TESIS
Cut Natya Rucitra
0906647356
UNIVERSITAS INDONESIA
Proporsi Virus Papiloma Humanus Oral
dan Hubungannya dengan Frekuensi Seks Oral
pada Pasien Kondiloma Akuminatum Anogenital
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kulit dan Kelamin
Universitas Indonesia
ii
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulillahirabbilalamin. Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas rahmat, karunia, serta hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat saya
selesaikan.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis dan
dalam menyusun tesis ini. Selain itu, dengan segala kerendahan hati saya juga
menyampaikan permohonan maaf atas semua kesalahan saya selama menjalani
pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta.
Terimakasih sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Dr. dr. Ratna Sitompul,
Sp.M(K) sebagai Dekan FKUI saat ini, dan Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K)
sebagai Direktur Utama RSCM Jakarta periode terdahulu dan Dr. dr. C. H.
Soejono, Sp.PD-K.Ger, M.Epid, FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama
RSCM Jakarta saat ini atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk
menjalani pendidikan dokter spesialis di Departemen IKKK FKUI-RSCM Jakarta.
Terimakasih saya ucapkan kepada Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K) atas
kesediannya menerima saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
(PPDS) semasa beliau menjabat sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM
dan untuk Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat ini, dr. Shannaz Nadia
Yusharyahya, Sp.KK, MHA selaku Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat
ini. Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh staf pengajar Departemen IKKK
FKUI-RSCM Jakarta yang telah memberikan bimbingan, mengajarkan ilmu-ilmu
berharga kepada saya, dan terimakasih untuk rasa kasih sayang dari para staf
pengajar yang selalu menyertai selama masa pendidikan.
iii
Universitas Indonesia
statistik
yang
telah
meluangkan
banyak
waktunya
untuk
membimbing saya sehingga penelitian saya menjadi lebih baik. Tidak ada
habisnya rasa terimakasih saya untuk mereka, semoga Allah SWT memberikan
balasan yang lebih baik lagi.
Kepada Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K), M.Epid selaku ketua divisi Infeksi
Menular Seksual (IMS) dan sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK
FKUI terdahulu, Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK(K) selaku guru besar bidang
IMS, dan dr. Farida Zubir selaku staf IMS yang juga merupakan mentor selama
masa pendidikan, saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian di divisi IMS dan bimbingan selama
proses penelitian.
Terimakasih yang dalam saya haturkan kepada dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K)
sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK FKUI saat ini. Ucapan
terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK selaku ketua Panitia
iv
Universitas Indonesia
Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI atas persetujuan dan keterangan lolos kaji etik
penelitian ini.
Ucapan terimakasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. dr.
Adhi Djuanda, Sp.KK(K), almarhum Prof. Dr. dr. Unandar Budimulja, Sp.KK(K),
Prof. Dr. dr. Siti Aisah Boediarja, Sp.KK (K), Prof. Dr. dr. Retno Widowati
Soebaryo, Sp.KK(K), dan dr Sri Adi Sularsito, Sp.KK(K) atas kesediaannya
berbagi pengalaman, ilmu, wawasan, bimbingan, dan motivasi yang diberikan
selama masa pendidikan saya.
Kepada seluruh staf tata usaha, staf poliklinik, staf rawat inap, perpustakaan dan
Departemen IKKK FKUI-RSCM Jakarta, yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu namanya, saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya
selama saya menjalani pendidikan dokter spesialis. Tentunya proses belajar akan
terasa berat tanpa mereka. Rasa terimakasih juga saya ungkapkan kepada seluruh
pasien di Departemen IKKK FKUI-RSCM maupun rumah sakit jejaring yang
telah memperkaya wawasan saya sebagai calon spesialis kulit dan kelamin, kalian
adalah guru dan sumber ilmu pengetahuan.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf PKBI Jakarta dan
seluruh staf Procare Clinic yang telah bersedia untuk menjadi tempat penelitian,
semoga PKBI dan Procare Clinic semakin sukses kedepannya. Terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada tim Laboratorium Kalgen dan Distributor Qiagen
Indonesia yang telah membantu dalam pelaksanaan genotyping DNA VPH.
Dari lubuk hati yang paling dalam, saya haturkan penghormatan sebesar-besarnya
dan rasa terimakasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua saya, Prof. Dr. dr.
Teuku Zulkifli Jacoeb dan Dr. dr. Tjut Nurul Alam, yang tidak pernah lelah
memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa sehingga saya mampu untuk
menyelsaikan pendidikan spesialis kulit dan kelamin. Tidak lupa ucapan
terimakasih dan penghormatan untuk Nenek saya, dr. Komariah Zagloel, yang tak
habis-habisnya berdoa dan selalu mengingatkan saya untuk terus menambah ilmu
Universitas Indonesia
pengetahuan agar menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Kepada kedua mertua
saya, Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM dan Siti Aisah yang tak pernah lupa
untuk selalu berdoa, memberikan dukungan, serta kasih sayang selama masa
pendidikan, saya ucapkan beribu terimakasih.
Kepada suami tercinta dr. Aidrus, SpOG yang telah memberikan pengertian, kasih
sayang, semangat, dukungan, serta doa dari awal pendidikan sampai akhirnya
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Kepada Anak-anakku Arifah Nurul Zahra dan
Amirah Nurul Zainah, Alhamdulillah kalian menjadi penyemangat hidup dan
menjadi alasan utama untuk segera menyelesaikan pendidikan. Terimakasih telah
berkorban selama Mama menyelesaikan pendidikan spesialis Kulit dan Kelamin.
Selama proses belajar hingga saat penulisan tesis ini, saya bersyukur memiliki
teman-teman yang selalu ada dalam suka dan duka, berbagi kebahagiaan dan
kesedihan bersama, saling mendukung satu sama lain. Terimakasih untuk temanteman seangkatan, dr. Atika Damayanti, dr. Salma Oktaria, dr. Evelyn Lina
Nainggolan, dr. Eka Komarasari dan dr. Ridha Rosandi. Juga untuk teman
seperjuangan saat ujian nasional, yaitu dr. Rachel Djuanda, dr. Sari Chairunisa, dr.
Ridha Rosandi, dr. Yunira Safitri, dr. Alida Widiawaty, dr. Terlinda Baros, dan
dr. Rani Rahmawati. Tak terlupakan rekan chief lainnya dr. Catharina, dr. Vini
Onmaya, dr. Radityo Anugrah, dr. Imelda Wihadi, serta para sahabat, senior, dan
adik-adik yang saya temui selama masa pendidikan, terimakasih atas pertemanan,
kerjasama, dan dukungan yang diberikan selama ini. Mohon maaf atas kesalahan
ataupun hal-hal yang kurang berkenan selama pertemanan kita.
Teman-teman yang telah dengan ikhlas meluangkan waktu dan menyumbangkan
tenaga untuk membantu saya dalam penelitian ini adalah dr. Radityo selaku PPDS
Chief divisi IMS dan dr. Aninda, dr. Herni, dr. Heru, dr. Ririn, dr. Yuda, serta dr.
Tisya yang menjadi PPDS utama divisi IMS selama saya mengumpulkan subyek
penelitian di divisi IMS poliklinik kulit dan kelamin RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Saya ucapkan rasa terimakasih atas bantuan dan dukungan
teman-teman.
vi
Universitas Indonesia
vii
Universitas Indonesia
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama
Program studi
Judul
Latar belakang: Virus papilloma humanus (VPH) merupakan penyebab infeksi menular seksual
yang sering ditemukan. VPH tipe mukosa terutama menyerang genitalia dan oral. Infeksi VPH
oral saat ini dihubungkan dengan keganasan orofaring yang insidensnya makin meningkat.
Prevalensi VPH oral pada populasi sehat berkisar 2-7%, sedangkan pada populasi pasien
kondiloma akuminatum (KA) anogenaital sebesar 10,4%. Faktor risiko penularan ke rongga mulut
terutama melalui hubungan seksual, frekuensi seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan
jumlah pasangan seks oral. Tujuan: Mencari proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital dan
hubungannya dengan frekuensi seks oral. Metode : Penelitian potong lintang, subyek penelitian
(SP) adalah laki-laki atau perempuan dengan KA anogenital, berusia 18-60 tahun. Tempat
penelitian di poliklinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta. Bahan
pemeriksaan VPH oral berasal dari bilas mulut, lalu diolah menggunakan express matrix VPH di
Laboratorium Kalgen.
Hasil: Hasil VPH oral positif ditemukan pada 7 dari 75 SP. Uji statistik untuk melihat perbedaan
VPH oral positif di antara kelompok frekuensi seks oral menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov
dengan hasil P>0.05.
Kesimpulan: Proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital sebesar 9,3%, dan tidak terdapat
perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP berdasarkan frekuensi seks oral.
Kata kunci: KA anogenital, VPH oral, seks oral
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name
Study program
: Dermatovenereology Resident
Title
Background: Many sexual transmitted disease are caused by Human papiloma virus (HPV).
Mucosal types of HPV mainly infect anogenital and oral mucosa. Nowdays, oral cancer is strongly
related to HPV infection and the incidence is increasing. Oral HPV prevalence in healthy
population is 2-7%, meanwhile the prevalence in anogenital condyloma acuminata (CA) patients is
10,4%. The risk factors of oral HPV infection are mostly related to sexual behaviour, oral sex
frequency is more related than total sex partner. Objective : To know the oral HPV proportion in
anogenital CA patients and its relation to oral sex frequency. Methods: This is a cross sectional
study. The subjects are anogenital CA patients, age 18-60 y.o, from outpatients clinic RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo and PKBI clinic, Jakarta. The sample was taken from mouth rinse, the HPV
detection was done by using HPV express matrix at Kalgen laboratory. Results : Oral HPV positif
was found in 7 out of 75 subjects. We use Kolmogorof-Smirnov as statistical calculation to know
the difference of oral HPV positive between oral sex frequency groups, the result is p>0,05.
Conclusions : Oral HPV proportion in anogenital CA patients is 9,3%, and there is no statistically
difference beetwen oral sex frequency groups.
Keywords: Anogenital CA, oral HPV, oral sex
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS..........
HALAMAN PENGESAHAN..........
UCAPAN TERIMAKASIH.........
PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR.
ABSTRAK...
DAFTAR ISI....
DAFTAR SINGKATAN.
DAFTAR TABEL........
i
ii
iii
viii
ix
xi
xiv
xv
BAB I.
PENDAHULUAN.............................................................................
1.1. Latar belakang..........................................................................
1.2. Identifikasi masalah.................................................................
1.3. Perumusan masalah.................................................................
1.4. Hipotesis..................................................................................
1.5. Tujuan Penelitian.....................................................................
1.6. Manfaat Penelitian...................................................................
1.6.1.
Manfaat di bidang akademik........
1.6.2.
Manfaat di bidang pelayanan....
1.6.3.
Manfaat untuk pengembangan penelitian..
1
1
4
5
5
5
5
5
6
6
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
2.1. Infeksi Virus Papiloma Humanus Oral....................................
2.1.1. Definisi........................................................................
Epidemiologi...............................................................
2.1.2.
.
2.1.3. Etiologi dan Patogenesis.............................................
2.1.4. Faktor Risiko...............................................................
2.1.4.1. Usia............................................................
2.1.4.2. Perilaku Seks.............................................
2.1.4.3. Rokok.........................................................
2.1.4.4. Konsumsi Alkohol.....................................
2.1.4.5. Infeksi HIV................................................
2.1.4.6. Kesehatan gigi dan mulut...........................
2.1.5. Manifestasi klinis........................................................
2.1.6. Tatalaksana..................................................................
2.2. Kondiloma Akuminatum Anogenital.......................................
2.3. Identifikasi Virus Papiloma Humanus Oral.............................
2.2.1. KerangkaTeori............................................................
2.2.2. Kerangka Konsep........................................................
7
7
7
8
11
11
11
12
12
13
13
13
16
17
18
21
22
METODE PENELITIAN................................................................
3.1. Rancangan Penelitian...........................................................
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian..............................................
3.2.1. Tempat Penelitian..................................................
23
23
23
23
BAB III.
xi
Universitas Indonesia
BAB IV.
23
23
23
23
23
23
24
24
24
25
25
25
26
26
26
26
29
29
29
30
30
30
31
31
31
31
31
31
32
32
32
32
33
34
34
37
38
42
44
45
Universitas Indonesia
4.5.
BAB V.
anogenital...............................................................................
Keterbatasan penelitian..........................................................
46
47
47
50
50
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
LAMPIRAN 1. INFORMASI PENELITIAN..........................................................
LAMPIRAN 2. LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN...................................
LAMPIRAN 3. PENYARINGAN SUBYEK PENELITIAN..................................
LAMPIRAN 4. STATUS PENELITIAN.................................................................
LAMPIRAN 5. TABEL INDUK PENELITIAN.....................................................
LAMPIRAN 6. LEMBAR LOLOS KAJI ETIK......................................................
51
54
56
61
62
64
67
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
DNA
HIV
IMS
KA
Kondiloma Akuminatum
KTP
NHANES
PKBI
RSUPN
SP
Subyek Penelitian
VPH
LSL
ISH
In Situ Hybridization
HC
Hybrid Capture
HCT
PCR
WHO
xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
xv
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Virus Papiloma Humanus (VPH) merupakan penyebab penyakit infeksi menular
seksual (IMS) yang sering ditemukan di dunia. VPH tipe mukosa dapat
menginfeksi mukosa laring, traktus respiratorius, anus, uretra, kandung kemih,
traktus genitalia wanita, dan oral.1 Epidemiologi VPH oral belum sebaik
epidemiologi infeksi VPH di traktus genital, begitu pula dengan perjalanan
penyakitnya yang belum diketahui sebaik infeksi VPH di traktus genital.2
VPH menyumbang 5,2% dari keseluruhan penyebab keganasan pada manusia,
antara lain keganasan traktus genital, anus, dan orofaring. Beberapa penelitian
telah membuktikan adanya hubungan antara infeksi VPH dan keganasan
orofaring. Di Amerika Serikat, keganasan orofaring akibat infeksi VPH makin
meningkat dan berpeluang melebihi angka kejadian keganasan traktus genital akibat infeksi VPH pada tahun 2020.2 Di Australia, proporsi keganasan orofaring
akibat infeksi VPH meningkat dari 19% (tahun 1987-1990) menjadi 60% (tahun
2005-2006).3 Sembilan puluh persen keganasan orofaring akibat infeksi VPH disebabkan oleh tipe 16.4,5 Sepengetahuan penulis, angka keganasan orofaring di
Indonesia lima tahun terakhir ini belum ada.
Kajian epidemiologik di Swedia dan Denmark menunjukkan bahwa insidens
keganasan oral dan anal masing-masing mencapai 10 dan 4 kali lebih tinggi pada
pasien kondiloma akuminata genitalia dibandingkan dengan pasien yang tidak
memiliki kondiloma genitalia. Data tersebut membuktikan bahwa pasien dengan
lesi kondiloma akuminatum (KA) genital berisiko keganasan meski pada dasarnya
kutil genital merupakan lesi jinak.6, 7, 8 VPH risiko rendah jarang menyebabkan
keganasan, tetapi dapat ditemukan pada beberapa lesi prakanker di oral,
contohnya leukoplakia dan eritroplakia. VPH tipe risiko tinggi banyak ditemukan
pada lesi prakanker, dan karsinoma sel skuamosa.9
Universitas Indonesia
Prevalensi infeksi VPH oral pada populasi sehat di Amerika Serikat berkisar 27%.10-13 Kajian prevalensi VPH pada pasien KA yang dikumpulkan pada bulan
September-Desember 2009 di Kopenhagen menunjukkan prevalensi VPH oral
pada pasien kutil genital sebesar 10,4% dan terdapat kesesuaian tipe dengan VPH
pada lesi kutil genital sebesar 60,9%.6 Insidens KA dibandingkan dengan insidens
IMS lainnya di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dalam 5 tahun terakhir mengalami peningkatan, yakni pada periode tahun 2007
(21,25%), 2008 (33,81%), 2009 (33,66%), 2010 (29,25%), dan 2011 (30,58%).
Pada tahun 2011, terdapat 63 kasus baru yang didiagnosis dengan total kasus baru
dan lama sebanyak 125 kasus.14
Prevalensi infeksi VPH oral juga diketahui lebih tinggi pada wanita dengan
keganasan serviks. Hal ini dibuktikan oleh sebuah meta-analisis yang
memperlihatkan bahwa prevalensi VPH oral pada wanita dengan keganasan
serviks lebih besar daripada wanita tanpa keganasan serviks, yakni 18,1% berbanding 0-7,9%.12, 15 Penelitian lain menemukan prevalensi VPH oral pada pasien wanita dengan displasia serviks sebesar 92,4%.16 Angka kejadian infeksi VPH oral
lebih tinggi pada pasien yang memiliki infeksi VPH di bagian tubuh yang lain.
Infeksi VPH oral dapat terjadi melalui kontak oral ke genital, oral ke anal, oral ke
oral, dan autoinokulasi dari genital.9 Penularan VPH terjadi terutama melalui
hubungan seksual, dalam hal ini 2/3 dari populasi pasangan seks yang terinfeksi
VPH akan tertular. Wanita dan pria yang terinfeksi VPH dapat menularkan ke
pasangan seksual tanpa mereka sadari karena infeksi yang terjadi tidak bergejala
atau subklinis.9 Kajian National Health and Nutrition Examination (NHANES),
tahun 2009-2010, menemukan bahwa prevalensi infeksi VPH pada kelompok
yang pernah melakukan hubungan seks lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang tidak berhubungan seks.2
Faktor risiko penularan berkaitan erat dengan perilaku seksual, yakni usia pertama
melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan riwayat berhubungan
Universitas Indonesia
seks dengan pasangan yang berisiko tinggi. Hubungan seks orogenital berperan
pada penularan infeksi VPH oral. Dari satu penelitian ditemukan bahwa frekuensi
hubungan seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah pasangan seks
oral seumur hidup. Individu yang melakukan seks orogenital 1 kali atau lebih
setiap minggu dibandingkan dengan yang melakukan orogenital kurang dari 1 kali
setiap minggu, memiliki insidens infeksi VPH yang lebih tinggi. Hubungan seks
orogenital dengan frekuensi yang sering selama 4 bulan terakhir berhubungan
bermakna dengan insidens infeksi VPH oral. Orang yang melakukan seks oral
lebih dari 1 kali per minggu akan berpeluang terkena infeksi VPH oral 4 kali lebih
besar dibandingkan dengan orang yang melakukan seks oral kurang dari 1 kali per
minggu.17 Pada penelitian lainnya, waktu terakhir melalukan hubungan seks oral
dan jumlah pasangan seks oral dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan
infeksi VPH oral.18
Cara penularan VPH anogenital ke oral pada individu belum diketahui dan
penelitian VPH oral pada pasien dengan KA anogenital yang sudah dilakukan
tidak menemukan faktor terkait proses penularan infeksi VPH anogenital ke oral.
Proses autoinokulasi diduga menjadi dasar terjadinya infeksi VPH oral pada
pasien KA anogenital.6
Cara pengambilan sampel untuk mendeteksi VPH oral dapat dilakukan dengan
biopsi oral, bilas mulut, dan cytobrush. Prevalensi infeksi VPH tertinggi
didapatkan dari sampel bilas mulut.19 Metode bilas mulut dapat mengumpulkan
lebih banyak sel dibandingkan dengan metode swab atau cytobrush karena bilas
mulut dapat mengambil sel dari seluruh permukaan rongga mulut dan faring.
Dengan demikian bilas mulut akan menghasilkan DNA VPH yang lebih banyak.20
VPH tipe 16 diketahui paling sering ditemukan pada sampel yang berasal dari
bilas mulut.6
Lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe VPH, di antaranya VPH
2, 4, 6,11,13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Banyak penelitian sudah membuktikan bahwa
VPH tipe 16 dan 18 berhubungan dengan keganasan di rongga mulut, kepala, dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2)
Hubungan antara infeksi VPH oral dan frekuensi hubungan seks oral
dapat dijadikan dasar materi penyuluhan edukasi untuk pasien KA
anogenital.
3)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Virus Papiloma Humanus Oral
2.1.1 Definisi
Virus Papiloma Humanus (VPH) dapat menginfeksi kulit dan mukosa. Bentuk
lesi yang ditimbulkannya beragam, dapat berupa kutil jinak atau lesi ganas
yang invasif. VPH tipe mukosa dapat menyerang uretra, kulit, laring, mukosa
trakeobronkial, rongga hidung, sinus pranasal, terutama anogenital dan mukosa
oral.21, 26
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi infeksi VPH oral di populasi sehat berkisar 2-7%, lebih rendah dibandingkan dengan infeksi VPH genital. Prevalensi infeksi VPH serviks berkisar 27-43% pada populasi wanita Amerika Serikat yang berusia 14-59 tahun.
Sementara pada populasi yang kurang lebih sama, prevalensi infeksi VPH oral
berkisar 0,9-7,5%.10
Pada tahun 2009-2010 di Amerika Serikat dilakukan kajian prevalensi infeksi
VPH oral pada populasi umum 5579 wanita dan pria yang berusia 14-69 tahun.
Hasilnya, prevalensi infeksi VPH oral tipe apapun adalah 6,9%, VPH risiko
rendah 3,7%, dan VPH risiko tinggi 3,1%.12 Kajian prevalensi lain menemukan
angka yang lebih rendah, yaitu 4% untuk infeksi VPH oral tipe apapun. Kajian
ini dilakukan pada populasi laki-laki yang berusia 18-74 tahun di Amerika
Serikat, Brazil, dan Meksiko.13 Kajian prevalensi dan insidens infeksi VPH
oral pada populasi dewasa muda (18-30 tahun) menemukan angka prevalensi
sebesar 2,4% dan insidens sebesar 5,67% per 1000 orang per bulan.11
Kajian lain pada tahun 2009 di Kopenhagen yang mengumpulkan pasien dengan kutil kelamin yang berusia 18-65 tahun memperoleh prevalensi infeksi
VPH oral sebesar 10,4%. Prevalensi infeksi VPH oral pada populasi pasien kutil kelamin lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi sehat. Kesamaan
Universitas Indonesia
tipe VPH di genital dan oral adalah 60,9%.6 Dari 18 wanita usia 24-52 tahun
yang memiliki lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi dan sudah terbukti terkena infeksi VPH di serviks ternyata 67% memiliki infeksi VPH di oral.26
VPH menyumbang 5,2% dari keseluruhan penyebab keganasan pada manusia,
antara lain keganasan traktus genital, anus, dan orofaring. Epidemiologi dan
perjalanan infeksi VPH oral belum diketahui sebaik infeksi VPH di traktus
genital. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan infeksi VPH
dengan keganasan orofaring. Di Amerika Serikat, keganasan orofaring akibat
infeksi VPH makin meningkat dan berpeluang melebihi angka kejadian
keganasan traktus genital akibat infeksi VPH pada tahun 2020.2 Di Australia,
proporsi keganasan orofaring akibat infeksi VPH meningkat dari 19% (tahun
1987-1990) menjadi 60% (tahun 2005-2006).3
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Virus VPH terdiri atas 150 tipe yang dibagi ke dalam dua kategori, yaitu tipe
risiko rendah dan risiko tinggi berdasarkan potensi untuk memicu lesi ganas.
Tipe risiko tinggi ada 11, yaitu VPH 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58.
Sementara, tipe risiko rendah di antaranya adalah VPH tipe 6,11,42, dan 44.2, 26
Lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe VPH, di antaranya
VPH 2, 4, 6,11,13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Banyak penelitian sudah membuktikan
bahwa VPH tipe 16 dan 18 berhubungan dengan keganasan di rongga mulut,
kepala, dan leher.22-24 VPH tipe 16 paling sering menyebabkan lebih dari 90%
kasus kanker orofaring.27
Semua tipe VPH memiliki organisasi genom yang kurang lebih sama. DNA
untai ganda VPH memiliki early open reading frames (ORF) dan late ORF.
Early ORF menyandi E1, E2, E3, E4, E5, E6, dan E7. E1 dan E2 berperan
pada proses replikasi DNA dan mengatur ekspresi gen, keduanya juga
bertanggung-jawab dalam mempertahankan DNA virus dalam bentuk episom
selama proses awal infeksi dan selama infeksi laten. Selain itu, E2
berkemampuan menekan fungsi E6 dan E7. E6 dan E7 merupakan
Universitas Indonesia
onkoprotein, fungsi keduanya masih belum jelas pada VPH tipe risiko rendah.
Pada VPH risiko tinggi, keduanya dapat menjaga episom virus di dalam sel
suprabasal yang matang. Keduanya juga berperan dalam meningkatkan
proliferasi dan memperpanjang hidup sel ganas dengan cara mengubah faktorfaktor yang mengatur siklus hidup sel. E6 dapat menghancurkan p53, suatu
protein penekan tumor, sementara E7 berikatan dengan gen penekan Rb.9, 28, 29
Sel di stratum basal akan berproliferasi dan mengalami pematangan, berubahubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya, berpindah dari satu lapisan ke lapisan
di atasnya, sampai akhirnya mencapai permukaan. Ada sebagian sel yang tetap
tinggal di stratum basal untuk menjaga keutuhan. Di mukosa mulut, proses
pematangan sel mengikuti dua pola, yaitu keratinisasi dan non-keratinisasi.
Siklus hidup VPH dipengaruhi oleh tahap pematangan sel epitel. Produksi
virion hanya terjadi pada sel basal yang matang.9
Sel basal merupakan sasaran VPH diduga karena memiliki reseptor VPH di
permukaan sel. Virus mencapai sel basal melalui lapisan epidermis yang tidak
utuh akibat abrasi atau mikrotrauma. DNA virus masuk ke dalam nukleus sel
basal. Genom VPH di dalam nukleus bertahan dalam bentuk episom. Virus ini
bereplikasi pada sel basal yang aktif membelah dan menyebabkan gangguan
pada kendali siklus sel. Replikasi virus masih terjadi hingga lapisan sel permukaan. Jika lapisan teratas ini lepas karena sebab tertentu atau mengalami
eksfoliasi maka virion akan ikut terlepas pula.1, 30, 31
Respons imun pada infeksi VPH diperankan oleh sistem humoral dan selular.
Bukti dari respons antibodi adalah terbentuknya IgA dan IgG anti-VPH pada
infeksi berulang dan adanya vaksin yang efektif dapat mencegah infeksi
VPH.30, 32 Respons imun selular dan interferon meningkat sehingga mampu
menghambat replikasi virus. Pada individu dengan gangguan imunitas
(imunokompremais) yang terkait penurunan imun selular, misalnya pada
infeksi HIV dan pasca transplantasi organ, memiliki angka kejadian penyakit
terkait VPH yang lebih tinggi dengan wujud lesi yang lebih besar, multifokal,
dan cenderung displastik.33
Universitas Indonesia
10
Infeksi subklinis pada infeksi VPH dapat terjadi cukup lama, berdasarkan percobaan inokulasi virus papiloma, ternyata lesi baru muncul 2-9 bulan kemudian. Keadaan ini menjadi sumber penularan.1 Waktu yang dibutuhkan seorang
individu yang terinfeksi VPH untuk mampu menyebarkan partikel virus adalah
3 minggu, yaitu setara dengan waktu yang dibutuhkan sel basal untuk
berdiferensiasi sempurna menjadi keratinosit, kemudian mengalami deskuamasi.34
Cara penyebaran VPH ke mukosa oral masih belum jelas. Infeksi dapat terjadi
secara vertikal dari ibu ke anaknya. Namun demikian, jalur infeksi horizontal
lebih sering terjadi. VPH dapat ditularkan baik melalui hubungan seksual
(orogenital) maupun non-seksual, yaitu melalui proses autoinokulasi dari
genital. Penularan VPH anogenital ke oral pada satu pasien diduga melalui
proses autoinokulasi, akan tetapi infeksi di oral merupakan suatu kejadian yang
berbeda dan tidak ada hubungannya dengan infeksi di anogenital.6 Kesesuaian
tipe antara VPH anogenital dan oral juga merupakan salah satu tanda proses
penularan terjadi melalui proses autoinokulasi.17 Berdasarkan kajian potong
lintang, VPH oral biasanya terjadi akibat hubungan seks oral atau menjilat anus
(oroanal) pasien dengan lesi kutil.35 Berciuman dengan orang yang memiliki
infeksi VPH di oral juga menjadi salah satu cara penularan.2 us
Perjalanan penyakit infeksi VPH oral belum diketahui dengan baik. Satu
penelitian kohort mendapatkan infeksi VPH oral akan hilang dalam waktu 6,9
bulan (nilai tengah atau median) untuk tipe VPH apapun, 6,3 bulan untuk tipe
VPH risiko tinggi, dan 7,3 bulan khusus untuk VPH tipe 16.18 Studi lainnya
mendapatkan infeksi VPH oral akan menghilang pada 65% pasien dalam 1
tahun, sementara di antara pasien HIV infeksi sembuh dalam 1 tahun hanya
terjadi pada 47% pasien.35
Universitas Indonesia
11
37
Universitas Indonesia
12
seks oral dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan kejadian infeksi VPH
oral.18
Cara berciuman dengan mulut terbuka (french kiss) berhubungan dengan
prevalensi infeksi VPH, sehingga mungkin saja dapat menjadi faktor risiko
penularan infeksi. Hal ini menjadi bahan pemikiran untuk memberikan vaksin
VPH pada usia dini karena pada umumnya usia saat pertama kali berciuman
lebih dini jika dibandingkan dengan saat melakukan hubungan seks oral. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut apakah memang ada hubungan yang
bermakna antara berciuman dengan mulut terbuka dan infeksi VPH.11
2.1.4.3 Rokok
Merokok lebih dari atau sama dengan 21 batang sehari menyebabkan prevalensi infeksi VPH oral lebih tinggi (20,7%) dibandingkan dengan yang tidak
merokok (1,1,%).12 Penelitian Pickard dkk (2009) memperlihatkan bahwa
merokok tidak berhubungan dengan infeksi VPH oral, tetapi hal ini mungkin
disebabkan oleh kelemahan penelitian, yaitu jumlah subjek penelitian yang
merokok hanya sedikit.11,
38
infeksi VPH di antara perokok sebesar 39%).26 Rokok dapat mengubah suasana
mukosa oral dan diperkirakan berhubungan dengan infeksi VPH melalui
pengaruh penekanan pada sistem imun innate dan adaptive.39-41
2.1.4.4 Konsumsi alkohol
Pengaruh alkohol dengan infeksi VPH oral masih kontroversial. Di satu sisi
dikatakan konsumsi alkohol dapat mengurangi risiko infeksi VPH oral. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian pada model hewan yang menunjukkan bahwa
etanol dapat memecah kapsid virus sehingga mencegah infeksi VPH tipe 16.
Di sisi lain alkohol dapat menurunkan imunitas mukosa oral sehingga akan
lebih mudah terinfeksi VPH. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat
hubungan antara konsumsi alkohol dan infeksi VPH. 11, 26, 42
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
49
ditemukan di lidah atau palatum mole, atau lokasi rongga mulut lainnya.50
c. Kondiloma akuminatum oral
Lesi KA di mukosa mulut berupa nodus putih atau merah jambu yang
berproliferasi dan bersatu membentuk massa lunak bertangkai. Permukaannya
seperti kembang kol. Lesi ini cukup jarang ditemukan di rongga mulut,
disebabkan oleh VPH tipe 6 dan 11.21, 51
d. Veruka vulgaris oral
Kadang-kadang veruka vulgaris dapat ditemukan di mukosa oral, berupa lesi
eksofitik berwarna keputihan, keras, bertangkai. Lesi ini mengalami
hiperkeratinisasi. VPH yang terlibat tipe mukosatropik 6, 11, 16, juga tipe
kutan 1, 2, 4, dan 7.21
e. Lichen planus oral
Etiologi lichen planus di mulut biasanya tidak diketahui, diduga berhubungan
dengan kelainan sistemik seperti diabetes melitus dan sejumlah kelainan
imunologis.49 Maitland dkk (1987) melaporkan 87% dari hasil biopsi liken
planus oral ditemukan DNA VPH.52 Sejauh ini VPH yang ditemukan pada lesi
liken planus adalah tipe 11 dan 16.21 Lesi dapat berupa plak kemerahan, lesi
atrofi, erosi, dapat juga bercak dengan pola seperti jala.53
Universitas Indonesia
15
f. Karsinoma Verukosa
Karsinoma verukosa merupakan varian dari karsinoma sel skuamosa yang
memiliki karakteristik morfologi dan perjalanan klinis khas di mukosa bukal,
gusi, dan alveolus. Etiopatogenesis berhubungan dengan rokok, alkohol, dan
infeksi VPH. Tipe VPH yang terlibat adalah tipe 6, 11, dan 18. Secara klinis
berupa lesi eksofitik, permukaan seperti kembang kol, tumbuh agresif,
berbatas tegas.21
g. Oral leukoplakia
Lesi berupa bercak atau plak putih, secara histopatologis menunjukkan adanya
perubahan epitel yang bervariasi, mulai dari hiperplasia epitel dengan
hiperkeratosis sampai dengan displasia epitel.21 Lesi kanker sering kali
tumbuh di daerah mukosa mulut dengan leukoplakia, oleh karena itu lesi ini
disebut sebagai lesi pra kanker. Maitland dkk (1987) menjelaskan VPH
ditemukan pada lesi leukoplakia oral dan lichen planus oral, keduanya
memiliki kecenderungan berubah menjadi ganas.52 Lind dkk (1986)
melaporkan 7 dari 13 leukoplakia dengan VPH positif akan berubah menjadi
karsinoma dalam 10 tahun.54
h. Oral hairy leukoplakia
Lesi oral hairy leukoplakia kadang-kadang dapat ditemukan pada orang
terinfeksi HIV. Secara klinis lesi ini berupa bercak putih, seringkali lebih
tinggi dari permukaan sekitar, ditemukan di tepi lateral dan dorsum lidah,
dengan distribusi bilateral. Lesi ini lebih sering dihubungkan dengan epsteinbarr virus, namun VPH juga pernah ditemukan di mukosa oral orang dengan
lesi oral hairy leukoplakia.21
i. Karsinoma sel skuamosa oral
Saat ini VPH dihubungkan dengan keganasan di rongga mulut, namun
demikian hubungan di antara keduanya tidak selalu konsisten. Lain halnya
dengan kanker serviks yang memang selalu berhubungan dengan VPH.
Universitas Indonesia
16
Prevalensi infeksi VPH pada karsinoma sel skuamosa oral berkisar antara 10100%.21
2.1.6 Tatalaksana
Tatalaksana ditentukan berdasarkan jumlah, ukuran, dan lokasi lesi, harapan
pasien, biaya, dan ketersediaan alat. Eksisi bedah dipilih untuk jumlah lesi
yang sedikit, terutama jika biopsi pada lesi diperlukan. Pilihan terapi lainnya
dapat menggunakan bahan keratolitik dengan destruksi sel seperti asam
triklorasetat 40-90%, podofilin 25%, 5 fluorouracil, dan imiquimod. Tindakan
untuk menghilangkan lesi dapat juga menggunakan laser, kauterisasi, dan
krioterapi.55 Tindakan laser untuk lesi bertangkai, dilakukan dengan cara eksisi
dengan sinar laser pada bagian tangkai lalu tepi-tepi lesi diablasi. Lesi ganas
atau prakanker dibedah dengan wide margin. Meskipun sudah dilakukan
tindakan eksisi dengan tepi bebas sel ganas, rekurensi tetap dapat terjadi.
Sebagian kasus keganasan perlu dikombinasi dengan radioterapi.56
Tatalaksana pada pasien imunokompremais lebih sulit, lesi biasanya dalam
jumlah banyak dan tidak mungkin untuk dilakukan eksisi bedah. Obat
antiretroviral dapat membantu proses penyembuhan pada beberapa kasus.
Laser juga dapat dipilih untuk kasus pasien HIV.56
Tindak lanjut pasca terapi untuk mengevaluasi rekurensi dilakukan 3-6 bulan
setelah lesi hilang. Pasien perlu diedukasi bahwa virus dapat menetap di dalam
tubuh. Tindakan pencegahan penting dikerjakan oleh karena VPH memiliki
potensi untuk menyebabkan kegansan, salah satu cara dengan vaksinasi.55 Saat
ini vaksin yang tersedia adalah quadrivalent VPH (6, 11, 16, dan 18) L1 virus
like particle (VLP) dan bivalen VPH (16 dan 18) L1 VLP.56
2.2. Kondiloma akuminatum anogenital
Kondiloma akuminatum (KA) atau kutil kelamin ditransmisikan melalui
hubungan seksual. Penamaan disesuaikan dengan bentuk klinis yang umumnya
Universitas Indonesia
17
49, 58
berkelompok
menyerupai
mulberry,
maupun
berkonfluens
membentuk plak.33, 60
Diagnosis umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis dengan
pencahayaan yang terang dan kaca pembesar.59 Pada lesi KA yang meragukan
pemeriksaan sederhana dan cepat menggunakan asam asetat 3-5% pada lesi
dapat membantu menegakkan diagnosis.57, 58 Biopsi tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan rutin, indikasi biopsi pada KA adalah tampilan lesi yang
atipikal, lesi yang resisten terhadap terapi, dan kecurigaan perubahan
Universitas Indonesia
18
Teknik nonamplifikasi:
In situ hybridization (ISH)
ISH dapat dikerjakan pada jaringan biopsi. Kecurigaan adanya
infeksi VPH pda pemeriksaan histopatologi dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan ISH.
Universitas Indonesia
19
dengan
probe
genom
VPH.
Probe
dilabel
Teknik amplifikasi
Target ampification
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode yang sering
digunakan untuk deteksi DNA VPH. Tahapan PCR melalui proses
denaturasi, annealing, dan elongasi. Secara teori PCR dapat
memperbanyak DNA sampai 1 juta kopi setelah 30 siklus. Cara ini
dapat mengidentifikasi DNA VPH dalam jumlah sedikit.
Signal amplification
Hybrid capture (HC) dikembangkan oleh Digene Coorporation,
dapat mendeteksi asam nukleat secara langsung menggunakan
sinyal amplifikasi untuk memberikan sensitivitas yang setara
dengan metode PCR. Saat ini ada dua produk, yaitu hybrid capture
Universitas Indonesia
20
tube (HCT) test dan hybrid capture II (HC II), keduanya utk
identifikasi VPH tipe risiko tinggi. HCT untuk deteksi VPH tipe
16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52. Sementara HC II dapat deteksi 4 tipe
tambahan, yaitu VPH tipe 39, 58, 59, dan 68.
Express matrix VPH Kalgen merupakan alat pemeriksaan berbasis PCR dan
menggunakan hibridisasi dot blot untuk mengenali tipe VPH pada sampel
berdasarkan probe VPH spesifik. Alat ini mampu mengidentifikasi secara spesifik
15 VPH tipe risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66,
dan 68) dan 6 VPH tipe risiko rendah (6, 11, 42, 43, 44, dan 81). Pemeriksaan ini
telah disetujui oleh World Health Organization (WHO) untuk mendeteksi VPH.62
Pemeriksaan express matrix Kalgen mampu mendeteksi VPH 16 dan 18 dalam
konsentrasi DNA VPH 50 IU/ 5L dan VPH tipe lain dalam konsentrasi 500IU/
5L. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 100% dalam mendeteksi 21 tipe VPH
yang sudah disebutkan sebelumnya. Tidak ditemukan adanya reaktivitas silang
antar tipe VPH tersebut pada pemeriksaan express matrix VPH Kalgen.62
Cara pengambilan sampel untuk deteksi VPH oral dapat dilakukan dengan cara
biopsi oral, bilas mulut, dan cytobrush. Prevalensi infeksi VPH paling tinggi pada
sampel bilas mulut.19 Metode bilas mulut dapat mengumpulkan lebih banyak sel
dibandingkan dengan metode swab atau cytobrush karena bilas mulut dapat
mengambil sel dari seluruh permukaan rongga mulut dan faring. Dengan
demikian bilas mulut akan menghasilkan DNA VPH yang lebih banyak.20
Penelitian oleh Read dkk (2010) membandingkan metode pengambilan sampel
untuk deteksi VPH, bilas mulut memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan swab rongga mulut. Sensitivitas bilas mulut 97% sementara swab 32%.63
Bilas mulut merupakan sumber yang baik untuk mendapatkan DNA, metode ini
tidak invasif, tidak nyeri, tidak membutuhkan tenaga bantuan untuk
mengumpulkan sampel, dapat dilakukan dimana saja, kapanpun, dan cocok untuk
studi epidemiologi molekular.64
Universitas Indonesia
21
Universitas Indonesia
22
Universitas Indonesia
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Rancangan penelitian
Populasi penelitian
Universitas Indonesia
24
Keterangan:
n = jumlah sampel minimal
= tingkat penolakan, untuk =0,05 maka Z=1,96
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 7 %
p = prevalensi VPH oral pada pasien kondilomata akuminata 10,4%.6
q = 1-p
Besar sampel berdasarkan perhitungan:
n=
(1,96)2
x
0,104x0,896
=
73,05
~
73
(0,07)2
Kriteria penerimaan
25
Universitas Indonesia
26
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI
Jakarta.
3.7.4. Pemeriksaan spesimen
3.7.4.1. Alat dan bahan
1. Alat empar (sentrifugasi)
2. Pipet
3. Larutan lisis sel (cell lysis solution)
4. Puregene proteinase K
5. Alat vortifikasi
6. Isopropanol
7. Larutan glikogen
8. Kertas absorben
9. Etanol 70%
10. Batu es
11. Larutan hidrasi DNA
12. Tabung penyimpan
3.7.4.2. Cara pemeriksaan spesimen
1) Pemeriksaan untuk mengenali tipe VPH berbasis PCR dan hibridisasi dotblot, dengan menggunakan express matrix VPH Kalgen yang mampu
mengenali 15 VPH risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56,
58, 59,66, dan 6 tipe risiko rendah (6,11, 42, 43, 44, dan 81).
2) Tatacara pemeriksaan meliputi:
a. Ekstraksi DNA menggunakan Gentra Puregene Buccal Cell Kit.
Ditambahkan larutan sebanyak 1 mL pada endapan sel untuk melisiskan sel, lalu tabung dibolak-balikkan sebanyak 50 kali.
Universitas Indonesia
27
Sampel diinkubasi dalam es selama 10 menit, kemudian diempar dengan kecepatan 2000 x g selama 10 menit.
Isopropanol 1 mL dan larutan glikogen 2 l dimasukkan ke dalam tabung empar 50 ml dengan menggunakan pipet.
Supernatan dipindahkan ke dalam tabung berisi isopropanol dan glikogen. Selama proses ini sampel harus dalam keadaan terendam es.
Tabung berisi campuran supernatan, glikogen, dan isopropanol dibolak-balikkan sebanyak 50 kali, lalu diempar selama 5 menit dengan
kecepatan 2000 x g.
Dengan menggunakan kertas saring, supernatan dibuang dengan menyaring endapan sel.
Universitas Indonesia
28
PCR mix
22,25 l
DNA polymerase
0,25 l
Spesimen DNA
2,5 l
Lamanya
Jumlah siklus
95
15 menit
94
15 detik
40
55
30 detik
40
72
1 menit
40
72
5 menit
16
c. Hibridisasi dot-blot
Reagen
hibridisasi
ditambahkan
ke
dalam
bahan,
kemudian
29
Penafsiran hasil.
30
31
b. Homoseksual
c. Biseksual
b. Tidak menikah
c. Bercerai
Universitas Indonesia
32
b. Oroanal
b. Jarang
c. Sering
Risiko rendah
b.
Risiko tinggi
: 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66
Kedokteran
Universitas
Indonesia
dan
RSUPN
dr.
Cipto
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
34
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
Telah dilakukan pengumpulan sebanyak 75 SP dengan consecutive sampling.
Pengumpulan SP dilakukan sejak awal bulan April hingga akhir Mei 2014 di
Poliklinik Divisi Infeksi Menular Seksual (IMS) IKKK RSCM dan Klinik PKBI,
Jakarta. Pada seluruh SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pencatatan
status penelitian, dan pengambilan sampel bilas mulut untuk pemeriksaan
genotipe DNA VPH di Laboratorium Kalgen, Jakarta. Hasil penelitian disajikan
secara deskriptif dan dilakukan analisis hubungan antara frekuensi seks oral
dengan infeksi VPH di rongga mulut.
4.1. Karakteristik sosiodemografis subyek penelitian
Dari 75 SP, sebanyak 61 (81,3%) berjenis kelamin laki-laki dan 14 (18,7%)
adalah perempuan. Sebagian besar SP berumur lebih dari atau sama dengan 25
tahun dengan umur termuda 18 tahun dan umur tertua 43 tahun. Mayoritas subyek
laki-laki belum menikah sementara subyek perempuan sudah menikah.
Karakteristik sosiodemografis subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Laporan mengenai sebaran jenis kelamin pada pasien KA berbeda-beda antara
penelitian yang satu dengan yang lain. Penelitian oleh Sulistyaningrum (2013),
yang mengidentifikasi tipe VPH pada berbagai bentuk klinis KA di RSUPN. Dr.
Cipto Mangunkusumo, mendapatkan jumlah SP laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan (2,1:1).66 Sebuah studi insidens KA di Hongkong
melaporkan insidens KA pada laki-laki lebih tinggi (79,5%) daripada perempuan
(20,5%). Studi tersebut berdasarkan data dari dokter umum, spesialis kandungan,
dan spesialis kulit. Tingginya insidens KA pada laki-laki tersebut diduga
berhubungan dengan perilaku yang berisiko tinggi pada populasi laki-laki.67 Studi
lain di Jerman melaporkan data dari dokter spesialis kandungan, kulit dan
kelamin, serta urologi, melaporkan bahwa insiden KA pada perempuan lebih
tinggi (62%) dibandingkan dengan laki-laki (38%). Tingginya kasus KA pada
perempuan diduga karena genitalianya lebih mudah mengalami trauma saat koitus
Universitas Indonesia
35
Umur (tahun)
Status
Jenis Kelamin
N = 75
Laki-laki
Perempuan
(n=61)
(n=14)
< 25
17 (27,9%)
4 (28,6%)
21
28,0
25
44 (72,1%)
10 (71,4%)
54
72,0
Menikah
12 (19,7%)
11 (78,6%)
23
30,7
Belum menikah
48 (78,7%)
2 (14,3%)
50
66,6
Bercerai
1 (1,6%)
1 (7,1%)
2,7
Rendah
0 (0%)
0 (0%)
Menengah
38 (62,3%)
8 (57,1%)
46
61,3
Tinggi
23 (37,7%)
6 (42,9%)
29
38,7
pernikahan
Pendidikan
Universitas Indonesia
36
Mengenai status pernikahan, studi ini menemukan bahwa mayoritas subyek lakilaki belum menikah (78,7%) sementara subyek perempuan sudah menikah
(78,6%). Temuan ini juga sesuai dengan studi oleh Sulistyaningrum yang
mendapati sebagian besar SP belum menikah, yakni 57%.66 Pada penelitian ini
mayoritas subyek laki-laki belum menikah diduga karena orientasi seksualnya
sebagian besar adalah homoseksual. Hal ini bertentangan dengan hasil studi di
Irak pada 45 pasien KA laki-laki yang melaporkan bahwa mayoritas subyek sudah
menikah (71,1%), tetapi, studi tersebut tidak menyebutkan orientasi seksual
subyek penelitian.69
Perbedaan karakteristik sosiodemografis SP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI dapat dilihat pada tabel 4.2. Tidak ada perbedaan bermakna pada
karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, maupun status pernikahan
pada kedua lokasi penelitian.
Tabel 4.2 Perbedaan karakteristik sosiodemografis pasien kondiloma
akuminatum anogenital RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI
Jakarta, April-Mei 2014
Kelompok
Variabel
PKBI
RSCM
Total
(n = 10)
(n = 65)
(N = 75)
Nilai p
< 25
10
20
30,8
21
28
25
90
45
69,2
54
72
Laki-laki
10
100
51
78,5
61
81,3
Perempuan
14
21,5
14
18,7
Menikah
50
18
27,7
23
30,7
Tidak menikah
50
47
72.3
52
69,3
Rendah
Menengah
60
40
61,5
46
61,3
Tinggi
40
25
38,5
29
38,7
Jenis kelamin
0,192*
Status pernikahan
0,145**
Pendidikan
1,000***
Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, *) uji Fischer, **) uji Chi-Square, ***)
Uji Kolmogorov-Smirnov
Universitas Indonesia
37
Lokasi lesi
Tipe lesi
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
(n=61)
(n=14)
4 (6,6%)
0 (0%)
5,3
Genital
18 (29,5%)
10 (71,4%)
28
37,3
Anal
33 (54,1%)
1 (7,14%)
34
45,4
Anogenital
6 (9,8%)
3 (21,4%)
12,0
4 (6,6%)
0 (0%) 50%
5,3
Klasik
35 (57,4%)
7 (50,0%)
42
56
Non-klasik
20 (32,8%)
5 (35,7%)
25
33,4
Campuran
2 (0,6%)
2 (14,3%)
5,3
Terdapat perbedaan karakteristik lokasi lesi antara laki-laki dan perempuan. Pada
laki-laki, lesi terbanyak di daerah anal (54,1%), sedangkan mayoritas lesi pada
perempuan ditemukan pada genital (71,4%). Perbedaan lokasi lesi ini diduga
akibat cara hubungan seks semua SP perempuan ialah genitogenital sehingga
tidak ditemukan lesi KA pada daerah anal. Karakteristik KA ini dapat dilihat pada
tabel 4.3. Penelitian oleh Sulistyaningrum juga mendapatkan temuan serupa yaitu,
lokasi terbanyak lesi KA pada laki-laki di area anal dan batang penis, sementara
pada perempuan lebih banyak di daerah genital dibandingkan anal.66 Hal ini juga
sesuai dengan studi oleh Kofoed dkk. di Kopenhagen yang melaporkan bahwa lesi
Universitas Indonesia
38
PKBI
RSCM
Total
Nilai p
(n = 10)
(n = 65)
(N = 75)
Genital
40
24
36,9
28
37,3
Anal
40
30
46,2
34
45,3
Anogenital
10
12,3
12,0
10
4,6
5,3
Klasik
70
35
53,8
42
56
Non-Klasik
20
23
35,4
25
33,4
Campuran
6,2
5,3
10
4,6
5,3
Lokasi Lesi
1,000**
Tipe lesi
0,209***
Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, **) uji Chi-Square, ***)
Uji Kolmogorov-Smirnov
Semua
39
subyek
perempuan
dalam
penelitian
ini
mempunyai
orientasi
heteroseksual. Hal ini sejalan dengan penelitian di Sao Paolo pada 977 perempuan
terinfeksi
VPH,
yang
melaporkan
bahwa
99,06%
subyek
berorientasi
Universitas Indonesia
40
Jenis Kelamin
N=75
Laki-laki
Perempuan
(n=61)
(n=14)
Heteroseksual
16 (26,2%)
14 (100%)
30
40,0
Homoseksual
33 (54,1%)
0 (0%)
33
44,0
Biseksual
12 (19,7%)
0 (0%)
12
16,0
Tidak melakukan
24 (39,3%)
5 (35,7%)
29
38,7
bulan terakhir
< 1x/minggu
27 (44,3%)
5 (35,7%)
32
42,7
1x/minggu
10 (16,4%)
4 (28,6%)
14
18,6
Orogenital
30 (49,2%)
13 (92,9%)
43
57,3
Oroanal
1 (1,6%)
0 (0%)
1,3
Keduanya
22 (36,1%)
0 (0%)
22
29,3
Tidak keduanya
8 (13,1%)
1 (7,1%)
12,0
Positif
22 (36,1%)
4 (28,6%)
26
34,7
Negatif
17 (27,9%)
2 (14,3%)
19
25,3
Belum diperiksa
22 (36,1%)
8 (57,1%)
30
40,0
Orientasi seks
Status HIV
41
PKBI
RSCM
Total
Nilai p
(n = 10)
(n = 65)
(N = 75)
Heteroseksual
70
23
35,4
30
40
Homoseksual
20
31
47,7
33
44
Biseksual
10
11
16,9
12
16
Tidak melakukan
60
23
35,4
29
38,7
< 1x/minggu
40
28
43,1
32
42,7
1x/minggu
14
21,5
14
18,7
40
39
60
43
57,3
Orogenital
1,5
1,3
Oroanal
30
19
29,2
22
29,3
Keduanya
30
9,2
12,0
Positif
40
22
33,8
26
34,7
Negatif
40
15
23,1
19
25,3
Belum diperiksa
20
28
43,1
30
40,0
Orientasi seks
0,250***
0,816***
Tidak keduanya
Status HIV
0,745***
Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, ***) Uji KolmogorovSmirnov
Universitas Indonesia
42
Karakteristik orientasi seks, cara hubungan seks oral, frekuensi seks oral 4 bulan
terakhir, dan status HIV SP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta tidak berbeda bermakna (tabel 4.6).
4.4. Hasil Pemeriksaan VPH Oral
Pada semua SP, dilakukan pemeriksaan genotipe DNA VPH yang berasal dari
bilasan mulut. Ditemukan VPH oral pada 7 SP (9,3%), terdiri atas genotipe risiko
rendah (3 subyek), risiko tinggi (3 subyek), dan keduanya (1 subyek). Proporsi
VPH oral pada pasien KA anogenital pada penelitian ini tidak sebanyak penelitian
oleh Koefoed, dkk (2009). Penelitian tersebut mendapatkan proporsi sedikit lebih
tinggi yakni, 10,4% dari 182 SP.6 Faktor risiko terinfeksi VPH diperkirakan
membedakan banyaknya kasus VPH oral di Kopenhagen dengan penelitian ini.
Enam dari tujuh SP (85,72%) yang terdeteksi memiliki VPH pada rongga
mulutnya berjenis kelamin laki-laki, hal ini sesuai dengan penelitian Koefoed
yang mendapatkan proprosi VPH oral lebih banyak pada laki-laki dibandingkan
perempuan, yakni 12,1% berbanding 6,9%.6 Sebagian besar SP dengan VPH oral
berorientasi homoseksual (42,9%) dan biseksual (28,6%). Penelitian VPH oral
pada LSL oleh Read dkk (2010), mendapatkan proporsi VPH oral sebesar 13%
(65 dari 500 SP).63 Data tersebut memperlihatkan proprosi VPH oral yang cukup
tinggi pada kelompok LSL, sejalan dengan hasil penelitian ini yang mendapatkan
sebagian besar SP dengan hasil VPH oral positif berorientasi homoseksual dan
biseskual. Literatur lain mengatakan orientasi seksual memiliki hubungan dengan
kejadian infeksi VPH yang diteliti pada 4072 laki-laki. Penelitian yang sama
menunjukkan bahwa status menikah dapat mengurangi risiko tertular VPH oral.18
Sesuai dengan hasil penelitian,VPH oral lebih banyak didapatkan pada kelompok
SP yang belum menikah.
Dari 7 SP dengan VPH oral, 2 di antaranya terinfeksi HIV, 1 SP VPH oral tidak
terinfeksi HIV, dan 4 SP lainnya belum diperiksa status HIV. Orang dengan status
HIV positif akan lebih mudah terinfeksi VPH oral.43 Penelitian oleh Mooij (2013)
pada kelompok LSL dengan infeksi HIV juga mendapatkan proporsi VPH oral
Universitas Indonesia
43
disimpulkan karena sebagian besar (4 dari 7 SP) belum diperiksa status HIV.
Tabel 4.7 Hasil pemeriksaan VPH oral pasien kondiloma akuminatum
anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta,
April-Mei 2014
Karakteristik subyek
Usia
Jenis kelamin
Pendidikan
Status pernikahan
Orientasi seksual
VPH Oral
N=
negatif
75
Risiko
Risiko
Campura
rendah
tinggi
(n =68)
(n=3)
(n=3)
(n=1)
< 25 tahun
2 (28,58)
0 (0%)
0 (0%)
19 (27,9%)
21
28
25 tahun
1 (14,28%)
3 (42,86%)
1 (14,28%)
49 (72,1%)
54
72
Laki-laki
3 (42,86%)
2 (28,58%)
1 (14,28%)
55 (80,8%)
61
81,3
Perempuan
0 (0%)
1 (14,28%)
0 (0%)
13 (19,2%)
14
18,7
Rendah
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
Menengah
1 (14,28%)
1 (14,28%)
1 (14,28%)
43 (63,24%)
46
61,3
Atas
2 (28,58%)
2 (28,58%)
0 (0%)
25 (36,76%)
29
38,7
Menikah
0 (0%)
1 (14,28%)
0 (0%)
22 (32,35%)
23
30,7
Belum menikah
3 (42,86%)
2 (28,58%)
1 (14,28%)
44 (64,71%)
50
66,6
Bercerai
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
2 (2,94%)
2,7
Heteroseksual
0 (0%)
2 (28,58%)
0 (0%)
28 (41,17%)
30
40
Homoseksual
2 (28,56%)
1 (14,28%)
0 (0%)
30 (44,12%)
33
44
Biseksual
1 (14,28%)
0 (0%)
1 (14,28%)
10 (14,71%)
12
16
Orogenital
2 (28,56%)
2 (28,56%)
1 (14,28%)
38 (55,88%)
43
57,3
Oroanal
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
1 (1,47%)
1,3
Keduanya
1 (14,28%)
1 (14,28%)
0 (0%)
20 (29,41%)
22
29,4
Tidak keduanya
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
9 (13,24%)
12
Tidak melakukan
0 (0%)
2 (28,56%)
0 (0%)
27 (39,71%)
29
38,7
< 1x/minggu
1 (14,28%)
1 (14,28%)
1 (14,28%)
29 (42,65%)
32
42,7
1x/minggu
2 (28,56%)
0 (0%)
0 (0%)
12 (17,64%)
14
18,7
Positif
0 (0%)
1 (14,28%)
1 (14,28%)
24 (35,29%)
26
34,7
Negatif
0 (0%)
1 (14,28%)
0 (0%)
18 (26,47%)
19
25,3
Belum diperiksa
3 (42,86%)
1 (14,28%)
0 (0%)
26 (38,24%)
30
40
Status HIV
Pada penelitian ini VPH oral terdeteksi pada 3 dari 7 SP (42,84%) yang
melakukan seks oral kurang dari 1 kali per minggu dan 2 dari 7 SP (28,56%) yang
terdeteksi VPH, tetapi tidak melakukan seks oral sama sekali dalam 4 bulan
terakhir. Penelitian Edelstein menyatakan frekuensi seks oral berhubungan dengan
infeksi VPH di rongga mulut, namun penelitian lainnya oleh Kreimer dkk (2007)
Universitas Indonesia
44
dan Ragin dkk (2011) mendapatkan hasil penelitian yang bisa dikatakan
berbeda.18,
76
dengan infeksi VPH oral.18 Ragin dkk, yang meneliti VPH oral pada wanita,
mendapatkan sebagian besar SP yang terdeteksi VPH oral tidak memiliki riwayat
hubungan seks oral.76 Hasil yang bervariasi ini dapat menunjukkan kemungkinan
adanya faktor lain yang dapat berhubungan dengan infeksi VPH di rongga mulut.
Data VPH oral dapat dilihat pada tabel 4.7.
4.5. Hubungan Frekuensi Seks Oral dan VPH Oral
Frekuensi seks oral dikategorikan menjadi tidak melakukan, kurang dari
1x/minggu, dan lebih dari atau sama dengan 1x/minggu. Hubungan frekuensi seks
oral dan VPH oral dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov karena tabel
yang akan digunakan adalah 2xK dan syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi.
Pada kelompok yang tidak melakukan seks oral terdapat 2 SP (6,9%) dengan VPH
oral, pada kelompok yang melakukan seks oral < 1 kali per minggu terdapat 3 SP
(9,4%) VPH oral, dan pada kelompok yang melakukan seks oral 1 kali per
minggu terdapat 2 SP (14,3%) dengan VPH oral. Hasil perhitungan statistik, tidak
terdapat perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP berdasarkan
frekuensi seks oral.
Tabel 4.8 Hubungan frekuensi seks oral dan VPH Oral pada pasien
kondiloma akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014
Frekuensi Seks
oral
VPH Oral
Uji statistik
Nilai
Interpretasi
Positif
Negatif
n=7
n=68
Tidak melakukan
2 (6,9%)
27 (93,1%)
Kolmogorov
< 1x/minggu
3 (9,4%)
29 (90,6%)
-Smirnov
1x/minggu
2 (14,3%)
12 (85,7%)
1,000
Tidak
bermakna
Universitas Indonesia
45
Penelitian yang menghubungkan infeksi VPH oral dengan frekuensi seks belum
banyak dilakukan. Umumnya membandingkan dengan jumlah pasangan seks
oral.10-12, 20, 63 Pada penelitian Edelstein, dkk menunjukan hubungan infeksi VPH
di rongga mulut dengan frekuensi seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan
jumlah pasangan seks oral (nilai p < 0,05).17 Pada penelitian ini sebagian besar SP
jarang melakukan seks oral, 42,84 % melakukan hanya <1x/minggu dan 28,56%
SP tidak melakukan sama sekali (dapat dilihat pada tabel 4.5). Hal ini mungkin
dapat menjelaskan jumlah proporsi VPH oral yang rendah pada penelitian ini.
Terdapat penelitian lain oleh Kreimer dkk (2007) yang juga menilai hubungan
frekuensi seks oral (dalam 6 bulan terakhir) dengan infeksi VPH oral, namun
hasilnya tidak bermakna secara statistik.18 Hubungan frekuensi seks oral dan VPH
oral dapat dilihat pada tabel 4.8.
4.6 Genotipe VPH oral pasien kondiloma akuminatum anogenital
Dari literatur, lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe VPH, di
antaranya VPH 2, 4, 6,11,13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Penelitian Koefoed dkk (2013)
dan beberapa penelitian lainnya mendapatkan tipe VPH yang paling sering
ditemukan dari bilasan mulut adalah tipe 16.6 Penelitian pada kelompok LSL juga
mendapatkan tipe VPH tersering adalah tipe 16 (13%) dari total VPH oral positif
pada 65 sampel. Penelitian Edelstein mendapatkan hasil VPH oral terbanyak juga
tipe 16 (2,8%) diikuti VPH 18 sebanyak 2,4%. Pada penelitian ini hasilnya
berbeda, tipe VPH oral terbanyak adalah VPH 11 (risiko rendah) pada 4 SP
(42,9%), baik ditemukan sendiri atau bersama tipe lainnya. Tipe terbanyak kedua
adalah tipe risiko tinggi, yakni tipe 18 yang ditemukan pada 2 SP. Sebuah studi
menunjukkan peran topografi pada prevalensi VPH di mukosa rongga mulut,
maksudnya adalah satu area mukosa rongga mulut berhubungan dengan tipe VPH
tertentu. VPH tipe 18 lebih sering ditemukan di mukosa labia oris bagian bawah
sedangkan tipe 11 tidak didapatkan pada penelitian tersebut.77 Data VPH oral di
Indonesia belum pernah ada, sementara data VPH pada lesi KA genital, yang
dilakukan oleh Sulistyaningrum (2012-2013), mendapatkan tipe VPH paling
banyak adalah tipe 11.66 Data mengenai genotipe VPH oral SP dapat dilihat pada
tabel 4.9.
Universitas Indonesia
46
Tabel 4.9 Genotipe VPH oral yang ditemukan pada pasien kondiloma
akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta, April-Mei 2014
Genotipe
11
14,3
6 dan 11
14,3
11 dan 43
14,3
11 dan 51
14,3
18
28,5
58
14,3
Ket: n=jumlah SP
Universitas Indonesia
47
BAB 5
IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN
5.1. Ikhtisar
Virus Papiloma Humanus (VPH) merupakan penyebab penyakit infeksi menular
seksual (IMS) yang sering ditemukan di dunia. VPH tipe mukosa dapat
menginfeksi mukosa laring, traktus respiratorius, anus, uretra, kandung kemih,
traktus genitalia wanita, dan oral.1 VPH menyumbang 5,2% dari keseluruhan
penyebab keganasan pada manusia, antara lain keganasan orofaring.2 Kajian
epidemiologik di Swedia dan Denmark menunjukkan insidens keganasan oral dan
anal masing-masing mencapai 10 dan 4 kali lebih tinggi pada pasien kondiloma
akuminata genitalia dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki kondiloma
genitalia. Kajian prevalensi VPH oral pada pasien KA di Kopenhagen
menunjukkan prevalensi sebesar 10,4% dan terdapat kesesuaian tipe dengan VPH
pada lesi kutil genital sebesar 60,9%.6
Penelitian oleh Edelstein (2008-2010) menunjukan frekuensi seks oral lebih
bermakna dibandingkan dengan jumlah pasangan seks oral seumur hidup.
Individu yang melakukan seks orogenital 1 kali atau lebih setiap minggu
dibandingkan dengan yang melakukan orogenital kurang dari 1 kali setiap
minggu, memiliki insidens infeksi VPH yang lebih tinggi. Hubungan seks
orogenital dengan frekuensi yang sering selama 4 bulan terakhir berhubungan
bermakna dengan insidens infeksi VPH oral. Orang yang melakukan seks oral
lebih dari 1 kali per minggu akan memiliki kemungkinan mendapatkan infeksi
VPH oral 4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang melakukan seks oral
kurang dari 1 kali per minggu.17
48
dan klinik PKBI di Jakarta. Subyek yang diikutsertakan pada penelitian sudah
melalui seleksi kriteria penerimaan. Pada seluruh subyek dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan genotipe VPH dari bilasan mulut. Sampel
diambil dengan cara kumur-kumur menggunakan cairan Listerine selama 30
detik, lalu ditampung ke dalam tabung sentrifugasi. Tabung selanjutnya dibawa ke
laboratorium Kalgen, Jakarta untuk diproses lebih lanjut.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik sosiodemografi subyek penelitian
Dari 75 SP, sebanyak 81,3% berjenis kelamin laki-laki dan 18,7% adalah
perempuan. Sebagian besar subyek, yaitu 72%, berusia lebih dari atau
sama dengan 25 tahun. Mayoritas subyek laki-laki (78,7%) belum menikah
sementara subyek perempuan sudah menikah (78,6%). Tidak ada
perbedaan bermakna pada karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, maupun status pernikahan pada kedua lokasi penelitian.
2. Karakteristik Kondiloma Akuminatum pada Subyek Penelitian
Semua pasien yang diikutsertakan pada penelitian ini menderita KA. Di
antaranya terdapat 4 SP sudah sembuh dari KA pada saat penelitian
berlangsung. Pada subyek laki-laki maupun perempuan, mayoritas lesi KA
bertipe klasik (56%). Akan tetapi terdapat perbedaan karakteristik lokasi
lesi antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, lesi terbanyak terdapat
pada anal (54,1%), sedangkan mayoritas lesi pada perempuan ditemukan
pada genital (71,4%).
3. Orientasi seks, perilaku seks dan status HIV subyek penelitian
Semua subyek perempuan dalam penelitian ini mempunyai orientasi
seksual heteroseksual. Sementara itu, mayoritas subyek laki-laki
berorientasi seksual homoseksual (54,1%).
Pada karakteristik hubungan seks oral, subyek penelitian dianamnesis
tentang cara hubungan seks oral dan frekuensi hubungan seks oral dalam 4
Universitas Indonesia
49
Universitas Indonesia
50
Universitas Indonesia
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Androphy E, Kirnbauer R. Human Papiloma Virus. In: Goldsmith LA, Stephen
IK, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K. Dermatology in General
Medicine. 8th ed. US: Mc Graww Hill Companies; 2012: 2421-33
2. Chung C. Epidemilogy of oral human papilomavirus infection. Oral Oncol.
2013:1-6, http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2013.09.003
3. Hong A, Girlich A, Jones D, et al. Oropharyngeal cancer australian data show
increase. Br Med J. 2010;340:c2518.
4. Kreimer A, Clifford G, Boyle P, et al. Human papilomavirus types in head and
neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer
Epidemiol Biomarkers Prev. 2005;14:467-75.
5. D'Souza G, Kreimer A, Viscidi R, et al. Case-control study of human
papilomavirus and oropharyngeal cancer. New Engl J Med. 2007;356:194456.
6. Koefoed K, Sand C, Forslund O, et al. Prevalence of human papilomavirus in
anal and oral sites among patients with genital warts. Acta Derm Venereol.
2013;94:1-5.
7. Friis S, Kjaer S, Frisch M, et al. Cervical intraepithelial neoplasia, anogenital
cancer, and other cancer types in women after hospitalization for
condylomata acuminate. J Infect Dis. 1997;175:743-48.
8. Nordenvall C, Cjang E, Adami H, et al. Cancer risk among patients with
condylomata ccuminata. Int J Cancer. 2006;119:888-93.
9. Feller L, Kharisma R, Wood N, et al. Epithelial maturation and molecular
biology of oral HPV. Infectious agents and cancer. 2009;4:16-25.
10. Kuhs KAL, Gonzales P, Struijk L, et al. Prevalence of and risk factors for
human papilomavirusn among young women in Costa Rica. The Journal of
Infectious Disease 2013;208:1643-52.
11. Pickard R, Xiao W, Broutian T, et al. The prevalence and incidence of oral
human papilomavirus infection among young men and women, aged 18-30
years. Sex Transm Dis. 2012;39:559-66.
12. Gillison M, Broutian T, Pickard R, et al. Prevalnce of oral HPV infection in
The United States, 2009-2010. JAMA. 2012;307(7):693-703.
13. Kreimer A, Villa A, Nyitray A, et al. The epidemilogy of oral HPV infection
among a multinational sample of healthy men. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev. 2011;20:172-82.
14. Indriatmi W. Epidemiologi infeksi menular seksual di Indonesia. Symposium
Sexually Transmitted Infections a Rising Corner 2012, confrence proceeding,
15-16 September 2012 Hotel Crown Plaza-Semarang, Indonesia. 2012.
15. Termine N, Giovanelli L, Matrangga D, et al. Oral human papilomavirus
infection in women with cervical HPV infection: New data from an italian
cohort and mtanalysis of the literature. Oral Oncol.2011;47:244-50.
16. Crawford R, Grignon A, Kitson S, et al. High prevalence of HPV in non
cervical sites of women with abnormal cervical citology. BMC Cancer.
2011;11:473.
17. Edelstein Z, Schwartz S, Hawes S, et al. Rates and determinants of oral human
papilomavirus among young men. Sexually Transm Dis. 2012;39:860-7.
Universitas Indonesia
52
18. Kreimer A, Campbell CP, Lin H. Incidence and clearance of oral human
papilomavirus infection in men: the HIM cohort. Lancet.
2013;382(9895):877-87.
19. D'Souza G, Sugar E, Ruby W, et al. Analysis of the effect of DNA
purification on detection of human papilomavirus in oral rinse samples by
PCR. Journal of Clinical Biology. 2005;43:5526-35.
20. Mooij SH, Boot HJ, Speksnijder AG, et al. Oral human papilomavirus
infection in HIV-negative and HIV infected MSM. AIDS. 2013;27:2117-28.
21. Kusmarawasmy K, Vidhya M. Human papilomavirus and oral infections: An
Update. Journal of cancer research and theurapetics 2011;7:120-7.
22. Begum S, Guillison M, Nico T, et al. Detection of human papilomavirus 16 in
fine needle aspiration to determine tumor origin in patients with metastatic
squamous cell carcinoma of the head and neck. Clinical Microbiology
Reviews. 2007;13:1186-91.
23. Castle P. Human papilomavirus in oral exfoliated cells and risk of head and
neck cancer. Journal of The National Cancer Institute. 2004;96:1181-3.
24. Castro T, Bussoloti I. Prevalence of human papilomavirus in oral ciavity and
orofaring. revista Brasileira de Otorralingologia. 2006;72:272-82.
25. Vet J, Boer Md, Akker BVd, et al. Prevalence of human papilomavirus in
Indonesia: a population based study in three regions. British Journal of
Cancer. 2008;99:214-8.
26. Fernandez AM, Rosete D, Pedraza S, et al. Low and high risk human
papilomavirus in the oral mucosa pf mexican women with genital
papilomavirus. Open Journal of Medical Microbiology. 2013;3:62-9.
27. Gillison M, Koch W, Capone R. Evidence for causal association between
human papilomavirus and a subset of head and neck cancers. J Natl Cancer
Inst. 2000;92:709-20.
28. Longworth M, Laimins L. Pathogenesis of human papilomavirus in
differentiating epithelia. Microbiol Mol Biol Rev. 2004;68:362-72.
29. Doorbar J. The papilomavirus life cycle. J Clin Virol. 2005;32:s7-15.
30. Scheurer M, Tortolero-Luna G, Adler-Strothz K. Human papiloma virus
infection: biology, epidemiology, and prevention. Int J Gynecol Cancer.
2005;15:727-46.
31. Rose R, Stoler M. Biology. In: Bonnez W. Guideline to genital disease and
prevention. New York: Informa Healthcare. 2009:1-16
32. Koutsky L, Ault K, Wheeler C. A controlled trial of a human papilomavirus
tyoe 16 vaccine. N Engl J Med. 2002;347:1645-51.
33. Mayeux E, Dunton C. Modern management of external genital warts. J Low
Genit Tract Dis. 2008;12(3):185-92.
34. Stanley M. Epithelial cell responses to infection with human papilomavirus.
Clin Microbiol Rev 2012;25920:215.
35. Beachler D, D'Souza G, Sugar E. Differencess in oral and anal HPV natural
history among HIV infected individuals. proceedings of the 28th international
papilomavirus conference. 2012:213.
36. Gravit P. The known unknowns of HPV natural history. J Clin Invest.
2011;121:4593-9.
37. D'Souza G, Dampsey A. The role of HPV in head and neck cancer and review
of the HPV vaccine. Prev Med. 2011;53:s5-11.
Universitas Indonesia
53
54
58. CDC. Sexually transmitted disease treatment guidelines 2010. Morb Mortal
Wkly Rep. 2010;59(RR-12):70-4.
59. Wiley D, Dpuglas J, Beutner K, et al. External genital warts:diagnosis,
treatment, and prevention. Clin Infect Disease. 2002;35(2 suppl):s210-24.
60. Juckett G, Hartman-adams. Human papilomavirus: clinical manifestation and
prevention. Am Fam Physician. 2010;15:1209-14.
61. Bonnez W, Toy E. Therapy. In: Bonnez W. Guide to genital disease and
prevention. New York: Informa Healthcare, 2009:45-58
62. HPV express matrix test kit user manual. In matrix He, (Ed) 2011:1-15.
63. Read T, Hocking J, Vodstrci L, et al. Oral human papilomavirus in men
having sex with men: risk factors and smapling. Plos One.
2012;7(11):e49324.
64. Lucky MH, Baig S. Isolation of DNA from oral rinse in HPV positive
patients. Journal of College of Physicians and Surgeons Pakistan.
2013;23(7):455-8.
65. Zubier F. Kondiloma Akuminata. In: Daili SF, Makes WIB, Zubier F,
Judanarso. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005:146-58
66. Sulistyaningrum S. Identifikasi Tipe Human Papilomavirus pada Berbagai
Bentuk Klinis Kondiloma Akuminatum di Rumah Sakit Umum Pusat
NAsional Dr. Cipto Mangunkusumo. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Universitas Indonesia 2013.
67. Lin C, Ho KM, Tsui HY, et al. Incidence of genital warts among Hongkong
general adult population. BMC Infect Dis. 2010;10:272-7.
68. Hillemanns P, Breugelmans J, Gieseking F, et al. Estimation of the incidence
of genital warts and teh cost of illness in germany: A cross-sectional study.
BMC Infect Dis (cited 2014 Jun 14). 2008;8:(10 screens).
69. Khalis BA, Abdul-Jabbar MA-S, Sherzad AI. Clinical and epidemiological
patterns of anogenital warts among male patients in Erbil city, Iraq. Ann Coll
Med Mosul. 2012;38(2):28-34.
70. Javidi Z, Maleki M, MAshayekhi V, et al. epidemiological evaluation of
patients with anogenital warts referred to dermatology clinic of Imam-Reza
Hospital in Mashhad. IJD. 2008;11(1):25-9.
71. Gaspar J, Gir E RR, Alreido Md, et al. Sociodemographic and clinical factors
and their asscociation with the type of lesion caused by human papiloma
virus. J Antivir Antiretrovir. 2013;5:113-8.
72. Mlakar B. Proctoscopy should be mandatory in men that have sex with men
with external anogenital warts. Acta Dermatoven APA. 2009;18 (1):7-11.
73. Sung J, Ahn E, Oh H-K, et al. Association of immune status recurrent anal
condyloma in human immunodeficiency virus positive patients. J Korean Soc
Colproctol. 2012;28(6):294-8.
74. Mayer KH. Sexually transmitted disease in men who have sex with men. CID.
2011;53(suppl 3):s79-83.
75. Griensven Fv, Wijngaarden HdLv. A review of the epidemiology of HOV
infection and prevention responses among MSM in Asia. AIDS.
2010;24(Suppl3):s30-40.
76. Ragin C, Edwarsd R, LArkins-Pettigrew M, et al. Oral HPV infection and
sexuality: A cross-sectional study in women. Int J Mol Sci. 2011;12:3928-40.
Universitas Indonesia
55
Universitas Indonesia
56
57
RSCM
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro No.71Jakarta 10430
Telp (021) 3918301 Fax (021)3148991
NRM
Nama
Jenis
Kelamin
Tanggal
lahir
:
:
:
:
Pemberi Informasi
Penerima Informasi
Nama Subyek
Tanggal lahir
Jenis Kelamin
Alamat
No Telp (HP)
:
:
:
:
:
JENIS
INFORMASI
ISI INFORMASI
TANDAI
1.
Judul Penelitian
2.
Tujuan Penelitian
3.
Metode
Penelitian
4.
Universitas Indonesia
58
5.
Manfaat
Penelitian
termasuk manfaat
bagi subyek
penelitian
6.
Prosedur
Penelitian
7.
Ketidaknyamanan
Rasa pedas saat berkumur
subyek penelitian
8.
Alternatif
penelitian
9.
Penjagaan
kerahasiaan
10.
Kompensasi bila
terjadi efek
samping
Tidak Ada
11.
12
Jumlah Subyek
Minimal 73 orang
Universitas Indonesia
59
13
Bahaya potensial
Tidak Ada
14.
15.
Biaya yang
timbul
Insentif bagi
subyek
______________________
Tanda tangan Subyek & Nama
_______________________
Tanda tangan Saksi & Nama
__________________
Tanggal
__________________
Tanggal
Ket: Tanda tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran,
mengalami gangguan jiwa, dan berusia di bawah 18 th.
Universitas Indonesia
60
Saya telah menjelaskan kepada Subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur dan faktor risiko, serta ketidaknyamanan
yang mungkin timbul ( penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang saya tandai di
atas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan
sebaik-baiknya.
__________________
_______________
Tanggal
Universitas Indonesia
61
Lampiran 3
PENYARINGAN SUBYEK PENELITIAN
Kriteria penerimaan subyek penelitian
(Beri tanda )
Ya
Tidak
Laki-laki/ Perempuan
Kondiloma akuminatum
Usia 18-60 tahun
Bersedia menjadi subyek penelitian dan
menandatangani surat persetujuan penelitian setelah
diberi penjelasan (informed consent).
Jika ada jawaban tidak, maka pasien tidak memenuhi kriteria untuk mengikuti
penelitian.
Kesimpulan
( ) Pasien memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian
( ) Pasien tidak memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian
Universitas Indonesia
62
I. IDENTITAS
1. Nomor urut penelitian
2. Usia
: . Tahun
3. Tingkat Pendidikan
4. Jenis kelamin
: (1) Laki-laki
(2) Perempuan
(3) Waria
4. Orientasi seksual
: (1) Heteroseksual
(2) Homoseksual
(3) Biseksual
5. Status pernikahan
: (1) Menikah
(2) Belum menikah
(3) Bercerai
6. Status HIV
: (1) Positif
(2) Negatif
(3) Belum pernah diperiksa
II. ANAMNESIS
1. Apakah SP baru saja makan atau minum dalam 1 jam terakhir?
a. Ya
b. Tidak
2. Cara melakukan hubungan seks oral:
a. Orogenital
b. Oroanal
c. Keduanya
d. Tidak Keduanya
Universitas Indonesia
63
: (1) Genital
(2)Anal
: .....................
: (1) Klasik
(2) Non-Klasik
: (1) Positif
(2) Negatif
Ket:
#) tidak melanjutkan ke pertanyaan berikutnya
*) melanjutkan ke no 9 jika lesi kondiloma akuminatum tipe non-klasik
Universitas Indonesia
64
Universitas Indonesia
65
Universitas Indonesia
66
Keterangan:
Jenis kelamin
1=laki-laki
2=perempuan
Orientasi seksual
1=heteroseksual
2=homoseksual
3=biseksual
Status
1=belum menikah
2=menikah
3=bercerai
HIV
1=negatif
2=positif
3=belum pernah diperiksa
Cara hubungan seksual
1=orogenital
2=oroanal
3=keduanya
4=tidak keduanya
Frekuensi hubungan seksual
1=tidak melakukan
2=kurang dari 1 kali perminggu
3=lebih dari sama dengan 1 kali perminggu
Lokasi lesi
1=genital
2=anal
3=anogenital
4=tidak ada
Tipe lesi
1=klasik
2=non-klasik
3=campuran
4=tidak ada
Genotip HPV
1=genotip resiko rendah
2=genotip resiko tinggi
3=campuran
4=tidak ditemukan HPV
HPV
1=ditemukan HPV
2=tidak ditemukan HPV
Lokasi subjek
1=PKBI
2=RSCM
Kategori usia
1=<25
2=25
Pendidikan
1=SMP
2=SMU/SMK
3=D1
4=D3
5=S1
Tingkat pendidikan
1=rendah
2=menengah
3=tinggi
Universitas Indonesia
67
Universitas Indonesia