Anda di halaman 1dari 117

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP

KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DI KECAMATAN CIAMPEA


KABUPATEN BOGOR TAHUN 1967-1998

SKRIPSI

Oleh:
MUHAMAD SYAHRUL SYIDIK

11160220000072

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M/ 1444 H
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP
KEHIDUPAN ETNIS TIOANGHOA DI KECAMATAN CIAMPEA
KABUPATEN BOGOR TAHUN 1967-1998
SKRIPSI
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU PERSYARATAN
MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUMANIORA (S.Hum)

OLEH:
Muhamad Syahrul Syidik
NIM: 11160220000072

Pembimbing

Dr. Johan Wahyudi, M.Hum


NIDN: 2125068901

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023 M/1444H

i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini:


Nama :Muhamad Syahrul Syidik
NIM :11160220000072
Program Studi :Sejarah dan Peradaban Islam
Judul Skripsi :Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap
Kehidupan Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Tahun
1967-1998
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan asil karya asli
saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
memperoleh gelar strata satu di Universitas Isalam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sumber yang saya gunakan dalam menulis skripsi ini
sudah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti jika hasil karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Bogor, 08 Juni 2023

Muhamad Syahrul Syidik

ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini berjudul Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru


Terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa Di Kabupaten Bogor Tahun 1967-
1998 telah diujikan dalam sidang skripsi Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta pada 08 Juni 2023.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 08 Juni 2023
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota

Dr. Zakiya Darojat, M.A


NIP: 197405302005012006

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag Drs. H. Azhar Saleh, M.A
NIP: 195608171986031006 NIP: 195810121992031004

Pembimbing,

Dr. Johan Wahyudi, M.Hum


NIDN:2125068901

iii
ABSTRAK
Nama :Muhamad Syahrul Syidik
NIM :11160220000072
Program Studi :Sejarah dan Peradaban Islam
Judul Skripsi :Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap
Kehidupan Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Tahun
1967-1998.
Penelitian ini berupaya untuk menganalisis mengapa suatu kebijakan
perlu untuk diterapkan dan bagaimana dampak yang diterima etnis Tionghoa
dari penerapan kebijakan tersebut. Penulisan skripsi ini menggunakan
metode historis dengan menggunakan pendakatan sosiologi dan politik, yang
diperkuat dengan teori kebijakan publik yang dikemukan oleh Thomas R Dye
yang dimuat dalam buku Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi.
Sumber atau data yang digunakan dalam penelitin ini menggunakan arisp
atau dokumen, wawancara dan observasi lapangan.
Adapun temuan dari penelitian ini adalah latar belakang munculnya
suatu kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru tidak terlpas
dari kondisi sosial dan politik bangsa yang sedang genting terlebih pasca
tragedi 1965 yang menempatkan etnis Tionghoa ikut terlibat dalam upaya
kudeta. Sedangkan penerapan kebijakannya sendiri meliputi berbagai bidang
kehidupan seperti sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan. Dampak
kebijakan yang sangat terasa bagi etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea
sendiri yaitu dari pembatasan dalam bidang keagamaan dan kebudyaan yang
secara tidak langsung telah menghilangkan identiats ketionghoaan mereka,
selin itu bidang administrasi juga dianggap sangat merugikan karena bagi
etnis Tionghoa yang ingin memiliki surat bukti kewarganegaraan harus
mencatumkan agama resmi yang diakui, sedangkan ketika itu Konghucu
belum diakui sebagai agama resmi di Indonesia.

Kata kunci : Kebijakan Publik, Asimilasi, Etnis Tionghoa, Ciampea,


Sejarah Tionghoa

iv
ABSTRACT
Name :Muhamad Syahrul Syidik
NIM :11160220000072
Departement :History and Islamic Civilization
Thesis titel :The Impact of Government Policies on the lives of the Chinese
ethnic group in Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor 1967-1998.
This research aims to analyze why a policy needs to be implemented
and how it the impacts tha Chinese etnic group. This thesis used a ahistorical
methode with a socialogiacl anda politiacl aproach, supported by the public
policy theory proposed by Thomas R Dye in the book Publik Policy,
Concept, Theory and Application. The sources in this study used archives or
documents, interview and filed observations.
The findings of this reseacrch indicate that the emergence of a policy
implemented by the new government is closeley related to the social and
political conditions of the nation, especially after 1965 tragedy, where the
Chinese ethnic was involved in coup attempts. The implementation of the
policy covers various aspects of life, including social, political, cultural and
religious domains. The impact of the policy on the Chinese ethnic group in
Ciampea distric is particulary evident in the restrictions on religious and
cltural practices, indirectly eroding their Chinese identity. Additionaly, the
administrative filed ise also considered detrimental because Chinese
individuals who wish to have proof of citizenship must declare an officailly
recognized religion, whie confuciansim was not yet recognized as an official
religion in Indonesia ath that time.
Keyword: Public Policy, Assimilation, Chinese Ethnic, Ciampea, Chinese
History

v
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahi Rabil’alamiin. Puji syukur atas segala rahmat Allah
SWT yang telah memberikan begitu banyak kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sangat baik. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabatnya serta kepada seluruh umatnya.
Skripsi ini berjudul “Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor Tahun 1967-1998” yang merupakan salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1) Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis sangat mengapresiasi kepada seluruh pihak yang
memberikan bantuan, dukungan serta doa-doa baik untuk kelancaran proses
penulisan skripsi ini. Adapun ungkapan terima kasih serta apresiasi yang
tinggi penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ade Abdul Hak, M.Hum selaku Ketua Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora.
3. Dr. Zakiya Darojat, M.A selaku Ketua Program Studi Sejarah
dan Peradaban Islam.
4. Nurhasan, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima
kasih telah memberikan bimbingan selama penulis berkuliah dan
membantu dalam proses penyusunan draf awal proposal skripsi
penulis.
5. Dr. Johan Wahyudi, M.Hum selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah memberikan ilmu, meluangkan waktu, dan
membimbing penulis dalam menyelesaikan proses penulisan
skripsi ini.
6. Prof. Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag dan Drs. H. Azhar Saleh,
M.A selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah memberikan saran-
saran terbaiknya serta memberikan wawasan yang luas sehingga
penulis dapat lebih mengembangkan penulisan skripsi ini ke arah
yang lebih baik.

vi
7. Dosen Sejarah dan Peradaban Islam yang telah memberikan
pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama perkuliahan.
8. Kristan, Unki, Usin, Ja’far selaku narasumber yang telah banyak
membantu penulis dan memberikan informasi yang berkaitdan
dengan skripsi yang sedang dikaji.
9. Kedua orang tua tercinta Siti Hasanah dan Margani yang selalu
menjadi penyemangat yang senantiasa memberikan motivasi,
dukungan, kasih sayang, serta doa-doa terbaik sepanjang hidup
penulis hingga dewasa ini. Serta teruntuk seluruh keluarga besar
penulis yang telah memberikan dukungan serta doa-doa baik bagi
kelancran dalam proses penulisan skripsi ini.
10. Syifa, Riska, Ahfad, Yus, Ahmadi, dan Helmi yang selalu
memberi dukunagn dan motivasi dalam proses penyusunan
skripsi ini.
11. Rekan-rekan Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka Uin Jakarta
angkatan 2016, khususnya Acho, Liong dan Fadil yang
menemani semasa perkuliahan sampai dengan akhir.
12. Teman-teman seperjuangan Program Studi Sejarah dan Peradaban
Islam, khusunya anggota kelas SPI C 2016, yang selalu
merangkul dan memberikan motivasi bagi penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
13. Terima Kasih untuk anggota grup wisuda 129, terkhusus Cokew,
Awi, Akmal, Ujang, Anas, Faiqah, yang selalu memberikan
dukungan serta nasihat, saling bahu-membahu dalam
menyelesaikan tugas akhir.
Sekian ungkapan terima kasih dan apresiasi ini. Penulis
memiliki harapan semoga skripsi ini bermanfaat serta dapat
menambah wawasan bagi para pembaca.

Jakarta, 08 Juni 2023

Muhamad Syahrul Syidik

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...............................................


..........................................................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN ORIENTALITAS............................................
..........................................................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI...........................................................
..........................................................................................................................
iii
ABSTRAK.......................................................................................................
..........................................................................................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH..........................................................................
..........................................................................................................................
vi
DAFTAR ISI...................................................................................................
..........................................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL...........................................................................................
..........................................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
..........................................................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
.......................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................
....................................................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah................................................................
....................................................................................................4

viii
C. Sumber Primer..........................................................................................
....................................................................................................4
D. Literature Riview......................................................................................
....................................................................................................6
E. Signifikansi yang Diharapkan..................................................................
....................................................................................................8
F. Metodologi Penelitian...............................................................................
....................................................................................................8
G. Kerangka Berpikir....................................................................................
..................................................................................................12
BAB II LATAR BELAKANG ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA......
..........................................................................................................................
14
A. Etnis Tionghoa Pada Masa Kemerdekaan.............................................
................................................................................................................
20
1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pemerintahan Orde Lama............
.................................................................................................
20
2. Etnis Tionghoa Pada Masa Pemerintahan Orde Baru..............
.................................................................................................
24
B. Etnis Tionghoa Di Bogor.......................................................................
................................................................................................................
27
1. Kedatangan Etnis Tionghoa Di Ciampea.................................
.................................................................................................
27
2. Kondisi Sosial dan Geografi etnis Tionghoa Di Kecamatan
Ciampea...................................................................................
.................................................................................................
28
3. Sejarah Kelenteng Hok Tek Bio..............................................
.................................................................................................
31
4. Pecinan Di Sekitar Kelenteng Hok Tek Bio............................
.................................................................................................
32

ix
BAB III PENERAPAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA.............................................................
..........................................................................................................................
35
A. Penerapan Inpres No.14 Tahun 1967 ...................................................
..............................................................................................................
35
1. Bidang Agama.........................................................................
.................................................................................................
38
2. Bidang Sosial Kebudayaan......................................................
.................................................................................................
40
B. Penerapan Kepres No.13 Tahun 1980 .................................................
..............................................................................................................
41
C. Penerapan Inpres No. 26 Tahun 1998...................................................
..............................................................................................................
47
BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DI KECAMATAN CIAMPEA
KABUPATEN BOGOR TAHUN 1967-1998................................................
..........................................................................................................................
51
A. Dampak Dalam Bidang Agama............................................................
...............................................................................................................
51
B. Dampak Dalam Bidang Sosial Kebudyaan dan Pendidikan.................
...............................................................................................................
53
C. Dampak Dalam Bidang Administrasi dan Politik.................................
...............................................................................................................
55
D. Dampak Inpres No.26 Tahun 1998.......................................................
...............................................................................................................
59
BAB V PENUTUP..........................................................................................
..........................................................................................................................
62

x
A. Kesimpulan...........................................................................................
..............................................................................................................
62
B. Sarsan ...................................................................................................
..............................................................................................................
62

Daftar Pustaka ...............................................................................................


..........................................................................................................................
63

Lampiran.........................................................................................................
..........................................................................................................................
70

Biodata Penulis................................................................................................
..........................................................................................................................
111....................................................................................................................

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Data Demografi Penduduk Kecamatan Ciampea Kabupaten

xi
Bogor Tahun 2017

Table 2 : Data Demografi Penduduk Kecamatan Ciampea Kabupaten


Bogor Tahun 2020

DAFTAR LAMPIRAN

xii
Lampiran 1 : Arsip Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967

Lampiran 2 : Harian Kompas, Edisi Senin 07 Agustus 1978, Instruksi


Presiden No. 14 Tahun 1967 Masih Berlaku, BAKOM
PKB Pusat, Jauhkan Dari Usaha-Usaha Penyimpangan

Lampiran 3 : Harian Kompas, Edisi 31 Desember 1998, Tentang


Kebijakan Politik Rasial Perlu di Hilangkan

Lampiran 4 : Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia

Lampiran 5 : Akta Kelahiran Warga Keturunan Tionghoa

Lampiran 6 : Wawancara Tokoh WNI Keturunan Tionghoa, Kristan


sebagai Locu Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea

Lampiran 7 : Wawancara Tokoh WNI Keturunan Tionghoa, Bilih


sebagai juru parkir di sekitar Kelenteng

Lampiran 8 : Wawancara Tokoh WNI keturunan Tionghoa, Jafar sebagai


masyarakat Tionghoa muslim

Lampiran 9 : Wawancara Tokoh WNI Keturunan Tionghoa, Unki


sebagai petugas kebersihan kelenteng Hok Tek Bio
Ciampea

Lampiran 10 : Dokumentasi Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea

Lampiran 11 : Dokumentasi pemukiman disekitar Kelenteng Hok Tek Bio


Ciampea

Lampiran 12 : Transkip wawancara dengan Adi Suherman atau Go Keng


Yang sekaligus Ketua RW 02

Lampiran 13 : Transkip wawancara dengan Kristan atau Tan Tayang,


sebagai Locu Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea

Lampiran 14 : Transkip wawancara dengan Dewi, Muslim Tionghoa di


Kecamatan Ciampea

Lampiran 15 : Transkip wawancara dengan Unki, petugas kebersihan


kelenteng Hok Tek Bio Ciampea

xiii
Lampiran 16 : Transkip wawancara dengan Bilih atau Unyan, juru parkir
disekitar Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea

Lampiran 17 : Transkip wawancara dengan Yusuf atau Tan Kang Sui,


masyarakat Kampung Pasar Ciampea

Lampiran 18 : Transkip wawancara dengan Supandi atau Tan Tek Kong,


Masyarakat Kampung Pasar Ciampea

Lampiran 19 : Transkip wawancara dengan Jatmiko masyarakat Kampung


Pasar Ciampea

Lampiran 20 : Transkip waancara denga Husen atau Law Kwan Seng


masyarakat Kampung Benteng

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan multikultural yang
terdiri dari bermacam suku, ras, budaya dan etnis. Hal itu tergambar jelas
dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Menurut Mark Lopez penggunaan
multikultralisme adalah acuan terhadap fakta dan sosiologi empiris atau
dalam kasus ini dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan masyarakat
multibahasa yang beraneka ragam dilihat dari sudut pandang etnis dan
budaya.1 Di Indonesia terdapat bermacam lapisan masyarakat, salah satunya
etnis yang merupakan masayarakat keturunan asing yang menetap dan
menjadi warga Negara Indonesia seperti etnis Arab, Melayu dan Tionghoa.
Etnis Tionghoa merupakan kelompok imigran yang berasal dari
Kawasan Asia Timur tepatnya dari daerah Tiongkok. Sebenarnya terdapat
beberapa perbedaan dalam penyebutan bagi kelompok imigran ini yaitu Cina
dan Tionghoa, dari segi bahasa kata Cina berasal dari sebuah dinasti pertama
yaitu dinasti Chi’n atau Qin yang menyatukan seluruh wilayah Tiongkok,
sedangkan kata Tionghoa berasal dari Zoungha yang diambil dari nama suku
yang pertama kali menempati negeri tersebut, yang kemudian menjadi
tempat muncul dan berkembangnya kebudayaan Tiongkok.2
Perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia terjadi begitu pesat, hal
ini dinilai sangat mengkhawatirkan sehingga pemeritah mengeluarkan
beberapa peraturan terkait kebijakan pemerintah terhadap kehidupan etnis
Tionghoa di Indonesia yang ditujukan untuk proeses percepatan asimilasi
atau upaya pemerintah dalam melebur masyarakat kedalam satu ideologi.
Kebijakan ini sediri bersifat Sentralisasi atau kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah pusat yang di ikuti oleh pemeirntah daerah. Adapun
kebijakan tersebut diantaranya :
Kebijakan dibidang ekonomi, dimana masalah ekonomi menjadi hal yang
sangat krusial, terlebih ketika masa Pemerintahan Orde lama di tahun 1956.
Terjadi salah satu Gerakan ekonomi yaitu Gerakan Assaat yang merupakan
program ekonomi yang diinisiasi oleh Mr. Assaat dengan tujunan
meningkatkan produktivitas pengusaha pribumi dan melindungi mereka dari
dominasi ekonomi asing serta keturunan Cina.3

1
Charles A Coppel, “Kendala-kendala Sejarah Dalam Penerimaan Etnis Cina
Yang Multikultural” Artikel Antropologi Indonesia
2
Hasanul Rizqa, “Dari Mana Asal Kata China,” Republika.co.id, April 1, 2019.
3
Charles A Coppel, “Tionghoa Indonesia Dalam Krisis” (Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1994),57-82

1
2

Selanjutnya adalah masalah keagamaan dan kebudayaan. Pada Masa


Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Masyarakat Tionghoa
dilarang merayakan hari raya imlek atau ibadah secara terbuka. Larangan ini
tertuang pada “Instruksi Presiden Republik Indonesia No.14 Tahun 1967
Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina”. Dalam aturan itu,
Soeharto menginstruksikan etnis tionghoa yang merayakan pesta agama atau
adat istiadat agar tidak mencolok atau di depan umum tetapi dilakukan dalam
lingkungan keluarga.4
Selain itu upaya lain yang ditempuh oleh pemerintah dalam percepatan
asimilasi adalah dengan cara mengeluarkan beberapa kebijakan yang
dikhusukan terhadap etnis keturunan asing. Salah satu kebijakan tersebut
berkaitan dengan status kewarganegaraan berupa Keputusan Presiden
Republik Indonesia No.13 Tahun 1980 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Permohonan Pewarganegaraan Republik Indonesia.5
Memasuki masa reformasi tepatnya ketika masa pemerintahan beralih
kepada presiden Habibie. Setelah peristiwa kerusuhan yang terjadi 1998,
pemerintah berupaya untuk mengkaji ulang beberapa peraturan yang
dianggap bermasalah agar setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang
sama dalam melaksanakan kegiatan administrasi publik. Langkah yang
diambil oleh pemerintah masa reformais adalah dengan mengeluarkan
“Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan
Istilah Pribumi dan Non Pribumi”. Dalam kebijakan ini pemerintah ingin
mewujudkan persamaan kedudukan antara warga negara dimata hukum dan
pemerintahan. Persamaan atas hak dan penghidupan serta kewajiban setiap
warga negara agar tercipta kesatuan dan persatuan bangsa yang kokoh tanpa
membedakan antara suku, ras dan agama.6
Dari data diatas, penulis tertarik untuk membahas tentang Kehidupan
Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hal
ini karena selain memilki peran sebagai wilayah penyangga Ibu Kota, Bogor
juga memiliki nuansa yang kental akan sejarah. Selain itu Bogor juga
memiliki keberagaman suku, agama, budaya, dan etnis salah satunya adalah
etnis Tionghoa.
Meski hidup dalam kelompok minoritas etnis Tionghoa memiliki
kemampuan yang cukup baik dalam berinteraksi dan beradaptasi dengan
penduduk pribumi. Hal tersebut yang akhirnya membuat etnis Tionghoa
4
Ong Hok Ham, Migrasi Cina, Kapitalisme Cina Dan Anti Cina (Depok:
Komunitas Bambu, 2017), 13.
5
Soeharto, “Keputusan Presiden Republik Indonesia No.13 Tahun 1980 Tentang
Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan Republik Indonesia” (Presiden
Republik Indonesia, February 11, 1980), Peraturan.bpk.go.id.
6
Arsip Kepustakaan Presiden, “Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 Tentang
Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non Pribumi” (Presiden Republik
Indonesia, September 6, 1998), https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id.
3

dapat tersebar ke berbagai wilayah termasuk di Kecamatan Ciampea,


Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Salah satu wilayah penyebarannya berada di
Kecamatan Ciampea tepatnya di kawasan Pasar Lama di Kampung Pasar
Lama dan Kampung Benteng. Lokasinya sendiri berada dekat dengan
bantaran sungai Cisadane. Selain kawasan Pecinan ada juga Kelenteng Hok
Tek Tjeng Sin atau Hok Tek Bio yang merupakan tempat ritual keagamaan
dan kebudayaan bagi umat Konghucu. Kelenteng ini diperkirakan dibangun
sekitar tahun 1783-1800 oleh Thung Tiang Mie yang memiliki nama muslim
Tubagus Abdullah bin Moestopa.7
Dalam kepercayaanSumat Konghucu Cap Go Meh merupakan hari
untuk menghormati para dewa. Selain itu perayaan ini diisi dengan
memanjatkan doa kepada Tuhan. Dalam memeriahkan ritual keagamaan
tersebut biasanya diawali dengan pertunjukan seni pencak silat dengan
alunan gendang yang merupakan salah satu kebudayaan Sunda. Mereka juga
memberikan bantuan berupa bahan sembako dan angpau untuk masyarakat
yang tinggal disekitar Kelenteng
Menurut penuturan Unki salah satu pengurus kelenteng Hok Tek Bio,
Ciampea. Keberadaan Pecinan dan Kelenteng di kawasan Pasar Lama
menggambarkan hubungan baik yang terjalin antara masyarakat pribumi dan
etnis Tionghoa. Hal ini diperkuat dengan banyak dari etnis peranakan
Tionghoa yang fasih dalam berbahasa Sunda. Selain itu ada beberapa dari
keturunan mereka yang menikah dengan penduduk lokal yang kemudian
memeluk agama Islam.
Rasa toleransi juga tercermin dalam beberapa hal salah satunya
adalah mereka memberikan izin bagi orang Islam untuk melakukan ibadah
didalam Kelenteng, selain itu terdapat Juga petilasan Eyang Suryakencana
yang merupakan putra Pangeran Aria Wiratanudatar yang mendirikan kota
Cianjur, yang dipercaya merupakan sesepuh masyarakat Sunda. Hal ini
merupakan hasil interaksi dan akulturasi yang terjalin di antara masyarakat.8
Dari pemaparan sebelumnya, penulis melihat beberapa poin menarik
untuk dijadikan pembahasan dalam skripsi ini, diantaranya mengapa
pemerintah mengelurkan kebijakan bagi etnis Tionghoa dan bagaimana
dampak kebijakan pemerintah bagi kehidupan etnis Tiongha di Kecamatan
Ciampea Kabupaten Bogor. Untuk menjawab masalah tersebut akan dikaji
7
Konghucu atau disebut juga dengan Konfusius merupakan seorang tokoh ahli
filsafat Cina, yang kini pokok ajarannya dianut oleh sebagian oang Tiongkok sebagai
Agama yang mengajarkan tentang pola keseimbangan, diantara ajaran Konghucu adalah
konsep Yen dan Li. Yen memiliki arti berupa hubungan ideal yang harus dijaga dengan
sesame manusia, sedangkan Li adalah hubungan antara prilaku, ibadah, adat istiadat, tata
kerama dan sopan santun. Jurnal, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Konghucu, Volume IX,
No.1, Januari 2014
8
Wawanacara dengan Unki, pengurus kelenteng Hok Tek Bio, Ciampea, Hari
Sabtu 18 Desember 2022, 01:20-14:30.
4

dalam bentuk skripsi yang berjudul “Dampak Kebijakan Pemerintah Orde


BaruTerhadap Kehidupan Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor Tahun 1967-1998”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Sebagaimana latar belakang yang telah dijabrakan sebelumnya, maka
penulis ingin mengkaji permasalahan tentang “Dampak Kebijakan
Pemerintah Orde Baru Terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa di Kecamatan
Ciampea Kabupaten Bogor Tahun 1967-1998”. Agar kajian dalam skripsi
ini tidak melebar dan terfokus pada pembahasan masalah, terkait judul
penulis membatasi pada tiga hal pokok. Batasan yang pertama yaitu kajian
hanya mengkaji masalah dampak kebijakan Pemerintah dan kehidupan etnis
Tionghoa di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Batasan selanjutnya adalah bagaimana kehidupan etnis Tinghoa di
Ciampea pada masa Pemerintahan Orde Baru. Apa yang membuat
pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Bagaimana dampak dari
kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah terhadap kehidupan etnis Tionghoa.
Batasan yang terakhir adalah temporal atau waktu yang di mulai
sejak tahun 1967 sampai dengan 1998 yang merupakan masa akhir
kepemimp Orde Baru.
Rumusan Masalah:
Berdasarkan penjabaran di atas, Penulis melihat beberapa poin
menarik untuk dijadikan pembahasan dalam skripsi ini diantaranya:

1. Bagaimana Kehidupan etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea Tahun


1967-1998?
2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap kehidupan Etnis
Tionghoa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor tahun 1967-1998?
C. Sumber Primer
Sejauh ini sumber yang dapat ditelusuri oleh penulis untuk pengajuan
Proposal Skripsi ini berupa sumber tertulis dan tidak tertulis. Data yang
pertama adalah Arsip “Inpres No.14 Tahun 1967 Agama, Kepercayan dan
Adat Istiadat Cina”.dokumen ini penulis temukan di Arsip Nasional
Republik Indonesia. Dokumen ini akan digunakan untuk menjelaskan latar
belakang yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan dan menerapkan
kebijakan di atas dan bagaimana dampak yang diterima oleh etnis Tionghoa
setelah kebijakan tersebut diterapkan.9
9
Soeharto,“Instruksi Presiden No.14/1967 Tentang Larangan Kegiatan
Keagamaan, Kepercayaan Dan Adat Istiadat Cina” Arsip Nasional Republik Indonesia.”
(Pejabat Presiden Republik Indonesia, 6 Desember 1967).
5

Data selanjutnya adalah Arsip tentangg “Instruksi Presiden No. 26


Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non
Pribumi”. Data ini penulis temukan di situ Website kepustakaan presiden
republik Indonesia. Data ini akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana
dampak yang diterima etnis Tionghoa setelah pemerintah mengeluarkan
kebijakan tersebut.10
Selain arsip, ada juga buku yang menjadi bahan rujukan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu “Peresmian Bakom PKB Tingkat
Nasional, oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 31 Desember 1977. Buku
ini menggambarkan mengenai asas pendirian organisasi Bakom PKB dan
struktural organisasinya yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, selain
itu buku ini juga mengandung beberapa gagasan nasionalisme etnis
Tionghoa yang kealak akan disalurkan kepada komunitas Tionghoa lain
melalui media.11
Data yang selanjutnya berupa Koran Harian Kompas, edisi Senin, 7
Agustus 1978 yang berjudul “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Masih
berlaku, Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM PKB)
Pusat, Jauhkan Diri dari Usaha-usaha Penyimpangan”. Berita yang dimuat
dalam harian kompas menrut Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan
Bangsa menjelasakan tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui
Inpres No.14 Tahun 1967 adalah mempercepat proses Asimilasi melalui
Inpres tersebut, maka dari itu segala jenis hal yang berhubungan dengan etnis
Tionghoa hendaknya tidak dilakukan di depan publik. Artikel yang dimuat
dalam koran ini akan penulis gunakan untuk menjelaskan penyebab
pemerintah memberlakukan Inpres No.14 Tahun 1967 dan dampak yang
diterima oleh etnis Tionghoa.12
Data berikutnya adalah Koran yaitu Harian Kompas, edisi 31
Desember 1998 yang berjudul “Kebijakan Politik Rasial Perlu
Dihilangkan”. Informasi yang dimuat dalam surat kabar ini adalah kritik
terhadap pemerintah agar menghapuskan produk perundang-undangan yang
bersifat diskriminatif yang merugikan beberapa golongan, salah satunya
adalah Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Cina.13
10
Arsip Kepustakaan Presiden, “Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 Tentang
Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non Pribumi.”
11
BAKOM PKB Pusat, Peresmian Badan Komunikasi Penghayatan Dan Kesatuan
Bangsa, BAKOM PKB Tingkat Nasional Oleh Menteri Dalam Negeri Tanggal 31 Desember
1977 (Jakarta: Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, 1977).
12
Rb, “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Masih Berlaku, Badan Komunikasi
Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM PKB) Pusat, Jauhkan Diri Dari Usaha-Usaha
Penyimpangan,” KOMPAS (Perpustakaan Nasioanl Republik Indonesia., Agustus 1978).
13
Bb, “Kebijakan Politik Rasial Perlu Dihilangkan,” KOMPAS (Jakarta, Desember
1998).
6

Harian Kompas, edisi 31 Juli 1999 yang berjudul “Barongsai,


Bersembunyi Selama 32 Tahun”. Wacana yang dimuat dalam berita ini
adalah upaya etnis Tionghoa dalam mempertahankan identitas mereka
ditengah tekanan dari kebijakan Asimilasi. Informasi yang dimuat dalam
koran ini memberikan gambaran bagi penulis tentang bagaiamana upaya
mereka dalam mempertahankan adat dan kepercayaan mereka agar tidak
hilang.14
Selain data pustaka, penulis juga melakukan wawancara ekslusif
dengan beberapa tokoh dari etnis Tionghoa di Ciampea diantaranya yang
sudah penulis temui adalah Unki dan Usin yang kemudian memberikan
rekomendasi untuk menemui Kristian, Haryanto, Tekong yang merupakan
pengurus rumah tangga Kelenteng dan Jafar yang merupakan etnis Tionghoa
yang memeluk agama islam. Hal ini ditujukan agar penulis dapat mengetahui
dan mendapat gambaran bagaimana kehidupan etnis Tionghoa di Ciampea
ketika masa pemeritahan Orde Baru dan dampak yang diterima dari
diterapkannya kebijakan diatas.
D. Literature Riview
Dalam menulis dan menentukan judul terkait pembahasan dalam
skripsi iniSpenulis menemukanSbeberapa karya tulis yang memliki
keterkaitan dengan masalah yang ingin dikaji, karya tulis tersebut berupa
Buku, Artikel atau Jurnal yang membahas tentang kehidupan etnis Tionghoa.
Karya tulis yang menjadi rujukan yang pertama adalah buku yang
ditulis oleh Charles ASCoppel yang berjudul “Tionghoa Indonesia Dalam
Krisis”. Buku tersebut menjelaskan tentang etnis Tionghoa dan masalah
Tionghoa di Indonesia yang dimulai sejak zaman kolonial sampai dengan
masa pemerintahan Orde Baru, selain itu buku ini juga memberikan
gambaran kepada penulis bagaimana tantangan yang dihadapi oleh etnis
Tionghoa dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat pribumi.
Salah satu hambatan yang diterima oleh etnis Tionghoa disebabkan
oleh berbagai faktor, salah satunya adalah ketimpangan ekonomi yang
menyebabkan kecemburuan sosial dari warga pribumi yang umumnya berada
dalam kelas ekonomi menengah kebawah atau kurang sejahtera.15
Selanjutnya adalah buku yang berjudul “Pemikiran Politik Etnis
Tionghoa Indonesia 1900-2002”. Buku ini ditulis Oleh Leo Suryadinata
yang diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 2005 buku ini memberikan
gambaran kepada penulis dalam memahami tentang pasang surut masalah
yang dihadapi oleh etnis Tionghoa, selain itu bukuSini juga
14
IRA, “Barongsai, Bersembunyi Selama 32 Tahun,” Kompas (Jakarta, July 31,
1999).
15
Charles A Aoppel, Tonghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), 167–174.
7

membahasStentang sepak terjang pergerakan politik etnis Tionghoa di


kancah politik nasional.
Memasuki masa kemerdekaan, timbul rasa nasionalisme dikalangan
etnis Tionghoa, akan tetapi hal tersebut tidak membuat mereka terhindar dari
perlakuan diskriminatif. Buku ini memiliki keterkaitan dengan masala yang
ingin penulis kaji, karena didalamnya memuat dan memberikan gambaran
bagi penulis bagaimana perjuangan yang dilalui etnis Tionghoa dalam
memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban seperti masyarakat lain.16
Rujukan yang ketiga adalah Jurnal Publik Budaya, Vol 5, tahun 2017.
Karya tulis ini dipublikasikan oleh Mohammad Zaenal dan Retno Winarni
dengan judul “Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap
Etnis Tionghoa Di Kota Malang Tahun 1967-2000”.17 Dalam penelitian ini
Zaenal dan Retno mengkaji mengenai penerapan kebijakan pemerintah
terhadap etnis Tionghoa di Kota Malang, beberapa kebijakan yang dikaji
diantaranya adalah kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan budaya,
kebijakan dalam sektor ekonomi dan kebijakan dalam bidang politik. Pada
penlitian ini memiliki fokus penelitian yang sama terkait penerapan
kebijakan pemerintah terhadap etnis tionghoa yang terfokus di Kota Malang,
akan tetapi lokasi penelitian yang akan penulis kaji adalah di Wilayah
Kabupaten Bogor, tepatnya di Kecamatan Ciampea.
Rujukan yang terakahir adalah artikel Antropologi Indonesia, yang
dipubilkasikan oleh Charles A Coppel dengan judul “Kendala-kendala
Sejarah Dalam Penerimaan Etnis Cina Di Indonesia Yang Multikultural”.18
Pokok pikiran yang tertulis dalam artikel ini menjelaskan tentang masalah
yang menghambat penerimaa etnis Tionghoa di Indonesia. Salah satu faktor
yang menghambat asimilasi berasal dari pemerintah, yaitu dengan
mengeluarkan beberapa aturan yang dianggap memberatkan warga
keturunan asing. Dalam hal ini sudah terjadi sejak masa pendudukan Belanda
di Indonesia yang kemudian menjadi warisan secara turun temurun hingga
saat ini.
Penelitian ini memberikan gambaran bagi penulis bahwa meski
pemerintah sudah berupaya dalam melakukan proses asimiliasi, akan tetapi
dalam penerapannya terkadang terdapat hambatan yang berasal dari
pemerintah itu sendiri atau dari masyarakat pribumi. Penelitian ini memiliki
kesamaan dengan materi yang ingin penulis kaji, salah satunya adalah

16
Leo Suryadinata,”Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002”
(Jakarta, Pustaka LP3ES 2005).
17
Mohammad Zaenal and Retno Winarni, “Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Indonesia
Terhadap Etnis Tionghoa Di Kota Malang Tahun 1967-2000” 5 (2017): 7.
18
Charles A Coppel, “Kendala-kendala Sejarah Dalam Penerimaan Etnis Cina Di
Indonesia Yang Multikultural” Artikel Antropologi Indonesia, (2003)
8

tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap kehidupan etnis Tionghoa di


Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

E. Signifikansi yang Diharapkan


Etnis Tionghoa meski sering dianggap sebagai suatu masalah dalam
kehidupan bangsa, akan tetapi mereka memiliki peran yang penting dalam
sejarah Indonesia. Dengan penelitain skripsi ini diharapkan mampu
menambah literasi sejarah lokal, dan dapat memberikan informasi tentang
kehidupanSetnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor
khususnya pada masa Pemerintahan Orde Baru, selain itu penelitian ini juga
membahas faktor yang menyebabkan pemerintah menerapkan kebijakan
terhadapSetnis Tionghoa, serta bagaimana dampak dari kebijakan tersebut
bagi kehidupan etnis Tionghoa. Penelitian ini juga diharapkan dapat
menyajikan informasi tentang bagaimana upaya etnis Tionghoa dalam
mempertahankan tradisi dan kepercayaan mereka di tengah tekanan
pemerintah untuk menghapuskan segala macam bentuk ketionghoaan.
F. Metodologi Penelitian
1. MetodeSPenelitian
Metode yang digunakan dalam oleh penulis dalam penelitian ini
adalah metode penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo terdapat empat
tahapan dalam menentukan penelitian sejarah. Tahapan-tahapan tersebut
terdiri dari pengumpulan sumber atau data sejarah, verifikasi atau kritik
sumber, interpretasi dan penulisan atau historiografi.19
Metode yang pertama adalah Heuristik atau teknik pencarian data
sejarah yaitu tahapan dimana penulis menghimpun data atau sumber yang
diperlukan dalam penelitian.20 Seumber atau data sejarah sendiri bisa berupa
tulisan atau dokumen, sumber lisan, folklor atau tradisi lisan, benda dan
bangunan atau artifact.21 Pengumpulan data atau sumber yang dilakukan oleh
penulis antara lain berupa dokumen atau arsip, Koran maupun foto yang
memiliki keterkaitan dengan masalah yang akan penulis kaji. Pengumpulan
data sendiri dilakukan dengan beberapa metode salah satunya adalah
penelusuran kepustakaan atau Library Research, adapun hasil yang dapat
ditemukan dalam penelusuran pustaka berasal dari berbagai tempat seperti
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kelenteng Hok Tek

19
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 69.
20
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), 37.
21
Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), 69.
9

Bio Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Perpustakaan Nasional dan


Arsip Nasional Republik Indonesia.
Tahapan berikutnya adalah Verifikasi atau kritik terhadap data
sejarah, pada tahapan ini penulis berusaha untuk melakukan pengujian
terhadap data yang sudah didapatkan pada proses sebelumnya, pengujian
terhadap data dilakukan dengan cara menganalisis terkait informasi yang
dimuat dalam suatu data yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang
sedang penulis kaji. Sedangkan kritik eksternal dilakukan untuk mengetahui
apakah data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini benar-benar
berasal dari tahun atau periode yang sama, hal ini dilakukan agar
mendapatkan data yang falid dan relevan dengan tema yang sedang dikaji.
Tahapan selanjutnya adalah interpretasi atau penafsiran, dalam
tahapan ini sering juga disebut dengan subjektivitas. Setelah data yang
didapat oleh penulis dikritis dan dipastikan kredebilitasnya. Pada tahapan ini
penulis berusaha untuk mengurai atau menafsirkan data yang sudah dikritisi
sebelumnya, data tersebut kemudian diolah melalui analisis berdasarkan teori
yang digunakan oleh penulis, yang kemudian disatukan agar dapat
menjawab permasalahan yang sedang dikaji.
Tahapan yang terakhir adalah Historiografi, pada tahapan ini penulis
berusaha untuk menguraikan semua data yang sudah dihimpun sebelumnya,
kemudian dikritisi dan dianalisis pada tahapan ini juga penulis menuangkan
hasil pemikirannya tentang suatu masalah yang sedang dikaji dalam sebuah
karya yang ditulis secara sistematik yang sesuai dengan pedoman penulisan
yang berlaku, hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan suatu penelitian
yang baik, bukan hanya dari isi melainkan juga sesuai dengan metode yang
digunakan.22

2. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi politik,
menurutDDudung Abdruahman pendekatanGsosiologi adalah
penggambaranSsuatu peristiwaDyang telahDterjadi pada masa lampauJyang
di dalamnya akan terungkap segi-segi sosial. Bentuk dari segi sosial sendiri
terdiri dari beberapa aspek seperti golonganAsosial, JenisAhubungan sosial,
konflikSberdasarkan kepentingan, perananFdan statusMsosial.23
Sementara menutut para sosiolog moderen mendefinisikanHsosiologi
sebagai suatuMilmu yang membahas tentang kelompok-kelompok sosial dan
studiSmengenai interaksi manusiaSdan interelasinya. sedangkan pendekatan
sosiologi adalah studiDtentang masyarakat yang dipandang dari satuDsegi

22
Haryono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif (Jakarta: Pt. Dunia Pustaka Jaya,
1995), 102.
23
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, 22.
10

tertentu. Istilah pendekatan dalam sosiologi politikGadalah orientasiFkhusus


atau titikHpandang tertentu yangHdigunakan dalam studi sosilogi politik,
Sedangkan perhatian utama politik sendiri adalah penylesaian konflik
manusia.24
3. Landasan Teori
Fokus teori yang digunakan oleh penulis dalam penelitian skripsi
“Dampak Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Kehidupan Etnis
Tionghoa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Tahun 1967-1998”
adalah teoriHkebijakan publik yangKdigunakan penulisKuntuk
menganalisisKkebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terhadapKetnis
Tionghoa dan menjelaskan bagaimana dampak dari kebijakan tersebut.
Menurut Thomas R Dye, Public policy is whatever goverments choose to do
or not to do, (kebijakanNpublik adalah apapunNpilihan pemerintahGuntuk
melakukan atau tidak melakukan). Ruang lingkup kebijakan publik sendiri
sangat luas, hal ini karena konsep ini mencakup berbagai aspek kehidupan
masyarakat, selain itu kebijakan publik juga bisa bersifat lokal, regional
dan nasional.25
Dalam studi kebijakan publik setidaknya ada dua metode yang dapat
digunakan penulis dalam mengkaji permasalahan dalam skripsi ini yaitu
Policy Analysis (analisis kebijakan) Pendekatan ini lebih terfokus pada
pembuatan keputusan atau decision making. Mengapa suatu kebijakan
dirasa perlu untuk diterapkan, hal itu tentu melalui berbagai pertimbangan
yang dianggap paling baik oleh pemerintah, setelah keputusan dibuat maka
dilakukan Policy pormation (penetapan kebijakan). Sedangkan metode
selanjutnya adalah Political public policy (kebijakan publik), untuk
pendekatan yang kedua lebih menekankan kepada outcome atau hasil
daripada kebijakan yang sudah diterapkan oleh pemerintah.26
Pada metode yang pertama, penulis menemukan kecocokan terkait
masalah yang hendak penulis kaji. Setidaknya dalam menganalisi penyebab
dan dampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru
24
Berdasarkan buku Michael Rush dan Philip Althoff mengemukan setidaknya
adaJbeberapa metode yang dapatKdigunakan dalam sosiologi politik salah satunya adalah
metode historis. Metode historis atau sejarahDadalah suatu metode yang digunakan untuk
mengungkap fakta dan menarik kesimpulan dari sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa
lalu, agar dapat menghasilkan informasi yang valid. Metode ini harus diguanakan dengan
sistematis dan objektif yakni melalui proses Pendekatan ini digunakan untuk memberikan
prespepektif dalam kajian sosiologi politik pencarian/penelitian, evaluasi dan penafsiran
data yang dapat dipakai untuk mempelajari searah. Lihat Michael Rush & Phillip Althoff,
”Pengantar Sosiologi Politk” (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005),1-24
25
BudiSWinarno, “KebijakanSpublic teori dan proses”(Yogyakarta, Media
Pressindo, 2007),17
26
AG.SSubarsono, “AnalisisSKebijakan Publik, Konsep,STeori dan Aplikasi”
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005),5
11

penulis harus melakukan Policy Analysis atau analisis kebijakan. Analisis


kebijakan sendiri berisi tentang mengapa pemerintah mengeluarkan suatu
kebijakan tertentu, hal ini bertujuan untuk mendapatkanKjawaban
dariKmasalah mengapa pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang
dikususkan bagi etnis Tionghoa.
Sedangkan Political Public Policy atau kebijakan publik menekankan
kepada dampak yang diterima oleh etnis Tionghoa dari penerapan
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam hal ini
penulisHberusaha untuk menganalisisHdata yangKdiperoleh dari berbagai
tempat agar dapat mengetahui pengaruh apa saja yang ditimbulkan dari
penerapan kebijakan di atas, fokus penelitian penulis sendiri adalah dampak
yang diterima etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea dari tahun 1967-
1998.

G. Kerangka Berpikir

o Mengapa Pemerintah menerapkan kebijakan asimilasi


Rumusan Masalah terhadap etnis Tionghoa?
o Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap
kehidupan etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor Tahun 1967-1998?

o Arsip Inpres No. 14/1967 Tentang Agama, Kepercayaan


dan Adat Istiadat Cina
o Arsip Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 Tentang
Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non
Sumber
12

Temuan

o Segala macam kebijakan percepatan asimilasi yang diterapkan oleh pemerintah


tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik bangsa yang tidak kondusif
o Proses penerapan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melibatkan
pemerintah daerah sampai dengan tingkat RT, hal ini dilakukan agar maksud dan
tujuan dari asimilasi dapat diterapkan secara maksimal
o Sedangkan dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah bagi etnis
Tionghoa di Kecamatan Ciampea yaitu berdampak pada hilangnya identitas
ketionghoaan, selain itu penerapan yang melibatkan elit militer menyebabkan
kersehahan diantara etnis Tionghoa.
BAB II
LATAR BELAKANG ETNIS TIONGHOA
DI INDONESIA
A. Etnis Tionghoa Pada Masa Kemerdekaan

1. Etnis Tionghoa Pada Masa Pemerintahan Orde Lama


Masalah Tionghoa pada masa pemerintahan Orde Baru
merupakan sebuah warisan yang sudah terjadi sejak masa
pemeritahan sebelumnya, bahkan masalah Tionghoa sudah terjadi
sejak masa Pendudukan Belanda di Indonesia. Salah satu contoh yang
menggambarkan masalah Tionghoa yaitu Geger Pecinaan. Memasuki
masa kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang dibentuk setelah
penyerahan kedaulatan bangsa mewarisi kebijakan yang ditinggalkan
oleh pemerintah sebelumnya. Pada awal masa kemerdekaan
pemerintah memberi akses kepada etnis Tionghoa untuk
berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi bangsa.
Selain aktif dalam sektor ekonomi, pemerintah juga memberi
kebebasan bagi etnis Tionghoa untuk menjalankan kegamaan dan
kebudayaan mereka dengan harapan bahwa pluralitas akan terjalin di
antara masyarakat. Akan tetapi ternyata hal itu tidak berjalan seperti
yang diharapkan, dan justru sering memicu konflik di antara
masyarakat. Salah satu penyebab terjadinya konflik tersebut adalah
kesenjangan ekonomi yang memicu beberapa gerakan seperti yang
diinisiasi oleh Mr. Assat yaitu gerakan ekonomi benteng dengan
tujuan untuk meningkatkan produktifitas ekonomi pribumi dan
melindunginya dari ekonomi asing.27
Konsep Asimilasi sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa
pemerintahan Orde Lama, hal ini tidak terlepas dari masalah sosial
yang sering terjadi antara etnis Tionghoa dengan masyarakat lain.
Salah satu masalah sosial yang ditimbulkan dari upaya asimilasi bagi
etnis Tionghoa salah satunya adalah masalah status kewarganegaraan.
Pada bulan Agustus tahun 1953, Sunario yang ketika itu
menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia mendesak
pemerintah untuk meneluarkan Undang-undang kewarganegaraan
baru untuk menggantikan Undang-undang kewarganegaraan tahun
1946. Adapun isi dari Undang-undang kewarganegaraan yang baru
yaitu. Yang pertama merupakan sayrat pengajuan izin tinggal bagi
warga keturunan asing, dijelaskan bahwa mereka yang boleh
27
Justin Suha Dinata, Wni Keturunan Cina Dalam Stabilitas Ekonomi Dan
Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2009), 312.

13
14

mengajukan diri sebagai warga negara Indonesia setidaknya sudah


menetap selama tiga generasi. Sedangkan isi peraturan yang kedua
menyebutkan bahwa mereka yang sudah memiliki ijin tinggal harus
dapat membuktikan bahwa orang tua mereka benar-benar etnis
Peranakan yang sudah menetap di Indonesia selama lebih dari tiga
generasi.
Tujuan utama pemerintah dalam menerapkan Undang-undang
baru mengenai status kewarganegaraan adalah di samping untuk
proses asimilasi, ternyata pemerintah memiliki tujuan lain yaitu untuk
melonggarkan kendali penuh etnis Tionghoa atas ekonomi bangsa.
Dengan harapan ekonomi pribumi dapat tumbuh dan bekembang
untuk mengimbangi dominasi etnis Tionghoa. Dengan munculnya
usulan pembaruan tentang staus kewarganegaran, tenyata
menimbulkan keresahan dan penolakan dari etnis Tionghoa beserta
dengan organisasinya. Mereka menilai bahwa dengan munculnya
Undang-undang kewarganegaraan yang baruk akan memberatkan
bagi etnis Tionghoa, karena pada dasarnya banyak dari mereka tidak
mencatat dan mendaftarkan staus perkawinan, kelahiran dan
kematian keluarganya pada dinas pencacatan sipil.
Salah satu tokoh Tionghoa yang dengan tegas menolak
penerapan Undang-undang tersebut adalah Siaw Giok Tjhan beserta
beberapa organisasi tionghoa lainnya seperti Partai Demokrasi
Tionghoa Indonesia (PDTI). Pada tahun 1953 timbul pemikiran
diantara para pemimpin organisasi etnis Tionghoa untuk membentuk
suatu panitia dengan tujuan unutk membahas masalah RUU
Kewarganegaraan tahun 1953.
Hasil pembahasan mengenai upaya penerapan RUU
Kewarganegaraan adalah sebagai berikut, apabila RUU tersebut
berhasil diterapkan maka akan terjadi ketidakpastian hukum.
Sementara etnis Tionghoa yang tidak menolak warga negara
Indonesia pada tahun 1951 secara hukum sudah sah menjadi warga
negara Indonesia. Sedangkan pencatatan sipil bagi etnis Tionghoa
baru dimulai tahun 1919 di Pulau Jawa dan 1926 untuk yang diluar
Pulau Jawa. Hal ini menjadi masalah karena sebagian besar etnis
Tionghoa tidak mampu membayar administrasi yang dibutuhkan
untuk mendapatkan dokumen kependudukan seperti akte kelahiran,
perkawinan dan kematian.28
Dampak yang ditimbulkan dari munculnya RUU
Kewarganegaraan ternyata membuat etnis Tionghoa merasa khawatir
akan status kewarganegaraannya. Maka dari itu untuk melindungi diri
28
Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta Selatan:
Trans Media, 2008), 721–724.
15

agar hal serupa tidak terjadi lagi, pada bulan Februari 1954 PDTI
memutuskan untuk membentuk suatu organisasi masa yang kelak
akan menangani segala kepentingan etnis Tionghoa. Dalam
pembentukannya terdapat beberapa organisasi yang ikut hadir ketika
itu di antaranya Persatuan Warga Negara Indonesia Tionghoa
(Perwanit), Perserikatan Tionghoa Peranakan (Pertip), dan Persatuan
Warga Negara Turunan Tionghoa (Perwitt).
Setelah melalui perundingan panjang, akhirnya pada hari
Sabtu 13 Maret 1954 dibentuk suatu organisasi yang beranama Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia atau BAPERKI
sedangkan tokoh yang menjadi ketuanya adalah Siaw Giok Tjhan.
Tujuan utama didirikannya organisasi ini adalah untuk
memperjuangkan perwujudan cita-cita nasional, dalam hal ini setiap
orang menjadi warga negara yang seutuhnya. Memperjuangkan
pelaksanaan prinsip demokrasi dan prinsip prikemanusiaan dan
memperjuangkan perwujudan persamaan hak dan kewajiban, serta
perlakuan yang adil bagi setiap warga negara tanpa memandang
perbedaan yang didasari atas suku, ras, kebudayaan, adat istiadat dan
agama.29
Dalam perjuangannya BAPERKI menuntut persamaan hak di
antara setiap warga negara terutama dalam hal kepemilikan tanah,
pendidikan, pengembangan kebudayaan dan agama. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka BAPERKI menganjurkan anggotanya untuk
berperan aktif dalam politik. Dalam menyelesaikan masalah
minoritas Tionghoa, BAPERKI di bawah kepeimpinan Siau Giok
Tjhan berupaya mengembangkan suatu paham yang dinamakan
dengan nation building dan integritas. Paham ini merupakan sebuah
doktrin untuk membangun nation atau bangsa yang bersih dari sikap
diskriminasi rasial dan menuntut adanya persamaan hak dan
kewajiban bagi setiap warga negara tanpa memandang perbedaan dan
mengintegritaskan etnis Tionghoa secara utuh kedalam tubuh bangsa.
Doktrin ini meyakini bahwa konsep kemajemukan atau pluralisme
yang tertanam dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah suatu
keharusan bagi bangsa yang majemuk.
Sebaliknya etnis Tionghoa yang menolak doktrin integrasi
memutuskan untuk mengembangkan doktrin asimilasi. Pada tanggal
24 Maret 1960 yang bertempat di Jakarta. 10 orang tokoh peranakan
Tionghoa mengeluarkan suatu pernyataan asimilasi yang dengan
tegas menyatakan bahwa masalah minoritas hanya dapat diselesaikan
dengan jalan asimilasi. Kemudian setahun berikutnya pada tanggal
13-15 Januari 1961 diselenggarakan suatu kegiatan di Bandung
29
Ibid, 724-732
16

(Ambarawa) dengan nama Seminar Kesadaran Nasional dengan salah


acaranya adalah dikeluarkannya sebuah Piagam Asimilasi yang di
tandatangani oleh 30 orang tokoh Tionghoa yang berasal dari
berbagai kota di Jawa.30
Sementara isi dari Piagam Asimilasi menyebutkan tiga poin
utama yaitu Satu Bangsa, Satu Tanah Air dan Satu Bahasa dan
menekankan bahwa syarat mutlak untuk mewujudkan suatu bangsa
yang adil, makmur serta negara yang kuat sehingga dapat
menjalankan peranan dalam dunia Internasional yang sesuai dengan
perkembangan zaman, maka salah satu jalan untuk mencapai tujuan
tersebut adalah dengan proses asimilasi. Dalam artian etnis Tionghoa
dapat masuk dan diterima kedalam tubuh bangsa, akan tetapi dengan
konsekuensi bahwa mereka harus meninggalkan segala macam hal
yang berhubungan ketionghoaan dan tanah leluhur mereka.
Setelah menyelenggarakan piagam asimilasi, Lauw Chuan
dan beberapa tokoh Tionghoa lainnya membentuk Panitia
Penyuluhan Asimilasi dengan tujuan untuk mencari dukungan yang
lebih luas. Maka dari itu, fokus utama gerakan ini adalah mencari
dukungan dari pihak militer yang kemudian mendapatkan perhatian
dari Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Nasution. Sebagai bentuk
dukungan atas gerakan tersebut maka pada Agustus tahun 1962
dibentuk suatu gerakan dengan nama Urusan Pembina Kesatuan
Bangsa (UPKB) yang didukong oleh tentara, Badan Pembina Potensi
Karya (BPPK).
Untuk melaksanakan doktrin asimilasi secara total dan dalam
rangka mengimbangi pengaruh BAPERKI. Pada tanggal 10-12 Maret
1963 para pendukung doktrin asimilasi menyelenggrakan
musyawarah asimilasi yang disetujui oleh Presiden. Dalam
musyawarah tersebut diumumkan pembentukan organisasi Lembaga
Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan Ong Tjong Hai SH atau
Kristoforus Sindhunata sebagai ketua.31

2. Etnis Tionghoa Pada Masa Pemerintahan Orde Baru


Masa transisi pemerintahan dari Orde Lama kepada Orde
Baru merupakan masa yang sangat krusial, dimana terjadi banyak
masalah dalam tubuh bangsa. Terbentuknya Orde Baru sendiri
disebabkan karena kondisi perekonomian dan keamanan dalam
30
Ibid, 733-742
31
Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2000 (Jakarta:
Penerbit LP3ES, 2005), 239.
17

negeri yang tidak kondusif. Hal ini merupakan dampak dari upaya
pemberontakan yang dilakukan pada tahun 1965 atau yang dikenal
dengan G30S. Dengan meletusnya pristiwa tersebut mengharuskan
setiap orgnisasi sosial politik untuk menyatakan sikap secara terbuka.
Sementara bagi organisasi kecil seperti Lembaga Pembina Kesatuan
Bangsa atau LPKB dan BAPERKI hanya bisa menunggu
perlindungan dari para pendukungnya yaitu PKI dan angkatan darat
yang menyatakan sikap.
Baik BAPERKI maupun LPKB tidak mengeluarkan suatu
pernyataan apapun mengenai pristiwa yang terjadi sebelum
mengetahui gambaran yang jelas tentang gerakan tersebut.
Pernyataan pertama datang dari LPKB di tanggal 2 Oktober yang
berisi ungkapan rasa syukur bahwa Presiden berhasil diselamatkan
dari gerakan kontra revolusi, akan tetapi pernyataan tersebut baru
dimuat oleh Pers Angkatan Bersenjata pada tanggal 4 Oktober.
Sedangkan siaran Pers LPKB yang kedua muncul sebelum tanggal
12 Oktober yang berisi seruan kepada Presiden untuk megembalikan
situasi yang tenang dan tertib.
Pada tanggal 19 Oktober 1965 LPKB menulis surat kepada
Presiden yang isinya berupa desakan agar membubarkan BAPERKI.
Menurutnya BAPERKI beserta anggotanya yang hampir keseluruhan
adalah etnis Tionghoa peranakan dan ikut serta dalam politik
cenderung mendorong konflik politik yang kemudian berubah
menjadi konflik rasial. Sebenarnya ada dua alasan mengapa
BAPERKI harus dibubarkan yang pertama adalah karena garis politik
yang dianut oleh mereka cenderung dekat dengan PKI yangg
kemudian menimbulkan tuduhan bahwa BAPERKI berperan sebagai
pemberi dana bagi PKI.
Faktor yang kedua yaitu disebabkan oleh beberapa oknum
yang memiliki persamaan ras yang memberikan dana pada PKI yaitu
pemerintah Tiongkok yang pada akhirya memberikan kecaman
terhadap angkatan bersenjata RI melalui radio Peking. Atas dasar
tersebut menurut LPKB hal itu dianggap sangat membahayakan bagi
keberlangsungan revolusi. Setelah surat dari LPKB yang ditunjukan
kepada Presiden tersebar luas dan mendapat dukungan dari pihak
militer. Akhirnya pada tanggal 3 Desember LPKB yang bekerjasama
dengan kekuatan militer berupaya untuk membekukan berbagai
kegiatan BAPERKI dan dilaporkan bahwa 25 Cabang BAPERKI
telah membubarkan diri.32

32
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisi (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 114–122.
18

Pada tanggal 11 Maret 1966 Soeharto mendapat mandat untuk


melakukan pengamanan bangsa melalui surat perintah sebelas maret
atau yang kini dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret
(supersemar) yang kemudian dikenal dengan lahirnya kekuasaan
pemerintah Orde Baru. Setalah peralihan kepemimpinan dari
Presiden sebelumya, Soeharto bergegas mengambi langkah untuk
memenuhi tuntutan yang disuarakan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia atau KAMI, tuntutan yang pertama adalah larangan bagi
PKI untuk ikut andil dalam politik nasional.
Langkah yang diambil dalam memenuhi tuntutan tersebut
adalah dengan merombak kabinet dan mencopot beberapa menteri
yang dekat dengan Soekarno. Adapun tuntutan yang kedua adalah
perbaikan dalam sektor ekonomi yang ketika itu sedang berada dalam
keadaan yang sangat buruk sehingga menimbulkan konflik dimana-
mana.33 Konflik yang terjadi salah satunya di wilayah Jawa Barat
seperti Bandung, Cirebon, Sukabumi dan Bogor. Hal itu terjadi
diduga karena adanya kesenjangan ekonomi di antara masyarakat
dan merupakan dampak dari kekacauan politik-ekonomi. Selain itu
terjadi juga inflasi yang mengakibatkan kelangkaan barang-barang
pokok, dampak yang ditimbulkan dari krisis tersebut kemudian
berubah menjadi ujaran kebencian terhadap etnis Tionghoa yang
umumnya memiliki ekonomi yang stabil diantara golongan lain.
Pada awal masa pemerintahan Orde Baru menempuh strategi
pengembangan ekonomi dengan menggandeng etnis Tionghoa yang
memiliki modal dan mendatangkan modal dari investor asing untuk
memperbaiki sektor ekonomi nasional. Dengan terjalinnya kerjasama
antara pemerintah dengan pengusaha Tionghoa ternyata telah
memberi mereka jalan untuk mendominasi perekonomian bangsa.
Hal ini yang pada akhirnya melahirkan Percukongan atau “istilah
Tionghoa yang diartikan sebagai tuan yang bekerjasama dengan elit
pemerintah” yang kemudian melahirkan proses korupsi, kolusi dan
nepotisme atau KKN diantara elit pemerintah dan pengusaha
Tionghoa.34
Untuk mewadahi berbagai aksi penolakan terhadap etnis
Tionghoa. Pemerintah gencar melakukan percepatan asimilasi dengan
cara membentuk suatu ideologi yang disebut dengan ideologi
Pancasila. Dengan harapan bahwa setiap sila yang terkandung di
dalamnya mampu meresap dalam berbagai sendi kehidupan
33
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta, Pustaka
Sinar harapan, 1994),131-134
34
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa Dan Perkembangan Bangsa (Jakarta:
Penerbit LP3ES, 1999), 93.
19

berbangsa dan bernegara. Selain itu pemerintah mewajibkan semua


lapisan organisasi kemsyarakatan dan organisasi sosial politik untuk
menerapkan ideologi ini sebagai azas atau dasar dibawah
kepemimpinan rezim Orde Baru.35 Proses asimilasi juga ditempuh
oleh pemerintah dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang
dikhusukan untuk warga keturunan asing khusunya etnis Tionghoa.

B. Etnis Tionghoa Di Bogor

1. Kedatangan Etnis Tionghoa Di Kecamatan Ciampea


Bogor merupakan salah satu kota yang terletak di jawa Barat,
dan merupakan daerah penyangga Ibu Kota. Kabupaten Bogor
memiliki luas wilayah sekitar 2.664 km. Secara geografis terletak di
antara 6?18’0”-6?47’10” Lintang Selatan dan 106?23’45-107?13’30
Bujur Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Tangerang Selatan, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi, di sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Purwakarta sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur dan di bagian tengah
berbatasan dengan Kota Bogor.
Nama Bogor sendiri menurut beberapa sumber berasal dari
kata Butinzorg atau nama yang diberikan pada masa pendudukan
Belanda. Akan tetapi menurut beberapa pendapat menjelaskan, Bogor
berasal dari kata Baqor atau sapi, sementara menurut pendapat lain
menyebutkan bahwa Bogor berasal dari kata Bakor yang berarti
tunggal atau pohon enau atau kawung. Dan menurut pendapat yang
terakirh dijelaskan bahwa nama Bogor sudah tertulis dalam arsip
pada masa Kolonial tepatnya pada 7 April 1952, tertulis Hoof Van de
Negorij Bogor yang berarti kepala kampung Bogor yang terletak di
dalam lokasi Kebun Raya Bogor yang mulai dibangun pada tahun
1817. Sementara cikal bakal pemerintahan Kabupaten Bogor
merupakan gabungan dari sembilan pemukiman yang pada tahun
1745 diresmikan oleh Gubernur Jendral Van Inhof yang kemudian
menjadi wilayah Kabupaten Bogor.36
Tidak terlalu banyak refrensi yang menjelaskan mengenai
awal mula kedatangan etnis Tionghoa di Bogor. Menurut catatan dari
Dinasti Sung di Cina dan prasasti yang ditemukan disekitar sungai
35
Chang Yau-hoon, Identitas Tionghoa Pasca Soeharto, Budaya, Politik
Dan Media (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2013), 4–5.
36
Sejarah Kabupaten Bogor, Situs Website:
bogorkab.go.id/post/detail/sejarah-kabupaten-bogor
20

Ciaruteun yang berdekatan dengan sungai Cisadane. Menjelaskan


bahwa setidaknya pada awal paruh abad ke-5 M di wilayah ini telah
ada suatu bentuk pemerintahan. Sejarah lama Dinasti Sung mencatat
pada tahun 430-452 kerajaan Holotan Mengirimkan utusannya ke
Cina. Menurut Prof. Dr. Selamet Muljana dalam bukunya yang
berjudul Dari Holotan ke Jayakarta menyimpulkan bahwa Holotan
adalah terjemahan Cina dari kata Aruteun, kerajaan Aruteun
merupakan kerajaan Hindu tertua di Pulau Jawa. Prasasti Ciaruteun
sendiri merupakan bukti sejarah perpindahan kekuasaan dari kerajaan
Aruteun ke kerajaan Tarumanegara dibawah pimpinan Raja
Purnawarman, sekitar paruh abad ke 5 M.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa etnis
Tionghoa datang ke Indonesia sudah sangat lama. Seiring dengan
perkembangan perdagangan dan pelayaran. Etnis Tionghoa banyak
berdatangan ke Nusantara baik sebagai pedang atau saudagar maupun
untuk bermigrasi dan mencari penghidupan. Dijelaskan bahwa
disekitar Bogor dan Depok, etnis Tionghoa sudah ada sejak masa
Kerajaan Pakuan Padjajaran. Karena ketika itu moda transportasi
masih menggunakan pelayaran maka rute yang ditempuh dalam
penyebaran etnis Tionghoa sendiri adalah menggunakan jalur sungai
yaitu Cisadane dan Ciliwung yang kemudian dijadikan sebagai pusat
pertumbuhan perekonomian. Selain itu lambat laun terjadi proses
akuluturasi antara pedagang Tionghoa dan masyarakat pribumi.
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya untuk memenuhi
kebutuhan rohaninya mereka mulai membangun tempat ibadah
berupa kelenteng atau vihara untuk beribadah dan melestarikan
kebudayaan mereka.37
Penjelasan selanjutnya mengenai etnis Tionghoa di Bogor
tidak terlepas dari peristiwa Geger Pecinan atau Chinezenmoord yang
terjadi pada masa pendudukan Belanda tahun 1740. Ketika itu
Gubernur Jendral Vlacknier memberlakukan beberapa kebijakan
ekonomi yang dianggap merugikan etnis Tionghoa. Hal ini
merupakan dampak dari krisis ekonomi yang menimpa Batavia.
Puncak dari peristiwa Geger Pecinan sendiri yaitu pembantaian yang
dilakukan oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang
mengakibatkan sekitar 10.000 orang Tionghoa terbunuh.38 Dari
peristiwa tersebut, banyak dari etnis keturunan Tionghoa yang
37
Dede Bahrudin, “Vihara Danangun Dan Komunikasi Budaya Di Kota
Bogor Jawa Barat,” Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementrian Agama
Republik Indonesia Vol.16 No.1 (2018).
38
Johanes Theodorus Vermeluen, Tionghoa Di Batavia Dan Huru Hara
1740 (Depok: Komintas Bambu, 2010), 1–6.
21

akhirnya melarikan diri ke berbagai wilayah salah satunya ke daerah


Bogor tepatnya di kawasan Kampung Pasar Lama, Desa Ciampea,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

2. Kondisi Sosial dan Demografi etnia Tionghoa Di Kecamatan


Ciampea
Secara umum Kecamatan Ciampea berada di wilayah
Kabupaten Bogor, tepatnya masuk ke dalam wilayah Bogor
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Tahun 2010, Luas wilayah
Kecamatan Ciampea sekitar 3.06,50 Ha, yang terdiri dari lahan
pertanian seluas 1.419,6 Ha, pemukiman penduduk 1.147,27 Ha dan
lain-lain sekitar 495,77 Ha. Kecamatan Ciampea terdiri dari 13 Desa
yang di bagi ke dalam 101 Rukun Warga (RW) dan 435 Rukun
Tetangga (RT). Sementara total penduduk sekitar 141.427 Jiwa yang
terdiri dari 72.176 Laki-laki dan 69.251 Perempuan.39
Sejarah awal mula terbentuk wilayah Ciampea tidak terlepas
dari sejarah perdagangan pada masa kolonial yang dimulai pada
tahun 1674. Perkembangan navigasi kuno mendorong orang-orang
eropa untuk menyusuri sungai Cisadane dan membuka rute
perdagangan untuk menjangkau daerah pedalaman. jika dilihat secara
geografis sungai Cisadane mengalir dari Bogor (Empang) menuju ke
arah barat yaitu Ciampea dan bermuara di Tangerang.
Setelah ditemukannya rute baru, secara bertahap jalur ini
mulai menarik para pedagang dan investor, hingga akhirnya yang
pada awalnya aktifitas perdagangan hanya terfokus pada kota pesisir
kini mulai merambah ke daerah yang lebih dalam. Berdasarkan
catatan harian Kastel Batavia dijelaskan bahwa pada tahun 1713 Voc
yang ketika itu dipimpin oleh Majoor Joan Van Jasinga sudah
memiliki benteng di sekitar Tjiaroteun atau Ciaruteun yang
merupakan pertemuan sungai Tjiaroteun dengan sungai Tjisadane,
akan tetapi pada tanggal 28 Mei 1913 benteng tersebut dipindahkan
ke Panjoewangan yang berada di hulu sungai Tjiaroteun, tepatnya di
sebelah barat yang kemudian diberi nama dengan Benteng Tjiampea.
Sejak beridrinya Benteng Tjiampea, diduga mulai terbentuk
tanah partikelir Tjiampea, yang kemudian dibangun rumah tuan tanah
dan pasar yang kelak akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomian
yang di ikuti dengan mulai banyak muncul perkampungan yang kelak
dikenal dengan Kampung Ciampea dan Kampung Benteng.40 Di
39
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Kecamatan Ciampea Dalam
Angka (Bogor: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2010), 7–18.
40
“Sejarah Tangerang: Sejarag Ciampea, Surga Di Cisadane, Bukit Kapur
Dan Situs Tarumanegara, Lokasi Kampus IPB Berada,” Poestaha Depok
22

Kecamatan Ciampea terdapat dua kawasan Pecinan yaitu desa


Ciampea dan Desa Benteng. Luas wilayah Desa Ciampea terdiri dari
2.46 Ha, yang berbatasan dengan Desa Ranca Bungur di sebelah
Utara, Desa Bojong Rangkas di sebelah Selatan, Desa Benteng di
sebelah Timur dan Desa Ciaruteun Ilir di sebeleh Barat. Desa
Ciampea terdiri dari 40 Rukun Tetangga (RT) dan 10 Rukun Warga
(RW), sedangkan untuk jumlah penduduk berada di angka 12.841
yang terdiri dari 6.499 Laki-laki dan 6.342 Perempuan. Sedangkan
jumlah penduduk Desa Ciampea berdasarkan agama yang diantut
yaitu.41

No
Agama Jumlah
.

1. Islam 10.987

2. Katolik 61

3. Protestan 118

4. Hindu 54

5. Budha 277

6. Konghucu 277

Sedangkan untuk luas wilayah Desa Benteng terdiri dari


248,5 Ha yang terdiri dari luas area perasawahan sekitar 82 Ha,
Tanah darat sekitar 152,5 Ha, yang terdiri dari 7 Rukurn Warga (RW)
dan 40 Rukun Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Benteng
berbatasan langsung dengan Desa Ranca Bungur yang terletak di
Sebelah Utara, Kampus Insitut Pertanian Bogor di Sebelah Timur,
Desa Bojong Rangkas dan Desa Cibanteng di Sebelah Selatan dan
Desa Ciampea Di Sebelah Barat.
Sedangkan jumlah penduduk Desa Benteng sampai dengan
akhir tahun 2016 tercatat sebanyak 12.086 Jiwa yang terdiri dari
2.782 Kartu Keluarga yang terbagi dalam 5.640 Laki-laki dan 6.446

(September 2, 2019).
41
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Kecamatan Ciampea Dalam
Angka (Bogor: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2021), 18–25.
23

Perempuan. Sedangkan kondisi demografis berdasarkan agama yang


dianut adalah sebagai berikut.42

No
Agama Laki-laki Perempuan
.

1. Islam 4773 5032

2. Kristen 391 244

3. Katolik 365 272

4. Hindu 74 68

5. Budha 132 124

6. Khonghucu 171 167

3. Sejarah Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea


Menurut penuturan Kristian yang merupakan ketua Kelenteng
Hok Tek Tjeng Sin atau Hok Tek Bio. Sejauh ini tidak ada catatan
pasti mengenai awal mula berdirinya Kelenteng di Ciampea, akan
tetapi berdasarkan cerita yang diperoleh secara turun temurun
menyebutkan bahwa Kelenteng ini dibangun oleh Thung Tiang Mih
yang kemudian menjadi mualaf dan berganti nama menjadi Tubagus
Abdullah Bin Moestofa.
Ketika memasuki kawasan Pasar Lama Ciampea,
pemandnagan pertama yang dapat dilihat adalah padatnya aktifitas
para pedagang yang menjajakan barang dagangannya. Akan tetapi
jika lebih diamati dengan seksama terdapat keunikan tersendiri
berupa hubungan harmonis yang terjalin antara penduduk pribumi
dan etnis Tionghoa.
Sebelum memasuki kawasan Pasar Lama, kita akan
disuguhkan dengan bagunan yang cukup bersejarah dengan nuansa
negeri Tirai Bambu. Bangunan tersebut adalah Kelenteng Hok Tek
Bio yang terletak dipusat pasar sebagai tempat pertumbuhan
ekonomi. Sebelum memasuki kawasan kelenteng terdapat gapura
dengan patung naga yang menghiasi gapura tersebut. Menurut
Kristian maksud pendirian Kelenteng ditengah pusat perekonomian
42
Profil Desa Benteng, Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, Website:
https://kecamatanciampea.bogorkab.go.id/
24

adalah agar memudahkan etnis Tionghoa untuk beribadah ditengah


kseibukan aktifitas ekonomi, selain itu dijelaskan bahwa kedatangan
etnis Tionghoa pada masa lalu umumnya adalah untuk berdagang,
setelah pertumbuhan ekonomi mulai ramai akhirnya mereka
mendirikan kelenteng sebagai tempat beribadah.
Diperkirakan kelenteng ini dibangun sekitar tahun 1783-1800.
Hok Tek Bio sendiri memiliki arti yaitu rumah ibadah yang
memberikan rejeki dan kebaikan bagi setiap orang. Selain itu
kelenteng ini juga disebut sebagai kelenteng tertua di Bogor. Menurut
Kristian terdapat hubungan atau korelasi antara kelenteng Hok Tek
Bio dan kelenteng Vihara Danangun di Kota Bogor yang terletak di
Jalan Suryakencana. Berdasarkan cerita yang didapatkan secara turun
temurun, menyatakan bahwa pendiri Kelenteng Vihara Danangun
sendiri merupakan anak dari Thung Tiag Mie yang berasal dari
Ciampea.43

4. Pecinan Di Sekitar Kelenteng Hok Tek Bio


Terbentuknya kawasan Pecinan merupakan merujuk pada
suatu bagian Kota yang dari segi penduduk, bentuk hunian, tatanan
sosial serta kawasan lingkungannya memiliki ciri khas tersendiri. Jika
ditinjau dari segi sejarah, terbentuknya kawasan Pecinan atau
pemukiman khusus etnis Tionghoa tidak terlepas dari kebijakan
pemerintah pada masa Pendudukan Belanda. Kitika itu tepatnya pada
tahun 1835-1915 pemerintah mengeluarkan kebijakan Wijkenstelse
yang berisi tentang keharusan setiap ras hidup dalam pemukiman
khusus yang kemudian menjadikan pemukiman khusus Cina atau
yang dikenal dengan kawsan Pecinan. Tujuan pemerintah
menerapkan kebijakan tersebut adalah untuk memudahkan mereka
dalam mengontrol setiap aktifitas yang dilaukan oleh penduudk.44
Pola pemukiman etnis Tionghoa sudah terbentuk sejak lama
dan memiliki karakteistik tersendiri, hal ini tidak terlepas dari corak
dan kebudayaan etnis Tionghoa yang sangat kental dengan tanah
leluhurnya. Terbentuknya suatu kelompok masyarakat yang
terkoneksi secara ras ternyata membentuk kesenjangan sosial yang
menyebabkan interaksi dengan golongan lain menjadi sangat terbatas.
Selain itu mereka yang menjaga tradisi dan adat istiadat dari tanah
leluhur menimbulkan dinding pemisah diantara masyarakat. Di
Ciampea sendiri kawasan Pecinan berada tepat di sekitar pasar,
tepatnya di Jalan Letnan Sukarna, Pasar Ciampea, Desa Ciampea,
43
Wawancara dengan Kristian, Ketua Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea
44
Ong Hok Ham, Migrasi Cina, Kapitalisme Cina Dan Anti Cina (Depok:
Komintas Bambu, 2017), 13.
25

Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pemukiman etnis Tionghoa


di kawasan Pasar Lama berjajar di sepanjang jalur utama dan
mengeliling kawasan kelenteng, sebagian bangunan pemukiman etnis
Tionghoa masih memiliki nuanasa klasik era kolonial Belanda.45
Umumnya etnis Tionghoa yang tinggal di sekitar pecinan
menjadikan rumahnya sebagai toko, karena mata pencaharian mereka
didominasi sebagai pedangan kelontong yang menyediakan beragai
jenis kebutuhan pokok, selain sebagai pedagang ada juga yang
berprofesi sebagai buruh dan pegawai. Karena kesibukan dalam
berniaga ternyata menyebabkan mereka jarang berinteraksi dengan
masyarakat setempat, interaksi yang terjalin hanya ketika dalam
perniagaan. Meski jarang menjalin komunikasi, hal itu tidak
memberikan dampak yang negatif atau memicu konflik diantara
masyarakat.
Jika ditelusuri lebih dalam, terdapat sikap toleransi yang
cukup tinggi yang terjalin diantara masyarakat pribumi dan etnis
Tionghoa yang tinggal dikawasan Pasar Lama, Ciampea, Kabupaten
Bogor. Hubungan sosial antara masyarakat pribumi dengan etnis
Tionghoa di kawasan Pasar Lama berjalan dengan baik, menurut
penuturan Unki yang merupakan salah satu pengurs kelenteng,
selama masa pemerintahan Orde Baru tidak ada gesekan atau konflik
rasial yang begitu berarti yang dapat menimbulkan korban jiwa
diantara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Gesekan yang
terjadi sering kali hanya sekedar umpatan atau cibiran dari beberapa
orang yang tidak senang dengan keberadaan mereka, akan tetapi
menurutnya hal itu merupakan suatu hal yang wajar karena mengngat
posisi mereka yang hidup sebagai kaum minoritas.
Setelah masa tranisis kepemipinan, hubungan di antara etnis
Tionghoa dan masyarakat pribumi berjalan dengan baik. Hubungan
baik yang terjalin dapat dilihat dari akulturasi yang terjadi di antara
kedua kelompok masyarakat ini. Sebagai contohnya adalah tidak
sedikti etnis Peranakan Tionghoa yang tinggal di Ciampea yang
akhirnya menikah dengan penduduk pribumi, salah satu contohnya
adalah putri kandung Unki yang menikah dengan pribumi dan kini
memeluk agama Islam.
Selain itu rasa toleransi juga tergambar dengan letak tempat
ibadah yang berdiri disekitar kelenteng, tepat disebelah kanan
bangunan kelenteng terdapat Gereja Protestan yang bersampingan
dengan bangunan kelenteng. Rasa toleransi yang terjali diantara
45
Sri Rahmat Helmisyah, “Pola Pemukiman Etnis Tionghoa Di Kampung
Peunayong, Jurnal Pembangunan Sosial,” Jurnal Pembangunan Sosial Vol.14 No.1
(2021).
26

masyarakat juga tergambar dalam keseharian masyarakat sekitar.


Salah satu contohnya adalah sering kali kawasan kelenteng dijadikan
sebagai lahan parkir, selain untuk memudahkan masyarakat sekitar
yang berbelanja di pasar, menurut Kristian penggunaan lahan parkir
dinilai dapat membantu keuangan kelenteng untuk membeli
kebutuhan untuk beribadah. Selain itu hubungan baik anatara etnis
Tionghoa dan masyarakat pribumi juga dapat diliahat dalam ritual
keagamaan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa seperti perayaan
Imlek atau Cap Go Meh, etnis Tionghoa umumnya sering
menyisihkan harta mereka untuk sekedar berbagi kepada masyarakat
yang tinggal disekiar kelenteng tanpa memperdulikan latar belakang
keagamaannya.46

BAB III
PENERAPAN KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA
A. Penerapan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967

46
Wawancara dengan Unki, Pengurus Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea
27

Pada pembahasan kali ini akan terfokus untuk mejelaskan


penyebab pemerintah menerapkan kebijakan terhadap etnis
Tionghoa. Sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Thomas R Dye
“Kebijakannpublik adalah apapunNpilihan pemerintahGuntuk
melakukan atau tidak melakukan”. Atau kebijakan publik merupakan
suatu keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan
kebutuhan pada suatu masa, sementara pendekatan yang digunakan
dalam teori kebijakan publik adalah metode Policy Analisys atau
analisis kebijakan. Yaitu upaya penulis dalam membahas mengapa
suatu kebijakan perlu untuk diterapkan, dalam kasus ini kebijakan
terhadap etnis Tionghoa pada masa pemerintahan Orde Baru.
Setelah kemerdekaan bangsa, maka tugas utama adalah
mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang merata dalam
segala bidang yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Salah satu upaya pemerintah dalam mengisi
kemerdekaan bangsa adalah melalui pembaruan dalam bidang
kehidupan setiap warga negara, yang merupakan upaya untuk
melakukan perubahan dengan meninggalkan cara hidup yang lama
menuju cara hidup yang lebih baik. Maka dari itu, pembaruan yang
dimaksud memerlukan waktu yang panjang.
Pembaruan bangsa dianggap telah tercapai apabila semua
kelompok atau golongan dapat memandang perbedaan antar
golongan atau ras sebagai suatu keutuhan sosial, yang dituntun dan
dijiwai berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang berfungsi sebagai satu-
satunya nilai dalam kebudayaan nasional. Pembaruan sendiri terdiri
dari dua bentuk yaitu pembangunan secara horizontal yang meliputi
antar suku bangsa dan kelompok dalam masyarakat. Sementara
pembaruan vertikal merupakan pembaruan antara masyarakat dengan
pemerintah. Dalam hal ini dapat diartikan, pembaruan vertikal
merupakan upaya perubahan sistem pemerintahan menuju ke arah
yang lebih baik.47
Antara tahun 1966 sampai 1997, Prsiden Soeharto
menciptakan budaya nasional baru dengan menegaskan kembali
bahwa pentingnya ideologi Pancasila yang terdiri dari Lima sila
yakni, ketuhanan, prikemanusiaan, nasionalisme, kedaulatan rakyat
dan keadilan sosial. Maka untuk mencapai cita-cita luhur yang di
idamkan oleh bangsa, pemerintah mempromosikan Pancasila sebagai
sebuah ideologi nasional yang menjadi azas atau dasar dari semua
lapisan organisasi kemasyarakatan (ormas) dan organisasi sosial
politik (orsospol) dibawah kepemipinan rezim Orde Baru.
47
P. Gunardo, “Masalah Pembaruan Dalam Rangka Integrasi Nasional”
(Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1984), 13–15.
28

Tujuan pemerintah menerapkan ideologi ini adalah agar


pengamalan dari setiap sila dapat meresap ke setiap sendi kehidupan
bangsa dan negara. Baginya pengamalan ideologi ini merupakan
bagian dari upaya untuk mewujudkan tujuan pokok stabilitas dan
keamanan politik yang diperlukan dalam pembangunan nasional,
dalam artian bagi siapa saja yang menyeleweng atau keluar dari
ideologi Pancasila berarti telah melemahkan usaha pembangunan
stabilitas nasional.48
Sejak pembubaran BAPERKI di tahun 1965, proses
percepatan asimilasi bagi etnis Tionghoa berada di bawah kendali
lembaga Pembina Kesatuan Bangsa atau LPKB. Salah satu program
utama LPKB dalam pelaksanaan asimilasi yaitu menitik beratkan
pada proses asimilasi dalam bidang sosial yang dilaksanakan dalam
lima bidang kehidupan. Antara lain asimilasi dalam bidang politik,
kebudayaan atau kultural, ekonomi, sosial dan kekluargaan
(pernikahan). Kelima poin terseut harus dilaksanakan secara serentak
atau sinkron agar memberikan hasil susai dengan tujuan asimilasi.49
Menurut Koentjaraningrat, proses asimilasi akan terjalin
apabila memnuhi tiga unsur, diantaranya yang pertama adanya
golongan manusia yang berasal dari kebudayaan yang berbeda-beda,
selanjutnya asimilasi akan terjalin apabila terjadi komunikasi secara
intens untuk waktu yang lama dan yang terakhir adalah setiap
kebudayaan yang berbeda-beda memiliki ciri khas tersendiri yang
kemudia akan menciptakan kebudayaan lain dengan adanya
pertemuan diantara kebudayaan. Biasanya asimilias terjalin diantara
dua golongan yaitu mayoritas dan minoritas. Sedangkan menurut
burhanudin, asimilasi merupakan proses sosial yang telah lanjut dan
ditandai oleh makin menyusutnya perbedaan diantara individu dan
antar kelompok, serta makin eratnya hubungan, sikap dan prilaku
untuk tujuan bersama. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari
konsep asimilasi sendiri adalah mengkis perbedaan yang ada pada
setiap individu dan lebih mengedepankan kepentingan bersama.50
Sejak meletusnya pristiwa G30S menimbulkan dampak yang
mendalam terhadap kehidupan etnis Tionghoa, mereka cenderung
menutup diri dan seakan tidak perduli dengan kondisi di sekitarnya.

48
Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik
Dan Media, (Jakarta: Yayasan nabil dan LP3ES, 2012), 3–7.
49
Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta Selatan:
Trans Media, 2008), 742.
50
Mima Kharimah Aryani, “Inpres NO.14 Tahun 1967: Bentuk
Diskriminasi Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa,” Jejak Vol.2 No.2
(2022).
29

Hal ini menyebabkan mereka dipandang sebagai kaum yang


homogen atau oportunis (kaum yang mementingkan kepentingan diri
sendiri) yang hidup di antara masyarakat pribumi. Atau dapat
diartikan bahwa mereka merupakan kaum yang hanya berfokus
kepada ekonomi, maka dari itu kesetiaan mereka terhadap bangsa
Indonesia perlu untuk dipertanyakan, maka dari itu kebijakan
asimilasi dirasa perlu diterapkan agar menjadi landasan dalam
memperkokoh persatuan diantara setiap golongan yang dapat dicapai
melalui penyeragaman.51
Masalah Tionghoa di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan
kebijakan pemerintah yang semakin gencar melakukan proses
percepatan asimilasi, hal ini bertujuan untuk menyatukan seluruh
golongan ke dalam satu kebudayaan dan ideologi nasional. Pada
masa pemerintahan Orde Baru LPKB yang berorientasi pada konsep
asimilasi mendapat dukungan dari pemerintah dan elit militer. Hal ini
akan sangat menentukan bagi masa depan etnis Tionghoa, pada tahun
1966 konsep asimilasi dijadikan kebijakan mutlak. Hal itu dapat
dilihat pada sidang umum majelis permusyawartan rakyat sementara
atau MPRS tahun 1966 yang menyatakan bahwa usulan asimiliasi
diterima dan mendapat dukungan dari pemerintah.
Sidang umum MPRS tersebut menyoroti tiga keputusan
mengenai etnis Tionghoa. Keputusan pertama adalah mengenai
resolusi etnis Tionghoa yang tercatat dalam Resolusi MPRS
No.III /MPRS/1966 tentang Pembina Kesatuan Bangsa yang
menyatakan bahwa asimilasi merupakan satu-satunya jalan bagi etnis
Tionghoa untuk melebur diri. Selanjutnya adalah Resolusi MPRS
No.XXVII/MPRS/1966 yang menjelaskan tentang agama, pendidikan
dan kebudayaan. Isi dari resolusi ini adalah seruan kepada pemerintah
untuk segera menerapkan kebijakan tentang pembinaan atas
kebudayaan di setiap daerah dan larangan bagi sekolah asing.
Resolusi selanjutnya adalah MPRS No.XXXII/MPRS/1966 yang
menjelaskan tentang pembinaan Pers. Dalam hal ini pemerintah
melarang untuk menerbitkan surat kabar dalam bahasa Tionghoa.
Langkah tersebut diambil oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mengikis pebedaan di antara masyarakat agar menjadi bangsa yang
berdaulat.52

51
Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik
Dan Media, (Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012), 176.
52
Lesvia Chessiagi, Wawan Darmawan, Tarunasena, “Dinamika
Kehidupan Sosial Budaya Etnis Tionghoa Dalam Bingkai Kebijakan Asimilasi
Orde Baru (1966-1998),” Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol.7 No.1
(2018).
30

Untuk melancarkan tujuan dari percepatan asimilasi,


pemerintah Orde Baru mencoba menerapkan suatu kebijakan yang
berlandaskan pada semboyan bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika yang
memiliki arti meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan yaitu
persatuan bangsa. Konsep Kebhinekaan menurut pemerintah
merupakan himbauan bagi warga keturunan asing khusunya etnis
Tionghoa untuk melebur adat istiadat dan kepercayaan serta corak
lainnya kedalam konsep kebhinekaan atau meleburkan diri kedalam
kebudayaan masyarakat setempat.

1. Bidang Agama
Salah satu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
asimilasi adalah “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang
dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 6 Desember 1967 tentang
Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina”. Adapun ketetapan
yang menjadi perhatian dalam Inpres tersebut berisi dua poin utama.
Pertama, tanpa mengurangi jaminan keleluasaan dalam memeluk
agama dan menunaikan ibadatnya, tata cara ibadat Cina memiliki
aspek kebudyaan yang berpusat pada negeri leluhurnya,
pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan
keluarga atau perorangan. Kedua, menyebutkan perayaan-perayaan
pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok
di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.53
Bangsa dan negara mengakui bahwa kebebasan beragama
merupakan salah satu hak yang paling asasi diantara hak-hak
manusia. Karena kebebasan beragama bersumber dari martabat
manusia sebagai mahluk tuhan. Kebebasan beragama bukan
pemberian negara atau pemerintah, maka kehidupan beragama dalam
masyarakat majemuk haruslah menciptakan persatuan dan kesatuan.
Untuk itu dalam kehidupan beragama, perlu ditumbuhkan dan
dikembangkan sikap-sikap dan pemikiran yang mampu membimbing
pada pentingnya kebhinekaan beragama dengan menghormati satu
sama lain yang berasaskan pada UUD 1945.
Dalam Instruksi tersebut dijelaskan bahwa setiap acara
keagamaan atau yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat Cina
harus dilakukan secara tertutup dan tidak mencolok di depan publik.
Hal ini ditetapkan melalui beberapa pertimbangan dan bertujuan
untuk percepatan asimilasi yang digagas oleh pemerintah. Dengan
dikeluarkannya Inpres No.14 Tahun 1967 secara tidak langsung telah
membatasi aktivitas keagamaan bagi etnis Tionghoa. Meski terkesan
53
ANRI, “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, Dan Adat Istiadat Cina” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1967).
31

membatasi aktivitas etnis Tionghoa, akan tetapi semua keputusan


yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan atas pertimbangan yang
matang bahwa jika agama dan kepercayaan etnis Tionghoa
dilaksanakan secara umum dikhawatirakan akan mengganggu proses
asimilasi yang sedang dilaksanakan.
Asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang
keagamaan melalui Inpres No.14 tahun 1967 merupakan dampak dari
situasi sosial politik yang terjadi pada tahun 1965. Ketika itu muncul
dugaan yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa ikut terlibat dalam
pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Sebenarnya konsep
asimlasi telah diterapkan sejak masa pemerintahan Orde lama melalui
Keputusan Presiden No.1 tahun 1965 yang menyatakan bahwa
mengakui enam agama yang berlaku di Indonesia yaitu Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Keputusan ini
menyatakan bahwa Konghucu diakui sebagai agama dan pemerintah
memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk menjalankan ibadah
tanpa ada gangguan, akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama.54
Dengan penerapan inpres tahun 1967 yang diikuti dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.477 Tahun 1978 yang berisi
konghcu tidak lagi dicantumkan sebagai agama resmi di Indonesia.
Meskipun sudah tidak diakui sebagai agama resmi tetapi para
penganut ajaran Konghucu tetap mempertahankan kepercayaan
mereka. Masalah lain yang ditimbulkan dari penerapan Inpres ini
adalah bagi etnis Tionghoa yang ingin mendapatkan dokumen
menganai status kewarganegaraan seperti SBKRI atau Surat Bukti
Kewarganegaraan Indonesia atau Akta Kelahiran diharuskan untuk
mengganti status kagamaan mereka dengan agama yang diakui oleh
pemerintah. Hal ini jelas menimbulkan beberapa pertentangan di
antara penganutnya yang berujung pada perpecahan, hingga akhirnya
mereka memutuskan untuk mengganti nama organisasi yang pada
awalnya bernama Gabungan Umat Konghucu Indonesia atau
GASPEKSI menjadi Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia
atau MATAKIN.
Selain mengganti nama organisasi, mereka juga
menerjemahkan buku ajaran Konghucu dalam bahasa Indonesia dan
beberapa penganut agama Konghucu mulai mengajukan alasan
bahwa agama yang mereka anut sebenarnya lebih bersifat Indonesia
daripada Tiongkok.55 Dalam hal ini kebijakan pemerintah untuk
54
Leovandita Eka Jati, “Undang-Undang Anti Diskriminasi Tionghoa Di
Indonesia Pada Tahun 1998-2008,” Jurnal Pendidikan Sejarah Vol.1 No.2 (2013).
55
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 207-209
32

membatasi aktifitas keagamaan dan kebudayaan bagi etnis Tionghoa


tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah. Bahkan
selain menerapkan kebijakan terkait keagamaan, dalam upaya
percepatan asimilasi pemerintah juga menerapkan larangan yang
dikeluarkan oleh Menteri Penerangan tentang larangan tulisan dan
aksara Cina. Selain itu pemerintah juga membubarkan lembaga
pendidikan etnis Tionghoa, hal ini dirasa akan menghambat proses
asimilasi.

2. Bidang Sosial Kebudayaan


Selain pembatasan dalam bidang keagamaan pemerintah Orde
Baru juga membatasi sosial dan kebudayaan etnis Tionghoa melalui
inpres No.14 tahun 1967. Terdapat pertimbangan yang mengharuskan
pemerintah untuk menerapkan kebijakan tersebut, hal ini berkaitan
dengan empat faktor yang mempengaruhi ketahanan nasinonal yaitu
tradisi, pendidikan, kepemimpinan nasional dan tujuan nasional.
Dalam hal ini pemerintah Orde Baru berupaya untuk memperkuat
tujuan nasional agar menjadi bangsa yang berdaulat. Kebudayaan
Tionghoa dikhawatirkan menjadi suatu penghambat dalam mencapai
tujuan tersebut, maka dari itu pemerintah berupaya untuk
menertibkannya dengan cara menerapkan suatu kebijakan yang
tertuang dalam Inpres No.14 Tahun 1967.
Pembangunan kebudayaan sendiri dilakukan sesuai dengan
pasal 32 UUD 1945 yang menjelaskan tentang peran negara dalam
memajukan kebudayaan di tengah peradaban dunia, selain itu negara
juga menjamin kebebasan setiap warganya dalam menjaga dan
melestarikan kebudayaan. Poin kedua yaitu negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Berdasarkan landasan tersebut pemerintah berupaya untuk
memberikan pengarahan dan pembinaan dalam pengembangan nilai-
nilai kebudayaan agar sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Maka dalam pengembangan kebudayaan perlu
untuk ditegaskan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
sebagai bahasa yang menyatukan, di samping pembinaan bahasa
daerah, berbagai kesenian dan pemeliharaan tradisi yang memiliki
nilai sejarah dan perjuangan bangsa perlu untuk terus dilestarikan
sebagai unsur keberagaman dan kebhinekaan.
Dalam bidang pendidikan, pemerintah berupaya untuk
memfasilitasi etnis Tionghoa dengan cara mengharuskan setiap siswa
keturunan Tionghoa untuk mengambil mata pelajaran dari 5 agama
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Hindu,
Budha dan Katholik. Hal ini merupakan dampak dari minimnya guru
33

yang mampu untuk mengampu ajaran Konghucu, selain itu


Konghucu juga belum menjadi agama resmi di Indonesia. Hal ini
pula yang menjadi pemicu perpindahan agama yang dilakukan oleh
etnis Tionghoa. Selain menjadi bangsa yang berdaulat, tujuan lain
yang ingin dicapai oleh pemerintah Orde Baru yaitu menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur. Hal yang dirasa cukup kuat untuk
mencapai tujuan percepatan asimilasi yang dimulai dari segi
kepemimpinan nasional yang dapat mempengaruhi nilai-nilai sosial
dan budaya bangsa. Kepemimpinan nasional yang diterapkan oleh
pemerintah Orde Baru bertujuan untuk mengayomi seluruh warga
negara dan penduduk asing yang tinggal di Indonesia untuk lebih
mencintai bangsa dan mengedapankan kepentingan umum di atas
kepentingan individu.56

B. Penerapan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.13


Tahun 1980
Langkah yang ditempuh pemerintah dalam percepatan
asimilasi yang selanjutnya adalah mengenai status kewarganegaraan.
Setelah meletusnya pristiwa Malapetaka Limabelas Januari atau
Malari tahun 1974 yang memakan banyak korban jiwa dari kalangan
etnis Tionghoa. Terdapat kehawatiran dari para pemimpin LPKB, hal
ini tidak terlepas dari kesenjangan ekonomi yang berubah menjadi
ujaran kebencian yang menjurus pada tindak rasialisme terhadap etnis
Tionghoa tidak bisa dihindari bahwa ekonomi merupakan bidang
yang sangat besar pernannya dalam mempercepat proses pembaruan,
karena pada umumnya aktifitas ekonomi mempersempit jarak
diantara masyarakat. Selain itu ketidaksamaan staus sosial dalam
masyarakat merupakan ancaman yang sangat rentan dalam kesatuan
dan ketahanan bangsa. Dalam merespons hal tersebut, pada tahun
1974 mereka membentuk Badan Pembina Kesatuan Bangsa atau
BPKB, akan tetapi dalam praktiknya lembaga ini tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan etnis Tionghoa.
Segala kebijakan asimilasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
medapatkan dukungan dari LPKB, karena memang tujuan utama
didirikannya organisasi ini adalah untuk mendukung percepatan
asimilasi. Akan tetapi memasuki tahun 1967, melalui komisi MPRS
menetapkan peran yang diberikan pemerintah kepada LPKB semakin
menyempit. Dari laporan yang tertulis menyebutkan bahwa peran
LPKB hanya terbatas pada masalah-masalah mengenai WNI
keturunan asing.
56
Tarmizi Taher, ”Masyarakat Cina, Kethanan Nasional Dan Integritasi
Bangsa” (Jakarta, Pusat Penkajian Islam dan Masyarakat, 1997),203-204
34

Dari keterangan di atas, Sinduhinata yang ketika itu


memimpin LPKB menarik kesimpulan dan mengirimkan surat
kepada Departemen Dalam Negeri mengenai posisi dan peran LPKB
dalam percepatan asimilasi. Terdapat tiga poin utama diantaranya,
yang pertama LPKB dapat terus berdiri, yang kedua menjelaskan
lembaga ini berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri dan
yang ketiga menjelaskan lembaga ini harus menjadi lembaga
tersendiri dan hanya terfokus pada penyelesaian masalah Tionghoa.
Meski LPKB telah mengajukan berbagi argumen untuk
mempertahankan posisinya, akan tetapi hal itu tidak dapat
menghindarkan mereka dari pembubaran. Pada tanggal 18 Juli 1967
tepatnya setelah empat tahun LPKB didirikan sebagai lembaga di
bawah naungan pemerintah. Pimpinan LPKB memutuskan untuk
meninggalkan semua gagasannya mengenai badan otonom dan
menyetujui untuk mengalihkan semua fungsi LPKB pada
Departemen Dalam Negeri.
Alasan utama pimpinan LPKB menyerahkan semua
otoritasnya pada Departemen Dalam Negeri adalah LPKB secara
pokok sudah mencapai tugasnya dan konsep mengenai asimilasi
sudah diterima oleh pemerintah yang harus dilaksanakan secara
menyeluruh. LPKB sudah mencapai hasil terbesar dalam proses
percepatan asimilasi, maka atas pertimbangan yang matang hal-hal
lain paling baik diserahkan kepada konstitusi yang paling tepat yaitu
Departemen Dalam Negeri.
Setelah penyerahan otoritas yang berujung pada pembubaran
LPKB dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden tanggal 22
November 1967, yang menjelaskan bahwa semua fasilitas dan
personilnya dilimpahkan terhadap pemerintah yaitu Departemen
Dalam Negeri. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pimpinan LPKB
bahwa tugas mereka sudah selesai dan tujuan mereka untuk
membantu proses asimilasi warga negara Indonesia keturunan asing
diterima secara keseluruhan oleh pemerintah. Keputusan ini
kemudian diikuti dengan Keputusan Presiden mengenai Presidium
Kabinet pada tanggal 7 Juni yang menetapkan kebijakan dasar bagi
penyelesaian masalah Tionghoa. Keputusan itu menyatakan bahwa
setiap warga negara memiliki status yang sama di mata hukum, hak
dan kewajiban yang sama tanpa melihat latar belakang mereka. Dari
putusan diatas dapat disimpulkan bahwa tugas dan fungsi sebagai
LPKB sudah tercapai.57
Sampai dengan tahun 1977, Departemen Dalam Negeri
menyelenggarakan suatu konferensi tingkat nasional yang diberi
57
Ibid, 268-271
35

nama Pekan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa yang


berlokasi di Jakarta dan dihadiri para tokoh Tioghoa se-Indonesia.
Dalam konferensi tersebut membahas tetang kejelasan atas status
kewarganegaraan etnis Tionghoa. Dalam konferensi tersebut
pemerintah menerima masukan dari beberapa tokoh Tionghoa agar
usaha pembaruan bangsa lebih ditingkatkan dalam berbagai bidang
kehidupan, hal ini bertujuan untuk memperkokoh persatuan dan
kedaulatan bangsa.58
Dalam merespons masukan dari etnis Tionghoa, Departemen
Dalam Negeri memutuskan untuk membentuk suatu badan yang
diberi nama Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa atau
BAKOM PKB yang dibentuk pada tanggal 18 Oktober 1977 yang
kemudian diresmikan pada tanggal 31 Desember 1977. Sebagian
besar anggotanya terdiri dari mantan aktivis LPKB. Meskipun
BAKOM PKB bukan sebuah institusi pemerintah, akan tetapi dalam
prakitiknya organisasi ini berada di bawah naungan Departemen
Dalam Negeri, sementara upaya yang dilakukan dalam membantu
proses asimilasi adalah dengan cara menyebarkan gagasan
kebangsaan dan semangat nasionalisme melalui majalah pembaruan.
Selain berperan dalam percepatan asimilasi, BAKOM PKB juga
berfungsi sebagai wadah komunikasi dan berkonsultasi di antara
masyarakat Tionghoa yang sadar akan pentingnya persatuan dan
kesatuan di anatara masyarakat dan pemerintah.59
Penerapan kebijakan asimilasi yang dijalanakn oleh BAKOM
PKB merupakan hasil dari kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Orde Baru. Salah satunya yaitu tertuang dalam Garis
BESAR Haluan Negara atau GBHN TAP MPR No.IV/MPR/1978
yang memuat gagasan dalam bidang kebudayaan yaitu : :”Usaha-
usaha pembaruan bangsa perlu untuk ditingkatkan disegala bidang
kehidupan dalam rangka untuk memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa”. Sedangkan landasan pokok asimilasi diperbaharui
dalam GBHN TAP MPR No.II/MPR/1983 dalam bidang kebudayaan
yang berbunyi: ”Usaha-usaha pemberuan bangsa perlu untuk
ditingkatkan dalam segala bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi
maupun sosial dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan ketahanan
nasional”. Atas dasar landasan tersebut yang kemudian menjadi awal
58
Instruksi Presiden No.2 Tahun 1980, Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia, Website:https://www.hukumonline.com
59
BAKOM PKB Pusat, Peresmian Badan Komunikasi Penghayatan Dan
Kesatuan Bangsa, BAKOM PKB Tingkat Nasional Oleh Menteri Dalam Negeri
Tanggal 31 Desember 1977, 11–14.
36

dari terciptanya kebijakan asimilasi pada masa pemerintahan Orde


Baru salah satunya adalah Instruksi Presiden No.2 tahun 1980
mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan
Keputusan Presiden No.13 tahun 1980 Tentang Tata Cara
Permohonan Pewarganegaraan Indonesia.60
Dalam mendukung proses asimilasi, Departemen Dalam
Negeri juga melaksanakan kegiatan yang mendorong percepatan
proses pembaruan melalui sebuah program terpadu dan menyeluruh,
salah satunya adalah menyiapkan TTPD atau Tenaga Pelatih
Pembaruan Daerah, KPPL atau Kelompok Penggerak Pembaruan
Lapangan dan TPP RT/RW atau Tenaga Pelaksana Pembaruan
RT/RW. Salah satu contoh dari upaya pembaruan yang di gagas oleh
Departemen Dalam Negeri ketika itu seperti di daerah Provinsi
Tingkat I Bali. Pada tanggal 16 Februari 1979, didirikan BAKOM
PKB Bali yang terpusat di Ibu Kota Provinsi, dengan mengemban
tugas untuk membantu pemerintah dalam proses asimilasi melalui
Gubernur atau kepala daerah dalam memberikan bahan-bahan
pemikiran dengan tujuan untuk meningkatkan peran masyarakat
dalam mensukseskan pembangunan nasinal dan pembaruan
khususnya di daerah Bali.61
Sejak tahun 1989 RT/RW berfungsi sebagai media
komunikasi antara golongan masyarakat. Maka dari itu, pengurus
RT/RW harus dekat dengan warganya. Hal ini bertujuan agar upaya
pembaruan yang sedang di gagas oleh pemeirntah dapat berjalan
secara menyeluruh terhadap setiap golongan masyarakat. Sudah
menjadi ketentuan bahwa setiap organisasi pemerintah tingkat
kelurahan/desa perlu adanya aparat yang disebut dengan LKMD.
Lembaga ini merupakan lembaga yang membantu desa/kelurahan
dalam pembangunan masyarakat, sedangkan anggotanya sendiri
dipilih dari setiap perwakilan masyarakat di wilayahnya.62
Sebenarnya bentuk peraturan tentang status kewarganegaraan
Indonesia sudah dimulai sejak masa Kemerdekaan yang diawali
dengan pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.3 Tahun 1946
yang menjelaskan tentang warga negara dan penduduk negara dengan
tujuan untuk melakukan pembenahan dan perlindungan terhadap hak
60
Gita Safitri, “Mengasimilasi Tionghoa Muslim: Kebijakan Pembaruan
Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM PKB) 1977-1998,”
Socio Historica Vol.1 No.1 (2022).
61
I Gede Wardana, “Peranan BAKOM PKB Dalam Meningkatkan
Persatuan Dan Kesatuan,” Wahana, 2017.
62
Departemen Dalam Negeri, “Pedoman Pelatihan Pembaruan Bangsa”
(Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Sosial Politik,1988). 60–61.
37

setiap warga negara. Hal ini berlanjut sampai dengan tahun 1958
dengan dikeluarkannya Undang-undang No.62 Tahun 1958 yang
menjelaskan tentang status kewarganegaraan Indonesia yang muali
berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958.63
Pada tanggal 15 Juni 1968 Menteri Kehakiman
mengumumkan akan memperbaharui kebijakan tentang prosedur
naturalisasi bagi orang asing. Memasuki bulan November Menteri
Kehakiman kembali mengajukan rancangan undang-undnag kepada
Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan tindak lanjut dari
perjanjian Dwi Kewarganegaraan yang akan diatur kembali sesuai
dengan kepentingan nasional. Pada 16 April 1969 pemerintah
mengeluarkan undang-undang y64ang telah membatalkan perjanjian
Dwi kewarganegaraan. Dengan kata lain meskipun undang-undang
yang digunakan Dewan Perwakailan Rakyat untuk menetapkan
perjanjian UU No.2 Tahun 1958 sudah dicabut, akan tetapi hak-hak
seseorang yang status kewarganegaraannya telah ditetapkan
berdasarkan Undang-undang tidak akan terpengaruh.
Pertimbangan pemerintah dalam mengeluarkan RUU
mengenai status Dwi kewarganegraan karena perjanjian tersebut
dianggap menimbulkan beban administratif, akan tetapi perhatian
utama pemerintah adalah kehawatiran terhadap keamanan nasional
yang dirasa akan timbul dengan banyaknya etnis Tionghoa yang
masuk dan menjadi warga negara tanpa melalui penyaringan intelejen
yang memadai. Untuk meminimalisir dampak tersebut, pada tahun
1969 dalam rangka mencegah masyarakat asing mengubah pilihan
mereka setelah mencukupi persyaratan umur dalam yang ditetapkan
dalam perjanjian Dwi kewarganegaraan, maka setiap perubahan
status kewarganegaraan dimasa yang akan datang akan dilaksanakan
dengan pernyataan kesetiaan kepada negara yang dipilihnya dan
orang yang ingin memperoleh status kewarganegaraan harus
ditempuh dengan cara naturalisasi.65
Dalam proses administrasi publik, tanda pengenal menjadi
salah satu hal yang sangat penting karena itu merupakan persyaratan
untuk memasuki dunia pendidikan, menentukan hak pilih politik, dan
menikah. Hal itu juga berlaku bagi WNI keturunan asing termasuk
etnis Tionghoa. Mereka harus membuktikannya bahwa dirinya benar-
63
Devi Laksami, Penentuan Status Keimigrasian Dan Kewarganegaraan
(Jakarta: BPSDM Kementrian Hukum dan Ham Republik Indonesia, 2020), 7.
64
.

65
Charles A Coppel, Tonghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 294.
38

benar warga negara Indonesia dengan menunjukan SBKRI.


Permasalahan pembuktian status kewarganegaraan dan SBKRI telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1947 yang
menjelaskan bahwa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia hanya diperuntukan bagi orang yang bukan warga negara
Indonesia. Maka dari itu pemerintah membuka kesempatan bagi
setiap warga negara asing yang ingin membuat SBKRI.66
Selain itu munculnya Surat Bukti Kewarganegaraa Republik
Indonesia tidak terlepas dari kebijakan Menteri Kehakiman No.2
JB.3/4/12 tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
atau SBKRI. Peraturan ini merupakan peraturan pelaksana dari
Keputusan Presiden No.52 Tahun 1977 yang menjelaskan tentang
Pendaftaran Penduduk, selain Keppres tersebut, terdapat juga
peraturan Menteri Kehakiman yang mengacu pada Pasal 4 Peraturan
Penutup UU No.62 Tahun 1958 yaitu:
”Barang siapa perlu membuktikan bahwa ia warga negara
Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang
menunjukan bahwa ia mempunyai atau memperoleh atau turut
mempunyai atau atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat
meminta kepada Pengadilan negeri dari tempat tinggalnya untuk
menetapkan apakah ia warga negara Republik Indonesia atau tidak,
menurut acara perdata biasa. Ketentuan ini tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan khusus dalam atau berdasarkan Undang-undang
lain.”.
Dua peraturan di atas merupakan rujukan hukum tentang
pemberlakuan SBKRI untuk WNI keturunan Tionghoa.67 Memasuki
tahun 1980 pemerintah berupaya untuk kembali menertibkan
administrasi mengenai status kewarganegaraan dengan menempuh
dua cara yaitu, mengeluarkan inpres No.2 Tahun 1980 yang disusun
untuk memprejelas mengenai status kewarganegaraan bagi etnis
Tionghoa. Dalam kebijakan tersebut pemerintah melimpahkan
kewenangan dalam mengeluarkan sertifikat tentang kewarganegaraan
melalui Camat dan bukan lagi ditangan pengadilan negeri.
Kebijakan teresbut tertulis dalam Keppres yang dikeluarkan
tanggal 11 Februari 1980 tentang “Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.13 Tahun 1980 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Permohonan Pewarganegaraan Republik Indonesia” yang
66
Arsip, Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1947 Tentang Peraturan
Untuk Memberi Ketentuan Tentang Kewarganegaraan Seseorang, Situs Website:
https://JDIH.go.id
67
Wahyu Efendi, dkk, SBKRI Analisis Dan Hasil Pemantauan
(JAKARTA: Komisi Naional Hak Asasi Manusia, 2006), 6–7.
39

menjelaskan tentang penerapan surat bukti kewarganegaraan


Republik Indonesia atau SBKRI dan tata cara permohonan untuk
mengajukan diri sebagai warga negara Indonesia. Menyatakan bahwa
pemiliknya merupakan warga negara Indonesia, pada dasarnya
penggunaan SBKRI ternyata menempatkan warga Tionghoa yang
sudah menetap selama lebih dari tiga generasi masih dipertanyakan
statusnya dalam undang-undang kewarganegaraan Indonesia.
Sebenarnya Keppres No.13 tahun 1980 ini merupakan bentuk
penyederhanaan prosedur administrasi mengenai status
kewarganegaraan bagi etnis Tionghoa. Menurut kepala Badan
Kordinasi Masalah Cina atau BKMC Mayjen Sunarso, setiap orang
Tionghoa asing masing-masing memiliki kesempatan untuk menjadi
WNI. Dengan harapan prosedur baru yang dikeluarkan oleh
pemerintah akan mempercepat proses naturalisasi (dua bulan dan
tidak lagi sampai tiga tahun). Sedangkan tarif yang dikenakan kepada
setiap pemohon berkisar minimum Rp.30.000 dan maksimim
RP.100.000, ketentuan ini ditetapkan dengan harapan untuk
mencegah orang Tionghoa asing untuk mengambil keuntungan dari
kemudahan yang diberikan oleh pemerintah.68

C. Penerapan Inpres No. 26 Tahun 1998


Perkembangan situasi politik dalam negeri yang semakin
memperluas jarak antara penguasa dengan rakyat menimbulkan
perasaan tidak puas atas pemerintah. Ditambah dengan praktik KKN
yang dilakukan secara terang-terangan oleh para penguasa
menjadikan persaan tidak puas atas kinerja pemerintah menjadi bom
waktu yang bisa meletus kapan saja. Pada tangal 2 Juli 1997 Thailand
mengalami krisis moneter yang kemudian diikuti oleh negara-negara
lain di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Ketika itu terjadi
inflasi nilai tukar mata uang Rupiah terhadap dolar US. Pemerintah
yang tidak sanggup mengendalikan situasi tersebut menyebabkan
nilai tukar dolar US terhadap rupiah naik tajam sampai menginjak
angka RP.16.500 per satu dolar. Hal ini tentu sangat berpengaruh
bagi perkembangan ekonomi nasional dan menyababkan kepanikan
ditengah masyarakat sehingga menyebabkan penarikan dana secara
besar-besaran diseluruh Bank Indonesia.69
Setelah beberapa tahun mengalami krisis moenter yang
menimpa bangsa, ternyata telah memicu amarah rakyat dari berbagai
68
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisi (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 2906–297.
69
Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta Selatan:
Trans Media, 2008), 1077–1078.
40

kalangan. Kebijakan ekonomi pemerintah yang diaggap hanya


menguntungkan para penguasa dan investor menyebabkan situasi
yang sangat rentan untuk diprovokasi hingga melakukaan aksi rasial
anti Tionghoa yang terjadi pada Mei 1998. Setelah kepemipinan Orde
Baru berakhir, pemerintah berupaya untuk mengatasi masalah sosial
dengan cara mengeluarkan keputusan yang sangat mempengaruhi
kehidupan etnis Tionghoa. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa percepatan asimiliasi yang digagas oleh pemerintah Orde Baru
menimbulkan banyak pertentangan dan dinilai sangat memberatkan
etnis Tionghoa.
Beberapa peraturan yang dinilai memberatkan diantaranya
adalah Inpres No.14 Tahun 1967 dan Kepres No.13 Tahun 1980 yang
menjelaskan tentang agama, kepercayaan Cina dan tata cara
pengajuan SBKRI. Dalam implementasi percepatan asimilasi
pemerintah berupaya menutup akses media untuk membahas hal yang
dianggap menggangu proses asimilasi. Upaya yang diambil
pemerintah dalam mengontrol hal tersebut adalah melalui konsep
suku, agama, ras antar golongan atau SARA. 70 Selama masa
pemerintahan Orde Baru, sentimental terhadap etnis Tionghoa
semakin menguat. Sementara segala macam pemberitaan yang
menyangkut isu SARA dianggap sebagai suatu hal yang tabu untuk
dibicarakan. Hal itu merupakan upaya untuk menjaga keamanan dan
ketertiban bangsa, karena sejatinya tujuan utama yang ingin dicapai
oleh pemerintah melalui konsep SARA adalah untuk menghilangkan
perbedaan dan menyatukan bangsa, hal itu merupakan perwujudan
dari Cita-cita nasional.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, pada tanggal 28 September
1998 didirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia atau
PSMTI yang bertujuan untuk menghimpun keluarga Tionghoa yang
ada di Indonesia. Setelahnya pada tanggal 10 April 1999 didirkan
Perhimpunan Tionghoa Indonesia atau INTI yang bertujuan untuk
menyelesaikan berbagai masalah Tionghoa secara menyeluruh. Pada
masa pemerintahan Habibie pemerintah melakukan beberapa
penyesuaian kebijakan khususnya bagi warga keturunan asing
khususnya etnis Tionghoa. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
membersihkan citra buruk pemerintah Indonesia di mata
Internasional. Pada tenggal 16 September 1998 Presiden
mengeluarkan “Instruksi Presiden No.26 Tahun 1998 yang ditujukan
kepada seluruh jajaran birokrasi untuk menghapuskan penggunaan
istilah pribumi dan non pribumi”.
70
Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik
Dan Media, (Jakarta: Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012), 5–7.
41

Terdapat lima poin penting yang tercantum dalam kebijakan


ini yaitu. Poin yang pertama adalah menghentikan penggunaan istilah
pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan
penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun
pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini
pemerintah berupaya untuk menerapkan persamaan hak dan
kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia tanpa
mempermasalahkan latar belakang suku, etnis maupun kebudayaan.
Selanjutnya yaitu memberikan perlakuan dan layanan yang sama
kepada seluruh warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan
layanan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan, dan
meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan
kepada warga negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras
maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut.
Poin terakhir yaitu meninjau kembali dan menyesuaikan
seluruh peraturan perundang-undangan, kebijakan, program dan
kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk
antara lain dalam pemberian layanan perizinan usaha,
keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan,
kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak
pekerja lainnya, sesuai dengan Instruksi. Dengan dikeluarkannya
instruksi ini diharapkan mampu memperkuat rasa persatuan dan
kesatuan diantara masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis,
selain itu dengan diterapkannya kebijakan ini diharapkan mampu
untuk mendukung pembangunan nasional dan perwujudan cita-cita
bangsa, menumbuhkan rasa nasionalisme bagi setaiap warga negara.
Sementara untuk impelemntasi dari kebijakan Inpres No.26 Tahun
1998 sesuai dengan yang tertera pada poin keempat yaitu, pemerintah
pusat menginstruksikan setiap pimpinan lembaga non departemen,
kepala daerah yang meliputi bupati atau wali kota madya untuk
melakukan pembinaan terhadap masyarakat mengenai Inpres No.26
Tahun 1998 baik dari segi sosial dan ekonomi masyarakat.71

71
Arsip Kepustakaan Presiden, Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998
Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi , Situs
Website: https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id
42
BAB IV
DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEHIDUPAN
ETNIS TIONGHOA DI KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN
BOGOR TAHUN 1967-1998
Pada penelitian ini menggunakan teknik wawancara naratif yang
digunakan sebagai sumber utama dalam peneltian ini, teknik wawancara
sendiri dilakukan dengan proses tanya jawab dengan narasumber yang
relevan. Hal ini dilakukan agar dapat menggali informasi lebih dalam tentang
masalah yang sedang dikaji yaitu “Dampak kebijakan pemerintah terhadap
kehidupan etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Tahun
1967-1998”.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, penulis berupaya
untuk memaparkan hasil atau temuan yang diperoleh yang kemudian
dipadukan dengan beberapa sumber lain seperti dokumentasi atau arsip. Hal
ini bertujuan agar penulis mendapatkan informasi yang sesuai dengan tema
yang sedang dikaji. Dalam upaya untuk memaparkan temuan tersebut,
penulis mengacu pada teori kebijakan publik yang di kemukan oleh Thomas
R Dye dengan menggunakan pendekatan political public policy atau
kebijakan publik yang hanya terfokus pada outcome atau dampak dari
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan fokus penelitian terhadap
etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor yang akan
dijabarkan dalam pembahasan berikut ini72.
A. Dampak Dalam Bidang Keagamaan
Pada tanggal 6 Desember tahun 1967 pemerintah Orde Baru
mengeluarkan kebijakan terkait Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Tionghoa. Penerapan ini memang tidak menghapuskan
Konghucu sebagai agama, akan tetapi lebih merujuk pada
pembatasan kegiatan keagamaan bagi etnis Tionghoa, hal ini dinilai
cukup membuat resah etnis Tionghoa karena ritual kegamaan
merupakan bagian dari ajaran dan kebudayaan Konghucu.
Dampak yang diterima dari penerapan Inpres No.14 Tahun
1967 bagi etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea salah satunya
adalah munculnya keraguan pada WNI keturunan Tionghoa untuk
berpegang teguh pada ajaran yang mereka yakini. Hal ini disebabkan
karena secara tidak langsung agama yang mereka anut merupakan
agama yang tidak diakui di Indonesia. Hal ini berdasarkan keputusan
pemerintah yang dikeluarkan pada tahun 1965 yang tercantum dalam
Keputusan Presiden No.1 tahun 1965 yang menyatakan bahwa tidak
mengakui Konfusianisme sebagai agama. Bagi agama kecil seperti
72
Ag. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori Dan Aplikasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 5.

43
44

Hindu, Budha dan Konghucu kebijakan tersebut menimbulkan


keresahan dan keraguan terhadap agama yang mereka yakini.
Menurut beberapa sudut pandang, agama yang umumnya diterima
haruslah menyangkut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan Nabi, satu Kitab Suci dan seperangkat hukum agama yang
mengikat para pengikutnya.73
Dalam menghadapi situasi ini, etnis Tionghoa di Kecamatan
Ciampea memilih jalan damai, dan tidak memberikan perlawanan
terhadap pemerintah. Menurut penuruturan Kristan, etnis Tionghoa
terkhusus di Kecamatan Ciampea tidak bisa hidup sebagai kaum yang
militan, hal ini dipengaruhi oleh kesadaran kolektif bahwa mereka
bukan warga pribumi, maka dari itu untuk menghindari perselisihan
yang lebih rumit baik dengan pemerintah maupun warga pribumi,
mereka lebih memilih untuk mengikuti setiap kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah.
Dampak lain yang ditimbulkan dari penerapan Inpres No.14
Tahun 1967 sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemeluk
agama Konghucu. Tidak sedikit dari para penganutnya yang
memutuskan untuk beralih dan memeluk agama lain seperti Budha,
Kristen maupun Islam. Selain itu penutupan sekolah BAPERKI dan
sekolah berbahasa Tionghoa yang terjadi pada periode 1965-1966
dirasa memiliki pengaruh besar dalam proses migrasi agama yang
dilakukan oleh etnis Tionghoa. Tidak sedikit orang Tionghoa yang
akhirnya memasukan anak-anak mereka untuk mendapatkan
pendidikan di sekolah kristen dan sekolah swasta lainnya.74
Selain berpengaruh terhadap etnis Tionghoa yang memeluk
agama Konghucu, penerapan Inpres No.14 tahun 1967 juga
berpengaruh terhadap organisasi keagamaan etnis Tionghoa yang
memluk agama Islam. Dengan diterapkannya inpres No.14 tahun
1967 membuat pimpian pusat Persatuan Islam Tionghoa (PITI)
mengambil langkah untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang
sedang berkembang ketika itu dengan cara membubarkan PITI pada
tanggal 5 Desember 1972 yang disampaikan langsung kepada
pemerintah Indonesia. Langkah ini merupakan upaya untuk
meminimalisir pertentangan diantara anggota PITI dengan
masyarakat Pribumi. Hal ini tidak terlepas dari situasi yang
berkembang ketika itu yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai
sumber dari berabagai masalah sosial. Maka dari itu pimpinan PITI
mengambil langkah tegas dengan cara pembubaran. Setelah
73
Charles A coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisi (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 208.
74
Ibid, 211
45

organisasi PITI resmi dibubarkan, langkah yang diambil oleh para


anggota PITI adalah membentuk organisasi baru dengan nama
Pembina Iman Tauhid Islam atau PITI yang diresmikan oleh
pemerintah sepuluh hari setelah pembubaran Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia tepatnya pada tanggal 15 Desember 1972.
Kebijakan pimpinan pusat PITI dalam melakukan
pembubaran merupakan suatu upaya untuk membantu pemerintah
dalam melancarkan program asimilasi, hal ini tidak terlepas dari
maksud dan tujuan pemerintah yang tertuang dalam Garis Besar
Haluan Negara atau GBHN dan surat Mentetri Agama RI yang di
keluarkan pada tanggal 5 Juli 1972 No.MA./244/1972 yang ditujukan
kepada pimpinan PITI bahwa kebijakan pemerintah dalam
mempercepat proses asimilasi atau pembauran terhadap setiap warga
negara menghendaki peniadaan segala usaha yang menjurus pada
ekslusifisme. Dalam artian Islam adalah agama yang universal, tidak
mengenal batas dan membedakan keturunan, suku, bangsa maupun
etnik, hal ini di dasarkan pada dalil Al- Qur’an yang tertuang dalam
surat al-Hujurat ayat 13.75

B. Dampak Dalam Bidang Sosial, Kebudayaan dan Pendidikan


Selain membatasi kegiatan keagamaan etnis Tionghoa, Inpres
No.14 tahun 1967 juga berpengaruh terhadap kehudupan sosial dan
kebudayaan etnis Tionghoa. Konsep asimilasi yang diterapkan oleh
pemerintah membuat etnis Tionghoa mulai meninggalkan
kebudayaan Tionghoa salah satunya adalah bahasa Tionghoa. Akan
tetapi bagi etnis Tionghoa yang menetap di Kecamatan Ciampea
terdapat beberapa alasan mengapa mereka tidak mengajarkan bahasa
Cina terhadap keturunannya, selain karena rasa takut, umumnya etnis
Tionghoa mulai memiliki rasa nasionalisme. Hal ini sesuai dengan
konsep yang di ajarkan oleh Konghucu yang menjelaskan “dimana
mereka tinggal dalam artian hidup, makan, minum dan bersosalisasi,
maka disitulah mereka harus mengabdi”.76
Maka salah satu cara bagi etnis Tionghoa mengamalkan
ajaran tersebut adalah dengan berusaha untuk mentaati setiap
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Selain berpengaruh dalam bidang kebudayaan, kebijakan
asimilasi juga berpengaruh terhadap pendidikan anak-anak keturunan
75
Abdi Sahrial Harahap, “Dinamika Gerakan Dakwah Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia PITI, Medan Sumatera Utara” Jurnal AnalyticaI Islamica,
Vol,1, No,2 (2012)
76
Kristan, “Wawancara Langsung Dengan Kristan, Locu Kelenteng Hok
Tek Bio Ciampea,” March 22, 2023.
46

Tionghoa, hal ini tidak terelepas dari maslah Konghucu yang tidak di
akui sebagai agama resmi di Indonesia. Hal itu berdampak pada tidak
masuknya pendidikan agama Konghucu dalam kurikulum sekolah
negeri di bawah naungan pemerintah, hal tersebut semakin rumit
karena pada saat yang bersamaan pemerintah menutup lembaga
pendidikan Tionghoa, hal tersebut merupakan dampak yang dari
upaya kudeta yang terjadi pada tahun 1965.
Setelah pelimpahan kekuasaan pada tanggal 11 Maret,
pemerintah mulai menyisir dan mentertibkan sekolah asing yang di
mulai dari periode 1965-1966. Ketika itu statistik yang dicatat oleh
Biro Hubungan Luar Negeri dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menjelaskan bahwa selama bulan april 1966
menjelaskan bahwa terdapat sekitar 667 lembaga pendidikan asing di
Indonesia dan 629 diantaranya merupakan lembaga pendidikan
Tionghoa. Sedangkan jumlah murid yang terdaftar pada sekolah
tersebut adalah 276.328 siswa dan 272.782 diantaranya merupakan
warga Tionghoa asing. Sedangkan guru berjumlah sekitar 8.602 dan
6.476 merupakan warga Tionghoa asing.
Berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan yang dikeluarkan
pada tanggal 6 Juli, mereka yang menjadi di sekolah aisng tidak akan
diterima di sekolah nasional swasta, terkecuali mereka mampu untuk
memenuhi syarat yang serupa dengan murid lain pada umumnya,
selain itu jumlah murid Tionghoa yang masuk dibatasi sekitar lima
persen di setiap sekolah.77 Penutupan lembaga pendidikan Tionghoa
yang dilakukan oleh pemerintah berakibat pada anak-anak keturunan
Tionghoa yang umumnya memeluk agama Konghucu diharuskan
untuk memilih pendidikan agama berdasarkan lima agama yang di
akui di Indonesia yaitu Katholik, Hindu, Islam, Kristen, Budha.
Umumnya anak-anak keturunan Tionghoa yang tinggal di Kecamatan
Ciampea mengambil pendidikan agama Budha sebagai agama yang
paling mendekati dan memiliki kesamaan dengan agama Konghucu.78

C. Dampak Administrasi dan Politik


Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa
dihadapkan dengan berbagai masalah yang rumit. Masalah yang
77
Charles A Coppel, Tonghoa Indonesia Dalam Krisis, 134–136.
78
“Wawancara Langsung Dengan Yusuf, WNI Keturunan Tionghoa Di
Kecamatan Ciampea,” March 20, 2023.
47

menjadi batu sandungan dalam proses asimilasi disebabkan oleh


berbagi faktor seperti krisis kepercayaan dari masyarakat pribumi
terhadap etnis Tionghoa yang dianggap sebagai golongan yang
cenderung hidup demi kepentingan diri sendiri. Selain itu dampak
yang diterima etnis Tionghoa dalam sistem politik dan administrasi
yaitu selain berpengaruh dalam bidang kegamaan, dampak dari
Inpres No.14 tahun 1967 juga berpengaruh terhadap ststus
keagamaan mereka yang tercantum dalam tanda pengenal atau
SBKRI yang akhirnya berakibat pada migrasi agama yang dilakukan
etnis Tionghoa.
Sebagimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa dalam
Undang-undang dasar tahun 1945 menjelaskan setiap warga negara
diharuskan untuk memiliki agama untuk dianut. Sementara ketika itu
Konghucu tidak diakui sebagai agama resmi, hal tersebut
menimbulkan keresahan yang kemudian berlanjut hingga akhirnya
berdampak pada kesulitan dalam mengurus administrasi publik salah
satunya adalah dalam mendapatkan tanda pengenal. Setiap warga
negara yang ingin mengajukan diri untuk mendapatkan tanda
pengenal diharuskan unutk mencantumkan agama yang diakui
sebagai agama yang dianut. Berdasarkan temuan dalam penelitan
lapangan yang dilakukan dengan narasumber, untuk mengatasi
permasalahan tersebut etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea
umumnya mencantumkan agama lain dalam tanda pengenalnya.
Setidaknya terdapat beberapa pertimbangan yang
mempengaruhi etnis Tionghoa memilih untuk pindah agama dan
mencantumkan agama lain dalam tanda pengenal. Salah satu
pertimbangan yang paling mendasar yaitu agar dapat mempermudah
mereka dalam mengurus dan mendapatkan hak-hak sipil seperti
mencatatkan pernikahan, membuat akta kelahiran, mendaftarkan anak
untuk bersekolah dan menentukan hak politik. Sementara dampak
yang diterima oleh etnis Tionghoa yang memilih tetap berpegang
teguh terhadap ajaran Konghucu sudah dipastikan tidak dapat
mengajukan diri untuk mendapatkan tanda pengenal atau SBKRI.79
Bagi etnis Tionghoa yang tidak memiliki tanda pengenal,
sudah dapat dipastikan bahwa tidak akan mendapatkan pelayanan hak
sipil, salah satu contohnya adalah ketika mereka hendak menikah,
karena tidak memiliki tanda pengenal maka pernikahan tersebut tidak
tertulis oleh dinas dan hal tersebut berakibat fatal bagi anak-anak
mereka. Karena pernikahan kedua orang tuanya tidak terdata, hal
tersebut akan berpengaruh ketika ingin membuat akta kelahiran bagi
79
“Wawancara Langsung Dengan Yusuf, WNI Keturunan Tionghoa Di
Kecamatan Ciampea,” Maret 20, 2023.
48

anak-anaknya, maka keterangan yang tertulis dalam akta bagi


pasangan yang tidak memiliki tanda pengenal tidak dapat
dicantumkan sebagai orang tua anak yang bersangkutan atau anak
tersebut berstatus sebagai anak tanpa orang tu.80
Sedangkan status anak keturunanan Tionghoa tentang
masalah dwi-kewarganegaraan dijelaskan bahwa setiap anak
keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia dapat menentukan status
kewarganearaan ketika sudah berusia 18 Tahun. Sementara orang
tuanya hanya dapat mengarahkan, hal ini tercantum dalam Pasal VIII
yang menjelaskan ”anak-anak yang dilahirkan di wilayah Negara
Republik Rakyat Tiongkok mampu mempunyai kewarganegaraan
Republik Indonesia sejak waktu lahir, apabila orangtuanya ataupun
hanya ayahnya mempunyai kewarganegaraan Republik Indoneisa.
Sedangkan anak yang dilahirnkan di wilayah Negara Republik
Indonesia mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok
sejak waktu lahir, apabila orang tuanya ataupun hanya ayahnya
mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok”.81
Dari beberapa pertimbanagan di atas, pada umumnya etnis
Tionghoa di Kecamatan Ciampea yang memeluk ajaran Konghucu
lebih dominan memilih agama Budha Tri Dhrama dan Kristen
sebagai agama yang dicantumkan dalam tanda pengenal. Berdasarkan
penuturan dari beberapa narasumber, alasan mengapa etnis Tionghoa
lebih dominan untuk memilih agama Budha hal ini tidak terlepas dari
kesamaan ajaran dan tata cara beribadah dengan Konghucu. Selain
memutuskan untuk memilih kedua agama di atas, ada juga yang
memutuskan untuk memilih agama lain seperti Islam dan katholik.
Meski sudah mencantumkan agama lain dalam tanda pengenal, akan
tetapi mereka tetap menganut ajaran Konghucu. Hal ini diperkuat
dengan pemaparan beberapa narasumber yang tetap beribadah di
kelenteng meski sudah berstatus sebagai penganut Budha.82
Selain pertimbangan yang menjadi dasar atas migrasi agama
yang dilakukan oleh etnis Tionghoa, ternyata tardapat tekanan yang
mengharuskan mereka untuk memilih jalan tersebut. Migrasi agama
sendri terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari lonjakan penganut agama Kristen Protestan pada tahun
1967 yang diperkirakan mencapai 150.000 orang yang terdiri dari

80
“Wawancara Langsung Dengan Kristan, Locu Kelenteng Hok Tek Bio
Ciampea,” Maret 22, 2023.
81
“Bagaimana Kedudukan Anak Dwi-Kewarganegaraan,” Star Weekly,
March 26, 1960.
82
“Wawancara Langsung Dengan Adi Suherman, WNI Keturunan
Tionghoa Dan Ketua Rw 02 Kampung Pasar Ciampea,” Maret 22, 2023.
49

berbagai wilayah di Indonesia. Sementara etnis Tionghoa mengalami


peningkatan presentase yang memeluk agama Katholik juga
mengalami peningkatan pada periode 1966 sampai 1969. Pada tahun
1966 tercatat sekitar 16,7 % dari seluruh penduduk Tionghoa
Indonesia yang beragama Katholik, memasuki tahun 1969 mengalami
peningkatan menjadi 26,7 % yang tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia.
Selain migrasi agama, etnis Tionghoa juga diharuskan untuk
mengganti nama keturunan dengan nama sebagaimana lazimnya yang
digunakan orang Indonesia. Menurut pemerintah kebijakan tersebut
bukanlah suatu paksaan, akan tetapi hal tersebut merupakan langkah
awal menuju arah asimilasi dari WNI keturunan Tionghoa. dalam
arti yang lebih luas penggantian nama keturunan dengan nama
Indonesia diharpkan dapat membantu penerimaan mereka oleh
golongan pribumi, ganti nama juga akan membedakan antara etnis
Tionghoa keturunan Indonesia dan yang asing.
Meski memiliki tujuan yang baik, akan tetapi hal tersebut
mendapatkan penolakan dari beberapa pihak. Salah seorang tokoh
keturunan Tionghoa yang secara lantang menolak gagasan tersebut
adalah Yap Thiam Hien yang merpakan mantan wakil ketua
BAPERKI. Penolakan yang dinyatakan oleh Yap Thiam Hien
tercantum dalam harian Sinar Harapan yang menyebutkan bahwa
baik prakarsa pemerintah, masih banyak warga keturunan Tionghoa
yang belum mengganti nama.
Masalah yang menjadi bantu sandungan dalam proses
penggantian nama bagi WNI keturunan Tionghoa yaitu harus siap
untuk menerima seluruh konsekuensi dari pilihannya tersebut. Selain
memakan banyak waktu, proses penggantian nama juga memerlukan
biaya yang tidak sedikit. Hal ini karena setidaknya bagi mereka yang
ingin mengganti nama diharuskan untuk merubah seluruh dokumen
seperti surat keterangan kelahiran, surat kawin atau surat cerai,
bahkan sampai surat listrik, air dan telepon juga harus di ubah.83
Meskipun harus mengikuti prosedur yang rumit, terkhusus
WNI keturunan Tionghoa yang tinggal di Kecamatan Ciampea tetap
mengikuti anjuran yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagaimana
yang sudah dipaparkan oleh narasumber dalam penelitian lapangan,
umumnya etnis Tionghoa di Kecamatan Ciampea tidak terlalu
mengalami kesulitan dalam mengurus hak-hak sipil, seperti mengurus
akta kelahiran, mengajukan kartu identitas atau mengganti nama. Hal
ini diperkuat dengan ungkapan bahwa jika ingin mendapat
83
Charles A Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisi (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1994), 207–213.
50

kemudahan dalam mengurus adminisrasi publik, hendaknya mereka


yang ingin mengganti nama dengan nama Indonesia umumnya
memakai nama muslim atau pribumi seperti Tan Kang Sui menjadi
Yusuf atau Tan Tek Kong menjadi Supandi.84
Selain itu kemudahan dalam mengurus administrasi tidak
terlepas dari hubungan baik yang terjalin antara etnis Tionghoa
dengan masyarakat pribumi dan pemerintah setempat seperti ketua
Rw maupun apartur pemerintahan Desa. Beberapa narasumber
menjelaskan bahwa selama ada uang, proses administrasi publik
dapat diselesaikan dengan lancar hal ini berlaku bagi warga
keturunan Tionghoa di Kecamatan Ciampea.85
Memasuki tahun 1980 pemerintah mengeluarkan Keppres
No.13 Tahun 1980 yang isinya menjelaskan tentang mempermudah
etnis Tionghoa dalam mengajukan tanda pengenal atau keterangan
bukti kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi karena sosialisainya
yang kurang maksimal, maka banyak etnis Tionghoa yang belum
mengetahui tentang kebijakan tersebut. Meski pemerintah sudah
menetapkan peraturan tersebut, akan tetapi tidak ada perbedaan yang
signifikan yang dirasakan bagi etnis Tionghoa di Kecamatan
Ciampea.
Mereka menuturkan bahwa tidak ada pebedaan dalam hal
pengajuan dalam bidang administrasi, etnis Tionghoa yang tinggal di
Kecamatan Ciampea merasa semua berjalan seperti biasa, meskipun
dalam kebijakan tersebut berupaya untuk mempermudah warga
keturunan untuk mendapat kartu identitas, akan tetapi kenyataan yang
berkembang ketika itu menempatkan mereka pada posisi yang sama
seperti sebelum kebijakan tersebut diresmikan. Mereka yang
memiliki uang dan tidak terlibat dalam aktivitas politik seperti
menjadi anggota PKI. Tentu tidak terlalu mengalami kesulitan ketika
ingin mengajukan hak-hak sipil, akan tetapi bagi etnis Tionghoa yang
tidak memiliki uang atau berpatisipasi dalam politik, sudah tentu
akan mengalami kesulitan.86
Sementara bagi etnis Tionghoa yang memeluk agama Islam,
pada umumnya tidak begitu mengalami kesulitan dalam mengajukan
administrasi. Hal ini tidak terlepas dari peran Islam sebagai agama
mayoritas yang mampu mengikis perbedaan. Sebagaimana yang di

84
“Wawancara Langsung Dengan Yusuf, WNI Keturunan Tionghoa Di
Kecamatan Ciampea,” Maret 20, 2023.
85
“Wawancara Langsung Dengan Supandi, WNI Keturunan Tionghoa Di
Kecamatan Ciampea,” Maret 22, 2023.
86
“Wawancara Langsung Dengan Unki, Pengurus Kelenteng Hok Tek Bio
Ciampea,” Desember 2022.
51

jelaskan oleh narasumber, etnis Tionghoa yang memeluk Islam tidak


diwajibkan untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia,
akan tetapi dapat memiliki tanda pengenal yang sama seperti
penduudk pribumi pada umumnya.87

D. Dampak Instruksi Presiden No.26 Tahun 1998


Setelah peralihan kepemimpinan dari tangan Soeharto kepada
B.J Habibie, ketika itu pemerintah berupaya untuk mengkaji beberapa
kebijakan yang dianggap menimbulkan kontroversi. Setelah itu
pemerintah menetapkan Instruksi Presiden No.26 Tahun 1998
tentang pemberhentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi.
Dalam kebijakan ini pemerintah berupaya untuk menghilangkan
kebijakan politik rasialis, selain itu pemertintah juga berupaya
meratifikasi Konvensi Internasional tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi ras, dan membentuk Undang-Undang anti
diskriminasi. Untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan rasial di
masa mendatang, pemerintah juga seharusnya menciptakan sistem
pemerintahan yang demokratis, diantara produk undang-undang yang
dianggap bersifat rasial antara lain adalah Inpres No.14 Tahun 1967.88
Tujuan yang dikehendaki oleh pemerintah dari penerapan
Keppres No.26 tahun 1998 adalah kebebasan dan persamaan hak
diantara setiap warga negara, selain itu pemerintah juga berupaya
mempermudah proses pelayanan publik bagi setiap warga negara
tanpa mempertimbangkan perbedaan antara suku, etnis dan ras. Salah
satu contoh nyata dari penerapan Keppres ini adalah kebebasan bagi
etnis Tionghoa dalam menjalankan ibdah dan ritual keagamaan yang
mereka anut. Hal ini bahkan dimuat dalam kolom artikel media
terkemuka yaitu Kompas yang terbit pada 31 Juli 1999 dengan judul
“Barongsai, Bersembunyi selama 32 tahun”.89
Meskipun mamiliki maksud dan tujuan yang baik, akan tetapi
dalam pelaksanaanya tentu tidak terlepas dari berbagai hambatan.
berdasarkan hasil penelitian lapangan yang di lakukan di Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor. Menurut penuturan beberapa
narasumber, ternyata tidak ada dampak yang signifikan yang
dirasakan oleh etnis Tionghoa setelah penerapan Keppres No.26
tahun 1998. Menurut mereka kebijakan tersebut hanya berlaku untuk

87
“Wawancara Langsung Dengan Dewi Kusuma, WNI Muslim
Tionghoa,” Maret 13, 2023.
88
BB, Harian Kompas, Kebijakan Politik Rasial Perlu Dihilangkan, Edisi
31 Desember 1998.
89
IRA. Harian Kompas, Barongsai, Bersembunyi Selama 32 Tahun, Edisi
31 Juli 1999.
52

etnis Tionghoa yang tinggal di daerah pusat pemerintahaan atau kota


besar, tidak dengan yang tinggal di daerah . Pernyataan ini bukan
tanpa alasan, berdasarkan penjelasan Kristan umumnya etnis Tinghoa
di Kecamatan Ciampea hidup rukun, jarang terjadi gesekan
sedangkan anggapan bahwa mereka merupakan kaum yang hidup
secara ekslusif itu tidak sepenuhnya benar, karena ummnya etnis
Tionghoa yang tinggal di Kecamatan Ciampea merupakan pedagang
yang setiap harinya berinteraksi dengan berbagai macam golongan.
Selain itu dalam mendapatkan hak sipil, karena sebelumnya sudah
memiliki hubungan yang baik dengan berbagai pejabat setempat
maka mereka tidak mengalami kesulitan, jadi menurut mereka tidak
ada perbedaan yang signifikan sebelum atau setelah diterapkannya
Keppres No.26 tahun 1998.
Berdasarkan hasil penelitain lapangan, disimpulkan bahwa
perasaan dilema yang dialami oleh etnis Tionghoa khusunya mereka
yang tinggal di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor mengenai
status keagamaan, kemudahan dalam mengurus berbagai administrasi
publik dan pelayanan hak sipil belum mengalami perubahan. Sampai
memasuki masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid pemerintah
mengeluarkan Keppres No.6 Tahun 2000 yang menjelaskan tentang
pencabutan Inpres No.14 tahun 1967 dilakukan atas pertimbangan
pluralisme oleh K.H. Abdurahman Wahid. Peran Gus Dur dalam
pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 sangat dikenang dikalangan
etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini tidak terlepas karena peran Gus
Dur yang dianggap telah mengembalikan status Konghucu sebagai
agama dan membantu etnis Tionghoa dalam memperjuangkan
persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara, hingga
akhirnya Gus Dur dinobatkan sebagai bapak Tionghoa Indonesia.
Berdasarkan penuturan narasumber, jika ketika itu umat Islam
mengijinkan. Mungkin saat ini sudah ada Kelenteng Gus Dur, yang
menjadi simbol penghormatan dari etnis Tionghoa atas jasanya dalam
menghapuskan sikap diskriminasi dan mengembalikan hak-hak etnis
Tionghoa untuk memilih agama yang mereka yakini. Tidak berhenti
sampai disitu, menurut penuturan Kristan, Gus Dur pantas untuk di
buatkan patung dan di anggap sebagai Dewa. Hal ini berdasarkan
pada ajaran Konghucu yang menjelaskan bahwa ada tiga syarat untuk
menjadi Sin Beng, adapun yang pertama yaitu berbuat untuk negara
dan bangsa, syrat yang selanjutnya adalah mampu menyelamatkan
bencana seperti bencana alam atau wabah, dan yang terakhir menjadi
martir untuk membela kepentingan bangsa. Dari ketiga syarat di atas,
Gus Dur dirasa merupakan pribadi yang pantas untuk mendapatkan
pengakuan sebagai Sin Beng (Dewa dalam ajaran Konghucu). Dalam
53

artian, tujaun etnis Tionghoa mengangkat Gus Dur sebagai Sin Beng
tidak lain adalah agar kelak sosoknya selalu menjadi contoh suri
tauladan yang baik, yang kemudian bisa di teladani oleh anak-anak
keturunan Tionghoa.90

90
Kristan,“Wawancara Langsung Dengan Kristan, Locu Kelenteng Hok
Tek Bio Ciampea,” Maret 22, 2023.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
setidaknya ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis
diantaranya.
1. Setiap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah telah melalui
pertimbangan yang panjang, kebijakan yang diterapkan tidak terlepas
dari pengaruh pergolakan sosial dan politik bangsa. Terlebih setelah
upaya kudeta yang terjadi pada tahun 1965 dan timbulnya dugaan
bahwa etnis Tionghoa ikut andil dalam mendukung gerakan tersebut.
Anggapan itu kemudian berubah menjadi kebencian yang ditujukan
kepada etnis Tionghoa. Prasangka seperti ini yang kemudian memicu
perpecahan di antara masyarakat, maka dari itu untuk meminimalisir
kemungkinan terburuk yang akan terjadi, pemerinah berupaya
menekan hal tersebut dengan cara melakukan percepatan asimilasi.
Dengan harapan meleburnya kebudayaan Tionghoa dalam
kebudayaan lokal dapat mengikis segala perbedaan diantara
masyarakat dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
2. Selain gencar dalam menerapkan percepatan asimilasi, dalam
penerapannya kebijakan bersifat sentralisasi dimana pemerintah pusat
memfungsikan pemerintah daerah agar ikut terlibat dalam sosialisai
dan penerapan asimilasi. Hal ini dilakukan agar penerapan asimilasi
dapat berjalan dengan terstruktur dan sesuai dengan maksud dan
tujuan asimilasi. Penerapan asimilasi tersebut kemudian dilanjutkan
oleh pemerintah daerah sampai dengan tingkat RT dan RW sebagai
aktor utama yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat
sekitar.
3. Kebijakan yang dikeluarkan Oleh Pemrintah Orde Baru berdampak
pada kehidupan etnis Tionghoa, baik dari segi sosial, politik
keagamaan dan kebudayaan. Program pembaruan yang diharapkan
mampu menyatukan dan mengikis perbedaan ditengah masyarakat,
pada akhirnya berujung pada keresahan dan ketegangan sosial
ditengah masyarakat Tionghoa khusunya mereka yang tinggal di
Kecamatan Ciampea. Kondisi sosial politik yang terus memanas
menemaptkan etnis Tionghoa sebagai kambing hitam dari semua
permsalahan yang ada, hingga akhirnya semua kebencian terhadap
etnis Tionghoa menemui puncaknya pada Mei 1998.

54
55

B. Saran
Adapun saran yang bisa penulis berikan adalah mengingat
terdapat banyaknya kekurangan dalam penulisan skripsi ini, penulis
melihat beberapa masalah yang dapat dikaji bagi peneliti selanjutnya.
Adapun masalah yang dapat diteliti yaitumengapa etnis Tionghoa
masih tetap mempertahakan identitas Ketionghooaan meski
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk meninggalkan
seagala bentuk ketionghoaan.
Sedangkan saran yang selanjutnya adalah melihat minimnya
data Primer mengenai sejarah lokal di Kabupaten Bogor. Penulis
berharap adanya kerja sama antara masyarakat dan pemerintah
setempat dapat menyediakan arisp atau data mengenai sejarah lokal,
mengingat pentingnya sejarah lokal sebagai suatu identitas bangsa
yang multikurtural. Hal ini merupakan suatu upaya untuk
mempertahankan dan menunjang peneliti selanjutnya agar dapat
mengakses data yang diperlukan terkhusus untuk di Wilayah
Kabupaten Bogor.
56
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
ANRI. “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan,
Dan Adat Istiadat Cina.” Arsip Nasional Republik Indonesia,
Desember 1967.

Arsip Kepustakaan Presiden. “Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998


Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non
Pribumi.” Presiden Republik Indonesia, September 6, Desember
1998. Https://Kepustakaan-Presiden.Perpusnas.go.id.

Bakom Pkb Pusat. Peresmian Badan Komunikasi Penghayatan Dan


Kesatuan Bangsa, Bakom Pkb Tingkat Nasional Oleh Menteri Dalam
Negeri Tanggal 31 Desember 1977. Jakarta: Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia, 1977.

Bb. “Kebijakan Politik Rasial Perlu Dihilangkan.” Kompas. Jakarta,


Desember 1998.

Soeharto. “Instruksi Presiden No.14/1967 Tentang Larangan Kegiatan


Keagamaan, Kepercayaan Dan Adat Istiadat Cina” Arsip Nasional
Republik Indonesia.” Pejabat Presiden Republik Indonesia, Desember
1967.

———. “Keputusan Presiden Republik Indonesia No.13 Tahun 1980


Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pewarganegaraan
Republik Indonesia.” Presiden Republik Indonesia, February 11,
1980. Peraturan.Bpk.Go.Id.

Rb. “Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 Masih Berlaku, Badan


Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom Pkb) Pusat,
Jauhkan Diri Dari Usaha-Usaha Penyimpangan.” Kompas.
Perpustakaan Nasioanl Republik Indonesia.,7 Agustus 1978

Wawancara
“Wawancara Langsung Dengan Kristan, Locu Kelenteng Hok Tek Bio
Ciampea,”22 Maret, 2023.

“Wawancara Langsung Dengan Adi Suherman, Wni Keturunan Tionghoa


Dan Ketua Rw 02 Kampung Pasar Ciampea,” 22 Maret, 2023.

57
58

“Wawancara Langsung Dengan Dewi Kusuma, Wni Muslim Tionghoa,” 13


Maret, 2023.

“Wawancara Langsung Dengan Supandi, Wni Keturunan Tionghoa Di


Kecamatan Ciampea,” 22 Maret, 2023.

“Wawancara Langsung Dengan Unki, Pengurus Kelenteng Hok Tek Bio


Ciampea,” 12 Desember 2022.

“Wawancara Langsung Dengan Yusuf, Wni Keturunan Tionghoa Di


Kecamatan Ciampea,” 20 Maret, 2023.

Buku dan Jurnal


Subarsono, Ag.. Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori Dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea Dalam Angka.


Bogor: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2010.

———. Kecamatan Ciampea Dalam Angka. Bogor: Badan Pusat Statistik


Kabupaten Bogor, 2021.

Setiono, Benny G. Tionghoa Dalam Pusaran Politik. Jakarta Selatan: Trans


Media, 2008.

Winarno, Budi. Kebijakan Publik Teori Dan Proses. Yogyakarta: Media


Press Indo, 2007.

Yau Hoon, Chang. Identitas Tionghoa Pasca Suharto, Budaya, Politik Dan
Media,. Jakarta: Yayasan Nabil Dan Lp3es, 2012.

Yau Hoon, Chang. Identitas Tionghoa Pasca Soeharto, Budaya, Politik Dan
Media. Jakarta: Penerbit Lp3s, 2013.

Coppel, Charles A. Tionghoa Indonesia Dalam Krisi. Jakarta: Pustaka Sinar


Harapan, 1994.

———. Tonghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,


1994.

Bahrudin, Dede. “Vihara Danangun Dan Komunikasi Budaya Di Kota Bogor


Jawa Barat.” Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kementrian
Agama Republik Indonesia Vol.16 No.1 (2018).
59

Departemen Dalam Negeri. “Pedoman Pelatihan Pembaruan Bangsa.”


Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Sosial Politik, 1988.

Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media, 2007.

Safitri, Gita. “Mengasimilasi Tionghoa Muslim: Kebijakan Pembaruan


Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom Pkb)
1977-1998.” Socio Historica Vol.1 No.1 (2022).

Taher, Tarmizi. Masyarakat Cina, Ketahanan Nasional, Dan Integritas


Bangsa Di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam Dan
Masyarakat, 1997.

Haryono. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pt. Dunia Pustaka


Jaya, 1995.

Hasanul Rizqa. “Dari Mana Asal Kata China.” Republika.Co.Id, April 1,


2019.

Wardana, I Gede. “Peranan Bakom Pkb Dalam Meningkatkan Persatuan Dan


Kesatuan.” Wahana, 2017.

Ira. “Barongsai, Bersembunyi Selama 32 Tahun.” Kompas. Jakarta, July 31,


1999.

Vermeluen, Johanes Theodorus. Tionghoa Di Batavia Dan Huru Hara 1740.


Depok: Komintas Bambu, 2010.

Dinata, Justin Suha. Wni Keturunan Cina Dalam Stabilitas Ekonomi Dan
Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2009.

Yunazi, Kong. Cheng Ho Misteri Perjalanan Muhibah Nusantara. Jakarta:


Pustaka Populer Obor, 2007.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013.

Laksami, Devi. Penentuan Status Keimigrasian Dan Kewarganegaraan.


Jakarta: Bpsdm Kementrian Hukum Dan Ham Republik Indonesia,
2020.

Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa Dan Perkembangan Bangsa. Jakarta:


Penerbit Lp3s, 1999.
60

———. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2000. Jakarta: Penerbit


Lp3s, 2005.

Jati, Leovandita Eka,. “Undang-Undang Anti Diskriminasi Tionghoa Di


Indonesia Pada Tahun 1998-2008.” Jurnal Pendidikan Sejarah Vol.1
No.2 (2013).

Lesvia Chessiagi, Wawan Darmawan, Tarunasena. “Dinamika Kehidupan


Sosial Budaya Etnis Tionghoa Dalam Bingkai Kebijakan Asimilasi
Orde Baru (1966-1998).” Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah 7
(2018).

Aryani, Mima Kharimah. “Inpres No.14 Tahun 1967: Bentuk Diskriminasi


Pemerintah Orde Baru Terhadap Etnis Tionghoa.” Jejak Vol.2 No.2
(2022).

Ham, Ong Hok. Migrasi Cina, Kapitalisme Cina Dan Anti Cina. Depok:
Komunitas Bambu, 2017.

Gunardo,P. “Masalah Pembaruan Dalam Rangka Integrasi Nasional.”


Markas Besar Angkatan Bersenjata Ri, 1984..

Helmisyah, Sri Rahmat. “Pola Pemukiman Etnis Tionghoa Di Kampung


Peunayong, Jurnal Pembangunan Sosial,.” Jurnal Pembangunan
Sosial Vol.14 No.1 (2021).

Priyadi , Sugeng. Sejarah Lokal. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.

Efendi, Wahyu, Dkk. Sbkr Analisis Dan Hasil Pemantauan. Jakarta: Komisi
Naional Hak Asasi Manusia, 2006.

Angela, Wela Celsi. “Peranan Etnis Muslim Tionghoa Pada Masa Kolonial
Belanda Abad Ke-19 Di Palembang.” Journal Of Islamic Histrory
Vol.1 No.1 (2021).

Zaenal, Mohammad, And Retno Winarni. “Pelaksanaan Kebijakan


Pemerintah Indonesia Terhadap Etnis Tionghoa Di Kota Malang
Tahun 1967-2000” 5 (2017): 7.

“Bagaimana Kedudukan Anak Dwi-Kewarganegaraan.” Star Weekly, March


26, 1960.
61

“Sejarah Tangerang: Sejarag Ciampea, Surga Di Cisadane, Bukit Kapur Dan


Situs Tarumanegara, Lokasi Kampus Ipb Berada.” Poestaha Depok
(September 2, 2019).
62

LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 : Arsip Inpres No.14 tahun 1967

Lampiran 2 : Harian Kompas, edisi Senin 07 Agustus 1978, Instruksi


Presiden No.14 tahun 1967 masih berlaku, Bakom PKB Pusat, Jauhkan
diri dari usaha-usaha penyimpangan
63

Lampiran 3: Harian Kompas, edisi 31 Desember 1998, tentang


Kebijakan politik rasial perlu dihilangkan

Lampiran 4 : Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia


64

Lampiran 5 : Akta kelahiran warga keturunan Tionghoa

Lampiran 6 :Wawancara tokoh WNI keturunan Tionghoa, Kristan


sebagai Locu Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea
65

Lampiran 7 :Wawancara tokoh WNI keturunan Tionghoa, Bilih sebagai


juru parkir di sekitar Kelenteng

Lampiran 8 :Wawancara tokoh WNI keturunan Tionghoa, Jafar sebagai


masyarakat Tionghoa Muslim
66

Lampiran 9:Wawancara tokoh WNI keturunan Tionghoa, Unki sebagai


petugas kebersihan Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea

Lampiran 10 :Dokumentasi Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea


67

Lampiran 11: Dokumentasi pemukiman disekitar Kelenteng Hok Tek


Bio Ciampea

Lampiran 12: Wawancara dengan ketua Rw 02 Adi Suherman atau Go


Keng Yang
Syahrul Mohon maaf bapak mengganggu waktunya, perkenalkan
saya Syahrul Mahasiswa UIN Jakarta. Kalau boleh saya
tau dengan siapa saya berbincara?
Yayang Nama Indonesia saya Adi Suherman
Syahrul Apakah bapak memiliki nama keturnan?
Yayang Ada, nama keturunan saya Go Keng Yang, tapi di KTP
tetap Adi Suherman, karena dulu kan tidak boleh pakai
nama keturunan
Syahrul bapak sendiri asli sini pak?
Yayang Iya, saya lahir disini dari kakek nenek saya juga emng asli
sini
Syahrul Kalau untuk usia bapak sendiri seaat ini berapa pak?
Yayang 57 tahun
Syahrul Bapak asli Ciampea, orang tua asli juga di Ciampea dan
68

dari kecil sudah disini. Berarti sudah tau bagaimana seluk


beluk kehidupan di Ciampeaya pak?
Yayang Iya, Bahkan nama anak saya juga tidak ada yang pakai
nama Tionghoa. Pakai nama indonesia semua
Syahrul Jadi begini bapak, ketika masa pemerintahan Orde baru
sempat ada pembatasan khusunya untuk aktifitas
keagamaan bagi warga keturunan Tionghoa, kira-kira
bagaimana penerapannya untuk di Ciampea sendiri pak?
Yayang Ya ketat, dulu kan dilarang. Aktifitas keagamaan dilarang
sama Satpol PP. Kalau dulu namanya apa ya, Kamtib.
Syahrul Apakah ada Kamtib yang mengawasi untuk di wilayah
Ciampea sendiri?
Yayang Kalau zaman dulu ada, kita di awasi terus dulu. Ya kalau
kita ikut-ikut acara yang dilarang, tau-tau tulis tonggong
lah (asal tulis nama orang) tiba-tiba ada nama kita terus
dapat surat panggilan. Orang tua saya dulu sempat di
tahan, jadi kan nama juga pakai indonesia semua.
Syahrul Untuk hak sipil pada masa pemerintahan Soeharto. Bapak
tadi sempat menjelaskan bahwa di wajibkan untuk ganti
nama, bagaimana prosesnya pak, apakah mengalami
kesulitan?
Yayang Iya, kan dulu yang tidak punya KTP Di tandain. Orang
ketrunan ditandain. Ya, karena era Gusdur aja bebas kan
kita, pemerintahan Gusdur ketika itu dia jadi Presiden ya
bebas. Agama konghucu di akui, kalau dulu kan kita
ibadah ngumpet-ngumpet, karena iman kita Konghucu
kan tidak bisa lari ke yang lain. Kaya di rumah atau
vihara, kalau vihara sendiri kan untuk budha. Untuk
mengganti nama enggak si, tidak sulit, biasa aja
Syahrul Bapak jadi dulu kan untuk warga keturunan juga di
wajibkan untuk punya surat tanda pengenal khusus, atau
SBKRI itu bapak sendiri punya atau tidak pak?
Yayang SBKRI ya, enggak saya tidak punya. Kalau orang tua
saya ada, soalnya era kesini kan tidak ada. Mulai tahun
69

berapa itu udah tidak ada, karena tidak di wajibkan


Syahrul Syarat untuk memiliki SBKRI sendiri kan dulu harus
menentukan status kewarganegaraan ya pak?
Yayang Iya, kalau kita kan dari ibu aja, bapak kita udah WNI
berarti kan anaknya ikut WNI juga. Ya, mungkin dulu
kan tidak ada nikah di catatan sipil, ibu saya saja
ketrangannya anak ibu atau pribumi. Sedangkan kakek
saya aja kan keturunan tetapi istrinya lain, orang pribumi.
Jadi banyak yang begitu, banyak sekali jadi pribumi nikah
sama orang keturunan, jadi kan anak ibu otomatis ikut tuh
aturan-aturan. Dulu itu ketat sekali, kita aja kan
kepengurusan aja susah, seperti mau jadi pejabat aja
susah, mau jadi TNI, Polri, PNS. Bahkan sampai sekarang
juga masih ada kesulitan, mangkannya jarang sekali orang
keturnan jadi PNS, jarang. Paling jadi dokter yang di
karyakan oleh pemerintah
Syahrul Selama bapak tinggal di Ciampea, bagaiman interaksi
warga keturunan dengan masyarakat sekitar?
Yayng Sebenarnya kita warga keturunan, ada yang meninggal
kita ikut tahlil, apalagi saya RW. Kalau saya sih bergaul
lah, mau Ustadnya, Kiyainya, Pesatren juga kalau ada
pembangunan kita sumbang. Kita hidup kalau tidak
bergaul kan repot juga, tapi ada juga orang keturunan
yang gamau bergaul sama pribumi, ya karena kan tadinya.
Dikit-dikit cina lu cina, ya itu kan jeleknya. Jadi macam
Ustad saja kalau pendidikannya rendah jadi menghasud,
haram lu kalau bergaul sama ini. Kalau kita kan bergaul
sama siapa aja, silahkan aja selama untuk kebaikan
masyarakat
Syahrul Begini bapak, dulu syarat untuk mendapatkan kartu
identitas sendiri kan harus menetukan agama, sementara
untuk Konghucu belum di akui, itu bagaimana pak?
Yayang Tidak ada, dulu Konghucu belum ada jadi ngambil Budha
Tri Dharma.
Syahrul Apakah itu murni pilihan sendiri atau karena faktor aturan
70

dari pemerintah?
Yayang Ya jadi kita terkekang, karena aturan pemerintah kan
belum di akui. Karena era gusdur aja Konghucu di akui.
Sekarang kita umatnya aja makin berkurang, karena
menikah sama Kristen akhirnya masuk Kristen, ya
mungkin lebih simpel tidak mau ribet, kebanyakan larinya
ke kriesten. Orang-orang kristen sini kan tadinya orang
keturunan Tionghoa yang pindah dari Konghucu. Kalau
agama Konghucu, anak dalam satu keluarga aja bisa beda
agama. Contohnya anak saya nikah sama muslim, ya
silahkan. Iman kamu, pilihan kamu. Anak saya, mantu
saya Islam, yang Kristen ya Kristen yang Konghucu ya
Konghucu. Jadi gitu kalau di Tionghoa tidak ada yang
kukuh, tapi ada juga yang kukuh. Kalau saya tidak,
pilihan dia, hidup dia, jalan hidup dia. Ketika aqil balig,
ya bebas lah dia mau kemana, mantu saya mau shalat
magrib, ya solat lah silahkan
Syahrul Seperti itu pak, oh iya pak setelah Soeharto lengser.
Habibie sempat mengelurakan kebijakan untuk
mempermudah segala keperluan birokrasi tanpa
membedakan suku dan ras. Untuk impementasi atau
penerapannya sendiri di wilayah Ciampea bagaimana
pak?
Yayang Kalau untuk di Ciampea sendiri tidak begitu berpengaruh.
Karena kepala desanya juga ketika itu ngerti, karena kita
satu Rw ini 80% keturunan, baik Krisetn, Budha atau
Konghucu.
Syahrul Jadi dulu untuk birokrasi sendiri bagaimana pak?
Yayang Ya cukup mudah sih, Cuma teteap jaman dulu di ciriin
agamanya harus Budha dan di catatan sipil juga di
permudah. Ya kan mudah juga karena uang, ya itulah
birokrasi di negara kita seperti itu. Mungkin dari pusat
ada instruksi gini-gini, tapi kebawahnya kan ngaco. Ya
tapi tidak apa-apa, saya sih mikirnya selama kita tidak
diganggu ya tidak masalah. Mayoritas saling mengerti,
minoritas juga jangan kurang ajar juga. Kita juga kalau
71

ada yang meninggal ikut tahlilan, ya masing-masing aja


yang penting sama-sama nge do’ain. Model saya mau
nyumbang kain kafan ke Masjid, tapi saya tanya dulu
sama Ustadnya. Pak Ustad saya mau nyumbang kain
kafan boleh tidak? tapi saya warga keturunan. Kalau kata
Ustadnya, ohh silahkan koh, itu kan hak engkoh. Tapi
terkadang ada yang fanatik juga Ustadnya, tapi selama ini
saya tidak sih, sama Haji juga akrab, kita sopan aja Cium
tangan, saling menghormati, jadi dia juga menghormati
kita. Kalau kita songong, contoh kalau saya songong
sama si Aa, Akhirnya tidak seneng dan di songongin lagi
kan. Sebenernya kehidupan disini mah tidak ada gesekan
kaya gimana-gimana, aman-aman aja. Dulu waktu
Soeharto biasa-biasa aja, namanya di kampung. Itu yang
rusuh kan karena politik juga di atas. Kalau orang pinter
dan berpendidikan gak ada tuh yang namanya fanatik-
fanatik, tapi tergantung juga dengan siapa dia bergaul.
Kalau kita selalu fanatik kan kita negara Republik
Indonesia, Bhineka Tunggal Ika bukan negara agama kan.
Tetapi aturan-aturan di bawah Islam saya rasakan biasa-
biasa aja, lebih dipermudah enggak di persulit.
Syahrul Selain pembatasan pada aktifitas keagamaan, pemerintah
juga membatasi kegiatan kebudayaan, bagaimana upaya
warga keturunan untuk melestarikan kebudyaan agar
tidak hilang?
Yayang Kita selalu shareing aja sama tokoh-tokoh, kaya model
kalau ada acara Cap Go Meh kita setiap tahun sedekah
beras ama beberapa desa terdekat. Selama kordinasi kita
baik saya rasa aman-aman aja disini.

Lampiran 13: wawancara dengan Kristan atau Tan Tayang, Locu


Kelenteng Hok Tek Bio Ciampea
Syahrul Mohon maaf mengganggu waktunya bapak, perkenalkan nama
saya syahrul mahasiswa Uin Jakarta Jurusan Sejarah Peradaban
Islam. Jadi seperti ini bapak, saat ini saya sedang meneliti terkait
dampak kebijakan asimilasi terhadap kehidupan warga keturunan
72

khusunya yang tinggal di Kecamatan Ciampea. Kalau boleh saya


tau dengan siapa saya berbincang saat ini?
Kristan Saya Kristan
Syahrul Kalau bapak tinggalnya dimana sekarang pak?
Kristan Saya di Jalan Pabuaran, itu yang ke bawah. Kebetulan saya disini
sebagai Locu, Locu itu kalau di muslim Imam. Yayasan etnis
Cina, kalau kita disini Tionghoa Indonesia rul, itu dulu yang
harus digaris bawahi. Kenapa, karena secara genologi kita
keturnan kan, nenek buyut kita ituh orang Sunda. Di sini bahkan
ada tokoh Tionghoa yang namanya Tung Tiang Mih, mungkin
Arul pernah denger juga, dia muslim bahkan Tubagus Abdullah
Bin Moestopa. Pernah denger (bertanya), kuburannya disini
deket. Jadi kalau secara kulutur kita sebenernya lebih Tiongkok
dari orang Tiongkok. Pada tahun 1949 dihajar Komunis tuh dia,
udah gak pernah sembahyang, saya gak tau tuh. Kita justru
masih jaga itu berdasarkan literatuirnya Konfunsian Klasik.
Kita ada Formula book nya dari Konghucu, nah kita pakai kitab
Li Ji yang jadi rujukan, mulai dari ritual kelahiran, pernikahan
segala macam itu kita pakai semua. Tapi kalau asimilasi yang di
maksud, pertama ya, dampaknya sudah sangat berat.
Konsekuensi yang paling utama misalnya Inpres No.14 Tahun
1967, dimana disitu menunjukan, saya tidak hafal persisi tapi
melarang adat istiadat Cina, Budaya Cina dan Agama Cina.
Yang ditembak pasti Konghcu, iya kan. Konsekuensi itu panjang
sebenarnya, tapi ada Keyword sebenarnya, ya orang mungkin
lupa rul. Nah, ini bagus juga buat kamu, Orde Baru itu gak
pernah ngelarang kita buat beribadah rul, itu catatan yang
penting. Tapi yang gak boleh itu kalau dia nikah, nikah
mencacatkannya Konghcu, gak boleh. Jadi sebenarnya yang
dihantam Orde Baru itu adalah hak-hak sipil, jadi kalau
sembahyang segala macem boleh, tapi mungkin bedanya di depan
Publik tadi kalau bahasa Arul. Kalau kita, arak-arakan Kelenteng
ya gak boleh tuh di luar Kelenteng, di dalem masih boleh, artinya
ya gak bejat-bejat amat rul, gitu loh.
Artinya kalau hak beribadah belom kena, dulu kan
pengamanannya pakai tentara tuh. Koramil dateng, dibubarin ya
73

enggak juga. Saya kebetulan lahir tahun 1982, saya termasuk


salah satu produk yang hidup di dua generasi Orde Baru.
Soeharto 1998, saya masih SMA udah gede. Tapi
konsekuensinya nama kita pasti berubah tuh, gak bisa pake nama
tiga suku kata kaya Liem Siu Liong, Que Kian Kie, takut.
Akhirnya pakai nama-nama barat tuh yang dipakai, pinjam nama-
nama Bibel kaya Yohanes, saya aja namanya jadi Kritan, iya kan.
Syahrul Kalau untuk nama Tionghonya pak?
Kristan Kalau saya Tan Tayang, iya marganya Tan, Tanyang itu
matahari. Satu marga sebenarnya sama Hari Tanoe, Cuma beda
nasib tuh (tertawa) dia duitnya banyak tuh (tertawa).
Kita kan Patria niau, orang Tionghoa itu kaya orang Batak tuh.
Jadi Clan atau marga itu penting, jadi ikut garis ayah. Tapi
konsekuensi terbaru kalau dia menikah secara Koghucu, dia gak
boleh di catatkan di Catatan Sipil tapi tetap pada ngotot karena itu
soal Faith, dia tidak sah secara catatan sipil tapi dia sah secara
agama, kaya nikah sirih gitu loh. Dia diakui, dikeluarin sama
lembaga Majelis Agama Konghucu.
Cuma konsekuensinya anaknya, gak ada bapaknya tuh. Disebut
anak diluar nikah, karena negara tidak mencatat itu dan itu terjadi
kepada saya. “Akta lahir saya itu ditulis, telah lahir seorang anak
pada tanggal 2 Februari 1982, atas nama Kristan, ibunya si Lau
Him Yau. Itulah kejahatan negara terhadap warga negara,
menurut saya. Soal hak-hak sipil, jadi saya dianggap anak haram
sama negara.”
Padahal bapak saya secara publik, secara kultur agama dia
menikah sah. Kan negara harusnya Cuma mencatatn doang tuh,
mangkannya kalau kita kawin beda agama di Singapore,
Singapore gak mau pusing lu mau agama apa juga, gua catetin aja
pokoknya, nah kan gitu konsekuensinya. Saya gak ganti akte
saya, walaupun sempat ada pemutihan pasca Reformasi.
Gusdur cabut Inpres No.14 Tahun 1967 pake Keppres Tahun
2000. Semua boleh, dia bisa ralat segala macem, tapi saya tidak.
Karena itu penting buat history. Saya menikah 2007, Konghucu
udah boleh dicatatkan di Catatan Sipil. Anak saya sekarang ada
74

bapaknya tuh (tertawa).


Anak saya, saya kasih nama Tionghoa lagi. Ya, Cuma karena
saya sebagai aktifis, berani menghadapi situasi, bisa punya
argumentasi terhadap ini, ya itu 1000 pasangan banding 1
mungkin.
Yang lain teman-teman Tionghoa, you tau sifatnya pragmatis dia
gamau pusing. Orang Tionghoa itu gak bisa Militan, beda sama
orang Islam. Kalau agamanya dihina ngamuk dia, Kristen juga
segala macen, tapi orang Konghucu enggak. Udahlah kemana aja,
ke Gereja ok, iya bapaknya boleh pakai dupa atau apa tapi satu
generasi hilang. Anaknya udah tidak jelas tuh, matanya sipit tapi
namanya Gabriel (tertawa). Yang masih pantes tuh namanya
Kartika misalkan, Siti Aisyah. Ya, kalau kita mau fair nih, itu kan
nama-nama Yahudi, tidak ada hubungannya sama kita.
Ya, kalau kita mau jujur nih kita. Kita coba cerita tidak sebagai
Akademisi ya, tapi sebagai Fiktif iya kan. Apa yang saya alami
itu begitu. Tapi rul, itu semua buat teman-teman Tionghoa
dianggap tidak terlalu menghina, jadi mereka excuse ya kan, ya
yang penting gua bisa dagang, gua bisa usaha toh gua juga bukan
pribumi, kita tau diri lah, pakai prinsip-prisnip Konghucu tuh.
Jadi prinsip Konghucu kan gini ”apa yang diri sendiri tiada
inginkan, jangan diberikan kepada orang lain”. Kalau prinsip
Budha misalnya “semoga semua mahluk berbahagia”. Ngalah aja
dia.
Nah, hari ini itulah yang terjadi sama kita. Bahkan tidak terjadi di
Ciampea aja, di Citereup, di Cibinong, di Kantong-kantong
masyarakat yang kita sebut Cina Benteng tuh. Tapi mereka
secara ritual, secara apa mereka masih pakai praktik Konghucu.
Itu sih yang mungkin saya bisa ceirta, ya mungkin kalau kamu
mau elaborasi lebih dalam nanti bisa saya jawab sesuai dengan
agama. Kira-kira secara garis besarnya seperti itu, deskripsinya.
Syahrul Apa yang bapak telah jabarkan, telah menjawab beberapa
masalah yang ingin saya kaji pak. Dalam Inpres No.14 sempat
ditulis membatasi aktifitas kebudayaan, bagaimana upaya teman-
teman Tionghoa untuk menjaga kebudayaan Tionghoa agar tidak
hilang seperti apa pak untuk di Ciampea sendiri?
75

Kristan Khusunya dalam hal ini dalam momentum Imek ya, seperti
Barong. Ya, kita tetap jaga itu. Khusunya untuk wilayah
Ciampea ya, kita biacara konteks Ciampea dong. Latihan anak-
anak tetap secara internal, tapi tidak ekspos, itu tetap ada. Dulu
ada wushu basiknya itu Kungfunya tuh, ada di sini masih kita
lakukan. Ritual-ritual dirumah-rumah masih kita lakukan, di
Kelenteng besar-besaran sebenarnya, cuma bedanya kita tidak
bisa ekspos, acara internal, wartawan dateng mau ngeliput kita
tidak berani, nah tokoh-tokoh yang dulu kan gitu.
Kalau saya kan termasuk orang yang lahir mendekati masa
reformasi, jadi ya berani-berani dikit lah kita lawan. Kita demo
juga, kita lawan tuh Soeharto. Cuma di angkatan tua itu tidak,
apatis. Tapi yang pasti culture atau budaya, miasalnya kalau
Imlek itu sebenarnya sama kaya lebaran. Kita berkunjung
kerumah yang lebih tua, pay respect. Nah, dia kan biasanya ada
meja rumah abu atau meja abu leluhur, jadi pamannya paman
kita, sepupunya kakek kita itu kita sambangi dan itu terus terjadi
meskipun Orde Baru melarang itu.
Bahkan justru reformasi malah ilang sendiri, jadi tidak seru tuh
rul. (tertawa). Mendingan dilarang jadi ada semangat beribadah,
sekarang justru udah tidak ada euforia, jadi udah tidak menarik
lagi tuh, kalau dilarang kan kita ada semangat buat fight iya kan.
Ini juga salah satu pengalaman yang saya lihat, jadi kempes tuh.
Seolah-olah anusiasmenya berkurang, dan problemnya lagi kita
orang Konghucu dan orang Ciampea itu kan Imlek itu
sebenarnya sakral atau religius. Maksudnya berbicara relasi kita
dengan yang maha kuasa walaupun beda sebutannya, tapi
belakangan jadi festifal. Nah, itu problem dan saya pikir itu
terjadi di semua agama. Contoh kaya di Jawa macam upaya
Gerebeg apa, itu kan awalnya untuk menghormati para wali, tapi
belakangan jadi acak-acakan ya pokoknya jadi festifal.
Kaya kita sekarang cap go meh itu tau tidak kamu kenapa Dewa-
dewa itu di gotong? (bertanya), mereka itu kan sebenarnya secara
historycall figur atau pejabat. Jadi pas saat purnama pertama di
tahun yang baru, karena mereka pejebat sebenarnya tujuan
mereka keluar itu untuk inspeksi, mengechek. cut bio itu
mangkannya dia keluar dia chek warganya yang mana yang
76

susah, mangkannya dia keliling arak-arakan. Nah, pada saat itu


semangatnya, yang susah siapa nah misal Cheng Sin, Wang
Kong De kan pejabat itu dibantu tuh. Kalu dibahasanya Jokowi
belusukan, nah sebenarnya itu kan semangatnya. Tapi kalau
sekarang tidak, digoyang aja asal macem-macem nah itu masalah
juga, jadi praktik keagamaan belakangan jadi festifal.
Saya pikir itu terjadi pada natal juga, orang Jepang itu agamanya
sinto. Tapi dia pasang pohon natal, tapi dia tidak ke Gereja. Dia
pakai kado natal segala macem, dia tidak kenal Yesusu padahal.
Tapi persitiwa natal yang memperingati kelahiran Yesus itu jadi
klaim pribadi, dan itulah yang terjadi pada kita. Orang Tionghoa
lucu, meskipun dia udah tidak beragama Budha, Konghucu
enggak tau dia udah Kristen tapi tetep aja di ke Kelenteng. Itu
juga menarik, lucu itu walaupun miasalnya ada teman-teman kita
yang Protestan udah jelas dia gak boleh beda agama, doktrinnya
murtad tapi dia tetap aja.
Banyak sekali kalau kita lihat, KTP nya Kristen, Katholik tapi dia
tetap sembahyang di Kelenteng juga. Tidak bisa hilang, dan
sisatu sisi kan sebenarnya, menurut saya ya keren juga budaya
Tionghoa, kaya banget dan dia juga bangga jadi orang Tionghoa.
Karena Orde Baru, jadi begini kalau kamu mau lebih dalam lagi
asimilasi. Itu sebenarnya “pertarungan antara Tionghoa dengan
Tionghoa” pake teorinya CSIS itu Sofyan Wanandi. Ya,
Tionghoa Non-Konghucu dan Budha di gebukin supaya pindah,
You bayangin Inpres 14 itu secara politik, siapa yang paling di
untungin? Katholik lah.
Kita bukan bicara secara agama, agama semuanya baik tapi
secara organize ya Katholik. Semua orang Tionghoa pindah ke
Katholik, kensekuensinya duit duit orang Tionghoa Gereja pada
bagus. Saya berani itu ngomong dimana juga, itu asli dikerjain
itu, dibelakang keluarnya Inpres No.14 tahun 1967 itu orang
Tionghoa. teorinya CSIS ya switch itu di hantem itu, rusak itu,
kacau semua. Cuma yang Konghucu pada nekat tuh, dia lawan
terus dipenjara semua. Dituduh PKI, padahal gatau PKI segala
macem.
Jadi dulu ada yang namanya BAPKERI, nah Siaw Giok Tjhan.
Dia dekat sama Bung Karno, dekat sama G30S disikat semua.
77

Banyak Cina mati padahal tidak tau apa-apa, tidak tau PKI atau
apa
Syahrul Kalau konsep BAPERKI dulu mengusung Integritas pak
Kristan Iya, Integritas nah itu baru fine tuh. Mangkannya kan teori
asimilasi sebenarnya teori punya orang-orang Katholik. BAKOM
PKB tujuannya apa? Cina jangan jadi Cina lu, karena ini
Komunis. Integrasi, gak mau biarlah secara natural. Kawin
campur ya kawin campur aja, tidak ada masalah. Gak usah
secara paksa di lapangan Banteng disuruh baris harus ganti nama,
kan dilapangan Banteng itu Ncek tahun 78 disuruh baris,
ditendangin disuruh ganti nama dia, ganti agama. Kita punya ko
datanya, dipukulin. Lu gak ganti nama, gua sikat lu. Itu sampai
seperti itu, kalau mau riset lebih dalam nanti lah kalau S2
(tertawa)
Syahrul Baik pak
Kristan Itu ngeri, itu ngeri rul. Maksud saya ini kita berbiacara sebagai
akademisi, kita tidak lagi memusuhi Soeharto atau apa. Gusdur
sadar rul, Gusdur perneh ngomong begini. Bapak saya kan dulu
di MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia),
bahasanya Gusdur kaya gini “Ular disawah dimatiin, Tikusnya
jadi banyak” itu yang ngeri. Saya sih kalau ngomong ama orang-
orang terdidik terang-terangan, ya semua Tingtengnya Orde Baru,
Pengusaha-pengusaha Orde Baru, siapa Pangestu segala macem
itu. Kita Konghucu Tionghoa yang miskin, tapi dibabat abis.
Sekolah-sekolah kita, sekolah Kwe Kwan. SMAN Bogor itu
punya kita. Gara-gara G30S itu diambil ama negara, ya salah.
Kalah udah kita ya ngalah aja dah.
Syahrul Apakah sekolah Tionghoa yang di Ciampea juga terdampak pak?
Kristan Yang di Budhi Bakti sini? Nah itu justru setelah 65 itu. Yang
pasti kalau disini begini rul, Temen-temen Tionghoa itu
sebenarnya deket ama orang muslim tuh deket. Bahkan ada yang
saudaranya kawin sama ini, udah tidak ada kecurigaan. Ini yang
paling clear di Ciampea ini. Dibanding kita lihat Cibinong,
segregasinya terlalu jelas, kalau disini tidak. Orang muslim itu
sangat familiar disini, bergaul segala macem. Nah karena
kedekatannya itu, ama lurah dekat, ama birokrat birokratnya
78

dekat. Mereka tidak terlalu mengalami kesulitan kalau di


Ciampea. Kaya beliu nih, beliau punya relasi dengan tokoh-tokoh
muslimnya baik, jadi relatif tidak ada gangguan. Itu juga menarik
di Ciampea, di Ciampea itu bisa orang Tionghoa sama Muslim
duduk bareng main kartu, ngopi bareng, jadi relatif kecil
sentimen rasisme itu, dan wellcome.
Mangkannya kalau disini, kalau mau cap go meh itu tidak boleh
tuh ama orang-orang Non-Tionghoa. tapi kalau disini unik,
lurahnya bisa ngomong begini, kalau bisa ampe sono noh arak-
arakannya biar agak jauh kata teman-teman pribuminya. Kita
juga mau nonton, dan tidak ada itu yang namanya distrust atau
kecurigaan, nah itu menarik tuh Ciampea. Ya kalau menurut saya
itu, relasi tokoh-tokoh yang tuanya baik dan tidak ada sekat. Kita
juga akhirnya tertular sama gaya mereka, mereka itu suppel tidak
pilih-pilih orang dalam bergaul.
Ciampea kan termasuk daerah yang tidak ada bakar-bakaran
tahun 65 sama Mei 98. Kalau di daerah lain nah itu juga tidak
bisa di generalisasi, Mei 1998 Jakarta ancur, Bogor, Cibinong,
Citereup tidak ada. Depok, Cimanggis aja tidak ada, Pasar Rebo
tuh batesnya. Sebenarnya gini rul, masalahnya tidak ada
Eklusifisme disini dari teman-teman Tionghoanya. Tidak ada
yang namanya dia mengkotakkan dirinya kaya Wijkenstelsel kaya
Belanda punya.
Walaupun ok, disitu mereka dikotakan dalam Kampung Cina,
kaya di Empang itu ada Kampung Arab. Dikotakin tapi mereka
berhubungan baik, mereka berbisnis, pasar kan. Kan orang
pedagang itu tidak bisa rasis. Kalau Ciampea memang agak unik,
saya berbicara Ciampea ya, kira-kira begitu rul
Syahrul Terima kasih pak atas penjelasannya, semua yang bapak
paparkan sudah menjawab masalah yang ingin saya kaji
Kristian Nah satu lagi tambahan, Kelenteng-kelenteng yang dibangun
dibawah tahun 1965. Ini berdasarkan hipotesa saya, mereka
selalu punya petilasan Eyang Surya Kencana. Eyang Surya
Kencana kan muslim, relasinya sama Padjajaran segala macam
jadi kalau di kita Muludan ya muludan rul, Shalawat. Kita
ngundang muarif tuh, artinya Kelenteng yang memfasilitasi,
79

Kelenteng yang jadi house dan itu tradisi yang dilakukan secara
turun temurun di kita.
Ya, semua balik lagi sama identitas kita sebagai bagian dari
Indonesia. Kita orang-orang Tionghoa, bikin rumah itu kaya
Orang Sunda. Kamu orang Sunda?orang kemang asli? (bertanya)
Kita bikin Ancak di empat penjuru, pakai kelapa, pakai bendera,
pakai apa kaya orang-orang dulu orang karuhun Sunda.
Dibalik tembok ini ada petiliasan Eyang, kita sembahyang sampai
situ Cuma beda cara pakai dupa dan segala macem. Jadi kaya
banget sebenarnya rul, ya menarik lah berbicara tentang
Indonesia ini. Kita harus bangga jadi warga Indonesia.
Syahrul Ohh iya pak satu lagi, ketika masa pemerintahan Soeharto teman-
teman Tionghoa yang pindah agama karena unsur keterpaksaan?
Kristan Iya, terpaksa tidak ada yang mau sebenarnya pindah agama.
Tidak ada yang mau tapi takut, orang Tionghoa juga kadang-
kadang iltrage tidak sekolah juga, buat mereka sekolah tidak
penting yang penting lu udah bisa baca, nulis yaudah dagang aja
tuh, sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya dagang juga. Karena
kalau mau kaya perinsipnya itu dagang, kerja tidak bakal kaya.
Nah itu teori itu berlaku buat orang Padang juga, terus kalau
orang Tionghoa pelit itu karena prejudice. Semua orang
perantauan itu harus pelit, kenapa orang Betawi royal, biar tekor
asal tersohor.
Ya, orang dia tidak merantau. Tanahnya banyak dia tinggal jual,
coba lihat orang padang kalau sudah di Jawa, hemat tidak. Kita
bukannya bilang pelit, hemat tidak?(bertanya)
Hemat, karena you tinggal diperantauan. You tidak punya
saudara, ya orang Tionghoa di Tiongkok royal juga. Prejudice
nya orang yang tinggal di perantauan itu seperti itu, mangkannya
mentalnya jadi kaya gitu, karena mereka tinggal di perantauan.
Tidak punya tempat, tidak punya saudara tidak punya tanah. Iya
kan, teorinya antropologi kan begitu kira-kira.
Balik lagi, semua karena unsur terpaksa. Cuma akhirnya tadi, itu
Katholik udah mempersiapkan semuanya, sekolah Tionghoa
dibantai dia pake sekolah Katholik dituntut bayar mahal segala
80

macem, mereka untung dari berbagai sisi. Puluhan ribu donasi


larinya kesitu semua, dulu orang Ktholik ya orang Belanda doang
ama orang Manado paling.
Gatau kalau orang Cina, Gusdur bilang semua orang Cina semua
agamanya Konghucu tuh sebelum tahun 1967. Kira-kira 99%,
sekarang coba jadi kaya gitu, karena mereka tinggal di
perantauan. Tidak punya tempat, tidak punya saudara tidak punya
tanah. Iya kan, teorinya antropologi kan begitu kira-kira.
Balik lagi, semua karena unsur terpaksa. Cuma akhirnya tadi, itu
Katholik udah mempersiapkan semuanya, sekolah Tionghoa
dibantai dia pake sekolah Katholik dituntut bayar mahal segala
macem, mereka untung dari berbagai sisi. Puluhan ribu donasi
larinya kesitu semua, dulu orang Ktholik ya orang Belanda doang
ama orang Manado paling.
Gatau kalau orang Cina, Gusdur bilang semua orang Cina semua
agamanya Konghucu tuh sebelum tahun 1967. Kira-kira 99%,
sekarang coba you chek data orang Konghucu paling 100 ribu di
Indonesia.
Karena begini, banyak orang-orang Konghucu yang KTP nya
pakai agama Islam, namanya diganti pakai nama-nama Islam
kaya Munajat, Muslim Linggo padahal dia Cina loh. Kenapa itu
bisa terjadi, biasanya orang Medan lebih pragmatis, nggapain
gua jadi Kristen, tetep aja gua di diskriminasi, mendingan gua
jadi Islam. Mendingan gua ikut mayoritas, pragmatis kan cara
berfikirnya. Mereka ngakunya punya Iman, tapi makan Babi
mereka, ya KTP doang. Tapi kan dalam rangka urusan birokrasi
segala macam, itu kan stigma problemnya.
Dan juga rul, kalau kamu mau riset lebih dalam, anak-anak
Tionghoa yang lahir sebelum tahun 1997. Itu akte kelahirannya
keciri tuh, meskipun namanya tidak nama Tionghoa. Dari nomor
statbladnya udah beda, you boleh chek tuh, itu riset menarik
juga, pasti beda jadi ketauan. Misalnya kalau saya jadi Islam
misalnya, namanya diganti Abdul Karim misalnya tapi di aktenya
kalau di chek ketauan, nomornya beda tuh, nomor statblad, kalau
tahun 1997 ketahuan. Cuma Problemnya untuk arsip di
Kabupaten Bogor sangat sulit untuk di lacak.
81

Itu juga berpengaruh rul, sampai saat ini Konghucu belum


terdaftar di BPS. Kita juga sampai sekarang masalahnya, dirjen
Konghucu belum dikasih. Alasannya Bappenas sederhana, gua
mau ngasih anggaran jumlah lu berapa orang, kan gitu. Sekarang
kan gini, paradigma pemerintah kita itu ngabisin anggaran, beda
sama paradigmanya Ahok, ya bukan karena Ahok ya. Kalau
Ahok dia kalau tidak habis ya gua pulangin ke negara. Kalau
pemerintah kita kan enggak, ya harus habis, kalau tidak habis ya
tahun depan gua kurangin. Itu kan kacau itu paradigma begitu
sebenarnya, Cuma kan masalahnya kalau di balikik nanti ujung-
ujungnya dikorup juga sama yang di atas, jadi memang sangat
domino. Ngeri negara kita, kalau terlalu pragmatis rusak ini
negara.
Syahrul Mungkin dulu orang-orang yang sekarang di atas memiliki
paradigma Idealis juga pak, ingin merubah bangsa tapi ketika
bertemu dengan uang (tertawa)
Kristan Tapi kan bisa Idealis pragmatis juga, kalau kata orang Tionghoa
yang penting Cheng Li atau jangan tengt-euingeun (berlebihan)
kata orang Sunda mah. Oke lah, lamun keur teu boga mah
saeutik-saeutik mah cing cai lah, tapi namun loba siga pejabat-
pejabat ayeuna mah keterlaluan. Ya, kan hidupmah begitu kan
sebenarnya, jadi halal sama haram jadi beda-beda tipis ujung-
ujungnya. Apalagi rul? (bertanya)
Syahrul Terima kasih bapak atas waktunya, semua yang sudah bapak
jelaskan sudah menjawab rasa ingin tau saya
Kristan Kalau butuh data lagi dateng aja rul, tidak usah sungkan. Tapi
kalau disini kita adanya malam, sebenarnya Kelenteng itu
harusnya berfungsi sama kaya Masjid. Kelenteng loyalnya tidak
boleh tutup, jadi kalau ada orang kemalaman di jalan itu boleh
nginep. Itu kan faham yang di ajarkan sama histroticall figur kita,
sama kaya kita menghormati Diponegoro, Imam Bonjol atau
Sudirman. Itu kan tokoh-tokoh sejarah yang hidupnya berbuat
baik buat masyarakat.
Jadi kalau di Konghucu, you bisa jadi Dewa terus patung you bisa
ditaro di Kelenteng. Syaratnya ada tiga, you berbuat untuk negara
dan bangsa, terus menyelamatkan bencana, bencana alam segala
82

macem atau wabah, terus you jadi martir buat membela


kepentingan bangsa. You punya hak buat jadi Sin Beng (Dewa
dalam ajaran Konghucu).
Kemarin itu Gusdur, kalau semisalkan tidak dilarang sudah ada
Kelenteng Gusdur. Jadi bukan meminta do’a ke dia orang,
tujuannya biar anak-anak generasi berikutnya meneladani dia.
Kita orang kalau meminta kesitu tuh, ke meja situ. Tidak ada
gambarnya, tidak ada patungnya,tidak ada muka siapa-siapa,
itulah yang kita sebut Tien atau Allah kalau di kamu. Dafinisinya
begini ”Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun
tiap wujud tiada yang tanpa dia” Tien Ti Kong.
Langit, jadi tidak menyembah berhala. Cuma zaman dinasti
Ta’ang mulailah patung-patung dari India, segala macem. Dulu
itu tidak ada patung, nama aja tulisan nama tokohnya, papan
arwah. Belakangan karena patung dilihat bagus juga, seni. Terus
dianggap juga dah, karena dia di sembahyangin setiap hari, ya
ada aura positifnya lah sebenarnya itu, jadi kalau You minta do’a
sama dia orang ya you salah, tidak nyampe.
Itu dalilnya ada “tiada tempat meminta doa selain kepada Tien”.
Udah clear itu, Cuma ya itu kan prejudice, kita disangka
nyembah patung, sebenarnya kalau dalam bahasa Tionghoa
bukan dewa ini, kalau orang Tionghoa ini artinya Sien atau orang
gunung, orang yang bermeditasi di gunung, yang menyendiri.
Bahasa lainnya itu Shen Ming (Shen itu roh, atau spirit sementara
Ming itu gemilang). Jadi ketika kamu menyelamatkan bangsa,
negara segala macem, ketika kamu mati roh kamu jadi gemilang
maksudnya dan itu ada di kanan kiri tuhan, itu Sorga mungkin
kalau bahasanya kalau di kamu.
You jadi punya hak untuk diberi papan peringatan, kahormtan itu
tinggi sebenarnya. Cuma sayangnya orang Tionghoa itu
pragmatis, kalau ada batu keluar nomor togel dia anggap batu itu
sakti, ya itu juga terjadi di semua agama. (tertawa)
Sebenarnya tujuan utama dari Konghucu menempatkan patung
atau papan kehormatan agar menjadi contoh arat role model bagi
generasi berikutnya, supaya bisa mencontoh sifat baiknya. Tapi
ujung-ujungnya begitu, peringatan keagamaan ya dianggap
83

sebagai festifal. Budaya kan begitu sifatnya, revolutif,


transformatif, berubah-ubah. Cuma tugas kita agamawan menjaga
itu, minimal seimbang lah, versi begini-begini.
Sama kaya sejarah, minimal dari empat versi ya kalau tidak salah
begitu kan. Tidak bisa kita rujuk dari satu presfektif kan, kira-kira
begitu. Ya, itu yang banyak orang keliru. Saya terus terang bukan
kecewa, ya kita kasih tau itu sulit juga. Ya, namanya orang mau
smebahyang dia percaya sama itu ya susah juga, kita tidak punya
hak untuk melarang, lu gak boleh.
Terus dia baca apalah itu, keluar tuh oracel atau ramalan. Keluar
tuh nomor 0 Sampai 100. Ramalannya macem-macem, kalau ama
kuncen dia bilang wah ini proyek nih, tolak bala segala macem
biar keluar duit. Tapi kalau saya yang baca angka 0 sampai 100
semuanya bagus, itu konsep Yin dan Yang. Jadi kita tau kapan
harus ngerem atau kapan harus nge gas. Terlalu kencang You
harus rem, you kurang kenceng ya harus gas, jadi balance.
Apatuh kalau di Islam namanya, Mizan atau tengah-tengah,
Moderat.
Susah kalau di Kelenteng dia mau jadi juru kunci, karena ini
proyek dia dapet angpau masa mesti kita larang. Ya, itu juga jadi
problem, tidak bisa kita membenarkan socity tapi minimal
hantem ama data, atau minimal kita adu presfktif. Tidak bisa kita
ngadu kebenaran, kan susah. Apalagi religius experiance, orang
Agnostik itu dia belom pernah dia mau nyebrang, tidak jadi
ketabrak. Kalau kita orang yang biasa berdo’a atau shalat, aku
berlindung kepada Allah, kalau orang yang tidak punya
pengalaman itu gak ada, ya susah. Akhirnya dia jadi Agnostik
atau Atheis, jadi seharusnya kita tidak usah ngambek tuh sama
orang Atheis. Ya dia kebetulan belum punya pengalaman
keagamaan yang sama kaya kita.
Kalau pakai teori sosiologi sederhana, kenapa Karl Marx bilang
agama candu. Bokapnya Karl Marx itu Patur, dia bikin Dask
Kapital kan ada beberapa statement agama candu, bokapnya
pastur, temen-temen bokapnya korupsi duitnya. Dia keki, nah
akhirnya dia kecewa, dan itu terjadi sama semua organize
religion. Berapa banyak Ustad yang memperkosa santri, berapa
banyak biksu yang melecehkan umatnya, berapa banyak pastur,
84

sama. Yang salah kan bukan agamanya bos, orangnya.


Kalau kita punya pengalaman buruk sama polisi suruh bayar
tilang, kita keki tuh sama polisi. Tapi kalau ada orang yang
pengalamannya ditolongin sama polisi, oh dia tidak keki sama
polisi, betul tidak?
Ya gudur fair juga, dia bilang ada Polisi Tidur, ada Patung Polisi,
dan ada Hugeng kan. Kapolri yang betul-betul orang jujur, tapi
kalau kamu punya pengalaman dengan polisi yang meres kamu,
pasti kesel sama polisi. Tapi kalau kamu lagi di rampok, tiba-tiba
polisi dateng nolongin, pasti langsung berfikir oh ini polisi
penyelamat. Sama menurutku begiutu, mangkannya kita harus
luas itu Presfektifnya, kalau tidak gagal kita jadi Mahasiswa.
Kan kalau Mahasiswa itu tau tidak, pinjem istilah tuhan tuh
Maha. Iya dong, jadi siswa yang paling tinggi. Cara berfikirnya
tidak boleh kaya anak SD, tidak boleh dari satu Presfektif, begitu.
Aku itu ngajar karakter building di Binus, anak-anak orang kaya
yang kita ajar, tapi aku cuci otaknya kaya begitu tuh rul.
Ya tidak bisa, kamu hidup kamu merasa paling Pure kalau rasis.
Tidaklah kita semua itu hybrid, coba chek tujuh generasi ke atas,
jangan-jangan lu ada Cinanya juga.(tertawa)
Atau ada arabnya juga, tidak tau kan kita. Pakai teori persebaran
misalnya, mangkannya tidak bisa kita rasis, kita ini hybrid. Kita
itu produk budaya kan, produk peradaban yang ber evolusi,
bertransformasi, kalau aku sih begitu menjelaskan bagaimana
kalau orang itu harus punya sirkulan project.
Ya, karena kita orang Ushuludin tau sendiri kan. Belajarnya teori
Emanuel Kant, kata dia tuhan itu pamrih. Dia ciptain kita,
supaya kita hormat sama dia. Di Ushuludin perdebatannya begitu,
jadi tuhan pamrih kan gila, padahal tuhan kan tidak pernah
nyuruh kita supaya hormat sama dia. Itu urusan kita berterima
kasih sama dia, ada lagi Zaenudin Kamal tuh yang paling ngeri.
Prof. Zaenudin Kamal yang dari Padang, wah kacau itu otaknya.
Tapi Shalatnya rajin lima waktu, Cuma kalau kita ngomong sama
dia di bantai abis tuh. Kita sebagai orang Ushuludin gitu rul, kita
gugat semuanya, saya jurusan Perbandingan Agama. Saya sama
85

Prof. Komar, waktu beliau masih Rektor. Beliau juga ngajar saya,
terus Amirnurdin, Kautsar.
Kita itu tidak bisa rasis, kita itu hybrid. Kalau kita tarik teori
persebaran Picantropus ke Nusantara jadi isinya orang-orang itu
yang asli kalau kata Gusdur orang-orang di Flores. Yang model-
moedl orang ambon ditariknya ke Papua Nugini terus ke Hawai,
kaya Aborogin. Kita mah yah kalau ditelusuri udah sama tuh
kaya di Vietnam kaya Kamboja sama Laos, coba kita nongkrong
di Laos kalau bisa bahasa Laos udah pasti disangka orang Laos.
Kamu bayangin santri di kita pakai sarung, saya pergi seminggu
di Yangon, Myanmar. Orang Budha disana pakai sarung, persis
kaya santri di Tebu Ireng, nyarung cuman bedana teu make peci,
pan lobana orang Budha kabeh didinya mah. Ada gendulnya,
sama can baju koko, can bedug. Coba di Arab aya teu Bedug?
(bertanya)
Akulturasi pan mereun, tahlilan, 100 hari segala macem kita kan
akulturasi dari ajarah Hindu, Budha, udah kita ini tidak ada yang
pure, Bohong aja kita kalau merasa paling Pure, kecuali orang
Yahudi yang Ortodoks. Dia kan tidak boleh kawin sama orang
Non-Yahudi.
Ya, kan Ortodoks ada yang kawin campur. Ya, tidak bisa lah
namanya lelaki buaya darat, kawin boga anak. Ya, ga bisa lah
pakai teori persebaran mah. Kalau saya, di Konghucu doktrin
yang baru, di kita mah Indonesia Tionghoa. Kita juga tidak bisa
munafik, masa kita harus hilangkan ketionghoaan. Orang kita
bagian dari itu, begitu juga sebaliknya, ke sundaan kita juga tidak
bisa kita hilangkan. Tapi kalau kita dituduh Cina, enak aja lu.
Orang kita makan, tidur disini. Doktrin di Konghucu dan Di
Budha jelas “Dimana dia tempat tidur, makan disitu dia harus
mengabdi”. Mau apa lagi, dalil agama? Dalil history segala
macem?
Gusdur kan enak, aja saya keturunan Raden Fatah. Ya, raden
Fatah kan Cina juga. Nyengir-nyengir aja tuh Gusdur, Islam di
Jawa itu saya sempat percaya walaupun selamet mulyanto sempat
di anggap aneh. Teori dia kan masuknya Islam dari Tiongkok,
beda dengan Aceh kalau dia dari Gujarat. Bener tidak, ada
86

perjumpaan kan disana, belum lagi kan teorinya Cheng Ho.


Cheng Ho itu muslim, marga dia itu Ma yang memiliki arti
kependekan dari Muhammad, nama mualaf dia tuh, panjang
ceritanya. Ya, kalau saya bilang mungkin kakek buyut kita waktu
Cheng Ho mau berlayar ke Afrika, mereka tidak mau ikut tuh.
Terus kawin tuh ama perempuan-perempuan lokal, nah terus
jadilah kita kan, soalnya tidak bawa bini. Jadilah kita yang
disebut Cina Benteng.
Beda sama Cina Toktok, kalau Totok ditelusuri 3 generasi ke atas
masih daratan. Mereka maen land, kalau kita di Ciampea udah 8
generasi loh. Udah jauh, generasi pertama bapaknya udah orang
sini. Itu bedanya mangkannya secara genetik teman-teman kita
yang di Medan atau Kalimantan itu lebih sipit. Kalau kita, kaya
saya siapa yang nyebut saya Cina? tidak bisa udah, Cina dari
mana? orang paling ngira saya Manado, apalagi nama saya
Kristan.
Nanti kalau semsal masih kurang, dateng lagi kesini. Jadi saudara
lah kita, kalau tidak kaya gini gimana mau berjumpa kita. Orang
kita kerjanya dagang doang, ya karena warisan kolonial.
Dikerjain kita, dia bikin dulu yang namanya Wijkenstelsel yang
pengkotakan, mangkannya dikita itu ada istilah kampung
Ambon, Kampung Arab, Kampung Cina supaya apa? Supaya You
tidak gabung. Kalau kita gabung, Belanda itu di keroyok mati,
makannya dia dibikin Segregasi atau pemisahan. Di adu
dombanya gampang, noh Cina gua kasih enak, gebukin noh.
Ya, emang begitu Belanda. Kalau di pikir-pikir Belanda kita
keroyok, mati dia. Kita dikerjain sama itu, Belnada di Afrika
Selatan juga gitu. Dia kan rasisi itu, itu kolonial paling rasisi itu
Belanda, Inggris tidak terlalu, sama Portugal. Kacau itu, You
bayangin kalau kita kompak pakai teori sapu lidi kan, bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh. Ya, orang kita di adu domba, ya
kaya gimana.
Itu Orde Baru juga pakai itu, jadi begini rul. Semua diktator
harus punya satu musuh, yang buat di adui. Salah satu contohnya
kaya Khadafi di Libiya, Sadam Husen, Amerika kan melihat
celah itu dengan isu human roght. Mana lagi sekarang Syuriah,
87

Bosnia itu di adu domba semua, dikerjain kita ini. Jadi Soeharto
kalau mau di demo kan gampang, tinggal lempar handuk. Noh
Cina lihat noh pada enak, di gebukin Cina.
Kamu pernah baca tidak, kalau kerusuhan anti Cina itu terjadi
setiap 10 tahun. You baca setelah Inpres 67, tahun 75 Malari itu
Cina yang di gebukin, terus 85 Bandung, Solo wah cheos itu. 95
udah langsung ke 97, setiap 10 tahun itu udah di setting,
pokoknya ketika stabilitas politik ngeri. Langsung cari kambing
hitam black sheep.
Jadi kamu kalau mau jadi Presiden memang harus begitu, kalau
tidak ya engga bisa berkuasa lama. Bayangin Soeharto
kebijakannya itu Dobel, disatu sisi kebijakan sosial politik anti
Cina. tapi urusan bisnis dia sama keluarganya semua Cina yang
ngurus, Liem Soe Liong, Eka Cipta. Maling-maling BUMN, duit-
duitnya disimpan di dompet Cina. Sementara Cina yang kaya kita
ini nih yang di gebukin yang tidak tau apa-apa. (tertawa)
Itu kan gila, jangan salah. Kita lawan Cina-cina itu yang maling
BUMN, gara-gara dia negara rugi. Tapi yang di gebukin kita,
mereka tinggal kabur ke Singapur duitnya banyak.
Ya, kalau mau jadi diktator emang harus kaya gitu. You bayangin
semua bisnis Soeharto semenja Supersemar dia megang tanah,
perhutani itu semua Cina itu. Itu Cina yang kaya gitu harus di
gebuk, tidak ada urusan dia Cina atau Arab, karena dia yang
merugikan negara.
Ini fair aja kita ngomong, Cuma Cina-cina yang kaya kita yang
bayar pajak, membela Indonesia. PP 10 Tahun 59 atau 60 kan
disuruh pindah lu mau milih Tiongkok apa Indonesia. Sodara
kakek saya ada yang pindah Painan dulu, tapi Kakek saya tidak
mau, kakek saya dulu TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Mayor
oking itu dia punya Foto sama Mayor Oking, saya tau Mayor
Oking itu tangannya buntung.
Kakek saya dekat sama Mayor Oking, wah saya kalau disebut
Cina saya lawan itu orang. Cina dari mana bapak gua bela
Indonesia, engkong gua bela Indonesia. Susah kan, tapi kaum-
kaum konglomerat kita fair aja, jujur yang nemenin Jokowi juga
sama. Ini bukan soal bagaimana dia asal usulnya, ya tapi
88

memang orang-orang Cina itu begitu.


problem rul, Jusuf Kala bener semua orang Cina tidak punya
kesempatan mereka mau jadi birokrat, dia mau jadi tentara, jadi
Jendral. Tidak ada sejarah yang bilang, paling juga bintang satu
itu juga jebolan Dokter Gigi yang di rumah sakit. Tentara di
meja, tidak punya pasukan. Justru banyak sekali orang Tionghoa
yang nasionalis.
Merka ini yang secara ekonomi di bawah rata-rata. Saya pengen
bilang sama orang-orang yang Mis Reading dan Mis
Understanding kalau tidak begitu cara mukunya. Kacamat kita
tiidak boleh tertutup, banyak ko Cina yang nasionalis kalau kita
tidak Cinat Indonesia udah cabut waktu dikeluarin PP No.10.
Kita enak itu, transmigrasi sudah disedian rumah sama tanah.
Nah justru yang harus kita gebuk itu Cina-cina yang malingin
BUMN itu yang harus kita lawan. Saya ini termasuk slah satu
Cina yang dicari sama Cina, jujur saja. Karena kita lawan, tapi ya
tetap Oligarki maenannya begitu rul. Kalau jadi pengusaha juga
harus dekat sama penguasa, termasuk preman. You bayangin
kelakuan yang punya Agung Sedayu, udah terseret KPK dia bisa
lolos.
Gua kan aktif nih di KNPI, gua bilang kekayaan gua bukan dari
hasil ngerampok negara. Kalau hasil ngerampok itu harus kita
gebukin itu, tidak ada urusan asal usul sukunya. Tau tidak,
kenapa Voc dengan mudahnya menguasai Jawa. Ya raja-raja di
Jawa disogok, Cuma yang gak mau ya Jawa. Belakangan tetap
aja dia jadi Komporador, lewat lah dikerjain kita. Sejarah kan
meskipun pahit harus dibuka.
Jadi konsep Sejarah sebenarnya begini rul, pengungkapan masa
lalu kalau menurutku, untuk generasi berikutnya supaya tidak
melakukan masalah yang sama. Tujuannya refleksi, visinya kita
jadi sejarawan atau mengolah sejarah itu begitu, menrutku ya. Itu
kan aktualisasi diri dari sejarawan itu gitu. Ya, jangan juga jadi
sejarawan yang menghalakan segala cara, kaya pakai dalil-dalil
yang dipakai TNI. Clear kan,
Jadi kita tahu tuh malam sebelum pem,bunuhan G30S angkatan
66 itu kumpul, Ngobrol-ngobrol dulu dirumah Soeharto tuh
89

dirumah. You chek itu arsipnya CIA, jadi kalau saya bukan
katena saya Cina saya PKI. Tapi menurut saya itu partai Komunis
paling goblok di seleuruh bumi tuh, bisa di bantai dalam satu
malam. Komunis itu, kenpa kita benci Komunis. Mereka itu
dimana-mana kalau bikin pemberontakan korbannya banyak.
Inimah Komunis yang di gebukin, itumah konflik angkatan darat
itu. ABRI Hitam sama ABRI Merah itu. Saya tidak percaya itu,
jadi siapa yang menang kalau pakai teori konspirasi? Yang
menang itu yang maen. Tau tidak, Letkol Untung itu yang You
nonton di G30S waktu dia kawin, itu Soeharto dateng. Clear itu
Foto, temennya bos. Cuma kaya Ken Arok, Empu Gandring
terus ditusuk. Ya, You kan yang bikin keris, kalau tidak You
yang cerita dong.
Jadi kalau saya begini rul, kalau CIA itu, arsip-arsip yang udah
berusia 25 tahun harus keluar itu Arsip. Ya, tapi oke lah itu
sejarah nasional, tapi ada Different Opinion, balik lagi sama
konsep yang tadi kita tidak bisa melihat sejarah dalam satu
presfektif, dan sejarah Indonesia Sorry aja, kita itu di acak-acak
itu sama Orde Baru.
Oke kita tidak Idealis, tapi kita anak cucu kita gamau di bego-
begoin. Ya, kaya kamu kan bakal punya anak, jadi harus pintar
lah. Harus melihat segala hal dalam bermacam presfektif, jangan
you telan mentah-mentah suatu prespektif.
Dalam ajaran Konforsius tuh begini kalau mau terima murid, You
berhenti di suatu sudut. Setelah itu You cari lagi tuh sudut yang
lain, kalau bisa nunjukin baru bisa diterima menjadi murid.
Pedagogik Game itu pendekatannya.
Jangan sampai kita menjadi orang yang matanya ditutup serapat
gajah. Kalau you matanya di tutup, you pegang badannya oh ini
tembok, oh ini kipas. You tidak hanya holeisik, nah ilmuan tidak
boleh matanya ditutup, dia harus holistik baru dia ambil
conclution jadi kalau ada Profesor rasisi pasti nyogok tuh. Dia
udah pasti gagal di pelajaran komunikasi antar budaya, atau
MKDU itu tidak ada, jadi begitulah rul, klita juga sulit. Mungkin
sudah selesai ya. Nanti kalau masih kurang data datang aja lagi,
kite terbuka ko.
90

Syahrul Baik bapak terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk


berbincang dengan saya, mohon maaf jika kedatangan saya kesini
mengganggu
Kristan Iya, sama-sama rul

Lampiran 14: Wawancara dengan Ibu Dewi


Syahrul Ibu sendiri sudah lama tinggal disini ?
Dewi Saya sudah lama, dari kecil sudah disini kira-kira dari kelas 5
SD
Syahrul kalau usia ibu sekarang berapa?
Dewi usia aku 48 Tahun
Syahrul Pada periode tahun 70-80 pemerintah sempat memwajibkan
kepada warga keturunan Tionghoa untuk memiliki tanda
pengenal khusu atau SBKRI, apakah keita itu ibu sempat
memilikinya?
Dewi Aku gak punya si mas, pada saat itu kan ibu aku yang
mengurus semuanya. Awalnya kami tinggal di Cipete, Jakarta
terus pindah ke Bogor. Akan tetapi ketika itu aku pindahnya
diam-diam, karena kan pas Orde Baru orang Cina itu benar-
benar banyak yang di dzholimi meskipun aku udah muslim tapi
tetap ada saja yang ngeta-ngatain segala macem. Berhubung
ayah orang sunda dan ibu aku udah jadi muslim jadi pakaiannya
sama kaya warga lokal, dan Alhamdulillah aman, kita juga
tidak buat surat SBKRI, jadi langsung buat KTP.
Syahrul Pada masa pemerintahan Soeharto pemerintah sempat menutup
sekolah khusus bagi warga keturunan Tionghoa, apakah ibu
sebagai warga keturunan Tionghoa muslim terkena
dampaknya?
Dewi Kalau aku tidak, soalnya dari awal ibu mesukin aku ke Pondok
Pesantren Al-Ahzan.
Syahrul Kalau boleh tau apakah ibu aktif di organisasi keagamaan Islam
Tionghoa?
Dewi Tidak, karena ibu aku nikah tidak secara Tionghoa. jadi tidak
direstui oleh keluarga. Ibu saya itu kan mualaf jadi dia benar-
benar belajar Islam dan tidak pernah mengikuti segala macam
kegiatan keislam Tionghoa.
Syahrul Selama masa pemerintahan orde baru pemerintah sempat
mengeluarkan kebijakan agar setiap warga keturunan Tionghoa
91

mengganti nama dengan nama pribumi, apakah ibu memiliki


nama Tiongoa?
Dewi Tidak, kalau ibu saya punya. Dia namanya Chen Sin Moy akan
tetapi setelah peraturan itu keluar ibu saya langsung mengganti
namanya manjadi Siti Nurhayati.

Syahrul Selama tinggal disini bagaimana hubungan dengan masyarakat


sekitar?
Dewi Alhamdulillah normal, bisa saja, malah senang tidak ada yang
nge beda-bedain dan tidak pernah ada yang nanya macam-
macam. Kan lama-lama aku item jadi gak kelihatan orang
keturunan Tionghoa.
Syahrul Apakah ibu masih menjaga kepercayaan dan tradisi Tionghoa?
Dewi Berhubung dari dulu orang tua aku Islamnya kental, jadi sejak
kecil kami anak-anaknya tidak pernah ada yang di ajarkan
tentangf tradisi dan kebudayaan Cina. tidak ada yang namanaya
Gong Xi Fa Cai atau bagi-bagi angpau, sama sekali tidak di
ajarkan. Akan tetapi ketika ibu saya bertemu dengan warga
Tionghoa yang lain beliau tetap menggunakan adat dan tradisi
Tionghoa seperti mengobrol dengan bahasa Cina dan mahir
menulis kanji juga, akan tetapi tidak ada yang diturunkan
kepada kami.

Lampiran 15: Wawancara dengan bapak Unki


Syahrul Selamat siang Bapak, mohon maaf mengganggu waktunya,
perkenalkan nama saya Syahrul Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saat ini saya sedang melaksanakan
penelitian tentang percepatan asimilasi yang digagas oleh
pemerintah Orde Baru. Saat ini saya bermaksud untuk
mewawancarai bapak selaku pengurus rumah ibadah dan warga
keturunan Tionghoa yang tinggal di Ciampea. Sebelum saya
lanjutkan, dengan siapa saya berbicara saat ini?
Unki Nama saya Unki, tapi sehari-hari biasa dipanggil Uki
Syahrul Bapak Unki kalau boleh saya tau apakah bapak warga asli
Ciampea pak?
Unki Saya lahir di Jakarta, tetapi orang tua saya asli sini dari kakek
nenek juga sudah tinggal disini. Waktu kecil saya tinggal di
Jakarta ikut sama Orang tua, terus masuk sini lagi sekitar tahun
1979.
92

Syahrul Bapak sendiri usianya berapa saat ini ?


Unki Sekarang 62 Tahun
Syahrul Jadi begini bapak, ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto
pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk membatasi
kegiatan keagamaan bagi warga keturunan Tionghoa, untuk di
dareah Ciampea sendiri dampaknya seperti apa ?
Unki Awalnya sih biasa saja, tetapi kita selaku warga hanya mengikuti
kata atasan aja, tidak pernah melawan. Ketika zaman Soeharto
meskipun sudah ada larangan, tapi ada aja yang ibadah mah,
disini tidak terlalu ketat.
Syahrul Selain pembatasan dalam kegiatan keagamaan, pada periode 70-
80 an pemerintah pernah mewajibkan bagi warga keturunan
Tionghoa untuk memiliki surat bukti kewarganegaraan Indonesia
atau SBKRI, bapak sendiri dulu punya atau tidak?
Unki Iya saya punya, seperti surat keterangan lahir, surat tanda
pengenal khusus saya ada
Syahrul Selain pembatasan pada aktifitas keagamaan, pemerintah juga
membatasi aktifitas kebudayaan bagu warga keturunan
Tionghoa. Untuk di darah Ciampea bagaimana dampak dari
pembatasan tersebut?
Unki Memang ketika dulu sempat ada larangan, warga disini juga
tidak ada yang berani kalau untuk mengadakan pertunjukan
barong, jadi setiap hari raya biasa aja gitu, ibadahnya juga
masing-masing. Paling kita ngundang beberapa orang untuk
berbagi kaya sembako.
Syahrul Apakah bapak bisa membaca dan berbicara bahasa Cina?
Unki Kalau saya tidak bisa, paling tau sedikit saja, tapi dulu orang tua
saya bisa bahasa Cina. kalau Saya sendiri lebih lancar bahasa
Sunda
Syahrul Apakah bapak mengalami kesulitan ketika mengajukan untuk
mendapatkan surat bukti kewarganegaraan?
Unki Tergantung juga sih, untuk warga keturunan Tionghoa yang
aktif sebagai anggota PKI itu berat, tetapi untuk warga biasa
tidak terlalu sulit.
Syahrul Selain diwajibkan memiliki SBKRI, pemerintah juga pernah
menutup sekolah khusus bagi warga keturunan Tionghoa, untuk
bapak sediri dulu sekolahnya dimana pak, apakah ada sekolah
khusus untuk warga keturunan Tionghoa di Ciampea?
Unki Kalau dulu sih iya, saya dulu masuk sekolah umum tapi yang
bisa masuk sekolah umum hanya waraga asli keturunan
Ciampea. Saya kan memang asli keturunan dari sini ditambah
93

tidak bisa bahasa Cina jadi saya bisa masuk


Syahrul setelah masa pemerintahan Orde Baru berakhir, bagaimana
kondisi warga keturunan Tionghoa di Ciampea , apakah lebih
leluasa dalam beribadah dan menjalankan budaya?
Unki setelah ganti pemerintah sih tidak jauh beda, karena dari dulu di
Ciampea tidak terlalu ketat. Hanya umatnya asaja yang
berkurang.
Syahrul berkurang bagaimana pak maksudnya ?
Unki Iya kan dulu Konghucu bukan agama resmi, terus buat dapet
surat izin tinggal kan harus memilih agama jadi banyak yang
akhirnya milih agama lain seperti Kriseten dan Budha.
Syahrul Kalau untuk kasus yang pindah agama itu karena unsur
keterpaksaan atau pilihan sendiri pak?
Unki Tidak, rata-rata karena pilihan sendiri tidak ada unsur pemksaan.
Keluarga saya sendiri tidak semunya memeluk agama
Konghucu, anak saya yang perempuan masuk Islam soalnya
nikah ama orang sini. Saya tidak pernah memaksa keluarga saya
untuk masuk agama tertentu yang penting jalannya bener dan
bisa hiudp rukun.

Lampiran 16 : Wawancara dengan bapak Bilih atau Unyan


Syahrul Bapak usianya saat ini berapa ?
Bilih 66 tahun
Syahrul Kalau orang tua asli sini pak? 94
Bilih Iya, saya dari lahir sudah disini, orang tua juga asli sini Cuma
udah Almarhum
Syahrul Seperti ini bapak, saat ini saya sedang melaksanakan
peneltian tentang proses percepatan asimilasi yang digagas
oleh Pemerintah Orde Baru bagi warga keturunan Tionghoa.
Saya ingin bertanya, pada tahun 1979 pemerintah sempat
mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan kegiatan
keagamaan untuk warga keturunan Tionghoa agar tidak
melaksankan ibadah dan kebudyaan di depan umum, untuk di
Ciampea sendiri bagaimana dampak dari kebijakan tersebut?
Bilih Orang sini kan dulunya menganut ajaran Kawisme, atau
kepercayaan yang menyembah para dewa. Setelah Soeharto
jadi Presiden dulu kan ada larangan tentang acara barong itu,
terus masalah ibadah juga, akhirnya kepercayaan Tawisme
sendiri di ubah menjadi Tri dhrama yang terdiri dari Budha,
Konghucu dan Wetu. Setelah diganti sama Presiden Gusdur
baru mulai dibuka lagi, jadi tetap selama masa pemerintahan
Soeharto terkena dampak jadi tidak leluasa.
Bilih Seain membatasi aktifitas kegamaan, pemerintah juga
membatasi kegiatan kebudyaan bagi warga keturunan
Tionghoa, untuk di Ciampea sendiri bagaimana upaya warga
keturunan untuk mempertahankan keyakinan dan kebudyaan
yang telah di wariskan secara turun temurun agar tidak
hilang?
Bilih Kalau dulu ketika zaman Soeharto tidak bisa bebas karena
memang ada larangan barong, jadi kita disini kalau mau
ibadah terkadang sendiri-sendiri. Untuk tradisi lain seperti
tarian terus barong juga latihannya tidak di kelenteng jadi di
rumah aja. Mangkannya setelah masa pemerintahan Orde
Baru kan kebudayaan sedang di tekankan, itu contohnya
sekarang lagi pada latihan di depan Kelenteng, itu latihannya
setiap hari.
Syahrul Pada perode 70-80 an pemerintah pernah mewajibkan untuk
warga keturunan Tionghoa agar memiliki Surat Bukti
Kewarganegaraan Indonesia atau SBKRI. Apakaha bapak
memiliki surat tersebut dan bagaimana cara mendapatkannya
apakah mengalami ksulitan?
Bilih Saya sempat punya, tidak terlalu sulit untuk mendapatkan
surat itu
Syahrul Selain mewajibkan untuk memiliki SBKRI, pemerintah
sempat menutup sekolah khusus bagi warga keturnan
Tionghoa, untuk di daerah Ciampea sendiri ketika ada
larangan tersebut anak-anak disekolahkan dimana pak?
Bilih Kalau dulu saya dimasukan ke sekolah susata, kaya PGRI,
jadi berbaur aja gitu ama warga sekitar.
Syahrul Selama bapak tinggal disini apakah pernah ada gesekan
dengan warga sekitar?
Bilih Tidak pernah ada, kita rukun-rukun aja disini. Saling
95

Lampiran 17 : Wawancara dengan bapak Yusuf atau Tan Kang Sui


Syahrul Perkenalkan bapak, nama saya syahrul Mahasiswa Uin
Jakarta. Kalau boleh saya tau dengan bapak siapa saya
sekarang?
Yusuf Nama saya Yusuf
Syahrul Apakah bapak memiliki nama keturunan?
Yusuf Nama keturunan saya dari marga Tan nama saya Tan Kang
Sui. Terus kita kan dulu disuruh bikin WNI jadi ganti nama,
dan digantinya pake nama Islam biar dipermudah semuanya
(tertawa). Mangkannya kenapa orang Cina gua itemin, biar
hararideung , jadi beradaptasi hidupmah jangan di ambil
pusing, ngapain yah.
Syahrul Bapak sendiri asli keturunan sini pak?
Yusuf Iya, emang asli sini saya mah
Syahrul Kalau boleh saya tahu, berapa usaia bapak saat ini
Yusuf 65 saya
Syahrul Jadi begini bapak, ketika masa pemerintahan Soeharto
pemerintah pernah menerapkan kebijakan asimilasi untuk
warga keturunan Tionghoa , kira-kira bagaimana dampak
dari kebijakan tersebut untuk warga keturunan Tionghoa di
Kecamatan Ciampea?
Yusuf Intinya terkekang, pokoknya waktu zaman Gusdur jadi
presiden, kemari baru bebas, ya udah begitu aja.
Syahrul Ketika masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah sempat
mewajibkan bahwa warga keturunan diharuskan memiliki
tanda pengenal khsusus atau SBKRI, apakah bapak
mengalami dan bagaimana untuk pengajuannya apakah
mengalami kesulitan?
Yusuf Ohh iya saya ngalamin, kalau dulu namanya bikin WNI.
Untuk pengajuannya sendiri ya agak sulit lah, kalau ada
uang mudah, ya gitu aja udah.
Syahrul Pada periode 80 an pemerintah sempat mengeluarkan
96

kebijakan untuk mempermudah agar warga keturunan dapat


mendapatkan kartu identitas, bagaimana pengeruhnya bagi
warga keturunan di Ciampea?
Yusuf Ya pengaruh mah ada, di pemerintah di atas mah bener tapi
tetep aja di pertengahanmah lama prosesnya, yang kaya
gitumah tau sendiri lah yah sistem di kita mah yah
Syahrul Kalau untuk pengajuannya sendiri dulu melalui siapa ya
pak?
Yusuf Kalau disini ada yang ngurus dari perangkat pemerintah, jadi
ada yang ngurus surat-suratnya sendiri jadi nanti dia yang
berangkat, jad ada orang dateng kerumah terus kita di data
yang penting kita terima beres, tapi tetap biayaya mahal
Syahrul Selain mewajibkan untuk memiliki tanda pengenal khusus.
Pada masa Soeharto pemerintah sempat menutup sekolah
khusus bagi warga keturunan, ketika itu anak-anak sekolah
dimana pak?
Yusuf Iya, dulu sempat ada larangan kaya nutup les les bahasa
Cina, umumnya untuk di Bogor udah gak bisa bahasa Cina
sampai sekarang, dan gak berani kita buat ikut les kaya gitu.
Syahrul Selain menutup sekolah, pemerintah sempat membatasi
ritual keagamaan untuk warga keturunan Tionghoa, ketika
penerapannya dulu bagaimana pak?
Yusuf Iya, tahun berapa ya dulu Orde Baru. Ya, jadi begitu aja
pelaksanaan nya rame gak rame, ada Cuma kurang tapi ada
aja yang ibadahmah.
Syahrul Kalau semilas ketika mengadakan acara keagamaan seperti
Imlek atau hari raya bagaimana pelaksanaan nya pak?
Yusuf Ya, agak tertutup sih. Rame sih rame, tradisi sih tetep
posisinya kalau di kampung mah lumayan rame tapi kalau di
Kota mah tidak tau
Syahrul Untuk pertunjukan budaya seperti barongsai bagaimana pak?
Yusuf Waduh kalau itu dulu gak bisa, dilarang itu. Tapi pas masa
Gusdur baru di bebasin, karena kan kebijakannya sudah
97

ditarik, zaman Orde Baru mah gak ada, gak boleh. Terakhir
ada itu sebelum tahun 67 tuh di Bogor acara apa Cap Go
Meh, itu terakhir tuh saya inget saya masih kecil nonton
Syahrul Mohon maaf bapak, dulu Konghucu belum di akui sebagai
agama untuk status keagamaan di tanda pengenal sendiri
bagaimana pak?
Yusuf Ya , kita Budha ngambilnya, paling deket soalnya
Syahrul Bapak sendiri memilih budha karena murni pilhan pribadi?
Yusuf Karena peraturannya begitu kan, agama yang di akui Islam,
Katholik, Hindu ama Budha , ya kita ngambilnya ke Budha
karena Konghucu itu tidak ada, Konghucu itu ajaran
kebaikan. Jadi mau gak mau
Syahrul Apakah pernah terjadi gesekan dengan masyarakat sekitar
pak?
Yusuf Dari dulu enggak, disini kita bersatu enggak ada gesekan
masalah agama, ras itu gak ada.

Lampiran 18: Wawancara dengan bapak Supandi atau Tan Tek


Kong
Syahrul Kalau boleh saya tau dengan siapa sekarang saya berbincang?
Supandi Nama saya Supandi
Syahrul Bapak usainya berapa sekarang?
Supandi Sekarang 73
Syahrul Apakah bapak merupakan warga keturunan asli Ciampea/
Supandi Iya, asli Ciampea dari tahun 50. Dari kecil udah di sini
Syahrul ketika masa pemerintahan Orde Baru pemerintah sempat
melakukan pembatasan untuk aktifitas keagamaan,
kebudayaan dan adat istiadat Tionghoa, menurut bapak
bagaimana dampak dari peraturan tersebut?
Supandi Jadi khusus di Ciampea ini kita masih biasa-biasa aja, malah
98

kan kaya misalnya Cap Go Meh dulu kan tidak boleh, tapi di
sini masih bisa. Cuma kita ditegor sama sospol (kamtib).
Dulu banyak larangan, kaya ini kan kelenteng hampir mau di
tutup, tapi tetep aja
Syahrul Kalau untuk pengajuan hak sipil, semisal dulu kan pernah di
wajibkan untuk memiliki kartu identitas khusus, pengajuan
akte kelahiran itu bagaimana prosedurnya pak, apakah
mengalami kesulitan?
Supandi Enggak sih ya, kita SMP di Bogor sekolah masih biasa aja.
Gatau kalau di daerah-daerah luar. Kalau mau ngajuin akte
enggak sulit di Ciampea. Emang sempat di tuduh Ciampea,
BAPERKI dulu, kan kalau mau bikin WNI melalui
BAPERKI. Jadi di cap anggota kita
Syahrul Terus bagaimana bapak ketika ada klaim dari BAPERKI,
bagaimana pengaruhnya?
Supardi Jadi dulu orang tua saya nih, pribadi ngebubarin diri tapi
tidak ada teguran dari atas. Orang udah stress, emang orang
tua dulu teman-temannya Veteran semua, jadi pada bingung
kenapa masuk ke BAPERKI. Jadi ketika kita ngajuin WNI
jadi tercantum, soalnya kalau lewat BAPERKI kan cepat
Syahrul Ketika itu pemerintah sempat mewajibkan untuk teman-
teman Tionghoa agar mengganti nama, apakah bapak
memiliki nama Tionghoa?
Supardi Punya, diganti nama semua. Nama saya Tan Tek Kong, saya
ketika ganti nama sekitar tahun 80 an
Syahrul Ketika masa Reformasi, Habibie sempat mengeluarkan
kebijakan untuk mempermudah segala bentuk pengajuan
administrasi tanpa membeda-bedakan ras, bagaimana dampak
dari kebijakan tersebut?
Supandi Sama aja, tidak ada perbedaan masih biasa, masih belum ada
perubahan.
Syahrul Ketika itu Konghucu belum di akui sebagai agama resmi,
bagaimana bapak mencantumkan agama dalam kartu identitas
99

pak?
Supandi Kalau keyakinan Konghucu, kalau di identitas Budha. Tapi
terus sih mskipun di KTP Budha setiap minggu kita ke
kebaktian. Tidak ada teguran
Syahrul Kalau dari aparatur desa apakah pernah ada teguran?
Supandi Tidak, biasa aja. Tidak pernah ada yang negur
Syahrul Untuk sosialisasi kebijakan sendiri bapak, ketika tahun 80 an
pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk
mempermudah pengajuan WNI, apakah setelah kebijakan itu
keluar pengajuannya jadi mudah?
Supandi Tidak, sama aja. Soalnya kita sama pribumi deket, dari orang
tua kita baik hubungannya dengan masyarakat sekitar. Saya
aja dulu pernah kemaleman di jalan di daerah Sadeng sempat
ada yang nawarin disuruh istirahat di Pesantren, Kyiai apa itu
lupa saya, Beliau mantan pejuang juga dulu.
Syahrul Apakah bapak masih bisa berbicara bahasa Tionghoa?
Supandi Enggak bisa kita, dulu kan tidak boleh karena ada larangan.
Kalau kakak saya tamatan kelas 2 SMP, bisa ngomong dia,
baca bisa, nulis bisa. Dari keluarga juga tidak ada yang
mewariskan karena orang tua juga enggak ada yang bisa
Syahrul Bagaimana upaya warga keturunan untuk menjaga
kebudayaan Tionghoa agar tidak hilang?
Supandi Kalau kebudayaan kita tetap jalan, kaya latihan segala
macem. Ya, Cuma begitu kita cukup di dalem aja, tidak boleh
di depan umum
Lampiran 19: Wawncara dengan bapak Jatmiko
Syahrul Kalau bapak sendiri asli Ciampea?
Jatmiko Iya saya asli sini
Syahrul Kalau nama bapak sendiri siapa pak?
Jatmiko Nama saya Jatmiko
Syahrul Kalau usia bapak sekarang berapa?
100

Jatmiko Saya 75 tahun


Syahrul Bapak saat ini tinggal dimana pak?
Jatmiko Saya di sini, Kampung Pasar Ciampea. Engga jauh dari
Kelenteng
Syahrul Ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden, sempat ada
larangan untuk warga keturunan agar tidak melakukan
Ibadah secara terbuka, bagaimana dampaknya untuk di
Kecamatan Ciampea sendiri pak?
Jatmiko Ya, namanya udah ada aturan dari atas kita mah ikut aja
udah. Gimana lagi, orang kita takut. Ya, paling kita ibadah
mah ibadah aja, cuma ya itu tadi paling kita ibadahnya
masing-masing.
Syahrul Apakah pernah ada teguran dari pemerintah setempat
seperti RT atau RW mungkin ketika sedang beribadah?
Jatmiko Ah engga, tidak pernah di sini mah. Soalnya kita kan keal
sama RT/RW nya, orang tua kita dulu juga pada deket sama
orang-irang desa, jadi tidak pernah ada teguran. Tapi kalau
dulu sih pernah ada petugas yang ngontrol, tapi tidak
pernah ditegur pas sembahyang. Di sini mah biasa aja sih,
tapi engga tau kalau di tempat lain ya.
Syahrul Ketika dulu, kalau mau sekolah itu biasanya dimana pak?
Jatmiko Kalau kami dulu pas SD masuk sekolah biasa, gabung aja
ama orang-orang sini. Pas SMP temean-teman kita
sekolahnya ke Bogor, dulu masih zaman Oplet. Kalau dulu
di sini tidak ada SMP atau SMA, seinget saya dulu pas
tahun 69 kita SD. Kalau kita gabisa jelasin banyak, orang
kita sekolah Cuma sampai SD . Kan kalau orang terpelajar
mah beda sama orang yang sekolah, kalau kita mah bisanya
segini, jadi cara ngomongnya juga kurang mantep.
Syahrul Tapi kan yang namanya pengalaman tidak bisa bohong pak,
bapak tadi cerita berdasarkan pengalaman pribadi kan
(tertawa)
101

Jatmiko Iya, ya paling gitu aja yang bisa saya bantu

Lampiran 20: Wawancara dengan bapak Husen atau Law Kwan


Seng
Syahrul Dengan siapa saya berbincang saat ini?
Husen Saya bapak Husen
Syahrul Kalau usia bapak saat ini berapa?
Husen Saya 65
Syahrul Apakah bapak asli lahir di sini?
Husen Iya, orang tua asli sini. Saya tidak punya tempat, jadi
tinggal di sini aja rame-rame. Istilahnya numpang lah
Syahrul Ketika masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pernah
mengeluarkan kebijakan asimilasi. Bagaimana dampak dari
kebijakan tersebut untuk warga keturunan Tionghoa?
Untuk di sini sih biasa-biasa aja ya, di sini tidak pernah
membeda-bedakan masalah agama. Kita di sini hidup
selalu rukun, dari tahu ke tahun, dari zaman ke zaman.
Mudah-mudahan aja sampai saya tutup usia juga masih
dalam keadaan rukun
Syahrul Pemerintah sempat mewajibkan kepada warga keturnan
Tionghoa untuk memiliki karu identitas khusus, apakah
ketika pengajuannya mengalami kesulitan?
Husen Enggak, biasa-biasa aja. Dulu waktu pengajuan buat bikin
WNI kan. Kalau dulu kan yang ngurus orang desa, kita tau
siapa dia dan dia tau siapa kita, jadi biasa-biasa aja. Kalau
hidup di sini selalu tenang
Syahrul Apakah bapak memiliki nama keturunan?
Husen Ada, nama saya Law Kwan Seng. Dulu kan pemerintah
ngewajibin buat ganti nama, saya pakai nama muslim jadi
Husen kan dekat
Syahrul Apakah bapak bisa berbahasa Cina?
102

Husen Ya, karena dulu kan dilarang dan kita juga takut. Jadi
enggak belajar dan orang tua saya juga tidak izinkan.
Orang tua kita dulu kan pengecut ya, jadi kita selaku anak
manut lah, pasti orang tua ngajarin yang terbaik, kalau
orang tua saya bisa. Tapi tidak berani mengajarkan sama
anaknya, karena kan waktu itu dilarang. Jadi orang tua juga
nyari yang terbaik untuk anaknya.
Syahrul Ketika pemerintah menutup sekolah khusus warga
keturunan, bapak sekolah dimana pak?
Husen Ohh saya sekolah ikut di SD umum, ikut yang lain aja. Itu
sekitar tahun 72 saya, tahun 72 itu kita tidak kenal sepatu.
Istilahnya kita punya potlot satu juga untuk rame-rame.
(tertawa)
Syahrul Kalau dulu untuk mengajukan izin usaha bagaimana pak,
apakah mengalami kesulitan?
Husen Saya tidak usaha, ya gini-gini aja. Saya bercocok tanam, itu
juga ngurusin sawah orang. Jadi kita hidup biasa-biasa saja,
saya juga ngajari ke anak-anak saya meskipun kita sukses
jangan pernah taruh tangan di ketiak, biasa-biasa saja.
Kalau hidup biasa-biasa saja insya Allah kita hidup tidak
akan punya musuh

Anda mungkin juga menyukai