UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
i Universitas Indonesia
ii
Universitas Indonesia
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis dan
dalam menyusun tesis ini. Selain itu, dengan segala kerendahan hati saya juga
menyampaikan permohonan maaf atas semua kesalahan saya selama menjalani
pendidikan di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta.
Terimakasih saya ucapkan kepada Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K) atas
kesediannya menerima saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
(PPDS) semasa beliau menjabat sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM
dan untuk Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat ini, dr. Shannaz Nadia
Yusharyahya, Sp.KK, MHA selaku Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat
ini. Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh staf pengajar Departemen IKKK
FKUI-RSCM Jakarta yang telah memberikan bimbingan, mengajarkan ilmu-ilmu
berharga kepada saya, dan terimakasih untuk rasa kasih sayang dari para staf
pengajar yang selalu menyertai selama masa pendidikan.
Rasa terimakasih yang tak terkira serta ungkapan rasa hormat saya haturkan
kepada DR.dr. Aida Suriadiredja, SpKK(K) dan dr. Hanny Nilasari, Sp.KK selaku
pembimbing tesis. Di tengah kesibukannya masih mau menyediakan waktu dan
tenaga untuk membimbing saya selama penyusunan usulan penelitian, proses
pengumpulan subyek penelitian, sampai dengan penyusunan makalah tesis. Rasa
terimakasih juga saya tujukan untuk dr. Setyawati Budiningsih, MPH selaku
pembimbing statistik yang telah meluangkan banyak waktunya untuk
membimbing saya sehingga penelitian saya menjadi lebih baik. Tidak ada
habisnya rasa terimakasih saya untuk mereka, semoga Allah SWT memberikan
balasan yang lebih baik lagi.
Kepada Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K), M.Epid selaku ketua divisi Infeksi
Menular Seksual (IMS) dan sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK
FKUI terdahulu, Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK(K) selaku guru besar bidang
IMS, dan dr. Farida Zubir selaku staf IMS yang juga merupakan mentor selama
masa pendidikan, saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian di divisi IMS dan bimbingan selama
proses penelitian.
Terimakasih yang dalam saya haturkan kepada dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K)
sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK FKUI saat ini. Ucapan
terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, Sp.FK selaku ketua Panitia
iv
Universitas Indonesia
Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI atas persetujuan dan keterangan lolos kaji etik
penelitian ini.
Kepada seluruh staf tata usaha, staf poliklinik, staf rawat inap, perpustakaan dan
Departemen IKKK FKUI-RSCM Jakarta, yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu namanya, saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya
selama saya menjalani pendidikan dokter spesialis. Tentunya proses belajar akan
terasa berat tanpa mereka. Rasa terimakasih juga saya ungkapkan kepada seluruh
pasien di Departemen IKKK FKUI-RSCM maupun rumah sakit jejaring yang
telah memperkaya wawasan saya sebagai calon spesialis kulit dan kelamin, kalian
adalah guru dan sumber ilmu pengetahuan.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf PKBI Jakarta dan
seluruh staf Procare Clinic yang telah bersedia untuk menjadi tempat penelitian,
semoga PKBI dan Procare Clinic semakin sukses kedepannya. Terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada tim Laboratorium Kalgen dan Distributor Qiagen
Indonesia yang telah membantu dalam pelaksanaan genotyping DNA VPH.
Dari lubuk hati yang paling dalam, saya haturkan penghormatan sebesar-besarnya
dan rasa terimakasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua saya, Prof. Dr. dr.
Teuku Zulkifli Jacoeb dan Dr. dr. Tjut Nurul Alam, yang tidak pernah lelah
memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa sehingga saya mampu untuk
menyelsaikan pendidikan spesialis kulit dan kelamin. Tidak lupa ucapan
terimakasih dan penghormatan untuk Nenek saya, dr. Komariah Zagloel, yang tak
habis-habisnya berdoa dan selalu mengingatkan saya untuk terus menambah ilmu
v Universitas Indonesia
pengetahuan agar menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Kepada kedua mertua
saya, Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM dan Siti Aisah yang tak pernah lupa
untuk selalu berdoa, memberikan dukungan, serta kasih sayang selama masa
pendidikan, saya ucapkan beribu terimakasih.
Kepada suami tercinta dr. Aidrus, SpOG yang telah memberikan pengertian, kasih
sayang, semangat, dukungan, serta doa dari awal pendidikan sampai akhirnya
saya dapat menyelesaikan tesis ini. Kepada Anak-anakku Arifah Nurul Zahra dan
Amirah Nurul Zainah, Alhamdulillah kalian menjadi penyemangat hidup dan
menjadi alasan utama untuk segera menyelesaikan pendidikan. Terimakasih telah
berkorban selama Mama menyelesaikan pendidikan spesialis Kulit dan Kelamin.
Selama proses belajar hingga saat penulisan tesis ini, saya bersyukur memiliki
teman-teman yang selalu ada dalam suka dan duka, berbagi kebahagiaan dan
kesedihan bersama, saling mendukung satu sama lain. Terimakasih untuk teman-
teman seangkatan, dr. Atika Damayanti, dr. Salma Oktaria, dr. Evelyn Lina
Nainggolan, dr. Eka Komarasari dan dr. Ridha Rosandi. Juga untuk teman
seperjuangan saat ujian nasional, yaitu dr. Rachel Djuanda, dr. Sari Chairunisa, dr.
Ridha Rosandi, dr. Yunira Safitri, dr. Alida Widiawaty, dr. Terlinda Baros, dan
dr. Rani Rahmawati. Tak terlupakan rekan chief lainnya dr. Catharina, dr. Vini
Onmaya, dr. Radityo Anugrah, dr. Imelda Wihadi, serta para sahabat, senior, dan
adik-adik yang saya temui selama masa pendidikan, terimakasih atas pertemanan,
kerjasama, dan dukungan yang diberikan selama ini. Mohon maaf atas kesalahan
ataupun hal-hal yang kurang berkenan selama pertemanan kita.
vi
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang: Virus papilloma humanus (VPH) merupakan penyebab infeksi menular seksual
yang sering ditemukan. VPH tipe mukosa terutama menyerang genitalia dan oral. Infeksi VPH
oral saat ini dihubungkan dengan keganasan orofaring yang insidensnya makin meningkat.
Prevalensi VPH oral pada populasi sehat berkisar 2-7%, sedangkan pada populasi pasien
kondiloma akuminatum (KA) anogenaital sebesar 10,4%. Faktor risiko penularan ke rongga mulut
terutama melalui hubungan seksual, frekuensi seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan
jumlah pasangan seks oral. Tujuan: Mencari proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital dan
hubungannya dengan frekuensi seks oral. Metode : Penelitian potong lintang, subyek penelitian
(SP) adalah laki-laki atau perempuan dengan KA anogenital, berusia 18-60 tahun. Tempat
penelitian di poliklinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta. Bahan
pemeriksaan VPH oral berasal dari bilas mulut, lalu diolah menggunakan express matrix VPH di
Laboratorium Kalgen.
Hasil: Hasil VPH oral positif ditemukan pada 7 dari 75 SP. Uji statistik untuk melihat perbedaan
VPH oral positif di antara kelompok frekuensi seks oral menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov
dengan hasil P>0.05.
Kesimpulan: Proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital sebesar 9,3%, dan tidak terdapat
perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP berdasarkan frekuensi seks oral.
Kata kunci: KA anogenital, VPH oral, seks oral
ix Universitas Indonesia
ABSTRACT
Background: Many sexual transmitted disease are caused by Human papiloma virus (HPV).
Mucosal types of HPV mainly infect anogenital and oral mucosa. Nowdays, oral cancer is strongly
related to HPV infection and the incidence is increasing. Oral HPV prevalence in healthy
population is 2-7%, meanwhile the prevalence in anogenital condyloma acuminata (CA) patients is
10,4%. The risk factors of oral HPV infection are mostly related to sexual behaviour, oral sex
frequency is more related than total sex partner. Objective : To know the oral HPV proportion in
anogenital CA patients and it’s relation to oral sex frequency. Methods: This is a cross sectional
study. The subjects are anogenital CA patients, age 18-60 y.o, from outpatients clinic RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo and PKBI clinic, Jakarta. The sample was taken from mouth rinse, the HPV
detection was done by using HPV express matrix at Kalgen laboratory. Results : Oral HPV positif
was found in 7 out of 75 subjects. We use Kolmogorof-Smirnov as statistical calculation to know
the difference of oral HPV positive between oral sex frequency groups, the result is p>0,05.
Conclusions : Oral HPV proportion in anogenital CA patients is 9,3%, and there is no statistically
difference beetwen oral sex frequency groups.
Keywords: Anogenital CA, oral HPV, oral sex
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS………………………………………….......... i
HALAMAN PENGESAHAN..………………………………………………........ ii
UCAPAN TERIMAKASIH….………………………………………………........ iii
PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR…………………………………. viii
ABSTRAK………………………………………………………………………... ix
DAFTAR ISI……….……………………………………………………………... xi
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………. xiv
DAFTAR TABEL……………………………………………………………........ xv
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1. Latar belakang.......................................................................... 1
1.2. Identifikasi masalah................................................................. 4
1.3. Perumusan masalah................................................................. 5
1.4. Hipotesis.................................................................................. 5
1.5. Tujuan Penelitian..................................................................... 5
1.6. Manfaat Penelitian................................................................... 5
1.6.1. Manfaat di bidang akademik………………........ 5
1.6.2. Manfaat di bidang pelayanan………………….... 6
1.6.3. Manfaat untuk pengembangan penelitian……….. 6
xi Universitas Indonesia
anogenital...............................................................................
4.5. Keterbatasan penelitian.......................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 51
LAMPIRAN 1. INFORMASI PENELITIAN.......................................................... 54
LAMPIRAN 2. LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN................................... 56
LAMPIRAN 3. PENYARINGAN SUBYEK PENELITIAN.................................. 61
LAMPIRAN 4. STATUS PENELITIAN................................................................. 62
LAMPIRAN 5. TABEL INDUK PENELITIAN..................................................... 64
LAMPIRAN 6. LEMBAR LOLOS KAJI ETIK...................................................... 67
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR TABEL
xv Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
Prevalensi infeksi VPH oral pada populasi sehat di Amerika Serikat berkisar 2-
7%.10-13 Kajian prevalensi VPH pada pasien KA yang dikumpulkan pada bulan
September-Desember 2009 di Kopenhagen menunjukkan prevalensi VPH oral
pada pasien kutil genital sebesar 10,4% dan terdapat kesesuaian tipe dengan VPH
pada lesi kutil genital sebesar 60,9%.6 Insidens KA dibandingkan dengan insidens
IMS lainnya di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dalam 5 tahun terakhir mengalami peningkatan, yakni pada periode tahun 2007
(21,25%), 2008 (33,81%), 2009 (33,66%), 2010 (29,25%), dan 2011 (30,58%).
Pada tahun 2011, terdapat 63 kasus baru yang didiagnosis dengan total kasus baru
dan lama sebanyak 125 kasus.14
Prevalensi infeksi VPH oral juga diketahui lebih tinggi pada wanita dengan
keganasan serviks. Hal ini dibuktikan oleh sebuah meta-analisis yang
memperlihatkan bahwa prevalensi VPH oral pada wanita dengan keganasan
serviks lebih besar daripada wanita tanpa keganasan serviks, yakni 18,1% berban-
ding 0-7,9%.12, 15 Penelitian lain menemukan prevalensi VPH oral pada pasien wa-
nita dengan displasia serviks sebesar 92,4%.16 Angka kejadian infeksi VPH oral
lebih tinggi pada pasien yang memiliki infeksi VPH di bagian tubuh yang lain.
Infeksi VPH oral dapat terjadi melalui kontak oral ke genital, oral ke anal, oral ke
oral, dan autoinokulasi dari genital.9 Penularan VPH terjadi terutama melalui
hubungan seksual, dalam hal ini 2/3 dari populasi pasangan seks yang terinfeksi
VPH akan tertular. Wanita dan pria yang terinfeksi VPH dapat menularkan ke
pasangan seksual tanpa mereka sadari karena infeksi yang terjadi tidak bergejala
atau subklinis.9 Kajian National Health and Nutrition Examination (NHANES),
tahun 2009-2010, menemukan bahwa prevalensi infeksi VPH pada kelompok
yang pernah melakukan hubungan seks lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang tidak berhubungan seks.2
Faktor risiko penularan berkaitan erat dengan perilaku seksual, yakni usia pertama
melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan riwayat berhubungan
Universitas Indonesia
seks dengan pasangan yang berisiko tinggi. Hubungan seks orogenital berperan
pada penularan infeksi VPH oral. Dari satu penelitian ditemukan bahwa frekuensi
hubungan seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah pasangan seks
oral seumur hidup. Individu yang melakukan seks orogenital 1 kali atau lebih
setiap minggu dibandingkan dengan yang melakukan orogenital kurang dari 1 kali
setiap minggu, memiliki insidens infeksi VPH yang lebih tinggi. Hubungan seks
orogenital dengan frekuensi yang sering selama 4 bulan terakhir berhubungan
bermakna dengan insidens infeksi VPH oral. Orang yang melakukan seks oral
lebih dari 1 kali per minggu akan berpeluang terkena infeksi VPH oral 4 kali lebih
besar dibandingkan dengan orang yang melakukan seks oral kurang dari 1 kali per
minggu.17 Pada penelitian lainnya, waktu terakhir melalukan hubungan seks oral
dan jumlah pasangan seks oral dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan
infeksi VPH oral.18
Cara penularan VPH anogenital ke oral pada individu belum diketahui dan
penelitian VPH oral pada pasien dengan KA anogenital yang sudah dilakukan
tidak menemukan faktor terkait proses penularan infeksi VPH anogenital ke oral.
Proses autoinokulasi diduga menjadi dasar terjadinya infeksi VPH oral pada
pasien KA anogenital.6
Cara pengambilan sampel untuk mendeteksi VPH oral dapat dilakukan dengan
biopsi oral, bilas mulut, dan cytobrush. Prevalensi infeksi VPH tertinggi
didapatkan dari sampel bilas mulut.19 Metode bilas mulut dapat mengumpulkan
lebih banyak sel dibandingkan dengan metode swab atau cytobrush karena bilas
mulut dapat mengambil sel dari seluruh permukaan rongga mulut dan faring.
Dengan demikian bilas mulut akan menghasilkan DNA VPH yang lebih banyak.20
VPH tipe 16 diketahui paling sering ditemukan pada sampel yang berasal dari
bilas mulut.6
Lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe VPH, di antaranya VPH
2, 4, 6,11,13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Banyak penelitian sudah membuktikan bahwa
VPH tipe 16 dan 18 berhubungan dengan keganasan di rongga mulut, kepala, dan
Universitas Indonesia
Infeksi VPH oral saat ini dikaitkan dengan keganasan orofaring dan diperkirakan
jumlah keganasan orofaring akibat infeksi VPH oral akan melebihi keganasan
serviks yang diakibatkan oleh infeksi VPH. Permasalahan ini mendukung
pentingnya kajian proporsi infeksi VPH oral di Indonesia.
Universitas Indonesia
1.4. Hipotesis
Makin sering melakukan seks oral makin tinggi proporsi VPH oral pada pasien
KA anogenital.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi infeksi VPH oral di populasi sehat berkisar 2-7%, lebih rendah di-
bandingkan dengan infeksi VPH genital. Prevalensi infeksi VPH serviks ber-
kisar 27-43% pada populasi wanita Amerika Serikat yang berusia 14-59 tahun.
Sementara pada populasi yang kurang lebih sama, prevalensi infeksi VPH oral
berkisar 0,9-7,5%.10
Kajian lain pada tahun 2009 di Kopenhagen yang mengumpulkan pasien de-
ngan kutil kelamin yang berusia 18-65 tahun memperoleh prevalensi infeksi
VPH oral sebesar 10,4%. Prevalensi infeksi VPH oral pada populasi pasien ku-
til kelamin lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi sehat. Kesamaan
Universitas Indonesia
tipe VPH di genital dan oral adalah 60,9%.6 Dari 18 wanita usia 24-52 tahun
yang memiliki lesi intraepitel skuamosa derajat tinggi dan sudah terbukti terke-
na infeksi VPH di serviks ternyata 67% memiliki infeksi VPH di oral.26
Semua tipe VPH memiliki organisasi genom yang kurang lebih sama. DNA
untai ganda VPH memiliki early open reading frames (ORF) dan late ORF.
Early ORF menyandi E1, E2, E3, E4, E5, E6, dan E7. E1 dan E2 berperan
pada proses replikasi DNA dan mengatur ekspresi gen, keduanya juga
bertanggung-jawab dalam mempertahankan DNA virus dalam bentuk episom
selama proses awal infeksi dan selama infeksi laten. Selain itu, E2
berkemampuan menekan fungsi E6 dan E7. E6 dan E7 merupakan
Universitas Indonesia
onkoprotein, fungsi keduanya masih belum jelas pada VPH tipe risiko rendah.
Pada VPH risiko tinggi, keduanya dapat menjaga episom virus di dalam sel
suprabasal yang matang. Keduanya juga berperan dalam meningkatkan
proliferasi dan memperpanjang hidup sel ganas dengan cara mengubah faktor-
faktor yang mengatur siklus hidup sel. E6 dapat menghancurkan p53, suatu
protein penekan tumor, sementara E7 berikatan dengan gen penekan Rb.9, 28, 29
Sel di stratum basal akan berproliferasi dan mengalami pematangan, berubah-
ubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya, berpindah dari satu lapisan ke lapisan
di atasnya, sampai akhirnya mencapai permukaan. Ada sebagian sel yang tetap
tinggal di stratum basal untuk menjaga keutuhan. Di mukosa mulut, proses
pematangan sel mengikuti dua pola, yaitu keratinisasi dan non-keratinisasi.
Siklus hidup VPH dipengaruhi oleh tahap pematangan sel epitel. Produksi
virion hanya terjadi pada sel basal yang matang.9
Sel basal merupakan sasaran VPH diduga karena memiliki reseptor VPH di
permukaan sel. Virus mencapai sel basal melalui lapisan epidermis yang tidak
utuh akibat abrasi atau mikrotrauma. DNA virus masuk ke dalam nukleus sel
basal. Genom VPH di dalam nukleus bertahan dalam bentuk episom. Virus ini
bereplikasi pada sel basal yang aktif membelah dan menyebabkan gangguan
pada kendali siklus sel. Replikasi virus masih terjadi hingga lapisan sel per-
mukaan. Jika lapisan teratas ini lepas karena sebab tertentu atau mengalami
eksfoliasi maka virion akan ikut terlepas pula.1, 30, 31
Respons imun pada infeksi VPH diperankan oleh sistem humoral dan selular.
Bukti dari respons antibodi adalah terbentuknya IgA dan IgG anti-VPH pada
infeksi berulang dan adanya vaksin yang efektif dapat mencegah infeksi
VPH.30, 32 Respons imun selular dan interferon meningkat sehingga mampu
menghambat replikasi virus. Pada individu dengan gangguan imunitas
(imunokompremais) yang terkait penurunan imun selular, misalnya pada
infeksi HIV dan pasca transplantasi organ, memiliki angka kejadian penyakit
terkait VPH yang lebih tinggi dengan wujud lesi yang lebih besar, multifokal,
dan cenderung displastik.33
Universitas Indonesia
Infeksi subklinis pada infeksi VPH dapat terjadi cukup lama, berdasarkan per-
cobaan inokulasi virus papiloma, ternyata lesi baru muncul 2-9 bulan kemu-
dian. Keadaan ini menjadi sumber penularan.1 Waktu yang dibutuhkan seorang
individu yang terinfeksi VPH untuk mampu menyebarkan partikel virus adalah
3 minggu, yaitu setara dengan waktu yang dibutuhkan sel basal untuk
berdiferensiasi sempurna menjadi keratinosit, kemudian mengalami deskua-
masi.34
Cara penyebaran VPH ke mukosa oral masih belum jelas. Infeksi dapat terjadi
secara vertikal dari ibu ke anaknya. Namun demikian, jalur infeksi horizontal
lebih sering terjadi. VPH dapat ditularkan baik melalui hubungan seksual
(orogenital) maupun non-seksual, yaitu melalui proses autoinokulasi dari
genital. Penularan VPH anogenital ke oral pada satu pasien diduga melalui
proses autoinokulasi, akan tetapi infeksi di oral merupakan suatu kejadian yang
berbeda dan tidak ada hubungannya dengan infeksi di anogenital.6 Kesesuaian
tipe antara VPH anogenital dan oral juga merupakan salah satu tanda proses
penularan terjadi melalui proses autoinokulasi.17 Berdasarkan kajian potong
lintang, VPH oral biasanya terjadi akibat hubungan seks oral atau menjilat anus
(oroanal) pasien dengan lesi kutil.35 Berciuman dengan orang yang memiliki
infeksi VPH di oral juga menjadi salah satu cara penularan.2 us
Perjalanan penyakit infeksi VPH oral belum diketahui dengan baik. Satu
penelitian kohort mendapatkan infeksi VPH oral akan hilang dalam waktu 6,9
bulan (nilai tengah atau median) untuk tipe VPH apapun, 6,3 bulan untuk tipe
VPH risiko tinggi, dan 7,3 bulan khusus untuk VPH tipe 16.18 Studi lainnya
mendapatkan infeksi VPH oral akan menghilang pada 65% pasien dalam 1
tahun, sementara di antara pasien HIV infeksi sembuh dalam 1 tahun hanya
terjadi pada 47% pasien.35
Universitas Indonesia
Hubungan seks oral merupakan salah satu cara penyebaran infeksi virus,
hubungannya erat dengan risiko penularan VPH oral. Jumlah pasangan seks
oral seumur hidup berhubungan dengan infeksi VPH oral yang menandakan
bahwa seks oral dapat menjadi faktor penting dalam transmisi VPH ke oral.11
Dari satu penelitian frekuensi lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah
pasangan seks oral seumur hidup. Individu yang melakukan seks orogenital 1
kali atau lebih setiap minggu dibandingkan dengan yang melakukan orogenital
kurang dari 1 kali setiap minggu, memiliki insidens infeksi VPH yang lebih
tinggi. Hubungan seks orogenital dengan frekuensi yang sering selama 4 bulan
terakhir berhubungan bermakna dengan insidens infeksi VPH oral. Frekuensi
seks oral lebih dari 1 kali per minggu akan memiliki kemungkinan
mendapatkan infeksi VPH oral 4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
yang melakukan seks oral kurang dari 1 kali per minggu.17 Pada penelitian
lainnya, waktu terakhir melalukan hubungan seks oral dan jumlah pasangan
Universitas Indonesia
seks oral dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan kejadian infeksi VPH
oral.18
2.1.4.3 Rokok
Merokok lebih dari atau sama dengan 21 batang sehari menyebabkan preva-
lensi infeksi VPH oral lebih tinggi (20,7%) dibandingkan dengan yang tidak
merokok (1,1,%).12 Penelitian Pickard dkk (2009) memperlihatkan bahwa
merokok tidak berhubungan dengan infeksi VPH oral, tetapi hal ini mungkin
disebabkan oleh kelemahan penelitian, yaitu jumlah subjek penelitian yang
merokok hanya sedikit.11, 38
Fernandez dkk (2013) menemukan prevalensi
infeksi VPH di antara perokok sebesar 39%).26 Rokok dapat mengubah suasana
mukosa oral dan diperkirakan berhubungan dengan infeksi VPH melalui
pengaruh penekanan pada sistem imun innate dan adaptive.39-41
Universitas Indonesia
Penelitian infeksi VPH pada pasien lelaki suka lelaki (LSL) dengan HIV
negatif dan HIV positif memperlihatkan hubungan yang bermakna antara
infeksi VPH oral dan infeksi HIV. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa
infeksi VPH oral tidak berhubungan dengan jumlah CD4 dan muatan virus
(viral load); hal ini mungkin diakibatkan sebagian besar subjek yang diteliti
memiliki nilai CD4 yang tinggi dan muatan virus yang tidak terdeteksi.20
Di mulut, VPH tipe risiko rendah menyebabkan berbagai lesi jinak, yaitu
papiloma sel skuamosa, veruka vulgaris, KA, dan hiperplasia epitel fokal
(Heck disease). Selain itu VPH tipe risiko rendah kadang-kadang juga dapat
ditemukan pada lesi prakanker seperti leukoplakia dan eritroplakia.46, 47 VPH
tipe risiko tinggi, terutama VPH 16 dan 18 ditemukan pada lesi epitelial oral
yang ganas dan pada lesi karsinoma sel skuamosa oral.9
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
f. Karsinoma Verukosa
Karsinoma verukosa merupakan varian dari karsinoma sel skuamosa yang
memiliki karakteristik morfologi dan perjalanan klinis khas di mukosa bukal,
gusi, dan alveolus. Etiopatogenesis berhubungan dengan rokok, alkohol, dan
infeksi VPH. Tipe VPH yang terlibat adalah tipe 6, 11, dan 18. Secara klinis
berupa lesi eksofitik, permukaan seperti kembang kol, tumbuh agresif,
berbatas tegas.21
g. Oral leukoplakia
Lesi berupa bercak atau plak putih, secara histopatologis menunjukkan adanya
perubahan epitel yang bervariasi, mulai dari hiperplasia epitel dengan
hiperkeratosis sampai dengan displasia epitel.21 Lesi kanker sering kali
tumbuh di daerah mukosa mulut dengan leukoplakia, oleh karena itu lesi ini
disebut sebagai lesi pra kanker. Maitland dkk (1987) menjelaskan VPH
ditemukan pada lesi leukoplakia oral dan lichen planus oral, keduanya
memiliki kecenderungan berubah menjadi ganas.52 Lind dkk (1986)
melaporkan 7 dari 13 leukoplakia dengan VPH positif akan berubah menjadi
karsinoma dalam 10 tahun.54
Universitas Indonesia
Prevalensi infeksi VPH pada karsinoma sel skuamosa oral berkisar antara 10-
100%.21
2.1.6 Tatalaksana
Tatalaksana ditentukan berdasarkan jumlah, ukuran, dan lokasi lesi, harapan
pasien, biaya, dan ketersediaan alat. Eksisi bedah dipilih untuk jumlah lesi
yang sedikit, terutama jika biopsi pada lesi diperlukan. Pilihan terapi lainnya
dapat menggunakan bahan keratolitik dengan destruksi sel seperti asam
triklorasetat 40-90%, podofilin 25%, 5 fluorouracil, dan imiquimod. Tindakan
untuk menghilangkan lesi dapat juga menggunakan laser, kauterisasi, dan
krioterapi.55 Tindakan laser untuk lesi bertangkai, dilakukan dengan cara eksisi
dengan sinar laser pada bagian tangkai lalu tepi-tepi lesi diablasi. Lesi ganas
atau prakanker dibedah dengan wide margin. Meskipun sudah dilakukan
tindakan eksisi dengan tepi bebas sel ganas, rekurensi tetap dapat terjadi.
Sebagian kasus keganasan perlu dikombinasi dengan radioterapi.56
Tindak lanjut pasca terapi untuk mengevaluasi rekurensi dilakukan 3-6 bulan
setelah lesi hilang. Pasien perlu diedukasi bahwa virus dapat menetap di dalam
tubuh. Tindakan pencegahan penting dikerjakan oleh karena VPH memiliki
potensi untuk menyebabkan kegansan, salah satu cara dengan vaksinasi.55 Saat
ini vaksin yang tersedia adalah quadrivalent VPH (6, 11, 16, dan 18) L1 virus
like particle (VLP) dan bivalen VPH (16 dan 18) L1 VLP.56
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Mikroskop elektron
Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron, adanya partikel
virus menunjukkan infeksi VPH yang produktif. Virion dapat dilihat di
dalam nukleus koilosit dan sel diskeratotik.21
c. Metode molekular:21
• Teknik nonamplifikasi:
− In situ hybridization (ISH)
ISH dapat dikerjakan pada jaringan biopsi. Kecurigaan adanya
infeksi VPH pda pemeriksaan histopatologi dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan ISH.
Universitas Indonesia
• Teknik amplifikasi
− Target ampification
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode yang sering
digunakan untuk deteksi DNA VPH. Tahapan PCR melalui proses
denaturasi, annealing, dan elongasi. Secara teori PCR dapat
memperbanyak DNA sampai 1 juta kopi setelah 30 siklus. Cara ini
dapat mengidentifikasi DNA VPH dalam jumlah sedikit.
− Signal amplification
Hybrid capture (HC) dikembangkan oleh Digene Coorporation,
dapat mendeteksi asam nukleat secara langsung menggunakan
sinyal amplifikasi untuk memberikan sensitivitas yang setara
dengan metode PCR. Saat ini ada dua produk, yaitu hybrid capture
Universitas Indonesia
tube (HCT) test dan hybrid capture II (HC II), keduanya utk
identifikasi VPH tipe risiko tinggi. HCT untuk deteksi VPH tipe
16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52. Sementara HC II dapat deteksi 4 tipe
tambahan, yaitu VPH tipe 39, 58, 59, dan 68.
Express matrix VPH Kalgen® merupakan alat pemeriksaan berbasis PCR dan
menggunakan hibridisasi dot blot untuk mengenali tipe VPH pada sampel
berdasarkan probe VPH spesifik. Alat ini mampu mengidentifikasi secara spesifik
15 VPH tipe risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 53, 56, 58, 59, 66,
dan 68) dan 6 VPH tipe risiko rendah (6, 11, 42, 43, 44, dan 81). Pemeriksaan ini
telah disetujui oleh World Health Organization (WHO) untuk mendeteksi VPH.62
Pemeriksaan express matrix Kalgen® mampu mendeteksi VPH 16 dan 18 dalam
konsentrasi DNA VPH 50 IU/ 5µL dan VPH tipe lain dalam konsentrasi 500IU/
5µL. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 100% dalam mendeteksi 21 tipe VPH
yang sudah disebutkan sebelumnya. Tidak ditemukan adanya reaktivitas silang
antar tipe VPH tersebut pada pemeriksaan express matrix VPH Kalgen®.62
Cara pengambilan sampel untuk deteksi VPH oral dapat dilakukan dengan cara
biopsi oral, bilas mulut, dan cytobrush. Prevalensi infeksi VPH paling tinggi pada
sampel bilas mulut.19 Metode bilas mulut dapat mengumpulkan lebih banyak sel
dibandingkan dengan metode swab atau cytobrush karena bilas mulut dapat
mengambil sel dari seluruh permukaan rongga mulut dan faring. Dengan
demikian bilas mulut akan menghasilkan DNA VPH yang lebih banyak.20
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
n=
(Zα)2
pq
d2
Universitas Indonesia
Keterangan:
n = jumlah sampel minimal
ά = tingkat penolakan, untuk ά=0,05 maka Zά=1,96
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 7 %
p = prevalensi VPH oral pada pasien kondilomata akuminata 10,4%.6
q = 1-p
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik PKBI
Jakarta.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
c. Hibridisasi dot-blot
• Menyiapkan sumur hibridisasi dan membran hibridisasi dot-blot.
• Mesin hibridisasi dinyalakan dan suhu diatur pada 450C.
• Membran tidak boleh disentuh dengan tangan. Penempatan membran
ke dalam sumur dilakukan dengan menggunakan bantuan pinset.
• Sumur hibridisasi yang tidak digunakan ditutup dengan parafilm.
• Bahan DNA yang telah diamplifikasi dengan PCR dipanaskan pada
suhu 950C selama 5 menit untuk melakukan denaturasi DNA dari
rantai ganda menjadi rantai tunggal.
• Reagen hibridisasi ditambahkan ke dalam bahan, kemudian
dimasukkan ke dalam sumur hibridisasi. Campuran di dalam sumur
hibridisasi didiamkan selama 2 menit.
• Sumur ditutup dan proses hibridisasi dot-blot dijalankan pada suhu
450C selama 15 menit.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.8.6. Usia
Usia SP pada saat dilakukan pengambilan sampel, yaitu ulang tahun terakhir de-
ngan pembulatan ke bawah, berdasarkan anamnesis atau kartu tanda penduduk
(KTP). Kategori usia dibagi menjadi kelompok < 25 tahun dan ≥ 25 tahun.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
Sebagian besar subyek pada penelitian ini berusia lebih dari atau sama dengan 25
tahun. Hal ini sesuai dengan studi oleh Ali Khalis dkk69 di Irak dan Javidi Z dkk70
di Iran. Studi di Amerika Serikat dan Australia juga menemukan hasil yang
serupa. Penelitian oleh Sulistyaningrum, rerata usia yang didapatkan ialah 29,2
tahun.66 Tingginya kejadian KA pada usia lebih dari atau sama dengan 25 tahun
diduga karena umur tersebut merupakan periode puncak aktivitas seksual.69 Pada
penelitian ini sebagian besar SP berpendidikan menengah (61,3%), sejalan dengan
penelitian Sulistyaningrum yang mendapatkan mayoritas SP berpendidikan
menengah.66
Universitas Indonesia
Mengenai status pernikahan, studi ini menemukan bahwa mayoritas subyek laki-
laki belum menikah (78,7%) sementara subyek perempuan sudah menikah
(78,6%). Temuan ini juga sesuai dengan studi oleh Sulistyaningrum yang
mendapati sebagian besar SP belum menikah, yakni 57%.66 Pada penelitian ini
mayoritas subyek laki-laki belum menikah diduga karena orientasi seksualnya
sebagian besar adalah homoseksual. Hal ini bertentangan dengan hasil studi di
Irak pada 45 pasien KA laki-laki yang melaporkan bahwa mayoritas subyek sudah
menikah (71,1%), tetapi, studi tersebut tidak menyebutkan orientasi seksual
subyek penelitian.69
Jenis kelamin
Laki-laki 10 100 51 78,5 61 81,3 0,192*
Perempuan 0 0 14 21,5 14 18,7
Status pernikahan
Menikah 5 50 18 27,7 23 30,7 0,145**
Tidak menikah 5 50 47 72.3 52 69,3
Pendidikan
Rendah 0 0 0 0 0 0 1,000***
Menengah 6 60 40 61,5 46 61,3
Tinggi 4 40 25 38,5 29 38,7
Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, *) uji Fischer, **) uji Chi-Square, ***)
Uji Kolmogorov-Smirnov
Universitas Indonesia
Terdapat perbedaan karakteristik lokasi lesi antara laki-laki dan perempuan. Pada
laki-laki, lesi terbanyak di daerah anal (54,1%), sedangkan mayoritas lesi pada
perempuan ditemukan pada genital (71,4%). Perbedaan lokasi lesi ini diduga
akibat cara hubungan seks semua SP perempuan ialah genitogenital sehingga
tidak ditemukan lesi KA pada daerah anal. Karakteristik KA ini dapat dilihat pada
tabel 4.3. Penelitian oleh Sulistyaningrum juga mendapatkan temuan serupa yaitu,
lokasi terbanyak lesi KA pada laki-laki di area anal dan batang penis, sementara
pada perempuan lebih banyak di daerah genital dibandingkan anal.66 Hal ini juga
sesuai dengan studi oleh Kofoed dkk. di Kopenhagen yang melaporkan bahwa lesi
Universitas Indonesia
Tabel 4.4 Perbedaan karakteristik lokasi dan tipe lesi pasien kondiloma
akuminatum anogenital RUSPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan PKBI,
April-Mei 2014
Kelompok
Variabel PKBI RSCM Total Nilai p
(n = 10) (n = 65) (N = 75)
n % n % n %
Lokasi Lesi
Genital 4 40 24 36,9 28 37,3 1,000**
Anal 4 40 30 46,2 34 45,3
Anogenital 1 10 8 12,3 9 12,0
Tidak ada lesi 1 10 3 4,6 4 5,3
Tipe lesi
Klasik 7 70 35 53,8 42 56 0,209***
Non-Klasik 2 20 23 35,4 25 33,4
Campuran 0 0 4 6,2 4 5,3
Tidak ada lesi 1 10 3 4,6 4 5,3
Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, **) uji Chi-Square, ***)
Uji Kolmogorov-Smirnov
Pada penelitian ini SP dianamnesis tentang cara hubungan seks oral dan frekuensi
hubungan seks oral dalam 4 bulan terakhir. Sebanyak 38,7% SP tidak melakukan
seks oral, 42,7% melakukan kurang dari 1 kali perminggu, dan hanya 18,6% yang
melakukan lebih dari atau sama dengan 1 kali perminggu. Kebanyakan SP laki-
laki melakukan seks oral kurang dari 1 kali perminggu, yaitu 27 dari 61 SP
(44,3%), sementara banyaknya SP perempuan yang tidak melakukan seks oral dan
yang melakukan kurang dari satu kali perminggu sama, yakni masing-masing 5
SP.
Universitas Indonesia
Tabel 4.5 Orientasi seks, perilaku seks, dan status HIV pasien kondilama
akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta , April-Mei 2014
Perilaku seks dan status HIV Jenis Kelamin N=75 %
Laki-laki Perempuan
(n=61) (n=14)
Orientasi seks Heteroseksual 16 (26,2%) 14 (100%) 30 40,0
Homoseksual 33 (54,1%) 0 (0%) 33 44,0
Biseksual 12 (19,7%) 0 (0%) 12 16,0
Frekuensi hubungan seks oral 4 Tidak melakukan 24 (39,3%) 5 (35,7%) 29 38,7
bulan terakhir < 1x/minggu 27 (44,3%) 5 (35,7%) 32 42,7
≥ 1x/minggu 10 (16,4%) 4 (28,6%) 14 18,6
Cara hubungan seks oral Orogenital 30 (49,2%) 13 (92,9%) 43 57,3
Oroanal 1 (1,6%) 0 (0%) 1 1,3
Keduanya 22 (36,1%) 0 (0%) 22 29,3
Tidak keduanya 8 (13,1%) 1 (7,1%) 9 12,0
Status HIV Positif 22 (36,1%) 4 (28,6%) 26 34,7
Negatif 17 (27,9%) 2 (14,3%) 19 25,3
Belum diperiksa 22 (36,1%) 8 (57,1%) 30 40,0
Keterangan: n=jumlah SP, N= jumalah total
Universitas Indonesia
Tabel 4.6 Perbedaan karakteristik orientasi seks, perilaku seks, dan status
HIV pasien kondilama akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo dan Klinik PKBI Jakarta , April-Mei 2014
Kelompok
Variabel PKBI RSCM Total Nilai p
(n = 10) (n = 65) (N = 75)
n % n % n %
Orientasi seks
Heteroseksual 7 70 23 35,4 30 40 0,250***
Homoseksual 2 20 31 47,7 33 44
Biseksual 1 10 11 16,9 12 16
Frekeunsi seks oral, 4
bulan terkahir
Tidak melakukan 6 60 23 35,4 29 38,7 0,670***
< 1x/minggu 4 40 28 43,1 32 42,7
≥ 1x/minggu 0 0 14 21,5 14 18,7
Cara hubungan seks
oral 4 40 39 60 43 57,3 0,816***
Orogenital 0 0 1 1,5 1 1,3
Oroanal 3 30 19 29,2 22 29,3
Keduanya 3 30 6 9,2 9 12,0
Tidak keduanya
Status HIV
Positif 4 40 22 33,8 26 34,7 0,745***
Negatif 4 40 15 23,1 19 25,3
Belum diperiksa 2 20 28 43,1 30 40,0
Keterangan: n=jumlah SP, N= jumlah total, perbedaan bermakna jika nilai p < 0,05, ***) Uji Kolmogorov-
Smirnov
Universitas Indonesia
Karakteristik orientasi seks, cara hubungan seks oral, frekuensi seks oral 4 bulan
terakhir, dan status HIV SP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta tidak berbeda bermakna (tabel 4.6).
Enam dari tujuh SP (85,72%) yang terdeteksi memiliki VPH pada rongga
mulutnya berjenis kelamin laki-laki, hal ini sesuai dengan penelitian Koefoed
yang mendapatkan proprosi VPH oral lebih banyak pada laki-laki dibandingkan
perempuan, yakni 12,1% berbanding 6,9%.6 Sebagian besar SP dengan VPH oral
berorientasi homoseksual (42,9%) dan biseksual (28,6%). Penelitian VPH oral
pada LSL oleh Read dkk (2010), mendapatkan proporsi VPH oral sebesar 13%
(65 dari 500 SP).63 Data tersebut memperlihatkan proprosi VPH oral yang cukup
tinggi pada kelompok LSL, sejalan dengan hasil penelitian ini yang mendapatkan
sebagian besar SP dengan hasil VPH oral positif berorientasi homoseksual dan
biseskual. Literatur lain mengatakan orientasi seksual memiliki hubungan dengan
kejadian infeksi VPH yang diteliti pada 4072 laki-laki. Penelitian yang sama
menunjukkan bahwa status menikah dapat mengurangi risiko tertular VPH oral.18
Sesuai dengan hasil penelitian,VPH oral lebih banyak didapatkan pada kelompok
SP yang belum menikah.
Dari 7 SP dengan VPH oral, 2 di antaranya terinfeksi HIV, 1 SP VPH oral tidak
terinfeksi HIV, dan 4 SP lainnya belum diperiksa status HIV. Orang dengan status
HIV positif akan lebih mudah terinfeksi VPH oral.43 Penelitian oleh Mooij (2013)
pada kelompok LSL dengan infeksi HIV juga mendapatkan proporsi VPH oral
Universitas Indonesia
lebih besar, yaitu 5,4% berbanding 2%.20 Pada penelitian ini tidak dapat
disimpulkan karena sebagian besar (4 dari 7 SP) belum diperiksa status HIV.
Pada penelitian ini VPH oral terdeteksi pada 3 dari 7 SP (42,84%) yang
melakukan seks oral kurang dari 1 kali per minggu dan 2 dari 7 SP (28,56%) yang
terdeteksi VPH, tetapi tidak melakukan seks oral sama sekali dalam 4 bulan
terakhir. Penelitian Edelstein menyatakan frekuensi seks oral berhubungan dengan
infeksi VPH di rongga mulut, namun penelitian lainnya oleh Kreimer dkk (2007)
Universitas Indonesia
dan Ragin dkk (2011) mendapatkan hasil penelitian yang bisa dikatakan
berbeda.18, 76
Kreimer dkk menyatakan tidak ada hubungan antara seks oral
dengan infeksi VPH oral.18 Ragin dkk, yang meneliti VPH oral pada wanita,
mendapatkan sebagian besar SP yang terdeteksi VPH oral tidak memiliki riwayat
hubungan seks oral.76 Hasil yang bervariasi ini dapat menunjukkan kemungkinan
adanya faktor lain yang dapat berhubungan dengan infeksi VPH di rongga mulut.
Data VPH oral dapat dilihat pada tabel 4.7.
Pada kelompok yang tidak melakukan seks oral terdapat 2 SP (6,9%) dengan VPH
oral, pada kelompok yang melakukan seks oral < 1 kali per minggu terdapat 3 SP
(9,4%) VPH oral, dan pada kelompok yang melakukan seks oral ≥ 1 kali per
minggu terdapat 2 SP (14,3%) dengan VPH oral. Hasil perhitungan statistik, tidak
terdapat perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP berdasarkan
frekuensi seks oral.
Tabel 4.8 Hubungan frekuensi seks oral dan VPH Oral pada pasien
kondiloma akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI Jakarta, April-Mei 2014
Universitas Indonesia
Penelitian yang menghubungkan infeksi VPH oral dengan frekuensi seks belum
banyak dilakukan. Umumnya membandingkan dengan jumlah pasangan seks
oral.10-12, 20, 63 Pada penelitian Edelstein, dkk menunjukan hubungan infeksi VPH
di rongga mulut dengan frekuensi seks oral lebih bermakna dibandingkan dengan
jumlah pasangan seks oral (nilai p < 0,05).17 Pada penelitian ini sebagian besar SP
jarang melakukan seks oral, 42,84 % melakukan hanya <1x/minggu dan 28,56%
SP tidak melakukan sama sekali (dapat dilihat pada tabel 4.5). Hal ini mungkin
dapat menjelaskan jumlah proporsi VPH oral yang rendah pada penelitian ini.
Terdapat penelitian lain oleh Kreimer dkk (2007) yang juga menilai hubungan
frekuensi seks oral (dalam 6 bulan terakhir) dengan infeksi VPH oral, namun
hasilnya tidak bermakna secara statistik.18 Hubungan frekuensi seks oral dan VPH
oral dapat dilihat pada tabel 4.8.
Universitas Indonesia
Tabel 4.9 Genotipe VPH oral yang ditemukan pada pasien kondiloma
akuminatum anogenital di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik
PKBI Jakarta, April-Mei 2014
Genotipe n %
11 1 14,3
6 dan 11 1 14,3
11 dan 43 1 14,3
11 dan 51 1 14,3
18 2 28,5
58 1 14,3
Ket: n=jumlah SP
Universitas Indonesia
BAB 5
IKHTISAR, KESIMPULAN, DAN SARAN
5.1. Ikhtisar
Virus Papiloma Humanus (VPH) merupakan penyebab penyakit infeksi menular
seksual (IMS) yang sering ditemukan di dunia. VPH tipe mukosa dapat
menginfeksi mukosa laring, traktus respiratorius, anus, uretra, kandung kemih,
traktus genitalia wanita, dan oral.1 VPH menyumbang 5,2% dari keseluruhan
penyebab keganasan pada manusia, antara lain keganasan orofaring.2 Kajian
epidemiologik di Swedia dan Denmark menunjukkan insidens keganasan oral dan
anal masing-masing mencapai 10 dan 4 kali lebih tinggi pada pasien kondiloma
akuminata genitalia dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki kondiloma
genitalia. Kajian prevalensi VPH oral pada pasien KA di Kopenhagen
menunjukkan prevalensi sebesar 10,4% dan terdapat kesesuaian tipe dengan VPH
pada lesi kutil genital sebesar 60,9%.6
Universitas Indonesia
dan klinik PKBI di Jakarta. Subyek yang diikutsertakan pada penelitian sudah
melalui seleksi kriteria penerimaan. Pada seluruh subyek dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan genotipe VPH dari bilasan mulut. Sampel
diambil dengan cara kumur-kumur menggunakan cairan Listerine® selama 30
detik, lalu ditampung ke dalam tabung sentrifugasi. Tabung selanjutnya dibawa ke
laboratorium Kalgen, Jakarta untuk diproses lebih lanjut.
Universitas Indonesia
Karakteristik orientasi seks, cara hubungan seks oral, frekuensi seks oral 4
bulan terakhir, dan status HIV SP di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Klinik PKBI Jakarta tidak berbeda bermakna
Enam dari tujuh SP (85,72%) yang terdeteksi memiliki VPH pada rongga
mulutnya berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar SP dengan VPH oral
berorientasi homoseksual (42,9%) dan biseksual (28,6%). VPH oral lebih
banyak didapatkan pada kelompok SP yang belum menikah (85,7%). Hasil
penelitian sebagian SP yang terdeteksi VPH oral belum diperiksa status
HIV (57,14%).
Cara hubungan oral seks pada SP yang terdeteksi VPH oral paling banyak
dengan cara orogenital (71,4%). VPH oral lebih banyak ditemukan pada
subyek melakukan hubungan seks orogenital dengan frekuensi kurang dari
1x/minggu (42,84%) dan tidak melakukan sama sekali (28,56%).
Universitas Indonesia
5.2 Kesimpulan
1. Proporsi VPH oral pada pasien KA anogenital sebesar 9,3%.
2. Tidak terdapat perbedaan proporsi VPH oral di antara kelompok SP
berdasarkan frekuensi seks oral sehingga hipotesis ditolak.
5.3 Saran
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dan hipotesis
penelitian selanjutnya.
2. Melanjutkan penelitian dengan jumlah SP yang lebih banyak dan
rancangan penelitian kasus kontrol atau kohort untuk lebih membuktikan
hubungan frekuensi seks oral dan infeksi VPH oral.
3. Diperlukan penelitian pada populasi risiko tinggi lainnya dengan
rancangan penelitian yang sesuai untuk menambah data epidemiologi di
Indonesia.
4. Penelitian korelasi genotype VPH oral dan keganasan orofaring di
Indonesia.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
18. Kreimer A, Campbell CP, Lin H. Incidence and clearance of oral human
papilomavirus infection in men: the HIM cohort. Lancet.
2013;382(9895):877-87.
19. D'Souza G, Sugar E, Ruby W, et al. Analysis of the effect of DNA
purification on detection of human papilomavirus in oral rinse samples by
PCR. Journal of Clinical Biology. 2005;43:5526-35.
20. Mooij SH, Boot HJ, Speksnijder AG, et al. Oral human papilomavirus
infection in HIV-negative and HIV infected MSM. AIDS. 2013;27:2117-28.
21. Kusmarawasmy K, Vidhya M. Human papilomavirus and oral infections: An
Update. Journal of cancer research and theurapetics 2011;7:120-7.
22. Begum S, Guillison M, Nico T, et al. Detection of human papilomavirus 16 in
fine needle aspiration to determine tumor origin in patients with metastatic
squamous cell carcinoma of the head and neck. Clinical Microbiology
Reviews. 2007;13:1186-91.
23. Castle P. Human papilomavirus in oral exfoliated cells and risk of head and
neck cancer. Journal of The National Cancer Institute. 2004;96:1181-3.
24. Castro T, Bussoloti I. Prevalence of human papilomavirus in oral ciavity and
orofaring. revista Brasileira de Otorralingologia. 2006;72:272-82.
25. Vet J, Boer Md, Akker BVd, et al. Prevalence of human papilomavirus in
Indonesia: a population based study in three regions. British Journal of
Cancer. 2008;99:214-8.
26. Fernandez AM, Rosete D, Pedraza S, et al. Low and high risk human
papilomavirus in the oral mucosa pf mexican women with genital
papilomavirus. Open Journal of Medical Microbiology. 2013;3:62-9.
27. Gillison M, Koch W, Capone R. Evidence for causal association between
human papilomavirus and a subset of head and neck cancers. J Natl Cancer
Inst. 2000;92:709-20.
28. Longworth M, Laimins L. Pathogenesis of human papilomavirus in
differentiating epithelia. Microbiol Mol Biol Rev. 2004;68:362-72.
29. Doorbar J. The papilomavirus life cycle. J Clin Virol. 2005;32:s7-15.
30. Scheurer M, Tortolero-Luna G, Adler-Strothz K. Human papiloma virus
infection: biology, epidemiology, and prevention. Int J Gynecol Cancer.
2005;15:727-46.
31. Rose R, Stoler M. Biology. In: Bonnez W. Guideline to genital disease and
prevention. New York: Informa Healthcare. 2009:1-16
32. Koutsky L, Ault K, Wheeler C. A controlled trial of a human papilomavirus
tyoe 16 vaccine. N Engl J Med. 2002;347:1645-51.
33. Mayeux E, Dunton C. Modern management of external genital warts. J Low
Genit Tract Dis. 2008;12(3):185-92.
34. Stanley M. Epithelial cell responses to infection with human papilomavirus.
Clin Microbiol Rev 2012;25920:215.
35. Beachler D, D'Souza G, Sugar E. Differencess in oral and anal HPV natural
history among HIV infected individuals. proceedings of the 28th international
papilomavirus conference. 2012:213.
36. Gravit P. The known unknowns of HPV natural history. J Clin Invest.
2011;121:4593-9.
37. D'Souza G, Dampsey A. The role of HPV in head and neck cancer and review
of the HPV vaccine. Prev Med. 2011;53:s5-11.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
58. CDC. Sexually transmitted disease treatment guidelines 2010. Morb Mortal
Wkly Rep. 2010;59(RR-12):70-4.
59. Wiley D, Dpuglas J, Beutner K, et al. External genital warts:diagnosis,
treatment, and prevention. Clin Infect Disease. 2002;35(2 suppl):s210-24.
60. Juckett G, Hartman-adams. Human papilomavirus: clinical manifestation and
prevention. Am Fam Physician. 2010;15:1209-14.
61. Bonnez W, Toy E. Therapy. In: Bonnez W. Guide to genital disease and
prevention. New York: Informa Healthcare, 2009:45-58
62. HPV express matrix test kit user manual. In matrix He, (Ed) 2011:1-15.
63. Read T, Hocking J, Vodstrci L, et al. Oral human papilomavirus in men
having sex with men: risk factors and smapling. Plos One.
2012;7(11):e49324.
64. Lucky MH, Baig S. Isolation of DNA from oral rinse in HPV positive
patients. Journal of College of Physicians and Surgeons Pakistan.
2013;23(7):455-8.
65. Zubier F. Kondiloma Akuminata. In: Daili SF, Makes WIB, Zubier F,
Judanarso. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia, 2005:146-58
66. Sulistyaningrum S. Identifikasi Tipe Human Papilomavirus pada Berbagai
Bentuk Klinis Kondiloma Akuminatum di Rumah Sakit Umum Pusat
NAsional Dr. Cipto Mangunkusumo. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Universitas Indonesia 2013.
67. Lin C, Ho KM, Tsui HY, et al. Incidence of genital warts among Hongkong
general adult population. BMC Infect Dis. 2010;10:272-7.
68. Hillemanns P, Breugelmans J, Gieseking F, et al. Estimation of the incidence
of genital warts and teh cost of illness in germany: A cross-sectional study.
BMC Infect Dis (cited 2014 Jun 14). 2008;8:(10 screens).
69. Khalis BA, Abdul-Jabbar MA-S, Sherzad AI. Clinical and epidemiological
patterns of anogenital warts among male patients in Erbil city, Iraq. Ann Coll
Med Mosul. 2012;38(2):28-34.
70. Javidi Z, Maleki M, MAshayekhi V, et al. epidemiological evaluation of
patients with anogenital warts referred to dermatology clinic of Imam-Reza
Hospital in Mashhad. IJD. 2008;11(1):25-9.
71. Gaspar J, Gir E RR, Alreido Md, et al. Sociodemographic and clinical factors
and their asscociation with the type of lesion caused by human papiloma
virus. J Antivir Antiretrovir. 2013;5:113-8.
72. Mlakar B. Proctoscopy should be mandatory in men that have sex with men
with external anogenital warts. Acta Dermatoven APA. 2009;18 (1):7-11.
73. Sung J, Ahn E, Oh H-K, et al. Association of immune status recurrent anal
condyloma in human immunodeficiency virus positive patients. J Korean Soc
Colproctol. 2012;28(6):294-8.
74. Mayer KH. Sexually transmitted disease in men who have sex with men. CID.
2011;53(suppl 3):s79-83.
75. Griensven Fv, Wijngaarden HdLv. A review of the epidemiology of HOV
infection and prevention responses among MSM in Asia. AIDS.
2010;24(Suppl3):s30-40.
76. Ragin C, Edwarsd R, LArkins-Pettigrew M, et al. Oral HPV infection and
sexuality: A cross-sectional study in women. Int J Mol Sci. 2011;12:3928-40.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Infeksi di rongga mulut dapat berupa lesi jinak, berupa bercak, benjolan, atau
dapat tidak bergejala. Infeksi VPH di rongga mulut berhubungan dengan
keganasan mulut dan tenggorok (orofaring). Proporsi keganasan orofaring yang
diakibatkan oleh VPH meningkat dari 19% menjadi 60 % pada tahun 2005-2006.
Terdapat beberapa pilihan terapi untuk mengatasi infeksi VPH dan juga tersedia
vaksin untuk mencegah infeksi VPH.
Saat ini kami sedang melakukan penelitian untuk mengetahui angka kejadian
infeksi VPH pada rongga mulut pasien kutil kelamin-anus (kondiloma
akuminatum anogenital) di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan klinik swasta
Jakarta. Selain itu juga ingin mencari hubungannya dengan frekuensi hubungan
seks mulut (seks oral). Pengambilan bahan periksa dilakukan dengan cara bilas
mulut. Sebelumnya saudara/i akan diminta berkumur dengan Listerine®.
Pemeriksaan ini cepat, aman dan tidak melukai. Bahan tersebut dikirim ke
laboratorium untuk mendeteksi adanya VPH di mukosa rongga mulut saudara/i.
Biaya pemeriksaan bilas mulut tersebut sepenuhnya ditanggung oleh peneliti.
Saudara/i akan mendapatkan hasil pemeriksaan tersebut 2 minggu kemudian. Bila
saudara/i terdiagnosis infeksi VPH maka kami akan membantu untuk merujuk
saudara/i ke dokter gigi dan mulut atau dokter telinga, hidung, tenggorok (THT)
di RSUPN Cipto Mangunkusumo, jika saudara menghendaki. Adapun biaya
konsultasi ke bagian Gigi dan Mulut atau THT ditanggung sendiri oleh saudara/i.
Partisipasi saudara/i bersifat sukarela dan tetap akan dilayani sesuai prosedur
meskipun saudara/i menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Kerahasiaan data dan kelainan yang diderita saudara/i akan dijaga. Bila saudara/i
membutuhkan informasi lebih lanjut, dapat menghubungi dr. Cut Natya Rucitra di
Departemen Kulit dan Kelamin FKUI/RS dr. Cipto Mangunkusumo, Jl.
Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat, telepon (021) 3918301 ext.6309 (jam kerja)
atau HP 085810140266. Terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.
Peneliti
Universitas Indonesia
RSCM NRM
:
Nama
:
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jenis
Kelamin
:
Jl. Diponegoro No.71Jakarta 10430 Tanggal
lahir
:
(Mohon
diisi
atau
t empelkan
stiker
jika
ada)
Telp (021) 3918301 Fax (021)3148991
Penerima Informasi
Nama Subyek :
Tanggal lahir :
Jenis Kelamin :
Alamat :
No Telp (HP) :
JENIS
ISI INFORMASI TANDAI
INFORMASI
Proporsi Virus Papiloma Humanis (VPH)
oral dan hubungannya dengan frekuensi
1. Judul Penelitian
seks oral pada pasien kondiloma
akuminatum anogenital
Untuk mengetahui:
• Proporsi infeksi VPH oral (mulut)
pada pasien kondiloma akuminatum
anogenital (kutil di kelamin-anus)
• Penentuan genotipe VPH oral (mulut)
pada pasien kondiloma akuminatum
2. Tujuan Penelitian
anogenital (kutil di kelamin-anus)
• Hubungan frekuensi seks oral (mulut)
dengan infeksi VPH oral pada pasien
kondiloma akuminatum anogenital
(kutil di kelamin-anus)
Metode
3. Rancangan penelitian potong lintang
Penelitian
Diharapkan tidak timbul efek samping
tertentu. Subyek penelitian (SP) hanya
Risiko & Efek
diminta untuk berkumur menggunakan
4. samping dalam
pembilas mulut (mouthwash). Kalaupun
penelitian
ada, hanya timbul rasa pedas saat
berkumur.
Universitas Indonesia
Penjagaan
9. Semua data akan dijamin kerahasiaannya
kerahasiaan
Kompensasi bila
10. terjadi efek Tidak Ada
samping
Jumlah Subyek
12 Minimal 73 orang
Universitas Indonesia
Bahaya potensial
13 Tidak Ada
______________________ __________________
Tanda tangan Subyek & Nama Tanggal
_______________________ __________________
Tanda tangan Saksi & Nama Tanggal
Ket: Tanda tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan kesadaran,
mengalami gangguan jiwa, dan berusia di bawah 18 th.
Universitas Indonesia
Saya telah menjelaskan kepada Subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur dan faktor risiko, serta ketidaknyamanan
yang mungkin timbul ( penjelasan terperinci sesuai dengan hal yang saya tandai di
atas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan
sebaik-baiknya.
__________________ _______________
dr. Cut Natya R. Jacoeb Tanggal
Universitas Indonesia
Lampiran 3
Kesimpulan
( ) Pasien memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian
( ) Pasien tidak memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian
Universitas Indonesia
STATUS PENELITIAN
I. IDENTITAS
1. Nomor urut penelitian :
2. Usia : ……………. Tahun
3. Tingkat Pendidikan : (1) Tidak sekolah ; (2) SD / Sederajat ; (3) SMP /
Sederajat ; (4) SMU / Sederajat ; (5) Diploma /
Akademik / Sarjana strata 1-3
4. Jenis kelamin : (1) Laki-laki
(2) Perempuan
(3) Waria
4. Orientasi seksual : (1) Heteroseksual
(2) Homoseksual
(3) Biseksual
5. Status pernikahan : (1) Menikah
(2) Belum menikah
(3) Bercerai
6. Status HIV : (1) Positif
(2) Negatif
(3) Belum pernah diperiksa
II. ANAMNESIS
1. Apakah SP baru saja makan atau minum dalam 1 jam terakhir?
a. Ya
b. Tidak
2. Cara melakukan hubungan seks oral:
a. Orogenital
b. Oroanal
c. Keduanya
d. Tidak Keduanya
Universitas Indonesia
Ket:
#) tidak melanjutkan ke pertanyaan berikutnya
*) melanjutkan ke no 9 jika lesi kondiloma akuminatum tipe non-klasik
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Keterangan:
Jenis kelamin
1=laki-laki Genotip HPV
2=perempuan 1=genotip resiko rendah
Orientasi seksual 2=genotip resiko tinggi
1=heteroseksual 3=campuran
2=homoseksual 4=tidak ditemukan HPV
3=biseksual HPV
Status 1=ditemukan HPV
1=belum menikah 2=tidak ditemukan HPV
2=menikah Lokasi subjek
3=bercerai 1=PKBI
HIV 2=RSCM
1=negatif Kategori usia
2=positif 1=<25
3=belum pernah diperiksa 2=≥25
Cara hubungan seksual Pendidikan
1=orogenital 1=SMP
2=oroanal 2=SMU/SMK
3=keduanya 3=D1
4=tidak keduanya 4=D3
Frekuensi hubungan seksual 5=S1
1=tidak melakukan Tingkat pendidikan
2=kurang dari 1 kali perminggu 1=rendah
3=lebih dari sama dengan 1 kali perminggu 2=menengah
Lokasi lesi 3=tinggi
1=genital
2=anal
3=anogenital
4=tidak ada
Tipe lesi
1=klasik
2=non-klasik
3=campuran
4=tidak ada
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia