Anda di halaman 1dari 89

DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP

DESA DAN KELURAHAN


(Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang
Kedaulatan Rakyat)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Setyo Nugroho
1110048000024

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
|
- "tF

DEMOKRASI DAI\I TATA PEMERINTA}IAN DALAM KONSEP


DESA DAN KELURAHAN
(Analisis Yuridis Pasal I Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang

Kedaulatan Ralryat)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Setvo Nueroho
1110048000024

195403031976111

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAI\I NEGARA


PROGRAM STUDI ILMU IIUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAI{ HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF' HIDAYATULLAII
JAKARTA
1435 rV2014 M
F='

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi ini berjudul DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP


DBSA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal I ayat (2) UUDNRI 1945 tentang
Kedaulatan Rakyat), telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 05 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu,
yaitu Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilrnu Hukum dengan Konsentrasi Hukum
Kelembagaan Negara.

Jakarta, 05 Mei 2014

ngesahkan

Fakultas Syariah dan Hukunr

196808121999031014

PANITIA UJIAN

Ketua Dr. Djawahir Heiazziey. S.H.. M.A.


NrP. I 95003061 97603 r 00r
Sekretaris Drs. Abu Tarnrin. S.H.. M.HLrm.
NrP. I 96509081 99503 100r
Pembimbing Prof. Dr. H. A. Salrnari Masealatune. S.H.. M.H.

NrP. re540303 r976 t r t00l


Penguji I Drvi PutriCahyawati. S.H.. M,H.

Penguji II Nur Habibi. SH.l.. M.H.


NIP. I 97608r 7200912100s
LEMBAR PERNYATAAI\

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

l. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah I akarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif


Hidayatullah Jakarta.
3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jekerte,.?4 Apnl2014

1 I 10048000024
ABSTRAK

SETYO NUGROHO. NIM: 1110048000024. DEMOKRASI DAN TATA


PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN KELURAHAN (Analisis
Yuridis Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H /
2014 M. + 73 halaman + lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelenggaraan pemerintahan
pada tingkat desa dan kelurahan sebagai organisasi pemerintahan terendah di dalam
Negara Kesatuan Republik Indoensia. Hal ini terkait dengan penerapan asas
kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945.
Dampak penerapan asas tersebut terlihat pada bentuk sistem pemerintahan yang
diterapkan di Indonesia, yaitu sistem pemerintahan demokrasi diseluruh tatanan
pemerintahan, mulai dari tingkat pusat sampai dengan daerah, dari yang tertinggi,
hingga yang terendah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
mengedepankan pendekatan perundang-undangan, yaitu menggali data dan mencari
sumber informasi melalui undang-undang. Selain itu, data dari penelitian ini juga
diperoleh melalui data yang sudah terkondifikasi dalam bentuk buku, jurnal, maupun
artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa desa merupakan suatu bentuk
pemerintahan yang demokratis, baik secara undang-undang maupun sistem
kemasyarakatan berdasarkan adat istiadat yang hidup di masyarakat. Sementara itu,
kelurahan merupakan tatanan pemerintahan yang bersifat administratif yang tidak
mencerminkan penerapan sistem demokrasi berdasarkan asas kedaulatan rakyat yang
diterapkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Kata kunci: Kedaulatan, Demokrasi, Pemerintahan Desa dan Kelurahan,
Pemerintahan Adat.
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1987 s.d. Tahun 2014

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,
nikmat serta anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP

DESA DAN KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 ayat (2) UUDNRI


1945 tentang Kedaulatan Rakyat)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan
kepada junjungan alam semesta Nabi Muuhammad SAW, yang telah membawa umat
manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Untuk dapat terselesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak

mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang

terhormat :

1. Dr. H. J. M. Muslimin, M. A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawihir Hejazziey, S.H., M.A., ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.

Abu Tamrin, S.H., M.Hum., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., selaku pembimbing yang telah

memberikan waktu dan buah pikirannya untuk membimbing penulis dalam

proses hingga terselesaikannya dengan baik penelitian ini.

iii
4. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidataullah

Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff

Perpustakaan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk

mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat

bermanfaat dan menjadi keberkahakan bagi penulis dan semoga Allah SWT

senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini

sebagai amal ibadah untuk beliau semua. Serta Kepada Bapak Nur Rohim Yunus

LL.M., Bapak Nur Habibi Ihya, S.HI., M.H., yang telah senantiasa membantu

penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini bahkan sebelum karya ini terbentuk.

6. Kedua orang tua tercinta, terhormat, tersayang, malaikat tuhan yang menjaga

segumpal darah kecil yang terus tumbuh, mendedikasikan sepenuh hidupnya

untuk penulis, semua ilmu dan pengalaman dan ajaran-ajaran tentang kehidupan

yang menjadikan penulis jauh lebih baik, yaitu ayahanda tercinta, Drs. Sahidin

dan Ibunda Siti Maesuri, S.Sos,. Karya ini tak lepas dari pengajaran mereka

sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Begitu juga untuk masku, Kurnianto S.

L., S.E., dan Surianto S. L., S.T., dedikasi lebih dari hubungan kakak dan adik,

dan adik tercinta, Hardjanto Dwi Nugroho, yang selalu menemani dengan canda

gurau dan teman diskusi yang menyenangkan, doa kakak untuk keberhasilanmu

kelak. Terimakasih atas kepercayaan, keikhlasan serta kasih sayang kalian.

iv
7. Kekasih tercinta, pendamping hati dan belahan jiwa, adinda Nur Azan Ningsih,

A.M.Keb., doa hati dalam tinta abadi, Amin.

8. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2010 kelas A. Seluruh keluarga

besar Ilmu Hukum konsentrasi Kelembagaan Negara angkatan 2010 yang tidak

bisa disebutkan satu persatu, bukan sekedar kisah, tetapi suka duka dalam

pengabdian tentang ilmu dan persahabatan.

9. Keluarga besar R. Kramalaksmana, khususnya untuk garis eyang dularis

(ayahanda dari ayah), pakde slipi (pakde Eko), pakde sunter (alm. pakde Bagio),

dan keluarga lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10. Keluarga besar kakek, alm. Alwi Ismail (ayahanda dari ibu) yang tidak bisa

disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis

dan umumnya bagi pembaca. Sekianterimakasih.

Wassalamu’alaikumWr. Wb.

Jakarta, 24 April 2014

Setyo Nugroho

v
FI

DAF"TAR ISI

BAB II
--l-E

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DESA DAN

KELURAI{AN.....,... .........43

A. Desa-......... .-....-..43

B. Pernerintahan Desa...-. .....-..48

C. Pernerintahan Kelurahan...........-.. ........52

BAB IV DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM

KONSEP DESA DAN KELURAHAN......... .........54

A. Analisa Konsep Desa dan Kelurahan Sebagai daerah

Otonom.... .-.------54

B. Analisa Konsep Desa dan Kelurahan Berdasarkan Pasal I ayat

(2) UUDNRI 1 945 Tentang Kedaulatan Rakyat.............-.59

BAB V PENUTUP .........68

A. Simpulan.. ..................68

B. Saran.......-

DAFTAR PUSTAKA .............7A

LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN

1. UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA


2. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG
KELURAHAN

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat

hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang

kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak

kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.1 Pada

kenyataan manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga

derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya.

Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk

menjalankan organisasi sosial tersebut.2 Kekuasaan dalam suatu organisasi,

dapat diperoleh berdasarkan legitimasi, religius, ideolgis eliter dan legitimasi

pragmatis. 3 Hanya saja legitimasi-legitimasi tersebut, cenderung mengarah

pada kekuasaan yang absolut karena kewenangan yang dimiliki yang

menjadikan ketiga legitimasi tersebut menjadi kekuasaan yang otoriter.4

Pada tahap berikutnya, yang menjadi masalah mendasar yang

menetukan bangunan suatu organisasi bahkan sebuah negara adalah konsep


1
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
2
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, artikel diakses pada 05 Aguatus
2013 dari http://jimly.com/makalah/namafile/2/DEMOKRASI_DAN_HAK_ASASI_
MANUSIA.doc. h. 2.
3
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 30-66.
4
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi..., h. 2.

1
2

kedaulatan yang dianut. Kedaulatan merupakan konsepsi yang berkaitan

dengan kekuasaan tertinggi dalam organisasi negara. Kekuasaan tertinggi

tersebut, biasanya dipahami sebagai sesuatu yang abstrak, tunggal, utuh, dan

tak terbagi, serta tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi.5

Kedaulatan inilah yang kemudian menjadikan segala tindakan dan

perilaku negara mendapatkan legitimasinya sehingga dapat dilakukan dan

dilaksanakan sebagaimana seharusnya atas apa yang telah direncanakan untuk

kemudian menjadi bagian dari pelaksanaan kekuasaan negara. Karena hak-

hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara

individual.6

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme

kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.

Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang

kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori

kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai

oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.7

Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang tujuan bersama,

hak-hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian

tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-

batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai

5
Jenedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional-Praktek Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945. cet.I, (Jakarta: Konstitusi Press, Oktober 2012), h. 3.
6
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi..., h. 2.
7
Ibid. h. 2.
3

hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang

kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara.

Berkenaan dengan hal tersebut, hukum yang diterapkan dan ditegaskan

harus mencerminkan kehendak rakyat, sehingga menjamin adanya peran serta

warga negara dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Hukum tidak

dibuat untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa,

melainkan untuk menjamin kepentingan segenap warga negara.8

Pemberian kewenangan kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang

lebih rendah dan lebih kecil merupakan kebutuhan mutlak dan tidak dapat

dihindari.9 Dibuktikan dengan berakhirnya sistem sentralistik dan mengarah

kepada sistem pemerintahan yang desentralistik dengan memberikan

keleluasaan pada daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas dan

bertanggung jawab.

Otonomi Daerah, adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdsarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.10 Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan daerah, yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah

hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

8
Jenedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional-Praktek Ketatanegaraan Indonesia..., h. 8.
9
Syaukani, H.R., Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan, cet.III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 21.
10
H.A.W. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Cet.II, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 76.
4

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Otonomi Daerah memilki daerah yang mempunyai hak otonom, atau

biasa disebut dengan daerah otonom. Daerah otonom sebagai kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.11

Salah satu bentuk daerah otonom tersebut di atas yang juga menjadi

suatu kekhasan bangsa Indonesia terletak pada keaneka ragaman adat istiadat,

bahasa, pakaian, dan sebagainya. Sehingga kata “bhineka” dalam Bhineka

Tunggal Ika adalah suatu perlambangan terhadap kenaeka ragaman tersebut.

Dan itu pulalah sebabnya, dalam kenyataan terdapat pula keaneka ragaman

dalam kesatuan masyarakat yang terendah. Kesatuan masyarakat yang

dimaksud adalah desa.12

Masalah desa menjadi perhatian, hanya karena beraneka ragam istilah

yang dipergunakan, berbeda isi dan susunan masyarakatnya. Sementara itu,

kelurahan juga muncu sebagai pemerintahan terendah bersama dengan

pemerinthan desa. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka

penulis tertarik untuk mengajukan suatu tema, yaitu “DEMOKRASI DAN

TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA DAN

11
Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
12
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
cet.VIII, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti, 1988), h. 284.
5

KELURAHAN (Analisis Yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUDNRI 1945 Tentang

Kedaulatan Rakyat)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang tercakup dalam judul di atas

dan keterbatasan peneliti terakait penelitian yang akan dilakukan, maka

penelitian ini hanya difokuskan kepada penerapan dari proses

demokrasi dalam tatanan pemerintahan desa dan kelurahan berdasarkan

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 tentang kedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat, sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut

menandakan suatu pola demokrasi dalam penerapan dan pengelolaan

negara dan pemerintahan di Indonesia terkait di dalamnya dengan status

desa sebagai suatu bagian dari daerah yang otonom yang dapat

melakukan pengelolaan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat lokal setempat.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pemikiran dan pembatasan masalah di

atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

a. Apakah desa dan kelurahan merupakan bentuk tatanan

pemerintahan yang demokratis?

b. Bagaimana perbedaan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan

dalam proses demokratisasi?


6

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan suatu anggapan sementara yang masih harus di

buktikan kebenarannya. Maka berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis

mengemukakan hipotesis sebagai berikut:

1. Bahwa desa merupakan suatu tatanan pemerintahan yang demokratis

sementara kelurahan merupakan tatanan pemerintahan yang tidak

demokratis.

2. Terdapat perbedaan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan dalam

proses demokratisasi.

D. Tujuan dan ManfaatPenelitian

1. Tujuan Penelitian

a) Menjelaskan tentang tatanan pemerintahan desa sebagai suatu bentuk

penerapan tatanan pemerintahan yang demokratis berdasarkan pada

asas kedaulatan rakyat.

b) Menjelaskan perbandingan tatanan pemerintahan desa dan kelurahan

sebagai bagian dari penerapan dan tata kelola pemerintahan yang

demokratis berdasarkan pada asas kedaulatan rakyat

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memperkaya kazanah keilmuan

terutama dibidang ilmu hukum, khususnya hukum kelebagaan

negara. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-

masukan bagi para pihak di berbagai bidang, terutama terkait


7

masalah penanganan desa kedepannya dan masyarakat pada umunya

terkait dengan permasalahan yang dibahas di dalam peneltian ini.

b. Manfaat praktis, diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi

teman mahasiswa, bagi para praktisi, penegak hukum, pembuat

peraturan di kalangan pemerintahan berkenaan dengan permasalahan

terkait dengan pemerintahan desa dan kelurahan kedepannya.

E. Metode Penelitian

Menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini,

digunakan suatu metode penelitian dengan pemaparan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksplanatoris, dimana penelitian ini

dimaksudkan untuk melihat, mengkaji sejauh mana peraturan perundang-

undangan yang berlaku yang diterapkan oleh pemerintah, baik pusat

maupun daerah dengan kewenangannya kepada warga negara menjamin

setiap hak-hak warga negara yang masih memegang teguh kearifan lokal

atau adat istiadat setempat.

Melihat sejauh mana kecondongan pemerintah dalam menetapkan

peraturan akan kebijakan dari berbagai bidang dengan atau tanpa

memperhatikan masyarakat adat setempat yang hidup sebagai satu

kesatuan masyarakat adat ataupun “lokal” dalam naungan suatu

pemerintahan desa yang terkena dampak dari penerapan kebijakan

tersebut. Yang tentunya kemudian mencapai suatu pelaksanaan yang

ideal dari pemerintahan desa di Indonesia.


8

2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah

menggunakan gabungan dari beberapa pendekatan, yaitu:

Pertama pendekatan perundang-udangan. Dimana di dalam

penelitian ini, tentulah peneliti melihat sejauh mana perrundang-udangan

atau kebijakan-kebijakan terkait memenuhi aspek kemasyarakat atau

tidak terhadap komunitas lokal masyarakatnya.

Kedua, pendekatan perbandingan. Dimana dalam hal ini, peneliti

membandingkan dua mekanisme konsep penerapan pemerintahan

terendah di Indonesia antara pemerintahan desa dan kelurahan yang

keduanya sama-sama diakui oleh negara. Perbandingan itu ditekankan

pada penerapan demokrasi berdasarkan asas kedaulatan rakyat

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945 sebagai

wujud pemerintahan rakyat.

3. Teknik Pengumpulan Data:

a. Bahan Hukum Primer, diantaranya:

Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945,

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan,

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang

Pedoman Administrasi Kelurahan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara


9

b. Bahan Hukum Sekunder, diantaranya:

Buku mengenai otonomi daerah, buku mengenai ekologi

pemerintahan, buku mengenai Antropologi Hukum Di Indonesia,

buku mengenai Persepktif Baru Antropolgi Pedesaan.

4. Pengolahan dan Teknik Analisis Data

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum

yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk

mendapatkan penjelasan yang sistematis.

Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik

kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke

permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan hukum itu

diolah dan diuraikan kemudian Penulis menganalisisnya (melakukan

penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan

dalam rumusan masalah

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman

Penulisan skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Review Terdahulu

Kajian mengenai desa sebagai salah satu bentuk daerah yang khas dan

memilki sifat otonom menjadi suatu bahan perbincangan yang hangat di

kalangan akademisi hukum, khususnya hukum ketatanegaran. Hal senada


10

terkait dengan eksistensi pemerintahan desa yang dianggap sebagai cikal

bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai karya ilmiah dan

tulisan baik berupa jurnal, buku, maupun tulisan-tulisan lainnya banyak yang

telah membahas terkait kedua hal ini.

Mengenai penelitian yang mengkolaborasikan antara tata pemerintahan

desa dengan penerapan konsep demokrasi dan perbandingannya dengan

pemerintahan kelurahan dengan desain yang dikatakan lebih modern, sejauh

penelusuran penulis belum pernah ada yang melakukan penerlitian terkait

dengan hal tersebut. Sehingga untuk memposisikan skripsi ini kiranya perlu

memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya agar kemungkinan terjadinya

pengulangan penelitian dapat dihindari.

1. Tesis

Tesis tentang “Eksistensi Kebijakan Daerah Yang Demokratis

Dalam Sistem Pemerintahan Yang Bersih Bebas Dari Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme”, ditulis oleh Salamat Simanjuntak dari Program

Magister Hukum Universitas Gajah Mada pada tahun 2003.

Hasil dari tesis ini menjelaskan tentang pengaruh kebijakan

daerah dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi,

kolusi dan nepotisme (clean governance), dimana kebijakan daerah

merupakan instrumen penting untuk mewujudkan Clean Governance

dalam praktek dan penerapan pemerintahan yang demokratis. Penelitian

ini dibahas secara umum tidak terfokus pada daerah otonom tertentu,

terutama berkenan dengan penerapan pemerintahan lokal desa


11

dankelurahan, sementara penelitian penulis terfokus pada tingkatan

daerah otonom tertentu yaitu tatanan pemerintahan desa dan kelurahan.

2. Buku

Buku yang berjudul “REPUBLIK DESA-PERGULATAN

HUKUM TRADISIONAL DAN HUKUM MODERN DALAM

DESAIN OTONOMI DESA”, ditulis oleh Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin,

S.H., dan Dr. Suprin Na’a, S.H., M.H., yang diterbitkan oleh penerbit

Alumni, Bandung, pada tahun 2010.

Buku ini menjelaskan tentang pronlematika yang terjadi di dalam

tatanan pemerintahan desa itu sendiri, dalam suatu lingkup sejarah yang

panjang, mulai dari jaman kerajaan hingga reformasi, berkenaan pula

dengan hal apa dan bagaimana hukum adat hidup, tumbuh dan

berkembang dalam tatanan kehidupan masyarakat, dan pembahasan

tentang pemerintahan desa yang dulu sempat diundangkan di dalam

perundang-undangan tersendiri, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dijelaskan secara umum

dalam buku ini.

Sementara itu, penelitian ini merujuk pada suatu pertanyaan

terkait penerapan demokrasi berdasarkan implementasi kedaulatan rakyat

yang tercantum di dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu pada Pasal 1

ayat (2) UUDNRI 1945 dan aplikasinya dalam peraturan perundang-

undangan yang kemudian apakah semua regulasi dan penerapan tersebut

dapat menjawab pertanyaan apakah desa dan kelurahan merupakan


12

tatanan pemerintahan yang demokratis dalam sistem ketatanegaran

Republik Indonesia. Dan perbandingan pada penerapan pemerintahan

kelurahan yang dianggap sebagai suatu tatanan pemerintahan lokal yang

lebih modern.

G. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Menurut H. Krabbe (1857-1936) yang menjadi sumber hukum itu

adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa

hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, masih bersifat

primitif, atau yang tingkatannya masih rendah disebut insting hukum.

sedang dalam bentuknya yang lebih luar atau dalam tingkatnya yang

lebih tinggi disebut kesadaran hukum.13

Krabbe dalam banyak hal dipengaruhi oleh mahzab historis yang

di pelopori oleh seorang F.C.Von Savigny (1779-1961). Von Savigny

mengatakan, bahwa hukum itu harus tumbuh di dalam masyrakat itu

sendiri, berdasarkan kesadaran hukum yang terdapat di dalam masyarakat

itu sendiri, maka tidak mengherankan bahwa aliran ini menolak

kondifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon, karena pada dasarnya,

hukum tersebut berasal dari romawi.14

Selain itu, Von Savigny melalui mazhab historisnya menekankan

pada hukum sebagai pencerminan dari jiwa rakyat yang dinamakan

volkgeist, dimana hukum itu tumbuh bersama-sama dengan kekuatan dari


13
Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 156.
14
Ibid.
13

rakyat, dan pada akhirnya bangsa itu mati bersama dengan hilangnya

kebangsaan. jadi bagi aliran ini, hukum itu tidak dibuat melainakn

ditemukan didalam masyarakat sebagai implementasi jiwa rakyat.15

Hukum juga tidak mempunyai daya laku dan penerapan yang

universal. Bahwa manusia di dunia ini terdapat beraneka ragam bangsa

dan tiap-tiap bangsa mempunyai semangat bangsanya sendiri atau jiwa

rakyat. Jiwa-jiwa itu berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat.

Pencerminan dari jiwa yang berbeda-beda itu pada kebudayaan atau adat

istiadat dari bangsa-bangsa yang berbeda tadi.16

Menurut Kranenburg (1880-1956), bahwa pemerintah tidak dapat

membuat hukum atas kehendaknya sendiri, bahwa harus diperhatikan

rasa hukum atau kesadaran hukum yang ada dimasyarakat. Perbedaan

nilai hukum dapat menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat

akibat adanya rasa hukum atau kesadaran hukum di dalam masyarakat itu

sendiri. Perbedaan tersebut memungkinkan reaksi yang ditimbulkan

terhadap pembentukan hukum tersebut menjadi lamban dan ini kemudian

dapat melemahkan kekuasaan pemerintah.17

Kedaulatan sebagai legitimasi kekuasaan pemerintah dalam

membuat suatu sistem nilai bagi kehidupan masyarakat pada dasarnya

didasar atas apa yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi kekuasaan

15
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Juni 2012), h. 114.
16
A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik hukum Indonesia
(Perspektif Hukum Islam), cet.I, (Jakarta: Focus Grahamedia, September 2012), h. 18.
17
Soehino, Ilmu..., h. 158.
14

pemerintah, adalah bagaimana kekuasaan itu dapat diterima oleh

masyarakat.18

Pemikiran tersebut dikembangkan oleh Johannes Althusius (1563-

1638), dimana dia tidak lagi menitik beratkan kekuasaan raja sebagai

kehendak tuhan seperti yang terjadi pada abad pertengahan melalui teori-

teori yang diperlopori oleh diantaranya, Augustinus dan Thomas

Aquinas. Althusius berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah berasal

dari rakyat yang diperolehnya dari hukum yang tidak tertulis atau hukum

kodrat. Antara rakyat dengan raja membuat perjanjian yang disebut

dengan perjanjian penundukan.19

Sementara itu, Eugen Ehrlich (1862-1922) menyatakan bahwa

hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup

di masyarakat. Teori ini sangat menekankan pentingya living law. Ehrlich

berpangkal pada perbedaan antara hukum positif dan hukum yang hidup

(living law) dalam masyarakat. Dia menyatakan, bahwa hukum positif

hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di dalam

masyarakat.20

Senada dengan Ehrlich, Lawrence Meiere Friedman memiliki

sebuah perumpamaan, “without legal culture, the legal system is inert-

adead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”

Hukum di negara ini niscaya tak berdaya, ibarat ikan mati, jika tak

18
Ibid. h. 159.
19
Ibid.
20
A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959..., h. 19.
15

disokong oleh budaya hukum bangsa sendiri. Friedman memasukan

kultur hukum dalam teori sistem hukumnya, yaitu: (1) struktur

(structure), (2) substansial (substance), dan (3) kultur (legal culture).21

Struktur yaitu kelembagaan yang diciptaan oleh suatu sistem

hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka bekerjanya

sistem hukum tersebut. Subtansi adalah output dari sistem hukum, yaitu

norma-norma hukum berupa peraturan-peraturan, doktrin-doktrin,

keputusan-keputusan sejauh itu digunakan oleh pihak yang negatur dan

yang diatur. Kultur adalah seperangkat nilai dan sikap yang berkaitan

dengan hukum, yang akan menetukan kapan, mengapa, dan dimana

rakyat datang kepada hukum atau pemerintah atau menghindari

keduanya.22

Jiwa rakyat (volgeist) sebagaimana pendapat Von Savigny dan

hukum yang hidup di masyarakat (living law) sebagaimana pendapat

Eugen Ehrlich, berkembang di Indonesia melalui bentuk pemerintahan

desa yang kental dengan nilai tradisional dan adat-istiadat masyarakat

setempat. Hal ini diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundang-

undangan, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan

wujud implementasi pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat di

21
Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, cet.I, (T.t.t,
Jurisprudance Press, Desember 2012), h. 5.
22
Ibid. h. 6.
16

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana ditegaskan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194523

sebagai hukum dasar bagi peraturan perundang-undangan di Indonesia.24

2. Kerangka Konseptual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah desa diartikan

sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang

mempunyai sistem pemerintahan sendiri (diketuai oleh kepala desa). 25

Sementara itu, dalam Black’s Laws Dictionary, istilah desa (village)

diartikan sebagai “a modest assembage of houses and building for

dwellings and bussinesses. In some state, a manicipal corporation with a

smaller population than a city”.26

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa menyebutkan bahwa, desa adalah desa dan desa adat dengan nama

lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan

23
Pasal 18B ayat 2 UUDNRI 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur di dalam
undang-undang.”
24
Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
25
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
ke-empat, cet.I. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 318.
26
Brian A. Garner, Ed., Black’s Laws Dictionary, cet.XI, (USA: Thomson Bussiness,
2004), h. 1599.
17

dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Sementara itu, Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa, daerah otonom

yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kelurahan, menurut Pasal 1 ayat (5) diartikan sebagai, “wilayah

kerja lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah

kerja Kecamatan.” Hanif Nurcolis menambahkan, bahwa Kelurahan

adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang

mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat,

yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.27

Terkait dengan kedaulatan rakyat, Rousseau menjelaskan

kedaulatan rakyat sebagai suatu mekanisme dimana setiap masalah yang

dihadapi, maka penyelesaiaannya harus dilakukan melalui kehendak

bersama. Melalui sebuah perjanjian yang dibentuk oleh masyarakat,

maka ditetapkanlah sutau bentuk kesatuan yang membela dan melindungi

kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap

27
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, cet.XIV,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 1
18

orang. Setiap orang tetap mematuhi drinya sendiri, sehingga orang tetap

bebas dan merdeka seperti sediakala.28

Sri Soemantri mengutip pendapat E. Barker (1894-1983)

mengatakan, 29 demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian

diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sementara itu, Joseph A. Schumpeter (1883-1950) mengatakan bahwa

demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai

keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan

untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.30

H. Sistematika Penulisan

Dalam rangka mempermudah penyajian dan penulisan dari skripsi ini,

maka penulis melakukan pembagian ke dalam lima bab dengan sistematika

atau susunan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, batasan

masalah, rumusan masalah, hipotesa penelitian, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, kerangka teori dan

konseptual, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KEDAULATAN,

DEMOKRASI, DAN DAERAH OTONOM

28
Soehino, Ilmu..., h. 119.
29
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, cet.I. (T.t.t,
Prestasi Pustakaraya, 2010), h. 170-171.
30
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan,
cet.II, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, September 2001), h. 5.
19

Bab ini membahas tetang penjelasan mengenai otonomi, bentuk

penerapan dari otonomi itu sendiri dalam sistem pemerintahan

nasional, serta implementasi penerapan demokrasi dalam

kehidupan bermasyarakat.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DESA DAN KELURAHAN

Bab ini membahas tentang desa dan kelurahan, perkembangan dan

penerapan pemerintahan desa dan kelurahan di indonesia serta

perbandingan penerapan pemerintahan desa dan kelurahan.

BAB IV DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM

KONSEP DESA DAN KELURAHAN

Bab ini membahas analisa tentang pemerintahan desa dan

kelurahan dipandang dari aspek demokrasi menurut asas

kedaulatan rakyar berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan

saran bagi permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini.


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KEDAULATAN, DEMOKRASI,

DAN DAERAH OTONOM

A. Kedaulautan Negara

Negara berasal dari bahasa latin, status atau statum yang berarti

keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat tetap atau

tegak. 1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata negara di padankan

dengan kata nagari (negari), yang diartikan sebagai wilayah atau sekumpulan

kampung yang dipimpin (di kepalai) oleh seorang penghulu. Wilayah ini

sering disebut juga dengan wilayah distrik.2

Miriam Budiardjo (1923-2007) mengartikan negara sebagai organisasi

dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati

oleh rakyatnya. Negara mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-

hubungan manusia dalam masyarakat, menertibkan gejala-gejala kekuasaan

di dalam masyarakat, memaksakan kekuasaannya terhadap semua golongan

kekuasaan lainnya, dan menetapkan tujuan dari kehidupan bersama.3

Sementara itu, Jean Bodin (1530–1596) mengatakan bahwa, negara

adalah kesatuan dari keluarga yang berbeda, awalnya hanya ada satu

keluarga, kemudian keluarga lain datang untuk berkumpul dan bersama

1
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, cet.I,
(Bandung: Fajar Media, Agustus 2013), h. 25.
2
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
ke-empat, cet.I., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 948 & 957.
3
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi, Cet.IV, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2010), h. 17, 48 & 49.

20
21

membentuk negara yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang

berdaulat. Sehingga bersama-sama mereka dapat mempertahankan diri

dengan baik. Maka, keluarga merupakan asal dari negara, baik secara akal

maupun sejarah.4

Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya

suatu negara adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Suatu

komunitas tidak akan dianggap sebagai negara bila tidak memilki kedaulatan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kedaulatan berasal dari kata daulat yang

memiliki arti mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara

atau daerah.5

Kedaulatan berasal dari kata sovereignty (Inggris), souverainete

(Prancis), sovranus (Italia). Kata-kata tersebut berasal dari bahasa latin

superanus yang berarti yang tertinggi (supreme). Dalam ilmu politik modern,

kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan mutlak yang tidak dapat diganggu

gugat untuk memakasakan kehendak kepada rakyat dan rakyat harus

mematuhinya.6

Pada awalnya kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang

bersifat mutlak, karena tidak ada kekuasaan lain yang mengatasinya

(superlatif), kemudian dengan timbulnya hubungan antar bangsa dan negara,

maka kedaulatan dibatasi dengan adanya perjanjian internasional yang

4
Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 78.
5
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar..., h. 298.
6
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, cet.IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2012), h.
169.
22

membatasi kedaulatan negara ke luar. Sementara kedaulatan ke dalam

dibatasi oleh hukum positif.7

Di bawah ini, penulis mengemukakan beberapa bentuk-bentuk

kedaulatan:

1. Kedaulatan Tuhan

Yaitu kedaulatan yang menerangkan bahwa kekuasaan tertinggi

berada pada Tuhan.8 Teori ini muncul pada abad pertengahan (abad V-

XV) yang berkaitan erat dengan perkembangan agama katolik yang

diorganisir oleh gereja. Sehingga muncul dualisme pemerintahan dalam

negara, yaitu pemerintahan oleh negara melalu pemerintah, dan

pemerintahan oleh gereja.9

Ada tiga pakar yang menganut teori ini, yaitu; Augustinus,

Thomas Aquinas, dan Marsilius. Ketiganya sepakat bahwa kedaulatan itu

berada pada Tuhan. Namun perdebatan muncul diantara ketiganya

mengenai siapakah yang akan mewakili tuhan di dunia ini, raja ataukah

paus, karena hakikatnya sudah disetujui bahwa kekuasaan tertinggi

negara oleh ketiga ahli tersebut adalah tuhan.10

Augustinus (354-430 SM) berpendapat bahwa, paus adalah yang

berhak mewakili Tuhan di dunia ini, baik itu dalam pelaksanaan negara

ataupun keagamaan. Thomas Aquinas (1225-1274) berpendapat bahwa,

7
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.VII, (Jakarta: Graha Media
Pratama, September 2008), h. 122.
8
Ibid., h. 123.
9
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 187.
10
Soehino, Ilmu..., h. 153.
23

kedudukan raja dan paus adalah sama, yang membedakan keduanya

adalah kedudukan kewenangannya dalam memerintah. Marsilius (1270-

1340), berpendapat bahwa wakil pelaksana dari kedaulatan Tuhan adalah

raja.11

2. Kedaulatan Raja

Yaitu kedaulatan yang berada sepenuhnya di tangan raja sebagai

wakil Tuhan di dunia. Hal ini yang mendasari kehendak mutlak oleh raja

karena anggapan kehendak raja adalah kehendak Tuhan yang

bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, bukan kepada masyarakat

yang dipimpinnya. 12 Kedaulatan ini berkembang melalui pemikiran

Marsilius.13

Menurut Marsilius, negara berkembang tidak semata karena

kehendak Tuhan, tapi karena perjanjian dari orang-orang yang hidup

bersama. Melalu perjanjian ini, rakyat melegitimasi seseorang sebagai

penguasa, dimana raja diberikan kewenangan untuk mengatur kehidupan

bersama, menjaga perdamaian, dan rakyat tunduk kepadanya.14

Bentuk penundukan rakyat terhadap penguasa (factum

subjectiones) dibedakan kedalam dua macam. Pertama, concessio, yaitu

11
Ibid.
12
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 188.
13
Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 178.
14
Soehino, Ilmu..., h. 64-67.
24

rakyat tunduk kepada penguasa dalam menjalankan kekuasaannya

sebagai pelaksana pemerintahan (eksekutif).15

Kedua, Translatio, yaitu rakyat yang tunduk secara mutlak

kepada raja yang mereka pilih. Penguasa atau raja memiliki kekuasaan

dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan dalam menentukan

peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan dalam masyarakat.

Maka, raja tidak hanya bertindak sebagai eksekutif, tetapi juga pembuat

undang-undang (legislatif).16

Pada zaman rainessance, teori ini berkembang melalui pemikiran

Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya Il Principe.

Menurutnya, raja harus memiliki sifat sebagai serigala dan singa. Sebagai

serigala, ia dapat mengetahui dan membongkar rahasia yang dapat

menjatuhkan kekuasaannya. Maka, raja dapat bersikap licik demi

mempertahankan kekuasaannya. Sebagai singa, raja dapat menaklukan

binatang-binatang lainnya.17

Menurutnya, hukum dan kekuasaan adalah sama, karena pemilik

kekuasaan adalah pemilik hukum, begitupun sebaliknya, yang tidak

memiliki kekuasaan, maka tidak memiliki hukum.18 Maka, raja sebagai

wakil Tuhan memegang kedaulatan di dunia. Raja berkuasa secara

absolut dalam melakukan apa yang dikehendakinya, karena kehendak

15
Ibid., h. 65.
16
Ibid.
17
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 74-75.
18
Soehino, Ilmu..., h. 73.
25

raja adalah apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam mencapai tujuan

negara.19

3. Kedaulatan Negara

Kedaulatan negara dapat di artikan sebagai kehendak negara

dalam kewenangannya mengatur urusannya sendiri tanpa adanya

intervensi atau campur tangan pihak lain, baik dari dalam maupun dari

luar negara. 20 Negara melalui pemerintah berdaulat untuk memimpin

setelah mendapatkan legitimasi dari rakyat untuk memimpin, kemudian

menggunakan kekuasaannya untuk mengatur masyarakat dan hubungan

antar negara.21

Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus

tunduk kepada negara, menjadikan negara sebagai suatu kebutuhan yang

menciptakan peraturan hukum. Adanya hukum itu karena adanya negara,

tiada satupun hukum yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara.

Penganut teori ini adalah Jean Bodin dan George Jellinek.22

George Jellinek (1919-2010) menyatakan bahwa, hukum itu

adalah merupakan penjelmaan dari kehendak atau kemauan negara.

Negara menciptakan hukum, maka negara sebagai satu-satunya sumber

hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi atau

19
Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 178.
20
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 188.
21
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 127.
22
Soehino, Ilmu..., h. 154
26

kedaulatan. Di luar negara, tidak ada satupun yang berhak menetapkan

aturan hukum.23

Sementara itu, Jean Bodin sependapat dengan Jellinek, bahwa

negara merupakan satu-satunya pemilik kedaulatan dan pemegang penuh

kekuasaan terhadap pembentukan hukum. Kedaulatan merupakan

kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum yang memiliki sifat tunggal,

asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi.24

Tunggal berarti hanya negaralah yang memiliki kewenangan

untuk membuat aturan hukum. Asli berarti kekuasaan tersebut tidak

diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Abadi berarti negara

mempunyai kedaulatan dalam wujudnya yang abadi. Tidak dapat dibagi-

bagi artinya kedaulatan itu tidak dapat dipindahkan kepada orang atau

badan lain, baik sebagian atau seluruhnya.25

4. Kedaulatan Rakyat

Kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang menggambarkan

suatu sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki


26
kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Ajaran ini memberi

kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau disebut juga dengan pemerintahan

dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.27

23
Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 182.
24
Soehino, Ilmu..., h. 78-79.
25
Ibid.
26
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 191.
27
Soehino, Ilmu..., h. 124
27

John Locke (1632-1704) menyatakan bahwa negara memiliki

kekuasaan terhadap rakyat karena rakyat memberikan kewenangan untuk

berkuasa atas mereka, namun kekuasaan yang dimiliki negara memiliki

batas-batas tertentu. Batas-batas tersebut adalah hak yang melekat pada

diri manusia ketika ia lahir, yaitu hak atas kehidupan, kemerdekaan, dan

milik pribadi. Negara tidak dapat mengambil atau mengurangi hak-hak

tersebut.28

Menurut Locke, negara diciptakan karena suatu perjanjian

kemasyarakatan antar rakyat. Tujuannya adalah melindungi hak-hak

yang dimiliki oleh manusia sejak lahir tersebut (hak atas kehidupan,

kemerdekaan, dan milik pribadi), terhadap bahaya dari dalam maupun

dari luar. Locke menjelaskan, rakyat sesungguhnya tidak menyerahkan

sepenuhnya kedaulatannya kepada negara.29

Sementara itu, J.J. Rousseau (1712-1778) melalui ajaran kontrak

sosialnya mengemukakan dua hal pokok mengenai kedaulatan rakyat.

Pertama, adanya penyerahan kehendak seluruhnya dari rakyat dalam

pembentukan negara (Volente the Tous). Kedua, adanya penyerahan

sebagian kehendak oleh masyarakat kepada negara dalam pelaksanaan

kekuasaan negara (Volente the Generale).30

Volente the Tous merupakan bentuk penyatuan kehendak dari

masyarakat untuk menyatukan diri dalam suatu wadah organisasi yang

28
Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 188.
29
Ibid., h. 189.
30
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 124.
28

disebut dengan negara. Perjanjian ini dibuat dalam rangka pernyataan

kehendak tersebut sehingga masyarakat dapat berdiri sendiri yang

kemudian menjadi negara dan membedakannya dengan kelompok

lainnya.31

Volente the Generale adalah suatu bentuk keputusan bersama

tentang apa dan bagaimana negara akan dijalankan serta dilaksanakan

oleh masyarakat setelah diadakannya kehendak bersama (Volente the

Tous).32 Perjanjian ini tidak lagi di dasari pada suara seluruh masyarakat,

tetapi suara dari kehendak umum masyarakat yang telah menentukan

pilihannya.33

Inti dari pemikiran Rousseau adalah kedaualatan rakyat

merupakan cara untuk memecahkan masalah berdasarkan sistem tertentu

yang memenuhi kehendak umum. Kekuasaan atas kedaulatan rakyat

tersebut tidak hanya ditunjukan kepada hal terkait penyelenggaraan

kekuasaan pemerintah dan peradilan, tetapi juga kekuasaan dalam

pembentukan peraturan.34

5. Kedaulatan Hukum

Menurut Krabbe, dalam teori kedaulatan hukum atau recht-

souvereiniteit, kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara itu adalah

hukum itu sendiri. Karena penguasa maupun rakyat sebagai warga

31
Ibid.
32
Soehino, Ilmu Negara, Soehino, Ilmu..., h. 160
33
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 124.
34
A. Salman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 194.
29

negaranya, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.

Semua sikap, tingkah laku, perbuatan yang hendak dilakukan, harus

sesuai atau menurut aturan hukum yang berlaku.35

Kekuasaan itu tidak terletak pada kehendak pribadi dari pada

penguasa (raja), melainkan terletak pada hukum yang tidak berpribadi

(opersonnlijk). Sumber hukum adalah kesadaran hukum dari manusia

yang merupakan alat pengukur untuk menentukan baik atau tidaknya

suatu peraturan hukum yang berlaku yang diterima oleh masyarakat

dengan kesadaran hukumnya.36

Paham dari Krabbe ini dipengaruhi oleh Von Savigny melalui

mazhab historisnya yang berkembang setelah revolusi Prancis. Dimana

Savigny menyatakan bahwa hukum timbul bersama-sama dengan

kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak tumbuh atas kehendak atau

kemauan negara. Maka, berlakunya suatu hukum terlepas dari kemauan

negara.37

Terkait implementasi dari bentuk kedaulatan, menurut Max Weber

(1864-1920), setiap otoritas menyatakan dirinya sendiri dan berfungsi sebagai

administrasi dan dengan beberapa cara memerlukan otoritas, karena

aturannya menghendaki beberapa tipe kekuasaan untuk memerintah yang

diberikan kepada seseorang. Setiap individu dapat memiliki kekuasaan

35
Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 136.
36
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..., h. 127.
37
A. Salaman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 191.
30

dengan segala macam cara. Maka, untuk mengatur kelompok-kelompok

manusia diperlukan adanya “instansi khusus”, yaitu otoritas.38

Otoritas tersebut, menurut Weber, mendapatkan kewenangan untuk

mengatur baik secara tradisional, kharismatik, maupun rasional legal. Secara

tradisional, masyarakat menganggap bahwa kedudukan kekuasaan di landasi

oleh tradisi dan kepercayaan masyarakatnya akan tradisi tersebut. Wewenang

kharismatik dilandasi pada kharisma (mistik, kesaktian, wahyu) dari

seseorang. Sementara itu, rasional-legal berlandaskan pada kedudukan

seorang pemimpin berdasarkan aturan hukum yang berlaku.39

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2)

menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar.” Berdasarkan pasal tersebut, maka secara

sederhana dapat kita simpulkan bahwa negara Indonesia adalah negara

berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan menurut asas ini, sistem

pemerintahan yang dianut oleh negara Indonesia adalah Demokrasi.

Menurut Jimly asshidiqie, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan

kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan.

Untuk itulah, maka undang-undang dasar hendaklah menganut pengertian

bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis

(democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah negara demokrasi yang

berdasarkan atas hukum (constitutional democracy). Keduanya merupakan

38
Martin Albrow, Birokrasi, Penerjemah M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, cet.III,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, Januari 2005), h. 36-37.
39
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 143-
147.
31

perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa indonesia akan prinsip ke

Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang juga di konstruksikan sebagai

paham kedaulatan Tuhan.40

Jimly Asshidiqie menambahkan, sebagaimana dikutip oleh A. Salman

Maggalatung, bahwa bukti nyata dari implementasi tersebut dapat dilihat

pada Pembukaan UUDNRI 1945 (“Atas berkat rahmat Allah”). Selain itu,

pada Pasal 29 UDDNRI 1945, yang menyatakan bahwa, “Negara berdasarkan

atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kedaulatan hukum dapat kita lihat

implementasinya pada Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945 yang menyatakan

bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum.”41

B. Demokrasi Dan Demokratisasi

Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin demos (rakyat)

dan kratos (pemerintahan). Istilah ini mulai digunakan pada abad ke-5 SM

dengan pengertian pemerintahan oleh rakyat, yang kemudian Abraham

Lincoln mengartikannya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat42. Maka, demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat

yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dilaksanakan

secara langsung maupun perwakilan.43

40
Jimly Asshidiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dokumen diakses pada 05
agustus 2013 dari http://jimly.com/pemikiran/getbuku/9. h. 57.
41
A. Salman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 196-197.
42
Ibid., h. 219-220.
43
Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, cet.I, (Jakarta: Media Bangsa, Desember
2012), h. 104.
32

Sementara itu, secara terminologi beberapa pakar memberikan

penjelasan mengenai pengertian demokrasi. C.F. Strong mengartikan

demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana mayoritas anggota

dewasa komunitas politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan

yang menjamin cara pemerintahan harus mempertanggung jawabkan segala

tindakan kepada kelompok mayoritas tersebut.44

Samuel P. Huntington (1927-2008) mengartikan demokrasi sebagai

keputusan-keputusan kolektif yang kuat yang dibuat oleh orang-orang yang

dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam

sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dimana

hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.45

Sementara itu, Merphin Panjaitan berpendapat bahwa demokrasi

merupakan pemerintahan rakyat. Rakyat memerintah diri mereka sendiri,

dengan memilih sebagian dari mereka menjadi penyelenggara negara yang

bertugas melayani rakyat sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini merupakan

bentuk pengakuan atas kesetaraan manusia, sehingga tidak seorangpun dapat

memerintah tanpa persetujuan rakyat.46

Aristoteles (384-322 SM), salah satu filsuf Yunani menekankan tiga hal

pokok mengenai demokrasi, yaitu kebebasan pribadi, pemerintahan

44
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Penerjemah SPA Teamwork, cet.II,
(Bandung: Nusa Media, 2008), h.17.
45
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah Asril Marjohan,
cet.II, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, September 2001), h. 5.
46
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum 2014, cet.I,
(Jakarta: Permata Aksara, 2013), h. 1.
33

berdasarkan konstitusi, kelas menengah yang besar 47. Sementara itu, Keith

Graham menyatakan tiga inti pokok dari demokrasi, yaitu persamaan

(equality), kebebasan (freedom), dan kerakyatan (egalitarian).48

Semua nilai tersebut akan terimplementasikan dalam proses politik dan

kehidupan bermasyarakat dalam struktur dan tatanan negara maupun sosial.

Inti pemikiran tersebut sesuai dengan apa yang digambarkan dan dimaknai

oleh J.J. Rousseau, bahwa nilai-nilai kebebasan, persamaan, kerakyatan,

pemerintah berdasarkan konstitusi, pergerakan kelas menengah, merupakan

gambaran umum yang terjadi pada abad tujuh belas dan delapan belas di

Prancis ketika terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan dan perampasan hak

hidup rakyat yang digambarkan sebagai perbudakan politik oleh penguasa

pada saat itu.49

The Social Contract sebagai karya utama politik Rousseau (Le Contrat

Social) 50 , sebagaimana diikuti oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang

menyatakan bahwa tujuan negara adalah penegakan hukum dan menjamin

kebebasan warganya. Kebebasan disini adalah kebebasan berdasarkan

undang-undang, sementara undang-undang adalah apa yang dikehendaki

rakyat sebagai penjelmaan kehendak rakyat, rakyatlah yang berdaulat.51

47
Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Ed. Demokrasi: Klasik dan Modern-Tulisan
Tokoh-Tokoh Ulung Sepanjang Masa, Penerjemah Hermoyo, cet.II, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Mei 2005), h. 12.
48
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, cet.I, (T.t.t,
Prestasi Pustakaraya, Agustus 2010), h. 174.
49
Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Ed. Demokrasi: Klasik dan Modern..., h.98-106.
50
Ibid., h. 99.
51
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 192.
34

Menurut Rousseau, rakyat bukanlah penjumlahan dari individu-individu

di dalam negara, tetapi kesatuan dari individu-individu yang memiliki

kehendak. Kehendak diperoleh individu melalui perjanjian masyarakat.

Kehendak tersebut disebut dengan kehendak umum (volonte generale) yang

dianggap mencerminkan kehendak umum.52

Demokrasi merupakan suatu landasan dan mekanisme penerapan

kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.

Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang

kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori

kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai

oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.53

Joseph A. Schumpeter memandang demokrasi melalui sudut pandang

yang berbeda. Schumpeter melihat demokrasi sebagai suatu “metode”.

Menurutnya, demokrasi tidak lain adalah sebuah prosedur kelembagaan untuk

mencapai keputusan politik. Setiap individu memiliki hak membuat

keputusan melalui perjuangan yang kompetitif dalam rangka memperoleh

suara rakyat.54

Pendapat Schumpeter dapat dilihat melalui dua sisi yang berbeda.

Pertama, bahwa demokrasi merupakan sebuah fakta atau kenyataan dari

sebuah pemerintahan dengan sistem demokrasi yang pernah atau sedang

52
Soehino, Ilmu Negara, cet.VII, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 160.
53
Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, artikel diakses pada 05
Aguatus 2013 dari http://jimly.com/makalah/namafile/2/DEMOKRASI_DAN_HAK_ASASI_
MANUSIA.doc. h. 2.
54
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi..., h. 5.
35

terjadi di masyarakat. Di Indonesia bisa dilihat melalui pembagian zaman

pemerintahan di Indonesia, mulai dari konstitusi RIS dan UUDS’50 dengan

demokrasi liberal, Soekarno dengan demokrasi terpimpin, sampai kepada era

reformasi yang dikenal dengan demokrasi pancasila.55

Kedua, pandangan Schumpeter dari sisi yang lain mengartikan

demokrasi sebagai liberte, egalite, fraternite, kontrol dari masyarakat

terhadap berjalannya pemerintahan agar dapat berjalan dengan efektif,

bertanggung jawab, dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan dalam

kegiatan politik, musyawarah, partisipasi publik, dan berbagai kebijakan

warganegara lainnya.56

Demokrasi memiliki beberapa bentuk. Pertama, demokrasi partisipatif

atau demokrasi langsung, suatu sistem dimana pengambilan keputusan

tentang permasalahan umum melibatkan warga negara secara langung.

Kedua, demokrasi liberal (perwakilan), suatu sistem pemerintahan yang

menggunakan pejabat yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili rakyat dalam

menyampaikan aspirasinya. Ketiga, demokrasi atas model satu partai.57

Terkait dengan demokratisasi, Huntington menyatakan bahwa,

demokratisasi dapat dinyatakan sebagai; pertama, berakhirnya sebuah rezim

otoriter (non-demokratis); kedua, dibangunnya sebuah rezim demokratis;

ketiga, pengkonsolidasian terhadap suatu rezim demokratis yang sudah ada.

Ketiga hal tersebut berkembang dan diakibatkan oleh sebab-sebab yang

55
Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam..., h. 105.
56
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi..., h. 8.
57
Ni’matul Huda, Ilmu..., h. 207-208.
36

berbeda. Rustow menambahkan, bahwa demokratisasi dapat diartikan seabagi

sebuah kesepakatan dalam menjalankan demokrasi itu sendiri.58

Demokratisasi, berarti menjadikan suatu sistem demokratis. Maka,

untuk menjadikan suatu sistem itu demokratis, kita harus melihat nilai apa

yang menjadi dasar dari suatu tatanan pemerintahan dapat dikatakan

demokratis. Menurut Henry B. Mayo (1911-2009), demokrasi mengandung

beberapa nilai sebagai suatu sistem politik.59

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga


(institutionalized peacefull settlement of conflict).
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a changing
society).
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur (orerly succession
of rulers).
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum of
coersion).
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity)
dalam masyarakat yang tercermin dalam keragaman pendapat,
kepentingan, serta tingkah laku.
6. Menjamin tegaknya keadilan.

Sementara itu Bagir Manan, sebagaimana dikutip A. Salman

Maggalatung, merumuskan tiga unsur pokok dari negara demokrasi

berdasarkan asas kedaulatan rakyat.60

1. Negara hukum demokratis merupakan pemerintahan yang memiliki


kekuasaan terbatas atau di batasi berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat.
2. Pemerintahan berkedaulatan rakyat adalah pemerintahan yang mengakui
kemajemukan.
3. Pemerintahan berkedaulatan rakyat menolak adanya setiap upaya untuk
memutlakan sesuatu pandangan atau pemikiran mengenai masyarakat
dan moral.

58
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi..., h. 45.
59
Ni’matul Huda, Ilmu..., h.218.
60
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 192.
37

Dapat disimpulkan secara sederhana bahwa, kedaulatan rakyat pada

dasarnya memberikan pemahaman bahwa kekuasaan tertinggi dalam sebuah

negara berada di tangan rakyat. Kekuasaan tersebut tidak hanya berkaitan

dengan hal pemerintahan dan peradilan, tetapi juga termasuk kekuasaan

membentuk peraturan. Secara umum, peraturan yang biasa dikenal dalam

bentuk undang-undang dibuat oleh lembaga legislatif.61

C. Daerah Otonom dan Otonomi Daerah

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti

sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan62. Dalam Black’s Laws

Dictionary, otonomi diartikan sebagai the right of self government; a sefl

governing state.63 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi diartikan

sebagai berdiri sendiri; dengan pemerintahan sendiri; kelompok sosial yang

memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri.64

Istilah otonomi dalam literatur Belanda diartikan sebagai “pemerintahan

sendiri” (zelfregering). Menurut Van Vollehhoven, otonomi dapat diartikan

sebagai zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering

(melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengendali sendiri), dan zelfpolitie

(menindak sendiri). Namun kewenangan yang ada di dalam daerah otonomi

tidak boleh melebihi kewenangan pemerintah pusat.65

61
A. Salman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 194.
62
S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, cet.VI, (Jakarta: Pustaka
sinar harapan, oktober 2012), h. 33.
63
Brian A. Garner, Ed., Black’s Laws Dictionary, cet.XI, (United States of America:
Thomson Bussiness, 2004), h.145.
64
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia .., h. 992.
65
S.H. Sarundajang, Arus balik kekuasaan...., h. 33-34.
38

Michael Luck dan Mark d’iverno mencanangkan otonomi sebagai suatu

pencapaian dari agen yang bermotivasi. Agen yang bermotivasi adalah agen

yang memiliki otonomi. Ia adalah agen yang tidak tergantung pada tujuan

akhir agen lain, sebaliknya, memberikan tujuannya untuk diacu dalam

hubungan antar agen. Setiap agen atau subjek bersifat otonom karena setiap

mereka memiliki tujuan masing-masing.66

Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan

untuk mencapai efisiensi dan efektifitas pemerintahan, tetapi sebuah tatanan

ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi negara

(administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan

dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara. Otonomi dan

demokrasi merupakan satu kesatuan sebagai bentuk pemerintahan yang

menempatkan rakyat sebagai penentu dalam negara.67

Layaknya sebuah pemerintahan negara, pelaksanaan otonomi perlu di

tunjang oleh beberapa faktor seperti pelaksanaan kekuasaan pemerintah

dalam suatu negara. Telah dijelaskan sebelumnya, otonomi diartikan sebagai

pemerintahan sendiri, di dalamnya dihuni oleh kelompok sosial yang

memiliki tata aturan sendiri. Maka berikutnya, pelaksanaan otonomi tidak

lepas dari adanya wilayah yang berperan sebagai tempat dan batas

pelaksanaan kekuasaan otonomi tersebut.

66
Diakses pada 23 Juli 2013, dari http://birokrasi.kompasiana.com/2012/10/01/ otonomi-
desa-1/.
67
Didik Sukriono, Hukum, Konstitusi, dan Konsep Otonomi: Kajian Politik Hukum
Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca perubahan Konstitusi, cet.I, Malang: Setara
Perss, Juni 2013. h. 193.
39

Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan daerah otonom, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Istilah daerah otonom dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan

sebagai daerah yang berdiri sendiri, memiliki batas wilayah, dan peraturan

untuk mereka sendiri.68 Menurut M. Panjaitan, daerah otonom adalah suatu

bagian dari wilayah negara yang mempunyai pemerintahan daerah, yang

merupakan instrumen untuk melayani masyarakat setempat. Masyarakat

adalah pihak yang berkepentingan dalam rangka pembentukan daerah otonom

tersebut.69

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 2 ayat (3) menyatakan,

otonomi dilakukan dengan seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang

menjadi urusan pemerintah pusat.

68
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 284.
69
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum 2014, cet.I,
(Jakarta: Permata Aksara, 2013), h. 145.
40

Philipus M. Hadjon mengartikan otonomi daerah sebagai penyerahan

kepada atau membiarkan setiap pemerintahan yang lebih rendah mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan tertentu secara penuh baik mengenai

asas-asas maupun cara menjalankannya (wewenang mengatur dan mengurus

asas, dan cara menjalankannya). Hakikat otonomi daerah berasal dari unsur

kebebasan, bukan kemerdekaan dan merupakan subsistem dari negara

kesatuan.70

Penerapan otonomi daerah sebagai mana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat

(5) dan Pasal 2 ayat (3) dilaksanakan menurut asas penyelenggaraan otonomi

daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dikenal adanya tiga

prosedur atau asas penting dalam rangka pembagian kekuasaan yang bersifat

teritorial yang diistilahkan oleh Hutingtong dengan Areal Division of Power,

yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.71

Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menjelaskan Desentralisasi sebagai penyerahan

wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Desentralisasi dilakukan setelah penerapan asas

dekonsentrasi gagal dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis.72

70
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD
1945, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 254-255.
71
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, cet.II, (Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer, Mei 2008), h. 423.
72
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara..., h. 249.
41

Desentralisasi lahir setelah lahirnya sistem pemerintahan sentralisasi

atau pemusatan kekuasaan di tangan pemerintahan pusat. Joenarto

mengemukakan tiga hal pokok dalam desentralisasi. Pertama, pembentukan

organisasi pemerintahan daerah otonom. Kedua, pembagian wilayah negara

menjadi daerah otonom. Ketiga, penyerahan wewenang untuk mengurus dan

mengatur urusan pemerintah kepada daerah otonom.73

Dekonsentrasi pada Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah diartikan sebagai pelimpahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah

dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Menurut Bagir Manan,

dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi

negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk), dan merupakan

penyelenggaraan pemerintahan pusat di daerah.74

Dekonsentrasi memiliki tiga bentuk penerapan dalam otonomi daerah

yang dilaksanakan oleh pejabat daerah sebagai wakil pemerintah pusat.

Pertama, delegasi, yaitu penyerahan wewenang kepada pejabat kepada

pejabat lain yang menjadi tanggungjawab pejabat penerima wewenang

tersebut. kedua, mandat, yaitu kewenangan membuat keputusan antas nama

pejabat pemberi mandat. Ketiga, atribusi, yaitu lembaga pemerintah pusat

yang dibentuk di daerah sebagai pelaksana tugas di daerah.75

73
Ibid., h. 251-252.
74
Ibid., h. 246.
75
Ibid., h. 247-249.
42

Desentralisasi dan dekonsentrasi memiliki kesamaan dan perbedaan.

Desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan bagian dari penerapan otonomi

daerah yang merupakan bagian tidak terpiahkan dari pemerintah daerah.

Perbedaan dari keduanya adalah, dekonsentrasi memilki hierarki dengan

pemerintah pusat dan bersifat admnistrasi sebagai pelaksana kebijakan pusat,

Desentralisasi berada di luar hierarki dengan pemerintahan pusat sebagai

wujud pelaksanaan pemerintahan yang mandiri.76

Sementara itu, asas tugas pembantuan sebagaimana tercantum dalam

Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah diartikan sebagai penugasan dari Pemerintah kepada

daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota

dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu.

76
Ibid., h. 251-252.
BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG DESA KELURAHAN

A. Desa

Istilah desa berasal dari kata “swadesi” (bahasa sansakerta) yang berarti

wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom. Di introdusir pula

oleh Sutardjo Kartohadikoesoemo bahwa, perkataan “desa”, “dusun”, “desi”

(ingatlah perkataan swadesi) yang sama dengan negari, nagari, negory, yang

artinya tanah air. Dalam bahasa Jepang, desa disebut dengan “mura” dan

peraturan yang dibuat oleh pemerintahan desa disebut “hokimura”.1

Desa, baik desa berdasarkan undang-undang tentang desa dan desa adat,

merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,

dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.2

Rumusan tentang desa tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut.3

1. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum;


2. Desa mempunyai batas-batas wilayah;
3. Desa berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat;
4. Kewenangan desa didasarkan pada asal usul dan adat istiadat setempat;
5. Adat istiadat setempat diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia.

1
Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional Dan
Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, cet. I, (Bandung: Alumni, 2010), h. 2 & 18.
2
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3
Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h. 16.

43
44

Masyarakat desa dicirikan sebagai masyarakat yang bersifat komunal,

dan hidup dalam kebersamaan. Masyarakat komunal memilki ciri-ciri

kebersamaan: saling mengenal, gotong royong dalam memecahkan masalah

bersama/umum, dan menghormati nilai kebersamaan. Masyarakat dengan

ciri-ciri demikian disebut dengan kesatuan masyarakat (community), yaitu

kesatuan masyarakat yang terikat oleh tata cara tertentu yang mengatur

perikehidupannya sendiri.4

Dibawah ini, penulis memberikan beberapa contoh dari penerapan

sistem pemerintahan adat yang masih berlaku di dalam sistem pemerintahan

desa di Indonesia sesuai dengan nilai yang hidup dan berkembang di dalam

masyarakatnya:

1. Jawa

Desa-desa di Jawa memiliki kepala desa yang dipilih dari warga

desa yang dipercaya. Kebijakan desa dibuat oleh warganya sendiri, dan

warga desa ikut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Lurah (kepala

desa) beserta perangkatnya adalah badan eksekutif. Rapat desa (rembuk

desa) merupakan badan legislatif yang membuat kebijakan desa. Dewan

morokaki adalah lembaga penasehat dan pertimbangan bagi kepala desa

dalam menjalankan kekuasaannya.5

4
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, cet.XIV,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 3.
5
Ibid.
45

2. Minangkabau

Persekutuan teritorial di Minangkabau disebut nagari. Setiap

nagari dihuni kurang lebih 4 (empat) clan. Setiap clan terdiri dari

famili-famili (parui). Setiap famili tinggal bersama di sebuah rumah-

gadang. Terdapat 2 (dua) tipe nagari. Pertama, adat-Bodi-Caniago.

Negari jenis ini tersusun dari famili-famili, parui-parui. Kedua, adat-

Koto-Piliang. Jenis ini terdapat di tanah datar dan lima puluh kota. Di

tempat ini, famili bersatu menjadi uni-uni. Uni-uni dinamakan suku dan

keempat suku itu merupakan nagari.6

Setiap keluarga atau famili dikepalai oleh pangulu andiko. satu

famili (parui) dapat meliputi beberapa caban famili (jurai), yang

dipimpin oleh mamak kepala waris (tunggai) yang kemudian menjadi

pangulu andiko. Semua pangulu andiko bersama-sama membentuk

kerapatan nagari dan memegang kekuasaan dalam nagari. Mekanisme

penyelesaian masalah di dalam nagari adalah dengan rapat bersama

antara seluruh pangulu andiko dan seluruh warga persekutuan untuk

membuat kesepakatan bersama.7

3. Ambon

Masyarakat Ambon menghuni dua pulau dan masing-masing

memiliki karakteristik adat yang berbeda di dalam tata

pemerintahannya. Secara umum, pada tingkat pertama, terdapat negeri

6
Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, cet. I, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Yustisia, 2012), h. 22.
7
Ibid., h. 28.
46

sebagai persekutuan utama dari struktur masyarakat adat Ambon.

Tingkat kedua, persekutuan genealogis (keturunan) yang berasal dari

keturunan atau keluarga yang berbeda yang disebut soa. Tingkat ketiga,

persekutuan genealogis (keturunan) yang berasal dari keturunan yang

sama, disebut rumantau.8

Pemerintah negeri terdiri dari, pertama, pejabat-pejabat yang

duduk di dalam sariri rajapati. Kedua, wakil-wakil soa yang bukan

kepala soa. Ketiga, kepala adat. Golongan keempat yang terdiri dari

kepala soa tanah, tamaela ama haha, tukang, cendikiawan, kewang

darat dan kewang laut, petugas-petugas di bidang kerohanian. Jumlah

dari golongan keempat tersebut antara 12-15 orang dan bertugas

sebagai badan legislatif yang dipilih menurut tata cara yang berlaku.9

B. Pemerintahan Desa

Muchlis Hamdi, guru besar Institut Ilmu Pemerintahan menyatakan

bahwa, pemerintahan adalah gejala kompleks dan berkembang setua dunia

ini, Ia menjadi bermakna ketika mampu memberi arti seluas-luasnya bagi

kemaslahatan banyak orang. Kondisi ini mensyaratkan agar pemerintahan

dapat berkembang sebagai cara pengelolaan kehidupan bersama yang

bermanfaat dan dapat diterimaa secara universal melalui distribusi nilai secara

wajar dan merata.10

8
Lease dan Ziwar Efendi, Hukum Adat Ambon, cet. I, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), h.
39-40.
9
Ibid., h. 42.
10
Muhadam Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan: Suatu Kajian, Teori, Konsep, dan
Penegembangannya Edisi ke-2, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2007), h. XIII.
47

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mebagi desa bagi


11
menjadi dua macam, desa dan desa adat. Desa melaksanakan

pemerintahannya sesuai dengan ketentuan di dalam undang-undang tentang

desa. Sementara itu, desa adat melaksanakan kewenangannya dalam berbagai

bidang pemerintahan desa berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang

hidup dimasyarakat. Penetapan suatu desa adalah desa adat ditentukan oleh

peraturan daerah provinsi.12

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan pemerintahan desa sebagai

pemerintahan terendah langsung di bawah pimpinan kepala desa atau lurah

yang menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dan terdiri atas kepala

desa dan lembaga musyawarah desa. 13 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengartikan pemerintahan desa sebagai

penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penyelenggaraan pemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 6

tahun 2014 tentang desa meliputi penyelenggaraan urusan bidang eksekutif,

yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah desa melalui kepala

desa dan perangkat desa sebagai kepala pemerintahan dan pelaksana

pemerintahan desa. Penyelenggaraan urusan bidang legislatif, yaitu fungsi

pembentukan kebijakan melalui pembentukan Badan Permusyawaratan Desa

(BPD).
11
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
12
Pasal 109 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
13
Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
ke-empat, cet.I. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1057.
48

Selain itu, penerapan pemerintahan desa dilaksanakan berdasarkan

otonomi asli memiliki makna kewenangan pemerintahan desa dalam

mengatur dan mengurus masyrakat setempat didasarkan pada hal asal-usul

dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun

harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan negara

yang selalu mengikuti perkembangan jaman.14

1. Pemerintah Desa

Pemerintah desa adalah kepala desa dan perangkat desa lainnya.15

Sementara itu, menurut Pasal 48 undang-undang tentang desa, yang

dimaksud perangkat desa sebagai bagian dari pemerintah desa adalah

sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksanaan teknik. Kepala

desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan

pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan

masyarakat desa.16

Pemerintah desa adalah organisasi pemerintahan desa yang terdiri


17
dari :
a. Unsur pimpinan, yaitu kepala desa;
b. Unsur pembantu kepala desa, yang terdiri atas:
1) Sekretariat desa, yaitu unsur staf atau pelayanan yang diketuai
oleh sekretaris desa;
2) Unsur pelaksana teknis, yaitu unsur pembantu kepala desa yang
melaksanakan urusan yeknis di lapangan seperti urusan
pengairan, keagamaan, dan lain-lain;
3) Unsur kewilayahan, yaitu pembantu kepala desa di wilayah
kerjanya (seperti kepala dusun).

14
Bambang Trisantono Sumantri, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa., cet.I,
(Bandung: Fokusmedia, Januari 2011), h. 3-4.
15
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
16
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
17
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan..., h. 73.
49

Kepala desa dipilih berdasarkan suara terbanyak melalui

pemungutan suara oleh masyarakat desa dengan sebelumnya calon

kepala desa memenuhi persyaratan sebagai calon kepala desa sebagai

mana di tetapkan di dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa antara lain:

1. Warga negara Republik Indonesia;


2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
4. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau
sederajat;
5. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat
mendaftar;
6. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
7. Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat
paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
8. Tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
9. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun
setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara
jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah
dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
10. Tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
11. Berbadan sehat;
12. Tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan;
13. Dan syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.

Pasal 39 ayat (1) undang-undang tentang desa menyatakan bahwa

kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak

tanggal pelantikan. Semetara itu, Pasal 39 ayat (2) menyatakan bahwa,

kepala dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara

berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.


50

Desa memiliki kewenangan untuk membuat peraturan untuk

mengatur sendri-sendi kehidupan dalam rangka kepentingan bersama.

Peraturan desa (Perdes) merupakan perundang-undangan yang ditetapkan

oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan

Permusyawaratan Desa.18 Peraturan desa sebelum di undangkan dalam

lembaran desa dan berita desa, wajib dikonsultasikan kepada masyarakat

dalam rangka mewujudkan kepentingan umum.19

2. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berkedudukan sebagai

unsur penyelenggara pemerintahan desa. Jadi, dalam menyelenggarakan

pemerintahan desa terdapat dua lembaga: pemerintah desa, dan BPD20.

BPD memilki fungsi21:

a. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama


Kepala Desa;
b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa;
c. Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk

Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan

secara demokratis. BPD terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) wakil

ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris yang dipilih dari anggota BPD

sendiri. Jumlah anggotanya ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan

18
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
19
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
20
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan..., h. 77.
21
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
51

paling banyak 9 (sembilan) orang. Anggota BPD tidak merangkap

jabatan sebagai bagian dari pemerintah desa.22

Pemerintah desa yang di dalamnya terdapat unsur kepala desa

dan unsur pembantu kepala desa bersama dengan Badan

Permusyawaratan Desa yang di dalamnya terdapat unsur masyarakat

merupakan pelaksana pemerintahan desa yang bertugas melakukan

pengembanga terhadap desa dan masyarakat, memberikan dampak

perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui

implementasi penerapan kebijakan desa. Kebijakan-kebijakan ini dibuat

dalam bentuk23:

a. Menetapkan peraturan desa (perdes);


b. Menetapkan anggaran pendapatan dan belanda desa (apbdesa);
c. Menuyusun perencanaan pembangunan desa;
d. Ikut serata membangun kawasan pedesaan;
e. Ikut serta dalam kebijakan kerjasama antar desa yang sifatnya
membebani masyarakat desa;
f. Mengubah status desa mejadi kelurahan;
g. BPD melakukan pengawasan terhadap berlakunya peraturan desa
dan peraturan kepala desa;
h. BPD mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa.

C. Pemerintahan Kelurahan

Desa dan kelurahan adalah dua satuan pemerintahan terendah dengan

status berbeda. Desa adalah satuan pemerintahan yang diberi hak otonomi

adat sehingga merupakan badan hukum, sedangkan kelurahan adalah satuan

pemerintahan administrasi yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari

pemerintahan kabupaten/kota. Jadi, kelurahan bukan badan hukum melainkan

22
Pasal 56, 57, 58, 59 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
23
Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h.
48.
52

hanya sebagai tempat beroperasinya pelayanan pemerintahan dari

pemerintahan kabupaten/kota di wilayah kelurahan.24

Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

penduduk yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung

dibawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya

sendiri 25 . Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005

tentang Kelurahan, mengartikan kelurahan sebagai wilayah kerja lurah

sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja Kecamatan.

Dapat dikatakan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai

perangkat daerah kabupaten/kota diwilayah kerja kecamatan. Kelurahan

merupakan wilayah pelayanan administrasi dari kabupaten/kota.26

Kelurahan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota yang

berkedudukan di wilayah kecamatan. 27 Kelurahan sebagaimana dimaksud

dipimpin oleh lurah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada


28
bupati/walikota melalui camat. Lurah sebagaimana diangkat oleh

bupati/walikota atas usul camat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS).29 Syarat-

syarat seseorang dapat diangkat menjadi lurah meliputi30:

1. Pangkat/golongan minimal penata (iii/c);

24
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan penyelenggaraan..., h. 1.
25
Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional...,
h.132.
26
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan penyelenggaraan..., h. 3.
27
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
28
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
29
Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
30
Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
53

2. Masa kerja minimal 10 tahun;


3. Kemampuan teknis dibidang administrasi pemerintahan dan memahami
sosial budaya masyarakat setempat.

Seorang lurah diangkat dari golongan PNS dengan minimal golongan

iii/c (penata). Seorang PNS dapat kehilangan status PNS dan diberhentikan

dengan hormat jika memehuhi beberapa syarat, yaitu31:

1. Meninggal dunia;
2. Atas permintaan sendiri;
3. Mencapai batas usia pensiun;
4. Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan
pensiun dini; atau
5. Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan
tugas dan kewajiban.

Seorang PNS dapat kehilangan status PNS dan diberhentikan dengan

tidak hormat jika memehuhi beberapa syarat, yaitu32:

1. Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya
dengan jabatan dan/atau pidana umum;
3. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
4. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan
berencana.

Lurah bukanlah pejabat negara 33 , karena kelurahan pelaksana tugas

administratif dari pemerintah Kabupaten/Kota melalui camat. Pasal 88 ayat

31
Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
32
Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
33
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menyebutkan yang
dimaksud pejabat negara adalah: Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan
54

(1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara

menyatakan bahwa, seorang PNS dapat diberhentikan sementara jika

memehuhi beberap syarat berikut:

1. Diangkat menjadi pejabat negara;


2. Diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural;
3. Ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.

Maka, ketika menjabat seorang lurah tidak kehilangan statusnya sebagai PNS

dan masa tugasnya selesai sesuai dengan batas usia pensiun seorang PNS,

yaitu34:

1. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi;


2. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi;
3. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat
Fungsional.

Sebagai pelaksana tugas administrasi, kelurahan melakukan kegiatan

pencatatan data dan informasi administrai kelurahan meliputi35:

1. Administrasi Umum

Administrasi umum diartikan sebagai kegiatan pencatatan data dan

informasi mengenai kegiatan Pemerintahan Kelurahan. 36 Sementara itu,

yang termasuk dalam administrasi umum yaitu37:

a. Buku Data Keputusan Lurah;

Pertimbangan Agung; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Menteri,
dan jabatan yang setingkat Menteri; Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; Gubernur dan Wakil
Gubernur; Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; Pejabat Negara lainnya yang
ditentukan oleh Undang-undang.
34
Pasal 90 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
35
Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman
Administrasi Kelurahan.
36
Pasal 1 ayat (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
37
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
55

b. Buku Data Inventaris Kelurahan;


c. Buku Data Aparat Kelurahan;
d. Buku Data Tanah di Kelurahan;
e. Buku Data Agenda Masuk dan Keluar;
f. Buku Ekspedisi.

2. Administrasi Penduduk

Administrasi Penduduk diartikan sebagai kegiatan pencatatan data

dan informasi mengenai penduduk pada Buku Administrasi Penduduk

Kelurahan.38 Sementara itu, yang termasuk dalam administrasi penduduk

yaitu39:

a. Buku Data Induk Penduduk Kelurahan;


b. Buku Data Mutasi Penduduk Kelurahan;
c. Buku Data Rekapitulasi Jumlah Penduduk Akhir Bulan;
d. Buku Data Penduduk Sementara.

3. Administrasi Keuangan

Administrasi keuangan diartikan sebagai kegiatan pencatatan data

dan informasi mengenai pengelolaan keuangan Kelurahan pada Buku

Administrasi Keuangan Kelurahan. 40 Sementara itu, yang termasuk

dalam administrasi keuangan yaitu41:

a. Buku Kas Umum;


b. Buku Kas Pembantu Perincian Objek Penerimaan;
c. Buku Kas Pembantu Perincian Objek Pegeluaran;
d. Buku Kas Harian Pembantu;
e. Buku lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

38
Pasal 1 ayat (7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
39
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
40
Pasal 1 ayat (8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
41
Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
56

4. Administrasi Pembangunan

Administrasi pembangunan diartikan sebagai kegiatan pencatatan

data dan informasi mengenai pembangunan yang akan, sedang dan telah

dilaksanakan pada Buku Administrasi Kelurahan.42 Sementara itu, yang

termasuk dalam administrasi pembangunan yaitu43:

a. Buku Rencana Pembangunan;


b. Buku Kegiatan Pembangunan;
c. Buku Inventaris Proyek;
d. Buku Kader-kader Pembangunan.

5. Administrasi Lainnya

Administrasi lainnya merupakan kegiatan pencatatatn data dan

informasi di luar keempat kegiatan administrasi lainnya yang meliputi44:

a. Buku Data Pengurus dan Anggota Lembaga Kemasyarakatan;


b. Buku Register;
c. Buku Monografi Kelurahan.

42
Pasal 1 ayat (9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
43
Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
44
Pasal 3 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang
Pedoman Administrasi Kelurahan.
BAB IV

DEMOKRASI DAN TATA PEMERINTAHAN DALAM KONSEP DESA

DAN KELURAHAN

Keberagaman karakteristik dan jenis desa, atau yang disebut dengan nama

lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini

untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari

bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara

Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap

keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak tradisionalnya.1

Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas

dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Masyarakat adat memiliki sifat demokratis dimana kepentingan bersama

lebih di utamakan dibandingkan kepentingan perorangan. Demokrasi dan keadilan

dalam masayakat hukum adat berjalan bersama dengan nilai komunal dan gotong

royong dalam masyarakat adat. Prilaku demokrasi dijiwai oleh asas hukum adat

1
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa,

57
58

yang bernilai universal. Nilai ini berupa kekuasaan umum, asas musyawarah, dan

perwakilan dalam sistem pemerintahan.2

Menurut Koesoemahatmadja, desa sebagai bentuk asli dari masyarakat

tempat tinggal bersama yang merupakan face to face group, memiliki faktor

pemersatu diantaranya sekeluarga/seketurunan dan sebagainya. Pada umumnya,

penduduk desa masih memegang teguh adat istiadat yang merupakan pagar

masyarakat, sumber kekuatan yang mengatur hidup mereka di segala lapangan

dan jurusan.3

Namun munculnya ketergantungan masyarakat kepada pemerintah sekaligus

retaknya ikatan sosial dalam masyarakat desa dan terbentuknya perilaku birokrasi

pemerintah sampai ke pemerintahan desa yang lebih mengedepankan kekuasaan

menimbulkan situasi konflik kepentingan antara masyarakat di satu pihak dengan

pemerintah di pihak lain. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi apatis serta

kurang berkeinginan ikut serta di dalam kegiatan desa mereka sendiri, dan pada

akhirnya banyak menimbulkan gejolak sosial di dalam masyarakat.4

Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk

yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung dibawah camat, yang

tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dapat dikatakan bahwa

kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota

2
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, & hukum nasional, cet.II,
(Jakarta: Kencana, Januari 2011), h. 242.
3
Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional Dan
Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa, cet. I, (Bandung: Alumni, 2010), h. 15.
4
S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, cet. IV, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, Oktober 2002), h. 173.
59

diwilayah kerja kecamatan.5 Masyarakat kelurahan (perkotaan) hanya merasa satu

ikatan dengan anggota perkumpulannya (profesi, olah raga, hobi, dan lainnya).

Masyarakat seperti ini disebut juga dengan masyarakat patembayan (gesellchaft).6

A. Analisis Konsep Desa Dan Kelurahan Sebagai Daerah Otonom

Penerapan demokrasi di Indonesia membawa konsekuensi logis

bahwa demokratisasi harus dijalankan. Salah satu agenda yang harus

dilakukan adalah mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat melalui

daerah otonom dengan memperhatikan faktor jumlah penduduk, luas wilayah,

dan keterpencilan wilayah. Semakin banyak penduduk, semakin luas, dan

terpencil suatu wilayah semakin banyak pula daerah otonom yang

dibutuhkan.7

Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, menjelaskan bahwa daerah otonom diartikan sebagai

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah otonom adalah jalan bagi penyebarluasan kekuasaan negara ke

seluruh wilayah negara. Hal ini akan berdampak mendekatkan kekuasaan

negara kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara dan akan

5
Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h.132.
Hal ini juga tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan.
6
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 116-120,
& 138-140.
7
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum 2014, cet.I,
(Jakarta: Permata Aksara, 2013), h. 144.
60

memperkuat kendali rakyat terhadap penyelenggaraan negara. Daerah otonom

adalah bagian dari wilayah negara yang memiliki pemerintahan daerah dan

merupakan instrumen untuk melayani rakyat di daerah.8

Otonomi daerah dalam bentuk daerah otonom memilki daerah yang

memiliki kemandirian dalam mengurus pemerintahannya sendiri dan

menjadikan pusat-pusat kekuasaan negara tersebar luas di seluruh wilayah

negara. Kondisi seperti ini akan kondusif bagi pengendalian proses

penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh rakyat, dan bagi pemerintah

daerah akan mempermudah penentuan berbagai pelayanan publik yang tepat

dan cepat.9

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

desa adalah desa dan desa adat dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat

hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa pengertian desa pada dasarnya secara teknis dan peraturan perundang-

undangan, menjadikan desa sebagai sebuah pemerintahan terendah yang

dapat menjalankan kekuasaan pemerintahannya sendiri berdasarkan hak asal-

8
Ibid.,h. 145.
9
Ibid., h. 146.
61

usul yang dimilikinya dalam mencapai kesejahteraan masyarakatnya sebagai

daerah otonom.

Pada umumnya desa mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola

secara otonom tanpa ikatan hierarkis struktural dengan struktur yang lebih

tinggi. Nagari di Sumatera Barat merupakan sebuah republik kecil yang

mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom yang berbasis masyarakat

(self governing community). Salah satu ciri self governing community dalam

desa adalah adanya hukum adat yang mengatur masalah pemerintahan,

pengelolaan sumber daya, hubungan sosial, dan lainnya.10

Kedudukan desa sebagai daerah otonom akan membawa beberapa

dampak terhadap pengembangan masyarakat dan desa itu sendiri,

diantaranya11:

1. Pembangunan berorientasi pada community development, dimana


pendidikan masyarakat menempati posisi utama dengan tujuan untuk
membuka wawasan dan kesadaran warga komunitas mengenai cita-cita
dan segala permasalahannya, serta memberikan wawasan berbasis
komunitas yang dapat mengembangkan potensi komuitas terhadap
pembangunan.
2. Membangun dan mengembangkan forum komunikasi warga dan
menumbuhkan tradisi berkumpul serta bertukar pikiran antar warga
komunitas (community spirit).
3. Pembangunan melalui pengembangan kegiatan atau usaha berbasis
komunitas untuk meningkatkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi,
sosial, dan budaya.
4. Pembangunan yang bertujuan menciptakan atau mengembangkan
fasilitas untuk menampung kegiatan-kegiatan warga dalam berorganisasi
maupun pengembangan sosial-budaya masyarakat dalam rangka menuju
community based development.

10
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, cet.XIV,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), h. 11.
11
S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat..., h. 179-180.
62

5. Memperkuat organisasi-organisasi yang telah ada secara alamiah di


dalam masyarakat seperti organisasi pemuda, dasa wisma, dan lain
sebagainya untuk menumbuhkan minat beroroganisasi masyarakat. Pada
akhirnya dapat mengembangkan komunitas melalui keterampilan dan
kemampuan masyarakatnya sendiri.

Sementara itu, Kelurahan adalah suatu wilayah mempunyai organisasi

pemerintah terendah langsung dibawah camat. Pengangkatan seorang lurah

dilakukan sepenuhnya oleh camat atas kewenangan yang dimilkinya, dan

lurah bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui camat, sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 73

Tahun 2005 tentang Kelurahan

Kelurahan tidak memiliki kewenangan menyelenggarakan rumah

tangganya secara otonom. 12 Maka, konsep penyelenggaraan pemerintahan

tidak berlandaskan pada konsep pengembangan masyarakat seperti halnya di

desa, tetapi lebih mengedepankan aspek pelaksana teknis dari tugas yang

diberikan oleh bupati/walikota melalui camat. Hal ini membuat fleksibilitas

kinerja dari kelurahan harus bergantung pada instansi vertikal di atasnya.

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang

Kelurahan menegaskan bahwa, Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,

lurah melakukan koordinasi dengan Camat dan instansi vertikal yang berada

di wilayah kerjanya. Maka, semua kewenangan dan tugas yang akan

dilakukan harus berdasarkan kordinasikan dengan organisasi vertikal

diatasnnya, yaitu tugas dari bupati/walikota melalui camat.

12
Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional...,
h.132.
63

B. Analisis Konsep Desa Dan Kelurahan Berdasarkan Pasal 1 ayat (2)

UUDNRI 1945 Tentang Kedaulatan Rakyat

Salah satu prinsip dasar kehidupan bernegara Indonesia adalah

kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi. Hal itu

ditegaskan dalam alinea empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

republik Indonesia Tahun 1945,”...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan

Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang

berkedaulatan rakyat…”

Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 juga mengatur mengenai kedaulatan rakyat, dalam Bab I tentang

Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (2) disebutkan, "Kedaulatan adalah di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Ketentuan-

ketentuan di atas, semakin mempertegas bahwa kedaulatan negara Indonesia

adalah berlandaskan pada asas kedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat merupakan kedaulatan yang menggambarkan suatu

sistem kekuasaan dalam sebuah negara yang menghendaki kekuasaan

tertinggi dipegang oleh rakyat. 13 Ajaran ini memberi kekuasaan tertinggi

kepada rakyat atau disebut juga dengan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat

untuk rakyat.14 Pada prinsipnya, kedaualatan rakyat merupakan cara termudah

13
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara, cet.I,
(Bandung: Fajar Media, Agustus 2013), h. 191-192.
14
Soehino, Ilmu Negara, cet.VI, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005), h. 124
64

untuk memecahkan masalah berdasarkan sistem tertentu yang memenuhi

kehendak umum.15

Kedaulatan rakyat dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan


16
demokrasi, sebagaimana dikatakan oleh Merphin Panjaitan, bahwa,

demokrasi merupakan pemerintahan rakyat. Rakyat memerintah diri mereka

sendiri, dengan memilih sebagian dari mereka menjadi penyelenggara negara

yang bertugas melayani rakyat sesuai dengan kehendak rakyat. Hal ini

merupakan bentuk pengakuan atas kesetaraan manusia, sehingga tidak

seorangpun dapat memerintah tanpa persetujuan rakyat.17

Pemerintahan desa merupakan pemerintahan dengan konsep yang

beragam. Desa merupakan sebuah penggambaran dari heterogenitas dari

sebuah bangsa dan konsep penerapan yang tepat adalah pruralisme hukum

dalam arti yang kuat (strong legal pruralism). Menurut Josef Riwu Kaho,

daerah-daerah di Indonesia memilki kekhasan tersendiri yang berbeda satu

sama lainnya, baik dari segi geografis, adat istiadat, budaya, agama,

bahasa,ekonomi, dan sebagainya.18

Asas kedaulatan rakyat diimplementasikan dalam sistem pemerintahan

desa, baik desa pada umumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang

tentang desa, maupun desa adat yang mengatur kehidupan mereka

15
A. Salaman Maggalatung dam Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori..., h. 194.
16
Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, cet.I, (Jakarta: Media Bangsa, Desember
2012), h. 104.
17
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi..., h. 1.
18
Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h.
20-22.
65

berdasarkan adat istiadat setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 107

undang-undang tentang desa, yang menjadikan desa sebagai tatanan

pemerintahan terendah yang demokratis.

1. Desa

Penerapan kedaulatan rakyat diwujudkan dalam beberapa hal.

Pertama, Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

menegaskan bahwa, pemilihan kepala desa secara langsung oleh warga

desa yang dimulai dari tahap pencalonan melalui penjaringan dan

penyaringan calon kepala desa oleh panitia pemilihan, berlanjut pada

proses pemungutan suara, dan penetapan kepala desa.

Kedua, pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang

merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah

yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. BPD terdiri dari 1 (satu)

orang ketua, 1 (satu) wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris yang

dipilih dari anggota BPD sendiri. Jumlah anggotanya ganjil, paling

sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang. Anggota

BPD tidak merangkap jabatan sebagai bagian dari pemerintah desa.19

Ketiga, adanya forum musyawarah desa sebagaimana tercantum

dalam Pasal 54 ayat (1) yang menerangkan Musyawarah Desa sebagai

sebuah forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan

Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa

19
Pasal 56, 57, 58, 59 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
66

untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

2. Desa Adat

Masyarakat adat memilki sifat demokratis dimana kepentingan

bersama lebih di utamakan dibandingkan kepentingan perorangan.

Demokrasi dan keadilan dalam masayakat hukum adat berjalan bersama

dengan nilai komunal dan gotong royong dalam masyarakat adat. Prilaku

demokrais dipengaruhi oleh nilai kekuasaan umum, asas musyawarah,

dan perwakilan dalam sistem pemerintahan.20

Pada pemerintahan desa adat yang menyelenggarakan

pemerintahannya berdasarkan nilai-nilai setempat, nilai kedaulatan rakyat

diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Desa adat di Jawa

misalnya, penerapan asas kedaulatan rakyat memiliki kesamaan dengan

penerapan pemerintahan desa pada umumnya sebagai mana tercantum

dalam undang-undang tentang desa.

Desa-desa di Jawa memiliki kepala desa yang dipilih dari warga

desa yang dipercaya. Kebijakan desa dibuat oleh warganya sendiri, dan

masyarakat ikut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Lurah (kepala

desa) beserta perangkatnya adalah badan eksekutif. Rapat desa (rembuk

desa) merupakan badan legislatif yang membuat kebiajakan desa.

Desa-desa di daerah Bali, memiliki susunan formal dengan

beberapa alat kelengkapan desa, diantaranya adanya rapat desa yang

20
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, & hukum nasional, cet.II,
(Jakarta: Kencana, Januari 2011), h. 242.
67

terdiri dari semua perhimpunan desa, para pengurus desa, banjar (rukun

kampung yang dilengkapi pengurus banjar dan rapat banjar), dan subak

(daerah sepengairan atau gabungan para pemilik sawah untuk

menyelenggarakan pengairan).21

Lain halnya dengan pemerintah negeri di Ambon terdiri dari

pejabat-pejabat yang duduk di dalam sariri rajapati, wakil-wakil soa

yang bukan kepala soa, kepala adat, dan golongan yang terdiri dari

kepala soa tanah, tamaela ama haha, tukang, cendikiawan, kewang

darat dan kewang laut, petugas-petugas di bidang kerohanian yang

berjumlah 12-15 orang dan bertugas sebagai badan legislatif yang dipilih

menurut tata cara yang berlaku.22

Berdasarkan penjelasan dari dua sistem pemerintahan desa tersebut di

atas, baik desa yang pengaturannya berdasarkan undang-undang tentang desa

maupun desa adat yang pengaturannya berdasarkan nilai adat-istiadat yang

hidup dimasyarakatnya, menggambarkan suatu mekanisme pemerintahan

yang demokratis dan mampu mengembangkan masyarakatnya menjadi

masyarakat yang proaktif dalam berbagai kegiatan dan pengambilan

kebijakan pada tatanan pembangunan dan pemerintahan di pedesaan.

Khusus pada desa adat, tiga contoh tersebut di atas menggambarkan

keanekaragaman adat yang berkembang di masyarakat dan penerapan sistem

pemerintahannya. Pengisian jabatan dan susunan pemerintahan dilaksanakan

21
Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, cet. I, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Yustisia, 2012), h. 22.
22
Lease dan Ziwar Efendi, Hukum Adat Ambon, cet. I, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987),
h. 39-40.
68

berdasarkan sistem kekeluargaan yang didahului dengan rapat

permusyawaratan untuk mendapatkan dasar sekato (suara bulat) oleh seluruh

warga (di Jawa dan Bali) atau antara seluruh kepala rakyat dari persekutuan.23

Selain terlihat dalam penyelenggaraan pemerintahan, desa dalam

konsep adat juga menerapkan konsep musyawarah dalam setiap penyelesaian

sengekta yang terjadi di antara warga masyarakat hukum adat sebagai salah

satu filosofis dan ciri masyarakat hukum adat yang diiringi dengan penerapan

sanksi dan hukum adat dalam penyelesaian sengeketa yang terjadi.24

Sebagai contoh lain dapat kita lihat dalam peneyelesaian sengekta pada

masyarakat hukum adat di Aceh dalam wilayah teritori sebuah gampong yang

kental dengan nuansa Islam. Penyelesaian sengeketa dilakukan dengan

bentuk-bentuk seperti Di’iet25, Sayam26, Suloh27, dan Peumat Jaroe28. Selain

itu, peran ulama sangat terasa dalam setiap penyelesaian sengeketa dan

konflik adat yang terjadi.29

23
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, cet.X, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 127.
24
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat..., h. 248.
25
Di’iet berasal dari istilah arab diyat, yang bermakna pengganti jiwa atau pengganti
anggota tubuh yang hilang atau rusak. Pengganti ini berupa harta, baik bergerak maupun tidak
bergerak.
26
Sayam adalah bentuk konpensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana ringan
terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau tidak berfungsinya
anggota tubuh dan akibat darah yang keluar dari tubuh seseorang akibat penganiayaan.
27
Suloh merupakan upaya perdamaian antarpara pihak yang bersengketa di luar kasus
pidana. Suloh ditunjukan pada kasus-kasus perdata dan kasus yang tidak melukai anggota tubuh
manusia.
28
Peumat jaroe merupakan prosesi saling berjabat tangan antara para pihak yang
bersengketa, baik dalam kasus pidana maupun perdata sebagai simbol perbaikan hubungan antara
kedua belah pihak.
29
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat..., h. 253-271.
69

Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa tersebut di atas sesuai dengan apa

yang difirmankan oleh Allah SWT. dalam Al-Quran yang terkait penerapan

musyawarah sebagai wujud implementasi sistem pemerintahan demokrasi

yang melibatkan masyarakat, bahkan berbagai golongan masyarakat dalam

menyelesaikan masalah dan mencapai kesepakatan bersama perlu melakukan

musyawarah. Di dalam Al-Quran surat Ali-„Imran ayat 159 dan surat Al-

Syuuraa ayat 38, Allah SWT. menerangkan:

Artinya: “Oleh karena rahmat Allah jualah maka kau berlaku lunak-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kau bertabi’at kasar dan berhati kejam, tentu
mereka lari cerai-berai meninggalkanmu. Karena itu ma’afkanlah mereka
dan mohonkanlah ampunan untuknya, serta bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan tertentu. Selanjutnya bila telah mengambil keputusan
setelah bermusyawarat, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang bertawakal .”30

Artinya: “Mereka yang mematuhi panggilan Tuhannya, mereka yang

mengerjakan shalat, mereka memusyawarahkan urusan mereka antara

sesama, mereka yang meyumbangkan sebagian rezeki yang Kami berikan

kepadanya.” 31

30
Bachtiar Surin, Adz Dzikra-Terjemah & Tafsir Alquran dalam Huruf Arab & Latin,
cet.X, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 286.
31
Ibid., h. 2087.
70

Desa merupakan tatanan pemerintahan yang otonom berdasarkan norma

dan aturan hukum masyarakatnya. Sementara itu, kelurahan merupakan

satuan pemerintahan administrasi yang hanya merupakan kepanjangan

tangan dari pemerintahan kabupaten/kota. Jadi, kelurahan bukan badan

hukum melainkan hanya sebagai tempat beroperasinya pelayanan

pemerintahan dari pemerintahan kabupaten/kota di wilayah kelurahan.32

Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah

penduduk yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung

dibawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya

sendiri. Dapat dikatakan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah

sebagai perangkat daerah kabupaten/kota diwilayah kerja kecamatan.33

Kelurahan merupakan wilayah pelayanan administrasi dari

kabupaten/kota. 34 Dengan sifat kewenangan administratif yang dimilki

tanpa adanya kewenangan otonomi, maka dapat dikatakan bahwa, kelurahan

tidak mencerminkan penerapan nilai-nilai kedaulatan rakyat pada penerapan

sistem pemerintahannya.

Selain itu, hak otonomi dalam bentuk daerah otonom adalah jalan bagi

penyebarluasan kekuasaan negara ke seluruh wilayah negara. Hal ini akan

berdampak mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat sebagai pemilik

kedaulatan negara dan akan memperkuat kendali rakyat terhadap

32
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan..., h. 1.
33
Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, Republik Desa-Pergulatan Hukum Tradisional..., h.
132. Hal ini juga tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang
Kelurahan.
34
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan penyelenggaraan..., h. 3.
71

penyelenggaraan negara. Daerah otonom adalah bagian dari wilayah negara

yang memilki pemerintahan daerah dan merupakan instrumen untuk melayani

rakyat di daerah35.

Otonomi daerah dalam bentuk daerah otonom memilki daerah yang

memiliki kemandirian dalam mengurus pemerintahannya sendiri dan

menjadikan pusat-pusat kekuasaan negara tersebar luas di seluruh wilayah

negara. Kondisi seperti ini akan kondusif bagi pengendalian proses

penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh rakyat, dan bagi pemerintah

daerah akan mempermudah penentuan berbagai pelayanan publik yang

tepat dan cepat36.

Situasi dan kondisi seperti ini adalah sangat memungkinkan untuk

pemerataan pelayanan publik oleh pemerintah pusat maupaun daerah,

pemerataan pengembangan masyarakat dalam semua aspek kehidupan, baik

politik, ekonomi, pendidikan, hukum, budaya, maupun keamanan serta

peningkatan partisipasi politik masyarakat untuk kemajuan bersama.

Pelestarian lingkungan hidup juga lebih mudah untuk dilaksanakan, karena

pemerintahan daerah dan masyarakat dapat melakukannya bersama-sama

demi kepentingan semua pihak37.

35
Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi...,h. 145.
36
Ibid., h. 146.
37
Ibid., h. 148.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan terdahulu mengenai permasalahan yang dikaji, maka,

sebagai implikasi dari pokok-pokok bahasan, penulis mengemukakan

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Desa merupakan satuan pemerintahan terendah yang memilki hak

otonomi, hak untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri

berdasarkan hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dalam

bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula kelurahan

adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang

mempunyai organisasi pemerintah terendah dibawah kecamatan, yang

tidak memiliki kewenangan mutlak menyelenggarakan rumah tangganya

sendiri.

2. Bahwa desa, baik desa yang secara umum diatur sepenuhnya di dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maupun desa adat

yang pengaturan terkait mekanisme pemerintahan dan kehidupan sosial

masyarakatnya diatur oleh nilai dan norma yang hidup di dalam

masyarakatnya dalam bentuk adat-istiadat, yang merupakan suatu bentuk

tatanan pemerintahan yang demokratis.

Sementara itu, kelurahan dengan sifat pemerintahan yang

administratif merupakan suatu cerminanan bentuk pemerintahan yang

73
74

tidak demokratis berdasarkan asas kedaulatan rakyat sebagaimana di

tegaskan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1942, “Kedaulatan berada di

tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”. Hal

tersebut dapat dilihat dari perbedaan yang nyata dalam hal, diantaranya:

a. Mekanisme pemilihan kepala pemerintahan antara desa dan

kelurahan. Desa melakukan pemilihan kepala pemerintahan dengan

mekanisme pemilihan kepala desa langsung oleh warga masyarakat,

sebagaimana diatur di dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa, ataupun dengan cara musyawarah

mufakat antar warga masyarakat dalam mekanisme pemerintahan

adat sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 undang-undang tentang

desa. Sementara itu, lurah dipilih oleh bupati/walikota atas usulan

camat, sebagamana diatur di dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan;

b. Hak otonomi yang diwujudkan dengan pelaksanaan pemerintahan

berdasarkan hak asal usul sebagaimana di tegaskan dalam Pasal 19

undang-undang tentang desa, pembentukan peraturan perundang-

undangan desa sebagai bentuk kemandirian dalam mengurus dan

menentukan arah kebijakan demi mencapai kepentingan bersama

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69 dan 70 undang-undang

tentang desa, dan keikut sertaan masyakarakat dalam proses

pembentukan kebijakan-kebijakan desa sebagaimana ditegaskan


75

dalam Pasal 67, 68, dan 69 ayat (9) dan (10) undang-undang tentang

desa yang tidak dimiliki oleh pemerintahan kelurahan;

c. Penyelesaian masalah yang terjadi di dalam masyarakat, terutama

masyarakat desa adat, yang kental dengan mekanisme musyawarah

mufakat dan penyelesaian secara adat demi mencapai keadilan

bersama, berbeda dengan masyarakat kelurahan yang tidak memilki

sistem nilai sehingga penyelesaian sengketa berlangsung pada

tatanan hukum nasional di tingkat peradilan;

B. Saran

Setelah dikemukakan kesimpulan dari seluruh uraian dari bab-bab

terdahulu, maka pada akhirnya penulis mengemukakan saran sebagai berikut:

1. Adalah sebaiknya bentuk pemerintahan administratif kelurahan

digantikan dengan model sistem pemerintahan desa yang lebih sesuai

dengan penerapan asas kedaulatan rakyat yang diterapkan di dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam suatu konsep

daerah otonom, bukan daerah administratif.

2. Adalah sebaiknya jika pengaturan tentang desa adat dan desa berdasarkan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dilakukan secara

terpisah untuk memberi kepastian pengaturan dan mekanisme

pelaksanaan yang lebih spesifik demi menjamin kepastian hukum dalam

melaksanakan kegiatan pemerintahan dan mekanisme perlindungan

masyarakat adat serta nilai-nilai yang ada di dalamnya secara

menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Albrow, Martin, Birokrasi, Penerjemah M. Rusli Karim dan Totok


Daryanto, cet.III. Yogyakarta: Tiara Wacana, Januari 2005.

Abbas, Syahrizal, Mediasi dalam hukum syariah, hukum adat, & hukum
nasional, cet.II. Jakarta: Kencana, Januari 2011.

Astuti, Ngudi, Pancasila dan Piagam Madinah, cet.I. Jakarta: Media


Bangsa, Desember 2012.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi, cet.IV. Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Gaffar, M. Jenedjri, Demokrasi Konstitusional (Praktek Ketatanegaraan


Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945). Jakarta: Konstitusi Press,
Oktober 2012.

Garner, Brian A. Ed., Black’s Laws Dictionary, cet.XI. United States of


America: Thomson Bussiness, 2004.

Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerjemah


Asril Marjohan, cet.II. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, September
2001.

Huda, Ni’matul, Ilmu Negara, cet.IV. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Juni 2012.

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesa, cet.II.


Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, Mei 2008.

Kusnardi, Moh., Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara


Indonesia, cet.VIII. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI
dan CV. Sinar Bakti, 1988.

Kusnardi, Moh., Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.VII. Jakarta: Graha


Media Pratama, September 2008.

Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, cet.IV. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 1999.

Lease, Ziwar Efendi, Hukum Adat Ambon, cet. I, Jakarta: Pradnya Paramita,
1987.

76
77

Magnis, Franz, Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar


Kenegaraan Modern, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Maggalatung, A. Salman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik hukum


Indonesia (Perspektif Hukum Islam), Jakarta: Focus Grahamedia,
2012.

Maggalatung, A. Salman, Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu


Negara, cet.I. Bandung: Fajar Media, Agustus 2013.

Nasution, Adnan Buyung, Demokrasi Konstitusional, Jakarta: PT. Kompas


Media Nusantara, Juli 2010.

Nurcholis, Hanif, Pertumbuhan dan penyelenggaraan pemerintahan desa,


cet.XIV, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011.

Ngani, Nico, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, cet. I, Yogyakarta:


Penerbit Pustaka Yustisia, 2012.

Panjaitan, Merphin, Logika Demokrasi: Menyongsong Pemilihan Umum


2014, cet.I. Jakarta: Permata Aksara, 2013.

Pratiknya, Ahmad Watik, Pandangan dan Langkah Reformasi B.J Habibie,


cet.I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Prasetyo, Teguh, Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Ilmu Hukum:


Pemikiran Menuju Masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

Ravitch, Diane, Abigail Thernstrom, Ed. Demokrasi: Klasik dan Modern-


Tulisan Tokoh-Tokoh Ulung Sepanjang Masa, Penerjemah Hermoyo,
cet.II. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Mei 2005.

Surin, Bachtiar, Adz Dzikra-Terjemah & Tafsir Alquran dalam Huruf Arab
& Latin, cet.X. Bandung: Angkasa, 1991.

Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Penerjemah SPA


Teamwork, cet.II. Bandung: Nusa Media, 2008.

Soehino, Ilmu Negara, cet.VII. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2005.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers,


2009.

__________, Hukum Adat Indonesia, cet.X. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.


78

Sukriono, Didik, Hukum, Konstitusi, dan Konsep Otonomi: Kajian Politik


Hukum Tentang Konstitusi, Otonomi Daerah dan Desa Pasca
perubahan Konstitusi, cet.I, Malang: Setara Perss, Juni 2013.

Syafiie, Inu Kencana, Pengantar Ilmu Pemeirntahan-Edisi Revisi, cet.II.


Bandung:Refika Aditama, 2001.

Syaukani, H.R., Afan Gaffar, M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam


Negara Kesatuan, cet.III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Sumantri, Bambang Trisantono, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan


Desa. Bandung: Fokusmedia, Januari 2011.

Syafrudin , Ateng, Suprin Na’a, Republik Desa-Pergulatan Hukum


Tradisional Dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi
Desa.Bandung: Alumni, 2010.

Sarundajang, S.H., Arus balik kekuasaan pusat ke daerah, cet.VI. Jakarta:


Pustaka sinar harapan, oktober 2012.

Tutik, Titik Triwulan, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia,


T.t.t, Prestasi Pustakaraya, 2010.

__________, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen


UUD 1945, cet.II. Jakarta: Kencana, 2011.

Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi ke-empat, cet.I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008.

Widjaya, H.A.W., Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, cet.II. Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Widjaya, H.A.W., Otonomi Desa Merupakan Otonomi Asli, Bulat, dan


Utuh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Yunus, Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, T.t.t,


Jurisprudance Press, 2012.

Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi ke-empat, cet.I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara


79

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pedoman


Administrasi Kelurahan

C. Artikel, Jurnal, dan Dokumen Online

Diakses pada 23 Juli 2013, dari http://birokrasi.kompasiana.com


/2012/10/01/ otonomi-desa-1/.

Jimly Asshiiqie, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, artikel diakses pada
05 Aguatus 2013 dari http://jimly.com/makalah/namafile/
2/DEMOKRASI_DAN_ HAK_ASASI_ MANUSIA.doc.

__________, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dokumen diakses pada


05 agustus 2013 dari http://jimly.com/pemikiran/getbuku/9.

Anda mungkin juga menyukai