Anda di halaman 1dari 76

RINGKASAN DISERTASI

GERAKAN SOSIAL LOKAL PEREMPUAN

Anis Farida

PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2012

RINGKASAN DISERTASI
GERAKAN SOSIAL LOKAL PEREMPUAN

DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor
Dalam Program Studi Ilmu Sosial
Pada Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga dan dipertahankan di hadapan Panitia
Ujian Doktor Tahap Terbuka

Anis Farida

PROGRAM DOKTOR ILMU SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2012
2

Promotor dan Ko Promotor

Promotor

: Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, Drs

Ko Promotor

: Prof. Dr. Susetiawan, SU

Telah diuji pada Ujian Tahap I (Tertutup)


Hari/Tanggal

: 2 Juni 2012
PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua

: Prof. Dr. L. Dyson, Drs., M.A.

Anggota

: Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, Drs.


Prof. Dr. Susetiawan, SU
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA
Prof. Dr. Irwan Abdullah
Prof. Dr. Warsono, M.S.
Prof. Kacung Marijan,Drs., M.A.,Ph.D.
Prof. Dr. Mustain, Drs., M.Si
Dr. Dwi Windyastuti Budi H,Dra., M.A.

Ditetapkan dengan Surat Keputusan Dekan


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga Surabaya
Nomor : 1292/H3.1.7/PPd/2012
Tanggal 14 Mei 2012

UCAPAN TERIMA KASIH


Puji syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan disertasi dengan judul
Gerakan Sosial Lokal Perempuan. Dengan segala keterbatasan penguasaan dan
pemahaman saya dalam bidang teoritik maupun lapangan akhirnya disertasi ini
dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini lebih tepat disebut
sebagai karya yang dilahirkan dengan dukungan banyak pihak. Sehingga pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga
kepada berbagai pihak tersebut, yaitu :
Kepada Prof. Dr. Hotman M. Siahaan, selaku Promotor dan dosen yang
telah banyak memberikan bimbingan dan kontribusi keilmuan berupa arahan, dan
kritik sejak proses perkuliahan sampai dengan tiap tahap penulisan disertasi ini.
Konsistensi dan kedisiplinan beliau, yang selalu tepat waktu dengan janjinya,
memberikan pelajaran tersendiri bagi saya. Dengan setulusnya saya menghaturkan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada beliau.
Kepada Prof. Dr. Susetiawan, SU, selaku Ko-Promotor dan dosen MKPD
untuk Teori Gerakan Sosial, yang telah banyak membuka cakrawala berpikir sejak
menjadi mahasiswa di bangku S2 Sosiologi UGM, dan sebagai team work dalam
proyek Konsultan Evaluasi Nasional P2KP. Sikap egaliter beliau memungkinkan saya
untuk mendiskusikan berbagai hal dengan tanpa beban. Lebih dari itu beliau
memberikan kebebasan kepada saya untuk menghubungi beliau di mana saja dan
kapan saja, baik langsung maupun dengan bantuan teknologi. Kondisi tersebut
membentuk proses pendewasaan keilmuan saya dapat berkembang dengan
bebas, namun tetap dalam koridor nilai-nilai yang saya yakini. Untuk segala
kebaikan beliau tidak cukup kata-kata untuk menghaturkan rasa terima kasih saya,
semoga Allah SWT yang membalasnya.
Kepada Prof. Dr. Fasichul Lisan Apt, selaku Rektor Universitas Airlangga,
Drs. Basis Susilo, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, dan Prof. Dr.Hj. Sri Hajati, SH,M.H., selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Airlangga, yang telah memberikan kesempatan dan
kebijakannya kepada saya untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Ilmu Sosial.
Kepada Prof.Dr.L. Dyson, MA, selaku Ketua Program Doktor Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, yang selalu memberikan dorongan dan perhatian kepada

saya dan juga para mahasiswa lainnya agar segera menyelesaikan studi. Beliau
senantiasa memberikan kemudahan dan memfasilitasi agar kami dapat
menyelesaikan studi tepat waktu.
Kepada seluruh pengajar di Program Doktor Ilmu Sosial juga saya
haturkan terima kasih, yaitu kepada Prof. Hotman M Siahaan, Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto, MPA, Prof. Ramlan Surbakti, Drs, MA, PhD, Dr. Daniel Sparingga,
Prof. Dr. Wirawan, SU. Secara khusus, saya sampaikan terima kasih kepada Prof.
Dr. FX. Eko Armada Riyanto (Romo Armada) yang telah membimbing dan
memberikan tambahan pengetahuan yang bermanfaat, serta menunjukkan Dasun,
yang akhirnya menjadi lokasi penelitian disertasi ini. Semoga Romo selalu
mendapatkan limpahan berkat dariNya.
Terima kasih pula, saya sampaikan kepada para pengasuh Mata Kuliah
Penunjang Disertasi (MKPD) yaitu Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MPA dari Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan pemahaman lebih luas tentang
Perempuan dan Politik, serta terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Anna
Marie Wattie, MA dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah banyak
memperkenalkan saya dengan metodologi feminisme.
Selain itu terima kasih juga kepada para penguji yang telah turut menguji
saya pada tahap pra kualifikasi sampai dengan ujian Tahap II, yaitu Prof. Soetandyo
Wignjosoebroto, MPA, Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA, Dr. Dhaniel T. Sparingga,
MA, Prof. Kacung Marijan, Drs, M.A.,Ph.D, Dr. Dwi Windyastuti Budi H, MA, Prof.
Dr. Mustain, Drs, MSi, Dr. Rachma Ida, M.Com, Prof. Dr. Soenyono, M.Si, dan
Prof.Dr.Warsono, M.Si terima kasih atas segala kritik dan saran demi perbaikan
disertasi ini.
Secara khusus saya mengucapkan terima kasih yang amat sangat kepada
Prof. Dr. Irwan Abdullah, yang merelakan waktunya untuk turut menguji disertasi
saya di tahap ujian tertutup dan terbuka. Sejarah panjang pertemuan saya dengan
beliau sejak tahun 1995 (saat terpilihnya tim saya sebagai peneliti yang mendapat
dana penelitian dari Ford Foundation bekerjasama dengan Pusat Kependudukan
UGM), telah menuntun saya untuk mencintai dunia akademik. Tanpa campur
tangan beliau, sulit rasanya membayangkan, bahwa saat ini saya telah
menyelesaikan studi ilmu sosial sampai tingkat setinggi ini. Beliau dengan sabar
dan telaten selalu membantu kesulitan-kesulitan saya di bidang akademik,
meskipun saya telah teramat sering mengecewakannya. Kebaikannya yang amat

sangat, seringkali justru membuat saya merasa bersalah, karena sejauh ini saya
masih belum bisa mengamalkan prinsip-prinsip keilmuan yang telah diberikan
kepada saya. Dalam kesempatan ini saya mohon maaf atas segala kekurangan dan
kekhilafan saya dalam berpikir dan bersikap, dan saya masih akan terus
mengharapkan bimbingan Mas Irwan. Semoga Allah SWT selalu memberikan yang
terbaik untuk Mas Irwan bersama keluarga.
Terima kasih kepada Rektor Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menempuh studi di jenjang S3.
Khususnya kepada Bapak Dr. Moch. Fauzi Said selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik yang telah memberikan fasilitas dan kelonggaran kepada saya
untuk meninggalkan kegiatan mengajar, agar saya bisa fokus menyelesaikan studi
di saat-saat yang kritis. Demikian pula saya haturkan terima kasih kepada Bapak
dan Ibu Dekan terdahulu beserta para Wakil Dekan yang mendukung penyelesaian
studi saya. Tidak terlupakan juga untuk menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Mbak Iche (Dra. Azizah Alie, M.Si), Mbak Ratih (Dr. Ratih
Retnowati Mardi, M.Si), Mbak Astrid, Pak Bambang, Pak Suwartono yang selalu
memperjuangkan kepentingan-kepentingan saya, sehingga memudahkan saya
untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Terima kasih juga untuk seluruah
keluarga besar FISIP UWKS dan juga sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada sahabat-sahabat seangkatan
tahun 2006 yang hanya beranggotakan lima orang, yaitu Dr. Ali Maksum, M.Ag,
M.Si, Dr. Suka Arjawa, dan Dr. Sugeng Pujileksono, serta Suyoto Drs,M.Si.
Kekompakan dan kerjasama dalam berbagi bahan kuliah dan buku-buku, tidak
akan terlupakan dan selalu menjadi sejarah indah dalam perjuangan meraih gelar
akademik. Juga kepada Suster Anna S dari Putri Kasih yang telah banyak
membantu dalam memfasilitasi perkenalan dan pertemuan saya dengan Bu
Sulastri Lurah Dasun beserta para aktivis yang lain. Terima kasih yang tak terhingga
bagi kesediaan Bu Sulastri, Mbak Nur, almarhumah Bu Ngadinem, Pak Mulyono,
Mas Zaini dan teman-teman di Dasun yang telah memperlakukan saya sebagai
keluarga sendiri, selama saya berada di Dasun.
Terima kasih juga buat sahabatku tercinta Nining, Bernada Rurit dan R.
Heru H di Yogyakarta, Dr. Erna Ermawati Chotim (Bogor), Arief Budi Utomo
(Sydney), Dr.Sukidin (Jember), Dr. Moch. Burhan (Malang), yang silih berganti hadir

dengan caranya masing-masing, dalam situasi-situasi sulit yang harus saya hadapi,
terima kasih buat kesabaran, dukungan dan semangat dari kalian semuanya,
hingga bisa terselesaikannya studi ini. Terima kasih pula teman-teman lain yang
tidak bisa disebut satu persatu. Untuk mas Tino, staf akademik di FISIP Unair,
terima kasih yang tulus saya ucapkan, karena berkat bantuannya, semua proses
tahapan ujian disertasi saya berjalan dengan lancar.
Kepada kedua orang tua saya, yaitu Ayahanda H. Mochammad Ngasiki, BA
dan Ibunda Hj. Sutami, yang senantiasa memanjatkan doa tulus demi kesuksesan
dan kelancaran saya dalam menyelesaikan studi. Tidak lupa mertua saya (alm)
Ayahanda BRM.Priyo Santi Setyo Basuki dan Ibunda Hj.Suparmi Saminah, serta
Ibunda Bulik Hj. Katemi terima kasih atas doa tulus dan dorongannya. Serta
kepada adik-adikku tersayang, Dik Laily Fiana, SE (Banda Aceh) dengan Dik
Wahyudi Burhan, MPA bersama keluarga, Dik M.Nanang Fauzi, ST (Bandung)
dengann Dik Elis, Dik M.Erfin Fatoni, SE (Blitar) dengan Dik Fia, Zaky dan Dila,
terima kasih atas dukungan dan perhatiannya selama ini.
Kepada suami saya Dr. H. Priyo Handoko SS, SH, M.Hum yang sangat risau
dengan penyelesaian studi saya yang berkepanjangan, meskipun dia juga
berinvestasi dalam hal tersebut. Alhamdulillah, dengan kekuatanNya, semua
dapat dilalui dan selalu berakhir dengan indah serta penuh suka cita. Dukungan
luar biasa di saat akhir penyelesaian studi, terutama kerelaannya mengasuh anakanak kami tercinta, di saat saya harus lembur ataupun wira wiri ke Yogyakarta,
maka tak terlukiskan rasa terima kasih saya kepada Abi tercinta. Untuk segala
kebaikan Abi hanya doa tulus yang dapat saya panjatkan.
Kepada anak pertamaku Elang tersayang, yang telah kehilangan waktuwaktu bermain dan belajar bersama. Permintaannya sederhana, Mama cepat
lulus yabiar tiap hari bisa belajar bersama dan bisa antar jemput Elang ke
sekolah. Demikian pula untuk bidadari tercantikku Cleopatra yang diproduksi di
tengah-tengah studi S3, dia sudah merasakan begadang mengerjakan tugas kuliah
sejak dalam kandungan. Cle seringkali harus kehilangan kasih sayang Mamanya,
ketika ditinggal berhari-hari untuk mengumpulkan data lapangan sejak berusia 5
bulan. Kehilangan dua calon buah hati selama menyelesaikan studi S3, menyisakan
sesal dan duka, yang harus diterima dengan ikhlas. Terima kasih juga buat Mbak
Khusna, yang telah bekerja dengan baik, menjaga dan mengasuh Elang dan Cle,
ketika saya harus seringkali pergi meninggalkan rumah. Untuk semua pengorbanan

orang-orang terkasihku, terima kasih dan perasaan sayang yang setulusnya kepada
kalian semua.
Akhir kata semoga segala bentuk dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak tersebut mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Sebagai sebuah
karya manusia, tentunya disertasi ini penuh dengan kekurangan dan
ketidaksempurnaan, untuk itu kritik dan saran demi perbaikan disertasi ini, selalu
diterima dengan lapang dada. Harapan saya semoga disertasi ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu sosial.

Surabaya,

Juni 2012

Penulis,

Anis Farida

ABSTRACT
Womens Local Social Movements
Anis Farida
This study aims to understand whether the phenomenon of rural
women's collective action in Dasun, Kediri can be interpreted as a social
movements, and related to the issues, actors and the setting, hows that social
movements can be categorized. Based on this, this study aims (1) to explore and
interpret the phenomenon of collective action undertaken by women in Dasun, if
indeed a social movement and (2) the implications of the achievement of social
movements in society and family life.
This study is a qualitative research with an ethnographic approach, which
a plural method include observation, participation, analysis of records, and
interviews. The subjects of this study included some Dasuns women activist and
outsiders who were involved in the growth of the local social movements.
Based on the results of field research and theoretical analysis led to some
the conclusion, an important finding of this study, show that a leader is the
product of the movements. The ability to produce a leaders, as far as the author
know, is the specific notion that can not be found on collective action in other
places. Social movements in Dasun can not be fully called as new social
movements, because the actor is not from a middle class, they were a poor
women with a limited or low educational background, and the setting of social
movements is a rural agricultural communities. Collective action in Dasun can be
interpreted as a social movements, with the fulfillment of the element of
collectivity, shared goals, a loose organization, leadership, spontaneity, and moving
beyond the villages authority. The implications of the achievement of social
movements in family life is shown by the involvement of women in decisionmaking and financial control lies in the female. In areas of society, women have
begun to participate in the socio-cultural, political, economic and environmental
fields.
Keywords: social movements, collective action, women, leadership, social justice,
humanity, inequality

10

PENDAHULUAN
Negara Indonesia sejak masa Orde Baru telah menjadikan
paradigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuan dari
seluruh kebijakan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan di masa itu
diatur dalam GBHN dan Repelita sebagai instrumen utama yang sarat
dengan rencana dan konsep pembangunan.1 Namun setelah pembangunan
dijalankan dalam jangka waktu yang cukup lama, terbukti bahwa
pembangunan sebagai peran pokok pemerintah telah membawa dampak
negatif dalam pembangunan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme

semakin

merajalela dan membentuk sebuah kebobrokan sistem dalam pelaksanaan


pembangunan di masa Orde Baru hingga saat ini.2
Pembangunan

yang

semula

dimaksudkan

untuk

mengejar

ketertinggalan dari masyarakat maju, justru hal ini memproduksi persoalan


sosial ekonomi. Berbagai bentuk ketimpangan yang ada telah melahirkan
ketegangan yang tersembunyi ataupun konflik yang bersifat terbuka dalam
masyarakat. Konflik antar pribadi, antar kelompok, ataupun masyarakat
berhadapan dengan negara acapkali melahirkan berbagai bentuk penindasan,
eksploitasi dan tirani institusi. Praktek tuan tanah dan eksploitasi petani,
diskriminasi sosial, kokohnya sistem patriarki dan penindasan terhadap

Ryaas Rasyid. 2005. Otonomi Daerah : Latar Belakang dan Masa


Depannya dalam Syamsudin Haris (editor). Desentralisasi dan Otonomi Daerah :
Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta :
LIPI Press, h : 6.
2
Susetiawan. 2003. Pengantar : Pemberdayaan Masyarakat : Antara Ide
dan Komoditi Baru Untuk Perubahan Sosial dalam Suparjan dan Hempri Suyatno.
Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan.
Yogyakarta : Aditya Media, xviii.

11

perempuan, dan berbagai institusi lain yang sarat dengan dominasi dan
ketidakadilan seringkali melatar belakangi munculnya suatu aksi kolektif3.
Aksi-aksi kolektif

yang berkembang

dalam suatu masyarakat

dalam hal ini merupakan bentuk respon atas ketidakmerataan pelaksanaan


pembangunan

dalam

berbagai

aspek

kehidupan.

Dampak

negatif

ketidakmerataan pembangunan di Indonesia telah memproduksi berbagai


masalah sosial seperti, disintegrasi bangsa, kemiskinan, buta huruf dan
rendahnya tingkat pendidikan, kekurangan pangan dan air bersih, gizi buruk,
fasilitas medis yang hanya terpusat di perkotaan, buruknya infrastruktur di
pedesaan, kerusakan lingkungan dan lainnya. Kondisi demikian mendorong
lahirnya aksi dari berbagai komponen masyarakat sipil untuk mendobrak
dan meruntuhkan tatanan struktur ketidakadilan. Aksi kolektif dalam hal
demikian menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap kemapanan yang
tidak bisa memberikan ruang untuk perbaikan kualitas kehidupan di
masyarakat.
Dalam upaya memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat, isu-isu
yang diperjuangkan oleh komponen masyarakat sipil
mengklaim aksi kolektif sebagai gerakan sosial,

yang sering

tidak lagi sebatas

mengamankan tanah dari klaim kepemilikan oleh pihak lain (isu


materialistik), tapi telah bergerak jauh ke depan, dengan mempertanyakan
hak-hak konstitusional, kebutuhan untuk melakukan redefinisi dan
transformasi nilai-nilai sosial dan norma-norma, artikulasi terhadap
permasalahan yang terkait dengan warisan budaya, simbol dan sejarah.4
3

Rajendra Singh. 2001. Social Movements, Old and New : A Post


Modernist Critique. New Delhi, Thousand Oaks, London : Sage Publications, h :
301
4
Rajendra Singh. Ibid. h : 302.

12

Adanya pergeseran isu tersebut tidak terelakkan lagi, jika semula isu
materialistik mendominasi roh gerakan sosial, pada perkembangannya telah
bergeser dengan mengusung isu-isu non materialistik seperti

gender,

ekologi, Hak Asasi Manusia, kebebasan individu, hak otonomi, serta


keadilan sosial dan kesetaraan.5 Aksi-aksi kolektif yang dijalankan oleh
berbagai komponen masyarakat sipil tersebut seringkali mengalami up and
down. Artinya, ketika aksi kolektif yang didorong oleh faktor eksternal
ditinggalkan oleh aktornya, maka aksi kolektif yang dilakukan oleh
masyarakat dampingan tidak berlanjut. Jika hal demikian ini sering terjadi,
masihkah hal seperti ini dapat diklaim sebagai sebuah Gerakan Sosial?
Pergeseran tidak hanya terkait dengan isu yang diperjuangkan,
namun

juga

terkait

dengan

latar

belakang

aktor,

jika

semula

memperjuangkan isu materialistik yang berbasis pada kelas, maka pada


perkembangannya telas meluas dan menerjang lintas batas. Para aktor
ataupun partisipan tidak lagi didukung oleh batas-batas kelas, namun dapat
berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, etnis, jenis kelamin,
organisasi, akademisi, dan kaum yang relatif terdidik lainnya. Pluralitas isu
maupun heterogenitas basis partisipan pengusungnya telah memberikan
ruang gerak bagi kaum perempuan untuk turut memperjuangkan perbaikan
kualitas kehidupan melalui aksi kolektif.
Aksi-aksi kolektif

berkembang menyentuh kaum perempuan,

meskipun masih membutuhkan perjuangan panjang, baik yang dilakukan


oleh sekelompok kecil individu maupun melalui organisasi. Para perempuan
dengan latar belakang pendidikan tinggi sudah mulai mewarnai panggung
politik di tingkat daerah maupun nasional. Sementara itu pada tataran lokal,
5

Rajendra Singh.Ibid. h : 302.

13

masuknya perempuan ke ruang publik ditandai dengan semakin banyaknya


perempuan yang bertarung di arena Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Dalam hal ini tidak sedikit jumlah perempuan yang berhasil memenangkan
kursi kepala desa. 6 Di luar jalur kekuasaan formal tersebut, di tingkat akar
rumput pedesaan mulai

bermunculan perempuan yang menjadi aktor

ataupun partisipan bagi peningkatan kualitas kehidupan perempuan melalui


aksi

kolektif

yang dirintis dan dikembangkan untuk mengatasi

permasalahan yang dihadapi oleh komunitasnya.


Dalam upaya memperbaiki kualitas kehidupan kaum perempuan, isu
yang diangkat juga beragam sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh
komunitas setempat, mulai masalah penyelamatan lingkungan, peningkatan
layanan kesehatan, perbaikan tingkat pendidikan, penguatan kapasitas
ekonomi, melestarikan budaya warisan leluhur dan juga meninjau ulang
posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Penguatan kapasitas
ekonomi perempuan, merupakan salah satu masalah yang seringkali
diangkat oleh organisasi sosial maupun pemerintah.

Solusi peningkatan

kapasitas ekonomi, salah satunya dilaksanakan oleh PNPM (Program


Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Pedesaan yang cikal bakalnya dulu
berasal dari P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan).
Gagasan PNPM membentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat

Pilkades Brabowan dan Gaplokan dimenangi Perempuan dalam


Cepuraya.com http://cepuraya.com/pilkades-brabowan-gaplokan-blora-dimenangiperempuan.html/ diakses 12-11-11; Lihat Tiga Calon Kades Bersaing di Pilkades
Karanganyar
dalam
http://malangpost.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31802%3Atiga-calonkades-bersaing-di-pilkades-karanganyar&Itemid=102/ diakses 12-11-11; Lihat pula

Suku
Tengger
Miliki
Kades
Wanita
Pertama
dalam
http://www.antaranews.com/berita/216320/suku-tengger-miliki-kades-wanitapertama/ diakses pada tanggal 12-11-11.

14

(KSM) ekonomi di pedesaan , selama ini terbukti gagal dalam menjaga


keberlanjutan aksi kolektif yang ada.

Pembentukan KSM di berbagai

wilayah pedesaan semata-mata dimaksudkan untuk menampung dana yang


digelontorkan. Setelah dana turun, maka kelompok yang ada pun menjadi
bubar. Hal ini merupakan bentuk kegagalan dari sebuah kegiatan
peningkatan kapasitas ekonomi yang tidak dibarengi dengan adanya
kebutuhan dan kesadaran kolektif dari masyarakat dampingan.7
Kondisi tersebut berbeda dengan tumbuh kembangnya aksi kolektif
untuk memperbaiki kualitas kehidupan yang ditemukan di Dasun, sebuah
dusun yang terletak di kawasan pegunungan Wilis, Kediri, Jawa Timur.
Aksi kolektif kaum perempuan di Dasun telah berkembang pesat sejak
tahun 2003. Berbagai permasalahan

berbasis komunitas yang dihadapi

kaum perempuan telah diatasi. Bahkan aksi-aksi kolektif yang ada di Dasun
dapat menginspirasi dusun lain untuk melakukan hal yang sama. Replikasi
kegiatan kolektif maupun hasilnya saat ini telah berkembang tidak saja di
wilayah desa Joho, tapi juga merambah ke wilayah di sekitarnya.
Kemunculan aksi kolektif di Dasun, yang letak geografisnya di
wilayah dusun terluar yang berbatasan langsung dengan kawasan Perhutani,
tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakatnya. Beberapa hal
mendasar yang dapat dikemukakan di antaranya adalah, pertama, ditinjau
dari kondisi perekonomiannya, mata pencaharian masyarakat Dasun
bergantung pada sektor pertanian yang masih dikelola secara sederhana dan
7

Berbagai hasil penelitian yang mengevaluasi kegagalan PNPM Mandiri


ataupun P2KP telah banyak dilaksanakan, di antaranya dalam
repository.ipb.ac.id/bitstream/pemberdayaan perempuan melalui PNPM-P2KP
(kasus KSM Srogol)/diakses 15 Juni 2012; Anis Farida (ed). 2007. Laporan
Internal Konsolidasi Studi Kualitatif Evaluasi P2KP di Wilayah Sulawesi,
Kalimantan, dan Jawa. Malang : LSPK-Kementerian PU-Bank Dunia.

15

bersifat subsisten, sehingga pendapatannya pun rendah. Keterbatasan


pendapatan dan infrastruktur inilah yang menumbuhkan ketergantungan
masyarakat pada bank plethet (rentenir) dan pengijon8

atau tengkulak.

Kedua, ditinjau dari situasi dan kondisi politik Dasun yang bernaung di
bawah desa Joho yang membawahi sembilan dusun9. Letaknya yang
terpencil membuat Dasun sebagai kawasan yang kurang tersentuh oleh
program pembangunan desa, yang cenderung bergerak di pusat kekuasaan.
Bahkan sejak berdirinya desa Joho, jabatan kepala desa, maupun perangkat
desa lainnya belum pernah sekalipun dipegang warga yang berasal dari
Dasun. Ketiga, kondisi sosial budaya, kehidupan warga dilandasi dengan
modal sosial yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari

masih banyaknya

kebiasaan gotong royong mulai mendirikan rumah, penyelenggaraan


hajatan, peristiwa kematian, serta mengelola hasil panen nutu/menumbuk
padi pada sebuah lesung.10
Tumpang tindihnya beban kehidupan kaum perempuan Dasun telah
membelenggu dan menutup harapan tentang adanya sebuah perbaikan
kualitas kehidupan. Di tengah
perempuan

seringkali

kondisi kehidupan yang demikian berat,

berhadapan

dengan

struktur

sosial

yang

menempatkannya pada posisi yang timpang, baik dalam relasi dalam rumah
8

Pengijon, adalah pedagang yang membeli hasil pertanian sebelum masa

panen tiba
9

Desa Joho terdiri dari Sembilan dusun, yaitu Dusun Igir-Igir, Dusun
Dasar, Dusun Genengan, Dusun Joho, Dusun Dasun, Dusun Glemboh, Dusun
Nongkopait, Dusun Karangnongko dan Dusun Gowok Menco.
10
Lesung
adalah suatu wadah berbahan dasar dari kayu, berbentuk
persegi panjang, yang berlobang di bagian atas, berukuran panjang sekitar dua
meter, dengan diameter lobang kurang lebih limapuluh sentimeter. Alat ini biasa
digunakan untuk menampung padi yang akan dibersihkan (dijadikan beras) dengan
cara ditumbuk dengan alu.

16

tangga maupun di ruang publik. Kaum perempuan Dasun sebenarnya sudah


lama berkiprah dalam ruang publik melalui berbagai aksi kolektif yang
telah ada. Namun aksi kolektif

seperti arisan, pengajian, rewang saat

hajatan maupun lainnya belum dilandasi dengan kesadaran kolektif untuk


menciptakan adanya perbaikan kualitas kehidupan perempuan.
Terlepas dari belum adanya kesadaran yang melandasi, aksi
kolektif seperti ini menjadi modal dasar bagi kaum perempuan, tidak hanya
di dusun Dasun, melainkan juga pada desa/dusun secara umum yang
terdapat di pedesaan maupun perkotaan di Jawa. Aksi kolektif ini telah
menjadi cikal bakal lahirnya kesadaran mereka untuk merespon persoalan
sosial yang berlangsung di dusunnya. Aksi kolektif yang mempunyai
tujuan tertentu ini baru berkembang setelah ada interaksi dari luar, yakni
seiring dengan kehadiran mahasiswa KKN STAIN di lingkungan Dasun
pada tahun 2003. Interaksi mahasiswa dengan kaum perempuan
berbagai kegiatan

dalam

yang ada, telah memberikan inspirasi kepada kaum

perempuan Dasun untuk melakukan hal yang sama, yaitu menyelesaikan


masalah yang ada secara bersama-sama melalui suatu aksi kolektif.
Setelah kepulangan mahasiswa, kegiatan pendidikan non formal
untuk anak-anak tetap dilanjutkan. Adanya bantuan berupa pelatihan guru
dan sepasang kambing bantuan dari STAIN disikapi dengan pengelolaan
secara mandiri di tangan kaum perempuan. Permasalahan ketiadaan dana
untuk membantu para perempuan yang tiba-tiba sakit, mendapatkan masalah
dalam kehamilan ataupun melahirkan, terpecahkan dengan adanya kegiatan
arisan beras yang mampu menyisihkan sebagaian hasil bethokan untuk
dana caangan sosial dan kas kegiatan.

17

Berbagai keberhasilan menyelesaikan persoalan kehidupan seharihari

itulah yang memantapkan kesadaran aktivitas kolektif secara

berkesinambungan.

Aksi

kolektif

lainnya

terus

bermunculan

dan

berkembang seiring dengan permasalahan yang dihadapi kaum perempuan


Dasun. Kaum perempuan secara bersama-sama memetakan masalah yang
ada di lingkungannya dan kemudian menyelesaikannya secara bersamasama sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Tumbuh kembangnya
aksi kolektif

yang

ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan

perempuan di Dasun tersebut telah memberikan harapan tentang adanya


sebuah perubahan. Harapan ini menumbuhkan semangat untuk berkumpul
dan berorganisasi yang kemudian diintegrasikan dalam satu payung yaitu
Paguyuban Perempuan Sido Rukun.
Aksi kolektif yang dilakukan oleh perempuan Dasun dalam
menggalang kebersamaan untuk melakukan perubahan menarik untuk
dicermati. Mengingat dewasa ini banyak sekali aksi-aksi kolektif

yang

dibentuk sebagai bagian dari proyek pemberdayaan baik yang dilakukan


oleh pemerintah maupun LSM. Di tengah ketatnya persaingan LSM dalam
memberdayakan masyarakat, fenomena penguatan kapasitas perempuan
melalui aksi kolektif sebagaimana yang terjadi di Dasun menjadi sesuatu
yang menarik untuk diteliti.
Kajian ini menjadi penting dilakukan karena beberapa alasan.
Pertama, sampai saat ini, sejauh pengetahuan penulis masih sedikit studi
yang menjelaskan tentang bagaimana sebuah aksi kolektif berkembang dan
dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan sosial. Karena

sebagaimana

diketahui, tidak semua bentuk aksi kolektif dapat berkembang menjadi


sebuah gerakan sosial. Terkait dengan hal ini perlu dikaji lebih mendalam
18

unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi, dan bagaimana sebuah gerakan
dapat berkelanjutan (sustain). Kedua, sepengetahuan penulis belum banyak
penelitian kualitatif mengenai perempuan sebagai aktor dalam aksi kolektif
yang dilakukan dengan pendekatan etnografi. Ketiga, masih langkanya
kajian aksi kolektif di tingkat lokal perempuan, karena selama ini kajian
yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri lebih banyak menyoroti
aksi kolektif perempuan di tingkat nasional dan global yang dilakukan oleh
mereka yang berasal dari kalangan menengah.
Berpijak pada uraian latar belakang masalah yang dikemukakan,
diperlukan kecermatan untuk memaknai ragam aksi kolektif yang dilakukan
oleh kaum perempuan pedesaan di Dasun. Terutama terkait dengan hal
spesifik apa yang membedakan aksi kolektif di Dasun dengan aksi kolektif
di tempat lainnya. Apabila ragam aksi kolektif

di Dasun

dapat

dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial, maka terkait dengan isu yang
diusungnya, aksi kolektif di Dasun ini terkategori bentuk gerakan sosial
seperti apa? Apakah bentuk gerakan sosial lama, baru atau hal yang berbeda
dari keduanya ? Kemudian bagaimana hal tersebut dapat dijelaskan jika
ditinjau dari sisi pelaku dan setting peristiwanya.
Oleh karena itu, studi ini selanjutnya mencoba

menjawab

pertanyaan penelitian yang diperinci sebagai berikut : pertama, bagaimana


aksi kolektif terbentuk dan berkembang? Aksi kolektif seperti apa yang
dapat dimaknai sebagai gerakan sosial,

dalam mengatasi permasalahan

yang dihadapi oleh kaum perempuan?; Kedua, sejauhmana pencapaian aksi


kolektif yang dilakukan oleh kaum perempuan Dasun berimplikasi pada
kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat?

19

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai, secara umum untuk


mengetahui dan memaknai ragam aksi kolektif macam apa yang dapat
berkembang sebagai suatu gerakan sosial. Selanjutnya gerakan sosial yang
ada masuk dalam kategori yang mana. Secara khusus tujuan penelitian
disertasi ini dapat dikemukakan sebagai
mengeksplorasi

dan

mendeskripsikan

berikut : pertama, untuk


proses

pembentukan

dan

perkembangan aksi kolektif perempuan pedesaan di Dasun serta


mengidentifikasi berbagai bentuk aksi kolektif yang dapat dimaknai sebagai
gerakan sosial, khususnya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi
oleh kaum perempuan; kedua, untuk memperoleh pengetahuan dan
pemahaman yang sistematis dan mendalam, dalam memaknai implikasi
pencapaian aksi kolektif perempuan Dasun dalam kehidupan berumah
tangga dan bermasyarakat;
KERANGKA TEORI
Konflik di masyarakat tidak selalu berkembang pada aksi kolektif,
dengan pengandaian yang sama, maka tidak semua aksi kolektif
membutuhkan adanya konflik terlebih dahulu.11 Tema kontemporer aksi
kolektif (collective action) telah menjadi inti dari tradisi studi tentang
"perilaku kolektif (collective behavior) dalam ilmu sosial.12 Aksi kolektif
dimaknai sebagai kapasitas masyarakat manusia untuk mengembangkan
orientasi yang sesuai dengan norma dan nilai yang mereka miliki13. Berbeda
dengan gerakan

sosial eksistensinya seringkali dikaitkan dengan aksi

organisasi atau kelompok civil society dalam mendukung atau menentang


11

Rajendra Singh. Op.Cit. h : 30.


Rajendra Singh. Ibid. h : 31; Blumer, 1957; Turner dan Killian, 1957;
Smelser, 1962.
13
Rajendra Singh.Ibid. h : 31.
12

20

perubahan sosial14. Namun hal yang

perlu dicari penjelasannya adalah

kapan dan bagaimana suatu aksi kolektif dapat dikategorikan sebagai


gerakan sosial atau bukan. Untuk dapat mengidentifikasi aksi kolektif yang
terdapat dalam suatu masyarakat sebagai gerakan sosial atau bukan, terlebih
dahulu diperlukan alat bantu yaitu pemetaan teori gerakan sosial beserta
indikatornya. Sesuai dengan tema yang diangkat dalam disertasi ini, maka
teori gerakan sosial menjadi alat utama analisis.
Karena kekhususan dari fenomena aksi kolektif yang diangkat,
maka diperlukan kecermatan dalam memilih teori gerakan sosial yang dapat
dipakai sebagai kerangka yang mampu menjadi bingkai atas permasalahan
yang hendak dijawab. Kekhususan tersebut di antaranya bahwa gerakan
sosial ini dilakukan oleh para perempuan pedesaan, miskin, tidak
berpendidikan tinggi, hidup di lereng pegunungan yang terpencil, di mana
akses informasi maupun transportasinya terbatas, namun aksi kolektif yang
mereka lakukan mampu meretas sebuah jalan demi terwujudnya perubahan
sosial.
Pemetaan Teori Gerakan Sosial
Pada bagian ini akan dikemukakan teorisasi gerakan sosial yang
dirangkum oleh Singh di satu sisi dan di sisi lain oleh della Porta dan
Diani. Berdasarkan pendapat kedua kubu ini dapat dilihat peta gerakan
sosial

yang

pernah berkembang dari masa

ke masa serta isu yang

diperjuangkan oleh masing-masing gerakan. Kemudian kerangka teoritis ini


akan diarahkan secara spesifik terkait dengan adanya perubahan nilai-nilai
yang merupakan karakteristik

14

gerakan sosial baru (kultural) dalam

Iwan Gardono Sujatmiko.Op.Cit. h : xvi

21

mendorong terjadinya perubahan sosial. Pemetaan teorisasi gerakan sosial


diperlukan mengingat begitu banyaknya ahli dari berbagai aliran dan dalam
rentang waktu yang berbeda.
Rajendra Singh
Ragam pendapat yang dilahirkan oleh para ahli tentang gerakan
sosial pada dasarnya dapat dipilah dalam klasifikasi tradisi teoritik dari studi
tentang gerakan sosial, yang meliputi15:
a) Klasik, meliputi studi perilaku kolektif dari kerumunan (crowd),
kerusuhan (riot), dan pemberontakan (rebel) yang banyak dilakukan
oleh teoritisi barat yang berorientasi pada ajaran psikologi sosial
klasik dan sejarawan sebelum era tahun 1950-an. Beberapa contoh
karya aliran ini di antaranya G. Tardes Laws of Imitation (1903),
Gustave Le Bons The Crowd (1909), William McDougalls The
Group Mind (1920) dan E.D. Martins The Behaviour of Crowd
(1929) yang didasarkan pada studi tentang perilaku kolektif.
b) Neo Klasik, aliran ini dihubungkan dengan tradisi utama dalam studi
gerakan sosial lama, yangn biasa dipublikasikan setelah tahun 1950an. Tradisi ini dibagi dalam dua model studi gerakan sosial lama
yang berbeda, yaitu fungsionalis dan model dialektika Marxis.
c) Kontemporer atau gerakan sosial baru (GSB) , tidak sebagaimana
gerakan sosial lama (klasik dan neo klasik). Orientasi GSB tidak
meliputi diskursus ideologi yang mempertanyakan antikapitalisme,
revolusi kelas, dan perjuangan kelas. Pada dasarnya GSB tidak
tertarik untuk mempertanyakan ide revolusi. Paradigma ideologi
dan orientasi GSB adalah sesuatu yang baru. GSB lebih
menonjolkan pluralitas, yang ditunjukkan secara beragam melalui
isu anti rasis, anti nuklir, pelucutan senjata, feminism, lingkungan,
regionalisme dan etnisitas, kemerdekaan sipil, kebebasan individu
dan perdamaian.16

15
16

Rajendra Singh. Op.Cit. h : 89-97.


Rajendra Singh. Ibid. h : 89

22

Perubahan dari masyarakat modern menuju masyarakat post modern


juga merefleksikan perubahan yang senada pada adanya perubahan bentuk
gerakan sosial, yaitu dari gerakan klasik dan neo klasik yang biasa disebut
gerakan sosial lama, menuju kepada gerakan sosial baru.17 Gerakan sosial
lama selama ini berhubungan dengan representasi dari kapitalisme dan
indutrialisme, yang merupakan ekspansi dan dominasi dari peradaban barat
terhadap peradaban non barat.

Di lain pihak GSB mengekspresikan

kejenuhan terhadap representasi modernis, dengan cara menolak ide-ide


materialistik dan lebih mengutamakan perbaikan kualitas kehidupan
manusia seutuhnya18. Berdasarkan pada kasus aksi kolektif yang ada di
Dasun,

studi disertasi ini lebih memfokuskan pada penjelasan teoritik

yang dikemukakan oleh gerakan sosial baru (GSB).


Adapun beberapa karakteristik GSB, sebagaimana dikemukakan
oleh Singh, pada dasarnya meliputi empat karaketeristik. 19 Pertama terkait
dengan asumsi bahwa ruang sosial civil society semakin berkurang
(keberdayaannya) karena kuatnya kontrol Negara dan ekspansi pasar, yang
berakibat pada berkembangnya isu self defence dalam komunitas untuk
menentang hal tersebut.

20

Kedua, mengubah paradigma Marxis tentang

konflik kelas dan kelas. Selama ini Marxisme melihat semua bentuk
perjuangan adalah perjuangan kelas dan semua bentuk pengelompokan
manusia juga disebut sebagai pengelompokan kelas. Padahal saat ini banyak
perjuangan kontemporer yang tidak berbasis pada kelas dan menekankan
pada isu non materialistik, yang melampaui Marxist dalam hal penjelasan

17

Rajendra Singh. Ibid. h : 97.


Rajendra Singh. Ibid. h : 97.
19
Rajendra Singh. Ibid. h : 98-105.
20
Rajendra Singh.Ibid. h : 99-100
18

23

istilah kelas dan pembentukan kelas.

21

Ketiga, GSB umumnya

mengembangkan politik akar rumput, aksi-aksi dari akar rumput, gerakan


mikro dari kelompok-kelompok kecil, membidik isu-isu lokal dengan dasar
kelembagaan yang terbatas. Menurut Cohen, GSB pada umumnya
menanggapi masalah yang berakar dari civil society, yang bertujuan menata
kembali hubungan antara negara, masyarakat dan ekonomi, serta
menciptakan ruang publik untuk mengembangkan wacana demokratis
tentang otonomi dan kebebasan individu dan kolektif.22 Keempat, struktur
GSB ditentukan oleh pluralitas pencarian tujuan, sasaran dan orientasi yang
berbasis pada heterogenitas sosial. Pada masa kini, transformasi diri dan
konstruksi diri berkembang secara tak terbatas. Konsekuensinya, bentukbentuk aksi sosial dan gerakan adalah plural, mengikuti berbagai jejak,
mengejar tujuan yang berbeda dan menyuarakan kepentingan yang
beragam.23
Singh

selanjutnya berpendapat bahwa perspektif

GSB

pada

dasarnya meliputi teori mobilisasi sumber daya dan teori yang berorientasi
identitas.24 Teori mobilisasi sumber daya merujuk pada pendapat Cohen,
dimulai dengan tesis yang menolak penekanan peranan perasaan dan
keluhan, serta menolak karakteristik gerakan yang diturunkan dari
pendekatan perilaku kolektif. Teoritisi penganut aliran ini mempertanyakan
asumsi konvensional yang menyatakan bahwa secara umum aktor dari
mobilisasi aksi kolektif adalah orang-orang yang mengalami keterasingan
dan ketegangan sosial. Asumsi dasar dari teori mobilisasi sumber daya

21

Rajendra Singh. Ibid.h : 100-101


Rajendra Singh. Ibid. h : 101-102
23
Rajendra Singh . Ibid. h : 102-103
24
Rajendra Singh. Ibid. h : 106.
22

24

menyatakan bahwa gerakan kontemporer membutuhkan bentuk komunikasi


dan organisasi yang canggih, daripada sekedar terompet dan drum
sebagaimana yang biasa dilakukan oleh gerakan sosial lama. Gerakan sosial
baru merupakan sistem mobilisasi yang terorganisir secara rasional.25
Adapun teori berorientasi identitas, yang lebih banyak berkembang
di Eropa,

berkebalikan dari teori mobilisasi sumber daya (yang lebih

banyak berkembang di Amerika), di mana ia secara umum bersifat non


materialistik. Teori berorientasi identitas mengajukan pertanyaan tentang
integrasi dan solidaritas dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam aksi
kolektif.

Teori ini menolak upaya teori mobilisasi sumber daya yang

memaksakan model rasional voluntaristik dan neo utilitarian untuk


menjelaskan gerakan sosial dan aksi kolektif. Sebuah gerakan tidak selalu
mengekspresikan strategi kalkulasi untung atau rugi. Meskipun teori
berorientasi identitas ini mempertanyakan tentang solidaritas dan integrasi,
namun tidak mengadopsi pendapat Durkheimian tentang anomi dan
turunannya

sebagaimana

disebutkan

oleh

Smelser

seperti

konsep

ketegangan, keyakinan umum, dan sebagainya, yang biasanya relevan untuk


menjelaskan perilaku kolektif.26
Pada akhirnya ditegaskan, bahwa meskipun komponen penyokong
teori ini menerima beberapa elemen teoritik Marxist seperti perjuangan,
mobilisasi, kesadaran dan solidaritas, namun menolak tesis reduksionisme
dan determinisme materialistik sebagai basis pembentukan masyarakat. Para
partisipan dalam aksi kolektif menurut perspektif ini menegaskan bahwa
aksi

yang
25
26

mereka

lakukan

bukanlah

Rajendra Singh. Op.Cit. h : 106.


Rajendra Singh. Ibid. h : 113-114.

25

dalam

konteks

sekedar

memperjuangkan labour values,

namun memperjuangkan keberadaan

mereka sebagai manusia seutuhnya. Dengan demikian muncul kesepakatan


umum bahwa gerakan yang berorientasi identitas menegaskan bahwa aksi
kolektif merupakan ekspresi dari manusia untuk mencari identitas, otonomi
dan pengakuan.27
Menilik kedua perspektif teoritik yang dikutip Singh dari Cohen dan
Pizzorno tersebut terdapat persamaan bahwa keduanya menyatakan bahwa
aktor yang berpartisipasi dalam mobilisasi kolektif adalah dilandasi
kesadaran, rasional, berintegrasi dalam derajat tertentu, dan merupakan
anggota masyarakat yang terorganisir. Namun di antara persamaan tersebut
juga terdapat perbedaan yaitu, teori mobilisasi sumber daya lebih
menekankan tesis tentang peran reason (kemampuan berpikir) dalam aksi
kolektif; sementara teori yang berorientasi identitas menekankan peran
reflexion (gagasan) daripada reason dalam sebuah aksi kolektif dan gerakan
sosial.
Donatella della Porta dan Mario Diani
Sementara itu

della Porta dan Diani di sisi lain menyatakan

bahwa teori gerakan sosial yang muncul sejak tahun 1930-an sampai 1970an berhadapan dengan dua prinsip model teoritik yaitu model Marxist dan
model struktural fungsional (Smelser).28 Di Amerika, kritik terhadap
struktural fungsional muncul dalam tiga perspektif utama, yaitu collective
behaviour, resource mobilization, dan political process29. Berpijak dari
sudut pandang yang berbeda, masing-masing model pendekatan tersebut
27

Rajendra Singh. Ibid. h : 114.


Porta & Diani. Op.Cit. h : 2.
29
Porta & Diani. Ibid. h : 2
28

26

berusaha mengeksplorasi mekanisme yang menerjemahkan berbagai tipe


ketegangan struktural ke dalam aksi kolektif (the how of collective
action)30. Sementara di Eropa, ketidakpuasan para intelektual terhadap
Marxism melahirkan pengembangan perspektif new social movements
(gerakan sosial baru), yang fokus dengan transformasi struktur dasar konflik
(the why of action)31. Hal inilah yang membentuk adanya dua pendekatan
dalam studi gerakan sosial, yang lazimnya disebut sebagai pendekatan
Amerika dan pendekatan Eropa.32
Awal mula berkembangnya pendekatan ini tidak hanya didasarkan
pada perbedaan antara tradisi intelektual Amerika dengan Eropa. Faktor
lainnya adalah keragaman obyek studi33. Meskipun pendekatan tersebut
lahir dalam latar sejarah yang sama pada akhir tahun 1960-an, namun
terdapat perbedaan. Di Amerika Serikat, organisasi gerakan sosial lahir
selama gelombang protes yang secara cepat menjadi pragmatis dan
terstruktur, di mana sebagian besar menjelma sebagai kelompok
kepentingan34. Sebaliknya, gerakan yang antagonistik terhadap sistem
mempunyai karakter countercultural yang kuat dan dalam banyak kasus

30

Porta & Diani. Ibid. h : 2; Alberto Melucci . 1982. LInvenzione de


Presente, Movimenti, Identita, Bisogni Individuali. Bologna : il Mulino.
31
Porta & Diani . Ibid . h : 2
32
Porta & Diani . Ibid. h : 2; Bert Klandermans.1988: The Formation and
Mobilization of Consensus dalam B. Klandermans, H.Kriesi dan Sidney Tarrow
(eds). From Structure to Action, Greenwich, CT:JAI Press, 173-96.
33
Porta & Diani . Ibid. h : 2
34
Porta & Diani . Ibid. h : 2; John D. McCarty & Mayer N Zald. 1987.
The Trend of Social Movements in America: Professionalization and Resource
Mobilization, dalam M.N. Zald & D. Mc Carthy, Social Movements in
Organizational Society, New Brunswick : Transaction, 1987 : 337-91 (originally
published as The Trend of Social Movements In America. Morristown : General
Learning Press, 1973; Joyce Gelb. 1989. Feminishm and Politics. A Comparative
Perspective. Berkeley : University of California Press.

27

tampak jelas bersifat religius35.

Di Eropa,

kemunculan gerakan sosial

banyak meminjam karakteristik dari gerakan buruh, termasuk penekanannya


pada ideologi36.
Berikut ini dipaparkan empat perspektif dominan menurut della
Porta dan Diani dalam gerakan sosial yang dikemukakan oleh beberapa
teoritisi gerakan sosial.
Tabel 1 Perspektif Gerakan Sosial
Perspekti
f Gerakan
Sosial
Perilaku
Kolektif

Para
Ahli Tesis Utama
Pendukung

Kritik

Le Bon (1960),
Hoffer
(1951),
Blummer (1969),
Kornhauser
(1959), Smelser
(1971),
Toch
(1966),
Gurr
(1970) dll.

Cenderung
memandang
gerakan
sosial
sebagai
respons
emosional
dan
irasional an sich.
Kurang
memperhitungkan
basis
atau
organisasi gerakan
dan keterkaitannya
satu sama lain
dalam membangun

Gerakan
sosial
muncul
sebagai
respon
spontan
ketidakpuasan
terhadap situasi baru
yang
diciptakan
modernisasi
dan
berlangsung cepat
(rapid
modernization)

35

Porta & Diani . Ibid. h : 3; Luther Gerlach & Virginia Hine. 1970.
People Power and Change. Indianapolis : The Bobbs-Merrill Company; Theodor
Roszak. 1976.La Nascita di una Contracultura,Milan : Feltrinelli; E Burke
Rochford. 1985. Hare Krishna in America. New Brunswick, NJ : Rutgers
University Press; J. Milton Yinger. 1982. Contercultures. New York : Free Press.
36
Porta & Diani . Ibid. h : 3; Sidney Tarrow.1989. Democracy and
Disorder. Protest and Politics in Italy, 1965-1975. Oxford/New York : Oxford
University Press; Donatella Della Porta & Dieter Rucht.1995. Left Libertarian
Movements in Context : Comparing Italy and West Germany, 1965-1990, dalam
J.C. Jenkins & Klandermans (eds), The Politics of Social Protest. Comparative
Perspectives on State and Social Movements , Minneapolis : University of
Minnesota Press, h 229-72.

28

Olson
Mobilisas Mancur
i Sumber (1965), Zald dan
Ash
(1966),
Daya
McCarthy
dan
Zald
(1977),
Anthony
Oberschall (1973,
1978),
Charles
Tilly (1978), dll.

Proses
Politik

Michael Lipsky
(1970),
Peter
Eisinger (1973),
Jenkins
dan
Perrow
(1977),
McAdam (1982,
1989,
1998),
Kitschelt (1986),
Brockett (1991),
Kriesi,
et
al
(1992), dll.

Gerakan
Sosial

Alain
Touraine
(1977-1981),

gerakan gerakan
yang lebih besar.
Terlalu
menekankan aspek
rasional. Kurang
memperhitungkan
aspek kesadaran,
cita-cita,
kultur,
dan
ideology.
Organisasi gerakan
menimbulkan
gejala
birokratisasi,
oligarkisasi, dan
institusionalisasi.
Gerakan
sosial
diposisikan secara
pasif,
sebagai
variable dependen.
Konsep
eksplanatorisnya
kuat, namun lemah
jika dipergunakan
pada kasus yang
spesifik.
Terbukanya
peluang
tidak
senantiasa
menguntungkan
bagi
gerakan
sosial, tetapi juga
menjadi
kesempatan bagi
lawan-lawannya
untuk melemahkan
gerakan.

Ketidakpuasan tidak
selalu melahirkan
protes
karena
individu merupakan
aktor
rasional
(mempertimbangka
n cost and benefits).
Gerakan sosial akan
terjadi dan mampu
bertahan
dengan
mobilisasi sumber
daya (material dan
non material) yang
ada
dalam
organisasi.
Organisasi gerakan
menjadi perhatian.
Perhatian sistematis
pada
struktur
peluang politik yang
mempengaruhi
kelangsungan
gerakan
sosial.
Struktur
peluang
politik
mencakup
antara lain tingkat
keterbukaan, tingkat
stabilitas
susunan
elit yang berkuasa,
adanya
pengelompokan dan
perpecahan
elite,
dan kapasita Negara
serta
kecenderungannya
untuk menindas.
Perspektif
ini Kurang
mampu
melihat
gerakan- melihat keterkaitan
29

Claus
Offe
(1985),
Laclau
dan
Mouffe
(1985), Alberto
Melucci
(1982,1989,1996)
, Inglehart (1990),
Rajendra Singh
(2001)

gerakan-gerakan
sosial
yang
berlangsung
sepanjang masa.
Menafikkan
gerakan-gerakan
kontemporer
di
Negara-negara
nonpascaindustrial
.
Menafikkan
peran organisasiorganisasi gerakan
dan
bagaimana
organisasi tersebut
memelihara
dinamika gerakan
secara
berkelanjutan.
Perspektif ini juga
membesarbesarkan seolaholah
perubahan
kultural
bisa
dipisahkan
dari
isu-isu
politik
konvensional,
seperti hukum dan
keadilan distributif
Sumber : Eyerman & Jamison (1991), Jenkish dan Klandermans (1995);
Klandermans (1997); Canel (1997: Tarrow (1998); della Porta dan Diani
(1999); Singh (2001) via Manalu (2009).
Baru

gerakan
kontemporer
sebagai
respons
terhadap
ketidakcakapan
struktur politik dan
ekonomi masyarakat
pascaindustrial. Ia
berbeda
dengan
gerakan-gerakan
lain karena struktur
organisasinya yang
terdesentralisasi,
menggunakan taktik
inkonvensional, dan
fokusnya pada isuisu budaya dan
identitas.

Keempat perspektif utama yang terdapat dalam kajian gerakan


sosial tersebut, dinilai masih kurang dapat secara tepat untuk menjadi alat
analisis terhadap fenomena yang diteliti dalam disertasi ini.

Apabila

dicermati maka terdapat beberapa kelemahan atau kekurangan sekaligus


kelebihan

dari

masing-masing perspektif

dominan

tersebut

menganalisis fenomena aksi kolektif perempuan pedesaan di Dasun.


30

dalam

Secara teoritik fenomena aksi kolektif di Dasun tidak dapat


dianalisis dengan teori-teori yang dikategorikan sebagai gerakan sosial lama.
Karena isu yang diperjuangkan tidak lagi berbasis pada aspek materialistik,
dan pelakunya pun tidak didasarkan pada kelas. Aksi kolektif di Dasun
sebagai sebuah aksi di tingkat akar rumput, berbasis pada penyelesaian
masalah yang ada dalam komunitasnya. Mulai masalah keamanan pangan,
peningkatan

kualitas

layanan

kesehatan,

penyelamatan

lingkungan,

peningkatan pendapatan, serta adanya upaya melakukan redefinisi dan


rekonstruksi nilai-nilai yang ada dalam relasi keluarga dan masyarakat, yang
intinya semua itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
perempuan. Berdasarkan aspek pluralitas isu yang diperjuangkan oleh aksi
kolektif yang ada di Dasun, dapat diketahui bahwa apa yang sedang terjadi
di Dasun bisa jadi merupakan sebuah gerakan sosial baru (gerakan kultural).
Namun apabila kita cermati pendapat teoritisi GSB, pelaku GSB ini
biasanya berasal dari kelas menengah atau profesional yang berpendidikan
tinggi dan hidup dalam setting masyarakat post industri. Jika merujuk pada
pendapat teoritisi GSB tersebut (terkait dengan pelaku dan setting) maka
tentunya akan terdapat ketidaksesuaian yang mendasar dengan apa yang
terjadi di Dasun. Pelaku GSB di Dasun adalah para perempuan pedesaan
agraris, miskin, tinggal di lereng gunung yang terpencil, dengan sarana
infrastruktur terbatas dan tidak mengenyam pendidikan tinggi. Oleh karena
itu teori GSB maupun teori GSL yang ada dalam hal ini hanyalah acuan
untuk memulai analisis terhadap fenomena aksi kolektif di Dasun. Besar
kemungkinan teori-teori gerakan sosial yang telah ada selama ini tidak
mampu menjadi dasar untuk menjelaskan fenomena di Dasun. Hal tersebut
akan berimplikasi pada lahirnya sebuah teori gerakan sosial yang khas, yang
mencerminkan lokalitas, dan bisa menjadi acuan bagi studi-studi lain yang
31

dilakukan di Negara dunia ketiga dengan setting masyarakat yang


mempunyai kemiripan dengan Dasun.
Adapun untuk melihat sejauhmana pencapaian aksi kolektif yang
dilakukan oleh kaum perempuan di Dasun, dapat ditinjau dengan pendapat
William Gamson (1975) via della Porta dan Mario Diani (1999). Menurut
Gamson keberhasilan gerakan sosial dapat dilihat dari dua sisi, yakni
pertama, adanya capaian-capaian baru (new gains) dan kedua, tingkat
penerimaan (levels of acceptance)37. Pertama, capaian capaian baru
tersebut mengacu pada adanya perubahan nyata yang terkait dengan
kebijakan publik yang menyangkut tuntutan masyarakat. Sedangkan yang
kedua, bagaimana sebuah gerakan membawa hasil nyata dalam sistem
perwakilan kepentingan. Gamson menggabungkan dua variabel keberhasilan
suatu gerakan sosial tersebut ke dalam suatu tipologi38 :
1.
2.
3.
4.

Full Response, Keberhasilan penuh yaitu baik dari sisi capaian baru
maupun tingkat penerimaan, keduanya terpenuhi semua.
Co-optation, ada pengakuan tanpa dibarengi dengan pencapaian
Preemption, pencapaian tanpa pengakuan
Collapse, gagal total, tidak ada pengakuan dan pencapaian.39
Berdasarkan penjelasan teoritis yang dikemukakan Singh maupun

della Porta dan Diani, menunjukkan bahwa hampir semua teori gerakan
sosial berciri dominannya agen dalam mendorong gerakan sosial. Ini sulit
digunakan sebagai penjelasan perubahan Dasun, sebab aksi kolektif Dasun
justru merupakan antithesis dari perspektif teoritis tersebut diatas, yakni
agen atau pemimpin merupakan produk kesadaran aksi kolektif. Sementara

37

Donatella Della Porta dan Mario Diani. Op.Cit. h : 228.


Donatella Della Porta dan Mario Diani. Ibid. h : 228
39
Donatella Della Porta dan Mario Diani. Ibid. h : 228
38

32

tolok ukur sebuah keberhasilan gerakan sosial sebagaimana yang ditawarkan


Gamson masih perlu dipertentangkan dengan temuan di lapangan.

METODE
Disertasi tentang Gerakan Sosial Lokal Perempuan ini merupakan
suatu penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian etnografi
masa kini bermetode jamak yang meliputi observasi, partisipasi, analisis
arsip, dan wawancara, jadi menggabungkan kelebihan dan menutupi
kekurangan masing-masing teknik yang digunakan40. Sherry Ortner (1995)
mensyaratkan dua hal yang harus dipenuhi dalam etnografi, pertama adanya
upaya peneliti untuk memahami kehidupan lain di luar dirinya. Di sini
peneliti dituntut untuk dapat mendeskripsikan secara ketat dan secara
sistematis menganalisis hubungan antara berbagai sendi kehidupan seperti
agama, ekonomi dan kekerabatan. Tradisi dan tujuan etnografi sebelumnya,
secara temporer tersingkirkan demi memperoleh deskripsi yang padat41
yang

memungkinkan

dilakukannya

interpretasi

yang

padat

menggabungkan etnografi dengan biografi sekaligus pengalaman nyata.

42

Kedua, peneliti memperoleh pengetahuan dengan mendayagunakan dirinya


semaksimal mungkin.43

40

Shulamit Reinharz, . 2005. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian


Sosial, Jakarta : Women Research Institute, h : 59
41

Geertz, C. 1973. Thick Description : Toward an Interpretive Theory of


Culture dalam C. Geertz. The Interpretation of Culture : Selected Essays, New
York : Basic Books, h : 6-9
42
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of
Qualitative Research (edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, h : 54.
43
Elana D Buch dan Karen M.Staller.Ibid. h : 188.

33

Penelitian untuk disertasi ini mengambil lokasi penelitian di Dasun,


desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, yang terletak di lereng
gunung Wilis. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
para perempuan yang bertempat tinggal di Dasun tersebut sejak tahun 2003
sampai dengan sekarang (tahun 2012) sedang giat melakukan aktivitas
kolektif yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan kehidupan seharihari demi terwujudnya perbaikan kualitas kehidupan. Penelitian disertasi ini
secara intesif telah dilakukan mulai pertengahan tahun 2008, kemudian
dilanjutkan pada pertengahan tahun 2010 dan 2011 serta awal 2012,
meskipun dengan durasi waktu yang berbeda-beda dalam tiap-tiap sesinya.
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan dapat dipetakan
tiga kelompok subyek penelitian yang dibagi berdasarkan kebutuhan untuk
menggali data dari pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan. Subyek
penelitian kelompok pertama ini terdiri dari beberapa perempuan yang aktif
dalam menggagas dan menggerakkan aksi kolektif di Dasun. Mereka ini
merupakan kunci yang dapat memberikan pengetahuan dan pemaknaan
tentang apakah aksi kolektif di Dasun dapat dimaknai sebagai suatu gerakan
sosial ataukah tidak. Dari mereka inilah cerita sejarah tentang mula pertama
terbentuknya aksi kolektif sampai dengan perkembangannya pada saat
terkini dapat diperoleh. Jadi ide dasar terbentuknya aksi kolektif, proses
terbentuknya dan dinamika yang terbangun di dalamnya pada akhirnya
dapat tergali secara utuh dari kelompok pertama ini.
Sedangkan subyek penelitian kelompok kedua adalah para
perempuan yang tidak terakomodir dalam kegiatan yang dilakukan oleh para
perempuan di Dasun, mereka adalah kelompok masyarakat termiskin dalam
tatanan sosial di Dasun. Dalam hal ini peneliti memilih Rukanti untuk
34

menyuarakan

ketidakterwakilan perempuan yang sangat miskin untuk

terlibat dalam kegiatan aksi kolektif. Adapun subyek penelitian kelompok


ketiga, adalah warga masyarakat baik lelaki maupun perempuan yang
mengetahui rangkaian kegiatan para perempuan tersebut sejak awal mula
hingga salah satu aktivisnya dapat menduduki jabatan sebagai kepala desa.
Dari kelompok ketiga ini diharapkan dapat diperoleh pengetahuan dan
pemahaman secara mendalam mengenai sejarah terbentuknya serta
dinamika gerakan perempuan tersebut, dalam hal ini Mulyono dan Zaini,
serta beberapa tokoh masyarakat di desa Joho dinilai cukup mengetahui
perkembangan berbagai kegiatan aksi kolektif yang dilakukan oleh kaum
perempuan di Dasun.
Setelah seluruh data

berhasil dikumpulkan melalui kegiatan

observasi partisipatoris dan wawancara mendalam serta penelusuran


dokumen baik yang ada dalam bentuk tulisan, foto maupun video, diperiksa
kelengkapannya, kemudian dilakukan koding dan kategorisasi agar
selanjutnya dapat dilakukan analisis. Karena studi ini bukan sekedar
mendiskripsikan fenomena namun juga berupaya untuk dapat menjelaskan
makna dibalik fenomena tersebut, maka dalam tiap tiap kegiatan
pengkategorian maupun interpretasi data
kerangka besar teori gerakan sosial.

35

selalu didialogkan dengan

GERAKAN SOSIAL LOKAL KAUM PEREMPUAN


Sulastri sebagai Produk Gerakan dan Penggerak Kaum Perempuan
Aksi kolektif dapat dimaknai dan disebut sebagai sebuah gerakan
sosial bila memenuhi indikator beberapa indikator berikut, yaitu adanya
kolektivitas

atau

kebersamaan,

tujuan

bersama

yang

ditetapkan,

pengorganisasian yang longgar, mempunyai pemimpin, terdapat spontanitas


dalam derajat tertentu dan bergerak diluar jalur kekuasaan formal. Tumbuh
kembangnya aksi kolektif

di Dasun, pada mulanya

terinspirasi oleh

kelompok mahasiwa KKN dari STAIN Kediri pada tahun 2003. Adanya
stimulus eksternal inilah yang menjadi pemicu kebangkitan kesadaran
kolektif kaum perempuan di Dasun untuk bergerak melakukan perubahan.
Mereka bergerak dalam beragam aksi kolektif yang ditujukan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah-masalah yang diselesaikan tidak sebatas pada masalah praktis
ekonomis, namun lebih pada perbaikan dan peningkatan harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya. Berbagai tujuan aksi kolektif yang ada dapat
dilihat dalam table berikut.
Tabel 3 : Tujuan Aktivitas Kolektif
No
1.
2.
3.

4.

Jenis Aktivitas
Arisan Beras Raskin

Tujuan
Ketahanan pangan, cadangan dana
sosial
Sistem
Pemeliharaan Membayar gaji guru mengaji di
Kambing Bergulir
TPQ/TPA
Pendirian Koperasi
Menambah
alternatif
tempat
meminjam
uang,
mengurangi
ketergantungan pada bank plethet,
modal usaha.
Pembuatan Kripik
Menghindari ketergantungan kepada
tengkulak dalam menjual hasil panen
tanaman kebun, menambah sumber
36

pendapatan.
Menyelamatkan lahan dari bencana
tanah
longsor
dan
banjir,
mendapatkan hasil dari tanaman
yang ditanam
6.
Deklarasi Paguyuban
Menetapkan arah dan tujuan bersama
perjuangan; menunjukkan eksistensi
kaum perempuan Dasun melalui
berbagai aktivitas bersama yang
telah dilakukan
7.
Pemenangan Sulastri Sebagai Mempunyai pemimpin yang lebih
Kades
baik; agar
ada perhatian untuk
melakukan pembangunan di Dasun
8.
Pendirian PAUD
Membekali pendidikan pada anakanak usia dini
9.
Arisan Paguyuban
Mempererat tali silaturahmi
Sumber : Data Lapangan
5.

Penghijauan

Keberhasilan kaum perempuan dalam menyelesaikan permasalahan


yang ada tersebut menguatkan mereka untuk melangkah lebih jauh dengan
mendeklarasikan eksistensi paguyuban perempuan Sido Rukun. Deklarasi
paguyuban ini menentukan arah perubahan yang hendak diwujudkan oleh
kaum perempuan Dasun. Insiden penghinaan yang dilakukan Kasun Sutejo
terhadap perwakilan kaum perempuan paguyuban sebelum acara pembacaan
deklarasi,

dapat dimaknai sebagai bentuk resistensi kekuasaan desa

terhadap peneguhan eksistensi aksi kolektif kaum perempuan di Dasun.


Sementara

kaum laki-laki Dasun justru memberikan dukungan

penuh kepada kaum perempuan, peneguhan eksistensi aksi kolektif kaum


perempuan melalui deklarasi, tidak dimaknai sebagai ancaman eksistensi
laki-laki. Aksi kolektif yang dilakukan kaum perempuan Dasun bukanlah
ditujukan untuk menggeser eksistensi kekuasaan lelaki. Aksi kolektif kaum
perempuan ditujukan untuk melakukan perbaikan kualitas kehidupan
sebagai manusia seutuhnya yang tidak lagi berbasis pada perbedaan gender.
37

Artinya perjuangan yang dilakukan kaum perempuan melalui aksi kolektif,


tidak melulu untuk kemajuan kaum perempuan, tapi juga untuk laki-laki.
Kaum perempuan Dasun tidak menempatkan kaum lelaki sebagai lawan
yang harus dikalahkan, namun justru kaum perempuan menempatkan diri
sebagai penyokong laki-laki.
Boks 1 : Kami Membantu Suami
Pada awalnya kami berkumpul untuk membuat kegiatan arisan
beras Raskin, membuat usaha kripik, bisa mendirikan koperasi,
kami hanya punya niat sederhana untuk meringankan beban suami.
Hidup kami berat, untuk mendapatkan uang harus kerja keras di
sawah atau tegil. Dengan adanya arisan beras raskin kami bisa
mendapatkan tambahan cadangan pangan, selain bisa nolong
orang yang lagi butuh. Usaha kripik juga menambah sedikit
pendapatan, apalagi dengan adanya koperasi, kebutuhan modal
ataupun sekedar untuk nutup kebutuhan sehari-hari dapat mudah,
ngga perlu ke plethet.Peristiwa terpilihnya saya menjadi Lurah,
justru membuat bapak-bapak di sini sadar bahwa perempuan itu
juga mampu lho, ndak kalah sama laki-laki. Sejak itu para istri di
Dasun mulai diajak rundingan suami untuk ambil keputusan.
Pengelolaan uangpun juga mulai ditangani perempuan. Jadi
sekarang bapak yang minta uang sama ibu-ibu.(Sulastri)
Tujuan aksi kolektif semacam ini dapat dijelaskan dengan
meminjam salah satu karakteristik GSB yang dikemukakan oleh Singh yang
bersumber pada pemikiran Touraine. GSB tidak sebagaimana gerakan sosial
klasik, didefinisikan oleh pluralitas pencarian, tujuan, sasaran, orientasi serta
heterogenitas basis sosial partisipan. Pada masa kini transformasi diri dan
konstruksi diri tak terbatas, konsekuensinya bentuk-bentuk aksi kolektif dan
gerakan menjadi plural dan mengikuti berbagai jejak, mengejar tujuan yang
berbeda dan menyuarakan kepentingan yang beragam.
Sealur dengan pemikiran tersebut, selama ini ketika perempuan
melakukan aksi kolektif ataupun gerakan sosial seringkali terjebak dalam
38

ideology feminism yang menempatkan diri perempuan sebagai pihak yang


tertindas akibat kuatnya tradisi patriarki. Konsekuensi dari keterjebakan
tersebut menempatkan identitas perempuan dengan peran gendernya
diposisikan secara berlawanan dengan laki-laki. Padahal ketika kita
mencermati esensi dari GSB, yang menempatkan pencapaian harkat
martabat manusia seutuhnya, tentunya batas identitas lelaki dan perempuan
dengan peran

gendernya ini akan kabur. Pemaknaan demikian akan

membawa kita kepada pembebasan diri yang mengaburkan identitas lelaki


ataupun perempuan dengan peran gendernya. Kekaburan identitas dengan
peran gender ini tampak dengan adanya pergeseran nilai, yang ditunjukkan
dengan perubahan peran dan posisi perempuan dalam ranah rumah tangga
maupun masyarakat di Dasun. Jika semula perempuan secara sosial
dikonstruksi untuk menempati ruang domestik dan laki-laki di ruang publik,
saat ini telah terjadi redefinisi posisi dan peran perempuan, dan batas-batas
ruang domestik dan publik pun menjadi kabur.
Kekaburan identitas dengan peran gender inilah yang membentuk
aliansi kekuatan antara kaum perempuan Dasun dengan kaum lelaki Dasun
yang tidak memiliki kekuasaan di tingkat desa berhadapan dengan penguasa
desa. Aliansi ini berhasil

menumbangkan resistensi kekuatan desa dan

memperkuat eksistensi aksi kolektif perempuan yang ada melalui peristiwa


Deklarasi Paguyuban. Kontestasi kepentingan tidak lagi antara kaum
perempuan berhadapan dengan lelaki, namun antara mereka yang
didominasi berhadapan dengan yang mendominasi kekuasaan. Kontestasi
kepentingan semacam ini dapat dilihat jelas dalam proses kemenangan
Sulastri dalam pencalonannya sebagai Kepala Desa.
Melacak kembali proses

berbagai aksi kolektif di Dasun yang

kemudian berkembang dan dapat dimaknai sebagai gerakan sosial, terlihat


39

bahwa aksi kolektif kamu perempuan itulah yang memproduksi pemimpin,


dan bukan pemimpin yang melahirkan dan mendorong laju gerakan sosial.
Untuk

sampai

pada

lahirnya

pemimpin

yang

mempunyai

jiwa

kepemimpinan seperti kasus Dasun membutuhkan proses dan waktu. Perlu


dicatat bahwa tiap aksi

kolektif yang tumbuh di Dasun selalu

mencantumkan nama Ketua dan jajaran pengurus. Akan tetapi keberadaan


Ketua yang ada bukan berarti mereka telah ikut mengagas kegiatan tersebut
sejak awal. Dalam kasus aksi kolektif sistem pemeliharaan kambing bergulir
dan usaha pembuatan kripik ketuanya

bukanlah penggagas ataupun

penggerak sejak mula pertama. Kedua aksi kolektif


masing diketuai oleh perempuan yang

tersebut

masing-

bernama Siti Napsiah (sistem

pemeliharaan kambing bergulir) dan Nur Jayatun (usaha pembuatan kripik).


Padahal aksi kolektif tersebut sejak awal tidak lepas dari gagasan yang
dikemukakan oleh Nurpiah, yang mendapatkan dukungan penuh Sulastri.
Kondisi pemerataan porsi kepengurusan yang sekaligus memunculkan
orang-orang untuk memimpin kegiatan ini menunjukkan bahwa tiap aksi
kolektif yang ada sanggup melahirkan pemimpin.
Sebelum terpilihnya Sulastri sebagai ketua paguyuban perempuan,
sempat muncul nama Sarti dan Patemi, yang di awal kegiatan kurang terlihat
peranannya. Secara guyonan mereka pada mulanya memilih Sarti,
pertimbangannya usianya cukup senior dibandingkan ibu-ibu yang lain,
kepribadiannya yang terbuka, luwes dan dapat mencairkan suasana,
dianggap tepat untuk memimpin paguyuban. Namun, pilihan tersebut
dibatalkan, karena Sarti sama sekali tidak bisa membaca dan menulis.
Keterbatasan kemampuan Sarti dikhawatirkan akan menimbulkan masalah
di kemudian hari.

40

Kemudian mereka berembug lagi, hingga sampai pada keputusan


untuk memilih Patemi. Pilihan ini didasarkan atas senioritas dan selama ini
Patemi dapat dijadikan panutan oleh ibu-ibu yang lain. Tapi keputusan
inipun belum final, karena ketika berhadapan dengan Kasun Sutejo, mental
Patemi hancur

akibat adanya ucapan yang bernada merendahkan dari

Kasun. Kemunduran Patemi tersebut sempat menggoyahkan harapan kaum


perempuan Dasun untuk menyelenggarakan deklarasi paguyuban.
Namun ternyata benturan dari pihak luar inilah yang

justru

membesut kesadaran kaum perempuan untuk memilih pemimpin yang dapat


tahan banting dan mempunyai karakter dan syarat syarat dasar untuk dapat
menjadi pemimpin yang layak dan mampu bersinggungan dengan dunia
luar. Selama ini sepanjang proses berkembangnya aksi kolektif hingga
dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan sosial, kepemimpinan riil dengan
kekuasaan nyata yang utuh, belum dirasakan kebutuhannya karena ruang
lingkupnya masih internal kaum perempuan Dasun. Mereka masih dapat
melakukan semuan kegiatan secara bersama-sama, meskipun secara formal
telah ada struktur kepengurusan. Kebutuhan akan adanya pemimpin besar
tersebut mulai dirasakan ketika mereka berencana mendeklarasikan
keberadaan paguyuban perempuan Sido Rukun yang menaungi seluruh
kegiatan kaum perempuan Dasun.

41

Boks 2 : Sulastri Sang Ketua Paguyuban


Dari berbagai calon yang sempat diusulkan akhirnya saya yang
terpilih.Pertimbangan ibu-ibu, saya satu-satunya penggerak yang
lulus SMU dan saya juga bisa naik sepeda motor. Selama ini saya
sejak awal bersama Bu Nurpiah telah bekerja bersama
menggerakkan
kaum
perempuan
untuk
aktif
dalam
berbagaiberbagai masalah yang ada melalui kumpulan. Sebenarnya
Bu Nurpiah lebih pantas untuk menjadi Ketua Paguyuban, selama
ini ia cukup luwes dan terbukti bisa memimpin, tapi terkendala
dengan pendidikan. Tapi pengalaman Bu Patemi memberikan
pelajaran bagi kami untuk hati-hati dan kami tidak mau terulang
peristiwa seperti itu untuk kedua kalinya.. Awalnya saya menolak
untuk didaulat jadi ketua paguyuban, saya tidak berani bicara di
depan umum, saya ndak bisa pidato. Tapi teman-teman yang lain
tetap menghendaki saya maju. Ya sudahakhirnya saya
mengalah.(Bu Sulastri)
Keunikan atau hal spesifik yang membedakan aksi kolektif di Dasun
dengan aksi kolektif di tempat lainnya, adalah kemampuannya dalam
memproduksi pemimpin. Pada umumnya sebuah aksi kolektif ataupun
gerakan sosial dapat berjalan manakala terdapat seorang pemimpin yang
menggerakkannya. Namun dalam kasus Dasun, pemimpin justru dilahirkan
melalui sebuah proses kolektivitas yang dinamis. Keberadaan pemimpin di
dalam aksi kolektif di Dasun tidak terlebih dulu ada dibandingkan gerakan
itu sendiri. Dalam tiap-tiap kemunculan aksi kolektif

yang merespon

masalah yang ada, selalu diinisiasi oleh sekelompok perempuan, dan tidak
pernah muncul individu secara tunggal. Oleh karena itu dengan proses
terpilihnya Sulastri seperti itu, tidak berlebihan kiranya bila dinyatakan
bahwa gerakan sosial yang dilakukan kaum perempuan Dasun telah berhasil
memproduksi pemimpin. Pemimpin yang semula belum ada, lahir karena
sebuah proses aksi kolektif, dan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin
baru di tempat lain yang berada di sekitar dusun Dasun.
42

Melalui kepemimpinan Sulastri dalam mengelola paguyuban, mulai


terjadi redefinisi peran perempuan dalam ruang publik. Kaum perempuan
mulai memasuki ruang politik dengan mengusung Sulastri sang ketua
paguyuban untuk maju dalam bursa Pilkades. Kesadaran kolektif dan
solidaritas yang telah terbangun demikian kuat melalui berbagai aksi
kolektif yang ada, memuluskan langkah Sulastri untuk menang dalam bursa
Pilkades. Upaya pemenangan Sulastri sebagai Kades, mematahkan
kebiasaan umum yang selalu mengandalkan uang untuk mendulang suara
pemilih. Sulastri sebagai calon Kades yang dikehendaki pendukungnya tidak
perlu mengeluarkan dana secara khusus untuk kegiatan-kegiatan terkait
usaha pemenangannya. Kaum perempuan yang tergabung dalam Paguyuban
Sido Rukun-lah yang bergerak, mengkonsolidasikan kekuatan perempuan di
tingkat dasa wisma, dan memasuki ruang-ruang

aksi kolektif

kaum

perempuan yang tersebar di desa Joho.


Unjuk kekuatan pada lawan lawan politiknya, ditunjukkan Sulastri
dengan cara memobilisasi hampir seluruh kaum perempuan dan sebagian
laki-laki dari Dasun dan bahkan juga dari dusun sekitarnya untuk pergi ke
pantai Popoh Tulung Agung. Dalam upaya mobilisasi ini, seluruh komponen
pendukungnya memfasilitasinya dengan sumber daya yang mereka miliki.
Untuk sarana transportasi, disediakan beberapa mobil

truk dan belasan

Chevrolet yang telah dilengkapi bahan bakar dan pengemudinya. Masalah


konsumsi terselesaikan dengan sumbangan berbagai bahan makanan, yang
kemudian dimasak oleh anggota paguyuban menjadi ratusan nasi bungkus.
Fenomena semacam ini tentunya tidak dapat dijelaskan dengan teori
mobilisasi sumber

daya yang

juga termasuk dalam perspektif GSB

sebagaimana yang dikemukakan oleh Singh maupun della Porta dan Diani.
Bagaimana mungkin orang miskin mau mengeluarkan barang ataupun
43

tenaga yang dimilikinya untuk sebuah kepentingan, yang belum tentu


menguntungkan dirinya. Tesis utama teori mobilisasi sumber daya dalam
melihat aksi kolektif terlalu menekankan pada faktor reason dan selalu
menilai sebuah aksi kolektif dari perhitungan cost dan benefit. Pandangan
semacam ini tidak terlepas dari akar teori mobilisasi sumber daya yang
bersumber pada pemikiran Mancur Olson, yang seorang ekonom dalam
karyanya The Logic of Collective Action.
Sementara itu, apabila ditinjau dengan teori berorientasi identitas
yang bersumber pada pemikiran Pizzorno sebagaimana dikemukakan oleh
Singh, fenomena mobilisasi massa semacam itu masih dapat dijelaskan.
Menurut teori ini sebuah gerakan tidak selalu dapat diekspresikan dengan
cara mengkalkulasi untung atau rugi. Tesis utamanya yang menekankan
pada reflexion, menempatkan aksi kolektif para partisipannya bukanlah
dalam konteks sekedar memperjuangkan labour values,

namun dalam

upaya memperjuangkan keberadaan mereka sebagai manusia seutuhnya.


Dengan demikian apa yang dikeluarkan kaum perempuan Dasun baik
berupa tenaga maupun barang

tidak dihitung berdasarkan perhitungan

ekonomi yang menekankan untung ruginya, namun lebih ditujukan untuk


menegaskan eksistensi aksi kolektif mereka sebagai bentuk ekspresi diri
manusia untuk mencari identitas, otonomi dan pengakuan.
Kemenangan Sulastri menjadi Kepala Desa selanjutnya dapat
dimaknai sebagai

pintu masuk keterwakilan perempuan Dasun dalam

wilayah pusat kekuasaan desa. Sulastri dapat melakukan berbagai perubahan


sistem dan struktur masyarakat yang telah berjalan terkait dengan cara
pandang, sikap dan perilaku para penentu dan pengambil kebijakan yang
semula tidak memberi ruang bagi perempuan untuk merepresentasikan
suaranya. Representasi perempuan melalui kebijakan Sulastri yang
44

menetapkan kuota 30 %kehadiran perempuan dalam tiap-tiap rapat mulai


dari tingkat RT sampai dengan desa, telah mereposisi peran perempuan
dalam struktur sosial masyarakat Dasun.

Implikasi Pencapaian Gerakan Sosial Perempuan Pedesaan


Implikasi pencapaian gerakan sosial di Dasun, sebagaimana
dikemukakan dalam uraian terdahulu dipilah dalam ranah rumah tangga dan
kehidupan masyarakat. Dalam ranah rumah tangga terlihat adanya
perubahan relasi gender khususnya dalam pengelolaan keuangan dan
pengambilan keputusan. Sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat
ditunjukkan dengan adanya berbagai capaian yang diperinci dalam bidang
sosial budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan.

Bidang Sosial Budaya


Prestasi yang diraih Sulastri dalam Lomba Potensi Produk Olahan
Tanaman Pangan dan Holtikultura di tingkat kecamatan, kabupaten hingga
propinsi, menempatkan Sulastri dalam jajaran elit desa. Eksistensi
paguyuban perempuan semakin mengedepan dengan terpilihnya paguyuban
untuk mengikuti lomba kader pelopor tingkat propinsi. Di tingkat propinsi
ini Sulastri terpilih sebagai juara III. Prestasi paguyuban perempuan Sido
Rukun dan keberhasilan kaum perempuannya dalam mengatasi masalahmasalah nyata dalam kehidupan, telah menginspirasi dusun dan desa-desa
lainnya.
Salah satu dusun yang tergerak mengikuti jejak perempuan Dasun,
adalah dusun Nongkopait yang juga terletak di desa Joho. Tersebut Suparmi
salah satu warga perempuan Nongkopait yang selama ini telah menjadi
anggota luar biasa Paguyuban perempuan Sido Rukun di Dasun tergerak
45

untuk mengikutinya. Suparmi bersama Widyaningsih membuat pertemuan


yang dihadiri oleh sebagian besar warga dusun Nongkopait dan beberapa
dusun lain. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk membuat arisan
beras sebagaimana yang telah dilakukan oleh paguyuban perempuan Sido
Rukun. Kegiatan arisan beras inipun akhirnya juga berkembang dengan
didirikannya usaha koperasi.
Di bidang kesenian tradisional, budaya tabuh lesung menjadi
pemikat bagi kaum perempuan tua untuk terlibat dalam kegiatan bersama
kaum perempuan lainnya dalam wadah paguyuban perempuan. Ketertarikan
mereka untuk melestarikan seni budaya tabuh lesung membuat mereka rajin
hadir pada tiap-tiap pertemuan paguyuban.

Bidang Politik
Keterlibatan paguyuban perempuan dalam aktifitas sosial politik
dilakukan dengan cara mengusung Sulastri untuk maju menjadi Kepala Desa
menunjukkan kesiapan kaum perempuan maju dalam persaingan politik.
Keberhasilan Sulastri menjadi Kepala Desa membuktikan bahwa semangat
perubahan tersebut ada dalam diri perempuan. Kaum perempuan Dasun
yang semula hanya

terlibat dalam aktivitas yang memang dikhususkan

untuk perempuan, mulai memasuki ruang publik yang lebih luas. Perempuan
mulai diperhitungkan kehadirannya dalam tiap-tiap kegiatan pengambilan
keputusan. Adanya ketentuan harus dipenuhinya kuota 30 % kehadiran
perempuan dalam tiap-tiap pertemuan kemasyarakatan, menjadi bukti
peningkatan kapasitas dan peran perempuan di tengah kehidupan
bermasyarakat. Kewajiban kehadiran perempuan ini diterapkan mulai dari
lingkungan terkecil di RT, dusun sampai dengan di tingkat desa.

46

Bidang Ekonomi
Keberadaan aksi-aksi kolektif yang bernaung di bawah paguyuban
perempuan berawal dari keinginan kaum perempuan untuk membantu
meningkatkan taraf hidup keluarga . Aksi kolektif semacam usaha
pembuatan kripik dan koperasi merupakan upaya penguatan kapasitas
perempuan di bidang ekonomi. Perputaran uang koperasi yang menembus
angka di atas 100 juta dengan anggota sekitar 109 anggota menunjukkan
adanya geliat peningkatan perekonomian di Dasun. Aksi kolektif lain seperti
sistem pemeliharaan kambing bergulir pada mulanya juga ditujukan untuk
menambah pendapatan anggota paguyuban, namun kendala kematian
menyebabkan kegiatan ini vakum sejak tahun 2011 lalu.

Bidang Lingkungan
Usaha

keras

Sulastri

bersama

kaum

perempuan

untuk

menyelamatkan lingkungan dengan melakukan penanaman hutan kembali


dan penghijauan di berbagai kawasan di Dasun didasari oleh kekhawatiran
terjadinya banjir dan longsor yang pernah terjadi di tahun 1982. Bencana
tersebut mengakibatkan ratusan penduduk kehilangan tempat tinggal.
Bahkan longsor besar tersebut memakan korban jiwa hingga 49 orang
penduduk Dasun. Akibat dari bencana tersebut, pemerintah telah berencana
menutup wilayah dusun Dasun dan meminta warganya tinggal di tempat
lain. Tekat kuat Sulastri untuk menyelamatkan dusunnya, menuntunnya
untuk menggerakan kaum perempuan melakukan penanaman secara besarbesaran di hingga mencapai 46 hektar di tahun 2003. Usahanya mendapat
respon dari pemerintah kabupaten Kediri, dengan diadakannya penanaman
38 ribu batang aneka tanaman di Desa Joho juga di kawasan sumber air
Bolu-Bolu, Sumber Podang, Sumber Lodho, di turus-turus jalan dan di lahan
47

kosong milik warga masyarakat. Gerakan ini dilakukan oleh 800 orang
perempuan dari berbagai organisasi perempuan pada tahun 2007, yang
dipimpin langsung oleh istri Bupati masa itu.44 Pemberian bantuan berupa
bibit pohon tersebut terus berkelanjutan sepanjang tahun. Pada tahun 2011
kemarin Kelompok Tani Wilis Subur mendapat 26 ribu bibit pohon tanaman
keras yang dibagikan kepada penduduk Dasun. Untuk bibit pohon durian
dan cengkeh dibagi secara merata tiap KK mendapatkan 2-5 bibit pohon
durian dan cengkeh, untuk bibit tanaman lainnya boleh mengambil sesuka
hati.
Merujuk pada pencapaian gerakan sosial yang telah dikemukakan,
dapat dinyatakan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum
perempuan pedesaan di Dasun membuahkan kesuksesan. Kesuksesan
sebuah gerakan jika mengacu pada pendapat Gamson via della Porta dan
Diani (2004) dapat dilihat dari dua sisi, yakni pertama, adanya capaiancapaian baru (new gains) dan kedua, tingkat penerimaan (levels of
acceptance)45.
Pertama, terkait capaian-capaian baru ini mengacu pada adanya
perubahan nyata yang terkait dengan kebijakan publik yang merupakan
tuntutan masyarakat. Salah satu contoh perubahan nyata adalah adanya
kebijakan yang berhasil diterapkan Lurah Sulastri terkait dengan kuota
kehadiran perempuan sebesar 30% di tiap-tiap kegiatan rapat. Kehadiran
perempuan sebanyak 30% ini bukan hanya formalitas semata, sebagaimana
yang

terjadi

dalam

proyek-proyek

pemberdayaan

yang

dilakukan

pemerintah. Para perempuan ini hadir secara nyata dalam rapat dan berani
44

http://kedirikab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=183,
diakses tanggal 30 Desember 2011
45
Donatella Della Porta dan Mario Diani, Op.Cit, h : 228.

48

menyuarakan pendapatnya. Keberanian menyuarakan pendapat ini tidak


lepas dari pengalaman mereka dalam berbagai aktivitas kolektif yang
bernaung di bawah paguyuban perempuan Sido Rukun. Keterlibatan
perempuan dalam tiap-tiap pengambilan keputusan inilah yang menjadi
pintu masuk terakomodirnya kebutuhan perempuan dalam pembangunan
desa. Sedangkan yang kedua, terkait dengan keberhasilan gerakan
membawa hasil nyata dalam sistem perwakilan kepentingan. Keberhasilan
paguyuban Sido Rukun mengantarkan Sulastri sebagai Kepala Desa
merupakan bukti nyata bahwa kepentingan kaum perempuan dapat
terwakili. Selain itu juga ada anggota paguyuban yang masuk dalam jajaran
BPD. Kenyataan ini jelas menunjukkan keberhasilan gerakan dalam
menyuarakan kepentingan para perempuan yang diwakilinya.
Berdasarkan temuan tersebut maka dua variable keberhasilan suatu
gerakan sosial yang dikemukakan oleh Gamson dapat terpenuhi. Dengan
demikian mengacu pada Gamson, keberhasilan gerakan sosial di Dasun
masuk dalam tipologi full response, yaitu keberhasilan dalam dua aspek
secara penuh baik dari sisi capaian maupun tingkat penerimaan.

KESIMPULAN
1.Aksi kolektif di Dasun dapat berkembang menjadi sebuah gerakan sosial,
karena dilandasi oleh kesadaran kolektif yang kemunculannya diinspirasi
oleh kehadiran mahasiswa KKN. Keberhasilan aksi-aksi kolektif dalam
menyelesaiakan

masalah

mendorong

kaum

perempuan

untuk

mengintegrasikannya dalam satu naungan, yaitu paguyuban perempuan Sido


Rukun. Dalam proses pengintegrasian aksi kolektif inilah lahir seorang
pemimpin yaitu Sulastri. Sulastri dalam hal ini merupakan produk yang
dilahirkan oleh gerakan. Kemampuan untuk memproduksi pemimpin ini,
49

sejauh pengetahuan penulis merupakan hal spesifik yang tidak ditemui pada
aksi kolektif di tempat lainnya. Bahkan fenomena di Dasun tersebut tidak
dapat dijelaskan dengan kerangka teori

gerakan sosial lama ataupun

gerakan sosial baru (GSB) yang telah ada. Merujuk pada pendapat para
teoritisi gerakan sosial yang ada, sejauh ini aksi kolektif di Dasun telah
dapat disebut sebagai gerakan sosial, yaitu dengan telah terpenuhinya unsur
kolektifitas, tujuan bersama, pengorganisasian yang longgar, adanya
pemimpin, spontan dan bergerak di luar jalur kekuasaan formal. Sedangkan
jika ditinjau dari pluralitas isu yang diusung maupun heterogenitas pelaku
yang tidak berbasis pada kelas, maka gerakan sosial di Dasun dapat
dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial baru. Namun dalam kasus
Dasun ini, tidak sepenuhnya tepat juga, karena pada GSB setting masyarakat
biasanya sudah pada tahap post industri, dan pelakunya pun berasal dari
kelas menengah.

2. Implikasi pencapaian gerakan sosial di Dasun dipilah dalam ranah rumah


tangga dan kehidupan masyarakat. Dalam ranah rumah tangga terlihat
adanya perubahan relasi gender khususnya dalam pengelolaan keuangan
(kontrol keuangan mulai bergeser kepada perempuan) dan pengambilan
keputusan (suami melibatkan perempuan). Sedangkan dalam kehidupan
bermasyarakat ditunjukkan dengan adanya berbagai capaian yang diperinci
dalam bidang sosial budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan. Merujuk
pada pencapaian gerakan sosial yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan
bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum perempuan pedesaan di
Dasun telah berhasil sepenuhnya. Keberhasilan sebuah gerakan jika
mengacu pada pendapat Gamson via della Porta dan Diani dapat dilihat dari
dua sisi, yakni pertama, adanya capaian-capaian baru (new gains) dan
50

kedua, tingkat penerimaan (levels of acceptance)46. Pertama, terkait capaiancapaian baru ini mengacu pada adanya perubahan nyata yang terkait dengan
kebijakan publik yang merupakan tuntutan masyarakat, ditunjukkan dengan
adanya kebijakan mengakomodir suara perempuan (30%) dalam tiap
pengambilan keputusan mulai dari tingkat RT sampai desa. Kedua, terkait
dengan keberhasilan gerakan membawa hasil nyata dalam sistem perwakilan
kepentingan, yaitu terpilihnya Sulastri sebagai Kades, dan terakomodirnya
warga Dasun dalam lingkaran kekuasaan desa baik di bidang eksekutif
maupun legislatif.
Dari kedua kesimpulan tersebut, setidaknya ada beberapa proposisi
yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu :
1) Pemimpin gerakan di Dasun merupakan produk dari gerakan sosial itu
sendiri, pemimpin lahir karena sebuah proses kolektivitas, dan
keberadaanya tidak terlebih dulu ada dibandingkan gerakan itu sendiri.
2) Gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum perempuan Dasun mampu
mendorong munculnya replikasi aksi kolektif yang dapat memproduksi
pemimpin gerakan di wilayah sekitarnya.
3) Aksi kolektif Di Dasun dapat berkembang karena dilandasi oleh adanya
kesadaran kolektif dan solidaritas. Aksi kolektif yang ada dapat disebut
sebagai gerakan sosial karena telah terpenuhinya unsur kolektivitas
atau kebersamaan, tujuan bersama yang ditetapkan, pengorganisasian
yang longgar, pemimpin, spontanitas dan bergerak diluar jalur
kekuasaan formal.
4) Kekaburan identitas dengan peran gendernya telah membentuk aliansi
kekuatan antara kaum perempuan Dasun dengan kaum lelaki Dasun

46

Donatella Della Porta dan Mario Diani, Op.Cit, h : 228.

51

yang tidak memiliki kekuasaan di tingkat desa berhadapan dengan


penguasa desa.
5)

Aliansi kekuatan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki di Dasun


berhasil

menumbangkan resistensi kekuatan desa dan memperkuat

eksistensi aksi kolektif perempuan yang ada melalui peristiwa Deklarasi


Paguyuban.
6) Kontestasi kepentingan antara yang didominasi melawan yang
mendominasi kekuasaan melahirkan kekuasaan baru dengan beralihnya
kekuasaan kepada yang didominasi.
7) Gerakan sosial lokal perempuan terbentuk oleh dorongan kesadaran
kolektif dan solidaritas untuk meraih kemanusiaan yang utuh.
8) Aksi kolektif yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan atau
kepentingan praktis yang beraspek ekonomis merupakan daya tarik yang
mampu menggerakan berkembangnya suatu gerakan sosial pada
masyarakat miskin.
9) Gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum perempuan berimplikasi pada
adanya reposisi dan redefinisi peran perempuan dalam tataran rumah
tangga dan masyarakat.
10) Gerakan sosial merupakan ide dasar dari sebuah pemberdayaan yang
sesungguhnya.

IMPLIKASI TEORITIK
Beberapa implikasi teoritik yang dihasilkan oleh studi ini meliputi
beberapa hal, yaitu :
Pertama, temuan disertasi ini membantah pendapat James C.
Scott, Moore Jr, Mc Adam, Tarrow dan Tilly yang pada intinya menyatakan
bahwa sebuah gerakan sosial mustahil ada, tanpa keberadaan seorang
52

pemimpin. Pentingnya faktor kepemimpinan, menurut McAdam, Tarrow


dan Tilly terletak pada peranannya dalam membangun suatu frame untuk
memobilisasi suatu gerakan perlawanan. Sementara Scott, mengasumsikan
bahwa gerakan perlawanan yang dilakukan petani tidak akan terjadi bila
tidak ada pemimpin yang menggerakkannya. Asumsi Scott ini juga diyakini
oleh B. Moore Jr, yang menyatakan bahwa gerakan petani bisa menjadi
kekuatan yang besar karena ada pemimpinnya yakni elit desa.
Pendapat tersebut sebenarnya telah dipatahkan oleh Singh yang
menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan sesuatu yang alami
keberadaanya dalam proses transformasi masyarakat. Eksistensi sebuah
gerakan sosial bukan didasarkan pada ada atau tidak adanya pemimpin
dalam suatu gerakan. Gerakan sosial tidak dibuat, dan juga tidak karena
dimulai atau dimpin oleh seorang pemimpin. Ia hadir karena dibutuhkan,
ketika suatu masyarakat hidup dalam ketimpangan struktur yang sangat
menekan, maka secara otomotis akan membangkitkan kesadaran kolektif
untuk melakukan sebuah aksi. Singh tidak melanjutkan penjelasannya lebih
lanjut tentang bagaimana sebuah gerakan dapat secara otomatis muncul dan
kemudian bergerak melakukan aksi untuk sebuah perubahan. Bahkan ia
meninggalkan pekerjaan bagi para sosiolog agar melakukan penelitian lebih
lanjut. Menurut Singh selama ini studi tentang gerakan sosial terjebak pada
pencarian sebab dan faktor-faktor dari gerakan sosial dan aksi kolektif
semata.
Kekosongan inilah yang diisi dengan temuan disertasi ini yang
menunjukkan bahwa memang benar suatu gerakan sosial lahir karena
adanya kesadaran kolektif dan solidaritas untuk mengoreksi ketimpangan
atau masalah yang ada dalam masyarakat. Dinamika dalam pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan oleh aksi kolektif menumbuhkan interaksi dan
53

komunikasi antar partisipan gerakan. Dalam proses inilah sebuah gerakan


melahirkan produknya berupa pemimpin. Jadi esensi pemimpin sebagai
produk dari sebuah gerakan ditentukan oleh pengakuan partisipan terhadap
kepemimpinannya dalam meraih tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Pada kasus Dasun, dalam tiap-tiap kemunculan aksi kolektif yang merespon
masalah yang ada, selalu diinisiasi oleh sekelompok perempuan, dan tidak
pernah muncul individu secara tunggal. Seiring dengan kebutuhan untuk
mencapai tujuan bersama tersebut, para partisipan yang ada membutuhkan
pemimpin yang bisa mewujudkan cita-cita bersama. Pada titik inilah Sulastri
muncul sebagai produk dari sebuah gerakan sosial. Pemimpin yang semula
belum ada, lahir karena sebuah proses aksi kolektif, dan mampu melahirkan
pemimpin-pemimpin baru di tempat lain yang berada di sekitar dusun
Dasun.
Jadi, temuan disertasi ini secara tegas membantah bahwa suatu
gerakan sosial dapat muncul dan berkembang, hanya ketika dipimpin oleh
seorang pemimpin sebagaimana yang dinyatakan oleh Scott, Moore Jr,
Tilly, McAdam, dan Tarrow. Karena secara alamiah gerakan sosial akan
muncul dalam suatu masyarakat yang penuh ketimpangan dan masalah
sosial sebagaimana yang diungkapkan Singh. Dinamika dalam pencapaian
tujuan bersama melalui aksi kolektif yang dilandasi kesadaran dan
solidaritas inilah yang justru akan memproduksi seorang pemimpin,
sebagaimana ditemukan dalam disertasi ini. Pemimpin sebagai produk
sebuah gerakan, menyisakan pesan bahwa suatu gerakan sosial semacam ini
tidak akan pernah mati, karena ia terus berproses untuk melahirkan
pemimpin yang dapat menjamin keberlanjutan suatu gerakan sosial, bahkan
mampu mereplikasi munculnya gerakan sosial yang lain di lingkungan
sekitarnya. Demikian seterusnya akan terus muncul dan berkembang
54

gerakan sosial sebagai bentuk respon kesadaran kolektif masyarakat atas


ketimpangan sosial, yang secara kontinyu akan melahirkan pemimpinpemimpin baru. Di sinilah letak jawaban atas kontinuitas sebuah gerakan.
Maka tidak mengherankan jika sebuah aksi kolektif yang keberadaanya
karena dibentuk pihak luar dan bukan atas kesadaran kolektif, akan segera
mati ketika pihak luar tersebut meninggalkannya. Berbeda dengan gerakan
sosial yang dilahirkan atas adanya kesadaran kolektif

dan solidaritas

komunitas yang bersangkutan untuk menyelesaikan masalah riil di


sekitarnya, maka aksi kolektif semacam inilah yang sanggup berlanjut dan
bahkan terus memproduksi pemimpinnya.
Kedua, studi ini sependapat dengan Singh yang menyatakan bahwa
salah satu karakteristik gerakan sosial baru mengambil bentuk non
institusional, non hirarkis, terdesentralisasi dan kaya bentuk. Di mana basis
partisipannya pada dasarnya adalah adanya kepentingan kemanusiaan dan
bukan atas dasar gender, pendidikan, pekerjaan dan kelas. Pendapat ini
dikuatkan dengan temuan yang menunjukkan adanya aliansi kekuatan antara
laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh kekuasaan desa berhadapan
dengan penguasa desa, yang berakhir dengan kemenangan Sulastri dalam
Pilkades.
Ketiga, membantah pendapat Singh yang menyatakan bahwa
gerakan sosial baru pada umumnya dilakukan oleh mereka yang hidup
dalam setting masyarakat kontemporer. Dalam kasus Dasun menunjukkan
bahwa sebuah gerakan sosial baru (ditinjau dari isu yang diusung) dapat
tumbuh dalam setting masyarakat pedesaan tradisional agraris. Kondisi ini
tentunya merupakan hal yang bertolak belakang dengan prasyarat yang
dikemukakan Singh.

55

Keempat, menolak pendapat Singh dan Offe yang menyatakan


bahwa para pelaku gerakan pada umumnya berasal dari kelas menengah
baru (new middle class) yang biasanya dicirikan dengan profesionalisme,
tingkat pendidikan yang ditempuh, serta tingkat ekonomi menengah,
meskipun Offe juga menambahkan unsur ibu rumah tangga, pensiunan dan
mahasiswa. Kondisi ini jauh berbeda dengan pelaku gerakan sosial di Dasun
yang terdiri dari para perempuan miskin, sebagian besar bekerja di sektor
pertanian (baik sebagai petani kecil maupun sebagai buruh tani), dan secara
umum berpendidikan rendah.
Kelima, studi ini sependapat dengan Gamson yang menyatakan
bahwa terdapat dua variable yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu
gerakan sosial masuk dalam tipologi full response, yaitu keberhasilan dalam
dua aspek secara penuh baik dari sisi capaian maupun tingkat penerimaan.
Dari sisi capaian terlihat adanya perubahan nyata yang terkait dengan
kebijakan publik yang merupakan tuntutan masyarakat (penerapan kuota
30% kehadiran perempuan dalam tiap-tiap kegiatan pengambilan keputusan
dari tingkat RT sampai desa); dari tingkat penerimaan dilihat dari
keberhasilan gerakan sosial membawa hasil nyata dalam sistem perwakilan
kepentingan (Sulastri dapat memenangkan kursi kepala desa dan adanya
perempuan yang berhasil menduduki kepengurusan di BPD).

56

DAFTAR PUSTAKA
Abdilla, Muslimin (dkk). 2010. Mencetak Pemimpin Politik Dari Bawah.
Jombang : Alharaka.
Abdullah, Irwan. 2006. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar dan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
____________. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta
: Pustaka
Pelajar.
Amalia, Luky Sandra. 2010. Kiprah Perempuan di Ranah Politik dari Masa
ke Masa dalam
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/jender-andpolitik/296-kiprah-perempuan-di-ranah-politik-dari-masa-ke-masa,
diakses 12-11-11.
Aminuddin, Mariana. 2006. Feminisme : Ilmu Pengetahuan Merindukan
Kebenaran, Jurnal Perempuan 48, Jakarta : Yayasan Jurnal
Perempuan.
Andresen, Margaret L. 1983. Thingking about Women, Sociological and
Feminist Perspectives, New York : Macmillan Publishing Co, Inc.
Atakav, Atil Eylem. 2007.Mona Lisa in Veils : Cultural Identity, Politics,
Religion and Feminism in Turkey, Feminist Theology. 16;11.
(online version http://fth.sagepub.com/cgi/content/abstract/16/1/11.
Atkinson, Jane Monnig dan Shelly Errington. 1990. Power and Difference :
Gender in Island Southeast Asia. Stanford : Stanford University
Press.
Banerjee, Paula. 2006. The Acts and Facts of Womens Autonomy in
India,
Diogenes
53
;
85
(online
version
http://dio.sagepub.com/cgi/content/abstract/53/4/85).
57

Baldridge, J. Victor. 1975. Sociology : A Critical approach to Power,


Conflict and Change. New York, London, Sydney, Toronto : John
Wiley & Sons, Inc.
Banerjee, Paula. 2006. The Acts and Facts of Womens Autonomy in
India
dalam
Diogenes
53;85
(online
version
http://dio.sagepub.com/cgi/content/abstract/53/4/85.
Berger, Peter. L & Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan :
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.(terjemah Hasan Basari).
Jakarta : LP3ES.
Boserup, Esther .1970. Womens Role in Economic Development, New York
: St. Martins.
Brilliant, Eleanor L. 2000.Womens Gain : Fund Raising and Fund
Allocatio as an Evolving Social Movement Strategy dalam
Nonprofit and Voluntary Sector Quaterly 29;554. (online version
http://nvs.sagepub.com/cgi/content/abstract/29/4/554.)
Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Butler, Judith. 1999. Gender Trouble : Feminism and the Subversion of
Identity. New York and London : Routledge.
Chafetz dan Anthony Dworkin. 1986. Female Revolt : Womens Movements
in World and Historical Perspective. Totowa, N.J. : Rowman and
Allanheld.
Cohen, Jean L. 1985. Startegy of Identity : New Theoretical Paradigms and
Contemporary Social Movements, Social Research, Vol 52, No. 4.
Crossette, Barbara . 2006. Budaya, Gender dan Hak Asasi Manusia,
dalam Lawrence E Harrison dan Samuel P Huntington (ed).
Kebangkitan Peran Budaya : Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk
Kemajuan Manusia. Jakarta : LP3ES.

58

Darnovsky, Marcy, Barbara Epstein, dan Richard Flacks (ed). 1995.


Cultural Politics and Social Movements. Philadelphia : Temple
University Press.
Daryanto, Arief dan Nunung Nuryantono. 2011. Penguatan Ketahanan
Masyarakat Desa (Community Resilience) dalam Pembangunan
Sosial Ekonomi Desa dalam Arif Satria, Ernan Rustiadi dan
Agustina M Purnomo, Menuju Desa 2030. Yogyakarta: Percetakan
Pohon Cahaya.
Darwin, Muhadjir dan Tukiran. 2001. Menggugat Budaya Patriarki.
Yogyakarta, Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan UGM
dengan Ford Foundation.
de Beauvoir, Simone . 2003. Second Sex : Kehidupan Perempuan (terjemah
dari The Second Sex, Book Two : Womens Life Today, Vintage,
New York, 1989), Jakarta : Pustaka Promethea.
della Porta, Donatella & Dieter Rucht.1995. Left Libertarian Movements
in Context : Comparing Italy and West Germany, 1965-1990,
dalam J.C. Jenkins & Klandermans (eds), The Politics of Social
Protest. Comparative Perspectives on State and Social Movements
, Minneapolis : University of Minnesota Press.
_______________ & Mario Diani. 2004. Social Movements : An
Introduction. Malden, Oxford, Victoria : Blackwell Publishing.

Diani, Mario. 2006 . The Concept of Social Movement dalam Ronnie D.


Lipschutz.. Civil Societies and Social Movements. Hampshire :
Ashgate Publishing Company.
Dhakidae, Daniel. 2002. Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak
Bangsa sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang dalam Benedict
Anderson. Imagined Communities : Komunitas-Komunitas
59

Terbayang (judul asli : Imagined Communities : Reflections on the


Origin and Spread of Nationalism), Yogyakarta : INSIST.
Ergas, Yasmin. 1996. Feminism of the 1970 dalam Georges Duby,
Michelle Perrot dan Francois Thebaud . A History of Women,
Toward a Cultural Identity in the Twentieth Century. Harvard :
Harvard University Press.
Escobar, Arturo dan Sonia E. Alvares (ed). 1992.The Making of Social
Movements in Latin America : Identity, Strategy and Democracy.
Boulder/San Fransisco/ Oxford : Westview Press.
Fakih, Mansoer. 2008. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Farganis, Sondra. 1994. Situating Feminism : From Thought to Action.
Contemporary Social Theory Vol 2. Thousand Oaks, London, New
Delhi : Sage Publications.
Farida, Anis (ed). 2007. Laporan Konsolidasi Studi Kualitatif Evaluasi
P2KP di Wilayah Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa (versi internal).
Malang : LSPK-Kementerian PU-Bank Dunia.
Garza, Anna Maria dan Sonia Toledo. 2008. Women, Agrarian Movements
and Militancy : Chiapas in the 1980s. dalam Latin American
Perspectives
35;63
(online
version
:
lap.sagepub.com/cgi/content/abstract/35/6/63),
Gelb, Joyce . 1989. Feminishm and Politics. A Comparative Perspective.
Berkeley : University of California Press.
Gerlach, Luther & Virginia Hine. 1970. People Power and Change.
Indianapolis : The Bobbs-Merrill Company.
Hadiz, Liza (ed). 2004. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru :
Pilihan Artikel Prisma. Jakarta : LP3ES.

60

Hadiz, Liza . 2004. Partisipasi dan Kesetaraan Politik Gender dalam


Pembangunan dalam Liza Hadis (ed) . Perempuan dalam Wacana
Politik Orde Baru : Pilihan Artikel Prisma. Jakarta : LP3ES
Halcli, Abigail, 2000. Social Movements, dalam Gary Browning, et al
(eds), Understanding Contemporary Society : Theories of The
Present, London/Thousand Oaks, New Delhi : Sage Publications.
Hallet, Judith P. 1993. Feminist Theory, Historical Periods, Literary
Canons, and the Study of Greco-Roman Antiquity dalam Nancy
Sorkin Rabinowitz and Amy Richlin. Feminist Theory and The
Classics. New York, London : Routledge.
Haley, P Shelley. 1993. Black Feminist Thought and Classics : Remembering, Re-claiming, Re-empowering dalam Nancy Sorokin
Rabinowitz dan Amy Richlin. Feminist Theory and Classics. New
York, London : Routledge.
Hanum, Farida 2003. Disertasi Pembagian Kekuasaan Suami Istri
Keluarga Jawa : Studi Jender di Kecamatan Kraton dan kecamatan
Minggir DIY.
Harper, Charles L. 1986. Exploring Social Change. New Jersey : Prentice
Hall.
Harsono, Rebeka . 2006. Gerakan Perempuan : Antara Kepentingan
Perempuan dan Politik Gender dalam Irwan Abdullah (ed).
Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hayati, Elli Nur. 2006. Ilmu Pengetahuan + Perempuan =... , Jurnal
Perempuan 48. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Hobson, Barbara. 2003. Recognition Struggles and Social Movements :
Contested Identities, Agency and Power. Cambridge, New York,
Melbourne, Madrid, Cape Town : Cambridge University Press.

61

Horton, Paul B & Chester L. Hunt. 2004. Sosiologi (Jilid 2 (edisi enam).
Jakarta : Erlangga.
Hudayana, Bambang, 2011. Kredibilitas Glembuk Disertasi. Sekolah
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Humm, Maggie. 1992. Feminisms : A Reader. New York, London, Toronto,
Sydney, Tokyo, Singapore : Harvester Wheatsheaf.
Ismail, Abdullah , 2011. TESIS . Modal Sosial Sebagai Stategi
kelangsungan Hidup Perempuan Nelayan di Pulau maitara Tidore
Kepulauan. Pogam Studi Sosiologi, Pasca Sarjana, UGM,
Yogyakarta.
Jackson, Stevi dan Jackie Jones. 2009. Berpikir untuk Diri Sendiri :
Sebuah Pengantar Menuju Teorisasi Feminis dalam Stevi Jackson
dan Jackie Jones (ed). Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer.
Yogyakarta dan Bandung : Jalasutra.
Jary, David dan Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow
: Harper Collins.
Jenkins, Craigh J. dan William Form. 2005, Social Movements and
Social Change dalam Thomas Janoski et.al(eds) The Handbook of
Political Sociology: States, Civil Societies, and Globalization.
Cambridge : Cambridge University Press.
Johnston, Hank, Enrique Larana & Joseph R. Gusfield. 1994. Identities,
Grivances, and New Social Movements in Enrique Larana, Hank
Johnston, adn Joseph R. Gusfield. New Social Movements : From
Ideology to Identity. Philadelphia: Temple University Press.
Katzenstein, Mary Fainsod & Carol McClurg Mueller, eds. 1992. The
Womens Movements of the United States and Western Europe :
Consciousness, Political Opportunity, and Public Policy.
Philadelphia : Temple University Press.
62

Klandermans, Bert.1988: The Formation and Mobilization of Consensus


dalam B. Klandermans, H.Kriesi dan Sidney Tarrow (eds). From
Structure to Action, Greenwich, CT: JAI Press.
___________, 2005. Protes dalam Kajian Psikologi Sosial (terjemahan
Helly P. Sortjipto), Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kumar, Ann. 2008. Prajurit Perempuan Jawa : Kesaksian Ihwal Istana
dan Politik Jawa akhir abad ke-18, Jakarta : Komunitas Bambu.
Kumar, Radha. 1995. From Chipko to Sati : The Contemporary Indian
Womens Movement dalam Amrita Basu. The Challenge of Local
Feminishm : Womens Movements in Global Perspective,
Westview Press : USA
Kusujiarti, Siti. 2006. Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi :
Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa dalam
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis
: Post Marxisme + Gerakan Sosial. Yogyakarta: Resist Book.
MacAdam, Dough. 1994. Culture and Social Movements dalam Enrique
Larana dkk, New Social Movements : From Ideology to Identity.
Philadelphia : University Press.
Manalu, Dimpos. 2009.Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik
(Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT Inti
Indorayon Utama di Sumatera Utara). Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press bekerjasama dengan Kelompok Studi dan
Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).
M.N. Zald & D. Mc Carthy. 1973. Social Movements in Organizational
Society, New Brunswick : Transaction, 1987 : 337-91 (originally
63

published as The Trend of Social Movements In America.


Morristown : General Learning Press.
McCarthy, John D. & Mayer N Zald. 1987 : Resource Mobilization and
Social Movements : A Partial Theory, dalam M.N. Zald dan J.D.
McCarthy. Social Movements in an Organizational Society. New
Brunswick : Transaction, 1987, 337-91 (originally published in
American Journal of Sociology, 1977, 82).
Melucci, Alberto. 1982. LInvenzione de Presente, Movimenti, Identita,
Bisogni Individuali. Bologna : il Mulino.
Miller, David. 2000.Citizenship and National Identities, New York :
Cambridge Political Press.
Mirsel, Robert.
Press.

2004. Teori Pergerakan Sosial.Yogyakarta : INSIST

Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender & Pembangunan (terjemahan dari Half
the World, Half A Chance : An Introduction to Gender and
Development, Oxford : Oxfam). Yogyakarta : Rifka Annisa &
Pustaka Pelajar.
Mulyani, Siti, 2005. TESIS : Gerakan Sosial Urban Poor Linkage
Yogyakarta, Program Sosiologi Konsentrasi Kebijakan dan
Kesejahteraan Sosial Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pasca
Sarjana UGM, Yogyakarta.
Mustain. 2007. Petani vs Negara : Gerakan Sosial Petani Melawan
Hegemoni Negara. Jogjakarta : Arruzmedia.
Muthmainah, Yulianti. 2011. Mendukung Keterwakilan Perempuan
dalam http://www.komnasperempuan.or.id/2011/03/mendukungketerwakilan-perempuan/diakses pada 18-04-11.

64

Nadia, Ita F . Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta : Galang


Press.
Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Nimatul Husna, 2008 . FATIMA MERNISSI (Biografi Intelektual
seorang Feminis Muslim). Abstrak Skripsi . UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya Di
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Oommen, TK. 2004. Nation, Civil Society and Social Movements : Essays
in Political Sociology. New Delhi/Thousand Oaks/ London : Sage
Publications.
Permana, Yogi S. Membaca Politik Lokal Bima, dalam
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-lokal/513membaca-politik-lokal-bima/ diakses 12-11-11

Peter, K Eisinger. 1973. The Condition of Protest Behaviour in American


Cities. American Political Science Review.
Piven, Frances Fox and Cloward, Richard A, 1979. Poor Peoples
Movements : Why They Succeed, How They Fail, New York :
Vintage Books.
Prasetyo, Eko. 2006. Gerakan Sosial Baru : Suatu Pengantar. Makalah
disampaikan pada diskusi Sekolah Demokrasi Averoes.
Poerwandari, Kristi. Filsafat, Filsafat Feminis, Metodologi diakses dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/62d99d771d72d70ebe
23496139bbcc77025159c0.pdf/06-10-10

65

Rabinovitz, Nancy Sorkin (ed). 1993. Feminist Theory and The Classics.
New York, London : Routledge.
Radtke, Lorraine dan Hendrikus J. Stam. 1994. Power/Gender Social
Relations in Theory and Practice. London, Thousand
Oaks, New Delhi : Sage Publications.
Rahardjo. 2010. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press.
Rahayu, Ruth Indiah . 2008. Emansipasi Menuju Unilinear : Gerakan
Feminis Indonesia Paro Abad ke-20 (Kata Pengantar edisi
Bahasa Indonesia) dalam Cora Vreede-De Stuers. Sejarah
Perempuan Indonesia : Gerakan dan Pencapaian. Jakarta :
Komunitas Bambu
_________________. 2010. Organisasi Perempuan Harus Mengubah
Strategi Gerakan dalam
http://www.komnasperempuan.or.id/2010/05/ruth-indiyah-rahayu%e2%80%9corganisasi-perempuan-harus-mengubah-strategigerakan%e2%80%9d/06-10-10

Rais, Muhammad Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa : Selamatkan


Indonesia. Yogyakarta: PPSK.
Rathgeber, E.M. 1990. WID, WAD, GAD : Trends in research and
Practice, The Journal of Developing Areas 24.
Redaksi. Mengurai Basis Gerakan Perempuan Eropa dalam Jurnal
Perempuan 14. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan
Reinharz, Shulamit. 2005. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian
Sosial. Jakarta: Women Research Institute.

66

Rochadi, AF. Sigit. 2009. Fragmentasi dan Kelemahan Gerakan Buruh


Di Indonesia Pasca Orde Baru. Ringkasan Disertasi. Unair,
Surabaya
Rochford, E Burke. 1985. Hare Krishna in America. New Brunswick, NJ :
Rutgers University Press.
Ross, March Howard. 1997, Culture and Identity in Comparative Political
Analysis, dalam Mark Irving Lichbach dan Alan S.Zuckerman,
Comparative Politics : Rationality, Culture and Structure, New
York : Cambridge University Press.
Roszak, Theodor. 1976. La Nascita di una Contracultural. Milan :
Feltrinelli.
Roy, Mallarika Sinha 2006. Speaking Silence : Narrative of Gender in
the Historiography of the Naxalbari Movement in West Bengal
(1967-1975) . Journal of South Asian Development 1 :2. New
Delhi/Thousand Oaks/London : Sage Publications (online version
http : //sad.sagepub.com/cgi/content/abstract/1/2/207)
Ryan, Barbara. 1992. Feminism & The Women Movement : Dynamics of
Change in Social Movement Ideology and Activism. New York,
London : Routledge.
Saraswati A, Luh Ayu. GABRIELA: Gerakan Perempuan Sebagai
Mobilisator Massa di Filipina . Jurnal Perempuan, Jakarta :
Yayasan Jurnal Perempuan.
Silaen, Victor. 2006. Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon
di Toba Samosir : Gerakan Sosial Baru.Yogyakarta : IRE Press.
Singh, Rajendra. 2001. Social Movements, Old and New : A Post
Modernist Critique. New Delhi, Thousand Oaks, London : Sage
Publications.
67

--------------------, Teori-Teori Gerakan Sosial baru, dalam WACANA,


XI/2002.
Scott, W. Richard. 1981. Organizations : rational, Natural and Open
System. Englewood Cliffs : Prentice Hall.
Siahaan, Hotman M. 2003. Pembangkan Terselubung Petani dalam
Program
Tebu
Rakyat
Intensifikasi
Sebagai
Upaya
Mempertahankan Subsistensi dalam Haris Supratno, Konstruksi
Teori Ilmu-Ilmu Sosial. Surabaya: Unesa University Press.
Smelser, Neil J. 1962. Theory of Collective Behavior. New York : Free
Press.
Soetjipto, Ani. 2010, dalam Seminar yang bertajuk "Women, Leadership
and Development in Muslim Communities of Southeast Asia:
Strategies, Opportunities and Challenges" di Jakarta, dalam
http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=a
rticle&id=176:kontribusi-perempuan-di-pemerintahminim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114/ diakses 11-1111.
Spybey, Tony. 1992. Social Change Development & Dependency.
Cambridge : Polity Press.
Subono, Nur Iman
. Gerakan Politik Perempuan Dan Proses
Demokratisasi di Cile. Jurnal Perempuan 14, Jakarta : Yayasan
Jurnal Perempuan.
Sujatmiko, Iwan Gardono. 2006. Gerakan Sosial dalam Dinamika
Masyarakat dalam Gerakan Sosial : Wahana Civil Society bagi
Demokratisasi. Jakarta : LP3ES.
Sunder, Madhavi. 2007. Gender and Feminist Theory in Law and Society.
Hampshire : Ashagate Publishing.

68

Sunyono. 2007. Gerakan Sosial Masyarakat Miskin Perkotaan : Kasus


Gerakan Masyarakat Stren Kali Surabaya Menolak Kebijakan
Penggusuran (yang dilakukan Pemerintah), Ringkasan Disertasi,
Program Doktor Ilmu-Ilmu Sosial Unair, Surabaya.
Sunyono. Nana Nurliana Gerakan Perempuan di Amerika : Suatu
Tinjauan Historis. Jurnal Perempuan 14. Jakarta : Yayasan Jurnal
Perempuan
Sunyono. 2005. Teori-Teori Gerakan Sosial. Surabaya : Yayasan
Kampusiana.
Suryakusuma, Julia. 2011. Ibuisme Negara : Konstruksi Sosial
Keperempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu
Susanti, Emy. 2003. Disertasi : Perempuan dalam Komunitas Miskin :
Studi tentang Ideologi dan Relasi Gender Dalam Komunitas
Kedungmangu Masjid di Kota Surabaya. Program Pasca Sarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Susetiawan. 2003. Pengantar : Pemberdayaan Masyarakat : Antara Ide
dan Komoditi Baru Untuk Perubahan Sosial dalam Suparjan dan
Hempri Suyatno. Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan
Sampai Pemberdayaan. Yogyakarta : Aditya Media.
Sutrisno, Lukman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan.
Yogyakarta, Kanisius
Tan, Mely G 2004. Wanita Indonesia : Menuju Cakrawala Baru? dalam
Liza Hadis (ed).Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru :
Pilihan Artikel Prisma. Jakarta : LP3ES.
Tarrow, Sidney. 1998. Power in Movements : Social Movements and
Contentious Politics, New York : Cambridge University Press.

69

Tarrow, Sydney. 1996. Power in Movement, Social Movement, Collective


Action and Mass Politics in the Modern State. Cambridge:
Cambridge University Press.
Tarrow, Sidney .1989. Democracy and Disorder. Protest and Politics in
Italy, 1965-1975. Oxford/New York : Oxford University Press.
Taylor, Verta & Nancy Whittier. 1995. Analytical Approaches to Social
Movement Culture : The Culture of the Womens Movements in
H. Johnston and B. Klandermans (eds), Social Movements and
Culture, Minneapolis/London : University of Minnesota
Press/UCL Press
Tilly,

Charles. 2004. Social


CO.Paradigm Publishers.

Movements,

1768-2004,

Boulder,

Tong, Rosemarie Putnam. 2006. Feminist Thought : Pengantar Paling


Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis (terjemahan
dari Feminist Thought : A More Comprehensive Introduction,
second edition, Colorado : Westview Press), Yogyakarta :
Jalasutra.
Touraine, Alain, 1985, An Introduction to the study of social movements,
Social Research, vol 52 No. 4, PP 749-87 dalam Wacana XI/2002,
Yogyakarta, Insist.
Usman, Sunyoto. 2010. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Wahono, Francis dkk, Gelombang Perlawanan Rakyat : kasusu-kasusu
Gerakan Sosial di Indonesia, Yogyakarta, INSIST Press, 2003.
Widiyanto. 2010. Sistem Penghidupan Dan Nafkah Pedesaan. Solo,
Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan
dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret.

70

Webster New Century Dictionary. New York : Gramercy Books.


Wieringa, Saskia Eleonora, 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di
Idonesia, (terjemahan Hersri Setiawan). Jakarta: KalyanamitraGarba Budaya.
West, Guida & Rhoda Lois Blumberg, eds. 1990. Women and Social
Protest. New York : Oxford University Press.
Wolf, Eric R. Peasant Wars of Twentieth Century. New York, Evanston,
San Fransisco, London : Harper Torchbooks.
Wood, James L,1982.Social Movements : Development, Participation, and
Dynamics. Belmont, California : Wadsworth Publishing Company.
Woodfin, Rupert & Oscar Zarate. 2008. Marxisme Untuk Pemula,
Yogyakarta, Resist Book.
Yinger, J. Milton. 1982. Contercultures. New York : Free Press.
Yanci, George. Angela Y. Davis : Tokoh Gerakan Perempuan Kulit
Hitam dalam Jurnal Perempuan 14, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan
Young, Iris Mario. 1996, Political Theory . An Overview dalam Robert
E Goodin dan Hans Dieter Klingemann, A new Handbook of
political Science, New York : Oxford University Press Inc.
Yusuf, Muhammad 2007. Gerakan Pemberdayaan Perempuan Di Desa
(studi tentang Aktivitas Kelompok Perempuan Pedesan di Klaten)
TESIS. Program Pascasarjana Sosiologi UGM, Yogyakarta.

71

Website :
Pilkades Brabowan dan Gaplokan dimenangi Perempuan dalam
Cepuraya.com
http://cepuraya.com/pilkades-brabowan-gaplokan-bloradimenangi-perempuan.html/ diakses 12-11-11;
Tiga Calon Kades Bersaing di Pilkades Karanganyar dalam
http://malangpost.com/index.php?option=com_content&view=article&id=31802%3Atiga
-calon-kades-bersaing-di-pilkades-karanganyar&Itemid=102/ diakses 12-1111;
Suku
Tengger
Miliki
Kades
Wanita
Pertama
dalam
http://www.antaranews.com/berita/216320/suku-tengger-miliki-kadeswanita-pertama/ diakses pada tanggal 12-11-11.
http://www.tempo.co/read/news/2012/04/19/173398185/Adat-Bias-GenderDiharapkan-Berubah/ diakses 6 Juni 2012
http://www.sukabumitoday.com/2011/07/bidan-eulis-rosmiati-sang-teladandari.html/diakses pada 6-6-2012
http://www.shnews.co/detile-1752-45-tahun-membela-perempuan-adattoraja.html/ diakses pada 7 Juni 2012.
http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/perubahaniklim-dan-masyarakat-adat/perempuan-adat-dan-perubahan-iklim/diakses
pada 7 Juni 2012.

72

CURRICULUM VITAE
Data Pribadi
Nama
Jenis Kelamin

: Anis Farida, S.Sos, SH, M.Si


: Perempuan

Date of Birth
Institusi

: Blitar, 6 Agustus 1972


: Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Alamat

: Jl Dukuh Kupang XXV Surabaya

Telepon Kantor

: 031-5677577

Alamat Rumah

: Jl. Kalijudan XV/53 Surabaya

Telepon

: 031 3823906

Mobile Phone

: 081 55107538

Email

: faridasby@yahoo.com

Pekerjaan

: Dosen

Nama Suami

: Dr. H. Priyo Handoko SS,SH,M.Hum

Nama Anak

: 1. Ahmad Rahmatullah Airlangga PH


2. Amaynisa Cleopatra PH

Pendidikan Formal
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

S3 Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair (Lulus 2012
S2 Sosiologi Pascasarjana UGM (Lulus 2003)
S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unair (Lulus 1997)
S1 Ilmu Komunikasi FISIP Unair (Lulus 1996)
SMA Negeri 1 Blitar (Lulus 1991)
SMP Negeri 1 Blitar (Lulus 1988)
SD Negeri Bendo 1 ( Lulus 1986)

73

Pengalaman Kerja

2011-sekarang

Dosen Tetap Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

2007

Konsultan Departemen Dalam Negeri bidang Pemberdayaan Masyaraka

2005-2008

Koordinator Studi Kualitatif Konsultan Evaluasi Nasional


Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan- 2 (P2KP) kerjasama antara
Menkimpraswil (PU)- Bank Dunia

2005 2008

2004 - 2011
2004 2006

Konsultan Evaluasi Nasional dalam studi kualitatif evaluasi P


kerjasama LSPK - Kimpraswil (PU) Bank Dunia

Dosen Luar Biasa pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial da


Politik, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS)
Dosen Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Merdeka Malang

2004 2006

Dosen Pasca Sarjana Magister Admnistrasi Publik, Universitas M


Malang

2004 sekarang

Dosen Luar Biasa pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel

2001 2002

Pengajar pada Pendidikan Sosial di Yayasan Al Kahfi Surabaya

2000-sekarang

Direktur CV Elang Perkasa

2000- 2012

Advokat/Direktur ABI Law Firm Surabaya

1992- 2005

Peneliti lepas pada beberapa proyek penelitian yang dilaksanaka


Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Wijaya Kusum
Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan Universitas Gadjah
Yogyakarta

Kegiatan
2009-sekarang

Peserta aktif dalam Diskusi Berseri para Penggiat Gender dan Pe


Perempuan Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Kita dan Perempuan

74

Perempuan Memberdayakan Dirinya; Sebuah Kerangka Pe


Perempuan dari dalam keluar diselenggarakan rutin tiap bulan oleh PS
SCN CREST-LSPPA-LKIS-MITRA WACANA

2006

Narasumber dalam Panel Diskusi Catatan Kritis Pelaksanaan P2K


Hasil Evaluasi Konsultan Evaluasi P2KP dengan peserta seluruh
Manajemen Wilayah P2KP se Indonesia, Tim P2KP Pusat, Bappena
Dunia di Jakarta, 17 Oktober

2006

Narasumber dalam Presentasi Hasil Evaluasi Konsultan Evalua


dengan Bappenas, Tim P2KP Pusat, Bank Dunia di Jakarta 11 Septem

2006

Narasumber dalam Konsolidasi Data Lapangan Pasca Evaluasi Midt


Kualitatif, di Jakarta 27 April

2005

Narasumber dalam Lokakarya Nasional Komunikasi


dala
Perspektif(tema
Gaya
Berkomunikasi
sebagai
Identitas
diselenggarakan oleh jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Universitas Merdeka Malang

1999

Peserta pada The 4th Asia-Pacifc Social Sciences and Medicine


diselenggarakan oleh Indonesia Association for Health Social Scienc
Ilmuwan Sosial Kesehatan Indonesia AISKI) di Yogyakarta
Desember.

1998

Narasumber pada Diskusi Kesehatan Reproduksi Remaja di Pusa


Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta

1997-2003

Peserta aktif dalam Seminar Bulanan (khususnya di bidang G


Kesehatan Reproduksi) di Pusat Studi Kependudukan Universitas G
Yogyakarta

75

1997-2003

Peserta aktif dalam Seminar Bulanan di Pusat Studi Pedesaan dan


Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

1997

Narasumber pada seminar bulanan dengan tema kesehatan Reproduks


Kaum Homoseksual terhadap Penyakit Menular Seksual) di Pusa
Kependudukan UGM Yogyakarta

Publikasi
2006

Selamatkan Perempuan Korban


Kekerasan dalam Opini Metropolis Jawa Pos, 2 Maret

2002

Homoseksualitas dalam Hukum Positif Indonesia dalam Maja


Nusantara, edisi Maret.

2001

Bunga Rampai Hasil Penelitian Reproduksi, Perilaku Homoseksual d


Mengenai PMS dalam Konstruksi Seksualitas : antara Hak dan K
Yogyakarta, kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Ke
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ISBN 979-8368-57-6

76

Anda mungkin juga menyukai