Anda di halaman 1dari 76

KEPASTIAN HUKUM DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI

PIDANA MATI DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Disusun oleh

NAMIRA SAVIRA
NIM : 11160480000055

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H / 2021 M
KEPASTIAN HUKUM DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI
PIDANA MATI DI INDONESIA

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh
NAMIRA SAVIRA
NIM: 11160480000055

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Indra Rahmatullah, SH.I, MH


NIP. 197308022003121001 NIDN. 2021088601

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H / 2021 M
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “KETIDAKPASTIAN HUKUM DALAM PENUNDAAN


EKSEKUSI PIDANA MATI DI INDONESIA” telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada 29 Desember 2021. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata
Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 29 Desember 2021
Mengesahkan
Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.


NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H


NIP. 19670203 201411 1 101 (............................)

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H.,M.Hum.


NIP. 19650908 199503 1 001 (........................... )

3. Pembimbing I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag.


(........................... )
NIP. 197308022003121001
4. Pembimbing II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
(........................... )
NIDN: 2021088601
5. Penguji I :
NIDN: (........................... )

6. Penguji II :
NUPN. (........................... )

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Namira Savira

NIM : 11160480000055

Program Studi : Imu Hukum

Alamat : Jln. Benda Barat 6 No.86 RT03 RW08 Pamulang 2


Tangerang Selatan.
Kontak : 0856-4201-2171

Email : namirasavira1998@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Desember 2021

Namira Savira

iv
ABSTRAK

NAMIRA SAVIRA, NIM 11160480000055, “KETIDAKPASTIAN


HUKUM DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DI
INDONESIA”. Konsentrasi Praktisi Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H /
2021 M.
Permasalahan utama dalam skripsi ini mengenai bagaimana aspek kepastian
hukum dan keadilan dalam pelaksanaan pidana mati dari setelah diputuskannya oleh
hakim sampai dilakukannya eksekusi mati serta bagaimana konsep batas waktu
pelaksanaan pidana mati yang berkepastian hukum dan berkeadilan.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
pendekatan normatif-empiris. Jenis penelitian ini menggunakan data kualitatif yang
mengamati kebijakan atau produk hukum dan ditelaah melalui penerapan pada
peristiwa konkret. Penerapan tersebut diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan dikuatkan oleh hasil wawancara
dengan Kalapas Empat Lawang Kelas 2b Sumatera Selatan yang berkaitan dengan
judul skripsi ini.
Hasil dari penelitian ini menjabarkan bahwa terdapat adanya ketidakpastian
hukum di dalam proses terpidana mati dari setelah diputuskan putusan hakim sampai
eksekusi dilakukan. Ketidakpastian hukum tersebut terbukti jelas dari tidak adanya
peraturan yang jelas untuk pembinaan terpidana mati selama masa tunggu dan
lamanya eksekusi mati akan dilakukan.

Kata Kunci : Ketidakpastian hukum, Eksekusi Mati.


Pembimbing Skripsi : 1. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
2. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H
Daftar Pustaka : 1968 sampai 2020

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul KETIDAKPASTIAN HUKUM
DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DI INDONESIA, dapat
diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa kendala yang dihadapi saat
proses penyusunan skripsi ini. Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan,
dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat peneliti ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ali Hanafiah Selian S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag, dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikirannya untuk peneliti. Beserta Segenap Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Dosen Program Studi
Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat
bermanfaat untuk peneliti.
4. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai

vi
untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan peneliti dalam penulisan skripsi
ini.
5. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Alm. Umar Ibrahim dan Wardah
Ahmad yang selalu memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil
berupa motivasi, do’a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku
kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana ini.
6. Kepada pihak yang terkait yang peneliti tidak dapat sebutkan namanya satu
persatu. Tidak ada yang dapat peniliti berikan, dukungan dan semangat kalian
yang membuat peniliti dapat menyelesaikan skripsi ini selain ucapan terima
kasih.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun bagi para
pembaca khususnya di bidang hukum pidana.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2021

Namira Savira

NIM 11160480000055

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan Masalah, dan Rumusan Masalah ................... 6
C. Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian ............................................. 7
D. Metode Penelitian............................................................................ 8
E. Sistematika Pembahasan ............................................................... 12

BAB II PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF TEORITIS ................... 13


A. Kerangka Teori.............................................................................. 13
Teori Kepastian Hukum ................................................................ 13
B. Kerangka Konseptual .................................................................... 16
1. Tujuan Hukum:Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Keadlian
........................................................................................... 16
2. Teori Pemidanaan.............................................................. 19
3. Penegakan Hukum ............................................................ 21
4. Pidana Mati ....................................................................... 23
5. Sistem Peradilan Pidana .................................................... 25
C. Pidana Mati dalam Hukum Islam ................................................ ..26
D. Review Kajian Terdahulu ............................................................. 28

viii
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI MATI DI
INDONESIA ...................................................................................... 30
A. Pelaksanaan Eksekusi Mati di Indonesia ...................................... 30
B. Penentuan Masa Tunggu Eksekusi pada Narapidana yang Dijatuhi
Hukuman Mati .............................................................................. 34
C. Faktor Penghambat Dalam Melaksanakan Eksekusi Pidana ........ 36
D. Pembinaan Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan ........... 38
E. Data Kasus Penundaan Eksekusi Mati .......................................... 40
F. Eksekusi Mati Menurut Hukum Pidana Islam .............................. 43

BAB IV RELEVANSI ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN PENUNDAAN


EKSEKUSI MATI DI INDONESIA .............................................. 48
A. Hak-Hak Terpidana Mati Dalam Masa Tunggu di Lapas ............ 48
B. Kepastian Hukum Dalam Penundaan Eksekusi Pidana Mati ....... 51

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 61


A. Kesimpulan ................................................................................... 61
B. Rekomendasi ................................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 64

LAMPIRAN ............................................................................................................... 66

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kaidah perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdapat


berbagai jenis hukuman, termasuk hukuman mati. Hukuman pidana mati
termasuk hukum pokok yang paling tua selain dari hukuman penjara dan
termasuk juga hukuman paling berat. Hal ini diatur secara tegas dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau yang lebih
dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hukuman ini juga termasuk hukuman yang paling tua dan paling berat.
Penerapan hukuman mati sering terdapat berbagai pendapat oleh beberapa
negara, baik oleh ahli hukum, filosof, teolog, maupun para ilmuan, dan
masyarakat pada umumnya. Hal ini membuat hukuman mati sebagai jenis
hukuman yang sangat sering menimbulkan kontroversi dibandingkan dengan
jenis hukuman yang lainnya. Polemik penerapan hukuman mati terjadi hampir
diseluruh dunia, baik dinegara-negara Anglo Saxon yang aliran hukumnya
common law system, maupun dinegara-negara Eropa Kontinental yang menganut
civil law system.
Untuk yang mendukung pidana mati mengatakan bahwa itu perlu untuk
menjerakan dan menakutkan para pelaku, dan seharusnya dilakukan dengan tepat
agar tidak menimbulkan sakit. Untuk yang menentang pidana mati mengatakan
bahwa pidana mati dapat menimbulkan ketidakadilan jika eksekusinya
menimbulkan sakit dan tidak sesuai dengan tujuan awalnya yaitu penjera, karena
tidak menutup kemungkinan bahwa kejahatan dilakukan karena adanya emosi
yang timbul sesaat dan diluar jangkauan kontrol manusia.1

1
A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di
Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 23.

1
2

Pasal 10 KUHP menjelaskan pidana mati sebagai pidana pokok, yang pada
tahun 1870 dihapuskan di Negeri Belanda. Indonesia tidak mengikuti hukum
pidana di Negeri Belanda pada tahun 1870, karena menurut tanggapan
kebanyakan para ahli hukum pidana karena alam daerah yang begitu luasdan
masyarakat yang heterogen, alat-alat kepolisian tak bisa menjamin keamanan
seperti di Eropa Barat. Oleh karena itu, pidana mati masih dicantumkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sejak 1 Januari 1918.2
Metode pelaksanaan hukuman mati berbeda-beda di setiap negara,
termasuk di Indonesia. Dalam Pasal 197 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang menyebutkan: ”Putusan dilaksanakan dengan segera menurut
ketentuan dalam undang-undang” berdasarkan pasal diatas seharusnya penegak
hukum harus menetapkan waktu eksekusi secepatnya. Lamanya jeda waktu
tunggu terpidana mati belum diatur secara tertulis, setelah Indonesia merdeka
peraturan mekanisme pelaksanaan hukuman mati ini diformalkan dalam
Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 dan tertulis dalam Lembaran Negara
1964 Nomor 38 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Penetapan Presiden
ini selanjutnya diundangkan 27 April 1964 melalui Undang-Undang No
2/Pnps/1964. Penundaan eksekusi mati yang cukup lama tidak sesuai dengan
norma Hak Asasi Manusia kontemporer. Hal ini justru menimbulkan persoalan
baru dalam bentuk death row phenomenon. Death row phenomenon adalah
keadaan kemunduran kondisi fisik terpidana pada saat menunggu eksekusi mati
yang terlalu lama. Fenomena ini adalah akibat dari kondisi menunggu hukuman
mati yang lama dan kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan
lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan terisolasi
dari orang lain. Pembiaran yang berjalan selama bertahun-tahun lamanya
termasuk dalam tindakan yang tidak terpujin dan tidak bertanggung jawab.
Karena dengan tidak adanya kepastian tersebut, secara tidak langsung terpidana

2
A. Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di
Masa Depan h. 13.
3

mati mengalami semacam penganiaayaan rohani dan penyiksaan psikis serta


mental.3
Terpidana mati yang melalui proses panjang dapat mengembangkan tingkat
stres, depresi, dan penyakit mental yang tinggi. Banyak narapidana yang dijatuhi
hukuman mati mengalami penundaan eksekusi yang lama hingga mereka
mengalami dua bentuk hukuman: penjara dan hukuman mati. Hal ini dibuktikan
dengan kasus Tugiman, pelaku pembunuhan berencana di sel pada tahun 1990
setelah keracunan di Lapas Kedungpane Semarang pada tahun 2001. Tugiman
telah dijatuhi hukuman mati sejak tahun 1992 dan telah menunggu untuk
dieksekusi selama hampir sembilan tahun.4
Terpidana mati tidak hanya menderita dari segi mental, psikologis dan
spiritual, tetapi menunda eksekusi hukuman mati tanpa batas jelas merupakan
viktimisasi yang terselubung. Hal ini dapat dilihat dari segi psikologis,
menunjukkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi hukuman mati dan kehilangan
sifat mengerikannya. Tidak terburu-buru mengeksekusi hukuman mati
menunjukkan bahwa aparat penegak hukum tidak serius dalam menegakkan
hukum, seolah-olah tidak ingin mengeksekusi hukuman mati. Hal ini berdampak
besar bagi terpidana mati, dan mereka tidak lagi takut dengan sanksi ini.
Di sisi lain, sebelum eksekusi, tentunya para terpidana akan ditahan di
lembaga pemasyarakatan hingga eksekusi. Sementara itu, UU Lapas No. 12
Tahun 1995 menyebutkan bahwa Lapas adalah tempat dimana narapidana dan
Anak Didik lapas diberi pembinaan. Narapidana adalah seorang narapidana yang
telah dipidana penjara, dan seorang narapidana adalah orang yang telah divonis
hukuman tetap. Oleh karena itu, penjara dimaksudkan untuk digunakan hanya
untuk pembinaan narapidana yang dijatuhi hukuman penjara. Di bawah KUHP,
penjara (baik seumur hidup dan penjara sementara) dan penjara dapat dihukum
3
J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2007), h. 68.
4
Nevita Purba, Pelaksanaan Hukuman Mati: Prespektif Hak Asasi Manusia dan Hukuman
Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 9.
4

karena kehilangan kemerdekaan. Fakta ini berarti bahwa lembaga


pemasyarakatan telah melakukan di luar fungsi utamanya, yaitu pembinaan
narapidana. Penahanan ini biasanya berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
Seperti yang telah disebutkan, meskipun keputusan tersebut telah berkekuatan
hukum tetap, ada penundaan yang lama, yaitu lebih dari 10 tahun dan tidak
menjalani upaya hukum. Pemasyarakatan yang lama dan tidak menentu
menunjukkan adanya kontradiksi antara Asas Kepastian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Ini karena waktunya tidak pasti dan tidak pasti apakah itu akan terjadi.
Di Indonesia sendiri dari seluruh terpidana mati yang seharusnya dieksekusi
sepanjang tahun 2020, rentang lama menunggu dari upaya hukum terakhir yang
berkekuatan hukum tetap menyentuh angka 8 sampai dengan 23 tahun. Terpidana
paling lama adalah Sugianto AL. Sugik bin Suparto dengan masa tunggu 23
tahun, sedangkan terpidana paling cepat dieksekusi mati adalah Tran Thi Bich
Hanh dengan masa tunggu 2 tahun.5
Pakar hukum dan masyarakat umum kembali mengulangi diskusi panjang
tentang eksekusi Ayodia (hukuman mati narkoba), Astini (hukuman mati
pembunuhan daging), Tivo (hukuman mati Poso), dan terakhir kasus Bahar
Mattar yang sudah menunggu dan tak kunjung pasti mengenai eksekusi pidana
mati atas dirinya selama lebih dari 36 tahun di Lembaga Permasyarakatan
Nusakambangan. Sebelumnya, polemik mengenai hal ini juga sempat
mengemuka dalam kaitannya dengan rencana eksekusi pidana mati yang telah
dijatuhkan putusannya oleh Pengadilan Negeri Surabaya hampir Sembilan belas
tahun silam kepada Sugeng dan ibunya (Suryati) setelah permohonan grasinya
ditolak Presiden6 dan hal yang sama juga dialami Bahar bin Matsar yang

5
Supriyadi W. Eddyono, Erasmus A.T. Napitupulu dan Ajeng Gandini Kamilah, Hukuman
Mati dalam R KUHP: Jalan Tengah Yang Meragukan (Jakarta : Institute for Criminal Justice Reform,
November 2015), h. 1.
6
M. Abdul Kholiq, “Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya Dalam RUU
KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam)”, terdapat dalam
https://www.neliti.com/publications/80691/kontroversi-hukuman-mati-dan-kebijakan- regulasinya-
dalam-ruu-kuhp-studi-komparat.)
5

mengalami penundaan eksekusi selama 40 (empat puluh tahun) di Lembaga


Pemasyarakatan.
Dari uraian di atas maka peniliti berinisiatif untuk meneliti lebih lanjut dan
akan menuangkan dalam tugas akhir (skripsi) dengan judul “KEPASTIAN
HUKUM DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DI
INDONESIA”

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas terdapat beberapa masalah yang di
diidentifikasi yang terkait dengan tema yang di teliti, antara lain:
a. Belum terdapat kepastian hukum dalam pelaksanaan hukuman eksekusi
mati di Indonesia.
b. Penegak hukum seakan-akan meremehkan putusan hakim karena lamanya
pelaksanaan eksekusi mati.
c. Dampak buruk bagi psikologis terpidana jika pelaksanaan eksekusi yang
tidak jelas.
d. Hukuman pidana mati menjadi tidak bersifat final/hukuman yang paling
berat karena masih banyak terpidana yang divonis mati belum di eksekusi.
e. Peran kejaksaan agung dalam permasalahan ini tidak terlihat maksimal.

2. Batasan Masalah
Agar pembahasan masalah pada penelitian ini lebih terfokus dan tidak
meluas, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti. Disini
penelitian ini hanya akan membahas terkait bagaimana ketidakpastian hukum
dalam penundaan eksekusi mati di Indonesia dari putusan hakim, masa
tunggunya di Lembaga Pemasyarakatan sampai dieksekusi.
6

3. Rumusan Masalah
Peneliti membatasi pokok permasalahan yang dituangkan dalam
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah penundaan eksekusi pidana mati melanggar hak terpidana mati
dalam masa tunggunya di Lapas?
b. Bagaimana akibat dari penundaan eksekusi mati terhadap kepastian
hukum?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Untuk menjawab seluruh pertanyaan masalah di atas dirumuskan tujuan
penelitian yang akan di capai, antara lain:
a. Untuk mengetahui negara memiliki aturan khusus untuk menentukan waktu
tunggu terpidana mati, dan mengetahui hak-hak apa yang dilanggar dengan
menunda eksekusi.
b. Untuk mengetahui akibat dari penundaan eksekusi mati.

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini memiliki memiliki manfaat untuk
progresivitas perkembangan pada diskursus ilmu hukum, khususnya yang
berkaitan dengan hukum pidana.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan
pemahaman yang utuh mengenai faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan penundaan eksekusi pidana mati, manfaat lain pun
peneliti juga dapat mengetahui tentang tahapan-tahapan eksekusi
pidana mati dari putusan hakim yang inkracth sampai meninggalnya
7

terpidana eksekusi mati. Selain itu peneliti dapat mengetahui relevansi


dari penundaan eksekusi mati dan asas kepastian hukum.
2) Bagi Akademis
Bagi kalangan akademis, khususnya bagi mahasiswa yang
menekuni hukum pidana penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk
memahami relevansi dari kenyataan hukum yang ada dengan asas
kepastian hukum.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


penelitiannormatif-empiris. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang
melekatkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma
yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari pengaturan
perudangan, perjanjian serta doktrin (ajaran)7. Penelitian ini dilakukan
terhadap data yang bersifat sekunder seperti peraturan perundang-undangan,
jurnal ilmiah, buku-buku hukum berkaitan dengan hukum pidana dan eksekusi
pidana mati. Sedangkan penelitian empiris adalah penilitian yang mempunyai
objek kajian mengenai perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat yang dikaji
adalah perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang
ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas
diterapkannya sebuah ketentuan perundangan positif dan bisa pula dilihat dari
perilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memperngaruhi pembentukan
sebuah ketentuan hukum positif.8 Penelitian empiris dalam penulisan skripsi
ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan Kalapas Empat Lawang

7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 13.
8
Mukti c, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h. 34.
8

Kelas 2b, terkait program pembinaan terpidana mati di dalam Lapas.


2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti yakni pendekatan
empiris. Pendekatan penelitian ini bertujuan untuk melihat hukum atau
kebijakan dalam artian nyata dan meneliti bagaimana berkerjanya kebijakan
atau hukum di lingkungan masyarakat itu bekerja, karena dalam penelitian ini
fokus berhubungan dengan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa penelitian
hukum yang diamati dan diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu
masyarakat.9

3. Sumber data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data yang bersifat autoritatif atau
memiliki otoritas. Sumber data primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan, wawadn cara dan catatan-catatan resmi atau hasil riset yang
dikumpulkan selama penelitian. Dalam penelitian ini, sumber data primer
terdiri dari:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana (KUHP)
3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
4) Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tatacara
Pelaksanaan Pidana Mati
5) Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan
(Hak-Hak Narapidana)

9
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 134.
9

6) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik


Indonesia Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6
Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara
7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi
International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
8) Wawancara dengan narasumber Mohammad Ridwantoro Bc.I.P.,
S.H., M.Si selaku Kalapas Empat Lawang Kelas 2b Sumatera
Selatan
b. Sumber Data Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum
yang bukan termasuk dokumen resmi, seperti buku-buku teks, kamus-
kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah buku-buku yang berkaitan dengan penundaan eksekusi pidana mati,
skripsi, jurnal, dan jurnal web yang dapat mendukung materi penelitian ini.
c. Sumber Data Tersier
Sumber data tersier dapat juga disebut sebagai sumber non hukum.10
Sumber data tersier digunakan sebagai penunjang dari penelitian karena
peneliti menimbang butuhnya meneliti cabang ilmu lain demi
perkembangan penelitian ini untuk menjelaskan informasi lebih lanjut
mengenai sumber data primer dan sumber data sekunder di atas. Sumber
data tersier yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), koran, dan sumber-sumber informasi lain yang
dapat mendukung penelitian ini.

10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h. 204.
10

4. Teknik Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
berupa:
a. Wawancara, dalam penelitian ini, peneliti melakukan interview
secara personal langsung kepada pihak yang terkait dalam penelitian
ini yaitu Mohammad Ridwantoro Bc.I.P., S.H., M.Si selaku Kalapas
Empat Lawang Kelas 2b Sumatera Selatan.
b. Studi Kepustakaan
Teknik kepustakaan adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan mencari data-data yang diperlukan sebagai
referensi dalam penelitian ini melalui berbagai literatur, antara lain
buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, disertasi, kaidah perundang-
undangan dan putusan pengadilan di berbagai perpustakaan umum
dan universitas.

5. Teknik Pengolahan Data


Teknik pengelolahan data dianggap langkah pendahuluan untuk
melakukan proses analisis data penelitian yang dikaji. Pengelolahan data
dilakukan melalui metode deduktif-induktif yang dihubungkan dengan
berbagai data seperti: bahan data primer, sekunder, dan tersier yang kemudian
diinterpretasikan dengan literatur tertulis dan sumber tertulis lainnya.

6. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dan telah dikumpulkan, selanjutnya diolah dengan
menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu metode analisis yang bersifat
mendeskripsikan data yang diperoleh dalam bentuk uraian kalimat yang logis,
lalu diberi penafsiran dan kesimpulan oleh peneliti. Tujuan dari penggunaan
metode ini ialah untuk menjelaskan secara lebih rinci mengenai isu hukum
11

yang diteliti. Metode analisis ini juga lebih menekankan pada kualitas isi
penelitian yang ditelaah secara mendalam dan menyeluruh.

7. Teknik Penulisan
Penelitian ini akan mengajukan suatu konsep yang dapat diterapkan
dalam hukum pidana di Indonesia yang efektif dan relavan untuk menjamin
hak-hak terpidana mati yang muncul akibat adanya kaidah yang mengatur
tentang penentuan masa tunggu eksekusi mati dalam pelaksanaan pidana mati
di Indonesia. Adapun dampak lain yang timbul secara psikologis, terpidana
mati dapat mengalami tekanan psikis selama menjalani masa tunggu.
Penelitian ini berusaha sebisa mungkin untuk memberikan saran-saran yang
menggambarkan tentang pentingnya perumusan dalam menjalani masa tunggu
dan lamanya masa tunggu terpidana mati yang jelas dari hasil penelitian, yaitu
implikasi dari kesimpulan yang harus dapat dioperasionalkan dalam
kehidupan nyata, bukan hanya angan- angan. Uraian praktis tersebut
bersumber dari indikator-indikator yang diteliti, bukan di luar hasil penelitian.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah penelitian


yang berjudul “KEPASTIAN HUKUM DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI
PIDANA MATI DI INDONESIA” maka, dirasa perlu untuk memaparkan
terlebih dahulu sistematika penulisan sebagai gambaran singkat penelitian ini.
Penulisan penelitian ini pada buku Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, yang terbagi dalam
lima bab dan pada setiap bab terdiri dari sub bab yang digunakan untuk
memperjelas ruang lingkup dan inti dari permasalahan yang diteliti. Berikut
sistematika yang akan digunakan dalam penelitian ini :
BAB SATU PENDAHULUAN :Terdiri dari latar belakang masalah dan
rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini. Selain itu
12

terdiri pula dari tujuan serta manfaat diadakannya penelitian, tinjauan (review)
kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB DUA KERANGKA URAIAN DAN KONSEPTUAL : Dalam bab
ini peneliti membahas kerangka teori dan kerangka konsepetual yang peneliti
gunakan, konsep-konsep hukum, landasan hukum serta peraturan perunndang-
undangan.
BAB TIGA TINJAUAN UMUM MENGENAI KETIDAKPASTIAN
HUKUM DALAM PENUNDAAN EKSEKUSI PIDANA MATI DI
INDONESIA : Berisi penjabaran dan penjelasan menganai eksekusi pidana mati
di Indonesia maupun secara data atau pelaksanaannya dan juga menjelaskan
tentang penerapan asas kepastian hukum dalam hukum positif di Indonesia.
BAB EMPAT RELEVANSI ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN
PENUNDAAN EKSEKUSI MATI DI INDONESIA : Berisi penjabaran dan
analisa mengenai bagaimana aspek kepastian hukum dan keadilan dalam
pelaksanaan pidana mati dari setelah diputuskannya oleh hakim serta bagaimana
konsep batas waktu pelaksanaan pidana mati yang berkepastian hukum dan
berkeadilan. Penundaan eksekusi pidana mati tersebut ada yang memakan waktu
hingga bertahun- tahun lamanya. Dengan terjadinya penundaan memberikan
pandangan bahwa adanya suatu bentuk pembiaran yang tidak bertanggung jawab.
Sebab jika si terpidana mati dibiarkan tanpa kepastian dalam waktu yang lama
sekali dan di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang dalam hal tersebut
secara tidak langsung Lembaga Pemasyarakatan telah melebihi fungsi yang
utama yaitu melaksanakan pembinaan Narapidana. Bertalian dengan
dilaksanakan atau tidak dieksekusi pidana mati, sesungguhnya telah direkayasa
semacam penganiaayaan rohani dan penyiksaan psikis serta pengebukan mental.
Kasus kasus putusan terpidana mati yang mengalami penundaan eksekusi mati
ini akan dianalisa dengan asas kepastian hukum, UU no. 39 tahun 1999 tentang
HAM dan Undang-Undang yang berkaitan.
13

BAB LIMA PENUTUP : Bab ini merupakan penutup dan akhir dari
penelitian. Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil penelitian dari
analisis bab – bab sebelumnya secara sistematis dan rekomendasi. Kesimpulan
ini berisi jawaban terhadap inti masalah penelitian berdasarkan data yang
diperoleh. dan juga saran yang sekiranya akan bermanfaat untuk kepentingan
umum.
BAB II

PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF TEORITIS

A. Kerangka Teori

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu yang


pertama adalah adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu. Kepastian hukum tidak hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara
putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang
serupa yang telah diputuskan.
Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin
kepastian hukum dalam hubungan-hubungan interaksi kemasyarakatan.
Terjadinya kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”. Akibatnya terkadang
yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua) macam
pengertian dari “kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan
kepastian dalam atau dari hukum.
Kepastian hukum tercapai kalau hukum itu adalah hukum undang-undang
dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan-ketentuan yang
bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijkheid”
(kenyataan hukum) dan undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah
yang dapat di tafsirkan berlain-lainan.
Menurut Kelsen, hukum itu adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa kaidah tentang apa yang harus dilakukan. Undang-

14
15

Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam berinteraksi dimasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan
kepastian hukum.
Penegakan hukum dalam teori hukum yang dikemukan Gustav Radbruch
pada dasarnya harus mencapai tiga hal yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan.11 Demi mencapai tiga hal tersebut maka penegakan hukum seharusnya
dirumuskan dalam berbagai kaidah, yang kemudian diformulasikan ke dalam
berbagai undang-undang agar tidak menyimpang jauh dari usaha-usaha
mencapai keadilan yang hakiki demi kepastian hukum dan kemanfaatan.
Undang-undang adalah merupakan manifestasi kepastian hukum pada dasarnya
bertujuan agar terciptanya predictibility. Hal tersebut dimaksudkan agar,
pertama setiap individu mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa kemanfaatan hukum bagi individu
agar terhindar dari kesewenang-wenangan pemerintah karena adanya aturan
yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
atau dilakukan oleh negara terhadap individu.12
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau

11
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 45.
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, h. 158.
16

utility).

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah adanya kepastian hukum


dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian
hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan
dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux”
yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang
dapat menolongnya, dengan demikian keadilan bukan merupakan tujuan hukum
satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang
didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung
melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi
penganut pemikiran ini, hukum hanyalah kumpulan-kumpulan aturan. Bagi
penganut aliran ini, tujuan hukum adalah menjamin terwujudnya kepastian
hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan dengan hukum yang sifatnya hanya
membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-
aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian.

B. Kerangka Konseptual

1. Pidana Mati

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan


pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.13 Menurut para pendukung
teori retributif pemberian sanksi pidana terhadap orang yang telah melakukan
tindak pidana itu adil karena akan memperbaiki keseimbangan moral yang
telah dirusak oleh kejahatan. Orang baik akan berbahagia dan orang jahat

13
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbitan Universitas, 1968), h. 107.
17

akan menderita karena perilakunya yang jahat. Akan terjadi


ketidakseimbangan apabila pelaku kejahatan gagal mendapatkan penderitaan
karena perbuatan jahatnya. Keseimbangan moral akan tercapai apabila
pelaku kejahatan diberi sanksi pidana dan korban mendapatkan kompensasi.
Sementara itu, menurut para penganjur teori teleologis, sanksi pidana
dapat diberikan untuk memperoleh kemanfaatan. Pemberian sanksi pidana
pelaku kejahatan dapat menjadikannya seorang yang lebih baik dan sekaligus
dapat mencegah penjahat yang potensial agar dunia menjadi tempat yang
lebih baik. Kejahatan dianggap sebagai sakit jiwa dan dapat disembuhkan
dengan obat yang tidak menyenangkan, yaitu sanksi pidana. Para pemikir
teori teleologis menyatakan bahwa subyek moral harus mempunyai pilihan
bahwa tindakannya dapat mempunyai kemanfaatan maksimum. Kemanfaatan
suatu tindakan dapat diukur dari keberhasilannya menciptakan kebahagiaan
atau mengurangi penderitaan bagi setiap orang.
Selanjutnya, menurut para penganjur teori retributif teleologis, tujuan
pemberian sanksi pidana itu jamak karena berkaitan dengan prinsip- prinsip
teleologis dan retributif dalam suatu kesatuan, oleh karena itu teori ini juga
disebut teori integratif. Teori ini menganjurkan kemungkinan untuk
mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus yaitu fungsi retributif dan fungsi
kemanfaatan, misalnya pencegahan dan rehabilitasi, yang harus
dikombinasikan sebagai target yang diterima melalui perencanaan dalam
memberikan sanksi pidana. Sanksi pidana harus menjadi sarana untuk
mengasimilasikan narapidana agar mereka dapat kembali dan hidup bersama
dengan warga lainnya di dalam masyarakat. Berkaitan hal ini dapat dikatakan
bahwa pidana merupakan suatu seni.
Di antara ketiga teori tersebut, teori integratif mengenai tujuan
pemberian sanksi pidana cocok untuk Indonesia karena sekarang ini
pemberian sanksi pidana sangat rumit sebagai akibat dari upaya-upaya yang
18

mengarahkan perhatian terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan HAM


dan menjadikan sanksi pidana menjadi operasional dan fungsional. Pilihan
teori integratif mengenai tujuan pemberian sanksi pidana didasarkan pada
beberapa alasan, seperti alasan ideologis, sosiologis dan yuridis.

2. Penegakan Hukum
Pasal 1 angka 3 Perubahan Keempat UUD 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aktivitas dan
tindakan masyarakat maupun penyelenggara negara harus berlandaskan
hukum. Agar dapat berfungsi dengan baik, hukum pun harus dijalankan
melalui penegakan hukum, baik dalam arti sempit maupun arti luas.
Bagir Manan mengungkapkan tentang sendi utama negara berdasarkan
atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi
hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum
antara negara dan masyarakat yang satu dengan yang lain. Dalam suatu
negara hukum, apabila hukum tersingkirkan, maka negara tersebut tidak lagi
dikatakan sebagai negara hukum, ia bisa berubah menjadi negara otoriter.
Dalam konsep negara hukum kekuasaan negara dibatasi oleh aturan-aturan
yang telah ditetapkan sehingga menghindari terjadinya tindakan
kesewenang-wenangan.
Frederich Julius Stahl ahli hukum dari Eropa kontinental memberikan
ciri-ciri negara hukum (rechsstaat), setidaknya terdapat empat pondasi yang
harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, yaitu: adanya perlindungan
terhadap hak asasi manusia (grondrechten), adanya pembagian kekuasaan
(scheiding van machten), pemerintahan yang berdasarkan undang-undang
(wetmatigheid van bestuur), dan adanya peradilan tata usaha negara
(administratieve rechspraak).14

14
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1972),
h. 58.
19

Sementara dalam tradisi Anglo Saxon, seperti diungkapkan oleh


A.V. Dicey, suatu negara hukum dalam pengertian the rule of law setidaknya
harus memiliki tiga karakteristik, yaitu: tegaknya supremasi hukum
(supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality before the law),
dan adanya jaminan serta mekanisme perlindungan diri atas hak (due process
of law).15
Penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi upaya penciptaan
Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum dapat ditegakkan, maka
keadilan, ketertiban, kepastian hukum, rasa aman, tenteram dan kehidupan
yang rukun akan dapat diwujudkan. Dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
tersebut, tersirat pula bahwa penegakan hukum bukan semata-mata tugas
dari aparat penegak hukum saja, tetapi telah menjadi kewajiban serta
komitmen seluruh komponen bangsa. Komitmen ini dituntut secara konsisten
untuk dapat diimplementasikan, lebih-lebih di saat bangsa Indonesia
berupaya bangkit mengatasi krisis multi dimensional, mengingat peran
hukum tidak hanya untuk mengatur kehidupan masyarakat semata, tetapi
juga dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional dan hasil-
hasilnya.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu undang-undang, penegak hukum, sarana atau fasilitas
pendukung, masyarakat, dan kebudayaan.16 Dalam kenyataannya, kelima
faktor tersebut saling berpengaruh, berkaitan, dan saling menentukan agar
penegakan hukum atas hukuman mati dapat diterima di tengah masyarakat.
Berbagai kemungkinan dalam realitas hukum bisa saja terjadi,

15
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj), (Bandung :
Nusamedia, 2008), h. 262.
16
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali, 1983), h. 14.
20

misalnya, kaidah perundang-undangan sudah memadai, namun penegak


hukum yang tidak profesional mengakibatkan kegagalan. Kemungkinan lain
adalah undang-undang dan penegak hukum sudah baik, namun sarana atau
kesadaran masyarakat kurang, sehingga penegakan hukum dilaksanakan
secara tidak optimal, demikian seterusnya. Dari kelima faktor penegakan
hukum, ternyata faktor penegak hukum dianggap paling dominan. Penegak
hukumlah yang menjadi operator pelaksanaan hukum. Hermann Mannheim,
dalam bukunya Criminal Justice and Social Reconstruction mengemukakan,
"Betapapun baiknya perangkat perundang-undangan, jika para penegaknya
berwatak buruk maka hasilnya juga akan buruk."17

3. Sistem Peradilan Pidana

Mengenai pengertian sistem peradilan pidana, Remington dan Ohlin


menyatakan bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana, dan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara
kaidah perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah
laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu
proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien
untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.18
Michael J. Allen dalam Textbook on Criminal Law, menyatakan
bahwa: criminal justice system is a tool of social control representing the
agglomeration of powers, procedures and sanctions which surround the
criminal law”. Selain itu, menurut Allen, hukum pidana memiliki peranan
penting untuk menetapkan ukuran-ukuran (to set parameters) berjalannya

17
Andi Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum", Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 23 Juli 1998, Jakarta, h. 5.
18
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),
h.2.
21

sistem peradilan pidana.19


Norval Morris, sebagaimana dikutip oleh Mardjono Reksodiputro,
menggambarkan sistem peradilan pidana secara singkat, sebagai suatu sistem
yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”, salah satu usaha
masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam
batas-batas toleransi yang dapat diterimanya.
Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun
hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini
harus dilihat dari kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal
apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan
membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang
dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran- ukuran yang bersifat
materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat
umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.20

C. Pidana Mati dalam Hukum Islam

Dalam pandangan Abdul Qadir Audah, hukuman adalah pembalasan atas


pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat21.
Hukuman pokok yang diajarkan dalam sistem hukum pidana Islam menurut
mayoritas ulama adalah Qishash, yaitu hukuman yang setimpal dengan apa yang
telah dilakukan oleh pelakunya. Umpamanya, perlakuan terhadap si pembunuh
harus dibunuh juga, sekalipun tidak mesti dengan alat atau senjata yang sama.
Dengan kata lain dia dibunuh kalau dia membunuh dan dilukai kalau dia

19
Michael J. Allen, Text book on Criminal Law, (London: Blackstone, 1999), h. 2.
20
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), h. 4.
21
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, (Beirut: Daar al-Kitab, 1968), h. 58.
22

melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain.


Hukuman Qishash ini didasarkan pada ayat Alquran dalam surah Al-
Baqaroh: 178 – 179: bahwa seseorang yang melakukan jarimah pembunuhan
harus dijatuhi hukuman qishash, yaitu hukuman yang serupa, yakni hukuman
mati. Hukuman qishash tersebut dilakukan bertujuan adalah agar tercipta
persamaan keadilan antara yang kuat dengan yang lemah dan golongan yang
banyak dengan yang sedikit. Dari ayat itu juga dipahami bahwa hukuman mati
tersebut dapat tidak dilaksanakan apabila wali (keluarga) yang terbunuh itu
memaafkan pihak yang melakukan pembunuhan. Dalam keadaan yang demikian
bagi pembunuh diwajibkan memberikan ganti rugi (diat) kepada keluarga yang
terbunuh untuk ketentuan jumlahnya ditetapkan oleh hukum fikih, inilah dasar
hukum mengenai jarimah pembunuhan, tentunya semua itu dilaksanakan oleh
putusan hakim.22
Dengan ungkapan lain, qishash ialah melakukan tindakan pembalasan
yang sama. Kendatipun demikian, manakala yang membunuh mendapat maaf
dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang
wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak
mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya
dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.23
Islam menentukan cara untuk melindungi masyarakat dari kejahatan
pembunuhan, kemudian telah mempertimbang- kan hal-hal yang akan terjadi
dalam kelompok masyarakat. Untuk mengatasi hal-hal yang terjadi itu, maka
ditetapkanlah hukum sebagai sanksinya.
Dalam hukum Islam, ada tiga bentuk pembunuhan, yaitu: Pertama,
pembunuhan disengaja yaitu seseorang dengan direncanakan menghilangkan
nyawa orang lain. Terhadap jarimah semacam ini, maka pelaku pembunuhan

22
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta,Rineka Cipta, 1992), h.
126.
23
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, h. 26.
23

wajib dibunuh pula. Apabila keluarga korban memaafkan maka hukuman tidak
bisa dijatuhkan, maka kepada pembunuhnya dikenakan diyat. Kedua,
pembunuhan seperti disengaja yaitu seseorang dengan maksud bergurau
melempar temannya dengan kerikil, tidak diduga bahwa perbuatannya itu akan
mematikan orang lain. Terhadap jarimah ini tidak diwajibkan qishash tapi wajib
membayar denda. Ketiga, Tidak disengaja membunuh, umpamanya seseorang
menembak buruannya tetapi sasarannya kena kepada manusia . Terhadap
jarimah tersebut tidak wajib qishash tetapi membayar diyat kepada wali korban.
Hukum Islam secara tegas menindak segala bentuk jarimah, siapapun
pelakunya, tetapi di balik itu bahwa syari’at Islam tidak terlepas dari
moralitasnya, yaitu selalu memperhatikan aspek lain di samping prosedur yang
telah ditetapkan, seperti aspek moral, prikemanusiaan dan kehidupan sosial
masyarakat di wilayah kejadian jarimah.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


1. Skripsi yang ditulis oleh Hikari Macca Mas Gumay24
Dalam skripsi ini membahas mengenai analisis yuridis terhadap
penundaan pelaksanaan hukuman mati pada warga negara asing dalam kasus
penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang
penundaan eksekusi mati di Indonesia, namun yang membedakan adalah
skripsi ini menjelaskan factor penyebab penundaan eksekusi mati berdasarkan
kasus Mary Jane Fiesta Veloso saja. Sedangkan factor penyebab penundaan
eksekusi mati tidak hanya adanya faktor diplomatik.

2. Artikel yang ditulis oleh Inten Kuspitasari, Purwoto dan Umi Rozah25

24
Hikari Macca Mas Gumay, Analisis Yuridis Terhadap Penundaan Pelaksanaan Hukuman
Mati Pada Warga Negara Asing dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, Skripsi
Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2017.
24

Dalam artikel ini membahas tentang peran kejaksaan sebagai eksekutor


pidana mati di Indonesia
Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang praktik
pelaksanaan peranan dan kewenangan jaksa sebagai eksekutor pidana mati di
Indonesia dan alasan dalam praktik tersebut terdapat beberapa kendala yang
menyebabkan terjadinya penundaan eksekusi pidana mati. Namun yang
membedakan adalah jurnal ini hanya membahas tentang peran kejaksaan
sebagai eksekutor.

3. Skripsi yang ditulis oleh Edy Lestari26


Dalam Skripsi ini membahas tentang penundaan eksekusi terpidana mati
warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika di wilayah
hukum Indonesia.
Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang penyebab
penundaan eksekusi terpidana mati di Indonesia. Namun, yang membedakan
adalah mengetahui dan memahami korelasi antara penundaan eksekusi
terpidana mati berkewarganegaraan asing dengan kepentingan negara yang
lebih besar dalam hubungan dengan dunia internasional.

25
Inten Kuspitasari, Purwoto dan Umi Rozah, Peran Kejaksaan Sebagai Eksekutor Pidana
Mati di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, 2019.
26
Edy Lestari, Penundaan Eksekusi Pidana Mati Warga Negara Asing yang Melakukan
Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas
Internasional Batam, 2018.
BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI MATI DI INDONESIA

A. Eksekusi Pidana Mati di Indonesia

Berdasarkan ketentuan Pasal 270 KUHAP dapat diketahui bahwa


pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dilaksanakan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat
putusan kepadanya. Dalam pengertian yuridis, putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap berarti, apabila terdakwa atau
penuntut umum menerima putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri,
apabila batas waktu untuk mengajukan banding telah melewati batas waktu,
apabila permohonan banding dicabut, dan apabila terpidana tidak
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden (dalam jangka waktu yang
sama seperti pengajuan permohonan banding).
Pasal 11 KUHP menentukan bahwa eksekusi pidana mati, yang
dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan
militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan
dalam UU No. 2 Pnps Tahun 1964. Di dalam penjelasan R. Sugandhi, Pasal 11
KUHP dinyatakan bahwa sebelum adanya ketentuan-ketentuan dalam UU No.
2 Pnps Tahun 1964, pidana mati dilaksanakan oleh algojo di tempat
penggantungan menggunakan sebuah jerat di leher terpidana mati dan
mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan serta menjatuhkan papan
tempat orang itu berdiri. Tetapi, karena ketentuan ini tidak sesuai lagi
dengan perkembangan serta jiwa revolusi Indonesia maka pelaksanaan
pidana mati itu dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat
dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat
pertama.27

27
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 14.

25
26

Penjelasan R. Sugandhi di atas perlu dilengkapi dengan penjelasan


Andi Hamzah, bahwa cara pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur
dalam Pasal 11 KUHP, yaitu dengan menggantung terpidana oleh seorang
algojo namun dewasa ini tidak dilaksanakan lagi sebenarnya merupakan
suatu sejarah tersendiri. Pelaksanaan pidana mati dengan menggantung
terpidana menurut ketentuan Pasal 11 KUHP itu berlangsung sampai
tanggal 8 Maret 1942 ketika Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada
Jepang.28

Jepang mengeluarkan suatu regulasi, yaitu Osamu Gunrei No. 1 Tahun


1942, yang menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan jalan
menembak mati terpidana. Pada waktu pendudukan Belanda sesudah Perang
Dunia II usai, berlaku Stb. No. 123, yang menyatakan pelaksanaan pidana mati
dengan ditembak mati. Setelah Indonesia merdeka dengan UU No. 1 Tahun
1946 yang dikeluarkan oleh RI Yogyakarta, maka dinyatakan berlaku ialah
KUHP. Jadi, dengan sendirinya berlaku Pasal 11 KUHP tersebut yang
menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung.

Berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, UU No. 1 Tahun 1946 dinyatakan


berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Jadi, sejak 29 September 1958 pidana
mati seharusnya dilaksanakan dengan metode digantung menurut Pasal 11
KUHP. Tetapi sejak saat pelaksanaan pidana mati terhadap pelaku peristiwa
Cikini tahun 1958, pidana mati dijalankan dengan cara ditembak. Begitu pula
terhadap Kartosuwirjo dan Dr. Soumokil. Baru pada tahun 1964 dengan
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1964, dikeluarkannya regulasi tentang tata
cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan dilingkungan peradilan
umum dan militer yang dilakukan dengan ditembak mati. Berdasarkan UU No.
5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Penetapan Presiden No. 2 Tahun

28
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 312.
27

1964 dinyatakan menjadi UU No. 2 Pnps Tahun 1964.

Pasal 271 KUHAP menentukan bahwa dalam hal pidana mati


pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan
Undang- Undang. Bertolak dari ketentuan Pasal 271 KUHAP tersebut, Leden
Marpaung menjelaskan bahwa adanya berita pidana mati pada surat kabar
atau warta berita yang dibaca/diketahui masyarakat tetapi kelanjutan berita
tersebut mengenai pelaksanaannya kadang- kadang setelah bertahun-tahun.29
Hal tersebut bukan disebabkan kemauan aparat atau bukan karena aparat
pelaksana mengalami hambatan tetapi semata- mata karena prosedur/tata
cara pelaksanaan pidana mati harus ditempuh berdasarkan UU No. 2
Pnps Tahun 1964 dan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi
sebagaimana telah diganti dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Permohonan
Grasi.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan


Grasi, jika terpidana mati tidak mengajukan grasi maka hakim atau ketua
pengadilan negeri, jaksa atau kepala kejaksaan negeri harus mengajukan
permohonan grasi karena jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-Undang tersebut. Dengan demikian, meskipun terpidana mati tidak
mengajukan grasi, berdasarkan Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2002 eksekusi
pidana mati belum dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang
Penolakan Grasi diterima oleh terpidana mati.

Prosedur eksekusi pidana mati baik yang dijatuhkan oleh pengadilan


umum maupun pengadilan militer harus dilaksanakan sesuai ketentuan UU
No. 2 Pnps Tahun 1964, yaitu eksekusi pidana mati dilaksanakan oleh 12
orang terdiri atas satu orang perwira, satu orang bintara, dan 10 orang tamtama,
di bawah komando seorang perwira. Jarak antara regu penembak dengan

29
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksanaan dan Pengadilan
Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 217.
28

terpidana mati antara lima sampai 10 meter. Hanya satu senapan diisi peluru.
Setelah eksekusi seorang dokter melakukan pemeriksaan untuk memastikan
bahwa terdakwa sudah meninggal dan penuntut umum wajib membuat
laporan mengenai eksekusi pidana mati tersebut.

Menurut Lilik Mulyadi, berdasarkan ketentuan Pasal 2 s.d. 16 UU No.


2 Pnps Tahun 1964 prosedur eksekusi pidana mati adalah sebagai berikut:30
1. Dalam jangka waktu tiga kali 24 empat jam saat pidana mati
dilaksanakan jaksa tinggi/ jaksa yang bersangkutan harus
memberita- hukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakan
pidana mati tersebut dan apabila terpidana hendak mengemukakan
sesuatu, keterangannya, atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi
atau jaksa tersebut (Pasal 6 ayat 1 dan 2 UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
2. Apabila terpidana sedang hamil, eksekusi pidana mati baru dapat
dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Pasal 7
UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
3. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman
yaitu di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang
menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1 UU No. 2
Pnps Tahun 1964).
4. Kepala kepolisian dari daerah yang bersangkutan bertanggung
jawab mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah
mendengar nasihat dari jaksa tinggi/jaksa yang telah melakukan
penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama (Pasal 3 dan 4
UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
5. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu penembak yang terdiri
atas seorang bintara, 10 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang

30
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan, dan Permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 289
29

perwira yang semuanya dari Brigade Mobile (Pasal 10 ayat 1 UU No.


2 Pnps Tahun 1964).
6. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang
ditunjuk) dan jaksa tinggi/ jaksa yang bertanggung jawab harus
menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut (Pasal 4 UU No. 2 Pnps
Tahun 1964).
7. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka terpidana dapat disertai
rohaniawan (Pasal 11 ayat 1 UU No.2 Pnps Tahun 1964), kemudian
terpidana dapat menjalani pidana mati secara berdiri, duduk atau
berlutut (Pasal 12 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1964) dan eksekusi pidana
mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara
sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh Presiden (Pasal 9
UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarganya atau
sahabat terpidana kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa
Tinggi/Jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain (Pasal 15
ayat 1 UU No. 2 Pnps Tahun 1964); dan
9. Kemudian setelah eksekusi pidana mati dilaksanakan, jaksa
tinggi/jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara
mengenai pelaksanaan pidana mati dan isi dari berita acara tersebut
kemudian harus dicantumkan di dalam surat keputusan dari
pengadilan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat 1 dan 2 UU No. 2 Pnps
Tahun 1964).

B. Penentuan Masa Tunggu Eksekusi Pada Narapidana Yang Dijatuhi


Hukuman Mati

Eksekusi pidana mati yang dilakukan oleh kejaksaan adalah merupakan


kewenangan yang diberikan oleh negara. Pelaksanaan tugas dan wewenang
30

kejaksaan dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan


hukum tetap harus memperhatikan norma-norma keagamaan, kesusilaan,
kesopanan, serta wajib menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup
dalam masyarakat dan menjaga kehormatan serta martabat profesinya (Pasal 8
ayat 4 UU Kejaksaan).

Dalam melaksanakan eksekusi pidana mati kejaksaan harus


melaksanakannya dengan prinsip penuh kehati-hatian, ketelitian, dan
kecermatan, karena eksekusi pidana mati mempunyai karakteristik yang berbeda
dengan eksekusi putusan pidana penjara atau seumur hidup, adapun ketentuan-
ketentuan yang mengatur mengenai eksekusi pidana mati yang harus
diperhatikan secara cermat dan teliti oleh kejaksaan, yaitu:31

1. Undang-undang No.2/Penpres/1964 yang mengatur tentang tata cara


pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum dan militer, yang dilakukan ditembak sampai mati.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 yang merupakan perubahan atas
UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. UU Grasi ini menjadi
pedoman yang harus diperhatikan oleh kejaksaan sebelum
melaksanakan eksekusi pidana mati, karena adanya hak yang diberikan
oleh UU Grasi kepada terpidana mati untuk mengajukan permohonan
grasi kepada presiden.
3. Surat Edaran Jampidum Nomor:B-235/E/3/1994 mengatur mengenai
eksekusi pidana mati yang dijalankan setelah lewat 30 (tiga puluh) hari,
terhitung mulai hari berikutnya keputusan tidak dapat diubah lagi dan
Keputusan Presiden tentang penolakan grasi sudah diterima oleh

31
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati Dalam
Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta :Pustaka Reka Cipta,
2018), h. 231.
31

Kepala Kejaksaan Negeri.


Namun ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pidana mati di atas,
pada prinsipnya tidak mengatur secara spesifik mengenai masa tunggu eksekusi
pidana mati khususnya mengenai jangka waktu pelaksanaannya.
Masa tunggu eksekusi pidana mati yang belum diatur secara tegas dan
pasti mengenai jangka waktunya baik pada fase pemenuhan hak-hak terpidana
mati maupun pada fase pasca penolakan grasi oleh Presiden.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat pengaturan yang tegas dan pasti mengenai masa tunggu eksekusi
pidana mati khususnya mengenai jangka waktu pelaksanaannya, baik jangka
waktu pada fase pemenuhan hak terpidana mati selama masa tunggu di Lapas,
serta pada fase pasca penolakan grasi oleh Presiden.

C. Faktor Penghambat Dalam Melaksanakan Eksekusi Pidana Mati

1. Faktor Upaya Hukum Terpidana Mati


Terpidana mati mempunyai hak yang dilindungi oleh undang- undang
untuk mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dan atau hak
mengajukan permohonan grasi, yang mana dengan adanya dua hal tersebut
(peninjauan kembali dan grasi), menjadi faktor yang menghambat kejaksaan
untuk segera melaksanakan eksekusi hukuman mati.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang
membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP mengenai pembatasan pengajuan
peninjauan kembali hanya satu kali serta Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 107/PUU-XIII/2015 yang membatalkan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi
mengenai pembatasan jangka waktu mengajukan permohonan grasi paling
lama 1 (satu) tahun, akan semakin menghambat kejaksaan untuk dapat
segera mengeksekusi terpidana mati karena tidak adanya jangka waktu yang
32

pasti untuk mengajukan peninjauan kembali dan atau grasi.32


2. Faktor Anggaran

Kejaksaan dalam melaksanakan pelaksanaan pidana mati


membutuhkan anggaran yang lumayan besar, yakni 1 (satu) terpidana mati
membutuhkan anggaran kurang lebih Rp.200.000.000,- (dua ratusjuta rupiah)
jika dilaksanakan di Nusa Kambangan Cilacap. Anggaran itu nantinya akan
dialokasikan untuk biaya pengamanan selama proses eksekusi yang
berkoordinasi dengan pihak kepolisian setempat, biaya untuk menghadirkan
rohaniawan yang akan memberikan bimbingan rohani kepada terpidana mati,
biaya untuk menyewa ambulan yang nantinya akan membawa jenazah
terpidana mati yang telah dieksekusi, biaya untuk menghadirkan dokter yang
nantinya akan memastikan kematian terpidana mati, biaya pemandian dan
pemakaman jenazah terpidana mati jika disenggelarakan oleh negara, serta
biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses eksekusi pidana mati.
Kejaksaan melalui jampidum telah menyusun draf Standar Operasional
Prosedur (S.O.P) Pelaksanaan Pidana Mati yang memang belum
diberlakukan secara resmi, namun S.O.P ini telah dijadikan sebagai pedoman
dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati jilid I, II, dan III. Penyusunan
S.O.P pelaksanaan pidana mati ditujukan untuk mengantisipasi faktor-
faktor yang menghambat eksekusi pidana mati.
S.O.P pelaksanaan pidana mati ini sebagai komitmen kejaksaan untuk
segera menyelesaikan persoalan pelaksanaan eksekusi pidana mati yang
ditunjukan dengan proaktif menginventarisasi kelengkapan administrasi
perkara dan mempelajari berkas perkara, proaktif menemui terpidana mati di
Lapas untuk menanyakan apakah yang bersangkutan/keluarga/penasihat
hukum akan menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum luar

32
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati Dalam
Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta :Pustaka Reka Cipta,
2018), h. 252.
33

biasa peninjauan kembali dan atau permohonan grasi, serta memonitor proses
upaya hukum luar biasa dan atau grasi yang diajukan oleh terpidana mati.
S.O.P pelaksanaan pidana mati menurut penulis, tidak dapat secara
efektif menyelesaikan persoalan mengenai jangka waktu pelaksanaan pidana
mati. Wewenang kejaksaan dalam S.O.P pelaksanaan pidana mati , hanya
sebatas menanyakan kepada terpidana mati untuk menggunakan hak
mengajukan upaya hukum luar biasa dan atau grasi.
S.O.P pelaksaan pidana mati baru efektif manakala terpidana mati
tidak menggunakan hak-haknya, maka kejaksaan baru dapat mengeksekusi.
Terpidana mati yang menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum
luar biasa dan grasi, maka kejaksaan harus menunda eksekusi sampai adanya
putusan penolakan peninjauan kembali dan atau keputusan mengenai
penolakan grasi.

D. Pembinaan Terpidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan

Konsep pemasyarakatan menekankan pada reintegrasi sosial, agar


narapidana dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung
jawab.33 Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemasyarakatan sebagai tujuan
pemidanaan dapat diartikan sebagai “Pemulihan kesatuan hubungan hidup,
kehidupan, dan penghidupan” yang terjadi antara individu pelanggar hukum
(narapidana) dengan masyarakat dan lingkungan kehidupannya, di bawah
kesatuan hubungan yang berlandaskan pada Pancasila dan bersumber pada UUD
1945 atau yang kemudian dikenal dengan istilah “reintegrasi sosial”34
Berdasarkan hasil wawancara dengan Mohammad Ridwantoro Bc.I.P.,
S.H., M.Si selaku Kalapas Empat Lawang Sumatera Selatan menjelaskan bahwa
konsep pemasyarakatan menekankan pada reintegrasi sosial, agar narapidana

33
Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 126.
34
Simon, A. Josias dan Thomas Sunaryo, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), h. 27.
34

dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab di
masyarakat. Sistem Pemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Lapas bukan
hanya sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga
sebagai tempat untuk membina dan mendidik narapidana (rehabilitasi), agar
mereka setelah selesai menjalankan pidana dapat mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lapas sebagai warga negara yang
baik dan taat pada hukum yang berlaku. Beliau juga menjabarkan pelaksaan
pembinaan dalam sistem pemasyarakatan pada prinsipnya terdiri atas 2 (dua)
bagian, yaitu; Intramural treatment dan Ekstramural treatment. Intramural
Treatment adalah pembinaan yang dilaksanakan di dalam Lapas dengan tujuan
memperbaiki dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
intelektual, sikap dan perilaku, serta Kesehatan jasmani dan rohani. Ekstramural
treatment adalah pembinaan yang dilakukan di luar Lapas dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh narapidana selama
menjalankan pembinaan dalam Lapas, meliputi pemberian asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, maupun Cuti Bersyarat. Program pembinaan
narapidana tidak hanya terdiri dari pembinaan mental-spiritual (pembinaan
kemandirian), tetapi juga pemberian pekerjaan selama berada di Lapas
(pembinaan keterampilan).35

35
Wawancara dengan Mohammad Ridwantoro Bc.I.P., S.H., M.Si selaku Kalapas Empat
Lawang Kelas 2b Sumatera Selatan.
35

E. Data Kasus Penundaan Eksekusi Mati 36

Data hasil olahan Rekapitulasi Ditjen Permasyarakatan dan Database


ICJR, persebaran usia terpidana mati dari Grafik 3.1. menunjukkan bahwa
secara umum, komposisi mayoritas dari terpidana mati masuk di dalam usia
produktif atau angkatan kerja. Namun, tidak juga sedikit kelompok lansia yang
ditemukan berada dalam masa tunggu eksekusi. Ada 88 terpidana mati berusia
berada di dalam kisaran usia 41-50 tahun, kemudian ada 63 terpidana mati yang
berusia diatas 50 tahun.

36
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 22.
36

Dari Grafik 3.2. dapat terlihat data terpidana mati per April 2020 yang
berada dalam ketidakpastian menunggu eksekusi selama lebih dari 10 tahun
mencapai total 60 orang. Bahkan 4 orang diantaranya telah berada dalam
tahanan selama lebih dari 20 tahun, kesemuanya berasal dari tindak pidana
pembunuhan, bahkan 1 orang diantaranya telah meninggal dunia pada Agustus
2020.37

37
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 23.
37

Dari data Grafik 3.3. bisa dilihat juga perbandingan antara jenis kelamin
terpidana mati berdasarkan jenis kejahatan, dengan catatan 104 terpidana mati
Laki-laki dan 1 terpidana mati perempuan tidak dicantumkan di dalam data
rekapitulasi jenis kejahatan apa yang dilakukan. Untuk jenis kelamin
perempuan sendiri hanya masuk di dalam kategori jenis pidana Narkotika dan
Pembunuhan. Data perbandingan jenis kejahatan untuk tindak pidana Narkotika
adalah 80 terpidana mati Laki-laki dan 3 terpidana mati perempuan. Sedangkan
untuk perbandingan data pembunuhan adalah 61 terpidana mati Laki-laki dan 3
terpidana mati perempuan.38

F. Eksekusi Mati Menurut Hukum Pidana Islam


38
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 24.
38

Dalam pandangan Abdul Qadir Audah, hukuman adalah pembalasan atas


pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kebaikan masyarakat39.
Hukuman pokok yang diajarkan dalam sistem hukum pidana Islam menurut
mayoritas ulama adalah Qishash, yaitu hukuman yang sebanding dengan apa
yang telah dilakukan oleh pelakunya. Seumpama, perlakuan terhadap si
pembunuh harus harus dibunuh juga, sekalipun tidak mesti dengan alat atau
senjata yang sama40. Dengan kata lain dia dibunuh kalau dia membunuh dan
dilukai kalau dia melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain.
Hukuman Qishash ini didasarkan pada ayat Alquran dalam surah Al-
Baqaroh: 178 – 179: bahwa seseorang yang melakukan jarimah pembunuhan
harus dijatuhi hukuman qishash, yaitu hukuman yang serupa, yakni hukuman
mati. Hukuman qishash tersebut bertujuan untuk agar tercipta persamaan
keadilan antara yang kuat dengan yang lemah dan golongan yang banyak
dengan yang sedikit. Dari ayat itu bisa dipahami bahwa hukuman mati tersebut
dapat tidak dilaksanakan apabila wali (keluarga) yang terbunuh itu memaafkan
pihak yang melakukan pembunuhan. Dalam keadaan tersebut bagi pembunuh
diwajibkan memberikan ganti rugi (diyat) kepada keluarga yang terbunuh untuk
ketentuan jumlahnya ditetapkan oleh hukum fikih, inilah dasar hukum
mengenai jarimah pembunuhan, tentunya semua itu dilaksanakan oleh putusan
hakim41.
Bisa dikatakan pula, qishash ialah melakukan tindakan pembalasan yang
sama. Kendatipun demikian, jika yang membunuh mendapat maaf dari ahli
waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang wajar.
Pembayaran diyat diminta dengan baik, dengan tidak mendesak yang
membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,

39
Audah Abdul Qadir, at-Tasyrie’al-Jinaaie al-Islamie, (Beirut: Daar al-kutuub,1968), h. 59
40
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1992),
h. 24.
41
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, h. 126.
39

umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.42


Islam menentukan cara untuk melindungi masyarakat dari kejahatan
pembunuhan, kemudian sudah mempertimbangkan hal-hal yang akan terjadi
dalam kelompok masyarakat.
Untuk mengatasi hal-hal yang terjadi itu, maka dibuatkanlah hukum
sebagai sanksinya. Dalam hukum Islam, ada tiga bentuk pembunuhan. yaitu:
Pertama, Pembunuhan disengaja yaitu seseorang yang merencanakan untuk
menghilangkan nyawa orang lain43. Dalam jarimah semacam ini, maka
pelaku pembunuhan wajib dibunuh pula. Apabila keluarga korban memaafkan
pelaku maka hukuman tidak bisa dijatuhkan, maka kepada pembunuhnya
dikenakan diyat. Kedua, pembunuhan seperti disengaja yaitu seseorang dengan
maksud bergurau melempar temannya dengan kerikil, tidak diduga bahwa
perbuatannya itu akan mematikan orang lain44 . Terhadap jarimah ini tidak
diwajibkan qishash tapi wajib membayar denda. Ketiga, Tidak disengaja
membunuh, umpamanya seseorang menembak buruannya tetapi sasarannya
kena kepada manusia. Terhadap jarimah tersebut tidak wajib qishash tetapi
membayar diyat kepada wali korban.
Hukum Islam secara tegas menindak segala bentuk jarimah, siapapun
pelakunya, tetapi selain itu bahwa syari’at Islam tidak terlepas dari
moralitasnya, yaitu selalu memperhatikan aspek lain di samping prosedur yang
telah ditetapkan, seperti aspek moral, prikemanusiaan dan kehidupan sosial
masyarakat di wilayah kejadian jarimah.
Akan halnya bentuk jarimah yang dapat dikenakan hukuman mati, adalah
sebagai berikut: Pertama, pembunuhan disengaja. Kedua, Pezina Muhson .
Ketiga, Muharib. Pelaku jarimah ini dikenakan empat hukuman yaitu hukuman
mati biasa, hukuman mati di salib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang
42
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1992),
h. 26.
43
Abdurahman al-Jaziri, Fiqh al-Madzahib al-‘Arba’ah, h. 439.
44
Abdurahman al-Jaziri, Fiqh al-Madzahib al-‘Arba’ah, h. 426.
40

dan diasingkan. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah dalam Al-Qur’an
(QS. Al-Maidah: 33). Keempat, Murtad. Terhadap pelaku jarimah ini diancam
hukuman mati sebagai hukuman pokok kemudian dirampas harta bendanya
sebagai hukuman tambahan. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqaroh ayat
217.
Hukum Islam menetapkan sanksi hukum mati terhadap pelaku jarimah
murtad, karena perbuatan itu mengarah kepada pencemaran suatu ideologi
Islam. Jika tidak tegas sanksi hukum terhadap jarimah ini, akan mengakibatkan
goyahnya ideologi tersebut. Karena itu pelakunya telah ditetapkan dengan
hukuman yang maksimal yaitu hukuman mati.
Hukuman qishash ini berlaku untuk jarimah pembunuhan sengaja dan
penganiayaan sengaja. Baik dalam pembunuhan maupun penganiayaan korban
atau walinya diberi wewenang untuk memberikan pengampunan terhadap
pelaku. Apabila ada pengampunan maka hukuman qishash menjadi gugur dan
diganti dengan hukuman diat. Qishash adalah hukuman pokok bagi perbuatan
pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan
sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan
sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan
sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja.
Hukuman pokok pada jarimah pembunuhan sengaja adalah qishash, yaitu
dibunuh kembali. Sebagai hukuman pokok, qishash mempunyai hukuman
pengganti, yaitu apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini,
qishash pun tidak dapat dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman diat. Diat
pun seandainya dimaafkan dapat dihapuskan dan sebagai penggantinya, hakim
dapat menjatuhkan hukuman ta’zir. Jadi qishash sebagai hukuman pokok
mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diyat dan ta’zir.
Terlepas dari itu semua, bahwa baik dalam hukum pidana Indonesia
41

maupun hukum Islam, hukuman mati itu telah diatur. Kalau hukum pidana
Indonesia diatur dalam berbagai perundang-undangan, maka dalam hukum
Islam diatur melalui Alquran dan hadits, serta ijma dan dipahami melalui
berbagai metode. Adapun mengenai teknis pelaksanaan qishash terjadi
perselisihan pendapat ulama. Menurut Hanafiyah dan pendapat yang shahih dari
kelompok Hanabilah, qishash pada jiwa harus dilaksanakan dengan
menggunakan pedang, baik tindak pidana pembunuhannya dilakukan dengan
pedang maupun dengan alat yang lainnya, dan bagaimana cara bentuk
perbuatannya. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullah SAW, yang berbunyi
sebagai berikut: “Tidak ada qishash kecuali dengan pedang”. Kendatipun dalam
Islam pelaku pembunuhan diberi sanksi qishash, namun hukuman qishash dapat
gugur karena beberapa alasan sebagai berikut:
1. Pertama, hilangnya objek qishash. Objek qishash dalam tindak pidana
pembunuhan adalah jiwa (nyawa) pelaku (pembunuh). Apabila objek
qishash tidak ada, karena pelaku meninggal dunia, dengan sendirinya
hukuman qishash menjadi gugur.
2. Kedua, adanya pengampunan. Pengampunan terhadap qishash
dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha, bahkan lebih utama
dibandingkan dengan pelaksanaannya. Hal ini didasarkan kepada
Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 178.
3. Ketiga, Shulh (Perdamaian). Shulh dalam arti bahasa adalah
memutuskan perselisihan. Dalam istilah syara’, seperti dikemukakan
oleh Sayid Sabiq, shulh adalah sebagai berikut: “Suatu akad
(perjanjian) yang menyelesaikan persengketaan antara dua orang yang
bersengketa”. Apabila pengertian tersebut dikaitkan dengan qishash,
shulh berarti perjanjian atau perdamaian antara pihak wali korban
dengan pihak pembunuh untuk membebaskan hukuman qishash
dengan imbalan. Para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya shulh
42

dalam qishash, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur.


Shulh dalam qishash ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih
besar daripada diyat, sama dengan diyat, atau lebih kecil daripada
diyat. Juga boleh dengan cara tunai atau utang (angsuran), dengan jenis
diat atau selain jenis diyat, dengan syarat disetujui (diterima) oleh
pelaku.
BAB IV

RELEVANSI ASAS KEPASTIAN HUKUM DAN PENUNDAAN EKSEKUSI


MATI DI INDONESIA

A. Hak-Hak Terpidana Mati Dalam Masa Tunggu di Lapas

Lahirnya UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah memberi


makna yang sangat penting bagi pembangunan “Sistem Pemasyarakatan” di
Indonesia, karena bersumber pada nilai-nilai luhur Pancasila dan berpedoman
pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU
Pemasyarakatan menjadi landasan hukum yang kuat bagi Lapas dalam
memantapkan pelaksanaan pembinaan Sistem Pemasyarakatan.
Ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Pemasyarakatan memang secara tegas
mengatur bahwa: “Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan
dan kegiatan tertentu”. Ruang lingkup pengertian narapidana, yaitu terpidana
yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas sebagaimana sudah diatur
dalam Pasal 1 angka 7 UU Pemasyarakatan.
Program pembinaan yang hanya diwajibkan bagi narapidana ini pastinya
didasarkan pada tujuan dan fungsi sistem pemasyarakatan itu sendiri. Tujuan
sistem pemasyarakatan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 UU
Pemasyarakatan, menyatakan bahwa:
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Sistem pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU
Pemasyarakatan, berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar
dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Terlepas dari itu, Warga

43
44

Binaan juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Adapun hak-hak yang
dimaksud adalah mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU No.12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan yaitu :

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya


2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
3. Mendapatkan pelayanan Kesehatan dan makanan yang layak
4. Menyampaikan keluhan
5. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
6. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu
lainnya
7. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
Lapas berarti hanya berfungsi untuk melaksanakan pembinaan bagi
terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan, dimana dalam ketentuan
Pasal 10 KUHP jenis pidana hilang kemerdekaan meliputi pidana penjara (baik
pidana penjara sementara maupun seumur hidup) dan pidana kurungan. Namun
dalam kenyataannya, Lapas juga dihuni oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati.
Terpidana mati yang berada di Lapas tidak dapat dikategorikan sebagai
narapidana karena keberadaannya di Lapas bukan dalam rangka menjalani
pidana, melainkan hanya ditempatkan sementara selama menunggu eksekusinya.
Oleh karena itu, mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Pemasyarakatan,
maka terpidana mati selama masa tunggu eksekusi di Lapas tidak diwajibkan
untuk mengikuti program pembinaan dan kegiatan-kegiatan tertentu yang
diselenggarakan oleh Lapas.
Program pembinaan dan kegiatan-kegiatan tertentu yang diselenggarakan
oleh Lapas, semuanya dikembalikan kepada terpidana mati untuk secara aktif
atau tidak mengikuti program pembinaan. Hasil wawancara dengan Edi warsono
45

selaku Kepala Seksi Bimbingan Kemasyarakatan Lapas Klas I Batu


Nusakambangan, menyatakan bahwa tahapan program pembinaan di Lapas Klas
I Batu Nusakambangan bersifat wajib bagi narapidana yang menjalani pidana
penjara selama waktu tertentu. Bagi terpidana mati, tidak ada tahapan program-
program pembinaan dan tidak diwajibkan untuk mengikuti kegiatan pembinaan.
Kegiatan yang selama ini dilakukan oleh terpidana mati bersifat dibebaskan atau
atas kemauannya sendiri untuk secara aktif atau tidak mengikuti kegiatan-
kegiatan yang ada di Lapas.45
Perlakuan terhadap terpidana mati yang tidak diwajibkan untuk mengikuti
program pembinaan dan kegiatan-kegiatan tertentu selama masa tunggu eksekusi
di Lapas inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan perlakuan antara
narapidana dengan terpidana mati. Perbedaan perlakuan antara narapidana
dengan terpidana mati ini mencerminkan tidak adanya keadilan dalam
pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan oleh Lapas.
Thomas Aquinas memandang hukum yang dibentuk manusia dapat saja
memberikan keadilan atau ketidakadilan. Hukum disebut adil, jika hukum itu
mempunyai kekuatan mengikat secara rasional (akal budi), sebaliknya hukum
dianggap tidak adil jika bertentangan dengan kebaikan manusia.46 Tidak
diwajibkannya terpidana mati untuk mengikuti program pembinaan dan kegiatan-
kegiatan tertentu selama masa tunggu eksekusi di Lapas, maka Sistem
Pemasyarakatan tidak memberikan kebaikan bagi terpidana mati agar dapat
menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, serta tidak melakukan tindakan yang
melanggar hukum selama berada di Lapas.
Menurut Budiyono, persoalan terpidana mati adalah penempatan dan
pelayanan yang harus dilakukan oleh LAPAS sebelum terpidana mati tersebut
dieksekusi, karena sebelum terpidana mati dieksekusi berarti yang bersangkutan
45
Djernih sitanggang, “Perlakuan Terhadap Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal media hukum, Volume 25 Nomor 1 Juni 2018, h. 105.
46
Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung : Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman,
(Jakarta:Kesaint Blanc, 2008), 48.
46

adalah manusia yang masih hidup yang secara alamiah tetap mempunyai hak-hak
yang harus dilindungi seperti hak untuk mendapatkan pelayanan perawatan
secara fisik dan kesehatan sampai yang bersangkutan dieksekusi, termasuk juga
mendapatkan hak-haknya.47
Namun demikian, ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana
melakukan pelayanan terhadap terpidana mati selama menghuni Lapas sebelum
dieksekusi sampai saat ini belum ada regulasi yang jelas. Hal ini menimbulkan
kebimbangan dan ketidakpastian bagi aparat/petugas Lapas dalam melakukan
pelayanan terhadap terpidana mati.

B. Kepastian Hukum Dalam Penundaan Eksekusi Pidana Mati

Menurut Jan Remmelink, hukum pidana akan bersinggungan dengan


nilai-nilai kemanusiaan. Di satu sisi bertujuan untuk memberikan perlindungan
kepada masyarakat, sedangkan di sisi lainnya penegakan hukum pidana
menimbulkan penderitaan bagi individu yang melanggarnya.48 Peranan aparat
penegak hukum dalam proses penegakan hukum sangat menentukan arah dan
tujuan serta hasil yang akan dicapai dalam penegakan hukum.49
Penerapan eksekusi pidana mati dijalankan menurut Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 yang telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum
dan Militer. Di dalam kaidah pelaksanaan eksekusi pidana mati tidak mengatur
mengenai kapan batas waktu pelaksanaan eksekusi terpidana mati, baik yang
tengah mengajukan upaya hukum maupun yang tidak mengajukan upaya
hukum.
47
Jurnal Dinamika Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto
Volume 9 Nomor 3, 2009, h. 223.
48
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati,(Jakarta :
Pustaka Reka Cipta, 2018), h. 214
49
Monika Dwi Putri Nababan, “Pelaksanaan Hak Tahanan (Tantangan dan Permasalahan)”,
Journal of Criminal Law, Volume 1, Nomor 1, 2020, h. 82.
47

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dalam


upaya pemenuhan hak permohonan grasi justru makin memperpanjang deret
tunggu, karena tidak diketahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk
dikeluarkannya Keputusan Presiden yang berisi diterima atau ditolaknya
permohonan grasi yang diajukan terpidana mati. Terpidana mati yang
mengajukan upaya hukum atau permohonan grasi, proses eksekusinya tidak
dapat dilaksanakan sebelum adanya Keputusan Presiden tentang penolakan
permohonan grasi yang kemudian telah diterima oleh terpidana mati.
Fenomena terpidana mati yang berada dalam deret tunggu eksekusi tengah
menghadapi sebuah ketidakpastian dan hal tersebut merupakan bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi terpidana mati.50 Terpidana mati yang
belum dieksekusi ditempatkan di LAPAS akan menunggu sampai waktu yang
belum ditentukan, dengan demikian berarti LAPAS telah melampaui fungsi
utama yaitu melaksanakan pembinaan terhadap narapidana.
Jika dilihat dari permasalahan tersebut masa tunggu yang terlalu lama
bertentangan dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 jo Pasal 3 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, setiap warga negara berhak mendapatkan kepastian hukum. Konsep
kepastian hukum mengandung dua prinsip mendasar, pertama, adanya
pengaturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar atau acuan
dalam bertindak. Kedua, adanya penerapan atau penegakan hukum yang
konsisten dalam hal pelanggaran hukum.51
Menurut Jan M. Otto bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu
mensyaratkan :
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan

50
Eramus A.T. Napitupulu, Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2020:
Mencabut Nyawa di Masa Pandemi,(Jakarta: ICJR, 2020) h. 23.
51
Usman dan Andi Najemi, “Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan, dan
Kepastian Hukumnya”, Undang: Jurnal Hukum, Volume 1 Nomor 1, 2018, h. 80.
48

mudah diperoleh (accessible) , yang diterbitkan oleh kekuasaan negara.


2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-
aturan hukum secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan
karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap perilaku tersebut.
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum.
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkret dilaksanakan.52
Berdasarkan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan. Sementara terpidana adalah seseorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Lembaga Pemasyarakatan ikut dihuni oleh terpidana mati, baik yang sedang
mengajukan upaya hukum maupun yang telah ditolak grasinya oleh Presiden.
Sejatinya tujuan dan fungsi Sistem Pemasyarakatan adalah menekankan
pada perbaikan diri warga binaan agar dapat diterima kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas, baik, dan bertanggungjawab, maka dengan aturan yang
berlaku saat ini Sistem Pemasyarakatan tidak berlaku bagi terpidana mati.
Pasal 28D Ayat 1 UUD NKRI 1945, yang mengamanatkan: “Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Terpidana mati berhak untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum,
tindakan pemerintah yang menggantungkan nasib terpidana mati dalam masa

52
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung :Refika
Aditama, 2006), h. 123.
49

tunggu eksekusinya, maka dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran


terhadap Hak Asasi Manusia.53
Kejaksaan memprioritaskan eksekusi terpidana mati pada kasus tertentu
merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan konstitusional.
Pasal 28I Ayat 2 UUD NKRI 1945, mengamanatkan; “Setiap orang berhak bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.”
Maka sudah jelas diskresi yang dilakukan oleh Kejaksaan tidak dibenarkan
secara konstitusional.
Berdasarkan jumlah data terpidana mati maka dapat disimpulkan bahwa
tidak adanya pengaturan yang diberlakukan secara tegas dan pasti mengenai
batas waktu pelaksanaan ekseskusi pidana mati sehingga aspek kepastian hukum
dan keadilan dapat dikatakan belum terpenuhi, peristiwa ini menyebabkan
terjadinya penumpukan jumlah terpidana mati yang belum dieksekusi oleh
Kejaksaan. Presiden melalui Kejaksaan melaksanakan diskresi eksekusi terhadap
terpidana dengan memprioritaskan terpidana mati untuk tindak pidana narkotika
sebagai upaya pemberantasan narkotika di Indonesia.
Fenomena terpidana mati yang berada dalam deret tunggu eksekusi dalam
ketidakpastian merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia lanjutan bagi
terpidana mati. Dalam masa-masa tersebut, tidak jarang ditemukan kisah
terpidana mati yang mengalami trauma psikis yang mengakibatkan penurunan
kualitas kesehatan baik secara fisik maupun kejiwaan. Waktu tunggu yang begitu
lama, di satu sisi menunjukkan bahwa para terpidana sesungguhnya telah
mendapatkan penghukuman yang berat, dengan begitu, terpidana mendapatkan
dua kali hukuman yaitu penjara dan pidana mati.54

53
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati, (Jakarta :
Pustaka Reka Cipta, 2018), h. 280.
54
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 22.
50

Diskresi yang dilakukan berdampak pada masa tunggu atau waktu yang
dijalani oleh terpidana mati, diskresi tersebut mengakibatkan adanya disparitas
antara terpidana mati yang satu dengan terpidana mati lainnya. Banyaknya
terpidana mati yang belum dieksekusi merupakan pekerjaan rumah yang harus
segera dikerjakan oleh Kejaksaan dan tentu saja memerlukan bantuan pemerintah
selaku pembentuk kebijakan.
Pasal 28G Ayat 2 UUD NKRI 1945, menegaskan bahwa: “Setiap orang
berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Dengan adanya ketidakpastian hukum maka akan berimplikasi pula pada
kesehatan mental terpidana mati, menempatkannya dalam tekanan psikis yang
berkepanjangan merupakan bentuk siksaan yang diterima oleh terpidana mati.
Batas waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati yang tidak diatur secara
tegas dan pasti mengakibatkan masa tunggu yang dijalani oleh terpidana mati
kian jauh dari makna kepastian dan keadilan dalam pelaksanaan pidana mati.
Tentunya akan membawa dampak negatif bagi terpidana mati. Dampak negatif
yang diterima oleh terpidana mati ada beberapa persoalan, yaitu:
1. Hukuman Ganda (Double Punishment)
Terpidana mati harus menjalani 2 (dua) jenis pidana pokok, yaitu:
pertama, pidana penjara untuk waktu yang tidak ditentukan dengan
ditempatkan di Lapas sampai pada waktu pelaksanaan eksekusi mati;
kedua, pidana mati itu sendiri sesuai dengan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Bambang Waluyo mengemukakan “Seolah-olah
disatu pihak terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan, harus
menjalani dua jenis hukuman atas satu perbuatan yang sama yaitu hukuman
mati dan hukuman penjara.”55
2. Tekanan Psikis (Deathrow Phenomenon)

55
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016) h. 33.
51

Kondisi mental yang dialami oleh terpidana mati akibat tidak


diaturnya batas waktu pelaksanaan eksekusi mati menyebabkan terpidana
mati berada pada kondisi gangguan atau tekanan psikis, yakni stress,
tekanan kejiwaan, serta rasa takut yang berkepanjangan. Hal tersebut
diperparah dengan tidak diberikannya program pembinaan terhadap
terpidana mati maka akan berpotensi membahayakan dirinya sendiri serta
membahayakan orang lain dalam berinteraksi dengan sesama penghuni
di Lapas.
3. Pengulangan Tindak Pidana
Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana mati
selama menunggu di Lapas terjadi karena batas waktu pelaksanaan
eksekusi mati terlalu lama. Pengulangan tindak pidana tidak terjadi
semata-mata karena minimnya pengawasan terhadap terpidana mati
namun juga dapat dikarenakan Sistem Pemasyarakatan tidak memberikan
Program Pembinaan yang wajib terhadap terpidana layaknya warga
binaan lainnya. Hal tersebut terbukti pada terpidana mati perkara
narkotika, yakni pada kasus Freddy Budiman. Terpidana mati Freddy
Budiman mengendalikan bisnis narkotika saat berada di Lapas Cipinang
selama menunggu eksekusi mati. 56
4. Melanggar Hak Asasi Manusia
Dampak negatif dari tidak diaturnya batas waktu pelaksanaan
eksekusi mati maka bertentangan dengan Hak Asasi Manusia antara lain
Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (2) UUD NKRI 1945, Pasal 28D Ayat
(1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD NKRI 1945.
Pasal 28D Ayat (1) UUD NKRI 1945 yang secara tegas
mengamanatkan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

56
Ita Lismawati F. Malau, “Rentetan Kasus Hukum Freddy Budiman si Gembong Narkoba”,
Viva News, Berita, 30/09/2010, diakses pada tanggal 02 Juli 2021.
52

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.” Ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD NKRI 1945 secara
substansial menjelaskan bahwa pada dasarnya semua orang berhak
mendapatkan rasa kepastian hukum dan keadilan, tidak terkecuali terpidana
mati. Maka tindakan pemerintah yang menggantung nasib terpidana mati
sudah termasuk kedalam bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Pasal 28G Ayat (2) UUD NKRI 1945 mengamanatkan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain.” Substansi pasal di atas menegaskan mengenai
larangan terhadap segala bentuk penyiksaan, baik fisik maupun psikis
kepada semua orang. Pengaturan mengenai batas waktu pelaksanaan
eksekusi pidana mati yang tidak diatur secara tegas, menyebabkan keadaan
terpidana mati dibawah tekanan psikis karena memikirkan waktu
eksekusinya. Tekanan psikis yang dialami terpidana dapat dikualifikasikan
sebagai tindakan penyiksaan khususnya psikis, dan hal tersebut
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya Pasal 28I Ayat (2) UUD NKRI mengamanatkan bahwa:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif.” Sifat diskriminatif disini terlihat dari
perbedaan antara terpidana satu dengan yang lain dalam hal menunggu
eksekusi, selain itu berkaitan pula dengan perlakuan terhadap terpidana
mati pada saat berada di Lapas.
Eksekusi pidana mati yang dilaksanakan secara cepat tentu akan
memberikan landasan kepastian hukum yang berkeadilan dalam prosesnya.
Memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi terpidana mati, korban,
dan masyarakat luas, bahkan juga meningkatkan kewibawaan sebagai
53

negara hukum.57
Pasal 1 Ayat (3) UUD NKRI 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum, maka sudah seyogyanya sebagai perwujudan dari negara hukum
perlu diatur lebih lanjut secara tegas dan pasti mengenai pembaharuan regulasi
mengenai batas waktu eksekusi pidana mati. Pembaharuan harus dilaksanakan
secara komprehensif dengan tidak berfokus pada pasca penolakan grasi oleh
Presiden, melainkan juga ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai upaya
hukum luar biasa peninjauan kembali dan grasi.
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Sipol melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and
Political Rights. Konvenan Sipol mengatur lebih rinci mengenai jaminan fair
trial guna melindungi hak- hak individu dari kesewang-wenangan. Pasal 6 Ayat
(1) ICCPR mengatur mengenai hak untuk hidup dan mengatur mengenai
pembatasan pidana mati, dengan menyatakan:“Every human being has the
inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be
arbitrarily deprived of his life.” Yang jika diartikan, “Setiap manusia berhak atas
hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh
hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-
wenang”.
Sekilas pada ketentuan Pasal 6 Ayat (1) menunjukan bahwa adanya
keinginan dari ICCPR untuk melindungi hak hidup, mengupayakan lewat hukum
dan menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dirampas secara sewenang-
wenang. Selanjutnya Pasal 6 Ayat (2) ICCPR, yaitu:
“In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death
may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in
force at the time of the commission of the crime and not contrary the provisions

57
Bambang Waluyo, Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016) h. 35.
54

of the present Convenant and to the Convention on the Prevention and


Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out
pursuant to a final judgement rendered by a competent court.”(Dinegara-negara
yang belum menghapuskan pidana mati, putusan pidana mati dapat dijatuhkan
terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang
berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan
dengan ketentuan Konvenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum
Kejahatan Genosida. Pidana ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan
akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.)
Pada Pasal 6 Ayat (2) tersebut, frasa “terhadap kejahatan-kejahatan paling
berat”, frasa ini mengimplementasikan bahwa pidana mati diberlakukan hanya
sebagai langkah yang bersifat khusus. Hukuman mati harus tidak melebihi
kejahatan berencana (intentional crime) dengan konsekuensi sangat besar dan
mematikan.
ICCPR juga memberikan hak bagi terpidana mati untuk mengajukan
permohonan pengampunan, hal tersebut dimuat dalam Pasal 6 Ayat (4) ICCPR,
yaitu: “Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or
commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the death may
be granted in all cases.” (setiap orang yang telah dijatuhi pidana mati berhak
untuk memohon ampunan atau penggantian pidana. Amnesti, pengampunan dan
penggantian pidana mati dapat diberikan dalam semua kasus).
Ketentuan lain pada Pasal 6 ini ialah mengatur tentang hak bagi terpidana
mati untuk mendapatkan pengampunan serta mengatur tentang batasan atau
larangan menghukum mati atau melakukan ekseksusi pada orang-orang dengan
kategori tertentu, larangan eksekusi terhadap anak dibawah 18 tahun dan
larangan eksekusi bagi perempuan hamil.58 Hak-hak terpidana mati meliputi Hak

58
Zainal Abidin, Menyelisik Keadilan yang Rentan : Hukuman Mati dan Penerapan Fair
Trial di Indonesia, (Jakarta : ICJR, 2019) h. 38.
55

sebelum persidangan, Hak saat persidangan, dan Hak setelah persidangan.


Ketentuan hak-hak fair trial lebih spesifik diatur dalam Pasal 9 - 15
Konvenan, antara lain:
1. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi;
2. Hak dan kedudukan yang sama dihadapan pengadilan dan badan
peradilan;
3. Hak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibutikan menurut
hukum;
4. Hak untuk diberitahukan secepatnya dengan rinci dalam bahasa yang
dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan;
5. Hak atas waktu yang cukup dan fasilitas yang
memadai untuk mempersiapkan pembelaan;
6. Hak untuk diadili tanpa penundaan;
7. Hak untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi
yang meringankannya;
8. Hak mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak
mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di
pengadilan;
9. Hak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan
dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah; dan lain sebagainya.59
Kemudian ICCPR mengatur mengenai penghapusan pidana mati yang
tercantum pada bagian akhir Pasal 6 Ayat (6) ICCPR, yaitu: “Nothing in this
article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment
by any State Party to the present Convenant.”(Tidak ada satu pun dalam pasal ini
yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan pidana mati oleh
59
Zainal Abidin, Menyelisik Keadilan yang Rentan : Hukuman Mati dan Penerapan Fair
Trial di Indonesia, (Jakarta : ICJR, 2019) h. 38.
56

Negara yang menjadi Pihak dalam Konvenan ini).


ICCPR pada pasal ini ingin menghendaki agar pidana mati dapat
dihapuskan, akan tetapi bagi negara-negara yang belum menghapuskan pidana
mati, pada penerapannya ICCPR memberikan batasan-batasan yang sangat ketat
agar pidana mati dapat diterapkan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian pembahasan, masalah dan penelitian yang telah penulis
kaji di dalam setiap bagian bab pembahasan, maka kemudian peneliti menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Selama masa tunggu terpidana mati di tempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan. Program pembinaan yang terdiri beberapa tahapan,
bertujuan untuk mendukung proses reintegrasi sosial dengan mendidik dan
membina narapidana agar dapat kembali ke lingkungan masyarakat
menjadi warga negara yang baik. Dengan tujuan inilah, maka program
pembinaan tidak menyentuh seluruh penghuni yang ada di Lapas, tetapi
hanya diorientasikan pada narapidana yang nantinya akan kembali ke
lingkungan masyarakat. Permasalahan terpidana mati selama masa
tunggunya di Lapas adalah penempatan dan pelayanan yang harus
dilakukan oleh Lapas sebelum terpidana mati tersebut dieksekusi, karena
sebelum terpidana mati dieksekusi berarti yang bersangkutan adalah
manusia yang masih hidup yang secara alamiah tetap mempunyai hak-hak
yang harus dilindungi seperti hak untuk mendapatkan pelayanan
perawatan secara fisik dan kesehatan sampai yang bersangkutan
dieksekusi, termasuk juga mendapatkan hak-haknya. Adapun hak-hak
yang dimaksud adalah mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU No.12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan antara lain, melakukan ibadah sesuai
dengan agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan, baik perawatan
rohani maupun jasmani, mendapatkan pelayanan Kesehatan dan makanan
yang layak dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan kaidah
perundang-undangan yang berlaku

57
58

Ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana melakukan pelayanan


terhadap terpidana mati selama menghuni Lapas sebelum dieksekusi
sampai saat ini belum ada pengaturan yang jelas. Hal ini menimbulkan
kebimbangan dan ketidakpastian bagi aparat/petugas Lapas dalam
melakukan pelayanan terhadap terpidana mati menimbulkan adanya
kebimbangan dan ketidakpastian bagi aparat/petugas Lapas dalam
melakukan pelayanan terhadap terpidana mati di Lapas yang
mengakibatkan adanya perbedaan perlakuan khususnya antara narapidana
dengan terpidana mati yang kedudukannya hanya ditempatkan sementara
di Lapas sambil menunggu waktu pelaksanaan eksekusinya.
2. Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang eksekusi pidana mati, dapat
diketahui dalam Undang-Undang belum mengatur tenggat waktu kapan
pelaksanaan pidana mati harus dilakukan. Undang-Undang Nomor
2/PNPS/1964 hanya mengatur pemberitahuan terhadap terpidana bahwa ia
akan dieksekusi paling lama dalam waktu 3 x 24 jam. Namun itu baru
sebatas pada pemberitahuan menjelang eksekusi mati. Undang-Undang
Nomor 2/PNPS/1964 tidak mengatur secara interval waktu pelaksanaan
pidana mati dari sejak penjatuhan vonis hukuman mati oleh hakim sampai
pada hari pelaksanaan eksekusi mati dilakukan. Dalam praktik
pelaksanaan pidana mati di Indonesia, rentang waktu antara vonis majelis
hakim hingga hari pelaksanaan hukuman mati dilakukan kepada terpidana
pada realitanya memakan waktu yang sangat lama, bertahun-tahun bahkan
lebih dari satu decade, terpidana mati belum juga dieksekusi. Mengenai
kapan terpidana akan dieksekusi sepenuhnya bergantung dari kebijakan
penegak hukum dalam melaksanakan putusan hakim. Hal itu seharusnya
tidak dikonstruksikan demikian karena dalam diskursus ilmu pada
umumnya, seharusnya hukum mengatur memberikan kepastian hukum
tidak hanya dari segi hukum materiil, namun juga formil hingga
59

pelaksanaannya. Akibat dari ketidakpastian dan keadilan dalam


pelaksanaan pidana mati yang diterima oleh terpidana mati ada beberapa
persoalan, yaitu: Hukuman Ganda (double punishment), Tekanan Psikis
(deathrow phenomenon), Pengulangan Tindak Pidana, Melanggar Hak
Asasi Manusia.

B. Rekomendasi

Berdasarkan terhadap permasalahan yang telah peneliti kaji sebelumnya, maka


peneliti mencoba memberi beberapa rekomendasi berupa:
1. Tidak adanya aturan khusus bagi pelayanan terpidana mati yang di
tempatkan di Lapas adalah apabila terjadi pelanggaran tata tertib di dalam
Lapas yang dilakukan oleh terpidana mati maka petugas Lapas tidak dapat
mengenakan penjatuhan sanksi disiplin baik yang bersifat internal ataupun
eksternal. Terpidana mati tetap dititipkan di Lapas sebelum dieksekusi
maka harus segera dibuat ketentuan pengaturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pelayanan terpidana mati selama di Lapas. Segera dibentuk
institusi khusus yang diperuntukkan bagi penempatan terpidana mati
sebelum menjalani eksekusi, seperti halnya penempatan khusus yang
diperuntukkan bagi tahanan.
2. Merevisi Undang-Undang yang mengakomodir mengenai jangka waktu
eksekusi pidana mati. Perlu diatur batasan waktu dalam menempuh upaya
hukum yang dapat dilakukan untuk menangguhkan eksekusi pidana mati.
Karena jika tidak ada batasan waktu dalam pengajuan upaya hukum, baik
itu grasi atau peninjauan kembali dapat menyebabkan eksekusi pidana
mati menjadi tertunda-tunda. Dibuatnya regulasi dengan jelas batasan
waktu mengenai berapa lama waktu bagi terpidana mati harus menunggu
eksekusi. Sehingga dengan aturan yang jelas tersebut makan akan tercapai
kepastian hukum nantinya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Abidin, Zainal. 2019. Menyelisik Keadilan yang Rentan : Hukuman Mati dan
Penerapan Fair Trial di Indonesia. Jakarta : ICJR.

Al-Jaziri, Abdurahman. 1964. Fiqh al-Madzahib al-‘Arba’ah, Beirut : Dar al Fikr.

Andre Budiman, Adhigama & Maidina Rahmawati. 2020. Fenomena Deret Tunggu
Terpidana Mati di Indonesia. Jakarta: ICJR.

Atmasasmita, Romli. 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta:


Kencana.

Audah, Abdul Qadir. 1968. Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy. Beirut: Daar al-Kitab.

Bakhri, Syaiful. 2009. Pidana Denda Dan Korupsi. Yogyakarta : Total Media.

Budiardjo, Miriam. 1972. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka


Utama.

Dicey , A.V. 2008. Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj),
Bandung : Nusamedia.

Djohansjah. 2008. Reformasi Mahkamah Agung : Menuju Independensi Kekuasaan


Kehakiman. Jakarta: Kesaint Blanc.

Eddyono, Supriyadi W & Erasmus A.T. Napitupulu. 2015. Hukuman Mati dalam R
KUHP: Jalan Tengah Yang Meragukan. Jakarta : Institute for Criminal
Justice Reform.

Fajar, Mukti. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Hamzah, A. & Sumangelipu, A. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di
Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Hamzah, Andi. 2011. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.

60
61

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. 2009. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

J. Allen, Michael. 1999. Text book on Criminal Law. London: Blackstone.

Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksanaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta: Sinar Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.

Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana.

Muladi & Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. 1984. Bandung:
Alumni.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik,

Napitupulu, Eramus A.T. 2020. Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di


Indonesia 2020: Mencabut Nyawa di Masa Pandemi. Jakarta: ICJR.

Purba, Nevita. 2015. Pelaksanaan Hukuman Mati: Prespektif Hak Asasi Manusia dan
Hukuman Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Sinar Grafika.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,.

Rahman I Doi, Abdur. 1992. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka
Cipta.

Rasdjidi, Lili & Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.

R. Sugandhi. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Sahetapy, J.E. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti,.
62

Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berfikir.


Bandung :Refika Aditama.

Siregar, Bismar. 2008. Kata Hatiku, Tentangmu. Jakarta : Diandra Press.

Sitanggang, Djernih. 2018. Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati
Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana.
Jakarta :Pustaka Reka Cipta.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2001. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2014. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:


Rajawali Pers.

Utrecht, E. 1968. Hukum Pidana I. Bandung: Penerbitan Universitas.

Waluyo, Bambang. 2016. Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

INTERNET:

M. Abdul Kholiq, “Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya Dalam


RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam)”. Artikel diakses pada
tanggal 15 September 2020 dari
https://www.neliti.com/publications/80691/kontroversi-hukuman-mati-dan-
kebijakan- regulasinya-dalam-ruu-kuhp-studi-komparat.)

Ita Lismawati F. Malau, “Rentetan Kasus Hukum Freddy Budiman si Gembong


Narkoba”, Viva News, Berita, 30/09/2010, diakses pada tanggal 02 Juli 2021.

JURNAL:

Maftuhkan, Ahmad Habibi. 2014. Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum


Dalam Putusan Batal Demi Hukum Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Jurnal Verstek. Volume 2 Nomor 2.

Sitanggang, Djernih. 2018. Perlakuan Terhadap Terpidana Mati di Lembaga


Pemasyarakatan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal media hukum,
, Volume 25 Nomor 1.
63

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. 2009. Jurnal Dinamika


Hukum, Volume 9 Nomor 3.

Dwi Putri Nababan, Monika. 2020. Pelaksanaan Hak Tahanan (Tantangan dan
Permasalahan). Journal of Criminal Law, Volume 1 Nomor1.

Usman & Andi Najemi. 2018. Mediasi Penal di Indonesia: Keadilan, Kemanfaatan,
dan Kepastian Hukumnya. Undang: Jurnal Hukum. Volume 1 Nomor 1.

UNDANG-UNDANG :

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan (Hak-Hak


Narapidana)

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant On


Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan Negara
LAMPIRAN

64
65

BAHAN WAWANCARA TERKAIT

“PEMBINAAN TERPIDANA MATI DI DALAM LAPAS”

1. Sudah berapa lama Bapak di dunia lembaga permasyarakatan? (background check)


Sudah 30 tahun, dari 1991-2021 tepat nya 1-3-1991 sudah sekarang ini 21-10-
2021
2. Pernah ditempatkan di posisi apa saja dan dimana saja?
Semula di Lembaga Pemasyarakatan anak palembang Sumatera Selatan (1991-
1997)
1997 mutasi/pindah ke Lubuk Linggau Sumsel bln April
- KPLP
- subsidi perawatan di bawah kasibinadik
Kasubsi keamanan sampai 2002
2002 pindah ke Cilacap Jawa Tengah jadi Kepala pengaman rumah tahanan
negara (ka kp rutan cilacap Jawa Tengah)
2003 karna Rutan naik jadi lapas jadi lah kepala KPLP cilacap
Dengan Eselon 4 b
2006 pindah ke sidoarjo Jawa Timur sebagai KA KPLP
2009 pindah ke Krui Lampung barat sebagai Kepala Rutan
2011 pindah ke Boalemo Gorontalo Sulawesi sebagai Kalapas
2012 pindah ke Tangerang Kabid pembinaan
2014 pindah ke Atambua Belu Nusa Tenggara Timur jadi Kalapas
2020 pindah ke Empat lawang Sumatera Selatan sebagai Kalapas sampai
sekarang
3. Apakah pernah membina terpidana mati didalam lapas?
Pidana mati ada lebih kurang 7 orang di lapas Tangerang pada saat itu
4. Apa saja kegiatan-kegiatan warga binaan didalam lapas?
Baik, Pelaksaan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan pada prinsipnya
terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu; Intramural treatment dan Ekstramural
66

treatment. Intramural Treatment adalah pembinaan yang kami lakukan dengan


tujuan memperbaiki dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, serta Kesehatan jasmani dan rohani.
Bisa dibilang seperti Solat berjama’ah, kegiatan mengaji bersama dan senam
rutin setiap minggu pagi dan masih banyak lagi. Ekstramural treatment adalah
pembinaan yang dilakukan di luar Lapas dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh narapidana selama
menjalankan pembinaan dalam Lapas, meliputi pemberian asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, maupun Cuti Bersyarat.
Program pembinaan narapidana tidak hanya terdiri dari pembinaan mental-
spiritual (pembinaan kemandirian), tetapi juga pemberian pekerjaan selama
berada di Lapas (pembinaan keterampilan).
5. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Pemasyarakatan secara tegas mengatur bahwa:
“Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan
tertentu”. Sedangkan, ruang lingkup pengertian narapidana, yaitu terpidana yang
menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 7 UU Pemasyarakatan. Jenis pidana hilang kemerdekaan disini secara jelas
diterangkan didalam Pasal 10 KUHP jenis pidana hilang kemerdekaan meliputi
pidana penjara (baik pidana penjara sementara maupun seumur hidup) dan pidana
kurungan. Namun dalam kenyataannya sesuai dengan penjelasan bapak sebelumnya
bahwa Lapas juga dihuni oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati. Pertanyaannya
adalah apa Pembinaan dalam lapas terhadap terpidana mati dan Apakah ada
perbedaan pembinaan dengan warga binaan lainnya?
Hebat juga pertanyaannya saya akan mejawab versi saya mungkin bisa di
bilang salah, salahnya dimana, akan saya jelaskan. Orang yang baru masuk ke
rutan/lapas kita anggap bersalah karna dibarengi surat penahanan. Selama dia
menjalani tahanan, Pembinaan sudah menempel didiri dia. Tetapi memang
sampai sekarang tidak ada regulasi yang tegas tentang bagaimana melakukan
pembinaan di dalam lapas untuk terpidana mati. Selama saya di lapas
Tangerang memang terdapat perbedaan terhadap pembinaannya tapi disitu
hanya sebatas kegiatan-kegiatan jasmani. Tetapi untuk rohani kami
67

mewajibkan untuk seluruh warga binaan untuk mengikuti. Dan untuk


kesenjangan, lapas akan sebisa mungkin untuk mengurangi hal-hal seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai