Anda di halaman 1dari 85

UNIVERSITAS INDONESIA

Proporsi Virus Papiloma Humanus Oral


dan Hubungannya dengan Frekuensi Seks Oral
pada Pasien Kondiloma Akuminatum Anogenital

TESIS
Cut Natya Rucitra
0906647356

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
JAKARTA
Juli, 2014

UNIVERSITAS INDONESIA
Proporsi Virus Papiloma Humanus Oral
dan Hubungannya dengan Frekuensi Seks Oral
pada Pasien Kondiloma Akuminatum Anogenital

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kulit dan Kelamin

Cut Natya Rucitra


0906647356

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
JAKARTA
Juli, 2014

Universitas Indonesia

ii

Universitas Indonesia



UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulillahirabbilalamin. Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas rahmat, karunia, serta hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat saya
selesaikan.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis dan
dalam menyusun tesis ini. Selain itu, dengan segala kerendahan hati saya juga
menyampaikan permohonan maaf atas semua kesalahan saya selama menjalani
pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta.
Terimakasih sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Dr. dr. Ratna Sitompul,
Sp.M(K) sebagai Dekan FKUI saat ini, dan Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Sp.U(K)
sebagai Direktur Utama RSCM Jakarta periode terdahulu dan Dr. dr. C. H.
Soejono, Sp.PD-K.Ger, M.Epid, FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama
RSCM Jakarta saat ini atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk
menjalani pendidikan dokter spesialis di Departemen IKKK FKUI-RSCM Jakarta.
Terimakasih saya ucapkan kepada Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K) atas
kesediannya menerima saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
(PPDS) semasa beliau menjabat sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM
dan untuk Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat ini, dr. Shannaz Nadia
Yusharyahya, Sp.KK, MHA selaku Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat
ini. Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh staf pengajar Departemen IKKK
FKUI-RSCM Jakarta yang telah memberikan bimbingan, mengajarkan ilmu-ilmu
berharga kepada saya, dan terimakasih untuk rasa kasih sayang dari para staf
pengajar yang selalu menyertai selama masa pendidikan.

iii

Universitas Indonesia

Ucapan terimakasih dan hormat yang sebesar-besarnya, saya haturkan kepada


Prof. dr. Kusmarinah Bramono, Sp.KK (K), PhD selaku Ketua Program PPDS
IKKK FKUI, selaku anggota Panitia Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI RSCM,
dan sebagai penguji usulan penelitian saya. Beliau telah memberikan dukungan
penuh, motivasi, dan kepercayan kepada saya untuk segera menyelesaikan masa
pendidikan spesialis di Departemen IKKK FKUI-RSCM. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan Beliau dengan kebaikan yang lebih baik lagi. Tak lupa juga
saya ucapkan terima kasih kepada dr. Larisa Paramitha, Sp.KK selaku Sekretaris
Program PPDS IKKK FKUI-RSCM saat ini.
Rasa terimakasih yang tak terkira serta ungkapan rasa hormat saya haturkan
kepada DR.dr. Aida Suriadiredja, SpKK(K) dan dr. Hanny Nilasari, Sp.KK selaku
pembimbing tesis. Di tengah kesibukannya masih mau menyediakan waktu dan
tenaga untuk membimbing saya selama penyusunan usulan penelitian, proses
pengumpulan subyek penelitian, sampai dengan penyusunan makalah tesis. Rasa
terimakasih juga saya tujukan untuk dr. Setyawati Budiningsih, MPH selaku
pembimbing

statistik

yang

telah

meluangkan

banyak

waktunya

untuk

membimbing saya sehingga penelitian saya menjadi lebih baik. Tidak ada
habisnya rasa terimakasih saya untuk mereka, semoga Allah SWT memberikan
balasan yang lebih baik lagi.
Kepada Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K), M.Epid selaku ketua divisi Infeksi
Menular Seksual (IMS) dan sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK
FKUI terdahulu, Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK(K) selaku guru besar bidang
IMS, dan dr. Farida Zubir selaku staf IMS yang juga merupakan mentor selama
masa pendidikan, saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian di divisi IMS dan bimbingan selama
proses penelitian.
Terimakasih yang dalam saya haturkan kepada dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K)
sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK FKUI saat ini. Ucapan
terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK selaku ketua Panitia

iv

Universitas Indonesia



Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI atas persetujuan dan keterangan lolos kaji etik
penelitian ini.
Ucapan terimakasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. dr.
Adhi Djuanda, Sp.KK(K), almarhum Prof. Dr. dr. Unandar Budimulja, Sp.KK(K),
Prof. Dr. dr. Siti Aisah Boediarja, Sp.KK (K), Prof. Dr. dr. Retno Widowati
Soebaryo, Sp.KK(K), dan dr Sri Adi Sularsito, Sp.KK(K) atas kesediaannya
berbagi pengalaman, ilmu, wawasan, bimbingan, dan motivasi yang diberikan
selama masa pendidikan saya.
Kepada seluruh staf tata usaha, staf poliklinik, staf rawat inap, perpustakaan dan
Departemen IKKK FKUI-RSCM Jakarta, yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu namanya, saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya
selama saya menjalani pendidikan dokter spesialis. Tentunya proses belajar akan
terasa berat tanpa mereka. Rasa terimakasih juga saya ungkapkan kepada seluruh
pasien di Departemen IKKK FKUI-RSCM maupun rumah sakit jejaring yang
telah memperkaya wawasan saya sebagai calon spesialis kulit dan kelamin, kalian
adalah guru dan sumber ilmu pengetahuan.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf PKBI Jakarta dan
seluruh staf Procare Clinic yang telah bersedia untuk menjadi tempat penelitian,
semoga PKBI dan Procare Clinic semakin sukses kedepannya. Terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada tim Laboratorium Kalgen dan Distributor Qiagen
Indonesia yang telah membantu dalam pelaksanaan genotyping DNA VPH.
Dari lubuk hati yang paling dalam, saya haturkan penghormatan sebesar-besarnya
dan rasa terimakasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua saya, Prof. Dr. dr.
Teuku Zulkifli Jacoeb dan Dr. dr. Tjut Nurul Alam, yang tidak pernah lelah
memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa sehingga saya mampu untuk
menyelsaikan pendidikan spesialis kulit dan kelamin. Tidak lupa ucapan
terimakasih dan penghormatan untuk Nenek saya, dr. Komariah Zagloel, yang tak
habis-habisnya berdoa dan selalu mengingatkan saya untuk terus menambah ilmu

Universitas Indonesia

pengetahuan agar menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Kepada kedua mertua
saya, Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM dan Siti Aisah yang tak pernah lupa
untuk selalu berdoa, memberikan dukungan, serta kasih sayang selama masa
pendidikan, saya ucapkan beribu terimakasih.
Kepada suami tercinta dr. Aidrus, SpOG yang telah memberikan pengertian, kasih
sayang, semangat, dukungan, serta doa dari awal pendidikan sampai akhirnya
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Kepada Anak-anakku Arifah Nurul Zahra dan
Amirah Nurul Zainah, Alhamdulillah kalian menjadi penyemangat hidup dan
menjadi alasan utama untuk segera menyelesaikan pendidikan. Terimakasih telah
berkorban selama Mama menyelesaikan pendidikan spesialis Kulit dan Kelamin.
Selama proses belajar hingga saat penulisan tesis ini, saya bersyukur memiliki
teman-teman yang selalu ada dalam suka dan duka, berbagi kebahagiaan dan
kesedihan bersama, saling mendukung satu sama lain. Terimakasih untuk temanteman seangkatan, dr. Atika Damayanti, dr. Salma Oktaria, dr. Evelyn Lina
Nainggolan, dr. Eka Komarasari dan dr. Ridha Rosandi. Juga untuk teman
seperjuangan saat ujian nasional, yaitu dr. Rachel Djuanda, dr. Sari Chairunisa, dr.
Ridha Rosandi, dr. Yunira Safitri, dr. Alida Widiawaty, dr. Terlinda Baros, dan
dr. Rani Rahmawati. Tak terlupakan rekan chief lainnya dr. Catharina, dr. Vini
Onmaya, dr. Radityo Anugrah, dr. Imelda Wihadi, serta para sahabat, senior, dan
adik-adik yang saya temui selama masa pendidikan, terimakasih atas pertemanan,
kerjasama, dan dukungan yang diberikan selama ini. Mohon maaf atas kesalahan
ataupun hal-hal yang kurang berkenan selama pertemanan kita.
Teman-teman yang telah dengan ikhlas meluangkan waktu dan menyumbangkan
tenaga untuk membantu saya dalam penelitian ini adalah dr. Radityo selaku PPDS
Chief divisi IMS dan dr. Aninda, dr. Herni, dr. Heru, dr. Ririn, dr. Yuda, serta dr.
Tisya yang menjadi PPDS utama divisi IMS selama saya mengumpulkan subyek
penelitian di divisi IMS poliklinik kulit dan kelamin RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo. Saya ucapkan rasa terimakasih atas bantuan dan dukungan
teman-teman.

vi

Universitas Indonesia

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan, melimpahkan rahmat dan


hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu saya. Harapan saya
semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi saya, namun
bagi orang banyak. Aamiin ya Rabbal Alamiin
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jakarta, Juli 2014
Penulis
Cut Natya Rucitra

vii

Universitas Indonesia

viii

Universitas Indonesia



ABSTRAK
Nama

: Cut Natya Rucitra

Program studi

: Program Pendidikan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin

Judul

: Proporsi Virus Papiloma Humanus Oral dan


Hubungannya dengan Frekuensi Seks Oral pada
Pasien Kondiloma Akuminatum Anogenital

Latar belakang: Virus papilloma humanus (VPH) merupakan penyebab infeksi menular seksual
yang sering ditemukan. VPH tipe mukosa terutama menyerang genitalia dan oral. Infeksi VPH
oral saat ini dihubungkan dengan keganasan orofaring yang insidensnya makin meningkat.
Prevalensi VPH oral pada populasi sehat berkisar 2-7%, sedangkan pada populasi pasien
kondiloma akuminatum (KA) anogenaital sebesar 10,4%. Faktor risiko penularan ke rongga mulut
terutama melalui hubungan seksual, frekuensi seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan
jumlah pasangan seks oral. Tujuan: Mencari proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital dan
hubungannya dengan frekuensi seks oral. Metode : Penelitian potong lintang, subyek penelitian
(SP) adalah laki-laki atau perempuan dengan KA anogenital, berusia 18-60 tahun. Tempat
penelitian di poliklinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta. Bahan
pemeriksaan VPH oral berasal dari bilas mulut, lalu diolah menggunakan express matrix VPH di
Laboratorium Kalgen.
Hasil: Hasil VPH oral positif ditemukan pada 7 dari 75 SP. Uji statistik untuk melihat perbedaan
VPH oral positif di antara kelompok frekuensi seks oral menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov
dengan hasil P>0.05.
Kesimpulan: Proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital sebesar 9,3%, dan tidak terdapat
perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP berdasarkan frekuensi seks oral.
Kata kunci: KA anogenital, VPH oral, seks oral

ix

Universitas Indonesia

ABSTRACT
Name

: Cut Natya Rucitra

Study program

: Dermatovenereology Resident

Title

: Proportion of Oral Human Papiloma Virus and Its


Relation to Oral Sex Frequency in Patient with
Anogenital Condyloma Acuminata

Background: Many sexual transmitted disease are caused by Human papiloma virus (HPV).
Mucosal types of HPV mainly infect anogenital and oral mucosa. Nowdays, oral cancer is strongly
related to HPV infection and the incidence is increasing. Oral HPV prevalence in healthy
population is 2-7%, meanwhile the prevalence in anogenital condyloma acuminata (CA) patients is
10,4%. The risk factors of oral HPV infection are mostly related to sexual behaviour, oral sex
frequency is more related than total sex partner. Objective : To know the oral HPV proportion in
anogenital CA patients and its relation to oral sex frequency. Methods: This is a cross sectional
study. The subjects are anogenital CA patients, age 18-60 y.o, from outpatients clinic RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo and PKBI clinic, Jakarta. The sample was taken from mouth rinse, the HPV
detection was done by using HPV express matrix at Kalgen laboratory. Results : Oral HPV positif
was found in 7 out of 75 subjects. We use Kolmogorof-Smirnov as statistical calculation to know
the difference of oral HPV positive between oral sex frequency groups, the result is p>0,05.
Conclusions : Oral HPV proportion in anogenital CA patients is 9,3%, and there is no statistically
difference beetwen oral sex frequency groups.
Keywords: Anogenital CA, oral HPV, oral sex

Universitas Indonesia



DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS..........
HALAMAN PENGESAHAN..........
UCAPAN TERIMAKASIH.........
PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR.
ABSTRAK...
DAFTAR ISI....
DAFTAR SINGKATAN.
DAFTAR TABEL........

i
ii
iii
viii
ix
xi
xiv
xv

BAB I.

PENDAHULUAN.............................................................................
1.1. Latar belakang..........................................................................
1.2. Identifikasi masalah.................................................................
1.3. Perumusan masalah.................................................................
1.4. Hipotesis..................................................................................
1.5. Tujuan Penelitian.....................................................................
1.6. Manfaat Penelitian...................................................................
1.6.1.
Manfaat di bidang akademik........
1.6.2.
Manfaat di bidang pelayanan....
1.6.3.
Manfaat untuk pengembangan penelitian..

1
1
4
5
5
5
5
5
6
6

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................
2.1. Infeksi Virus Papiloma Humanus Oral....................................
2.1.1. Definisi........................................................................
Epidemiologi...............................................................
2.1.2.
.
2.1.3. Etiologi dan Patogenesis.............................................
2.1.4. Faktor Risiko...............................................................
2.1.4.1. Usia............................................................
2.1.4.2. Perilaku Seks.............................................
2.1.4.3. Rokok.........................................................
2.1.4.4. Konsumsi Alkohol.....................................
2.1.4.5. Infeksi HIV................................................
2.1.4.6. Kesehatan gigi dan mulut...........................
2.1.5. Manifestasi klinis........................................................
2.1.6. Tatalaksana..................................................................
2.2. Kondiloma Akuminatum Anogenital.......................................
2.3. Identifikasi Virus Papiloma Humanus Oral.............................
2.2.1. KerangkaTeori............................................................
2.2.2. Kerangka Konsep........................................................

7
7
7
8
11
11
11
12
12
13
13
13
16
17
18
21
22

METODE PENELITIAN................................................................
3.1. Rancangan Penelitian...........................................................
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian..............................................
3.2.1. Tempat Penelitian..................................................

23
23
23
23

BAB III.

xi

Universitas Indonesia

3.2.2. Waktu Penelitian...................................................


Populasi penelitian...............................................................
3.3.1. Populasi Sasaran...................................................
3.3.2. Populasi Terjangkau..............................................
3.4. Subyek dan Cara Pemilihan Subyek penelitian...................
3.5. Perkiraan Besar Sampel.......................................................
3.6. Kriteria Pemilihan Subyek Penelitian..................................
3.7. Cara Kerja Penelitian...........................................................
3.7.1. Tahap pemilihan dan pengisian formulir
persetujuan..............................................................
3.7.2. Pengisian Status Penelitian.....................................
3.7.3. Pengambilan, Penyimpanan, dan Pengiriman Bahan
Pemeriksaan..................................................
3.7.3.1. Alat dan Bahan.........................................
3.7.3.2. Cara pengambilan, penyimpanan, dan
pengiriman...
3.7.4. Pemeriksaan spesimen................................................
3.7.4.1. Alat dan Bahan........................................
3.7.4.2. Cara pemeriksaan spesimen......................
3.8. Batasan operasional.................................................................
3.8.1. Subjek Penelitian........................................................
3.8.2. Pasien kondiloma akuminatum anogenital.................
3.8.3. Bentuk klinis kondiloma akuminatum.......................
3.8.4. Tes Asam Asetat........................................................
3.8.5. Lokasi lesi kondiloma akuminatum...........................
3.8.6. Usia............................................................................
3.8.7. Jenis Kelamin.............................................................
3.8.8. Tingkat pendidikan....................................................
3.8.9. Orientasi seksual........................................................
3.8.10. Status Pernikahan.......................................................
3.8.11. Hubungan Seks Oral..................................................
3.8.12. Frekuensi hubungan seks orogenital atau
oroanal.....
3.8.13. Tipe VPH...................................................................
3.9. Etik Penelitian.........................................................................
3.10 Pengolahan dan Analisis Data.................................................
3.11 Alur Penelitian........................................................................
3.3.

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................


4.1. Karakteristik sosiodemografi subyek penelitian....................
4.2. Karakteristik Kondiloma Akuminatum pada Subyek
penelitian................................................................................
4.3. Orientasi seks, perilaku seks dan status HIV subyek
penelitian................................................................................
4.4. Hasil Pemeriksaan VPH Oral.................................................
4.5. Hubungan Frekuensi Seks Oral dan VPH Oral......................
4.6. Genotipe VPH oral pasien kondiloma akuminatum
xii

23
23
23
23
23
23
24
24
24
25
25
25
26
26
26
26
29
29
29
30
30
30
31
31
31
31
31
31
32
32
32
32
33
34
34
37
38
42
44
45

Universitas Indonesia

4.5.
BAB V.

anogenital...............................................................................
Keterbatasan penelitian..........................................................

46

IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN.................................


5.1. Ikhtisar....................................................................................
5.2. Kesimpulan. ...........................................................................
5.3. Saran.......................................................................................

47
47
50
50

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
LAMPIRAN 1. INFORMASI PENELITIAN..........................................................
LAMPIRAN 2. LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN...................................
LAMPIRAN 3. PENYARINGAN SUBYEK PENELITIAN..................................
LAMPIRAN 4. STATUS PENELITIAN.................................................................
LAMPIRAN 5. TABEL INDUK PENELITIAN.....................................................
LAMPIRAN 6. LEMBAR LOLOS KAJI ETIK......................................................

51
54
56
61
62
64
67

xiii

Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN
DNA

Double-strand Nucleic Acid

HIV

Human Immunodeficiency Virus

IMS

Infeksi Menular Seksual

KA

Kondiloma Akuminatum

KTP

Kartu Tanda Penduduk

NHANES

National Health and Nutrition Examination

PKBI

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

RSUPN

Rumah Sakit Umum Pusat Nasional

SP

Subyek Penelitian

VPH

Virus Papiloma Humanus

LSL

Lelaki Suka Lelaki

ISH

In Situ Hybridization

HC

Hybrid Capture

HCT

Hybrid Capture Tube

PCR

Polymerase Chain Reaction

WHO

World Health Organization

xiv

Universitas Indonesia



DAFTAR TABEL
Tabel 4.1

Karakteristik sosiodemografi pasien kondiloma akuminatum 35


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta,
April-Mei 2014

Tabel 4.2

Perbedaan karakteristik sosiodemografis pasien kondiloma 36


akuminatum anogenital RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan
Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014

Tabel 4.3

Karakteristik lesi pada pasien KA di RSUPN Dr. Cipto 37


Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014

Tabel 4.4

Perbedaan karakteristik lokasi dan tipe lesi pasien kondiloma 38


akuminatum anogenital RUSPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan
PKBI, April-Mei 2014

Tabel 4.5

Orientasi seks, perilaku seks dan status HIV pada pasien 40


kondiloma akuminatum di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014

Tabel 4.6

Perbedaan karakteristik orientasi seks, perilaku seks, dan status 41


HIV pasien kondilama akuminatum anogenital di RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei
2014

Tabel 4.7

Hasil Pemeriksaan VPH Oral pasien kondiloma akuminatum di 43


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta,
April-Mei 2014

Tabel 4.8

Hubungan frekuensi seks oral dan VPH Oral pada pasien 44


kondiloma akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014

Tabel 4.9

Genotipe VPH oral yang ditemukan pada pasien kondiloma 46


akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014

xv

Universitas Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Virus Papiloma Humanus (VPH) merupakan penyebab penyakit infeksi menular
seksual (IMS) yang sering ditemukan di dunia. VPH tipe mukosa dapat
menginfeksi mukosa laring, traktus respiratorius, anus, uretra, kandung kemih,
traktus genitalia wanita, dan oral.1 Epidemiologi VPH oral belum sebaik
epidemiologi infeksi VPH di traktus genital, begitu pula dengan perjalanan
penyakitnya yang belum diketahui sebaik infeksi VPH di traktus genital.2
VPH menyumbang 5,2% dari keseluruhan penyebab keganasan pada manusia,
antara lain keganasan traktus genital, anus, dan orofaring. Beberapa penelitian
telah membuktikan adanya hubungan antara infeksi VPH dan keganasan
orofaring. Di Amerika Serikat, keganasan orofaring akibat infeksi VPH makin
meningkat dan berpeluang melebihi angka kejadian keganasan traktus genital akibat infeksi VPH pada tahun 2020.2 Di Australia, proporsi keganasan orofaring
akibat infeksi VPH meningkat dari 19% (tahun 1987-1990) menjadi 60% (tahun
2005-2006).3 Sembilan puluh persen keganasan orofaring akibat infeksi VPH disebabkan oleh tipe 16.4,5 Sepengetahuan penulis, angka keganasan orofaring di
Indonesia lima tahun terakhir ini belum ada.
Kajian epidemiologik di Swedia dan Denmark menunjukkan bahwa insidens
keganasan oral dan anal masing-masing mencapai 10 dan 4 kali lebih tinggi pada
pasien kondiloma akuminata genitalia dibandingkan dengan pasien yang tidak
memiliki kondiloma genitalia. Data tersebut membuktikan bahwa pasien dengan
lesi kondiloma akuminatum (KA) genital berisiko keganasan meski pada dasarnya
kutil genital merupakan lesi jinak.6, 7, 8 VPH risiko rendah jarang menyebabkan
keganasan, tetapi dapat ditemukan pada beberapa lesi prakanker di oral,
contohnya leukoplakia dan eritroplakia. VPH tipe risiko tinggi banyak ditemukan
pada lesi prakanker, dan karsinoma sel skuamosa.9

Universitas Indonesia

Prevalensi infeksi VPH oral pada populasi sehat di Amerika Serikat berkisar 27%.10-13 Kajian prevalensi VPH pada pasien KA yang dikumpulkan pada bulan
September-Desember 2009 di Kopenhagen menunjukkan prevalensi VPH oral
pada pasien kutil genital sebesar 10,4% dan terdapat kesesuaian tipe dengan VPH
pada lesi kutil genital sebesar 60,9%.6 Insidens KA dibandingkan dengan insidens
IMS lainnya di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dalam 5 tahun terakhir mengalami peningkatan, yakni pada periode tahun 2007
(21,25%), 2008 (33,81%), 2009 (33,66%), 2010 (29,25%), dan 2011 (30,58%).
Pada tahun 2011, terdapat 63 kasus baru yang didiagnosis dengan total kasus baru
dan lama sebanyak 125 kasus.14

Prevalensi infeksi VPH oral juga diketahui lebih tinggi pada wanita dengan
keganasan serviks. Hal ini dibuktikan oleh sebuah meta-analisis yang
memperlihatkan bahwa prevalensi VPH oral pada wanita dengan keganasan
serviks lebih besar daripada wanita tanpa keganasan serviks, yakni 18,1% berbanding 0-7,9%.12, 15 Penelitian lain menemukan prevalensi VPH oral pada pasien wanita dengan displasia serviks sebesar 92,4%.16 Angka kejadian infeksi VPH oral
lebih tinggi pada pasien yang memiliki infeksi VPH di bagian tubuh yang lain.

Infeksi VPH oral dapat terjadi melalui kontak oral ke genital, oral ke anal, oral ke
oral, dan autoinokulasi dari genital.9 Penularan VPH terjadi terutama melalui
hubungan seksual, dalam hal ini 2/3 dari populasi pasangan seks yang terinfeksi
VPH akan tertular. Wanita dan pria yang terinfeksi VPH dapat menularkan ke
pasangan seksual tanpa mereka sadari karena infeksi yang terjadi tidak bergejala
atau subklinis.9 Kajian National Health and Nutrition Examination (NHANES),
tahun 2009-2010, menemukan bahwa prevalensi infeksi VPH pada kelompok
yang pernah melakukan hubungan seks lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang tidak berhubungan seks.2
Faktor risiko penularan berkaitan erat dengan perilaku seksual, yakni usia pertama
melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan riwayat berhubungan
Universitas Indonesia

seks dengan pasangan yang berisiko tinggi. Hubungan seks orogenital berperan
pada penularan infeksi VPH oral. Dari satu penelitian ditemukan bahwa frekuensi
hubungan seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah pasangan seks
oral seumur hidup. Individu yang melakukan seks orogenital 1 kali atau lebih
setiap minggu dibandingkan dengan yang melakukan orogenital kurang dari 1 kali
setiap minggu, memiliki insidens infeksi VPH yang lebih tinggi. Hubungan seks
orogenital dengan frekuensi yang sering selama 4 bulan terakhir berhubungan
bermakna dengan insidens infeksi VPH oral. Orang yang melakukan seks oral
lebih dari 1 kali per minggu akan berpeluang terkena infeksi VPH oral 4 kali lebih
besar dibandingkan dengan orang yang melakukan seks oral kurang dari 1 kali per
minggu.17 Pada penelitian lainnya, waktu terakhir melalukan hubungan seks oral
dan jumlah pasangan seks oral dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan
infeksi VPH oral.18
Cara penularan VPH anogenital ke oral pada individu belum diketahui dan
penelitian VPH oral pada pasien dengan KA anogenital yang sudah dilakukan
tidak menemukan faktor terkait proses penularan infeksi VPH anogenital ke oral.
Proses autoinokulasi diduga menjadi dasar terjadinya infeksi VPH oral pada
pasien KA anogenital.6
Cara pengambilan sampel untuk mendeteksi VPH oral dapat dilakukan dengan
biopsi oral, bilas mulut, dan cytobrush. Prevalensi infeksi VPH tertinggi
didapatkan dari sampel bilas mulut.19 Metode bilas mulut dapat mengumpulkan
lebih banyak sel dibandingkan dengan metode swab atau cytobrush karena bilas
mulut dapat mengambil sel dari seluruh permukaan rongga mulut dan faring.
Dengan demikian bilas mulut akan menghasilkan DNA VPH yang lebih banyak.20
VPH tipe 16 diketahui paling sering ditemukan pada sampel yang berasal dari
bilas mulut.6
Lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe VPH, di antaranya VPH
2, 4, 6,11,13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Banyak penelitian sudah membuktikan bahwa
VPH tipe 16 dan 18 berhubungan dengan keganasan di rongga mulut, kepala, dan

Universitas Indonesia

leher.22-24 Di Indonesia (Jakarta, Tasikmalaya, dan Bali), prevalensi infeksi VPH


pada kajian usap serviks 2686 wanita usia 15-70 tahun dari Oktober 2004 hingga
Februari 2006 adalah 11,4%, dengan tipe tersering adalah VPH 52, 16, dan 18.25
Sejauh ini belum ada data prevalensi infeksi VPH oral di Indonesia.

1.2. Identifikasi masalah


Beberapa penelitian menunjukkan adanya infeksi VPH di dua tempat yang
berbeda pada satu individu, contohnya pasien dengan kutil di kelamin juga
memiliki infeksi VPH di oral. Pasien dengan lesi KA di genital dan / atau anal
dapat menjadi sumber penularan VPH oral. Prevalensi VPH oral pada pasien
dengan lesi KA anogenital memiliki prevalensi infeksi VPH oral lebih tinggi
dibandingkan dengan individu sehat, yaitu 10,4% dibandingkan 2-7%. Data
proporsi infeksi VPH oral di Indonesia belum ada, dan perlu dikaji lebih jauh.
Infeksi VPH oral saat ini dikaitkan dengan keganasan orofaring dan diperkirakan
jumlah keganasan orofaring akibat infeksi VPH oral akan melebihi keganasan
serviks yang diakibatkan oleh infeksi VPH. Permasalahan ini mendukung
pentingnya kajian proporsi infeksi VPH oral di Indonesia.
Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian VPH oral pada pasien KA anogenital
baru dilakukan satu kali oleh Koefoed dkk6 (2009) di Kopenhagen. Pada
penelitian tersebut pengambilan spesimen dilakukan dengan menggunakan
cytobrush yang memiliki sensitivitas tidak sebaik metode bilas mulut. Faktor yang
mungkin berhubungan dengan proses penularan VPH anogenital ke oral pasien
KA anogenital juga tidak dilakukan pada penelitian tersebut. Oleh sebab itu pada
penelitian ini akan dilakukan analisis hubungan frekuensi seks oral dengan infeksi
VPH oral pada pasien KA anogenital. Dipilih variabel frekuensi seks oral karena
dianggap yang paling penting dalam proses penularan VPH oral.

Universitas Indonesia

1.3. Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1) Berapa proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital?
2) Apakah frekuensi seks orogenital dan / atau oroanal berhubungan dengan
infeksi VPH oral?
1.4. Hipotesis
Makin sering melakukan seks oral makin tinggi proporsi VPH oral pada pasien
KA anogenital.
1.5. Tujuan Penelitian
1) Mengetahui proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital.
2) Mengetahui hubungan frekuensi seks orogenital dan / atau oroanal dengan
infeksi VPH oral pada pasien KA anogenital.
1.6. Manfaat penelitian
1.6.1. Manfaat di Bidang Akademik
1) Data proporsi VPH oral dan genotipe VPH oral dapat menambah data
epidemiologi di Indonesia.
2) Hubungan antara frekuensi seks oral dengan infeksi VPH oral dapat
menambah pengetahuan di dunia kedokteran khususnya di bidang Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, terutama penyakit infeksi menular seksual.
1.6.2. Manfaat di Bidang Pelayanan
1)

Data proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital dapat dijadikan


dasar materi penyuluhan edukasi untuk pasien KA anogenital.

2)

Hubungan antara infeksi VPH oral dan frekuensi hubungan seks oral
dapat dijadikan dasar materi penyuluhan edukasi untuk pasien KA
anogenital.

3)

Jika ditemukan VPH oral pada pasien KA anogenital, maka pasien


dapat dirujuk ke Departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT)

Universitas Indonesia

dan Departemen Kesehatan Gigi-Mulut untuk memperoleh penanganan


lebih lanjut.
1.6.3. Manfaat untuk pengembangan penelitian
Prevalensi dan genotipe VPH oral dapat dijadikan data dasar untuk penelitian
VPH oral lainnya, misalnya korelasi genotipe VPH oral dan keganasan orofaring
di Indonesia.

Universitas Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Virus Papiloma Humanus Oral
2.1.1 Definisi
Virus Papiloma Humanus (VPH) dapat menginfeksi kulit dan mukosa. Bentuk
lesi yang ditimbulkannya beragam, dapat berupa kutil jinak atau lesi ganas
yang invasif. VPH tipe mukosa dapat menyerang uretra, kulit, laring, mukosa
trakeobronkial, rongga hidung, sinus pranasal, terutama anogenital dan mukosa
oral.21, 26
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi infeksi VPH oral di populasi sehat berkisar 2-7%, lebih rendah dibandingkan dengan infeksi VPH genital. Prevalensi infeksi VPH serviks berkisar 27-43% pada populasi wanita Amerika Serikat yang berusia 14-59 tahun.
Sementara pada populasi yang kurang lebih sama, prevalensi infeksi VPH oral
berkisar 0,9-7,5%.10
Pada tahun 2009-2010 di Amerika Serikat dilakukan kajian prevalensi infeksi
VPH oral pada populasi umum 5579 wanita dan pria yang berusia 14-69 tahun.
Hasilnya, prevalensi infeksi VPH oral tipe apapun adalah 6,9%, VPH risiko
rendah 3,7%, dan VPH risiko tinggi 3,1%.12 Kajian prevalensi lain menemukan
angka yang lebih rendah, yaitu 4% untuk infeksi VPH oral tipe apapun. Kajian
ini dilakukan pada populasi laki-laki yang berusia 18-74 tahun di Amerika
Serikat, Brazil, dan Meksiko.13 Kajian prevalensi dan insidens infeksi VPH
oral pada populasi dewasa muda (18-30 tahun) menemukan angka prevalensi
sebesar 2,4% dan insidens sebesar 5,67% per 1000 orang per bulan.11
Kajian lain pada tahun 2009 di Kopenhagen yang mengumpulkan pasien dengan kutil kelamin yang berusia 18-65 tahun memperoleh prevalensi infeksi
VPH oral sebesar 10,4%. Prevalensi infeksi VPH oral pada populasi pasien kutil kelamin lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi sehat. Kesamaan

Universitas Indonesia

tipe VPH di genital dan oral adalah 60,9%.6 Dari 18 wanita usia 24-52 tahun
yang memiliki lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi dan sudah terbukti terkena infeksi VPH di serviks ternyata 67% memiliki infeksi VPH di oral.26
VPH menyumbang 5,2% dari keseluruhan penyebab keganasan pada manusia,
antara lain keganasan traktus genital, anus, dan orofaring. Epidemiologi dan
perjalanan infeksi VPH oral belum diketahui sebaik infeksi VPH di traktus
genital. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan infeksi VPH
dengan keganasan orofaring. Di Amerika Serikat, keganasan orofaring akibat
infeksi VPH makin meningkat dan berpeluang melebihi angka kejadian
keganasan traktus genital akibat infeksi VPH pada tahun 2020.2 Di Australia,
proporsi keganasan orofaring akibat infeksi VPH meningkat dari 19% (tahun
1987-1990) menjadi 60% (tahun 2005-2006).3
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Virus VPH terdiri atas 150 tipe yang dibagi ke dalam dua kategori, yaitu tipe
risiko rendah dan risiko tinggi berdasarkan potensi untuk memicu lesi ganas.
Tipe risiko tinggi ada 11, yaitu VPH 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58.
Sementara, tipe risiko rendah di antaranya adalah VPH tipe 6,11,42, dan 44.2, 26
Lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe VPH, di antaranya
VPH 2, 4, 6,11,13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Banyak penelitian sudah membuktikan
bahwa VPH tipe 16 dan 18 berhubungan dengan keganasan di rongga mulut,
kepala, dan leher.22-24 VPH tipe 16 paling sering menyebabkan lebih dari 90%
kasus kanker orofaring.27
Semua tipe VPH memiliki organisasi genom yang kurang lebih sama. DNA
untai ganda VPH memiliki early open reading frames (ORF) dan late ORF.
Early ORF menyandi E1, E2, E3, E4, E5, E6, dan E7. E1 dan E2 berperan
pada proses replikasi DNA dan mengatur ekspresi gen, keduanya juga
bertanggung-jawab dalam mempertahankan DNA virus dalam bentuk episom
selama proses awal infeksi dan selama infeksi laten. Selain itu, E2
berkemampuan menekan fungsi E6 dan E7. E6 dan E7 merupakan
Universitas Indonesia

onkoprotein, fungsi keduanya masih belum jelas pada VPH tipe risiko rendah.
Pada VPH risiko tinggi, keduanya dapat menjaga episom virus di dalam sel
suprabasal yang matang. Keduanya juga berperan dalam meningkatkan
proliferasi dan memperpanjang hidup sel ganas dengan cara mengubah faktorfaktor yang mengatur siklus hidup sel. E6 dapat menghancurkan p53, suatu
protein penekan tumor, sementara E7 berikatan dengan gen penekan Rb.9, 28, 29
Sel di stratum basal akan berproliferasi dan mengalami pematangan, berubahubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya, berpindah dari satu lapisan ke lapisan
di atasnya, sampai akhirnya mencapai permukaan. Ada sebagian sel yang tetap
tinggal di stratum basal untuk menjaga keutuhan. Di mukosa mulut, proses
pematangan sel mengikuti dua pola, yaitu keratinisasi dan non-keratinisasi.
Siklus hidup VPH dipengaruhi oleh tahap pematangan sel epitel. Produksi
virion hanya terjadi pada sel basal yang matang.9
Sel basal merupakan sasaran VPH diduga karena memiliki reseptor VPH di
permukaan sel. Virus mencapai sel basal melalui lapisan epidermis yang tidak
utuh akibat abrasi atau mikrotrauma. DNA virus masuk ke dalam nukleus sel
basal. Genom VPH di dalam nukleus bertahan dalam bentuk episom. Virus ini
bereplikasi pada sel basal yang aktif membelah dan menyebabkan gangguan
pada kendali siklus sel. Replikasi virus masih terjadi hingga lapisan sel permukaan. Jika lapisan teratas ini lepas karena sebab tertentu atau mengalami
eksfoliasi maka virion akan ikut terlepas pula.1, 30, 31
Respons imun pada infeksi VPH diperankan oleh sistem humoral dan selular.
Bukti dari respons antibodi adalah terbentuknya IgA dan IgG anti-VPH pada
infeksi berulang dan adanya vaksin yang efektif dapat mencegah infeksi
VPH.30, 32 Respons imun selular dan interferon meningkat sehingga mampu
menghambat replikasi virus. Pada individu dengan gangguan imunitas
(imunokompremais) yang terkait penurunan imun selular, misalnya pada
infeksi HIV dan pasca transplantasi organ, memiliki angka kejadian penyakit
terkait VPH yang lebih tinggi dengan wujud lesi yang lebih besar, multifokal,
dan cenderung displastik.33

Universitas Indonesia

10

Infeksi subklinis pada infeksi VPH dapat terjadi cukup lama, berdasarkan percobaan inokulasi virus papiloma, ternyata lesi baru muncul 2-9 bulan kemudian. Keadaan ini menjadi sumber penularan.1 Waktu yang dibutuhkan seorang
individu yang terinfeksi VPH untuk mampu menyebarkan partikel virus adalah
3 minggu, yaitu setara dengan waktu yang dibutuhkan sel basal untuk
berdiferensiasi sempurna menjadi keratinosit, kemudian mengalami deskuamasi.34
Cara penyebaran VPH ke mukosa oral masih belum jelas. Infeksi dapat terjadi
secara vertikal dari ibu ke anaknya. Namun demikian, jalur infeksi horizontal
lebih sering terjadi. VPH dapat ditularkan baik melalui hubungan seksual
(orogenital) maupun non-seksual, yaitu melalui proses autoinokulasi dari
genital. Penularan VPH anogenital ke oral pada satu pasien diduga melalui
proses autoinokulasi, akan tetapi infeksi di oral merupakan suatu kejadian yang
berbeda dan tidak ada hubungannya dengan infeksi di anogenital.6 Kesesuaian
tipe antara VPH anogenital dan oral juga merupakan salah satu tanda proses
penularan terjadi melalui proses autoinokulasi.17 Berdasarkan kajian potong
lintang, VPH oral biasanya terjadi akibat hubungan seks oral atau menjilat anus
(oroanal) pasien dengan lesi kutil.35 Berciuman dengan orang yang memiliki
infeksi VPH di oral juga menjadi salah satu cara penularan.2 us
Perjalanan penyakit infeksi VPH oral belum diketahui dengan baik. Satu
penelitian kohort mendapatkan infeksi VPH oral akan hilang dalam waktu 6,9
bulan (nilai tengah atau median) untuk tipe VPH apapun, 6,3 bulan untuk tipe
VPH risiko tinggi, dan 7,3 bulan khusus untuk VPH tipe 16.18 Studi lainnya
mendapatkan infeksi VPH oral akan menghilang pada 65% pasien dalam 1
tahun, sementara di antara pasien HIV infeksi sembuh dalam 1 tahun hanya
terjadi pada 47% pasien.35

Universitas Indonesia

11

2.1.4 Faktor Risiko


2.1.4.1 Usia
Penelitian oleh Frenandez dkk (2013) menemukan hasil positif infeksi VPH
lebih banyak pada kelompok usia yang lebih tinggi.26 Makin bertambah usia
makin rentan terinfeksi VPH oral. Penurunan imunitas tubuh seiring
bertambahnya usia menyebabkan VPH sulit dihilangkan dan infeksi yang laten
dapat aktif kembali.36,

37

Makin bertambah usia maka makin besar

kemungkinan mereka memiliki jumlah pasangan seks lebih banyak


dibandingkan usia muda. Hal ini meningkatkan risiko penularan infeksi VPH.20
2.1.4.2 Perilaku seks
Kajian NAHNES menunjukan prevalensi VPH oral 8 kali lebih tinggi daripada
subjek yang tidak berhubungan seks dan risiko juga berhubungan dengan
jumlah pasangan seksual seumur hidup. Prevalensi infeksi VPH meningkat
pada peserta penelitian yang memiliki jumlah pasangan seks seumur hidup
lebih dari 20.12
Hubungan seks oral merupakan salah satu cara penyebaran infeksi virus,
hubungannya erat dengan risiko penularan VPH oral. Jumlah pasangan seks
oral seumur hidup berhubungan dengan infeksi VPH oral yang menandakan
bahwa seks oral dapat menjadi faktor penting dalam transmisi VPH ke oral.11
Dari satu penelitian frekuensi lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah
pasangan seks oral seumur hidup. Individu yang melakukan seks orogenital 1
kali atau lebih setiap minggu dibandingkan dengan yang melakukan orogenital
kurang dari 1 kali setiap minggu, memiliki insidens infeksi VPH yang lebih
tinggi. Hubungan seks orogenital dengan frekuensi yang sering selama 4 bulan
terakhir berhubungan bermakna dengan insidens infeksi VPH oral. Frekuensi
seks oral lebih dari 1 kali per minggu akan memiliki kemungkinan
mendapatkan infeksi VPH oral 4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
yang melakukan seks oral kurang dari 1 kali per minggu.17 Pada penelitian
lainnya, waktu terakhir melalukan hubungan seks oral dan jumlah pasangan

Universitas Indonesia

12

seks oral dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan kejadian infeksi VPH
oral.18
Cara berciuman dengan mulut terbuka (french kiss) berhubungan dengan
prevalensi infeksi VPH, sehingga mungkin saja dapat menjadi faktor risiko
penularan infeksi. Hal ini menjadi bahan pemikiran untuk memberikan vaksin
VPH pada usia dini karena pada umumnya usia saat pertama kali berciuman
lebih dini jika dibandingkan dengan saat melakukan hubungan seks oral. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut apakah memang ada hubungan yang
bermakna antara berciuman dengan mulut terbuka dan infeksi VPH.11
2.1.4.3 Rokok
Merokok lebih dari atau sama dengan 21 batang sehari menyebabkan prevalensi infeksi VPH oral lebih tinggi (20,7%) dibandingkan dengan yang tidak
merokok (1,1,%).12 Penelitian Pickard dkk (2009) memperlihatkan bahwa
merokok tidak berhubungan dengan infeksi VPH oral, tetapi hal ini mungkin
disebabkan oleh kelemahan penelitian, yaitu jumlah subjek penelitian yang
merokok hanya sedikit.11,

38

Fernandez dkk (2013) menemukan prevalensi

infeksi VPH di antara perokok sebesar 39%).26 Rokok dapat mengubah suasana
mukosa oral dan diperkirakan berhubungan dengan infeksi VPH melalui
pengaruh penekanan pada sistem imun innate dan adaptive.39-41
2.1.4.4 Konsumsi alkohol
Pengaruh alkohol dengan infeksi VPH oral masih kontroversial. Di satu sisi
dikatakan konsumsi alkohol dapat mengurangi risiko infeksi VPH oral. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian pada model hewan yang menunjukkan bahwa
etanol dapat memecah kapsid virus sehingga mencegah infeksi VPH tipe 16.
Di sisi lain alkohol dapat menurunkan imunitas mukosa oral sehingga akan
lebih mudah terinfeksi VPH. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat
hubungan antara konsumsi alkohol dan infeksi VPH. 11, 26, 42

Universitas Indonesia

13

2.1.4.5 Infeksi HIV


Pasien HIV lebih berisiko terinfeksi VPH oral; prevalensi pada kelompok HIV
lebih tinggi (40%) dibandingkan tanpa HIV (25%).43 Pasien dengan infeksi
HIV memiliki perilaku seks yang berisiko tinggi sehingga lebih mudah terinfeksi VPH di mukosa oral dan persisten akibat keadaan imunosupresi.20
Penelitian infeksi VPH pada pasien lelaki suka lelaki (LSL) dengan HIV
negatif dan HIV positif memperlihatkan hubungan yang bermakna antara
infeksi VPH oral dan infeksi HIV. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa
infeksi VPH oral tidak berhubungan dengan jumlah CD4 dan muatan virus
(viral load); hal ini mungkin diakibatkan sebagian besar subjek yang diteliti
memiliki nilai CD4 yang tinggi dan muatan virus yang tidak terdeteksi.20
2.1.4.6 Kesehatan gigi dan mulut
Menyikat gigi secara teratur dua kali sehari dan membersihkan gigi dengan benang (dental flossing) setiap hari juga mengurangi risiko tertular VPH. Keadaan rongga mulut yang tidak sehat berpeluang 55% lebih besar untuk terkena
infeksi VPH.44
2.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dan perubahan mikroskopis pada lesi infeksi VPH
bergantung pada lokasi anatomi dan genotipe VPH yang terlibat. Interaksi
antara genotipe VPH, respons imun pejamu, faktor lingkungan, dan pola hidup
membuat manifestasi infeksi VPH bervariasi.45 Sistem imun yang rendah
mempermudah infeksi VPH dan perjalanan penyakitnya lebih agresif.9
Di mulut, VPH tipe risiko rendah menyebabkan berbagai lesi jinak, yaitu
papiloma sel skuamosa, veruka vulgaris, KA, dan hiperplasia epitel fokal
(Heck disease). Selain itu VPH tipe risiko rendah kadang-kadang juga dapat
ditemukan pada lesi prakanker seperti leukoplakia dan eritroplakia.46, 47 VPH
tipe risiko tinggi, terutama VPH 16 dan 18 ditemukan pada lesi epitelial oral
yang ganas dan pada lesi karsinoma sel skuamosa oral.9

Universitas Indonesia

14

a. Hiperplasia epitelial fokal


Disebut juga sebagai Hecks disease, penyakit yang jarang ditemukan.
Tampilan klinis berupa nodus di permukaan mukosa mulut, bertangkai, lunak,
multipel. Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan koilosit. VPH yang
terlibat bisanya tipe 1, 6, 13, dan 32.21, 48, 49
b. Papiloma sel skuamosa oral
Merupakan tumor jinak yang dapat muncul pada usia berapapun namun paling
sering ditemukan pada pasien usia 30-40 tahun. VPH yang terlibat biasanya
tipe 6 dan 11.21,

49

Lesi berupa massa papilari atau verukosa, eksofitik,

ditemukan di lidah atau palatum mole, atau lokasi rongga mulut lainnya.50
c. Kondiloma akuminatum oral
Lesi KA di mukosa mulut berupa nodus putih atau merah jambu yang
berproliferasi dan bersatu membentuk massa lunak bertangkai. Permukaannya
seperti kembang kol. Lesi ini cukup jarang ditemukan di rongga mulut,
disebabkan oleh VPH tipe 6 dan 11.21, 51
d. Veruka vulgaris oral
Kadang-kadang veruka vulgaris dapat ditemukan di mukosa oral, berupa lesi
eksofitik berwarna keputihan, keras, bertangkai. Lesi ini mengalami
hiperkeratinisasi. VPH yang terlibat tipe mukosatropik 6, 11, 16, juga tipe
kutan 1, 2, 4, dan 7.21
e. Lichen planus oral
Etiologi lichen planus di mulut biasanya tidak diketahui, diduga berhubungan
dengan kelainan sistemik seperti diabetes melitus dan sejumlah kelainan
imunologis.49 Maitland dkk (1987) melaporkan 87% dari hasil biopsi liken
planus oral ditemukan DNA VPH.52 Sejauh ini VPH yang ditemukan pada lesi
liken planus adalah tipe 11 dan 16.21 Lesi dapat berupa plak kemerahan, lesi
atrofi, erosi, dapat juga bercak dengan pola seperti jala.53

Universitas Indonesia

15

f. Karsinoma Verukosa
Karsinoma verukosa merupakan varian dari karsinoma sel skuamosa yang
memiliki karakteristik morfologi dan perjalanan klinis khas di mukosa bukal,
gusi, dan alveolus. Etiopatogenesis berhubungan dengan rokok, alkohol, dan
infeksi VPH. Tipe VPH yang terlibat adalah tipe 6, 11, dan 18. Secara klinis
berupa lesi eksofitik, permukaan seperti kembang kol, tumbuh agresif,
berbatas tegas.21
g. Oral leukoplakia
Lesi berupa bercak atau plak putih, secara histopatologis menunjukkan adanya
perubahan epitel yang bervariasi, mulai dari hiperplasia epitel dengan
hiperkeratosis sampai dengan displasia epitel.21 Lesi kanker sering kali
tumbuh di daerah mukosa mulut dengan leukoplakia, oleh karena itu lesi ini
disebut sebagai lesi pra kanker. Maitland dkk (1987) menjelaskan VPH
ditemukan pada lesi leukoplakia oral dan lichen planus oral, keduanya
memiliki kecenderungan berubah menjadi ganas.52 Lind dkk (1986)
melaporkan 7 dari 13 leukoplakia dengan VPH positif akan berubah menjadi
karsinoma dalam 10 tahun.54
h. Oral hairy leukoplakia
Lesi oral hairy leukoplakia kadang-kadang dapat ditemukan pada orang
terinfeksi HIV. Secara klinis lesi ini berupa bercak putih, seringkali lebih
tinggi dari permukaan sekitar, ditemukan di tepi lateral dan dorsum lidah,
dengan distribusi bilateral. Lesi ini lebih sering dihubungkan dengan epsteinbarr virus, namun VPH juga pernah ditemukan di mukosa oral orang dengan
lesi oral hairy leukoplakia.21
i. Karsinoma sel skuamosa oral
Saat ini VPH dihubungkan dengan keganasan di rongga mulut, namun
demikian hubungan di antara keduanya tidak selalu konsisten. Lain halnya
dengan kanker serviks yang memang selalu berhubungan dengan VPH.

Universitas Indonesia

16

Prevalensi infeksi VPH pada karsinoma sel skuamosa oral berkisar antara 10100%.21
2.1.6 Tatalaksana
Tatalaksana ditentukan berdasarkan jumlah, ukuran, dan lokasi lesi, harapan
pasien, biaya, dan ketersediaan alat. Eksisi bedah dipilih untuk jumlah lesi
yang sedikit, terutama jika biopsi pada lesi diperlukan. Pilihan terapi lainnya
dapat menggunakan bahan keratolitik dengan destruksi sel seperti asam
triklorasetat 40-90%, podofilin 25%, 5 fluorouracil, dan imiquimod. Tindakan
untuk menghilangkan lesi dapat juga menggunakan laser, kauterisasi, dan
krioterapi.55 Tindakan laser untuk lesi bertangkai, dilakukan dengan cara eksisi
dengan sinar laser pada bagian tangkai lalu tepi-tepi lesi diablasi. Lesi ganas
atau prakanker dibedah dengan wide margin. Meskipun sudah dilakukan
tindakan eksisi dengan tepi bebas sel ganas, rekurensi tetap dapat terjadi.
Sebagian kasus keganasan perlu dikombinasi dengan radioterapi.56
Tatalaksana pada pasien imunokompremais lebih sulit, lesi biasanya dalam
jumlah banyak dan tidak mungkin untuk dilakukan eksisi bedah. Obat
antiretroviral dapat membantu proses penyembuhan pada beberapa kasus.
Laser juga dapat dipilih untuk kasus pasien HIV.56
Tindak lanjut pasca terapi untuk mengevaluasi rekurensi dilakukan 3-6 bulan
setelah lesi hilang. Pasien perlu diedukasi bahwa virus dapat menetap di dalam
tubuh. Tindakan pencegahan penting dikerjakan oleh karena VPH memiliki
potensi untuk menyebabkan kegansan, salah satu cara dengan vaksinasi.55 Saat
ini vaksin yang tersedia adalah quadrivalent VPH (6, 11, 16, dan 18) L1 virus
like particle (VLP) dan bivalen VPH (16 dan 18) L1 VLP.56
2.2. Kondiloma akuminatum anogenital
Kondiloma akuminatum (KA) atau kutil kelamin ditransmisikan melalui
hubungan seksual. Penamaan disesuaikan dengan bentuk klinis yang umumnya

Universitas Indonesia

17

berupa massa atau tumor dengan permukaan yang bergerigi menyerupai


jengger ayam.57
Di RSCM, KA merupakan salah satu IMS tersering. Peningkatan insidens KA
dibandingkan dengan insidens IMS lainnya dalam 5 tahun terakhir (data 20072011) dapat diamati pada periode tahun: 2007 (21,25%), 2008 (33,81%), 2009
(33,66%), 2010 (29,25%), dan 2011 (30,58%). Pada tahun 2011, terdapat 63
kasus baru yang didiagnosis dengan total kasus baru dan lama sebanyak 125
kasus.14
Sebanyak 75% lesi KA umumnya asimtomatik, kadang baru ditemukan pada
saat pemeriksaan fisis. Kelainan ini dapat pula disertai gejala berupa pruritus
anogenital, rasa terbakar, nyeri, tenesmus, maupun perdarahan.33,

49, 58

Predileksi KA berhubungan dengan cara hubungan seks, dapat ditemukan pada


meatus uretra, penis, skrotum, serviks, vagina, perineum, anus, perianal, lipat
inguinal.57, 59 Lokasi yang terlibat dapat lebih dari satu lokasi. Lesi KA pada
anus banyak ditemukan pada pasien yang berhubungan seksual reseptif
anogenital.57, 58

Manifestasi klinis KA berupa lesi klasik menyerupai kembang kol sewarna


kulit atau merah muda. Lesi dapat berbentuk kubah, papul datar, lesi
bertangkai, maupun lesi hiperkeratotik. Lesi KA dapat soliter, multipel
tersebar,

berkelompok

menyerupai

mulberry,

maupun

berkonfluens

membentuk plak.33, 60
Diagnosis umumnya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis dengan
pencahayaan yang terang dan kaca pembesar.59 Pada lesi KA yang meragukan
pemeriksaan sederhana dan cepat menggunakan asam asetat 3-5% pada lesi
dapat membantu menegakkan diagnosis.57, 58 Biopsi tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan rutin, indikasi biopsi pada KA adalah tampilan lesi yang
atipikal, lesi yang resisten terhadap terapi, dan kecurigaan perubahan

Universitas Indonesia

18

neoplastik, ditandai dengan pigmentasi, pertumbuhan cepat, fiksasi terhadap


struktur di bawahnya, perdarahan, dan ulserasi spontan.33, 58, 59
Umumnya eradikasi lesi KA tercapai dalam 3 bulan terapi, namun terdapat
kemungkinan rekurensi berkisar 10-40%.61 Pilihan terapi dapat menggunakan
bedah beku N2 cair, triklorasetat 80-90%, podofilin 10-25%, bedah eksisi,
bedah listrik, atau laser CO2.58

2.3. Identifikasi Virus Papiloma Humanus oral


Pada awalnya pemeriksaan laboratorium untuk identifikasi VPH tidak dapat
dilakukan karena virus tersebut tidak dapat tumbuh di jaringan kultur atau
hewan uji coba. Namun saat ini teknologi biologi molekular telah berkembang
dan dapat mengidentifikasi lebih dari 120 tipe VPH.21 Metode identifikasi
VPH saat ini terdiri atas:
a. Pemeriksaan mikroskopik cahaya
Infeksi VPH menyebabkan proliferasi epitel yang ditandai dengan
penebalan epitel, granul keratohialin, akantosis, dan kadang-kadang
hiperkeratosis. Adanya koilosit menandai infeksi VPH yg produktif.
Sensitivitas pemeriksaan ini untuk identifikasi infeksi VPH sangat
rendah.21
b. Mikroskop elektron
Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron, adanya partikel
virus menunjukkan infeksi VPH yang produktif. Virion dapat dilihat di
dalam nukleus koilosit dan sel diskeratotik.21
c. Metode molekular:21

Teknik nonamplifikasi:
In situ hybridization (ISH)
ISH dapat dikerjakan pada jaringan biopsi. Kecurigaan adanya
infeksi VPH pda pemeriksaan histopatologi dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan ISH.
Universitas Indonesia

19

Southern blot hybridization


Teknik pemeriksaan ini umumnya dipakai untuk identifikasi tipe
VPH yang baru. Genom VPH diekstraksi dari spesimen dan rantai
DNA dipecah oleh enzim. Produk ekstraksi DNA dimasukkan ke
dalam gel, proses ini disebut gel electrophoresis. Fragmen DNA
yang sudah terpisah, ditransfer ke membran nitroselulosa dan
dihibridisasi

dengan

probe

genom

VPH.

Probe

dilabel

menggunakan radioisotop. Deteksi DNA yang sudah dilabel


menandakan VPH ada di jaringan.

Hibridisasi dot blot


Metode ini lebih mudah dibandingkan southern blot, namun
sensitivitas teknik ini rendah. Prosedur mirip dengan southern blot
tapi tidak memakai elektroforesis.
Hibridisasi dot blot adalah sebuah teknik untuk mendeteksi,
menganalisis, dan mengidentifikasi DNA pada spesimen dengan
menggunakan probe RNA tunggal pasangannya ditandai dengan
cetakan sirkuler secara langsung pada substrat kertas. Spesimen
DNA didenaturasi agar menjadi rantai tunggal terlebih dahulu
sebelum proses hibridisasi dot blot dikerjakan.

Teknik amplifikasi
Target ampification
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode yang sering
digunakan untuk deteksi DNA VPH. Tahapan PCR melalui proses
denaturasi, annealing, dan elongasi. Secara teori PCR dapat
memperbanyak DNA sampai 1 juta kopi setelah 30 siklus. Cara ini
dapat mengidentifikasi DNA VPH dalam jumlah sedikit.
Signal amplification
Hybrid capture (HC) dikembangkan oleh Digene Coorporation,
dapat mendeteksi asam nukleat secara langsung menggunakan
sinyal amplifikasi untuk memberikan sensitivitas yang setara
dengan metode PCR. Saat ini ada dua produk, yaitu hybrid capture
Universitas Indonesia

20

tube (HCT) test dan hybrid capture II (HC II), keduanya utk
identifikasi VPH tipe risiko tinggi. HCT untuk deteksi VPH tipe
16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52. Sementara HC II dapat deteksi 4 tipe
tambahan, yaitu VPH tipe 39, 58, 59, dan 68.
Express matrix VPH Kalgen merupakan alat pemeriksaan berbasis PCR dan
menggunakan hibridisasi dot blot untuk mengenali tipe VPH pada sampel
berdasarkan probe VPH spesifik. Alat ini mampu mengidentifikasi secara spesifik
15 VPH tipe risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66,
dan 68) dan 6 VPH tipe risiko rendah (6, 11, 42, 43, 44, dan 81). Pemeriksaan ini
telah disetujui oleh World Health Organization (WHO) untuk mendeteksi VPH.62
Pemeriksaan express matrix Kalgen mampu mendeteksi VPH 16 dan 18 dalam
konsentrasi DNA VPH 50 IU/ 5L dan VPH tipe lain dalam konsentrasi 500IU/
5L. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 100% dalam mendeteksi 21 tipe VPH
yang sudah disebutkan sebelumnya. Tidak ditemukan adanya reaktivitas silang
antar tipe VPH tersebut pada pemeriksaan express matrix VPH Kalgen.62
Cara pengambilan sampel untuk deteksi VPH oral dapat dilakukan dengan cara
biopsi oral, bilas mulut, dan cytobrush. Prevalensi infeksi VPH paling tinggi pada
sampel bilas mulut.19 Metode bilas mulut dapat mengumpulkan lebih banyak sel
dibandingkan dengan metode swab atau cytobrush karena bilas mulut dapat
mengambil sel dari seluruh permukaan rongga mulut dan faring. Dengan
demikian bilas mulut akan menghasilkan DNA VPH yang lebih banyak.20
Penelitian oleh Read dkk (2010) membandingkan metode pengambilan sampel
untuk deteksi VPH, bilas mulut memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan
dengan swab rongga mulut. Sensitivitas bilas mulut 97% sementara swab 32%.63
Bilas mulut merupakan sumber yang baik untuk mendapatkan DNA, metode ini
tidak invasif, tidak nyeri, tidak membutuhkan tenaga bantuan untuk
mengumpulkan sampel, dapat dilakukan dimana saja, kapanpun, dan cocok untuk
studi epidemiologi molekular.64

Universitas Indonesia

21

2.4. Kerangka Teori

Universitas Indonesia

22

2.5 Kerangka Konsep

Universitas Indonesia

23

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.

Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang.


3.2.

Tempat dan waktu penelitian

3.2.1. Tempat penelitian


Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin, RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo dan Klinik PKBI, Jakarta.
3.2.2. Waktu penelitian
Pengambilan sampel dan pengolahan data dilaksanakan bulan April - Juni 2014.
3.3.

Populasi penelitian

3.3.1. Populasi sasaran


Populasi sasaran adalah pasien KA anogenital.
3.3.2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah semua pasien KA anogenital yang datang ke RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI, Jakarta.
3.4.

Subyek dan cara pemilihan subyek penelitian

Seleksi Subyek penelitian (SP) dilakukan berdasarkan kriteria penerimaan. Cara


pemilihan SP dilakukan secara berurutan (consecutive sampling).
3.5.

Perkiraan besar sampel

Besar sampel untuk proporsi


Besar sampel untuk perhitungan prevalensi VPH oral digunakan rumus:38
n= (Z)2 pq
d2

Universitas Indonesia

24

Keterangan:
n = jumlah sampel minimal
= tingkat penolakan, untuk =0,05 maka Z=1,96
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 7 %
p = prevalensi VPH oral pada pasien kondilomata akuminata 10,4%.6
q = 1-p
Besar sampel berdasarkan perhitungan:
n= (1,96)2 x 0,104x0,896 = 73,05 ~ 73

(0,07)2

Berdasarkan perhitungan di atas, maka ditentukan sampel minimal pada penelitian


ini sebesar 73 sampel.
Variabel yang diteliti :
a. Variabel terikat :
Diagnosis VPH oral berdasarkan pemeriksaan genotipe
b. Variabel bebas :
Frekuensi hubungan seks oral
3.6.

Kriteria pemilihan subyek penelitian

Kriteria penerimaan

Pasien KA anogenital laki-laki dan perempuan

Usia 18-60 tahun.

Bersedia ikut serta dalam penelitian

3.7. Cara kerja penelitian


3.7.1. Tahap pemilihan dan pengisian formulir persetujuan
Pemilihan SP dilakukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan SP yang sesuai dengan kriteria penerimaan. Sebelum mengikuti penelitian,
setiap SP diberikan penjelasan tentang tujuan penelitian. SP yang telah memahami
Universitas Indonesia

25

dan bersedia mengikuti penelitian diminta menandatangani lembar formulir


persetujuan.
3.7.2. Pengisian status penelitian
SP yang telah menandatangani formulir persetujuan akan menjalani pencatatan,
yang meliputi jati diri, anamnesis, pemeriksaan fisis, dan hasil pemeriksaan
genotipe VPH. Pada anamnesis ditanyakan hal-hal berikut: (1) riwayat kutil di
kelamin dan anus (2) cara melakukan hubungan seks oral dan frekuensinya, (3)
hal-hal yang dapat memengaruhi penasahan DNA VPH, yakni waktu terakhir
makan dan minum, (4) status HIV
Pada pemeriksaan fisis dilakukan inspeksi genital dan pemeriksaan tambahan
aceto white untuk membantu penegakan diagnosis lesi KA non-klasik.
3.7.3. Pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman bahan pemeriksaan.
3.7.3.1 Alat dan bahan
a. Pembilas mulut (mouthwash) dengan nama dagang Listerine
b. Gelas untuk berkumur
c. Tabung empar (sentrifugasi) 50 mL
d. Laptop dengan power point untuk memandu selama proses berkumur
e. Label
f. Spidol
g. Plastik dengan perekat untuk menyimpan tabung berisi sapesimen
bilas mulut
3.7.3.2. Cara pengambilan, penyimpanan, dan pengiriman.
Pengambilan bahan dilakukan dengan cara bilas mulut 1 jam setelah makan atau
minum terakhir. SP diminta untuk berkumur dengan 10 mL pembilas mulut selama 30 detik, kemudian mengeluarkannya ke dalam tabung empar 50 mL. Selama
proses berkumur SP akan dipandu dengan gambar yang ditampilkan dalam
microsoft power point. Tabung ditutup rapat dan disimpan dalam suhu ruang (15250C), spesimen dapat bertahan selama 7 hari. Pengambilan sampel dilakukan di

Universitas Indonesia

26

Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI
Jakarta.
3.7.4. Pemeriksaan spesimen
3.7.4.1. Alat dan bahan
1. Alat empar (sentrifugasi)
2. Pipet
3. Larutan lisis sel (cell lysis solution)
4. Puregene proteinase K
5. Alat vortifikasi
6. Isopropanol
7. Larutan glikogen
8. Kertas absorben
9. Etanol 70%
10. Batu es
11. Larutan hidrasi DNA
12. Tabung penyimpan
3.7.4.2. Cara pemeriksaan spesimen
1) Pemeriksaan untuk mengenali tipe VPH berbasis PCR dan hibridisasi dotblot, dengan menggunakan express matrix VPH Kalgen yang mampu
mengenali 15 VPH risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56,
58, 59,66, dan 6 tipe risiko rendah (6,11, 42, 43, 44, dan 81).
2) Tatacara pemeriksaan meliputi:
a. Ekstraksi DNA menggunakan Gentra Puregene Buccal Cell Kit.

Bahan diempar dengan kecepatan 2000 xg untuk menghasilkan endapan sel.

Supernatan dibuang menggunakan pipet, sehingga menyisakan endapan sel saja.

Ditambahkan larutan sebanyak 1 mL pada endapan sel untuk melisiskan sel, lalu tabung dibolak-balikkan sebanyak 50 kali.
Universitas Indonesia

27

Selanjutnya sampel diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang.

Ditambahkan 10 l Puregene Proteinase K pada sampel, lalu tabung


dibolak-balikkan lagi sebanyak 3 kali.

Vortifikasi selama 20 detik dengan kecepatan tinggi.

Inkubasi lagi selama 10 menit pada suhu ruang.

Ditambahkan 340 l larutan pengendap protein, kemudian dimasukkan


ke dalam alat vortex selama 20 detik dengan kecepatan tinggi.

Sampel diinkubasi dalam es selama 10 menit, kemudian diempar dengan kecepatan 2000 x g selama 10 menit.

Isopropanol 1 mL dan larutan glikogen 2 l dimasukkan ke dalam tabung empar 50 ml dengan menggunakan pipet.

Supernatan dipindahkan ke dalam tabung berisi isopropanol dan glikogen. Selama proses ini sampel harus dalam keadaan terendam es.

Tabung berisi campuran supernatan, glikogen, dan isopropanol dibolak-balikkan sebanyak 50 kali, lalu diempar selama 5 menit dengan
kecepatan 2000 x g.

Dengan menggunakan kertas saring, supernatan dibuang dengan menyaring endapan sel.

Ditambahkan etanol 70% ke dalam tabung berisi endapan sel, lalu


diempar lagi selama 1 menit dengan kecepatan 2000x g

Supernatan dibuang dengan cara menyaring endapan sel menggunakan


kertas saring lalu endapan sel dibiarkan di suhu ruang sampai kering,
kurang lebih selama 10-15 menit.

Ditambahkan 400 l larutan DNA hidrasi, lalu sampel divortifikasi


selama 5 menit dengan kecepatan sedang.

Dilakukan inkubasi pada suhu 650C selama 1 jam untuk melarutkan


DNA.

Dilakukan inkubasi pada suhu kamar semalam sambil dikocok


perlahan.

Setelah diinkubasi, sampel diempar sekali lagi, kemudian disimpan


sampai akhirnya siap untuk diproses pada tahap selanjutnya.

Universitas Indonesia

28

b. Amplifikasi melalui PCR

Campuran primer 21 tipe VPH dikeluarkan pada suhu ruangan.

Dibuat campuran amplifikasi PCR ke dalam tabung PCR sebagai berikut:

PCR mix

22,25 l

DNA polymerase

0,25 l

Spesimen DNA

2,5 l

Tabung dimasukkan ke dalam mesin amplifikasi PCR dengan siklus


sebagai berikut:
Suhu (0C)

Lamanya

Jumlah siklus

95

15 menit

94

15 detik

40

55

30 detik

40

72

1 menit

40

72

5 menit

16

Inkubasi sebelum tahap selanjutnya

c. Hibridisasi dot-blot

Menyiapkan sumur hibridisasi dan membran hibridisasi dot-blot.

Mesin hibridisasi dinyalakan dan suhu diatur pada 450C.

Membran tidak boleh disentuh dengan tangan. Penempatan membran


ke dalam sumur dilakukan dengan menggunakan bantuan pinset.

Sumur hibridisasi yang tidak digunakan ditutup dengan parafilm.

Bahan DNA yang telah diamplifikasi dengan PCR dipanaskan pada


suhu 950C selama 5 menit untuk melakukan denaturasi DNA dari
rantai ganda menjadi rantai tunggal.

Reagen

hibridisasi

ditambahkan

ke

dalam

bahan,

kemudian

dimasukkan ke dalam sumur hibridisasi. Campuran di dalam sumur


hibridisasi didiamkan selama 2 menit.

Sumur ditutup dan proses hibridisasi dot-blot dijalankan pada suhu


450C selama 15 menit.
Universitas Indonesia

29

Membran dibilas dengan 800 l reagen pasca hibridisasi dot-blot


sebanyak 2 kali.

Suhu mesin hibridisasi diubah menjadi 250C.

Ke dalam sumur ditambahkan enzim konjugasi sebanyak 500 l dan


didiamkan selama 5 menit.

Lalu ditambahkan lagi dengan 500 l enzim konjugasi dan didiamkan


selama 3 menit.

Seluruh cairan di dalam sumur hibridisasi dikeluarkan menggunakan


pipet.

Suhu sumur hibridisasi diubah menjadi 360C.

Membran dibilas dengan reagen 1 sebanyak 800 l, 3 kali.

Lalu membran dibilas dengan 3 ml akuadestilata.

Membran diangkat dan dikeringkan.

Penafsiran hasil.

3.8. Batasan operasional


3.8.1. Subjek Penelitian (SP)
Subjek penelitian adalah pasien KA anogenital.
3.8.2. Pasien kondiloma akuminatum anogenital
Pasien yang saat ini memiliki lesi KA anogenital atau pasien dengan riwayat KA
anogenital 3 bulan terakhir yang terbukti dari rekam medis pasien. KA merupakan
gambaran klinis berupa tumor menyerupai kembang kol sewarna kulit atau merah
muda. Lesi dapat berbentuk kubah, papul datar, lesi bertangkai, dan lesi hiperkeratotik pada genitalia eksterna. Lesi dapat berbentuk soliter, multipel, diskret
atau berkelompok menyerupai mulberry, atau berkonfluens membentuk plak.
Diagnosis ditegakkan secara klinis, dan pada kasus dengan lesi yang tidak klasik
(non-klasik) dibantu dengan menggunakan pemeriksaan asam asetat 5%.
3.8.3. Bentuk Klinis Kondiloma Akuminatum
Bentuk klinis KA diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Tipe klasik, yaitu vegetasi menyerupai kembang kol atau jengger ayam
Universitas Indonesia

30

b) Tipe KA nonklasik yang terdiri atas:


a. Papul keratotik dengan permukaan keras
b. Papul dengan permukaan halus sewarna kulit sampai
dengan merah jambu menyerupai warna mukosa
c. Papul datar atau plak
3.8.4. Tes asam asetat
Bubuhkan asam asetat 5% dengan lidi kapas pada lesi yang dicurigai. Dalam
beberapa menit lesi akan berubah warna menjadi putih (aceto white). Perubahan
warna pada lesi di daerah perianal perlu waktu lebih lama (15 menit).65
3.8.5. Lokasi lesi kondiloma akuminatum
Lokasi dimana terdapat lesi KA:
a. Genital:
Laki-laki: genitalia eksterna laki-laki, yaitu penis (glans penis, sulcus

coronarius, batang dan pangkal penis), uretra, dan buah zakar.


Perempuan: genitalia eksterna (labia mayora, labia minora, daerah

klitoris, dan introitus vagina).


b. Anal: lubang anus dan sekitarnya (perianal).
c. Anogenital: kombinasi genitalia eksterna dan anal.
3.8.6. Usia
Usia SP pada saat dilakukan pengambilan sampel, yaitu ulang tahun terakhir dengan pembulatan ke bawah, berdasarkan anamnesis atau kartu tanda penduduk
(KTP). Kategori usia dibagi menjadi kelompok < 25 tahun dan 25 tahun.
3.8.7. Jenis Kelamin
a. Laki-laki: Seorang yang secara fisik dan mengidentitaskan diri sebagai
laki laki.
b. Perempuan: Seorang yang secara fisik dan mengidentitaskan diri
sebagai perempuan.
c. Waria (Male to Female atau Transwoman): Seorang yang secara fisik
Universitas Indonesia

31

laki-laki tapi mengidentitaskan diri sebagai perempuan.


3.8.8 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diperoleh SP.
Dibagi menjadi:
a. Pendidikan rendah: tidak sekolah, sekolah dasar (SD), dan
sederajatnya.
b. Pendidikan menengah: sekolah menengah pertama (SMP), sekolah
menengah umum (SMU), dan sederajatnya.
c. Pendidikan tinggi: setingkat diploma, atau akademi, atau strata-1 atau
jenjang yang lebih tinggi.
3.8.9. Orientasi seksual
Orientasi seksual individu diklasifikasikan menjadi:
a. Heteroseksual

: Orientasi seksual SP terhadap jenis kelamin yang


berlawanan.

b. Homoseksual

: Orientasi seksual SP terhadap jenis kelamin yang


sama

c. Biseksual

: Orientasi seksual SP terhadap lawan maupun


sesama jenis kelamin

3.8.10. Status pernikahan


a. Menikah

: Memiliki istri atau suami yang sah secara agama.

b. Tidak menikah

: Tidak memiliki istri atau suami.

c. Bercerai

: Pernah memiliki namun saat ini tidak memiliki


istri atau suami.

3.8.11. Hubungan seks oral


Cara berhubungan seks oral, digolongkan atas:
a. Orogenital

: hubungan seksual oro-genital reseptif (mulut


dengan vagina atau penis).

Universitas Indonesia

32

b. Oroanal

: hubungan seks oro-anal reseptif (mulut dengan


anus).

3.8.12. Frekuensi hubungan seks orogenital atau oroanal


a. Tidak pernah

: Tidak melakukan hubungan seks oral dalam 4


bulan terakhir dan / atau tidak pernah sama sekali

b. Jarang

: Kurang dari 1 kali per minggu dalam 4 bulan


terakhir.

c. Sering

: Lebih atau sama dengan 1 kali per minggu dalam 4


bulan terakhir.

3.8.13. Tipe VPH yang diperiksa


a.

Risiko rendah

: tipe 6,11, 42, 43, 44, dan 81

b.

Risiko tinggi

: 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66

3.9. ETIK PENELITIAN


Permohonan izin (ethical clearance) diajukan kepada Panitia Kaji Etik Penelitian
Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia

dan

RSUPN

dr.

Cipto

Mangunkusumo. Subyek penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan


penelitian dan pemeriksaan yang akan dilakukan sebelum menandatangani
persetujuan tertulis (informed consent).
3.10. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Data seluruh subyek penelitian dikumpulkan dan dicatat dalam status penelitian.
Kemudian dilakukan editing, coding, serta data entry menggunakan program
SPSS. Data disajikan dalam bentuk teks dan tabel. Data deskriptif dinilai dalam
bentuk prosentase. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan infeksi
VPH oral dengan frekuensi seks oral. Uji statistik untuk melihat hubungan antara
frekuensi seks oral dengan infeksi VPH oral menggunakan uji Chi-Square. Jika
syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi maka akan menggunakan KolmogorovSmirnov.

Universitas Indonesia

33

3.11. ALUR PENELITIAN

Universitas Indonesia

34

BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
Telah dilakukan pengumpulan sebanyak 75 SP dengan consecutive sampling.
Pengumpulan SP dilakukan sejak awal bulan April hingga akhir Mei 2014 di
Poliklinik Divisi Infeksi Menular Seksual (IMS) IKKK RSCM dan Klinik PKBI,
Jakarta. Pada seluruh SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pencatatan
status penelitian, dan pengambilan sampel bilas mulut untuk pemeriksaan
genotipe DNA VPH di Laboratorium Kalgen, Jakarta. Hasil penelitian disajikan
secara deskriptif dan dilakukan analisis hubungan antara frekuensi seks oral
dengan infeksi VPH di rongga mulut.
4.1. Karakteristik sosiodemografis subyek penelitian
Dari 75 SP, sebanyak 61 (81,3%) berjenis kelamin laki-laki dan 14 (18,7%)
adalah perempuan. Sebagian besar SP berumur lebih dari atau sama dengan 25
tahun dengan umur termuda 18 tahun dan umur tertua 43 tahun. Mayoritas subyek
laki-laki belum menikah sementara subyek perempuan sudah menikah.
Karakteristik sosiodemografis subyek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Laporan mengenai sebaran jenis kelamin pada pasien KA berbeda-beda antara
penelitian yang satu dengan yang lain. Penelitian oleh Sulistyaningrum (2013),
yang mengidentifikasi tipe VPH pada berbagai bentuk klinis KA di RSUPN. Dr.
Cipto Mangunkusumo, mendapatkan jumlah SP laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan (2,1:1).66 Sebuah studi insidens KA di Hongkong
melaporkan insidens KA pada laki-laki lebih tinggi (79,5%) daripada perempuan
(20,5%). Studi tersebut berdasarkan data dari dokter umum, spesialis kandungan,
dan spesialis kulit. Tingginya insidens KA pada laki-laki tersebut diduga
berhubungan dengan perilaku yang berisiko tinggi pada populasi laki-laki.67 Studi
lain di Jerman melaporkan data dari dokter spesialis kandungan, kulit dan
kelamin, serta urologi, melaporkan bahwa insiden KA pada perempuan lebih
tinggi (62%) dibandingkan dengan laki-laki (38%). Tingginya kasus KA pada
perempuan diduga karena genitalianya lebih mudah mengalami trauma saat koitus
Universitas Indonesia

35

sehingga lebih mudah mengalami infeksi, selain itu kunjungan perempuan ke


pelayanan kesehatan lebih sering daripada laki-laki.68 Pada studi ini SP laki-laki
lebih banyak, mungkin disebabkan pasien KA yang berobat ke poliklinik kulit dan
kelamin lebih banyak laki-laki sementara pasien perempuan dengan KA lebih
sering berobat ke poliklinik ginekologi.
Sebagian besar subyek pada penelitian ini berusia lebih dari atau sama dengan 25
tahun. Hal ini sesuai dengan studi oleh Ali Khalis dkk69 di Irak dan Javidi Z dkk70
di Iran. Studi di Amerika Serikat dan Australia juga menemukan hasil yang
serupa. Penelitian oleh Sulistyaningrum, rerata usia yang didapatkan ialah 29,2
tahun.66 Tingginya kejadian KA pada usia lebih dari atau sama dengan 25 tahun
diduga karena umur tersebut merupakan periode puncak aktivitas seksual.69 Pada
penelitian ini sebagian besar SP berpendidikan menengah (61,3%), sejalan dengan
penelitian Sulistyaningrum yang mendapatkan mayoritas SP berpendidikan
menengah.66
Tabel 4.1 Karakteristik sosiodemografis pasien kondiloma akuminatum
anogenital RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta,
April-Mei 2014
Karakteristik sosiodemografi

Umur (tahun)
Status

Jenis Kelamin

N = 75

Laki-laki

Perempuan

(n=61)

(n=14)

< 25

17 (27,9%)

4 (28,6%)

21

28,0

25

44 (72,1%)

10 (71,4%)

54

72,0

Menikah

12 (19,7%)

11 (78,6%)

23

30,7

Belum menikah

48 (78,7%)

2 (14,3%)

50

66,6

Bercerai

1 (1,6%)

1 (7,1%)

2,7

Rendah

0 (0%)

0 (0%)

Menengah

38 (62,3%)

8 (57,1%)

46

61,3

Tinggi

23 (37,7%)

6 (42,9%)

29

38,7

pernikahan

Pendidikan

Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total

Universitas Indonesia

36

Mengenai status pernikahan, studi ini menemukan bahwa mayoritas subyek lakilaki belum menikah (78,7%) sementara subyek perempuan sudah menikah
(78,6%). Temuan ini juga sesuai dengan studi oleh Sulistyaningrum yang
mendapati sebagian besar SP belum menikah, yakni 57%.66 Pada penelitian ini
mayoritas subyek laki-laki belum menikah diduga karena orientasi seksualnya
sebagian besar adalah homoseksual. Hal ini bertentangan dengan hasil studi di
Irak pada 45 pasien KA laki-laki yang melaporkan bahwa mayoritas subyek sudah
menikah (71,1%), tetapi, studi tersebut tidak menyebutkan orientasi seksual
subyek penelitian.69
Perbedaan karakteristik sosiodemografis SP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI dapat dilihat pada tabel 4.2. Tidak ada perbedaan bermakna pada
karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, maupun status pernikahan
pada kedua lokasi penelitian.
Tabel 4.2 Perbedaan karakteristik sosiodemografis pasien kondiloma
akuminatum anogenital RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI
Jakarta, April-Mei 2014
Kelompok
Variabel

PKBI

RSCM

Total

(n = 10)

(n = 65)

(N = 75)

Nilai p

< 25

10

20

30,8

21

28

25

90

45

69,2

54

72

Laki-laki

10

100

51

78,5

61

81,3

Perempuan

14

21,5

14

18,7

Menikah

50

18

27,7

23

30,7

Tidak menikah

50

47

72.3

52

69,3

Rendah

Menengah

60

40

61,5

46

61,3

Tinggi

40

25

38,5

29

38,7

Sebaran usia (tahun)


0,266*

Jenis kelamin
0,192*

Status pernikahan
0,145**

Pendidikan
1,000***

Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, *) uji Fischer, **) uji Chi-Square, ***)
Uji Kolmogorov-Smirnov

Universitas Indonesia

37

4.2. Karakteristik Kondiloma Akuminatum pada Subyek Penelitian


Berdasarkan kriteria inklusi, semua pasien yang diikutsertakan pada penelitian ini
menderita KA, tetapi 4 SP sudah sembuh 1- 2 minggu sebelum mengikuti
penelitian. Pada subyek laki-laki maupun perempuan, mayoritas lesi KA bertipe
klasik (56%). Studi oleh Sulistyaningrum juga mendapatkan hasil yang sama;
65% SP memiliki lesi KA tipe klasik.66 Hal ini juga didukung oleh studi
Hillemanns dkk di Jerman yang melaporkan hampir semua KA (95%) berbentuk
kembang kol.68
Tabel 4.3 Karakteristik lesi pasien kondiloma akuminatum anogenital di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta,
April-Mei 2014
Karakteristik kondiloma
akuminatum

Lokasi lesi

Tipe lesi

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

(n=61)

(n=14)

Tidak ada lesi

4 (6,6%)

0 (0%)

5,3

Genital

18 (29,5%)

10 (71,4%)

28

37,3

Anal

33 (54,1%)

1 (7,14%)

34

45,4

Anogenital

6 (9,8%)

3 (21,4%)

12,0

Tidak ada lesi

4 (6,6%)

0 (0%) 50%

5,3

Klasik

35 (57,4%)

7 (50,0%)

42

56

Non-klasik

20 (32,8%)

5 (35,7%)

25

33,4

Campuran

2 (0,6%)

2 (14,3%)

5,3

Ket: n=jumlah SP, N= jumlah total

Terdapat perbedaan karakteristik lokasi lesi antara laki-laki dan perempuan. Pada
laki-laki, lesi terbanyak di daerah anal (54,1%), sedangkan mayoritas lesi pada
perempuan ditemukan pada genital (71,4%). Perbedaan lokasi lesi ini diduga
akibat cara hubungan seks semua SP perempuan ialah genitogenital sehingga
tidak ditemukan lesi KA pada daerah anal. Karakteristik KA ini dapat dilihat pada
tabel 4.3. Penelitian oleh Sulistyaningrum juga mendapatkan temuan serupa yaitu,
lokasi terbanyak lesi KA pada laki-laki di area anal dan batang penis, sementara
pada perempuan lebih banyak di daerah genital dibandingkan anal.66 Hal ini juga
sesuai dengan studi oleh Kofoed dkk. di Kopenhagen yang melaporkan bahwa lesi
Universitas Indonesia

38

pada perempuan umumnya terdapat pada genital, terutama di vulva, sementara


pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, umumnya lesi terdapat di
perianal.6
Perbedaan karakteristik lokasi dan tipe lesi KA anogenital pada SP di Klinik
PKBI dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tidak berbeda bermakna sehingga
dikatakan setara. Hasil ini dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Perbedaan karakteristik lokasi dan tipe lesi pasien kondiloma
akuminatum anogenital RUSPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan PKBI,
April-Mei 2014
Kelompok
Variabel

PKBI

RSCM

Total

Nilai p

(n = 10)

(n = 65)

(N = 75)

Genital

40

24

36,9

28

37,3

Anal

40

30

46,2

34

45,3

Anogenital

10

12,3

12,0

Tidak ada lesi

10

4,6

5,3

Klasik

70

35

53,8

42

56

Non-Klasik

20

23

35,4

25

33,4

Campuran

6,2

5,3

Tidak ada lesi

10

4,6

5,3

Lokasi Lesi
1,000**

Tipe lesi
0,209***

Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, **) uji Chi-Square, ***)
Uji Kolmogorov-Smirnov

4.3. Orientasi, Perilaku seks dan status HIV subyek penelitian


Perilaku seks mempengaruhi faktor penularan VPH pada rongga mulut, di
antaranya orientasi seks, frekuensi dan cara berhubungan seks.17 Pasien dengan
infeksi HIV memiliki perilaku seks yang berisiko tinggi sehingga lebih mudah
terinfeksi VPH di mukosa oral dan persisten akibat keadaan imunosupresi.20
Penelitian melihat perilaku seks dan status HIV pada SP yang dapat dilihat pada
tabel 4.5.
Universitas Indonesia

Semua

39

subyek

perempuan

dalam

penelitian

ini

mempunyai

orientasi

heteroseksual. Hal ini sejalan dengan penelitian di Sao Paolo pada 977 perempuan
terinfeksi

VPH,

yang

melaporkan

bahwa

99,06%

subyek

berorientasi

heteroseksual. Hal ini dapat disebabkan populasi perempuan yang homoseksual


sangat rendah. Akan tetapi, belum ada data prevalensi homoseksual pada
perempuan di Indonesia.71
Berbeda dengan perempuan, mayoritas subyek laki-laki pada penelitian ini
berorientasi homoseksual (54,1%). Hal ini sesuai dengan hasil studi pada pasien
laki-laki dengan KA atau proktitis oleh Mlakar dkk (2009), yang melaporkan
bahwa mayoritas subyek penelitian tersebut (63,5%) adalah homoseksual.72 Studi
oleh Ji Hyun Sung dkk pada pasien HIV positif dengan KA anal juga menemukan
mayoritas subyek (70%) adalah homoseksual. Tingginya kejadian KA pada pasien
homoseksual berhubungan dengan perilaku seks genitoanal yang lebih berisiko
tertular penyakit.73
Pada penelitian ini SP dianamnesis tentang cara hubungan seks oral dan frekuensi
hubungan seks oral dalam 4 bulan terakhir. Sebanyak 38,7% SP tidak melakukan
seks oral, 42,7% melakukan kurang dari 1 kali perminggu, dan hanya 18,6% yang
melakukan lebih dari atau sama dengan 1 kali perminggu. Kebanyakan SP lakilaki melakukan seks oral kurang dari 1 kali perminggu, yaitu 27 dari 61 SP
(44,3%), sementara banyaknya SP perempuan yang tidak melakukan seks oral dan
yang melakukan kurang dari satu kali perminggu sama, yakni masing-masing 5
SP.
Berdasarkan literatur, peningkatan angka infeksi menular seksual di antara LSL
diduga akibat makin berperannya seks oral dalam transmisi infeksi. Hal ini dapat
menerangkan bahwa seharusnya kelompok LSL sering melakukan hubungan seks
oral.74 Rendahnya frekuensi seks oral pada penelitian ini kemungkinan
disebabkan frekuensi hubungan seks yang memang jarang dilakukan. Penelitian
kohort Kreimer dkk (2007) dengan subyek laki-laki HIV negatif juga

Universitas Indonesia

40

mendapatkan frekuensi seks oral yang rendah, 70 % SP melakukan seks oral


kurang dari 25 kali dalam 6 bulan terakhir.18 Namun terdapat perbedaan
karakteristik orientasi seksual antara penelitian Kreimer dan penelitian ini. Pada
penelitian Kreimer mayoritas SP adalah laki-laki heteroseksual sedangkan pada
penelitian ini mayoritas SP adalah laki-laki homoseksual. Pada sebuah studi lain
di Australia oleh Read dkk (2010), yang meneliti VPH oral pada kelompok LSL,
didapatkan 152 SP dari 500 (30,4%) SP memiliki jumlah pasangan seks
orogenital > 1 dalam 2 minggu terakhir, 161 (32,2%) SP memiliki jumlah
pasangan lebih dari 10 dalam 52 minggu terakhir. Sejauh pengetahuan peneliti,
belum ada penelitian di Indonesia yang menilai frekuensi seks oral pada
kelompok LSL.
Tabel 4.5 Orientasi seks, perilaku seks, dan status HIV pasien kondilama
akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta , April-Mei 2014
Perilaku seks dan status HIV

Jenis Kelamin

N=75

Laki-laki

Perempuan

(n=61)

(n=14)

Heteroseksual

16 (26,2%)

14 (100%)

30

40,0

Homoseksual

33 (54,1%)

0 (0%)

33

44,0

Biseksual

12 (19,7%)

0 (0%)

12

16,0

Frekuensi hubungan seks oral 4

Tidak melakukan

24 (39,3%)

5 (35,7%)

29

38,7

bulan terakhir

< 1x/minggu

27 (44,3%)

5 (35,7%)

32

42,7

1x/minggu

10 (16,4%)

4 (28,6%)

14

18,6

Orogenital

30 (49,2%)

13 (92,9%)

43

57,3

Oroanal

1 (1,6%)

0 (0%)

1,3

Keduanya

22 (36,1%)

0 (0%)

22

29,3

Tidak keduanya

8 (13,1%)

1 (7,1%)

12,0

Positif

22 (36,1%)

4 (28,6%)

26

34,7

Negatif

17 (27,9%)

2 (14,3%)

19

25,3

Belum diperiksa

22 (36,1%)

8 (57,1%)

30

40,0

Orientasi seks

Cara hubungan seks oral

Status HIV

Keterangan: n=jumlah SP, N= jumalah total

Mengenai status HIV, sebanyak 30 SP (40%) belum melakukan pemeriksaan


HIV. Pada subyek yang sudah diperiksa HIV, mayoritas SP positif menderita HIV
Universitas Indonesia

41

(34,7%), 19 (25,3%) di antaranya negatif. Pada penelitian ini, sebagian besar SP


berstatus HIV positif, hal ini dapat disebabkan mayoritas SP adalah homoseksual.
Dari literatur, penularan infeksi HIV di antara LSL semakin meningkat terutama
di Asia.75 Tingginya infeksi HIV pada LSL juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Ji Hyun Sung,dkk.73
Tabel 4.6 Perbedaan karakteristik orientasi seks, perilaku seks, dan status
HIV pasien kondilama akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta , April-Mei 2014
Kelompok
Variabel

PKBI

RSCM

Total

Nilai p

(n = 10)

(n = 65)

(N = 75)

Heteroseksual

70

23

35,4

30

40

Homoseksual

20

31

47,7

33

44

Biseksual

10

11

16,9

12

16

Tidak melakukan

60

23

35,4

29

38,7

< 1x/minggu

40

28

43,1

32

42,7

1x/minggu

14

21,5

14

18,7

40

39

60

43

57,3

Orogenital

1,5

1,3

Oroanal

30

19

29,2

22

29,3

Keduanya

30

9,2

12,0

Positif

40

22

33,8

26

34,7

Negatif

40

15

23,1

19

25,3

Belum diperiksa

20

28

43,1

30

40,0

Orientasi seks
0,250***

Frekeunsi seks oral, 4


bulan terkahir
0,670***

Cara hubungan seks


oral

0,816***

Tidak keduanya
Status HIV
0,745***

Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, ***) Uji KolmogorovSmirnov

Universitas Indonesia

42

Karakteristik orientasi seks, cara hubungan seks oral, frekuensi seks oral 4 bulan
terakhir, dan status HIV SP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta tidak berbeda bermakna (tabel 4.6).
4.4. Hasil Pemeriksaan VPH Oral
Pada semua SP, dilakukan pemeriksaan genotipe DNA VPH yang berasal dari
bilasan mulut. Ditemukan VPH oral pada 7 SP (9,3%), terdiri atas genotipe risiko
rendah (3 subyek), risiko tinggi (3 subyek), dan keduanya (1 subyek). Proporsi
VPH oral pada pasien KA anogenital pada penelitian ini tidak sebanyak penelitian
oleh Koefoed, dkk (2009). Penelitian tersebut mendapatkan proporsi sedikit lebih
tinggi yakni, 10,4% dari 182 SP.6 Faktor risiko terinfeksi VPH diperkirakan
membedakan banyaknya kasus VPH oral di Kopenhagen dengan penelitian ini.
Enam dari tujuh SP (85,72%) yang terdeteksi memiliki VPH pada rongga
mulutnya berjenis kelamin laki-laki, hal ini sesuai dengan penelitian Koefoed
yang mendapatkan proprosi VPH oral lebih banyak pada laki-laki dibandingkan
perempuan, yakni 12,1% berbanding 6,9%.6 Sebagian besar SP dengan VPH oral
berorientasi homoseksual (42,9%) dan biseksual (28,6%). Penelitian VPH oral
pada LSL oleh Read dkk (2010), mendapatkan proporsi VPH oral sebesar 13%
(65 dari 500 SP).63 Data tersebut memperlihatkan proprosi VPH oral yang cukup
tinggi pada kelompok LSL, sejalan dengan hasil penelitian ini yang mendapatkan
sebagian besar SP dengan hasil VPH oral positif berorientasi homoseksual dan
biseskual. Literatur lain mengatakan orientasi seksual memiliki hubungan dengan
kejadian infeksi VPH yang diteliti pada 4072 laki-laki. Penelitian yang sama
menunjukkan bahwa status menikah dapat mengurangi risiko tertular VPH oral.18
Sesuai dengan hasil penelitian,VPH oral lebih banyak didapatkan pada kelompok
SP yang belum menikah.
Dari 7 SP dengan VPH oral, 2 di antaranya terinfeksi HIV, 1 SP VPH oral tidak
terinfeksi HIV, dan 4 SP lainnya belum diperiksa status HIV. Orang dengan status
HIV positif akan lebih mudah terinfeksi VPH oral.43 Penelitian oleh Mooij (2013)
pada kelompok LSL dengan infeksi HIV juga mendapatkan proporsi VPH oral
Universitas Indonesia

43

lebih besar, yaitu 5,4% berbanding 2%.20

Pada penelitian ini tidak dapat

disimpulkan karena sebagian besar (4 dari 7 SP) belum diperiksa status HIV.
Tabel 4.7 Hasil pemeriksaan VPH oral pasien kondiloma akuminatum
anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta,
April-Mei 2014
Karakteristik subyek

VPH Oral Positif


n=7

Usia

Jenis kelamin

Pendidikan

Status pernikahan

Orientasi seksual

Cara hubungan seks oral

VPH Oral

N=

negatif

75

Risiko

Risiko

Campura

rendah

tinggi

(n =68)

(n=3)

(n=3)

(n=1)

< 25 tahun

2 (28,58)

0 (0%)

0 (0%)

19 (27,9%)

21

28

25 tahun

1 (14,28%)

3 (42,86%)

1 (14,28%)

49 (72,1%)

54

72

Laki-laki

3 (42,86%)

2 (28,58%)

1 (14,28%)

55 (80,8%)

61

81,3

Perempuan

0 (0%)

1 (14,28%)

0 (0%)

13 (19,2%)

14

18,7

Rendah

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

Menengah

1 (14,28%)

1 (14,28%)

1 (14,28%)

43 (63,24%)

46

61,3

Atas

2 (28,58%)

2 (28,58%)

0 (0%)

25 (36,76%)

29

38,7

Menikah

0 (0%)

1 (14,28%)

0 (0%)

22 (32,35%)

23

30,7

Belum menikah

3 (42,86%)

2 (28,58%)

1 (14,28%)

44 (64,71%)

50

66,6

Bercerai

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

2 (2,94%)

2,7

Heteroseksual

0 (0%)

2 (28,58%)

0 (0%)

28 (41,17%)

30

40

Homoseksual

2 (28,56%)

1 (14,28%)

0 (0%)

30 (44,12%)

33

44

Biseksual

1 (14,28%)

0 (0%)

1 (14,28%)

10 (14,71%)

12

16

Orogenital

2 (28,56%)

2 (28,56%)

1 (14,28%)

38 (55,88%)

43

57,3

Oroanal

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

1 (1,47%)

1,3

Keduanya

1 (14,28%)

1 (14,28%)

0 (0%)

20 (29,41%)

22

29,4

Tidak keduanya

0 (0%)

0 (0%)

0 (0%)

9 (13,24%)

12

Frekuensi hubungan seks

Tidak melakukan

0 (0%)

2 (28,56%)

0 (0%)

27 (39,71%)

29

38,7

oral 4 bulan terakhir

< 1x/minggu

1 (14,28%)

1 (14,28%)

1 (14,28%)

29 (42,65%)

32

42,7

1x/minggu

2 (28,56%)

0 (0%)

0 (0%)

12 (17,64%)

14

18,7

Positif

0 (0%)

1 (14,28%)

1 (14,28%)

24 (35,29%)

26

34,7

Negatif

0 (0%)

1 (14,28%)

0 (0%)

18 (26,47%)

19

25,3

Belum diperiksa

3 (42,86%)

1 (14,28%)

0 (0%)

26 (38,24%)

30

40

Status HIV

Keterangan: n=jumlah SP, N=jumlah total

Pada penelitian ini VPH oral terdeteksi pada 3 dari 7 SP (42,84%) yang
melakukan seks oral kurang dari 1 kali per minggu dan 2 dari 7 SP (28,56%) yang
terdeteksi VPH, tetapi tidak melakukan seks oral sama sekali dalam 4 bulan
terakhir. Penelitian Edelstein menyatakan frekuensi seks oral berhubungan dengan
infeksi VPH di rongga mulut, namun penelitian lainnya oleh Kreimer dkk (2007)
Universitas Indonesia

44

dan Ragin dkk (2011) mendapatkan hasil penelitian yang bisa dikatakan
berbeda.18,

76

Kreimer dkk menyatakan tidak ada hubungan antara seks oral

dengan infeksi VPH oral.18 Ragin dkk, yang meneliti VPH oral pada wanita,
mendapatkan sebagian besar SP yang terdeteksi VPH oral tidak memiliki riwayat
hubungan seks oral.76 Hasil yang bervariasi ini dapat menunjukkan kemungkinan
adanya faktor lain yang dapat berhubungan dengan infeksi VPH di rongga mulut.
Data VPH oral dapat dilihat pada tabel 4.7.
4.5. Hubungan Frekuensi Seks Oral dan VPH Oral
Frekuensi seks oral dikategorikan menjadi tidak melakukan, kurang dari
1x/minggu, dan lebih dari atau sama dengan 1x/minggu. Hubungan frekuensi seks
oral dan VPH oral dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov karena tabel
yang akan digunakan adalah 2xK dan syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi.
Pada kelompok yang tidak melakukan seks oral terdapat 2 SP (6,9%) dengan VPH
oral, pada kelompok yang melakukan seks oral < 1 kali per minggu terdapat 3 SP
(9,4%) VPH oral, dan pada kelompok yang melakukan seks oral 1 kali per
minggu terdapat 2 SP (14,3%) dengan VPH oral. Hasil perhitungan statistik, tidak
terdapat perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP berdasarkan
frekuensi seks oral.
Tabel 4.8 Hubungan frekuensi seks oral dan VPH Oral pada pasien
kondiloma akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014
Frekuensi Seks
oral

VPH Oral

Uji statistik

Nilai

Interpretasi

Positif

Negatif

n=7

n=68

Tidak melakukan

2 (6,9%)

27 (93,1%)

Kolmogorov

< 1x/minggu

3 (9,4%)

29 (90,6%)

-Smirnov

1x/minggu

2 (14,3%)

12 (85,7%)

1,000

Tidak
bermakna

Ket: n=jumlah SP, N= jumalah total, p<0,05 bermakna

Universitas Indonesia

45

Penelitian yang menghubungkan infeksi VPH oral dengan frekuensi seks belum
banyak dilakukan. Umumnya membandingkan dengan jumlah pasangan seks
oral.10-12, 20, 63 Pada penelitian Edelstein, dkk menunjukan hubungan infeksi VPH
di rongga mulut dengan frekuensi seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan
jumlah pasangan seks oral (nilai p < 0,05).17 Pada penelitian ini sebagian besar SP
jarang melakukan seks oral, 42,84 % melakukan hanya <1x/minggu dan 28,56%
SP tidak melakukan sama sekali (dapat dilihat pada tabel 4.5). Hal ini mungkin
dapat menjelaskan jumlah proporsi VPH oral yang rendah pada penelitian ini.
Terdapat penelitian lain oleh Kreimer dkk (2007) yang juga menilai hubungan
frekuensi seks oral (dalam 6 bulan terakhir) dengan infeksi VPH oral, namun
hasilnya tidak bermakna secara statistik.18 Hubungan frekuensi seks oral dan VPH
oral dapat dilihat pada tabel 4.8.
4.6 Genotipe VPH oral pasien kondiloma akuminatum anogenital
Dari literatur, lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe VPH, di
antaranya VPH 2, 4, 6,11,13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Penelitian Koefoed dkk (2013)
dan beberapa penelitian lainnya mendapatkan tipe VPH yang paling sering
ditemukan dari bilasan mulut adalah tipe 16.6 Penelitian pada kelompok LSL juga
mendapatkan tipe VPH tersering adalah tipe 16 (13%) dari total VPH oral positif
pada 65 sampel. Penelitian Edelstein mendapatkan hasil VPH oral terbanyak juga
tipe 16 (2,8%) diikuti VPH 18 sebanyak 2,4%. Pada penelitian ini hasilnya
berbeda, tipe VPH oral terbanyak adalah VPH 11 (risiko rendah) pada 4 SP
(42,9%), baik ditemukan sendiri atau bersama tipe lainnya. Tipe terbanyak kedua
adalah tipe risiko tinggi, yakni tipe 18 yang ditemukan pada 2 SP. Sebuah studi
menunjukkan peran topografi pada prevalensi VPH di mukosa rongga mulut,
maksudnya adalah satu area mukosa rongga mulut berhubungan dengan tipe VPH
tertentu. VPH tipe 18 lebih sering ditemukan di mukosa labia oris bagian bawah
sedangkan tipe 11 tidak didapatkan pada penelitian tersebut.77 Data VPH oral di
Indonesia belum pernah ada, sementara data VPH pada lesi KA genital, yang
dilakukan oleh Sulistyaningrum (2012-2013), mendapatkan tipe VPH paling
banyak adalah tipe 11.66 Data mengenai genotipe VPH oral SP dapat dilihat pada
tabel 4.9.

Universitas Indonesia

46

Tabel 4.9 Genotipe VPH oral yang ditemukan pada pasien kondiloma
akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta, April-Mei 2014
Genotipe

11

14,3

6 dan 11

14,3

11 dan 43

14,3

11 dan 51

14,3

18

28,5

58

14,3

Ket: n=jumlah SP

4.8. Keterbatasan penelitian


Untuk lebih bisa membuktikan hubungan frekuensi seks oral dengan VPH oral
membutuhkan desain yang lebih sesuai misalnya kasus kontrol atau kohort. Kedua
desain tersebut membutuhkan jumlah SP yang lebih banyak sehingga
membutuhkan waktu yang lebih lama dan dana lebih besar.

Universitas Indonesia

47

BAB 5
IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN
5.1. Ikhtisar
Virus Papiloma Humanus (VPH) merupakan penyebab penyakit infeksi menular
seksual (IMS) yang sering ditemukan di dunia. VPH tipe mukosa dapat
menginfeksi mukosa laring, traktus respiratorius, anus, uretra, kandung kemih,
traktus genitalia wanita, dan oral.1 VPH menyumbang 5,2% dari keseluruhan
penyebab keganasan pada manusia, antara lain keganasan orofaring.2 Kajian
epidemiologik di Swedia dan Denmark menunjukkan insidens keganasan oral dan
anal masing-masing mencapai 10 dan 4 kali lebih tinggi pada pasien kondiloma
akuminata genitalia dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki kondiloma
genitalia. Kajian prevalensi VPH oral pada pasien KA di Kopenhagen
menunjukkan prevalensi sebesar 10,4% dan terdapat kesesuaian tipe dengan VPH
pada lesi kutil genital sebesar 60,9%.6
Penelitian oleh Edelstein (2008-2010) menunjukan frekuensi seks oral lebih
bermakna dibandingkan dengan jumlah pasangan seks oral seumur hidup.
Individu yang melakukan seks orogenital 1 kali atau lebih setiap minggu
dibandingkan dengan yang melakukan orogenital kurang dari 1 kali setiap
minggu, memiliki insidens infeksi VPH yang lebih tinggi. Hubungan seks
orogenital dengan frekuensi yang sering selama 4 bulan terakhir berhubungan
bermakna dengan insidens infeksi VPH oral. Orang yang melakukan seks oral
lebih dari 1 kali per minggu akan memiliki kemungkinan mendapatkan infeksi
VPH oral 4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang melakukan seks oral
kurang dari 1 kali per minggu.17

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, yang bertujuan untuk


mengetahui proporsi VPH oral dan untuk mengetahui hubungan frekuensi
hubungan seks oral dengan infeksi VPH oral pada pasien KA anogenital. Subyek
penelitian terdiri atas 75 pasien KA anogenital, baik laki-laki maupun perempuan,
berusia antara 18-60 tahun. SP dikumpulkan secara consecutive sampling, sejak
bulan April Mei 2014 di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM
Universitas Indonesia

48

dan klinik PKBI di Jakarta. Subyek yang diikutsertakan pada penelitian sudah
melalui seleksi kriteria penerimaan. Pada seluruh subyek dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan genotipe VPH dari bilasan mulut. Sampel
diambil dengan cara kumur-kumur menggunakan cairan Listerine selama 30
detik, lalu ditampung ke dalam tabung sentrifugasi. Tabung selanjutnya dibawa ke
laboratorium Kalgen, Jakarta untuk diproses lebih lanjut.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik sosiodemografi subyek penelitian
Dari 75 SP, sebanyak 81,3% berjenis kelamin laki-laki dan 18,7% adalah
perempuan. Sebagian besar subyek, yaitu 72%, berusia lebih dari atau
sama dengan 25 tahun. Mayoritas subyek laki-laki (78,7%) belum menikah
sementara subyek perempuan sudah menikah (78,6%). Tidak ada
perbedaan bermakna pada karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, maupun status pernikahan pada kedua lokasi penelitian.
2. Karakteristik Kondiloma Akuminatum pada Subyek Penelitian
Semua pasien yang diikutsertakan pada penelitian ini menderita KA. Di
antaranya terdapat 4 SP sudah sembuh dari KA pada saat penelitian
berlangsung. Pada subyek laki-laki maupun perempuan, mayoritas lesi KA
bertipe klasik (56%). Akan tetapi terdapat perbedaan karakteristik lokasi
lesi antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, lesi terbanyak terdapat
pada anal (54,1%), sedangkan mayoritas lesi pada perempuan ditemukan
pada genital (71,4%).
3. Orientasi seks, perilaku seks dan status HIV subyek penelitian
Semua subyek perempuan dalam penelitian ini mempunyai orientasi
seksual heteroseksual. Sementara itu, mayoritas subyek laki-laki
berorientasi seksual homoseksual (54,1%).
Pada karakteristik hubungan seks oral, subyek penelitian dianamnesis
tentang cara hubungan seks oral dan frekuensi hubungan seks oral dalam 4
Universitas Indonesia

49

bulan terakhir. Mayoritas subyek laki-laki dan perempuan melakukan


hubungan seks oral dengan frekuensi kurang dari 1 kali perminggu dalam
4 bulan terakhir, yakni sebesar 42,7% dan sebanyak 38,7% SP tidak
melakukan seks oral sama sekali dalam 4 bulan terakhir. Cara hubungan
seksual yang paling banyak dilakukan adalah orogenital, yakni sebesar
57,3%. Mengenai status HIV, sebagian besar subyek belum melakukan
pemeriksaan HIV (40%). Pada subyek yang sudah diperiksa HIV,
mayoritas subyek pada penelitian ini positif menderita HIV (34,7%).
Karakteristik orientasi seks, cara hubungan seks oral, frekuensi seks oral 4
bulan terakhir, dan status HIV SP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI Jakarta tidak berbeda bermakna
4. Hasil Pemeriksaan VPH Oral
Ditemukan 9,3% atau 7 SP yang terinfeksi VPH oral. Genotipe VPH yang
ditemukan adalah genotipe risiko rendah (3 subyek), risiko tinggi (3
subyek), dan keduanya (1 subyek).
Enam dari tujuh SP (85,72%) yang terdeteksi memiliki VPH pada rongga
mulutnya berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar SP dengan VPH oral
berorientasi homoseksual (42,9%) dan biseksual (28,6%). VPH oral lebih
banyak didapatkan pada kelompok SP yang belum menikah (85,7%). Hasil
penelitian sebagian SP yang terdeteksi VPH oral belum diperiksa status
HIV (57,14%).
Cara hubungan oral seks pada SP yang terdeteksi VPH oral paling banyak
dengan cara orogenital (71,4%). VPH oral lebih banyak ditemukan pada
subyek melakukan hubungan seks orogenital dengan frekuensi kurang dari
1x/minggu (42,84%) dan tidak melakukan sama sekali (28,56%).

Universitas Indonesia

50

5. Hubungan Frekuensi Seks Oral dan VPH Oral


Hubungan frekuensi seks oral dan VPH oral dianalisis menggunakan
Kolmogorov-Smirnov karena syarat uji Chi-Square tidak terpenuhi. Hasil
perhitungan statistik, tidak terdapat perbedaan proporsi VPH oral di antara
kelompok SP berdasarkan frekuensi seks oral.
6. Genotipe VPH oral pasien kondiloma akuminatum anogenital
Tipe VPH oral terbanyak adalah VPH 11 (risiko rendah) pada 4 SP
(42,9%), baik ditemukan sendiri atau bersama tipe lainnya. Tipe terbanyak
kedua adalah tipe risiko tinggi, yakni tipe 18 yang ditemukan pada 2 SP.
5.2 Kesimpulan
1. Proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital sebesar 9,3%.
2. Tidak terdapat perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP
berdasarkan frekuensi seks oral sehingga hipotesis ditolak.
5.3 Saran
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dan hipotesis
penelitian selanjutnya.
2. Melanjutkan penelitian dengan jumlah SP yang lebih banyak dan
rancangan penelitian kasus kontrol atau kohort untuk lebih membuktikan
hubungan frekuensi seks oral dan infeksi VPH oral.
3. Diperlukan penelitian pada populasi risiko tinggi lainnya dengan
rancangan penelitian yang sesuai untuk menambah data epidemiologi di
Indonesia.
4. Penelitian korelasi genotype VPH oral dan keganasan orofaring di
Indonesia.

Universitas Indonesia

51

DAFTAR PUSTAKA
1. Androphy E, Kirnbauer R. Human Papiloma Virus. In: Goldsmith LA, Stephen
IK, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K. Dermatology in General
Medicine. 8th ed. US: Mc Graww Hill Companies; 2012: 2421-33
2. Chung C. Epidemilogy of oral human papilomavirus infection. Oral Oncol.
2013:1-6, http://dx.doi.org/10.1016/j.oraloncology.2013.09.003
3. Hong A, Girlich A, Jones D, et al. Oropharyngeal cancer australian data show
increase. Br Med J. 2010;340:c2518.
4. Kreimer A, Clifford G, Boyle P, et al. Human papilomavirus types in head and
neck squamous cell carcinomas worldwide: a systematic review. Cancer
Epidemiol Biomarkers Prev. 2005;14:467-75.
5. D'Souza G, Kreimer A, Viscidi R, et al. Case-control study of human
papilomavirus and oropharyngeal cancer. New Engl J Med. 2007;356:194456.
6. Koefoed K, Sand C, Forslund O, et al. Prevalence of human papilomavirus in
anal and oral sites among patients with genital warts. Acta Derm Venereol.
2013;94:1-5.
7. Friis S, Kjaer S, Frisch M, et al. Cervical intraepithelial neoplasia, anogenital
cancer, and other cancer types in women after hospitalization for
condylomata acuminate. J Infect Dis. 1997;175:743-48.
8. Nordenvall C, Cjang E, Adami H, et al. Cancer risk among patients with
condylomata ccuminata. Int J Cancer. 2006;119:888-93.
9. Feller L, Kharisma R, Wood N, et al. Epithelial maturation and molecular
biology of oral HPV. Infectious agents and cancer. 2009;4:16-25.
10. Kuhs KAL, Gonzales P, Struijk L, et al. Prevalence of and risk factors for
human papilomavirusn among young women in Costa Rica. The Journal of
Infectious Disease 2013;208:1643-52.
11. Pickard R, Xiao W, Broutian T, et al. The prevalence and incidence of oral
human papilomavirus infection among young men and women, aged 18-30
years. Sex Transm Dis. 2012;39:559-66.
12. Gillison M, Broutian T, Pickard R, et al. Prevalnce of oral HPV infection in
The United States, 2009-2010. JAMA. 2012;307(7):693-703.
13. Kreimer A, Villa A, Nyitray A, et al. The epidemilogy of oral HPV infection
among a multinational sample of healthy men. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev. 2011;20:172-82.
14. Indriatmi W. Epidemiologi infeksi menular seksual di Indonesia. Symposium
Sexually Transmitted Infections a Rising Corner 2012, confrence proceeding,
15-16 September 2012 Hotel Crown Plaza-Semarang, Indonesia. 2012.
15. Termine N, Giovanelli L, Matrangga D, et al. Oral human papilomavirus
infection in women with cervical HPV infection: New data from an italian
cohort and mtanalysis of the literature. Oral Oncol.2011;47:244-50.
16. Crawford R, Grignon A, Kitson S, et al. High prevalence of HPV in non
cervical sites of women with abnormal cervical citology. BMC Cancer.
2011;11:473.
17. Edelstein Z, Schwartz S, Hawes S, et al. Rates and determinants of oral human
papilomavirus among young men. Sexually Transm Dis. 2012;39:860-7.
Universitas Indonesia

52

18. Kreimer A, Campbell CP, Lin H. Incidence and clearance of oral human
papilomavirus infection in men: the HIM cohort. Lancet.
2013;382(9895):877-87.
19. D'Souza G, Sugar E, Ruby W, et al. Analysis of the effect of DNA
purification on detection of human papilomavirus in oral rinse samples by
PCR. Journal of Clinical Biology. 2005;43:5526-35.
20. Mooij SH, Boot HJ, Speksnijder AG, et al. Oral human papilomavirus
infection in HIV-negative and HIV infected MSM. AIDS. 2013;27:2117-28.
21. Kusmarawasmy K, Vidhya M. Human papilomavirus and oral infections: An
Update. Journal of cancer research and theurapetics 2011;7:120-7.
22. Begum S, Guillison M, Nico T, et al. Detection of human papilomavirus 16 in
fine needle aspiration to determine tumor origin in patients with metastatic
squamous cell carcinoma of the head and neck. Clinical Microbiology
Reviews. 2007;13:1186-91.
23. Castle P. Human papilomavirus in oral exfoliated cells and risk of head and
neck cancer. Journal of The National Cancer Institute. 2004;96:1181-3.
24. Castro T, Bussoloti I. Prevalence of human papilomavirus in oral ciavity and
orofaring. revista Brasileira de Otorralingologia. 2006;72:272-82.
25. Vet J, Boer Md, Akker BVd, et al. Prevalence of human papilomavirus in
Indonesia: a population based study in three regions. British Journal of
Cancer. 2008;99:214-8.
26. Fernandez AM, Rosete D, Pedraza S, et al. Low and high risk human
papilomavirus in the oral mucosa pf mexican women with genital
papilomavirus. Open Journal of Medical Microbiology. 2013;3:62-9.
27. Gillison M, Koch W, Capone R. Evidence for causal association between
human papilomavirus and a subset of head and neck cancers. J Natl Cancer
Inst. 2000;92:709-20.
28. Longworth M, Laimins L. Pathogenesis of human papilomavirus in
differentiating epithelia. Microbiol Mol Biol Rev. 2004;68:362-72.
29. Doorbar J. The papilomavirus life cycle. J Clin Virol. 2005;32:s7-15.
30. Scheurer M, Tortolero-Luna G, Adler-Strothz K. Human papiloma virus
infection: biology, epidemiology, and prevention. Int J Gynecol Cancer.
2005;15:727-46.
31. Rose R, Stoler M. Biology. In: Bonnez W. Guideline to genital disease and
prevention. New York: Informa Healthcare. 2009:1-16
32. Koutsky L, Ault K, Wheeler C. A controlled trial of a human papilomavirus
tyoe 16 vaccine. N Engl J Med. 2002;347:1645-51.
33. Mayeux E, Dunton C. Modern management of external genital warts. J Low
Genit Tract Dis. 2008;12(3):185-92.
34. Stanley M. Epithelial cell responses to infection with human papilomavirus.
Clin Microbiol Rev 2012;25920:215.
35. Beachler D, D'Souza G, Sugar E. Differencess in oral and anal HPV natural
history among HIV infected individuals. proceedings of the 28th international
papilomavirus conference. 2012:213.
36. Gravit P. The known unknowns of HPV natural history. J Clin Invest.
2011;121:4593-9.
37. D'Souza G, Dampsey A. The role of HPV in head and neck cancer and review
of the HPV vaccine. Prev Med. 2011;53:s5-11.
Universitas Indonesia

53

38. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, et al. Perkiraan besar sampel. In:


Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Jakarta: Sagung seto. 2011:302-31
39. Veldhuijzen N, Snijders P, Reiss P, et al. FActors affecting transmission of
mucosa humanpapilomavirus. Lancet Infect Dis. 2010;10:862-74.
40. Arnson Y, Shoenfield Y, Amital H. Effects of tobaco smoke on immunity,
inflamation and autoimmunity. J Autoimmun. 2010;34:J258-65.
41. Roteli-Martins C, Panetta K, Alves V, et al. Cigarrete smoking and high risk
of HPV-DNA as predisposing factors for high grade cervical intraepithelial
neoplasia (CIN) in young brazilian women. Acta Obstreticia et Gynecologica
Scandinavica. 1998;77:678-82.
42. Roden R, Lowy D, Schiller J. Papilomavirus resistant to dessication. J Infect
Dis. 1997;176:1076-9.
43. Beachler D, Weber K, Margolick J. Risk factors for oral HPV infection among
high prevalence population of HIV positive and at risk HIV negative adults.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2012;21:122-133.
44. Bui T, Markham C, Ross M, et al. Examining the association between oral
health and oral HPV infection. Cancer prevention research 2013;6(9):917-24
45. Martin M, Carrington M. Immunogenetics of viral infections. Curr Opin
Immunol. 2005;17:510-6.
46. Reichart P, Philipsen H. Oral erythroplakia review. Oral Oncol. 2005;41:55161.
47. Nielson H, Norrild B, Vedtofte P, et al. Human papilomavirus in oral
premalignant lessions. Oral Oncol Erus J Cancer. 1996;32B:264-70.
48. Villiers Ed, Neumann C, Weidauer H. Infections of the oral mucsa with
defined types of human papilomavirus. Med Microbiol Immunol (Berls).
1986;174:287-94.
49. Chang F, Syrjanen S, Kellokoski J, et al. Human papilomavirus infections abd
their associations with oral disease. J Oral Pathol Med. 1991;20:305-10.
50. Carneiro TE, Marinho SA, Verli FD, et al. Oral squamous papiloma/;clinical.
histologic, and immunohistochemical analyses. Journal of Oral Science.
2009;51:367-72.
51. Lutzner M, Kuffer R, Blanchet-Bardon C, et al. Different papilomavirus as
causes of oral warts. Arch dermatol. 1982;118:393-9.
52. Maitland N, Cox M, Lynas C, et al. Detection of human papilomavirus DNA
in biopsies of human oral tissue. Br J Cancer. 1987;56:245-50.
53. Pandyala G, Joshi S, Kalburge, et al. Oral Lichen Planus: a report and review
of an autoimmune-mediated condition in gnggiva. Med Microbiol Immunol
(Berls). 2012;33(8):e102-8.
54. Lind P, Syrjanen S, Syrjanen K, et al. Local immunoreactivity and human
papiloma in oral precancer and cancer lessions. Scand J Dent Res.
1986;94:419-26.
55. Reis HLB, Rabelo PC, Santana MRFd, et al. Oral squamous papiloma and
condyloma acuminatum as amnifestations of buccal-genital infection by
human papilomavirus. Indian J Sex Transm Dis. 2009;30:40-2.
56. Eversole LR. Human papilomavirus and papilary oral lesions. In: Silverman,
Eversole LR. Essential of oral Medicine. Ontario: BC Decker. 2002:144-50
57. Bonnez W, Toy E. Diseases. In: Bonnez W. Guide to genital disease and
prevention. New York: Informa Healthcare. 2009:29-44
Universitas Indonesia

54

58. CDC. Sexually transmitted disease treatment guidelines 2010. Morb Mortal
Wkly Rep. 2010;59(RR-12):70-4.
59. Wiley D, Dpuglas J, Beutner K, et al. External genital warts:diagnosis,
treatment, and prevention. Clin Infect Disease. 2002;35(2 suppl):s210-24.
60. Juckett G, Hartman-adams. Human papilomavirus: clinical manifestation and
prevention. Am Fam Physician. 2010;15:1209-14.
61. Bonnez W, Toy E. Therapy. In: Bonnez W. Guide to genital disease and
prevention. New York: Informa Healthcare, 2009:45-58
62. HPV express matrix test kit user manual. In matrix He, (Ed) 2011:1-15.
63. Read T, Hocking J, Vodstrci L, et al. Oral human papilomavirus in men
having sex with men: risk factors and smapling. Plos One.
2012;7(11):e49324.
64. Lucky MH, Baig S. Isolation of DNA from oral rinse in HPV positive
patients. Journal of College of Physicians and Surgeons Pakistan.
2013;23(7):455-8.
65. Zubier F. Kondiloma Akuminata. In: Daili SF, Makes WIB, Zubier F,
Judanarso. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005:146-58
66. Sulistyaningrum S. Identifikasi Tipe Human Papilomavirus pada Berbagai
Bentuk Klinis Kondiloma Akuminatum di Rumah Sakit Umum Pusat
NAsional Dr. Cipto Mangunkusumo. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Universitas Indonesia 2013.
67. Lin C, Ho KM, Tsui HY, et al. Incidence of genital warts among Hongkong
general adult population. BMC Infect Dis. 2010;10:272-7.
68. Hillemanns P, Breugelmans J, Gieseking F, et al. Estimation of the incidence
of genital warts and teh cost of illness in germany: A cross-sectional study.
BMC Infect Dis (cited 2014 Jun 14). 2008;8:(10 screens).
69. Khalis BA, Abdul-Jabbar MA-S, Sherzad AI. Clinical and epidemiological
patterns of anogenital warts among male patients in Erbil city, Iraq. Ann Coll
Med Mosul. 2012;38(2):28-34.
70. Javidi Z, Maleki M, MAshayekhi V, et al. epidemiological evaluation of
patients with anogenital warts referred to dermatology clinic of Imam-Reza
Hospital in Mashhad. IJD. 2008;11(1):25-9.
71. Gaspar J, Gir E RR, Alreido Md, et al. Sociodemographic and clinical factors
and their asscociation with the type of lesion caused by human papiloma
virus. J Antivir Antiretrovir. 2013;5:113-8.
72. Mlakar B. Proctoscopy should be mandatory in men that have sex with men
with external anogenital warts. Acta Dermatoven APA. 2009;18 (1):7-11.
73. Sung J, Ahn E, Oh H-K, et al. Association of immune status recurrent anal
condyloma in human immunodeficiency virus positive patients. J Korean Soc
Colproctol. 2012;28(6):294-8.
74. Mayer KH. Sexually transmitted disease in men who have sex with men. CID.
2011;53(suppl 3):s79-83.
75. Griensven Fv, Wijngaarden HdLv. A review of the epidemiology of HOV
infection and prevention responses among MSM in Asia. AIDS.
2010;24(Suppl3):s30-40.
76. Ragin C, Edwarsd R, LArkins-Pettigrew M, et al. Oral HPV infection and
sexuality: A cross-sectional study in women. Int J Mol Sci. 2011;12:3928-40.
Universitas Indonesia

55

77. Mravak-Stipetic M, Sebol I, Kranjcic J, et al. Human Papilomavirus in The


Lesions of The Oral Mucosa According to Topography. Plos One
2013;8(7):e69736.

Universitas Indonesia

56

Lampiran 1: Lembar informasi penelitian


INFORMASI PENELITIAN
Saudara/i yang terhormat,
Virus papiloma humanus (VPH) merupakan penyebab penyakit infeksi menular
seksual yang sering ditemukan. Infeksi VPH dapat terjadi di kulit dan mukosa,
yaitu mukosa kelamin, anus, serta rongga mulut. Infeksi di rongga mulut terjadi
lebih sering melalui hubungan seksual dengan mulut (seks oral), baik mulut ke
kelamin maupun mulut ke anus. Sebuah penelitian mendapatkan kejadian infeksi
VPH di rongga mulut pada populasi sehat sebesar 2,4%, sementara angka
kejadian infeksi VPH pada populasi pasien kutil di kelamin dan anus lebih tinggi,
yaitu 10,4%.
Infeksi di rongga mulut dapat berupa lesi jinak, berupa bercak, benjolan, atau
dapat tidak bergejala. Infeksi VPH di rongga mulut berhubungan dengan
keganasan mulut dan tenggorok (orofaring). Proporsi keganasan orofaring yang
diakibatkan oleh VPH meningkat dari 19% menjadi 60 % pada tahun 2005-2006.
Terdapat beberapa pilihan terapi untuk mengatasi infeksi VPH dan juga tersedia
vaksin untuk mencegah infeksi VPH.
Saat ini kami sedang melakukan penelitian untuk mengetahui angka kejadian
infeksi VPH pada rongga mulut pasien kutil kelamin-anus (kondiloma
akuminatum anogenital) di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan klinik swasta
Jakarta. Selain itu juga ingin mencari hubungannya dengan frekuensi hubungan
seks mulut (seks oral). Pengambilan bahan periksa dilakukan dengan cara bilas
mulut. Sebelumnya saudara/i akan diminta berkumur dengan Listerine.
Pemeriksaan ini cepat, aman dan tidak melukai. Bahan tersebut dikirim ke
laboratorium untuk mendeteksi adanya VPH di mukosa rongga mulut saudara/i.
Biaya pemeriksaan bilas mulut tersebut sepenuhnya ditanggung oleh peneliti.
Saudara/i akan mendapatkan hasil pemeriksaan tersebut 2 minggu kemudian. Bila
saudara/i terdiagnosis infeksi VPH maka kami akan membantu untuk merujuk
saudara/i ke dokter gigi dan mulut atau dokter telinga, hidung, tenggorok (THT)
di RSUPN Cipto Mangunkusumo, jika saudara menghendaki. Adapun biaya
konsultasi ke bagian Gigi dan Mulut atau THT ditanggung sendiri oleh saudara/i.
Partisipasi saudara/i bersifat sukarela dan tetap akan dilayani sesuai prosedur
meskipun saudara/i menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Kerahasiaan data dan kelainan yang diderita saudara/i akan dijaga. Bila saudara/i
membutuhkan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi dr. Cut Natya Rucitra di
Departemen Kulit dan Kelamin FKUI/RS dr. Cipto Mangunkusumo, Jl.
Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat, telepon (021) 3918301 ext.6309 (jam kerja)
atau HP 085810140266. Terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.
Peneliti
Universitas Indonesia

57

Lampiran 2: Formulir persetujuan

RSCM
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro No.71Jakarta 10430
Telp (021) 3918301 Fax (021)3148991

NRM

Nama

Jenis Kelamin
Tanggal lahir

:
:
:
:

(Mohon diisi atau t empelkan stiker jika ada)

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


(FORMULIR INFORMED CONSENT)
Peneliti Utama

dr. Cut Natya Rucitra

Pemberi Informasi

dr. Cut Natya Rucitra

Penerima Informasi
Nama Subyek
Tanggal lahir
Jenis Kelamin
Alamat
No Telp (HP)

:
:
:
:
:

JENIS
INFORMASI

ISI INFORMASI

TANDAI

Proporsi Virus Papiloma Humanis (VPH)


oral dan hubungannya dengan frekuensi
seks oral pada pasien kondiloma
akuminatum anogenital
Untuk mengetahui:
Proporsi infeksi VPH oral (mulut)
pada pasien kondiloma akuminatum
anogenital (kutil di kelamin-anus)
Penentuan genotipe VPH oral (mulut)
pada pasien kondiloma akuminatum
anogenital (kutil di kelamin-anus)
Hubungan frekuensi seks oral (mulut)
dengan infeksi VPH oral pada pasien
kondiloma akuminatum anogenital
(kutil di kelamin-anus)

1.

Judul Penelitian

2.

Tujuan Penelitian

3.

Metode
Penelitian

Rancangan penelitian potong lintang

Risiko & Efek


samping dalam
penelitian

Diharapkan tidak timbul efek samping


tertentu. Subyek penelitian (SP) hanya
diminta untuk berkumur menggunakan
pembilas mulut (mouthwash). Kalaupun
ada, hanya timbul rasa pedas saat
berkumur.

4.

Universitas Indonesia

58

5.

Manfaat
Penelitian
termasuk manfaat
bagi subyek
penelitian

6.

Prosedur
Penelitian

Data proporsi dan tipe VPH oral dapat


menjadi dasar penyuluhan.
Jika hasil pemeriksaan positif maka
akan dirujuk ke departemen Ilmu
Kesehatan Gigi dan Mulut atau Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok (THT) untuk ditangani
lebih lanjut.
SP akan diwawancara dan dilakukan
pemeriksaan daerah anus dan kelamin
untuk melihat adanya kutil pada
daerah tersebut.
Setelah menyetujui untuk
berpartisipasi dalam penelitian, SP
akan diminta untuk berkumur dengan
pembilas mulut Listerine, sebanyak
10-15cc, selama 30 detik, lalu
menampung bilasan mulut tersebut
dalam tabung.
Jika SP baru saja makan atau minum
dalam 1 jam terakhir, akan diminta
untuk menunggu 1 jam sebelum
berkumur.
Sebelum memulai dan selama proses
berkumur berlangsung akan dipandu
dengan bantuan gambar

7.

Ketidaknyamanan
Rasa pedas saat berkumur
subyek penelitian

8.

Alternatif
penelitian

Jika tidak bersedia ikut dalam penelitian,


SP akan tetap ditangani sesuai prosedur

9.

Penjagaan
kerahasiaan

Semua data akan dijamin kerahasiaannya

10.

Kompensasi bila
terjadi efek
samping

Tidak Ada

11.

Nama dan Alamat


Peneliti, serta
nomor telp yang
dapat dihubungi

dr. Cut Natya R Jacoeb


Alamat di Jl. Cipinang Jaya LL No21,
Jakarta
Telp 085810140266

12

Jumlah Subyek

Minimal 73 orang

Universitas Indonesia

59

13

Bahaya potensial

Tidak Ada

14.

15.

Biaya pemeriksaan spesimen bilas


mulut (laboratorium) ditanggung oleh
peneliti
Jika hasil positif makan biaya
konsultasi ke bagian gigi dan mulut
atau bagian telinga, hidung, tenggorok
(THT) akan ditanggung oleh SP

Biaya yang
timbul

Insentif bagi
subyek

Diberikan cindera mata atau penggantian


biaya transportasi

Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang


akan dilakukan oleh dr. Cut Natya R. Jacoeb dengan judul Proporsi Virus Papiloma
Humanus dan Hubungannya dengan Frekuensi Seks Oral pada Pasien
Kondiloma Akuminatum Anogenital, informasi tersebut telah saya pahami dengan
baik.
Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam
penelitian di atas dengan sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu
waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, Saya berhak membatalkan
persetujuan ini.

______________________
Tanda tangan Subyek & Nama

_______________________
Tanda tangan Saksi & Nama

__________________
Tanggal

__________________
Tanggal

Ket: Tanda tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran,
mengalami gangguan jiwa, dan berusia di bawah 18 th.

Universitas Indonesia

60

Saya telah menjelaskan kepada Subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur dan faktor risiko, serta ketidaknyamanan
yang mungkin timbul ( penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang saya tandai di
atas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan
sebaik-baiknya.

__________________

_______________

dr. Cut Natya R. Jacoeb

Tanggal

Universitas Indonesia

61

Lampiran 3
PENYARINGAN SUBYEK PENELITIAN
Kriteria penerimaan subyek penelitian
(Beri tanda )
Ya
Tidak
Laki-laki/ Perempuan
Kondiloma akuminatum
Usia 18-60 tahun
Bersedia menjadi subyek penelitian dan
menandatangani surat persetujuan penelitian setelah
diberi penjelasan (informed consent).
Jika ada jawaban tidak, maka pasien tidak memenuhi kriteria untuk mengikuti
penelitian.
Kesimpulan
( ) Pasien memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian
( ) Pasien tidak memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian

Universitas Indonesia

62

Lampiran 4: Status penelitian


STATUS PENELITIAN
Tanggal pemeriksaan

I. IDENTITAS
1. Nomor urut penelitian

2. Usia

: . Tahun

3. Tingkat Pendidikan

: (1) Tidak sekolah ; (2) SD / Sederajat ; (3) SMP /


Sederajat ; (4) SMU / Sederajat ; (5) Diploma /
Akademik / Sarjana strata 1-3

4. Jenis kelamin

: (1) Laki-laki
(2) Perempuan
(3) Waria

4. Orientasi seksual

: (1) Heteroseksual
(2) Homoseksual
(3) Biseksual

5. Status pernikahan

: (1) Menikah
(2) Belum menikah
(3) Bercerai

6. Status HIV

: (1) Positif
(2) Negatif
(3) Belum pernah diperiksa

II. ANAMNESIS
1. Apakah SP baru saja makan atau minum dalam 1 jam terakhir?
a. Ya
b. Tidak
2. Cara melakukan hubungan seks oral:
a. Orogenital
b. Oroanal
c. Keduanya
d. Tidak Keduanya

Universitas Indonesia

63

5. Frekuensi berhubungan seks oroanal dan atau orogenital dalam 4 bulan


terakhir :
a. Tidak melakukan
b. Kurang dari 1 kali per minggu
c. Lebih dari atau sama dengan 1 kali per minggu
III. PEMERIKSAAN FISIS
Status venereologikus
6. Lokasi lesi kondiloma akuminatum

: (1) Genital

(2)Anal

(3) Anogenital (4) Tidak ada lesi#)


7. Terakhir kali ditemukan lesi

: .....................

8. Tipe lesi kondiloma akuminatum*)

: (1) Klasik

(2) Non-Klasik

9. Hasil pemeriksaan acetowhite

: (1) Positif

(2) Negatif

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


10. Hasil pemeriksaan genotipe VPH
(1) Tidak ditemukan VPH
(2) Genotipe risiko rendah (6,11, 42, 43, 44, dan 81)
= Tipe .......................
(3) Genotipe risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58,
59, 66)
= Tipe .......................
(4) Genotipe risiko rendah dan tinggi
= Tipe .......................

Ket:
#) tidak melanjutkan ke pertanyaan berikutnya
*) melanjutkan ke no 9 jika lesi kondiloma akuminatum tipe non-klasik

Universitas Indonesia

64

Lampiran 5. Tabel Induk

Universitas Indonesia

65

Lampiran 5. Tabel Induk

Universitas Indonesia

66

Keterangan:
Jenis kelamin
1=laki-laki
2=perempuan
Orientasi seksual
1=heteroseksual
2=homoseksual
3=biseksual
Status
1=belum menikah
2=menikah
3=bercerai
HIV
1=negatif
2=positif
3=belum pernah diperiksa
Cara hubungan seksual
1=orogenital
2=oroanal
3=keduanya
4=tidak keduanya
Frekuensi hubungan seksual
1=tidak melakukan
2=kurang dari 1 kali perminggu
3=lebih dari sama dengan 1 kali perminggu
Lokasi lesi
1=genital
2=anal
3=anogenital
4=tidak ada
Tipe lesi
1=klasik
2=non-klasik
3=campuran
4=tidak ada

Genotip HPV
1=genotip resiko rendah
2=genotip resiko tinggi
3=campuran
4=tidak ditemukan HPV
HPV
1=ditemukan HPV
2=tidak ditemukan HPV
Lokasi subjek
1=PKBI
2=RSCM
Kategori usia
1=<25
2=25
Pendidikan
1=SMP
2=SMU/SMK
3=D1
4=D3
5=S1
Tingkat pendidikan
1=rendah
2=menengah
3=tinggi

Universitas Indonesia

67

Lampiran 6. Keterangan Lolos Kaji Etik

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai