Anda di halaman 1dari 68

HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT CERAI GUGAT

BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KELAS 1B KUPANG

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)

Pada Bagian Hukum Perdata

OLEH

AMANAH SUCI HATIFAH

1102012010

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

FAKULTAS HUKUM

KUPANG

2015

1
i
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku Bapak H. Aba Muhammad, S.H dan Ibu Hj. Siti Samir,
S.Pd
2. Kakak Nanda Cita Allifah, S.Kom dan Adik Tahta Reza Gramang Atapukan
3. Keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi
4. Semua teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum 2011
5. Almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana.

ii
MOTTO

Anak merupakan mutiara yang harus diasah dengan kasih sayang


dan perhatian orang tua agar menjadi mutira yang berkilau
sehingga dapat membanggakan orangtua

-Amanah Suci Hatifah-

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga rahmat dan
karunia-Nya menyertai setiap langkah-langkah kita dipermukaan bumi ini. Tak lupa
sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW dan para
pengikutnya yang selalu istiqomah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir
zaman.

Skripsi ini berjudul Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Cerai Gugat
Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Studi Strata (SI) pada
Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana dan juga untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum.

Dengan selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan,
petunjuk serta dukungan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan rasa terima kasih dan penghormatan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Nusa Cendana dana jajaran yang telah


memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program SI di
Universitas Nusa Cendana Kupang
2. Bapak Dekan Fakultas Hukum, Bapak Pembantu Dekan dan seluruh
Civitas Akademik yang tak kenal lelah mentransformasi ilmunya disetiap
saat

iv
3. Ibu Orpa J. Nubatonis, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
dan Dosen Penasehat Akademik yang selalu membimbing dan
memberikan motivasi kepada penulis
4. Bapak Sukardan Aloysius, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I yang
dengan kesungguhan hati telah mengorbankan waktu dalam mendukung
dan membimbing penulis selama penulisan skripsi ini
5. Bapak Husni K. Dinata, S.H., MH selaku Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini
6. Bapak Drs. Muhammad Camuda, MH selaku Ketua Pengadilan Agama
Kelas 1B Kupang yang telah menerima penulis untuk melakukan
penelitian dan memberikan informasi serta data yang sangat dibutuhkan
oleh penulis
7. Ayahanda tercinta H. Aba Muhammad, S.H dan Ibu Hj. Siti Samir, S.Pd
yang membesarkan, mendidik, memberikan semangat, memberikan kasih
sayangnya serta doanya agar penulis dapat cepat selesai dalam
penyusunan skripsi ini
8. Keluarga tercinta Kakak Nanda Cita Allifah, Kakak Nurmasa Atapukang
dan Adik Tahta Reza Gramang Atapukan yang telah memberikan motivasi
dan doa agar penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
9. Sahabat tersayang Satimah S. Dewi Mandiri, Auxilia D. Ferreira, Nanang
R. Wibowo, Mustarin, Fatur Rahmat dan abangku Muhamad Ardian yang
selalu memotivasi dan membantu penulis dalam segi materi dan non
materi
10. Kepada teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum 2011 Bersa M. Uju
Edo, Dian V. Bere, Aminah H. Pattiradja, Mahani S. Sartika, Denny Ully
Tadu, Rocky R. Lay, Decky Sinlae, Dany F. Radjab, Daud R. Mulyana,
Demiton, Apliani D. Ne yang telah memberikan warna hidup dan selalu
kompak selama menempuh perkuliahan bersama penulis

v
11. Kepada teman-teman HMI Komisariat Hukum yang selalu memberikan
motivasi dengan motto Yakusa (Yakin Usaha Sampai)
12. Kepada seluruh pihak yang tidak tertulis, penulis mengucapkan mohon
maaf yang sebesar-besarnya dan terima kasih atas segala bantuannya.

Penulis menyadari bahwa didalam skripsi ini masih terdapat kekurangan dan
kekeliruan yang tidak disengaja, oleh karena itu penulis meminta maaf yang sebesar-
besarnya. Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya yang diterima penulis akan
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin

Kupang, 07 Oktober 2015

Penulis

vi
ABSTRAK
Perceraian membawa akibat hukum terputusnya perkawinan. Persoalan yang
akan timbul setelah terjadinya perceraian cukup banyak diantaranya adalah apabila
dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat
hukum terhadap si anak, yaitu orang tua tidak dapat mengasuh anak secara bersama-
sama, dalam hal ini hak asuh anak diserahkan kepada salah satu orang tuanya. Dalam
sebuah lembaga perkawinan telah ditentukan bahwa anak-anak adalah menjadi
tanggung jawab suami dan isteri sebagai bapak dan ibu dari anak-anak hingga
dewasa. Ketentuan peraturan Perundang-undangan telah memberikan hak asuh anak
dibawah umur (mumayyiz) kepada ibunya, akan tetapi dalam hal anak yang sudah
mumayyiz bisa memilih untuk ikut ayah atau ibunya, maka akan diberikan
kesempatan untuk memilih sendiri. Masalah pokok dalam penelitian ini adalah
bagaimana implementasi hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat berdasarkan
putusan Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi hak asuh
anak dibawah umur akibat cerai gugat. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
masukan untuk pengembangan dan perluasan pengetahuan dibidang Hukum Perdata
pada umumnya dan Hukum Perkawinan pada khususnya serta memperoleh masukan
dan pemahaman yang lebih mendalam lagi bagi Peradilan Agama dan pihak yang
terkait yang mendapatkan Putusan Pengadilan Agama. Untuk mengetahui dan
memahami permasalahan diatas makan dilakukan penelitian dengan menggunakan
metode empiris dan normatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi hak asuh anak dibawah
umur sudah sesuai dengan keputusan para Hakim, namun terdapat kelemahan dalam
hal ini Ayah atau mantan suami tidak bertanggung jawab dalam memberikan
perhatian kasih sayang, membiayai anak, memberikan pendidikan kepada anak.
Kesimpulan menunjukan implementasi terhadap hak asuh anak dibawah umur
akibat cerai gugat dari 3 (tiga) perkara yang sudah berjalan sebagaimana mestinya
masih terdapat 2 (dua) perkara dalam paska perceraian dimana peran seorang ayah
yang belum sama sekali melakukan kewajibannya terhadap anaknya, padahal
walaupun sudah adanya putusan cerai tetapi hak-hak anak harus selalu terpenuhi dan
terdapat 1 (satu) perkara yang sudah menjalankan putusan sebagaimana mestinya,
dimana seorang ayah sudah melaksanakan kewajiban, seperti membiayai anak,
memberikan perhatian baik secara moril dan materil walaupun tidak sesering
mungkin. Hambatan perceraian dari 3 (tiga) perkara tidak memeliki hambatan apa-
apa akan tetapi setelah paska perceraian terdapat sedikit hambatan, yaitu mengenai
kewajiban orang tua terhadap anak, dimana kewajiban ayah sebagaimana diharapkan
semestinya dalam artian ayah tidak membiayai kehidupan anak, kurang perhatian
terhadap anak bahkan kurang memberikan kasih sayang.
Saran penulis adalah sebaiknya kepada para pihak melaksanakan aturan
hukum yang telah ada dan melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh Majelis

vii
Hakim dan juga saling mengerti dan memahami tentang keberadaan masing-masing
karena anak adalah amanah titipan Tuhan, maka perlu dijaga dan dirawat dengan baik
serta kepada para pihak walaupun sudah berpisah tetap menjaga tali silaturahmi
dengan saling memperhatikan hak-hak anak, dimana tidak adanya kata mantan anak
tetapi hanya ada mantan suami atau mantan isteri. Hilang anak, hilang kebanggaan
orang tua, oleh karena itu orang tua harus selalu menjaga dan memelihara hubungan
baik natara kedua belah pihak demi masa depan anak.

viii
ABSTRACT

Divorce brings legal consequences of marriage dissolution. The issue that will
arise after the divorce is quite a lot of divorce is when the marriage was born children,
so divorce also brings legal consequences for the child, the parents can not raise
children together, in this case the custody of children submitted to one the parents.In
a marriage agency has determined that the children are the responsibility of the
husband and wife as the father and mother until the children adult. The regulatory
legislation stipulation has given custody of minors to his mother, but in the case of
children who have mumayyiz can choose to follow the father or mother, they will be
given the opportunity to choose for themselves. The main problem in this research is
how the implementation of the custody of minors as a result of divorce based on
decision of the Religious Court Kupang Class 1B.
The aim of this research is to know the implementation of the custody of
minors due to divorce. The benefits of this research are as input for the development
and expansion of knowledge in the field of Civil Law in general and especially the
Marriage Law and obtain input and a deeper understanding for the Religious Court
and related parties who receive religious court ruling. To know and understand the
above problems the research is done using empirical and normativemethod. The
technique of data collection through interviews and literature study.
The results showed that the implementation of the custody of minors is in
conformity with the decision of the judge, but there is a weakness in this case that
ex-husband or the father is not responsible in giving attention affection, pay
childrensneeds, and providing education to the children.
The conclusion shows that from the three(3) cases in the Religious Court
Kupang Class IB, the implementation of the custody of minors due to divorce that
have been run properly there are two (2) cases in the post-divorce in which the role of
a father who has not completely perform his obligations to their children, although
there is a decision of their divorce but the rights of the children must always be

ix
fulfilled and there is 1 (one) case that is already run the verdict, where a father has
obligations, such as pay childrensneeds, paying attention to both morally and
material although not as often as possible. There is no obstacles for the three cases in
divorce but after the divorce decision , the obstacles are arised, namely the obligation
of parents to children is out of the decision where the the father does not pay
chlidrens needs, lack of attention to children even less affectionate.
Suggestions of the writer is recommend that the parties implement the laws
that already exist and implementing what has been decided by the judges and also
they should understand each other and understand where each child is as the
mandate of God, so it needs to be maintained and care for as well as possible
although the parties had been separated, they should keep the silaturahim, care to the
chidrens rights, because there is no ex-child but only ex-husband or ex- wife.Missing
children, missing the pride of the parents, therefore, parents should always keep and
maintain good relations between the two sides for the sake of the future of the
children.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................... i

PERSEMBAHAN ........................................................................................................ ii

MOTTO ........................................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv

ABSTRAK ................................................................................................................... vi

ABSTRACK ................................................................................................................. vii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 4

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 4

D. Manfaat Penulisan ............................................................................................... 4

E. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 5

F. Metode Penelitian ................................................................................................. 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN PROSEDUR

CERAI GUGAT

xi
A. Pengertian Perceraian ..........................................................................................

...... 14

B. Prosedur Perceraian .............................................................................................

...... 20

C. Akibat Perceraian .................................................................................................

...... 31

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Singkat Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang ..................................

...... 33

B. Syarat-syarat dan Prosedur Hak Asuh Anak .......................................................

...... 43

C. Implementasi Putusan Terhadap Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Cerai

Gugat .................................................................................................................. 45

D. Hambatan Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Cerai Gugat .......................

...... 50

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ..........................................................................................................

...... 52

B. Saran . ................................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat

manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina

sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan bermasyarakat.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1

pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan pengertian

perkawinan menurut Islam dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang

hukum perkawinan pasal 2, pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon

gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pada dasarnya perkawinan itu bertujuan untuk selama-lamanya namun

adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat

diteruskan jadi harus diputuskan ditengah jalan atau terpaksa terputus dengan

sendirinya atau dengan kata lain terjadinya perceraian antara suami isteri. Perceraian

terjadi apabila kedua belah pihak, baik suami maupun isteri sudah sama-sama merasa

ketidak cocokan dalam menjalin rumah tangga.Dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian

secara khusus. Namun dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

1
Perkawinan dalam pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa, perceraian dapat dilakukan

apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan.Perceraian dalam istilah

ilmu fiqih disebut talaq atau furqah.Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan

perjanjian.

Perceraian membawa akibat hukum terputusnya perkawinan. Persoalan yang

akan timbul setelah terjadinya perceraian cukup banyak diantaranya adalah apabila

dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat

hukum terhadap si anak, yaitu orang tua tidak dapat mengasuh anak secara bersama-

sama, dalam hal ini hak asuh anak diserahkan kepada salah satu orang tuanya.Dalam

sebuah lembaga perkawinan telah ditentukan bahwa anak-anak adalah menjadi

tanggung jawab suami dan isteri sebagai bapak dan ibu dari anak-anak hingga

dewasa.Ketentuan peraturan Perundang-undangan telah memberikan hak asuh anak

dibawah umur (mumayyiz) kepada ibunya, akan tetapi dalam hal anak yang sudah

mumayyiz bisa memilih untuk ikut ayah atau ibunya, maka akan diberikan

kesempatan untuk memilih sendiri.

Hak asuh anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya. Hak asuh dalam

hal ini meliputi berbagai hal, yaitu masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu

yang menjadi kebutuhan pokok si anak. Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam tidak secara rinci mengatur masalah hak asuh anak karena tugas dalam

mengasuh seorang anak, berada dalam tanggung jawab suami yang merupakan bapak

bagi anak-anaknya.Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak

suami sebagai kepala keluarga tetapi tidak menutup kemungkinan isteri dapat

2
membantu suami dalam menaggung kewajiban ekonomi tersebut. Hal yang terpenting

dalam hak asuh anak adalah adanya kerja sama dan rasa saling tolong menolong

antara suami dan istri dalam mengasuh anak dan mengantarkannya hingga anak itu

menjadi dewasa.

Berdasarkan prapenelitian beberapa kasus yang terjadi di Kota Kupang

menunjukan bahwa tingkat perceraian mencapai angka 50%, khususnya dalam

wilayah hukum pada Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang. Dalam kasus perceraian

tersebut sehubungan dengan hak asuh anak dibawah umursering kali menjadi

persoalan oleh kedua orang tuanya untuk mengasuh anak yang menjadi korban dari

perceraian.

Dalam konteks kehidupan modern dalam semua aspek kehidupan manusia, hak

asuh anak perlu dipahami secara lebih luas dan meyeluruh. Hal ini dimaksudkan agar

orang tua tidak hanya memperioritaskan pada terpenuhinya kewajiban materiil akan

tetapi lebih dari itu kebutuhan mereka akan cinta dan kasih sayang dari kedua orang

tuanya.

Berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan diatas, maka penulis tertarik untuk

meneliti akibat perceraian khususnya cerai gugat bagi anak dengan judul Hak Asuh

Anak Dibawah Umur Akibat Cerai Gugat Berdasarkan Putusan Pengadilan

Agama Kelas 1B Kupang

3
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang, maka dapat

dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:Bagaimana

implementasi hak asuh anak di bawah umur akibat cerai gugat berdasarkan putusan

Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah, untuk mengetahui

implementasi hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat.

D. MANFAAT PENULISAN

Sebagai masukan untuk pengembangan dan perluasan pengetahuan di bidang

Hukum Perdata pada umumnya dan Hukum Perkawinan pada khususnya dan

memperoleh masukan dan pemahaman yang lebih mendalam lagi bagi Pengadilan

Agama dan pihak terkait yang mendapatkan putusan Pengadilan Agama.

4
E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Hak Asuh Anak

Hak asuh anak dalam bahasa arabnya Hadhanah berasal dari kata hidhan yang

berarti lambung. Seperti dalam kalimat hadhanan at-thairu baidhahu yang artinya

burung itu mengempit telur dibawah sayangpnya. Para ahli fikih mendifinisikan

hadhanah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki

ataupun perempuan yang belum mummayiz untuk menyediakan sesuatu yang

menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,

mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup

dan memikul tanggung jawabnya (Sabiq, 2007 : 237)

Secara etimologi kata hadhanah adalah bentuk dasar dar kata hadhanah

asshobiyu, yang artinya mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh hadhanah

dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping,

dada atau lengan. Dan secara terminologi hadhanah adalah menjaga anak yang belum

bisa mengatur dan merawat dirinya dari hal-hal yang membahayakan dirinya.

Mengasuh anak maksudnya mendidik dan memelihara anak itu, mengurus

makanan, minuman, pakian dan kebersihannya, dalam periode umurnya yang

pertama. (Ahmad al-Barry, 2004 : 45)

Istilah kuasa atau hak asuh anak merujuk kepada arti yang berarti kekuasaan

seseorang (ayah atau ibu atau nenek dan lain-lain) atau lembaga, berdasarkan putusan

atau penetapan pengadilan, untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan,

5
pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak

mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar sesuai dengan agama yang

dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. (Bahari, 2012 : 158)

Hadhanah menurut H. Sulaiman Rasyid adalah mendidik, mendidik disini

dapat diartikan bahwa menjaga, mendidik, memimpin serta mengatur dalam

kehidupannya sehingga anak tersebut dapat mengatur dirinya sendiri sesuai

pengertian Hadhanah tersebut. (Rasyid, 1994 : 426)

Dalam praktik di Pengadilan Agama, hakim biasanya akan merujuk pada aturan

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengasuhan anak dalam konsep Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dikenal dengan istilah hak hadhanah (pemeliharaan anak). Hak

hadhanah adalah untuk mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa,

menikah atau maupun berdiri sendiri. (Bahari, 2012 : 160)

Hak hadhanah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 huruf a,

bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah

hak ibunya dan pasal 105 huruf b, dikatakan pemeliharaan anak yang sudah

mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai

pemegang hak pemeliharaannya.

2. Pengertian Anak dibawah Umur

1. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam

Pengertian anak menurut istilah Hukum Islam adalah keturunan kedua yang

masih kecil.Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwaliaan dibagi menjadi dua

tingkatan, yaitu:

6
1.1. Kecil dan belum mumayyiz, dalam hal ini itu sama sekali tidak memeliki

kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya ia membeli apa-apa

atau memberikan apa-apa kepada orang lain

1.2. Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini kecil ini kurang kemampuannya untuk

bertindak, namun sudah punya kemampuan oleh sebab itu kata-katanya sudah

dapat dijadikan pegangan dan sudah sah kalau ia membeli atau menjual atau

memberikan apa-apa kepada orang lain. (Ahmad Al-Barry, dkk, 1997 : 113)

Dalam Hukum Islam, anak yang mumayyiz ialah yang sudah mencapai usia

mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia mengerti maksud kata-kata

yang diucapkannya, bahwa membeli itu menerima barang sedangkan menjual itu

memberikan barang dan juga ia mengerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia

anak itu sudah genap 7 (tujuh) tahun. Jadi, kalau masih kurang dari tujuh maka anak

itu hukumnya belum mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah menjual

dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih 7 (tujuh) tahun

umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli dan sebagainya. (Ahmad Al-

Barry, dkk, 1997 : 114)

Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 98 ayat (1) dikatakan

bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan.

7
2. Pengertian Anak dibawah Umur Menurut Undang-undang Perlindungan Anak

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

3. Pengertian Anak dibawah Umur Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Dalam Pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa, anak yang belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah

kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak docabut dari kekuasaannya.

Dalam Pasal 50 ayat (1) dikatakan bahwa, anak yang belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak

berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. .

3. Pengertian Cerai Gugat

Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan

pengadilan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal dua

(2) jenis gugata perceraian, yakni cerai talak dan cerai gugat. Dan di dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) Pasal 114 juga menerangkan bahwa, putusnya perkawinan yang

disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena Talak atau berdasarkan gugatan

perceraian.

Cerai gugat, yaitu gugatan perceraian yang diajukan oleh istri (penggugat)

terhadap suami (tergugat) kepada Pengadilan Agama dan berlaku pula pengajuan

gugatan terhadap suami oleh istri yang beragama Islam di Pengadilan Negeri.

(Bahari, 2012 : 17)

8
Menurut Undang-undang Peradilan Agama Nomor 50 Tahun 2009 telah

mengubahnya dengan istilah baru. Istilah yang dipergunakan untuk permohonan

Talak disebut Cerai Talak, sedang untuk Gugat Cerai istilahnya dibalik menjadi

Cerai Gugat. Dengan istilah baru ini, dipertegas untuk pemecahan perkawinan

berdasarkan putusan Pengadilan Agama sesuai dengan Hukum Islam.

Dalam Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Pasal 73 (1), gugatan perceraian

diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja

meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. (Manan, dkk, 2000 :

51).

Dijelaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132 (1) bahwa,

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang

daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan

tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.

Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan

yang diajukan oleh isteri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami)

menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud.

(Zainudin Ali, 2009 : 81)

Ahrum Hoerudin juga menjelaskan pengertian Cerai Gugat secara luas ialah

suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat (pihak istri) kepada Pengadilan Agama,

agar tali perkawinan dirinya dengan suaminya diputuskan melalui suatua putusan

9
Pengadilan Agama, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. (Ahrum Hoerudin,

1999 : 20).

Dalam Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 diatur secara khusus tentang cerai

gugatyaitu dalam pasal 73. Tahapan persidangan pada cerai gugat, yaitu sidang

membaca gugatan, sidang jawaban tergugat, sidang replikpenggugat, sidang

dupliktergugat, sidang pembuktian penggugat, sidang pembuktian tergugat, sidang

kesimpulan dansidang putusan. (Siti Ramlah Usman, 2013 : 60-69)

Sebagaimana menurut Undang-undang Nomor 50Tahun 2009 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

bahwa perceraian adalah salah satu dari beberapa perkara yang termasuk kedalam

kewenangan Peradilan Agama yang bersifat absolute.

F. METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang.

2. Spesifikasi Penelitian

a. Penelitian empiris, yaitu penelitian yang datanya diperoleh dari lapangan

dengan cara wawancara atau interview langsung terhadap responden

penelitian

b. Penelitian normatif, yaitu penelitian yang datanya diperoleh dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

10
3. Jenis dan Sumber Data

a. Data Primer, yakni data yang diperoleh dari lapangan dengan teknik

wawancara atau interview berdasarkan pertanyaan yang disampaikan oleh

peneliti baik secara tertulis maupun secara lisan

b. Data Sekunder, yakni data yang diperoleh dari literatur-literatur yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti

c. Data tersier, yakni data yang diperoleh dari dokumen-dokumen.

4. Aspek-aspek Yang diteliti

a. Syarat-syarat dan prosedur hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat

b. Implementasi putusan terhadap hak asuh anak dibawah umur akibat cerai

gugat

c. Hambatan dalam hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat

5. Populasi, Sampel dan Responden

a. Populasi

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah pasangan cerai gugat

yang diputuskan di Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang dalam kurun waktu

tiga (3) tahun terakhir yang berjumlah 3 (tiga) pasangan dimana pada

putusan tersebut juga terdapat gugatan hak asuh anak.

11
b. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

teknik penarikan sampel jenuh dengan pertimbangan semua responden

mendapatkan kesempatan yang sama.

c. Responden

Yang menjadi Responden dari penelitian ini, adalah:

Hakim yang menangani perkara perceraian : 3 orang

Panitera di Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang : 1 orang

Penggugat : 3 orang

Tergugat : 3 orang

Jumlah : 10 orang

6. Teknik Pengumpulan Data

a. Teknik wawancara atau interview, yaitu mengajukan pertanyaan secara

langsung kepada responden

b. Studi pustaka, yaitu mempelajari literatur-literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.

7. Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengolahan Data dilakukan dengan cara:

1. Editing, yaitu meneliti kembali hasil penelitian sehingga mendapat data

yang jelas dan lengkap

12
2. Coding, yaitu menyusun secara sistematis semua data yang diperoleh dari

lapangan

3. Tabulasi, yaitu data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel

kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

b. Analisis Data

Data yang diperoleh dapat diolah dan disajikan dalam bentuk tabulasi,

kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif.

13
BAB II

TINJAUAN UMUM

TENTANG PERCERAIAN DAN PROSEDUR CERAI GUGAT

A. Pengertian Perceraian

Perkawinan hapus, jiakalau salah satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus

juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin hakim, bilamana pihak yang

lainnya meninggalkan tempat tinggal hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada

ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.

(Subekti, 2003 : 42).

Pengaturan perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan terdapat dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1975,

Pasal 38 menentukan bahwa perjalannya perkawinan dapat putus, yaitu jika

disebabkan oleh:

a. Kematian

b. Perceraian, atau;

c. Atas keputusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan secara wajar

atau alamiah. Lain halnya dengan terputusnya perkawinan karena perceraian dan

putusan pengadilan, yang mana pada hakekatnya dapat diatasi atau dihindarkan agar

14
tidak terjadi. Perkawinan antara suami isteri putus, yang dimaksud ialah, Apabila

perkawinan tersebut berakhir, dan berakhirnya perkawinan itu bisa karena

perceraian, demikian pula bisa karena kematian salah seorang suami atau isteri, atau

karena keputusan pengadilan. (Wahyono Darmabrata, 2004 : 103)

Putusnya perkawinan karena perceraianmerupakan kehendak dari manusia

sendiri, apakah dari pihak isteri atau pihak suami yang berkeinginan untuk melakukan

perceraian. Dengan adanya perceraian, artinya bahwa suami dan isteri tidak

mengingat akan tujuan perkawinan itu pada mulanya atau apakah memang

perkawinan mereka itu dilakukan hanya sekedar untuk syarat dalam memenuhi tujuan

tertentu lainnya yang mungkin terpuji atau tidak terpuji.

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan

berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Oleh karena

itu dapat dipahami bahwa, jika peraturan mengenao perceraian dapat dilakukan bila

mempunyai alasan yang tepat dan keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi.

(Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman,

1985 : 8).

Undang-Undang tidak memperbolehkan perceraian dengan mufakat antara suami

dan isteri saja, namun perceraian harus ada alasan-alasan yang sah menurut Undang-

Undang. Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39

menerangkan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa

suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

15
Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan sidang pengadilan,

baik itu karena sumi yang telah menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena isteri yang

menggugat cerai atau memohon hak talak sebagai sighat talik talak. Meskipun dalam

agama Islam, perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh si

suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya untuk

melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum atas

perceraian tersebut.

Undang-Undang menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

sidang Pengadilan melalui suatu gugatan perceraian. Jadi tidak mungkin ada

perceraian yang dilakukan diluar pengadilan. Pengadilan yang berwenang untuk

perceraian adalah Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan

Negeri untuk yang tidak beragama Islam. Dalam hal ini, pertama-tama pengadilan

akan berusaha mendamaikan di antara suami dan isteri yang akan bercerai tersebut.

Jika usaha cukup alasan bahwa antara suami dan isteri tersebut tidak akan dapat lagi

hidup secara rukun sebagai suami isteri, disamping harus memenuhi persyaratan

lainnya, yaitu sebagai berikut:

1. Salah satu pihak melakukan zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Dalam suatu perkawinan terdapat suatu persamaan kewajiban, yaitu

kesetiaan antara suami dan isteri akan tetapi kalau terjadi perzinahan yang

dilakukan oleh pihak suami maupun isteri, itu merupajan perbuatan yang

menyebabkan timbulnya kegoncangan dalam rumah tangga dan atas dasar itu baik

16
suami maupun isteri yang merasa dikecewakan dapat mengajukan gugatan

perceraian kepada Pengadilan. Dalam hal gugatan perceraian kepada Pengadilan

dengan alasan perzinahan, maka terlebih dahulu harus ada putusan hakim pidana.

Setelah putusan hakim pidana barulah yang bersangkutan mengajukan gugatan

perceraian dengan alasan perzinahan kepada hakim perdata dan sebagai bukti

pihak yang bersangkutan (penggugat) harus menyerahkan salinan putusan hukum

pidana tentang perkara perzinahan.

Dengan demikian, maka perzinahan merupakan alasan yang dapat digunakan

untuk menuntu perceraian oleh suami maupun isteri di depan Pengadilan, akan

tetapi tidak beranggapan pada salah satu pihak bahwa pihak lain telagh

melakukan perzinahan, tetapi disertai dengan putusan hakim pidana tentang

perzinahan sebagai barang bukti.

Selain perzinahan seperti yang telah diuraikan diatas, Pasal 19 su a Peraturan

Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 juga disebut penjudi dapat dijadikan alasan oleh

salah satu pihak untuk menuntut perceraian. Hal ini dapat terjadi setelah

perkawinan berlangsung, salah satu pihak dihinggapi penyakit atau kebiasaan

menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya sehingga yang sukar

disembuhakn maka pihak yang merasa dirugikan itu dapat mengajukan gugatan

perceraian ke Pengadilan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama minimal dua tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar

kemampuannya.

17
Rasio dari pada dicantumkannya alasan perceraian tersebut di atas

adalah untuk melindungi pihak yang ditinggalkan, jangan sampai kepentingannya

diperkosa, baik kepentingannya sebagai warga masyarakat maupun sebagai

manusia. Akibat tingkah laku pihak yang meninggalkan tanpa ijin dan tanpa

alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, maka pihak yang

ditinggalkan dapat mengajukan gugatan perceraian.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama minimal lima tahun setelah

perkawinan berlangsung.

Alasan-alasan seperti ini sama halnya dengan alasan perceraian ad.2,

tujuannya untuk melindungi pihak yang tidak terhukum. Jangan sampai segala

kemampuannya sebagai makhluk sosial maupun sebagai pribadi diperkosa karena

perbuatan-perbuatan pihak yang terhukum, dilindungi jangan sampai

pengghidupan dan kehidupannya menderita lantaran ditinggalakan suami atau

isterinya selama 5 (lima) tahun.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

Dalam hal ini baik suami maupun isteri melakukan kekejaman atau

penganiayaan terhadap suami maupun isteri. Akibatnya suami atau isteri

dihadapkan pada ancaman keselamatan jiwanya atau cacat fisik. Untuk

menghindari akibatnya, maka suami atau isteri memakai alasan kekejaman atau

penganiayaan ini untuk menuntut perceraian.

18
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/ isteri.

Hal-hal ini dapat terjadi setelah perkawinan berlangsung, dimana salah satu

pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan ia tidak

menjalankan tugasnya lagi suami atau isteri. Yang dimaksud dengan cacat badan

disini contohnya adalah kaki atau tangan patah atau hilang akibat kecelakaan atau

cacat badan lain, sehingga menyebabkan anggota badan lainnya tidak berfungsi.

Sedangkan yang dimaksud dengan penyakit, yaitu akibat yang ditimbulkan oleh

penyakit misalnya: suami atau isteri mandul sehingga tidak memperoleh

keturunan. Pengaduan seperti ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk

mengajukan permohonan perceraian ke Pengadilan.

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup lagi dalam rumah tangga.

Gugatan yang didasarkan pada alasan ini harus dipertimbangkan oleh

Pengadilan, apakah benar-benar dapat terpengaruh sehingga merupakan suatu

sebab prinsipal ketidak utuhan hidup keluarga. Untuk itu, maka Pengadilan perlu

mendengarkan keterangan dari pihak keluarga atau orang-orang terdekat dengan

pihak-pihak yang berpekara.

Perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam perceraian, yaitu:

1. Cerai Talak, yaitu dimana suami (pemohon) mengajukan permohonan kepada

Pengadila Agama untuk memperoleh izin menjatuhkan talak kepada isteri.

19
Berdasarkan Agama islam, cerai dapat dilakukan oleh suami dengan

mengikrarkan talak kepada isteri namun agar sah secara hukum suami

mengajukan permohonan menjatuhkan ikrar talak terhadap termohon di

hadapan Pengadilan Agama

2. Cerai Gugat, yaitu gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri (penggugat)

terhadap suami (tergugat) kepada Pengadilan Agama yang berlaku pula

pengajuan gugatan terhadap suami oleh isteri yang beragama Islam di

Pengadilan Negeri. Cerai gugat inilah yang mendominasi jenis perceraian.

B. Prosedur Perceraian

Secara garis besar, prosedur gugatan perceraian dibagi ke dalam 2 (dua) jenis,

tergantung pihak mana yang mengajukan gugatannya, yaitu:

a. Cerai Talak;

b. Cerai Gugat.

Dalam mengajukan gugatan perceraian, yang juga harus diperhatikan adalah,

Pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan tersebut untuk

selanjutnya memeriksa perkara perceraian yang diajukan berdasarkan kompetensi

absolutnya (Peradilan Umum atau Peradilan Agama).Perceraian memeliki tata cara

yang diatur di dalam perundang-undangan secara lengkap dan menyeluruh sehingga

lebih menjamin adanya kepastian hukum didalam melaksanakan perceraian.

20
A. Prosedur Cerai Talak

1) Prosedur Cerai Talak Menurut Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50

Tahun 2009 Pasal 66, pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya

mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang

guna menyaksikan ikrar talak;

b) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan ke

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon,

kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman

yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon;

c) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan

diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman pemohon;

d) Dalam hal pemohon dan termohon, bertempat kediaman di luar negeri,

maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada

Pengadilan Agama Jakarta Pusat;

e) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta

bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan

cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

21
2) Prosedur Cerai Talak Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18, pada pokoknya dapat diuraikan

sebagai berikut:

a) Pengadilan mempelajari isi surat yang diajukan oleh suami dan dalam

waktu selambat-lambatnya 30 hari, memanggil pihak yang mengirim

surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu

yang berhubungan dengan maksud perceraian

b) Setelah mendapat penjelasan dan ternyata memang terdapat alasan-alasan

bercerai dan Pengadilan berpendapat bahawa antara suami isteri yang

bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun kembali

dalam hidup berumah tangga, kemudian Pengadilan menyaksikan

perceraian yang dilakukan oleh suami dalam sidang

c) Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian, Ketua

Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian dan

mengirimkan Surat Keterangan itu kepada Pegawai Pencatat ditempat

terjadinya perceraian untuk diadakan pencatatan perceraian

d) Perceraian terjadi terhitung pada saat tersebut dinyatakan di depan sidang

Pengadilan.

Dari ketentuan-ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 ini jelas

bahwa cerai talak hanya dapat dilakukan oleh suami, karena hanya suami

yang berhak untuk menjatuhkan talak kepada isterinya sedangkan isteri tidak

berhak menjatuhkan talak kepada suami.

22
3) Prosedur Cerai Talak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal

129 sampai dengan Pasal 131, pada pokoknya dapat diuraikan sebagai

berikut:

a) Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya

mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan

Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta

meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu;

b) Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan

tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum

banding dan kasasi;

c) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan

dimaksud Pasal 129 dan dalam kurun waktu selambat-lambatnya tiga

puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan

tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan

talak;

d) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak

dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang

bersangkutan mungkin lagi hidup rukun dalam rumha tangga, Pengadilan

Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk

mengikrarkan talak;

23
e) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami

mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh

isteri atau kuasa hukumnya;

f) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan

terhitung sejak Putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak

baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk

mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh;

g) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat

penetapan tentang Terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan

bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.

Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai

Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan

pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada

suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

B. Prosedur Cerai Gugat

Perceraian dengan cerai gugat hanya dapat dilakukan oleh isteri yang

melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh suami atau isteri yang

melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.

1) Prosedur Cerai Gugat Menurut Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50

Tahun 2009 dalam Pasal 73, pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila

24
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin

tergugat;

b) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian

diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman tergugat;

c) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka

gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta

Pusat.

2) Prosedur Cerai Gugat Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam

Pasal 36, pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat

b) Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau

tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka gugatan perceraian dapat

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat

c) Dalam hal Tergugat berdomisili di luar negeri maka gugatan perceraian

diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat dan Ketua

Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada Tergugat melalui

Perwakilan Republik Indonesia setempat

d) Apabila alasan perceraian tersebut karena salah satu pihak meninggalkan

pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa

25
alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya, maka gugatan

perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat setelah

lampau waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Tergugat meninggalkan dan tidak

mau lagi kembali ke rumah

e) Apabila gugatan perceraian dengan alasan antara suami isteri terus menerus

terjadi perselisihan, maka gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di

tempat kediaman Tergugat. Gugatan dapat diterima oleh Pengadilan setelah

sebelumnya mendengar penjelasan dari pihak keluarga atau orang-orang yang

dekat dengan suami isteri mengenai sebab-sebab perselisihan itu

f) Gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak mendapat hukuman

penjara 5 (lima) tahun, agar mendapatkan putusan perceraian maka Penggugat

cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan dengan keterangan bahwa

putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

g) Dengan pertimbangan bahaya yang mungkin saja timbul, Pengadilan dapat

mengizinkan suami isteri tidak tinggal serumah selama gugatan perceraian

berlangsung

h) Penggugat dan Tergugat dapat memohon kepada Pengadilan untuk:

1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami

2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan

pendidikan anak

26
3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-

barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang

menjadi hak isteri

a) Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal dunia

sebelum ada putusan Pengadilan

b) Para pihak akan dipanggil secara resmi oleh juru sita untuk

pemeriksaan gugatan perceraian di Pengadilan selambat-lambatnya 3

(tiga) hari sebelum sidang di buka

c) Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka dilakukan

pemanggilan dengan menempelkan gugatan pada papan pengumuman

atau melalui surat kabar sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu

1 (satu) bulan antara pengumuman yang pertama dengan yang kedua

d) Bila tempat kediaman Tergugat di luar negeri maka pemanggilan

dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat

e) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan selambat-lambatnya 30

(tiga puluh) hari sejak berkas diterima dan dalam hal Tergugat

berdomisili di luar negeri sidang di tetapkan sekurang-kurangnya 6

(enam) bulan sejak gugatan dimasukkan ke Panitera Pengadilan

f) Pada sidang pemeriksaan gugatan, baik isteri dan suami harus datang

sendiri atau dapat diwakili oleh kuasa hukumnya

g) Sebelum perkara diputuskan, Hakim akan berusaha mendamaikan

kedua belah pihak

27
h) Apabila usaha perdamaian berhasil maka Pengadilan membuat akte

perdamaian dan alasan yang diajukan untuk bercerai tidak dapat lagi

digunakan oleh Penggugat

i) Bila tidak tercapai perdamaian maka sidang dilanjutkan dan dilakukan

dalam sidang tertutup

j) Putusan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka dalam arti siapa

saja boleh mendengarkan dan putusan pengadilan didafttarkan

dikantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat

k) Penitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan berkewajiban

selambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirim satu helai salinan putusan

perceraian kepada Pegawai Pencatat untuk didaftarkan

l) Bila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah

tempat berlangsungnya perkawinan, maka satu helai salinan putusan

dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan

dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah dicatat pada bagian

pinggir daftar catatan perkawinan

m) Bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan

disampaikan kepada Pegawai Pencatat di jakarta. Kelalaian dalam

mengirimkan salinan putusan menjadi tanggung jawab Panitera

n) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban memberikan akta cerai

sebagai surat bukti kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh)

hari terhitung setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

28
3) Prosedur Cerai Gugat Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 132-

148, pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pengajuan gugatan

Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan

Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali

isteri meninggalkan temapt kediaman bersama tanpa suami dan dalam hal

tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama

memberitahukan gugatan kepada tergugat melalui Perwakilan Republik

Indonesia setempat

2. Pemanggilan

Pemanggilan terhadap para pihak ataupun kuasanya dilakukan pada setiap kali

akan diadakan sidang. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita pada Pengadilan

Agama. Panggilan harus disampaikan dengan surat kepada yang bersangkutan

dan pada waktu pemanggilan harus dengan cara yang patut dan sudah diterima

para pihak atau kuasa minimal 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Apabila

tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak tetap maka pemanggilan

dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di

Pengadilan Agama dan diumumkan lewat beberapa surat kabar yang

ditetapkan oleh Pengadilan Agama

29
3. Persidangan

Sidang pertama untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh

Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya gugatan.

Sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6

(enam) bulan terhitung sejak dimasukannya gugatan perceraian. Pada sidang

pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan

kepada kuasanya

4. Perdamaian

Dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua

belah pihak. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat

dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan

5. Putusan

Setelah hakim memeriksan dan mengadili perkara gugatan perceraiann, maka

pada tahap terakhir adalah memberikan putusan. Pemeriksaan gugatan

perceraian walaupun dilakukan dalam sidang tertutup tetapi pada saat

pengucapan putusan Hakim dilakukan dalam sidang terbuka.

30
C. Akibat Perceraian

Hal-hal yang perlu dilakukan pihak suami maupun isteri setelah terjadinya

perceraian, diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:

a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai

penguasaan anak-anak pengadilan memberikan keputusan

b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlakukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat

memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut

memikul biaya tersebut

c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya

penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Akibat perceraian juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991,

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156, yaitu:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali

bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2. Ayah;

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

31
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari

ayah atau ibunya;

c. Apabila pemegang hadhanah terdapat tidak dapat menjamin keselamatan jasmani

dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas

permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan

hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat

mengurus diri sendiri (21 tahun);

e. Bilama terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan

Agama memberikan putusan berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d);

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah

biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

32
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Singkat Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang

a) Sejarah Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang

Sejarah Peradilan Agama Kelas 1B Kupang tidak terlepas dari sejarah

Peradilan Nasional Indonesia umumnya dan terlebih khusus sejarah Peradilan

Agama di Indonesia. Kita ketahui bahwa, sistim Peradilan di Indonesia

didasarkan pada Amanat Undang-undang Dasar 1945, bahwa berdasarkan

Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen ke empat yang termuat dalam

Pasal 24 ayat (2) mengamanatkan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

Implementasi dari amanat Undang-undang 1945 tersebut, maka khusus

untuk Peradilan Agama di Indonesia dalam sejarah perjalanannya mengalami

beberapa kali perubahan regulasi dan yang terakhir dengan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan

perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang

33
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa untuk memenuhi pelayanan kepada

masyarakat pencari keadilan khususnya masyarakat muslim maka disetiap daerah

dibentuklah Pengadilan Agama tidak terkecuali Kota Kupang.

Dari penelitian yang penulis lakukan diperoleh catatan bahwa Pengadilan

Agama Kelas 1B Kupang didirikan berdasarkan keputusan Menteri Agama

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960, pada tanggal 14 Nopember 1960

Tentang Pembentukan Lembaga Mahkamah Syariah Kupang, yang secara de

facto baru beroperasi pada tahun 1964. Pengadilan Agama yang sebelumnya

bernama Mahkamah Syariah ini awal berdirinya berkantor sementara pada

Kantor Urusan Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur, sekarang Kantor Wilayah

Kementrian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Kelurahan

Fontein Kota Kupang.

Ketika tahun 1968 Kantor Urusan Agama Provinsi NTT (sekarang Kanwil

Kementrian Agama) berpindah alamat di jalan raya El-Tari Kupang, maka secara

bersamaan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah Kupang ikut berpindah

alamat karena pada saat itu Pengadilan Agama belum memeliki gedung sendiri,

dan baru pada tahun 1975 Pengadilan Agama mendirikan gedung kantor sendiri

diatas tanah milik Kantor Wilayah Kementrian Agama Nusa Tenggara Timur

bertempat di jalan raya El-Tari-Kupang.

Pada awalnya Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah Kupang dibawah

wilayah Yuridiksi Hukum Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Syariah

34
Surabaya dengan wilayah hukum meliputi Indonesia Timur, kemudian dengan

dibentuknya Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Syariah Ujung Pandang

maka seluruh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah wilayah Timur masuk

pada wilayah yuridiksi hukum Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah

Syariah Ujung Pandang. Kemudian pada tahun 1982 Pengadilan Agama Kupang

masuk dalam wilayah yuridiksi hukum Pengadilan Tinggi Agama Mataram

berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 95 Tahun

1982 tanggal 28 Oktober 1982 Tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama

Mataram yang membawahi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara

Timur dan Timor-Timur. Selanjutnya pada tanggak 24 Nopember 1995

Pengadilan Agama Kupang berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1995

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1995 dan penjelasannya

yang dimuat dalam tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 35 Tahun

1995 Tentang Pembentukan 4 (empat) Pengadilan Tinggi Agama masing-masing

Bengkulu, Palu, Kendari dan Kupang, maka Pengadilan Agama Kupang masuk

dalam yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Kupang bersama dengan seluruh

Pengadilan Agama yang tersebar di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah Kupang sejak berdirinya pada

tahun 1964 telah berganti kepemimpinan sebanyak 12 (dua belas) kali yang mana

ketua dan masa baktinya adalah sebagai berikut:

1. Hamzah bin Isak, Periode Tahun 1964-1972

2. S.M.Al Habsi, Periode Tahun1972-1983

35
3. Drs. Nurdin Abubakar, S.H, Periode Tahun1983-1989

4. Drs. Rahmat Wibawa, SH., MH, Periode Tahun 1989-1993

5. Drs. Aksin Abdul Hamid, Periode Tahun 1993-1997

6. Drs. Tahrir Adnan, Periode Tahun 1997-2001

7. Drs. H. Bisri Mustaqim, MH, Periode Tahun 2001-2003

8. Drs. H. Achmad Hanifah, Periode Tahun 2003-2005

9. Drs. Nur Khazim, MH, PeriodeTahun2005-2008

10. H. Sarwohadi, SH., MH, Periode Tahun2008-2010

11. Drs. H. Syaiful Heja, MH, Periode Tahun2010-2012

12. Drs. Muhamad Camuda, MH, Periode Tahun 2012 sampai sekarang.

Sumber: Data Sekunder

b) Tugas Pokok Pengadilan Agama

Pengadilan Agama merupakan lembaga peradilan tingkat pertama yang

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-

perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama islam di bidang

perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum

Islam serta waqaf, zakat, infaq dan sedekah serta ekonomi syariah sebagaimana

diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.

36
c) Strukrur Organisasi Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang

HAKIM KETUA

WAKIL
KETUA

PANITERA/SEKRETA
RIS

WAKIL WAKIL
PANITERA SEKRETARIS

PANMUD PANMUD PANMUD KASUBAG KASUBAG KASUBAG


PEMOHON GUGATAN HUKUM KEPEGAWAIAN KEUANGAN UMUM

KELOMPOK FUNGSIONAL KELOMPOK


PANITERA PENGGANTI FUNGSIONAL JURU SITA

Sumber: Data Sekunder

d) Uraian Tugas Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang

Pada dasarnya setiap organisasi harus mempunyai uraian tugas yang jelas

dan dipahami oleh setiap unit kerja masing-masing. Berikut akan diuraikan tugas

dari masing-masing unit kerja pada Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang, yaitu

sebagai berikut:

37
1. Hakim

Mencatat dan meneliti berkas perkara yang diterima, menentukan hari sidang,

menyidangkan perkara, membuat keputusan atau penetapan, mengevaluasi

dan menyelesaikan perkara yang ditangani serta melaksanakan tugas khusus

dan melaporkan pelaksanaan tugas Kepada Ketua Pengadilan Agama Kelas

1B Kupang

2. Ketua

Merencanakan dan melaksanakan tugas pokok dan fungsi Peradilan Agama

serta mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas sesuai

dengan kebijaksanaan teknis Dirjen Peradilan Agama Mahkamah Agung

serta peraturan perundang-undangan yang berlaku

3. Wakil Ketua

Mewakili Ketua Pengadilan Agama dalam hal: merencanakan dan

melaksanakan tugas pokok dan fungsi Peradilan Agama serta mengawasi,

mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas sesuai dengan kebijakan

teknis Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (BADILAG) berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

4. Penitera/ Sekretaris

Merencanakan dan melaksanakan pemberian pelayanan teknis di bidang

administrasi perkara dan administrasi umum di lingkungan Pengadilan

Agama serta mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas

38
sesuai dengan kebijakan teknis Ketua Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

5. Wakil Panitera

Mewakili Panitera dalam hal merencanakan dan melaksanakan pemberian

pelayanan teknis di bidang administrasi perkara dan peradilan di lingkungan

Pengadilan Agama serta mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan

pelaksanaan tugas sesuai dengan kebijaksanaan teknis Ketua Pengadilan

Agama Kelas 1B Kupang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku

6. Panitera Muda Pemohon

Merencanakan dan melaksanakan urusan kepaniteran pemohon, melakukan

administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan

berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang ada ada

hubungannya dengan perkara perdata di lingkungan Pengadilan Agama serta

mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas sesuai dengan

kebijakan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

7. Panitera Muda Gugatan

Merencanakan dan melaksanakan urusan kepaniteraan gugatan, melakukan

administrasi perkara, mempersiapkan persidangan perkara, menyimpan

berkas perkara yang masih berjalan dan urusan lain yang berhubungan

dengan gugatan di lingkungan pengadilan agama serta mengawasi,

39
mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas sesuai dengan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama Kelas 1B

Kupang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

8. Panitera Muda Hukum

Merencanakan dan melaksanakan urusan kepaniteraan hukum,

mengumpulkan, mengolah dan mengkaji data, menyajikan statistik perkara,

menyimpan arsip berkas perkara yang masih berlaku, melakukan administrasi

pembinaan hukum agama dan tugas lain di lingkungan Pengadilan Agama

serta mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas sesuai

dengan kebijaksanaan teknis Ketua Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

9. Wakil Sekretaris

Mewakili Sekretaris dalam merencanakan dan melaksanakan pemberian

pelayanan teknis di bidang administrasi umum di lingkungan Pengadilan

Agama Kelas 1 B Kupang serta mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan

pelaksanaan tugas sesuai dengan kebijaksanaan teknis Ketua Pengadilan

Agama Krui berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

10. Kepala Sub Bagian Kepegawaian

Merencanakan dan melaksanakan pengurus kepegawaian di lingkungan

Pengadilan Agama serta mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan

pelaksanaan tugas kepada atasan sesuai dengan kebijaksanaan yang

40
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

11. Kepala Sub Bagian Keuangan

Merencanakan dan melaksanakan pengurusan keuangan di lingkungan

Pengadilan Agama kecuali mengenai pengelolaan biaya perkara serta

mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada atasan

sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama

Kelas 1B Kupang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

12. Kepala Sub Bagian Umum

Merencanakan dan melaksanakan pengurusan surat menyurat, perlengkapan

rumah tangga dan perpustakaan di lingkungan Pengadilan Agama serta

mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada atasan

sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama

Kelas 1B Kupang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

13. Kelompok Fungsional Panitera Penggugat

Panitera Pengganti secara administratif bertanggung jawab kepada panitera

dan secara teknis administratif bertanggung jawab kepada Majelis Hakim

14. Kelompok Fungsional Juru Sita

Jurusita Pengadilan Agama mempunyai tugas sebagai berikut :

a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua majelis sidang;

41
b. Melakukan pemanggilan, pemberitahuan putusan Pengadilan Agama,

putusan banding, kasasi dan peninjauan kembali menurut cara-cara

berdasarkan ketentuan undang-undang;

c. Menyampaikan akta permohonan banding, memori banding dan kontra

memori banding;

d. Menyampaikan akta pernyataan permohonan kasasi, memori kasasi dan

kontra memori kasasi;

e. Melakukan pemberitahuan pernyataan peninjauan kembali dan

pemberitahuan jawaban atas permohonan peninjauan kembali;

f. Melakukan pemberitahuan pemeriksaan berkas banding, kasasi dan

peninjauan kembali;

g. Menyampaikan pengumuman, teguran dan pemberitahuan putusan/

penetapan pengadilan menurut cara yang telah ditentukan oleh undang-

undang;

h. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Agama dan

membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya disampaikan

kepada pihak yang berkepentingan.

42
B. Syarat-Syarat Dan Prosedur Hak Asuh Anak

a) Syarat-syarat Hak Asuh Anak

Melaksanakan tugas hadhanah bukanlah suatu tugas yang mudah karena

bukan saja memelihara dengan memenuhi kebutuhan jasmani anak saja akan

tetapi pendidikan atau moral anakpun menjadi tanggung jawab pelaksana

hadhanah itu sendiri. Karena itu tidak sembarangan orang yang dapat

melaksanakan hadhanah. Adapun kriteria atau syarat-syarat ini tidak terpenuhi

salah satunya, maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.

Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

1. Berakal sehat

Bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani

hadhanah karena mereka ini tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Karena

itu, ia tidak boleh disertai tugas mengurus orang lain. Sebab orang yang tidak

punya apa-apa tentu tidak dapat memberi apa-apa untuk orang lain

2. Sudah dewasa

Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat

itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya

itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan

3. Mampu mendidik

Orang buta, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya tidak

boleh menjadi pengasuh untuk mengurus kepentingan anak kecil, juga tidak

43
berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang

meninggalkan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil yang

diurusnya

4. Amanah dan berbudi

Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil, dan ia tidak dapat dipercaya

untuk bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. Terlebih lagi, nantinya si

anak dapat meniru atau berkelakuan yang tidak baik

5. Beragam Islam

Diisyaratkan oleh kalangan mazhab syafii dan hanafi. Oleh karena itu bagi

orang kafir tidak ada hak untuk mengasuh anak yang muslim, karena

ditakutkan akan membahayakan aqidah anak tersebut.

b) Prosedur Hak Asuh Anak

Adapun prosedur pengajuan Permohonan Hak Asuh Anak adalah sebagai

berikut:

1. Fotokopi KTP Suami Isteri yang sudah dilegalisir;

2. Fotokopi Akta Cerai yang sudah dilegalisir;

3. Fotokopi Akta Kelahiran Anak yang sudah dilegalisir;

4. Surat Permohonan sebanyak 7 (Tujuh) rangkap;

Setelah persyaratan diatas dilengkapi maka pihak yang mengajukan

permohonan membayar biaya guna mendapatkan Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM) kepihak Bank Rakyat Indonesia (BRI), setelah mendapatkan SKUM

dan Nomor Resi dari Bank, pemohon membawa Nomor Resi kemeja 1

44
pengadilan untuk mendapatkan Nomor Register Perkara, setelah sampai kemeja

1 Pengadilan maka petugas pengadilan meneruskan kepada Ketua Pengadilan

untuk ditetapkan Penunjukan Majelis Hakim (PMH). Selanjutnya berkasnya

dibawah kepanitera untuk menetapkan panitera dan juru sita, kemudian panitera

membawa berkasnya ke ketua majelis untuk ditetapkan hari sidang sekaligus

dengan perintah kepada juru sita untuk memanggil pihak yang berperkara.

C. Implementasi Putusan Terhadap Hak Asuh Anak Akibat Cerai Gugat

Dalam hal perceraian telah ada aturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban

orangtua dalam mengasuh anak, namun pada kenyataannya aturan itu tidak

diindahkan oleh pengunaannya.

Menurut M. Yahya Harahap, menjelasakan bahwa: Orang tua yang melalaikan

kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama

sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan dijatuhi

hukum penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan kepergian

dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan

buruk meliputi, segala tingkah laku yang senonoh sebagai orang pengasuh dan

pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik. (M. Yahya Harahap, 1975 :

216)

Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi putusan sudah berjalan

mestinya, sebagaimana melalui wawancara dengan 2 (dua) Anggota Majelis Hakim

Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang, mengatakan bahwa, perceraian sudah menjadi

45
hal yang biasa diruang lingkup perkawinan, dari perceraian inilah timbul adanya hak

atas pengasuhan anak dibawah umur. Sehingga para Hakim juga menegaskan bahwa

hak asuh anak sebagai mana sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal

105 huruf a dan Pasal 105 huruf b, ditetapkan bahwa pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya dan dikatakan

pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di

antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Maka para Hakim

juga menambahkan bahwa sebelum dilakukannya putusan perkara, para Hakim

melakukan mediasi untuk para pihak-pihak yang berpekara dengan merujuk pada

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi. (Wawancara

dengan Bapak Sutaji dan Bapak Rasyid Muzhar pada tanggal 13 Juli 2015 di Kantor

Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang)

Berdasarkan hasil wawancara yang berkaitan dengan dasar pertimbangan Majelis

Hakim memutuskan perkara hak asuh anak dibawah umur dari 3 (tiga) perkara

gugatan hak asuh anak dibawah memperoleh jawaban yang sama yaitu dalam

memutuskan perkara hak asuh anak dibawah umur jatuh ke pihak ibu dimana Hakim

mempertimbangkan, anak masih dibawah umur sehingga perlu adanya perawatan

kasih sayang dari ibunya dan sebagaimana selama perkawinan berlangsung anak

dipelihara dan dididik oleh ibunya, sehingga untuk kepentingan anak tersebut Hakim

memandang patut apabila jika anak-anak tersebut dibawah penguasaan ibu untuk

dipelihara dan di didik sampai anak tersebut menjelang dewasa. (Wawancara dengan

46
Bapak Sutaji dan Bapak Rasyid Muzhar pada tanggal 13 Juli 2015 di Kantor

Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang)

Penulis berpendapat bahwa pada dasarnya hak asuh anak dibawah umur lebih di

prioritaskan kepada pihak ibu, disebabkan ibu lebih pendekatan emosional dalam

memelihara dan mendidik anak tersebut, seperti menyusui bagi anak yang masih

membutuhkan ASI (Air Susu Ibu) dan merawat anak tersebut dengan baik. Akan

tetapi, hak asuh anak dibawah umur juga bisa jatuh kepada pihak ayah dengan

pertimbangan-pertimbangan Hakim yang lebih mendasar, misalnya seperti ibu

merupakan seorang pemboros, ibu tidak memperdulikan kesehatan jasmani dan

rohani anak dan lain sebagainya. Implementasi putusan hak asuh anak dibawah umur

sudah sesuai dengan putusan para Hakim, namun pasca perceraian dan penetapan hak

asuh anak dibawah umur yang berada ditangan ibu, orang tua yang tidak memeliki

kuasa penuh terhadap hak asuh anak dalam hal ini ayah atau mantan suami tidak

sesuai dalam menjalankan kewajibannya sebagai ayah, seperti menafkahi anaknya,

mendidik anaknya, merawat anaknya dan memberikan kasih sayang kepada anaknya.

Hasil penelitian lanjutan melalui wawancara bersama dengan salah satu Panitera

Pengadilan Agama Kelas 1B Kupang, menjelaskan bahwa pada prinsipnya, jika

terjadi perceraian antara suami istri, bisa ada mantan suami dan mantan isteri, namun

tidak ada mantan anak. Jadi anak tetap milik bapak dan ibu meskipun hidup mereka

berpisah, untuk masalah anak ingin mengikuti bapak atau ibu bisa ditanyakan

langsung kepada anaknya jika umurnya sudah mencapai 12 tahun. Panitera juga

menambahkan bahwa faktor anak masih dibawah umur yang mengharuskan hak asuh

47
anak jatuh kepada ibu karena anak masih sangat membutuhkan kasih sayang serta Air

Susu Ibu (ASI) yang hanya diperoleh dari seorang ibu. (Wawancara dengan Bapak

Yunus Kapa, S.Hi pada tanggal 24 Agustus 2015 di Kantor Pengadilan Agama Kelas

1B Kupang)

Penulis berpendapat bahwa, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan pada Pasal 41, Pasal 49 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26 ayat (1) ditetapkan dimana

setelah terjadinya perceraian kedua orang tua wajib memelihara, mendidik, merawat,

menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan dan mencegah terjadinya

perkawinan pada usia anak-anak anak, serta untuk ayah agar dapat menafkahi anak

tersebut hingga dewasa. Selanjutnya aturan-aturan mengenai hak asuh anak tidak

hanya dalam ruang lingkup perkawinan namun juga dengan kesejahteraan anak. Hak-

hak anak yang akan diperoleh terkait juga dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 13 ayat (1) yang menegaskan bahwa, setiap

anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain berhak mendapatkan

perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual,

penelantaran, kekejaman, kekerasaan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan

salah lainnya. Dengan adanya aturan seperti diatas maka anak akan terlindungi

haknya jika kedua orang tua dapat menjalankannya dengan baik dan benar meskipun

telah berpisah atau putusnya perkawinan.

Disamping itu berdasarkan hasil wawancara dengan 2 (dua) orang responden

mengatakan, bahwa setelah terjadinya putusan perceraian dan putusan hak asuh anak

48
dibawah umur yang jatuh kepada ibu, sehingga si ibu memberikan hak dan

kewajiban terhadap anaknya, akan tetapi mantan suami tidak pernah berkunjung dan

memberikan kebutuhan sandang kepada anaknya seperti pakaian, biaya sekolah dan

lain sebagainya.(Wanwancara dengan Ibu Eldy dan Ibu Wati pada tanggal 20 Juni

2015)

Selanjutnya salah seorang responden mengatakan, bahwa setelah terjadinya

putusan perceraian dan putusan hak asuh anak dibawah umur yang jatuh kepada ibu,

mantan suami masih berkunjung dan memberikan kebutuhan sandang kepada

anaknya seperti pakaian, biaya sekolah dan lain sebagainya. (Wawancara dengan Ibu

Yasin pada tanggal 01 Juli 2015)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut penulis menyimpulkan, bahwa dari 3

(tiga) perkara tentang hak asuh anak dibawah umur, maka wajib sebagai orang tua

mengetahui mengenai pengaturan hukum terhadap hak asuh anak dibawah umur,

akan tetapi pada kenyataannya tidak dirawat dan dipelihara sebagaimana mestinya.

Ayah sebagai orang tua terkesan kurang berani atau tidak bertanggung jawab

terhadap anak yang merupakan kewajiban kedua orang tua.

Hak asuh anak dibawah umur secara psikologis seharusnya berhak diasuh oleh

ibunya, karena ibu yang lebih mengetahui dan memahami tentang keberadaan anak

dalam hal ini memelihara anak yang masih dibawah umur, dan memberikan Air Susu

Ibu (ASI) bagi anak yang masih membutuhkan, serta dibutuhkan sikap kelembutan

dari seorang ibu dengan penuh kesabaran dalam menghadapi anak-anak dibawah

umur yang masih memperolah kasih sayang dari seorang perempuan. Sehingga

49
adanya perbedaan cara mengasuh ibu maupun ayah dimana ayah juga dapat

memberikan kasih sayang, memelihara, mendidik, memberikan pendidikan yang

terbaik namun sebagian dari ayah di satu sisi ayah tidak memiliki sikap yang sama

seperti ibu, yaitu memahami keberadaan anak yang masih membutuhkan perhatian

dari kedua orang tuanya.

Anak merupakan amanah bagi orang tua yang harus dibesarkan dengan penuh

kasih sayang. Sejak lahir bahkan dalam kandunganpun, setiap anak memiliki hak

yang merupakan kewajiban orang tua. Setiap anak berhak mendapatkan pemeliharan

dari orang tuanya. Hak anak dari orang tua ada yang bersifat fisik, psikis, rohani dan

jasmani. (Nurni Akma, 2015 : 43-44)

D. Hambatan Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Cerai Gugat

Dalam implementasi hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat terdapat 2

(dua) hambatan, yaitu:

1. Dari 3 (tiga) perkara hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat, terdapat 2

(dua) perkara dimana pada kenyataannya setelah perceraian orang tua dalam hal

ini ayah atau mantan suami tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ayah,

seperti membiayai anak, mendidik anak, memberikan perhatian sehingga

menyebabkan kepentingan anak terabaikan

2. Dari 3 (tiga perkara) hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat, terdapat 1

(satu) perkara dimana pada kenyataannya setelah pasca perceraian ayah atau

mantan suami selalu memberikan kewajiban dalam hal ini berkunjung,

50
membiayai anaknya, memberikan perhatian walaupun tidak sesempurna orang

tua pada umumnya.

51
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan yang sudah diuraikan bab

sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Implementasi terhadap hak asuh anak dibawah umur akibat cerai gugat dari 3

(tiga) perkara yang sudah berjalan sebagaimana mestinya masih terdapat 2 (dua)

perkara dalam paska perceraian dimana peran seorang ayah yang belum sama

sekali melakukan kewajibannya terhadap anaknya, padahal walaupun sudah

adanya putusan cerai tetapi hak-hak anak harus selalu terpenuhi

2. Dari 3 (tiga) putusan perkara hanya terdapat 1 (satu) perkara yang sudah

menjalankan putusan sebagaimana mestinya, dimana seorang ayah sudah

melaksanakan kewajiban, seperti membiayai anak, memberikan perhatian baik

secara moril dan imateril walaupun tidak sesering mungkin

3. Hambatan perceraian dari 3 (tiga) perkara tidak memeliki hambatan apa-apa akan

tetapi setelah paska perceraian terdapat sedikit hambatan, yaitu mengenai

kewajiban orang tua terhadap anak, dimana kewajiban ayah sebagaimana

diharapkan semestinya dalam artian ayah tidak membiayai kehidupan anak,

kurang perhatian terhadap anak bahkan kurang memberikan kasih sayang.

52
B. Saran

Setelah menguraikan dari pernyataan-penyataan di atas, penulis memberikan

saran-saran sebagai berikut :

1. Sebaiknya kepada para pihak melaksanakan aturan hukum yang telah ada dan

melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim dan juga saling

mengerti dan memahami tentang keberadaan masing-masing karena anak adalah

amanah titipan Tuhan, maka perlu dijaga dan dirawat dengan baik

2. Kepada para pihak walaupun sudah berpisah tetap menjaga tali silaturahmi

dengan saling memperhatikan hak-hak anak, dimana tidak adanya kata mantan

anak tetapi hanya ada mantan suami atau mantan isteri. Hilang anak, hilang

kebanggaan orang tua, oleh karena itu orang tua harus selalu menjaga dan

memelihara hubungan baik natara kedua belah pihak demi masa depan anak.

53
DAFTAR PUSTAKA

Adib Bahari, 2012. Prosedur Gugatan Cerai + Pembagian Harta Gono Gini + Hak
Asuh Anak. Pustaka Yustisia:Yogyakarta

Ahrum Hoerudin, 1999. Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian,


Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama). PT. Aditya Bakti:Bandung

Dedi Junaedi, 2000. Bimbingan Perkawinan. Akademika Pressindo:Jakarta

H. Nurmi Akma, 2015. Hak Asasi Manusia Dalam Islam. Majelis Hukum dan HAM

PP Aisyiyah

H.Sulaiman Rasyd, 1944. Fiqih Munhakat. Jakarta

H. Zainuddin Ali, 2009. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Sinar Grafika:Jakarta

Sayyid Sabiq, 1984. Fiqh Sunnah Juz 8. Bandung, Al- Maruf

Siti Ramlah Usman, 2013. Hukum Acara Peradilan Agama, Kupang

Subekti, 2003. Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermesa:Jakarta

WJS. Poerwadarminta, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta

Zakariya Ahmad Al-Barry, 1997. Hukum Anak-anak dalam Islam. Bulan


Bintang:Jakarta

Dokumen-Dokumen
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

54
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama

INPRES Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Proses Mediasi

Internet
http://wwwaninovianablogspotcom.blogspot.com/2010/12/perceraian-menurut-hukum-
islam.html/ diakses pada tanggal 28 Januari 2015

http://warna-warni-hukum.blogspot.com/2013/03/pengertian-anak.html/ diakses pada


tanggal 19 Februari 2015

http://dunia-dalamkata.blogspot.com/2010/06/pemeliharaan-anak-hadhonah.html/
diakses pada tanggal 31 Maret 2015

https://lovelyjoonote.wordpress.com/2013/12/21/hak-asuh-anak-hadhanah-dalam-
prespektif-hadis-dan-fiqh/ diakses pada tanggal 31 Maret 2015

http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1214:pan
dangan-islam-tentang-pengasuhan-anak-hadhanah-suplemen-edisi-
45&catid=49:suplemen&Itemid=319/ diakses pada tanggal 7 April 2015

55

Anda mungkin juga menyukai