Anda di halaman 1dari 128

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS RIAU FAKULTAS HUKUM

TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Serta Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Pada Fakultas Hukum Universitas Riau

OLEH:

JIMMY HARTONO SIMAMORA NIM. 0709112782

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU


2011

LEMBARAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

NAMA NIM PK JUDUL

Alamat Pekanbaru No. Telp/HP : 0852 7071 2006

: JIMMY HARTONO SIMAMORA : 0709112782 : HUKUM TATA NEGARA : TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA) BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA : JL.Bangau Sakti, Perum Alfa Melati Blok.G No.11, Panam-

Pekanbaru, 18 September 2011 Menyetujui Untuk Ujian Skripsi Mahasiswa Tersebut Diatas : Pembimbing I, Pembimbing II,

Dodi Haryono SHI, SH, MH 19790124 200604 1 002

Abdul Ghafur S.Ag 19720105 200604 1 001

Mengetahui : Fakultas Hukum Universitas Riau Pembantu Dekan I

Gusliana HB, S.H., M.Hum 19770828 200312 2 002

LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI Berdasarkan hasil ujian skripsi Strata I (S-I) yang diadakan pada hari Jumat Tanggal 29 Bulan September Tahun Dua Ribu Sebelas Pukul 09.00-10.30 Wib : Nama : JIMMY HARTONO.S NIM : 0709112782 Program Kekhususan : Hukum Tata Negara Judul : Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah Menurut Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia Dimana diputuskan oleh Tim Penguji Skripsi : (Dapat diterima/belum dapat diterima*) (tidak kembali diuji) Setelah diadakan penelitian atas perbaikan skripsi mahasiswa yang bersangkutan maka dinyatakan : 1. Dapat diterima ( ) 2. Belum dapat diterima ( ) Dengan nilai : Angka (3) Tim Penguji : No Nama 1 2 3 4 5 huruf (B) Jabatan Ketua Penguji I Penguji II Pembimbing I Pembimbing II Pekanbaru, 30 September 2011 Mengetahui : Pembantu Dekan I Gusliana HB, SH., M. Hum NIP. 19770828 200312 2 002 Tanda tangan

Emilda Firdaus,SH.,MH Junaidi,SH.,MH Mexsasai Indra,SH.,MH Dodi Haryono, SHI.,SH.,MH Abdul Ghafur,S.Ag

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Diterima oleh panitia ujian sarjana Fakultas Hukum Universitas Riau untuk memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Ujian Skripsi Guna Memperoleh Gelar Strata Satu pada Ilmu Hukum Universitas Riau : Nama : JIMMY HARTONO.S NIM : 0709112782 Program Kekhususan : Hukum Tata Negara Judul : TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA Ujian Dilaksanakan : Hari Jumat/30 September 2011 Pukul : 09.00-10.30 Wib Tempat : Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Riau Ketua, Pembimbing I,

Emilda Firdaus,SH.,MH NIP. 19800505 200604 2 001 Penguji I, Mexsasai Indra, SH.,MH NIP. 19810313 200802 001 Penguji II Junaidi, SH.,MH 19800616 200812 1 003

Dodi Haryono, SHI.,SH.,MH NIP. 19760905 200604 1 002 Pembimbing II, Abdul Ghafur, S.Ag NIP. 19720105 200604 1 001

Mengetahui : Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum NIP. 19630215 198903 2 002

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama Nomor Induk Mahasiswa Program Kekhususan Judul : JIMMY HARTONO SIMAMORA : 0709 11 2782 : Hukum Tata Negara : Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah (PERDA) Berdasarkan Peraturan Perundangundangan Yang Berlaku di Indonesia. Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam referensi. Dan apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan tidak benar, maka saya sanggup menerima hukuman/sanksi apapun sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pekanbaru, 10 September 2011

JIMMY HARTONO SIMAMORA

ABSTRAKSI

Dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi wewenang membentuk Peraturan Daerah sebagai sarana yuridis melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan untuk menampung kondisi khusus suatu daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun pada pelaksanaannya prinsip otonomi yang diberikan cenderung mengabaikan sistem hukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi muatan yang berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah itu sendiri. Disamping itu, pembentukan Peraturan Daerah tidak sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisi nasional, sehingga kadangkala menimbulkan pertentangan dengan ketentuan diatasnya. Mengingat Perda sebagai produk kepala daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom dan peraturan terendah dalam hirarki perundang-undangan menimbulkan perdebatan mengenai siapa yang berwenang dalam membatalkan Perda. Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dengan menarik kesimpulan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimanakah wewenang pembatalan Peraturan Daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, apa permasalahan hukum yang timbul terhadap wewenang pembatalan peraturan daerah serta bagaimana bentuk ideal wewenang pembatalan peraturan daerah berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut. Bentuk pembatalan Perda yang berlaku di Indonesia dapat dilaksankan oleh Pemerintah melalui executive review dan melalui Mahkamah Agung melalui judicial review. Dengan adanya dualisme wewenang pembatalan Perda justru dapat menimbulkan permasalahan hukum berupa timbulnya konflik kepentingan, adanya disharmoni dan tumpang tindih peraturan, ketidakjelasan alasan substansial pembatalan Perda dan Sistem atau prosedur beracara yang tidak tertata dengan baik dan jelas. Bentuk ideal yang dapat digunakan terkait kewenangan pembatalan Perda ialah dengan mengembalikan wewenang pembatalan Perda pada Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan, upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tumpang-tindih dan pembenahan proses beracara pada Mahkamah Agung.

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini dengan judul Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah (Perda) Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku di Indonesia. Adapun tujuan pembuatan skripsi ini yaitu untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana/ Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Riau. Skripsi ini penulis selesaikan dengan tidak terlepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak, maka untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr, H. Ashaluddin Jalil. MS selaku rektor Universitas Riau. 2. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau 3. Ibu Gusliana HB, SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Riau

4. Bapak Dodi Haryono, SHI, SH., MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Riau, dan selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran dalam memberikan bimbingan kepada penulis untuk

menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi saya ini. 5. Ibu Rika Lestari S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Riau. 6. Bapak Abdul Ghafur. S.Ag, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, pemikiran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan yang intensif bagi penulis dalam penyusunan tugas akhir ini. 7. Bapak Junaidi, SH., MH selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah memberi masukan dalam penulisan skripsi saya ini. 8. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Riau. 9. Bapak dan Ibu dan staf Perpustakaan dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Riau yang telah banyak memberikan bantuan dalam peminjaman buku dan dalam hal mengurus administrasi yang berkaitan dengan perkuliahan penulis. 10. Teristimewa buat Orang Tuaku tercinta, Bapak J. Simamora dan Ibu D. Br Purba buat kasih sayang dan semua pengorbanan serta dukungannya, buat saudara-

saudaraku terkasih; Fransiskus Xaferius Simamora, Mayzerriono Simamora, Brilliant Esye Lousiana Br.Simamora, Reinhard Syah Roni Tua Simamora, Cecilia Yohana Putri Simamora, Bruder Yohannes buat segala Doa, dukungan dan perhatiannya. 11. Terimakasih buat teman-teman penulis yang telah memberi dukungan: Aldo Marbun, Yan Agus, Junedi SH, Romi Apuk, Riston, Gussix Parizon, Mawar Verawati sihombing, Janter, Tumbur, Radit dan Leni yang selalu mengisi harihari Penulis selama perkuliahan yang tidak bosan-bosannya memberikan semangat dan perhatian kepada Penulis. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini. Semoga persahabatan kita akan selalu abadi. 12. Untuk seluruh teman-teman FH angkatan 07, khususnya Program kekhususan HTN dan teman-teman seluruh Fakultas Hukum Universitas Riau yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan yang diberikan, semoga segala yang diberikan dapat memberikan manfaat dan mendapatkan berkah dari Tuhan yang Maha Esa. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan skripsi ini namun karena pengetahuan dan pengalaman sangat terbatas, tentunya banyak sekali kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam susunan kata.

Dengan kerendahan hati Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.

Pekanbaru, 11 September 2011 Hormat Penulis,

JIMMY HARTONO. SIMAMORA

10

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN ........................................................... LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI ............................................................ BERITA ACARA UJIAN........................................................................... LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................ PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..................................................... ABSTRAKSI .............................................................................................. KATA PENGANTAR ................................................................................ DAFTAR ISI............................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan ......................................................... B. Rumusan Permasalahan .................................................................. C. Tujuan Penelitian ............................................................................ D. Manfaat Penelitian .......................................................................... E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.................................................. 1. Kerangka Teoritis........................................................................ 2. Kerangka Konseptual .................................................................. F. Metode Penelitian............................................................................ 1. Jenis Penelitian............................................................................

i ii iii iv v vi vii viii

1 16 16 17 17 17 43 44 44

11

2. Metode dan Alat Pengumpul Bahan ........................................... 3. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................... BAB II WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA) MENURUT PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA ................. A. Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah melalui executif review .................................................................... B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung Melalui judicial review ........................................................ BAB III PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL TERHADAP WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA) ........................................... A. Adanya Disharmoni dan Tumpang Tindih Peraturan Perundang-undangan....................................................................... B. Ketidakjelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah............................................................................. C. Penyimpangan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan Daerah............................................................................ BAB IV BENTUK IDEAL KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA) .............

45 46

47

48

62

80

83

87

93

106

12

A. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang Tumpang Tindih Antara Pemerintah dan Mahkamah Agung ......... B. Kejelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah ......... C. Perbaikan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan Daerah............................................................................. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................... B. Saran................................................................................................ 121 122 116 106 110

DAFTAR PUSTAKA

13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam penyelenggaraan kekuasaan negara Indonesia. Hal ini jelas terlihat dari penjelasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Pada pasal 1 ayat (3) yang menyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.1 Ketentuan ini merupakan pernyataan bahwa hukum akan sangat menentukan dalam pelaksanaan kenegaraan dan segala sesuatunya senantiasa berdasarkan hukum. Oleh Karena itu, dalam negara Indonesia yang memiliki cita hukum pancasila sekaligus sebagai norma fundamental negara, maka hendaknya peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum tersebut.2 Sehingga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dimuat ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan, keyakinan dan kesadaran hukum masyarakat dan berakar pada nilai-nilai moral yang baik pula yang diwujudkan dalam Pancasila.

Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual), Kencana, Jakarta: 2009, Hal. 9
2

14

Salah satu aspek perubahan penting dan menarik untuk dikaji setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto (Pemerintahan Orde Baru) melalui reformasi 1998, adalah perkembangan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa orde baru yang bersifat sentralistik mengalami perubahan Paradigmatik, ditandai dengan sifat hubungan yang desentralistik dengan melimpahkan urusan daerah melalui otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.3 Setelah Indonesia memasuki masa Reformasi pada 1998,

aspirasi mengenai otonomi daerah dan desentralisasi muncul melalui sidang MPR 1998 yang dituangkan dalam ketetapan MPR No. XV/ MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam negara kesatuan republik indonesia.4 Artinya sejumlah wewenang pemerintahan diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang meliputi politik luar negeri, pertanahan, keamanan dan yustisi yang tetap menjadi kewenangan pemerintah.5 Dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah dibentuklah Peraturan Daerah sebagai suatu sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah untuk menampung kondisi khusus suatu daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan
Nimatul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta: 2010, Hal.1 4 Nimatul Huda, Ibid, Hal. 271-272 5 A.A.Oka Mahendra,Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah: (2006), Jurnal Legislasi Indonesia, Hal. 21
3

15

perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan otonomi atau tugas pembantuan (medebewind). Materi muatan Peraturan Daerah di bidang tugas pembantuan ditentukan sesuai dengan jenis tugas pembantuan yang menjadi urusan rumah tangga tugas pembantuan.6 Peraturan Daerah termasuk salah satu dari perundang-undangan di Indonesia yang menjadi kewenangan daerah tersebut. Akan tetapi, pembentukan Peraturan Daerah tidak dapat bersandarkan pada kewenangannya sendiri karena daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dengan demikian, pembentukan Peraturan Daerah meskipun memiliki kualifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat daerahnya, tetapi juga harmonisasi dengan hukum nasionalnya.7 Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan). Peraturan Daerah mendapatkan landasan Konstitusional dalam Konstitusi untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945)8. Dalam memiliki sinkronisasi dan

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Jakarta: 1997, Hal. 154 7 Ibid, Hal. 197 8 Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (6).

16

undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 menentukan materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka:9 a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b) menampung kondisi khusus daerah; serta c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam praktiknya, pembentukan Peraturan Daerah cenderung mengabaikan sistem hukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi muatan yang berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah itu sendiri. Disamping itu, pembentukan Peraturan Daerah tidak sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisi nasional, sehingga kadangkala menimbulkan pertentangan dengan ketentuan diatasnya.10 Pemerintah Daerah memperlihatkan kecenderungan untuk membuat Perda sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan rambu-rambu peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum yang cukup luas. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menegaskan mengenai Pembentukan Peraturan Daerah yakni, Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.11 Pembentukan Perda harus terdapat kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=1 3(terakhir kali dikunjungi tanggal 29 April 2011 pukul 15.00). 10 Hari Sabarno, Loc. Cit 11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 145

17

perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama dengan harmonisasi peraturan yang tingkatnya lebih tinggi atau sederajat sebab ketidaksesuaian dapat menjadi alasan untuk membatalkan Perda tersebut. Di kala pembentukan Perda beberapa asas kiranya perlu diperhatikan, berikut ini:12 1. Muatan perda mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan (asas positivisme dan perspektif); 2. Memperhatikan asas lex specialis derogat legi generalis (debijzondere wet gaat voor de algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum. 3. Memperhatikan asas lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor de lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan ketentuan yang lebih rendah. 4. Memperhatikan asas lex posterior derogate legi priori (de laterewet gaat voor de eerdere), yakni ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu. Mengingat Peraturan Daerah merupakan produk legislatif di daerah, maka timbul persoalan dengan kewenangan untuk menguji dan membatalkannya terkait lembaga manakah yang berwenang membatalkan Peraturan Daerah. Dalam peraturan
http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+lembag a++negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b0dd2da61f4fbd4 ( terakhir dikunjungi tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00).
12

18

perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya.13 Berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang dan Undangundang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung pasal 31 yang bunyinya : (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. (3) Putusan dengan mengenai pemeriksaan tidak pada sahnya tingkat peraturan kasasi perundang-undangan maupun berdasarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan permohonan langsung pada Mahkamah Agung. (4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. memberi wewenang kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk Menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Dengan merujuk Pasal 7
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materiperda-ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00).
13

19

UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat UU No 10 Tahun 2004) berarti peraturan perundang undangan yang dapat diuji oleh MA adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, namun tidak termasuk terhadap Undang-Undang Dasar.14 Didalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Perubahan atas (UU No.4 tahun 2004) dalam Pasal 20 ayat (2) juga dinyatakan: Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: (1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; (2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang; dan (3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Jika dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji suatu Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa. Maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah


Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Pasal. 7
14

20

Agung berwenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai isi dari suatu peraturan daerah terhadap Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari kekuasaan Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan suatu peraturan daerah yang mengatur hal tertentu. Apabila Peraturan Daerah yang diujikan tersebut, isinya bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka Mahkamah Agung akan mengeluarkan Putusan bahwa Peraturan Daerah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera melakukan pencabutannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 dan Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 tahun 2004 yang bunyinya15: (1) Dalam hal mahkamah agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi, mahkamah agung mengabulkan permohonan tersebut. (2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya. (3) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materiperda-ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi pada tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00)
15

21

Namun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijumpai adanya bentuk pengujian yang dilakukan dalam

konteks menjaga keberlakuan/penerapan Perda yang tidak bertentangan atau harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak berbenturan atau kontradiktif dengan kepentingan umum dan kaedah-kaedah norma umum yang berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma kesopanan kemudian dikenal dengan executive review. Alas hukum yang mengatur tentang uji materiil dan pembatalan Perda tersebut diatur dalam Pasal 145 UU No.32 tahun 2004, yaitu sebagai berikut: (1) (2) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan, kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud (5) Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat

22

dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum (7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah justru karena Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah (eksekutif) dimana Pemerintah Daerah berada di bawah Pemerintah, dan juga ada di struktur Pemerintah. Jadi Pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang bermasalah tersebut melalui instrument hukum berupa Peraturan Presiden. Sejak berlakunya UU No.32 Tahun 2004 hingga 9 oktober 2006 produk hukum daerah yang dibatalkan oleh pemerintah sebanyak 215 buah yang terdiri dari 204 Perda dan 11 Keputusan Kepala Daerah.16 Adapun contoh Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah melalui executive review yakni :

16

Nimatul Huda, Op.Cit, Hal. 219

23

1) Perda Kota Pekan No. 09 Tahun 2000 Tentang Perizinan Usaha Perikanan karena bertentangan dengan dengan UU No. 18 Tahun 1997 dan PP No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.17 2) Perda Kabupaten Pelalawan No. 12 Tahun 2003 Tentang Retribusi Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja karena bertentangan dengan UU No.18 Tahun 1997 dan PP No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah.18 Selama kurun waktu tersebut produk hukum daerah yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk dilakukan pengujian secara materiil berjumlah 28 permohonan dan Pendaftaran Perda yang dibatalkan dan diajukan gugatan judicial review di Mahlamah Agung selama tahun 2003-2004 berjumlah 6 buah Perda yang terdiri dari 5 Perda dan 1 Keputusan kepala daerah.19 Adapun contoh Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah melalui Judcial review yakni : 1) Perda Kab. Tebo No. 12 Tahun 2001 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dengan No. Registrasi 09.G/Hum/2003 yang diajukan oleh Nanang Joko Prinantoro. 2) Perda Kab. Nias No.6 Tahun 2002 Tentang Pembentukan 5 Kecamatan di Kabupaten Nias dengan No. Registrasi 06.G/Hum/2002 yang diajukan oleh Fillard Bawamenewi

17 18

Ibid, Hal. 228 Ibid, Hal. 235 19 Ibid, Hal.266-267

24

Hal ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga yang berwenang untuk menguji materil serta membatalkan suatu peraturan daerah. Ketidakjelasan ini juga menimbulkan polemik dikalangan para pakar maupun praktisi, sehingga tidak terdapat kesatuan pendapat dalam menjawab pertanyaan mengenai lembaga mana yang berhak untuk menguji materil dan membatalkan suatu Peraturan Daerah. Dimana kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang diperbolehkan oleh dua lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dasar pemikiran Indonesia adalah Negara kesatuan (unitary state), sehingga dinilai rasional apabila pemerintahan pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum dilingkungan pemerintahan daerah20 dinilai bertolak belakang dengan kewenangan yang juga ada pada Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan jika kewenangan untuk menguji peraturan daerah diberikan kepada Mahkamah Agung, berarti Peraturan Daerah mutlak hanya dilihat sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang-undang. Karena itu, terlepas dari kenyataan bahwa Peraturan Daerah tersebut juga merupakan produk legislatif acts, tetapi berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat (1) UUD 1945, pengujiannya atasnya mutlak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung.21 Dan hal ini tentunya berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dimana
20 21

Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hal. 67 Ibid, Hal. 76

25

Perda yang dinyatakan berlaku oleh Pemerintah sewaktu-waktu dapat saja dibatalkan oleh adanya putusan dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 145 ayat (6) UU No. 32 tahun 2004 juga disebutkan Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini tentunya menguatkan kedudukan dari Mahkamah Agung dimana judicial review dipandang lebih kuat dibandingkan kedudukan executive review yang dipegang Pemerintah karena putusan lembaga peradilan ini sewaktu-waktu dapat saja mengubah Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal kewenangan Pemerintah Pusat dalam meng- executive review suatu Perda yang bermasalah. Kemudian dalam Pasal 185 diatur kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. Apabila hasil evaluasi menyatakan Ranperda dan rancangan Peraturan Gubernur tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak ditindakalanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan tetap ditetapkan menjadi Perda, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur tersebut.22 Hal ini senada dengan pendapat Pakar Hukum Tata Negara Prof. Sri Somentri menjelaskan ada berbagai macam cara pembatalan Perda karena ada
22

Nimatul Huda, Op.Cit. Hal. 15-16.

26

beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. Hak uji dilakukan bukan hanya oleh MA, tapi juga oleh pemerintah. Ada yang oleh Presiden, ada yang oleh Menteri Dalam Negeri.23 Namun Peraturan Daerah tidak dapat dibatalkan oleh keputusan Menteri, karena kedudukannya berada langsung dibawah hierarki Peraturan Presiden.24 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketidakjelasan mengenai pembagian kewenangan dalam membatalkan Perda lembaga kekuasaan

negara berdasarkan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan pembatalan Perda dalam sistem peraturan perundang-undangan WEWENANG di Indonesia, dengan judul: TINJAUAN DAERAH YURIDIS (PERDA)

PEMBATALAN

PERATURAN

BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

http://basisme1484.wordpress.com/2009/12/03/problematika-hukum-hak-uji-materiil-danformil-peraturan-daerah/(terakhir dikunjungi pada tanggal 7 Juni 2011 Pukul 20.00) 24 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hal. 70

23

27

B. Rumusan Masalah Dari Uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat kiranya penulis merumuskan apa yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimanakah wewenang pembatalan Peraturan Daerah (PERDA) menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ? 2. Apa permasalahan hukum yang timbul terhadap wewenang pembatalan peraturan daerah (PERDA) tersebut ? 3. Bagaimana bentuk ideal wewenang pembatalan peraturan daerah (PERDA) berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut ?

C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan penulisan ini, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (PERDA) Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul terhadap wewenang pembatalan peraturan daerah (PERDA) tersebut. 3. Untuk mengetahui bentuk ideal kewenangan pembatalan peraturan daerah (PERDA) berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut.

28

D. Manfaat Penelitian Merujuk pada penulisan diatas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk dapat memberikan manfaat, antara lain : 1. Sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap almamater dalam bentuk karya ilmiah di bidang Hukum Tata Negara (HTN) yang berkenaan dengan penelitian penulis. 2. Untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh ujian Sarjana Hukum. 3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam permasalahan penelitian yang sama. 4. Sebagai sumbangan pemikiran penulis guna menjadi bahan kolektif perpustakaan Universitas Riau.

E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual. 1. Kerangka Teoritis. Berkenaan dengan mekanisme kewenangan pembatalan Perda oleh lembaga Negara, ada beberapa pendapat yang memberikan penjelasan mengenai yang berkaitan dengan pembatalan Perda adalah sebagai berikut : a. Teori Negara Hukum Konsep negara hukum selanjutnya berkembang dalam dua sistem hukum yaitu sistem Eropa Kontinental dengan istilah Rechtsstaat dan sistem Anglo Saxon

29

dengan istilah Rule of Law.25 Adapun pengertian Negara hukum belum terdapat kesamaan pendapat antara para sarjana, berikut penjelasan dua tipe pokok Negara Hukum tersebut yaitu: 1) Type Eropa Kontinental, tipe ini berkembang di negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Perancis, Belgia, Skandinavia, juga Amerika latin dan beberapa negara di Asia yang pernah dijajah oleh negara yang menganut tipe negara hukum ini.26 Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, dan bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law.27 Pada tipe ini yang diutamakan adalah kedaulatan hukum (rechtsouvereiniteit) yang berintikan rechtstaat (Negara hukum).28 Pertumbuhan negara hukum terjadi menjelang abad XX yang ditandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (walfare state), dimana tugas negara sebagai penjaga malam dan keamanan mulai berubah. Tokoh-tokoh yang mengembangkan tipe Eropa Kontinental ini ialah Immanuel Kant, Paul Laband, Frederich Julius Stahl, Fichte dan lain- lain.29 Menurut Frederich Julius Stahl, dalam karya ilmiahnya yang berjudul Philosopie des Rechts, yang diterbitkan pada tahun 1878. Stahl hanya
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2007 hal. 29. 26 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta: 2001, hal. 67. 27 Nimatul Huda, Op.Cit, hal. 74. 28 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Di Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta: 2009, hal.125 29 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta: 2007, hal. 304
25

30

memperhatikan unsur formalnya saja dan mengabaikan unsur materialnya, dengan mengemukakan unsur-unsur utamanya sebagai berikut: a) Mengakui dan melindungi hak asasi manusia (gorendrechten).

b) Untuk melindungi hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara haruslah berdasarkan teori atau konsep trias politica (scheiding van machten). c) Dalam melaksanakan tugasnya pemerintah dibatasi dengan undang-undang (wet matighiet van het bestuur). d) Apabila dalam melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi, maka ada pengadilan administrasi yang mengadilinya (adminitratif rechtspraak).30 2) Type Anglo Saxon yang kemudian dikenal dengan sebutan Anglo Amerika, mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut dengan sistem Common Law atau disebut juga Rule of Law. Dalam perkembangannya tipe negara hukum ini dianut oleh Inggris, serta di negara-negara Amerika Utara dan beberapa negara Asia yang termasuk negara persemakmuran Inggris dan Australia, selain di Amerika Serikat sendiri.31 Konsep negara hukum Anglo-Saxon di pelopori oleh A.V Dicey yang merupakan seorang pemikir terkenal dari Inggris. Dalam Bukunya A.V Divey mengemukakan ada 3 unsur utama Rule of Law yang berjudul
30 31

Hasan Zaini, Pengantar Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1974, hlm. 155. R. Abdoel Djamali, Op.Cit, hal. 69.

31

Introduction To Study of Law of The Constitution, adapun 3 unsur-unsur tersebut sebagai berikut:32 a. Supremacy of law, yang memiliki kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum (kedaulatan hukum). b. Equality before the law, kesamaan kedudukan di muka hukum untuk semua warga negara, baik selaku pribadi maupun status sebagai pejabat negara. c. Constitution based on individual right, konstitusi tidak merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi, maka hal itu hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi. Dalam sejarah modern, gagasan negara hukum itu sendiri dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum sebagai sistem yang fungsional dan berkeadilan, dengan menata supra dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum perlu dibangun (Law Making) dan ditegakkan (Law Enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai dasar. 33 Meskipun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumusakan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, cetakan pertama, 1999, hal. 24. 33 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 298.
32

32

ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide Rechtsstaat, bukan machtsstaat. Dalam konstitusi RIS tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam perubahan ke-3 tahun 2001 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi bahwa Indonesia adalah negara hukum.34 Ditegaskannya Indonesia sebagai negara hukum menimbulkan konsekuensi kepada negara untuk tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan hukum. Artinya Negara Republik Indonesia

meletakkan hukum pada kedudukan yang tertinggi sekaligus sebagai prinsip dasar yang mengatur penyelenggaraan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.35

b. Teori Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan yang tertulis oleh pejabat yang berwenang dalam kekuasaan legislatif berdasarkan wewenang atribusi atau delegasi yang muatannya berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.36

Ibid, hal. 311. Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta: 2006, hal.1 36 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op.Cit, hal. 57
35

34

33

Yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah semua peraturan yang mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.37 Dalam perkembangan ditengah masyarakat banyak terjadi salah arti istilahistilah, yang diantaranya peraturan perundang-undangan, Undang-undang dan hukum. Ketiga istilah tersebut meskipun mirip, sebetulnya mempunyai arti yang berbeda. Undang-Undang merupakan salah satu bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari Undang-Undang dan peraturan

perundangan lainnya, seperti Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden, Peraturan daerah.38 Perlu juga dicermati pemaknaan Undang-Undang secara materil (wet in materiele zin) maupun Undang-Undang secara formil (wet in formele zin). Dalam arti materil, Undang-Undang adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang dan berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum. Dan dalam arti formil, Undang-Undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara

37

10.

Dodi Haryono, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdik, Pekanbaru: 2009, hal. Ibid. hal. 9

38

34

pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku dan bersifat atau mengikat secara umum.39 Dengan penjelasan diatas sehingga dapat diketahui beberapa ciri-ciri peraturan perundang-undangan sebagai berikut:40 a. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu. b. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. c. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur. d. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu. e. Peraturan perundang-undangan berlaku secara terus menerus, sampai diubah, dicabut atau digantikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Selain itu, didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga dikenal adanya hirarki peraturan perundang-undangan. Hirarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
39 40

Ibid Ibid. hal. 11.

35

perundang-undangan yang lebih tinggi.41 Secara teoritik, berkaiatan dengan hiraki norma hukum dapat dicari dari teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Hans kelsen mengemukakan teori jenjang norma yang sering dikenal dengan stufentheori.42 Menurutnya norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya samapai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm).43 Jenis dan hiraki peraturan perundang-undangan berdasarkan ketetapan MPRS No XX/ MPRS / 1966 adalah sebagai berikut:44 1) Undang-Undang Dasar 2) Ketetapan MPR 3) Undang-Undang/ Perpu 4) Perturan Pemerintah 5) Keputusan Presiden 6) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Mentri,Instruksi Mentri, dan lain-lain.

41 42 43 44

Penjelasan pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dodi Haryono, op.cit, hal. 17. Ibid. Ibid, hal. 37.

36

Adapun jenis dan hirarki peratuan perundang-undangan berdasarkan ketetapan MPR No. III/MPR/2000, adalah sebagai berikut:45 1) Undang-Undang Dasar dan perubahan UUD 2) Ketetapan MPR 3) Undang-Undang 4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 5) Peraturan Pemerintah (PP) 6) Keputusan Presiden (Kepres); dan 7)Peraturan Daerah Sejak MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN yang mana MPR bukan lagi lembaga negara yang berhak atas tugas dan wewenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berupa ketetapan MPR maka ketentuan tentang hirarki perundang-undangan diatas dicabut dan digantikan oleh UU Nomor 10 tahun 2004. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 meyebutkan tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:46 1) UUD 1945 2) Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang 3) Peraturan Pemerintah 4) Peraturan Presiden 5) Peraturan Daerah yang meliputi : a) Peraturan daerah Provinsi b) Peraturan daerah kabupaten/kota c) Peraturan desa
45 46

Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2005, hal. 35 Ibid, hal. 36

37

Di samping aturan mengenai jenis dan hiraki perundang-undangan perlu juga diperhatikan asas-asas dari pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagai pedoman dan rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Didalam pasal 5 Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UUP3) disebutkan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain:47 1. Asas kejelasan tujuan Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat Setiap jenis pembentukan peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh pejabat/lembaga yang tidak berwenang. 3. Asas kesesuaian antar jenis dengan materi muatan Didalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundangundangannya.

47

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op.Cit, hal. 36-37

38

4. Asas dapat dilaksanakan Setiap peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. 5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 6. Asas kejelasan rumusan Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. 7. Asas keterbukaan Didalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

39

c. Teori Toetsingsrecht Apabila diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem hukum tertentu, Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan judicial review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.48 Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan, yaitu hakim. Secara teoritis maupun praktek, dikenal ada dua macam hak uji, yaitu hak uji formil (formele toetsingsrecht) dan hak uji materil (materiele toetsingsrecht).49

1) Hak Uji Formil (Formele Toetsingsrecht) Hak menguji formiil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.50 Menurut Jimly Asshiddiqie, Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.51 Dalam hal ini hakim dapat membatalkan suatu

Fatmawati, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hal. 5 49 Nimatul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta: 2005, hal. 73. 50 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung: 1997, hal. 1 51 Fatmawati, Loc.cit.

48

40

peraturan bila proses penetapannya tidak mengikuti prosedur pembentukan peraturan yang resmi. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang tidak memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.52

2) Hak Uji Materil (Materiele Toetsingsrecht) Hak uji materil (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.53 Berdasarkan definisi di atas, hak uji materil berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang dilihat dari isinya. Apabila bertentangan dengan UndangUndang Dasar, maka Undang-Undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya pengikat.54 Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:55 a. Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD. b. Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga Negara lain
Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung: 2007, hal. 127 53 Sri Soemantri, op.cit., hal. 11. 54 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari Op. Cit, hal. 112 55 Fatmawati, op, cit., hal. 7
52

41

yang diberikan kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundangundangan. Selaian hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki legislatif dan hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh eksekutif. Selain dari hak menguji (toetsingsrecht) ini, juga dikenal adanya judicial review yang menurut Jimly Asshiddiqie merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, atau judikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan system pemisahan kekuasaan negara (separation of power).56 Terkait dengan masalah kebutuhan, keberadaan judicial review sangat dibutuhkan baik secara yuridis, politis maupun pragmatis.57 Secara yuridis hal ini sesuai dengan teori Stufenbau Des Rech (stufentheorie) hasil pemikiran Hans Kelsen. Teori ini menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan beradasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,

Ibid. hal. 9. Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin Memahami Keberadaan Mahkmah Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004, hal. 24.
57

56

42

demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).58 Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.59 Teori ini sesuai dengan apa yang menjadi prinsip dasar hukum, yaitu: Lex Superior Derogate Lex Inferior, yang bermakna bahwa norma yang paling tinggi mempengaruhi norma yang ada dibawahnya, atau dapat juga dikatakan bahwa norma yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di atasnya. Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang Dasar. Secara politis, kebutuhan akan judicial review sangat diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu Undang-Undang tidak bertentangan dengan undangundang dasar, karena pada hakekatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan Undang-Undang dasar. Secara pragmatis, kebutuhan terhadap judicial review ini diperlukan untuk mencegah praktek penyelengaraan pemerintahan Negara yang tidak sesuai atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar.60

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta: 2006, hal. 25. 59 Ibid. hal. 26. Pendapat Hans Kelsen ini berdasarkan teori Adolf Merkl, salah seorang muridnya yang mengemukakan bahwa norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah ( des Doppelte Rechtsantlitz). 60 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Op.Cit., hal. 24.

58

43

d. Teori Pemisahan Kekuasaan Kekuasan merupakan adanya suatu hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah (the ruler and the ruled). Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum yang oleh Henc Van Marseveen disebut sebagai blote macht dan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum yang oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum yang dapat dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui dan dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara.61 Kekuasaan juga merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging), sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi dan berkinerja melayani warganya, oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah: Kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.62 Pentingnya pemisahan kekuasaan dalam suatu negara berarti pula adanya batas-batas terhadap penggunaan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan meliputi: Pertama, jangka waktu kekuasaan itu dilakukan; Kedua, perincian daripada
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung:2006, Hal. 207-208. 62 Ibid.
61

44

kekuasaan yang diberikan kepada setiap lembaga negara; Ketiga, seleksi pejabat publik yang berarti oleh rakyat; Keempat, pelaksanaan pemerintahan oleh pejabat publik yang diseleksi dengan cara yang menunjukkan tanggung jawab terhadap keinginan rakyat.63 Gagasan pemisahan kekuasaan negara mendapat dasar pijakan dari pemikiran John Locke dan Montesquieu. 1) John Locke Locke dalam bukunya Two Treaties on Civil Government mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara dibagi-bagi kepada organ-organ yang berbeda. Menurut John Locke, agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu :64 (a) kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat Undang-undang); (b) kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan Undang-undang); (c) kekuasaan federatif (kekuasaan melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain). Locke meletakkan kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif) sebagai kekuasaan tertinggi (supreme power)65 dan cenderung menyerahkan kekuasaan pembentuk undang-undang kepada dewan atau mejelis. Kekuasaan pembentuk

Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal.34. Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit., hal. 18. 65 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta: 2001, hal. 32.
64

63

45

undang-undang perlu dipisahkan dengan kekuasaan pelaksana undang-undang. Kekuasaan pelaksana adakalanya memerlukan paksaan, sehingga diperlukan adanya kekuasaan untuk melaksanakannya secara tetap. Maka seyogianya kedua kekuasaan itu tidak berada di satu tangan.66 Untuk kekuasaan federatif, kekuasaan ini bertugas untuk menyatakan perang atau melaksanakan perdamaian dengan negara lain, ataupun mengadakan perjanjian kerja sama sejauh menyangkut keharmonisan dan kebaikan lembaga antarnegara. Hubungan ini biasa disebut hubungan diplomatik.67 2) Montesquieu Melalui bukunya Iespirit des lois (The Spirit of Law), Montesquieu menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan John Locke. Montesquieu mengembangkan lebih jauh ajaran John Locke dengan menawarkan konsepsi monarki konstitusional, dimana kekuasaan absolut dicegah dan menawarkan konsep pemisahan kekuasaan. Montesquieu berpendapat agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu orang/ satu organ lembaga, maka diadakan pemisahan kekuasaan pemerintahan menjadi tiga jenis, dan kekuasaan pemerintahan negara itu harus didistibusikan

66 67

Ibid., hal. 33. Ibid.

46

kepada beberapa organ/ lembaga negara, dan satu organ/ lembaga hanya memiliki satu kekuasaan saja, kekuasaan-kekuasaan itu adalah:68 (a) kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang, dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan (parlemen); (b) kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet); (c) kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya). Kedudukan ketiga kekuasaan di atas seimbang, yang satu tidak lebih tinggi daripada yang lain.69 Hal ini berbeda dengan John Locke yang menempatkan legislatif lebih tinggi. Ketiga poros kekuasaan terpisah satu sama lain, baik mengenai organ maupun fungsinya. Immanuel Kant memberi nama ajaran Montesquieu ini dengan Trias Politica. Perkembangan doktrin Trias Poitica diawal abad ke-20 bagi negara berkembang dalam bentuk pemisahan kekuasaan pada umumnya sulit diterapkan. Pada negara berkembang, negara dituntut ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, sehingga fungsi negara sudah melebihi tiga fungsi yang disebutkan Montesquieu.70 Perkembangan pokok-pokok kenegaraan yang sedemikian rupa

Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, PT. Gramedia, Jakarta: 2007, hal. 3. 69 Sobirin Malian, op.cit., hal. 18. 70 Ibid., hal. 51.

68

47

mengakibatkan penafsiran doktrin Trias Politica bergeser menjadi Division of Power (pembagian kekuasaan). Menurut teori Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara wajar demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Dalam rangka gagasan Trias Politica dengan sistem check and balances, pengujian konstitusional mempunyai arti lebih memperkuat lagi kedudukan lembaga peradilan sebagai jabatan yang bebas dari pengaruh jabatan eksekutif dan legislatif.71 Melalui asas kebebasan yudikatif, diharapkan putusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman kepada norma-norma hukum dan keadilan serta nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu negara.72

71 72

Ibid. Ibid., hal. 46.

48

e. Teori Pemerintahan Daerah. Pemerintah daerah adalah satu kesatuan dalam mata rantai organisasi pemerintah yang bertanggung melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan Negara dalam territorial daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan negara serta urusan rumah tangga sendiri.73 Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahanan, pemerintah daerah diawasi oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah. Penyelenggaraan pemerintahan derah didasarkan pada 3 asas pemerintah daerah, yaitu : 1. Desentralisasi Istilah desentralisasi berasal dari bahas latin de berarti lepas dan centrum yang artinya pusat. Desentralisasi adalah lawan kata dari sentralisasi, karena pemakaian kata de dimaksudkan untuk menolak kata sebelumnya, jadi desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan perundang-undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri, dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, untuk selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut.
74

Berdasarkan asal

perkataannya, desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Irawan soejito


73 74

Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan, PT. Perca, Jakarta : 2005, hal. 86 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 1994, hal.78.

49

mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk dilaksanakan.75 Inti desentralisasi pemerintah daerah bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dengan demikian, pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dapat mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 19 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah.76

2. Dekosentrasi Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
77

Asas dekosentrasi adalah asas pelimpahan wewenang pemerintahan yang

sebenarnya kewenangannya itu ada ditangan pemerintah pusat, yakni menyangkut penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertikal di daerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari

Nimatul Huda, Op.Cit, Hlm. 307 Ibid, hal.98. 77 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 2008, hal. 6
76

75

50

pemerintah pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan leh pemerintah pusat.78 Ketentuan dasar hukum asas dekosentrasi terdapat pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang dasar. Kekuasaan pemerintahan ini disebut wewenang pemerintahan umum, meliputi segenap tindakan dan kegiatan

pemerintahan dalam rangka mensejahterakan rakyat yang adil berdasarkan pancasila yang merupakan tujuan nasional dan menjadi tugas pokok pemerintahan pusat.

3. Pembantuan Tugas Pembantuan adalah asas untuk turut sertanya Pemerintah Daerah bertugas dalam melaksanakan urusan Pemerintah Pusat yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.79 Menurut Bayu Suningrat, bahwa tugas pembantuan tidak beralih menjadi urusan yang diberi tugas, tetapi tetap merupakan urusan pusat atau Pemerintah tingkat atasnya yang memberi tugas. Pemerintah dibawahnya sebagai penerima tugas bertanggung jawab kepada yang member tugas dan turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang bersangkutan. Tugas pembantuan tidak diberikan kepada
78 79

Ibid, hal.7-8 Inu Kencana Syafiie, Op.Cit, hal. 104

51

pejabat pemerintahan yang ada didaerah, melainkan kepada Pemerintah Daerah, karenanya bukanlah suatu dekosentrasi, tetapi bukan pula suatu desentralisasi karena urusan pemerintahan yang diserahkan tidak menjadi urusan rumah tangga daerah.80 Dalam menjalankan medebewind, urusan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat atau daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dan tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah, sepanjang masih berstatus medebewind.81 Arah Pemberian tugas pembantuan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 :82 1. Pemerintah Pusat dapat memberikan tugas pembantuan kepada daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) dan Desa. 2. Pemerintah Provinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada Kabupaten/Kota dan Desa. 3. Kabupaten dapat member tugas pembantuan kepada Desa, sedangkan Kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada desa apabila diwilayah kota terdapat desa.

Sadu Wastiono, Etin Indrayani dan Andi Pitono, Memahami Tugas Pembantuan (Pandangan Legalistik, Teoretik dan Implementatif), Fokusmedia, Bandung: 2006, hal. 81 Ibid 82 Ibid, hal. 19.

80

52

2. Kerangka Konseptual Untuk memperoleh kesamaan pengertian serta untuk menghindari pengertian yang multitafsir dalam penelitian ini, maka penulis memandang perlu menjelaskan konsep yang digunakan dalam penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan PERDA dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu : a. Tinjauan yuridis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa hukum untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya83. b. Yuridis adalah menurut hukum atau secara hukum.84 c. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.85 d. Pembatalan adalah mengakui atau menyatakan tidak sah. e. Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.86 f. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.87

83 84

Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan, Balai Pustaka. hal.1198. Ibid. hal. 1278. 85 Ibid, hal. 1272 86 Ibid 87 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

53

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian/ Pendekatan Jenis penelitian/ pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan,88 karena menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertitik tolak dari bidangbidang tata hukum tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam perundang-undangan tertentu.89 Dalam konsep normatif, hukum adalah norma, baik yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum ) untuk menjamin kepastiannya, dan juga berupa norma-norma yang merupakan produk dari seorang hakim (judgements) pada waktu hakim memutuskan suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan kemaslahatan bagi para pihak yang berperkara.90

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Jakarta: 2003, hal. 23. 89 Ibid. hal. 15. 90 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 1996, hal. 33.

88

54

2. Metode dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah melalui studi

kepustakaan/ studi dokumen, sehingga penelitian ini disebut penelitian hukum normatif (legal research ), sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu : a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti, yaitu : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. 3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 6) PERMA Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil b. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang telah diteliti pada bahan-bahan hukum primer yaitu : 1) Buku mengenai Undang-undang Dasar, pendapat-pendapat yang relevan dengan masalah yang diteliti serta data tertulis yang terkait dengan penelitian.

55

2) Berbagai makalah, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen dan data-data dari internet yang berkaitan dengan penelitian. c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Teknik Analis Bahan Hukum Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis.91 Selanjutnya, penulis menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Dimana dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori.92

91 92

20.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta:1983, hlm 32. Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru: 2005, hal.

56

BAB II WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA) MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA

Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Wewenang pembatalan Perda adalah kekuasaan bertindak yang diberikan oleh undang-undang kepada suatu lembaga Negara dalam rangka pengawasan Peraturan Daerah yang kontradiksi dengan sistem hukum nasional. Peraturan Daerah yang dibatalkan sebelumnya telah menjalani proses pengujian terlebih dahulu. Akan tetapi pada wewenang pengujian Perda terdapat perdebatan karena tidak adanya kesatuan pandangan dan dapat ditempuh melalui beberapa upaya baik

melalui executif review oleh Pemerintah Pusat maupun melalui judicial review oleh MA. Selain itu terdapat pula perdebatan mengenai wewenang Menteri Dalam Negeri membatalkan Peraturan Daerah. Berikut akan diuraikan wewenang masing-masing lembaga Negara tersebut dalam membatalkan Peraturan Daerah.

57

A. Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah melalui Executif Review. I. Pemerintah Pusat Dengan banyaknya Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah baik karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan ketertiban umum, menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan memberatkan masyarakat di daerah serta timbul kebijakan yang bersifat diskriminatif, sebagai sistem instrumen hukum Negara telah ditentukan mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh Pemerintah. Mekanisme pembatalan Perda itu sendiri adalah bahwa jika Perda yang diserahkan kepada Pemerintah tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Perda tersebut dibatalkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perpres tentang keputusan pembatalan Perda tersebut, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah

58

mencabut Perda dimaksud.93 Hal ini sesuai dengan asas contrarius actus dimana asas ini bermakna bahwa pejabat yang mengeluarkan suatu keputusan, berwenang pula mencabutnya atau dengan kata lain, yang berhak mencabut adalah pembentuknya itu sendiri dan tidak dapat dilakukan oleh peraturan atau lembaga yang lebih rendah. Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak menerima keputusan pembatalan Perda tersebut dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan yang diajukan oleh Kepala Daerah tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perpres sebagaimana dimaksud, maka Perda dimaksud kembali berlaku.94 Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diketahui bahwa salah satu tahapan dalam pembentukan Perda adalah bahwa setiap Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah, dalam hal ini melalui Menteri Dalam Negeri,
Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah http://saepudinonline.wordpress.com/2010/07/12/penyelenggaraan-otonomi-dan-legislasidaerah-menurut-uu-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 4 juli 2011 pukul 20.00).
94 93

59

paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan, untuk dapat dilakukan penilaian, sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004. Apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, sebagaimana diatur dalam ayat (2) Pasal tersebut dan Pengujian Perda oleh Pemerintah merupakan sarana kontrol agar tidak terjadi masalah di masyarakat nantinya. Executive Review (pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat) terhadap suatu Peraturan Daerah, apabila secara murni mengacu pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bukanlah menjadi suatu permasalahan, dikarenakan Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah Pusat atau berada dibawah Pemerintah Pusat. Sehingga, Pemerintah Pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Pengujian terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah. Jika Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD menetapkan suatu Perda, maka Pemerintah Daerah wajib menyerahkan Perda tersebut kepada Pemerintah Pusat untuk di evaluasi. Jika hasil evaluasi Pemerintah mendapatkan bukti bahwa Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah membatalkan Perda tersebut dan untuk

60

selanjutnya diserahkan kembali ke Pemerintah Daerah bersangkutan agar bersamasama DPRD mencabut Perda dimaksud. Selanjutnya, Jika Pemerintah Daerah tidak menyepakati pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, pada ketentuan Ayat (6), apabila keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden yang membatalkan Perda bersangkutan menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode interpretasi argumentum a contrario terhadap Pasal 145 Ayat (6) tersebut, maka ditemukan bahwa Peraturan Presiden yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari Pemerintah Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden apabila permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan oleh MA. Namun demikian, memang jika ditelusuri ketentuan normatif dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijumpai adanya 2 bentuk pengujian yang diistilahkan dalam frase pengawasan yakni pengawasan

61

represif dan preventif. Dimana Pengawasan preventif dilakukan dalam konteks menjaga keberlakuan/penerapan Perda yang tidak bertentangan atau harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak berbenturan atau kontradiktif dengan kepentingan umum dan kaedah-kaedah norma umum yang berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma kesopanan. Dalam sistem pengawasan represif membawa konsekuensi berlakunya Perda-perda yang kemungkinan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum, sebelum adanya pembatalan dari pemerintah pusat. Juga terbuka kemungkinan bahwa Pemerintah Daerah tidak mengirimkan Perda ke Pemerintah Pusat. 95 Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang bermasalah tersebut dimana menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, instrument yang dimaksud adalah Peraturan Presiden.

95

Nimatul Huda, Op.Cit, Hal. 321

62

II. Menteri Dalam Negeri Timbul juga perdebatan bahwa apakah Menteri Dalam Negeri berwenang melakukan pengujian (executive review) terhadap suatu Peraturan Daerah. Namun sebelum membahasnya, terlebih dahulu perlulah di bedakan antara executif review dan executive preview. Executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku. Dalam hal pengawasannya, executive review biasa juga di sebut sebagai pengawasan represif. Sedangkan, executive preview adalah pengujian yang dilakukan oleh pemerintah eksekutif terhadap rancangan peraturan perundang-undangan. Jadi, dalam hal executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah rancangan peraturan perundang-undangan yang belum diberlakukan atau belum di undangkan. Executive preview ini biasa juga di sebut sebagai pengawasan preventif. Selama ini pada prakteknya, kabanyakan Peraturan Daerah yang telah di uji oleh Pemerintah Departemen Dalam Negeri, Ketetapan pembatalannya dilakukan dengan instrumen Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan mengacu pada instrumen hukum tentang pengujian dan pembatalan suatu Perda yang dilakukan oleh pemerintah (executive review), maka Pasal 145 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda di tetapkan dengan Peraturan Presiden. Jika mengacu pada instrument hukum tersebut, maka sebenarnya tidak ada kewenangan atributif Mendagri mengeluarkan suatu

63

keputusan untuk menetapkan pembatalan perda, melainkan secara tegas yang berwenang membatalkan suatu perda ialah Presiden dengan Peraturan Presidennya. Jika Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Mendagri untuk membatalkan suatu Perda, maka Presiden sebenarnya telah menyalahi kewenangan atributifnya yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 145 Ayat (3) UU.96 Adapun kewenangan Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan suatu Perda, dikarenakan Pemeritah Daerah tidak menindak lanjuti hasil evaluasi dari Pemerintah dalam rangka pengawasan preventif dan tetap memberlakukan Perda dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (5) UU Pemerintahan Daerah. Disinilah sebenarnya letak kewenangan atributif Mendagri dalam melakukan pembatalan suatu Perda dan pengujian Rancangan Perda (executive preview) atau biasa juga di sebut pengawasan preventif. Namun, kewenangan Mendagri tersebut dalam hal pengawasan preventif secara langsung hanya terbatas pada tingkatan Provinsi semata, dan selanjutnya pada tingkatan Kabupaten/Kota, pengawasan preventif Mendagri bersifat tidak langsung, karena yang menjalankan secara langsung adalah Gubernur. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 185 dan Pasal 186 UU a quo. Dalam Pasal 185 dinyatakan bahwa, rancangan Perda provinsi tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa rancangan Perda dan rancangan Pergub tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang96

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 145 Ayat (3)

64

undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur Bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Gubernur tetap menetapkan rancangan perda dan rancangan Pergub tersebut, maka Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Pergub dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun lalu. Dari sini terlihat jelas bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan preventif terhadap rancangan Perda Provinsi (pengawasan secara langsung). Sedangkan dalam Pasal 186 dinyatakan bahwa rancangan Perda

kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Gubernur yang menyatakan bahwa rancangan Peraturan Daerah dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Bupati/Walikota Bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan perda dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota, maka Gubernur membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun lalu. Selanjutnya, Pasal 186 Ayat (6) beserta penjelasannya dinyatakan bahwa Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan

65

Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri yang untuk selanjutnya di tindak lanjuti. Akan tetapi, tidak ada petunjuk jelas mengenai proses

penindaklanjutan hasil evaluasi Gubernur yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri sehingga tampak samar bagaimana metode pengawasan yang dilakukan oleh Mendagri terhadap rancangan Perda kabupaten/kota. Dari penjelasan Pasal 186 Ayat (6) tersebut, terlihat jelas bahwa yang melakukan pengawasan preventif secara langsung adalah Gubernur, sementara Menteri Dalam Negeri hanya melakukan pengawasan preventif secara tidak langsung terhadap rancangan Perda

kabupaten/kota. Selanjutnya, pengawasan preventif oleh Pemerintah baik Mendagri untuk tingkat provinsi maupun Gubernur untuk tingkat Kabupaten/Kota, tidak hanya terbatas pada Rancangan Perda APBD beserta penjabarannya. Pengawasan preventif juga berlaku pada proses penetapan Rancangan Perda yang berkaitan dengan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang Daerah. Sebagaimana yang dimaksud Pasal 189 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Proses penetapan Rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan Menteri yang

66

membidangi urusan tata ruang. Dengan berlakunya Pasal 189 tersebut, maka ketentuan Pasal 5A dan Pasal 25A UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, menjadi tidak berlaku.97 Dalam prakteknya, berdasarkan data hasil klarifikasi/evaluasi Perda yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, diketahui bahwa Perda yang telah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2007 adalah 151 Perda dan sepanjang tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 tercatat ada 175 perkara hak uji materil. Hal yang senada juga dapat dilihat dari daftar keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pembatalan Perda, terdapat 284 Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Lebih lanjut, terdapat pembedaan pengujian Perda secara preventif dan represif. Ada empat Perda yang diuji secara preventif : Perda Pajak, Retribusi, Tata ruang dan APBD. Kalau tidak ada masalah, dia diberlakukan. Yang lainnya represif, jadi berlaku dulu, kalau bertentangan, baru dicabut. Menurut beberapa pakar hukum, pembatalan Perda oleh Mendagri tidak tepat dan menimbulkan kekeliruan hukum. Meskipun demikian, namun kenyataan di lapangan sampai sekarang masih terjadi pembatalan Perda oleh Mendagri melalui

http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308 dikunjungi tanggal 4 juli 2011 pukul 22.00).

97

(terakhir

kali

67

Kepmendagri.

Excecutive

review

(terhadap

Perda)

oleh

Depdagri,

tapi

pembatalannya harus lewat Perpres karena Depdagri berdasarkan UU No 10 Tahun 2004 sudah tidak bisa mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tidak bisa sebuah Perda dibatalkan oleh Kepmendagri. Itu tidak boleh lagi karena Dengan demikian, Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda dinilai cacat hukum. Implikasi hukumnya, daerah atau kabupaten bisa saja tidak menuruti itu (pembatalan).

B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung Melalui Judicial Review Judicial Review (Hak Uji Materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislatif acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executif acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip checks and balances berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu kewenangan untuk melakukan judicial review itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat

68

disebut sebagai judicial review, melainkan legislatif review.98 Pertimbangan untuk memberikan kewenangan ini pada pengadilan adalah sangat sederhana, karena pengadilan memang berfungsi untuk menafsirkan hukum dan untuk menerapkannnya dalam kasus-kasus. Pengujian atau review oleh hakim itu dapat dilakukan secara institutional atau formal dan dapat pula dilakukan secara prosesual atau substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara judicial review itu dalam persidangan yang tersendiri. Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa pengujian materiel itu dilakukan secara institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secara keseluruhan dapat dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, Pengujian juga dapat dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang

mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai judicial review yang bersifat prosessual, atau judicial review yang bersifat substansial. Objek yang diuji oleh hakim dapat berupa produk hukum yang ditetapkan oleh lembaga legislatif (legislatif acts) dan dapat pula berupa produk eksekutif (executif
98

http://www.leip.or.id/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 5 juli 2011 pukul 21.00).

69

acts). Produk legislatif (legislatif acts) biasanya disebut undang-undang, wet atau law, tergantung bahasa yang digunakan di masing-masing negara. Disebut produk legislatif karena memang dalam proses pembuatannya terlibat peran parlemen. Kalaupun, produk legislatif tersebut tidak dilakukan sepenuhnya oleh parlemen, setidaknya produk dimaksud ditetapkan oleh pemerintah bersama-sama parlemen. Tindakan atau kebijakan pemerintahan yang merugikan atau menimbulkan ketidakadilan dengan sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan proses pengujian itu disebut sebagai Judicial Review. Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materil (formele toetsingsrecht en materiele toetsingsrecht). Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya. Sedangkan Pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan normanorma yang berlaku umum.

70

Dasar permohonan yang dikenal dengan istilah pengujian aspek materil apabila dikaitkan dengan pengujian Peraturan Daerah, maka landasan bagi Mahkamah Agung untuk menguji Peraturan Daerah terhadap undang-undang, adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah. Sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian aspek formil, yang dalam Pasal 31 ayat (2) Undangundang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, ditegaskan pula bahwa Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.99 Sehingga dapat dismpulkan ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Perda : a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau b. pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang Mahkamah Agung adalah lembaga pelaksana hak menguji materil maka hak menguji materil merupakan hak yang dipunyai oleh Mahkamah Agung

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid= 13(terakhir kali dikunjungi tanggal 27 juni 2011 pukul 19.00)

99

71

untuk menilai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, apakah peraturan tersebut bertentangan atau tidak dengan peraturan yang ada diatasnya, dalam hal isinya, serta menentukan lembaga mana yang harus mencabut peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut, sehingga secara administratif peraturan perundangan itu tidak dapat dipakai lagi sebagai landasan hukum.100 Judicial review, dapat diartikan sebagai berikut : 1. judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus kongkret di pengadilan. 2. judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah legislative acts, executive acts, dan administrative acts bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar (tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan). Defenisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review dipakai pada negara yang menganut common law system. Istilah judicial review juga digunakan dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu judicial review, merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan system pemisahan kekuasaan negara
100

Hal. 7

Samsul Wahidin, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Jakarta, Cendana Press, 1984,

72

(separation of power).101 Pedoman hukum yang dipakai untuk melakukan pengujian tersebut oleh hakim adalah norma hukum yang lebih tinggi, atau sekurang-kurangnya norma hukum yang setingkat terutama apabila pengujian yang dilakukan bersifat formil. Pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :
1. 2.

Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

3.

Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

4. 5.

Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi. Untuk mengetahui mengenai hak menguji yang dimiliki Mahkamah Agung

terhadap suatu perda, maka akan diuraikan mengenai hal ini berdasarkan peraturan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta peraturan yang terkait dengan Mahkamah Agung yang
http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material/ (Terakhir kali dikunjungi pada tanggal 1 juli 2011 pukul. 10.30)
101

73

diatur dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung jo Undangundang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 pada Pasal 24 A ayat (1) dinyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.102 Ketentuan daripada UUD 1945 tersebut, juga diatur dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No.48 tahun 2009) pada Pasal 20 ayat (2) yang mengemukakan bahwa: Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: 1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; 2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan 3. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Berdasarkan hal tersebut, maka kewenangan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU No.48 tahun 2009 adalah sebagai berikut Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan

Desa/peraturan yang setingkat, serta peraturan perundang-undangan yang diakui


102

Penjelasan UUD 1945 Pasal 24A ayat (1)

74

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi terhadap Undang-undang. Lebih lanjut pada Pasal 20 ayat (3) UU No.48 tahun 2009 dinyatakan bahwa Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung. Dari ketentuan Undang-undang Dasar dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, diketahui bahwa kewenangan menguji peraturan perundangundangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang adalah kewenangan Mahkamah Agung. Mengenai maksud dari peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang, dapat dilihat dalam UU No.10 tahun 2004, pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). Dari hal tersebut di atas, maka Mahkamah Agung tidak berwenang untuk menguji, hal-hal yang disebutkan dibawah ini: 1. Suatu Undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar; 2. Suatu peraturan perundang-undangan telah dibuat sesuai dengan/menurut cara yang ditetapkan oleh Undang-undang Dasar; 3. Suatu peraturan perundang-undangan bermanfaat/berguna dan dapat dipertanggungjawabkan.

75

Maksud dari peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang adalah semua peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dari pada Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No.10 tahun 2004. Jadi dari hal ini, diketahui bahwa salah satu peraturan perundang-undangan yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa. Menurut pakar hukum Sri Soemantri, lembaga yang berwenang untuk melakukan hak menguji material ini adalah Mahkamah Agung, karena beberapa pertimbangan yaitu: 1. Ditinjau dari pengangkatan anggota-anggotanya di Mahkamah Agung, faktor politik tidak boleh memberikan peranan yang lebih menonjol. Ini berarti pengangkatan tersebut harus dititik beratkan pada keahlian dan pengalaman dalam bidang hukum. 2. Pertimbangan efisiensi, sehingga tidak perlu memperbanyak jumlah lembaga negara yang ada, kecuali apabila diperlukan sekali. Penambahan jumlah lembaga negara akan berakibat pada bertamabahnya pengeluaran dan fasilitas. 3. Oleh karena yang dapat diuji itu Undang-undang dan aturanaturan lainnya yang lebih rendah, maka harus dikurangi adanya pengaruh dari lembagalemabaga yang dapat menimbulkan bermacam-macam kesulitan.103

103

Sri Sumantri, Op.Cit, hal. 6.

76

Mengenai tata cara pelaksanaan wewenang Mahkamah Agung untuk menguji suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan di atas, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2004 tentang Hak Uji Materil. Jika melihat Perma No.1 tahun 2004 pada Pasal 1 c yang mengemukakan Permohonan keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke MA untuk mendapatkan putusan. Diketahui bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam mengajukan uji materiil suatu peraturan perundangundangan di bawah Undang-undang adalah dengan cara pengajuan permohonan keberatan. Untuk lebih jelasnya mengenai permohonan keberatan yang dimaksud dalam Pasal 1 c Perma No.1 Tahun 2004 tersebut di atas, terdapat dalam Pasal 2 Perma tersebut yang menyatakan:104 ayat 1 : Permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara : a. Langsung ke Mahkamah Agung; atau b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. ayat 2 : Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundangundangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundangundangan tingkat lebih tinggi.
104

Perma No.1 Tahun 2004 Pasal 2

77

ayat 3 : Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa permohonan keberatan dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. Permohonan keberatan diajukan karena adanya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam menjalankan kewenangannya itu, Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan yaitu suatu permohonan sekelompok masyarakat atau perorangan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi diajukan ke Mahkamah Agung baik secara langsung ke Mahkamah Agung maupun melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon untuk mendapatkan putusan. Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan karena peraturan perundang-undangan yang dimaksud bertentangan dengan Undangundang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka Mahkamah Agung akan mengabulkan gugatan atau permohonan keberatan tersebut. Dalam putusan yang mengabulkan Permohonan keberatan tersebut akan dinyatakan

78

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 tahun 2004 yaitu Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya. Akan tetapi dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan atau permohonan keberatan itu tidak beralasan, maka Mahkamah Agung menolak gugatan atau permohonan keberatan tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Perma No.1 Tahun 2004. Isi putusan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud akan dikirimkan kepada Pemohon keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Perma No.1 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman atau salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.

79

Mengenai pelaksanaan putusan permohonan keberatan hak uji materil oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 8 Perma No. l Tahun 2004 yaitu : ayat 1 : Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara. ayat 2 : Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau penjabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata penjabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan hak uji materil tersebut di atas tidak dapat diajukan peninjauan kembali, hal ini sesuai dengan Pasal 9 Perma No.1 Tahun 2004. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa putusan Mahkamah Agung tentang Uji Materil mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final dan mengikat, selain itu juga terhadap badan atau pejabat yang bersangkutan dalam perkara Uji Materil ini tidak melaksanakan kewajibannya dalam waktu 90 hari, maka dengan sendirinya atas nama hukum, peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diketahui bahwa kewenangan menguji suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang adalah kewenangan Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 20 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009.

80

Mengenai kewenangan MA yang satu ini, berakibat bahwa apabila suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung, sebagaimana maksud dari Pasal 20 ayat (3) UU No.4 Tahun 2009. Jika dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji suatu peraturan daerah, baik Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa. Maka dapat dikatakan bahwa MA berwenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai isi dari suatu peraturan daerah terhadap Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari kekuasaan Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan suatu Perda yang mengatur hal tertentu. Apabila Perda yang diujikan tersebut, isinya bertentangan dengan Undangundang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka MA akan mengeluarkan Putusan bahwa Perda tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera melakukan pencabutannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009 dan Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 Tahun 2004. Salah satu isu penting dan mendasar dalam pembahasan mengenai kedudukan lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman ini adalah adanya soal kemandirian

81

(independensi). Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Kemandirian kekuasaan kehakiman juga merupakan salah satu syarat dan ciri penting dalam negara hukum, selain adanya asas legalitas yang artinya pemerintah harus bertindak berdasarkan semata-mata hukum yang berlaku, adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi dan hukum dasar.105 Dengan adanya kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan lainnya, badan atau lembaga pelaksananya diharapkan dapat melakukan kontrol hukum terhadap kekuasaan negara lainnya. Di samping itu, sebagai antisipasi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa. Sebab kekuasaan kehakiman secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah.

Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta: 1991, hal. 298-301.

105

82

Bagan Prosedur Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Oleh MA dan Pemerintah 106:

Perbedaan Pengujian Perda antara Mahkamah Agung Mahkamah Agung dengan Pemerintah Kategori Jenis Review Bentuk review Judicial Review Permohonan keberatan

Pemerintah Executive Review Pengawasan preventif terhadap oleh pemerintah pusat terhadap RANPERDA yang bermuatan APBD, pajak dan retribusi daerah serta tata ruang. 1. Pengawasan represif terhadap PERDA dari pemerintah pusat terhadap daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Departemen Dalam Negeri dibantu dengan: a. Departemen Keuangan b. Departemen PU c. Departemen Hukum dan HAM

Lembaga review

yang melakukan Mahkamah Agung

Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu Tinjauan Normatif, Desember 2007, www.legalitas.org, (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 juli 2011 Pukul 23.00)

106

83

Pasif=> menunggu Aktif=> melakukan pengawasan, Sifat kewenangan lembaga datangnya permohonan dari evaluasi terhadap seluruh perda yang yang melakukan review pemohon dikeluarkan (pengawasan represif) Menyelesaikan sengketa Dalam rangka pengawasan dan peraturan perundang- pembinaan terhadap pemerintah daerah Kapasitas lembaga undangan yang timbul dibawah undang-undang terhadap undang-undang (konflik norma) a. Pasal 24A ayat (1) UUD a. Pasal 114 ayat (1) sampai ayat 1945 (4) UU No 22/1999 tentang b. Pasal 11 ayat (2) huruf b Pemda UU No. 4/2004 tentang b. Pasal 145 ayat (1), ayat (2), Kekuasaan Kehakiman ayat (3), dan ayat (4) jo Pasal c. Pasal 31 ayat (1) sampai 136 ayat (4) jo Pasal 218 ayat ayat (5) UU No. 5/2004 (1) huruf b UU No 32/2004 Dasar hukum kewenangan tentang Mahkamah tentang Pemda pengujian Agung d. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1999 yang sudah diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil a. bertentangan dengan a. bertentangan dengan peraturan peraturan perundangperundang-undangan yang lebih undangan yang lebih tinggi tinggi b. bertentangan dengan kepentingan b. pembentukannya tidak umum memenuhi ketentuan yang berlaku

Standar pengujian

84

Lama waktu review

Permohonan Keberatan a. Perda disampaikan kepada paling lambat diajukan ke Pemerintah paling lama 7 (tujuh) MA setelah 180 hari hari setelah ditetapkan pengundangan Perda. Tetapi b. Bila perda dibatalkan, maka tidak diatur berapa lama peraturan presiden pembatalan harus proses review harus sudah ditetapkan paling lama 60 diselesaikan oleh MA. (emanpuluh) hari sejak diterimanya perda Paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah putusan yang mengabulkan permohonan keberatan perda, perda Paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkannya pembatalan perda, kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan

Waktu eksekusi

85

BAB III PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL TERHADAP WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)

Pembentukan Perda sering kali tidak memiliki arah yang jelas dan berkorelasi dengan kebutuhan daerah serta perencanaan pembangunan. Pembentukan peraturan perundang-undangan ditingkat daerah bukan sekedar melihat batas kompetensi formal atau kepentingan daerah yang bersangkutan tetapi harus dilihat pula kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain ataupun kepentingan Nasional secara keseluruhan. Tujuannya agar tidak terdapat friksi antara Pusat dan Daerah serta daerah otonom dalam hal mengatur kewenangan daerah yang sangat strategis. Pemberian kebebasan membuat kebijakan daerah harus dalam koridor kebijakan Pemerintah Pusat dengan memperhatikan kondisi daerah.107 Sejak bergulirnya era otonomi daerah yang memberikan kewenangan regulasi pada daerah otonom justru kerap menimbulkan permasalahan karena banyak Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah baik karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan ketertiban umum, menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya serta timbul kebijakan yang
Ateng Syarifudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1993, Hal. 279
107

86

bersifat diskriminatif. Akibatnya banyak perda yang dibatalkan, Sehingga menimbulkan kerugian yang tak sedikit, karena proses pembuatan perda juga memakan biaya yang tak sedikit. Kemunculan persoalan disekitar Perda bermasalah disebabkan oleh semangat berlebihan dari daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah. Dengan adanya otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah seolah berlomba untuk sebanyak-banyaknya membuat peraturan daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Ada sebagian Perda yang dipandang bermasalah karena bertentangan dengan aturan lebih tinggi, tetapi ada juga yang dipandang menghambat investasi daerah.108 Sebagai salah satu contoh dampak negatif hambatan investasi secara nyata yang dapat digambarkan ialah bahwa Perda yang buruk akan menghambat aktivitas usaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sehingga menurunkan daya saing produk di daerah yang bersangkutan. Selain itu, pungutan retribusi dari Pemerintah Daerah yang membebankan pungutan dengan mengabaikan kontra prestasi berupa manfaat langsung bagi pembayar retribusi adalah tidak tepat karena hal ini sangat merugikan masyarakat khususnya pelaku usaha. Dan berikut diuraikan beberapa masalah yang timbul dengan dibatalkannya suatu Perda antara lain :

Nimatul Huda, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005, hal. 229

108

87

1. Adanya Disharmoni dan Tumpang Tindih Peraturan Perundangundangan. Disharmoni Peraturan perundang-undangan merupakan ketidakselarasan, ketidaksesuaian, ketidakseimbangan, ketidakserasian dan Inkonsistensi suatu unsurunsur peraturan antara yang setingkat maupun dengan peraturan yang berada diatasnya berdasarkan teori peraturan berjenjang atau Stufentheori. Menurut teori ini, norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu tata susunan dimana suatu peraturan terendah bersumber dari peraturan yang ada diatasnya atau lebih tinggi sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundang-undangan. Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan Terjadinya

perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, Timbulnya ketidakpastian hukum, Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.109 Dengan demikian, dibutuhkan upaya harmonisasi sebagai Conditio Sine Qua Non bagi terjaminnya kepastian hukum, ketertiban hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. 110

http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundangundangan.html (terakhir kali dikunjungi pada tanggal 24 agustus 2011 pukul. 21.00 WIB) 110 http://cetak.bangkapos.com/opini/read/216.html (dikunjungi terakhir kali pada tanggal 24 agustus 2011 pukul. 21.00 WIB)

109

88

Terkait dengan wewenang pembatalan Peraturan Daerah terdapat suatu pertentangan kewenangan dimana peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan kepada dua organ lembaga Negara yaitu melalui lembaga

Kepresidenan/Pemerintah dan Mahkamah Agung. Hal demikian memungkinkan timbul inkonsistensi dalam pelaksanaan pembatalan Perda yang dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam struktur ketatanegaraan. Adanya alasan Pengujian Peraturan daerah oleh Pemerintah justru karena Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah (eksekutif) dimana Pemerintah Daerah berada di bawah Pemerintah, dan juga ada di struktur Pemerintah. Jadi Pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh daerah. Berdasar hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang bermasalah tersebut melalui instrument hukum berupa Peraturan Presiden. Dihubungkan wewenang Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan, maka pelaksana hak pengujian terhadap peraturan perundang-undangan adalah menjadi hak yang dipunyai oleh Mahkamah Agung untuk menilai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, apakah peraturan tersebut bertentangan atau tidak dengan peraturan yang ada diatasnya, dalam hal isinya, serta menentukan lembaga mana yang harus mencabut peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut, sehingga secara administratif peraturan perundangan itu tidak dapat dipakai lagi sebagai landasan

89

hukum. Dualisme kewenangan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga yang berwenang untuk menguji materiil serta membatalkan suatu peraturan daerah, dimana kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang diperbolehkan oleh dua lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power), sebenarnya telah ditetapkan mengenai wewenang masing-masing lembaga Negara agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu orang/ satu organ lembaga dan tumpang tindih wewenang sehingga satu organ/ lembaga hanya memiliki satu kekuasaan saja, kekuasaan-kekuasaan itu adalah:111 (d) kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang, dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan (parlemen); (e) kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet); (f) kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).

111

3.

Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, Op.Cit, hal.

90

Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) akan menimbulkan konsekuensi checks and balances dimana masing-masing lembaga Negara diatas dapat saling mengawasi dan terjadi keseimbangan kedudukan maupun kewenangan sehingga terhindar dari konflik kepentingan. Indonesia menganut gagasan supremasi konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of parliament). Konsekuensi dianutnya supremacy of constitution, semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Berbicara mengenai hak menguji Peraturan Daerah, disharmoni peraturan perundang-undangan terdapat pada Aturan Pasal 145 Ayat (6), ditemukan bahwa Peraturan Presiden yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari Pemerintah Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden apabila permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan oleh MA. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review bukan terhadap Peraturan Daerah yang telah dikeluarkan

91

Pemerintah Daerah, tetapi pengujian dilakukan terhadap Peraturan Presiden yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan permasalahan hukum karena ada pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 jo UU Nomor 3 Tahun 2009 dimana seharusnya Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

2. Ketidakjelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah. Dalam substansi Peraturan perundang-undangan mengenai pembatalan Perda terdapat persamaan alasan yang dijadikan dasar dalam pembatalan Perda antara Pemerintah Pusat (melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri) dengan Putusan Mahkamah Agung. Keduanya pada prinsipnya menyatakan bahwa alasan pembatalan Perda adalah Perda bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi . Akan tetapi jika dikaji lebih lanjut sebenarnya standar pengujian Perda oleh Pemerintah berbeda dengan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,112 Pemerintah melakukan pengujian perda dengan standar yang lebih luas. Dikatakan lebih luas
112

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung pasal 31

92

karena pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.113 Dalam pengujian Perda oleh Pemerintah (executive review), terdapat permasalahan yang patut untuk dikaji. Yang pertama adalah, dalam pengujian Perda, Pemerintah Pusat mempunyai dua batu uji untuk melakukan pengujian, yaitu bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana yang termaktub pada Pasal 136 Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004. Pengujian Perda dengan menggunakan batu uji istilah kepentingan umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, masih sangat luas cakupannya. Istilah kepentingan umum bisa diartikan sebagai kepentingan umum Nasional ataukah kepentingan umum lokal (daerah). Mengingat peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat local (local wet), maka yang dimaksud dengan istilah kepentingan umum, tidak lain merupakan kepentingan umum yang hanya mencakup daerah setempat. Yang menjadi permasalahan adalah, alat ukur apakah yang dipakai Pemerintah Pusat dalam hal menafsirkan bertentangan tidaknya suatu Perda dengan kepentingan umum, mengingat banyaknya daerahdaerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia dengan corak masyarakat yang majemuk dan pluralistik.114

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Pasal 145 Ayat (2) http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308 (terakhir kali dikunjungi tanggal 27 Mei 2011 pukul 17.00)
114

113

93

Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis. Sehingga pengujian terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penjelasan Pasal 136 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan bertentangan dengan kepentingan umum dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Dengan demikian, bertentangan dengan kepentingan umum menjadi standar yang longgar yang ditafsirkan berdasarkan kekuasaan penafsir. Maka tidak jarang tafsir kepentingan umum lebih mewakili tafsir penguasa. Orientasi kekuasaanlah terkadang yang mewakili kepentingan umum. Hal ini dapat dilihat dimana ketika tidak terjadi gejolak atau penolakan terhadap berlakunya suatu perda di masyarakat juga dapat dibatalkan oleh pemerintah atas dasar bertentangan dengan kepentingan umum. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu Perda dianggap menimbulkan masalah oleh masyarakat dapat saja tidak dibatalkan oleh pemerintah bila Perda tersebut sesuai dengan tafsir kekuasaan pemerintah. Bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi mengandung makna bahwa Peraturan Daerah yang secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya.Teori tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas lex

94

superior derogat legis inferiori. Hal ini sesuai dengan pendekatan Stufenbau des Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Peraturan Daerah merupakan pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.115 Apabila ada ayat atau pasal maupun bagian dari peraturan perundangundangan yang lebih rendah bertentangan dengan ayat atau pasal maupun bagian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka ecara kuantitatif dianggap telah memenuhi syarat alasan hak uji. Kuantitas pertentangannya tidak mesti secara keseluruhan, tetapi cukup ayat, pasal atau bagiannya saja, namun seperti yang dijelaskan diatas, faktor paling diperhatikan adalah kualitas pertentangannya. Pertentangan sedemikian rupa nyata dan objektif sehingga dapat menimbulkan akibat pelanggaran terhadap ketertiban umum.116 Pembatalan Perda dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat menimbulkan masalah kepastian hukum dan harus
Dodi Haryono, Op.Cit, hal. 42 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta:2008, hal. 103
116 115

95

yang memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam Peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan. Terkait dengan wewenang Mahkamah Agung, Apabila suatu Peraturan Daerah dipandang bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah bertentangan dengan Undang-undang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Peraturan Daerah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dimungkinkan dapat terjadi proses pengujian jika Mahkamah Agung menemukan hanya satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian materi muatan dalam Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka seluruh materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Peraturan Daerah dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keadaan ini seperti halnya dalam pengujian aspek formil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.117 Hal ini tentunya menimbulkan efek berupa kerugian yang tak sedikit, karena proses pembuatan perda juga memakan biaya yang tak sedikit pula. Disamping itu juga timbul problem dengan adanya
http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid =13(terakhir kali dikunjungi tanggal 27 juni 2011 pukul 19.00)
117

96

pembatalan Perda terkait akibat hukum yang ditimbulkan sebelum dan sesudah pembatalan Perda. Dalam hal ini wewenang Mahkamah Agung hanyalah menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu tidak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dan memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabut peraturan itu. Mahkamah Agung tidak berwenang mencabut suatu peraturan, yang dibuat oleh lembaga tertentu.118 Apabila dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung tersebut diatas, maka pengujian Perda secara tegas menjadi kompetensi Mahkamah Agung tidak sampai pada keputusan membatalkan, tetapi hanya menyatakan tidak sah karena Peraturan Daerah tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau Peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.119

3. Penyimpangan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah merupakan aturan hukum yang banyak dilakukan pengujian terutama oleh pemerintah, karena setiap Peraturan Daerah yang diterbitkan pada tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi harus melalui pengujian oleh pemerintah.
Samsul Wahidin, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Cendana Press, Jakarta: 1984, hal. 45 119 Nimatul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.Cit, hal.299
118

97

Adanya kewenangan pemerintah untuk menguji Peraturan Daerah hendaknya tidak akan menjadi jalan untuk mewujudkan superioritas kekuasaan Pemerintah Pusat atas Pemerintah Daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Peraturan Daerah. Tidak sedikit Peraturan Daerah dan isi materinya yang beragam, serta mekanisme terpusat pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah dan Mahkamah Agung yang dipandang tidak efektif, efisien dan transparan, maka perlu pengkajian untuk membentuk mekanisme yang dapat menstimulasi pembangunan daerah dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat di daerah.120 Bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah yang ditentukan dalam Pasal 145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, adalah Peraturan Presiden. Dalam Pasal 145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku. Namun dalam praktek, pembatalan Peraturan Daerah dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri dapat dikatakan sebagai kekeliruan hukum. Kekeliruan hukum ini terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus
Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID), Jakarta, 2005: hal. 120.
120

98

dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Terlebih keliru, Peraturan Daerah yang masuk dalam bidang regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam bidang beschikking. Artinya, norma hukum yang dikandung dalam Perda adalah norma 3 hukum umum, yaitu suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) di mana addresat-nya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau per individu. Oleh karena itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan atau keputusan serupa121. Dengan kata lain, secara yuridis Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah, karena keputusan pembatalan Peraturan Daerah harus dalam bentuk Peraturan Presiden.122 Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah dapat dikatakan sebagai penggunaan kewenangan yang tidak pada kewenangannya atau pelampauan kewenangan (ultra vires). Semestinya keputusan pembatalan Peraturan Daerah dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Apabila pemerintah tidak menerbitkan Peraturan Presiden untuk

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid =13(terakhir kali dikunjungi tanggal 25 agustus 2011 pukul 07.00) 122 Kusnu Goesniadhie S, Op. Cit, Hal. 186

121

99

membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dinyatakan tetap berlaku. Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah, dapat dinilai sebagai cacat hukum. Implikasi hukumnya, daerah atau Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat mengabaikan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap kewenangan Departemen Dalam Negeri dalam menguji Peraturan Daerah. Mengenai Prosedur pencabutan Perda, maka yang menjadi acuan hukumnya adalah Pasal 145 Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya. Dalam instrument tersebut, ditegaskan bahwa paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan Perda, maka kepala daerah memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda tersebut. Pencabutan tersebut dilaksanakan dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang pencabutan Perda dan Terhadap putusan pembatalan Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Masalah yang timbul ialah, bagaimana jika setelah putusan Mahkamah Agung menyatakan suatu peraturan perundangan tidak sah dan tidak berlaku untuk masyarakat tetapi instansi yang bersangkutan tidak mencabut peraturan perundangan tersebut. karena suatu peraturan perundangan dikeluarkan oleh instansi tersebut, maka pencabutan harus dilaksanakan oleh instansi yang bersangkutan. Persoalannya

100

berkisar pada konsekuensi tidak dicabutnya peraturan tersebut. Jika memang dengan tidak dicabutnya peraturan perundangan itu tidak membawa konsekuensi apapun, tentulah pengaturan demikian oleh pembentuk undang-undang akan sia-sia. Meskipun secara tegas efek peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah itu sudah digariskan oleh undang-undang tidak berlaku umum, ada kemungkinan dan disini yang perlu dikhawatirkan bagaimana jika instansi yang berwenang itu masih memakai peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut.123 Dalam keadaan demikianlah timbul kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh instansi yang mengeluarkan peraturan tersebut, untuk tetap berpegang kepada peraturan yang dikeluarkan, sebab memang peraturan yang dibuat itu belum dicabut. Dan persoalan dicabut atau tidak, tidak ada sanksi yang menyertai.124 UU No. 32 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya Perda oleh Pemerintah Pusat (Pasal 145 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Pemda), namun dalam pelaksanaannya evaluasi Perda oleh Pemerintah Pusat tetap memakan waktu yang lama. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Pemerintah ini akan berimplikasi pada terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah dimana Ketika Pemerintah belum membuat Keputusan apakah Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan

123 124

Samsul Wahidin, Loc. Cit Samsul Wahidin, Ibid. 47

101

perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun kepentingan umum, apakah keputusan pembatalan Perda tersebut dapat berlaku surut ? Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Perda yang sudah disahkan ditingkat daerah dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum. Dibatalkan berarti ketidakabsahannya berlaku sejak tanggal ada pembatalan; sedangkan batal demi hukum berarti ketidakabsahannya berlaku sejak peraturan itu ditetapkan (yang berarti membatalkan pula akibat-akibat hukum yang timbul sebelum ada pembatalan).125 Setiap pembatalan, pada dasarnya hanya berlaku kedepan (prospektif). Daerah tidak perlu membuat ketetapan khusus untuk membatalkan pelaksanaan yang dimaksud. Apabila Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah tetap dilaksanakan melebihi waktu satu minggu sejak putusan pembatalan, daerah yang bersangkutan harus bertanggungjawab untuk memulihkan segala hak dan kerugian yang timbul akibat penundaan pelaksanaan pembatalan tersebut.126 Berkenaan dengan hal pencabutan dan tidak berlakunya suatu peraturan perundangan, Soehino SH mengemukakan bahwa berlakunya Undang-undang (Peraturan lainnya) adalah :127 Untuk jangka waktu tertentu Sampai jangka waktu tidak tertentu meskipun tidak dinyatakan

125 126

hal. 106

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Mengakkan Konstitusi, Op.Cit, hal. 241 Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hal. 157 127 Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, Liberty, Yogyakarta: 1981,

102

Sampai peraturan itu dinyatakan tidak berlaku Sampai peraturan itu dicabut. Terkait dengan hal pembatalan Perda, yang perlu diperhatikan disini adalah

perbedaan kata dibatalkan dan kata dicabut. Kata dibatalkan berarti pembatalan suatu peraturan untuk di berlakukan secara umum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun, dengan dibatalkannya peraturan tersebut, tidaklah secara otomatis juga telah tercabut. Peraturan tersebut walaupun sudah dibatalkan namun selama belum di cabut, maka peraturan yang sudah tidak mempunyai kedayagunaan tersebut dipandang masih tetap ada dan tidak boleh dibuatkan peraturan pengganti yang berkenaan dengan substansi isi materinya. Misalnya, Perda tentang kebersihan yang sudah dibatalkan oleh Pemerintah, maka pihak Pemerintahan Daerah tidak boleh membuatkan Perda yang baru tentang kebersihan sebelum mencabut Perda yang sudah dibatalkan. Dalam tinjauan normatif dari Perma No. 1 Tahun 2004 ditemukan bahwa Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling lambat sebelum 180 (seratus delapan puluh) hari pengundangan peraturan tersebut. Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah dikemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Mahkamah Agung tersebut. Tidak jelas benar

103

dari mana asal muasal batas waktu 180 tersebut, dan mengapa tidak lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu yang dapat dimengerti secara rasional, karena bila syarat untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap berlakunya suatu perda adalah anggapan kerugian publik dari pemohon, maka potensi kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya. Bisa saja, misalnya perda yang sudah berlaku selama satu tahun dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat, kemudian dua atau tiga tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya perda tersebut baru menimbulkan masalah sosial, sehingga bila hal tersebut terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan permohonan karena dipangkas oleh aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.128 Salah satu kelemahan lagi dari Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil oleh Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-undangan, termasuk perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu proses itu sangat ironis mengingat dalam Perma tersebut Mahkamah Agung malah membatasi waktu hak

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah aturan yang dibuat sendiri oleh Mahkamah Agung untuk menjadi pedoman pelaksanaan fungsi kelembagaan. Pembentukan Perma lepas dari partisipasi publik, sehingga kemudian ada dorongan agar peraturan tentang hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung seharusnya dibentuk dalam wujud Undangundang supaya publik dapat terlibat dalam mempengaruhi perumusannya. 10 Lihat pasal 145 ayat (1) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

128

104

warga negara untuk menyampaikan permohonan keberatan. Ketiadaan batas waktu pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung berpotensi membuat perda yang sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama. Selain itu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tidak terdapat rumusan pengaturan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung. Terlihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 dalam proses pengujian oleh Mahkamah Agung bersifat tertutup, sedangkan objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait dengan kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di masyarakat. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materil, dalam menguji Peraturan Daerah.129

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid =13 (terakhir kali dikunjungi ggal 27 juni 2011 pukul 19.00)

129

105

BAB IV BENTUK IDEAL KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)

Berdasarkan permasalahan yang timbul dalam mekanisme pembatalan Peraturan Daerah pada bab III, berikut akan diuraikan mengenai bentuk ideal kewenangan pembatalan Peraturan Daerah.

1. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang Tumpang Tindih Antara Pemerintah dan Mahkamah Agung. Perda adalah peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundangundangan yang memiliki materi muatan yang paling banyak & memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Ini dapat dipahami dari sudut pandang pendekatan Stufenbau des Recht yang diutarakan Hans Kelsen, bahwa hukum positif (peraturan) dikonstruksikan berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yang kemudian kita kenal dengan asas lex superior derogat legi in feriori.130 Sebagaimana konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam naskah perubahan pertama UUD 1945 maka

130

Teori Hans Kelsen tentang Hukum, www.jimly.com.

106

produk legislatif daerah ini dapat saja bertentangan dengan produk eksekutif tingkat pusat. Misalnya, apabila suatu materi Perda Propinsi atau Perda kabupaten/Kota yang telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan peraturan Menteri ditingkat pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa Perda itulah yang berlaku sepanjang untuk daerahnya.131 Menghadapi maraknya euphoria otonomi daerah pada saat sekarang, semakin relevan peran hak uji formil yang dimiliki MA untuk mengawasi pembentukan peraturan daerah (Perda) yang bercorak penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa daerah. Oleh karena itu pada saat sekarang, peran MA melakukan surveillance terhadap tindakan unconstitusional melalui hak uji formil atas pembentukan peraturan perundang-undangan benar-benar sangat dibutuhkan, agar rakyat yang berada dibawah daerah otonom terlindungi dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa daerah.132 Mengingat Peraturan Daerah adalah merupakan produk politis maka kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi Peraturan Daerah. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Jika suatu Peraturan Daerah sebagai produk politik diuji dan dibatalkan oleh lembaga politik melalui mekanisme yang juga politik dengan Peraturan Presiden, berarti partai politik akan dihadapi oleh partai politik. Proses politik yang sudah
Bagir Manan, Teori dan politk konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta:2004, hal. 279-280 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Op.Cit, hal. 105
132 131

107

selesai ditingkat daerah, dilanjutkan oleh proses politik ditingkat Pusat. Jika Pemerintah Pusat dikuasai Oleh partai A, sedangkan pemerintahan disuatu daerah dikuasai oleh partai B yang saling bertentangan satu sama lain, maka besar kemungkinan Peraturan daerah sebagai produk politik di daerah yang bersangkutan akan mudah dibatalkan oleh pemerintah yang dikuasai lawan politiknya. Didalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan dilembaga legislatif dan eksekutif, peranan partai politik sangat menonjol. Dengan demikian, Undang-undang dan Peraturan Daerah sama-sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan kepentingan diantara cabang-cabang kekuasaan legislative dan eksekutif, baik ditingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga politik. Pengujian Undang-undang dan Peraturan Daerah itu harus dilakukan melalui mekanisme judicial review dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan imparsial sebagai pihak ketiga.133 Jika dibiarkan suatu Peraturan Daerah yang telah berlaku mengikat untuk umum yang ditetapkan oleh para politikus yang duduk dilembaga eksekutif dan legislatif ditingkat pemerintahan bawahan,dibatalkan lagi oleh politikus yang duduk dilembaga eksekutif tingkat pemerintahan atasan, berarti Peratuan Daerah dibatalkan

133

Nimatul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.Cit, hal.290

108

hanya atas dasar pertimbangan politik belaka. Hal demikian itu sama saja dengan membenarkan bahwa supremasi hukum ditundukkan dibawah supremasi politik.134 Dalam suatu Negara hukum, tata kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah berpedoman pada norma-norma hukum. Dalam rangka menegakkan dan menjamin berjalannya aturan-aturan hukum seperti yang diharapkan diperlukan adanya kekuasaan kehakiman yang kuat dan Mandiri. kekuasaan Kehakiman (judicatve Power) ini bertugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang-undangan yang ada.135 Adapun objek dan sasaran hak uji yang diperankan MA maupun MK diarahkan terhadap tindakan penguasa atau pemerintah atas pembuatan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, peran dan fungsi hak menguji yang diberikan konstitusi kepada MA dan MK, sasaran dan tujuannya untuk melakukan pengawasan terhadap tindakan pemerintah agar tidak menerbitkan ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan yang merugikan kepentingan

masyarakat.136 Selain itu, mengikutsertakan Mahkamah Agung melaksanakan pengawasan represif atas Perda mengandung segi-segi positif. Pertama, membatasi wewenang Pejabat Administrasi Negara yang lebih tinggi tingkatannya, untuk mencampuri
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Kerja sama Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta Media, 2006, hal. 109 135 Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2006, Hal. 5 136 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 97
134

109

pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah yang lebih rendah. Kedua, putusan diambil alih sebuah badan netral yang tidak mungkin mempunyai kepentingan atas pembatalan atau penolakan pembatalan suatu keputusan pemerintah daerah. Ketiga, pertimbangan- pertimbangan sebagai dasar putusan semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum yang lebih menjamin obyektifitas isi suatu putusan.137

2. Kejelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah. Dalam pengujian Perda oleh Pemerintah (executive review), standar pengujian berupa bertentangan dengan kepentingan umum hendaknya hanya diartikan sebagai kepentingan umum lokal (daerah) bukan Nasional karena cakupan kepentingan umum sangatlah luas lagipula ruang lingkup Peraturan Daerah tersebut hanya mencakup pada daerah diberlakukannya peraturan tersebut. Dan alat ukur yang dipakai Pemerintah Pusat dalam hal menafsirkan bertentangan tidaknya suatu Perda dengan kepentingan umum hendaknya ditentukan lebih spesifik agar penafsiran terhadap substansi Peraturan Daerah tersebut tepat mengingat terdapat corak masyarakat yang majemuk dan pluralistik. Standar uji terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi haruslah memperhatikan aspek peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 1994, hal. 185
137

110

karena review tidak bisa dioperasionalkan tanpa adanya peraturan perundangundangan yang tersusun secara hierarkis dan sistematis. Oleh karena itu penting adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan mengingat banyaknya peraturan yang ada.. Mengenai wewenang Mahkamah Agung yang hanya menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu tidak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dan memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabut peraturan itu perlu dikaji lebih lanjut karena Mahkamah Agung tidak berwenang mencabut suatu peraturan, hanya terbatas pada menyatakan batal bukan ikut mencabut. Besar kemungkinan suatu lembaga yang diperintahkan Mahkamah Agung untuk mencabut Peraturan tersebut tidak melaksanakan pencabutan sebagaimana yang telah diperintahkan atau malah tetap menjalankan Peraturan tersebut dengan menarik keuntungan. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merugikan masyarakat karena apa yang ditetapkan oleh lembaga pengadilan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Menurut Bagir Manan, mengingat Perda (termasuk Peraturan Desa) dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dilingkungan wewenang yang mandiri pula, maka pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan pertingkatan, melainkan juga pada

111

lingkungan wewenangnya. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah.138 Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat 3 (tiga) landasan yaitu: Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau ideologi Negara; Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan masyarakat; dan Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan dengan kewenangan untuk membentuk, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, tata cara atau prosedur tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Presiden seharusnya tidak bisa membatalkan Perda, apalagi dalam praktiknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk itu pemerintah bisa menjadi pemohon pembatalan Perda. karena Pembatalan
138

Bagir Manan, Teori dan politk konstitusi,FH UII Press, Yogyakarta:2004, hal. 142

112

adalah tindakan yang bermakna yuridis. Membatalkan Perda sudah masuk kualifikasi kegiatan yudisial, sehingga tidak selayaknya dilakukan eksekutif. Itu sebabnya, kewenangan pembatalan Perda perlu dikembalikan kepada Mahkamah Agung. Meskipun demikian, bukan berarti eksekutif tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap Perda. Menurut Nimatul Huda, Pemerintah masih bisa melakukan pengawasan ketika masih berbentuk Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). Jadi, Pemerintah bisa melakukan executive preview. Mengingat masih banyaknya Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih tinggi, maka langkah yang seharusnya ditempuh Pemerintah sebelum melaksanakan pengawasan represif memang sebaiknya melakukan pembinaan (evaluasi) kepada daerah, khususnya pembuatan Perda secara berkelanjutan, Raperda yang kurang tepat segera dikembalikan untuk direvisi dimana Semua Perda di luar pembentukan APBD, dikaji secara komprehensif dan integral dengan naskah akademik yang disusun berdasarkan "library and field research", dengan mengkaji secara cermat aspek filosofis, sosialiogis, juridis dan ekonomis. Kemudian tahapan utama agar perda itu benar-benar optimal dan tidak melanggar ketentuan lainnya, lakukan uji sahih naskah akademik dengan pemangku kepentingan (stakeholder), dan ditentukan dalam bentuk

113

rancangan perda.139Sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam pembuatan Perda dapat diminimalisir sejauh mungkin.140 Disamping abstract review mekanisme kontrol norma juga dapat dilakukan melalui prosedur abstract preview, yaitu kontrol yang dilakukan sebelum norma hukum yang bersangkutan mengikat untuk umum. Misalnya suatu rancangan Perda disahkan oleh Parlemen tetapi sebelum diundangkan sebagaimana mestinya, pemerintah atasan diberikan kewenangan menguji, menilai atau bahkan menolak pengesahan pemerintah bawahan. Mekanisme demikian disebut sebagai executive abstract preview oleh pemerintah atasan.141 Kewenangan untuk melakukan executive abstract preview itulah yang sebaiknya diberikan kepada pemerintah atasan, bukan mekanisme review atas Peraturan Daerah yang sudah berlaku mengikat umum. Jika suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislative yang sama-sama dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum dibatalkan hanya oleh pejabat eksekutif tingkat atas, berati prinsip Negara kesatuan dijadikan dalih untuk mengebiri aspirasi rakyat dengan tindakan yang semata-mata didasarkan pertimbangan politik. Oleh karena itu,terhadap Peraturan daerah sebagai produk legislasi di daerah, sebaiknya hanya di Preview oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan
139

http://manado.tribunnews.com/2011/02/26/banyak-perda-dibatalkan-karena-tak-lewati-

kajian

Nimatul Huda, Op.Cit, hal. 143 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Kerja sama Konstitusi Press dengan PT Syaamil Cipta Media, 2006, hal. 107
141

140

114

Peraturan Daerah yang belum mengikat untuk umum. Jika Peraturan Daerah itu sudah mengikat untuk umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

3. Perbaikan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan Daerah. Mengingat banyaknya satuan pemerintahan Daerah dan banyaknya keputusan tingkat daerah, tampaknya pengawasan represif akan sulit dilakukan dengan sempurna. Hal ini dapat diketahui dari pembatasan waktu bagi Perda dan keputusan Kepala Daerah untuk disampaikan kepada pemerintah selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Kemudian pembatalan Perda dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Perda diterima. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan Perda, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.142 Demi mewujudkan kepastian hukum, Seharusnya dengan dinyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan itu tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, maka secara diam-diam dan otomatis peraturan itu sudah dicabut secara tidak langsung oleh instansi yang bersangkutan melalui Keputusan Mahkamah Agung. Dengan begitu, dicabut atau tidaknya peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang
Nimatul Huda, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005, hal. 267
142

115

berwenang tidak membawa pengaruh apa-apa. Tetapi memang dalam peraturan yang nanti datang mengatur persoalan sejenis, dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut dengan catatan terhitung semenjak ditetapkannya Keputusan Mahkamah Agung yang isinya bahwa peraturan yang bersangkutan tidak sah.143 Penegasan didalam pasal 185 ayat (5) dan pasal 186 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 yang memberi kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan Perda tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD dan Gubernur untuk membatalkan Perda tentang APBD dan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD, bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 145 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004. Karena menurut Pasal 145 ayat (2) yang berwenang membatalkan Perda adalah Pemerintah. Kemudian menurut pasal 145 ayat (3) keputusan Pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan presiden. Dengan demikian dapat disimpulkan yang berwenang membatalkan Perda adalah Presiden. Tidak mungkin Menteri Dalam Negeri apalagi gubernur membatalkan Perda tetapi ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Seharusnya Menteri dalam negeri

mengusulkan pembatalan perda tentang APBD dan Peraturan gubernur tentang penjabaran APBD kepada presiden dan gubernur mengusulkan pembatalan Perda tentang APBD dan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.144
143 144

Samsul Wahidin, Loc.Cit Nimatul Huda, Op.Cit, hal. 133

116

Ke depan, sebaiknya pengawasan yang dilakukan Pemerintah berupa pengawasan preventif dengan ruang lingkup terbatas, sedangkan pengawasan represif harus dilakukan oleh lembaga yudisial. Penerapan mekanisme tersebut juga dikaitkan dengan dasar pemikiran indnesia adalah Negara kesatuan (unitary state), sehingga dinilai rasional apabila Pemerintah Pusat sebagai Pemerintahan atasan diberi kewenagan mengendalikan sistem hukum dilingkungan pemerintahan daerah. Akan tetapi, tidaklah rasional apabila Pemerintah Pusat dianggap tidak berwenang

melakukan tindakan untuk mengatur dan mengendalikan pembentukan Peraturan Daerah yang tidak sejalan dengan maksud diadakannya mekanisme pembentukan Peraturan Daerah itu sendiri oleh Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Sepanjang untuk kepentingan nasional yang objektif, mengapa pemerintah pusat tidak dapat melakukan kontrol dan pembinaan kepada unit-unit pemerintah daerah ? Atas dasar pemikiran itulah maka pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk membatalkan Peraturan Daerah dengan peraturan Presiden.145 Evaluasi Perda oleh Mahkamah Agung juga perlu dirubah terkait tidak jelasnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maksimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Mahkamah Agung ini akan berimplikasi pada terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah
Nimatul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta:2010, hal. 288
145

117

dimana Ketika Mahkamah Agung

belum membuat Keputusan apakah Perda

bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun kepentingan umum. Hendaknya dalam Perma No.1 Tahun 2004 dijelaskan hal-hal tersebut demi terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung. Selain itu, Perma No 1 Tahun 2004 juga tidak merumuskan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian oleh Mahkamah Agung. Transparansi dibutuhkan dalam proses pengujian Peraturan Daerah di Mahkamah Agung agar masyarakat ataupun pemohon perseorangan dapat menyaksikan dan mengajukan keberatan ataupun sanggahan sebelum dijatuhkannya putusan oleh hakim.

118

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan diatas, maka sampailah kita pada kesimpulan dari hasil penelitian ini : 1. Wewenang pembatalan Peraturan Daerah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia berada pada Pemerintah melalui executif review dan Mahkamah Agung melalui judicial review. Dalam rangka pengawasan terhadap regulasi yang dikeluarkan oleh daerah maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan mengawasi produk hukum daerah dalam bentuk executif review berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 Tentang PEMDA dan pengawasan oleh lembaga peradilan yaitu melalui Mahkamah Agung dalam bentuk judicial review berlandaskan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004, Pasal 20 ayat (2) UU No.48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 UU No.3 Tahun 2009 Tentang MA. 2. Pemberian wewenang yang sama pada dua lembaga negara yang berbeda dapat menimbulkan dualisme kewenangan yang menimbulkan konflik kepentingan dan juga menimbulkan masalah hukum terkait disharmoni dan

119

tumpang tindih peraturan, ketidakjelasan alasan substansial pembatalan Perda dan sistem ataupun prosedur beracara yang tidak tertata dengan baik dan jelas. 3. Perlu adanya suatu pembenahan terkait pembatalan terhadap Perda berupa harmonisasi peraturan perundang-undangan agar tercipta keserasian dan konsistensi antar peraturan yang satu dengan yang lain, Kejelasan alasan substansi pembatalan Perda agar terhindar dari interpretasi sepihak yang merugikan masyarakat dan pembenahan aspek prosedur pembatalan Perda kearah yang lebih transparan dan kesesuaian penetapan waktu pengajuan permohonan pengujian maupun pelaksanaan pencabutan Perda yang

mendapatkan putusan serta sanksi ataupun akibat hukum yang meyertai pembatalan Perda tersebut.

120

B. SARAN 1. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan review terhadap ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan adanya excecutive review Peraturan Daerah karena tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dan hendaknya Wewenang Pembatalan Perda sepenuhnya diberikan kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga pelaksana peradilan yang mengawasi gerak dari Pemerintah selaku pelaksana pemerintahan. 2. Alasan Pembatalan Peraturan Daerah hendaknya mempunyai kerangka acuan dan batasan yang jelas agar tidak terjadi penafsiran sepihak mengingat wilayah Indonesia yang majemuk dan pluralistik. 3. Perlunya pembenahan dalam proses beracara dalam pengujian Perda pada Mahkamah Agung terkait transparansi proses pengujian, kesesuaian jangka waktu yang lebih sistematis agar pemohon ataupun masyarakat umum tidak dirugikan. Terkait terhadap kewenangan menguji hendaknya hanya bersifat preventif yaitu sebelum disahkannya Peraturan Daerah.

121

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung. Aslim, Rasyad, 2005, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru. Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta. _______________,2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat Jenderal MK, Jakarta. _______________, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Burhan, Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan Bekerja Sama Dengan United Nations, 2008, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, PROGRAMME CAPPLER Project, Jakarta. Fatkhurohman, 2004, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkmah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Fatmawati, 2006, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

122

Gultom, Lodewijk, 2007, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.

Dalam Struktur

Goesniadhie S, Kusnu, 2008, Harmonisasi Sistem Hukum Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, A3, Malang. Halim, Hamzah dan Putera Kemal Redindo Syahrul, 2009, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual), Kencana, Jakarta. Haryono, Dodi, 2009, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdik. Pekanbaru. Harahap, M. Yahya, 2008, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. Huda, Nimatul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _____________, 2010, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press. Yogyakarta ______________,2005, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta: _______________,2005, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2009, Hukum Tata Negara Di Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta. Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Jakarta.

123

__________, 2004, Teori dan politk konstitusi,FH UII Press, Yogyakarta. __________,1994, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta. Mahfud MD, Moh, 2006, Membangun Politik Hukum, Mengakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta. Marbun, S.F. 2001, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press,

Yogyakarta. Modeong, Supardan, 2005, Teknik Perundang-undangan, PT. Perca, Jakarta. Radjab, Dasril, 2005 Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Rahimullah, 2007, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, PT. Gramedia, Jakarta. Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, 2009, FH UII Press, Yogyakarta. Rosyada, Ikhsan Parluhutan Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi, Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta. Sabarno, Hari, 2008, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta. Soemantri, Sri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung. Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

124

_____________,1983, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta. Sunarno, Siswanto, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Suseno, Franz Magnis,1991, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta. Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. ______________,2003, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Syafiie, Inu Kencana, 1994, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Syarifin, Pipin dan jubaedah Dedah, 2006, Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung. Thaib, Dahlan, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta. Wastiono, Sadu, Indrayani Etin dan Pitono Andi, 2006, Pembantuan (Pandangan Legalistik, Teoretik Fokusmedia, Bandung. Wahidin, Samsul, 1984, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Cendana Press, Jakarta. Memahami Tugas dan Implementatif),

125

JURNAL Mahendra A.A.Oka, 2006, Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah, Jurnal Legislasi Indonesia, Jakarta. Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), 2005, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID), Jakarta.

KAMUS Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan, Balai Pustaka.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.

126

WEBSITE http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&It emid=13 http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+l embaga++negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b 0dd2da61f4fbd4 http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-ujimateri-perda-ke-mahkamah-agung http://www.leip.or.id/ http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308 www.legalitas.org http://irwanprayitno.info/berita/aktual/1296622423-bantu-pemda-tekan-kerugiannegara.html http://sekretariat-bks-pps.blogspot.com/2011_02_20_archive.html www.jimly.com.

127

128

Anda mungkin juga menyukai