Anda di halaman 1dari 61

UJARAN KEBENCIAN DALAM UU ITE NO.

11 TAHUN 2008
(ANALISIS PUTUSAN No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel DAN PUTUSAN No.
58/Pid.Sus/2019/PT.DKI)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Ayu Dwi Rizki


NIM: 11160430000084

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAHZAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H/2020 M
UJARAN KEBENCIAN DALAM UU ITE NO. 11 TAHUN 2008

(ANALISIS PUTUSAN No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel DAN PUTUSAN No.


58/Pid.Sus/2019/PT.DKI)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

AYU DWI RIZKI


NIM: 11160430000084

Pembimbing:

Dr. Khamami Zada, M.A


NIP. 197501022003121001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAHZAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2020 M

i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “UJARAN KEBENCIAN DALAM UU ITE NO. 11


TAHUN 2008 (ANALISIS PUTUSAN No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel DAN
PUTUSAN No. 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI)” telah diajukan dalam Sidang Munaqasah
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Mahzab Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Agustus 2020. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1)
pada Program Studi Perbandingan Mahzab.
Jakarta, 27 Agustus 2020
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH.M.H. M.A


NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Hj. Siti Hanna, S.Ag. Lc. (....................................)


NIP. 197402162008012013

2. Sekertaris : Hidayatulloh, M.H. (....................................)


NIP. 198708302018011002

3. Pembimbing : Dr. Khamami Zada, M.A. (....................................)


NIP. 197501022003121001

4. Penguji I : Prof. Dr. H. Yunasril Ali, M.A. (....................................)


NIP. 195512301986011001

5. Penguji II : Kamal Fiqry Musa, Lc., M.A. (....................................)


NIDN: 2128018202

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Ayu Dwi Rizki
NIM : 11160430000084
Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 23 Oktober 1997
Program Studi : Perbandingan Mahzab
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Agustus 2020

Ayu Dwi Rizki


11160430000084

iii
ABSTRAK
Ayu Dwi Rizki. NIM 11160430000084. "Ujaran Kebencian dalam UU ITE
No. 11 Tahun 2008 (Analisis Putusan No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan Putusan
No. 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI)". Program Studi Perbandingan Mahzab, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442
H/2020 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan hakim memutus perkara
No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel dan putusan No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI tentang
tindak pidana ujaran kebencian.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif sedangkan jenis
pendekatannya adalah pendekatan kasus dan perundang-undangan. Metode yang
digunakan adalah metode analisis deskriptif yaitu dengan menganalisis putusan
pengadilan untuk mengetahui alasan yang digunakan hakim. Kemudian penelitian ini
membandingkan antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding untuk melihat
adanya konsistensi dalam putusan.
Berdasarkan analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Majelis
Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Tinggi memutuskan tindakan Terdakwa
merupakan tindakan ujaran kebencian. Hakim dalam memutus suatu perkara
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu melihat pada aspek yuridis, filosofis dan
sosiologis. Aspek yuridis adalah hakim memutus bahwa tindakan Terdakwa benar
merupakan tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan pada pasal 28 ayat (2) UU
ITE No.11 tahun 2008. Aspek filosofisnya adalah hakim mempertimbangkan
kebebasan individu yang tak terbatas, melainkan dibatasi oleh norma dan hukum.
Aspek sosiologisnya adalah hakim memutuskan bahwa tindakan Terdakwa dapat
memicu permusuhan antar golongan dilihat berdasarkan waktu terjadinya tindak
pidana, di mana saat itu dikenal dengan tahun politik. Putusan hakim juga sejalan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28
ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP.

Kata kunci : Ujaran kebencian, Kebebasan berpendapat, Analisis putusan


Pembimbing : Dr. Khamami Zada, M.A

Daftar Pustaka : 1979 s.d 2019.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat,
hidayah serta inayah-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tak
lupa shalawat serta salam selalu dipanjatkan kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
yang telah membawa umat muslim menuju zaman yang terang penuh dengan
kedamaian.

Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga


kepada semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi dan
mendapatkan gelar S.H. Tanpa bantuan dan dukungannya, penulis tidak akan
menyelesaikan skripsi dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara khusus akan
menyampaikan terimakasih kepada:

1. Ayu Dwi Rizki, diri saya sendiri yang bisa bertahan menyelesaikan skripsi
sekaligus studi Strata satu (S-1). Perjuangan yang telah dilakukan bukanlah
perjuangan yang mudah. Banyak hal yang telah dilewati, hal-hal yang
menyulitkan akhirnya bisa dilewati walau diperlukan keberanian untuk melawan
rasa takut. Bahkan rasa terimakasih kepada diri sendiri dirasa tidaklah cukup,
terimakasih telah bertahan hingga saat ini, mari berjuang lagi!.

2. Kedua orang tua tercinta, Papa (Syaiful) dan Mama (Fatimah Alamiah) yang
selalu memberikan kasih sayang, mendukung dan mendoakan anak-anaknya.
Untuk saudara-saudara saya, kakak Anisya Putri, adik Siti Tridianti Syafira,
Ahmad Nur Rafi, Zahra Khayati Nur Jannah, dan Alisha Khaira Azalia yang
selalu mendoakan saya.

3. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

v
4. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, L.c, M.A, dan Bapak Hidayatulloh, M.H, selaku Ketua
dan Sekertaris Program Studi Perbandingan Mahzab.

5. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku dosen mata kuliah Metodelogi
Penelitian Hukum, yang membimbing saya hingga saya bisa mengajukan seminar
proposal.

6. Bapak Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag., selaku Dosen Penasihat Akademik penulis.

7. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A, dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu beliau dan memberikan bimbingan dengan amat sangat cermat
dan teliti, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan
memberikan ilmunya kepada penulis, hingga penulis bisa menamatkan studi
dengan baik.

9. Untuk teman seperjuangan skripsi, Rifani Yasmine Faher yang selalu


memberikan dukungan. Untuk Meli Nur Syamsiyah, teman kosan yang selalu
menemani dalam proses awal pengerjaan skripsi.

10. Teman-teman PMH B 2016, yang menemani proses belajar selama duduk di
bangku perkuliahan.

11. Keluarga Besar PMH khususnya angkatan 2016, senang rasanya bisa bertemu dan
mengenal teman-teman PMH.

12. Keluarga PSM UIN Jakarta yang tidak pernah luput dalam menyemangati dan
selalu mendoakan, terkhusus untuk angkatan FARABIA. PSM UIN Jakarta telah
memberikan kenangan indah bagi penulis, bahkan hal yang tidak pernah penulis
duga sebelumnya. Semoga PSM UIN Jakarta selalu bisa membanggakan dan
mengharumkan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi
13. Teman-teman KKN 155 RASA JIWA yang selalu ada di saat butuh bantuan, dan
menjadi support system.

14. Serta terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, terimakasih telah membantu dan mendoakan penulis dalam
menyelesaikan studi dan skripsi ini dengan baik. Hal-hal baik akan kembali
kepada teman-teman semua.

Akhir kata semoga apa yang diberikan oleh pihak-pihak yang mendoakan dan
membantu menjadi sebuah amalan dan kebaikan jariyah, semoga Allah SWT. selalu
memberikan kita perlindungan-Nya. Semoga apa yang penulis tulis dapat bermanfaat
untuk penulis dan teman-teman pembaca. Aamiin.

Jakarta, 25 Agustus 2020

Ayu Dwi Rizki


NIM: 11160430000084

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ....................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH ..................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

B. Permasalah ...................................................................................................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 5

D. Kajian Studi Terdahulu ................................................................................... 6

E. Metode Penelitian ............................................................................................ 7

F. Sistematika Pembahasan ................................................................................. 9

BAB II TEORI UJARAN KEBENCIAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM

A. Ujaran Kebencian ......................................................................................... 11

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara ............................................ 23

viii
BAB III UJARAN KEBENCIAN AHMAD DHANI DALAM PUTUSAN
PENGADILAN

A. Deskripsi Perkara ........................................................................................ 27

B. Putusan Pengadilan ..................................................................................... 31

BAB IV ANALISIS UJARAN KEBENCIAN KASUS AHMAD DHANI DALAM


PUTUSAN PENGADILAN

A. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan ........................... 34

B. Konsistensi dan Koherensi Putusan Pengadilan dalam Perkara Ujaran


Kebencian Ahmad Dhani ............................................................................ 40

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 46

B. Saran ............................................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan teknologi di zaman yang semakin modern ini bukan
merupakan hal yang baru bagi masyarakat. Salah satu teknologi yang digunakan
masyarakat adalah teknologi informasi yaitu media sosial di mana masyarakat
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Maraknya media sosial yang
beraneka ragam memudahkan masyarakat dalam berkomunikasi dan berbagi
informasi dengan masyarakat lainnya.
Semakin berkembangnya media sosial, banyak masyarakat yang tertarik
menggunakannya untuk bertukar informasi. Masyarakat yang menggunakan
media sosial ini tidak hanya dari kalangan artis maupun mahasiswa, melainkan
banyak pula penggunanya dari kalangan anak-anak, remaja, orang tua, bahkan
para musisi, pejabat negara, ulama dan masyarakat umum lainnya. Mereka
menggunakan media sosial sebagai wadah untuk berbagi informasi dan
berkomunikasi. Selain itu ada pula pengguna yang menjadikan media sosial
sebagai wadah untuk membagi pengalaman yang mereka salurkan melalui foto,
video, cerita, opini, serta mengomentari mengenai suatu bacaan, status, foto dan
lain sebagainya. Selain untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi, ada
sisi negatif dari penggunaan media sosial. Pengguna media sosial yang tak
terhitung jumlahnya, baik dari pengguna twitter, facebook, telegram dan media
sosial lainnya, banyak pula masyarakat yang terjerat kasus ujaran kebencian
akibat dari pendapat mereka yang termuat di akun-akun media sosial pribadi
milik mereka.

Ujaran kebencian (hate speech) itu sendiri adalah tindakan komunikasi


yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi,
hasutan, ataupun hinaan kepada individu dan/atau kelompok yang lain dalam hal
berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual,

1
2

kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.1 Sedangkan ujaran kebencian itu sendiri


dapat berupa perilaku, perkataan, tulisan ataupun pertunjukan yang di mana isi
maksud tersebut menghina atau menghasut individu atau kelompok.

Dengan terbukanya akses informasi dan fasilitas penyebaran informasi di


internet, dan melihat tindak ujaran kebencian semakin marak, maka negara
mengatur dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE No.11 tahun 2008, menyatakan
bahwa:2

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA)."

Pasal ini juga mempunyai sanski pidana yang ditentukan dalam pasal 45
ayat (2), yang berbunyi:3

"Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 28


ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Dari pasal tersebut maka siapa saja yang menyebarkan informasi akan
dikenakan sanksi apabila informasi yang disebarkan bertujuan untuk
menimbulkan permusuhan antara kelompok masyarakat tertentu atau individu.
Informasi yang dapat menimbulkan permusuhan yaitu informasi yang di
dalamnya terdapat kebencian, dan yang dimaksud kelompok masyarakat tertentu
yaitu berdasarkan dari suku, agama, ras, dan antar golongan.

1
Dikutip dari Tagar News, https://www.google.com/amp/s/www.tagar.id/permadi-diperiksa-
polisi-kasus-ujaran-kebencian/amp/, pada tanggal 21 Mei 2019 pukul 06.58 WIB.
2
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyebercrime), (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada,2012), h., 128.
3
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyebercrime), h., 128.
3

Surat Edaran (SE) Kapolri No. SE/06/X/2015 menyebutkan bahwa ada 7


bentuk yang termasuk ujaran kebencian, yaitu: penghinaan, pencemaran nama
baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan
penyebaran berita bohong. Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui berbagai
media, antara lain: dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring
media sosial, penyampaian pendapat dimuka umum (demonstrasi), ceramah
keagamaan, media massa maupun elektronik, pamflet.4

Ujaran kebencian sering berselisih dengan hak kebebasan berpendapat.


Sebagian masyarakat menganggap bahwa adanya aturan mengenai ujaran
kebencian membatasi hak kebebasan berpendapat di mana hak tersebut adalah
hak asasi manusia. Salah satunya adalah Ahmad Dhani, ia merasa bahwa
tulisannya di salah satu akun media sosial (twitter) pada tahun 2017 tentang
penista agama adalah bentuk dari hak kebebasan berpendapat di muka umum.
Alih-alih ia merasa bahwa apa yang ia tulis adalah bentuk dari hak kebebasan
berpendapat, ia malah terjerat kasus ujaran kebencian.

Jika melihat kepada Hak Konstitusional, terdapat hak atas kemerdekaan


pikiran dan kebebasan memilih, juga hak untuk menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nurani (pasal 28E (2)). Ada hal yang menarik dari penelitian
kali ini, apakah hak konstitusional yang dimiliki dalam berpendapat dan
mengemukakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani itu dibatasi?. Maka dari hal
tersebut apa yang menjadi alasan hakim menjatuhkan Ahmad Dhani sanksi
pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dan alasan apa yang membuat hakim
meringankan pidananya pada putusan banding. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk menjawab persoalan-persoalan mengenai "Ujaran Kebencian
dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 (Analisis Putusan No.
370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan Putusan No. 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI)".

4
Surat Edaran Kapolri NOMOR SE/06/X/2015 tentang (Hate Speech) Ujaran Kebencian, h.,
3.
4

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang masalah penelitian,
dapat diidentifikasikan permasalahan menjadi 5 (lima) masalah, yaitu:

a. Apakah hak konstitusional yang dimiliki dalam berpendapat serta


mengemukakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani itu dibatasi?.
b. Unsur-unsur apa yang dapat menjadikan seseorang bisa terjerat kasus
tindak pidana ujaran kebencian di media sosial?.
c. Apakah tindakan Ahmad Dhani benar adalah tindakan ujaran kebencian
dan bukan merupakan kebebasan berpendapat?.
d. Apa yang menjadi alasan hakim memutus tindakan Ahmad Dhani
termasuk dalam tindak pidana ujaran kebencian dalam putusan pertama
No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan banding No.
58/Pid.Sus/2019/PT.DKI?.
e. Apakah terdapat konsistensi dan koherensi putusan dalam putusan
pertama dan putusan banding kasus Ahmad Dhani (Putusan No.
370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan Putusan No.
58/Pid.Sus/2019/PT.DKI)?.

2. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian identifikasi masalah di atas, permasalahan
mengenai ujaran kebencian terlalu luas, oleh sebab itu penulis membatasi
penelitian. Penelitian ini terfokus pada putusan pengadilan perkara tindak
pidana ujaran kebencian kasus Ahmad Dhani No. 370/Pid.Sus/2018/ PN
Jkt.Sel dan No. 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI.
5

3. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah, dapat diketahui bahwa tidak semua
indentifikasi masalah menjadi pokok pembahasan dalam penelitian, yakni
ada beberapa rumusan masalah yang dibahas antara lain :
a. Apa yang menjadi alasan hakim memutus tindakan Ahmad Dhani
termasuk dalam tindak pidana ujaran kebencian dalam putusan pertama
No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan banding No.
58/Pid.Sus/2019/PT.DKI?.
b. Apakah terdapat konsistensi dan koherensi putusan dalam putusan
pertama dan putusan banding kasus Ahmad Dhani (Putusan No.
370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan Putusan No.
58/Pid.Sus/2019/PT.DKI)?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui alasan hakim memutus tindakan Ahmad Dhani
termasuk dalam tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam UU
ITE No.11 tahun 2008 dalam putusan tingkat pertama maupun
banding.
b. Untuk mengetahui konsistensi dan koherensi putusan dalam perkara
tindak pidana ujaran kebencian yang dilakukan Ahmad Dhani dalam
putusan pertama No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan putusan
banding No. 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan keilmuan dalam memahami suatu putusan perkara
tindak pidana ujaran kebencian, khusunya putusan No.
370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan putusan No.
6

58/Pid.Sus/2019/PT.DKI. Kemudian, dapat menambah literatur


perpustakaan untuk mahasiswa dan pembaca pada umumnya.
b. Manfaat praktis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan
informasi kepada pembaca mengenai alasan hakim memutus suatu
perkara serta alasan dalam memberikan sanksi pidana, khususnya
dalam tindak pidana ujaran kebencian.

D. Kajian Studi Terdahulu


Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan kajian studi terdahulu dan
menemukan beberapa penelitian sebelumnya yang membahas pembahasan
mengenai ujaran kebencian dengan objek dan kajian yang berbeda dengan yang
akan ditulis oleh penulis. Beberapa penelitian tersebut di antaranya :

1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta dengan judul “Tindak
Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Jejaring Media Sosial
(Analisis Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015)”, ditulis oleh Wiwit
Sugiarti. Hasil dari penelitian dalam skripsi ini memaparkan bahwa Surat
Edaran Kapolri (Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015) hanya
diimplementasikan kepada anggota kepolisian dan hanya sebagai acuan
dalam melakukan tindakan yang tepat terhadap kejahatan ujaran
kebencian. Implikasi diterbitkannya Surat Edaran Kapolri No.
SE/6/X/2015 yaitu memudahkan aparat penegak hukum untuk
mengindentifikasi setiap kejahatan ujaran kebencian yang muncul.5
2. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta dengan judul “Tindak
Pidana Ujaran Kebencian di Media Sosial (Analisis Putusan PN Jakarta
Selatan No. 820/Pid.Sus/2017/PN Jkt-Sel)”, ditulis oleh Jalu Aji
Pamungkas. Hasil dari penelitian dalam skripsi ini memaparkan bahwa

5
Wiwit Sugiarti, "Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Jejaring Media
Sosial (Analisis Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015", (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 98-99.
7

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak


pidana ujaran kebencian di media sosial dalam putusan No.
820/Pid.Sus/2017/PN Jkt-Sel yaitu dengan memperhatikan pertimbangan
yuridis berdasarkan dakwaan penuntut umum, keterangan saksi dan
keterangan terdakwa. Tidak hanya pertimbangan yuridis saja, melainkan
juga memperhatikan keadaan yang memberatkan, yaitu bahwa perbuatan
yang telah dilakukan terdakwa meresahkan masyarakat dan dapat
menimbulkan perpecahan antar masyarakat. Sedangkan keadaan yang
meringankan, yaitu bahwa terdakwa belum pernah dihukum.6
3. Artikel yang berjudul "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana tentang
Penangulangan Tindak Pidana Penyebaran Ujaran Kebencian di Dunia
Maya", ditulis oleh Iqbal Kamalludin dan Barda Nawawi Arief. Artikel ini
menyimpulkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana dalam upaya
penanggulangan ujaran kebencian telah ada dalam KUHP maupun
undang-undang di luar KUHP, tetapi terdapat kelemahan yuridis yang
mengakibatkan sistem pemidanaan tidak dapat berkerja dengan baik dan
maksimal. Kelemahan tersebut terletak pada pertanggungjawaban pidana
korporasi.7

Berdasarkan hasil dari kajian studi terdahulu, bahwa tidak ada yang
membahas mengenai tindak pidana ujaran kebencian dalam UU ITE No.11 tahun
2008 yang menjerat Ahmad Dhani di media sosial dengan analisis putusan
pengadilan tingkat pertama dan banding. Meskipun ada penelitian yang
membahas mengenai ujaran kebencian di media sosial, tetapi penelitian tersebut
menganalisis Surat Edaran Kapolri. Adapun penelitian lain juga meneliti

6
Jalu Aji Pamungkas, "Tindak Pidana Ujaran Kebencian di Media Sosial (Analisis Putusan
PN Jakarta Selatan No.820/Pid.Sus/2017/PN.Jkt-Sel)", (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h., 59-60.
7
Iqbal Kamalludin dan Barda Nawawi Arief, "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana tentang
Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Ujaran Kebencian di Dunia Maya", dalam Jurnal Law
Reform Vol.15, No.1, (2019), h., 126-127.
8

mengenai alasan putusan pengadilan, tetapi penelitian tersebut hanya


menganalisis pada tingkat pertama saja.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, di mana yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah putusan hakim atau undang-
undang yang mengatur tentang ujaran kebencian. Sedangkan jenis
pendekatannya adalah pendekatan kasus dan perundang-undangan, di mana
pendekatan ini merujuk pada alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai pada keputusan serta menelaah kesesuaian antara
putusan pengadilan dengan peraturan perundang-undangan.

2. Sumber Penelitian Hukum


Sumber penelitian hukum yang digunakan penulis dalam meneliti
permasalahan ini ada dua sumber, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer


Bahan Hukum Primer yang menjadi rujukan penulis adalah:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE
3) Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan
Ujaran Kebencian (Hate Speech)
4) Putusan No. 370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel
5) Putusan No. 58/PID.SUS/2019/PT.DKI
b. Bahan Sekunder
Bahan Sekunder yang menjadi rujukan penulis adalah:
1) Buku
2) Artikel dan/atau jurnal
9

3) Surat Kabar, dll.

3. Teknik Pengumpulan
Berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan bahan dalam
penelitian ini, penulis menggunakan teknik dokumenter, yaitu dengan
mengumpulkan dokumen, baik bahan hukum primer maupun sekunder yang
terkait dengan objek penelitian.

4. Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan penulis adalah analisis deskriptif,
yaitu dengan menganalisis bahan yang berupa putusan pengadilan. Dalam
penelitian ini penulis menganalisis dua putusan pengadilan untuk
mengetahui alasan hakim serta konsistensinya dalam memutus perkara
ujaran kebencian kasus Ahmad Dhani.

5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika yang mengacu pada “Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta 2017.

F. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi
pokok pembahasan dalam skripsi dan supaya memudahkan para pembaca
dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun
sistematika penulisan ini sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini penulis akan membahas A. Latar Belakang
Masalah, B. Permasalah, C. Tujuan dan Manfaat Penelitian, D. Kajian
10

Studi Terdahulu, E. Metode Penelitian, dan F. Sistematika


Pembahasan.
BAB II Pembahasan. Pada bab ini dibahas mengenai Teori Ujaran Kebencian
dan Teori Pertimbangan Hakim, yang terdiri dari beberapa sub
pembahasan: A. Ujaran Kebencian, B. Teori Pertimbangan Hakim
dalam Memutus Perkara.
BAB III Pada bab ini dibahas mengenai Ujaran Kebencian Ahmad Dhani
dalam Putusan Pengadilan, yang terdiri dari beberapa sub
pembahasan: A. Deskripsi Perkara, B. Putusan Pengadilan.
BAB IV Pada bab ini dibahas mengenai Analisis Kasus Ujaran Kebecian
Ahamd Dhani dalam Putusan Pengadilan yang terdiri dari beberapa
sub pembahasan: A. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan
B. Konsistensi dan Koherensi Putusan Pengadilan dalam Perkara
Ujaran Kebencian Ahmad Dhani.
BAB V Penutup. Pada bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan dari bab-
bab sebelumnya serta memberikan saran atau masukan mengenai
tema yang dibahas.
BAB II
TEORI UJARAN KEBENCIAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM

A. Ujaran Kebencian
1. Pengertian Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian adalah ujaran yang mengandung kebencian,
menyerang dan berkobar-kobar yang dimaksudkan untuk menimbulkan
dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) maupun tidak langsung
(berhenti pada niat) yang menginspirasi orang lain untuk melakukan
8
kekerasan atau menyakiti orang atau kelompok lain. Berdasarkan
pengertian di atas maka ujaran kebencian itu merupakan ujaran yang
berbentuk tulisan, ucapan maupun tindakan yang mengandung unsur
kebencian yang dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik,
memprovokasi atau bentuk tindakan lainnya yang menimbulkan adanya
tindak kekerasan, diskriminasi terhadap individu ataupun kelompok, yang
merugikan dan menyakiti setiap individu atau kelompok. Jika dicermati
maka ujaran kebencian itu merupakan tindakan yang berdampak pada
merendahkan kehormatan harkat martabat manusia dan kemanusian.
Ujaran kebencian bertujuan untuk menghasut dan menyulut
kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai
komunitas yang dapat dilihat dari berbagai aspek. Aspek yang termasuk di
dalamnya ada 11 macam, yaitu aspek dari suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender,
kaum difabel (cacat), dan orientasi seksual. Aspek tersebut merupakan
identitas terpenting yang tidak bisa dipilih oleh seseorang, dengan kata lain

8
Lidya Suryani Widyanti, "Ujaran Kebencian : Batasan Pengertian dan Larangannya",
dalam Jurnal Info Singkat Vol.X, No. 06/II/Puslit/Maret/2018, h., 3.

11
12

identitas tersebut sudah ada sejak lahir, atau merupakan pilihan sesuai hati
nuraninya.9

Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media, tidak


hanya melalui media sosial saja, di antaranya adalah dapat berupa orasi
dalam kegiatan kampanye, ditulis atau digambar di dalam spanduk atau
banner, disebar melalui jejaring media sosial, disampaikan melalui
pendapat di muka umum (demonstrasi), di dalam isi ceramah keagamaan, di
media massa maupun elektronik, dan juga dapat melalui pamflet. Media-
media tersebut merupakan media yang sangat mudah diakses oleh
masyarakat dan informasi yang mengandung ujaran kebencian pun dapat
tersebar luas.

2. Bentuk-Bentuk Ujaran Kebencian


Ujaran kebencian tidak hanya berupa pendapat yang menyatakan
kebencian, tetapi ujaran kebencian dapat dinyatakan dengan berbagai
macam bentuk. Adapun bentuk-bentuk tindakan yang termasuk kedalam
ujaran kebencian ada 7 macam yaitu, penghinaan, pencemaran nama baik,
penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan
menyebarkan berita bohong.10
Penghinaan yang dimaksudkan dalam kategori ujaran kebencian
adalah penghinaan yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok
berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras,
warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang dengan disabilitas

9
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), h., 16.
10
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), h., 13.
13

(difabel), orientasi seksual, ekspresi gender. Penghinaan itu berupa hasutan


untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.11
Penghinaan itu ada enam macam bentuknya, yaitu menista, menista
dengan surat, memfitnah, penghinaan ringan, mengadu dengan secara
memfitnah, dan tuduhan secara memfitnah. Penghinaan haruslah dilakukan
dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan
maksud tujuan agar diketahui orang banyak.12
Pencemaran nama baik adalah suatu tindakan baik berupa tulisan
maupun lisan yang di mana maksud dari tindakan tersebut adalah untuk
mencemarkan nama baik seseorang. Pencemaran nama baik yang termasuk
dalam ujaran kebencian dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung dan dapat berupa penyerangan terhadap kehormatan atau nama
baik seseorang.13 Penghinaan dan pencemaran nama baik memiliki maksud
yang sama, tetapi penghinaan memiliki cakupan yang lebih luas, sedangkan
pencemaran nama baik merupakan bentuk dari salah satu penghinaan.
Penistaan adalah tuduhan tidak benar tentang kehormatan seseorang
yang bertujuan agar diketahui oleh orang banyak. Tuduhan tersebut dapat
berupa: tuduhan atas perbuatan zina, tuduhan atas menggelapan uang, dan
lain sebagainya. Penistaan juga termasuk ke dalam salah satu bentuk
penghinaan, tetapi penistaan di sini lebih kepada penghinaan terhadap
kehormatan seseorang.
Perbuatan yang tidak menyenangkan adalah perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang yang menurut orang lain merupakan perbuatan
yang tidak menyenangkan. Jika dilihat kembali terdapat hal-hal yang sulit
dikategorikan ke dalam perbuatan yang tidak menyenangkan ini, karena

11
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), h., 14.
12
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyebercrime), h., 119.
13
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), h., 14.
14

kesenangan seseorang tentu berbeda dengan kesenangan orang lain. Oleh


karena itu Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa,
perbuatan tidak menyenangkan dihapuskan dalam bentuk ujaran
kebencian,14 sehingga perbuatan tidak menyenangkan bukanlah suatu tindak
pidana.
Provokasi adalah tindakan menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau merendahkan terhadap suatu atau beberapa golongan yang
dilakukan di muka umum. Adapun yang dimaksud dengan kata golongan
adalah salah satu dari: suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender,
orang dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual, ekspresi gender.15
Menghasut adalah tindakan mempengaruhi orang atau kelompok
untuk mengajak atau mendorong melakukan sesuatu. Sedangkan menghasut
yang dimaksud dalam bentuk ujaran kebencian adalah menghasut orang
atau kelompok untuk mendiskriminasi atau memusuhi individu atau
kelompok lain.
Penyebaran berita bohong atau yang dikenal dengan istilah hoaks
16
adalah informasi yang disebarluaskan tetapi tidak benar faktanya.
Penyebaran berita bohong ini ditujukan untuk menimbulkan perpecahan,
maupun permusuhan antar individu maupun kelompok. Penyebaran berita
bohong juga dapat dimaknai dengan penipuan yang berasal dari kata tipu,
yang di mana diartikan sebagai tidak jujur, palsu atau bohong yang
bertujuan untuk menyesatkan.

14
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), h., 15.
15
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), h., 16.
16
Leni Syafyahya, Ujaran Kebencian dalam Bahasa Indonesia Kajian Bentuk dan Makna,
dalam Makalah Kongres KBI 2018, h., 16.
15

3. Pandangan Hukum Islam mengenai Ujaran Kebencian


Ujaran kebencian atau yang dikenal dengan istilah hate speech
merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Islam
mengajarkan untuk saling menghargai, menghormati dan saling
mengasihi satu sama lain. Berbeda dengan ujaran kebencian yang
menimbulkan permusuhan dan merendahkan kehormatan manusia.
Sebagai agama yang rahmatan lil alamiin, syariat islam yang
diturunkan oleh Allah SWT. bertujuan untuk melindungi makhluk
17
manusia termasuk harkat dan martabatnya. Islam benar-benar
mengharamkan umatnya melakukan perbuatan menggunjing, mengadu
domba, mengumpat, mencaci maki, memanggil dengan julukan tidak baik
dan perbuatan-perbuatan sejenis yang menyentuh kehormatan atau
kemulian manusia, karena Islam bukanlah agama yang mengajarkan
untuk merendahkan orang lain.
Allah SWT. sudah memperingati umat Islam dalam Al-Qur’an
bahwa janganlah mengolok-ngolok suatu golongan, karena belum tentu
golongan yang dihina lebih baik daripada yang mengolok-ngoloknya,
barangkali derajat mereka lebih mulia dan terhomat disisi Allah. Sesama
umat muslim hendaknya saling menyayangi satu sama lain, saling berbagi
dan menolong, itulah yang Islam ajarakan kepada umatnya.
Allah berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 11 yang berbunyi :

‫ين اآمنُوا اَل يا ْس اخ ْر قا ْوٌم ِم ْن قا ْوٍم اع اس ٰى أا ْن يا ُكونُوا اخ ْ ًْيا ِمْن ُه ْم اواَل نِ اساءٌ ِم ْن نِ اس ٍاء اع اس ٰى أا ْن‬ ِ َّ
‫اَي أايُّ اها الذ ا‬
ِ ِْ ‫وق ب ع اد‬ ِ ‫اب ۖ بِْئ‬
ِ ‫ي ُك َّن اخ ْْيا ِمْن ه َّن ۖ واَل تا ْل ِمزوا أانْ ُفس ُكم واَل تانااب زوا ِِبْْلالْ اق‬
ْ‫اْلمياان ۚ اوام ْن اَل‬ ْ ‫س اَل ْس ُم الْ ُف ُس ُ ا‬
‫ا‬ ُ‫ا ْ ا ا‬ ُ ‫ً ُ ا‬ ‫ا‬
‫ك ُه ُم الظَّالِ ُمو ان‬
‫ب فاأُوٰلائِ ا‬
ْ ُ‫يات‬

17
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h., 60.
16

Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-ngolok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang
diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan
pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan yang lain,
(karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari
perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu
sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik)
setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.”
Berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas, dapat ditarik secara garis besar
bahwa Allah melarang umatnya dalam 3 hal, yaitu:
a. Mengolok-olok suatu kaum/golongan,
b. Mencela satu sama lain, dan
c. Memanggil orang lain dengan sebutan/gelar yang buruk.
Penafsiran kata yaskhar (memperolok-olok) dalam ayat ini, yaitu
menyebut kekurangan orang lain dengan tujuan untuk menertawakan
yang bersangkutan baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah laku. Kata
talmuzuu yang berasal dari kata al-lamz, menurut Ibnu ‘Ashur diartikan
sebagai ejekan yang langsung dihadapkan kepada orang yang diejek, baik
dengan syarat, bibir, tangan. Atau kata-kata yang dipahami sebagai
ejekan atau ancaman.18
Sementara kata tanaabazuu yang berasal dari kata an-nabz, berarti
gelar buruk. At-tanaabazuu adalah saling memberi gelar buruk. Larangan

18
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta :
Lentera Hati, 2002), h., 251.
17

ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal balik,


berbeda dengan al-lamz pada penggalan ayat sebelumnya. At-tanaabazuu
mengandung makna timba balik, dikarenakan gelar buruk bisaanya
disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang
bersangkutan, dan hal ini mengundang siapa saja yang tersinggung
dengan panggilan ini untuk membalas dengan panggilan gelar buruk pula.
Bahwasanya terdapat sekian gelar yang secara lahiriah dapat dinilai gelar
buruk, tetapi karena ia popular dan penyandangnya pun tidak merasa
keberatan dengan gelar itu, maka hal diperbolehkan oleh agama.19
Adapun kata al-ism pada ayat ini bukan berarti “nama” melainkan
“sebutan”, dan ada pula yang memahaminya dengan maksud “tanda”. 20
Tafsir ayat ini menjelaskan bahwa seburuk-buruk sebutan atau tanda
pengenal adalah yang disandangkan dengan makna kefasikan atau
perbuatan dosa, yang di mana ia telah beriman.
Dalam tafsir Qur’an Karim karangan Mahmud Yunus, surat Al-
Hujurat ayat 11 menjelaskan mengenai bahwa seseorang tidak boleh
menghinakan dan mencaci (memberi malu) orang atau memanggilnya
dengan gelaran yang tidak baik yang tidak disukai oleh orang yang
dipanggil. Hendaknya sesama mukmin meninggalkan sangkaan jahat
terhadap orang mukmin lainnya, karena setelah sangkaan itu ialah dosa,
yaitu seseorang menyangka bawah orang itu jahat dan pada lahirnya
mereka adalah orang baik maka orang yang menyangka mendapatkan
dosa atas sangkaan jahatnya. Itulah aturan pergaulan sesama kaum
muslim yaitu menjaga perdamaian dan persaudaraan.21

19
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, h., 252
20
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, h., 252
21
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta : PT Hidakarya Abang, 2004), h., 765-766.
18

Allah juga berfirman dalam surat At-Taubah ayat 79 yang berbunyi :

‫ين اَل اَِي ُدو ان إََِّل ُج ْه اد ُه ْم فايا ْس اخُرو ان ِمْن ُه ْم‬ ِ َّ ِ َّ ‫الَّ ِذين ي ْل ِمزو ان الْمطَّ ِو ِعني ِمن الْمؤِمنِني ِِف‬
‫الص ادقاات اوالذ ا‬ ‫ا ا ُ ُ ا ا ُْ ا‬
‫اب أالِ ٌيم‬ ِ َّ ‫س ِخر‬
ٌ ‫اَّللُ مْن ُه ْم اواَلُْم اع اذ‬ ‫ا ا‬

Artinya:

“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman


yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela)
orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar
kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka.
Allah akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan mendapat
azab yang pedih.”

Dalam surat Al-Humazah ayat 1 yang berbunyi :

ِ‫و ۡيل لِ ُك ِل ُُهاازةٍ لُّمازة‬


‫ا‬ ٌ ‫ا‬

Artinya :

“Celakalah bagi setiap tukang gunjing dan tukang fitnah.”

Ada tiga sifat buruk yang dikutuk Allah, yaitu (1) menggunjing, (2)
menjelek-jelekan orang, dan (3) menimbun harta kekayaan. 22 Menggunjing
adalah mengatakan atau membicarakan seseorang dengan kesan yang buruk
dengan kata-kata sindiran, mengejek ataupun menghina. Sedangkan menjelek-
jelekan orang yaitu menjelek-jelekan bentuk atau ciri fisik seseorang,
walaupun yang diucapkan adalah benar tetapi tetap saja Allah tidak menyukai
sifat ini dikarenakan ia mengucapkannya dengan maksud niat jahat.

22
Abdullah Yusuf Ali, Tafsir Yusuf Ali Teks, Terjemahan dan Tafsir Qur’an 30 Juz, (Bogor :
Pustaka Lentera AntarNusa, 2009), h., 1693.
19

Dalam Islam, Allah telah memuliakann manusia dengan kelebihan


yang sempurna diatas makhluk lainnya, hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an
surat Al-Isra’ ayat 70, yang berbunyi :

‫اه ْم اعلا ٰى اكثِ ٍْي ِِم َّْن اخلا ْقناا‬


ُ ‫ض ْلنا‬
ِ ‫ولا اق ْد اكَّرمناا ب ِِن آدم و اَحلْنااهم ِِف الْ ِب والْبح ِر ورزقْ نااهم ِمن الطَّيِب‬
َّ ‫ات اوفا‬‫ْ ا ا ا ا ا ُ ْ ا ا ا ْ ااا ُ ْ ا ا‬ ‫ا‬
‫يل‬ ِ
ً ‫تا ْفض‬

Artinya:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami


angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Tidak boleh ada perbedaan antara seorang manusia dengan


manusia lainnya dalam hal kemulian martabat dan hak asasinya. Juga tidak
boleh ada perbedaan yang membuatnya merasa lebih tinggi dari
orang/kelompok lainnya, baik berdasarkan ras, suku bangsa, kelas
kemasyarakatandan kekayaan.23

Aturan mengenai larangan tidak pidana ujaran kebencian tidak


hanya diatur dalam Al-Qur’an, tetapi dalam riwayat hadist juga
menjelaskan tentang larangan mencela seorang muslim, seperti yang
disampaikan oleh Muhammad bin Ar’arah ra. berkata :

‫ اوقِتاالُهُ ُك ْفٌر‬، ‫وق‬


ٌ ‫اب الْ ُم ْسلِِم فُ ُس‬ ِ
ُ ‫سبا‬
“Mencela seorang muslim merupakan kefasikan dan memeranginya
merupakan kekufuran”. HR. Imam Bukhori, no: 4824

23
A. Rahman Zainuddin, Hak-Hak Asasi dalam Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 1979), h.,
39.
24
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadist I : Shahih al-
Bukhari 1,Terj. Masyhar & Muhammad Suhadi, (Jakarta: Almahira, 2013), h., 15.
20

Riwayat lainnya adalah hadist riwayat Abu Dawud ra. yang


berbunyi:

ً‫ت با ْع ادهُ ُحًّرا اواَل اعْب ًدا اواَل باعِ ًْيا اواَل اشاة‬
ُ ‫ال فا اما اسبا ْب‬
‫اح ًدا قا ا‬
‫َّب أ ا‬
ََّّ ‫اَل تا ُس‬

“Janganlah engkau mencela seorangpun!” Abu Jurayyi berkata,


maka setelah itu aku tidak pernah mencela seorang yang merdeka, “
,seorang budak, seekor onta, dan seekor kambing”. HR. Abu Dawud
no:408425
Saling menghormati antar seseorang merupakan salah satu
pengertian utama adil dalam syariah. Maka masyarakat yang adil dalam
Islam adalah masyarakat yang menjamin hak dan harkat setiap orang
dalam berbagai aturan kehidupan masyarakat. 26 Oleh karena itu, Islam
mengajarkan untuk menghormati antar maupun sesama golongan, serta
saling meyayangi satu sama lain, agar terciptanya kehidupan
bermasyarakat yang rukun, damai serta jauh dari permusuhan. Perbedaan
yang muncul di antara kehidupan bermasyarakat dapat dijadikan suatu
keunikan yang dimiliki inidividu maupun kelompok, dan bukanlah
menjadi sesuatu yang dihinakan atau pun menjadi sebab adanya
perpecahan.

4. Hak Konstitusi Kebebasan Berpendapat


Hak konstitusional adalah hak yang dijamin oleh konstitusi atau
undang-undang dasar, baik jaminan tersebut dinyatakan secara tegas
maupun tersirat. Karena hak tersebut dicantumkan dalam konstitusi maka
hak itu menjadi bagian dari konstitusi seluruhanya dan wajib untuk

25
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadist 7 ; Sunan
Abu Dawud, Terj. Muhammad Ghazali, dkk, (Jakarta: Almahira, 2003), h., 848.
26
Abdur Rahman I. Doi, Inilah Syariah Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h., 11.
21

dihormati. Selain itu hak konstitusional yang merupakan bagian dari


konstitusi harus dilindungi,27 termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan
berpendapat, baik yang dilakukan di muka umum maupun kebebasan
berpendapat yang ditulisakan di media sosial serta yang diucapkan di suatu
forum perkumpulan.
Kebebasan berpendapat menjadi suatu hal yang sangat penting,
bahkan negara-negara di dunia juga menekankan adanya kebebasan dalam
mengemukakan pendapat. Tidak hanya di Indonesia negara yang mengatur
tentang kebebasan berpendapat dalam undang-undang, melainkan secara
universal negara di dunia ini mengakui bahwa kebebasan berpendapat
adalah hak asasi manusia. Kemerdekaan berpendapat atau kebebasan untuk
menyatakan pendapat merupakan salah satu unsur dasar kehidupan
masyarakat yang berpemerintahan, dengan demikian terjaminnya
kemerdekaan berpendapat oleh negara merupakan bukti bahwa negara
tersebut telah tumbuh dan berkembang budaya demokrasi.28
Kebebebasan menyampaikan pendapat di muka umum adalah salah
satu hak konstitusional yang diatur oleh negara. Meskipun demikian, tetapi
dalam menyampaikan pendapat di muka umum haruslah berlandaskan pada
beberapa asas, yaitu asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, asas
musyawarah dan mufakat, asas profesionalitas, dan asas manfaat.29
Asas keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah asas yang
mejelaskan bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban, hak adalah
sesuatu yang didapatkan dan kewajiban adalah sesuatu hal yang harus
dikerjakan. Dalam asas ini, bobot hak haruslah sama besar dengan

27
Meirina Fajarwati, Upaya Hukum untuk Melindungi Hak Konstitusional Warga Negara
Melalui Mahkamah Konstitusi, dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 13, No. 03, September 2016 :
321-332, h., 326.
28
Trisnowaty Tuahunse, Budaya Demokrasi dan Kemerdekaan Berpendapat, diambil dari
jurnal www.repository.ung.ac.id, h., 3.
29
Angger Sigit Pramukti dan Meylani Chahyaningsih, Pengawasan Hukum Terhadap
Aparatur Negara, (Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2016), h., 76.
22

kewajiban, di antara keduanya harus seimbang. 30 Tidak bisa seseorang


menuntut haknya tanpa mengerjakan kewajiban, begitu pula sebaliknya
dengan ia mengerjakan kewajiban tanpa mendapatkan hak nya.
Asas musyawarah dan mufakat adalah asas saling bertukar pikiran
dan/atau berpendapat untuk mencari kata mufakat agar permasalahan yang
dihadapi dapat diselesaikan dengan saling mendengar setiap pendapat
seseorang dan keputusan yang diambil disepakati oleh setiap orang. Dengan
musyawarah ditemukan cara untuk mempersatukan manusia dan golongan-
golongan dari berbagai atribut ditengah-tengah problema masyarakat.31
Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.32 Kata profesionalitas berasal dari kata profesi yang berarti
adalah keahlian, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh seseorang, dan
kode etik adalah tatanan etika dalam suatu kelompok yang telah disepakati.
Asas manfaat adalah asas yang menjunjung nilai guna atau
berfaedah. Setiap apa yang dilakukan haruslah memiliki manfaat atau nilai
guna baik berguna untuk si pelaku maupun berguna untuk orang lain.
Kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional, tetapi tetap
saja hak tersebut tidak boleh mengganggu hak orang lain. Setiap orang
berhak atas menyampaikan kebebasan pendapatnya mengenai apapun, baik
itu dalam mengekspresikan dirinya maupun mengkritik suatu hal yang tidak
sependapat dengan gagasannya. Dalam menyampaikan pendapat, seseorang
tidak boleh semena-mena menuliskan ataupun mengucapkan kata dan/atau
kalimat yang mengandung unsur kebencian terhadap seseorang dan/atau
kelompok, walaupun sebenarnya yang disampaikan adalah murni dari
30
Sri Warjiyati, Memahami Dasar Ilmu Hukum : Konsep Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), h., 64.
31
Muhammad Hanafi, Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia, dalam Jurnal
Cita Hukum Vol. I No. 2 Desember 2013, h., 230.
32
M. Fauzan & Baharudin Siagian, Kamus Hukum Yurisprudensi, (Depok: Kencana, 2017),
h., 66.
23

gagasan pikirannya. Apabila seseorang itu tetap menyampaikan


pendapatnya maka ia dapat terjerat tindak pidana ujaran kebencian. Karena
kembali lagi pada dasarnya kebebasan seseorang dibatasi dengan hak orang
lain.

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara


Hakim adalah seseorang yang diberi kuasa untuk memutus suatu
perkara, dalam hal ini hakim memiliki peran penting dalam menegakkan
keadilan. Oleh karena itu seorang hakim dituntut untuk selalu bersikap adil
dalam mempertimbangkan putusan suatu perkara. Tidak hanya sikap adil yang
harus dimiliki oleh hakim, melainkan dalam melaksanakan tugasnya hakim
harus berkerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana, serta mempunyai
rasa kemanusian yang tinggi juga menguasi dengan baik teori ilmu hukum.33
Pada dasarnya tugas hakim adalah memberi keputusan dalam setiap
perkara atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti
hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-
pihak yang terlibat dalam perkara. Dalam menyelesaikan perselisihan atau
konfilk tersebut harus diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku, maka
hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, terutama
dalam mengambil suatu keputusan. 34 Dalam memustuskan perkara, hakim
memiliki pertimbangan putusan untuk memutuskan perkara dengan adil.
Aspek yang harus dipertimbangkan adalah aspek yang bersifat yudiris,
sosiologis, dan filosofis, sehingga jika aspek tersebut terlaksana maka dapat
terwujud dan tercapainya keadilan.

33
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), h., 3.
34
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, h., 2.
24

Sebelum seorang hakim memutus suatu perkara, maka ia terlebih


dahulu akan menanyakan kepada hati nuraninya sendiri. Apakah putusan ini
nantinya akan adil dan bermanfaat (kemashlahatan) bagi manusia ataukah
putusan ini lebih banyak membawa kepada kemudharatan. Untuk itulah
diharapkan seorang hakim mempunyai otak yang cerdas dan disertai dengan
hati nurani yang bersih.35
Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara diatur oleh
Mahkamah Agung RI, sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan
kehakiman yang membawahi 4 badan perdilan di bawahnya, yaitu peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Mahkamah Agung RI telah menentukan bahwa putusan hakim harus
mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis dan
sosiologis agar tercapainya keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum
(legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan masyarakat (social
justice).36
1. Aspek Yuridis
Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan
berpatokan kepada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai
aplikator undang-undang harus memahami undang-undang dengan
mencari undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang
dihadapi. Selain itu hakim harus menilai apakah undang-undang
tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau memberikan kepastian hukum
jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu adalah menciptakan
keadilan.37
Aspek yuridis ini merupakan orientasi keadilan hukum (legal
justice) yang di mana suatu perbuatan dapat dihukumi apabila

35
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, h., 3.
36
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, h., 126.
37
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, h., 126.
25

perbuatan tersebut menyalahi aturan undang-undang. Di sini seorang


hakim dalam mempertimbangkan putusannya haruslah melihat undang-
undang yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Putusan yang ia
putuskan haruslah sesuai dengan apa yang diatur oleh undang-undang,
tidak boleh seorang hakim sembarang memutus suatu perkara tanpa
melihat undang-undang yang berlaku.

2. Aspek Filosofis
Aspek filosofis yaitu merupakan aspek yang berdasarkan pada
kebenaran dan keadilan yang berorientasikan pada keadilan moral
(moral justice). Dalam hal ini seorang hakim tidak hanya
mempertimbangkan suatu putusan dengan aturan undang-undang yang
berlaku saja, melainkan hakim juga mempertimbangkan suatu putusan
berdasarkan hati nurani dan rasa keadilan yang terdapat dalam diri
seorang hakim.38
Aspek filosofis menjadi salah satu aspek petimbangan hakim,
karena keadilan bukanlah suatu hal yang berjumlah sama atau sesuatu
yang memiliki nilai sama, melainkan keadilan adalah sesuatu yang
ditempatkan pada posisi yang sesuai. Begitu juga dengan hukum,
hukum dapat dikatakan adil bukanlah hukum yang di mana setiap
orang yang melakukan perbuatan menyalahi aturan dikenai sanksi
yang sama, melainkan adil di sini yaitu setiap orang yang menyalahi
aturan dikenai sanksi yang sesuai dengan keadaan dan tingkat
kejahatan yang orang itu lakukan.

3. Aspek Sosiologis
Aspek yang ketiga adalah aspek sosiologis yaitu aspek yang
mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat

38
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, h., 126.
26

yang berorientasikan pada keadilan masyarakat (sosial justice). 39


Hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan perkara harus melihat
aspek sosiologis, di mana hakim dapat menggali nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Jika dilihat kembali tujuan adanya peraturan yaitu
untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang damai dan tentram,
serta adanya peraturan itu disesuaikan dengan kondisi sosial
masyarakat.
Dalam peraturan perundang-undangan, dapat ditemukan
beberapa peraturan yang tidak lagi relevan dengan kondisi sosial
masyarakat. Oleh karena itu ada peraturan perundang-undangan yang
baru yang menggantikan peraturan perundang-undangan yang lama.
Peraturan perundang-undangan yang baru ini bertujuan agar hukum
yang ada di masyarakat tetaplah relevan dengan kondisi, situasi dan
keadaan masyarakat yang sekarang.

39
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, h., 126
BAB III
UJARAN KEBENCIAN AHMAD DHANI DALAM PUTUSAN PENGADILAN

A. Deskripsi Perkara
Dalam penelitian skripsi ini, penulis mengambil putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel dan putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI yang
memutus perkara tindak pidana ujaran kebencian.
1. Identitas Terdakwa
Terdakwa dalam kasus tindak pidana dengan No.
370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel bernama Dhani Ahmad Prasetyo alias
Ahmad Dhani yang lahir di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1972.
Terdakwa beragama Islam, perkerjaannya adalah seniman, dan
pendidikan terakhir adalah SMA. Tempat tinggal Terdakwa berada di
Jalan Pinang Emas VII D.4 No.7 RT.008/003, Kelurahan Pondok
Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.40

2. Tuntutan
Tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum kepada
Terdakwa dalam kasus ujaran kebencian yaitu, menyatakan Terdakwa
terbukti melakukan tindak pidana ujaran kebencian sebagaimana
diatur dalam Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19
Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP,
yang bertuliskan:

"Siapa saja dengan sengaja dan tanpa hak, menyuruh lakukan,


menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat

40
Putusan No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, h., 1.

27
28

tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan


(SARA)."

Penuntut Umum juga mengajukan beberapa barang bukti untuk


dirampas maupun dimusnahkan. Barang bukti tersebut berupa 1 (satu)
buah flash disk Kingston data Traveler G3 8GB, warna putih-kuning,
berisi screenshoot unggahan twitter Dhani Ahmad Prasetyo
@AHMADDHANIPRAST dan 1 (satu) unit HP merek Xiaomi
Redmi Note 4 warna putih silver, berserta simcard Indosat Nomor:
085731922219 di dalamnya.

Selanjutnya Penuntut Umum mengajukan barang bukti untuk


dirampas dan dimusnahkan dengan cara dinonaktifkan melalui
Kementrian KOMINFO RI. Barang bukti tersebut yaitu, 1 (satu) buah
simcard HP provider XL dengan nomor 081760009999, 1 (satu) buah
email dengan nama adpsocmed@gmail.com beserta password, dan 1
(satu) buah akun twitter dengan nama pemilik DHANI AHMAD
PRASETYO @AHMADDHANIPRAST beserta password.

Tuntutan Penuntut Umum yang terakhir adalah mengajukan


supaya Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani
dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima
ribu rupiah).41

3. Pembelaan Terdakwa
Terdakwa melakukan pembelaan melalui Penasihat Hukum
Terdakwa di mana pembelaan tersebut adalah bahwa tidak ada tindak
pidana ujaran kebencian dan permusuhan kepada individu dan/atau
kelompok masyarakat berdasarkan SARA yang dilakukan Terdakwa.
Terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana

41
Putusan No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, h., 2-3.
29

berdasarkan dengan dakwaan Penuntut Umum dalam Pasal 45A ayat


(2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan
UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo
Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP.

Penasihat Hukum menyatakan bahwa tulisan, "Siapa saja yg


mendukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu di ludahi
mukanya-ADP" adalah penyataan pendapat di muka umum yang
dilindungi oleh UUD 45, bukan sebagai ujaran kebencian. Kalimat
tersebut tidaklah melanggar UU ITE pasal 28 yang melibatkan SARA
(suku, agama, ras dan antargolongan).

Penasihat Hukum Terdakwa memohon kepada Majelis Hakim


untuk memulihkan hak-hak Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias
Ahmad Dhani dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat
seperti semula. Penasehat Hukum juga memohon kepada Majelis
Hakim untuk menyatakan bahwa Terdakwa bebas dari segala
dakwaan dan tuntutan hukum.

Penasehat Hukum memohon putusan seringan-ringannya


kepada Majelis Hakim dan menerima pembelaan dari Penasihat
Hukum Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani. Selain
itu Penasihat Hukum Terdakwa memohon untuk membebankan biaya
perkara kepada negara.42

4. Memori Banding
Pada tanggal 12 Februari 2019 Penasihat Hukum Terdakwa
mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
Isi dari memori banding tersebut adalah bahwa Pengadilan Tingkat
Pertama telah salah dan keliru menerapkan pasal 55 ayat (1) ke-1

42
Putusan No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt.Sel, h., 3-6.
30

KUHP، karena dalam dakwaan Terdakwa didakwa bersama-sama


dengan saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo, akan tetapi sampai
putusan perkara dibacakan saksi belum pernah dijadikan tersangka
maupun terdakwa.

Pemohon Banding merasa keberatan atas pertimbangan Majelis


Hakim Tingkat Pertama yang menjadikan Suryopratomo Bimo A T
hanya sebagai saksi murni yang dilepaskan pertanggungjawaban
sebagaimana dalam ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, di mana
subyek hukum yang menyebarkan informasi melalui media sosial
(akun twitter) adalah Saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo dan
subyek hukum yang menyuruh melakukan penyebaran informasi
adalah Terdakwa.

Pemohon Banding merasa keberatan atas fakta persidangan, di


mana unggahan yang Terdakwa tulis (3 tweet di akun media sosial)
tidaklah saling berkaitan melainkan berdiri sendiri-sendiri. Pemohon
meminta kepada Majelis Hakim Tingkat Tinggi untuk menyatakan
bahwa Terdakwa tidak bersalah dan membebaskan Terdakwa dari
dakwaan.43

5. Kontra Memori Banding


Penuntun Umum mengajukan kontra memori banding pada
tanggal 20 Februari 2019 kepada Pengadilan Tingkat Tinggi. Isi dari
kontra memori banding tersebut adalah, bahwa dalam surat dakwaan
secara cermat telah diuraikan peran Terdakwa dan Saksi
Suryopratomo Bimo A T alias Bimo. Demikian pula dengan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menguraikan peranan Saksi
Suryopratomo Bimo A T alias Bimo yang melakukan penyebaran

43
Putusan No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI, h., 9-11.
31

informasi hanyalah menjalankan perintah Terdakwa sehinga tidak


dapat dikategorikan sebagaimana ketentuan pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.

Penuntut Umum tidak sependapat dengan keberatan Terdakwa


(Pemohon Banding) mengenai fakta persidangan yang menyatakan
bahwa tiga unggahan Terdakwa berdiri sendiri dan tidak dapat
dihubungkan satu sama lain. Penuntut Umum memohon kepada
Majelis Hakim Tingkat Tinggi untuk menerima permohonan kontra
memori banding dan menolak permohonan banding Penasihat Hukum
Terdakwa.44

B. Putusan Pengadilan
1. Ujaran Kebencian Ahmad Dhani dalam Putusan Pengadilan Negeri
Amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel pada tanggal 24 Januari 2019 mengadili
Terdakwa dengan menyatakan bahwa Terdakwa yang bernama Dhani
Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah telah melakukan tindak pidana ujaran kebencian. Terdakwa
melanggar pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun
2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, "Dengan sengaja dan tanpa hak, menyuruh
lakukan, menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA)".

44
Putusan No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI, h., 11-13.
32

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan sanksi pidana


terhadap Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani, dengan
sanksi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga memerintahkan agar Terdakwa
ditahan.45

2. Ujaran Kebencian Ahmad Dhani dalam Putusan Pengadilan Tinggi


Amar putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
58/Pid.Sus/2019/PT.DKI pada tanggal 11 Maret 2019 berisikan bahwa
pengadilan menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan
Terdakwa. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga merubah Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel
tanggal 28 Januari 2019 yang dimintakan banding, sepanjang lamanya
pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa.

Amar putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan bahwa


Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani, telah terbukti
secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ujaran
kebencian yang diatur dalam pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU
RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, "Dengan sengaja dan tanpa hak,
menyuruh lakukan, menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA)".

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan sanksi pidana terhadap


Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani, dengan sanksi

45
Putusan No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt.Sel, h., 73-75.
33

pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga
memerintahkan agar terdakwa ditahan.46

46
Putusan No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI, h., 17-19.
BAB IV
ANALISIS UJARAN KEBENCIAN KASUS AHMAD DHANI DALAM
PUTUSAN PENGADILAN

A. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan

1. Pertimbangan Yuridis
Dalam memutus suatu perkara, hakim merujuk pada pertimbangan
yuridis, yaitu berdasarkan pada undang-undang yang berlaku. Dalam
putusan Nomor 370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, hakim merujuk pada Pasal
45A ayat (2) UU RI No.19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang bertuliskan, "Setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras dan antargolongan (SARA) sebagaima dimaksud dalam pasal 28 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Pasal 28 ayat (2) menyatakan, "Setiap Orang dengan sengaja dan


tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)".
Kemudian Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP, "Dipidana sebagai pembuat delik
mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan".

Pasal tersebut mengandung unsur-unsur, yaitu:


a. Setiap orang
Setiap orang yang dimaksud adalah siapa saja, tidak melihat
status, gender, maupun usia.

34
35

b. Dengan sengaja dan tanpa hak


Dengan sengaja yaitu melakukan perbuatan yang memang sudah
direncanakan dan memiliki maksud tertentu.
c. Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan
atargolongan (SARA).

d. Sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut


serta melakukan perbuatan (bersama-sama melakukan
perbuatan).47

Tulisan Terdakwa Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani yang


diperkarakan adalah tulisan yang ia unggah di akun sosial media (twitter)
pada tanggal 6 Maret 2017 yang bertuliskan, "Siapa saja yang mendukung
Penista Agama adalah Bajingan yang perlu di ludahi muka nya, -ADP".
Berdasarkan tulisan tersebut, hakim mempertimbangkan bahwa tulisan
Terdakwa mengandung unsur ujaran kebencian. Pertimbangan hakim yang
memutuskan bahwa tindakan Terdakwa adalah perbuatan tindak pidana
ujaran kebencian ternyata tidak berdasarkan pada satu tulisan yang
diunggah pada tanggal 6 Maret 2017, melainkan melihat pada unggahan
lainnya pada tanggal 7 Februari 2017 yang bertulisakan, "Yg menistakan
Agama si Ahok ... Yang diadili KH Ma'ruf Amin ... ADP" dan 7 Maret
2017 yang bertuliskan, "Sila pertama KETUHANAN YME, PENISTA
Agama jadi Gubernur ... Kalian WARAS??? -ADP". Melihat kedua tulisan
tersebut, dapat diketahui bahwa tulisan Terdakwa pada tanggal 6 Maret
2017 saling bersangkutan dengan tulisan pada tanggal 7 Februari 2017 dan
7 Maret 2017. Yang dimaksud dengan penista agama adalah Ahok, dan
yang mendukung penista agama adalah para pendukung Ahok. Di sini
47
Putusan No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, h., 64.
36

unsur ujaran kebecian dapat terlihat di mana yang dihina adalah Ahok dan
para pendukungnya.

Dalam putusan banding No. 58/.Pid.Sus/2019/PT.DKI, Majelis


Hakim Tingkat Banding sependapat dengan Majelis Hakim Tingkat
Pertama, bahwa Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana
ujaran kebencian. 48 Majelis Hakim Tingkat Banding juga merujuk pada
Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 tahun 2016 tentang
Perubahan UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP.

Majelis Hakim Tingkat Pertama menimbang dalam pasal 55 ayat (1)


ke-1 KUHP mengenai Terdakwa, bahwasannya perbuatan Terdakwa
termasuk perbuatan "menyuruh melakukan" dan orang yang disuruh
adalah saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo. Saksi diketahui sebagai
orang yang berkerja sebagai admin Terdakwa, terlepas ada paksaan atau
tidak Saksi menyebarkan informasi tersebut karena menjaga agar dirinya
masih tetap berkerja, namun pada kenyataannya Saksi hanyalah
menjalankan perintah dan tidak dapat dikategorikan sebagaimana
ketentuan dalam pasal 54 ayat (1) ke-1 KUHP karena tidak perlu adanya
pertanggung jawaban atas diri saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo.49

Majelis Hakim Tingkat Banding juga menimbang mengenai


perbuatan saksi Suryopratomo Bimo A T alias Bimo, dan setuju dengan
pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama. Saksi hanyalah admin yang
di mana sudah tugasnya untuk mengunggah setiap apa yang disuruh oleh
Terdakwa, oleh karena itu Saksi terbebas dari jeratan pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP. Sedangkan Terdakwa dapat terjerat pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

48
Putusan No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI, h., 14.
49
Putusan No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel, h., 71.
37

karena telah menyuruh melakukan, oleh karena itu tulisan yang diunggah
menjadi tanggung jawab Terdakwa.

2. Pertimbangan Filosofis

Pertimbangan filosofis adalah pertimbangan berdasarkan rasa


keadilan yang berasal dari hati nurani seorang hakim. Hakim dalam
memberikan sanksi pidana melihat tingkat kejahatan yang dilakukan
terdakwa, suatu kejahatan tidak dapat disamakan dengan kejahatan lainnya
dalam hal sanksi pidana. Di sini rasa keadilan seorang hakim dapat dilihat,
apakah sanksi pidana yang dilakukan oleh seorang yang belum pernah
dihukum sebelumnya sama besarnya dengan sanksi pidana oleh seseorang
yang pernah dihukum. Perkara ini jika dilihat dalam Pasal 5 ayat (2) jo
Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1)
ke-I KUHP mempunyai ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun.

Tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum adalah 2 tahun penjara,


sedangkan Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusan
No.370/Pid.Sus/2018/PN. Jkt-Sel memutuskan dengan sanksi pidana
penjara 1 tahun dan 6 bulan. Hukuman penjara yang diberikan hakim
adalah bentuk dari rasa keadilan hakim terhadap Terdakwa. Melihat
kelakuan terdakwa berpotensi menimbulkan keresahan dan memecah belah
antar golongan, Majelis Hakim merasa sudah cukup dengan diberikannya
sanksi pidana penjara 1 tahun dan 6 bulan.

Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat dengan Majelis


Hakim Tingkat Pertama mengenai waktu lamanya sanksi pidana penjara
yang diberikan kepada Terdakwa. Dalam putusan
No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI Majelis Hakim Tingkat Banding menimbang
bahwa perkara ini bukanlah suatu perkara pembalasan, melainkan
38

merupakan pembelajaran bagi terdakwa dan masyarakat lainnya untuk


berhati-hati dalam menggunakan sosial media, oleh karena itu sanksi
penjara 1 tahun 6 bulan dirasa terlalu berat sehingga hakim memutuskan
sanksi penjara menjadi 1 tahun.

Hakim dalam memberikan sanksi pidana kepada Terdakwa


menggunakan asas keadilan, dan asas kepastian hukum. Asas keadilan
yang digunakan hakim dapat dilihat dari berapa lama hakim menentukan
sanksi penjara yang diberikan kepada Terdakwa. Teori keadilan yang
digunakan hakim adalah teori keadilan vindikatif yang digagas oleh
Aristoteles, teori ini menyebutkan bahwa kejahatan harus setimpal dengan
hukumanya.50

Asas kepastian hukum yang digunakan hakim berdasarkan teori


legalitas di mana peraturan yang menjadi landasan dalam menentukan
hukum. Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksankan dan
51
ditegakkan secara tegas. Dalam perkara ini udang-undang sudah
mengatur berapa lama sanksi pidana penjara pelaku tindak ujaran
kebencian, berdasarkan pasal 45A ayat (2) menyebutkan paling lama
pidana penjara adalah enam tahun, dan hakim memberikan sanksi pidana
satu tahun penjara.

3. Pertimbangan Sosiologis

Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusan No.


370/Pid.Sus/2018/PN.Jkt-Sel menimbang bahwa tulisan Terdakwa yang
bertuliskan, "Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan yg
perlu diludahi mukanya" merupakan kalimat yang menunjukan ungkapan

50
Istijab, Filsafat Hukum : Dalam Pendekatan Kesejarahan dan Profetik, (Pasuruan: Qiara
Media, 2019), h., 34.
51
Achmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, h., 131.
39

menghina. Kalimat tersebut diunggah Terdakwa di salah satu akun media


sosial yang di mana setelah unggahan tersebut kemudian menghasilkan
komentar pro maupun kontra, maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa
unggahan tersebut dapat memicu perpecahan yang berdampak pada
kelompok yang saling berbeda posisinya. Terlebih lagi Terdakwa pada
saat itu berprofesi sebagai seniman yang juga menjadi public figure yang
dikenal banyak oleh masyarakat.

Majelis Hakim Tingkat Tinggi dalam putusan No.


58/Pid.Sus/2019/PT. DKI juga menimbang bahwa perbuatan Terdakwa
adalah perbuatan yang meresahkan dan berpotensi menimbulkan provokasi
terhadap kelompok masyarakat. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat
Tinggi tersebut berdasarkan atas pernyataan para pelapor yang merasa
resah dan tersinggung atas tulisan Terdakwa.

Pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan mengenai kondisi


masyarakat saat itu. Perkara ini terjadi pada saat tahun politik, di mana
orang yang dihina oleh Terdakwa adalah Ahok, yang pada saat itu sedang
mencalonkan diri sebagai Gurbenur DKI Jakarta. Pada tahun politik seperti
itu, banyak sekali masyarakat yang berkampanye untuk mensukseskan
pilihan mereka, dan juga adapula yang menjelek-jelekan pilihan lawan,
semua itu bertujuan untuk mendapatkan perhatian masyarakat.

Pendukung Ahok tidak terima atas apa yang telah Terdakwa tulis di
media sosialnya (twitter), melihat bahwa terdakwa adalah seorang public
figure yang pengikut di media sosial tidaklah sedikit. Hal tersebut dapat
berdampak negatif bagi para pendukung Ahok, karena tulisan Terdakwa
yang menyiratkan rasa kebencian dapat menghasut masyarakat yang
membaca tulisannya dan ikut membenci Ahok. Jelas hal tersebut dapat
40

merugikan Ahok yang sedang mencalonkan diri sebagai Gurbenur DKI


Jakarta dan sangat membutuhkan dukungan dan/atau suara.

B. Konsistensi dan Koherensi Putusan Pengadilan dalam Perkara Ujaran


Kebencian Ahmad Dhani

1. Konsistensi Putusan Pertama dan Putusan Banding

Putusan pertama yaitu putusan dengan Nomor 370/Pid.Sus/2018/PN.


Jkt-Sel dengan putusan banding dengan Nomor 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI
memutuskan dengan amar putusan yang tidak terlalu berbeda. Hal yang
membedakan amar putusan adalah mengenai lamanya sanksi pidana
penjara. Sanksi pidana penjara pada putusan pertama adalah 1 tahun dan 6
bulan penjara, sedangkan dalam putusan banding adalah 1 tahun penjara.

Dalam memori banding yang diajukan oleh Terdakwa, di dalamnya


tertuliskan bahwa yang dilakukan terdakwa bukanlah suatu tindakan ujaran
kebencian, melainkan bentuk dari kebebasan berpendapat yang di mana
telah diatur dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi; setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat. Alasan yang diajukan Terdakwa tidak dibenarkan oleh Majelis
Hakim Tingkat Banding, dan menyatakan bahwa kebebasan yang
dimaksud bukanlah kebebasan mutlak melainkan kebebasan berpendapat
yang dijamin oleh negara dengan mempertimbangkan batasan yang
ditetapkan undang-undang untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain.52

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberikan keringanan sanksi


hukuman penjara kepada Terdakwa dengan beralaskan bahwa sanksi yang
diberikan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama terlalu berat karena

52
Putusan No.58/Pid.Sus/2019/PT.DKI, h., 16.
41

penjatuhan pidana dalam perkara ini bukanlah suatu pembalasan,


melainkan suatu pembelajaran bagi Terdakwa maupun masyarakat lainnya
untuk berhati-hati untuk mengemukakan pendapat di media sosial.53 Oleh
karena itu, Majelis Hakim Tingkat Banding memberikan keringanan
sanksi penjara menjadi 1 tahun penjara karena dianggap hal tersebut adil
dan setimpal dengan perbuatan yang dilakukan Terdakwa.

Pemberian sanksi kepada Terdakwa menjadi suatu hal yang perlu


diperhatikan, dikarenakan sanksi yang diberikan haruslah sesuai dengan
apa yang diperbuat Terdakwa. Penulis sepakat dengan putusan yang
diberikan oleh Majelis Hakim Tingkat Tinggi, bahwa sanksi penjara yang
diberikan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama kepada Terdakwa terlalu
berat. Dengan diberikan sanksi penjara satu tahun kepada Terdakwa, hal
tersebut sudah bisa menjadi sebuah pelajaran untuk masyarakat agar
berhati-hati dalam menyampaikan pendapat. Sebuah pendapat dapat
menjadi sebuah ujaran kebencian apabila dalam menyampaikan pendapat
terdapat kalimat kebencian atau permusuhan terhadap individu atau
kelompok.

Putusan pertama dan putusan banding memiliki konsistensi dalam


hasil putusan, hakim memutuskan bahwa apa yang dilakukan oleh
Terdakwa adalah bentuk tindak pidana ujaran kebencian dan bukan
merupakan bentuk kebebasan pendapat di media sosial. Semua ini
berdasarkan atas tiga tulisan Terdakwa yang saling bersangkutan, berawal
dari tulisannya yang diunggah pada tanggal 7 Februari 2017 yang
bertuliskan, "Yg menistakan Agama si Ahok ... Yg diadili KH Ma'ruf
Amin ...ADP". Lalu tulisan kedua yang diunggah pada tanggal 6 Maret
2017, "Siapa saja yg mendukung Penista Agama adalah Bajingan yg perlu

53
Putusan No 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI, h., 15.
42

di ludahi mukanya-ADP". Tulisan ketiga yang diunggah pada tanggal 7


Maret 2017, "Sila Pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi
Gubernur... kalian WARAS ??? .... ADP". Baik Majelis Hakim Tingkat
Pertama maupun Majelis Hakim Tingkat Banding memutuskan hal
tersebut adalah tindak ujaran kebencian, yang membedakan putusan
pertama dan banding adalah sanksi penjara.

2. Koherensi Putusan Pertama dan Putusan Banding Terhadap UU ITE


No.11 Tahun 2008

Kebebasan adalah hak setiap orang, kebebasan tersebut dapat


diekspresikan dengan berbagai macam bentuk salah satu nya adalah
kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Kebebasan berpendapat
dijamin oleh UUD 1945 begitu juga dengan kebebasan pendapat Terdakwa
di media sosial. Tetapi pada kenyataannya pendapat Terdakwa dibatasi
oleh UU ITE No.11 tahun 2008.

Undang-Undang No. 9 tahun 1998 pasal 1 ayat (1) menyatakan


bahwa:54

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara


untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara
bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Kebebasan yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 9 tahun


1998 adalah setiap orang dalam penyampaian pendapatnya terbebas dari
tekanan apapun, baik dari tekanan psikis maupun fisik. Kebebasan ini tetap
haruslah memandang nilai-nilai dan norma yang ada, serta dapat
dipertanggungjawabkan dan menghormati hak-hak orang lain.

54
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tahun 1998, Buku 2.
43

Kebebasan mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun


tulisan adalah hak setiap manusia. Siapa saja boleh mengemukakan
pikirannya melalui media sosial, media cetak, atau berpendapat di muka
umum. Karena berdasarkan peraturan perundang-undangan baik di
Indonesia maupun PBB, menyatakan bahwa kebebasan berpendapat adalah
hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
pasal 19 menyatakan:55

“Setiap orang behak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan


pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan
tidak memandang batas-batasan.”

Pasal tersebut mengemukakan bahwa pendapat itu boleh dengan


cara apapun dan tanpa adanya batas-batasan, sehingga setiap manusia
boleh berpendapat dengan cara mereka sendiri tanpa perlu adanya
gangguan dan batas-batasan. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari
mengemukakan pendapat harus disertai tanggung jawab atas apa yang
disampaikan dan secara tidak langsung terdapat batasan. Batasan tersebut
tidak lain bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup bermasyarakat
yang harmonis, rukun dan damai.

Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Majelis Hakim Tingkat


Banding memutuskan bahwa tindakan Terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 45A
ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan
UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo

55
Majelis Umum PBB, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, dalam resolusi 217 A
(III) pada tanggal 10 Desember 1948, h., 4.
44

Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP. Terdakwa melakukan tindak pidana ini
melalui media sosial dengan menyerang nama baik seseorang dan
memprovokasi masyarakat.

Majelis Hakim memutuskan bahwa Terdakwa benar melakukan


tindak pidana ujaran kebencian yang diatur oleh UU ITE No.11 tahun
2008 pada dasarnya karena tiga tulisan Terdakwa yang bermula pada
tanggal 7 Februari 2017. Majelis Hakim menimbang bahwa tulisan
tersebut saling berkaitan, dan menjadikan Terdakwa bersalah karena telah
melakukan tindak pidana ujaran kebencian.

Unsur setiap orang dalam pasal tersebut menunjukan kepada


Terdakwa, dan unsur dengan sengaja dan tanpa hak menunjukan bahwa
Terdakwa menuliskan pendapatnya tanpa paksaan dari orang lain, murni
pendapatnya sendiri dan dirinya sengaja mengunggahnya ke akun sosial
media dalam bentuk kebebasan berpendapat. Selanjutnya unsur
menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian yaitu
tulisannya yang bertuliskan "Siapa saja yg mendukung Penista Agama
adalah Bajingan yg perlu di ludahi mukanya-ADP". Rasa kebencian itu
ditunjukan kepada Penista Agama yang dimaksud Terdakwa adalah Ahok,
sedangkan golongan yang hina adalah para pendukung Ahok, yang
Terdakwa sebut dengan "bajingan". Hal tersebut berdasarkan unggahan
Terdakwa pada tanggal 7 Februari 2017 yang menyebutkan bahwa"yang
menistakan agama si Ahok".

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Terdakwa telah melakukan


tindak pidana ujaran kebencian. Dapat diperhatikan bahwa tulisan
Terdakwa secara eksplisit merupakan suatu bentuk pendapat yang dapat
dibenarkan, karena negara tidak membenarkan perbuatan menistakan
agama. Tetapi secara implisit pendapat Terdakwa memiliki arti lain, dilihat
45

dari tulisan sebelum dan sesudahnya, oleh karena itu kebebasan


menyampaikan pendapat ini menjadi suatu tindak pidana.

Majelis Hakim Tingkat Pertama dan Tingkat Tinggi sudah benar


menjerat Terdakwa telah melakukan tindak pidana ujaran kebencian
berdasarkan UU ITE No. 11 tahun 2008, disebabkan pada tiga unggahan
Terdakwa di media sosial. Tetapi jika hanya melihat pada satu unggahan
saja, baik unggahan di tanggal 6 Maret 2017 ataupun 7 Maret 2017 maka
perbuatan Terdakwa merupakan bentuk dari kebebasan berpendapat yang
dijamin oleh UUD 1945 dan bukan merupakan bentuk ujaran kebencian.

Seseorang dapat terjerat kasus tindak pidana ujaran kebencian tidak


dilihat dari satu tulisan yang diunggah, melainkan dapat terjerat akibat dari
beberapa tulisan lainnya yang diketahui saling berkaitan. Walaupun pada
tulisan yang diperkarakan tidak menyiratkan secara langsung, tetapi karena
ada tulisan lainnya sebagai penjelas, maka orang tersebut dapat terjerat
dalam tindak pidana. Putusan Majelis Hakim terhadap kasus ujaran
kebencian Ahmad Dhani koheren/sesuai dengam Pasal 45A ayat (2) jo
Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1)
ke-I KUHP.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis paparkan sebelumnya mengenai
Ujaran Kebencian dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 (Analisis Putusan No.
370/Pid.Sus/2018/PN Jkt.Sel dan Putusan No. 58/Pid.Sus/2019/PT.DKI),
dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut:
1. Hakim dalam memutus suatu perkara mempertimbangkan beberapa aspek,
yaitu melihat pada aspek yuridis, filosofis dan sosiologis. Aspek yuridis
dalam analisis kasus ini adalah hakim memutus bahwa tindakan Terdakwa
benar merupakan tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan pada pasal
28 ayat (2) UU ITE No. 11 tahun 2008. Aspek filosofisnya adalah hakim
mempertimbangkan kebebasan individu yang tak terbatas, melainkan
dibatasi oleh norma dan hukum. Dalam aspek sosiologis, hakim
memutuskan bahwa tindakan Terdakwa dapat memicu permusuhan antar
golongan dilihat berdasarkan waktu terjadinya tindak pidana, di mana saat
itu dikenal dengan tahun politik.
2. Majelis Hakim Tingkat Tinggi memutuskan bahwa tindakan Terdakwa
merupakan tindakan ujaran kebencian berdasarkan pada Pasal 45A ayat
(2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU
No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55
ayat (1) ke-I KUHP dan putusan tersebut sama dengan Putusan Pengadilan
Tingkat Pertama. Hal yang membedakan antara putusan pertama dengan
putusan banding adalah lama sanksi pidana penjara yang diberikan.
Pengadilan Tinggi memberikan keringanan sanksi pidana penjara menjadi
satu tahun penjara, dengan menimbang bahwa hukuman bagi Terdakwa
adalah sebagai bentuk pembelajaran bukan sebagai pembalasan. Putusan
hakim juga koheren/sejalan dengan hukum yang berlaku di Indonesia,

46
47

khususnya Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No.19 Tahun
2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-I KUHP.

B. Saran
1. Bagi masyarakat perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam
mengenai bagaimana suatu kalimat dapat termasuk ke dalam ujaran
kebencian, agar dalam menyampaikan pendapat bisa lebih berhati-hati
serta dapat mempertanggungjawabkan tulisan atau pendapat yang
diunggah ke media sosial.
2. Dalam menjatuhkan sanksi pidana, hakim haruslah menimbang beberapa
hal yang menjadi alasan mengenai sanksi apa yang tepat untuk terdakwa.
Hal tersebut bertujuan agar terciptanya keadilan bagi masyarakat.
3. Penelitian ini masih perlu dikaji lebih dalam lagi, yaitu mengenai analisis
tulisan terdakwa. Diharapkan dengan adanya analisis mengenai tulisan
terdakwa dapat memberikan informasi mengenai tata bahasa yang menjadi
penyebab suatu tulisan dapat termasuk dalam ujaran kebencian.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Ensiklopedia Hadist I : Shahih


al-Bukhari 1, Terj. Masyhar & Muhammad Suhadi, Jakarta: Almahira, 2013.
Cet. 2.

Ali, Abdullah Yusuf, Tafsir Yusuf Ali Teks, Terjemahan dan Tafsir Qur’an 30 Juz,
Bogor: Pustaka Lentera AntarNusa, 2009.

Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi, Ensiklopedia Hadist 7 ;


Sunan Abu Dawud, Terj. Muhammad Ghazali dkk, Jakarta: Almahira, 2003.

Doi, Abdur Rahman I, Inilah Syariah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta :
Lentera Hati, 2002.

Fauzan, M dan Baharudin Siagian, Kamus Hukum Yurisprudensi, Depok: Kencana,


2017.

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. Ke-18, 2012.

Istijab, Filsafat Hukum : Dalam Pendekatan Kesejarahan dan Profetik, Pasuruan:


Qiara Media, 2019.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Buku Saku Penanganan
Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, Cet. Ke-
9, 2010.

48
49

Pramukti, Angger Sigit dan Meylani Chahyaningsih, Pengawasan Hukum Terhadap


Aparatur Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2016.

Rifai, Achmad, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Suhariyanto, Budi , Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyebercrime), Jakarta:PT


RajaGrafindo Persada,2012.

Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI-PRESS,2014.

Warjiyati, Sri, Memahami Dasar Ilmu Hukum : Konsep Dasar Ilmu Hukum, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018.
Zainuddin, A Rahman, Hak-Hak Asasi dalam Islam, Jakarta: Media Dakwah, 1979.

Jurnal, Skripsi dan Internet

Fajarwati, Meirina ,Upaya Hukum untuk Melindungi Hak Konstitusional Warga


Negara Melalui Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 13,
No. 03, September 2016.

Hanafi, Muhammad, Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal


Cita Hukum Vol. I No. 2 Desember 2013.

Kamalludin, Iqbal dan Barda Mawawi Arief, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana
tentang Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Ujaran Kebencian di
Dunia Maya, Jurnal Law Reform Vol.15 No.1, 2019.

Pamungkas, Jalu Aji, Tindak Pidana Ujaran Kebencian di Media Sosial (Analisis
Putusan PN Jakarta Selatan No.820/Pid.Sus/2017/PN.Jkt-Sel), Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018.
50

Sugiarti, Wiwit, Tindakan Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Jejaring
Media Sosial (Analisi Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015, Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017.

Syafyahya, Leni, Ujaran Kebencian dalam Bahasa Indonesia Kajian Bentuk dan
Makna, Makalah Kongres KBI, 2018.

Tuahunse, Trisnowaty, Budaya Demokrasi dan Kemerdekaan Berpendapat,


www.repository.ung.ac.id.

Widyati, Lidya Suryani, Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangannya,


Jurnal Info Singkat Vol. X, No. 06/II/Puslit/Maret/2018.

Putusan dan Peraturan Perundang-Undangan

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

UU RI No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan tentang UU No.11 Tahun 2011


tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pemdapat di Muka


Umum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 55 ayat (1) ke-1

Buku 2 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia tahun1998

Putusan Nomor : 140/PID.SUS/2018/PT.DKI

Putusan Nomor : 58/PID.SUS/2019/PT.DKI


51

Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian


(Hate Speech)

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB

Anda mungkin juga menyukai