SKRIPSI
Disusun oleh
NAMIRA SAVIRA
NIM : 11160480000055
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
NAMIRA SAVIRA
NIM: 11160480000055
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
6. Penguji II :
NUPN. (........................... )
iii
LEMBAR PERNYATAAN
NIM : 11160480000055
Email : namirasavira1998@gmail.com
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Namira Savira
iv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul KETIDAKPASTIAN HUKUM
DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DI INDONESIA, dapat
diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat
proses penyusunan skripsi ini. Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan,
dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat peneliti ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ali Hanafiah Selian S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag, dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikirannya untuk peneliti. Beserta Segenap Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Dosen Program Studi
Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat
bermanfaat untuk peneliti.
4. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai
vi
untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan peneliti dalam penulisan skripsi
ini.
5. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Alm. Umar Ibrahim dan Wardah
Ahmad yang selalu memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil
berupa motivasi, do’a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku
kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana ini.
6. Kepada pihak yang terkait yang peneliti tidak dapat sebutkan namanya satu
persatu. Tidak ada yang dapat peniliti berikan, dukungan dan semangat kalian
yang membuat peniliti dapat menyelesaikan skripsi ini selain ucapan terima
kasih.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun bagi para
pembaca khususnya di bidang hukum pidana.
Namira Savira
NIM 11160480000055
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI MATI DI
INDONESIA ...................................................................................... 30
A. Pelaksanaan Eksekusi Mati di Indonesia ...................................... 30
B. Penentuan Masa Tunggu Eksekusi pada Narapidana yang Dijatuhi
Hukuman Mati .............................................................................. 34
C. Faktor Penghambat Dalam Melaksanakan Eksekusi Pidana ........ 36
D. Pembinaan Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan ........... 38
E. Data Kasus Penundaan Eksekusi Mati .......................................... 40
F. Eksekusi Mati Menurut Hukum Pidana Islam .............................. 43
LAMPIRAN ............................................................................................................... 66
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di
Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 23.
1
2
Pasal 10 KUHP menjelaskan pidana mati sebagai pidana pokok, yang pada
tahun 1870 dihapuskan di Negeri Belanda. Indonesia tidak mengikuti hukum
pidana di Negeri Belanda pada tahun 1870, karena menurut tanggapan
kebanyakan para ahli hukum pidana karena alam daerah yang begitu luasdan
masyarakat yang heterogen, alat-alat kepolisian tak bisa menjamin keamanan
seperti di Eropa Barat. Oleh karena itu, pidana mati masih dicantumkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sejak 1 Januari 1918.2
Metode pelaksanaan hukuman mati berbeda-beda di setiap negara,
termasuk di Indonesia. Dalam Pasal 197 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang menyebutkan: ”Putusan dilaksanakan dengan segera menurut
ketentuan dalam undang-undang” berdasarkan pasal diatas seharusnya penegak
hukum harus menetapkan waktu eksekusi secepatnya. Lamanya jeda waktu
tunggu terpidana mati belum diatur secara tertulis, setelah Indonesia merdeka
peraturan mekanisme pelaksanaan hukuman mati ini diformalkan dalam
Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 dan tertulis dalam Lembaran Negara
1964 Nomor 38 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Penetapan Presiden
ini selanjutnya diundangkan 27 April 1964 melalui Undang-Undang No
2/Pnps/1964. Penundaan eksekusi mati yang cukup lama tidak sesuai dengan
norma Hak Asasi Manusia kontemporer. Hal ini justru menimbulkan persoalan
baru dalam bentuk death row phenomenon. Death row phenomenon adalah
keadaan kemunduran kondisi fisik terpidana pada saat menunggu eksekusi mati
yang terlalu lama. Fenomena ini adalah akibat dari kondisi menunggu hukuman
mati yang lama dan kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan
lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan terisolasi
dari orang lain. Pembiaran yang berjalan selama bertahun-tahun lamanya
termasuk dalam tindakan yang tidak terpujin dan tidak bertanggung jawab.
Karena dengan tidak adanya kepastian tersebut, secara tidak langsung terpidana
2
A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di
Masa Depan h. 13.
3
5
Supriyadi W. Eddyono, Erasmus A.T. Napitupulu dan Ajeng Gandini Kamilah, Hukuman
Mati dalam R KUHP: Jalan Tengah Yang Meragukan (Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform,
November 2015), h. 1.
6
M. Abdul Kholiq, “Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya Dalam RUU
KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam)”, terdapat dalam
https://www.neliti.com/publications/80691/kontroversi-hukuman-mati-dan-kebijakan- regulasinya-
dalam-ruu-kuhp-studi-komparat.)
5
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas terdapat beberapa masalah yang di
diidentifikasi yang terkait dengan tema yang di teliti, antara lain:
a. Belum terdapat kepastian hukum dalam pelaksanaan hukuman eksekusi
mati di Indonesia.
b. Penegak hukum seakan-akan meremehkan putusan hakim karena lamanya
pelaksanaan eksekusi mati.
c. Dampak buruk bagi psikologis terpidana jika pelaksanaan eksekusi yang
tidak jelas.
d. Hukuman pidana mati menjadi tidak bersifat final/hukuman yang paling
berat karena masih banyak terpidana yang divonis mati belum di eksekusi.
e. Peran kejaksaan agung dalam permasalahan ini tidak terlihat maksimal.
2. Batasan Masalah
Agar pembahasan masalah pada penelitian ini lebih terfokus dan tidak
meluas, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti. Disini
penelitian ini hanya akan membahas terkait bagaimana ketidakpastian hukum
dalam penundaan eksekusi mati di Indonesia dari putusan hakim, masa
tunggunya di Lembaga Pemasyarakatan sampai dieksekusi.
6
3. Rumusan Masalah
Peneliti membatasi pokok permasalahan yang dituangkan dalam
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah penundaan eksekusi pidana mati melanggar hak terpidana mati
dalam masa tunggunya di Lapas?
b. Bagaimana akibat dari penundaan eksekusi mati terhadap kepastian
hukum?
1. Tujuan Penelitian
Untuk menjawab seluruh pertanyaan masalah di atas dirumuskan tujuan
penelitian yang akan di capai, antara lain:
a. Untuk mengetahui negara memiliki aturan khusus untuk menentukan waktu
tunggu terpidana mati, dan mengetahui hak-hak apa yang dilanggar dengan
menunda eksekusi.
b. Untuk mengetahui akibat dari penundaan eksekusi mati.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini memiliki memiliki manfaat untuk
progresivitas perkembangan pada diskursus ilmu hukum, khususnya yang
berkaitan dengan hukum pidana.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan
pemahaman yang utuh mengenai faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan penundaan eksekusi pidana mati, manfaat lain pun
peneliti juga dapat mengetahui tentang tahapan-tahapan eksekusi
pidana mati dari putusan hakim yang inkracth sampai meninggalnya
7
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 13.
8
Mukti c, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. 34.
8
3. Sumber data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data yang bersifat autoritatif atau
memiliki otoritas. Sumber data primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan, wawadn cara dan catatan-catatan resmi atau hasil riset yang
dikumpulkan selama penelitian. Dalam penelitian ini, sumber data primer
terdiri dari:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana (KUHP)
3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
4) Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tatacara
Pelaksanaan Pidana Mati
5) Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan
(Hak-Hak Narapidana)
9
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 134.
9
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h. 204.
10
yang diteliti. Metode analisis ini juga lebih menekankan pada kualitas isi
penelitian yang ditelaah secara mendalam dan menyeluruh.
7. Teknik Penulisan
Penelitian ini akan mengajukan suatu konsep yang dapat diterapkan
dalam hukum pidana di Indonesia yang efektif dan relavan untuk menjamin
hak-hak terpidana mati yang muncul akibat adanya kaidah yang mengatur
tentang penentuan masa tunggu eksekusi mati dalam pelaksanaan pidana mati
di Indonesia. Adapun dampak lain yang timbul secara psikologis, terpidana
mati dapat mengalami tekanan psikis selama menjalani masa tunggu.
Penelitian ini berusaha sebisa mungkin untuk memberikan saran-saran yang
menggambarkan tentang pentingnya perumusan dalam menjalani masa tunggu
dan lamanya masa tunggu terpidana mati yang jelas dari hasil penelitian, yaitu
implikasi dari kesimpulan yang harus dapat dioperasionalkan dalam
kehidupan nyata, bukan hanya angan- angan. Uraian praktis tersebut
bersumber dari indikator-indikator yang diteliti, bukan di luar hasil penelitian.
E. Sistematika Pembahasan
terdiri pula dari tujuan serta manfaat diadakannya penelitian, tinjauan (review)
kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB DUA KERANGKA URAIAN DAN KONSEPTUAL : Dalam bab
ini peneliti membahas kerangka teori dan kerangka konsepetual yang peneliti
gunakan, konsep-konsep hukum, landasan hukum serta peraturan perunndang-
undangan.
BAB TIGA TINJAUAN UMUM MENGENAI KETIDAKPASTIAN
HUKUM DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DI
INDONESIA : Berisi penjabaran dan penjelasan menganai eksekusi pidana mati
di Indonesia maupun secara data atau pelaksanaannya dan juga menjelaskan
tentang penerapan asas kepastian hukum dalam hukum positif di Indonesia.
BAB EMPAT RELEVANSI ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN
PENUNDAAN EKSEKUSI MATI DI INDONESIA : Berisi penjabaran dan
analisa mengenai bagaimana aspek kepastian hukum dan keadilan dalam
pelaksanaan pidana mati dari setelah diputuskannya oleh hakim serta bagaimana
konsep batas waktu pelaksanaan pidana mati yang berkepastian hukum dan
berkeadilan. Penundaan eksekusi pidana mati tersebut ada yang memakan waktu
hingga bertahun- tahun lamanya. Dengan terjadinya penundaan memberikan
pandangan bahwa adanya suatu bentuk pembiaran yang tidak bertanggung jawab.
Sebab jika si terpidana mati dibiarkan tanpa kepastian dalam waktu yang lama
sekali dan di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang dalam hal tersebut
secara tidak langsung Lembaga Pemasyarakatan telah melebihi fungsi yang
utama yaitu melaksanakan pembinaan Narapidana. Bertalian dengan
dilaksanakan atau tidak dieksekusi pidana mati, sesungguhnya telah direkayasa
semacam penganiaayaan rohani dan penyiksaan psikis serta pengebukan mental.
Kasus kasus putusan terpidana mati yang mengalami penundaan eksekusi mati
ini akan dianalisa dengan asas kepastian hukum, UU no. 39 tahun 1999 tentang
HAM dan Undang-Undang yang berkaitan.
13
BAB LIMA PENUTUP : Bab ini merupakan penutup dan akhir dari
penelitian. Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil penelitian dari
analisis bab – bab sebelumnya secara sistematis dan rekomendasi. Kesimpulan
ini berisi jawaban terhadap inti masalah penelitian berdasarkan data yang
diperoleh. dan juga saran yang sekiranya akan bermanfaat untuk kepentingan
umum.
BAB II
A. Kerangka Teori
14
15
Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam berinteraksi dimasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan
kepastian hukum.
Penegakan hukum dalam teori hukum yang dikemukan Gustav Radbruch
pada dasarnya harus mencapai tiga hal yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan.11 Demi mencapai tiga hal tersebut maka penegakan hukum seharusnya
dirumuskan dalam berbagai kaidah, yang kemudian diformulasikan ke dalam
berbagai undang-undang agar tidak menyimpang jauh dari usaha-usaha
mencapai keadilan yang hakiki demi kepastian hukum dan kemanfaatan.
Undang-undang adalah merupakan manifestasi kepastian hukum pada dasarnya
bertujuan agar terciptanya predictibility. Hal tersebut dimaksudkan agar,
pertama setiap individu mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa kemanfaatan hukum bagi individu
agar terhindar dari kesewenang-wenangan pemerintah karena adanya aturan
yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh negara terhadap individu.12
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
11
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 45.
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, h. 158.
16
utility).
B. Kerangka Konseptual
1. Pidana Mati
13
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbitan Universitas, 1968), h. 107.
17
2. Penegakan Hukum
Pasal 1 angka 3 Perubahan Keempat UUD 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aktivitas dan
tindakan masyarakat maupun penyelenggara negara harus berlandaskan
hukum. Agar dapat berfungsi dengan baik, hukum pun harus dijalankan
melalui penegakan hukum, baik dalam arti sempit maupun arti luas.
Bagir Manan mengungkapkan tentang sendi utama negara berdasarkan
atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi
hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum
antara negara dan masyarakat yang satu dengan yang lain. Dalam suatu
negara hukum, apabila hukum tersingkirkan, maka negara tersebut tidak lagi
dikatakan sebagai negara hukum, ia bisa berubah menjadi negara otoriter.
Dalam konsep negara hukum kekuasaan negara dibatasi oleh aturan-aturan
yang telah ditetapkan sehingga menghindari terjadinya tindakan
kesewenang-wenangan.
Frederich Julius Stahl ahli hukum dari Eropa kontinental memberikan
ciri-ciri negara hukum (rechsstaat), setidaknya terdapat empat pondasi yang
harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, yaitu: adanya perlindungan
terhadap hak asasi manusia (grondrechten), adanya pembagian kekuasaan
(scheiding van machten), pemerintahan yang berdasarkan undang-undang
(wetmatigheid van bestuur), dan adanya peradilan tata usaha negara
(administratieve rechspraak).14
14
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1972),
h. 58.
19
15
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj), (Bandung :
Nusamedia, 2008), h. 262.
16
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali, 1983), h. 14.
20
17
Andi Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum", Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 23 Juli 1998, Jakarta, h. 5.
18
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),
h.2.
21
19
Michael J. Allen, Text book on Criminal Law, (London: Blackstone, 1999), h. 2.
20
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), h. 4.
21
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, (Beirut: Daar al-Kitab, 1968), h. 58.
22
22
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta,Rineka Cipta, 1992), h.
126.
23
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, h. 26.
23
wajib dibunuh pula. Apabila keluarga korban memaafkan maka hukuman tidak
bisa dijatuhkan, maka kepada pembunuhnya dikenakan diyat. Kedua,
pembunuhan seperti disengaja yaitu seseorang dengan maksud bergurau
melempar temannya dengan kerikil, tidak diduga bahwa perbuatannya itu akan
mematikan orang lain. Terhadap jarimah ini tidak diwajibkan qishash tapi wajib
membayar denda. Ketiga, Tidak disengaja membunuh, umpamanya seseorang
menembak buruannya tetapi sasarannya kena kepada manusia . Terhadap
jarimah tersebut tidak wajib qishash tetapi membayar diyat kepada wali korban.
Hukum Islam secara tegas menindak segala bentuk jarimah, siapapun
pelakunya, tetapi di balik itu bahwa syari’at Islam tidak terlepas dari
moralitasnya, yaitu selalu memperhatikan aspek lain di samping prosedur yang
telah ditetapkan, seperti aspek moral, prikemanusiaan dan kehidupan sosial
masyarakat di wilayah kejadian jarimah.
2. Artikel yang ditulis oleh Inten Kuspitasari, Purwoto dan Umi Rozah25
24
Hikari Macca Mas Gumay, Analisis Yuridis Terhadap Penundaan Pelaksanaan Hukuman
Mati Pada Warga Negara Asing dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, Skripsi
Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2017.
24
25
Inten Kuspitasari, Purwoto dan Umi Rozah, Peran Kejaksaan Sebagai Eksekutor Pidana
Mati di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, 2019.
26
Edy Lestari, Penundaan Eksekusi Pidana Mati Warga Negara Asing yang Melakukan
Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas
Internasional Batam, 2018.
BAB III
27
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 14.
25
26
28
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 312.
27
29
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksanaan dan Pengadilan
Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 217.
28
terpidana mati antara lima sampai 10 meter. Hanya satu senapan diisi peluru.
Setelah eksekusi seorang dokter melakukan pemeriksaan untuk memastikan
bahwa terdakwa sudah meninggal dan penuntut umum wajib membuat
laporan mengenai eksekusi pidana mati tersebut.
30
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan, dan Permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 289
29
31
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati Dalam
Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta :Pustaka Reka Cipta,
2018), h. 231.
31
32
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati Dalam
Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta :Pustaka Reka Cipta,
2018), h. 252.
33
biasa peninjauan kembali dan atau permohonan grasi, serta memonitor proses
upaya hukum luar biasa dan atau grasi yang diajukan oleh terpidana mati.
S.O.P pelaksanaan pidana mati menurut penulis, tidak dapat secara
efektif menyelesaikan persoalan mengenai jangka waktu pelaksanaan pidana
mati. Wewenang kejaksaan dalam S.O.P pelaksanaan pidana mati , hanya
sebatas menanyakan kepada terpidana mati untuk menggunakan hak
mengajukan upaya hukum luar biasa dan atau grasi.
S.O.P pelaksaan pidana mati baru efektif manakala terpidana mati
tidak menggunakan hak-haknya, maka kejaksaan baru dapat mengeksekusi.
Terpidana mati yang menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum
luar biasa dan grasi, maka kejaksaan harus menunda eksekusi sampai adanya
putusan penolakan peninjauan kembali dan atau keputusan mengenai
penolakan grasi.
33
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 126.
34
Simon, A. Josias dan Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), h. 27.
34
dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab di
masyarakat. Sistem Pemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Lapas bukan
hanya sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga
sebagai tempat untuk membina dan mendidik narapidana (rehabilitasi), agar
mereka setelah selesai menjalankan pidana dapat mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lapas sebagai warga negara yang
baik dan taat pada hukum yang berlaku. Beliau juga menjabarkan pelaksaan
pembinaan dalam sistem pemasyarakatan pada prinsipnya terdiri atas 2 (dua)
bagian, yaitu; Intramural treatment dan Ekstramural treatment. Intramural
Treatment adalah pembinaan yang dilaksanakan di dalam Lapas dengan tujuan
memperbaiki dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
intelektual, sikap dan perilaku, serta Kesehatan jasmani dan rohani. Ekstramural
treatment adalah pembinaan yang dilakukan di luar Lapas dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh narapidana selama
menjalankan pembinaan dalam Lapas, meliputi pemberian asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, maupun Cuti Bersyarat. Program pembinaan
narapidana tidak hanya terdiri dari pembinaan mental-spiritual (pembinaan
kemandirian), tetapi juga pemberian pekerjaan selama berada di Lapas
(pembinaan keterampilan).35
35
Wawancara dengan Mohammad Ridwantoro Bc.I.P., S.H., M.Si selaku Kalapas Empat
Lawang Kelas 2b Sumatera Selatan.
35
36
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 22.
36
Dari Grafik 3.2. dapat terlihat data terpidana mati per April 2020 yang
berada dalam ketidakpastian menunggu eksekusi selama lebih dari 10 tahun
mencapai total 60 orang. Bahkan 4 orang diantaranya telah berada dalam
tahanan selama lebih dari 20 tahun, kesemuanya berasal dari tindak pidana
pembunuhan, bahkan 1 orang diantaranya telah meninggal dunia pada Agustus
2020.37
37
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 23.
37
Dari data Grafik 3.3. bisa dilihat juga perbandingan antara jenis kelamin
terpidana mati berdasarkan jenis kejahatan, dengan catatan 104 terpidana mati
Laki-laki dan 1 terpidana mati perempuan tidak dicantumkan di dalam data
rekapitulasi jenis kejahatan apa yang dilakukan. Untuk jenis kelamin
perempuan sendiri hanya masuk di dalam kategori jenis pidana Narkotika dan
Pembunuhan. Data perbandingan jenis kejahatan untuk tindak pidana Narkotika
adalah 80 terpidana mati Laki-laki dan 3 terpidana mati perempuan. Sedangkan
untuk perbandingan data pembunuhan adalah 61 terpidana mati Laki-laki dan 3
terpidana mati perempuan.38
39
Audah Abdul Qadir, at-Tasyrie’al-Jinaaie al-Islamie, (Beirut: Daar al-kutuub,1968), h. 59
40
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1992),
h. 24.
41
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, h. 126.
39
dan diasingkan. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah dalam Al-Qur’an
(QS. Al-Maidah: 33). Keempat, Murtad. Terhadap pelaku jarimah ini diancam
hukuman mati sebagai hukuman pokok kemudian dirampas harta bendanya
sebagai hukuman tambahan. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqaroh ayat
217.
Hukum Islam menetapkan sanksi hukum mati terhadap pelaku jarimah
murtad, karena perbuatan itu mengarah kepada pencemaran suatu ideologi
Islam. Jika tidak tegas sanksi hukum terhadap jarimah ini, akan mengakibatkan
goyahnya ideologi tersebut. Karena itu pelakunya telah ditetapkan dengan
hukuman yang maksimal yaitu hukuman mati.
Hukuman qishash ini berlaku untuk jarimah pembunuhan sengaja dan
penganiayaan sengaja. Baik dalam pembunuhan maupun penganiayaan korban
atau walinya diberi wewenang untuk memberikan pengampunan terhadap
pelaku. Apabila ada pengampunan maka hukuman qishash menjadi gugur dan
diganti dengan hukuman diat. Qishash adalah hukuman pokok bagi perbuatan
pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan
sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan
sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan
sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja.
Hukuman pokok pada jarimah pembunuhan sengaja adalah qishash, yaitu
dibunuh kembali. Sebagai hukuman pokok, qishash mempunyai hukuman
pengganti, yaitu apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini,
qishash pun tidak dapat dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman diat. Diat
pun seandainya dimaafkan dapat dihapuskan dan sebagai penggantinya, hakim
dapat menjatuhkan hukuman ta’zir. Jadi qishash sebagai hukuman pokok
mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diyat dan ta’zir.
Terlepas dari itu semua, bahwa baik dalam hukum pidana Indonesia
41
maupun hukum Islam, hukuman mati itu telah diatur. Kalau hukum pidana
Indonesia diatur dalam berbagai perundang-undangan, maka dalam hukum
Islam diatur melalui Alquran dan hadits, serta ijma dan dipahami melalui
berbagai metode. Adapun mengenai teknis pelaksanaan qishash terjadi
perselisihan pendapat ulama. Menurut Hanafiyah dan pendapat yang shahih dari
kelompok Hanabilah, qishash pada jiwa harus dilaksanakan dengan
menggunakan pedang, baik tindak pidana pembunuhannya dilakukan dengan
pedang maupun dengan alat yang lainnya, dan bagaimana cara bentuk
perbuatannya. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullah SAW, yang berbunyi
sebagai berikut: “Tidak ada qishash kecuali dengan pedang”. Kendatipun dalam
Islam pelaku pembunuhan diberi sanksi qishash, namun hukuman qishash dapat
gugur karena beberapa alasan sebagai berikut:
1. Pertama, hilangnya objek qishash. Objek qishash dalam tindak pidana
pembunuhan adalah jiwa (nyawa) pelaku (pembunuh). Apabila objek
qishash tidak ada, karena pelaku meninggal dunia, dengan sendirinya
hukuman qishash menjadi gugur.
2. Kedua, adanya pengampunan. Pengampunan terhadap qishash
dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha, bahkan lebih utama
dibandingkan dengan pelaksanaannya. Hal ini didasarkan kepada
Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 178.
3. Ketiga, Shulh (Perdamaian). Shulh dalam arti bahasa adalah
memutuskan perselisihan. Dalam istilah syara’, seperti dikemukakan
oleh Sayid Sabiq, shulh adalah sebagai berikut: “Suatu akad
(perjanjian) yang menyelesaikan persengketaan antara dua orang yang
bersengketa”. Apabila pengertian tersebut dikaitkan dengan qishash,
shulh berarti perjanjian atau perdamaian antara pihak wali korban
dengan pihak pembunuh untuk membebaskan hukuman qishash
dengan imbalan. Para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya shulh
42
43
44
Binaan juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Adapun hak-hak yang
dimaksud adalah mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU No.12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan yaitu :
adalah manusia yang masih hidup yang secara alamiah tetap mempunyai hak-hak
yang harus dilindungi seperti hak untuk mendapatkan pelayanan perawatan
secara fisik dan kesehatan sampai yang bersangkutan dieksekusi, termasuk juga
mendapatkan hak-haknya.47
Namun demikian, ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana
melakukan pelayanan terhadap terpidana mati selama menghuni Lapas sebelum
dieksekusi sampai saat ini belum ada regulasi yang jelas. Hal ini menimbulkan
kebimbangan dan ketidakpastian bagi aparat/petugas Lapas dalam melakukan
pelayanan terhadap terpidana mati.
50
Eramus A.T. Napitupulu, Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2020:
Mencabut Nyawa di Masa Pandemi,(Jakarta: ICJR, 2020) h. 23.
51
Usman dan Andi Najemi, “Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan
Kepastian Hukumnya”, Undang: Jurnal Hukum, Volume 1 Nomor 1, 2018, h. 80.
48
52
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung :Refika
Aditama, 2006), h. 123.
49
53
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati, (Jakarta :
Pustaka Reka Cipta, 2018), h. 280.
54
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 22.
50
Diskresi yang dilakukan berdampak pada masa tunggu atau waktu yang
dijalani oleh terpidana mati, diskresi tersebut mengakibatkan adanya disparitas
antara terpidana mati yang satu dengan terpidana mati lainnya. Banyaknya
terpidana mati yang belum dieksekusi merupakan pekerjaan rumah yang harus
segera dikerjakan oleh Kejaksaan dan tentu saja memerlukan bantuan pemerintah
selaku pembentuk kebijakan.
Pasal 28G Ayat 2 UUD NKRI 1945, menegaskan bahwa: “Setiap orang
berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Dengan adanya ketidakpastian hukum maka akan berimplikasi pula pada
kesehatan mental terpidana mati, menempatkannya dalam tekanan psikis yang
berkepanjangan merupakan bentuk siksaan yang diterima oleh terpidana mati.
Batas waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati yang tidak diatur secara
tegas dan pasti mengakibatkan masa tunggu yang dijalani oleh terpidana mati
kian jauh dari makna kepastian dan keadilan dalam pelaksanaan pidana mati.
Tentunya akan membawa dampak negatif bagi terpidana mati. Dampak negatif
yang diterima oleh terpidana mati ada beberapa persoalan, yaitu:
1. Hukuman Ganda (Double Punishment)
Terpidana mati harus menjalani 2 (dua) jenis pidana pokok, yaitu:
pertama, pidana penjara untuk waktu yang tidak ditentukan dengan
ditempatkan di Lapas sampai pada waktu pelaksanaan eksekusi mati;
kedua, pidana mati itu sendiri sesuai dengan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Bambang Waluyo mengemukakan “Seolah-olah
disatu pihak terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan, harus
menjalani dua jenis hukuman atas satu perbuatan yang sama yaitu hukuman
mati dan hukuman penjara.”55
2. Tekanan Psikis (Deathrow Phenomenon)
55
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016) h. 33.
51
56
Ita Lismawati F. Malau, “Rentetan Kasus Hukum Freddy Budiman si Gembong Narkoba”,
Viva News, Berita, 30/09/2010, diakses pada tanggal 02 Juli 2021.
52
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.” Ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD NKRI 1945 secara
substansial menjelaskan bahwa pada dasarnya semua orang berhak
mendapatkan rasa kepastian hukum dan keadilan, tidak terkecuali terpidana
mati. Maka tindakan pemerintah yang menggantung nasib terpidana mati
sudah termasuk kedalam bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Pasal 28G Ayat (2) UUD NKRI 1945 mengamanatkan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.” Substansi pasal di atas menegaskan mengenai
larangan terhadap segala bentuk penyiksaan, baik fisik maupun psikis
kepada semua orang. Pengaturan mengenai batas waktu pelaksanaan
eksekusi pidana mati yang tidak diatur secara tegas, menyebabkan keadaan
terpidana mati dibawah tekanan psikis karena memikirkan waktu
eksekusinya. Tekanan psikis yang dialami terpidana dapat dikualifikasikan
sebagai tindakan penyiksaan khususnya psikis, dan hal tersebut
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya Pasal 28I Ayat (2) UUD NKRI mengamanatkan bahwa:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif.” Sifat diskriminatif disini terlihat dari
perbedaan antara terpidana satu dengan yang lain dalam hal menunggu
eksekusi, selain itu berkaitan pula dengan perlakuan terhadap terpidana
mati pada saat berada di Lapas.
Eksekusi pidana mati yang dilaksanakan secara cepat tentu akan
memberikan landasan kepastian hukum yang berkeadilan dalam prosesnya.
Memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi terpidana mati, korban,
dan masyarakat luas, bahkan juga meningkatkan kewibawaan sebagai
53
negara hukum.57
Pasal 1 Ayat (3) UUD NKRI 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum, maka sudah seyogyanya sebagai perwujudan dari negara hukum
perlu diatur lebih lanjut secara tegas dan pasti mengenai pembaharuan regulasi
mengenai batas waktu eksekusi pidana mati. Pembaharuan harus dilaksanakan
secara komprehensif dengan tidak berfokus pada pasca penolakan grasi oleh
Presiden, melainkan juga ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai upaya
hukum luar biasa peninjauan kembali dan grasi.
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Sipol melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and
Political Rights. Konvenan Sipol mengatur lebih rinci mengenai jaminan fair
trial guna melindungi hak- hak individu dari kesewang-wenangan. Pasal 6 Ayat
(1) ICCPR mengatur mengenai hak untuk hidup dan mengatur mengenai
pembatasan pidana mati, dengan menyatakan:“Every human being has the
inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be
arbitrarily deprived of his life.” Yang jika diartikan, “Setiap manusia berhak atas
hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh
hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-
wenang”.
Sekilas pada ketentuan Pasal 6 Ayat (1) menunjukan bahwa adanya
keinginan dari ICCPR untuk melindungi hak hidup, mengupayakan lewat hukum
dan menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dirampas secara sewenang-
wenang. Selanjutnya Pasal 6 Ayat (2) ICCPR, yaitu:
“In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death
may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in
force at the time of the commission of the crime and not contrary the provisions
57
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016) h. 35.
54
58
Zainal Abidin, Menyelisik Keadilan yang Rentan : Hukuman Mati dan Penerapan Fair
Trial di Indonesia, (Jakarta : ICJR, 2019) h. 38.
55
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian pembahasan, masalah dan penelitian yang telah penulis
kaji di dalam setiap bagian bab pembahasan, maka kemudian peneliti menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Selama masa tunggu terpidana mati di tempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan. Program pembinaan yang terdiri beberapa tahapan,
bertujuan untuk mendukung proses reintegrasi sosial dengan mendidik dan
membina narapidana agar dapat kembali ke lingkungan masyarakat
menjadi warga negara yang baik. Dengan tujuan inilah, maka program
pembinaan tidak menyentuh seluruh penghuni yang ada di Lapas, tetapi
hanya diorientasikan pada narapidana yang nantinya akan kembali ke
lingkungan masyarakat. Permasalahan terpidana mati selama masa
tunggunya di Lapas adalah penempatan dan pelayanan yang harus
dilakukan oleh Lapas sebelum terpidana mati tersebut dieksekusi, karena
sebelum terpidana mati dieksekusi berarti yang bersangkutan adalah
manusia yang masih hidup yang secara alamiah tetap mempunyai hak-hak
yang harus dilindungi seperti hak untuk mendapatkan pelayanan
perawatan secara fisik dan kesehatan sampai yang bersangkutan
dieksekusi, termasuk juga mendapatkan hak-haknya. Adapun hak-hak
yang dimaksud adalah mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU No.12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan antara lain, melakukan ibadah sesuai
dengan agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan, baik perawatan
rohani maupun jasmani, mendapatkan pelayanan Kesehatan dan makanan
yang layak dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan kaidah
perundang-undangan yang berlaku
57
58
B. Rekomendasi
BUKU:
Abidin, Zainal. 2019. Menyelisik Keadilan yang Rentan : Hukuman Mati dan
Penerapan Fair Trial di Indonesia. Jakarta : ICJR.
Andre Budiman, Adhigama & Maidina Rahmawati. 2020. Fenomena Deret Tunggu
Terpidana Mati di Indonesia. Jakarta: ICJR.
Audah, Abdul Qadir. 1968. Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy. Beirut: Daar al-Kitab.
Bakhri, Syaiful. 2009. Pidana Denda Dan Korupsi. Yogyakarta : Total Media.
Dicey , A.V. 2008. Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj),
Bandung : Nusamedia.
Eddyono, Supriyadi W & Erasmus A.T. Napitupulu. 2015. Hukuman Mati dalam R
KUHP: Jalan Tengah Yang Meragukan. Jakarta : Institute for Criminal
Justice Reform.
Fajar, Mukti. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hamzah, A. & Sumangelipu, A. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di
Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
60
61
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. 2009. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksanaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta: Sinar Grafika.
Muladi & Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. 1984. Bandung:
Alumni.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik,
Purba, Nevita. 2015. Pelaksanaan Hukuman Mati: Prespektif Hak Asasi Manusia dan
Hukuman Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Sinar Grafika.
Rahman I Doi, Abdur. 1992. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka
Cipta.
Rasdjidi, Lili & Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sahetapy, J.E. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti,.
62
Sitanggang, Djernih. 2018. Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati
Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana.
Jakarta :Pustaka Reka Cipta.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2001. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
INTERNET:
JURNAL:
Dwi Putri Nababan, Monika. 2020. Pelaksanaan Hak Tahanan (Tantangan dan
Permasalahan). Journal of Criminal Law, Volume 1 Nomor1.
Usman & Andi Najemi. 2018. Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan,
dan Kepastian Hukumnya. Undang: Jurnal Hukum. Volume 1 Nomor 1.
UNDANG-UNDANG :
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara
LAMPIRAN
64
65