DISERTASI
KRISTIANA SISTE
1306363512
DISERTASI
Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Kedokteran pada Universitas
Indonesia di Jakarta di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia
Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, untuk dipertahankan di hadapan Dewan
Penguji pada Hari Selasa, 19 November 2019, Pukul 10.00
KRISTIANA SISTE
NPM. 1306363512
Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hingga
pada akhirnya saya dapat menyelesaikan perjuangan tanggung jawab dan komitmen
saya dalam pendidikan doktor di bidang kedokteran. Perjuangan panjang dengan
dukungan dari banyak pihak menjadi catatan indah, tidak terlupakan, dan
menguatkan hidup saya. Perjuangan yang diwarnai oleh banyak keajaiban. Semua
hal yang saya alami menjadikan bekal untuk saya dalam menjalani hidup yang lebih
baik dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitar saya. Oleh karena
itu, dengan segala ketulusan hati, saya mengucapkan terima kasih kepada:
Yth. Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met., Rektor Universitas Indonesia, atas
dukungan administratif maupun materiil sehingga saya dapat menyelesaikan
pendidikan dan penelitian ini melalui dukungan beasiswa maupun hibah penelitian
di masa kepemimpinan Prof. Anis sehingga menjadi dukungan yang sangat
bermakna bagi saya untuk melakukan penelitian.
Yth. Bapak Dekan FKUI Periode Tahun 2017–2021, Dr. dr. Ari Fahrial Syam,
Sp.PD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP beserta jajaran dekanat, terutama Wakil
Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Dr. dr. Dwiana
Ocviyanti, Sp.OG(K), atas dukungan dan penguatan motivasi kepada saya yang tiada
henti. Saya berharap dapat menjadi bagian, berpartisipasi, dan berkontribusi aktif
dalam karya pengembangan FKUI bagi masyarakat, salah satunya melalui disertasi ini.
Yth. Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M(K), Prof. dr. Pratiwi Pudjilestari
Sudarmono, PhD, Sp.MK, dan Dr. dr. Achmad Fauzi Kamal, Sp.OT(K); Dekan,
Wakil Dekan, dan Manajer Umum FKUI periode Tahun 2013‒2017. Terima kasih
untuk saran yang disampaikan sehingga dapat meningkatkan kelayakan, mutu, dan
manfaat penelitian ini. Terima kasih juga untuk semua dukungan, dorongan, dan
penguatan yang diberikan kepada saya untuk menyelesaikan pendidikan dan
komitmen saya untuk menyelesaikan pendidikan ini.
Yth. Prof. Dr. dr. Suhendro, Sp.PD, KPTI, Ketua Program Studi Doktor Ilmu
Kedokteran. Terima kasih banyak atas dukungan, bimbingan, dan dorongan yang
diberikan, sehingga laporan disertasi ini dapat diselesaikan, dengan draft
Yth. Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD, KEMD, Ketua Program Studi
Doktor Ilmu Kedokteran periode sebelumnya sekaligus penguji dari program studi.
Terima kasih banyak untuk senantiasa menguatkan saya untuk menyelesaikan
tanggung jawab saya. Prof selalu memberikan semangat dan meyakinkan bahwa
saya bisa berjuang menyelesaikan disertasi ini. Prof selalu mendukung saya secara
tulus dan sabar. Terima kasih banyak Prof telah menjadi contoh lengkap seorang
role model.
Yth. Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, Sp.Park, selaku penguji. Terima
kasih atas waktu dan kebaikan hati Prof memberikan masukan untuk saya dalam
proses pembuatan disertasi ini. Terima kasih atas senyum ceria Prof yang membuat
saya bersemangat dalam merevisi materi disertasi.
Yth. dr. Harrina Erlianti Rahardjo, Sp.U(K), PhD, Sekretaris Program Studi
Doktor Ilmu Kedokteran terima kasih banyak telah membantu saya menyelesaikan
proses pendidikan ini. Terima kasih selalu memberikan masukan dan penguatan
bagi saya sehingga saya merasa semangat untuk menyelesaikan disertasi. Terima
kasih sudah selalu membuat saya tenang ketika saya mulai cemas dan panik.
Yth. Dr. dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK(K), M.Epid., terima kasih banyak atas
dukungan dan masukan bagi disertasi saya. Terima kasih atas semangat yang selalu
diberikan dan senyum manis yang selalu saya terima setiap kali bertemu.
Yth. dr. Alida Roswita Harahap, Sp.PK(K), PhD, terima kasih banyak untuk
dukungan dan masukan bagi saya dalam menyelesaikan disertasi sehingga saya
tetap bertahan. Terima kasih atas semangat yang diberikan untuk saya.
Yth. Dr. dr. Martina W. Nasrun, Sp.KJ(K), selaku promotor, guru, ibu, role
model, dan figur penguat saya sejak awal ide sampai akhir penyelesaian penelitian
ini. Dokter sungguh menjadi pendamping dan penguat saya dalam menjalankan
pendidikan. Terima kasih atas pendampingan yang Dokter berikan dan masukan
Yth. Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ(K), selaku kopromotor, guru, role model
dan pembimbing saya sepanjang masa. Betapa saya masih teringat saat menjadi
mahasiswa S1, Prof menjadi pembimbing pendamping saat saya stase di Psikiatri.
Saya sangat mengagumi Prof karena dapat menjelaskan sesuatu yang abstrak
menjadi mudah dimengerti. Prof selalu meluangkan waktu untuk dapat
membimbing dan bersedia dihubungi walaupun sudah malam hari. Saat itu saya
merasa sangat ingin menjadi Psikiater. Saya kembali mendapatkan ilmu dari Prof
saat saya melakukan penelitian saat duduk di Sp-1. Kemudian terulang untuk
pendidikan Doktor ini. Saya merasa Prof adalah figur lengkap seorang pekerja
keras, cerdas dan rendah hati yang selalu ingin memberikan yang terbaik bagi
murid. Saya sungguh sangat terbantu dalam menyelesaikan disertasi ini dari segi
keilmuan dan kesehatan mental. Saya meneliti di bidang remaja, dan Prof sungguh
sangat mendukung dan murah ilmu. Betapa saya belajar bahwa kolaborasi sangat
penting dari Prof. Terima kasih Prof. Tjhin atas kasih dan kebaikan Prof. sungguh
sangat berarti dalam perjalanan hidup saya.
Yth. Prof. Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc., selaku kopromotor. Terima kasih
Prof untuk selalu menyediakan waktu yang sangat fleksibel untuk saya. Terima
kasih untuk mengajarkan dan menemani saya dalam melihat data di tengah
keterbatasan kemampuan saya akan ilmu statistik. Terima kasih Prof untuk
dukungan dan semangat yang diberikan sehingga saya selalu merasa senang dan
tenang saat menginjakkan kaki di Departemen Gizi untuk bimbingan. Terima kasih
Prof selalu mengapresiasi yang saya lakukan, walaupun saya mengetahui banyak
sekali kesalahan yang saya buat. Umpan balik dan apresiasi yang Prof berikan
membuat saya selalu bersemangat menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih atas
kasih dan kebaikan Prof.
ix Universitas Indonesia
Yth. Dr. dr. Jacub Pandelaki, Sp.Rad(K), selaku pembimbing dan penguji.
Terima kasih Dokter sudah memberikan ilmu yang tidak pernah saya dalami
sebelumnya. Terima kasih atas petunjuk dan pendampingan Dokter dalam
melakukan bagian penelitian yang berada di luar kemampuan saya. Dr. Jacub selalu
memberikan semangat dan umpan balik yang kritis yang membuat saya bisa
bertahan dalam menjalani penelitian ini. Terima kasih karena Dokter sudah
berkenan mendampingi selama pemeriksaan fMRI. Penelitian ini membuka mata
saya secara lebar bahwa pemeriksaan neuroimaging untuk gangguan psikiatri
adalah nyata di Indonesia. Kebaikan dan kasih Dokter sangat berarti bagi saya
dalam menjalani perjuangan yang penuh tantangan ini.
Yth. Dra. Riza Sarasvita, M.Si, MHS, PhD, selaku pembimbing dan penguji.
Suatu kehormatan bagi saya untuk dapat dibimbing oleh pakar adiksi Indonesia
yang saya kagumi. Betapa Ibu adalah role model bagi saya untuk bekerja di bidang
adiksi. Pemikiran kritis Ibu mendobrak prinsip-prinsip lama dalam bidang adiksi.
Ketekunan dan kegigihan Ibu dalam mengembangkan bidang adiksi di Indonesia
memberikan motivasi bagi saya untuk bekerja secara tekun untuk kemajuan bidang
adiksi di Indonesia. Terima kasih atas masukan yang sangat dalam dan analitik yang
diberikan pada saya sehingga aspek kebijakan dan kepentingan akan
pengembangan adiksi di Indonesia terintegrasi pada hasil penelitian ini. Saya yakin
kolaborasi antara pemangku kebijakan dan akademik menjadi bagian penting dalam
pengembangan bidang adiksi di Indonesia, dan saya menemukan secercah harapan
kolaborasi ini pada figur Ibu. Terima kasih Ibu untuk senantiasa memudahkan saya
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pendidikan ini.
Universitas Indonesia x
Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
A/ Prof. Toshiya Murai, MD, PhD; Jun Miyata, MD, PhD; Naoya Oishi, MD,
PhD; Kosuke Tsurumi, MD, PhD; and Hironobu Fujiwara, MD, PhD from
Department of Psychiatry, Kyoto University. I would like to express my deepest
gratitude for allowing this research collaboration to happen. I also thank you for
abundant support and guidance throughout this research, particularly during fMRI
data analysis. Without your support, I can do nothing with this research.
Yth. Dr. Christiany Suwartono, S.Psi., M.Si. Ibu Cen Cen, terima kasih atas
bantuan Ibu untuk penyelesaian penelitian ini. Kita baru saja berkenalan namun
saya sungguh terharu karena Ibu sangat terbuka untuk membantu saya dalam
pengolahan data. Bimbingan yang Ibu berikan sangat berarti bagi saya dalam
menyelesaikan disertasi. Analisis data yang di luar kemampuan saya menjadi hal
yang dapat dilakukan karena Ibu membimbing dengan luar biasa. Perkenalan
pertama dengan menggunakan program Jeffrey’s Amazing Statistic Program
membuat saya mengetahui lebih luas analisis data untuk studi perilaku. Terima
kasih Ibu Cen Cen untuk kasih dan kebaikan Ibu.
Yth. Dr. dr. C.H. Soejono, Sp.PD, K-Ger, M.Epid., MPH, FACP, FINASIM–
Direktur Utama RSCM periode Tahun 2013–2018, dr. Lies Dina Liastuti,
Sp.JP(K), M.A.R.S.–Direktur Utama RSCM, Dr. dr. Ratna Dwi Restuti,
Sp.THT-KL(K), MPH–Direktur Medik dan Keperawatan, Dr. dr. Nina Kemala
Sari, Sp.PD, K-Ger, MPH–Direktur Pengembangan dan Pemasaran, Dr. dr.
Trimartani, Sp.THT-KL(K)–Direktur SDM, Dr. dr. Arif Rahman Sadad,
Sp.KF, S.H., M.Si Med,DMM–Direktur Umum dan Operasional, dan Bapak
Harris Fadillah, Ak, M.M.–Direktur Keuangan RSUP Nasional dr. Cipto
Mangunkusomo. Terima kasih untuk memberikan kepercayaan, kesempatan,
sumber daya, dan semua keluasaan tugas sehingga saya bisa menyelesaikan tugas
pendidikan ini. Terima kasih untuk telah mendorong, menjadi contoh, dan terus
memberikan motivasi bagi saya untuk menyelesaikan pendidikan di tengah begitu
banyak tugas dan tantangan di RS tercinta. Saya begitu merasakan dukungan dari
Direksi untuk memberikan kesempatan bagi saya untuk berkembang dan
menyelesaikan pendidikan.
xi Universitas Indonesia
Yth. dr. Amy So, dr. Johnny Nurman, Sp.A, dr Fredy Kastilany, Sp.Rad., dan
seluruh radiografer dari RS. Abdi Waluyo Jakarta, Eunike Serfina Fajarini,
AMR, S.Si. dari GE Healthcare Indonesia. Terima kasih atas dukungan bagi saya
untuk menyelesaikan penelitian dengan membantu dalam pemeriksaan rs-fMRI.
Sungguh segala kemudahan saya dapatkan dan saya sungguh terharu dengan
bantuan yang saya terima. Saya berharap penelitian ini dapat menjadi pintu bagi
peningkatan penggunaan neuroimaging dalam studi perilaku.
Yth. Bapak dan Ibu angkat saya, dr. Kahar Tjandra, Sp.PK, dan Ibu Evy
Tjandra. Terima kasih atas cinta Bapak dan Ibu sejak 22 tahun yang lalu. Saya bisa
mencapai titik kehidupan saat ini karena dukungan dan kebaikan Bapak dan Ibu.
Semangat yang tinggi, tidak mudah menyerah, persisten untuk mencapai tujuan dari
Bapak dan Ibu menjadi pedoman bagi saya menjalani pendidikan ini. Terima kasih
untuk menjadi bagian yang sangat berarti dalam hidup saya.
Yth. Kepala sekolah dan guru dari SMPK Anugerah, SMPN 59, SMP Islam
Al-Jihad, SMAN 27, SMKN 14, SMA At-Taqwa, SMA Universal dan MA Al-
Muddatsiriyah. Terima kasih telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Terima kasih atas bantuan dan dukungannya sehingga saya mampu belajar dan
berkontribusi dalam pengembangan layanan kesehatan yang lebih baik bagi para
remaja. Saya berharap kolaborasi dapat terus berlangsung sehingga kita bisa
membuat program untuk pencegahan adiksi khususnya adiksi internet di sekolah.
Yth. Bapak M.A. Syaefuddin, S.Sos., M.M., Bapak Ubay Dillah, Bapak Anan
Jamuraya Jasita, Bapak Yana Maulana Yusuf, Bapak Panov Ambarita,
Dr. dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid., Dr. dr. Windy Keumala Budianti,
Sp.KK, FINSDV, Dr. dr. Merci Monica, Sp.PK, Dr. dr. Ade Firmansyah
Sugiharto, Sp.FM(K), Dr. Lisnawati, Sp.PA(K), dr. Trijuda Airlangga,
Sp.THT-KL(K), dr. Nuri Dyah Indrasari, Sp.PK(K), dan dr. M. Sopiyudin
Dahlan, M.Epid., MPhil, terima kasih sudah mendukung saya dengan luar biasa
dalam penyelesaian pendidikan. Seringkali saya melontarkan pertanyaan terkait
dengan penelitian dan program pendidikan, dan tidak mengenal waktu, namun
teman-teman selalu memberikan jawaban termasuk meredakan kecemasan saya
yang seringkali timbul. Terima kasih karena sudah dengan sabar dan untuk
mengajarkan saya memahami hal-hal yang tidak saya mengerti dan memberikan
umpan balik perbaikan. Terima kasih sudah menjadi teman yang luar biasa.
Kepada Noor Aidha, S.Psi. Psikolog dan R. Ivezy Samantha, S.Psi., terima kasih
atas dukungan dalam menyelesaikan penelitian. Terima kasih atas kesabaran dan
kebaikan yang telah diberikan. Sungguh berarti untuk saya.
Kepada yang terkasih anak-anak saya, dr. Pandu Lesmana Putra, dr. Leslie
Melisa, dr. Nadhila Kaulika, dr. Ika Julianti, dr. Rachmanita Yudelia Rizki
Sjarif, dr. Pratiwi Assandi, dr. Caroline Saputro, dr. Lidya Purnama Dewi, dr.
Rayhan Maditra Indrayanto, dr. Gabriella Ellenzy, dr. Adhysti Warhanni, dr.
Irene Vidya Tantri dan dr. Christine Natalina Elizabeth, dr. Charissa Lazarus,
dan dr. Made Agung Yudistira Permana saya sungguh berterima kasih atas
bantuan kalian dalam proses pengumpulan dan pengambilan data. Kerja keras dan
kecerdasan serta semangat yang ditunjukkan membuat saya memiliki semangat yang
sama untuk menyelesaikan penelitian. Terima kasih karena sudah menemani saya
pada hari-hari berat saya.
Kepada yang terkasih anak-anak yang menjadi rekan saya dalam berpikir dr.
Karina Kalani Firdaus, dr. Belinda Julivia Murtani, dr. Reza Damayanti, dr.
Yth. dr. A.A.A. Agung Kusumawardhani, Sp.KJ(K), MPH., terima kasih untuk
kesempatan bagi saya menjalani pendidikan Doktor pada tahun 2014. Terima kasih
Dokter sudah memberikan kesempatan bagi saya mendapatkan beasiswa. Dokter
adalah role model saya untuk selalu berpikir positif dan mengerjakan segala sesuatu
sampai selesai. Terima kasih atas banyaknya keleluasaan bagi saya untuk menjalani
pendidikan.
Yth. Para guru saya di Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, Alm. Prof. Didi
Bachtiar Lubis, Sp.KJ(K), Alm. dr. Lukas Mangindaan, Sp.KJ(K), Prof. Dr.
Sasanto Wibisono, Sp.KJ(K), Prof. Dr. dr. R. Irawati Ismail, Sp.KJ(K),
M.Epid., dr. Jan Prasetyo, Sp.KJ(K), dr. Ika Widyawati, Sp.KJ(K), dr.
Richard Budiman, Sp.KJ(K), dr. Charles E. Damping, Sp.KJ(K), Dr. dr.
Nurmiati Amir, Sp.KJ(K), dr. Noorhana S.W., dr. Heriani, Sp.KJ(K), dr.
Irmia Kusumadewi, Sp.KJ(K)., dr. Sylvia Detri Elvira, Sp.KJ(K), dr. Suryo
Dharmono, Sp.KJ(K), Dr. dr. Irmansyah, Sp.KJ(K), dan dr. Gitayanti
Hadisukanto, Sp.KJ(K), terima kasih atas ilmu, doa, motivasi dan dukungan yang
selalu diberikan pada saya sejak saya menjadi mahasiswa kedokteran hingga saat
ini. Saya sungguh merasakan belajar di Departemen Psikiatri FKUI/RSCM
merupakan pengalaman istimewa. Saya mendapatkan materi pengajaran dari Dewa
dan Dewi bidang Psikiatri di Indonesia dan juga dukungan mental yang luar biasa.
Terima kasih atas kasih sayang yang Prof dan Dokter berikan.
Yang terkasih dr. Heriani, Sp.KJ(K), Guru yang selalu mendampingi saya dalam
fase sulit setiap tahap pendidikan. Mami Ria selalu mendengarkan keluh kesah dan
kecemasan saya. Tiap tahap pendidikan selalu ada fase menangis dan Mami Ria
yang selalu menjadi malaikat memberikan saya ketenangan. Terima kasih Mami
Ria untuk cinta mami dan kalimat-kalimat penyemangat yang selalu datang setiap
sore dalam beberapa bulan ini.
Yang terkasih dr. Petrin Redayani L.S, Sp.KJ(K), M.Pd.Ked., dr. Feranindhya
Agiananda, Sp.KJ(K), dr. Natalia Widiasih, Sp.KJ(K), M.Pd.Ked., Dr. dr.
Khamelia Malik, Sp.KJ, dan dr. Profitasari Kusumaningrum, Sp.KJ. Para
Koordinator di Departemen tercinta. Terima kasih sudah saling membantu,
mengulurkan tangan dan berpegangan untuk menyelesaikan segala pekerjaan di
Departemen tercinta. Terima kasih sudah memberikan kelonggaran waktu bagi saya
untuk menyelesaikan disertasi ini. Tawa, canda dan argumentasi menjadi bagian
yang membuat saya semangat dalam bekerja.
Yang terkasih sahabat saya, Dr. dr Hervita Diatri, Sp.KJ(K), dr. Tribowo
Tuahta Ginting, Sp.KJ(K), dr. Eva Suryani, Sp.KJ. Terima kasih atas segala
cinta dan kasih yang diberikan untuk saya. Terima kasih untuk menjadi sandaran
saat saya merasa lelah. Fase sulit dan huru-hara dalam beberapa tahun ini terasa
lebih ringan karena ada sahabat. Vita, terima kasih sudah selalu mau berbagi dalam
suka dan duka, mendengarkan omelan dan keluhan saya yang tiada henti, menjadi
role model untuk selalu bekerja keras dan menyelesaikan yang sudah dimulai.
xv Universitas Indonesia
Yang terkasih dr. Fransiska Kaligis, Sp.KJ(K), dr. Gina Anindyajati, Sp.KJ,
dr. Enjeline Hanafi, Sp.KJ, dan dr. Kusuma Minayati, Sp.KJ. Terima kasih atas
dukungan dan doa yang diberikan untuk saya dalam menyelesaikan disertasi ini.
Terima kasih Enji yang sudah membantu saya dalam menyelesaikan pekerjaan di
Divisi Psikiatri Adiksi saat saya harus kosentrasi menyelesaikan disertasi.
Mbak Vina, Mbak Euis, Mas Aprian, Mas Purwanto, Mbak Indah, Mbak
Fitri, Mbak Elin, Mbak Desi, Mbak Reni, Mbak Yuyun, dan Mas Amsori.
Terima kasih banyak untuk bantuan bagi saya dalam pekerjaan sehari-hari sehingga
memberikan waktu bagi saya untuk menyelesaikan pendidikan. Terima kasih atas
senyum ceria untuk menyemangati saya.
Ns. Riris Ocktryna, M.Kep. Sp.Kep.J., Ns. Nursyamsiah, S.Kep., Ns. Heru
Wahyudi, S.Kep., Ns. Diah Rusmasari dan semua Bapak/Ibu perawat,
Bapak/Ibu petugas administrasi, Mas/Mbak POS, Mas/Mbak cleaning service,
dan pramusaji di Bangsal Psikiatri maupun Poliklinik Jiwa RSCM. Terima kasih
untuk semua doa, dukungan, penyemangat, dan bantuan yang saya terima saat
sedang menjalankan tugas pelayanan saya hingga berjalan dengan baik, dan saya
dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Anak-anakku terkasih, dr. Yunita Tambunan, Sp.KJ, dr. Ryan Aditya, Sp.KJ,
dr. Putri Nugraheni, Sp.KJ, dr. Alfonso Edward Saun, dr. William Surya, dr.
Darien Alfa Cipta, dr. Aila Johanna, dr. Aminah Ahmad Alaydrus, dan semua
peserta didik dokter spesialis kedokteran jiwa yang telah senantiasa
menceriakan hidup, menjadi motivasi untuk menata hidup lebih baik sebagai ibu,
guru, sejawat, dan mitra diskusi. Terima kasih untuk ketulusan dalam doa maupun
karya yang membantu proses penyelesaian pendidikan ini.
Semua teman-teman di Psikiatri’007, terima kasih atas segala cinta dan dukungan
kepada saya. Pertemanan yang tidak terkikis oleh waktu, saling menguatkan dengan
kasih yang besar. Terima kasih kepada para psikiater yang tangguh dan cerdas, dr.
Thomas DC. Sino, Sp.KJ, KPAR(K), dr. Tjandra Irawan Tendi, Sp.KJ, dr.
Budiman Jayaputra, S.E., S.Pol., Sp.KJ, dr. Syahrial, Sp.KJ(K), dr. Andriza,
Sp.KJ, dr. Yosi Agustina, Sp.KJ, dr. Elly Anggreny Ang, Sp.KJ, Widiaty
Caroline, dr. Imelda Indriyani, Sp.KJ(K), dr. Carlamia H. Lusikooy
Sp.KJ(K), dr. L. Anneke Endawati R, Sp.KJ, dr. Hilma Paramita, Sp.KJ, dr.
Sondang T.I. Samosir, Sp.KJ, dr. Herbet Sidabutar, Sp.KJ(K), dr. Tendry
Septa, Sp.KJ(K), dr. Tribowo Tuahta Ginting Sugihen, Sp.KJ(K), Letkol Kes.
Dr. Srimpi Indah Zulaecha, FS., Sp.KJ, dan dr. Dina Fitriningsih, Sp.KJ,
M.A.R.S.
Kakak dan adik-adik tercinta. Andy Djajasasmita dan Cici Megawati, S.E.,
Duwi Siska Mawar Sari, S.Psi., dan Henrik Lauritsen, Foster Kurniawan,
S.Komp., dan Ayudhya Ghita, S.E. Terima kasih untuk senantiasa mendoakan,
menemani, mendampingi, mendukung saya sejak dulu hingga sekarang, dalam
perjuangan hidup yang sederhana hingga terkompleks. Terima kasih untuk menjadi
bagian penting rasa syukur saya pada Tuhan.
Untuk sahabat, pasangan hidup dan cinta dalam kehidupan saya, Po Kian
Djajasasmita, MCSC. Terima kasih atas kesabaran dalam menemani saya dari awal
pernikahan kita dan selamanya. Terima kasih atas pengertiannya di tengah hiruk-
pikuk pekerjaan dan pendidikan. Kamu adalah berkat terbesar dalam hidup saya.
Terima kasih untuk segala kenyamanan dan kesempatan yang diberikan sehingga
saya dapat berkembang dalam karier. Semoga momen ini menjadi awal dari lebih
banyaknya lagi waktu kita bersama. I love you to the moon and back my dear.
Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan begitu banyak waktu, perhatian, kebaikan, dan kasih yang tak terbalas,
terima kasih sebesar-besarnya. Semoga berkat terbaik Tuhan akan senantiasa
mencukupkan dan melengkapi kebahagiaan Prof, Dokter, Bapak, Ibu, Kakak dan Adik.
Terima kasih Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu memberikan keajaiban
dalam hidup saya. Pertolongan dan penghiburan yang indah pada waktunya.
Jadikan saya penyalur berkat bagi sesama di mana pun dan kapan pun Tuhan
menempatkan, jadikan saya menjadi manusia yang lebih baik.
Kata kunci: adiksi internet, KDAI, remaja, konektivitas fungsional, faktor risiko
RINGKASAN...................................................................................................... 167
SUMMARY .......................................................................................................... 177
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 187
LAMPIRAN ........................................................................................................ 205
DRAFT PUBLIKASI ........................................................................................... 277
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 297
Gambar 2.1. Pengguna Jaringan Internet di Asia Tenggara, Asia Timur, Inggris,
dan Amerika Serikat, 2000 – 2014 .................................................... 7
Gambar 2.2. Area Otak Terkait Adiksi Internet .....................................................20
Gambar 2.3. Gambaran Fungsional pada Adiksi Permainan Daring saat Diberi
Stimulus Gambar ..............................................................................29
Gambar 2.4. Diagram Konsep Adiksi Internet.......................................................38
Gambar 2.5. Circumplex Model Dinamika Keluarga / Pasangan ..........................41
Gambar 2.6. Jenis Parenting Style .........................................................................42
Gambar 2.7. Konstruk, Dimensi dan Elemen ........................................................49
Gambar 2.8. Kerangka Teori Adiksi Internet pada Remaja ...................................57
Gambar 2.9. Kerangka Konsep Adiksi Internet pada Remaja ...............................58
Gambar 3.1. Alur Penelitian...................................................................................68
Gambar 4.1. Alur Tahap Pengembangan KDAI ....................................................73
Gambar 4.2. Bagan Alur Penelusuran Pustaka dalam Pembuatan KDAI Awal ....74
Gambar 4.3. Alur Penyaringan Butir Pernyataan dan Domain Konsensus Pakar .82
Gambar 4.4. Contoh Skala Polar ............................................................................84
Gambar 4.5. Alur Validasi dan Reliabilitas KDAI ................................................85
Gambar 4.6. Hasil Confirmatory Factor Analysis KDAI pada Model 2 ...............92
Gambar 4.7. Alur Validitas dan Reliabilitas IAT ...................................................94
Gambar 4.8. Hasil Confirmatory Factor Analysis IAT pada Model 2 ...................98
Gambar 4.9. Grafik AUC KDAI dengan Titik Potong 108 ..................................100
Gambar 4.10. Bagan Alur Penelusuran Pustaka Mengenai rs-fMRI BOLD .......101
Gambar 4.11. Gambar Area Otak yang Diperiksa rs-fMRI BOLD138 .................102
Gambar 4.12. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada
Kelompok dengan Adiksi Internet Dibandingkan dengan
Kelompok Tidak Adiksi Internet ..................................................105
Gambar 4.13. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada
Kelompok Adiksi Internet Dibandingkan Kelompok Tidak
Adiksi Internet (Potongan Aksial Otak) .......................................105
Gambar 4.14. Gambaran Korelasi antara Skor KDAI dengan Konektivitas
Fungsional antara LPFC Kiri dan LP Kanan ...............................107
Gambar 4.15. Hasil Analisis Mediasi Fungsi Eksekutif terhadap Hubungan
antara Skor KDAI dengan Konektivitas Fungsional antara
LPFC Kiri dan LP Kanan .............................................................108
Gambar 4.16. Bagan Networking Psychometric Faktor Risiko Adiksi Internet ..119
Gambar 5.1. Skema Penggunaan KDAI ..............................................................127
Gambar 5.2. Perubahan Konektivitas Fungsional pada Remaja dengan Adiksi
Internet ............................................................................................133
Gambar 5.3. Skema Faktor Risiko dan Proteksi Adiksi Internet pada Remaja ...162
Penggunaan jaringan internet yang luas memberikan keuntungan, namun di sisi lain
dapat menimbulkan risiko jika digunakan berlebihan terutama pada remaja.
Penggunaan berlebihan dapat menimbulkan adiksi internet (AI) yang
mengakibatkan gangguan tumbuh kembang remaja. Definisi AI adalah pola
penggunaan internet berlebihan disertai pengendalian diri yang buruk dan pikiran
obsesif untuk selalu menggunakan internet yang maladaptif.2
Prevalensi AI di dunia berkisar 4,5–19,1% pada remaja dan 0,7–18,3% pada dewasa
muda. Prevalensi AI pada remaja di Asia Tenggara 6,7%, Amerika Serikat 0,6%
dan di Eropa 2,1%. Di Asia, prevalensi remaja dengan AI tertinggi adalah di
Filipina (51%), Jepang (48%), Hong Kong (32%), Malaysia (17%) dan Korea
Selatan (10%).2 Prevalensi remaja dengan AI lebih tinggi di Asia dari Amerika dan
Eropa karena faktor budaya remaja Asia yang sulit berekspresi di lingkungannya
sehingga lebih memilih berekspresi di dunia maya.2
1 Universitas Indonesia
Berbagai faktor yang memengaruhi AI adalah faktor biologis, psikologis dan sosial.
Faktor risiko AI pada remaja adalah depresi, kecemasan sosial dan kepribadian berupa
citra diri yang buruk, harga diri yang rendah, dan kerentanan terhadap stres yang tinggi.
Isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial juga menjadi faktor predisposisi AI.8,9
Universitas Indonesia
Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, AI pada remaja merupakan masalah global. Oleh
karena itu, besaran masalah AI pada remaja di Indonesia perlu diidentifikasi lebih
tepat untuk menentukan langkah selanjutnya. Skrining yang tepat perlu dilakukan
agar tata laksana optimal. Saat ini psikiater adiksi di Indonesia hanya 20 orang
sehingga dibutuhkan alat skrining yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lain.
Universitas Indonesia
1.3 Hipotesis
1. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki nilai kesahihan dan keandalan
yang lebih baik dibandingkan dengan IAT versi Indonesia.
2. Terdapat perbedaan konektivitas fungsional bermakna pada salience network,
default mode network, central executive network, dan basal ganglia network
antara kelompok remaja AI dan tidak AI.
3. Terdapat hubungan antara faktor risiko meliputi faktor demografis, biologis,
psikologis, dan sosial dengan AI pada remaja.
4. Terdapat hubungan antara faktor proteksi meliputi faktor demografis, biologis,
psikologis, dan sosial dengan AI pada remaja.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 2.1. Pengguna Jaringan Internet di Asia Tenggara, Asia Timur, Inggris, dan
Amerika Serikat, 2000 – 20143
7 Universitas Indonesia
memperbaiki sistem survei penyakit serta menurunkan angka kematian ibu dan
anak. Di sisi lain penggunaan internet juga memiliki dampak negatif berupa
cybervictimization, perundungan dunia maya, pajanan konten yang tidak baik
(misalnya pornografi, kekerasan dan rasisme), sexting (mengirim atau menerima
gambar, video atau tulisan tentang pornografi), berkomunikasi dengan orang asing,
pelanggaran privasi, dan cybersexual.10,20,22 Kerugian akibat penggunaan internet
lebih mudah dialami oleh anak dan remaja karena mereka sangat bergantung pada
internet dan teknologi untuk pembentukan identitas dan interaksi sosial.23
Penelitian AI pertama kali dilakukan pada tahun 1996 untuk menentukan prevalensi,
gejala, dan dampak AI. Kemudian dilanjutkan penilaian psikometri untuk menilai
AI, aspek biologis dan psikososial terkait AI, serta intervensi AI. Kriteria diagnosis
AI diadaptasi dari kriteria judi patologis berdasarkan diagnostic and statistical
manual of mental disorders IV (DSM-IV)24 sebagai bagian dari gangguan kontrol
impuls. Pendekatan neurosains termasuk genetika, pencitraan struktur dan fungsi
otak dipelajari untuk mengetahui mekanisme neurobiologis yang mendasari
terjadinya AI. Pendekatan tersebut penting ditelusuri karena hingga saat ini terapi
AI belum memuaskan.
Universitas Indonesia
Proses pubertas remaja laki-laki terjadi pada usia 10,5–16 tahun. Tanda awal
pubertas yaitu perubahan suara, pertumbuhan rambut wajah, dan timbul jerawat.
Tanda maturitas seksual ditandai dengan pembesaran testikular serta diikuti
pertumbuhan rambut pubis di pangkal penis (adrenarche) dan rambut aksilaris.26
Pada fase permulaan masa remaja, remaja tidak memiliki pengetahuan yang cukup
untuk mengambil keputusan yang tepat. Ketika para remaja mulai meminta
autonomy diri kepada orang dewasa di sekitar mereka, orang tua yang cukup bijak
Universitas Indonesia
akan memberikan autonomy kepada remaja secara bertahap khususnya pada bidang
yang dirasa bahwa remaja tersebut dapat membuat keputusan yang baik. Bimbingan
orang tua tetap diperlukan remaja untuk membuat keputusan yang baik terutama
pada bidang yang belum dikuasai oleh remaja.27
Remaja dengan kasih sayang orang tua yang adekuat diketahui akan memiliki
pencapaian positif pada masa dewasa, lebih sedikit mempunyai masalah emosi dan
lebih tidak terlibat pada permasalahan perilaku seperti kenakalan remaja dan
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Konflik antara remaja dengan orang tua akan meningkat pada awal masa remaja,
menetap hingga masa sekolah tingkat atas, dan berkurang ketika remaja mencapai
umur 17–20 tahun. Konflik sehari-hari yang ringan antara remaja dengan orang tua
dapat berpengaruh pada fungsi perkembangan yang positif. Negosiasi dapat
memfasilitasi terjadinya transisi pada remaja yang pada awalnya sangat bergantung
dengan orang tua menjadi pribadi yang mandiri.29
Remaja usia 12–13 tahun banyak menyesuaikan diri terhadap pergaulan teman
sebaya. Sebuah penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa remaja
cenderung memihak teman sebayanya, menghabiskan lebih banyak waktu bersama
teman sebayanya, dan mudah membantah orang tua. Remaja mengikuti tekanan dan
menyesuaikan diri terhadap pergaulan teman sebaya karena remaja masih bingung
dengan identitas dirinya, memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan kecemasan
sosial yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan remaja merasa tidak pasti dan
terbawa arus pergaulan. Remaja cenderung memaksakan diri untuk mengikuti
‘aturan’ yang berlaku dalam pergaulan agar dapat diterima. Remaja juga sering
memaksakan diri dan menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya yang
dinilai memiliki status lebih dibandingkan dirinya.28
Remaja di negara Asia termasuk Indonesia cenderung mengalami pola asuh orang
tua yang dominan. Hal tersebut menyebabkan remaja mengalami kesulitan untuk
berekspresi secara langsung. Remaja diajarkan untuk mengutamakan pemikiran
dari orang yang lebih tua. Orang tua juga cenderung tidak mendiskusikan hal-hal
yang dianggap tabu oleh masyarakat, misalnya seksual. Pada akhirnya remaja
mencari media lain untuk mengekspresikan diri, yaitu melalui media virtual. Pada
Universitas Indonesia
media virtual, remaja tidak perlu menunjukkan identitas aslinya sehingga ia dapat
mengekspresikan diri dengan bebas. Remaja dapat mencari informasi yang
dianggap tabu melalui media virtual, yang tidak didapat dari orang tua atau sekolah.
Universitas Indonesia
Young34 merupakan orang pertama yang mengajukan istilah AI. Ia juga melakukan
banyak penelitian pada AI. Kasus pertama yang ia publikasi adalah seorang ibu
rumah tangga yang mengalami adiksi komunikasi virtual dengan menggunakan
internet. Kasus AI tidak hanya rentan pada kelompok yang mahir teknologi namun
dapat dialami oleh semua populasi. Young34 menggunakan istilah AI untuk
menunjukkan adanya kaitan antara perilaku dan gangguan pengendalian impuls.
Pembagian ketergantungan internet menjadi lima jenis yaitu adiksi cybersexual
(penggunaan cybersex dan cyberporn secara kompulsif), cyber-relationship
(bergantung pada relasi secara online), net compulsions (judi online yang patologis,
ketergantungan belanja atau berdagang secara online), kompulsif mencari infomasi
secara online (mencari informasi pada web atau database secara kompulsif), dan
adiksi komputer (melakukan permainan secara kompulsif).
Definisi AI diadaptasi oleh banyak peneliti dan AI memiliki banyak istilah lain
seperti gangguan AI, penggunaan internet patologis, penggunaan internet
kompulsif, dan penggunaan komputer kompulsif.35 Davis36 mengenalkan istilah AI
umum (general internet addiction-GIA) dan spesifik (spesific internet addiction-
SIA). Gejala GIA adalah penggunaan internet secara kompulsif dan sering pada
dunia nyata individu tersebut mengalami rasa kesepian dan isolasi sosial.
Universitas Indonesia
Saat ini instrumen yang sering digunakan mendeteksi AI adalah internet addiction
diagnostic questionnaire (IADQ) dan IAT oleh Young.7,18 Kriteria diagnosis oleh
Young35 masih kontroversial dan tidak semua pakar menyetujui kriteria tersebut.
Kuesioner lain yang juga sering digunakan adalah chen’s internet addiction scale
(CIAS) yang dikembangkan oleh Chen dkk.38,39
Universitas Indonesia
menjawab “ya” untuk lima pertanyaan atau lebih dalam waktu minimal enam bulan,
dan tidak terkait dengan episode manik atau hipomanik, dapat didiagnosis sebagai
AI.7
Internet Addiction Test merupakan kuesioner yang paling sering dipakai untuk
menilai adanya AI. Saat ini kuesioner tersebut sudah diterjemahkan ke berbagai
bahasa dan tervalidasi, termasuk Amerika Serikat (Cronbach’s alpha = 0,83–
0,91),40 Kanada,41 Inggris,18,42 Spanyol (α = 0,91),43 Italia (α = 0,83–0,86),44 Jerman
(α = 0,89–0,91),45,46 Portugal (α = 0,90),47 Swiss (α = 0,93),48 Polandia (α = 0,90),49
Finlandia,50 Yunani,51 Turki (α = 0,93),52 Cyprus (α = 0,83–0,89),53 Korea Selatan
(α = 0,91),54 Hong Kong (α = 0,93),55 Jepang (α = 0,85),56 Malaysia (α = 0,91),56,57
Bangladesh (α = 0,89),58 Lebanon (α = 0,92),49 and Brazil (α = 0,85).59 Nilai
Cronbach’s alpha yang diperlihatkan pada studi tersebut menunjukkan konsistensi
internal yang kuat.
Instrumen IAT diadaptasi secara luas dan memiliki konsistensi internal yang tinggi,
namun memiliki limitasi sebagai instrumen skrining yaitu IAT tidak menggunakan
durasi waktu dari setiap gejala yang ditanyakan kepada subjek. Limitasi lain adalah
nilai titik potong IAT tidak berdasarkan pertimbangan empiris, misalnya keparahan,
banyaknya gejala dan dampak yang dialami karena AI. Studi pada remaja di Yunani
menunjukkan budaya harus dipertimbangkan dalam analisis dan penilaian AI.60
Universitas Indonesia
Penggunaan telepon genggam di Asia (41–84%) lebih tinggi dari Amerika Serikat
(46%). Remaja di negara Asia menggunakan jejaring sosial seperti Facebook©,
Wechat©, Line©, Kakao Talk©, untuk mengekspresikan emosi dan kreativitas karena
budaya Asia yang mengharapkan remaja untuk meredam emosinya. Prevalensi AI
bervariasi; 4–19,1% pada remaja dan 0,7–18,3% pada dewasa muda. Prevalensi
remaja dengan AI di Asia Tenggara dilaporkan sekitar 6,7%, Amerika Serikat 0,6%
dan Eropa 2,1%. Filipina memiliki prevalensi remaja dengan AI tertinggi (51%),
diikuti dengan Jepang (48%), dan Hong Kong (32%). Korea Selatan memiliki
prevalensi paling kecil yaitu 10% karena terkait dengan aturan pemerintah yang
melarang remaja di bawah usia 16 tahun mengakses jaringan internet antara jam
00.00–06.00.2 Prevalensi AI pada remaja di Jakarta 33,3% dengan menggunakan
kuesioner IAT namun kuesioner belum divalidasi ke dalam bahasa Indonesia.81
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Area otak dan neurotransmiter yang terkait dengan adiksi internet dapat dilihat dari
Gambar 2.2. Area yang terkait sebagai berikut:
1. Prefrontal Cortex
Prefrontal Cortex (PFC) terbagi atas area orbitofrontal, dorsolateral dan medial
(Gambar 2.2.). Pada AI, area yang terkait adalah orbitofrontal dan dorsolateral.
Area orbitofrontal yang terinhibisi akan menimbulkan kontrol impuls yang buruk
dan perilaku yang tidak sesuai. Area dorsolateral yang disorganisasi akan
menimbulkan disfungsi kognitif, pengambilan keputusan yang salah, serta
pemikiran menjadi konkret dan tidak fleksibel. Pada AI, PFC dikaitkan dengan
proses craving yang ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas sinyal PFC.82,84
2. Hippokampus
Area hippokampus sering kali dikaitkan dengan gangguan psikiatrik, misalnya
demensia dan depresi. Hippokampus bertanggung jawab terhadap memori
seseorang. Kesenangan yang didapatkan dari penggunaan internet direkam di area
hippokampus.82,84
3. Amigdala
Amigdala terletak pada lobus temporal dan terbagi atas medial, sentral, dan
basolateral. Amigdala memegang peran penting pada rasa takut, perilaku
Universitas Indonesia
4. Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter yang memiliki peran besar pada AI.
Penggunaan internet yang kompulsif dan tidak terkontrol menyebabkan proses
down regulation pada reseptor dopamin. Proses ini menyebabkan berkurangnya
reseptor dopamin sehingga individu menggunakan internet lebih lama untuk
mendapatkan kesenangan dan gratifikasi.
Saat ini banyak studi yang menggunakan pencitraan untuk mempelajari masalah AI
secara neurologis. Pemeriksaan fMRI menjadi modalitas unggulan karena dapat
melihat struktur anatomi dan fisiologi melalui perbedaan kontras. Aktivitas otak
tergambar dari peningkatan aliran darah teroksigenasi dan akhirnya perbedaan
kadar oksigen di daerah tertentu yang menjadi kontras dan tampak dalam pencitraan
fMRI.
Universitas Indonesia
Penggunaan fMRI dapat mendeteksi perubahan otak lebih awal. Gambaran fMRI
pada remaja AI menunjukkan penipisan substansia grisea di area orbitofrontal
korteks lateral kiri, korteks insula, dan korteks entorhinal. Struktur tersebut penting
untuk fungsi eksekusi dan kontrol kognitif. Temuan lain pada remaja AI adalah
peningkatan kepadatan substansia grisea di korteks presentralis kiri, prekuneus,
frontal media, dan region temporal inferior dan media.
Functional MRI
Functional MRI (fMRI) adalah modalitas neuroimaging non-invasif yang bertujuan
mempelajari aktivitas otak ketika seseorang beraktivitas atau istirahat. Pergantian
antara waktu istirahat dan aktivitas (tugas yang diberikan) akan menciptakan
perubahan dalam aktivitas dan metabolisme otak, yang ditangkap sebagai sinyal
oleh alat fMRI. Perubahan sinyal tersebut kemudian digunakan sebagai panduan
penilaian daerah otak yang teraktivasi saat melakukan tugas yang berbeda. Dengan
demikian, fMRI telah memberikan akses bebas bagi para peneliti untuk mempelajari
otak saat sedang bekerja.
Universitas Indonesia
Proton hidrogen mempunyai dua karakteristik yaitu bermuatan positif dan berputar
pada aksis nukleusnya. Kombinasi antara muatan positif dan gerakan berputar
proton akan menghasilkan medan magnet. Di dalam tubuh, letak proton bersifat
acak kecuali saat tubuh masuk ke dalam MRI. Ketika ditempatkan dalam medan
magnet yang lebih besar, proton akan menyejajarkan posisi mereka sehingga terjadi
penjumlahan magnetisasi semua proton itu, yang disebut net magnetization. Proton
yang telah disejajarkan tidak diam, melainkan bergoyang sesuai medan magnet
yang ada. Gerakan ini disebut precession. Dalam keadaan precession, proton
bergoyang pada frekuensi yang sama; rumus yang digunakan adalah persamaan
Larmor f = 42,576 x B. B adalah kekuatan medan magnet MRI dengan satuan Tesla.
Frekuensi presisi ini berperan penting dalam membuat sinyal yang akan ditangkap
oleh alat MRI dan memulai pengiriman RF dari alat MRI ke tubuh manusia.
Saat alat MRI memancarkan RF, proton akan menyerap energi tersebut dan
bergoyang melewati batas medan magnet yang utama. Frekuensi yang digunakan
agar proton dapat bergoyang tegak lurus terhadap medan magnet utama disebut 90o
RF pulse.87
Universitas Indonesia
Sebelum masuk ke dalam alat MRI, proton terletak longitudinal sesuai posisi / aksis
tubuh. Bila dipancarkan RF, proton akan berubah posisi menjadi transversal. Ketika
alat berhenti memancarkan RF, proton akan mengalami proses relaksasi. Terdapat
dua jenis relaksasi, yaitu relaksasi T1 dan relaksasi T2. Kedua jenis relaksasi terjadi
bersamaan, akan tetapi tidak berhubungan satu sama lain.87
Relaksasi T1 dan T2
Seperti yang telah diketahui, dibutuhkan 90o RF pulse untuk mengubah posisi
proton dari longitudinal menjadi transversal. Posisi transversal bersifat tegak lurus
terhadap posisi longitudinal. Saat proses relaksasi, proton akan segera kembali ke
posisi longitudinal. Relaksasi T1 menggambarkan pertumbuhan posisi longitudinal
seiring dengan berakhirnya proses relaksasi. Relaksasi T1 merupakan net
magnetization yang kembali ke posisi longitudinal setelah 90o RF pulse.87
Setelah 90o RF pulse dipancarkan oleh alat MRI, terjadi perubahan bidang posisi
dan arah gerakan proton. Proton yang mempunyai arah sama berada dalam keadaan
in-phase. Saat net magnetization berada di bidang transversal, proton mulai
mengalami dephase dan kehilangan sinyal secara cepat. Bila proses dephase
berlanjut, tidak ada sinyal lagi untuk membuat gambaran MRI. Oleh karena itu,
dibentuk kembali sinyal yang dapat menggambarkan proses relaksasi T2. Untuk
mengembalikan proton yang dephase ke in-phase membutuhkan 180o RF pulse.
Proton di bidang transversal akan dibalikkan secara horizontal sehingga
memosisikan proton yang lebih cepat di belakang proton yang lebih lambat. Proton
kembali ke keadaan in-phase; proses tersebut dinamakan rephase. Setelah semua
proton dalam keadaan in-phase, akan terbentuk sinyal yang akan dikirimkan ke alat
MRI. Sinyal rephase tersebut dinamakan echo. Dalam proses rephase, beberapa
proton akan tersingkir dari bidangnya karena fenomena spin-spin interaction
(proton tersebut saling bertabrakan sehingga keluar dari jalurnya). Akibatnya, echo
yang dihasilkan mempunyai sinyal yang lebih kecil dari sinyal awal.
Universitas Indonesia
Proses pembentukan echo ini akan berulang terus hingga didapatkan gambaran
resonansi magnetik yang jelas. Echo time (TE) dan repetition time (TR) adalah dua
parameter yang dapat digunakan untuk memberikan kontras jaringan pada gambar.
TR bertanggung jawab atas kontras yang terlihat pada jaringan akibat relaksasi T1
sedangkan TE akibat relaksasi T2. Gambaran T1-weighted dan T2-weighted
mempunyai perbedaan dalam memperlihatkan berbagai struktur otak, masing-
masing sesuai dengan waktu relaksasi T1 dan T2. Gambaran T1-weighted
didapatkan dari penggunaan kontras T1 saat terdapat TR yang pendek (400–600
milisekon). Pada gambaran T2-weighted didapatkan dari penggunaan kontras T2
saat terdapat TE yang lama (70–120 milisekon).87
Universitas Indonesia
Saat otak bekerja, terjadi peningkatan yang bermakna pada aliran darah, sekitar
30–50% sedangkan volume darah hanya meningkat 5–20% dan CMRO2 meningkat
1–20%. Hal tersebut tidak membuat perubahan bermakna pada fraksi Hb dan HbO2
arteri, namun terjadi peningkatan kadar HbO2 vena dan kapiler. Peningkatan aliran
darah yang lebih besar dari dua faktor lainnya adalah bentuk kompensasi terhadap
peningkatan laju konsumsi oksigen sehingga saturasi oksigen menjadi meningkat.87
Universitas Indonesia
2. Task-based studies
Pencitraan ini menggunakan prinsip BOLD untuk memvisualisasi sinyal saat terjadi
perubahan aktivitas otak. Ada dua desain yang digunakan: desain blok dan event-
related. Pada desain blok, stimulus dari kondisi yang sama akan dipresentasikan
secara bersamaan dalam bentuk epoch singkat (maksimal 1 menit), yang akan
bergantian dengan epoch dari kondisi lain. Prinsip pada desain blok adalah
memaksimalkan deteksi perubahan sinyal sambil meminimalisasi waktu di dalam
mesin. Kekurangan prinsip ini ialah penilaian proses kognitif diabaikan sehingga
akan didapatkan pola yang sama pada setiap stimulus.87,88
Pada desain event-related, resolusi temporal relatif cepat dibandingkan teknik MRI
lain dalam memperlihatkan respons BOLD terhadap stimulus sehingga didapatkan
informasi yang lebih detail tentang respons neuronal pada tiap stimulus. Pada desain
tersebut, data yang didapatkan lebih banyak sehingga data dapat dianalisis lebih
dalam dan berguna untuk menilai respons tiap stimulus yang berbeda. Desain
tersebut dapat membuat jarak antar stimulus serta mengurangi efek habituasi dan
prediktabilitas.87,88
Universitas Indonesia
Keterbatasan fMRI
Batasan fMRI adalah teknik kontras BOLD memanfaatkan perubahan CBF, CBV,
dan konsumsi oksigen. Hubungan ketiga variabel dengan aktivitas neuron
dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis sel, sirkuit yang terlibat saat aktivasi, dan
proses pemenuhan suplai energi ke otak.87,89
Sebelum melakukan fMRI, pasien diharuskan melepaskan semua benda logam yang
dapat dilepaskan dari tubuhnya. Hal tersebut dilakukan karena fMRI menggunakan
medan magnet yang kuat sehingga dapat menarik logam. Kontraindikasi fMRI
adalah subjek dengan alat pacu jantung, pemakaian benda metal, alat implan medis,
implan gigi, riwayat operasi tulang, tendon, dan sendi dalam enam minggu
terakhir.90
Pemeriksaan fMRI akan menimbulkan suara dengan frekuensi tinggi yang dapat
menyebabkan kerusakan telinga bila pelindung telinga tidak dipakai. Pada
pemeriksaan dengan fMRI, pasien akan diam atau tidak bergerak dalam posisi tidur
di dalam ruang yang tertutup, sehingga pada pasien dengan klaustrofobia atau
dengan ketakutan pada ruangan tertutup harus memiliki perhatian khusus.90
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 2.3. Gambaran Fungsional pada Adiksi Permainan Daring saat Diberi
Stimulus Gambar96
Atensi merupakan komponen fungsi eksekutif yang terdiri atas atensi selektif,
berkesinambungan, dan inhibisi respons. Kemampuan atensi mulai terlihat pada
bayi berusia 12 bulan. Perkembangan selanjutnya terlihat pada usia 6–8 tahun.
Penguasaan kemampuan pada usia 10 tahun dan paling jelas saat 12 tahun.99
Universitas Indonesia
A. Perencanaan
Kemampuan perencanaan didefinisikan sebagai kemampuan mengidentifikasi dan
menyusun langkah untuk mencapai sebuah target. Perencanaan adalah aktivitas
multiaspek yang membutuhkan proses kognitif yang kompleks. Anak usia 3 tahun
dapat membuat perencanaan susunan kata dalam peristiwa sederhana, misalnya
acara keluarga. Anak 7–11 tahun dapat membuat perencanaan yang lebih efisien
dan terstruktur dan matur pada usia 12 tahun.99
B. Set shifting
Set shifting atau fleksibilitas kognitif adalah kemampuan berpindah antar set
respons yang berbeda. Kemampuan ini muncul saat usia 3–5 tahun ketika anak
melalukan aktivitas yang berbeda. Semakin kompleks peraturan kegiatan, anak
akan lebih banyak melakukan kesalahan dalam fleksibilitas. Misalnya, anak berusia
3 tahun masih dapat mengingat peraturan, “Bila bola merah, masukan ke kantong
ini. Bila bola biru, masukan ke kantong itu.” Ketika peraturannya berubah bentuk
menjadi mobil dan bunga, anak tidak akan dapat melakukannya dan akibatnya
mempraktikkan kembali peraturan yang pertama mereka dapat. Kemampuan ini
berkembang saat usia 7–9 tahun dan terus berkembang hingga remaja. 99
C. Fluensi verbal
Permulaan dan produktivitas verbal adalah fungsi eksekutif yang sering dinilai pada
instrumen fluensi verbal. Fluensi dapat berupa fonemik (huruf) yang dinilai dengan
meminta subjek untuk menyebutkan kata yang diawali huruf F dan semantik
(kategori) dinilai dengan menyebutkan kata-kata dalam kategori tertentu.
Keberhasilan tes membutuhkan fungsi eksekutif yakni pengontrolan diri untuk
tidak menyebutkan kata yang tidak sesuai dengan peraturan. Tes fluensi verbal
adalah yang paling sensitif untuk mendeteksi kelainan lobus frontalis. 99
Individu dengan fungsi eksekutif intak dapat hidup mandiri dan produktif meskipun
memiliki defisit kognitif berat. Fungsi eksekutif tersebut berada di DLPFC yang
terletak di bagian terluar lobus frontalis dan berfungsi untuk perencanaan perilaku,
atensi, pengambilan keputusan dan penilaian. Kelainan lobus frontalis
menyebabkan gangguan psikiatrik, seperti skizofrenia dan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Basal ganglia (nucleus caudate dan putamen)
Universitas Indonesia
terhubung dengan DLPFC (nucleus caudate dan putamen) melalui loop fronto-
striatal. 99
Penelitian lain oleh Pawlikowski & Brand12 menunjukkan bahwa remaja dengan
adiksi permainan daring membuat banyak pilihan yang berisiko dan tidak
menguntungkan, bahkan setelah mendapatkan penjelasan mengenai konsekuensi
setiap pilihan yang mereka buat. Instrumen yang digunakan adalah game of dice
task. Hasil ini konsisten dengan subjek lain dalam studi adiksi opiat dan judi
patologis. Integritas prefrontal dan fungsi eksekutif juga dapat dinilai dari
kemampuan melaksanakan tugas dalam dice task dengan baik. Dapat disimpulkan,
remaja AI memiliki gangguan di prefrontal dan fungsi eksekutif lainnya.12
Universitas Indonesia
Pada fase perkembangan Erik Erikson, remaja merupakan fase pencarian identitas,
dan teman sebaya menjadi figur penting untuk pembentukan identitas diri. Remaja
yang tidak didukung oleh lingkungan suportif menjadi rendah diri, memiliki harga
diri yang rendah dan emosi yang negatif. Remaja beralih pada kondisi yang dapat
memberikan rasa gratifikasi secara instan, misalnya AI atau dunia virtual.102
Remaja dengan AI dibagi menjadi dua, yaitu dual diagnosed internet addict (DDIA)
dan new internet addict (NIA). Remaja dengan DDIA adalah para pecandu yang
telah memiliki masalah psikologi (misal depresi, cemas, obsessive compulsive
disorder (OCD) dan adiksi NAPZA). Masalah emosi menjadi salah satu penyebab
AI. Individu DDIA dengan adiksi NAPZA, mengalami AI karena pemahaman
bahwa AI lebih aman dari segi medis dibandingkan dua jenis adiksi lainnya.
Berbeda dengan DDIA, remaja NIA tidak pernah memiliki gangguan psikiatrik
sebelumnya. Adiksi internet yang dialami merupakan masalah yang baru muncul
dan hanya terbatas pada AI.102
Berbeda dengan DDIA, remaja NIA mengalami kondisi adiksi karena fitur-fitur
yang hanya dapat ditemukan di internet, seperti chatting, media sosial, massively
multiplayer online role-playing games (MMORPG), dan belanja daring. Seseorang
yang mengalami adiksi Facebook© harus menggunakan internet untuk dapat
menggunakan aplikasi tersebut. Seseorang yang melakukan belanja daring harus
menggunakan internet untuk mengakses eBay©. Oleh karena NIA adalah individu
tanpa gangguan psikiatrik sebelumnya, penyebab kecanduan adalah ketertarikan
akan aspek anonimitas, akses dan sifat interaktif yang ditawarkan oleh internet.102
Universitas Indonesia
menggunakan jaringan internet untuk mengobati rasa sedih dan rendah diri yang
disebabkan oleh depresi yang dialaminya. Hipotesis lain menyatakan bahwa dengan
meningkatnya frekuensi penggunaan internet, seseorang dapat merasa depresi
akibat terisolasi dari orang lain di dunia nyata. Remaja dengan gangguan cemas
akan cenderung untuk mencari lingkungan yang aman dalam membangun
hubungan dengan orang lain dan internet menawarkan solusi yang tepat baginya.
Contoh lainnya adalah individu dengan adiksi seks menemukan cara baru untuk
memuaskan hasrat seksualnya melalui pornografi daring dan chatting seksual
anonim. Mereka sadar akan akibat perilaku menyimpang tersebut sehingga mereka
mencari cara yang lebih diterima secara sosial dan berusaha merasionalisasi
perbuatan mereka. Pengalaman daring mengubah rasa sakit dan cemas menjadi
kelegaan dan kepuasan tersendiri.103
Guo dkk.105 meneliti hubungan antara AI dan depresi pada anak-anak migran
(migrant children - MC) dan terbelakang (left-behind children - LBC) di Cina.
Mereka menemukan bahwa prevalensi depresi dan AI jauh lebih tinggi pada
kelompok MC dari LBC dan rural children (RC) namun tidak terbelakang. Hal
tersebut menunjukkan anak-anak mengalami masalah psikis saat pindah dari
pedesaan ke perkotaan. Saat menghadapi masalah psikis, anak mengalihkan
masalah psikisnya dengan menggunakan internet.105
Tao106 berhipotesis bahwa depresi adalah mediator pada bulimia dan AI.
Sebelumnya telah diketahui bahwa AI berkaitan dengan adiksi NAPZA sementara
gangguan makan mempunyai komorbiditas tinggi dengan masalah ketergantungan
NAPZA. Oleh karena itu, ia hendak membuktikan bahwa AI berkaitan dengan
Universitas Indonesia
bulimia dan depresi memediasi hubungan antara kedua gangguan tersebut. Tao
kemudian menemukan bahwa penderita AI mempunyai nilai yang lebih tinggi pada
skala eating disorder inventory (EDI) dari kelompok kontrol. Kelompok adisi
internet menunjukkan lebih banyak masalah mengenai kekhawatiran akan berat
badan mereka, perubahan berat badan, dan binge eating. Hal tersebut disebabkan
penggunaan internet yang berlebihan akan meningkatkan risiko mengalami depresi
dan untuk mengatasi rasa sedih tersebut, individu akan mengompensasi dengan
melakukan binge eating.106
Penelitian oleh Yen dkk.8 menemukan bahwa remaja dengan AI memiliki gejala
GPPH yang lebih tinggi. Individu dengan GPPH sangat menyukai reward dan hal
tersebut dapat ditemukan dalam berbagai macam kegiatan yang ditawarkan oleh
internet, seperti permainan daring. Di samping itu, remaja dengan GPPH sering kali
memiliki kesulitan inhibisi saat melakukan sesuatu. Rendahnya kemampuan
mengontrol diri tersebut menyebabkan kesulitan untuk menahan diri ketika
menggunakan internet.
Remaja dengan AI memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi. Hal tersebut
disebabkan oleh dua hal yakni (1) penggunaan internet dapat mengganggu
kesehatan psikis seseorang dan (2) seseorang berisiko untuk membuat ‘virtual self’
saat menggunakan internet sehingga menjadi rentan untuk meninggalkan diri
mereka yang sebenarnya di dunia nyata (deindividuasi). Mereka mendapatkan
perasaan senang, rasa berkuasa, dan rasa hormat dari sesama pengguna internet.
Universitas Indonesia
2. Temperamen
Temperamen adalah pola emosi dan perilaku yang dimiliki seorang anak, yang
berhubungan erat dengan kepribadian saat dewasa. Anak tidak dilahirkan dengan
tabula rasa namun mereka telah dibekali dengan karakteristik pribadi (kebanyakan
bersifat genetik) yang menjadikan mereka berbeda satu sama lain sejak lahir. Setiap
anak mempunyai predisposisi untuk mengalami peristiwa dengan pola tertentu dan
menghasilkan berbagai macam reaksi dari orang lain. Sebagai contoh anak yang
pemberani, suka berpetualang, dan aktif namun ada anak yang pemalu, berhati-hati,
dan pendiam.
Selain perbedaan dalam hal bermain dan beraktivitas, cara orang tua, guru, dan
teman sebaya memperlakukan kedua anak tersebut juga akan berbeda. Interaksi
antara predisposisi, respons orang lain terhadap predisposisi tersebut, dan pemilihan
jenis kegiatan selama seseorang tumbuh dan berkembang akan menghasilkan ciri
kepribadian saat dewasa.
Selain faktor genetik, pola asuh orang tua dan lingkungan serta budaya juga
berperan dalam pembentukan temperamen seorang anak. Sebagai contoh upaya
pengontrolan diri, anak-anak di Amerika menunjukkan sifat pemarah yang lebih
Universitas Indonesia
rendah sedangkan anak-anak di Cina tampak kurang aktif dan kurang vokal. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa temperamen awalnya bersifat biologis dan
dipengaruhi oleh budaya, lingkungan fisik dan sosial.108
Dua dimensi yang juga sangat berhubungan dengan kepribadian adalah reaktivitas
dan regulasi diri. Reaktivitas menggambarkan respons seseorang saat menghadapi
rangsang baru dan menantang. Respons dapat berbeda dalam hal intensitas dan
waktu. Beberapa orang merespons dengan intensitas yang sangat tinggi (panik,
cemas), lebih lambat, dan beberapanya lagi sama sekali tidak menunjukkan respons.
Regulasi diri berkaitan dengan kemampuan memusatkan perhatian dan menahan
diri dari merespons suatu rangsang. Kedua dimensi ini nampaknya berhubungan
dengan the big five personality traits. Reaktivitas yang tinggi adalah ciri introversi
dan neurotisme sedangkan regulasi diri berkaitan dengan conscientiousness.108
b. Harm Avoidence
Harm avoidence (HA) memiliki ciri utama antisipasi kekhawatiran, takut dengan
ketidakpastian, malu, dan mudah lelah. Individu dengan HA tinggi berhati-hati,
penuh antisipasi, khawatir, gugup, ragu-ragu, merasa tidak aman, negativistik,
pesimis, malu dalam situasi sosial, dan sensitif terhadap kritik dan tekanan.109
c. Reward Dependence
Reward dependence (RD) memiliki ciri utama terbuka terhadap komunikasi yang
nyaman, sentimentil dan bergantung pada orang lain. Individu dengan RD berhati
lembut, penuh kasih dan hangat, sensitif, bergantung pada orang lain, serta mudah
bersosialisasi. Individu mudah untuk mencari kehidupan sosial dan terbuka untuk
berkomunikasi.109
Universitas Indonesia
d. Persistence
Persistence memiliki ciri utama yakni bekerja keras, ambisius, perfeksionis, dan
semangat. Individu dengan persisten tinggi bekerja keras, gigih, stabil, memandang
suatu frustasi dan kelelahan sebagai tantangan pribadi. Individu tidak mudah
menyerah pada kondisi dan cenderung bekerja ekstra keras ketika dikritik. Individu
tersebut sangat gigih, berprestasi, ambisius, perfeksionis dan pekerja keras.109
Orang dengan pencitraan diri yang tinggi akan memberikan respons yang berbeda
terhadap kegagalan dibandingkan orang dengan pencitraan diri yang rendah. Citra diri
yang rendah akan menyebabkan seseorang untuk melakukan over generalization
terhadap kegagalan mereka.110 Artinya bila ia mengalami kegagalan sekali, ia langsung
berpikir bahwa ia akan terus melakukan kegagalan dalam kesempatan-kesempatan
berikutnya. Kecenderungan untuk over generalization tersebut menjadi penyebab
depresi pada kebanyakan orang dengan citra diri yang rendah. Pada individu dengan citra
diri tinggi, seseorang akan over confident dengan kemampuannya sehingga kegagalan di
satu bidang akan dibalas dengan demonstrasi kelebihannya di bidang lain.111
Universitas Indonesia
Douglas dkk.115 berusaha membuat sebuah model yang dapat memetakan berbagai
macam determinan atau prediktor terkait AI. Secara umum dapat dikatakan bahwa
penggunaan internet berlebihan banyak dipengaruhi oleh kebutuhan dan motivasi
individu itu sendiri (faktor pendorong) serta faktor predisposisi dari individu
tersebut. Meskipun terdapat efek buruk penggunaan internet, terdapat banyak aspek
internet yang menarik sehingga menjadi faktor pendukung / penarik AI.115
Banyak fitur / aplikasi internet yang menawarkan kesempatan membuat virtual self
sehingga individu dapat memilih identitas virtual yang diinginkan. Virtual self
yang dibuat biasanya berbeda dengan diri mereka di dunia nyata karena kelemahan
atau kekurangan mereka akan dihilangkan dalam virtual self tersebut. Hal tersebut
berfungsi untuk membuka dan mengembangkan potensi mereka. Individu dengan
persepsi diri buruk rentan terperangkap dalam tawaran menarik tersebut.115
Universitas Indonesia
Griffiths & Banyard116 menyatakan bahwa penggunaan internet menjadi salah satu
mekanisme coping dan kompensasi bagi individu dengan citra diri rendah. Internet
membuat mereka merasa lebih baik karena pembuatan identitas dan kepribadian
baru. Rendahnya citra diri menyebabkan mereka tidak puas dengan diri mereka dan
ingin menjadi individu yang berbeda. Terkait masalah keluarga, peran keluarga
penting dalam membentuk citra diri seorang anak. Dukungan, kepedulian, dan
partisipasi keluarga dapat meningkatkan pencitraan diri seorang anak.116
Citra diri juga dipengaruhi oleh kualitas hubungan pertemanan. Penilaian diri yang
negatif dalam hubungan pertemanan menyebabkan munculnya sifat dependen
sehingga dapat terjadi konflik. Penggunaan internet yang berlebihan juga dapat
menyebabkan hilangnya kontrol diri yang akan menurunkan citra diri.116,117
4. Mekanisme Coping
Mekanisme coping berfungsi meredakan respons emosional dan somatik serta
membuat orang tersebut dapat berfungsi lebih baik. Strategi coping dapat dibedakan
menjadi dua, yakni problem-solving dan emotion-reducing. Problem-solving
strategies merupakan upaya mengurangi beratnya masalah dengan mencari
pertolongan, meminta nasihat orang lain, membuat dan melaksanakan rencana
penyelesaian masalah serta konfrontasi (membela hak seseorang dan mengajak
seseorang untuk mengubah perilaku buruknya).118 Emotion-reducing strategies
merupakan upaya memperbaiki respons emosional akibat peristiwa stres dengan
berbicara kepada orang lain, mengekspresikan emosi yang dirasakan, evaluasi
masalah dengan melihat apa yang dapat diubah dan berusaha mengubahnya
(dengan strategi problem-solving), dan apa yang tidak dapat diubah sehingga ikhlas
menerima kenyataan, dan menghindar dari masalah tersebut.118
Universitas Indonesia
orang yang seharusnya membantu kondisi stresnya, serta perilaku agresif untuk
melepaskan amarah.6
Hubungan dengan figur ibu menjadi salah satu faktor risiko pada AI. Kelekatan dengan
figur ibu pada masa kanak mengaktifkan sirkuit dopamin sehingga remaja mendapatkan
kesenangan dalam hidupnya. Bila kelekatan dengan figur ibu kurang maka remaja
mencari perilaku lain untuk mengaktivasi sirkuit dopamin yakni melalui penggunaan
internet berlebihan. Faktor sosial yang terkait dengan timbulnya AI adalah kohesivitas
dalam keluarga, masalah relasi dengan teman sebaya dan perilaku prososial.119
Universitas Indonesia
Epstein dkk.122 menggunakan istilah “kontrol perilaku” untuk makna yang sama
dengan boundaries. Behavior control adalah pola yang diadopsi keluarga untuk
menghadapi situasi yang melibatkan perilaku sosial dengan sesama anggota
keluarga dan orang di luar keluarga. Boundaries merupakan parameter penting
dalam menilai fungsi keluarga. Boundaries yang terlalu ketat, kaku, dan tidak jelas
akan menjauhkan anggota keluarga secara emosional. Kohesivitas berperan penting
dalam membentuk kesejahteraan remaja dengan menyeimbangkan kebersamaan
dan perpisahan.123
Universitas Indonesia
Selain kohesivitas keluarga, pola asuh juga berperan dalam perkembangan remaja.
Pola asuh dikategorikan berdasarkan intensitas dukungan dan regulasi perilaku
menjadi empat kelompok. Dukungan orang tua berupa empati dan pemahaman
perspektif anak sedangkan regulasi perilaku berkaitan dengan supervisi perilaku
anak yang diikuti dengan pendisiplinan dan ekspektasi yang jelas.124
Gaya pola asuh authoritative memadukan dukungan dan regulasi perilaku yang
tinggi. Tipe pola asuh ini paling ideal bagi orang tua karena banyaknya anak-anak
yang berhasil berkat pola asuh tersebut. Orang tua yang autoritatif bertindak sebagai
guru yang mendisiplinkan dengan tujuan untuk menjadikan anak tersebut produktif
Universitas Indonesia
Orang tua dengan pola asuh authoritarian menekankan regulasi perilaku yang
tinggi untuk mempersiapkan anak-anak mereka sebelum masuk ke lingkungan
sosial yang lebih besar. Pendekatan ini dianggap kurang ideal karena dukungan dan
kehangatan yang diberikan tidak memadai. Orang tua authoritarian lebih
menggunakan hukuman yang berat, misalnya hukuman fisik, dibandingkan dengan
orang tua autoritatif. Hal tersebut dapat mencetuskan sikap pemberontak dari
remaja.124 Pemberontakan oleh remaja dengan pola asuh authoritarian dilakukan
karena masalah eksternalisasi (misalnya perilaku acting out) atau masalah
internalisasi (misalnya depresi).124
Pada pola asuh indulgent, orang tua terlalu memanjakan remaja sehingga tidak
dapat berkata “tidak” terhadap kemauan mereka. Remaja dari orang tua indulgent
kurang mendapat supervisi namun mendapatkan dukungan yang penuh dari orang
tuanya. Regulasi perilaku yang rendah dapat berdampak pada peningkatan perilaku
antisosial dan kecanduan rokok atau alkohol.124
Pola asuh uninvolved merupakan pola asuh yang tidak meregulasi perilaku dan
tidak memberikan dukungan kepada remaja. Tipe ini lebih sering ditemukan pada
kondisi keluarga tertentu, seperti orang tua yang bercerai, mempunyai
psikopatologi, dan adiksi NAPZA. Kondisi ini menyebabkan orang tua menjadi
tidak kompeten dalam menjalani perannya sebagai pendidik. Remaja menjadi
berisiko tinggi memiliki perilaku antisosial atau adiksi.124
Orang tua dapat menggunakan beberapa tipe pola asuh yang berbeda dalam
pendekatan kepada remaja. Kejadian atau peristiwa dalam hidup akan terus
memengaruhi pendekatan mereka terhadap pendisiplinan remaja. Seorang ayah
yang kompeten dapat saja berubah akibat pengangguran, jatuh sakit berat, atau
perceraian. Ayah dan ibu juga tidak mutlak selalu menggunakan gaya yang sama,
akan tetapi penggunaan gaya autoritatif dapat menetralkan efek negatif dari
penggunaan gaya pola asuh lain.124
Universitas Indonesia
Leung & Lee127 mengatakan internet merupakan teknologi canggih yang kurang
dipahami orang tua sehingga orang tua kurang mampu membuat peraturan yang
sesuai dan tidak dapat memberikan supervisi menyeluruh. Semakin banyak
peraturan dan keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja, remaja akan terhindar
dari materi terkait pornografi dan kekerasan di internet.
Remaja dengan tipe pola asuh indulgent dan authoritarian berusaha mencari cara
aktualisasi diri dengan berinteraksi melalui internet, yang akhirnya berujung pada
AI. Keluarga dengan kehangatan minimal tidak dapat menyediakan lingkungan
yang kondusif bagi remaja untuk mengembangkan emosi. Remaja mudah merasa
kesepian dan mencari pelarian untuk mengurangi perasaan tidak nyaman yang
dirasakan dengan perilaku berisiko seperti penggunaan internet yang berlebihan,
NAPZA dan perilaku menyimpang lainnya.128,129
Universitas Indonesia
Perilaku prososial dapat menjadi altruisme bila tindakan sukarela disertai motivasi
intrinsik yang bersifat altruistik. Smith132 mengklasifikasikan perilaku prososial
menjadi 3 kategori dalam general social survey, yakni : (1) bantuan formal:
sukarelawan, donasi, tindakan amal lainnya; (2) bantuan informal kepada orang
terdekat; dan (3) bantuan informal kepada orang asing.132
Universitas Indonesia
Remaja yang terlibat dalam kegiatan prososial mempunyai persepsi diri yang positif,
lebih mudah beradaptasi, lebih banyak kemampuan sosial, serta sikap, nilai dan
identitas yang baik. Kegiatan prososial juga dapat berfungsi sebagai upaya
rehabilitatif dan perbaikan diri pada remaja bermasalah.133
Remaja dengan AI juga memiliki masalah tidur, melupakan makan siang atau
makan di depan komputer, mengalami sakit punggung, sakit leher, dan iritasi mata.
Berdasarkan penelitian di Cina diperoleh 32,92% siswa yang AI mengalami
obesitas.135 Regresi logistik menunjukkan bahwa AI merupakan faktor risiko
terhadap obesitas. Korelasi positif juga didapatkan antara indeks massa tubuh
dengan jumlah penggunaan internet mingguan. Remaja dengan AI akan mengalami
kualitas hidup yang buruk. Ia tidak akan mencapai level perkembangan selanjutnya
pada masa dewasa yaitu intimacy, saat mulai terjadi hubungan relasi yang serius
dengan lawan jenis untuk membentuk suatu keluarga. Bila fase tersebut gagal maka
ia akan masuk ke dalam fase isolasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
digunakan secara progresif dan berjejang sampai yang paling tinggi dari suatu
atribut; (3) skala Likert, yaitu merupakan pernyataan deklaratif yang diikuti
beberapa pilihan opsi yang mengindikasikan derajat kesetujuan atas satu pernyataan.
Jumlah respons dapat genap atau ganjil sesuai dengan tujuan penelitian umumnya
berjumlah lima atau tujuh pilihan yang menunjukkan kontinuum ketidaksetujuan
dan kesetujuan. Respons ganjil untuk pernyataan yang jawabannya membutuhkan
suatu kenetralan, sedangkan respons genap untuk pernyataan yang tidak
menghendaki netralitas. Pada penentuan format pengukuran penting untuk
menghindari bias berupa social desirability. Social desirability adalah motivasi
yang membuat seseorang ingin menyajikan dirinya dalam bentuk masyarakat
menilai sebagai hal yang positif, sehingga responsnya menjadi terdistorsi.136
Tujuan kedua uji coba awal adalah menilai reliabilitas awal skala. Penilaian
reliabilitas dilakukan dengan menggunakan skor Cronbach’s alpha. Skor
reliabilitas perlu ditingkatkan bila skor rendah dengan menghilangkan pernyataan
yang tidak konvergen pada suatu konstruk. Penilaian pernyataan tersebut dapat
melalui nilai korelasi antara pernyataan dan nilai variannya. Pengecekan kembali
pernyataan yang akan dihapus perlu dilakukan agar validitas isi dan konstruk tidak
terkorbankan.
Setelah dilakukan uji coba awal, kemudian dilakukan uji lapangan akhir. Para pakar
menyarankan jumlah subjek untuk pengujian ini sebaiknya cukup besar. Banyak
yang merujuk bahwa 300 adalah angka yang memadai untuk tujuan pengujian.
Dengan jumlah sebesar ini, maka uji kelayakan dapat dilakukan, sehingga
mengurangi atau menghapus variansnya. Uji lapangan akhir bertujuan untuk
Universitas Indonesia
menguji validitas konstruk dan reliabilitas. Pengukuran dilakukan dengan cara yang
sama dengan uji coba awal, yaitu dengan menggunakan skor crobanch’s alpha.
Validitas konstruk akan diuji pada uji lapangan dengan analisis faktor (EFA dan
CFA) dan dapat juga diuji dengan validitas diskriminan dan validitas konvergen.136
Ada dua korelasi pernyataan yang dapat dilakukan. Pertama, item-scale correlation
terkoreksi yaitu menghubungkan pernyataan yang sedang dievaluasi dengan semua
pernyataan di luar dirinya. Kedua, item-scale correlation tidak terkoreksi yaitu
menghubungkan pernyataan yang ada dengan keseluruhan pernyataan yang ada
termasuk dirinya sendiri. Selain mengevaluasi korelasi antar pernyataan juga perlu
dihitung rerata skor pernyataan. Rerata skor pernyataan yang baik adalah yang
paling dekat dengan nilai tengah skor yang ada pada skala. Bila rerata skor
pernyataan tidak dekat dengan nilai maka kemungkinan kalimat kurang
dimengerti.136
Konstruk
Dimensi Dimensi
Universitas Indonesia
alternatif program yang mungkin; (2) menyelidiki atau membuka asumsi atau
informasi yang mendasari sehingga memberikan keputusan yang berbeda; (3)
mencari informasi untuk membuat konsensus dan; (4) melakukan korelasi
keputusan pada topik yang mencakup disiplin yang luas.137
Universitas Indonesia
Pada ronde keempat, partisipan akan menerima daftar pernyataan yang tersisa,
tingkat pernyataan, opini minoritas, dan pernyataan yang telah mencapai konsensus.
Ronde ini merupakan kesempatan terakhir para partisipan untuk merevisi jawaban.
Walaupun demikian, jumlah ronde teknik Delphi tergantung pada tingkat
konsensus yang dicari peneliti dan dapat bervariasi.137
Pemilihan partisipan untuk teknik Delphi merupakan hal yang paling penting dalam
teknik Delphi karena berkaitan dengan kualitas hasil yang terbentuk. Pemilihan
partisipan tergantung lingkup disiplin yang diperlukan pada isu spesifik. Tidak ada
kriteria yang tepat dalam menentukan partisipan teknik Delphi. Individu dapat
berpartisipasi bila memiliki latar belakang dan pengalaman pada isu target, dapat
memberikan input yang membantu, dan bersedia merevisi keputusan sebelumnya
untuk mencapai konsensus. Tiga kelompok orang yang memiliki kualifikasi yang
baik untuk menjadi subjek Delphi adalah (1) pembentuk keputusan di tingkat tinggi
yang akan menggunakan hasil dari studi Delphi; (2) anggota staf profesional; (3)
responden.136
Teknik Delphi dapat memakan waktu, terutama bila instrumen memiliki jumlah
pernyataan yang banyak sehingga partisipan membutuhkan waktu banyak untuk
menyelesaikan kuesioner. Beberapa studi menyarankan minimal 45 hari untuk
melakukan teknik Delphi. Subjek diberikan waktu dua minggu untuk merespons
pada masing-masing ronde. Waktu yang lama dapat membantu atau menghambat
peneliti dalam menganalisa data, membuat instrumen baru berdasarkan respons
sebelumnya, dan membagikan kuesioner berikutnya pada jangka waktu yang
tepat.136
Universitas Indonesia
Analisis dapat dilakukan dengan data kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian
Delphi klasik, peneliti akan menggunakan data kualitatif yang menggunakan
pertanyaan terbuka pada ronde pertama dan ronde berikutnya digunakan untuk
mengidentifikasi dan diharapkan mencapai tingkat konsensus yang diinginkan.
Statistik yang digunakan pada teknik Delphi adalah mengukur ukuran pemusatan
data (rerata, median, dan modus) dan tingkat penyebaran (standar deviasi dan inter-
quartile range) untuk menampilkan informasi mengenai keputusan kolektif.
Penggunaan median dan modus sering digunakan, namun pada beberapa studi
penggunaan rerata juga dapat dilakukan. Pada beberapa kepustakaan penggunaan
median pada skala tipe Likert lebih disukai dan terlihat paling baik dalam
merefleksikan konvergensi opini yang ada.136
Potensi terjadinya tingkat respons yang rendah merupakan hal yang dapat terjadi
pada proses umpan balik yang berulang. Respons yang terputus dalam tingkat suatu
proses Delphi akan berpengaruh dengan kualitas informasi. Oleh karena itu, untuk
mencegah hal tersebut motivasi subjek sangat berperan dan peneliti harus berperan
aktif untuk menentukan tingkat respons yang tinggi. Penggunaan waktu yang
banyak merupakan salah satu kelemahan teknik Delphi. Proses pengulangan dapat
memberikan kesempatan bagi peneliti dan responden untuk meningkatkan
ketepatan hasil namun karakteristik ini akan meningkatkan beban kerja peneliti dan
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pengumpulan data.136
Universitas Indonesia
Reliabilitas antar penilai dilakukan untuk menilai perbedaan jawaban antar penilai
pada situasi yang sama. Penilai merupakan pakar yang memahami riset tersebut dan
uji dinilai saat pre-tes. Reliabilitas ini dilakukan dengan meminta para penilai
mengklasifikasikan observasi ke kategori yang ditetapkan.136
Reliabilitas tes berulang dilakukan dengan melakukan penilaian dua kali berturut-
turut dengan instrumen yang sama pada kelompok subjek yang sama. Skor uji
pertama dibandingkan dengan skor uji kedua. Kedua skor tersebut dianalisis
korelasi dan didapatkan koefisien stabilitas (coefficient of stability). Nilai koefisien
stabilitas tinggi memperlihatkan instrumen konsisten pada waktu yang berbeda.143
Reliabilitas bentuk paralel dilakukan dengan melakukan dua tes pada dua kelompok
yang berbeda di waktu yang sama (paralel) dengan instrumen yang sama. Skor
kedua kelompok dibandingkan dengan analisis korelasi. Koefisien korelasi yang
didapat merupakan koefisien ekuivalensi (coefficient of equivalence) alat ukur yang
memperlihatkan stabilitas instrumen pada kelompok dengan subjek berbeda.136
Universitas Indonesia
Separuh dilakukan dengan melakukan tes pada satu kelompok yang dibagi dua.
Hasil kelompok satu dibandingkan dengan kelompok dua dan dianalisis korelasi.
Koefisien korelasi menjadi koefisien konsistensi internal alat ukur.136
Uji Validitas
Validitas memperlihatkan apakah suatu pengujian mengukur yang seharusnya
diukur. Validitas terdiri atas validitas eksternal dan validitas internal.136
1. Validitas Isi
Validitas isi menilai apakah pernyataan pada instrumen dapat mewakili konsep yang
diukur dan memuat tes untuk menguji isi yang relevan dengan tujuan yang diukur.
Universitas Indonesia
Validitas isi yang baik dapat diperoleh bila instrumen dapat mencakup topik yang
telah didefinisikan sebagai dimensi dan elemen yang relevan dalam menggambarkan
konsep. Mengukur kelayakan validitas isi merupakan hal yang sulit karena tidak ada
standar yang jelas, sehingga validitas isi dilakukan dengan menggunakan evaluasi
panel atau orang yang ahli dalam konsep yang diukur. Validitas isi yang minimal
dapat diterima adalah validitas tampang (face validity). Validitas tampang
memperlihatkan bahwa pernyataan dapat mengukur suatu konsep bila penampilan
tampangnya mengukur konsep tersebut.137
3. Validitas Konstruk
Validitas konstruk memperlihatkan kemampuan hasil yang diperoleh dari instrumen
sesuai dengan teori yang digunakan untuk mendefinisikan konstruk yang digunakan.
Validitas konstruk dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu (1) analisis faktor; (2)
validitas diskriminan (discriminant validity); (3) validitas konvergen (convergent
validity).137
Analisis faktor menyatakan bahwa pernyataan harus mempunyai skor tinggi pada
konstruk yang sesuai dengan butir pernyataan dan mempunyai skor rendah pada
konstruk lain agar membentuk konstruk yang benar. Muatan yang > 0,45 dianggap
cukup, skor > 0,55 baik, > 0,63 sangat baik, dan > 0,67 berarti memuaskan.137
Universitas Indonesia
Validitas konvergen didapat bila skor pada dua instrumen yang berbeda namun
mengukur konstruk yang sama memiliki korelasi yang baik. Validitas ini dievaluasi
dengan menggunakan korelasi faktor cara Fornell dan Larcke atau dengan korelasi
antar item konstruk. Pada korelasi antar pernyataan konstruk, nilai korelasi yang
tinggi berarti pernyataan mengarah ke konstruk yang sama dan memiliki validitas
konvergen yang tinggi.
Cara Fornell dan Larcke menggunakan dua kriteria untuk menguji validitas, yaitu
(1) semua muatan faktor seharusnya bermakna dan nilai melebihi 0,70; (2) rerata
varian yang diekstrasi untuk masing-masing konstruk melebihi varian yang terjadi
akibat kesalahan pengukuran konstruk tersebut.137
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.10 Kerangka Konsep
Uji validitas
kriteria (validitas
Studi pustaka dilakukan untuk menyusun domain dan butir-butir pernyataan KDAI.
Pengembangan pernyataan KDAI menggunakan teknik Delphi yang melibatkan 14
pakar terdiri atas 2 orang psikiater anak dan remaja, 2 orang psikiater adiksi yang
mendalami adiksi perilaku, 4 orang psikiater adiksi yang mendalami adiksi NAPZA,
3 orang psikiater neuropsikatri, 1 orang dokter spesialis anak, dan 2 orang psikolog
dengan keahlian adiksi. Kuesioner dalam skala Likert diisi oleh para pakar. Peneliti
mengumpulkan butir pernyataan yang mendapat nilai 4 dalam skala Likert (sangat
relevan) oleh minimal 75% partisipan. Pernyataan yang belum disepakati disebar
kembali kepada para pakar sampai pernyataan jenuh. Butir pernyataan yang telah
disepakati dikumpulkan untuk membentuk KDAI.
59 Universitas Indonesia
Pada analisis data, peneliti melakukan penilaian CVR dan CVI butir pernyataan
KDAI. CVR bertujuan mengukur seberapa penting pernyataan di dalam kuesioner
sedangkan CVI menilai apakah kuesioner memiliki jumlah pernyataan yang cukup
untuk mengukur AI. Rumus perhitungan CVR adalah {(jumlah pakar yang memberi
penilaian esensial) - (jumlah pakar / 2)} / (jumlah pakar / 2). Nilai minimal CVR
untuk 14 pakar adalah 0,51.
Penelitian ini menggunakan CVI berupa scale-level index / average (S-CVI / Ave).
Scale-level index mengukur validitas kuesioner secara keseluruhan. Rumus
perhitungannya adalah dengan menghitung rerata item-level CVI (I-CVIs) dari
seluruh butir pernyataan. Nilai minimal S-CV I /Ave yaitu ≥ 90% (0,90).
Subjek penelitian adalah siswa/i dari 9 sekolah yang memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memiliki kriteria eksklusi. Kriteria inklusi meliputi siswa/i SMP dan SMA
yang terpilih secara acak dan bersedia menandatangani lembar persetujuan untuk
ikut dalam penelitian. Kriteria eksklusi adalah remaja dengan gangguan jiwa berat.
Universitas Indonesia
Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar subjek minimal untuk studi satu
proporsi, yaitu:
n = (zα)2 PQ / d2
n = besar subjek
d =tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 5 % = 0,05
P = prevalensi AI = 20 %150
Q = 1-P = 80 %
α = tingkat kemaknaan, yaitu 0,01, maka zα = 2,576
(3.1)
Dari perhitungan tersebut, besar subjek (n) adalah:
n = (zα)2 PQ / d2
n = (2,576)2 x 0,2 x 0,8 / (0,05)2
n = 425
(3.2)
Untuk mempertimbangkan dropout dilakukan koreksi terhadap besar subjek yang
dihitung dengan rumus:
n’= n / (1-f)
n’= 425 / (1-0,1)
n = 472 yang dibulatkan menjadi 500 subjek
(3.3)
Subjek yang diperlukan adalah 500 orang, namun karena jumlah subjek yang hadir
saat pengambilan data adalah 643 orang maka semua dijadikan subjek penelitian
yang terdiri atas 318 siswa/i SMP dan 325 siswa/i SMA.
Uji validitas dan reliabilitas KDAI dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
- uji coba awal pada 31 subjek dipilih secara acak dari 3 SMP dan 4 SMA,
- uji coba skala penuh 385 subjek dipilih secara acak dari 3 SMP dan 5 SMA,
- uji lapangan pada 643 subjek dipilih secara acak dari 4 SMP dan 5 SMA.
Validitas konstruk diuji dengan EFA dan CFA. Uji EFA mengelompokkan butir
pernyataan ke dalam domain berdasarkan kemiripan antar data. Butir pernyataan
yang digunakan adalah yang memiliki muatan faktor ≥ 0,40. Uji CFA digunakan
untuk memastikan hasil EFA. Model dikatakan fit jika memiliki nilai akaike
information criterion (AIC) yang lebih kecil, nilai p pada uji chi square > 0,05, root
mean square error of approximation (RMSEA) < 0,06, comparative fit index (CFI)
≥0,9 dan standardized root mean square residual (SRMR) < 0,08.
Universitas Indonesia
3.2.1.3 Validasi IAT dan Pencarian Titik Potong IAT Versi Indonesia
Tujuan tahap ini adalah mendapatkan nilai konsistensi internal (Cronbach’s alpha)
dan membentuk konstruk IAT dengan mengelompokkan butir pertanyaan sesuai
domainnya. Pengelompokan berdasarkan nilai muatan faktor. Lokasi, waktu, dan
besar sampel sama seperti uji validitas dan reliabilitas KDAI.
Uji validitas dan reliabilitas IAT dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
- uji coba awal pada 30 subjek yang dipilih secara acak dari 3 SMP dan 4 SMA,
- uji coba skala penuh 385 subjek yang dipilih secara acak dari 3 SMP dan 5 SMA,
- uji lapangan pada 643 subjek yang dipilih secara acak dari 4 SMP dan 5 SMA.
Uji validitas konstruk dan reliabilitas sama seperti pada uji validitas dan reliabilitas
KDAI. Validitas konstruk diuji dengan EFA dan CFA. Uji reliabilitas untuk
mendapatkan konsistensi internal dan korelasi antar butir pernyataan dengan total.
3.2.1.4 Uji Validitas Kriteria KDAI dan Penentuan Titik Potong KDAI
dengan IAT Versi Indonesia sebagai Pembanding
Tujuan tahap ini untuk mendapatkan nilai korelasi, titik potong, nilai AUC,
sensitivitas, spesifisitas, positive likelihood ratio, dan negative likelihood ratio
KDAI dengan IAT versi Indonesia sebagai pembanding. Lokasi, waktu, dan besar
subjek penelitian sama seperti tahap sebelumnya. Subjek adalah 318 siswa SMP
dan 325 siswa SMA dipilih secara acak dari 4 SMP dan 5 SMA di Jakarta. Subjek
penelitian diminta mengisi KDAI dan IAT versi Indonesia.
Universitas Indonesia
Subjek penelitian adalah siswa/i dari 8 sekolah di Jakarta yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Kriteria inklusi meliputi siswa/i SMP
dan SMA yang terpilih secara acak serta bersedia berpartisipasi dengan
menandatangani lembar persetujuan untuk mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi
meliputi riwayat penyalahgunaan dan ketergantungan zat atau gangguan mental.
Kondisi tersebut diskrining menggunakan kuesioner alcohol, smoking and
substance use involvement screening & testing (ASSIST) dan tes celup urin.
Riwayat gangguan mental seperti skizofrenia, gangguan mood, kecemasan,
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas diperiksa dengan kuesioner mini-
international neuropsychiatric interview-kid (MINI KID).
Besar subjek penelitian ditentukan berdasarkan tabel rule of thumb for determining
sample size yaitu 30 subjek kelompok AI (adiksi sedang) dan 30 subjek tidak AI
berdasarkan IAT versi Indonesia. Subjek dipilih dengan metode stratified random
sampling terdiri atas 30 subjek AI dan 30 subjek tidak AI. Kelompok tidak AI terdiri
atas 19 subjek normal dan 11 subjek adiksi ringan. Kelompok AI terdiri atas subjek
adiksi sedang. Subjek dengan adiksi berat tidak ada pada penelitian ini. Pemilihan
subjek dari setiap kelompok menggunakan metode simple random sampling yang
dilanjutkan dengan metode purposive sampling untuk memenuhi jumlah subjek
minimal. Pemeriksaan fungsi eksekutif dilakukan oleh psikolog menggunakan trail
making test-B (TMT-B).
Universitas Indonesia
Pemeriksaan rs-fMRI BOLD berlangsung 32 menit 15 detik dan terdiri atas 9 tahap:
- 3 plane loc SSFSE (durasi 00:24)
- 3 plane loc SSFSE (durasi 00:24)
- Kalibrasi (durasi 00:04)
- Ax T1 (durasi 02:25)
- Ax T2 propeller (durasi 01:39)
- fMRI TR 2000 (durasi 10:00)
- fMRI TR 2000 (durasi 10:00)
- 3D Ax FSPGR BRAVO (durasi 05:03)
- Ax GRE (durasi 02:16)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
3.2.3 Tahap Tiga: Prevalensi dan Faktor Risiko Adiksi Internet pada Remaja
3.2.3.1 Prevalensi Adiksi Internet pada Remaja
Lokasi, waktu, besar sampel dan metode pengambilan subjek sama seperti pada uji
validitas dan reliabilitas KDAI. Pemilihan subjek penelitian juga dilakukan secara
acak dari masing-masing sekolah. Tim peneliti memberikan penjelasan mengenai
tujuan penelitian kepada subjek, orang tua, dan guru serta meminta persetujuan
kepada subjek dan orang tua sebelum subjek mengisi KDAI.
Pemilihan sekolah dilakukan secara acak dari sekolah yang bersedia bekerja sama.
Subjek penelitian juga dipilih secara acak dari masing-masing sekolah. Tim peneliti
menjelaskan tujuan penelitian kepada subjek, orang tua, dan guru serta meminta
persetujuan kepada subjek dan orang tua sebelum subjek mengisi kuesioner. Subjek
kemudian mengisi KDAI, kuesioner pola asuh anak (KPAA), kuesioner strength
and difficulties questionnaire (SDQ), family adaptability and cohesion evaluation
scales (FACES) IV, rosenberg self esteem scale, dan temperament and character
inventory (TCI). Deskripsi untuk setiap instrumen penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Faktor risiko dan proteksi dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi square
dengan batas kemaknaan p < 0,05 serta nilai OR. Analisis multivariat menggunakan
uji regresi logistik untuk mengetahui variabel yang paling bermakna terhadap
kejadian AI. Selanjutnya dilakukan analisis networking psychometric pada variabel
bermakna yang menghasilkan nilai weight matrix (WM) dan centrality measures
(CM).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Butir pernyataan dengan nilai 4 (skala Likert) oleh minimal 75% pakar dikumpulkan sedangkan
yang belum disepakati dikembalikan kepada pakar.
Uji coba awal KDAI pada 31 subjek dan IAT pada 30 subjek, uji coba skala penuh KDAI dan
IAT pada 385 subjek, uji coba lapangan KDAI dan IAT pada 643 subjek
Subjek mengisi kuesioner demografis, KPAA, SDQ, FACES IV, RSES, dan TCI
Menentukan titik potong IAT dan KDAI, mencari nilai AUC, sensitivitas, spesifisitas,
negative/positive likelihood ratio KDAI
Pemilihan 30 subjek AI dan 30 tidak AI dengan simple random sampling untuk rs-fMRI BOLD
Analisis mediasi fungsi eksekutif, skor KDAI dan konektivitas fungsional otak pada subjek AI
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
73 Universitas Indonesia
Gambar 4.2. Bagan Alur Penelusuran Pustaka dalam Pembuatan KDAI Awal
Universitas Indonesia
Hasil penelusuran elektronik dijadikan acuan untuk membuat domain dan butir
pernyataan KDAI (Lampiran 4.). Berdasarkan pustaka didapatkan gejala AI
meliputi preokupasi, perilaku impulsif, modifikasi mood, gejala putus perilaku,
kehilangan kontrol, toleransi, kehilangan minat terhadap kegiatan lain, berbohong,
dampak fisik, dampak sosial, dan dampak terhadap kualitas hidup.
Mayoritas subjek adalah remaja awal (47,40%). Subjek yang rentan mengalami AI
adalah 68,4% karena memiliki waktu bermain internet lebih dari 4 jam sehari. Pada
FGD subjek mengungkapkan gejala AI kemudian peneliti memberikan usulan
domain pada gejala yang diungkapkan subjek (Tabel 4.2.).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.3. Domain dan Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI
No Domain Butir Pernyataan
1 Preokupasi Saya memikirkan untuk menggunakan internet walaupun saat sedang
melakukan kegiatan lain.
Saya membayangkan diri saya sedang menggunakan internet saat saya
sedang melakukan kegiatan lain.
Saya merencanakan kesempatan bermain internet berikutnya saat saya
sedang melakukan kegiatan lain.
Saya memikirkan tentang permainan internet saya sebelumnya
meskipun saat itu saya sedang melakukan kegiatan lain.
Saya memikirkan mengenai bermain internet sepanjang hari.
Saya berpikir untuk bermain dengan media sosial seperti Whatsapp© /
Line© / email setiap saat sebelum saya melakukan segala sesuatu.
Saya bermimpi sedang bermain internet.
Saya menggunakan banyak waktu saya untuk membayangkan sedang
menggunakan internet.
Saya menanti-nanti saat saya akan online lagi.
Konsentrasi saya hilang saat melakukan tugas lain karena saya
memikirkan bermain internet.
2 Withdrawal Saya merasa kesal bila berhenti menggunakan internet.
Saya merasa frustrasi bila dipaksa untuk menghentikan penggunaan
internet.
Saya merasa cemas bila tidak mengecek email / media sosial /
Whatsapp© / Line©.
Saya merasa kesal bila jaringan internet susah untuk diakses.
Saya merasa sedih ketika berhenti menggunakan internet.
Saya akan mudah marah pada orang yang menyuruh saya
menghentikan penggunakan internet.
Saya merasa bosan ketika saya offline.
Saya merasa kesal atau terganggu bila ada orang mengganggu saya
saat sedang online.
Saya akan merasa kesal bila sedang offline dan perasaan tersebut
akan menghilang bila saya dapat online.
Saya merasa sedih / depresi bila sedang offline dan perasaan tersebut
akan menghilang bila saya dapat online.
Saya merasa cemas atau mudah marah bila waktu bermain internet
saya berkurang dari yang saya mau.
Saya merasa cemas bila sedang offline.
Saya merasa gelisah bila sedang offline.
Saya merasa seperti ada sesuatu yang hilang bila sedang offline.
Saya takut akan kehidupan tanpa internet yang membosankan, hampa
dan suram.
Universitas Indonesia
Tabel 4.3. Domain Beserta Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI (sambungan)
No Domain Butir Pernyataan
3 Toleransi Saya menggunakan internet bertambah lama dari waktu ke waktu
untuk mendapatkan kepuasan yang sama.
Saya tidak pernah merasa puas ketika menggunakan internet.
Semakin sering saya online, semakin sering keinginan saya untuk
online.
Saya harus online lebih lama untuk dapat merasakan kesenangan
yang saya rasakan sebelumnya.
4 Kehilangan kontrol Saya berusaha untuk online lagi walaupun sudah keluar dari
(Loss of Control) jaringan internet.
Saya menggunakan internet lebih lama dari yang sudah
direncanakan.
Saya sudah berusaha untuk membatasi waktu menggunakan
internet namun gagal.
Saya berkata kepada diri sendiri, “Hanya beberapa menit saja
lagi” saat online.
Sebagian besar waktu saya dalam 24 jam saya gunakan untuk
online.
Saya tetap online meskipun telah menyuruh diri sendiri untuk
berhenti.
Saya tetap terus menggunakan internet walaupun dilarang oleh
orang tua atau keluarga saya.
Saya menggunakan waktu belajar untuk menggunakan internet.
Saya menggunakan waktu bermain dengan teman untuk
menggunakan internet.
Saya lupa waktu saat saya sedang online.
Saya terus online walaupun saya tahu banyak hal yang harus saya
kerjakan.
Saya merasa waktu berhenti ketika saya bermain internet.
Saya merasa membutuhkan bantuan dari profesional untuk
mengurangi waktu bermain internet saya.
5 Dampak Biologis Tangan saya terasa nyeri karena terlalu banyak online.
(Masalah Saya merasa mata saya lelah / kering setelah menggunakan
Kesehatan) internet.
Saya merasa lelah karena menggunakan internet terlalu lama.
Waktu tidur saya berkurang karena saya lebih banyak online.
Saya lebih memilih untuk online dibandingkan tidur di malam
hari.
Saya merasa punggung saya terasa pegal sejak saya mulai
menggunakan internet.
Saya merasa sakit kepala ketika saya terlalu lama online.
Saya merasa tubuh saya semakin gemuk / kurus setelah lebih
sering online.
Saya lupa makan saat menggunakan internet.
6 Isolasi Sosial Saya merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan menggunakan
internet (online) dari berbicara langsung (tatap muka).
Saya merasa teman online saya lebih banyak dari teman dalam
dunia nyata.
Saya lebih banyak menggunakan waktu untuk online dari
bermain dengan teman.
Saya membatalkan janji bertemu dengan teman karena saya
bermain internet.
Saya lebih memilih bermain internet dibandingkan pergi bersama
teman.
Saya lebih senang membangun hubungan baru dengan sesama
pengguna internet dibandingkan di dunia nyata.
Universitas Indonesia
Tabel 4.3. Domain Beserta Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI (sambungan)
No Domain Butir Pernyataan
Saya lebih memilih kesenangan yang didapat dari internet dari
yang berasal dari kebersamaan bersama keluarga.
Saya mengurangi interaksi dengan anggota keluarga karena
menggunakan internet.
Saya tetap online meskipun internet telah berdampak buruk bagi
hubungan interpersonal saya.
Komunikasi saya dengan keluarga berkurang karena saya lebih
sering online.
7 Konflik Saya marah pada orang yang menyuruh saya berhenti
Interpersonal menggunakan internet baik secara paksa maupun secara halus.
Saya sering memarahi / meneriaki / menunjukkan bahwa saya
merasa terganggu saat orang mengganggu saya ketika sedang
online.
Orang di sekitar saya mengatakan saya terlalu lama
menghabiskan waktu bermain internet.
Saya bertengkar dengan orang tua saya karena internet.
Saya bertengkar dengan teman / pacar saya karena internet.
Saya merasa keluarga saya sudah merasa terganggu dengan
kegiatan online saya.
Bermain internet membuat hubungan saya dengan orang tua /
keluarga menjadi bermasalah.
Bermain internet membuat hubungan saya dengan teman / pacar
menjadi bermasalah.
8 Dampak Kualitas Kehidupan saya menjadi berantakan / terbengkalai karena lebih
Hidup sering online.
Saya tetap menghabiskan banyak waktu saya untuk online
walaupun saya tahu hal itu merugikan kehidupan saya.
Waktu tidur saya berkurang karena saya lebih banyak
menggunakan internet.
Saya terlambat makan karena mendahulukan menggunakan
internet.
9 Hilang minat Saya mengurangi waktu untuk melakukan aktivitas
pada hobi atau menyenangkan lainnya kecuali untuk bermain internet.
bentuk hiburan Saya merasa online lebih menyenangkan dari melakukan
lainnya (kecuali kegiatan lain yang dulu merupakan hobi saya.
internet)
10 Modifikasi mood Saya melawan pikiran yang buruk atau mengganggu di
dan pelarian kehidupan nyata dengan pikiran yang menenangkan dari internet.
(Escape and mood Saya merasa lebih nyaman dengan bermain internet dari bermain
modification) dengan teman sebaya saya.
Ketika sedang online saya merasa lebih baik karena tidak perlu
memikirkan masalah dalam dunia nyata.
Semua masalah saya hilang ketika sedang bermain internet.
Bila saya sedang merasa cemas atau sedih maka perasaan saya
akan merasa lebih baik bila menggunakan internet.
Saya lebih memilih online untuk melupakan masalah saya dari
melakukan hal lain.
Saya menggunakan internet untuk merasa bahagia.
Saya bermain internet untuk melupakan masalah saya.
Hidup saya lebih baik bila sedang online.
11 Desepsi Saya berusaha menyembunyikan kegiatan online saya pada orang
(berbohong) tua.
Saya mengatakan saya mengurangi waktu online berlebihan pada
orang tua dan guru padahal saya masih sering online.
Universitas Indonesia
Tabel 4.3. Domain Beserta Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI (sambungan)
No Domain Butir Pernyataan
Saya berpura-pura mematikan internet bila orang tua datang ke
kamar saya.
Saya menyangkal bila ada yang bertanya tentang apa yang saya
lakukan saat online.
Saya marah bila ada yang menanyakan apa yang saya lakukan
saat online.
Saya menyembunyikan jejak online saya pada orang lain.
Saya mengatakan lama waktu online saya kepada orang lain
lebih sedikit dari waktu sebenarnya.
Saya sering mengelak pertanyaan tentang berapa lama waktu
yang saya habiskan online atau menghindari memberikan
jawaban (menyembunyikan jawaban).
Saya merahasiakan lama waktu bermain internet saya kepada
orang-orang di sekitar saya.
Saya sering bersikap defensif ketika orang lain menanyakan
aktivitas apa saja yang saya lakukan saat online.
12 Dampak Sosial: Saya hampir / telah kehilangan pekerjaan, akibat bermain
sekolah/ pekerjaan internet.
Saya hampir / telah kehilangan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan atau pekerjaan akibat bermain internet.
Saya mengabaikan pekerjaan rumah agar dapat menghabiskan
lebih banyak waktu online.
Saya berhenti melakukan rutinitas sehari-hari akibat
menggunakan internet.
Prestasi sekolah saya memburuk karena saya lebih banyak
menggunakan internet.
Nilai di sekolah saya turun akibat menggunakan internet.
Saya pernah bolos sekolah demi online.
Performa atau produktivitas kerja saya menurun akibat internet.
Pekerjaan / tugas saya terbengkalai / terlantar (menunda
pekerjaan, tidak memenuhi deadline, dsb) akibat menghabiskan
terlalu banyak waktu online.
Produktivitas kerja saya menurun karena bermain internet.
Saya menghabiskan banyak uang untuk kebutuhan online saya.
Universitas Indonesia
Butir pernyataan terpilih adalah yang mendapat nilai sangat relevan (skala Likert 4)
dari 75% pakar. Validitas isi dihitung pada akhir setiap putaran Delphi
menggunakan nilai CVR dan CVI. Pada penelitian ini diperoleh nilai CVR 0,51 dan
CVI 0,90. Butir pernyataan lainnya dikembalikan pada Delphi putaran kedua
dengan pakar yang sama pada Delphi putaran satu. Pada putaran kedua butir
pernyataan yang terpilih adalah yang mendapat nilai sangat relevan (skala Likert 4)
oleh minimal 75% pakar dengan nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90. Butir pernyataan
lain dikembalikan pada Delphi putaran ketiga dengan pakar yang sama pada putaran
satu dan kedua. Jarak satu putaran Delphi dengan putaran lainnya adalah 1 bulan.
Pada putaran pertama terdapat 31 pernyataan yang disetujui oleh > 75% pakar; ke-
31 pernyataan memiliki CVR > 0,51 dan CVI > 0,90 (Lampiran 5.). Pakar sepakat
menghilangkan 7 butir pernyataan (Tabel 4.4.) dan menambahkan 1 butir
pernyataan. Pernyataan yang ditambahkan adalah “saya mengabaikan kegiatan
agama saya (doa, ke masjid, sholat) untuk online” pada domain kehilangan kontrol.
Pernyataan tersebut diusulkan oleh pakar untuk mengetahui dampak AI terhadap
berbagai aspek termasuk spiritual. Selanjutnya peneliti melakukan modifikasi
pengelompokan butir pernyataan dalam domain. Dua butir pernyataan dari domain
dampak biologis dan 1 butir pernyataan dari domain isolasi sosial dipindahkan ke
domain kehilangan kontrol (Tabel 4.5.). Pada akhir putaran pertama terdapat 68
pernyataan yang disebarkan kembali pada putaran Delphi kedua.
Pada putaran Delphi kedua terdapat 18 pernyataan yang disetujui oleh > 75% pakar
serta memiliki nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90. Pada akhir putaran kedua terdapat
50 pernyataan yang disebarkan pada putaran Delphi ketiga.
Pada putaran Delphi ketiga didapatkan 7 pernyataan yang disetujui > 75% pakar
serta memiliki nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90. Setelah putaran ketiga data sudah
jenuh sehingga diperoleh hasil akhir terdiri atas 11 domain dan 56 pernyataan.
Domain dampak biologis dihapus karena tidak ada butir pernyataan yang diambil
oleh pakar. Domain yang dipertahankan sebanyak 11 yaitu preokupasi, withdrawal,
toleransi, kehilangan kontrol, isolasi sosial, konflik interpersonal, dampak kualitas
hidup, kehilangan minat, pelarian dan modifikasi mood, desepsi, dan dampak sosial.
Hasil akhir dari ketiga putaran Delphi dikonsultasikan kepada ahli bahasa.
Universitas Indonesia
12 Domain
105 Pernyataan
Delphi Putaran 1
74 Pernyataan 31 Pernyataan
• 7 pernyataan dihilangkan*
• 1 pernyataan ditambahkan*
68 Pernyataan
Delphi Putaran 2
50 Pernyataan 18 Pernyataan
Delphi Putaran 3
7 Pernyataan
Konsultasi
Ahli Bahasa
56 pernyataan
11 Domain
Gambar 4.3. Alur Penyaringan Butir Pernyataan dan Domain Konsensus Pakar
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kuesioner dalam skala Likert dan polar diberikan kepada peserta FGD. Remaja
kemudian menentukan skala yang lebih mudah digunakan. Remaja menyarankan
adanya keterangan durasi waktu pada kuesioner. KDAI menggunakan durasi waktu
12 bulan sesuai dengan kriteria diagnosis pathological gambling pada DSM-5.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada FGD, subjek memberikan komentar terkait bahasa yang digunakan dalam
KDAI. Penggantian bahasa dilakukan tanpa mengganti konten. Kuesioner skala
polar lebih disukai karena lebih sederhana namun persepsi antar subjek untuk
skoring tidak sama. Subjek merasa bingung dalam menentukan pilihan sedangkan
pengertian subjek tentang skala Likert lebih merata. Subjek merasa 56 pernyataan
sangat banyak dan melelahkan serta durasi waktu 12 bulan terlalu lama dan
mengusulkan durasi 6 bulan. Subjek tidak mengenal istilah ‘adiksi’ dan memilih
istilah ‘kecanduan’ agar remaja lebih waspada bahwa penggunaan internet dapat
mengakibatkan hal yang buruk.
Subjek tidak mengenal istilah ‘daring’ dan ‘luring’. Subjek juga tidak menyarankan
istilah online dan offline karena istilah online bukan berarti aktif dalam
menggunakan internet. Istilah online diganti menjadi bermain internet yang artinya
secara aktif menggunakan internet. Beberapa istilah yang kurang dikenal oleh
remaja seperti profesional dan frustrasi diganti menjadi istilah yang lebih dikenal.
Subjek menyarankan untuk memberikan contoh pada setiap kalimat. Salah satu
contoh adalah kalimat “bermain dengan teman”. Subjek mengatakan bermain
dengan teman bisa saja berarti bermain internet bersama. Oleh karena itu, mereka
menyarankan kalimat bermain dengan teman diberikan contoh seperti bermain bola,
bermain ke pusat perbelanjaan. Dari 55 pernyataan terdapat 1 pernyataan yang tidak
mengalami perubahan yaitu “nilai ulangan saya menurun akibat bermain internet”.
Universitas Indonesia
Hasil uji validasi dan reliabilitas KDAI pada uji coba awal sebagai berikut:
Kuesioner KDAI Skala Likert (n = 31)
Analisis validitas konstruk dilakukan dengan uji Pearson dan didapatkan seluruh
domain (11 domain) valid. Analisis validitas per butir dibandingkan total diperoleh
setiap butir pernyataan memiliki korelasi total > 0,3 yang berarti setiap butir
pernyataan memiliki validitas yang baik. Analisis reliabilitas menunjukkan nilai
Cronbach’s alpha 0,964 dan nilai korelasi corrected item-total untuk setiap butir
pernyataan > 0,3 yang mencerminkan tingkat reliabilitas yang tinggi.
Universitas Indonesia
jumlah subjek menjadi 385. Karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Mayoritas subjek adalah perempuan (52,5%) dan kelompok remaja pertengahan
(47,8%). Subjek sebagian besar menggunakan internet > 20 jam / minggu (78,4%).
Tabel 4.8. Karakteristik Subjek Uji Coba Skala Penuh KDAI (n = 385)
Karakteristik n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 183 (47,5)
Perempuan 202 (52,5)
Usia
Remaja awal 145 (37,7)
Remaja pertengahan 184 (47,8)
Remaja akhir 56 (14,5)
Pendidikan
SMP 145 (37,7)
SMA 240 (62,3)
Lama Penggunaan Internet
≤ 20 jam / minggu 83 (21,6)
> 20 jam / minggu 302 (78,4)
Uji reliabilitas dilakukan terhadap 385 subjek dengan menggunakan KDAI yang
terdiri atas 11 domain dan 55 pernyataan. Beberapa pernyataan memiliki korelasi
corrected item-total < 0,3 sehingga pernyataan nomor 24, 48, 12, 5, 39, dan 19
dihapus (Tabel 4.9.).
Universitas Indonesia
Domain desepsi hanya memiliki dua butir pernyataan sehingga tidak memenuhi
persyaratan domain dan dihapuskan. Butir pernyataan yang dihapus tercantum
dalam Tabel 4.10. Uji reliabilitas mendapatkan nilai Cronbach’s alpha 0,947
dengan korelasi antar butir 0,303–0,652. KDAI hasil uji coba skala penuh terdiri
atas 10 domain dan 47 pernyataan.
Pada uji EFA pertama didapatkan 10 domain yang memiliki eigenvalue lebih dari
satu dan secara kumulatif dapat menjelaskan 59,020% varian. Total variasi 59,020%
berarti KDAI dapat menerangkan 59,020% variasi gejala AI. Muatan faktor
masing-masing pernyataan kemudian dianalisis. Pernyataan nomor 31 yaitu “saya
harus bermain internet lebih lama untuk dapat merasakan kesenangan seperti yang
saya rasakan saat bermain internet sebelumnya” memiliki muatan faktor < 0,4
sehingga dihapus. Terdapat 3 domain yang memiliki 2 pernyataan yaitu domain 8,
9, dan 10 sehingga dilakukan penghapusan domain tanpa menghapus pernyataan di
dalamnya.
Uji EFA kedua menghasilkan 7 domain dengan nilai KMO 0,929 dan BTS dengan
nilai p < 0,001 sehingga korelasi antar pernyataan adekuat. Pernyataan nomor 36
“makin sering bermain internet, makin sering muncul keinginan saya untuk bermain
internet” memiliki muatan faktor < 0,4 sehingga dihapus. Pada uji EFA ketiga
didapatkan pernyataan nomor 45 “saya terus berpikir untuk bermain internet
sepanjang hari” memiliki muatan faktor < 0,4 sehingga dihapus. Pada uji EFA
keempat didapatkan seluruh butir memiliki muatan faktor > 0,4. Rincian daftar
pernyataan yang dihapus selama proses EFA dirangkum di dalam Tabel 4.11.
Universitas Indonesia
Analisis EFA dilakukan empat kali dan menghasilkan KDAI 7 domain dan 44 butir
pernyataan (Lampiran 8.). Nilai KMO 0,927 dan nilai p BTS < 0,001 sehingga
jumlah subjek dan korelasi antar pernyataan dipastikan adekuat. Ketujuh domain
dinamakan withdrawal, kehilangan kontrol, peningkatan prioritas, konsekuensi
negatif, modifikasi mood, salience, dan hendaya.
Uji CFA dilakukan pada 318 siswa SMP dan 325 siswa SMA. Karakteristik subjek
dapat dilihat pada Tabel 4.13. Mayoritas subjek adalah perempuan (53,7%) dan
kelompok remaja awal (47,7%). Sebanyak 66,9% subjek menggunakan internet
lebih dari 20 jam per minggu.
Universitas Indonesia
Uji CFA dilakukan pada 3 model. KDAI awal (11 domain dan 55 butir pernyataan)
disebut sebagai model 1. Pada model 1 dilakukan modifikasi 2 kali pada 4 butir
pernyataan (33, 34, 52, dan 54). Model 2 yaitu KDAI hasil EFA (7 domain dan 44
butir pernyataan) yang dilakukan modifikasi 3 kali pada 6 butir pernyataan (3, 4, 5,
8, 28, dan 24). Model 3 yaitu KDAI modifikasi hasil EFA (6 domain dan 44 butir
pernyataan). Pada model 3 tidak dilakukan modifikasi karena dari hasil analisis
didapatkan satu butir pernyataan yang dapat mengukur dua domain yang berbeda.
Pernyataan tersebut adalah butir 38, yang dapat mengukur domain kehilangan
kontrol dan modifikasi mood.
Pada tahap selanjutnya dilakukan perbandingan antar ketiga model dan didapatkan
model 2 memiliki goodness of fit yang paling baik. Hasil perhitungan CFA dari
ketiga model terdapat pada Tabel 4.14. Diagram hasil CFA model 2 pada Gambar
4.6. Nilai muatan faktor setiap butir pernyataan terdapat di Lampiran 9.
Uji reliabilitas dilakukan pada model 2 dan didapatkan seluruh butir pernyataan
memiliki nilai corrected item total correlation > 0,3 (range 0,390–0,651) dengan
nilai Cronbach’s alpha 0,942. Nilai Cronbach’s alpha dan corrected item total
correlation untuk setiap domain dapat dilihat pada Lampiran 10. Pernyataan nomor
1 yaitu “saya sudah berusaha untuk membatasi waktu bermain internet, namun
gagal” memiliki korelasi antar butir < 0,3 (0,270–0,523). Pernyataan tersebut masih
dapat dimasukkan dalam domain hendaya karena memiliki korelasi antar butir
terhadap nilai total yang baik yaitu > 0,3 (0,352). Pada uji reliabilitas ini juga
didapatkan nilai korelasi antar domain yang baik (r > 0,5). Nilai korelasi antar
domain tercantum pada Lampiran 11 dan hasil akhir KDAI pada Lampiran 12.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Forward Translation
Kuesioner IAT diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh 2
penerjemah independen bahasa Indonesia.
Backward Translation
Kuesioner yang telah direvisi pada diskusi panel ahli diterjemahkan kembali ke
dalam bahasa Inggris oleh penerjemah independen bahasa Inggris yang belum
pernah melihat kuesioner asli. Hasil backward translation diberikan kepada
pembuat kuesioner asli yaitu Young dari Net Addiction, The Center of Internet
Addiction, untuk meminta persetujuan. Pembuat kuesioner asli menyetujui hasil
backward translation. Dalam proses backward translation tidak didapatkan
perbedaan bermakna sehingga tidak dilakukan perubahan pada kuesioner yang
sudah terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada analisis validitas konstruk dilakukan uji korelasi Pearson antara setiap
pernyataan dengan skor total dan didapatkan setiap pernyataan memiliki korelasi
yang baik (> 0,3). Uji reliabilitas menghasilkan nilai Cronbach’s alpha 0,913
dengan korelasi antar butir 0,419–0,788. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas,
seluruh pernyataan IAT dianggap sahih.
Pada karakteristik subjek uji coba awal IAT didapatkan subjek FGD sebagian besar
adalah perempuan (70%) dan remaja pertengahan (46,7%). Tidak ada subjek yang
menggunakan internet > 20 jam / minggu. Karakteristik subjek FGD digambarkan
pada Tabel 4.15.
Tabel 4.16. Tabel Daftar Perubahan Istilah Setelah Tahap Uji Coba
Kata Awal Hasil Diskusi
Online/daring Bermain internet
Offline Offline
Pasangan Orang-orang terdekat
Log-in Bermain internet
Antisipasi Merencanakan
Defensif Menutupi
Performa/produktivitas Prestasi sekolah
Universitas Indonesia
Setelah diskusi panel dengan para ahli dilakukan konsultasi dengan ahli bahasa
Indonesia dari Fakultas Ilmu dan Bahasa Universitas Indonesia. Terdapat beberapa
modifikasi kalimat sesuai dengan pengertian remaja. Pernyataan dibuat untuk
menekankan gangguan yang berdampak negatif, misalnya kata karena diganti
dengan kata akibat.
Uji Lapangan
Pada uji lapangan dilakukan analisis validitas konstruk (EFA dan CFA) dan
reliabilitas pada subjek penelitian. Subjek pada uji lapangan IAT sama seperti
subjek uji lapangan KDAI. Pada uji EFA pertama didapatkan pernyataan nomor 5
“seberapa sering orang-orang dalam hidup Anda mengeluh tentang jumlah waktu
yang Anda habiskan untuk bermain internet?” memiliki muatan faktor < 0,4
sehingga dilakukan penghapusan. Pada uji EFA kedua didapatkan 4 domain yang
memiliki eigenvalue lebih dari satu dan secara kumulatif dapat menjelaskan 52,557%
varian. Total variasi 52,557% berarti kuesioner IAT (18 pernyataan) dapat
menerangkan 52,557% variasi gejala pada AI. Nilai KMO 0,876 dan nilai p BTS <
0,001 menunjukkan jumlah subjek dan korelasi antar pernyataan adekuat.
Universitas Indonesia
Hasil uji EFA ketiga adalah IAT 3 domain dan 18 butir pernyataan (Lampiran 14.).
Ketiga domain terdiri atas domain 1 (salience)-7 pernyataan yaitu nomor
3,11,12,13,15,19 dan 20; domain 2 (neglect of duty)-5 pernyataan yaitu nomor 2, 6,
8, 14, dan 17; dan domain 3 (loss of control)-6 pernyataan yaitu nomor 1,4,9,10,16
dan 18. Uji reliabilitas menghasilkan nilai Cronbach’s alpha 0,855 dengan korelasi
antar butir 0,317–0,574. Nilai muatan faktor setiap pernyataan dalam domain dapat
dilihat pada Lampiran 15. Uji CFA dilakukan pada dua model yaitu model pertama
( 20 butir pernyataan) dan model kedua yang merupakan IAT hasil EFA (3 domain
dan 18 pernyataan). Hasil CFA dari kedua model dapat dilihat pada Tabel 4.17.
Pada uji reliabilitas seluruh butir memiliki nilai corrected item total correlation >
0,3 (range 0,317–0,574) dengan nilai Cronbach’s alpha 0,855. Nilai Cronbach’s
alpha dan corrected item total correlation setiap domain dapat dilihat pada
Lampiran 16. Pada uji reliabilitas didapatkan nilai korelasi antar domain yang baik
(r > 0,5). Nilai korelasi antar domain tercantum pada Lampiran 17. dan hasil akhir
IAT versi Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 18.
Universitas Indonesia
Tabel 4.18. Kategorisasi IAT Versi Indonesia Berdasarkan Tren Skor IAT Kimberly Young
Range Skor IAT Rumus Skor Rumus Skor Range Skor IAT
Kategori
Kimberly Young Bawah Atas Versi Indonesia
Normal 0–30 0 30 / 20 x 18 0–27
AI ringan 31–49 31 / 20 x 18 49 / 20 x 18 28–44
AI sedang 50–79 50 / 20 x 18 79 / 20 x 18 45–71
AI berat 80–100 80 / 20 x 18 100 / 20 x 18 72–90
Universitas Indonesia
4.1.4 Penentuan Titik Potong KDAI dengan Pembanding IAT Versi Indonesia
4.1.4.1 Validitas Kriteria KDAI
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui validitas kriteria KDAI. Hasil uji Pearson
KDAI dan IAT menunjukkan bahwa kedua kuesioner tersebut memiliki hubungan
yang bermakna (p < 0,001). Nilai korelasi antar domain KDAI dan IAT > 0,3 kecuali
nilai korelasi antara domain hendaya KDAI dengan salience IAT versi Indonesia.
Nilai korelasi antar domain dapat dilihat pada Tabel 4.19. KDAI dan IAT versi
Indonesia memiliki Cronbach’s alpha yang baik (> 0,7). Nilai Cronbach’s alpha
KDAI lebih besar dibandingkan IAT versi Indonesia, yaitu 0,942.
Tabel 4.19. Korelasi antar Domain KDAI dan IAT Versi Indonesia
IAT Versi Indonesia
KDAI
Salience Neglect of duty Loss of control Total
Withdrawal 0,586* 0,383* 0,451* 0,574*
Kehilangan kontrol 0,539* 0,647* 0,621* 0,715*
Peningkatan prioritas 0,552* 0,402* 0,489* 0,581*
Konsekuensi negatif 0,435* 0,511* 0,364* 0,516*
Modifikasi mood 0,517* 0,339* 0,469* 0,536*
Salience 0,521* 0,362* 0,416* 0,523*
Hendaya 0,288* 0,592* 0,350* 0,474*
Total 0,665* 0,607* 0,611* 0,751*
*p < 0,05
Hasil ini menunjukkan KDAI lebih sahih dan andal dibanding IAT versi Indonesia
sehingga hipotesis 1 diterima.
4.1.4.2 Penentuan Titik Potong KDAI dengan IAT Versi Indonesia sebagai
Pembanding
IAT sudah digunakan secara luas di berbagai negara sebagai alat skrining AI. Oleh
karena itu, IAT versi Indonesia dapat dijadikan penentu untuk mencari titik potong
KDAI. Penentuan titik potong KDAI menggunakan metode ROC.
Kelompok AI ringan pada kategorisasi IAT masih menjadi area abu-abu. Kelompok
AI ringan belum dapat dipastikan apakah termasuk ke dalam kelompok adiksi atau
kelompok normal. Beberapa penelitian membuktikan bahwa skor IAT > 50
dianggap bermakna untuk menentukan AI. Skor IAT > 50 pada IAT Kimberly
Young setara dengan skor IAT > 45 pada IAT versi Indonesia. Skor tersebut
tergolong kategori AI sedang dan berat.
Universitas Indonesia
Area abu-abu pada kategorisasi skor IAT menyebabkan pencarian titik potong
KDAI dilakukan dengan membandingkan hasil analisis ROC setiap skor IAT versi
Indonesia. Skor IAT yang digunakan untuk perbandingan dimulai dari skor IAT 28
(batas bawah kelompok AI ringan). Penentuan nilai titik potong KDAI yang
optimal berdasarkan nilai AUC, sensitivitas, dan spesifisitas.
KDAI merupakan kuesioner skrining sehingga dipilih nilai sensitivitas yang lebih
tinggi. Berdasarkan hasil analisis ROC didapatkan titik potong KDAI yang
memiliki nilai sensitivitas optimal adalah skor 108. Nilai titik potong KDAI 108
memiliki nilai AUC 92% (Gambar 4.9.), sensitivitas 91,8% (IK95% = 83,77%–
96,62%), dan spesifisitas 77,8% (IK95% = 74,10%–81,16%). Positive likelihood
ratio KDAI sebesar 4,13 (IK95% = 3,49–4,88). Nilai tersebut menandakan KDAI
memiliki positive likelihood ratio yang fair─very good. Negative likelihood ratio
KDAI sebesar 0,11 (IK95% = 0,05–0,22) dan dikategorikan sebagai excellent. Nilai
positive likelihood ratio yang menjauhi angka 1 dianggap semakin baik karena
probabilitas uji menghasilkan hasil positif asli semakin tinggi. Negative likelihood
ratio yang semakin dekat dengan angka 0 dianggap semakin baik karena
probabilitas tes menghasilkan negatif palsu semakin rendah.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Berdasarkan studi kepustakaan, area otak yang menjadi fokus pemeriksaan rs-fMRI
BOLD pada subjek AI meliputi aktivitas di SN (ACC, anterior insula bilateral,
RPFC bilateral, dan SMG bilateral), DMN (MPFC, LP bilateral dan PCC), CEN
(lateral prefrontal cortex bilateral dan parietal posterior cortex bilateral) serta BGN
(caudate bilateral, putamen bilateral, dan nucleus accumbens bilateral).
Universitas Indonesia
Kelompok AI memiliki rerata durasi penggunaan internet (41,2 jam / minggu) lebih
tinggi dibandingkan kelompok tidak AI (31,5 jam / minggu).
Tabel 4.20. Rerata dan Simpang Baku Subjek fMRI Berdasarkan Kelompok Tidak Adiksi
Internet dan Kelompok Adiksi Internet
Tidak AI AI
Variabel
(n = 30) (n = 30)
Jenis kelamin: laki-laki/perempuan 12/17 16/15
Usia 14,5 ± 1,5 14,9 ± 1,7
Kelas 9,1 ± 1,5 9,2 ± 1,7
Durasi penggunaan internet (jam / minggu) 31,5 ± 14,8 41,2 ± 31,2
Usia awitan penggunaan internet 10,3 ± 2,3 9,8 ± 2,6
Citra diri_skor total 17,6 ± 3,4 14,7 ± 4,7*
Novelty seeking_skor total 11,1 ± 1,5 11,9 ± 1,7
Harm avoidance_skor total 9,9 ± 1,1 9,1 ± 1,5*
Reward dependence_skor total 12,0 ± 1,4 12,3 ± 1,7
Pola asuh_skor total 95,8 ± 8,1 103,1 ± 8,7*
Kohesivitas keluarga_skor total 1,4 ± 0,2 1,3 ± 0,3
Masalah emosi_skor total 4,1 ± 2,1 5,7 ± 2,3*
Masalah perilaku_skor total 2,8 ± 1,4 3,6 ± 1,6
Hiperaktivitas_skor total 3,8 ± 1,6 4,6 ± 2,0
Masalah teman sebaya_skor total 2,6 ± 1,2 3,1 ± 1,9
Masalah perilaku prososial_skor total 7,9 ± 2,2 7,1 ± 2,1
Fungsi eksekutif_waktu total 108,7 ± 62,2 107,6 ± 58,1
IAT versi Indonesia_skor total 27,0 ± 5,5 51,3 ± 6,6*
KDAI_skor total 73,3 ± 24,4 143,4 ± 28,1*
*p < 0,05
Pada subjek dilakukan pemeriksaan fungsi eksekutif menggunakan TMT-B.
Kelompok tidak AI memiliki rerata waktu pengerjaan TMT-B 108,7 detik dan
kelompok AI 107,6 detik. Hasil tersebut menunjukkan kedua kelompok memiliki
penurunan fungsi eksekutif.
Universitas Indonesia
Tabel 4.21. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada Kelompok dengan
Adiksi Internet Dibandingkan dengan Kelompok Tidak Adiksi Internet
Universitas Indonesia
Keterangan:
- Garis biru menandakan penurunan konektivitas
fungsional
- Garis merah menandakan peningkatan konektivitas
fungsional
Gambar 4.13. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada Kelompok Adiksi
Internet Dibandingkan Kelompok Tidak Adiksi Internet (Potongan Aksial Otak)
Universitas Indonesia
Tabel 4.22. Interaksi antara Konektivitas Fungsional dengan Skor KDAI dan IAT
Konektivitas Fungsional Skor KDAI Skor IAT
LPFC kiri dan MPFC 0,109 0,993
LPFC kiri dan LP kanan 0,005 0,094
LPFC kiri dan anterior insula kiri 0,629 0,964
Pada uji perbandingan rerata, didapatkan rerata korelasi fungsional antara LPFC
kiri dan LP kanan pada kelompok tidak AI 0,180 (SD: 0,201) dan pada kelompok
AI 0,107 (SD: 0,269). Dengan demikian, kelompok tidak AI memiliki rerata
konektivitas fungsional lebih tinggi daripada kelompok AI, walaupun perbedaan
rerata ini tidak bermakna secara statistik (p = 0,248). Hasil uji T dapat dilihat pada
lampiran 20.
Analisis kedua kelompok dilanjutkan dengan melakukan uji korelasi antara skor
KDAI dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan. Korelasi
positif yang bermakna didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional
antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok tidak AI (p = 0,018, r = 0,437).
Universitas Indonesia
Korelasi negatif yang bermakna didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI (p = 0,049, r = -0,375).
Perbandingan korelasi tiap kelompok diilustrasikan pada Gambar 4.14.
Universitas Indonesia
Hasil analisis mediasi fungsi eksekutif terhadap hubungan antara skor KDAI
dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri and LP kanan dapat dilihat pada
Gambar 4.15.
Gambar 4.15. Hasil Analisis Mediasi Fungsi Eksekutif terhadap Hubungan antara Skor
KDAI dengan Konektivitas Fungsional antara LPFC Kiri dan LP Kanan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Berdasarkan Tabel 4.23. diketahui bahwa AI lebih banyak terjadi pada kelompok
laki-laki (51,0%). Data demografis secara umum menunjukkan bahwa mayoritas
subjek merupakan remaja awal (47,7%), menggunakan internet di rumah (91,2%),
durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu (67,0%), dan usia awitan penggunaan
internet > 8 tahun (79,5%).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
4.3.2 Hubungan Adiksi Internet dengan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi
Faktor risiko dan proteksi AI pada remaja meliputi masalah emosi dan perilaku,
citra diri, temperamen, pola asuh dan kohesivitas keluarga. Subjek yang ikut serta
sebanyak 643 orang. Hasil analisis uji chi square AI dengan berbagai faktor risiko
dan proteksi menunjukkan adanya beberapa faktor yang bermakna. Faktor risiko
yang bermakna meliputi tujuan penggunaan internet untuk permainan daring dan
media sosial, durasi penggunaan internet > 20 jam per minggu, dan usia awitan
penggunaan internet ≤ 8 tahun. Temperamen yang secara bermakna menjadi faktor
risiko AI adalah novelty seeking yang tinggi. Masalah emosi dan perilaku juga
menjadi faktor risiko AI, meliputi masalah emosi, perilaku, hiperaktivitas, perilaku
prososial, dan masalah teman sebaya abnormal.
Faktor proteksi yang bermakna mencegah terjadinya AI adalah pola asuh dan
kohesivitas keluarga. Pola asuh yang menjadi faktor proteksi adalah pola asuh non-
exposure. Kohesivitas keluarga yang menjadi faktor proteksi adalah jenis
kohesivitas keluarga yang balanced. Hasil analisis berbagai faktor risiko dan faktor
proteksi AI dapat dilihat pada Tabel 4.25.
Universitas Indonesia
Tabel 4.25. Hasil Analisis Hubungan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi terhadap Adiksi
Internet
Adiksi Internet
Interval
Ya Tidak Nilai p OR
Kepercayaan
n % n %
Laki-laki 103 51,0 195 44,2 0,130 1,313 0,940–1,833
Jenis Kelamin
Perempuan 99 49,0 246 55,8
Permainan
Tujuan
Daring dan 160 79,2 292 66,2 0,001* 1,944 1,312–2,880
penggunaan
Media Sosial
internet
Lainnya 42 20,8 149 33,8
> 20 jam /
Durasi 162 80,2 270 61,2 < 0,001* 2,565 1,727–3,809
minggu
Penggunaan
≤ 20 jam /
Internet 40 19,8 171 38,8
minggu
Usia Awitan
≤ 8 tahun 57 28,2 75 17,0 0,002* 1,918 1,293–2,846
Penggunaan
Internet
> 8 tahun 145 71,8 366 83,0
Reward
Lebih tinggi 85 42,1 170 38,5 0,446 1,158 0,825–1,625
Lebih rendah
Dependence 117 57,9 271 61,5
sama dengan
Universitas Indonesia
Tabel 4.25. Hasil Analisis Hubungan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi terhadap Adiksi
Internet (sambungan)
Adiksi Internet
Ya Tidak Interval
Nilai p OR
Kepercayaan
n % n %
Masalah Abnormal 103 51,0 124 28,1 < 0,001* 2,660 1,883–3,756
Perilaku Normal 99 49,0 317 71,9
Masalah Teman Abnormal 121 59,9 202 45,8 0,001* 1,767 1,216–2,478
Sebaya Normal 81 40,1 239 54,2
Hasil analisis menunjukkan adanya 7 variabel yang memiliki p < 0,05, yaitu tujuan
penggunaan internet, durasi penggunaan internet, usia awitan penggunaan internet,
pola asuh, masalah emosi, masalah perilaku, dan masalah perilaku prososial.
Analisis terakhir sudah memiliki model yang baik dengan nilai Nagelkerke R2 =
0,206. Nilai ini menunjukkan bahwa ketujuh variabel di atas sudah baik untuk
menjelaskan kejadian AI.139 Nilai Nagelkerke R2 = 0,206 berarti variabel-variabel
tersebut sudah dapat menjelaskan kejadian AI sebesar 20,6%. Pada penelitian sosial
nilai Nagelkerke R2 > 0,14 sudah menggambarkan hubungan kemaknaan antar
variabel yang besar.139 Hasil analisis regresi logistik dapat dilihat pada Tabel 4.26.
Universitas Indonesia
Berdasarkan nilai OR pada Tabel 4.27. dapat dibuat kesimpulan bahwa terdapat 6
variabel yang merupakan faktor risiko dan 1 variabel yang merupakan faktor
proteksi terjadinya AI. Variabel yang memiliki kontribusi terbesar sebagai faktor
risiko terjadinya AI adalah durasi pengunaan internet (OR = 2,889) dan masalah
perilaku (OR = 2,539), sedangkan variabel yang berperan sebagai faktor proteksi
adalah pola asuh (OR = 0,518).
Oleh karena itu, dapat dibuat persamaan regresi logistik untuk melihat peluang
seorang remaja mengalami AI. Nilai indikator persamaan regresi logistik dapat
dilihat pada Tabel 4.27.
y = -2,402 + (0,602*tujuan) + (1,061*durasi) + (0,599*usia_awitan) +
(0,652*masalah_emosi) + (0,932*masalah_perilaku) + (0,564*masalah_prososial)
+ (-0,659*pola_asuh)
Keterangan: tanda * menunjukkan perkalian
(4.1)
Besarnya probabilitas seorang remaja untuk mengalami AI dihitung dengan rumus:
1
𝑝=
1 + 𝑒 −𝑦
(4.2)
Besarnya peluang (RR) seorang remaja yang memiliki faktor risiko untuk
mengalami AI dapat diketahui dengan cara membandingkan probabilitas AI pada
remaja yang memiliki faktor risiko dan probabilitas AI pada remaja tanpa faktor
risiko.
Universitas Indonesia
(4.3)
Tabel 4.27. Nilai Indikator Persamaan Regresi Logistik
Indikator Nilai
1. Tujuan penggunaan internet
Permainan daring dan media sosial 1
Kegiatan lainnya 0
2. Durasi penggunaan internet
> 20 jam / minggu 1
≤ 20 jam / minggu 0
3. Usia awitan penggunaan internet
8 tahun 1
> 8 tahun 0
4. Masalah emosi
Ada 1
Tidak ada 0
5. Masalah perilaku
Ada 1
Tidak ada 0
6. Masalah perilaku prososial
Ada 1
Tidak ada 0
7. Pola asuh
Non-exposure 1
Exposure 0
Untuk mengetahui kualitas persamaan regresi logistik di atas dilakukan uji Hosmer
and Lemeshow. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa persamaan
di atas terkalibrasi dengan baik.
Universitas Indonesia
= korelasi negatif
= korelasi positif
WM = weight matrix
Pada Gambar 4.16. dapat dilihat hubungan antar variabel dengan AI. Node milik AI
berada di posisi tengah menandakan bahwa AI adalah variabel yang menjadi sentral
dari hubungan antar variabel tersebut. Variabel AI memiliki path berwarna biru
dengan setiap variabel di sekelilingnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara variabel-variabel di sekeliling AI dengan AI. Jika dilihat
tebalnya path/garis berwarna biru yang dihasilkan, variabel durasi dan masalah
perilaku memiliki garis yang paling tebal untuk berhubungan dengan AI. Hal
tersebut berarti variabel durasi dan masalah perilaku adalah faktor yang memiliki
kontribusi paling besar untuk memprediksi terjadinya AI. Besarnya hubungan
antara kedua variabel tersebut dengan AI juga dapat tercermin dari nilai weight
matrix (WM).
Universitas Indonesia
Pada Gambar 4.16. dapat dilihat bahwa nilai WM antara durasi dengan AI sebesar
0,355 dan nilai WM antara masalah perilaku dengan AI sebesar 0,265. Kedua
variabel ini memiliki nilai WM yang paling besar dibandingkan variabel lainnya.
Hal tersebut sejalan dengan nilai OR pada Tabel 4.28. yang menunjukkan bahwa
durasi penggunaan internet dan masalah perilaku memiliki nilai OR yang paling
besar.
Tabel 4.28. menunjukkan nilai CM variabel-variabel yang ada pada Gambar 4.16.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa AI memiliki nilai betweeness yang paling
besar. Hal tersebut berarti AI merupakan variabel yang paling penting dalam
jaringan hubungan antar variabel tersebut. Nilai kekuatan (strength) AI juga paling
tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa AI merupakan variabel yang kuat
berhubungan secara langsung dengan variabel lainnya.
Universitas Indonesia
Internet addiction test merupakan kuesioner skrining AI pertama di dunia dan sudah
divalidasi di berbagai negara, sedangkan CIAS adalah kuesioner yang
dikembangkan khusus untuk remaja. Ketiga kuesioner (KDAI, IAT dan CIAS)
tersebut menggunakan pendekatan deduktif dalam pengembangannya.18,39
Pendekatan deduktif dapat dilakukan dengan menggunakan landasan teori dan
pendapat para pakar. Internet addiction test dan CIAS dikembangkan berdasarkan
kesepakatan para ahli dalam DSM-IV, sedangkan KDAI menggunakan rujukan
diagnosis terbaru yaitu DSM-5 dan ICD-11. Kuesioner diagnostik adiksi internet
juga memasukkan pendapat para remaja mengenai AI. Hal tersebut penting karena
remaja merupakan sasaran penggunaan KDAI.
Pada uji reliabilitas didapatkan nilai Cronbach’s alpha KDAI sebesar 0,942. Nilai
tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan KDAI yang tinggi. Kuesioner
diagnostik adiksi internet dapat memberikan hasil yang sama meskipun dilakukan
pada subjek dan waktu yang berbeda. Nilai Cronbach’s alpha KDAI lebih baik
dibandingkan IAT yang divalidasi oleh Widyanto─IAT versi Inggris18 (0,54─0,82)
dan sama baiknya dengan CIAS (0,94). Hal tersebut menggambarkan KDAI
memiliki keandalan yang lebih baik dibanding kuesioner lainnya.
Sebuah kuesioner juga harus memiliki validitas yang baik. Validitas terdiri atas
validitas internal dan eksternal. Uji validitas internal yang dilakukan pada KDAI
meliputi validitas isi dan konstruk, sedangkan IAT dan CIAS hanya melakukan uji
validitas konstruk. Kuesioner diagnostik adiksi internet melakukan uji validitas isi
yang mengikutsertakan populasi remaja sebagai pengguna kuesioner. Validitas isi
Universitas Indonesia
Uji validitas eksternal juga dilakukan dalam pengembangan KDAI. Uji validitas
eksternal pada KDAI meliputi validitas kesejajaran dan prediktif, sedangkan IAT
dan CIAS hanya memiliki uji validitas kesejajaran. Uji validitas kesejajaran pada
CIAS menggunakan wawancara klinis sebagai pembanding, sedangkan IAT
menggunakan kuesioner lain yaitu internet-related problem scale (IRPS). Pada sisi
lain, KDAI menggunakan IAT versi Indonesia (Cronbach’s alpha = 0,855) sebagai
pembanding. Internet addiction test versi Indonesia merupakan instrumen IAT
milik Young yang telah divalidasi pada populasi remaja di Indonesia. Pemilihan
IAT sebagai pembanding dalam uji validitas kesejajaran KDAI disebabkan IAT
merupakan kuesioner skrining AI yang paling sering digunakan di dunia. Kuesioner
IAT juga telah divalidasi di berbagai negara. Hal tersebut sangat sesuai dengan
tujuan pembuatan KDAI sebagai kuesioner skrining AI. Selain itu, konsensus
diagnosis AI juga belum ada sampai saat ini sehingga belum ada standar panduan
wawancara klinis AI. Hasil uji validitas kesejajaran menunjukkan korelasi antara
domain KDAI dan IAT versi Indonesia yang baik (r > 0,3). Hal tersebut berarti
KDAI dan IAT versi Indonesia mengukur hal yang sama, yaitu AI. Kuesioner
diagnostik adiksi internet lebih unggul untuk digunakan dalam mendeteksi AI pada
remaja di Indonesia dibandingkan dengan IAT versi Indonesia karena memiliki nilai
Cronbach’s alpha yang lebih tinggi dan dikembangkan berdasarkan karakteristik
remaja Indonesia.
Universitas Indonesia
Saat ini hanya KDAI yang telah mampu menggambarkan perubahan konektivitas
fungsional otak pada remaja dengan AI (validitas prediktif). Hal tersebut
memperlihatkan keunggulan KDAI dibandingkan dengan IAT. Gambaran
perubahan konektivitas fungsional otak dapat menjadi marka biologis AI pada
remaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KDAI memiliki nilai
kepraktisan dan ekonomis yang tinggi karena tidak diperlukan pemeriksaan rs-fMRI
BOLD dengan harga mahal untuk melihat perubahan konektivitas fungsional otak.
Universitas Indonesia
b. Toleransi
Efek toleransi biasanya terjadi pada individu yang menggunakan zat karena adanya
desensitisasi pada reseptor sehingga dibutuhkan jumlah zat yang lebih banyak
untuk menimbulkan efek yang diharapkan. Gejala toleransi pada AI sering
digambarkan sebagai peningkatan jumlah waktu dalam bermain internet.
Pada DSM-5 terdapat pertanyaan “apakah dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam
bermain permainan daring untuk mencapai kepuasan yang sama seperti
sebelumnya?” untuk menggambarkan gejala toleransi AI. Pada sisi lain, remaja
dengan AI sudah tidak dapat lagi meningkatkan jumlah waktu bermain internet
karena remaja sudah bermain internet dalam waktu yang sangat banyak. Griffith140
menyatakan bahwa gejala toleransi pada AI dapat berupa peningkatan alat atau jenis
permainan daring untuk mendapatkan kepuasan yang lebih. Akan tetapi, hal
tersebut dapat dibantah karena kondisi tersebut bergantung pada jenis permainan
daring yang dilakukan.140 Bila permainan daring yang dilakukan berorientasi pada
tujuan maka individu akan merasa bosan ketika tujuan sudah tercapai. Oleh karena
itu, gejala toleransi dianggap bukan gejala utama pada AI.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kuesioner diagnostik adiksi internet terbukti
lebih sahih dan andal dibanding IAT versi Indonesia sehingga hipotesis 1 diterima.
Kuesioner diagnostik adiksi internet dapat digunakan oleh orang tua dan guru untuk
melakukan deteksi dini AI pada remaja. Skrining AI dengan menggunakan KDAI
secara berkala di sekolah dapat dijadikan bagian dari program pencegahan AI pada
remaja. Skema penggunaan KDAI dapat dilihat di bawah ini:
Universitas Indonesia
Hasil analisis data pada penelitian ini menemukan adanya peningkatan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan anterior insula kiri, penurunan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan, serta penurunan konektivitas fungsional
antara LPFC kiri dan MPFC pada kelompok AI dibandingkan kelompok tidak AI.
Regio LPFC termasuk dalam CEN. Regio anterior insula termasuk dalam SN,
sedangkan Regio LP dan MPFC termasuk dalam DMN.152–154 Oleh karena itu,
perubahan konektivitas fungsional yang didapatkan dalam penelitian ini
menunjukkan adanya gangguan pada tiga jaringan fungsional otak yaitu CEN, SN
dan DMN pada kelompok remaja dengan AI.
Central executive network terdiri dari 4 regio utama yakni DLPFC, ACC, OFC dan
lateral posterior parietal cortex berperan dalam penyelesaian masalah, proses
kognitif, memori kerja, penalaran serta pengambilan keputusan.144 Dalam penelitian
ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional secara spesifik di regio
DLPFC pada kelompok dengan AI. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan
penurunan konektivitas fungsional pada PFC individu dengan AI.155–157
Universitas Indonesia
Default mode network terdiri atas 3 subdivisi yaitu VMPFC, DMPFC serta PCC,
prekuneus dan LP.153 Sistem DMN akan aktif saat individu sedang fokus secara
internal yakni ketika memikirkan tentang diri sendiri (informasi autobiografi,
kesadaran akan emosi yang sedang dirasakan, perencanaan di kemudian hari, dan
penilaian terhadap diri sendiri), dan ketika sedang memikirkan tentang orang lain
(empati, menilai emosi orang di sekitarnya, dan pemahaman moral dari suatu
kejadian).152
Salience network terdiri dari 2 bagian utama yaitu anterior insula dan dACC yang
berperan dalam proses komunikasi, relasi sosial dan kewaspadaan diri.154 Anterior
insula berfungsi untuk mendeteksi stimulus yang berkaitan dengan perilaku.
Anterior insula juga bertugas mengalihkan atensi dari fokus internal ke eksternal
setelah mendeteksi adanya stimulus eksternal dan dACC berperan setelahnya yakni
dalam pemilihan respons terhadap stimulus tersebut.154,161,162 Dalam penelitian ini
didapatkan perubahan konektivitas fungsional pada regio anterior insula dalam
kelompok AI. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang
menemukan peningkatan konektivitas fungsional antara AI dengan ACC, putamen,
girus angular, dan precuneus pada kelompok dengan adiksi permainan daring.163
Universitas Indonesia
fungsional antara dua jaringan yang sama pada adiksi kokain. Meskipun arah
perubahan konektivitas fungsional tidak sama, yakni dalam bentuk penurunan
konektivitas fungsional antara ACC (SN) dan DLPFC (CEN), namun hal tersebut
membuktikan bahwa adanya keterkaitan SN dan CEN dalam perilaku adiksi.164
Keterkaitan antara DMN dan CEN juga didapatkan dalam penelitian ini, didapatkan
penurunan konektivitas fungsional yang bermakna antara DMN (MPFC dan LP
kanan) dan CEN (LPFC) pada kelompok AI. Hal tersebut sejalan dengan penemuan
pada kelompok adiksi heroin yang menunjukkan adanya penurunan konektivitas
fungsional antara LPFC dan area parietal.164
Dalam pelaksanaan tugas yang membutuhkan fungsi kognitif, SN dan CEN akan
teraktivasi bersama, sedangkan DMN akan terinaktivasi. Salience network memiliki
peran penting dalam peralihan tugas antara CEN dan DMN yang dijalankan secara
spesifik oleh anterior insula.154,162 Kepustakaan juga menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antara pada SN, DMN dan CEN, dijelaskan sebagai model
triple network. Dalam model tersebut dijelaskan adanya disfungsi pada salah 1
jaringan dapat berdampak pada disfungsi pada 2 jaringan lainnya.148
Model gambaran interaksi antara CEN, DMN dan SN pada adiksi nikotin juga dapat
diterapkan pada AI. Interaksi ketiga jaringan fungsional ini selaras dengan hasil
penelitian ini yang mendapatkan adanya penurunan konektivitas fungsional antara
CEN dan DMN pada kelompok remaja dengan AI. Pada AI didapatkan bahwa
Universitas Indonesia
terjadi penurunan fungsi pada CEN sehingga menyebabkan gangguan pada kontrol
inhibisi.95,159 Gangguan juga terjadi pada SN dan DMN sehingga menyebabkan
kontrol yang tidak baik secara internal terhadap preokupasi dan menimbulkan
dorongan kuat untuk menggunakan internet.162
Penemuan lain pada penelitian ini ialah adanya peningkatan konektivitas fungsional
pada CEN dan SN. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan hasil pada penelitian
sebelumnya yaitu penggunaan internet dapat meningkatkan fungsi CEN pada
individu dengan AI terutama saat mengoperasikan program berbasis internet,
namun di sisi lain kontrol inhibisi akan semakin terganggu dan menyebabkan
individu tersebut mengalami kesulitan dalam mengontrol impulsivitasnya.159
Penelitian ini menunjukkan perbedaan konektivitas fungsional bermakna pada SN,
DMN dan CEN antara kelompok AI dan kelompok tidak AI sehingga hipotesis 2
diterima.
Selanjutnya, pada uji korelasi didapatkan korelasi positif yang bermakna antara
skor KDAI dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada
kelompok tidak AI, yang mengimplikasikan bahwa subjek dengan skor KDAI yang
lebih tinggi memiliki tingkat konektivitas fungsional yang lebih tinggi antara CEN
Universitas Indonesia
dan DMN. Korelasi negatif yang bermakna didapatkan antara skor KDAI dengan
konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI, subjek
dengan skor KDAI yang lebih tinggi memiliki tingkat konektivitas fungsional yang
lebih rendah antara CEN dan DMN.
Hasil ini memperlihatkan sebuah tren bahwa semakin tinggi skor KDAI pada
remaja tidak AI menghasilkan konektivitas fungsional antara CEN dan DMN yang
semakin kuat. Akan tetapi, pada remaja AI didapatkan semakin tinggi skor KDAI,
konektivitas fungsional antara CEN dan DMN semakin lemah. Hal tersebut dapat
dijelaskan karena umpan balik positif masih berlangsung pada remaja yang tidak
mengalami AI yaitu dengan terjadinya peningkatan aktivasi CEN dan DMN.
Peningkatan aktivitas tersebut berfungsi sebagai faktor proteksi untuk tidak jatuh
dalam kondisi adiksi. Pada kondisi tersebut, CEN dan DMN meningkatkan kontrol
inhibisi dan proses self referential. Akan tetapi, saat remaja jatuh dalam kondisi AI,
umpan balik tersebut mengalami disfungsi dan sebaliknya terjadi penurunan
aktivitas CEN dan DMN sehingga kontrol inhibisi dan self referential tidak terjadi.
Universitas Indonesia
Gambar 5.2. Perubahan Konektivitas Fungsional pada Remaja dengan Adiksi Internet
Penelitian ini melakukan analisis mediasi dan didapatkan bahwa fungsi eksekutif
bukan merupakan faktor yang memengaruhi hubungan antara skor KDAI dengan
konektivitas fungsional LPFC kiri dan LP kanan. Hal tersebut dapat dijelaskan
karena pada penelitian ini baik pada kelompok kontrol maupun adiksi terjadi
gangguan fungsi eksekutif.
Pada penelitian ini didapatkan 80% subjek mengalami gangguan fungsi eksekutif.
Profil subjek yang mengalami penurunan fungsi eksekutif mayoritas adalah usia
10–14 tahun/remaja awal (45,8%), memiliki masalah teman sebaya (60,4%), dan
durasi penggunaan internet lebih dari 20 jam / minggu. Gangguan fungsi eksekutif
pada remaja awal disebabkan oleh adanya proses synaptic pruning/pembabatan
sinaps, terutama pada bagian PFC yang berperan dalam mengatur fungsi eksekutif.
Pembabatan sinaps terjadi pada sinaps yang jarang digunakan. Hal tersebut
bertujuan untuk memberikan ruang pada sinaps yang sering digunakan untuk lebih
berkembang pada proses sinaptogenesis yang terjadi setelah fase remaja awal. Oleh
karena itu, pembabatan sinaps yang terjadi pada PFC menyebabkan gangguan
fungsi eksekutif pada remaja awal.166 Pada sisi lain, PFC remaja juga masih belum
matur sempurna karena proses mielinogenesis masih dalam tahap perkembangan.
Universitas Indonesia
Proses mielinogenesis terjadi dimulai dari bagian belakang otak lalu ke bagian
depan otak sehingga PFC menjadi bagian otak yang paling akhir mengalami
maturitas secara sempurna. Proses maturasi otak pada remaja baru akan sempurna
pada usia 25 tahun.167
Pada remaja awal terjadi perkembangan bagian otak yang berhubungan dengan
fungsi sosial. Bagian otak ini menjadi lebih sensitif dalam menilai ekspresi wajah
dan tingkah laku seseorang. Remaja cenderung menafsirkan tanggapan orang lain
terhadap dirinya. Pada sisi lain, kemampuan kognisi sosial pada remaja awal masih
belum berkembang secara sempurna. Hal tersebut menyebabkan remaja lebih
sering mengalami masalah sosial, salah satunya adalah masalah teman sebaya.167
Remaja sering mendapat tekanan dari teman sebayanya. Tekanan ini menjadi
stresor bagi diri remaja. Pada kondisi tersebut terjadi pelepasan hormon kortisol
(glukokortikoid) dan katekolamin.168,169 Pelepasan katekolamin meningkatkan
aktivitas reseptor α1 adrenergik sehingga neurotransmitter (norepinefrin)
meningkat. Peningkatan norepinefrin menyebabkan gangguan fungsi pada PFC
yang dikenal sebagai stres-induced PFC dysfunction.170 Hal tersebut menjelaskan
bahwa reaksi stres dapat menyebabkan gangguan fungsi eksekutif pada remaja.171
Remaja yang mengalami gangguan fungsi eksekutif pada penelitian ini juga
memiliki durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu. Hal tersebut menyebabkan
waktu tidur remaja berkurang. Pengurangan waktu tidur menyebabkan siklus tidur
terganggu. Pada fase Rapid Eye Movement (REM) dan Slow-Wave Sleep(SWS)
terjadi proses konsolidasi memori. Gangguan konsolidasi memori dapat
menyebabkan gangguan fungsi kognitif. Hal tersebut disebabkan konsolidasi
memori diperlukan dalam proses belajar dan mengerjakan tugas.172 Oleh karena itu,
remaja yang menggunakan internet > 20 jam / minggu dapat mengalami gangguan
fungsi eksekutif.
Dengan demikian, fungsi eksekutif remaja tidak perlu diperiksa untuk melihat
perubahan konektivitas fungsional otak pada remaja dengan AI. Perubahan
konektivitas fungsional otak telah terjadi pada AI tanpa dimediasi gangguan fungsi
eksekutif. Skor KDAI mampu menggambarkan perubahan konektivitas fungsional
otak yang terjadi pada AI.
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini remaja yang memiliki citra diri rendah sebesar 23,3%, dengan
mayoritas terdiri atas remaja awal dan pertengahan. Hal tersebut sejalan dengan
teori bahwa kelompok remaja awal banyak mengalami penurunan citra diri saat
memasuki masa pubertas.167 Hal tersebut disebabkan remaja merupakan suatu masa
transisi anak-anak menuju dewasa dan terjadi banyak perubahan yang mencakup;
(1) fisik, yang ditandai dengan perubahan bentuk tubuh dan muncul karakteristik
seksual sekunder; (2) kognisi, perubahan pola pikir menjadi formatif; (3) psikologis,
ditandai dengan berkurangnya waktu yang dihabiskan remaja dengan orang tua
dibandingkan dengan teman; (4) akademis, transisi di dunia sekolah juga dapat
menyebabkan stres bagi remaja; (5) perubahan hormon pada masa pubertas
membuat emosi menjadi tidak stabil. Perubahan aspek kehidupan remaja akan
ditanggapi dengan berbagai respons sosial yang dapat menyebabkan remaja rentan
menjadi minder dan tidak percaya diri.174,175
Pada penelitian ini didapatkan remaja perempuan lebih banyak memiliki citra diri
rendah dibandingkan remaja laki-laki. Perempuan pada masa remaja awal
cenderung memiliki citra diri yang lebih rendah dari laki-laki. Citra diri rendah
disebabkan karena remaja perempuan lebih memandang negatif dirinya, merasa
kemampuannya lebih rendah dari teman sebaya dan selalu merasa khawatir teman
sebaya tidak menyukainya. Hal tersebut membuat konsep diri menjadi tidak stabil.
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini didapatkan tujuan remaja laki-laki bermain permainan daring
adalah untuk berkompetisi dan menghadapi tantangan. Hal tersebut
menggambarkan temperamen novelty seeking. Remaja perempuan menggunakan
media sosial untuk mengunggah foto dan mereka menikmati pujian dari lingkungan
eksternal. Hal tersebut dapat mengompensasi citra diri yang rendah.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa remaja perempuan lebih banyak memiliki
masalah emosi dibandingkan remaja laki-laki. Hal tersebut serupa dengan
penemuan pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perempuan
cenderung lebih sering untuk menginternalisasi masalah sehingga mengalami
masalah emosi seperti depresi atau ansietas.178,179 Perubahan hormon pada
perempuan pada periode reproduktif tertentu juga dapat menjadi penyebab dari
kerentanan perempuan untuk mengalami masalah emosi.
Pada sisi lain, masalah perilaku pada penelitian ini lebih banyak didapatkan pada
remaja laki-laki. Masalah perilaku pada remaja laki-laki disebabkan oleh
kecenderungan mereka untuk mengeksternalisasi masalah yang dialaminya dengan
melakukan perilaku yang agresif.178,179 Perilaku agresif yang dilakukan seperti
melanggar peraturan atau melalaikan tanggung jawab yang dimilikinya. Hal
tersebut juga sejalan dan dapat menjelaskan penemuan bahwa masalah
Universitas Indonesia
hiperaktivitas lebih banyak didapatkan pada remaja laki-laki pada penelitian ini.
Beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan bahwa jumlah remaja yang
mengalami GPPH lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki.180 Masalah perilaku
pada remaja dikaitkan dengan citra diri yang rendah. Remaja dengan citra diri yang
rendah akan memiliki kontrol diri yang buruk. Kontrol diri yang buruk membuat
remaja rentan melakukan perilaku yang impulsif dan berisiko, termasuk AI.172
Pada penelitian ini didapatkan remaja laki-laki lebih banyak memiliki masalah
perilaku prososial. Perilaku prososial digambarkan sebagai rasa empati dan
kemampuan menolong orang di sekitarnya. Perilaku prososial membutuhkan
kontrol dan regulasi diri yang baik sebagai dasar konstruksi dimensi agreeableness
dan conscientiousness.181 Dimensi agreeableness ditandai dengan ketulusan
berbagi serta berfokus pada hal positif dari orang lain. Dimensi conscientiousness
ditandai dengan tanggung jawab besar dan kedisiplinan tinggi.182,183 Kedua dimensi
lebih banyak pada remaja perempuan sehingga menjelaskan mengapa remaja laki-
laki lebih rentan memiliki masalah perilaku prososial.181–183
Perilaku prososial juga terbukti memiliki asosiasi dengan hubungan teman sebaya.
Perilaku prososial dapat mencegah terjadinya masalah teman sebaya.133 Dalam
membina relasi, remaja laki-laki akan berorientasi pada kebutuhan yang jelas antara
dirinya dan teman sebayanya. Hal tersebut berbeda dengan remaja perempuan yang
menjadikan hubungan pertemanan sebagai sarana mendapatkan bantuan dan rasa
aman. Oleh karena itu remaja perempuan kerap memiliki pertemanan yang lebih
intim dan berkualitas dibandingkan laki-laki.21
Universitas Indonesia
merasa dunia daring adalah fantasi sehingga tidak akan menimbulkan keberbahayan
bagi orang lain; (iv) kita semua dalam posisi yang sama dan kita semua teman (we
are all equal and we are all friends)- remaja merasa dirinya memiliki posisi yang
sama dengan semua orang di dunia daring. Hal tersebut mengakibatkan mereka
merasa tidak adanya aturan dalam berinteraksi, sehingga perilaku agresif dapat
terjadi.172
Prevalensi AI yang tinggi pada remaja dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Penduduk urban memiliki akses yang lebih mudah terhadap
internet terutama karena jaringan internet 4G lebih mudah didapatkan.186 Pengguna
internet di Jakarta masuk dalam tiga besar penduduk terbanyak pengguna internet
di pulau Jawa. Berdasarkan populasi penduduk, remaja merupakan pengguna
internet terbanyak. Persentase remaja yang menggunakan internet sebesar 22,3%
dari populasi total. Kelompok remaja awal yang menggunakan internet sebesar 85,6%
sedangkan remaja pertengahan dan akhir sebesar 91,8%. Gawai yang secara rutin
digunakan setiap hari adalah telepon pintar. Kepemilikan telepon pintar oleh remaja
didukung oleh pengadaan telepon genggam 4G dengan harga terjangkau oleh
pemerintah.187
Universitas Indonesia
Kemudahan akses juga dapat dilihat dari awitan usia subjek menggunakan internet
≤ 8 tahun sebesar 67%. Dampak dari kemudahan akses adalah durasi waktu
penggunaan internet yang memanjang. Subjek pada penelitian ini mayoritas
bermain internet > 20 jam / minggu (66,9%). Penggunaan internet dengan tujuan
media sosial dan permainan daring berkorelasi positif dengan AI. Pada penelitian
ini tujuan utama penggunaan internet adalah media sosial (53,3%). Media sosial
berupa aplikasi chatting dan Instagram© terbanyak digunakan.
Remaja merupakan masa peralihan menuju dewasa dengan diwarnai fase transisi
secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Pada fase remaja terjadi perubahan
perspektif emosional, remaja mulai terlepas dari orang tua dan lebih memilih teman
sebaya sebagai figur yang penting. Remaja bergantung pada teman sebaya untuk
membentuk identitas diri mereka. Oleh karena itu penerimaan dari teman sebaya
sangat penting bagi remaja.167,188,189 Hal tersebut dapat menjelaskan mayoritas subjek
menggunakan internet untuk tujuan bermain media sosial dan permainan daring.
Remaja bermain media sosial dengan tujuan untuk mencari pertemanan (22,5%).
Media sosial yang terbanyak digunakan oleh remaja adalah Instagram©. Kegiatan
yang paling sering dilakukan remaja di media sosial adalah mengunggah foto. Pada
sisi lain, permainan daring yang dilakukan oleh subjek pada penelitian ini bertujuan
untuk mencari tantangan (42,5%) dan berkompetisi (9,9%).
Penggunaan media sosial dan bermain permainan daring pada remaja didasari atas
keinginan remaja untuk mengaktualisasi diri mereka. Remaja ingin selalu terlihat
menarik sehingga disukai oleh teman-temannya. Dengan demikian, remaja merasa
diakui keberadaannya ketika foto yang diunggah disukai oleh banyak teman sebaya.
Remaja juga merasa mendapat pengakuan dari teman sebaya saat ia menang dalam
permainan tersebut.
Universitas Indonesia
Pada sisi lain, pencarian identitas diri pada remaja dapat mengarah pada perilaku
yang berisiko termasuk AI. Hal tersebut terjadi karena remaja masih belum dapat
berpikir secara komprehensif akibat peralihan fungsi kognitif dari kongkrit menjadi
abstrak. Remaja juga belum memiliki kemampuan mengambil keputusan yang baik.
Gangguan fungsi eksekutif ini dapat terjadi karena pertumbuhan sinaps dan
mielinisasi belum optimal sehingga fungsi konektivitas antar bagian otak tidak
adekuat. Imaturitas PFC juga berakibat pada fungsi kontrol diri yang belum
maksimal.35,166,167 Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa sebanyak
80% subjek memiliki gangguan fungsi eksekutif yang sangat terkait dengan AI.
Pada fase remaja awal terjadi ketidakseimbangan fungsi limbik dan korteks
prefrontal membuat remaja melakukan perilaku yang impulsif, menjadi lebih
emosional, bereaksi berlebihan terhadap stres, dan sensitif terhadap reward system
yang meningkatkan dopamin. Kondisi ini membuat remaja mencari perilaku yang
dapat meningkatkan dopamin secara berlebihan. Salah satu perilaku tersebut adalah
bermain internet secara eksesif. Dengan bermain internet, remaja mampu
mengaktualisasikan dirinya sehingga menimbulkan rasa euforia memicu pelepasan
dopamin dan aktivasi reward system. Perasaan senang dan kepuasan yang didapat
ini membuat remaja ingin terus menggunakan internet untuk mendapatkan
Universitas Indonesia
Hal di atas dapat menjelaskan penemuan pada penelitian ini menunjukkan remaja
awal lebih banyak mengalami AI (47,7%) dengan durasi penggunaan internet
mayoritas > 20 jam / minggu. Hal tersebut sejalan dengan penelitian di Italia yang
mendapatkan remaja awal memiliki skor AI yang lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja akhir.190 Pada sisi lain, faktor lain yang membuat remaja awal lebih berisiko
mengalami AI adalah citra diri yang rendah (58%) sehingga remaja menggunakan
media daring untuk membentuk konsep diri yang baik.
Pada remaja di Jakarta stresor paling utama dapat berupa beratnya beban akademis
dan besarnya tekanan antar teman sebaya.191 Populasi remaja di negara Asia
mengalami persaingan akademis yang sangat kompetitif sehingga remaja
menggunakan internet untuk mengurangi stres akibat beban akademik tersebut.192
Pola asuh orang tua di negara Asia berbeda secara kultur dengan negara Barat.
Remaja di negara Asia dituntut untuk memiliki nilai akademik yang baik. Orang
tua memberikan dukungan yang lebih besar namun juga penuh kritik dan tuntutan
yang tinggi. Oleh karena itu remaja sering memandang diri lebih negatif dan
berusaha tampil sebagai anak yang baik di depan orang tua. Kondisi pembelajaran
di sekolah menjadi tantangan sendiri untuk remaja Asia. Guru lebih berfokus pada
kesalahan dan ketrampilan yang lebih diutamakan adalah berhitung.193
Remaja perkotaan juga mengalami tekanan dari teman sebaya yang lebih besar.
Remaja tersebut merasakan adanya suatu tekanan untuk dapat masuk ke dalam
kelompok pertemanan tertentu.194 Perilaku agresi antar teman sebaya juga banyak
terjadi pada remaja yang disebabkan oleh keinginan remaja untuk membuat teman
sebayanya terkesan dan meningkatkan status sosialnya di antara teman-
temannya.189,194 Besarnya tekanan dari teman sebaya tersebut membuat remaja
rentan mengalami gangguan psikologis bila tidak mampu memenuhi ekspektasi dan
menggunakan internet sebagai pelarian dari stres yang dialami.194
Pada penelitian ini didapatkan remaja dengan AI memiliki masalah emosi (46,1%),
masalah perilaku (25,3%), masalah teman sebaya (35,2%) dan masalah perilaku
Universitas Indonesia
prososial (20,8%). Masalah emosi terutama depresi menjadi salah satu prediktor
seorang remaja akan memiliki AI. Masalah depresi yang dialami oleh remaja di
Jakarta (48,2%) lebih tinggi dari di India (41,6%). Masalah perilaku yang dialami
oleh remaja di Jakarta lebih tinggi dibandingkan di Hongkong (1,7%). Rerata skor
masalah emosi dan perilaku remaja di Jakarta juga didapatkan lebih tinggi
dibandingkan remaja di Jepang dan Cina.195,196 Prevalensi penggunaan NAPZA di
Indonesia juga mencapai angka 24–28%. Penggunaan zat memiliki hubungan
dengan AI pada remaja.172,197
Remaja juga dikatakan menjadi sasaran utama dari iklan berbagai produk. Remaja
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mau mencoba produk yang
diiklankan tersebut. Remaja juga kelompok usia yang cenderung menghabiskan
uang dibandingkan kelompok lain. Penelitian di Inggris mendapatkan bahwa 62%
remaja membuka iklan yang ditemuinya di internet dan 57% remaja mengunduh
permainan daring setelah melihat iklannya.189,198 Pemerintah Indonesia belum
memiliki kebijakan yang membatasi penyebaran iklan permainan daring.
Permainan daring banyak diiklankan melalui situs-situs yang mudah dibuka oleh
remaja dan dapat diunggah secara gratis. Iklan permainan daring juga dimuat pada
transportasi publik. Pertumbuhan teknologi yang sangat maju diiringi dengan
kemampuan remaja untuk beradaptasi secara cepat namun sayangnya tidak diiringi
dengan ketrampilan remaja dalam berpikir secara komprehensif untuk mengambil
keputusan. Dengan demikian, remaja menjadi populasi yang sangat rentan
mengalami AI dibandingkan populasi usia lainnya.
Pada era masa kini, orang tua banyak yang “mendukung” penggunaan internet di
rumah karena orang tua merasa lebih tenang jika anak mereka bermain di dalam
rumah dibandingkan di luar rumah. Saat ini sangat dikenal istilah gadget as baby
sitter. Akan tetapi, orang tua kerap membiarkan anaknya bebas bermain internet di
rumah tanpa pengawasan yang baik, mulai dari durasi yang digunakan hingga
konten yang diakses sehingga dapat berujung pada kejadian AI. Pengawasan orang
tua merupakan faktor yang sangat penting terhadap terjadinya AI. Penggunaan
internet di dalam rumah oleh remaja memiliki risiko untuk menjadi AI bila kurang
mendapat pengawasan yang baik dari orang tua.199
Universitas Indonesia
Pada fase remaja awal juga terjadi masa perpisahan psikologis antara anak dengan
orang tua. Perpisahan psikologis ini dapat diperburuk dengan kurangnya perhatian
orang tua pada anak, sehingga menyebabkan keterikatan terhadap internet sebagai
salah satu mekanisme penyesuaian yang dipilih oleh remaja.173 Dengan demikian,
remaja pun menganggap bahwa internet adalah bagian dari hidupnya yang tidak
dapat lepas dari dirinya, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya AI.
Kelompok usia remaja awal juga mendapatkan kebebasan yang besar, semua waktu
serta kegiatan sosial tidak banyak dikontrol oleh orang tua.200 Dengan demikian,
remaja dapat mengalami pajanan internet yang tidak terbatas karena kurangnya
kontrol orang tua.
Subjek pada penelitian ini mayoritas bermain internet di rumah (91,1%). Akses
yang mudah dan tidak dibatasi membuat remaja memiliki durasi bermain internet
> 20 jam / minggu (66%). Pada penelitian ini didapatkan mayoritas subjek yang
mengalami AI memiliki kohesivitas keluarga dan pola asuh yang baik. Kohesivitas
keluarga yang baik sangat mungkin terjadi namun kehidupan kota besar sering
membuat remaja harus ditinggal oleh kedua orang tua untuk bekerja. Pada saat
orang tua bekerja maka remaja memiliki waktu yang lebih banyak bermain internet.
Pengawasan orang tua berkurang karena kesibukan dalam bekerja. Media sosial dan
aplikasi chatting membantu orang tua untuk lebih dekat dengan anak namun
kedekatan lebih bersifat virtual. Kedekatan virtual ini dapat diartikan sebagai
bentuk kohesivitas dan pola asuh yang baik oleh remaja.167
Kuesioner yang digunakan untuk menilai kohesivitas keluarga dan pola asuh pada
penelitian ini hanya diisi oleh remaja sehingga kondisi yang digambarkan subjektif
dari sisi remaja saja. Pada sisi lain didapatkan juga mayoritas pola asuh pada subjek
laki-laki yang mengalami AI adalah pola asuh jenis exposure (61,5%). Orang tua
memberikan dukungan namun penuh kritikan dan ekspektasi yang tinggi. Pola asuh
ini sesuai dengan kultur negara Asia. Pola asuh lain yang didapatkan adalah pola
asuh permisif, orang tua membiarkan remaja bertindak tanpa memberikan aturan
yang jelas. Pola asuh ini yang membuat remaja menjadi rentan untuk mengalami
AI.167,193 Hal tersebut tergambar pada durasi bermain internet > 20 jam dilakukan
oleh sebagian dari subjek laki-laki dan mereka melakukannya di rumah.
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini proporsi laki-laki yang mengalami AI lebih besar dari proporsi
perempuan (laki-laki: 51% dan perempuan: 49%). Proporsi yang tinggi pada laki-
laki sesuai dengan sebagian besar penelitian sebelumnya.204–207 Jenis kelamin
dikatakan dapat menjadi faktor risiko dalam AI. Salah satu faktor yang berpengaruh
adalah feminisasi di sekolah sehingga laki-laki sulit menjadi sukses dibandingkan
dengan perempuan. Kondisi tersebut membuat remaja laki-laki meregulasi emosi
mereka dengan bermain permainan daring.35,172,173 Perbedaan derajat gejala juga
terjadi pada laki-laki dan perempuan. Pada umumnya, laki-laki datang dengan
gejala AI yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut terjadi
karena perempuan lebih sadar akan gangguan yang dialaminya sehingga mereka
tidak sampai pada derajat yang berat. Oleh karena itu, laki-laki cenderung memiliki
AI lebih tinggi.
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini didapatkan subjek laki-laki yang mengalami adiksi memiliki
masalah emosi (42,1%) dan perilaku (56,3%). Kondisi berbeda terjadi pada subjek
perempuan yang memiliki lebih banyak masalah emosi (57,9%). Masalah perilaku
memiliki hubungan yang lebih bermakna dengan AI. Hal tersebut dapat
menjelaskan proporsi remaja laki-laki yang mengalami AI lebih tinggi dari remaja
perempuan. Masalah perilaku yang tinggi sejalan dengan bentuk coping dari remaja
laki laki yaitu eksternalisasi. Pada sisi lain, eksternalisasi dalam bentuk perilaku
agresif tidak dapat dilakukan dalam kehidupan nyata sehingga ia menggunakan
permainan daring sebagai bentuk eksternalisasi untuk mengeluarkan agresivitas.181
Hal tersebut sesuai dengan jenis permainan daring yang paling banyak digunakan
adalah jenis MOBA.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini juga didapatkan adanya beberapa faktor risiko atau proteksi yang
bermakna pada analisis bivariat, namun tidak bermakna pada analisis multivariat.
Faktor-faktor tersebut antara lain kohesivitas keluarga, masalah teman sebaya, jenis
kelamin, temperamen novelty seeking dan masalah hiperaktivitas.
Pada penelitian ini didapatkan 24,8% remaja dengan AI memiliki citra diri yang
rendah. Remaja dengan citra diri rendah berusaha untuk terus aktif di dalam dunia
virtualnya sehingga terjadi penggunaan internet secara kompulsif dan berujung
pada peningkatan risiko AI.211 Kecemasan akan timbul ketika remaja melewatkan
kejadian di dunia maya (Fear of Missing Out-FOMO).209,210
Semakin lama remaja bermain internet maka akan terjadi siklus adiksi. Penggunaan
internet untuk permainan daring dan media sosial akan menimbulkan rasa senang
Universitas Indonesia
Durasi bermain internet juga semakin bertambah seiring dengan semakin tinggi
keadaan sosial ekonomi seseorang. Remaja dengan keadaan sosial ekonomi orang
tua yang baik berkesempatan membeli permainan daring keluaran terbaru secara
berkala serta membeli barang-barang virtual yang ditawarkan dalam permainan
daring.10 Barang-barang virtual yang dibeli remaja dapat meningkatkan
kemampuan remaja dalam bermain permainan daring sehingga aktualisasi diri
remaja semakin diakui oleh teman sebayanya dan meningkatkan citra diri. Pada
akhirnya remaja memiliki durasi bermain internet yang semakin bertambah.172,173
Universitas Indonesia
sebanyak 1,8 kali. Tujuan penggunaan internet yang semakin interaktif membuat
remaja menjadi lebih rentan terhadap AI.209,210
Tujuan utama penggunaan internet remaja laki-laki pada penelitian ini adalah
permainan daring (95,7%). Motivasi remaja laki-laki untuk bermain permainan
daring adalah mendapatkan tantangan (40,8%), mencari kesenangan (28,2%), dan
berkompetisi (13,6%). Remaja laki-laki lebih menyukai kegiatan yang menantang
dan interaktif yang ditawarkan oleh permainan daring.35 Hal tersebut juga terkait
dengan temperamen novelty seeking yang dimiliki oleh 60,7% remaja laki-laki
dengan AI. Remaja juga dapat memperoleh eksistensi diri melalui permainan daring
yang dapat memenuhi gratifikasi narsisistiknya. Remaja merasa dapat menjadi role
model ketika ia sangat mahir dalam permainan daring, dan hal tersebut dapat
meningkatkan citra dirinya di antara kalangan teman sebayanya.5,6 Selain untuk
mendapatkan tantangan dan kompetisi, remaja juga dapat memiliki relasi dengan
teman sebaya melalui permainan daring. Aspek memiliki relasi menjadi salah satu
kebutuhan remaja dalam aspek psikososial.35
Jenis permainan daring yang berisiko tinggi untuk menimbulkan AI adalah MOBA
dan MMORPG. Hasil penelitian ini menunjukkan 26,7% remaja memilih
permainan MOBA dan 15,8% memilih MMORPG. Pada permainan tersebut remaja
dapat menunjukkan eksistensi dirinya pada komunitas virtual dan mengidentifikasi
diri dengan karakter dalam permainan (avatar). Kondisi ini dapat meningkatkan
citra diri dan kepercayaan diri (self efficacy).172 Pada saat remaja berprestasi dalam
permainan daring, remaja akan merasa dirinya menjadi penting (self important) di
antara teman sebaya. Hal tersebut menjadi motivasi remaja untuk meningkatkan
durasi bermain internet. 35,172
Universitas Indonesia
Remaja dengan masalah emosi tersebut lebih memilih komunikasi secara daring
karena remaja dapat mengontrol percakapan verbal dan tidak perlu memperhatikan
aspek nonverbal. Komunikasi daring bersifat tidak sinkron sehingga remaja dapat
merefleksikan dan mengubah yang mereka tulis sebelum mengirimkan lewat media
daring. Hal tersebut membuat remaja melakukan self presentation dalam figur yang
ideal.218 Fungsi kognitif remaja juga akan meningkat saat kecemasan berkurang
sehingga meningkatkan rasa kepercayaan diri remaja.172
Pada remaja dengan gangguan emosi juga didapatkan adanya kemampuan refleksi
diri yang rendah sehingga menyebabkan kehilangan kontrol dalam bermain internet.
Penggunaan internet berdampak pada proses modifikasi mood sehingga remaja
menjadikan internet sebagai pelarian atas masalah yang dihadapinya (self
medication).
Pada sisi lain, remaja tidak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara
matur pada kehidupan nyata sehingga remaja terus menggunakan internet untuk
menghilangkan mood yang negatif.172,173 Penggunaan internet untuk modifikasi
mood berhubungan bermakna dengan durasi bermain internet.217 Pada penelitian ini
didapatkan 60% remaja dengan AI memiliki masalah emosi. Masalah emosi lebih
banyak didapatkan pada remaja perempuan (57,9%). Hal tersebut terkait dengan
mekanisme coping internalisasi yang dilakukan oleh remaja perempuan.
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa 51% remaja dengan AI memiliki
masalah perilaku dan lebih banyak didapatkan pada remaja laki-laki (56,3%).
Masalah perilaku dapat meningkatkan risiko AI sampai dengan 2,5 kali lipat.
Masalah perilaku sering dialami remaja karena rendahnya kontrol regulasi diri yang
menyebabkan impulsivitas. Regulasi diri yang rendah juga menyebabkan gangguan
pada observasi diri sehingga terbentuk perilaku automatis yang mengarah pada
AI.172 Masalah perilaku juga timbul karena pada masa remaja perkembangan area
limbik lebih matur dari perkembangan area korteks prefrontal. Hal tersebut
mengakibatkan remaja menjadi kebih sensitif secara emosi namun belum memiliki
regulasi diri baik sehingga timbul perilaku yang impulsif.167
Masalah perilaku yang dinilai memiliki korelasi kuat dan dapat dijadikan prediktor
AI adalah perilaku agresif.219 Perilaku agresif semakin meningkat karena sifat
anonimitas pada saat remaja bermain internet. Anonimitas pada dunia maya
membuat remaja merasa tidak perlu bertanggung jawab akan perilakunya. Perilaku
agresivitas terbawa ke dunia nyata akibat adanya deindividuasi.28 Hal tersebut dapat
terjadi karena remaja belum memiliki kapasitas kontrol kognitif yang matur
sehingga moral reasoning remaja masih bersifat konvensional.172 Moral reasoning
konvensional membuat remaja menjadikan norma sosial yang dibentuk oleh teman
sebayanya sebagai landasan utama dalam berperilaku. Remaja cenderung
mengesampingkan nilai pribadi dan nilai dalam keluarga yang dimilikinya. Remaja
umumnya memiliki keinginan untuk dapat masuk ke dalam kelompok-kelompok
pertemanan tertentu sehingga penilaian dari teman sebaya menjadi sangat penting.
Adanya tekanan dari teman sebaya menyebabkan remaja lebih rentan pada perilaku
berisiko seperti penggunaan internet yang berlebihan.
Pada sisi lain, remaja yang tidak mampu mengikuti norma teman sebayanya akan
mengalami penolakan. Hal tersebut menyebabkan remaja kesulitan dalam
membangun relasi di dunia nyata sehingga memilih untuk membangun relasi di
dunia maya yang mengarah pada AI.167,219 Pada dunia maya remaja merasa dapat
melakukan apa saja karena bersifat anonim dan tidak memiliki aturan yang jelas.
Remaja berpikir dunia maya adalah fantasi sehingga tidak ada yang dirugikan
Universitas Indonesia
dengan perilakunya (it’s all in my head and it’s just a game). Pada penelitian ini
didapatkan 60% remaja dengan AI memiliki masalah teman sebaya.172
Pada penelitian ini remaja yang memiliki masalah perilaku prososial memiliki
risiko 1,8 kali lipat lebih besar untuk mengalami AI. Remaja dengan masalah
perilaku prososial memiliki rasa empati dan kemauan untuk menolong yang rendah.
Hal tersebut menyebabkan remaja tersebut sulit untuk masuk dalam kelompok
pertemanan. Masalah emosi juga dapat terjadi dengan remaja yang memiliki
masalah perilaku prososial. Dengan demikian, remaja menggunakan internet untuk
bersosialisasi, berinteraksi dan memodifikasi mood.172,215,218 Remaja mendapatkan
dukungan emosional dan psikologis melalui daring. Hal tersebut membuat remaja
takut tersingkir secara sosial dalam dunia virtual sehingga mereka akan daring terus
menerus. Masalah perilaku prososial remaja dapat dipengaruhi oleh pola asuh
dalam keluarga.173 Pola asuh yang bersifat terlalu mengontrol, tidak memfasilitasi
diskusi, dan tidak menanamkan rasa empati kepada orang lain membuat remaja
lebih berisiko mengalami masalah perilaku prososial.
Perubahan sistem dopaminergik sejak usia dini dapat mengubah fungsi sistem
limbik secara permanen. Hal tersebut meningkatkan kerentanan adiksi pada remaja
karena gangguan emosi yang terjadi.167 Remaja yang terpajan dengan internet sejak
usia dini dapat mengalami fiksasi dalam perkembangan psikososial. Remaja tidak
dapat menjalani fase industri secara optimal sehingga perkembangan psikologis
selanjutnya menjadi terganggu.173 Pada penelitian ini didapatkan 28,2% remaja
Universitas Indonesia
Pola asuh orang tua non-exposure memberikan autonomi pada remaja dengan
batasan tanggung jawab yang jelas serta memberikan kehangatan pada remaja. Pola
asuh ini lebih berfokus pada usaha dan pencapaian yang diperoleh oleh remaja.
Orang tua juga tidak menekankan rasa bersalah pada remaja sehingga remaja tidak
menginternalisasi masalah yang dialaminya. Internalisasi masalah pada remaja
dapat menyebabkan gangguan depresi, rendahnya rasa tanggung jawab dan masalah
akademis.223 Dengan demikian, remaja mampu memiliki kompetensi untuk
bertahan dalam menghadapi stres yang dialami sehingga tidak perlu menggunakan
internet untuk memodifikasi perasaan negatif.215,224,173
Pada penelitian ini didapatkan bahwa 70,7% remaja pada kelompok kontrol
memiliki pola asuh non-exposure, sedangkan pada kelompok AI hanya 29,3%
remaja dengan pola asuh non-exposure. Respons orang tua terhadap penggunaan
internet remaja sangat berpengaruh terhadap terjadinya AI. Orang tua yang
cenderung melakukan supervisi saat remaja menggunakan internet menjadi faktor
proteksi terjadinya AI. Intervensi orang tua harus disesuaikan dengan usia remaja.
Intervensi orang tua berupa supervisi lebih efektif pada remaja awal.172 Di samping
itu, pola asuh yang berkembang pada era digital ini adalah pola asuh yang
menjadikan gawai sebagai sarana dalam mengasuh anak. Hal tersebut menjadikan
perkenalan anak dengan gawai terjadi pada usia yang sangat dini.220–222 Perkenalan
dengan gawai pada usia dini menjadi faktor risiko anak mengalami AI.172
Universitas Indonesia
Selain itu pola komunikasi juga memiliki peran penting dalam membentuk
kohesivitas keluarga. Pola komunikasi dalam keluarga terbagi dua yaitu pola
komunikasi yang berorientasi konversasi dan konformitas. Pola komunikasi yang
berorientasi pada konversasi bersifat dua arah dan dapat bersifat proteksi terhadap
AI, sedangkan pola komunikasi konformitas cenderung bersifat satu arah dengan
kontrol dari orang tua sehingga menyebabkan berkurangnya citra diri individu serta
kurangnya dukungan dari keluarga. Hal tersebut pun berdampak pada berkurangnya
kecenderungan individu untuk mencari dukungan lain secara daring yang dapat
menimbulkan potensi menjadi AI.205–207 Lam dkk.172 menemukan bahwa remaja
dengan AI memiliki ketidakpuasan terhadap fungsi keluarga sebanyak dua kali lipat
dibandingkan dengan kelompok remaja tidak AI.
Pada fase remaja, teman sebaya memiliki arti yang sangat penting dibandingkan
dengan orang tua. Remaja merasa lebih senang menghabiskan waktu bersama
teman karena memiliki minat dan pemikiran yang sama sehingga dapat
memberikan dukungan emosional. Oleh karena itu remaja cenderung memiliki
teman sekelompok. Remaja menginginkan autonomi dalam mengambil keputusan
sehingga mereka cenderung menjauh dari orang tua. Proses pencarian identitas diri
remaja membuat mereka cenderung menghabiskan waktu lebih banyak dengan
Universitas Indonesia
Aktualisasi remaja dalam kelompok teman sebaya sangat penting sehingga mereka
sulit menolak ajakan temannya. Pada penelitian ini didapatkan tujuan utama
menggunakan internet adalah media sosial (53,3%) dan permainan daring (17,0%).
Oleh karena itu, teman sebaya memiliki peran penting bagi remaja dalam
menggunakan internet dengan tujuan media sosial dan permainan daring. Dengan
demikian, teman sebaya memiliki peran yang lebih besar dibandingkan keluarga
dalam terjadinya AI pada remaja.172 Hasil pada penelitian ini juga menunjukkan
92,1% remaja dengan AI memiliki kohesivitas keluarga yang sehat. Hal tersebut
menjelaskan bahwa kohesivitas keluarga bukan merupakan faktor utama terjadinya
AI pada remaja.
Pada sisi lain, remaja mengalami perkembangan autonomi emosi dan perilaku yang
belum matur. Remaja berada dalam proses pencarian identitas diri sehingga remaja
cenderung menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman sebayanya. Remaja
juga lebih mendengarkan opini teman sebayanya dibandingkan orang tuanya.
Remaja merasa teman mampu memberikan dukungan emosional yang lebih
dibandingkan orang tuanya.167,189 Dengan demikian, teman sebaya memiliki peran
yang lebih besar dibandingkan keluarga dalam terjadinya AI pada remaja. Hasil
pada penelitian ini juga menunjukkan 92,1% remaja dengan AI memiliki
kohesivitas keluarga yang sehat. Hal tersebut menjelaskan hasil analisis multivariat
yang mendapatkan kohesivitas keluarga bukan merupakan faktor utama terjadinya
AI pada remaja.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
rendah dalam melakukan suatu aktivitas. Remaja mudah merasa bosan sehingga
melakukan pergeseran aktivitas secara impulsif. Dengan demikian, remaja tersebut
memiliki kerentanan yang lebih rendah untuk mengalami AI.232
Universitas Indonesia
(a) Seorang remaja dengan tujuan penggunaan internet untuk bermain permainan
daring, durasi penggunaan internet 10 jam / minggu, awitan penggunaan
internet pada usia 10 tahun, tidak mengalami masalah emosi, masalah perilaku,
masalah perilaku prososial, dan memiliki pola asuh non-exposure.
Probabilitas remaja yang memiliki satu faktor risiko untuk mengalami AI adalah:
1
𝑝=
1 + 𝑒 −𝑦 dengan y = -2,4 + (0,6*1) + (1,1*0) + (0,6*0) + (0,7*0) +
(0,9*0) + (0,6*0) + (-0,7*1) = -2,5
1
=
1 + 𝑒 −(−2,5)
= 0,075
(5.2)
(b) Seorang remaja dengan tujuan penggunaan internet untuk bermain permainan
daring, durasi > 20 jam per minggu, awitan penggunaan internet pada usia 7
tahun, mengalami masalah emosi (depresi), masalah perilaku (tidak masuk
sekolah), masalah perilaku prososial (tidak ada keinginan untuk menolong
teman) dan memiliki pola asuh orang tua yang exposure.
Probabilitas remaja yang memiliki seluruh faktor risiko untuk mengalami AI adalah:
1
𝑝=
1 + 𝑒 −𝑦 dengan y = -2,4 + (0,6*1) + (1,1*1) + (0,6*1) + (0,7*1) +
(0,9*1) + (0,6*1) + (-0,7*0) = 2,1
1
= = 0,89
1 + 𝑒 −2,1
(5.3)
Universitas Indonesia
(c) Seorang remaja dengan tujuan penggunaan internet untuk menonton film, durasi
penggunaan internet 10 jam / minggu, awitan penggunaan internet pada usia 10
tahun, tidak mengalami masalah emosi, masalah perilaku, masalah perilaku
prososial, dan memiliki pola asuh non-exposure.
1
=
1 + 𝑒 −(−3,1)
= 0,04
(5.4)
Selanjutnya dapat dihitung besarnya peluang remaja yang memiliki faktor risiko
untuk mengalami AI dibandingkan dengan remaja tanpa faktor risiko. Besarnya
peluang seorang remaja untuk mengalami AI digambarkan melalui nilai RR dengan
rumus sebagai berikut:
(5.5)
Dengan demikian, peluang remaja (a) dan remaja (b) untuk mengalami AI
dibandingkan remaja (c) adalah:
0,075 0,89
(𝑎) 𝑅𝑅 = = 1,875 (𝑏) 𝑅𝑅 = 0,04 = 22,25
0,04
(5.6)
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peluang remaja untuk mengalami AI
berkisar dari 1,9 sampai 22,3 kali lebih besar dibandingkan remaja tanpa faktor
risiko.
Universitas Indonesia
pada remaja. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama yang lain. Faktor
individu yang terdiri atas masalah perilaku, masalah emosi dan masalah perilaku
prososial sangat terkait dengan pola asuh orang tua. Pola asuh yang memberikan
autonomi kepada remaja dengan aturan yang jelas serta kehangatan dapat membuat
citra diri remaja meningkat sehingga memiliki mekanisme coping yang baik dalam
bersosialisasi. Remaja dengan mekanisme coping yang baik dapat mengolah
turbulensi emosi saat remaja dengan optimal sehingga masalah emosi dan perilaku
tidak terjadi.
Pola asuh juga memengaruhi perilaku prososial remaja karena orang tua menjadi
role model anak dalam berperilaku. Peran orang tua dan guru sangat penting dalam
mengendalikan faktor situasional dan struktural yaitu usia pertama kali
menggunakan internet, tujuan penggunaan internet dan durasi penggunaan internet.
Tingkat kerusakan di area PFC bertambah besar seiring dengan semakin awal
pajanan internet pada remaja. Penggunaan internet dengan tujuan permainan daring
dan media sosial menimbulkan perasaan euforia yang menyebabkan suatu
reinforcement positif sehingga remaja menggunakan internet dengan durasi yang
lebih panjang. Dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa temperamen tidak
menjadi faktor risiko AI. Hal tersebut membuktikan adanya kontribusi yang besar
dari faktor situasional dan struktural pada terjadinya AI. Faktor individual yang
menjadi faktor risiko adalah masalah emosi dan perilaku, yang dapat dicegah
dengan modifikasi pada faktor situasional (pola asuh). Intervensi lebih mudah
dilakukan untuk memodifikasi kedua faktor ini dengan menerapkan program
pencegahan AI. Program pencegahan dan tata laksana yang adekuat dapat segera
diberikan pada remaja dengan mengenali faktor risiko AI. Program pencegahan AI
dapat dimulai dari rumah dan sekolah. Orang tua dan guru memiliki peran yang
sangat penting dalam program pencegahan AI pada remaja.
Universitas Indonesia
Subjek pada penelitian ini adalah remaja dari sekolah, sedangkan pada komunitas
terdapat kelompok remaja yang tidak bersekolah. Remaja yang tidak sekolah dapat
memberikan hasil yang berbeda terkait dengan perilaku bermain internet. Oleh
karena itu, selanjutnya dapat dilakukan penelitian dengan mengambil populasi
remaja yang tidak bersekolah.
Universitas Indonesia
Gambar 5.3. Skema Faktor Risiko dan Proteksi Adiksi Internet pada Remaja
Universitas Indonesia
6.1 Simpulan
Penelitian ini menghasilkan KDAI yang dapat digunakan bagi remaja dengan
model yang fit, memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang baik. Skor KDAI dapat
menggambarkan perubahan konektivitas fungsional otak remaja dengan AI.
Beberapa faktor risiko dan proteksi terjadinya AI pada remaja dapat diidentifikasi
pada penelitian ini. Simpulan penelitian disusun berdasarkan tujuan khusus
penelitian ini, sebagai berikut:
1. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki level of agreement yang baik
dengan nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90.
2. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki reliabilitas yang baik dengan
nilai Cronbach’s alpha 0,942 dan nilai corrected item total correlation > 0,3.
KDAI juga memiliki validitas konstruk yang baik dengan nilai muatan faktor
setiap pernyataan > 0,4 dan model goodness of fit sebagai berikut: p-value
< 0,001; RMSEA = 0,069; CFI = 0,95; AIC = 3842,60; TLI = 0,95; SRMR =
0,065.
3. Internet addiction test versi Indonesia memiliki reliabilitas yang baik dengan
nilai Cronbach’s alpha 0,855 dan nilai corrected item total correlation > 0,3.
Internet addiction test versi Indonesia memiliki validitas konstruk yang baik
dengan nilai muatan faktor setiap pernyataan > 0,4 dan model goodness of fit
sebagai berikut: p-value < 0,001; RMSEA = 0,066; CFI = 0,96; AIC = 596,50;
TLI = 0,96; SRMR = 0,048.
4. Nilai titik potong KDAI adalah 108, dengan AUC sebesar 92%, nilai
sensitivitas 91,8% dan spesifisitas 77,8%.
5. Skor KDAI mampu menggambarkan perbedaan konektivitas fungsional otak
antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok remaja AI dan tidak AI. Skor
KDAI berkorelasi positif dengan konektivitas fungsional otak antara LPFC kiri
dan LP kanan pada kelompok remaja AI dan berkorelasi negatif pada kelompok
remaja tidak AI.
6. Fungsi eksekutif tidak terbukti sebagai faktor yang memediasi efek dari skor
KDAI terhadap konektivitas fungsional otak antara regio LPFC kiri dan LP
kanan pada kelompok AI.
7. Prevalensi AI pada remaja di Jakarta sebesar 31,4%.
8. Faktor risiko AI adalah durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu, masalah
perilaku, tujuan penggunaan internet untuk media sosial dan permainan daring,
masalah emosi, usia awitan penggunaan internet ≤ 8 tahun, dan masalah perilaku
prososial. Faktor proteksi AI adalah pola asuh non-exposure.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan maka diajukan saran-saran sebagai
berikut:
6.2.1 Dalam Bidang Kebijakan Nasional
1. Melakukan advokasi lintas sektor yang meliputi Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan
Informatika dan Kementerian Perdagangan dalam menyusun kebijakan
pencegahan AI. Kebijakan tersebut diharapkan memuat edukasi AI dalam
berbagai media, menyediakan fasilitas laboratorium komputer untuk tugas
sekolah yang menggunakan internet sehingga meminimalisasi penggunaan
gawai pribadi di sekolah, regulasi penggunaan internet sesuai usia, dan
menyertakan label bahaya kesehatan pada iklan dan kemasan games/gawai.
2. Melakukan advokasi pada Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan
keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan skrining, diagnosis dan tata
laksana AI pada remaja, serta memasukkan diagnosis AI dalam Jaminan
Kesehatan Nasional agar tata laksana dapat dilakukan secara berkelanjutan.
3. Melakukan advokasi pada Kementerian Komunikasi dan Informatika
mengenai penyusunan kebijakan penggunaan internet yang sehat bagi remaja,
pembatasan konten yang berpotensi negatif, penonaktifan server daring pada
jam tidur malam, pembatasan usia untuk mengakses warung internet, dan
memberlakukan larangan untuk menggunakan anak dan remaja sebagai model
iklan games atau gawai.
4. Melakukan advokasi pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
mengenai penyusunan regulasi pajak untuk games dan gawai pintar.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
RINGKASAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi digital saat ini sangat pesat. Penggunaan jaringan internet
yang luas memberikan keuntungan, namun di sisi lain dapat menimbulkan risiko
jika digunakan berlebihan terutama pada remaja, salah satunya adiksi internet (AI).
Prevalensi AI di dunia berkisar 4,5–19,1% pada remaja dan 0,7–18,3% pada dewasa
muda. Adiksi Internet dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik, psikologis
dan sosial.
Pada saat ini, tidak ada baku emas untuk menilai adiksi internet. Instrumen skrining
AI pertama dikembangkan oleh Kimberly Young yang dinamakan internet
addiction test (IAT) dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Akan tetapi,
terdapat kekurangan alat ukur ini yaitu; (a) tidak mencantumkan durasi waktu (b)
kurang sesuai dengan kemajuan jaman digital saat ini; (c) IAT dibuat untuk populasi
dewasa, bukan remaja; (d) tidak dimasukkannya faktor bio-psiko-sosial.
Metode Penelitian
Tahap pengembangan KDAI terdiri atas: i) studi pustaka; ii) pengembangan butir
pernyataan KDAI melalui FGD dengan remaja; iii) teknik Delphi; iv) uji validitas
dan reliabilitas. Pengembangan KDAI berdasarkan pustaka didapatkan dari
Universitas Indonesia
penelusuran buku dan jurnal melalui pencarian elektronik. Setelah itu, dilakukan
FGD dengan remaja untuk mendapatkan masukan terkait pernyataan dalam KDAI.
Hasil FGD tersebut kemudian dinilai oleh 14 pakar yang terdiri atas psikiater anak
dan remaja, psikiater adiksi subspesialis adiksi NAPZA, psikiater adiksi
subspesialis adiksi perilaku, psikolog adiksi, dan psikolog ahli psikometri
menggunakan teknik Delphi sebanyak 3 putaran.
Penilaian validitas dan reliabilitas KDAI dilakukan dengan menggunakan uji coba
awal, skala penuh, dan lapangan. Uji coba awal mengikutsertakan 31 subjek. Subjek
pada uji coba awal mengevaluasi setiap pernyataan KDAI dalam FGD. Draft KDAI
dikonsultasikan ke ahli bahasa. Selanjutnya KDAI diberikan pada 385 subjek dalam
uji coba skala penuh. Hasil kemudian dianalisis menggunakan uji EFA dan CFA.
Setelah uji EFA dan CFA dilakukan uji coba skala penuh yang mengikutsertakan
643 subjek. Penilaian reliabilitas juga dilakukan pada KDAI dengan menilai
konsistensi internal yang tergambar dalam nilai Cronbach’s alpha. Penentuan titik
potong KDAI ditentukan menggunakan IAT sebagai pembanding. Penentuan titik
potong dilakukan dengan melihat kurva ROC. Berdasarkan hasil tersebut titik
potong akan ditentukan dengan melihat nilai sensitivitas dan spesifisitas terbaik.
KDAI yang sudah tervalidasi dengan baik dalam tahapan sebelumnya digunakan
untuk mencari prevalensi, faktor risiko dan proteksi AI. Subjek juga diminta untuk
mengisi kuesioner lain yang menilai berbagai faktor risiko dan proteksi yaitu faktor
demografis (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, durasi penggunaan jaringan
internet, tujuan penggunaan internet, lokasi penggunaan jaringan internet, usia
awitan penggunaan internet), faktor psikologis (masalah emosi, masalah perilaku,
gangguan hiperaktivitas, masalah dengan teman sebaya, masalah perilaku prososial,
Universitas Indonesia
citra diri), dan faktor sosial (kohesivitas keluarga, pola asuh orang tua). Penelusuran
faktor risiko dan proteksi dilakukan secara bivariat dan multivariat. Hasil variabel
yang terkait kemudian diikutsertakan dalam analisis networking psychometric
dengan program JASP©.
Pada uji coba awal didapatkan KDAI memiliki validitas dan reliabilitas yang baik
(Cronbach’s alpha 0,964). Kuesioner hasil uji coba awal dilanjutkan ke tahap uji
coba skala penuh yang mengikutsertakan 385 subjek. Uji EFA dan CFA dilakukan
untuk menilai validitas konstruk. Uji EFA sebanyak 4 kali menghasilkan 7 domain
(withdrawal, kehilangan kontrol, peningkatan prioritas, konsekuensi negatif,
modifikasi mood, salience, dan hendaya) yang terdiri atas 44 pernyataan dengan
muatan faktor > 0,4. Selanjutnya dilakukan uji CFA terhadap 643 subjek dan
didapatkan model hasil EFA memiliki goodness of fit yang paling baik (RMSEA
0,069; CFI 0,95; SRMR 0,065; TLI 0,95). Model hasil EFA memiliki nilai
Universitas Indonesia
reliabilitas yang baik (corrected item total correlation > 0,3; Cronbach’s alpha
0,942).
Selanjutnya dilakukan uji untuk menentukan titik potong dari KDAI. Berdasarkan
kurva ROC, didapatkan titik potong KDAI dengan IAT versi Indonesia paling
optimal pada skor 108 dengan AUC 92 %, sensitivitas 91,8 %, spesifisitas 77,8%,
positive likelihood ratio 4,13 dan negative likelihood ratio 0,11. Instrumen KDAI
terbukti menjadi instrumen skrining AI yang baik dengan nilai sensitivitas > 90%.
Berdasarkan penjelasan mengenai KDAI yang telah dijabarkan di atas, KDAI
memenuhi unsur instrumen yang baik yaitu unsur validitas, reliabilitas, objektivitas,
praktibilitas dan ekonomis.
Universitas Indonesia
menunjukkan adanya gangguan pada tiga jaringan fungsional otak yaitu CEN, SN
dan DMN pada kelompok remaja dengan AI.
Fungsi utama DMPFC untuk penilaian yang berbasis referensi diri sendiri (self-
referential judgment) sedangkan VMPFC berperan dalam penilaian terhadap
perilaku sosial, serta regulasi emosi, atensi dan motivasi. Lateral parietal berfungsi
untuk melakukan rekoleksi pengalaman di masa lalu dan akan digunakan dalam
proses self-referential judgment. Oleh karena itu, abnormalitas pada DMN yang
melibatkan regio tersebut dapat menyebabkan gangguan pada atensi dan proses
self-referential judgement sehingga berdampak pada terjadinya AI.
Anterior insula memiliki fungsi penting dalam mendeteksi stimulus yang berkaitan
dengan perilaku. Anterior insula kemudian bertugas mengalihkan atensi dari fokus
internal ke eksternal setelah mendeteksi adanya stimulus eksternal. Dalam
penelitian ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional pada anterior
insula dalam kelompok AI yang mengindikasikan adanya masalah dalam peralihan
tugas tersebut.
Universitas Indonesia
Hasil ini memperlihatkan sebuah tren bahwa semakin tinggi skor KDAI pada
remaja tidak AI menghasilkan konektivitas fungsional antara CEN dan DMN yang
semakin kuat. Akan tetapi, pada remaja AI didapatkan semakin tinggi skor KDAI,
konektivitas fungsional antara CEN dan DMN semakin lemah. Hal tersebut dapat
dijelaskan karena umpan balik positif mungkin masih berlangsung pada remaja
yang tidak mengalami AI yaitu dengan terjadinya peningkatan aktivasi CEN dan
DMN. Peningkatan aktivitas tersebut berfungsi sebagai faktor proteksi untuk tidak
jatuh dalam kondisi adiksi. Pada kondisi tersebut, CEN dan DMN meningkatkan
kontrol inhibisi dan proses self referential. Akan tetapi, saat remaja sudah jatuh
dalam kondisi AI, umpan balik tersebut mengalami disfungsi dan sebaliknya terjadi
penurunan aktivitas CEN dan DMN sehingga kontrol inhibisi dan self referential
tidak terjadi lagi. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki keunggulan
dibandingkan dengan kuesioner lain karena validitas prediktif KDAI dapat
memprediksi konektivitas fungsional otak. Pada sisi lain, interaksi antara skor IAT
dengan ketiga konektivitas fungsional yang ada juga menunjukkan hasil yang tidak
bermakna.
Pada penelitian ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional otak pada
regio LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI. Perubahan konektivitas
fungsional otak pada kelompok AI juga dapat dipengaruhi oleh penurunan fungsi
eksekutif. Oleh karena itu, dilakukan analisis mediasi untuk melihat efek tidak
langsung dari fungsi eksekutif dalam memediasi hubungan antara skor KDAI
dengan perubahan konektivitas fungsional otak. Hasil analisis mediasi
menunjukkan bahwa fungsi eksekutif tidak menjadi faktor yang memediasi
Universitas Indonesia
hubungan antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional otak pada regio LPFC
kiri dan LP kanan (IK95% = -0,0007─0,0009).
Penurunan fungsi eksekutif pada remaja awal (usia 10–14 tahun) disebabkan oleh
adanya proses synaptic pruning/pembabatan sinaps, terutama pada bagian PFC
yang berperan dalam mengatur fungsi eksekutif. Pada sisi lain, PFC remaja juga
masih belum matur sempurna karena proses mielinogenesis masih dalam tahap
perkembangan. Proses mielinogenesis terjadi dimulai dari bagian belakang otak
lalu ke bagian depan otak sehingga korteks prefrontal menjadi bagian otak yang
paling akhir mengalami maturitas secara sempurna.
Dengan demikian, fungsi eksekutif remaja tidak perlu diperiksa untuk melihat
perubahan konektivitas fungsional otak pada remaja dengan AI. Perubahan
konektivitas fungsional otak telah terjadi pada AI tanpa dimediasi gangguan fungsi
eksekutif.
Hasil analisis bivariat AI dengan berbagai faktor risiko dan proteksi menunjukkan
beberapa faktor yang bermakna. Selanjutnya, dilakukan analisis multivariat untuk
mengetahui faktor risiko dan proteksi yang paling berpengaruh terhadap terjadinya
Universitas Indonesia
AI. Hasil analisis menunjukkan model regresi logistik yang baik dan didapatkan 6
variabel yang menjadi faktor risiko yaitu durasi penggunaan internet (OR 2,889;
IK95%: 1,881–4,438), tujuan penggunaan internet (OR: 1,826; IK95%: 1,194–
2,791), usia awitan penggunaan internet (OR: 1,821; IK95%: 1,172–2,829),
masalah emosi (OR: 1,918; IK95%: 1,327–2,774), masalah perilaku (OR: 2,539;
IK95%: 1,736–3,712), dan masalah perilaku prososial (OR: 1,758; IK95%: 1,155–
2,675). Pola asuh (OR: 0,518; IK95%: 0,309–0,867) merupakan faktor proteksi
dalam penelitian ini.
Tujuan penggunaan internet untuk memainkan permainan daring dan media sosial
dapat meningkatkan risiko AI sebanyak 1,8 kali. Beberapa permainan seperti
MOBA dan MMORPG membuat remaja semakin rentan mengalami AI. Pada
permainan tersebut remaja dapat menunjukkan eksistensi dirinya pada komunitas
virtual dan mengidentifikasi diri dengan karakter dalam permainan sehingga
meningkatkan citra diri dan self-efficacy remaja. Berbeda dengan remaja laki-laki,
remaja perempuan lebih mengalami adiksi terhadap media sosial. Media sosial
dapat digunakan untuk mencari identitas diri dengan melakukan penggambaran
citra diri mereka sebagai figur yang ia kagumi yang pada akhirnya akan mendapat
reward pada saat teman sebayanya memberikan apresiasi atas unggahan mereka.
Universitas Indonesia
Masalah emosi pada penelitian didapatkan berhubungan dengan AI. Hal tersebut
disebabkan dalam media komunikasi daring, remaja dapat mengontrol percakapan
verbal tanpa memperhatikan aspek nonverbal sehingga membuat remaja melakukan
self-presentation dalam figur yang ideal. Selain itu, remaja dengan gangguan emosi
memiliki kemampuan refleksi diri yang rendah sehingga kontrol terhadap perilaku
bermain internet rendah. Pada penelitian ini, masalah emosi lebih sering terjadi
pada remaja perempuan. Hal tersebut terkait dengan mekanisme coping
internalisasi yang dilakukan oleh remaja perempuan. Berbeda dengan remaja
perempuan, remaja laki-laki pada penelitian ini lebih banyak memiliki masalah
perilaku dan hal tersebut berhubungan dengan AI. Masalah perilaku sering dialami
remaja karena rendahnya kontrol regulasi diri yang menyebabkan impulsivitas dan
gangguan pada observasi diri yang berdampak pada terbentuknya perilaku otomatis
yang mengarah pada AI.
Perilaku agresif meningkatkan risiko AI akibat anonimitas yang diberikan pada saat
remaja bermain internet sehingga remaja merasa tidak perlu bertanggung jawab
akan perilakunya. Selain itu, remaja dengan masalah perilaku prososial juga lebih
rentan mengalami AI. Hal tersebut didasari oleh rasa empati dan kemauan
menolong yang rendah sehingga remaja sulit untuk masuk dalam kelompok
pertemanan sehingga lebih memilih melakukan relasi melalui media daring.
Pola asuh non-exposure didapatkan sebagai faktor proteksi AI. Pola asuh orang tua
menjadi dasar dalam pembentukan kepribadian, citra diri, fungsi emosi, dan
mekanisme menghadapi konflik pada remaja. Pola asuh non-exposure memberikan
autonomy pada remaja dengan batasan tanggung jawab yang jelas serta
memberikan kehangatan pada remaja. Selain itu, orang tua juga tidak menekankan
rasa bersalah pada remaja sehingga remaja tidak menginternalisasi masalah yang
dialaminya. Dengan demikian, remaja berkompeten untuk bertahan dalam
menghadapi stres yang dialami sehingga tidak menggunakan internet sebagai
pelarian untuk memodifikasi perasaan negatif.
Universitas Indonesia
Prevalensi AI yang tinggi pada penelitian ini menjadi dasar pembentukan program
pencegahan AI pada remaja. Program pencegahan meliputi deteksi dini AI secara
berkala dengan menggunakan KDAI serta penilaian faktor risiko sehingga
penatalaksanaan dapat dilakukan sedini mungkin. Program pencegahan dalam skala
nasional juga harus melibatkan pemerintah. Penelitian lebih lanjut mengenai AI
juga perlu dilakukan terutama untuk menelusuri penyebab dan modalitas tata
laksana AI yang optimal.
Universitas Indonesia
SUMMARY
Background
Technological advancements, including internet use, is escalating quickly at present.
Internet use can cause a risk of internet overuse, particularly in adolescents, and can
lead to internet addiction (IA). The prevalence of IA worldwide varies between 4.5–
19.1% in adolescents and 0.7–18.3% in young adults. IA is influenced by biological,
psychological, and social factors.
At this moment there is no gold standard regarding the diagnosis of IA and, hence,
a universal measuring instrument to accurately diagnose IA does not exist. Earliest
screening tools for IA was developed by Kimberly Young named Internet Addiction
Test (IAT). Although IAT has been translated in multiple countries and has good
internal validation, this instrument has a few drawbacks; (a) it does not list the
duration of time, (b) it does not quite correspond with the current advances of the
digital age; (c) the IAT was formed for adult populations; (d) it does not include
bio-psycho-social factors that influence the identification of IA in adolescents.
Universitas Indonesia
Methods
Development KDAI was done through several steps: i) literature study; ii) focus
group discussion (FGD); iii) Delphi technique; iv) validity and reliability testing.
Questions and domains of KDAI were developed from several literature sources,
e.g. books, journals through search engines (PUBMED®, Scopus® dan ProQuest®).
Afterwards, FGD was held in order to accommodate adolescent’s aspirations.
Questions and domains were collected and evaluated by 14 experts (child and
adolescent psychiatrist, addiction psychiatrist, behavioral addiction psychiatrist,
addiction psychologist, and psychometry psychologist) using the Delphi technique.
Delphi technique was conducted for 3 rounds.
Validity and reliability testing were divided into three steps. First, a pilot study with
31 adolescent subjects was conducted. The duration of time in KDAI was 12 months
and corresponded to gaming disorder criteria in DSM-5 and ICD-11. Subsequently,
FGD was conducted to evaluate their attitude and difficulties they experienced
while they were filling KDAI. After consulting with a linguist, KDAI was retested
in a larger population (385 subjects). The results were then analyzed using EFA and
CFA. Using the rule of thumb, subjects were increased to 643 subjects for CFA.
Reliability was evaluated by calculated internal consistency (Cronbach’s alpha)
The cut-off for KDAI was determined by using IAT for comparison. The ROC
curve was created in order to determine the cut-off for KDAI. From the ROC curve,
the cut-off selected by looking at sensitivity, specificity, and Youden index.
Universitas Indonesia
The content and construct validity of KDAI, along with reliability of KDAI in the
pilot study were found to be satisfying, with Cronbach’s alpha 0.964. Afterward,
KDAI was tested in a larger population to be analyzed using EFA and CFA.
Exploratory factor analysis was done 4 times and generated 7 domains (withdrawal,
loss of control, an increase of priority, negative consequence, mood modification,
salience, and impairment) with 44 questions. Furthermore, CFA was conducted
with 643 subjects and the model from EFA had the best goodness of fit (RMSEA
0.069; CFI 0.95; SRMR 0.065; TLI 0.95) and good reliability (Cronbach alpha
0.943). Therefore, KDAI was found to be a valid and reliable instrument to evaluate
IA.
Universitas Indonesia
According to the ROC curve, the optimal cut-off for KDAI was 108 with AUC 92%,
sensitivity 91.8%, and specificity 77.8%. The positive likelihood ratio and negative
likelihood ratio of KDAI were 4.13 and 0.11 respectively. Based on the sensitivity
score, KDAI was proven as a good instrument for IA screening. To conclude, KDAI
is not only valid, reliable, and comparable with IAT, but also practical, convenient,
and economical.
The DLPFC region plays a role in the planning process, problem-solving, abstract
thinking, attention, verbal function, and inhibition control. Internet addicts have
dysfunction in inhibition control, thus they found difficulties in controlling their
excessive internet use behavior. Individual involvement in continuous IA behavior
will lead to exacerbation of their impulsivity, which makes them harder to control
their internet use.
Universitas Indonesia
This result showed a trend that increased KDAI score will lead to stronger
functional connectivity between CEN and DMN in non-addiction group. Yet, the
functional connectivity will become weaker after the adolescents experience IA. A
positive feedback mechanism will occur before the adolescent reaches into an IA
state by inducing activation of CEN and DMN. This enhancement was aimed to
improve the inhibition control and self-referential process, thus protecting
adolescents from IA. However, the compensation mechanism will stop and result
in decreased activity of CEN and DMN when the adolescent has reached the IA
state.
In this research, it was found that there was an alteration of functional connectivity
between left LPFC and right LP in the IA group. The functional connectivity
changes in the brain in the IA group also can be affected by executive function
impairment. Thus, mediation analysis was done to investigate the indirect effects
of executive function in mediating correlation between KDAI score and the
alteration of brain functional connectivity. The mediation analysis result revealed
that the executive function was not a significant predictor in mediating the effect of
Universitas Indonesia
the KDAI score and brain functional connectivity in left LPFC and right LP
(CI95% = -0.001–0.0008).
The result from bivariate analysis among IA and risk/protective factors showed
numerous factors that were correlated with IA. Furthermore, multivariate analysis
was performed and showed a good model of logistic regression and included 7
variables that correlated with internet addiction. The risk factors were duration of
internet use (OR 2.889; CI95%: 1.881–4.438), purpose of internet use (OR: 1.826;
CI95%: 1.194–2.791), onset of internet usage (OR: 1.821; CI95%: 1.172–2.829),
Universitas Indonesia
Duration of internet use more than 20 hours / week was proven to correlate with IA.
This phenomenon can be explained as increasing the time of internet usage
precipitates a cycle of addiction. Internet usage, especially for playing games and
social media would activate the reward system and triggered dopamine release. A
persistent increase of dopamine reduces the number of dopamine transporters and
receptors along with desensitizes dopamine receptors. Furthermore, activation of
the reward system creates incentive salience which increases the tendency to use
the internet and triggers compulsive behavior to use the internet.
Internet usage to play games and use social media increases the risk of IA by 1.8.
Boys mainly used the internet for playing online games. In addition, several online
games, e.g. MOBA and MMORPG, increases the risk of IA online games,
adolescents could show their self-existence in a virtual community and identify
their image as the game’s character which increases their self-esteem and self-
efficacy. On the contrary, girls prefer to use the internet for social media and
become addicted to social media due to its communicational aspects and the ability
for social media to provide a platform for them to project their ideal self and receive
rewards when their peer group appreciates them.
The age of onset (< 8 years old) was found to significantly correlate with and
increased the risk of IA. The development of the PFC region is not yet optimal
during adolescents. The earlier the onset of internet exposure, the greater damage
in the brain will be. Damage in PFC leads to impulsive behavior such as excessive
internet use. Alteration of the dopaminergic system from an early age can also alter
the limbic system function permanently. Thus, it increases the tendency of IA due
to emotional problems.
This study found emotional problems correlated with IA. Emotional problems most
often linked to IA were anxiety, depression, and loneliness. This can be due to
online gaming communication media, where adolescents can control verbal
Universitas Indonesia
Conversely, adolescent boys in this study had a higher correlation with conduct
disorder in their IA. Conduct disorder are often found in adolescents due to their
low self-regulation that causes impulsivity and problems in self-observation that
subsequently affects automatic behaviour leading to IA. Specifically, aggressive
behavioural problems heighten the risk for IA due to the anonymity provided by
online games, leading adolescents to believe that they have no responsibilities
towards their behaviour. Moreover, adolescents with prosocial behavioural
problems are also more susceptible to experience IA. This is based on low levels of
empathy and the ability to help, which creates a barrier for adolescents to make
friendships in real life and instead makes them choose online gaming media to
create social connections.
Unlike several factors that correlate with IA, parenting styles with non-exposure
characteristics were found to be protective factors in this study. Parenting styles are
the basis for personality development, self-image, emotional function and conflict-
facing mechanisms in adolescents. Non-exposure parenting styles provide
autonomy, a clear sense of responsibility, as well as warmth to adolescents.
Furthermore, this specific type of parenting does not place guilt on their children
and by doing so avoids internalization of issues in adolescents. Subsequently,
adolescents are more competent to deal with stress and do not use the internet as
escapism to modify negative feelings.
The factors mentioned above influence IA on different levels. Based on the logistic
regression results, a logistical regression equation can be made to predict the
probability of an adolescent to experience internet addiction.
Universitas Indonesia
This study resulted in the instrument of KDAI which has a fit model, good
reliability and validity values, and a good level of agreement with CVR > 0.51 dan
CVI > 0.90. The KDAI also has good validity and construct (loading factor > 0.4
with a good fit) as well as good reliability (Cronbach’s alpha 0.942). These
characteristics result in KDAI having good psychometric scores. The cut-off of
KDAI, 108, provides high AUC scores, sensitivity, and specificity. It can be
concluded that the cut-off of KDAI is appropriate to assess IA in Indonesia.
Based on this study, a few measures can be implemented. Firstly, the high
prevalence of IA found in this study increases the need for IA risk assessments,
early detection of IA using KDAI, as well as the formation of prevention programs
for IA in adolescents. Secondly, the establishment of a behavioural addiction
module, specifically for IA, is required to provide treatment as early as possible.
Lastly, studies regarding IA need to be made, particularly to find its cause and
optimal treatment for AI.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
58. Karim AKMR, Nigar N. The internet addiction test: assessing its
psychometric properties in bangladesh culture. Asian J Psychiatry.
2014;10:75–83.
59. Conti MA, Jardim AP, Hearst N, Cordás TA, Tavares H, Abreu CN de.
Avaliação da equivalência semântica e consistência interna de uma versão
em português do internet addiction test (IAT). Arch Clin Psychiatry São
Paulo. 2012;39(3):106–10.
60. Stavropoulos V, Alexandraki K, Motti F. Recognizing internet addiction:
prevalence and relationship to academic achievement in adolescents enrolled
in urban and rural greek high schools. J Adolesc. 2013;36(3): 565─76.
61. Meerkerk GJ, Van Den Eijnden RJJM, Vermulst AA, Garretsen HFL. The
compulsive internet use scale (CIUS): some psychometric properties.
Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual Real Behav Soc.
2009;12(1):1–6.
62. Caplan SE. Problematic Internet use and psychosocial well-being:
development of a theory-based cognitive-behavioral measurement
instrument. Comput Hum Behav. 2002;18:553–75.
63. Caplan SE. Theory and measurement of generalized problematic internet use:
a two-stepapproach. Comput Hum Behav. 2010;26(5):1089–97.
64. Kim DI, Chung YJ, Lee EA, Kim DM, Cho YM. Development of internet
addiction proneness scale-short form (KS scale). Korea J Couns.
2008;9:1703–22.
65. Lopez-Fernandez O, Freixa-Blanxart M, Honrubia-Serrano ML. The
problematic internet entertainment use scale for adolescents: prevalence of
problem internet use in spanish high school students. Cyberpsychology
Behav Soc Netw. 2013;16(2):108–18.
66. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition: DSM-IV-TR®. Washington, D.C:
American Psychiatric Association; 2000.
67. Xu J, Shen L, Yan C, Hu H, Yang F, Wang L, et al. Personal characteristics
related to the risk of adolescent internet addiction: a survey in shanghai, china.
BMC Public Health. 2012;12(1):1106.
68. Beranuy M, Oberst U, Carbonell X, Chamarro A. Problematic internet and
mobile phone use and clinical symptoms in college students: the role of
emotional intelligence. Comput Hum Behav. 2009;25(5):1182–7.
69. Sun P, Johnson CA, Palmer P, Arpawong TE, Unger JB, Xie B, et al.
Concurrent and predictive relationships between compulsive internet use and
substance use: findings from vocational high school students in china and the
USA. Int J Environ Res Public Health. 2012;9(3):660–73.
70. Liu TC, Desai RA, Krishnan-Sarin S, Cavallo DA, Potenza MN. Problematic
internet use and health in adolescents: data from a high school survey in
connecticut. J Clin Psychiatry. 2011;72(6):836–45.
Universitas Indonesia
71. Bener A, Al-Mahdi HS, Ali AI, Al-Nufal M, Vachhani PJ, Tewfik I. Obesity
and low vision as a result of excessive internet use and television viewing.
Int J Food Sci Nutr. 2011;62(1):60–2.
72. Mythily S, Qiu S, Winslow M. Prevalence and correlates of excessive
internet use among youth in singapore. Ann Acad Med Singapore.
2008;37(1):9–14.
73. Wölfling K, Müller K, Beutel M. In: Diagnostic measures: scale for the
assessment of internet and computer game addiction (AICAS). In: Mücken
D, Teske A, Rehbein F, te Wildt B, editors. Prevention, diagnostics, and
therapy of computer game addiction. Lengerich: Pabst Science; 2010. p.
212–5.
74. Thatcher A, Goolam S. Development and psychometric properties of the
problematic internet use questionnaire. South Afr J Psychol.
2005;35(4):793–809.
75. Demetrovics Z, Szeredi B, Rózsa S. The three-factor model of internet
addiction: the development of the problematic internet use questionnaire.
Behav Res Methods. 2008;40(2):563–74.
76. Ceyhan E, Ceyhan AA, Gurcan A. The validity and reliability of the
problematic internet usage scale. Educ Sci Theory Pract. 2007;7(1):411–6.
77. Huang Z, Wang M, Qian M, Zhong J, Tao R. Chinese internet addiction
inventory: developing a measure of problematic internet use for chinese
college students. Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual
Real Behav Soc. 2007;10(6):805–11.
78. Bergmark KH, Bergmark A, Findahl O. Extensive internet involvement—
addiction OR emerging lifestyle?. Int J Environ Res Public Health. 2011
Dec;8(12):4488–501.
79. Beutel ME, Brähler E, Glaesmer H, Kuss DJ, Wölfling K, Müller KW.
Regular and problematic leisure-time internet use in the community: results
from a german population-based survey. Cyberpsychology Behav Soc Netw.
2011 May;14(5):291–6.
80. Cho H, Kwon M, Choi JH, Lee SK, Choi JS, Choi SW, et al. Development
of the internet addiction scale based on the internet gaming disorder criteria
suggested in DSM-5. Addict Behav. 2014 Sep;39(9):1361–6.
81. Adrian, Ekowati AL, Suryani E. Gambaran masalah emosi dan perilaku pada
pelajar SMA Regina Pacis Jakarta dengan Adiksi Internet. Damianus J Med.
2014;13:199–207.
82. Koob GF, Arends MA, Le Moal M. Drugs, addiction, and the brain [Internet].
Oxford: Academic Press; 2014 [cited 2019 Jul 24]. Available from:
http://www.myilibrary.com?id= 627103.
83. Kurniasanti KS, Assandi P, Ismail RI, Nasrun MWS, Wiguna T. Internet
addiction: a new addiction? Med J Indones. 2019;28(1):82–91.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
112. Strudwicke L. Sense of belonging and self-esteem : what are the implications
for educational outcomes of secondary school students? : a literature review
[Thesis]. Joondalup: Edith Cowan University; 2000.
113. Kim HK, Davis KE. Toward a comprehensive theory of problematic internet
use: evaluating the role of self-esteem, anxiety, flow, and the self-rated
importance of internet activities. Comput Hum Behav. 2009;25(2):490–500.
114. Yang SC, Tung CJ. Comparison of internet addicts and non-addicts in
taiwanese high school. Comput Hum Behav. 2007;23(1):79–96.
115. Douglas AC, Mills JE, Niang M, Stepchenkova S, Byun S, Ruffini C, et al.
Internet addiction: meta-synthesis of qualitative research for the decade
1996–2006. Comput Hum Behav. 2008 Sep 17;24(6):3027–44.
116. Aydın B, Sari S. Internet addiction among adolescents: the role of self-
esteem. Procedia Soc Behav Sci. 2011;15:3500–5.
117. Bozoglan B, Demirer V, Sahin I. Loneliness, self-esteem, and life
satisfaction as predictors of internet addiction: a cross-sectional study among
turkish university students. Scand J Psychol. 2013;54(4):313–9.
118. Cowen P, Harrison P, Burns T. Shorter oxford textbook of psychiatry.
Oxford: OUP; 2012.
119. Jia R, Jia HH. Maybe you should blame your parents: parental attachment,
gender, and problematic Internet use. J Behav Addict. 2016; 5(3):524–8.
120. Galvin KM, Braithwaite DO, Bylund CL. Family communication: cohesion
and change. New York: Routledge; 2015.
121. Olson DH. Circumplex model of marital and family systems. J Fam Ther.
2000;22(2):144–67.
122. Epstein NB, Baldwin LM, Bishop DS. The mcmaster family assessment
device. J Marital Fam Ther. 1983;9(2):171–80.
123. Ratner K. Boundaries: the relationships among family structure, identity
style, and psychopathology [thesis]. Florida: University of Central Florida;
2015.
124. Cacioppo JT, Freberg L. Discovering psychology: the science of mind.
Belmont, CA: Wadsworth; 2013.
125. Karapetsas AV, Fotis A, Zygouris N. Adolescents and internet addiction: a
research study of the occurrence. Encephalos. 2012;49:67–72.
126. Lee JY, Shin KM, Cho SM, Shin YM. Psychosocial risk factors associated
with internet addiction in korea. Psychiatry Investig. 2014;11(4):380–6.
127. Leung L, Lee PSN. The influences of information literacy, internet addiction
and parenting styles on internet risks. New Media Soc. 2012;14(1):117–36.
128. Dogan H, Bozgeyikli H, Bozdas C. Perceived parenting styles as predictor
of internet addiction in adolescence. Int J Res Educ Sci. 2015;1:167.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
142. King DL, Delfabbro PH, Zwaans T, Kaptsis D. Clinical features and axis i
comorbidity of australian adolescent pathological internet and video game
users. Aust N Z J Psychiatry. 2013;47(11):1058–67.
143. Gogtay NJ, Thatte UM. Statistical evaluation of diagnostic tests (part 1):
sensitivity, ;specificity, positive and negative predictive values. J Assoc
Physicians India. 2017;65(6):80–4.
144. Seok JW, Sohn JH. Altered functional disconnectivity in internet addicts
with resting-state functional magnetic resonance imaging. J Ergon Soc Korea.
2014;33:377–86.
145. Fujiwara H, Yoshimura S, Kobayashi K, Ueno T, Oishi N, Murai T. Neural
correlates of non-clinical internet use in the motivation network and its
modulation by subclinical autistic traits. Front Hum Neurosci. 2018;12:493.
146. Dong G, Lin X, Potenza MN. Decreased functional connectivity in an
executive control network is related to impaired executive function in
internet gaming disorder. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry.
2015;57:76–85.
147. Rogers BP, Morgan VL, Newton AT, Gore JC. Assessing functional
connectivity in the human brain by fMRI. Magn Reson Imaging.
2007;25(10):1347–57.
148. Wang L, Shen H, Lei Y, Zeng LL, Cao F, Su L, et al. Altered default mode,
fronto-parietal and salience networks in adolescents with internet addiction.
Addict Behav. 2017;70:1–6.
149. Lin F, Zhou Y, Du Y, Zhao Z, Qin L, Xu J, et al. Aberrant corticostriatal
functional circuits in adolescents with internet addiction disorder. Front Hum
Neurosci. 2015; 9: 356.
150. Shafiei G, Zeighami Y, Clark CA, Coull JT, Nagano-Saito A, Leyton M, et
al. Dopamine signaling modulates the stability and integration of intrinsic
brain networks. Cereb Cortex. 2019;29(1):397–409.
151. Weinstein AM. An update overview on brain imaging studies of internet
gaming disorder. Front Psychiatry. 2017;8:185.
152. Stanislavski K. Neurobiology, creativity, and performing artists. In:
Thomson P, Jaque SV. Creativity and the performing artist: behind the mask,
a volume in explorations in creativity research. London: Academic Press;
2017. p. 79─102.
153. Raichle ME. The brain’s default mode network. Annu Rev Neurosci.
2015;38:433–47.
154. Menon V. Salience network. In: Toga AW. Brain mapping. Philadelphia:
Elsevier; 2015. p. 597─611.
155. Hong SB, Zalesky A, Cocchi L, Fornito A, Choi E-J, Kim HH, et al.
Decreased functional brain connectivity in adolescents with internet
addiction. PLOS ONE. 2013;8(2):e57831.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
231. An H, Chung S, Park J, Kim SY, Kim KM, Kim KS. Novelty-seeking and
avoidant coping strategies are associated with academic stress in korean
medical students. Psychiatry Res. 2012;200(2–3):464–8.
232. Hanafi E, Siste K, Wiguna T, Kusumadewi I, Nasrun MW. Temperament
profile and its association with the vulnerability to smartphone addiction of
medical students in Indonesia. PLOS ONE. 2019;14(7):e0212244.
233. Ho RC, Zhang MWB, Tsang TY, Toh AH, Pan F, Lu Y, et al. The association
between internet addiction and psychiatric co-morbidity: a meta-analysis.
BMC Psychiatry. 2014;14(183):1─10.
234. Chen YL, Chen SH, Gau SSF. ADHD and autistic traits, family function,
parenting style, and social adjustment for internet addiction among children and
adolescents in taiwan: a longitudinal study. Res Dev Disabil. 2015;39:20–31.
235. Campbell SB, Stauffenberg C von. Delay and inhibition as early predictors of
ADHD symptoms in third grade. J Abnorm Child Psychol. 2008;37:1–15.
236. Wiguna T, Ismail RI, Winarsih NS, Kaligis F, Hapsari A, Budiyanti L, et al.
Dopamine transporter gene polymorphism in children with ADHD: a pilot
study in indonesian samples. Asian J Psychiatry. 2017;29:35–8
Universitas Indonesia
Routine
Slice group 1 Adjust volume
Slices 30 Position Isocenter
Dist. Factor 0 [%] Orientation Transversal
Position Isocenter Rotation 0 [deg]
Orientation Axial R >> L 256 [mm]
Phase enc. dir. R >> L A >> P 192 [mm]
Rotation 0 [deg] F >> H 120 [mm]
Phase oversampling 0 [%]
FoV read 256 [mm] Physio
FoV phase 80 [%] 1st Signal/Mode None
Slice thickness 4 [mm]
TR 2000 [ms] BOLD
TE 30 [ms] t-Test 0
Averages 1 Treshold 4.00
Concatenantions 1 Window Growing
Filter None Dynamic t-maps 0
Coil Elements PH1, PH2, PH3, … Starting ignore meas 0
Paradigm size 20
Contrast Meas[1] Baseline
MTC 0 Meas[2] Active
Flip angle 90 [deg] Meas[3] Ignore
Reconstruction Magnitude Meas[4] Ignore
Fat suppr. Fat sat. Meas[5] Ignore
Measurements 190 Meas[6] Ignore
Delay in TR 0 [ms] Meas[7] Ignore
Multiple series 0 Meas[8] Ignore
Meas[8] Ignore
Resolution Meas[9] Ignore
Base Resolution 64 Meas[10] Ignore
Phase Resolution 100 [%] Meas[11] Ignore
Phase partial Fourier Off Meas[12] Ignore
Filter 1 Meas[13] Ignore
Raw filter Off Meas[14] Ignore
Interpolation 0 Meas[15] Ignore
PAT mode None Meas[16] Ignore
Meas[17] Ignore
Geometry Meas[18] Ignore
Multi-Slice mode Interleaved Meas[19] Ignore
Series Interleaved Meas[20] Ignore
Special sat. None Motion corrector 0
Spatial filter 0
System Sequence
Scan at current TP 0 Introduction 0
Scan region position H Averaging mode Longterm
Scan region position 0 [mm] Bandwidth 2004 [Hz/Px]
MSMA S-C-T Free echo spacing 0
Sagital R >> L Echo spacing 0.56 [ms]
Coronal A >> P EPI factor 48
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(lanjutan)
TE 1 5.30 ms Adjust with body 0
coil
TE 2 10.60 ms Confirm freq. 0
adjust
Averages 1 Assume Silicone 0
Concatenantions 1 ? Ref. amplitude 35.000 [V]
[1H]
Filter None Adjustment Auto
Tolerance
Coil Elements HEA;HEP Adjust volume
Position Isocenter
Contrast Orientation Transversal
MTC off Rotation 90.00 deg
Flip angle 60 deg A >> P 192 mm
Fat suppr. Fat sat. R >> L 192 mm
Averaging mode Long term F >> H 138 mm
Reconstruction Magnitude
Measurements 1 Sequence
Multiple series Each measurement Introduction On
Dimension 2D
Resolution Asymmetric echo Off
Base Resolution 128 Contrasts 2
Phase Resolution 100 [%] Bandwidth 260 Hz/Px
Phase partial Fourier Off Flow comp. Yes
Interpolation Off RF pulse type Nomal
Matrix Coil Mode Auto (CP) Gradient mode Nomal
RF spoiling On
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Concatenations 1 Ref. amplitude [1H] 35.000 [V]
Filter Elliptical filter Adjust volume
Coil elements PH1, PH2, PH3, … Position Isocenter
Orientation Transversal
Contrast Rotation 0 [deg]
Magn. Preparation Non-sel. IR R >> L 350 [mm]
TI 450 [ms] A >> P 263 [mm]
Flip angle 12 [deg] F >> H 350 [mm]
Reconstruction Magnitude
Fat suppr. None Physio
Water suppr. None 1st Signal/Mode None
Measurement 1 Dark blood 0
Resp. control Off
Resolution Inline
Base Resolution 256 Subtract 0
Phase Resolution 100 [%] Std-Dev-Sag 0
Slice resolution 75 [%] Std-Dev-Cor 0
Phase partial Fourier Off Std-Dev-Tra 0
Slice partial Fourier Off Std-Dev-Time 0
Filter 1 MIP-Sag 0
Raw filter Off MIP-Cor 0
Filter 2 MIP-Tra 0
Large FoV Off MIP-Time 0
Filter 3 Save original images 1
Normalize Off
Filter 4 Sequence
Elliptical filter On Introduction 1
Interpolation 0 Dimension 3D
PAT mode Acceleration Elliptical scanning 0
Accel. Factor PE 2 Averaging mode Longterm
Ref. lines PE 24 Asymmetric echo Allowed
Bandwidth 130 [Hz/Px]
Geometry Echo spacing 9.6 [ms]
Multi-Slice mode Single Shot RF pulse type Fast
Series Ascending Gradient mode Fast*
Excitation Stab-sel
System RF spoiling 1
Save uncombined 0
Scan at current TP 0
Scan region position H
Scan region position 0 [mm]
Universitas Indonesia
(lanjutan)
SIEMENS MAGNETOM Trio Syngo MR2004A - GE Discovery MR 750-60 cm Bore 3 Tesla
//USER/head/Psychiatry/DMN/bold_TR2.0_4mm_6min
Scan time: 4:20 Voxel size: 4.0x4.0x4.0 [mm] Rel. SNR: 1.00
SIEMENS: ep2d_pace (echo planar imaging gradient echo) (fMRI non brainwave)
(Protocol used was based on this siemens protocol but customized for our GE machine)
Universitas Indonesia
(lanjutan)
PAT mode None Meas[11] Ignore
Meas[12] Ignore
Geometry Meas[13] Ignore
Multi-Slice mode Interleaved Meas[14] Ignore
Series Interleaved Meas[15] Ignore
Special sat. None Meas[16] Ignore
Meas[17] Ignore
System Meas[18] Ignore
Scan at current TP 0 Meas[19] Ignore
Scan region position H Meas[20] Ignore
Scan region position 0 [mm] Motion corrector 0
MSMA S-C-T Spatial filter 0
Sagital R >> L
Coronal A >> P Sequence
Transversal F >> H Introduction 0
8 Channel Head / PH
5 1 Averaging mode Longterm
8 Channel Head / PH 2004 [Hz/P
6 1 Bandwidth x]
8 Channel Head / PH
7 1 Free echo spacing 0
8 Channel Head / PH
8 1 Echo spacing 0.5 [ms]
8 Channel Head / PH
1 1 EPI factor 48
8 Channel Head / PH
2 1 RF pulse type Normal
8 Channel Head / PH
3 1 Gradient mode Fast*
8 Channel Head / PH
4 1
Body 0 Phase per location
Phase per location 104
Universitas Indonesia
INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen terdiri dari dua kelompok. Kuesioner kelompok A terdiri dari pertanyaan
inti. Hasil dari pertanyaan ini dianalisis secara sistematik. Pertanyaan pada
kelompok A merupakan pertanyaan untuk memperlihatkan hubungan orangtua
dengan anak setiap hari. Orangtua atau wali mengisi 26 pertanyaan pada kelompok
A dan anak mengisi 54 pertanyaan. Kuesioner kelompok B terdiri dari pertanyaan
tambahan. Hasil dari kuesioner ini dianalisis secara deskriptif. Pertanyaan pada
kuesioner kelompok ini menggambarkan penerapan agama dan budaya pada anak.
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Orangtua atau wali atau wali mengisi 6 pertanyaan pada kuesioner kelompok B dan
anak mengisi 6 pertanyaan pada kelompok B. Kuesioner diisi dengan menandai
dengan jawaban yang sesuai. Pada orangtua atau wali memberikan alasan untuk
memilih jawaban, sedangkan anak hanya perlu menjawab jawaban yang sesuai
dengan keadaan sehari-hari.
Pola asuh anak dinilai dengan melihat jumlah jawaban untuk pertanyaan. Pola asuh
A adalah pola asuh yang diharapkan. Pola asuh A didapat apabila jawaban A
merupakan jawaban paling banyak. Pola asuh ini adalah pola asuh yang penuh
pertimbangan. Pola asuh B diperoleh apabila jumlah jawaban B merupakan jumlah
yang paling banyak. Pola asuh B merupakan pola asuh orangtua yang penuh
tuntutan dan dominan. Pola asuh C diperoleh apabila jumlah jawaban C lebih
banyak. Pola asuh C adalah pola asuh yang memberikan kebebasan penuh pada
anak dengan intervensi minim. Pola asuh D diperoleh apabila terdapat dua atau tiga
pilihan yang dipilih dengan jumlah nilai sama. Pola asuh A merupakan pola asuh
yang diharapkan (non-exposure) dan pola asuh B, C, dan D merupakan pola asuh
yang tidak diharapkan (exposure). Pengisian KPAA sekitar 5–10 menit.
Universitas Indonesia
(lanjutan)
pada pertanyaan nomor 7,11,14,21, dan 25; pada pertanyaan tersebut jawaban benar
diberi nilai 0, agak benar diberi nilai 1, dan tidak benar diberi nilai 2.
Hasil dari kuesioner berupa skor yang dijumlahkan untuk mendapatkan skor total.
Skor total pada masing-masing domain memperlihatkan besar masalah pada
domain tersebut. Skor kesulitan didapat dengan menjumlahkan skor pada domain
masalah hiperaktivitas, masalah tingkah laku, masalah emosi, dan masalah teman
sebaya. Skor total kesulitan ini menggambarkan tingkat kesulitan yang dimiliki
anak. Interpretasi skor yang diperoleh disesuaikan dengan interpretasi hasil
kuesioner yang diisi oleh subjek (diri sendiri/orang tua/guru). Skor prososial
menggambarkan kekuatan yang dimiliki anak. Pengisian SDQ sekitar 10 menit.
Pada kuesioner ini terdapat dua skala yaitu: (1) skala balanced untuk kohesivitas
dan fleksibilitas; (2) skala unbalanced cohesion. Skala balanced memiliki subskala
balanced cohesion dan balance flexibility. Skala unbalanced cohesion mempunyai
subskala enmeshed; too cohesive, disengaged; too distant, chaotic; change too
Universitas Indonesia
(lanjutan)
much, rigid; dan do not change enough. Tipe relasi keluarga dihasilkan dari enam
subskala. Tipe relasi keluarga ada enam tipe, yaitu: (1) Balanced; (2) Rigidly
Balanced; (3) Midrange; (4) Flesibly Unbalanced; (5) Chaotically Disengaged dan;
(6) Unbalanced. Tipe relasi keluarga yang sehat adalah tipe keluarga dengan skor
di atas satu, yaitu tipe relasi balanced dan rigidly balanced. Tipe relasi keluarga
yang tidak sehat adalah tipe relasi keluarga dengan skor di bawah satu, yaitu tipe
relasi keluarga midrange, flexibly unbalanced, chaotically disengaged, unbalanced.
Pengisian FACES IV membutuhkan waktu sekitar 30 menit.
Universitas Indonesia
(lanjutan)
ke atas dianggap memiliki kecendurangan negatif the perceived self. Pengisian
RSES sekitar 5 menit.
Alcohol, Smoking, and Substance Use Involvement Screening and Test (WHO
ASSIST V3.0)
Kuesioner digunakan sebagai alat bantu skrining untuk mengenali penggunaan zat
psikoaktif pada individu. WHO ASSIST V3.0 telah divalidasi ke dalam bahasa
Indonesia dengan nilai Cronbach’s alpha untuk tiap-tiap domain di atas 0,90.
Kuesioner memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik, yaitu 100%.
Pada ASSIST didapatkan informasi mengenai: (1) zat yang digunakan oleh
seseorang dalam sepanjang hidupnya; (2) zat yang digunakan dalam tiga bulan
terakhir; (3) masalah yang berhubungan dengan penggunaan zat; (4) risiko saat ini
atau bahaya yang akan datang; (5) adiksi; (6) penggunaan obat dengan injeksi.
Kuesioner diisi melalui wawancara dan membutuhkan waktu 5–10 menit.
Interpretasi skor ASSIST sebagai berikut: (1) risiko rendah < 3 atau < 10 untuk
alkohol; (2) risiko sedang 4–26 atau 11–26 untuk alkohol; (3) risiko tinggi ≥ 27.
Temperament and Character Inventory (TCI) berisi daftar ciri-ciri kepribadian yang
disusun oleh Cloninger et al. Terdapat 7 dimensi kepribadian di dalam TCI, yang
terdiri dari 4 temperamen dan 3 karakter. Temperamen berisi novelty seeeking,
harm avoidance, reward dependence, dan persistence. Sedangkan karakter berisi
self-directedness, cooperativeness, dan self-transcendence. Akan tetapi, pada
penelitian ini hanya digunakan TCI untuk temperamen novelty seeeking, harm
avoidance, reward dependence.
Pada awalnya TCI dibuat menggunakan Bahasa Inggris, tetapi saat ini TCI telah
banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Di
Indonesia, TCI telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia serta telah duji
validitas dan realibilitasnya sebesar 52%. Kuesioner versi bahasa Indonesia
memiliki 23 pertanyaan yang terdiri dari: 9 pertanyaan NS, 6 pertanyaan RD, 8
pertanyaan HA; dan 16 pertanyaan mengenai karakter (10 pertanyaan self-
directedness dan 6 self-transcendence). Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab dengan
jawaban ya (skor 2) atau tidak (skor 1) sesuai dengan kecocokan subjek. Hasil dari
Universitas Indonesia
(lanjutan)
jawaban subjek dijumlah berdasarkan kelompok temperamen. Subjek dianggap
memiliki kecenderungan tipe temperamen tertentu bila skor akhir perkategorinya
lebih tinggi dari rata-rata populasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Rincian Pustaka yang Digunakan dalam Pembuatan Draft KDAI Awal
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Withdrawal 1 0,791**
Kehilangan 0,535** 1 0,837**
kontrol
Peningkatan 0,497** 0,600** 1 0,774**
prioritas
Konsekuensi 0,518** 0,607** 0,523** 1 0,779**
negatif
Modifikasi 0,608** 0,548** 0,533** 0,453** 1 0,754**
mood
Salience 0,518** 0,492** 0,569** 0,540** 0,520** 1 0,735**
Hendaya 0,337** 0,479** 0,337** 0,492** 0,320** 0,343** 1 0,567**
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Penilaian
No. Butir Penilaian
0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda takut bahwa hidup tanpa
12 internet akan membosankan, kosong, dan hilang
kegembiraan?
Seberapa sering Anda marah, berteriak atau
13 bertingkah menyebalkan jika seseorang
mengganggu Anda saat bermain internet?
Seberapa sering Anda tidak tidur akibat bermain
14
internet hingga larut malam?
Seberapa sering Anda merasa terus menerus
memikirkan internet ketika sedang tidak bermain
15
internet, atau berkhayal seolah-olah sedang
bermain internet?
Seberapa sering Anda mengatakan “sebentar lagi”
16
saat sedang bermain internet?
Seberapa sering Anda berusaha mengurangi
17 waktu yang Anda habiskan untuk bermain internet
dan kemudian gagal?
Seberapa sering Anda berusaha menyembunyikan
18 berapa lama sebenarnya Anda menggunakan
waktu untuk bermain internet?
Seberapa sering Anda memilih menggunakan
19 waktu lebih lama untuk bermain internet daripada
pergi bersama dengan orang lain?
Seberapa sering Anda merasa depresi, labil atau
20 gugup saat offline dan akan hilang ketika kembali
bermain internet?
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Domain Item Pernyataan
10 Seberapa sering Anda menutupi pikiran yang mengganggu dengan
pikiran yang menyenangkan mengenai internet
16 Seberapa sering Anda mengatakan “sebentar lagi” saat sedang
bermain internet?
18 Seberapa sering Anda merasa depresi, labil atau gugup saat offline
dan akan hilang ketika kembali bermain internet?
Universitas Indonesia
Lampiran 15. Nilai Faktor Muatan Setiap Butir Pernyataan IAT Versi Indonesia
Pernyataan Salience Neglect of duty Loss of control
3 0,644
11 0,569
12 0,688
13 0,578
15 0,586
19 0,539
20 0,617
2 0,499
6 0,845
8 0,850
14 0,489
17 0,413
1 0,449
4 0,577
9 0,676
10 0,637
16 0,474
18 0,552
Eigenvalues 5,412 1,708 1,231
Persentase
30,069 9,487 6,836
Varians
Reliabilitas 0.761 0.691 0.686
Universitas Indonesia
Lampiran 16. Koefisien Reliabilitas Total dan Setiap Domain IAT Versi Indonesia
Jumlah Corrected Item
Domain Alpha SEM Mean SD
Item Total Correlations
Salience 7 0,761 2,150 11,465 4,399 0,418 – 0,570
Neglect 5 0,691 1,944 9,073 3,498 0,369 – 0,541
of duty
Loss of 6 0,686 7,054 12,589 4,237 0,313 – 0,480
control
IAT 18 0,855 3,870 33,127 10,165 0,317 – 0,574
Keterangan: SEM = Standard Error of Measurement
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Lampiran 20. Hasil Analisis Uji T Adiksi Internet dengan Konektivitas Fungsional
antara LPFC Kiri dan LP Kanan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. Produk penelitian pertama adalah buku yang berjudul Kecanduan Internet pada
Remaja. Buku tersebut berisi informasi terkait adiksi internet, pengembangan
kuesioner diagnostik adiksi internet (KDAI), dan lembar pengisian KDAI. Buku
dapat digunakan oleh tenaga kesehatan profesional, guru, orang tua dan remaja
untuk mendeteksi secara dini adiksi internet.
2. Produk penelitian kedua adalah website dengan judul Mengenali Lebih Jauh
Kecanduan Internet pada Remaja dan aplikasi “KDAI” yang dapat diunduh pada
Google Play Store. Website dan aplikasi tersebut berisi informasi mengenai
adiksi internet, kuesioner diagnostik adiksi internet (KDAI) untuk deteksi dini
adiksi internet, kiat-kiat pencegahan, dan tata laksana awal yang bisa dilakukan
oleh guru, orang tua dan remaja.
Universitas Indonesia
Aplikasi KDAI dapat diakses pada Google Play Store dengan kata kunci
“KDAI”.
3. Produk penelitian ketiga adalah aplikasi berjudul SKAI yang dapat diakses pada
Google Play Store dengan kata kunci “SKAI”. Aplikasi tersebut diperuntukkan
bagi tenaga kesehatan profesional untuk menghitung probabilitas remaja
mengalami adiksi internet berdasarkan aspek biologis, psikologis, dan sosial
remaja. Hasil pemeriksaan dapat menjadi materi edukasi bagi orang tua dan
remaja.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
PUBLIKASI
Abstract
Internet addiction is a serious problem that can negatively impact both the physical
and mental health of individuals. The Internet Addiction Test (IAT) is the most
common and worldwide used instrument to screen internet addiction. This study
sought to investigate the psychometric properties of an Indonesian version of the
IAT. 643 high school students participated in the study. The IAT questionnaire was
made the focus of forward translation, expert panel discussions, back translation, a
face validity study, a pilot study, and a psychometric properties evaluation. Factor
structure was analyzed by exploratory (EFA) and confirmatory factor (CFA)
analyses, whereas reliability was measured with Cronbach’s alpha coefficient. The
factor analysis revealed that a three-factor model of the Indonesian version of the
IAT identified in the EFA displays better psychometric properties than a one-factor
model of the same. The Cronbach’s alpha score is 0.855. A significant association
was also observed between the level of internet addiction with gender (p = 0.027)
and the duration of internet use per day (p = 0.001). To conclude, the Indonesian
version of the IAT provides good validity and reliability in a three-dimensional
model. Therefore, it can be utilized as a tool for screening internet addiction in the
Indonesian population.
Keywords:
Internet addiction, internet addiction test, psychometric, Indonesian, adolescents
Universitas Indonesia
1. Introduction
The internet has become a necessity in everyday life and is immensely utilized
in almost all aspects of people’s lives. There was a dramatic increase in the
proportion of individuals using the internet from 0.9% in 2000 to 17.1% in 2014.1
Based on data from the Indonesia Internet Service Provider Association, the number
of internet users in Indonesia has reached 143 million people, thereby becoming the
highest number of internet users in South East Asia region.2
Despite the benefits that the internet offers to its users, such as easy access to
unlimited information, limitless communication, and also entertainment, its
excessive use can lead to addiction.3, 4 Internet addiction (IA) is defined as a pattern
of excessive use of internet networks accompanied by poor self-control and
obsessive thoughts to constantly use maladaptive internet networks. The term
‘internet addiction’ was agreed upon for use by psychiatrists given the similarities
between its symptoms and symptoms of addiction caused by substances.5 A
previous study indicated that 6% of the world’s population OR approximately 182
million people experience internet addiction.6 Internet addiction can develop into a
serious problem since it affects both the physical and mental health of individuals.3,4
Thus, prompt diagnosis and immediate treatment should be effectively ensured.
Several instruments have been used for identifying internet addiction, with the
Internet Addiction Test (IAT) being the most common and widely used one. IAT
was created by Kimberly Young in 1998 as an instrument to diagnose internet
addiction.7, 8 It was developed from the pathological diagnosis criteria for gambling
listed in the DSM-IV. This questionnaire consists of 20 questions in English
regarding problematic behaviors that occur due to excessive internet use. It adopts
a Likert scale from 0–5 with Cronbach’s alpha value 0.83–0.91.7, 8 Scores obtained
from the IAT are grouped into four categories: normal (0–30), mild IA (31–49),
moderate IA (50–79), and severe IA (80–100). IAT had been widely translated and
validated by various countries and proved to consist of good internal validation
values.9–17
IAT has also been used in Indonesia; unfortunately, however, the
questionnaire has only been translated into the Indonesian language and has not
been examined for its psychometric properties. Thus, this study seeks to bridge this
Universitas Indonesia
gap by assessing the reliability and validity of the Indonesian version of the IAT by
analyzing its factor structure.
2. Methods
2.1 Participants
This research was conducted at nine randomly selected schools from 39
secondary schools in Jakarta that extensively coorperate with the Department of
Psychiatry, Cipto Mangunkusumo Hospital, Faculty of Medicine University of
Indonesia. The schools consisted of junior high schools (JHS) and senior high
schools (SHS) and were also varied in terms of being public, private, vocational,
and religious schools. Thus, cluster random sampling was used to select the
representative of each group of schools to participate in this research. Various types
of schools were used in this study to represent all possible diversities in student
types.
The number of samples available for the IAT face validity study was 30 (15
JHS students and 15 SHS students). The pilot study of the IAT, however, used 385
subjects (145 JHS students and 240 SHS students) and 643 subjects (333 JHS
students and 310 SHS students) for the psychometric evaluation study.
2.2 Instruments
The instrument used in this study is the Internet Addiction Test (IAT)
developed by Kimberly Young to assess the problems resulting from excessive
internet use. The IAT is a self-report instrument consisting of 20 items and using a
five-point Likert scale. The total scores of IAT are subsequently categorized into
four groups to determine the severity of internet addiction: normal (0 – 30), mild
internet addiction (31 – 49), moderate internet addiction (50 – 79), and severe
internet addiction (80 – 100).7, 8
2.3 Procedures
The IAT was adopted by considering transcultural aspects. The process of this
study was in accordance with the process from the guidelines of the World Health
Organization (WHO).18 The adaptation steps commenced with forward translation,
in which the instrument was translated from English into Indonesian by two
independent translators whose mother tongue is Indonesian. The English version of
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
such as the p-value of the chi-square test > 0.05, Root Mean Square Error of
Approximation (RMSEA) < 0.06, Comparative Fit Index (CFI) ≥ 0.9 and
Standardized Root Mean Square Residual (SRMR) < 0.08.19 Chi-square analysis
was also carried out using SPSS to identify the association between the addiction
level and several factors such as age, gender, onset of internet use, and duration and
aim of internet use. Significant association was determined as p-values 0.05.
3. Results
3.1 Forward Translation, Expert Panel Discussion, and Back Translation
After the IAT questionnaire was translated into Indonesian, it was reviewed by
three experts in a panel discussion. The terms “online” and “offline” that had been
preserved in the English language by the translators were replaced with their
parallel Indonesian counterparts. The term “depression,” however, was retained
since it is a considerably well-known term among teenagers. The revised
questionnaire from the expert panel discussion was translated back into English.
The results of the backward translation were then shared with the original
questionnaire creator, Dr. Kimberly Young from Net Addiction, the Center of
Internet Addiction and approval was obtained.
Universitas Indonesia
All participants were asked to fill in the Indonesian version of the IAT that
consisted of 20 items before the FGD. During the FGD, the students made some
suggestions pertaining to the terms used in the questionnaire to make them more
familiar to teenagers. Changes were made in several statements without altering
their intended meaning. The students also did not know about the term “log in”
because currently, electronic devices do not require to be logged into. “Log in” was
therefore changed to “online.” The term “online” was also considered for
replacement with the term “playing internet” since being online does not necessarily
indicate active internet use. The word “couple” is also not suitable for teenagers;
therefore, it was replaced with “family,” “friends,” OR “closest person.” The term
“pasangan” (lit. couple) is also considered to imply a romantic relationship and
therefore was replaced with “orang-orang terdekat” (lit. relatives). “Work
Universitas Indonesia
productivity” is also not applicable for teenagers and was replaced with “academic
achievement.”
The Pearson correlation test was carried out between each item with total score
to assess the validity of the IAT questionnaire. It was observed that all items were
valid since the correlation between items was above 0.3 (ranging from 0.419 to
0.788). The questionnaire also exhibited very good reliability with an α-Cronbach
value of 0.913.
Following the face validity study, the results were discussed by the three
experts. The altered terms are listed in Table 2. Next, a consultation was held with
Indonesian language experts from the Faculty of Literature, University of Indonesia.
Minor modifications were made in some sentences in accordance with adolescents’
understanding level and in order to emphasize the idea better.
Universitas Indonesia
Neglect of Loss of
Items Salience
duty control
How often do you choose internet enjoyment
3 over intimacy with your family, friends, OR the 0.644
person closest to you?
How often do you find yourself planning when
11 0.569
you will play on the internet again?
How often do you fear that life without the
12 0.688
internet would be boring, empty, and joyless?
How often do you get angry, yell, OR act
13 annoyed when someone disturbs you while you 0.578
are playing on the internet?
Universitas Indonesia
Neglect of Loss of
Items Salience
duty control
How often do you continuously think about the
15 internet while you are not playing on the internet 0.586
OR fantasize about playing on the internet?
How often do you choose to use more time to
19 play on the internet over going out with other 0.539
people?
How often do you feel depressed, unstable, OR
nervous when you are not playing on the internet
20 0.617
and that disappears once you are back to playing
on the internet?
How often do you neglect household chores to
2 0.499
spend more time playing on the internet?
How often do your grades OR school-work
6 suffer due to the amount of time that you spend 0.845
to play on the internet?
How often does your school performance OR
8 0.850
assignment suffer due to the internet?
How often do you not sleep due to playing on the
14 0.489
internet all night long?
How often do you try to reduce the time you
17 0.413
spend playing on the internet and then fail?
How often do you find that you play on the
1 0.449
internet for longer than intended?
How often do you form new friendships with
4 0.577
fellow people who play on the internet?
How often do you close yourself off OR behave
9 in a secretive manner when someone asks you 0.676
what you do when playing on the internet?
How often do you cover disturbing thoughts
10 0.637
with pleasant thoughts about the internet?
How often do you say “just a minute” when
16 0.474
playing on the internet?
How often do you try to hide the amount of time
18 0.552
you really spend playing on the internet?
Eigenvalues 5.412 1.708 1.231
Variance
30.069 9.487 6.836
percentage
Reliability 0.761 0.691 0.686
Table 2. Results of Exploratory Factor Analysis
Universitas Indonesia
Corrected Item
No. of
Domain Alpha SEM Mean SD Total
Items
Correlations
Salience 7 0.761 2.150 11.465 4.399 0.418 – 0.570
Neglect of duty 5 0.691 1.944 9.073 3.498 0.369 – 0.541
Loss of control 6 0.686 7.054 12.589 4.237 0.313 – 0.480
Total 18 0.855 3.870 33.127 10.165 0.317 – 0.574
SEM = Standard Error of Measurement
Two models were assessed in this study: the first model used the original
version of IAT (one domain, 20 items) while the second model is in accordance with
the EFA results (three domains, 18 items).
CFA’s first model resulted χ2 (df = 152, p < 0.001) = 488.05 and χ2 /df = 3.21
with RMSEA = 0.059, CFI = 0.97, SRMR = 0.046, and AIC = 604.05. While the
second model generated χ2 (df = 148, p < 0.001) = 700.63 and χ2 /df = 4.73 with
RMSEA = 0.076, CFI = 0.95, SRMR = 0.057, and AIC = 784.63 (Table 4). The
results of each model were subsequently compared.
Model 1 488.05 152 3.21 0.059 0.97 604.05 0.046 0.97 0.90
(20 items)
Model 2 479.50 126 3.81 0.066 0.96 596.50 0.048 0.96 0.90
(18 items,
3 domain)
x2 = Chi-Square, df = Degree of Freedom, RMSEA = Root Mean Square Error of
Approximation, CFI = Comparative Fit Index, AIC = Akaike Information Criterion, SRMR =
Standardized Root Mean Square Residual, TLI = Non-Normed Fit Index (NNFI), dan AGFI =
Adjusted Goodness of Fit Index.
Universitas Indonesia
This study also analyzed the relationship between the extent of internet
addiction, age, gender, and onset, duration, and aim of internet use. The level of
internet addiction was determined through IAT scores (normal, mild, moderate, and
severe addiction).7 The cut-off scores for categorizing internet addiction were
formulated in the 18-item Indonesian version of the IAT since it exhibited better
psychometric properties than the 20-item one. We used the same method adopted
by Karim et al. in Bangladesh (2014)19 as a reference to categorize the Indonesian
version of the IAT (Table 5).
Universitas Indonesia
For our data analysis, the internet addiction level was simplified into two
categories: normal and mild addiction subjects grouped together and moderate
internet addiction group. A severe addiction group was not included since none of
the subjects exhibit severe addiction as per our study.
A significant association was revealed between the extent of internet addiction
and gender (x2(df) = 4.921(1), p = 0.027, OR = 1.669, CI = 1.081–2.577) and
duration of internet use per week (x2(df) = 5.094(1), p = 0.024, OR = 0.545, CI =
0.329-0.905). Meanwhile, no significant association was observed between the
extent of internet addiction and age, aim, and onset of internet use (p > 0.05).
4. Discussions
The primary objective of this study was to examine the psychometric properties
of the Indonesian version of IAT. As a part of the validation process, translation
and cultural adaptation were undertaken at the beginning to ensure that all items in
the Indonesian version of the IAT questionnaire can be understood and effectively
perceived by members of the Indonesian community. All inputs from experts and
respondents were thoroughly considered, resulting in the final version of the
Indonesian IAT that was further exposed to validity and reliability testing.
The first validity and reliability tests were performed in the pilot study. The
test was conducted with 385 subjects. Item number 7, which pertained to how often
the subject checks their email before doing other activities, was subsequently
excluded due to its poor validity (r < 0.3); this was similar to the findings of a prior
study in Spanish and can perhaps be explained by the fact that the subjects of the
study are junior and senior high school students who rarely use their email accounts
Universitas Indonesia
for daily activities such as for academic purposes. Moreover, the behavior of
checking email can be regarded as normal in the current era due to easier access to
email by smartphones—a feature that was not available during the time of the
original IAT questionnaire creation.12
As per the EFA results, item number 5—pertaining to whether people in the
subject’s life complain about the amount of time that the subject spends online—
has a factor loading < 0.4. This result is in accordance with a study conducted in
China that claimed that item number 5 has a low diagnostic accuracy value
compared to the other items.20 This could be because some subjects may continue
browsing the internet without the knowledge of the people surrounding them to
avoid complaints OR prohibition. The majority of respondents in this study live
with their parents and utilize the internet connection available in the house.
Interviews with several subjects’ parents revealed that they did not prohibit their
children from using the internet in the house because they feel safer when the
children stay within the house rather than when they play outside. Previous studies
also revealed that deceptive behavior by adolescents depends on their parents’
attitude towards their playing behavior. An condemning attitude from the parents
tends to make children lie about their internet use.21
Our EFA results suggested that the three-factor model of IAT with 18 items has
a total variance of 46.392%. Hence, in CFA, we compared this three-factor model
with the original version of IAT with a single factor of 20 original items of IAT.
Our analysis revealed that three-dimensional IAT displays better psychometric
properties than the one-factor model. Prior studies indicated that several IAT models
are one-factor to six-factor models.8–17 The variability of the models could be due
to diversity in the subjects’ characteristics and cultural backgrounds.9,11,13 However,
the same results were also found in other populations; the three-factor solution
model was found to be most suitable among Thai, British, Greek, and Iranian
samples.9,17,22–23 For our three-dimensional Indonesian IAT model, internal
reliability was evaluated using Cronbach’s alpha. The internal consistency score
was 0.855 and thereby indicated the high reliability of the questionnaire.
Items within the salience domain in this study mostly covered items included
in the withdrawal symptoms domain in the Thailand study.17 The diversity in this
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
accordance with the conclusion of previous studies. More men were reported in the
internet addiction group.9,28,29 However, in other studies, contrasting results were
suggested.10,11,30,31 The differences in the findings across the studies might be due
to the variability of the subjects’ characteristics in each study.9,11,13
On the other hand, a significant association between IAT scores and the
duration of daily internet use was revealed in this study; this complements previous
research findings.9,11,16,28 We found that 27.5% of the subjects with internet
addiction used internet for more than two hours per day, which exceeds the
recommendations of the American Academy of Pediatrics (AAP) that defined two
hours as the cut-off for excessive daily media use among children and adolescents.32
Whether the longer duration of internet use causes the subject’s internet addiction
OR conversely, whether the subject’s internet addiction results in longer durations
of internet use is still questionable. Thus, further studies are required to determine
the causal point of this relationship.
The mean age of the subjects in this study is 14.5 (SD 1.67) years. No
significant relationship between IAT scores and age was observed, and this is in
accordance with prior studies.9,12,28 The subjects were categorized based on age into
early (11 – 16 years old) and late adolescence (17 – 25 years old) according to the
Indonesian Ministry of Health classification.33 A majority of our respondents
belonged to the early adolescent group, thereby leading to an uneven distribution
of subjects based on age groups. Hence, future research can be conducted with more
even number of participants for both age groups to gauge the efficiency of this
aspect.
A majority of the respondents from the addiction group in the study used the
internet for playing online games and using social media platforms (28.4% and 12.8%
respectively). This trend was similar to a prior study in Finland, which reported that
online gaming is the leading reason for subjects using the internet.10 The study
suggested that people will become more addictive towards online activity that is
challenging and interactive compared to other activities, which in this case can be
represented by online games.34 Furthermore, our study did not find any significant
association between the total IAT scores and the aim of internet use, which was in
contrast with previous research in Finland and Hong Kong.10,16
Universitas Indonesia
The average age at which subjects in the study used internet for the first time
was 10 (SD 2.35) years. This was similar to the findings of studies in European
countries that reported the onset of internet use at 8 years old.35 Such early onset of
internet use has been associated with severe internet addiction.36 Incongruent with
previous findings, the total IAT score in our research did not indicate any significant
association with the onset of internet use.
A limitation of this study is that the subjects all grew into adolescence in one
city—Jakarta. As the capital city of Indonesia, populations in Jakarta can be
considered as the best representative of all of the Indonesian population due to its
diversity. However, in the long run, it would be better if future research is conducted
in other regions of Indonesia as well. However, as per our preliminary
investigations, this study is a novel study that investigated the psychometric
properties of the Indonesian version of IAT.
5. Conclusion
In conclusion, the Indonesian version of the IAT demonstrated good validity
and reliability in the three-dimensional model. The IAT can be used as a tool for
screening internet addiction in the Indonesian population. A significant association
between the level of internet addiction and gender and daily internet use duration
was also revealed in the study.
6. References
1. ITU. Percentage of individuals using the internet: un system data catalog
[Internet]. 2015 Dec 22 [cited 2019 Jul 23]. Available from:
https://undatacatalog.org/dataset/percentage-individuals-using-internet.
2. APJII. Survei APJII: penetrasi internet di indonesia capai 143 juta jiwa
[Internet]. 2018 Mar 22 [cited 2019 May 6]. Available from:
https://apjii.or.id/content/read/104/348/BULETIN-APJII-EDISI-22---Maret-
2018.
3. Valkenburg PM, Peter J. Online communication among adolescents: an
integrated model of its attraction, opportunities, and risks. J Adolesc Health Off
Publ Soc Adolesc Med. 2011 Feb;48(2):121–7.
Universitas Indonesia
4. Kuss DJ, van Rooij AJ, Shorter GW, Griffiths MD, van de Mheen D. Internet
addiction in adolescents: prevalence and risk factors. Computers in Human
Behavior. 2013;29(5):1987–96.
5. Mak KK, Lai CM, Watanabe H, Kim DI, Bahar N, Ramos M, et al.
Epidemiology of internet behaviors and addiction among adolescents in six
asian countries. Cyberpsychology Behav Soc Netw. 2014;17(11):720–8.
6. Cheng C, Li A. Internet addiction prevalence and quality of (real) life: a meta-
analysis of 31 nations across seven world regions. Cyberpsychol Behav Soc
Netw. 2014;17(12):755–60.
7. Young KS, Abreu CN. Internet addiction: a handbook and guide to evaluation
and treatment. New Jersey: John Wiley & Sons; 2010.
8. Young KS. Internet addiction: The emergence of a new clinical disorder.
Cyberpsychol Behav. 1998;1(3):237–44.
9. Widyanto L, McMurran M. The psychometric properties of the internet
addiction test. Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual Real
Behav Soc. 2004 Sep 1;7:443–50.
10. Korkeila J, Kaarlas S, Jääskeläinen M, Vahlberg T, Taiminen T. Attached to
the web —harmful use of the internet and its correlates. Eur Psychiatry J Assoc
Eur Psychiatr. 2010 May;25(4):236–41.
11. Khazaal Y, Billieux J, Thorens G, Khan R, Louati Y, Scarlatti E, et al. French
validation of the internet addiction test. Cyberpsychology Behav Impact
Internet Multimed Virtual Real Behav Soc. 2008 Dec;11(6):703–6.
12. Fernández-Villa T, Molina AJ, García-Martín M, Llorca J, Delgado-Rodríguez
M, Martín V. Validation and psychometric analysis of the internet addiction
test in spanish among college students. BMC Public Health. 2015 Sep
24;15:953.
13. Samaha AA, Fawaz M, Yahfoufi NE, Gebbawi M, Abdallah H, Baydoun SA,
et al. Assessing the psychometric properties of the internet addiction test (IAT)
among lebanese college students. Front Public Health. 2018; 6: 365.
14. Kaya F, Delen E, Young KS. Psychometric properties of the internet addiction
test in turkish. J Behav Addict. 2016 Mar;5(1):130-134.
Universitas Indonesia
15. Guan NC, Isa SM, Hashim AH, Pillai SK, Harbajan Singh MK. Validity of the
malay version of the internet addiction test. Asia Pac J Public Health. 2015
Mar;27(2):NP2210-9. doi: 10.1177/1010539512447808.
16. Chang MK, Law SPM. Factor structure for young’s internet addiction test: a
confirmatory study. Comput Hum Behav. 2008;24(6): 2597–2619. doi :
10.1016/j.chb.2008.03.001.
17. Neelapaijit A, Pinyopornpanish M, Simcharoen S, Kuntawong
P, Wongpakaran N, Wongpakaran T. Psychometric properties of a thai version
internet addiction test. BMC Res Notes. 2018 Jan 24;11(1):69. doi:
10.1186/s13104-018-3187-y.
18. World Health Organization. WHO process of translation and adaptation of
instruments [Internet]. 2019 [cited 2019 May 6]. Available from:
https://www.who.int/substance_abuse/research_tools/translation/en/.
19. Hooper D, Coughlan J, & Mullen MR. Structural equation modelling:
Guidelines for determining model fit. Electronic Journal of Business Research
Methods. 2007 Nov;6(1): 53–60.
20. Ko CH, Yen JY, Chen SH, Wang PW, Chen CS, Yen CF. Evaluation of the
diagnostic criteria of Internet gaming disorder in the DSM-5 among young
adults in taiwan. J Psychiatr Res. 2014 Jun;53:103-10. doi:
10.1016/j.jpsychires.2014.02.008.
21. Griffiths MD, van Rooij AJ, Kardefelt-Winther D, Starcevic V, Király O,
Pallesen S, et al. Working towards an international consensus on criteria for
assessing internet gaming disorder: a critical commentary on petry et al. (2014).
Addict Abingdon Engl. 2016 Jan;111(1):167–75.
22. Tsimtsiou Z, Haidich A-B, Kokkali S, Dardavesis T, Young KS, Arvanitidou
M. Greek version of the internet addiction test: a validation study. Psychiatr Q.
2014 Jun;85(2):187–95.
23. Mohammadsalehi N, Mohammadbeigi A, Jadidi R, Anbari Z, Ghaderi
E, Akbari M. Psychometric properties of the persian language version of yang
internet addiction questionnaire: an explanatory factor analysis. Int J High Risk
Behav Addict. 2015 Sep 26;4(3):e21560. doi: 10.5812/ijhrba.21560.
Universitas Indonesia
24. King DL, Delfabbro PH, Zwaans T, Kaptsis D. Clinical features and axis I
comorbidity of australian adolescent pathological internet and video game
users. Aust N Z J Psychiatry. 2013 Nov;47(11):1058-67. doi:
10.1177/0004867413491159.
25. Kuss DJ, Griffiths MD, Karila L, Billieux J. Internet addiction: a systematic
review of epidemiological research for the last decade. Curr Pharm Des.
2014;20(25):4026–52.
26. Sepede G, Tavino M, Santacroce R, Fiori F, Salerno R, Di Giannantonio M.
Functional magnetic resonance imaging of internet addiction in young adults.
World J Radiol. 2016 Feb 28; 8(2):210–25. doi: 10.4329/wjr.v8.i2.210.
27. Sharifat H, Rashid AA, Suppiah S. Systematic review of the utility of
functional MRI to investigate internet addiction disorder: Recent updates on
resting state and task-based fMRI. Malays J Med Sci. 2018;14(1):21–3.
28. Ha JH, Kim SY, Bae SC, Bae S, Kim H, Sim M, Lyoo IK, Cho SC. Depression
and internet addiction in adolescents. Psychopathology. 2007;40(6):424-30.
29. Tsai HF, Cheng SH, Yeh TL, Shih CC, Chen KC, Yang YC, Yang YK. The
risk factors of internet addiction—a survey of university freshmen. Psychiatry
Res. 2009 May 30;167(3):294-9. doi: 10.1016/j.psychres.2008.01.015.
30. Ferraro G, Caci B, D’Amico A, Blasi MD. Internet Addiction Disorder: An
Italian Study. Cyberpsychol Behav. 2007 Apr;10(2):170–5.
31. McCabe CJ, Thomas KJ, Brazier JE, Coleman P. Measuring the mental health
status of a population: a comparison of the GHQ-12 and the SF-36 (MHI-5).
Br J Psychiatry. 1996 Oct;169(4):516-21.
32. Chassiakos YR, Radesky J, Christakis D, Moreno MA, Cross C. Children and
adolescents and digital media. Pediatrics. 2016 Nov;138(5): e20162593.
33. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kategori usia. Jakarta: Depkes RI;
2019.
34. Ngai SS. Exploring the validity of the internet addiction test for students in
grades 5–9 in hong kong. Int J Adolesc Youth. 2007 Jan 1;13(3):221–37.
35. Ferrara P, Corsello G, Ianniello F, Sbordone A, Ehrich J, Giardino I, et al.
Internet addiction: starting the debate on health and well-being of children
overexposed to digital media. J Pediatr. 2017 Dec 1;191:281.
Universitas Indonesia
36. Black DW, Shaw M, Coryell W, Crowe R, McCormick B, Allen J. Age at onset
of DSM-IV pathological gambling in a non-treatment sample: early- versus
later-onset. Compr Psychiatry. 2015 Jul;60:40–6.
Acknowledgements
The authors would like to thank all of the participants in this study.
Conflict of Interest
Funding
This study received financial support from DRPM Grant for TADOK (Grant for
student’s research)
Universitas Indonesia
RIWAYAT HIDUP
RIWAYAT PENDIDIKAN
1988 : SD Slamet Riyadi, Tangerang
1991 : SMPN 1 Tangerang
1994 : SMAN 1 Tangerang
2001 : Pendidikan Dokter Umum, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
2007 : Pendidikan Spesialis Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
RIWAYAT ORGANISASI
Sekretaris Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter
2009–2014 :
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
Sekretaris Seksi Psikiatri Adiksi Perhimpunan Dokter
2014–2018 :
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
Anggota International Society of Addiction Medicine
2016–sekarang :
(ISAM)
Universitas Indonesia
RIWAYAT PEKERJAAN
Psikiater PTT – RSUD. dr. Hadrianus Sinaga, Pangururan,
2007–2008 :
Samosir, Sumatera Utara
Koordinator Administrasi dan Keuangan, Departemen Ilmu
2012–2017 :
Kedokteran Jiwa FKUI/RSCM
Ketua Divisi Psikiatri Adiksi, Departemen Ilmu Kedokteran
2015–sekarang :
Jiwa FKUI/RSCM
2017–sekarang : Ketua Departemen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI
Universitas Indonesia
RIWAYAT PENELITIAN
2003 Collaboration with University of South Wales, Genetic research in
Schizophrenia
2006 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, The
Change in Sexual Aspects of Knowledge and Behavior in Patients with
HIV/AIDS after Counselling Sessions at Pokdisus
2007 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Coping
Strategy in Child with Acute Lymphoblastic Leukemia: A Qualitative
Study
2008 Tebet Community Health Center, The Effectiveness of Motivational
Enhancement Therapy (MET) for Patients in Methadone Maintenance
Program
2010 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Quality
of Life in Patients with HIV/AIDS
2010 Pokdisus RSCM, Contributing Factors in The Adherence of Patients
with HIV/AIDS
2012 Addiction Prevention Project for Junior High School: Develop Peers
Support to Prevent Addiction
Universitas Indonesia
PUBLIKASI
1. Schwab SG, Kusumawardhani AAAA, Dai N, Qin W, Wildenauer MDB,
Agiananda F, et al. Association of rs1344706 in the ZNF84A gene with
schizophrenia in case/control sample from Indonesia. Schizophr Res. 2013 Jun;
147(1): 46-52. doi: 10.1016/j.schres.2013.03.022.
2. Faculty of Medicine, University of Indonesia. Domestic violence impact (in
mental health perspective). 2004.
3. Siste K. How to prevent child from HIV/AIDS. Kompas 2011 Desember:
Sect. Hari Aids Sedunia.
4. Lim HM, Kurniasanti KS. Shared decision making and effective physician-
patient communication: the quintessence of patient-centered care. International
Journal of Medical Students. 2015;3(1):7–9.
5. Siste K. Cannabis and cognitive function of prisoners in Cipinang Prison. Paper
presented at: International Society Addiction Medicine; 2014; Yokohama,
Japan.
6. Siste K. Predictor factors of Methadone Maintenance Program in Jakarta. Paper
presented at: World Congress of Asian Psychiatry; 2015; Fukuoka, Japan.
7. Siste K. Internet addiction among adolescent in Indonesia: protective and risk
factors. Paper presented at: 5th International Internet Addiction Workshop;
2016;
8. Ayu AP, Iskandar S, Siste K, De Jong C, Schellekens A. Addiction training for
health professionals as an antidote to the addiction health burden in Indonesia:
Letter to the Editor. Addiction. 2016 Aug;111(8):1498–9.
9. Heryanto L, et al. Efektivitas Terapi Kelompok Suportif Ekspresif terhadap
Peningkatan Kepatuhan Terapi pada Pasien dengan HIV di Posdiksus RSCM
Jakarta. Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia. 2017 Agustus; 1(2): 18-
25.
10. Nugraheni P, Kurniasanti KS. Gangguan Neuropsikiatrik akibat Penggunaan
efavirenz: sebuah tinjauan pustaka. Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa
Indonesia. 2017 Agustus; 1(2): 32-5.
11. Siste K. Substance use and behavioral addiction in Indonesia. Paper presented
at: 5th Asian college of neuropsychopharmacology; 2017; Bali, Indonesia.
12. Siste K. Internet addiction among adolescents in jakarta: a challenging situation
for mental health development. Paper presented at: 2nd Ice on imeri; 2017;
Jakarta, Indonesia.
Universitas Indonesia
13. Husin AB, Siste K. Gangguan Penggunaan Zat. In : Elvira SD, Hadikusanto G,
editors. Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
14. Ismail RI, Siste K. Gangguan Depresi. In : Elvira SD, Hadikusanto G, editors.
Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2017.
15. Kusumadewi I, Siste K. Kedaruratan Psikiatri. In : Elvira SD, Hadikusanto G,
editors. Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
16. Siste K. Gangguan terkait penggunaan alkohol dan zat. In : Kusumawardhani
AAAA, Lukman PR, Kaligis F, editors. Crash Course Psikiatri Edisi Indonesia.
1st ed. Elsevier; 2018.
17. Siste K, Wiguna T, Wiwie M, Winarsih NS. Internet Addiction Among
Adolescents in Jakarta: A Challenging Situation for Mental Health
Development. Journal of International Dental and Medical Research. 2018;
11(2): 711-7.
18. Siste K, Nugraheni P, Christian H, Suryani E, Firdaus KK. Prescription drug
misuse in adolescents and young adults: an emerging issue as a health problem.
Current Opinion in Psychiatry. 2019; 32(4): 320-327. doi:10.1097/YCO.
0000000000000520.
19. Siste K, Assandi P, Ismail RI, Nasrun MWS, Wiguna T. Internet addiction: a
new addiction?. Medical Journal of Indonesia. 2019; 28(1): 82-91.
doi:doi.org/10.13181/ mji.v28i1.275
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia