Anda di halaman 1dari 127

GUGATAN REKONVENSI DALAM PERKARA PERMOHONAN CERAI

TALAK DI PENGADILAN AGAMA TANJUNG KARANG


Studi Kasus Perkara Nomor 93/Pdt.G/2021/PA.TnK

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum


untuk syarat meraih gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Keluarga

Oleh:

Ahmad Maulidi Mubarok


( 11180440000016 )

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444 H/ 2022 M
GUGATAN REKONVENSI DALAM PERKARA PERMOHONAN CERAI
TALAK DI PENGADILAM AGAMA TANJUNG KARANG
Studi Kasus Perkara Nomor 93/Pdt.G/2021/PA.TnK

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Untuk Memenuhi Salah satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :
AHMAD MAULIDI MUBAROK
NIM : 11180440000016

Pembimbing

Dr. Moh Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag.


NIP :197304242002121007

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1444 H/ 2022 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul GUGATAN REKONVENSI DALAM PERKARA
PERMOHONAN CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA TANJUNG
KARANG (Studi Kasus Perkara Nomor 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk), telahdiujikan
dalam sidang Munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 September 2022. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada
Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 26 September 2022


Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie,M.A


NIP.19760807 2003121001

PANITIA UJIAN SKRIPSI

Ketua : Dr. Mesraini, S.H., M.Ag. (……………………)


NIP. 197602132003122001
Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, M.A. (……………………)
NIP. 197205312007101002
Pembimbing : Dr. Moh Ali Wafa S.H., S.Ag., M.Ag. (……………………)
NIP. 197304242002121007

Penguji 1 : Dr. Afwan Faizin, M.A. (……………………)


NIP. 197210262003121001
Penguji 2 : Ahmad Chairul Hadi, M.A. (……………………)
NIP. 197205312007101002

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tagan dibawah ini saya :

Nama Lengkap : Ahmad Maulidi Mubarok

NIM 11180440000016

Tempat, Tanggal Lahir : Sungailiat, 14 Juni 2000

Prodi/ Fakultas : Hukum Keluarga

Alamat : Jl. Sukardi Hamdani gg masjid Al-Azhar no 17/33


Bandar lampung

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 5 September 2022

Ahmad Maulidi Mubarok


NIM. 11180440000016

iv
ABSTRAK
Ahmad Maulidi Mubarok, NIM : 11180440000016. GUGATAN REKONVENSI
DALAM PERKARA PERMOHONAN CERAI TALAK DI PENGADILAN
AGAMA TANJUNG KARANG (Studi Kasus Perkara Nomor
93/Pdt.G/2021/PA.TnK) Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1444 H/2022.
Skripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana
pengaplikasian gugatan rekonvensi yang ada di Pengadilan Agama Tanjung karang
dan analisis putusan perkara nomor 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk dimana isi dalam
gugatan rekonvesi tersebut adalah gugatan isteri untuk mendapatkah hak-haknya
yakni nafkah iddah, nafkah mut’ah, nafkah maskan, nafkah kiswah, dan hak asuh
anak.
Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah berupa Undang-undang
perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dan metode mengumpulkan data dengan
metode observasi dan wawancara dengan hakim yang ada di Pengadilan Agama
Tanjung karang.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa bentuk-bentuk gugatan rekonvensi
cerai talak yang diajukan isteri kepada pengadilan agama berupa nafkah iddah,
nafkah mut’ah, nafkah maskan, nafkah kiswah, dan hak asuh anak. Isteri melakukan
gugatan rekonvensi cerai talak dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama keingina isteri
untuk mendapatkan nafkah iddah, keinginan isteri untuk mendapatkan nafkah
mut’ah, dan keinginan isteri untuk memperoleh hak asuh anak. Sedangkan
implikasi gugatan rekonvensi cerai talak pada pencari keadilan dapat berpengaruh
pada anak, dan keluarga. Selain berimplikasi bagi pencari keadilan yakni isteri, dan
anak, juga berimplikasi pada masyarakat.

Keyword: Gugatan Rekonvensi, Cerai Talak, Hak-hak Isteri.

Pembimbing : Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag.

Daftar Pustaka : 1979 s.d. 2019

v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu
wa Ta’ala, yang selalu melimpahkan rahmat, hidayah, serta keberkahan-Nyalah sehingga
penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring Salam
senantiasa kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam, semoga kelak kita
mendapatkan syafa’atnya di akhirat.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mencapaigelar
Sarjana Hukum Program Studi Hukum Keluarga pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini penulis persembahkan
kepada motivator tersayang sepanjang perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua
tersayang, abi Aripin dan ummi Nurseha dan kakak Nailul Istiqomah serta abang M Zaid
Al-mujiddi dan abang Fachri Ridho tersayang yang tidak pernah lelah selalu memberikan
semangat, motivasi, bimbingan dan dukungan, kasih sayang serta do’a yang telah diberikan
kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat, keberkahan dan kasih
sayang. Aamiin.

Selama proses penulis skripsi ini, sedikit banyak hambatan dan kesulitan yang
penulis hadapi, atas berkat rahmat dan hidayah dari Allah diberikan kemudahan dalam
mengerjakannya. Serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnyaskripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Oleh karena itu penulis menyampaikanrasa terima kasih kepada para pihak
yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian skripsi ini,
kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, SH., MH., MA, sekalu Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Mesraini, M.Ag, selaku ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Ahmad
Chairul Hadi, M.A, sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini.

vi
4. Dr. Ali Wafa S.H., S.Ag., M.Ag., selaku Dosen Pembimbing yang telah
senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan nasihat dalam hal apapun tak
terluput motivasi serta perbaikan selama penyusunan skripsi ini, terimakasih
banyak atas arahan, masukan dan koreksi yang bersifat membangun, semoga
AllahSubhanahu wa Ta’ala senantiasa membalas semua kebaikan Bapak.

5. Dr Abdul Halim M.Ag., Selaku dosen Penasehat Akademik.

6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya kepada penulis.

7. Orang tua tercinta Aripin dan Nurseha yang tak lekang oleh waktu memotivasi
dengan penuh kesabaran, keikhlasan baik moril maupun materil sehingga
tertuntasnya skripsi ini.

8. Kakak dan abang tersayang Nailul Istiqomah, M Zaid Al-Mujiddi, dan Fachri
Ridho yang selalu memberikan motivasi dan doanya sampai terselesaikan
penulisan skripsi ini.

9. Sahabat Spesial Ravita Elvariza Humairo yang sabar menemani dan


memberikan support sampai skripsi ini berhasil ditulis sampai akhir.

10. Sahabat Kuliah Penulis, alm. Dayu Nugraha, Zakaria Adnan, Ravi Fanshuri,
Taufiq Habiburrahman, Syahrul Azhari, Zannuba Naswa Maula, Mar’atun
Sholihah, Amara Tashfia, Ade Ayu Febrianti yang sedari dulu menemani
dalam suka duka hingga terselesaikannya skripsi ini.

11. Sahabat Seperjuangan Rantau Penulis, Farraz Husni, Rama Efendi, Ilham
Karuna Roza, Musa Adhe Chandra, Ahmad Mursyid, Imam Afwa Robbi,
Anisa Putri Nabila, Alimah El Jannah, Fiftahul Rizki Insani.

12. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Hukum Keluarga.

13. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Lampung Tangerang Selatan.

14. Sahabat Seperjuangan Ateb.

vii
Semoga Allah memberikan rahmat dan balasan pada setiap kebaikan yang telah
diberikan untuk peneliti. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum keluarga.

Jakarta, 26 September 2022

Ahmad Maulidi Mubarok

viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
BAB I .................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 2
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................2
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................5
C. Pembatasan Masalah............................................................................................5
D. Rumusan Masalah .............................................................................................5
E. Tujuan Penelitian ..............................................................................................5
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..................................................................6
1. Kajian Terdahulu ............................................................................................ 6
G. Metode Penelitian .............................................................................................9
1. Jenis Penelitian ............................................................................................... 9
2. Pendekatan penelitian ..................................................................................... 9
3. Sumber Data ................................................................................................... 9
4. Pengelolaan dan Analisis Data ....................................................................... 9
5. Sistematika Penulisan ................................................................................... 10
BAB II............................................................................................................................... 11
CERAI TALAK DAN HAK ASUH ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF .................................................................................................. 11
A. Cerai Talak Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif ....................11
1. Cerai Talak Dalam Pandangan Hukum Islam .............................................. 11
2. Cerai Talak Dalam Pandangan Hukum Positif ............................................. 24
B. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Paska Putus Perkara Cerai Talak ..................35
1. Hak dan Kewajiban Isteri Setelah Putus Perkara Cerai Talak...................... 35
1. Kewajiban Suami Setelah Putus Perkara Cerai Talak .................................. 37
C. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif ........................................... 38
1. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Islam .......................................................... 39
2. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Positif ........................................................ 45
D. Gugatan Rekonvensi..........................................................................................48
1. Pengertian Gugatan Rekonvensi................................................................... 48
2. Dasar Hukum Gugatan Rekonvensi ............................................................. 50
BAB III ............................................................................................................................. 52
GAMBARAN UMUM PUTUSAN NOMOR 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk ............................ 52
A. Kasus-kasus yang ditangani Pengadilan Agama Tanjung Karang ....................52
1. Kasus yang sedang ditangani hakim pengadilan agam a Tanjung Karang ... 52
2. Kronologi kasus yang sedang dingani hakim Pengadilan Agama Tanjung
Karang .................................................................................................................. 53
B. Dasar Hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
68
1. Dalam Rekonvensi ....................................................................................... 74
2. Dalam Konvensi dan Rekonvensi ................................................................ 83
3. Putusan Hakim ............................................................................................. 83
BAB IV ............................................................................................................................. 85
PENETAPAN GUGATAN REKONVENSI PERMOHONAN CERAI TALAK DI
PENGADILAM AGAMA TANJUNG KARANG ........................................................... 85
A. Bentuk Gugatan Rekonvensi Cerai Talak .........................................................85
1. Bentuk Gugatan Rekonvensi Nafkah Iddah ................................................. 85
2. Bentuk Gugatan Rekonvensi Nafkah Mut’ah............................................... 85
3. Bentuk Gugatan Rekonvensi Nafkah Maskan dan Kiswah .......................... 86
B. Faktor Yang Menyebabkan Gugatan Rekonvensi Cerai Talak .........................86
1. Istri Ingin Mendapatkan Nafkah Iddah......................................................... 86
2. Istri Ingin Mendapatkan Nafkah Mut’ah ...................................................... 89
3. Keinginan Isteri Untuk Mendapatkan Hak Asuh Anak ................................ 90
C. Implikasi Gugatan Rekonvensi Cerai Talak Pada Pencari Keadilan .................92
1. Isteri Mendapatkan Nafkah Iddah ................................................................ 92
2. Isteri Mendapatkan Nafkah Mut’ah.............................................................. 93
3. Isteri Mendapatkan Hak Asuh Anak ............................................................ 94
D. Analisis Putusan Perkara Nomor 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk.................................94
BAB V ............................................................................................................................ 103
PENUTUP ...................................................................................................................... 103
A. Simpulan .........................................................................................103
B.Saran ..........................................................................................103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 105

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
dirubah Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Pengadilan Agama (selanjutnya disingkat UU Peradilan
Agama) dalam penjelasannya dibedakan antara perceraian karena talak dengan
gugatan perceraian. Kemudian apabila dihubungkan dengan Pasal 66 UU
Peradilan Agama, perceraian karena talak (cerai talak) adalah permohonan
cerai yang diajukan oleh suami. Sedangkan gugatan perceraian (cerai gugat)
menurut Pasal 73 UU Peradilan Agama adalah gugatan perceraian yang
diajukan oleh pihak isteri.
Perceraian yang diajukan oleh suami dengan cerai talak maka pihak suami
disebut sebagai Pemohon dan pihak isteri disebut sebagai Termohon.
Termohon/istri dapat menuntut suami/pemohon untuk membayar nafkah
iddah, mut’ah, maskan, kiswah, nafkah lampau, hak asuh anak, dan nafkah
anak dengan mengajukan gugatan rekonvensi terhadap gugatan konvensi dari
Pemohon, namun kenyataannya banyak istri yang diceraikan suaminya tidak
mendapat haknya sesuai dengan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam serta sesuai
dengan amar putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, pada
kenyataannya suami sering mengabaikan tanggung jawabnya untuk memenuhi
amar putusan Pengadilan Agama yang menjadi hak istri dalam gugatan
rekonvensi yang telah diceraikan oleh karena itu seharusnya ada kebijakan
Pengadilan Agama yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak istri setelah
perceraian untuk mendapatkan kepastian hukum.
Ketentuan tentang hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan
Agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal tersebut dapat dilihat dalam
rumusan pasal 54 yang menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada

2
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, keculi yang telah diatur secara
khusus.
Rumusan pasal 54 tersebut secara substansi dapat diartikan bahwa dalam
kehidupan hukum dan peradilan di Indonesia telah terjadi keseragaman di
bidang hukum acara dan oleh kerena hukum acara yang berlaku di Peradilan
Umum adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura
maka kedua aturan hukum acara tersebut diberlakukan juga di lingkungan
Peradilan Agama.1
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa salah satu asas hukum acara adalah
prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
dimana salah satu jalan untuk mewujudkan asas tersebut adalah dimungkinkan
pihak Tergugat untuk mengajukan gugatan balik (rekonvensi) kepada
Penggugat.
Gugatan Rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya
rekonvesi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan
terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.2 Dalam penjelasan
Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk
mengajukan gugatan melawan, artinya, untuk menggugat kembali penggugat,
maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup
dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya
terhadap gugatan lawannya.
Gugatan Rekonvensi ini merupakan hak yang diberikan oleh Undang-
Undang sehingga terjadi perselisihan status antara pihak-pihak yang
berperkara, pihak yang semula bertindak sebagai Penggugat berubah menjadi
Tergugat dan sebaliknya. Hak tersebut diberikan sebagai bentuk kesadaran dari
pembuat undang-undang, agar perkara dapat dipermudah proses pemeriksaan
dan biaya dapat dihemat.
Dalam praktek peradilan akan selalu dijumpai kendala yakni muatan pasal-

1
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Al-Hikmah, 2000), h. 5
2
M Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafis, 2017), h.468

3
pasal dalam sebuah produk perundangan sebagai sarana dukung yang menjadi
acuan, tidak seluruhnya mampu menjangkau kompleksitas permasalahan yang
muncul dalam kehidupan hukum. Demikian halnya dengan masalah yang
terkait dengan rekonvensi, muatan pasal yang tercantum dalam HIR/R.Bg
dirasa sangat minim dibanding dengan problema hukum yang melingkupi dan
terjadi di seputar praktek peradilan.
Kondisi faktual berupa kesenjangan antara terbatasnya muatan-muatan
pasal yang menjadi acuan dengan kompleksitas masalah yang mucul membawa
pada satu kondisi akibat, yakni munculnya berbagai pola penafsiran dan pola
pandang dalam praktek peradilan. Khususnya untuk peradilan agama
perbedaan pola penafsiran dan pola pandang dalam menyikapi masalah yang
terkait dengan rekonvensi banyak dijumpai pada penentuan syarat-syarat
gugatan rekonvensi khususnya yang terkait dengan syarat formil dan teknik
pemeriksaan serta perumusan amar.
Pada aspek syarat formil, keragaman pola penafsiran terjadi pada penentuan
batas waktu diperbolehkannya tergugat mengajukan gugatan rekonvensi,
apakah mutlak harus diajukan dalam jawaban pertama atau diperbolehkan
sampai pada tahap acara duplik atau sesaat sebelum pembuktian, sementara
pada aspek teknik pemeriksaan keragaman pola pandang dan penafsiran terjadi
ketika gugatan rekonvensi diajukan pada bidang perkara perceraian, oleh
karena pemerikaan perkara perceraian berlaku aturan khusus (lex specialist)
yakni tertutup untuk umum maka pada materi gugatan rekonvensi semisal
tuntutan nafkah dan tuntutan pembagian harta bersama apakah dilakukan
dalam sidang tertutup untuk umum dengan alasan melekat pada pokok perkara
dalam gugatan konvensi berupa perceraian atau pemeriksaan harus dilakukan
dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan alasan gugatan rekonvensi
tersebut menyangkut hukum kebendaan (zeken recht) keragaman sikap yang
demikian juga terjadi pada teknik perumusan amar.
Bermula dari hal tersebut, proposal skripsi ini disususn dengan tujuan untuk
melakukan kajian pada hal-hal yang terkait dengan judul, yakni Gugatan
Rekonvensi Dalam Perkara Cerai Talak Di Pengadilan Agama Tanjunag

4
Karang Study Kasus perkara nomor 93/Pdt.G/2021/PA.TnK.

B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Maka dapat disebutkan identifikasi masalah
dibaawah ini sebagai berikut:
1. Istri yang sudah tidak taat dan patuh lagi terhadap suami.
2. Suami tidak memenuhi kewajibannya sebagai ayah untuk memberikan
nafkah baik secara lahir dan batin kepada keluarga.
3. Anak yang sering menjadi korban dari pertengkaran kedua orang tua nya.
4. Perebutan hak asuh anak dan harta gono-gini yang sering terjadi di setiap
perceraian.
C. Pembatasan Masalah
Karena luasnya pembahasan Gugatan Rekonvensi cerai talak, maka penulis
akan memberikan batasan masalah agar dapat lebih fokus pada inti penelitian.
Adapun inti penelitian adalah bagaimana persoalan Gugatan Rekonvensi di
Pengadilan Agama Tanjung Karang mengenai kasus cerai talak pada putusan
Nomor 93/Pdt.G/2021/PA.TnK.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk gugatan rekonvensi cerai talak?
2. Apa faktor yang menyebabkan gugatan rekonvensi cerai talak?
3. Apa implikasi gugatan rekonvensi cerai talak pada pencari keadilan?
4. Analisis putusan perkara nomor 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk?
E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakulan penulisan
skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk gugatan rekonvensi.

2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan gugatan rekonvensi cerai

5
talak.Untuk mengetahui implikasi gugatan rekonvensi cerai talak pada
pencari keadilan.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu


1. Kajian Terdahulu

Pada penulisan ilmiah, telah pustaka sangat diperlukan untuk mencari


wawasan terhadap permasalahan tertentu. Pada penelitian ini penulis
menelaah literature yang telah membahas tentang tema permasalahan yang
akan penulis jabarkan sebagai berikut, diantaranya adalah:

Aripin (2005) dalam skripsi ini menjelaskan tentang Gugatan


rekonvensi dalam Praktek di Pengadilan Agama Sungailiat, dalam skripsi
ini membahas aspek kelembagaan berikut kenyataan praktek (kajian
institusional praktek) pada peradilan agama dengan identifikasi masalah
pada gugatan rekonvensi yang terjadi di Pengadilan Agama Sungailiat
dihubungkan dengan kaidah hukum yang bersifat yuridis normatif berupa
peraturan perundangan yang berlaku serta ada keitannya dengan
permasalahan yang telah dirumuskan, dan kesamaan dengan penelitian ini
adalah sama membahas gugatan rekonvensi yang terjadi di Pengadilan
Agama.3

Meita Djohan OE (2016) dalam jurnal ini menjelaskan tentang Dasar


Pertimbangan Hakim dalam Gugatan Rekonvensi (studi perkara Nomor:
0354/Pdt.G/2015/PA.TnK). dalam jurnal ini penulis menjelaskan
pengertian gugatan rekonvensi, biaya dan waktu dalam penerapan gugatan
rekonvensi, dasar pertimbangan hakim dalam memecahkan gugatan
rekonvensi di Pengadilan Agama Tanjung karang, dan kesamaan dengan
penelitian ini adalah sama membahas gugatan rekonvensi di Pengadilan
Agama tentang perkara cerai talak.4

3
Aripin, “Gugatan Rekonvensi Dalam Praktek di Pengadilan Agama Sungailiat”, (Pangkal
Pinang: Skripsi Sekolah Tinggi Ilmi Hukum Yayasan Perguruan Tinggi Bangka, 2005)
4
Meita Djohan OE, “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Gugatan Rekonvensi”, Jurnal

6
Santi Fatmala (2017) dalam skripsi ini penulis menjelaskan Analisis
Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Kalianda Nomor
0264/Pdt.G/2014/PA.Kla Tentang Permohonan Cerai Talak Suami dan
Gugatan Rekonvesi Istri, dalam skripsi ini penulis membahas landasan
hakim dalam menetapkan perkara permohonan cerai talak suami dan
gugatan rekonvensi dari istri. Penulis juga membahas hukum islam yang
dipakai oleh hakim untuk memutuskan perkara nomor
0264/Pdt.G/2014/PA.Kla dalam perkara permohonan cerai talak dan
gugatan rekonvensi dari istri, dan persamaan dari penelitian saya ini adalah
sama-sama membahas putusan cerai talak dan gugatan rekonvensi yang ada
di pengadilan agama.5

Linda Rachmainy, S.H., dan Eva Rahmawati, S.H, ( 2017) dalam junal
ini menjelaskan Penerapan Rekonvensi Sebagai Hak Istimewa Tergugat
Dalam Perkara Perceraian (Talak) Di Pengadilan Agama. Dalam jurnal nya
penulis menjelaskan perihal apa saja perkara rekonvensi yang dapat
diajukan oleh tergugat pada gugat cerai/ permohonan cerai talak di
Pengadilan Agama yang dikaitkan dengan hukum acara perdata, dan
membahas bagaimana sikap hakim dalam memberikan pertimbangan dan
putusan terkait dengan gugatan rekonvensi didalam perkara gugat
cerai/permohonan cerai talak dalam praktik di Pengadilan Agama,
persamaan dari penelitian saya adalam sama-sama membahas perkara cerai
talak dari suami dan gugatan rekonvensi yang diajukan oleh istri yang ada
di Pengadilan Agama.6

Anisa Mamduhah (2011) dalam skripsi ini menjelaskan Pertimbangan


Hakim Pada Putusan Gugat Rekonvesi Terhadap Cerai Telak. Dalam skripsi

Keadilan Progresif, vol. 7 No. 2, (September, 2016).


5
Santi Fatmala, “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Kalianda
Nomor 0264/Pdt,G/2014/PA.Kla Tentang Permohonan Cerai Talak Suami dan Gugatan
Rekonvensi Isteri”, (Lampung: Sripsi Universitas Islam Negeri Raden Intan, 2017).
6
Linda Rachmany, & Ema Rahmawati, “Penerapan Rekonvensi Sebagai Hak Istimewa
Tergugat Dalam Perkara Perceraian (Talak) Di Pengadilan Agama”, vol. 2 no. 2, (September,
2017).

7
ini penulis membahas alasan-alasan yang melatar belakangi terjadinya
gugatan rekonvensi, mengetahui pertimbangan Hakim dalam memutuskan
perkara perceraian atas gugatan rekonvensi, dan mengetahui gambaran
tentang prosedur pelaksanaan pengajuan gugatan rekonvensi yang
dilakukan oleh pencari keadilan di Pengadilan Agama Kota Malang.
Persamaan dari penelitian saya adalah sama-sama membahas perkara
gugatan rekonvensi yang terjadi di Pegadilan Agama.7

Saeful Mupid (2018) dalam skripsi ini menjelaskan Analisi Yuridis


Ultra Partuim Dalam Perkara Cerai Talak Studi Kasus Pengadilan Agama
Jakarta Timur Nomor 16/Pdt.G/2013/PA.Jt. dan Putusan Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA.Jk, dalam skripsi ini penulis
menjelaskan Implementasi asas ultra petitum partium terkait hak asuh anak
pada putusan nomor 1082/Pdt.G/2013/PA.Jt dan putusan nomor
16/Pdt.G/2015/PTA.JK, dan untuk mengetahui diparitas putusan nomor
16/Pdt.G/2015/PTA.Jk. Persamaan dari penelitian saya adalah sama-sama
membahas putusan di Pengadilan Agama tentang cerai talak.8

Muhammad Ilman Anapi (2018) dalam skripsi ini menjelaskan


Mekanisme Cerai Talak Dalam Hukum Keluarga Islam Di Indonesia Dan
Tunisia, dalam skripsi ini penulis menjelaskan mekanisme talak dalam
hukum perkawinan di Indonesia dan Tunisia, dan membahas persamaan dan
perbedaan mekanisme cerai talak di Indonesia dan Tunisia. Persamaan dari
penelitian saya adalah sama-sama membahas cerai talak yang dilakukan
suami terhadap istri.9

7
Anisah Mamduhah, “Pertimbangan Hakim Pada Putusan Gugatan Rekonvensi Terhadap
Cerai Talak”, (Malang: Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang, 2011).
8
Saeful Mupid, “Analisis Yuridis Ultra Petitum Partitum Dalam Perkara Cerai Talak Studi
Kasus Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 16/Pdt.G/2013/PA.Jt. dan Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA.Jk”. (Jakarta: Skripsi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2018).
9
Muhammad Ilman Hanapi, “Mekanisme Cerai Talak Dalam Hukum Keluarga Islam di
Indonesia dan Tunisia”. (Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2018).

8
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah studi kepustakaan (library


research) dan studi lapangan (field reserch) yakni melakukan pengumpulan
data dengan cara mengkaji buku-buku literature yang terkait dengan
permasalahan dan mengamati bagaimana penerapan gugatan rekonvensi di
Pengadalan Agama Tanjung Karang. Berdasarkan itu penulis melakukan
wawancara dengan hakim yang ada di Pengadilan Agama Tanjung Karang,
agar penelitian ini nantinya tidak terjadi kekeliruan dan sesuai dengan fakta
yang terjadi dilapangan.
2. Pendekatan penelitian

Pendekata yang penulis lakukan adalah dengan “kualitatif”. Yakni


metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam arti
nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum dilingkungan masyarakat,
penelitian hukum yang di dari fakta-fakta yang ada didalam suatu
masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.
3. Sumber Data

Dalam penulisan penelitian ini, peneliti mengumpulkan data yang berupa:


1. Data Primer, adalah data pokok yang diperoleh langsung dari sumber,
yaitu dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan menganalisa data-
data yang berkaitan. Yaitu dengan melakukan wawancara dengan
Majelis Hakim yang menangani kasus tersebut dan penelitian secara
langsung pada putusan.
2. Data Sekunder, adalah data tambahan/data pendukung serta melengkapi
data primer. Antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, hasil penelitian yang berwujud laporan yang berkaitan dengan
tema yang penulis angkat dalam tugas akhir ini.
4. Pengelolaan dan Analisis Data

Berangkat dari data yang terkumpul, selanjutnya diolah dan dianalisis

9
dengan cara editing yakni dilakukan pemeriksaan kembali terhadap semua
data yang sudah terkumpul terutama dari segi-segi relevansi, kejelasan
makna dan keselarasan satu dengan yang lain, kemudian dianalisa dengan
menggunakan analisa kualitatif.
5. Sistematika Penulisan

Penulis membuat sistematika penulisan yang disusun perbab, hal tersebut


bertujuan agar penulisan proposal penelitian ini menjadi lebih terarah dan
tersusun. Dalam proposal penelitian ini umumnya terdapat lima bab, yang
setiap babnya memiliki penjelasannya masing-masing. Pada bagian pertama
ini membahas mengenai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tujuan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, serta
sistematika penulisan. Bagian ini digunakan sebagai acuan untuk bab
selanjutnya.

10
BAB II
CERAI TALAK DAN HAK ASUH ANAK DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Cerai Talak Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif


1. Cerai Talak Dalam Pandangan Hukum Islam
Secara harfiyah thalaq itu berarti lepas atau bebas. Thalaq
merupakan sebuah kata yang diambil dari Bahasa arab yaitu athlaqa, yang
berarti athlaqa al-mawasyiy (melepaskan) dan athlaqa al-asir
(membebaskan).10 Pengertian secara lengkap terkait thalak dalam bahsa
yakni melepaskan ikatan secara mutlak, baik berupa ikatan materil maupun
immaterial sebagaimana dikatakan dalam Bahasa, thalaqtu al-mar’ata (aku
melepaskan ikatan prkawinan yang bersifat immaterial), yaitu ikatan yang
terbentuk antara suami istri. Dikatakan thalaqtu al-‘asirmi qaidih (aku
melepaskan ikatan tawanan yang besifat materil atau empiril).
Dihubungkannya kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya
perkawinan karena antara suami dan isteri sudah lepas hubungan atau
masing-masing sudah bebas. Kata thalaq merupakan kata jelas yang apabila
diucapkan maka akan jatuh thalak tanpa harus ada niat dalam hati. Berbeda
dengan kata ithlaq, kata ithlaq adalah kata kinayah (metonim) yang tidak
bisa menjatuhkan thalaq (cerai) kecuali dengan adanya niat.11
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan pernikahan atau mengakhirinya.12 Adapun talak dalam
hukum Islam adalah suatu terapi atau suatu obat hingga harus dipandang
talak sebagai bagian dari solusi dan tidak dipandang sebagai bagian
problema.13

10
Lihat Ahmad Warson Al Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 861.
11
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Surakarta : Era
Intermedia, 2005) h.311
12
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masryjhin, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009), Jilid 4, h. 2
13
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 95.

11
Menurut H.A. Fuad Said dalam bukunya “Perceraian Menurut
Hukum Islam”,perceraian adalah putus hubungan perkawinan antara suami
dan istri.14
Prof. Subekti dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata
mendefinisikan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.15
Menurut Dr. Hasbi Indra, MA dalam bukunya “Potret Wanita
Shalehah” mendefinisikan talak adalah melepaskan tali atau ikatan
pernikahan baik oleh suami atau permintaan sang istri.16
Terdapat berbagai pengertian menganai talaq yang telah diberikan
oleh fuqaha, diantaranya :
a. Fuqaha Syafi”e mengartikan : Talak pada syara’ adalah melepaskan
ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan seumpamanya17
b. Fuqaha Hanafi mengartikan : Talak pada syara’ adalah memutuskan
ikatan pernikahan serta merta (dengan talak ba’in)atau dalam satu waktu
(dengan talak raj’i) dengan menggunakan lafaz tertentu.18
c. Fuqaha Maliki mengartikan : Talak pada syara’ adalah menggungkaikan
ikatan yang sah melalui pernikahan.19
d. Fuqaha Hambali mengartikan : Talak pada syara’ adalah melepaskan
ikatan perkawinan.20
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, talak diartikan sebagai
pemutusan ikatan perkawinan yang dilakukan oleh suami secara sepihak
dengan menggunakan lafaz “talak” atau sejenisnya.21

14
Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1994), h.1.
15
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa, 1995), h.42.
16
Hasbi Indra, (et.all), Potret Wanita Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), h.226.
17
Syeikh Muhammad Al-Khatib Al-Syarbani, Mughni Al-Muhtaj, (Mesir: Matba’ah
Mustafa al-babi al-Halabi wa Awladuh, 1958), h. 279
18
Muhammad Amin Ibn Abidin, Hasyiyah Radd Al-Mukhtar A’la al-Durr al-Mukhtar.
(Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1966) h. 226-227
19
Sidi Muhammad Al-zarqani, Syarh Muwatta’ al-Imam Malik, (Kaherah Al-Matba’ah al-
Khairiyyah), Juz 3.
20
Abi Muhammad A’bdillah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudaah, Al-Mughni, (Mesir:
Maktabah al-jumhurriyah al-Arabiyah h.96
21
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van

12
a. Dasar Hukum Talak
Q.S. An-nisa ayat 19:
ُ ‫س ۤا َء ك َْرهًا ۗ َو ََل تَ ْع‬
‫ضلُ ْوه َُّن ِلتَ ْذ َهب ُْوا‬ ِ ‫ٰ ٰٓيا َ ُّي َها ا َّل ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل َي ِح ُّل لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا‬
َ ‫الن‬
‫ف ۚ فَا ِْن‬ ِ ‫عا ِش ُر ْوه َُّن بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ش ٍة ُّمبَيِنَ ٍة ۚ َو‬ ِ ‫َل اَ ْن يَّأْتِيْنَ بِف‬
َ ‫َاح‬ ٰٓ َّ ِ‫ض َما ٰٓ ٰاتَ ْيت ُ ُم ْوه َُّن ا‬
ِ ‫بِبَ ْع‬
‫ّٰللاُ فِ ْي ِه َخي ًْرا َكثِي ًْرا‬ َ ‫ك َِر ْهت ُ ُم ْوه َُّن فَعَسٰ ٰٓى اَ ْن تَ ْك َره ُْوا‬
‫شيْـا َّويَجْ عَ َل ه‬
Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut
cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan kebaikan yang banyak padanya.
Q.S. Al-Baqarah 229:
ٰٓ ‫ان ۗ َو ََل َي ِح ُّل لَ ُك ْم اَ ْن تَأ ْ ُخذُ ْوا ِم َّما‬ َ ْ‫اك ِب َم ْع ُر ْوفٍ اَ ْو تَس ِْري ٌْۢح ِباِح‬
ٍ ‫س‬ ٌۢ ‫س‬ َّ َ‫ا‬
َ ‫لط ََل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ فَا ِْم‬
ِ ‫ّٰللا ۗ فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَ ََّل يُ ِق ْي َما ُحد ُْو َد ه‬
‫ّٰللا ۙ فَ ََل‬ ِ ‫َِل اَ ْن يَّخَافَا ٰٓ اَ ََّل يُ ِق ْي َما ُحد ُْو َد ه‬ َ ‫ٰاتَ ْيت ُ ُم ْوه َُّن‬
ٰٓ َّ ‫شيْـا ا‬
ِ ‫ت ِب ٖه ۗ ِت ْلكَ ُحد ُْودُ ه‬
ِ ‫ّٰللا فَ ََل تَ ْعتَد ُْوهَا َۚو َم ْن يَّتَ َعدَّ ُحد ُْو َد ه‬
‫ّٰللا‬ ْ ‫علَ ْي ِه َما ِف ْي َما ا ْفتَ َد‬
َ ‫ُجنَا َح‬
‫ولىِٕكَ ُه ُم ال ه‬ٰۤ ُ
َ‫ظ ِل ُم ْون‬ ‫فَا‬
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa
keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka
keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh
istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-
hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.
Q.S. Al-Baqarah 230
‫طلَّقَ َها فَ ََل ُجنَا َح‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ ََل ت َِح ُّل لَهٗ ِم ٌۢ ْن بَ ْعدُ َحتهى تَ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬
َ ‫غي َْر ٗه ۗ فَا ِْن‬ َ ‫فَا ِْن‬
ِ ‫ّٰللا ۗ َوتِ ْلكَ ُحد ُْودُ ه‬
َ‫ّٰللا يُ َب ِينُ َها ِلقَ ْو ٍم يَّ ْعلَ ُم ْون‬ َ ‫علَ ْي ِه َما ٰٓ اَ ْن يَّت ََرا َج َعا ٰٓ ا ِْن‬
ِ ‫ظنَّا ٰٓ اَ ْن يُّ ِق ْي َما ُحد ُْودَ ه‬ َ
Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri)
untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat

Hoeve, 1997), Jilid 5, h. 53

13
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah
yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.
Q.S. AlBaqarah 231
‫س ِر ُح ْوه َُّن ِب َم ْع ُر ْوفٍۗ َو ََل‬ َ ‫س ۤا َء فَبَ َل ْغنَ اَ َجلَ ُه َّن فَا َ ْم ِس ُك ْوه َُّن ِب َم ْع ُر ْوفٍ اَ ْو‬
َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫َواِ َذا‬
‫ّٰللا‬
ِ‫ت ه‬ ِ ‫سهٗ ۗ َو ََل تَت َّ ِخذُ ْٰٓوا ٰا ٰي‬ َ ‫ارا ِلتَ ْعتَد ُْوا ۚ َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذلِكَ فَقَ ْد‬
َ ‫ظلَ َم نَ ْف‬ ً ‫ض َر‬ ِ ‫ت ُ ْم ِس ُك ْوه َُّن‬
ُ ‫ب َو ْال ِح ْك َم ِة َي ِع‬
‫ظ ُك ْم‬ ِ ‫علَ ْي ُك ْم ِمنَ ْال ِك ٰت‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم َو َما ٰٓ اَ ْنزَ َل‬ ِ ‫ه ُُز ًوا َّوا ْذ ُك ُر ْوا نِ ْع َمتَ ه‬
َ ‫ّٰللا‬
‫ع ِليْم‬
َ ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫ّٰللاَ ِب ُك ِل‬ ‫ࣖ ِب ٖه َۗواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ َوا ْعلَ ُم ْٰٓوا اَ َّن ه‬
Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir)
idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah
kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka.
Barangsiapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya
sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan
ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah
diturunkan Allah kepada kamu yaitu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah
(Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Q.S. Al-Baqarah 232

َ ‫ضلُ ْوه َُّن اَ ْن َّي ْنكِحْ نَ اَ ْز َوا َج ُه َّن اِذَا ت ََرا‬


‫ض ْوا‬ ُ ‫س ۤا َء فَ َبلَ ْغنَ اَ َجلَ ُه َّن فَ ََل تَ ْع‬ ِ ‫طلَّ ْقت ُ ُم‬
َ ‫الن‬ َ ‫َواِذَا‬
‫اَل ِخ ِر ۗ ٰذ ِل ُك ْم‬
ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْاليَ ْو ِم‬
ِ ‫ظ بِ ٖه َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم يُؤْ ِمنُ بِ ه‬ ُ ‫ع‬ َ ‫ف ۗ ٰذلِكَ ي ُْو‬ ِ ‫بَ ْينَ ُه ْم بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
َ‫ّٰللاُ يَ ْعلَ ُم َواَ ْنت ُ ْم ََل تَ ْعلَ ُم ْون‬ ْ َ‫اَ ْز ٰكى لَ ُك ْم َوا‬
‫ط َه ُر ۗ َو ه‬
Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai idahnya,
maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon
suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan
cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di
antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih suci
bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui.
Q.S. At-Thalaq
‫صوا ْال ِعدَّ ۚةَ َواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ َربَّ ُك ۚ ْم ََل‬ َ َ‫س ۤا َء ف‬
ُ ْ‫ط ِلقُ ْوه َُّن ِل ِعدَّتِ ِه َّن َواَح‬ َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫ي اِذَا‬ُّ ِ‫ٰيٰٓاَيُّ َها النَّب‬
ُ‫ش ٍة ُّمبَيِنَ ٍۗة َوتِ ْلكَ ُحد ُْود‬ ٰٓ َّ ‫ت ُ ْخ ِر ُج ْوه َُّن ِم ٌۢ ْن بُي ُْوتِ ِه َّن َو ََل يَ ْخ ُرجْ نَ ا‬
ِ ‫َِل اَ ْن يَّأْتِيْنَ بِف‬
َ ‫َاح‬
‫ِث بَ ْعدَ ٰذلِكَ اَ ْم ًرا‬ ‫ي لَ َع َّل ه‬
ُ ‫ّٰللاَ يُحْ د‬ َ ‫ظلَ َم نَ ْف‬
ْ ‫سهٗ ۗ ََل تَد ِْر‬ َ ‫ّٰللا فَقَ ْد‬
ِ ‫ّٰللا َۗو َم ْن يَّتَ َعدَّ ُحد ُْودَ ه‬
ِ‫ه‬
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari

14
rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka
mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan
barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.
Hadis tentang talak
‫طلَّقَنِي‬
َ ‫إن زَ ْو ِجي‬ َ ‫س‬
َّ !ِ‫وَلهلل‬ ُ ‫ار‬
َ َ‫ (ي‬: ‫ت‬ ِ ‫ع ْن فَاطِ َمةَ ِب ْن‬
ْ َ‫ت قَي ٍْس قَال‬ َ ‫َو‬
ْ َ‫ فَت َ َح َّول‬, ‫ فَأ َ َم َرهَا‬:َ‫ قَال‬,‫ي‬
‫ت) َر َواهُ ُم ْسلِم‬ َ ‫َاف أ َ ْن يُ ْقت َ َح َم‬
َّ َ‫عل‬ ُ ‫ َوأَخ‬,‫ث‬
ً ‫ث َ ََل‬

“Fathimah Binti Qais berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah,


suamiku telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang
mendatangi ku. Maka beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian
pindah. (HR. Muslim)
b. Macam-Macam Hukum Talak
“Talak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang
mengancam salah satu pihak, baik itu suami maupun istri. Talak itu bisa
wajib, haram, mubah dan bisa juga sunnah. Di lihat dari konteks yang
melatarbelakangi, hukum-hukum talak adalah sebagai berikut:
1. Talak wajib adalah talak yang bertujuan untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi antara suami dan istri; jika masing-masing
melihat bahwa talak adalah satu-satunya jalan untuk mengakhri
perselisihan.
2. Talak yang diharamkan adalah talak yang dilakukan bukan karna
adanya tuntutan yang dapat dibenarkan. Karena, hal itu akan
membawa mudharat bagi diri sang suami dan juga istrinya serta
tidak memberikan kebaikan bagi keduanya.
3. Talak yang mubah adalah talak yang dilakukan karena adanya hal
yang menuntut kearah itu, baik karena buruknya perangai si istri,
pergaulannya yang kurang baik atau hal-hal buruk lainnya.
4. Sedangkan talak yang disunnahkan adalah talak yang dilakukan
terhadap seorang istri yang telah berbuat zhalim kepada hak-hak
allah yang harus diembannya, seperti sholat, dan kewajiban-
kewajiban lainnya, dimana berbagai cara telah ditempuh oleh sang
suami untuk menyadarkannya, akan tetapi ia tetap tidak

15
menghendaki perubahan. Talak juga disunnahkan Ketika suami
istri berada dalam perselisihan yang cukup tegang, atau pada suatu
keadaan dimana dengan talak itu salah satu dari keduanya akan
terselamatkan dari bahaya yang mengancam22
c. Syarat dan Rukun Talak
1) Syarat Talak
Syarat jatuhnya talak adalah terjadinya ikatan suami isteri,
jika tidak terjad ikatan suami isteri maka tidak sah talaknya. Yang
tidak menyebabkan terjatuhnya talak ada empat: anak kecil, orang
gila, orang yang tidur, dan orang mabuk.23
Harus berasal dari suami, Maksudnya bahwa dia telah
menikahi wanita. Jikadia tidak menikahinya, maka pengaitan talak
dengan syarat-syarat darinya tidak sah. Sebab, jika dia bukan
sebagai suami dari wanita itu yang tidak memiliki wewenang untuk
mengaitkan talak dengan syarat-syarat.24 Orang yang mengucapkan
talak telah baligh, berakal, dan mengucapkan talak dengan
kehendaknya sendiri
2) Rukun Talak
Rukun talak ada 3 :

a) Suami, yang mana selain suami tidak boleh mentalak. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Talak itu hanyalah bagi orang yang mempunyai kekuatan
(suami).” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)
b) Istri, yaitu orang yang berada di bawah perlindungan suami dan
ia adalah obyek yang akan mendapatkan talak
c) Lafazh yang menunjukan adanya talak, baik itu diucapkan
secara lantang maupun dilakukan melalui sindiran dengan

22
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta; Pustaka Al Kautsar, 1998),
h. 428-429
23
Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz II (Bandung : Al Haromain Jaya, 2005) h. 102,104.
24
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media, T.Th), h.
366

16
syarat harus disertai adanya niat.Namun demikian, tidak cukup
hanya dengan niat saja, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi umatku apa-
apa yang terdetik di dalam hati mereka, selama tidak mereka
ucapkan atau kerjakan.” (Muttafakun „Alaih).25
d. Macam-Macam Talak
Talak terbagi kepada beberapa bagian jika dilihat daripada sudut
yang berbeda.

1) Jika dilihat daripada sudut kejelasan lafadz yang digunakan, ia


terbagi kepada talak sorih dan kinayah.

2) Jika dilihat daripada sudut keadaan (waktunya) istri yang diceraikan;


diceraikan berdasarkan dalam keadaan suci atau haid, dewasa atau
kanak-kanak, ia terbagi kepada talak bid’i, dan talak sunni.

3) Jika dilihat dari sudut talak menurut pelaku perceraian, ia terbagi


kepada fasakh dan khulu.26

Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali,
talakdibagi menjadi dua macam, sebagai berikut yaitu:
1) Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang
telahpernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri,
talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Dan
suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah
talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu.27 Hal ini sesuai dengan
Firman Allah:
‫صوا ْال ِعدَّ ۚةَ َواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ َربَّ ُك ۚ ْم‬ َ َ‫س ۤا َء ف‬
ُ ْ‫ط ِلقُ ْوه َُّن ِل ِعدَّتِ ِه َّن َواَح‬ َ ِ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬
َ ‫ي اِذَا‬
ُّ ‫ٰٰٰٰٓ اَيُّ َها النَّ ِب‬

25
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, h. 437.
26
Mustofa Al-Khin, Dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafi’i Undang-Undang Kekeluargaan,
(Kuala Lumpur: Prospecta Printers, 2005) Jilid 4, h. 864
27
H.M.A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 231

17
ُ‫ش ٍة ُّمبَ ِينَ ٍۗة َو ِت ْلكَ ُحد ُْود‬ ٰٓ َّ ‫ََل ت ُ ْخ ِر ُج ْوه َُّن ِم ٌۢ ْن بُي ُْوتِ ِه َّن َو ََل يَ ْخ ُرجْ نَ ا‬
ِ ‫َِل اَ ْن يَّأْتِيْنَ ِبف‬
َ ‫َاح‬
‫ِث بَ ْعدَ ٰذلِكَ اَ ْم ًرا‬ ‫ي لَ َع َّل ه‬
ُ ‫ّٰللاَ يُحْ د‬ ْ ‫سهٗ ۗ ََل تَد ِْر‬ َ ‫ظلَ َم نَ ْف‬
َ ‫ّٰللا فَقَ ْد‬
ِ ‫ّٰللا َۗو َم ْن يَّتَ َعدَّ ُحد ُْودَ ه‬ِ‫ه‬
Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu,
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar
kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah
hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum
Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah
mengadakan suatu ketentuan yang baru.
Yang dimaksud dengan “menghadapi iddah yang wajar”
dalam ayat tersebut adalah istri-istri itu hendaknya ditalak ketika suci
dan belum dicampuri. Sedangkan yang dimaksud dengan “perbuatan
keji” adalah apabila istri melakukan perbuatan pidana, berkelakuan
tidak sopan terhadap mertua, ipar, dan sebagainya. Adapun yang
dimaksud dengan “sesuatu yang baru” adalah keinginan suami untuk
rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.28
Setelah terjadi talak raj‟i maka isteri wajib beriddah, hanya
bila kemudian mantan suami hendak kembali kepada mantan isterinya
sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan
menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut mantan
suami tidak menyatakan rujuk terhadap mantan isterinya, maka
dengan berakhirnya masa iddah tersebut kedudukan talak menjadi
talak ba’in, kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu
suami ingin kembali kepada mantan isterinya maka wajib dilakukan
dengan akad baru dan dengan mahar pula.
Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja,
berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang
berbunyi :
‫ان ۗ َو ََل يَ ِح ُّل لَ ُك ْم اَ ْن تَأ ْ ُخذُ ْوا‬
ٍ ‫س‬ ٌۢ ‫س‬
َ ْ‫اك ِب َم ْع ُر ْوفٍ اَ ْو تَس ِْري ٌْۢح ِباِح‬ َّ َ‫ا‬
َ ‫لط ََل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ فَا ِْم‬

28
Hasbi Al-Shiddieqi, Al-Quran dan Terjemahnya: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-
Quran, (Jakarta: Depag RI, 1989), h . 945.

18
ِ ‫ّٰللا ۗ فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَ ََّل يُ ِق ْي َما ُحد ُْودَ ه‬
ۙ ‫ّٰللا‬ َ ‫ِم َّما ٰٓ ٰاتَ ْيت ُ ُم ْوه َُّن‬
ٰٓ َّ ‫شيْـا ا‬
ِ ‫َِل اَ ْن يَّخَافَا ٰٓ اَ ََّل يُ ِق ْي َما ُحد ُْودَ ه‬
ِ ‫ت ِب ٖه ۗ ِت ْلكَ ُحد ُْودُ ه‬
‫ّٰللا فَ ََل تَ ْعتَد ُْوهَا َۚو َم ْن يَّتَ َعدَّ ُحد ُْودَ ه‬
ِ‫ّٰللا‬ ْ َ‫علَ ْي ِه َما فِ ْي َما ا ْفتَد‬
َ ‫فَ ََل ُجنَا َح‬
‫ولىِٕكَ ُه ُم ال ه‬ٰۤ ُ
َ‫ظ ِل ُم ْون‬ ‫فَا‬
Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak
mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir
bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah,
maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan
(oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-
hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.

2) Talak Ba’in, Talak yang jatuhnya tidak memberi hak rujuk kepada
mantan isteri untuk kembali kepada mantan suami. Apabila mantan
suami isteri itu hendak kembali maka wajib bagi keduanya
mengadakan akad nikah yang baru lengkap dengan rukun dan syarat-
syaratnya. Talak ba‟in sendiri ada dua macam yaitu :29
a) Talak ba’in shughra, adalah talak ba’in yang menghilangkan
pemilikan mantan suami terhadap isteri tetapi tidak
menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali
dengan mantan isteri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah
berakhirnya masa iddah
b) Talak bain kubro yaitu, talak yang menghilangkan status
perkawinan dan menghilangkan kehalalan suami untuk kawin
kembali dengan bekas isterinya kecuali setelah bekas isteri itu
kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dan cerai secara
wajar serta telah selesai menjalankan iddahnya.30 Talak ba’in
kubro ini terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai firman
Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 230 :

29
Djamal Latief, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981), h.61
30
Slamet Abidin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 9.

19
‫طلَّقَ َها فَ ََل ُجنَا َح‬ َ ‫طلَّقَ َها فَ ََل ت َِح ُّل لَهٗ ِم ٌۢ ْن َب ْعدُ َحتهى تَ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬
َ ‫غي َْر ٗه ۗ فَا ِْن‬ َ ‫فَا ِْن‬
ِ ‫ّٰللا ۗ َوتِ ْلكَ ُحد ُْودُ ه‬
‫ّٰللا يُ َب ِينُ َها ِلقَ ْو ٍم‬ َ ‫علَ ْي ِه َما ٰٓ اَ ْن يَّت ََرا َج َعا ٰٓ ا ِْن‬
ِ ‫ظنَّا ٰٓ اَ ْن يُّ ِق ْي َما ُحد ُْو َد ه‬ َ
َ‫يَّ ْعلَ ُم ْون‬
Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri)
untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah
yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

Dalam hal ini harus ada perkawinan antara seorang perempuan


yang ditalak tiga kemudian menikah dan bercerai dengan laki-laki
lain. Dalam keadaan demikian perempuan tersebut dikawin lagi oleh
laki-laki bekas suami pertama. Perkawinan seperti ini halal
hukumnya, tetapi jika terjadi ada laki-laki yang diupah oleh bekas
suaminya pertama tadi agar menikah dengan bekas istrinya, kemudian
mentalaknya dan oleh karena sudah ditalak oleh laki-laki yang diberi
upah itu, bekas suami pertama (yang mengubah) mengawini
perempuan itu lagi, upaya-upaya tesebut tidak dibenarkan di dalam
ajaran Islam.
Talak ini mengakibatkan hilangnya hak rujuk pada bekas
istriwalaupun kedua bekas suami istri itu ingin melakukannya,
baik diwaktu iddah atau sesudahnya, yang termasuk talak bain kubra
adalah segala macam talak yang mengandung unsur-unsur sumpah.
1. Talak dilihat dari cara pelafalannya terbagi menjadi dua yaitu :
a. Sharih (terang-terangan)
Yaitu, kata-kata yang digunakan jelas dan tegas, dapat
dengan mudah dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai
ketika diucapkan. Beberapa contoh talak sarih ialah seperti
suami berkata kepada isterinya:
1) Engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai

20
sekarang juga.
2) Engkau saya firaq sekarang juga, engkau saya pisahkan
sekarang juga.
3) Engkau saya sarah sekarang juga, engkau saya lepas
sekarang juga.
Apabila suami mengucapkan talak kepada isterinya
dengan talak sarih maka jatuhlah talak itu dengan
sendirinya sepanjang suami dalam keadaan sadar dan
tidak ada paksaan suatu apapun.31
b. Kinayah (sindiran)
Talak kinayah yaitu lafadh yang maknanya bisa diartikan
talak atau selainnya. Misalnya perkataan suami ‚saya melepas
kamu, atau kamu saya lepas, atau saya meninggalkan kamu,
atau kamu saya tinggalkan atau kamu pulang saja kerumah
orang tuamu‛ (menurut sebagian ulama‟). Apabila lafadh-
lafadh ini keluar dari mulut seorang suami disertai niat talak
maka jatuhlah talak bagi sang istri. Namun jika tidak disertai
dengan niat maka tidak jatuh talak.
Dalil Penggunaan lafal Kinayah dalam talak adalah hadi dari
Aisyah R.A. bahwasannya anak perempuan dari pesisir,
menemui Rasulullah SAW, lalu beliau mendekatinya,
kemudian perempuan itu berkata, “aku berlindung kepada
Allah darimu”, lalu beliau menjawab, “Aku telah berlindung
kepada Yang Maha agung. Kembalilah kepada keluargamu.”
(H.R. Bukhori [No. 4955])32
2. Talak jika dilihat daripada sudut keadaan (waktu) istri yang
diceraikan :
a. Bid’i
Talak bid’i adalah larangan menjatuhkan talak kepada isteri

31
Slamet Abiding, Fikih Munakahat, h,195
32
Mustafa Al-Bugha, Dkk, Fikih Manhaj, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2012), Jilid I, h. 711.

21
yang dalam keadaan haid atau suci tetapi setelah digauli
dan nifas. Diperinci, terdiri dari beberapa macam :
1) Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketika
sedang dalamkeadaan haid atau nifas.
2) Jika seorang suami menceraikan isterinya ketika dalam
keadaan suci, namun ia telah menyetubuhinya pada masa
suci tersebut.
3) Seorang suami menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya
dengan satukalimat atau tiga kalimat dalam satu waktu.33
b. Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang berjalan sesuai dengan
ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak perempuan yang
telah pernahdicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih
dan belum ia sentuh kembali selama masa bersih itu.
3. Talak menurut pelaku perceraian
a. Talak yang dijatuhkan suami kepada istri.
b. Talak yang dijatuhkan istri kepada kepada suami atau Gugat
Cerai yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami.
Cerai seperti ini dilakukan dengan cara mengajukan perceraian
kepada Pengailan Agama,dan Percraian tidak dapat terjadai
sebelun Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai
oleh istri, yaitu: fasakh dan khulu’ :
1) Fasakh
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa
adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami,
dalam kondisi dimana.
a) Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin
selama enam bulan berturut-turut, suami

33
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 211

22
meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-
turut tanpa ada kabar berita.
b) Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah
disebutkan dalamakad nikah, baik sebagian ataupun
seluruhnya (sebelum terjadinyahubungan suami istri)
c) Adanya perlakuan buruk suami seperti penganiayaan,
penghinaan dan tindakan-tindakan lain yang
membahayakan keselamatan dan keamana istri. Jika
gugatan tersebut dikabulkan oleh hakim
berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka hakim
berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan
antara keduanya.
2) Khulu’
Khulu‟ adalah kesepakatan perceraian antara suami
istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang
(harta, mas kawin) yang diserahkan kepada suami.
Dalam peristiwa ini suami melepaskan kekuasaannya
sebagai suami dan memberikan kekuasaan tersebut
kepadaistrinya dalam bentuk thalak tebus.
4. Beda Talak Raj‟i, Talak Bain Sughra, dan Talak Tiga (Ba‟in
Kubro)
Dari seluruh uraian seputar talak/perceraian diatas dapat
disimpulkan bahwa talak ada 3 macam yaitu talak raj‟i, talak ba‟in
sughra (kecil) dan talak bai‟in kubro (talak 3).
Perbedaan ketiganya adalah:
a. Talak Raj‟i (Rujuk) adalah cerai oleh suami dengan level talak
1 (satu) dan talak 2 (dua). Dengan status talak raj‟i, maka
suami boleh rujuk atau kembali pada istri yang dicerainya
selama masa iddah tanpa harus akad nikah baru. Namun
apabila keinginan rujuk tersebut setelah masa iddah habis,
maka harus diadakan akad nikah baru.

23
b. Talak Bain Sughra (kecil) adalah perceraian yang disebabkan
oleh gugat cerai oleh istri baik dengan cara fasakh atau khuluk.
Dalam kondisi ini, maka:
1) suami tidak boleh rujuk pada istri selama masa iddah.
2) Suami boleh kembali ke istri setelah masa iddah habis
dengan akad nikah yang baru.
c. Talak 3 (Ba‟in Kubro) adalah perceraian di mana suami sama
sekali tidak boleh rujuk atau kembali pada istrinya walaupun
masa iddah sudahhabis kecuali setelah istri menikah dengan
laki-laki lain dan beberapa saat (bulan/tahun) kenudian pria
kedua tersebut menceraikannya.34
2. Cerai Talak Dalam Pandangan Hukum Positif
Istilah perceraian terdapat dalam pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 yang
memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”. Jadi secara yuridis
istilah perceraian berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan
putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suam
istri) sebagaimana diartikan dalam kamus besar Bahasa Indonesia di atas.35
Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum
positif tentang perceraian menunjukkan adanya:
a. Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum
positif tentang perceraian menunjukkan adanya.
b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu
kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan
ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan yang Maha
Kuasa.
c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum

34
Pembahasan Lengkap Mengenai Perceraian Talak Dalam Islam Pengertian Cerai Talak
Hukum Cerai Syarat Rukun Dalil Tentang Cerai Masa Iddah Macam Macam Cerai Dll, Masuk
Islam.com/ konten/ 2018/ 03/ 08/ Pembahasan Lengkap Mengenai Perceraian Talak DalamIslam.
35
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1982), h.103.

24
putusnya hubungan perkawinan antara suami istri.36
Alasan perceraian menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9
Tauhun 1975, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meniggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Bentuk dan jenis perceraian di Indonesia ditinjau dari segi tata cara dan
beracara di Pengadilan Agama telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, yang dibedakan menjadi 2 bagian yaitu perceraian
karena talak atau dengan berdasarkan gugatan perceraian.37
a. Cerai Berdasarkan Talak
Perceraian berdasarkan talak termuat dalam, Bab XVI Pasal 117
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa talak adalah
ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah
satu penyebab putusnya perkawinan.38
b. Cerai Berdasarkan Gugat
K. Wantjik Saleh mengemukakan yang dimaksud dengan gugatan

.
37
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2004), h. 141.
38
Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang
PerkawinanDi Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1979), h. 46.

25
perceraian adalah perceraian karena ada suatu gugatan lebih dahulu dari
salah satu pihak kepada Pengadilan dan dengan suatu putusan
Pengadilan.39

1) Cerai talak dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974


Di dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan
di depan Sidang Pengadilan yang berwenang” adalah landasan dalam
perceraian yang terkandung di dalam Undang-Undang yang
cenderung kepada persaksian talak.40
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 hanya memuat pengertian
perceraian, yang terdiri dari cerai talak dan cerai gugat. Ini berarti bahwa
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih lanjut bentuk-
bentuk perceraian, yang dalam hukum Islam bentuk-bentuk percerain
itu justru lebih banyak prngaturan hukumnya. Namun demikian, bentuk-
bentuk perceraian yang berakibat hukum putusnya perkawinan itu tetap
bermuara pada cerai talak dan cerai gugat serta alasan-alasan hukun
perceraiannya yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974.41
Pada pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan juga Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusan.
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam
kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan

39
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia), h. 40.
40
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. Ke-2,
h. 191.
41
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 116.

26
dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.42
2) Cerai Talak Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Tidak mudah untuk menggugat ataupun memohon cerai ke
pengadilan. Harus ada alasan-alasan yang cukup menurut hukum,
sehingga gugatan cerai bisa dikabulkan Pengadilan.
Alasan-asalan tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yakni sebagai berikut:
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudidan lain sebagainya yang sukar disembuhkan:
Kalau perceraian dituntut dengan alasan hukum suami atau
istri berzina dengan orang lain, maka ada kemugkinan bahwa pihak
yang salah itu, dituntut pula secara pidana di pengadilan. Jika hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara perzinaan tersebut
kemudian memutus bahwa benar terjadi perbuatan zina dan pihak
yang melakukan perbuatan zina itu dihuk pidana, maka hakim yag
memeriksa dan mengadili perkara perdatanya dapat menetapkan
perceraian setelah menerima turunan dari putusan hakim dalam
perkara pidana tentang perzinaan itu, artinya tidak perlu ada
pembuktian lagi tentang perbutan zina yang dilakukan suami atau
istri dengan orang lain tersebut.43
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah

42
lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41.
43
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h.184.

27
atau karena hal lain diluar kemampuannya:
Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukan
secara tegas bahwa suami atau istri sudah tidak melaksanakan
kewajiabnnya sebagai suami atau istri, baik kewajiban yang bersifat
lahiriah maupun batiniah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi
untuk mempertahankan kelangsungan rumah tangga, karena telah
hilangnya perasaan sayang dan cinta, sehingga tega menelantarkan
atau mengabaikan hak suami atau istri yang ditinggalkannya. Jadi,
perceraian adalah solusi untuk keluar dari rumah tangga yang secara
hukum formal ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada lagi.
Alasan hukum perceraian berupa meninggalkan pihak lain
selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah, harus dimajukan di depan sidang pengadilan dari rumah
kediaman pihak yang menuntut perceraian setelah lampaunya waktu
waktu dua tahun terhitung sejak saat pihak lainnya meninggalkan
rumah kediaman tersebut. Tuntutan ini hanya dapat dimajukan ke
depan sidang pengadilan jika pihak meninggalkan tempat kediaman
tanpa sebab yang sah, kemudian tetap segan untuk kumpul kembali
dengan pihak yang ditinggalkan.44
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yanglebih berat setelah perkawinan berlangsung:
Hukuman penjara atau hukuman berat lainnya dapat
membatasi bahkan menghilangkan kebebasan suami atau istri untuk
melakukan berbagai aktivitas berumah tangga, termasuk
menghambat suami atau istri untuk melaksanakan kewajibannya,
baik kewajiban yang bersifat lahiriah dan batin dalam rumah tangga
yang sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yangmembahayakan terhadap pihak yang lain:

44
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1981), h.141.

28
Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
dapat berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologis) bagi
suami atau istri yang menerima kekejaman dan penganiayaan berat
sebagai bentuk tindak kekerasan yang membahayakan “nyawa”
tersebut. Tindak kekerasan, terutama tindak kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap istri terjadi hampir di semua lapisan
masyarakat Indonesia, meskipun data resminya sendiri tidak
tersedia.
Perilaku kejam dan aniaya berat yang membahayakan
adalah perilaku yang sangat buruk dan memalukan keluarga dan
kerabat dari suami atau istri yang bersangkutan, sehingga perilaku
demikian juga merupakan alasan hukum perceraian menurut hukum
adat.45
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri:
Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang ada pada
diri suami atau istri, baik berupa badaniyah (misalnya cacat atau
sakit tuli, buta , dan sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya
suami atau istri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami
istri, sehingga dengan keadaan demikian itu dapat menggagalkan
tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal.46
f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah-tangga:
“Perselisihan” adalah perbedaan pendapat yang sangat
prinsip, tajam dan tidak ada titik temu antara suami dan istri yang
bermula dari perbedaan pemahaman tentang visi dan misi yang

45
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h.194.
46
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 204.

29
hendak diwujudkan dalam kehidupan berumah tangga. Misalnya,
suami atau istri yang memahami perawinan sebagai sarana untuk
memenuhi hasrat seksual semata, atau mengutamakan/
mementingkan kebutuhan materialistik saja. Adapun
“pertengkaran” adalah sikap yang keras yang ditampakkan oleh
suami atau istri, yang tidak hanya berwujud nonfisik (kata-kata lisan
/ verbal yang menjurus kasar, mengumpat dan menghina), tetapi
juga tindakan-tidakan fisik (mulai dari Tindakan melempar benda-
benda,mengancam dan menampar/ memukul), yang terjadi karena
adanya persoalan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan oleh
pihak keluarga dan kerabat dari masing-masing suami dan istri yang
bersangkutan.
Tujuan perkawinan ialah hidup bersama dalam keadaan
tentram dan damai. Jika cekcok sedemikian hebat, sehingga
keadaanya tidak dapat baiklagi, maka sangat layak, apabila ada
perceraian, oleh karena tujuan utama perkawinan, yaitu hidup
bersama secara memuaskan, teryata tidak tercapai. Hanya saja perlu
dicamkan, bahwa harus betul-betul cekcok yang hebat itu. Untuk itu,
hakim di depan sidang pengadilan yang akan menetapkan ada atau
tidak ada cekcok itu harus mendengarkan keterangan dari pihak
yang menuntutperceraian dan seberapa boleh juga dari pihak yang
lain dan orang-orang keluarga atau teman sahabat karib dari suami
dan istri. Dengan demikian, dapat diusahakan, agar hakim dapat
mengetahui sungguh-sungguh keadaan yang sebenarnya dalam
rumah tangga suami istri.47
Perceraian boleh dilakukan dengan satu alasan hukum saja
di antara beberapa alasan hukum yang ditentukan dalam Pasal 39
ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

47
Abdul Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h.
82-83.

30
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jadi, secara yuridis, alasan-
alasan hukum perceraian tersebut bersifat alternatif, dalam arti
suami atau istri dapat mengajukan tuntutan perceraian cukup dengan
satu alasan hukum saja. Selain itu, juga bersifat enumeratif, dalam
arti penafsiran, penjabaran dan penerapan hukum secara lebih
konkret tentang masing-masing alasan-alasan hukum perceraian
merupakan wewenang hakim di pengadilan.48
Selajutnya, memperhatikan alasan-alasan hukum perceraian
sebagaimana ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1974 yang kemudian
dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, maka
dapat ditegaskan bahwa selain harus di lakukan di depan sidang
pengadilan guna mewujudkan kepastian hukum yang adil dan
melindungi istri bahkan suami selama dan setelah proses hukum
perceraian, perceraian juga tidak dilarang, dalam arti suami dan istri
boleh memutuskan hubungan perkawinan di antara keduanya,
dengan alasan- alasan hukum yang sudah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi hukum
perceraian secara prinsip membolehkan perceraian, namun
mempersukar proses hukum perceraiannya, karena tujuan
perkawinan itu adalah” untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal didasarkan atas ajaran agama yang diyakini
suami dan istri, sehingga perkawinan tidak hanya mengandung
unsur lahiriah atau jasmaniah, tetapi juga unsur batiniah atau
rohaniah.49
3) Cerai Talak Dalam Undang-Undang Perkawinan Kompilasi Hukum
Islam(KHI).
Kompilasi Hukum Islam diakui mengandung muatan-muatan hasil
ijtihad ulama Indonesia yang tersebar di berbagai pasal, satu di
antaranya adalah tentang perceraian. Hasil ijtihad tersebut tidak lain

48
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 208.
49
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 210.

31
adalah penegasan pemberlakuan hukum Islam sesuai dengan
perkembangan zaman dan iklim kultural bangsa dan masyarakat
Indonesia. Indonesia adalah sebuah wilayah teritorial yang dihuni oleh
mayoritas bergama Islam, dan memiliki ulama dan ahli hukum Islam
yang mumpuni. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam kompilasi
Hukum Islam di sana sini ditemukan hukum-hukum fikih yang khas
Indonesia. Hukum-hukum fikih khas Indonesia tersebut lebih populer
dengan sebutan "Fikih Indonesia". Tentu saja, Fikih Indonesia adalah
produk ijtihad ulama Indonesia yang berbeda dengan hasil ijtihad
fuqaha' klasik masa lalu. Kendatipun, kitab-kitab mereka tetapmenjadi
rujukan.50
Fikih Indonesia dapat dikenali ciri-cirinya dalam produk hukum
Islam seperti mengacu pada maslahat kekinian, mengkomodir kearifan
lokal, menganut prinsip kompilasi dan menerima talfiq, mengdepankan
metodologi hukum Islam yang rasional seperti maslahat mursalah dan
istihsan, sadduzariah.51
Perceraian berdasarkan pasal 114 KHI yaitu putusnya perkawinan
yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak, atau
berdasarkan gugatan perceraian, namun lebih lanjut dalam pasal 116
KHI dijelaskan beberapa alasan atau alasan-alasan perceraian yang akan
diajukan kepada pengadilan untuk di proses dan ditindak lanjuti.
Adapun alasan-alasan tersebut adalah:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan sebagainya yang sukar di sembuhkan.
b) Salah pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
c) Salah pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau

50
Nouruzzaman Shiddieqy, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya , (Cetakan ke 1,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 241
51
Nouruzzaman Shiddieqy, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, h. 242

32
hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat
yang membahaya kan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri.
f) Antara suami-isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g) Suami melanggar ta‟lik talak.
h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunandalam rumah tangga.52
Adapun yang dimaksud talak pasal 117 kompilasi hukum Islam,
talak adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan yang dimaksud
dengan perceraian adalah:
a) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
pengadilan agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat
tinggal penggugat, kecuali meninggal kan tempat kediaman bersama
tanpa izin suami.
b) Dalam hal gugat bertempat kediaman di luar negeri, ketua
pengadilan agama mem beritahukan gugatan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan republik indonesia setempat. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian dengan jalan talak
adalah permohonan cerai yang diajukan oleh suami, sedangkan
gugatan perceraian diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya kepada
pengadilan agama. Adapun sebab- sebab perceraian adalah
sebagaimana yang diterangkan dalam hukum positif dimana
terdapat beberapa sebab atau alasan yang dapat menimbulkan
perceraian, sebagaimana ditegaskan dalam peraturan pemerintah
Republik Indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan

52
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Kompilasi Direktorat
JenderalPembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 57.

33
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal
19.53
Dalam Pasal 118 KHI dijelaskan bahwa, Talak Raj`I adalah talak
kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa
iddah.54
Dalam Pasal 119 KHI dijelaskan bahwa,
1) Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi
boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam
iddah.
2) Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:
a) talak yang terjadi qabla al dukhul.
b) talak dengan tebusan atahu khuluk.
c) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.55
Dalam Pasal 120 KHI dijelaskan bahwa,
“Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.
Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas
isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian
ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya”.56
Dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
“Seorang suami yang akan menjatuhkan kepada istrinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan
itu.”57
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan

53
Linda Azizah, Analisis Perceraian Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Al-„Adalah Vol. X,
No. 4 Juli 2012) h. 417.
54
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 118
55
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 119
56
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 120
57
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 129

34
atau diucapkan oleh suami di muka Pengadilan Agama.

B. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Paska Putus Perkara Cerai Talak
1. Hak dan Kewajiban Isteri Setelah Putus Perkara Cerai Talak
a. Hak
1) Nafkah Iddah
Nafkah iddah (nafkah dalam masa tunggu), adalah nafkah yang wajib
diberikan oleh mantan suami kepada mantan isteri yang dijatuhi talak
selama mantan isteri menjalani masa iddah, kecuali mantan isterinya
melakukan nuzyus (pembangkangan).
2) Pelunasan Mahar
Pelunasan mahar , adalah hutang mahar yang wajib di lunaskan
seluruhnya dan separuh apabila Qabla al dukhul.
3) Nafkah Madhiyah
Nafkah madhiyah (nafkah masa lampau), adalah nafkah terdahulu
yang dulalaikan atau tidak dilaksanakan oleh mantan suami kepada
mantan isteri sewaktu keduanya masih terikat perkawinan yang sah.
4) Mut’ah
Mut’ah (penghibur), pemberian dari mantan suami kepada mantan
isterinya yang dijatuhi talak baik berupa uang atau benda lainnya.
5) Biaya Hadhanah
Biaya hadhanah, adalah biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang
belum berusia 21 tahun
6) Hadhanah
Hadhanah (pemeliharaan anak), adalah hak pemeliharaan atas anak
yang belum mumayyiz (terlihat fungsi akalnya) atau belum berumur
12 tahun, atau anak yang telah berumur 12 tahun atau lebih namun
memilih dipelihara oleh ibunya.
7) Harta Bersama
Mantan isteri berhak atas harta bersama, dibagi menurut ketentuannya
sebagaimana tersebut didalama pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum

35
Islam.
b. Kewajiban
Kewajiban isteri setelah jatuh talak yaitu “iddah”. Dalama masan
iddah ini, isteri wajib menjaga dirinya dan tidak menerima pinangan serta
menikah dengan orang lain.
Terdapat 4 macam-macam iddah (masa menunggu) bagi wanita
yang telah diceraikan oleh suaminya, yaitu:58
1) Bagi wanita yang ditinggalkan mati suaminya, berlaku masa iddah
selama empat bulan sepuluh hari. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-
Baqarah ayat 234
ۚ ‫ع ْش ًرا‬ َ ‫َوالَّ ِذيْنَ يُت ََوفَّ ْونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُر ْونَ اَ ْز َوا ًجا يَّت ََربَّصْنَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن اَ ْربَعَةَ اَ ْش ُه ٍر َّو‬
‫ّٰللاُ بِ َما‬
‫ف َو ه‬ ِ ۗ ‫ي اَ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
ْٰٓ ِ‫علَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَعَ ْلنَ ف‬
َ ‫فَ ِاذَا بَلَ ْغنَ اَ َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَا َح‬
‫تَ ْع َملُ ْونَ َخبِيْر‬
Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-
istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak
ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri
mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
2) Bagi wanita yang ditalak oleh suaminya dalam keadaan hamil, berlaku
masa iddah sampai melahirkan kandungannya. Hal ini dijelaskan
dalam surat At-Thalaq ayat 4.
ۤ ۤ
‫ارتَ ْبت ُ ْم فَ ِعدَّت ُ ُه َّن ثَ ٰلثَةُ اَ ْش ُه ۙ ٍر َّوالهـِ ْي لَ ْم‬
ْ ‫س ۤا ِٕى ُك ْم ا ِِن‬ ِ ‫َوالهـِ ْي َي ِٕىسْنَ ِمنَ ْال َم ِحي‬
َ ِ‫ْض ِم ْن ن‬
‫ّٰللاَ َيجْ َع ْل َّلهٗ ِم ْن‬ ۗ ٰ ُ ‫َي ِحض ْۗنَ َوا‬
َ َّ‫ولتُ ْاَلَحْ َما ِل اَ َجلُ ُه َّن اَ ْن ي‬
‫ق ه‬ ِ َّ ‫ض ْعنَ َح ْم َل ُه َّن َو َم ْن يَّت‬
‫اَ ْم ِر ٖه يُس ًْرا‬
Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka
idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

58
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, (Tangerang Selatan: Yasmi, 2018), h.287

36
3) Bagi wanita yang belum atau tidak menjalani haid, berlaku masa
iddah tiga bulan. Hal ini juga termasuk wanita yang sudah tidak lagi
menjalani haid (monopose). Dijelaskan didalam surat At-Thalaq ayat
4.
4) Bagi wanita-wanita yang telah dicampuri oleh suami yang
menceraikannya, berlaku masa iddah tiga kali quru’. Menjadi catatan
disini, bahwa perceraiannya merupakan perceraian biasa, bukan
dikarenakan suami mati, isteri tidak dalam keadaan hamil dan masih
aktif menjalani haid. Hal ini dijelaskan di surat Al-Baqarah ayat 228.
‫طلَّ ٰقتُ يَت ََربَّصْنَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ ْو ۗ ٍء َو ََل يَ ِح ُّل لَ ُه َّن اَ ْن يَّ ْكت ُ ْمنَ َما َخلَقَ ه‬
ْٰٓ ِ‫ّٰللاُ ف‬
‫ي‬ َ ‫َو ْال ُم‬
‫اَل ِخ ۗ ِر َوبُعُ ْولَت ُ ُه َّن اَ َح ُّق بِ َر ِده َِّن فِ ْي ٰذلِكَ ا ِْن‬
ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْاليَ ْو ِم‬
ِ ‫ام ِه َّن ا ِْن ُك َّن يُؤْ ِم َّن بِ ه‬ِ ‫اَ ْر َح‬
ْ ِ‫علَ ْي ِه َّن دَ َر َجة ۗ اَ َراد ُْٰٓوا ا‬
ۗ ‫ص ََل ًحا‬ ِ ۖ ‫علَ ْي ِه َّن بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ف َو ِل ِلر َجا ِل‬ ْ ‫َولَ ُه َّن ِمثْ ُل الَّذ‬
َ ‫ِي‬
‫ع ِزيْز َح ِكيْم‬
َ ُ‫ّٰللا‬
‫َو ه‬
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami
mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika
mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan)
mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.

1. Kewajiban Suami Setelah Putus Perkara Cerai Talak


Kewajiban suami akibat cerai talak yang dijatuhkan kepada isterinya
diatur pada pasal 149 dalam Kompilasi Hukum Islam, yang bilamana
perkawinan putus karena talak, bekas suami wajib sebagai berikut:59
a. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang atau benda. Kecuali bekas isteri tersebut qabla ad-dukhul.60
b. Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada

59
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, (Tangerang Selatan: Yasmi, 2018),h. 286
60
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 huruf (a)

37
isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.61
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila
qabla al-dukhul.62
d. Memberi biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum
mencapai umur 21 tahun.63
C. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Dalam islam, pemeliharaan anak di sebut hadhanah. Secara etimologis,
hadhanah itu berarti “disamping” atau berada “dibawah ketiak” atau bisa juga
berarti bagian badan mulai dari bagian bawah ketiak hingga bagian antara pusat
dan pertengahan punggung di at+as panggul paha, termasuk dada atau dua
lengan atas dan bagian antara keduanya. Hadhanah berasal dari Bahasa arab,
dengan asal kata hadhanah, yang artinya mengasuh anak, memeluk anak
ataupun mengasuh anak, mengasuh atau memelihara anak. Pengertian yang
sama kata hadhanah berasal dari kata “hidnan” yang berarti lambung. Seperti
kata “hadhana ath thaairu baidahu”, burung itu mengepit telur dibawah
sayapnya, begitu juga dengan perempuan (ibu) yang mengepit anaknya.
Sedangkan secara terminologisnaya, hadhanah merawat dan mendidik
seorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena
mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.64
Zulfan Efendi mengutip pendapat Muhammad bin Ismail Salah Al-Amir Al-
Khalani atau yang di sebut dengan nama Sa’ani, yang mengartikan bahwa
hadhanah ialah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri
mengenai dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu
yang membinasakannya atau yang membahayakannya.65 Menurut Qalyubi dan
Umairah Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya

61
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 huruf (b)
62
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 huruf (c)
63
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 149 huruf (d)
64
Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian Dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil, (Tangerang Selatan: Yasmi, 2018),h. 244.
65
Zulfan Efendi, Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak Hadhanah Terhadap Isteri Yang
Keluar Dari Agama Islam (Murtad), (Bintan: Stain Sultan Abdurrahaman Press, 2019), h. 19.

38
dan mendidiknya dengan hal-hal baik.66
Menurut Al-Hamdani, definisi hadanah adalah pemeliharaan anak laki-laki
atau perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat
membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan si
anak, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik
jasmani dan rohani serta akalnya agar anak bisa berkembang dan dapat
mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapi.67
Hak asuh anak adalah hak yang timbul akibat permohonan perceraian antara
suami dan istri berdasarkan putusan pengadilan. Hak asuh ini bisa terjadi jika
antara pasangan suami isteri yang bercerai itu memiliki anak baik anak
kandung ataupun anak yang diangkat didalam perkawinan.68 Pemeliharaan
anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk
mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan
hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab
pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah
anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang
legal sebagai orang tua dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.69
1. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Islam
Para ulama menetapkan bahwa mengasuh anak adalah wajib,
sebagaimana kewajiban orang tua untuk mengasuh anak dalam ikatan
pernikahan. Mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama, ibu dan ayah
karena anak memerlukan pemeliharaan dan asuhan dan dipenuh kebutuhan
serta diawasi proses pendidikannya. Apabila anak masih kecil tidak dirawat
dengan baik makan akan berakibat buruk bagi si anak.70
Mengasuh anak adalah wajib dan merupakan kewajiban yang harus

66
Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyabi Wa Al-Umairah, Al-Mahalli, Juz IV, (Kairo: Dar
Wahya Al-Kutub, 1971), h. 88.
67
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munnakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 176
68
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Gama Media, 2017), h. 132.
69
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 294.
70
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997),
h.415.

39
dilakukan oleh kedua orang tuanya, sebab apabila disia-siakan tentu akan
menimbulkan bencana dan kebinasaan baginya. Anak dalam konsep Islam
merupakan karunia dan amanat yang dititipkan Allah kepada manusia yang
perlu dijaga dan dibina karena kelak akan dimintakan tanggung jawabnya.71
Para ulama72 telah sepakat bahwa dasar hukum hadhanah adalah
wajib dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban bagi ayah dan ibunya.
Dasar argumentasi hukum yang menyatakan bahwa hadhanah merupakan
kewajiban merujuk pada firman Allah Swt didalam Al-Qur’an surat Al-
Baqarah ayat 233 yang berbunyi
‫علَى‬ َ ‫عةَ ۗ َو‬َ ‫ضا‬َ ‫الر‬ َّ ‫َاملَي ِْن ِل َم ْن اَ َرادَ اَ ْن يُّتِ َّم‬
ِ ‫ض ْعنَ اَ ْو ََلدَه َُّن َح ْولَي ِْن ك‬ ِ ‫َو ْال ٰو ِل ٰدتُ ي ُْر‬
‫ض ۤا َّر‬َ ُ ‫ف نَ ْفس ا ََِّل ُو ْسعَ َها ۚ ََل ت‬ ُ َّ‫ف ََل ت ُ َكل‬ِ ۗ ‫ْال َم ْولُ ْو ِد لَهٗ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ِ‫ث ِمثْ ُل ٰذلِكَ ۚ فَا ِْن اَ َرادَا ف‬
َ ‫ص ًاَل‬
ٍ ‫ع ْن ت ََر‬
‫اض‬ ِ ‫علَى ْال َو ِار‬
َ ‫َوا ِلدَة ٌۢبِ َولَ ِدهَا َو ََل َم ْولُ ْود لَّهٗ بِ َولَد ِٖه َو‬
‫علَ ْي ُك ْم اِذَا‬ ِ ‫علَ ْي ِه َما َۗوا ِْن اَ َر ْدت ُّ ْم اَ ْن تَ ْست َْر‬
َ ‫ضعُ ْٰٓوا اَ ْو ََلدَ ُك ْم فَ ََل ُجنَا َح‬ ُ ‫ِم ْن ُه َما َوتَش‬
َ ‫َاو ٍر فَ ََل ُجنَا َح‬
ِ َ‫ّٰللاَ بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ ب‬
‫صيْر‬ ‫ّٰللاَ َوا ْعلَ ُم ْٰٓوا اَ َّن ه‬ ِ ۗ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َّما ٰٓ ٰاتَ ْيت ُ ْم بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
‫ف َواتَّقُوا ه‬ َ
Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,
bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang
ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita)
karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila
keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan
antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Sesuai dengan maksud ayat di atas tedapat 2 ketetapan hukum


tentang hak asuh anak. Pertama kewajibat seorang isteri untuk mengasuh

71
Ahmad Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1994), h. 215.
72
Pendapat para ulama’ di antaranya Wahbah Az-Zuhaili, ia berpendapat bahwasanya
hukum hadhanah adalah wajib karena anak yang tidak dipelihara akan terancam
keselamatannya. Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani Press,
2011), terj. Jilid 10, hal. 60. Adapun Ibnu Qudamah berkata bahwa Hukum hadhanah yaitu
hukumnya wajib sebagaimana juga wajib memberi nafkah kepadanya. Lihat Ibnu Qudamah, al-
Mughni, (Kairo: Darul Manarah, tth), Vol. 3, h. 612.

40
dan menyusui anak selama dua tahun. Kedua, kewajiban suami yang
menanggung untuk memberi nafkah terhadap isteri dalam rangka
membiayai kebutuhan isteri terhadap anak baik penyusuan ataupun yang
lainnya.
Selanjutnya dijelaskan didalam Al-Qur’an surat at-Tahim ayat 6
yang berbunyi
ۤ
‫علَ ْي َها َم ٰل ِٕىكَة ِغ ََلظ‬ َ ‫اس َو ْال ِح َج‬
َ ُ ‫ارة‬ ُ َّ‫َارا َّوقُ ْودُهَا الن‬ َ ُ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا قُ ْٰٓوا اَ ْنف‬
ً ‫س ُك ْم َواَ ْه ِل ْي ُك ْم ن‬
َ‫ّٰللاَ َما ٰٓ اَ َم َر ُه ْم َو َي ْف َعلُ ْونَ َما يُؤْ َم ُر ْون‬ ُ ‫ِشدَاد ََّل َي ْع‬
‫ص ْونَ ه‬
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa Allah Swt memerintahkan kepada
kita agar memelihara keluarga dari api neraka serta harus menjalankan
segala perintah-Nya. Disisi lain salah satu bagian dari keluarga diantaranya
ialah anak, karena anak merupakan bagian dari keluarga dengan begitu para
orang tua atau kerabat dalam hal ini tentu mempunyai hak dan kewajiban
terhadap seorang anak serta memberikan pendidikan kepadanya agar kelak
dia juga terhindar dari siksaan api neraka.
Mengasuh anak adalah wajib dan merupakan kewajiban yang harus
dilakukan oleh kedua orang tuanya, sebab apabila disia-siakan tentu akan
menimbulkan bencana dan kebinasaan baginya. Anak dalam konsep Islam
merupakan karunia dan amanat yang dititipkan Allah kepada manusia yang
perlu dijaga dan dibina karena kelak akan dimintakan tanggung jawabnya.73
Hadhanah juga tidak boleh diserahkan kepada pengasuh yang bukan
muslim, karena hadhanah atau hak asuh anak juga merupakan masalah
perwalian, sedangkan Allah Swt tidak memperbolehkan perwalian seorang
muslim kepada orang kafir. Disisi lain juga dikhawatirkan jika akidah dan
kepercayaan orang yang mengasuh akan berpindah kepada anak yang

73
Ahmad Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1994), h. 215.

41
diasuhnya. Sebagaimana firman Allah Swt QS. an-Nisa’ ayat 141 yang
berbunyi:
‫ّٰللا قَالُ ْٰٓوا اَلَ ْم نَ ُك ْن‬
ِ ‫ص ْونَ ِب ُك ۗ ْم فَا ِْن َكانَ لَ ُك ْم فَتْح ِمنَ ه‬ ُ ‫َّم َع ُك ْم ۖ َوا ِْن َكانَ ا َّل ِذيْنَ َيت ََر َّب‬
‫علَ ْي ُك ْم َون َْمنَ ْع ُك ْم ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ ۗ فَ ه‬
‫اّٰللُ يَحْ ُك ُم بَ ْينَ ُك ْم يَ ْو َم‬ ِ ‫ِل ْل ٰك ِف ِريْنَ ن‬
َ ‫َصيْب قَالُ ْٰٓوا اَلَ ْم نَ ْستَحْ ِو ْذ‬
َ َ‫علَى ْال ُمؤْ ِمنِيْن‬
‫سبِي ًَْل‬ َ َ‫ّٰللاُ ِل ْل ٰك ِف ِريْن‬
‫ْال ِق ٰي َم ِة ۗ َولَ ْن يَّجْ عَ َل ه‬
(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada
dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata,
“Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan jika orang kafir
mendapat bagian, mereka berkata, “Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah
akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak
akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang
beriman.

Ulama’ fiqh berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang berhak


mempunyai hak hadhanah, apakah hak hadhanah milik perempuan (ibu atau
yang mewakilinya) atau hak anak yang diasuh. Sebagaimana yang dikutip
oleh Andi Syamsu dan M. Fauzan, Menurut Ibn Rusyd hadhanah diatur
tertibnya menurut konsep kedekatan serta kelemah lembutan, bukan dengan
dasar kekuatan perwalian, mirip nikah, mawali, shalat jenazah, wala’, serta
warisan. bisa saja orang yang tidak mewarisi tetapi berhak atas hadhanah
seperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan ayah, adik perempuan ibu,
anak saudara laki-laki, serta saudara perempuan. Bisa saja orang yang
mewarisi namun tidak berhak atas hadhanah seperti suami isteri orang yang
diasuh, serta perwalian sebab memerdekakan budak.74
Ulama’ madzhab hanafi berpendapat bahwa mengasuh, merawat
dan mendidik anak merupakan hak pengasuh baik laki-laki maupun juga
wanita, namun lebih diutamakan kepada pihak perempuan, karena
umumnya lebih bisa mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta
membimbing anak, sedangkan laki-laki umumnya hanya punya kemampuan
dan kewajiban buat menjaga, melindungi, memberikan yang terbaik kepada

74
Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 116.

42
anak secara fisik.75
Menurut Sayyid Sabiq apabila kedua orang tua telah berpisah
sedangkan mereka mempunyai anak yang masih kecil maka ibunya yang
paling berhak mengasuh dibandingkan ayahnya selama tidak ada mani’
(halangan) bagi ibu untuk mengasuh anak.76 Menurutnya ibu adalah orang
pertama yang paling berhak melakukan hadhanah, namun jika berhalangan
untuk didahulukan maka kewajiban hadhanah berpindah kepada:77 Nenek
dari pihak ibu, Nenek dari pihak ayah, Saudara perempuan seayah seibu,
Saudari seibu, Saudari seayah, Anak perempuab dari saudari kandung
(kemenakan), Anak perempuan dari saudari seibu, Bibi kandung dari ibu,
Bibi dari ibu yang seibu, Bibi dari pihak ayah, Anakperempuan dari saudari
ayah, Anak perempuan dari saudara sekandung, Anak perempuan dari
saudara seibu, Anak perempuan dari saudara seayah, Bibi kandung dari
pihak ayah, Bibi dari pihak ayah yang seibu, Bibi dari pihak ayah yang
seayah, Bibi ibu dari pihak ibu , Bibi ayah dari pihak ibu, Bibi ibu dari pihak
ayah, Bibi ayah dari pihak ayah.
Imam Ahmad Ibn Hanbal berpendapat bahwa orang yang paling
berhak atas hadhanah adalah ibu, kemudian ibunya ibu dan seterusnya
menurut garis lurus ke atas, setelah itu ayah dan seterusnya menurut garis
lurus ke atas, lalu kakek, ibunya kakek, saudara perempuan seayah dan
seibu.78
Wahbah Zuhaily mengutip pendapat fuqaha bahwa pengasuh lebih
diutamakan yang lebih membawa maslahah bagi si anak. Dalam hal ini
perempuan jauh lebih layak atas hadhanah dibandingkan laki-laki karena
perempuan secara umum lebih penyayang, mengutamakan pendidikan,
lebih sabar dalam mendidik anak dari pada ayahnya.79 Adapun urutan-

75
Al-Kasani, Badai’ al-Shanai’, (Mesir: Maktabah al-Ilmiyah), Juz VII, h. 234.
76
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Darul Fikri, 1995), h. 352.
77
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Darul Fikri, 1995), h. 352.
78
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali. (Shaf, 2015).
79
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islām Wa ‘Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikri, 2004), h. 7298.

43
urutan pengasuh adalah sebagai berikut:
a. Golongan perempuan
1) Ibu. Ibu jauh lebih berhak atas hadhanah anak setelah terjadi
perceraian atau kematian suaminya. Tetapi tidak untuk perempuan
murtad, fajirah (jelek akhlaknya) yang bisa menelantarkan anak, mau
berzina, mencuri, niyahah (tidak amanah), sering keluar setiap saat
dan meninggalkan anak sendirian.
2) Ibu dari ibu (nenek). Sedangkan menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah
dalam Qaul al-jadid nya, lebih didahulukan ibu dari bapak (nenek dari
anak) kemudian ibu dari bapaknya bapak (Buyut perempuan dari jalur
bapak) kemudian ibu dari bapaknya kakek (Canggah perempuan dari
jalur bapak). Malikiyyah mengakhirkan ibunya bapak setelah bibi dari
pihak ayah, bibi dari pihak ibu. Pengikut Hambali lebih
mendahulukan bapak kemudian ibunya setelah nenek (ibunya ibu),
kemudian kakek.
3) Saudara Perempuan. pendapat ini menurut Hanafiyyah, Syafi’iyyah
dan Hanbaliyyah. Didahulukanya saudara perempuan dari pada bibi,
baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu menurut jumhur karena
saudara perempuan lebih dekat karena sekandung. Selain itu, mereka
didahulukan pula dalam pembagian warisan.
4) Bibi (saudara perempuan ibu) menurut Hanafiyah, Syafi’iyyah dan
Hanbaliyyah.
5) Anak perempuan dari saudara perempuan.
6) Bibi (saudara perempuan ayah)
b. Golongan laki-laki
Jika anak (Mahdhun) tidak mempunyai pengasuh satupun dari pihak
perempuan maka hadhanah pindah ke golongan laki-laki sesuai dengan
urusan pewaris ashabah dalam bab waris seperti bapak, kakek sampai ke
atas. Kemudian saudara laki-laki dan anak-anak mereka ke bawah

44
kemudian paman-paman mereka.80
Peunoh Dali berpendapat, bahwa apabila ibu yang melahirkan tidak
ada, maka yang lebih utama melaksanakan pengasuhan anak yaitu
sebagai berikut.81
1) Ibu, ibu dari ibu dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
2) Ibu dari bapak dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
3) Saudara perempuan.
4) Saudara perempuan dari ibu (bibi).
5) Anak perempuan dari saudara perempuan
6) Anak perempuan dari saudara laki-laki
7) Saudara perempuan dari bapak (bibi)
Al-Jurjawi, sebagaimana dikutip oleh Yaswirman mengutarakan
hikmah pemeliharaan anak oleh ibunya yaitu: Pertama, dalam soal
kehidupan di masyarakat, fungsi perempuan berbeda dengan laki-laki.
Bantuan kasih sayang terhadap anak dan pendidikan anak lebih utama
diserahkan kepada ibunya. Keistimewaan ibu dalam hal ini sangat
dibutuhkan pada masa kanak-kanak anak tersebut. Kedua, ibu lebih
banyak bergaul dengan anak dibandingkan dengan ayah dan lebih tahu
dalam soal pakaian, makanan, minumam, serta kesehatan dan lain-lain.82
2. Hak Asuh Anak Dalam Hukum Positif
Kompilasi Hukum Islam Pasal (a) menyebutkan bahwa batas
mumayyiz seorang anak berumur 12 tahun. Sedangkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak
dikatakan mumayyiz jika sudah berusia 18 tahun atau telah melangsungkan
pernikahan.83
a. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105 (a) yang mengatur hak asuh

80
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa ‘Adillatuhu, (Beirut: Darul Fikri, 2004), h. 7302
81
Peunoh Dali, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), cet. 2, h. 100-101.
82
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali, 2011), h. 247.
83
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 47.

45
anak berbunyi:
1) Pemeliharaan anak yang Ghaitu mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.
2) Pemeliharaan yang sudah mumayyiz diserahkan kepadaa anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaan anak.
3) Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.
b. Pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 menjelaskan akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah:84
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
2) Anak yang sudah mumayyiz behak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
3) Apabila pemegang Hak asuh ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak Asuh
kepada kerabat lain yang mempunyai hak Asuh pula.
4) Semua biaya asuh dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hak asuh dan nafkah anak
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan point 1, 2, 3,
dan 4 tersebut.

84
Lihat kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 156

46
6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan Pendidikan anak-
anak yang tidak turut padanya.
c. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan:85
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
memberi keputusan.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam
kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas isteri.
d. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:86
1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.
e. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.87

85
Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41.
86
Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 49
87
Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 30

47
1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan Tindakan
pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.
2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
f. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.88
1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat
ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh
orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat
alasan yang kuat untuk itu.
2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai
dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka
pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga
lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat
untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.
4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut
anak yang akan diasuhnya.
D. Gugatan Rekonvensi
1. Pengertian Gugatan Rekonvensi
Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata
yang terjadi diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa
harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada pengadilan. Para pihak

88
Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 31

48
yang dilanggar haknya dalam perkara perdata disebut penggugat yang
mengajukan gugatan kepada pengadilan dan ditujukan kepada pihak yang
melanggar (tergugat) dengan mengemukakan duduk perkara (posita) dan
disertai dengan apa yang menjadi tuntutan penggugat (posita) dan disertai
dengan apa yang menjadi tuntutan penggugat (petitum).89 Surat gugatan
dalam arti luas dan abstrak mempunyai satu tujuan ialah menjamin
terlaksananya tertib hukum dalam bidang perdata. Sedangkan dalam arti
sempit adalah suatu tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum
dengan bantuan penguasa, suatu tata cara yang mengandung suatu tuntutan
oleh seseorang tertentu melalui saluran-saluran yang sah, dan dengan suatu
putusan hakim ia memperoleh apa yang menjadi “haknya” atau kepentingan
yang diperkirakan sebagai haknya.90
Gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung sengketa atau
konflik antara pihak- pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian
pengadilan.91 Menurut Sudikno Mertukusumo gugatan adalah tuntutan hak
yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan naib hakim sendiri
(eigenrichting).92 Sementara itu, menurut Darwin Prinst yang dikutip oleh
Lilik Mulyadi Menyebutkan bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang
disampaikan kepada ketua Pengadilan yang berwenang, mengenai suatu
tuntutan terhadap pihak lainnya, serta kemudian diambil putusan terhadap
gugatan tersebut.93
Rekonvensi adalah gugatan balasan, gugatan kembali, aslinya
reconvencion berasal dari bahasa latin yang berarti tuntutan balasan,

89
Gatot Subroto, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama (Bandung: Alumni, 1993), h.
14.
90
John Z., Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Material dan Hukum Acara Dalam Prektek
(Jakarta: PT Bina Aksara, 1981), h 162-163.
91
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), h. 229.
92
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 2002).
H,52.
93
Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Djambatan,
1996). h. 15-16.

49
tuntutan balik, tuntutan tergugat dalam konvensi. Dalam praktek peradilan,
rekonvensi diartikan sebagai gugatan yang diajukan oleh tergugat asli dalam
sengketa yang sedang berjalan diantara mereka pada waktu yang
bersamaan.
Melalui gugatan rekonvensi, maka tergugat tidak perlu mengajukan
gugatan baru karena gugatan rekonvensi cukup diajukan bersama-sama
dengan jawaban terhadap gugatan penggugat asal, jadi dengan
dimungkinkannya pihak tergugat untuk mengajukan gugatan rekonvensi
maka ada gugatan yang saling berlawanan yaitu gugatan konvensi (gugatan
asal) dan gugatan rekonvensi (gugatan balik) serta terjadi persilangan status
antara pihak-pihak yang berperkara, pihak yang semula bertindak sebagai
penggugat berubah menjadi tergugat yaitu tergugat konvensi berubah
statusnya menjadi penggugat rekonvensi dan penggugat konvensi berubah
statusnya menjadi tergugat rekonvensi.
Gugatan rekonvensi bukan merupakan perkara baru dan tidak
mempunyai nomor registrasi baru serta tidak ada panjar biaya perkara
karena biaya perkara sudah termasuk dalam perkara konvensi dan
sebagaimana halnya dalam gugatan konvensi maka gugatan rekonvensi
dapat juga di ajukan secara tertulis maupun secara lisan.
Apabila pihak tergugat berkehendak mengajukan gugatan
rekonvensi secara tertulis maka ketika mengajukan jawaban sekaligus
mengajukan gugatan rekonvensi dengan memformulasikan hal-hal yang
menjadi posita dan sekaligus hal-hal yang dituntut (petitum), sementara
apabila gugatan rekonvensi akan diajukan secara lisan maka disampaikan
dalam persidangan yang kemudia dicatat dalam berita acara persidangan.
2. Dasar Hukum Gugatan Rekonvensi
Berdasarkan ketetapan dalam pasal 16 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004
yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, dan
memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan demikian, gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan

50
gabungan dua gugatan dimana yang digabungkan adalah gugatan dari
penggugat dan gugatan dari tergugat yang bertujuan untuk menghemat
biaya, waktu, tenaga, mempermudah prosedur pemeriksaan dan
menghindari putusan yang bertentangan satu sama lain. Bagi tergugat
rekonvensi, gugatan rekonvensi ini berarti menghemat ongkos perkara
sesuai UU No.4 Tahun 2004, Tentang kekuasaan kehakiman serta tidak
diwajibkan membayar biaya perkara dalam gugatan rekonvensi. Hal itu
dikarenakan pengajuan gugatan rekonvensi merupakan suatu hak istimewa
yang diberikan oleh hukum acara perdata kepada tergugat untuk
mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari pihak tergugat kepada
pihak penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal (konvensi). Tetapi
keduanya haruslah mempunyai dasar hubungan hukum yang sama.
Atas dasar itulah tergugat dalam hal ini diperbolehkan mengajukan
gugatan rekonvensi baru dalam publik.Akan tetapi apabila soal jawab
menjawab sudah selesai dan hakim sudah mulai dengan melakukan
pemeriksaan perkara, maka tergugat tidak diperbolehkan lagi memajukan
gugatan rekonvensi.94

94
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 468.

51
BAB III
GAMBARAN UMUM PUTUSAN NOMOR 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk

A. Kasus-kasus yang ditangani Pengadilan Agama Tanjung Karang


Adapun perkara-perkara yang ditangani hakim Pengadilan Agama Tanjung
Karang lima tahun kebelakang sampai saat ini pada tahun 2021 1.673 kasus
cerai talak. Selain kasus-kasus tersebut hakim juga menangani perkara cerai
talak yang berkaitan dengan nafka iddah, nafkah mut’ah, dan hak asuh anak.
1. Kasus yang sedang ditangani hakim pengadilan agam a Tanjung
Karang
Perkara pada putusan ini adalah perkara putusan Gugatan
Rekonvensi perdata agama pada tingkat pertama, dalam persidangan
Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan dalam perkara Cerai Talak yang
diajukan oleh pihak pemohon kepada termohon di wilayah Pengadilan
Agama Tanjung Karang dengan keterangan para pihak sebagai berikut.
Nama Pemohon Tomi Susilo Bin Emon, tempat dan tanggal lahir
Bandar Lampung, 28 Agustus 1980, agama Islam, pekerjaan Karyawan
Freelance Bengkel Otomax, Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas,
tempat kediaman di Jl. Abimanyu No. 12 Rt 005 Kelurahan Jagabaya I
Kecamatan Way Halim Kota Bandar Lampung, sebagai Pemohon. Melawan
Termohon Heni Binti Sadi, tempat dan tanggal lahir Palembang, 15 Oktober
1982, agama Islam, pekerjaan Mengurus rumah tangga, Pendidikan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas, tempat kediaman di Jl. Tirtaria Gg. Melati 6e Rt 01
Kelurahan Way Kandis, Kecamatan Tanjung Senang, Kota Bandar
Lampung, Dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Gunawan, S.H.,
M.H., CIL. Dan Nofrizal, S.H. Advokat/Konsultan Hukum dari Kantor
Hukum ADV Gunawan, S.H., M.H. dan Partners. Beralamat di Jl. Ikan
Kerisi No. 41/25 Blok D. Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar
Lampung, berdasarkan surat kuasa khusus nomor 04/SK-GNP/II/2021
tanggal 4 Februari 2021, sebagai Termohon.
Pada perkara ini Pemohon dalam surat pemohonannya tanggal 20

52
Januari 2021 telah mengajukan permohonan Cerai Talak, yang telah
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Tanjung Karang, dengan
Nomor 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, tanggal 20 Januari 2021.
2. Kronologi kasus yang sedang dingani hakim Pengadilan Agama
Tanjung Karang
Bahwa Pemohon dalam surat pemohonannya tanggal 20 Januari
2021 telah mengajukan permohonan Cerai Talak, yang telah terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Tanjung Karang, dengan Nomor
93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, tanggal 20 Januari 2021, dengan dalil-dalil pada
pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa Pengugat dan Termohon adalah pasangan suami istri sah menurut
hukum yang pernikahannya dilaksanakan pada hari Minggu, 25 Maret
2007 di rumah orang tua Termohon dengan mas kawin emas seberat 4
(empat) gram dibayar tunai, sesuai dengan kutipan buku Akta Nikah
Nomor : 207/49/III/2007 tertanggal 26 Maret 2007, yang dikeluarkan
oleh KUA Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung.
b. Bahwa pernikahan kami didasari atas suka sama suka, saling mencintai
tanpa adanya paksaan dan penekanan dari pihak manapun, Pemohon
berstatus Jejaka dan Termohon berstatus Perawan.
c. Bahwa Pemohon dan Termohon telah bergaul sebagaimana layaknya
suami istri (ba’da dukhul) dan sudah dikaruniai 2 (dua) orang anak
d. Bahwa setelah pernikahan Pemohon dan Termohon mengontrak rumah
di daearah Ratulangi Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung selama
kurang lebih 1 (satu) tahun, setelah itu Pemohon dan Termohon beberapa
kali mengontrak dan pindah rumah, sampai terakhir Pemohon dan
Termohon tinggal dirumah sendiri yang beralamat sebagaimana alamat
Termohon tersebut diatas, selama kurang lebih 3 (tiga) tahun, atau
sampai bulan Desember 2020, setelah itu Pemohon dan Termohon pisah
tempat tinggal, Pemohon pulang dan tinggal dirumah orang tua Pemohon
yang beralamat sebagaimana alamat Pemohon tersebut diatas, sementara
Termohon masih tetap tinggal dirumah tersebut sampai dengan sekarang.

53
e. Bahwa pada mulanya rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam
keadaan rukun, namun sejak tahun 2013, rumah tangga Pemohon dengan
Termohon mulai goyah dan sering terjadi perlesisihan yang disebabkan
antara lain :
f. Bahwa puncak perselisihan Pemohon dengan Termohon terjadi pada
bulan Desember 2020 dengan sebab Termohon yang awalnya memang
sudah tidak tahan kepada sikap Temohon tersebut diatas, terutama yang
suka berbicara ingin cerai kepada Pemohon. itu sudah berulang kali
dinasehati tetapi tidak mau berubah, akhirnya Pemohon memutuskan
untuk benar-benar menceraikan Termohon. setelah itu Pemohon dan
Termohon pisah tempat tinggal. Dan akan segera mengurus
perceraiannya dikantor Pengadilan Agama Bandar Lampung.
g. Bahwa awalnya Pihak keluarga Pemohon awalnya sudah pernah
berusaha menasehati dan merukunkan rumah tangga Pemohon dan
Termohon, akan tetapi tidak berhasil.
h. Bahwa atas perbuatan Termohon tersebut, Pemohon tidak sanggup lagi
beristrikan Termohon dan Pemohon menyimpulkan bahwa tidak
mungkin lagi untuk mempertahankan rumah tangga dengan Termohon
dan lebih baik bercerai.
i. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada
Pengadilan Agama Tanjung Karang, agar menjatuhkan putusan yang
amarnya sebagai berikut: (batass)
PRIMER:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon.
2) Menyatakan, memberi izin kepada Pemohon (Tomi Susilo bin Emon)
untuk mengikrarkan cerai kepada Termohon (Heni binti Sadi) didepan
sidang Pengadilan Agama Tanjung Karang setelah putusan ini
mempunyai kekuatan hukum tetap.
3) Membebankan biaya perkara menurut hukum.
SUBSIDER:
Bahwa pada hari-hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon

54
dan Termohon serta para kuasa hukumnya hadir menghadap di
persidangan.
Bahwa majelis telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak agar
tetap mempertahankan rumah tangga dan jangan bercerai akan tetapi
tidak berhasil dan telah pula dilakukan mediasi berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pangadilan dan atas kesepakatan para pihak telah
menunjuk saudara Siti Rahmah S.T.P. CM mediator dalam perkara ini.
Bahwa berdasarkan laporan mediator yang diserahkan oleh kedua
belah pihak dipersidangan menyebutkan bahwa mediasi yang dilakukan
oleh mediator adalah gagal.
Bahwa setelah pemohonan Pemohon dibacakan, selanjutnya
Termohon menyampaikan Jawaban dan Gugatan Rekonvensi secara
tertulis sebagai berikut:
Dalam Konvensi:
a. Bahwa Termohon menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil permohonan
Pemohon kecuali dalam hal secara tegas Termohon mengakui
kebenarannya.
b. Bahwa dalil ke 4 sampai ke 7 pada posita Pemohon tidak benar, karena
selama ini keadaan rumah tangga antara Pemohon dan Termohon
berjalan harmonis, tidak ada perselisihan yang prinsip sama sekali.
c. Bahwa sangat tidak beralasan secara hukum permohonan yang diajukan
oleh Pemohon untuk menceraikan Termohon karena alasan tidak
harmonisnya kehidupan rumah tangga Termohon dengan Pemohon,
meskipun tidak Termohon pungkiri sesekali pernah terjadi pertengkaran
mewarnai kehidupan rumah tangga namun tidak terjadi secara terus
menerus dan tidak pernah didasari oleh sesuatu yang prinsip, hal mana
Termohon anggap sebagai hal yang biasa terjadi dalam kehidupan rumah
tangga.
d. Bahwa kehidupan rumah tangga yang harmonis antara Termohon dengan
Pemohon semakin lengkap dengan lahirnya 2 ( dua ) Orang buah hati laki

55
– laki dan perempuan kami bernama:
• DYLAN ROFI JAMANTARA BIN TOMI SUSILO, LAHIR
TANGGAL 18 JULI 2008 ( laki – laki )
• JOCELYIN CINDY NABIGHA BINTI TOMI SUSILO, LAHIR
TANGGAL 07 JULI 2013 ( perempuan)
e. Bahwa pada kesempatan ini Termohon sekali lagi meminta agar kiranya
Pemohon mempertimbangkan kembali keputusan untuk Bercerai
mengingat kepentingan Anak - Anak Termohon dan Pemohon,
mengingat bahwa anak ke dua yaitu JOCELYIN CINDY NABIGHA
BINTI TOMI SUSILO, LAHIR TANGGAL 07 JULI 2013 ( Perempuan
) Perlu perhatian yang cukup Extra dimana Anak tersebut mempunyai
Penyakit ASMA dan TBC dan setiap Minggunya harus di kontrol ke
Rumah Sakit dan setiap harinya harus Minum obat dokter. Bahkan
Termohon selalu menanggung angsuran perminggu dan perbulan
angsuran Koperasi dan Angsuran Rumah di mana pinjaman tersebut atas
persetujauan Pemohon dan Termohon.
Dalam Rekonvensi
Dalam rekonpensi ini Termohon Konpensi mohon disebut sebagai
Penggugat Rekonvensi dan Pemohon Konvensi mohon disebut sebagai
Tergugat Rekonvensi:
a. Bahwa dalil-dalil yang termuat dalam Konvensi yang ada relevansinya
dengan dalil-dalil gugatan Rekonvensi ini secara mutatis muntandis
mohon dianggap terulang kembali dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam rekonpensi ini.
b. Bahwa Termohon Konvensi dalam kedudukannya sekarang sebagai
Penggugat Rekonvensi akan mengajukan Gugatan balik terhadap
Pemohon Konvensi dalam kedudukannya sekarang sebagai Tergugat
Rekonvensi.
c. Bahwa segala apa yang diikrarkan Pemohon dalam Konvensi yang
sekarang Tergugat Rekonvensi disaat dilangsungkan akad nikah bahwa
dia Tergugat Rekonvensi dengan kesungguhan hati akan menepati

56
kewajiban sebagai seorang suami menurut syariat Islam, dan membentuk
keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah ternyata hanya janji kosong
belaka.
d. Bahwa akibat adanya perceraian itu bukanlah menjadi alasan baginya
(Tergugat Rekonvensi) untuk meninggalkan apa yang telah menjadi
Tanggung jawab dan kewajiban seorang suami (Tergugat Rekonvensi)
dalam memberikan nafkah baik secara lahir dan batin. Bahwa didalam
Sighat Ta’lik yang diucapkan oleh suami (Tergugat Rekonvensi) sesudah
Akad Nikah yang terdapat didalam buku nikah sudah jelas disana
diucapkan dan dijanjikan kepada seorang istri (Penggugat Rekonvensi)
yang isinya : “ Sesudah Akad Nikah, saya Tomi Susilo bin Emon
(Tergugat Rekonvensi) berjanji dengan sungguh hati, bahwa saya akan
menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli
istri saya bernama Heni binti Sadi dengan baik (Mu’asyarah bil-ma’ruf)
menurut ajaran syari’at agama Islam ” sebagaimana juga diatur dalam
Pasal 149 KHI.
e. Bahwa mengingat anak Penggugat Rekonpensi/Termohon Konvensi dan
Tergugat Rekonvensi/Pemohon Konvensi yang bernama : DYLAN
ROFI JAMANTARA BIN TOMI SUSILO, LAHIR TANGGAL 18 JULI
2008 ( Laki – Laki ) Dan JOCELYIN CINDY NABIGHA BINTI TOMI
SUSILO, LAHIR TANGGAL 07 JULI 2013 (perempuan) belum
mumayyiz, yang menurut hukum anak tersebut berhak mendapat
hadlonah dari Penggugat Rekonvensi/Termohon Konvensi selaku
ibunya, maka terhadap pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz
tersebut, Penggugat Rekonvensi/Termohon Konvensi mohon
pemeliharaannya diserahkan kepada Penggugat Rekonvensi/Termohon
Konvensi :
f. Bahwa akibat adanya perceraian itu tidak pula menghapuskan kewajiban
Tergugat Rekonvensi/ Pemohon Konvensi terhadap Penggugat
Rekonvensi/ Termohon Konvensi, yang berupa nafkah, dan kewajiban
lainnya berdasarkan Pasal 149 KHI yang menyebutkan “Bilamana

57
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
1) Memberikan Mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.
2) Memberi Nafkah, Maskan dan Kiswah kepada bekas isteri selama
Dalam Iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak bain atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil.
3) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh
apabila qobla dhukhul
4) Memberikan biaya hadlonah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
a. Bahwa hal tersebut harus dipenuhi oleh Tergugat Rekonvensi, untuk itu
mohon pula kepada Majelis Hakim Pengadilan Agama Tanjung karang
untuk memutuskan agar Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar
kepada Penggugat Rekonvensi yaitu:
1) Nafkah lampau yang diperhitungkan sejak bulan Januari 2021 sampai
putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewisjde) per-harinya sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah )
2) Nafkah Iddah yang diperhitungkan perharinya sebesar Rp. 100.000,00
(seratus ribu rupiah), sehingga seluruhnya berjumlah 100 hari x Rp.
100.000,00 = 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
3) Bahwa Penggugat Rekonvensi masih sangat mencintai Tergugat
Rekonvensi oleh karena itu adalah wajar apabila Penggugat
Rekonvensi meminta mut’ah dari Tergugat Rekonvensi sebesar Rp.
50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah).
4) Nafkah 2 Orang anak yaitu, untuk seorang anak sampai anak tersebut
dewasa setiap bulannya sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
5) Menghukum Tergugat Rekonvensi/ Pemohon Konvensi untuk
membayar Nafkah Maskan dan Kiswah kepada Penggugat
Rekonvensi/Termohon konvensi selama masa iddah sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah) (bagian A)
b. Bahwa Tergugat Rekonvensi saat ini sebagai Kepala Mekanik Bengkel

58
dan Variasi Motor Ternama di Bandar Lampung, di mana yang ybs
setiap bulannya mendapat pengasilan Rp 8.500.000.00 (delapan juta lima
ratus ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
1) Honor/gaji setiap harinya Rp 100.000.00 (seratus ribu rupiah) Rp
100.000.00 x 30 hari total Rp 3.000.000.00 ( tiga juta rupiah )
2) Setiap minggu Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah) ( Rp 1.000.000.00
x 4 Minggu Total Rp 4.000.000.00 (empat juta rupiah)
3) Setiap bulan Rp 1.500.000.00 ( satu juta lima ratus ribu rupiah )
Menimbang bahwa atas Jawaban Termohon dan Gugatan
Rekonvensi Penggugat Rekonvensi, Termohon Konvensi/ Tergugat
Rekonvensi menyampaikan Replik dan Jawaban Rekonvensi secara
tertulis yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dalam Konvensi:
a. Bahwa Pemohon tetap pada dalil-dalil sebagaimana terurai dalam surat
permohonan talak Pemohon tertanggal 20 Januari 2021, dan menolak
jawaban Termohon, kecuali yang diakui secara tegas dan terang oleh
Pemohon.
b. Bahwa terkait jawaban Termohon dalam Konvensi No. 3, Pemohon
sangat beralasan untuk mengajukan permohonan talak dikarenakan atas
dasar permintaan dari Termohon agar Pemohon mengajukan
Permohonan Cerai Talak ke Pengadilan Agama Kelas 1A Tanjung
Karang.
c. Bahwa jawaban Termohon dalam konvensi point 4 tidaklah benar karena
Pemohon masih bertanggungjawab atas pembelian obat-obatan untuk
salah satu anak kami.
d. Bahwa selama masa pengobatan biaya pengobatan dalam tanggungan
BPJS.
e. Bahwa dalil jawaban Termohon dalam Konvensi yang menyatakan
bahwa Termohon selalu menanggung Angsuran perminggu dan Perbulan
terhadap Koperasi dan Angsuran Rumah (Rumah Pemohon dan
Termohon pada saat harmonis sebagai suami istri) tidaklah benar karena

59
Pemohon yang selalu membayar Angsuran terhadap Koperasi dan
Angsuran Rumah.
f. Bahwa Pemohon menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil dalam gugatan
Rekonvensi Termohon point 1 s.d 5.
- Bahwa terkait jawaban termohon dalam rekonvensi point 3, bahwa
sudah seharusnya jika termohon yang menganggap dirinya lebih
memahami dan mengerti makna dari rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warrohmah seperti pada dalil-dalil tersebut.
Seyogyanya bisa lebih mengintrospeksi diri terhadap sikap dan
prilaku termohon agar menjadi seorang istri yang bijak dan lebih baik
lagi ke depan. Tetapi justru kenyataanya berkata lain, sikap dan
prilaku termohon ternyata jauh panggang dari api seperti berkata kasar
di depan umum sehingga aib keluarga diketahui di depan umum,
mencoba untuk melakukan bunuh diri bersama kedua anaknya dengan
racun. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, warrahmah tidak akan mungkin terwujud dan
agar Termohon dan Pemohon tidak lagi merasakan penderitaan batin
yang berkepanjangan maka jalan yang terbaik adalah berpisah
(perceraian).
g. Bahwa terkait jawaban Termohon dalam Rekonvensi dalil 5 point 1
1) bahwa dalam kompilasi hukum islam (KHI) yang menerangkan
bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
seharusnya memberi nafkah mut’ah, nafkah iddah, dan nafkah
hadlonah kepada anaknya dan kepada istri yang diceraikan didasarkan
pada kemampuan ekonomi dari mantan suami. Bahwa atas dasar itu
maka terkait nafkah mut’ah dan nafkah iddah Pemohon memohon
agar dapat disesuaikan berdasarkan kemampuan ekonomi Pemohon
yang hanya sebagai buruh harian.
2) bahwa terkait jawaban Termohon, dalam rekonvensi dalil 5 point 3,
termohon mengada-ada dan tidak sesuai dengan kenyataan. Profesi
Pemohon yang hanya sebagai mekanik harian tidak dapat di pastikan

60
berapa jumlah penghasilan setiap harinya yang harus disesuaikan
dengan hari kerja. Jadi sangat tidak mungkin pemohon untuk
memenuhi sepenuhnya tuntutan dari Termohon.
Dalam Rekonvensi
a. Bahwa apa yang telah diuraikan dalam replik tersebut di atas merupakan
satu kesatuan yang saling melengkapi dan tidak terpisahkan dengan
jawaban dalam Rekonvensi ini.
b. Bahwa setelah Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi meneliti dan
mencermati gugatan balik (gugatan Rekonvensi) Termohon
Konvensi/Penggugat Rekonvensi, adalah ternyata tidak berdasar dan
tidak beralasan hukum terbukti.
c. Gugatan balik kontradiktif disatu sisi meminta perkawinan
dipertahankan, sementara dalam gugatan balik Termohon Konvensi/
Penggugat Rekonvensi menuntut agar hak-hak yang didapat akibat
perceraian dikabulkan (uang mut’ah, nafkah iddah dll)
d. Gugatan balik kontradiktif disatu sisi meminta perkawinan
dipertahankan, sementara dalam gugatan balik Termohon Konvensi/
Penggugat Rekonvensi menuntut agar hak-hak yang didapat akibat
perceraian dikabulkan (uang mut’ah, nafkah iddah dll)
e. Bahwa Berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
(KHl) dan 83 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa
istri dianggap nusyuz jika tidak melaksanakan kewajiban utama berupa
berbakti lahir dan batin kepada suami berdasarkan hal yang dibenarkan
dalam hukum Islam, Termohon Konvensi/ Penggugat Rekonvensi
dikualifikasikan sebagai isteri yang telah melakukan nusyuz, karena telah
melakukan hal ikhwal yang menunjukkan kedurhakaannya seperti
berkata kasar di depan umum sehingga aib keluarga diketahui di depan
umum, menjauhkan diri dari pada suami, enggan memenuhi kemauan
suami untuk berhubungan intim, tidak memelihara kehormatan suami,
mencoba meracuni dirinya dan kedua anaknya, sebagaimana tindakan-
tindakan Termohon Konvensi/ Penggugat Rekovensi yang telah di

61
paparkan dalam replik konvensi tersebut di atas.
f. Semua tuntutan yang diajukan dalam rekonvensi terlalu berlebihan
Termohon mengada-ada dan tidak sesuai dengan kenyataan. Profesi
Pemohon yang hanya sebagai mekanik harian tidak dapat di pastikan
berapa jumlah penghasilan setiap harinya yang harus disesuaikan dengan
hari kerja.
1) Pemohon Konvensi/ Tergugat Rekonvensi akan memberikan nafkah
iddah sebesar Rp. 1.000.000,- x 3 Bulan = Rp. 3.000.000,-
2) Pemohon Konvensi/ Tergugat Rekonvensi akan memberikan nafkah
terhadap 2 Orang Anak sampai anak tersebut dewasa setiap bulannya
Rp. 1.000.000,-
Bahwa, untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan
alat-alat bukti tertulis berupa :
1) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia atas nama
Pemohon (Tomi Susilo) nomor 1871012808800013 kemudian
dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode (P 1)
2) Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama Pemohon dan Termohon,
nomor 207/49/III/2007 tanggal 26 Maret 2007, dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kedaton, Kota Bandar Lampung (bermeterai cukup), kemudian
dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode (P 2)
3) Fotokopi Surat Keterangan kerja di bengkel Otomax Way Halim ,atas
nama Pemohon, tanggal 10 Maret 2021, (bermeterai cukup),
kemudian dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi
kode (P 3)
4) Fotokopi daftar Gaji Pemohon, (bermeterai cukup), kemudian
dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode (P 4)
5) Fotokopi dan bukti Cating Pemohon dengan Termohon (bermeterai
cukup), kemudian dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu
diberi kode (P 5)
Bahwa dipersidangan Pemohon telah mengajukan saksi-saksi yaitu :

62
1) Emon bin Aslika, umur 70 Tahun, agama Islam, pekerjaan Buruh,
tempat tinggal Jl. Abimayu, No 12, Rt 005, Kelurahan Jayabaya I,
Kecamatan Way Halim, Kota Bandarlampung, telah memberikan
keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon, karena saksi
Ayah Kandung Pemohon.
- Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri sah menikah
pada bulan Maret 2007.
- Bahwa Pemohon dan Termohon tinggal dirumah kontrakan lalu
pindah ke rumah bersama sampai berpisah.
- Bahwa Pemohon dan Termohon sudah dikaruniai 2 (dua) orang
anak, kedua kedua anak Termohon sekarang tinggal bersama
Termohon.
- Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon awalnya rukun, tetapi
sejak tahun 2013, rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak rukun
lagi sering, terjadi perselisihan dan pertengkaran.
- Bahwa penyebab pertengkaran antara Pemohon dan Termohon
karena Termohon selalu menekan Pemohon walaupun masalah
kecil, Termohon cemburu tanpa buk yang jelas.
- Bahwa saksi mengetahui pertengkaran antara Pemohon dan
Termohon dari serita Pemohon.
- Bahwa puncak pertengkaran antara Pemohon dan Termohon terjadi
pada bulan Desember 2020.
- Bahwa antara Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal
selama lebih kurang 3 (tiga) bulan.
- Bahwa keluarga telah berupaya merukunkan Pemohon dan
Termohon namun tidak berhasil.
- Bahwa setahu saksi Pemohon karyawan tidak tetap yang
penghasilannya saksi kurang tahu.
- Bahwa sepengetahuan saksi Pemohon masih memberikan nafkah
terhadap Termohon dan anak-anak Pemohon, adapun besarnya saksi

63
tidak tahu.
- Bahwa Pemohon boleh menengok anak-anak, tetapi kalau dibawa
tidak boleh.
- Bahwa saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan
Termohon.
2) Agung Wijanarto bin Emon, umur 31 Tahun, agama Islam, pekerjaan
Swasta, tempat tinggal Jl. Abimayu, No 12, Rt 005, Kelurahan
Jayabaya I, Kecamatan Way Halim, Kota Bandarlampung, telah
memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya
sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon, karena saksi
Adik Kandung Pemohon.
- Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri sah menikah
pada bulan Maret 2007.
- Bahwa Pemohon dan Termohon tinggal dirumah kontrakan lalu
pindah ke rumah bersama sampai berpisah.
- Bahwa Pemohon dan Termohon sudah dikaruniai 2 (dua) orang
anak, kedua kedua anak Termohon sekarang tinggal bersama
Termohon.
- Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon awalnya rukun, tetapi
sejak tahun 2013, rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak rukun
lagi sering, terjadi perselisihan dan pertengkaran.
- Bahwa penyebab pertengkaran antara Pemohon dan Termohon
karena Termohon selalu menekan Pemohon walaupun masalah
kecil, Termohon cemburu tanpa bukti yang jelas.
- Bahwa saksi melihat langsung pertengkaran antara Pemohon dan
Termohon saat saksi berkunjung kerumah Pemohon dan Termohon.
- Bahwa puncak pertengkaran antara Pemohon dan Termohon terjadi
pada bulan Desember 2020.
- Bahwa antara Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal
selama lebih kurang 3 (tiga) bulan.

64
- Bahwa keluarga telah berupaya merukunkan Pemohon dan
Termohon namun tidak berhasil.
- Bahwa setahu saksi Pemohon karyawan tidak tetap yang
penghasilannya antara Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah)
sampai Rp 500.000,-(lima ratus ribu rupiah ) perminggu.
- Bahwa sepengetahuan saksi Pemohon masih memberikan nafkah
terhadap Termohon dan anak-anak Pemohon, adapun besarnya saksi
tidak tahu.
- Bahwa Pemohon diperbolehkan menengok anak-anak, tetapi kalau
dibawa tidak boleh.
- Bahwa saksi tidak sanggup lagi merukunkan Pemohon dan
Termohon
Bahwa, dipersidangan Termohon telah pula mengajukan alat-alat bukti
tertulis berupa:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia atas nama
Termohon (Heni) nomor 1871015530820015 tanggal 22 April 2019,
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung (bermeterai
cukup), kemudian dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu
diberi kode T 1.
b. Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama Pemohon dan Termohon,
nomor 207/49/III/2007 tanggal 26 Maret 2007, dikeluarkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kedaton, Kota Bandar Lampung (bermeterai cukup), kemudian
dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode T 2.
c. Fotokopi Kutpan Akte Kelahiran atas nama :
1) Dylan Rofi Jamatara bin Tomi Susilo nomor : 1871-LT-
08072011006-1
2) Jocelyin Cindy Nabigha binti Tomi Susilo, nomor : 1871-LT-
13082013- 0012, yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Bandar Lampung (bermeterai cukup), kemudian
dicocokkan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode T 3.

65
d. Fotokopi Surat Perjanjian kridit atas nama Heni, tanggal 17 Oktober
2017, (bermeterai cukup), kemudian dicocokkan dengan aslinya dan
ternyata sama lalu diberi kode T 4.
e. Fotokopi Surat pernyataan Tukiman terkait pinjaman /angsuran antara
Termohon dan Pemohon (bermeterai cukup), kemudian dicocokkan
dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode T 5.
f. Foto dan bukti Cating Pemohon (bermeterai cukup), lalu diberi kode
T 6.
Bahwa dipersidangan Termohon telah mengajukan saksi-saksi yaitu:
a. Suhartati binti Sadi, umur 28 Tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu
rumah tangga, tempat tinggal Kampung Rajabasa, Jl. Nawawi Gelar
Dalom No 86, Rt 007, Rw. 01, Kelurahan Rajabasa, Kecamatan
Rajabasa, Kota Bandarlampung, telah memberikan keterangan
dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon, karena saksi
adik kandung Pemohon.
- Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri sah menikah
pada bulan Maret 2007.
- Bahwa Pemohon dan Termohon tinggal dirumah kontrakan lalu
pindah ke rumah bersama sampai berpisah.
- Bahwa Pemohon dan Termohon sudah dikaruniai 2 (dua) orang
anak, dan kedua anak tersebut sekarang tinggal bersama Termohon.
- Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon awalnya rukun, tetapi
sejak tahun 2013, rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak rukun
lagi sering, terjadi perselisihan dan pertengkaran.
- Bahwa penyebab pertengkaran antara Pemohon dan Termohon
karena Termohon cemburu, Pemohon ada wanita idaman lain.
- Bahwa saksi mendengar langsung pertengkaran antara Pemohon dan
Termohon saat saksi berkunjung kerumah Pemohon dan Termohon.
- Bahwa puncak pertengkaran antara Pemohon dan Termohon terjadi
pada akhir Tahun 2020.

66
- Bahwa antara Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal
selama lebih kurang 3 (tiga) bulan.
- Bahwa keluarga telah berupaya merukunkan Pemohon dan
Termohon namun tidak berhasil.
- Bahwa sepengetahuan saksi Pemohon masih memberikan nafkah
terhadap Termohon dan anak-anak Pemohon, adapun besarnya saksi
tidak tahu.
- Bahwa Pemohon boleh menengok anak-anak, tetapi kalau dibawa
tidak boleh.
b. Eka Fonitya binti Sadi, umur 21 Tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu
rumah tangga, tempat tinggal Kampung Sukamenanti, Jl. Rosa No 53,
Lk II, Rt 005, Kelurahan Sukamenanti, Kecamatan Kedaton, Kota
Bandarlampung, telah memberikan keterangan dibawah sumpah yang
pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon, karena saksi
adik kandung Pemohon.
- Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri sah menikah
pada bulan Maret 2007.
- Bahwa Pemohon dan Termohon tinggal dirumah kontrakan lalu
pindah ke rumah bersama sampai berpisah.
- Bahwa Pemohon dan Termohon sudah dikaruniai 2 (dua) orang
anak, dan kedua anak tersebut sekarang tinggal bersama Termohon.
- Bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon awalnya rukun, tetapi
sejak tahun 2013, rumah tangga Pemohon dan Termohon tidak rukun
lagi sering, terjadi perselisihan dan pertengkaran.
- Bahwa penyebab pertengkaran antara Pemohon dan Termohon
karena Termohon cemburu, Pemohon ada wanita idaman lain
- Bahwa saksi mendengar langsung pertengkaran antara Pemohon dan
Termohon saat saksi berkunjung kerumah Pemohon dan Termohon.
- Bahwa puncak pertengkaran antara Pemohon dan Termohon terjadi
pada akhir Tahun 2020.

67
- Bahwa antara Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal
selama lebih kurang 3 (tiga) bulan.
- Bahwa keluarga telah berupaya merukunkan Pemohon dan
Termohon namun tidak berhasil.
- Bahwa Pemohon sebagai Karyawan Mekanik, dengan penghasilan
sekitar Rp.500.000,- perminggu.
- Bahwa sepengetahuan saksi Pemohon masih memberikan nafkah
terhadap Termohon dan anak-anak Pemohon, adapun besarnya
sekitar Rp. 300,000,- perminggu.
- Bahwa Termohon tinggal di rumah bersama, dan Pemohon tidak
mempermasalahkan Termohon tinggal di rumah bersama tersebut.
- Bahwa Pemohon boleh menengok anak-anak, tetapi kalau dibawa
tidak boleh.
- Bahwa saksi masih sanggup lagi merukunkan Pemohon dan
Termohon.

B. Dasar Hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan


perkara
Dalam Konvensi
1. Bahwa maksud dan tujuan Permohonan Pemohon sebagaimana tersebut
di atas.
2. Bahwa demikian juga Termohon berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
04 Februari 2021, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Tanjungkarang nomor 054/Kuasa/2021/PA. Tnk, tanggal 08 Februari
2021, memberikan kuasa kepada Gunawan, S.H., M.H., CIL. Dan
Nofrizal, S.H. Advokat/Konsultan Hukum dari Kantor Hukum ADV
Gunawan, S.H., M.H. dan Partners. Beralamat di Jl. Ikan Kerisi No.
41/25 Blok D. Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandar Lampung,
dan telah disumpah oleh Pengadilan Tinggi dan mempunyai Kartu
Advokat yang masih berlaku surat kuasa mana telah dilengkapi dengan
persyaratan lainnya, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan bahwa

68
Kuasa Hukum tersebut mempunyai kapasitas (legal standing) untuk
mewakili Pemohon dalam perkara ini.
3. Bahwa majelis hakim telah berusaha mendamaikan Pemohon dan
Termohon agar bersabar dan kembali rukun membina rumah tangga,
tetapi tidak berhasil.
4. Bahwa dalam usaha mendamaikan pihak pihak sebagaimana yang
dimaksud oleh pasal 154 R.Bg. dan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pangadilan, Ketua Majelis atas kesepakatan para pihak telah menunjuk
Saudara Siti Rahmah, S.T.P., CM sebagai Mediator dalam perkara ini.
5. Bahwa berdasarkan laporan mediator yang diserahkan oleh Pemohon dan
Termohon dipersidangan menyebutkan bahwa mediasi yang dilakukan
oleh mediator adalah gagal.
6. Bahwa alasan pokok diajukan perkara ini adalah sebagaimanana termuat
dalam permohonan Pemohon.
7. Bahwa atas permohonan Pemohon dipersidangan Pemohon dan
Termohon telah mengajukan jawab menjawab antara lain jawaban, replik
dan duplik sebagaimana termuat dalam berita acara perkara ini.
8. Bahwa dari jawab menjawab antara Pemohon dan Termohon
dipersidangan ternyata sebagian dalil permohonan Pemohon diakui oleh
Termohon antara lain: Tentang hubungan dan peristiwa perkawinan,
pencatatan di KUA, uraian tentang anak anak Pemohon dan Termohon,
Demikian juga tentang adanya keharmonisan yang pernah dirasakan
oleh Pemohon dan Termohon dalam berumah tangga:
- Tentang pertengkaran dan perselisihan anatara Permohon dan Termohon
yang berakibat akhir tahun 2020 antara Pemohon dan Termohon sudah
pisah rumah Pemohon pulang ke rumah orang tua Pemohon Terdahulu
di Jl. Tirtaaria Gg. Melati 6E Rt 01, Kelurahan Way Kandis, Kecamatan
Tanjung Senang, Kota Bandarlampung, sampai dengan sekarang.
9. Bahwa namun demikian dipersidangan Termohon menyangkal sebagian
permohonan Pemohon, sedangkan Pemohon tetap pada dalil

69
permohonannya.
10. Bahwa dipersidangan Pemohon tetap dengan dalil permohonannya
antara lain:
a. Termohon tidak taat dan patuh kepada Pemohon dan bila di nasehati
Termohon membantah bahkan marah marah kepada Pemohon.
b. Termohon sering marah meskipun masalah kecil/sepele, dan saat
marah Termohon sering berkata kasar.
c. Termohon sering meminta cerai kepada Pemohon dan Termohon
mengeluarkan ancaman kepada anak-anak.
d. Termohon telah berkali-kali mengancam berpisah/bercerai jika
Pemohon tidak mengikuti kehendaknya.
e. Termohon selalu cemburu kepada Pemohon dengan alasan dan bukti
yang tidak jelas.
11. Bahwa sementara itu Termohon menyatakan bantahannya atas dalil
permohonan Pemohon antara lain:
a. Tentang hubungan antara Pemohon dan Termohon masih harmonis,
walaupun ada pertengkaran hanya pertengkaran kecil saja dan tidak
prinsip, dan merupakan hal biasa dalam rumah tangga.
b. Permohonan Pemohon tidak beralasan, karena rumah tanngga
Pemohon dan Termohon masih harmonis, walaupun ada pertengkaran
tetapi tidak secara terus menerus.
12. Bahwa berdasarkan hal hal yang tidak disepakati oleh Pemohon dan
Termohon maka pokok sengketa dalam perkara ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
a. Apakah sesungguhnya penyebab pertengkaran antara Pemohon dan
Termohon yang berakibat Pemohon ingin bercerai...?
b. Apakah alasan Pemohon untuk bercerai dengan Termohon telah
memenuhi alasan sebagaimana termuat dalam Peraturan perundang-
undangan...?
13. Bahwa untuk menguatkan dalil permohonanya Pemohon telah
mengajukan alat bukti tertulis berupa P.1, P.2, P.3, P4 dan P5 serta dua

70
orang saksi.
14. Bahwa dipersidangan Termohon telah pula mengajukan alat bukti tertulis
berupa T.1, T.2, T.3, T.4, T.5 dan T.6 serta dua orang saksi.
15. Bahwa bukti P.1 dan T.1 yang telah bermeterai cukup dan cocok dengan
aslinya, menjelaskan mengenai tempat tinggal Pemohon dan Termohon
sehingga bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan materiil, serta
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
16. Bahwa berdasarkan bukti P.1 dan T.1 serta keterangan Pemohon dan
Termohon terbukti bahwa Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di
wilayah hukum Pengadilan Agama Tanjung Karang, oleh karena itu
berdasarkan ketentuan 66 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
jo. Pasal 129 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam, perkara ini termasuk wewenang Pengadilan
Agama Tanjung Karang.
17. Bahwa bukti P.2 dan T.2 yang telah bermeterai cukup dan cocok dengan
aslinya, menjelaskan mengenai data perkawinan Pemohon dan
Termohon, sehingga bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan
materiil. Oleh karena itu bukti tersebut mempunyai kekuatan yang
sempurna dan mengikat.
18. Bahwa berdasarkan bukti P.2 dan T.2 tersebut, telah terbukti bahwa
Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang sah, oleh
karena itu Pemohon dan Termohon adalah pihak yang berkepentingan
dalam perkara ini (persona standi in judicio) sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
19. Bahwa bukti P.3, dan P.4 yang telah bermeterai cukup dan cocok dengan
aslinya, menjelaskan mengenai pekerjaan Pemohon sebagai Karyawan
Freelance dengan status Mekanik di bengkel Otomax Way Halim dan
penghasilan Pemohon dalam pekerjaan tersebut, sehingga bukti tersebut
telah memenuhi syarat formal dan materiil. Oleh karena itu bukti tersebut
mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat sehingga alat bukti
tersebut dapat dipertimbangkan dalam perkara ini.

71
20. Bahwa bukti P.5 dan T.6 yang telah bermeterai cukup dan cocok dengan
aslinya, menjelaskan bahwa Pemohon dan Termohon saling mencurigai,
adanya pihak ketiga yang mengganggu rumah tangga Pemohon dan
Termohon, sehingga bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan
materiil. Oleh karena itu bukti tersebut mempunyai kekuatan yang
sempurna dan mengikat sehingga alat bukti tersebut dapat
dipertimbangkan dalam perkara ini.
21. Bahwa alat bukti T.3 yang telah bermeterai cukup dan cocok dengan
aslinya, menjelaskan mengenai akte kelahiran anak-anak Pemohon dan
Termohon sehingga bukti tersebut telah memenuhi syarat formal dan
materiil. Oleh karena itu bukti tersebut mempunyai kekuatan yang
sempurna dan mengikat sehingga alat bukti tersebut dapat
dipertimbangkan dalam perkara ini.
22. Bahwa dua orang saksi yang masing-masing diajukan Pemohon dan
Termohon sudah dewasa dan sudah disumpah, sehingga memenuhi
syarat formal sebagaimana diatur dalam Pasal 175 R.Bg. dan merupakan
keluarga dan orang dekat Penggugat sebagaimana ketentuan Pasal 76
ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan
Agama.
23. Bahwa keterangan 4 (empat) orang saksi yang diajukan oleh Pemohon
dan Termohon di atas adalah fakta yang dilihat sendiri dan didengar
sendiri, serta relevan dengan dalil yang harus dibuktikan dalam perkara
ini yaitu tentang penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran
antara Pemohon dan Termohon, oleh karena itu keterangan saksi tersebut
telah memenuhi syarat materiil sebagaimana telah diatur dalam Pasal 308
R.Bg. sehingga keterangan saksi tersebut memiliki kekuatan pembuktian
dan dapat diterima sebagai alat bukti.
24. Bahwa keterangan saksi Pemohon dan saksi Termohon bersesuaian dan
cocok antara satu dengan yang lain oleh karena itu keterangan dua orang
saksi tersebut memenuhi Pasal 308 dan Pasal 309 R.Bg.
25. Bahwa berdasarkan keterangan Pemohon dan Termohon dan dikuatkan

72
oleh alat bukti tertulis serta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh
Pemohon dan Termohon dipersidangan terungkap fakta hukum:
- Bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang menikah
tanggal 25 Maret 2007 dan didaftarkan dikantor Urusan Agama
Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung telah hidup rukun dan
keduanya belum pernah bercerai.
- Bahwa status Pemohon dan Termohon ketika akad nikah adalah Jejaka
dan Perawan.
- Bahwa selama pernikahan Pemohon dan Termohon telah dikaruniai 2
(dua) orang anak yang sekarang masing-masing berumur 13 tahun dan
9 tahun.
- Bahwa dalam membina rumah tangga Pemohon dan Termohon sering
cekcok dan bertengkar karena masalah cemburu dan tekanan Termohon
kepada Pemohon sehingga Pemohon merasa Tertekan oleh Termohon.
- Bahwa puncak pertengkaran terjadi pada akhir Tahun 2020 yang
berakibat Pemohon dan Termohon sejak Desember 2020 Pemohon dan
Termohon telah pisah rumah, Termohon tetap dirumah bersama dan
Pemohon tinggal dirumah orang tua Pemohon.
- Bahwa selama pisah rumah Pemohon sudah tidak saling
memperdulikan lagi.
- Bahwa Permohon tetap ingin bercerai sedangkan Termohon tidak
menginginkan perceraian.
26. Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas majelis hakim menilai dengan
tidak melihat siapa yang salah dalam perkara ini rumah tangga Pemohon
dan Termohon memang telah pecah setidaknya telah retak karena
percekcokan yang terjadi secara terus menerus, keduanya sudah sangat
sulit untuk dipersatukan lagi sebagai suami isteri karena memang
keduanya telah pisah rumah hampir satu tahun dan antara Pemohon dan
Termohon tidak ada lagi keinginan untuk bersatu membina rumah tangga
sehingga tujuan perkawinan yang suci sebagaimana diamanahkan dalam
Al Quran surat Ar rum Ayat 21 dan ketentuan pasal 1 Undang-Undang

73
Nomor 1 Tahun 1974 jo. pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yakni rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah tidak dapat diwujudkan
oleh Pemohon dan Termohon.
27. Bahwa dengan memperhatikan betapa luhurnya tujuan sebuah
perkawinan, maka perceraian hanya dimungkinkan terjadi sebagai jalan
terakhir ketika sebuah ikatan perkawinan itu tidak dapat dipertahankan
dan Pengadilan hanya akan mengabulkan sebuah permohonan perceraian
apabila cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun
sebagai suami isteri (vide Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974).
28. Bahwa apabila pernikahan antara Pemohon dan Termohon tetap
dipertahankan dalam kondisi seperti itu maka justru akan menambah
kesusahan dan kepedihan sehingga kemaslahatan yang diinginkan dari
sebuah ikatan perkawinan tidak dapat terwujud.
29. Bahwa berdasarkan fakta dan pertimbangan hukum di atas majelis hakim
berpendapat permohonan Pemohon untuk menjatuhkan talak kepada
Termohon telah beralasan hukum yang kuat dan telah memenuhi alasan
sebagaimana termuat dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 Jo pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam, oleh
karena itu permohonan Pemohon patut untuk dikabulkan.
1. Dalam Rekonvensi
2. Bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagaimana
tersebut di atas.
3. Bahwa guna menghindari kesalahpahaman dalam penyebutan para pihak
dalam rekonvensi ini, maka untuk selanjutnya digunakan istilah semula
Termohon menjadi Penggugat Rekonvensi dan semula Pemohon menjadi
Tergugat Rekonvensi.
4. Bahwa segala pertimbangan didalam Konvensi selama ada relevansinya
harus dianggap termasuk pula sebagai pertimbangan didalam
Rekonvensi.
5. Bahwa dalam gugatannya Penggugat Rekonvensi telah mengajukan

74
gugatan Rekonvensi antara lain:
a. Hak Pengasuhan dan Perawatan anak yang bernama Dylan Rofi
Jamantara bin Tomi Susilo yang lahir 18 Juli 2008 dan Jocelyin Cindy
Nabigha binti Tomi Susilo yang lahir pada tanggal 7 Juli 2013, agar
diberikan kepada Penggugat Rekonvensi sampai anak tersebut dewasa
dan mandiri dengan alasan Penggugat Rekonvensi karena kedua anak
tersebut belum mumayyiz.
b. Biaya Hadhonah kepada anak yang bernama: Dylan Rofi Jamantara
dan Jocelyin Cindy Nabigha dibebankan kepada Tergugat Rekonvensi
sebagai ayah kandungnya dan diberikan kepada Penggugat
Rekonvensi sebagai ibu kandungnya yang diberikan setiap bulannya
sejumlah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dengan
kenaikan setiap pergantian tahun sebesar 10 % di luar biaya
pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut dewasa dan mandiri.
dengan alasan Tergugat Rekonvensi mampu melaksanakannya.
c. Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar nafkah lampau
kepada Penggugat Rekonvensi sejak Januari 2020 sampai dengan
putusan ini berkekuatan hukum tetap, yang setiap bulannya ditetapkan
yaitu sejumlah Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
d. Tergugat Rekonvensi agar dihukum untuk memberikan nafkah:
1) Mut’ah sejumlah Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus rupiah).
2) Nafkah iddah sejumlah Rp 1.500.000,00 perbulan x 3 bulan = Rp
4.500.000,00 (empat juta lima ratus rupiah) ;
3) Nafkah maskan dan kiswah sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah)
Bahwa tuntutan Penggugat Rekonvensi di atas agar
diberikan secara tunai dan kontan sebelum Tergugat Rekonvensi
mengucapkan Ikrar talak dihadapan majelis hakim didepan
persidangan dalam Perkara Nomor 93//Pdt.G/2021/PA.Tnk di
Pengadilan Agama Tanjung Karang Kelas IA.
6. Bahwa atas gugatan Penggugat Rekonvensi di atas Tergugat Rekonvensi

75
telah mengajukan jawaban dan bantahan sebagi berikut :
a. Bahwa mengenai hak asuh anak, Tergugat Rekovepensi tidak
menyampaikan tanggapan dan sependapat dan tidak keberatan jika
hak asuh anak-anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi
ditetapkan kepada Penggugat Rekonvensi sebagai ibu kandungnya.
b. Bahwa mengenai nafkah lampau sejak bulan Januari 2020 sampai
putusan ini berkuatan hukum tetap Tergugat Rekonvensi tidak
menyanggupinya, karena pada bulan Januari dan Februari Tergugat
Rekonvensi sudah membrikan nafkah sebesar Rp 1.300.000.00
perbulan:
Bahwa mengenai nafkah mut’ah, nafkah iddah, pada dasarnya
Tergugat Rekonvensi akan memenuhi permintaan Penggugat Rekonvensi
tersebut. Akan tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan
penghasilan dari Tergugat Rekonvensi, Adapun mengenai rincian real
penghasilan Tergugat Rekonvensi sebagai Karyawan Freelance di bagian
Mekanik, gaji yang didapat oleh Tergugat Rekonvensi adalah sejumlah Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) perminggu. Oleh karena itu nafkah
nafkah yang disanggupi Tergugat Rekonvensi adalah sebagai berikut:
a. Nafkah Iddah yang sanggup berikan sebesar Rp 1.000.000,00 perbulan
selama 3 (tiga) bulan, sehingga total nafkah selama iddah sejumlah Rp
3.000.000,00
b. Nafkah Mut’ah yang sanggup berikan yaitu sejumlah Rp 1.500.000,00
c. Nafkah Maskan dan Kiswah Tergugat Rekonvensi tidak menyanggupi
untuk memberikan, karena Tergugat Rekonvensi memiliki rumah
bersama dengan Tergugat Rekonvensi yang ditempati oleh Tergugat
Rekonvensi;
d. Nafkah untuk anak-anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi sebesar Rp 1.000.000,00,- setiap bulannya sampai dengan
anak tersebut dewasa dan mandiri.
7. Bahwa dari jawab menjawab tentang materi gugatan Rekonvensi maka
pokok sengketa dalam masalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

76
a. Berapakah sesungguhnya penghasilan Tergugat Rekonvensi setiap
bulannya sebagai Karyawan Freelance dibidang mekanik:
b. Apakah gugatan Penggugat Rekonvensi telah beralasan hukum dan
berapakah layaknya jumlah yang harus dipenuhi Tergugat Rekonvensi
atas gugatan Penggugat Rekonvensi.
8. Bahwa di persidangan Penggugat Rekonvensi /Termohon Konvensi telah
mengajukan alat bukti tertulis berupa T.1, T.2, T.3, T.4, T.5 dan T.6 serta
dua orang saksi.
9. Bahwa dipersidangan Tergugat Rekonvensi/Pemohon Kenvensi telah
pula mengajukan alat bukti tertulis berupa P.1, P.2, P.3, P4, dan P5 serta
dua orang saksi.
10. Bahwa mengenai gugatan Penggugat Rekonvensi dan kesanggupan
Tergugat Rekonvensi, majelis akan mempertimbangkan sebagaimana
tersebut di bawah ini.
11. Bahwa mengenai hak asuh anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi yang bernama Dylan Rofi Jamantara bin Tomi Susilo yang
lahir 18 Juli 2008 dan Jocelyin Cindy Nabigha binti Tomi Susilo yang
lahir pada tanggal 7 Juli 2013, berdasarkan alat bukti T3 terbukti
merupakan anak kandung dari Penggugat Rekonpensi dan Tergugat
Rekonvensi, hingga saat ini telah berumur 13 tahun dan 9 Tahun. Saat ini
tinggal dan diasuh oleh Penggugat Rekonvensi sebagai ibu kandungnya.
12. Bahwa berdasarkan keterangan saksi Penggugat Rekonvensi dan
dibenarkan oleh Tergugat Rekonvensi kondisi anak selama diasuh oleh
Penggugat Rekonvensi dalam keadaan terawat dan sehat serta diberikan
kasih sayang sepenuhnya oleh ibunya.
13. Bahwa gugatan Penggugat Rekonvensi agar anak Penggugat Rekonvensi
dan Tergugat Rekonvensi diasuh oleh Penggugat Rekonvensi,
dipersidangan Tergugat Rekonvensi menerima dan tidak keberatan
dengan syarat akses Tergugat Rekonvensi sebagai ayah kandungnya
untuk menjenguk dan memberikan kasih sayang kepada anak tersebut
tidak dihalangi oleh Penggugat Rekonvensi.

77
14. Bahwa memperhatikan ketentuan pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia dan jawab menjawab Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi serta kepentingan akan keselamatan dan
perlindungan anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi,
maka majelis hakim berpendapat gugatan Penggugat Rekonvensi tentang
hak asuh anak-anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi
dapat dikabulkan dengan kewajiban Penggugat Rekonvensi harus
memberikan hak akses kepada Tergugat Rekonvensi sebagai ayah
kandungnya untuk bertemu kepada anak tersebut dan jika dikemudian
hari akses tersebut tidak diberikan oleh Penggugat Rekonvensi maka hal
ini dapat dijadikan alasan bagi Tergugat Rekonvensi untuk mengajukan
gugatan pencabutan hak hadlonah. (Vide Rumusan Hukum Kamar
Agama tahun 2017 yang termuat dalam SEMA Nomor 1 tahun 2017;
15. Bahwa mengenai gugatan Penggugat Rekonvensi mengenai nafkah
untuk anak berdasarkan keterangan saksi saksi yang diajukan oleh
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi terbukti bahwa sampai
dengan bulan Februari 2021 Tergugat Rekonvensi masih memberikan
nafkah kepada anak-anaknya Penggugat Rekonvensi perbulan sejumlah
Rp 1.300.000,00 (satu juta tiga ratus ribu rupiah).
16. Bahwa dalam gugatannya Penggugat Rekonvensi menuntut biaya nafkah
anak-anak perbulan sejumlah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) yang diberikan setiap bulannya dengan kenaikan setiap tahunnya
sebesar 10 % diluar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut
dewasa dan mandiri, sementara Tergugat Rekonvensi hanya mampu
memberikan sejumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap bulannya
sampai dengan anak tersebut dewasa dan mandiri.
17. Alat bukti P.3 dan P.4 serta keterangan saksi baik dari Penggugat
Rekonvensi maupun Tergugat Rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat
Rekonvensi dan Penggugat Rekonvensi dan tidak dibantah oleh
Penggugat Rekonvensi menyatakan bahwa penghasilan resmi Penggugat
Rekonvensi sebagai Karyawan Freelance sebagai mekanik di bengkel

78
Otomax total berjumlah Rp 500.000,00 ( lima ratus ribu rupiah)
perminggu.
18. Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas dan memperhatikan kebutuhan
dasar bagi anak serta kemampuan ekonomi Tergugat Rekonvensi sebagai
ayah kandungnya serta rasa keadilan maka majelis hakim berpendapat
Tergugat Rekonvensi harus dihukum untuk memberikan nafkah kepada
anak Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonvensi yang bernama
Dylan Rofi Jamantara dan Jocelyin Cindy Nabigha perbulan sejumlah
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada Penggugat Rekonvensi
hingga anak tersebut dewasa dan mandiri dengan penambahan 10 prosen
pada setiap pergantian tahun dari jumlah yang ditetapkan di luar biaya
pendidikan dan kesehatan (Vide Rumusan Hukum Kamar Agama tahun
2015 yang termuat dalam SEMA nomor 03 tahun 2015).
19. Bahwa gugatan Penggugat Rekonvensi tentang nafkah lampau sejak
Januari sampai dengan perkara ini berkekuatan hukum tetap sejumlah Rp
1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah), sementara Tergugat
Rekonvensi keberatan atas gutatan tersebut.
20. Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi serta saksi Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi
terbukti bahwa Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensoi telah
pisah rumah sejak Januari 2021, Penggugat Rekonvensi tetap tinggal
dirumah kediaman bersama beserta anaknya sementara Tergugat
Rekonvensi pergi dan tinggal dirumah orang tua Tergugat Rekonvensi
Berdasarkan fakta hukum di atas terbukti bahwa Penggugat Rekonvensi
sebagai isteri tidak dalam keadaan Nusyuz (Vide Pasal 80 ayat (7)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia).
21. Bahwa terbukti selama pisah rumah masih ada komunikasi antara
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi masih memberikah nafkah kepada Penggugat Rekonvensi
dan anak-anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi
sejumlah Rp 1.300.000,00 (satu juta tiga ratus ribu rupiah) untuk bulan

79
Januari dan Februari 2021, sedangkan untuk bulan Maret dan April
Tergugat Rekonvensi tidak memberikan, yang tidak dibantah oleh
Penggugat Rekonvensi, oleh karena itu majelis hakim menilai Tergugat
Rekonvensi sebagai seorang suami tidak lalai memenuhi kewajibannya
memberikan nafkah kepada Penggugat Rekonvensi dan anak-anak, untuk
bulan Januari dan Februari dan lalai memberikan nafkah untuk bulan
Maret dan April (Vide Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia).
22. Bahwa karena terbukti Tergugat Rekonvensi tidak memberikan nafkah
lampau untuk bulan Maret dan April Tahun 2021, maka Tergugat
Rekonpensi dihukum untuk membayar nafkah lampau untuk bulan Maret
dan April 2021 sejumlah Rp 1.300.000.00 (satu juta tiga ratus ribu rupiah
perbulan).
23. Bahwa mengenai tuntutan Penggugat tentang nafkah Iddah, Mut’ah dan
nafkah maskan dan kiswah antar Tergugat agar dihukum untuk
memberikan nafkah :
a. Mut’ah sejumlah Rp 5.000.000,00 ( ratus juta rupiah).
b. Nafkah iddah sejumlah Rp 1.500.000,00 perbulan x 3 bulan = Rp
4.500.000.00 (empat juta lima ratus ribu rupiah)
c. Nafkah maskan dan kiswah sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah)
24. Bahwa atas gugatan Penggugat Rekonvensi di atas Tergugat Rekonvensi
hanya mampu memberikan antara lain :
a. Nafkah Iddah yang sanggup memberikan sejumlah Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah) perbulan selama 3 (tiga) bulan, sehingga total nafkah
selama iddah sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah);
b. Nafkah Mut’ah yang sanggup berikan yaitu sejumlah Rp 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah);
c. Nafkah Maskan dan Kiswah tidak sanggup memberikan, karena
Penggugat Rekonvensi menempati rumah bersama milik Penggugat
Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi
25. Bahwa mengenai gugatan Penggugat Rekonvensi tentang nafkah untuk

80
isteri yang dicerai majelis hakim memperhatikan ketentuan pasal 149
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yaitu : “Bila mana perkawinan
putus karena talak maka bekas suami wajib”
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla ad dukhul.
b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil
26. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas majelis akan menilai fakta apakah
Penggugat Rekonvensi sebagai isteri telah berlaku nusyuz atau tidak.
27. Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi serta alat bukti P.4 serta saksi Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi terbukti bahwa Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi telah pisah rumah sejak bulan Januari 2020,
Penggugat Rekonvensi tetap tinggal di rumah kediaman bersama beserta
anak-anaknya sementara Tergugat Rekonvensi pergi dan tinggal dirumah
orang tuan Tergugat Rekonvensi. Berdasarkan fakta hukum di atas
terbukti bahwa Penggugat Rekonvensi sebagai isteri tidak dalam keadaan
Nusyuz.
28. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 149 hurup b hal-hal yang harus
dipenuhi oleh suami kepada bekas isterinya dalam masa iddah yakni
nafkah, maskan dan kiswah, ketiga hal tersebut memberikan kepastian
kepada bekas isteri untuk mendapatkan nafkah, tempat tinggal dan
pakaian selama dalam masa iddah. Hal ini berarti ketiga ketentuan diatas
menurut majelis merupakan satu kesatuan dan tidak layak untuk dipisah,
sehingga majelis menetapkan Tergugat hanya dibebankan untuk
memberikan nafkah iddah yang didalamnya memuat tentang nafkah,
maskan dan kiswah.
29. Bahwa mengenai besaran dari gugatan Penggugat Rekonvensi tentang
nafkah iddah dan mut’ah berdasarkan keadilan dan kepatutan serta
kemampuan ekonomi suami (Tergugat Rekonvensi) dan kebutuhan dasar

81
isteri maka majelis hakim berpendapat mengenai besaran rupiah gugatan
dimaksud antara lain :
a. Membebankan Tergugat Rekonvensi untuk memberikan mu’tah
kepada Penggugat Rekonvensi sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah);
b. Membebankan kepada Tergugat Rekonvensi untuk memberikan
nafkah iddah kepada Penggugat Rekonvensi perbulan sejumlah Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah) sehingga selama 3 bulan sejumlah Rp
3.000.000.00 (tiga juta rupiah);
c. Mengenai Maskan dan Kiswah Penggugat Rekonvensi menuntut
sebesar Rp. 10.000.000.00 (sepuluh jta rupiah), dan Tergugat
Rekonvensi keberatan untuk memberikan biaya Maskan, karena
senyata Penggugat Rekonvensi dan anak-anak sampai sekarang masih
menempati tempat tinggal bersama (rumah bersama) hal mana tidak
dibantah oleh Pengggugat Rekonvensi, maka oleh karena itu gugatan
Penggugat Rekonvensi tentang Maskan di tolak.
d. Mengenai, biaya Kiswah yang dituntut oleh Penggugat Rekonvensi,
maka Majelis mempertimbangkan, bahwa karena telah dikabulkan
tentang tuntutan Mut’ah, maka gugatan Rekonvensi tentang Kiswah
ditolak.
30. Bahwa bukti T.4 dan T.5, tidak ada relepansinya dengan perkara ini,
maka dikesampingkan:
31. Bahwa berdasarkan ketentuan Sema Nomor 1 tahun 2017 kewajiban
suami kepada bekas isteri tentang akibat perceraian yakni mengenai
nafkah iddah, Mut’ah dan nafkah madliyah harus dibayar sebelum
pengucapan ikrar talak, kecuali isteri tidak keberatan atas suami tidak
membayar kewajiban tersebut pada saat ikrar talak.
32. Bahwa oleh karena tidak semua gugatan Rekonvensi Penggugat
dikabulkan, maka Majelis hakim berpendapat mengabulkan gugatan
Penggugat Rekonvensi untuk sebagian dan menolak gugatan Penggugat
Rekonvensi selain dan selebihnya.

82
2. Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-
Undang No 7 Tahun 1989 Pemohon harus dibebankan untuk membayar biaya
perkara ini.
Mengingat hukum Islam serta perundang-undangan yang berlaku dan
berkaitan dengan perkara ini.

3. Putusan Hakim
Dalam Konvensi
1. Mengabulkan pemohonan Pemohon.
2. Memberi izin kepada Pemohon (Tomi Susilo bin Emon) untuk
menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (Heni binti Sadi) didepan
sidang Pengadilan Agama Tanjungkarang.
Dalam Rekonvensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk Sebagian.
2. Menetapkan Penggugat Rekonvensi sebagai pemegang hak Hadlonah atas
anak-anak bernama: Dylan Rofi Jamantara bin Tomi Sosilo dan Jocelyin
Cindy Nabigha binti Tomi Susilo.
3. Menetapkan :
a. Nafkah Hadlonah untuk anak-anak bernama Dylan Rofi Jamantara bin
Tomi Sosilo dan Jocelyin Cindy Nabigha binti Tomi Susilo; sejumlah
Rp 1.000.000.00 (satu juta rupaih perbulan sampai dengan anak anak
tersebut dewasa dengan ketentuan diberikan tambahan 10 % pada setiap
pergantian Tahun diluar biaya pendidikan dan Kesehatan.
b. Nafkah lampau Penggugat Rekonvensi dan anak untuk bulan Maret dan
April 2021 sejumlah Rp. 2.600.000.00 (dua juta enam ratus ribu
rupiah).
c. Mut’ah untuk Penggugat Rekonvensi sejumlah Rp. 3.000.000.00 (tiga
juta rupiah).
d. Nafkah Iddah Penggugat Rekonvensi selama 3 bulan sejumlah Rp
3.000.000.00 (tiga juta rupiah).

83
4. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar nafkah pada diktum
3 huruf (a.b.c dan d) diatas kepada dan Penggugat Rekonvensi sesaat
sebelum Ikrar talak diucapankan.
5. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selebihnya.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp 310.000,00 (tiga ratus sepuluh ribu rupiah)

84
BAB IV
PENETAPAN GUGATAN REKONVENSI PERMOHONAN CERAI
TALAK DI PENGADILAM AGAMA TANJUNG KARANG

A. Bentuk Gugatan Rekonvensi Cerai Talak


Di dalam bentuk gugatan rekonvensi cerai talak yang terjadi di Pengadilan
Agama Tanjung karang terdiri dari tiga bentuk gugatan. Pertama adalah
gugatan rekonvensi nafkah Iddah, kedua adalah gugatan rekonvensi nafkah
Mut’ah, ketiga adalah gugatan nafkah Maskan dan Kiswah. Ketiga hal tersebut
akan diuraikan sebagai berikut.
1. Bentuk Gugatan Rekonvensi Nafkah Iddah
Adapun gugatan yang diajukan isteri adalah Nafkah Iddah. Nafkah
Iddah adalah tunjangan yang diberikan seorang pria kepada mantan istrinya
berdasarkan putusan pengadilan yang menyelesaikan perceraian mereka95
dan nafkah yang selama dalam masa iddah itu 3 bulan, karena selama 3
bulan tersebut dia tidak boleh kemana-mana, tidak boleh di lamar dan
apalagi sampai kawin.96
2. Bentuk Gugatan Rekonvensi Nafkah Mut’ah
Gugatan yang diajukan isteri adalah Nafkah Mut’ah. Nafkah Mut’ah
adalah pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu
berupa uang, pakaian atau pembekalan apa saja sebagai bantuan dan
penghormatan kepada isterinya itu serta menghindari dari kekejaman Talak
yang dijatuhkannya itu, bersifat hiburan, namun di Undang-Undang kita
dimasukkan di akibat talak maka wajib bagi suami yang ditentukan hakim,
walaupun tidak diminta oleh isteri, hakim juga menanyakan kepada suami
apakah sanggup dengan permintaan yang diminta isteri.97

95
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 667.
96
Wawancaradengan K.M. Junaidi Hakim Pengadilan Agama, Kantor Pengadilan
Agama Tanjung Karang : Kamis, 23 Juni 2022 , Jam 16:18-16:45 WIB.
97
Wawancara dengan K.M Junaidi, Hakim Pengadilan Agama, Kantor Pengadilan
Agama Tanjung Karang : Kamis, 23 Juni 2022 , Jam 16:18-16:45 WIB.

85
3. Bentuk Gugatan Rekonvensi Nafkah Maskan dan Kiswah
Gugatan yang diajukan oleh seorang istri adalah Nafkah Maskan
adalah maskan ( tempat tinggal) selama ditinggal oleh suaminya dia
tinggalnya dimana. Biasanya diperuntukan untuk pasangan yang ngontrak
dan saat berpisah suami tetap bertanggung jawab membayar biaya
kontrakan selama masa iddah98. Sedangkan Nafkah Kiswah adalah
(pakaian) layak atau tidak diberi pakaian, hadhonah, usia maksimal anak
umur 12 tahun, jika di asuh ibunya99 dan kebutuhan pokok manusia selain
makanan dan tempat berteduh / tempat tinggal (rumah).
B. Faktor Yang Menyebabkan Gugatan Rekonvensi Cerai Talak
Adapun yang wajib itu ada nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Adalagi nafkah
madyaa adalah nafkah yang terhutang, pada perinsipnya nafkah itu diberi oleh
suami, suami wajib memberi nafkah pada isterinya. Selama isteri tidak
membantah, selama perkawinan itu wajar, selama perkawinan itu normal. jadi
mana kala nafkah itu tidak pernah dibayar, contohnya sepuluh bulan yang lalu
suami pergi meninggalkan isteri berarti suami melalaikan kewajiban, nah maka
nafkah sejak sepuluh bulan yang lalu itu disebut nafkah madya (nafkah
terhutang).100
1. Istri Ingin Mendapatkan Nafkah Iddah
Pengertian Iddah Menurut ash-Shon’ani iddah adalah suatu nama bagi
suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan
perkawinan setelah kematian suaminya atau perceraian dengan suaminya
itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci atau haidh,
atau beberapa bulan tertentu.101
Para ulama sepakat bahwa wanita atau perempuan yang berada dalam

98
Wawancara dengan K.M. Junaidi, Hakim Pengadilan Agama, Kantor Pengadilan
Agama Tanjung Karang, Kamis, 23 Juni 2022 , Jam 16:18-16:45 WIB.
99
Wawancaradengan KM. Junaidi, Hakim Pengadilan Agama, Kantor Pengadilan
Agama Tanjung Karang, Kamis, 23 Juni 2022, Jam 16:18-16:45 WIB.
100
Wawancara dengan K.M. Junaidi Hakim Pengadilan Agama, Kantor Pengadilan
Agama Tanjung Karang : Kamis, 23 Juni 2022 , Jam 16:18-16:45 WIB.
101
Dirjen Bimbaga Depag RI, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta, Proyek Pembinaan Prasarana
dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984/1985, h. 274

86
masa iddah talak raj‟i berhak mendapatkan nafkah iddah dan tempat tinggal
dari suami yang mentalaknya. Meraka juga sepakat menyatakan bahwa
perempuan hamil yang dicerai suaminya, baik dengan talak raj’i maupun
talak bain, berhak mendapatkan nafkah iddah dari suaminya.102
Nafkah dari seorang suami tidak hanya sewaktu dia masih menjadi istri
sahnya dan terhadap anak-anak dari istri itu, suami wajib menafkahinya
bahkan pada saat perceraian. Terkadang ada seorang mantan suami yang
memperlakukan istri dan membuatnya sengsara setelah talak pertama dan
ketika ia menjalani masa iddah. Hal ini tidak dibolehkan, dia harus memberi
nafkah yang seimbang, sesuai dengan standar hidup suami.103
Perempuan yang tetap diberi nafkah pada masa iddah terdapat pada
perempuan yang sedang beriddah dari talak raj’i dan perempuan yang
sedang beriddah dalam keadaan hamil berhak mendapatkan tempat tinggal
dan nafkah. Sedangkan para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan
perempuan yang dalam iddah talak bain.104
Adapun perempuan yang dalam keadaan iddah akibat talak ba’in, para
ulama berbeda pendapat, jika perempuan yang ditalak bain tidak dalam
keadaan hamil, yaitu:105
a. Dia berhak mendapatkan tempat tinggal dan ia tidak berhak mendapatkan
nafkah.
b. Dia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Nash yang menyebutan kewajiban tempat tinggal, dan kapan saja tempat
tinggal wajib secara syar’i, maka nafkah wajib pula karena nafkah
mengikuti tempat tinggal bagi istri yang di talak raj’i, istri yang sedang
hamil dan istri yang ditalak bain.
Ketentuan nafkah iddah itu akan hilang jika istri melakukan nusyuz,

102
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary ed, Problematika Hukum islam
Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 201.
103
Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan(Syari’ah I), terj.
Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 372-373.
104
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga dalam Islam, terj. Nur
Khozin, (Jakarta: Amzah, 2012), h.358.
105
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 3, terj. Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, (Jakarta:
PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), h.447.

87
yaitu istri membangkan atau durhaka kepada suaminya. Tolak ukur
mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap
suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan
suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam
dan/atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau
setidak-tidaknya diduga sang suami tidak menyetujuinya.106
Maka, terjadinya nusyuz istri mengharamkannya dari hak nafkah dalam
pembelanjaan-pembelajaan yang berlaku antara suami dan pemanfaatan
dengan istri.
Maka dengan demikian istri yang nusyuz dalam keadaan iddah tidak
berhak mendapatkan nafkah iddah dari sang suami, baik itu berupa
makanan, pakaian ataupun tempat tinggal.
Ketentuan pemberian nafkah iddah diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang termuat dalam pasal 149 huruf b yaitu:107
“Bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama massa iddah, kecuali
bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil.”
Kemudian pasal 152 KHI berbunyi :
“Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya,
kecuali bila ia nusyuz.”
Ketentuan dalam KHI pasal 149 huruf B di atas menjelaskan bahwa
nafkah iddah berhak untuk istri yang dicerai talak raj’i dan perempuan yang
dicerai dalam keadaan hamil. Ketentuan nafkah iddah itu akan hilang jika
istri melakukan nusyuz, yaitu istri membangkan atau durhaka kepada
suaminya. Tolak ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri
membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya,
menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah
berdasarkan hukum Islam dan/atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa

106
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 55
107
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 55

88
seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga sang suami tidak
menyetujuinya.
Maka terjadinya nusyuz istri mengharamkannya dari hak nafkah iddah
dalam pembelanjaan-pembelajaan yang berlaku antara suami dan
pemanfaatan dengan istri108. Maka dengan demikian istri yang dalam
keadaan iddah tidak berhak mendapatkan nafkah dari sang suami, baik itu
berupa makanan, pakaian ataupun tempat tinggal.
2. Istri Ingin Mendapatkan Nafkah Mut’ah
Di dalam Ensiklopedia Islam bahwa mut’ah secara harfian berarti
barang yang sedikit atau barang yang menyenangkan. Kata mut’ah sering
digunakan untuk sebutan bagi suatu barang atau uang pemberian suami
kepada istrinya yang ditalak sebelum dicampuri terlebih dahulu sesuai
dengan kesanggupan dan keikhlasan suami.109
Mut’ah sebagai implikasi dari perceraian merupakan suatu keharusan
yang di berikan suami kepada istrinya sebagai bentuk tangggung jawab dan
ganti rugi, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada
bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut
qobla al dukhul.
Ada dua unsur kepatutan yang mesti diperhatikan dalam pemberian
mut'ah. Pertama, kepatutan atau kepantasan berdasarkan kemampuan si
suami, dan itu didasarkan pada ayat di atas. Artinya, suami yang kaya tidak
pantas memberikan mut'ah yang sama jumlahnya dengan suami yang
termasuk golongan miskin, dan sebaliknya. Kedua, patut atau pantas bagi si
isteri. Artinya, isteri yang terbiasa dengan pola hidup “cukup” atau (apalagi)
“mewah” dengan suami itu atau keluarganya sebelumnya, tidak pantas
kalau mendapat mut'ah yang jumlahnya “sedikit”. Ketiga, patut atau pantas
menurut adat yang berlaku di lingkungan tempat mereka hidup. Hal ini perlu
mendapatkan perhatian, setidaknya, untuk menghindari terjadinya

108
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 55
109
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam. Cet. 9. (Jakarta : Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), h. 311

89
kesenjangan sosial antara si isteri yang diberi mut'ah dengan orang-orang
yang berada di sekitarnya.110
Ketentuan mut’ah ini juga diatur dalam hukum positif yang ada di
Indonesia. Sebagaimana dalam Pasal 41 (c) UU No.1 Tahun 1974. Dalam
pasal tersebut dijelaskan bahwa suami dapat dibebankan suatu kewajiban
setelah perceraian. Mengenai kewajiban tersebut dijelaskan lebih rinci
dalam KHI pada pasal 149 KHI dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepada mantan suami. Pasal 149 poin (a) dijelaskan bahwa
ketika terjadi perceraian karena talak mantan suami berkewajiban untuk
memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang
atau benda. Kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.111
Mengenai ukuran mut’ah yang dibebankan kepada mantan suami, tidak
terdapat pedoman khusus dalam peraturan perundangan. Namun dalam KHI
pasal 160 dijelaskan bahwa ukuran mut’ah ditentukan berdasarkan
kemampuan suami. Sehingga besar kecilnya mut’ah tergantung kemampuan
suami.
Perinsipnya. Isteri itu diayomi, dilindungi, oleh suami, itu adalah
perinsip pokoknya. Karena suami adalah kepala keluarga, yang bisa
mengarahkan, membimbing. Nafkah itu adalah wajib bagi suami terhadap
isteri dan keluarganya. Maka dari faktor itu lah, kewajiban suami adalah hak
isteri.112
3. Keinginan Isteri Untuk Mendapatkan Hak Asuh Anak
Bahwa mengenai hak asuh anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi yang bernama Dylan Rofi Jamantara bin Tomi Susilo yang lahir
18 Juli 2008 dan Jocelyin Cindy Nabigha binti Tomi Susilo yang lahir pada
tanggal 7 Juli 2013, berdasarkan alat bukti T3 terbukti merupakan anak
kandung dari Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi, hingga saat

110
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2007),
h.179
111
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2007),
h.179
112
Wawancara dengan K.M. Junaidi Hakim Pengadilan Agama, Kantor Pengadilan
Agama Tanjung Karang : Kamis, 23 Juni 2022 , Jam 16:18-16:45 WIB.

90
ini telah berumur 13 tahun dan 9 Tahun. Saat ini tinggal dan diasuh oleh
Penggugat Rekonvensi sebagai ibu kandungnya.
Berdasarkan keterangan saksi Penggugat Rekonvensi dan dibenarkan
oleh Tergugat Rekonvensi kondisi anak selama diasuh oleh Penggugat
Rekonvensi dalam keadaan terawat dan sehat serta diberikan kasih sayang
sepenuhnya oleh ibunya bahwa gugatan Penggugat Rekonvensi agar anak
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi diasuh oleh Penggugat
Rekonvensi, dipersidangan Tergugat Rekonvensi menerima dan tidak
keberatan dengan syarat akses Tergugat Rekonvensi sebagai ayah
kandungnya untuk menjenguk dan memberikan kasih sayang kepada anak
tersebut tidak dihalangi oleh Penggugat Rekonvensi.
Bahwa memperhatikan ketentuan pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia dan jawab menjawab Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi sert kepentingan akan keselamatan dan perlindungan
anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi, maka majelis hakim
berpendapat gugatan Penggugat Rekonvensi tentang hak asuh anak-anak
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi dapat dikabulkan dengan
kewajiban Penggugat Rekonvensi harus memberikan hak akses kepada
Tergugat Rekonvensi sebagai ayah kandungnya untuk bertemu kepada anak
tersebut dan jika dikemudian hari akses tersebut tidak diberikan oleh
Penggugat Rekonvensi maka hal ini dapat dijadikan alasan bagi Tergugat
Rekonvensi untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadlonah. (Vide
Rumusan Hukum Kamar Agama tahun 2017 yang termuat dalam SEMA
Nomor 1 tahun 2017.113
Bahwa mengenai gugatan Penggugat Rekonvensi mengenai nafkah
untuk anak berdasarkan keterangan saksi saksi yang diajukan oleh
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi terbukti bahwa sampai
dengan bulan Februari 2021 Tergugat Rekonvensi masih memberikan
nafkah kepada anak-anaknya Penggugat Rekonvensi perbulan sejumlah Rp

113
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, hlm 33-39

91
1.300.000,00 (satu juta tiga ratus ribu rupiah).
Bahwa dalam gugatannya Penggugat Rekonvensi menuntut biaya
nafkah anak-anak perbulan sejumlah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah) yang diberikan setiap bulannya dengan kenaikan setiap
tahunnya sebesar 10 % diluar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak
tersebut dewasa dan mandiri, sementara Tergugat Rekonvensi hanya
mampu memberikan sejumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap
bulannya sampai dengan anak tersebut dewasa dan mandiri.
Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas dan memperhatikan kebutuhan
dasar bagi anak serta kemampuan ekonomi Tergugat Rekonvensi sebagai
ayah kandungnya serta rasa keadilan maka majelis hakim berpendapat
Tergugat Rekonvensi harus dihukum untuk memberikan nafkah kepada
anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi yang bernama Dylan
Rofi Jamantara dan Jocelyin Cindy Nabigha perbulan sejumlah Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada Penggugat Rekovensi hingga anak
tersebut dewasa dan mandiri dengan penambahan 10 prosen pada setiap
pergantian tahun dari jumlah yang ditetapkan di luar biaya pendidikan dan
kesehatan (Vide Rumusan Hukum Kamar Agama tahun 2015 yang termuat
dalam SEMA nomor 03 tahun 2015).114

C. Implikasi Gugatan Rekonvensi Cerai Talak Pada Pencari Keadilan


1. Isteri Mendapatkan Nafkah Iddah
Yang didapatkan oleh seorang istri yaitu Nafkah Iddah dari putusan
hakim yaitu :
Berupa nafkah Iddah yang harus diberikan kepada penggugat dan Tergugat
agar dihukum untuk memberikan nafkah :
a. Nafkah iddah sejumlah Rp 1.500.000,00 perbulan x 3 bulan = Rp
4.500.000.00 (empat juta lima ratus ribu rupiah)
Bahwa atas gugatan Penggugat Rekonvensi di atas Tergugat Rekonvensi

114
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, hlm 34-39

92
hanya mampu memberikan antara lain :
b. Nafkah Iddah yang sanggup memberikan sejumlah Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah) perbulan selama 3 (tiga) bulan, sehingga total nafkah
selama iddah sejumlah Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Besaran yang didapat dari gugatan Penggugat Rekonvensi tentang
nafkah iddah berdasarkan keadilan dan kepatutan serta kemampuan
ekonomi suami (Tergugat Rekonvensi) dan kebutuhan dasar isteri maka
majelis hakim berpendapat mengenai besaran rupiah gugatan dimaksud
antara lain :
c. Membebankan kepada Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah
iddah kepada Penggugat Rekonvensi perbulan sejumlah Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah) sehingga selama 3 bulan sejumlah Rp 3.000.000.00
(tiga juta rupiah).
2. Isteri Mendapatkan Nafkah Mut’ah
Yang didapatkan oleh seorang istri yaitu Nafkah Mut’ah dari putusan
hakim yaitu :
Berupa Nafkah Mut’ah yang harus diberikan kepada penggugat dan
Tergugat agar dihukum untuk memberikan nafkah :
a. Mut’ah sejumlah Rp 5.000.000,00 ( ratus juta rupiah).
Bahwa atas gugatan Penggugat Rekonvensi di atas Tergugat
Rekonvensi hanya mampu memberikan antara lain :
b. Nafkah Mut’ah yang sanggup berikan yaitu sejumlah Rp 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah)
Besaran yang didapat dari gugatan Penggugat Rekonvensi tentang
nafkah mut’ah berdasarkan keadilan dan kepatutan serta kemampuan
ekonomi suami (Tergugat Rekonvensi) dan kebutuhan dasar isteri maka
majelis hakim berpendapat mengenai besaran rupiah gugatan dimaksud
antara lain :
c. Membebankan Tergugat Rekonvensi untuk memberikan mu’tah kepada
Penggugat Rekonvensi sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

93
3. Isteri Mendapatkan Hak Asuh Anak
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam
suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam
berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan
perlindungan anak membawa akibat hukum, baik kaitannya dengan hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis. Menurut Arif Gosita kepastian hukum
diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan perlindungan.115
Untuk Hak asuh anak yang didapatkan untuk istri yaitu :
Menetapkan Penggugat Rekonvensi sebagai pemegang hak
Hadlonah atas anak-anak bernama: Dylan Rofi Jamantara bin Tomi Sosilo
dan Jocelyin Cindy Nabigha binti Tomi Susilo.
a. Nafkah Hadlonah untuk anak-anak bernama Dylan Rofi Jamantara bin
Tomi Sosilo dan Jocelyin Cindy Nabigha binti Tomi Susilo; sejumlah Rp
1.000.000.00 (satu juta rupaih perbulan sampai dengan anak anak
tersebut dewasa dengan ketentuan diberikan tambahan 10 % pada setiap
pergantian Tahun diluar biaya pendidikan dan kesehatan.
b. Nafkah lampau Penggugat Rekonpensi dan anak untuk bulan Maret dan
April 2021 sejumlah Rp. 2.600.000.00 (dua juta enam ratus ribu
rupiah).116

D. Analisis Putusan Perkara Nomor 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk


Pertimbangan hakim dalam gugatan rekovensi dari termohon yaitu :
DALAM REKONVENSI
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat Rekonvensi
sebagaimana tersebut di atas.
Menimbang, bahwa guna menghindari kesalah pahaman dalam para pihak

115
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak; Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), h. 33.
116
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h. 38-39

94
dalam rekonvensi ini, maka untuk selanjutnya digunakan istilah semula
Termohon menjadi Penggugat Rekonvensi dan semula Pemohon menjadi
Tergugat Rekonvensi.117
Menimbang, bahwa segala pertimbangan didalam Konvensi selama ada
relevansinya harus dianggap termasuk pula sebagai pertimbangan didalam
Rekonvensi.
Menimbang bahwa dalam gugatannya Penggugat Rekonvensi telah
mengajukan gugatan Rekonvensi antara lain:
1. Hak Pengasuhan dan Perawatan anak yang bernama Dylan Rofi Jamantara
bin Tomi Susilo yang lahir 18 Juli 2008 dan Jocelyin Cindy Nabigha binti
Tomi Susilo yang lahir pada tanggal 7 Juli 2013, agar diberikan kepada
Penggugat Rekonvensi sampai anak tersebut dewasa dan mandiri dengan
alasan Penggugat Rekonvensi karena kedua anak tersebut belum
mumayyiz.
2. Biaya Hadhonah kepada anak yang bernama: Dylan Rofi Jamantara dan
Jocelyin Cindy Nabigha dibebankan kepada Tergugat Rekonvensi sebagai
ayah kandungnya dan diberikan kepada Penggugat Rekonvensi sebagai
ibu kandungnya yang diberikan setiap bulannya sejumlah Rp 2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) dengan kenaikan setiap pergantian tahun
sebesar 10 % di luar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut
dewasa dan mandiri. dengan alasan Tergugat Rekonvensi mampu
melaksanakannya.
3. Tergugat Rekonvensi dihukum untuk membayar nafkah lampau kepada
Penggugat Rekonvensi sejak Januari 2020 sampai dengan putusan ini
berkekuatan hukum tetap, yang setiap bulannya ditetapkan yaitu sejumlah
Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
4. Tergugat Rekonvensi agar dihukum untuk memberikan nafkah
a. Mut’ah sejumlah Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus rupiah).
b. Nafkah iddah sejumlah Rp 1.500.000,00 perbulan x 3 bulan = Rp

117
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h. 29

95
4.500.000,00 (empat juta lima ratus rupiah) ;
c. Nafkah maskan dan kiswah sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).118
Bahwa tuntutan Penggugat Rekonvensi di atas agar diberikan secara tunai dan
kontan sebelum Tergugat Rekonvensi mengucapkan Ikrar talak dihadapan
majelis hakim didepan persidangan dalam Perkara Nomor
93//Pdt.G/2021/PA.Tnk di Pengadilan Agama Tanjung Karang Kelas IA.
Menimbang bahwa atas gugatan Penggugat Rekonvensi di atas Tergugat
Rekonvensi telah mengajukan jawaban dan bantahan sebagi berikut :
1. Bahwa mengenai hak asuh anak, Tergugat Rekonvensi tidak
menyampaikan tanggapan dan sependapat dan tidak keberatan jika hak
asuh anak-anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi
ditetapkan kepada Penggugat Rekonvensi sebagai ibu kandungnya.
2. Bahwa mengenai nafkah lampau sejak bulan Januari 2020 sampai putusan
ini berkuatan hukum tetap Tergugat Rekonvensi tidak menyanggupinya,
karena pada bulan Januari dan Pebruari Tergugat Rekonvensi sudah
membrikan nafkah sebesar Rp 1.300.000.00 perbulan.
Bahwa mengenai nafkah mut’ah, nafkah iddah, pada dasarnya Tergugat
Rekonvensi akan memenuhi permintaan Penggugat Rekonvensi tersebut.
Akan tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dan penghasilan
dari Tergugat Rekonvensi, Adapun mengenai rincian real penghasilan
Tergugat Rekonvensi sebagai Karyawan Freelance di bagian Mekanik, gaji
yang didapat oleh Tergugat Rekonvensi adalah sejumlah Rp 500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) perminggu. Oleh karena itu nafkah nafkah yang disanggupi
Tergugat Rekonvensi adalah sebagai berikut:
a. Nafkah Iddah yang sanggup berikan sebesar Rp 1.000.000,00 perbulan
selama 3 (tiga) bulan, sehingga total nafkah selama iddah sejumlah Rp
3.000.000,00.
b. Nafkah Mut’ah yang sanggup berikan yaitu sejumlah Rp 1.500.000,00.

118
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, hlm 30

96
c. Nafkah Maskan dan Kiswah Tergugat Rekonvensi tidak menyanggupi
untuk memberikan, karena Tergugat Rekonvensi memiliki rumah
bersama dengan Tergugat Rekonvensi yang ditempati oleh Tergugat
Rekonvensi.
d. Nafkah untuk anak-anak Penggugat Rekonvensi dan Terguga
Rekonvensi sebesar Rp 1.000.000,00,- setiap bulannya sampai dengan
anak tersebut dewasa dan mandiri.119
Bahwa mengenai hak asuh anak Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi yang bernama Dylan Rofi Jamantara bin Tomi Susilo yang lahir
18 Juli 2008 dan Jocelyin Cindy Nabigha binti Tomi Susilo yang lahir pada
tanggal 7 Juli 2013, berdasarkan alat bukti T3 terbukti merupakan anak
kandung dari Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi, hingga saat ini
telah berumur 13 tahun dan 9 Tahun. Saat ini tinggal dan diasuh oleh Penggugat
Rekonvensi sebagai ibu kandungnya.
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi Penggugat Rekonvensi dan
dibenarkan oleh Tergugat Rekonvensi kondisi anak selama diasuh oleh
Penggugat Rekonvensi dalam keadaan terawat dan sehat serta diberikan kasih
sayang sepenuhnya oleh ibunya.120
Bahwa gugatan Penggugat Rekonvensi agar anak Penggugat Rekonvensi dan
Tergugat Rekonvensi diasuh oleh Penggugat Rekonvensi, dipersidangan
Tergugat Rekonvensi menerima dan tidak keberatan dengan syarat akses
Tergugat Rekonvensi sebagai ayah kandungnya untu menjenguk dan
memberikan kasih sayang kepada anak tersebut tidak dihalangi oleh Penggugat
Rekonvensi.
Bahwa memperhatikan ketentuan pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia dan jawab menjawab Penggugat Rekonvensi dan Tergugat
Rekonvensi serta kepentingan akan keselamatan dan perlindungan anak
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi, maka majelis hakim
berpendapat gugatan Penggugat Rekonvensi tentang hak asuh anak-anak

119
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h 31
120
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h 33

97
Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi dapat dikabulkan dengan
kewajiban Penggugat Rekonvensi harus memberikan hak akses kepada
Tergugat Rekonvensi sebagai ayah kandungnya untuk bertemu kepada anak
tersebut dan jika dikemudian hari akses tersebut tidak diberikan oleh
Penggugat Rekonvensi maka hal ini dapat dijadikan alasan bagi Tergugat
Rekonvensi untuk mengajukan gugatan pencabutan hak hadlonah. (Vide
Rumusan Hukum Kamar Agama tahun 2017 yang termuat dalam SEMA
Nomor 1 tahun 2017.
Bahwa mengenai gugatan Penggugat Rekonvensi mengenai nafkah untuk anak
berdasarkan keterangan saksi saksi yang diajukan oleh Penggugat Rekonvensi
dan Tergugat Rekonvensi terbukti bahwa sampai dengan bulan Februari 2021
Tergugat Rekonvensi masih memberikan nafkah kepada anak-anaknya
Penggugat Rekonvensi perbulan sejumlah Rp 1.300.000,00 (satu juta tiga ratus
ribu rupiah).
Bahwa dalam gugatannya Penggugat Rekonvensi menuntut biaya nafkah anak-
anak perbulan sejumlah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) yang
diberikan setiap bulannya dengan kenaikan setiap tahunnya sebesar 10 % diluar
biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut dewasa dan mandiri,
sementara Tergugat Rekonvensi hanya mampu memberikan sejumlah Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap bulannya sampai dengan anak tersebut
dewasa dan mandiri.121
Menimbang alat bukti P.3 dan P.4 serta keterangan saksi baik dari Penggugat
Rekonvensi maupun Tergugat Rekonvensi yang diajukan oleh Tergugat
Rekonvensi dan Penggugat Rekonvensi dan tidak dibantah oleh Penggugat
Rekonpensi menyatakan bahwa penghasilan resmi Penggugat Rekonvensi
sebagai Karyawan Freelance sebagai mekanik di bengkel Otomax total
berjumlah Rp 500.000,00 ( lima ratus ribu rupiah) perminggu.
Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas dan memperhatikan kebutuhan dasar
bagi anak serta kemampuan ekonomi Tergugat Rekonvensi sebagai ayah

121
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h 34

98
kandungnya serta rasa keadilan maka majelis hakim berpendapat.
Tergugat Rekonpensi harus dihukum untuk memberikan nafkah kepada anak
Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi yang bernama Dylan Rofi
Jamantara dan Jocelyin Cindy Nabigha perbulan sejumlah Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) kepada Penggugat Rekonpensi hingga anak tersebut dewasa
dan mandiri dengan penambahan 10 prosen pada setiap pergantian tahun dari
jumlah yang ditetapkan di luar biaya pendidikan dan kesehatan (Vide Rumusan
Hukum Kamar Agama tahun 2015 yang termuat dalam SEMA nomor 03 tahun
2015)
Bahwa gugatan Penggugat Rekonpensi tentang nafkah lampau sejak Januari
sampai dengan perkara ini berkekuatan hukum tetap sejumlah Rp 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah), sementara Tergugat Rekonpensi keberatan
atas gutatan tersebut.
Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat Rekonpensi dan Tergugat
Rekonpensi serta saksi Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi
terbukti bahwa Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi telah pisah
rumah sejak Januari 2021, Penggugat Rekonpensi tetap tinggal dirumah
kediaman bersama beserta anaknya sementara Tergugat Rekonpensi pergi dan
tinggal dirumah orang tua Tergugat Rekonpensi . Berdasarkan fakta hukum di
atas terbukti bahwa Penggugat Rekonpensi sebagai isteri tidak dalam keadaan
Nusyuz (Vide Pasal 80 ayat (7) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia)
Bahwa terbukti selama pisah rumah masih ada komunikasi antara Penggugat
Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi masih
memberikah nafkah kepada Penggugat Rekonpensi dan anak-anak Penggugat
Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi sejumlah Rp 1.300.000,00 (satu juta tiga
ratus ribu rupiah) untuk bulan Januari dan Februari 2021, sedangkan untuk
bulan Maret dan April Tergugat Rekonpensi tidak memberikan, yang tidak
dibantah oleh Penggugat Rekonpensi, Oleh karena itu majelis hakim menilai
Tergugat Rekonpensi sebagai seorang suami tidak lalai memenuhi
kewajibannya memberikan nafkah kepada Penggugat Rekonpensi dan anak-
anak, untuk bulan Januari dan Februari dan lalai memberikan nafkah untuk

99
bulan Maret dan April (Vide Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia).
Bahwa karena terbukti Tergugat Rekonpensi tidak memberikan nafkah lampau
untuk bulan Maret dan April Tahun 2021, maka Tergugat Rekonpensi dihukum
untuk membayar nafkah lampau untuk bulan Maret dan April 2021 sejumlah
Rp 1.300.000.00 (satu juta tiga ratus ribu rupiah Perbulan.
Hakim tidak mengabulkan permohonan tuntutan Penggugat tentang nafkah
Iddah, Mut’ah dan nafkah maskan dan kiswah sebagai berikut dengan
menimbang atas ketidak mampuan dari Tergugat Rekonpensi untuk
memenuhinya antara lain :
a. Mut’ah sejumlah Rp 5.000.000,00 ( ratus juta rupiah).
b. Nafkah iddah sejumlah Rp 1.500.000,00 perbulan x 3 bulan = Rp
4.500.000.00 (empat juta lima ratus ribu rupiah)
c. Nafkah maskan dan kiswah sejumlah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Dan disini dari tergugat hanya mampu memberikan antara lain :
a. Nafkah Iddah yang sanggup memberikan sejumlah Rp 1.000.000,00 (satu
juta rupiah) perbulan selama 3 (tiga) bulan, sehingga total nafkah selama
iddah sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
b. Nafkah Mut’ah yang sanggup berikan yaitu sejumlah Rp 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah)
c. Nafkah Maskan dan Kiswah tidak sanggup memberikan, karena
Penggugat Rekonpensi menempati rumah bersama milik Penggugat
Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi.122

Berdasarkan ketentuan di atas majelis akan menilai fakta apakah Penggugat


Rekonpensi sebagai isteri telah berlaku nusyuz atau tidak.
Bahwa berdasarkan keterangan Penggugat Rekonpensi dan Tergugat
Rekonpensi serta alat bukti P.4 serta saksi Penggugat Rekonpensi dan Tergugat
Rekonpensi terbukti bahwa Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi

122
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h 35

100
telah pisah rumah sejak bulan Januari 2020, Penggugat Rekonvensi tetap
tinggal di rumah kediaman bersama beserta anak-anaknya sementara Tergugat
Rekonvensi pergi dan tinggal dirumah orang tuan Tergugat Rekonvensi.
Berdasarkan fakta hukum di atas terbukti bahwa Penggugat Rekonvensi
sebagai isteri tidak dalam keadaan Nusyuz.
Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 149 hurup b hal-hal yang harus dipenuhi
oleh suami kepada bekas isterinya dalam masa iddah yakni nafkah, maskan dan
kiswah, ketiga hal tersebut memberikan kepastian kepada bekas isteri untuk
mendapatkan nafkah, tempat tinggal dan pakaian selama dalam masa iddah.
Hal ini berarti ketiga ketentuan diatas menurut majelis merupakan satu
kesatuan dan tidak layak untuk dipisah, sehingga majelis menetapkan Tergugat
hanya dibebankan untuk memberikan nafkah iddah yang didalamnya memuat
tentang nafkah, maskan dan kiswah.
Bahwa mengenai besaran dari gugatan Penggugat Rekonvensi tentang nafkah
iddah dan mut’ah berdasarkan keadilan dan kepatutan serta kemampuan
ekonomi suami (Tergugat Rekonvensi) dan kebutuhan dasar isteri maka
majelis hakim berpendapat dan mengabulkan mengenai besaran rupiah gugatan
dimaksud antara lain123 :
1. Membebankan Tergugat Rekonvensi untuk memberikan mu’tah kepada
Penggugat Rekonvensi sejumlah Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
Membebankan kepada Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah
iddah kepada Penggugat Rekonvensi perbulan sejumlah Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah) sehingga selama 3 bulan sejumlah Rp 3.000.000.00 (tiga
Juta rupiah).
2. Mengenai Maskan dan Kiswah Penggugat Rekonvensi menuntut sebesar
Rp. 10.000.000.00 (sepuluh jta rupiah), dan Tergugat Rekonvensi
keberatan untuk memberikan biaya Maskan, karena senyata Penggugat
Rekonvensi dan anak-anak sampai sekarang masih menempati tempat
tinggal bersama (rumah bersama) hal mana tidak dibantah oleh

123
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h 36

101
Pengggugat Rekonvensi, maka oleh karena itu gugatan Penggugat
Rekonvensi tentang Maskan di tolak.
3. Mengenai, biaya Kiswah yang dituntut oleh Penggugat Rekonvensi, maka
Majelis mempertimbangkan, bahwa karena telah dikabulkan tentang
tuntutan Mut’ah, maka gugatan Rekonvensi tentang Kiswah ditolak.
4. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar nafkah pada diktum
4 angka (1,2,3 dan 4) diatas kepada dan Penggugat Rekonvensi sesaat
sebelum Ikrar talak diucapankan.
5. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selebihnya.
6. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkar sejumlah
Rp 310.000,00 (tiga ratus sepuluh ribu rupiah).
Bahwa bukti T.4 dan T.5, tidak ada relepansinya dengan perkara ini, maka
dikesampingkan.
Bahwa berdasarkan ketentuan Sema Nomor 1 tahun 2017 kewajiban suami
kepada bekas isteri tentang akibat perceraian yakni mengenai nafkah iddah,
Mut’ah dan nafkah madliyah harus dibayar sebelum pengucapan ikrar talak,
kecuali isteri tidak keberatan atas suami tidak membayar kewajiban tersebut
pada saat ikrar talak.
Bahwa oleh karena tidak semua gugatan Rekonvensi Penggugat dikabulkan,
maka Majelis hakim berpendapat mengabulkan gugatan Penggugat
Rekonvensi untuk sebagian dan menolak gugatan Penggugat Rekonvensi
selain dan selebihnya.124

124
Putusan No. 93/Pdt.G/2021/PA.Tnk, h 37

102
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk gugatan rekonvensi
cerai talak di Pengadilan Agama Tanjung karang terdapat tiga bentuk
gugatan, yakni gugatan rekonvensi nafkah iddah, yang mana isi gugatan
rekonvensi ini berisikan gugatan isteri untuk pemenuhan nafkah iddah
selama masa iddah (3 bulan). gugatan rekonvensi nafkah mut’ah, yang
mana isi gugatan rekonvensi ini berisikan gugatan isteri untuk
mendapatkan nafkah mut’ah atau nafkah hiburan. Dan gugatan
rekonvensi hak asuh anak, yang mana gugatan ini berisikan isteri
mengajukan gugatan untuk mendapatkan hak asuh anaknya, yang
terdiri dari dua orang anak.
2. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan gugatan rekonvensi cerai
talak dipengaruhi oleh adanya keinginan isteri untuk memperoleh
haknya mendapatkan nafkah iddah, nafkah mut’ah, dan mendapatkan
hak asuh anak.
3. Sedangkan implikasi gugatan rekonvensi cerai talak yang telah
diajukan oleh isteri telah memperoleh keadilan berupa nafkah iddah,
nafkah iddah yang didapat oleh isteri berupa uang sejumlah Rp
1.000.000 (sejuta rupiah) perbulan sehingga selama 3 bulan isteri
mendapatkan sejumpah Rp 3.000.000 (tiga juta rupiah). nafkah mut’ah,
nafkah mut’ah yang dibebankan hakim kepada suami sebesar Rp
3.000.000 (tiga juta rupiah). Dan meperoleh hak asuh anak, yang mana
kedua anak dari tersebut hak asuhnya jatuh kepada sang ibu.
B. Saran
Berdasarkan simpulan diatas penulis memiliki beberapa saran diantaranya :
1. Perlu adanya peningkatan leterasi hukum keluarga, sehingga
masyarakat dapat memahami hak dan kewajibannya dalam membangun
rumah tangga yang sesuai dengan apa yang telah di atur di hukum
keluarga.

103
2. Perlu adanya keterlibatan instansi, tokoh agama, dan tokoh masyarakat
untuk mensosialisasikan hukum keluarga, sehingga masyarakat
memahami apa saja aturan yang ada di hukum keluarga.
3. Perlu adanya pendampingan bagi pasangan suami isteri untuk
memperkokoh rumah tangga agar meminimalisir terjadinya perceraian.

104
DAFTAR PUSTAKA
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta; Pustaka Al Kautsar,
1998.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo, 2004.
Abidin, Muhammad Amin Ibn. Hasyiyah Radd Al-Mukhtar A’la al-Durr al-
Mukhtar. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladuh, 1966.
Abidin, Slamet, Fikih Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Al-Bugha, Mustafa, Dkk. Fikih Manhaj. Yogyakarta: Darul Uswah, 2012.
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Al-Khin, Mustofa, Dkk. Kitab Fikah Mazhab Syafi’i Undang-Undang
Kekeluargaan. Kuala Lumpur: Prospecta Printers, 2005.
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir
Al-Shiddieqi, Hasbi. Al-Quran dan Terjemahnya: Proyek Pengadaan Kitab Suci
Al- Quran. Jakarta: Depag RI, 1989.
Aripin. “Gugatan Rekonvensi dalam Praktek di Pengadilan Agama Sungailiat”.
Skripsi S1 SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM YAYASAN PERGURUAN
TINGGI BANGKA, 2005.
As-Subki, Ali yusuf. Fiqh Keluarga: Pedoman Berkeluarga dalam Islam, terj.
Nur Khozin. Jakarta: Amzah, 2012.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998.
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997.
Dali, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam. Jakarta: PT Bulan
Bintang, 2005.
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Kompilasi Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

105
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997.
Efendi, Zulfan. Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak Hadhanah Terhadap Isteri
Yang Keluar Dari Agama Islam (Murtad). Bintan: Stain Sultan
Abdurrahaman Press, 2019.
Fatmala, Santi. “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA KALIANDA NOMOR 0264/Pdt,G/2014/PA.Kla
TENTANG PERMOHONAN CERAI TALAK SUAMI DAN GUGATAN
REKONVENSI ISTRI”. Sripsi S1 Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung, 2017.
Ghazaly, Abd. Rahman Ghazaly. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2006.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqih Munnakahat. Jakarta: Kencana, 2008.
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak; Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju,
2007.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Hamid, Zahry. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang
Perkawinan Di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta, 1979.
Hanapi, Muhammad Ilman. “MEKANISME CERAI TALAK DALAM HUKUM
KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN TUNISIA”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH, 2018).
Harahap, M Yahya. Hukum Acara Perdata tentang persidangan, penyitaan,
pembuktian, dan putusan pengadilan. Jakarta: Sinar Grafis, 2017.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika,
2004.
I, Abdur Rahman. Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan(Syari’ah I), terj.
Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Indra, Hasbi, dkk. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, 2004.

106
John Z, Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Material dan Hukum Acara Dalam
Prektek. Jakarta: PT Bina Aksara, 1981.
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Latief, Djamal. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981.
Mamduhah, Anisah. “PERTIMBANGAN HAKIM PEDA PUTUSAN GUGAT
REKONVENSI TERHADAP CERAI TALAK”. Skripsi S1 Fakultas Agama
Islam Universitas Muhammadiyah Malang, 2011).
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Al-Hikmah, 2000.
Mathlub, Abdul Majid Mahmud, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Surakarta :
Era Intermedia, 2005
Mertokusumo, Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia
Yogyakarta : Liberty, 2002.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali. (Shaf, 2015).
Mulyadi. Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan,
1996.
Mupid, Saeful. “ANALISIS YURIDIS ULTRA PETITUM PARTIUM DALAM
PERKARA CERAI TALAK Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Timur
Nomor 16/Pdt.G/2013/PA.Jt. dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA.Jk”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2004.
OE, Meita Djohan. DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM GUGATAN
REKONVENSI. Jurnal Keadilan Progresif, September 2016.
Pradjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Sumur
Bandung, 1981.
Rachmany, Linda, dan Ema Rahmawati. “Penerapan Rekonvensi Sebagai Hak
Istimewa Tergugat Dalam Perkara Perceraian (Talak) Di Pengadilan Agama”.

107
September, 2017.
Rahmad, Abdul, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. penerjemah: Abdurrahim dan Masryjhin, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009.
Sahrani, H.M.A. Tihami, dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat (Kajian Fikih
Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Said, Ahmad Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1994.
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sanjaya, Umar Haris dan Aunur Rahim Faqih. Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2017.
Shiddieqy, Nouruzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya. Cet 1,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
(Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yogyakarta:
Liberty, 1982.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1995.
Subroto, Gatot. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. Bandung: Alumni,
1993.
Syamsu, Andi dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Syarifuddin, Muhammad, Dkk. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Taqiyuddin. Kifayatul Akhyar. Juz II, Bandung : Al Haromain Jaya, 2005.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Wafa, Moh. Ali. Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian Dalam Hukum
Islam dan Hukum Materil. Tangerang Selatan: Yasmi, 2018.
Yanggo, Chuzaimah Tahido dan Hafiz Anshary ed. Problematika Hukum islam
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Yaswirman. Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Rajawali, 2011.

108
Zuhaili, Wahbah, Fiqh al-Islām Wa ‘Adillatuhu, Beirut: Darul Fikri, 2004.

109
110
LAMPIRAN

Wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bapak K.M Junaidi di Ruangan Hakim
Kantor Pengadilan Agama Tanjung karang.

Surat Permohonan Izin Penelitian dan Wawancara

111
Surat Balasan Permohonan Izin Penelitian dan wawancara

112
Surat Keterangan Telah Melakukan Riset/Penelitian

113
Pertanyaan yang ditanyakan penulis kepada Narasumber

114
Catatan dan Tanda tangan hakim Pengadilan Agama Tanjung Karang.

115
Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Tanjung Karang

116
Data Rekapitulasi Tentang Perkara yang Diputus Pengadilan Agama Tanjung Karang
2017-2021

117
118

Anda mungkin juga menyukai