Skripsi
Oleh
YULITA
NIM. 204033203123
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
Yulita
PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM
PARTAI KEBANGKITAN BANGSA
Skripsi
Oleh
Yulita
NIM. 204033203123
Di Bawah Bimbingan
Dr. Shobahussurur, MA
NIP. 150 289 244
Sidang Munaqosyah
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Pembimbing,
senantiasa berada posisi marginal. Kondisi tersebut terbangun oleh sebab faktor
Dalam konteks Indonesia, kultur patriarki yang melekat erat dalam mindset rakyat
Indonesia membuat langkah perempuan untuk turut serta dalam ranah publik
coba dijawab dengan aksi nyata perempuan dalam dalam membangun bangsa.
Mereka dalam beberapa hal mampu menjawab persoalan yang hadir dalam
politik.
kaum wanita.
KATA PENGANTAR
memberikan kita karunia kenikmatan, baik nikmat iman maupun Islam. Dan
sungguh, hanya dengan segala rahmat dan pertolongan-Nya, ketulusan hati dan
keikhlasan niat serta motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat
Dalam Partai Kebangkitan Bangsa”, shalawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para
haturkan kepada orang tua yang tercinta, Ebak H. Usman Gumanti dan
Umak Hj. Wertan (Almh) dan Umak Hj. Eryani yang tiada henti-
motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini.
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
bapak Rifqi Mukhtar, M.A. Selaku sekretaris Program Non Reguler yang
8. Kepada Ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI dari PKB, Mba
Bangsa). DPP PKB Kalibata (versi Gus Dur) dan DPP PKB Menteng
(versi Cak Imin) semoga kemaslahatan umat dan bangsa menjadi hal
yang dapat mempersatukan mereka kembali. Mba Yumi dan Mba Iyang
selaku sekretaris pribadi Ibu Badriyah, terima kasih atas kemudahan
“selamat berjuang: kita ambil alih kekuasaan dan akan kita atur dunia
9. Kepada keluarga besar penulis tercinta: Jaik dan Nyaik, Cik Murod, Uju
Sarminah, Cik Ida, Cik Iba dan keluarga serta seluruh paman-paman dan
bibi penulis yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Kepada kakak
dan adik-adik penulis: kak Dedi, kak Nopi, kak Rafe’i (Mi’ik), kak
Mamat, kak Muslim dan keluarga, yuk Tima, Man dan keluarga, Dayat,
kepada kakak tercinta Yusuf Fadli dan keluarga besar, yang telah
12. Keluargaku seperjuangan di UIN, kak Supri dan keluarga, “teteh” (Kak
Dian) dan keluarga, Zein, kak Ridwan, Rei, Isti, kak Lulu, yang dengan
kasih karena tanpa kalian semua mustahil bagi penulis untuk bisa melewati
hambatan dan tantangan dalam penyusunan Skripsi ini. Semoga Allah akan selalu
melindungi, meridhoi dan memberikan balasan yang lebih besar kepada kalian
mempersembahkan skripsi ini bagi semua pihak yang menaruh perhatian bagi
semua.
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI .............................................................................................. i
1. Pra Kemerdekaan............................................................. 35
BAB V. PENUTUP.................................................................................. 78
A. Kesimpulan............................................................................ 78
B. Saran-saran ............................................................................ 79
PENDAHULUAN
perempuan dan politik menjadi topik penting dalam setiap perhelatan demokrasi.
kental, tema peranan perempuan dan politik selalu memicu perdebatan sengit.
Politik yang sering diidentikkan dengan dunia penuh intrik dan licik, menjadi
wilayah yang diharamkan dan harus disterilkan dari tangan-tangan lembut kaum
hawa, karena dianggap hanya keperkasaan kaum adam saja yang mampu survive
menjelajahi keliaran belantara politik tersebut. Dengan perkataan yang lain, saat
ini terdapat disparitas yang begitu dalam antara kewenangan laki-laki dan
begitu banyak dan kompleksnya masalah yang dihadapi kaum perempuan. Semua
1
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum
laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas perempuan. Sistem patriarki bisa
diterapkan di tingkat keluarga, masyarakat ataupun negara di mana laki-laki mendominasi dalam
semua hal seperti SDM, ekonomi, politik dan sosial. Segala aturan yang dipakai dalam sistem
patriarki didasarkan pada kepentingan pihak laki-laki (bapak). Siti Musdah Mulia, Menuju
Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Permpuan di Indonesia (Jakarta:
Kibar Press, 2007), h. xiii. Ada yang berpendapat bahwa asal mula patriarki berkaitan dengan
mulai adanya pemilikan pribadi dan pewarisan yang berujung pada pengaturan jenis kelamin
perempuan dalam satuan keluarga monogami. Namun hal ini kemudian dikritik karena mereduksi
subordinasi perempuan pada faktor ekonomi dan tidak menjelaskan ketimpangan gender dalam
masyarakat pra dan pasca-kapitalis. Rita Felsky, “Feminisme Amerika dan Inggris,” dalam Peter
Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 18.
itu sudah menjadi realitas objektif yang tak terbantahkan. Kemiskinan, kekerasan,
dialami kaum perempuan dari masa ke masa. Wajar jika muncul semacam
perempuan akan selalu berada pada pihak yang tidak diuntungkan dan
Sinyalemen ini tentu bukan tanpa bukti, berbagai macam fakta sering dipakai
sebagai alat analisis untuk melihat seberapa parah persoalan yang mengungkung
(UNDP) tahun 1996, misalnya menyebutkan bahwa 20% dari 1,3 miliar penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah kaum perempuan. Fakta itu tak jauh
berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, jika dilihat dari komposisi penduduk
miskin yang ada. Dilaporkan pula bahwa sekitar 67% dari total penduduk dunia
yang buta huruf (sekitar 600 juta jiwa) juga dari kalangan perempuan. Di
Indonesia sendiri, perempuan menempati sekitar 70% dari penduduk yang buta
huruf.4
2
Subordinasi adalah kedudukan bawahan, kelas kedua (perempuan) terhadap pihak yang
dominan (laki-laki). Subordinasi perempuan umumnya tercipta akibat streotipe yang dikaitkan
dengan pembagian kerja secara seksual. Akibat posisi subrodinat itu, peranan dan hasil kerja
perempuan selalu dinilai lebih rendah dengan peran dan hasil kerja laki-laki yang menempati
posisi dominan. Bustamin Basyir, “Kesetaraan Gender: Studi Atas Pemikiran Qasim Amin,”
Dalam Kusmana, ed., Islam dan Gender: Wacana dan Praktis (Buku Ajar Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 4.
3
Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan:
Bercermin Pada Shahabiyat (Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003), h. 25.
4
Sa’idah dan Khatimah, Revisi Politik Perempuan, h. 26.
Simpati ini kemudian terkristalisasi menjadi sebuah ‘kesadaran’ kolektif untuk
politik. Yang pertama adalah gerakan ‘kesadaran’ perempuan5 yang kita kenal
bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu,
harus ada upaya mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.7 Meskipun para
gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan
5
Gerakan menurut teori sosial digambarkan sebagai reaksi kolektif dari suatu kelompok
masyarakat yang tersubdordinasi. Sedangkan gerakan perempuan adalah gerakan segelintir atau
kelompok perempuan yang muncul sebagai respon terhadap situasi yang berimplikasi terhadap
ketidakadilan gender sehingga memotivasi segelintir atau sekelompok perempuan tersebut sebagai
warga negara untuk melakukan sebuah perlawanan. Lihat Tati Harminah dan Mu’min Rauf,
“Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi
Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 11-12.
6
Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan
dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga serta tingkatan sadar oleh perempuan
maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah
dan Perkembangannya”, dalam Pengantar Kajian Gender (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003), h. 86
dan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995), h. 5.
7
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 79.
8
Gender adalah sebuah istilah yang menunjukkan pembagian sosial antara laki-laki dan
perempuan dan ini mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan
oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan. Adapun dalam istilah
seks mengacu kepada perbedaan secara biologis dan anatomis antara laki-laki dan perempuan.
Lihat Asriati Jamil dan Amany Lubis, “Seks dan Gender,” dalam Pengantar Kajian Gender yang
ditulis oleh Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 54. Gender juga diartikan
sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, peran-peran tersebut berkaitan
dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta keempatan antara laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh ketentuan sosial, nilai-nilai yang berlaku, dan budaya lokal. Artinya, laki-laki dan
perempuan harus bersikap dan berperan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakatnya, dalam
Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, h. xii.
mereka.9 Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran
mendobrak sekat-sekat konstruksi sosial –yang sebenarnya dibuat oleh kaum pria–
yang menjadi penyebab utama dari ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
Akhir dari tuntutan feminisme adalah terbebasnya kaum perempuan dari berbagai
dunia politik adalah melalui teori partisipasi politik.11 Dalam teori ini, perempuan
politik atau suatu putusan kebijakan melalui lembaga-lembaga formal atau sistem
9
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 46-53.
10
Feminisme Liberal diarahkan pada perubahan/pembaharuan undang-undang dan hukum,
yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, peraturan
dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih diarahkan untuk menghilangkan
penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem pemilikan pribadi, yang ditempuh
dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor publik, sehingga perempuan menjadi
produktif (menghasilkan materi/uang). Feminisme Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan
perempuan bersumber dari system patriarki, yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan
merupakan figur dominan dalam keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme
Marxis dan Feminisme Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran
perempuan akan kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan
ekonomi. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1994), h. 55.
11
Secara umum partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan
secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan
atau loby dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah
satu gerakan sosial, dan sebagainya. Dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 367.
adalah agar semua pihak khususnya penguasa politik lebih memperhatikan
perempuan yakni bahwa perempuan dan pria memiliki hak dan kewajiban yang
kegiatan politik menjadi penting? Ada beberapa isu penting yang patut untuk
menjadi bagian dalam kehidupan perempuan. Oleh karena dunia perempuan juga
sangat kental dengan problem di atas, maka secara otomatis perempuan yang
tercatat sebagai penghuni terbanyak dalam jagad raya ini menjadi sangat
tidak segera ditangani. Tidak bisa tidak, untuk mengatasi berbagai problematika
Peranan perempuan pada ranah politik dalam konteks Indonesia telah melalui
12
M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah Panduan
Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004), h. 3.
masa ke masa, gerakan perempuan Indonesia terus melakukan kontekstualisasi
Perempuan dan politik dalam wacana keindonesiaan telah telah dimulai sejak
yang pertama, sesuai catatan orang Cina yang mengatakan bahwa pada tahun 674
Jawa Tengah). Ratu perempuan itu bernama –yang dalam dialek Cina– disebut
Ratu Hsi-Mo (Ratu Sima).13 Dan menurut kabar orang-orang Cina itu, kerajaan
yang dipimpin oleh Ratu Sima sangatlah baik dan adil. Fakta selanjutnya yang
tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan pada abad silam juga pernah mengukir
Jayawisnuwardhani sebagai raja putri dari kerajaan Majapahit pada tahun 1328.14
kaki tangannya. Pada masa ini kita mengenal keberanian Cut Nyak Dien (wafat
13
Poesponegoro D. Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
(Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984), h. 94.
14
Marwati dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, h. 433.
1908) di ujung barat pulau Indonesiam yakni Aceh. Dia dengan gagah perkasa
berperang melawan Belanda. Selain Cut Nyak Dien, kita juga mengenal Martha
Chrsitina Tiahahu (wafat 1818), Cut Meutia (wafat 1910), Nyi Ageng Serang
Ide atau pemikiran dari Barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan dan
disebarluaskan pendidikan cara Barat (ini terkait dengan politik etis16 yang
yang layak dari pemerintahan Belanda kemudian menjadi setitik asa bagi para
putra-putri bangsa untuk memberikan yang terbaik bagi tumpah darahnya, yaitu
Indonesia. Melalui media pendidikan inilah muncul keinginan untuk bisa bergerak
bebas dan menjadi tuan di rumah sendiri, berbagai macam organisasi didirikan
untuk mewujudkan impian tersebut. Pada era ini dikenal nama-nama seperti R.A
Kartini dari Jawa Tengah, Dewi Sartika (Jawa Barat), Walanda Maramis
(Sulawesi), dan Rohana Kudus (Sumatera).17 Isu utama dari pergerakan wanita
15
Sukanti Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,”
dalam T. O. Ihromi (Penyunting), Kajian Wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), h. 39.
16
Politik etis ini didorong oleh rasa hutang budi kaum penjajah kepada negeri yang
dijajahnya, karena sudah sekian lama mereka mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari tanah
jajahan tersebut. Namun, di tengah-tengah gelimang harta hasil rampasan tersebut, ternyata di
sudut yang lain, penduduk pribumi hidup dalam kemelaratan dan penuh siksaan. Dan untuk
menebus kesalahan para penjajah, pemerintahan Hindia Belanda menggulirkan politik etis, yang
diwujudkan dalam bentuk pemberian pendidikan yang layak bagi penduduk pribumi. Dalam
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 40.
17
Tita Marlita dan E. Kristi Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,”
dalam Rahayu Surtiarti Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan Indonesia dalam
Pada masa Orde Baru, perempuan lebih ditempatkan sebagai penggembira
dengan wilayah garapan yang sangat terbatas, lazim disebut wilayah domestik.
negara kelas dua, di mana haknya di batasi oleh sekat-sekat yang membuai. Dan
kini gerakan perempuan memasuki babak baru dari sekian banyak episode
perempuan telah tampil ke permukaan dengan wajah yang jauh lebih baik, di
dikatakan, –walaupun masih jauh dari sempurna– bahwa di masa kini perempuan
wajah dunia.18
internasional, hingga menjadi obrolan di tengah rakyat jelata. Mata setiap orang
Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita (Jakarta: Program
Pasca Sarjana UI, 2000), h. 84.
18
Statistik lain hasil studi Patricia Morgan bertitel "Runtuhnya Dunia Laki-laki" (1996)
menyebutkan bahwa jumlah karyawan perempuan di Amerika melonjak dari 36 persen pada awal
70-an menjadi 57 persen pada saat ini, penghasilan orang perempuan yang menjadi penopang
utama rumah tangga di Inggris mencapai angka 30 persen, sementara di Amerika terdapat 34
persen kepala keluarga berkulit putih dan 56 persen berkulit hitam tidak mampu memberikan
penghidupan kepada keluarganya secara layak. Dan laporan "New York Review" (21 Oktober
1999) menyebutkan "masa antara 1960 sampai 1996 angka perempuan yang menyandang ijazah
BA, di Amerika Serikat naik dari 38,5% menjadi 55,1%, yang berijazah Doktor dari 10,5%
menjadi 40,9%, pengacara dari 2,5% ke 43,5%, dan insinyur dari 0,4% menjadi 16,1%. (Harian
Al-Hayat, 31 Oktober 1999).
dibuat terbelalak dengan banyaknya perempuan yang merambah sektor publik.
penolakan budaya, kesalahpahaman atas tafsir teks agama, dan kalkulasi politik
belaka.
Upaya perempuan untuk melepaskan jeratan terali besi kultural kaum laki-
laki telah memasuki tahapan yang paling menentukan. Tuntutan tradisional yang
hanya sebatas menuntut kesetaraan dalam status sosial ekonomi, telah berubah
dalam bentuk kesetaraan dalam hal pengambilan keputusan stratejik dalam bidang
politik.
Undang Pemilu, di mana salah satu klausul penting yang dianggap progresif dan
pasal 65 (1). Secara lengkap pasal itu berbunyi : Setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
ini kemudian menjadi salah satu jalan bagi hadirnya perbaikan nasib perempuan
Yang perlu ditekankan adalah kaum perempuan ingin 'bermain' dalam bidang
politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang politiklah segala
kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (baca: wanita) dapat dibuat
tumbangnya rezim Orde Baru, partai politik kembali memainkan peranan penting
pemerintahan. Dari sekian banyak partai politik yang berdiri di Indonesia, di sana
19
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas, 2005), h.
42-43.
20
Ulasan lengkap mengenai kuota 30 persen dapat dilihat dalam tulisan “Kuota 30 persen
Perempuan Langkah Awal Bagi Partisipasi Perempuan di Indonesia, yang dimuat dalam Jurnal
Politik Islam No. 19, 2003.
terdapat Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan K.H. Abdurrahman Wahid
demikian dalam Mabda Siyasi partai, PKB menegaskan diri sebagai partai terbuka
dalam pengertian lintas agama, suku, ras dan lintas golongan yang
subtansial lagi adalah keterbukaan dalam sikap dan perilaku politik serta rumusan
cita-cita partai tersebut. Lebih jauh lagi PKB menempatkan diri sebagai partai
humanisme.
Pada kerangka itulah PKB menjadi partai yang banyak mengakomodir isu-
isu politik kontemporer yang tengah berkembang pada ranah politik global,
melakukan tafsir ulang terhadap nash-nash al-Qur’an dan kitab-kitab fiqh yang
wacana tafsir fiqh baru terhadap perempuan yang dilakukan intelektual muda
21
Gerakan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang dianggap mendiskriminasi
kaum perempuan di pimpin langsung oleh istri Gus Dur (Ibu Shinta Nuriah Wahid).
tafsir kaidah Fiqh Al-Nisa yang dianggap kurang memberikan keadilan bagi
perempuan. Dan terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan para penganut
paham fiqh moderat tersebut, tradisi baru ini juga menjadi pemicu menguatnya
Pada titik ini dapat kita simpulkan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa adalah
salah satu partai politik yang menyambut baik keterlibatan aktif kaum perempuan
dalam dunia politik. Hal ini ditegaskan dalam garis besar program kerja yang
ditetapkan dalam Muswil PKB Jawa Tengah, di sini sangat jelas menunjukkan
atau keadilan gender merupakan satu problem populis, yang mau tidak mau harus
besar perempuan. Dalam hal ini, PKB perlu mendorong tumbuhnya percepatan
2004, di mana calon anggota legislatif perempuan diberikan jatah 30% dan
menempati nomor urut jadi. Hal lain dari komitmen PKB terhadap perempuan
adalah ketika DPP PKB menunjuk Ida Fauziah menjadi ketua fraksi PKB di DPR,
teranyar dari PKB adalah penunjukkan Yenni Wahid menjadi pejabat teras partai
dalam Munaslub yang diadakan di Parung pada awal bulan Mei 2008, walaupun
kemudian Yenny harus rela tergusur dari jabatannya karena PKB kemudian
dilanda konflik internal, yang melibatkan kubu Gus Dur (termasuk Yenny di
skripsi. Penyusunan skripsi ini akan menelusuri geliat politik perempuan di PKB
(PKB)”.
1. Pembatasan Masalah
22
www.gp-ansor.org.
23
Konflik internal PKB bermula ketika pada Maret 2008, rapat pleno memutuskan untuk
meminta Muhaimin mengundurkan diri. Namun, Muhaimin tidak terima dengan hasil putusan
rapat pleno itu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta Selatan dan dikabulkan.
Gugatan yang diajukan oleh Muhaimin yang kemudian dikabulkan itu ditanggapi oleh Gus Dur
dengan mengajukan kasasi ke MA, namun di tolak. MA juga menolak legalitas Musyawarah Luar
Biasa (MLB) yang diselenggarakan oleh kubu Gus Dur di Parung dan MLB Ancol yang
diselenggarakan kubu Muhaimin. Hasil putusan MA mengembalikan DPP PKB hasil Muktamar
Semarang. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan Lukman Edy sebagai Sekjennya. “Konflik PKB
2008,” artikel diakses tanggal 22 Agustus 2008 dari http://www. therifqibiru.com
masalah terhadap penulisan skripsi ini agar pembahasannya lebih fokus
dan tidak terlalu melebar. Pembahasan masalah dalam skripsi ini akan
Kebangkitan Bangsa.
2. Perumusan Masalah
kepentingan-kepentingan perempuan.
hak-hak perempuan.
dan politik.
tanah air.
D. Studi Kepustakaan
wilayah politik bukanlah satu hal yang baru dilakukan. Telah banyak penelitian
yang dilakukan dalam hal ini, tentunya juga melalui ragam pendekatan atau teori.
Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri telah ada beberapa skripsi yang
skripsi yang sudah ada tersebut, penulis belum mendapati penelitian yang secara
24
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta:
Magna Script, 2004), h. 73-75.
merupakan satu hal yang fenomenal dan merupakan persoalan yang masih relevan
untuk dibicarakan.
E. Metode Penelitian
menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.25 Analisa
F. Sistematika Penulisan
Dalam pembahasan skripsi ini, agar lebih sistematis dan mudah dipahami
maka penulis menyusunnya terdiri dari lima bab dan beberapa sub bab. Yang
tersusun dari:
1. Bab 1: Pendahuluan. Bab ini merupakan pembukaan dari skripsi ini, yang
sistematika penulisan.
2. Bab 2: fokus pembahasan dalam bab ini adalah berupa kajian teori
sini adalah dalam perspektif Islam dan barat, dan sejarah keterlibatan
perempuan di Indonesia.
25
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 206.
26
Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 213.
3. Bab 3: bab ini akan banyak berbicara mengenai sikap PKB sebagai partai
4. Bab 4: bab ini adalah inti dari penelitian dalam skripsi ini, karena di sini
5. Bab 5: penutup, pada bab 5 ini penulis akan membuat sebuah kesimpulan
Salah satu agenda penting dari tiap kerangka kerja demokrasi dan good
dalamnya hak-hak partisipasi politik bagi laki-laki dan perempuan yang sama. Isu
gender kini telah menjadi isu yang mendunia. Pengembangan setiap agenda
politik yang tidak memasukkan unsur perspektif, pandangan dan pengalaman dari
pihak laki-laki dan perempuan yang akan terkena dampak dari agenda tersebut
kini tidak lagi dapat diterima. Namun, lepas dari segala upaya yang dirintis selama
masih saja belum seimbang. Padahal, kaum perempuan adalah separuh populasi
dunia, 50 persen dari total tenaga kerja, namun mereka juga adalah sekitar satu
dan penyusunan prioritas tetap saja berada di tangan kaum laki-laki. Struktur yang
dibangun masih timpang, perempuan masih cenderung dalam posisi marginal atau
penggembira saja.
politiknya ini erat kaitannya dengan proses transformasi sosial yang identik
menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih
adil, dan saling menghargai. Politik, terlepas dari segala kontrovesi di dalamnya,
adalah alat sosial yang paling memungkinkan bagi terciptanya ruang kesempatan
dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui
berbagai aksi bersama, diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan.
Politik adalah salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk
pendekatan teori. Dan di bawah ini akan dijabarkan mengenai relasi antara
A. Perspektif Islam
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Alah SWT di tanah Arab pada
dan Islam).27 Dalam tradisi bangsa-bangsa Semit, kaum lelaki selalu dianggap
sehingga menjadikan budaya patriarkal sangatlah kuat. Padahal jika ditelaah lebih
telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Jadi dapat
teks-teks keagamaan.
dalam ajaran yang bersifat ibadah (ubudiyah), bukan dalam hal pergaulan sosial
27
Wiwi Siti Sajaroh, “Gender dalam Islam,” dalam Tim Penulis Pusat Studi Kajian Wanita
(PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: PSW UIN Jakarta,
2003), h. 205.
kemasyarakatan (muamalah).28 Lebih lanjut, menurut Islam, politik (al siyasah)
kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jadi politik adalah ruang maha luas, seluas
ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik,
kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi penyebutan politik dalam
pikiran banyak orang telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik
struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan
sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang panjang.29
kelamin. Sangatlah jelas bahwa dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai
fungsi, dan eksistensi yang sama di mata Allah SWT. Dan posisi pria dan wanita
juga sama dalam bidang publik, tidak ada peraturan dalam Islam yang secara
Islam, sehingga menurutnya kaum wanita juga mempunyai tanggung jawab yang
28
Nasarrudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender …
29
Husein Muhammad, “Partisipas Politik Perempuan,” dimuat pada tanggal 14/06/2004
yang diakses dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=605.
30
Tari Siwi Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding Seminar
Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum (Jakarta: National
Democratic & Meneg Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), h. 106.
sama beratnya dengan laki-laki dalam mengatasi problematika di pemerintahan
Islam.31
melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Bahkan sebaliknya,
syarat menaati hukum syari’at Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas
manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan, dan keduanya ditakdirkan untuk
hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberi potensi yang sama dari
sisi insaniahnya, yakni berupa potensi akal dan potensi hidup (naluri dan
dalam kancah kehidupan. Keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain untuk
31
Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini (Jakarta: Lentera,
2004), h. 79-98.
32
Faiqoh, “Wanita Dalam Kultur Islam Indonesia,” dalam Azizah al-Hibri, dkk., Wanita
Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan Kesempatan (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2001), h. 259.
@ %& ?+ 6$⌧<=>
.EGH *I! $ AB! CD
@ =/5 3 N K⌧LM-.C
0STU Q ,3.R O>+P
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh
menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi
Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas
politik, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa
mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap
penguasa.33
Walaupun dalam Islam tidak ada larangan –dalam teks Al-Qur’an dan
riwayat hadits– bagi perempuan untuk menjadi seseorang kepala negara, tetapi
semasa hidup Rosulullah dan Khulafa’ur Rasyidin memang belum pernah ada
seorang perempuan yang memimpin kaum muslimin. Namun ini bukan berarti
perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, karena pada masa rasulullah
33
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 182-183.
semua urusan agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik –dalam beberapa hal
Dan menjadi satu hal yang wajar jika seluruh potensi yang dimiliki kaum
Ketiadaan pemimpin politik dari kalangan muslimah pada era Nabi dan
pemimpin negara. Hampir sebagian besar ulama klasik menjadikan dalil "Tidak
akan berjaya satu kaum jika menjadikan wanita sebagai pemimpin",34 hal ini
kehebatan Ratu Balqis yang memimpin negeri Saba’ pada masa Nabi Sulaiman.
Durr –putri keturunan Salahuddin Al Ayyubi– yang menjadi kepala negara pada
Dinasti Mamalik.
34
Hadis ini oleh kalangan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin dikategorikan
sebagai hadis umum ini yang dikhususkan untuk Maharani bernama Buran bt Kisra yang
memimpin Kerajaan Parsi pada era Nabi Muhammad.
sejarah peradaban kaum muslimin. Perempuan-perempuan muslimah sangat
tercipta karena Nabi Muhammad saw dapat digolongkan sebagai aktivis gerakan
perempuan dan menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi dengan melawan
kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain,
terhadap pemimpin negara sekali pun. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari,
batas-batasnya. Seorang wanita protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat
mereka harta yang banyak.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 20). Umar mencabut kembali
peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini
Islam sebagai sebuah ajaran agama –dalam hal muamallah– tidak membeda-
35
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama (Bandung: Mizan,
2005), h. 515.
36
Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan.
37
Muhammad Ismail Yusanto, “Peran Politik Perempuan Dalam Islam,” artikel diakses
www. hti. or. Id.
Dari pemaparan beberapa catatan sejarah dan teks hadits ini, terlihat bahwa
para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting.
Apalagi jika melihat pada latar belakang sosial mereka, yang awalnya tidak
mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran
dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam. Dengan melihat
peran para perempuan awal Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui
bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung
B. Persfektif Barat
ini, kita tidak bisa melepaskan sepenuhnya dari apa yang telah terjadi dalam
Pada bab terdahulu telah disinggung, bahwa ketika kita ingin melihat
keterlibatan perempuan dalam dunia politik maka setidaknya ada dua pendekatan
1. Teori Feminisme
kelahirannya dengan kelahiran Era Pencerahan yang melanda kawasan Eropa (The
Enlightenment),38 yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu & Marquis
sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis Sosialis utopis Charles
Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan
berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill (1869) di dataran Inggris.41
feminis gelombang pertama (first wave feminism)42 dimulai pada abad 18 sampai
38
Bersamaan pula dengan dimulainya ekspansi Kolonialisme Eropa ke berbagai belahan
dunia; baca: Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda ke Indonesia dalam kurun waktu lebih dari
tiga setengah abad; baca: abad 17/18/19).
39
Di akses pada tanggal 22-09-2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Fat_feminism"
title="Fat feminism".
40
Sebuah kota yang menjadi salah satu anggota chamber/kammers/kamar dagang VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan pada 20 Maret 1602. Kerajaan Belanda
memberikan hak monopoli untuk melaksankan kolonialisasi di Asia (baca: East Indies/Indonesia).
VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia yang mencetuskan ide stock. VOC terdiri
dari enam kamar dagang, yaitu Amsterdam, Middelburg, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi ini
dikenal sebagai Heeren XVII (the Lord Seventeen).
41
Dalam bukunya pada tahun 1869, The Subjection of Women (kitab suci kaum feminis),
Mill yang orang Inggris menghubungkan gerakan wanita dengan pemikiran liberalisme. Mill juga
berpendapat bahwa persamaan dalam hukum bagi pria dan wanita adalah syarat utama untuk
mencapai masyarakat yang adil.
42
Gelombang pertama feminisme terjadi pada saat pemasungan terhadap kebebasan
perempuan mengalami puncaknya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan. Di tahun
1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang
isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-
tahun 1830-1840, sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan
mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan
ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960,43 dan bahkan dunia
dihantam dengan gelombang susulan, yaitu timbulnya gelombang ketiga atau Post
Feminism.44
masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh
ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis
kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan
seks, sekalipun kata gender dan seks secara bahasa memang mempunyai makna
ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum
laki-laki. Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 31-32.
43
Gelombang kedua berlangsung setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan
lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang
Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.
Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut
mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis
Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di
Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis). Dalam The
Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai
maskulin. Secara lengkap dapat dilihat tulisan Judy Lattas, “Feminisme Prancis,” dalam Peter
Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 59-162.
44
Ide Posmo -menurut anggapan mereka- ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas,
gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena
penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat
bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
45
Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 5.
46
Bashin dan Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme, h. 6.
yang sama, yaitu jenis kelamin.47 Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu
sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah.
Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari
perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil,
kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang
lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu
kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan
dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut.
ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak
Dalam konteks kekinian ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB
Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu
tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan –seperti forum di
Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing
47
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia,
1990), Cetakan XVIII, h. 265 dan 517.
48
Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 11-20.
tahun 1995– maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi
Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi
Kependudukan.49
dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para
Wardah Hafizah, Gadis Arivia, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di
perempuan setara dengan laki-laki. Dan gerakan kelompok ini mendapat respon
49
Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban
Masyarakat Kontemporer, Wacana Keperempuanan Mutakhir, di Pusat Studi Islam Lembaga
Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995.
50
F. Syarifah, Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I Dzulqaidah 1416
H/April 1996. hlm. 11-16.
Gender51 dalam setiap kebijakan pemerintah. Ini dapat diartikan bahwa dalam
menjadi salah satu indikator yang dapat mengukur kemajuan dari proses yang
partisipasi politik di sebuah negara merupakan ciri khas dari modernisasi politik.
Masyarakat modern akan selalu berfikir dan aktif bergerak bagaimana ia dan juga
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
efektif.52
51
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan
Gender Dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada
tanggal 19 Desember 2000.
52
Samuel Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 5.
negara masyarakat melalui cara mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
bahwa partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak
pemerintah yang di mana keputusan itu menyangkut atau berdampak pada hidup
mereka.54
kegiatan nyata (ikut pemilu, lobi, kegiatan organisasi, mencari koneksi, tindak
kekerasan), bersifat sukarela, dilakukan oleh warga negara baik secara individu
53
Miriam Budiardjo, “Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam Miriam
Budiardjo (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998), h. 2.
54
A. A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika
Perkembangan Kajian (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 92.
55
Perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang sama.
56
Perorangan dari ras, agama, bahasa, atau gender yang sama.
57
Perorangan yang secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu sama lain.
58
Perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang
berusaha untuk meraih atau mempertahankan control atas bidang-bidang eksekutif dan legislative
pemerintahan.
59
Perorangan yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus, dan salah satu
manifestasinya adalah pengelompokan patron-klien.
1. Adanya modernisasi di semua bidang yang menyebabkan masyarakat
banyak berpartisipasi dalam politik.
2. Perubahan-perubahan struktur kelas sehingga timbul pertanyaan
mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan
politik yang mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Ide
demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum
mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi secara matang.
4. Konflik antar kelompok pemimpin politik. Bila muncul konflik antar
relit, maka yang dicari adalah rakyat.
5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Hal ini sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang
terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.60
melandasi konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat,
serta masa depan masyarakat itu dan juga untuk menentukan orang-orang yang
pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui
pemberian suara atau kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau
global, tentunya teori partisipasi politik bisa memberikan gambaran awal tentang
wilayah yang selama ini tidak pernah terjamah oleh perempuan. Dan tujuan akhir
60
Gatara dan Said, Sosiologi Politik, h. 89-90.
dari perempuan adalah memberikan tekanan kepada para pembuat keputusan dan
memperoleh pendidikan lebih tinggi serta menjadi bagian dari angkatan kerja
perempuan itu sendiri dan representasi peranan mereka yang dominan sebagai ibu
ideologis serta menguatnya perjuangan tentang hak-hak sipil, dan pada akhirnya
mendorong mereka untuk membuat suatu gerakan pembebasan yang otonom. Jadi,
gerakan partisipasi politik perempuan tidak hadir dalam keadaan terisolir namun
merupakan bagian dari suatu gerakan sosial yang menentang penindasan atas
dan kemampuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan pada tingkat
nasional dapat diukur dari dua indikator. Pertama, keikutsertaan mereka sebagai
anggota dalam lembaga DPR maupun MPR. Dan kedua, kehadiran perempuan
dalam kabinet dan dalam Eselon I sampai II dalam jajaran pegawai negeri yang
61
Sali Susiana, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan Anggota
DPR,” dalam Sali Susiana (penyunting), Perempuan Indonesia Menyongsong Abad 21 (Jakarta:
Pusat Pengkajian Pelayanan Informasi Setjen DPR-RI, 2000), h. 50-51.
Budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan, masih
Makanya, dibutuhkan sebuah usaha yang lebih strategis agar dapat mengubah
cara yang dapat dipilih adalah perempuan masuk dalam tataran kekuasaan dan
tersebut.62 Mengapa demikian? Karena kekuasaan dan legislasi adalah aspek yang
daya bagi laki-laki dan perempuan secara adil, satu-satunya jalan adalah terlibat
dalam perspektif historis. Dari fakta-fakta sejarah kita peroleh gambaran yang
itu, mereka juga telah berkiprah di berbagai bidang yang sering dianggap sebagai
domain lelaki. Sebagai contoh kecil saja, di Aceh pada lampau pernah memiliki 4
62
MB. Wijaksana, “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah Konstitusional,”
dalam Jurnal Perempuan, Edisi No. 34, Politik dan Keterwakilan Perempuan (Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan, 2004), h.84.
orang ratu (sultanah) yaitu Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah (1641),
Syah (1678), dan Sultanah Kamalatuddin Syah (1688-1699) yang berkuasa selama
60 tahun dan mereka sukses melakukan berbagai terobosan baik sosial, ekonomi,
maupun politik.63
di belahan dunia lain, yaitu bertumpu pada usaha aktualisasi diri sebagai warga
mempunyai bentuk dan arah yang bervariasi, karena pola gerakan perempuan
1. Pra kemerdekaan
Pada umumnya gerakan perempuan sebagai gerakan sosial tidak muncul tiba-
Indonesia, proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 dalam bentuk peperangan
di banyak daerah yang dipimpin langsung oleh para raja atau tokoh lain melawan
63
Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” h. 106.
64
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 39.
Pada permulaan abad ke-20 terjadi perubahan dari pola gerakan kaum
perempuan di Indonesia, karena pada waktu itu segelintir wanita Indonesia telah
mengenyam pendidikan yang lebih baik. Salah satu ikon penting dari pergerakan
perempuan Indonesia pada periode itu adalah Kartini. Keinginan Kartini –yang
lahir pada 1879– adalah membebaskan perempuan dari belenggu budaya feodal
Keinginan untuk maju itulah yang menjadi landasan bagi nasionalisme Indonesia.
berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pada era selanjutnya, Boedi Oetomo
pada tahun 191267 mendirikan Poetri Mardika sebagai sayap perempuan, dengan
harapan kaum perempuan juga turut serta dalam perjuangan. Selain itu,
perempuan mulai bergerak dalam gerakan-gerakan sosial dan agama. Pada tahun
1914 berdiri sebuah perkumpulan perempuan yang dipimpin oleh istri pendiri
Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan bernama “Sopo Tresno” (siapa suka), yang
kemudian pada tahun 1917 berganti nama menjadi “Aisyiah”. Selang berapa
lama, pada tahun 1918 Siti Fatimah mendirikan bagian Sarekat Islam di Garut, di
Yogyakarta ada Wanoedya Oetomo (Wanita Utama) pada tahun 1920, kemudian
Perempuan Islam Indonesia. Dari sekian banyak organisasi perempuan yang lahir
65
Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 83.
66
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 42.
67
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 20.
semasa ini beberapa di antaranya bersifat lokal atau kedaerahan. Organisasi
Jogjakarta (1920), “Serikat Kaoem Ibu Soematra” di Bukit Tinggi (1920), dan
lain-lain.
1914), “Penoentoen Isteri” (Bandung, 1918), “Isteri Oetomo” (Sala, 1918), dan
pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta.69 Acara tersebut dihadiri oleh tiga puluh
perkumpulan wanita, kemudian tanggal ini dikukuhkan sebagai Hari Ibu. Hasil
dari kongres tersebut sepakat melebur semua organisasi perempuan ke dalam satu
68
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22.
69
Rini Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan RI, 2001), h. 1.
pada tahun 1929 di Jakarta.70 Perserikatan Perempuan ini sampai sekarang masih
tetap eksis dengan nama Kowani sebagai hasil dari keputusan kongres pada
2. Pasca kemerdekaan
zaman, yaitu mempunyai tujuan ikut serta dalam usaha membela dan menegakkan
kemerdekaan negara. Dalam tahun-tahun ini ada kegiatan yang luar biasa, ditandai
Wanita Indonesia” (Perwani) di seluruh tanah air yang menjalankan tugas di garis
belakang dan membantu mereka yang bertempur. Di Jakarta, kota yang di bawah
perkumpulan wanita seperti biasa akan tetapi timbul karena terdorong untuk
70
Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 86.
71
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22.
Di bidang politik juga nampak kegiatan dengan didirikannya “Masyumi”
partai politik wanita yang hingga kini pernah didirikan, atas prakasa Ibu Sri
otonom tapi mempunyai hubungan kerja sama dengan Partai Kristen Indonesia.
pada waktu itu harus sebanyak mungkin mempunyai partai-partai politik yang
rakyat melalui pemilihan umum yang dapat mengemukakan segala aspirasi yang
terkandung dalam masyarakat. “Dewan Perwakilan Rakyat” yang ada pada waktu
itu ialah Komite Nasional Indonesia Pusat terbentuk dalam masa darurat yang
Ada kelompok lain dalam masyarakat yang pada masa ini menunjukkan
kegiatan berorganisasi yaitu kelompok wanita yang bekerja. Tapi yang sekarang
timbul mempunyai sifat yang berlainan yang sebagian besar dipengaruhi oleh
Pekerja Puteri Surakarta” (didirikan Juli 1945) dan “Persatuan Pegawai Puteri
mempunyai sifat khusus yaitu antara para isteri dalam lingkungan Angkatan
(1946) dan “Persatuan Isteri Polisi” (17 Agustus 1949). Mereka mengadakan
persatuan karena perasaan senasib, kala suami berjuang di medan perang, dan
keluarga yang ditinggalkan oleh ayah dan memberi pertolongan kepada mereka
kedaulatan negara diakui oleh dunia internasional dan peperangan berakhir maka
ini bidang politik meminta banyak sekali perhatian karena adanya bermacam-
72
Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita, h. 135-137.
pembentukan kabinet, wewenang presiden, dan lain sebagainya. Perhatian
masyarakat juga banyak diarahkan kepada pemilihan umum yang diadakan tahun
1955. kaum wanita merupakan juga suatu kelompok yang dapat menentukan hasil
pemilihan umum itu. Maka tidak mengherankan bahwa dalam periode ini tidak
kurang dari 6 organisasi wanita dibentuk yang merupakan bagian dari partai
politik. Di antaranya ada yang didirikan oleh anggota-anggota wanita dari suatu
partai politik, dan ada yang didirikan karena dipengaruhi oleh suatu partai politik.
Di antaranya:
“Pasundan Isteri”.
3. Era reformasi
21 Mei 1998 menjadi hari yang paling bersejarah bagi segenap bangsa
Indonesia, karena pada hari itu Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden
bagi aktifisme perempuan Indonesia yang telah lama dipinggirkan. Budaya politik
dominan yang berkembang pada masa Orde Baru, membuat eksistensi, posisi, dan
tersebut harus senang menjadi penghuni tetap dari ruang domestik wanita belaka.
yang sengaja dibuat Orde baru. Reformasi menjadi tumpuan baru untuk sejenak
untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka yang selama masa Orba hanya menjadi
73
Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita, h. 138-139.
Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan
gender (gender parity) seperti hak-hak asasi perempuan dalam perkawinan dan
partai-partai politik. Bahkan kemudian sosok perempuan itu menjadi figur sentral
74
Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik, h. 8.
oleh partai politik dengan proporsi tiga puluh persen. Dalam Pasal 65 ayat (1) UU
Pemilu, disebutkan: Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah
30 persen. Terlepas dari pro dan kontra yang melingkupi penerapan UU ini,
BAB III
Setelah hampir tiga puluh dua tahun, era tinggal landas pembangunan yang
ditetapkan Orde Baru terpaksa kandas di tengah jalan ketika badai krisis ekonomi
dan moneter menerjang kawasan Asia pada Juli tahun 1997. Di Indonesia,
peristiwa tersebut membawa dampak pada goyangnya tonggak pembangunan
ekonomi yang dipancangkan penguasa Orde Baru. Kemudian krisis mata uang
regional tersebut berujung pada kisruh politik, ekonomi dan keamanan yang
sangat hebat bagi Indonesia. Dan pada gilirannya, legitimasi Orde Baru dari sisi
pembangunan ekonomi dan stabilitas politik pun setahap demi setahap sirna.
Muara dari segala petaka tersebut berujung pada tuntutan rakyat perihal
eskalasi krisis politik yang menunjukan kekuatan reformasi dan tidak mungkin
bisa dibendung lagi. Akhirnya, tepat pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto pun
Indonesia. Dengan demikian, Indonesia memasuki suatu era transisi dari sistem
Soeharto menjadi sebuah pemantik yang dahsyat bagi demokrasi, hal inilah yang
75
Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto
(Jakarta: Reform Institute, 2007), h. 193.
dan halaqah politik yang intensif dalam kerangka menyongsong perubahan
tersebut.
warga NU –yang telah lama termarginalisasi– dalam arus perubahan yang tengah
bergerak akseleratif nyaris tak terkendali itu. Berbagai masukan, desakan dan
ragam interpretasi pun bermunculan menyikapi situasi politik nasional yang sarat
pada sebuah pilihan, yaitu tentang perlunya warga NU memiliki suatu wadah
untuk menampung aspirasi politiknya. Dalam konteks ini sebagian besar warga
perpanjangan tangan politik yang berbentuk partai politik. Hal tersebut merupakan
menentukan sikap politiknya agar tidak berakibat tidak baik bagi pengikutnya.
Kehati-hatian sikap para pengurus PBNU terjadi karena ada satu konsensus
bersama yang tidak boleh dilanggar oleh NU secara institusional. Di mana pada
dengan partai politk manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis dan
diputuskan kembali kepada khittah 1926.76 Menyaksikan sikap para pimpinan
kalangan internal kaum santri itu, khususnya pada tataran akar rumput.
Menyikapi kondisi sosial dan realitas politik yang sedang berlangsung saat
itu, PBNU tidak dapat menutup mata dan mengabaikan desakan yang begitu deras
keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi
aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh KH. Ma'ruf Amin (Rais
(Katib Aam PBNU), Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU),
H.M. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris
Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali
maka pada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 20 Juni 1998
memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, selain itu juga dibentuk Tim Asistensi
yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H.
Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma'ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz,
M.A., Drs. H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H. Lukman Saifuddin,
76
Nadhif Alawi (ed.,), Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004: Kesiapan PKB
Menjelang Pemilu 2004, (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat PKB,
2003), h. 3.
77
Diakses melalui www.dpp-pkb.org pada tanggal 26 November 2008.
Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu
Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk
partai politik baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang
Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat
1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra
Politik, Mabda' Siyasiy, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART dan
mengenai reformasi politik, antara lain adalah tentang perlunya kehidupan yang
antara lain memuat visi, misi dan strategi partai politik. Hubungan partai politik
rancangan AD/ART.79
karena tepat pada tanggal 23 Juli 1998 pukul 15:00 WIB dideklarasikanlah Partai
78
Alawi (ed.,), Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga
Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat PKB, 2003), h. 4.
79
A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), h.
186-187.
Ciganjur, Jakarta Selatan.80 Pucuk pimpinan PKB untuk kali pertama disematkan
kepada Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum PKB.81 Dalam Anggaran Dasar
mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin, materi-spritual,
dan mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, bersih dan terbuka,
Karena kata “Kebangkitan” adalah terjemahan dari kata nahdhah dalam Nahdlatul
bangsa”. Selain itu, kata “bangsa” sudah inheren dengan kehidupan kebangsaan
Indonesia dan masuk dalam lubuk hati warga NU. Dikarenakan negara Indonesia
yang sangat heterogenitas, terutama dari dimensi agama. Oleh karena itu, jika
partai yang akan didirikan memakai kata “umat”, maka konotasinya hanya umat
Islam, sementara umat yang di luar Islam tidak masuk. Akan tetapi jika memakai
kata “bangsa”, maka di sana tidak hanya orang Islam tetapi orang di luar Islam
80
Para deklarator tersebut adalah K.H. M. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa
Bisri, K.H. Muchith Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.
81
Mengenai proses terpilihnya Matori Abdul Djalil dapat dilihat dalam Y. B. Sudarmanto,
dkk, H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Grasindo, 1999), h. 3-
18.
82
Bahrul 'Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi” (Yogyakarta: Ar-Ruz Press, 2002),
h. 135.
Dengan demikian telah lahir sebuah partai politik yang mewadahi
kehidupan politik. Salah satu karakter demokrasi adalah terbukanya ruang untuk
memunculkan konflik, namun hal itu bukan sesuatu yang tabu dalam demokrasi.
Dalam kerangka itu, konflik menjadi bagian dari proses untuk memperoleh hasil
organisasi. Namun, konflik akan menjadi hal yang kontraproduktif jika lebih
sesaat lainnya. Dalam sisi ini, konflik justru membuat organisasi menjadi kerdil
dan tidak berkembang. Energi para aktivisnya akan lebih banyak tersita untuk
Konflik internal partai politik bukan sesuatu yang baru dalam sejarah
sumber kekuasaan menjadi bagian dari konflik. Setidaknya, ada tiga elemen
kekuasaan yaitu: authority, influence dan force yang menjadi media atau ruang
konflik. Kepentingan yang berbeda dan saling bertentangan di antara individu atau
aktor politik dapat menjadi pemicu konflik. Hampir semua konflik internal partai
berawal dari pertarungan dalam perebutan kepemimpinan dalam partai. Imbas
Konflik internal PKB menjadi bagian dari hal tersebut, di mana dalam
konflik internal PKB. Partai Kebangkitan Bangsa dapat dikatakan dalam proses
normal dan damai. Diawali dari perpecahan yang terjadi antara Matori Abdul
Gus Dur dalam Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta pada 2002, MLB ini
kemudian memilih Alwi Shihab sebagai pimpinan teranyar PKB versi MLB
Yogyakarta.
Ternyata konflik dengan internal PKB pada era Matori Abdul Djalil
bukanlah konflik yang pertama dan terakhir, karena setelah persitiwa tersebut
konflik dengan Matori Gus Dur kembali “pecah kongsi” dengan Alwi Shihab,
yang kemudian mendirikan PKNU bersama sejumlah Kyai Langitan. PKB seperti
telah ditakdirkan untuk berkembang dalam situasi konflik internal, karena awan
Kali ini yang menjadi sasaran tembak adalah kubu Choirul Anam yang menyusun
struktur kepengurusan sendiri, di mana yang Ketua Dewan Syuro adalah K.H.
83
Matori di sinyalir mendukung pemberhentian Gus Dur sebagai presiden RI ketika terjadi
gejolak politik kekuasaan di parlemen pada tahun 2001. Gonjang-ganjing politik nasional waktu
itu menaikkan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur, dan Matori
di tuduh telah membelot ke kubu Megawati. Alasan inilah yang memicu konflik internal PKB
untuk pertama kali.
Abdurahman Chudlori dan Ketua Dewan Tanfidz dijabat Drs. Choirul Anam.
Dewan Tanfidz dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Dewan Syuro. Namun
seperti telah diduga bahwa konflik ini kembali dimenangkan kubu Gus Dur.84
Di saat-saat semua partai politik tertuju pada perhelatan akbar pemilu yang
akan digelar paruh pertama 2009, PKB kembali harus menelan pil pahit politik
yang disebabkan oleh dualisme kepemimpinan. Krisis yang menerpa PKB kali ini
melibatkan Gus Dur dengan Muhaimain Iskandar. Muhaimin dipecat oleh Rapat
Pleno PKB yang dihadiri Dewan Tanfidz dan Dewan Syuro tertanggal 26 Maret
2008. Pemecatan ini berakibat fatal bagi keberlansungan soliditas PKB, karena
ada kepengurusan ganda yang masih mengklaim bahwa partainya lah yang paling
sah. Dan di luar dugaan, karena PKB kubu Gus Dur dikalahkan melalui proses
hukum. Akhirnya Gus Dur pun harus gigit jari, karena PKB-nya tidak
84
Putusan Kasasi MA No. 02/K/Parpol/2006 Tanggal 7 September 2006 yang
mengukuhkan Putusan PN Jakarta Selatan No. 1445/PDT.G/2005/PN.JAKSEL, tanggal 5 Juni
2006 merupakan keputusan final yang secara tegas menyatakan bahwa PKB yang sah di mata
hukum, aturan perundangan dan kepartaian adalah PKB dibawah kepengurusan KH Abdurrahman
Wahid dan Drs. Muhaimin Iskandar, MSi. Putusan hukum itu kemudian ditindaklanjuti oleh Surat
Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) No. M.14-UM.06.08 Tahun 2006 tanggal
11 September 2006 yang berisi pencabutan SK Menkumham No M-11.UM.06.08 Tahun 2005
tentang pendaftaran DPP PKB dibawah kepemimpinan Ketua Dewan Syuro KH Abdurahman
Chudlori dan Ketua Dewan Tanfidz Drs. Choirul Anam.
karakter dan garis perjuangan tempat di mana Partai ini dilahirkan. Sebagai
Bagi Partai kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa yang dicitakan itu
hati nurani (al-Sidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji, mampu memecahkan
bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘Adalah), tolong menolong
Kebangkitan Bangsa (PKB) telah menetapkan pandangan dan sikap politik yang
Bangsa bertumpu pada nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi dan dipadukan oleh
85
Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa diakses dari www.dpp-pkb.org
kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan, kejujuran, persamaan,
demokratis, dan egaliter, dimana seluruh warga negara memiliki peluang yang
Di awal abad ke-21, ada gejala bahwa lebih dari 95 persen negara di dunia
telah menjamin dua hak demokratis perempuan yang paling mendasar, yaitu hak
memilih dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan.86 Sesuai dengan teori
demokrasi yang universal, hak untuk menjadi kandidat, dan melakukan pemilihan,
merupakan hak yang perhlu diadakan dan dilandaskan pada hak sebagai warga
dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang
86
Ada data yang menungkap bahwa “Negeri Kiwi” Selandia Baru adalah negara pertama
yang memberikan hak suara kepada perempuan, tepatnya pada tahun 1893; selain itu ada pula
negeri Finlandia, menjadi negara pertama yang mengadopsi kedua hak demokratis mendasar
tersebut, yaitu sejak tahun 1906. lihat Syafuan Rozi, “Mengurangi Dampak Buruk Dominasi
Patriarki dalam Politik di Indonesia,” dalam Anilisis CSIS No. 3 Tahun XXXII/2003, h. 361.
87
Wijaksana, “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah Konstitusional,” h.83.
dalam pembuatan kebijakan publik. Suatu kesadaran baru yang merupakan
Salah satu hak yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi
Manusia Nomor 39 Tahun 199988 adalah hak untuk turut serta dalam
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan
pemerintahan.
Berbagai hak ini berlaku untuk warga negara Indonesia secara umum tanpa
memandang suku, agama, ras, golongan, termasuk pula jenis kelamin. Oleh
karena itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk turut
perempuan untuk bisa berkiprah pada ranah publik secara lebih luas, karena pada
penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persaman derajat,
dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi
88
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999.
89
Departemen Hukum dan HAM RI. Modul Instrumen HAM Nasional Hak Turut Serta
dalam Pemerintahan (Jakarta : Sentra HAM Fakultas Hukum UI, 2004).
pengambilan keputusan. Dalam sistem demokrasi, kesetaraan antara laki-laki dan
Dengan latar belakang itulah kemudian kita saksikan pada saat ini, sudah
banyak perempuan yang melakukan ekspansi karir, termasuk juga dalam wilayah-
Indonesia diwarnai dengan era multi partai. Pada konteks ini, partai politik
merupakan salah satu elemen penting dalam setiap proses berbangsa dan
bernegara. Partai politik menjadi alat yang sah bagi rakyat untuk menempatkan
mana segala regulasi yang akan diberlakukan dalam masyarakat pasti melalui
Indonesia. Salah satu partai yang cukup memberikan perhatian besar terhadap
terhadap isu-isu mengenai hak-hak perempuan. PKB yang dihuni oleh warga
(tafsir ayat al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab kuning) yang selama ini menjadi
dimaksudkan agar teks-teks agama menjadi lebih sesuai dengan kondisi realitas
yang tengah berkembang, dan yang terpenting tidak lagi memojokkan posisi kaum
perempuan. Gerakan penafsiran ini di komandoi secara langsung oleh isteri Gus
Di bawah ini akan kita lihat bagaimana respon PKB terhadap beberapa
persoalan perempuan dan apa yang telah dilakukan PKB dalam mengoptimalkan
Satu yang tidak pernah berubah dalam tubuh PKB –walaupun harus selalu
terlibat konflik internal– adalah mereka tetap menaruh perhatian serius terhadap
persoalan yang dihadapi perempuan. Sikap yang diambil partai politik bentukan
nahdhiyin yang merupakan basis utama dari konstituen PKB, juga bersikap
nampak pada saat Munas Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar pada bulan
90
Berita dalam koran Pelita tanggal 20 feb 1999 “Isteri Gusdur Siapkan 'Kitab Kuning' Pro
Perempuan” dalam kliping yang dikumpulkan Pusat Data Kliping LIPI periode Januari-Desember
1999 dengan topik Masalah Perempuan.
Munas tersebut NU menelurkan fatwa perihal dibolehkannya perempuan menjadi
pemimpin.91
NU dari Perancis, bisa direfleksikan sebagai hasil dari negosiasi alot antara aktivis
perempuan muda NU dengan dukungan kiai muda progresif yang cukup fasih
dengan isu jender vis a vis dengan para kiai sepuh yang menolak keberadaan
Bila kita melihat perjalanan politik perempuan NU, sebetulnya tanpa fatwa
tersebut pun sejak tahun 1955 perempuan NU sudah terlibat aktif dalam politik
nasional. Cora Vreede- De Stuer mencatat bahwa dalam parlemen pertama, dari
91
Yuniyanti Chuzaifah, “Gerakan Perempuan Progresif NU dan Perebutan Wacana,”
KOMPAS, 22 Juni 2004.
Fenomena di atas kemudian –paling tidak dapat– memberikan jawaban
mengapa PKB sejak awal pendiriannya, menjadi partai politik yang paling
progresif dalam hal permasalahan kesetaraan gender. Anggapan ini terbukti ketika
perempuan, PKB telah lebih dahulu membahas hal tersebut pada Muktamar Luar
Biasa di Yogyakarta tahun 2001. Di mana secara eksplisit PKB telah menetapkan
bahwa di setiap kepengurusan dari tingkat pusat sampai dengan daerah wajib
nanti itu sekitar 20% perempuan.93 Lalu di platform partai juga memasukkan
potensi yang selama ini belum mendapat tempat secara proporsional adalah
2005 diputuskan bahwa mulai dari tingkat pusat, tim musyawarah pada tingkat
provinsi, tingkat cabang selalu menempatkan satu orang perempuan dalam lima
92
Wawancara pribadi dengan ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI PKB, yang
dilakukan pada tanggal 8-11-2008 di kediamannya.
93
Namun dalam perkembangan yang terjadi di Indonesia, kemudian usulan kuota
ditetapkan menjadi 30 persen.
anggota tim formatur yang bertugas menyeleksi ketua dewan syuro, Ketua
Tanfidz.94
Dalam aturan dasar kelembagaan organisasi politik seperti visi, misi, tujuan
dan platform, masih belum banyak organisasi politik yang secara implisit
Demokrat, PPP hanya PKB dan PDIP yang menyebutkan secara jelas dalam visi
dan platform tentang gender. Pada visi, misi, tujuan dan platform Partai Persatuan
Pembangunan dan Golkar tidak didapat istilah gender, akan tetapi dalam wawasan
kelompok. Pada jati diri partai Demokrat dijelaskan “sebagai partai terbuka untuk
bias gender. PKB dalam setiap Muktamar yang diadakan selalu mencantumkan
Bangsa) atau unsur harian PKB itu sendiri, dan dalam pembahasannya perempuan
94
Diakses dari www.sinarharapan.co.id.htm pada tanggal 25-11-2008.
95
Diakses dari www.damandiri.or.id pada tanggal 25-11-2008.
96
Diakses www.damandiri.or.id pada tanggal 25-11-2008.
terkungkung dalam peran domestik dan sulit untuk berpartisipasi dalam
internasional yang menetapkan hak perempuan dan anak, agenda penegakan hak
perempuan dan diatur dalam regulasi legal (AD/ART) dari sebuah partai politik
karena sumber utama dari perekrutan anggota parlemen adalah melalui partai
politik. Oleh karena itu PKB mencoba membenahi persoalan tersebut dimulai dari
diberlakukan tidak bisa dipenuhi hanya karena alasan partai politik tidak siap. Jadi
ketika DPR mengesahkan UU Pemilu tahun 2002 mengenai Kuota 30 persen bagi
perempuan, PKB menjadi partai yang paling siap menyambut isu tersebut karena
budaya.
sehingga korban menjadi tahu peluang dan alternatif solusi yang dapat
dilihat dalam nominasi caleg perempuan PKB pada pemilu 2004, di mana jumlah
total caleg untuk DPR: 29,7 %. Dengan kompisisi perempuan sebanyak 140
(29,7%) dan laki-laki 331 (72 %) dari total 531. Sedangkan dari jumlah caleg
perempuan untuk DPR yang berada pada urutan potensi jadi (urut 1 dan 2) adalah
16,4% (23 orang dari 140 yang di calonkan).101 Dapat pula ditambahkan bahwa
101
Data diperoleh dari Kompas, 12 Januari 2004, hal 36:1-9.
caleg perempuan PKB masuk dalam nominasi perempuan berkualitas yang dirilis
oleh CETRO.102
bawah Departemen Wanita, organisasi ini bersifat semi otonom. Latar belakang
perempuan masih lemah sehingga perlu media berorganisasi. Visi dan misi
demokratis, adil, dan makmur serta mewujudkan tatanan sosial dan politik
kesadaran politik dan hukum di kalangan perempuan untuk melaksanakan hak dan
perempuan.
terakomodasi oleh partai, maka perlu ada organisasi perempuan sebagai sarana
102
Pada pemilu 2004 Cetro merilis 25 daftar nama caleg berkualitas yang salah satunya
adalah ibu Badriyah Fayumi. Di peroleh dari Kompas, 15 Maret 2004, hal 41:1-7.
terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini PPKB sebagai sarana untuk
dan advokasi perempuan, memperluas jaringan PPKB hingga ke daerah, dan juga
dari sebuah pemahaman dan keresahan yang menjadi gejala umum dari bangsa
sebuah fakta yang harus diapresiasi secara memadai oleh kita semua.
menjadi sebab utama bagi perempuan untuk menemukan cara-cara yang lebih
sebagai partisipasi sejajar seluruh komponen warga negara hanya terwujud ketika
dominasi dan subordinasi antar individu atau antar kelompok terhapus. Pada titik
103
Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 28-33.
104
Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 63.
inilah kemudian tuntutan keterwakilan politik perempuan harus diposisikan,
karena tuntutan tersebut merupakan hak asasi dari seorang manusia. Dan porsi
Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan
yang bersifat wajib atau sukarela. Saat ini, salah satu upaya yang dianggap paling
adalah lewat affirmative action. Salah satu tindakan affirmative action adalah
dengan penetapan sistem kuota. Dengan sistem kuota diharapkan nantinya posisi
perempuan akan lebih terwakili.106 Kuota juga dianggap sebagai instrumen yang
lompatan kualitatif ke suatu kebijakan mengenai cara dan tujuan yang pasti.
Karena efisiennya yang relatif, besar harapan akan terjadinya peningkatan yang
105
Affirmative Action adalah aksi mendukung sebagai tindakan khusus yang bersifat
sementara, tindakan ini diambil sebagai taktik pilihan untuk mempercepat proses keterwakilan
perempuan dalam lembaga pengambil kebijakan.
106
Budi Shanti, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,” dalam
Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di mana? (Jakarta: YJP, edisi No. 19,
2001), h. 23.
107
M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik, h. 3.
108
Drude Dahlerup, “Menggunakan Kuota Untuk Meningkatkan Representasi Politik
Perempuan,” dalam Azza Karam, dkk., Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan
Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999), h. 85.
Kuota adalah penetapan sejumlah tertentu atau persentase dari sebuah
(critical minority) terdiri dari 30 atau 40 persen.109 Ide inti dari sistem kuota
adalah merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan
merupakan satu jumlah tertentu atau persentase dari anggota suatu badan; apakah
Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik itu harus secara nyata
perempuan dalam parlemen sebesar 30 persen telah menjadi isu hangat sesaat
setelah tumbangnya Soeharto pada tahun 1998. Isu kuota yang pada awalnya
bola salju karena mendapat sambutan dari pihak partai politik dan juga
2001). Salah satu partai yang memberikan perhatian serius pada persoalan
109
Di Indonesia angka 30 persen diyakini sebagai “angka kritis” (critical number) yang
harus dicapai untuk memungkinkan terjadinya sebuah perubahan. Angka 30 persen menunjukkan
“massa kritis” yang akan memberikan dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam
lembaga-lembaga publik. Jumlah 30 persen ditetapkan untuk menghindari dominasi dari salah satu
jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. Dengan kata
lain jumlah keterwakilan laki-laki dan perempuan tidak boleh lebih dari 70 persen.
110
M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik, h. 8.
111
Hilmatul Aliyah, Politik Perempuan: Dari Asumsi Hingga Aksi
perempuan khususnya keterwakilan politik perempuan adalah Partai Kebangkitan
Bangsa.
kuota perempuan di DPR. Ihwal kuota tersebut terdapat pada Pasal 65 ayat (1).
Ayat tersebut selengkapnya berbunyi: Setiap partai politik peserta pemilu dapat
sekurang-kurangnya 30 persen.
karena jauh sebelum paripurna DPR mengesahkan klausul kuota tersebut, PKB
termasuk politik pada tataran yang lebih implementatif. Seperti diungkap oleh
Badriyah Fayumi, bahwa hal ini secara eksplisit terdokumentasi dengan baik
setiap kepengurusan dari tingkat pusat sampai dengan daerah wajib menyertakan
112
Fraksi PKB, Golkar, dan PPP merupakan tiga fraksi yang mempunyai andil besar
menggolkan kuota tersebut (Media Indonesia, 19/2/2003).
keterwakilan perempuan sebanyak 20 persen.113 Dan dalam setiap pembentukan
tim formatur yang terdiri dari lima orang maka perempuan harus selalu menjadi
bagian dari tim fromatur tersebut, setidaknya satu dari lima orang.114
berlangsung, media massa mengekspose bahwa hanya fraksi PKB dan Golkar
yang berkomitmen terhadap persoalan 30 persen. Hal ini terungkap ketika Daftar
Isian Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi masuk ke pansus sebagai masukan bagi
pansus yang akan membahas RUU Parpol dan RUU Pemilu. Hanya PKB yang
sungguh-sungguh mewujudkan janji mereka dalam DIM RUU Parpol. Dalam Bab
V tentang Fungsi, Hak dan Kewajiban, Pasal 6f tentang, rekrutmen politik dalam
perempuan. Catatan untuk DIM itu, 52 persen pemilih adalah perempuan dan
kuota ini.115
perempuan dalam parlemen juga tercermin dalam komposisi caleg yang akan
diusung pada pemilu 2009. Sekitar sepertiga atau 35 persen calon anggota
Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Nomor jadi yang dimaksud Muhaimin
Fauziah, Nursyahbani Katjasungkana dan Lily Khadijah Wahid. Dari 498 caleg
dibanding partai lain. Di kepengurusan DPP PKB, pengurus terasnya juga banyak
membedakan jender untuk duduk di jabatan apa pun. Terpenting kualitas," kata
wakil ketua DPR RI tersebut. Fenomena tersebut ditanggapi positif oleh anggota
DPR-RI fraksi PKB Ida Fauziyah. Beliau berharap ke depan tidak hanya kuota
persen.116
bersifat massif dan sistematis, tentunya dengan melibatkan semua pihak. Baik itu
116
Berita ini dimuat dalam antara news, dengan judul berita “Sepertiga Caleg Perempuan
PKB Nomor Jadi” di muat pada tanggal 18-09-08 pukul 21:28 oleh penulis berita ini diakses dari
www.antara.co.id.
segelintir perempuan PKB hendaknya dijadikan pemicu untuk menghadirkan
Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor
peserta pemilu. Ini berarti bahwa tiap partai politik yang ingin ikut serta dalam
adanya kuota ini diharapkan dapat meningkatkan peranan perempuan dalam dunia
poltik dan pemerintahan, terutama dalam kaitannya dengan hak turut serta dalam
pemerintahan.
dalam memperjuangkan nasib ratusan juta nasib perempuan di negeri ini. Karena
117
Meyrinda Rahmawati Hilipito, “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Melalui Undang-Undang Politik di Era Reformasi,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2007), hlm. 4-5.
118
Nur Widyastanti, “Kedudukan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan dalam Tatanan
Konsep Demokrasi di Indonesia,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005),
hlm. 93-94.
tersendiri dalam menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Keputusan-
keputusan yang selama ini diambil oleh DPR seringkali tidak berpihak pada
umum (pemilu) pertama 1955 sampai pemilu 1999, persentase perempuan yang
terpilih untuk duduk di DPR tidak pernah lebih dari 13 persen (periode 1987-
1992).119
partisipasi politik perempuan. Isu ini mulai dibahas secara formal dalam Kongres
Perempuan ke V di Bandung pada bulan Juli tahun 1938 mengenai perlunya hak
menyadari bahwa pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi,
119
Wahidah Zein Br Siregar, “Implementasi Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004,”
Makalah disampaikan pada diskusi NU-NIHON tentang Peran Serta Wanita dalam Dunia Politik,
9 Juli 2006.
120
Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia dan
The Asia Foundation. Tindakan Khusus Sementara Menjamin Keterwakilan Perempuan (Jakarta:
Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, 2002), hlm.
14.
terlihat di tabel berikut, perempuan hanya menempati 9 persen dari 500 kursi di
Tabel 1
Jumlah Perempuan di DPR RI (1950-2004)
Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa dari 24 partai politik peserta pemilu,
terbanyak (127 dari 550 jumlah total kursi DPR RI). Selanjutnya hanya 7 partai
yang akan diperbolehkan untuk mengikuti pemilu 2009. Sementara itu, seperti
Kenyataannya hanya ada 62 orang perempuan diantara 550 orang total anggota
121
Siregar, loc. cit.
Tabel 2
Jumlah Anggota DPR RI Laki-laki dan Perempuan pada Periode 2004-2009 Berdasarkan Partai Politik
PKB yang duduk di DPR seperti tertera di tabel tidak terlalu berbeda jauh dengan
yang terdapat di partai-partai politik lain, bahkan di bawah dari jumlah perempuan
Partai Golkar. Namun jika berbicara kualitas anggota legislatif dari kalangan
dibandingkan dengan anggota legislatif dari partai politik lain. Alasan utamanya
kunci dalam setiap struktur fraksi atau komisi yang dibentuk PKB dalam
parlemen.
kendala tersendiri bagi upaya perbaikan nasib perempuan Indonesia. Aung San
Suu Kyi mengemukakan kendala pokok dari perempuan dalam memasuki dunia
dalam rangka membawa perubahan yang lebih baik bagi wanita Indonesia.
122
Budi Shanti, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,” dalam
Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di Mana?” edisi no. 19 (Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan, 2001), h. 19
jarang tampil dalam pergulatan strategis di DPR, para politisi perempuan PKB
telah bermanuver dengan sangat cantik pada setiap lika-liku politik parlemen.
Sebut saja misalkan pada akhir Juni 2007, DPP Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) mereposisi pimpinan fraksi. Dalam pergantian itu, PKB ingin mempertegas
PKB kembali menempatkan perempuan di jajaran elite fraksi. Dia adalah Anisah
Mahfud, yang saat ini menduduki posisi sekretaris FKB. Anisah mendampingi
Ketua FKB yang baru, Effendy Choirie. Saat ini, Anisah merupakan satu-satunya
juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi dan Nur Syahbani menjabat wakil
ketua baleg.
Sekretaris Jenderal dan Badriyah Fayumi menjabat wakil sekretaris Dewan Syuro.
Pada titik ini PKB telah menjadi partai yang paling progresif dalam hal
perempuan PKB sangat memiliki peranan yang besar dalam arah pengambilan
kebijakan partai. Dan dalam kondisi seperti ini, perjuangan kaum perempuan tidak
lagi hanya menjadi retorika tetapi menjadi sebuah fakta yang tidak bisa ditutupi.
harus sedikit ternoda akibat dari perilaku para elit politik PKB yang sangat senang
123
Dalam berita yang dimuat dalam situs www.gp-ansor.org dengan judul “Anisah Mahfud,
Sosok Sekretaris FKB DPR Yang Baru” di muat pada tanggal 10 Juli 2007.
berkonflik. Formasi perlawanan perempuan di PKB harus hancur berantakan
dihantam badai politik yang berasal dari dalam tubuh partainya sendiri. Konflik
internal yang terus menghantui PKB saat ini diakui oleh Badriah Fayumi memiliki
PKB.124 Setidaknya masalah itu muncul ketika penetapan daftar nama caleg PKB
versi konflik, karena menurutnya banyak nama yang keluar dalam daftar caleg
perempuan PKB belum memenuhi aspek kapabilitas dan kualitas yang teruji. Di
mana dalam proses rekrutmen caleg terkesan “asal ambil” dan berbau nepotisme.
Sehingga sudah dapat diprediksi bahwa ke depan politik tanah air akan kehilangan
Bangsa.125
melangkah. Mereka akan turut berperan aktif dalam proses perbaikan di negeri ini,
124
Wawancara pribadi dengan Badriyah Fayumi.
125
Dari delapan nama yang saat ini duduk di DPR (Nur Syahbani, Ida Fauziyah, Badriyah
Fayumi, Anisah Mahfudz, Khofifah Indar Parawansa, Saidah Sakwan, Mariah Ulfah, Muawanah)
empat (Khofifah, Badriyah, Anisah, dan Saidah Sakwan) diantaranya tidak lagi mencalonkan diri
menjadi anggota DPR, sedangkan dari empat yang naik hanya dua (Ida Fauziyah dan Nur
Syahbani) yang menjadi nomer urut 1. Belum lagi kader perempuan di daerah yang dicalonkan
menjadi anggota DPR karena alasan konflik internal.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bangsa (PPKB).
undang-undang.
B. Saran-Saran
Sebagai penulis yang mencoba berdiri pada posisi akademis dan objektif
maka dengan ini penulis mencoba memberikan saran-saran atau masukan kepada
Akhirnya penulis hanya berharap, agar skripsi ini benar-benar hadir dalam
nuansa akademis, sehingga semua yang telah penulis susun dalam skripsi ini tidak
akan pernah luput dari sebuah kesalahan. Semoga ke depan akan hadir karya-
Alawi, Nadhif, ed., Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004: Kesiapan PKB
Menjelang Pemilu 2004, Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan
Pengurus Pusat PKB, 2003.
Amalia, Euis. “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya”, dalam
Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Beilharz, Peter, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Budiardjo, Miriam. “Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam
Miriam Budiardjo (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah
Bunga Rampai Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
________________. Dasar-Dasar Ilmiu Politik, Jakarata: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007.
Choirie, A. Effendy, PKB Politik Jalan Tengah NU Jakarta: Pustaka Ciganjur,
2002.
Dahlerup, Drudem “Menggunakan Kuota Untuk Meningkatkan Representasi
Politik Perempuan,” dalam Azza Karam, dkk., Perempuan di Parlemen:
Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 1999.
Departemen Hukum dan HAM RI. Modul Instrumen HAM Nasional Hak Turut
Serta dalam Pemerintahan Jakarta : Sentra HAM Fakultas Hukum UI, 2004.
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1994.
Faiqoh. “Wanita Dalam Kultur Islam Indonesia,” dalam Azizah al-Hibri, dkk.,
Wanita Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan
Kesempatan Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
_____________. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Felsky, Rita. “Feminisme Amerika dan Inggris,” dalam Peter Beilharz, ed., Teori-
Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hilipito, Meyrinda Rahmawati, “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di
Parlemen Melalui Undang-Undang Politik di Era Reformasi,” Tesis Magister
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan
Kontemporer Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi
Jakarta: Teraju, 2004).
Iswahjuni, dan Wasiaturahma, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan
dalam parpol studi wacana dan observasi kegiatan organisasi perempuan
pada 5 partai politik di surabaya, Surabaya: Lembaga penelitian airlangga,
2002.
Khan, Nighat Said dan Kamla Bashin. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Khomeini, Imam. Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini Jakarta:
Lentera, 2004.
Lane, Max, Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto Jakarta: Reform Institute, 2007.
Lubis, Amany dan Asriati Jamil .Seks dan Gender dalam Pengantar Kajian
Gender yang ditulis oleh Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam
Peradaban Masyarakat Kontemporer, Wacana Keperempuanan Mutakhir, di
Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 14 Desember 1995.
Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama, Bandung:
Mizan, 2005.
Najmah Sa’idah dan Husnul Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan:
Bercermin Pada Shahabiyat (Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003.
Nelson, Joan M. dan Samuel Huntington Partisipasi Politik di Negara
Berkembang Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro D. Marwati. Sejarah Nasional
Indonesia Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984.
Poerwandari, E. Kristi dan Tita Marlita. “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-
1965,” dalam Rahayu Surtiarti Hidayat dan E. Kristi Poerwandari,
Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun
Program Studi Kajian Wanita Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2000.
Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan
Indonesia dan The Asia Foundation. Tindakan Khusus Sementara Menjamin
Keterwakilan Perempuan Jakarta: Pokja Advokasi Kebijakan Publik
Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, 2002.
Rauf, Mu’min dan Tati Harminah. “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,”
dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Rini Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan RI, 2001.
Rozi, Syafuan, “Mengurangi Dampak Buruk Dominasi Patriarki dalam Politik di
Indonesia,” dalam Anilisis CSIS No. 3 Tahun XXXII/2003.
Said, Moh. Dzulkiah, dan A. A. Said Gatara. Sosiologi Politik: Konsep dan
Dinamika Perkembangan Kajian Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.
Sajaroh, Wiwi Siti. “Gender dalam Islam,” dalam Tim Penulis Pusat Studi Kajian
Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender
Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003.
Setiawan, Bambang, ed., Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program
2004-2009 Jakarta: Kompas, 2004.
Shadily, Hassan dan John M. Echols. Kamus Inggris Indonesia Jakarta: PT
Gramedia, 1990.
Shanti, Budi, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,”
dalam Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di mana?
Jakarta: YJP, edisi No. 19, 2001.
Siregar, Wahidah Zein Br, “Implementasi Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004,”
Makalah disampaikan pada diskusi NU-NIHON tentang Peran Serta Wanita
dalam Dunia Politik, 9 Juli 2006.
Soetjipto, Ani Widyani. Politik Perempuan Bukan Gerhana Jakarta: Kompas,
2005.
Sudarmanto, Y. B. dkk, H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan
Bangsa, Jakarta: Grasindo, 1999.
Suryochondro, Sukanti. “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di
Indonesia,” dalam T. O. Ihromi (Penyunting), Kajian Wanita dalam
Pembangunan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Susiana, Sali. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan
Anggota DPR,” dalam Sali Susianan (penyunting), Perempuan Indonesia
Menyongsong Abad 21, Jakarta: Pusat Pengkajian Pelayanan Informasi
Setjen DPR-RI, 2000.
Syarifah, F., Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I
Dzulqaidah 1416 H/April 1996.
Ulum, Bahrul, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi” Yogyakarta: Ar-Ruz Press,
2002.
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999.
Utami, Tari Siwi. “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding
Seminar Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan
Umum, Jakarta: National Democratic & Meneg Pemberdayaan Perempuan
RI, 2001.
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi
Jakarta: Magna Script, 2004.
Widyastanti, Nur, “Kedudukan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan dalam
Tatanan Konsep Demokrasi di Indonesia,” Tesis Magister Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Wijaksana, M. B. (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah
Panduan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan, 2004.
Wijaksana, MB. “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah
Konstitusional,” dalam Jurnal Perempuan, Edisi No. 34, Politik dan
Keterwakilan Perempuan Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004.