Anda di halaman 1dari 15

DAMPAK NEGATIF PENGGUNA INTERNET DI KALANGAN ANAK-

ANAK REMAJA DI MASA PANDEMI COVID-19

Email. ingrytleokuna@gmail.com
Kampus: IKIP Siliwang
Abstract

Internet has given birth to a new world with different interaction


characteristics with the real world. This rapid growth has changed the way we
communicate, learn, entertain ourselves and behave. Currently the COVID 19
pandemic is spreading in all parts of the world, including Indonesia. In response
to this, the Government of Indonesia has begun implementing a Large-Scale
Social Restriction (PSBB) policy in several regions, one of which is physical
distance. With the application of physical distance, especially teenagers who are
mostly studying, most of their activities are carried out from home. The
implementation of this policy, especially for adolescents who are currently
attending school and university, has the potential to increase the use of the internet
in their daily lives. The potential for internet addiction and how to use the internet
wisely and healthily needs to be recognized, not only by teenagers, but also by
educational practitioners and policy makers.
Keywords: Internet Negative, Adolescent Children, Covid-19

Abstrak

Internet telah melahirkan dunia baru dengan karakteristik interaksi yang berbeda
dengan dunia nyata. Pertumbuhan yang pesat ini telah mengubah cara kita
berkomunikasi, belajar, menghibur diri sendiri, dan berperilaku. Saat ini pandemi
COVID 19 tersebar di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Menyikapi hal
tersebut, Pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial
Skala Besar (PSBB) di beberapa daerah, yang salah satu strateginya adalah jarak
fisik. Dengan diterapkannya jarak fisik, khususnya remaja yang sebagian besar
sedang menuntut ilmu, sebagian besar aktivitasnya dilakukan dari rumah.
Penerapan kebijakan ini, khususnya bagi remaja yang sedang bersekolah dan
kuliah berpotensi meningkatkan penggunaan internet dalam kehidupan sehari-
hari. Potensi kecanduan internet dan cara menggunakan internet secara bijak dan
sehat perlu disadari, tidak hanya oleh remaja, tetapi juga oleh praktisi pendidikan
dan pembuat kebijakan.
Kata Kunci: Negatif Internet, Anak-Anak Remaja, Covid-19
PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi informasi saat ini semakin pesat. Kemajuan


teknologi informasi dan internet saat ini menghasilkan sumber daya informasi
digital yang sangat melimpah (Salim, et al., 2020). Salah satu alat komunikasi
yang banyak digunakan saat ini adalah smartphone. Smartphone merupakan salah
satu alat komunikasi baik untuk jarak pendek maupun jarak jauh (Imam, 2019).
Penggunaan smartphone bukan lagi hal yang umum di era milenial, karena
smartphone merupakan barang yang wajib dimiliki oleh setiap individu. Di era
serba canggih ini, smartphone merupakan barang yang sudah terintegrasi dengan
kehidupan sosial masyarakat.

Sejak diciptakan internet terus menarik untuk dieksplorasi, digalih, dan


dikembangkan oleh para ahli dan pemerhati teknologi, dan semakin menarik
untuk digunakan para penggunanya. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi
dan Informatika Republik Indonesia tahun 2018 dari hasil survei eMarketer,
pengguna internet di dunia telah mencapai total kurang lebih 3,6 miliar. Indonesia
merupakan salah satu dari sepuluh besar pengguna internet terpadat di dunia
(Kominfo RI, 2018).

Remaja di era ini telah terpapar dan dipengaruhi oleh internet dan teknologi
digital sejak awal kehidupannya. Kelompok penduduknya yang saat ini lebih
dikenal dengan generasi Z cenderung mengalami adiksi internet karena proses
adaptasi terhadap interaksi lingkungan dan budaya yang mereka hadapi tidak
diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang memadai. Dalam konteks
remaja yang menempuh pendidikan formal berbasis kelas, adanya tuntutan
akademik yang tinggi juga mampu mendorong mereka untuk memanfaatkan
internet semaksimal mungkin. Pengguna internet tidak hanya sebatas menjadi
solusi utama yang praktis untuk memenuhi kebutuhan pemecahan masalah
akademik, tetapi juga sebagai alat rekreasi di tengah beban kognitif sehari-hari
(Kurniasanti et al., 2019).
Saat ini dunia sedang menghadapi pandemi COVID-19. Infeksi Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang secara klinis
bermanifestasi terutama pada sistem pernafasan ini (COVID-19), memiliki tingkat
penularan yang tinggi di berbagai belahan dunia sehingga WHO akhirnya
menetapkan status pandemi. untuk penyakit menular ini, hal ini bahkan
mendorong beberapa negara untuk menerapkan kebijakan lockdown guna
mencegah penyebaran virus ini secara meluas dan masif (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2020).

Di Indonesia sendiri, hingga awal April 2020, lebih dari 5.000 orang telah
dipastikan positif COVID-19. Pemerintah Indonesia saat ini sedang bekerja keras
untuk mengurangi tingkat penularan dan kematian akibat infeksi ini setiap hari.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah penerapan kebijakan Pembatasan Sosial
Skala Besar (PSBB). Salah satu bentuk implementasi kebijakan ini adalah
penerapan physical distancing (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2020). Jarak fisik sendiri dapat diartikan sebagai upaya menjaga jarak fisik antara
satu orang dengan orang lain dan membatasi aktivitas di luar rumah (Ahmed,
Zviedrite dan Uzicanin, 2018).

Implikasi dari kebijakan jarak fisik ini secara kontekstual di lapangan dapat
berupa himbauan untuk bekerja / belajar / beribadah di rumah. Di bidang
pendidikan, hal ini membuat remaja yang menamatkan jenjang pendidikannya
dari kegiatan tatap muka di sekolah / kampus dan menggantinya dengan metode
pembelajaran jarak jauh berbasis internet (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).

Jika tidak dikelola dengan bijak, metode pembelajaran ini dapat


memposisikan remaja untuk selalu menggunakan internet hampir setiap hari.
Selain efek positif yang diharapkan oleh komunitas pendidikan, munculnya efek
katalitik negatif yang tidak diinginkan bagi remaja juga perlu secara serius
dikenali, diidentifikasi dan diatasi.
METODE

Untuk dapat memetakan masalah dan fokus dengan baik, penulis


menggunakan metode studi pustaka atau studi pustaka. Pengumpulan data
dilakukan dengan mereview dan mengeksplorasi beberapa jurnal, artikel, buku
dan dokumen dalam bentuk cetak maupun elektronik serta sumber data atau
informasi lain yang dianggap relevan dengan penelitian. Dari data tersebut diolah
dan dikembangkan menjadi wacana baru. Jenis dan sumber data berasal dari buku
literatur dan jurnal terkait secara induktif. Analisis induktif ini digunakan untuk
menemukan berbagai fakta yang terkandung dalam data dan dapat membuat
hubungan antara peneliti dan responden menjadi lebih eksplisit, dapat dikenali,
dan dapat dipertanggungjawabkan (Sugiyono, 2014: 348).

Teknik analisis data dalam penelitian ini berupa analisis deskriptif, yaitu
teknik mengungkapkan dan menjelaskan pendapat responden berdasarkan
jawaban atas instrumen penelitian yang telah dikemukakan oleh peneliti. Dari data
yang telah terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data deskriptif dengan
menjelaskan keadaan di lapangan secara objektif dan sistematis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat saat ini adalah
internet. Internet tidak hanya menjadi teknologi untuk berbagi data, tetapi juga
menyediakan berbagai situs seperti jejaring sosial (Whatsapp, Instagram dan Line)
yang saat ini sangat populer di kalangan remaja. Internet merupakan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi yang memberikan peluang untuk
memperoleh informasi secara cepat, tepat dan terjangkau.

Salah satu dampak negatif dari penggunaan smartphone yaitu mampu


menyebabkan tingkah laku anak kurang baik, jika tidak ada pengawasan yang
tepat dari orang tua dalam pemanfaatannya. Anak yang sering menggunakan
smartphone secara berlebihan akan berdampak buruk pada anak. Dalam pandemi
seperti ini, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bermain di smartphone
daripada belajar. Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan kepribadian
manusia yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan kualitas tingkah laku
(Saputra, 2019). Belajar dapat diartikan sebagai proses penting untuk mengubah
perilaku manusia dan mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dilakukan
Zuhaira & Subkhan (Fenti, Sudia, & Kadir, 2020).

Selain itu dampak positif yang ditimbulkan oleh internet antara lain
memfasilitasi korespondensi, berkirim pesan, mengobrol, mengambil atau
mengirim informasi dan sarana hiburan (Fauziawati, 2015). Namun pada
umumnya remaja belum mampu memfilter hal baik atau buruk dari internet,
sehingga remaja rentan terhadap dampak negatif dari pemanfaatannya.

Penggunaan internet secara terus menerus berdampak pada kesehatan fisik


termasuk gangguan makan dan tidur, kenaikan atau penurunan berat badan,
gangguan mata seperti mata kering dan mata kabur, nyeri punggung, carpal
tunnel syndrome, cedera otot berulang dan kelelahan kronis (Rosenberg KP,
2014). Dampak negatif lain yang bisa muncul adalah pendidikan. Saat
menggunakan internet, remaja dibiasakan hanya berinteraksi satu arah sehingga
bisa membuat mereka tertutup. Kondisi ini dapat menyulitkan remaja untuk
mengekspresikan diri saat berada di lingkungan nyata, termasuk dengan teman
dan guru di sekolah. Remaja dengan kecanduan internet akan kesulitan untuk
berkonsentrasi pada studinya karena pikirannya selalu tertuju pada permainan
internet atau media sosial yang mereka miliki.

Hal ini juga sejalan dengan Rachman dalam (Alia & Irwansyah, 2018) yang
menyatakan bahwa dampak negatif dan efek samping penggunaan teknologi
internet antara lain menurunnya prestasi belajar akibat penggunaan yang
berlebihan, membatasi aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang
anak, gangguan kesehatan mata. , dan lain-lain. Orang tua sering mengeluhkan
ketidakteraturan penggunaan smartphone yang mengganggu proses belajar
mengajar, karena digunakan tidak pada waktu yang tepat. Misalnya, ketika
seorang anak mendapat pekerjaan rumah dari sekolah, anak itu sebenarnya sedang
bersenang-senang bermain di smartphone dan orang tua yang melakukannya. Hal
ini tentunya akan mempengaruhi konsentrasi belajar anak. Apabila konsentrasi
anak menurun akan berdampak pada tidak seriusnya belajar dan memahami
materi karena dalam pikirannya ia hanya ingin bermain di smartphone. Selain itu,
perilaku anak juga berubah karena ketagihan menggunakan smartphone. Mereka
menjadi sensitif, mudah emosional dan dapat mengganggu kesehatan mereka juga.

Banyak anak-anak yang menggunakan internet di smartphone di era


pandemi ini. Ponsel pintar seharusnya digunakan untuk belajar selama pandemi,
tetapi sebagian besar anak-anak di Desa Damaran menggunakan ponsel pintar
untuk bermain game dari pagi hingga sore. Selain digunakan untuk bermain game
juga digunakan untuk bermain tik-tok, youtube serta konten non edukatif dan
media sosial lainnya. Kemudahan bermain smartphone membuat mereka cuek
dengan lingkungan sekitar. Bahkan jika dia bertemu teman-temannya, jika dia
bermain di smartphone, semua yang ada di sekitarnya menjadi tidak menarik.
Mereka lupa waktu karena sibuk memperhatikan smartphone mereka. Salah satu
orang tua di antara mereka marah dan menjemput anaknya pulang karena lupa
waktu. Meski terpaksa pulang, ia membantahnya dan tak mau berhenti melepas
smartphone miliknya. Hal ini membuat perilaku anak menyimpang. Anak menjadi
marah, tidak sopan, cerewet dan menangis jika tidak dipatuhi.

(Syifa, Setianingsih, & Sulianto, 2019) menunjukkan bahwa hasil penelitian


ini menunjukkan bahwa penggunaan gadget yang berbasis internet berdampak
pada perkembangan psikologis anak sekolah dasar. Dalam penelitian ini 10 anak
kelas V (lima) yang menggunakan gadget dengan durasi lebih dari 2 jam per hari
mengalami perubahan perilaku. Dampak yang dihasilkan adalah dampak positif,
anak mudah mencari informasi tentang pembelajaran, dan memudahkan dalam
berkomunikasi dengan teman. Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan oleh
gadget berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak, terutama aspek
pertumbuhan emosi dan perkembangan moral.

Adiksi Internet Pada Remaja di Masa Pandemi


Kecanduan internet adalah suatu kondisi yang dinilai dari intensitas waktu
yang dihabiskan seseorang untuk terpaku pada komputer atau semua jenis
perangkat elektronik yang memiliki koneksi internet, dimana karena banyaknya
waktu yang dihabiskan untuk online, mereka tidak memperdulikannya. kehidupan
nyata. Kecanduan internet juga dikenal sebagai Internet Addiction Disorder
(IAD). Jenis gangguan ini tidak tercantum dalam manual diagnostik dan statistik
gangguan jiwa Hingga saat ini, belum ada konsensus resmi terkait diagnosis
kecanduan internet. Sebagian besar peneliti menggunakan beberapa kuesioner
laporan diri yang dirancang untuk membedakan subjek patologis dari orang
normal. Penilaian yang biasanya ditanyakan dalam kuisioner antara lain toleransi,
gejala putus zat, lamanya penggunaan internet dan dampak negatif yang
dirasakan. Salah satu instrumen untuk menilai adiksi internet yang ada saat ini
adalah kuesioner Internet Addiction Test (IAT) (Wallace P, 2014).

Dalam perkembangan emosionalnya, anak yang menggunakan internet


menjadi mudah tersinggung, tidak patuh, meniru tingkah lakunya di gadget dan
berbicara sendiri di gadget. Sedangkan pengaruhnya terhadap perkembangan
moral, berdampak pada kedisiplinan, anak menjadi malas melakukan apapun,
meninggalkan kewajiban beribadah dan mengurangi waktu belajar karena bermain
game dan terlalu sering menonton YouTube. (Chusna, 2017) yang menunjukkan
bahwa hasil penelitian ini memiliki banyak dampak negatif yang akan timbul
antara lain: sulitnya bersosialisasi, perkembangan motorik lamban dan perubahan
perilaku yang signifikan.

Kecanduan internet ditandai dengan keasyikan yang berlebihan atau tidak


terkendali, paksaan atau perilaku terkait penggunaan komputer dan akses internet
yang menyebabkan gangguan atau penderitaan. Dalam fenomena kecanduan
internet terdapat lima subtipe yang telah diklasifikasikan, yaitu:

1. Kecanduan Cybersexual: individu terlibat dalam perilaku melihat,


mengunduh, dan menjual pornografi secara online.
2. Kecanduan cyber-relational: orang lain terlibat dalam hubungan online
dan lebih penting daripada kehidupan nyata.
3. Kompulsi bersih: seperti perjudian, belanja, dan perdagangan online.
4. Kelebihan informasi: terlalu sering mencari informasi dari internet.
5. Kecanduan Komputer: individu yang terlibat dalam permainan yang
berlebihan (Kurniasanti et al., 2019).

Seseorang bisa dikatakan kecanduan internet jika menggunakannya lebih


dari tiga jam sehari atau jika melihat frekuensinya bisa lebih dari tiga kali sehari
(Laili dan Nuryono, 2015). Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh
Markeeters pada tahun 2013, hampir 70% pengguna internet di Indonesia yang
berusia lima belas hingga dua puluh dua tahun menghabiskan lebih dari tiga jam
sehari menggunakan internet. Tiga hal utama yang dia lakukan adalah mengakses
media sosial 94%, mencari 64% info dan membuka 60,2% email (Hariadi, 2018).

Selain itu, terdapat tujuh hal atau dimensi yang menjadi tolak ukur dalam
menilai adiksi internet, antara lain:

1. Dampak negatif: Penggunaan internet menyebabkan penurunan kinerja


atau kemampuan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
2. Kompulsif: Pasien ingin mengurangi waktu online, tetapi tidak mampu
untuk melakukannya.
3. Mengutamakan internet: Pikiran pasien selalu terbayang oleh internet
(misalnya membayangkan aktivitas online sebelumnya atau memikirkan
sesi online berikutnya).
4. Pengaturan suasana hati: Melakukan aktivitas online untuk membuat
mood atau perasaan menjadi lebih baik saat merasa sedih atau bosan
5. Sosial kenyamanan: Penderita lebih nyaman berinteraksi dengan orang
lain daripada harus menghadapi orang lain di dunia nyata.
6. Gejala penarikan: Penderita merasa stres atau sedih ketika harus
berhenti menggunakan internet sekaligus.
7. Escapism (pelarian): Pasien menggunakan internet sebagai melarikan
diri saat menghadapi masalah saya di dunia nyata. (Wallace P, 2014).

Proses Terjadinya Adiksi Internet

Saat ini sudah banyak penelitian yang menyelidiki kecanduan internet


dengan menggunakan pendekatan neuroimaging. Pola perilaku penggunaan
internet yang berlebihan memiliki banyak kesamaan mendasar dengan kecanduan
narkoba. Dua alat neuroimaging yang sering digunakan dalam penelitian ini
adalah Electroencephalogram (EEG) dan Functional Magnetic Resonance
Imaging (fMRI). Selain itu, terdapat peningkatan kondisi neurofisiologis seperti
penurunan gelombang beta dan delta absolut, serta peningkatan gelombang
gamma saat istirahat dapat menjadi penanda neurobiologis untuk adiksi internet
akibat gangguan kontrol inhibisi dan peningkatan impulsif (Ong SH, 2014).

Secara spesifik, individu yang mengalami kecanduan internet menunjukkan


fungsi eksekutif yang rendah dengan hasil negatif frontal medial yang lebih
rendah dalam EEG (Ong SH, 2014). Selain itu, beberapa penelitian telah
melaporkan bahwa kecanduan internet menyebabkan gangguan di area frontal
otak, terutama dorsolateral prefrontal cortex, area yang bertanggung jawab atas
fungsi kognitif, motivasi, dan kontrol impuls. Penurunan volume juga ditemukan
pada substansia grisea di cingulate kiri anterior, cingulate posterior kiri, insula
kiri, gingrus lingual kiri, dan korteks prefrontal dorsolateral. Perbedaan tersebut
juga terlihat pada pemeriksaan Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI).
Alat ini dapat digunakan untuk mengamati struktur dan fungsi anatomi
berdasarkan kebutuhan kadar oksigen saat ada aktivitas di otak. Pemeriksaan
fMRI pada remaja dengan adiksi internet menunjukkan adanya hiperaktivitas pada
korteks prefrontal dorsolateral dan amigdala. (Kurniasanti et al., 2019).
Perubahan struktur otak dapat mengganggu fungsi perencanaan dan penalaran
eksekutif serta meningkatkan risiko impulsif sehingga remaja dengan kecanduan
internet menunjukkan perilaku kompulsif yang sulit dikendalikan.
Korteks prefrontal (PFC) dikaitkan dengan proses keinginan dalam
kecanduan internet. Selain itu, PFC juga bertanggung jawab dalam pengambilan
keputusan. PFC dibagi menjadi area korteks orbitofrontal (OFC), korteks
prefrontal dorsolateral (DLPFC), dan korteks prefrontal rostral (RPFC).
Disorganisasi area DLPFC dan RPFC dapat menyebabkan disfungsi kognitif,
pengambilan keputusan yang salah, dan pemikiran konkret yang tidak fleksibel.
Area PFC pada remaja belum matang, sehingga adiksi internet yang terjadi pada
kelompok usia ini akan mempengaruhi proses transformasi dan pematangan
struktur otak (Kurniasanti et al., 2019).

Seseorang dengan kecanduan internet mungkin juga menunjukkan gangguan


emosi dan ingatan. Remaja dengan kecanduan internet menunjukkan aktivasi
parahippocampal gyrus (PHG), posterior cingulate cortex (PCC), precuneus, dan
amigdala yang lebih besar. Area otak ini dikaitkan dengan proses keinginan yang
melibatkan fungsi emosional (ketakutan, kesedihan, dan kecemasan), memori,
motivasi, perhatian, dan empati (Park B et al., 2017; Kurniasanti et al., 2019).

Remaja yang mengalami kecanduan internet umumnya tidak mampu


mengendalikan keinginannya untuk tidak menggunakan internet. Kondisi ini
berkaitan dengan bagian otak, yaitu anterior cingulate cortex (ACC), insula,
putamen, dan caudate. ACC akan mengaktifkan keinginan kuat untuk
menggunakan internet, kemudian DLPFC akan diaktifkan untuk memilih dan
berencana menggunakan internet. Ada peningkatan aktivitas DLPFC bilateral
pada remaja dengan kecanduan internet. Setelah penghentian penggunaan internet
yang berlebihan, aktivitas di DLPFC kanan dan gyrus parahippocampal kiri
tampak lebih rendah dari sebelumnya (Weinsten AM, 2017; Kurniasanti et al.,
2019).

Pencegahan Adiksi Internet Pada Remaja di Masa Pandemi

Di saat pandemi COVID-19, pemerintah dan sekolah merekomendasikan


untuk melakukan kegiatan belajar jarak jauh di rumah untuk memutus mata rantai
penularan virus. Media pembelajaran jarak jauh utama yang digunakan adalah
internet. Meski begitu, terdapat ancaman dan bahaya dampak negatif penggunaan
internet yang tidak terkontrol, khususnya bagi remaja. Oleh karena itu, penulis
merekomendasikan perlunya arahan dari pendidik dalam membina kemandirian
untuk menggunakan internet secara bijak bagi anak didik, melalui:

1. Edukasi tentang pentingnya pengaturan yang jelas dan pengendalian


penggunaan internet oleh diri sendiri & orang tua / wali di rumah,
seperti ; pembatasan waktu penggunaan internet, pengenaan jeda waktu
penggunaan perangkat digital, pembatasan situs dan konten negatif, dan
sebagainya.
2. Edukasi tentang cara menggunakan internet dengan bijak, seperti;
bagaimana menjaga privasi dan keamanan di dunia maya, bagaimana
mengidentifikasi dan berperilaku terhadap cyberbullying, berbagai
aktivitas berbasis internet yang konstruktif dan produktif, pentingnya
menyeimbangkan aktivitas online dengan aktivitas fisik, dan lain
sebagainya (Ang RP, 2015).
3. Edukasi tentang bagaimana membangun komunikasi yang baik dan
sopan antara orang tua dan remaja dalam penggunaan internet dan cara
membantu mereka dalam melaksanakan proses pembelajaran jarak jauh
berbasis internet. Penelitian yang dilakukan oleh Chang et al
menunjukkan bahwa remaja yang kurang dekat dengan orang tua
cenderung memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami cyberbullying,
kecanduan internet dan depresi (Chang FC et al, 2015). Oleh karena itu,
peran dan kedekatan orang tua sangat penting dalam mengontrol
penggunaan internet remaja.
4. Pada saat pandemi COVID-19 dimana proses pembelajaran dilakukan
dengan internet, advokasi kepada pengambil kebijakan dalam menutup
akses situs pornografi, perjudian online, game online yang
menampilkan kekerasan dan situs lain yang dapat berdampak negatif
bagi remaja perlu dilakukan. dilanjutkan (Ang RP, 2015).
Pandemi Covid-19 berdampak pada berbagai sektor di dunia termasuk
Indonesia, salah satu sektor yang terkena dampaknya adalah pendidikan. Proses
pembelajaran dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh karena mencegah
keramaian yang akan menyebabkan penyebaran COVID-19. Dalam pembelajaran
jarak jauh membutuhkan koneksi internet secara berkelanjutan. Dengan
mengoptimalkan internet dalam proses pendidikan dan pembelajaran,
penyampaian materi dapat dilakukan secara online, tidak hanya dalam
pembelajaran, evaluasi prestasi belajar siswa juga dapat dilakukan dengan
menggunakan internet. Penggunaan internet secara terus menerus dapat
berdampak positif dan negatif bagi pengguna di masa mendatang. Pembelajaran
online (dalam jaringan) dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia
dan sebagian besar pelajarnya adalah remaja. Di era digital ini, remaja telah
terpapar dan menggunakan internet sejak dini dalam kehidupannya, seringkali
mengakibatkan ketagihan dalam penggunaannya. Selama masa pembelajaran,
remaja memanfaatkan internet secara maksimal, tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan akademis tetapi juga untuk sarana rekreasi di tengah kesibukan sehari-
hari.

Di Indonesia penggunaan internet terbesar adalah remaja usia 15-24 tahun


dengan persentase sekitar 26,7% - 30%. Hampir 80% remaja usia 10-19 tahun
yang tersebar di 11 provinsi kecanduan internet. Akses internet yang tersedia dan
mudah dijangkau tidak hanya berdampak positif tetapi juga berdampak negatif,
diantaranya remaja sering berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal yaitu
24%, mengakses pornografi sebanyak 14% dan sisanya mengakses game online
dan keperluan lainnya.

Penggunaan internet bagi individu, khususnya remaja, memiliki manfaat


dan dampak bagi perkembangan remaja. Dampaknya antara lain peningkatan
perilaku agresif akibat konten media yang kasar, depresi bagi pengguna dengan
intensitas tinggi, cyberbullying, peningkatan perhatian terhadap citra tubuh,
berbaring di dunia maya dan penurunan kualitas tidur yang berdampak pada
kesehatan remaja. Sedangkan manfaat yang diperoleh dari penggunaan internet
adalah remaja memiliki koneksi sosial yang baik, menumbuhkan kreativitas yang
baik, berpartisipasi dengan masyarakat, memiliki wawasan yang luas dan
memperoleh informasi yang bermanfaat. Pemanfaatan internet yang menimbulkan
kecanduan bagi penggunanya dapat menimbulkan risiko yang besar bagi
kehidupan remaja, seperti kecemasan, depresi, penurunan kesehatan fisik dan
mental, hubungan interpersonal dan penurunan kinerja.

Selain itu, pengaruh lingkungan sosial yang mudah mempengaruhi remaja


di tengah pandemi COVID-19 dapat berdampak negatif bagi remaja. Orang tua /
wali di rumah perlu memberikan pengenalan dan pendalaman religiusitas. Hal ini
karena dalam beragama dapat menumbuhkan moral sense dan dapat berperan
sebagai pedoman dalam hidup, sehingga mendorong remaja untuk berperilaku
sesuai dengan ketentuan agama (Basri, 2014).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil telaah ini dapat disimpulkan bahwa pengguna internet di


kalangan remaja dapat memberikan dampak positif dan negatif, tergantung dari
pemanfaatan penggunaannya. Penggunaan internet secara terus menerus untuk
mendapatkan kepuasan diri yang dapat mengakibatkan ketidakpedulian terhadap
kehidupan luar adalah kecanduan internet. Seseorang dikatakan kecanduan
internet jika Anda menggunakannya lebih dari tiga jam sehari atau jika Anda
melihat frekuensinya lebih dari tiga kali sehari. Kecanduan internet dapat
mengakibatkan perubahan struktural pada otak yang dapat mengganggu fungsi
penalaran eksekutif, meningkatkan risiko impulsif dan menimbulkan kecanduan
yang akan mengakibatkan perilaku kompulsif yang sulit dikendalikan. Durasi
bertambah karena dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah untuk menerapkan
pembelajaran jarak jauh dan setiap remaja wajib memiliki ponsel sebagai media
pembelajaran online saat pandemi Covid-19. Maka untuk mencegah dampak
negatif penggunaan internet, diharapkan para orang tua dapat memberlakukan
pembatasan penggunaan internet tanpa harus merampas haknya, lebih bijak dan
memperhatikan dampak yang terjadi dari penggunaan internet.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, F., Zviedrite, N. and Uzicanin, A. (2018). Effectiveness of workplace


social distancing measures in reducing influenza transmission: A systematic
review‟, BMC Public Health. BMC Public Health, 18(1), pp. 1–13. doi:
10.1186/s12889-018- 5446-1.
Ang RP. (2015). Adolescent cyberbullying: A review of characteristics,
prevention and intervention strategies'. Aggression and Violent Behavior.
25 (Nov-Dec).pp: 35-42.
Chang, F.C. et al. (2015). The relationship between parental mediation and
Internet addiction among adolescents, and the association with
cyberbullying and depression'. Comprehensive psychiatry. vol 57 (feb). pp:
21-28.
Chusna, P. A. (2017). Pengaruh Media Gadget pada Perkembangan Karakter
Anak. Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Sosial Keagamaan , 17 (2),
315-330.
Fauziawati, W. (2015). Upaya Mereduksi Kebiasaan Bermain Game Online
Melalui Teknik Diskusi Kelompok, PSIKOPEDAGOGIA Jurnal Bimbingan
dan Konseling. doi: 10.12928/psikopedagogia.v4i2.4483.
Fenti, Sudia, M., & Kadir. (2020). Pengaruh Motivasi Belajar dan Tingkat
Kepercayaan Diri terhadap Hasil Belajar Matematika. Jurnal Amal
Pendidikan , 1 (1), 31-41.
Hariadi, A. F. (2018). Hubungan antara fear of missing out (fomo) dengan
kecanduan media sosial pada remaja. Skripsi.
Imam, A. (2019). Pengaplikasian Smartphone sebagai Media Komunikasi
Interpersonal di Kalangan Pegawai di Kementerian Agama Kabupaten
Aceh Barat. International Journal of Islamic Studies and Social Sciences , 1
(2), 343-369.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo RI).
(2018). Pengguna Internet Indonesia Nomer Enam Dunia. Jakarta:
Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Kurniasanti, K. S. et al. (2019). Internet addiction: A new addiction?, Medical
Journal of Indonesia, 28 (1), pp. 82–91. doi: 10.13181/mji.v28i1.2752.
Laili, F. M. and Nuryono, W. (2015). Penerapan Konseling Keluarga Untuk
Mengurangi Kecanduan Game Online Pada Siswa Kelas Viii Smp Negeri
21 Surabaya, Jurnal BK.
Ong SH. (2014.) Internet addiction in young people'. Ann Acad Med. Singapore;
43 : 378- 82.
Rosenberg KP, Feder LC. (2014). Behavioral addictions: criteria, evidence, and
treatment. London: Elsevier academic press
Salim., Basri, A. M., Husain, D. L., Hidayah, A. N., & Nurhayati. (2020). The
Use Of Digital Literacy In Higher Education. Al-Ishlah: Jurnal Pendidikan,
12 (1), 52-66.
Syifa, L., Setianingsih, E. S., & Sulianto, J. (2019). Dampak Penggunaan Gadget
terhadap Perkembangan Psikologi pada Anak Sekolah Dasar. Jurnal
Ilmiah Sekolah Dasar , 3 (4), 527-533.
Wallace, P. (2014). Internet addiction disorder and youth: There are growing
concerns about compulsive online activity and that this could impede
students' performance and social lives. EMBO rep, 15(1) : 12-16. doi:
10.1002/embr.201338222

Anda mungkin juga menyukai