Anda di halaman 1dari 99

PENERAPAN SANKSI REHABILITASI TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL YANG MEMILIKI


GANGGUAN PREFRENSI SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF
TUJUAN PEMIDANAAN
(Analisis Putusan Nomor 2286/Pid.sus/2020/PN SBY)

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Studi Strata Satu
(S-1) Pada Program Studi Ilmu Hukum

Disusun Oleh
ALFA SYAUQI
No. Pokok : 2018200051

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

PENERAPAN SANKSI REHABILITASI TERHADAP


PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL
YANG MEMILIKI GANGGUAN PREFRENSI SEKSUAL
DALAM PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN
(Analisis Putusan Nomor 2286/Pid.sus/2020/PN SBY)

Disusun oleh
ALFA SYAUQI
No. Pokok: 2018200051
Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang Skripsi Program Studi Hukum Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pada, Juli 2022


Pembimbing,

(Dr. Bahria Prentha, S.H., M.H.)


Mengetahui,

Ketua Program Studi Ketua Bagian Hukum Pidana

(Dr. Aby Maulana, S.H., M.H.) (Tubagus Heru Dharma Wijaya, S.H., M.H.)

i
ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

Diterima dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Jakarta, untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam

memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Studi Hukum.

Pada Hari :

Tanggal :

Mengesahkan

Fakultas Hukum,

Panitia Penguji Tanda Tangan Tanggal

Dr. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H.


Ketua …………………………. ………………………

Surohmat, S.H., M.H.

Sekertaris ………………………… ………………………

Dr. Bahria Prentha, S.H., M.H.

Penguji …………………………. ………………………

Pathorang Halim, S.H., M.H.

Penguji ………………………. ……………………..

Tubagus Heru Dharma Wijaya, S.H.,


M.H
Penguji ………………………… ……………………….

ii
iii

MOTTO

“No Guts No Glory, Tidak Nekat Tidak ada Kemuliaan” 


iv

LEMBAR PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada orang-orang paling berharga yang telah

dikirimkan Allah ke dalam hidupku:

Rasa terimakasih dan syukur yang tak terhingga kepada kedua orangtua

Ayahanda Sutikno dan Ibunda Nur Azizah, Kakak, Adik, dan Saudara

Lainnya, kepada sahabat – sahabat, Senior yang telah membina ku, dan

Adelia Nur Fadilah yang mensupport ku.

iv
v

ABSTRAK

Alfa Syauqi, 2018200051 Penerapan Sanksi Rehabilitasi Terhadap Pelaku


Tindak Pidana Asusila Yang Memiliki Gangguan Prefrensi Seksual Dalam
Perspektif Tujuan Pemidanaan (Analisis Putusan Nomor
2286/Pid.sus/2020/PN SBY. Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta, 2022.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2286/Pid.Sus/2020/PN
SBY yang menjatuhkan pidana penjara selama lima tahun enam bulan kepada
pelaku tindak pidana asusila yang memiliki ganguan prefrensi seksual itu semata –
semata hanya memberikan suatu pembalasan terhadap perbutannya.
Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu: Apakah Penjatuhan Sanksi
Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Asusila Yang Memiliki Gangguan
Prefrensi Seksual Sesuai Dengan Tujuan Pemidanaan ? dan Bagaimanakah
Analisis Putusan Nomor 2286/Pid.Sus/2020/Pn Sby Dalam Menjatuhkan Sanksi
Pidana Terdap Pelaku Tindak Pidana Yang Memiliki Gangguan Prefrensi
Seksual?
Demikian ditegaskan secara jelas dalam amar putusan bahwa pelaku tersebut
memiliki gangguan prefrensi seksual dengan kode F.65.0 PPDGJ-III, dalam buku
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa menyatakan bahwa
seseorang yang memiliki Fetish yang dapat menimbulkan rasa sakit kepada orang
lain dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki gangguan dalam jiwanya,
gangguan kejiwaan itu sendiri dinilai dari keadaan batin seseorang Ketika
melakukan suatu perbuatan.
Demikian dalam Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Jiwa, menerangkan bahwa Upaya rehabilitatif Kesehatan Jiwa merupakan
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditunjuk
untuk: Mencegah atau mengendalikan disabiltas;Memulihkan fusngsi sosial;
Memulihkan fungsi okupasional; Mempersiapkan dan memberi kemampuan
ODGJ agar mandiri dimasyarakat.” terdapat sanksi pidana rehabilitasi untuk
mengobati jiwanya yang memiliki gangguan, maka sanksi Tindakan rehabilitasi
merupakan sanksi yang tepat untuk mengobati pelaku tindak pidana yang
memiliki gangguan prefrensi seksual.
Kata Kunci : Pidana Asusila, Ganggua Prefrensi Seksual, Sanksi, Tujuan
Pemidanaan.
vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala nikmat rahmat dan

hidayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, guna

memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, pada

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Skripsi ini berjudul:

PENERAPAN SANKSI REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA PELECEHAN SEKSUAL YANG MEMILIKI GANGGUAN

PREFRENSI SEKSUAL DALAM PERPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan berkat adanya bimbingan,

arahan, bantuan maupun dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis memberikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasyi, M.Si. selaku Rektor Universitas

Muhammadiyah Jakarta;

2. Ibunda Dr. Dwi Putri Cahyawati, SH., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberikan kesempatan bagi

Penulis untuk melakukan penulisan Skripsi ini;

3. Bapak Surahmat, S.H,. M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Jakarta, penulis mengucapkan banyak terima

kasih.

vi
vii

4. Bapak M. Rusdi Daud, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Muhammdiyah Jakarta, penulis mengucapkan banyak terima

kasih.

5. Bapak Dr. Aby Maulana, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, penulis mengucapkan banyak

terima kasih.

6. Bapak Tubagus Heru Dharma Wijaya, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, penulis

mengucapkan banyak terima kasih atas semua masukan dan ilmu yang

berharga untuk penulis.

7. Bapak Dr. Septa Candra, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, terima kasih penulis

sampaikan kepada beliau yang sebesar besarnya atas bimbingan yang telah

beliau berikan dari semester awal hingga semester akhir ini.

8. Ibunda Dr. Bahria Prentha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing skripsi ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada beliau yang sebesar besarnya atas

segala masukan, arahan, bimbingan, dan bantuan yang telah beliau berikan

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan di pendidikan strata

satu.

9. Bapak Pathorang Halim, S.H., M.H. selaku dosen penguji yang telah banyak

memberikan referensi dalam penulisan skripsi ini

10. Seluruh Dosen dan Staf pengajar program Sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang tidak dapat Penulis sebutkan


viii

satu persatu tetapi segala ilmu yang telah diajarkan sangatlah berharga dan

bermanfaat bagi Penulis;

11. Teman teman FH UMJ 2018 terutama kepada Studi Spirit yang beranggotakan

Andisa, Fiqih, Nirwan Panji, Aluh Ridiana, Asfar Ramadhan, Raihan Aga

Difa Hafis Sebastian, Kahlil Gibran, Jalesena, Emir Suni, Hisyam , Bang

Raihan Edimara dan Yudha Dian.

12. LASKUM FH UMJ yang telah membuka fikiran dalam studi saat ini.

13. Rekan – rekan BEM FH UMJ Periode 2021 – 2022 Kabinet Kemajuan

Bersama, yang telah menemani saya berproses dalam memange.

14. Teman – teman Himpunan Mahasiswa Islam yang telah membangun proses

kognitif saya hingga saya mampu menelaah variable – variable yang ada

dalam penulisan.

15. Semua pihak yang telah membantu Penulis dan memberikan ide-ide

penyusunan Skripsi ini yang namanya tidak dapat Penulis sebutkan satu

persatu.

Skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan, maka penulis

mengharapkan kritik dan saran dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para

pembacanya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas semua pihak

yang membantu dalam penulisan skripsi ini.

Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Jakarta, Juli 2022

Penulis

viii
ix

Alfa Syauqi...... .......

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN..........................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI........................................................ii

MOTTO........................................................................................................iii

LEMBAR PERSEMBAHAN......................................................................iv

ABSTRAK.....................................................................................................v

KATA PENGANTAR..................................................................................vi

DAFTAR ISI.................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.....................................................................1


B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah Dan Rumusan Masalah..8
C. Landasan Teori Dan Definisi Oprasional...........................................9
D. Sistematika Penulisan.......................................................................19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

PELECEHAN SEKSUAL DAN SANKSI PIDANA..........................22

A. Pengertian Pidana.............................................................................22
B. Unsur – Unsur Tindak Pidana...........................................................24
C. Jenis – Jenis Tindak Pidana..............................................................26
A. Pelecehan Seksual...................................................................................32
x

1. Pengertian Pelecehan Seksual...........................................................32


2. Bentuk – Bentuk Pelecehan Seksual.................................................32
3. Penyimpangan Orientasi Seksual Fetisisme.....................................34
4. Pengertian Fetisme............................................................................34
5. Penyebab Fetisisme..........................................................................36
6. Penanganan.......................................................................................38
B. Pengertian Sanksi Pidana........................................................................39

1. Pengertian Sanski Pidana..................................................................39


2. Jenis – Jenis Sanksi Pidana...............................................................40
BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL YANG MEMILIKI

GANGGUAN SEKSUAL.....................................................................43

A. Tindak Pidana Pelecehan Seksual....................................................44


1. Ketentuan Umum Tindak Pidana Pelecehan Didalam KUHP..........44
2. Ketentuan Umum Tindak Pidana Pelecehan Seksual Diluar KUHP47
B. Penerapan Sistem Sanksi Pidana Di Indonesia.................................48
C. Sanksi Tindakan Rehabilitasi...........................................................53
D. Sanksi Pidana yang Sesuai Dengan Tujuan Pemidanaan Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual Dengan Gangguan
Prefrensi Seksual..............................................................................55
BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 2286/Pid.Sus/2020/PN SBY

DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA YANG MEMILIKI GANGGUAN

PREFRENSI SEKSUAL......................................................................59

A. Kasus Posisi......................................................................................59
B. Analisis Kualifikasi Perbuatan Pelecehan Seksual Fetish Kain Jarik
..........................................................................................................62
1. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)............................64

x
xi

2. Undang – Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas


Undang – Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.....66
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik...............................................................................68
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi..........69
C. Pelaku Tindak Pidana Pelecehan seksual dalam Putusan Nomor
2286/Pid.sus/2020/PN SBY..............................................................71
D. Hasil Analisis Putusan Nomor 2286/Pid.Sus/2020/PN SBY Terhadap
Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual
Yang Memiliki Gangguan Prefrensi Seksual...................................78
BAB V PENUTUP......................................................................................81

A. Kesimpulan.......................................................................................81
B. Saran.................................................................................................82
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................83
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia secara kodratnya merupakan makhluk yang memiliki

kelompok di setiap wilayah – wilayah tertentu. Menurut filsuf Yunani,

Aristoteles mengatakan manusia itu adalah “zoon politicon” artinya bahwa

manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya ingin berkumpul dengan

sesamanya.1 Demikian manusia yang memiliki akal dan hidup secara

berkelompok di setiap wilayah memunculkan pikiran kepentingan manusia

dengan manusia lainnya untuk menentukan suatu kebiasaan. Hal ini

menyebutkan bahwa manusia yang berkelompok dan memiliki kepentingan

antar sesamanya disebut sebagai masyarakat.

Manusia didalam hidup bermasyarakat mempunyai tujuan untuk

memenuhi kebutuhannya. Tujuan manusia tersebut menunjukkan bahwa

diantara sesama anggota masyarakat terjadi hubungan atau sebuah interaksi

dalam rangka mencapai dan melindungi kepentingannya. Manusia sebagai

makhluk pribadi pada dasarnya dapat berbuat menurut kehendaknya atau

bebas tetapi manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dimasyarakat tidak

dapat berbuat bebas menurut kehendaknya.2

1
J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Prenhallindo,2001), hlm. 12.
2
Ibid., hlm. 15.

1
2

Demikian Negara Indonesia yang memiliki masyarakat didalamnya

menyatukan kepentingan untuk mengatur tingkah laku masyarakatnya dengan

menjadikan Indonesa sebagai negara Hukum berdasarkan Pasal 1 ayat 3

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Indonesia

adalah Negara Hukum”. Hal ini menyampaikan bahwa setiap tingkah laku

masyarakat Indonesia di atur oleh peraturan agar terwujudnya masyarakat adil

makmur serta sejahtera dalam menjalankan kehidupannya.

Dalam setiap interaksi sosial manusia dibatasi oleh ketentuan –

ketentuan yang mengatur perbuatan dan sikap mereka, karena jika tidak

demikian akan terjadi ketidakseimbangan dalam masyarakat. Ketentuan yang

mengatur tingkah laku manusia atau yang menjadi pedoman manusia untuk

berprilaku guna untuk menjaga keseimbangan kepentingan mereka dalam

masyarakat itu dinamakan Kaidah Hukum.3

Seiring dengan perkembangan zaman, maka berkembang pula

kemajuan budaya dan teknologi yang diiringi dengan perkembangan perilaku

manusia di dalam hidup bermasyarakat. Perkembangan perilaku tersebut

apabila ditinjau dari segi Hukum terdapat perilaku yang dapat dikategorikan

sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma.

Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku, tidak menjadi

masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat

menimbulkan permasalahan di bidang Hukum dan merugikan masyarakat.

Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan
3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta:Cahaya Atma
Pustaka,2010), hlm. 19 – 20.
3

terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya

ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia.4

Perkembangan akal manusia yang semakin maju sangat berpengaruh

terhadap kemajuan teknologi di zaman modern saat ini, dimana setiap manusia

menggunakan fasilitas internet untuk berkomunikasi dan melakukan kegiatan

lainnya. Berkembangnya teknologi yang sangat pesat menimbulkan banyak

permasalahan baru yang belum dapat dijangkau oleh Hukum. Saat ini sudah

banyak kejahatan yang di warnai dengan kemajuan teknologi dimana

kejahatan tidak hanya terbatas pada ruang lingkup yang sifatnya konvensional

namun kejahatan terus bergerak ke arah yang lebih modern dengan

memanfaatkan teknologi seperti internet, media sosial.

Menurut Marcheyla Sumera kejahatan kesusilaan atau pelecehan

seksual dapat terjadi dimana saja dan bukan hanya sebuah problematika

Hukum nasional suatu negara melainkan termasuk pada masalah Hukum

semua negara di dunia dan telah menjadi masalah global.5

Keterbatasan mengenai sumber daya manusia lebih spesifik kepada

aparat penegak Hukum yang memang dalam bertindak harus sesuai dengan

undang-undang, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya

disebut KUHP belum mengakomodasi segala perbuatan pelecehan seksual

Tindak pidana pelecehan seksual dapat di katagorikan sebagai

cyberharassement, namun Pasal yang digunakan untuk menjeratnya bukan

4
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta:2004,Sinar Grafika) hlm. 1.
5
Marcheyla Sumera, Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan, Lex
et Societatis, Vol 1, No. 2, 2013, hlm. 39-49
4

merupakan murni Pasal tentang kejahatan terhadap kesusilaan karena dalam

undang-undang itu tidak spesifik, laporan yang masuk bisa di kualifikasikan

sebagai pencemaran nama baik.

Dalam implementasinya tentu akan menjadi bias karena kejahatan

pelecehan seksual berbeda dengan pencemaran nama baik, subtansinya adalah

korban pelecehan seksual tidak mudah melaporkan kasus tersebut karena

minimnya bukti, dan terkendala oleh Pasal itu sendiri tidak memenuhi

unsurnya. Pasal yang mengatur tindak pidana pelecehan seksual terdapat pada

KUHP mengenai kejahatan kesusilaan dan pelanggaran kesusilaan. Tetapi

KUHP tidak mengenal istilah pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal

istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296

KUHP.

Merujuk pada Kitab Undang – Undang Hukum pidana, R Soesilo

menjelaskan perbuatan cabul adalah hal hal yang melanggar norma kesusilaan

dan dan perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkup nafsu birahi kelamin,

merujuk Pasal 289 KUHP,6 “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya

perbuatan cabul, diHukum karena melakukan perbuatan yang menyerang

kehormatan kesusilaan dengan pidana selamaselamanya sembilan tahun.”.

Konsepsi kekerasan menurut KUHP, sebagaimana tertuang dalam Pasal 289

KUHP, diartikan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Apakah suatu

penggunaan kekerasan harus menimbulkan rasa sakit dan luka, pingsan atau

6
Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
5

tidak berdaya. Pengertian tersebut di atas hanya memberikan penjelasan

penggunaan kekerasan secara fisik, padahal masih ada bentuk penggunaan

kekerasan secara psikis seperti pada pelecehan seksual, hal ini tidak

terangkum dalam KUHP.

Demikian Besarnya arus globalisasi banyak menyebabkan penyesuaian

terhadap budaya negara satu ke negara yang lain, termasuk juga pola

kejahatan. Banyak kejahatan baru yang bermunculan akibat adaptasi dari

negara-negara lain, salah satunya kejahatan yang berkembang dikarenakan

gangguan jiwa seseorang. Gangguan jiwa yang dimaksud merupakan

penyimpangan tingkah laku yang berasal dari kelainan yang ada pada diri

seseorang, contohnya adalah terkait gangguan pada perilaku seksual. Akibat

dari ganguan seksual itu timbul kejahatan-kejahatan yang melanggar norma-

norma serta sistem Hukum yang berlaku di masyarakat.

Gangguan pada perilaku seksual disebut dengan istilah paraphilia.

Kata para berarti penyimpangan dan philia berarti cinta atau ketertarikan.

Paraphilia dapat diartikan sebagai suatu penyimpangan objek ketertarikan

seksual. Akan tetapi, dewasa ini paraphilia cenderung diartikan sebagai

ketergugahan atau ketertarikan seksual pada objek/individu/situasi atau fantasi

yang tidak biasa atau tidak lazim. Penyimpangan seksual dapat disebabkan

oleh berbagai macam hal, diantaranya lingkungan yang kurang baik, pernah

menjadi korban, libido yang tidak terkontrol, dan pengaruh alcohol.


6

Demikian telah terjadi suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

Bernama Gilang Aprilian Nugraha Pratama, bahwa pelaku menghubungi

korbannya dengan menggunakan Whatsapp yang menjelaskan tentang riset

untuk menulis sebuah penelitiannya akhir berkaitan dengan seseorang yang

dibungkus dengan kain jarik sehingga mengeluarkan bentuk emosinya seperti

gugup, takut, menangis, dan lainnya.

pada hari Minggu tanggal 26 Juli 2020 bertempat di rumah korban

yang terletak di jalan Sawangan RT 3/RW 1, Kecamatan Kabasen, Kabupaten

Banyumas, pelaku memulai melakukan perbuatan penyelewengan seksualnya.

Pelaku tersebut melakukan perbuatn nya dengan didorong oleh kelainan yang

ada pada Fetishnya, pelaku memiliki imajinasi kepuasan seksual terhadap

seseorang yang menderita di dalam sebuah kain jarik.

Seperti dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor

2286/Pid.sus/2020/PN SBY dengan terdakwa Bernama Gilang Aprilian

Nugraha Pratama yang melakukan suatu penyimpangan seksual yang dipicu

karena suatu gangguan kejiwaannya berdasarkan Pemeriksaan Pedoman

Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwaan ( PPDGJ ) terdakwa termasuk

gangguan prefrensi seksual dengan kode F65.0 fetishisme. Sebagai mana

sebuah fetishisme merupakan hal yang lazim, namun terdakwa dalam putusan

tersebut menimbulkan orang lain mersakan tekanan untuk melakukan suatu

pembukusan dengan kain jarik hingga sesak dalam bernafas.


7

Demikian disebutkan dalam keterangan ahli bahwa terdakwa memiliki

gangguan prefrensi seksual, Hakim dalam putusannya mengadili terdakwa

dengan vonis pidana 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan penjara serta denda

50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Semestiya berdasarkan Pasal 25

Undang – Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan jiwa, berbunyi :

“Upaya rehabilitatif Kesehatan Jiwa merupakan kegiatan dan/atau

serangkaian kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditunjuk untuk:

a) Mencegah atau mengendalikan disabiltas;

b) Memulihkan fusngsi sosial;

c) Memulihkan fungsi okupasional;

d) Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri

dimasyarakat.”7

terdapat sanksi pidana rehabilitasi untuk mengobati jiwanya yang memiliki

gangguan.

Oleh sebab itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

mengangkat judul penelitian skripsi tentang “PENERAPAN SANKSI

REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PELECEHAN SEKSUAL YANG MEMILIKI GANGGUAN

PREFRENSI SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF TUJUAN

PEMIDANAAN (Analisis Putusan Nomor 2286/Pid.Sus/2020/PN SBY)”

7
Undang – undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
8

B. IDENTIFIKASI MASALAH, PEMBATASAN MASALAH DAN

RUMUSAN MASALAH

1. Identifikasi Masalah

Penulisan penelitian ini diitikberatkan pada sanksi pemidanaan yang

diberikan hakim kepada terdakwa untuk mendalami kesesuaian dengan

kemanfaatan dari pemidaan itu sendiri, demikian perlu adanya penelitian

yang mendalam terhadap putusan hakim dengan undang – undang yang

berlaku.

2. Pembatasan masalah

Oleh sebab itu dalam permasalahan ini penulis akan membatasi

penulisan mengenai penarapan sanksi rehabilitasi terhadap pelaku tindak

pidana yang memiliki gangguan prefrensi seksual berdasarkan KUHP,

Undang - Undang Nomor 18 tahun 2024 tentang Kesehatan jiwa dan

kemanfaatan Hukum ditinjau dari putusan No 2286/Pid.sus/2020/PN SBY.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pembatasan penelitian di atas, terdapat beberapa

rumusan permasalahan yang akan dikaji, sebagai berkut:

1. Apakah Sanksi Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pelecehan

Seksual Yang Memiliki Gangguan Prefrensi Seksual Sesuai Dengan

Tujuan Pemidanaan ?
9

2. Bagaimana Pengaruh Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor

2286/Pid.Sus/2020/Pn Sby Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terdap

Pelaku Tindak Pidana Yang Memiliki Gangguan Prefrensi Seksual?

C. LANDASAN TEORI DAN DEFINISI OPRASIONAL

1. Landasan Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi, kemudian teori ini harus diuji dengan

menghadapkan fakta-fakta yang menunjukkan ketidakbenaran, guna

menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional),

empiris (kenyataan), juga simbolis.8 Adapun kerangka teori yang akan

dijadikan landasan untuk menjawab rumusan masalah dalam penulisan skripsi

ini adalah Teori Relatif atau Teori Tujuan.

a. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan mengenai

Teori Relatif, bahwa Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi

mempunyai tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini

pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar

pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.

8
Otje Salman dan anton F Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka
Kembali, (Jakarta:2004,Refika Aditama Press) hlm. 21.
10

Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat

kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan

kejahatan).9

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari

teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:

1) tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);

2) pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

3) hanya pelanggaran-pelanggaran Hukum yang dapat dipersalahkan

kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi

syarat untuk adanya pidana;

4) pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan.

5) pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur

pencelaan, etapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak

dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan

untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.10

Demikian Tujuan Pemidanaan dalam literatur berbahasa ingris terdapat

juga istilah Reformation yang memiliki dalam Bahasa Indonesia yaitu

Reformasi. Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi

9
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung:2005, Alumni) hlm. 16
10
Ibid, hlm. 17
11

orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh

keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik.11

Pada Pasal 54 KUHP menjelaskan tujuan pemidanaan yaitu sebagai berikut:

(1) Pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

Hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat;

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan

terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.12

Sistem Hukum pidana Indonesia boleh dikatakan dekat dengan teori

tujuan ini. Hal ini terbukti dengan perkembangan teori pemasyarakatan dan

sistem pemasyarakatan yang kemudian diimplementasikan dalam Undang –

Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Dari rumusan

rancangan KUHP juga terlihat kedekatan gagasan tersebut dengan teori relatif.

2. Definisi Operasional

11
Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum Pidana, (Jakarta: 2010, Rineka Cipta), hlm. 28.
12
Pasal 54, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
12

 Sanksi Pidana

Sanksi pidana atau Hukuman adalah ancaman berisifat penderitaan

dan siksaan. Sanksi atau Hukuman bersifat penderitaan karena sanksi itu

dimaksudkan sebagai Hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

seseorang terhadap kepentingan Hukum yang dilindungi Hukum pidana.13

 Rehabilitasi

Rehabilitasi, menurut Pasal 1 angka 23 KUHAP adalah:

“hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam

kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada

tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan,

dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang- undang

atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang

bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Menurut Soeparman

rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya ialah

hanya orang – orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat

memasuki areanya.

 Tindak Pidana Pelecehan Seksual

Istilah pelecehan seksual sendiri tidak dalam kitab Undang –

Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP hanya mengenal istilah

13
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana
(Jakarta:2014, Prenadamedia), hlm. 65.
13

perbuatan cabul. Perbuatan cabul diatur dalam buku kedua BAB XIV

tentang kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal 289 hingga Pasal 296

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pengertian Perbuatan Cabul (Ontuchtige Handelingen) adalah

segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri

maupun pada diri orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat

kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual.

 Gangguan Prefrensi Seksual

Prefrensi Seksual merupakan suatu gangguan yang mencakup

ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual

yang tidak ada pada umumnya, prefrensi seksual sendiri biasa disebut dengan

Parafilia.

 Tujuan Pemidanaan

Tujuan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

“arah, haluan (jurusan), maksud, tuntutan (yang dituntut)”. Tujuan

pemidanaan berarti arah yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan

pidana atau dapat diartikan juga maksud yang hendak didapatkan dari

pemberian pidana/pemidanaan. tujuan pemidanaan juga berfungsi agar

pidana yang dijatuhkan sesuai dengan keadaan terpidana sehingga dapat

mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan dan perlindungan masyarakat.

D. METODE PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian
14

a. Untuk Mengetahui apakah Sanksi Rehabilitasi terhadap pelaku Tindak

Pidana Pelecehan Seksual yang memiliki gangguan prefrensi seksual

sesuai dengan tujuan Pemidanaan ?

b. Untuk Mengetahui Bagaimana Putusan Pengadilan Negeri Surabaya

Nomor 2286/Pid.Sus/2020/Pn Sby Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana

Terdap Pelaku Tindak Pidana Yang Memiliki Gangguan Prefrensi

Seksual?

2. Pendekatan Penelitian

Sebagai suatu penelitian Hukum (legal research)14 dan sesuai dengan

karakter khas dari ilmu Hukum, dalam penelitian Hukum menggunakan

berbagai pendekatan, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dari

berbagai aspek mengenai isu yang diteliti. Untuk memecahkan masalah yang

menjadi pokok bahasan dalam penelitian Hukum.15

Pendekatan yang digunakan dalam melakukan peneltian rumusan

masalah di atas adalah pendekatan Perundang – undangan (Statute Approach)

demikian pendekaan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang –

undangan dan regulasi yang terkait dengan masalah Hukum yang akan

diteliti.16

14
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif,(Malang:2005,Bayu
Media Publishing) hlm. 213 – 220.
15
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, (Mataram:2020,Mataram University Press) hlm.
55.
16
Ibid., hlm. 56
15

Pendekatan perundang – undangan akan dilihat Hukum sebagai suatu

sistem yang tertutup serta memiliki sifat berikut:17

1) Comprehensive artinya norma-norma Hukum yang ada didalamnya

terkait antara yang satu dengan yang lainnya secara logis;

2) All-iclusive bahwa kumpulan norma Hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan Hukum yang ada sehingga tidak akan ada

kekurangan Hukum;

3) Sistematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,

norma-norma Hukum tersebut juga tersusun secara sistematis.

Demikian penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus (Case

Approach) dengan cara melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang

berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan Hukum tetap.

3. Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian Hukum memiliki kegunaannya. Secara umum

kegunaan penelitian terbagi menjadi dua yaitu :

1) Secara teoritis, sebagai upaya pengembangan ilmu Hukum pada

umumnya dan secara khusus untuk membantu kita untuk memahami

penerapan saksi pidana rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana yang

17
Haryono, dalam Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif,
(Malang:2005,Bayumedia) hlm. 249.
16

memiliki gangguan prefrensi seksual dalam perspektif kemanfaatan

Hukum.

2) Secara praktis, sebagai upaya yang dapat dipetik langsung kegunaannya

bagi peneliti, sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah Hukum

yang diteliti secara praktis.18

Kegunaan penelitian ini memiliki kegunaan sebagai sumbangan

pemikiran peneliti dalam memecahkan suatu permasalah Hukum yang

bersinggungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak

pidana yang memiliki gangguan prefrensi seksual, sehingga dalam

menjatuhkan pemidaannya menerapkan rehabilitasi sebgai sanksi pidana

yang tepat.

4. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu dengan

metode penelitian Hukum normative. E. Saefullah Wiradipradja menguraikan

bahwa, penelitian Hukum normatif merupakan “penelitian Hukum yang

mengkaji norma Hukum positif sebagai objek kajiannya”. Dalam penelitian

Hukum normatif, Hukum tidak lagi dipandang sebagai sebuah hal yang

bersifat utopia semata tetapi telah terlembagakan dan telah ditulis dalam

bentuk norma, asas dan Lembaga Hukum yang ada. Penelitian Hukum

normatif disebut juga sebagai penelitian Hukum dogmatik yang mengkaji,

18
Ibid., hlm. 38
17

memelihara dan mengembangkan bangunan Hukum positif dengan bangunan

logika.19

5. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis merupakan penelitian

Yuridis Normatif yaitu penelitian Hukum dengan cara menelaah bahan

Pustaka atau data sekunder.

6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan teknik studi

kepustakaan (library research) dengan menggunakan bahan Hukum primer,

bahan Hukum sekunder, dan juga bahan Hukum tersier. Penelitian

kepustakaan dilakukan dengan mencari dan mengkaji bahan-bahan

kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikatnya. Bahan Hukum atau data

tersebut diperinci dalam berbagai macam, yaitu:20

a. Bahan Hukum primer, merpakan bahan Hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat, seperti norma-norma dasar, peraturan

perundang-undangan, serta putusan pengadilan;

b. Bahan Hukum sekunder, merupakan bahan Hukum yang

menjelaskan bahan Hukum primer yang isinya tidak mengikat,

seperti buku, majalah, atau surat kabar;

19
E. Saefullah Wiradipradja, Penuntutan Praktis Metode Penelitian dan Penulisan Karya
Ilmuah Hukum, (Bandung:2015,Keni Media) hlm. 5.
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta:2005, Kencana), hlm. 141-169
18

c. Bahan Hukum tersier, merupakan bahan Hukum yang berperan

untuk menunjang bahan Hukum primer dan bahan Hukum sekunder,

seperti kamus, indeks, artikel, buku petunjuk, dan bahan acuan.

7. Teknik Pengolahan Data

Pada jenis penelitian yuridis normatif ini, pengolahan data tidak harus

dilakukan setelah data terkumpul atau pengolahan data selesai. Dalam hal ini,

data sementara yang sudah terkumpul, serta data yang sudah ada dapat diolah

dan dilakukan analisis secara bersamaan, dan dalam hal pengolahan data ini

juga, diolah dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif.

8. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan

menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga

dapatditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang

disarankan oleh data.

Didalam penelitian Hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya

berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan

Hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan

Hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan

konstruksi. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan

disistematisasikan secara kualitatif yang artinya menjelaskan dengan kalimat

sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan


19

klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian

ini.

Untuk mendapatkan jawaban dari pokok permasalahan dengan yaitu

dengan cara sebagai berikut :

1. Deskripsi, merpakan penggambaran apa adanya terhadap suatu

kondisi atau posisi dari perkara Hukum tersebut;

2. Evaluasi, merupakan penilaian tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak

setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh penelitian terhadap

suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, serta

keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer, sekunder, maupun

tersier;

3. Argumentasi, terkait dengan evaluasi dikarenakan penilaian harus

berdasarkan dengan alasan-alasan yang bersifat penalaran Hukum.

Deskripsi, evaluasi, dan argumentasi merupakan tahapan-tahapan

teknik analisis terhadap bahan-bahan Hukum yang dilakukan oleh penulis

dalam penelitian ini guna mendapatkan jawaban dari pokok permasalahan

yang diajukan yaitu “

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam beberapa bab yang tersusun

secara sistematis. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:
20

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah, identifikasi dan

pembatasan masalah, perumusan masalah, landasan teori, metodologi

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TENTANG TINDAK PIDANA PELECEHAN


SEKSUAL SERTA SANKSI PIDANA.
Dalam bab ini penulis membahas mengenai Tindak Pidana, Perbuatan Pidana

dan Sanksi Pidana.

BAB III : PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU


TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL YANG MEMILIKI
GANGGUAN SEKSUAL
Dalam bab ini penulis membahas tentang penerapan sanksi rehabilitasi

terhadap pelaku tindak pidana yang memiliki gangguan prefrensi seksual

berdasarkan aspek kemanfaatan Hukum.

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN NOMOR 2286/Pid.Sus/2020/PN SBY


DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERDAP PELAKU
TINDAK PIDANA YANG MEMILIKI GANGGUAN PREFRENSI
SEKSUAL
Dalam bab ini penulis akan membahas sanksi pidana yang dijatuhkan oleh

hakim pengadilan negeri Surabaya terhadap terdakwa yang memiliki

gangguan prefrensi seksual.

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini penulis membahas kesimpulan dari permasalahan yang dibahas

serta saran yang dapat dijadikan acuan dalam penyelesaian terhadap

permasalahan yang timbul.


21
22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA


PELECEHAN SEKSUAL DAN SANKSI PIDANA

A. Pengertian Pidana

Kejahatan merupakan suatu fenomena sosial yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang yang melanggar norma sosial dan juga

hukum positif yang kemudian perbuatannya diberi pidana atau sanksi.

Berkenaan dengan ini kebijakan hukum pidana sebagai sarana

penanggulangan kejahatan, maka dalam hal ini keberadaan hukum pidana

adalah sesuatu hal yang sentral.

Pengertian tentang tindak pidana dalam kitab Undang – undang Hukum

Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Straftbaar feit dan dalam kepustakaan

tentang hukum pidana disebut dengan istilah delik, sedangkan pembuat

undang – undang merumuskan suatu undang – undang mempergunakan

istilah perbuatan pidana atau tindak pidana. Istilah kata feit mencakup omme

quod fit, keseluruhan kejadian (perbuatan) termasuk di dalamnya adalah

kelalaian serta situasi dan kondisi lainnya yang relavan.21

Tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks

suatu budaya yang dianggap tidak dapat ditolelir dan harus diperbaiki dengan

mendayagunakan sarana – sarana yang disediakan oleh hukum pidana.22

21
Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 85.
22
Ibid. hlm. 61.
23

Menurut Van Hemel, pengertian pidana dalam hukum positif

merupakan penderitaan yang bersifat khusus, yakni dimana penderitaan

dijatuhkan atau ditetapkan oleh kekuasaan yang memiliki kewenangan

menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab ketertiban

hukum umum bagi yang melanggar, semata – mata karena orang tersebut

telah melanggar peraturan hukum yang seharusnya ditegakkan oleh negara.

Demikian Perlu diketahui juga bahwa Tindak pidana memiliki

pengertian yang abstrak dari peristiwa – peristiwa yang kongkrit dalam

lapangan hukum pidana itu sendiri, sehingga tindak pidana haruslah diberikan

arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan

dengan istilah yang dipakai sehari – hari. Kata “Tindak” dalam hukum pidana

mempunyai dua arti, yakni perbuatan dan sanksi tertentu (matatrigel).23

Seperti yang telah dikemukakan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu

Prof. Moeljatno , S.H., yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana

yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah Perbuatan yang

dilanggar oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.24

Demikian menurut Prof. Sudarto berpedapat bahwa pidana merupakan

nestapa yang dikenakan oleh negara terhadap seseorang yang melakukan

pelanggaran akan undang – undang yang memang sengaja agar orang tersebut

23
Ibid. hlm. 60.
24
Moeljatno, Azas – Azaz Hukum Pidana, (Jakarta: 2008, Rineka Cipta), hlm. 2.
24

merasakan nestapa. Terkait unsur dan ciri – ciri pidana, Prof. Muladi

memberikan simpulnya sebagai berikut.25

1. Pada hakikatnya, pidana ialah nestapa, atau pengenaan penderitaan, atau

berbagai akibat lain yang tidak menyenangkan;

2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh badan yang mempunyai kekuasaan atau

yang berwenang;

3. Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan delic (tindak

pidana) menurut undang – undang.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas pengertian dari tindak pidana

adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana merupakan suatu perbuatan

yang tidak sesuai dengan aturan hukum serta jika dilanggar maka akan

mendapatkan sanksi pidana yang telah diatur bagi orang yang melakukan

perbuatan dilarang tersebut. demikian terhadap setiap orang yang melanggar

aturan – aturan hukum yang berlaku, maka orang tersebut disebut sebagai

pelaku tindak pidana. Dengan begitu, aturan atau larangan dan ancaman

mempunyai hubungan yang erat, sehingga antara kejadian dengan orang

menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat.

B. Unsur – Unsur Tindak Pidana

Dalam merumuskan suatu rumusan delik kedalam unsur – unsurnya, maka

akan dijumpai suatu perbuatan atau Tindakan manusia, dengan Tindakan itu

seseorang telah dikatakan melakukan Tindakan yang dilarang oleh undang –

25
Failin, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 3,1 (September, 2017), h. 19 – 20.
25

undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang – Undang

Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur – unsur

yang terdiri dari unsur subyektif dan unsur objektif.

Unsur Subjektif merupakan unsur – unsur yang melekat pada diri si pelaku

atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung didalam batinnya. Sedangkan unsur objektif

merupakan unsur – unsur yang ada hubungannya dengan keadaan – keadaan,

seperti di dalam keadaan – keadaan di mana Tindakan – Tindakan dari si pelaku

itu harus di lakukan.26

Unsur Subjektif tindak pidana:

1) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (Dolus atau Culpa):

2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang

dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;

3) Macam – macam maksud atau oogmerk seperti dalam kejahatan pencurian,

penipuan, pemalsuan dan lainnya.

4) Direncanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte ;

Unsur – unsur objektif dari suatu tindak pidana :

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid:

2) Kualitas dari pelaku, misalnya pelaku memiliki jabatan intansi pemerintahan

menurut Pasal 415 KUHP;

3) Kasualitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab

dengan suatu kenyataan.

26
P.A.F. Lamintang, Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: 1997, P.T.
Citra Aditya Bakti), hlm. 193.
26

Unsur – unsur tindak pidana menurut ahli hukum simons sebagai

berikut27

1) Diancam dengan pidana oleh hukum;

2) Bertentangan dengan hukum;

3) Dilakukan oleh orang yang bersalah;

4) Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

C. Jenis – Jenis Tindak Pidana

Berdasarkan beberapa pendapat di atas pengertian dari tindak pidana

adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana merupakan suatu perbuatan

yang tidak sesuai dengan aturan hukum serta jika dilanggar maka akan

mendapatkan sanksi pidana yang telah diatur bagi orang yang melakukan

perbuatan dilarang tersebut. demikian terhadap setiap orang yang melanggar

aturan – aturan hukum yang berlaku, maka orang tersebut disebut sebagai

pelaku tindak pidana. Dengan begitu, aturan atau larangan dan ancaman

mempunyai hubungan yang erat, sehingga antara kejadian dengan orang

menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat.

Dalam pembahasan berikutnya tindak pidan kita pasti menemukan

beragam Tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik itu

segaja maupun tidak sengaja. Tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan atas

dasar – dasar tertentu yaitu sebagai berikut28:

27
Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum Pidana, (Jakarta: 2014, PT. Rineka Cipta), hlm. 88.
28
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta; 2007, PT. Raja Grafindo
Persada), hlm. 212.
27

a) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan yang dimuat dalam buku II

dan Pelanggaran dimuat dalam buku III.

Demikian pembedaan antara kejahatan dengan pelanggaran adalah jenis

pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari

ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan penjara, tetapi

berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi

dengan ancaman pidana penjara.

Adapun kriteria lain yang membedakan kejahatan dan pelanggaran yakni

kejahatan itu merupakan delik – delik yang melanggar kepentingan hukum dan

juga menimbulkan bahaya secara kongkrit, sedangkan pelanggaran itu hanya

membahayakan In abstracto saja. Secara kuantitatif pembuat Undang – undang

membedakan delik kejahatan dan pelanggaran, yakni sebagai berikut:29

1) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan – perbuatan yang merupakan

kejahatan di Indonesia. Jika orang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri

yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak

perlu dituntut.

2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.

3) Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada

apakah itu kejahatan atau pelanggaran.

b) Menurut cara Perumusannya, dapat dibedakan menjadi delik formil dan delik

materiel.

29
Op. Cit. hlm. 98.
28

Delik Formil adalah delik yang perumusannya lebih menekankan pada

perbuatan yang dilarang degan kata lain pembentuk undang – undang melarang

dilakukan perbuatan tertentu tanpa menyaratkan terjadinya akibat apapun dari

perbuatan tersebut dengan demikian suatu delik formil dianggap telah selsai

dilakukan apabila pelakunya telah menyelsaikan (rangkaian) perbuatan yang

dirumuskan dalam rumusan delik.

Dalam pengertian lain Delik Formil merupakan delik yang mengurangi

perbuatan yang dilarang, delik ini tidak mengatur akibat dari perbuatan dilarang

tersebut. misalnya delik pencurian hanyalah mengandung perbuatan yang

dilarang berupa pengambilan barang oang lain dengan maksud untuk untuk

dimilikinya dengan melawan hukum. Di dalam pasal 362 KUHP.30

Sedangkan delik materiel adalah delik yang perumusannya lebih

menekankan pada akibat yang dilarang, dengan kata lain pembentuk undang –

undang melarang terjadinya akibat tertentu. Dalam delik materiel akibat adalah

hal yang harus ada (essensial atau konsitutif). Selesainya suatu delik materiel

adalah apabila akibat yangh dilarang dalam rumusan delik sudah ada benar –

benar terjadi. Apabila pelaku pelaku telah selesai melakukan seluruh (rangkaian)

perbuatan yang diperlukan untuk menimbulkan akibat yang dilarang akan tetapi

karena suatu hal akibat yang dilarang tidak terjadi maka belum ada delik, paling

jauh hanya percobaan terhadap delik.31 Kemudian dalam contoh lain delik Formil

terdapat dalam Pasal 285 KUHP hanya mengancam barang siapa dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya


30
Kitab Undang – undang Hukum Pidana Pasal 362.
31
Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No. 3
29

untuk bersetubuh (perbuatan aktif atau positif). Tidak disyaratkan perempuan

hamil (akibat), karena pasal tersebut tidak bertujuan untuk mencegah kehamilan,

tetapi untuk melindungi dari nafsu bejat lelaki32

Sedangkan Delik Materiel merupakan delik yang dirumuskan dengan dasar

mengandung unsur akibat seperti delik pembunuhan. Perbuatan itu diuraikan

dalam pasal 538 KUHP, yang berarti perbuatan apa saja yang membawa akibat

kematian orang lain termasuk pembunuhan, misalnya menikam, memukul,

menembak, meracun, menggunakan ilmu hitam selama dapat dibuktikan. Bila

perbuatan untuk menghilangkan nyawa orang lain belum terjadi, tetapi sudah

dilakukan perbuatan pelaksanaan kesengajaan, maka yang terjadi adalah

percobaan pembunuhan (Pasal 53 jo, pasal 338 KUHP).

Demikian dari kedua perumusan delik yang telah dijelaskan di atas, delik itu

dapat dibedakan atas berbagai pembagian tertentu, seperti berikut:33

1. Delik Kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en over tredingen);

2. Delik materiel dan delik formil (Materiele en fomalede liaten);

3. Delik Komisi dan Delik omisi (comissiedelicten en omissiedelicten);

4. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en voorgezette

delicten).

c) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya tindak pidana, maka dapat

dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam

waktu lama atau berlangsung lama/ berlangsung terus.

32
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Lingkungan, (Jakarta: 2018, Prenada Group), hlm.
154.
33
Andi Hamzah, 2014, Op. Cit, hlm. 155.
30

Tindak pidana yang diruuskan sedimikian rupa sehingga untuk

terwujudnya atau terjadinya tindak pidan dalam waktu seketika atau waktu

singkat, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana

yang rumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidan aitu masih

berlangsung terus, yang disebut juga dengan vooedurende dellicten. Tindak

pidana ini disebut tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan terlangsung.

d) Berdasarkan Sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak

pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai

kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak

pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.

e) Dilihat dari subjek Hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana communia

(tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana

propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas

tertentu).

Pada umumnya tindak pidana dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku

pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidan aitu dirumuskan

dengan masksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan – perbuatan khusus

yang hanya dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya

pegawai negeri sipil atau nahkoda, dan sebagainnya.

f) Berdasarkan aduan dalam penuntutan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana

biasa dan tindak pidana aduan.


31

Tindak pidana yang dimaksudkan adalah tindak yang untuk dulaksanakannya

penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari

pihak yang ber hak, tindak pidana aduan menurut G. Bawengan delik aduan

merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia, karena diberi kesempatan

kepada seseorang yang berhak mengadu dalam hal delik – delik tertentu untuk

dituntut atau tidak dituntut oleh jaksa penuntut umum34

g) Berdasarkan Berat – ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan

antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak

pidana yang diperingan.

Yang dimaksud dengan tindak pidana ringan adalah perkara pidana yang

diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tahun) bulan atau

kurungan dan atau denda sebanyak – banyaknya Rp. 7.500; (tujuh ratus

limapuluh ribu rupiah) dan penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam

acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalulintsas, menurut KUHP.35 Sedangkan

yang dimaksud dengan tindak pidana yang diperberat yaitu dicantumkannya

unsur yang bersifat memberatkan kualifikasi pidananya dari pidana pokoknya.

h) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu laranagan dibedakan antara

tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.

Tindak pidana tunggal merupakan tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selsainya tindak pidana dan dapat

dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar

34
George W. Bawengan, Kriminologi, (Jakarta; 2003, Bina Aksara Jakarta), hlm. 172.
35
S. Mulyani, Penyelsain Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Undang – Undang
Dalam Perspektif Restoratif Justice, Jakarta; 2017, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, hlm. 338.
32

tindak pidana KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara yang

dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesai dan dapat dipidanannya

pelaku, disyaratkan dilakukan secara berulang.

A. Pelecehan Seksual

1. Pengertian Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual adalah terminologi yang tepat dalam memahami

pengertian dari kekerasan seksual. Pelecehan sesksual memiliki rentang yang

sangat luas, mulai dari ungkapan verbal yang tidak senonoh, perilaku yang tidak

senonoh (mencolek, meraba, memeluk, dan sebagainya), mempertunjukkan

gambar porno atau yang tidak senonoh, serangan atau paksaan yang tidak

senonoh.36

Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang

dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh orang yang menjadi sasaran

sehingga menimbulkan reaksi negative seperti rasa malu, tersinggung, marah,

sebagainya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan.37

2. Bentuk – Bentuk Pelecehan Seksual

Adapun bentuk – bentuk pelecehan seksual menurut Kusmana

digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:38


36
Marcheyla Sumera, Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan,
Lex et Societatis, Vol. 1 Nomor 2 April – Juni 2013, hlm. 43.
37
Jumadin Brutu, Formulasi Pelecehan Seksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Positif
dan Hukum Pidana Islam, Skripsi, Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Magelang, Magelang 2018, hlm. 16.
38
Nur Hidayatulloh, “Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Terhadap
Perempuan” (Skripsi Sarjana Agama, Fak. Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri
Walisongo), hlm. 33.
33

a. Bentuk Visual, yaitu tatapan atau pandangan yang penuh gairah;

b. Bentuk Verbal, yaitu berupa olok – olok, gombalan, ucapan yang bersifat

seksual dan tidak diinginkan, benda – benda yang bersifat seksual, maupun

desakan untuk berkencan;

c. Bentuk Fisik, yaitu berupa pemerkosaan; baik yang berupa percobaan maupun

yang bersifat nyata, Gerakan – Gerakan yang bersifat seksual dan tidak

diinginkan.

Menurut Sandra Kategori Pelecehan Seksual yang dipakai dalam

pengukuran Sexual Experience Questionnaire (SEQ), membagi dalam bentuk

yang sistematis:39

a. Gender Haressement yaitu pernyataan atau tingkah laku bersifat merendahkan

berdasarkan jenis kelamin;

b. Seductiv Behavior yaitu permintaan seksual tanpa ancaman, rayuan yang

bersifat tidak senonoh atau merendah;

c. Sexual Bribery yaitu penyuapan untuk melakukan hal yang berbau seksual

dengan memberikan janji akan suatu ganjaran;

d. Sexual Coericon yaitu tekanan yang disertai dengan ancaman untuk

melakukan hal – hal yang bersifat seksual;

e. Sexual Assault yaitu serangan atau paksaan yang bersifat seksual, gangguan

seksual yang kasar maupun terang – terangan.

39
Ibid, hlm. 33 – 34.
34

3. Penyimpangan Orientasi Seksual Fetisisme

Pada kenyataanya, ada beberapa perilaku menyimpang yang terjadi

dimasyarakat di mana manusia dinilai memiliki perilaku menyimpang dari

nilai dan norma yang ada. Termasuk padanya mengenai penyimpangan

seksual yang ditandai dengan kondisi abnormal dalam memilih objek

seksualnya atau menyalahi kodrat sebagai manusia.

Perilaku seksial seseorang dapat dikatakan tidak lazim jika daya

ketertarikannya secara seksual ialah bukan manusia, orang dewasa yang tidak

memberikan persetujuan dalam aktivitas seksual tersebut, anak – anak, dan

Tindakan seksual yang mempermalukan atau menyiksa dirinya ataupun

partner seksualnya.

Gangguan seksual Paraphilia berasal dari kata para yang artinya

penyimpangan dan Philos yang artinya ketertarikan atau cinta, paraphilia

dapat diartikan gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek

yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya (tidak

Lazim).

Demikian secara umum ada beberapa jenis penyimpangan seksual

atau paraphilia tetapi pada pembahasan ini akan focus pada jenis fetisisme.

4. Pengertian Fetisme

Kata fetish berasal dari Bahasa Prancis yaitu fetiche atau dalam

bagasa portugis feitico (mantra) dan dalam Bahasa latin facticius (bantuan)

dan facere (untuk membuat). Demikian, fetish diartikan sebagai objek yang
35

diyakini mempunyai kekuatan supranatural atau khusus, benda buatan

manusia yang memiliki kuasa atas orang lain. Pada dasarnya fetisme

merupakan pendeskripsian perilaku seseorang terhadap nilai yang melekat

atau kekuatan suatu benda.

Secara Umum fetisme adalah ketertarikan seksual yang berulang dan

kuat terhadap objek yang tidak hidup atau pada bagian tubuh yang bukan

merupakan organ seksual. Objeknya meliputi rambut, tangan, kaki, pakaian

dalam, kain, dan lain sebagainya.40

Demikian Seseorang yang mengidap fetish berarti seseorang yang

mengalami gairah seksual pada benda atau bagian tubuh non – seksual. Objek

yang dijadikan fetish tersebut dapat dijadikan alat untuk mendpatkan

kepuasan seksual tanpa pasangan dengan cara menyentuh, mencium,

menjilat, atau bermanstrubasi dengan objek tersebut, sehingga orang yang

megidap fetish tersebut tidak perlu melakukan penetrasi secara langsung.41

Fetisisme dapat dikatakan fetishtic disorder apabila seseorang

memiliki ketertarikan seksual yang tidak lazim pada hal – hal berikut:42

a. Bukan Manusia

b. Orang dewasa yang tidak memberikan persetujuan dalam aktivitas seksual

tertentu.

40
Rombel 2 Psikologi UNNES 15, “Gangguan Fetisme” Makalah Universitas Semarang,
(Oktober, 2016), hlm. 2
41
Aldila Puspa Kemala, “Kriminalisasi Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Oleh
Pengidap Fetishtic Disorder Yang Mencerminkan Prinsip Lex Certa dan Lex Stricta”, (Skripsi,
Sarjana Hukum, Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia), hlm. 52.
42
Ibid.
36

c. Anak – anak.

d. Tindakan Seksual yang menyiksa diri atau mempermalukan dirinya atau

pasangannya.

5. Penyebab Fetisisme

Penyebab penyimpangan seksual ditinjau dari psikoanalisis,

paraphilia merupakan upaya perlindungan untuk mengahadapi ketakutan dan

memori yang ditekan, maksudnya ialah penyimpangan yang dilakukan saat

ini gambaran dari apa yang telah dialami. Tujuannya ialah sebagai upaya

balas dendam kepada orang dewasa yang menyakitinya semasa kanak –

kanak. Dalam pandangan ini, paraphilia juga dapat disebabkan oleh masalah

dalam proses perkembangan psikoseksual maupun kekhawatiran untuk

berhubungan dengan Wanita dewasa.

Berdasarkan pendekatan behavioral orang yang mengalami

penyimpangan tersebut umumnya orang – orang yang sulit menjalin rellasi

denganorang lain dan cenderung menutup diri sehingga untuk dapat memiliki

seksual yang normal juga terhambat.

Demikian penjelasan psikologi kognitif, bahwa para pelaku

mempunyai pikiran – pikiran atau ide – ide yang terganggu dan pemaknaan

yang terganggu akan sesuatu hal.43

Adapun Gejala yang dialami oleh pengidap fetisisme, yaitu :44


43
Ester Lianawati, ”Penyimpangan Seksual Jenis, Penyebab, dan Penanganannya”,
ResearchGate, (Mei, 2020), hlm. 8 – 11.
44
Aldila Puspa Kemala, Op. Cit, hlm. 52 – 53.
37

1) Penggunaan Benda mati atau bagian tubuh non – genital untuk pemenuhan

gairah seksual yang dialami secara berulang dan intens.

2) Adanya gangguan dalam hubungan sosial, pekerjaan atau fungsi sosial lainnya

akibat dari dorongan atau perilaku seksual tersebut.

3) Objek fetish tidak terbatas pada penggunaan barang atau alat yang digunakan

sebagai stimulasi alat kelamin saja.

Adapun tingkatan fetisisme berdasarkan tingkat penyimpangannya,

yakni:45

1) Tingkat pertama: pemuja (desires) merupakan tahap awal dimana hal tersebut

tidak menganggu pikiran atau tidak berpengaruh pada aspek apapun.

2) Tingkat Kedua: pecandu (cravers), pada tingkat ini psikologis dari orang

tersebut membuatnya merasa sangat membutuhkan pasangan seksualnya

dengan objek fetish yang dikehendakinya dan jika tidak terpenuhi maka akan

menganggu hubungan seksualnya, tingkat ini merupakan lanjutan dari

tingkatan pertama.

3) Tingkatan ketiga: pada tingkatan ini seseorang akan melakukan apapun untuk

mendapatkan fetish yang dikehendakinya tersebut.

4) Tingkatan keempat: pada tingkatan ini seseorang tidak peduli mengenal

apapun di luar objek yang menjadi fetish – nya.

5) Tingkatan kelima: fetish murdered, pada tingkatan ini fetish yang dialami

sudah sangat parah, dimana ia rela memutilasi ataupun membunuh demi

mendapatkan fetish yang ia kehendaki.


45
Ibid, hlm. 53 – 54.
38

6. Penanganan

Penangan bagi seseorang yang memiliki gangguan paraphilia

tergantung pada pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan terapi.

Terapi yang menggunakan pendekatan psikoanalisis akan menggali lebih

dalam tentang masa lalu orang yang bersangkutan.

Demikian suatu terapi dengan pendekatan behavioral akan melakukan

aversion therapy dengan variasi bentuknya. Dalam terapi ini, orang yang

bersangkutan diajar untuk tidak menyukai aktivitas penyimpangan seksualnya

(aversion dapat diartikan sebagai keenganan, ketidaksukaan). Terapi ini

dilakukan dengan pemberian tegangan listrik (diestrum) atau diberikan obat

yang dapat menyebabkan rasa mual kaetika melihat sesuatu yang sebelumnya

merupakan objek fetish – nya.

Terapi dengan pendekatan kognitif dapat dilakukan dengan mengubah

pola piir pasien. Mereka yang memiliki keterbatasan dalam keterampilan

interpersonalnya kemudian dibantu untuk mengebangkannya, seperti belajar

bagaimana meningkatkan kepercayaan dirinya dan kemampuan mengolah

stress dan menyelsaikan masalah.46

B. Pengertian Sanksi Pidana

1. Pengertian Sanski Pidana

Sanksi secara umum merupakan suatu hukuman yang dijatuhkan oleh

pihak yang berwenang karena terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang
46
Ibid, hlm. 11 – 13
39

atau kelompok. Demikian sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang

memiliki kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi Tindakan. Sanksi

pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di dalam

menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan

perbuatan pidana.47 Sanksi diartikan sebagai tanggungan, Tindakan hukuman

untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang –

undang.48

Sanksi Tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak diluar KUHP, bentuk

– bentuknya yaitu berupa perawatan di rumah sakit dan dikembalikan pada orang

tuanya atau walinya bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab dan anak

yang masih dibawah umur.

Sanksi pidana merupakan suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpahkan

kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum

pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan

tindak pidana.49

Black’s Law Dictionary Henry Cambell Black mengemukakan pengertian

sanksi pidana sebagai punishment attacted to conviction at crimes such fines,

probation and sentences (suatu pidana yang dijatuhkan untuk menghukum suatu

penjahat (kejahatan) seperti dengan pidana denda, pidana pengawas dan pidana

penjara).50

47
Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: 2015, Penerbit Sinar Grafika),
hlm. 193.
48
Ibid, hlm. 202.
49
Ibid, 194.
50
Ibid, hlm. 195.
40

Sedangkan Tindakan merupakan suatu sanksi yang bersifat antisipatif

bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat

determinise dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan

spesifikasi rion penderitaan atau perampasan kemerdekaan dengan tujuan

memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban bagi perseorangan,

badan hukum public maupun perdata.51

2. Jenis – Jenis Sanksi Pidana

Jenis – jenis sanksi pidana tertulis di dalam pasal 10 KUHP. Jenis –

jenis pidana ini berlaku pula pada delik yang tertulis di luar KUHP, kecuali

ketentuan undang – undang tersebut melenceng. 52 Jenis – jenis sanksi pidana

dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan, pidana denda, dan

pidana tutupan. Sedangkan di dalam pidana tambahan terdiri dari pencabutan

hak – hak tertentu, perampasan bang tertentu, dan pengumuman putusan

hakim. Sanksi pidana tambahan hanya dijatuhkan bila sanksi pidana pokok

dijatuhkan. Kecuali pada hal – hal tertentu.

Demikian Sanksi Pidana terbagi menjadi dua jenis antara lain pidana

pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok memiliki 5 jenis pidana, yaitu:

a. Pidana Mati, pidana mati merupakan salah satu jenis pidana yang paling

dikenali oleh berbagai kalangan masyarakat. Pidana mati menjadi bagian

sanski pidana yang paling menarik untuk dikaji oleh para ahli, sebab

51
Ibid, hlm. 202.
52
Saptono Rahardjo, Kitab Undang – undang Hukum, (Jakarta: 2017, Buana Ilmu
Populer), hlm. 636
41

mempunyai nilai kontradiksi karena melibatkan hilangnya hak asasi manusia

bagi terpidananya.

b. Pidana Penjara, pidana penjara adalah pembatasan kebebasan bergerak dari

seseorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut ke

dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang tersebut

harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang melanggar.

Pidana penjara merupakan jenis pidana yang disebut juga dengan pidana

pencabutan kemerdekaan, juga dikenal dengan istilah pidana pemasyarakatan.

Pidana penjara dalam KUHP memiliki macam – macam pidana penjara,

mulai dari 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur

hidup hanya tercantum Ketika ada ancaman hukuman mati (pidana mati atau

pidana seumur hidup, atau pidana dua puluh tahun).

c. Pidana Kurungan. Jenis pidan aini hakikatnya ialah lebih ringan dari pada

pidana penjara, dalam hal ini penentuan masa hukuman kepada seseoran. Hal

ini sesuai dengan pasal 10 KUHP, dimana pidana kurungan menempatkan

urutan ketiga dibawah pidana mati dan pidana penjara. Demikian pidana

kurungan lebih ringan dari pada pidana penjarara.

Pidana Kurungan dan pidana penjara memiliki beberapa perbedaan

diantaranya yaitu:

1) Pada pelaksanaan Pidana, terpidana yang dijatuhkan kurungan tidak bisa

dipindahkan ketempat lain diluar dari tempat ia menjalankan pidananya,

kecuali jika Menteri Hukum dan HAM atas permintaan terpidana


42

membolehkan menjalakan pidananya di daerah lain. 53 Dalam pidana penjara,

terpidana dapat dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) lain diluar

kediamannya.54

2) Tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana kurungan lebih

ringan dibandingkan terpidana yang dijatuhi pidana penjara.55

d. Pidana Denda, dalam praktik hukum di Indonesia, pidana denda jarang sekali

dijatuhkan Majelis hakim selalu menjatuhkan pidana penjara dan pidana

kurungan, jika pidana denda ditetapkan sebagai alternatif saja dalam rumusan

tindak pidana yang bersangkutan. Kecuali apabila tindak pidana hanya

diancam dengan pidana denda saja, yang tidak memungkinkan hakim

menjatuhkan pidana lain selain denda. Hal ini disebabkan uang rupiah selama

ini semakin merosot, maka menyebabkan nilai uang yang diancamkan pada

rumusan tindak pidana tidak dapat mengikuti nilai uang di pasaran dan

terkesan menumbulkan ketidak adilan jika pidana denda dijatuhkan.56

e. Pidana Tutupan. Demikian Undang – undang 31 Oktober 1946 Nomor 20

yang tercantum pada Berita Republik Indonesia II 24 halaman 277/288,

mengadakan suatu sanksi pidana baru yang diamanahkan “hukum pidana

tutupan”. Sanksi pidana tutupan ini merupakan pembentuk undang – undang

untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh

Majelis hakim bagi pelaku kejahatan atau tindak pidana, atas dasar bahwa

53
Pasal 21 KUHP
54
Mohammad Taufik Mmakarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta:
2005, Kreasi Wacana), hlm. 72.
55
Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: 2012, Grafika), hlm. 193.
56
Mulyati Pawennei, Hukum Pidana, (Jakarta: 2015, Mitra Wacana Media), hlm. 53.
43

kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh

maksud yang harus dihormati.

BAB III

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU


TINDAK PIDANA PELECEHAN SEKSUAL YANG
MEMILIKI GANGGUAN SEKSUAL
44

A. Tindak Pidana Pelecehan Seksual

1. Ketentuan Umum Tindak Pidana Pelecehan Didalam KUHP

Istilah pelecehan seksual sendiri tidak dalam kitab Undang – Undang

Hukum Pidana (KUHP), KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul.

Perbuatan cabul diatur dalam buku kedua BAB XIV tentang kejahatan

kesusilaan diatur dalam Pasal 289 hingga Pasal 296 Kitab Undang – Undang

Hukum Pidana (KUHP).

Demikian dalam kasus yang diteliti oleh penulis mengenai pelecehan

seksual yang terdapat didalam KUHP tersebut dengan ancaman dan

kekerasan, sebagaimana pengertian mengenai hal tersebut sebagai berikut:

a. Perbuatan Cabul dengan Kekerasan/Ancaman Kekerasan

Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk

kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual

yang dilakukan dengan cara – cara kekerasan, diluar ikatan perkawinan

yang sah dan bertentangan dengan ajaran islam.57

Kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang

menyebabkan orang lain tidak berdaya secara fisik untuk melakukan

perlawanan atau pembelaan. Ancaman kekerasan merupakan serangan

psikis yang menyebabkan orang menjadi kekuatan sehingga tidak mampu

melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum

diwujudkan tapi menyebabkan orang lain terkena tidak mempunyai

57
Aldila Puspa Kemala, Op.cit, hlm. 32.
45

pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan

kekerasan.58

Pengertian Perbuatan Cabul (Ontuchtige Handelingen) adalah

segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri

maupun pada diri orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan

alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

seksual.59

Kejahatan Pasal 289 ini memiliki persamaan dengan kejahatan

perkosaan bersetubuhan pada Pasal 285, persamaanya terletak pada unsur

perbuatan dari kedua jenis kejahatan, yaitu memaksa dengan kekerasan

dan ancaman kekerasan. Perbedaannya ialah memaksa pada pemerkosaan

bersetubuh dijatuhkan pada terjadinya persetubuhan dengan perempuan

yang dipaksa. Sedangkan pada perkosaan perbuatan cabul menurut pasal

289, yaitu harus ditujukan pada perbuatan cabul baik dilakukan sendiri

oleh si pelaku kepada korban ataupun sebaliknya korban yang melakukan

perbuatan cabul pada diri si pelaku. Perbedaan lainnya ialah orang yang

dipaksa pada perkosaan persetubuhan harus merupakan seorang

perempuan, sedangkan pada perkosaan berbuat cabul korbannya baik itu

seorang laki – laki ataupun perempuan.60

b. Perbuatan Cabul Sesama Kelamin (Homoseksual)

58
Ibid, hlm. 110 – 111.
59
Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 80.
60
Ibid., hlm. 78 – 79.
46

Homo Seksualitas sebagai salah satu bentuk tindakan melanggar

kesusilaan yang oleh pembuat Undnag – Undang telah diatur secara

khusus di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 292 KUHP. 61

Yang dinyatakan sebagai berikut :

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan

orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang

diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu,

dihukum penjara selama – lamanya lima tahun”

Pada perbuatan cabul dalam pasal ini, terjadi diantara dua orang

sesame kelamin, lelaki dengan lelaki atau perempuan dengan

perempuan.sekalipun terjadi diantara dua orang sesame jenis kelamin,

tetapi yang menjadi subjek hukum kejahatan ini dan dibebani

tanggungjawab pidana ialah yang telah dewasa, dan yang lain harus

belum dewasa. Jadi, kejahatan dalam pasal 292 ini tidak mungkin terjadi

bila dilakukan oleh sesame jenis yang keduanya telah dewasa atau

keduanya sama – sama belum dewasa.62

Oleh karena perbuatan melakukan tindakan melanggar

kesusilaan yang diatur dalam pasal ini harus dilakukan oleh orang –

orang dengan jenis kelamin yang sama, sehingga tidak ada alasan untuk

membicarakan mengenai perbuatan melakukan hubungan kelamin dan

61
.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik – Delik Khusus (Kejahatan Melanggar
Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan), (Jakarta: 2009, Sinar Grafika), hlm. 139

62
Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 89.
47

lebih tepatnya jika dalam hal ini berbicara mengenai perilaku hubungan

seksual yang tidak wajar.

2. Ketentuan Umum Tindak Pidana Pelecehan Seksual Diluar

KUHP

Ditinjau dari Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 1

Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang – Undang,

tindak pidana mengenai larangan melakukan kekerasan seksual diatur

dalam pasal 76 E Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang

Menyatakan :

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul”

Demikian ketentuan ini dimaksudkan dapat memberikan

perlindungan bagi setiap anak dalam pencegahan akan terjadinya tindak

pidana kekerasan seksual, karena melihat kenyataan yang sering

diberitakan dimedia sosial bahwa anak rentan menjadi korban kekerasan

seksual oleh orang dewasa tetapi tidak jarang anak pun turut menjadi

pelaku dari perbuatan tersebut yang dilakukan anak terhadap teman

sebayanya.
48

B. Penerapan Sistem Sanksi Pidana Di Indonesia

Demikian yang telah dijelaskan pada BAB II mengenai penjelasan arti dari

sanksi pidana itu sendiri, dalam penerapan sanski pidana di Indonesia terdapat

beberapa pembaharuan dalam sistem sanksi pidananya sebelum di terapkan

atau di implementasikan dalam memidana pelaku tindak pidana.

Sistem menurut Emery dan Trist merupakan suatu kelompok elemen

yang saling terikat. Suatu sistem biasa dianggap suatu himpunan bagian yang

saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan. Hampir semua teoritikus

mengacu pada satu syarat utama struktur. Sistem merupakan keseluruhan,

mempunyai elemen dan elemen itu mempunyai hubungan yang membentuk

struktur.63

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 289 KUHP yang dirumuskan

sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, dihukum karena

merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama – lamanya Sembilan

tahun”

Menurut R Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul didalam Pasal

289 KUHP, ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan)

atau perbuatan keji yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,

misalnya cium – ciuman, meraba – meraba anggota kemaluan, meraba – raba

buah dada dan sebagainnya. Persetubuhan juga termasuk kedalam pengertian

63
Otje dan Anton F. Susanto , Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka
Kembali, (Bandung: 2004, Refika Aditama), hlm. 89
49

perbuatan cabul akan tetapi dalam Undang – Undang diatur tersendiri. Yang

dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang lain untuk melakukan

perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan

pada dirinya perbuatan cabul.64

Sistem mempunyai aturan – aturan hukum atau norma – norma untuk

elemen – elemen tersebut, kesemuanya berhubungan pada sumber dan

keabsahan aturan – aturan yang lebih tinggi. Hubungan – hungan ini

membentuk kelas – kelas struktur pyramid dan hirarki dengan aturan norma

dasar di posisi puncaknya.65

Menurut Lawrence M. Friedman sanksi adalah cara – cara menetapkan

suatu norma atau peraturan. Sedangkan sanksi hukum adalah sanksi – sanksi

yang digariskan atau diotoritasi oleh hukum. Konsekuensi – konsekuensi ini

adalah sanksi atau ancaman.66

Demikian pengertian tersebut menjadi sistem tersendiri dalam

menerapkan hukuman pidana, jadi penerapan sanksi pidana disebut sebagai

trisasi (tiga penerapan sistem sanksi) yaitu sanksi pidana, sanksi tindakan dan

juga sanksi imbalan.

Penerapan sistem sanksi hukum pidana pertama adalah pidana atau

hukuman, namun penggunaan hukuman terasa tidak tepat, istilah hukuman

berasal dari kata straft dan istilah dihukum berasal dari perkataan wordt

gestraft, menurut Moeljatno hal demikian merupakan istilah – istilah yang


64
R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: 1995, politeia),
hlm. 212.
65
Ibid.
66
Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Sosial Sciene Perspectiv, (Newyork:
1975, Russel Sage Foundation), terjemahkan M. Khazaim), Sistem Hukum perspektif Ilmu Sosial,
Bandung: 2009, Nusa Media), hlm. 93
50

konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah itu dan menggantikan dengan

istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata straf dan

diancam dengan pidana untuk menggantikan kata wordt gestraft. Menurut

beliau, straf diartikan hukuman maka strafrecht seharusnya diartikan hukum

hukuman.67

Selanjutnya Sudarto mengemukakan bahwa istilah “Penghukuman” dapat

disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap

kali bersinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana”

oleh hakim. Penghukum dalam arti yang demikian menurut beliau mempunyai

makna yang sama dengan sentence atau verorrdeling misalnya dalam

pengertian sentence conditionally atau voorwaadelijk veroordeld yang sama

artinya dihukum bersyarat atau pidana bersyarat. Beliau juga berpendapat

bahwa istilah hukuman kadang – kadang dugunakan untuk menggantikan kata

straf akan tetapi menurut beliau istilah pidana lebih baik dari pada hukuman.68

Demikian secara fundamental, ada perbedaan ide dasar dari sanksi pidana

dan sanksi tindakan, sanksi pidana bersumber dari ide dasar “mengapa

diadakannya pemidanaan?”, sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar

“untuk apa diadakannya pemidanaan itu?”69 Artinya bahwa sanksi pidana

lebih menekankan pada unsur pembalasan, sedangkan sanksi tindakan

mengarah pada bentuk perlindungan masyarakat dan pembinaan pelaku tindak

pidana.

67
Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: 2005,
Alumni), hlm. 1.
68
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: 1983, Aksara Baru Cet 4), hlm. 4.
69
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double
Track System & Iimplementasinya), (Jakarta: 2003, Raja Grafindo Persada), hlm. 32.
51

Kemunculan sanksi tindakan sebagai bagian dari cara untuk mengurangi

kejahatan dengan memulihkan dan membina pelaku kejahatan untuk tidak

melakukan kejahatan lagi, serta dapat memberikan penyadaran kepada

masyrakat untuk memiliki sensitivitas terhadap lingkungannya dan dapat

menerima pelaku sebagai individu yang sudah pulih baik jiwanya, emosional,

spiritual dan intelektualnya. Selain itu, sanksi tindakan diharapkan dapat

mengurangi penghuni Lembaga Lembaga pemasyarakatan.

Roeslan Saleh mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan hukum pidan

aitu tidaklah semata – mata menjatuhkan pidana, akan tetapi juga adakalanya

menggunakan tindakan – tindakan. Tindakan merupakan suatu sanksi juga,

tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya dan ditujukan sebagai prevensi

khusus dengan maksud menjaga keamanan masyarakat terhadap orang – orang

yang dipandang bahaya, dan dikhawatirkan akan melakukan perbuatan –

perbuatan pidana.70

Demikian tindakan perbaikan pelaku yang dimaksudkan adalah semua

sanksi tindakan yang diatur dalam peraturan perundang – undangan maupun

dalam RKUHP yang dapat memperbaiki diri pelaku sebagai seorang individu

terhadap keadaan internal yang mempengaruhi pelaku dalam melakukan

tindak pidana. Keadaan yang dimaksud ialah yang melekat pada diri pelaku

berupa jiwa, akal, dan emosionalnya.

H. L. Packer mengemukakan bahwa tujuan dari treatment adalah untuk

memperbaiki orang yang bersangkutan, sedangkan punishment sebenarnya

didasarkan pada tujuan sebagai berikut:


70
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Op. Cit. hlm. 47.
52

a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak

dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime

or undesired conduct of offending conduct);

b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak

kepada pelanggar (the deserved infliction of suffering on

evildoer/retributive for perceived wrong)71

Selain Penerapan Double Track System sebagai suatu sistem sanksi.

Pandangan lain tentang sistem sanski diuangkapkan Lawrence M. Friedman

yang menyatakan bahwa lazimnya sanksi dibagi menjadi dua bagian, imbalan

dan hukuman, yakni sanksi positif dan negatif. Gagasannya adalah bahwa

orang – orang yang menjadi subjek hukum akan memilih satu dan

menghindari yang lainnya. Para pembuat hukum berasumsi bahwa sanksi

yang berlebel hukuman merupakan sifat yang menyakitkan dan imbalan ialah

sifat yang menyenangkan, sehingga konsekuensi perilaku yang di kehendaki

akan mengikuti secara otomatis.72

C. Sanksi Tindakan Rehabilitasi

Sanksi tindakan merupakan Double Track System yang bermakna gagasan

dasar mengenai sistem sanksi yang menjadi dasar kebijakan dan penggunaan

sanksi dalam hukum pidana. Demikian Sanksi diartikan sebagai suatu

71
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung:: 2003, Citra Aditya
Bakti), hlm. 5 – 6.
72
Lawrance M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perpecttive, Op. Cit., hlm.
101.
53

tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa seseorang menaati ketentuan

undang – undang.73

Sanksi juga diartikan sebagai bagian dari aturan hukum yang dirancang

secara khusus untuk memberikan pengamanan bagi penegakan hukum dengan

mengenakan sebuah ganjaran atau hukuman bagi seseorang yang melanggar

aturan hukum itu, atau memberikan suatu hadiah bagi yang mematuhinya.

Tindakan juga diartikan sebagai suatu hukuman yang diberikan kepada

seseorang yang sifatnya tidak menderitakan melainkan mendidik dan

mengayomi. Pemberian tindakan ini dimaksudkan agar terciptanya keamanan

dalam masyarakat dan memperbaiki pembuat seperti Pendidikan paksa,

pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit, dan lainnya.74

Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakekatnya hanya merupakan

alat untuk mencapai tujuan pemidanaan, maka dalam konsep KUHP baru

pertama – tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan.75 Dalam

mengidentifikasi tujuan dari suatu pemidanaan, konsep KUHP bertolak dari

keseimbangan dua sasaran pokok yaitu perlindungan terhadap masyarakat dan

perlindungan atau pembinaan individu sebagai pelaku tindak pidana.

Berdasarkan dua sasaran pokok tersebut, maka syarat keseimbangan antara

kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, antara factor objektif dan

subjektif. Syarat pemidanaan juga bertolak dari dua unsur pilar yang paling

fundamental di dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan asas kesalahan.76

73
Mahrus Ali, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Jakarta:2015, Sinar Grafika), hlm. 202
74
Ibid.
75
3Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: 2016, Prenadamedia Group), hlm. 214.
76
Ibid.
54

Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan juga dimaksudkan sebagai

fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan

filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan. 77 Sistem

pemidanaan yang dituangkan di dalam konsep KUHP dilatarbelakangi oleh

berbagai ide dasar atau prinsip – prinsi yang salah satunya adalah ide

penggunaan double track system (antara pidana dan Tindakan). Bertolak dari

ide dasar tersebut maka di dalam konsep terdapat ketentuan – ketentuan yang

tidak ada di dalam KUHP yang berlaku saat ini yang salah satunya adalah

dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan Tindakan).78

Pokok Pemikiran mengenai pemidanaan sangat berhubungan erat

dengan pemikiran mengenai Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlindungan terhadap korban

dan pemulihan keseibangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat.

Undtuk dapat memenuhi aspek ini, konsep KUHP yang menyediakan jenis

sanksi berupa Tindakan. Mengenai jenis – jenis Tindakan bagi pelaku yang

memiliki gangguan prefensi seksual berdasarkan Undang – undang tentang

Kesehatan Jiwa yaitu Tindakan berupa :

a. Perawatan di rumah sakit jiwa

b. Penyerahan kepada pemerintah

c. Penyerahan kepada seseorang.

Demikian terdapat penjelasan mengenai rehabilitasi itu sendiri

Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang memiliki


77
Barda Nawawi Arief. Pembaharuan Hhukum Pidana Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, (Bandung: 2005, PT. Citra Aditya Bakti), hlm. 276.
78
Ibid.
55

tujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Rehabilitasi adalah bentuk sanksi

Tindakan yang tertuang di luar KUHP.

D. Sanksi Pidana yang Sesuai Dengan Tujuan Pemidanaan Terhadap Pelaku

Tindak Pidana Pelecehan Seksual Dengan Gangguan Prefrensi Seksual.

Sanksi Pidana pada dasarnya dapat diartikan sebagai penghukuman/ atau

pemberian nestapa. Adapun yang dimaksud dengan penghukuman tersebut

ialah berhubungan dengan pemberian hukuman serta alasan – alasan pembenar

(justification) divonisnya hukuman tersebut kepada pelaku yang telah

mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incracht

van gewijsde) dinyatakan sah serta meyakinkan terbukti melakukan tindak

pidana.79

Hukum pidana Indonesia pada dasarnya memakai sistem dua jalur dalam

menjatuhkan sanksi pidana (double track system), pelaku tindak pidana tidak

hanya dikenakan suatu pidana melainkan juga bisa diberikan suatu Tindakan

atas dasar besar kecilnya suatu perbuatan pidana. Pengenaan hukuman yang

berbentuk Tindakan semestinya harus dicocokan dengan tujuan pemidanaan

serta pedoman pemidanaan. Pemberian tindakan bukan atas dasar ancaman

yang ada dalam perbuatan pidananya, melainkan didasarkan terhadap situasi

serta kondisi dari orang yang berbuat. Dua pelaku yang dimaksud ialah pelaku

yang tidak mampu bertanggungjawab dan pelaku yang bertanggungjawab

terhadap perbuatan yang dilakukannya. Hal tersebut seharusnya ada dalam

79
Sonbai, Alexander Imanuel Korassa. “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban
Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Melalu Media Online” Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan 4, No. 2 (2019): 278
56

konsep penerapan sanksi pidana terhadap pelaku dengan gangguan seksual.

Seperti yang dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya bahwa

sesungguhnya perbuatan yang dilakukan oleh orang dengan gangguan seksual

merupakan didorong dari penyakit bawaan yang terdapat dalam dirinya.

Perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang didorong seperti tindak pidana

Pelecehan Seksual pada umumnya, yang dilakukan memang murni dari niat

jahat orang tersebut. Oleh sebabnya penjatuhan pidana penjara terhadap orang

dengan gangguan seksual memberikan gambaran bahwa hal tersebut lebih

kepada pemuasan rasa keadilan dari pihak korban.

Memang sangat disadari bahwa akibat dari akibat dari perbuatan orang

dengan gangguan seksual terhadap korban telah memberi dampak yang tidak

baik bagi pihak korban. Pihak korban memerlukan waktu yang sangat panjang

untuk memulihkan keadaannya, baik itu keadaan psikologi diri yang

terganggu, traumatic, dan lain sebagainnya. Sudah sewajarnya bila sudut

pandang korban akan menuntut hukuman bahkan sanksi yang berat terhadap

pelaku, namun hukum sejatinya haruslah memberikan suatu keadilan yang

merata dalam hal ini. Pemberian pidana harus diberikan namun perlu

disesuaikan dengan keadaan – keadaan yang berlaku. Keadaan orang dengan

gangguan seksual seyogyanya mendapat tindakan rehabilitasi melihat

kejiwaan yang sakit dari orang tersebut. pidana penjara tidak akan

memberikan pemulihan terhadap jiwa orang sakit, melainkan kepuasan dari

rasa keadilan yang dituntut oleh pihak korban. Paradigma hukum pidana

Indonesia seharusnya sudah mulai mengalami perubahan menanggapi ini.


57

Sanksi pidana sejatinya memiliki sifat reaktif kepada suatu tindakan atau

perbuatan, namun sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif kepada orang yang

melakukan tindakan tersebut. bila perhatian sanksi pidana lebih kepada

perbuatan salah seseorang lewat penjatuhan nestapa yang diharapkan menjadi

jera, maka perhatian sanksi tindakan lebih kepada upaya memberikan bantuan

guna seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dapatlah berubah.80

Terlihat jelas bahwa hukuman pidana lebih memfokuskan diri terhadap

unsur pembalasan. Sanksi pidana ialah sebuah nestapa yang sengaja

ditimpakan terhadap seseorang yang melangsungkan tindak pidana.

Sedangkan sanksi tindakan merupakan ide dasar dari perlindungan masyarakat

serta pembinaan atau perawatan pelaku tindak pidana tersebut. Pemberian

pidana penjara pada orang dengan gangguan seksual tidak dapat dijamin

akankah bisa kembali menjadi orang yang tidak mengulangi perbuatannya

tersebut. Orang dengan gangguan seksual seharusnya mendapatkan tindakan

perawatan atau bahkan rehabilitasi agar dapat menjadi orang yang normal

seperti pada umumnya.81

80
Suwarsa, I Putu. “Pidana Pengawasan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana
Master Law Journal) 2, No. 3 (2013): 5
81
Yudi Gabriel Tololiu dan Gde Mde Swardhana, Pemidanaan Terhadap Pelaku Dengan
Gangguan Seksual, Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8 No. 10 Tahun 2020. Hlm. 1525.
58

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 2286/Pid.Sus/2020/PN SBY


DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA YANG MEMILIKI
GANGGUAN PREFRENSI SEKSUAL

A. Kasus Posisi

Bahwa ia terdakwa GILANG APRILIAN NUGRAHA PRATAMA

pada hari Minggu Tanggal 26 Juli 2020 sekira jam 17.00 wib atau setidak-

tidaknya masih dalam bulan Juli 2020, atau setidak-tidaknya masih pada

tahun 2020, bertempat di di rumah saksi ROYAN Gagas PRADANA yang

terletak di Jalan Sawangan RT 3/RW 1, Kecamatan Kebasen, Kabupaten


59

Banyumas atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk

dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banyumas, namun berdasarkan Pasal

84 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana mengatur

pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat

tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia ditemukan atau ditahan, hanya

berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman

sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan

negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam

daerahnya tindak pidana itu dilakukan, oleh karena itu Pengadilan Negeri

Surabaya berhak mengadili perkara a quo, dengan sengaja dan tanpa hak

mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat

diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki

muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 ayat (4) (setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menditribusikan

dan/atau mentransmisikan dan /tau membuat dapat diaksesnya informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan

dan/atau pengancaman, yang dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai

berikut :

Bahwa pada hari Sabtu Tanggal 25 Juli 2020, terdakwa menghubungi

saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR melalui whatsapp dan menjelaskan

sedang melakukan riset untuk menulis prosa yang menceritakan seseorang

yang dibungkus hingga keluar bentuk emosinya seperti gugup, takut,

menangis, dan lainnya, setelah menjelaskan hal tersebut terdakwa selanjutnya


60

meminta saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR untuk melakukan adegan

tersebut, namun saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR yang merasa takut

langsung menolak untuk melakukan adegan tersebut, adapun selanjutnya

terdakwa Kembali membujuk saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR untuk

bersedia melakukan adegan yang diminta dan saksi MUHAMAD FIKRI

SUNANDAR akhirnya bersedia untuk melakukan adegan yang diminta

dengan meminta saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR mengajak 1 (satu)

orang temannya untuk membantu saksi MUHAMAD FIKRI melakukan

adegan pembungkusan, Adapun saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR

mengajak saksi ROYAN Gagas PRADANA untuk membantu adegan

pembungkusan tersebut, selanjutnya pada hari Minggu Tanggal 26 Juli 2020

sekira jam 09.55 wib terdakwa menyuruh saksi MUHAMAD FIKRI

SUNANDAR untuk melaksanakan adegan pembungkusan bertempat di

rumah saksi ROYAN Gagas PRADANA yang terletak di Jalan Sawangan RT

3/RW 1, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, adapun terdakwa

memandu saksi ROYAN Gagas PRADANA untuk membungkus saksi

MUHAMAD FIKRI SUNANDAR menggunakan 2 (dua) buah lakban, 3

(tiga) lembar kain jarik, dan tali rafia melalui pesan whatsapp yang disertai

gambar dan video badan seseorang yang sedang dibungkus kain, selanjutnya

sekira jam 11.00 wib saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR meminta

berhenti karena merasa takut, setelah itu terdakwa langsung menghubungi

saksi ROYAN Gagas PRADANA untuk menyuruh saksi ROYAN Gagas

PRADANA melanjutkan kembali adegan pembungkusan terhadap saksi


61

MUHAMAD FIKRI SUNANDAR dengan mengikuti instruksi dari terdakwa

dan saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR menyanggupinya, kemudian

saksi ROYAN Gagas PRADANA kembali melakukan pembungkusan kepada

saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR hingga sampai jam 13.07 wib wib

dan setelah melakukan pembungkusan terhadap saksi MUHAMAD FIKRI

SUNANDAR, saksi ROYAN Gagas PRADANA langsung mengambil foto

saksi MUHAMAD FIKRI SUNANDAR dalam keadaan terbungkus kain dan

mengirimkan foto tersebut kepada terdakwa, setelah itu terdakwa juga

meminta saki ROYAN Gagas PRADANA untuk melakukan adegan

pembungkusan tersebut dan disetujui oleh saksi ROYAN Gagas PRADANA,

selanjutnya sekira jam 15.02 wib terdakwa memandu saksi MUHAMAD

FIKRI SUNANDAR untuk membungkus saksi ROYAN Gagas PRADANA

menggunakan 2 (dua) buah lakban, 3 (tiga) lembar kain jarik, dan tali rafia

melalui pesan whatsapp yang disertai gambar dan video badan seseorang

yang sedang dibungkus kain, namun sekira jam 17.00 wib saksi ROYAN

Gagas PRADANA meminta untuk menghentikan adegan pembungkusan

karena merasa sesak nafas dan haus, namun terdakwa mendesak saksi

MUHAMAD FIKRI SUNANDAR untuk tetap melakukan adegan

pembungkusan terhadap saksi ROYAN Gagas PRADANA dengan

mengirimkan teks pesan whatsapp kepada saksi MUHAMAD FIKRI

SUNANDAR yaitu “kalua vertigo mas kambuh gimana, dan mas kambuh

lalu bunuh diri”, selanjutnya “Ga bisa dek, sudah kesepakatan, dampaknya

akan besar kalau ini ga sesuai kesepakatan”, dan “Mas bisa meledak sikapnya
62

dek, penyakit mas kambuh, dan mas bisa tuntut terus, mas ga bercanda, mas

ga mau itu semua terjadi”, kemudian saksi MUHAMMAD FIKRI

SUNANDAR yang tidak memiliki pilihan lain karena khawatir terhadap

sikap tdan perkataan terdakwa melalui pesan whatsapp akhirnya

menyelesaikan adegan pembungkusan terhadap saksi ROYAN Gagas

PRADANA dan mengambil foto dan video saksi ROYAN Gagas PRADANA

yang dalam keadaan terbungkus, setelah itu foto dan video adegan

pembungkusan yang dilakukan oleh saksi ROYAN Gagas PRADANA dan

saksi MUHAMMAD FIKRI SUNANDAR kemudian dikirimkan oleh saksi

ROYAN Gagas PRADANA dan saksi MUHAMMAD FIKRI SUNANDAR

kepada terdakwa.

B. Analisis Kualifikasi Perbuatan Pelecehan Seksual Fetish Kain Jarik

Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak

mengenal istilah pelecehan seksual. Pelecehan seksual merupakan Tindakan

seksual melalui sentuhan fisik maupun non – fisik dengan sasaran organ

seksual ataupun seksualitas korban yang menimbulkan rasa tidak nyaman,

tersinggung, merasa direndahkan martabatnya dan sampai menyebabkan

masalah Kesehatan dan keselamatan dari korbannya.

Demikian suatu perbuatan pelecehan yang di dasari dari Fetish itu

sendiri belum diatur dalam KUHP maupun diluar KUHP. Pengaturan dalam

KUHP sendiri mengenai delik – delik kesusilaan seperti pada Pasal 281

sampai dengan pasal 303 hanya terbatas pada perbuatan percabulan dan

persetubuhan saja. Mengenai persetubuhan tidak dapat diterapkan apabila hal


63

itu dilakukan bukan melalui kemaluan laki – laki dan perempuan, sehingga

untuk prilaku fetish yang memungkin adalah perbuatan cabul.

Seseorang yang mengidap fetish merupakan seseorang yang memiliki

gairah seksual seperti manusia pada normalnya. Fetish itu sendiri jika tidak

ada perbuatan yang bersifat memaksa dan melibatkan orang lain sehingga

mengeluarkan rasa emosionalnya seperti rasa ketakutan dan lain sebagainnya,

maka itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang menimbulkan korban,

maka dari itu dapat dikategorikan sebagai tibdak pidana.

Perbuatan fetish itu sendiri dapat dikualifikasi melanggar ketentuan

Undang – Undang Perlindungan Anak apabila korbannya seorang anak yang

disertai dengan perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, tipu

muslihat, dan bujukan terhadap anak. Fetish juga melanggar ketentuan Undang -

Undang ITE apabila ada perekaman dan disebarluaskan melalui media elektronik.

Serta Fetish juga dikatakan melanggar ketentuan Undang – Undang Pornografi

apabila mengandung unsur Tindakan yang berkaitan dengan pornografi yang

secara eksplisit memuat kekerasan seksual atau eksploitasi seksual yang

melanggar Norma di Masyarakat.

Demikian setelah melakukan pengumpulan data dengan menelaah

beberapa literatur dan perundang – undangan, maka penulis mengkualifikasi

beberapa pasal yang mengatur delik kesusilaan berdasarkan Kitab Undang –

Undang Hukum Pidana, sebagai berikut :

1. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)


64

a. Pasal 289 KUHP

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang

melakukan atau membiarkan perbuatan cabul, dihukum karena meneruskan

kesopanan dengan hukuman penjara selama – lamanya Sembilan tahun”.

Adapun Beberapa uraian mengenai Unsur – unsur tindak pidana

pada Pasal 289 KUHP, Yakni:

1) Barang siapa

Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa merujuk kepada subjek

atau orang yang apabila terbukti memenuhi unsur dari tindak pidana yang

diatur dalam pasal 289 KUHP maka dapat dikatakan sebagai pelaku tindak

pidana tersebut.82

2) Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan

Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang dimaksud dengan

kekerasan ialah perbuatan yang menggunakan tenaga baik itu yang ringan

maupun yang berat namun dapat menandatangkan kerugian bagi korban.

Mengenai ancaman kekerasan yaitu ucapan yang menimbulkan kesan takut

kepada orang yang diancam bahwa ancaman tersebut benar – benar akan

merugikan dirinya.83

3) Memaksa

82
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.cit, hlm. 133.
83
Ibid, hlm. 132.
65

Memaksa, memiliki arti bahwa paksaan tersebut ditujukan langsung

kepada orang yang dipaksa, dimana perbuatan tersebut bukan atas kehendak

dari orang yang dipaksa tersebut.84

4) Untuk Melakukan atau Membiarkan dilakukan perbuatan cabul

Untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, bahwa

unsur melakukan perbuatan berarti korban dipaksa untuk melakukan

perbuatan cabul, sedangkan yang dimaksud dengan membiarkan dilakukan

perbuatan cabul berarti korban dalam hal ini bertindak pasif dan perbuatan

cabul dilakukan oleh pelaku kepada korban.85

a. Pasal 292 KUHP

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang

belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut

disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama – lamanya lima

tahun.”

Adapun uraian mengenai unsur – unsur tindak pidana pada Pasal 292 KUHP,

yakni:

1) Seorang Dewasa

Dewasa menurut Menurut Hukum Pidana yaitu seseorang yang telah

berusia 18 Tahun atau seseorang yang Telah Menikah. Orang dewasa yang

dapat dijatuhi hukuman tersebut ialah yang terbukti memenuhi unsur dalam

pasal 292 KUHP.

2) Melakukan Perbuatan Cabul


84
Ibid, hlm. 133.
85
Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 79.
66

Perbuatan cabul, bahwa yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah

segala perbuatan yang berkaitan dengan perbuatan yang melanggar kesusilaan

yang sasarannya pada bagian tubuh terutama yang daoat merangsang nafsu

seksual.86 Akan tetapi, perbuatan cabul dimaksudkan dalam pasal ini

dilakukan tanpa adanya persetubuhan.

3) Dengan Seorang Anak yang belum dewasa dari jenis Kelamin Yang Sama.

Kriteria belum deasa dalam hal ini dapat dilihat menurut umur, belum

dewasa menurut pasal 292 yaitu belum berumur 21 tahun atau belum pernah,

menikah. Dalam ketentuan pasal 292 ini juga disyaratkan bahwa harus

dilakukan oleh orang dengan jenis kelamin yang sama yaitu laki – laki dengan

laki – laki atau perempuan dengan perempuan.

2. Undang – Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang –


Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

a. Pasal 76E

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukanserangkaian kebohongan, atau

membujuk anak untuk atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

Adapun uraian mengenai unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 76E,

yakni:

1) Setiap orang

86
Ibid.
67

Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” ialah orang yang terbukti

melakukan tindak pidana tersebut dan memiliki kemampuan untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.

2) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,memaksa, melakukan tipu

muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk

atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul

Bahwa yang dimaksud dengan tipu muslihat atau disamakan dengan

akal cerdik, yaitu perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa yang dapat

menyebabkan timbulnya kepercayaan atau kebenaran atau keyakinan kepada

orang lain.

Bahwa yang dimaksud dengan serangkaian kebohongan, yaitu disyaratkan

harus terdapat kata bohong yang diucapkan yang berperan sebagai alat

penggerak atau alat pembujuk dimana rangkaian kayakata bohong itu

diucapkan secara tersusun dan menjadi sebuah cerita.

Bahwa yang dimaksud dengan membujuk ialah memberikan pengaruh

kepada orang lain dengan kelicikan sehingga orang tersebut menurutinya

untuk berbuat sesuatu yang sebenarnya apabila ia mengetahui hal tersebut ia

tidak akan berbuat demikian.

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan


Transaksi Elektronik

a. Pasal 27

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik


68

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan”.

Adapun uraian mengenai unsur-unsur tindak pidana pada Pasal 27, yakni:87

1) Dengan sengaja

Yang dimaksud dengan sengaja adalah sikap batin seseorang yang

menghendaki dan mengetahui atau dapat menduga akibat yang akan timbul

dari perbuatannya.

2) Tanpa hak

Tanpa hak, berarti perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan hak

orang lain atau perbuatan yang dilakukan tanpa kewenangan orang lain.

3) Mendistribusikan

Mendistribusikan, berarti bahwa mengirimkan dan/atau menyebarkan

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak orang

melalui sistem elektronik.

4) Mentransmisikan

Mentransmisikan, berarti mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik.

5) Membuat dapat diakses

Membuat dapat diakses ialah semua perbuatan selain perbuatan

mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang

menyebabkan tersalurnya Informasi dan/atau Dokumen Elektronik sehingga

dapat diketahui pihak lain atau publik.

87
Avadeo Yurist, Ismunarno, “Pengaturan Aplikasi Yang Bermuatan Melanggar
Kesusilaan di Indonesia”, Recidive, Vol. 7, Nomor 1, Januari-April 2018, hlm. 63-66.
69

6) Muatan yang melanggar kesusilaan Melanggar kesusilaan, berarti perbuatan

yang melanggar kesopanan yang dapat menimbulkan perasaan malu yang

berhubungan dengan nafsu kelamin.

4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

a. Pasal 4 Ayat (1) bagian (a) dan bagian (b)

“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,

menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,

menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi

yang secara eksplisit memuat:

a) Persenggemaan, termasuk persenggemaan yang menyimpang;

b) Kekerasan seksual”

Adapun uraian mengenai unsur-unsur perbuatan yang dilarang, yakni:48

1) Memproduksi Memproduksi ialah perbuatan yang ditujukan untuk

menghasilkan suatu barang yang belum ada menjadi ada, dalam hal ini

menggunakan media apapun seperti media cetak ataupun media elektronik

untuk membuat gambar ataupun video yang melanggar kesusilaan.

2) Membuat

Membuat dalam penjelasan Undang-Undang ini ialah membuat

gambar ataupun vidro yang melanggar kesusilaan tetapi tidak untuk dirinya

sendiri dan kepentingan dirinya sendiri, artinya bila seseorang hanya membuat

untuk kepentingan pribadi, maka dikecualikan.

3) Memperbanyak
70

Memperbanyak berarti perbuatan denhan cara apapun terhadap

sesuatu yang semulanya ada tetapi belum banyak menjadi bertambah

banyak.

4) Menggandakan

Menggandakan artinya memperbanyak sesuatu yang semula sudah ada

menjadi bertambah banyak dalam jumlah yang berlipat.

5) Menyebarluaskan

Menyebarluaskan adalah perbuatan terhadap sesuatu yang semula

keadaannya tidak tersebar menjadi tersebar luas.

6) Menyiarkan

Menyiarkan berarti perbuatan memberitahukan kepada khalayak

umum melalui media tertentu.

7) Mengimpor

Mengimpor adalah perbuatan yang menyebabkan masuknya pornografi

kedalam wilayah hukum Indonesia dengan cara apapun.

8) Mengekspor

Mengekspor adalah perbuatan yang menyebabkan tersebarnya

pornografi yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia ke luar wilayah hukum

Indonesia.

9) Menawarkan

Menawarkan ialah perbuatan menunjukkan atau mengajukan kepada

orang lain dengan maksud tertentu agar oang tersebut melakukan perbuatan

tertentu terhadap sesuatu yang ditawarkan.


71

10) Memperjualbelikan

Memperjualbelikan berarti perbuatan yang dilakukan terhadap sesuatu

dengan menjualnya dan disepakati dengan harga tertentu dalam hal ini

pornografi.

11) Menyewakan

Menyewakan berarti memberikan atau menyerahkan kepada pihak

kedua benda atau suatu objek dalam hal ini pornografi yang telah disewa

dengan kesepakatan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.

12) Menyediakan

Menyediakan adalah perbuatan mempersiapkan objek pornografi

sedemikian rupa sehingga apabila diperlukan maka dapat segera digunakan.

C. Pelaku Tindak Pidana Pelecehan seksual dalam Putusan Nomor

2286/Pid.sus/2020/PN SBY

1. Pelaku Tindak Pidana yang Memiliki Gangguan Prefrensi Seksual

Demikian pada pembahasan sebelumnya telah menjelaskan beberapa

pasal yang dapat dipidananya pelaku tindak pidana pelecehan seksual, dalam

pembahasan berikutnya dapat kita ketahui mengenai subjek seseorang yang

memiliki gangguan prefrensi seksual melakukan tindak pidana seksual.

Berdasarkan amar Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor

2286/Pid.sus/2020/PN SBY, menjelaskan bahwa pelaku dengan nama Gilang

Pratama dengan benar melakukan tindak pidana pelecehan seksual dengan

beberapa korban yang menjadi sasarannya, namun dapat diketahui juga bahwa
72

berdasarkan keterangan Ahli pada amar putusan tersebut mengemukakan

bahwa, Menimbang, bahwa di persidangan dibacakan keterangan ahli dr. Roni

Subagyo, Sp. K.J. (K), dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:

 Bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan berdasarkan pedoman

penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ III), Terdakwa

termasuk gangguan prefrensi seksual dengan kode F65.0;

 Bahwa Terdakwa menyadari apa yang dilakukan dan dapa menjelaskan

secara rinci apa yang dilakukan;

 Bahwa Terdakwa dapat mempertanggungjawabkan secara hukum

perbuatannya, karena Terdakwa menyadari apa yang dilakukan dan tahu

resiko atau akibat perbuatannya;

2. Penentuan Batas Kemampuan Bertanggungjawab Terhadap Pelaku Penderita

Gangguan Jiwa dalam Pertanggungjawaban Pidana Menurut Pasal 44 KUHP

Menurut Sudarto, dalam KUHP ditentukan mengenai dua pasangan

dalam syarat – syarat pemidanaan, ialah adanya: dapat dipidanannya

perbuatan (strafbaarheid van het fei) dan dapat dipidananya orangnya atau

pembuatnya (strafbaarheid van de person).88 Penyebab tidak dipidananya si

pembuat tersebut, maka dibedakan menjadi dua dasar, pertama atas dasar

pemaaf yang bersifat subyektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya

mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat, dan kedua yaitu

atas dasar alasan pembenar yang bersifat objektif dan melekat pada

perbuatannya atau hal – hal lain di luar batin si pembuat, atau dengan kata lain

88
Sudarto, Op. Cit. hlm. 156.
73

bahwa jika ada alasan pembenar maka melawan hukum umum tidak ada, dan

kalua ada alasan pemaaf maka sifat dapat dicela tidak ada.

Ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP menyebutkan tidak dipidana pelaku

perbuatan dalam hal tidak dapat dipertanggungjawaban kepadaya karena

jiwannya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit.

Jiwanya Terganggu Karena Penyakit.

Demikian dimaksudkan dengan jiwa yang terganggu karena penyakit,

ialah yang jiwannya semula adalah sehat, tetapi kemudian dihinggapi penyakit

jiwa yang sering disebut sebagai “gila” atau “pathologiche ziektetoestand”

seseorang mungkin dihinggapi oleh penyakit jiwa secara terus menerus tetapi

terdapat juga penyakit jiwa secara sementara atau kumat – kumatan. Dalam

hal ini termasuk cangkupa Pasal 44 KUHP adalah jika gilanya sedang kumat.89

Berdasarkan pernyataan Jan Remmelink, kemampuan

bertanggungjawab dilihat dari sisi pelaku berupa keadaan akala tau jiwa yang

cacat dalam tumbuhnya atau teganggunya karena penyakit. Menurut

sejarahnya, istilah jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling)

dimunculkan karena istilah gangguan penyakit (ziekelihke storing) terlalu

sempit sehingga tidak mencakup situasi kejiwaan abnormal yang merupakan

sifat bawaan dari lahir. Dalam sejarah perundang – undangan dan keilmuan,

89
E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: 2002, Alumni), hlm. 258.
74

cacat mental bawaaan atau idiot diilustrasikan sebagai cacat dalam

tumbuhnya. Demikian pula retardrasi mental dan imbecilitas.90

Tidak ada kemampuan bertanggung jawab si pelaku tindak pidana,

jika: yang pertama, dalam hal pelaku tidak ada kebebasan untuk memilih

antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau

diperintahkan oleh undang – undang. Kedua ialah dalam hal pelaku ada dalam

suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa

perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan

akibat perbuatannya.91

Demikian dalam lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77

Tahun 2015 menjelaskan konsep – konsep oprasional tentang gangguan jiwa

dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan (disability) adalah :

a. Ketidakmampuan memaksudkan suatu tujuan yang sadar (intentional

disability). Tujuan yang tidak sadar adalah tujuan yang berdasarkan

waham dan/ atau halusinasi;

b. Ketidakmampuan mengerahkan/ atau mengendalikan kemauan atau tujuan

tindakannya (volitional disability);

c. Ketidakmampuan memahami nilai dan resiko tindakannya.

Menurut kanter dan sianturi, seseorang mampu bertanggungjawab

bilamana pada umumnya:92

90
Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, hlm. 215
91
Dyah Irawati, 2009, Rekonstruksi Pasal 44 KUHP dan VeRP Dalam Sistem Peradilan
Pidana, Jurnal Hukum Prioris, Volume 2, hlm. 96-97
92
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: 2012, Storia Grafika), hlm. 249.
75

a. Keadaan jiwanya: tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau

sementara; tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbicileI, dan

sebagainya); tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang

meluap, pengaruh bawah sadar atau reflex beweging, melindur atau

slaapwandel, mengigau karena demam atau koorts, nyidam dan lain

sebagainya. Dengan perkataan lain, dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya: dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya, dapat

menentukan kehendaknya atas Tindakan tersebut, apakah akan

dilaksanakan atau tidak, dan dapat mengetahui ketercelaan dari perbuatan

tersebut.

Moeljatno menyatakan, dalam merumuskan ketidakmampuan

bertanggungjawab sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat

menempuh tiga jalan, yaitu:93

1) Ditentukan sebab – sebab yang menghapuskan pemidanaan.

Apabila Psykiater telah menyatakan bahwa terdakwa adalah gila

(insene) atau tidak sehat pikirannya (unsiud mind), maka hakim tidak

boleh menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Sistem ini dinamakan

sistem deskriptif.

2) Menyebutkan akibatnya saja, penyakitnya sendiri tidak ditentukan.

Dalam hal ini yang terpenting ialah; apakah dia mampu menginsyafi

makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang


93
Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, (Jakarta: 2002, PT. Rineka Cipta), hlm. 179 –
180.
76

tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini luas sekali

sehingga mungkin ada bahayanya. Sistem ini dinamakan normative

(mempernilai). Disini hakim lah yang menentukan.

3) Gabungan 1 dan 2 (deskriptid normative)

Cara ini sering dipakai untuk pasal 44 Ayat (1) KUHP. Untuk

menentukan bahwa terdakwa tidak mampu bertanggung jawab tidak cukup

ditentukan oleh psychiater atau hakim sendiri, tetapi harus ada Kerjasama

antara psychiater dan hakim. Psychiater menentukan adanya penyakit,

sedangkan hakim mempernilai bahwa penyakit yang ad aitu sedemikian

besarnya, hingga perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Pada keterbelakangan mental atau cacat mental (mental

retardation) memiliki macam – macam jenis. Pengelompokannnya

berdasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari terbelakang ringan,

sedang dan berat. Pengelompokan ini bersifat artificial karena ketiga

kelompok di atas tidak dibatasi oleh garis demagrasi yang tajam. Gradasi

dari satu level ke level berikutnya bersifat kontinyu.94

Dalam praktek secara klinis di Indonesia, penentuan seseorang

mempunyai cacat mental berpedoman pada Pedoman Penggolongan dan

Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ – III). Penggunaan pedoman ini

bertujuan untuk non – medis atau non – klinis, seperti penentuan tujuan

94
Nadira Lubis, Hetty Krisnani, Muhammad Fedryansyah, Pemahaman Masyarakat
Mengenai Gangguan Jiwa dan Keterbelakangan Mental,
http://jurnal.unpad.ac.id/share/article/view/ 13073/5958, diakses pada hari Senin tanggal 15 Julii
2022 jam 13.35 WIB.
77

hukum ataupun ha katas pembayaran pihak ketiga, harus ditelaah secara

kritis bagi masing – masing kasus.

Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah gangguan jiwa atau

gangguan mental (mental disorder), tidak mengenal istilah “penyakit jiwa”

(mental disease/ mental illness).95 Secara medis, dalam hal ini adalag

sebagaimana Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa,

berbeda dengan peristilahan yang dikenal dalam hukum dimana terdapat

pembedaan yakni jiwanya cacat dalam pertumbuhan dan jiwannya

terganggu karena penyakit. Sebagaimana Dr. Ugung Dwi Ario Wibowo,

M.Si., Psikolog bahwa secara klinis untuk menentukan klafiskasi gangguan

jiwa ringan atau berat adalah buku saku PPDGJ – III. Dalam buku tersebut

juga dikelompokkan mengenai reterdasi mental. Demikian, di dalam

gangguan jiwa reterdasi mental dimasukkan kedalam penggolongan

abnormalitas. Jadi tidak normalnya seseorang karena penyakit ataukah cacat

mental ada di buku tersebut.

Dalam hal pelaku tindak pidana mengalami gangguan kondisi

kejiwaan ataupun mental, telah diatur suatu pedoman dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pe meriksaan

Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum. Dalam

penjelasannya, berkaitan ketentuan pasal 44 ayat (1) KUHP perlu disadari

bahwa bukanlah tugas Dokter spesialis kedokteran jiwa yang membuat

Visum et Repertum Psikiatricum (VeRP) untuk menentukan


95
Rusdi Muslim, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5, (Jakarta: 2013, PT. Nuh Jaya), hlm. 7.
78

pertanggungjawaban terperiksa karena pengertian itu bukanlah pengertian

dalam disiplin ilmu kedokteran. Penentuan pertanggungjawaban tersebut

adalah hak dari hakim pengadilan. Kedokteran jiwa dapat membantu hakim

dengan mengemukakan unsur-unsur yang dapat menentukan

pertanggungjawaban terperiksa.

D. Hasil Analisis Putusan Nomor 2286/Pid.Sus/2020/PN SBY Terhadap

Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual Yang

Memiliki Gangguan Prefrensi Seksual.

Berdasarkan dari ketentuan yang telah dijelaskan diatas bahwa dalam

putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2286/Pid.sus/2020/PN SBY,

dengan menjatuhkan Hukuman selama lima tahun enam bulan kepada

saudara Gilang Aprlian Pratama merupakan suatu putusan yang kurang tepat.

Demikian Gilang Aprilian Pratama merupakan pelaku yang memiliki

gangguan prefrensi seksual dengan kode F. 65.0 yaitu gangguan terhadap

fetisme.

Gangguan yang mengidap pada dirinya telah dikemukakan oleh saksi ahli

bahwa benar ia memiliki gangguan kejiwaan yang berpedoman dari buku

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa – III. Bahwa menjatuhkan

pidana penjara merupakan hanya mengutamakan pembalasannya saja, tanpa

memenerapkan kemanfaatan dalam menjatuhkan Pidana.

Demikian juga telah diketahui bahwa di Indonesia sistem sanksi yang

dapat dijatuhkan dapat juga menerapkan sanksi Tindakan kepadanya yaitu sanksi
79

Tindakan berupa Rehabilitasi, yang sudah dikemukakan dalam Undang – Undang

Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Keshatan Jiwa, bahwa orang yang memiliki

gangguan kejiwaan harus diberikan pengobatan melalui psikosial maupun secara

klinis.

Hemat penulis menyatakan bahwa Pelaku memang melakukan suatu perbuatan

melawan hukum dengan melakukan perbuatan yang telah disebutkan diatas,

namun keadaan batin pelaku dapat dikatakan tidak normal.

Demikian pelaku tersebut seyogyanya diberikan sabksi berupa Rehabilitasi

untuk memulihkan Kesehatan jiwanya yang kemudian mendapat pidana penjara.

Hal ini merupakan implementasi dari Double Ttrack System yang di terapkan di

Indonesia. Demikian hal ini diperkuat dalam Naskah Akademik RUU KUHP,

yang menyatakan adanya pembagian kualifikasi orang yang tidak dapat

bertanggungjawab dan kurang dimintai Pertanggungjawabannya, dalam Naskah

Tersebut menyatakan jika kurang mampu bertanggungjawab maka diberikan

sanksi Berupa Tindakan Rehabiliatsi sebagai Hukumannya.


80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini dan uraian serta

penjelasan pada bab – bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa :

1. Bahwa dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana yang memiliki

gangguan prefrensi seksual tidak hanya dengan menjatuhkan pidana penjara,

demikian kurang relevan karena pelaku tersebut memiliki kelainan dalam

jiwannya, hal ini hanya menjadi pembalasan bagi hakim kepada pelaku. Demikian

sanksi pidana tidak seharusnya melakukan pembalasan kepada pelaku, melainkan

memberikan kemanfaaatan dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak

pidana yang memiliki gangguan prefrensi seksual tersebut.


81

Bahwa dalam menilai pelaku tindak pidana dapat mengkualifikasi pelak tersebut

dapat dimintai pertanggungjawaban secara penuh, pelaku tersebut tidak dapat

dimintai pertanggungungjawaban, dan atau pelaku tersebut kurang mampu

dimintai pertanggungjawabannya. Dalam hal ini pelaku kurang mampu dimintai

pertangungjawabannya secara penuh yakni pelaku tersebut memiliki

keterbelakangan mental atau gangguan dalam kejiwaannya dengan kategori

sementara atau kambuh – kambuhan.

2. Bahwa di Indonesia dalam menjatuhkan sanksi pidana menganut sistem Double

Track System demikian sanksi pidana tidak hanya dengan menjatuhkan sanksi

yang menimbulkan penderitaan bagi pelaku tindak pidana saja, melainkan

tmengenal juga sanksi Tindakan. Sanksi Tindakan itu sendiri telah ada dalam

perumusan Rancangan Undang – Undang bahwa ada kualifikasi sanksi rehabilitasi

bagi pelaku tindak pidana yang memiliki gangguan prefrensi seksual, dengan

menjalankannya secara klinis maupun non klinis.

B. Saran

Berdasarkan Pembahasan pada bab sebelumnya maka dengan demikian penulis

menyarkan :

1. Pelaku Tindak pidana yang memiliki gangguan prefrensi seksual berdasarkan

keterangan ahli maka Pelaku tersebut dapat menjalani pengobatan di Rumah Jiwa.

2. Membuat Ketentuan klasifikasi jiwanya cacat dalam pertumbuhan (cacat mental)

sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP, dari segi medis yaitu dalam

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III tergolong


82

sebagai retardasi mental sehingga dalam pelaksanaan pengklasifikasian cacat

mental agar mengacu pada pedoman tersebut.

3. Membuat dan mengesahkan Undang – Undang yang mengatur tentang kurang

mampunya seseorang bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang

dilakukannya, atau dengan membuat Sanksi Rehabilitas khusus bagi pelaku tindak

pidana yang memiliki gangguan prefrensi seksual.

4. Diperlukan adanya suatu standarisasi peraturan baik dalam cakupan internal

maupun peraturan bersama di bidang hukum dengan medis dalam penerapan

penentuan batas kemampuan bertanggung jawab pelaku tindak pidana yang

memiliki gangguan kejiwaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., 2015. Dasar - Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Amir Ilyas, S. M., 2012. Asas - asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Mahakarya
Rangkang Offset Yogyakarta.
Andi Hamzah, S. M., 2012. Asas - Asas Hukum Pidana di Indonesia &
Perkembangannya. Jakarta: P.T Sofmedia .
Arief, M. d. B. N., 2005. Teori - Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

______________, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya


Bakti.

______________, 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian


Perbandingan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti .
______________, 2016. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Prenadamedia Group.
______________, 2005. Teori - Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:
Alumni.
83

Azikin, A., 2018. Peranan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Dalam


Penyelenggaraan Otonomi Khusus Di Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Ilmu
Pemerintahan Widya Praja, pp.
Bawengan, G. W., 2003. Kriminologi. Jakarta: Bina Aksara Jakarta.

Chazawi, A., 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Daliyo, J., 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenhallindo.

Mety Rahmawati. S.H., M., 2010. Dasar - Dasar Penghapus Penuntutan,


Penghapus, Peringan dan Pemberat Pidana dalam KUHP. Jakarta:
Universitas Trisakti.
Eddy O.S, H., 2016. Prinsip - Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta:
Chaya Atma Pustaka.
Efendi., I. G. d. J., 2014. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta :
Prenadamedia.
Friedman, L. M., 1975. The Legal System, A Social Perpective. New York: Russel
Sage Foundation.
Hamzah, A., 2014. Asas - Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Haryono, d. J. I., 2005. Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media .

Hiariej, E. O., 2014. Prinsip - Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka.

H.M. Hamdan., S. M., 2012. Alasan Penghapusan Ppidana. Bandung: PT Refika


Aditama.
Ibrahim, J., 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu
Media Publishing.
Irawati, D., 2009. Rekonstruksi Pasal 44 KUHP dan VeRP Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Jurnal Hukum Prioris, Volume 2.
Isnu Gunadi, S. M. d. D. J. E. S. M., 2014. Cepat dan Mudah Memahami Hhukum
Pidana. Jakarta: Kencana Prana Media.
Jimmly, M. d., 2009. Kamus Hukum Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam
Hukum Internasional, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Islam, Hukum
Perburuhan, Hukum Agraria, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pajak
dan Hukum Lingkungan. Surabaya: Reality.
Kanter, E. & Sianturi, S., 2012. Asas - Asas Hukum Ppidana Di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
84

Kanter, E. Y. & Sianturi, S., 2002. Asas - Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Alumni.
kawan-kawan, S. M. d., 2004. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara. Yogyakarta: UII Press.
Korassa, S. A. I., 2019. Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Pengguna
Jasa Prostitusi Melalui Media Online. Acta Conita Jurnal Hukum
Kenotariatan, Volume 2.
Kuhne, R. Y. d., 2010. kamus Jerman-Indonesia. Jakarta: Transmedia.

Lamintang, P. L. d. T., 2009. Delik - Delik Khusus (Kejahatan Melanggar Norma


Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Lubis, N., Krisnani, H. & Fedryansyah, M., n.d. Pemahaman Masyarakat
Mmengenai Gangguan Jiwa dan Keterbelakangan Mental. Jurnal Unpad.
Makarao, M. T., 2005. Pembaharan Hukum Pidana, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Marzuki, P. M., 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Mertokusumo, S., 2010. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Cahaya


Atma Pustaka.
Moeljatno, 2002. Asas - Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Moeljatno, 2008. Azaz - Azaz Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Muhaimin, M. P. H., 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mmataram


University Press.
Muladi, S., 2009. Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama.
Mulyani, S., 2017. Penyelsaian Perkara Tindak Ppidana Ringan Menurut Undang -
undang dalam Perspektif Restoratif Justice. Jurnal Penelitian Hukum De
Jure.
Muslim, R., 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
Pawennei, M., 2015. Hukum Pidana. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Prayogo, B. E., n.d. Review Materi Hukum dan HAM dalam perespektif hukum dan
HAM.
Prodjodikoro, W., 1986. Asas - Asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Eresco.
85

Putu, S. I., 2013. Pidana Pengawasan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Jurnal Magister Hukum
Udayana, Volume III, p.
Rahardjo, S., 2017. Kitab Undang - Undang Hukum. Jakarta: Buana Ilmu Populer.

Remmelink, J., 2003. Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Renggong, R., 2018. Hukum Pidana Lingkungan. Jakarta: Prenada Group.

Richard Burton Simatupang, S., 2007. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: PT
RINEKA CIPTA.
Rombel, 2016. Gangguan Fetisme. Makalah.

Saleh, R., 1983. Stelsel Pidana Indonesia. 4 ed. Jakarta: Aksara Baru.

Sholehuddin, M., 2003. sistem Sanksi Pidana Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar
Double Track System & Implementasinya). Jakarta: Grafindo Persada.
Soesilo, R., 1995. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana. Bogor: Politeia.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Prof Sudarto.

Sudarto, H. P. I. (. Y. P. S. h., n.d. Hukum Pidana I. s.l.:s.n.

Sumera, M., 2013. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan.


Lex et Societatis Vol. 1 No. 2.
Sumera, M., 2013. Perbuatan seksual atau Kekerasan Seksual terhadap Perempuan.
Lex Et Societatis.
Susanto, O. d. A. F., 2004. Teori Hukum Mengingat dan Membuka Kembali.
Bandung: Reflika Aditama.
Susanto, O. S. d. A. F., 2004. Teori Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka
Kembali. Jakarta: Refika Aditama Press.
Swardhana, Y. G. T. d. G. M., 2020. Pemidanaan Terhadap Pelaku Dengan
Gangguan Seksual. Jurnal Kertha Semaya, Volume VIII.
Utrechts, 2000. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Surabaya: Pustaka Tinta
Mas.
Waluyo, B., 2002. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Wiradipradja, E. S., 2015. Penuntutan Praktis Metode Penelitian dan Penulisan


Karya Ilmiah Hukum. Bandung: Keni Media.
86

Yurist, A. & I., 2018. Pengaturan Aplikasi Yang Bermuatan Melanggar Kesusilaan
di Indonesia. Recidive, Vol 7, Nomor 1.
Jurnal :

Brutu, Jumadin. (2018). Formulasi Pelecehan Seksual Dalam Perspektif Hukum


Pidana Positif dan Hukum Islam. Magelang: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Magelang.
Ester Lianawati. (2020) ”Penyimpangan Seksual Jenis, Penyebab, dan
Penanganannya”, Research Gate.
Failin. (2017). Sistem Pidana dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia. Jurnal Cendekia Indonesia.
Mulyani, Sri. (2017). Penyelsaian Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Undang -
undang dalam Perspektif Restoratif Justice . Jurnal Penelitian Hukum De
Jure.
Rombel. (2016). Gangguan Fetisme. Makalah.

Sumera, Marcheyla. (2013). Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap


Perempuan. Lex et Societatis Vol. 1 No. 2.
Yurist, A. & I., 2018. Pengaturan Aplikasi Yang Bermuatan Melanggar Kesusilaan
di Indonesia. Recidive, Vol 7, Nomor 1, pp.

Skripsi :
Nur Hidayatulloh, “Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual
Terhadap Perempuan” (Skripsi Sarjana Agama, Fak. Ushuluddin dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo),
Aldila Puspa Kemala, “Kriminalisasi Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Oleh
Pengidap Fetishtic Disorder Yang Mencerminkan Prinsip Lex Certa dan Lex
Stricta”, (Skripsi, Sarjana Hukum, Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia),
Peraturan Perundang - Undangan:

KUHP

Undang – Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang – Undang

No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik
87

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

Anda mungkin juga menyukai