SKRIPSI
Oleh:
MUHAMAD SYAHRUL SYIDIK
11160220000072
OLEH:
Muhamad Syahrul Syidik
NIM: 11160220000072
Pembimbing
i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Prof. Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag Drs. H. Azhar Saleh, M.A
NIP: 195608171986031006 NIP: 195810121992031004
Pembimbing,
iii
ABSTRAK
Nama :Muhamad Syahrul Syidik
NIM :11160220000072
Program Studi :Sejarah dan Peradaban Islam
Judul Skripsi :Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap
Kehidupan Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Tahun
1967-1998.
Penelitian ini berupaya untuk menganalisis mengapa suatu kebijakan
perlu untuk diterapkan dan bagaimana dampak yang diterima etnis Tionghoa
dari penerapan kebijakan tersebut. Penulisan skripsi ini menggunakan
metode historis dengan menggunakan pendakatan sosiologi dan politik, yang
diperkuat dengan teori kebijakan publik yang dikemukan oleh Thomas R Dye
yang dimuat dalam buku Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi.
Sumber atau data yang digunakan dalam penelitin ini menggunakan arisp
atau dokumen, wawancara dan observasi lapangan.
Adapun temuan dari penelitian ini adalah latar belakang munculnya
suatu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru tidak terlpas
dari kondisi sosial dan politik bangsa yang sedang genting terlebih pasca
tragedi 1965 yang menempatkan etnis Tionghoa ikut terlibat dalam upaya
kudeta. Sedangkan penerapan kebijakannya sendiri meliputi berbagai bidang
kehidupan seperti sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan. Dampak
kebijakan yang sangat terasa bagi etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea
sendiri yaitu dari pembatasan dalam bidang keagamaan dan kebudyaan yang
secara tidak langsung telah menghilangkan identiats ketionghoaan mereka,
selin itu bidang administrasi juga dianggap sangat merugikan karena bagi
etnis Tionghoa yang ingin memiliki surat bukti kewarganegaraan harus
mencatumkan agama resmi yang diakui, sedangkan ketika itu Konghucu
belum diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
iv
ABSTRACT
Name :Muhamad Syahrul Syidik
NIM :11160220000072
Departement :History and Islamic Civilization
Thesis titel :The Impact of Government Policies on the lives of the Chinese
ethnic group in Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor 1967-1998.
This research aims to analyze why a policy needs to be implemented
and how it the impacts tha Chinese etnic group. This thesis used a ahistorical
methode with a socialogiacl anda politiacl aproach, supported by the public
policy theory proposed by Thomas R Dye in the book Publik Policy,
Concept, Theory and Application. The sources in this study used archives or
documents, interview and filed observations.
The findings of this reseacrch indicate that the emergence of a policy
implemented by the new government is closeley related to the social and
political conditions of the nation, especially after 1965 tragedy, where the
Chinese ethnic was involved in coup attempts. The implementation of the
policy covers various aspects of life, including social, political, cultural and
religious domains. The impact of the policy on the Chinese ethnic group in
Ciampea distric is particulary evident in the restrictions on religious and
cltural practices, indirectly eroding their Chinese identity. Additionaly, the
administrative filed ise also considered detrimental because Chinese
individuals who wish to have proof of citizenship must declare an officailly
recognized religion, whie confuciansim was not yet recognized as an official
religion in Indonesia ath that time.
Keyword: Public Policy, Assimilation, Chinese Ethnic, Ciampea, Chinese
History
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahi Rabil’alamiin. Puji syukur atas segala rahmat Allah
SWT yang telah memberikan begitu banyak kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sangat baik. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabatnya serta kepada seluruh umatnya.
Skripsi ini berjudul “Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor Tahun 1967-1998” yang merupakan salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1) Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis sangat mengapresiasi kepada seluruh pihak yang
memberikan bantuan, dukungan serta doa-doa baik untuk kelancaran proses
penulisan skripsi ini. Adapun ungkapan terima kasih serta apresiasi yang
tinggi penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ade Abdul Hak, M.Hum selaku Ketua Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora.
3. Dr. Zakiya Darojat, M.A selaku Ketua Program Studi Sejarah
dan Peradaban Islam.
4. Nurhasan, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima
kasih telah memberikan bimbingan selama penulis berkuliah dan
membantu dalam proses penyusunan draf awal proposal skripsi
penulis.
5. Dr. Johan Wahyudi, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah memberikan ilmu, meluangkan waktu, dan
membimbing penulis dalam menyelesaikan proses penulisan
skripsi ini.
6. Prof. Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag dan Drs. H. Azhar Saleh,
M.A selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah memberikan saran-
saran terbaiknya serta memberikan wawasan yang luas sehingga
penulis dapat lebih mengembangkan penulisan skripsi ini ke arah
yang lebih baik.
vi
7. Dosen Sejarah dan Peradaban Islam yang telah memberikan
pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama perkuliahan.
8. Kristan, Unki, Usin, Ja’far selaku narasumber yang telah banyak
membantu penulis dan memberikan informasi yang berkaitdan
dengan skripsi yang sedang dikaji.
9. Kedua orang tua tercinta Siti Hasanah dan Margani yang selalu
menjadi penyemangat yang senantiasa memberikan motivasi,
dukungan, kasih sayang, serta doa-doa terbaik sepanjang hidup
penulis hingga dewasa ini. Serta teruntuk seluruh keluarga besar
penulis yang telah memberikan dukungan serta doa-doa baik bagi
kelancran dalam proses penulisan skripsi ini.
10. Syifa, Riska, Ahfad, Yus, Ahmadi, dan Helmi yang selalu
memberi dukunagn dan motivasi dalam proses penyusunan
skripsi ini.
11. Rekan-rekan Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka Uin Jakarta
angkatan 2016, khususnya Acho, Liong dan Fadil yang
menemani semasa perkuliahan sampai dengan akhir.
12. Teman-teman seperjuangan Program Studi Sejarah dan Peradaban
Islam, khusunya anggota kelas SPI C 2016, yang selalu
merangkul dan memberikan motivasi bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
13. Terima Kasih untuk anggota grup wisuda 129, terkhusus Cokew,
Awi, Akmal, Ujang, Anas, Faiqah, yang selalu memberikan
dukungan serta nasihat, saling bahu-membahu dalam
menyelesaikan tugas akhir.
Sekian ungkapan terima kasih dan apresiasi ini. Penulis
memiliki harapan semoga skripsi ini bermanfaat serta dapat
menambah wawasan bagi para pembaca.
vii
DAFTAR ISI
viii
C. Sumber Primer..........................................................................................
....................................................................................................4
D. Literature Riview......................................................................................
....................................................................................................6
E. Signifikansi yang Diharapkan..................................................................
....................................................................................................8
F. Metodologi Penelitian...............................................................................
....................................................................................................8
G. Kerangka Berpikir....................................................................................
..................................................................................................12
BAB II LATAR BELAKANG ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA......
..........................................................................................................................
14
A. Etnis Tionghoa Pada Masa Kemerdekaan.............................................
................................................................................................................
20
1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pemerintahan Orde Lama............
.................................................................................................
20
2. Etnis Tionghoa Pada Masa Pemerintahan Orde Baru..............
.................................................................................................
24
B. Etnis Tionghoa Di Bogor.......................................................................
................................................................................................................
27
1. Kedatangan Etnis Tionghoa Di Ciampea.................................
.................................................................................................
27
2. Kondisi Sosial dan Geografi etnis Tionghoa Di Kecamatan
Ciampea...................................................................................
.................................................................................................
28
3. Sejarah Kelenteng Hok Tek Bio..............................................
.................................................................................................
31
4. Pecinan Di Sekitar Kelenteng Hok Tek Bio............................
.................................................................................................
32
ix
BAB III PENERAPAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA.............................................................
..........................................................................................................................
35
A. Penerapan Inpres No.14 Tahun 1967 ...................................................
..............................................................................................................
35
1. Bidang Agama.........................................................................
.................................................................................................
38
2. Bidang Sosial Kebudayaan......................................................
.................................................................................................
40
B. Penerapan Kepres No.13 Tahun 1980 .................................................
..............................................................................................................
41
C. Penerapan Inpres No. 26 Tahun 1998...................................................
..............................................................................................................
47
BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DI KECAMATAN CIAMPEA
KABUPATEN BOGOR TAHUN 1967-1998................................................
..........................................................................................................................
51
A. Dampak Dalam Bidang Agama............................................................
...............................................................................................................
51
B. Dampak Dalam Bidang Sosial Kebudyaan dan Pendidikan.................
...............................................................................................................
53
C. Dampak Dalam Bidang Administrasi dan Politik.................................
...............................................................................................................
55
D. Dampak Inpres No.26 Tahun 1998.......................................................
...............................................................................................................
59
BAB V PENUTUP..........................................................................................
..........................................................................................................................
62
x
A. Kesimpulan...........................................................................................
..............................................................................................................
62
B. Sarsan ...................................................................................................
..............................................................................................................
62
Lampiran.........................................................................................................
..........................................................................................................................
70
Biodata Penulis................................................................................................
..........................................................................................................................
111....................................................................................................................
DAFTAR TABEL
xi
Bogor Tahun 2017
DAFTAR LAMPIRAN
xii
Lampiran 1 : Arsip Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967
xiii
Lampiran 16 : Transkip wawancara dengan Bilih atau Unyan, juru parkir
disekitar Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan multikultural yang
terdiri dari bermacam suku, ras, budaya dan etnis. Hal itu tergambar jelas
dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Menurut Mark Lopez penggunaan
multikultralisme adalah acuan terhadap fakta dan sosiologi empiris atau
dalam kasus ini dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan masyarakat
multibahasa yang beraneka ragam dilihat dari sudut pandang etnis dan
budaya.1 Di Indonesia terdapat bermacam lapisan masyarakat, salah satunya
etnis yang merupakan masayarakat keturunan asing yang menetap dan
menjadi warga Negara Indonesia seperti etnis Arab, Melayu dan Tionghoa.
Etnis Tionghoa merupakan kelompok imigran yang berasal dari
Kawasan Asia Timur tepatnya dari daerah Tiongkok. Sebenarnya terdapat
beberapa perbedaan dalam penyebutan bagi kelompok imigran ini yaitu Cina
dan Tionghoa, dari segi bahasa kata Cina berasal dari sebuah dinasti pertama
yaitu dinasti Chi’n atau Qin yang menyatukan seluruh wilayah Tiongkok,
sedangkan kata Tionghoa berasal dari Zoungha yang diambil dari nama suku
yang pertama kali menempati negeri tersebut, yang kemudian menjadi
tempat muncul dan berkembangnya kebudayaan Tiongkok.2
Perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia terjadi begitu pesat, hal
ini dinilai sangat mengkhawatirkan sehingga pemeritah mengeluarkan
beberapa peraturan terkait kebijakan pemerintah terhadap kehidupan etnis
Tionghoa di Indonesia yang ditujukan untuk proeses percepatan asimilasi
atau upaya pemerintah dalam melebur masyarakat kedalam satu ideologi.
Kebijakan ini sediri bersifat Sentralisasi atau kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat yang di ikuti oleh pemeirntah daerah. Adapun
kebijakan tersebut diantaranya :
Kebijakan dibidang ekonomi, dimana masalah ekonomi menjadi hal yang
sangat krusial, terlebih ketika masa Pemerintahan Orde lama di tahun 1956.
Terjadi salah satu Gerakan ekonomi yaitu Gerakan Assaat yang merupakan
program ekonomi yang diinisiasi oleh Mr. Assaat dengan tujunan
meningkatkan produktivitas pengusaha pribumi dan melindungi mereka dari
dominasi ekonomi asing serta keturunan Cina.3
1
Charles A Coppel, “Kendala-kendala Sejarah Dalam Penerimaan Etnis Cina
Yang Multikultural” Artikel Antropologi Indonesia
2
Hasanul Rizqa, “Dari Mana Asal Kata China,” Republika.co.id, April 1, 2019.
3
Charles A Coppel, “Tionghoa Indonesia Dalam Krisis” (Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1994),57-82
1
2
16
Leo Suryadinata,”Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002”
(Jakarta, Pustaka LP3ES 2005).
17
Mohammad Zaenal and Retno Winarni, “Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Indonesia
Terhadap Etnis Tionghoa Di Kota Malang Tahun 1967-2000” 5 (2017): 7.
18
Charles A Coppel, “Kendala-kendala Sejarah Dalam Penerimaan Etnis Cina Di
Indonesia Yang Multikultural” Artikel Antropologi Indonesia, (2003)
8
19
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 69.
20
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), 37.
21
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), 69.
9
2. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi politik,
menurutDDudung Abdruahman pendekatanGsosiologi adalah
penggambaranSsuatu peristiwaDyang telahDterjadi pada masa lampauJyang
di dalamnya akan terungkap segi-segi sosial. Bentuk dari segi sosial sendiri
terdiri dari beberapa aspek seperti golonganAsosial, JenisAhubungan sosial,
konflikSberdasarkan kepentingan, perananFdan statusMsosial.23
Sementara menutut para sosiolog moderen mendefinisikanHsosiologi
sebagai suatuMilmu yang membahas tentang kelompok-kelompok sosial dan
studiSmengenai interaksi manusiaSdan interelasinya. sedangkan pendekatan
sosiologi adalah studiDtentang masyarakat yang dipandang dari satuDsegi
22
Haryono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya,
1995), 102.
23
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, 22.
10
G. Kerangka Berpikir
Temuan
13
14
agar hal serupa tidak terjadi lagi, pada bulan Februari 1954 PDTI
memutuskan untuk membentuk suatu organisasi masa yang kelak
akan menangani segala kepentingan etnis Tionghoa. Dalam
pembentukannya terdapat beberapa organisasi yang ikut hadir ketika
itu di antaranya Persatuan Warga Negara Indonesia Tionghoa
(Perwanit), Perserikatan Tionghoa Peranakan (Pertip), dan Persatuan
Warga Negara Turunan Tionghoa (Perwitt).
Setelah melalui perundingan panjang, akhirnya pada hari
Sabtu 13 Maret 1954 dibentuk suatu organisasi yang beranama Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia atau BAPERKI
sedangkan tokoh yang menjadi ketuanya adalah Siaw Giok Tjhan.
Tujuan utama didirikannya organisasi ini adalah untuk
memperjuangkan perwujudan cita-cita nasional, dalam hal ini setiap
orang menjadi warga negara yang seutuhnya. Memperjuangkan
pelaksanaan prinsip demokrasi dan prinsip prikemanusiaan dan
memperjuangkan perwujudan persamaan hak dan kewajiban, serta
perlakuan yang adil bagi setiap warga negara tanpa memandang
perbedaan yang didasari atas suku, ras, kebudayaan, adat istiadat dan
agama.29
Dalam perjuangannya BAPERKI menuntut persamaan hak di
antara setiap warga negara terutama dalam hal kepemilikan tanah,
pendidikan, pengembangan kebudayaan dan agama. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka BAPERKI menganjurkan anggotanya untuk
berperan aktif dalam politik. Dalam menyelesaikan masalah
minoritas Tionghoa, BAPERKI di bawah kepeimpinan Siau Giok
Tjhan berupaya mengembangkan suatu paham yang dinamakan
dengan nation building dan integritas. Paham ini merupakan sebuah
doktrin untuk membangun nation atau bangsa yang bersih dari sikap
diskriminasi rasial dan menuntut adanya persamaan hak dan
kewajiban bagi setiap warga negara tanpa memandang perbedaan dan
mengintegritaskan etnis Tionghoa secara utuh kedalam tubuh bangsa.
Doktrin ini meyakini bahwa konsep kemajemukan atau pluralisme
yang tertanam dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah suatu
keharusan bagi bangsa yang majemuk.
Sebaliknya etnis Tionghoa yang menolak doktrin integrasi
memutuskan untuk mengembangkan doktrin asimilasi. Pada tanggal
24 Maret 1960 yang bertempat di Jakarta. 10 orang tokoh peranakan
Tionghoa mengeluarkan suatu pernyataan asimilasi yang dengan
tegas menyatakan bahwa masalah minoritas hanya dapat diselesaikan
dengan jalan asimilasi. Kemudian setahun berikutnya pada tanggal
13-15 Januari 1961 diselenggarakan suatu kegiatan di Bandung
29
Ibid, 724-732
16
negeri yang tidak kondusif. Hal ini merupakan dampak dari upaya
pemberontakan yang dilakukan pada tahun 1965 atau yang dikenal
dengan G30S. Dengan meletusnya pristiwa tersebut mengharuskan
setiap orgnisasi sosial politik untuk menyatakan sikap secara terbuka.
Sementara bagi organisasi kecil seperti Lembaga Pembina Kesatuan
Bangsa atau LPKB dan BAPERKI hanya bisa menunggu
perlindungan dari para pendukungnya yaitu PKI dan angkatan darat
yang menyatakan sikap.
Baik BAPERKI maupun LPKB tidak mengeluarkan suatu
pernyataan apapun mengenai pristiwa yang terjadi sebelum
mengetahui gambaran yang jelas tentang gerakan tersebut.
Pernyataan pertama datang dari LPKB di tanggal 2 Oktober yang
berisi ungkapan rasa syukur bahwa Presiden berhasil diselamatkan
dari gerakan kontra revolusi, akan tetapi pernyataan tersebut baru
dimuat oleh Pers Angkatan Bersenjata pada tanggal 4 Oktober.
Sedangkan siaran Pers LPKB yang kedua muncul sebelum tanggal
12 Oktober yang berisi seruan kepada Presiden untuk megembalikan
situasi yang tenang dan tertib.
Pada tanggal 19 Oktober 1965 LPKB menulis surat kepada
Presiden yang isinya berupa desakan agar membubarkan BAPERKI.
Menurutnya BAPERKI beserta anggotanya yang hampir keseluruhan
adalah etnis Tionghoa peranakan dan ikut serta dalam politik
cenderung mendorong konflik politik yang kemudian berubah
menjadi konflik rasial. Sebenarnya ada dua alasan mengapa
BAPERKI harus dibubarkan yang pertama adalah karena garis politik
yang dianut oleh mereka cenderung dekat dengan PKI yangg
kemudian menimbulkan tuduhan bahwa BAPERKI berperan sebagai
pemberi dana bagi PKI.
Faktor yang kedua yaitu disebabkan oleh beberapa oknum
yang memiliki persamaan ras yang memberikan dana pada PKI yaitu
pemerintah Tiongkok yang pada akhirya memberikan kecaman
terhadap angkatan bersenjata RI melalui radio Peking. Atas dasar
tersebut menurut LPKB hal itu dianggap sangat membahayakan bagi
keberlangsungan revolusi. Setelah surat dari LPKB yang ditunjukan
kepada Presiden tersebar luas dan mendapat dukungan dari pihak
militer. Akhirnya pada tanggal 3 Desember LPKB yang bekerjasama
dengan kekuatan militer berupaya untuk membekukan berbagai
kegiatan BAPERKI dan dilaporkan bahwa 25 Cabang BAPERKI
telah membubarkan diri.32
32
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisi (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 114–122.
18
No
Agama Jumlah
.
1. Islam 10.987
2. Katolik 61
3. Protestan 118
4. Hindu 54
5. Budha 277
6. Konghucu 277
(September 2, 2019).
41
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Kecamatan Ciampea Dalam
Angka (Bogor: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2021), 18–25.
23
No
Agama Laki-laki Perempuan
.
4. Hindu 74 68
BAB III
PENERAPAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA
A. Penerapan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967
46
Wawancara dengan Unki, Pengurus Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea
27
48
Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik
Dan Media, (Jakarta: Yayasan nabil dan LP3ES, 2012), 3–7.
49
Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta Selatan:
Trans Media, 2008), 742.
50
Mima Kharimah Aryani, “Inpres NO.14 Tahun 1967: Bentuk
Diskriminasi Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa,” Jejak Vol.2 No.2
(2022).
29
51
Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik
Dan Media, (Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012), 176.
52
Lesvia Chessiagi, Wawan Darmawan, Tarunasena, “Dinamika
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Tionghoa Dalam Bingkai Kebijakan Asimilasi
Orde Baru (1966-1998),” Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol.7 No.1
(2018).
30
1. Bidang Agama
Salah satu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
asimilasi adalah “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang
dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 6 Desember 1967 tentang
Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina”. Adapun ketetapan
yang menjadi perhatian dalam Inpres tersebut berisi dua poin utama.
Pertama, tanpa mengurangi jaminan keleluasaan dalam memeluk
agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Cina memiliki
aspek kebudyaan yang berpusat pada negeri leluhurnya,
pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan
keluarga atau perorangan. Kedua, menyebutkan perayaan-perayaan
pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok
di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.53
Bangsa dan negara mengakui bahwa kebebasan beragama
merupakan salah satu hak yang paling asasi diantara hak-hak
manusia. Karena kebebasan beragama bersumber dari martabat
manusia sebagai mahluk tuhan. Kebebasan beragama bukan
pemberian negara atau pemerintah, maka kehidupan beragama dalam
masyarakat majemuk haruslah menciptakan persatuan dan kesatuan.
Untuk itu dalam kehidupan beragama, perlu ditumbuhkan dan
dikembangkan sikap-sikap dan pemikiran yang mampu membimbing
pada pentingnya kebhinekaan beragama dengan menghormati satu
sama lain yang berasaskan pada UUD 1945.
Dalam Instruksi tersebut dijelaskan bahwa setiap acara
keagamaan atau yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat Cina
harus dilakukan secara tertutup dan tidak mencolok di depan publik.
Hal ini ditetapkan melalui beberapa pertimbangan dan bertujuan
untuk percepatan asimilasi yang digagas oleh pemerintah. Dengan
dikeluarkannya Inpres No.14 Tahun 1967 secara tidak langsung telah
membatasi aktivitas keagamaan bagi etnis Tionghoa. Meski terkesan
53
ANRI, “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1967).
31
setiap warga negara. Hal ini berlanjut sampai dengan tahun 1958
dengan dikeluarkannya Undang-undang No.62 Tahun 1958 yang
menjelaskan tentang status kewarganegaraan Indonesia yang muali
berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958.63
Pada tanggal 15 Juni 1968 Menteri Kehakiman
mengumumkan akan memperbaharui kebijakan tentang prosedur
naturalisasi bagi orang asing. Memasuki bulan November Menteri
Kehakiman kembali mengajukan rancangan undang-undnag kepada
Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan tindak lanjut dari
perjanjian Dwi Kewarganegaraan yang akan diatur kembali sesuai
dengan kepentingan nasional. Pada 16 April 1969 pemerintah
mengeluarkan undang-undang y64ang telah membatalkan perjanjian
Dwi kewarganegaraan. Dengan kata lain meskipun undang-undang
yang digunakan Dewan Perwakailan Rakyat untuk menetapkan
perjanjian UU No.2 Tahun 1958 sudah dicabut, akan tetapi hak-hak
seseorang yang status kewarganegaraannya telah ditetapkan
berdasarkan Undang-undang tidak akan terpengaruh.
Pertimbangan pemerintah dalam mengeluarkan RUU
mengenai status Dwi kewarganegraan karena perjanjian tersebut
dianggap menimbulkan beban administratif, akan tetapi perhatian
utama pemerintah adalah kehawatiran terhadap keamanan nasional
yang dirasa akan timbul dengan banyaknya etnis Tionghoa yang
masuk dan menjadi warga negara tanpa melalui penyaringan intelejen
yang memadai. Untuk meminimalisir dampak tersebut, pada tahun
1969 dalam rangka mencegah masyarakat asing mengubah pilihan
mereka setelah mencukupi persyaratan umur dalam yang ditetapkan
dalam perjanjian Dwi kewarganegaraan, maka setiap perubahan
status kewarganegaraan dimasa yang akan datang akan dilaksanakan
dengan pernyataan kesetiaan kepada negara yang dipilihnya dan
orang yang ingin memperoleh status kewarganegaraan harus
ditempuh dengan cara naturalisasi.65
Dalam proses administrasi publik, tanda pengenal menjadi
salah satu hal yang sangat penting karena itu merupakan persyaratan
untuk memasuki dunia pendidikan, menentukan hak pilih politik, dan
menikah. Hal itu juga berlaku bagi WNI keturunan asing termasuk
etnis Tionghoa. Mereka harus membuktikannya bahwa dirinya benar-
63
Devi Laksami, Penentuan Status Keimigrasian Dan Kewarganegaraan
(Jakarta: BPSDM Kementrian Hukum dan Ham Republik Indonesia, 2020), 7.
64
.
65
Charles A Coppel, Tonghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 294.
38
71
Arsip Kepustakaan Presiden, Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998
Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi , Situs
Website: https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id
42
BAB IV
DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEHIDUPAN
ETNIS TIONGHOA DI KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN
BOGOR TAHUN 1967-1998
Pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara naratif yang
digunakan sebagai sumber utama dalam peneltian ini, teknik wawancara
sendiri dilakukan dengan proses tanya jawab dengan narasumber yang
relevan. Hal ini dilakukan agar dapat menggali informasi lebih dalam tentang
masalah yang sedang dikaji yaitu “Dampak kebijakan pemerintah terhadap
kehidupan etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Tahun
1967-1998”.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, penulis berupaya
untuk memaparkan hasil atau temuan yang diperoleh yang kemudian
dipadukan dengan beberapa sumber lain seperti dokumentasi atau arsip. Hal
ini bertujuan agar penulis mendapatkan informasi yang sesuai dengan tema
yang sedang dikaji. Dalam upaya untuk memaparkan temuan tersebut,
penulis mengacu pada teori kebijakan publik yang di kemukan oleh Thomas
R Dye dengan menggunakan pendekatan political public policy atau
kebijakan publik yang hanya terfokus pada outcome atau dampak dari
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan fokus penelitian terhadap
etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor yang akan
dijabarkan dalam pembahasan berikut ini72.
A. Dampak Dalam Bidang Keagamaan
Pada tanggal 6 Desember tahun 1967 pemerintah Orde Baru
mengeluarkan kebijakan terkait Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Tionghoa. Penerapan ini memang tidak menghapuskan
Konghucu sebagai agama, akan tetapi lebih merujuk pada
pembatasan kegiatan keagamaan bagi etnis Tionghoa, hal ini dinilai
cukup membuat resah etnis Tionghoa karena ritual kegamaan
merupakan bagian dari ajaran dan kebudayaan Konghucu.
Dampak yang diterima dari penerapan Inpres No.14 Tahun
1967 bagi etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea salah satunya
adalah munculnya keraguan pada WNI keturunan Tionghoa untuk
berpegang teguh pada ajaran yang mereka yakini. Hal ini disebabkan
karena secara tidak langsung agama yang mereka anut merupakan
agama yang tidak diakui di Indonesia. Hal ini berdasarkan keputusan
pemerintah yang dikeluarkan pada tahun 1965 yang tercantum dalam
Keputusan Presiden No.1 tahun 1965 yang menyatakan bahwa tidak
mengakui Konfusianisme sebagai agama. Bagi agama kecil seperti
72
Ag. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori Dan Aplikasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 5.
43
44
Tionghoa, hal ini tidak terelepas dari maslah Konghucu yang tidak di
akui sebagai agama resmi di Indonesia. Hal itu berdampak pada tidak
masuknya pendidikan agama Konghucu dalam kurikulum sekolah
negeri di bawah naungan pemerintah, hal tersebut semakin rumit
karena pada saat yang bersamaan pemerintah menutup lembaga
pendidikan Tionghoa, hal tersebut merupakan dampak yang dari
upaya kudeta yang terjadi pada tahun 1965.
Setelah pelimpahan kekuasaan pada tanggal 11 Maret,
pemerintah mulai menyisir dan mentertibkan sekolah asing yang di
mulai dari periode 1965-1966. Ketika itu statistik yang dicatat oleh
Biro Hubungan Luar Negeri dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menjelaskan bahwa selama bulan april 1966
menjelaskan bahwa terdapat sekitar 667 lembaga pendidikan asing di
Indonesia dan 629 diantaranya merupakan lembaga pendidikan
Tionghoa. Sedangkan jumlah murid yang terdaftar pada sekolah
tersebut adalah 276.328 siswa dan 272.782 diantaranya merupakan
warga Tionghoa asing. Sedangkan guru berjumlah sekitar 8.602 dan
6.476 merupakan warga Tionghoa asing.
Berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan yang dikeluarkan
pada tanggal 6 Juli, mereka yang menjadi di sekolah aisng tidak akan
diterima di sekolah nasional swasta, terkecuali mereka mampu untuk
memenuhi syarat yang serupa dengan murid lain pada umumnya,
selain itu jumlah murid Tionghoa yang masuk dibatasi sekitar lima
persen di setiap sekolah.77 Penutupan lembaga pendidikan Tionghoa
yang dilakukan oleh pemerintah berakibat pada anak-anak keturunan
Tionghoa yang umumnya memeluk agama Konghucu diharuskan
untuk memilih pendidikan agama berdasarkan lima agama yang di
akui di Indonesia yaitu Katholik, Hindu, Islam, Kristen, Budha.
Umumnya anak-anak keturunan Tionghoa yang tinggal di Kecamatan
Ciampea mengambil pendidikan agama Budha sebagai agama yang
paling mendekati dan memiliki kesamaan dengan agama Konghucu.78
80
“Wawancara Langsung Dengan Kristan, Locu Kelenteng Hok Tek Bio
Ciampea,” Maret 22, 2023.
81
“Bagaimana Kedudukan Anak Dwi-Kewarganegaraan,” Star Weekly,
March 26, 1960.
82
“Wawancara Langsung Dengan Adi Suherman, WNI Keturunan
Tionghoa Dan Ketua Rw 02 Kampung Pasar Ciampea,” Maret 22, 2023.
49
84
“Wawancara Langsung Dengan Yusuf, WNI Keturunan Tionghoa Di
Kecamatan Ciampea,” Maret 20, 2023.
85
“Wawancara Langsung Dengan Supandi, WNI Keturunan Tionghoa Di
Kecamatan Ciampea,” Maret 22, 2023.
86
“Wawancara Langsung Dengan Unki, Pengurus Kelenteng Hok Tek Bio
Ciampea,” Desember 2022.
51
87
“Wawancara Langsung Dengan Dewi Kusuma, WNI Muslim
Tionghoa,” Maret 13, 2023.
88
BB, Harian Kompas, Kebijakan Politik Rasial Perlu Dihilangkan, Edisi
31 Desember 1998.
89
IRA. Harian Kompas, Barongsai, Bersembunyi Selama 32 Tahun, Edisi
31 Juli 1999.
52
artian, tujaun etnis Tionghoa mengangkat Gus Dur sebagai Sin Beng
tidak lain adalah agar kelak sosoknya selalu menjadi contoh suri
tauladan yang baik, yang kemudian bisa di teladani oleh anak-anak
keturunan Tionghoa.90
90
Kristan,“Wawancara Langsung Dengan Kristan, Locu Kelenteng Hok
Tek Bio Ciampea,” Maret 22, 2023.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
setidaknya ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis
diantaranya.
1. Setiap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah telah melalui
pertimbangan yang panjang, kebijakan yang diterapkan tidak terlepas
dari pengaruh pergolakan sosial dan politik bangsa. Terlebih setelah
upaya kudeta yang terjadi pada tahun 1965 dan timbulnya dugaan
bahwa etnis Tionghoa ikut andil dalam mendukung gerakan tersebut.
Anggapan itu kemudian berubah menjadi kebencian yang ditujukan
kepada etnis Tionghoa. Prasangka seperti ini yang kemudian memicu
perpecahan di antara masyarakat, maka dari itu untuk meminimalisir
kemungkinan terburuk yang akan terjadi, pemerinah berupaya
menekan hal tersebut dengan cara melakukan percepatan asimilasi.
Dengan harapan meleburnya kebudayaan Tionghoa dalam
kebudayaan lokal dapat mengikis segala perbedaan diantara
masyarakat dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Selain gencar dalam menerapkan percepatan asimilasi, dalam
penerapannya kebijakan bersifat sentralisasi dimana pemerintah pusat
memfungsikan pemerintah daerah agar ikut terlibat dalam sosialisai
dan penerapan asimilasi. Hal ini dilakukan agar penerapan asimilasi
dapat berjalan dengan terstruktur dan sesuai dengan maksud dan
tujuan asimilasi. Penerapan asimilasi tersebut kemudian dilanjutkan
oleh pemerintah daerah sampai dengan tingkat RT dan RW sebagai
aktor utama yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat
sekitar.
3. Kebijakan yang dikeluarkan Oleh Pemrintah Orde Baru berdampak
pada kehidupan etnis Tionghoa, baik dari segi sosial, politik
keagamaan dan kebudayaan. Program pembaruan yang diharapkan
mampu menyatukan dan mengikis perbedaan ditengah masyarakat,
pada akhirnya berujung pada keresahan dan ketegangan sosial
ditengah masyarakat Tionghoa khusunya mereka yang tinggal di
Kecamatan Ciampea. Kondisi sosial politik yang terus memanas
menemaptkan etnis Tionghoa sebagai kambing hitam dari semua
permsalahan yang ada, hingga akhirnya semua kebencian terhadap
etnis Tionghoa menemui puncaknya pada Mei 1998.
54
55
B. Saran
Adapun saran yang bisa penulis berikan adalah mengingat
terdapat banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini, penulis
melihat beberapa masalah yang dapat dikaji bagi peneliti selanjutnya.
Adapun masalah yang dapat diteliti yaitumengapa etnis Tionghoa
masih tetap mempertahakan identitas Ketionghooaan meski
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk meninggalkan
seagala bentuk ketionghoaan.
Sedangkan saran yang selanjutnya adalah melihat minimnya
data Primer mengenai sejarah lokal di Kabupaten Bogor. Penulis
berharap adanya kerja sama antara masyarakat dan pemerintah
setempat dapat menyediakan arisp atau data mengenai sejarah lokal,
mengingat pentingnya sejarah lokal sebagai suatu identitas bangsa
yang multikurtural. Hal ini merupakan suatu upaya untuk
mempertahankan dan menunjang peneliti selanjutnya agar dapat
mengakses data yang diperlukan terkhusus untuk di Wilayah
Kabupaten Bogor.
56
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
ANRI. “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan,
Dan Adat Istiadat Cina.” Arsip Nasional Republik Indonesia,
Desember 1967.
Wawancara
“Wawancara Langsung Dengan Kristan, Locu Kelenteng Hok Tek Bio
Ciampea,”22 Maret, 2023.
57
58
Yau Hoon, Chang. Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik Dan
Media,. Jakarta: Yayasan Nabil Dan Lp3es, 2012.
Yau Hoon, Chang. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto, Budaya, Politik Dan
Media. Jakarta: Penerbit Lp3s, 2013.
Dinata, Justin Suha. Wni Keturunan Cina Dalam Stabilitas Ekonomi Dan
Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2009.
Ham, Ong Hok. Migrasi Cina, Kapitalisme Cina Dan Anti Cina. Depok:
Komunitas Bambu, 2017.
Efendi, Wahyu, Dkk. Sbkr Analisis Dan Hasil Pemantauan. Jakarta: Komisi
Naional Hak Asasi Manusia, 2006.
Angela, Wela Celsi. “Peranan Etnis Muslim Tionghoa Pada Masa Kolonial
Belanda Abad Ke-19 Di Palembang.” Journal Of Islamic Histrory
Vol.1 No.1 (2021).
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Arsip Inpres No.14 tahun 1967
dari pemerintah?
Yayang Ya jadi kita terkekang, karena aturan pemerintah kan
belum di akui. Karena era gusdur aja Konghucu di akui.
Sekarang kita umatnya aja makin berkurang, karena
menikah sama Kristen akhirnya masuk Kristen, ya
mungkin lebih simpel tidak mau ribet, kebanyakan larinya
ke kriesten. Orang-orang kristen sini kan tadinya orang
keturunan Tionghoa yang pindah dari Konghucu. Kalau
agama Konghucu, anak dalam satu keluarga aja bisa beda
agama. Contohnya anak saya nikah sama muslim, ya
silahkan. Iman kamu, pilihan kamu. Anak saya, mantu
saya Islam, yang Kristen ya Kristen yang Konghucu ya
Konghucu. Jadi gitu kalau di Tionghoa tidak ada yang
kukuh, tapi ada juga yang kukuh. Kalau saya tidak,
pilihan dia, hidup dia, jalan hidup dia. Ketika aqil balig,
ya bebas lah dia mau kemana, mantu saya mau shalat
magrib, ya solat lah silahkan
Syahrul Seperti itu pak, oh iya pak setelah Soeharto lengser.
Habibie sempat mengelurakan kebijakan untuk
mempermudah segala keperluan birokrasi tanpa
membedakan suku dan ras. Untuk impementasi atau
penerapannya sendiri di wilayah Ciampea bagaimana
pak?
Yayang Kalau untuk di Ciampea sendiri tidak begitu berpengaruh.
Karena kepala desanya juga ketika itu ngerti, karena kita
satu Rw ini 80% keturunan, baik Krisetn, Budha atau
Konghucu.
Syahrul Jadi dulu untuk birokrasi sendiri bagaimana pak?
Yayang Ya cukup mudah sih, Cuma teteap jaman dulu di ciriin
agamanya harus Budha dan di catatan sipil juga di
permudah. Ya kan mudah juga karena uang, ya itulah
birokrasi di negara kita seperti itu. Mungkin dari pusat
ada instruksi gini-gini, tapi kebawahnya kan ngaco. Ya
tapi tidak apa-apa, saya sih mikirnya selama kita tidak
diganggu ya tidak masalah. Mayoritas saling mengerti,
minoritas juga jangan kurang ajar juga. Kita juga kalau
71
Kristan Khusunya dalam hal ini dalam momentum Imek ya, seperti
Barong. Ya, kita tetap jaga itu. Khusunya untuk wilayah
Ciampea ya, kita biacara konteks Ciampea dong. Latihan anak-
anak tetap secara internal, tapi tidak ekspos, itu tetap ada. Dulu
ada wushu basiknya itu Kungfunya tuh, ada di sini masih kita
lakukan. Ritual-ritual dirumah-rumah masih kita lakukan, di
Kelenteng besar-besaran sebenarnya, cuma bedanya kita tidak
bisa ekspos, acara internal, wartawan dateng mau ngeliput kita
tidak berani, nah tokoh-tokoh yang dulu kan gitu.
Kalau saya kan termasuk orang yang lahir mendekati masa
reformasi, jadi ya berani-berani dikit lah kita lawan. Kita demo
juga, kita lawan tuh Soeharto. Cuma di angkatan tua itu tidak,
apatis. Tapi yang pasti culture atau budaya, miasalnya kalau
Imlek itu sebenarnya sama kaya lebaran. Kita berkunjung
kerumah yang lebih tua, pay respect. Nah, dia kan biasanya ada
meja rumah abu atau meja abu leluhur, jadi pamannya paman
kita, sepupunya kakek kita itu kita sambangi dan itu terus terjadi
meskipun Orde Baru melarang itu.
Bahkan justru reformasi malah ilang sendiri, jadi tidak seru tuh
rul. (tertawa). Mendingan dilarang jadi ada semangat beribadah,
sekarang justru udah tidak ada euforia, jadi udah tidak menarik
lagi tuh, kalau dilarang kan kita ada semangat buat fight iya kan.
Ini juga salah satu pengalaman yang saya lihat, jadi kempes tuh.
Seolah-olah anusiasmenya berkurang, dan problemnya lagi kita
orang Konghucu dan orang Ciampea itu kan Imlek itu
sebenarnya sakral atau religius. Maksudnya berbicara relasi kita
dengan yang maha kuasa walaupun beda sebutannya, tapi
belakangan jadi festifal. Nah, itu problem dan saya pikir itu
terjadi di semua agama. Contoh kaya di Jawa macam upaya
Gerebeg apa, itu kan awalnya untuk menghormati para wali, tapi
belakangan jadi acak-acakan ya pokoknya jadi festifal.
Kaya kita sekarang cap go meh itu tau tidak kamu kenapa Dewa-
dewa itu di gotong? (bertanya), mereka itu kan sebenarnya secara
historycall figur atau pejabat. Jadi pas saat purnama pertama di
tahun yang baru, karena mereka pejebat sebenarnya tujuan
mereka keluar itu untuk inspeksi, mengechek. cut bio itu
mangkannya dia keluar dia chek warganya yang mana yang
76
Banyak Cina mati padahal tidak tau apa-apa, tidak tau PKI atau
apa
Syahrul Kalau konsep BAPERKI dulu mengusung Integritas pak
Kristan Iya, Integritas nah itu baru fine tuh. Mangkannya kan teori
asimilasi sebenarnya teori punya orang-orang Katholik. BAKOM
PKB tujuannya apa? Cina jangan jadi Cina lu, karena ini
Komunis. Integrasi, gak mau biarlah secara natural. Kawin
campur ya kawin campur aja, tidak ada masalah. Gak usah
secara paksa di lapangan Banteng disuruh baris harus ganti nama,
kan dilapangan Banteng itu Ncek tahun 78 disuruh baris,
ditendangin disuruh ganti nama dia, ganti agama. Kita punya ko
datanya, dipukulin. Lu gak ganti nama, gua sikat lu. Itu sampai
seperti itu, kalau mau riset lebih dalam nanti lah kalau S2
(tertawa)
Syahrul Baik pak
Kristan Itu ngeri, itu ngeri rul. Maksud saya ini kita berbiacara sebagai
akademisi, kita tidak lagi memusuhi Soeharto atau apa. Gusdur
sadar rul, Gusdur perneh ngomong begini. Bapak saya kan dulu
di MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia),
bahasanya Gusdur kaya gini “Ular disawah dimatiin, Tikusnya
jadi banyak” itu yang ngeri. Saya sih kalau ngomong ama orang-
orang terdidik terang-terangan, ya semua Tingtengnya Orde Baru,
Pengusaha-pengusaha Orde Baru, siapa Pangestu segala macem
itu. Kita Konghucu Tionghoa yang miskin, tapi dibabat abis.
Sekolah-sekolah kita, sekolah Kwe Kwan. SMAN Bogor itu
punya kita. Gara-gara G30S itu diambil ama negara, ya salah.
Kalah udah kita ya ngalah aja dah.
Syahrul Apakah sekolah Tionghoa yang di Ciampea juga terdampak pak?
Kristan Yang di Budhi Bakti sini? Nah itu justru setelah 65 itu. Yang
pasti kalau disini begini rul, Temen-temen Tionghoa itu
sebenarnya deket ama orang muslim tuh deket. Bahkan ada yang
saudaranya kawin sama ini, udah tidak ada kecurigaan. Ini yang
paling clear di Ciampea ini. Dibanding kita lihat Cibinong,
segregasinya terlalu jelas, kalau disini tidak. Orang muslim itu
sangat familiar disini, bergaul segala macem. Nah karena
kedekatannya itu, ama lurah dekat, ama birokrat birokratnya
78
Kelenteng yang jadi house dan itu tradisi yang dilakukan secara
turun temurun di kita.
Ya, semua balik lagi sama identitas kita sebagai bagian dari
Indonesia. Kita orang-orang Tionghoa, bikin rumah itu kaya
Orang Sunda. Kamu orang Sunda?orang kemang asli? (bertanya)
Kita bikin Ancak di empat penjuru, pakai kelapa, pakai bendera,
pakai apa kaya orang-orang dulu orang karuhun Sunda.
Dibalik tembok ini ada petiliasan Eyang, kita sembahyang sampai
situ Cuma beda cara pakai dupa dan segala macem. Jadi kaya
banget sebenarnya rul, ya menarik lah berbicara tentang
Indonesia ini. Kita harus bangga jadi warga Indonesia.
Syahrul Ohh iya pak satu lagi, ketika masa pemerintahan Soeharto teman-
teman Tionghoa yang pindah agama karena unsur keterpaksaan?
Kristan Iya, terpaksa tidak ada yang mau sebenarnya pindah agama.
Tidak ada yang mau tapi takut, orang Tionghoa juga kadang-
kadang iltrage tidak sekolah juga, buat mereka sekolah tidak
penting yang penting lu udah bisa baca, nulis yaudah dagang aja
tuh, sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya dagang juga. Karena
kalau mau kaya perinsipnya itu dagang, kerja tidak bakal kaya.
Nah itu teori itu berlaku buat orang Padang juga, terus kalau
orang Tionghoa pelit itu karena prejudice. Semua orang
perantauan itu harus pelit, kenapa orang Betawi royal, biar tekor
asal tersohor.
Ya, orang dia tidak merantau. Tanahnya banyak dia tinggal jual,
coba lihat orang padang kalau sudah di Jawa, hemat tidak. Kita
bukannya bilang pelit, hemat tidak?(bertanya)
Hemat, karena you tinggal diperantauan. You tidak punya
saudara, ya orang Tionghoa di Tiongkok royal juga. Prejudice
nya orang yang tinggal di perantauan itu seperti itu, mangkannya
mentalnya jadi kaya gitu, karena mereka tinggal di perantauan.
Tidak punya tempat, tidak punya saudara tidak punya tanah. Iya
kan, teorinya antropologi kan begitu kira-kira.
Balik lagi, semua karena unsur terpaksa. Cuma akhirnya tadi, itu
Katholik udah mempersiapkan semuanya, sekolah Tionghoa
dibantai dia pake sekolah Katholik dituntut bayar mahal segala
80
Prof. Komar, waktu beliau masih Rektor. Beliau juga ngajar saya,
terus Amirnurdin, Kautsar.
Kita itu tidak bisa rasis, kita itu hybrid. Kalau kita tarik teori
persebaran Picantropus ke Nusantara jadi isinya orang-orang itu
yang asli kalau kata Gusdur orang-orang di Flores. Yang model-
moedl orang ambon ditariknya ke Papua Nugini terus ke Hawai,
kaya Aborogin. Kita mah yah kalau ditelusuri udah sama tuh
kaya di Vietnam kaya Kamboja sama Laos, coba kita nongkrong
di Laos kalau bisa bahasa Laos udah pasti disangka orang Laos.
Kamu bayangin santri di kita pakai sarung, saya pergi seminggu
di Yangon, Myanmar. Orang Budha disana pakai sarung, persis
kaya santri di Tebu Ireng, nyarung cuman bedana teu make peci,
pan lobana orang Budha kabeh didinya mah. Ada gendulnya,
sama can baju koko, can bedug. Coba di Arab aya teu Bedug?
(bertanya)
Akulturasi pan mereun, tahlilan, 100 hari segala macem kita kan
akulturasi dari ajarah Hindu, Budha, udah kita ini tidak ada yang
pure, Bohong aja kita kalau merasa paling Pure, kecuali orang
Yahudi yang Ortodoks. Dia kan tidak boleh kawin sama orang
Non-Yahudi.
Ya, kan Ortodoks ada yang kawin campur. Ya, tidak bisa lah
namanya lelaki buaya darat, kawin boga anak. Ya, ga bisa lah
pakai teori persebaran mah. Kalau saya, di Konghucu doktrin
yang baru, di kita mah Indonesia Tionghoa. Kita juga tidak bisa
munafik, masa kita harus hilangkan ketionghoaan. Orang kita
bagian dari itu, begitu juga sebaliknya, ke sundaan kita juga tidak
bisa kita hilangkan. Tapi kalau kita dituduh Cina, enak aja lu.
Orang kita makan, tidur disini. Doktrin di Konghucu dan Di
Budha jelas “Dimana dia tempat tidur, makan disitu dia harus
mengabdi”. Mau apa lagi, dalil agama? Dalil history segala
macem?
Gusdur kan enak, aja saya keturunan Raden Fatah. Ya, raden
Fatah kan Cina juga. Nyengir-nyengir aja tuh Gusdur, Islam di
Jawa itu saya sempat percaya walaupun selamet mulyanto sempat
di anggap aneh. Teori dia kan masuknya Islam dari Tiongkok,
beda dengan Aceh kalau dia dari Gujarat. Bener tidak, ada
86
Bosnia itu di adu domba semua, dikerjain kita ini. Jadi Soeharto
kalau mau di demo kan gampang, tinggal lempar handuk. Noh
Cina lihat noh pada enak, di gebukin Cina.
Kamu pernah baca tidak, kalau kerusuhan anti Cina itu terjadi
setiap 10 tahun. You baca setelah Inpres 67, tahun 75 Malari itu
Cina yang di gebukin, terus 85 Bandung, Solo wah cheos itu. 95
udah langsung ke 97, setiap 10 tahun itu udah di setting,
pokoknya ketika stabilitas politik ngeri. Langsung cari kambing
hitam black sheep.
Jadi kamu kalau mau jadi Presiden memang harus begitu, kalau
tidak ya engga bisa berkuasa lama. Bayangin Soeharto
kebijakannya itu Dobel, disatu sisi kebijakan sosial politik anti
Cina. tapi urusan bisnis dia sama keluarganya semua Cina yang
ngurus, Liem Soe Liong, Eka Cipta. Maling-maling BUMN, duit-
duitnya disimpan di dompet Cina. Sementara Cina yang kaya kita
ini nih yang di gebukin yang tidak tau apa-apa. (tertawa)
Itu kan gila, jangan salah. Kita lawan Cina-cina itu yang maling
BUMN, gara-gara dia negara rugi. Tapi yang di gebukin kita,
mereka tinggal kabur ke Singapur duitnya banyak.
Ya, kalau mau jadi diktator emang harus kaya gitu. You bayangin
semua bisnis Soeharto semenja Supersemar dia megang tanah,
perhutani itu semua Cina itu. Itu Cina yang kaya gitu harus di
gebuk, tidak ada urusan dia Cina atau Arab, karena dia yang
merugikan negara.
Ini fair aja kita ngomong, Cuma Cina-cina yang kaya kita yang
bayar pajak, membela Indonesia. PP 10 Tahun 59 atau 60 kan
disuruh pindah lu mau milih Tiongkok apa Indonesia. Sodara
kakek saya ada yang pindah Painan dulu, tapi Kakek saya tidak
mau, kakek saya dulu TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Mayor
oking itu dia punya Foto sama Mayor Oking, saya tau Mayor
Oking itu tangannya buntung.
Kakek saya dekat sama Mayor Oking, wah saya kalau disebut
Cina saya lawan itu orang. Cina dari mana bapak gua bela
Indonesia, engkong gua bela Indonesia. Susah kan, tapi kaum-
kaum konglomerat kita fair aja, jujur yang nemenin Jokowi juga
sama. Ini bukan soal bagaimana dia asal usulnya, ya tapi
88
dirumah. You chek itu arsipnya CIA, jadi kalau saya bukan
katena saya Cina saya PKI. Tapi menurut saya itu partai Komunis
paling goblok di seleuruh bumi tuh, bisa di bantai dalam satu
malam. Komunis itu, kenpa kita benci Komunis. Mereka itu
dimana-mana kalau bikin pemberontakan korbannya banyak.
Inimah Komunis yang di gebukin, itumah konflik angkatan darat
itu. ABRI Hitam sama ABRI Merah itu. Saya tidak percaya itu,
jadi siapa yang menang kalau pakai teori konspirasi? Yang
menang itu yang maen. Tau tidak, Letkol Untung itu yang You
nonton di G30S waktu dia kawin, itu Soeharto dateng. Clear itu
Foto, temennya bos. Cuma kaya Ken Arok, Empu Gandring
terus ditusuk. Ya, You kan yang bikin keris, kalau tidak You
yang cerita dong.
Jadi kalau saya begini rul, kalau CIA itu, arsip-arsip yang udah
berusia 25 tahun harus keluar itu Arsip. Ya, tapi oke lah itu
sejarah nasional, tapi ada Different Opinion, balik lagi sama
konsep yang tadi kita tidak bisa melihat sejarah dalam satu
presfektif, dan sejarah Indonesia Sorry aja, kita itu di acak-acak
itu sama Orde Baru.
Oke kita tidak Idealis, tapi kita anak cucu kita gamau di bego-
begoin. Ya, kaya kamu kan bakal punya anak, jadi harus pintar
lah. Harus melihat segala hal dalam bermacam presfektif, jangan
you telan mentah-mentah suatu prespektif.
Dalam ajaran Konforsius tuh begini kalau mau terima murid, You
berhenti di suatu sudut. Setelah itu You cari lagi tuh sudut yang
lain, kalau bisa nunjukin baru bisa diterima menjadi murid.
Pedagogik Game itu pendekatannya.
Jangan sampai kita menjadi orang yang matanya ditutup serapat
gajah. Kalau you matanya di tutup, you pegang badannya oh ini
tembok, oh ini kipas. You tidak hanya holeisik, nah ilmuan tidak
boleh matanya ditutup, dia harus holistik baru dia ambil
conclution jadi kalau ada Profesor rasisi pasti nyogok tuh. Dia
udah pasti gagal di pelajaran komunikasi antar budaya, atau
MKDU itu tidak ada, jadi begitulah rul, klita juga sulit. Mungkin
sudah selesai ya. Nanti kalau masih kurang data datang aja lagi,
kite terbuka ko.
90
ditarik, zaman Orde Baru mah gak ada, gak boleh. Terakhir
ada itu sebelum tahun 67 tuh di Bogor acara apa Cap Go
Meh, itu terakhir tuh saya inget saya masih kecil nonton
Syahrul Mohon maaf bapak, dulu Konghucu belum di akui sebagai
agama untuk status keagamaan di tanda pengenal sendiri
bagaimana pak?
Yusuf Ya , kita Budha ngambilnya, paling deket soalnya
Syahrul Bapak sendiri memilih budha karena murni pilhan pribadi?
Yusuf Karena peraturannya begitu kan, agama yang di akui Islam,
Katholik, Hindu ama Budha , ya kita ngambilnya ke Budha
karena Konghucu itu tidak ada, Konghucu itu ajaran
kebaikan. Jadi mau gak mau
Syahrul Apakah pernah terjadi gesekan dengan masyarakat sekitar
pak?
Yusuf Dari dulu enggak, disini kita bersatu enggak ada gesekan
masalah agama, ras itu gak ada.
kan kaya misalnya Cap Go Meh dulu kan tidak boleh, tapi di
sini masih bisa. Cuma kita ditegor sama sospol (kamtib).
Dulu banyak larangan, kaya ini kan kelenteng hampir mau di
tutup, tapi tetep aja
Syahrul Kalau untuk pengajuan hak sipil, semisal dulu kan pernah di
wajibkan untuk memiliki kartu identitas khusus, pengajuan
akte kelahiran itu bagaimana prosedurnya pak, apakah
mengalami kesulitan?
Supandi Enggak sih ya, kita SMP di Bogor sekolah masih biasa aja.
Gatau kalau di daerah-daerah luar. Kalau mau ngajuin akte
enggak sulit di Ciampea. Emang sempat di tuduh Ciampea,
BAPERKI dulu, kan kalau mau bikin WNI melalui
BAPERKI. Jadi di cap anggota kita
Syahrul Terus bagaimana bapak ketika ada klaim dari BAPERKI,
bagaimana pengaruhnya?
Supardi Jadi dulu orang tua saya nih, pribadi ngebubarin diri tapi
tidak ada teguran dari atas. Orang udah stress, emang orang
tua dulu teman-temannya Veteran semua, jadi pada bingung
kenapa masuk ke BAPERKI. Jadi ketika kita ngajuin WNI
jadi tercantum, soalnya kalau lewat BAPERKI kan cepat
Syahrul Ketika itu pemerintah sempat mewajibkan untuk teman-
teman Tionghoa agar mengganti nama, apakah bapak
memiliki nama Tionghoa?
Supardi Punya, diganti nama semua. Nama saya Tan Tek Kong, saya
ketika ganti nama sekitar tahun 80 an
Syahrul Ketika masa Reformasi, Habibie sempat mengeluarkan
kebijakan untuk mempermudah segala bentuk pengajuan
administrasi tanpa membeda-bedakan ras, bagaimana dampak
dari kebijakan tersebut?
Supandi Sama aja, tidak ada perbedaan masih biasa, masih belum ada
perubahan.
Syahrul Ketika itu Konghucu belum di akui sebagai agama resmi,
bagaimana bapak mencantumkan agama dalam kartu identitas
99
pak?
Supandi Kalau keyakinan Konghucu, kalau di identitas Budha. Tapi
terus sih mskipun di KTP Budha setiap minggu kita ke
kebaktian. Tidak ada teguran
Syahrul Kalau dari aparatur desa apakah pernah ada teguran?
Supandi Tidak, biasa aja. Tidak pernah ada yang negur
Syahrul Untuk sosialisasi kebijakan sendiri bapak, ketika tahun 80 an
pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk
mempermudah pengajuan WNI, apakah setelah kebijakan itu
keluar pengajuannya jadi mudah?
Supandi Tidak, sama aja. Soalnya kita sama pribumi deket, dari orang
tua kita baik hubungannya dengan masyarakat sekitar. Saya
aja dulu pernah kemaleman di jalan di daerah Sadeng sempat
ada yang nawarin disuruh istirahat di Pesantren, Kyiai apa itu
lupa saya, Beliau mantan pejuang juga dulu.
Syahrul Apakah bapak masih bisa berbicara bahasa Tionghoa?
Supandi Enggak bisa kita, dulu kan tidak boleh karena ada larangan.
Kalau kakak saya tamatan kelas 2 SMP, bisa ngomong dia,
baca bisa, nulis bisa. Dari keluarga juga tidak ada yang
mewariskan karena orang tua juga enggak ada yang bisa
Syahrul Bagaimana upaya warga keturunan untuk menjaga
kebudayaan Tionghoa agar tidak hilang?
Supandi Kalau kebudayaan kita tetap jalan, kaya latihan segala
macem. Ya, Cuma begitu kita cukup di dalem aja, tidak boleh
di depan umum
Lampiran 19: Wawncara dengan bapak Jatmiko
Syahrul Kalau bapak sendiri asli Ciampea?
Jatmiko Iya saya asli sini
Syahrul Kalau nama bapak sendiri siapa pak?
Jatmiko Nama saya Jatmiko
Syahrul Kalau usia bapak sekarang berapa?
100
Husen Ya, karena dulu kan dilarang dan kita juga takut. Jadi
enggak belajar dan orang tua saya juga tidak izinkan.
Orang tua kita dulu kan pengecut ya, jadi kita selaku anak
manut lah, pasti orang tua ngajarin yang terbaik, kalau
orang tua saya bisa. Tapi tidak berani mengajarkan sama
anaknya, karena kan waktu itu dilarang. Jadi orang tua juga
nyari yang terbaik untuk anaknya.
Syahrul Ketika pemerintah menutup sekolah khusus warga
keturunan, bapak sekolah dimana pak?
Husen Ohh saya sekolah ikut di SD umum, ikut yang lain aja. Itu
sekitar tahun 72 saya, tahun 72 itu kita tidak kenal sepatu.
Istilahnya kita punya potlot satu juga untuk rame-rame.
(tertawa)
Syahrul Kalau dulu untuk mengajukan izin usaha bagaimana pak,
apakah mengalami kesulitan?
Husen Saya tidak usaha, ya gini-gini aja. Saya bercocok tanam, itu
juga ngurusin sawah orang. Jadi kita hidup biasa-biasa saja,
saya juga ngajari ke anak-anak saya meskipun kita sukses
jangan pernah taruh tangan di ketiak, biasa-biasa saja.
Kalau hidup biasa-biasa saja insya Allah kita hidup tidak
akan punya musuh