Anda di halaman 1dari 108

TINJAUAN MAQASHID SYARIAH TERKAIT CHILDFREE

(TANPA ANAK ATAU BEBAS ANAK)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Rafly Baihaqi Rainald

NIM : 11170430000007

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIFHIDAYATULAH
JAKARTA
2023/1444 H
TINJAUAN MAQASHID SYARIAH TERKAIT CHILDFREE

(TANPA ANAK ATAU BEBAS ANAK)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:
Rafly Baihaqi Rainaldi
NIM : 11170430000007

Pembimbing:

Siti Hanna, Lc., M.A


NIP.19740216008012013

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444H/2023 M

i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul tentang Tinjauan Maqashid Syariah terkait Childfree (Tanpa
Anakatau Bebas Anak). Telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 26 Januari 2023. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar sarjana Program Studi Strata Satu (S1) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum

Jakarta, 12 Februari 2023 Mengesahkan,


Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Muhammad Maksum, S.H., MA., MDC.


NIP. 197807152003121007

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Siti Hanna, Lc., M.A ( )


NIP. 19740216008012013

Sekretaris : Fitria, S.H., MR., Ph.D ( )


NIP. 197908222011012007

Pembimbing : Siti Hanna, Lc., M.A ( )


NIP. 19740216008012013

Penguji I : Dr. Abd. Rahman Dahlan, M.A ( )


NIP. 195811101988031001

Penguji II : Dr. H. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag. ( )


NIP. 196511191998031002

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini :


Nama : Rafly Baihaqi Rainaldi
NIM : 11170430000007
Program Studi : Perbandingan Mazhab

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum (S.H) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan plagiasi karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 12 Februari 2023


Pembuat Pernyataan

Rafly Baihaqi Rainaldi


NIM : 11170430000007

iii
ABSTRAK

Rafly Baihaqi Rainaldi, NIM 11170430000007. Tinjauan Maqashid


Syariah terkait Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak). Skripsi, Program Studi
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 1444 H/2023 M. vii + 75 halaman. Penelitian dalam
skripsi ini bertujuan untuk Untuk mengetahui konstruksi sosial memandang
Childfree sebagai suatu pilihan hidup dalam pernikahan dan Untuk mengetahui
Maqashid Syariah menanggapi terkait Childfree.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan (library research) adalah suatu penelitian
yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis
beberapa data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku seperti
periodikal-periodikal, seperti artikel ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-
kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan materi perpustakaan lainnya yang dapat
dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah. Pendekatan
penelitian menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif yaitu, penelitian
untuk menemukan hukum tentang Maqashid Syariah terkait Childfree (Tanpa Anak
atau Bebas Anak).Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang munakahat,
keluarga, rumah tangga dan Sosial yakni Tinjauan Maqashid Syariah terkait
Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak), dan penelitian ini diharapkan untuk dapat
memberikan pemecahan masalah terkait bentuk Tinjauan Maqashid Syariah terkait
Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak) karena hal ini sering terjadi dikalangan
masyarakat agar kita mengetahun kepastian dari Childfree dalam sudut pandang
Hukum Islam.

Kata kunci : Childfree, Azl, Maqashid Syariah


Pembimbing : Dr. Faud Thohari, M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1992 s.d. 2022

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur terucap hanya bagi Allah SWT.
Tuhan semestaalam yang telah memberikan rahmat, nikmat, hidayah serta karunia-
Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, terkhusus kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi Sarjana Strata Satu (S-1) di Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam
tetap tercurahkan kepada junjungan serta suri tauladan umat manusia yakni Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan juga bagi yang mengikuti dan
memegang teguh sunnahsunnahnya dengan setia hingga hari kiamat kelak.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak sekali
bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin Allah SWT.
Oleh karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkan penulis
mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada :
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc., M.A., Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Siti Hanna, Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Fitriyani, S.Ag., M.H., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Hamid Farihi, M.A. Dosen Pembimbing Akademik yang telah
mengarahkan dan menuntun dalam permulaan pencarian judul skripsi
hingga skripsi ini menjadi nyata.
5. Dr. Faud Thohari, M.A Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membimbing serta memberi arahan dan masukan kepada penulis hingga
proses skripsi terwujud.
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik, mengarahkan,

v
mengevaluasi setiap ilmu yang diberikan, dengan ilmu tersebut skripsi ini
bisa terbantu dan lancar dalam menyusun dan semoga ilmu-ilmu yang
didapat akan terus diamalkan.
7. Seluruh civitas Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, bagian administrasi, Tata Usaha Fakultas
Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
sekaligus seluruh staff dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah memberikan pelayanan yang sangat maksimal dan memuaskan dan
telah banyak berkontribusi dalam kelancaran mengurus berkas dan surat
untuk menyelesaikan studi ini.
8. Orang tuaku, ayahanda Asep Rasyidin S.Ag. dan Ibunda Sri Astuti
Sondari, serta saudara-saudara kandung saya terimakasih sebesar-besarnya
atas kesabaran dalam merawat serta mendidik penulis sampai saat ini.
Serta dukungan dan doa yang tidak pernah ada hentinya mengiringi setiap
perjalanan penulis.
9. Sahabat/i PMII Komfaksyahum yang pernah menjalani masa
kepengurusan bersama dan menjadi teman dalam berdiskusi dan berbagi
relasi dikemudian hari untuk meningkatkan upgrade diri.
10. Teman-teman seperjuangan PMH Angkatan 2017 yang telah menemani
dalam proses belajar selama ini.
11. Semua pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu, namun tidak
mengurangi rasa terima kasih dan rasa syukur penulis terhadap
pelaksanaan serta tersusunnya skripsi ini.

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1


A. Latar belakang Masalah ........................................................ 1
B. Pembatasan dan PerumusanMasalah .................................... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................. 5
D. Tinjauan Kajian Terdahulu .................................................... 6
E. Kerangka Teori ...................................................................... 7
F. Metode Penelitian .................................................................. 13
G. Sistematika Penulisan ........................................................... 15

BAB II TINJAUAN TEORETIS PERKAWINAN DAN MAQASHID


SYARIAH ................................................................................. 16
A. Perkawinan .......................................................................... 16
1. .. Pengertian Perkawinan .................................................. 16
2. Dasar hukum Perkawinan .............................................. 20
3. Tujuan Perkawinan ........................................................ 23
4. Asas Perkawinan ............................................................ 28
B. Azl Dalam Pernikahan ......................................................... 31
1. Pengertian Azl ................................................................ 31
2. Dalil-Dalil Tentang Azl .................................................. 33
3. Faktor-faktor Suami-istri Melakukan Azl ...................... 36
4. Pandangan Ulama Tentang Azl ..................................... 38
5. Pandangan Ulama Tentang Azl ..................................... 39
C. Maqasid Syariah .................................................................. 42
1. Esensi Maqasid Syariah.................................................. 43
2. Prinsip Maqasid Syuariah ............................................... 48
3. Daruriat al-Kam ............................................................. 50

vii
BAB III TINJAUAN UMUM TERKAIT CHILDFREE DAN
KASUSNYA DIINDONESIA ................................................. 53

A. Tinjauan Umum Childfree................................................... 53


1. Definisi Chaldfree .......................................................... 53
2. Alasan Keputusan Childfree ........................................... 54
3. Setigma Pada Pasangan Childfree .................................. 57
B. Kasus Childfree di Indonesia............................................... 60

BAB IV ANALISIS TENTANG CHILDFREE DITINJAU MAQASID


SYARIAH ................................................................................. 64
A. Konstruksi Sosial Tehadap Childfree ditengah Masyarakat
1. Pemahaman Childfree Menurut Masyarakat ................... 64
2. Pemahaman Childfree Menurut Dimensi Islam .............. 65
3. Pandangan Ulama Tentang Azl ....................................... 68
4. Alasan Utama Seseorang Melakukan Childfree ............. 69
5. Metode Yang Digunakan Childfree ................................ 71
6. Dampak Seseorang Melakukan Childfree ...............................76

B. Chaldfree Dalam Perspektif Maqasidu Syariah ................. 78

BAB V PENUTUP ................................................................................ 90


A. Kesimpulan ......................................................................... 90
B. Rekomendasi ....................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 92

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fenomena Childfree telah muncul dalam skala global. Di belahan dunia
Eropa istilah Childfree bukanlah hal yang asing. Karakteristik penduduk yang giat
bekerja, mandiri dan tidak mau direpotkan dengan kehadiran anak menjadialasan
kuat seseorang memutuskan hidup tanpa anak atau Childfree. David Foot, seorang
ekonomi di University of Toronto, berpendapat bahwa kecenderungan untuk tidak
memiliki anak berkorelasi dengan pendidikan perempuan. Wanita berpendidikan
tinggi memiliki keinginan yang kuat untuk tidak memiliki anak atau membatasi
jumlah anak. Mereka biasanya tinggal di perkotaan dan cenderung tidak religius.
Keputusan untuk Childfree bisa ditentukan dalam kurun waktu tertentu maupun
selamanya, sehingga ada kategori Childfree sementara dan Childfree selamanya.1
Sejak bertahun-tahun overpopulasi jadi perhatian banyak pihak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat populasi global berada pada nomor
7,7 miliar orang. Pada 2030 PBB memprediksi pertumbuhan populasi mencapai 8,5
miliar penduduk. ahun 2050, prediksi PBB memberitahuakn bahwa akan terdapat
9,7 miliar populasi. Angka itu akan terus semakin tinggi seiring berjalannya waktu,
sampai dalam tahun 2100, PBB memprediksi 11,2 miliar populasi hidup di Bumi. 2
Seorang Childfree juga memiliki perhatian khusus pada kondisi alam. Mereka
memikirkan kondisi alam di masa yang akan datang. Setiap manusia memiliki
kebutuhan akan pangan, dengan melahirkan anak maka alam juga harus
menyediakan bahan pangan untuk setiap anak yanglahir. Sedangkan kondisi bumi
memang semakin tua dan ketersediaan energi tak mungkin

1
https://www.nu.or.id/post/read/131044/childfree-tren-populasi-dunia-dan-
beragamtantangannya. Diakses pada 15 Agustus 2022 pukul 09.24 wib.

1
2

bersifat selamanya, maka dari itu keseimbangannya harus dijaga dan


jangan sampai terjadi overpopulasi.2

Melihat data yang dirilis world bank, Seiring perkembangan zaman fertilitas
Indonesia terus menurun, dengan angka fertilitas bruto per 1.000 penduduk
Indonesia masih di angka 17,75 pada 2020. Data ini juga didukung oleh hasil sensus
yang dikeluarkan BPS, dimana pertumbuhan penduduk mengalami penurunan.
Laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2010 hingga 2020 sebesar 1,25%, turun
dari 1,49% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kesetaraan gender
membawa angin segar untuk kesejahteraan perempuan. Dimana pada era sekarang
perempuan tidak hanya bergelut di lingkup domestik saja. Melainkan sudah
merambah ke ranah publik, yaitu memiliki karir yang bagus serta keberadaannya
diakui publik. Eksistensinya mempengaruhi dirinya dalam melangkah kedunia
pernikahan. Bahkan sebagiandari mereka yang telah menikah juga enggan memiliki
anak.3
Beberapa waktu lalu mencuat berita tentang pengakuan seorang publik figur
lulusan Free University Jerman yang menyatakan bahwa dirinya memutuskan
untuk Childfree. Perempuan bernama Gita Savitri Devi asal Palembang itu sepakat
dengan suaminya bahwa ingin hidup berdua saja tanpa kehadiran anak. Childfree
dipilih karena khawatir jika ia tidak bisa bertanggungjawab dan akan menimbulkan
luka bagi anaknya. Childfree adalahkeputusan besar yang menjadi prinsip hidupnya
bersama sang suami. Keputusantersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat Indonesia. Di Indonesia sendiri masih kental sekali dengan stigma bahwa
banyak anak banyak rezeki. Selain itu, menyelesaikan pendidikan, menikah dan
memiliki anak adalah sebuah siklus hidup yang menjadi budaya sosial masyarakat
Indonesia. seorang perempuan kerap

2
https://voi.id/bernas/77722/pilih-childfree-khawatir-overpopulasi-bumi-ini-bisa-
menampungberapa- banyak-orang. diakses pada 15 Agustus 2022 pukul 14.21 wib.
3
https://www.medcom.id/foto/grafis/JKRW9apN-fenomena-childfree-di-indonesia.
Diakses 15Agustus 2022 pukul 22.13 wib.
3

tidak dianggap sempurna jika tidak bisa memberikan keturunan. Hal ini sangat
bertentangan sekali dengan Childfree yang menjadi pilihan hidup wanita modern
saat ini.4
Seiring perkembangan zaman, berkembang pula pola pikir manusia.
Memiliki anak bukanlah suatu kewajiban, malinkan sebuah pilihan hidup dan
kesepakatan bersama antara suami dan istri. Memiliki anak tidak hanya melahirkan,
mengasuh dan mendidik saja. Tetapi ada tanggungjawab besar bagaimana kita
memenuhi hak-haknya dan membentuknya menjadi anak yang berkualitas. Selain
Gita Savitri Devi, Cinta Laura juga menyuarakan bahwa dirinya Childfree.
Meskipun belum menikah, ia mantap memutuskan untuk Childfree karena prihatin
dengan fakta sosial yang ada. Salah satunya fakta sosial mengenai banyaknya anak
yang hidup terlantar. Cinta Laura berargumenbahwa lebih baik ia merawat anak-
anak yang terlantar daripada menambah jumlah manusia.5
Pola pikir seperti itu tidak hanya dijumpai pada perempuan di kota besarsaja.
Namun sudah terfikirkan oleh perempuan-perempuan yang telah melek pendidikan
dan memiliki pikiran terbuka terhadap realitas sosial serta perkembangan zaman
temasuk perempuan yang ada di Kota Sidoarjo. Sidoarjo merupakan kabupaten
penyangga ibu kota Jawa Timur. Sektor industri Sidoarjoberkembang sangat pesat
karena salah satu lokasi pusat bisnis di Indonesia adalah Kota Surabaya, dimana
kota tersebut lokasinya berdekatan dengan Sidoarjo. Selain itu juga menjadi
penyongkong roda perekonomian di Jawa Timur. Kabupaten yang disebut
pinggiran Kota Surabaya ini juga tidak kalah dalam menyediakan layanan
transportasi umum seperti Surabaya, Sidoarjo memiliki bus Trans Sidoarjo yang
akan berhenti di setiap halte yang telah disediakan pemerintah.

Kemajuan bidang teknologi dan semakin membaiknya bidang pendidikan


menjadi awal perubahan pola pikir seseorang tak terkecuali perempuan. Banyak

4
Tomas Frejka, “Childlessness in the United States,” Demographic Research Monographs,
no. November 2016 (2017): 159–79, https://doi.org/10.1007/978-3-319-44667-7_8, h. 1.
5
Miwa Patnani, Bagus Takwin, dan Winarini Wilman Mansoer, “Bahagia tanpa anak? Arti
penting anak bagi involuntary childless,” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 9, no. 1(2021): 117,
https://doi.org/10.22219/jipt.v9i1.14260, h. 118.
4

perempuan yang berpendidikan tinggi dan sukses di dunia karir. Memiliki karir yang
bagus tidak hanya cita-cita laki-laki. Perempuan pun tidak ingin ketinggalan dan
terus ingin menunjukkan eksistensinya. Tak sedikitperempuan yang ingin menjadi
wanita karir dan mengesampingkan kodratnya yang cepet atau lambat akan bergelar
sebagai ibu. Bahkan ada juga yang rela tidak ingin menjadi ibu demi sebuah karir.
Artinya Childfree menjadi salah satu pilihan untuk eksis diranah publik tanpa
terhambat oleh keberadaan anak. Meskipun memiliki anak adalah sesuatu yang
diidam-idamkan dalam sebuah pernikahan pada umumnya. Baik dari pasangan
sendiri maupun keluarga besar. Biasanya mereka memutuskan untuk Childfree
sementara hingga apa yang menjadi keinginanya telah tercapai dan terpenuhi,
misalnya memutuskan Childfree sementara hingga lulus kuliah.6
Perempuan bebas menentukan pilihan hidupnya walaupun sudah berstatus
sebagai istri. Keinginan untuk Childfree patut disuarakan karena ketika memiliki
anak perempuanlah yang paling berperan. Dalam dunia pernikahan hak untuk
menyuarakan pendapat dan menentukan jalan hidup masih dimiliki perempuan.
Sebagian dari mereka telah berani mengambil keputusan Childfree dalam
pernikahan. Banyak faktor yang melatarelakangi perempuan berstatus istri memilih
untuk Childfree. Perempuan yang Childfree memiliki pola pikir yang berbeda
dengan perempuan pada umumnya. Bagi sebagian orang berpendapat bahwa
menjadi ibu artinya menjadi perempuan seutuhnya. Dengan adanya realitas
tersebut, peneliti pun tertarik untuk menelititentang Childfree yang sering dijumpai
di dunia termasuk Indonesia. Banyaknya jumlah perempuan dibandingkan laki-laki
dan semakin memburukanya akses ruang publik terhadap wanita semakin
meningkatkan jumlah wanita berprestasi dan sukses. Sehingga merubah pola
pikirnya terhadapkehadiran anak dalam keluarga. Atas dasar itulah maka penulis
memutuskan untuk membuat skripsi yang berjudul tentang; Tinjauan Maqashid
Syariah terkait Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah.

6
Frejka, “Childlessness in the United States”, h. 1.
5

Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah dengan jelas maka,
penulis membatasi masalah yang dibahas mengingat keterbatasan waktu dalam
proses penyusunan agar pembahasan tidak meluas dan menyimpang dari
permasalahan yang ada. Karena itu, penulis memfokuskan penelitian ini pada
Tinjauan Maqashid Syariah terkait Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak).
Atas adanya pemahaman ini menjadi sebuah pro dan kontra ditengah
Masyarakat alasan kenapa beberapa orang menjalani ChildFree.
2. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
a. Bagaimana konstruksi sosial memandang Childfree sebagai suatu pilihan
hidup dalam pernikahan ?
b. Bagaimana Maqashid Syariah menanggapi terkait Childfree ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Dengan adanya semua perumusan diatas diharapkan adanya suatu kejelasan
yang dijadikan tujuan bagi penulis dalam skripsi ini. Tujuan yang ingin
dicapai dalam penulisan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui konstruksi sosial memandang Childfree sebagai
suatu pilihan hidup dalam pernikahan
b. Untuk mengetahui Maqashid Syariah menanggapi terkait Childfree
2. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian yang dilakukan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak yang
memiliki kepentingan dengan Penelitian Hukum ini, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya bidang munakahat, keluarga,
rumah tangga dan Sosial yakni Tinjauan Maqashid Syariah terkait
Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak)
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan pemecahan masalah
6

terkait bentuk Tinjauan Maqashid Syariah terkait Childfree (Tanpa


Anak atau Bebas Anak) karena hal ini sering terjadi dikalangan
masyarakat agar kita mengetahun kepastian dari Childfree dalam sudut
pandang Hukum Islam penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran kepada berbagai pihak terkait yang melakukan
penelitian dengan topik yang sama dikemudian hari.
D. Review Studi Terdahulu
Pada penelitian skripsi ini, penulis telah melakukan telaah kepustakaan yang
bersumber pada buku dan skripsi tentang Tinjauan Maqashid Syariah terkait
Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak) :
1. Skripsi tentang Childfree sebagai Pilihan Hidup Perempuan Berkeluarga
dikabupaten Sidoarjo, ditulis oleh Novalinda Rahmayanti UIN Sunan Ampel
Sunan Ampel Surbaya, Jurusan Sosiologi 2022, pada skripsi ini membahas
kasus Childfree yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo yang dimana Childfree
menjadi sebuah pilihan hidip. Persamaannya masih membahas terkait
Childfree namun perbedaannya tulisan ini membahas kasus di Sidoarjo tidak
membahas terkait Maqashid Syariah.
2. Skripsi tentang Konsep Childfree perspektif Pendidikan Keluarga dalam
Islam, ditulis oleh Alda Ismi Azizah Insitut Agama Islam (IAIN) Ponorogo,
Jurusan Pendidikan Agamam Islam 2022, pada skripsi ini membahas konsep
Childfree dalam perspektif Pendidikan Keluarga Islam. Persamaannya masih
membahas terkait Childfree namun perbedaannya tulisan ini membahas
Pendidikan Keluarga Islam tidak membahas terkait Maqashid Syariah.
3. Skripsi tentang Fenomena Keputusan Childfree dalam perspektif Al- Qur’an,
ditulis oleh Karunia Hazyimara UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jurusan
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2022. pada skripsi ini membahas Childfree dalam
perspektif Al-Qur’an. Persamaannya masih membahas terkait Childfree namun
perbedaannya tulisan ini membahas dariperspektif Al-Qur’an tidak membahas
terkait Maqashid Syariah.
4. Jurnal tentang Analisis Fenomena Childfree di Masyarakat: Studi Takhrij dan
Syarah Hadis dengan Pendekatan Hukum Islam, yang ditulis oleh M. Irfan
7

Farraz Haecal, Hidayatul Fikra, Wahyudin Darmalaksana, Gunung Djati


Conference Series, Volume 8 (2022) The 2nd Conference on Ushuluddin
Studies, Jurnal ini membahas pendekatan hukum Islam dari Studi Takhrij dan
Syarah Hadis terakit Childfree, Persamaannya masih membahas terkait
Childfree namun perbedaannya tulisan ini membahas Studi Takhrij dan Syarah
Hadis tidak membahas terkait Maqashid Syariah.
5. Jurnal tentang Keharmonisan Keluarga tanpa Sang Buah Hati, ditulis oleh
Dhea Nila Aryeni Jurnal Ilmiah Bandung 2022, Jurnal ini membahas
pendekatan keharmonisan keluarga tanpa sang buah hati karena masih sesuai
dengan terkait Childfree, Persamaannya masih membahas terkait Childfree
namun perbedaannya tulisan ini lebihh ke sudut pandang psikologi tidak
membahas terkait Maqashid Syariah
E. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teori yang berkaitan
langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkanagar
pembahasan dalam penulisan ini lebih terarah tetap pada koridornya, ada pun teori
yang akan digunakan sebagai berikut :
1. Perkawinan

Konsep perkawinan memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, secara


yuridis dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 1 menyatakan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pertimbangannya adalah negara Pancasila dimana sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan erat sekali dengan
agama/kehoranian, sehingga perkawinan bukan saja mempunya unsur
batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Definisi Perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam
naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama,
yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang
8

layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan.Perkawinan itu


merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat
mendalam dari masing- masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara
kelangsungan manusia di bumi. Perkawinan merupakan suatu persatuan.
Persatuan itu diciptakan oleh cinta dan dukungan yang diberikan oleh seorang
pria pada isterinya, dan wanita pada suaminya.7
Menurut Goldberg dalam Yuwana & Maramis, 2003, perkawinan
merupakan suatu lembaga yang sangat populer dalam masyarakat, tetapi
sekaligus juga bukan suatu lembaga yang tahan uji. Perkawinan sebagai
kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban yang bertahan lama dan bahkan
abadi serta pelesatarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
inter-personal.8
Menurut Kartono, pengertian perkawinan merupakan suatu institusi
sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna
perkawinan berbedabeda, tetapi praktek-prakteknya perkawinan dihampir
semua kebudayaan cenderung sama perkawinan menunujukkan pada suatu
peristiwa saat sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal dihadapan
ketua agama, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara
resmi dengan upacara dan ritual-ritual tertentu. Menurut Saxton, perkawinan
memiliki dua makna, yaitu :
a. Sebagai suatu institusi sosial Suatu solusi kolektif terhadap kebutuhan
sosial. Eksistensi dari perkawinan itu memberikan fungsi pokok untuk
kelangsungan hidup suatu kelompok dalam hal ini adalah masyarakat.
b. Makna individual Perkawinan sebagai bentuk legitimisasi (pengesahan)
terhadap peran sebagai individual, tetapi yang terutama, perkawinan di
pandang sebagai sumber kepuasan personal.9
2. Tentang Azl

7
Djubaedah, Neng, 2010, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
HukumTertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
8
Bachtiar, A. (2004). Menikahlah, Maka Engkau Akan Bahagia. Yogyakarta : Saujana
9
Sanjaya Yasin, Pengertian Perkawinan Makalah, Masalah, Tujuan, Definisi, Perkawinan
Menurut ParaAhli, 25 Maret 2017.
9

Menurut Abu Zarkasi al-Anshori bahwa Azl itu ialah :

‫والعزل وهو أن ينزل بعد اجلماع خارج الفرج‬


“Azl adalah Mengeluarkan air mani setelah melakukan hubungan seksual di
luar vagina”
Bahkan menurut Ibnu abas menjelaskan

‫فقد قال ابن عباس العزل هو الوأد األصغر فإن املمنوع وجوده به هو املوءودة الصغرى‬
“Azl adalah kelahiran terkecil, karena mencegah wujudnya janin yang
melahirkan si buah hati”.

Azl adalah salah satu metode kontrasepsi tertua di dunia sebagai cara
efektif untuk mencegah kehamilan. Ini juga sudah masyhur di zaman
Rasulullah saw yang dipraktekkan sebahagian sahabat dan kaum muslimin
pada masa itu. Ini dilakukan sebagai tindakan kontraseptif mencegah
kehamilan. Sementara pada masa itu al- Qur‟an masih diwahyukan dan tidak
ada nash ayat yang melarangnya. Demikian juga dengan Rasulullah saw pun
tidak melarang mereka dari melakukan azl. Sebagaimana hadis Rasulullah saw
dari sahabat Jabir ra yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya. 10

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق َال إِ َّن يل َجا ِريًَة‬ ِ ِ ِ


َ ْ‫َع ْن َجابِ ٍر قَ َال َجاءَ َر ُج ٌل م ْن ْاألَن‬
َ ‫صا ِر إِ ََل َر ُسول اهلل‬
ِ
َ ِ‫ت فَِإنَّهُ َسيَأْتِ َيها َما قُد َر ََلا قَ َال فَلَب‬
‫ث‬ ِ ِ
َ ‫وف َعلَْي َها َوأَنَا أَ ْكَرهُ أَ ْن َْتم َل فَ َق َال ْاع ِزْل َعْن َها إِ ْن شْئ‬
ُ ُ‫أُط‬
11
.‫ك أَنَّهُ َسيَأْتِيها ما قدر َلا‬
َ ُ‫َخبَ ْرت‬
ْ ‫ت قَ َال قَ ْد أ‬ ْ ‫الر ُج ُل ُُثَّ أَتَاهُ فَ َق َال إِ َّن‬
ْ َ‫اجلَا ِريَة قَ ْد ََحَل‬ َّ
“Dari sahabat Jabir, berkata : “Salah seorang dari kalangan Anshar datang
menemui Rasulullah saw lalu ia berkata : Sungguh aku memiliki jariah
sedang aku sendiri menggaulinya, akan tetapi aku tidak mengginginkannya
hamil. Kemudian Rasulullah saw memerintahkan lakukanlah „azl jika engkau

10
La Ode Ismail Ahmad,2010. ‘Azl (Coitus Interruptus) Dalam Pandangan Fukaha, Jurnal
Hukum Diktum, STAIN Pare-Pare,vol.8,no.1.h.1
11
Sulaiman bin Al-Asy’ats. Abu Daud, Sunan Abu Daud. Bab ‘Azl. Juz VI.Mauqi’
AlIslam.no.1.858.h.80
10

menghendaki karena dengan begitu hanya akan masuk sekedarnya saja. Atas
dasar itulah kemudian ia melakukan „azl. Kemudian ia mendatangi
Rasulullah saw dan berkata : Sungguh jariah itu telah hamil, maka Rasulullah
saw pun berkata : “Aku telah beritahu kamu bahwa sanya sperma akan masuk
sekedarnya (ke rahimnya) dan akan membuahi”
3. Childfree

Morgan (1991) berpendapat bahwa periode tidak memiliki anak yang


tinggi pada akhir abad ke sembilan belas dan awal abad dua puluhan terutama
disebabkan oleh motivasi yang kuat untuk menunda pernikahan dan
melahirkan anak, yang pada akhirnya mengakibatkan banyak wanita tetap
tidak memilliki anak, meskipun itu bukanlah tujuan awal mereka. Ketika
memasuki usia produktif, tidak sedikit orang yang terlena dalam mencari
uang. Mereka memanfaatkan usia mudanya untuk giat bekerja mencari uang
dan memperbaiki karirnya. Tak terasa usia terus berjalan dan tak kunjung
menikah, walaupun sudah menikah juga tidak sedikit dari mereka yang
menunda memiliki anak. Sehingga cenderung sulit mendapatkan pasangan
atau anak karena sudah memasuki usia yang rentan untuk hamil. Akhirnya
secara tidak sengaja menjadi perempuan Childfree, bahkan sekalipun tidak
terencanakan sebelumnya. McAllister dan Clarke (1998) menyusun
rangkaian kategori orangorang yang tidak memiliki anak, membedakan
antara mereka yang sejak awal yakin tidak menginginkan anak, mereka yang
menjadi yakin bahwa mereka tidak menginginkan anak setelah mengalami
beberapa keraguan di masa lalu, mereka yang menerima anak-anak, mereka
yang ambivalen dan, terakhir mereka yang merasa keputusan itu diambil
untuk mereka. 7 Keputusan Childfree tidak semata-mata terjadi tanpa sebab
dan menolak kodrat sebagai perempuan untuk mengandung dan melahirkan,
melainkan terbagi menjadi beberapa macam, seperti tidak menginginkan
sejak awal entah karena lebih memilih berkarir atau lainnya.
Ada beberapa faktor seseorang memutuskan untuk Childfree.
Diantaranya yaitu masalah finansial, semakin modern zaman menjadikan
seseoarng berfikir realistis. Ketika memiliki anak maka biaya yang harus
11

disiapkan tidak sedikit. Mulai dari segala keperluan anak, biaya pendidikan
dan asuransi kesehatannya. Sedangkan masyarakat kontemporer masih
meyakini dan melekat dengan stigma banyak anak banyak rezeki sehingga
memiliki anak bukanlah suatu masalah besar meskipun tidak didukung
dengan finansial yang baik. Selain itu kekhawatiran atas tumbuh kembang
anak juga menjadi pertimbangan besar karena memiliki anak juga harus siap
membimbing dan mendidik serta memberi pendidikan yang terbaik supaya
anak tumbuh menjadi manusia yang berkualitas.12
Seseorang yang tidak memiliki anak karena pilihannya sendiri
memiliki cara pandang yang berbeda dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki anak karena faktor lain seperti masalah kesehatan dan kesuburan.
Involuntary childless yang memandang anak secara positif memiliki
keyakinan bahwa kehadiran anak membawa dampak positif, sehingga kondisi
tidak memiliki anak dianggap sebagai hal yang mengecewakan, begitu pula
sebaliknya jika anak dilihat secara negatif maka kehadiran anak dianggap
sebagai beban sehingga ketika dalam perkawinannya tidak memiliki anak,
pasangan ini justru menganggap sebagai hal yang menguntungkan. Hal ini
tidak terlepas dari adanya perubahan cara pandang terhadap perkawinan dari
yang bersifat institusional menjadi perkawinan yang bersifat individual
(Lamanna & Riedmann, 2012).8
4. Maqashid Syariah
Maqashid al-syariah secara etimologi (bahasa) terdiri dari dua kata,
yakni maqashid dan syariah. Maqashid, adalah bentuk jamak dari maqhsud,
yang berarti “kesengajaan atau tujuan”. Syariah, secara bahasa berarti “jalan
menuju air” yang mengandung konotasi keselamatan. Inti dari Maqãshid
Syari’ah ini adalah penetapan hukum Islam harus bermuara kepada
kemaslahatan. Kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at harus mampu

12
Francesca Fiori, Francesca Rinesi, and Elspeth Graham,“Choosing to Remain Childless?
A Comparative Study of Fertility Intentions Among Women and Men in Italy and
Britain,”European Journal of Population 33, no.3 (2017): 319–50, https://doi.org/10.1007/s10680-
016-9404-2.
12

untuk melakukan penjagaan terhadap lima hal, yaitu addien (agama), nafs
(jiwa), alaql(akal), nasl (keturunan) dan maal (harta).13
Maqashid berasal dari bahasa Arab maqashid yang merupakan
bentuk jamak dari kata maqsad, yang merupakan bentuk dari masdar mimi.
Maqshid secara bahasa memiliki beberapa pengertian: pertama, pegangan;
mendatangkan sesuatu, kedua, jalan yang lurus, ketiga, keadilan;
keseimbangan, keempat, pecahan. Bagi sejumlah teoretikus hukum Islam,
maqashid adalah pernyataan alternatif untuk masalih atau
kemaslahatankemaslahatan.Maqashid al-Syari’ (qashid al-Syari’) adalah
maksud dan tujuan Allah menurunkan aturan syari’at seperti terkandung di
dalam firmannya.14
Sedangkan Syariah secara etimologi berarti jalan menuju sumber air,
jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber
kehidupan. Orang arab dahulu menggunakan kata ini untuk menunjukkan
suatu jalan ke tempat memperoleh air minum yang secara permanen, syariat
berarti suatu jalan yang jelas untuk diikuti.15
Maqashid al-syariah adalah hikmah-hikmah, rahasia-rahasia dan
target umum yang ingin dicapai oleh agama lewat berbagai perangkat-
perangkat hukumnya yang terkandung dalam teks-teks suci Allah. Di sisi lain,
maqashid syariah bisa dimaknai sebagai pesan-pesan subtantif yang
ditangkap dari hukum-hukum syariah yang bertebaran diberbagai teks-teks
suci Syariah baik al-Qur’an maupun hadis. Karena itu pula maqaashid syariah
sering diartikulasikan sebagai universalitas Islam dan dimaknai ajaran Islam
yang tidak bisa diabaikan dalam kondisi bagaimanapun misalnya ajaran
keadilan, persamaan (equality), kebebasan (freedom) ajaran kerahmatan dan

13
Miwa Patnani, Bagus Takwin, and Winarini Wilman Mansoer, “Bahagia Tanpa Anak?
Arti PentingAnak Bagi Involuntary Childless,” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 9, no. 1 (2021):
117, https://doi.org/10.22219/jipt.v9i1.14260.
14
Nasrullah Yahya, Maqashid Al-Syari’ah Ibnu Asyur, (Aceh Utara: CV. Sefa Bumi
Persanda, 2014), hlm. 40
15
Al Yasa’ Abu Bakar, Metode Istislahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqh, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2016), h.78
13

kemashlatan.16
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian kepustakaan (library research) adalah suatu penelitian
yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis
data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku seperti
periodikal-periodikal, seperti artikel ilmiah yang diterbitkan secara berkala,
kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan materi perpustakaan lainnya yang
dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah13 Adapun
yang menjadikan obyek penelitian ini adalah tentang Tinjauan Maqashid
Syariah terkait Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak)
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat
digunakan untuk mengumpulkan data. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu; Metode kualitatif metode yang digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna.
Makna adalah data yang sebenarnya data yang pasti yang merupakan suatu
nilai di balik data yang tampak. Adapun pengumpulan data pada skripsi ini
sebagaiberikut diantaranya :
a. Data yang dibutuhkan atau diperlukan
Penelitian ini data yang diperlukan adalah data tentang Materi dari
beberapa ulama terkait Maqaashid Syariah dan materi terkait Childfree
dari beberapa tokoh agar dapat dianalisis dari keduanya terkait kepastian
Hukum dari adanya Child Free.
b. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan pada skripsi ini adalah :
1) Data primer: data primer ini sebuah karya tulis baik berupa skripsi,

16
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah (terj. Rosidin dan Ali
Abd el- Mun.im) (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2015), h. 32
14

tesis, jurnal, dan buku-buku tentang pernikahan, keluarga, rumah


tangga, al-Quran, as-Sunnah, Kitab-kitab fiqih, Seperti kitab Usul
Fiqih islamiyah karangan Wahbah al-Zuhaili dan Kitab Fikih seperti
kitab Fiqh al-Islami karangan Wahbah al-Zuhaili, Adapun
pembahasan Azl Penulis Menuqil dari beberapa kitab seperti, kitab
Ihya Ulumudin karangan Imam Ghazali, dan Kitab Asna Muthalib
karangan Imam Zarkashy al-Anshori.
2) Data sekunder: data ini sebagai penunjang data primer dan penyusun
menggunakan data sekunder seperti, artikel-artikel dan jurnal-jurnal
terkait Adab Jima’ atau Azl, atau juga web seperti link tanya jawab
Darul Ifta.com Mesir yang menyajikan beberapa referensi seputar
fikih, Penulis juga mengambil beberapa referensi dari Website
Shamela.com, Waqfeya.com untuk mencari ibaroh-ibaroh yang
terkait.
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
yaitu, penelitian untuk menemukan hukum tentang Maqashid Syariah terkait
Childfree (Tanpa Anak atau Bebas Anak). Memahami alasan, dampak, tujuan
dari Childfree oleh pasangan suami istri dan kepastian hukum Childfree yang
ditinjau dari Maqashid Syariah agar dapat menjawab salah satu permasalahan
di masyarakat dalam urusan rumah tangga.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis baik secara
induktif maupun deduktif. Metode induktif digunakan untuk menganalisis
tentang bagaimana Maqashid Syariah terkait Childfree (Tanpa Anak atau
Bebas Anak), melihat dari beberapa pernyataan Ulama terkait Maqashid
Syariah dan pemahaman Childfree yang sedang marak dimasyarakat.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini agar teratur dan berurutan dengan baik, maka
pembahan proposal ini dibangun secara sistematis, sehingga diharapkan dapat
diperoleh kejelasan yang cukup maksimal dari informasi yang termuat dalam
15

skripsi ini. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut :


BAB I : Pendahuluan, Dalam Bab ini merupakan Pendahuluan yang terdiri dari
Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Review Srudi Terdahulu, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan
Sistmetaika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Teoritis tentang Perkawinan, Azl dan Maqashid Syariah,
Dalam Bab ini menjelaskan terakit pembahasan Perkawinan, Azl dan Maqashid
Syariah.
BAB III : Tinjauan Umum terakit Childfree dan kasusnya di Indonesia, Dalam
Bab ini memaparkan terkait pembahasan Childfree dan beberapa kasus dari
Childfree.
BAB IV : Analisis tentang Chilfree ditinjau dari Maqashid Syariahyakni Hifdz
Al-Nasl, Dalam Bab ini menjelaskan Dampak Positif dan Negatif dari Childfree
dan Analisis Childfree ditinjau dari perspektif Maqashid Syariah
BAB V : Penutup, Dalam Bab ini merupakan Penutup yang berisi Kesimpulan
yang menjawab Rumusan Masalah dan Saran dari penulisan tentang penelitian ini
dan dilengkapi Daftar Pustaka.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS PERKAWINAN DAN MAQASID SYARIAH
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Secara etimologis perkawinan dalam bahasa Arab berarti nikah atau zawaj.
Kedua kata ini tang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arabdan banyak
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Nikah mempunyai arti Wath’i, Al-
Dhommu, Al-Tadakhul, Al-jam’u atau ibarat‘an al-wath aqd yang berarti
bersetubuh atau hubungan badan atau juga berkumpul. Perkataan nikah
mengandung dua pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya dan arti kiasan .
Dalam pengertian yang sebenarnya kata nikah itu berarti berkumpul sedangkan
dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian kawin.17
Beberapa ahli hukum memberikan beragam pengertian atau definisi dari
kata nikah, diantaranya seperti yang di kemukakan oleh Soemiyati, yang
merumuskan nikah itu merupakan perjanjian perikatan antara seorang laki-laki
dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian tapi perjanjian
suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang wanita.
Suci disini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan. Sementara itu
Zahry Hamid menulis sebagai berikut; yang dinamakan nikah menurut syara’
ialah akad (ijab kabul) antara wali dan mempelai laki-laki dengan ucapan
tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya. Dalam pengertian luas, pernikahan
atau perkawinan adalah “suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
seorang perenpuan untuk hidup berketurunan, yang dilangsungkan menurut
ketentuan syariat Islam”.18
Pengertian perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 (UU Nomor 1 Tahun 1974) tentang Perkawinan: “Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

17
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 9.
18
Abu Isa Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, ed. oleh Basyar Awaad Ma’ruf, 1 ed., vol. 2
(Beirut: Dar al Garb al Islamy, 1996), h. 345.

16
17

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan ialah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-
tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya
bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal, untuk itu suami isteri perlu salingmembantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan materil”.
Perkawinan harus dilandasi rasa saling cinta dan kasih sayang antara
suami dan istri, senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadiyang
didasarkan kepada keTuhanan Yang Maha Esa. Seperti yang dirumuskan dalam
Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur
bathin juga mempunyai peranan yang penting.19
Perkawinan dalam istilah agama islam disebut dengan nikah ialah suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang lakilaki dengan
seorang perempuan yang menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak dengan dasar sukarela dan kerelaan kedua belah pihak, untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup yang diliput rasa kasih sayangdan ketentraman dengan
cara yang diridhoi oleh Allah SWT. Pengertian perkawinan menurut islam yang
di kutip M. Idris Ramulyo mengatakan bahwa : “Perkawinan menurut islam
ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
antaraseorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang
kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram dan kekal”.
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, memberikan arti nikah menurut istilah
syara ialah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan

19
Mardani, Hukum Perkawinan Islam: di Dunia Islam Modern, (Yokyakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 4
18

seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semaknadengannya.20


Pendapat Ahli Ushul, mengartikan arti nikah, yaitu :
1. Ulama Syafi’iyah, berpendapat : Kata nikah, menurut arti sebenarnya
(hakiki) berarti akad, dan dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti nikah
berarti bersetubuh dengan lawan jenis
2. Ulama Hanafiyah, berpendapat : Kata nikah, menurut arti sebenarnya
(hakiki) berarti bersetubuh dan dalam arti tidak sebenarnya (majazi) arti
nikah berarti akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan
wanita, pendapat ini sebalinya dari pendapat ulama ulama syafi’iyah.
3. Ulama Hanabilah, abu qasim al-zajjad, imam yahya, ibnu hazm,
berpendapat : bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang
disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua
pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya, mengandung dua unsur
sekaligus, yaitu kata nikah sebagai akad dan bersetubuh Menurut ketentuan
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang.21
Perkawinan, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita, sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sesuai dengan rumusan pengertian perkawinan tersebut,
maka dapat diketahui bahwa dalam suatu perkawinan ada 3 (tiga) unsur
pokok yang terkandung didalamnya yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria danseorang
wanita.
2. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal
3. Perkawinan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.22

20
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath Al-Wahab (Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t), h.
30
21
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, BukuPertama (Jakarta : LSIK, 1994), h. 53
22
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang Nomor 1Tahun 1997, Tentang Perkawinan), (Yogyakarta, 1986), h. 8
19

Pengertian perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 1 UU No, 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan, oleh Abdulkadir Muhammad dijelaskan sebagai
berikut :
1. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk
menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua belah pihak
dan pihak lain dalam masyrakat. Sedangkan ikatan batin adalah
hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama dengan
sungguh-sungguh yang mengikat kedua belah pihak
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita artinya dalam satu masa
ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dengan seorang
wanita saja. Pria dan wanita adalah jenis kelamin sebagai karunia
Tuhan, bukan bentukan manusia.
3. Suami istri adalah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari
adanya ikatan lahir dan batin berarti tidak ada pula fungsi sebagai suami
istri.
4. Setiap perkawinan pasti ada tujuannya, dimana tujuan tersimpul dalam
fungsi suami istri oleh karena itu tidak mungkin ada fungsi suami istri
tanpa mengandung suatu tujuan.23
5. Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil,
yang terdiri dari suami, istri dan anak anak. Membentuk rumah tangga
artinya membentuk kesatuan hubungan suami isteri dalam suatu wadah
yang disebut rumah kediaman bersama.
6. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami, isteri dan
anak-anak dalam rumah tangga.
7. Kekal artinya langsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh
diputuskan begitu saja atau dibubarkan hanya menurut kehendak suami
istri.
8. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinyaperkawinan
itu tidak terjadi begitu saja menurut kemauan para pihak melainkan

23
Abd. Shomad, Hukum Islam, Jakarta: Kencana, cetakan 2, 2012), hal 86
20

sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk yang beradab.


Itulah sebabnya sehingga perkawinan dilakukan secara keadaban pula
sesuai dengan ajaran agama yang dturukan kepada manusia.24
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawadahdan warohmah. Atas dasar
pengertianpengertian yang dijelaskan tersebut, baik pengertian
Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
maupun pengertian yang dikemukakan oleh para pakar, maka dapat
diketahui bahwa perkawinan dapat terjadi melalui hubungan yang
dibentuk oleh seorang pria dan seorang wanita baik lahir maupun
bathin. Hubungan itu bertujuan untuk menciptakan keluarga yang
damai, tentram dan bahagia sebagai cita-cita sebuah bahtera rumah
tangga.25
2. Hukum Perkawinan
Dasar pensyariatan nikah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma.
Namun sebagian ulama berpendapat hukum asal melakukan perkawinan
mubah (boleh). Pada dasarnya arti “nikah” adalah akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam pertalian suami istri.
Mengenai dasar hukum tentang nikah, telah diatur dalam AlQur’an surat an-
Nur ayat 32 :
ِ ِ ‫صيب ِِّّمَّا ا ْكتَسب وا ٖ ولِلن‬ ِ ِ ِ ٍ ‫ض ُكم ع ّٰلى ب ع‬ ّٰ ‫وََل تَتمنَّوا ما فَض‬
‫ب‬
ٌ ‫ِّساۤء نَصْي‬
َ َ َُْ ٌ ْ َ‫ض ٖ ل ِّلر َجال ن‬ ْ َ َ ْ َ ‫َّل اللهُ بِهٖ بَ ْع‬ َ َ ْ ََ َ
‫ضلِهٖ ٖ اِ َّن ّٰالل َه َكا َن بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِْي ًما‬ ّٰ
ْ َ‫ْب ٖ َو ْسَلُوا الل َه ِم ْن ف‬
َْ ‫ِِّّمَّا ا ْكتَ َس‬

24
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, (Fak Hukum
UnsoedPurwokerto), 2005, h. 17
25
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad: Islamic
Research Instute,1970), hal. 24
21

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan


juga orang-orang yang layak (menikah) dari hambahamba sahayamu yang laki-
laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan
kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui.”
Hukum melakukan pernikahan, menurut Ibnu Rusyd seperti yang
dikutip oleh Abdul Rahman Ghozali, menjelaskan bahwa segolongan fuqaha
yakni, jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya
sunnat. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama
Malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian
orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.
Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya penafsiran dari bentuk kalimat
perintah dalam ayat-ayat dan hadis yang berkenaan dengan masalah ini.26
Terlepas dari pendapat imam-imanm mazhab, berdasarkan nashnash,
baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum
muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian,
kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya, maka melakukan
pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh, ataupun
mubah.27
a. Melakukan Pernikahan yang hukumnya Wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan utuk menikah
dan akan dikhawatirkan akan terjerumus pada perbuatan zina seandainya
tidak menikah maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut
adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap
muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Hukum
melakukan pernikahan bagi orang tersebut merupakanhukum sarana sama
dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.28

26
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, Cetakan 4, 2010), h. 14
27
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang, (Liberty Yogyakarta, 1982),
h. 12
28
Muhammad Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ed. oleh Ahmad Al-Barduni
danIbrahim Atfisy, 3 ed., vol. 14 (Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah, 1964), h. 17.
22

b. Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Sunnah


Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan
bagi orang tersebut adalah sunnat.
c. Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai


kemampuan serta tidaak mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan
perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Termasuk juga hukumnya
haram pernikahan bila seseorang menikah dengan maksud untuk
menelantarkan orang lain, misalnya wanita yang dinikahi itu tidak diurus
hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan orang lain.29
d. Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinanjuga
cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak menikah.
Hanya saja orang ini tida mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat
memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.
e. Melakukan Pernikahan itu yang Hukumnya Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Perkawinan orang
tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan
tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan
penghambatnya untuk menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan

29
Djoko Prakoso dan Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), h. 20
23

orang yang akan melakukan pernikahan, seperti mempunyai keinginan


tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk
melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.30
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad
yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari
perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada
sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin
dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh
oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad perkawinan itu, maka
pergaaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah.31

3. Tujuan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebutdapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Membentuk keluarga (rumah tangga)
a. Keluarga
Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu kesatuan
kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas
perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu dan anak- anaknya.
Akan tetapi tanpa adanya anakpun keluarga sudah ada atau sudah terbentuk,
adanya anak-anak menjadikan keluarga itu ideal, lengkap, atau sempurna.32
b. Rumah Tangga
Konsep rumah tangga dituliskan didalam kurung setelah istilah keluarga,

30
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 186
31
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath Al-Wahab (Singapura : Sulaiman Mar’iy, t.t), h.
30
32
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, BukuPertama (Jakarta : LSIK, 1994), h. 53
24

artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk keluarga begitu saja,


akan tetapi secara nyata harus terbentuk suatu rumah tangga, yaitu suatu
keluarga dengan kehidupan mandiri yang mengatur kehidupan ekonomi
dan sosialnya (telah memiliki dapur atau rumah sendiri).
c. Bahagia
Kehidupan bersama antara suami-isteri dalam suasana bahagia merupakan
tujuan dari pengertian perkawinan, untuk tercapainya kebahagiaan ini maka
pada pasal 1 disyaratkan harus atas dasar “ikatan lahir batin’’ yang
didasarkan atas kesepakatan (konsensus) antara calon mempelai pria dan
calon mempelai wanita
d. Kekal
Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya
untuk waktu sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai waktu
yang lama. Kekal juga menggambarkan bahwa perkawinan itu bisa
berlangsung seumur hidup, dengan kata lain tidak terjadi perceraian dan
hanya kematian yang memisahkan.33
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah
dijelaskanunsur-unsurnya diatas secara ideal maupun secara yuridis harus
dilakukandengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus
dilakukanmenurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan
yang dianutoleh calon pengantin pria maupun wanita. Arti dari unsur yang
terakhir inisebetulnya merupakan dasar fundamentaldari suatu perkawinan
atas dasar nilai-nilai yang bersumber dan berdasar atas Pancasila dan
UUD1945. Falsafah Pancasila telah memandang bahwa manusia Indonesia
khususnyadalam perkawinan harus dilandasi pada hukum agama dan
kepercayaanyang dianutnya. 34

33
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia., (Bandung
: Alumni, 1982), h. 3
34
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan, (Fak Hukum
UnsoedPurwokerto), 2005, h. 24
25

Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) dalam Pasal 3 menyebutkan
bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawadah dan rahmah.Ny. Soemiyati dalam bukunya menyebutkan bahwa:
tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang,
untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikti
ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariah.35
Rumusan tujuan perkawinan diatas dapat diperinci sebagai berikut :
1) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan
2) Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
3) Memperoleh keturunan yang sah.
Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinankepada
lima hal, yaitu seperti berikut :
a) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkanketurunan serta
memperkembangkan suku-suku bangsa manusia
b) Memenuhi tututan naluriah hidup kemanusiaan
c) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan

d) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari
masyarakat yang besar diatas dasar kecintaan dan rasa kasih sayang
e) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, dan memperbesar tanggung jawab30
Setiap manusia dalam melakukan sesuatu hal perbuatan hukum tentunya
memiliki tujuan. Berangkat dari konsep “mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syarak, meskipun bertentangan
dengan tujuan-tujuan manusia” bahwa tujuan dari perkawinan adalah

35
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang, (Liberty Yogyakarta, 1982),
h. 19
26

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu
saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual. Perkawinan
juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya dengan tujuan menciptakan rasa
tentram dan saling kasih sayang diantara suami dan isteri serta dari sunnah Rasul
yang menyatakan, nikah adalahsebagian dari sunnahku (Hadis).36
Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan
hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untu membentuk keluarga
dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya
didunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dalam
ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan
masyarakat. Berbicara mengenai tujuan memang merupakan hal yang tidak
mudah, karena masing-masing individu akan mempunyai tujuan yang mungkin
berbeda satu sama lain. Namun mencapai tujuan perkawinan dapat membuat
sebuah perkawinan lebih bahagia. Pendapat-pendapat para ahli di atas
mengenai tujuan perkawinan secara keseluruhan sesuai dengan isyarat al-
Qur’an dalam membicarakan sebuah perkawinan. Pada dasarnya seluruh
tujuan dari perkawinan di atas bermuara pada satu tujuan untuk membina rasa
cinta dan kasih sayang antara pasangan suami isteri sehingga terwujud
ketentramandalam keluarga, al-Qur’an menyebutnya dengan konsep sakinah,
mawadah, wa rahmah, sebagaimana disebutkan dalam surat ar-Rum ayat 21
yang berbunyi :

‫اجا لِّتَ ْس ُكنُ ْوٖا اِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َّم َوَّد ًة‬ ِ ِ ِ
ً ‫َوم ْن اّٰ ّٰيتهٖٖ اَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم ِّم ْن اَنْ ُفس ُك ْم اَْزَو‬
‫ت لَِّق ْوٍم يَّتَ َف َّك ُرْو َن‬
ٍ ‫ك َ َّٰل ّٰي‬ ِ ِ
َ ‫َّوَر َْحَ ًة ٖا َّن ِ ْف ّٰذل‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

36
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada MediaGroup, Cetakan 1, 2019), h. 68
27

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan


merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagikaum yang berfikir”.
Sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam al-Qur’an lebih
menyangkut pada upaya uraian sebuah ungkapan “keluarga ideal”, sebagai
bagian terpenting dari potret keluarga ideal sekaligus selaras dengan al-
Qur’an. Untuk meraih keluarga yang ideal harus dimulai dari sebuah
perkawinan yang ideal pula yakni apabila tujuan dari perkawinan tersebut
telah tercapai yaitu sakinah, mawadah, warahmah.37
Ada beberapa tujuan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam,
diantaranya yaitu :
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan
generasi yang akan datang. Keinginan untuk melanjutkan keturunan
merupakan naluri atau garizah umat manusia bahkan juga garizah bagi
makhlukhidup yang diciptakan Allah.38
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang.
Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsunga hidup umat
manusia dapat saja ditempuh melalui jalur luar perkawinan, namun dalam
mendapatkan ketenangan dalam hidup bersama suami isteri itu tidak
mungkin didapatkan kecuali melalui jalur perkawinan. Perkawinan
mempunyai maksud untuk terciptanya suatu keluarga yang kekal, bahagia
serta sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan. Tujuan perkawinan
berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah, untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan tujuan perkawinan berdasarkan

37
Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandigan
Fiqh danHukum Positif, (Yogyakarta : Teras,2011), hlm. 39.
38
Ibnu Munzhir, Lisan al-Arab, 3 ed., vol. 11 (Beirut: Dar al-Shadir, 1414 H), h.,660.
28

Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan


rumah tanga yang sakinah, nawadah dan rahmah.39
Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, suami dan istri harus
menyadari kedudukan, hak dan kewajibannya masing-masing dalam rumah
tangga. “Suatu hal yang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang di dalam hukum Islam merupakan hal yang
penting, yaitu suami istri wajib saling menjaga kehormatan diri,
keluarga/rumah tangga dan menyimpan rahasia rumah tangga”.
4. Asas-asas Perkawinan
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undangundang Nomor 1
Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.40
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupanseseorang misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkanny, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun

39
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Tangerang: Lentera Hati, 2005), vol. 11, h. 36; Shihab, Perempuan, h. 154-155.
40
Djoko Prakoso dan Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), h. 34
29

hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat


dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
pengadilan.41
4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
Ternyatalahbahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk
kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-
undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.42
5. Karena tujuan perkwinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus
ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersamaoleh suami isteri. Untuk menjamin kepastian hukum,
maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum undangundang ini berlaku yang dijalankan
menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pulamengenai sesuatu hal
undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang
ada. Dalam paparan lain, kita dapat mengetahui beberapa asas perkawinan.

41
Abdul Thalib, Hukum Keluarga Dan Perikatan, (Pekanbaru, 2007), h.11
42
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 9.
30

Asas- Asas Perkawinan. Dalam Undang-undang perkawinan ditentukan


prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan. Undang-undang Perkawinan menganut asas
monogami, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Artinya dalam waktu yang
bersamaan, seorang suami atau istri dilarang untuk menikah dengan wanita
atau pria lain.43
Prinsip monogami ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undangundang
Perkawinan yang menyatakan bahwa : “ Pada asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami. ”Begitu pula berdasarkan ketentuan dalam ayat 3 Surat
An-Nissa’, maka hukum Islam yang membolehkan poligami, ternyata menganut
asas monogami. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat terakhir dari ayat 3 Surat An-
Nisaa’ tersebut, yang menyatakan : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”. Dari ayat ini jelas, bahwa Allah SWT menganjurkan
kita untuk beristri hanya seorang saja, karena apabila beristri lebih dari seorang
dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil.44
Sementara itu perkawinan poligami diperbolehkan dalam hal-hal tertentu
sebagai pengecualian perkawinan monogami, sepanjang hokum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkannya. Namun demikian perkawinan seorang suami
dengan lebih seorang istri, meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2)
yang menyebutkan bahwa: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.” Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

43
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 185
44
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 186
31

Perkawinan terdapat asas-asas lainnya yaitu :45


1. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus
ada kata sepakat antara calon suami dan istri
2. Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah
3. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-
undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974)
4. Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan istri
5. Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan
tersebut.
6. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan istri.

B. Azl dalam Pernikahan


1. Pengertian Azl
Secara bahasa artinya melepaskan, memisahkan. Secara istilah „azl berarti
mengeluarkan dzakar dari farj istri dan menumpahkan sperma di luar vagina
saat terjadi ejakulasi untuk mencegah kehamilan. Coitus interuptus atau
dikenal dalam islam dengan azl, biasa disebut pula withdrawal atau pull-out
method, adalah salah satu dari cara mengontrol kelahiran, di mana laki-laki
tatkala bersenggama menarik penisnya dari vagina si wanita sebelum
terjadinya ejakulasi. Si pria sengaja menumpahkan spermanya dari vagina
pasangannya dalam upaya untuk menghindari inseminasi (pembuahan). Tujuan
Pasangan suami-istri melakukan Azl adalah untuk mengatur atau membatasi
keturunan.46
Menurut Abu Zarkasi al-Anshori bahwa Azl itu ialah :
47
‫والعزل وهو أن ينزل بعد اجلماع خارج الفرج‬
“Azl adalah Mengeluarkan air mani setelah melakukan hubungan seksual di
luar vagina”

45
Al-Jazairi, Al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Arba’ah, h. 740- 741.
46
Muhammad sayyid sabiq, Fiqih Sunnah.2009 M/1430 H. Bab Zawaj.Cet.XXI;Kairo:
Darul Fathil ‘ilam Al‘arabiy.h.125
47
Al-Khin dan Al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji, h. 15
32

Bahkan menurut Ibnu abas menjelaskan

‫فقد قال ابن عباس العزل هو الوأد األصغر فإن املمنوع وجوده به هو املوءودة الصغرى‬
“Azl adalah kelahiran terkecil, karena mencegah wujudnya janin yang
melahirkan si buah hati”.

Azl adalah salah satu metode kontrasepsi tertua di dunia sebagai cara
efektif untuk mencegah kehamilan. Ini juga sudah masyhur di zaman
Rasulullah saw yang dipraktekkan sebahagian sahabat dan kaum muslimin
pada masa itu. Ini dilakukan sebagai tindakan kontraseptif mencegah
kehamilan. Sementara pada masa itu al- Qur‟an masih diwahyukan dan tidak
ada nash ayat yang melarangnya. Demikian juga dengan Rasulullah saw pun
tidak melarang mereka dari melakukan azl. Sebagaimana hadis Rasulullah saw
dari sahabat Jabir ra yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya. 48

ً‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق َال إِ َّن يل َجا ِريَة‬ ِ ِ


َ ‫صا ِر إِ ََل َر ُسول اهلل‬
ِ
َ ْ‫َع ْن َجابِ ٍر قَ َال َجاءَ َر ُج ٌل م ْن ْاألَن‬
‫ت فَِإنَّهُ َسيَأْتِ َيها َما قُ ِد َر ََلا قَ َال‬ ِ ِ
َ ‫وف َعلَْي َها َوأَنَا أَ ْكَرهُ أَ ْن َْتم َل فَ َق َال ْاع ِزْل َعْن َها إِ ْن شْئ‬ ُ ُ‫أُط‬
49
.‫ك أَنَّهُ َسيَأْتِيها ما قدر َلا‬ َ ُ‫َخبَ ْرت‬
ْ ‫ت قَ َال قَ ْد أ‬ ْ ‫الر ُج ُل ُُثَّ أَتَاهُ فَ َق َال إِ َّن‬
ْ َ‫اجلَا ِريَة قَ ْد ََحَل‬ َّ ‫ث‬ َ ِ‫فَلَب‬

“Dari sahabat Jabir, berkata : “Salah seorang dari kalangan Anshar datang
menemui Rasulullah saw lalu ia berkata : Sungguh aku memiliki jariah sedang
aku sendiri menggaulinya, akan tetapi aku tidak mengginginkannya hamil.
Kemudian Rasulullah saw memerintahkan lakukanlah azl jika engkau
menghendaki karena dengan begitu hanya akan masuk sekedarnya saja. Atas
dasar itulah kemudian ia melakukan „azl. Kemudian ia mendatangi Rasulullah
saw dan berkata : Sungguh jariah itu telah hamil, maka Rasulullah saw pun
berkata : “Aku telah beritahu kamu bahwa sanya sperma akan masuk
sekedarnya (ke rahimnya) dan akan membuahi”
Azl merupakan salah satu alat kontrasepsi alami yang dikenal pada
zaman Rasulullah saw. Dan di masa sekarang ini, masih terdapat sebahagian

48
La Ode Ismail Ahmad,2010. ‘Azl (Coitus Interruptus) Dalam Pandangan Fukaha, Jurnal
Hukum Diktum, STAIN Pare-Pare,vol.8,no.1.h.1
49
Sulaiman bin Al-Asy’ats. Abu Daud, Sunan Abu Daud. Bab ‘Azl. Juz VI.Mauqi’
AlIslam.no.1.858.h.80
33

pasangan suami-istri di kalangan kaum muslimin yang melakukan „azl untuk


mengatur jarak kehamilan atau karena alasan lain seperti memperhatikan
kesehatan istri, janin, atau anak yang sedang menyusui. Adapun gambaran
„azlnya itu adalah ketika akan mendekati keluarnya mani (ejakulasi),
kemaluan sengaja ditarik keluar vagina sehingga sperma tumpah di luar.50

2. Dalil-Dalil Tentang ‘Azl

Di dalam al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum


Islam dan menjadi pedomam hidup bagi umat Islam, terdapat dalil-dalil yang
membolehkan Azl dan melarang Azl, namun tidak ada nash yang sharih yang
mengharamkan Azl. Dalil-dalil yang membolehkan azl dari al-Qur‟an berkaitan
dengan anjuran untuk menyiapkan perbekalan yang baik untuk anak keturunan
untuk menjalani kehidupan mereka di dunia, sebagaimana firman Allah swt
dalam Q.S an-Nisa/4:9

‫ش الَّ ِذيْ َن لَ ْو تََرُك ْوا ِم ْن َخ ْل ِف ِه ْم ذُِّريًَّة ِض ّٰع ًفا َخافُ ْوا َعلَْي ِه ْمٖ فَ ْليَتَّ ُقوا ّٰالل َه َولْيَ ُق ْولُْوا قَ ْوًَل َس ِديْ ًدا‬
َ ‫َولْيَ ْخ‬
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”

dan ayat yang lain Q.S al-Anfal/8:28

‫و ََ ْاعلَ ُم ْوٖا اَََّّنَاٖ اَْم َوالُ ُك ْم َواَْوََل ُد ُك ْم فِْت نَةٌ ٖ َّواَ َّن ّٰالل َه ِعْن َدهٖٖ اَ ْجٌر َع ِظْي ٌم‬

“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Ayat ini memperingatkan bagaimana anak-anak dapat menjadi fitnah jika


orang tua tidak mampu mengarahkan mereka kepada ajaran Islam yang
dituntunkan oleh Rasulullah saw. Maka dibolehkan azl dalam rangka mengatur
kehamilan atau kelahiran agar terwujudnya generasi yang sehat dan yang

50
Abd al-Ra’uf bin Taj al-Arifin Al-Munawi, Fayd al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shagir, 1
ed., vol. 3 (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356), h. 242.
34

terdidik dengan baik secara agama dan pengetahuan umum. Karena tidak ada
nash sharih yang melarang azl, maka hukum azl harus dikembalikan kepada
kaidah Islam, sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah yang mengatakan:51

52 ُّ َ‫احةُ َح ََّّت ي‬
‫دل الدليل على ترميها‬ ِْ ‫األصل ف األَ ْشيَ ِاء َواألَفْ َع ِال‬
َ َ‫اْلب‬ ُْ
“Pada dasarnya segala sesuatu perbuatan itu boleh, kecuali ada dalil yang
menunjukkan keharamannya”.

Selain berpegangan dengan kaidah hukum Islam tersebut di atas, pada


dasarnya Islam membolehkan melakukan sesuatu perbuatan dalam konteks
hubungan muamalah selama tidak nash al-Qur’an dan hadis yang melarangnya.
Demikian juga melakukan azl, maka Islam pun masih membolehkannya karena
merupakan cara pencegahan kehamilan secara alami dan dalam kondisi darurat.
Para sahabat banyak melakukan azl ketika nabi masih hidup dan wahyu pun
masih terus turun, sebagaimana dalam hadis Ibnu Majah.

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ ِ ِ ِ


َ ‫وف املتفق عليه ف الصحيحني على جابر أَنَّهُ قَ َال ُكنَّا نَ ْع ِزُل َعلَى َع ْهد َر ُسول اللَّه‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَلَ ْم ينهنا‬ ِ َِ‫ك ن‬ ِ ٍ
َ ‫َّيِب اللَّه‬ َ ‫َو َسلَّ َم َوالْ ُق ْرآ ُن يَْن ِزُل َوِف لَ ْفظ‬
َّ َ ‫آخَر ُكنَّا نَ ْع ِزُل فَبَ لَ ََغ َذل‬
“Telah menceritakan kepada kami Harun Bin Ishaq al-Hamdani berkata,
telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru dari Atha dari Jabir ia
berkata, “Kami pernah malakukan azl pada masa Rasulullah saw, sementara al-
Qur‟an masih turun.53

Dalam riwayat lain dijelaskan :

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َوالْ ُق ْرآ ُن‬ ِ ِ ِ


َ ‫ف الصحيحني على جابر أَنَّهُ قَ َال ُكنَّا نَ ْع ِزُل َعلَى َع ْهد َر ُسول اللَّه‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَلَ ْم ينهنا‬ ِ َِ‫ك ن‬ ِ ٍ
َ ‫َّيِب اللَّه‬ َ ‫يَْن ِزُل َوِف لَ ْفظ‬
َّ َ ‫آخَر ُكنَّا نَ ْع ِزُل فَبَ لَ ََغ َذل‬

51
M. Quraish Shihab, Perempuan, ed. oleh Qamarudin SF (Tangerang Selatan: Lentera
Hati, 2018), h. 137-145.
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa : Dirasah al-Musykilaat al-Muslim al-Mu’ashir fii Hayatih
52

al-Yaumiyah wa al-’Amah, 12 ed. (Kairo: Dar al-Syuruq, 2001), h. 296.


53
Al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, jilid 11, h. 77.
35

“dari Jabir ia berkata, “Kami pernah malakukan azl pada masa Rasulullah saw,
sementara al-Qur’an masih turun kemudian hal itu disampaikan kepada
Rasulullah saw, namun beliau tidak melarang kami”.54

Adapun dalil-dalil yang melarang azl dari nash al-Qur’an tentang larangan
membunuh anak-anak karena takut miskin Q.S al-Isra‟/17: 31

‫َوََل تَ ْقتُلُ ْوٖا اَْوََل َد ُك ْم َخ ْشيَ َة اِ ْم ََل ٍقٖ ََْن ُن نَ ْرُزقُ ُه ْم َواِيَّا ُك ْمٖ اِ َّن قَ ْت لَ ُه ْم َكا َن ِخطًْا َكبِْي ًرا‬

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,


Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.

Dan dari hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Muslim tentang hadis ghilah

ٍ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِف أ‬


‫ُناس َو ُه َو‬ ِ َ ‫ت عكاش َة قَالَت حضرت رس‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ ُ َْ َ ْ
ِ ‫بأ‬
ُ ‫ُخ‬
ِ
ْ ٍ ‫َع ْن ُج َد َام َة بِْنت َو ْه‬
ِ
ُ َ‫س فَِإ َذا ُه ْم يُغيلُو َن أ َْوََل َد ُه ْم فََل ي‬
‫ضُّر‬ ِ ِ ُّ ‫ت ِف‬ ِ ِ
َ ‫الروم َوفَار‬ ُ ‫ت أ ْن أهنَى َع ْن الْغيلَة فَنَظَْر‬
ُ ‫ول لَ َق ْد ََهَ ْم‬
ُ ‫يَ ُق‬
55
. ‫ك الْ َو ُاد ا ْْلَِف ُّي‬ ِ
َ ‫ول اهلل صلى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َذل‬
ُ ‫ك َشْيئًا ُُثَّ َسألُوهُ َع ْن الْ َع ْزِل فَ َق َال َر ُس‬ ِ
َ ‫ْأوََل َد ُه ْم َذل‬

“Dari Judamah bin Wahab saudara Ukasyah bahwasanya ia berkata: Saya hadir
bersama Rasulullah saw dalam sebuah kelompok dan ia berkata: Saya hampir
melarang al-ghailah, tetapi kemudian saya mempertimbangkan orang Roma dan
Persia, dan mendapatkan perempuanperempuan mereka biasa menyusui anak-
anak mereka dalam keadaan hamil tanpa akibat buruk. Kemudian mereka
bertanya kepada beliau tentang azl lalu beliau bersabda, azl itu adalah
pembunuhan anak secara tersembunyi”.

Dan riwayat yang lain dari sahabat Abu Said al- Khudri

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َع ْن الْ َع ْزِل فَ َق َال َل َعلَْي ُك ْم أَ ْن ََل تَ ْف َعلُوا‬ ِ ٍ ِ‫ِأِب سع‬
ُّ َِّ‫اْلُ ْد ِري قَ َال ُسئ َل الن‬
َ ‫َّيِب‬ ْ ‫يد‬ َ
56
‫َذا ُك ْم فَِإََّّنَا ُه َو الْ َق َد ُر‬

Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, vol. 7 (Mesir: Dar al-Thuq al-
54

Najah, 1422), h. 4.
55
Abu Husain Muslim ibn Hajjaj.Shahih Muslim.Bab: Dibolehkannya ghailah Juz VII.
Mauqi’ al-Islam. No.2613.h.324
56
Abu Husain Muslim ibn Hajjaj.Shahih Muslim.Bab: Hukum ‘azl. Juz V. Mauqi’ al-Islam.
No.2602.h.311
36

“Dari Abu Said al-Khudri, dia berkata; Nabi saw pernah ditanya mengenai
azl, beliau bersabda: “Tidak ada mudharat jika kalian tidak melakukan azl,
karena sesungguhnya hal itu hanyalah berkenaan dengan takdir Allah
swt”.
Hadis ini menerangkan bahwa melakukan azl dan tidak melakukannya,
kehamilan itu akan tetap terjadi jika Allah swt telah menakdirkannya.

3. Faktor-faktor Suami-istri Melakukan ‘Azl


Adapun beberapa faktor-faktornya mengapa suami istri melakukan Azl sebagai
berikut:
Pertama, khawatir terhadap nyawa atau kesehatan si ibu jika hamil atau
melahirkan anak yang disertai keterangan dan pemeriksaan oleh dokter yang dapat
dipercaya. Karena Allah swt berfirman dalam al-Qur‟an surah al-Baqarah/2: 195

ِِ ُّ ‫َّهلُ َك ِة ٖ َواَ ْح ِسنُ ْوا ٖ اِ َّن ال ّٰل َه ُُِي‬


َْ ‫ب الْ ُم ْحسن‬
‫ني‬ ِ ِ ِ ّٰ
ْ ‫ف َسبِْي ِل الله َوََل تُْل ُق ْوا بِاَيْديْ ُك ْم ا ََل الت‬
ِ
ْ ِ ‫َواَنْف ُق ْوا‬
“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan
sendiri. Dan berbuat baiklah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik”.
Dalam ayat lain Allah swt berfirman dalam al-Qur‟an surah an-Nisa/4: 29

ٍ ‫اط ِل اََِّلٖ اَ ْن تَ ُك ْو َن ِِتَ َارةً َع ْن تََر‬


ٖ ‫اض ِّمنْ ُك ْم‬ ِ ‫ّٰيٖاَيُّها الَّ ِذين اّٰمنُوا ََل تَأْ ُكلُوٖا اَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم بِالْب‬
َ ْ َْ ْ َ ْ ْ ْ َ َْ َ
‫َوََل تَ ْقتُلُ ْوٖا اَنْ ُف َس ُك ْم ٖ اِ َّن ّٰالل َه َكا َن بِ ُك ْم َرِحْي ًما‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama
kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri
kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. 57

Kedua, khawatir akan terjadinya bahaya pada urusan dunia yang bisa mempersulit
beribadah dan dalam menyelesaikan studi atau pendidikan (menuntut ilmu),
sehingga mengakibatkan terbengkalainya urusan tersebut karena tersibukkan dalam
pemenuhan kebutuhan anak-anaknya. Sementara Allah swt menginginkan

57
Kementerian Agama RI.2015.Al-Qur’an dan terjemahnya.Depok:Adhwaul Bayan.h 83
37

kemudahan kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah di dalam al-


Qur‟an surah al-Baqarah/2: 185:

‫يُِريْ ُد ّٰاللهُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوََل يُِريْ ُد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر‬

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu”.58

Ketiga, keharusan melakukan azl karena khawatir dengan keadaan perempuan pada
saat menyusui jika hamil dan melahirkan kembali. Rasulullah saw menamakan
bersetubuh saat perempuan masih dalam keadaan menyusui dengan ghilah, karena
kehamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan kondisi anak.
Dinamakannya ghilah atau ghalil, karena merupakan suatu bentuk kriminalitas
yang sangat rahasia terhadap anak yang sedang menyusui. Oleh karenanya,
perbuatan ini dapat diserupakan dengan pembunuhan tersembunyi. Rasulullah saw
senantiasa berusaha menginginkan kebaikan kepada umatnya dengan
memerintahkan kepada mereka agar berbuat apa yang kiranya mendatangkan
maslahat dan melarang dari apa yang kiranya akan memunculkan bahaya. Diantara
Rasulullah saw bersabda:

‫الزبَ ِْْي َع ْن َعائِ َش َة أُم‬


ُّ ‫َخبَ َرِِن عُْرَوةُ بْ ُن‬
ْ ‫الر َْحَ ِن بْن نَ ْوفَ ٍل أَنَّهُ قَ َال أ‬َّ ‫ك َع ْن ُُمَ َّم ِد بْ ِن َعبْ ِد‬ ِ
َ ‫وح َّدثَِِن َع ْن َمال‬
َ
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َ ‫ب ْاألَس ِديَِّة أَنَّها أَخب رتْها أَنَّها ََِسعت رس‬ ِ ِ ِِ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ْ َ َ َ ََ ْ َ َ ٍ ‫ني َع ْن ُج َد َام َة بْنت َو ْه‬ َ ‫الْ ُم ْؤمن‬
‫َلد ُه ْم‬ ِ ِ َ ‫الر‬ َّ ‫ت أ‬ ِ ِ
َ ‫ضُّر أ َْو‬ ُ َ‫ك فََل ي‬ َ ‫صنَ عُو َن ذل‬ْ َ‫س ي‬ َ ‫وم َوفَار‬ ُّ ‫َن‬ ُ ‫ت أَ ْن أَنْ َهى َع ْن الْغيلَة َح ََّّت ذَ َك ْر‬ ُ ‫ول لَ َق ْد ََهَ ْم‬
ُ ‫يَ ُق‬
‫رضع‬ ِ ُ‫الرجل امرأَتَه وِهي ت‬ َّ َ‫ك َوالْغِيلَةُ أَ ْن َمي‬
ِ
َ َ ُ َ ْ ُ ُ َّ ‫س‬ َ ‫قَ َال َمال‬

“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Abdurrahman bin
Naufal berkata; telah mengabarkan kepadaku Urwah bin az Zubair dari Aisyah
Ummul Mukminin, dari Judamah binti Wahab al Asadiyah, ia mengabarkan
kepadanya, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sungguh, aku
pernah berkeinginan untuk melarang kalian dari ghilah, sehingga aku mengingat

58
Kementerian Agama RI.2015. Al-Qur’an dan terjemahnya.Depok:Adhwaul Bayan.h. 28
38

bahwa orang-orang Romawi dan Persia juga melakukannya, dan hal itu tidak
membahayakan anak-anak mereka.” Malik berkata: “Ghilah adalah suami yang
menyetubuh istrinya, padahal istrinya masih menyusui”. Mengenai azl telah
diungkapkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan.59

4. ‘Azl dalam Tinjauan Tradisi dan Medis


Azl sudah masyhur dilakukan oleh para sahabat di zaman Rasululah saw
untuk menyetop kehamilan. Azl merupakan alat kontrasepsi alami pada masa itu
dan tidak ada larangan dari Rasulullah saw dalam melakukan azl. Azl yaitu
mengeluarkan sperma di luar rahim ketika terasa akan keluar. Diriwayatkan dari
para sahabat ra bahwa mereka melakukan azl dan Nabi Muhammad saw
membiarkan mereka atas hal itu. Dan mereka melakukan „azl karena mashlahatnya
mereka belum menghendaki kehamilan pada saat itu, atau karena mereka sekedar
ingin bersenang-senang dengan istri-istrinya dan kebutuhan menuntut untuk
melakukan hal itu. Dalam tinjauan medis pembatasan kehamilan dan kelahiran di
Indonesia dikenal dengan program KB. Pengertian KB menurut UU No.10 Tahun
1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera
adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui
pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan
keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. 60
5. Pandangan Ulama Tentang Azl

Ada empat pendapat para ulama antara membolehkan dan memakruhkan tentang
azl diantaranya: 61

‫فإن عزل فقد اختلف العلماء ف إباحته وكراهته على أربع مذاهب‬

f. Menurut Ibn Hazm

59
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 190
60
Jenny Mandang,dkk. 2016.Kesehatan Reproduksi dan Pelayanan Keluarga Berencana,
Bogor: In Media.h.201
61
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, vol. 9 (Damaskus: Dar al Fikr,
1433), h. 6515-6516.
39

،‫ بشرط إذهنا‬،‫ أنه جيوز العزل عن الزوجة‬: ‫وَل خَلف بني العلماء ما عدا ابن حزم الظاهري‬
‫ فلم ينهنا‬،‫ فبلغه ذلك‬،‫ ( كنا نعزل على عهد رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫بدليل قول جابر‬
‫ ( أن النَّيِب صلى اهلل عليه وسلم هنى‬:‫) ودليل اشرتاط اْلذن مارواه أَحد وابن ماجه عن عمر‬
62
. ‫ إَل بإذهنا‬،‫عن أن يعزل عن احلرة‬

"Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, kecuali Ibnu Hazm Al-
Dhaheri: bahwa istri boleh dilenyapkan, asalkan dia memberikan izinnya,
sebagaimana dibuktikan dengan kata-kata Jabir: (Dulu kami berpisah pada
masa Utusan Allah, semoga doa dan damai Allah besertanya, dan dia diberitahu
tentang itu, tetapi dia tidak melarang kami) dan bukti syarat izin diriwayatkan
oleh Ahmad dan Ibnu Majah pada otoritas Umar : (Nabi, semoga doa dan damai
Allah besertanya, melarang dipisahkan dari wanita bebas, kecuali dengan
izinnya"

g. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali dan sebagian sahabat

‫إَل أن الشافعية واحلنابلة وقوماً من الصحابة قالوا بكراهة العزل؛ ألن الرسول صلى اهلل عليه‬
63
‫ فحمل النهي على كراهة التنزيه‬،‫وسلم ف حديث مسلم عن عائشة َساه الوأد اْلفي‬

“Namun, Syafi'i, Hanbali, dan sebagian Sahabat mengatakan bahwa makruh


untuk melakukan Azl. Karena dalam sebuah hadits Muslim dari Aisha,
menyebutnya mengubur secara tersembunyi , kemudian membawa larangan
atas makruhnya Azl.”

h. Menurut Imam Ghazali

‫وأجاز الغزايل العزل ألسباب منها كثرة األوَلد وبناء عليه جيوز استعمال موانع احلمل احلديثة‬
‫ وصَلحية كاحلبوب وغْيها‬،‫ دون أن يرتتب عليه استئصال إمكان احلمل‬،‫لفرتة مؤقتة‬
‫ وَلجيوز‬،‫ جيوز استعمال الدواء ملنع احلبل ف وقت دون وقت كالعزل‬:‫ قال الزركشي‬،‫اْلجناب‬
64
.‫التداوي ملنع احلبل بالكلية‬

62
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,205
63
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, vol. 9 (Damaskus: Dar al Fikr,
1433), h. 6515-6516.
64
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,207
40

Imam Ghazali Membolehkan Azl karena alasan jumlah anak yang banyak, dan
hal tersebut diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi modern seperti pil
dan lainnya untuk jangka waktu sementara, tanpa konsekuensi menghilangkan
kemungkinan kehamilan, dan validitas prokreasi. Imam Zarkashi Berkomentar
bahwa boleh menggunakan obat untuk mencegah kehamilan pada waktu yang
tidak tentu, seperti Azl, dan tidak diperbolehkan menggunakan obat untuk
mencegah kehamilan sama sekali.

‫إن قلت فإن مل يكن العزل مكروهاً من حيث أنه دفع لوجود الولد فَل يبعد أن يكره ألجل‬
‫النية الباعثة عليه فأقول النيات الباعثة على العزل مخس‬
Azl itu dibolehkan karena alasan menolak kehadiran anak, maka hal tersebut
tidak jauh dari niat seseorang untuk melakukannya, kecuali berniat merusak
janin yang mengandung beberapa ketidakmurnian syirik yang tersembunyi,
Adapun niat Azl menurut Imam Ghozali ada 5 :65

‫األوَل ف السراري وهو حفظ امللك عن اَلَلك باستحقاق العتاق وقصد استبقاء امللك برتك‬
‫اْلعتاق ودفع أسبابه ليس مبنهي عنه‬

Yang pertama adalah selir, yaitu untuk melindungi raja dari kematian
dengan pantas mendapatkan pembebasan, dan berniat untuk mempertahankan
raja dengan meninggalkan pembebasan dan menolak penyebabnya tidak
dilarang.

‫استِْب َقاءُ حياهتا خوفاً من خطر الطلق وهذا‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫الثانية‬


ْ ‫َّمتُّ ِع َو‬
َ ‫استْب َقاءُ ََجَال الْ َم ْرأَة َوَسَن َها ل َد َوام الت‬
ْ
‫أيضاً ليس منهياً عنه‬
Yang kedua adalah menjaga kecantikan dan menjaga berat badan wanita
selama masa perawatan, dan menjaga nyawanya karena takut akan bahaya
perceraian, dan alasan seperti ini tidak dilarang untuk seorang melakukan Azl

65
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,208
41

ِ ‫ب َكثْرِة ْاألَوََل ِد و ِاَلحِرتاز ِمن ا ْحل‬ ِ ْ ‫ف ِمن َكثْرِة‬


ِ ‫ب ِف الْ َكس‬
‫ب‬ ْ َ ‫اجة إِ ََل الت‬
ِ ‫َّع‬ َ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ ِ َ‫احلََرِج ب َسب‬ َ ْ ُ ‫اْلَْو‬ْ ‫الثالثة‬
‫ودخول مداخل السوء وهذا أيضاً غْي منهي عنه فإن قلة احلرج معني على الدين نعم الكمال‬
}‫والفضل ف التوكل والثقة بضمان اهلل حيث قال {وما من دابة ف األرض إَل على اهلل رزقها‬
‫وَل جرم فيه سقوط عن ذروة الكمال وترك األفضل ولكن النظر إَل العواقب وحفظ املال‬
‫وادخاره مع كونه مناقضاً للتوكل َل نقول إنه منهي عنه‬

“Yang ketiga adalah takut karena rasa malu yang berlebih karena
banyaknya anak-anak, dan menjaga agar tidak perlu bekerja keras untuk
menafkahi kebutuhan anak Sehingga terdapat hal yang tidak baik Ini juga tidak
dilarang, karena tidak adanya kesulitan adalah bantuan untuk agama Rahmat
kesempurnaan dan kebajikan ada dalam kepercayaan dan kepercayaan pada
jaminan Allah Swt berfirman,: Dan tidak ada hewan di bumi kecuali rezeki
Allah” Tidak ada kejahatan yang gagal mencapai puncak kesempurnaan dan
meninggalkan yang terbaik, tetapi melihat konsekuensinya dan menjaga uang
dan menyimpannya meskipun bertentangan dengan kepercayaan, kami tidak
mengatakan bahwa itu dilarang”.66

‫الرابعة اْلوف من األوَلد اْلناث ملا يعتقد ف تزوجيهن من املعرة كما كانت من عادة العرب‬
‫ف قتلهم اْلناث فهذه نية فاسدة لو ترك بسببها أصل النكاح أو أصل الوقاع أُث هبا َل برتك‬
‫النكاح والوطء فكذا ف العزل والفساد ف اعتقاد املعرة ف سنة رسول اهلل صلى اهلل عليه‬
‫وسلم أشد وينزل منزلة امرأة تركت النكاح استنكافاً من أن يعلوها رجل فكانت تتشبه‬
‫بالرجال وَل ترجع الكراهة إَل عني ترك النكاح‬

Yang keempat adalah ketakutan terhadap anak perempuan, ketika


diyakini bahwa mereka harus dinikahkan dengan perempuan, sebagaimana
kebiasaan orang Arab untuk membunuh perempuan, jadi ini adalah niat yang
merusak Jika dia meninggalkan karena dia asal perkawinan atau asal
persetubuhan, maka dia berdosa karena dia, bukan dengan meninggalkan

66
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,207
42

perkawinan dan persetubuhan.Begitu juga dengan pengucilan dan kerusakan


menurut keyakinan orang yang durhaka. Dalam Sunnah Rasulullah, semoga
doa dan damai Allah besertanya, itu lebih parah, dan dia menurunkan posisi
wanita yang meninggalkan pernikahan karena ketidaksetujuan daripada yang
bisa dilampaui pria, jadi dia biasa meniru pria. , dan ketidaksukaan itu bukan
karena hakikat meninggalkan perkawinan.67

‫اْلامسة أن متتنع املرأة لتعززها ومبالغتها ف النظافة والتحرز من الطلق والنفاس والرضاع وكان‬
‫ذلك عادة نساء اْلوارج ملبالغتهن ف استعمال املياه حَّت كن يقضني صلوات أيام احليض وَل‬
‫يدخلن اْلَلء إَل عراة فهذه بدعة ختالف السنة فهي نية فاسدة واستأذنت واحدة منهن على‬
‫عائشة رضي اهلل عنها ملا قدمت البصرة فلم تأذن َلا فيكون القصد هو الفاسد دون منع‬
‫الوَلدة‬

“Kelima, wanita berpantang karena penguatan dan berlebihan dalam


kebersihan, dan untuk menjaga dari perceraian, melahirkan, dan menyusui.Ini
adalah kebiasaan wanita Khawarij karena mereka menggunakan air secara
berlebihan, sehingga mereka biasa menghabiskan salat pada hari-hari haid dan
tidak masuk wc kecuali telanjang.hal tersebut tidak dibenarkan, jadi
maksudnya adalah Azl boleh tanpa mencegah kelahiran secara permanen.

C. Maqashid Syariah
1. Esensi Maqashid Syariah

Secara etimologi maqashid syariah merupakan istilah gabungan dari


dua kata maqashid dan al syariah. Maqashid adalah bentuk plural dari
maqsud, qasd, maqsid atau qusud yang merupakan derivasi dari kata kerja
qasada yaqsudu, dengan beragam makna seperti menuju suatu arah, tujuan.
Syariah, secara etimologi bermakna jalan menuju mata air, jalan menuju mata
air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.

67
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,209
43

Syariah secara terminologi adalah al nusus al muqaddasah (teks-teks suci) dari


Al-Qur’an dan As-Sunnah yang muttawatir yang sama sekalibelum dicampuri
oleh pemikiran manusia.68
Secara terminologi, maqasid al-syariah dapat diartikan sebagai nilai
dan makna yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat
syariah (Allah SWT) dibalik pembuatan syariat dan hukum, yang diteliti oleh
para ulama mujtahid dari teks-teks syariah. Membicarakan tentang maqashid
syariah atau tujuan hukum Islam merupakan suatu pembahasan penting dalam
hukum Islam yang tidak luput dari perhatian Ulama serta pakar hukum Islam.
Sebagian Ulama menempatkannya dalam bahasan ushul fiqh dan Ulama lain
membahasnya sebagai materi tersendiri serta diperluas dalam filsafat hukum
Islam. Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah SWT dalam Al-Qur'an,
begitu pula suruhan dan larangan Nabi Muhammad SAW dalam Sunnah yang
terumuskan dalam fiqh akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan dan
tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu
sebagai rahmat bagi umat manusia.69
Bahwasannya banyak ulama yang mendefinisikan tentang maqashid syariah,
yaitu sebagai berikut diantaranya :
a. Menurut pernyataan al-Syatibi dapat dikatakan bahwasannya, kandungan
maqashid syariah atau tujuan hukum ialah kemaslahatanumat manusia.
Penekanan maqashid syariah yang dilakukan al- Syatibi secara umum
betitik tolak dari kandungan ayat-ayat Al-qur’an yang menunjukan bahwa
hukum-hukum Tuhan mengandungkemaslahatan.38
b. Menurut al-Gazali dapat dikatakan bahwa maqashid syariah merupakan
salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain
melalui pendekatan kaidah kebahasaan yang sering digunakan oleh para
ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum islam melalui

68
Moh. Toruquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-Syatibi (Jurnal Syariah dan
Hukum, Volume6 Nomor 1, Juni 2014), h. 2
69
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 64-66
44

pendekatan maqashid syariah dapat membuat hukum islam lebih


flexibel.70
c. Menurut Ibnu Ashur bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan akhir
yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syariat. Maqashid syariah
bisa berupa maqashid syariah al-ammah yang meliputi keseluruhan aspek
syariat. Dan maqashid syariah al khasahyang dikhususkan pada satu bab
dari bab-bab syariat yang ada, seperti maqashid al syariah pada bidang
ekonomi, hukum keluarga dan lainlain, atau maqashid syariah al juz’iyyah
yang meliputi setiap hukum syara’ seperti kewajiban shalat,
diharamkannya zina, dan sebagainya.71
Sejalan dengan kemajuan zaman saat ini, dimana teori tentang maqashid
syariah harus tetap layak untuk dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
kaidah syariat islam diterapkan.72
Pertama, teori maqashid syariah al-Syatibi secara global didasarkan pada
dua hal yaitu masalah ta’lil (penetapan hukum berdasarkan illat), dan al-
mashalih wa al-mafasid (kemaslahatan dan kerusakan). Kedua, Teori
maqashid syariah Ibnu Ashur secara global didasarkan pada maqashid al
ammah dan maqashid al-khasah, sementara dasar pemikiran dalam
menetapkan maqashid dengan menggunakan fitrah, maslahah, dan ta’lil.
Untuk mengetahui sesuatu itu mempunyai maslahah atau tidak, ia
menggolongkan dalam tiga kelompok yaitu maslahah bagi umat, maslahah
bagi kelompok atau individu, dan untuk merealisasikan kebutuhan.73
Kajian teori maqashid syariah dalam hukum Islam adalah sangat penting.
Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan

70
Moh. Mukri, Aplikasi Konsep Maslahah al-Gazali pada Isu-isu Hukum Islam
Kontemporer diIndonesia (Yogyakarta : Idea Press Yogyakarta, 2012), h. 3
71
Moh. Toruquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-Syatibi (Jurnal Syariah dan
Hukum, Volume6 Nomor 1, Juni 2014), h. 33
72
Moh. Toruquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-Syatibi (Jurnal Syariah dan
Hukum, Volume6 Nomor 1, Juni 2014), h. 4
73
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam (Jurnal : Sultan Agung
Vol XLIV No.118 Juni – Agustus 2009), h. 117
45

diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selaluberhadapan


dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang
sumber utamanya (Al-Qur'an dan Sunnah) turun pada beberapa abad yang
lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap
pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajianterhadap berbagai
elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori
maqashid syariah. Kedua, dilihat dari aspek historis,sesungguhnya perhatian
terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan
generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuanterhadap maqashid syariah
ialah kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan
tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama
manusia dapat dikembalikan.74
Bahwasannya inti daripada teori maqashid syariah berdasarkan
penjelasaan diatas ialah dimana maqashid syariah adalah untuk mewujudkan
kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan
menolak mudharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid syariah
tersebut adalah maslahah, karena penetapan hukum dalam Islam harus
bermuara kepada maslahah. Perlu diketahui bahwa Allah SWT sebagai syari'
(yang menetapkan syari'at) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja.
Akan tetapi hukum dan aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud
tertentu. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagaimana dikutipoleh Khairul Umam,
menyatakan bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatanhamba di dunia dan di
akhirat. Syari'at semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya
mengandung hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan,
rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan syari'at.
Maqashid syariah ialah tujuan atau rahasia yang di tetapkan oleh syari’
(pembuat hukum) pada setiap hukum dari hukum-hukum syariah. Menurut
Alal al-Fasi, maqashid syariah ialah tujuan akhir yang ingin dicapai oleh

42
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam (Jurnal : Sultan Agung
Vol XLIV No.118 Juni – Agustus 2009), h. 123-124
46

syariah dan rahasia-rahasia dibalik setiap ketetapan hukum syariah. Abdul


wahab khalaf menyimpulkan bahwa tujuan syariah ialah untuk membawa
manusia kepada kebahagiaandunia dan akhirat. Konsep maqashid syariah
merupakan lanjutan dari konsep maslahah. Maslahah, menurut syara’ dibagi
menjadi tiga, yaitu maslahah mutabarah (didukung oleh syara’), maslahah
mulghah (ditolak syara’) dan maslahah mursalah (tidak didukung dan tidak
pula ditolak syara’, namun didukung oleh sekumpulan makna nash al-Qur’an
dan al-Hadist). Konsep ini merupakan pengembangan dari konsep maslahah,
jamaknya masalih. Dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang
mendatangkan kebaikan (keutamaan). Menurut al-Syatibi, ada dua aspek
ketentuan hukum yang merupakan bentuk pemeliharaan kemaslahatan
manusia, yaitu aspek positif (ijabiyyah) dan aspek negatif (salbiyah).75
Ada dua konsep berfikir konsumen muslim yang hadir dalam dunia
ekonomi hingga saat ini. Konsep pertama adalah utilitas, konsep utilitas
diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam konsumsi barang atau
jasa. Konsep kedua adalah maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan
perilaku konsumen berdasarkan kebutuhan dan prioritas, dia sangat berbeda
dengan utilitas yang pemetaan majemuknya tidak terbatas. Dua konsep ini
berbeda karena dibentuk oleh masing-masing epistimologi yang berbeda.
Utilitas yang memiliki karakteristik kebebasan lahir dari epistimologi
Smithian yang mengatakan bahwa motivasi hidup ini adalah dari
kemerdekaan menuju kebebasan alamiah. Dengan demikian perilaku
konsumen terintegrasi dengan corak rasionalisme, dan norma agamasengaja
dikesampingkan. Sementara itu, maslahah lahir dari epistimologi. Teori
mashlahah pada dasarnya merupakan integrasi dari fikir dan dzikir. Dia
menggambarkan motif kesederhanaan individu pada setiap bentuk keputusan
konsumen. Dalam hal ini, karena mashlahah bertujuan melahirkan manfaat,
persepsi yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan. Konsep maslahah tidak

75
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
vol. 39 (Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 1427), vol. 40. h. 261.
47

selaras dengan kemudharatan, itulah sebabnya dia melahirkan persepsi


menolak kemudharatan seperti barang-barang haram, termasuk syubhat,
bentuk konsumsi yang mengabaikan orang lain dan membahayakan diri
sendiri.76
Para ulama saalaf dan khalaf bersepakat bahwa setiap hukum syariah pasti
memiliki alasan (illah) dan juga tujuan (maqashid), pemberlakuannya.Tujuan
dan alasannya ialah untuk membangun dan menjaga kemaslahatan manusia.
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Jasser Audah menyebutkan, syariah
ialah suatu kebijakan kehidupan dunia dan akhirat. Syariah merupakan
keseluruhan dari keadilan, kedamaian, kebijakan dan kebaikan.
Bahwasannya, dari apa yang secara singkat kita paparkan di atas sudah
jelas bahwa, ide sentral dan sekaligus tujuan akhir dari maqashid syariah ialah
maslahah. Dengan demikian tidak ada salahnya jika dalam pembahasan ini di
ketengahkan pengertian maslahah agar pemahaman tentang maqashid syariah
menjadi semakin utuh dan sempurna. Kemaslahatan yang hendak dicapai oleh
syariah bersifat umum dan universal. Bersifat umum artinya bahwa hal itu
berlaku bukan hanya untuk individu melainkan juga semua manusia secara
keseluruhan.77
Jadi, bahwasannya yang harus digaris bawahi ialah maqashid syariah
bermuara pada kemaslahatan. Syariah diturunkan untuk dilaksanakan sesuai
dengan maqashidnya agar kehidupan manusia yang adil dapat ditegakkan,
kebahagiaan sosial dapat diwujudkan dan ketenangan dalam bermasyarakat
dapat dipertahankan.78
2. Prinsip Maqashid Syariah
Inti dari maqashid syariah ialah mendatangkan kemaslahatan dan

76
Kuat Ismanto, Asuransi Perspektif Maqashid Asy-Syariah (Yogyakarta Pustaka Pelajar,
2016),
77
Ika Yunia dan Abdul Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam (Perspektif Maqashid
alSyariah), (Jakarta: PT. Adhitya Andrebina Agung, 2014), h. 119
78
Ika Yunia dan Abdul Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam (Perspektif Maqashid
alSyariah), (Jakarta: PT. Adhitya Andrebina Agung, 2014), h. 43-46
48

menolak kemudharatan. Asy-Syatibi menegaskan bahwa pembuatan syariah


atau hukum islam semata-mata dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat. Bahwasannya beberapa ulama membagi kemaslahatan
menjadi beberapa bagian :

‫ حبيث إذا فقدت‬، ‫ هي اليت يتوقف عليها حياة الناس الدينية والدنيوية‬: ‫املصاحل الضرورية‬
‫ وشاع الفساد وضاع النعيم األبدي وحل العقاب ف اآلخرة‬، ‫اختلت احلياة ف الدنيا‬

‫ وإذا‬، ‫ ورفع احلرج عنهم‬، ‫ هي املصاحل اليت ُيتاج إليها الناس للتيسْي عليهم‬: ‫حلاجيات‬
‫ ورتبتها‬، ‫ ولكن يلحقهم احلرج واملشقة‬،‫فقدت َل خيتل نظام حياهتم كما ف الضروريات‬
‫ وقد أحيطت َجيع أنواع التشريع اْلسَلمي برفع احلرج للتخفيف عن‬،‫بعد الضروريات‬
‫الناس وتيسْي سبل احلياة‬

‫ ويقصد هبا األخذ‬، ‫ وهي املصاحل اليت تقتضيها املروءة‬: ‫التحسينات أو الكماليات‬

، ‫ وإذا فقدت َل خيتل نظام احلياة كما ف الضروريات‬، ‫مبحاسن العادات ومكارم األخَلق‬

‫ فهي‬، ‫ ولكن تصبح حياهتم مستقبحة ف تقدير العقَلء‬، ‫وَل يناَلم احلرج كما ف احلاجيات‬
79
. ‫ وتوجد ف العبادات واملعامَلت والعادات والعقوبات‬، ‫تأيت ف املرتبة الثالثة‬
a. Kemaslahatan Dharuriyah (Primer)
Konsep dharuriyah sepadan dengan konsep primer dalam tingkatan
kebutuhan manusia. Islam sangat memperhatikan kebutuhan dharuriyah
untuk mewujudkan dan juga memeliharanya. Adapun dharuriyah artinya
sesuatu yang semestinya harus ada untuk menegakkankemaslahatan, baik
agama dan dunia. Dari sudut pandang dharuriyah dalam hal muamalah
adalah memelihara keturunan dan harta, termasuk juga memelihara jiwa
dan akal.80

79
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, )Siria : Dâr al-Fikri ,Juz I, 1406H). h., 113
80
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 9.
49

Dharuriyah merupakan keadaan di mana suatu kebutuhan wajib


untuk dipenuhi dengan segera, jika diabaikan maka akan menimbulkan
suatu bahaya yang beresiko pada rusaknya kehidupan manusia.
Dharuriyah di dalam syariah merupakan sesuatu yang paling asasi
dibandingkan dengan hajiyah dan tahsiniyah. Selanjutnya dharuriyah
terbagi menjadi lima atau dikenal dengan al-kulliyat al-khamsah, yaitu;
Hifdz Al-Din, Hifdz Al-Nafs, Hifdz Al-Aql, Hifdz Al-Mal dan Hifdz Al-Nasl.
b. Kemaslahatan Hajiyah (Sekunder)
Hajiyah bisa juga disepadankan dengan kebutuhan sekunder dalam
tingkatankebutuhan-kebutuhan tertentu. Adapun kebutuhan hajiyah tidak
seesensial dharuriyah melainkan hanya menghindarkan manusia dari
kesulitan dalam kehidupannya. Adapun hajiyah artinya sesuatu yang
sangat diperlukan untuk menghilangkan kesulitan yang dapat membawa
kepada hilangnya sesuatu yang dibutuhkan, tetapi tidak sampai merusak
kemaslahatan umum. Hajiyah ini berlaku baik, pada berbagai macam
ibadah, adat kebiasaan, mu’amalah dan jinayah.81
Pada ibadah misal, seperti rukshah yang diberikan kepada orang yang
sakit dan dalam perjalanan dalam melaksanakan sholat atau bermusafir.
Dalam bidang adat misal, seperti kebolehan berburu, dan memakan
makanan halal dan lainnya. Dalam bidang mu’amalah ialah seperti
melaksanakan transaksi jual beli dan lainnya. Pada bidang jinayah
(pidana) misal, seperti halnya contoh diatas atau pada hukum sumpah atas
pembunuhan dan kewajiban membayar denda kepada keluarga pembunuh
atau kebolehan karena bukti lemah dan tidak cukup dalam merusak
kepentingan umum. Hajiyah juga dimaknai dengan keadaan dimana jika
suatu kebutuhan dapat terpenuhi, maka akan bisa menambah value
kehidupan manusia. Hal tersebut bisa menambah efesiensi, efektivitas,
dan value added (nilai tambah) bagi setiap aktivitas manusia di

81
Kuat Ismanto, Asuransi Perspektif Maqashid Asy-Syariah (Yogyakarta Pustaka Pelajar,
2016), h. 126
50

kehidupan.82
c. Kemaslahatan Tahsiniyah (Tersier)
Pengertiannya ialah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan
menghindari yang buruk sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh akal
sehat. Kebutuhan tahsiniyah atau juga disebut takmiliyah secara
sederhana disepadankan dengan istilah kebutuhan tersier. Makna
tahsiniyah adalah mengambil sesuatu yang lebih baik dari yang baik
menurut adat kebiasaan dan menjauhi hal-hal yang jelek yang tidak
diterima oleh akal sehat.
Dalam arti lain apa yang terhimpun dalam batasan akhlak yang mulia,
baik dalam masalah ibadah, seperti menghilangkan najis, melakukan
berbagai macam cara dalam bersuci maupun dalam adat kebiasaan seperti
adab makan dan minum. Begitu juga dalam hal mu’amalah seperti
dilarangnya jual beli najis dan dicegah membunuh orang merdeka dengan
sebab dia membunuh budak pada permasalahanbidang Jinayah.83
3. Daruriyat Al-Khams
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh
hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika
keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat
dinamakan hukum Islam. Hal senada juga dikemukakan oleh al- Syatibi yang
menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangkamerealisasikan
kemaslahatan hamba. Tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai
tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan membebankan
sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan dunia dan akhirat, para ulama Usul Fikih merumuskan tujuan
hukum Islam tersebut ke dalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara

82
Ika Yunia dan Abdul Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam (Perspektif Maqashid
alSyariah), (Jakarta: PT. Adhitya Andrebina Agung, 2014), h. 121
83
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah,vol. 39 (Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 1427), vol. 40. h. 261.
51

untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemaslahatan. Kelima misi


dari maqashid al syari’ah yang dimaksud adalahmemelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.84
Daruriyat Al-Khams adalah sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan
keagamaan atau keduniaan manusia dalam arti apabila itu tidak ada, rusaklah
kehidupan manusia dan akan menimbulkan siksaan di akhirat kelak. Maksudnya
kemaslahatan-kemaslahatan yang kepadanya bersandarkehidupan manusia dan
eksistensi masyarakat. Jika kemaslahatan itu tidak ada maka akan terjadi ketidak
stabilan, kerusakan dan kesengsaraan di duniadan akhirat.85
Dengan demikian maka daruriyat seluruhnya ada lima macam :
a. Hifz al-din (perlindungan terhadap agama) Untuk menegakkan agama.
Islam mewajibkan iman, terutama rukun iman yang enam dan
mensyariatkan hukum-hukum yang berkaitan dengan rukun Islam yang
lima.
b. Hifz al-nafs (perlindungan terhadap jiwa) Untuk memelihara jiwa, Islam
memerintahkan makan dan minum, memakai pakaian dan bertempat
tinggal sekedar cukup untuk memelihara dari kebinasaan.Begitu pula Islam
mensyariatkan hukum qishash, diyat, dan kifarat bagi orang yang dengan
sengaja melakukan pembunuhan, dan menyiksa tubuh. Kesemuanya
adalah untuk menghindarkan kemudharatan yang mengancam jiwa
c. Hifz al-aql (perlindungan terhadap akal) Untuk memelihara akal, Islam
mengharamkan khamar dan segala Jenis makanan dan minum yang
memabukan karena merusak akal, serta memberikan hukuman kepada
peminum khamar. Islam juga Menjamin kreatifitas berfikir dan
mengeluarkan pendapat.86
d. Hifz al-mal (perlindungan terhadap harta benda) Untuk memelihara harta,

84
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
127.
85
Muhamma Mawardi Djalaluddin, al-Maslahah al-Mursalah dan Pembaharuan Hukum
Islam, h. 95.
86
Jalaluddin Al-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, 2 ed., vol. 2 (Kairo: Al-Azhar Al-Syarif, 2005),
h. 670
52

Islam mengharamkan mencuri, menipu, menjalankan danmemakan riba,


merusak harta baik milik sendiri maupun milik orang lain. Untuk
memperoleh harta disyaratkan usahausaha yang halal, seprti bertani,
berdagang, mengelola industri.87
e. Hifz al-nasl (perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan) Untuk
memelihara kehormatan/keturunan, Islam mensyariatkan hukuman badan
(had) bagi orang yang berzina dan orang yang menuduh orang baik-baik
berbuat zina. Untuk memelihara keturunan, Islam mensyaratkan hukum
perkawinan agar manusia berkembang biak dalam keadaan yang sebaik-
baiknya. Islam juga melarang menghina dan melecehkan orang lain di
hadapan umum Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan
perhatian yang sangat besar, yang dapat digunakan untuk memberikan
spesialisasi kepada hak asasi mereka. Islam juga memberikan
perlindungan melalui pengharaman ghibah (menggunjing), mengadu
domba, memata-matai, mengumpat, dan mencela dengan menggunakan
panggilan-panggilan buruk, juga perlindunganperlindungan lain yang
bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan manusia.88

87
Abu Isa Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, ed. oleh Basyar Awaad Ma’ruf, 1 ed., vol. 2
(Beirut: Dar al Garb al Islamy, 1996), h. 345.
88
Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati, Jakarta : Sinar
Grafika Offset, Cetakan ke 4 2017, h. 131
BAB III
TINJAUAN UMUM TERKAIT CHILDFREE DAN
KASUSNYA DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Childfree


1. Definisi Childfree
Istilah childfree pertama kali muncul di kamus bahasa Inggris
Merriam-Webster sebelum tahun 1901 meski saat itu kondisi ini digambarkan
secara skeptis sebagai suatu fenomena kontemporer. Namun Dr. Rachel
Chrastil penulis buku How to Be Childless: A History and Philosophy of Life
Without Children, menyatakan bahwa sudah banyak penduduk Inggris,
Perancis, dan Belanda yang menunda pernikahan sejak tahun 1500-an. Sekitar
15 sampai 20 persen di antaranya bahkan tidak menikah sama sekali.
Kebanyakan di antaranya bermukim di kawasan urban. Dan selama era
Victoria itu ada banyak pasangan menikah yang memilih untuk tidak punya
keturunan. Dr. Chrastil mencatat bahwa mereka menggunakan metode
kontrasepsi yang sudah ada pada saat itu, seperti spons dan kondom versi kuno
yang mampu mengurangi kemungkinan terjadinya kehamilan, meski tidak
seampuh kontrasepsi zaman sekarang.89
Istilah childfree menunjukkan seseorang yang tidak memiliki
keinginan atau rencana untuk memiliki anak. Ini awalnya digunakan pada
tahun 1972 oleh Organisasi Nasional untuk Non-Orang Tua dan
bertentangan dengan ‘tanpa anak’, karena yang pertama menunjukkan
mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak bahkan jika mereka
mungkin memiliki kemampuan ekonomi dan biologis Maka dapat
disimpulkan bahwa childfree merupakan keputusan pasangan yang memilih
untuk tidak memiliki anak, baik anak kandung maupun anak angkat.90
Childfree tidak lain merupakan suatu keputusan untuk tidak mudah

89
Victoria Tunggono, Childfree and Happy, (Yogyakarta: EA Books, 2021), h. 12.
90
Christian Agrillo dan Cristian Nelini, “Childfree by Choice: a review”, Journal of
CulturalGeography, Vol. 25, No. 3, 2008, hlm. 347

53
54

memiliki anak setelah mereka menikah, namun bukan pembahasan dalam


ranah membunuh anak. Lebih tepatnya keputusan seorang perempuan yang
telah menikah, untuk memutuskan tidak hamil sehingga tidak memiliki
anak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Uswatul Khasanah, childfree
merupakan sebutan bagi orang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak.
Secara bahasa childfree diartikan sebagai bebas-anak. Beberapa orang ada
yang menganggap keputusan tersebut sebagai sebuah keputusan yang egois.
Meskipun demikian, ada juga yang menilai bahwa keputusan tersebutbukan
sebuah keputusan yang egois, akan tetapi keputusan yang berdasarkan
pemikiran yang matang dan penuh kesadaran.91
2. Alasan Keputusan Childfree

Sebenarnya ada banyak alasan mengapa seseorang memilih untuk


hidup tanpa anak, dan itu bervariasi dari orang ke orang. Beberapa orang
dapat mengatakan hampir semua alasan ini, yang lain berpikir satu atau dua
dari banyak alasan sudah cukup. Motif dengan frekuensi tertinggi alasan
antara perempuan dan lakilaki memilih childfree adalah kebebasan dari
anak, tanggung jawab perawatan dan kesempatan yang lebih besar untuk
pemenuhan diri dan mobilitas spontan. Hasil serupa mengenai preferensi
untuk lebih banyak waktu luang, barang konsumsi, perjalanan dan
kebebasan juga diperoleh. Sedangkan berdasarkan motif kolektif,
perempuan lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk menyajikan
altruistik berupa perhatian untuk pertumbuhan populasi, keraguan tentang
kemampuan untuk menjadi orangtua atau kepedulian terhadap anak-anak,
mengingat masalah dunia. Sementara laki-laki lebih sering mengutip alasan
individualitas seperti keuntungan moneter atau ketidaksukaan terhadap
anak-anak. Sementara beberapa pasangan yang tidak memiliki anak
beranggapan bahwa pilihan untuk bebas anak memberikan kebebasan bagi
perempuan untuk bekerja dan laki-laki bebas dari pekerjaan. Itu juga

91
Abdul Hadi, Husnul Khotimah dan Sadari, “Childfree dan Childless Ditinjau Dalam
Ilmu Fiqih danPerspektif Pendidikan Islam”, Journal of Educational & Language Research, Vol. 1,
No. 6, 2022, h. 648.
55

membebaskan keduanya dari tanggung jawab ekonomi mengasuh anak.


Bagi beberapa pasangan yang tidak memiliki anak, kehamilan dan persalinan
dianggap sebagai trauma dansulit, dan persepsi ini menjadi dasar keputusan
mereka.92
Alasan lain juga terdapat pada pasangan suami istri mengambil
beberapa langkah untuk mewujudkan keputusan hidup tanpa anak setelah
menikah. Awalnya mereka menggunakan langkah menunda memiliki anak,
namun kemudian mereka berubah pikiran untuk tidak memiliki anak
sepanjang usianya. Menurut Blackstone and Stewart pada jurnal Tiara
Hanandia memberikan bukti bahwa alasan pasangan memilih tidak memiliki
anak karena dampak kekuatan sosial makro, seperti meningkatnyapartisipasi
angkatan kerja perempuan. Berbeda dengan data di lapangan bahwa
informan mengaku pasangan yang memilih tidak memiliki anak alasan yang
menonjol adalah alasan finansial dan ekonomi.93
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tunggono, menjelaskan bahwa
menjadi orang tua membutuhkan persiapan yang matang. Tidak hanya dari
segi materi dan fisik, tetapi juga dari segi kesiapan mental orang yang
menginginkan atau yang menginginkannya. Bagaimana menjadi orang tua,
melayani dan membangunkan anak-anak di masa depan serta mengikuti
keinginan masing-masing individu. Pada penelitiannya terhadap 14-16
orang yang memilih untuk tidak memiliki anak. Terdapat beberapa alasan
utama mengapa mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak. Alasan
pertama terkait dengan masalah fisik atau kelainan keturunan. Beberapa
pasangan yang memiliki masalah fisik atau kelainan keturunan maka mereka
tidak mampu untuk memiliki anak. Setelah mengetahui hal tersebutsecara
langsung mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak tanpa adanya

92
Khairul Fikri dan Umi Wasilatul Firdausiyah, “Reinterpretasi Teori Language Game
Ke Dalam Bahasa Dakwah Perspektif Ludwig Wittgentein”, Journal of Islamic Civilization, Vol.
3, No. 2, 2021, h.88
93
Christian Agrillo dan Cristian Nelini, “Childfree by Choice: a review”, Journal of
Cultural Geography, Vol. 25, No. 3, 2008, hlm. 350
56

usaha.94
Alasan kedua yaitu faktor psikologis, alasan yang berasal dari
pikiran bawah sadar dan ada pula yang berasal dari trauma masa lalu.
Beberapa informan mengatakan alasan mereka tidak memiliki anak karena
pengalaman masa kecil mereka yang kurang baik sehingga mereka memilih
untuk tidak memiliki anak. Mereka khawatir nantinya akan menyalurkan
perlakuan yang sama seperti yang dialami mereka saat masa kecilnya dulu.95
Menurut hasil penelitian, faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk
memilih childfree atau tidak memiliki anak adalah :
1. Kurangnya keinginan untuk menjadi orang tua
2. Adanya rasa tidak suka terhadap anak-anak
3. Adanya rasa traumatis masa kecil
4. Tidak ingin mengorbankan privasi/ruang dan waktu untuk anak
5. Adanya rasa takut untuk mengandung dan melahirkan
6. Pertimbangan untuk membesarkan anak dengan kapasita intelektual
yang buruk
7. Kekhawatiran bahwa anak akan mewarisi penyakit keturunan
8. Anak dilihat sebagai additional burden (beban tambahan) yang
mengakibatkan terjadinya overpopulation (kepadatan populasi)
9. Adanya kekurangan pada finansial
10. Adanya rasa khawatir pada keharmonisan perkawinan
Menurut hasil studi oleh CBOS individu yang memilih untuk tidak memiliki
anak (childfree) umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan
faktor internal. Faktor eksternal antara lain yaitu kondisi keuangan yang rendah,
sulitnya mencari pekerjaan yang layak, kurangnya sarana dan prasarana perumahan
yang layak, adanya kebijakan pemerintah terkait keluarga, meningkatnya karakter
individualisme dan non religius masyarakat, adanya perubahan cara pandang
terhadap anak dalam keluarga. Sedangkan untuk faktor internal yaitu kematangan
dalam pengambilan keputusan, pengalaman keluarga, serta sikap pasangan terhadap

94
Victoria Tunggono, Childfree and Happy, (Yogyakarta: EA Books, 2021), h. 20
95
Tiara Hanandita, “Konstruksi Masyarakat Tentang Hidup Tanpa Anak Setelah
Menikah”, JurnalAnalisa Sosiologi, Vol. 11, No. 1, 2022, h. 130.
57

pilihan pasangannya. 96
Hal yang sama juga dikatakan oleh Reading dan Amatea bahwa literatur
psikologis menganggap keputusan untuk tetap tidak memiliki anak sebagai
mekanisme defensif, yang timbuk dari trauma masa kanak-kanak atau kehidupan
keluarga yang terganggu. Sementara itu Park menyebutkan bahwa perempuan lebih
sering dipengaruhi oleh model pengasukan orang lainnya, melihat pengasuhan
sebagai hal yang bertentangan dengan karier dan waktu luang, mengklaim
kurangnya naluri keibuan. Dan para pria menolak menjadi orang tua lebih eksplisit
daripada wanita karena pengorbanan yang dirasakan, termasuk biaya keuangan.97
Gillespie mengidentifikasi dua faktor motivasional yang berbeda namun saling
terkait untuk memilih menjadi bebas anak (childfree) diantaranya daya tarik atau
tarikan menjadi bebas anak dan penolakan ataudorongan menjauh dari menjadi ibu.
Hal yang pertama ditandai dengan meningkatnya kebebasan, dan hubungan yang
lebih baik dengan pasangan dan orang lain, sedangkan yang kedua dorongan dari
peran keibuana melibatkan hilangnya identitas dan penolakan terhadap aktivitas
yang terkait dengan keibuan.98
3. Stigma pada Pasangan Childfree

Mengingat asumsi pronatalis dalam masyarakat kita, pasangan


childfree mungkin distigmatisasi pada tingkat budaya dan relasional. Stigma
didefinisikan sebagai “gambaran yang disederhanakan dan distandarisasi
dari aib yang pasti orang-orang yang dianut bersama oleh komunitas pada
umumnya”. Menjelaskan beberapa definisi yang disebutkan lebih lanjut
dengan menambahkan beberapa elemen pelabelan, stereotip, pemisahan, serta
kehilangan status, dan diskriminasi dalam definisi mereka tentang stigma.
Namun, karakteristik ini saja tidak membuat stigma, kecuali mereka
terhubung dengan kekuasaan, karena dibutuhkan kekuasaan untuk
mematikan. Oleh karena itu, stigma secara intrinsik terkait dengan kekuasaan

96
J. Szymanska, “Yang Tidak Memiliki Anak Karena Pilihan Dalam Persepsi Orang
Dewasa Muda”, Forum Keluarga, 2011, h. 79
97
Gillespie, R “Childfree and feminine: Understanding the gender identity of voluntarily
childless women.” Journal Gender and Society Vol. 17, No. 1, February 2003, h. 122
98
Reading. J dan Amatea E.S., “Role deviance or role diversification: reassessing the
psychosocial factors affecting the parenthood choices of career-oriented women”, Journal of
Marriage and the FamilyVol. 48, Tahun 1986, h. 255.
58

dan wacana seputar identitas yang distigmatisasi.


Penelitian mencatat stereotip perempuan bebas anak sukarela
dianggap sebagai egois, menyimpang, tidak dewasa, dan tidak feminin.
Penelitian juga melaporkan perempuan sukarela tanpa anak seringmengalami
kesulitan untuk diterima oleh masyarakat sebagai orang dewasa,menyamakan
peran sebagai ibu dengan kewanitaan. Stigma masih melekat lebih kuat pada
perempuan, laki-laki juga mungkin mengalami stigma yang melekat pada
hubungan berkomitmen dan tidak memiliki anak. Perempuan tanpa anak
secara sukarela sangat rentan terhadap stigma karena mereka mengganggu
konstruksi dominan identitas perempuan yangmenjadi pusat keibuan.99
Perempuan dan laki-laki yang bebas anak secara sukarela
menimbulkan “kemarahan moral, kemarahan, jijik dan ketidaksetujuan” dan
mengungkapkan bahwa orang yang memilih bebas anak dipandang sebagai
“secara signifikan kurang terpenuhi secara psikologis” daripada orang tua.
Orang yang tidak memiliki anak (terutama yang secara sukarela tidak
memiliki anak) dengan menganggap mereka mengalami gangguan psikologis
atau memproyeksikan ketidakbahagiaan seumur hidup kepada mereka.
Karena non-normal yaitu bebas anak secara sukarela “tidak sepenuhnya
manusiawi”, mereka harus dihukum dengan kehidupan yang tidak bahagia
karena menyimpang dari arus utama dan gagal mengikuti ataulebih buruk lagi
menolak status quo heteronormatif (dan sekarang homonormatif), tatanan
sosial, budaya patriarki, dan pesan pronatalis yang dominan bahwa menjadi
orang tua merupakan aspek penting dari kehidupanyang memuaskan. Dalam
skenario seperti itu, tidak ada ruang untuk pilihanindividu: Orang-orang yang
bebas anak karena pilihan pantas dihukum, ditakdirkan untuk tidak bahagia
seumur hidup.100

99
Victoria Tunggono, Childfree and Happy, (Yogyakarta: EA Books, 2021), h. 23
100
Sara L. Pelton and Katherine M. Hertlein, “A Purposed Life Cycle for Voluntary
Childfree Couples”,Journal of Feminist Family Therapy, Vol. 23, No. 1, 2014, h. 44
59

Evaluasi negatif dari orang-orang yang tidak memiliki anak secara


umum cenderung menyatu di sekitar tiga konstruksi umum, yaitu :101
a. kekurangan (yaitu, kurang dalam berbagai cara atau kehilangan anak,
menyebabkan kesepian, tidak berarti, dan akhirnya menyesal)
b. kerusakan atau penyimpangan psikologis (yaitu, menafsirkan
ketidakberdayaan sukarela sebagai terkait dengan trauma emosionalatau
kurangnya keinginan “normal”)
c. keegoisan (yaitu, berfokus pada kebutuhan dan keinginan sendiri
daripada kepentingan masyarakat atau calon anak).
Anggapan negatif ini berfungsi untuk memposisikan orang yang tidak
memiliki anak di luar ranah normalitas sebagai “orang lain” dan untuk
mempertahankan norma sebagai orang tua. Pengalaman orang tanpa anak
tentang stigma ini, termasuk cara mereka menanggapi atau mengelola stigma
dari masyarakat.Salah satu perubahan paling dramatis yang mempengaruhi
pasangan tanpa anak adalah perubahan cara pandang masyarakat. Sudah
jelas diketahui bahwa individu atau pasangan yang memilih untuk tidak
memilikianak menimbulkan stereotipkan negatif dari masyarakat. Mereka di
cap sebagai orang yang tidak dapat menyesuaikan diri, melanggar norma
sosial,egois, dingin, dan tidak bertanggung jawab serta adanya keterasingan
dan kritik dari masyarakat.102
Selain dampak negatif, beberapa penelitian menemukan hasil yang
bertolak belakang. Individu yang memilih untuk tidak memiliki anak
menilai kehidupan pernikahan mereka sangat berkualitas dan bahagia,
mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan pasangan, keluarga, dan
teman. Adanya perasaan “kita” dalam sebuah pernikahan membuat
pasangan menganggap dirinya sebagai satu kesatuan. Adanya perasaan
inilah yang digunakan untuk mengatasi ketidakhadiran anak. Adanya rasa

101
Jessica M. Rick and Rebecca J. Meisenbach, “Social Stigma, Childfree Identities, and
Work-Life Balance”, Communication and the work-life balancing act: Intersections across
identities, genders, and cultures, 2017, h. 206.
102
Rebecca Harrington, “Childfree by Choice”, Studies in Gender and Sexuality, Vol. 20,
No. 1, 2019,h. 28.
60

keuntungan finansial menjadi alasan tuk memilih tidak memiliki anak.


Sejumlah penelitian yang dilakukan pada masyarakat Barat menyebutkan
bahwa orang yang memilih untuk tidak memiliki anak cenderung orang yang
lebih berpendidikan, memiliki pendapatan yang relatif tinggi, tinggal di
daerah perkotaan, dan memiliki karir yang profesional dalam hidupnya.103
B. Kasus Childfree di Indonesia
Fenomena childfree sedang berkembang di Indonesia, fenomena ini mulai
diperbincangkan ditengah masyarakat yang melahirkan pro dan kontra pada
masyarakat tentang kebebasan memiliki anak. Beberapa fenomena kasus childfree
di Indonesia diantaranya yaitu :104

1. Gita Savitri Devi dalam Youtube Analisa Channel

Gambar 1.1

Influencer Gita Savitri menjadi artis Indonesia selanjutnya yang mengklaim diri
sebagai childfree. Dia mengaku, tak punya rencana dan keinginan menjadi
seorang ibu. Keinginan tersebut, diakui sang influencer, merupakan
kesepakatannya dengan suami. “Kami tidak ada rencana punya anak. Gue
enggak pernah ada keinginan menjadi ibu. Terus, gue juga enggak punya
kewajiban untuk bearing a child,” ujarnya dikutip dari channel YouTube

103
Gillespie, R “Childfree and feminine: Understanding the gender identity of voluntarily
childless women.” Journal Gender and Society Vol. 17, No. 1, February 2003, h. 122
104
Rafik Patrajaya, “Implementasi Penjaminan Hak Anak Dan Istri Perspektif Hukum
PositifDi Indonesia,” SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum 1, no. 2 (2017): 143–
57,
61

pribadinya, Gita Savitri Devi, pada Agustus 2021.


2. Cinta Laura dalam Youtube The Hermansyah A6

Gambar 1.2

Artis cantik Cinta Laura memang belum menikah. Namun sebelum mengucap
janji pernikahan, dia mengaku, sudah memutuskan tidak akan memiliki anak
jika menikah kelak. Kepada Ashanty, dia mengungkapkan alasan di balik
keputusannya tersebut. “Dunia yang kita huni saat ini sudah over populasi.
Sudah terlalu banyak manusia yang tinggal di dunia ini. Tapi aku mau
mengadopsi anak yang mungkin dia tidak punya siapa-siapa yang bisa menjaga
mereka," pada 8 Agustus 2021.105
3. Anya Dwinov dalam Acara Rumpi di Trans TV

Gambar1.3

Anya Dwinov memang masih melajang. Namun dia mengaku sebagai


childfreemeski dia nanti menikah, Dia mengaku, tidak bisa menjamin akan
melahirkan anak dengan sempurna, baik secara fisik maupun karakter.

105
https://www.intipseleb.com/lokal/59257-5-pernyataan-gita-savitri-soal-childfree-yang-
kontroversial-bikin-banyak-publik-figur-ikut-speak-up?page=3 Diakses pada 8 Maret 2023 pukul
13.27 WIB.
62

“Tidak ada alasan, kenapa gue harus menambah dunia ini dengan anak
gue. Misalnya terjadi yangterburuk, Tuhan memberikan gue cobaan diberi
anak tidak sempurna. Terus pertanggungjawaban gue bagaimana?”
ujarnya pada Juli 2022.
4. Rina Nose dalam Youtube Melaney Richardo

Gambar 1.4

Komedian Rina Nose memilih untuk tidak memiliki anak dalam


pernikahannyadengan Josscy Vallaza Aartsen. Keputusan itu, diambilnya
berdasarkan kesepakatan bersama sang suami. "Kami sudah happy dengan
berdua. Tanpa anak pun kami sudah happy," katanya saat menjadi tamu
di channel YouTube Melaney Ricardo, pada 16 September 2022. Rina
menilai, punya anak bisa menimbulkan masalah baru dalam hidupnya.
"Hidup sudah banyak masalah nih. Nanti kalau punya anak akan
menambah masalah pasti. Kadang netizen atau fans bilang, ayo dong
punya anak pasti cantik dan lucu. Masalahnya, punya anak bukan buat
lucu-lucuan. Lucunya sementara paling berapa tahun, habis itu problem
muncul."106

106
https://www.intipseleb.com/lokal/59257-5-pernyataan-gita-savitri-soal-childfree-yang-
kontroversial-bikin-banyak-publik-figur-ikut-speak-up?page=3 diakses pada 8 Maret 2023 Pukul
14.15 WIB.
63

5. Chef Juna dalam Youtube PUELLA ID

Gambar 1.5

Chef Juna mengaku, juga tidak ingin memiliki anak. Dia menyebut,
pemikirannya sejak kecil memang sudah berbeda. Belum lagi, dia punya
latar belakang keluarga broken home. Karena itu, dia menegaskan,
menikah dan mempunyai anak bukan prioritas utama dalam hidupnya.
“Menikah tidak harus.Punya anak juga tidak harus. Bahkan tidak pernah
mau membebani hidup dengan kata harus,” ujarnya saat menjadi bintang
tamu channel YouTube PUELLA ID, pada Agustus 2021.
6. Leony Vitria pada acara Shopie Novia TV

Gambar 1.6

Pada Desember 2021, Leony Vitria Hartanti mengungkapkan


keinginannya untuk menikah dan punya anak. Dia beralasan, ingin
menjalani hidup seperti keinginan dan kata hatinya. Keputusan itu, diakui
sang aktris, sudah diungkapkannya pada orangtuanya dan mereka tak
menentangnya. "Dari usia 26 atau 27, aku sudah kasih statement ke
64

orang tua, 'Jangan mengharapkan cucu dari saya ya. Soalnya, aku
enggak mau punya anak.' Jadi, aku kasih mereka anjing tiga ekor untuk
jadi cucu mereka," ungkapnya dari channel YouTube Sophie Navita TV,
pertengahan Desember 2021.107

107
https://celebrity.okezone.com/read/2022/09/25/33/2674739/6-artis-indonesia-memilih-
childfree-rina-nose-ogah-tambah-masalah?page=3 diakses 10 Maret 2023 pukul 19.28 WIB.
BAB IV

ANALISIS TENTANG CHILDFREE DITINJAUPERSPEKTIF


MAQASHID SYARIAH

A. Kontruksi Sosial terhadap Childfree ditengah Masyarakat


1. Pemahaman Childfree menurut masyarakat barat.
Ada begitu banyak hal yang menjadi alasan seseorang memilih untuk
menjadi childfree. Sebuah survey dilakukan di Skotlandia terkait childfree,
mengatakan bahwa beberapa dari mereka memiliki pandangan yang negatif
tentang persalinan, anak-anak, dan tugas-tugas penitipan anak. Mereka juga
memandang bahwa menjadi orang tua akan menghilangkan kendali atas hidup
mereka sendiri, bertambahnya beban keuangan, serta tanggung jawab yang
tidak mudah untuk dijalankan. Istilah childfree pertama kali muncul di kamus
bahasa Inggris Merriam-Webster sebelum tahun 1901 meski saat itu kondisi
ini digambarkan secara skeptis sebagai suatu fenomena kontemporer. childfree
ialah seseorang yang tidak memiliki keinginan atau rencana untuk memiliki
anak. Ini awalnya digunakan pada tahun 1972 oleh Organisasi Nasional untuk
Non-Orang Tua dan bertentangan dengan ‘tanpa anak’, karena yang pertama
menunjukkan mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak bahkan jika
mereka mungkin memiliki kemampuan ekonomi dan biologis.108
Motif dengan frekuensi tertinggi alasan antara perempuan dan laki-laki
memilih childfree adalah kebebasan dari anak, tanggung jawab perawatan dan
kesempatan yang lebih besar untuk pemenuhan diri dan mobilitas spontan.
Hasil serupa mengenai preferensi untuk lebih banyak waktu luang, barang
konsumsi, perjalanan dan kebebasan juga diperoleh. Sedangkan berdasarkan
motif kolektif, perempuan lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk
menyajikan altruistik berupa perhatian untuk pertumbuhan populasi, keraguan
tentang kemampuan untuk menjadi orangtua atau kepedulian

108
Victoria Tunggono, Childfree and Happy, (Yogyakarta: EA Books, 2021), h. 12.

64
66

terhadap anak-anak, mengingat masalah dunia. Alasan lain juga terdapat pada
pasangan suami istri mengambil beberapa langkah untuk mewujudkan
keputusan hidup tanpa anak setelah menikah. Awalnya mereka menggunakan
langkah menunda memiliki anak, namun kemudian mereka berubah pikiran
untuk tidak memiliki anak sepanjang usianya. Menurut Blackstone and Stewart
pada jurnal Tiara Hanandia memberikan bukti bahwa alasan pasangan memilih
tidak memiliki anak karena dampak kekuatan sosial makro, seperti
meningkatnya partisipasi angkatan kerja perempuan. Berbeda dengan data di
lapangan bahwa informan mengaku pasangan yang memilih tidak memiliki
anak alasan yang menonjol adalah alasan finansial dan ekonomi.109
Keputusan seseorang menikah tanpa memiliki anak atau bebas anak atau
biasa disebut childfree memiliki beberapa alasan yang mendasari keputusan ini,
diantaranya persoalan fisik disebabkan penyakit sehingga seseorang
memutuskan untuk tidak memiliki anak, dari segi mental atau traumatik yang
dihadapi oleh seseorang yang menyebabkan ia tidak menyukai anak-anak,
dengan begitu ia khawatir akan berdampak buruk jika memutuskan memiliki
anak, alasan lain adalah dari segi ekonomi, ketidaksiapan untuk mendidik anak,
tidak mau direpotkan dengan mengurus anak, khawatir akan mengganggu
kariernya, dan juga disebabkan karena alasan lingkungan, yakni ia berdalih
tidak mau menambah beban bumi yang sudah sesak dengan lahirnya anak
darinya.110
2. Pemahaman Childfree Menurut Dimensi Islam
Sebelum Masyarakat barat mengklaim Childfree artinya berniat untuk
tidak memiliki anak dengan alasan-alasan tertentu, maka islam lebih dahulu
membahas hal serupa. Chilfree dalam pandangan islam bermakna dengan
Sebutan Azl. Sebagai mana telah dijelaskan oleh Abu Yahya zakary al-Anshori

109
Tiara Hanandita, “Konstruksi Masyarakat Tentang Hidup Tanpa Anak Setelah
Menikah”, JurnalAnalisa Sosiologi, Vol. 11, No. 1, 2022, h. 130.
110
Mufida Ulfa, “Mengkaji Pilihan Childfree”, Seminar Diskusi Periodik Dosen, Jember:
Institut AgamaIslam Negeri Jember, September 2021, h. 4
67

dalam kitab Asna Muthalib.

‫والعزل وهو أن ينزل بعد اجلماع خارج الفرج‬


“Azl adalah Mengeluarkan air mani setelah melakukan hubungan seksual di
luar vagina”
Kemudian menurut Ibn abas mengatakan hal serupa tentang Azl

‫فقد قال ابن عباس العزل هو الوأد األصغر فإن املمنوع وجوده به هو املوءودة الصغرى‬

“Azl adalah kelahiran terkecil, karena mencegah wujudnya janin yang


melahirkan si buah hati.”

Jika dilihat dari beberapa makna maka Azl adalah salah satu metode
kontrasepsi tertua di dunia sebagai cara efektif untuk mencegah kehamilan. Ini
juga sudah masyhur di zaman Rasulullah saw yang dipraktekkan sebahagian
sahabat dan kaum muslimin pada masa itu. Ini dilakukan sebagai tindakan
kontraseptif mencegah kehamilan. Sementara pada masa itu al- Qur’an masih
diwahyukan dan tidak ada nash ayat yang melarangnya. Demikian juga dengan
Rasulullah saw pun tidak melarang mereka dari melakukan azl. Sebagaimana
hadis Rasulullah saw dari sahabat Jabir ra yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dalam sunannya.111

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق َال إِ َّن يل َجا ِريًَة‬ ِ ِ ِ


َ ْ‫َع ْن َجابِ ٍر قَ َال َجاءَ َر ُج ٌل م ْن ْاألَن‬
َ ‫صا ِر إِ ََل َر ُسول اهلل‬
ِ
َ ِ‫ت فَِإنَّهُ َسيَأْتِ َيها َما قُد َر ََلا قَ َال فَلَب‬
‫ث‬ ِ ِ
َ ‫وف َعلَْي َها َوأَنَا أَ ْكَرهُ أَ ْن َْتم َل فَ َق َال ْاع ِزْل َعْن َها إِ ْن شْئ‬
ُ ُ‫أُط‬
112
.‫ك أَنَّهُ َسيَأْتِيها ما قدر َلا‬
َ ُ‫َخبَ ْرت‬
ْ ‫ت قَ َال قَ ْد أ‬ ْ ‫الر ُج ُل ُُثَّ أَتَاهُ فَ َق َال إِ َّن‬
ْ َ‫اجلَا ِريَة قَ ْد ََحَل‬ َّ

“Dari sahabat Jabir, berkata : “Salah seorang dari kalangan Anshar datang
menemui Rasulullah saw lalu ia berkata : Sungguh aku memiliki jariah sedang
aku sendiri menggaulinya, akan tetapi aku tidak mengginginkannya hamil.

111
La Ode Ismail Ahmad,2010. ‘Azl (Coitus Interruptus) Dalam Pandangan Fukaha, Jurnal
Hukum Diktum, STAIN Pare-Pare,vol.8,no.1.h.1
112
Sulaiman bin Al-Asy’ats. Abu Daud, Sunan Abu Daud. Bab ‘Azl. Juz VI.Mauqi’
AlIslam.no.1.858.h.80
68

Kemudian Rasulullah saw memerintahkan lakukanlah „azl jika engkau


menghendaki karena dengan begitu hanya akan masuk sekedarnya saja. Atas
dasar itulah kemudian ia melakukan Azl. Kemudian ia mendatangi Rasulullah
saw dan berkata : Sungguh jariah itu telah hamil, maka Rasulullah saw pun
berkata: “Aku telah beritahu kamu bahwa sanya sperma akan masuk
sekedarnya (ke rahimnya) dan akan membuahi”113
Di dalam al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum
Islam dan menjadi pedomam hidup bagi umat Islam, terdapat dalil-dalil yang
membolehkan azl dan melarang „azl, namun tidak ada nash yang sharih yang
mengharamkan azl. Dalil-dalil yang membolehkan „azl dari al-Qur‟an
berkaitan dengan anjuran untuk menyiapkan perbekalan yang baik untuk anak
keturunan untuk menjalani kehidupan mereka di dunia, sebagaimana firman
Allah swt dalam Q.S an-Nisa/4:9.114

‫ش الَّ ِذيْ َن لَ ْو تََرُك ْوا ِم ْن َخلْ ِف ِه ْم ذُِّريًَّة ِض ّٰع ًفا َخافُ ْوا َعلَْي ِه ْمٖ فَلْيَتَّ ُقوا ّٰالل َه َولْيَ ُق ْولُْوا قَ ْوًَل َس ِديْ ًدا‬
َ ‫َولْيَ ْخ‬
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata
yang benar.”

Dan dalil-dalil yang melarang „azl dari nash al-Qur‟an tentang larangan
membunuh anak-anak karena takut miskin Q.S al-Isra‟/17: 31

‫َوََل تَ ْقتُلُ ْوٖا اَْوََل َد ُك ْم َخ ْشيَ َة اِ ْم ََل ٍقٖ ََْن ُن نَ ْرُزقُ ُه ْم َواِيَّا ُك ْمٖ اِ َّن قَ ْت لَ ُه ْم َكا َن ِخطًْا َكبِْي ًرا‬

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan,


Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.

113
Manshur Malaka, “Seks dalam Perspektif Islam”, Shautut Tarbiyah, Vol. 19, No. 1,
2013, h. 145
114
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Tangerang: Lentera Hati, 2005), vol. 11, h. 36; Shihab, Perempuan, h. 154-155.
69

Dan dari hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan Muslim tentang hadis
ghilah.

ٍ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِف أ‬


‫ُناس‬ ِ َ ‫كاشة قَالَت حضرت رس‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ ُ ْ َ َ ْ َ ُ‫ُخت ع‬
ِ ‫بأ‬ ِ
ْ ٍ ‫َع ْن ُج َد َام َة بِْنت َو ْه‬
‫س فَِإ َذا ُه ْم يُغِيلُو َن أ َْوََل َد ُه ْم فََل‬ ِ ِ ُّ ‫ت ِف‬ ِ ِ
َ ‫الروم َوفَار‬ ُ ‫ت أ ْن أهنَى َع ْن الْغيلَة فَنَظَْر‬ ُ ‫ول لَ َق ْد ََهَ ْم‬
ُ ‫َو ُه َو يَ ُق‬
ِ ِ
َ ‫ول اهلل صلى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َذل‬
‫ك الْ َو ُاد‬ ُ ‫ك َشْيئًا ُُثَّ َسألُوهُ َع ْن الْ َع ْزِل فَ َق َال َر ُس‬َ ‫ضُّر ْأوََل َد ُه ْم َذل‬ ُ َ‫ي‬
115
. ‫اْلَِف ُّي‬
ْ
“Dari Judamah bin Wahab saudara „Ukasyah bahwasanya ia berkata: Saya hadir
bersama Rasulullah saw dalam sebuah kelompok dan ia berkata: Saya hampir
melarang al-ghailah, tetapi kemudian saya mempertimbangkan orang Roma dan
Persia, dan mendapatkan perempuanperempuan mereka biasa menyusui anak-anak
mereka dalam keadaan hamil tanpa akibat buruk. Kemudian mereka bertanya kepada
beliau tentang „azl lalu beliau bersabda, „azl itu adalah pembunuhan anak secara
tersembunyi”.

3. Pandangan Ulama Tentang Azl


Ada empat pendapat para ulama antara membolehkan dan memakruhkan
tentang azl :

‫فإن عزل فقد اختلف العلماء ف إباحته وكراهته على أربع مذاهب‬

a. Menurut Ibn Hazm

‫ بشرط‬،‫ أنه جيوز العزل عن الزوجة‬: ‫وَل خَلف بني العلماء ما عدا ابن حزم الظاهري‬
‫ فبلغه‬،‫ ( كنا نعزل على عهد رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫ بدليل قول جابر‬،‫إذهنا‬
‫ ( أن النَّيِب‬:‫ فلم ينهنا ) ودليل اشرتاط اْلذن مارواه أَحد وابن ماجه عن عمر‬،‫ذلك‬
‫ إَل بإذهنا‬،‫صلى اهلل عليه وسلم هنى عن أن يعزل عن احلرة‬

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, kecuali Ibnu Hazm
al-dzahiri : bahwa boleh melakukan Azl kepada istri, dengan syarat dia
adanya izin darinya, sebagaimana qaul Jabir: (Dulu kami melakukan azl
pada masa Rasulullah Saw. Lalu disampaikanlah hal itu, tetapi dia tidak

115
Abu Husain Muslim ibn Hajjaj.Shahih Muslim.Bab: Dibolehkannya ghailah Juz VII.
Mauqi’ al-Islam. No.2613.h.324
70

melarang kami) dan dalil tentang syarat izin diriwayatkan oleh Ahmad
dan Ibnu Majah pada Umar : sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang Azl
dari wanita merdeka, kecuali dengan izinnya”

b. Menurut Imam Syafi’i dan Hanbali dan sebagian sahabat

‫إَل أن الشافعية واحلنابلة وقوماً من الصحابة قالوا بكراهة العزل؛ ألن الرسول صلى اهلل عليه‬
‫ فحمل النهي على كراهة التنزيه‬،‫وسلم ف حديث مسلم عن عائشة َساه الوأد اْلفي‬

“Namun, Syafi'i, Hanbali, dan sebagian Sahabat mengatakan bahwa


makruh untuk melakukan Azl. Karena dalam sebuah hadits Muslim dari
Aisha, menyebutnya mengubur secara tersembunyi , kemudian membawa
larangan atas makruhnya Azl.”

c. Menurut Imam Gozali

‫وأجاز الغزايل العزل ألسباب منها كثرة األوَلد وبناء عليه جيوز استعمال موانع احلمل‬
،‫ دون أن يرتتب عليه استئصال إمكان احلمل‬،‫احلديثة كاحلبوب وغْيها لفرتة مؤقتة‬
‫ جيوز استعمال الدواء ملنع احلبل ف وقت دون وقت‬:‫ قال الزركشي‬،‫وصَلحية اْلجناب‬
116
.‫ وَلجيوز التداوي ملنع احلبل بالكلية‬،‫كالعزل‬

Imam Ghazali Membolehkan Azl karena alasan jumlah anak yang banyak,
dan hal tersebut diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi modern
seperti pil dan lainnya untuk jangka waktu sementara, tanpa konsekuensi
menghilangkan kemungkinan kehamilan, dan validitas prokreasi. Imam
Zarkashi Berkomentar bahwa boleh menggunakan obat untuk mencegah
kehamilan pada waktu yang tidak tentu, seperti Azl, dan tidak
diperbolehkan menggunakan obat untuk mencegah kehamilan sama sekali.
4. Alasan Utama seseorang melakukan Childfree
Azl bermakna luas dengan berbagai konsep dan metode sama seperti
halnya childfree, Suatu keputusan yang diambil oleh seseorang pasti
disebabkan olehalasan-alasan tertentu. Sama halnya dengan keputusan untuk
hidup childfree. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Houseknecht S.K,

116
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,207
71

yangpenulis kutip dari E-book Childfree, Bagaimana muslim harus bersikap


karya Muhammad Aulia Rozaq, mengungkapkan bahwa motif childfree yang
paling dominan dengan frekuensi tertinggi ialah adanya perbedaaan yang
dominan dalam hal tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam
pengasuhan anak, kesempatan yang tidak seimbang dalam pemenuhan diri
dan kebanyakan dari mereka ingin fokus dalam pengembangan karirnya.
Adapun alasan lainnya karena hubungan keluarga yang kurang harmonis,
masalah medis dan kesehatan serta isu-isu bumi semisal kepadatan penduduk
yang nantinya akan berdampak pada kesehatan bumi.Namun alasan ini
nampaknya kurang kuat, sebab pada hakikatnya bumi rusak bukan karena
banyaknya manusia melainkan perbuatan manusia itu sendiri yang
menimbulkan kerusakan di muka bumi ini.117
Begitu juga Victoria Tunggonno dalam bukunya yang berjudul
Childfree & Happy menyebutkan setidaknya ada lima kategori umum yang
menjadi alasan seseorang atau pasangan suami istri memilih childfree
berdasarkan buku yang berjudul Corrinne Maier No Kids: 40 Reasons For
Not Having Childree.118
a. Pertama pribadi, alasan pribadi biasanya timbul dari ranah emosi danbatin
seseorang, mungkin pernah terjadi sesuatu dalam keluarganya (kondisi
mental) atau merasa tidak layak untuk menjadi orang tua yang baik
sehingga lebih memilih untuk melampiaskan kasih sayangnya kepada
yang lain.
b. Kedua psikologis dan medis, alasan psikologis lebih kepada alam bawah
sadar termasuk juga trauma yang mungkin pernah dialami oleh
seseorang, sedangkan faktor medis adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterbatasan fisik.
c. Ketiga ekonomi (ranah materi), ini adalah alasan yang paling realistis,
beberapa orang memilih childfree karena keadaaan finansialnya yang

117
Mufida Ulfa, “Mengkaji Pilihan Childfree”, Seminar Diskusi Periodik Dosen, Jember:
Institut AgamaIslam Negeri Jember, September 2021, h. 4
118
Aulia Muhammad, Childfree : “Bagaimana Muslim Harus Bersikap?”, E-Book 2021,
h. 14
72

pas-pasan dan merasa tidak akan mampu membiayai kehidupan anaknya.


d. Keempat filosofis (ranah prinsip), adanya prinsip dan cara pandang
tentang hidupnya sendiri atau kehidupan secara general. Ada beberapa
orang yang berfikir bahwa kesejahteraan dan kontribusi yang baik bagi
umat manusia yakni lewat karya dari pada harus memiliki anak.119
e. Kelima lingkungan hidup (ranah makrokosmos), jumlah populasi
manusia yang dianggap sudah sangat berlebihan sehingga efeknya
merusak bumi. Mereka dengan gaya hidup childfree berkontribusi
menjaga kelestarian dan keseimbangan alam dengan tidak
berproduksi.120
5. Metode yang digunakan Childfree
Terkait permasalahan keputusan bebas anak ini, telah banyak yang
mengkaji baik dari ahli hukum fikih maupun dari segi pegiat kesetaraan
gender dan lain sebagainya. Pada salah satu artikel menjelaskan bahwa
terdapat beberapa cara menghindari kehamilan bagi pasangan suami istri,
diantaranya yaitu121 :
a. Dengan cara tidak inzal atau tidak menumpahkan sperma dalam rahim
Imam Al Ghazali dalam kitab ihyaul umuddin menjelaskan bahwa;

‫وإَّنا قلنا َل كراهة مبعىن التحرمي والتنزيه ألن إثبات النهي إَّنا ميكن بنص أو قياس على‬

‫منصوص وَل نص وَل أصل يقاس عليه بل ههنا أصل يقاس عليه وهو ترك النكاح‬

‫أصَلً أو ترك اجلماع بعد النكاح أو ترك اْلنزال بعد اْليَلج فكل ذلك ترك لألفضل‬

122
.‫وليس بارتكاب هني وَل فرق إذ الولد يتكون بوقوع النطفة ف الرحم‬
“Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna

119
Muhammad Aulia Rozaq, tentang, Childfree“Bagaimana muslim harus
bersikap?”,https://www.scribd.com/doc/526964222 (12 Desember 2022), h. 17-18.
120
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ānBadan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI, Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’ān dan Sains (Tafsir Ilmi), (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al- Qur’ān, 2010), h.121
121
Victoria Tunggono, Childfree and Happy, (Yogyakarta: EA Books, 2021), h. 22
122
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,202
73

makruh tahrim atau makruh tanzih, sebab untuk menetapkan larangan


terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyas
pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyas yang
dapat dijadikan dalil memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyas
yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak
bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzal atau menumpahkan
sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanya
merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan
melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan
berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan.”
Menurut al-Ghazali tidak adanya nash jelas yang diqiyaskan atas
keharaman ‘azl, akan tetapi asl yang digunakan dalam menentukan hukum azl
ini adalah menyamakan ‘azl dengan meninggalkan nikah, meninggalkanjimak
setelah nikah atau tidak melakukan inzal ketika melakukan persetubuhan. Maka
ini tidak bermakna larangan, hanya saja sampai pada taraf makruh, karena
semuanya itu adalah lebih utama untuk dilakukan ketimbang ditinggalkan.
Hal ini pun mengingat karena proses lahirnya anakada beberapa proses harus
dilalui, yaitu menikah, melakukan jimak (wiqa’),dan berhenti untuk melakukan
inzal (menumpahkan mani di dalam rahim).Dan diantara satu proses dan proses
lainnya memiliki hubungan yang salingbersangkutan. Maka jika satu dilarang
sama dengan melarang lainnya.123
b. Dengan tidak melakukan jima’ dengan pasangannya
Aktivitas seks dalam kurun waktu lama atau biasa disebut sexless
marriage. Beberapa penelitian mendeskripsikan sexless sebagaikondisi
ketiadaan aktivitas seksual pasangan yang berlangsung selama sebulan
atau lebih dan kondisi ini terus berlanjut di masa depan. Padahal sebagai
salah satu tujuan dilakukannya nikah, hubungan intim menurut Islam
termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan
mengandung nilai pahala yang besar. Karena Jima’ dalam ikatan nikah

123
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 19.
74

adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat


biologis insani dan menyambung keturunan bani adam. Karena bertujuan
mulia dan bernilai ibadah itulah setiap hubungan seks dalam rumah
tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan
tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.124
Oleh karena itu tidak melakukan jima’ dengan pasangan ketika
sudah menikah berdasarkan keterangan di atas maka tidak dianjurkan
karena jima’ ketika menikah merupakan ibadah yang dianjurkan dan
ketika pasangan suami istri tidak melakukan jima’ setelah menikah maka
hanya tindakan meninggalkan keutamaan tidak sampai batas dilarang
atau larangan dan pasangan suami istri tidak melakukan tindakan larangan
yang diperintahkanoleh Allah SWT.
c. Dengan cara ‘azl yakni dengan cara mengeluarkan sperma di luar vagina
Metode kontrasepsi yang dipraktikkan pada zaman Nabi adalah ‘azl
yang berasal dari kata kerja bahasa Arab ‘azala yang secara harfiah
berarti mengeluarkan, menyisihkan, memindahkan, atau memisahkan.
Secarateknis ‘azl digunakan untuk menjelaskan proses penarikan oleh
laki-laki pada saat pengeluaran (sperma) untuk mencegah terjadinya
pembuahan pada ovum (sel telur).125
Keempat madzhab fiqh Islam dalam memberikan penilaian terhadap
masalah ‘azl mengambil petunjuk dari Hadis yang berhubungan dengan
masalah tersebut karena tidak ada teks Alquran yang menyinggungnya.
Mereka berpendapat ‘azl diperbolehkan (mubah) tetapi dianggap tidak
patut (makruh) karena perbuatan ini menghapus hak wanita merdeka
untuk merasakan kepuasan seksual dan memiliki anak.
d. Dengan menghilangkan sistem reproduksi total
Histerektomi merupakan prosedur pengangkatan rahim yang dapat
mengakibatkan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dapat

124
Manshur Malaka, “Seks dalam Perspektif Islam”, Shautut Tarbiyah, Vol. 19, No. 1,
2013, h. 145
125
Ahmad Arif Daniel, “Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Hazm Tentang
‘Azl”, Skripsi, (Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang, 2011), h. 2
75

memiliki anak. Pembatasan keturunan secara mutlak hukumnya haram


karena bertentangan dengan fitrah manusia normal yang telah dijadikan
Allah, dan karena bertentangan dengan tujuan dasar syariat Islam yang
sangat menganjurkan lahirnya keturunan. Menghilangkan sistem
reproduksi apabila dilandasi faktor khawatir akan jatuh miskin
hukumnya tidak diperbolehkan, kecuali seorang wanita yang sudah
menikah dan belum memiliki anak kemudian memiliki beberapa alasan
untuk melakukan penghilangan sistem reproduksi seperti pengangkatan
rahim karena dinding rahim mengalami kerusakan yang cukup serius
sehingga rahim harus dikeluarkan maka boleh dilakukan karena khawatir
nantinya justru timbul penyakit lain yang tidak diinginkan.126
e. Dengan menggunakan kontrasepsi
Kontrasepsi ialah pencegahan kehamilan dengan mencegah
terjadinya konsepsi. Terdapat berbagai cara kontrasepsi, antara lain
kontrasepsi suntikan, kontrasepsi oral, kontrasepsi intravaginal, kondom,
dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) atau intrauterine device
(I.U.D), operasi tubektomi atau vasektomi atau cara konvensional.127
1) Kontrasepsi Suntikan
Penggunaan kontrasepsi suntik termasuk kontrasepsi yang bagus
karena tetap bisa hubungan intim dengan tenang tanpa khawatir
hamil sebab efektifitasnya bagus, minim resiko, murah dan cepat.
Apabila suami istridalam keadaan darurat yang tidak dapat dihindari,
misalnya untuk menghindari penurunan penyakit dari kedua orang
tuanya terutama ibu terhadap anak yang bakal dilahirkan atau
terancamnya jiwa si ibu yang akan mengandung atau melahirkan
bayi. Maka hukumnya boleh sesuai dengan kaidah hukum Islam
yang artinya : “Keadaan yang darurat (genting) membolehkan hal-

126
Rizka Nurchasanah, “Penggunaan Kontrasepsi Bagi Pasangan Suami Istri yang Sah
Ditinjau dariPerspektif Hukum Islam”, Skripsi, (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret, 2005), h. 9
127
Gemy Nastity Handayany, “Kontrasepsi Dalam Kajian Islam”, Al-Fikr, Vol. 17, No.
1, 2013, h. 232
76

hal yang terlarang”.


2) Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR/IUD)
Kontrasepsi jenis ini boleh dilakukan karena tidak menyebabkan
kemandulan permanen. Kontrasepsi ini boleh dilakukan oleh dokter
perempuan akan tetapi akan lebih baik apabila yang memasangkan
kontrasepsi ini ke istri adalah suaminya sebab suami juga boleh
melihat vagina istri sepuasnya. Berikut pandangan ulama tentang
kebolehan suami melihat dan menyentuh vagina istri guna
memasang kontrasepsi.128
3) Sterilisasi (Tubektomi/Vasektomi)
Vasektomi dan tubektomi hukumnya haram karena membuat
mandul secara permanen. Berikut adalah pandangan ulama tentang
keharaman membuat mandul secara permanen, dalam hadis yang
artinya:“Dan diharamkan memakai sesuatu yang dapat memutuskan
kehamilan dari asalnya (secara permanen) sebagaimana yang telah
banyak ulama paparkan. Hal ini sudah jelas.”129
4) Kondom
Pemakaian kondom sebagai kontrasepsi diqiyaskan terhadap ‘azl
karenapunya ‘illat berupa sama-sama tidak mengeluarkan sperma
di dalam vagina. Hukum kontrasepsi jenis ini juga boleh karena sama
sekali tidakmembahayakan kemampuan hamil/menghamili.
Terkait dengan program Keluarga Berencana (KB), MUI dalam
Musyawarah Nasional memutuskan beberapa fatwa, diantaranya
yaitu:130

128
Zamzam Mustofa, Nafiah, dan Dyna Prasetya Septianingrum, “Hukum Penggunaan
Alat KontrasepsiDalam Perspektif Agama Islam”, MA’ALIM: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No.
2, 2020, h. 95
129
Zamzam Mustofa, Nafiah, dan Dyna Prasetya Septianingrum, “Hukum Penggunaan Alat
KontrasepsiDalam Perspektif Agama Islam”, MA’ALIM: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 2,
2020, h. 96
130
Khozainul Ulum, “Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Pemikiran
Hukum Islam diIndonesia”, AKADEMIKA, Vol. 8, No. 2, 2014, h. 171-172
77

1) Islam membenarkan praktek Keluarga Berencana (KB) yang


bertujuan untuk kepentingan kesehatan ibu dan anak, dan untuk
perhatian pendidikan anak. Praktek KB harus dijalankan menurut
pilihan dan menggunakan alat yang tidak dilarang oleh Islam.
2) Praktek aborsi dalam bentuk dan tahap kehamilan apapun dalam
Islam karena merupakan bentuk pembunuhan, kecuali jika praktek
aborsi merupakan satu-satunya cara tuk menyelamatkan si ibu.131
3) Vasectomi (pemotongan saluran mani pada laki-laki) dan tubectomi
(pemotongan saluran telur pada wanita) dilarang dalam Islam,
kecuali dalam kasus-kasus emergensi, semisal untuk mencegah
penyebaran penyakit atau untuk menyelamatkan kehidupan
seseorang melalui jalur vasectomi atau tubectomi.
4) Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) dalam pelaksanaan
KB dapat dibenarkan jika pemasangan dan pengontrolannya
dilakukan oleh dokter medis wanita atau dokter medis pria dengan
didampingi oleh suami atau wanila lain.132
6. Dampak seseorang melakukan Childfree
a. Dampak Positif
1) Privat
Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam alasan seseorang
melakukan childfree, tentunya memiliki dampak positif bagi
seseorang yang memang berniat melakukannya, yakni sebagai
berikut :
a) Kebebasan finansial
b) Mempunyai banyak waktu luang untuk bersenang-senang
c) Terhindar dari trauma masa kecil

131
Abu Bakar Ustman bin Muhammad Syatha, “I’anatut Thalibin Juz 4”, in I’anatut
Thalibin (Beirut:Darul Fikr, 2019), h. 147.
132
Zamzam Mustofa, Nafiah, dan Dyna Prasetya Septianingrum, “Hukum Penggunaan Alat
KontrasepsiDalam Perspektif Agama Islam”, MA’ALIM: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 2,
2020, h. 98
78

Bagi perempuan dalam gangguan kesehatan semisal dapat


membahayakan ibu apabila memiliki anak, maka ini akan
menyelamatkan nyawa ibu.
2) Publik

Dalam kadar normal dapat mengatur jumlah populasi dunia. Dalam


laman worldpopulation.com, jumlah populasi dunia saat ini
berjumlah sekitar 8+ milyar jiwa. Jumlah tersebut kian bertambah
setiap detiknya karena data yang ditampilkan bersifat realtime
sesuai dengan data dari PBB. 87 Masalah ledakan jumlah penduduk
tentunya berimbas pada beberapa permasalahan penduduk seperti,
kelaparan, masalah lingkungan global, krisis pembangunan dan
lingkungan.133
b. Dampak Negatif
1) Childfree dilakukan secara terus menerus
Dapat diketahui bahwa jika kelahiran semakin menurun atau
bahkan tidak melahirkan sama sekali dapat mengakibatkan
kepunahan umat manusia. Semakin sedikit manusia, maka akan
semakin sedikit SDM yang didapat untuk membangun suatu
peradaban. Masalah fertilitas ini dialami oleh negara Jepang.
Banyak generasi muda Jepang menganut budaya gila kerja,
sehingga tidak mempunyai waktu untuk mencari pasangan.
Sebenarnya mereka memiliki waktu untuk itu, akan tetapi mereka
lebih memilih menghabiskan waktu luangnya untuk lembur. Selain
budaya gila kerja, masalah fertilitas juga disebabkan karena
gerakan feminis untuk tidak menikah (unmarried) sebagai bentuk
protesterhadap budaya patriarki Jepang yang begitu kental.134
2) Berkurangnya usia produktrif dimasa yang akan datang

133
Mufida Ulfa, “Mengkaji Pilihan Childfree”, Seminar Diskusi Periodik Dosen, Jember:
Institut AgamaIslam Negeri Jember, September 2021, h. 4
134
M Baiquni, “Revolusi Industri, Ledakan Penduduk Dan Masalah Lingkungan”, Jurnal
Sains &Teknologi Lingkungan 1, no. 1 (2009): 38–59, https://doi.org/10.20885/jstl.vol1.iss1.art3
79

Dengan berkurangnya jumlah populasi usia produktif, dan semakin


menjamurnya usia lansia dapat menimbulkan masalah SDM. Jika
hal demikian terjadi, maka gelombang imigran akan masuk ke
negara tersebut dan mengikis penduduk asli, maka identitas negara
semakin hilang seiring berjalannya waktu.
3) Stigma negatif dari Masyarakat
Stigma negatif akan timbul sebagai akibat dari seseorang
melakukan childfree, terutama di negara-negara pro natalis seperti
Indonesia. Adanya anak kandung membawa manfaat dalam sosial
dan ekonomi, rasa aman ketika orang tua berusia lanjut, dan juga
memberikan manfaat secara psikologis, budaya dan agama.
Tentunya seseorang melakukan childfree akan mendapat tekanan
dan cemooh dari masyarakat.135

B. Childfree dalam perspektif Maqashid Syariah


Maqasid al-syariah merupakan prinsip dasar utama yang menjadi tujuan
utama dari penemuan Hukum Islam. Ketika ketentuan childfree atau keputusan
tanpa anak dalam melangsungkan perkawinan atau pernikahan secara khusus tidak
disebut dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Maqasid al-syariah dalam perkawinan
adalah untuk memelihara keturunan atau umat manusia (hifz an-nasl), jadi tujuan
perkawinan dalam Islamadalah untuk hifz an-nasl tersebut.
Memiliki anak dalam perkawinan merupakan sebuah usaha agar dapat
menjaga keturunan. Dengan hal demikian, makksud memiliki memiliki keturunan
maka dapat menjaga eksistensi manusia di bumi ini. Karena apabila pasangan
suami istri menikah kemudian memilih untuk tidak memiliki anak maka dapat
terjadi kekurangan sumber daya manusia di dunia ini. Oleh sebab itu, jika menikah
dengan tujuan tidak ingin memiliki anak atau childfree, maka itu bertentangan
dengan maqasid syariah perkawinan.136

135
Nugroho dkk, “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang.”, 1025
91
Patnani, Takwin, dan Mansoer, “Bahagia tanpa anak? Arti penting anak bagi involuntary
childless.”, h. 124
136
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa : Dirasah al-Musykilaat al-Muslim al-Mu’ashir fii Hayatih
80

Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya menetapkan syarat-syarat Maqashid


al-Syari'ah. Menurutnya, bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai maqashid
syari'ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu :

ً‫شرتط َلعتبار املقاصد أن يكون املقصد ثابتاً ظاهراً منضبطاً مطردا‬


‫ أن تكون تلك املعاِن جمزوماً بتحقيقها أو مظنوناً ظناً قريباً من اجلز‬: ‫واملراد بالثبوت‬
‫ مثل حفظ النسب الذي‬، ‫ اَلتضاح حبيث َل خيتلف الفقهاء ف تشخيص املعىن‬: ‫واملراد بالظهور‬
‫ َل يلتبس بشبيه له وهو الذي ُيصل باملخادنة‬، ‫ فهو معىن ظاهر‬،‫هو املقصد من تشريع الزواج‬
.‫أو إلصاق املرأة َحلها برجل معني ِّمن ضاجعوها‬
‫ أن يكون للمعىن قدر أو حد غْي مشكوك فيه حبيث َل يتجاوزه وَل‬: ‫واملراد باَلنضباط‬

‫ مثل حفظ العقل الذي هو املقصد من ترمي اْلمر ومشروعية احلد ب اْلسكار‬، ‫يقصر عنه‬

‫ أَل يكون املعىن خمتلفاً باختَلف‬: ‫ واملقصود باَلطراد‬. ‫الذي خيرج به العاقل عن تصرفات العقَلء‬

‫ مثل وصف اْلسَلم والقدرة على اْلنفاق ف اشرتاط الكفاءة ف النكاح لدى‬، ‫األزمان واألماكن‬
137
.‫املالكية‬

1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu harus


bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian
2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan
makna tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan
tujuan disyariatkannya perkawinan.
3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau batasan
yang jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang merupakan
tujuan pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah kemabukan.
4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan
waktu dan tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk memberikan

al-Yaumiyah wa al-’Amah, 12 ed. (Kairo: Dar al-Syuruq, 2001), h. 296.


137
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus: Dâr al-Fikri, h. 113
81

nafkah sebagai persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut perpsketif


mazhab Maliki.92

‫ملصاحل حبسب قوهتا ف ذاهتا وتأثْيها ثَلثة أنواع‬


Pertama Maslahat sebagai substansi dari maqashid syari'ah dapat dibagi
sesuai dengan tinjauannya. Bila dilihat dari aspek pengaruhnya dalam
kehidupan manusia, maslahat dibagi menjadi tiga tingkatan :

‫ حبيث إذا فقدت‬، ‫ هي اليت يتوقف عليها حياة الناس الدينية والدنيوية‬: ‫املصاحل الضرورية‬
‫ وشاع الفساد وضاع النعيم األبدي وحل العقاب ف اآلخرة‬، ‫اختلت احلياة ف الدنيا‬

‫ وإذا‬، ‫ ورفع احلرج عنهم‬، ‫ هي املصاحل اليت ُيتاج إليها الناس للتيسْي عليهم‬: ‫حلاجيات‬
‫ ورتبتها‬، ‫ ولكن يلحقهم احلرج واملشقة‬،‫فقدت َل خيتل نظام حياهتم كما ف الضروريات‬
‫ وقد أحيطت َجيع أنواع التشريع اْلسَلمي برفع احلرج للتخفيف عن‬،‫بعد الضروريات‬
‫الناس وتيسْي سبل احلياة‬

‫ ويقصد هبا األخذ‬، ‫ وهي املصاحل اليت تقتضيها املروءة‬: ‫التحسينات أو الكماليات‬
، ‫ وإذا فقدت َل خيتل نظام احلياة كما ف الضروريات‬، ‫مبحاسن العادات ومكارم األخَلق‬
، ‫ ولكن تصبح حياهتم مستقبحة ف تقدير العقَلء‬، ‫وَل يناَلم احلرج كما ف احلاجيات‬
138
. ‫ وتوجد ف العبادات واملعامَلت والعادات والعقوبات‬، ‫فهي تأيت ف املرتبة الثالثة‬

1. Dharuriyat, yaitu maslahat yang bersifat primer, dimana kehidupan


manusiasangat tergantung padanya, baik aspek diniyah (agama) maupun
aspek duniawi. Maka ini merupakan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan
dalamkehidupan manusia. Jika itu tidak ada, kehidupan manusia di dunia
menjadihancur dan kehidupan akhirat menjadi rusak (mendapat siksa). Ini
merupakan tingkatan maslahat yang paling tinggi. Di dalam Islam, maslahat
dharuriyat ini dijaga dari dua sisi: Pertama, realisasi dan perwujudannya;
dan kedua, memelihara kelestariannya. Contohnya, yang pertama menjaga

138
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, )Siria : Dâr al-Fikri ,Juz I, 1406H). h., 115.
82

agama dengan merealisasikan dan melaksanakan segala kewajiban agama,


serta yang kedua menjaga kelestarian agama dengan berjuang dan berjihad
terhadap musuh-musuh Islam.
2. Hajjiyat, yaitu maslahat yang bersifat sekunder, yang diperlukan oleh
manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan
kesulitan maupun kesempitan. Jika ia tidak ada, akan terjadi kesulitan dan
kesempitan yang implikasinya tidak sampai merusak kehidupan.
3. Tahsiniyat, yaitu maslahat yang merupakan tuntutan muru'ah (moral), dan
itu dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Jika ia tidak ada, maka
tidak sampai merusak ataupun menyulitkan kehidupan manusia. Maslahat
tahsiniyat ini diperlukan sebagai kebutuhan tersier untuk meningkatkan
kualitas kehidupan manusia.139

، ‫ هي اليت تعود على َجيع األمة أو َجاعة عظيمة منها باْلْي والنفع‬: ‫فاملصلحة الكلية‬
‫ وحفظ القرآن‬، ‫ وحفظ الدين من الزوال‬، ‫ واألمة من التفرق‬، ‫مثل َحاية البَلد من العدو‬
‫ وحفظ احلرمني ف مكة واملدينة‬، ‫ وحفظ السنة من الدخيل املوضوع‬،‫من التَلشي العام‬
.‫من الوقوع ف أيدي األعداء‬

140
. ‫ هي مصلحة الفرد أو األفراد القليلة كتشريع املعامَلت‬: ‫واملصلحة اجلزئية اْلاصة‬

Kedua adalah maslahat yang dilihat dari aspek cakupannya yang dikaitkan
dengan komunitas (jama'ah) atau individu (perorangan). Hal ini dibagidalam
dua kategori, yaitu :
1. Maslahat kulliyat, yaitu maslahat yang bersifat universal yang kebaikan
danmanfaatnya kembali kepada orang banyak. Contohnya, membela
negara dari serangan musuh dan menjaga hadits dari usaha pemalsuan.
2. Maslahat juz'iyat, yaitu maslahat yang bersifat parsial atau individual,

139
Jalaluddin Al-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, 2 ed., vol. 2 (Kairo: Al-Azhar Al-Syarif,
2005), h. 670
140
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, )Siria : Dâr al-Fikri ,Juz I, 1406 H). h., 1-21
127
83

seperti pensyariatan berbagai bentuk mu'amalah.141


Ketiga adalah maslahat yang dipandang dari tingkat kekuatan dalil yang
mendukungnya. Maslahat dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu :

‫تنقسم املصاحل باعتبار درجة احلاجة إَل جلبها أو دفع الفساد هبا إَل قطعية وظنية ووَهية‬

‫ مثل واهلل على‬، ‫ هي املتيقنة اليت دلت عليها دَللة النص اليت َل تتمل التأويل‬: ‫فالقطعية‬
‫ أو أرشدت إليها األدلة الكثْية باَلستناد إَل‬: ) ً‫الناس حج البيت (من استطاع إليه سبيَل‬
ً‫اَلستقراء كالكليات أو الضروريات اْلمسة املتقدمة أو دل العقل على أن ف تصيله نفعا‬
.‫ مثل قتال مانعي الزكاة ف عهد أِب بكر رضي اهلل عنه‬، ‫ وف ض ده ضرر كبْي‬، ً‫عظيما‬
‫ أو دل عليه‬، ‫ ما اقتضى العقل ظنه كاختاذ كَلب احلراسة ف الدور وقت اْلوف‬: ‫والظنية‬
142
. ‫ مثل حديث َل يقضي القاضي وهو غضبان‬، ‫دليل ظي من الشرع‬

Ketiga adalah maslahat yang dipandang dari tingkat kekuatan dalil yang
mendukungnya. Maslahat dalam hal ini dibagi menjadi dua,yaitu
1. Maslahat yang bersifat qath'i, yaitu sesuatu yang diyakini membawa
kemaslahatan karena didukung oleh dalil-dalil yang tidak mungkin lagi
ditakwili, atau yang ditunjuki oleh dalil-dalil yang cukup banyak yang
dilakukan lewat penelitian induktif, atau akal secara mudah dapat
memahami adanya maslahat tersebut
2. Maslahat yang bersifat zhanni, yaitu maslahat yang diputuskan oleh
akal, atau maslahat yang ditunjuki oleh dalil zhanni dari syara'
Apabila ditinjau dari segi maqasid syariah maka ChildFree berhubungan
dengan Hifzu al-Nasl yaitu menjaga keturunan.

141
Abu Isa Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, ed. oleh Basyar Awaad Ma’ruf, 1 ed., vol. 2
(Beirut: Dar al Garb al Islamy, 1996), h. 345.
142
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, )Siria: Dâr al-Fikri ,Juz I, 1406 H). h.128-
131
84

‫ وحرم الزىن والقذف وشرع احلد َلما للحفاظ عليه‬، ‫ شرع لبقائه الزواج‬: ‫والنسل أو النسب‬
143
‫ فيضمن عدم تعطيل أو اختَلط األنساب وبقاء النوع‬،

Keturunan atau silsilah: itu ditentukan untuk kelangsungan pernikahan, dan


diharamkan perzinahan dan fitnah, dan hukum had ditentukan bagi mereka
untuk melestarikannya, dengan demikian memastikan bahwa silsilah tidak
akan terputus atau bercampur dan jenisnya akan tetap ada.144
Pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera
dan harmonis. Untuk itu, setiap anggota keluarga, terutama suami dan istri
sebagai anggota inti, harus memikirkan dan merencanakan kehidupan
keluarganya dengan baik, termasuk keberadaan anak.145Setiap keluarga pasti
memiliki rencana dalam hidupnya. Salah satu bentuk perencanaan berkaitan
dengan keberadaan keturunan dalam sebuah keluarga. Memiliki keturunan
merupakan salah satu bentuk mashlahah yang paling mendasar bagi manusia
dalam rangka menjaga kelangsunganhidup manusia. Allah telah memberikan
bekal untuk memelihara dan meneruskan keturunan manusia ini melalui
perkawinan yang pada gilirannya melahirkan hak dan kewajiban bagi setiap
anggota keluarga.146
Sebagian Ulama berpendapat tentang membolehkan Azl dalam sebuah
kepentingan tertentu. Salah satunya pendapat dari Syekh Abdul Latif dalam
Fatwanya No.4281 Darul Ifta Mengatakan Bahwa :

،‫ختصهما‬
ُّ ‫اَلتفاق عليه إذا كان ف ذلك مصلحة‬ ‫ وجيوز َلما‬،‫معا‬ ِ
ُ ً ‫حق للزوجني‬
ٌّ ‫اْلجناب هو‬ ‫عدم‬
ُ
‫ أ ََّما على مستوى األمة‬،‫ وهذا اجلواز على املستوى الفردي‬،‫وَل جيوز ألحدَها دون موافقة اآلخر‬
،‫جيوز املْن ُع املطلق من اْلجناب؛ ملا فيه من اْلخَلل بنسبة التوازن اليت أقام اهلل اْللق عليها‬
ُ ‫فَل‬

143
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, )Siria : Dâr al-Fikri ,Juz I, 1406 H). h., 133
144
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 9.
145
Musdah Mulia, Ensiklopedia Muslimah Reformis (Tangerang Selatan: PT. Bentara
Aksara Cahaya, 2020), h. 115
146
Muksana Pasaribu, “Muksana Pasaribu, Maslahat dan Perkembangannya sebagai
Dasar PenetapanHukum Islam.” h. 354
85

‫وَل يدخل فيها ما تقوم به الدول من إجراءات للعمل على تديد النسل طلبًا للحياة الكرمية‬
‫لشعوهبا وفق الدراسات املفصحة عن إمكانيات هذه الدول؛ فتصرف ويل األمر منوط‬
147
.‫باملصلحة‬

Tidak memiliki anak adalah hak untuk kedua pasangan, dan mereka dapat
menyetujuinya jika itu untuk kepentingan mereka sendiri, dan tidak
diperbolehkan untuk salah satu dari mereka tanpa persetujuan yang lain, dan
kebolehan ini pada tingkat individu, tergantung pada praturan negara, tidak
boleh secara mutlak melarang anak untuk memiliki anak Karena itu melanggar
proporsi keseimbangan yang Allah Swt tetapkan sebagai ciptaan, dan tidak
termasuk prosedur yang diambil negara-negara untuk bekerja pada
pengendalian kelahiran untuk mencari kehidupan yang layak bagi rakyatnya
menurut penelitian yang mengungkapkan kemampuan negara-negara tersebut.
Perilaku hal tersebut tergantung pada kepentingan.
Kemudian Imam Ghozali megeaskan kembali Tentang beberapa niat
Azl yang dibolehkan diantaranya :

‫إن قلت فإن مل يكن العزل مكروهاً من حيث أنه دفع لوجود الولد فَل يبعد أن يكره ألجل‬
: ‫النية الباعثة عليه فأقول النيات الباعثة على العزل مخس‬
‫األوَل ف السراري وهو حفظ امللك عن اَلَلك باستحقاق العتاق وقصد استبقاء امللك برتك‬
.‫اْلعتاق ودفع أسبابه ليس مبنهي عنه‬

‫استِْب َقاءُ حياهتا خوفاً من خطر الطلق وهذا‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫الثانية‬


ْ ‫َّمت ُِّع َو‬
َ ‫استْب َقاءُ ََجَال الْ َم ْرأَة َوَسَن َها ل َد َوام الت‬
ْ
‫أيضاً ليس منهياً عنه‬
ِ ‫اج ِة إِ ََل التَّ َع‬
ِ ‫ب ِف الْ َكس‬ ِ ِ ِ ِ ِ َ‫احلَرِج بِسب‬ ِ ُ ‫اْلو‬
‫ب‬ ْ َ َ‫ب َكثْ َرِة ْاأل َْوََلد َواَل ْح َرت ُاز م َن ا ْحل‬ ِ
َ َ ْ ‫ف م ْن َكثْ َرة‬ َْْ ‫الثالثة‬
‫ودخول مداخل السوء وهذا أيضاً غْي منهي عنه فإن قلة احلرج معني على الدين نعم الكمال‬
}‫والفضل ف التوكل والثقة بضمان اهلل حيث قال {وما من دابة ف األرض إَل على اهلل رزقها‬

147
Syekh abdul Latif, Darul Ifta, dalam fatwanya No.4281 tahun 1982 situs,
https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/14269 diakses 10 Maret 2013 pukul 16.20 WIB.
‫‪86‬‬

‫وَل جرم فيه سقوط عن ذروة الكمال وترك األفضل ولكن النظر إَل العواقب وحفظ املال‬
‫وادخاره مع كونه مناقضاً للتوكل َل نقول إنه منهي عنه‪.‬‬

‫الرابعة اْلوف من األوَلد اْلناث ملا يعتقد ف تزوجيهن من املعرة كما كانت من عادة العرب ف‬
‫قتلهم اْلناث فهذه نية فاسدة لو ترك بسببها أصل النكاح أو أصل الوقاع أُث هبا َل برتك‬
‫النكاح والوطء فكذا ف العزل والفساد ف اعتقاد املعرة‬

‫ف سنة رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أشد وينزل منزلة امرأة تركت النكاح استنكافاً من أن‬
‫يعلوها رجل فكانت تتشبه بالرجال وَل ترجع الكراهة إَل عني ترك النكاح‪.‬‬

‫اْلامسة أن متتنع املرأة لتعززها ومبالغتها ف النظافة والتحرز من الطلق والنفاس والرضاع وكان‬

‫ذلك عادة نساء اْلوارج ملبالغتهن ف استعمال املياه حَّت كن يقضني صلوات أيام احليض وَل‬

‫يدخلن اْلَلء إَل عراة فهذه بدعة ختالف السنة فهي نية فاسدة واستأذنت واحدة منهن على‬

‫عائشة رضي اهلل عنها ملا قدمت البصرة فلم تأذن َلا فيكون القصد هو الفاسد دون منع‬

‫‪148‬‬
‫الوَلدة‪.‬‬

‫‪a. Yang pertama adalah selir, yaitu untuk melindungi raja dari kematian dengan‬‬
‫‪pantas mendapatkan pembebasan, dan berniat untuk mempertahankan raja‬‬
‫‪dengan meninggalkan pembebasan dan menolak penyebabnya tidak dilarang.‬‬
‫‪b. Yang kedua adalah menjaga kecantikan dan menjaga berat badan wanita‬‬
‫‪selama masa perawatan, dan menjaga nyawanya karena takut akan bahaya‬‬
‫‪perceraian, dan alasan seperti ini tidak dilarang untuk seorang melakukan Azl‬‬
‫‪c. Yang ketiga adalah takut karena rasa malu yang berlebih karena banyaknya‬‬
‫‪anak-anak, dan menjaga agar tidak perlu bekerja keras untuk menafkahi‬‬
‫‪kebutuhan anak Sehingga terdapat hal yang tidak baik Ini juga tidak dilarang,‬‬

‫‪148‬‬
‫‪Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,208‬‬
87

karena tidak adanya kesulitan adalah bantuan untuk agama Rahmat


kesempurnaan dan kebajikan ada dalam kepercayaan dan kepercayaan pada
jaminan Allah Swt berfirman,: Dan tidak ada hewan di bumi kecuali rezeki
Allah” Tidak ada kejahatan yang gugur mencapai puncak kesempurnaan dan
meninggalkan kebaikan, tetapi melihat konsekuensinya dan menjaga harta lalu
menyimpannya meskipun bertentangan dengan kepercayaan, kami tidak
mengatakan bahwa itu dilarang.149
d. Yang keempat adalah ketakutan terhadap anak perempuan, ketika diyakini
bahwa mereka harus dinikahkan dengan perempuan, sebagaimana kebiasaan
orang Arab untuk membunuh perempuan, jadi ini adalah niat yang merusak
Jika dia meninggalkan karena dia asal perkawinan atau asal persetubuhan,
maka dia berdosa karena dia, bukan dengan meninggalkan perkawinan dan
persetubuhan.Begitu juga dengan pengucilan serta Fasid menurut keyakinan
orang yang durhaka. Dalam Sunnah Rasulullah, semoga doa dan damai Allah
besertanya, itu lebih parah, dan dia menurunkan posisi wanita yang
meninggalkan pernikahan karena melakukan Azl dari pada yang bisa dilampaui
oleh pria,hal tersebut bukan karena hakikat meninggalkan perkawinan
e. Kelima, wanita melakukan Azl karena pencegahan dan berlebihan dalam
kebersihan, dan untuk menjaga dari perceraian, melahirkan, serta menyusui.
hal Ini adalah kebiasaan wanita Khawarij karena mereka menggunakan air
secara berlebihan, sehingga mereka biasa menghabiskan waktu salat pada hari-
hari haid dan tidak masuk wc kecuali telanjang.Basrah tidak menghalalkan,
jadi maksudnya adalah koruptor tanpa mencegah kelahiran.150
Dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di Indonesia, pembahasan
tentang keluarga akan menjadi perbincangan yang tidak ada habisnya.
Seseorang yang sudahdewasa, sudah memasuki usia kawin akan ditanya
kapan akan menikah. Setelahmenikah biasanya dia akan ditanya kapan
punya anak. Setelah itu, Anda akanditanya kapan memiliki anak lagi. Jadi,

149
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa : Dirasah al-Musykilaat al-Muslim al-Mu’ashir fii Hayatih
al-Yaumiyah wa al-’Amah, 12 ed. (Kairo: Dar al-Syuruq, 2001), h. 296.
150
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddîn, (Jedah, Darul Minhaj, juz III, 1432), h.,211
88

pertanyaan lain terus mengalir tanpa hentidalam diskusi tentang kehidupan


keluarga, yang sebenarnya adalah masalah pribadi.Islam sebagai agama yang
lengkap, dalam arti tidak hanya menyampaikan ajaran iman, tetapi Islam
juga memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh umatnya (syari'ah).
Hukum Islam disarikan dari berbagai ketentuan yang ada, sepertitujuan hukum
(maqashid al-syari'ah), kaidah ushul fiqh, dan berbagai pertimbanganlainnya.
Dengan demikian, hukum Islam dapat tumbuh dan berkembang sehingga
dapat menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang ada.151
Salah satunya terkait dengan kedudukan childfree dalam hukum Islam.
Pada masa awal Islam tidak ditemukan istilah ini sehingga pada saat itu belum
ada ketentuan hukum Islam. Orang-orang jahil di Jazirah Arab pada masa lalu
melakukan praktik mengubur bayi perempuan karena dianggap aib dan
menyusahkan orang tua. Kemudian Islam datang dan melarang praktek
tersebut. Dengan demikian, childfree memang menjadi hal baru dalam kajian
hukum Islam yang membutuhkan jawaban.152
Maqashid al-syari'ah adalah dasar dan tujuan hukum Islam, dengan
ketentuan melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Maqashid al-syari'ah dinilai mampu menentukan posisi anak bebas dalam
konteks hukum Islam. Maqashid al-Syari'ah menjamin hifz al-nasb (menjaga
keturunan). Keturunan jika diartikan secara sempit adalah anak dari buah
perkawinan. Sedangkan dalam arti luas, keturunan adalah keturunan anak
manusia sejak Nabi Adam. Sebelum mengasuh keturunan, seseorang yang
sedang hamil hendaknya menjaga jiwanya terlebih dahulu (hifz al-nafs), baik
saat hamil maupun setelah melahirkan.153
Untuk menempatkan posisi childfree dalam hukum Islam, terlebih dahulu
perluditentukan illat hukumnya. Posisi illat yang berbeda akan menghasilkan

151
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Sinar Grafika, Jakarta, 2006), h. 185
152
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada MediaGroup, Cetakan 1, 2019), h. 68
153
Moh. Mukri, Aplikasi Konsep Maslahah al-Gazali pada Isu-isu Hukum Islam
Kontemporer diIndonesia (Yogyakarta : Idea Press Yogyakarta, 2012), h. 3
89

hukum bebas anak yang berbeda pula. Jika illat hukumnya telah memenuhi
kategori dharuriyat, maka bebas anak dapat dianggap sebagai kebolehan.
Misalnya, jika seorang ibu hamil dan dapat mengancam nyawanya, maka ia
diperbolehkan untuk childfree. Atau jika terjadi kekacauan di suatu negara
yang kekurangan sumber sandang, pangan, papan, dan keamanan, maka
childfree juga diperbolehkan karena mengandung manfaat darurat (maslahah
dharuriyyat).154
Sebaliknya, jika seseorang khawatir kondisi tubuhnya akan berubah
setelah hamil dan memiliki anak, kemudian ia memutuskan untuk bebas anak,
maka alasanini tidak dapat dibenarkan. Atau, dia ingin mengejar karir yang
membuatnya tidak ingin punya anak, karena anak bisa mengganggu
aktivitasnya. Kehadiran anak hanya dianggap sebagai hal yang merepotkan.
Padahal Al-Qur'an telah menjelaskan berbagai kedudukan anak, antara lain:
Anak sebagai Penyejuk Hati (Surat al-Furqan[25]: 74)

‫اج َع ْلنَا لِْل ُمت َِّق ْي‬ ٍ ُ ‫ب لَنَا ِم ْن اَْزو ِاجنَا وذُِّريّٰتِنَا قَُّرَة اَ ْع‬
ْ ‫ني َّو‬ َ َ
ِ
ْ ‫َوالَّذيْ َن يَ ُق ْولُْو َن َربَّنَا َه‬
"Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Anak sebagai Permata Dunia Anak-anak sebagaiUjian atau Fitnah (Surat at-
Taghabun [64]:15.

‫اََِّّنَاٖ اَْم َوالُ ُك ْم َواَْوََلدُ ُك ْم فِْت نَةٌ ٖ َو ّٰاللهُ ِعْن َدهٖٖ اَ ْجٌر َع ِظْي ٌم‬
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan
di sisi Allah pahala yang besar.”

Seseorang yang khawatir tidak memiliki cukup ekonomi untuk memenuhi


kebutuhan anak atau khawatir menjadi miskin karena memiliki anak adalah
orangyang lemah dalam pengetahuan. Allah swt telah berfirman dalam Q.S.
Al-Isra'(17):31

154
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam (Jurnal : Sultan Agung
Vol XLIV No.118 Juni – Agustus 2009), h. 121
90

‫َوََل تَ ْقتُلُ ْوٖا اَْوََل َد ُك ْم َخ ْشيَ َة اِ ْم ََل ٍقٖ ََْن ُن نَ ْرُزقُ ُه ْم َواِيَّا ُك ْمٖ اِ َّن قَ ْت لَ ُه ْم َكا َن ِخطًْا َكبِْي ًرا‬

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin.


Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh
mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.”

Setiap anak memiliki rezekinya masing-masing yang telah dijamin.Jadi,


pilihan sukarela untuk bebas anak sangat bertentangan dengan ayat tersebut.
Keinginan untuk memiliki keturunan harus dibarengi dengan niat dan
kemampuan. Al-Qur'an menyatakan bahwa setiap orang tua harus
memperhatikan bekal hidup anaknya di masa depan hal ini juga dijelaskan
dalam (Q.S. An-Nisa [4]:9).155

‫ش الَّ ِذيْ َن لَ ْو تََرُك ْوا ِم ْن َخلْ ِف ِه ْم ذُِّريًَّة ِض ّٰع ًفا َخافُ ْوا َعلَْي ِه ْمٖ فَلْيَتَّ ُقوا ّٰالل َه َولْيَ ُق ْولُْوا قَ ْوًَل َس ِديْ ًدا‬
َ ‫َولْيَ ْخ‬
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata
yang benar.”

Jadi bukan sekedar punya anak, tapi mempersiapkan dan membantu anak
menjadi pribadi yang baik dan berakhlak mulia. Dari semua hal yang penulis
paparkan bahwa Hukum Azl adalah boleh sesuai dengan teori dan konsep yang
dijelaskan oleh para ulama, namun Haram hukumnya apabila melakukan Azl
dengan merusak fungsi reproduksi dan sejenisnya seperti aborsi, meminum pil
sehingga menyebabkan rusaknya fungsi rahim atau pengangkatan oprasi rahim.

155
Muhammad Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ed. oleh Ahmad Al-Barduni
danIbrahim Atfisy, 3 ed., vol. 14 (Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah, 1964), h. 17.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis, maka dapat


menarik kesimpulan bahwa, keputusan untuk tidak memiliki anak disebut
sebagai childfree. Terdapat beberapa alasan diantaranya adalah faktor ekonomi,
faktor psikologis, faktor kesehatan, faktor lingkungan, dan lain sebagainya.
Keputusan untuk tidak memiliki anak atau childfree secara sengaja menurut
Maqashid Syariah bertentangan dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu
memiliki keturunan (hifẓ an-nasl). Pada beberapa kasus Childfree yakni Gita
Savitri Devi dalam Youtube Analisa Channel, Cinta Laura dalam YoutubeThe
Hermansyah A6, Anya Dwinov dalam Acara Rumpi di Trans TV, Rina Nose
dalam Youtube Melaney Richardo, Chef Juna dalam Youtube PUELLA ID dan
Leony Vitria pada acara Shopie Novia TV keputusan mereka dalam Childfree
masih tidak sejalan dengan Hifdz Al-Nasl yakni khawatir timbul problem,
kekhawatiran finansial dan sebagainya.
Dalam hal ini keputusan tersebut bertentangan dengan salah satu tujuan
perkawinan dan alasan tersebut merupakan bentuk prasangka buruk kepada
Allah SWT karena masa depan adalah sesuatu yang ghaib dan seseorang tidak
dapat memprediksi bagaimana kehidupan anaknya di masa depan yang akan
datang. Lain halnya apabila seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki
anak dengan alasan penyakit yang dialami atau kondisi kehamilan yang dapat
mengancam nyawanya, maka hal ini diperbolehkan karena keputusan ini bukan
kehendaknya dan dalam rangka untuk melindungi dirinya (hifẓ an-nafs) dari
segala sesuatu yang tidak diinginkan. Dampak bagi seseorang melakukan
Childfree ada Dampak Positif dan Negatif, (Pertama) Dampak poisitfnya ada
secara Privat dan Publik sedangkan (Kedua) Dampak negatifnya Childfree
dilakukan secara terus menerus akan berakibat terhadap populasi manusa yang
stagnan, Berkurangnya usia produktrif dimasa yang akan datang dan Stigma
negatif dari Masyarakat.

90
92

B. Rekomendasi
Adapun saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, sebagaimana
berikut :
1. Bagi masyarakat umum, melakukan childfree mempunyai banyak sisi negatif.
Selain karena tidak sesuainya dengan prinsip Islam untuk memperbanyak
keturunan, ia juga dapat menimbulkan cemooh baik dari keluarga maupun
masyarakat dalam lingkungan pro-natalis. Selain itu, memiliki anak akan
melengkapi kebahagiaan antara suami dan istri. Maka, bagi ia yang dalam
keadaan normal tanpa adanya darurat maupun masalah kesehatan, lebih baik
baginya untuk mengharapkan anak dalam pernikahannya.
2. Menyikapi keputusan childfree, diharapkan kepada pasangan suami istri
masing-masing menghendaki memiliki anak atau tidak nantinya dengan
matang dan lebih dimatangkan lagi dalam memastikan dan memutuskannya
agar tidak rugi dan tidak menyesal akan keputusannya di kemudian hari.
3. Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam melakukan analisis hukum Islam
sehingga membutuhkan pendekatan yang lebih relevan dari bidangbidang
keagamaan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan kepada para ahli
ilmuwan Islam untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk memberikan
pandangan yang lebih bijaksana agar dapat menyikapi fenomena childfree di
kalangan masyarakat terutama umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Shomad, Hukum Islam, Jakarta: Kencana, cetakan 2, 2012)


Abdul Hadi, Husnul Khotimah dan Sadari, “Childfree dan Childless
Ditinjau Dalam Ilmu Fiqih dan Perspektif Pendidikan Islam”,
Journal of Educational & Language Research, Vol. 1, No. 6, 2022
Abdul kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, 1990)
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, Cetakan 4,
2010)Abdul Thalib, Hukum Keluarga dan Perikatan, (Pekanbaru, 2007)
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan
Skripsi,
(Jakarta: Rineka Cipta, Januari 2011)
Abu Bakar Ustman bin Muhammad Syatha, “I’anatut Thalibin Juz 4”, in
I’anatut Thalibin (Beirut: Darul Fikr, 2019)
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, (Beirut: Darul Ma’rifah), Juz 2
Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath Al-Wahab (Singapura : Sulaiman
Mar’iy)
Agil Bahsoan, Maslahah Sebagai Maqashid Al Syariah “Tinjauan dalam
Perspektif Ekonomi Islam” (Jurnal : INOVASI, Volume 8, Nomor
1, Maret 2011 ISSN 1693-9034)
Ahmad Arif Daniel, “Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu
Hazm Tentang ‘Azl”, Skripsi, (Malang: Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Malang, 2011)
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence
(Islamabad: Islamic Research Instute, 1970)
Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati,
Jakarta : Sinar Grafika Offset, Cetakan ke 4 2017
Al Yasa‟ Abu Bakar, Metode Istislahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan
dalamUshul Fiqh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016)
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi (Jakarta

92
94

: PT.Raja Grafindo Persada, 1996)


Aulia Muhammad, Childfree : “Bagaimana Muslim Harus Bersikap?”, E-
Book2021
Bachtiar, A. (2004). Menikahlah, Maka Engkau Akan Bahagia!.
Yogyakarta : Saujana.

Christian Agrillo dan Cristian Nelini, “Childfree by Choice: a review”,


Journalof Cultural Geography, Vol. 25, No. 3, 2008, hlm.
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam Kontemporer Buku Ptertama, (Jakarta: LSIK, 1994)
Djoko Prakoso dan Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di
Indonesia,(Jakarta: Bina Aksara, 1987)
Djubaedah, Neng, 2010, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
DicatatMenurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam,
Sinar Grafika,Jakarta.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997)
Gemy Nastity Handayany, “Kontrasepsi Dalam Kajian Islam”, Al-Fikr,
Vol.
17, No. 1, 2013
Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam (Jurnal :
SultanAgung Vol XLIV No. 118 Juni – Agustus 2009)
Gillespie, R “Childfree and feminine: Understanding the gender identity
of voluntarily childless women.” Journal Gender and Society Vol.
17, No.1, February 2003
Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam
Syariat Islam, (Universitas Al-Azhar, 2010)
Ika Yunia dan Abdul Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam (Perspektif
Maqashid alSyariah), (Jakarta : PT. Adhitya Andrebina Agung,
2014), h. 119
J. Szymanska, “Yang Tidak Memiliki Anak Karena Pilihan Dalam
Persepsi Orang Dewasa Muda”, Forum Keluarga, 2011
95

Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah (terj.


Rosidin dan Ali Abd el-Mun.im) (Bandung : PT Mizan Pustaka,
2015)
Jessica M. Rick and Rebecca J. Meisenbach, “Social Stigma, Childfree
Identities, and Work-Life Balance”, Communication and the
work-life balancing act: Intersections across identities, genders, and
cultures, 2017 Khairul Fikri dan Umi Wasilatul Firdausiyah,
“Reinterpretasi Teori LanguageGame Ke Dalam Bahasa Dakwah
Perspektif Ludwig Wittgentein”,
Journal of Islamic Civilization, Vol. 3, No. 2, 2021

Khozainul Ulum, “Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam


Pemikiran Hukum Islam di Indonesia”, AKADEMIKA, Vol. 8,
No. 2, 2014, h. 171-172
Kuat Ismanto, Asuransi Perspektif Maqashid Asy-Syariah (Yogyakarta
PustakaPelajar, 2016)
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ānBadan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-
Qur’ān dan Sains (Tafsir Ilmi), (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’ān, 2010), h.121
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia., (Bandung : Alumni, 1982)
M Baiquni, “Revolusi Industri, Ledakan Penduduk Dan Masalah
Lingkungan”, Jurnal Sains &Teknologi Lingkungan 1, no. 1
(2009): 38–59,https://doi.org/10.20885/jstl.vol1.iss1.art3.
Manshur Malaka, “Seks dalam Perspektif Islam”, Shautut Tarbiyah, Vol.
19, No. 1, 2013
Mardani, Hukum Perkawinan Islam: di Dunia Islam Modern,
(Yokyakarta: Graha Ilmu, 2011)
Miwa Patnani, Bagus Takwin, and Winarini Wilman Mansoer, “Bahagia
TanpaAnak?
Moh. Mukri, Aplikasi Konsep Maslahah al-Gazali pada Isu-isu Hukum
96

Islam Kontemporer di Indonesia (Yogyakarta : Idea Press


Yogyakarta, 2012)
Moh. Toruquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-Syatibi (Jurnal
Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 1, Juni 2014)
Mufida Ulfa, “Mengkaji Pilihan Childfree”, Seminar Diskusi Periodik
Dosen,Jember: Institut Agama Islam Negeri Jember, September
2021
Muhammad Mawardi Djalaluddin, al-Maslahah al-Mursalah dan
Pembaharuan Hukum Islam
Muksana Pasaribu, “Muksana Pasaribu, Maslahat dan
Perkembangannya sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam.”
Nasrullah Yahya, Maqashid Al-Syari’ah Ibnu ,Asyur, (Aceh Utara: CV.
Sefa Bumi Persanda, 2014)
Nugroho dkk, “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat
Jepang.

Patnani, Takwin, dan Mansoer, “Bahagia tanpa anak? Arti penting anak
bagi involuntary childless”.
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta, 2006)
Reading. J dan Amatea E.S., “Role deviance or role diversification:
reassessing the psychosocial factors affecting the parenthood
choices of career- oriented women”, Journal of Marriage and the
Family Vol. 48, Tahun 1986
Rebecca Harrington, “Childfree by Choice”, Studies in Gender and
Sexuality, Vol. 20, No. 1, 2019
Rizka Nurchasanah, “Penggunaan Kontrasepsi Bagi Pasangan Suami
Istri yang Sah Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam”, Skripsi,
(Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2005)
Sanjaya Yasin, Pengertian Perkawinan Makalah, Masalah, Tujuan,
Definisi, Perkawinan Menurut Para Ahli, 25 Maret 2017.
97

Sara L. Pelton and Katherine M. Hertlein, “A Purposed Life Cycle for


Voluntary Childfree Couples”, Journal of Feminist Family
Therapy, Vol. 23, No. 1, 2014
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997, Tentang Perkawinan),
(Yogyakarta, 1986)
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung : Alfabeta,
CetakanKelima, 2009)
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cetakan 1, 2019)
Tiara Hanandita, “Konstruksi Masyarakat Tentang Hidup Tanpa Anak
SetelahMenikah”, Jurnal Analisa Sosiologi, Vol. 11, No. 1, 2022
Tracy Marison, dkk., “Stigma Resistance in Online Chidlfree
Communities: The Limitations of Choice Rhetoric”, Psychology
of Women Quartely, Vol.40, No. 2, 2016
Trusto Subekti, Bahan Pembelajaran Hukum Keluarga dan Perkawinan,
(Fak Hukum Unsoed Purwokerto), 2005Wasman dan Wardah
Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandigan
Fiqh dan Hukum Positif, (Yogyakarta : Teras, 2011)

Uswatul Khasanah dan Muhammad Rosyid Ridho, “Childfree Perspektif


Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam”, Journal Al-
Syakhsiyyah Journal of Law and Family Studies, Vol. 3, No. 2,
2021
Victoria Tunggono, Childfree and Happy, (Yogyakarta: EA Books, 2021)
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus: Dâr al-Fikri
Musdah
Mulia, Ensiklopedia Muslimah Reformis (Tangerang Selatan: PT.
Bentara Aksara Cahaya, 2020)
Zamzam Mustofa, Nafiah, dan Dyna Prasetya Septianingrum, “Hukum
Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Perspektif Agama Islam”,
98

MA’ALIM: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 2, 2020


Arti Penting Anak Bagi Involuntary Childless,” Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan9, no. 1 (2021): 117,
99

INTERNET ;

https://doi.org/10.22219/jipt.v9i1.14260.

https://www.medcom.id/foto/grafis/JKRW9apN-fenomena-childfree-di- indonesia

https://voi.id/bernas/77722/pilih-childfree-khawatir-overpopulasi- bumi-ini-bisa-

menampungberapa-banyak-orang

https://www.nu.or.id/post/read/131044/childfree-tren-populasi-dunia-dan-

beragamtantangannya.

https://shamela.ws/book/4268

https://www.worldometers.info/watch/world-population/.

https://www.noor-book.com/

https://www.dar-alifta.org/ar/fatawaA8

Anda mungkin juga menyukai