Anda di halaman 1dari 97

PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM

PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)

Oleh

YULITA
NIM. 204033203123

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 18 Desember 2008

Yulita
PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM
PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos.)

Oleh

Yulita
NIM. 204033203123

Di Bawah Bimbingan

Dr. Shobahussurur, MA
NIP. 150 289 244

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/ 2008 M
Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul “PERAN POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI


KEBANGKITAN BANGSA”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2008. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran
Politik Islam.
Jakarta, 18 Desember 2008

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A


NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120

Anggota,
Penguji I, Penguji II,

Drs. Agus Nugraha, M. Si Dr. Masri Mansoer, M.A


NIP. 150 299 478 NIP. 150 244 493

Pembimbing,

Dr. Shobahussurur, M.A


NIP. 150 289 244
ABSTRAKSI

Penindasan terhadap kaum perempuan mungkin sama tuanya dengan

sejarah kehidupan umat manusia, hingga kini perempuan di banyak tempat

senantiasa berada posisi marginal. Kondisi tersebut terbangun oleh sebab faktor

sosial, kultur, politik, regulasi dan kesalahpahaman terhadap doktrin agama.

Dalam konteks Indonesia, kultur patriarki yang melekat erat dalam mindset rakyat

Indonesia membuat langkah perempuan untuk turut serta dalam ranah publik

mengalami banyak tantangan dan cibiran dari banyak kalangan.

Tebalnya tembok penghalang yang menyekat kaum perempuan tidak

menjadikan gerakan perempuan kemudian menjadi mati suri, persoalan di atas

coba dijawab dengan aksi nyata perempuan dalam dalam membangun bangsa.

Mereka dalam beberapa hal mampu menjawab persoalan yang hadir dalam

masyarakat, seperti yang dilakukan oleh kalangan lembaga swadaya masyarakat,

organisasi sosial keagamaan (NU dan Muhamaddiyah) dan beberapa partai

politik.

Partai Kebangkitan Bangsa sebagai partai yang berbasis massa

tradisionalis merespon gerakan perempuan dengan menempatkan para aktifis

perempuan dalam struktur kepartaian dan posisi strategis dalam pengambilan

keputusan baik di partai ataupun di parlemen. Dalam banyak hal perempuan di

PKB menunjukkan bahwa wanita mampu mengungguli peranan kaum laki-laki

sekaligus seolah-olah mereka hendak menganulir asumsi sosial yang meremehkan

kaum wanita.
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang tak henti-hentinya

memberikan kita karunia kenikmatan, baik nikmat iman maupun Islam. Dan

sungguh, hanya dengan segala rahmat dan pertolongan-Nya, ketulusan hati dan

keikhlasan niat serta motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul: “Peran Politik Perempuan

Dalam Partai Kebangkitan Bangsa”, shalawat dan salam semoga selalu tercurah

kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para

pengikutnya. Dan semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya di hari akhir.

Dalam kesempatan ini penulis bermaksud untuk menyampaikan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Sembah sujud dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya ananda

haturkan kepada orang tua yang tercinta, Ebak H. Usman Gumanti dan

Umak Hj. Wertan (Almh) dan Umak Hj. Eryani yang tiada henti-

hentinya memanjatkan doa ke hadirat Ilahi Robbi untuk memohon

keberkahan hidup ananda. Limpahan kasih sayang mereka adalah

motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi ini.

Semoga Allah SWT meridhoi kehidupan mereka.

2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan

nasehat yang berharga bagi penulis.


4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A. Selaku ketua Program Non Reguler dan

bapak Rifqi Mukhtar, M.A. Selaku sekretaris Program Non Reguler yang

telah memberikan pelayanan akademik serta membina penulis selama

melaksanakan pendidikan di program Non Reguler Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Shobahussurur, M.A selaku Dosen Pembimbing, terima kasih

atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukkan,

arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis.

6. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang

dengan ketulusan dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan

ilmu pengetahuannya kepada penulis selama menjalani perkuliahan.

7. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Iman

Jama’, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam

Budiarjo (FISIP UI), Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia), Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DPR RI, yang

telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam mengakses

seluruh literatur yang tersedia.

8. Kepada Ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI dari PKB, Mba

Nurhasanah selaku staff PPKB (Pergerakan Perempuan Kebangkitan

Bangsa). DPP PKB Kalibata (versi Gus Dur) dan DPP PKB Menteng

(versi Cak Imin) semoga kemaslahatan umat dan bangsa menjadi hal

yang dapat mempersatukan mereka kembali. Mba Yumi dan Mba Iyang
selaku sekretaris pribadi Ibu Badriyah, terima kasih atas kemudahan

yang diberikan kepada penulis dalam merampungkan skripsi ini, dan

seluruh aktifis perempuan yang tergabung di PKB penulis sampaikan

“selamat berjuang: kita ambil alih kekuasaan dan akan kita atur dunia

menjadi lebih baik”

9. Kepada keluarga besar penulis tercinta: Jaik dan Nyaik, Cik Murod, Uju

Sarminah, Cik Ida, Cik Iba dan keluarga serta seluruh paman-paman dan

bibi penulis yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Kepada kakak

dan adik-adik penulis: kak Dedi, kak Nopi, kak Rafe’i (Mi’ik), kak

Mamat, kak Muslim dan keluarga, yuk Tima, Man dan keluarga, Dayat,

Saleh, Dalima, Rozak, serta ponakan-ponakan penulis yang menjadi

inspirasi dan semangat bagi penulis.

10. Secara khusus penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada kakak tercinta Yusuf Fadli dan keluarga besar, yang telah

memberikan dukungan secara penuh dalam menyelesaikan program

studi penulis. Terima kasih banyak atas semuanya ya k… Semoga Allah

SWT. selalu meridhoi perjalanan hidup kk.

11. Teman-teman Jurusan Pemikiran Politik Islam (PPI) angkatan 2004

Ekstensi, K’Saiman, Sofian, Pujiono, Iskak, K’Ibnu, Zulfikar, Indra,

Bukhori, Tauhid, K’Sa’di, Hudori, K’Muhsin, K’Aziz, Fadil, Galo, Iin,

Asep, Awe, Surono, Hadi, Ijudin, Firman, Fitrah dan lain-lainnya.

Terima kasih atas kebersamaannya, baik suka maupun duka dalam

berjuang menuntut ilmu di bangku perkuliahan. Kenangan terindah


bersama kalian tak kan terlupakan.

12. Keluargaku seperjuangan di UIN, kak Supri dan keluarga, “teteh” (Kak

Dian) dan keluarga, Zein, kak Ridwan, Rei, Isti, kak Lulu, yang dengan

tulus dan ikhlas memberikan motivasi dan semangat untuk penulis.

Untuk semuanya penulis hanya bisa mengucapkan banyak-banyak terima

kasih karena tanpa kalian semua mustahil bagi penulis untuk bisa melewati

hambatan dan tantangan dalam penyusunan Skripsi ini. Semoga Allah akan selalu

melindungi, meridhoi dan memberikan balasan yang lebih besar kepada kalian

semua. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang dimiliki, penulis ingin

mempersembahkan skripsi ini bagi semua pihak yang menaruh perhatian bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dengan harapan akan bermanfaat bagi kita

semua.

Ciputat, 18 Desember 2008

Penulis
DAFTAR ISI

ABSTRAKSI .............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. vi

DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 13

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 14

D. Studi Kepustakaan ................................................................. 15

E. Metode Penelitian .................................................................. 16

F. Sistematika Penulisan ............................................................ 16

BAB II. PEREMPUAN DAN POLITIK ................................................ 18

A. Perspektif Islam ..................................................................... 19

B. Perspektif Barat ..................................................................... 25

C. Politik Perempuan di Indonesia.............................................. 34

1. Pra Kemerdekaan............................................................. 35

2. Pasca Kemerdekaan ......................................................... 38

3. Era Reformasi .................................................................. 42

BAB III. SEKILAS TENTANG PKB ...................................................... 45

A. PKB dalam Lintasan Sejarah.................................................. 45

B. Karakteristik dan Arah Perjuangan PKB ................................ 53


BAB IV. POLITIK PEREMPUAN DAN PKB........................................ 55

A. Hak Politik Perempuan: Akomodasi Dalam PKB................... 58

B. PKB dan Kuota 30%.............................................................. 65

C. Peranan Perempuan PKB di Parlemen.................................... 71

BAB V. PENUTUP.................................................................................. 78

A. Kesimpulan............................................................................ 78

B. Saran-saran ............................................................................ 79

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 81


DAFTAR TABEL

A. Tabel 1: Jumlah Perempuan di DPR RI (1950-2004) ...................... 73

B. Tabel 2 : Jumlah Anggota DPR RI Laki-laki dan Perempuan

pada Periode 2004-2009 Berdasarkan Partai Politik........................ 74


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Isu mengenai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan soal yang

akan terus mewarnai percaturan politik di belahan dunia manapun. Di banyak

negara yang sistem demokrasinya telah mapan sekalipun, permasalahan

perempuan dan politik menjadi topik penting dalam setiap perhelatan demokrasi.

Terlebih di negara-negara berkembang, di mana budaya patriarki1 masih sangat

kental, tema peranan perempuan dan politik selalu memicu perdebatan sengit.

Politik yang sering diidentikkan dengan dunia penuh intrik dan licik, menjadi

wilayah yang diharamkan dan harus disterilkan dari tangan-tangan lembut kaum

hawa, karena dianggap hanya keperkasaan kaum adam saja yang mampu survive

menjelajahi keliaran belantara politik tersebut. Dengan perkataan yang lain, saat

ini terdapat disparitas yang begitu dalam antara kewenangan laki-laki dan

perempuan dalam menjalani proses kehidupan.

Entah apa sebenarnya yang menjadi inti persoalan perempuan, mengingat

begitu banyak dan kompleksnya masalah yang dihadapi kaum perempuan. Semua

1
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum
laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas perempuan. Sistem patriarki bisa
diterapkan di tingkat keluarga, masyarakat ataupun negara di mana laki-laki mendominasi dalam
semua hal seperti SDM, ekonomi, politik dan sosial. Segala aturan yang dipakai dalam sistem
patriarki didasarkan pada kepentingan pihak laki-laki (bapak). Siti Musdah Mulia, Menuju
Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Permpuan di Indonesia (Jakarta:
Kibar Press, 2007), h. xiii. Ada yang berpendapat bahwa asal mula patriarki berkaitan dengan
mulai adanya pemilikan pribadi dan pewarisan yang berujung pada pengaturan jenis kelamin
perempuan dalam satuan keluarga monogami. Namun hal ini kemudian dikritik karena mereduksi
subordinasi perempuan pada faktor ekonomi dan tidak menjelaskan ketimpangan gender dalam
masyarakat pra dan pasca-kapitalis. Rita Felsky, “Feminisme Amerika dan Inggris,” dalam Peter
Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 18.
itu sudah menjadi realitas objektif yang tak terbantahkan. Kemiskinan, kekerasan,

dan ketidakadilan/diskriminasi sering disebut-sebut sebagai persoalan krusial yang

dialami kaum perempuan dari masa ke masa. Wajar jika muncul semacam

prejudice di sebagian kalangan perempuan bahwa pada zaman apapun, kaum

perempuan akan selalu berada pada pihak yang tidak diuntungkan dan

tersubordinasi2 kaum laki-laki.3

Sinyalemen ini tentu bukan tanpa bukti, berbagai macam fakta sering dipakai

sebagai alat analisis untuk melihat seberapa parah persoalan yang mengungkung

kehidupan kaum perempuan. Laporan United Nations Development Program

(UNDP) tahun 1996, misalnya menyebutkan bahwa 20% dari 1,3 miliar penduduk

yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah kaum perempuan. Fakta itu tak jauh

berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, jika dilihat dari komposisi penduduk

miskin yang ada. Dilaporkan pula bahwa sekitar 67% dari total penduduk dunia

yang buta huruf (sekitar 600 juta jiwa) juga dari kalangan perempuan. Di

Indonesia sendiri, perempuan menempati sekitar 70% dari penduduk yang buta

huruf.4

Begitu banyaknya persoalan yang mengepung kehidupan perempuan,

kemudian memunculkan simpati yang sangat besar pada sebagian kalangan.

2
Subordinasi adalah kedudukan bawahan, kelas kedua (perempuan) terhadap pihak yang
dominan (laki-laki). Subordinasi perempuan umumnya tercipta akibat streotipe yang dikaitkan
dengan pembagian kerja secara seksual. Akibat posisi subrodinat itu, peranan dan hasil kerja
perempuan selalu dinilai lebih rendah dengan peran dan hasil kerja laki-laki yang menempati
posisi dominan. Bustamin Basyir, “Kesetaraan Gender: Studi Atas Pemikiran Qasim Amin,”
Dalam Kusmana, ed., Islam dan Gender: Wacana dan Praktis (Buku Ajar Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 4.
3
Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan:
Bercermin Pada Shahabiyat (Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003), h. 25.
4
Sa’idah dan Khatimah, Revisi Politik Perempuan, h. 26.
Simpati ini kemudian terkristalisasi menjadi sebuah ‘kesadaran’ kolektif untuk

memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metode tertentu. Terdapat

dua pendekatan dalam meneropong keterlibatan perempuan pada ranah sosial-

politik. Yang pertama adalah gerakan ‘kesadaran’ perempuan5 yang kita kenal

dengan istilah feminisme.6

Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran

bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu,

harus ada upaya mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.7 Meskipun para

feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender,8 akan

tetapi mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan

gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan

5
Gerakan menurut teori sosial digambarkan sebagai reaksi kolektif dari suatu kelompok
masyarakat yang tersubdordinasi. Sedangkan gerakan perempuan adalah gerakan segelintir atau
kelompok perempuan yang muncul sebagai respon terhadap situasi yang berimplikasi terhadap
ketidakadilan gender sehingga memotivasi segelintir atau sekelompok perempuan tersebut sebagai
warga negara untuk melakukan sebuah perlawanan. Lihat Tati Harminah dan Mu’min Rauf,
“Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi
Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 11-12.
6
Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan
dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga serta tingkatan sadar oleh perempuan
maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah
dan Perkembangannya”, dalam Pengantar Kajian Gender (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003), h. 86
dan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995), h. 5.
7
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 79.
8
Gender adalah sebuah istilah yang menunjukkan pembagian sosial antara laki-laki dan
perempuan dan ini mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan
oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan. Adapun dalam istilah
seks mengacu kepada perbedaan secara biologis dan anatomis antara laki-laki dan perempuan.
Lihat Asriati Jamil dan Amany Lubis, “Seks dan Gender,” dalam Pengantar Kajian Gender yang
ditulis oleh Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 54. Gender juga diartikan
sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, peran-peran tersebut berkaitan
dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta keempatan antara laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh ketentuan sosial, nilai-nilai yang berlaku, dan budaya lokal. Artinya, laki-laki dan
perempuan harus bersikap dan berperan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakatnya, dalam
Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, h. xii.
mereka.9 Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran

utama feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal

dan feminisme sosialis. 10

Di abad globalisasi seperti saat ini, gelombang feminisme terus berupaya

mendobrak sekat-sekat konstruksi sosial –yang sebenarnya dibuat oleh kaum pria–

yang menjadi penyebab utama dari ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.

Akhir dari tuntutan feminisme adalah terbebasnya kaum perempuan dari berbagai

macam belenggu, diskriminasi, keterbelakangan, dan terakomodirnya kepentingan

perempuan dalam kontek kehidupan real dari sebuah sistem kenegaraan.

Pisau analisa kedua yang dapat memotret keberadaan perempuan dalam

dunia politik adalah melalui teori partisipasi politik.11 Dalam teori ini, perempuan

melakukan gerakan untuk mendesak dan memengaruhi sebuah realitas sosial-

politik atau suatu putusan kebijakan melalui lembaga-lembaga formal atau sistem

yang berlaku. Tujuan dari dilakukannya partisipasi politik perempuan tersebut

9
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 46-53.
10
Feminisme Liberal diarahkan pada perubahan/pembaharuan undang-undang dan hukum,
yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, peraturan
dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih diarahkan untuk menghilangkan
penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem pemilikan pribadi, yang ditempuh
dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor publik, sehingga perempuan menjadi
produktif (menghasilkan materi/uang). Feminisme Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan
perempuan bersumber dari system patriarki, yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan
merupakan figur dominan dalam keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme
Marxis dan Feminisme Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran
perempuan akan kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan
ekonomi. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1994), h. 55.
11
Secara umum partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan
secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan
atau loby dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah
satu gerakan sosial, dan sebagainya. Dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 367.
adalah agar semua pihak khususnya penguasa politik lebih memperhatikan

kepentingan-kepentingan perempuan, dan pesan yang terpenting dari gerakan

perempuan yakni bahwa perempuan dan pria memiliki hak dan kewajiban yang

sama dalam setiap proses kehidupan di dunia ini.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa keterlibatan perempuan dalam

kegiatan politik menjadi penting? Ada beberapa isu penting yang patut untuk

dicatat terkait dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. Isu-isu mengenai

kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, kepedulian terhadap anak, dan

kekerasan seksual12 merupakan beberapa soal yang terus membayangi dan

menjadi bagian dalam kehidupan perempuan. Oleh karena dunia perempuan juga

sangat kental dengan problem di atas, maka secara otomatis perempuan yang

tercatat sebagai penghuni terbanyak dalam jagad raya ini menjadi sangat

dirugikan dan kelangsungan hidup perempuan terancam apabila permasalahan itu

tidak segera ditangani. Tidak bisa tidak, untuk mengatasi berbagai problematika

yang membelit tersebut, partisipasi politik perempuan harus di posisikan secara

istimewa, asumsi dasarnya adalah yang paling memahami persoalan-persoalan

perempuan adalah perempuan itu sendiri.

Peranan perempuan pada ranah politik dalam konteks Indonesia telah melalui

proses panjang. Gerakan perempuan Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba,

melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan

cemas dan ada keinginan-keinginan individu-individu yang menghendaki

perubahan dan kemudian terakumulasi dalam suatu tindakan bersama-sama. Dari

12
M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah Panduan
Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004), h. 3.
masa ke masa, gerakan perempuan Indonesia terus melakukan kontekstualisasi

gerakan agar berkesesuaian dengan kondisi zaman.

Perempuan dan politik dalam wacana keindonesiaan telah telah dimulai sejak

zaman Indonesia klasik, yakni era kekuasaan dari kerajaan-kerajaan di sepanjang

kepualauan Nusantara. Ada beberapa bukti yang menguatkan temuan tersebut,

yang pertama, sesuai catatan orang Cina yang mengatakan bahwa pada tahun 674

M, terdapat seorang pempimpin wanita di Kerajaan Holing (kerajaan Kalinga di

Jawa Tengah). Ratu perempuan itu bernama –yang dalam dialek Cina– disebut

Ratu Hsi-Mo (Ratu Sima).13 Dan menurut kabar orang-orang Cina itu, kerajaan

yang dipimpin oleh Ratu Sima sangatlah baik dan adil. Fakta selanjutnya yang

tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan pada abad silam juga pernah mengukir

kanvas sejarah kepemimpinan, dengan terpilihnya Ratu Tribuanatunggadewi

Jayawisnuwardhani sebagai raja putri dari kerajaan Majapahit pada tahun 1328.14

Ratu Tribuanatunggadewi menjadi raja Majapahit pada usia 22 tahun

menggantikan ayahnya yang mangkat dan tidak meninggalkan putra mahkota.

Pada era selanjutnya, ketika angkara kolonialisme mencengkeram bumi

pertiwi Indonesia, wanita-wanita Indonesia tak pernah lelah dan gentar

menggemakan pekik perlawanan terhadap penindasan imperialisme. Ciri dari

gerakan perempuan pada era penjajahan adalah mereka terjun langsung

memimpin rakyatnya untuk melawan kesewenang-wenangan para penjajah dan

kaki tangannya. Pada masa ini kita mengenal keberanian Cut Nyak Dien (wafat

13
Poesponegoro D. Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
(Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984), h. 94.
14
Marwati dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, h. 433.
1908) di ujung barat pulau Indonesiam yakni Aceh. Dia dengan gagah perkasa

berperang melawan Belanda. Selain Cut Nyak Dien, kita juga mengenal Martha

Chrsitina Tiahahu (wafat 1818), Cut Meutia (wafat 1910), Nyi Ageng Serang

(wafat 1928),15 dan lain-lain. Kesemuanya memberikan sumbangsih yang sangat

signifikan dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan.

Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan struktur peranan wanita Indonesia.

Ide atau pemikiran dari Barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan dan

disebarluaskan pendidikan cara Barat (ini terkait dengan politik etis16 yang

diterapkan pemerintahan Hindia Belanda). Kesempatan mendapat pendidikan

yang layak dari pemerintahan Belanda kemudian menjadi setitik asa bagi para

putra-putri bangsa untuk memberikan yang terbaik bagi tumpah darahnya, yaitu

Indonesia. Melalui media pendidikan inilah muncul keinginan untuk bisa bergerak

bebas dan menjadi tuan di rumah sendiri, berbagai macam organisasi didirikan

untuk mewujudkan impian tersebut. Pada era ini dikenal nama-nama seperti R.A

Kartini dari Jawa Tengah, Dewi Sartika (Jawa Barat), Walanda Maramis

(Sulawesi), dan Rohana Kudus (Sumatera).17 Isu utama dari pergerakan wanita

pada era ini adalah tentang kebangkitan nasionalisme Indonesia.

15
Sukanti Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,”
dalam T. O. Ihromi (Penyunting), Kajian Wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), h. 39.
16
Politik etis ini didorong oleh rasa hutang budi kaum penjajah kepada negeri yang
dijajahnya, karena sudah sekian lama mereka mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari tanah
jajahan tersebut. Namun, di tengah-tengah gelimang harta hasil rampasan tersebut, ternyata di
sudut yang lain, penduduk pribumi hidup dalam kemelaratan dan penuh siksaan. Dan untuk
menebus kesalahan para penjajah, pemerintahan Hindia Belanda menggulirkan politik etis, yang
diwujudkan dalam bentuk pemberian pendidikan yang layak bagi penduduk pribumi. Dalam
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 40.
17
Tita Marlita dan E. Kristi Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,”
dalam Rahayu Surtiarti Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan Indonesia dalam
Pada masa Orde Baru, perempuan lebih ditempatkan sebagai penggembira

dengan wilayah garapan yang sangat terbatas, lazim disebut wilayah domestik.

Perempuan di bawah kekuasaan militeristik Soeharto hanya dijadikan warga

negara kelas dua, di mana haknya di batasi oleh sekat-sekat yang membuai. Dan

kini gerakan perempuan memasuki babak baru dari sekian banyak episode

kehidupan global yang sedang bergulir.

Desah kegelisahan gerakan perempuan masih dalam hembusan nafas yang

sama, yakni melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan atas

sosok perempuan dan seluruh sisi kehidupan yang melingkupinya. Gerakan

perempuan telah tampil ke permukaan dengan wajah yang jauh lebih baik, di

bandingkan pada masa-masa silam. Karena secara kuantitas dan kualitas,

perempuan di beberapa tempat berhasil mengungguli kaum laki-laki. Dapat

dikatakan, –walaupun masih jauh dari sempurna– bahwa di masa kini perempuan

sukses melakukan gerakan struktural maupun kultural untuk turut mengubah

wajah dunia.18

Agenda-agenda krusial perempuan telah memasuki ruang-ruang rapat kabinet

pemerintahan, perdebatan di parlemen, pembahasan lembaga-lembaga

internasional, hingga menjadi obrolan di tengah rakyat jelata. Mata setiap orang

Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita (Jakarta: Program
Pasca Sarjana UI, 2000), h. 84.
18
Statistik lain hasil studi Patricia Morgan bertitel "Runtuhnya Dunia Laki-laki" (1996)
menyebutkan bahwa jumlah karyawan perempuan di Amerika melonjak dari 36 persen pada awal
70-an menjadi 57 persen pada saat ini, penghasilan orang perempuan yang menjadi penopang
utama rumah tangga di Inggris mencapai angka 30 persen, sementara di Amerika terdapat 34
persen kepala keluarga berkulit putih dan 56 persen berkulit hitam tidak mampu memberikan
penghidupan kepada keluarganya secara layak. Dan laporan "New York Review" (21 Oktober
1999) menyebutkan "masa antara 1960 sampai 1996 angka perempuan yang menyandang ijazah
BA, di Amerika Serikat naik dari 38,5% menjadi 55,1%, yang berijazah Doktor dari 10,5%
menjadi 40,9%, pengacara dari 2,5% ke 43,5%, dan insinyur dari 0,4% menjadi 16,1%. (Harian
Al-Hayat, 31 Oktober 1999).
dibuat terbelalak dengan banyaknya perempuan yang merambah sektor publik.

Namun demikian bukan berarti kepentingan perempuan telah terakomodir secara

maksimal, karena ternyata wacana keterlibatan perempuan dalam ranah sosial-

politik seringkali menemui batu sandungan. Hambatan tersebut bisa berbentuk

penolakan budaya, kesalahpahaman atas tafsir teks agama, dan kalkulasi politik

belaka.

Upaya perempuan untuk melepaskan jeratan terali besi kultural kaum laki-

laki telah memasuki tahapan yang paling menentukan. Tuntutan tradisional yang

hanya sebatas menuntut kesetaraan dalam status sosial ekonomi, telah berubah

menjadi tuntutan yang lebih modern. Tuntutan moderen dimanifestasikan ke

dalam bentuk kesetaraan dalam hal pengambilan keputusan stratejik dalam bidang

politik.

Khusus keterlibatan perempuan dalam politik pada era reformasi menemukan

momentumnya ketika pada tanggal 18 Februari 2003, DPR mengesahkan Undang-

Undang Pemilu, di mana salah satu klausul penting yang dianggap progresif dan

sekaligus kontroversial adalah dicantumkannya ‘kuota 30 persen perempuan’

dalam nominasi calon legislatif di berbagai tingkatan, seperti tercantum dalam

pasal 65 (1). Secara lengkap pasal itu berbunyi : Setiap partai politik peserta

pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan

keterwakilan untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan


perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.19 Kuota 30 persen tersebut diakui

merupakan langkah awal bagi partisipasi politik perempuan di Indonesia. 20 Aturan

ini kemudian menjadi salah satu jalan bagi hadirnya perbaikan nasib perempuan

melalui mekanisme legislasi parlemen.

Masuknya perempuan dalam lembaga legislatif diharapkan dapat menjadi

kekuatan penekan sekaligus eksekutor dalam isu-isu publik khususnya yang

menyangkut hajat hidup perempuan. Partisipasi perempuan di parlemen juga

membersitkan secercah harapan, di mana perempuan dapat mengeliminasi

kebijakan publik yang selama ini cenderung bercorak maskulin.

Yang perlu ditekankan adalah kaum perempuan ingin 'bermain' dalam bidang

politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang politiklah segala

kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (baca: wanita) dapat dibuat

secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan

kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi dalam pembuatan

kebijakan publik. Suatu kesadaran baru yang merupakan akumulasi dari

serentetan perjuangan yang pernah dilakukan kaum perempuan.

Dalam setiap negara demokrasi, peranan partai politik menempati posisi

sentral sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi. Di Indonesia pasca

tumbangnya rezim Orde Baru, partai politik kembali memainkan peranan penting

dalam menentukan arah pengambilan keputusan dari suatu kebijakan

pemerintahan. Dari sekian banyak partai politik yang berdiri di Indonesia, di sana
19
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas, 2005), h.
42-43.
20
Ulasan lengkap mengenai kuota 30 persen dapat dilihat dalam tulisan “Kuota 30 persen
Perempuan Langkah Awal Bagi Partisipasi Perempuan di Indonesia, yang dimuat dalam Jurnal
Politik Islam No. 19, 2003.
terdapat Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan K.H. Abdurrahman Wahid

atau biasa disapa Gus Dur.

Partai Kebangkitan Bangsa adalah partai politik dengan basis dukungan

berasal dari kalangan tradisionalis khususnya warga NU. Namun, walaupun

demikian dalam Mabda Siyasi partai, PKB menegaskan diri sebagai partai terbuka

dalam pengertian lintas agama, suku, ras dan lintas golongan yang

dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan

kepemimpinan. Artinya, keterbukaan PKB tidak hanya disimbolkan dalam

kehadiran kepengurusan atau keanggotaan yang pluralistik namun yang lebih

subtansial lagi adalah keterbukaan dalam sikap dan perilaku politik serta rumusan

cita-cita partai tersebut. Lebih jauh lagi PKB menempatkan diri sebagai partai

terbuka sebagai implementasi dari keyakinan terhadap pluralisme, demokrasi dan

humanisme.

Pada kerangka itulah PKB menjadi partai yang banyak mengakomodir isu-

isu politik kontemporer yang tengah berkembang pada ranah politik global,

termasuk salahsatunya peranan politik perempuan. PKB yang memiliki

keterkaitan erat dengan para ulama-ulama pondok pesantren tradisional

melakukan tafsir ulang terhadap nash-nash al-Qur’an dan kitab-kitab fiqh yang

pada masa lalu menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua.21

Pada era selanjutnya kegiatan-kegiatan tersebut memicu munculnya wacana-

wacana tafsir fiqh baru terhadap perempuan yang dilakukan intelektual muda

Islam. Kondisi ini memunculkan kesadaran untuk menggagas kembali beberapa

21
Gerakan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang dianggap mendiskriminasi
kaum perempuan di pimpin langsung oleh istri Gus Dur (Ibu Shinta Nuriah Wahid).
tafsir kaidah Fiqh Al-Nisa yang dianggap kurang memberikan keadilan bagi

perempuan. Dan terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan para penganut

paham fiqh moderat tersebut, tradisi baru ini juga menjadi pemicu menguatnya

wacana kesetaraan gender dalam masyarakat. Dan Partai Kebangkitan Bangsa

berada pada baris terdepan dalam mempromosikan gagasan tersebut. Untuk

merealisasikan ide pemberdayaan perempuan, PKB kemudian membentuk sayap

perempuan yang dinamai Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB).

Pada titik ini dapat kita simpulkan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa adalah

salah satu partai politik yang menyambut baik keterlibatan aktif kaum perempuan

dalam dunia politik. Hal ini ditegaskan dalam garis besar program kerja yang

ditetapkan dalam Muswil PKB Jawa Tengah, di sini sangat jelas menunjukkan

adanya amanat yang diemban dalam menegakkan keadilan, kesetaraan dan

keberpihakan pada perempuan. Dalam rumusan dijelaskan problem kesetaraan

atau keadilan gender merupakan satu problem populis, yang mau tidak mau harus

diakomodasi oleh PKB. Apalagi di tengah kenyataan, jumlah pemilih sebagian

besar perempuan. Dalam hal ini, PKB perlu mendorong tumbuhnya percepatan

kesetaraan gender dalam masyarakat, baik melalui organisasi, kajian ilmiah,

pelatihan, maupun forum-forum dan kesempatan lainnya.

Keberpihakan PKB terhadap kaum perempuan dibuktikan pada saat pemilu

2004, di mana calon anggota legislatif perempuan diberikan jatah 30% dan

menempati nomor urut jadi. Hal lain dari komitmen PKB terhadap perempuan

adalah ketika DPP PKB menunjuk Ida Fauziah menjadi ketua fraksi PKB di DPR,

penunjukkan ini sekaligus juga menempatkan Ida Fauziyah menjadi satu-satunya


perempuan yang menduduki jabatan ketua fraksi di DPR.22 Dan yang berita

teranyar dari PKB adalah penunjukkan Yenni Wahid menjadi pejabat teras partai

dalam Munaslub yang diadakan di Parung pada awal bulan Mei 2008, walaupun

kemudian Yenny harus rela tergusur dari jabatannya karena PKB kemudian

dilanda konflik internal, yang melibatkan kubu Gus Dur (termasuk Yenny di

dalamnya) dengan kubu Muhaimin Iskandar.23

Berlandaskan keterangan-keterangan yang diungkapkan di atas, di mana

pergerakan politik kaum perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa menjadi satu

hal yang fenomenal –di tengah minimnya dukungan terhadap perempuan–

menjadikan penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam sebuah penelitian

skripsi. Penyusunan skripsi ini akan menelusuri geliat politik perempuan di PKB

dengan judul “Peranan Politik Perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Peliknya masalah yang membelit kaum perempuan pada saat ini

menjadikan persoalan perempuan begitu kompleks, sehingga untuk

mensiasati permasalahan itu penulis mencoba membuat suatu batasan

22
www.gp-ansor.org.
23
Konflik internal PKB bermula ketika pada Maret 2008, rapat pleno memutuskan untuk
meminta Muhaimin mengundurkan diri. Namun, Muhaimin tidak terima dengan hasil putusan
rapat pleno itu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta Selatan dan dikabulkan.
Gugatan yang diajukan oleh Muhaimin yang kemudian dikabulkan itu ditanggapi oleh Gus Dur
dengan mengajukan kasasi ke MA, namun di tolak. MA juga menolak legalitas Musyawarah Luar
Biasa (MLB) yang diselenggarakan oleh kubu Gus Dur di Parung dan MLB Ancol yang
diselenggarakan kubu Muhaimin. Hasil putusan MA mengembalikan DPP PKB hasil Muktamar
Semarang. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan Lukman Edy sebagai Sekjennya. “Konflik PKB
2008,” artikel diakses tanggal 22 Agustus 2008 dari http://www. therifqibiru.com
masalah terhadap penulisan skripsi ini agar pembahasannya lebih fokus

dan tidak terlalu melebar. Pembahasan masalah dalam skripsi ini akan

dibatasi hanya pada persoalan peranan perempuan dalam wilayah politik,

dan secara lebih mendalam membicarakan peranannya di Partai

Kebangkitan Bangsa.

2. Perumusan Masalah

Berangkat dari persoalan-persoalan di atas, maka penulisan skripsi ini

akan dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah PKB mengakomodir kepentingan perempuan?

b. Bagaimanakan sepakterjang politik perempuan PKB di parlemen?

c. Bagaimanakah dampak dan pengaruhnya terhadap dinamika politik

partai khususnya dan negara pada umumnya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Melihat sejauh mana keseriusan PKB dalam mengakomodir

kepentingan-kepentingan perempuan.

b. Mengetahui strategi politik kalangan perempuan Partai Kebangkitan

Bangsa yang terjun langsung di parlemen dalam memperjuangkan

hak-hak perempuan.

c. Mempelajari seberapa besar pengaruhnya kaum perempuan dalam

dinamika politik di tingkat internal PKB dan nasional.


2. Manfaat Penelitian

Sedangkan secara keseluruhan manfaat dari penulisan skripsi24 ini


adalah:

a. Secara akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah

kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai wacana perempuan

dan politik.

b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi partai

politik dan politisi perempuan dalam mengarungi arena politik di

tanah air.

D. Studi Kepustakaan

Penulis mengakui bahwa penelitian tentang peranan perempuan dalam

wilayah politik bukanlah satu hal yang baru dilakukan. Telah banyak penelitian

yang dilakukan dalam hal ini, tentunya juga melalui ragam pendekatan atau teori.

Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri telah ada beberapa skripsi yang

menyoroti perihal permasalahan peranan politik perempuan, namun dari beberapa

skripsi yang sudah ada tersebut, penulis belum mendapati penelitian yang secara

khusus membahas peranan politik perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa.

Berangkat dari situlah kemudian penulis merasa tertarik untuk membahasnya

dalam penelitian skripsi ini. Dengan harapan dapat mengisi kekosongan

kepustakaan tersebut. Penulis juga meyakini, bahwa politik perempuan di PKB

24
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta:
Magna Script, 2004), h. 73-75.
merupakan satu hal yang fenomenal dan merupakan persoalan yang masih relevan

untuk dibicarakan.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya

dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan

menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.25 Analisa

data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan

menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi.26

F. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan skripsi ini, agar lebih sistematis dan mudah dipahami

maka penulis menyusunnya terdiri dari lima bab dan beberapa sub bab. Yang

tersusun dari:

1. Bab 1: Pendahuluan. Bab ini merupakan pembukaan dari skripsi ini, yang

terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,

manfaat dan tujuan penelitian, studi kepustakaan, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

2. Bab 2: fokus pembahasan dalam bab ini adalah berupa kajian teori

terhadap perempuan dan politik. Pendekatan teori yang dibicarakan di

sini adalah dalam perspektif Islam dan barat, dan sejarah keterlibatan

perempuan di Indonesia.

25
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 206.
26
Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 213.
3. Bab 3: bab ini akan banyak berbicara mengenai sikap PKB sebagai partai

politik dalam merespon isu politik perempuan.

4. Bab 4: bab ini adalah inti dari penelitian dalam skripsi ini, karena di sini

akan dibicarakan mengenai dinamika politik perempuan di PKB, baik

dalam upaya memenuhi kuota tiga puluh persen suara perempuan,

aktifitas politik perempuan PKB di parlemen, ataupun ketika di amanahi

menduduki jabatan publik.

5. Bab 5: penutup, pada bab 5 ini penulis akan membuat sebuah kesimpulan

sederhana dan beberapa saran-saran.


BAB II

PEREMPUAN DAN POLITIK

Salah satu agenda penting dari tiap kerangka kerja demokrasi dan good

governance adalah prinsip penegakan hak asasi manusia (HAM), termasuk di

dalamnya hak-hak partisipasi politik bagi laki-laki dan perempuan yang sama. Isu

gender kini telah menjadi isu yang mendunia. Pengembangan setiap agenda

politik yang tidak memasukkan unsur perspektif, pandangan dan pengalaman dari

pihak laki-laki dan perempuan yang akan terkena dampak dari agenda tersebut

kini tidak lagi dapat diterima. Namun, lepas dari segala upaya yang dirintis selama

sekian abad oleh tokoh-tokoh perempuan terkemuka di dunia, pengakuan dan

pelaksanaan hak-hak politik dan sosial-ekonomi antara laki-laki dan perempuan

masih saja belum seimbang. Padahal, kaum perempuan adalah separuh populasi

dunia, 50 persen dari total tenaga kerja, namun mereka juga adalah sekitar satu

milyar manusia yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Pengambilan keputusan

dan penyusunan prioritas tetap saja berada di tangan kaum laki-laki. Struktur yang

dibangun masih timpang, perempuan masih cenderung dalam posisi marginal atau

penggembira saja.

Banyak yang sepakat bahwa gerakan perempuan untuk memulihkan hak-hak

politiknya ini erat kaitannya dengan proses transformasi sosial yang identik

dengan transformasi demokrasi. Alasannya, tujuan gerakan perempuan adalah

menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih

adil, dan saling menghargai. Politik, terlepas dari segala kontrovesi di dalamnya,

adalah alat sosial yang paling memungkinkan bagi terciptanya ruang kesempatan
dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui

berbagai aksi bersama, diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan.

Politik adalah salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk

mencurahkan semua kecemasannya.

Keterlibatan perempuan politik dapat pula kita tinjau dari beberapa

pendekatan teori. Dan di bawah ini akan dijabarkan mengenai relasi antara

perempuan dan politik dalam beberapa perspektif.

A. Perspektif Islam

Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Alah SWT di tanah Arab pada

abad VII, termasuk agama-agama Semitik/ Abrahamis Religion (Yahudi, Kristen,

dan Islam).27 Dalam tradisi bangsa-bangsa Semit, kaum lelaki selalu dianggap

sebagai mahluk superior, bahkan Tuhan-pun dibayangkan dalam wujud lelaki,

sehingga menjadikan budaya patriarkal sangatlah kuat. Padahal jika ditelaah lebih

dalam, sesungguhnya tradisi tersebut sangatlah bertentangan dengan apa yang

telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Jadi dapat

dikatakan bahwa mengenai persoalan boleh-tidaknya perempuan beraktifitas

dalam sektor publik, sepenuhnya merupakan perbedaan dalam tafsir terhadap

teks-teks keagamaan.

Menurut buku Argumentasi Kesetaraan Gender karangan Dr. Nasarrudin

Umar menyebutkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki hanya sebatas

dalam ajaran yang bersifat ibadah (ubudiyah), bukan dalam hal pergaulan sosial

27
Wiwi Siti Sajaroh, “Gender dalam Islam,” dalam Tim Penulis Pusat Studi Kajian Wanita
(PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: PSW UIN Jakarta,
2003), h. 205.
kemasyarakatan (muamalah).28 Lebih lanjut, menurut Islam, politik (al siyasah)

dirumuskan sebagai cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai

kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jadi politik adalah ruang maha luas, seluas

ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik,

kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi penyebutan politik dalam

pikiran banyak orang telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik

struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan

sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang panjang.29

Ditegaskan pula bahwa bidang politik merupakan bagian dari pergaulan

sosial kemasyarakatan, maka perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan

laki-laki, tidak terdapat pengistimewaan yang didasarkan pada perbedaan jenis

kelamin. Sangatlah jelas bahwa dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai

fungsi, dan eksistensi yang sama di mata Allah SWT. Dan posisi pria dan wanita

juga sama dalam bidang publik, tidak ada peraturan dalam Islam yang secara

tekstual menempatkan perempuan sebagai second person.30

Senafas dengan argumentasi di atas, Imam Khomeini mengatakan bahwa

wanita dalam Islam memiliki peranan penting dalam pembangunan masyarakat

Islam, sehingga menurutnya kaum wanita juga mempunyai tanggung jawab yang

28
Nasarrudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender …
29
Husein Muhammad, “Partisipas Politik Perempuan,” dimuat pada tanggal 14/06/2004
yang diakses dari http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=605.
30
Tari Siwi Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding Seminar
Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum (Jakarta: National
Democratic & Meneg Pemberdayaan Perempuan RI, 2001), h. 106.
sama beratnya dengan laki-laki dalam mengatasi problematika di pemerintahan

Islam.31

Wacana di atas diperkuat dengan tidak ditemukannya ayat al-Qur’an yang

melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Bahkan sebaliknya,

Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif

menekuni dunia tersebut. Perempuan berhak menduduki jabatan politik dengan

syarat menaati hukum syari’at Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas

melarangnya. Betapa Allah menganggap pentingnya persoalan wanita, Allah

menurunkan langsung surat yang diberi nama Surah An-Nisaa’.32

Bahkan dalam teks al-Qur’an terungkap, bahwa Allah telah menciptakan

manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan, dan keduanya ditakdirkan untuk

hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberi potensi yang sama dari

sisi insaniahnya, yakni berupa potensi akal dan potensi hidup (naluri dan

kebutuhan jasmani). Potensi-potensi inilah yang mendorong manusia untuk terjun

dalam kancah kehidupan. Keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain untuk

bekerjasama dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di antara

mereka, sebagaimana firman-Nya :

 ☺   ☺ 


$ "#   !  
,-.☺ / %&' ()*+
2- 3 ☺  01 .+
%&: + 6$6789  %& ☺ 45+

31
Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini (Jakarta: Lentera,
2004), h. 79-98.
32
Faiqoh, “Wanita Dalam Kultur Islam Indonesia,” dalam Azizah al-Hibri, dkk., Wanita
Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan Kesempatan (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2001), h. 259.
@ %& ?+ 6$⌧<=> 
.EGH *I! $ AB!  CD
@ =/5 3 N  K⌧LM-.C
0STU Q ,3.R O>+P
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan

sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh

menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan shalat

menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu

akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi

Maha Bijaksana”. (QS. At- Taubah [9]:71).

Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki

Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas

politik, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa

sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban

untuk berpolitik dan mempunyai hak kepemimpinan publik. Terbukti keduanya

berhak menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar,

mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap

penguasa.33

Walaupun dalam Islam tidak ada larangan –dalam teks Al-Qur’an dan

riwayat hadits– bagi perempuan untuk menjadi seseorang kepala negara, tetapi

semasa hidup Rosulullah dan Khulafa’ur Rasyidin memang belum pernah ada

seorang perempuan yang memimpin kaum muslimin. Namun ini bukan berarti

perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, karena pada masa rasulullah

33
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta:
Teraju, 2004), h. 182-183.
semua urusan agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik –dalam beberapa hal

tertentu terjadi kompromi– terpusat di bawah kendali Nabi Muhammad SAW.

Dan menjadi satu hal yang wajar jika seluruh potensi yang dimiliki kaum

muslimin –termasuk perempuan– berada dalam arahan rasulullah SAW.

Ketiadaan pemimpin politik dari kalangan muslimah pada era Nabi dan

Khulafaur Rasyidin menimbulkan polemik tersendiri di kalangan internal ulama

Islam, khususnya mengenai boleh atau tidaknya perempuan menjadi seorang

pemimpin negara. Hampir sebagian besar ulama klasik menjadikan dalil "Tidak

akan berjaya satu kaum jika menjadikan wanita sebagai pemimpin",34 hal ini

kemudian menjadikan wanita diharamkan untuk memimpin suatu negara.

Kondisi ini coba ditengahi oleh Nasaruddin Umar dengan melakukan

pendekatan sejarah (historic approuch). Di mana ia mencoba melihat wacana

kepemimpinan perempuan melalui fakta-fakta sejarah yang telah terbentang

sepanjang sejarah umat manusia dan kaum muslimin. Sebagaimana al-Qur’an

telah mendokumentasikan secara baik –dalam Surat An Naml– mengenai

kehebatan Ratu Balqis yang memimpin negeri Saba’ pada masa Nabi Sulaiman.

Kemudian terdapat pula fakta sejarah yang mengakui kepemimpinan Sajaratud

Durr –putri keturunan Salahuddin Al Ayyubi– yang menjadi kepala negara pada

Dinasti Mamalik.

Terlepas dari boleh tidaknya perempuan menjadi seorang kepala negara,

dalam sektor lainnya kiprah perempuan telah banyak menghiasi langit-langit

34
Hadis ini oleh kalangan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin dikategorikan
sebagai hadis umum ini yang dikhususkan untuk Maharani bernama Buran bt Kisra yang
memimpin Kerajaan Parsi pada era Nabi Muhammad.
sejarah peradaban kaum muslimin. Perempuan-perempuan muslimah sangat

banyak memberikan andil dalam membangun peradaban Islam. Kondisi ini

tercipta karena Nabi Muhammad saw dapat digolongkan sebagai aktivis gerakan

perempuan. Beliau adalah pemimpin revolusioner yang mengangkat derajat

perempuan dan menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi dengan melawan

mainstream kultur pada masanya.35 Sejarah mencatat bahwa sebagian besar

perempuan muslimah juga turut ikut memainkan peran-peran penting bersama

kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain,

Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit).36

Perempuan Islam di masa Rasulullah juga tidak segan pula bertindak

terhadap pemimpin negara sekali pun. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari,

Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang

melarang perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan

batas-batasnya. Seorang wanita protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat

dalam al-Quran: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara

mereka harta yang banyak.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 20). Umar mencabut kembali

peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini

menunjukkan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik, dan betapa

Islam sebagai sebuah ajaran agama –dalam hal muamallah– tidak membeda-

bedakan seseorang berlandaskan jenis kelamin.37

35
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama (Bandung: Mizan,
2005), h. 515.
36
Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan.
37
Muhammad Ismail Yusanto, “Peran Politik Perempuan Dalam Islam,” artikel diakses
www. hti. or. Id.
Dari pemaparan beberapa catatan sejarah dan teks hadits ini, terlihat bahwa

para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting.

Apalagi jika melihat pada latar belakang sosial mereka, yang awalnya tidak

diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab jahiliyah. Memang kiprah

mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran

dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam. Dengan melihat

peran para perempuan awal Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui

bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung

jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial.

B. Persfektif Barat

Membicarakan peranan politik peranan perempuan di abad modern sekarang

ini, kita tidak bisa melepaskan sepenuhnya dari apa yang telah terjadi dalam

dialektika kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat Barat. Karena memang

gerakan kesadaran perempuan baik secara konsep dan implementasi mendapat

momentum ketika dunia belahan barat dihantam gelombang pencerahan.

Pada bab terdahulu telah disinggung, bahwa ketika kita ingin melihat

keterlibatan perempuan dalam dunia politik maka setidaknya ada dua pendekatan

yang dapat meneropong fenomena tersebut. Pertama adalah pendekatan

feminisme dan pendekatan kedua adalah melalui teori partisipasi politik. Di

bawah ini akan dijabarkan kedua teori tersebut secara singkat.

1. Teori Feminisme

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah

kelahirannya dengan kelahiran Era Pencerahan yang melanda kawasan Eropa (The
Enlightenment),38 yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu & Marquis

de Condorcet.39 Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali

didirikan di Middelburg40 sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.

Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan

perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara

penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal

sisterhood.

Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis Sosialis utopis Charles

Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan

berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill (1869) di dataran Inggris.41

Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama dalam

sejarah gerakan perempuan. Kemudian dapat disimpulkan bahwa perjuangan

feminis gelombang pertama (first wave feminism)42 dimulai pada abad 18 sampai

38
Bersamaan pula dengan dimulainya ekspansi Kolonialisme Eropa ke berbagai belahan
dunia; baca: Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda ke Indonesia dalam kurun waktu lebih dari
tiga setengah abad; baca: abad 17/18/19).
39
Di akses pada tanggal 22-09-2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Fat_feminism"
title="Fat feminism".
40
Sebuah kota yang menjadi salah satu anggota chamber/kammers/kamar dagang VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan pada 20 Maret 1602. Kerajaan Belanda
memberikan hak monopoli untuk melaksankan kolonialisasi di Asia (baca: East Indies/Indonesia).
VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia yang mencetuskan ide stock. VOC terdiri
dari enam kamar dagang, yaitu Amsterdam, Middelburg, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi ini
dikenal sebagai Heeren XVII (the Lord Seventeen).
41
Dalam bukunya pada tahun 1869, The Subjection of Women (kitab suci kaum feminis),
Mill yang orang Inggris menghubungkan gerakan wanita dengan pemikiran liberalisme. Mill juga
berpendapat bahwa persamaan dalam hukum bagi pria dan wanita adalah syarat utama untuk
mencapai masyarakat yang adil.
42
Gelombang pertama feminisme terjadi pada saat pemasungan terhadap kebebasan
perempuan mengalami puncaknya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan. Di tahun
1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang
isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-
tahun 1830-1840, sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan
mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan
ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960,43 dan bahkan dunia

dihantam dengan gelombang susulan, yaitu timbulnya gelombang ketiga atau Post

Feminism.44

Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai

Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam

masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh

perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.45 Menurut definisi

ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis

kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan

untuk menentangnya, adalah seorang feminis.46

Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena

adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep

seks, sekalipun kata gender dan seks secara bahasa memang mempunyai makna

ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum
laki-laki. Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 31-32.
43
Gelombang kedua berlangsung setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan
lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang
Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.
Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut
mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis
Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di
Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis). Dalam The
Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai
maskulin. Secara lengkap dapat dilihat tulisan Judy Lattas, “Feminisme Prancis,” dalam Peter
Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 59-162.
44
Ide Posmo -menurut anggapan mereka- ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas,
gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena
penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat
bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
45
Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 5.
46
Bashin dan Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme, h. 6.
yang sama, yaitu jenis kelamin.47 Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu

sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah.

Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari

perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil,

melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.

Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang

kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang

telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu

lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu

kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan

dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut.

Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai

ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak

bisa diubah-ubah lagi.48

Dalam konteks kekinian ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB

mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975-1985. Sejak itu,

isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat

internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika

Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu

tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan –seperti forum di

Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing

47
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia,
1990), Cetakan XVIII, h. 265 dan 517.
48
Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 11-20.
tahun 1995– maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi

Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi

Kependudukan.49

Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon

dari berbagai pihak di Dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para

propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga

pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide

sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi ke dalam Dunia Islam.

Maka tersohorlah kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatima Mernissi

(Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali

Engineer (India), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin,

Wardah Hafizah, Gadis Arivia, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di

Indonesia khususnya dapat disebut beberapa gerakan perempuan penganjur

feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan

Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan

Solidaritas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan sebagainya. 50

Tuntutan dari kelompok feminisme tersebut nyaris sama dengan gema

feminisme di berbagai penjuru dunia, yaitu terangkatnya harkat dan martabat

perempuan setara dengan laki-laki. Dan gerakan kelompok ini mendapat respon

dari pemerintah Indonesia dengan dicanangkannya Program Pengarusutamaan

49
Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban
Masyarakat Kontemporer, Wacana Keperempuanan Mutakhir, di Pusat Studi Islam Lembaga
Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995.
50
F. Syarifah, Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I Dzulqaidah 1416
H/April 1996. hlm. 11-16.
Gender51 dalam setiap kebijakan pemerintah. Ini dapat diartikan bahwa dalam

setiap departemen pemerintah dalam setiap menggulirkan program-programnya

harus senantiasa berwawasan feminisme.

2. Partisipasi Politik Perempuan

Dalam menganalisa suatu sistem politik, maka soal partisipasi politik

menjadi salah satu indikator yang dapat mengukur kemajuan dari proses yang

berlangsung di negara tententu. Menurut Samuel Huntington meluasnya

partisipasi politik di sebuah negara merupakan ciri khas dari modernisasi politik.

Masyarakat modern akan selalu berfikir dan aktif bergerak bagaimana ia dan juga

kelompoknya dapat memberikan pengaruh dan tekanan kepada pemerintah dalam

setiap kebijakan yang akan diputuskannya. Proses memberikan pengaruh inilah

yang kemudian disebut sebagai bentuk partisipasi politik.

Samuel Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi politik

adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang

dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi

bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau

sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak

efektif.52

Sedangkan Herbert Mc Closky yang dikutip Miriam Budiardjo

mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga

51
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan
Gender Dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada
tanggal 19 Desember 2000.
52
Samuel Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 5.
negara masyarakat melalui cara mereka mengambil bagian dalam proses

pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses

pembuatan atau pembentukan kebijakan umum.53

Ramlan Surbakti yang dikutip dalam buku Sosiologi Politik mengatakan

bahwa partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak

memiliki kewenangan) dalam memengaruhi proses pembuatan keputusan politik

pemerintah yang di mana keputusan itu menyangkut atau berdampak pada hidup

mereka.54

Dari beberapa pendapat-pendapat di atas ada beberapa kata kunci dalam

memahami partisipasi politik, di mana partisipasi politik merupakan kegiatan-

kegiatan nyata (ikut pemilu, lobi, kegiatan organisasi, mencari koneksi, tindak

kekerasan), bersifat sukarela, dilakukan oleh warga negara baik secara individu

atau kelompok (masyarakat kelas, 55 komunal,56 lingkungan,57 partai,58 dan

golongan59), memiliki tujuan-tujuan, berupaya memengaruhi atau mengubah

kebijakan, dan mempunyai tingkatan-tingkatan partisipasi.

Munculnya partisipasi politik yang lebih luas dari masyarakat disebabkan

oleh beberapa hal:

53
Miriam Budiardjo, “Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam Miriam
Budiardjo (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998), h. 2.
54
A. A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika
Perkembangan Kajian (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), h. 92.
55
Perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan yang sama.
56
Perorangan dari ras, agama, bahasa, atau gender yang sama.
57
Perorangan yang secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu sama lain.
58
Perorangan yang mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal yang sama yang
berusaha untuk meraih atau mempertahankan control atas bidang-bidang eksekutif dan legislative
pemerintahan.
59
Perorangan yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus, dan salah satu
manifestasinya adalah pengelompokan patron-klien.
1. Adanya modernisasi di semua bidang yang menyebabkan masyarakat
banyak berpartisipasi dalam politik.
2. Perubahan-perubahan struktur kelas sehingga timbul pertanyaan
mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan
politik yang mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern. Ide
demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum
mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi secara matang.
4. Konflik antar kelompok pemimpin politik. Bila muncul konflik antar
relit, maka yang dicari adalah rakyat.
5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Hal ini sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang
terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.60

Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, pemikiran yang

melandasi konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat,

yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan

serta masa depan masyarakat itu dan juga untuk menentukan orang-orang yang

akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan

implementasi dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.

Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya melalui

pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa melalui

pemberian suara atau kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau

minimal diperhatikan, dan dengan berpartisipasinya mereka juga dapat

memengaruhi atau implikasi kepada para pembuat kebijakan.

Dalam konteks gerakan perempuan yang tengah menggeliat menjadi isu

global, tentunya teori partisipasi politik bisa memberikan gambaran awal tentang

mengapa gerakan perempuan terus berupaya memasuki secara kaffah wilayah-

wilayah yang selama ini tidak pernah terjamah oleh perempuan. Dan tujuan akhir

60
Gatara dan Said, Sosiologi Politik, h. 89-90.
dari perempuan adalah memberikan tekanan kepada para pembuat keputusan dan

sekaligus melakukan perubahan-perubahan pada sistem dunia agar lebih

memahami dan menghargai posisi kaum perempuan.

Keinginan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik berkaitan dengan

sejumlah faktor, termasuk kian luasnya kesempatan bagi perempuan untuk

memperoleh pendidikan lebih tinggi serta menjadi bagian dari angkatan kerja

berupah, sehingga muncul kesenjangan kian lebar antara cita-cita kaum

perempuan itu sendiri dan representasi peranan mereka yang dominan sebagai ibu

dan istri belaka. Di samping itu, politisasi perempuan dalam gerakan-gerakan

ideologis serta menguatnya perjuangan tentang hak-hak sipil, dan pada akhirnya

mendorong mereka untuk membuat suatu gerakan pembebasan yang otonom. Jadi,

gerakan partisipasi politik perempuan tidak hadir dalam keadaan terisolir namun

merupakan bagian dari suatu gerakan sosial yang menentang penindasan atas

kaum perempuan dan inilah yang kemudian mendorong penyebarannya secara

luas dan beragam.

Di Indonesia partisipasi perempuan dalam kegiatan politik serta kesempatan

dan kemampuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan pada tingkat

nasional dapat diukur dari dua indikator. Pertama, keikutsertaan mereka sebagai

anggota dalam lembaga DPR maupun MPR. Dan kedua, kehadiran perempuan

dalam kabinet dan dalam Eselon I sampai II dalam jajaran pegawai negeri yang

merupakan kedudukan pengambilan keputusan.61

61
Sali Susiana, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan Anggota
DPR,” dalam Sali Susiana (penyunting), Perempuan Indonesia Menyongsong Abad 21 (Jakarta:
Pusat Pengkajian Pelayanan Informasi Setjen DPR-RI, 2000), h. 50-51.
Budaya, sistem sosial, sistem politik, hingga masalah kemiskinan, masih

menjadi tembok penghalang yang kokoh dalam partisipasi politik perempuan.

Makanya, dibutuhkan sebuah usaha yang lebih strategis agar dapat mengubah

kondisi-kondisi tersebut. Memasuki wilayah strategis berarti memasuki wilayah

pengambilan kebijakan alternatif yang bersahabat dengan perempuan. Salah satu

cara yang dapat dipilih adalah perempuan masuk dalam tataran kekuasaan dan

legislasi atau dengan memperkuat kontrol dan akses perempuan di wilayah

tersebut.62 Mengapa demikian? Karena kekuasaan dan legislasi adalah aspek yang

sangat menonjol dalam menentukan corak ideologi masyarakat dan pengaturan

sumber daya pembangunan. Jika kita menginginkan keadilan pengaturan sumber

daya bagi laki-laki dan perempuan secara adil, satu-satunya jalan adalah terlibat

langsung dalam setiap tahapan pengaturan tersebut.

C. Politik perempuan Di Indonesia

Pada pembahasan ini kita mengungkap tentang gerakan wanita Indonesia

dalam perspektif historis. Dari fakta-fakta sejarah kita peroleh gambaran yang

menarik, karena ternyata wanita-wanita Indonesia ternyata bisa memperoleh

kedudukan, wewenang dan kekuasaan tertinggi sebagai kepala negara. Di samping

itu, mereka juga telah berkiprah di berbagai bidang yang sering dianggap sebagai

domain lelaki. Sebagai contoh kecil saja, di Aceh pada lampau pernah memiliki 4

62
MB. Wijaksana, “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah Konstitusional,”
dalam Jurnal Perempuan, Edisi No. 34, Politik dan Keterwakilan Perempuan (Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan, 2004), h.84.
orang ratu (sultanah) yaitu Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah (1641),

Sultanah Nurul Alam Naqiyyatuddin Syah (1641), Sultanah Zakiyatuddin Inayah

Syah (1678), dan Sultanah Kamalatuddin Syah (1688-1699) yang berkuasa selama

60 tahun dan mereka sukses melakukan berbagai terobosan baik sosial, ekonomi,

maupun politik.63

Pada sisi yang lain, realitas sejarah pergerakan perempuan di Indonesia

memiliki beberapa persamaan arah tujuannya dengan gerakan-gerakan perempuan

di belahan dunia lain, yaitu bertumpu pada usaha aktualisasi diri sebagai warga

yang tersubordinasi. Mereka bangkit dari dominasi sosial yang membelenggu

eksistensi dirinya. Namun, gerakan-gerakan perempuan yang muncul itupun

mempunyai bentuk dan arah yang bervariasi, karena pola gerakan perempuan

sangat dipengaruhi oleh situasi politik nasional yang tengah berkembang.

1. Pra kemerdekaan

Pada umumnya gerakan perempuan sebagai gerakan sosial tidak muncul tiba-

tiba melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan

cemas dan ada keinginan-keinginan individu yang menghendaki perubahan. Di

Indonesia, proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 dalam bentuk peperangan

di banyak daerah yang dipimpin langsung oleh para raja atau tokoh lain melawan

masuknya dan meluasnya penjajahan Belanda, misalnya perlawanan para raja

wanita terjadi di Banten, Yogyakarta, Rembang, Maluku, Palembang,

Minangkabau, Banyumas, Kalimantan Barat, Bali, Lombok, dan Aceh.64

63
Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” h. 106.
64
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 39.
Pada permulaan abad ke-20 terjadi perubahan dari pola gerakan kaum

perempuan di Indonesia, karena pada waktu itu segelintir wanita Indonesia telah

mengenyam pendidikan yang lebih baik. Salah satu ikon penting dari pergerakan

perempuan Indonesia pada periode itu adalah Kartini. Keinginan Kartini –yang

lahir pada 1879– adalah membebaskan perempuan dari belenggu budaya feodal

Jawa dan ingin mengangkat martabat perempuan melalui bidang pendidikan.65

Keinginan untuk maju itulah yang menjadi landasan bagi nasionalisme Indonesia.

Semangat nasionalisme ini juga mendorong terbentuknya berbagai organisasi-

organisasi yang menggemakan nasionalisme Indonesia.66

Nasionalisme yang diperjuangkan Kartini dalam beberapa hal menjiwai

berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pada era selanjutnya, Boedi Oetomo

pada tahun 191267 mendirikan Poetri Mardika sebagai sayap perempuan, dengan

harapan kaum perempuan juga turut serta dalam perjuangan. Selain itu,

perempuan mulai bergerak dalam gerakan-gerakan sosial dan agama. Pada tahun

1914 berdiri sebuah perkumpulan perempuan yang dipimpin oleh istri pendiri

Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan bernama “Sopo Tresno” (siapa suka), yang

kemudian pada tahun 1917 berganti nama menjadi “Aisyiah”. Selang berapa

lama, pada tahun 1918 Siti Fatimah mendirikan bagian Sarekat Islam di Garut, di

Yogyakarta ada Wanoedya Oetomo (Wanita Utama) pada tahun 1920, kemudian

organisasi-organisasi ini berfusi ke dalam Sarekat Puteri Islam atau sarekat

Perempuan Islam Indonesia. Dari sekian banyak organisasi perempuan yang lahir

65
Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 83.
66
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 42.
67
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 20.
semasa ini beberapa di antaranya bersifat lokal atau kedaerahan. Organisasi

tersebut antara lain, “Wanita Soesilo” di Pemalang (1918), “Wanita Hadi” di

Jepara (1919), “Poetri Boedi Sedjati” di Surabaya (1919), “Wanito Moeljo” di

Jogjakarta (1920), “Serikat Kaoem Ibu Soematra” di Bukit Tinggi (1920), dan

lain-lain.

Organisasi-organisasi tersebut bersinergi memprogandakan tujuan mereka

dalam usahanya memperjuangkan masyarakat dari berbagai masalah yang

menimpanya. Adapun sarana yang digunakan dalam mempropagandakan

perjuangan adalah melalui penerbitan berkala. Di antara majalah yang cukup

terkenal adalah “Wanita Swara” (Pacitan, 1913), “Poetri Mardika” (Jakarta,

1914), “Penoentoen Isteri” (Bandung, 1918), “Isteri Oetomo” (Sala, 1918), dan

“Soeara Perempoean Bergerak” (Medan).68

Ketika Sumpah Pemuda pada 28 Oktober tahun 1928 dikumandangkan

sebagai pertanda persatuan Indonesia, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut

para perempuan Indonesia melakukan Kongres Perempuan Indonesia pertama

pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta.69 Acara tersebut dihadiri oleh tiga puluh

perkumpulan wanita, kemudian tanggal ini dikukuhkan sebagai Hari Ibu. Hasil

dari kongres tersebut sepakat melebur semua organisasi perempuan ke dalam satu

wadah perjuangan dengan nama “Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia”

yang kemudian berganti nama menjadi “Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia”

68
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22.
69
Rini Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan RI, 2001), h. 1.
pada tahun 1929 di Jakarta.70 Perserikatan Perempuan ini sampai sekarang masih

tetap eksis dengan nama Kowani sebagai hasil dari keputusan kongres pada

tanggal 14-16 Juni 1946.71

2. Pasca kemerdekaan

Dalam periode yang merupakan masa perang kemerdekaan melawan

penjajahan kembali ini organisasi-organisasi wanita timbul sesuai dengan tuntutan

zaman, yaitu mempunyai tujuan ikut serta dalam usaha membela dan menegakkan

kemerdekaan negara. Dalam tahun-tahun ini ada kegiatan yang luar biasa, ditandai

oleh semangat persatuan dan semangat perjuangan. Dibentuklah “Persatuan

Wanita Indonesia” (Perwani) di seluruh tanah air yang menjalankan tugas di garis

belakang dan membantu mereka yang bertempur. Di Jakarta, kota yang di bawah

pendudukan Belanda dengan nama Netherlands Indies Civil Administration

(NICA) tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, didirikan “Wanita

Indonesia” (WANI) dengan tujuan yang serupa. “Perwani” dan “WANI”

kemudian dilebur menjadi “Persatuan Wanita Republik Indonesia” (Perwari) di

Yogyakarta, 17 Desember 1945. laskar-laskar wanita dibentuk untuk membantu

garis depan yang kemudian bergabung dalam “Persatuan Perjuangan Tenaga

Wanita Indonesia”. Perkumpulan “Pemuda Puteri” didirikan Desember 1945 juga

dengan semangat perjuangannya. Di Bandung didirikan “Budi Isteri” suatu

perkumpulan wanita seperti biasa akan tetapi timbul karena terdorong untuk

menolong mereka yang menderita akibat peperangan.

70
Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 86.
71
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22.
Di bidang politik juga nampak kegiatan dengan didirikannya “Masyumi”

dengan bagian Muslimatnya, “Gerakan Pemuda Islam Indonesia” dengan bagian

Putrinya, “Muslimat Nahdlatul Ulama” dan “Partai Wanita Rakyat”, satu-satunya

partai politik wanita yang hingga kini pernah didirikan, atas prakasa Ibu Sri

Mangunsarkoro. Partai yang sekuler ini berazaskan ke-Tuhanan, kerakyatan dan

kebangsaan; program perjuangannya lebih militan dibandingkan dengan

organisasi-organisasi wanita lain. Juga nampak memuncaknya kegiatan di

kalangan agama Kristen dengan berdirinya Persatuan Wanita Keristen yang

otonom tapi mempunyai hubungan kerja sama dengan Partai Kristen Indonesia.

Memuncaknya kegiatan di bidang politik itu disebabkan antara lain karena

dalam masyarakat ada anggapan bahwa negara demokrasi yang dicita-citakan

pada waktu itu harus sebanyak mungkin mempunyai partai-partai politik yang

mencerminkan segala aliran dalam masyarakat maka dengan demikian dapat

tersusun Dewan Perwakilan Rakyat yang benar-benar terdiri dari wakil-wakil

rakyat melalui pemilihan umum yang dapat mengemukakan segala aspirasi yang

terkandung dalam masyarakat. “Dewan Perwakilan Rakyat” yang ada pada waktu

itu ialah Komite Nasional Indonesia Pusat terbentuk dalam masa darurat yang

anggota-anggotanya ditunjuk berdasarkan partai-partai politik dan golongan-

golongan lain yang ada.

Ada kelompok lain dalam masyarakat yang pada masa ini menunjukkan

kegiatan berorganisasi yaitu kelompok wanita yang bekerja. Tapi yang sekarang

timbul mempunyai sifat yang berlainan yang sebagian besar dipengaruhi oleh

suasana perjuangan politik. Beberapa bulan sebelum Jepang menyerah telah


dibentuk organisasi di kalangan pekerja wanita dengan se-izin yang berkuasa yang

telah melunakkan peraturan-peraturannya berhubungan pula dengan

kebijaksanaannya yang baru untuk “mempersiapkan Indonesia bagi

kemerdekaannya di kemudian hari”. Organisasi tersebut ialah “Perkumpulan

Pekerja Puteri Surakarta” (didirikan Juli 1945) dan “Persatuan Pegawai Puteri

Indonesia” di Yogyakarta, yang diikuti oleh terbentuknya perkumpulan-

perkumpulan yang serupa di beberapa tempat lain.

Masa perjuangan ini juga menimbulkan organisasi-organisasi wanita yang

mempunyai sifat khusus yaitu antara para isteri dalam lingkungan Angkatan

Bersenjata, yaitu “Persatuan Isteri tentara - Persit” (3 April 1946), “Jalasenastri”

(1946) dan “Persatuan Isteri Polisi” (17 Agustus 1949). Mereka mengadakan

persatuan karena perasaan senasib, kala suami berjuang di medan perang, dan

mereka merasa terdorong untuk bersama-sama meringankan kesukaran keluarga-

keluarga yang ditinggalkan oleh ayah dan memberi pertolongan kepada mereka

yang menjadi janda dan anak-anaknya. Dan bersama-sama, mereka dapat

menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi isteri prajurit.72

Periode 1950-1959, yaitu setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui

sampai politik Pemerintah berlandaskan gagasan Demokrasi Terpimpin. Setelah

kedaulatan negara diakui oleh dunia internasional dan peperangan berakhir maka

perhatian dapat dicurahkan kepada pembangunan di segala bidang. Dalam periode

ini bidang politik meminta banyak sekali perhatian karena adanya bermacam-

macam persoalan yang bertalian dengan penyusunan kekuatan partai-partai,

72
Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita, h. 135-137.
pembentukan kabinet, wewenang presiden, dan lain sebagainya. Perhatian

masyarakat juga banyak diarahkan kepada pemilihan umum yang diadakan tahun

1955. kaum wanita merupakan juga suatu kelompok yang dapat menentukan hasil

pemilihan umum itu. Maka tidak mengherankan bahwa dalam periode ini tidak

kurang dari 6 organisasi wanita dibentuk yang merupakan bagian dari partai

politik. Di antaranya ada yang didirikan oleh anggota-anggota wanita dari suatu

partai politik, dan ada yang didirikan karena dipengaruhi oleh suatu partai politik.

Di antaranya:

1) “Parkiwa” (Partai Kebangsaan Indonesia bagian Wanita) yang dibentuk

di Bandung tahun 1950, yang kemudian namanya diganti menjadi

“Pasundan Isteri”.

2) “Gerwis” (Gerakan Wanita Indonesia Sedar) didirikan 4 Juli 1950,

namanya kemudian diganti menjadi “Gerwani” (Gerakan Wanita

Indonesia) dan berafiliasi dengan “Partai Komunis Indonesia”.

3) “Perwamu” (Persatuan Wanita Murba), didirikan 17 September 1950,

yang berafiliasi dengan “Partai Murba”.

4) “Wanita Demokrat Indonesia”, didirikan 14 Januari 1951, berafiliasi

dengan “Partai Nasional Indonesia”, namanya diganti menjadi “Gerakan

Wanita Marhaenis (1964), kemudian menjadi ”Pergerakan Wanita

Nasional Perwanas” (1973).

5) “Wanita Nasional”, didirikan tahun 1953 di Jakarta, berafiliasi dengan

“Partai Indonesia Raya (PIR)”.


Organisasi-organisasi wanita yang mempunyai hubungan dengan partai-

partai politik tersebut dimaksudkan untuk membantu partai dengan menyebar

luaskan ideologinya dan mendukungnya pada memilihan umum, tapi mempunyai

kedudukan yang cukup otonom dengan Anggaran Dasar yang tersendiri.73

3. Era reformasi

21 Mei 1998 menjadi hari yang paling bersejarah bagi segenap bangsa

Indonesia, karena pada hari itu Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden

Republik Indonesia. Mundurnya Soeharto kala itu memberikan secercah harapan

bagi aktifisme perempuan Indonesia yang telah lama dipinggirkan. Budaya politik

dominan yang berkembang pada masa Orde Baru, membuat eksistensi, posisi, dan

peran perempuan tidak mendapat tempat semestinya. Perempuan pada periode

tersebut harus senang menjadi penghuni tetap dari ruang domestik wanita belaka.

Tumbangnya Soeharto sekaligus pertanda terbukanya sekat-sekat tiranik

yang sengaja dibuat Orde baru. Reformasi menjadi tumpuan baru untuk sejenak

berdiri menghirup segarnya udara kebebasan yang dijanjikan demokrasi.

Momentum reformasi membuat kalangan aktifis gerakan perempuan Indonesia

untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka yang selama masa Orba hanya menjadi

bahan diskusi tanpa implementasi.

Pada tahap awal, para aktifis perempuan kemudian berbondong-bondong

mendirikan bermacam-macam organisasi yang bertujuan memperjuangkan hak-

hak perempuan dan membebaskan perempuan dari segala macam belenggu

diskriminasi. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Yayasan Kalyanamitra,

73
Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita, h. 138-139.
Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan

Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan, Yayasan

Jurnal Perempuan, KOWANI, Kaukus Perempuan Parlemen, Kaukus Perempuan

Politik Indonesia, Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (PD-Pol),

Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan (GPSP), Himpunan Wanita Karya

(HWK), Jaringan Perempuan dan Politik, dan lain-lain. 74

Tuntutan merekapun beragam, mulai dari wacana mengenai kesetaraan

gender (gender parity) seperti hak-hak asasi perempuan dalam perkawinan dan

masyarakat, marital rape (perkosaan dalam perkawinan), kekerasan dalam rumah

tangga, cuti hamil, pelecehan seksual (sexual harassment) di tempat kerja,

kesehatan reproduksi, affirmative action (tindakan khusus sementara), peranan

perempuan dalam lingkungan, serta peran perempuan dalam mencegah dan

mengupayakan resolusi konflik. Dan tidak sedikit perempuan yang terjun

langsung ke dalam dunia politik, dengan mendirikan atau bergabung dengan

partai-partai politik. Bahkan kemudian sosok perempuan itu menjadi figur sentral

dalam partai politik tersebut. Klimaksnya adalah dengan terpilihnya Megawati

sebagai Presiden Republik Indonesia yang berstatus perempuan, dan sekaligus

pertama dalam sejarah kepempimpinan di negeri ini. Realitas politik semacam

merupakan suatu capaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Satu tahapan penting di periode reformasi dalam kerangka mengangkat

derajat wanita melalui keterwakilan politik di lembaga legislaif adalah dengan

adanya klausul politik yang menyatakan bahwa perempuan berhak dicalonkan

74
Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik, h. 8.
oleh partai politik dengan proporsi tiga puluh persen. Dalam Pasal 65 ayat (1) UU

Pemilu, disebutkan: Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon

anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah

pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya

30 persen. Terlepas dari pro dan kontra yang melingkupi penerapan UU ini,

setidaknya perempuan dapat memperjuangkan nasib kaum wanita dengan

berjuang sekuat tenaga melalui legislasi di parlemen.

BAB III

SEKILAS TENTANG PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

A. PKB dalam Lintasan Sejarah

Setelah hampir tiga puluh dua tahun, era tinggal landas pembangunan yang

ditetapkan Orde Baru terpaksa kandas di tengah jalan ketika badai krisis ekonomi

dan moneter menerjang kawasan Asia pada Juli tahun 1997. Di Indonesia,
peristiwa tersebut membawa dampak pada goyangnya tonggak pembangunan

ekonomi yang dipancangkan penguasa Orde Baru. Kemudian krisis mata uang

regional tersebut berujung pada kisruh politik, ekonomi dan keamanan yang

sangat hebat bagi Indonesia. Dan pada gilirannya, legitimasi Orde Baru dari sisi

pembangunan ekonomi dan stabilitas politik pun setahap demi setahap sirna.

Muara dari segala petaka tersebut berujung pada tuntutan rakyat perihal

pergantian pucuk pimpinan nasional. Soeharto beserta para punggawanya tak

kuasa membendung hantaman gelombang demonstrasi dari kalangan kampus dan

non-kampus yang mendesak dirinya agar sesegera mungkin meletakkan

mandatnya sebagai Presiden. Tuntutan reformasi politik berkembang dalam

eskalasi krisis politik yang menunjukan kekuatan reformasi dan tidak mungkin

bisa dibendung lagi. Akhirnya, tepat pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto pun

bersedia menanggalkan jabatannya sebagai orang nomer satu di Republik

Indonesia. Dengan demikian, Indonesia memasuki suatu era transisi dari sistem

pemerintahan otoriter ke suatu sistem yang lebih demokratis. 75

Tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru meniupkan angin segar

perubahan, yang kemudian mendobrak sekat-sekat tiranik yang selama ini

mengurung bangsa Indonesia. Demokratisasi menjadi senandung syahdu yang

diperdengarkan pada setiap bilik-bilik rakyat di negeri ini. Momentum kejatuhan

Soeharto menjadi sebuah pemantik yang dahsyat bagi demokrasi, hal inilah yang

kemudian mendorong segenap warga Nahdliyin berinisiatif mengadakan diskusi

75
Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto
(Jakarta: Reform Institute, 2007), h. 193.
dan halaqah politik yang intensif dalam kerangka menyongsong perubahan

tersebut.

Pertemuan-pertemuan tersebut membicarakan bagaimana seharusnya peran

warga NU –yang telah lama termarginalisasi– dalam arus perubahan yang tengah

bergerak akseleratif nyaris tak terkendali itu. Berbagai masukan, desakan dan

ragam interpretasi pun bermunculan menyikapi situasi politik nasional yang sarat

dengan ketidakpastian. Arah pembicaraan pun kemudian semakin mengkristal

pada sebuah pilihan, yaitu tentang perlunya warga NU memiliki suatu wadah

untuk menampung aspirasi politiknya. Dalam konteks ini sebagian besar warga

NU menginginkan –pada masa-masa mendatang– terjadinya sebuah

pengambilalihan kekuasaan secara konstitusional dan demokratis melalui

perpanjangan tangan politik yang berbentuk partai politik. Hal tersebut merupakan

konsekuensi politik mengingat sebagian besar warga negara Indonesia merupakan

warga Nahdhatul 'Ulama.

Namun demikian, dalam merespon wacana yang mengemuka di tengah-

tengah penganutnya, PBNU bertindak hati-hati dan tidak gegabah dalam

menentukan sikap politiknya agar tidak berakibat tidak baik bagi pengikutnya.

Kehati-hatian sikap para pengurus PBNU terjadi karena ada satu konsensus

bersama yang tidak boleh dilanggar oleh NU secara institusional. Di mana pada

Muktamar ke-27 di Situbondo, NU secara organisasional menetapkan tidak terkait

dengan partai politk manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis dan
diputuskan kembali kepada khittah 1926.76 Menyaksikan sikap para pimpinan

teras PBNU tersebut, kemudian memicu kekecewaan dan ketidakpuasan di

kalangan internal kaum santri itu, khususnya pada tataran akar rumput.

Menyikapi kondisi sosial dan realitas politik yang sedang berlangsung saat

itu, PBNU tidak dapat menutup mata dan mengabaikan desakan yang begitu deras

yang mengarah kepada PBNU. Akhirnya, PBNU mengadakan Rapat Harian

Syuriah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998 yang menghasilkan

keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi

aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai oleh KH. Ma'ruf Amin (Rais

Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota, K.H. M. Dawam Anwar

(Katib Aam PBNU), Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU),

H.M. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris

Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali

Surat Keputusan PBNU.77

Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima

seiring semakin derasnya usulan warga NU yang menginginkan partai politik,

maka pada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 20 Juni 1998

memberi Surat Tugas kepada Tim Lima, selain itu juga dibentuk Tim Asistensi

yang diketuai oleh Arifin Djunaedi (Wakil Sekjen PBNU) dengan anggota H.

Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma'ruf, Lc., Drs. H. Abdul Aziz,

M.A., Drs. H. Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H. Lukman Saifuddin,

76
Nadhif Alawi (ed.,), Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004: Kesiapan PKB
Menjelang Pemilu 2004, (Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat PKB,
2003), h. 3.
77
Diakses melalui www.dpp-pkb.org pada tanggal 26 November 2008.
Drs. Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar. Tim Asistensi bertugas membantu

Tim Lima dalam mengiventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk

partai politik baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang

dapat mewadahi aspirasi poitik warga NU.

Pada tanggal 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat

untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya. Tanggal 26-28 Juni

1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyering di Villa La Citra

Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Pertemuan ini

menghasilkan lima rancangan: Pokok-pokok Pikiran NU Mengenai Reformasi

Politik, Mabda' Siyasiy, Hubungan Partai Politik dengan NU, AD/ART dan

Naskah Deklarasi. 78 Hal penting yang dinyatakan dalam pokok-pokok pikiran NU

mengenai reformasi politik, antara lain adalah tentang perlunya kehidupan yang

lebih demokratis dan dikembalikannya kedaulatan kepada rakyat. Mabda' Siyasi

antara lain memuat visi, misi dan strategi partai politik. Hubungan partai politik

dengan NU memuat hubungan historis, kultural dan aspiratif antara NU dengan

parpol bentukannya. Sedangkan sturktur dan lambang parpol dimuat dalam

rancangan AD/ART.79

Setelah melalui perdebatan yang panjang dan melelahkan, akhirnya saat-saat

yang bersejarah sekaligus dinanti-nantikan oleh segenap warga NU pun tiba,

karena tepat pada tanggal 23 Juli 1998 pukul 15:00 WIB dideklarasikanlah Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) di kediaman K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur),

78
Alawi (ed.,), Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004 (Jakarta: Lembaga
Pemenangan Pemilu Dewan Pengurus Pusat PKB, 2003), h. 4.
79
A. Effendy Choirie, PKB Politik Jalan Tengah NU (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2002), h.
186-187.
Ciganjur, Jakarta Selatan.80 Pucuk pimpinan PKB untuk kali pertama disematkan

kepada Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum PKB.81 Dalam Anggaran Dasar

PKB dicantumkan bahwa tujuan PKB adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan

Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu

mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin, materi-spritual,

dan mewujudkan tatanan politik nasional yang demokratis, bersih dan terbuka,

dan berakhlakul karimah.82

Terpilihnya nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menurut Gus Dur

adalah karena “Kebangkitan Bangsa” merupakan pilihan yang paling tepat.

Karena kata “Kebangkitan” adalah terjemahan dari kata nahdhah dalam Nahdlatul

Ulama, karena memang dari dahulu ulama NU menginginkan “kebangkitan

bangsa”. Selain itu, kata “bangsa” sudah inheren dengan kehidupan kebangsaan

Indonesia dan masuk dalam lubuk hati warga NU. Dikarenakan negara Indonesia

yang sangat heterogenitas, terutama dari dimensi agama. Oleh karena itu, jika

partai yang akan didirikan memakai kata “umat”, maka konotasinya hanya umat

Islam, sementara umat yang di luar Islam tidak masuk. Akan tetapi jika memakai

kata “bangsa”, maka di sana tidak hanya orang Islam tetapi orang di luar Islam

juga termasuk di dalamnya. Kemudian dalam perjalanannya, terdapat beberapa

orang yang beragama non muslim dalam kepengurusan PKB.

80
Para deklarator tersebut adalah K.H. M. Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa
Bisri, K.H. Muchith Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.
81
Mengenai proses terpilihnya Matori Abdul Djalil dapat dilihat dalam Y. B. Sudarmanto,
dkk, H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa, (Jakarta: Grasindo, 1999), h. 3-
18.
82
Bahrul 'Ulum, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi” (Yogyakarta: Ar-Ruz Press, 2002),
h. 135.
Dengan demikian telah lahir sebuah partai politik yang mewadahi

komunitas nahdhiyin sekaligus menandakan era baru bagi bangkitnya peran

politik NU yang sejak lama terpinggirkan oleh tamaknya kekuasaan. PKB

diharapkan mampu membawa aspirasi politik warga NU khususnya dan umumnya

bangsa Indonesia dalam mengarungi terjalnya jalan kehidupan.

Sejalan dengan komitmen untuk membangun tatanan politik demokrasi

maka demokrasi harus dimaknai sebagai code of conduct dalam mengelola

kehidupan politik. Salah satu karakter demokrasi adalah terbukanya ruang untuk

berbeda pemikiran, pendapat atau sikap. Situasi tersebut memang dapat

memunculkan konflik, namun hal itu bukan sesuatu yang tabu dalam demokrasi.

Dalam kerangka itu, konflik menjadi bagian dari proses untuk memperoleh hasil

terbaik dengan memaksimalkan beragam potensi yang dimiliki para anggota

organisasi. Namun, konflik akan menjadi hal yang kontraproduktif jika lebih

banyak didorong oleh kepentingan pragmatis, jangka pendek dan kepentingan

sesaat lainnya. Dalam sisi ini, konflik justru membuat organisasi menjadi kerdil

dan tidak berkembang. Energi para aktivisnya akan lebih banyak tersita untuk

menyelesaikan konflik yang tidak pernah kunjung usai.

Konflik internal partai politik bukan sesuatu yang baru dalam sejarah

kepartaian di Indonesia. Kompetisi yang ketat dalam memperebutkan sumber-

sumber kekuasaan menjadi bagian dari konflik. Setidaknya, ada tiga elemen

kekuasaan yaitu: authority, influence dan force yang menjadi media atau ruang

konflik. Kepentingan yang berbeda dan saling bertentangan di antara individu atau

aktor politik dapat menjadi pemicu konflik. Hampir semua konflik internal partai
berawal dari pertarungan dalam perebutan kepemimpinan dalam partai. Imbas

konflik itu selalu membuahkan kepengurusan tandingan.

Konflik internal PKB menjadi bagian dari hal tersebut, di mana dalam

perjalanannya Partai Kebangkitan Bangsa tidak pernah lepas dari persoalan

konflik internal PKB. Partai Kebangkitan Bangsa dapat dikatakan dalam proses

tranformasi kepemimpinan internal partai nyaris tidak pernah berlangsung secara

normal dan damai. Diawali dari perpecahan yang terjadi antara Matori Abdul

Djalil –selaku Ketua Umum PKB– dengan Abdurrahman Wahid yang

menganggap Matori telah berkhianat kepada dirinya.83 yang diberhentikan oleh

Gus Dur dalam Muktamar Luar Biasa di Yogyakarta pada 2002, MLB ini

kemudian memilih Alwi Shihab sebagai pimpinan teranyar PKB versi MLB

Yogyakarta.

Ternyata konflik dengan internal PKB pada era Matori Abdul Djalil

bukanlah konflik yang pertama dan terakhir, karena setelah persitiwa tersebut

serentetan perpecahan terus melanda bahtera Partai Kebangkitan Bangsa. Pasca

konflik dengan Matori Gus Dur kembali “pecah kongsi” dengan Alwi Shihab,

yang kemudian mendirikan PKNU bersama sejumlah Kyai Langitan. PKB seperti

telah ditakdirkan untuk berkembang dalam situasi konflik internal, karena awan

kelam konflik kembali menaungi PKB dalam Muktamar II di Semarang 2005.

Kali ini yang menjadi sasaran tembak adalah kubu Choirul Anam yang menyusun

struktur kepengurusan sendiri, di mana yang Ketua Dewan Syuro adalah K.H.

83
Matori di sinyalir mendukung pemberhentian Gus Dur sebagai presiden RI ketika terjadi
gejolak politik kekuasaan di parlemen pada tahun 2001. Gonjang-ganjing politik nasional waktu
itu menaikkan Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur, dan Matori
di tuduh telah membelot ke kubu Megawati. Alasan inilah yang memicu konflik internal PKB
untuk pertama kali.
Abdurahman Chudlori dan Ketua Dewan Tanfidz dijabat Drs. Choirul Anam.

Sedangkan sebagai lawannya adalah Drs.Muhaimin Iskandar, M.Si sebagai Ketua

Dewan Tanfidz dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Dewan Syuro. Namun

seperti telah diduga bahwa konflik ini kembali dimenangkan kubu Gus Dur.84

Di saat-saat semua partai politik tertuju pada perhelatan akbar pemilu yang

akan digelar paruh pertama 2009, PKB kembali harus menelan pil pahit politik

yang disebabkan oleh dualisme kepemimpinan. Krisis yang menerpa PKB kali ini

melibatkan Gus Dur dengan Muhaimain Iskandar. Muhaimin dipecat oleh Rapat

Pleno PKB yang dihadiri Dewan Tanfidz dan Dewan Syuro tertanggal 26 Maret

2008. Pemecatan ini berakibat fatal bagi keberlansungan soliditas PKB, karena

ada kepengurusan ganda yang masih mengklaim bahwa partainya lah yang paling

sah. Dan di luar dugaan, karena PKB kubu Gus Dur dikalahkan melalui proses

hukum. Akhirnya Gus Dur pun harus gigit jari, karena PKB-nya tidak

diperbolehkan mengikuti pemilu, sedangkan PKB kubu Muhaimin dimenangkan

untuk mengikuti pesta demokrasi 2009.

B. Karakteristik dan Arah Perjuangan PKB

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah aspirasi dan perjuangan

politik NU adalah merupakan keniscayaan bahwa karakter Partai didasari oleh

84
Putusan Kasasi MA No. 02/K/Parpol/2006 Tanggal 7 September 2006 yang
mengukuhkan Putusan PN Jakarta Selatan No. 1445/PDT.G/2005/PN.JAKSEL, tanggal 5 Juni
2006 merupakan keputusan final yang secara tegas menyatakan bahwa PKB yang sah di mata
hukum, aturan perundangan dan kepartaian adalah PKB dibawah kepengurusan KH Abdurrahman
Wahid dan Drs. Muhaimin Iskandar, MSi. Putusan hukum itu kemudian ditindaklanjuti oleh Surat
Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) No. M.14-UM.06.08 Tahun 2006 tanggal
11 September 2006 yang berisi pencabutan SK Menkumham No M-11.UM.06.08 Tahun 2005
tentang pendaftaran DPP PKB dibawah kepemimpinan Ketua Dewan Syuro KH Abdurahman
Chudlori dan Ketua Dewan Tanfidz Drs. Choirul Anam.
karakter dan garis perjuangan tempat di mana Partai ini dilahirkan. Sebagai

Jam‘iyyah Diniyyah yang berkewajiban amar ma’rūf nahī munkar dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik secara pribadi maupun

kelompok, NU tidak dapat mengelak tanggung jawab dalam berperan serta

membangun kehidupan politik bangsa Indonesia yang adil, demokratis dan

berakhlak mulia di atas landasan-landasan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Bagi Partai kebangkitan Bangsa, wujud dari bangsa yang dicitakan itu

adalah masyarakat yang terjamin hak asasi kemanusiaannya, mengejawantahkan

nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan bersumber pada

hati nurani (al-Sidqu), dapat dipercaya, setia dan tepat janji, mampu memecahkan

masalah-masalah sosial yang dihadapi (al-Amānah wa al-Wafā’u bi al-‘Ahdi),

bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi (al-‘Adalah), tolong menolong

dalam kebajikan (al-Ta‘awwūn) dan konsisten menjalankan ketentuan yang telah

disepakati bersama (al-Istiqāmah), musyawarah dalam menyelesaikan persoalan

sosial (al-Syurā) yang menempatkan demokrasi sebagai pilar utamanya, dan

persamaan kedudukan setiap warga negara di depan hukum (al-Musawwa’) adalah

prinsip dasar yang harus selalu ditegakkan.85

Dalam mewujudkan tata kehidupan politik yang demikian, Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) telah menetapkan pandangan dan sikap politik yang

didasarkan pada prinsip dasar perjuangan. Dasar perjuangan Partai Kebangkitan

Bangsa bertumpu pada nilai-nilai kebangsaan yang dilandasi dan dipadukan oleh

dan dengan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keterbukaan, kemerdekaan,

85
Lihat Mabda’ Siyasiy Partai Kebangkitan Bangsa diakses dari www.dpp-pkb.org
kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan, kejujuran, persamaan,

persaudaraan, nondiskriminasi, dan kesetaraan gender. Partai menjunjung tinggi

harkat dan martabat manusia, memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi,

keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Partai

mencita-citakan terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang bersatu, adil,

demokratis, dan egaliter, dimana seluruh warga negara memiliki peluang yang

sama untuk mengembangkan kepribadiannya secara bebas.


BAB IV

POLITIK PEREMPUAN DAN

PARTAI KEBANGKITAN BANGSA

Di awal abad ke-21, ada gejala bahwa lebih dari 95 persen negara di dunia

telah menjamin dua hak demokratis perempuan yang paling mendasar, yaitu hak

memilih dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan.86 Sesuai dengan teori

demokrasi yang universal, hak untuk menjadi kandidat, dan melakukan pemilihan,

merupakan hak yang perhlu diadakan dan dilandaskan pada hak sebagai warga

negara tanpa membedakan status gender.

“Perempuan di seluruh dunia berkeinginan untuk mempengaruhi keputusan-


keputusan yang menyangkut keluarga, perekonomian, masyarakat, negara,
serta struktur hubungan internasional. Urusan-urusan “besar” yang pada
gilirannya turut mengintervensi wilayah mereka yang paling privat dan
personal. Mereka berangkat dari sebuah kesadaran bahwa apa yang terjadi
dalam dirinya, pikiran serta tubuhnya, tidak pernah terlepas dari urusan
politik. Jelas, perjuangan ini adalah usaha kemanusiaan agar semua
masyarakat, laki-laki dan perempuan, dari segala ras, etnis, bangsa, dan
agama dapat menikmati hak-hak dasarnya.”87

Pendapat di atas menunjukkan bahwa kaum perempuan ingin 'bermain'

dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang

politiklah segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik (wanita)

dapat dibuat secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan harus

merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi

86
Ada data yang menungkap bahwa “Negeri Kiwi” Selandia Baru adalah negara pertama
yang memberikan hak suara kepada perempuan, tepatnya pada tahun 1893; selain itu ada pula
negeri Finlandia, menjadi negara pertama yang mengadopsi kedua hak demokratis mendasar
tersebut, yaitu sejak tahun 1906. lihat Syafuan Rozi, “Mengurangi Dampak Buruk Dominasi
Patriarki dalam Politik di Indonesia,” dalam Anilisis CSIS No. 3 Tahun XXXII/2003, h. 361.
87
Wijaksana, “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah Konstitusional,” h.83.
dalam pembuatan kebijakan publik. Suatu kesadaran baru yang merupakan

akumulasi dari serentetan perjuangan yang pernah dilakukan kaum perempuan.

Salah satu hak yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi

Manusia Nomor 39 Tahun 199988 adalah hak untuk turut serta dalam

pemerintahan. Hak ini terdiri atas unsur-unsur:89

1. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum

2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan

perantaraan wakil yang dipilihnya

3. Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan di dalam

pemerintahan.

Berbagai hak ini berlaku untuk warga negara Indonesia secara umum tanpa

memandang suku, agama, ras, golongan, termasuk pula jenis kelamin. Oleh

karena itu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk turut

serta dalam pemerintahan.

Era demokratisasi di segala sektor yang tengah menggeliat di Indonesia

pasca tumbangnya kekuasaan Orde Baru melambungkan asa para aktifis

perempuan untuk bisa berkiprah pada ranah publik secara lebih luas, karena pada

kenyataannya selama ini mereka terus terkungkung dalam bilik-bilik sempit

domestik. Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peranserta

penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persaman derajat,

dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi

88
Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999.
89
Departemen Hukum dan HAM RI. Modul Instrumen HAM Nasional Hak Turut Serta
dalam Pemerintahan (Jakarta : Sentra HAM Fakultas Hukum UI, 2004).
pengambilan keputusan. Dalam sistem demokrasi, kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan adalah suatu keniscayaan yang sulit dihindarkan.

Dengan latar belakang itulah kemudian kita saksikan pada saat ini, sudah

banyak perempuan yang melakukan ekspansi karir, termasuk juga dalam wilayah-

wilayah politik. Terlebih lagi ketika transisi demokrasi yang berkembang di

Indonesia diwarnai dengan era multi partai. Pada konteks ini, partai politik

merupakan salah satu elemen penting dalam setiap proses berbangsa dan

bernegara. Partai politik menjadi alat yang sah bagi rakyat untuk menempatkan

wakil-wakilnya di lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di

mana segala regulasi yang akan diberlakukan dalam masyarakat pasti melalui

pembahasan dan persetujuan DPR.

Peluang politik inilah yang coba dimanfaatkan oleh sebagian perempuan

untuk terjun langsung di beberapa kepengurusan partai politik yang ada di

Indonesia. Salah satu partai yang cukup memberikan perhatian besar terhadap

persoalan-persoalan perempuan adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang

didirikan oleh Abdurrahman Wahid. Sebagai partai politik, PKB merupakan

representasi dari warga Nahdhatul ‘Ulama (NU) yang berhaluan tradisionalis.

Dalam banyak kesempatan PKB senantiasa menjadi pembela utama

terhadap isu-isu mengenai hak-hak perempuan. PKB yang dihuni oleh warga

jebolan pondok pesantren melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan

(tafsir ayat al-Qur’an, Hadis, dan kitab-kitab kuning) yang selama ini menjadi

kekuatan untuk mensubordinasikan posisi perempuan. Penafsiran ulang tersebut

dimaksudkan agar teks-teks agama menjadi lebih sesuai dengan kondisi realitas
yang tengah berkembang, dan yang terpenting tidak lagi memojokkan posisi kaum

perempuan. Gerakan penafsiran ini di komandoi secara langsung oleh isteri Gus

Dur, yaitu Sinta Nuriah Wahid.90

Di bawah ini akan kita lihat bagaimana respon PKB terhadap beberapa

persoalan perempuan dan apa yang telah dilakukan PKB dalam mengoptimalkan

peran perempuan dalam wilayah publik.

A. Hak Politik Perempuan: Akomodasi Dalam PKB

Satu yang tidak pernah berubah dalam tubuh PKB –walaupun harus selalu

terlibat konflik internal– adalah mereka tetap menaruh perhatian serius terhadap

persoalan yang dihadapi perempuan. Sikap yang diambil partai politik bentukan

NU ini tidaklah terlalu mengherankan, karena NU sebagai organisasi induk kaum

nahdhiyin yang merupakan basis utama dari konstituen PKB, juga bersikap

inklusif terhadap isu-isu demokratisasi termasuk di dalamnya persoalan

perempuan. Telah terjadi sebuah modernisasi pemikiran dalam tubuh NU yang

telah lama dikenal sebagai pengagung tradisionalisme, mereka berhasil melakukan

transformasi pemikiran menjadi lebih terbuka terhadap modernisasi.

Pemihakan organisasi NU terhadap isu-isu perempuan dan politik telah

nampak pada saat Munas Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar pada bulan

November 1997 di Pesantren Qomarul Huda, Lombok Tengah, di mana dalam

90
Berita dalam koran Pelita tanggal 20 feb 1999 “Isteri Gusdur Siapkan 'Kitab Kuning' Pro
Perempuan” dalam kliping yang dikumpulkan Pusat Data Kliping LIPI periode Januari-Desember
1999 dengan topik Masalah Perempuan.
Munas tersebut NU menelurkan fatwa perihal dibolehkannya perempuan menjadi

pemimpin.91

Fatwa tersebut muncul, menurut penggambaran Andrée Feillard pengamat

NU dari Perancis, bisa direfleksikan sebagai hasil dari negosiasi alot antara aktivis

perempuan muda NU dengan dukungan kiai muda progresif yang cukup fasih

dengan isu jender vis a vis dengan para kiai sepuh yang menolak keberadaan

perempuan dalam dunia politik. Bahkan pernyataan dukungan terhadap kiprah

politik perempuan, kembali dipertegas oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam

kesimpulan Seminar Nasional Gender NU di Baturaden (16-17 Juli 1999) yang

dilaksanakan untuk menyambut Muktamarnya yang ke-30. Di mana dalam

kesimpulannya, NU menuntut adanya reinterpretasi atas nash-nash agama yang

berkaitan dengan perempuan, sehubungan dengan telah terjadinya perubahan

masa dan cara pandang masyarakat yang menyetarakan gender.

Bila kita melihat perjalanan politik perempuan NU, sebetulnya tanpa fatwa

tersebut pun sejak tahun 1955 perempuan NU sudah terlibat aktif dalam politik

nasional. Cora Vreede- De Stuer mencatat bahwa dalam parlemen pertama, dari

272 anggota, 18 orang (6 persen) adalah perempuan; 8 di antaranya adalah wakil

partai-partai Islam, yaitu 3 dari Masyumi (Djunah Parjaman, Rahmah El-

Junusiyah, Soenarjo Mangunpuspito), sementara 5 dari NU (Hadiyah Hadi

Ngabdulhadi, Mahmudah Mawardi, Mariam Kanta Supena, Marijamah Djonaidie,

dan Asmah Syahruni).

91
Yuniyanti Chuzaifah, “Gerakan Perempuan Progresif NU dan Perebutan Wacana,”
KOMPAS, 22 Juni 2004.
Fenomena di atas kemudian –paling tidak dapat– memberikan jawaban

mengapa PKB sejak awal pendiriannya, menjadi partai politik yang paling

progresif dalam hal permasalahan kesetaraan gender. Anggapan ini terbukti ketika

jauh sebelum DPR “ribut-ribut” membahas kuota 30 persen keterwakilan

perempuan, PKB telah lebih dahulu membahas hal tersebut pada Muktamar Luar

Biasa di Yogyakarta tahun 2001. Di mana secara eksplisit PKB telah menetapkan

bahwa di setiap kepengurusan dari tingkat pusat sampai dengan daerah wajib

menyertakan keterwakilan perempuan sebanyak 20 persen.92

Lebih lanjut Khofifah Indar Parawansa membenarkan bahwa dalam MLB

tersebut memang membicarakan kuota perempuan seperti yang diusulkan oleh

Koalisi Perempuan. ”Kebetulan kita memasukkan di empat rantap (rancangan

ketetapan),” dan mengusulkan kuota perempuan dalam jajaran legislatif di pemilu

nanti itu sekitar 20% perempuan.93 Lalu di platform partai juga memasukkan

bahwa untuk mensinergikan kekuatan-kekuatan pro demokrasi adalah bagaimana

potensi yang selama ini belum mendapat tempat secara proporsional adalah

kelompok perempuan. Juga di Anggaran Rumah Tangga ditetapkan bahwa di

setiap jajaran kepemimpinan partai di level manapun, baik di dewan Syuro,

Dewan Tanfidz diharapkan ada eksponen perempuan. Pasca Muktamar Semarang

2005 diputuskan bahwa mulai dari tingkat pusat, tim musyawarah pada tingkat

provinsi, tingkat cabang selalu menempatkan satu orang perempuan dalam lima

92
Wawancara pribadi dengan ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI PKB, yang
dilakukan pada tanggal 8-11-2008 di kediamannya.
93
Namun dalam perkembangan yang terjadi di Indonesia, kemudian usulan kuota
ditetapkan menjadi 30 persen.
anggota tim formatur yang bertugas menyeleksi ketua dewan syuro, Ketua

Tanfidz.94

Dalam aturan dasar kelembagaan organisasi politik seperti visi, misi, tujuan

dan platform, masih belum banyak organisasi politik yang secara implisit

mencantumkan istilah “gender“. Dari ke lima partai politik PDIP, Golkar,

Demokrat, PPP hanya PKB dan PDIP yang menyebutkan secara jelas dalam visi

dan platform tentang gender. Pada visi, misi, tujuan dan platform Partai Persatuan

Pembangunan dan Golkar tidak didapat istilah gender, akan tetapi dalam wawasan

kebangsaan disebutkan sebagai cara pandang yang mengatasi golongan dan

kelompok. Pada jati diri partai Demokrat dijelaskan “sebagai partai terbuka untuk

semua warga tanpa membedakan jenis kelamin”.95

Pada partai-partai yang tidak mencantumkan istilah gender atau perempuan

secara khusus dalam platform atau misinya disebabkan perempuan tidak

dilibatkan dalam penyusunan aturan-aturan partai, sehingga produk-produk partai

bias gender. PKB dalam setiap Muktamar yang diadakan selalu mencantumkan

utusan perempuan baik dari unsur PPKB (Pergerakan Perempuan Kebangkitan

Bangsa) atau unsur harian PKB itu sendiri, dan dalam pembahasannya perempuan

diberi kesempatan untuk mengikuti pembahasan dalam komisi-komisi yang telah

disediakan oleh panitia.96

Pandangan PKB terhadap persoalan-persoalan yang membelit perempuan

saat ini dikarenakan faktor budaya yang kemudian membuat perempuan

94
Diakses dari www.sinarharapan.co.id.htm pada tanggal 25-11-2008.
95
Diakses dari www.damandiri.or.id pada tanggal 25-11-2008.
96
Diakses www.damandiri.or.id pada tanggal 25-11-2008.
terkungkung dalam peran domestik dan sulit untuk berpartisipasi dalam

publik/masyarakat.97 Adapun langkah strategi dan agenda pemberdayaan

perempuan PKB adalah dengan membentuk PPKB, meratifikasi hukum

internasional yang menetapkan hak perempuan dan anak, agenda penegakan hak

perempuan, mengeliminir diskrimasi, dan mendorong kesetaraan gender.98

PKB juga memandang tentang perlunya meningkatkan keterlibatan

perempuan dan diatur dalam regulasi legal (AD/ART) dari sebuah partai politik

karena sumber utama dari perekrutan anggota parlemen adalah melalui partai

politik. Oleh karena itu PKB mencoba membenahi persoalan tersebut dimulai dari

hulu, sehingga nantinya peraturan-peraturan (UU Pemilu) yang dibuat pada

tingkat nasional tidak menjadi sia-sia. Jangan sampai UU Pemilu yang

diberlakukan tidak bisa dipenuhi hanya karena alasan partai politik tidak siap. Jadi

ketika DPR mengesahkan UU Pemilu tahun 2002 mengenai Kuota 30 persen bagi

perempuan, PKB menjadi partai yang paling siap menyambut isu tersebut karena

mereka telah terlebih dahulu memberlakukan peraturan itu di internal PKB.99

Dalam agenda politik PKB dalam pengembangan demokratisasi khususnya

yang terkait dengan kesetaraan gender, PKB mewujudkanya dalam bentuk

program sebagai berikut:100

a) Memperjuangkan penghapusan undang-undang atau peraturan, atau

pasal-pasal yang terdapat dalam produk perundang-undangan yang


97
Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan dalam
parpol studi wacana dan observasi kegiatan organisasi perempuan pada 5 partai politik di
surabaya, (surabaya: Lembaga penelitian airlangga, 2002), h. 38.
98
Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 63.
99
Wawancara dengan Badriyah Fayumi.
100
Bambang Setiawan, ed., Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-
2009 (Jakarta: Kompas, 2004), h. 268-269.
dinilai bisa gender.

b) Mensosialisasikan dan memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai

bidang seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial dan

budaya.

c) Melakukan penyadaran gender. Korban diberi pengertian akan adanya

budaya yang memandang laki-laki sebagai mahluk yang lebih superior

dibanding perempuan, sehingga dampaknya perempuan menjadi pihak

yang lebih sering menderita kerugian.

d) Pemberian informasi. Korban kekerasan tidak tahu apa yang harus

dilakukan ketika menjadi korban kekerasan. PKB akan

menginformasikan hak-hak hukum yang dimiliki korban kekerasan

sehingga korban menjadi tahu peluang dan alternatif solusi yang dapat

diambil, tidak sekedar diam dan pasrah menerima nasib.

e) Memberikan dukungan dan mendampingi perempuan korban

kekerasan. PKB akan memberi pertimbangan dalam mengambil

keputusan dan juga mendampingi perempuan korban kekerasan.

Keseriusan PKB dalam meningkatkan representasi politik perempuan dapat

dilihat dalam nominasi caleg perempuan PKB pada pemilu 2004, di mana jumlah

total caleg untuk DPR: 29,7 %. Dengan kompisisi perempuan sebanyak 140

(29,7%) dan laki-laki 331 (72 %) dari total 531. Sedangkan dari jumlah caleg

perempuan untuk DPR yang berada pada urutan potensi jadi (urut 1 dan 2) adalah

16,4% (23 orang dari 140 yang di calonkan).101 Dapat pula ditambahkan bahwa

101
Data diperoleh dari Kompas, 12 Januari 2004, hal 36:1-9.
caleg perempuan PKB masuk dalam nominasi perempuan berkualitas yang dirilis

oleh CETRO.102

Keberadaan organisasi perempuan dalam PKB semakin menambah nilai

plus bagi upaya PKB mendorong pemberdayaan perempuan. PPKB (pergerakan

perempuan kebangkitan bangsa) berdiri 1999 yang posisi strukturalnya berada di

bawah Departemen Wanita, organisasi ini bersifat semi otonom. Latar belakang

pendirian PPKB adalah pertama, aktivis perempuan di PKB menyadari bahwa

kepentingan perempuan dipartai kurang diakomodasi dan juga masih sedikitnya

perempuan yang menjadi pengurus dijabatan sttuktural partai. Kedua, SDM

perempuan masih lemah sehingga perlu media berorganisasi. Visi dan misi

organisasi PPKB adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di

masyarakat. Tujuan PPKB pertama, untuk mewujudkan masyarakat yang

demokratis, adil, dan makmur serta mewujudkan tatanan sosial dan politik

nasional yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Kedua, meningkatkan

kesadaran politik dan hukum di kalangan perempuan untuk melaksanakan hak dan

kewajiban sebagai warga negara. Ketiga, mencetak kader-kader politik

perempuan.

Urgensi PPKB adalah sangat penting selama kepentingan perempuan belum

terakomodasi oleh partai, maka perlu ada organisasi perempuan sebagai sarana

meningkatkan artikulasi kepentingan perempuan dalam partai. Selama ini

perempuan kurang terlibat dalam pengambilan keputusan, sehingga harus

berjuang untuk duduk dalam kepengurusan dan perwakilan masyarakat untuk

102
Pada pemilu 2004 Cetro merilis 25 daftar nama caleg berkualitas yang salah satunya
adalah ibu Badriyah Fayumi. Di peroleh dari Kompas, 15 Maret 2004, hal 41:1-7.
terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini PPKB sebagai sarana untuk

mendukung dan mempersiapkan aktivis perempuan untuk mendapatkan peluang

dalam kepengurusan partai dan perwakilan masyarakat. Anggotanya sebagian

besar berasal dari Fatayat NU dan Muslimat NU.103

Strategi pemberdayaan PPKB adalah dengan merebut posisi pengambil

keputusan, membangun lembaga-lembaga pendidikan, aktif dalam organisasi

politik, meningkatkan keterampilan dan keahlian beroganisasi, mencari

kesempatan dalam kepengurusan. Kegiatan PPKB diskusi gendermainstraiming

dan advokasi perempuan, memperluas jaringan PPKB hingga ke daerah, dan juga

koperasi simpan pinjam.104

Penjelasan di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa konsistensi

PKB dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam konteks Indonesia lahir

dari sebuah pemahaman dan keresahan yang menjadi gejala umum dari bangsa

Indonesia. Dan keseriusan mereka bukanlah isapan jempol belaka, melainkan

sebuah fakta yang harus diapresiasi secara memadai oleh kita semua.

B. PKB dan Kuota 30%

Lambannya peningkatan jumlah perempuan yang aktif dalam politik,

menjadi sebab utama bagi perempuan untuk menemukan cara-cara yang lebih

efisien untuk meningkatkan representasi mereka. Demokrasi yang diandaikan

sebagai partisipasi sejajar seluruh komponen warga negara hanya terwujud ketika

dominasi dan subordinasi antar individu atau antar kelompok terhapus. Pada titik

103
Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 28-33.
104
Wasiaturahma dan Iswahjuni, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan, h. 63.
inilah kemudian tuntutan keterwakilan politik perempuan harus diposisikan,

karena tuntutan tersebut merupakan hak asasi dari seorang manusia. Dan porsi

keterwakilan politik perempuan juga merupakan tindakan strategis untuk

mengurangi hambatan seorang individu dalam berkiprah.

Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan

keterwakilan perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dan organisasi partai-partai

politik serta penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action)105

yang bersifat wajib atau sukarela. Saat ini, salah satu upaya yang dianggap paling

strategis untuk memposisikan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan

adalah lewat affirmative action. Salah satu tindakan affirmative action adalah

dengan penetapan sistem kuota. Dengan sistem kuota diharapkan nantinya posisi

perempuan akan lebih terwakili.106 Kuota juga dianggap sebagai instrumen yang

efektif untuk dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik

sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktek kehidupan

masyarakat.107 Pengenalan sistem kuota bagi perempuan menggambarkan

lompatan kualitatif ke suatu kebijakan mengenai cara dan tujuan yang pasti.

Karena efisiennya yang relatif, besar harapan akan terjadinya peningkatan yang

dramatis dari representasi perempuan dengan menggunakan sistem ini.108

105
Affirmative Action adalah aksi mendukung sebagai tindakan khusus yang bersifat
sementara, tindakan ini diambil sebagai taktik pilihan untuk mempercepat proses keterwakilan
perempuan dalam lembaga pengambil kebijakan.
106
Budi Shanti, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,” dalam
Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di mana? (Jakarta: YJP, edisi No. 19,
2001), h. 23.
107
M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik, h. 3.
108
Drude Dahlerup, “Menggunakan Kuota Untuk Meningkatkan Representasi Politik
Perempuan,” dalam Azza Karam, dkk., Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan
Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1999), h. 85.
Kuota adalah penetapan sejumlah tertentu atau persentase dari sebuah

badan, kandidat, majelis, komite, atau suatu pemerintahan. Kuota untuk

perempuan bertujuan untuk setidaknya perempuan akan menjadi “minoritas kritis”

(critical minority) terdiri dari 30 atau 40 persen.109 Ide inti dari sistem kuota

adalah merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan

bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik.110 Kuota harus

merupakan satu jumlah tertentu atau persentase dari anggota suatu badan; apakah

berbentuk daftar kandidat, majelis parlemen, komite, atau pemerintah.111

Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik itu harus secara nyata

dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Selama ini pelaksanaan kuota

dilakukan melalui cara penetapan dalam konstitusi, peraturan-peraturan dalam

undang-undang Pemilu atau partai politik, komitmen informal partai politik.

Dalam konteks sistem politik Indonesia, wacana kuota keterwakilan

perempuan dalam parlemen sebesar 30 persen telah menjadi isu hangat sesaat

setelah tumbangnya Soeharto pada tahun 1998. Isu kuota yang pada awalnya

hanya banyak dibicarakan pada tingkatan aktifis, kemudian menjadi semacam

bola salju karena mendapat sambutan dari pihak partai politik dan juga

pemerintah, khususnya ketika pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-

2001). Salah satu partai yang memberikan perhatian serius pada persoalan

109
Di Indonesia angka 30 persen diyakini sebagai “angka kritis” (critical number) yang
harus dicapai untuk memungkinkan terjadinya sebuah perubahan. Angka 30 persen menunjukkan
“massa kritis” yang akan memberikan dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam
lembaga-lembaga publik. Jumlah 30 persen ditetapkan untuk menghindari dominasi dari salah satu
jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. Dengan kata
lain jumlah keterwakilan laki-laki dan perempuan tidak boleh lebih dari 70 persen.
110
M. B. Wijaksana (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik, h. 8.
111
Hilmatul Aliyah, Politik Perempuan: Dari Asumsi Hingga Aksi
perempuan khususnya keterwakilan politik perempuan adalah Partai Kebangkitan

Bangsa.

Setelah melalui proses yang panjang, melelahkan, sekaligus menegangkan

akhirnya keterwakilan perempuan dalam parlemen sebanyak 30 persen

dicantumkan dalam UU pemilu.112 Tepatnya pada tanggal 18 Februari 2003

sidang paripurna DPR mengesahkan RUU Pemilu yang di dalamnya tercantum

kuota perempuan di DPR. Ihwal kuota tersebut terdapat pada Pasal 65 ayat (1).

Ayat tersebut selengkapnya berbunyi: Setiap partai politik peserta pemilu dapat

mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan

sekurang-kurangnya 30 persen.

Dalam hal perdebatan kuota perempuan, PKB patut membusungkan dada

karena jauh sebelum paripurna DPR mengesahkan klausul kuota tersebut, PKB

telah terlebih dahulu mendorong keterlibatan perempuan pada wilayah publik

termasuk politik pada tataran yang lebih implementatif. Seperti diungkap oleh

Badriyah Fayumi, bahwa hal ini secara eksplisit terdokumentasi dengan baik

dalam Muktamar PKB pertama di Yogyakarta pada tahun 2001 kemudian

diperkuat kembali pada Muktamar II di Semarang tahun 2005. Di mana dalam

Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), PKB menetapkan pada

setiap kepengurusan dari tingkat pusat sampai dengan daerah wajib menyertakan

112
Fraksi PKB, Golkar, dan PPP merupakan tiga fraksi yang mempunyai andil besar
menggolkan kuota tersebut (Media Indonesia, 19/2/2003).
keterwakilan perempuan sebanyak 20 persen.113 Dan dalam setiap pembentukan

tim formatur yang terdiri dari lima orang maka perempuan harus selalu menjadi

bagian dari tim fromatur tersebut, setidaknya satu dari lima orang.114

Ketika pembahasan pasal kuota 30 persen untuk perempuan di DPR

berlangsung, media massa mengekspose bahwa hanya fraksi PKB dan Golkar

yang berkomitmen terhadap persoalan 30 persen. Hal ini terungkap ketika Daftar

Isian Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi masuk ke pansus sebagai masukan bagi

pansus yang akan membahas RUU Parpol dan RUU Pemilu. Hanya PKB yang

sungguh-sungguh mewujudkan janji mereka dalam DIM RUU Parpol. Dalam Bab

V tentang Fungsi, Hak dan Kewajiban, Pasal 6f tentang, rekrutmen politik dalam

proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan

memperhatikan kesetaraan jender, PKB melalui DIM-nya mengubah

redaksionalnya menjadi, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik

dengan memperhatikan kesetaraan jender dalam wujud kuota 30 persen bagi

perempuan. Catatan untuk DIM itu, 52 persen pemilih adalah perempuan dan

jaminan representasi politik perempuan hanya bisa dibuktikan dengan adanya

kuota ini.115

Konsistensi Partai Kebangkitan Bangsa mengenai persoalan perwakilan

perempuan dalam parlemen juga tercermin dalam komposisi caleg yang akan

diusung pada pemilu 2009. Sekitar sepertiga atau 35 persen calon anggota

legislatif (caleg) perempuan Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh nomor jadi.


113
Wawancara pribadi dengan ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI PKB, yang
dilakukan pada tanggal 8-11-2008 di kediamannya.
114
Diakses dari www.sinarharapan.co.id.htm pada tanggal 25-11-2008.
115
Kompas, “Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Memberi Hak Warga Negara“ Senin,
23 September 2002.
"Dari total caleg perempuan, sekitar 35 persen berada di nomor jadi," kata Ketua

Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Nomor jadi yang dimaksud Muhaimin

adalah caleg dengan nomor urut 1 dan 2 di setiap daerah pemilihan.

Calon legislatif perempuan dengan nomor jadi di antaranya adalah Ida

Fauziah, Nursyahbani Katjasungkana dan Lily Khadijah Wahid. Dari 498 caleg

PKB, terdapat 181 perempuan, sehingga terdapat 36 persen caleg perempuan,

lebih besar dari ketentuan undang-undang yang mensyaratkan 30 persen. Menurut

Muhaimin, dalam soal mengakomodasi perempuan, PKB jauh lebih maju

dibanding partai lain. Di kepengurusan DPP PKB, pengurus terasnya juga banyak

perempuan, begitu juga di Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB). "PKB tidak

membedakan jender untuk duduk di jabatan apa pun. Terpenting kualitas," kata

wakil ketua DPR RI tersebut. Fenomena tersebut ditanggapi positif oleh anggota

DPR-RI fraksi PKB Ida Fauziyah. Beliau berharap ke depan tidak hanya kuota

perempuan dalam daftar caleg yang dijamin undang-undang, namun juga

keanggotaan DPR, mengingat saat ini di DPR jumlah perempuan baru 12

persen.116

Pada titik ini sebenarnya diperlukan sebuah gerakan perempuan yang

bersifat massif dan sistematis, tentunya dengan melibatkan semua pihak. Baik itu

pemerintah, anggota legislatif, aktifis LSM, lembaga hukum, dan lingkungan

terkecil yaitu keluarga dalam mendorong terciptanya suatu pemahaman tentang

pentingnya memiliki perspektif yang berkeadilan gender. Apa yang dilakukan

116
Berita ini dimuat dalam antara news, dengan judul berita “Sepertiga Caleg Perempuan
PKB Nomor Jadi” di muat pada tanggal 18-09-08 pukul 21:28 oleh penulis berita ini diakses dari
www.antara.co.id.
segelintir perempuan PKB hendaknya dijadikan pemicu untuk menghadirkan

sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indoenesia.

C. Peranan Perempuan PKB di Parlemen

Perjuangan kaum perempuan untuk mengangkat hak-hak politiknya melalui

instrumen perundang-undangan pada akhirnya diakomodasi melalui Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor

12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.117 Kedua undang-undang ini

menegaskan kuota keterwakilan perempuan minimal 30 persen kepada tiap partai

peserta pemilu. Ini berarti bahwa tiap partai politik yang ingin ikut serta dalam

pemilu harus menyerahkan daftar calon kandidat dengan 30 persen kandidat

perempuan di dalamnya.118 Pembuatan kebijakan mengenai kuota ini dilakukan

untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Dengan

adanya kuota ini diharapkan dapat meningkatkan peranan perempuan dalam dunia

poltik dan pemerintahan, terutama dalam kaitannya dengan hak turut serta dalam

pemerintahan yang berbentuk kesamaan hak untuk duduk dalam jabatan

pemerintahan.

Parlemen menjadi ajang pertarungan yang strategis bagi aktifis perempuan

dalam memperjuangkan nasib ratusan juta nasib perempuan di negeri ini. Karena

diharapkan melalui parlemenlah para perempuan bisa memberikan warna

117
Meyrinda Rahmawati Hilipito, “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Melalui Undang-Undang Politik di Era Reformasi,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 2007), hlm. 4-5.
118
Nur Widyastanti, “Kedudukan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan dalam Tatanan
Konsep Demokrasi di Indonesia,” (Tesis Magister Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005),
hlm. 93-94.
tersendiri dalam menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Keputusan-

keputusan yang selama ini diambil oleh DPR seringkali tidak berpihak pada

kepentingan perempuan. Hal ini menjadi wajar karena lembaga legislatif

didominasi oleh laki-laki dan celakanya kesemuanya tidak memiliki wawasan

gender yang memadai. Kenyataan tentang minimnya keterwakilan perempuan

dalam pemerintahan ternyata telah menjadi fenomena umum di dunia. Menurut

IPU (Inter-Parliamentary Union), per 30 April 2006, persentase perempuan di

parlemen di seluruh dunia adalah 16,6 persen (IPU, 2006). Sedangkan di

Indonesia, sebagai contoh di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sejak pemilihan

umum (pemilu) pertama 1955 sampai pemilu 1999, persentase perempuan yang

terpilih untuk duduk di DPR tidak pernah lebih dari 13 persen (periode 1987-

1992).119

Isu mengenai tuntutan adanya keterlibatan perempuan dalam pemerintahan

semakin berkembang, terutama dalam kaitannya dengan isu keterwakilan dan

partisipasi politik perempuan. Isu ini mulai dibahas secara formal dalam Kongres

Perempuan ke V di Bandung pada bulan Juli tahun 1938 mengenai perlunya hak

dipilih bagi perempuan agar dapat duduk di lembaga-lembaga pengambilan

keputusan.120 Wacana keterwakilan perempuan semakin menggelora setelah

menyadari bahwa pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi,

ternyata belum mampu menambah jumlah perempuan di DPR. Seperti yang

119
Wahidah Zein Br Siregar, “Implementasi Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004,”
Makalah disampaikan pada diskusi NU-NIHON tentang Peran Serta Wanita dalam Dunia Politik,
9 Juli 2006.
120
Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia dan
The Asia Foundation. Tindakan Khusus Sementara Menjamin Keterwakilan Perempuan (Jakarta:
Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, 2002), hlm.
14.
terlihat di tabel berikut, perempuan hanya menempati 9 persen dari 500 kursi di

DPR pada periode 1999-2004.121

Tabel 1
Jumlah Perempuan di DPR RI (1950-2004)

Jumlah Total Anggota


Periode DPR Jumlah Perempuan Persentase
DPR

1950-1955 (DPRS – Dewan Perwakilan


9 236 3.8
Rakyat Sementara)

1955-1960 17 272 6.3

1956 – 1959 (Konstituante) 25 488 5.1

1971 – 1977 36 460 7.8

1977 – 1982 29 460 6.3

1982 – 1987 39 460 8.5

1987 – 1992 65 500 13

1992 – 1997 62 500 12.5

1997 – 1999 54 500 10.8

1999 – 2004 45 500 9

Sumber: Jurnal Perempuan dalam Shanti (2001: 21)

Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa dari 24 partai politik peserta pemilu,

hanya 16 partai yang memperoleh kursi di DPR. Golkar memperoleh kursi

terbanyak (127 dari 550 jumlah total kursi DPR RI). Selanjutnya hanya 7 partai

yang akan diperbolehkan untuk mengikuti pemilu 2009. Sementara itu, seperti

yang telah diduga sebelumnya, perempuan tidak mencapai angka 30 persen.

Kenyataannya hanya ada 62 orang perempuan diantara 550 orang total anggota

DPR (11.3 persen) seperti yang terlihat dalam tabel berikut.

121
Siregar, loc. cit.
Tabel 2
Jumlah Anggota DPR RI Laki-laki dan Perempuan pada Periode 2004-2009 Berdasarkan Partai Politik

No Partai Politk Jlh Total Laki-laki Perempuan

Jlh % Jlh % Jlh %

1 Golkar 127 23.1 109 85.8 18 14.2

2 PDIP 109 19.8 98 89.9 12 11.0

3 PPP 58 10.5 55 94.8 3 5.2

4 PD 56 10.2 49 89.1 6 10.9

5 PAN 53 9.6 46 86.8 7 13.2

6 PKB 52 9.5 45 86.5 7 13.5

7 PKS 45 8.2 41 91.1 3 8.9

8 PBR 14 2.5 12 85.7 2 14.3

9 PDS 13 2.4 10 76.9 3 23.1

10 PBB 11 2.0 11 100 0 0

11 PDK 4 0.7 4 100 0 0

12 Partai Pelopor 3 0.5 2 66.7 1 33.3

13 PKPB 2 0.4 2 100 0 0

14 PKPI 1 0.2 1 100 0 0

15 PPDI 1 0.2 1 100 0 0

16 PNI Marhaenisme 1 0.2 1 100 0 0

Jlh Total 550 100 488 88.7 62 11.3

Sumber Data: Komisi Pemilihan Umum (2004); Kompas (2005)

Sepintas harus diakui bahwa berdasarkan persentase atau jumlah perempuan

PKB yang duduk di DPR seperti tertera di tabel tidak terlalu berbeda jauh dengan

yang terdapat di partai-partai politik lain, bahkan di bawah dari jumlah perempuan

Partai Golkar. Namun jika berbicara kualitas anggota legislatif dari kalangan

perempuan, maka penulis berani berkesimpulan bahwa perempuan dari Partai


Kebangkitan Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas lebih baik

dibandingkan dengan anggota legislatif dari partai politik lain. Alasan utamanya

adalah hampir semua anggota parlemen perempuan PKB menempati posisi-posisi

kunci dalam setiap struktur fraksi atau komisi yang dibentuk PKB dalam

parlemen.

Minimalisnya anggota parlemen yang berasal dari perempuan menjadi

kendala tersendiri bagi upaya perbaikan nasib perempuan Indonesia. Aung San

Suu Kyi mengemukakan kendala pokok dari perempuan dalam memasuki dunia

parlemen sebagai berikut:122

1. Kurangnya dukungan dari partai politik


2. Kurangnya koordinasi dan dukungan jaringan antara anggota parlemen
perempuan dengan organisasi publik lainnya
3. Norma-norma berorientasi laki-laki dan struktur yang didominasi laki-
laki mengurangi partisipasi publik perempuan dan dapat mengarah pada
penghargaan diri dan kepercayaan diri sendiri yang rendah
4. Mobilisasi dukungan media yang tidak mencukupi
5. Kurangnya pelatihan dan pendidikan perempuan yang berorientasi
kepemimpinan
6. Sistem pemilihan umum yang tidak kondusif bagi partisipasi perempuan
7. Kurangnya reservasi kuota

Dengan segala keterbatasan yang dialami, Partai Kebangkitan Bangsa yang

menempatkan wakil-wakil perempuannya di DPR mencoba berbuat sekuat tenaga

dalam rangka membawa perubahan yang lebih baik bagi wanita Indonesia.

Sepakterjang perempuan PKB di parlemen telah menghadirkan warna yang khas

bagi perkembangan politik nasional. Di mana di saat kaum perempuan sangat

122
Budi Shanti, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,” dalam
Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di Mana?” edisi no. 19 (Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan, 2001), h. 19
jarang tampil dalam pergulatan strategis di DPR, para politisi perempuan PKB

telah bermanuver dengan sangat cantik pada setiap lika-liku politik parlemen.

Sebut saja misalkan pada akhir Juni 2007, DPP Partai Kebangkitan Bangsa

(PKB) mereposisi pimpinan fraksi. Dalam pergantian itu, PKB ingin mempertegas

komitmen kesetaraan gender. Meski bukan orang pertama, namun cukuplah

Anisah Mahfudz menempati posisi Sekretaris Fraksi. Setelah menempatkan Ida

Fauziyah sebagai satu-satunya ketua fraksi dari kalangan perempuan di DPR,

PKB kembali menempatkan perempuan di jajaran elite fraksi. Dia adalah Anisah

Mahfud, yang saat ini menduduki posisi sekretaris FKB. Anisah mendampingi

Ketua FKB yang baru, Effendy Choirie. Saat ini, Anisah merupakan satu-satunya

sekretaris fraksi dari kalangan perempuan di parlemen Indonesia.123 Ibu Khofifah

juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi dan Nur Syahbani menjabat wakil

ketua baleg.

Sedangkan dalam pos-pos penting struktural partai Yenni Wahid merupakan

Sekretaris Jenderal dan Badriyah Fayumi menjabat wakil sekretaris Dewan Syuro.

Pada titik ini PKB telah menjadi partai yang paling progresif dalam hal

pemberdayaan politik perempuan. Karena seperti telah diungkap bahwa

perempuan PKB sangat memiliki peranan yang besar dalam arah pengambilan

kebijakan partai. Dan dalam kondisi seperti ini, perjuangan kaum perempuan tidak

lagi hanya menjadi retorika tetapi menjadi sebuah fakta yang tidak bisa ditutupi.

Namun fenomena perempuan di PKB yang terbilang cukup fenomenal,

harus sedikit ternoda akibat dari perilaku para elit politik PKB yang sangat senang

123
Dalam berita yang dimuat dalam situs www.gp-ansor.org dengan judul “Anisah Mahfud,
Sosok Sekretaris FKB DPR Yang Baru” di muat pada tanggal 10 Juli 2007.
berkonflik. Formasi perlawanan perempuan di PKB harus hancur berantakan

dihantam badai politik yang berasal dari dalam tubuh partainya sendiri. Konflik

internal yang terus menghantui PKB saat ini diakui oleh Badriah Fayumi memiliki

pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan politik perempuan

PKB.124 Setidaknya masalah itu muncul ketika penetapan daftar nama caleg PKB

versi konflik, karena menurutnya banyak nama yang keluar dalam daftar caleg

perempuan PKB belum memenuhi aspek kapabilitas dan kualitas yang teruji. Di

mana dalam proses rekrutmen caleg terkesan “asal ambil” dan berbau nepotisme.

Sehingga sudah dapat diprediksi bahwa ke depan politik tanah air akan kehilangan

sentuhan ajaib dari tangan-tangan lembut kaum hawa Partai Kebangkitan

Bangsa.125

Walaupun demikian, bukan berarti perempuan PKB akan berhenti

melangkah. Mereka akan turut berperan aktif dalam proses perbaikan di negeri ini,

mereka akan terjun pada dunia selain parlemen.

124
Wawancara pribadi dengan Badriyah Fayumi.
125
Dari delapan nama yang saat ini duduk di DPR (Nur Syahbani, Ida Fauziyah, Badriyah
Fayumi, Anisah Mahfudz, Khofifah Indar Parawansa, Saidah Sakwan, Mariah Ulfah, Muawanah)
empat (Khofifah, Badriyah, Anisah, dan Saidah Sakwan) diantaranya tidak lagi mencalonkan diri
menjadi anggota DPR, sedangkan dari empat yang naik hanya dua (Ida Fauziyah dan Nur
Syahbani) yang menjadi nomer urut 1. Belum lagi kader perempuan di daerah yang dicalonkan
menjadi anggota DPR karena alasan konflik internal.
BAB V

PENUTUP

Setelah penulis memaparkan secara luas mengenai keterlibatan perempuan

Partai Kebangkitan Bangsa dalam bidang politik, kini di penghujung penulisan

skripsi penulis merasa perlu menarik sebuah konklusi sederhana terhadap

sejumlah fakta dan fenomena tersebut.

A. Kesimpulan

1. Partai Kebangkitan Bangsa sejak awal pendiriannya sudah menegaskan

bahwa partainya bersifat inklusif, di mana nilai kemanusiaan menjadi

landasan dalam bertindak. Sehingga dalam kerangka itulah kemudian

PKB juga sangat mengakomodir kepentingan perempuan dalam

perjalanan politiknya. Ini dibuktikan dengan pertama, masuknya draft

aturan yang berwawasan gender dalam konstitusi partainya. Kedua,

PKB tidak ragu dalam menempatkan perempuan PKB untuk menduduki

jabatan penting dan strategis baik dalam struktur partai ataupun

penempatan di lembaga legislatif. Ketiga, PKB juga turut

mengembangkan potensi perempuan dengan membentuk sayap

perempuan yaitu pembentukan Pergerakan Perempuan Kebangkitan

Bangsa (PPKB).

2. Sikap dan tindakan perempuan PKB dalam belantara politik nasional

telah teruji, bukti absahnya adalah bagaimana mereka turut berperan

besar dalam setiap pembuatan aturan yang berhubungan langsung

dengan persoalan perempuan. Seperti dalam pembuatan UU pemilu


yang memuat kuota 30 persen untuk perempuan di parlemen,

selanjutnya kontribusi mereka juga sangat nampak dalam pembuatan

UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Pornografi, dan

pendidikan politik yang sampai kini masih berjalan di daerah-daerah

terpencil. Dan diakui oleh berbagai pihak bahwa perempuan PKB di

parlemen menjadi pemain utama dalam Fraksi PKB.

3. Fenomenalnya perempuan PKB di pentas politik nasional, sedikit

banyak telah memberikan pengaruh terhadap dinamika politik di

Indonesia. Karena sepak terjang politik perempuan di PKB berhasil

bersinergikan kekuatan-kekuatan perempuan di luar parlemen dengan

anggota legislatif perempuan, sehingga banyak isu yang awalnya hanya

menjadi wacana akademis menjadi sebuah peraturan dalam bentuk

undang-undang.

B. Saran-Saran

Sebagai penulis yang mencoba berdiri pada posisi akademis dan objektif

maka dengan ini penulis mencoba memberikan saran-saran atau masukan kepada

jajaran pengurus PKB, antara lain:

1. Partai Kebangkitan Bangsa secara institusional harus terus

mempertahankan komitmennya terhadap persoalan perempuan yang

hingga kini perkembangannya belum terlalu menggembirakan.

2. Terkait dengan konflik internal yang terus merundung Partai

Kebangkitan Bangsa, hendaknya perpecahan tersebut jangan sampai

menggangu apalagi merusak prestasi para srikandi PKB dalam kancah


perpolitikan nasional. Dan semua pihak harus berpijak pada

kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia.

Akhirnya penulis hanya berharap, agar skripsi ini benar-benar hadir dalam

nuansa akademis, sehingga semua yang telah penulis susun dalam skripsi ini tidak

akan pernah luput dari sebuah kesalahan. Semoga ke depan akan hadir karya-

karya baru yang lebih memadai dan komprehensif membahas persoalan

perempuan PKB. Wallahu’alam Bis Showab…


DAFTAR PUSTAKA

Alawi, Nadhif, ed., Partai Kebangkitan Bangsa dan Pemilu 2004: Kesiapan PKB
Menjelang Pemilu 2004, Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan
Pengurus Pusat PKB, 2003.
Amalia, Euis. “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya”, dalam
Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Beilharz, Peter, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Budiardjo, Miriam. “Partisipasi dan Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam
Miriam Budiardjo (penyunting), Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah
Bunga Rampai Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
________________. Dasar-Dasar Ilmiu Politik, Jakarata: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007.
Choirie, A. Effendy, PKB Politik Jalan Tengah NU Jakarta: Pustaka Ciganjur,
2002.
Dahlerup, Drudem “Menggunakan Kuota Untuk Meningkatkan Representasi
Politik Perempuan,” dalam Azza Karam, dkk., Perempuan di Parlemen:
Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 1999.
Departemen Hukum dan HAM RI. Modul Instrumen HAM Nasional Hak Turut
Serta dalam Pemerintahan Jakarta : Sentra HAM Fakultas Hukum UI, 2004.
Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 1994.
Faiqoh. “Wanita Dalam Kultur Islam Indonesia,” dalam Azizah al-Hibri, dkk.,
Wanita Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan
Kesempatan Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
_____________. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Felsky, Rita. “Feminisme Amerika dan Inggris,” dalam Peter Beilharz, ed., Teori-
Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hilipito, Meyrinda Rahmawati, “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di
Parlemen Melalui Undang-Undang Politik di Era Reformasi,” Tesis Magister
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan
Kontemporer Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi
Jakarta: Teraju, 2004).
Iswahjuni, dan Wasiaturahma, Orientasi dan kegiatan organisasi perempuan
dalam parpol studi wacana dan observasi kegiatan organisasi perempuan
pada 5 partai politik di surabaya, Surabaya: Lembaga penelitian airlangga,
2002.
Khan, Nighat Said dan Kamla Bashin. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Khomeini, Imam. Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini Jakarta:
Lentera, 2004.
Lane, Max, Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto Jakarta: Reform Institute, 2007.
Lubis, Amany dan Asriati Jamil .Seks dan Gender dalam Pengantar Kajian
Gender yang ditulis oleh Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam
Peradaban Masyarakat Kontemporer, Wacana Keperempuanan Mutakhir, di
Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 14 Desember 1995.
Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama, Bandung:
Mizan, 2005.
Najmah Sa’idah dan Husnul Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan:
Bercermin Pada Shahabiyat (Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003.
Nelson, Joan M. dan Samuel Huntington Partisipasi Politik di Negara
Berkembang Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro D. Marwati. Sejarah Nasional
Indonesia Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984.
Poerwandari, E. Kristi dan Tita Marlita. “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-
1965,” dalam Rahayu Surtiarti Hidayat dan E. Kristi Poerwandari,
Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun
Program Studi Kajian Wanita Jakarta: Program Pasca Sarjana UI, 2000.
Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan
Indonesia dan The Asia Foundation. Tindakan Khusus Sementara Menjamin
Keterwakilan Perempuan Jakarta: Pokja Advokasi Kebijakan Publik
Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, 2002.
Rauf, Mu’min dan Tati Harminah. “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,”
dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Rini Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik Jakarta: Kementerian Pemberdayaan
Perempuan RI, 2001.
Rozi, Syafuan, “Mengurangi Dampak Buruk Dominasi Patriarki dalam Politik di
Indonesia,” dalam Anilisis CSIS No. 3 Tahun XXXII/2003.
Said, Moh. Dzulkiah, dan A. A. Said Gatara. Sosiologi Politik: Konsep dan
Dinamika Perkembangan Kajian Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.
Sajaroh, Wiwi Siti. “Gender dalam Islam,” dalam Tim Penulis Pusat Studi Kajian
Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender
Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003.
Setiawan, Bambang, ed., Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program
2004-2009 Jakarta: Kompas, 2004.
Shadily, Hassan dan John M. Echols. Kamus Inggris Indonesia Jakarta: PT
Gramedia, 1990.
Shanti, Budi, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik,”
dalam Jurnal Perempuan, Perempuan dalam Kewarganegaraan, Di mana?
Jakarta: YJP, edisi No. 19, 2001.
Siregar, Wahidah Zein Br, “Implementasi Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004,”
Makalah disampaikan pada diskusi NU-NIHON tentang Peran Serta Wanita
dalam Dunia Politik, 9 Juli 2006.
Soetjipto, Ani Widyani. Politik Perempuan Bukan Gerhana Jakarta: Kompas,
2005.
Sudarmanto, Y. B. dkk, H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan
Bangsa, Jakarta: Grasindo, 1999.
Suryochondro, Sukanti. “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di
Indonesia,” dalam T. O. Ihromi (Penyunting), Kajian Wanita dalam
Pembangunan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Susiana, Sali. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Perempuan
Anggota DPR,” dalam Sali Susianan (penyunting), Perempuan Indonesia
Menyongsong Abad 21, Jakarta: Pusat Pengkajian Pelayanan Informasi
Setjen DPR-RI, 2000.
Syarifah, F., Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I
Dzulqaidah 1416 H/April 1996.
Ulum, Bahrul, “Bodohnya NU” apa “NU dibodohi” Yogyakarta: Ar-Ruz Press,
2002.
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 tahun 1999.
Utami, Tari Siwi. “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding
Seminar Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan
Umum, Jakarta: National Democratic & Meneg Pemberdayaan Perempuan
RI, 2001.
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi
Jakarta: Magna Script, 2004.
Widyastanti, Nur, “Kedudukan Hak Turut Serta dalam Pemerintahan dalam
Tatanan Konsep Demokrasi di Indonesia,” Tesis Magister Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Wijaksana, M. B. (penyunting), Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah
Panduan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan, 2004.
Wijaksana, MB. “Perempuan dan Politik: Ketika Yang Personal Adalah
Konstitusional,” dalam Jurnal Perempuan, Edisi No. 34, Politik dan
Keterwakilan Perempuan Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004.

Berita Koran, artikel, website, dan wawancara


“Sepertiga Caleg Perempuan PKB Nomor Jadi” berita di muat pada tanggal 18-
09-08, diakses dari www.antara.co.id.
“Anisah Mahfud, Sosok Sekretaris FKB DPR Yang Baru” berita di muat pada
tanggal 10 Juli 2007, diakses pada www.gp-ansor.org.
Wawancara pribadi dengan ibu Badriyah Fayumi selaku anggota DPR-RI PKB,
yang dilakukan pada tanggal 8-11-2008 di kediamannya.
Berita dalam koran Pelita tanggal 20 feb 1999 “Isteri Gusdur Siapkan 'Kitab
Kuning' Pro Perempuan” dalam kliping yang dikumpulkan Pusat Data
Kliping LIPI periode Januari-Desember 1999 dengan topik Masalah
Perempuan.
Chuzaifah, Yuniyanti. “Gerakan Perempuan Progresif NU dan Perebutan
Wacana,” KOMPAS, 22 Juni 2004.
“Gus Dur: Pintu Islah Sudah Tertutup”berita pada Kamis, 17 Januari 2002 yang
diakses dari www.sinarharapan.co.id.htm pada tanggal 25-11-2008.
“Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Memberi Hak Warga Negara“ Kompas,
Senin, 23 September 2002.
“Cetro merilis 25 daftar nama caleg berkualitas” Kompas, 15 Maret 2004.
Di akses pada tanggal 22-09-2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Fat_feminism"
title="Fat feminism".
Muhammad, Husein. “Partisipas Politik Perempuan,” dimuat pada tanggal
14/06/2004 yang diakses dari www.islamlib.com.
www.gp-ansor.org.
Yusanto, Muhammad Ismail. “Peran Politik Perempuan Dalam Islam,” artikel
diakses www. hti. or. Id.

Anda mungkin juga menyukai