Anda di halaman 1dari 75

REKONSTRUKSI KONSEP DALIL QATH’I

PERSPEKTIF ABU ISHAQ AL-SYATHIBI


DALAM UU TIPIKOR PASAL 2 AYAT (1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

BIDAYATUL MUTAMMIMAH
NIM: 11170430000027

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2022 M
REKONSTRUKSI KONSEP DALIL QATH’I
PERSPEKTIF ABU ISHAQ AL-SYATHIBI
DALAM UU TIPIKOR PASAL 2 AYAT (1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:

BIDAYATUL MUTAMMIMAH
NIM: 11170430000027

Dibawah Bimbingan:
Pembimbing

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/2022 M

i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “REKONSTRUKSI KONSEP DALIL QATH‟I


PERSPEKTIF ABU ISHAQ AL-SYATHIBI DALAM UU TIPIKOR PASAL 2
AYAT (1)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Maret 2022. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-
1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab.

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya saya atau
merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 25 Maret 2022

Bidayatul Mutammimah
NIM. 11170430000027

iii
ABSTRAK

BIDAYATUL MUTAMMIMAH. NIM 11170430000027. REKONSTRUKSI


KONSEP DALIL QATH’I PERSPEKTIF ABU ISHAQ AL-SYATHIBI
DALAM UU TIPIKOR PASAL 2 AYAT (1). Program Studi Perbandingan
Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1443/2022.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 dilihat dari perspektif dalil qath‟i dengan
menggunakan metode istiqra‟ ma‟nawi yang ditawarkan oleh Abu Ishaq al-
Syathibi.
Skripsi ini disusun menggunakan metode penelitian studi kepustakaan (library
research), dengan pendekatan kualitatif. Sehingga dalam penyelesaiannya harus
dilakukan dengan pengumpulan data dan menggunakan kaidah, teori, dalil dan
sebagainya supaya hasil penelitian sejalan dengan persoalan-persoalan yang
penulis lakukan. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri berbagai
literatur, baik berupa al-Quran dan Hadis, Buku dan Jurnal, serta sumber dari situs
berita digital dan website yang berhubungan dengan tema penelitian.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; Ketentuan dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 sesuai dengan
ketentuan dalam hukum Islam, dilihat dari dalil qath‟i -tentang keharaman
pencurian, tujuan al-Syari‟ dalam menetapkan hukum dan hukuman yang
diberlakukan oleh Nabi ‫ﷺ‬, serta keharusan hakim untuk berijtihad sehingga dapat
menghukum pencuri sesuai dengan kerugian yang disebabkan- dengan
menggunakan metode istiqra‟ ma‟nawi yang ditawarkan oleh al-Syathibi.

Kata Kunci : UU Tipikor, Dalil Qath‟i, Abu Ishaq al-Syathibi, Istiqra‟


Ma‟nawi
Pembimbing : Dr. Muhammad Taufiki, M.A
Daftar Pustaka : 1908 s/d 2020

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil „Alamin. Puji dan Syukur kami panjatkan ke hadirat


Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam senantiasa
kami curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang akan memberikan
syafaat kepada manusia hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada diri penulis sendiri dan kedua
orang tua tercinta, Bapak Salim Azhar dan Ibu Siti Fahimah yang tiada henti
selalu mendoakan, memberi dukungan dan kasih sayang kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Banyak hambatan dan rintangan yang penulis rasakan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Tentunya ada peran dari pelbagai pihak yang membantu secara
langsung maupun tidak langsung sehingga masalah dapat terselesaikan. Dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya
kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Ibu Siti Hanna, M.A. Selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
dan Bapak Hidayatullah, M.H. Selaku Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab yang terus memberikan ilmu kepada penulis;
3. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.A. Selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah membina, mengarahkan dan memberikan waktu dan ilmunya
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga jasa beliau
senantiasa menjadi amal kebaikan di kemudian hari dan segala urusannya
dimudahkan-Nya. Aamiin.
4. Seluruh Jajaran Dosen dan Staff Pengajar di lingkungan Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Univeristas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak
ilmu dan pengetahuan yang luas kepada penulis semana penulis duduk di

v
bangku perkuliahan. Semoga senantiasa dimudahkan segala urusan dan ilmu
yang diberikan mendapat keberkahan. Aamiin.
5. Kepada kedua orang tua Bapak Salim Azhar dan Ibu Siti Fahimah, doa dan
kasih sayang yang tulus yang telah mengantarkan penulis hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini. Kepada keluarga Al-Azhar Family yang selalu
menghibur dan memberikan semangat kepada penulis.
6. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan di Perbandingan Mazhab 2017.
Khususnya kepada „Tulang Rusuk‟ Kelas A dan seluruh sahabat di
Perbandingan Mazhab 2017 kelas A. Tak lupa kepada angkatan Ashaab
Darus-Sunnah yang selalu menghibur dan menerima segala jenis
pertemanan.
7. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis satu persatu namun telah memberikan
banyak kontribusi dalam penyusunan skripsi ini. Semoga segala bentuk
kebaikan mereka dibalas dengan ganjaran berlipat ganda oleh Allah SWT.
penulis berharap skripsi ini dapay memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca. Untuk itu penulis mengharap kritik
dan saran yang sifatnya membangun unutk memperbaiki skripsi ini.

Ciputat, 25 Maret 2022

Penulis
Bidayatul Mutammimah
11170430000027

vi
Daftar Isi

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
Daftar Isi .............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah ................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 6
D. Kajian Terdahulu ............................................................................................. 7
E. Metode Penelitian .......................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .................................................................................... 11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Dalil Syara‟ .................................................................................................... 13
1. Pengertian Dalil ..............................................................................................13
2. Pembagian Dalil Syara‟ ..................................................................................14
B. Jarimah Sariqah .............................................................................................. 17
1. Definisi Jarimah Sariqah .................................................................................17
2. Dalil-Dalil Jarimah Sariqah ............................................................................20
C. Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ........... 24
1. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana .......................................................24
2. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) ...............26
BAB III KONSEP DALIL QATH’I MENURUT AL-SYATHIBI
A. Biografi al-Syathibi ........................................................................................ 29
1. Biografi dan Latar Belakang Intelektual al-Syathibi ......................................29
2. Kondisi Hukum Islam di Andalus...................................................................32
3. Kitab al-Muwafaqat ........................................................................................36
B. Konsep Dalil Qath‟i Perspektif al-Syathibi ................................................... 37

vii
1. Latar Belakang Pemikiran...............................................................................37
2. Sumber Pembentukan Metode Istiqra‟ Ma‟nawi ............................................39
3. Konsep Dalil Qath‟i Perspektif al-Syathibi ....................................................41
BAB IV ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UU
TIPIKOR PASAL 2 AYAT (1) PERSPEKTIF METODE ISTIQRA’
MA’NAWI
A. Implementasi Metode Istiqra‟ Ma‟nawi Terhadap Hukum Tindak Pidana
Korupsi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor .................................................................... 50
B. Keselarasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 dengan Dalil Had Sariqah Perspektif al-Syathibi .........................................56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 60
B. Saran .............................................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Istilah “Hukum Islam” jika diterjemahkan ke bahasa Arab mencakup istilah
al-syariah al-Islami dan al-fiqh al-Islami yang masing-masing memiliki konsep
dan konteks tersendiri, 1 padahal terdapat perbedaan definisi antara keduanya.

Syariah adalah ‫( ٌا رشعّ اهلل ىعتاده ٌَ األخاكم‬hukum-hukum Allah yang ditetapkan

bagi hamba-Nya),2 sedangkan fikih adalah ٌَ ‫اىعيً ةاألخاكم الرشعيث اىعٍييث املهتصب‬

‫( أدتلٓا اتلفطيييث‬ilmu tentang hukum syara‟ yang berhubungan dengan amal

perbuatan yang digali satu persatu dalilnya).3


Berbicara tentang hukum Islam maka tak jauh dari pembicaraan tentang
ushul fikih, karena hukum Islam didasarkan pada nash syara‟ yang tidak bisa
dimaknai begitu saja, tetapi harus memiliki metode untuk memahaminya agar
dapat memproduksi hukum Islam yang sesuai dengan yang ditunjukkannya.
Jika ditelaah kembali, turunnya Al-Quran disebabkan beberapa peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat Islam pada masa Nabi ‫ ﷺ‬dahulu, bahkan tak jarang
Al-Quran menjadi jawaban dari beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para
sahabat kepada Nabi, 4 hal ini menjadi bukti bahwa Al-Quran menjadi sumber
utama bagi ketetapan hukum Islam. Selain Al-Quran, terdapat Hadis Nabi yang
menjadi sumber kedua bagi pembinaan hukum Islam.5 Hal ini berdasarkan cerita
sahabat Muadz ibn Jabal ketika ditugaskan ke Yaman sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya.6

1
Izomiddin, Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Prenamedia Group, 2018), h. 7
2
Ibn Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim, (Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000 M),
h. 8
3
Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, (Indonesia, Al-Haramain Jaya), juz. 1, cet. 1, h. 3
4
Hudhari Bik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, Alih Bahasa Mohammad Zuhri, (Daarul Ihya‟),
h. 22
5
Aly Mustafa Yaqub, al-Thuruq al-Shahihah Fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Jakarta,
Maktabah Darus-Sunnah, 2016), h. 13
6
Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut, al-Risalah, 2009), Juz. 5, h. 443-444
1
2

Dari sinilah para ulama ushul fikih mempertanyakan tentang bagaimana


cara memahami dua sumber utama hukum Islam? Hal ini mengingatkan pada
unsur kedua ushul fikih itu sendiri, yakni cara mengambil faidah dari dalil nash.7
Maka dari itu penting untuk kembali membahas tentang metode pengambilan
faidah dari suatu dalil/nash syara‟.
Nash syara‟ dapat ditinjau dari dua segi, yakni segi tsubut/wurud
(kedatangannya) dan dalalah (petunjuk lafaznya). Dari segi tsubut, nash syara‟
datang dari al-Syari‟ (pembuat hukum) yang dalam hal ini hanyalah Allah dan
Rasul-Nya, sedangkan dari segi dalalah, nash syara‟ memiliki pesan yang ingin
disampaikan kepada hamba-Nya agar kemudian dijadikan rujukan untuk
memproduksi hukum.
Pengkajian tentang tsubut dan dalalah diklasifikasikan pula menjadi dua
sifat, yakni qath‟i dan zhanni. Pembahasan tentang qath‟i dan zhanni berada
ditengah-tengah antara teori tsubut dan teori dalalah. Dari sini dapat diketahui
adanya 4 unsur, yang kemudian menghasilkan 4 kategori pembahasan, yaitu:
qath‟i al-tsubut, zhanni al-tsubut, qath‟i al-dalalah dan zhanni al-dalalah.8
Para ulama ushul fikih sepakat bahwa produk hukum yang didasarkan pada
dalil Al-Quran dan Hadis yang bersifat qath‟i baik tsubut ataupun dalalah tidak
dapat dijadikan objek ijtihad, karena wilayah ijtihad hanya masalah hukum yang
didasarkan pada nash yang bersifat zhanni. 9 Abdul Wahhab Khallaf dalam

kitabnya yang berjudul Ilmu Ushul al-Fiqh berpegang pada satu kaidah bahwa ‫ال‬

ٌّ ٌ َ
ٌّ ّ‫مصاغ لإلجخٓاد فيٍا في‬
‫كطع‬ ‫رصيح‬ ‫ُص‬ (sama sekali tidak diperkenankan untuk

ijtihad pada sesuatu yang terdapat dalam nash yang jelas dan juga pasti).10 Hal ini
menjadi pedoman yang tak dapat diganggu gugat.
Tetapi masalahanya terletak pada satu kenyataan bahwa zaman selalu
berkembang, dampaknya adalah muncul berbagai masalah hukum yang tak pernah

7
Ali Jum‟ah, Sejarah Ushul Fiqih, (Depok, Keira Publishing, 2017), h. 111
8
Ali Jum‟ah, Sejarah Ushul Fiqih, h. 140
9
M. Usman, Rekonstruksi Teori Hukum Islam, (Bantul, PT. LkiS Printing Cemerlang,
2015), h. 74
10
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 246
3

terbayangkan sebelumnya, sehingga bagaimanapun juga menuntut adanya


perubahan dan pembaruan hukum Islam agar dapat menjawab segala
perkembangan masalah yang terjadi.
Al-Quran sebagai sumber hukum Islam yang aplikatif dan solutif serta
relevan untuk setiap waktu dan tempat harus menerima kenyataan bahwa manusia
butuh untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada, sehingga tidak patut
bagi Al-Quran menutup diri untuk diijtihadi, tetapi hal ini akan berdampak pada
pembekuan nash qath‟i yang dirasa mencederai tujuan Al-Quran itu sendiri.11
Dari beberapa pernyataan diatas terlihat adanya pertentangan antara kaidah
„ketiadaan wilayah ijtihad bagi dalil qath‟i‟ dengan „tujuan Al-Quran yang
menjadi sumber bagi hukum Islam yang selalu berkembang seiring dengan
perkembangan zaman‟, dari sini kemudian muncul pertanyaan „bagaimana posisi
dalil qath‟i ketika dihadapkan pada realitas peradaban?‟
Pertanyaan tersebut dapat diselesaikan dengan cara mengeluarkan segala
nilai yang terkandung dalam nash syara‟ baik normatif maupun etika sebagai
tuntunan dalam menjalani kehidupan, 12 dalam ilmu Ushul Fikih hal itu disebut
dengan istinbath (upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya).13
Istinbath ada dua macam, yakni verbal dan substansial yang juga dikenal
dengan sebutan al-Thariqah al-Lafzhiyah (berorientasi pada pemahaman bentuk
bahasa nash syara‟) dan al-Thariqah al-Ma‟nawiyah (berorientasi pada
pemahaman makna implisit), misalnya qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan
sadd al-Zari‟ah.14
Namun beberapa produk istinbath tersebut hanya bersandarkan pada satu
dalil parsial saja tidak secara komperehensif, sehingga kesatuan dasar syariah
cenderung terabaikan. Hal ini membuat ulama menyadari akan pentingnya
menerapkan metode istiqra‟ (penelitian secara menyeluruh) dalam menetapkan

11
Riyanta, “Dekonstruksi Ruang Lingkup Ijtihad”, Jurnal Sosio-Religia, Vol. 10, No. 1,
2012, h. 42
12
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandar Lampung, CV. Anugrah Utama Raharja,
2019), h. 156-157
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 1
14
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2008), h.
116, 133
4

hukum Islam sehingga dapat memenuhi tujuan al-Syari‟ yang terdapat dalam
nash.15
Salah satu ulama yang memberi perhatian kepada metode istiqra‟ adalah
Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H). Metode tersebut beliau sebut dengan istiqra‟
ma‟nawi yang dituliskan dalam kitab karangannya yang berjudul al-muwafaqat.
Beliau beranggapan bahwa suatu dalil baru dianggap qath‟i dan dapat diambil inti
maqashid al-Syari‟nya adalah ketika dalil tersebut terdiri atas beberapa dalil yang
berbeda namun memiliki makna sama, karena antar-dalil tersebut akan
menguatkan satu sama lain.16
Beliau juga beranggapan bahwa tujuan al-Syari‟ jika hanya bersandarkan
pada satu dalil (secara parsial) saja maka akan berstatus zhanni, karena hal itu
harus berdasarkan pada kolektifitas dalil sehingga semua dalil yang dikumpulkan
tersebut dapat diteliti dari semua sisi, baik zhahir, „am, mutlak, muqayyad ataupun
juz‟iyyatnya, selain itu juga dapat diteliti dari indikasi perbedaan keadaan dan
perbedaan peristiwa yang terjadi di masing-masing daerah.17
Konsep tersebut menunjukkan adanya perbedaan metode yang ditawarkan
oleh al-Syathibi dengan para ulama sebelumnya. Dampaknya sangat jelas, selain
berubahnya level kebenaran yang pada dasarnya kebenaran nash qath‟i bersifat
absolut menjadi zhanni yang kebenarannya bersifat relatif, 18 juga perubahan
kriteria sebuah dalil dapat dikatakan qath‟i sehingga dapat dijadikan dasar hukum
yang harus dipatuhi tanpa mengundang perdebatan lagi.
Sebagai contoh adanya proses ijtihadisasi dalil qath‟i adalah hukum potong
tangan bagi pencuri yang terdapat hadnya dalam Q.s. al-Maidah ayat 38.19 Tetapi
pada faktanya di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam pun
tidak melaksanakan hukuman had tersebut.

15
Duski, “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syathibi”, Jurnal Al-„Adalah, Vol.
XI, No. 2, 2013, h. 207-208
16
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, (Beirut, Daar el-Kotob el-Ilmiyah, 2004), h. 22
17
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 247
18
Laode Ismail Ahmad, “Rekonstruksi Teks-Teks Hukum Qath‟i dan Teks-Teks Hukum
Zhanni”, Jurnal Asy-Syir‟ah, Vol. 49, No. 2, 2015, h. 236
19
Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam
Muhammad Wahyuni Nafis et, al., Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: IPHI-Paramadina,
1995), cet. Ke-1, h. 276
5

Tarik satu sampel, Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 menegaskan bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Aturan tersebut merupakan bukti bahwa hukum yang telah ditetapkan Allah
dengan dalil qath‟i-pun masih dapat diijtihadi, jika seperti itu, maka pertanyaan
yang muncul kemudian adalah bagaimana bisa hukuman yang sudah ditetapkan
oleh al-Syari‟ berubah menjadi hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah?
Bagaimana bisa had berubah menjadi ta‟zir? Pertanyaan lanjutannya adalah
apakah hukum di Negara Indonesia -yang mayoritas masyarakatnya beragama
Islam- sudah sesuai dengan syariat Islam atau malah menyimpang?
Dilihat dari beberapa pernyataan diatas, perlu adanya penjelasan lebih
dalam terhadap kriteria dalil qath‟i perspektif al-Syathibi yang menggunakan
metode istiqra‟ ma‟nawi dalam menetapkan hukum Islam. Pemikiran tersebut
berdampak besar terhadap kesesuaian Pasal 2 ayat (1) dalam UU Tipikor dengan
hukum potong tangan dalam had pencurian. Maka dari itu, peneliti ingin
membahas lebih dalam tentang “Rekonstruksi Konsep Dalil Qath’i Perspektif
Abu Ishaq Al-Syathibi Dalam UU Tipikor Pasal 2 ayat (1)”

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa hal yang menjadi
pokok permasalahan dalam penelitian ini. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1. Pertentangan antara konsep dalil qath‟i yang tidak membuka wilayah ijtihad
dengan konsep hukum Islam yang terus berkembang sesuai perkembangan
zaman;
6

2. Pembaharuan konsep dalil qath‟i menurut pemikiran Al-Syathibi;


3. Implikasi hukum jika menggunakan konsep dalil qath‟i ala al-Syathibi.

2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, maka
peneliti perlu membatasi masalah agar cakupannya jelas dan lebih terarah. Hal ini
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pembahasan tentang teori ushul fikih hanya pada seputar dalil qath‟i;
2. Pemikir pembaharu hanya pada pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi.
3. Pengkajian tentang UU Tipikor hanya pada Pasal 2 ayat (1).

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah peneitian ini, beberapa rumusan
masalah yang hendak diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dalil qath‟i menurut ulama salaf?
2. Bagaimana konsep dalil qath‟i menurut Al-Syathibi sebagai bentuk
rekonstruksi terhadap dalil qath‟i menurut ulama salaf?
3. Bagaimana rekonstruksi dalil qath‟i menurut al-Syathibi dalam UU
Tipikor Pasal 2 ayat (1)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah penelitian, tujuan dari penelitian yang
akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami tentang konsep dalil qath‟i menurut ulama salaf;
2. Untuk memahami tentang dalil qath‟i menurut Al-Syathibi yang menjadi
bentuk rekonstruksi terhadap dalil qath‟i menurut ulama salaf;
3. Untuk memahami tentang rekonstruksi dalil qath‟i menurut al-Syathibi
dalam UU Tipikor Pasal 2 ayat (1).
7

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
hukum Islam, juga memperluas khazanah keilmuan dalam bidang
ushul fikih;
2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan
mengenai wawasan ilmu pengetahuan tentang perkembangan hukum
Islam, sehingga menjadi bukti bahwa Islam adalah Agama yang
menjadi rahmat bagi seluruh alam dan relevan dengan segala tempat
dan waktu;

b. Manfaat Praktis
1. Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat dijadikan rujukan terkait
pemikiran pembaharu hukum Islam;
2. Bagi akademisi hukum Islam, penelitian ini dapat dijadikan
rujukan perihal teori ushul fikih yang juga dapat di-rekonstruksi,
sehingga membuktikan bahwa konsep perkembangan hukum Islam
tidak dapat dimentahkan dengan metode pengambilan hukum Islam
itu sendiri;
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi bukti tentang keselarasan
hukum Islam dengan hukum konvensional.

D. Kajian Terdahulu
Berdasarkan pada hasil penelusuran yang peneliti lakukan, terdapat
beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji terkait konsep dalil qath‟i dan
perkembangan hukum Islam. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Saifuddin Sa‟dan, “Ijtihad Terhadap Dalil Qath‟i Dalam Kajian Hukum
Islam”, Jurnal Samarah, Vol. 1, No. 2, 2017
Temuan: Terdapat tiga kelompok yang mempercayai ada atau tidak
adanya konsep dalil qath‟i dan zhanni. Kelompok pertama menerima
konsep tersebut dan beranggapan bahwa dalil qath‟i tidak membuka wilayah
8

ijtihad sama sekali, kelompok kedua tidak menerima konsep tersebut


sehingga beranggapan bahwa semua dalil dapat dijadikan wilayah untuk
ijtihad, sedangkan kelompok ketiga menerima konsep tersebut namun
menganggap bahwa dalil qath‟i masih membuka lapangan untuk ijtihad.
Artikel tersebut hanya membahas tentang respon ulama terhadap
proses ijtihad yang terjadi pada dalil qath‟i karena keniscayaan
perkembangan zaman, sedangkan dalam penelitian ini mengerucut pada
pembahasan tentang rekonstruksi konsep dalil qath‟i menurut pandangan
Al-Syathibi dalam UU Tipikor Pasal 2 ayat (1).

2. Duski, “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syathibi (Suatu Kajian


Tentang Konsep al-Istiqra‟ al-Ma‟nawi)”, Jurnal al-„Adalah, Vol. XI, No. 2,
2013
Temuan: Abu Ishaq al-Syathibi merupakan ulama pembaharu dan
pemilik karya fenomenal yang bernama al-muwafaqat. Sebagaimana para
imam dalam mengkonsep istinbath dengan berbagai bentuknya, al-Syathibi
juga memiliki konsep sendiri yang disebut dengan al-istiqra‟ al-ma‟nawi,
yakni dengan mengumpulkan semua dalil dengan satu tema dan kemudian
mengambil hukum dari keseluruhan dalil tersebut. Metode ini dirasa relevan
dalam proses istinbath karena akan memberi kepastian hukum.
Artikel tersebut hanya fokus pada pemikiran al-Syathibi tentang
tawaran rekonstruksi pemikiran hukum Islam dalam aspek metodologisnya,
sedangkan penelitian ini menambahkan pengkajian tentang Pasal 2 ayat (1)
UU Tipikor atas implikasi dari pemikiran tersebut.

3. Sanusi, “Merajut Nalar Fiqh Kontekstual”, Jurnal Yudisia, Vol. 6, No. 2,


2015
Temuan: Nash memang memiliki sakralitas yang tidak dapat dirubah
bagaimanapun keadaannya, tapi bagaimanapun juga zaman akan terus
berkembang sehingga pemahaman terhadap nash harus terlebih dahulu
melihat berbagai kondisi yang melatarbelakanginya. Perubahan yang
9

dilakukan hanya pada masalah praktiknya tanpa mengubah substansi dari


nash yang ada.
Artikel tersebut hanya membahas tentang cara berpikir kontekstual
sehingga dapat membawa Agama Islam kepada realitas sosial, sedangkan
penelitian ini membahas lebih dalam, yakni tentang konsep dalil qath‟i yang
berkembang juga sehingga menyebabkan perkembangan dalam memahami
nash al-Quran sampai menjadi aturan atau fikih itu sendiri.

4. Yedi Puurwanto & Ridwan Fauzy, “Analisis Terhadap Hukum Islam dan
Hukum Positif Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Jurnal
Pendidikan Agama Islam-Ta‟lim, Vol. 15, No. 2, 2017
Temuan: Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang dapat
merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dari itu koruptor
harus dihukum sebagaimana aturan yang telah ditetapkan. Hal ini diatur
dalam hukum positif maupun dalam hukum Islam. Negara Indonesia yang
memberlakukan hukuman ta‟zir bagi koruptor sebagai pelaku harus
menghukum sesuai dengan dampak yang ditimbulkan, karena ta‟zir bisa
saja lebih besar dari had tergantung pada seberapa besar dampak dari
perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku.
Artikel tersebut hanya membahas tentang tindak pidana korupsi
menurut hukum Islam dan hukum positif, sedangkan penelitian ini spesifik
pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sekaligus membahas tentang istinbath
hukum dari dalil qath‟i sehingga menjadi aturan ta‟zir.

Dari beberapa kajian terdahulu diatas dapat dilihat betapa universalitas


hukum Islam sangat terasa, juga bahwa hukum Islam sangat relevan dan
adaptable dengan realitas perkembangan zaman. Persamaannya dengan penelitian
ini adalah mengkaji tentang konsep dalil qath‟i, perkembangan hukum Islam,
pemikiran pemikiran Al-Syathibi, membangun nalar kontekstual dan hukuman
bagi pidana pencurian, namun dengan pembahasan yang terpisah-pisah.
Perbedaannya terletak pada titik fokus rekonstruksi konsep dalil qath‟i menurut
10

pemikiran Al-Syathibi ditambah dengan pengkajian UU Tipikor Pasal 2 ayat (1)


yang merupakan imbas dari pemikiran tersebut.

E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, dengan cara
20
mengumpulkan data, analisis dan kemudian diinterpretasikan. Dengan
menggunakan studi kepustakaan (library research), yakni penelitian dengan
menggunakan literatur kepustakaan, baik buku, catatan ataupun hasil penelitian
terdahulu.21

2. Sumber Data
a. Sumber bahan hukum primer berupa al-Quran, Hadis, serta kitab al-
Muwafaqat dan buku Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar
Konsep Al-Istiqra‟ Al-Ma‟nawi Asy-Syatibi, serta UU nomor 31 Tahun
1999 jo. UU nomor 20 Tahun 2001
b. Sumber bahan hukum sekunder, yakni segala yang berhubungan secara
langsung dengan objek penelitian yakni kitab ushul fikih klasik, kitab
ushul fikih kontemporer, buku-buku ushul fikih dan pembaharuan hukum
Islam, buku-buku hukum pidana.
c. Sumber bahan hukum tersier, yakni bahan hukum pelengkap seperti
kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab-Indonesia, kamus
hukum dan jurnal ataupun artikel yang membantu penelitian ini.

20
Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Sukabumi, CV
Jejak, 2018), h. 9
21
Susiasi AS, Metodologi Penelitian, (Bandar Lampung, Pusat Penelitian dan Penerbitan
LP2M IAIN Raden Intan Lampung, 2014), h. 10
11

3. Teknik Pengolahan Data


Langkah selanjutnya setelah mengumpulkan semua sumber bahan adalah
mengolah data tersebut, yang dilakukan dengan cara memperoleh data,
mengecek keseuaian data dengan pembahasan penelitian, kemudian
menempatkan data sesuai dengan pembahasan.

4. Teknik Analisis Data


Setelah mengolah data, langkah selanjutnya adalah menganalisa data secara
deskriptif-analisis, yakni mendeskripsikan materi tentang rekonstruksi dalil
qath‟i perspektif Al-Syathibi.

5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, peneliti merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti membaginya kedalam beberapa bab
pembahasan. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang membahas materi penelitian yang
terdapat pada latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
BAB II : Diskursus Fleksibilitas Hukum Islam
Merupakan teori dari beberapa literatur. Bab ini meliputi
penguraian tentang pembahasan dalil syara‟ dan yang
berhubungan dengannya, sakralitas dalil qath‟i, karakteristik
hukum Islam dan ruang lingkup ijtihad.
BAB III : Konsep Dalil Qath’i Menurut al-Syathibi
12

Merupakan pemaparan tentang biografi Al-Syathibi, pemikiran


konsep dalil qath‟i perspektif Al-Syathibi, hal-hal yang
melatarbelakangi pemikiran tersebut, alasan, batasan, serta
dampak dari pemikiran tersebut.
BAB IV : Telaah Pemikiran Terhadap Praktik Realitas
Merupakan telaah pemberlakuan konsep pembaharuan dalil qath‟i
terhadap kasus-kasus kontemporer, yang meliputi analisis hukum
tindak pidana penggelapan pada UU Tipikor Pasal 2 ayat (1) dan
keselarasannya dengan hukum Islam.
BAB V : Penutup
Merupakan jawaban dari rumusan masalah yang berisi
kesimpulan dan saran untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Dalil Syara’
1. Pengertian Dalil
ًَُُْ ًَ َ ًَ ََ َُ َّ َ
Kata ‫ دليل‬dalam bahasa arab berasal dari kata ‫دل – يدل – دالىث َو ِدالىث َودلٔىث‬,

َّ َ َّ
jamaknya adalah lafaz ‫أ ِدىث‬/‫أ ِدالء‬.22 Menurut al-Qadhi ‫عضد ادليَ اإلييج‬, lafaz

‫ ديلو‬secara bahasa memiliki tiga makna, yakni ‫( املرشد‬pemandu), ‫( اذلانر هل‬yang

mengingatkan pada petunjuk) dan ‫( ٌا ةّ اإلرشاد‬sesuatu yang dijadikan

petunjuk).
Menurut al-Qadhi Abu Ya‟la dan al-Syairazi, dalil secara bahasa adalah
sesuatu yang menunjukkan kepada yang dituntut, atau sesuatu yang
menyampaikan kepada tujuan.23 Sedangkan secara istilah adalah sesuatu yang
menyampaikan pada sebuah kesimpulan hukum dengan penalaran yang tepat.24
Maksud dari redaksi „penalaran yang tepat‟ adalah bahwasanya dalil syara‟
tidak dapat diambil faidahnya kecuali dengan yang sudah sesuai dengan
metode penetapan hukum yang sudah ditetapkan oleh ulama, dengan begitu
maka akan sampai pada konklusi hukum yang tepat pula. Karena kesimpulan
yang tepat dibangun atas dasar penalaran yang tepat.25
Jadi, yang dimaksud dengan dalil syara‟ adalah sesuatu yang dapat
menunjukkan seseorang untuk mencapai kesimpulan hukum yang bersifat
syariat (bukan indrawi atau akal) dengan penalaran yang benar.

22
Ibn Mandzur al-Anshari, Lisan al-Arab, (Lebanon, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), cet.
2, Juz. 11, h. 298
23
Mu‟az Musthafa al-Khann, al-Qath‟i wa al-Zhanni, (Damaskus, Daar al-Kalim at-
Thayyib, 2007), cet. 1, h. 20-21
24
„Iyadh ibn Nami as-Sulami, Ushul al-Fiqh Allazi La Yasa‟u al-Faqih Jahluhu, (Riyadh,
Daar al-Tadmuriyah, 2005), h. 94
25
Walid ibn Rasyid al-Sa‟idan, Ta‟rif al-Thullab Bi Ushul al-Fiqh Fi Suaal Wa Jawab, Juz
4, h. 1-2
13
14

2. Pembagian Dalil Syara‟


Dalil syara‟ terbagi menjadi beberapa segi;
A. Dari segi kehujjahannya (kewajiban diikuti), terbagi menjadi dua, yakni
dalil muttafaq dan dalil mukhtalaf.
B. Dari segi ruang lingkupnya, terbagi menjadi dua, yakni dalil ijmali
(global) dan dalil tafshili (rinci).
C. Dari segi cara mengetahui, juga terbagi menjadi dua, yakni dalil naqli
dan dalil „aqli. Namun pembagian ini bukan berarti memisahkan antara
dua dalil tersebut, karena keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Dalil naqli membutuhkan akal untuk memahaminya dan Dalil naqli
tak dapat dianggap secara syara‟ jika tanpa disandarkan pada dalil naqli.
Dalam hal ini Hujjah al-Islam al-Imam al-Ghazali berkata:
“Akal tak akan dapat memberi petunjuk kecuali dengan bantuan
syara‟, syara‟ pun tak bisa menjadi jelas tanpa bantuan akal. Bagaikan
fondasi dan bangunan, tak perlu ada fondasi jika tidak ingin membangun
sesuatu dan bangunan tak akan berhasil tanpa adanya fondasi”.26
Hal ini menunjukkan bahwasanya antara dalil naqli dengan dalil „aqli
harus saling berkolaborasi agar dapat menghasilkan hukum yang sesuai
dengan syariat Allah dan sesuai dengan kondisi dan situasi manusia.
D. Dari segi kekuatan dalil, terbagi menjadi dua, yakni dalil qath‟i dan dalil
zhanni yang masing-masing juga terbagi menjadi dua. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
a. Dalil Qath‟i, terbagi menjadi dua:
 Qath‟i al-Tsubut, yaitu dalil yang sampai kepada kita dengan
mutawatir, hal ini terjadi pada al-Quran dan Hadis Mutawatir.
ّ ‫ٌَ نذب‬. Hadis ini diriwayatkan
Contohnya adalah hadis ‫لع ٌخعٍدا‬

oleh al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya dari Sahabat Ali,

26
Ismail Muhammad Ali, Ghayatu al-Wushul Ila „Ilmi al-Ushul, (Mesir, Maktabah al-
Rahmah al-Muhdah, 2015), h. 169-170, lihat juga Al-Khudhari Bik, Ushul al-Fiqh, (Mesir,
Maktabah at-Tijariyah al-Kubro, 1969), h. 207
15

Zubair, Anas, Salamah ibn al-Akwa‟, ibn Umar, al-Mughirah ibn


Syu‟bah, Watsilah ibn al-Asqa‟ dan Abu Hurairah.27
Juga diriwayatkan oleh ibn Abi Syaibah dalam kitab al-
Mushannafnya, Imam Ahmad dalam Musnadnya, al-Imam al-Darimi

dalam Sunannya, al-Imam al-Thabrani dalam Juz “ ‫ٌَ روى عَ رشٔل‬

ّ ‫”اهلل ﷺ فيٍَ نذب‬, al-Imam al-Ramahurmuzy dalam kitab al-


‫لع‬

Muhaddis al-Fashil, al-Imam al-Asbihani dalam kitab al-Hilyah, al-


Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad dan ibn al-Jauzy
dalam itab Taqaddamat al-Maudhu‟at.28
Beberapa riwayat tersebut hanya sebagiannya saja, karena pada
dasarnya hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi hingga
mencapai kisaran seratus jalur, baik yang kualitasnya shahih, hasan,
dhaif atau bahkan maudhu‟. Namun secara keseluruhan hal ini
menunjukkan bahwa hadis diatas benar-benar diucapkan oleh Nabi ‫ﷺ‬
dan sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.29
 Qath‟i al-Dalalah, yaitu dalil yang tidak mengandung kemungkinan
takwil dan takhsis.
ِ َ ُ ْ ُ ُ ََْ
Contohnya adalah hadis Nabi ‫ ﷺ‬yang berbunyi:‫ضئا نٍا رأحخٍٔ ِِن أضّل‬
َ َ َ

(“Shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihatku shalat”). Hadis


ini diriwayatkan oleh enam perawi dalam Kutub al-Sittah (Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, al-Tirmizi, al-Nasai, Ibn

27
Abu Huzaifah al-Kuwaiti, Anis al-Sari fi Takhriji wa Tahqiqi al-Ahadis allati Zakaraha
al-Hafiz ibn Hajar al-„Asqallani fi Fath al-Bari, (Beirut, Muassasah al-Rayyan, 2005), Juz. 1, h.
19
28
Abu Sulaiman al-Dausari, al-Raud al-Bassam Bitartibi wa Takhriji Fawaid Tammam,
(Beirut, Daar al-Basyarir al-Islamiyah, 1987), Juz. 1, h. 181
29
https://mawdoo3.com/, (‫)صحة حديث من كذب علي متعمدا‬, diakses pada 11 April 2022 14:47
WIB
16

Majah), Imam Ahmad dalam Musnadnya dan al-Darimi dalam Sunannya


dan Ibn Hibban dalam Kitab Shahihnya.30
Hadis ini meskipun tidak qath‟i al-tsubut karena tidak sampai secara
mutawatir kepada kita, tetapi hadis ini berstatus qath‟i al-dalalah karena
tidak mengandung takwil maupun takhsis, hanya perintah untuk
mengikuti salatnya Nabi ‫ ﷺ‬sebagaimana para sahabat melihatnya.
b. Dalil Zhanni, terbagi menjadi dua:
 Zhanni al-Tsubut, yaitu dalil yang sampai kepada kita namun tidak
dengan mutawatir, hal ini terjadi pada hadis ahad.
 Zhanni al-Dalalah, adalah dalil yang mengandung takwil dan takhsis.
Contohnya adalah Q.s. al-Baqarah ayat 228:
ُ َ َ َٰ َ َ ُ َ ْ َ َ َ ُ َٰ َ َّ َ ُ ْ َ
)222 / 2 /‫َت َّبط ََ ةِأُف ِص ِٓ ََّ ثيثث ك ُر ٓو ٍء (ابللرة‬‫وٱلٍطيلج ح‬

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru'”.
Lafaz al-Qur‟u merupakan lafaz musytarak yang mengandung multi
makna, antara suci dan haid. Maka dari itu ayat ini qath‟i al-tsubut tetapi
zhanni al-dalalah.
َ ‫ َال َض ََل َة ل ٍَ َْ ل َ ًْ َح ْل َرأ ْ ة َفاِتَث ال‬, hadis tersebut berstatus
Dalam hadis ‫هخاب‬
ِ ِ ِ ِ ِ

zhanni, baik dari segi tsubut ataupun dalalah karena hadis ahad dan
maknanya mengandung takwil antara tidak sahnya shalat atau tidak
sempurnanya shalat.31

Pembahasan tentang dalil dari segi kekuatannya menunjukkan tentang ada


dan tidaknya dalil yang menerima lapangan untuk ijtihad. Dalam hal ini terdapat 4
(empat) kemungkinan, yakni:
a. Jika dalil tersebut berstatus qath‟i baik dari sisi tsubut ataupun dalalah
maka sama sekali tidak menerima lapangan untuk ijtihad;

30
Abu al-Fadhl al-Asqallani, al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadis al-Rafi‟i al-Kabir,
(Beirut, Daar el-Kotob el-Ilmiyah, 1989), Juz. 1 h. 485
31
Ismail Muhammad Ali, Ghayatu al-Wushul Ila „Ilmi al-Ushul, h. 168-169
17

b. Jika dalil tersebut berstatus qath‟i namun hanya dari sisi tsubutnya saja
maka kandungan pada dalil tersebut dapat diijtihadi, tentunya dengan
melihat qarinah (petunjuk) yang ada;
c. Jika dalil tersebut berstatus qath‟i hanya dari sisi dalalahnya saja maka
yang menjadi medan untuk ijtihad adalah orisinalitas dalilnya dan
kapabilitas perawi;
d. Jika dalil tersebut berstatus zhanni baik dari sisi tsubut ataupun
dalalahnya maka medan ijtihadnya terletak pada kajian sanad dan kajian
makna yang terkandung dalam dalil tersebut dengan qarinah (petunjuk)
yang ada.32

Dari penjelasan tentang dalil diatas dapat diketahui bahwasanya medan


ijtihad terletak pada dalil yang tidak menyandang derajat qath‟i, sehingga
ketentuan-ketentuan yang terkandung didalamnya tidak harus dilaksanakan
sebagaimana redaksinya, tetapi dengan melihat makna lain pada lafaznya atau
dengan mengkaji cara sampainya dalil tersebut kepada mujtahid.

B. Jarimah Sariqah
1. Definisi Jarimah Sariqah
ًَ َ ُ َْ َ َ
Jarimah secara bahasa berasal dari kata ‫ ج ِريٍث‬- ‫ َي ِرم‬- ‫ ج َرم‬yang memiliki

arti perbuatan salah atau dosa. 33 Sedangkan secara istilah adalah larangan-
larangan syara‟ yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir oleh Allah.34
Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah jarimah dengan
ًَ َ َْ َ َ
jinayah.35 Jinayah secara bahasa berasal dari kata ‫جِايث‬
ِ – ‫ جَن – َي ِن‬yang

32
Zakariya al-Bardasy, Ushul al-Fiqh, (Kairo, Daar al-Tsaqafah), h. 462-466
33
Louis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut, al-Matba‟ah al-Kasulikia, 1908), cet. 19, h.
88
34
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami, (Beirut, Daar al-Katib al-Azali), juz. 1,
h. 66
35
Marsaid, al-Fiqh al-Jinayah, (Palembang, Amanah, 2020), cet. 1, h. 56
18

berarti melakukan dosa. 36 Sedangkan secara istilah adalah perbuatan atau


tindakan yang dilarang oleh syara‟, baik yang berkaitan dengan jiwa, anggota
badan, harta benda atau yang lainnya seperti membunuh, melukai, memukul
dan menggugurkan kandungan.37
Istilah jinayah dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah peristiwa
pidana, delik atau tindak pidana. 38 Pada umumnya, para ulama membagi
jarimah menjadi tiga bentuk, yakni hudud, qishash/diyat dan ta‟zir.39
Hudud atau had adalah sanksi yang telah ditentukan hukumannya secara
jelas oleh nash dan menjadi hak Allah Ta‟ala. Qishash/Diyat adalah sanksi
yang telah ditentukan hukumannya oleh nash namun menjadi hak adami yang
membuka kesempatan pemaafan bagi pelaku jarimah. Sedangkan ta‟zir adalah
hukuman yang pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa dan tidak ada
batasan pasti dari nash.40
Jarimah hudud terbagi menjadi 7 (tujuh) jenis: Zina, Qazhaf (menuduh zina),
Syurb al-Khamr (meminum khamr), Sariqah (pencurian), Hirabah/Muharabah
(perampokan), Riddah (keluar dari Agama), al-Baghyu (pemberontakan).41

Kata sariqah secara bahasa merupakan bentuk masdar dari - ‫يرسق‬ َ


- ‫رسق‬
ِ
ً ْ ً ً َ ً ً َ َ
‫ورسكاُا‬ ‫ورسكث‬
ِ ‫ورسكث‬ ‫ورسكا‬
ِ ‫ رسكا‬yang berarti mengambil harta milik seseorang

secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipudaya.42 Dalam kitab lisan al-arab,

maksud dari kata ‫الصارق‬


ِ adalah seseorang yang datang secara sembunyi-

sembunyi pada tempat penyimpanan lalu mengambil harta yang bukan


miliknya.43

36
Louis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah, h. 105
37
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami, Juz. 1, h. 67
38
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Teras, 2009), cet. 1,
h. 3
39
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung, Pustaka Setia, 2000),
cet.2, h. 26
40
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami, Juz. 1 h. 78-80
41
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami, Juz. 2, h. 345
42
Louis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah, h. 331
43
Ibn Mandzur al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz. 10, h. 156
19

Sedangkan sariqah secara syara‟ adalah mengambil barang atau harta orang
lain secara sembunyi-sembunyi pada tempat penyimpanannya. 44 Ada dua
macam pencurian, yakni pencurian yang hukumannya had dan ta‟zir.
Pencurian dengan hukuman had terbagi menjadi pencurian besar dan kecil.
Pencurian besar adalah pengambilan harta yang dilakukan dengan
sepengetahuan korban tetapi tanpa ridhanya dan terdapat unsur kekerasan,
sedangkan pencurian kecil adalah ketika pengambilan harta dilakukan tanpa
sepengetahuan korban dan tanpa ridhanya.
Pencurian dengan hukuman ta‟zir juga terbagi menjadi dua macam, yang
pertama adalah pencurian yang tidak memenuhi unsur-unsur had atau karena
adanya syubhat (misal mengambil uang anak). Yang kedua adalah mengambil
barang/harta orang lain dengan sepengetahuan korban tanpa ridhanya dan tanpa
adanya unsur kekerasan.45
Rukun-rukun pencurian ada empat, yaitu:
1. Mengambil secara sembunyi-sembunyi; dalam hal ini ada tiga syarat
yang harus dipenuhi:
a. Pencuri mengambil barangnya dari tempat yang biasa digunakan
untuk menyimpan;
b. Mengeluarkan pemeliharaan barang terhadap korban;
c. Memindahkan pemeliharaan barang kepada pelaku.
2. Barang yang diambil berupa harta; dalam hal ini ada empat syarat yang
harus dipenuhi:
a. Berupa harta bergerak (bisa dipindahtangankan);
b. Berupa barang-barang berharga/bernilai;
c. Disimpan pada tempat yang biasa digunakan menyimpan harta;
d. Mencapai nishab (batas minimalnya adalah ¼ dinar).
3. Harta yang diambil tersebut milik orang lain (bukan milik sendiri,
syirkah atau syubhat);

44
Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz. 2, h. 159. Lihat juga Zakariya al-Anshari,
Manhaj al-Thullab, (Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), cet. 1, h. 161
45
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami, Juz. 2, h. 514-515
20

4. Al-Qasd al-Jina‟i (melawan hukum).46

Perihal nishab, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Imam Abu


Hanifah: 1 dinar atau 10 dirham atau yang senilai dengannya. Imam Malik dan
Imam Ahmad: ¼ dinar atau 3 dirham atau yang senilai dengannya. Sedangkan
Imam al-Syafi‟i: ¼ dinar dari dirham dan selainnya.47
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwasanya jarimah sariqah
merupakan salah satu jenis jarimah hudud yang hukumannya diatur dalam
nash al-Quran dan hadis. Namun hal itu tidak berlaku secara mutlak, karena
terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi dan banyak hal yang harus
diperhatikan agar seorang pencuri dapat dikenai hukuman had.

2. Dalil-Dalil Jarimah Sariqah


Penulis menemukan kurang lebih berjumlah dua puluh lima dalil yang
membicarakan tentang pencurian, baik yang membahas tentang hukuman had
yang diberlakukan oleh Nabi ‫ﷺ‬, laknat Allah kepada pencuri, perintah Allah
kepada Nabi ‫ ﷺ‬agar menerima baiat untuk tidak mencuri, haramnya hasil
pencurian dan taubatnya pencuri dihadapan Nabi ‫ﷺ‬.
Kumpulan dalil tersebut berasal dari ayat al-Quran ataupun hadis Nabi ‫ﷺ‬,
baik yang secara jelas ataupun tidak. Tujuan penulis mengumpulkan dalil
adalah sebagai pijakan awal untuk mengumpulkan dasar syariat tentang
haramnya pencurian dan wajibnya menegakkan hukum bagi pencuri. Sehingga
antara satu dalil dengan yang lainnya dapat saling menguatkan. Dalil-dalil
tersebut diataranya adalah sebagai berikut:

46
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami, Juz. 2, h. 518-608
47
Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Syafi‟i, Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-Aimmah,
(Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987), h. 292
21

a. Pencuri harus diberi hukuman potong tangan


ٌ ‫خه‬َ ٌ ‫اَّلل َعز‬ َّ َ ً َ َ َ َ َ َ ً َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
ُ َّ ‫اَّلل َو‬
ً‫ي‬ ِ ‫يز‬ ِ ِ ٌَِ ‫اركث فارطعٔا أي ِدحٍٓا جزاء ةٍِا نصتا ُكاال‬
ِ ‫ارق والص‬
ِ ‫والص‬

)32 / 5 /‫(املائدة‬

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

b. Nabi ‫ ﷺ‬memberlakukan had kepada siapapun


َ َ ْ َ َ َ َ َ َّ ََ ََ ْ ّ َّ َ َّ َ َ َ ُ َّ َ َ ْ َ ُ َّ َ َ َ َ َ ْ َ
‫ إِجٍا ْيم ٌَ َكن‬/‫ ذلال‬،‫ أن أشاٌث َكً انل ِِب ﷺ ِِف امرأ ٍة‬،‫خَ َعئِشث ر ِِض اَّلل خِٓا‬
َ ْ َ َّ َ َّ َ َ َ ُ ُ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ُ ْ ُ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ
ْٔ ‫اذلي جف ِِس ِبيَ ِد ِه ل‬
ِ ‫و‬ .‫يف‬ ‫الرش‬
ِ ‫لَع‬ ‫ٔن‬‫ن‬ ‫َت‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫يع‬‫ض‬ِ
َ
ٔ‫ال‬ ‫لَع‬ ‫ أجًٓ َكُٔا ي ِلئٍن احلد‬،ً‫رتيك‬

َ َ ُ ْ َ ََ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َ
48
.)‫ج يَدْا" (رواه ابلخاري‬‫اطٍث ذعيج ذلِم ىلطع‬ ِ ‫ف‬

Artinya: “dari 'Aisyah RA bahwa Usamah berbicara kepada Rasulullah


SAW tentang seorang perempuan suku al-Makhzumiy yang mencuri,
kemudian Rasulullah SAW berkata: “Orang-orang sebelum kalian menjadi
binasa karena apabila ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan,
rakyat biasa) mereka mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya
dan apabila ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit
masyarakat) mereka mencuri, mereka membiarkannya. Demi Allah,
sendainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong
tangannya." (HR. al-Bukhari)

c. Tindakan pencurian haram dilakukan


ُ َ َِ َ ُ َُ َ
َ ‫أل ْض‬ َّ ُ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ ُ ْ َ
‫ كالٔا‬.» ‫الزُا‬ ‫داةِ ِّ « ٌَا تلٔلٔن ِِف‬ ‫اَّلل ﷺ‬
ِ ‫ش ٍِعج ال ٍِلداد بَ األشٔ ِد حلٔل كال رشٔل‬
َ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ ْ َ َ ٌ َ َ َ ُ َ ُ ُ ُ َ َ ُ َّ ُ َ َّ َ
َ ‫داة ِّ « أل ْن يَ ْز‬
‫ن‬ َ ‫أل ْض‬ ‫ﷺ‬ ‫اَّلل‬
ِ ‫ كال ذلال رشٔل‬.‫خرٌّ اَّلل ورشٔهل ذٓٔ خرام إَِل ئمِ اى ِلياٌ ِث‬
ِ ِ

48
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut, Daar ibn Kasir, 2002), cet.
1, h. 1680
22

َ َّ
‫الرسك ِث‬ ‫ِف‬
َ ُ َُ َ َ ََ َ َ
‫ٔن‬ ‫ٔل‬ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ا‬ٌ « ‫ال‬‫ل‬ ‫ذ‬ ‫ال‬‫ك‬ .» ‫ه‬ ‫ار‬‫ج‬
ْ َ ْ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ ْ َ ُ ُ َّ
َ ‫ام َرأَة‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ‫رش نِصٔ ٍة أيرس عيي ِّ ٌَِ أن يز ِن ة‬
ِ ‫الرجو ةِع‬
ّْ‫رس َعيَي‬
ُ َ ْ ‫رشة أَ ْبيَات أَي‬
َ ْ َ ْ ُ ُ َّ َ ْ َ ْ َ َ َ ٌ َ َ َ َ ُ ُ ُ َ َ ُ َّ َ َ َّ َ ُ َ
ِ ٍ ِ ‫رسق الرجو ٌَِ ع‬ِ ‫ي‬ ‫ن‬‫أل‬ « ‫ال‬ ‫ ك‬.‫ كالٔا خرمٓا اَّلل ورشٔهل ف ِِه خرام‬.»

.)‫ار ِه » (رواه أمحد‬‫ج‬َ َْ ٌ ‫ٌ َْ أَ ْن ي َ ْرس َق‬


ِ ِ ِ
49
ِ
Artinya: “Aku mendengar Al Miqdad bin Al Aswad berkata: Rasulullah
SAW bersabda kepada para sahabat beliau: "Zina menurut kalian
bagaimana?" Mereka menjawab: Allah dan rasul-Nya mengharamkannya, ia
haram hingga hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat
beliau: "Sungguh seseorang berzina dengan sepuluh wanita itu lebih ringan
baginya bagi pada berzina dengan istri tetangganya." Beliau bersabda:
"Mencuri menurut kalian bagaimana?" mereka menjawab: Allah dan rasul-
Nya mengharamkannya, ia haram hingga hari kiamat. Rasulullah SAW
bersabda kepada para sahabat beliau: "Sungguh seseorang mencuri dari
sepuluh rumah itu lebih ringan baginya bagi pada mencuri dari
tetangganya." Rasulullah SAW bersabda: "Mencuri menurut kalian
bagaimana?" Para Sahabat menjawab: Allah dan rasul-Nya
mengharamkannya, ia haram hingga hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda
kepada para sahabat beliau: "Sungguh seseorang mencuri dari sepuluh
rumah itu lebih ringan baginya daripada mencuri dari tetangganya”. (HR.
Ahmad)

d. Allah melaknat para pencuri


ُ ْ َ َ ُ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َّ ُ َّ َ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ
‫رسق‬
ِ ‫ي‬‫و‬ ‫ه‬‫د‬ ‫ي‬ ‫ع‬ ‫ط‬‫ل‬ ‫خ‬‫ذ‬ ‫ث‬ ‫ض‬ ‫ي‬‫ابل‬ ‫ق‬‫رس‬
ِ ‫ي‬ ‫ق‬‫ار‬
ِ ‫الص‬ ‫اَّلل‬ َ ‫ع‬‫ى‬ « ‫ﷺ‬ ‫اَّلل‬
ِ ‫خَ أ ِِب ْريرة كال كال رشٔل‬
ْ َ َ ْ
50
)ً‫احلَتْو ذخُل َط ُع يَ ُد ُه » (رواه مصي‬

49
Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Beirut, Muassasah al-Risalah,
2001), Juz. 39, h. 277
50
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Riyadh, Daar Thayyebah, 2006), h.
805
23

Artinya: “dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Allah
melaknat seorang pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya dan
mencuri seutas tali lalu dipotong tangannya.” (HR. Muslim)

e. Hasil pencurian tidak halal


َ َ َّ ْ ُ ُ ْ َ ُ َُ َ َ َ َ َْ ْ َ ْ َ
ًٌ ْ ‫ " ال يَدخو اْلَِث حل‬/‫هلل ﷺ‬ ِ ‫َوخَ جاةِ ِر ة َِ خت ِد ا‬
ِ ‫ كال رشٔل ا‬/‫هلل رِض اهلل عٍِٓا كال‬
َ َ ُ َّ َ ْ ُ ْ َ َ َ َْ ُ َ ْ َ ُ َّ ْ ُ ْ َ ََ
‫ار أ ْوَل ةِ ِّ (رواه‬‫ فانل‬, ‫ج‬
ٍ ‫د‬ ‫ش‬ َ ٌ
ِ ‫ج‬‫ت‬‫ج‬ ً
ٍ ‫حل‬ ‫ُك‬ " /‫روايث‬ ‫ويف‬ " ّ
ِ ِ ‫ انلار أو‬،‫ج‬
‫ة‬ ‫َل‬ ٍ ‫جتج ٌَِ شد‬
51
.)‫ضٓيب‬

Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari hal-hal haram maka neraka lebih
layak baginya”. (HR. Suhaib)

f. Batas minimal pencuri dihukum potong tangan


ً َ َ َّ
ْ‫ال ِف ُرب‬ َ
َّ ‫ال ُت ْل َط ُع يَ ُد‬ َ َ َّ َُ ْ َ َ َ َ ْ َ
‫ار ف َطا ِعدا » (رواه‬
ٍ ِ‫ي‬ ‫د‬
ِ ‫ع‬
ِ ‫إ‬
ِ ِ ِ ِ‫ق‬‫ار‬‫الص‬ « ‫ال‬ ‫اَّلل ﷺ ك‬
ِ ‫ٔل‬ ِ ‫خَ َعئِشث خَ رش‬
52
.)ً‫مصي‬

Artinya: “dari 'Aisyah dari Nabi SAW bersabda: "tangan pencuri dipotong
jika curian senilai seperempat dinar”. (HR. Muslim)
g. Batas berlakunya had
َ ُْ َ َْ ُ َ َ َ ََ َ َْ َ َ َ ْ َ
‫ب َوال ُمخَ ِي ٍس ر ْط ٌع » (رواه‬ ِ َّ َ
ٍ ِٓ ‫خَ جاةِ ٍر ع َِ انل ِِب ﷺ كال « ىيس لَع خائِ ٍَ وال ٌِخ‬
53
.)‫اىَتٌذي‬

Artinya: “dari Jabir dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Tidak ada potong
tangan terhadap pengkhianat, perampas dan penipuan”. (HR. al-Tirmizi)

51
Suhaib „Abd al-Jabbar, al-Jami‟ al-Shahih li a-Sunan wa al-Masanid, Juz. 6, h. 169
52
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, h. 803-804
53
Muhammad ibn Isa al-Tirmizi, al-Jami‟ al-Kabir, (Beirut, Daar al-Gharb al-Islami, 1996),
Juz. 3, h. 118
24

h. Menghindari hukuman had


َ ْ ُ َ َ َ َ َّ َ ْ ْ َ
54
.)‫ كال َر ُشٔل اهلل ﷺ " ِاد َر ُءوا احل ُ ُد ْود ةِالشتُ َٓات" (رواه أةٔ خِيفث‬/‫اس كال‬
ٍ ‫خَ اة َِ خت‬

Artinya: “dari Ibnu „Abbas berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hindarilah


hukuman had dengan adanya syubhat”. (HR. Abu Hanifah)

Dalil-dalil tersebut dapat membuktikan bahwasanya pencurian adalah


perbuatan yang sangat tercela bahkan diharamkan dan pelakunya harus
dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Sebagaimana yang
telah ditetapkan Allah SWT dan kemudian dijalankan oleh Nabi ‫ ﷺ‬sebagai
hukuman terhadap pelaku pencurian pada masanya. Namun hukuman had
tersebut tidak semata-mata berlaku untuk setiap pencuri, namun dengan
melihat pada unsur-unsur yang ada pada peristiwa pencurian tersebut,
sebagaimana penjelasan tentang unsur-unsur pencurian diatas.

C. Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
1. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljatno, istilah tindak pidana berasal dari bahasa belanda
strafbaarfeit, kemudian diterjemahkan dengan istilah „tindak pidana, delik dan
perbuatan pidana‟. Sedangkan dalam perundang-undangan menerjemahkannya
dalam berbagai istilah, diantaranya adalah „tindak pidana‟ (digunakan pada
Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum,
Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun
1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam rangka pemasyarakayan bagi
terpidana karena melakukan tindak pidana yang berupa kejahatan).55

54
Muhammad Abid as-Sindi, Musnad al-Imam al-Azham, (Pakistan, Maktabah al-Busyro,
2010), cet. 1, h. 458-459
55
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta,
Prenadamedia Group, 2014), cet. 1, h. 36-37
25

Strafwetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terjemahan resmi Tim


Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman) juga
menggunakan istilah „tindak pidana‟ dengan beberapa alasan berikut:
- Jika ditelaah dari segi sosio-yuridis, hampir semua perundang-undangan
pidana menggunakan istilah „tindak pidana‟;
- Hampir seluruh penegak hukum bahkan semua instansi penegak hukum
menggunakan istilah „tindak pidana‟;
- Para mahasiswa yang menggunakan istilah „perbuatan pidana‟ pada
nyatannya tidak mampu menafikan kebiasaan penggunaan istilah „tindak
pidana‟.56
Menurut Pompe, definisi strafbaarfeit adalah suatu pelanggaran norma yang
dilakukan baik dengan sengaja maupun tidak. Contoh dilakukan dengan
sengaja adalah Pasal 338 KUHP yang berbunyi „Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun‟. Contoh dilakukan secara tidak sengaja
adalah Pasal 359 KUHP yang berbunyi „Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaanya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun‟.57
Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana terdiri dari dua hal, yakni:
- Kelakuan dan akibat;
- Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ini terbagi menjadi dua
unsur, yakni unsur subyektif (mengenai diri orang yang melakukan
perbuatan), contohnya adalah unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam
delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi Pasal 11 UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan unsur obyektif (mengenai
keadaan diluar si pembuat), contohnya adalah unsur dimuka umum Pasal
160 KUHP tentang penghasutan dimuka umum.58

56
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makassar, Pustaka Pena Press, 2016), h. 97
57
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, h. 98
58
Takdir, Mengenal Hukum Pidana, (Laskar Perubahan, 2013), h. 63
26

Untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana, maka melihat pada
peraturan perundang-undangan pidana yang memuat perbuatan yang dilakukan
beserta sanksinya, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan yang tidak
dilarang.59
Jadi yang dimaksud dengan tindak pidana adalah sebuah perbuatan yang
melanggar norma baik sengaja dilakukan ataupun tidak.

2. Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1)


Dalam hukum pidana, mengetahui makna dari sebuah istilah merupakan
suatu keharusan. Segala tindak pidana yang terjadi harus diketahui definisi dan
maknanya, hal ini berlaku juga pada tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) ini.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan tersebut termasuk dalam
tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 ini, maka harus memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:
a. Perbuatannya
1. Memperkaya diri sendiri
2. Memperkaya orang lain
3. Memperkaya suatu korporasi
b. Dengan cara melawan hukum
c. Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 60

59
Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta, Depublish, 2018), h. 74
60
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil KORUPSI di Indonesia, (Malang,
Bayumedia, 2005), cet. 2, h. 34-35
27

Pasal ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang memberi
kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber
kekayaannya sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau penambah kekayaan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan memperkaya
adalah suatu perbuatan yang menjadikan bertambahnya kekayaan yang
melebihi sumber kekayaan sahnya. Sehingga dalam kekayaannya terdapat
kekayaan yang sah sesuai dengan sumber kekayaannya dan kelebihan
kekayaan yang tidak sah yang diperoleh dari perbuatan memperkaya.61
Sedangkan pelakunya merupakan „setiap orang‟ tanpa syarat tertentu misal
Pegawai Negeri, sehingga mencakup perseorangan atau korporasi.62
Yang dimaksud dengan melawan hukum dalam Pasal ini adalah perbuatan
memperkaya yang dianggap tercela atau yang tidak dapat dibenarkan secara
hukum, baik formil (tertulis) ataupun materiil (tidak tertulis).63
Pada asalnya, kata „dapat‟ sebelum frasa „merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara‟ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yakni cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang
dirumuskan, bukan delik materiil yakni dianggap telah terbukti dengan
ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Dengan demikian, kerugian Negara tidak harus terbukti.64
Tetapi pada 25 Januari 2017 MK (Mahkamah Konstitusi) memutuskan
bahwa frasa „dapat‟ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dinyatakan
inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki

61
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil KORUPSI di Indonesia, h. 39-40
62
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta,
Sinar Grafika, 2009), cet. 2, h. 31
63
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil KORUPSI di Indonesia, h. 44
64
Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, h. 27-31
28

kekuatan hukum mengikat, sehingga aparat penegak hukum tetap harus


membuktikan adanya kerugian Negara sebelum penyelidikan perkara korupsi.65

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwasanya pencurian menurut


hukum Indonesia juga termasuk hal-hal yang haram dilakukan karena dampaknya
dapat merugikan orang lain bahkan Negara. Ketika unsur-unsur perbuatan haram
tersebut dilakukan oleh seseorang, maka orang tersebut harus menerima hukuman
sebagaimana keputusan hakim perkara dengan mengacu pada undang-undang.

BAB II ini menjelaskan tentang konsep dalil yang menerima lapangan untuk
ijtihad dan dalil yang tidak menerima. Salah satu contoh dalil yang tidak
menerima lapangan ijtihad adalah dalil tentang haramnya pencurian dan wajibnya
penegakan hukum bagi pelaku pencurian, karena dalil tersebut berstatus qath‟i
bahkan memiliki dalil-dalil penguat lainya sehingga antara kumpulan dalil
tersebut dapat menguatkan satu sama lain dan dapat melihat dari segala sisi,
tujuannya adalah untuk mencapai kesatuan dasar syariah.

65
https://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/arsip/berita/item/557-mk-putuskan-pasal-2-
dan-3-uu-tipikor-harus-ada-kerugian-negara diakses pada 2 Desember 2021 02:45 am
BAB III
KONSEP DALIL QATH’I MENURUT AL-SYATHIBI

A. Biografi al-Syathibi
1. Biografi dan Latar Belakang Intelektual al-Syathibi
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-
Lakhmi al-Garnathi, beliau lebih dikenal dengan sebutan al-Syathibi. Beliau
adalah penulis, pemikir, peneliti, ahli ushul fikih, ahli tafsir, ahli fikih, ahli
bahasa, ahli hadis, orang yang wara‟ dan zuhud. Beliau wafat pada hari Selasa
tangga 8 Sya‟ban tahun 790 H.66
Para biografer (penulis biografi) tidak menentukan tahun lahir al-Syathibi,
tetapi kita bisa memperkirakan tahun lahirnya dengan mengetahui tahun wafat
Abu Ja‟far Ahmad ibn al-Ziyat, yakni gurunya yang paling dahulu meninggal
tahun 728 H, sedangkan pada saat itu al-Syathibi masih usia belia. Dari sini
dapat diperkirakan bahwa kelahiran beliau adalah menjelang tahun 720 H.
Nisbah al-Garnathi diambil dari kota tempat beliau tumbuh dan berkembang
serta mengabdikan dirinya, yakni Granada, Spanyol.67
Nisbahnya kepada al-Lakhmi, dapat diketahui bahwa beliau berasal dari
suku Arab. Sedangkan laqab al-Syathibi diambil dari Negeri asal keluarganya
(Xativa atau Jativa). Hal ini bukan berarti beliau lahir atau hidup di Jativa
sebelum ke Granada, karena Jativa sudah dikuasai oleh orang kristen beberapa
dekade sebelumnya dan menurut sejarah umat muslim terakhir diusir dari
Jativa pada tahun 645 H/1247 M.68
Sebagaimana tanggal lahirnya, perjalanan pendidikan al-Syathibi juga tidak
diketahui secara pasti, hanya saja mengingat bahwa pada masa itu Granada
menjadi pusat pendidikan di Spanyol karena adanya Universitas Granada pada

66
Musthafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin Fi Thabaqat al-Ushuliyyin, (Beirut, Muhammad
Amin Ramj wa al-Syirkah, 1974), Juz. 2, h. 204-205
67
Muhammad Abu al-„Ajfan, Fatawa al-Imam al-Syathibi, (Tunis, Matba‟ah al-Kawakib,
1985), cet. 2, h. 32
68
Muhammad Khalid Mas‟ud, Shatibi‟s Philosophy Of Islamic Law, (Kanada, McGill
University, 1973), h. 171
29
30

masa pemerintahan Yusuf Abu Hajjaj. Dari sini dapat diperkirakan bahwa al-
Syathibi banyak berkecimpung di universitas tersebut.69
Meskpun tidak terdapat riwayat perjalanan pendidikan beliau secara spesifik,
namun semenjak usia belia al-Syathibi tidak pernah melewatkan macam ilmu
satupun karena prioritasnya adalah ilmu, kapanpun dan dimanapun, bahkan tak
peduli aral melintang, cacian atau hambatan. Sampai pada akhirnya beliau
memahami tentang makna-makna syariat, petunjuk yang terkandung dalam al-
Quran dan al-Sunnah, serta kesempurnaan Agama Islam.70
Imam Syathibi merupakan ulama bermazhab Maliki, bahkan Muhammad
Makhluf mengategorikan beliau sebagai ulama mazhab Maliki thabaqah 16
cabang Andalus.71 Meskipun begitu, al-Syathibi bukanlah orang yang fanatik
tetapi beliau menghargai keberadaan ulama mazhab lain pada masanya.
Sebagai ulama terkemuka, al-Syathibi tentu memiliki posisi istimewa di
Granada. Meskipun tidak ada riwayat secara rinci tentang jabatan yang
dipegangnya, tetapi terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa al-Syathibi
pernah mengeluarkan fatwa, salah satu fatwanya adalah tentang pemberlakuan
pajak dengan „illat maslahat. 72 Dari sini dapat diperkirakan bahwa beliau
menduduki posisi mufti di Granada.
Selain menanggapi dengan fatwa, al-Syathibi juga banyak menanggapi
fenomena yang terjadi pada zamannya dengan cara menulis karya, contohnya
adalah kitab yang al-I‟tisham yang berarti pegangan. Nama kitab ini menjadi
isyarat alasan al-Syathibi mengarang kitab ini, yakni gagasan perdamaian yang
ditawarkan pada abad ke-8H.
Al-Syathibi berpendapat bahwa bid‟ah merupakan penyebab terpecahnya
muslimin dan menjadikan Agama sebagai alat untuk mencari dukungan,
mereka meninggalkan syariat Allah dan mendekat pada perbuatan yang

69
Hamka Haq, Al-Syathibi, (Penerbit Erlangga, 2007), h. 18
70
Abdul-Rahman Adam Ali, al-Imam al-Syathibi „Aqidatuhu wa Mauqifuhu Min al-Bida‟i
wa Ahliha, (Riyadh, Maktabah al-Rusyd, 1998), cet. 1, h 51-52
71
Muhammad Makhluf, Syajarah al-Nur al-Zakiyah Fi Thabaqat al-Malikiyah, (Beirut,
Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), cet. 1, Juz. 1, h. 332
72
Ahmad Baba, Nail al-Ibtihaj Bitathriz al-Dibaj, (Tripoli, Daar al-Kaatib, 2000), cet. 2, h.
50
31

berdasarkan nafsu mereka. Maka kitab al-I‟tisham ini menyerukan perdamaian


dan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi ‫ ﷺ‬serta meninggalkan segala
hal yang berdasarkan hawa nafsu.73
Karya al-Syathibi yang juga berhasil mengguncang dunia pembaharuan
adalah kitab yang berjudul al-Muwafaqat. Kitab ini membahas tentang ilmu
ushul fikih yang orientasinya adalah sisi bahasa syariat serta rahasia dan tujuan
syariat.Sebenarnya sudah banyak ulama yang menulis tentang ilmu ushul fikih,
namun kebanyakan hanya menitikberatkan pada aspek lafaz saja tetapi tujuan
syara‟ hanya sedikit dibahas dalam bab qiyas.
Penulisan karya pada fan ilmu ushul fikih stagnan pada gaya tersebut hingga
al-Syathibi mempersembahkan kitab al-Muwafaqat yang hadir dengan gaya
barunya, yakni lebih menitikberatkan pada pembahasan tentang tujuan syara‟.
Syekh Abdullah Darraz berkomentar bahwa kitab ini menggagas bagaimana
caranya agar syariat Islam berdiri diatas tanah kemaslahatan.74
Dua karya diatas termasuk karya yang sangat hebat. Hal ini dirasa wajar
karena selain pribadi al-Syathibi yang cerdas dan progresif, pertemuannya
dengan para guru besar terbaik spanyol pada masanya merupakan faktor yang
tak dapat dilupakan begitu saja. Para guru tersebut berhasil mengubah
kepribadian dan mendidik al-Syathibi sampai bisa menjadi bapak maqashid al-
Syari‟ah, dengan jumlah guru kurang lebih 29 guru.75
Selain dua karya fenomenal tersebut, masih banyak karya al-Syathibi selama
masa pengabdian hidupnya. Karya-karya tersebut ada yang tidak dicetak dan tidak
tersebar ke khalayak umum, diantaranya adalah:

73
Abu Ishaq al-Syathibi, al-I‟tisham, (Maktabah al-Tauhid,t.t) Juz. 1, h. 7
74
Abdul Muta‟al al-Sha‟idi, al-Mujaddidun Fi al-Islam (Kairo, Maktabah al-Adab, 1996),
h. 233-234
75
Abdul-Rahman Adam Ali, al-Imam al-Syathibi „Aqidatuhu wa Mauqifuhu Min al-Bida‟i
wa Ahliha, h. 53
32

‫ نخاب املجالس (رشح فيّ نخاب ابلئع ٌَِ ضديح‬،ٔ‫رشح جييو لَع اخلَلضث ِف انلد‬

‫ أضٔل‬،‫ عِٔان اإلحفاق ِف عيً اإلشخلاق‬،)‫ رشح رجز اةَ ٌالم ِف انلدٔ (األىفيث‬،)‫ابلخاري‬

76
.‫ اإلنشداد‬،‫ اإلفادات‬،‫ اإلعخطام‬،‫ املٔافلات‬،ٔ‫انلد‬

Banyak ulama yang memuji al-Syathibi dan karena memang beliau layak untuk
dipuji. Bagaimana tidak? Beliau ahli dalam berbagai bidang keilmuan, menjadi
bapak Maqashid Syari‟ah dan membuat karya dengan pembahasan yang sangat
jelas serta menjadi pembaharu ushul fikih.77

2. Kondisi Hukum Islam di Andalus


Sebagaimana telah diketahui bahwa al-Syathibi mengabdikan dirinya di
Andalus, dari hal ini dapat dipastikan bahwa kondisi hukum di Andalus juga
memiliki peran yang sangat penting terhadap pemikiran al-Syathibi sehingga
menjadikan beliau sebagai salah satu pembaharu dalam hukum Islam.
Kondisi hukum di Andalus dapat dibagi menjadi dua, yakni sistem hukum
dan pemikiran hukumnya. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut:
a. Sistem Hukum
1. Dalam hal mazhab, mazhab Maliki merupakan mazhab yang dilegitimasi
oleh kerajaan meskipun belum menjadi undang-undang Negara yang
dilegislasi.
2. Dalam hal tathbiq (penerapan), fikih Maliki dibedakan menjadi tiga
tingkatan:
a. Futya (masalah keagamaan, termasuk tafsir dan teologi). Hal ini
ditangani oleh seorang mufti. Namun sebagaimana konsepnya bahwa
fatwa tidak mengikat seseorang, tergantung pada kesadaran individu
penanya fatwa;

76
Muhammad Abu al-„Ajfan, Fatawa al-Imam al-Syathibi, 32 43-44
77
Abdul-Rahman Adam Ali, al-Imam al-Syathibi „Aqidatuhu wa Mauqifuhu Min al-Bida‟i
wa Ahliha, h. 81
33

b. Qadha‟ (masalah hukum/peradilan). Seorang qadhi/hakim dibantu


oleh musyawirun yang berasal dari kalangan fuqaha‟;
c. Wussaq (notaris). Tugasnya adalah mencatat dan mengesahkan
berbagai kontrak serta dokumentasi berbagai persoalan hukum.
3. Dalam hal proses berperkara di pengadilan, para pihak umumnya terlebih
dahulu konsultasi kepada mufti dan meminta fatwa atas masalahnya,
kemudian fatwa tersebut dikemukakan di pengadilan. Barulah kemudian
qadhi memutuskan hukum setelah bermusyawarah dengan para
musyawirin. Berbeda dengan fatwa, qadha‟ merupakan hukum yang
tetap dan final, juga mengikat.
4. Dalam hal yurisdiksi, sering terjadi tumpang tindih antara mufti dengan
qadhi. Fenomena demikian terjadi karena fikih Maliki mencakup segala
masalah, sehingga terkadang mufti juga dimintai pendapatnya tentang
masalah yang menjadi wewenang qadhi.
5. Adanya perbedaan yang sangat mencolok antara mufti dengan qadhi
yang menyebabkan kerancuan dalam pandangan masyarakat mengenai
praktik hukum Islam.78

b. Pemikiran Hukum
Sebagaimana disinggung diatas bahwasanya mazhab Maliki diakui oleh
kerajaan, hal ini berpengaruh pada kultur hukum yang berlaku di Andalus.
Secara umum terdapat dua prinsip penting yang digenggam oleh ulama
Malikiyah, yakni „amal ahl al-Madinah dan mura‟ah al-khilaf.79
Tentang „amal ahl al-Madinah ini banyak diakui oleh ulama, bahkan yang
selain mazhab Maliki sekalipun. Hal ini karena mencakup beberapa alasan,
antara lain:
a. Karena Madinah merupakan tempat hijrah Nabi ‫ ﷺ‬dan maqbarahnya,
tempat turunnya wahyu, pusat pemeluk Agama Islam dan tempat

78
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 65-68
79
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 69
34

berkumpulnya para sahabat, sehingga tidak dapat dimungkinkan ada hal


melenceng dari pendapat mereka;
b. Karena penduduk Madinah menyaksikan peristiwa turunnya wahyu
(mengalami secara langsung), mendengarkan takwil dan paling paham
dengan keadaan Rasulullah ‫;ﷺ‬
c. Riwayat perawi Madinah lebih didahulukan daripada yang lain maka dari
itu ijma‟ mereka juga berlaku bagi selain penduduk Madinah.80
Tetapi ketika konsep ini diimplementasikan di Andalus yang jelas berbeda
dengan kondisi Madinah, ternyata menimbulkan satu masalah serius, yakni
munculnya berbagai pendapat tentang hukum yang diakui bahkan menjadi
sebuah prinsip, yakni mura‟ah al-khilaf (pemeliharaan perbedaan pendapat
dalam pemikiran hukum Islam). Meskipun prinsip ini tidak disepakati secara
umum oleh ulama Andalus sendiri.
Terdapat beberapa pandangan ulama Andalus mengenai prinsip tersebut, hal
ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Mengingkari mura‟ah al-khilaf sebagai prinsip hukum dalam mazhab
Maliki. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama, salah satunya
adalah Ibn „Abd al-Barr;
b. Mengakui prinsip tersebut tetapi berusaha untuk tidak menyebarkannya
karena khawatir menyesatkan orang lain yang cenderung mengambil
pendapat yang dapat meringankannya. Pendapat ini dikemukakan oleh
faqih-sufi (ahli fikih yang condong kepada tasawuf).
c. Mempertahankan prinsip tersebut bahkan melarang untuk tawaqquf
(hanya memilih salah satu pendapat saja) karena semua pendapat
dianggap benar. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama,
diantaranya adalah Ibn Qabbah, Fisylati, Ibn Arafah dan Syarif Tilimsani.
Tanggapan al-Syathibi dalam hal ini adalah sebagai berikut:
a. Beberapa ayat al-Quran tidak menekankan bolehnya khilaf, malah lebih
menekankan pada kesatuan dasar syariah;

80
Ali al-Amidi, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Juz. 1, h. 243
35

b. Jika al-khilaf dijadikan prinsip, maka peluang nasakh tidak akan


ditemukan, karena nasakh fungsinya adalah menyelesaikan hukum yang
berbeda dengan cara menghapus dan menggantikan dengan yang lain;
c. Jika al-khilaf dijadikan prinsip, maka sama dengan menyuruh untuk
menaati dua perintah yang bertentangan;
d. Ulama Ushul Fikih telah menetapkan konsep penyelesaian dalil yang
bertentangan sebagaimana tertulis dalam karangan fan Ilmu Ushul al-
Fiqh, yakni pada pembahasan ta‟arudh al-adillah;
e. Jika al-khilaf menjadi prinsip, maka seperti halnya menyatakan adanya
dua perintah yang bertentangan secara bersamaan dan dikehendaki oleh
al-Syari‟ (Tuhan).81
Dari beberapa sanggahan al-Syathibi diatas, dapat disimpulkan bahwa
mura‟ah al-khilaf tidak patut dijadikan prinsip meskipun perbedaan itu
sunnatullah, namun semua perbedaan tersebut kembali kepada satu hal, yakni
kehendak Allah SWT. Inilah yang dimaksud al-Syathibi dalam kitab al-
Muwafaqat dengan ungkapan berikut
ُ َ ُ ‫وإن‬
ْ ُ ُ
ُ َ‫الرشيعث َكٓا ح‬
82
.‫خلَلف‬
ِ ‫نث ا‬ ‫واخد ِف فرو ِعٓا‬
ٍ ‫كٔل‬
ٍ ‫رجع إَل‬
ِ
Artinya: “Syariat itu semuanya kembali kepada satu perkataan (kehendak
Tuhan) meskipun dalam cabangnya terdapat banyak perbedaan pendapat”.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwasanya suatu pemikiran itu tidak
berada pada ruang kosong, ia terbentuk dari pola pikir yang bermutu dan tradisi
yang luhur. Al-Syathibi menjadi ulama terkemuka tidak hanya karena dirinya
yang sangat cerdas dan kokoh dalam prinsipnya, namun karena ia juga dibentuk
dengan lingkungan yang mendukung sehingga dapat berkembang sedemikian
hebatnya.

81
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 71-73
82
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 792
36

3. Kitab al-Muwafaqat
Pada awalnya kitab al-Muwafaqat ini oleh al-Syathibi diberi nama al-Ta‟rif
bi Asrar al-Taklif, karena didalamnya mengandung materi tentang rahasia-rahasia
taklif (pembebanan) yang berhubungan dengan syariat Islam. Namun kemudian
beliau bertemu dengan gurunya yang sangat beliau hormati dan guru tersebut
bercerita tentang mimpinya di suatu malam. Guru tersebut berkata:
“Aku bermimpi bertemu denganmu dan engkau membawa sebuah karangan,
kemudian aku tanyakan kepadamu apa yang kau bawa? Lalu kau menjawab
bahwa itu adalah kitab al-Muwafaqat. Kemudian aku bertanya tentang arti dari
nama itu, lalu kau menjawab bahwa kau bermaksud untuk menyatukan antara dua
mazhab, yakni Hanafi dengan Maliki”.
Karena mendengar cerita tentang mimpi tersebut dan menyadari adanya
kesamaan dengan yang telah dikarang, maka al-Syathibi memilih al-Muwafaqat
untuk nama kitabnya ini.83
Kitab al-Muwafaqat terdiri dari 5 (lima) pokok pembahasan yang terletak
pada setiap babnya, isinya adalah:
1. Muqaddimah (pendahuluan yang berupa panduan ilmiah sebelum
menyelami keseluruhan isi kitab secara mendalam);
2. Hukum-hukum syariat dan yang berhubungan dengannya, baik yang
bersifat taklify atau wadh‟i;
3. Maqashid syariah dan segala yang berhubungan dengannya;
4. Dalil-dalil syara‟ dan cara untuk dapat memahami dalil tersebut baik
secara umum atau rinci, juga cara mengambil hukum dari dalil tersebut;
5. Ijtihad dan taqlid, juga segala yang berhubungan dengannya baik berupa
kontradiksi dalil, tarjih, soal dan jawab.84
Secara umum kitab ini membicarakan tentang cara memahami syariat
dengan metode istiqra‟ (induktif) dan mempertimbangkan kulliyat syariah
(dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah) agar dapat menangkap maqashid dan
rahasia-rahasia yang terkandung didalam dalil-dalil tersebut. Metode istiqra‟

83
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 16
84
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 15-16
37

tersebut juga terbilang sebagai salah satu metode istinbath hukum dari dalil-syara‟
sebagaimana metode-metode yang telah digagas oleh ulama salaf.85

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwasanya salah satu karangan al-
Syathibi yang sangat berdampak pada perkembangan keilmuan terkhusus dalam
bidang Ushul al-Fiqh adalah kitab al-Muwafaqat. Berangkat dari kitab tersebut,
al-Syathibi menggagas metode istiqra‟ ma‟nawi yang kemudian berimbas pada
status qath‟i pada suatu dalil, hal ini juga erat hubungannya dengan kepastian
hukum yang dilahirkan dari dalil tersebut.

B. Konsep Dalil Qath’i Perspektif al-Syathibi


1. Latar Belakang Pemikiran
86
Para ulama telah menjelaskan tentang rumusan metode ijtihad
sebagaimana yang telah dituliskan di hampir setiap kitab Ushul al-Fiqh.
Namun kebanyakan dari para mujtahid itu merumuskan metodenya sendiri,
bahkan ada yang sampai menjadi ciri khas dan tidak digunakan oleh mujtahid
lain. Perbedaan perumusan metode ijtihad ini berdampak pada perbedaan
produk hukum yang dihasilkan antara mujtahid satu dengan yang lain.87
Kemudian pada abad ke-8, seorang ulama ahli ushul al-fiqh yang bernama
Abu Ishaq al-Syathibi menawarkan satu rumusan metode ijtihad yang
menggunakan jalan tempuh berbeda dari ulama lain, yakni dengan cara istiqra‟
(penelitian secara menyeluruh). Meskipun sebenarnya sebelum al-Syathibi
sudah pernah ada ulama yang menggunakan metode tersebut -yakni al-Syafi‟i
dan al-Ghazali- namun al-Syathibi adalah ulama yang serius dan konsisten
dalam mempraktikkan metode ini.

85
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 6-9
86
Kebanyakan para ulama menggunakan istilah dalil mukhtalaf (dalil yang masih
dipertentangkan penggunaannya). Namun Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin menyebutnya dengan
istilah metode ijtihad, karena hal ini merupakan cara ulama memproduksi hukum dengan
menggunakan nalarnya. Dalam hal ini, al-Ghazali dan al-„Amidi menyebutnya dengan “Apa yang
dikira dalil namun tidak termasuk dalil”. Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 323-324
87
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 323
38

Beliau menyebut metode ijtihad tersebut dengan istilah istiqra‟ ma‟nawi


(penelitian berdasarkan makna). Istilah ma‟nawi diambil dari konsep al-
tawatur al-ma‟nawi yang terdapat dalam fan ilmu hadis yang memiliki arti
„beberapa ungkapan dengan redaksi berbeda namun merujuk kepada satu
makna‟.88
Tujuan al-Syathibi merumuskan metode ini adalah untuk mempertahankan
kesatuan dasar syariah. Hal ini dapat disimpulkan dari ungkapan al-Syathibi
yang berbunyi:
“Bahwasanya tujuan al-Syari‟ itu harus berdasarkan pada kulliyat syariah
(dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat), kulliyat syariah ini bersifat qath‟i dan
bersandar pada dalil yang qath‟i. Seandainya dalil yang menjadi
sandarannya itu bersifat zhanni niscaya syariah hanya dugaan belaka karena
bersandar pada dalil zhanni”.89
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa bagi al-Syathibi, tujuan al-Syari‟
dalam menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia, hal ini
tersimpul dalam prinsip dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat. Untuk mewujudkan hal
ini maka dibutuhkan dalil qath‟i (pasti) sebagai sandarannya, sebab dengannya
akan memproduksi hukum yang pasti juga. Maka dari itu dibutuhkan kepastian
dalil untuk menghasilkan kepastian hukum.
Cara mendapatkan dalil qath‟i tersebut haruslah berpegang pada prinsip
kesatuan dalil. Prinsip inilah yang kemudian menjadi tujuan utama bagi metode
ijtihad yang bernama istiqra‟ ma‟nawi.90
Namun dari sisi lain terdapat ulama yang beranggapan bahwa tujuan al-
Syathibi merumuskan metode ini adalah untuk menangkis pandangan yang
mengatakan bahwa metode istiqra‟ itu hanya digunakan oleh ulama Syafi‟iyah.
Sehingga dengan ini al-Syathibi mampu membuktikan adanya ulama
Malikiyah yang berpegang pada metode istiqra‟ sebagai metode ijtihad.

88
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 16-17
89
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 18-19
90
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 165-166
39

Metode tersebut jelas berbeda dengan metode yang telah digunakan oleh
ulama sebelumnya, yang hanya menggunakan dalil secara parsial dalam
memahami nash hukum. Kurang lebih terdapat dua hal penting yang dapat
membedakan antara metode ijtihad al-Syathibi dengan ulama lain, yaitu:
a. Memahami nash hukum secara komprehensif;
b. Memahami nash hukum dengan melibatkan aspek sejarah lahirnya nash
tersebut.91
Jadi mengapa al-Syathibi menawarkan konsep ini? karena ia beranggapan
bahwa cara ijtihad yang selama ini dipakai oleh para ulama itu cenderung
mengabaikan kesatuan dasar syariah dan hanya menggunakan dalil secara
parsial saja dengan anggapan bahwa dalil tersebut berstatus qath‟i, padahal
sangat banyak dalil yang dapat mendukung dalil parsial tersebut agar terjamin
kepastian hukum yang terkandung dalam dalil-dalil tersebut.

2. Sumber Pembentukan Metode Istiqra‟ Ma‟nawi


Konsep metode rumusan al-Syathibi ini tidak berdiri dengan sendirinya,
hanya saja ia terinspirasi dari beberapa konsep yang terdapat dalam fan ilmu
berbeda, yakni ilmu manthiq, ilmu ushul al-fiqh dan ilmu hadis. Hal itu
dapat dikatakan sebagai unsur-unsur pembentukan metode istiqra‟ma‟nawi.
Meskipun al-Syathibi tidak menjelaskan secara tersirat apa saja unsur
yang berkontribusi membentuk konsep metode istiqra‟ ma‟nawi, tetapi hal
ini dapat diketahui dari beberapa pernyataan dan isyarat yang digunakan
beliau dalam kitabnya (al-muwafaqat).92 Unsur-unsur tersebut adalah:
a. Konsep istidlal - istiqra‟ dalam ilmu Manthiq. Terdapat penjelasan
tertentu secara sistematis mengenai hal ini, sebagaimana pada ringkasan
berikut:

91
Moh. Fahimul Fuad, “Asy-Syathibi dan Konsep Istiqra‟ Ma‟nawi”, Jurnal As-Salam, Vol.
III, No. 1, th. 2013, h. 9-11
92
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 174
40

‫اإلشخدالل‬

‫لٔاخق اىلياس‬ ‫اىعهس‬ ‫رشطيث‬/‫كياس إشتثِائ‬ ‫كياس إكَتاين‬

‫اتلٍثيو اإلشخلراء‬ ‫خيف‬ ‫املركب‬

Istidlal memiliki arti mengerahkan kemampuan dalam mengeluarkan dalil


dan menyebutnya, baik nash, ijma‟, atau qiyas.93 Banyak istilah yang termasuk
pada ruang lingkup istidlal sebagaimana ringkasan diatas, yakni:
- qiyas iqtirani (qiyas yang menunjukkan kesimpulan melalui susunan premis
minor dan premis mayor). Contohnya adalah: alam itu baru, sesuatu yang
baru pasti ada yang menciptakan, kesimpulannya adalah alam itu ada yang
menciptakan.
- qiyas istisnai/syarthiyyah (qiyas yang menunjukkan kesimpulan secara
nyata dan memiliki ucapan susulan/huruf syarat). Contohnya adalah: jika
dia manusia berarti dia adalah hewan, sedangkan dia adalah manusia, maka
kesimpulannya dia adalah hewan.94
- Kemudian al‟aks (pernyataan yang mengalami pembalikan). Contohnya
adalah: sebagian manusia adalah hewan, maka kebalikannya adalah
sebagian hewan adalah manusia.
Kemudian adalah lawahiq al-qiyas (rangkaian yang tergabung sebagai
perangkat istidlal) terbagi menjadi empat, yakni murakkab (qiyas yang
tersusun dari dua qiyas atau lebih dan saling bersambungan), khalaf (qiyas
yang mengandung kesimpulan dengan cara membatalkan kebalikannya), tamsil
(menyamakan hukum suatu perkara dengan perkara lain karena adanya
93
„Allal al-Fasi, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha, (Tunis, Daar al-Gharb
al-Islami, 1993), cet. 5, h. 130
94
Ahmad ibn Abd al-Mun‟im, Idhah al-Mubham Min Ma‟ani al-Sulam, (Al-Jazair, Daar al-
Bashair, 2013), cet. 3, h. 99&111
41

persamaan),95 yang terakhir adalah istiqra‟ yang memiliki arti meneliti dalil-
dalil partikular untuk kemudian menetapkan hukum yang berlaku universal
berdasarkan dalil partikular tersebut.96
Dalam membentuk metode istiqra‟ ma‟nawi, al-Syathibi menggunakan
konsep istidlal - istiqra‟ yang berarti suatu proses mengungkap dalil-dalil
partikular kemudian menerapkan hukum yang berlaku secara universal
berdasarkan kumpulan dalil partikular tersebut.
b. Konsep al-istidlal al-mursal dalam ilmu Ushul al-Fiqh. Maksud dari konsep
tersebut adalah suatu proses mengungkap dalil, baik yang ada nashnya
secara spesifik atau tidak.97
c. Konsep mutawatir al-ma‟nawi dalam ilmu Hadis. Maksud dari konsep
tersebut adalah hadis yang maknanya diriwayatkan secara mutawatir namun
berbeda lafaz. Hadis mutawatir wajib diamalkan meskipun tanpa perlu
mengulik latar belakang perawinya sebagaimana yang biasa dilakukan oleh
ahli ilmu hadis.98

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa metode istiqra‟ ma‟nawi terinspirasi


dari berbagai konsep pada tiga fan ilmu yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa metode yang ditawarkan oleh al-Syathibi ini sangat kompleks, tidak
hanya berdasarkan pada satu fan ilmu saja. Sehingga membuat metode ini
pantas untuk dijadikan pesaing bagi metode ijtihad yang selama ini ada.

3. Konsep Dalil Qath‟i Perspektif al-Syathibi


Sebagaimana telah diketahui bahwa terdapat satu metode ijtihad yang
dirumuskan oleh al-Syathibi dalam karyanya (al-Muwafaqat) dan beliau

95
Darul Azka dan Nailul Huda, Sulam al-Munawraq; Kajian dan Penjelasan Ilmu Mantiq,
(Kediri, Santri Salaf Press, 2012), h. 82&110-116
96
Abdur Rahim al-Jundi, Syarh al-Sullam fi al-Manthiq Li al-Akhdhari, (al-Maktabah al-
Azhariyah li al-Turats), h. 109
97
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 185
98
„Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut, Daar al-Fikr,
2006), h. 197
42

menyebutnya dengan istilah Istiqra‟ Ma‟nawi sehingga dapat menghasilkan


hukum yang qath‟i.
Dr. Thaha Abdur Rahman dalam kitabnya menjelaskan bahwa qath‟i
terbagi menjadi dua:
- Qath‟u al-shurah/al-qath‟u al-shuwari (ungkapan sebuah keyakinan
yang dihasilkan dari keabsahan istidlal, yang disimpulkan dari
perpindahan premis kepada kesimpulan melalui mekanisme yang tepat);
- Qath‟u al-madhmun/al-qath‟u al-madhmuni (ungkapan sebuah
keyakinan yang dihasilkan dari kandungan premis yang masuk dalam
dalil meskipun tidak melalui mekanisme yang tepat).
Bentuk kedua inilah yang menjadi maksud dari istilah qath‟i yang
digunakan oleh al-Syathibi dalam kitabnya (al-Muwafaqat).99
Selanjutnya adalah pembahasan tentang pengertian, konsep, cara kerja dan
produk hukum dengan menggunakan metode tersebut.
a. Pengertian Istiqra‟ Ma‟nawi
ً
ُ ًَ َ ً
َ َْ َ ُ َ
Kata istiqra‟ dalam bahasa arab berasal dari kata ‫اءة و ك ْرآُأ‬‫ك َرأ حل َرأ ك ْرأ و كِر‬

yang memiliki makna membaca, namun secara mashdar ia memiliki makna


ْ ً ُ َّ ُ ْ َ
lain, yakni ‫( اْلٍع‬perkumpulan). Hal ini diambil dari kalimat ‫ك َرأت الَّشء كرآُا‬

yang memiliki makna „saya mengumpulkan sebagian kepada sebagian yang


lain‟100.

Kemudian ditambah 3 (tiga) huruf pada kata asli tersebut, yakni ‫أ‬

َ
(hamzah) ‫( س‬sin) dan ‫( ت‬ta‟), lalu menjadi kata ‫إشخلرأ‬. Dalam ilmu sharf

jika suatu kata ditambah dengan huruf sin maka berfaidah ‫طيب‬

99
Thaha Abdur Rahman, Tajdid al-Manhaj fi Taqwim at-Turats, (Beirut, al-Markaz at-
tsaqafi al-„Arabi), cet.2, h. 115-116
100
Ibn Mandzur al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz. 1, h. 156-157
43

َ
(menuntut). 101 Maka dari itu secara bahasa ‫ إشخلرأ‬berarti meminta untuk

membaca.102 Namun secara mashdar, kata tersebut berarti „mengobservasi


beberapa bagian agar dapat sampai kepada kesimpulan yang
103
menyeluruh‟.
Sedangkan istilah ma‟nawi dalam istilah tersebut meminjam konsep
mutawatir ma‟nawi dalam fan ilmu hadis104 yang jika disesuaikan dengan
konteks ini maka mengandung pengertian beberapa ungkapan yang berbeda
namun menuju kepada satu makna.105
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa definisi istiqra‟ ma‟nawi
adalah sebuah metode penetapan hukum dengan cara menggabungkan
sejumlah dalil yang mengandung aspek dan tujuan berbeda sehingga
terbentuk satu hukum tetap berdasarkan gabungan dalil tersebut.
Al-Syathibi juga menyatakan bahwa para pemikir hukum Islam tidak
sepatutnya menetapkan tujuan al-Syari‟ hanya berdasarkan dalil dan cara
tertentu saja, tetapi harus berdasarkan kolektifitas dalil lalu meninjaunya
dari segala sisi, baik zhahir, „am, mutlak, muqayyad ataupun juz‟iyyatnya,
perbedaan situasi dan kondisi yang disesuaikan pada setiap bab fikih. Selain
itu juga perlu memperhatikan qarain ahwal (indikasi keadaan), baik
manqulah (dinashkan) ataupun ghairu manqulah (tidak dinashkan).106
Beberapa aspek lain yang tidak luput dari perhatian sebagai penentuan
kepastian dalil adalah sepuluh hal berikut:

101
Ibrahim ibn Muhammad al-Yamani, „Aun al-Ma‟bud Fi Syarh Nazmi al-Maqshud Fi al-
Sharf, (Sana‟a, Maktabah al-Imam al-Wadi‟i, 2007), cet. 1, h. 63
102
Ibn Mandzur al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz. 1, h. 158
103
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah, al-Mu‟jam al-Wasith, (tt, Maktabah al-Syuruq al-
Daulah, 2004), cet. 4, h. 722
104
Hadis mutawatir terbagi menjadi dua, yakni Lafzhi dan Ma‟nawi. Mutawatir Lafzhi
adalah hadis yang diriwayatkan dengan lafaz atau makna yang sama namun tersurat pada hadis
tersebut. Sedangkan Mutawatir Ma‟nawi adalah hadis yang diriwayatkan dengan dengan
makna/tema yang sama namun secara tersirat, cara mengetahuinya adalah dengan pemahaman dan
istinbath. Lihat Abu Mu‟az, Syarh Nukhbatu al-Fikr, (Riyadh, Daar al-Mughni, 2009), cet.1, h. 59
105
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 17
106
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 247. Lhat juga Duski Ibrahim, Metode
penetapan Hukum Islam, h. 161-162
44

- Adanya kemungkinan subjektivitas periwayatan bahasa dalil hukum dan


pemikiran ulama nahwu;
- Mengandung banyak arti (musytarak);
- Mengandung makna majaz;
- Terdapat dalam istilah syara‟ dan adat sekaligus;
- Mengandung makna tersembunyi;
- Mengandung kemungkinan berupa takhsis dari lafaz „am;
- Mengandung kemungkinan berupa taqyid bagi lafaz mutlak;
- Mengandung kemungkinan adanya praktik naskh-mansukh;
- Mengandung kemungkinan adanya taqdim-ta‟khir;
- Mengandung makna yang bertentangan dengan akal.
Aspek diatas menunjukkan bahwa jika dalam suatu dalil terdapat salah
satu kemungkinan dari aspek-aspek tersebut maka ia berstatus zhanni.107
Dari beberapa pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
konsep metode ijtihad istiqra‟ ma‟nawi adalah menggabungkan sejumlah
dalil, kemudian meninjaunya baik dari sisi lafaz ataupun indikasi
keadaannya. Namun bukan berarti semua dalil dapat diproyeksikan kedalam
mekanisme metode ini karena perlu verifikasi (pemeriksaan) terlebih dahulu.
Dalil yang dianggap dapat diproyeksikan kedalam dalil qath‟i secara
umum adalah khabar ahad (hadis yang tidak mencapai derajat
108 109
mutawatir). yang dapat diamalkan (dalam penetapan hukum).
Selanjutnya adalah dalil zhanni yang tidak memiliki syahid khusus untuk
diterima atau ditolak tetapi mampu mendatangkan kemaslahatan.110
Jika ada pertanyaan „mengapa metode istiqra‟ ma‟nawi dapat
menghasilkan kepastian hukum?‟ jawabannya adalah karena kolektivitas
dalil yang mengandung satu makna dan keseluruhan dalil tersebut dapat

107
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 22
108
Mahmud Thahan, Taysir Musthalah al-Hadis, (Riyadh, Maktabah al-Ma‟arif, 2010), cet.
11, h. 27
109
Hadis ahad dari segi kuat dan lemahnya dibagi menjadi dua: maqbul (hadis yang dapat
diterima periwayatannya dan wajib diamalkan) dan mardud (hadis yang tidak dapat diterima dan
tidak wajib diamalkan). Lihat Mahmud Thahan, Taysir Musthalah al-Hadis, h. 42
110
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 475-476
45

menghasilkan kepastian, hal ini mirip dengan konsep mutawatir ma‟nawi


dalam ilmu hadis yang berfaidah qath‟i.111
Akan tetapi menurut Abdullah Darraz dalam komentarnya mengatakan
bahwa metode istiqra‟ ma‟nawi tidak mirip dengan konsep mutawatir
ma‟nawi karena objek penelitian metode ini ada yang sifatnya menyentuh
persoalan secara langsung dan ada yang tidak langsung.
Menurut Duski Ibrahim, istilah „pasti‟ atau ‟qath‟i‟ dalam metode ini
merupakan pandangan secara zhahir saja. Hal ini dirasa wajar karena ada
kemungkinan muncul masalah bagi peneliti hukum ketika berusaha
mengumpulkan dan mencari hubungan antara berbagai dalil dengan
bentuknya yang variatif, juga ketika berusaha menangkap qarain ahwal baik
manqulah ataupun ghairu manqulah.
Meskipun demikian, metode ini membuahkan hasil yang lebih unggul
dalam hal kepastian hukum melalui kepastian dalil karena dipahami secara
komperehensif daripada metode lain yang dipahami secara parsial, karena
kembali lagi bahwa kesatuan lebih kuat daripada keterpisahan.112

b. Cara Kerja Metode Istiqra‟ Ma‟nawi


Perlu diingat kembali bahwasanya tujuan dari metode penetapan hukum
Islam (ijtihad) menurut al-Syathibi adalah untuk menemukan hukum yang
sesuai dengan tujuan as-Syari‟ yang terkandung dalam nash, caranya adalah
dengan menggunakan metode verbal dan substansial sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.113
Sebagaimana sumber pembentukan metode ini, mekanisme metode ini
juga tidak diuraikan secara jelas oleh al-Syathibi, namun dapat dilihat dari
isyarat al-Syathibi dan disesuaikan dengan mekanisme metode penetapan
hukum yang lain, hal ini sebagaimana penjelasan berikut:
1. Menentukan masalah yang akan dibahas;

111
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 23
112
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 173, lihat juga Abu Ishaq al-Syathibi,
al-Muwafaqat, h. 22
113
Lihat halaman 3
46

2. Merumuskan masalah;
3. Mengumpulkan semua dalil hukum yang relevan dengan masalah
yang dibahas, baik ijmali atau tafshili. Tak lupa juga melakukan
identifikasi nilai-nilai maqashid syariah yang terkandung, juga
mengamati amar dan nahi yang dapat mengantarkan pada tujuan as-
Syari‟;
4. Memahami dan mengaitkan nash tersebut satu sama lain, baik dari
sisi teks ataupun konteksnya secara komprehensif;
5. Mempertimbangkan qarain ahwal (kondisi dan indikasi signifikan
suatu masyarakat);
6. Mencermati „illat hukum yang terkandung dalam nash untuk
kemudian diterapkan dalam masalah yang ada;
7. Membungkus semua nash yang baik yang bersifat partikular atau
universal yang sudah dikumpulkan, diidentifikasi dan
dipertimbangkan dari segala sisi menjadi satu kesatuan yang utuh,
sehingga nash partikular dapat masuk dalam kerangka nash universal;
8. Menarik benang merah, yakni menetapkan hukum dari masalah yang
menjadi pembahasan.114
Contoh praktik metode istiqra‟ ma‟nawi:
َ َّ ُ َ
Kewajiban shalat tidak cukup hanya dengan ayat ‫( َوأ ِرئٍا الطَلة‬11 /‫)ابللرة‬,

tetapi harus juga melihat pujian terhadap orang-orang yang menegakkannya,


celaan terhadap orang-orang yang meninggalkannya, pemaksaan kepada
mukallaf untuk melakukannya, pelaksanaannya yang dapat dilakukan secara
berdiri, duduk dan berbaring, perintah memerangi orang-orang yang
meninggalkannya, inkarnya orang yang meninggalkannya dan beberapa
dalil yang masih termasuk pada makna perintah shalat.115

114
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 190-194
115
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 24
47

c. Persamaan dan Perbedaan Metode Istiqra‟ Ma‟nawi dengan Metode


Ijtihad lain
Sebagaimana telah diketahui bahwasanya terdapat perbedaan konsep
antara metode istiqra‟ ma‟nawi dengan metode ijtihad lain (qiyas, istihsan
dan maslahah mursalah). Hal ini dapat diidentifikasi dari beberapa aspek
berikut:116
- Alur logika berpikir
Metode qiyas menggunakan alur berpikir analogi (mencari persamaan
antara dua hal yang berbeda), sedangkan istiqra‟ ma‟nawi menggunakan
pola penalaran induksi (menarik kesimpulan berdasarkan keadaan khusus
untuk diperlakukan secara umum).
- Prinsip
Untuk menarik kesimpulan, metode lain menggunakan dalil partikular
sedangkan metode istiqra‟ ma‟nawi menggunakan dalil universal.
Namun terdapat persamaan dalam hal ini, yakni sama-sama
memperhatikan indikasi kebahasaan (qarain manqulah) dan
memererankan akal (qarain ghairu manqulah).
- Penempatan Nash
Metode lain memosisikan nash sebagai ungkapan yang dapat
menetapkan suatu hukum dan tidak dapat disanggah, sedangkan metode
istiqra‟ ma‟nawi memosisikan nash bisa menetapkan hukum hanya
ketika mendapat bantuan dari nash lain yang relevan. Hal ini karena
pernyataan al-Syathibi117 yang berbunyi:
ً ْ ْ ُ ً ْ ْ ْ َ َّ
"‫ َوي َشد َبع ُضّ َبعضا‬،‫اب َوالصِ ِث حع ُض ُد َبع ُضّ َبعضا‬َ ‫"فَ ُِك َواخد ٌ ََ ال‬
ِ ‫هخ‬
ِ ِ ٍ ِ

Artinya: “Setiap nash (al-Quran dan as-Sunnah) dapat menopang dan


mengokohkan satu sama lain”.
- Produk Hukum

116
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 216-222
117
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 251
48

Metode lain menghasilkan produk hukum yang berlaku sebagian


(produk hukum fikih spesifik) saja, sedangkan metode istiqra‟ ma‟nawi
menghasilkan produk hukum yang berlaku sebagian dan berlaku umum
(masalah spesifik, kaidah ushul, juga kaidah fiqh).

d. Produk Metode Istiqra‟ Ma‟nawi


Sebagaimana pernyataan al-Syathibi dalam kitabnya yang berbunyi:
ٌ َ ٌ َ َ َْ ٌ َ
118
.‫ول ِذه املصأى ِث فٔائِد حنتَ ِن َعييٓا أ ْض ِي َّيث وفر ِخ َّيث‬
ِ

Artinya: “Metode ini sangat berguna karena dapat menghasilkan bahkan


membuktikan keberadaan kaidah-kaidah dasar dan hukum-hukum spesifik”
Kaidah dasar tersebut mencakup kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih. Jika
disimpulkan, terdapat tiga bentuk produk yang dihasilkan dan dibuktikan oleh
metode istiqra‟ ma‟nawi, yakni kaidah ushuliyah, kaidah fiqhiyah dan produk
hukum spesifik.119 Contoh produk hukumnya adalah sebagai berikut:
Kaidah Ushuliyah „Am-Khas
Nasikh-Mansukh
Maslahah dalam kemasan Maqashid al-Syariah
Kaidah Fiqhiyah Al-Haraj Marfu‟
Al-ashlu fi al-Ibadat bi an-Nisbah ila al-Mukallaf at-
Ta‟abbud, wa ashlu al-Adat al-Iltifat ila al-Ma‟ani
Produk Hukum Kewajiban Shalat
Spesifik Larangan Pembunuhan

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwasanya metode istiqra‟ ma‟nawi


merupakan sebuah metode penetapan hukum Islam dengan cara mengumpulkan
berbagai dalil yang relevan dengan sebuah masalah dengan mengidentifikasi sisi
lafaz dan keadaan yang ada, agar dapat menyatukan dasar syariah dan mengetahui

118
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 649
119
Duski Ibrahim, Metode penetapan Hukum Islam, h. 199
49

tujuan al-Syari‟ dalam menetapkan hukum, juga dapat menghasilkan kesimpulan


hukum yang tepat.

BAB III ini menggambarkan tentang konsep dalil qath‟i menurut al-Syathibi
dan metodenya yang disebut dengan istiqra‟ ma‟nawi serta latar belakang dan
tujuannya. Metode tersebut dapat dianggap sebagai salah satu metode penetapan
hukum Islam sebagaimana metode-metode yang digagas oleh ulama terdahulu,
namun perbedannya terletak pada al-Syathibi lebih mendetailkan pelaksanaannya.
Metode tersebut juga tidak hanya berlaku pada tataran teori saja, tetapi al-
Syathibi sendiri sudah menggunakan metode ini untuk membuktikan beberapa
permasalahan cabang juga kaidah ushul al-fikih ataupun kaidah fikih. Dalam hal
ini penulis akan mencoba mengimplementasikan metode istiqra‟ ma‟nawi kepada
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang dibahas
pada BAB IV.
BAB IV
ANALISIS HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA UU TIPIKOR
PASAL 2 AYAT (1) PERSPEKTIF METODE ISTIQRA’ MA’NAWI

A. Implementasi Metode Istiqra’ Ma’nawi Terhadap Hukum Tindak


Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor
Sebagaimana yang telah dibahas bahwasannya tindak pidana Pasal 2 ayat
(1) UU Tipikor jika dilihat dari unsur-unsur dan definisi yang mendekati maka
dapat digolongkan sebagai jarimah sariqah. 120 Maka dari itu penulis mencoba
mengumpulkan beberapa dalil yang terkait dengan keharaman pencurian
sebagaimana yang tertera pada BAB II. Pengumpulan dalil ini merupakan salah
satu praktik metode istiqra‟ ma‟nawi agar kesatuan dasar syariah dapat tercapai.
Dalil-dalil tersebut membicarakan tentang keharaman pencurian, baik yang
membahas tentang hukuman had yang diberlakukan oleh Nabi ‫ﷺ‬, laknat Allah
kepada pencuri, perintah Allah kepada Nabi ‫ ﷺ‬agar menerima baiat untuk tidak
mencuri, haramnya hasil pencurian dan taubatnya pencuri dihadapan Nabi ‫ﷺ‬.
Semua dalil tersebut datang dari ayat al-Quran dan hadis Nabi ‫ﷺ‬. Namun yang
paling menonjol dari kumpulan dalil tersebut adalah surat al-Maidah ayat 38 dan
hadis tentang persamaan dihadapan hukum. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Dalil Keharaman Mencuri


ٌ ‫خه‬ َ ‫يز‬
ٌ َ ‫اَّلل‬ َّ َ ً َ َ َ َ َ َ ً َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ ُ َ َّ َ ُ َّ َ
ُ َّ ‫اَّلل َو‬
ً‫ي‬ ِ ‫ز‬
ِ ‫ع‬ ِ ٌَِ ‫اركث فارطعٔا أي ِدحٍٓا جزاء ةٍِا نصتا ُكاال‬
ِ ‫ارق والص‬
ِ ‫والص‬

)32 / 5 /‫(املائدة‬

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

120
Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Amzah, 2012), cet. 1, h. 177
50
51

Dalil tersebut merupakan pijakan awal untuk pembahasan tentang

pengharaman pencurian. Pokok pembahasannya adalah kalimat ‫فارطعٔا أي ِدحٍٓا‬


َ ُ َ َْ ُ َْ َ

yang secara verbal (al-Thariqah al-Lafzhiyah) dapat dibawa kepada makna hakiki
atau makna majazi. Para ulama memaknai perintah kalimat tersebut dengan
makna hakiki, yang berarti potonglah tangan kanannya. Hal ini berdasarkan pada
َ ُ َ َ َْ
qiraah ibn Mas‟ud yang membacanya dengan lafaz ‫ فارطعٔا أحٍاجٍٓا‬yang berarti
ُ َْ َ

(potonglah tangan kanannya).121


Tetapi dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab terdapat penjelasan
َ ُ َ َْ ُ َ ْ َ
bawasannya ada yang memahami perintah ‫ فارطعٔا أي ِدحٍٓا‬tersebut secara majazi,

yang berarti potonglah kemampuannya. Maksud dari memotong kemampuan


disini adalah memenjarakan pencuri tersebut sebagai hukuman atas tindakan
pencuriannya.122
Dalam hal ini al-Syathibi membagi amar (perintah) menjadi dua bagian,
yakni sharih (ungkapan dengan bahasa yang jelas) dan ghairu sharih (ungkapan
dengan bahasa yang tidak jelas).123 Contohnya adalah ayat diatas yang secara jelas
ُ َْ
menggunakan fi‟il amar berupa lafaz ‫ ارطعٔا‬yang memiliki arti potonglah.

Sedangkan contoh perintah yang tidak jelas adalah hadis tentang “laknat Allah
SWT kepada pencuri” sebagaimana berikut:
َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ُ ُ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َّ ُ َّ َ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ
‫رسق احلتو‬ِ ‫رسق ابليضث ذخلطع يده وي‬ ِ ‫ارق ي‬
ِ ‫اَّلل ﷺ « ىعَ اَّلل الص‬
ِ ‫خَ أ ِِب ْريرة كال كال رشٔل‬
ْ َ
124
)ً‫ذخُل َط ُع يَ ُد ُه » (رواه مصي‬

121
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai‟ al-Bayan, (Beirut, Muassasah Manahil al-Irfan,
1980), cet. 3, Juz. 1, h. 555
122
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Tangerang, Penerbit Lentera Hati, 2008), vol. 3,
h. 94-95
123
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 553. Lihat Duski Ibrahim, Metode penetapan
Hukum Islam, h. 119
124
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Riyadh, Daar Thayyebah, 2006), h.
805
52

Artinya: “dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Allah
melaknat seorang pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya dan
mencuri seutas tali lalu dipotong tangannya.” (HR. Muslim)

Hadis tersebut menggunakan kalam khabar namun dapat dipahami sebagai


perintah untuk menjauhi tindakan pencurian karena Allah melaknatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa penjatuhan hukuman bagi pencuri adalah wajib
sebagaimana dalil-dalil diatas yang tidak hanya menggunakan sighat amar
(bentuk perintah) saja namun juga menggunakan kalam khabar namun dapat
dipahami sebagai perintah. Tujuannya adalah perintah untuk memotong tangan

pencuri dan pada dasarnya sighat amar berfaidah wajib (‫)األضو ِف األمر لئجٔب‬.

ً ‫ َج َز‬dan lafaz ‫ك ًاال‬


Tetapi kemudian dilanjut dengan lafaz ‫اء‬
َ َ
ُ yang

kedudukannya menjadi maf‟ul liajlih, 125 yang berarti sebagai pembalasan dan
siksaan atau biasa disebut sebagai penegakan hukum atas apa yang telah
dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pokok dari hukuman tindak pidana
pencurian adalah penegakan hukumnya, bukan bentuk hukumannya.
Kemudian disusul dengan pujian Allah SWT terhadap dirinya dengan lafaz
ٌ ‫يز َخه‬
ً‫ي‬ ُ َّ ‫ َو‬yang berarti Allah Maha Perkasa sekaligus Maha Bijaksana dalam
ٌ ‫اَّلل َعز‬
ِ ِ
hal penegakan hukum kepada ahli maksiat. 126 Hal ini menunjukkan bahwa
seorang hakim yang dapat menentukan vonis hukuman bagi pencuri harus
bijaksana dalam penegakan hukumnya, disesuaikan dengan undang-undang yang
ada dan melihat pada kerugian yang diwujudkan akibat dari tindakan pencurian
tersebut.
Namun hukuman potong tangan ini tidak berlaku secara semena-mena tanpa
adanya persyaratan dan batasan. Dalam kitab Tafsir Ahkam al-Quran karangan al-
Imam al-Jasshas dijelaskan bahwasanya hukum itu tidak hanya bergantung

125
Abdullah ibn al-Husein al-„Ukbari, al-Tibyan Fi I‟rab al-Quran, (t.t, Isa al-Babi al-
Halabi wa Syarakahu, t.th), Juz. 2, h. 436
126
Abdullah ibn Abdul Muhsin al-Turki, Tafsir al-Thabari, (Kairo, Daar Hajar, 2001), Cet.
1, Juz. 8, h. 410
53

kepada aspek bahasa namun juga bergantung kepada makna yang terkandung
dalam bahasa.127 Hal ini dapat dilihat dari beberapa unsur yang telah dirumuskan
oleh para ulama sebagaimana telah dibahas diatas. Juga dengan melihat
mekanisme metode istiqra‟ ma‟nawi yang juga harus mempertimbangkan qarain
ahwal baik manqulah ataupun ghairu manqulah.

2. Dalil tentang persamaan dihadapan hukum.


ُ َ َ ْ َ َ َ َّ َّ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ َّ َ َ ً ْ َ ُ َّ َ َ ْ َ ُ َّ َ َ َ َ َ ْ َ
َْ ٌَ ‫ج ذلالٔا َو‬ ‫ أن كريشا أًٍْٓ شأن الٍرأةِ الٍخزو ٌِي ِث اى ِِت رسك‬/‫خَ َعئِشث ر ِِض اَّلل خِٓا‬

ُ َّ َ َ
ٍَّ ‫اَّلل ﷺ فَك‬
َّ َ ‫ئ َعيَيّْ إ َّال أُ َش‬
ُ ‫اٌ ُث ْب َُ َزيْد خب َر‬ ُ ََْ ْ َ َ ُ َ َ َّ َ ُ َ َ ُ ِ َ ُ
ِ ‫ٔل‬ِ ‫ش‬ ِ ٍ ِ ِ ‫َت‬
ِ ‫َي‬ َ ٌ‫و‬ ‫ٔا‬‫ال‬‫ل‬ ‫ذ‬ ‫؟‬‫ﷺ‬ ‫اَّلل‬
ِ ‫يكيً ِذيٓا رشٔل‬
َ َ ْ َ َّ َ َ ُ َ َ َ ْ َ َ َ َّ ُ َّ ُ ُ ْ ٍّ َ ُ َ ََْ َّ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ َ ُ
‫ب ث ًَّ كال "إِج ٍَا أْيم‬ ‫اَّلل؟" ثً كام فاخخط‬ ِ ‫ "أتشفع ِِف خد ٌَِ خدو ِد‬/‫اَّلل ﷺ‬ ِ ‫أشاٌث ذلال رشٔل‬
ُ َ‫يف أَك‬
ّْ‫امٔا َعيَي‬ ُ َّ ْ َ َ َ َ َ ُ ُ َ َ ُ َّ ْ
‫الرشيف حركٔه و ِإذا رسق ِذي ًِٓ الض ِع‬ ًٓ‫ي‬
َ َ َ َ ُ َ ْ ُ َّ َ ْ ُ َ ْ َ َ َّ
ِ ِ ِ ‫اذليَ رتيكً أجًٓ َكُٔا إِذا رسق ِذ‬ ِ
َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َّ َ ُ َ ْ َ َ َ َّ َ ْ َ َّ ُ ْ َ َّ َ ْ
128
.)‫ج يَدْا" (رواه ابلخاري‬‫اطٍث ةِِج ُمٍ ٍد رسكج ىلطع‬ ِ ‫اَّلل لٔ أن ف‬
ِ ً‫احلد واح‬

Artinya: “dari 'Aisyah RA bahwa Orang-orang Quraisy sedang menghadapi


persoalan yang menggelisahkan, yaitu tentang seorang wanita suku Al
Makhzumiy yang mencuri lalu mereka berkata: "Siapa yang mau merundingkan
masalah ini kepada Rasulullah SAW?" Sebagian mereka berkata: "Tidak ada yang
berani menghadap beliau kecuali Usamah bin Zaid, orang kesayangan Rasulullah
SAW." Usamah pun menyampaikan masalah tersebut lalu Rasulullah SAW
bersabda: "Apakah kamu meminta keringanan atas pelanggaran terhadap aturan
Allah?" Kemudian beliau berdiri menyampaikan khuthbah lalu bersabda: "Orang-
orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan
terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mereka mencuri, mereka
membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah (masyarakat
rendahan, rakyat biasa) mereka mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman

127
Ahmad ibn Ali al-Razi al-Jasshas, Ahkam al-Quran, (Beirut, Daar Ihya al-Turats, 1992),
Juz. 4, h. 62
128
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut, Daar ibn Kasir, 2002),
cet. 1, h. 1680
54

atasnya. Demi Allah, sendainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku
potong tangannya." (HR. al-Bukhari)

Hadis tersebut menunjukkan bahwasanya setinggi apapun derajat seseorang


tak akan bisa lepas dari hukuman atas apa yang telah ia lakukan. Hal ini
berdasarkan pengandaian Nabi ‫ ﷺ‬kepada Fathimah anaknya sendiri yang
notabenenya merupakan perempuan yang lebih mulia dibandingkan wanita dari
suku al-Makhzumiy yang merupakan kabilah yang mulia dari bangsa Arab.
Dari hadis tersebut juga dapat diketahui bahwasanya Agama Islam
menegakkan prinsip persamaan dihadapan hukum, dilihat dari tidak diterimanya
keringanan hukum yang diminta oleh orang mulia atas pelanggaran yang
dilakukannya. Seandainya keringanan hukum tersebut dapat berlaku, hal itu lebih
layak untuk diberikan kepada orang dari kalangan rendah daripada kepada orang
dari kalangan terhormat.129
Dalam hadis tersebut juga dijelaskan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬sendiri yang akan
menghukumnya meskipun itu harus memotong tangan anaknya. Hal ini
merupakan pelaksanaan prinsip persamaan dihadapan hukum yang sangat nyata
yang harus dijadikan pedoman oleh para hakim sebagai seseorang yang memiliki
wewenang untuk menjatuhi hukuman.
Sejalan dengan hal ini, bagus untuk mengingat surat khalifah Umar ibn al-
Khattab kepada Abu Musa al-Asy‟ari yang menjadi pemimpin Bashrah pada saat
itu. Isi surat tersebut adalah: “Berlaku adillah kepada setiap manusia sampai orang
mulia tidak mengharapkan kezalimanmu dan orang lemah tidak putus asa dengan
keadilanmu.”130 Hal ini menunjukkan bahwa khalifah Umar ibn al-Khattab yang
dikenal sebagai pembeda antara yang haq dengan yang bathil juga
mengedepankan asas persamaan dihadapan hukum sebagaimana yang dilakukan
Rasulullah ‫ ﷺ‬pada hadis diatas.

129
Muhammad ibn Shalih al-„Utsaimin, Syarh Riyad al-Shalihin, (Riyad, Dar al-Wathan,
1425 H), Juz. 3, h. 129
130
Ali Muhammad Muhammad al-Thalabi, Fashl al-Khitab Fi Sirah ibn al-Khattab,
(Emirat, Maktabah al-Shahabah, 2002), h. 330-331
55

Merujuk kepada Agama Islam, Negara Indonesia juga menegakkan prinsip


persamaan dihadapan hukum yang biasa disebut dengan istilah equality before the
law. Dalam buku Kamus Hukum Lengkap dijelaskan bahwa equality before the
law adalah perlakuan yang sama atas diri setiap orang dihadapan hukum tanpa
membedakannya,131 karena kedudukan semua orang sama maka harus menerima
perlakuan yang sama.132
Ketentuan tersebut berdasarkan pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,133 yang berisi: Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. 134 Hal ini
menunjukkan bahwasanya hukum Indonesia sejalan dengan hukum Islam dalam
hal mengedepankan asas persamaan dihadapan hukumnya. Jika begitu maka
setiap pelaku tindak pidana korupsi harus mendapatkan hukuman sesuai dengan
vonis hakim, tanpa melihat status sosial yang ada.

Dalil-dalil tersebut dapat membuktikan bahwasanya pencurian adalah


perbuatan yang diharamkan dan pelakunya harus dikenakan hukuman sesuai
dengan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, karena hukum tersebut
berstatus qath‟i yang tidak dapat dirubah lagi. Ditambah dengan adanya dalil-dalil
pendukung sebagaimana mekanisme dari metode istiqra‟ ma‟nawi yang digagas
oleh al-Syathibi, hal ini menguatkan pada kepastian hukum karena diambil dari
dalil qath‟i dan kesatuan dasar syariahnya tercapai.
Namun keqath‟ian dalil tersebut terletak pada penegakan hukum bagi
pelaku tindak pidana pencurian, bukan pada bentuk hukum yang telah ditetapkan
pada dalil tersebut. Dalam hal ini penting untuk melihat dalil qath‟i menurut
pandangan Ibrahim Hosen yang membaginya kepada dua bagian, yakni qath‟i fi
jami‟ al-ahwal (kepastiannya berlaku pada setiap keadaan) atau qath‟i fi ba‟d al-

131
Rocky Marbun, dkk, Kamus Hukum Lengkap, (Jakarta, Transmedia Pustaka, 2012), h.
92
132
Eddy O.S dan Hiariej, Modul Pengantar Hukum Acara Pidana, h. 139
http://repository.ut.ac.id/4124/1/HKUM4406-M1.pdf diakses pada 14 Januari 17:32
133
Fauziah Lubis, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, (Medan, Manhaji, 2020), h. 7
134
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
56

ahwal (kepastiannya hanya berlaku pada sebagian keadaan). Karena tidak semua
ayat yang qath‟i itu dapat dilaksanakan pada setiap keadaan.135
Contohnya adalah ayat tentang had sariqah. Hukuman potong tangan
sebagaimana ketentuan ayat tersebut dapat dibatalkan dengan bertaubat, hal ini
berdasarkan pada Q.s. al-Maidah ayat 39:
ٌ َ ٌ ُ َ َ َّ َّ ْ َ َ ُ ُ َ َ َّ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ
)33 / 5 /‫ذٍَ حاب ٌَِ بع ِد ظي ٍِ ِّ وأضيح فإِن اَّلل حخٔب عيي ِّ إِن اَّلل دفٔر ر ِخيً (املائدة‬

Artinya: “Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah


melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Ulama lain juga berpendapat bahwa hukuman potong tangan tersebut dapat
dibatalkan ketika pelaku mendapatkan maaf dari korban pencurian atau ketika
objek yang dicuri dikembalikan kepada korban atau diganti dengan sesuatu yang
senilai dengan objek yang dicuri.136

Hal ini merupakan bukti bahwasanya derajat qath‟i pada ayat 38 surat al-
Maidah tersebut berlaku pada sebagian keadaan saja. Maka dari itu dapat
disimpulkan bahwasanya status qath‟i pada dalil tersebut terletak pada keharaman
tindakan pencurian dan penegakan hukumnya, tetapi bentuk hukumannya dapat
disesuaikan dengan tempat dan keadaan pencuri.

B. Keselarasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 dengan Dalil Had Sariqah Perspektif al-Syathibi
Sebagaimana telah dijelaskan pada kajian tentang dalil diatas dapat
diketahui bahwasanya status hukum keharaman pencurian adalah qath‟i karena
bersandar pada dalil qath‟i. Karena dalil tentang keharaman pencurian berstatus
qath‟i maka pelaku pencurian harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang ada
pada nash.

135
Saiful Jazil, Al-Qat‟ Wa al-Zann „Inda Ibrahim Husayn, Journal Of Indonesian Islam,
Vol. 14, No. 2, 2020, h. 563
136
Saiful Jazil, Al-Qat‟ Wa al-Zann „Inda Ibrahim Husayn h. 564
57

Tetapi Negara Indonesia yang mayoritas warganya memeluk Agama Islam


tidak memberlakukan hukuman had bagi pelaku pencurian, khususnya bagi
pelaku tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1). Hal ini dapat dikaji dengan melihat
unsur-unsurnya sebagaimana berikut:
Dalam unsur-unsur tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1)137 tersirat unsur-
unsur jarimah sariqah,138 sehingga pelakunya harus dikenai sanksi yang setara
dengan sanksi hudud sebagaimana telah ditentukan dalam al-Quran dan Hadis.
Namun sebagaimana mekanisme metode istiqra‟ ma‟nawi yang harus
mempertimbangkan qarain ahwal ghairu manqulah (indikasi keadaan yang tidak
dinashkan), 139 hukuman tersebut sulit dilaksanakan di Negara Indonesia karena
secara konstitusional berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Selain itu, harus juga
mempertimbangkan qarain ahwal manqulah (indikasi keadaan yang dinashkan),
dengan melihat pada Surat al-Maidah ayat 38, 140 bahwa tujuan hukum potong
tangannya adalah sebagai balasan atas apa yang telah dikerjakan.
Dengan melihat dua qarinah tersebut, maka solusinya adalah mengganti
hukuman potong tangan dengan hukuman memotong kekuasaan dengan cara
diturunkan dari jabatannya kemudian dipenjarakan. 141 Karena tujuan hukumnya
sama, yakni agar pelaku tidak lagi melakukan korupsi/pencurian. Hal ini senada
dengan penafsiran ulama yang membawa ayat tersebut kepada makna majazi yang
berarti memenjarakan pelaku tindak pidana korupsi.
Kemudian jika melihat pada unsur jarimah sariqah, objek yang dicuri
adalah milik orang lain dan diambil dari tempat penyimpanannya, tetapi pada

137
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara
138
Rukun-rukun pencurian ada empat, yaitu: mengambil secara sembunyi-sembunyi,
barang yang diambil berupa harta, harta yang diambil tersebut milik orang lain (bukan milik
sendiri, syirkah atau syubhat), al-Qasd al-Jina‟i (melawan hukum)
139
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat, h. 247
َ ‫طعُىا أ َ ْي ِد َي ُه َما َجزَ ا ًء ِب َما َك‬
َ ‫َّارقَةُ فَا ْق‬ 140
ٌ ‫ع ِز‬
)88( ‫يز َحكِي ٌم‬ َّ َ‫س َبا نَك ًَاًل مِ ن‬
َّ ‫َّللاِ َو‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫َّارقُ َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
141
Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h. 178
58

unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, objek yang dicuri adalah milik Negara dan
diambil dari tempat pelaku yang kemungkinan memiliki bagian didalamnya
sehingga terdapat unsur syubhat.142
Sebagaimana ketentuan dalam jarimah sariqah bahwasanya pencurian yang
terdapat syubhat didalamnya maka tidak dikenai had, berdasarkan pada hadis
tentang “perintah untuk menghindari hukuman had karena adanya syubhat”
sebagaimana berikut:
َ ْ ُ َ َ َ َ َّ َ ْ ْ َ
143
.)‫ كال َر ُشٔل اهلل ﷺ " ِاد َر ُءوا احل ُ ُد ْود ةِالشتُ َٓات" (رواه أةٔ خِيفث‬/‫اس كال‬
ٍ ‫خَ اة َِ خت‬

Artinya: “dari Ibnu „Abbas berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hindarilah


hukuman had dengan adanya syubhat”. (HR. Abu Hanifah)

Beberapa penjelasan diatas mengingatkan bahwa terdapat dua macam


pencurian, yakni pencurian yang hukumannya had dan ta‟zir. Pencurian dapat
dihukum ta‟zir ketika tidak memenuhi unsur-unsur had, sebagaimana adanya
perbedaan antara unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dengan unsur-unsur jarimah
sariqah. Alasan lainnya adalah karena jarimah sariqah termasuk hukuman had
dan menurut ulama hanafiyah hukuman had tidak dapat diqiyaskan, sebagaimana
tidak sahnya qiyas pada hal-hal akidah dan ubudiyah.144

Jika melihat pada bentuk rekonstruksi dalil qath‟i dengan menggunakan


metode istiqra‟ ma‟nawi, kumpulan dalil tentang pencurian tersebut berstatus
qath‟i, karena dari kumpulan dalil tersebut tercapai kesatuan dasar syariah dan
dapat diambil maqashid syara‟nya, yakni memberi balasan bagi pelaku pencurian
atas pelanggaran terhadap suatu larangan. Dalam artian bahwa status qath‟i bagi
sekumpulan dalil tersebut terletak pada keharaman pencurian dan kewajiban
penegakan hukum bagi pencuri.

142
Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, h. 179
143
Muhammad Abid as-Sindi, Musnad al-Imam al-Azham, (Pakistan, Maktabah al-Busyro,
2010), cet. 1, h. 458-459
144
Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 706. Lihat Nurul Irfan, Korupsi dalam
Hukum Pidana Islam, h. 178
59

Selain itu, jika melihat pada qarain ahwal manqulah pada ayat 38 surat al-
Maidah diatas dapat diketahui bahwa tujuan adanya hukum potong tangan adalah
sebagai balasan atas apa yang telah dikerjakan. Juga melihat pada qarain ahwal
ghairu manqulah yang berupa kondisi sosial Negara Indonesia yang secara
konstitusional berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila, maka bentuk hukuman yang
telah ditentukan pada dalil-dalil tersebut sulit dilaksanakan.
Dua hal diatas merupakan mekanisme metode istiqra‟ ma‟nawi
sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh al-Syathibi, yakni dengan
mengumpulkan dalil-dalil kemudian mengkajinya dari segi lafazh dan maknanya,
juga mempertimbangkan qarain ahwal baik manqulah ataupun ghairu manqulah.
Dari mekanisme tersebut didapatkan bahwa maqashid syara‟ dari hukuman
potong tangan bagi pencuri adalah sebagai penegakan hukuman karena pencuri
tersebut telah melanggar larangan.
Berangkat dari metode istiqra‟ ma‟nawi dengan cara mengumpulkan dalil
dan mempertimbangkan qarain diatas, juga melihat maqashid syara‟ yang
terdapat pada nash tentang hukuman potong tangan, maka pelaku korupsi yang
terjerat Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak patut untuk mendapatkan hukuman had
(potong tangan), melainkan hukuman ta‟zir (penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)).
Dengan demikian, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sesuai dengan syariat Islam
karena mengandung nilai-nilai syariat didalamnya. Hal ini dilihat dari kacamata
metode istiqra‟ ma‟nawi yang ditawarkan oleh al-Syathibi dengan mengumpulkan
dalil-dalil dan juga mempertimbangkan qarain ahwal yang kemudian ditemukan
maqashid syara‟nya sebagaimana penjelasan diatas.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pemaparan rumusan masalah dan pembahasan yang telah
dipaparkan oleh penulis dengan bersumber kepada teori-teori tentang metode
istiqra‟ ma‟nawi, penulis menarik kesimpulan bahwa:
Konsep dalil qath‟i menurut ulama salaf merupakan dalil yang datang
secara mutawatir dan tidak mengandung takwil ataupun takhsis. Dengan begitu
setiap dalil yang datang secara mutawatir dan tidak mengandung penafsiran lain
maka harus diterima secara apa adanya dan tidak ada lapangan untuk ijtihad,
meskipun dalil tersebut hanya partikular saja.
Sedangkan konsep dalil qath‟i menurut al-Syathibi merupakan sekumpulan
dalil yang mengandung aspek dan tujuan yang berbeda, kemudian ditinjau dari
sisi lafaz dan maknanya juga keadaannya, metode ini disebut dengan metode
istiqra‟ ma‟nawi. Dari kumpulan dalil tersebut kesatuan dasar syariah dan
maqashid syara‟ bisa tercapai. Sehingga dapat melahirkan kepastian hukum
karena terbentuk dari kesatuan dalil yang mengangkatnya kepada derajat qath‟i.
Konsep tersebut merupakan sebuah bentuk rekonstruksi atau penyusunan
kembali terhadap istilah dalil qath‟i yang ada pada fan ilmu Ushul al-Fiqh.
Perbedaannya terletak pada detail yang dijelaskan oleh al-Syathibi terhadap
konsepnya sedangkan ulama lain tidak mendetailkannya meskipun kurang lebih
praktiknya sama, yakni dengan mengkaji lafaz dan maknanya kemudian
disesuaikan dengan waktu dan tempatnya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum
Islam bersifat universal atau menyeluruh, sehingga eksistensinya tetap terjaga
kapanpun dan dimanapun.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 secara
substansi sesuai dengan ketentuan dalam hukum Islam, baik dalam hal
pengharaman pencurian ataupun kewajiban penegakan hukuman bagi pelaku
tindak pidana korupsi. Hal ini dilihat dari kacamata ijtihad dengan menggunakan
metode istiqra‟ ma‟nawi yang telah ditawarkan oleh Abu Ishaq al-Syathibi.

60
61

Buktinya adalah akumulasi ayat al-Quran dan hadis yang menunjukkan


tentang keharaman mencuri, diantaranya adalah:
1. Perintah untuk menegakkan hukuman had bagi pelaku tindak pidana
pencurian yang memenuhi unsur-unsur yang telah dirumuskan. Hal ini
menunjukkan keharaman pencurian dan wajibnya menegakkan hukuman
bagi pencuri.
2. Pemberlakuan hukuman had oleh Nabi bagi siapapun yang mencuri tanpa
membedakan status sosial. Bahkan jika anaknya sendiri yang mencuri pun
akan tetap dihukum potong tangan oleh Nabi ‫ﷺ‬. Peristiwa ini menunjukkan
betapa Nabi ‫ ﷺ‬sangat konsisten dalam penegakan hukuman bagi pencuri;
Meskipun hukuman had tersebut tidak dapat diimplementasikan di Negara
Indonesia karena pertimbangan qarain ahwal ghairu manqulah bahwa kondisi
Negara Indonesia (yang berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila) dan qarain
ahwal manqulah bahwa tujuan al-Syari‟ dalam menetapkan hukum (sebagai
balasan terhadap pelaku pencurian), serta tidak terpenuhinya unsur-unsur. Namun
yang perlu ditekankan disini adalah bahwasanya hukum keharaman pencurian
dasarnya adalah dalil qath‟i sehingga penjatuhan hukuman bagi pencuri
merupakan sebuah kewajiban.

B. Saran
1. Bagi mahasiswa, sangat baik untuk membahas tentang pendalaman materi
ushul al-fikih, kemudian menjadikannya kacamata untuk mengkaji berbagai
kebijakan di Indonesia. Misalnya membahas tentang pentingnya pengesahan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditinjau dari kacamata maslahat
mursalah atau pertimbangan sikap „sopan‟ untuk meringankan hukuman
ditinjau dari kacamata konsep ahliyat al-ada‟ (cakap hukum) dan lainnya.
2. Sangat penting bagi perumus undang-undang untuk berdiskusi dengan ahli
hukum Islam tentang keselarasan antara hukum Islam dengan hukum
Indonesia. Agar bisa menjelaskan kepada masyarakat bahwa meskipun
secara konstitusional Negara Indonesia berlandaskan UUD 1945 dan
Pancasila namun secara substansi masih berlandaskan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Laode Ismail. “Rekonstruksi Teks-Teks Hukum Qath‟i dan Teks-Teks


Hukum Zhanni”. Jurnal Asy-Syir‟ah, Vol. 49, No. 2, 2015.
al-„Ajfan, Muhammad Abu. Fatawa al-Imam al-Syathibi. Tunis: Matba‟ah al-
Kawakib, 1985.
al-„Arabiyah, Majma‟ al-Lughah. al-Mu‟jam al-Wasith. tt, Maktabah al-Syuruq
al-Daulah, 2004.
al-„Ukbari, Abdullah ibn al-Husein. al-Tibyan Fi I‟rab al-Quran. t.t: Isa al-Babi
al-Halabi wa Syarakahu, t.th.
al-„Utsaimin, Muhammad ibn Shalih. Syarh Riyad al-Shalihin. Riyad: Dar al-
Wathan, 1425 H.
al-Amidi, Ali. al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam. Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1402
H.
al-Anshari, Ibn Mandzur. Lisan al-Arab. Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
2009.
al-Anshari, Zakariya. Manhaj al-Thullab. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997.
________________. Fath al-Wahhab. Indonesia: Al-Haramain Jaya.
al-Asqallani, Abu al-Fadhl. al-Talkhis al-Habir fi Takhrij Ahadis al-Rafi‟i al-
Kabir. Beirut: Daar el-Kotob el-Ilmiyah, 1989.
al-Bardasy, Zakariya. Ushul al-Fiqh. Kairo: Daar al-Tsaqafah.
al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Shahih al-Bukhari. Beirut: Daar ibn Kasir,
2002.
al-Dausari, Abu Sulaiman. al-Raud al-Bassam Bitartibi wa Takhriji Fawaid
Tammam. Beirut: Daar al-Basyarir al-Islamiyah, 1987.
al-Fasi, „Allal. Maqashid al-Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha. Tunis: Daar
al-Gharb al-Islami, 1993.
al-Haitami, Ibn Hajar. al-Minhaj al-Qawim. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2000 M.
Ali, Abdul-Rahman Adam. al-Imam al-Syathibi „Aqidatuhu wa Mauqifuhu Min
al-Bida‟i wa Ahliha. Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1998.

62
Ali, Ismail Muhammad, Ghayatu al-Wushul Ila „Ilmi al-Ushul. Mesir: Maktabah
al-Rahmah al-Muhdah, 2015.
al-Jabbar, Suhaib „Abd. al-Jami‟ al-Shahih li a-Sunan wa al-Masanid.
al-Jasshas, Ahmad ibn Ali al-Razi. Ahkam al-Quran. Beirut: Daar Ihya al-Turats,
1992.
al-Jundi, Abdur Rahim. Syarh al-Sullam fi al-Manthiq Li al-Akhdhari. al-
Maktabah al-Azhariyah li al-Turats
al-Khann, Mu‟az Musthafa. al-Qath‟i wa al-Zhanni, Damaskus: Daar al-Kalim at-
Thayyib, 2007.
al-Khatib, ‘Ajjaj. Ushul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Daar al-
Fikr, 2006.
al-Kuwaiti, Abu Huzaifah. Anis al-Sari fi Takhriji wa Tahqiqi al-Ahadis allati
Zakaraha al-Hafiz ibn Hajar al-„Asqallani fi Fath al-Bari. Beirut:
Muassasah al-Rayyan, 2005.
al-Maraghi, Musthafa. al-Fath al-Mubin Fi Thabaqat al-Ushuliyyin. Beirut:
Muhammad Amin Ramj wa al-Syirkah, 1974.
al-Mun‟im, Ahmad ibn Abd. Idhah al-Mubham Min Ma‟ani al-Sulam. Al-Jazair:
Daar al-Bashair, 2013.
al-Naisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj. Shahih Muslim. Riyadh: Daar Thayyebah,
2006.
al-Sa‟idan, Walid ibn Rasyid. Ta‟rif al-Thullab Bi Ushul al-Fiqh Fi Suaal Wa
Jawab.
al-Sha‟idi, Abdul Muta‟al. al-Mujaddidun Fi al-Islam. Kairo: Maktabah al-Adab,
1996.
al-Shabuni, Muhammad Ali. Rawai‟ al-Bayan. Beirut: Muassasah Manahil al-
Irfan, 1980.
al-Sijistani, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut: al-Risalah, 2009.
al-Syafi‟i, Muhammad ibn Abd al-Rahman. Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-
Aimmah. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987.
al-Syathibi, Abu Ishaq. al-I‟tisham. Maktabah al-Tauhid,t.t.
__________________. al-Muwafaqat. Beirut: Daar el-Kotob el-Ilmiyah, 2004.

63
al-Thahhan, Mahmud. Taysir Musthalah al-Hadis. Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif,
2010.
al-Thalabi, Ali Muhammad Muhammad. Fashl al-Khitab Fi Sirah ibn al-Khattab.
Emirat: Maktabah al-Shahabah, 2002.
al-Tirmizi, Muhammad ibn Isa. al-Jami‟ al-Kabir. Beirut: Daar al-Gharb al-Islami,
1996.
al-Turki, Abdullah ibn Abdul Muhsin. Tafsir al-Thabari. Kairo: Daar Hajar, 2001
al-Yamani, Ibrahim ibn Muhammad. „Aun al-Ma‟bud Fi Syarh Nazmi al-
Maqshud Fi al-Sharf. Sana‟a: Maktabah al-Imam al-Wadi‟i, 2007.
al-Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Daar al-Fikr, 1986.
Anggito, Albi dan Johan Setiawan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Sukabumi:
CV Jejak, 2018.
AS, Susiasi. Metodologi Penelitian. Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan
Penerbitan LP2M IAIN Raden Intan Lampung, 2014.
as-Sindi, Muhammad Abid. Musnad al-Imam al-Azham. Pakistan: Maktabah al-
Busyro, 2010.
as-Sulami, „Iyadh ibn Nami. Ushul al-Fiqh Allazi La Yasa‟u al-Faqih Jahluhu.
Riyadh: Daar al-Tadmuriyah, 2005.
Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri‟ al-Jina‟i al-Islami. Beirut: Daar al-Katib al-Azali.
Azka, Darul dan Nailul Huda. Sulam al-Munawraq; Kajian dan Penjelasan Ilmu
Mantiq. Kediri: Santri Salaf Press, 2012.
Baba, Ahmad. Nail al-Ibtihaj Bitathriz al-Dibaj. Tripoli: Daar al-Kaatib, 2000.
Bahrudin, Moh. Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja,
2019.
Bik, Al-Khudhari. Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubro, 1969.
______________. Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami Alih Bahasa Mohammad Zuhri.
Daarul Ihya‟.
Chazawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil KORUPSI di Indonesia.
Malang: Bayumedia, 2005.
Fuad, Moh. Fahimul. “Asy-Syathibi dan Konsep Istiqra‟ Ma‟nawi”. Jurnal As-
Salam, Vol. III, No. 1, th. 2013.

64
Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2014.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung: Pustaka Setia,
2000.
Haq, Hamka. Al-Syathibi. Penerbit Erlangga, 2007.
Hosen, Ibrahim. Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam
Muhammad Wahyuni Nafis et, al., Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta:
IPHI-Paramadina, 1995.
https://mawdoo3.com (‫(صحة حديث من كذب علي متعمدا‬, diakses pada 11 April 2022
14:47 WIB
https://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/arsip/berita/item/557-mk-putuskan-
pasal-2-dan-3-uu-tipikor-harus-ada-kerugian-negara diakses pada 2
Desember 2021 02:45 am
ibn Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Beirut: Muassasah al-
Risalah, 2001.
Ibrahim, Duski. Metode penetapan Hukum Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2008.
____________. “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut al-Syathibi”. Jurnal
Al-„Adalah, Vol. XI, No. 2, 2013.
Irfan, Nurul. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2012.
Izomiddin. Pemikiran dan Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Prenamedia Group,
2018.
Jazil, Saiful. Al-Qat‟ Wa al-Zann „Inda Ibrahim Husayn. Journal Of Indonesian
Islam, Vol. 14, No. 2, 2020.
Jum‟ah, Ali. Sejarah Ushul Fiqih. Depok: Keira Publishing, 2017.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 246
Lubis, Fauziah. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Medan: Manhaji, 2020.
Ma‟luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: al-Matba‟ah al-Kasulikia, 1908.
Marbun, Rocky, dkk, Kamus Hukum Lengkap. Jakarta: Transmedia Pustaka, 2012.
Marsaid. al-Fiqh al-Jinayah. Palembang: Amanah, 2020.

65
Mas‟ud, Muhammad Khalid. Shatibi‟s Philosophy Of Islamic Law. Kanada:
McGill University, 1973.
Mu‟az, Abu. Syarh Nukhbatu al-Fikr. Riyadh: Daar al-Mughni, 2009.
Muhammad. Syajarah al-Nur al-Zakiyah Fi Thabaqat al-Malikiyah. Beirut: Daar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Munajat, Makhrus. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras, 2009.
O.S, Eddy dan Hiariej. Modul Pengantar Hukum Acara Pidana.
http://repository.ut.ac.id/4124/1/HKUM4406-M1.pdf diakses pada 14
Januari 17:32
Rahman, Thaha Abdur. Tajdid al-Manhaj fi Taqwim at-Turats. Beirut: al-Markaz
at-tsaqafi al-„Arabi.
Riyanta. “Dekonstruksi Ruang Lingkup Ijtihad”. Jurnal Sosio-Religia, Vol. 10,
No. 1, 2012.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2008.
Sofyan, Andi dan Nur Azisa. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016.
Suyanto. Pengantar Hukum Pidana. Yogyakarta: Depublish, 2018.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana, 2011.
Takdir. Mengenal Hukum Pidana. Laskar Perubahan, 2013.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Usman, M. Rekonstruksi Teori Hukum Islam. Bantul: PT. LkiS Printing
Cemerlang, 2015.
Wiyono. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Yaqub, Aly Mustafa. al-Thuruq al-Shahihah Fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2016.

66

Anda mungkin juga menyukai