Anda di halaman 1dari 70

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN YANG DILAKUKAN TIDAK

MELALUI PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS DI


KECAMATAN KAMBU KELURAHAN MOKOAU)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

OLEH:

HATIKA SARTIKA
H1 A1 16 378

BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankandi hadapan

panitia Seminar Skripsi pada program studi ilmu hukum bagian Kekhususan

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

JUDUL PENELITIAN : AKIBAT HUKUM PERCERAIAN YANG

DILAKUKAN TIDAK MELALUI

PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS DI

KECAMATAN KAMBU KELURAHAN

MOKOAU)

NAMA : Hatika Sartika

NOMOR STAMBUK : H1A1 16 378

PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum/Hukum Perdata

Kendari, 2022

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.Hum. Wa Ode Zuliarti, S.H., M.H.


NIP. 196801262003121001 NIP. 198309192014042001

ii
ABSTRAK

Hatika Sartika, Stambuk H1A116378, “Akibat Hukum Perceraian Yang


Dilakukan Tidak Melalui Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Kecamatan Kambu
Kelurahan Mokoau)”. Di bawah Bimbingan Bapak Dr. Muh Sjaiful,
S.H.,M.Hum sebagai pembimbing I dan Ibu Wa Ode Zuliarti, S.H., M.H. sebagai
pembimbing II.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui akibat hukum bagi perceraian yang tidak melalui
pengadilan Agama.
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yang bersifat normatif yaitu
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier. Kemudian dikaji secara sistematis, dan
ditarik kesimpulan terkait masalah yang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian maka penulis menyimpulkan: Akibat hukum dari


perceraian yang tidak dilakukan melalui pengadilan maka status perceraian
tersebut tidak memiliki akibat atau kekuatan hukum akibat dari pada perceraian
tersebut, karena keputusan cerai tersebut tidak dilakukan di depan sidang
pengadilan. Kemudian akibat hukum yang ditimbulkan adanya perceraian diluar
pengadilan untuk istri adalah perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan
akan berpengaruh dan mempunyai dampak negatif terhadap istri, karena
perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak memiliki surat cerai
yang mempunyai kekuatan hukum, sehingga si janda menikah lagi maka akan
mendapatkan kesulitan dengan pihak Kantor Urusan Agama. Selanjutnya setelah
terjadinya perceraian (cerai di luar pengadilan), si istri tidak mendapatkan haknya
setelah bercerai, seperti nafkah selama masa iddah tempat untuk tinggal, pakaian,
pangan. Akibat perceraian di luar pengadilan tidak hanya berpengaruh terhadap
istri tapi juga berpengaruh terhadap suami. Sama halnya dengan istri, suami yang
melakukan perceraian di luar pengadilan akan mengalami kesulitan ketika
hendak menikah lagi dengan perempuan lain. Perceraian yang dilakukan di luar
sidang pengadilan akan berpengaruh pada kondisi kejiwaan anak, karena sering
terjadi si ayah tidak memberi nafkah secara teratur dan jumlah yang tetap.
Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum,
sehingga tidak dapat memaksa si ayah ataupun ibu memberi nafkahnya secara
teratur baik dari waktu memberi nafkah maupun dari jumlah materi atau nafkah
yang diberikan.

iii
Kata Kunci : Akibat Hukum, Perceraian, Diluar Pengadilan.

KATA PENGANTAR

Bismillahi Rahmanirahim

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah

Subhanallahu wata’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,

kesehatan, kemampuan dan kesempatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan

kepada Nabi Besar Muhammad Shallaullahu’alaihi wasallam, beserta keluarga,

sahabatnya yang telah membawa kita dari zaman kegegelapan ke zaman terang

benderang sekarang ini.

Skripsi ini berjudul “Akibat Hukum Perceraian Yang Dilakukan tidak Melalui

Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Kecamatan Kambu Kelurahan Mokoau)”

merupakan tugas akhir dan sekaligus menjadi salah satu syarat guna mencapai

gelar Sarjana Hukum pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik

berkat bantuan, dukungan semangat, bimbingan dan motivasi dari berbagai

iv
pihak. Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada

kedua orang tua tercinta penulis Ayah Alm, Zainal dan Ibu Almh, Wa Ikolo

yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik, mendukung, memberikan

kasih sayang dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Suami Muhammad Ridwan atas segala

bantuan, dukungan semangat, perhatian, kasih sayang serta doa sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Muh. Sjaiful, S.H.,

M.Hum selaku pembimbing I dan Ibu Waode Zuliarti, S.H., M.H selaku

pembimbing II atas segala bimbingan, arahan, serta masukan sejak awal

penyusunan proposal sampai terselesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada Bapak Dr. Zahrowati S.H., M.H., selaku penguji I, Ibu

Jumiati Ukkas, S.H., M.H selaku penguji II, dan Bapak Haris Yusuf, S.H.,

M.H selaku penguji III atas segala kritik, saran, masukan kepada penulis.

Penulis juga tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun Firihu, S.Si., M.Si., M.Sc.

selaku Rektor Universitas Halu Oleo.

2. Bapak Dr. Herman, S.H., LL.M. sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo.

3. Bapak Dr. Guasman Tatawu, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan

Bidang AkademikFakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

v
4. Ibu Sitti Aisah Abdullah, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang

Umum, Perencanaan, dan Keuangan Fakultas Hukum Universitas Halu

Oleo.

5. Bapak Lade Sirjon, S.H., LL.M. selaku Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

6. Bapak La Ode Muhammad Sulihin, S.H., M.H. sebagai Ketua

Jurusan Ilmu HukumFakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

7. Bapak Iksan Rompo, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Jurusan

Ilmu Hukum FakultasHukum Universitas Halu Oleo.

8. Seluruh tenaga pendidik di fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah banyak

mengajarkan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai harganya. Semoga

ilmu yang diberikan bapak-ibu dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi

penulis.

9. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

yang telah banyak membantu penulis dalam berbagai hal khususnya

dalam keperluan akademik dan administrasi.

10. Asarudin, Sarjoni, Suparwan, Sandika dan Aliaga selaku saudara-

saudara penulis yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada

penulis.

11. Seluruh keluarga besar penulis yang selalu memberikan doa serta

dukungan kepada penulis sejak awal perkuliahan sampai selesai.

vi
12. Teman-teman mahasiswa angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo yang telah membantu dan menjadi teman selama masa

perkuliahan.

13. Andi Indah, Ulfradesti Julia Rahayu, Fadlia Syafitri, Pusvita Sari

dan Putri Dewina Santi Sahabat-sahabat penulis tempat berbagi cerita

yang selalu membantu dalam segala situasi, dan memberikan semangat.

14. Weli Lestari, Nurbay, Komang Tri Harianti, Widiastuti, Erlina dan

Fadilah teman-teman penulis yang selalu menenangkan penulis di

tengah kepanikan serta selalu memberikan banyak doa dan dukungan.

15. Si Endang, Andy Sugianto, Eko Adrian dan Veli Wardayani yang

telah banyak memberi saran, bantuan, dan dukungan kepada penulis.

16. Teman - teman KKN Reguler UHO 2021 desa Amosilu, kabupaten

Konawe.

17. Teman-teman penulis serta seluruh pihak yang membantu penulis

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima Kasih banyak atas

bantuan yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata

sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik guna untuk

perbaikan tugas akhir ini dan semoga karya ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL-------------------------------------------------------------------i

HALAMAN PERSETUJUAN-------------------------------------------------------ii

ABSTRAK-------------------------------------------------------------------------------iii

KATA PENGANTAR-----------------------------------------------------------------iv

DAFTAR ISI----------------------------------------------------------------------------viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang---------------------------------------------------------------1

B. Rumusan Masalah-----------------------------------------------------------9

C. Tujuan penelitian------------------------------------------------------------10

D. Manfaat penelitian----------------------------------------------------------10

E. Keaslian Penelitian----------------------------------------------------------10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA-----------------------------------------------------13

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan------------------------------------13

1. Perkawinan Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974-----------13

2. Perkawinan Menurut KUHPerdata-------------------------------------14

viii
3. Perkawinan Menurut Hukum Islam------------------------------------14

4. Syarat Sah Perkawinan--------------------------------------------------16

B. Tinjauan Umum Tentang Perceraian--------------------------------------18

1. Pengertian Perceraian----------------------------------------------------18

2. Bentuk-bentuk Perceraian Menurut Hukum Islam-------------------20

3. Bentuk-bentuk Perceraian Menurut Hukum Positif-----------------27

4. Alasan-alasan Perceraian------------------------------------------------31

5. Akibat Hukum Perceraian-----------------------------------------------34

C. Kewajiban Pencatatan Perkawinan dan Perceraian---------------------37

BAB III METODE PENULISAN---------------------------------------------------42

A. Tipe Penelitian-------------------------------------------------------------42

B. Pendekatan Penelitian-----------------------------------------------------42

C. Sumber dan Bahan Hukum-----------------------------------------------43

D. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum-------------------------------44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN------------------------45

A. Akibat Hukum Bagi Perceraian Yang Tidak Melalui Pengadilan

Agama………………………………………………………………45

B. Prinsip Hukum Dalam Hukum Perceraian Yang Menjadi Dasar

Perceraian Yang Tidak Dilakukan Didepan Pengadilan……………52

BAB V PENUTUP---------------------------------------------------------------------53

A. Kesimpulan-----------------------------------------------------------------53

B. Saran------------------------------------------------------------------------54

DAFTAR PUSTAKA

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah sunnahtullah bagi umat manusia, hal ini ditetapkan

Allah untuk menjaga kehormatan dan juga untuk membedakan umat manusia

dengan makhluk lainnya. Diantara sekian banyak masalah yang menyangkut

hubungan antara manusia yang sering kali dikenal dengan muamalat duniawiyat,

masalah perkawinan dan munakahat dengan segalah persoalan yang ada

disekitarnya dalam pandang Islam mendapatkan perhatian yang istimewa.

Sudah menjadi kodrat segala sesuatu yang ada didunia ini mempunyai

pasangan masing-masing. Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara

perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalidan) yang terkait dengan

keyakinan dan keimanan kepada Allah, dengan demikian ada defenisi ibadah

dalam sebuah perkawinan dan keimanan kepada Allah, dengan demikian ada

defenisi ibadah dalam sebuah perkawinan.

x
Mengenai sahnya perkawinan terdapat pada Pasal 4 Kompilasi Hukum

Islam yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

Islam” sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa

Undang-undang Perkawinan menitikberatkan sahnya perkawinan pada dua unsur,

yaitu perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang

ditentukan oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama1.

Perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan yang

menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yaitu menghalalkan hubungan kelamin

untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, membentuk rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, memperoleh

keturunan yang sah, menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki

kehidupan yang halal dan memperbesar tanggung jawab, membentuk rumah

tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Ikatan perkawinan adalah mentaati

ajaran Allah membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir batin antara

seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan syariat hukum Islam.

Prinsip-prinsip perkawinan juga harus didasari oleh rasa cinta, kasih dan

sayang, serta saling menghormati. Namun jika diantara suami istri sudah tidak ada

lagi Perasaan cinta dan kasih sayang, rumah tangga tersebut akan terus-terusan

diambang permasalahan yang bisa-bisa berujung kepada perceraian. Apabila

sudah tidak ada lagi yang biasa saling memghargai dan selalu terjadi perselisihan

1
Wahyono Darmabrata,Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Gitama Jaya,
Jakarta, 2003. h.101

xi
yang tidak terhindarkan lagi dan sudah berusaha berdamai tetapi tidak berhasil,

maka jalan keluarnya adalah dengan perceraian. Meskipun demikian, Islam

memandangnya dengan perceraian itu adalah suatu perbuatan yang halal tetapi

sangat dibenci oleh Allah.

Abu al’la al-Maududi seperti yang dikutip oleh Rahmat Hakim dalam

bukunya yang berjudul hukum perkawinan Islam menyatakan, salah satu prinsip

hukum perkawinan Islam adalah bahwa perkawinan itu harus dipertahankan

sedapat mungkin agar tidak terjadi perceraian. Oleh karena itu segala usaha harus

dilakukan agar persekutuan tersebut dapat berlangsung. Namun apabila semua

harapan dan kasih sayang telah musnah dan perkawinan merupakan suatu yang

membahayakan sasaran hukum untuk kepentingan mereka dan kepentingan

masyarakat, maka perpisahan diantara mereka dan kepentingan masyarakat, kata

perpisahan itu antara mereka boleh dilakukan.

Islam tidak memberikan jalan menuju talak kepada bagi suami dan istri dan

tidak membolehkan mereka bercerai pada saat yang sangat kritis, maka hal itu

akan sangat membahayakan bagi pasangan suami istri tersebut. Perkawinan adalah

perjanjian yang kokoh (mitsaqon gholido), yang dengannya Allah mengikat

hubungan antara laki-laki dan perempuan. Perkawinan itu merupakan jalan yang

amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan . Namun

dalam perjalanan kehidupan pasangan suami istri bisa dilanda masalah, yang

akhirnya bisa berakhir dengan perceraian. tentang Perceraian di luar Pengadilan

dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Bahwa seorang suami bisa

menjatuhkan talaknya kepada istrinya di luar Pengadilan, dari sinilah terjadi

xii
perbedaan pandangan terhadap keabsahan perceraian seperti ini. Menurut Hukum

(fiqh) Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia, talak adalah hak

suami, sehingga talak yang dilakukan oleh suami dimanapun otomatis akan jatuh

talaknya2.

Mereka pasti akan merasakan rumah tangga yang tidak harmonis yang

mana akan jauh dari tujuan suatu perkawinan itu dibuat, tidak hanya berdampak

bagi suami istri itu saja tetapi akan berdampak juga bagi anak-anak mereka dan

bahkan mempersulit kehidupan keluarga mereka itu sendiri. Akibat putusnya

perkawinan Pasangan suami-istri beragama Islam yang salah satunya berniat

untuk bercerai harus tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku

berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, dalam proses perceraian berdasarkan

KHI terdapat dua istilah yaitu ‘cerai gugat’ dan ‘cerai talak’. Pasal 116 KHI

menegaskan hal tersebut “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena

perceraian dapa terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbooek)

putusnya perkawinan dipakai istilah pembubaran perkawinan (ont binding des

huweliks)3. Sebenarnya perpisahan suatu ikatan perkawinan merupakan hal yang

wajar. Karena akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai

kemauan dan kesanggupan yang dipadukan dalam suatu ketentuan dan dinyatakan

dengan kata-kata yang bisa dipahami. Dengan demikian terjadilah peristiwa

2
Wiwi Fauziah dan Muhammad Fathan Ansori, keharusan perceraian di pengadilan
agama. diakses di http://pa-pulangpisau.go.id/berita/arsip-berita-pengadilan/149-artikel/1711-
keharusan-perceraian-di-pengadilan-agama. pada tanggal 18 April 2022 jam 11: 36 WITA
3
Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan, Hukum
Adat dan Hukum Agama, Cet Ke-1, Mandar Maju. Bandung, 1990. h. 160.

xiii
hukum yang disebut dengan perikatan. Jika ikatan tersebut sudah tidak dapat

dipertahankan lagi, karena berbagai hal yang telah dipertimbangkan maka

konsekuensinya adalah dapat terjadi talak atau perceraian.

Perceraian yang terjadi karena talak suami kepada istrinya ditandai dengan

adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan

Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dan dilakukan sesuai

tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129, 130, dan 131 KHI. Sehingga

perceraian yang dilakukan di luar pengadilan dianggap tidak sah secara hukum.

Putusnya perkawinan antara suami istri biasa dikenal dengan istilah

“perceraian”. Perceraian berasal dari kata “cerai” yang menurut bahasa yaitu

“pisah” atau “talak”.4 Sedangkan perceraian dalam fiqh disebut “talak” atau

“firqah”5. Talak artinya membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, sedangkan

firqah berarti bercerai, lawan dari berkumpul. Kemuadian kedua kata ini dijadikan

istilah oleh ahli-ahli fikih yang bearti perceraian (putusnya perkawinan) antara

suami istri.6

Akan tetapi perlu diketahui bahwa putusnya perkawinan itu tidak dengan

perceraian, bisa juga terjadi karena kematian dan atas putusan Mahkamah.

Perkataan “talak” dan “firqah” dalam istilah fikih mempunyai arti yang umum

dan arti yang khusus. Arti yang umum yaitu sagala macam bentuk perceraian yang

dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh Hakim dan perceraian yang

jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah

4
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Cet.Pertama, Jakarta, 1998.
h. 163.
5
Ahmad Syaibi, Kamus An-Nur, Halim Jaya, Surabaya, 2002. h.186
6
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Qahirah: Dar al-Fath Li’Ilmi al-Arobi, Jilid 2, 1997. h.
206.

xiv
satu dari suami atau istri, arti khusus yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh suami

saja.

Perceraian menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah

mendefinisikan perceraian yang artinya “Melepaskan ikatan suami istri dan

putusnya hubungan perkawinan”7. Ada juga yang memberikan pengertian bahwa

perceraian merupakan putusnya perkawinan antara suami istri dalam hubungan

keluarga.8 Dari definisi-definisi di atas dapat difahami bahwa perceraian adalah

melepaskan atau putusnya ikatan perkawinan yang telah diikat dengan ijab qabul.

Dalam hukum Islam talak hanyalah salah satu bentuk yang dapat menyebabkan

putusnya perkawinan. Jadi, dapat diketahui bahwa talak pada dasarnya merupakan

cara untuk melepaskan ikatan perkawinan, dan sudah menjadi ketentuan syarak

bahwa talak itu adalah hak suami dan hanya dia yang bisa mentalak istrinya.9

Walaupun perceraian masalah pribadi, baik atas kehendak bersama maupun

kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari

pemerintah, namun untuk menghindari tindakan sewenang-wenangan terutama

dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum sebaiknya perceraian tersebut

dilakukan di dalam pengadilan. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang

melakukan perceraian diluar sidang pengadilan. Perceraian diluar pengadilan ini

juga terjadi pada masyarakat Kecamatan Kambu tepatnya di Kelurahan Mokoau.

Perceraian yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang di atur di Undang-undang

yakni melalui Pengadilan Agama.


7
Kamal Muchtar, Azas-Azas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Cet. Ke-
2, Jakarta, 1987. h. 144.
8
M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta,
1985. h. 40.
9
R. Abdul Djamil, Hukum Islam Asas-Asas Hukum Islam Dan Asas-Asas Hukum Islam II,
Mandar Maju Cet. Pertama, Jakarta, 1990. h. 94.

xv
Salah satunya yang terjadi di Jl. Grand Boulevard Regency, Mokoau, Kec.

Kambu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara seorang laki-laki yang bernama Anto

menikah dengan seorang perempuan bernama Rheni secara resmi dengan

pernikahannya di daftarkan di KUA Kendari dari pernikahan selama 11 tahun

pasangan suami istri tersebut telah dikaruniai 4 orang anak namun ditahun 2020

pernikahan mereka tidak harmonis lagi dan puncaknya terjadi pada pertengahan

2021 hingga mengakibatkan pisah ranjang, sampai sekarang suami telah pergi dari

rumah dan mentalak istrinya akan tetapi tidak melalui Pengadilan Agama dengan

gugatan cerai. Proses yang singkat pula Rheni hanya dikirimkan sebuah surat

yang hanya dititipkan melalui ketua RT setempat yang berisikan bahwa istri telah

diceraikan secara tertulis tanpa menemui langsung istri dan anaknya. Alasan

Rheni tidak melakukan perceraian di pengadilan itu karena faktor biaya, tidak

cukup uang untuk berurusan di pengadilan. Tidak lama berselang waktu suami

Rheni telah menikah lagi akan tetapi tidak meminta persetujuan dari Rheni

ataupun surat cerai dari pengadilan agama.10

Kemudian kasus lain juga yang terjadi yakni perceraian dibawah tangan

Bapak Mutalib, S. Kep. dan ibu Wa ode Marulana yang beralamat BTN Wahana

Prima Asri, Kelurahan Mokoau, Kecamatan Kambu, Kota Kendari.

Pernikahannya tercatat di KUA kambu pada tahun 2016 yang lalu dan dikaruniai

1 orang putri yang lahir pada tahun 2018, pernikahannya mulai tidak harmonis di

awal tahun 2020 dimana kedua pasangan tersebut mengalami pertengkaran hebat

yang dikarenakan mutalib berselingkuh dengan wanita lain. Akibat pertengkaran

tersebut marulana pulang kerumah orang tuanya dan membawa anaknya. Tidak
10
Wawancara dengan Rheni Ramli, di kelurahan Mokoau pada tanggal 28 Januari 2022

xvi
lama berselang diawal tahun 2021 mutalib menikah dengan wanita

selingkuhannya tersebut dan menceraikan istri pertamnya Marulana akan tetapi

perceraian tersebut tidak dilakukan melalui Pengadilan Agama melainkan hanya

melalui ucapan dan pesan whatsapp serta surat yang diberikan pada adik marulana

tersebut. Hingga saat ini status perceraian tersebut belum jelas karena belum

mempunyai akta cerai pada pengadilan agama dikarenakan belum ada yang

melakukan gugatan cerai.11

Perceraian merupakan suatu peristiwa hukum yang harus dicatatkan dan

melalui proses pengadilan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, perceraian

tersebut mempunyai akibat hukum. Namun dalam kenyataannya masih ditemukan

terjadinya perceraian tanpa melalui proses pengadilan. Keadaan yang demikian

tentunya terjadi persepsi yang berbeda antara hukum agama dengan Undang-

Undang Perkawinan, terutama bagi mereka yang beragama Islam. Maksud dan

makna yang terkandung di dalam Undang-Undang Perkawinan adalah tidak lain

bertujuan agar setiap pelaksanaan perceraian itu tidak menimbulkan kerugian

kepada salah satu pihak, baik pihak isteri maupun pihak suami serta untuk adanya

suatu kepastian hak dalam menegakkan hukum agama maupun peraturan

perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu,

tentunya untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari sang suami yang

hendak mentalak isterinya dengan sesuka hatinya tanpa adanya alasan-alasan

untuk sahnya suatu perceraian. Maka dengan itulah peneliti tertarik mengangkat

judul skripsi “Akibat Hukum Perceraian yang Dilakukan Tidak Melalui

11
Wawancara dengan Wa Ode Marulana, 25 Mei 2022

xvii
Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Kecamatan Kambu Kelurahan

Mokoau)”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka peneliti membuat rumusan

masalah, yaitu :

a. Apakah akibat hukum bagi perceraian yang tidak melalui pengadilan

Agama?

b. Apakah prinsip hukum dalam hukum perceraian yang menjadi dasar

perceraian yang tidak dilakukan didepan pengadilan

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian sebagaimana tersebut

di atas, maka tujuan penelitian ini bermaksud memperoleh data serta jawaban

yang berkaitan dengan permasalahan peneliti. Maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum bagi perceraian yang tidak melalui

pengadilan Agama

c. Untuk mengetahui prinsip hukum dalam hukum perceraian yang menjadi

dasar perceraian yang tidak dilakukan didepan pengadilan

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di harapkan memberikan manfaat antara lain :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan

pemikiran ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan

hukum perdata mengenai perceraian diluar pengadilan.

xviii
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan

kontribusi dan solusi bagi masayrakat, serta penelitian ini di harapkan juga

dapat menjadi acuan bagi rekan-rekan mahasiswa yang akan melakukan

penelitian dalam bidang yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Penulisan skripsi ini yang berjudul “Akibat Hukum Perceraian yang Tidak

Melalui Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Kecamatan Kambu Kelurahan

Mokoau), memiliki keaslian yang dapat dipertanggungjawabkan, berbagai hasil

penelitian yang membahas tentang Akibat Hukum Perceraian yang Tidak Melalui

Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Kecamatan Kambu Kelurahan Mokoau) yang

dilakukan oleh para peneliti, dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ada

beberapa skripsi sebagai pembanding dalam rangka kesempunaan penulisan

Skripsi ini, yaitu :

a. Muhammad Adhim Riangdi, Peminatan Perdata Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar (2020).

Dalam skripsinya yang berjudul : Tinjauan Yuridis Terhadap Perceraian Yang

Dilakukan Secara Lisan Di Hadapan Kepala Desa. Pada penelitian ini

memfokuskan pada keabsahan dari perceraian yang dilakukan secara lisan di

hadapan Kepala Desa dan akibat hukum dari perceraian yang dilakukan secara

lisan di hadapan Kepala Desa. Sedangkan penelitian penulis terfokus pada

akibat hukum bagi perceraian yang tidak melalui pengadilan Agama yang

xix
berada di Kecamatan Kambu, Kelurahan Mokoau dan juga menemukan

prinsip hukum dalam hukum perceraian yang menjadi dasar perceraian yang

tidak dilakukan didepan pengadilan.

b. Nursyaida. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Medan (2019). Dalam skripsinya yang berjudul “Akibat Hukum Bagi

Masyarakat Yang Melakukan Perceraian Diluar Pengadilan (Studi di

Masyarakat Kecamatan Natal dan Pengadilan Agama Mandailing Natal)”.

Pada Penelitian yang dilakukan ini fokusnya pada Faktor-Faktor Penyebab

Tingginya Angka Perceraian Di Masyarakat Kecamatan Natal, kenapa

Masyarakat Kecamatan Natal Banyak Melakukan Perceraian Diluar

Pengadilan dan juga bagaimana Akibat Hukum Bagi Masyarakat Yang

Melakukan Perceraian Diluar Pengadilan. Sedangkan penelitian penulis disini

memfokuskan kepada akibat hukum bagi perceraian yang tidak melalui

pengadilan Agama, kasusnya yang berada di Kecamatan Kambu, Kelurahan

Mokoau serta menemukan prinsip hukum dalam hukum perceraian yang

menjadi dasar perceraian yang tidak dilakukan didepan pengadilan.

a. Khairuddin, STAI Syekh Abdur Rauf Singkil, (2022). penelitian dengan judul

“Alasan Perceraian Luar Pengadilan Dan Akibatnya Bagi Masyarakat Desa

Sanggaberu Kecamatan Gunung Meriah Aceh Singkil”. Pada penelitian ini

titik fokusnya pada apa saja yang menjadi alasan masyarakat Sanggaberu

Kecamatan Gunung Meriah Aceh Singkil sehingga melalukan perceraian di

luar Pengadilan. Sedangkan penelitian penulis sendiri penelitiannya terfokus

pada akibat hukum bagi perceraian yang tidak melalui pengadilan Agama,

xx
kasusnya yang berada di Kecamatan Kambu, Kelurahan Mokoau serta

menemukan prinsip hukum dalam hukum perceraian yang menjadi dasar

perceraian yang tidak dilakukan didepan pengadilan.

Berbeda dengan penelitian skripsi tersebut diatas pada penelitian yang

dilakukan Akibat Hukum Perceraian yang Tidak Melalui Pengadilan Agama

(Studi Kasus Di Kecamatan Kambu Kelurahan Mokoau).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Perkawinan

xxi
1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun

1974

Menurut Pasal 1 di dalam Undang-Undang Perkawinan menyatakan

bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan sebagai suami–isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha

Esa.” Menurut Undang-undang Perkawinan, menyelenggarakan perkawinan

bukan hanya untuk melahirkan suatu ikatan perdata saja tetapi juga

memasukkan nilai Agama di dalamnya.” Dengan kata lain, perkawinan

menurut UU Perkawinan bukan hanya sebagai perbuatan hukum saja,akan

tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan.Sahnya suatu perkawinan tidak

hanya memenuhi syarat yuridis semata tetapi juga syarat dari masing-masing

agama yang dipeluk yang melangsungkan perkawinan”)12.

Pasal 2 ayat (1) UU perkawinan menyatakan bahwa “ Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan

kepercayannya itu.” Dikerenakan Indonesia terdiri dari beraneka ragam

agama dan kepercayaan,oleh sebab itu dalam Pasal 2 ayat (2) dijelaskan

perkawinan itu sah apabila dicatat menurut perundang-undangan yang

berlaku. Adapun definisi perkawinan menurut Hukum Agama di Indonesia).

2. Perkawinan menurut KUH Perdata

Dalam perkawinan yang diatur oleh KUH Perdata bahwa perkawinan

bersifat monogami dan mutlak adalah bahwa setiap suami hanya mempunyai

12
Wahyu Ermaningsih & putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit
Rambang, 2006. h, 16.

xxii
seorang istri saja dan begitu pula sebaliknya.sebelum diberlakukannya

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, hukum yang dipakai

salah satunya adalah KUH Perdata ,” yaitu dalam ketentuan Pasal 26 KUH

Perdata dikatakan Undang-undang memandang soal perkawinan hanya

dalam hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan bahwa

tidak ada upacara keagamaan yang diselenggarakan,sebelum kedua pihak

membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan

Pegawai Pencatat Sipil telah berlangsung”)13

Pembuat undang-undang tidak berhasil untuk menghapuskan

poligami, tetapi hanya berhasil untuk menetapkan bahwa pada asasnya

dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri

(Pasal 3), jadi hanya berhasil mencapai asas mongami.14

3. Perkawinan Menurut Hukum Islam

Dalam hukum islam, pengertian perkawinan selain terdapat dalam

Al-Qur’an dan Hadits Nabi, juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI) yang menurut instruksi presiden No 1 Tahun 1991. Secara arti

kata,nikah (Kawin) menurut arti asli hubungan seksual tetapi menurut arti

majai (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan

halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seeorang pria dengan

seorang wanita.15

Adapun pengertian perkawinan menurut Pasal 2 KHI Perkawinan

menurut hukum islam adalah pernikahan,yaitu “ akad yang sangat kuat atau
13
Hilman Hadikusuma,Op.Cit.,h. 7.
14
R.Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Intermasa, Jakarta, 2000. h.5.
15
Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004. h. 1.

xxiii
miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan dilakukannya

merupakan ibadah”. Tujuan dari melaksanakan perkawinan sebagai mana

diatur dalam Pasal 3 KHI adalah “untuk mewujudkan kehidupan berumah

tangga yang sakinah,mawaddah dan rahmah “. Dan juga perkawinan tersebut

sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengan pasal 2 Ayat (1)

Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan Hadis Rasul

muttafaqun alaihi (sepakat para ahli hadis) atau jamaah ahli hadis “Hai

pemuda barang siapa yang mampu diantara kamu serta berkeinginan hendak

nikah (kawin) hendaklah ia itu kawin (nikah), Karena sesungguhnya

perkawinan itu akan menjauhkan mata terhadap orang yang tidak halal

dilihatnya dan akan memliharanya dari godaan syahwat “.16

Dengan hakikat perkawinan, hukum asal melakukan perkawinan

adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai

sunnah Allah dan Rasul, maka dikatakan bahwa hukum asal melakukan

perkawianan bukan hanya semata mubah akan tetapi perkawinan adalah

suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga Rasul.

Akad nikah harus diucapkan oleh wali calon isteri (perempuan)

dengan jelas berupa Ijab (serah) dan kabul (terima) oleh calon suami yang

dilaksanakan di depan 2 (dua) orang saksi.) Perkawinan Islam tidak hanya

mengatur tata cara perkawinan semata,akan tetapi juga mengatur secara rinci

dan jelas persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan seperti hak

dan kewajiban suami-isteri, biaya hidup yang harus diadakan sesudah

16
Ibid, h. 11.

xxiv
putusnya perkawinan,hak dan kewajiaban suami-isteri dalam pengaturan

harta kekayaan di dalam perkawinan dan sebagainya.

Menurut hukum agama islam tujuan perkawinan untuk memenuhi

kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk

membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam

menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta

ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman

keluarga dan masyarakat.17

4. Syarat Sah Perkawinan

a.Adapun syarat sah perkawinan menurut Undang-undang perkawinan ini

terdapat di dalam Pasal 6, yaitu sebagai berikut :

a) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

c) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,maka izin yang

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya .

d) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,maka izin diperoleh dari

wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup

dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.


17
Ibid,,h. 26.

xxv
e) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dengan

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini,atau salah seorang atau lebih

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,maka pengadilan dalam

daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberkan ijin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2) ,(3) dan (4) dalam

pasal ini.

f) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

dari yang bersangkutan tidak menetukan lain.

b. Menurut KUH Perdata, syarat Sah perkawinan adalah :

a) Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUH Perdata).

b) Adanya kata sepakat dan kemauan bebas antara silaki-laki dan si

perempuan (Pasal 29 KUH perdata).

c) Seorang laki-laki sudah berumur 18 tahun dan perempuan 15 tahun (Pasal

29 KUH Perdata).

d) Ada masa tunggu bagi seorang perempuan yang bercerai, yaitu 300 hari

sejak perkawinan terakhir bubar (pasal 34 KUH Perdata).

e) Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua

orang tua mereka (Pasal 35 KUH Perdata).

f) Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUH Perdata).

c. Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk melaksanakan

perkawinan harus ada :

xxvi
a) Calon suami

b) Calon istri

c) Wali nikah

d) Dua orang saksi,dan

e) Ijab dan kabul

B. Tinjauan Umum Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim

pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh

karena itu perludipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta

sebab akibat-akibatyang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya

putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari

putusnya perkawinanitu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.

Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan didepan pengadilan, baik

itu suami karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena

istri yang menggugat cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik

talak. Meskipun dalam ajaranagama Islam, perceraian telah dianggap sah

apabila diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetapdilakukan

didepan pengadilan.Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban

yang timbul sebagai dari akibat hukum atas perceraian tersebut.18

Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya,

harus ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah

perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene


18
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007. h. 17

xxvii
berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk

dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi

terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan

perceraian. Misalnya soal hak asuh anak, kewajiban mantan suami kepada

mantan istri maupun sebaliknya, serta pembagian harta gono-gini.

Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan

Agama maupun dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa

perceraian adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga.

Namun demikian, Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap

pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang

memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi

perceraian. Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah

apabila memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karena terjadinya

perselisihan yang menimbulkan percek-cokan yang sulit untuk dihentikan, atau

karena tidak berdayanya seorang suami untuk melaksanakan tanggung jawab

sebagai kepala rumah tangga.

Secara garis besar, prosedur gugatan perceraian dibagi kedalam 2 (dua)

jenis, tergantung pihak mana yang mengajukan gugatannya. Pertama, gugatan

perceraian yang diajukan oleh pihak (disebut gugat cerai). Kemudian dalam

mengajukan gugatan perceraian,yang juga harus diperhatikan adalah

pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan tersebut, untuk

selanjutnya memeriksa perkara perceraian yang diajukan, berdasarkan

kompetensi absolutnya (peradilan umum atau peradilan agama).

xxviii
2. Bentuk-bentuk Perceraian Menurut Hukum Islam

a. Talak

Kata “Thalaq” dalam bahasa Arab berasal dari kata Thalaqa

Yathlaqu-Thalaqan yang bermakna melepas atau mengurai tali pengikat,

baik tali pengikat itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun

bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Kata Thalaq merupakan

isim mashdar dari kata Thalaqa-Yuthalliqu-Tathliiqan, jadi kata ini

semakna dengan kata tahliq yang bermakna “irsal” dan “tarku” yaitu

melepaskan dan meninggalkan.19

Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan secara mutlak,

baik berupa ikatan materiil maupun immateriil sebagaimana yang

dikatakan dalam bahasa, thalaqtu al-mar‟ata (aku melepaskan ikatan

perkawinan yang bersifat immateriil), yaitu ikatan yang terbentuk antara

suami istri. Dikatakan, thalaqtu al-„asir min qaidih (aku melepaskan

ikatan tawanan yang berisi materiil atau empiris).

b. Khuluk

Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas

persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada

isteri dengan tebusanharta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta

atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.20

Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk

mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri
19
Zakiah Daradjat. Ilmu Fiqh Jilid 2, Dana Bhakti wakaf, Yogyakarta, 1995. h.72
20
Abdul Djamali, Hukum Islam berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002. h. 100-101

xxix
dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan

dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri

pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.

Syarat sahnya khuluk ialah:

1) Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan

persetujuan suami-isteri.

2) Hendaknya istri merupakan objek sah untuk menjatuhkan talak

kepadanya.

3) Khulu‟ dijatuhkan oleh suami sah yang berhak menjatuhkan talak dan

dia adalah suami yang memenuhi syarat kelayakan.

4) Lafal yang diucapkan itu menggunakan kata khulu, atau sesuatu yang

memiliki pengertian sama, seperti lafal, „ pembebasan‟ dan „ tebusan‟.

5) Khulu‟ terjadi dengan tebusan yang diberikan oleh pihak isteri. Sebab,

dialah yang ingin lepas dari ikatan suami istri yang sudah tidak dapat

menciptakan kebahagiaan seperti yang disyariatkan.21

Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai

jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan

jumlah uang tebusan itu.Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak

usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini

disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri sendiri.

c. Syiqaq

21
Abdul Majid Mahmud Mathlub. Paduan Hukum Keluarga Sakinah, Era intermedia,
Solo, 2005. h. 409

xxx
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti

perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang

dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri. Menurut Syekh

Abdul „Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat

menjadi hakam adalah sebagai berikut:

1) Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.

2) Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.

3) Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.

4) Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang

lain tidak mau berdamai22.

d. Fasakh

Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa

perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh

hakim Pengadilan Agama.Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan

adalah isteri23. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri

menuntut fasakh di pengadilan:

1) Suami sakit gila.

2) Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat

sembuh.

3) Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan

hubungan kelamin.

4) Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.
22
Ibid, h.107-108
23
Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari‟ah), Raja Grafindo,
Jakarta. 2002. h. 224

xxxi
5) Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

6) Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga

tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.

e. Ila’

Arti daripada ila‟ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu

pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila‟

mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami

bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan

dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau

keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri

karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.

Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat

diperoleh ketentuan bahwa:

1) Suami yang mengila‟ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.

2) Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai

suami-isteri atau mentalaknya.

Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan

isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah.

Kafarah sumpah ila‟ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam

hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-

Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara

berurutan, yaitu:

xxxii
1) Memberi makan sepuluh oran/g miskin menurut makan yang wajar yang

biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau

2) Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

3) Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka

4) Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.24

Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami

mentalak isterinya dan merujuknya kembali pada masa iddah atau dalam

perkawinan baru setelah masa iddah habis.

Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan kebencian hati suami

tidak berubah atau melunak serta tetap tidak memperdulikan isterinya,maka

suami dapat menjatuhkan talak satunya kepada isterinya.25

f. Zhihar

Zhihar adalah tindakan suami terhadap istrinya yang tidak dianggap talak

ataupun fasakh.26 Zhihar ialah ucapan seorang suami yang bersumpah bahwa

isterinya yang menyerupakan punggung isterinya sama dengan punggung

ibunya (suami), seperti ucapan suami kepada isterinya: “Engkau bagiku

adalah seperti punggung ibuku.”27 dengan bersumpah demikian itu berarti

24
Departemen Agama Republik Indonesia. Al Qur‟an dan Terjemahnya Djuz 1-10 ,
Jamunu, Jakarta. 1965. h.176
25
Ibid. h.202
26
Abdul Majid Mahmud Mathlub. Paduan Hukum Keluarga Sakinah, Era intermedia,
Solo, 2005. h. 448
27
Zakiah Daradjat. Ilmu Fiqh Jilid 2, Dana Bhakti wakaf, Yogyakarta, 1995. h. 196

xxxiii
suami telah menceraikan isterinya. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur

dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 1-4, yang isinya:

1) Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya

suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu

sama dengan punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan

mencampuri isterinya lagi.

2) Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh

Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.

3) Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-

isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka

wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.

4) Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini

dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang

bersangkutan, yakni:

a) Memerdekakan seorang budak, atau

b) Puasa dua bulan berturut-turut, atau

c) Memberi makan 60 orang miskin.

Jika suami membayar kafarat maka istrinya telah halal baginya.

Namun, jika ia enggan membayar kafarat, sementara sang istri pun sabar

maka tak seorang pun yang dapat membayarkannya. Dengan syarat, sang istri

tidak ragu terhadap kebenaran ucapan zhihar dari suaminya itu. Namun, istri

harus melarang suaminya untuk tidak mendekati dirinya sampai berhasil

membayar kafarat.

xxxiv
Jika istri mengadukan persoalan tersebut kepada qadi (hakim)

maka ia harus mewajibkan suami untuk membayar kafarat atau menjatuhkan

talak. Hal itu dilakukan demi menghilangkan kedzaliman yang menimpa istri.

Hakim pun boleh memenjarakan suami. Jika suami enggan maka ia boleh

memukulnya. Jika suami mengaku, bahwa dirinya telah membayar kafarat,

pengakuan tersebut dibenarkan selama ia tidak dikenal suka berdusta.28

g. Li’an

Li‟an adalah mashdar dari kata la‟ana yang berasal dari dari kata la‟n

yang berarti mengusir dan menjauhkan diri dari rahmat Allah SWT.

Sementara, menurut istilah, li‟an adalah nama sesuatu yang terjadi antara

suami istri, berupa kesaksian dan ucapan-ucapan yang telah diketahui, serta

diiringi oleh laknat dari pihak suami, dan kemarahan dari pihak istri.29

Allah SWT telah mensyariatkan had (hukuman yang telah ditentukan) bagi

orang yang menuduh perempuan yang mushanah (beristri) berzina, tetapi orang

itu tidak dapat memperkuat tuduhannya itu dengan empat saksi. Namun

demikian, Allah Swt telah meringankan kesulitan dari manusia dengan

mensyariatkan li‟an bagi orang yang menuduh istrinya berzina.

3. Macam-macam Perceraian dalam Hukum Positif

Menurut Pasal 38 Undang Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:

Perkawinan dapat putus karena tiga sebab: kematian, perceraian, dan atas

keputusan pengadilan, sebab kedua perceraian harus melalui putusan

pengadilan. Perceraian merupakan jalan untuk memutuskan hubungan


28
Abdul Majid Mahmud Mathlub. Paduan Hukum Keluarga Sakinah, Era intermedia,
Solo, 2005. h. 457
29
Ibid. h.425

xxxv
perkawinan antara suami istri yang bukan disebabkan oleh kematian salah satu

pihak, akan tetapi didasarkan atas keinginan dan kehendak para pihak 30. Di

dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 114 bahwa Putusnya perkawinan yang

disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan

gugatan perceraian31.

Perkara perceraian bisa timbul dari pihak suami dan juga bias dari pihak

istri perkara perceraian yang oleh suami disebut cerai talak dengan suami

Pemohon dan istri sebagai Termohon, dan perkara yang diajukan oleh istri

disebut perkara cerai gugat dengan istri sebagai Pengugat dan suami sebagai

Tergugat32.

a. Cerai Talak

Perkawinan dapat putus disebabkan karena perceraian yang dijelaskan

pada Pasal 114 yang membagi perceraian bisa disebabkan karena cerai talak

dan cerai gugat, berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang tidak

mengenal istilah talak, KHI Pasal 117 menjelaskan yang dimaksud dengan

talak adalah33:

30
Aris Bintania, Hukum Acara Pengadilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Raja
Grafindo Persada, Jakarta2012. h.151.
31
Tim Redaksi Arkola. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Arkola, Surabaya,
2010. h. 216.
32
Aris Bintania. Hukum Acara Pengadilan Agama dalam Kerangka Fiqh al - Qadha, Raja
Grafindo Persada. Jakarta, 2012. h. 151.
33
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Kencana, Jakarta, 2006. h. 220.

xxxvi
“Talak adalah Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”34

Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga

menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada Pasal 66 ayat (1)

yang berbunyi

“Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya


mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak”.35

Perkara cerai talak merupakan jenis perkara permohonan yang

diajukan oleh suami sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon, suami

yang kawin secara Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan

permohonan kepada Pengadilaan untuk mengadakan sidang guna

menyaksikan ikrar talak.36

Suatu permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, dan tempat

kediaman atau alamat pemohon dan termohon disertai dengan alasan-alasan

yang menjadi dasar cerai talak dan petitum perceraian. Selain itu

permohonan mengenai penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta

bersama dapat diajukan bersamaan dengan permohonan cerai talak dan bisa

diajukan sesudah ikrar talak diucapkan37.

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam memuat aturan-aturan yang

berkenaan dengan pembagian talak. KHI membagi talak kepada talak raj’i,

34
Tim Redaksi Arkola, Op. Cit., h. 217
35
Tim Redaksi Sinar Grafika, Amandemen Undang Undang Peradilan Agama Undang-
Undang Rrpublik Indonesia No. 3 Tahun 2006, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. h. 56.
36
Aris Bintania, Op. Cit., h. 152.
37
Aris Bintania, Op. Cit., h. 152-153.

xxxvii
talak ba’in sughra, dan talak ba’in kubra sebagimana dalam Pasal 118, 119

dan 12038.

Pasal 118
“Talak raj‟i adalah talak satu atau dua, dimana suami berhak rujuk
selama istri dalam massa iddah”39.

Pasal 119
1) Talak ba‟in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
2) Talak ba‟in sughra sebagamana tersebut pada ayat (1) adalah:
a) Talak yang terjadi qabla al dukhul.
b) Talak dengan tebusan atau talak khulu‟.
c) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.40

Pasal 120
Talak ba‟in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan
orang lain dan kemudian tejadi perceraian ba‟da al dukhul dan habis
masa iddahnya41. Disamping pembagian di atas juga dikenal pembagian
talak ditinjau dari waktu menjatuhkannya ke dalam talak sunni’ dan
talak bid’i.

Disamping pembagian di atas juga dikenal pembagian talak ditinjau dari

waktu menjatuhkannya ke dalam talak sunni’ dan talak bid’i.

Pasal 121
“Talak sunni‟ adalah talak yang dibolehkan yaitu talak dijatuhkan terhadap
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut”.42

Pasal 122
Talak bid‟i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada
waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah
dicampuri pada waktu suci tersebut.43

b. Cerai Gugat
38
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit., h. 223.
39
Tim Redaksi Arkola, Op. Cit., h. 217.
40
Ibid., h. 21.
41
Ibid., h. 218.
42
Tim Redaksi Arkola, Op. Cit., h. 218.
43
Ibid.

xxxviii
Cerai gugat adalah perkawinan yang putus akibat permohonan yang

diajukan oleh istri kepada Pengadilan Agama, yang kemudian termohon

(suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan

permohonan dimaksud.44

Cerai gugat diatur dalam KHI Pasal 132 ayat (1) dan Pasal 73 UUPA

menyebutkan bahwa:

Pasal 132 KHI


Gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal
tergugat kecuali istri meninggalkan tempat kediamam bersama tanpa izin
suami45.

Pasal 73 UUPA
1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukum yang meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman Bersama tanpa izin tergugat.
2) Dalam hal penggugat tinggal diluar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat.
3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri,
maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama
Jakarta Pusat46.

Sebelum berlakunya Kompilasi hukum Islam di Indonesia, Peradilan

Agama hanya mengenal ada dua jenis perkara perceraian, yaitu perkara

permohonan cerai talak dari pihak suami dan perkara cerai gugat dari pihak

istri. Dengan berlakunya KHI ada perubahan dalam perkara perceraian di

Pengadilan Agama, yaitu berlakunya hukum acara khulu’.47

44
Zainuddin Ali,. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. h. 81
45
Tim Redaksi Arkola, Op. Cit., h. 221.
46
Tim Redaksi Sinar Grafika , Op. Cit., h. 59-60.
47
Aris Bintania, Op. Cit., h. 133.

xxxix
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan

memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.

Seorang istri yang mengajukan perceraian dengan cara khulu, menyampaikan

permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

tinggalnya disertai dengan alasan-alasan perceraian yang sesuai dengan KHI

Pasal 11648.

4. Alasan-alasan Perceraian

a. Alasan-alasan dalam Hukum Islam

Di dalam fiqh memang tidak mengatur secara khusus tentang alasan untuk

boleh terjadinya perceraian, Setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat

memicu terjadi perceraian dalam kehidupan rumah tangga yaitu:

1) Terjadinya nusyuz dari pihak istri.

Nusyuz berasal dari bahasa Arab yang secara berarti meninggi atau

terangkat. Kalau dikatakan istri nusyuz itu terhadap suami berarti istri

merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa

berkewajiban mematuhi suami. Nusyuz istri diartikan kedurhakan istri

terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan

kepadanya.49

2) Nusyuz suami kepada istri.

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena

meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya.50 Kemungkinan nusyuz-nya

48
Ibid., h. 139.
49
Amir Syarifuddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana,
Jakarta, 2006. h. 190-191.
50
Ibid, h. 193.

xl
suami bisa terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi

kewajiban pada pihak istri baik nafkah lahir maupun batin. Penyebab nusyuz

suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk

menemaninya, mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat lainnya

bagi istri.51

3) Terjadinya syiqaq

Kata syiqaq berasal dari kata bahasa Arab, Syiqaqa yang berarti: sisi,

perselisihan, al-khilaf artinya: perpecahan, permusuhan. al-adawah:

pertengkaran atau persengketaan. Dalam bahasa Melayu diterjemahkan

dengan perkelahian52. Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini

biasanya dihubungkan kepada suami istri sehingga dapat diartikan

pertengkaran yang terjadi antara suami istri yang tidak dapat terselesaikan

sendiri oleh keduanya. Syiqaq biasanya terjadi apabila suami istri atau

keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang dipikul masing-masing53.

4) Salah satu pihak melakukan perbuatan zina, yang menimbulkan saling tuduh

menuduh antara keduanya. Cara menyelasaikannya adalah dengan cara

membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an54.

b. Alasan-alasan dalam Hukum Positif

Dalam hukum positif, memperketat dan tegas terjadinya perceraian, hanya

dilakukan di depan persidangan Pengadilan dan disertai alasan-alasan yang

51
Ali Yusuf as-Subki, Nidhom al-Ushroti fiil Islam. Terj. Fiqh Keluarga, Amzah, Jakarta,
2010. h. 317.
52
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia,
Kencana, Jakarta, 2012. h. 304
53
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, 2001. h. 193-194.
54
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tagiran, Op. Cit., h. 214.

xli
sesuai undang-undang, perceraian bias dilakukan. Pada Pasal 39 ayat 2

Undang Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk mengajukan

perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak dapat

hidup rukun sebagai suami istri. Jadi walaupun pada dasar perceraian itu tidak

dilarang, namun undang menentukan seseorang tidak dengan mudah

memutuskan ikatan tanpa adanya alasan yang terdapat dalam penjelasan atas

Pasal 39 ayat 2 Undang Undang Perkawinan dan juga Pasal 19 Peraturan

Pemerintah No. 9 tahun 1975 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat

dijadikan dasar untuk perceraian55:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, perjudian
dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturutturut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauan.
c) Salah satu mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau
isteri.
f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisian dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.56

Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini diulangi dalam KHI pada pasal 116

dengan rumusan yang sama, dengan menambah dua ayat untuk orang Islam,

yaitu:

g) Suami melanggar taklik thalak.


h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.57

55
Abd. Shomad, Op. Cit., h. 325.
56
Tim Redaksi Arkola, Op. Cit., h. 48.
57
Ibid., h. 216-217.

xlii
Hal ini terkait erat dengan misi Undang Undang No.1 Tahun 1974 untuk

mempersulit terjadinya perceraian, sesuai dengan tujuan perkawinan yang

menentukan bahwa perkawinan pada dasarnya untuk selama-lamanya.

5. Akibat Perceraian

Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara suami

dan istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam

Undang-Undang Perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI. Undang-

undang tidak mengatur tentang akibat-akibat putusan perkawinan karena,

kematian, yang diatur hanya akibat-akibat perceraian saja.

Akibat putusannya perkawinan menurut Undang Undang Perkawinan.

menurut Pasal 41 Undang Undang Perkawinan, bahwa akibat putusnya

perkawinan karena perceraian ialah;

1) Orang tua berkewajiban tetap memelihara dan mendidik anakanaknya,


semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisishan
mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi putusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya-biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak bilamana bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya-biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri58.

a. Akibat Talak

Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak isterinya yang

mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 KHI yakni,

sebagai berikut :

Pasal 149 KHI


Bilamana perkawinan putas karena talak, maka bekas suami wajib.
58
Tim Redaksi Arkol , Op. Cit., h. 18.

xliii
a) Memberi mut‟ah (sesuatu) yang layak untuk bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.
b) Memberi makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian). kepada bekas
istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak
ba”in atau nusyuz dan keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang terutang seluruhnya dan separoh apabila qabla al-
dukhul.
d) Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang
belum mencapai umur 21 tahun.59

Akibat talak raj’i, talak raj’i tidak melarang mantan suami

berkumpul dengan mantan istrinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang

dan tidak menghilangkan hak (pemilikan) serta tidak mempengaruhi

hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan)60.

Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak

mengakibatkan hukum selanjutnya selama masih dalam masa iddah istrinya.

Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika

tidak ada rujuk61.

Bagi istri yang ditalak raj’i, suaminya berhak merujuknya selama

dalam masa iddah. ketentuanya tentang masa iddah terdapat dalam pasal 150

Kompilasi Hukum Islam padaPasal 151 KHI menyatakan:

“Bekas istri dalam masa iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima
pinangan dan tidak menikah dengan pria lain”.62

Karena pada hakikatnya istri dalam masa iddah, masih dalam ikatan

nikah dengan suaminya”.

b. Akibat Perceraian (Cerai Gugat)

59
Tim Redaksi Arkola, Op. Cit., h. 227-228
60
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010. h.266.
61
Ibid.
62
Tim Redaksi Arkola (ed), Op. Cit., h 228

xliv
Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat

perceraian (cerai gugat). Hal ini diungkapkan sebagai berikut:

Pasal 156
Akibat Putusnya perkawinan karena perceraian :
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti
oleh:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2) Ayah.
3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping
7) dari ayah.
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan
dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai
hak hadanah pula.
d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.
e) Bila terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),
(c), dan (d).
f) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya.63

Perceraian yang terjadi akibat khulu’ yaitu suatu ikatan perkawinan

yang putus karena pihak pihak istri telah memberikan hartanya untuk

membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Oleh Karen itu. khulu’

adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan

tidak dapat rujuk. Hal ini sesuai dengan KHI Pasal 161 yang berbunyi:

63
Tim Redaksi Arkola, Op. Cit., h. 230-231.

xlv
“Perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan tak dapat

rujuk”.64

C. Kewajiban Pencatatan Perkawinan dan Perceraian

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan),

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengaturan tersebut

menunjukkan bahwa Perkawinan merupakan sebuah ikatan perjanjian seumur

hidup di antara seorang pria dan seorang wanita. Sejalan dengan hal ini, Indonesia

memberi kewajiban bagi masyarakatnya untuk melakukan pencatatan perkawinan

manakala mereka telah melangsungkan Perkawinan. Hal ini dapat terlihat jelas

dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Ketentuan tersebut mengatur bahwa tiap-

tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terlebih lagi, Mahkamah Konstitusi pun mewajibkan masyarakat Indonesia untuk

melakukan pencatatan perkawinan demi kepentingan administratif.

Urgensi pencatatan perkawinan dapat terlihat dari fungsi pencatatan

perkawinan itu sendiri. Menurut Mahkamah Konstitusi, pentingnya kewajiban

administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut dapat dilihat dari 2 (dua)

perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan

dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Hal tersebut merupakan tanggung
64
Zainuddin Ali, Op. Cit., h. 78-79.

xlvi
jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kedua, pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh negara dimaksudkan karena

Perkawinan adalah perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan

oleh pasangan yang bersangkutan yang tentu menimbulkan konsekuensi yuridis

yang sangat luas. Berkaitan dengan hal tersebut, dokumen yang dihasilkan dari

pencatatan perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang

sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh

negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat

terselenggara secara efektif dan efisien.65

Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting

dan wajib untuk dilakukan meski tidak berkaitan dengan syarat sah suatu

Perkawinan. Bukan hanya itu, edukasi bagi masyarakat untuk melakukan

pencatatan perkawinan pun menjadi hal penting untuk dilakukan. Baiknya, negara

dapat hadir untuk memberikan edukasi pada masyarakat terutama bagi pasangan-

pasangan yang akan menikah terkait dengan pentingnya pencatatan perkawinan.

Seperti halnya perkawinan pada perceraian juga memiliki persyaratan, dalam

Pasal 14 dinyatakan bahwa, seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan

menurut agama islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada

pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud

menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada

pengadilan agar diadakan siding untuk keperluan itu.66

65
Marwin. “Pencatatan Perkawinan Dan Syarat Sah Perkawinan dalam Tatanan
Konstitusi”. Asas. Volume 6-Nomor 2. 2014.
66
Suhaila Zulkifli, Ardhiya Ega Pramono, Qoni Alexandra Fadillah Shelyza Azura Alfan,
Media Komuikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat, Jurnal Hukum Kaidah, Volume 18,
Nomor 3, h. 19-21

xlvii
Untuk Pasal 14 di atas memeberi penjelasan kepada pihak suami maupun

istri yang hendak melakukan perceraian tentang langkah pertama yang harus

dilakukan, yakni mengajukan surat yang isinya berkaitan dengan maksud

perceraian yang diajukan dan tidak lupa berbagai alasannya, sehingga pengadilan

harus melaksanakan sidang sesuai keperluan yang dimaksud. Lain halnya dengan

cerai gugat, adapun tata pelaksanaannya dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada

Pasal 20 ayat (1) menyatakan, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri

atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman tergugat.67

Di dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyatakan:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan

kedua belah pihak.

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri

c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan di atur dalam peraturan

perundang-undangan tersendiri.

Pasal 40 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga

menyatakan:

1) Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan

67
Ibid

xlviii
2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini di atur

dalam perundang-undangan tersendiri.

Artinya perceraian dilakukan harus dicatatkan dari hasil putusan pengadilan

karena perceraian merupakan salah satu peristiwa penting yang mengubah status

catatan sipil seseorang. Perceraian mengubah status kawin menjadi status janda

atau duda, dan membawa akibat-akibat hukum lain seperti pembagian harta

bersama (gono-gini), serta hak dan kewajiban terhadap anak. Pengadilan hanya

memutuskan mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian

apabila memang terdapat alasan-alasan dan pengadilan ber- pendapat bahwa

antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup

rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat setelah dilakukan sidang untuk

menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat

keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan

kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan

pencatatan perceraian.

Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung

sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai

Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya

putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Sehingga jika putusan perceraian di pengadilan tidak segera dicatatkan, maka

belum mempunyai kekuatan hukum dan akan menyulitkan suami/isteri dalam

mengambil tindakan hukum lainnya. Misalkan untuk menikah kembali.

xlix
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif merupakan penelitian hukum doktriner atau penelitian

perpustakaan yang mengkaji dokumen seperti peraturan perundang-undangan,

keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.

Penelitian tersebut mengacu pada penelitian hukum (legal research). Karakteristik

penelitian hukum yakni mencari kebenaran pragmatik yang mana suatu kebenaran

didasarkan pada kesesuain antara yang ditelaah dengan aturan yang ditetapkan.68

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-

68
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke-8, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2013. h.93

l
prinsip hukum, dan doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi. Hal tersebut sesuai dengan karakter preskriptif dari ilmu hukum69.

B. Pendekatan Penelitian

Suatu penelitian menggunakan beberapa pendekatan sebagai satu kesatuan

yang utuh, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach)70. Penelitian tersebut menggunakan

pendekatan undang-undang dan konsep antara lain;

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk

mencari dan menemukan kerangka hukum dalam menentukan suatu

perbuatan Akibat Hukum Pengasuhan Bagi Anak Dalam Perceraian yang

Dilakukan Tidak Melalui Pengadilan Agama yaitu: Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah merupakan

pendekatan melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam pendekatan konsep maladministrasi, wewenang,

perizinan, serta konsep tanggung jawab dan gugat. Selanjutnya, penenlitan

ini menguji khususnya dalam Konsep tersebut juga secara universal

menelaah pandangan-pandangan hukum dari berbagai negara71.

69
Ibid,
70
Ibid, h.35
71
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h.137

li
Dengan demikian, dari kedua pendekatan tersebut dapat membangun suatu

argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. Untuk sumber bahan

hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

C. Sumber dan Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer antara lain; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum termasuk tesis dan

disertasi hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum dan komentar-

komentar atas putusan pengadilan serta hasil penelitian sebelumnya yang

terkait dengan permasalahan.

3. Bahan Non Hukum

Selain itu juga penelitian tersebut menggunakan sumber bahan non-hukum

seperti halnya wawancara. Hasil wawancara tersebut harus dituangkan secara

tertulis yang berguna untuk membantu dan menjelaskan permasalahan-

permasalahan yang ada.

D. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

lii
Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pengumpulan bahan bahan

hukum (legal materials) dan pengkajian dan atau analisis terhadap bahan bahan

hukum. Pengumpulan bahan hukum dilakukan lewat inventarisasi hukum positif

dan penelusuran kepustakaan (studi pustaka) terkait dengan masalah yang diteliti.

Terhadap semua bahan hukum yang sudah bisa dikumpulkan kemudian

dilakukan pengorganisasian dan pengklasifikasian bahan hukum sesuai dengan

rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penyusunan hasil penelitian.

Setelah semua bahan hukum diorganisasi dan diklasifikasi kemudian dilakukan

analisis dan atau interpretasi, melalui cara ini diharapkan permasalahan dalam

penelitian ini bisa dikaji dan dipecahkan jawabannya.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Akibat Hukum Bagi Perceraian Yang Tidak Melalui Pengadilan Agama

Pengaturan masalah perkawinan di Indonesia diatur di dalam UU No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) dan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai

peraturan pelaksanaannya. Pengaturan lebih khusus bagi orang Islam tentang

perkawinan terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991).

Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UUP, sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.Dalam pengertian, perkawinan

adalah sah apabila telah dilaksanakan menurut rukun dan syarat-syarat yang

ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut. Sedangkan,

liii
pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum terhadap peristiwa perkawinan yang terjadi beserta akibat-

akibatnya.

Dengan demikian, di dalam praktiknya, maka ada perkawinan yang

tercatat dan ada yang tidak tercatat. Perkawinan yang tidak tercatat, biasa dikenal

di dalam masyarakat dengan sebutan perkawinan di bawah tangan atau kawin siri.

Berdasarkan Pasal 38 UUP disebutkan bahwa putusnya ikatan perkawinan antara

suami-istri disebabkan karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan.

Sedangkan berdasarkan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), putusnya

ikatan perkawinan karena perceraian dapat diakibatkan karena adanya talak dari

suami atau adanya gugatan dari istri. Pasal 114 KHI menyatakan: “Putusnya

perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau

berdasarkan gugatan perceraian”.

Pada dasarnya masalah perceraian ini sudah diatur dalam peraturan

pemerintah No 9 Tahun 1975 dan Undang-Undang Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam yang ditunjukan khusus bagi umat

Islam. Perceraian yang bisa dilakukan di instansi atau lembaga mana yang berhak

mengurus perceraian, dan mengikuti cara-cara perceraian di Pengadilan menurut

Undang-Undang yang berlaku, namun masih banyak masyarakat yang tidak

tunduk pada Peraturan Perundang-undang.

Dalam Perceraian begitu banyak kekurangan atau dampak negatif yang

ditimbulkan dari pristiwa perceraian, kekerabatan yang putus, trauma psikologis

yang dalam, anak-anak yang menjadi korban, tudingan miring masyarakat sekitar,

liv
hingga hilangnya rasa percaya diri.72 Sedangkan Kelebihan dalam perceraian

adalah memberikan kebaikan pada perkembangan mental anak, menghindari

kekerasan dalam rumah tangga, memperbaiki perekonomian, dan memulai hidup

lebih bahagia.

Mekanisme perceraian itu sendiri ada yang bercerai hanya dengan

diucapkan kata ‘kita cerai’ dan ada juga salah satu contoh kasus adanya cerai

tanpa melalui pengadilan yakni yang terjadi di Jl. Grand Boulevard Regency,

Mokoau, Kec. Kambu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara seorang laki-laki yang

bernama Anto menikah dengan seorang perempuan bernama Rheni secara resmi

dengan pernikahannya di daftarkan di KUA Kendari dari pernikahan selama 11

tahun pasangan suami istri tersebut telah dikaruniai 4 orang anak namun ditahun

2020 pernikahan mereka tidak harmonis lagi dan puncaknya terjadi pada

pertengahan 2021 hingga mengakibatkan pisah ranjang, sampai sekarang suami

telah pergi dari rumah dan mentalak istrinya akan tetapi tidak melalui Pengadilan

Agama dengan gugatan cerai. Proses yang singkat pula Rheni hanya dikirimkan

sebuah surat yang hanya dititipkan melalui ketua RT setempat yang berisikan

bahwa istri telah diceraikan secara tertulis tanpa menemui langsung istri dan

anaknya. Alasan Rheni tidak melakukan perceraian di pengadilan itu karena faktor

biaya, tidak cukup uang untuk berurusan di pengadilan. Tidak lama berselang

waktu suami Rheni telah menikah lagi akan tetapi tidak meminta persetujuan dari

Rheni ataupun surat cerai dari pengadilan agama.

72
diakses dihalaman website http://www.mukminun.com/2012/11bahtera-yang-kandas-
menilik-manfaat-dan.html?m=1 tanggal 30 Agustus 2022

lv
Penjatuhan talak oleh suami, menurut hukum formal, wajib dilakukan

lewat pengadilan agama, dengan merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUP,

bahwa perceraian hanya bisa dilakukan melalui proses sidang di pengadilan,

dalam hal ini untuk orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama. Pasal 39

ayat (1) UUP menyatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan”.

Dengan demikian, maka perceraian baik cerai karena talak maupun cerai

karena gugatan hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses

sidang di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri. Di dalam

hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang perkawinan, tidak diatur

dan tidak dikenal pengertian talak di bawah tangan. Pengertian talak menurut

Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Pasal 117 KHI menyatakan:

“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi

salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 129, 130, dan 131”.

Talak menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di depan sidang

pengadilan agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar

pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah

secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama.

Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan

lvi
antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain, baik

suami atau istri tersebut masih sah tercatat sebagai suami-istri.

Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, perceraian hanya dapat

dilakukan di depan siding pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan

ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara

efektif yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975 tidak dimungkinkan terjadinya

perceraian di luar prosedur pengadilan. Untuk perceraian harus ada cukup alasan

bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Namun

nampaknya, dengan ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak

begitu berpengaruh bagi sebagian masyarakat, yang sudah terbiasa dengan

melakukan perceraian di luar prosedur pengadilan, padahal perceraian tersebut

dapat menimbulkan dampak negatif terhadap suatu perceraian.

Akibat hukum dari perceraian yang tidak dilakukan melalui pengadilan

maka status perceraian tersebut tidak memiliki akibat atau kekuatan hukum akibat

dari pada perceraian tersebut, karena keputusan cerai tersebut tidak dilakukan di

depan sidang pengadilan. Bahwa suatu perceraian yang tidak dilakukan di

pengadilan sudah sangat jelas status hukumnya, bahwa perceraian tersebut tidak

sah, berdasarkan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam. Pada dasarnya dalam Islam

membenarkan seorang suami yang akan menceraikan suaminya hanya cukup

diucapkan di depan istrinya atau orang lain maka jatuhlah talaq, akan tetapi dalam

hidup bernegara harus taat kepada peraturan pemerintah, selama tidak

lvii
bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri, karena taat kepada pemerintah,

merupakan bagian dari kewajiban sebagai umat Muslim.

Pemerintah membentuk suatu peraturan tentang perceraian bertujuan agar

tertib administrasi seperti halnya masalah pencatatan perkawinan, kelahiran anak

serta mempersulit perceraian. Hal ini pada dasarnya sesuai dengan prinsip hukum

Islam mengenai perceraian yaitu mempersulit terjadinya perceraian. Kemudian

akibat hukum yang ditimbulkan adanya perceraian diluar pengadilan untuk istri

adalah perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan akan berpengaruh dan

mempunyai dampak negatif terhadap istri, karena perceraian yang dilakukan di

luar sidang pengadilan tidak memiliki surat cerai yang mempunyai kekuatan

hukum, sehingga si janda menikah lagi maka akan mendapatkan kesulitan dengan

pihak Kantor Urusan Agama. Karena setiap janda yang hendak menikah lagi

harus memiliki surat cerai dari Pengadilan, sehingga menempuh jalur menikah

kedua kali lewat nikah di bawah tangan. Selanjutnya setelah terjadinya perceraian

(cerai di luar pengadilan), si istri tidak mendapatkan haknya setelah bercerai,

seperti nafkah selama masa iddah tempat untuk tinggal, pakaian, pangan.

Akibat perceraian di luar pengadilan tidak hanya berpengaruh terhadap

istri tapi juga berpengaruh terhadap suami. Sama halnya dengan istri, suami yang

melakukan perceraian di luar pengadilan akan mengalami kesulitan ketika hendak

menikah lagi dengan perempuan lain. perceraian yang dilakukan di luar

pengadilan tidak akan memiliki surat cerai yang sah dan memiliki kekuatan

hukum tetap, sehingga jika hendak menikah lagi melalui Pihak Kantor Urusan

lviii
Agama tidak akan mengizinkan sampai ada surat yang sah dari pengadilan,

akhirnya mengambil jalur menikah di bawah tangan.

Setiap perceraian pasti akan menimbulkan akibat negatif bagi setiap orang

yang berkaitan dengan pasangan suami istri yang bercerai tersebut, baik dari pihak

istri,suami, maupun bagi keluarga kedua belah pihak, terlebih lagi percerian

tersebut akan berpengaruh si buah hati, baik perceraian tersebut dilakukan di luar

Pengadilan maupun di dalam pengadilan.

Bagi seorang anak, suatu perpisahan (perceraian) kedua orang tuanya

merupakan hal yang dapat mengganggu kondisi keejiwaan, yang tadinya si anak

berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang dari kedua

orang tuanya, hidup bersama dengan memiliki figur seorang ayah, dengan figur

seorang ibu, tiba-tiba berada dalam lingkungan keluarga yang penuh masalah

yang pada akhirnya harus tinggal hanya dengan salah satu figur, ibu ataupun ayah.

Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan akan berpengaruh

pada kondisi kejiwaan anak, karena sering terjadi si ayah tidak member nafkah

secara teratur dan jumlah yang tetap. Perceraian yang dilakukan di luar

Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak dapat memaksa si

ayah ataupun ibu memberi nafkahnya secara teratur baik dari waktu memberi

nafkah maupun dari jumlah materi atau nafkah yang diberikan. Jika perceraian

dilakukan di pengadilan agama hal tersebut akan ditetapkan oleh Pengadilan,

sesuai dengan Pasal 156 poin f Kompilasi Hukum Islam. Di negara Indonesia ini

sangat jelas bahwa pada dasarnya perkara perceraian merupakan perkara yang

kewenangannyua dimiliki oleh pengadilan baik Pengadilan Negeri maupun

lix
Pengadilan dan tidak mengikat serta tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini

merujuk pada Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa :

putusan perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan Agama

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak. Akan tetapi tidak selamanya suatu hukum selalu dipatuhi oleh

masyarakat, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat yang mempunyai

kesadaran hukum yang sangat minim, walaupun pada diasarnya masyarakat

sebagian sudah mengetahui peraturan mengenai perceraian.

Walaupun tidak ada sanksi pidana secara langsung, akan tetapi banyak

sekali dampak negatif yang masyarakat akan merasakan. Setatus perceraian

mereka yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak diputuskan di depan

sidang pengadilan, yang menyebabkan tidah dapat menikah kembali di Kantor

Urusan Agama karena tidak memiliki Akta Cerai. Dampak negatif dari perceraian

di luar pengadilan tidak hanya berdampak terhadap suami istri saja tetapi terhadap

anak pun mempunyai dampak negatif. Si anak tidak mendapatkan nafkah secara

teratur karena tidak ada suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum sehingga

tidak dapat memaksa pihak ayah untuk memberikan nafkah nya secara teratur baik

dari waktu pemberiannya maupun jumlah materi yang diberikan.

B. Prinsip Hukum Dalam Hukum Perceraian Yang Menjadi Dasar Perceraian

Yang Tidak Dilakukan Didepan Pengadilan

Perceraian sering terjadi akibat dekadensi moral manusia sudah menurun

dan tidak lagi memperhatikan nilai ajaran agama serta tidak meningahkan norma

lx
dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Untuk itulah sangat diperlukan

pemahaman terhadap ajaran agama dan norma yang hidup dalam masyarakat,

sehingga cita-cita hidup berumah tangga sebagaimana yang digariskan dalam

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat tercapai dengan sebaik-

baiknya. Idealnya, suatu perkawinan itu haruslah memiliki hubungan yang

harmonis di dalamnya. Antara suami dan istri haruslah saling melindungi, saling

menyayangi satu sama lain, dan selalu bersama baik dalam suka maupun duka.

Akan tetapi harapan manusia tidak selamanya dapat terkabul seperti dicita-

citakan.

Seringkali harapan itu hanyalah tinggal harapan belaka tanpa dapat

diwujudkan menjadi kenyataan. Demikian pula halnya dengan perkawinan yang

semula diharapkan akan berlangsung selamanya, namun di antara kedua belah

pihak yaitu suami dan istri sering terjadi pertengkaran percekcokan, ataupun hal-

hal yang menimbulkan ketidakserasian dan keretakan di dalam perkawinan yang

mereka bina, bahkan terkadang terjadi penganiayaan terhadap istri oleh suami,

sehingga hal ini akan mengakibatkan suatu kesengsaraan dan penderitaan, baik

secara lahir maupun batin bagi pihak istri. Apabila keretakan di dalam suatu

perkawinan sudah sedemikian buruk keadaannya bahkan dibarengi dengan tindak

penganiayaan dan tidak ada kemungkinan untuk diperbaiki, maka jalan yang

paling memungkinkan mengatasinya adalah memutuskan ikatan perkawinan

tersebut dengan perceraian.

Adanya dualisme pemahaman antara hukum negara dan hukum Islam

terkait perceraian menjadi salah satu faktor yang menjadi dasar perceraian yang

lxi
tidak dilakukan didepan pengadilan. Pemahaman yang demikian tidak bisa

dilepaskan dari kemajemukan hukum yang berlaku di Indonesia. Indonesia

merupakan negara hukum, sebagaimana yang tercantum dalam Amandemen

ketiga UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah

Negara Hukum”.Sistem hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangan

sejarahnya merupakan sistem hukum yang bersifat majemuk.73

Disebut demikian karena sampai sekarang di dalam Negara Republik

Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang memiliki corak dan susunan

sendiri. Sistem hukum yang dimaksud tersebut adalah sistem hukum adat, sistem

hukum Islam, dan sistem hukum Barat.74

Kemajemukan sistem hukum yang berada di Indonesia ini lah yang

memunculkan dualisme hukum yang mengatur terhadap satu persoalan secara

bersamaan. Salah satu contohnya adalah tentang keabsahan perceraian ini. Secara

hukum Islam, jika antara suami istri bertengkar terus menerus kemudian keduanya

ingin bercerai maka ketika lisan suami mengucapkan kata-kata yang menunjukan

perceraian seperti talak maka seketika itu jatuhlah talak atas istrinya. Akan tetapi

dalam hukum positif di Indonesia, disebutkan bahwa talak hanya dapat

dilaksanakan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 39 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 65 Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan pasal 123 Kompilasi

Hukum Islam (KHI). Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
73
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 231.
74
Ibid

lxii
berbunyi: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

keduabelah pihak”. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama berbunyi:“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

PengadilanAgama setelah Pengadilan Agama yang bersangkutan berusaha dan

tidak berhasilmendamaikan kedua belah pihak.” Sedangkan pasal 123 KHI

berbunyi “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di

depan siding pengadilan”.

Dengan demikian yang menjadi pertimbangan keabsahan talak dalam

hukum Islam adalah syarat dan rukunnya. Sebagai contoh ketika suami

mengatakan kepada istrinya “wahai istriku, aku jatuhkan talak satu kepadamu,

maka mulai detik ini kau bukan lagi istriku”, maka sejak saat itu di antara mereka

sudah tidak ada lagi ikatan perkawinan. Dengan kata lain dalam penetapan talak,

fikih tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu, dimanapun tempat dan waktunya

talak dapat dilakukan oleh suami. Sedangkan dalam hukum positif, meskipun

suami telah mengucapkan katakata talak sebagaimana yang telah dijelaskan di

atas, hal tersebut tidaklah dinilai sebagai kata-kata talak. Sebab yang dinilai

sebagai kata-kata talak adalah ketika suami mengucapkannya di depan

persidangan. Sebagaimana dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak”. Pasal 65 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan

lxiii
sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama yang bersangkutan berusaha

dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Sedangkan pasal 123 KHI

berbunyi “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di

depan sidang pengadilan”.

Al-maṣlaḥah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam

rangka menjaga dan memelihara maqāṣid asy-syarī„ah (tujuan-tujuan syariat).

Menurut at-Tūfī, tujuan hukum Islam adalah memberikan perlindungan terhadap

kemaslahatan manusia. Jika manusia menentukan kemaslahatannya sendiri, dan

hal itu bertentangan dengan naṣdan atau ijmā‟ maka yang harus didahulukan

adalah kemaslahatan manusia berdasarkan sudut pandang manusia itu sendiri.

Dalam pandangan sadd dzariyat pernikahan di luar pengadilan seharusnya

dihindari oleh masyarakat Indonesia. Sadd AdzDzari‟ah merupakan suatu metode

penggalian hukum Islam dengan mencegah, melarang, menutup jalan atau wasilah

suatu pekerjaan yang awalnya dibolehkan karena dapat menimbulkan sesuatu

yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau sesuatu yang dilarang. Dalam

kaitannya dengan perceraian di luar pengadilan, meskipun hal itu dibenarkan

dalam hukum Islam (fikih), namun perceraian yang dilakukan di luar pengadilan

tidak memiliki keabsahan.

lxiv
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Akibat hukum dari perceraian yang tidak dilakukan melalui pengadilan maka

status perceraian tersebut tidak memiliki akibat atau kekuatan hukum akibat

dari pada perceraian tersebut, karena keputusan cerai tersebut tidak dilakukan

di depan sidang pengadilan. Kemudian akibat hukum yang ditimbulkan

adanya perceraian diluar pengadilan untuk istri adalah karena perceraian yang

dilakukan di luar sidang pengadilan tidak memiliki surat cerai yang

mempunyai kekuatan hukum, sehingga si janda ketika menikah lagi maka

akan mendapatkan kesulitan dengan pihak Kantor Urusan Agama dan si istri

tidak mendapatkan haknya setelah bercerai, seperti nafkah selama masa iddah

tempat untuk tinggal, pakaian, pangan. Sedangkan akibat perceraian di luar

pengadilan terhadap suami, akan mengalami kesulitan ketika hendak menikah

lagi dengan perempuan lain. Dan terakhir terhadap anak, akibat perceraian

lxv
yang dilakukan di luar sidang pengadilan akan berpengaruh pada kondisi

kejiwaan anak, karena sering terjadi si ayah tidak memberi nafkah secara

teratur dan jumlah yang tetap. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan

tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak dapat memaksa si ayah

ataupun ibu memberi nafkahnya secara teratur baik dari waktu memberi

nafkah maupun dari jumlah materi atau nafkah yang diberikan.

2. Dalam pandangan sadd dzariyat pernikahan di luar pengadilan seharusnya

dihindari oleh masyarakat Indonesia. Sadd AdzDzari‟ah merupakan suatu

metode penggalian hukum Islam dengan mencegah, melarang, menutup jalan

atau wasilah suatu pekerjaan yang awalnya dibolehkan karena dapat

menimbulkan sesuatu yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau sesuatu

yang dilarang. Dalam kaitannya dengan perceraian di luar pengadilan,

meskipun hal itu dibenarkan dalam hukum Islam (fikih), namun perceraian

yang dilakukan di luar pengadilan tidak memiliki keabsahan.

B. Saran

Berkaitan dengan penulisan ini penulis memberikan saran apabila terjadi

permasalahan keluarga sebaiknya terlebih dahulu dirundingkan untuk mencari

solusi karena pada dasarnya perceraian mempunyai dampak buruk baik terhadap

suami istri maupun anak. namu apabila rumah tangga tersebut tidak dapat

dilakukan maka lakukanlah perceraian seperti apa yang telah diamanatkan dalam

undang-undang yakni perceraian melalui pengadilan.

lxvi
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,


2007.

Bintania Aris, Hukum Acara Pengadilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-
Qadha, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.

Darmabrata Wahyono, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,


Gitama Jaya, Jakarta, 2003.

Daradjat Zakiah, Ilmu Fiqh Jilid 2, Dana Bhakti wakaf, Yogyakarta, 1995.

Djamali Abdul, Hukum Islam berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium


Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan,


Hukum Adat dan Hukum Agama, Cet Ke-1, Mandar Maju, Bandung,
1990.

Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010.

Marzuki,Peter Mahmud, Penelitian Hukum, EdisiRevisi, Cetakan ke-8,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013.

Mathlub, Abdul Majid Mahmud, Paduan Hukum Keluarga Sakinah, Era


intermedia, Solo, 2005.

lxvii
Nuruddin Amiur, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Kencana, Jakarta, 2006.

Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari‟ah), Raja


Grafindo, Jakarta, 2002.

Ramulyo Mohd.Idris, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004.

R.Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Intermasa, Jakarta, 2000.

Shomad,Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum


Indonesia, Kencana, Jakarta, 2012.

Susilo Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007.

Syarifuddin Amir, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,


Kencana, Jakarta, 2006.

Wahyu Ermaningsih & putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia,


Penerbit Rambang, Jakarta, 2006.

Tim Redaksi Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Arkola,


Surabaya, 2010.

Tim Redaksi Sinar Grafika, Amandemen Undang Undang Peradilan Agama


(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006), Sinar
Grafika, Jakarta. 2009.

Yusuf as-Subki Ali, Nidhom al-Ushroti fiil Islam. Terj. Fiqh Keluarga,
Amzah, Jakarta, 2010.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblaad nomor 23 tahun 1847


tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3019).

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Lembaran Negara
Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050)

lxviii
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam. (Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1991)

C. Sumber lainnya

Departemen Agama Republik Indonesia, 1965. Al Qur‟an dan Terjemahnya


Djuz 1-10 , Jamunu, Jakarta.

Wiwi Fauziah dan Muhammad Fathan Ansori, Keharusan perceraian di


pengadilan agama. diakses di http://pa-pulangpisau.go.id/berita/arsip-
berita-pengadilan/149-artikel/1711-keharusan-perceraian-di-pengadilan-
agama. pada tanggal 18 April 2022 jam 11: 36 WITA
Marwin. “Pencatatan Perkawinan Dan Syarat Sah Perkawinan dalam
Tatanan Konstitusi”. Asas. Volume 6-Nomor 2. 2014.
Suhaila Zulkifli, Ardhiya Ega Pramono, Qoni Alexandra Fadillah Shelyza
Azura Alfan, Putusnya Perkawinan Akibat Suami Menikah Tanpa Izin
Dari Istri, Media Komuikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat,
Jurnal Hukum Kaidah, Volume 18, Nomor 3, 2021.

lxix
lxx

Anda mungkin juga menyukai