anak adopsi sering mempermasalahkan sah atau tidaknya kedudukan anak angkat/anak 1 Soerjono Soekanto dan Soleman b.Taneko, Hukum Adat Indonesia, Cet. 1, ( Jakarta: CV. Rajawali, 1981), hal.275 dan 276. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
3 Universitas Indonesia adopsi ini sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya tersebut. Apakah anak angkat/anak adopsi tersebut berhak menjadi ahli waris dan mendapatkan seluruh harta pewaris sementara saudara-saudara orang tua angkatnya (pewaris) masih hidup, dan berhak pula mendapatkan bagian harta warisan. Permasalahan inilah yang membuat penulis tertarik dan ingin menggali lebih dalam lagi mengenai pengangkatan anak/adopsi yang terjadi di dalam masyarakat hukum adat Jawa. Prosedur pengangkatan anak menurut Hukum Adat terdapat banyak cara, namun secara umum pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi dua : 2 1) Pengangkatan anak secara terang dan tunai. 2) Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai Adapun maksud dari kata terang, ialah suatu prinsip legalitas yang berarti bahwa perbuatan itu dilakukan di hadapan dan diumumkan di depan orang banyak dengan sepengetahuan Kepala Adat secara resmi dan formal, dengan demikian dianggap bahwa semua orang atau warga masyarakat mengetahui terjadinya perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut. Sedangkan kata tunai berarti perbuatan itu akan selesai saat itu juga. 3 Di dalam perbuatan tunai ini ada pemberian berupa benda-benda tertentu dari calon orang tua angkat kepada orang tua kandung si anak. Tujuan pemberian itu pada dasarnya adalah sebagai simbol untuk melepaskan hubungan hukum antara anak angkat itu dengan orang tua kandungnya sendiri. Prosedur tersebut membawa konsekuensi atau akibat hukum, pertama, mengenai hubungan hukum anak angkat dengan orang tua asli atau kandungnya, dimana proses pengangkatan anak akan berakibat putus atau tidaknya hubungan hukum antara anak dengan orang tua kandungnya. Kedua, akibat hukum yang menyangkut tentang pewarisan anak angkat dengan orang tua angkatnya. Pengangkatan anak atau adopsi di Jawa mempunyai pengertian yang hampir sama dengan pemeliharaan anak, akan timbul suatu masalah apabila orang tua angkat si anak adopsi atau anak pelihara ini meninggal dunia, bagaimanakah membedakan antara anak angkat dengan anak pelihara ini sehubungan dengan 2 I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, ,( Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), hal. 35. 3 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cet. 10 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hal. 33. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
4 Universitas Indonesia masalah warisan, sedangkan di jawa tidak dikenal konsep terang dan tunai. Sistem pengangkatan anak pada masyarakat Jawa memiliki keunikan tersendiri dikarenakan masyarakat Jawa adalah masyarakat bilateral atau masyarakat keibu- bapaan yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak. Anak angkat di dalam masyarakat adat Jawa selain mempunyai hubungan dengan orang tua angkatnya, ia juga tidak terputus hubungan dengan orang tua kandungnya. 1.2. Pokok Permasalahan Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka pokok pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana mekanisme pengangkatan anak dan kedudukan anak angkat dalam masyarakat adat Jawa ? 2. Bagaimanakah akibat hukum pengangkatan anak terhadap masalah- masalah kewarisan menurut Hukum Adat Jawa ? 1.3. Tujuan Penulisan Berdasarkan pokok permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka : 1. Menjelaskan mekanisme pengangkatan anak serta kedudukan anak angkat pada Masyarakat Hukum Adat Jawa. 2. Menjelaskan akibat hukum pengangkatan anak terhadap masalah-masalah pewarisan menurut Hukum Adat jawa dan menurut Hukum Nasional 1.4 Kerangka Konsepsional Kerangka konsepsional dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini konsep-konsep yang digunakan dan perlu didefinisikan adalah sebagai berikut: 1. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ayat (1), Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
5 Universitas Indonesia tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. 4 Pengertian Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. 5 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II tentang Dasar-dasar Perkawinan di dalam pasal 2 disebutkan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 6 Pengertian perkawinan yaitu, suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan. Yang dimaksud dengan peraturan ialah Hukum Perkawinan. 7 Imam Muhammad Abu Zahrah seorang ahli hukum Islam dari Universitas Al-Azhar mengemukakan definisi nikah yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling menolong antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya 8 . 2. Warisan Warisan adalah Harta warisan berupa sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva yang berpindah kepada ahli waris. 9 Warisan berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat. 10 4 Pasal 1 dan 2 (1), Undang-undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5 ( Jakarta: UI-Press, 2007), hal. 47. 6 Pasal 2, Kompilasi Hukum Islam. 7 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. 6,(Jakarta: Sumur Bandung, 1974), hal. 7. 8 www. Lontar.ui.ac.id/file=digital/125064-PK%201%202139..., diakses tanggal 28 Desember 2011. 9 J. Satrio, 1990, Hukum Waris, Bandung, PT. Citra Aditya, hal. 8 10 Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, cet. 2 (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 2. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
6 Universitas Indonesia Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. 11 3. Hukum Adat Hukum Adat adalah peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh serta yang didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. 12 Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda : Adat-Recht, yang pertama kali dikemukakan oleh : Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya : De Atjehers (orang-orang Aceh). Istilah Adat-Recht ini kemudian dipakai pula oleh : van Vollenhoven yang menulis buku-buku/pokok tentang Hukum Adat dalam 3 jilid yaitu : Het Adat-Recht van Nederlandsch I ndie (Hukum Adat Hindia Belanda). 13 Menurut Van Vollenhoven, Hukum Adat ialah : Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu : Hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu : Adat). -positif : Hukum yang dinyatakan berlaku disini dan kini. -sanksi : reaksi/konsekuensi dari pihak lain atas pelanggaran suatu norma. Menurut Ter Haar, apa yang dinamakan Hukum adat itu di dalam pidato dies natalies tahun 1930, dengan judul : Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis, disebutkan bahwa Hukum Adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau dalam hal 11 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 butir (e). 12 Soekanto dan Soerjono Soekanto,Pokok-pokok Hukum Adat, cet. 1 (Bandung: Alumni, 1978), hal. 16. 13 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, cet. 4(Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 1. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
7 Universitas Indonesia pertentangan kepentingan, keputusan para Hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu, karena kesewenangan atau kurang pengertian, tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya. 14 Sementara itu di dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek : Hukum Adat Hindia-Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran, Ter Haar menyatakan bahwa Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian- bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan Desa, surat- surat perintah Raja, adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (Macht Authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. (Fungsionaris disini terbatas pada dua kekuasaan yaitu : Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para Fungsionaris hukum itu; bukan saja hakim tapi juga kepala Adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas dilapangan Agama, petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan- keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu. Dalam perumusan Ter Haar ini tersimpul ajaran : Beslissingenleer (ajaran keputusan). 15 Ajaran keputusan ini adalah aturan adat /kebiasaan yang mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan- penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, Hakim, baik di dalam maupun di luar persengketaan. Menurut Ter Haar, jika tidak ada keputusan, maka belum bisa dikatakan sebagai hukum. 14 Ibid. hlm. 6. 15 Ibid. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
8 Universitas Indonesia Hukum Adat adalah hukum dari suatu negara tertentu yang kebanyakan tidak tertulis dalam bentuk perundangan yang resmi dibuat oleh pihak penguasa pemerintah umum, pengertian hukum adat di Indonesia, dikatakan Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama (BPHN, 1976:250). 16 4. Adopsi atau Anak Angkat Adopsi menurut bahasa berasal dari bahasa Inggris Adoption yang berarti pengangkatan atau pemungutan sehingga sering dikatakan Adoption of Child yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak. Kata adopsi ini dimaksudkan oleh ahli bangsa Arab dengan istilah Attabani. Yang dimaksudkan sebagai mengangkat anak, memungut atau menjadikannya anak. Surojo Wingjodipura. S.H. mengatakan Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak. 17 Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh suatu keluarga dan dianggap sebagai anak kandungnya sendiri dan biasanya anak angkat ini dilakukan oleh suatu keluarga oleh karena mereka tidak mempunyai anak sama sekali. 18 Pengertian Adopsi yang diterjemahkan dengan Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak oleh seseorang dengan maksud untuk menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri. 19 Pengertian 16 Prof.H.Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Cet.3, ( Bandung : P.T. Alumni, 2010 ), hlm. 19-20. 17 Relasi untuk berbagi: Adopsi dalam pandangan Islam, http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam-pandangan-islam.html, diakses tanggal 26 April 2011. 18 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, hlm. 276. 19 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, cet. 1 (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 148. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
9 Universitas Indonesia adopsi atau pengangkatan anak menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1989 tentang pengangkatan anak: perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua yang sah/walinya yang sah/orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan kekuasaan keluarga orang tua angkat berdasarkan penetapan/Putusan Pengadilan Negeri, tanpa mempersoalkan apakah pengangkatan anak tersebut mempunyai akibat hukum yang penuh/sempurna atau akibat hukum yang terbatas. 20 Pengertian mengangkat anak menurut Soerojo Wignjodipoero, adalah : 21 Suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. Kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. 22 5. Masyarakat Adat Jawa Adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi satu sama lain menurut sistem adat Jawa, yang sifatnya terus menerus dan terikat dengan rasa identitas bersama. Masyarakat adat jawa adalah semua orang yang berbudaya Jawa, yang berasal dari dan bertempat kediaman di daerah propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pusat budayanya di Yogyakarta dan Surakarta yang menurut istilah M.M. Djojodigoeno disebut daerah Kejawen. Jadi semua orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikiran dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa 20 Ibid, hlm. 151. 21 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, ( Jakarta: Gunung Agung, 1992), hlm. 117-118. 22 Poerwadarminta, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 1976), hlm. 120. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
10 Universitas Indonesia Tengah dengan kota-kota Yogya dan Solo sebagai pusat-pusat kebudayaan. 23 1.5. Metode Penelitian Suatu penelitian yang baik membutuhkan metode untuk mengarahkan penelitian ke arah yang benar secara sistematis dan kronologis, sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Untuk menciptakan penelitian ini menjadi penelitian yang terarah secara sistematis dibutuhkan metode penelitian yang tepat. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada, mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa. Sedang untuk mendapatkan data atau informasi tentang kedudukan anak angkat terhadap harta warisan ini, maka kemudian diadakan penelitian pustaka, data tersebut diambil dari bahan primer dan bahan skunder. bahan primer tersebut, antara lain: buku-buku tentang hukum adat, makalah tentang anak angkat, dan penelitian mengenai anak angkat. Sedang yang termasuk bahan sekunder, adalah: kamus dan bibliografi. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bahan hukum Primer, yaitu bahan-bahan Hukum yang mengikat, Peraturan Perundang-undangan. Dalam penelitian ini Hukum Primer yang digunakan ialah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam dan yurisprudensi. 2. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang tidak mengikat dan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, artikel ilmiah, skripsi, tesis, makalah, rancangan undang-undang, laporan penelitian, buku dan lain- lain. Bahan hukum sekunder yang dipakai adalah buku-buku yang terkait dengan Hukum Adat, artikel-artikel dari Koran, berita-berita dari internet. 23 Hilman Hadikusuma, Op.cit., hlm. 153. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
11 Universitas Indonesia 3. Bahan Hukum Tertier, Adapun bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, penerbitan pemerintah. Penelitian ini berbentuk Yuridis Normatif, kajian terhadap Peraturan Perundangan yang sudah ada dan Yuridis Sosiologis, Hukum Adat. Tipe penelitian atau Tipologi Penelitian ini adalah deskriptif-analitis, yaitu bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan suatu gejala. Dengan sifat tersebut, maka pada penelitian ini akan digambarkan bagaimana keberadaan anak angkat dalam keluarga berkaitan dengan kedudukannya terhadap harta warisan menurut hukum adat Jawa. Gambaran tersebut akan menjelaskan bagaimana anak angkat dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkat. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Seluruh data di dapat dari pengumpulan atau penelusuran data yang dilakukan melalui data tertulis. Sehingga dalam teknik pengumpulan data studi dokumen, melalui mengumpulkan data, mempelajari literatur-literatur, buku-buku, tulisan-tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan objek penelitian, yang berhubungan dengan Adopsi dan Kewarisan. Data yang diperoleh dari penelitian melalui studi dokumen atau bahan pustaka tersebut, selanjutnya dianalisis dengan pendekatan kualitatif, Namun diperlukan, penulis juga akan menggunakan alat pengumpul data lain selain studi dokumen, yakni wawancara dengan narasumber. Hal ini dilakukan untuk menarik asas-asas hukum. Analisa yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif merupakan pelaksanaan analisis data secara mendalam, komprehensif dan holistik untuk memperoleh kesimpulan terhadap masalah yang diteliti. Data yang akan dianalisa secara Kualitatif (ilmu hukum) dan Kuantitatif (ilmu sosial). Hasil penelitian ini berbentuk Deskriptif-analitis. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
12 Universitas Indonesia 1.6 Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini sistematika penulisan disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu : BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini berisikan 6 (enam) sub-bab yaitu mengenai Latar Belakang Masalah, Pokok Permasalahan, Tujuan Penulisan, Definisi Operasional, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan. BAB 2 SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT JAWA adalah uraian tentang sistem kekerabatan masyarakat adat Jawa, yaitu tentang sistem kekeluargaan adat Jawa, cara menarik garis keturunan, perkawinan adat Jawa, bentuk perkawinan adat Jawa serta akibat hukumnya, kedudukan suami isteri, harta perkawinan, uraian mengenai hukum kewarisan adat Jawa, subyek dan obyek hukum waris, sistem pewarisan serta harta warisan. BAB 3 TINJAUAN ADOPSI SECARA UMUM adalah uraian tentang adopsi, pengertian adopsi, jenis-jenis adopsi, adopsi sebagai suatu lembaga hukum, pengaturan tentang adopsi, adopsi menurut hukum perdata barat (BW) berikut syarat dan tata cara serta akibat hukum adopsi, adopsi menurut hukum Islam berikut pengertian adopsi dalam pandangan Islam, hubungan anak angkat dalam hubungan perkawinan serta hak mewaris anak angkat menurut Islam, kemudian menguraikan pula adopsi menurut hukum Adat, manguraikan mengenai pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat serta akibat hukumnya. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
13 Universitas Indonesia BAB 4 AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tata cara mengangkat anak khususnya pada masyarakat adat Jawa, perbedaan anak angkat dan anak piara di Jawa, akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat Jawa terhadap hubungan anak angkat dengan orang tua kandung, terhadap hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan terhadap masalah kewarisan yang ditimbulkan serta putusnya hubungan pengangkatan anak. BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab penutup ini penulis memberikan kesimpulan serta berusaha untuk dapat menguraikan secara garis besar seluruh hasil dari penelitian dan pembahasan serta penyelesaian atas masalah yang terjadi terhadap kedudukan serta akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat Jawa. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
14 Universitas Indonesia BAB II SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT ADAT JAWA 2.1 Sistem Kekeluargaan Adat Jawa Sejak dahulu kala, sistem-sistem kekerabatan menarik perhatian para ahli ilmu-ilmu sosial maupun kalangan-kalangan lainnya. Hal itu terutama disebabkan, oleh karena manusia selalu ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan keluarga dalam masyarakat, sebagai suatu sistem sosial yang menyeluruh. Walaupun di dalam antropologi lazimnya istilah kekerabatan sering dipergunakan dalam arti kekerabatan dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan, dimana kekerabatan merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah affinity. Maka di dalam bahasa Inggris orang tua dengan anak adalah kerabat (kin) sedangkan suami dan isteri adalah affines. 24 Pada kebanyakan masyarakat, seorang anak dipandang sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah maupun ibunya. Kerabat yang ditelusuri melalui ayah, biasanya disebut paternal atau patrilineal, sedangkan yang melalui ibu, lazimnya dinamakan maternal atau matrilineal. 25 Sistem kekerabatan masyarakat adat Jawa adalah yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri baik melalui ayah maupun melalui ibu, yang disebut dengan prinsip kekerabatan bilateral. Hazairin mengatakan bahwa dari seluruh hukum yang ada, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekerabatan yang berlaku dalam suatu masyarakat. 26 24 Prof.H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Ibid. Hlm.153. 25 Ibid. 26 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Quran dan Hadits, Cet. 5, (Jakarta: Tintamas, 1981), hlm. 11. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
15 Universitas Indonesia Secara teoritis sistem keturunan/sistem kekerabatan dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu: 27 1. Sistem Patrilineal Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis bapak, di mana kedudukan laki-laki lebih menonjol daripada kedudukan perempuan. Seorang anggota keluarga merasa dirinya sebagai keturunan dari seorang laki-laki maka anggapan seketurunan semacam itulah yang menghubungkan laki-laki sebagai garis pengikatnya. Pertalian keturunan garis laki-laki ini terdapat dalam masyarakat : Batak, Bali, Ambon, Papua, dan sebagainya. 2. Sistem Matrilineal Menurut sistem ini garis keturunan ditarik menurut garis ibu, di mana kedudukan perempuan lebih menonjol daripada kedudukan laki-laki. Prinsip garis keturunan Matrilineal yaitu bahwa setiap orang laki-laki dan perempuan, menarik garis keturunannya ke atas hanya melalui penghubung yang perempuan saja sebagai saluran darah yaitu setiap orang itu menarik garis keturunannya kepada ibunya dan dari neneknya itu kepada ibunya serta dari nenek itu dan begitu seterusnya. Pertalian keturunan semacam ini terdapat pada masyarakat Minangkabau dan Kerinci. 3. Sistem Parental atau Bilateral Menurut sistem ini, garis keturunan ditarik menurut garis orang tua atau menurut garis ibu-bapak. Di mana kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, tidak dibedakan. Dengan demikian, maka setiap anggota keluarga menarik garis keturunannya dan menghubungkan dirinya melalui bapak ibunya. Hal itu dilakukan oleh bapak ibunya, di mana kedua garis keturunan itu dinilai dan diberi derajat yang sama. Pertalian hukum semacam ini, terdapat pada masyarakat Jawa, Sulawesi, Aceh, dan Riau. 28 Sistem 27 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, ( Penerbit Sumur Bandung, 1983 ), hlm.159. 28 Bushar Muhammad, Susunan Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1985 ), hlm.3. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
16 Universitas Indonesia kekerabatan pada umumnya dan prinsip garis keturunan khususnya, perlu dipelajari terlebih dahulu karena merupakan faktor-faktor yang menjadi dasar bagi masyarakat Indonesia karena mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang-bidang hukum adat tertentu, terutama yang mengatur kehidupan pribadi dari masyarakat misalnya dalam kaitannya dengan hukum perkawinan dan hukum waris. Di dalam perkembangannya di Indonesia sekarang nampak besarnya pengaruh bapak-ibu (parental atau bilateral) dan bertambah surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal menyangkut hak waris 29 . Hukum keluarga sebenarnya menyangkut the relationship between husband and wife and between parent and child, with the rights and duties which spring from these relationships, and with the status of married women and children (E.A. Farnsworth: 1968) 30 . Sementara Ter Haar menyatakan, bahwa ruang lingkup hukum keluarga adalah hubungan antara anak dengan orang tua, hubungan anak dengan kelompok kekerabatan, pengurusan anak yatim-piatu dan mengenai anak angkat 31 . Masyarakat Adat jawa adalah masyarakat keibu- bapaan yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak, sebuah istilah yang sering dipakai oleh Prof. Dr. Hazairin, untuk menunjukkan pada suatu sistem kemasyarakatan atau sistem menarik garis keturunan dimana seseorang menarik garis melalui ibu dan bapak, serta keluarga ibu dan keluarga bapak, sama nilai dan sama derajatnya. Masyarakat Jawa yang menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan keluarga/gezin, yaitu suatu unit terkecil yang dalam keseluruhannya merupakan sebuah desa. Sistem kekeluargaan Bilateral ini memiliki ciri-ciri, yaitu : 1) Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan. yang dimaksud menarik garis keturunan dari pihak laki-laki maupun perempuan adalah, seorang anak menarik garis keturunan dari pihak ayah juga menarik garis keturunan dari pihak ibu. Dengan demikian bahwa seorang anak secara 29 Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Anak, ( Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 1987 ), hlm. 23. 30 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, ( Bandung : Alumni, 1980), Hal.10. 31 Ibid. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
17 Universitas Indonesia serentak mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya dan juga dengan kerabat kedua orang tuanya tersebut. 2) Kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan sama. Anak laki-laki dengan anak perempuan adalah sama, maksudnya sama disini adalah tidak ada perbedaan kedudukan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dua- duanya dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan sederajat dari orang tuanya. 3) Tidak mengenal klan. Karena di dalam sistem kekeluargaan bilateral ini tidak mengutamakan pertalian darah ke salah satu pihak saja (pihak ayah saja atau pihak ibu saja) akan tetapi sistem kekeluargaan bilateral ini menarik garis keturunan dari kedua belah pihak. Contoh klan ada pada suku Batak, klan pada suku Batak sering disebut dengan marga, misalnya Lubis, Nasution, Siregar, Panggabean, Tobing, dan Hasibuan. Pada masyarakat Minangkabau istilah klan disebut juga suku yang merupakan gabungan dari kampung- kampung yang ada, misalnya Caniago dan Piliang. 4) Dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Khususnya oleh masyarakat Jawa dan Kalimantan. Pada masyarakat Jawa, sistem kekeluargaan bilateral ini bersifat batih, yaitu apabila anak-anak telah kawin, maka mereka akan mencar (hidup terpisah dari orang tua atau keluarga batih). Pada masyarakat Kalimantan (suku Dayak) anak-anak yang telah menikah tersebut kemudian berhimpun kedalam satu rumpun yang sama dengan keluarga asalnya. Mengenai cara menarik garis keturunan, dengan menyebut masyarakat Jawa sebagai contoh. Hazairin menjelaskannya, sebagai berikut Orang Jawa merupakan masyarakat yang sistem kekeluargaannya menurut cara bilateral, yaitu setiap orang menarik garis keturunannya ke atas baikpun melalui ayahnya ataupun melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya itu dan ibunya itu dan terus begitu selanjutnya. Ditinjau dari atas maka setiap orang Jawa mempunyai keturunan bukan saja melalui anaknya yang laki-laki dan anaknya yang perempuan, tetapi juga buat selanjutnya mempunyai keturunan yang lahir dari cucunya yang perempuan dan dari cucunya yang laki-laki, tidak perduli apakah Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
18 Universitas Indonesia cucunya itu lahir dari anaknya yang perempuan atau dari anaknya yang laki-laki. Demikian pula piutnya ialah semua orang yang dilahirkan oleh cucu laki-lakinya atau cucu perempuannya. Teranglah bahwa setiap saluran darah bagi orang Jawa itu berarti penghubung dalam keturunannya dan berarti pula menghasilkan anggota keluarga bagi dirinya 32 . Khususnya mengenai daerah Solo, maka Marbangun Hardjowirogo memberikan catatan-catatan, sebagai berikut Berdasarkan keturunan, masyarakat Solo terbagi atas ndoro, bangsawan dan wong cilik, orang biasa dan berdasarkan profesi terbagi atas priyayi dan saudagar. Status ndoro di Solo didapat karena adanya keturunan dalam garis lurus melalui seorang pria atau seorang wanita yang asal-usulnya berpangkal pada seorang Susuhunan atau seorang Mangku Negoro dan tergantung pada pangkal kendoroannya. Seseorang bisalah seorang ndoro Kasunan atau Kidulan dan juga seorang ndoro Mangkunegaran atau Loran. Perlu dicatat dalam hubungan ini, bahwa gelar ndoro bisa diwariskan bukan saja melalui seorang pria, melainkan juga melalui seorang wanita, fakta mana membuktikan bahwa kedudukan genealogis wanita bangsawan di dalam masyarakat Solo sedari dulu sama kuatnya dengan pria bangsawan. Semua orang yang berada di luar kelompok ndoro terbatas, kompak dengan eksklusif dengan mudah bisa diketahui siapa-siapa saja yang termasuk dan tidak termasuk di dalamnya 33 . 2.2 Bentuk Perkawinan dan akibat hukumnya Tujuan perkawinan pada asalnya adalah sebagai wadah atau cara untuk mempertahankan sistem kekeluargaan. Oleh karenanya bentuk-bentuk perkawinan sangat terkait dengan sistem kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Dengan demikian, ada hubungan langsung antara bentuk perkawinan dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat hukum adat tersebut. Secara sederhana dapatlah dikatakan, bahwa di Indonesia dapat dijumpai tiga bentuk perkawinan, yaitu : 34 32 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Op.cit, hlm. 62. dan 63. 33 Ibid, hlm. 63 dan 64. 34 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, Op.cit, hlm. 23. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
19 Universitas Indonesia 1. Bentuk perkawinan jujur (bride-gift marriage), 2. Bentuk kawin semendo (suitor service marriage), 3. Bentuk kawin bebas (exchange marriage). Macam-macam bentuk perkawinan dimaksud adalah : Perkawinan jujur/Kawin jujur (bride-gift marriage) merupakan bentuk perkawinan dimana pihak pria memberikan jujur kepada pihak wanita;yang dapat dijadikan jujur adalah benda-benda yang mempunyai kekuatan magis. Perkawinan jujur dijumpai pada masyarakat-masyarakat patrilineal,baik yang murni maupun yang beralih-alih. Ciri umum dari perkawinan tersebut adalah patrilokal. Perkawinan patrilokal adalah perkawinan dimana seorang isteri hidup di tengah keluarga besar suaminya dan dihormati sebagai ibu dari anak-anak yang dilahirkannya. Perkawinan jujur ini ada pada masyarakat patrilineal untuk mempertahankan garis keturunan laki-laki. Seorang wanita yang menikah maka harus melepaskan kedudukan adat dan kekerabatannya dengan keluarga biologisnya sendiri dan masuk dalam kekerabatan suaminya. Perkawinan ini dapat ditemui pada masyarakat Batak, Lampung, Bali, Maluku dan Irian. Kewajiban ditanggung suami dalam menegakkan rumah tangga, sedangkan istri hanya pendamping. Jadi hak dan kedudukan suami istri tidak seimbang. Istri tidak bebas melakukan perbuatan hukum tanpa ijin suami 35 . Perkawinan semendo (suitor service marriage) pada hakekatnya bersifat matrilokal dan exogami. Matrilokal berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk bertempat tinggal di kediaman suami, sebaliknya suami yang tinggal di kediaman isteri. Sedangkan exogami berarti bahwa setiap orang diharuskan menikah dengan orang luar sukunya. Bentuk perkawinan ini dijumpai di kalangan orang-orang Minangkabau. Masyarakat Minangkabau terikat oleh satu keturunan yang ditarik menurut garis ibu (matrilineal), kesatuan dasar keturunan itu disebut suku. Perempuan/ibu yang disebut bundokanduang digambarkan sebagai limpapeh (tiang) rumah nan gadang (rumah tangga). Peran utamanya ada dua; pertama, 35 http://www.scribd.com/doc/38109485/Tugas-Adat-Per-Bab. diakses pada tanggal 2 Januari 2012. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
20 Universitas Indonesia melanjutkan keberadaan suku dalam garis Matrilineal dan kedua, menjadi ibu rumah tangga dari keluarga, suami dan anak-anaknya. Dalam sistim keluarga matrilineal, selain memiliki keluarga inti (ayah, ibu dan anak) juga punya keluarga kaum (extended family). Dalam keluarga kaum terhimpun keluarga Samande (se-ibu). Anggota keluarga Samande berasal dari satu Rumah Gadang dan dari saudara seibu. Pimpinan dari keluarga Samande adalah Mamak Rumah (yaitu seorang saudara laki-laki tertua dari ibu). Sistem ini menempatkan laki-laki pada peran sebagai pelindung, dan pemelihara harta dari perempuan dan anak turunan saudara perempuannya. Keterkaitan dan keterlibatan seorang individu dalam sistim matrilineal terhadap keluarga inti dan keluarga kaum adalah sama. Dimana seorang perempuan, walau sudah menikah tidak lepas dari ikatan kaumnya. Perempuan Minang dikatakan memegang kekuasaan seluruh kekayaan, rumah, anak, suku dan kaum, ia memiliki kebesaran yang bertuah (kata-katanya didengar oleh anak cucu). 36 Bentuk perkawinan yang ketiga adalah bentuk kawin bebas (exchange marriage). Kawin bebas tidak menentukan secara tegas dimana suami atau isteri harus tinggal. Hal ini tergantung pada keinginan masing-masing pihak, yang pada akhirnya ditentukan oleh konsensus antara pihak-pihak tersebut. Pada umumnya bentuk kawin bebas bersifat endogami, artinya, suatu anjuran untuk kawin dengan warga kelompok kerabat sendiri. 37 Kawin Bebas, artinya orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang hal itu diijinkan dan sesuai dengan kesusilaan masyarakat setempat di sepanjang peraturan yang digariskan oleh agama. Yang dimaksud dengan sepanjang kesusilaantadi, ialah perkawinan tadi tidak mengadatkan, tidak menentukan keharusan dengan siapa boleh kawin dan dengan siapa tidak boleh kawin. 38 Berbeda dengan bentuk perkawinan jujur dan bentuk perkawinan semendo yang menentukan tempat tinggal suami isteri itu setelah menikah, maka pada bentuk perkawinan bebas tidak ditentukan dimana suami 36 http://almakkiyat.wordpress.com/2011/07/27/romantika-perempuan-di-ranah-minang, diakses pada tanggal 2 Januari 2012. 37 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat bekal pengantar, Ibid, hlm.25. 38 Bushar Muhammad, Op.cit., hal 28-29. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
21 Universitas Indonesia atau isteri harus tinggal. Suami atau isteri bebas menentukan dimana mereka harus tinggal. Dimungkinkan bahwa isteri bertempat tinggal di kediaman suami ataupun sebaliknya suami bertempat tinggal di kediaman isteri dan tidak menutup kemungkinan untuk hidup membangun keluarga/rumah tangganya sendiri secara mandiri (diluar kediaman isteri atau suami), yang disebut dengan mentas atau mencar. Bentuk perkawinan bebas ini dianut oleh masyarakat Jawa. 2.2.1 Perkawinan Adat Jawa Menurut Hukum Adat, perkawinan bukan semata-mata urusan dari pribadi-pribadi yang akan kawin saja melainkan juga merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat. Dapat merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok wangsa yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan- persekutuan hukum, (bagian clan, kaum, kerabat), perkawinan para warganya (pria, wanita, atau kedua-duanya) adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib-teratur; sarana yang dapat melahirkan generasi baru yang melanjutkan garis hidup kelompoknya. Namun di dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan (yang diharap dapat meneruskan) garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut; jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak- ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan 39 . Orang Jawa tidak mengenal tata- tertib adat pergaulan bujang gadis untuk berkasih cinta. Pertemuan bujang gadis dapat terjadi pada kesempatan-kesempatan terluang, ketika diadakan acara selamatan keluarga, acara ziarah ke kuburan, makam leluhur (sadranan), acara kesenian (wayang), acara kematian dan sebagainya. Dalam keadaan yang biasa jika seorang pemuda berniat untuk kawin, maka ia harus membicarakannya kepada orang tuanya begitu pula sebaliknya jika orang tua telah berminat mengawinkan anaknya maka akan dibicarakan dengan anaknya. Orang tua menurut adat lama akan merasa senang jika putranya atau putrinya dapat kawin dengan pria atau wanita yang masih ada hubungan sanak (misanan) atau masih 39 Iman Sudiyat, Op.cit, hlm 107. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
22 Universitas Indonesia satu kakek nenek yang menurunkan mereka (nakdulur) atau masih satu canggah (mindoan). Tetapi anak muda sekarang apalagi yang sudah banyak bergaul, tidak suka lagi kawin dengan anggota yang masih ada hubungan kerabat atau yang sekampung, mereka lebih suka kawin dengan pria atau wanita pilihan mereka sendiri, dan jika telah mendapatkan bakal pasangannya mereka meminta kepada orang tuanya agar mengajukan lamaran. Orang tua tidak begitu saja menerima pilihan anaknya, ia harus melihat bagaimana bibit, bebetdan bobot bakal pasangan anaknya itu. Apakah pria atau wanita itu keturunan baik-baik, apakah orang tuanya tidak berprilaku buruk, bagaimana pula prilaku dan agama bujang atau gadis dimaksud, apakah dapat diandalkan menjadi bapak atau ibu rumah tangga, dan bagaimana pula kedudukan sosial ekonomi orang tua atau bakal besannya, apakah mereka tidak berbeda agama, yang akan menyulitkan perkawinan dan kehidupan rumah tangga di kemudian hari. Untuk mengetahui hal-hal tersebut adakalanya orang tua meminta bantuan seseorang penghubung (dandan) yang akan berperan menghubungi pihak gadis dan meneliti keadaan kehidupan mereka, demikian sebaliknya dari pihak gadis 40 . Menurut adat Jawa, jika orang tua akan menjodohkan anaknya, maka acaranya sederhana saja, ialah dimulai dari penjajakan, kemudian nontoni, ngelamar, sasrahan, paningset dan pelaksanaan upacara perkawinan. Penjajakan dilakukan oleh pihak pria dengan menyuruh anggota kerabat atau tetangga dekat untuk berkunjung pada orang tua wanita. Dalam kunjungan itu suruhan itu akan bertanya-tanya tentang apakah si gadis sudah bersedia untuk momong anak. Jika dijawab belum karena masih sekolah atau sudah ada yang meminang, maka penjajakan tidak perlu dilanjutkan. Tetapi jika dijawab sudah pandai momong anak tetapi belum ada yang mau, maka artinya bersedia untuk dilamar, atau dijawab sebenarnya sudah bisa, tetapi ia harus nglangkahi gunung artinya masih ada kakaknya yang belum kawin. Apabila ada kemungkinan si gadis bisa dilamar, maka pihak pria akan melakukan kunjungan memperkenalkan diri dan memperkenalkan si pemuda yang melamar, agar dapat saling melihat-lihat (nontoni) satu sama lain. Kedatangan pihak pria terdiri dari orang tuanya, beberapa anggota keluarga, dan tetangga dekat pria dan wanita. Dalam acara 40 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 156-157. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
23 Universitas Indonesia nontoni ini pertemuan antara dua pihak dilayani oleh bapak si gadis atau wakilnya, yaitu paman si gadis atau kakak laki-lakinya dengan juru bicara iparnya atau yang lain. Tujuan nontoni adalah agar si bujang dan si gadis dapat mengenal rupa dan gayanya sepintas, lalu begitu pula agar orang tua dan keluarga kedua pihak dapat saling mengenal dan saling memberikan penilaian terhadap si pemuda dan si gadis. Jika dalam pertemuan nontoni telah terbayang jalan terbuka untuk melanjutkan lamaran, maka pada hari atau malam yang telah disepakati bersama, pihak pemuda akan datang lagi berkunjung ke tempat pihak wanita guna menyampaikan lamaran resmi, terang di hadapan kerabat tetangga sekampung bahkan juga sering disaksikan perangkat desa setempat. Pelamaran itu dapat langsung dikaitkan dengan penyampaian hadiah pertunangan (sasrahan). Acara sasrahan bagi orang yang mampu dapat berwujud pemberian ternak kerbau atau sapi dan perabot rumah tangga, bagi yang tidak mampu cukup sekedar memberi hadiah perhiasan atau beberapa potong bahan pakaian untuk si gadis sebagai tanda pengikat (paningset). Biasanya pemberian hadiah pertunangan dari pihak pria kepada pihak wanita dilakukan seminggu atau sepuluh hari sebelum upacara perkawinan dan jarang yang sampai melebihi waktu satu bulan. Masa sejak paningset diterima oleh pihak wanita merupakan masa pertunangan bagi kedua sejoli yang akan dikawinkan itu 41 . 2.2.2 Kedudukan Suami Isteri Di dalam kekeluargaan yang bersifat kebapa-ibuan (Jawa), pada hakekatnya tiada perbedaan antara suami dan isteri perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masing. Si suami sebagai akibat dari perkawinan menjadi anggota keluarga si isteri, dan si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami. 42 Namun, dalam kenyataan hidup sehari-hari pada masyarakat adat Jawa yang masih memegang teguh tradisi dan kebudayaannya, sebagian masyarakat masih menganggap bahwa kedudukan suami itu lebih tinggi dibandingkan dengan istri (tidak sederajat), hal ini dapat dilihat dari karakteristik pria Jawa yang kadang- 41 Ibid, hlm. 158-159. 42 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit,hlm. 19. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
24 Universitas Indonesia kadang bersifat egois, ketika menghadapi wanita, pria Jawa selalu ingin menang, ingin lebih, dan ingin lebih terhormat. Dalam tradisi kehidupan orang Jawa, pria memang dipandang lebih terhormat. Pria selalu berada di depan. Pembedaan pria dan wanita Jawa semakin jelas, ketika orang Jawa melakukan hukum waris. Dalam tradisi Jawa, dikenal budaya sepikul segendhongan, bagi pria dan wanita. Pria dalam hukum waris mendapat sepikul (2 bagian) dan wanita segendhongan (1 bagian). Hal ini menggambarkan sikap orang Jawa yang meninggikan pria dibandingkan wanita. Pria harus mendapatkan bagian lebih dalam segala hal. Budaya sepikul segendhongan ini adalah pengaruh dari Hukum Islam, dimana di dalam Hukum Islam ditentukan bagian warisan antara laki-laki dengan perempuan adalah 2:1 (dua banding satu) karena pada adat J awa banya k di pengar uhi ol eh aga ma Islam yang didasarkan pada Al Quran dan Hadits. Kaitan antara adat dan agama ini senada dengan teori receptio in complexu yang dicetuskan oleh Van Den Berg. Menurut Van Den Berg dengan teorinya yang terkenal dengan istilah receptio in complexu tersebut yang berarti bahwa hukum adat yang dianut didalam masyarakat adalah keseluruhan hukum agama yang dianutnya, h u k u m p r i b u m i h a r u s m e n g i k u t i a g a m a y a n g d i p e l u k o l e h masyarakat. Oleh karena itu jika memeluk suatu agama, maka harus mengikuti hukum-hukum agama itu dengan sebenarnya. 43 Dengan demikian, apabila masyarakat memeluk agama Islam, ma ka hukum- hukum l okal j uga har us mengi kut i aga ma I s l am yang dipeluk oleh masyarakat. Jadi maksud dari pernyataan Van Den Berg disini adalah bahwa hukum/kaidah agama sama dengan hukum adat. Seperti pada masyarakat muslim di jawa pasti menggunakan hukum/kaidah agamanya sebagai hukum adatnya. Sehingga dalam hal ini agama sebagai unsur kebudayaan mempengaruhi setiap bidang kehidupan manusia secara keseluruhan dan menjadi unsur kebudayaan 44 . Namun pada per kembangan s el anj ut nya, t eor i t er s ebut berhasil dipatahkan oleh teori receptie yang diusung oleh Snouck 43 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk mempelajari Hukum Adat, Cet. 3. (Jakarta: Rajawali Pers. 1996), hlm. 53. 44 http://theadvocateofchange.wordpress.com/2011/04/19/hukum-budaya-dan-agama. diakses pada tanggal 2 Januari 2012. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
25 Universitas Indonesia Hur gr onj e. Teor i r ecept i e i ni yang ol eh Hazai r i n di s ebut s ebagai t eor i iblis. 45 Sangat ber l awanan dengan t eor i s ebel umnya, di mana menurut teori ini, sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat as l i mes ki pun ada pengar uh dar i hukum I s l am. 46 Le bi h l anj ut t eor i i ni menyebut kan bahwa hukum I s l am bar u mempunyai kekuat an hukum j i ka s udah di t er i ma ol eh hukum adat dan produk hukum yang keluar berupa hukum adat. 47 Itulah sebabnya pria Jawa juga memiliki tugas dan tanggung jawab lebih besar dibanding wanita. Pria bertugas melaksanakan lima-A, yaitu : angayani (memberikan nafkah lahir bathin), angomahi (membuat rumah sebagai tempat berteduh), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga), angayemi (menjaga kondisi keluarga aman, tentram, bebas dari gangguan), angamatjani (mampu menurunkan benih unggul). Konsep pria yang terahir ini sering diwujudkan ketika akan memilih isteri dengan mempertimbangkan bibit (keturunan), bobot (kekayaan), dan bebet (kedudukan). Maksudnya, keturunan menjadi hal yang istimewa bagi seorang laki-laki, karena anak dipandang akan melanjutkan sejarah orang tua. Dalam mengenakan pakaian adat jawa pun, tampak sekali bahwa laki-laki memakai udheng ( iket ). Berarti bahwa laki-laki dipandang lebih mudheng ( paham ) tentang hidup 48 . Di dalam Undang-undang, perihal kedudukan suami isteri berkaitan dengan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, diatur dalam Undang-undang Perkawinan seperti dibawah ini : 49 45 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet. 2, (Jakarta: Tintamas, 1968), hlm. 28. 46 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 297. 47 Ibid, hlm. 298. 48 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Cet. 3, ( Yogyakarta: Cakrawala, 2010 ), hlm. 54. 49 Andjar Any, Perkawinan Adat Jawa Lengkap, ( Surakarta: PT. Pabelan, 1986 ),hlm. 23. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
26 Universitas Indonesia 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (UUP pasal 31 ayat 1). 2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (UUP pasal 31 ayat 2). 3. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga (UUP pasal 31 ayat 3). Bahwa suamilah sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab atas baik buruknya keluarga. Sedangkan isteri mengatur dan menata rumah tangga sebaik-baiknya. Hal ini menunjukkan adanya pembagian tugas pokok, yang harus sama-sama disadari oleh masing- masing pihak. 4. Suami-isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (UUP pasal 33). Unsur saling memberi bantuan lahir batin, juga merupakan suatu karakter tersendiri yang merupakan suatu kepribadian bangsa Indonesia yang bersumber kepada adat dan kebiasaan hidup bergotong royong. Bahwa baik dan buruk, kaya dan melarat; menjadi tanggung jawab bersama. Apabila ditelaah adat pada orang Jawa yang bilateral, maka preferensi umum adalah, bahwa pria dan wanita yang merupakan calon mempelai adalah sederajat kedudukan sosialnya, walaupun di sana sini ada pelbagai variasi mengenai preferensi pada perkawinan ini, tidak dijumpai kaedah-kaedahnya di dalam Undang-Undang Perkawina 2.2.3 Hubungan Orang tua dan anak/keturunan Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat mempengaruhi status hukum seseorang. Dalam arti bahwa, dengan perkawinan timbul kedudukan sebagai suami isteri dan bila dalam perkawinan lahir anak, maka akan timbul hubungan antara orang tua dan anak. 50 50 www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126017-PK%20III%20695. diakses pada tanggal 07 Oktober 2011. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
27 Universitas Indonesia Dasar bilateral/parental atau keibu-bapaan dalam keluarga menunjukkan betapa kekuasaan antara ibu dan ayah itu berimbang sama terhadap anak-anak dan anggota somahnya. Baik anak kandung, maupun anak angkat, demikian juga dengan anak tiri dan anak piara serta anak di luar kawin, semuanya mempunyai hak untuk dipelihara oleh orang tuanya. Anak angkat, anak piara dan anak tiri memperoleh hak untuk dipelihara dengan baik oleh orang tua angkat, orang tua tiri, dan orang tua piara. Bagi mereka terdapat larangan untuk melakukan perkawinan (antara anak dengan bapak atau antara ibu dengan anak), kecuali di Bali, terdapat kasus dimana anak tiri dapat dikawini oleh bapak tirinya (Harian Kompas, tanggal 10 April 1981). Oleh karenanya anak angkat dan anak piara itu mendapat hak untuk dipelihara oleh orang tua angkat dan orang tua piara, maka hal ini sekaligus mengenyampingkan hak dan kewajiban dari orang tua kandung mereka; namun demikian di dalam hal tertentu kewajiban itu tetap ada, misalnya wewenang untuk mengawinkan, dan bagi anak piara hubungan dengan orang tua kandungnya dalam hukum waris. Sedangkan bagi anak luar kawin, maka ia memperoleh hak untuk dipelihara oleh ibunya (apabila ibunya itu tidak berkawin), akan tetapi apabila ibunya itu melakukan perkawinan (kawin darurat atau kawin paksa), maka ia berhak untuk dipelihara oleh kedua orang tuanya itu 51 . Seorang ayah/bapak pada masyarakat adat jawa mempunyai peranan yang sangatlah penting karena di Jawa tradisi patrimonial masih sangat terasa, sehingga bapak menjadi penguasa rumah tangga. Kadang-kadang decision maker keluarga hampir seluruhnya berada pada tangan seorang bapak. Kepercayaan anak kepada bapak pun amat berbeda dibanding kepada ibu. Anak lebih takut dan menurut kepada bapaknya. Apa yang dikatakan bapak, biasanya diikuti oleh anak dan isteri. Tentu, sikap pria demikian menjadi otokratis, karena berbau kratonik. Budaya kratonik memang menghendaki demikian, yaitu anak-anak harus sungkem kepada pinisepuh, terutama kepada bapak 52 . Akibat hukum yang terjadi terhadap hubungan orang tua disini berkaitan dengan bentuk tanggung Jawab orang tua. Ketika seorang anak lahir ke dunia, maka sudah sepantasnya orang tua yang memiliki hubungan darah memelihara 51 Ibid, hlm. 278 dan 279. 52 Suwardi Endraswara, Op.cit, hlm. 53. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
28 Universitas Indonesia anak tersebut. Bila dikaitkan dengan aspek hukum, maka si anak itu memiliki hubungan hukum baik pada bapak maupun ibunya. Seorang anak mempunyai hak dan kewajiban yang berbanding lurus dengan hak dan kewajiban kedua orang tuanya. Undang-undang Perkawinan mengatur tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang terdapat di dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 sebagai berikut : Pasal 45 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya. (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Pasal 46 (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu memerlukan bantuannya. Pasal 47 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
29 Universitas Indonesia Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang- barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia berkelakuan buruk sekali. (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut. Akibat-akibat hukum dari hubungan antara orang tua dengan anak menurut hukum adat, adalah (B ter Haar Bzn : 1950) adanya larangan perkawinan antara anak dengan orang tuanya, artinya disini ialah seorang ayah atau ibu dilarang untuk kawin dengan anak kandungnya sendiri. Seorang ayah tidak diperbolehkan kawin dengan anak perempuannya begitu pula seorang ibu tidak diperbolehkan untuk kawin dengan anak laki-lakinya, kemudian adanya kewajiban orang tua untuk mengurus anak-anaknya, orang tua wajib menyayangi anak-anaknya, merawat dengan baik dan mendidik dengan baik anak-anaknya, menyekolahkan dan mengajarkan nilai-nilai positif kepada anak-anaknya, serta pada perkawinan anak perempuan, ayah menjadi wali. Jika memiliki anak perempuan yang akan menikah, seorang ayah wajib untuk menjadi wali nikah anak perempuannya. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
30 Universitas Indonesia 2.2.4 Tentang Harta Benda Perkawinan Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta-benda merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam hidup perkawinan, sehingga memungkinkan akan dapat menghilangkan atau mempengaruhi kerukunan hidup rumah tangga. Masyarakat adat Jawa, Jawa tengah khususnya, mengadakan pemisahan harta perkawinan dalam dua golongan, yakni : 53 (1) barang asal atau barang yang dibawa ke dalam perkawinan. Barang asal ini adalah barang atau harta pribadi suami atau isteri yang didapat sebelum menikah. (2) barang milik bersama atau barang perkawinan. Barang milik bersama atau barang perkawinan adalah barang atau harta yang di dapat setelah mereka menikah atau yang di dapat secara bersama-sama di dalam perkawinan antara suami dengan isteri. Tentang harta bersama, baik suami atau isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu. Selanjutnya ditentukan, apabila perkawinan putus, maka tentang harta bersama, dinyatakan diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud dengan hukumnya itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Dalam suatu perkawinan menurut Hukum Adat ada kemungkinan sebagian dari kekayaan suami dan isteri mesing-masing terpisah satu dari yang lain, dan sebagian merupakan campur kaya. 54 Campur kaya adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, baik atas usaha istri maupun suami, masing-masing ataupun bersama-sama. 55 53 http://yayiz.wordpress.com/2010/01/04/harta-perkawinan-adat/ , diakses pada tanggal 16 Januari 2012. 54 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit,hlm. 109. 55 www.deskripsi.com/c/campur-kaya , diakses pada tanggal 12 Juni 2012. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
31 Universitas Indonesia Bagian ke satu dari kekayaan tersebut, jadi kepunyaan masing-masing dari suami dan isteri, dapat dibagi lagi dalam dua bagian yaitu : Ke 1 : barang-barang yang masing-masing didapat secara warisan dari orang tua atau nenek moyang, Ke 2 : barang-barang yang masing-masing didapat secara hibah atau melalui usaha sendiri. Barang-barang yang terdapat secara warisan ini namanya bermacam-macam di pelbagai daerah, seperti misalnya pimbit di tanah Ngaju Dayak, Sisila di Makasar, Babakan di Bali, Asal asli atau Pusaka di Jawa dan Sumatera, Gono, Gawan di Jawa. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa barang-barang yang masing-masing suami dan isteri mendapat secara warisan ini, tetap menjadi milik masing-masing, juga kalau mereka bercerai. Selanjutnya, apabila mereka meninggal dunia, barang-barang itu diwaris oleh anak. Apabila tidak ada anak, maka barang barang itu kembali kepada keluarga dari suami atau isteri yang meninggal dunia itu. Jadi tidak beralih kepada pihak lain atau keluarga dari pihak lain itu. Jadi pada pokoknya, barang-barang kepunyaan masing-masing dari suami dan isteri, yang diterima sebagai warisan, tetap terpisah satu dari yang lain, sampai pada saatnya barang-barang itu secara warisan beralih pada anak-anak mereka, kalau ada. Anak-anak inilah yang melanjutkan hak atas kekayaan dari suatu keluarga. 56 Di samping barang-barang kepunyaan masing-masing suami dan isteri yang terpisah satu dari yang lain ini. Hukum adat mengenal barang-barang, yang menjadi milik bersama dari dua-duanya suami dan isteri. Barang-barang semacam ini dinamakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur Barang Gono-Gini, di Jawa Barat Guna-Kaya atau Campur Kaya. Milik Bersama dari suami dan isteri ini adalah suatu gejala dalam hukum adat, yang memperlihatkan tumbuh dan makin kuatnya suatu kelompok dalam masyarakat, yang dapat dinamakan Serumah atau Somah, yaitu suatu kekeluargaan kecil, yang terdiri dari suami-isteri dan anak- anaknya. 57 56 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ibid .hlm.109. 57 Ibid, hlm. 111. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
32 Universitas Indonesia .Berhubung oleh karena itu, Undang-undang Perkawinan memberikan ketentuan- ketentuan sebagaimana dicantumkan dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 sebagai berikut : Pasal 35 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. 2.3 Hukum Kewarisan Adat Jawa Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta-kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai berikut : 58 1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah; 2. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris; 58 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. 2, (Yogyakarta : Liberty, 1981), hlm. 151. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
33 Universitas Indonesia 3. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal; 4. Struktur pengelompokan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan; 5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris; hukum waris dalam arti yang luas, yaitu : penyelenggaraan pemindah-tanganan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya. Soepomo, dalam buku beliau yang berjudul bab-bab tentang hukum adat, menulis, mewarisi, menurut anggapan tradisional orang Jawa bermaksud mengoperkan harta keluarga kepada turunan, yaitu terutama kepada anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan 59 . Dari pengertian diatas, nampaklah dari proses meneruskan dan mengoperkan barang-barang harta keluarga kepada anak-anak, kepada keturunan keluarga itu, telah mulai selagi orang tua masih hidup. Demikian pula dapat dilihat tidak ada perbedaan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal menerima barang-barang harta warisan dari orang tuanya. Mengenai jumlah bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan anak perempuan masih menunjukkan untuk beberapa daerah memakai sistem sepikul- segendongan(1: ), ada beberapa daerah yang juga memakai sistem sigar- semongko (1:1). 60 Sigar dalam bahasa Jawa artinya adalah membelahsedangkan semongko artinya adalah buah semangka, jadi sigar semongko maksudnya adalah membelah buah semangka, karena membelah buah semangka pasti menghasilkan bagian yang sama. Menurut hukum adat Jawa dalam hal pewarisan berlaku asas kesamaan hak dan asas kerukunan, artinya dalam pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai nilai yang sama atas harta warisan dari orang tuanya. Begitu pula dalam penyelesaiannya dilakukan dengan damai diantara para waris 59 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cet 14, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), Hlm. 73. 60 IGN. Sugangga, Hukum Waris Adat Jawa Tengah, (Semarang : Biro Konsultasi Hukum dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1998), hlm. 1. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
34 Universitas Indonesia dan mereka tidak suka membawa masalah warisan ke pengadilan. Pembagian warisan itu dilakukan di bawah pimpinan anak tertua atau anak yang lain yang dipandang mempunyai pengetahuan luas dan dapat bertindak adil. Adakalanya dalam pembagian warisan itu dimintakan kesaksian dari tetangga (magersari, gedongpalang, tangga saeyubing blarak) atau anggota perangkat desa yang tidak saja dapat berkedudukan sebagai saksi tetapi juga sebagai juru damai dalam penyelesaian pembagian warisan itu. Jalannya pewarisan berlaku sejak pewaris masih hidup, dengan melakukan lintiran, artinya pewaris telah memindahkan sesuatu bagian harta peninggalannya kepada waris tertentu sebagai dasar kebendaan bagi waris yang mulai berumah tangga dalam rangka memisah hidup dari orang tua (mencar mentas), misalnya orang tua memberi tanah atau rumah kepada anak laki-laki dan perhiasan kepada anak perempuan, sebagaimana kata orang Jawa wong lanang ngomahi, wong wadon ngiseni, orang laki-laki membuat rumah dan orang perempuan mengisinya. Adakalanya juga kepada anak perempuan diberikan tanah, karena kata orang Jawa, bocah wadon mono ringkih, anak perempuan itu lemah, karena ia mudah dicerai oleh suaminya. 61 Cara melintir harta peninggalan (ngelintirake) dapat dilakukan dengan cungan, garisan atau perangan, yang mana pemilikan atas harta itu baru beralih kepada waris setelah pewaris meninggal dunia. Cungan artinya menunjukkan sesuatu benda tertentu, garisan artinya menunjukkan batas-batas tanahnya, sedangkan perangan artinya menunjukkan bagian kebendaan tertentu yang dilintir. Disamping itu dikenal pula yang disebut welingan, wekas atau wasiyat, yaitu merupakan pesan orang tua kepada anak-anaknya bagaimana harta peninggalannya kelak apabila ia wafat harus dibagi atau digunakan oleh waris. Pembagian harta peninggalan dalam kedudukannya sebagai harta warisan dilakukan dengan berpedoman pada hukum waris Islam yaitu dua berbanding satu yang disebut nggendong mikul yaitu dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak prempuan, atau dilakukan pembagian berimbang sama. Jika tidak ada anak laki-laki yang akan memimpin pembagian warisan, maka ibu 61 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hlm. 166. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
35 Universitas Indonesia selaku janda dapat pula melakukan pembagian warisan itu kepada anak-anaknya, asal saja setiap anak memperoleh bagian yang pantas. 62 Jadi, pada dasarnya semua anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan menurut hukum adat Jawa mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orang tuanya. Hak sama (gelijk gerechtigd) yang mengandung hak untuk diperlakukan sama (gelijk befegend) oleh orang tuanya di dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarganya. 63 2.3.1. Subyek Hukum Waris Subyek hukum waris adalah siapa-siapa saja yang berhak menerima warisan dari si pewaris, adalah : a. Anak Laki-Laki Tiap tiap anak mendapat bagian yang layak berdasar atas prinsip hak sama dari tiap-tiap ahli waris. Demikian jugalah terhadap anak laki-laki, hanya kedudukan anak laki-laki yang tertua dan telah dewasa setelah orang tuanya (ayah)meninggal dunia, maka anak tersebut mengambil alih kedudukan hukum almarhum bapaknya, mengurus rumah tangganya apabila adik-adiknya laki-laki maupun perempuan belum dewasa, mengurus ibu (janda), serta menjaga serta mengatur peruntukan serta kegunaan harta peninggalan orang tuanya khususnya untuk pembiayaan kelangsungan hidup keluarga tersebut. Sesudah adik-adiknya remaja dan hendak menikah, anak laki-laki tertua inilah yang bertugas mengawinkannya. Sesudah saatnya berbagi waris, maka dia juga yang mengatur pembagian warisan sedemikian rupa, agar layak dan sedapat mungkin senantiasa berpegang kepada kepatutan dan kepantasan untuk bagian masing-masing. 64 b. Anak Perempuan Menurut adat tradisional Jawa, semua anak baik laki-laki maupun perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan, mempunyai hak sama atas 62 Ibid, hlm. 167. 63 Ibid, hlm. 2. 64 IGN. Sugangga, Op.cit, hlm. 3. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
36 Universitas Indonesia harta peninggalan orang tuanya. Menurut hukum waris adat Jawa Tengah, tidak ada perbedaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan sebagai ahli waris. Hanya mengenai jumlah bagian yang diterima antara anak laki- laki dengan anak perempuan untuk beberapa daerah ada yang menggunakan sistem sepikul-segendongan (2:1) di mana anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat lebih banyak dari pada bagian anak perempuan dan ada yang memakai sistem sigar semongko (1:1) dimana bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan. 65 c. Anak Luar Kawin Menurut hukum waris adat Jawa Tengah, seorang anak yang lahir diluar perkawinan, hanya menjadi waris terhadap harta peninggalan ibunya maupun waris terhadap harta peninggalan keluarga ibunya. Dapat dikatakan untuk anak yang dilahirkan diluar perkawinan terhadap anak ini hukum adat waris diseluruh Indonesia ada persamaan, yaitu hanya ahli waris dari ibunya dan keluarga ibunya. 66 d. Anak angkat Di Jawa Tengah pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya sebagai anak angkat sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid) akan tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak angkatnya. Menurut hukum waris adat Jawa, khusunya Jawa Tengah, anak angkat hanya mewaris barang Gono-gini dan harta pencaharian orang tua angkatnya dan anak angkat tidak mewaris harta asal orang tua angkatnya. Ketentuan ini telah berlaku sejak dahulu, baik pada zaman penjajahan maupun sesudah kemerdekaan. 65 Ibid, hlm. 4. 66 Ibid, hlm. 5. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
37 Universitas Indonesia e. Anak Tiri Anak tiri adalah anak yang dibawa oleh ibu atau bapak kandungnya kedalam perkawinan. Oleh karena itu anak tiri termasuk anggota rumah tangga dalam keluarga tersebut. Hampir sama diseluruh Indonesia mengenai kedudukan hukum dari anak tiri ini, yaitu ia hanya ahli waris terhadap ayah kandungnya atau ibu kandungnya. Terhadap ayah tirinya ia bukan ahli waris demikian juga terhadap ibu tirinya ia bukan ahli waris. f. Hak Waris Mereka Selain Daripada Anak Dalam hal ini apabila pewaris meninggal tanpa anak juga tidak ada anak angkat maupun Janda, maka warisan pulang kembali setingkat dalam silsilah almarhum. Dalam hal orang meninggal tanpa keturunan, maka warisan jatuh keatas untuk orang tua yang meninggal itu, kalau tidak ada untuk saudara-saudara laki-laki maupun perempuan yang ada. g. Penggantian Waris (Plaatsvervulling) Lembaga penggantian waris ini mengandung makna, bahwa harta benda keluarga itu dari sejak pertama dan semula disediakan sebagai dasar materiil kehidupan keluarga dan turunannya. Ini berarti, bahwa bila seorang anak meninggal terlebih dahulu dari orang tuanya (pewaris) maka anak keturunan dari anak yang meninggal lebih dahulu itu, menggantikan hak mewaris dari almarhum bapaknya. Dapat dikatakan bahwa lembaga penggantian waris ini terdapat dalam hukum adat di seluruh Indonesia, baik pada masyarakat hukum yang bersistem Patrilineal, Parental maupun Matrilineal. 67 h. Kedudukan Janda Pada asasnya menurut hukum adat Jawa, janda bukan ahli waris dari suami yang meninggal. Akan tetapi, mereka berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan suami bersama-sama dengan ahli waris lain atau menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya. Dalam hukum adat, janda bukan ahli waris suaminya karena janda tidak memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris sebagai berikut: 67 Ibid. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
38 Universitas Indonesia a) Ahli waris harus memiliki hubungan darah dengan pewaris,dalam hal ini janda tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dan b) Ahli waris dengan pewaris harus seklen, kedudukan janda disini adalah orang luar dan tidak seklen dengan pewaris. Namun, hukum yang menyatakan janda bukan ahli waris suaminya, hanya ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan setelah kemerdekaan, janda merupakan ahli waris dari suaminya. Sebelum kemerdekaan Janda bukanlah ahli waris karena janda dianggap orang luar yang tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga suami. Seperti apa yang telah diputus oleh kamar ke III Raad van Yustisi Jakarta dahulu, memutuskan : bahwa Janda tidak dapat dianggap sebagai ahli waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak menerima penghasilan dari harta peninggalan si suami, jika ternyata bahwa harta gono-gini tidak mencukupi. Janda berhak untuk terus hidup sedapat- dapatnya seperti keadaannya pada waktu perkawinan. Dari putusan diatas, jelas janda bukan ahli waris, hanya saja dia hanya punya hak menikmati harta peninggalan almarhum suaminya untuk menjaga jangan sampai terlantar hidupnya. Dengan demikian hak janda dapat mempertahankan harta peninggalan almarhum suaminya untuk hidupnya selama ia menjanda atau sampai ia kawin lagi atau meninggal dunia. Sesudah kemerdekaan, ada perubahan besar terhadap kedudukan janda ini. Terutama arahan-arahan maupun keputusan-keputusan Mahkamah Agung. Misalnya : Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 25 Februari 1959, Reg. No. 387k/SIP/1948, mengatakan : Menurut Hukum Adat yang berlaku di Jawa Tengah seorang Janda mendapat separuh dari harta gono-gini. Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 20 April 1960, Reg. No. 110k/SIP/1960 sebagai berikut : Menurut Hukum Adat, seorang janda adalah juga menjadi ahli waris almarhum suaminya. 68 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pengadilan-pengadilan di lingkungan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menunjukkan hal-hal sebagai berikut : dalam hal seorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang 68 Ibid, hlm. 9. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
39 Universitas Indonesia janda dan anak-anak, caranya orang disini membagi warisan sebagai berikut : Penelitian Pengadilan Negeri Purworejo di kecamatan Loano pada tahun 1981 menunjukkan hal-hal sebagai berikut : untuk harta bersama (gono- gini) janda mendapat 1/3 dan yang 2/3 untuk anak-anak. Untuk harta gawan, janda mendapat 1/8 dan sisanya untuk anak-anak. Kalau anak-anak itu belum dewasa, semua harta peninggalan dikuasai janda itu sebagai walinya. Dengan demikian jelaslah baik berdasar keputusan-keputusan Mahkamah Agung maupun hasil Penelitian menunjukan janda adalah ahli waris dan mempunyai hak untuk menerima warisan. 69 2.3.2. Obyek Hukum Waris Obyek hukum waris ialah harta peninggalan si pewaris yang menjadi sasaran pelaksanaan hukum waris beserta segala permasalahan berkaitan dengan harta peninggalan tersebut. Harta peninggalan terdiri dari semua piutang dan tagihan serta hak-hak yang dipunyai si pewaris pada saat ia meninggal dunia. Pada hakekatnya yang beralih dari tangan si pewaris kepada ahli waris adalah barang- barang peninggalan dalam keadaan bersih dalam arti hutang-hutang telah di bayar dan hibah wasiat telah disampaikan kepada yang berhak. Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan obyek hukum waris ialah : tujuan utama pewarisan lainnya adalah untuk membuat para penerima warisan (ahli waris) hidup dengan sejahtera, fungsi harta warisan ialah sebagai bekal/modal dasar bagi pembinaan kehidupan para ahli waris. 70 2.3.3. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Sistem pewarisan dalam hukum adat selalu berhubungan dengan sistem kekerabatan. Di Indonesia kita jumpai tiga sistem pewarisan dalam hukum adat, yaitu : 1. Sistem Pewarisan Individual 69 Ibid, hlm. 10. 70 Ibid, hlm. 11. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
40 Universitas Indonesia Sistem pewarisan individual yakni merupakan system pewarisan di mana para ahli waris mewarisi secara perseorangan (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain - lain). 71 Ciri-ciri dari sistem ini, adalah harta peninggalan dapat dibagi-bagi di antara ahli waris secara individu. Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan ini dapat dikatakan bahwa setiap waris mendapat hak untuk menguasai dan memiliki harta peninggalan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta peninggalan itu dibagi, maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta peninggalannya untuk diusahakan, dinikmati atau dialihkan (dijual) kepada sesame waris anggota kerabat atau orang lainnya. Faktor lain yang menyebabkan perlu diadakan pembagian warisan secara individual, adalah tidak ada lagi yang berhasrat memimpin penguasaan dan pemilikan harta warisan secara bersama, karena para waris tidak terikat lagi pada suatu kerabat atau orang tua, dan lapangan kehidupan masing-masing anggota waris telah tersebar diberbagai tempat kediaman baru. 72 Sistem ini terdapat pada masyarakat bilateral Jawa dan juga patrilineal Batak. 2. Sistem Pewarisan Kolektif Sistem kewarisan kolektif yaitu merupakan sistem kewarisan di mana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagai-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris (Minangkabau). 73 Ciri-ciri dari sistem ini adalah harta peninggalan diwarisi oleh sekumpulan ahli waris bersama-sama yang merupakan semacam badan hukum, di mana harta tersebut disebut dengan harta pusaka. Harta semacam ini tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya kepada ahli waris, tetapi kepada ahli waris hanya dibagikan dalam hal pemakaiannya saja. Dengan demikian, kepada seorang ahli waris hanya diberi hak pakai bukan hak milik karena hak milik atas harta peninggalan tersebut dimiliki oleh semua ahli warisnya. Oleh karena itu, diteruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai suatu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan kepemilikannya melainkan 71 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999 ), hal. 285. 72 Ibid, hal. 24. 73 Ibid,hal.145. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
41 Universitas Indonesia setiap waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mandapat hasil dari harta peninggalan tersebut. Cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan masingmasing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kepala kerabat. Ada kemungkinan sistem kolektif ini berubah kearah system individual, apabila harta pusaka yang pada mulanya tidak terbagi-bagi itu kemudian dapat dibagi secara individu akibat ulah dari para anggota kerabat itu sendiri. 3. Sistem Pewarisan Mayorat Sistem Pewarisan Mayorat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni : 74 1) Mayorat laki-laki yaitu, apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal. 2) Mayorat perempuan yaitu, apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal, adalah ahli tunggal, misalnya pada saat masyarakat di Tanah Semendo. Ciri-ciri sistem ini, adalah harta peninggalan diwariskan seluruhnya atau sebagian kepada seorang ahli waris saja. Umumnya harta peninggalan ini diwariskan kepada anak tertua. 2.3.4. Harta Warisan Harta warisan terdiri dari : 75 a. Barang asal/barang gawan, yang terdiri lagi atas : 1) Barang Pusaka, yaitu barang-barang yang diwaris secara turun temurun dari leluhurnya. Contohnya : keris, tombak, kitab-kitab dan lain-lain. 2) Barang bawaan/ gawan, yaitu barang yang dibawa oleh masing-masing pihak yaitu suami dan isteri sebelum perkawinan berlangsung. 3) Barang hadiah yang diperoleh secara pribadi selama perkawinan berlangsung, misalnya : tanah atau sawah yang diperoleh oleh masing- 74 Ibid, Hal. 286. 75 Ibid. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
42 Universitas Indonesia masing pihak suami atau isteri sebagai warisan. Hadiah berupa kalung, cincin atau barang-barang lainnya yang didapat dari hadiah perkawinan atau bekal perkawinan. b. Barang gono-gini Barang-barang atau harta kekayaan ini dihasilkan oleh suami isteri secara kerjasama gotong royong, yang dimaksud dengan gotong royong disini ialah secara bersama-sama saling bantu antara suami dengan isteri dalam suatu usaha untuk mendapatkan penghasilan. Sering juga dinamakan harta atau barang-barang pencaharian bersama. Harta ini di Jawa Tengah merupakan hak bersama dari suami-isteri tersebut. Di dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dikenal azas asal kembali ke asal. Di dalam praktek, oleh karena janda/duda adalah ahli waris, maka di dalam pembagian harta warisan persoalan barang asal jarang muncul, baru muncul bilamana ternyata kelak setelah meninggalnya suami atau isteri, duda atau jandanya kawin lagi sedang ia tidak mempunyai keturunan dengan mendiang suami atau isterinya. Demikian juga halnya dengan harta/barang gono-gini. Di dalam praktek, masalah barang gono- gini timbul bilamana terjadi perceraian. Di dalam hal terjadi perceraian, maka pembagian harta dipisahkan antara gono-gini dan barang asal/gawan, sehingga yang dibagi adalah barang gono-gini, sedang barang asal kembali ke asal. 76 76 Ibid, hal. 12. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
43 Universitas Indonesia BAB 3 TINJAUAN TENTANG ADOPSI SECARA UMUM 3.1. Pengertian Adopsi Adopsi adalah suatu perbuatan hukum pengangkatan anak dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai anak kandung bagi yang mengangkatnya. Secara umum berarti mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. 77 3.2. Adopsi sebagai suatu Lembaga Hukum Eksistensi lembaga adopsi merupakan suatu keperluan masyarakat yang mengandung unsur-unsur positif. Sebagai salah satu kebutuhan masyarakat yang positif dapat dilihat dari motif-motif yang mendasari adanya lembaga adopsi atau pengangkatan anak di Indonesia. Inti dari motif pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia dapat diringkaskan sebagai berikut : 78 1. Karena tidak mempunyai anak, keinginan untuk mendapat keturunan bagi sepasang suami isteri yang belum atau tidak mendapat karunia anak, meskipun mereka telah berusaha. Misalnya A menikah dengan B dan telah bertahun- tahun tidak dikaruniai anak, maka karena sangat menginginkan seorang anak sebagai pelengkap sebuah keluarga, A dan B melakukan pengangkatan anak. 2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya, umumnya dalam hal ini latar belakang keluarga si anak adalah dari golongan kurang mampu sehingga orang tua kandung si anak tidak mampu untuk membesarkan si anak dengan baik, sehingga menimbulkan rasa belas kasihan dan ingin membantu dengan 77 Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 52. 78 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.5, ( Jakarta: Sinar Grafika,2006), hal. 14-15. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
44 Universitas Indonesia mendidik dan merawat serta memberikan nafkah kepada si anak dengan jalan adopsi. 3. Karena anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu), bila dilihat dari sisi agama, merawat anak yatim piatu adalah perbuatan yang mulia sehingga dengan jalan adopsi dapat meringankan beban penderitaan si anak tersebut. 4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak perempuan atau sebaliknya. 5. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung, khususnya di Jawa, selain didorong oleh kepercayaan dan keyakinan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, Yaitu: pancingan dimaksudkan untuk lebih cepat mendapatkan anak yang diharapkan, sepasang suami isteri yang setiap melahirkan selalu meninggal dunia sebelum dewasa. Dengan mengambil/ mengangkat anak, mereka percaya bahwa anak mereka nantinya akan panjang umur, kemudian juga kepercayaan adanya mimpi oleh sebagian masyarakat bahwa jika anak suatu keluarga tidak diserahkan kepada orang lain, maka kesehatan anak tersebut akan terganggu. 6. Untuk menambah tenaga di dalam keluarga, hal ini dimaksudkan bahwa dengan mengangkat anak, si anak angkat diharapkan dapat membantu pekerjaan orang tua angkatnya di dalam keluarga, misalnya jika yang diangkat anak adalah seorang anak perempuan maka dapat membantu untuk memasak, mencuci pakaian, merawat orang tua angkatnya dan lain sebagainya sedangkan bila yang diangkat anak itu adalah seorang anak laki-laki maka akan dapat membantu membetulkan atap rumah, mengangkat perabot rumah yang tidak mungkin dilakukan oleh orang tua angkatnya dan lain sebagainya. 7. Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak, karena anak adalah sebagai penerus generasi bangsa yang harus mendapatkan pendidikan guna masa depan si anak itu sendiri. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
45 Universitas Indonesia 8. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung; 9. Adanya hubungan keluarga, lagi pula tidak mempunyai anak, maka diminta oleh orang tua kandung si anak kepada suatu keluarga tersebut, supaya anaknya dijadikan anak angkat; 10. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan, dengan mengangkat anak maka antara orang tua kandung dengan orang tua angkat si anak akan timbul suatu rasa kekeluargaan karena telah terjadi saling bantu membantu, pada masyarakat jawa pengangkatan anak yang dilakukan umumnya adalah anak dari saudaranya sendiri/masih terdapat hubungan kekerabatan sehingga dengan perbuatan mengangkat anak ini dapat menjaga tali silaturahmi diantara mereka. 11. Anak dahulu sering penyakitan atau selalu meninggal, maka anak yang baru lahir diserahkan kepada keluarga atau orang lain untuk diadopsi, dengan harapan anak yang bersangkutan selalu sehat dan panjang umur. Demikian antara lain beberapa motivasi pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan di Indonesia, sehingga jelas adanya lembaga adopsi ini adalah suatu kebutuhan masyarakat di Indonesia. Berangkat dari beberapa permasalahan diatas, maka jelaslah bahwa lembaga adopsi ini merupakan suatu kebutuhan masyarakat dan sekaligus memerlukan suatu ketertiban dan ketuntasan dalam mekanisme pelaksanaannya. Dalam hal adopsi ini, dimana kepentingan orang tua yang mengangkat anak dengan sejumlah motif tersebut diatas dapat terpenuhi dengan baik di satu pihak, sedang di pihak lain kepentingan anak yang diangkat atas masa depannya yang lebih baik harus lebih terjamin kepastiannya. 3.3. Adopsi/Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat Secara umum sistem hukum adat Indonesia berlainan dengan Hukum Barat yang individualistis liberalistis. Menurut R. Soepomo, hukum adat kita mempunyai corak sebagai berikut : Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
46 Universitas Indonesia 1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasanya kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat. Dalam hal pengangkatan anak ini sifat kebersamaan yang terkandung di dalamnya dapat terlihat dari ketentuan adat yang berbeda- beda di setiap daerah, seorang anggota masyarakat adat yang ingin mengangkat anak harus diketahui oleh masyarakat setempat dan ketua adat berdasarkan aturan adat yang berlaku di daerah tersebut. 2. Mempunyai corak religious-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. Masih percayanya masyarakat dengan hal-hal magis, pengangkatan anak yang tidak dilakukan secara tunai (dengan suatu pemberian baik harta maupun benda) dipercaya akan membawa bencana walaupun sebenarnya hal tersebut hanya sebagai suatu simbolik untuk menyatakan sahnya perpindahan anak angkat dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkat. 3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit. Dalam hal pengangkatan anak, cara dan ketentuan adat yang berlaku dilaksanakan secara turun temurun yang menjadi suatu ketentuan baku dengan memperhatikan norma-norma yang hidup dalam masyarakat tersebut. 4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang kelihatan). Sebagai contoh adalah hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkat yang saling mengasihi seperti layaknya anak kandung dan orang tua kandungnya, menurut pandangan masyarakat yang melihatnya anak angkat tersebut diperlakukan seperti layaknya anak kandungnya, maka masyarakat mengetahui bahwa adanya perhubungan hukum yang terjadi diantara keduanya (masyarakat mengetahui perihal pengangkatan anak tersebut). Hal itu mempunyai sifat visual karena mempunyai tanda-tanda yang terlihat. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
47 Universitas Indonesia Dengan demikian, khusus masalah anak angkat atau adopsi bagi masyarakat Indonesia juga pastilah mempunyai sifat-sifat kebersamaan antar berbagai daerah hukum, kendatipun tentunya karakteristik masing- masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan kultural suku bangsa Indonesia. 79 3.3.1 Tata Cara/Mekanisme Adopsi Menurut Hukum Adat Dalam konteks hukum adat, tidak semua masyarakat hukum adat mengenal perbuatan hukum pengangkatan anak ini. Bagi masyarakat yang mengenal adopsi ini, maka pada dasarnya terdapat tata cara atau mekanisme tertentu serta syarat- syarat tertentu pula. 3.3.2 Syarat syarat Adopsi 1) Adopsi harus bersifat terang. Yang dimaksud bersifat terang ialah pengangkatan anak atau adopsi yang dilaksanakan dengan suatu upacara- upacara tertentu dengan bantuan pemuka-pemuka rakyat atau pengangkatan anak yang dilakukan di hadapan dan sepengetahuan pemuka-pemuka rakyat atau kepala adat. Misalnya pengangkatan anak di Bali (Nyentanayang) yang dilakukan dengan upacara-upacara dalam prosesinya. 2) Adopsi harus bersifat tunai. Yang dimaksud bersifat tunai adalah adanya pemberian suatu imbalan yang diberikan oleh calon orang tua angkat kepada keluarga kandung calon anak angkat sebagai pengganti atau penukar anak yang akan diangkat. Setelah penggantian dan penukaran tersebut berlangsung, anak yang akan diangkat tersebut masuk ke dalam lingkungan orang tua yang mengangkatnya sebagai anak. 3.3.3 Mekanisme Adopsi atau Pengangkatan Anak 1) Adopsi Langsung (mengangkat anak). Yaitu untuk keperluan hukum, maka seorang anak langsung diangkat menjadi anak, misalnya 79 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm.42-43. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
48 Universitas Indonesia Nyentanayang di Bali yang diselenggarakan hampir selalu dalam lingkungan klan besar dari kaum keluarga, akhir-akhir ini telah terjadi lebih banyak lagi dari luar lingkungan keluarga atau juga dalam beberapa dusun telah terjadi pengangkatan anak dari lingkungan sanak saudara isteri atau Pradana. Bila isteri tua tidak mempunyai anak dan isteri selir mempunyainya, maka anak-anak itu dengan jalan adopsi diangkat menjadi anak isteri tua. Bilamana tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil anak, maka dapat juga seorang anak perempuan dipungut menjadi santana; anak itu diangkat dengan jalan perbuatan hukum rangkap, yaitu pertama dipisahkan dari kerabatnya sendiri dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan jalan pembayaran adat berupa Seribu Kepeng serta Seperangkat pakaian Perempuan, kemudian baru ia dihubungkan dengan kerabat yang mengangkat : diperas. Suami yang mengambil anak bertindak dengan persetujuan kerabatnya lalu diumumkan dalam desa (Siar) dari pihak Raja sebagai Kepala Adat dikeluarkan ijin yang disusun dalam suatu penetapan Raja, berupa akta yang disebut Surat Peras. Alasan dari pengangkatan semacam ini adalah suatu kekhawatiran akan kepunahan. Malahan sesudah meninggalnya sang suami, isteri pun dapat mengangkat anak atas nama sang suami. Jadi janda pun dengan memegang keris sang suami dapat mengangkat anak atas nama sang suami sebagai wakilnya. Dalam hubungan ini, masih tetap hubungannya dengan diatas, adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang anak perempuan dijadikan, diangkat sebagai laki-laki pelanjut keturunan (sentana), oleh sebab disana hanya ada anak laki-laki saja yang dapat menerima Harta Peninggalan dan dapat melanjutkan kedudukan sang ayah sebagai kepala keluarga. Bilamana tidak ada anak laki-laki, dapatlah seorang anak laki- laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya : seorang bapak mengangkat anak perempuan sendiri menjadi sentana melanjutkan keluarga, dengan anak laki-laki tertua (prinsip mayorat). Anak perempuan yang demikian hanya dapat kawin secara kawin ambil anak, suaminya disebut sentana tarikan. Nyatalah disini, bahwa mengangkat anak merupakan suatu rechtsplicht, suatu kewajiban menurut hukum dan suatu Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
49 Universitas Indonesia urgensi mendesak, karena hanya anak laki-lakilah yang dapat menggantikan sang ayah di dalam berbagai kedudukan hukum. 80 Di Jawa, adopsi kemenakan adalah lebih banyak dilakukan dibanding pengangkatan anak dari luar kerabat, karena dapat memperkokoh kekerabatan. Anak angkat tersebut adalah seperti anak sendiri, hanya dalam urusan warisan ia tak berhak atas harta pusaka orang tua angkat, tetapi mendapat bagian tertentu dari Harta Pencaharian. Hubungan anak angkat tidak putus dari orang tua aslinya, karena itu ia juga menjadi ahli waris dari orang tua asli. 81 2) Adopsi tidak langsung tetapi melalui perkawinan. Adopsi ini terjadi bilamana seseorang kawin dan sesudah itu atau selanjutnya ia mengangkat seorang anak yang akan melanjutkan keturunan, kadang-kadang juga sebagai ahli waris sepenuhnya. 82 Berbeda dari mekanisme adopsi secara langsung yang ditujukan demi kepentingan hukum, adopsi secara tidak langsung ini sebagai contoh apabila seorang wanita dan pria menikah dan telah lama mereka tidak kunjung diberikan keturunan, maka adopsi ini dilakukan atas persetujuan suami isteri tersebut guna melengkapi ketidaksempurnaan dalam tujuan perkawinannya demi melanjutkan keturunan. Perbedaan dari kedua mekanisme pengangkatan anak tersebut diatas adalah terdapat pada tujuannya. Adopsi langsung bertujuan demi kepentingan hukum sedangkan pada adopsi tidak langsung lebih bertujuan kepada kepentingan pribadi suami isteri. 3.3.4 Kriteria Orang yang melakukan Adopsi 1) Bisa siapa saja, tidak harus orang yang telah kawin. Artinya adalah siapa saja yang telah dewasa dan dengan tujuan yang positif yang ingin melakukan perbuatan adopsi atau mengangkat anak adalah diperbolehkan. 80 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat , Ibid. hal. 34 dan 35. 81 Ibid. hal. 37. 82 Ibid. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
50 Universitas Indonesia 2) Janda/Duda/orang yang tidak menikah juga boleh melakukan perbuatan Adopsi atau mengangkat anak. Tidak harus seseorang yang telah terikat pada ikatan perkawinan yang boleh melakukan pengangkatan anak sepanjang tujuan yang dilakukan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. 3.3.5 Akibat Hukum Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat a. Dengan orang tua kandung Anak yang sudah diadopsi orang lain, berakibat hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tata cara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal seperti ini terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan. Kecuali di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangganya saja, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandungnya. Hanya hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam hal urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak angkat. b. Dengan orang tua angkat. Kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung. Anak angkat berhak atas hak mewaris dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa daerah di Indonesia, seperti di pulau Bali, perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung. 83 Di Lampung perbuatan pengangkatan anak berakibat hubungan antara si anak dengan orang tua angkatnya seperti hubungan anak dengan orang tua kandung dan 83 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, hal.99. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
51 Universitas Indonesia hubungan dengan orangtua kandung-nya secara hukum menjadi terputus. Anak angkat mewarisi dari orang tua angkatnya dan tidak dari orang tua kandungnya 84 . Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan bahwa : Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga-keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan hukum berlaku bagi anak yang bersangkutan 85 . 3.3.6 Hak Mewaris Anak Angkat Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Untuk selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, meskipun anak angkat tersebut mempunyai hak mewaris, tetapi menurut Keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat, sedang terhadap harta asal orang tua angkat anak angkat tidak berhak mewaris. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa keputusan Mahkamah Agung di bawah ini : 86 1) Putusan MA tanggal 18 Maret 1959 No. 37 K/Sip/1959 Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya. 2) Putusan MA tanggal 24 Mei 1958 No. 82 K/Sip/1957 Anak kukut (anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini kembali kepada waris keturunan darah. 84 Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, ( Jakarta : Rajawali Pers, 1989 ), hal.117. 85 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 114. 86 Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Masalah Hukum Perdata Adat, ( Departemen Kehakiman, 1980 ),hal. 17. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
52 Universitas Indonesia 3) Putusan MA tanggal 15 Juli 1959 No. 182 K/Sip/1959 Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut. 3.4.Pengaturan Tentang Adopsi Belum ada pengaturan Undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai adopsi atau pengangkatan anak ini, namun diatur secara sepintas di dalam : a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Disebutkan di dalam pasal : 87 Pasal 4 (1) Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh Negara atau orang atau badan. Pasal 12 (1) Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. (2) Kepentingan kesejahteraan anak yang termaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (3) Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Kemudian di dalam penjelasan undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan : Pada Bagian Umum, Paragraf ke delapan (8), yaitu : Apabila orang tua anak itu sudah tidak ada, tidak diketahui adanya, atau nyata-nyata tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, maka dapatlah pihak lain, baik karena kehendak sendiri maupun karena ketentuan hukum, diserahi hak dan kewajiban itu. 87 Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979, LN No. 32 Tahun 1979, TLN No. 3143, Ps. 4 dan 12 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
53 Universitas Indonesia Pada pasal 12 (1) Pengangkatan anak berdasarkan pasal ini tidak memutuskan: menetapkan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan. (2) Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan antara lain perlu mengatur pencatatan sebagai bukti sah, adanya pengangkatan anak guna pemeliharaan kepentingan kesejahteraan anak yang bersangkutan. b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, sebagai penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). c. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung ini dilakukan perubahan atas Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 6 tahun 1983, perubahan tersebut mengenai syarat- syarat bagi calon orang tua angkat warga Negara asing untuk berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-kurangnya selama tiga (3) tahun dan mengenai social report untuk pengangkatan anak antar negara yang berbunyi : Surat keterangan atas dasar penelitian social worker dari instansi/lembaga social yang berwenang dari Negara asal calon orang tua angkat warga Negara asing. Dirubah menjadi berbunyi : Surat keterangan/laporan social atas dasar penelitian petugas/pejabat social setempat. Dengan catatan: harus didaftarkan dan disetujui kebenaran isinya Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
54 Universitas Indonesia oleh perwakilan Negara calon orang tua angkat warga Negara asing di Indonesia melalui Departemen Luar Negeri. 88 d. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Keputusan Menteri Sosial ini menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial. 89 e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Di dalam Bab 1 ketentuan umum pada pasal 1 disebutkan definisi anak angkat, pengangkatan anak, orang tua, orang tua angkat, lembaga pengasuhan anak, masyarakat. Pada pasal 2 disebutkan tujuan pengangkatan anak yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan perundang-undangan. Pada pasal 3 ayat 1 mengatur tentang agama calon orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat, ayat 2 mengatur tentang dalam hal asal-usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Dalam pasal 4 menyebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Pasal 5 menyebutkan bahwa pengangkatan anak warga Negara Indonesia oleh warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Pasal 6 mengenai pemberitahuan asal usul anak angkat dan orang tua kandungnya oleh orang tua angkat. Kemudian di dalam Bab 2 adalah diatur jenis-jenis pengangkatan anak baik antar warga Negara Indonesia maupun antar warga Negara Indonesia dengan warga Negara Asing. Bab 3 adalah tentang syarat- 88 http://www.docstoc.com/docs/20484074/SURAT-EDARAN-MAHKAMAH-AGUNG- NOMOR-4-TAHUN-1989. diakses pada tanggal 28 Maret 2012. 89 http://bambang-rustanto.blogspot.com/2009/12/adopsi-anak.html. diakses pada tanggal 28 Maret 2012. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
55 Universitas Indonesia syarat pengangkatan anak. Bab 4 tentang tata cara pengangkatan anak. Bab 5 adalah bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak. Bab 6 pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak. Bab 7 pelaporan. Bab 8 ketentuan peralihan dan Bab 9 penutup. 90 f. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan. Di dalam pasal 2 Undang-undang ini disebutkan : 91 (1) Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang warga negara Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu; (2) Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh orang yang mengangkat anak tersebut dalam 1 tahun setelah undang- undang ini mulai berlaku. Kemudian di dalam memori penjelasan mengenai undang-undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia, dijelaskan bahwa pengangkatan anak adalah biasa di Indonesia. Sah atau tidak sahnya pengangkatan anak itu ditentukan oleh hukum yang mengangkat anak. Adakalanya anak yang diangkat itu anak (orang) asing, akan tetapi karena betul-betul diperlukan sebagai anak sendiri, tidak diketahui atau dirasakan lagi asal orang itu. Maka hendaknya kepada anak demikian itu diberikan status orang tua yang mengangkatnya. Sebagai jaminan bahwa pengangkatan anak itu sungguh- sungguh pengangkatan sebagai digambarkan di atas dan supaya anak asing yang diangkat itu betul-betul masih bisa merasa warga negara Indonesia, maka pemberian kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak angkat itu hendaknya dibatasi pada anak yang masih muda sekali (lihat pasal 2). 92 90 http://siak-banjar.webs.com/Undang-Undang/PP%20RI%20No%2054 2007%20ttg%20Pengangkatan%20Anak.pdf . diakses pada tanggal 25 April 2012. 91 Arif Djohan Tunggal, Peraturan Perundang-undangan Kewarganegaraan Republik Indonesia Tahun 1950-1996, Cet. 1, (Jakarta: Harvarindo, 1998), Hlm. 16. 92 Ibid.,Hlm. 33. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
56 Universitas Indonesia g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdapat di dalam pasal 39 sampai dengan pasal 41, sebagai berikut : 93 Pasal 39 (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. (3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. (4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Pasal 40 (1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandung. (2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. Pasal 41 (1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. (2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. 93 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN No. 109 Tahun 2002, Ps. 39, 40 dan 41. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
57 Universitas Indonesia 3.5.Adopsi dalam Hukum Barat (BW) Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPER) atau BW, kita tidak menemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau ank angkat, yang ada hanyalah ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam buku I BW bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin. Ketentuan ini dapat dikatakan tidak ada sama sekali hubungannya dengan masalah adopsi ini. Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak, maka bagi orang-orang Belanda sampai kini tidak dapat memungut anak secara sah. Namun di negeri Belanda sendiri, yaitu di Nederland telah diterima baik oleh Staten General Nederland sebuah Undang-undang Adopsi. 94 Landasan diterimanya Undang-undang tersebut adalah bahwa setelah perang dunia II, dimana seluruh Eropa timbul golongan manusia baru; orang tua yang telah kehilangan anak yang tidak bisa mendapatkan anak baru lagi secara wajar; anak-anak piatu yang telah kehilangan orang tuanya dalam peperangan, dan lahirnya banyak anak di luar perkawinan. Atas landasan itulah, maka Staten General Nederland telah menerima baik sebuah Undang-undang Adopsi (adoptie wet) tersebut yang membuka kemungkinan terbatas untuk adopsi ini. Adopsi merupakan salah satu perbuatan manusia termasuk perbuatan perdata yang merupakan bagian Hukum Kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Bagaimana pun juga lembaga adopsi ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan. Dengan demikian, karena tuntutan masyarakat walaupun dalam KUHPER tidak mengatur masalah adopsi ini, sedang adopsi itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat, maka pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang adopsi ini. Karena itulah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Staatsblad nomor 129 tahun 1917, khusus pasal 5 sampai 15 yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah Staatsblad 1917 nomor 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing. Oleh 94 Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum, Masalah Hukum Perdata Adat, Op.cit.,hlm. 31. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
58 Universitas Indonesia karena hanya satu-satunya Staatsblad 1917 nomor 129 seperti disebutkan, oleh Pemerintah Belanda yang merupakan kelengkapan dari KUHPER/BW yang ada, maka untuk mengemukakan data adopsi menurut versi Hukum Barat ini semata- mata beranjak dari Staatsblad tersebut. 3.5.1 Syarat dan Tata Cara Adopsi Menurut Hukum Barat Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh pasal 8 sampai 10 Staatsblad 1917 nomor 129, yaitu : 95 a. Adopsi harus dilakukan dengan akte Notaris (pasal 10). Dengan akte Notaris ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, adopsi yang dilakukan tidak dengan akte Notaris (dibawah tangan) adalah tidak sah. b. Persetujuan yang melakukan adopsi. Adalah persetujuan dari seseorang yang berniat untuk melakukan adopsi atau pengangkatan anak. c. Persetujuan orang tua atau ayah atau ibu dari orang yang diadopsi, jika salah satu orang tua meninggal lebih dulu, seorang dari mereka yang masih hidup, jika si ibu sudah kawin. Jika kedua orang tua telah meninggal, maka untuk adopsi anak dibawah umur diperlukan persetujuan dari wali dan dari Balai Harta Peninggalan. Jika anak itu anak luar kawin, maka perlu adanya persetujuan orang tua yang mengakui dan jika tidak ada yang mengakui maka diperlukan persetujuan wali dan Balai Harta Peninggalan. d. Persetujuan orang yang diadopsi sendiri jika ia telah berusia 15 tahun. e. Jika adopsi dilakukan oleh seorang janda maka perlu persetujuan dari saudara lelaki yang dewasa dan ayah dari suami yang telah meninggal dan jika orang- orang ini telah meninggal atau tidak berada di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari keluarga laki-laki yang telah dewasa dari pancer ayah suami yang telah meninggal dunia hingga derajat ke-4. Jika semua itu tidak didapatkan maka dapat diganti dengan izin Pengadilan Negeri, kecuali dalam hal persetujuan dari seorang ayah atau wali yang tidak dapat diganti. 95 Dr. Winarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, Cet. 1, ( Jakarta: Gitama Jaya, 2005 ), hal. 149. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
59 Universitas Indonesia Persetujuan yang termaktub dalam syarat ke empat diatas, dapat diganti dengan suatu izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin mengangkat anak tadi. 3.5.2 Akibat Hukum Adopsi Menurut Hukum Barat Setelah dilangsungkannya pengadopsian yang dilakukan dihadapan Notaris, maka timbul akibat : 96 a. Orang atau anak yang diadopsi harus memakai nama keluarga yang melakukan adopsi itu (pasal 11). b. Jika adopsi itu dilakukan oleh suami isteri maka anak yang diadopsi dianggap lahir dalam perkawinan mereka. c. Jika yang melakukan adopsi seorang duda/janda, maka orang yang diadopsi itu dianggap lahir dari perkawinan dengan isteri/suami yang telah meninggal. (pasal 12). d. Dengan adopsi maka hubungan keperdataan yang berdasarkan kepada keturunan darah antara orang yang diadopsi dengan orang tuanya yang keluarganya sedarah dan semenda terputus kecuali dalam hal : 1) Perderajatan dalam hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda sebagai larangan untuk kawin. 2) Ketentuan-ketentuan di dalam bidang hukum pidana yang didasarkan keturunan sedarah, (tidak berlakunya KUHP jika yang melakukan kejahatan itu keluarga sendiri, juga dalam hal persaksian). 3) Kompensasi ongkos perkara. 4) Pembuktian dengan saksi (ketentuan-ketentuan yang mengenai persaksian keluarga). 5) Persaksian di dalam membuat akte otentik (pasal 14). 96 Ibid, hal. 150. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
60 Universitas Indonesia Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan suatu persetujuan timbal balik. Adopsi terhadap seorang perempuan atau adopsi dengan cara lain daripada dengan akte notaris adalah batal demi hukum sebagaimana diatur dalam pasal 15. Adopsi dapat dibatalkan di dalam hal ada pelanggaran terhadap orang-orang yang akan diadopsi, syarat-syarat adopsi dan pelaksanaan adopsi sebagaimana yang diatur dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10. 3.6 Adopsi menurut Hukum Islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadist, dimana peraturan-peraturan yang tercipta adalah langsung dari sang pencipta, yaitu Allah Swt. Hukumnya adalah pasti dan abadi, karena tidak ada campur tangan manusia di dalamnya (hukum Tuhan). Berbagai ketentuan hukum telah diatur Nya termasuk mengenai pengangkatan anak atau adopsi ini, bagaimana pandangan Islam terhadap perihal pengangkatan anak, pertama-pertama akan saya bahas mengenai definisi atau pengertian adopsi menurut sudut pandang Hukum Islam. 3.6.1 Pengertian Adopsi dalam Pandangan Islam Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut ajaran agama Islam keturunan itu tidak dapat diganti. Adopsi adalah memperlakukan seseorang sebagai anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segala kebutuhannya yang bukan memperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri, menurut pandangan Hukum Islam hukumnya adalah mubah atau boleh saja (diperbolehkan). Adopsi ini tidak mempunyai pengaruh selain hanya sekedar sebagai suatu amal sosial yang terpuji. Di samping itu juga karena mempunyai berbagai variasi motif/latar belakang yang positif. Maka menurut pandangan Hukum Islam status hukumnya boleh saja atau bahkan dianjurkan (sunat). Adopsi yang dilarang menurut ketentuan surah Al-Ahzab ayat 4-5 adalah yang dalam pengertian aslinya, yakni menurut versi Hukum Barat, yakni mengangkat secara mutlak. Dalam hal ini adalah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya yang tidak ada Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
61 Universitas Indonesia pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sendiri, seperti hak menerima warisan sepeninggalnya dan larangan kawin dengan keluarganya. 97 Dalam perjalanan sejarah ummat manusia, kita mengenal pula eksistensi lembaga adopsi ini. Dalam Al Quran Kitab suci ummat Islam dikenal atau ditemukan beberapa cerita yang berkenaan dengan pengangkatan anak, yaitu diantaranya adalah cerita Nabi Yusuf A.S, yang terdapat pada surah Yusuf, dimana Yusuf dijual oleh salah seorang saudagar Mesir kepada pembesar Kerajaan Firaun untuk kemudian dijadikan anak angkat. Pembesar Mesir itu adalah seorang raja muda, Kotifar namanya. Demikian sayangnya kepada Yusuf, sehingga ia minta kepada isterinya untuk memperlakukan Yusuf dengan baik sebagai anak asuhnya. Mudah-mudahan kata raja itu ia kalau dikala dewasa akan membalas budi baik kita. Namun dalam perjalanan hidupnya Yusuf ini dikhianati oleh ibu angkatnya (sang permaisuri) yang telah jatuh hati padanya, dengan jalan menuduh Yusuf ingin berbuat serong dengannya. Kemudian Allah yang Maha Mengetahui, membersihkan Yusuf dari segala tuduhan yang semena-mena itu. Itulah kisah Nabi Yusuf bin Yakub bin Ishak bin Ibrahim AS. Dalam cerita diatas tendensinya bukanlah pada masalah pengangkatan anak. Namun kalau dikaitkan juga sesuai dengan apa yang dikemukakan ayat 111 dalam surah Yusuf ini menyatakan bahwa sesungguhnya kisah-kisah yang terdapat dalam Al Quran mengandung pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. Atas dasar ini dapat dikemukakan, bahwa : 98 a. Bagaimana pun juga tidak dapat dipersamakan dalam pengertian pertalian nasabnya antara anak kandung sendiri dengan anak angkat; b. Mengangkat anak dengan motivasi yang dibenarkan oleh Islam harus benar- benar dengan niat yang tulus, yaitu karena Allah semata, dalam rangka ibadah kepada-Nya, agar dijauhkan dari segala hal yang negatif; c. Apabila hendak mengangkat anak dengan motivasi yang benar, harus diperhatikan juga eksistensi calon si anak angkat itu sendiri dan lingkungan 97 Muderis Zaini, Op.cit, hal. 66. 98 Ibid, hal. 68. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
62 Universitas Indonesia rumah tangga kita yang akan menerimanya sebagai anak angkat dari segala aspeknya, sehingga terjamin kelanjutan yang baik bagi semua pihak. 3.6.2 Hubungan Anak Angkat dalam Hubungan Perkawinan Penyebutan seseorang dengan nama bapaknya itu dapat kita lihat dalam asbabunnuzul (hubungan keterangan tentang turunnya sesuatu ayat) dari Q.XXXIII : 4 dan 5 itu adalah mengenai seseorang yang bernama Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah ini mulanya dipanggil Zaid bin Muhammad karena dia diangkat oleh Nabi Muhammad sebagai anak angkat. Kemudian, dengan turunnya ayat tersebut, dipanggilah ia kembali dengan Zaid bin Haritsah. Pentingnya penegasan kedudukan lembaga anak angkat ini terasa sekali dalam hubungan dengan hukum perkawinan. Bagaimanapun juga dekatnya terlihat dalam bentuk lahirnya hubungan sehari-hari mereka yang dikatakan mengangkat anak dan yang diangkat anak, sesungguhnya kedudukan hubungan mereka itu tidak menimbulkan hubungan sedarah. Hubungan sedarah yang sedemikian dekatnya menyebabkan seseorang haram dan terlarang untuk melakukan perkawinan. Mereka tidak mempunyai hubungan yang disebut dengan muhrim dalam hubungan perkawinan. Dengan demikian mereka yang bertalian angkat itu masih diperbolehkan kawin sesamanya. 99 3.6.3 Hak Mewaris Anak Angkat Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau arhaam. Perhubungan kewarisan karena pengangkatan saudara angkat yang telah ada di zaman sebelum datangnya Islam di tanah Arab mulanya diterima dalam Islam selama 15 tahun permulaan perkembangan Islam di Mekkah dan di Medinah. Kemudian pembolehan mewaris karena hubungan saudara angkat itu telah dihapus dengan datangnya hukum kewarisan Islam pada awal tahun ke-empat Hijrah. Dengan demikian sekaligus dihapus pulalah hubungan mewaris antara 99 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hal. 137. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
63 Universitas Indonesia orang yang mengangkat anak dengan anak angkatnya yang selama ini dimungkinkan dalam hal anak angkat itu telah dewasa dan sanggup berperang pada saat terbukanya warisan dari bapak angkatnya itu. 100 Karena pengangkatan anak itu tidak diatur di dalam agama Islam, maka segala sesuatu yang diberikan kepada anak angkat, dapat dilakukan dengan cara hibah yaitu suatu pemberian dari orang tua kepada anaknya sebagai tanda kasih sayang serta wasiat waljibah. Dalam hukum Islam persoalan yang tampaknya seakan-akan atau mendekati bentuk hubungan anak angkat itu dalam hubungan kewarisan sebaiknya diselesaikan dengan lembaga wasiat. Kalau seseorang hendak memberikan hartanya kepada orang lain bukan hubungan darahnya yang dia sebut-sebut sebagai anak angkat sebaiknya dia membuat wasiat yang akan dilaksanakan nanti sesudah dia meninggal dunia oleh pelaksana yang bertugas mengurus penyelesaian atau oleh penguasa. 100 Ibid. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
64 Universitas Indonesia BAB 4 AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM ADAT JAWA 4.1 Tata Cara Pengangkatan Anak di Jawa Menurut Hukum Adat Jawa pengangkatan anak yang dilakukan tidak melalui suatu upacara-upacara tertentu, namun pada umumnya dilakukan hanya sebatas pada acara selamatan saja baik dalam bentuk suatu pengajian maupun tumpengan (membuat nasi kuning untuk dibagi-bagikan kepada saudara dekat maupun tetangga-tetangga), selamatan ini dilakukan setelah adanya persetujuan antara orang tua angkat dengan pihak yang menyerahkan anak tersebut dengan disaksikan oleh keluarga dan tetangga dekat dari orang tua angkat baik dengan dihadiri oleh Kepala Desa/Kelurahan sebagai Kepala Adat atau tanpa dihadiri oleh Kepala Desa/Kelurahan sebagai Kepala Adat. Berdasarkan Hukum adat Jawa, pengangkatan anak yang dilakukan sudah sah tanpa adanya pengesahan dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama,dengan proses pengangkatan anak seperti yang disebutkan diatas maka dengan demikian anak yang bersangkutan secara otomatis telah memperoleh status anak yang sah walaupun hanya mengadakan acara selamatan seperti tersebut diatas tanpa harus dilakukannya pencatatan oleh Kepala Desa/Kelurahan. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan bila dikemudian hari orang tua angkatnya meninggal dunia dan terjadi persengketaan mengenai harta peninggalan antara anak angkat dengan janda orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, maupun antara anak angkat dengan keluarga orang tua angkat yang telah meninggal dunia yang mana dalam hal ini anak angkat tidak dapat menunjukkan bukti-bukti maupun saksi- saksi, jika misalnya para saksi telah meninggal dunia ataupun telah berpindah tempat yang tidak diketahui keberadaannya. Apabila permasalahan tersebut timbul maka pada umumnya masyarakat Jawa lebih memilih untuk dilakukannya suatu penyelesaian yang bersifat kekeluargaan dengan cara musyawarah. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
65 Universitas Indonesia 4.2 Perbedaan Anak Angkat dan Anak Piara di Jawa Di Jawa, selain dikenal anak angkat juga dikenal anak piara, keduanya mempunyai pengertian yang hampir sama namun berbeda akibat hukumnya. Dimana letak perbedaannya adalah : 1. Anak angkat, adalah anak orang lain yang diambil seseorang sebagai anak kandung baginya melalui proses pengangkatan anak yang dilakukan menurut hukum adat yang berlaku di daerah seseorang tersebut tinggal. Pada umumnya anak yang diangkat ini adalah masih mempunyai hubungan darah dengan seseorang yang ingin mengangkat anak itu ( keponakannya sendiri) yang kemudian anak tersebut dipelihara, diberi Sandang Pangan ( pakaian dan makan ), dirawat dikala sakit, disekolahkan hingga dewasa serta diperlakukan selayaknya anak kandung sendiri. Bilamana jika suatu saat orang tua angkatnya meninggal dunia, anak angkat ini berhak untuk mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya tersebut. 2. Anak piara, adalah anak yang di pelihara oleh seseorang dengan maksud hanya untuk mensejahterakan anak tersebut tanpa adanya proses pengangkatan anak. Di Jawa pada umumnya anak piara ini tidak mempunyai hubungan darah dengan yang memelihara, anak tersebut biasanya disekolahkan, diberi makan, dibesarkan hingga dewasa. Tujuan piara anak ini hanya demi kepentingan sosial si anak tersebut tidak terdapat hubungan kasih sayang selayaknya kepada anak kandung sendiri. Perbedaan dengan anak angkat adalah anak piara ini tidak berhak untuk mendapatkan warisan dari yang memelihara jikalau si pemelihara meninggal dunia. Definisi anak angkat dan anak piara tersebut diatas sedikit memiliki persamaan namun berbeda dalam hal akibat hukum. Sekilas Nampak sulit untuk membedakan keduanya. Untuk menentukan bahwa seseorang itu adalah anak angkat atau anak piara adalah berdasarkan cara pandang masyarakat setempat. Bagaimana masyarakat mengetahui dan melihat perlakuan orang tua angkat atau orang tua pelihara terhadap anak angkat atau anak piara ini. Jika dalam hal Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
66 Universitas Indonesia pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai maka baik masyarakat maupun kepala adat setempat mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak angkat. Mengenai anak piara biasanya masyarakat setempat dan kepala adatnya mengetahuinya dari pengakuan anak piara ataupun orang tua yang memeliharanya bahwa anak yang dipiara tersebut hanya sebatas disekolahkan/diberikan pendidikan yang layak hingga dewasa karena faktor ketidak mampuan ekonomi dari orang tua kandung anak piara itu sendiri. Pada hakekatnya adalah seorang anak baru dapat dianggap sebagai anak angkatnya, apabila orang tua yang mengangkatnya itu memandang secara lahir dan bathin bahwa anak itu sebagai anak keturunannya sendiri. 4.3 Syarat Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa Tidak ada persyaratan khusus yang mengatur mengenai pengangkatan anak dan tidak ada pula ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan adopsi/pengangkatan anak serta batasan usianya. Adanya anak angkat adalah karena seseorang dijadikan anak oleh orang lain. Anak angkat dapat laki-laki maupun perempuan dan jumlahnya pun tidak terbatas, sesuai dengan kemampuan seseorang untuk mengangkat anak, dapat saja ia mengangkat anak dua orang, tiga orang ataupun lebih dari itu. Namun, pengangkatan anak ini harus sesuai dengan kemampuan orang yang akan mengangkat anak itu sendiri serta tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai susila yang hidup di dalam masyarakat, mengangkat anak yang usianya tidak jauh berbeda dengan yang mengangkat anak adalah tidak diperbolehkan. Masyarakat adat Jawa juga tidak membedakan jenis kelamin anak yang akan diangkat. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi anak angkat, kecuali di beberapa daerah seperti di daerah Jawa Barat kecamatan Leuwidamar (Bandung) disini anak perempuan tidak bisa dijadikan anak angkat. Mengenai usia, di Kecamatan Garut yang dapat dijadikan anak angkat adalah mereka yang berusia dibawah 15 (lima belas) tahun dan dapat pula mereka yang diatas 15 (lima belas) tahun, asalkan belum menikah. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
67 Universitas Indonesia 4.4 Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Jawa Di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat adat Jawa, memiliki suatu keunikan, yaitu tidak dilakukannya konsep terang dan tunai dalam proses pengangkatannya, meskipun pada sebagian masyarakat jawa terdapat juga yang memakai proses tunai nya saja, namun pada umumnya yang terjadi proses terang dan tunai ini jarang bahkan tidak pernah dilakukan, proses tunai nya pun juga berbeda karena dengan selesainya perbuatan tunai ini maka tidak terputus hubungan antara orang tua kandung dengan anak yang diangkat tersebut. Perbuatan tunai ini hanya sebagai simbolisasi saja atau untuk sekedar membantu perekonomian keluarga si anak angkat apabila keluarga kandung dari anak angkat ini kurang mampu dalam hal perekonomian/anak angkat berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan. Perbuatan tunai ini juga bukan sebagai suatu pembelian yang dengan selesai proses tunai nya maka berpindah pula hubungan orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Di Jawa Timur untuk sekedar tanda yang bisa dilihat, bahwa hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya telah diputuskan, maka kepada orang tua kandung anak yang bersangkutan diserahkan sebagai syarat (magis) uang sejumlah rongwang segobang sebagai suatu bentuk perbuatan tunai. Selanjutnya untuk proses terang yang umumnya pada masyarakat adat dilakukan di hadapan kepala adat, kepala desa, lurah, camat atau pemuka-pemuka adat yang di hormati atau di tuakan di daerahnya, namun pada masyarakat adat Jawa pengangkatan anak yang terjadi pada kenyataannya tidak dilakukannya konsep terang ini, perbuatan yang mengandung konsep terang tersebut hanya disaksikan sebatas keluarga orang tua kandung, orang tua angkat dengan calon anak angkat saja. Anak angkat sebagaimana yang telah dikemukakan, adalah seseorang yang bukan keturunan dari sepasang suami isteri, yang dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri. Akibat hukum terhadap pengangkatan anak ini ialah bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya, yang bagi beberapa daerah di Indonesia seperti di Jawa, anak angkat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunannya Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
68 Universitas Indonesia sendiri, juga termasuk hak untuk dapat mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia. 4.5 Asas Pewarisan Masyarakat Adat Jawa Menurut hukum adat, bila menggunakan lembaga adat penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Masyarakat adat Jawa, dalam hal kewarisan menganut asas/sistem kewarisan individual dan sistem kekerabatannya menganut sistem parental atau bilateral. Sistem ini mengharuskan setiap ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki haknya masing-masing. Faktor yang menyebabkan perlu dilaksanakan pembagian warisan secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi keinginan untuk memiliki harta waris tersebut secara kolektif. Hal itu disebabkan para ahli waris tidak lagi tinggal pada rumah kerabat atau rumah orang tuanya tetapi telah tersebar sendiri-sendiri mengikuti para istri atau suaminya (mencar). Kebaikan dari sistem individual ini adalah bahwa para ahliwaris yang telah memiliki bagian harta warisan secara pribadi dapat dengan leluasa untuk menguasai dan mengembangkan harta tersebut sebagai bekal kehidupan selanjutnya tanpa dipengaruhi oleh saudara yang lain. 4.6 Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan Sebelum melihat secara pasti kedudukan anak angkat terhadap harta warisan di dalam hukum adat Jawa khususnya, dapat dikemukakan di sini hubungan kekeluargaan yang terjadi, yaitu : a) Hubungan kekeluargaan antara bapak angkat dengan anak angkat itu adalah sebagaimana hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak kandung. b) Demikian pula kewajiban bapak ibu angkat terhadap anak angkat adalah memelihara dan mendidik mereka sampai dewasa, sehingga tercipta hubungan dalam rumah tangga yang pada akhirnya menimbulkan hak dan kewajiban serta konsekwensi terhadap harta benda dalam rumah tangga tersebut 101 . 101 Soepomo, Op.cit., hlm. 104. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
69 Universitas Indonesia c) Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, pengakuan/pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu ke dalam kehidupan rumah tangga yang mengangkatnya, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak dengan orang tuanya sendiri. Anak angkat di daerah ini tidak mempunyai kedudukan sebagai anak kandung dan tidak diambil sebagai anak dengan maksud meneruskan keturunan orang tua angkatnya. Anak angkat di dalam Hukum Adat Jawa, tidak mempunyai hak dan kedudukan untuk mewarisi harta pusaka dari ayah dan ibu angkatnya, karena harta pusaka hanya dapat diwarisi oleh keluarga yang masih mempunyai hubungan darah dengan si pewaris sebagai suatu bentuk harta peninggalan turun temurun sebagai suatu identitas silsilah keluarga. Benda-benda pusaka (keris, tombak) hanya dapat diwarisi oleh keluarga yang sedarah baik dalam garis keturunan kebawah maupun kesamping, karena harta pusaka seperti tersebut diatas bagi masyarakat Jawa dianggap sakral/suci, disamping diantaranya sebagai suatu bentuk pelestarian budaya, benda-benda pusaka dianggap mempunyai kekuatan magis, sehingga dipercaya akan mendatangkan musibah jika harta pusaka diberikan kepada seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah serta menyalahi aturan-aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Anak angkat berhak sepenuhnya mewarisi harta gono-gini ayah dan ibu angkatnya, dalam keadaan tidak memiliki anak kandung, anak angkat mempunyai kedudukan keutamaan pertama untuk mewarisi seluruh harta gono-gini orang tua angkatnya, apabila ada anak kandung, hak dan kedudukan anak angkat sederajat dalam hal jumlah pembagiannya dengan anak kandung. Iman Sudiyat menegaskan bahwa, di lapangan hukum waris anak angkat tetap mempunyai pretensi atas harta kekayaan orang tua kandungnya. Atas harta kekayaan orang tua angkatnya ia juga mempunyai pretensi tertentu, tetapi mungkin tidak atas harta warisan (barang- barang asal) yang harus kembali kepada kerabat suami sendiri atau kerabat isteri sendiri (justru karena pengangkatan anak di sini bukan urusan kerabat dan karena perbuatannya tidak dibuat terang). 102 102 Iman Sudiyat., hlm.104. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
70 Universitas Indonesia Mengenai hak mewaris anak angkat terhadap waris orang tuanya sendiri, hal ini sejalan dengan prinsip di Jawa, bahwa pertalian keluarga antara anak angkat dan orang tua kandungnya tidak terputus. Sehingga anak angkat tetap tinggal waris orang tua kandung. 103 Adapun hak perolehan harta kekayaan atau peninggalan dari orang tua angkat seperti tersebut di atas kepada anak angkat di sini nampaknya belum begitu jelas. Untuk lebih dapat diketahui secara jelas, berikut akan saya berikan contoh kasus mengenai kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkat di beberapa daerah, yaitu: Pengangkatan anak yang dilakukan sejak si anak masih kecil bahkan masih bayi, yang berlaku di Salatiga Jawa Tengah menjadikan anak tersebut sebagai waris penuh dari orang tua angkatnya. Demikian, hingga di Jawa pada umumnya anak angkat itu ngangsu sumur loro artinya mempunyai dua sumber warisan, kata ngangsu berarti mencari atau memperoleh, sumur berarti tempat mengambil air, dan loro berarti dua. Karena di samping ia mendapat warisan dari orang tua kandung, ia juga mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Keputusan Pengadilan Purworejo tanggal 6 Januari 1937 (T.148 hal. 307) dijelaskan bahwa anak angkat masih mewarisi orang tua kandungnya dan kerabatnya sendiri. Hanya di dalam pewarisan terhadap orang tua angkat, jika anak kandung masih ada maka anak angkat mendapat warisan yang tidak sebanyak anak kandung, dan jika orang tua angkat takut anak angkatnyatidak mendapat bagian yang wajar/ mungkin tersisih sama sekali oleh anak kandung dengan menggunakan hukum Islam, maka sudah menjadi adat kebiasaan orang tua angkat itu memberi bagian harta warisan kepada anak angkat sebelum ia wafat dengan cara penunjukan atau hibah/ wasiat. Meskipun anak angkat berhak mewarisi harta orang tua angkatnya, namun bagiannya tidak boleh melebihi bagian dari anak kandung. Sebagaimana di daerah Bojonegoro, 104 perkara Surijah lawan Kartomejo Karijo; MA No.37 K/Sip/1959- tgl. 18-3-1959 (Adat, h. 93-97), diputuskan bahwa: 103 Soepomo, Bab-bab., hlm. 106. 104 Achmad Samsudin, dkk, Yurisprudensi Hukum Waris Seri Hukum Adat (II), cet. ke-1, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 27. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
71 Universitas Indonesia Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya; jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya. Di daerah Banyuwangi, 105 perkara Kasrin lawan Siti Masum; a. MA No.102 K/Sip/1972 tgl. 23-7-1973, b. PT Surabaya No. 135/1971/Perdt tgl. 14-6-1971, c. PN Banyuwangi No.77/1966/Pdt tgl. 27-5-1969, (YI, 1974, h. 205-225), diputuskan bahwa Menurut hukum adat yang berlaku, seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa, sehingga ia menutup hak waris para saudara orang tua angkatnya. Dalam sidang Mahkamah Agung RI tanggal 18 maret 1996 no. 53 K/pdt/95 atas perkara Ny. Siti Djubaidah melawan M. Toha dkk, tentang hak mewaris anak angkat terhadap harta orang tua angkatnya. Menurut kaidah hukum bahwa: Menurut hukum adat di daerah Jawa barat, seseorang dianggap sebagai anak angkat bila telah memenuhi syarat-syarat berikut: diurus, dikhitankan, disekolahkan dan dikawinkan, dimana anak angkat tersebut berasal dari keluarga ibu angkatnya, maka anak angkat tersebut mewarisi harta gono gini orang tua angkatnya. 106 Pengadilan Negeri Purworejo dalam putusannya tanggal 25 Agustus 1937, menetapkan bahwa barang pencarian dan barang gono-gini jatuh pada janda dan anak angkat. Sedang barang asal kembali pada saudara-saudara si peninggal warisan, jika yang wafat itu tidak mempunyai anak keturunannya sendiri. 107 Adapun barang atau harta gono-gini yang dimaksud di atas adalah harta selama perkawinan. Harta ini disebut juga Harta pencaharian, yaitu yang diperoleh oleh suami-isteri dalam ikatan perkawinan, baik secara bersama-sama maupun sendiri- sendiri. Menurut hukum adat semua harta yang diperoleh selama perkawinan 105 Ibid., hlm. 27. 106 Perpustakaan Nasional RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1998), hlm. 48. 107 Dimuat dalam majalah Indicsh Tijdschrift Van het Recht bagian 148, hlm. 299. atau Soepomo, Bab-bab., hlm.104. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
72 Universitas Indonesia termasuk gono-gini. Meskipun mungkin harta yang bersangkutan adalah kegiatan suami sendiri. Dalam catatan soepomo, dari Raad Yustisi Jakarta menentukan: 108 Bahwa jikalau barang gono gini ini tidak mencukupi, pada pembagian harta peninggalan oleh para waris orang tua angkatnya, anak angkat boleh minta bagian dari barang asal, hingga jumlah yang menurut keadaan dianggap adil. Begitu pula bunyi putusan hakim: Jikalau orang tua angkat pada waktu mereka masih hidup, telah mewariskan barang-barang kepada anak angkatnya, sejumlah sedemikian hingga nafkah anak angkat itu telah dijamin seperlunya, maka ia pada pembagian harta peninggalan tidak berhak apa-apa lagi. pada waktu perkara waris di Jawa, diperiksa oleh Pengadilan Agama (sebelum 1 April 1937), yang mengadili menurut hukum Islam dan yang tidak mengakui sedikitpun hak anak angkat terhadap harta peninggalan, maka orang tua angkat biasanya mewariskan sebagian dari harta bendanya kepada anak angkat dengan cara hibah, agar bagian itu tetap tidak diganggu pada waktu pembagian harta peninggalan menurut hukum Islam. Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa, yaitu : 1. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua asal (kandung). 2. Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua angkat dengan bagian tertentu atau dalam jumlah terbatas (tidak boleh melebihi bagian anak kandung). 3. Anak angkat berhak atas harta gono-gini. Adalah hal yang menguntungkan bagi anak angkat adalah meskipun ia telah diangkat sebagai anak orang lain namun ia tetap mendapat warisan dari orang tua kandungnya, serta berhak mendapat warisan pula dari orang tua angkatnya. 108 Soepomo, Bab-bab., hlm. 105. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
73 Universitas Indonesia 4.7 Putusnya Hubungan Pengangkatan Anak Hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat dapat terputus apabila anak tersebut durhaka kepada orang tua angkatnya. Alasan ini adalah merupakan suatu alasan yang bersifat umum, karena maksud dari pengangkatan anak tersebut adalah ketersediaan dari orang tua angkat untuk menjadikan seorang anak sebagai anak asuh dan dididik agar kelak dikemudian hari menjadi anak yang berguna dan berbakti, selanjutnya diharapkan anak tersebut dapat menaikkan derajat dan nama orang tua angkatnya, akan menjadi pembela bagi orang tua angkat di hari tua, serta akan menjadi generasi penerusnya. Namun demikian segala harapan keinginan dari orang tua angkat tersebut menjadi hancur, karena si anak angkat tidak patuh kepadanya, dimana anak angkat tersebut selalu membangkang dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak patut dan tidak layak serta tidak terpuji terhadap orang tua angkatnya. Anak angkat tersebut dengan sendirinya mencemarkan nama baik orang tua angkat dan keluarganya. Disamping itu, anak tersebut juga melakukan penganiayaan terhadap orang tua angkat ataupun hendak membunuh orang tua angkatnya. Dengan perbuatan- perbuatan tersebut di atas, maka anak angkat tersebut dapat dikembalikan kepada orang tua kandungnya dengan sepengetahuan para kepala adat ataupun lurah/kepala desa. Ada juga hubungan hukum antara orang tua angkat dan anak angkat tersebut menjadi putus, karena si anak angkat mempergunakan harta peninggalan orang tua angkatnya tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, dengan cara menghambur-hamburkannya. Kemungkinan lain juga disebabkan karena dikehendaki oleh salah satu pihak, yaitu orangtua angkat sendiri yang mengembalikannya kepada orang tua kandung, karena orang tua angkat tidak mampu memeliharanya lagi. Atau mungkin karena anak tersebut menghendaki supaya la dikembalikan kepada orang tua kandungnya. Ataupun orang tua kandungnya sendiri menghendaki supaya anak tersebut dikembalikan kepadanya, karena orang tua angkat tidak memelihara anak tersebut sebagaimana mestinya. Mungkin pula hubungan tersebut terputus disebabkan terjadinya perselisihan atau pertengkaran antara orang tua angkat dengan orang tua kandung. Hal ini dapat disebabkan oleh pengangkatan anak Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
74 Universitas Indonesia tersebut tidak diketahui atau tidak disetujui oleh keluarga orang tua angkat maupun orang tua kandung. Dapat juga terjadi hubungan tersebut terputus disebabkan anak tersebut telah dewasa dan kembali kepada orang tuanya. Hal ini biasanya terjadi apabila anak tersebut diangkat dari kalangan keluarga sendiri, namun pengabdian anak tersebut kepada orang tua angkat tetap ada. 109 Apabila putusnya hubungan antara orang tua angkat dengan anak disebabkan orang tua kandung menghendaki supaya anak tersebut dikembalikan kepadanya atau karena anak tersebut telah dewasa dan kembali kepada orang tua kandung, maka orang tua kandung harus membayar ongkos pemeliharaan dari sejak kecil sampai anak tersebut kembali kepada orang tuanya. Ongkos pemeliharaan tersebut menurut adat tergantung dari kesepakatan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat. Apabila orang tua kandung tidak dapat membayar ongkos piara tersebut, maka anak tersebut tetap dipelihara oleh orang tua angkat dengan ketentuan bahwa apabila ia anak perempuan, maka orang tua angkat berhak menerima mas kawin dan apabila ia anak laki-laki orang tua angkatlah yang menyediakan mas kawin. Seorang anak angkat dapat juga dapat kehilangan hak mewarisnya karena perbuatan yang dilakukan seperti tersebut diatas. Namun perbuatan-perbuatan tersebut diatas dapat dibatalkan apabila si pewaris ataupun keluarga si pewaris telah memberikan maaf, mengampuni dengan nyata dalam perkataan ataupun dalam perbuatan, sebelum atau ketika dilakukan pembagian warisan. 109 Bastian B. Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989 ), Hal. 50. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
75 Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dilakukan mengenai proses pengangkatan anak serta akibat hukum yang timbul berdasarkan hukum adat Jawa, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut, antara lain sebagai berikut: 1. Mekanisme pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat adat Jawa berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Mekanisme pengangkatan anak yang dilakukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada umumnya dilakukan tanpa adanya konsep terang dan tunai, proses pengangkatan anak dilakukan tanpa sepengetahuan Kepala Adat/Pemuka Adat setempat dan dilakukan tanpa sepengetahuan masyarakatnya pula, proses pengangkatan anak tersebut hanya diketahui oleh kedua belah pihak yang berkepentingan yaitu hanya diketahui oleh calon orang tua angkat beserta keluarganya dan orang tua kandung calon anak yang akan diangkat tanpa adanya pemberian-pemberian suatu barang baik berupa uang maupun suatu benda sebagai tanda berpindahnya anak yang akan diangkat dari orang tua kandungnya kepada calon orang tua angkat, namun ada juga masyarakat yang melaksanakan konsep tunai ini, pemberian dilakukan kepada orang tua kandung calon anak angkat sebagai hadiah atau hanya sebagai bantuan untuk menolong perekonomian orang tua kandung calon anak angkat. Sedangkan di daerah Jawa Barat mekanisme pengangkatan anak ini pada umumnya dilakukan dengan menggunakan konsep terang dan tunai, proses pengangkatan anak ini dilakukan dengan sepengetahuan dari Kepala Adat/Pemuka Adat sebagai saksi berlangsungnya perbuatan pengangkatan anak tersebut. Adopsi atau pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum adat Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
76 Universitas Indonesia Jawa adalah adopsi secara illegal, karena adopsi illegal adalah adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak, sedangkan yang dimaksud dengan adopsi secara legal adalah adopsi yang dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan. Kedudukan anak angkat di Jawa tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya karena pada umumnya anak yang diangkat adalah anak dari kemenakan calon orang tua angkat sendiri, masih ada hubungan persaudaraan, walaupun tidak menutup kemungkinan dapat mengangkat anak dari orang lain. 2. Pengangkatan anak dapat menimbulkan akibat hukum dalam hal pewarisan, anak angkat dapat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya namun hanya dapat mewarisi harta gono-gini atau harta pencaharian dari orang tua angkatnya dan tidak berhak untuk mewarisi harta pusaka dari orang tua angkatnya, tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah bagian harta warisan yang dapat diterima oleh anak angkat, namun jika tidak ada anak kandung dari orang tua angkatnya anak angkat dapat saja mewarisi seluruh harta gono-gini, jika anak angkat mewaris bersama anak kandung dari orang tua angkatnya maka bagiannya adalah 1:1 ( satu banding satu ) sesuai istilah Sigar Semongko (membelah semangka). Bila timbul suatu konflik atau permasalahan seperti sengketa kewarisan antara anak angkat dengan keluarga kandung si pewaris (orang tua angkat), masyarakat Jawa lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan cara musyawarah untuk mufakat baik diselesaikan antara pihak-pihak yang berkepentingan itu sendiri maupun dengan bantuan Kepala Adat melalui Lembaga Adat yang bertindak sebagai penengah bagi pihak- pihak tersebut. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
77 Universitas Indonesia 1.2 Saran 1. Perlunya dibentuk suatu Undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai adopsi atau pengangkatan anak ini sehingga dapat terciptanya keseragaman pengaturan karena hingga saat ini belum ada suatu undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai adopsi atau pengangkatan anak. Karena antara daerah yang satu dengan daerah yang lain belum memiliki keseragaman dalam hal ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak. 2. Lembaga adat adalah suatu payung hukum adat yang eksistensinya di beberapa daerah sudah memudar bahkan menghilang, namun di sebagian daerah Jawa seperti Solo, Yogyakarta dan Subang lembaga adat ini masih ada dan masih memiliki pengaruh yang kuat bagi masyarakatnya, perlunya pelestarian lembaga adat selain sebagai salah satu bentuk pelestarian budaya namun juga sebagai poros dalam penyelesaian maupun pengaturan mengenai hukum adat yang berlaku baik dalam hal pengangkatan anak maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan hukum adat. 3. Perlunya sosialisasi yang dilakukan oleh Kepala Adat atau Lembaga Adat mengenai tata cara pengangkatan anak di daerah-daerah khususnya di Jawa untuk dilakukannya pengesahan pengangkatan anak melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama muslim dan pengesahan pengangkatan anak melalui Pengadilan Negeri bagi yang beragama non muslim guna memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi hak-hak anak angkat khususnya dalam hal pewarisan tanpa merubah atau menghilangkan kebiasaan dan tata cara pengangkatan anak berdasarkan hukum adat yang berlaku. 4. Perlunya peran dan kesadaran masyarakat itu sendiri akan penting dilakukannya pengesahan oleh Pengadilan mengenai pengangkatan anak ini. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
78 Universitas Indonesia DAFTAR PUSTAKA I. BUKU Any, Andjar. Perkawinan Adat Jawa lengkap. Surakarta: PT. Pabelan, 1986. Direktorat Jendral pembinaan Badan Peradilan Umum. Masalah Hukum perdata adat. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1980. Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2010. Hadikusuma, Hilman. Hukum Kekerabatan Anak. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1987. Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni, 2010. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadits. Jakarta: Tintamas, 1981. Hazairin. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas, 1968. Imam Subekti, Winarsih dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Muhammad, Bushar. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Muhammad, Bushar. Susunan Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1985. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung, 1974. Poerwadarminta. Kamus Hukum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Warisan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung, 1983. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
79 Universitas Indonesia Satrio, J. Hukum Waris. Bandung: PT. Citra Aditya, 1990. Suparman, Eman. Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1990. Soekanto, dan Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung: Alumni, 1978. Soekanto, Soerjono dan Soleman b. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1981. Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995. Sudiyat, Iman. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1981. Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluarga. Bandung: Alumni, 1980. Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Sudiyat, Iman. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty, 1981. Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. Sugangga, I.G.N. Hukum Waris Adat Jawa tengah. Semarang: Biro Konsultasi Hukum dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1998. Samsudin, Achmad, et all. Yurisprudensi Hukum Waris Seri Hukum Adat (III). Bandung: Alumni, 1983. Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 2007. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 1986. Tafal, Bastian. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari. Jakarta: Rajawali Pers, 1989. Tunggal, Arif Djohan. Peraturan Perundang-undangan Kewarganegaraan Republik Indonesia Tahun 1950-1996. Jakarta: Harvarindo, 1998. Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1992. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
80 Universitas Indonesia Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. II. SKRIPSI/TESIS Novi Kartiningrum. Implementasi Pelaksanaan Adopsi Anak Dalam Perspektif Perlindungan Anak (Studi di Semarang dan Surakarta). Tesis Magister Hukum Universitas Diponegoro. 2008 III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. ________. Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No.1 Tahun 1974, LN No. 42 tahun 1974. TLN No. 3821. ________. Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak. UU No. 4 Tahun 1979. LN No. 32 Tahun 1979. TLN No. 3143. ________. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak. UU No. 23 Tahun 2002. LN No. 109 Tahun 2002. IV. INTERNET Lontar. www. Lontar.ui.ac.id/file=digital/125064-PK%201%202139. Diunduh 28 Desember 2011. Adopsi dalam pandangan Islam .http://www.daniexe.co.cc/2009/06/adopsi-dalam- pandangan-islam.html. Diunduh 26 April 2011. Tugas Adat Per Bab. http://www.scribd.com, diunduh pada tanggal 2 Januari 2012. Romantika Perempuan di Ranah Minang. http://almakkiyat.wordpress.com, diunduh pada tanggal 2 Januari 2012. Hukum Budaya dan Agama. http://theadvocateofchange.wordpress.com, diunduh pada tanggal 2 Januari 2012. Harta Perkawinan Adat. http://yayiz.wordpress.com, diunduh pada tanggal 16 Januari 2012. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
81 Universitas Indonesia Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989. www.docstoc.com, diunduh pada tanggal 28 Maret 2012. Adopsi Anak. http://bambang-rustanto.blogspot.com ,diunduh pada tanggal 28 Maret 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54. http://siak-banjar-webs.com, diunduh pada tanggal 25 April 2012. Campur Kaya. www.deskripsi.com , diunduh pada tanggal 12 Juni 2012. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007
TENTANG
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. 2. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. 3. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. 4. Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan. 5. Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari Menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak. 6. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan. 7. Pekerja sosial adalah pegawai negeri sipil atau orang yang ditunjuk oleh lembaga pengasuhan yang memiliki kompetensi pekerjaan sosial dalam pengangkatan anak. 8. Instansi sosial adalah instansi yang tugasnya mencakup bidang sosial baik di pusat maupun di daerah. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 2 Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 (1) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. (2) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 4 Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Pasal 5 Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 6 (1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal- usulnya dan orang tua kandungnya. (2) Pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
BAB II JENIS PENGANGKATAN ANAK
Pasal 7 Pengangkatan anak terdiri atas: a. pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.
Bagian Pertama Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia
Pasal 8 Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, meliputi: a. pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan b. pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9 (1) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat. (2) Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dapat dimohonkan penetapan pengadilan.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Pasal 10 (1) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mencakup pengangkatan anak secara langsung dan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak. (2) Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Bagian Kedua Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing
Pasal 11 (1) Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, meliputi: a. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing; dan b. pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui putusan pengadilan.
BAB III SYARAT-SYARAT PENGANGKATAN ANAK
Pasal 12 (1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi: a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus. (2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama; b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
Pasal 13 Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: a. sehat jasmani dan rohani; b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c. beragama sama dengan agama calon anak angkat; d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f. tidak merupakan pasangan sejenis; g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Pasal 14 Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, harus memenuhi syarat: a. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia; b. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan c. melalui lembaga pengasuhan anak.
Pasal 15 Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, harus memenuhi syarat: a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia; dan b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.
Pasal 16 (1) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala instansi sosial di provinsi.
Pasal 17 Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, calon orang tua angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat: a. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun; b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan c. membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV TATA CARA PENGANGKATAN ANAK Bagian Pertama Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia
Pasal 19 Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pasal 20 (1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. (2) Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait.
Pasal 21 (1) Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun. (2) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Bagian Kedua Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing
Pasal 22 (1) Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan pengadilan. (2) Pengadilan menyampaikan salinan putusan pengangkatan anak ke instansi terkait.
Pasal 23 Permohonan pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia berlaku mutatis mutandis ketentuan Pasal 22.
Pasal 24 Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia yang dilahirkan di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia oleh Warga Negara Asing yang berada di luar negeri harus dilaksanakan di Indonesia dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 25 (1) Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V BIMBINGAN DALAM PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
Pasal 26 Bimbingan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat melalui kegiatan: a. penyuluhan; b. konsultasi; c. konseling; d. pendampingan; dan e. pelatihan.
Pasal 27 (1) Penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan informasi dan memahami tentang persyaratan, prosedur dan tata cara pelaksanaan pengangkatan anak. (2) Penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meningkatkan pemahaman tentang pengangkatan anak; b. menyadari akibat dari pengangkatan anak; dan c. terlaksananya pengangkatan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28 (1) Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dimaksudkan untuk membimbing dan mempersiapkan orang tua kandung dan calon orang tua angkat atau pihak lainnya agar mempunyai kesiapan dalam pelaksanaan pengangkatan anak. Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
(2) Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. memberikan informasi tentang pengangkatan anak; dan b. memberikan motivasi untuk mengangkat anak.
Pasal 29 (1) Konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dimaksudkan untuk membantu mengatasi masalah dalam pengangkatan anak. (2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. membantu memahami permasalahan pengangkatan anak; dan b. memberikan alternatif pemecahan masalah pengangkatan anak.
Pasal 30 (1) Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d dimaksudkan untuk membantu kelancaran pelaksanaan pengangkatan anak. (2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meneliti dan menganalisis permohonan pengangkatan anak; dan b. memantau perkembangan anak dalam pengasuhan orang tua angkat.
Pasal 31 (1) Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dimaksudkan agar petugas memiliki kemampuan dalam proses pelaksanaan pengangkatan anak. (2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. meningkatkan pengetahuan mengenai pengangkatan anak; dan b. meningkatkan keterampilan dalam pengangkatan anak.
BAB VI PENGAWASAN PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
Pasal 32 Pengawasan dilaksanakan agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran dalam pengangkatan anak.
Pasal 33 Pengawasan dilaksanakan untuk: a. mencegah pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. mengurangi kasus-kasus penyimpangan atau pelanggaran pengangkatan anak; dan c. memantau pelaksanaan pengangkatan anak.
Pasal 34 Pengawasan dilaksanakan terhadap: a. orang perseorangan; b. lembaga pengasuhan; c. rumah sakit bersalin; d. praktek-praktek kebidanan; dan e. panti sosial pengasuhan anak.
Pasal 35 Pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat.
Pasal 36 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Pengawasan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh Departemen Sosial.
Pasal 37 Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan antara lain oleh: a. orang perseorangan; b. keluarga; c. kelompok; d. lembaga pengasuhan anak; dan e. lembaga perlindungan anak.
Pasal 38 (1) Dalam hal terjadi atau diduga terjadi penyimpangan atau pelanggaran terhadap pelaksanaan pengangkatan anak, masyarakat dapat melakukan pengaduan kepada aparat penegak hukum dan/atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia, instansi sosial setempat atau Menteri. (2) Pengaduan diajukan secara tertulis disertai dengan identitas diri pengadu dan data awal tentang adanya dugaan penyimpangan atau pelanggaran.
BAB VII PELAPORAN
Pasal 39 Pekerja sosial menyampaikan laporan sosial mengenai kelayakan orang tua angkat dan perkembangan anak dalam pengasuhan keluarga orang tua angkat kepada Menteri atau kepala instansi sosial setempat.
Pasal 40 Dalam hal pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1 (satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 41 Semua administrasi yang berkaitan dengan pengangkatan anak berada di departemen yang bertanggung jawab di bidang sosial.
Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bimbingan, pengawasan, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 32, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Pasal 44 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 123 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
I. UMUM
Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas diperlukan pembinaan sejak dini yang berlangsung secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak. Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak dijumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat. Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hakhak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat. Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak. Untuk itu, perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang mencakup ketentuan umum, jenis pengangkatan anak, syarat-syarat pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pengawasan pelaksanaan pengangkatan anak dan pelaporan. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini juga dimaksudkan agar pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan setempat adalah setingkat desa atau kelurahan.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengangkatan anak secara langsung adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada langsung dalam pengasuhan orang tua kandung. Yang dimaksud dengan pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan sepanjang ada alasan mendesak seperti anak korban bencana, anak pengungsian dan sebagainya. Hal ini dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak. Huruf c Yang dimaksud dengan anak memerlukan perlindungan khusus adalah anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan; anak yang menjadi korban penyalahgunaan Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza); anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan; anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental; anak yang menyandang cacat; dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan orang tua tunggal adalah seseorang yang berstatus tidak menikah atau janda/duda. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan instansi terkait adalah Mahkamah Agung melalui Panitera Mahkamah Agung, Departemen Sosial, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Lihat penjelasan Pasal 20 ayat (2).
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas memberikan pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan anak dan beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 26 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan konseling adalah kegiatan yang dilakukan setelah tahap konsultasi dalam hal terjadinya permasalahan pengangkatan anak. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Ayat (1) Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012
Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah suatu badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertugas: 1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. 2. Memberikan laporan, sasaran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4768 Akibat hukum ..., Guntur Pitut DK, FH UI, 2012