Anda di halaman 1dari 326

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN KUESIONER DIAGNOSTIK


ADIKSI INTERNET BAGI REMAJA:
STUDI KONEKTIVITAS FUNGSIONAL OTAK
MELALUI FMRI BOLD, PREVALENSI,
PENELUSURAN FAKTOR RISIKO DAN PROTEKSI

DISERTASI

KRISTIANA SISTE
1306363512

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KEDOKTERAN
JAKARTA
NOVEMBER 2019

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBANGAN KUESIONER DIAGNOSTIK


ADIKSI INTERNET BAGI REMAJA:
STUDI KONEKTIVITAS FUNGSIONAL OTAK
MELALUI FMRI BOLD, PREVALENSI,
PENELUSURAN FAKTOR RISIKO DAN PROTEKSI

DISERTASI

Untuk memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Kedokteran pada Universitas
Indonesia di Jakarta di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia
Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, untuk dipertahankan di hadapan Dewan
Penguji pada Hari Selasa, 19 November 2019, Pukul 10.00

KRISTIANA SISTE
NPM. 1306363512

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
NOVEMBER 2019

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hingga
pada akhirnya saya dapat menyelesaikan perjuangan tanggung jawab dan komitmen
saya dalam pendidikan doktor di bidang kedokteran. Perjuangan panjang dengan
dukungan dari banyak pihak menjadi catatan indah, tidak terlupakan, dan
menguatkan hidup saya. Perjuangan yang diwarnai oleh banyak keajaiban. Semua
hal yang saya alami menjadikan bekal untuk saya dalam menjalani hidup yang lebih
baik dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitar saya. Oleh karena
itu, dengan segala ketulusan hati, saya mengucapkan terima kasih kepada:

Yth. Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met., Rektor Universitas Indonesia, atas
dukungan administratif maupun materiil sehingga saya dapat menyelesaikan
pendidikan dan penelitian ini melalui dukungan beasiswa maupun hibah penelitian
di masa kepemimpinan Prof. Anis sehingga menjadi dukungan yang sangat
bermakna bagi saya untuk melakukan penelitian.

Yth. Bapak Dekan FKUI Periode Tahun 2017–2021, Dr. dr. Ari Fahrial Syam,
Sp.PD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP beserta jajaran dekanat, terutama Wakil
Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Dr. dr. Dwiana
Ocviyanti, Sp.OG(K), atas dukungan dan penguatan motivasi kepada saya yang tiada
henti. Saya berharap dapat menjadi bagian, berpartisipasi, dan berkontribusi aktif
dalam karya pengembangan FKUI bagi masyarakat, salah satunya melalui disertasi ini.

Yth. Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, Sp.M(K), Prof. dr. Pratiwi Pudjilestari
Sudarmono, PhD, Sp.MK, dan Dr. dr. Achmad Fauzi Kamal, Sp.OT(K); Dekan,
Wakil Dekan, dan Manajer Umum FKUI periode Tahun 2013‒2017. Terima kasih
untuk saran yang disampaikan sehingga dapat meningkatkan kelayakan, mutu, dan
manfaat penelitian ini. Terima kasih juga untuk semua dukungan, dorongan, dan
penguatan yang diberikan kepada saya untuk menyelesaikan pendidikan dan
komitmen saya untuk menyelesaikan pendidikan ini.

Yth. Prof. Dr. dr. Suhendro, Sp.PD, KPTI, Ketua Program Studi Doktor Ilmu
Kedokteran. Terima kasih banyak atas dukungan, bimbingan, dan dorongan yang
diberikan, sehingga laporan disertasi ini dapat diselesaikan, dengan draft

vii Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


manuscript jurnal dan potensi hak paten. Terima kasih untuk terus memberikan
motivasi bahwa disertasi harus dapat menjadi manfaat bagi banyak orang di dalam
dan di luar negeri. Terima kasih atas masukan Prof. Suhendro yang membuat
disertasi ini menjadi lebih kaya.

Yth. Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD, KEMD, Ketua Program Studi
Doktor Ilmu Kedokteran periode sebelumnya sekaligus penguji dari program studi.
Terima kasih banyak untuk senantiasa menguatkan saya untuk menyelesaikan
tanggung jawab saya. Prof selalu memberikan semangat dan meyakinkan bahwa
saya bisa berjuang menyelesaikan disertasi ini. Prof selalu mendukung saya secara
tulus dan sabar. Terima kasih banyak Prof telah menjadi contoh lengkap seorang
role model.

Yth. Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, Sp.Park, selaku penguji. Terima
kasih atas waktu dan kebaikan hati Prof memberikan masukan untuk saya dalam
proses pembuatan disertasi ini. Terima kasih atas senyum ceria Prof yang membuat
saya bersemangat dalam merevisi materi disertasi.

Yth. dr. Harrina Erlianti Rahardjo, Sp.U(K), PhD, Sekretaris Program Studi
Doktor Ilmu Kedokteran terima kasih banyak telah membantu saya menyelesaikan
proses pendidikan ini. Terima kasih selalu memberikan masukan dan penguatan
bagi saya sehingga saya merasa semangat untuk menyelesaikan disertasi. Terima
kasih sudah selalu membuat saya tenang ketika saya mulai cemas dan panik.

Yth. Dr. dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK(K), M.Epid., terima kasih banyak atas
dukungan dan masukan bagi disertasi saya. Terima kasih atas semangat yang selalu
diberikan dan senyum manis yang selalu saya terima setiap kali bertemu.

Yth. dr. Alida Roswita Harahap, Sp.PK(K), PhD, terima kasih banyak untuk
dukungan dan masukan bagi saya dalam menyelesaikan disertasi sehingga saya
tetap bertahan. Terima kasih atas semangat yang diberikan untuk saya.

Yth. Dr. dr. Martina W. Nasrun, Sp.KJ(K), selaku promotor, guru, ibu, role
model, dan figur penguat saya sejak awal ide sampai akhir penyelesaian penelitian
ini. Dokter sungguh menjadi pendamping dan penguat saya dalam menjalankan
pendidikan. Terima kasih atas pendampingan yang Dokter berikan dan masukan

Universitas Indonesia viii


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
saat saya merasa buntu dan putus asa. Terima kasih Dokter selalu mau
mendengarkan dan memberikan waktu saat saya membutuhkan di tengah kesibukan
Dokter. Saya sangat yakin tidak dapat menyelesaikan disertasi ini tanpa
pendampingan Dokter. Dokter telah membuka wacana pemikiran saya memasuki
ilmu yang lebih luas untuk memajukan dunia adiksi. Terima kasih Dr. Wiwie atas
kebaikan dan kepercayaan Dokter terhadap saya. Terima kasih untuk suntikan ilmu
yang sangat banyak dan kasih untuk selalu menjaga kesehatan mental saya.

Yth. Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ(K), selaku kopromotor, guru, role model
dan pembimbing saya sepanjang masa. Betapa saya masih teringat saat menjadi
mahasiswa S1, Prof menjadi pembimbing pendamping saat saya stase di Psikiatri.
Saya sangat mengagumi Prof karena dapat menjelaskan sesuatu yang abstrak
menjadi mudah dimengerti. Prof selalu meluangkan waktu untuk dapat
membimbing dan bersedia dihubungi walaupun sudah malam hari. Saat itu saya
merasa sangat ingin menjadi Psikiater. Saya kembali mendapatkan ilmu dari Prof
saat saya melakukan penelitian saat duduk di Sp-1. Kemudian terulang untuk
pendidikan Doktor ini. Saya merasa Prof adalah figur lengkap seorang pekerja
keras, cerdas dan rendah hati yang selalu ingin memberikan yang terbaik bagi
murid. Saya sungguh sangat terbantu dalam menyelesaikan disertasi ini dari segi
keilmuan dan kesehatan mental. Saya meneliti di bidang remaja, dan Prof sungguh
sangat mendukung dan murah ilmu. Betapa saya belajar bahwa kolaborasi sangat
penting dari Prof. Terima kasih Prof. Tjhin atas kasih dan kebaikan Prof. sungguh
sangat berarti dalam perjalanan hidup saya.

Yth. Prof. Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc., selaku kopromotor. Terima kasih
Prof untuk selalu menyediakan waktu yang sangat fleksibel untuk saya. Terima
kasih untuk mengajarkan dan menemani saya dalam melihat data di tengah
keterbatasan kemampuan saya akan ilmu statistik. Terima kasih Prof untuk
dukungan dan semangat yang diberikan sehingga saya selalu merasa senang dan
tenang saat menginjakkan kaki di Departemen Gizi untuk bimbingan. Terima kasih
Prof selalu mengapresiasi yang saya lakukan, walaupun saya mengetahui banyak
sekali kesalahan yang saya buat. Umpan balik dan apresiasi yang Prof berikan
membuat saya selalu bersemangat menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih atas
kasih dan kebaikan Prof.

ix Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


Yth. Prof. Dr. dr. Rini Sekartini Sp.A(K), selaku pembimbing dan penguji.
Terima kasih banyak untuk waktu dan diskusi yang memperkaya disertasi saya.
Terima kasih Prof untuk kepercayaan Prof bagi saya untuk menyelesaikan
penelitian ini. Perjalanan panjang yang saya tempuh menjadi lebih ringan saat Prof
selalu memberikan semangat. Masukan dari Prof membuat saya dapat menyusun
aplikasi klinik dari penelitian ini menjadi lebih membumi. Saya mengucap syukur
atas kebaikan dan kasih Prof dalam perjalanan yang panjang dan berliku ini.

Yth. Dr. dr. Jacub Pandelaki, Sp.Rad(K), selaku pembimbing dan penguji.
Terima kasih Dokter sudah memberikan ilmu yang tidak pernah saya dalami
sebelumnya. Terima kasih atas petunjuk dan pendampingan Dokter dalam
melakukan bagian penelitian yang berada di luar kemampuan saya. Dr. Jacub selalu
memberikan semangat dan umpan balik yang kritis yang membuat saya bisa
bertahan dalam menjalani penelitian ini. Terima kasih karena Dokter sudah
berkenan mendampingi selama pemeriksaan fMRI. Penelitian ini membuka mata
saya secara lebar bahwa pemeriksaan neuroimaging untuk gangguan psikiatri
adalah nyata di Indonesia. Kebaikan dan kasih Dokter sangat berarti bagi saya
dalam menjalani perjuangan yang penuh tantangan ini.

Yth. Dra. Riza Sarasvita, M.Si, MHS, PhD, selaku pembimbing dan penguji.
Suatu kehormatan bagi saya untuk dapat dibimbing oleh pakar adiksi Indonesia
yang saya kagumi. Betapa Ibu adalah role model bagi saya untuk bekerja di bidang
adiksi. Pemikiran kritis Ibu mendobrak prinsip-prinsip lama dalam bidang adiksi.
Ketekunan dan kegigihan Ibu dalam mengembangkan bidang adiksi di Indonesia
memberikan motivasi bagi saya untuk bekerja secara tekun untuk kemajuan bidang
adiksi di Indonesia. Terima kasih atas masukan yang sangat dalam dan analitik yang
diberikan pada saya sehingga aspek kebijakan dan kepentingan akan
pengembangan adiksi di Indonesia terintegrasi pada hasil penelitian ini. Saya yakin
kolaborasi antara pemangku kebijakan dan akademik menjadi bagian penting dalam
pengembangan bidang adiksi di Indonesia, dan saya menemukan secercah harapan
kolaborasi ini pada figur Ibu. Terima kasih Ibu untuk senantiasa memudahkan saya
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pendidikan ini.

Universitas Indonesia x
Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
A/ Prof. Toshiya Murai, MD, PhD; Jun Miyata, MD, PhD; Naoya Oishi, MD,
PhD; Kosuke Tsurumi, MD, PhD; and Hironobu Fujiwara, MD, PhD from
Department of Psychiatry, Kyoto University. I would like to express my deepest
gratitude for allowing this research collaboration to happen. I also thank you for
abundant support and guidance throughout this research, particularly during fMRI
data analysis. Without your support, I can do nothing with this research.

Yth. Dr. Christiany Suwartono, S.Psi., M.Si. Ibu Cen Cen, terima kasih atas
bantuan Ibu untuk penyelesaian penelitian ini. Kita baru saja berkenalan namun
saya sungguh terharu karena Ibu sangat terbuka untuk membantu saya dalam
pengolahan data. Bimbingan yang Ibu berikan sangat berarti bagi saya dalam
menyelesaikan disertasi. Analisis data yang di luar kemampuan saya menjadi hal
yang dapat dilakukan karena Ibu membimbing dengan luar biasa. Perkenalan
pertama dengan menggunakan program Jeffrey’s Amazing Statistic Program
membuat saya mengetahui lebih luas analisis data untuk studi perilaku. Terima
kasih Ibu Cen Cen untuk kasih dan kebaikan Ibu.

Yth. Dr. dr. C.H. Soejono, Sp.PD, K-Ger, M.Epid., MPH, FACP, FINASIM–
Direktur Utama RSCM periode Tahun 2013–2018, dr. Lies Dina Liastuti,
Sp.JP(K), M.A.R.S.–Direktur Utama RSCM, Dr. dr. Ratna Dwi Restuti,
Sp.THT-KL(K), MPH–Direktur Medik dan Keperawatan, Dr. dr. Nina Kemala
Sari, Sp.PD, K-Ger, MPH–Direktur Pengembangan dan Pemasaran, Dr. dr.
Trimartani, Sp.THT-KL(K)–Direktur SDM, Dr. dr. Arif Rahman Sadad,
Sp.KF, S.H., M.Si Med,DMM–Direktur Umum dan Operasional, dan Bapak
Harris Fadillah, Ak, M.M.–Direktur Keuangan RSUP Nasional dr. Cipto
Mangunkusomo. Terima kasih untuk memberikan kepercayaan, kesempatan,
sumber daya, dan semua keluasaan tugas sehingga saya bisa menyelesaikan tugas
pendidikan ini. Terima kasih untuk telah mendorong, menjadi contoh, dan terus
memberikan motivasi bagi saya untuk menyelesaikan pendidikan di tengah begitu
banyak tugas dan tantangan di RS tercinta. Saya begitu merasakan dukungan dari
Direksi untuk memberikan kesempatan bagi saya untuk berkembang dan
menyelesaikan pendidikan.

xi Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


Yth. Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si. dan Sali Rahadi Asih, M.Psi.,
MGPCC, PhD (Fakultas Psikologi Universitas Indonesia), Dr. Yunita Faela
Nisa, M.Psi. (Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri), Totok
Suhardijanto, M.Hum., PhD (Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia) Terima kasih atas ilmu, pengajaran
dan dukungan yang diberikan bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Prof,
Bapak dan Ibu sangat terbuka dan bermurah hati berbagi ilmu untuk saya, di tengah
keterbatasan saya akan psikometri dan validasi kuesioner. Saat di tengah
keputusasaan, saya melihat secercah terang ketika bertemu Prof, Bapak dan Ibu.

Yth. dr. Amy So, dr. Johnny Nurman, Sp.A, dr Fredy Kastilany, Sp.Rad., dan
seluruh radiografer dari RS. Abdi Waluyo Jakarta, Eunike Serfina Fajarini,
AMR, S.Si. dari GE Healthcare Indonesia. Terima kasih atas dukungan bagi saya
untuk menyelesaikan penelitian dengan membantu dalam pemeriksaan rs-fMRI.
Sungguh segala kemudahan saya dapatkan dan saya sungguh terharu dengan
bantuan yang saya terima. Saya berharap penelitian ini dapat menjadi pintu bagi
peningkatan penggunaan neuroimaging dalam studi perilaku.

Yth. Bapak dan Ibu angkat saya, dr. Kahar Tjandra, Sp.PK, dan Ibu Evy
Tjandra. Terima kasih atas cinta Bapak dan Ibu sejak 22 tahun yang lalu. Saya bisa
mencapai titik kehidupan saat ini karena dukungan dan kebaikan Bapak dan Ibu.
Semangat yang tinggi, tidak mudah menyerah, persisten untuk mencapai tujuan dari
Bapak dan Ibu menjadi pedoman bagi saya menjalani pendidikan ini. Terima kasih
untuk menjadi bagian yang sangat berarti dalam hidup saya.

Yth. Kepala sekolah dan guru dari SMPK Anugerah, SMPN 59, SMP Islam
Al-Jihad, SMAN 27, SMKN 14, SMA At-Taqwa, SMA Universal dan MA Al-
Muddatsiriyah. Terima kasih telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
Terima kasih atas bantuan dan dukungannya sehingga saya mampu belajar dan
berkontribusi dalam pengembangan layanan kesehatan yang lebih baik bagi para
remaja. Saya berharap kolaborasi dapat terus berlangsung sehingga kita bisa
membuat program untuk pencegahan adiksi khususnya adiksi internet di sekolah.

Yth. Bapak M.A. Syaefuddin, S.Sos., M.M., Bapak Ubay Dillah, Bapak Anan
Jamuraya Jasita, Bapak Yana Maulana Yusuf, Bapak Panov Ambarita,

Universitas Indonesia xii


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
Bapak Undi, S.Pd., Bapak Agung Susanto, S.E. Terima kasih untuk ungkapan
penyemangat, dukungan, bantuan, dan pelayanan yang tidak kenal lelah, sehingga
pada akhirnya saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Tuhan senantiasa
memberikan rahmat kesehatan dan kesejahteraan sebagai balas kasih atas pelayanan
yang senantiasa diberikan.

Dr. dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid., Dr. dr. Windy Keumala Budianti,
Sp.KK, FINSDV, Dr. dr. Merci Monica, Sp.PK, Dr. dr. Ade Firmansyah
Sugiharto, Sp.FM(K), Dr. Lisnawati, Sp.PA(K), dr. Trijuda Airlangga,
Sp.THT-KL(K), dr. Nuri Dyah Indrasari, Sp.PK(K), dan dr. M. Sopiyudin
Dahlan, M.Epid., MPhil, terima kasih sudah mendukung saya dengan luar biasa
dalam penyelesaian pendidikan. Seringkali saya melontarkan pertanyaan terkait
dengan penelitian dan program pendidikan, dan tidak mengenal waktu, namun
teman-teman selalu memberikan jawaban termasuk meredakan kecemasan saya
yang seringkali timbul. Terima kasih karena sudah dengan sabar dan untuk
mengajarkan saya memahami hal-hal yang tidak saya mengerti dan memberikan
umpan balik perbaikan. Terima kasih sudah menjadi teman yang luar biasa.

Kepada Noor Aidha, S.Psi. Psikolog dan R. Ivezy Samantha, S.Psi., terima kasih
atas dukungan dalam menyelesaikan penelitian. Terima kasih atas kesabaran dan
kebaikan yang telah diberikan. Sungguh berarti untuk saya.

Kepada yang terkasih anak-anak saya, dr. Pandu Lesmana Putra, dr. Leslie
Melisa, dr. Nadhila Kaulika, dr. Ika Julianti, dr. Rachmanita Yudelia Rizki
Sjarif, dr. Pratiwi Assandi, dr. Caroline Saputro, dr. Lidya Purnama Dewi, dr.
Rayhan Maditra Indrayanto, dr. Gabriella Ellenzy, dr. Adhysti Warhanni, dr.
Irene Vidya Tantri dan dr. Christine Natalina Elizabeth, dr. Charissa Lazarus,
dan dr. Made Agung Yudistira Permana saya sungguh berterima kasih atas
bantuan kalian dalam proses pengumpulan dan pengambilan data. Kerja keras dan
kecerdasan serta semangat yang ditunjukkan membuat saya memiliki semangat yang
sama untuk menyelesaikan penelitian. Terima kasih karena sudah menemani saya
pada hari-hari berat saya.

Kepada yang terkasih anak-anak yang menjadi rekan saya dalam berpikir dr.
Karina Kalani Firdaus, dr. Belinda Julivia Murtani, dr. Reza Damayanti, dr.

xiii Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


Evania Beatrice, dr. Hans Christian, dan dr. Diana Jamtani, sungguh suatu
keajaiban bagi saya mengenal kalian. Saya merasa kalian adalah malaikat yang
dikirim oleh Tuhan dalam fase sulit kehidupan saya. Kalian bukan hanya anak
magang, namun teman dalam berpikir, berdebat dan menjadi tempat saya berkeluh
kesah. Kerja keras yang tidak mengenal waktu, pagi-siang-malam, dan tidak
mengenal hari kerja-libur, yang kalian lakukan, sungguh dukungan yang sangat
berarti untuk saya. Bantuan yang kalian berikan membuat disertasi ini selesai
sehingga saya dapat mengakhiri pendidikan Doktor. Terima kasih untuk menjadi
bagian kehidupan saya.

Keluarga besar Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FKUI/RSCM

Yth. dr. A.A.A. Agung Kusumawardhani, Sp.KJ(K), MPH., terima kasih untuk
kesempatan bagi saya menjalani pendidikan Doktor pada tahun 2014. Terima kasih
Dokter sudah memberikan kesempatan bagi saya mendapatkan beasiswa. Dokter
adalah role model saya untuk selalu berpikir positif dan mengerjakan segala sesuatu
sampai selesai. Terima kasih atas banyaknya keleluasaan bagi saya untuk menjalani
pendidikan.

Yth. Para guru saya di Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, Alm. Prof. Didi
Bachtiar Lubis, Sp.KJ(K), Alm. dr. Lukas Mangindaan, Sp.KJ(K), Prof. Dr.
Sasanto Wibisono, Sp.KJ(K), Prof. Dr. dr. R. Irawati Ismail, Sp.KJ(K),
M.Epid., dr. Jan Prasetyo, Sp.KJ(K), dr. Ika Widyawati, Sp.KJ(K), dr.
Richard Budiman, Sp.KJ(K), dr. Charles E. Damping, Sp.KJ(K), Dr. dr.
Nurmiati Amir, Sp.KJ(K), dr. Noorhana S.W., dr. Heriani, Sp.KJ(K), dr.
Irmia Kusumadewi, Sp.KJ(K)., dr. Sylvia Detri Elvira, Sp.KJ(K), dr. Suryo
Dharmono, Sp.KJ(K), Dr. dr. Irmansyah, Sp.KJ(K), dan dr. Gitayanti
Hadisukanto, Sp.KJ(K), terima kasih atas ilmu, doa, motivasi dan dukungan yang
selalu diberikan pada saya sejak saya menjadi mahasiswa kedokteran hingga saat
ini. Saya sungguh merasakan belajar di Departemen Psikiatri FKUI/RSCM
merupakan pengalaman istimewa. Saya mendapatkan materi pengajaran dari Dewa
dan Dewi bidang Psikiatri di Indonesia dan juga dukungan mental yang luar biasa.
Terima kasih atas kasih sayang yang Prof dan Dokter berikan.

Universitas Indonesia xiv


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
Yth. dr. Al Bachri Husin, Sp.KJ, dr. Lies Kandou, Sp.KJ(K), dr. Satya
Joewana, Sp.KJ(K), dr. Ratna Mardiati, Sp.KJ(K), dr. Richard Budiman,
Sp.KJ(K), dr. Mardi Susanto, Sp.KJ(K), Dr. dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ, Guru
dalam bidang adiksi. Saya sungguh beruntung memilih bidang adiksi dalam
pengembangan karier. Saya memiliki guru-guru yang sangat mendukung dan tidak
pelit berbagi ilmu. Dr. Richard yang mengenalkan saya pertama kali dengan bidang
adiksi, dan saya teringat betapa Dokter dengan tangan terbuka menerima saya di
divisi Psikiatri Adiksi dan memberikan kesempatan bagi saya untuk berkembang.
Terima kasih untuk para guru yang selalu mendukung dan mendoakan saya. Terima
kasih atas cinta dan kebaikan Dokter semua.

Yang terkasih dr. Heriani, Sp.KJ(K), Guru yang selalu mendampingi saya dalam
fase sulit setiap tahap pendidikan. Mami Ria selalu mendengarkan keluh kesah dan
kecemasan saya. Tiap tahap pendidikan selalu ada fase menangis dan Mami Ria
yang selalu menjadi malaikat memberikan saya ketenangan. Terima kasih Mami
Ria untuk cinta mami dan kalimat-kalimat penyemangat yang selalu datang setiap
sore dalam beberapa bulan ini.

Yang terkasih dr. Petrin Redayani L.S, Sp.KJ(K), M.Pd.Ked., dr. Feranindhya
Agiananda, Sp.KJ(K), dr. Natalia Widiasih, Sp.KJ(K), M.Pd.Ked., Dr. dr.
Khamelia Malik, Sp.KJ, dan dr. Profitasari Kusumaningrum, Sp.KJ. Para
Koordinator di Departemen tercinta. Terima kasih sudah saling membantu,
mengulurkan tangan dan berpegangan untuk menyelesaikan segala pekerjaan di
Departemen tercinta. Terima kasih sudah memberikan kelonggaran waktu bagi saya
untuk menyelesaikan disertasi ini. Tawa, canda dan argumentasi menjadi bagian
yang membuat saya semangat dalam bekerja.

Yang terkasih sahabat saya, Dr. dr Hervita Diatri, Sp.KJ(K), dr. Tribowo
Tuahta Ginting, Sp.KJ(K), dr. Eva Suryani, Sp.KJ. Terima kasih atas segala
cinta dan kasih yang diberikan untuk saya. Terima kasih untuk menjadi sandaran
saat saya merasa lelah. Fase sulit dan huru-hara dalam beberapa tahun ini terasa
lebih ringan karena ada sahabat. Vita, terima kasih sudah selalu mau berbagi dalam
suka dan duka, mendengarkan omelan dan keluhan saya yang tiada henti, menjadi
role model untuk selalu bekerja keras dan menyelesaikan yang sudah dimulai.

xv Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


Bowo dan Eva, teman baik yang berkembang bersama di dunia adiksi. Terima kasih
atas cinta dan doa kalian. Terima kasih atas segala kebaikan yang diberikan, dan
mari terus berkembang dan memajukan dunia adiksi Indonesia.

Yang terkasih dr. Fransiska Kaligis, Sp.KJ(K), dr. Gina Anindyajati, Sp.KJ,
dr. Enjeline Hanafi, Sp.KJ, dan dr. Kusuma Minayati, Sp.KJ. Terima kasih atas
dukungan dan doa yang diberikan untuk saya dalam menyelesaikan disertasi ini.
Terima kasih Enji yang sudah membantu saya dalam menyelesaikan pekerjaan di
Divisi Psikiatri Adiksi saat saya harus kosentrasi menyelesaikan disertasi.

Mbak Vina, Mbak Euis, Mas Aprian, Mas Purwanto, Mbak Indah, Mbak
Fitri, Mbak Elin, Mbak Desi, Mbak Reni, Mbak Yuyun, dan Mas Amsori.
Terima kasih banyak untuk bantuan bagi saya dalam pekerjaan sehari-hari sehingga
memberikan waktu bagi saya untuk menyelesaikan pendidikan. Terima kasih atas
senyum ceria untuk menyemangati saya.

Ns. Riris Ocktryna, M.Kep. Sp.Kep.J., Ns. Nursyamsiah, S.Kep., Ns. Heru
Wahyudi, S.Kep., Ns. Diah Rusmasari dan semua Bapak/Ibu perawat,
Bapak/Ibu petugas administrasi, Mas/Mbak POS, Mas/Mbak cleaning service,
dan pramusaji di Bangsal Psikiatri maupun Poliklinik Jiwa RSCM. Terima kasih
untuk semua doa, dukungan, penyemangat, dan bantuan yang saya terima saat
sedang menjalankan tugas pelayanan saya hingga berjalan dengan baik, dan saya
dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Anak-anakku terkasih, dr. Yunita Tambunan, Sp.KJ, dr. Ryan Aditya, Sp.KJ,
dr. Putri Nugraheni, Sp.KJ, dr. Alfonso Edward Saun, dr. William Surya, dr.
Darien Alfa Cipta, dr. Aila Johanna, dr. Aminah Ahmad Alaydrus, dan semua
peserta didik dokter spesialis kedokteran jiwa yang telah senantiasa
menceriakan hidup, menjadi motivasi untuk menata hidup lebih baik sebagai ibu,
guru, sejawat, dan mitra diskusi. Terima kasih untuk ketulusan dalam doa maupun
karya yang membantu proses penyelesaian pendidikan ini.

Kepada rekan-rekan seperjuangan semuanya,


Semua teman-teman di Rabbit FKUI’95, khususnya sahabat tercinta, dr. Laila
Rose Foresta, Sp.Rad., dr. Jihan Rosita, Sp.KK, dr. Florence Arc Indiranta

Universitas Indonesia xvi


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
Tarigan, Sp.KK, dr. Margaretha Ariani Sitanggang, dr. Muhadi, Sp.PD, KKV
M.Epid., dr. Lahargo Kembaren, Sp. KJ dan dr. Ramzi, Sp.AN, KIC, terima kasih
untuk persaudaraan, persahabatan, dan kekeluargaan selama hampir 25 tahun
perkenalan kita. Tiada habisnya rasa syukur pada Tuhan yang mempertemukan kita di
era yang sama, tumbuh dan berkembang bersama, saling menjaga, menguatkan, dan
mendukung rencana serta pencapaian satu sama lain. Selalu bangga menjadi bagian
dari keluarga besar Rabbit’95 kini dan selalu. Terima kasih Indi, Jihan, Lala, Retha,
Muhadi dan Ramzi atas cinta dan kasih yang diberikan untuk saya. Persahabatan yang
tidak lekang oleh waktu menguatkan saya untuk menyelesaikan pendidikan.

Semua teman-teman di Psikiatri’007, terima kasih atas segala cinta dan dukungan
kepada saya. Pertemanan yang tidak terkikis oleh waktu, saling menguatkan dengan
kasih yang besar. Terima kasih kepada para psikiater yang tangguh dan cerdas, dr.
Thomas DC. Sino, Sp.KJ, KPAR(K), dr. Tjandra Irawan Tendi, Sp.KJ, dr.
Budiman Jayaputra, S.E., S.Pol., Sp.KJ, dr. Syahrial, Sp.KJ(K), dr. Andriza,
Sp.KJ, dr. Yosi Agustina, Sp.KJ, dr. Elly Anggreny Ang, Sp.KJ, Widiaty
Caroline, dr. Imelda Indriyani, Sp.KJ(K), dr. Carlamia H. Lusikooy
Sp.KJ(K), dr. L. Anneke Endawati R, Sp.KJ, dr. Hilma Paramita, Sp.KJ, dr.
Sondang T.I. Samosir, Sp.KJ, dr. Herbet Sidabutar, Sp.KJ(K), dr. Tendry
Septa, Sp.KJ(K), dr. Tribowo Tuahta Ginting Sugihen, Sp.KJ(K), Letkol Kes.
Dr. Srimpi Indah Zulaecha, FS., Sp.KJ, dan dr. Dina Fitriningsih, Sp.KJ,
M.A.R.S.

Untuk Ketua, Pengurus, dan Sejawat di Perhimpunan Dokter Spesialis


Kedokteran Jiwa Indonesia, Majelis Kolegium Psikiatri Indonesia, Seksi
Psikiatri Adiksi, dan Indonesian Early Career Psychiatrists. Terima kasih tak
terhingga untuk semua dukungan, semangat, pengertian dan waktu yang diberikan
untuk saya boleh fokus dan mengurangi tanggung jawab saya hingga tugas
pendidikan ini selesai. Terima kasih untuk senantiasa membantu agar kegiatan dan
tujuan organisasi tetap dapat berjalan dengan baik.

Terakhir kepada seluruh anggota keluarga besar saya,


Mama tersayang, Sannio dan mama mertua tercinta, Marwati. Terima kasih
atas cinta, dukungan dan doa untuk saya. Pengertian Mama yang luar biasa atas

xvii Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


kesibukan saya yang membuat waktu untuk keluarga sangat sedikit. Terima kasih
atas berkat yang diberikan Tuhan lewat kedua mama yang saya cintai.

Kakak dan adik-adik tercinta. Andy Djajasasmita dan Cici Megawati, S.E.,
Duwi Siska Mawar Sari, S.Psi., dan Henrik Lauritsen, Foster Kurniawan,
S.Komp., dan Ayudhya Ghita, S.E. Terima kasih untuk senantiasa mendoakan,
menemani, mendampingi, mendukung saya sejak dulu hingga sekarang, dalam
perjuangan hidup yang sederhana hingga terkompleks. Terima kasih untuk menjadi
bagian penting rasa syukur saya pada Tuhan.

Untuk sahabat, pasangan hidup dan cinta dalam kehidupan saya, Po Kian
Djajasasmita, MCSC. Terima kasih atas kesabaran dalam menemani saya dari awal
pernikahan kita dan selamanya. Terima kasih atas pengertiannya di tengah hiruk-
pikuk pekerjaan dan pendidikan. Kamu adalah berkat terbesar dalam hidup saya.
Terima kasih untuk segala kenyamanan dan kesempatan yang diberikan sehingga
saya dapat berkembang dalam karier. Semoga momen ini menjadi awal dari lebih
banyaknya lagi waktu kita bersama. I love you to the moon and back my dear.

Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan begitu banyak waktu, perhatian, kebaikan, dan kasih yang tak terbalas,
terima kasih sebesar-besarnya. Semoga berkat terbaik Tuhan akan senantiasa
mencukupkan dan melengkapi kebahagiaan Prof, Dokter, Bapak, Ibu, Kakak dan Adik.

Terima kasih Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu memberikan keajaiban
dalam hidup saya. Pertolongan dan penghiburan yang indah pada waktunya.
Jadikan saya penyalur berkat bagi sesama di mana pun dan kapan pun Tuhan
menempatkan, jadikan saya menjadi manusia yang lebih baik.

Jakarta, 19 November 2019


Kristiana Siste

Universitas Indonesia xviii


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
ABSTRAK
Nama : Kristiana Siste
Program Studi : Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran
Judul Disertasi : Pengembangan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet bagi Remaja:
Studi Konektivitas Fungsional Otak melalui fMRI BOLD, Prevalensi,
Penelusuran Faktor Risiko dan Proteksi
Adiksi Internet (AI) merupakan masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi pada remaja
yang dapat menimbulkan konsekuensi negatif berupa dampak fisik, psikologi, dan
sosial. Diagnosis dan tata laksana yang tepat diperlukan untuk intervensi segera tetapi
kuesioner skrining AI bagi remaja di Indonesia sampai saat ini belum ada. Tujuan
penelitian ini adalah mengembangkan kuesioner AI (KDAI) yang andal dan sahih bagi
remaja Indonesia, memperoleh gambaran konektivitas fungsional otak pada remaja
dengan AI, mendapatkan prevalensi AI, faktor risiko dan proteksi.
Domain dan butir pernyataan KDAI dikembangkan dari kepustakaan, focus group
discussion (FGD) remaja, dan level of agreement para pakar melalui teknik Delphi. Uji
reliabilitas dan validitas KDAI mengikutsertakan 643 subjek yang dipilih secara acak
dari 4 SMP dan 5 SMA di Jakarta. Data diambil pada bulan Juli 2018–Juli 2019. Uji
validitas konstruk KDAI menggunakan exploratory analysis factor (EFA) dan
confirmatory analysis factor (CFA). Penentuan titik potong KDAI melalui metode
receiver operating characteristics (ROC) yang dibandingkan dengan internet addiction
test (IAT) versi Indonesia. Pemeriksaan rs-fMRI BOLD dilakukan pada 60 subjek untuk
mendapatkan validitas prediktif KDAI dan gambaran konektivitas fungsional otak pada
remaja dengan AI dan tidak AI. Faktor risiko dan proteksi AI dianalisis dengan uji
regresi logistik multivariat.
Kuesioner diagnostik adiksi internet terdiri atas 7 domain dan 44 butir pernyataan
dengan validitas isi dan konstruk yang baik. Nilai reliabilitas KDAI 0,942 dengan nilai
titik potong 108 (sensitivitas 91,8% dan spesifisitas 77,8%). Terdapat korelasi positif
antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional lateral prefrontal cortex kiri dan
lateral parietal kanan pada kelompok adiksi (p = 0,018; r = 0,437). Korelasi negatif
juga didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional lateral prefrontal
cortex kiri dan lateral parietal kanan pada kelompok adiksi (p = 0,049; r = -0,375).
Diperoleh prevalensi AI 31,4% dengan faktor risiko berupa durasi penggunaan
internet > 20 jam / minggu (p < 0,001; OR = 2,889) dan masalah perilaku (p < 0,001;
OR = 2,539). Faktor risiko lainnya adalah tujuan penggunaan internet untuk media
sosial dan permainan daring (p = 0,005; OR = 1,826), masalah emosi (p = 0,001;
OR = 1,918), usia awitan penggunaan internet ≤ 8 tahun (p = 0,008; OR = 1,821), dan
masalah perilaku prososial (p = 0,008; OR = 1,758). Faktor proteksi AI adalah pola
asuh non-exposure (p = 0,012; OR = 0,518).
Reliabilitas dan validitas KDAI baik untuk digunakan sebagai alat skrining AI pada
remaja di Indonesia. Skor KDAI dapat menggambarkan perbedaan konektivitas
fungsional otak pada remaja AI dan tidak AI. Durasi penggunaan internet dan masalah
perilaku menjadi faktor risiko utama, sedangkan pola asuh non-exposure menjadi
faktor proteksi AI. Pencegahan AI dapat dilakukan dengan deteksi dini dan intervensi
faktor risiko serta proteksi.

Kata kunci: adiksi internet, KDAI, remaja, konektivitas fungsional, faktor risiko

xxi Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


ABSTRACT
Name : Kristiana Siste
Study Program : Doctoral Program in Medicine
Dissertation Title : Development of Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet for
Adolescents: Brain Functional Connectivity through fMRI BOLD,
Study of Prevalence, Risk Factors, and Protective Factors
Internet addiction (IA) is a common mental health problem in adolescents alongside
the rapid rise of digital technology that results in negative physical, psychological, and
social consequences. IA screening in adolescence is required to provide accurate
diagnosis and treatment, however, to date an IA screening questionnaire for Indonesian
adolescents does not exist. The purpose of this study is to develop a valid and reliable
IA questionnaire for Indonesian adolescents titled Kuesioner Diagnosis Adiksi Internet
– KDAI, evaluate brain functional connectivity in adolescents with IA, and find the
prevalence of IA along with its risk and protective factors.
The domains and items in KDAI were developed from literatures, adolescent focus
group discussions (FGD), and level of agreements of experts through the Delphi
technique. The reliability and validity testing of KDAI involved randomly selected
adolescents from 9 schools (4 junior high schools and 5 high schools) in Jakarta. Data
collection was done from July 2018–July2019. Exploratory analysis factor (EFA) and
confirmatory analysis factor (CFA) was performed to find the construct validity. The
cut-off for KDAI was determined through the receiver operating characteristic (ROC)
method using the Indonesian version of the internet addiction test (IAT) as a
comparison. Rs-fMRI examinations were performed on 60 subjects to attain predictive
validity of KDAI and evaluate brain functional connectivity in adolescents with internet
addiction. The risk and protective factors of IA were assessed using a multivariate
logistic regression test.
The KDAI is comprised of 7 domains and 44 statement items with good content and
construct validity. The reliability score of KDAI is 0.942. The cut-off for KDAI is 108
(sensitivity 91.8 and % specificity 77.8%). A positive correlation was found in non-
addiction group (p = 0.018; r = 0.437). In contrast, a negative correlation between
KDAI score with the functional connectivity of the left LPFC and right LP in the
addiction group (p = 0.049; r = -0.375) was found. The prevalence of IA among
adolescents in Jakarta is 31.4%. Risk factors associated with IA include duration of
internet use > 20 hours/week (p < 0.001; OR = 2.889), conduct disorders (p < 0.001;
OR = 2.539), purpose of internet use for social media and playing online games
(p = 0.005; OR = 1.826), emotional problems (p = 0.001; OR = 1.918), onset of internet
use ≤ 8 years old (p = 0.008; OR = 1.821), and prosocial problems (p = 0.008; OR =
1.758). The protective factor of IA was found to be a non-exposure parenting style (p
= 0.012; OR = 0.518).
The good reliability and validity properties of KDAI functions it as an IA screening
tool for adolescents in Indonesia. KDAI scores were able to portray changes in brain
functional connectivity in the IA group. The duration of internet use and conduct
disorders are the main risk factors for IA and a non-exposure parenting style is a
protective factor. Prevention programs for IA can be implemented by focusing on early
detection and providing intervention to risk and protective factors.

Keywords: Internet addiction, KDAI, adolescents, functional connectivity

Universitas Indonesia xxii


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iii


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................ xix
ABSTRAK ........................................................................................................... xxi
ABSTRACT .......................................................................................................... xxii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xxiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xxvii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxviii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxix
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xxx

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 3
1.3 Hipotesis............................................................................................................ 4
1.4 Tujuan Umum ................................................................................................... 4
1.5 Tujuan Khusus .................................................................................................. 4
1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 5
1.6.1 Di Bidang Klinis dan Layanan Masyarakat bagi Tenaga Kesehatan ...... 5
1.6.2 Di Bidang Pengembangan Akademik ..................................................... 5
1.6.3 Di Bidang Pengembangan Penelitian ...................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7


2.1 Evolusi Penggunaan Jaringan Internet dan Adiksi Internet ............................. 7
2.2 Perubahan Aspek Biologis dan Psikologis pada Remaja ................................. 8
2.2.1 Pertumbuhan Fisik Remaja ..................................................................... 8
2.2.2 Perkembangan Psikologis Remaja .......................................................... 9
2.2.3 Perubahan Otak pada Remaja ............................................................... 11
2.3 Konseptualisasi Adiksi Internet ..................................................................... 11
2.4 Diagnosis Adiksi Internet ............................................................................... 13
2.4.1 Internet Addiction Diagnostic Questionnaire....................................... 13
2.4.2 Internet Addiction Test ......................................................................... 14
2.4.3 Alat Ukur Diagnostik yang Lain .......................................................... 14
2.5 Epidemiologi Adiksi Internet ......................................................................... 15
2.6 Faktor Risiko Adiksi Internet......................................................................... 19
2.6.1 Faktor Biologis ..................................................................................... 19
2.6.1.1 Pendekatan Neurosains pada Adiksi Internet ........................... 21
2.6.1.2 Pemeriksaan Neuroimaging pada Adiksi Internet .................... 28
2.6.2 Fungsi Eksekutif ................................................................................... 29
2.6.3 Faktor Psikologis .................................................................................. 31
2.6.4 Faktor Sosial ......................................................................................... 40
2.6.4.1 Kohesivitas Keluarga dan Pola Asuh ....................................... 40

xxiii Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


2.6.4.2 Dukungan Teman Sebaya pada Remaja dengan Adiksi
Internet ...................................................................................... 44
2.6.4.3 Perilaku Prososial...................................................................... 45
2.7 Dampak Adiksi Internet ................................................................................. 46
2.8 Pembuatan Kuesioner ..................................................................................... 46
2.8.1 Pembentukan Kuesioner Menggunakan Teknik Delphi ....................... 49
2.8.2 Uji Reliabilitas dan Validitas ................................................................ 53
2.9 Kerangka Teori ............................................................................................... 57
2.10 Kerangka Konsep .......................................................................................... 58

BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 59


3.1 Desain Penelitian ............................................................................................ 59
3.2 Tahapan Penelitian ......................................................................................... 59
3.2.1 Tahap Satu: Pengembangan KDAI ....................................................... 59
3.2.1.1 Penyusunan Draft KDAI dan Perolehan Level of Agreement ... 59
3.2.1.2 Uji Validitas dan Reliabilitas KDAI ......................................... 60
3.2.1.3 Validasi IAT dan Pencarian Titik Potong IAT Versi Indonesia 62
3.2.1.4 Uji Validitas Kriteria KDAI dan Penentuan Titik Potong
KDAI dengan IAT Versi Indonesia sebagai Pembanding ......... 62
3.2.2 Tahap Dua: Pemeriksaan rs-fMRI BOLD .............................................. 63
3.2.3 Tahap Tiga: Prevalensi dan Faktor Risiko Adiksi Internet pada
Remaja .................................................................................................. 66
3.2.3.1 Prevalensi Adiksi Internet pada Remaja ................................... 66
3.2.3.2 Penentuan Faktor Risiko dan Proteksi Adiksi Internet ............. 66
3.3 Etik Penelitian ................................................................................................ 67
3.4 Variabel Penelitian ......................................................................................... 67
3.4.1 Variabel Bebas....................................................................................... 67
3.4.2 Variabel Tergantung .............................................................................. 67
3.5 Alur Penelitian ................................................................................................ 68
3.6 Definisi Operasional ....................................................................................... 69

BAB 4 HASIL PENELITIAN............................................................................. 73


4.1 Pengembangan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet ................................... 73
4.1.1 Penyusunan Draft KDAI dan Perolehan Level of Agreement ............... 73
4.1.1.1 Penyusunan KDAI Berdasarkan Pustaka .................................. 74
4.1.1.2 Penyusunan KDAI Berdasarkan FGD pada Remaja ................ 75
4.1.1.3 Pengembangan Domain dan Butir Pernyataan Berdasarkan
Studi Pustaka dan FGD ............................................................. 77
4.1.1.4 Pengembangan Domain dan Butir Pernyataan Berdasarkan
Level of Agreement Para Pakar ................................................. 80
4.1.1.5 Modifikasi Tata Bahasa KDAI ................................................. 84
4.1.1.6 Penentuan Skoring KDAI: Skala Polar atau Likert................... 84
4.1.2 Nilai Validitas dan Reliabilitas KDAI ................................................... 84
4.1.2.1 Uji Coba Awal Draft KDAI Melalui FGD ............................... 85
4.1.2.2 Modifikasi Tata Bahasa KDAI ................................................. 87
4.1.2.3 Uji Coba Skala Penuh Draft KDAI .......................................... 87
4.1.2.4 Uji Lapangan Draft KDAI ........................................................ 89
4.1.3 Nilai Validitas, Reliabilitas, dan Penentuan Titik Potong IAT .............. 93

Universitas Indonesia xxiv


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
4.1.3.1 Uji Validitas Transkultural ....................................................... 93
4.1.3.2 Uji Validitas dan Reliabilitas IAT Versi Indonesia .................. 93
4.1.3.3 Penentuan Titik Potong IAT Versi Indonesia ........................... 98
4.1.4 Penentuan Titik Potong KDAI dengan Pembanding IAT Versi
Indonesia ............................................................................................... 99
4.1.4.1 Validitas Kriteria KDAI ........................................................... 99
4.1.4.2 Penentuan Titik Potong KDAI dengan IAT Versi Indonesia
sebagai Pembanding ................................................................. 99
4.2 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi Internet
Menggunakan Pemeriksaan rs-fMRI BOLD ................................................ 101
4.2.1 Penelusuran Pustaka Mengenai Penggunaan rs-fMRI BOLD pada
Adiksi Internet .................................................................................... 101
4.2.2 Pemilihan Subjek untuk fMRI ............................................................. 102
4.2.3 Pelaksanaan Pemeriksaan rs-fMRI BOLD pada Subjek Penelitian ..... 103
4.2.4 Protokol Pemeriksaan rs-fMRI BOLD ................................................ 103
4.2.5 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi
Internet Dibandingkan Kelompok Tidak Adiksi Internet ................... 104
4.2.6 Hubungan antara Skor KDAI dengan Konektivitas Fungsional Otak 106
4.2.7 Analisis Mediasi antara Fungsi Eksekutif dengan Adiksi Internet ..... 107
4.3 Prevalensi dan Faktor Risiko Adiksi Internet pada Remaja......................... 108
4.3.1 Prevalensi Adiksi Internet pada Remaja ............................................. 108
4.3.2 Hubungan Adiksi Internet dengan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi 114
4.3.2.1 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Faktor Proteksi
Adiksi Internet ........................................................................ 116
4.3.2.2 Networking Psychometric Faktor Risiko Adiksi Internet
Berdasarkan Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat ...... 118

BAB 5 PEMBAHASAN .................................................................................... 121


5.1 Pengembangan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI)................... 121
5.2 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi Internet
Menggunakan Pemeriksaan rs-fMRI BOLD ................................................ 127
5.2.1 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi
Internet Dibandingkan dengan Kelompok Tidak Adiksi Internet ...... 127
5.2.2 Hubungan Adiksi Internet dengan Konektivitas Fungsional Otak ..... 131
5.2.3 Hubungan Fungsi Eksekutif dengan Adiksi Internet .......................... 133
5.3 Karakteristik Subjek, Prevalensi dan Hubungan Adiksi Internet dengan
Berbagai Faktor Risiko dan Proteksi ........................................................... 135
5.3.1 Karakteristik Subjek ............................................................................ 135
5.3.2 Prevalensi Adiksi Internet pada Remaja ............................................. 138
5.3.3 Faktor Risiko Adiksi Internet pada Remaja ........................................ 146
5.3.3.1 Durasi Penggunaan Internet.................................................... 147
5.3.3.2 Tujuan Penggunaan Internet ................................................... 148
5.3.3.3 Masalah Perilaku dan Emosi .................................................. 150
5.3.3.4 Usia Awitan Penggunaan Internet .......................................... 152
5.3.3.5 Pola Asuh................................................................................ 153
5.3.3.6 Kohesivitas Keluarga.............................................................. 154
5.3.3.7 Masalah Teman Sebaya .......................................................... 155
5.3.3.8 Jenis Kelamin ......................................................................... 156

xxv Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


5.3.3.9 Temperamen Novelty Seeking ................................................. 156
5.3.3.10 Masalah Hiperaktivitas ......................................................... 157
5.3.3.11 Aplikasi Penerapan Model Probabilitas Adiksi Internet
pada Remaja .......................................................................... 157
5.4 Kelebihan dan Kekurangan Penelitian ......................................................... 161
5.5 Faktor yang Memengaruhi Kejadian Adiksi Internet pada Remaja ............. 162

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 163


6.1 Simpulan ....................................................................................................... 163
6.2 Saran ............................................................................................................. 164
6.2.1 Dalam Bidang Kebijakan Nasional ..................................................... 164
6.2.2 Dalam Bidang Klinis dan Layanan Masyarakat .................................. 165
6.2.3 Dalam Bidang Pengembangan Akademik .......................................... 165
6.2.4 Dalam Bidang Pengembangan Penelitian ........................................... 165

RINGKASAN...................................................................................................... 167
SUMMARY .......................................................................................................... 177
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 187
LAMPIRAN ........................................................................................................ 205
DRAFT PUBLIKASI ........................................................................................... 277
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 297

Universitas Indonesia xxvi


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pengguna Jaringan Internet di Asia Tenggara, Asia Timur, Inggris,
dan Amerika Serikat, 2000 – 2014 .................................................... 7
Gambar 2.2. Area Otak Terkait Adiksi Internet .....................................................20
Gambar 2.3. Gambaran Fungsional pada Adiksi Permainan Daring saat Diberi
Stimulus Gambar ..............................................................................29
Gambar 2.4. Diagram Konsep Adiksi Internet.......................................................38
Gambar 2.5. Circumplex Model Dinamika Keluarga / Pasangan ..........................41
Gambar 2.6. Jenis Parenting Style .........................................................................42
Gambar 2.7. Konstruk, Dimensi dan Elemen ........................................................49
Gambar 2.8. Kerangka Teori Adiksi Internet pada Remaja ...................................57
Gambar 2.9. Kerangka Konsep Adiksi Internet pada Remaja ...............................58
Gambar 3.1. Alur Penelitian...................................................................................68
Gambar 4.1. Alur Tahap Pengembangan KDAI ....................................................73
Gambar 4.2. Bagan Alur Penelusuran Pustaka dalam Pembuatan KDAI Awal ....74
Gambar 4.3. Alur Penyaringan Butir Pernyataan dan Domain Konsensus Pakar .82
Gambar 4.4. Contoh Skala Polar ............................................................................84
Gambar 4.5. Alur Validasi dan Reliabilitas KDAI ................................................85
Gambar 4.6. Hasil Confirmatory Factor Analysis KDAI pada Model 2 ...............92
Gambar 4.7. Alur Validitas dan Reliabilitas IAT ...................................................94
Gambar 4.8. Hasil Confirmatory Factor Analysis IAT pada Model 2 ...................98
Gambar 4.9. Grafik AUC KDAI dengan Titik Potong 108 ..................................100
Gambar 4.10. Bagan Alur Penelusuran Pustaka Mengenai rs-fMRI BOLD .......101
Gambar 4.11. Gambar Area Otak yang Diperiksa rs-fMRI BOLD138 .................102
Gambar 4.12. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada
Kelompok dengan Adiksi Internet Dibandingkan dengan
Kelompok Tidak Adiksi Internet ..................................................105
Gambar 4.13. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada
Kelompok Adiksi Internet Dibandingkan Kelompok Tidak
Adiksi Internet (Potongan Aksial Otak) .......................................105
Gambar 4.14. Gambaran Korelasi antara Skor KDAI dengan Konektivitas
Fungsional antara LPFC Kiri dan LP Kanan ...............................107
Gambar 4.15. Hasil Analisis Mediasi Fungsi Eksekutif terhadap Hubungan
antara Skor KDAI dengan Konektivitas Fungsional antara
LPFC Kiri dan LP Kanan .............................................................108
Gambar 4.16. Bagan Networking Psychometric Faktor Risiko Adiksi Internet ..119
Gambar 5.1. Skema Penggunaan KDAI ..............................................................127
Gambar 5.2. Perubahan Konektivitas Fungsional pada Remaja dengan Adiksi
Internet ............................................................................................133
Gambar 5.3. Skema Faktor Risiko dan Proteksi Adiksi Internet pada Remaja ...162

xxvii Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perkembangan Psikologis Remaja ......................................................... 9


Tabel 2.2. Instrumen Diagnostik untuk Adiksi Internet ........................................ 16
Tabel 2.3. Hasil Pemeriksaan Neuroimaging pada Adiksi Internet ...................... 28
Tabel 3.1. Definisi Operasional ............................................................................. 69
Tabel 4.1. Karakteristik Subjek FGD .................................................................... 75
Tabel 4.2. Gejala Adiksi Internet........................................................................... 76
Tabel 4.3. Domain dan Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI ............. 77
Tabel 4.4. Daftar Butir Penilaian yang Dihapuskan dan Alasannya ..................... 83
Tabel 4.5. Modifikasi Butir Pernyataan Hasil Delphi 1 ........................................ 83
Tabel 4.6. Rincian Sekolah yang Terpilih ............................................................. 85
Tabel 4.7. Karakteristik Subjek Uji Coba KDAI .................................................. 86
Tabel 4.8. Karakteristik Subjek Uji Coba Skala Penuh KDAI.............................. 88
Tabel 4.9. Butir Pernyataan yang Dihapus ............................................................ 88
Tabel 4.10. Butir Pernyataan dalam Domain Desepsi yang Dihapus .................... 89
Tabel 4.11. Butir Pernyataan yang Dihapus selama Proses EFA .......................... 90
Tabel 4.12. Butir Pernyataan pada Domain Hendaya ........................................... 90
Tabel 4.13. Karakteristik Subjek pada Uji CFA .................................................... 90
Tabel 4.14. Hasil CFA Ketiga Model .................................................................... 91
Tabel 4.15. Karakteristik Subjek Uji Coba IAT .................................................... 95
Tabel 4.16. Tabel Daftar Perubahan Istilah Setelah Tahap Uji Coba.................... 95
Tabel 4.17. Indeks Goodness of Fit ....................................................................... 97
Tabel 4.18. Kategorisasi IAT Versi Indonesia Berdasarkan Tren Skor IAT
Kimberly Young ................................................................................. 98
Tabel 4.19. Korelasi antar Domain KDAI dan IAT Versi Indonesia ..................... 99
Tabel 4.20. Rerata dan Simpang Baku Subjek fMRI Berdasarkan Kelompok
Tidak Adiksi Internet dan Kelompok Adiksi Internet ...................... 103
Tabel 4.21. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada
Kelompok dengan Adiksi Internet Dibandingkan dengan
Kelompok Tidak Adiksi Internet ..................................................... 104
Tabel 4.22. Interaksi antara Konektivitas Fungsional dengan Skor KDAI dan
IAT .................................................................................................... 106
Tabel 4.23. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ............................ 109
Tabel 4.24. Karakteristik Subjek Berdasarkan Tingkat Adiksi Internet.............. 111
Tabel 4.25. Hasil Analisis Hubungan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi
terhadap Adiksi Internet ................................................................... 115
Tabel 4.26. Hasil Analisis Regresi Logistik ........................................................ 117
Tabel 4.27. Nilai Indikator Persamaan Regresi Logistik..................................... 118
Tabel 4.28. Nilai Centrality Measures ................................................................ 120

Universitas Indonesia xxviii


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Protokol Lengkap rs-fMRI BOLD ............................................... 205


Lampiran 2. Instrumen Penelitian .. ................................................................. 211
Lampiran 3. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik ................................................ 217
Lampiran 4. Rincian Pustaka yang Digunakan dalam Pembuatan Draft
KDAI Awal ............... ................................................................. 218
Lampiran 5. Hasil Akhir Putaran Delphi 11 Domain 56 Pernyataan ............... 241
Lampiran 6. Daftar 39 Sekolah ...... ................................................................. 244
Lampiran 7. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet 11 Domain 55
Pernyataan ................. ................................................................. 245
Lampiran 8. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet 7 Domain 44 Pernyataan 248
Lampiran 9. Nilai Faktor Muatan Setiap Butir Pernyataan KDAI................... 251
Lampiran 10. Koefisien Reliabilitas Domain KDAI ....................................... 252
Lampiran 11. Korelasi Antar Domain KDAI................................................... 253
Lampiran 12. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet Final .............................. 254
Lampiran 13. Internet Addiction Test 20 Pernyataan....................................... 259
Lampiran 14. Internet Addiction Test 3 Domain 18 Pernyataan ...................... 261
Lampiran 15. Nilai Faktor Muatan Butir Pernyataan IAT Versi Indonesia..... 263
Lampiran 16. Koefisien Reliabilitas Total dan Domain IAT Versi Indonesia . 264
Lampiran 17. Korelasi antar Domain IAT Versi Indonesia.............................. 265
Lampiran 18. Internet Addiction Test Versi Indonesia Final ........................... 266
Lampiran 19. Hasil Penelusuran Pustaka fMRI dan Adiksi Internet ................ 268
Lampiran 20. Hasil Analisis Uji T .................................................................. 271
Lampiran 21. Skema Pengelolaan Adiksi Internet pada Remaja secara
Holistik dan Komprehensif....................................................... 272
Lampiran 22. Model Materi Edukasi Adiksi Internet pada Remaja ................ 273
Lampiran 23. Produk Penelitian ...................................................................... 274
Lampiran 24. Bukti Pengunduhan Draft Publikasi ......................................... 276

xxix Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


DAFTAR SINGKATAN

3D-MPRAGE 3-Dimension Magnetization-Prepared Rapid Gradient-Echo


ACC Anterior Cingulate Cortex
AGFI Adjusted Goodness of Fit Index
AI adiksi internet
AIC Akaike Information Criterion
APA American Psychiatric Association
ASSIST Alcohol, Smoking, and Substance Use Involvement Screening
and Test
AUC Area Under the Curve
Ave average
BGN Basal Ganglia Network
BOLD Blood Oxgyen Level Dependent
BTS Barlett Test of Sphericity
CBF Cerebral Blood Flow
CBV Cerebral Blood Volume
CEN Central Executive Network
CERI Questionnaire on Internet-Related Experiences
CFA Confirmatory Factor Analysis
CFI Comparative Fit Index
CIAI Chinese Internet Addiction Inventory
CIAS Chen’s Internet Addiction Scale
CIUS Compulsive Internet Use Scale
CM Centrality Measure
CMRO2 Cerebral Metabolic Rate of O2 Consumption
CVI Content Validity Index
CVR Content Validity Ratio
dACC Dorsalis Anterior Cingulate Cortex
DDIA Dual Diagnosed Internet Addict
df Degree of Freedom
DICOM Digital Imaging and Communication in Medicine
DLPFC Dorsolateral Prefrontal Cortex
DMN Default Mode Network
DMPFC Dorsomedial Prefrontal Cortex
DSM-5 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition 5
DSM-IV Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition
IV
DSM-IV-TR Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition
IV Text Revision
DTI Diffusion Tensor Imaging

Universitas Indonesia xxx


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
EDI Eating Disorder Inventory
EFA Exploratory Factor Analysis
EPI Echo-Planar Imaging
FACES IV Family Adaptibility and Cohesion Evaluation Scales IV
FC Functional Connectivity / konektivitas fungsional
FDR false discovery rate
FGD Focus Group Discussion
FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
fMRI Functional Magnetic Resonance Imaging
FOMO Fear of Missing Out
FOV field of view
GABA Gamma-Aminobutyric Acid
GIA General Internet Addiction
GPIUS Generalized Problematic Internet Use Scale
GPPH Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas
HA Harm Avoidence
Hb Hemoglobin
HbO2 Oksihemoglobin
HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency
Syndrome
IA Internet Addiction
IADQ Internet Addiction Diagnostic Questionnaire
IAS Internet Addiction Scale
IAT Internet Addiction Test
ICD-11 The International Classification of Disease, Eleventh Revision
IGA Internet Games Addiction
IRPS Internet-Related Problem Scale
KDAI Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet
Kemkominfo Kementerian Komunikasi dan Informatika
KMO Kaiser-Meyer-Olkin
KPAA Kuesioner Pola Asuh Anak
LBC Left-Behind Children
LP Lateral Parietal
LPFC Lateral Prefrontal Cortex
MA Madrasah Aliyah
MC Migrant Children
MINI KID Mini-International Neuropsychiatric Interview-Kid
MMORPG Massively Multiplayer Online Role-Playing Games
MOBA Multiplayer Online Battle Arena
MPFC Medial Prefrontal Cortex
MRI Magnetic Resonance Imaging
N/A Not Applicable

xxxi Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


NAPZA Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya
NIA New Internet Addict
NNFI Non-Normed Fit Index
NS Novelty Seeking
OCD Obsessive Compulsive Disorder
OFC Orbitofrontal Cortex
OR Odds Ratio
p-FDR p-Value False Discovery Rate
PCC Posterior Cingulate Cortex
PFC Prefrontal Cortex
PIUS Problematic Internet Use Scale
RC Rural Children
RD Reward Dependence
REM Rapid Eye Movement
RF Radio Frequency
RMSEA Root Mean Square Error of Approximation
ROC Receiver Operator Curve
ROI Regio of Interest
RPFC Rostral Prefrontal Cortex
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSES Rosenburg Self Esteem Scale
rs-fMRI Resting State Functional Magnetic Resonance Imaging
S-CVI Scale-Level Index
SD Standard Deviation / simpang baku
SDQ Strength and Difficulties Questionnaire
SEM Standard Error of the Mean
SIA Specific Internet Addiction
SMA Sekolah Menengah Atas
SMG Supra Marginal Gyrus
SMK Sekolah Menengah Kejuruan
SMP Sekolah Menengah Pertama
SN Salience Network
SRMR Standardized Root Mean Square Residual
SWS Slow-Wave Sleep
TCI Temperament and Character Inventory
TE echo time
TMT-B Trail Making Test–B
TR repetition time
VMPFC Ventromedial Prefrontal Cortex
VTA Ventral Tegmental Area
WHO World Health Organization
WM weight matrix

Universitas Indonesia xxxii


Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi digital saat ini sangat pesat termasuk penggunaan jaringan
internet dan sekitar 3,2 milyar jiwa di dunia terkoneksi dengan jaringan internet.1
Setiap individu termasuk remaja dan dewasa muda terpajan dengan teknologi
digital sejak awal perkembangan kehidupan sehingga remaja saat ini disebut
generasi digital. Pada tahun 2014 sebanyak 97% remaja di Amerika Serikat
menggunakan jaringan internet. China Internet Network Information melaporkan
27,3% dari 485 juta orang pengguna internet adalah remaja dan 6 negara Asia yang
menunjukkan 62% remaja memiliki alat komunikasi selular. Di Hong Kong 68%
remaja selalu menggunakan jaringan internet setiap hari.2 Kondisi tersebut serupa
dengan di Indonesia; proporsi penggunaan internet meningkat dari 0,9% pada tahun
2000 menjadi 17,1% pada tahun 2014.3 Pada tahun 2014 80% remaja di Indonesia
baik di perkotaan maupun pedesaan menggunakan jaringan internet dalam
kehidupan sehari-hari dan Indonesia menduduki peringkat ke-5 pemilik akun
Twitter© terbanyak di dunia.4,5

Penggunaan jaringan internet yang luas memberikan keuntungan, namun di sisi lain
dapat menimbulkan risiko jika digunakan berlebihan terutama pada remaja.
Penggunaan berlebihan dapat menimbulkan adiksi internet (AI) yang
mengakibatkan gangguan tumbuh kembang remaja. Definisi AI adalah pola
penggunaan internet berlebihan disertai pengendalian diri yang buruk dan pikiran
obsesif untuk selalu menggunakan internet yang maladaptif.2

Prevalensi AI di dunia berkisar 4,5–19,1% pada remaja dan 0,7–18,3% pada dewasa
muda. Prevalensi AI pada remaja di Asia Tenggara 6,7%, Amerika Serikat 0,6%
dan di Eropa 2,1%. Di Asia, prevalensi remaja dengan AI tertinggi adalah di
Filipina (51%), Jepang (48%), Hong Kong (32%), Malaysia (17%) dan Korea
Selatan (10%).2 Prevalensi remaja dengan AI lebih tinggi di Asia dari Amerika dan
Eropa karena faktor budaya remaja Asia yang sulit berekspresi di lingkungannya
sehingga lebih memilih berekspresi di dunia maya.2

1 Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


2

Penelitian AI terus berkembang terutama di negara Asia. Fokus penelitian terutama


pada remaja karena remaja adalah populasi yang rentan mengalami adiksi. Remaja
selalu mencari sesuatu yang baru, berani mengambil risiko dan sensitif terhadap
tekanan teman sebaya karena maturitas otak belum sempurna terutama di area
kontrol eksekutif, motivasi dan pengambilan keputusan.6,7

Berbagai faktor yang memengaruhi AI adalah faktor biologis, psikologis dan sosial.
Faktor risiko AI pada remaja adalah depresi, kecemasan sosial dan kepribadian berupa
citra diri yang buruk, harga diri yang rendah, dan kerentanan terhadap stres yang tinggi.
Isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial juga menjadi faktor predisposisi AI.8,9

Adiksi internet dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik, psikologis dan


sosial. Dampak terhadap kesehatan fisik berupa obesitas dan hipersomnia. Secara
psikologis AI dapat menyebabkan bunuh diri, depresi, serta ansietas pada remaja
dan memiliki dampak terhadap fungsi sosial seperti terganggunya relasi dengan
orang sekitar serta isolasi diri.10,11

Hasil penelitian mengenai AI menggunakan neuroimaging menunjukkan gangguan


di regio frontal otak terutama dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) yang
bertanggung jawab untuk fungsi kognitif, motivasi dan pengendalian impuls.12,13
Hal tersebut menjelaskan mengapa remaja AI mudah berperilaku kompulsif.
Perubahan struktural otak juga terjadi pada remaja AI berupa penurunan volume
substansia grisea di korteks singulat anterior kiri, korteks singulat posterior kiri,
insula kiri, girus lingual kiri, dan korteks prefrontal dorsalis. Pada resting state-
functional magnetic resonance imaging blood oxygen level dependent (rs-fMRI
BOLD) didapatkan hiperaktivitas di area DLPFC dan amigdala ketika remaja
diperlihatkan gambar AI yang dialaminya. Perubahan struktur berlangsung tahunan
namun perubahan fungsi berlangsung 3–4 minggu.14,15

Diagnosis AI belum dimasukkan dalam kriteria diagnostic and statistical manual


of mental disorder fifth edition (DSM-5),16 namun pada tahun 2018 world health
organization (WHO) mengumumkan klasifikasi baru tentang gaming disorder pada
the international classification of disease, eleventh revision (ICD-11) yang memicu
kontroversi.17

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


3

Berbagai dampak yang ditimbulkan AI mendorong dibutuhkannya sebuah


kuesioner diagnostik yang akurat agar tata laksana dapat diberikan dengan segera.
Saat ini belum ada alat ukur baku emas yang mendiagnosis secara tepat dan
digunakan universal. Young18 membuat instrumen internet addiction test (IAT)
untuk skrining AI, yang banyak digunakan di berbagai negara karena memiliki nilai
validitas internal yang baik. Meskipun demikian, IAT memiliki kekurangan yaitu:
(a) tidak mencantumkan durasi waktu sehingga terdapat bias pengukuran berupa
proporsi hasil positif palsu yang lebih tinggi; (b) butir pertanyaan IAT dibuat pada
tahun 1996 sehingga kurang sesuai dengan kemajuan digital saat ini; (c) instrumen
IAT dibuat untuk populasi dewasa, sedangkan remaja memiliki karakteristik
berbeda dan; (d) tidak dimasukkannya faktor bio-psiko-sosial yang berpengaruh
terhadap AI.3,6,11

Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, AI pada remaja merupakan masalah global. Oleh
karena itu, besaran masalah AI pada remaja di Indonesia perlu diidentifikasi lebih
tepat untuk menentukan langkah selanjutnya. Skrining yang tepat perlu dilakukan
agar tata laksana optimal. Saat ini psikiater adiksi di Indonesia hanya 20 orang
sehingga dibutuhkan alat skrining yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lain.

Sebagai langkah awal perlu dikembangkan kuesioner diagnostik adiksi internet


(KDAI) yang komprehensif mencakup faktor bio-psiko-sosial untuk digunakan
sebagai alat skrining AI. Selanjutnya perlu diketahui prevalensi AI pada remaja
serta penelusuran faktor risiko dan proteksi untuk pengembangan modalitas
pencegahan AI.

1.2 Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana kesahihan dan keandalan KDAI pada remaja dibandingkan dengan
kuesioner IAT versi Indonesia?
2. Bagaimana gambaran hasil analisis konektivitas fungsional otak pada remaja
dengan AI dibandingkan remaja tidak AI?
3. Berapa prevalensi remaja AI di Jakarta berdasarkan KDAI?
4. Apakah terdapat hubungan faktor risiko dan faktor proteksi yaitu faktor
demografis, biologis, psikologis, dan sosial dengan AI pada remaja?

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


4

1.3 Hipotesis
1. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki nilai kesahihan dan keandalan
yang lebih baik dibandingkan dengan IAT versi Indonesia.
2. Terdapat perbedaan konektivitas fungsional bermakna pada salience network,
default mode network, central executive network, dan basal ganglia network
antara kelompok remaja AI dan tidak AI.
3. Terdapat hubungan antara faktor risiko meliputi faktor demografis, biologis,
psikologis, dan sosial dengan AI pada remaja.
4. Terdapat hubungan antara faktor proteksi meliputi faktor demografis, biologis,
psikologis, dan sosial dengan AI pada remaja.

1.4 Tujuan Umum


Mengembangkan KDAI yang sahih dan andal yang dapat digunakan sebagai alat
skrining AI bagi remaja sehingga dapat diidentifikasi prevalensi AI pada remaja
serta faktor risiko dan proteksi yang berhubungan.

1.5 Tujuan Khusus


1. Mendapatkan nilai level of agreement dari para pakar dengan melakukan teknik
Delphi dari KDAI.
2. Mendapatkan nilai reliabilitas dan validitas KDAI.
3. Mendapatkan nilai reliabilitas dan validitas konstruk IAT versi Indonesia.
4. Mendapatkan nilai titik potong, area under the curve (AUC), sensitivitas, dan
spesifisitas KDAI.
5. Mendapatkan gambaran hasil analisis konektivitas fungsional otak pada remaja
AI dibandingkan dengan remaja tidak AI.
6. Mendapatkan nilai interval kepercayaan dari analisis mediasi antara fungsi
eksekutif, skor KDAI, dan konektivitas fungsional pada otak.
7. Mendapatkan prevalensi remaja dengan AI di Jakarta.
8. Mendapatkan odds ratio (OR) dari faktor risiko dan proteksi AI yang meliputi
faktor demografis, psikologis, dan sosial.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


5

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.1 Di Bidang Klinis dan Layanan Masyarakat bagi Tenaga Kesehatan
1. Kuesioner diagnostik adiksi internet dapat digunakan sebagai salah satu
modalitas skrining dalam praktik sehari-hari bagi tenaga kesehatan.
2. Data yang dihasilkan dapat digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan
program preventif, promotif, kuratif serta rehabilitatif remaja AI.
3. Data yang dihasilkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan kebijakan
nasional tata laksana AI pada remaja dan dewasa muda.

1.6.2 Di Bidang Pengembangan Akademik


1. Memberikan pemikiran untuk menegakkan diagnosis AI pada revisi DSM
selanjutnya.
2. Menjadi acuan dalam pengembangan modul pengajaran adiksi non-zat.

1.6.3 Di Bidang Pengembangan Penelitian


1. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai data dasar dalam pengembangan
penelitian di bidang AI.
2. Kuesioner diagnostik adiksi internet dapat digunakan untuk menjadi alat
skrining bagi penelitian selanjutnya.
3. Meningkatkan pemahaman penggunaan rs-fMRI BOLD untuk pengembangan
penelitian di bidang adiksi.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Evolusi Penggunaan Jaringan Internet dan Adiksi Internet


Sejak jaringan internet menjadi sarana bagi ilmuwan untuk menyebarkan informasi
dari berbagai penelitian, penggunaan jaringan internet menjadi makin luas di
seluruh dunia. Jaringan internet menjadi sarana komunikasi yang sering digunakan
pada tahun 1995. Saat ini, setelah dua dekade, pengguna internet di dunia menjadi
3,2 milyar (43,4%).19 Pada tahun 2015 sebanyak 34,1% rumah di negara
berkembang memiliki akses internet, sedangkan di negara maju 81,3%.20 Indonesia
memiliki penyebaran jaringan internet yang lebih lambat dibandingkan negara maju
dan negara berkembang di Asia, namun pengguna jaringan internet berkembang
pesat dari 0,9% pada tahun 2000 menjadi 17,1% pada tahun 2014.3

Gambar 2.1. Pengguna Jaringan Internet di Asia Tenggara, Asia Timur, Inggris, dan
Amerika Serikat, 2000 – 20143

Jaringan internet menyebar pesat sehingga mengubah aspek kehidupan manusia,


termasuk bagaimana individu tersebut hidup dan menjadi sarana yang memudahkan
untuk berinteraksi, mencari informasi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Penggunaan internet memengaruhi aspek ekonomi, sosial, dan aspek kesehatan.21
Inovasi penggunaan internet dapat menjawab tantangan kesehatan untuk

7 Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


8

memperbaiki sistem survei penyakit serta menurunkan angka kematian ibu dan
anak. Di sisi lain penggunaan internet juga memiliki dampak negatif berupa
cybervictimization, perundungan dunia maya, pajanan konten yang tidak baik
(misalnya pornografi, kekerasan dan rasisme), sexting (mengirim atau menerima
gambar, video atau tulisan tentang pornografi), berkomunikasi dengan orang asing,
pelanggaran privasi, dan cybersexual.10,20,22 Kerugian akibat penggunaan internet
lebih mudah dialami oleh anak dan remaja karena mereka sangat bergantung pada
internet dan teknologi untuk pembentukan identitas dan interaksi sosial.23

Penelitian AI pertama kali dilakukan pada tahun 1996 untuk menentukan prevalensi,
gejala, dan dampak AI. Kemudian dilanjutkan penilaian psikometri untuk menilai
AI, aspek biologis dan psikososial terkait AI, serta intervensi AI. Kriteria diagnosis
AI diadaptasi dari kriteria judi patologis berdasarkan diagnostic and statistical
manual of mental disorders IV (DSM-IV)24 sebagai bagian dari gangguan kontrol
impuls. Pendekatan neurosains termasuk genetika, pencitraan struktur dan fungsi
otak dipelajari untuk mengetahui mekanisme neurobiologis yang mendasari
terjadinya AI. Pendekatan tersebut penting ditelusuri karena hingga saat ini terapi
AI belum memuaskan.

2.2 Perubahan Aspek Biologis dan Psikologis pada Remaja


Remaja didefinisikan sebagai (1) individu yang berkembang dari mulai timbulnya
tanda-tanda seksual sekunder sampai mencapai kematangan seksual; (2) individu
yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menuju dewasa; (3) fase peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi penuh ke
keadaan mandiri.25

2.2.1 Pertumbuhan Fisik Remaja


Remaja perempuan mengalami pubertas awal pada usia 8–13 tahun. Payudara mulai
tumbuh dan berkembang di bawah areola (thelarche) dan tumbuh rambut halus
pubik di sekitar mons pubis (adrenarche atau pubarche). Thelarche terjadi sebelum
remaja perempuan mengalami menstruasi pertama kali (menarche). Proses pubertas
terjadi selama 4–5 tahun.26

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


9

Proses pubertas remaja laki-laki terjadi pada usia 10,5–16 tahun. Tanda awal
pubertas yaitu perubahan suara, pertumbuhan rambut wajah, dan timbul jerawat.
Tanda maturitas seksual ditandai dengan pembesaran testikular serta diikuti
pertumbuhan rambut pubis di pangkal penis (adrenarche) dan rambut aksilaris.26

2.2.2 Perkembangan Psikologis Remaja


Selain perubahan tampilan fisik, remaja juga mengalami perubahan psikologis yang
dipengaruhi oleh hormon seksual. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Tabel
2.1.27
Tabel 2.1. Perkembangan Psikologis Remaja
Tahap
Perkembangan Usia Permikiran Karakteristik
Remaja
Remaja Awal 10–14 Pemikiran -Muncul pertanyaan “Apakah saya
tahun yang konkret normal?”
berkurang -Keras kepala atau merasa tidak mau
dikalahkan
-Memiliki teman dekat sebaya
Remaja 15–17 -Peningkatan keberanian untuk
pertengahan tahun mengambil risiko
-Muncul pertanyaan “Who am I?”
-Bereksperimen dengan ide-ide
Remaja akhir 18–20 Operasional -Berpikir mengenai masa depan
tahun formal -Berpikir tentang pasangan hidup
-Mulai hidup terpisah

Pembentukan identitas seorang remaja membutuhkan proses yang lama. Remaja


mengalami perubahan dari rasa nyaman ketika kanak-kanak menuju kebebasan atau
kemandirian ketika dewasa. Selama periode ini remaja merespons lingkungannya
secara bebas dan mencoba berbagai identitas yang berbeda. Remaja yang sukses
menemukan identitas diri akan bersifat stabil sedangkan remaja yang tidak berhasil
menemukan identitas akan mengalami identity confusion atau kebingungan
identitas diri. Kebingungan menyebabkan individu menarik diri, mengisolasi diri
dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri ke dalam pergaulan sebaya
dan kehilangan identitas dirinya dalam pergaulan.28

Pada fase permulaan masa remaja, remaja tidak memiliki pengetahuan yang cukup
untuk mengambil keputusan yang tepat. Ketika para remaja mulai meminta
autonomy diri kepada orang dewasa di sekitar mereka, orang tua yang cukup bijak

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


10

akan memberikan autonomy kepada remaja secara bertahap khususnya pada bidang
yang dirasa bahwa remaja tersebut dapat membuat keputusan yang baik. Bimbingan
orang tua tetap diperlukan remaja untuk membuat keputusan yang baik terutama
pada bidang yang belum dikuasai oleh remaja.27

Remaja dengan kasih sayang orang tua yang adekuat diketahui akan memiliki
pencapaian positif pada masa dewasa, lebih sedikit mempunyai masalah emosi dan
lebih tidak terlibat pada permasalahan perilaku seperti kenakalan remaja dan
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA).

Konflik antara remaja dengan orang tua akan meningkat pada awal masa remaja,
menetap hingga masa sekolah tingkat atas, dan berkurang ketika remaja mencapai
umur 17–20 tahun. Konflik sehari-hari yang ringan antara remaja dengan orang tua
dapat berpengaruh pada fungsi perkembangan yang positif. Negosiasi dapat
memfasilitasi terjadinya transisi pada remaja yang pada awalnya sangat bergantung
dengan orang tua menjadi pribadi yang mandiri.29

Remaja usia 12–13 tahun banyak menyesuaikan diri terhadap pergaulan teman
sebaya. Sebuah penelitian di Amerika Serikat mendapatkan bahwa remaja
cenderung memihak teman sebayanya, menghabiskan lebih banyak waktu bersama
teman sebayanya, dan mudah membantah orang tua. Remaja mengikuti tekanan dan
menyesuaikan diri terhadap pergaulan teman sebaya karena remaja masih bingung
dengan identitas dirinya, memiliki kepercayaan diri yang rendah, dan kecemasan
sosial yang tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan remaja merasa tidak pasti dan
terbawa arus pergaulan. Remaja cenderung memaksakan diri untuk mengikuti
‘aturan’ yang berlaku dalam pergaulan agar dapat diterima. Remaja juga sering
memaksakan diri dan menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya yang
dinilai memiliki status lebih dibandingkan dirinya.28

Remaja di negara Asia termasuk Indonesia cenderung mengalami pola asuh orang
tua yang dominan. Hal tersebut menyebabkan remaja mengalami kesulitan untuk
berekspresi secara langsung. Remaja diajarkan untuk mengutamakan pemikiran
dari orang yang lebih tua. Orang tua juga cenderung tidak mendiskusikan hal-hal
yang dianggap tabu oleh masyarakat, misalnya seksual. Pada akhirnya remaja
mencari media lain untuk mengekspresikan diri, yaitu melalui media virtual. Pada

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


11

media virtual, remaja tidak perlu menunjukkan identitas aslinya sehingga ia dapat
mengekspresikan diri dengan bebas. Remaja dapat mencari informasi yang
dianggap tabu melalui media virtual, yang tidak didapat dari orang tua atau sekolah.

2.2.3 Perubahan Otak pada Remaja


Saat ini penelitian mengenai perkembangan otak pada remaja mulai berkembang.
Pada seorang remaja, terjadi pemangkasan sinaps yang tidak digunakan namun
sinaps yang banyak digunakan akan berkembang. Pemangkasan ini menyebabkan
remaja memiliki koneksi neural yang lebih sedikit dan selektif namun lebih efektif
dibandingkan waktu masa kanak-kanak. Pemangkasan tersebut menyebabkan
remaja mulai memilih aktivitas yang akan diikuti. Pada pemeriksaan fMRI,
ditemukan adanya perubahan otak remaja yakni corpus callosum yang mengecil.
Kondisi ini memperbaiki kemampuan remaja untuk memproses informasi. Korteks
prefrontal yang berfungsi sebagai kontrol belum matang secara sempurna sampai
seseorang memasuki usia dewasa (18–25 tahun).30 Amigdala (tempat proses emosi
seperti amarah) akan mengalami proses pematangan lebih dulu dibandingkan
korteks prefrontal. Kondisi tersebut menyebabkan remaja belum memiliki
kemampuan untuk mengendalikan emosinya.

2.3 Konseptualisasi Adiksi Internet


Konsep adiksi dimulai dari ketergantungan NAPZA. Pada tahun-tahun terakhir,
konsep adiksi berkembang pada ketergantungan non-NAPZA atau ketergantungan
perilaku.31 Adiksi perilaku didefinisikan sama dengan ketergantungan NAPZA,
yaitu adanya craving, toleransi, withdrawal, usaha untuk menghentikan perilaku
namun gagal, dan disfungsi.31,32

Penelitian neuroimaging adiksi perilaku menunjukkan adanya hubungan antara


perubahan struktur dan fungsi otak yang terkait dengan reward, emosi, fungsi
eksekutif, atensi, pengambilan keputusan, serta kontrol kognitif. Adiksi perilaku
dapat meliputi penggunaan internet, permainan video, judi, makan, seks, belanja,
pornografi, dan olahraga. Adiksi perilaku diperkenalkan sebagai kategori baru
gangguan psikiatri dalam bab substance-related and addictive disorders pada DSM-
5.33 Salah satu adiksi perilaku yaitu internet gaming disorder berada dalam bagian
III dari DSM-5.16

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


12

Young34 merupakan orang pertama yang mengajukan istilah AI. Ia juga melakukan
banyak penelitian pada AI. Kasus pertama yang ia publikasi adalah seorang ibu
rumah tangga yang mengalami adiksi komunikasi virtual dengan menggunakan
internet. Kasus AI tidak hanya rentan pada kelompok yang mahir teknologi namun
dapat dialami oleh semua populasi. Young34 menggunakan istilah AI untuk
menunjukkan adanya kaitan antara perilaku dan gangguan pengendalian impuls.
Pembagian ketergantungan internet menjadi lima jenis yaitu adiksi cybersexual
(penggunaan cybersex dan cyberporn secara kompulsif), cyber-relationship
(bergantung pada relasi secara online), net compulsions (judi online yang patologis,
ketergantungan belanja atau berdagang secara online), kompulsif mencari infomasi
secara online (mencari informasi pada web atau database secara kompulsif), dan
adiksi komputer (melakukan permainan secara kompulsif).

Definisi AI diadaptasi oleh banyak peneliti dan AI memiliki banyak istilah lain
seperti gangguan AI, penggunaan internet patologis, penggunaan internet
kompulsif, dan penggunaan komputer kompulsif.35 Davis36 mengenalkan istilah AI
umum (general internet addiction-GIA) dan spesifik (spesific internet addiction-
SIA). Gejala GIA adalah penggunaan internet secara kompulsif dan sering pada
dunia nyata individu tersebut mengalami rasa kesepian dan isolasi sosial.

Penggunaan internet berlebihan menjadi salah satu mekanisme coping untuk


menghindari masalah emosi. Individu tersebut mengalami reinforcement positif
saat menggunakan jaringan internet sehingga mengurangi emosi negatif dan rasa
kesepian. Pada SIA, individu sudah memiliki patologi yang spesifik dan kemudian
menggunakan jaringan internet untuk mendapatkan reinforcement positif.

Ran Tao dkk.37 menjelaskan delapan gejala AI, yaitu:


1. Preokupasi adalah pemikiran dan keinginan yang kuat untuk menggunakan
internet serta terus menerus memikirkan aktivitas daring sebelumnya,
2. Withdrawal adalah gejala kecemasan, iritabilitas, dan kesedihan yang dialami
setelah beberapa hari tanpa internet,
3. Toleransi adalah peningkatan durasi penggunaan internet untuk menghasilkan
kepuasan yang sama dengan sebelumnya,

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


13

4. Kesulitan untuk mengontrol adalah kegagalan untuk mengontrol, mengurangi,


atau berhenti menggunakan internet;
5. Disregard or harmful adalah penggunaan berulang meskipun individu
mengetahui konsekuensi negatif yang ditimbulkan,
6. Social communications and interests are lost adalah kehilangan ketertarikan
terhadap hobi dan kesenangan lain yang diakibatkan oleh penggunaan internet,
7. Alleviation of negative emotions adalah penggunaan internet untuk mengurangi
mood disforik (seperti ketidakberdayaan, perasaan bersalah, atau kecemasan),
8. Hiding from friends or relatives adalah kenyataan tentang penggunaan internet
yang ditutupi dari anggota keluarga, terapis, dan lainnya.

2.4 Diagnosis Adiksi Internet


Diagnosis AI menjadi isu yang kompleks karena sampai saat ini belum ada kriteria
yang diakui secara universal. Beberapa istilah yang perlu diperhatikan saat
mendiagnosis AI yaitu istilah addiction to internet dan addiction on internet.
Addiction to internet menandakan individu mengalami adiksi pada semua hal yang
menggunakan internet sedangkan addiction on internet berarti individu adiksi
terhadap suatu hal dan menggunakan internet untuk melakukan kegiatan tersebut.

Saat ini instrumen yang sering digunakan mendeteksi AI adalah internet addiction
diagnostic questionnaire (IADQ) dan IAT oleh Young.7,18 Kriteria diagnosis oleh
Young35 masih kontroversial dan tidak semua pakar menyetujui kriteria tersebut.
Kuesioner lain yang juga sering digunakan adalah chen’s internet addiction scale
(CIAS) yang dikembangkan oleh Chen dkk.38,39

2.4.1 Internet Addiction Diagnostic Questionnaire


Kuesioner yang pertama kali dikembangkan untuk mendiagnosis AI adalah IADQ
yang terdiri atas butir pertanyaan self report, yang diadaptasi dari kriteria diagnosis
judi patologis pada DSM-IV.7 Kriteria yang dipakai pada IADQ termasuk
preokupasi, toleransi, kehilangan kontrol, withdrawal, konsekuensi negatif, denial,
dan pelarian. Dua kriteria lain judi patologis yang dihapus yaitu mengambil
keuntungan finansial dan merugikan keuangan orang lain.7 Hal tersebut
menyebabkan nilai titik potong terlihat kasar. Pengguna jaringan internet yang

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


14

menjawab “ya” untuk lima pertanyaan atau lebih dalam waktu minimal enam bulan,
dan tidak terkait dengan episode manik atau hipomanik, dapat didiagnosis sebagai
AI.7

2.4.2 Internet Addiction Test


Kuesioner IAT adalah revisi IADQ yang divalidasi pada tahun 2004, terdiri atas 20
butir pernyataan self report yang menilai AI berdasarkan DSM-IV untuk kriteria
ketergantungan NAPZA dan judi patologis.18 Kategori penilaian IAT adalah:
normal (0–30), ketergantungan ringan (31–49), sedang (5–79), berat (80–100).18

Internet Addiction Test merupakan kuesioner yang paling sering dipakai untuk
menilai adanya AI. Saat ini kuesioner tersebut sudah diterjemahkan ke berbagai
bahasa dan tervalidasi, termasuk Amerika Serikat (Cronbach’s alpha = 0,83–
0,91),40 Kanada,41 Inggris,18,42 Spanyol (α = 0,91),43 Italia (α = 0,83–0,86),44 Jerman
(α = 0,89–0,91),45,46 Portugal (α = 0,90),47 Swiss (α = 0,93),48 Polandia (α = 0,90),49
Finlandia,50 Yunani,51 Turki (α = 0,93),52 Cyprus (α = 0,83–0,89),53 Korea Selatan
(α = 0,91),54 Hong Kong (α = 0,93),55 Jepang (α = 0,85),56 Malaysia (α = 0,91),56,57
Bangladesh (α = 0,89),58 Lebanon (α = 0,92),49 and Brazil (α = 0,85).59 Nilai
Cronbach’s alpha yang diperlihatkan pada studi tersebut menunjukkan konsistensi
internal yang kuat.

Instrumen IAT diadaptasi secara luas dan memiliki konsistensi internal yang tinggi,
namun memiliki limitasi sebagai instrumen skrining yaitu IAT tidak menggunakan
durasi waktu dari setiap gejala yang ditanyakan kepada subjek. Limitasi lain adalah
nilai titik potong IAT tidak berdasarkan pertimbangan empiris, misalnya keparahan,
banyaknya gejala dan dampak yang dialami karena AI. Studi pada remaja di Yunani
menunjukkan budaya harus dipertimbangkan dalam analisis dan penilaian AI.60

2.4.3 Alat Ukur Diagnostik yang Lain


Alat ukur diagnostik AI yang lain menggunakan berbagai kriteria untuk
mengidentifikasi AI pada remaja dan dewasa. Klasifikasi beragam mulai adaptasi
gejala adiksi untuk zat atau judi patologis sampai kriteria yang memiliki relevansi
kecil dengan diagnosis AI. Kriteria lain adalah berapa lama individu tersebut daring
atau seberapa besar dampak penggunaan internet yang berlebihan. Kriteria tersebut

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


15

menyederhanakan gambaran AI yang sebenarnya. Pada Tabel 2.2. diperlihatkan


informasi dari berbagai alat ukur AI yang lain.

2.5 Epidemiologi Adiksi Internet


Penelitian di 6 negara Asia yaitu Cina, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan,
Malaysia dan Filipina menunjukkan 62% remaja memiliki telepon genggam sendiri,
dengan angka tertinggi di Korea Selatan (82%). Di Hong Kong 68% remaja
menggunakan internet untuk kebutuhan sehari-hari. Remaja yang bermain
permainan daring bervariasi dari 11% di Cina sampai 39% di Jepang.2 Rumah
menjadi lokasi penggunaan internet pada 45–96% remaja kecuali remaja di Filipina
yang sering bermain di warung internet. Remaja menggunakan internet > 4 jam /
hari rentan mengalami AI. Penggunaan internet untuk mengirim email, pesan
singkat, blogging, mengunjungi website, media sosial, belanja daring, dan
permainan daring.

Penggunaan telepon genggam di Asia (41–84%) lebih tinggi dari Amerika Serikat
(46%). Remaja di negara Asia menggunakan jejaring sosial seperti Facebook©,
Wechat©, Line©, Kakao Talk©, untuk mengekspresikan emosi dan kreativitas karena
budaya Asia yang mengharapkan remaja untuk meredam emosinya. Prevalensi AI
bervariasi; 4–19,1% pada remaja dan 0,7–18,3% pada dewasa muda. Prevalensi
remaja dengan AI di Asia Tenggara dilaporkan sekitar 6,7%, Amerika Serikat 0,6%
dan Eropa 2,1%. Filipina memiliki prevalensi remaja dengan AI tertinggi (51%),
diikuti dengan Jepang (48%), dan Hong Kong (32%). Korea Selatan memiliki
prevalensi paling kecil yaitu 10% karena terkait dengan aturan pemerintah yang
melarang remaja di bawah usia 16 tahun mengakses jaringan internet antara jam
00.00–06.00.2 Prevalensi AI pada remaja di Jakarta 33,3% dengan menggunakan
kuesioner IAT namun kuesioner belum divalidasi ke dalam bahasa Indonesia.81

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


16

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


17

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


18

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


19

2.6 Faktor Risiko Adiksi Internet


Populasi remaja rentan terhadap AI karena remaja sedang berada dalam fase
perkembangan untuk pembentukan identitas. Remaja memiliki karakteristik yaitu
pengambilan risiko yang tinggi, senang mengeksplorasi hal baru dan sangat sensitif
dengan tekanan teman sebaya. Perkembangan area otak remaja belum matur di area
yang bertanggung jawab untuk kontrol eksekutif, motivasi, dan pengambilan
keputusan. Hal tersebut menandakan bahwa remaja yang mengalami AI
dipengaruhi oleh faktor risiko berupa faktor biologis, psikologis dan sosial.

2.6.1 Faktor Biologis


Faktor genetika memengaruhi remaja mengalami suatu adiksi sebanyak 40–60%.
Saat ini faktor biologis yang mendasari AI banyak diteliti. Berbagai studi
membandingkan gambaran fMRI antara remaja AI dengan yang tidak AI.

Area otak dan neurotransmiter yang terkait dengan adiksi internet dapat dilihat dari
Gambar 2.2. Area yang terkait sebagai berikut:
1. Prefrontal Cortex
Prefrontal Cortex (PFC) terbagi atas area orbitofrontal, dorsolateral dan medial
(Gambar 2.2.). Pada AI, area yang terkait adalah orbitofrontal dan dorsolateral.
Area orbitofrontal yang terinhibisi akan menimbulkan kontrol impuls yang buruk
dan perilaku yang tidak sesuai. Area dorsolateral yang disorganisasi akan
menimbulkan disfungsi kognitif, pengambilan keputusan yang salah, serta
pemikiran menjadi konkret dan tidak fleksibel. Pada AI, PFC dikaitkan dengan
proses craving yang ditunjukkan dengan peningkatan aktivitas sinyal PFC.82,84

2. Hippokampus
Area hippokampus sering kali dikaitkan dengan gangguan psikiatrik, misalnya
demensia dan depresi. Hippokampus bertanggung jawab terhadap memori
seseorang. Kesenangan yang didapatkan dari penggunaan internet direkam di area
hippokampus.82,84

3. Amigdala
Amigdala terletak pada lobus temporal dan terbagi atas medial, sentral, dan
basolateral. Amigdala memegang peran penting pada rasa takut, perilaku

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


20

menghindar, pembentukan rasa senang atau gratifikasi. Memori emosi seseorang


terekam pada amigdala.

Gambar 2.2. Area Otak Terkait Adiksi Internet83

4. Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter yang memiliki peran besar pada AI.
Penggunaan internet yang kompulsif dan tidak terkontrol menyebabkan proses
down regulation pada reseptor dopamin. Proses ini menyebabkan berkurangnya
reseptor dopamin sehingga individu menggunakan internet lebih lama untuk
mendapatkan kesenangan dan gratifikasi.

Saat ini banyak studi yang menggunakan pencitraan untuk mempelajari masalah AI
secara neurologis. Pemeriksaan fMRI menjadi modalitas unggulan karena dapat
melihat struktur anatomi dan fisiologi melalui perbedaan kontras. Aktivitas otak
tergambar dari peningkatan aliran darah teroksigenasi dan akhirnya perbedaan
kadar oksigen di daerah tertentu yang menjadi kontras dan tampak dalam pencitraan
fMRI.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


21

Penggunaan fMRI dapat mendeteksi perubahan otak lebih awal. Gambaran fMRI
pada remaja AI menunjukkan penipisan substansia grisea di area orbitofrontal
korteks lateral kiri, korteks insula, dan korteks entorhinal. Struktur tersebut penting
untuk fungsi eksekusi dan kontrol kognitif. Temuan lain pada remaja AI adalah
peningkatan kepadatan substansia grisea di korteks presentralis kiri, prekuneus,
frontal media, dan region temporal inferior dan media.

Secara fungsional, AI menunjukkan adanya peningkatan aliran darah otak di lobus


temporal inferior / girus fusiformis kiri, girus parahippokampus kiri / amigdala,
lobus frontal media kanan, insula, girus temporal media kanan, girus presentralis
kanan, area supplementary motor kiri, girus singularis kiri, dan lobus parietal
inferior kanan. Perubahan perilaku AI disebabkan perubahan anatomis dan
fisiologis masing-masing lobus otak yang berperan dalam proses pembelajaran,
adiksi, dan inhibisi. Proses tersebut membutuhkan waktu yang lama sebelum
memberikan gambaran pada modalitas pencitraan MRI.

2.6.1.1 Pendekatan Neurosains pada Adiksi Internet


Neuroimaging dalam Pemeriksaan Gangguan Psikiatrik
Semua kapasitas mental yang dapat dilakukan manusia, mulai dari penerimaan
rangsang sensorik, persepsi, proses pikir, dan perencanaan bergantung pada
aktivitas sinergik populasi neuron. Oleh karena itu perlu dipahami fisiologi neuron
dan sel glia, pemetaan (arsitektur) fungsi otak secara keseluruhan serta hubungan
antar populasi neuron yang berkaitan dalam melakukan suatu kegiatan.85

Functional MRI
Functional MRI (fMRI) adalah modalitas neuroimaging non-invasif yang bertujuan
mempelajari aktivitas otak ketika seseorang beraktivitas atau istirahat. Pergantian
antara waktu istirahat dan aktivitas (tugas yang diberikan) akan menciptakan
perubahan dalam aktivitas dan metabolisme otak, yang ditangkap sebagai sinyal
oleh alat fMRI. Perubahan sinyal tersebut kemudian digunakan sebagai panduan
penilaian daerah otak yang teraktivasi saat melakukan tugas yang berbeda. Dengan
demikian, fMRI telah memberikan akses bebas bagi para peneliti untuk mempelajari
otak saat sedang bekerja.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


22

Fisiologi BOLD sebagai Metode Kontras pada fMRI


Blood oxgyen level dependent (BOLD) adalah sebuah metode yang paling sering
digunakan dalam fMRI. Metode ini dideskripsikan oleh Seiji Ogawa86 pada tahun
1990 pada model hewan percobaan tikus menggunakan medan magnetik yang kuat
(7 dan 8,4 Tesla). Metode BOLD memiliki keunggulan yaitu menggunakan
hemoglobin (Hb) sebagai kontras endogen sehingga tidak memerlukan kontras
eksogen. Secara umum, teknik pemeriksaan fMRI BOLD memanfaatkan prinsip
medan magnetik dan sifat magnetik Hb di darah manusia.87

Prinsip yang Mendasari fMRI


Pemeriksaan dengan resonansi magnetik membutuhkan tiga komponen, yaitu
proton hidrogen, medan magnet kuat (1,5–7 Tesla), dan sumber energi eksternal.
Tubuh manusia terdiri atas air dan senyawa lainnya termasuk atom hidrogen.
Medan magnet disediakan oleh alat MRI sementara energi yang dipakai adalah
energi dari frekuensi radio / radio frequency (RF).87

Proton hidrogen mempunyai dua karakteristik yaitu bermuatan positif dan berputar
pada aksis nukleusnya. Kombinasi antara muatan positif dan gerakan berputar
proton akan menghasilkan medan magnet. Di dalam tubuh, letak proton bersifat
acak kecuali saat tubuh masuk ke dalam MRI. Ketika ditempatkan dalam medan
magnet yang lebih besar, proton akan menyejajarkan posisi mereka sehingga terjadi
penjumlahan magnetisasi semua proton itu, yang disebut net magnetization. Proton
yang telah disejajarkan tidak diam, melainkan bergoyang sesuai medan magnet
yang ada. Gerakan ini disebut precession. Dalam keadaan precession, proton
bergoyang pada frekuensi yang sama; rumus yang digunakan adalah persamaan
Larmor f = 42,576 x B. B adalah kekuatan medan magnet MRI dengan satuan Tesla.
Frekuensi presisi ini berperan penting dalam membuat sinyal yang akan ditangkap
oleh alat MRI dan memulai pengiriman RF dari alat MRI ke tubuh manusia.

Saat alat MRI memancarkan RF, proton akan menyerap energi tersebut dan
bergoyang melewati batas medan magnet yang utama. Frekuensi yang digunakan
agar proton dapat bergoyang tegak lurus terhadap medan magnet utama disebut 90o
RF pulse.87

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


23

Sebelum masuk ke dalam alat MRI, proton terletak longitudinal sesuai posisi / aksis
tubuh. Bila dipancarkan RF, proton akan berubah posisi menjadi transversal. Ketika
alat berhenti memancarkan RF, proton akan mengalami proses relaksasi. Terdapat
dua jenis relaksasi, yaitu relaksasi T1 dan relaksasi T2. Kedua jenis relaksasi terjadi
bersamaan, akan tetapi tidak berhubungan satu sama lain.87

Relaksasi T1 dan T2
Seperti yang telah diketahui, dibutuhkan 90o RF pulse untuk mengubah posisi
proton dari longitudinal menjadi transversal. Posisi transversal bersifat tegak lurus
terhadap posisi longitudinal. Saat proses relaksasi, proton akan segera kembali ke
posisi longitudinal. Relaksasi T1 menggambarkan pertumbuhan posisi longitudinal
seiring dengan berakhirnya proses relaksasi. Relaksasi T1 merupakan net
magnetization yang kembali ke posisi longitudinal setelah 90o RF pulse.87

Setelah 90o RF pulse dipancarkan oleh alat MRI, terjadi perubahan bidang posisi
dan arah gerakan proton. Proton yang mempunyai arah sama berada dalam keadaan
in-phase. Saat net magnetization berada di bidang transversal, proton mulai
mengalami dephase dan kehilangan sinyal secara cepat. Bila proses dephase
berlanjut, tidak ada sinyal lagi untuk membuat gambaran MRI. Oleh karena itu,
dibentuk kembali sinyal yang dapat menggambarkan proses relaksasi T2. Untuk
mengembalikan proton yang dephase ke in-phase membutuhkan 180o RF pulse.
Proton di bidang transversal akan dibalikkan secara horizontal sehingga
memosisikan proton yang lebih cepat di belakang proton yang lebih lambat. Proton
kembali ke keadaan in-phase; proses tersebut dinamakan rephase. Setelah semua
proton dalam keadaan in-phase, akan terbentuk sinyal yang akan dikirimkan ke alat
MRI. Sinyal rephase tersebut dinamakan echo. Dalam proses rephase, beberapa
proton akan tersingkir dari bidangnya karena fenomena spin-spin interaction
(proton tersebut saling bertabrakan sehingga keluar dari jalurnya). Akibatnya, echo
yang dihasilkan mempunyai sinyal yang lebih kecil dari sinyal awal.

Interaksi spin-spin bertanggung jawab atas hilangnya net magnetization di bidang


transversal. Pada relaksasi T2, digambarkan proses hilangnya net magnetization
selama proton berada pada posisi transversal. Oleh karena itu, relaksasi T2 dapat
didefinisikan sebagai hilangnya magnetisasi transversal akibat interaksi spin-spin.87

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


24

Proses pembentukan echo ini akan berulang terus hingga didapatkan gambaran
resonansi magnetik yang jelas. Echo time (TE) dan repetition time (TR) adalah dua
parameter yang dapat digunakan untuk memberikan kontras jaringan pada gambar.
TR bertanggung jawab atas kontras yang terlihat pada jaringan akibat relaksasi T1
sedangkan TE akibat relaksasi T2. Gambaran T1-weighted dan T2-weighted
mempunyai perbedaan dalam memperlihatkan berbagai struktur otak, masing-
masing sesuai dengan waktu relaksasi T1 dan T2. Gambaran T1-weighted
didapatkan dari penggunaan kontras T1 saat terdapat TR yang pendek (400–600
milisekon). Pada gambaran T2-weighted didapatkan dari penggunaan kontras T2
saat terdapat TE yang lama (70–120 milisekon).87

Suseptibilitas Magnetik – Faktor Hemoglobin


Dalam ilmu fisika dikenal istilah suseptibilitas magnetik yakni kecenderungan
benda terinduksi medan magnet. Terdapat tiga derajat suseptibilitas magnetik, yaitu
feromagnetik, paramagnetik, dan diamagnetik. Feromagnetik menandakan benda
sangat kuat dipengaruhi medan magnetik. Benda paramagnetik memiliki sedikit
suseptibilitas terhadap medan magnet sedangkan diamagnetik memiliki
suseptibilitas negatif.87

Hemoglobin adalah protein pengikat oksigen yang mengandung unsur besi.


Struktur hemoglobin terdiri atas empat protein globular (globin) dan heme. Hb yang
berikatan dengan oksigen (oksihemoglobin-HbO2), bersifat diamagnetik. Hb yang
tidak berikatan dengan oksigen (deoksihemoglobin), bersifat paramagnetik. Sifat
magnetik dihasilkan oleh elektron yang tidak berpasangan. Elektron yang tidak
berpasangan membuat atom menjadi high-spin dan elektron yang berpasangan
bersifat low-spin. Sifat magnetik juga dipengaruhi massa atom dan muatan listrik
yang dimilikinya. Perubahan oksigenasi dalam darah akan menyebabkan perubahan
suseptibilitas terhadap medan magnetik di sekitar sel darah merah.87

Perubahan yang ditimbulkan oleh deoksihemoglobin adalah distorsi medan


magnetik yang bersifat mikroskopis. Oleh karena itu, peningkatan oksigenasi dapat
sedikit mengurangi distorsi pada bidang magnetik sehingga kembali menjadi lebih
homogen, sedikit meningkatkan T2* lokal pada jaringan, dan sedikit meningkatkan
sinyal berupa resonansi magnetik lokal.87

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


25

Suseptibilitas Magnetik – Faktor-Faktor Lain dalam fMRI BOLD


Di samping itu, ada beberapa faktor lain yang dapat memengaruhi suseptibilitas
magnetik dalam pembuluh darah, yaitu (1) orientasi pembuluh darah, (2) ukuran
pembuluh darah, (3), ukuran bidang magnetik eksternal, dan (4) rasio kadar Hb
dengan HbO2 di dalam pembuluh darah.87

Pengukuran dalam Metode Kontras fMRI BOLD


Sinyal yang ditangkap oleh fMRI BOLD antara lain kandungan air di darah
(intravaskular) dan jaringan (ekstravaskular), volume darah otak (cerebral blood
volume / CBV), aliran darah otak (cerebral blood flow / CBF), dan laju metabolisme
oksigen yang dikonsumsi oleh otak (cerebral metabolic rate of O2 consumption /
CMRO2). Sebenarnya pengaruh kandungan oksigen dalam air dapat diabaikan
karena tekanan atmosfernya yang tidak demikian bermakna. Oleh karena itu, yang
termasuk dalam respons hemodinamik sebagai sinyal kolektif BOLD adalah CBF,
CBV, dan CMRO2.87

Saat otak bekerja, terjadi peningkatan yang bermakna pada aliran darah, sekitar
30–50% sedangkan volume darah hanya meningkat 5–20% dan CMRO2 meningkat
1–20%. Hal tersebut tidak membuat perubahan bermakna pada fraksi Hb dan HbO2
arteri, namun terjadi peningkatan kadar HbO2 vena dan kapiler. Peningkatan aliran
darah yang lebih besar dari dua faktor lainnya adalah bentuk kompensasi terhadap
peningkatan laju konsumsi oksigen sehingga saturasi oksigen menjadi meningkat.87

Dua Pendekatan Studi dengan fMRI BOLD


1. Resting state studies
Istilah resting state digunakan untuk menjelaskan keadaan otak saat bebas dari
aktivitas tambahan (task-free). Subjek diminta untuk berbaring dalam alat fMRI
dengan mata tertutup serta tidak melibatkan proses kognitif apa pun. Keuntungan
keadaan tersebut untuk mengukur neurofisiologi otak saat bebas dari proses
kognitif (task-directed). Melalui metode ini dapat dinilai mode default otak (saat
hanya beberapa struktur otak yang aktif saat tidak ada proses kognitif). Dengan
demikian, dinamika tentang bagian otak mana yang akan lebih aktif (korelasi positif)
dan kurang aktif (korelasi negatif) saat diberikan aktivitas tambahan dapat
dinilai.87,88

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


26

Keuntungan lainnya adalah mudah dilakukan terutama pada anak-anak,


membutuhkan lebih sedikit waktu, dan bersifat cost-effective. Kelebihan lain
metode ini adalah variabilitas dalam kelompok kontrol dapat lebih terlihat.
Kelemahan metode ini adalah proses mental yang dinilai dalam uji pencitraan tidak
spesifik. Jika terdapat variabilitas dalam satu kelompok, peneliti harus memprediksi
pengaruh pengalaman pribadi terhadap hasil selama prosedur berlangsung.87,88

2. Task-based studies
Pencitraan ini menggunakan prinsip BOLD untuk memvisualisasi sinyal saat terjadi
perubahan aktivitas otak. Ada dua desain yang digunakan: desain blok dan event-
related. Pada desain blok, stimulus dari kondisi yang sama akan dipresentasikan
secara bersamaan dalam bentuk epoch singkat (maksimal 1 menit), yang akan
bergantian dengan epoch dari kondisi lain. Prinsip pada desain blok adalah
memaksimalkan deteksi perubahan sinyal sambil meminimalisasi waktu di dalam
mesin. Kekurangan prinsip ini ialah penilaian proses kognitif diabaikan sehingga
akan didapatkan pola yang sama pada setiap stimulus.87,88

Pada desain event-related, resolusi temporal relatif cepat dibandingkan teknik MRI
lain dalam memperlihatkan respons BOLD terhadap stimulus sehingga didapatkan
informasi yang lebih detail tentang respons neuronal pada tiap stimulus. Pada desain
tersebut, data yang didapatkan lebih banyak sehingga data dapat dianalisis lebih
dalam dan berguna untuk menilai respons tiap stimulus yang berbeda. Desain
tersebut dapat membuat jarak antar stimulus serta mengurangi efek habituasi dan
prediktabilitas.87,88

Hasil Pemeriksaan fMRI


Data yang didapat dari fMRI berupa sebuah sekuens gambar resonansi magnetik,
yang setiap gambarnya terdiri atas elemen volume dalam susunan yang merata,
disebut sebagai voxel. Intensitas gambar setiap voxel mencerminkan distribusi
spasial densitas putaran nukleus atom di daerah tersebut. Perubahan hemodinamik
otak akibat aktivitas neuron memengaruhi intensitas sinyal fMRI. Sebagai
konsekuensi, terjadi perubahan intensitas voxel dalam suatu waktu. Data tersebut
melokalisasi area otak yang teraktivasi, menyimpulkan konektivitas neuron dan
memprediksi neuropatologi atau psikopatologi.89

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


27

Peningkatan kebutuhan metabolisme akibat aktivitas neuronal meningkatkan aliran


darah teroksigenasi ke daerah yang teraktivasi. Jumlah oksigen yang dipasok lebih
banyak dari yang digunakan, kadar deoksihemoglobin menurun dan meningkatkan
sinyal yang ditangkap. Peningkatan sinyal berlangsung 2 detik dan memuncak 5–8
detik setelah awitan aktivitas neuronal. Setelah mencapai titik tertinggi, sinyal
menurun hingga baseline selama 10 detik karena aliran darah lebih cepat dari
volume darah.89 Beberapa penelitian menemukan bahwa penurunan kadar
oksigenasi setelah aktivitas neuronal, menyebabkan meningkatnya sinyal BOLD 1–
2 detik pertama. Penurunan ini disebut sebagai initial negative BOLD response. 89

Keterbatasan fMRI
Batasan fMRI adalah teknik kontras BOLD memanfaatkan perubahan CBF, CBV,
dan konsumsi oksigen. Hubungan ketiga variabel dengan aktivitas neuron
dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis sel, sirkuit yang terlibat saat aktivasi, dan
proses pemenuhan suplai energi ke otak.87,89

Kontraindikasi dan Potensi Risiko fMRI


Pemeriksaan fMRI menggunakan prinsip magnet sehingga memiliki risiko lebih
sedikit dibandingkan pencitraan lain. Untuk meminimalisasi risiko dan
kontraindikasi fMRI, perlu dilakukan pengawasan dan edukasi pada orang yang
akan melakukan fMRI.

Sebelum melakukan fMRI, pasien diharuskan melepaskan semua benda logam yang
dapat dilepaskan dari tubuhnya. Hal tersebut dilakukan karena fMRI menggunakan
medan magnet yang kuat sehingga dapat menarik logam. Kontraindikasi fMRI
adalah subjek dengan alat pacu jantung, pemakaian benda metal, alat implan medis,
implan gigi, riwayat operasi tulang, tendon, dan sendi dalam enam minggu
terakhir.90

Pemeriksaan fMRI akan menimbulkan suara dengan frekuensi tinggi yang dapat
menyebabkan kerusakan telinga bila pelindung telinga tidak dipakai. Pada
pemeriksaan dengan fMRI, pasien akan diam atau tidak bergerak dalam posisi tidur
di dalam ruang yang tertutup, sehingga pada pasien dengan klaustrofobia atau
dengan ketakutan pada ruangan tertutup harus memiliki perhatian khusus.90

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


28

2.6.1.2 Pemeriksaan Neuroimaging pada Adiksi Internet


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan fMRI,
ditemukan area yang secara konsisten mengalami peningkatan aktivitas pada subjek
dengan AI yaitu DLPFC dan amigdala. Bukti penelitian terlampir pada Tabel 2.3.
Gambaran fungsional otak pada pencitraan fMRI dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Tabel 2.3. Hasil Pemeriksaan Neuroimaging pada Adiksi Internet


Teknik
Studi Subjek Hasil
Analisis
Chang 19 subjek Pendekatan Peningkatan ketebalan korteks, densitas
dkk.91 dengan adiksi teori grafis substansia grisea, dan integritas substansia
permainan (graph- alba. Kehilangan segregasi dan integrasi
daring dengan theoretical fungsional, perubahan topologis menjadi
durasi waktu approach) konfigurasi teracak, kehilangan daya
permainan > 10 dan fMRI inhibisi area frontal, hingga peningkatan
jam, 20 kontrol efisiensi region frontolimbik.
Kühn 62 laki-laki MRI dan Terdapat korelasi positif fungsional fronto-
dkk.92 dewasa IAT striatal ventral dan frontal kanan dengan
striatum ventral kiri. Korelasi negatif IAT
dengan volume substansia grisea frontal
kanan. Fungsi prefrontal berkurang diganti
dengan aktivitas ventral striatal.
Jun dkk.93 14 orang AI Magnetic Rasio N-acetylaspartate - kreatin
dan kontrol resonance berkurang, tetapi rasio kolin - kreatin
spectroscopy meningkat pada substansia alba lobus
frontalis.
Baojuan Remaja AI fMRI Ketidakmampuan aktivasi konektivitas
dkk.94 fronto-basal ganglia dan fungsi inhibisi
Guangheng AI fMRI Lemahnya aktivitas korteks anterior dan
dkk.95 posterior singularis, menimbulkan
impulsivitas dan masalah dalam
menerjemahkan fungsi kognitif menjadi
kerja.
Sun dkk.96 20 remaja laki- fMRI Peningkatan aktivitas sinyal di DLPFC,
laki; 10 adiksi amigdala, korteks temporal bilateral,
permainan serebelum, lobus parietal inferior kanan,
daring, 10 kuneus kanan, hippokampus kanan, girus
kontrol parahippokampus, girus fusiform, dan
nukleus caudate kiri.
Ko dkk.97 16 dewasa fMRI Peningkatan aktivitas sinyal pada girus
muda laki-laki parahippokampus, prekuneus, dorsolateral
adiksi prefrontal cortex, girus singularis anterior,
permainan amigdala.
daring, 16
kontrol
Guang 15 remaja Diffuse Peningkatan integritas substansia alba pada
heng dkk.98 adiksi Tensor talamus dan korteks singularis posterior.
permainan Imaging
online dan 16 (DTI)
kontrol

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


29

Gambar 2.3. Gambaran Fungsional pada Adiksi Permainan Daring saat Diberi
Stimulus Gambar96

2.6.2 Fungsi Eksekutif


Fungsi eksekutif adalah sistem kontrol di otak yang berfungsi untuk meregulasi
perilaku. Fungsi eksekutif memiliki empat komponen yakni (1) penetapan target,
(2) perencanaan, (3) pelaksanaan rencana berorientasi target, dan (4) performa
efektif. Fungsi tersebut dibutuhkan agar dapat berperilaku tepat sasaran.99 Dalam
lingkungan yang terus berubah, fungsi eksekutif membantu berpikir dan mengubah
fokus pikiran secara cepat sehingga dapat beradaptasi dengan berbagai macam
situasi dengan menahan diri dari perilaku menyimpang, membuat rencana, memulai
eksekusi rencana, dan tekun melaksanakan rencana hingga selesai.99

Atensi merupakan komponen fungsi eksekutif yang terdiri atas atensi selektif,
berkesinambungan, dan inhibisi respons. Kemampuan atensi mulai terlihat pada
bayi berusia 12 bulan. Perkembangan selanjutnya terlihat pada usia 6–8 tahun.
Penguasaan kemampuan pada usia 10 tahun dan paling jelas saat 12 tahun.99

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


30

A. Perencanaan
Kemampuan perencanaan didefinisikan sebagai kemampuan mengidentifikasi dan
menyusun langkah untuk mencapai sebuah target. Perencanaan adalah aktivitas
multiaspek yang membutuhkan proses kognitif yang kompleks. Anak usia 3 tahun
dapat membuat perencanaan susunan kata dalam peristiwa sederhana, misalnya
acara keluarga. Anak 7–11 tahun dapat membuat perencanaan yang lebih efisien
dan terstruktur dan matur pada usia 12 tahun.99

B. Set shifting
Set shifting atau fleksibilitas kognitif adalah kemampuan berpindah antar set
respons yang berbeda. Kemampuan ini muncul saat usia 3–5 tahun ketika anak
melalukan aktivitas yang berbeda. Semakin kompleks peraturan kegiatan, anak
akan lebih banyak melakukan kesalahan dalam fleksibilitas. Misalnya, anak berusia
3 tahun masih dapat mengingat peraturan, “Bila bola merah, masukan ke kantong
ini. Bila bola biru, masukan ke kantong itu.” Ketika peraturannya berubah bentuk
menjadi mobil dan bunga, anak tidak akan dapat melakukannya dan akibatnya
mempraktikkan kembali peraturan yang pertama mereka dapat. Kemampuan ini
berkembang saat usia 7–9 tahun dan terus berkembang hingga remaja. 99

C. Fluensi verbal
Permulaan dan produktivitas verbal adalah fungsi eksekutif yang sering dinilai pada
instrumen fluensi verbal. Fluensi dapat berupa fonemik (huruf) yang dinilai dengan
meminta subjek untuk menyebutkan kata yang diawali huruf F dan semantik
(kategori) dinilai dengan menyebutkan kata-kata dalam kategori tertentu.
Keberhasilan tes membutuhkan fungsi eksekutif yakni pengontrolan diri untuk
tidak menyebutkan kata yang tidak sesuai dengan peraturan. Tes fluensi verbal
adalah yang paling sensitif untuk mendeteksi kelainan lobus frontalis. 99

Individu dengan fungsi eksekutif intak dapat hidup mandiri dan produktif meskipun
memiliki defisit kognitif berat. Fungsi eksekutif tersebut berada di DLPFC yang
terletak di bagian terluar lobus frontalis dan berfungsi untuk perencanaan perilaku,
atensi, pengambilan keputusan dan penilaian. Kelainan lobus frontalis
menyebabkan gangguan psikiatrik, seperti skizofrenia dan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Basal ganglia (nucleus caudate dan putamen)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


31

terhubung dengan DLPFC (nucleus caudate dan putamen) melalui loop fronto-
striatal. 99

Orbitofrontal cortex (OFC) dan ventromedial prefrontal cortex (VMPFC) berperan


dalam antisipasi reward, proses emosi, dan pengambilan keputusan. Kedua struktur ini
terhubung dengan struktur limbik (amigdala) dan striatum ventral (nucleus accumbens)
melalui loop fronto-striatal. Nucleus accumbens menerima proyeksi dopaminergik
(melalui glutamat dan Gamma-Aminobutyric Acid / GABA) langsung dan tak langsung
dari ventral tegmental area (VTA). Dorsomedial prefrontal cortex (DMPFC) dan
anterior cingulate cortex (ACC) menerima proyeksi dopaminergik dari nucleus
accumbens. Kedua struktur tersebut diduga terlibat dalam kondisi craving. 99

Fungsi Eksekutif pada Individu dengan Adiksi Internet


Sun dkk.100 melakukan penelitian dengan instrumen Iowa gambling task, yang
banyak dipakai dalam studi gangguan neurologis dan psikiatrik termasuk
ketergantungan zat dan perilaku adiktif. Instrumen tersbut menilai kemampuan
pengambilan keputusan dalam situasi dilema. Dalam melakukan tes dibutuhkan
kemampuan belajar dari umpan balik. Individu dengan AI sulit melakukan tugas-
tugas Iowa gambling task yang mengartikan bahwa mereka memiliki defisit dalam
hal pengambilan keputusan, yang kerap diasosiasikan dengan perilaku adiktif.100

Penelitian lain oleh Pawlikowski & Brand12 menunjukkan bahwa remaja dengan
adiksi permainan daring membuat banyak pilihan yang berisiko dan tidak
menguntungkan, bahkan setelah mendapatkan penjelasan mengenai konsekuensi
setiap pilihan yang mereka buat. Instrumen yang digunakan adalah game of dice
task. Hasil ini konsisten dengan subjek lain dalam studi adiksi opiat dan judi
patologis. Integritas prefrontal dan fungsi eksekutif juga dapat dinilai dari
kemampuan melaksanakan tugas dalam dice task dengan baik. Dapat disimpulkan,
remaja AI memiliki gangguan di prefrontal dan fungsi eksekutif lainnya.12

2.6.3 Faktor Psikologis


Remaja dengan AI sering memiliki gejala psikopatologi. Remaja tersebut memiliki
rasa tidak percaya diri dan citra diri yang rendah sehingga berusaha melakukan
coping dengan mengalihkan perasaan tersebut dengan kepuasan menggunakan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


32

internet. Kelekatan juga menjadi faktor predisposisi remaja mengalami AI.101


Remaja yang tidak memiliki hubungan lekat dengan ibu di masa kanak-kanak
cenderung mencari suatu kegiatan untuk mengompensasi defisit pada striatal
dopamin. Remaja dengan kecemasan tinggi cenderung mencari lingkungan yang
aman, melalui lingkungan virtual. Pengalaman menggunakan jaringan internet
mengubah emosi negatif melalui kepuasan yang dialaminya (reinforcement positif).

Pada fase perkembangan Erik Erikson, remaja merupakan fase pencarian identitas,
dan teman sebaya menjadi figur penting untuk pembentukan identitas diri. Remaja
yang tidak didukung oleh lingkungan suportif menjadi rendah diri, memiliki harga
diri yang rendah dan emosi yang negatif. Remaja beralih pada kondisi yang dapat
memberikan rasa gratifikasi secara instan, misalnya AI atau dunia virtual.102

Remaja dengan AI dibagi menjadi dua, yaitu dual diagnosed internet addict (DDIA)
dan new internet addict (NIA). Remaja dengan DDIA adalah para pecandu yang
telah memiliki masalah psikologi (misal depresi, cemas, obsessive compulsive
disorder (OCD) dan adiksi NAPZA). Masalah emosi menjadi salah satu penyebab
AI. Individu DDIA dengan adiksi NAPZA, mengalami AI karena pemahaman
bahwa AI lebih aman dari segi medis dibandingkan dua jenis adiksi lainnya.
Berbeda dengan DDIA, remaja NIA tidak pernah memiliki gangguan psikiatrik
sebelumnya. Adiksi internet yang dialami merupakan masalah yang baru muncul
dan hanya terbatas pada AI.102

Berbeda dengan DDIA, remaja NIA mengalami kondisi adiksi karena fitur-fitur
yang hanya dapat ditemukan di internet, seperti chatting, media sosial, massively
multiplayer online role-playing games (MMORPG), dan belanja daring. Seseorang
yang mengalami adiksi Facebook© harus menggunakan internet untuk dapat
menggunakan aplikasi tersebut. Seseorang yang melakukan belanja daring harus
menggunakan internet untuk mengakses eBay©. Oleh karena NIA adalah individu
tanpa gangguan psikiatrik sebelumnya, penyebab kecanduan adalah ketertarikan
akan aspek anonimitas, akses dan sifat interaktif yang ditawarkan oleh internet.102

Depresi, kecemasan, keacuhan, emosional, dan psikotik berhubungan dengan AI.


Pada remaja dengan AI dan gangguan depresi, sangat mungkin remaja tersebut

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


33

menggunakan jaringan internet untuk mengobati rasa sedih dan rendah diri yang
disebabkan oleh depresi yang dialaminya. Hipotesis lain menyatakan bahwa dengan
meningkatnya frekuensi penggunaan internet, seseorang dapat merasa depresi
akibat terisolasi dari orang lain di dunia nyata. Remaja dengan gangguan cemas
akan cenderung untuk mencari lingkungan yang aman dalam membangun
hubungan dengan orang lain dan internet menawarkan solusi yang tepat baginya.
Contoh lainnya adalah individu dengan adiksi seks menemukan cara baru untuk
memuaskan hasrat seksualnya melalui pornografi daring dan chatting seksual
anonim. Mereka sadar akan akibat perilaku menyimpang tersebut sehingga mereka
mencari cara yang lebih diterima secara sosial dan berusaha merasionalisasi
perbuatan mereka. Pengalaman daring mengubah rasa sakit dan cemas menjadi
kelegaan dan kepuasan tersendiri.103

Faktor psikologis dapat digolongkan menjadi:


1. Masalah emosi dan gangguan psikiatri lainnya
Strittmatter dkk.104 melakukan penelitian untuk mengetahui prediktor penggunaan
jaringan internet patologis pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan masalah
emosi menjadi salah satu prediktor remaja menggunakan jaringan internet secara
patologis. Remaja dengan AI rentan mengalami depresi dua kali lebih besar dari
yang tidak mengalami AI. Faktor risiko lain remaja yang mengalami fobia sosial,
rasa kesepian dan citra diri yang rendah.

Guo dkk.105 meneliti hubungan antara AI dan depresi pada anak-anak migran
(migrant children - MC) dan terbelakang (left-behind children - LBC) di Cina.
Mereka menemukan bahwa prevalensi depresi dan AI jauh lebih tinggi pada
kelompok MC dari LBC dan rural children (RC) namun tidak terbelakang. Hal
tersebut menunjukkan anak-anak mengalami masalah psikis saat pindah dari
pedesaan ke perkotaan. Saat menghadapi masalah psikis, anak mengalihkan
masalah psikisnya dengan menggunakan internet.105

Tao106 berhipotesis bahwa depresi adalah mediator pada bulimia dan AI.
Sebelumnya telah diketahui bahwa AI berkaitan dengan adiksi NAPZA sementara
gangguan makan mempunyai komorbiditas tinggi dengan masalah ketergantungan
NAPZA. Oleh karena itu, ia hendak membuktikan bahwa AI berkaitan dengan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


34

bulimia dan depresi memediasi hubungan antara kedua gangguan tersebut. Tao
kemudian menemukan bahwa penderita AI mempunyai nilai yang lebih tinggi pada
skala eating disorder inventory (EDI) dari kelompok kontrol. Kelompok adisi
internet menunjukkan lebih banyak masalah mengenai kekhawatiran akan berat
badan mereka, perubahan berat badan, dan binge eating. Hal tersebut disebabkan
penggunaan internet yang berlebihan akan meningkatkan risiko mengalami depresi
dan untuk mengatasi rasa sedih tersebut, individu akan mengompensasi dengan
melakukan binge eating.106

Kandri dkk.107 menemukan bahwa derajat aleksitimia bergantung pada intensitas


penggunaan internet. Hasil penelitian mendapatkan bahwa kelompok mahasiswa
tersebut memiliki gangguan dalam mengekspresikan diri dan mengenali perasaan
mereka serta berpikir dengan cara yang imajinatif. Sebagai mekanisme kompensasi,
mereka mencari cara lain untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi dengan
orang lain di internet, yang menjadikan mereka rentan untuk mengalami adiksi.
Selain itu, mahasiswa dengan aleksitimia lebih senang berinteraksi di internet untuk
menghindari tatap muka yang akan membuat mereka merasa tidak nyaman.
Berinteraksi di internet mungkin dapat membantu mereka meregulasi emosi
sehingga mereka mempunyai kontrol atas proses komunikasi yang terjadi.107

Penelitian oleh Yen dkk.8 menemukan bahwa remaja dengan AI memiliki gejala
GPPH yang lebih tinggi. Individu dengan GPPH sangat menyukai reward dan hal
tersebut dapat ditemukan dalam berbagai macam kegiatan yang ditawarkan oleh
internet, seperti permainan daring. Di samping itu, remaja dengan GPPH sering kali
memiliki kesulitan inhibisi saat melakukan sesuatu. Rendahnya kemampuan
mengontrol diri tersebut menyebabkan kesulitan untuk menahan diri ketika
menggunakan internet.

Remaja dengan AI memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi. Hal tersebut
disebabkan oleh dua hal yakni (1) penggunaan internet dapat mengganggu
kesehatan psikis seseorang dan (2) seseorang berisiko untuk membuat ‘virtual self’
saat menggunakan internet sehingga menjadi rentan untuk meninggalkan diri
mereka yang sebenarnya di dunia nyata (deindividuasi). Mereka mendapatkan
perasaan senang, rasa berkuasa, dan rasa hormat dari sesama pengguna internet.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


35

Remaja dengan AI mempunyai tingkat keacuhan yang tinggi karena sering


mengalami penolakan dan mempunyai konflik interpersonal di dunia nyata. Melalui
internet, mereka mendapatkan sarana untuk melarikan diri dari masalah di dunia
nyata sehingga menjadi faktor risiko untuk AI.8

2. Temperamen
Temperamen adalah pola emosi dan perilaku yang dimiliki seorang anak, yang
berhubungan erat dengan kepribadian saat dewasa. Anak tidak dilahirkan dengan
tabula rasa namun mereka telah dibekali dengan karakteristik pribadi (kebanyakan
bersifat genetik) yang menjadikan mereka berbeda satu sama lain sejak lahir. Setiap
anak mempunyai predisposisi untuk mengalami peristiwa dengan pola tertentu dan
menghasilkan berbagai macam reaksi dari orang lain. Sebagai contoh anak yang
pemberani, suka berpetualang, dan aktif namun ada anak yang pemalu, berhati-hati,
dan pendiam.

Selain perbedaan dalam hal bermain dan beraktivitas, cara orang tua, guru, dan
teman sebaya memperlakukan kedua anak tersebut juga akan berbeda. Interaksi
antara predisposisi, respons orang lain terhadap predisposisi tersebut, dan pemilihan
jenis kegiatan selama seseorang tumbuh dan berkembang akan menghasilkan ciri
kepribadian saat dewasa.

Temperamen mulai terbentuk sejak bulan pertama kehidupan seorang bayi.


Sembilan jenis temperamen diteliti kembali dan dikelompokkan menjadi tiga
kategori oleh Mary Rothbart108, yaitu ekstroversi (riang, aktif, vokal, sosial), afek /
mood negatif (marah, penakut, pemalu, frustrasi), dan upaya kontrol diri
(kemampuan berkonsentrasi dan menahan diri untuk melakukan sesuatu).

Perbedaan dimensi menentukan kepribadian saat dewasa dan memperkirakan


masalah psikis apa yang akan dihadapi anak saat bertumbuh dewasa. Contohnya,
anak penakut dan pemalu berisiko mengalami depresi dan cemas sedangkan anak
pemarah berisiko mengalami masalah eksternalisasi, agresi dan kontrol diri.108

Selain faktor genetik, pola asuh orang tua dan lingkungan serta budaya juga
berperan dalam pembentukan temperamen seorang anak. Sebagai contoh upaya
pengontrolan diri, anak-anak di Amerika menunjukkan sifat pemarah yang lebih

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


36

rendah sedangkan anak-anak di Cina tampak kurang aktif dan kurang vokal. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa temperamen awalnya bersifat biologis dan
dipengaruhi oleh budaya, lingkungan fisik dan sosial.108

Dua dimensi yang juga sangat berhubungan dengan kepribadian adalah reaktivitas
dan regulasi diri. Reaktivitas menggambarkan respons seseorang saat menghadapi
rangsang baru dan menantang. Respons dapat berbeda dalam hal intensitas dan
waktu. Beberapa orang merespons dengan intensitas yang sangat tinggi (panik,
cemas), lebih lambat, dan beberapanya lagi sama sekali tidak menunjukkan respons.
Regulasi diri berkaitan dengan kemampuan memusatkan perhatian dan menahan
diri dari merespons suatu rangsang. Kedua dimensi ini nampaknya berhubungan
dengan the big five personality traits. Reaktivitas yang tinggi adalah ciri introversi
dan neurotisme sedangkan regulasi diri berkaitan dengan conscientiousness.108

Cloninger109 menjelaskan bahwa terdapat empat dimensi temperamen yaitu:


a. Novelty Seeking
Novelty seeking (NS) memiliki ciri utama keinginan untuk mengeksplorasi, impulsif,
boros, dan ketidakteraturan. NS adalah temperamen mencari sesuatu yang baru.
Individu dengan NS tinggi mudah emosi, bersemangat, senang mengeksplorasi,
memiliki rasa ingin tahu, mudah bosan, impulsif dan suka melanggar aturan.109

b. Harm Avoidence
Harm avoidence (HA) memiliki ciri utama antisipasi kekhawatiran, takut dengan
ketidakpastian, malu, dan mudah lelah. Individu dengan HA tinggi berhati-hati,
penuh antisipasi, khawatir, gugup, ragu-ragu, merasa tidak aman, negativistik,
pesimis, malu dalam situasi sosial, dan sensitif terhadap kritik dan tekanan.109

c. Reward Dependence
Reward dependence (RD) memiliki ciri utama terbuka terhadap komunikasi yang
nyaman, sentimentil dan bergantung pada orang lain. Individu dengan RD berhati
lembut, penuh kasih dan hangat, sensitif, bergantung pada orang lain, serta mudah
bersosialisasi. Individu mudah untuk mencari kehidupan sosial dan terbuka untuk
berkomunikasi.109

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


37

d. Persistence
Persistence memiliki ciri utama yakni bekerja keras, ambisius, perfeksionis, dan
semangat. Individu dengan persisten tinggi bekerja keras, gigih, stabil, memandang
suatu frustasi dan kelelahan sebagai tantangan pribadi. Individu tidak mudah
menyerah pada kondisi dan cenderung bekerja ekstra keras ketika dikritik. Individu
tersebut sangat gigih, berprestasi, ambisius, perfeksionis dan pekerja keras.109

3. Self Esteem (citra diri)


Citra diri bersifat global (penilaian secara keseluruhan) dan spesifik (terkait aspek
penampilan atau intelegensi). Citra diri memberikan elemen emosional kepada
konsep diri sehingga individu membuat penilaian terhadap diri sendiri dan
mengalami respons emosional akibat pencitraan tersebut. Pencitraan diri tidak
selamanya akurat. Seseorang dapat mengalami ‘ilusi positif’, yang menyebabkan
mereka lebih mudah memberikan nilai positif kepada diri mereka sendiri daripada
saat menilai orang lain. Orang yang mengalami ilusi positif biasanya mempunyai
perasaan nyaman dengan diri sendiri yang lebih tinggi.110

Orang dengan pencitraan diri yang tinggi akan memberikan respons yang berbeda
terhadap kegagalan dibandingkan orang dengan pencitraan diri yang rendah. Citra diri
yang rendah akan menyebabkan seseorang untuk melakukan over generalization
terhadap kegagalan mereka.110 Artinya bila ia mengalami kegagalan sekali, ia langsung
berpikir bahwa ia akan terus melakukan kegagalan dalam kesempatan-kesempatan
berikutnya. Kecenderungan untuk over generalization tersebut menjadi penyebab
depresi pada kebanyakan orang dengan citra diri yang rendah. Pada individu dengan citra
diri tinggi, seseorang akan over confident dengan kemampuannya sehingga kegagalan di
satu bidang akan dibalas dengan demonstrasi kelebihannya di bidang lain.111

Sumber Citra Diri


Pencitraan diri telah dimulai sejak masa kanak-kanak awal. Pola pendekatan yang
dialami seorang anak dengan pengasuh mereka saat masih bayi dapat memprediksi
citra diri mereka saat berusia 6 tahun. Setelah usia 6 tahun, citra diri tidak akan
banyak berubah. Citra diri akan memengaruhi pengambilan keputusan dan
pemilihan berbagai jenis aktivitas. Citra diri juga dipengaruhi oleh perbandingan
sosial, yaitu evaluasi diri kita relatif terhadap orang lain.112

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


38

Citra Diri pada Remaja dengan Adiksi Internet


Kim & Davis113 menemukan bahwa citra diri rendah adalah prediktor negatif yang
kuat terhadap AI dan berasosiasi dengan sifat cemas. Pencitraan diri yang rendah
dapat disebabkan oleh penolakan, perasaan dikucilkan / ditinggalkan, dan
ketidakpedulian dari orang-orang terdekat.114 Untuk mengatasi citra diri yang
rendah, mereka mengalihkan rasa kesepian dan kesedihan ke aktivitas yang
membutuhkan seluruh perhatian dan memberikan imbalan rasa nyaman, yaitu
melalui media internet.

Gambar 2.4. Diagram Konsep Adiksi Internet115

Douglas dkk.115 berusaha membuat sebuah model yang dapat memetakan berbagai
macam determinan atau prediktor terkait AI. Secara umum dapat dikatakan bahwa
penggunaan internet berlebihan banyak dipengaruhi oleh kebutuhan dan motivasi
individu itu sendiri (faktor pendorong) serta faktor predisposisi dari individu
tersebut. Meskipun terdapat efek buruk penggunaan internet, terdapat banyak aspek
internet yang menarik sehingga menjadi faktor pendukung / penarik AI.115

Banyak fitur / aplikasi internet yang menawarkan kesempatan membuat virtual self
sehingga individu dapat memilih identitas virtual yang diinginkan. Virtual self
yang dibuat biasanya berbeda dengan diri mereka di dunia nyata karena kelemahan
atau kekurangan mereka akan dihilangkan dalam virtual self tersebut. Hal tersebut
berfungsi untuk membuka dan mengembangkan potensi mereka. Individu dengan
persepsi diri buruk rentan terperangkap dalam tawaran menarik tersebut.115

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


39

Griffiths & Banyard116 menyatakan bahwa penggunaan internet menjadi salah satu
mekanisme coping dan kompensasi bagi individu dengan citra diri rendah. Internet
membuat mereka merasa lebih baik karena pembuatan identitas dan kepribadian
baru. Rendahnya citra diri menyebabkan mereka tidak puas dengan diri mereka dan
ingin menjadi individu yang berbeda. Terkait masalah keluarga, peran keluarga
penting dalam membentuk citra diri seorang anak. Dukungan, kepedulian, dan
partisipasi keluarga dapat meningkatkan pencitraan diri seorang anak.116

Citra diri juga dipengaruhi oleh kualitas hubungan pertemanan. Penilaian diri yang
negatif dalam hubungan pertemanan menyebabkan munculnya sifat dependen
sehingga dapat terjadi konflik. Penggunaan internet yang berlebihan juga dapat
menyebabkan hilangnya kontrol diri yang akan menurunkan citra diri.116,117

4. Mekanisme Coping
Mekanisme coping berfungsi meredakan respons emosional dan somatik serta
membuat orang tersebut dapat berfungsi lebih baik. Strategi coping dapat dibedakan
menjadi dua, yakni problem-solving dan emotion-reducing. Problem-solving
strategies merupakan upaya mengurangi beratnya masalah dengan mencari
pertolongan, meminta nasihat orang lain, membuat dan melaksanakan rencana
penyelesaian masalah serta konfrontasi (membela hak seseorang dan mengajak
seseorang untuk mengubah perilaku buruknya).118 Emotion-reducing strategies
merupakan upaya memperbaiki respons emosional akibat peristiwa stres dengan
berbicara kepada orang lain, mengekspresikan emosi yang dirasakan, evaluasi
masalah dengan melihat apa yang dapat diubah dan berusaha mengubahnya
(dengan strategi problem-solving), dan apa yang tidak dapat diubah sehingga ikhlas
menerima kenyataan, dan menghindar dari masalah tersebut.118

Remaja dengan AI sering menggunakan mekanisme coping maladaptif. Mekanisme


coping maladapatif dapat mengurangi respons emosional akibat peristiwa stres
jangka pendek, tetapi dapat menambah masalah jika peristiwa stres terjadi dalam
jangka panjang. Penggunaan NAPZA merupakan mekanisme coping maladaptif
karena dapat mengurangi respons emosional dengan menurunkan kesadaran akan
situasi stres, deliberate self-harm dengan cara melukai diri sendiri, unrestrained
display of feelings dapat mengurangi rasa tegang namun merusak hubungan dengan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


40

orang yang seharusnya membantu kondisi stresnya, serta perilaku agresif untuk
melepaskan amarah.6

2.6.4 Faktor Sosial


Remaja AI umumnya mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal
dan sering gagal berkomunikasi tatap muka. Kemampuan berkomunikasi yang rendah
dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan terasingkan sehingga menambah masalah
di kehidupan sehari-hari. Hubungan virtual adalah cara paling tepat bagi remaja untuk
bersosialisasi tanpa harus menghadapi penolakan orang lain. Internet juga dapat
mengurangi kecemasan yang dirasakan orang pemalu saat berhubungan dengan orang
lain. Remaja AI tidak memiliki sistem dukungan sosial yang memadai sehingga
menjadikan hubungan virtual sebagai pengganti sistem sosial di dunia nyata.9
Penelitian menunjukkan bahwa rasa kesepian berhubungan dengan AI. Aplikasi yang
paling bersifat adiktif adalah permainan interaktif dan media sosial.

Hubungan dengan figur ibu menjadi salah satu faktor risiko pada AI. Kelekatan dengan
figur ibu pada masa kanak mengaktifkan sirkuit dopamin sehingga remaja mendapatkan
kesenangan dalam hidupnya. Bila kelekatan dengan figur ibu kurang maka remaja
mencari perilaku lain untuk mengaktivasi sirkuit dopamin yakni melalui penggunaan
internet berlebihan. Faktor sosial yang terkait dengan timbulnya AI adalah kohesivitas
dalam keluarga, masalah relasi dengan teman sebaya dan perilaku prososial.119

2.6.4.1 Kohesivitas Keluarga dan Pola Asuh


Kohesivitas keluarga merupakan ikatan emosional antar anggota keluarga. Ikatan
emosional berupa keterlibatan secara afektif berupa empati, ketertarikan terhadap
topik pembicaraan, dan pengertian antar anggota keluarga. Kohesivitas diukur
berdasarkan derajat komitmen, bantuan dan dukungan yang diberikan anggota
keluarga. Olson120 mengembangkan circumplex model untuk mendeskripsikan
dinamika keluarga yang terdiri atas tiga komponen yakni kohesivitas keluarga,
fleksibilitas, dan komunikasi. Sembilan variabel untuk mengukur dan mendiagnosis
kohesivitas keluarga antara lain emotional bonding, boundaries, coalitions, time,
space, friends, decision making, interests, dan recreation. Boundaries didefinisikan
sebagai peraturan yang menjelaskan partisipasi tiap anggota keluarga dan
bagaimana cara atau bentuk partisipasi tersebut.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


41

Gambar 2.5. Circumplex Model Dinamika Keluarga / Pasangan121

Epstein dkk.122 menggunakan istilah “kontrol perilaku” untuk makna yang sama
dengan boundaries. Behavior control adalah pola yang diadopsi keluarga untuk
menghadapi situasi yang melibatkan perilaku sosial dengan sesama anggota
keluarga dan orang di luar keluarga. Boundaries merupakan parameter penting
dalam menilai fungsi keluarga. Boundaries yang terlalu ketat, kaku, dan tidak jelas
akan menjauhkan anggota keluarga secara emosional. Kohesivitas berperan penting
dalam membentuk kesejahteraan remaja dengan menyeimbangkan kebersamaan
dan perpisahan.123

Derajat kohesivitas keluarga dapat dibagi menjadi 5 kelompok: sangat rendah


(disengaged / disconnected), rendah-sedang (somewhat connected), sedang
(connected), sedang-tinggi (very connected) dan sangat tinggi (enmeshed / overly

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


42

connected).121 Tiga kelompok di tengah yang seimbang (somewhat connected,


connected, dan very connected) merupakan modal optimal fungsi suatu keluarga.121

Keluarga yang mempunyai tingkat kohesivitas seimbang dapat memoderasi


kebersamaan dan perpisahan sehingga anggota keluarga dapat bersikap mandiri dan
mempertahankan hubungan satu sama lain. Keluarga yang bermasalah mempunyai
derajat kebersamaan yang terlalu tinggi atau ada perpisahan. Kohesivitas terlalu
tinggi menandakan kedekatan emosional yang berlebihan dalam keluarga sehingga
remaja menjadi kurang mandiri. Kohesivitas keluarga yang terlalu rendah memiliki
keterlibatan, kedekatan, dan komitmen yang kurang satu dengan yang lain. Masing-
masing mempunyai aktivitas sendiri yang tidak dibagi kepada anggota keluarga lain
dan mereka sukar meminta bantuan atau dukungan dari yang lain.121 Rendahnya
kohesivitas keluarga meningkatkan risiko remaja memiliki perilaku bermasalah.

Selain kohesivitas keluarga, pola asuh juga berperan dalam perkembangan remaja.
Pola asuh dikategorikan berdasarkan intensitas dukungan dan regulasi perilaku
menjadi empat kelompok. Dukungan orang tua berupa empati dan pemahaman
perspektif anak sedangkan regulasi perilaku berkaitan dengan supervisi perilaku
anak yang diikuti dengan pendisiplinan dan ekspektasi yang jelas.124

Gambar 2.6. Jenis Parenting Style124

Gaya pola asuh authoritative memadukan dukungan dan regulasi perilaku yang
tinggi. Tipe pola asuh ini paling ideal bagi orang tua karena banyaknya anak-anak
yang berhasil berkat pola asuh tersebut. Orang tua yang autoritatif bertindak sebagai
guru yang mendisiplinkan dengan tujuan untuk menjadikan anak tersebut produktif

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


43

dan proaktif di masyarakat. Batasan-batasan yang ditetapkan sesuai dengan usia


dan tahap perkembangan, serta sanksi yang diberikan bersifat mendidik bukan
menghukum.124

Orang tua dengan pola asuh authoritarian menekankan regulasi perilaku yang
tinggi untuk mempersiapkan anak-anak mereka sebelum masuk ke lingkungan
sosial yang lebih besar. Pendekatan ini dianggap kurang ideal karena dukungan dan
kehangatan yang diberikan tidak memadai. Orang tua authoritarian lebih
menggunakan hukuman yang berat, misalnya hukuman fisik, dibandingkan dengan
orang tua autoritatif. Hal tersebut dapat mencetuskan sikap pemberontak dari
remaja.124 Pemberontakan oleh remaja dengan pola asuh authoritarian dilakukan
karena masalah eksternalisasi (misalnya perilaku acting out) atau masalah
internalisasi (misalnya depresi).124

Pada pola asuh indulgent, orang tua terlalu memanjakan remaja sehingga tidak
dapat berkata “tidak” terhadap kemauan mereka. Remaja dari orang tua indulgent
kurang mendapat supervisi namun mendapatkan dukungan yang penuh dari orang
tuanya. Regulasi perilaku yang rendah dapat berdampak pada peningkatan perilaku
antisosial dan kecanduan rokok atau alkohol.124

Pola asuh uninvolved merupakan pola asuh yang tidak meregulasi perilaku dan
tidak memberikan dukungan kepada remaja. Tipe ini lebih sering ditemukan pada
kondisi keluarga tertentu, seperti orang tua yang bercerai, mempunyai
psikopatologi, dan adiksi NAPZA. Kondisi ini menyebabkan orang tua menjadi
tidak kompeten dalam menjalani perannya sebagai pendidik. Remaja menjadi
berisiko tinggi memiliki perilaku antisosial atau adiksi.124

Orang tua dapat menggunakan beberapa tipe pola asuh yang berbeda dalam
pendekatan kepada remaja. Kejadian atau peristiwa dalam hidup akan terus
memengaruhi pendekatan mereka terhadap pendisiplinan remaja. Seorang ayah
yang kompeten dapat saja berubah akibat pengangguran, jatuh sakit berat, atau
perceraian. Ayah dan ibu juga tidak mutlak selalu menggunakan gaya yang sama,
akan tetapi penggunaan gaya autoritatif dapat menetralkan efek negatif dari
penggunaan gaya pola asuh lain.124

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


44

Peran Kohesivitas Keluarga dan Pola Asuh dengan Adiksi Internet


Karapetsas dkk.125 Lee dkk.126 dan Kim dkk.113 menyatakan perilaku penggunaan
internet berlebihan dapat menimbulkan masalah keluarga karena banyak waktu
untuk online sehingga waktu komunikasi di dunia nyata berkurang. Komunikasi
dan kohesivitas keluarga rendah berasosiasi dengan AI. Atmosfer keluarga
berperan dalam terapi AI.126 Temuan ini mengartikan bahwa faktor risiko AI adalah
(1) tidak menghabiskan waktu bersama orang tua; (2) merasa orang tua tidak
memahami; dan (3) tidak menceritakan masalah pada orang tua. Remaja yang
memiliki hubungan baik dengan orang tua cenderung terhindar dari pemakaian
internet yang berlebihan.

Leung & Lee127 mengatakan internet merupakan teknologi canggih yang kurang
dipahami orang tua sehingga orang tua kurang mampu membuat peraturan yang
sesuai dan tidak dapat memberikan supervisi menyeluruh. Semakin banyak
peraturan dan keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja, remaja akan terhindar
dari materi terkait pornografi dan kekerasan di internet.

Remaja dengan tipe pola asuh indulgent dan authoritarian berusaha mencari cara
aktualisasi diri dengan berinteraksi melalui internet, yang akhirnya berujung pada
AI. Keluarga dengan kehangatan minimal tidak dapat menyediakan lingkungan
yang kondusif bagi remaja untuk mengembangkan emosi. Remaja mudah merasa
kesepian dan mencari pelarian untuk mengurangi perasaan tidak nyaman yang
dirasakan dengan perilaku berisiko seperti penggunaan internet yang berlebihan,
NAPZA dan perilaku menyimpang lainnya.128,129

2.6.4.2 Dukungan Teman Sebaya pada Remaja dengan Adiksi Internet


Dukungan sosial memberikan kesempatan dan dukungan bagi remaja untuk dapat
mengungkapkan perasaan dan pemikirannya. Dukungan sosial dapat diperolah dari
teman, keluarga, dan orang lain dan penting dimiliki dalam membina hubungan
yang baik sehingga dapat mengurangi efek buruk stres. Perceived social support
digambarkan dengan rasa memiliki, diterima dan dicintai oleh orang lain.
Dukungan sosial dapat mengurangi pengaruh teman sebaya dan meningkatkan
kapasitas diri dalam menghadapi stres. Dukungan sosial berkorelasi terhadap isolasi
diri. Kurangnya dukungan sosial akan meningkatkan kerentanan terhadap AI.130,131

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


45

2.6.4.3 Perilaku Prososial


Perilaku prososial adalah tindakan sukarela yang bertujuan membantu / menolong
orang lain demi memperbaiki keadaan orang tersebut. Fokus definisi ini terdapat
pada tujuan tindakan dan bukan motif di balik tindakan tersebut. Tujuan untuk
menyejahterakan orang lain disebut sebagai motivasi ekstrinsik. Aktivitas seperti
penggalangan dana, berbagi informasi, asistensi, dan memberikan dukungan
kepada orang yang membutuhkan adalah beberapa contoh perilaku prososial.
Seseorang yang menunjukkan perilaku prososial tidak merasa terpaksa atau
diwajibkan untuk memberikan bantuan tersebut.132 Pada sisi lain, altruisme lebih
banyak berbicara mengenai motivasi intrinsik berupa rasa khawatir, perhatian, dan
simpati. Dengan kata lain, perilaku prososial bersifat other-oriented sedangkan
altruisme bersifat self-oriented. Kedua konsep ini sangat sulit untuk dibedakan
karena manusia mempunyai motif baik yang self-oriented maupun other-oriented.

Perilaku prososial dapat menjadi altruisme bila tindakan sukarela disertai motivasi
intrinsik yang bersifat altruistik. Smith132 mengklasifikasikan perilaku prososial
menjadi 3 kategori dalam general social survey, yakni : (1) bantuan formal:
sukarelawan, donasi, tindakan amal lainnya; (2) bantuan informal kepada orang
terdekat; dan (3) bantuan informal kepada orang asing.132

Kesempatan untuk terlibat dalam bermacam kegiatan prososial adalah elemen


penting dalam program pengembangan remaja yang sehat. Keterlibatan dalam jenis
kegiatan tersebut membuat remaja sadar dan peka terhadap lingkungan dan sesama
serta memahami norma sosial dan standar moral di masyarakat.133 Di tingkat
individu, perilaku prososial berkorelasi positif dengan adaptasi psikososial. Remaja
dengan banyak kegiatan prososial mempunyai kemampuan bersosialisasi dan
regulasi atensi yang baik serta tingkat emosi negatif yang rendah. Perilaku prososial
dapat meningkatkan self-enhancement dan self-acceptance.133

Perilaku prososial berpengaruh pada kesejahteraan individu. Keterlibatan kegiatan


prososial dapat membantu memenuhi kebutuhan psikologis seseorang dalam hal
kompetensi, relasi, dan autonomi. Sebuah penelitian yang mengkaji kesehatan jiwa
sukarelawan menemukan bahwa mereka tidak mudah mengalami depresi, merasa
lebih bahagia dan berharga, dan memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


46

Remaja yang terlibat dalam kegiatan prososial mempunyai persepsi diri yang positif,
lebih mudah beradaptasi, lebih banyak kemampuan sosial, serta sikap, nilai dan
identitas yang baik. Kegiatan prososial juga dapat berfungsi sebagai upaya
rehabilitatif dan perbaikan diri pada remaja bermasalah.133

2.7 Dampak Adiksi Internet


Remaja dengan AI memiliki relasi yang tinggi dengan tingkat depresi, kesepian,
stres, dan perilaku agesif (agresi fisik dan verbal). Berdasarkan studi porspektif
yang dilakukan Lam dan Peng134 pada 1618 remaja usia 13–18 tahun di sekolah
menengah, risiko depresi pada penggunaan internet yang patologis lebih tinggi 2,5
kali. Penggunaan internet lebih dari 20 jam / minggu, permainan online, pengiriman
pesan singkat secara online, bulletin board system, mengunjungi website sex, judi
online, dan studi online berkaitan dengan perilaku agresif dan memiliki hubungan
yang buruk dengan orang tua dan teman.

Remaja dengan AI juga memiliki masalah tidur, melupakan makan siang atau
makan di depan komputer, mengalami sakit punggung, sakit leher, dan iritasi mata.
Berdasarkan penelitian di Cina diperoleh 32,92% siswa yang AI mengalami
obesitas.135 Regresi logistik menunjukkan bahwa AI merupakan faktor risiko
terhadap obesitas. Korelasi positif juga didapatkan antara indeks massa tubuh
dengan jumlah penggunaan internet mingguan. Remaja dengan AI akan mengalami
kualitas hidup yang buruk. Ia tidak akan mencapai level perkembangan selanjutnya
pada masa dewasa yaitu intimacy, saat mulai terjadi hubungan relasi yang serius
dengan lawan jenis untuk membentuk suatu keluarga. Bila fase tersebut gagal maka
ia akan masuk ke dalam fase isolasi.

2.8 Pembuatan Kuesioner


Kuesioner atau skala pengukuran menjadi bagian penting dalam penelitian
mengenai sikap, perilaku dan kepribadian. Kuesioner yang dapat diandalkan
menjadi kunci terjawabnya banyak pertanyaan penelitian. Langkah-langkah
pembuatan kuesioner adalah (1) menentukan apa yang diukur; (2) mendaftar butir
pernyataan potensial; (3) menentukan format kuesioner; (4) menguji kuesioner pada
subjek; (5) mengevaluasi kuesioner. Langkah mengevaluasi kuesioner merupakan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


47

tahapan penting dan kompleks dalam proses pengembangan kuesioner. Tiga


analisis terkait yang kerap dilakukan yaitu (1) exploratory factor analysis (EFA)
dan confirmatory factor analysis (CFA); (2) analisis reliabilitas dan; (3) validasi.
Penjelasan langkah pembuatan kuesioner sebagai berikut:136

a. Memastikan Apa yang Akan Diukur


Tujuan akhir pengembangan kuesioner adalah mengukur dan menangkap konsep.
Pemahaman teori yang melandasi konstruk / variabel dapat memberikan batasan
dari apa yang diukur. Dua pendekatan teori yang dapat digunakan, yaitu (1)
pendekatan deduktif, yang mengisyaratkan adanya informasi yang cukup tentang
landasan teori atau konsep untuk pengembangan skala; (2) pendekatan induktif,
dilakukan ketika basis konsep untuk konstruk yang diteliti masih sangat jarang atau
tidak tersedia untuk digunakan. Biasanya terjadi pada tahap eksploratori suatu
konsep tertentu.136

b. Mendaftar Butir Pernyataan Potensial


Butir pernyataan yang disertakan, baik dari yang ada maupun menciptakan yang
baru, harus memiliki tujuan tertentu. Konten yang diusung satu pernyataan harus
merefleksikan konstruk yang ingin diteliti. Dalam mendaftar butir pernyataan
potensial menggunakan prinsip semakin banyak semakin baik (redudancy). Konten
yang sama dari pernyataan akan dievaluasi dan jika ada aspek tumpang tindih yang
nyata maka pernyataan dapat dibatalkan pada tahap berikutnya. Baik tidaknya
sebuah pernyataan dapat terlihat dari keterandalannya dalam mengusung makna
yang disampaikan. Semakin mengambang maknanya, responden semakin bingung.
Butir pernyataan yang panjang menyebabkan tingkat kesulitan menjadi tinggi. Butir
pernyataan yang negatif dapat disertakan untuk mengimbangi pernyataan yang
bersifat positif dan untuk menghindari bias. Pada pernyataan yang bersifat positif
biasanya subjek akan memberikan jawaban yang juga positif.136

c. Menentukan Format Pengukuran


Penentuan format pengukuran pada dasarnya diputuskan bersama pendaftaran butir
pernyataan. Beberapa format pengukuran yang sering dipakai dalam pembuatan
kuesioner adalah (1) skala Thurstone, yaitu skala pernyataan yang berbeda taraf
responsifnya dalam satu atribut; (2) skala Gutmann, yaitu rangkaian pernyataan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


48

digunakan secara progresif dan berjejang sampai yang paling tinggi dari suatu
atribut; (3) skala Likert, yaitu merupakan pernyataan deklaratif yang diikuti
beberapa pilihan opsi yang mengindikasikan derajat kesetujuan atas satu pernyataan.
Jumlah respons dapat genap atau ganjil sesuai dengan tujuan penelitian umumnya
berjumlah lima atau tujuh pilihan yang menunjukkan kontinuum ketidaksetujuan
dan kesetujuan. Respons ganjil untuk pernyataan yang jawabannya membutuhkan
suatu kenetralan, sedangkan respons genap untuk pernyataan yang tidak
menghendaki netralitas. Pada penentuan format pengukuran penting untuk
menghindari bias berupa social desirability. Social desirability adalah motivasi
yang membuat seseorang ingin menyajikan dirinya dalam bentuk masyarakat
menilai sebagai hal yang positif, sehingga responsnya menjadi terdistorsi.136

d. Menguji Coba Kuesioner


Tujuan pertama dari uji coba awal adalah membuat yakin pertanyaan kuesioner
telah cukup, benar, dan dapat dipahami. Jumlah dari subjek uji coba pertama sekitar
10–30 responden. Pernyataan pada uji coba awal dikelompokkan menjadi satu
kelompok. Subjek diminta untuk melengkapi bila terdapat hal yang kurang,
memberi komentar seperti panjangnya kuesioner, menilai apakah kata, kalimat, dan
instruksi di instrumen jelas dan dapat dipahami. Panjang kuesioner sangat penting
karena jika terlalu panjang dapat membuat bosan dan pengisian tidak tepat.

Tujuan kedua uji coba awal adalah menilai reliabilitas awal skala. Penilaian
reliabilitas dilakukan dengan menggunakan skor Cronbach’s alpha. Skor
reliabilitas perlu ditingkatkan bila skor rendah dengan menghilangkan pernyataan
yang tidak konvergen pada suatu konstruk. Penilaian pernyataan tersebut dapat
melalui nilai korelasi antara pernyataan dan nilai variannya. Pengecekan kembali
pernyataan yang akan dihapus perlu dilakukan agar validitas isi dan konstruk tidak
terkorbankan.

Setelah dilakukan uji coba awal, kemudian dilakukan uji lapangan akhir. Para pakar
menyarankan jumlah subjek untuk pengujian ini sebaiknya cukup besar. Banyak
yang merujuk bahwa 300 adalah angka yang memadai untuk tujuan pengujian.
Dengan jumlah sebesar ini, maka uji kelayakan dapat dilakukan, sehingga
mengurangi atau menghapus variansnya. Uji lapangan akhir bertujuan untuk

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


49

menguji validitas konstruk dan reliabilitas. Pengukuran dilakukan dengan cara yang
sama dengan uji coba awal, yaitu dengan menggunakan skor crobanch’s alpha.
Validitas konstruk akan diuji pada uji lapangan dengan analisis faktor (EFA dan
CFA) dan dapat juga diuji dengan validitas diskriminan dan validitas konvergen.136

e. Mengevaluasi Butir-Butir Pernyataan Kuesioner


Evaluasi pernyataan digunakan untuk memastikan bahwa setiap butir pernyataan
yang diajukan merupakan skala yang diinginkan. Semakin tinggi korelasi antar
pernyataan, semakin reliabel skalanya. Korelasi antar pernyataan dapat dievaluasi
dengan menghitung item-scale correlation.

Ada dua korelasi pernyataan yang dapat dilakukan. Pertama, item-scale correlation
terkoreksi yaitu menghubungkan pernyataan yang sedang dievaluasi dengan semua
pernyataan di luar dirinya. Kedua, item-scale correlation tidak terkoreksi yaitu
menghubungkan pernyataan yang ada dengan keseluruhan pernyataan yang ada
termasuk dirinya sendiri. Selain mengevaluasi korelasi antar pernyataan juga perlu
dihitung rerata skor pernyataan. Rerata skor pernyataan yang baik adalah yang
paling dekat dengan nilai tengah skor yang ada pada skala. Bila rerata skor
pernyataan tidak dekat dengan nilai maka kemungkinan kalimat kurang
dimengerti.136

Konstruk

Dimensi Dimensi

Elemen Elemen Elemen Elemen

Gambar 2.7. Konstruk, Dimensi dan Elemen136

2.8.1 Pembentukan Kuesioner Menggunakan Teknik Delphi


Teknik Delphi merupakan suatu metode untuk mengumpulkan data dari subjek
pada lingkup keahlian tertentu. Teknik ini telah diaplikasikan pada berbagai bidang
seperti perencanaan program, asesmen kebutuhan, dan penggunaan sumber daya.
Tujuan teknik Delphi yaitu (1) menentukan atau mengembangkan berbagai

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


50

alternatif program yang mungkin; (2) menyelidiki atau membuka asumsi atau
informasi yang mendasari sehingga memberikan keputusan yang berbeda; (3)
mencari informasi untuk membuat konsensus dan; (4) melakukan korelasi
keputusan pada topik yang mencakup disiplin yang luas.137

Proses Teknik Delphi


Teknik Delphi dilakukan dengan membuat pengulangan terus menerus sampai
terbentuk konsensus. Tiga kali pengulangan atau ronde dianggap cukup untuk
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus.137
Pada ronde pertama, proses teknik Delphi dimulai dengan memberikan kuesioner
terbuka. Kuesioner terbuka bertujuan sebagai dasar untuk mendapatkan informasi
yang spesifik tentang pengetahuan partisipan teknik Delphi. Setelah mendapatkan
respons, peneliti mengelaborasi informasi yang terkumpul menjadi kuesioner yang
terstruktur dengan baik. Kuesioner yang terbentuk akan digunakan sebagai
kuesioner pada ronde pengumpulan data kedua. Penggunaan kuesioner yang sudah
terstruktur berdasarkan analisis literatur diperbolehkan pada ronde pertama bila
informasi mengenai target masalah tersedia dan dapat digunakan.137

Pada ronde kedua, masing-masing partisipan teknik Delphi menerima kuesioner


kedua dan diminta untuk meninjau kembali pernyataan yang dirangkum oleh
peneliti berdasarkan informasi yang didapat pada ronde pertama. Selain itu, para
partisipan diperlukan untuk menilai atau menentukan tingkat dari pernyataan
kuesioner sehingga dapat dibuat prioritas. Hasil ronde kedua akan mengidentifikasi
area persetujuan dan pertentangan. Pada beberapa kasus para partisipan diminta
memberikan alasan mengenai tingkat prioritas antar pernyataan. Pada ronde ini
konsensus mulai terbentuk dan hasil akhir dapat dipresentasikan pada partisipan.137

Pada ronde ketiga, masing-masing partisipan akan menerima kuesioner yang


mencakup pernyataan dan tingkat prioritas yang dirangkum oleh peneliti pada
ronde sebelumnya. Partisipan akan diminta untuk merevisi pilihannya atau
memberikan alasan untuk tetap mempertahankan pernyataan yang berada di luar
konsensus. Pada ronde ini para partisipan memiliki kesempatan untuk membuat
klarifikasi lebih lanjut. Konsensus pada ronde ini akan meningkat lebih sedikit
dibandingkan ronde sebelumnya.137

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


51

Pada ronde keempat, partisipan akan menerima daftar pernyataan yang tersisa,
tingkat pernyataan, opini minoritas, dan pernyataan yang telah mencapai konsensus.
Ronde ini merupakan kesempatan terakhir para partisipan untuk merevisi jawaban.
Walaupun demikian, jumlah ronde teknik Delphi tergantung pada tingkat
konsensus yang dicari peneliti dan dapat bervariasi.137

Pemilihan partisipan untuk teknik Delphi merupakan hal yang paling penting dalam
teknik Delphi karena berkaitan dengan kualitas hasil yang terbentuk. Pemilihan
partisipan tergantung lingkup disiplin yang diperlukan pada isu spesifik. Tidak ada
kriteria yang tepat dalam menentukan partisipan teknik Delphi. Individu dapat
berpartisipasi bila memiliki latar belakang dan pengalaman pada isu target, dapat
memberikan input yang membantu, dan bersedia merevisi keputusan sebelumnya
untuk mencapai konsensus. Tiga kelompok orang yang memiliki kualifikasi yang
baik untuk menjadi subjek Delphi adalah (1) pembentuk keputusan di tingkat tinggi
yang akan menggunakan hasil dari studi Delphi; (2) anggota staf profesional; (3)
responden.136

Jumlah responden ditentukan berdasarkan jumlah yang diperlukan untuk


membentuk kumpulan keputusan yang representatif dan kemampuan memroses tim
peneliti. Ada pendapat yang menyarankan bahwa jumlah responden merupakan
jumlah minimal, namun terdapat pendapat sebaliknya. Jumlah subjek minimal
dikhawatirkan tidak merepresentasikan keputusan mengenai target isu, dan jumlah
besar menyebabkan penggunaan waktu yang terlalu lama dan respons yang rendah.
Pada akhirnya, jumlah responden tergantung atas kepentingan peneliti.136

Teknik Delphi dapat memakan waktu, terutama bila instrumen memiliki jumlah
pernyataan yang banyak sehingga partisipan membutuhkan waktu banyak untuk
menyelesaikan kuesioner. Beberapa studi menyarankan minimal 45 hari untuk
melakukan teknik Delphi. Subjek diberikan waktu dua minggu untuk merespons
pada masing-masing ronde. Waktu yang lama dapat membantu atau menghambat
peneliti dalam menganalisa data, membuat instrumen baru berdasarkan respons
sebelumnya, dan membagikan kuesioner berikutnya pada jangka waktu yang
tepat.136

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


52

Analisis dapat dilakukan dengan data kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian
Delphi klasik, peneliti akan menggunakan data kualitatif yang menggunakan
pertanyaan terbuka pada ronde pertama dan ronde berikutnya digunakan untuk
mengidentifikasi dan diharapkan mencapai tingkat konsensus yang diinginkan.
Statistik yang digunakan pada teknik Delphi adalah mengukur ukuran pemusatan
data (rerata, median, dan modus) dan tingkat penyebaran (standar deviasi dan inter-
quartile range) untuk menampilkan informasi mengenai keputusan kolektif.
Penggunaan median dan modus sering digunakan, namun pada beberapa studi
penggunaan rerata juga dapat dilakukan. Pada beberapa kepustakaan penggunaan
median pada skala tipe Likert lebih disukai dan terlihat paling baik dalam
merefleksikan konvergensi opini yang ada.136

Potensi terjadinya tingkat respons yang rendah merupakan hal yang dapat terjadi
pada proses umpan balik yang berulang. Respons yang terputus dalam tingkat suatu
proses Delphi akan berpengaruh dengan kualitas informasi. Oleh karena itu, untuk
mencegah hal tersebut motivasi subjek sangat berperan dan peneliti harus berperan
aktif untuk menentukan tingkat respons yang tinggi. Penggunaan waktu yang
banyak merupakan salah satu kelemahan teknik Delphi. Proses pengulangan dapat
memberikan kesempatan bagi peneliti dan responden untuk meningkatkan
ketepatan hasil namun karakteristik ini akan meningkatkan beban kerja peneliti dan
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pengumpulan data.136

Pada teknik Delphi, partisipan dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman


yang sama dalam topik yang dinilai. Beberapa panelis memiliki keahlian di bidang
tertentu dan panelis lain memiliki keahlian di bidang lainnya. Oleh karena itu
partisipan yang memiliki pengetahuan lebih sedikit pada suatu topik tidak dapat
mengetahui pernyataan yang penting yang telah diidentifikasi oleh partisipan yang
memiliki pengetahuan lebih. Hal-hal seperti ini dapat menyebabkan hasil teknik
Delphi merupakan identifikasi pernyataan umum dibandingkan evaluasi topik
secara mendalam.137

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


53

2.8.2 Uji Reliabilitas dan Validitas


Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat suatu instrumen dapat mengukur secara stabil dan
konsisten. Koefisien reliabilitas merupakan nilai yang menunjukkan tingkat
reliabilitas sebuah instrumen dan terbagi atas beberapa macam reliabilitas, antara
lain: (1) reliabilitas antarpenilai (inter-rater reliability); (2) reliabilitas tes berulang
(test-retest reliability); (3) reliabilitas bentuk paralel (parallel form reliability); dan
(4) reliabilitas konsistensi internal (internal consistency reliability).136

Reliabilitas antar penilai dilakukan untuk menilai perbedaan jawaban antar penilai
pada situasi yang sama. Penilai merupakan pakar yang memahami riset tersebut dan
uji dinilai saat pre-tes. Reliabilitas ini dilakukan dengan meminta para penilai
mengklasifikasikan observasi ke kategori yang ditetapkan.136

Reliabilitas tes berulang dilakukan dengan melakukan penilaian dua kali berturut-
turut dengan instrumen yang sama pada kelompok subjek yang sama. Skor uji
pertama dibandingkan dengan skor uji kedua. Kedua skor tersebut dianalisis
korelasi dan didapatkan koefisien stabilitas (coefficient of stability). Nilai koefisien
stabilitas tinggi memperlihatkan instrumen konsisten pada waktu yang berbeda.143

Reliabilitas bentuk paralel dilakukan dengan melakukan dua tes pada dua kelompok
yang berbeda di waktu yang sama (paralel) dengan instrumen yang sama. Skor
kedua kelompok dibandingkan dengan analisis korelasi. Koefisien korelasi yang
didapat merupakan koefisien ekuivalensi (coefficient of equivalence) alat ukur yang
memperlihatkan stabilitas instrumen pada kelompok dengan subjek berbeda.136

Reliabilitas konsistensi internal menunjukkan konsistensi pernyataan berbeda pada


konstruk yang sama akan memberikan hasil yang sama. Reliabilitas dapat diukur
dengan beberapa cara, yaitu (1) korelasi antar pernyataan; (2) rerata korelasi total
antar pernyataan; (3) separuh dipecah dan; (4) Cronbach’s alpha. Rerata korelasi
antar pernyataan dilakukan dengan pernyataan satu konstruk dikorelasikan dengan
pernyataan lain dan dihitung reratanya. Hasil rerata merupakan nilai reliabilitas
konsistensi antar pernyataan. Rerata korelasi total dilakukan dengan menghitung
hasil rerata korelasi antar pernyataan dan rerata masing-masing pernyataan tersebut.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


54

Separuh dilakukan dengan melakukan tes pada satu kelompok yang dibagi dua.
Hasil kelompok satu dibandingkan dengan kelompok dua dan dianalisis korelasi.
Koefisien korelasi menjadi koefisien konsistensi internal alat ukur.136

Koefisien konsistensi internal didapatkan dari koefisien korelasi product moment


atau melalui koefisien korelasi Spearman-Brown. Rumus Spearman-Brown dapat
dilakukan dengan asumsi teori klasik dengan implikasi bahwa komponen pecahan
paralel dengan komponen lainnya. Bila tidak paralel, maka rumus Spearman-Brown
tidak dapat dilakukan sehingga memerlukan rumus Crobanch’s coefficient alpha.
Penerimaan nilai Cronbach’s alpha tergantung tujuan penelitian yang dilakukan.
Nilai reliabilitas 0,50–0,60 dianggap cukup dan skor reliabilitas >0,8 dianggap
terlalu tinggi pada penelitian biasa. Umumnya nilai reliabilitas yang dapat diterima
antara 0,70–0,80.136

Uji Validitas
Validitas memperlihatkan apakah suatu pengujian mengukur yang seharusnya
diukur. Validitas terdiri atas validitas eksternal dan validitas internal.136

Validitas eksternal memperlihatkan hasil penelitian valid dan dapat digeneralisasi


ke objek, situasi, dan waktu yang berbeda. Validitas eksternal berhubungan dengan
pemilihan subjek karena subjek tidak bias menghasilkan validitas eksternal yang
tinggi. Validitas yang tinggi harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain: (1) hasil
digeneralisasikan ke semua objek yang berbeda; (2) ke situasi yang berbeda; dan
(3) pada waktu yang berbeda. Pemilihan subjek terlalu sedikit akan memberikan
hasil yang tidak dapat diterapkan pada objek lain.136

Validitas internal memperlihatkan kemampuan instrumen penelitian mengukur apa


yang seharusnya diukur pada suatu konsep. Validitas internal memastikan riset
menggunakan konsep yang benar. Validitas internal terbagi menjadi tiga kelompok,
yaitu: (1) validitas yang berhubungan dengan kriteria (criterion-related validity);
(2) validitas konstruk (construct validity) dan; (3) validitas isi (content validity).136

1. Validitas Isi
Validitas isi menilai apakah pernyataan pada instrumen dapat mewakili konsep yang
diukur dan memuat tes untuk menguji isi yang relevan dengan tujuan yang diukur.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


55

Validitas isi yang baik dapat diperoleh bila instrumen dapat mencakup topik yang
telah didefinisikan sebagai dimensi dan elemen yang relevan dalam menggambarkan
konsep. Mengukur kelayakan validitas isi merupakan hal yang sulit karena tidak ada
standar yang jelas, sehingga validitas isi dilakukan dengan menggunakan evaluasi
panel atau orang yang ahli dalam konsep yang diukur. Validitas isi yang minimal
dapat diterima adalah validitas tampang (face validity). Validitas tampang
memperlihatkan bahwa pernyataan dapat mengukur suatu konsep bila penampilan
tampangnya mengukur konsep tersebut.137

2. Validitas yang Berhubungan dengan Kriteria


Validitas yang berhubungan dengan kriteria digunakan untuk menilai perbedaan
individu berdasarkan kriteria yang digunakan. Berdasarkan persepsi waktu, validitas
ini terbagi dua, yaitu validitas serentak (concurrent validity) dan validitas prediktif
(predictive validity). Validitas serentak berhubungan dengan pengukuran dan
pengklasifikasian sekarang dan validitas prediktif merupakan hubungan dengan
kebenaran prediksi di masa depan. Validitas serentak digunakan untuk membedakan
individu yang diketahui berbeda berdasarkan kriteria tertentu saat penilaian dan hasil
dikatakan valid bila hasil dari kedua individu tersebut berbeda.137 Validitas prediktif
memperlihatkan kemampuan instrumen dalam mengukur perbedaan antara individu
dalam kriteria yang diprediksikan. Validasi tidak dapat dilakukan sebelum mendapat
skor yang diprediksi belum diperoleh. Validitas prediktif yang tinggi menunjukkan
instrumen mempunyai nilai prediktif yang tinggi.137

3. Validitas Konstruk
Validitas konstruk memperlihatkan kemampuan hasil yang diperoleh dari instrumen
sesuai dengan teori yang digunakan untuk mendefinisikan konstruk yang digunakan.
Validitas konstruk dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu (1) analisis faktor; (2)
validitas diskriminan (discriminant validity); (3) validitas konvergen (convergent
validity).137

Analisis faktor menyatakan bahwa pernyataan harus mempunyai skor tinggi pada
konstruk yang sesuai dengan butir pernyataan dan mempunyai skor rendah pada
konstruk lain agar membentuk konstruk yang benar. Muatan yang > 0,45 dianggap
cukup, skor > 0,55 baik, > 0,63 sangat baik, dan > 0,67 berarti memuaskan.137

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


56

Validitas konvergen didapat bila skor pada dua instrumen yang berbeda namun
mengukur konstruk yang sama memiliki korelasi yang baik. Validitas ini dievaluasi
dengan menggunakan korelasi faktor cara Fornell dan Larcke atau dengan korelasi
antar item konstruk. Pada korelasi antar pernyataan konstruk, nilai korelasi yang
tinggi berarti pernyataan mengarah ke konstruk yang sama dan memiliki validitas
konvergen yang tinggi.

Cara Fornell dan Larcke menggunakan dua kriteria untuk menguji validitas, yaitu
(1) semua muatan faktor seharusnya bermakna dan nilai melebihi 0,70; (2) rerata
varian yang diekstrasi untuk masing-masing konstruk melebihi varian yang terjadi
akibat kesalahan pengukuran konstruk tersebut.137

Validitas diskriminan merupakan validitas yang terjadi akibat dua instrumen


berbeda yang mengukur dua konstruk yang diprediksi tidak berkorelasi akan
menghasilkan skor yang tidak berkorelasi. Validitas dapat dinilai dengan cara
korelasi antar pernyataan berbeda konstruk atau cara Fornell dan Larcker. Konsep
pengukuran sama dengan pengukuran pada validitas konvergen.137

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


57

2.9 Kerangka Teori

Gambar 2.8. Kerangka Teori Adiksi Internet pada Remaja

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


58

Universitas Indonesia
2.10 Kerangka Konsep

Uji validitas
kriteria (validitas

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


konkuren) :
-Titik potong
-AUC
-Sensitivitas
-Spesifisitas Validitas Konstruk :
-nilai p
-RMSEA
-CFI
-SRMR
-AIC

Gambar 2.9. Kerangka Konsep Adiksi Internet pada Remaja


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain mix method yaitu studi kualitatif dan potong
lintang. Studi kualitatif menggunakan teknik Delphi untuk mengembangkan
instrumen KDAI. Studi potong lintang dilakukan untuk uji validitas dan reliabilitas
KDAI, validitas dan reliabilitas IAT versi Indonesia, penentuan titik potong KDAI
dibandingkan dengan IAT versi Indonesia, rs-fMRI BOLD untuk menentukan
konektivitas fungsional pada remaja AI dibandingkan remaja yang tidak mengalami
AI, prevalensi AI pada remaja, mencari faktor risiko dan proteksi AI pada remaja.

3.2 Tahapan Penelitian


Sesuai dengan tujuan khusus penelitian ini didapatkan 3 tahap penelitian yaitu:

3.2.1 Tahap Satu: Pengembangan KDAI


3.2.1.1 Penyusunan Draft KDAI dan Perolehan Level of Agreement
Tujuan tahap satu adalah mendapatkan level of agreement para pakar dengan teknik
Delphi (nilai content validity index - CVI dan content validity ratio - CVR),
mendapatkan nilai reliabilitas (Cronbach’s alpha), dan melakukan validitas
tampang serta validitas isi kuesioner dengan FGD. Penelitian dilakukan pada 7
sekolah (3 SMP dan 4 SMA) di Jakarta yang menjalin hubungan kerja sama dengan
Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FKUI-RSCM. Penelitian dilakukan selama 12
bulan, yaitu dari bulan Juli 2018 sampai Juli 2019.

Studi pustaka dilakukan untuk menyusun domain dan butir-butir pernyataan KDAI.
Pengembangan pernyataan KDAI menggunakan teknik Delphi yang melibatkan 14
pakar terdiri atas 2 orang psikiater anak dan remaja, 2 orang psikiater adiksi yang
mendalami adiksi perilaku, 4 orang psikiater adiksi yang mendalami adiksi NAPZA,
3 orang psikiater neuropsikatri, 1 orang dokter spesialis anak, dan 2 orang psikolog
dengan keahlian adiksi. Kuesioner dalam skala Likert diisi oleh para pakar. Peneliti
mengumpulkan butir pernyataan yang mendapat nilai 4 dalam skala Likert (sangat
relevan) oleh minimal 75% partisipan. Pernyataan yang belum disepakati disebar
kembali kepada para pakar sampai pernyataan jenuh. Butir pernyataan yang telah
disepakati dikumpulkan untuk membentuk KDAI.

59 Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


60

Hasil konsensus pakar dikonsultasikan kepada ahli bahasa Indonesia. Selanjutnya


dilakukan uji coba awal dengan metode FGD yang melibatkan 13 siswa SMP dan
18 siswa SMA. Subjek dipilih secara acak dari 7 sekolah di Jakarta. Pada FGD
dipisahkan kelompok siswa/i SMP dan SMA dengan jumlah peserta setiap
kelompok maksimal 10 orang. Setiap butir pernyataan KDAI dibahas pada FGD.

Pada analisis data, peneliti melakukan penilaian CVR dan CVI butir pernyataan
KDAI. CVR bertujuan mengukur seberapa penting pernyataan di dalam kuesioner
sedangkan CVI menilai apakah kuesioner memiliki jumlah pernyataan yang cukup
untuk mengukur AI. Rumus perhitungan CVR adalah {(jumlah pakar yang memberi
penilaian esensial) - (jumlah pakar / 2)} / (jumlah pakar / 2). Nilai minimal CVR
untuk 14 pakar adalah 0,51.

Penelitian ini menggunakan CVI berupa scale-level index / average (S-CVI / Ave).
Scale-level index mengukur validitas kuesioner secara keseluruhan. Rumus
perhitungannya adalah dengan menghitung rerata item-level CVI (I-CVIs) dari
seluruh butir pernyataan. Nilai minimal S-CV I /Ave yaitu ≥ 90% (0,90).

3.2.1.2 Uji Validitas dan Reliabilitas KDAI


Tujuan tahap ini adalah mendapatkan nilai konsistensi internal (Cronbach’s alpha)
dan membentuk konstruk KDAI dengan mengelompokkan butir-butir pernyataan
sesuai domainnya. Pengelompokan berdasarkan nilai muatan faktor. Penelitian
dilakukan pada 9 sekolah (4 SMP dan 5 SMA) di Jakarta yang sudah menjalin
hubungan kerja sama dengan Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FKUI-RSCM.
Penelitian dilakukan selama 12 bulan, yaitu dari bulan Juli 2018 sampai Juli 2019.

Subjek penelitian adalah siswa/i dari 9 sekolah yang memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memiliki kriteria eksklusi. Kriteria inklusi meliputi siswa/i SMP dan SMA
yang terpilih secara acak dan bersedia menandatangani lembar persetujuan untuk
ikut dalam penelitian. Kriteria eksklusi adalah remaja dengan gangguan jiwa berat.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


61

Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar subjek minimal untuk studi satu
proporsi, yaitu:
n = (zα)2 PQ / d2
n = besar subjek
d =tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 5 % = 0,05
P = prevalensi AI = 20 %150
Q = 1-P = 80 %
α = tingkat kemaknaan, yaitu 0,01, maka zα = 2,576
(3.1)
Dari perhitungan tersebut, besar subjek (n) adalah:
n = (zα)2 PQ / d2
n = (2,576)2 x 0,2 x 0,8 / (0,05)2
n = 425
(3.2)
Untuk mempertimbangkan dropout dilakukan koreksi terhadap besar subjek yang
dihitung dengan rumus:
n’= n / (1-f)
n’= 425 / (1-0,1)
n = 472 yang dibulatkan menjadi 500 subjek
(3.3)
Subjek yang diperlukan adalah 500 orang, namun karena jumlah subjek yang hadir
saat pengambilan data adalah 643 orang maka semua dijadikan subjek penelitian
yang terdiri atas 318 siswa/i SMP dan 325 siswa/i SMA.

Uji validitas dan reliabilitas KDAI dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
- uji coba awal pada 31 subjek dipilih secara acak dari 3 SMP dan 4 SMA,
- uji coba skala penuh 385 subjek dipilih secara acak dari 3 SMP dan 5 SMA,
- uji lapangan pada 643 subjek dipilih secara acak dari 4 SMP dan 5 SMA.

Validitas konstruk diuji dengan EFA dan CFA. Uji EFA mengelompokkan butir
pernyataan ke dalam domain berdasarkan kemiripan antar data. Butir pernyataan
yang digunakan adalah yang memiliki muatan faktor ≥ 0,40. Uji CFA digunakan
untuk memastikan hasil EFA. Model dikatakan fit jika memiliki nilai akaike
information criterion (AIC) yang lebih kecil, nilai p pada uji chi square > 0,05, root
mean square error of approximation (RMSEA) < 0,06, comparative fit index (CFI)
≥0,9 dan standardized root mean square residual (SRMR) < 0,08.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


62

Uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan konsistensi internal (Cronbach’s


alpha) dan korelasi antar butir pernyataan dengan total. Konsistensi internal yang
diharapkan yakni > 0,7. Korelasi corrected item-total yang baik adalah > 0,3. Butir
pernyataan dihapus bila memiliki korelasi corrected item-total yang < 0,3. Setelah
butir pernyataan dihapus, maka dilakukan uji reliabilitas ulang sampai seluruh butir
pernyataan memiliki korelasi adekuat (> 0,3).

3.2.1.3 Validasi IAT dan Pencarian Titik Potong IAT Versi Indonesia
Tujuan tahap ini adalah mendapatkan nilai konsistensi internal (Cronbach’s alpha)
dan membentuk konstruk IAT dengan mengelompokkan butir pertanyaan sesuai
domainnya. Pengelompokan berdasarkan nilai muatan faktor. Lokasi, waktu, dan
besar sampel sama seperti uji validitas dan reliabilitas KDAI.

Uji validitas dan reliabilitas IAT dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:

- uji coba awal pada 30 subjek yang dipilih secara acak dari 3 SMP dan 4 SMA,
- uji coba skala penuh 385 subjek yang dipilih secara acak dari 3 SMP dan 5 SMA,
- uji lapangan pada 643 subjek yang dipilih secara acak dari 4 SMP dan 5 SMA.

Validasi IAT mempertimbangkan aspek transkultural dan proses validasi sesuai


proses validasi WHO. Proses validasi meliputi forward translation, diskusi panel
ahli, backward translation, uji coba awal, diskusi panel dan konsultasi ahli bahasa,
uji coba skala penuh, uji lapangan, dan penentukan titik potong IAT versi Indonesia.

Uji validitas konstruk dan reliabilitas sama seperti pada uji validitas dan reliabilitas
KDAI. Validitas konstruk diuji dengan EFA dan CFA. Uji reliabilitas untuk
mendapatkan konsistensi internal dan korelasi antar butir pernyataan dengan total.

3.2.1.4 Uji Validitas Kriteria KDAI dan Penentuan Titik Potong KDAI
dengan IAT Versi Indonesia sebagai Pembanding
Tujuan tahap ini untuk mendapatkan nilai korelasi, titik potong, nilai AUC,
sensitivitas, spesifisitas, positive likelihood ratio, dan negative likelihood ratio
KDAI dengan IAT versi Indonesia sebagai pembanding. Lokasi, waktu, dan besar
subjek penelitian sama seperti tahap sebelumnya. Subjek adalah 318 siswa SMP
dan 325 siswa SMA dipilih secara acak dari 4 SMP dan 5 SMA di Jakarta. Subjek
penelitian diminta mengisi KDAI dan IAT versi Indonesia.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


63

Validasi kriteria KDAI dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson untuk


mengetahui hubungan domain KDAI dan IAT versi Indonesia. Hubungan keduanya
dikatakan kuat bila memiliki nilai r > 0,3. Penentuan titik potong, nilai AUC,
sensitivitas, spesifisitas, positive likelihood ratio, dan negative likelihood ratio
KDAI didapatkan melalui metode receiver operator curve (ROC).

3.2.2 Tahap Dua: Pemeriksaan rs-fMRI BOLD


Tujuan tahap dua adalah memperoleh gambaran hasil analisis konektivitas
fungsional otak pada kelompok remaja AI dibandingkan remaja tidak AI.
Pemeriksaan rs-fMRI BOLD dilakukan di RS Abdi Waluyo, Jakarta Pusat.
Penelitian dilakukan selama 12 bulan, dari bulan Juli 2018 sampai Juli 2019.

Subjek penelitian adalah siswa/i dari 8 sekolah di Jakarta yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Kriteria inklusi meliputi siswa/i SMP
dan SMA yang terpilih secara acak serta bersedia berpartisipasi dengan
menandatangani lembar persetujuan untuk mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi
meliputi riwayat penyalahgunaan dan ketergantungan zat atau gangguan mental.
Kondisi tersebut diskrining menggunakan kuesioner alcohol, smoking and
substance use involvement screening & testing (ASSIST) dan tes celup urin.
Riwayat gangguan mental seperti skizofrenia, gangguan mood, kecemasan,
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas diperiksa dengan kuesioner mini-
international neuropsychiatric interview-kid (MINI KID).

Besar subjek penelitian ditentukan berdasarkan tabel rule of thumb for determining
sample size yaitu 30 subjek kelompok AI (adiksi sedang) dan 30 subjek tidak AI
berdasarkan IAT versi Indonesia. Subjek dipilih dengan metode stratified random
sampling terdiri atas 30 subjek AI dan 30 subjek tidak AI. Kelompok tidak AI terdiri
atas 19 subjek normal dan 11 subjek adiksi ringan. Kelompok AI terdiri atas subjek
adiksi sedang. Subjek dengan adiksi berat tidak ada pada penelitian ini. Pemilihan
subjek dari setiap kelompok menggunakan metode simple random sampling yang
dilanjutkan dengan metode purposive sampling untuk memenuhi jumlah subjek
minimal. Pemeriksaan fungsi eksekutif dilakukan oleh psikolog menggunakan trail
making test-B (TMT-B).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


64

Pemeriksaan rs-fMRI BOLD diawali dengan menjelaskan prosedur yang akan


dijalani kepada subjek dan orang tua dilanjutkan penandatanganan lembar
persetujuan tindakan oleh subjek dan orang tua. Alat yang digunakan adalah MRI
Scanner (GR system 3.0T) dengan sekuens T2*-weighted gradient echo-planar
imaging (EPI). Parameter protokol fMRI menggunakan TR/TE 2000/30 ms, flip
angle 90 derajat, field of view (FOV) 25,6 x 19,2 cm, matrix size 64 x 64 mm, slice
thickness 4 mm dengan space 1 mm dan 30 slices. Pemeriksaan fMRI berlangsung
10 menit dengan jumlah fase 300.

Pemeriksaan rs-fMRI BOLD berlangsung 32 menit 15 detik dan terdiri atas 9 tahap:
- 3 plane loc SSFSE (durasi 00:24)
- 3 plane loc SSFSE (durasi 00:24)
- Kalibrasi (durasi 00:04)
- Ax T1 (durasi 02:25)
- Ax T2 propeller (durasi 01:39)
- fMRI TR 2000 (durasi 10:00)
- fMRI TR 2000 (durasi 10:00)
- 3D Ax FSPGR BRAVO (durasi 05:03)
- Ax GRE (durasi 02:16)

Pemeriksaan rs-fMRI BOLD


Mesin MRI diatur sesuai protokol penelitian pada Lampiran 1. Pasien menggunakan
baju khusus yang disediakan oleh RS Abdi Waluyo untuk pemeriksaan fMRI.
Selanjutnya, pasien diingatkan untuk tidak berpikir keras, tidak menggerakkan
kepala, tidak tidur dan dianjurkan menutup mata agar merasa tenang selama
pemeriksaan. Pasien dipastikan tidak membawa atau menggunakan benda berbahan
logam ke ruang pemeriksaan fMRI dan dipastikan dengan memindai pasien
menggunakan alat deteksi logam. Bila diperlukan, orang tua dapat menemani
pasien dengan syarat melepas semua benda yang berbahan logam. Pasien
menggunakan alat penutup telinga untuk mengurangi bunyi bising dari alat MRI.
Pada 12 menit pertama dilakukan stabilisasi sinyal dan penyesuaian pasien dengan
lingkungan. Setelah pemeriksaan selesai, pasien dianjurkan duduk 10–20 detik
untuk menghindari rasa pusing.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


65

Prosedur pengolahan data fMRI


Identitas data fMRI yang diperoleh dibuat anonim menggunakan perangkat lunak
HOROS© dan dilakukan konversi dengan digital imaging and communication in
medicine (DICOM©) dan DICOMDIR© menjadi analyze nifti file menggunakan
perangkat lunak MRIConvert©. Subjek diberikan koding dengan nomor 1 sampai
60 menjadi S001, S002, sampai S060. Data dikirim ke Universitas Kyoto untuk
preprocessing secara anonim. Peneliti tidak mengetahui kelompok AI dan tidak AI.

Tahap preprocessing dimulai dengan mengevaluasi gerakan kepala selama


pemeriksaan rs-fMRI menggunakan metode framewise displacement. Subjek
dieksklusi bila posisi kepala berbeda 0,5 mm dari volume data fungsional terdekat >
20% jumlah volume. Pada penelitian ini, 3 subjek dieksklusi (nomor 3, 16, dan 40).
Setelah tahap preprocessing didapatkan 57 subjek.

Preprocessing dilanjutkan menggunakan FMRIB’s ICA-based X-noisefier© untuk


menghilangkan artefak dan fluktuasi yang disebabkan gerakan kepala. Setelah itu
preprocessing dilanjutkan dengan perangkat lunak CONN-fMRI functional
connectivity toolbox© versi 17e dan statistical parameter mapping© versi 12, yang
meliputi realignment, slice-timing correction, coregistration, segmentation,
normalization dan smoothing. Setelah preprocessing selesai, dilakukan penentuan
regio of interest (ROI) yang terkait gejala adiksi. Data dianalisis dengan CONN-
fMRI functional connectivity toolbox© dan SPSS© menggunakan ROI-ROI.
Konektivitas fungsional di area ROI dibandingkan dengan skor IAT versi Indonesia
dan KDAI baik pada kelompok AI maupun tidak AI. Regio yang diperiksa meliputi:
- Salience network (SN) terdiri atas anterior cingulate cortex (ACC), anterior
insula bilateral, rostral prefrontal cortex (RPFC) bilateral, dan supra marginal
gyrus (SMG) bilateral.
- Default mode network (DMN) terdiri atas medial prefrontal cortex (MPFC),
lateral parietal (LP) bilateral, dan posterior cingulate cortex (PCC).
- Central executive network (CEN) terdiri atas lateral prefrontal cortex bilateral,
dan parietal posterior cortex bilateral.
- Basal ganglia network (BGN) terdiri atas caudate bilateral, putamen bilateral,
dan nucleus accumbens bilateral.
Analisis juga dilakukan untuk melihat pengaruh gangguan fungsi eksekutif dalam
memediasi hubungan tingkat AI dengan perubahan konektivitas fungsional pada AI.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


66

3.2.3 Tahap Tiga: Prevalensi dan Faktor Risiko Adiksi Internet pada Remaja
3.2.3.1 Prevalensi Adiksi Internet pada Remaja
Lokasi, waktu, besar sampel dan metode pengambilan subjek sama seperti pada uji
validitas dan reliabilitas KDAI. Pemilihan subjek penelitian juga dilakukan secara
acak dari masing-masing sekolah. Tim peneliti memberikan penjelasan mengenai
tujuan penelitian kepada subjek, orang tua, dan guru serta meminta persetujuan
kepada subjek dan orang tua sebelum subjek mengisi KDAI.

Prevalensi AI dihitung dengan membandingkan jumlah subjek AI berdasarkan


KDAI dengan seluruh subjek. Data demografis disajikan secara deskriptif. Data
variabel nominal dan kategorik disajikan dalam tabel frekuensi dan persentase.

3.2.3.2 Penentuan Faktor Risiko dan Proteksi Adiksi Internet


Lokasi, waktu, dan besar sampel penelitian untuk menentukan faktor risiko dan
proteksi AI sama seperti pada uji validitas dan reliabilitas KDAI dengan
menghitung OR.

Pemilihan sekolah dilakukan secara acak dari sekolah yang bersedia bekerja sama.
Subjek penelitian juga dipilih secara acak dari masing-masing sekolah. Tim peneliti
menjelaskan tujuan penelitian kepada subjek, orang tua, dan guru serta meminta
persetujuan kepada subjek dan orang tua sebelum subjek mengisi kuesioner. Subjek
kemudian mengisi KDAI, kuesioner pola asuh anak (KPAA), kuesioner strength
and difficulties questionnaire (SDQ), family adaptability and cohesion evaluation
scales (FACES) IV, rosenberg self esteem scale, dan temperament and character
inventory (TCI). Deskripsi untuk setiap instrumen penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 2.

Faktor risiko dan proteksi dianalisis secara bivariat menggunakan uji chi square
dengan batas kemaknaan p < 0,05 serta nilai OR. Analisis multivariat menggunakan
uji regresi logistik untuk mengetahui variabel yang paling bermakna terhadap
kejadian AI. Selanjutnya dilakukan analisis networking psychometric pada variabel
bermakna yang menghasilkan nilai weight matrix (WM) dan centrality measures
(CM).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


67

3.3 Etik Penelitian


Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
FKUI dan RSCM dengan Surat Keterangan Lolos Kaji Etik No.
318/UN2.F1/ETIK/2016 (Lampiran 3.).

3.4 Variabel Penelitian


3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas terdiri atas data demografis, pemeriksaan dengan rs-fMRI BOLD,
IAT, faktor risiko dan proteksi terjadinya AI. Faktor risiko dan proteksi meliputi:
Faktor demografis: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia awitan
penggunaan internet, lokasi penggunaan internet, dan durasi penggunaan internet
per minggu
Faktor biologis: fungsi eksekutif
Faktor psikologis: masalah emosi, masalah perilaku, masalah teman sebaya,
masalah perilaku prososial, gangguan hiperaktivitas, citra diri, dan temperamen
Faktor sosial: kohesivitas keluarga dan pola asuh orang tua

3.4.2 Variabel Tergantung


Hasil pemeriksaan KDAI

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


68

3.5 Alur Penelitian


Dilakukan studi pustaka untuk menyusun domain dan butir pernyataan KDAI lalu
dikembangkan bersama pakar menggunakan teknik Delphi

Butir pernyataan dengan nilai 4 (skala Likert) oleh minimal 75% pakar dikumpulkan sedangkan
yang belum disepakati dikembalikan kepada pakar.

Validasi IAT versi Indonesia

Pemilihan sampel secara acak dari 9 sekolah kemudian meminta persetujuan


subjek dan orang tua

Uji coba awal KDAI pada 31 subjek dan IAT pada 30 subjek, uji coba skala penuh KDAI dan
IAT pada 385 subjek, uji coba lapangan KDAI dan IAT pada 643 subjek

Subjek mengisi kuesioner demografis, KPAA, SDQ, FACES IV, RSES, dan TCI

Uji reliabilitas, validitas isi dan konstruk KDAI dan IAT

Menentukan titik potong IAT dan KDAI, mencari nilai AUC, sensitivitas, spesifisitas,
negative/positive likelihood ratio KDAI

Pemilihan 30 subjek AI dan 30 tidak AI dengan simple random sampling untuk rs-fMRI BOLD

Pemeriksaan ASSIST, MINI KID, tes celup urin, dan TMT-B

Subjek menjalani pemeriksaan rs-fMRI BOLD di RS Abdi Waluyo

Analisis gambaran konektivitas fungsional otak pada subjek AI dan tidak AI

Analisis mediasi fungsi eksekutif, skor KDAI dan konektivitas fungsional otak pada subjek AI

Menentukan prevalensi AI dan menganalisis hubungan faktor risiko dan proteksi AI

Gambar 3.1. Alur Penelitian

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


69

3.6 Definisi Operasional

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


70

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


71

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Pengembangan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet


4.1.1 Penyusunan Draft KDAI dan Perolehan Level of Agreement
Alur tahap pengembangan KDAI yang dimulai dari studi pustaka sampai terbentuk
KDAI akhir dapat dilihat di Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Alur Tahap Pengembangan KDAI

73 Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


74

Tahap awal pengembangan KDAI dimulai dari penelusuran kepustakaan


membentuk draft KDAI untuk tahap berikutnya. Pengembangan KDAI
menggunakan teknik Delphi dan menghasilkan level of agreement dari para pakar.
Tahap akhir pengembangan KDAI menghasilkan kuesioner yang terdiri atas 7
domain dan 44 pernyataan.

4.1.1.1 Penyusunan KDAI Berdasarkan Pustaka


Domain diambil dari pustaka berupa buku dan jurnal melalui pencarian elektronik
di PUBMED®, Scopus® dan ProQuest®, serta hasil FGD. Proses penelusuran
pustaka dapat dilihat di Gambar 4.2.

Gambar 4.2. Bagan Alur Penelusuran Pustaka dalam Pembuatan KDAI Awal

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


75

Hasil penelusuran elektronik dijadikan acuan untuk membuat domain dan butir
pernyataan KDAI (Lampiran 4.). Berdasarkan pustaka didapatkan gejala AI
meliputi preokupasi, perilaku impulsif, modifikasi mood, gejala putus perilaku,
kehilangan kontrol, toleransi, kehilangan minat terhadap kegiatan lain, berbohong,
dampak fisik, dampak sosial, dan dampak terhadap kualitas hidup.

4.1.1.2 Penyusunan KDAI Berdasarkan FGD pada Remaja


Focus group discussion dilakukan pada 19 remaja berusia 12–18 tahun pada tahun
2016 (Tabel 4.1.).

Tabel 4.1. Karakteristik Subjek FGD (n = 19)


Karakteristik Subjek n (%)
Usia
Remaja awal 9 (47,40)
Remaja pertengahan 2 (10,50)
Remaja akhir 8 (42,10)
Pendidikan
SMP 11 (57,89)
SMA 8 (42,11)
Pekerjaan Ayah
Bekerja 17 (89,47)
Tidak bekerja 2 (10,53)
Pekerjaan Ibu
Bekerja 11 (57,89)
Tidak bekerja 8 (42,11)
Durasi Penggunaan Internet
≤ 4 jam / hari 6 (31,58)
> 4 jam / hari 13 (68,42)

Mayoritas subjek adalah remaja awal (47,40%). Subjek yang rentan mengalami AI
adalah 68,4% karena memiliki waktu bermain internet lebih dari 4 jam sehari. Pada
FGD subjek mengungkapkan gejala AI kemudian peneliti memberikan usulan
domain pada gejala yang diungkapkan subjek (Tabel 4.2.).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


76

Tabel 4.2. Gejala Adiksi Internet


Usulan
No Gejala
Domain
1 Ingin bermain internet terus menerus. Preokupasi
Memikirkan bermain internet walaupun sedang melakukan
kegiatan lain.
2 Sulit menghentikan bermain internet. Kehilangan
Mencuri sinyal wifi untuk bermain internet. kontrol
Mencari berbagai posisi untuk mendapatkan sinyal terbaik.
Tetap memainkan gawai pintar walaupun sedang beraktivitas
lainnya
3 Waktu untuk menggunakan internet semakin bertambah Toleransi
Uang yang dihabiskan untuk menggunakan internet semakin
banyak
Level games online yang dimainkan semakin sulit
4 Tidak mengacuhkan kegiatan lainnya, misalnya tetap Isolasi sosial
menggunakan internet walaupun di dalam kelas
Melakukan phubbing, tidak mengacuhkan teman dan
lingkungan sekitarnya
Bermain gawai pintar terus menerus karena fear of missing out
Berperilaku autistik karena selalu bermain gawai pintar
5 Merasa kesal bila jaringan internet terputus Gejala putus
Terlihat marah-marah bila kuota habis sehingga jaringan perilaku
internet terputus
6 Guru marah akibat remaja bermain gawai di dalam kelas Konflik
Orang tua merasa kesal akibat remaja menginap di warnet interpersonal
Teman merasa kesal akibat remaja memilih bermain games
online
7 Mendahulukan bermain internet dari melakukan kegiatan lain Salience
yang dulunya disukai, misalnya bermain bola
Bermain games online menjadi aktivitas yang utama.
8 Berbohong kepada orang tua tentang penggunaan uang akibat Denial dan
dihabiskan untuk menggunakan internet di warnet. Desepsi
Mencuri harta orang tua untuk membeli kuota internet.
9 Remaja AI akan berperawakan kurus karena sering lupa makan. Dampak fisik
Perawatan diri sangat buruk karena sering tidak mandi.
Adanya gangguan mata akibat sering bermain internet.
10 Sering bolos sekolah karena lebih memilih bermain games Dampak sosial
online.
Tidak naik kelas karena sering tidak masuk sekolah.
Nilai-nilai sekolah menjadi lebih buruk akibat tidak pernah
belajar.
11 Remaja menjadi pahlawan dalam dunia virtual namun tidak Modifikasi
dalam kehidupan nyata. mood
Remaja dapat melampiaskan kekesalan pada orang tua dan guru (pelarian)
melalui games online.
Remaja memiliki banyak teman saat bermain MMORPG namun
tidak dalam kehidupan nyata.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


77

4.1.1.3 Pengembangan Domain dan Butir Pernyataan Berdasarkan Studi


Pustaka dan FGD
Pada tahap pertama, berhasil disusun KDAI yang terdiri atas 12 domain dan 105
pernyataan (Tabel 4.3.). Domain tersebut mencerminkan gejala utama AI seperti
yang tercantum di DSM-5. Butir pernyataan menggambarkan perilaku masing-
masing domain.

Tabel 4.3. Domain dan Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI
No Domain Butir Pernyataan
1 Preokupasi Saya memikirkan untuk menggunakan internet walaupun saat sedang
melakukan kegiatan lain.
Saya membayangkan diri saya sedang menggunakan internet saat saya
sedang melakukan kegiatan lain.
Saya merencanakan kesempatan bermain internet berikutnya saat saya
sedang melakukan kegiatan lain.
Saya memikirkan tentang permainan internet saya sebelumnya
meskipun saat itu saya sedang melakukan kegiatan lain.
Saya memikirkan mengenai bermain internet sepanjang hari.
Saya berpikir untuk bermain dengan media sosial seperti Whatsapp© /
Line© / email setiap saat sebelum saya melakukan segala sesuatu.
Saya bermimpi sedang bermain internet.
Saya menggunakan banyak waktu saya untuk membayangkan sedang
menggunakan internet.
Saya menanti-nanti saat saya akan online lagi.
Konsentrasi saya hilang saat melakukan tugas lain karena saya
memikirkan bermain internet.
2 Withdrawal Saya merasa kesal bila berhenti menggunakan internet.
Saya merasa frustrasi bila dipaksa untuk menghentikan penggunaan
internet.
Saya merasa cemas bila tidak mengecek email / media sosial /
Whatsapp© / Line©.
Saya merasa kesal bila jaringan internet susah untuk diakses.
Saya merasa sedih ketika berhenti menggunakan internet.
Saya akan mudah marah pada orang yang menyuruh saya
menghentikan penggunakan internet.
Saya merasa bosan ketika saya offline.
Saya merasa kesal atau terganggu bila ada orang mengganggu saya
saat sedang online.
Saya akan merasa kesal bila sedang offline dan perasaan tersebut
akan menghilang bila saya dapat online.
Saya merasa sedih / depresi bila sedang offline dan perasaan tersebut
akan menghilang bila saya dapat online.
Saya merasa cemas atau mudah marah bila waktu bermain internet
saya berkurang dari yang saya mau.
Saya merasa cemas bila sedang offline.
Saya merasa gelisah bila sedang offline.
Saya merasa seperti ada sesuatu yang hilang bila sedang offline.
Saya takut akan kehidupan tanpa internet yang membosankan, hampa
dan suram.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


78

Tabel 4.3. Domain Beserta Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI (sambungan)
No Domain Butir Pernyataan
3 Toleransi Saya menggunakan internet bertambah lama dari waktu ke waktu
untuk mendapatkan kepuasan yang sama.
Saya tidak pernah merasa puas ketika menggunakan internet.
Semakin sering saya online, semakin sering keinginan saya untuk
online.
Saya harus online lebih lama untuk dapat merasakan kesenangan
yang saya rasakan sebelumnya.
4 Kehilangan kontrol Saya berusaha untuk online lagi walaupun sudah keluar dari
(Loss of Control) jaringan internet.
Saya menggunakan internet lebih lama dari yang sudah
direncanakan.
Saya sudah berusaha untuk membatasi waktu menggunakan
internet namun gagal.
Saya berkata kepada diri sendiri, “Hanya beberapa menit saja
lagi” saat online.
Sebagian besar waktu saya dalam 24 jam saya gunakan untuk
online.
Saya tetap online meskipun telah menyuruh diri sendiri untuk
berhenti.
Saya tetap terus menggunakan internet walaupun dilarang oleh
orang tua atau keluarga saya.
Saya menggunakan waktu belajar untuk menggunakan internet.
Saya menggunakan waktu bermain dengan teman untuk
menggunakan internet.
Saya lupa waktu saat saya sedang online.
Saya terus online walaupun saya tahu banyak hal yang harus saya
kerjakan.
Saya merasa waktu berhenti ketika saya bermain internet.
Saya merasa membutuhkan bantuan dari profesional untuk
mengurangi waktu bermain internet saya.
5 Dampak Biologis Tangan saya terasa nyeri karena terlalu banyak online.
(Masalah Saya merasa mata saya lelah / kering setelah menggunakan
Kesehatan) internet.
Saya merasa lelah karena menggunakan internet terlalu lama.
Waktu tidur saya berkurang karena saya lebih banyak online.
Saya lebih memilih untuk online dibandingkan tidur di malam
hari.
Saya merasa punggung saya terasa pegal sejak saya mulai
menggunakan internet.
Saya merasa sakit kepala ketika saya terlalu lama online.
Saya merasa tubuh saya semakin gemuk / kurus setelah lebih
sering online.
Saya lupa makan saat menggunakan internet.
6 Isolasi Sosial Saya merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan menggunakan
internet (online) dari berbicara langsung (tatap muka).
Saya merasa teman online saya lebih banyak dari teman dalam
dunia nyata.
Saya lebih banyak menggunakan waktu untuk online dari
bermain dengan teman.
Saya membatalkan janji bertemu dengan teman karena saya
bermain internet.
Saya lebih memilih bermain internet dibandingkan pergi bersama
teman.
Saya lebih senang membangun hubungan baru dengan sesama
pengguna internet dibandingkan di dunia nyata.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


79

Tabel 4.3. Domain Beserta Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI (sambungan)
No Domain Butir Pernyataan
Saya lebih memilih kesenangan yang didapat dari internet dari
yang berasal dari kebersamaan bersama keluarga.
Saya mengurangi interaksi dengan anggota keluarga karena
menggunakan internet.
Saya tetap online meskipun internet telah berdampak buruk bagi
hubungan interpersonal saya.
Komunikasi saya dengan keluarga berkurang karena saya lebih
sering online.
7 Konflik Saya marah pada orang yang menyuruh saya berhenti
Interpersonal menggunakan internet baik secara paksa maupun secara halus.
Saya sering memarahi / meneriaki / menunjukkan bahwa saya
merasa terganggu saat orang mengganggu saya ketika sedang
online.
Orang di sekitar saya mengatakan saya terlalu lama
menghabiskan waktu bermain internet.
Saya bertengkar dengan orang tua saya karena internet.
Saya bertengkar dengan teman / pacar saya karena internet.
Saya merasa keluarga saya sudah merasa terganggu dengan
kegiatan online saya.
Bermain internet membuat hubungan saya dengan orang tua /
keluarga menjadi bermasalah.
Bermain internet membuat hubungan saya dengan teman / pacar
menjadi bermasalah.
8 Dampak Kualitas Kehidupan saya menjadi berantakan / terbengkalai karena lebih
Hidup sering online.
Saya tetap menghabiskan banyak waktu saya untuk online
walaupun saya tahu hal itu merugikan kehidupan saya.
Waktu tidur saya berkurang karena saya lebih banyak
menggunakan internet.
Saya terlambat makan karena mendahulukan menggunakan
internet.
9 Hilang minat Saya mengurangi waktu untuk melakukan aktivitas
pada hobi atau menyenangkan lainnya kecuali untuk bermain internet.
bentuk hiburan Saya merasa online lebih menyenangkan dari melakukan
lainnya (kecuali kegiatan lain yang dulu merupakan hobi saya.
internet)
10 Modifikasi mood Saya melawan pikiran yang buruk atau mengganggu di
dan pelarian kehidupan nyata dengan pikiran yang menenangkan dari internet.
(Escape and mood Saya merasa lebih nyaman dengan bermain internet dari bermain
modification) dengan teman sebaya saya.
Ketika sedang online saya merasa lebih baik karena tidak perlu
memikirkan masalah dalam dunia nyata.
Semua masalah saya hilang ketika sedang bermain internet.
Bila saya sedang merasa cemas atau sedih maka perasaan saya
akan merasa lebih baik bila menggunakan internet.
Saya lebih memilih online untuk melupakan masalah saya dari
melakukan hal lain.
Saya menggunakan internet untuk merasa bahagia.
Saya bermain internet untuk melupakan masalah saya.
Hidup saya lebih baik bila sedang online.
11 Desepsi Saya berusaha menyembunyikan kegiatan online saya pada orang
(berbohong) tua.
Saya mengatakan saya mengurangi waktu online berlebihan pada
orang tua dan guru padahal saya masih sering online.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


80

Tabel 4.3. Domain Beserta Butir Pernyataan pada Awal Penyusunan KDAI (sambungan)
No Domain Butir Pernyataan
Saya berpura-pura mematikan internet bila orang tua datang ke
kamar saya.
Saya menyangkal bila ada yang bertanya tentang apa yang saya
lakukan saat online.
Saya marah bila ada yang menanyakan apa yang saya lakukan
saat online.
Saya menyembunyikan jejak online saya pada orang lain.
Saya mengatakan lama waktu online saya kepada orang lain
lebih sedikit dari waktu sebenarnya.
Saya sering mengelak pertanyaan tentang berapa lama waktu
yang saya habiskan online atau menghindari memberikan
jawaban (menyembunyikan jawaban).
Saya merahasiakan lama waktu bermain internet saya kepada
orang-orang di sekitar saya.
Saya sering bersikap defensif ketika orang lain menanyakan
aktivitas apa saja yang saya lakukan saat online.
12 Dampak Sosial: Saya hampir / telah kehilangan pekerjaan, akibat bermain
sekolah/ pekerjaan internet.
Saya hampir / telah kehilangan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan atau pekerjaan akibat bermain internet.
Saya mengabaikan pekerjaan rumah agar dapat menghabiskan
lebih banyak waktu online.
Saya berhenti melakukan rutinitas sehari-hari akibat
menggunakan internet.
Prestasi sekolah saya memburuk karena saya lebih banyak
menggunakan internet.
Nilai di sekolah saya turun akibat menggunakan internet.
Saya pernah bolos sekolah demi online.
Performa atau produktivitas kerja saya menurun akibat internet.
Pekerjaan / tugas saya terbengkalai / terlantar (menunda
pekerjaan, tidak memenuhi deadline, dsb) akibat menghabiskan
terlalu banyak waktu online.
Produktivitas kerja saya menurun karena bermain internet.
Saya menghabiskan banyak uang untuk kebutuhan online saya.

4.1.1.4 Pengembangan Domain dan Butir Pernyataan Berdasarkan Level of


Agreement Para Pakar
Peneliti menggunakan metode Delphi dalam 3 putaran dan menanyakan relevansi
butir penilaian AI pada remaja kepada 14 pakar yang terdiri atas 2 orang psikiater
anak dan remaja, 2 orang psikiater adiksi yang mendalami adiksi perilaku, 4 orang
psikiater adiksi yang mendalami adiksi NAPZA, 3 orang psikiater ahli neuropsikatri,
1 orang dokter spesialis anak, dan 2 orang psikolog adiksi. Penilaian dilakukan
dalam skala Likert 1–4 (skala 1 = tidak relevan, skala 2 = sedikit relevan, skala 3 =
relevan, dan skala 4 = sangat relevan).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


81

Butir pernyataan terpilih adalah yang mendapat nilai sangat relevan (skala Likert 4)
dari 75% pakar. Validitas isi dihitung pada akhir setiap putaran Delphi
menggunakan nilai CVR dan CVI. Pada penelitian ini diperoleh nilai CVR 0,51 dan
CVI 0,90. Butir pernyataan lainnya dikembalikan pada Delphi putaran kedua
dengan pakar yang sama pada Delphi putaran satu. Pada putaran kedua butir
pernyataan yang terpilih adalah yang mendapat nilai sangat relevan (skala Likert 4)
oleh minimal 75% pakar dengan nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90. Butir pernyataan
lain dikembalikan pada Delphi putaran ketiga dengan pakar yang sama pada putaran
satu dan kedua. Jarak satu putaran Delphi dengan putaran lainnya adalah 1 bulan.

Pada putaran pertama terdapat 31 pernyataan yang disetujui oleh > 75% pakar; ke-
31 pernyataan memiliki CVR > 0,51 dan CVI > 0,90 (Lampiran 5.). Pakar sepakat
menghilangkan 7 butir pernyataan (Tabel 4.4.) dan menambahkan 1 butir
pernyataan. Pernyataan yang ditambahkan adalah “saya mengabaikan kegiatan
agama saya (doa, ke masjid, sholat) untuk online” pada domain kehilangan kontrol.
Pernyataan tersebut diusulkan oleh pakar untuk mengetahui dampak AI terhadap
berbagai aspek termasuk spiritual. Selanjutnya peneliti melakukan modifikasi
pengelompokan butir pernyataan dalam domain. Dua butir pernyataan dari domain
dampak biologis dan 1 butir pernyataan dari domain isolasi sosial dipindahkan ke
domain kehilangan kontrol (Tabel 4.5.). Pada akhir putaran pertama terdapat 68
pernyataan yang disebarkan kembali pada putaran Delphi kedua.

Pada putaran Delphi kedua terdapat 18 pernyataan yang disetujui oleh > 75% pakar
serta memiliki nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90. Pada akhir putaran kedua terdapat
50 pernyataan yang disebarkan pada putaran Delphi ketiga.

Pada putaran Delphi ketiga didapatkan 7 pernyataan yang disetujui > 75% pakar
serta memiliki nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90. Setelah putaran ketiga data sudah
jenuh sehingga diperoleh hasil akhir terdiri atas 11 domain dan 56 pernyataan.
Domain dampak biologis dihapus karena tidak ada butir pernyataan yang diambil
oleh pakar. Domain yang dipertahankan sebanyak 11 yaitu preokupasi, withdrawal,
toleransi, kehilangan kontrol, isolasi sosial, konflik interpersonal, dampak kualitas
hidup, kehilangan minat, pelarian dan modifikasi mood, desepsi, dan dampak sosial.
Hasil akhir dari ketiga putaran Delphi dikonsultasikan kepada ahli bahasa.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


82

12 Domain
105 Pernyataan

< 75% Likert 4 Konsensus 14 > 75% Likert 4


Pakar

Delphi Putaran 1
74 Pernyataan 31 Pernyataan

• 7 pernyataan dihilangkan*
• 1 pernyataan ditambahkan*

68 Pernyataan
Delphi Putaran 2

< 75% Likert 4 Konsensus 14 > 75% Likert 4


Pakar

50 Pernyataan 18 Pernyataan

Delphi Putaran 3

Konsensus 14 > 75% Likert 4


Pakar

7 Pernyataan
Konsultasi
Ahli Bahasa
56 pernyataan
11 Domain

Gambar 4.3. Alur Penyaringan Butir Pernyataan dan Domain Konsensus Pakar

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


83

Tabel 4.4. Daftar Butir Penilaian yang Dihapuskan dan Alasannya


No Domain No Butir Pernyataan Alasan Penghapusan
1 Withdrawal 1 Saya merasa sedih Pakar sepakat bahwa lebih tepat merasa
bila sedang offline kesal dibandingkan sedih karena salah
dan perasaan tersebut satu gejala withdrawal AI adalah emosi
akan menghilang bila berupa kekesalan, bukan kesedihan.
saya dapat online.
2 Saya merasa sedih Pakar sepakat bahwa lebih tepat merasa
ketika berhenti kesal dibandingkan sedih karena salah
menggunakan satu gejala withdrawal AI adalah emosi
internet. berupa kekesalan, bukan kesedihan.
2 Kehilangan 3 Saya berkata kepada Pernyataan tidak spesifik untuk AI.
kontrol diri sendiri, “hanya
beberapa menit saja
lagi” saat online.
4 Saya merasa waktu Pernyataan tidak spesifik untuk AI.
berhenti ketika saya
bermain internet.
3 Dampak 5 Saya lebih memilih Pernyataan tersebut memiliki arti sama
Biologis untuk online dengan "saya menghabiskan waktu saya
(Masalah dibandingkan tidur di untuk online sehingga waktu tidur saya
Kesehatan) malam hari. berkurang" (berpindah domain ke
kehilangan kontrol).
4 Konflik 6 Orang di sekitar saya Pernyataan tidak berlaku secara umum
interpersonal mengatakan saya karena ada kemungkinan situasi individu
terlalu lama tinggal sendiri.
menghabiskan waktu
bermain internet.
5 Dampak 7 Nilai-nilai di sekolah Pernyataan tersebut memiliki arti sama
Sosial: saya turun akibat dengan "prestasi sekolah saya memburuk
sekolah/ menggunakan karena saya lebih banyak menggunakan
pekerjaan internet. internet".

Tabel 4.5. Modifikasi Butir Pernyataan Hasil Delphi 1


No Domain No Butir Pernyataan Alasan Modifikasi
1 Dampak 1 Waktu tidur saya Pakar setuju bahwa Pemindahan ke domain
Biologis berkurang karena lebih sesuai untuk “kehilangan kontrol”.
(Masalah saya lebih banyak domain “kehilangan
Kesehatan) online. kontrol”.
2 Saya lupa makan Pakar setuju bahwa Pemindahan ke domain
saat menggunakan lebih sesuai untuk “kehilangan kontrol”.
internet. domain “kehilangan
kontrol”.
2 Isolasi Sosial 3 Saya tetap online Pakar setuju bahwa Pemindahan ke domain
meskipun internet lebih sesuai untuk “kehilangan kontrol”.
telah berdampak domain “kehilangan
buruk bagi kontrol”.
hubungan
interpersonal saya.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


84

4.1.1.5 Modifikasi Tata Bahasa KDAI


Butir pernyataan hasil putaran Delphi dipelajari oleh seorang ahli bahasa Indonesia
sehingga kuesioner sesuai dengan tata bahasa Indonesia dan dapat dipahami oleh
remaja. Diskusi menambahkan istilah “daring” untuk online dan “luring” untuk
offline. Terdapat 2 pernyataan yang memiliki struktur kalimat dan makna yang
sama, yaitu butir 54 “performa atau produktivitas kerja saya menurun akibat
internet” dan butir 56 “produktivitas kerja saya menurun akibat internet”. Kedua
pernyataan tersebut dimodifikasi menjadi “nilai ulangan saya menurun akibat
bermain internet”.

4.1.1.6 Penentuan Skoring KDAI: Skala Polar atau Likert


Kuesioner dikonsulkan dengan psikolog ahli psikometri dan menghasilkan
kuesioner dengan 2 jenis skala, yaitu skala Likert dan polar. Skala Likert terdiri atas
7 poin (sangat jarang, jarang, kadang-kadang, sering, sangat sering, selalu, dan tidak
sesuai) sedangkan skala polar berbentuk polarisasi.

Gambar 4.4. Contoh Skala Polar

Kuesioner dalam skala Likert dan polar diberikan kepada peserta FGD. Remaja
kemudian menentukan skala yang lebih mudah digunakan. Remaja menyarankan
adanya keterangan durasi waktu pada kuesioner. KDAI menggunakan durasi waktu
12 bulan sesuai dengan kriteria diagnosis pathological gambling pada DSM-5.

4.1.2 Nilai Validitas dan Reliabilitas KDAI


Validitas dan reliabilitas KDAI diperoleh dari uji coba awal, skala penuh dan
lapangan (Gambar 4.5.). Subjek penelitian terdiri atas siswa/i SMP dan SMA dari
sekolah yang bekerja sama dengan Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FKUI-
RSCM. Daftar sekolah yang bersedia bekerja sama dalam penelitian terlampir
dalam Lampiran 6. Sekolah yang terpilih secara acak terdiri atas 4 SMP dan 5 SMA.
Kesembilan sekolah tersebut mewakili masing-masing kelompok sekolah yaitu
kelompok sekolah negeri, swasta, keagamaan dan kejuruan. Sekolah terpilih juga
mewakili variasi tingkat akreditasi dan ekonomi orang tua (Tabel 4.6.).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


85

Gambar 4.5. Alur Validasi dan Reliabilitas KDAI

Tabel 4.6. Rincian Sekolah yang Terpilih


Negeri Swasta Keagamaan Kejuruan
SMP SMP Negeri SMPK Anugerah SMP Al Jihad
59 (56 subjek) (92 subjek)
(95 subjek) SMP Kristen Penabur 2
(91 subjek)
SMA SMA Negeri SMA Universal (68 subjek) MA Al SMK 14
27 SMA At-Taqwa Muddatsiriyah (65 subjek)
(70 subjek) (70 subjek) (71 subjek)

4.1.2.1 Uji Coba Awal Draft KDAI Melalui FGD


Uji coba awal draft KDAI mengikutsertakan 31 subjek yang terpilih secara acak
dari 7 sekolah. FGD dimulai dengan memberikan 2 buah kuesioner yaitu KDAI
bentuk skala Likert dan skala polar kepada seluruh subjek. Rerata pengerjaan
kuesioner skala Likert adalah 12 menit 18 detik dan skala polar adalah 9 menit 42
detik.

Karakteristik subjek FGD sebagian besar adalah perempuan (64,5%) dengan


mayoritas usia remaja awal (38,7%) dan pertengahan (38,7%). Penggunaan internet
lebih dari 20 jam / minggu dilakukan oleh 77,4% subjek dan 80% di antaranya
perempuan. Karakteristik subjek FGD digambarkan pada Tabel 4.7.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


86

Tabel 4.7. Karakteristik Subjek Uji Coba KDAI (n = 31)


Karakteristik n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 (35,5)
Perempuan 20 (64,5)
Usia
Remaja awal 12 (38,7)
Remaja pertengahan 12 (38,7)
Remaja akhir 7 (22,6)
Pendidikan
SMP 17 (54,8)
SMA 14 (45,2)
Lama Penggunaan Internet
≤ 20 jam / minggu 7 (22,6)
> 20 jam / minggu 24 (77,4)

Pada FGD, subjek memberikan komentar terkait bahasa yang digunakan dalam
KDAI. Penggantian bahasa dilakukan tanpa mengganti konten. Kuesioner skala
polar lebih disukai karena lebih sederhana namun persepsi antar subjek untuk
skoring tidak sama. Subjek merasa bingung dalam menentukan pilihan sedangkan
pengertian subjek tentang skala Likert lebih merata. Subjek merasa 56 pernyataan
sangat banyak dan melelahkan serta durasi waktu 12 bulan terlalu lama dan
mengusulkan durasi 6 bulan. Subjek tidak mengenal istilah ‘adiksi’ dan memilih
istilah ‘kecanduan’ agar remaja lebih waspada bahwa penggunaan internet dapat
mengakibatkan hal yang buruk.

Subjek tidak mengenal istilah ‘daring’ dan ‘luring’. Subjek juga tidak menyarankan
istilah online dan offline karena istilah online bukan berarti aktif dalam
menggunakan internet. Istilah online diganti menjadi bermain internet yang artinya
secara aktif menggunakan internet. Beberapa istilah yang kurang dikenal oleh
remaja seperti profesional dan frustrasi diganti menjadi istilah yang lebih dikenal.
Subjek menyarankan untuk memberikan contoh pada setiap kalimat. Salah satu
contoh adalah kalimat “bermain dengan teman”. Subjek mengatakan bermain
dengan teman bisa saja berarti bermain internet bersama. Oleh karena itu, mereka
menyarankan kalimat bermain dengan teman diberikan contoh seperti bermain bola,
bermain ke pusat perbelanjaan. Dari 55 pernyataan terdapat 1 pernyataan yang tidak
mengalami perubahan yaitu “nilai ulangan saya menurun akibat bermain internet”.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


87

Hasil uji validasi dan reliabilitas KDAI pada uji coba awal sebagai berikut:
Kuesioner KDAI Skala Likert (n = 31)
Analisis validitas konstruk dilakukan dengan uji Pearson dan didapatkan seluruh
domain (11 domain) valid. Analisis validitas per butir dibandingkan total diperoleh
setiap butir pernyataan memiliki korelasi total > 0,3 yang berarti setiap butir
pernyataan memiliki validitas yang baik. Analisis reliabilitas menunjukkan nilai
Cronbach’s alpha 0,964 dan nilai korelasi corrected item-total untuk setiap butir
pernyataan > 0,3 yang mencerminkan tingkat reliabilitas yang tinggi.

Kuesioner KDAI Skala Polar (n = 31)


Analisis validitas konstruk dilakukan dengan uji Pearson dan didapatkan seluruh
domain (11 domain) valid. Analisis validitas per butir pernyataan dengan total
menggunakan uji Pearson dan didapatkan satu butir pernyataan yang memiliki
korelasi total < 0,3. Pernyataan tersebut adalalah pernyataan nomor 53 pada domain
loss of control “saya terus bermain internet walaupun saya tahu banyak hal yang
harus saya kerjakan” dengan nilai korelasi total -0,084. Analisis reliabilitas
menunjukkan nilai Cronbach’s alpha 0,967 dan nilai korelasi corrected item-total
untuk setiap butir pernyataan > 0,3. Hasil ini mencerminkan tingkat reliabilitas yang
tinggi.

4.1.2.2 Modifikasi Tata Bahasa KDAI


Peneliti melakukan perubahan pada kuesioner sesuai dengan masukan dari subjek
saat FGD. Kuesioner skala Likert dipilih karena subjek merasa ada panduan yang
jelas untuk mengisi. Peneliti kemudian melakukan konsultasi dengan ahli bahasa.
Perubahan dilakukan pada struktur kalimat agar lebih mudah dimengerti. Kalimat
yang menunjukkan dampak negatif dihubungkan dengan kata akibat. Frasa
pekerjaan rumah diganti menjadi tugas sekolah. KDAI terbentuk dalam 11 domain
dan 55 pernyataan (Lampiran 7.). Selanjutnya, pernyataan pada kuesioner
dirandomisasi agar pernyataan dari domain yang sama tidak saling berurutan.

4.1.2.3 Uji Coba Skala Penuh Draft KDAI


Kuesioner uji coba awal dilanjutkan ke tahap uji coba skala penuh. Uji coba skala
penuh dilakukan pada 399 subjek dari 8 sekolah namun terdapat 14 subjek yang
dieksklusi karena tidak mengisi kuesioner dengan lengkap. Dengan demikian,

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


88

jumlah subjek menjadi 385. Karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Mayoritas subjek adalah perempuan (52,5%) dan kelompok remaja pertengahan
(47,8%). Subjek sebagian besar menggunakan internet > 20 jam / minggu (78,4%).

Tabel 4.8. Karakteristik Subjek Uji Coba Skala Penuh KDAI (n = 385)
Karakteristik n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 183 (47,5)
Perempuan 202 (52,5)
Usia
Remaja awal 145 (37,7)
Remaja pertengahan 184 (47,8)
Remaja akhir 56 (14,5)
Pendidikan
SMP 145 (37,7)
SMA 240 (62,3)
Lama Penggunaan Internet
≤ 20 jam / minggu 83 (21,6)
> 20 jam / minggu 302 (78,4)

Uji reliabilitas dilakukan terhadap 385 subjek dengan menggunakan KDAI yang
terdiri atas 11 domain dan 55 pernyataan. Beberapa pernyataan memiliki korelasi
corrected item-total < 0,3 sehingga pernyataan nomor 24, 48, 12, 5, 39, dan 19
dihapus (Tabel 4.9.).

Tabel 4.9. Butir Pernyataan yang Dihapus


Nilai Korelasi
No Domain Item Butir Pernyataan Corrected Item-
Total
Saya merasa membutuhkan bantuan
Loss of Control/
1 48 dari ahli untuk mengurangi waktu 0,188
Overuse
bermain internet.
Saya bertengkar dengan teman/pacar
2 Konflik Interpersonal 24 0,261
saya karena internet.
Saya berpura-pura mematikan
3 Desepsi 12 internet bila orang tua datang ke 0,296
kamar saya.
Saya bolos sekolah demi bermain
4 Dampak Sosial 5 0,295
internet.
Saya terancam gagal di sekolah
5 Dampak Sosial 19 0,295
akibat sering bermain internet.
Saya hampir atau tidak naik kelas
6 Dampak Sosial 39 0,289
akibat sering bermain internet.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


89

Domain desepsi hanya memiliki dua butir pernyataan sehingga tidak memenuhi
persyaratan domain dan dihapuskan. Butir pernyataan yang dihapus tercantum
dalam Tabel 4.10. Uji reliabilitas mendapatkan nilai Cronbach’s alpha 0,947
dengan korelasi antar butir 0,303–0,652. KDAI hasil uji coba skala penuh terdiri
atas 10 domain dan 47 pernyataan.

Tabel 4.10. Butir Pernyataan dalam Domain Desepsi yang Dihapus

No Domain Item Butir Pernyataan


Saya mengatakan kepada orang tua atau guru bahwa saya telah
1 Desepsi 8 mengurangi waktu bermain internet walaupun sebenernya saya masih
sering bermain internet.
Saya mengatakan kepada orang lain bahwa waktu bermain internet
2 Desepsi 47
saya lebih sedikit dari sebenarnya.

4.1.2.4 Uji Lapangan Draft KDAI


Pada uji lapangan draft KDAI dilakukan uji EFA dan CFA. Uji EFA dilakukan pada
KDAI yang terdiri atas 10 domain dan 47 pernyataan.

Pada uji EFA pertama didapatkan 10 domain yang memiliki eigenvalue lebih dari
satu dan secara kumulatif dapat menjelaskan 59,020% varian. Total variasi 59,020%
berarti KDAI dapat menerangkan 59,020% variasi gejala AI. Muatan faktor
masing-masing pernyataan kemudian dianalisis. Pernyataan nomor 31 yaitu “saya
harus bermain internet lebih lama untuk dapat merasakan kesenangan seperti yang
saya rasakan saat bermain internet sebelumnya” memiliki muatan faktor < 0,4
sehingga dihapus. Terdapat 3 domain yang memiliki 2 pernyataan yaitu domain 8,
9, dan 10 sehingga dilakukan penghapusan domain tanpa menghapus pernyataan di
dalamnya.

Uji EFA kedua menghasilkan 7 domain dengan nilai KMO 0,929 dan BTS dengan
nilai p < 0,001 sehingga korelasi antar pernyataan adekuat. Pernyataan nomor 36
“makin sering bermain internet, makin sering muncul keinginan saya untuk bermain
internet” memiliki muatan faktor < 0,4 sehingga dihapus. Pada uji EFA ketiga
didapatkan pernyataan nomor 45 “saya terus berpikir untuk bermain internet
sepanjang hari” memiliki muatan faktor < 0,4 sehingga dihapus. Pada uji EFA
keempat didapatkan seluruh butir memiliki muatan faktor > 0,4. Rincian daftar
pernyataan yang dihapus selama proses EFA dirangkum di dalam Tabel 4.11.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


90

Tabel 4.11. Butir Pernyataan yang Dihapus selama Proses EFA


Domain Item Pernyataan
Toleransi 31 Saya harus bermain internet lebih lama untuk dapat merasakan kesenangan
seperti yang saya rasakan saat bermain internet sebelumnya.
Toleransi 36 Makin sering bermain internet, makin sering muncul keinginan saya untuk
bermain internet.
Preokupasi 45 Saya terus berpikir untuk bermain internet sepanjang hari.

Analisis EFA dilakukan empat kali dan menghasilkan KDAI 7 domain dan 44 butir
pernyataan (Lampiran 8.). Nilai KMO 0,927 dan nilai p BTS < 0,001 sehingga
jumlah subjek dan korelasi antar pernyataan dipastikan adekuat. Ketujuh domain
dinamakan withdrawal, kehilangan kontrol, peningkatan prioritas, konsekuensi
negatif, modifikasi mood, salience, dan hendaya.

Pada domain hendaya terdapat pernyataan yang kurang relevan. Peneliti


memutuskan adanya model ketiga untuk dilakukan uji CFA dengan memodifikasi
domain hendaya. Pernyataan nomor 1 pada domain hendaya dimasukkan ke domain
2 (kehilangan kontrol). Pernyataan nomor 14 dan 46 pada domain hendaya
dimasukkan ke domain 4 (konsekuensi negatif).

Tabel 4.12. Butir Pernyataan pada Domain Hendaya


No Pernyataan
1 Saya sudah berusaha untuk membatasi waktu bermain internet, namun gagal.
14 Nilai ulangan saya menurun akibat bermain internet.
46 Prestasi sekolah saya menurun akibat lebih banyak bermain internet di luar kegiatan
sekolah.

Uji CFA dilakukan pada 318 siswa SMP dan 325 siswa SMA. Karakteristik subjek
dapat dilihat pada Tabel 4.13. Mayoritas subjek adalah perempuan (53,7%) dan
kelompok remaja awal (47,7%). Sebanyak 66,9% subjek menggunakan internet
lebih dari 20 jam per minggu.

Tabel 4.13. Karakteristik Subjek pada Uji CFA (n = 643)


Karakteristik n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 298 (46,3)
Perempuan 345 (53,7)
Usia
Remaja awal 307 (47,7)
Remaja pertengahan 254 (39,5)
Remaja akhir 82 (12,8)
Pendidikan
SMP 318 (49,5)
SMA 325 (50,5)
Lama penggunaan internet
≤ 20 jam / minggu 212 (33,0)
> 20 jam / minggu 431 (67,0)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


91

Uji CFA dilakukan pada 3 model. KDAI awal (11 domain dan 55 butir pernyataan)
disebut sebagai model 1. Pada model 1 dilakukan modifikasi 2 kali pada 4 butir
pernyataan (33, 34, 52, dan 54). Model 2 yaitu KDAI hasil EFA (7 domain dan 44
butir pernyataan) yang dilakukan modifikasi 3 kali pada 6 butir pernyataan (3, 4, 5,
8, 28, dan 24). Model 3 yaitu KDAI modifikasi hasil EFA (6 domain dan 44 butir
pernyataan). Pada model 3 tidak dilakukan modifikasi karena dari hasil analisis
didapatkan satu butir pernyataan yang dapat mengukur dua domain yang berbeda.
Pernyataan tersebut adalah butir 38, yang dapat mengukur domain kehilangan
kontrol dan modifikasi mood.

Pada tahap selanjutnya dilakukan perbandingan antar ketiga model dan didapatkan
model 2 memiliki goodness of fit yang paling baik. Hasil perhitungan CFA dari
ketiga model terdapat pada Tabel 4.14. Diagram hasil CFA model 2 pada Gambar
4.6. Nilai muatan faktor setiap butir pernyataan terdapat di Lampiran 9.

Tabel 4.14. Hasil CFA Ketiga Model


Model x2 df x2/df RMSEA CFI AIC SRMR TLI AGFI
Model 1 7879,58 1417 5,56 0,084 0,94 8125,58 0,076 0,93 0,66
(sesuai Teori)
Model 2 3644,60 891 4,09 0,069 0,95 3842,60 0,065 0,95 0,77
(sesuai hasil
EFA)
Model 3 4111,88 896 4,59 0,075 0,95 4299,88 0,086 0,95 0,75
(EFA
dimodifikasi)
Keterangan: x2 = Chi-Square, df = Degree of Freedom, RMSEA = Root Mean Square Error of
Approximation, CFI = Comparative Fit Index, AIC = Akaike Information Criterion, SRMR =
Standardized Root Mean Square Residual, TLI = Non-Normed Fit Index (NNFI), dan AGFI =
Adjusted Goodness of Fit Index

Uji reliabilitas dilakukan pada model 2 dan didapatkan seluruh butir pernyataan
memiliki nilai corrected item total correlation > 0,3 (range 0,390–0,651) dengan
nilai Cronbach’s alpha 0,942. Nilai Cronbach’s alpha dan corrected item total
correlation untuk setiap domain dapat dilihat pada Lampiran 10. Pernyataan nomor
1 yaitu “saya sudah berusaha untuk membatasi waktu bermain internet, namun
gagal” memiliki korelasi antar butir < 0,3 (0,270–0,523). Pernyataan tersebut masih
dapat dimasukkan dalam domain hendaya karena memiliki korelasi antar butir
terhadap nilai total yang baik yaitu > 0,3 (0,352). Pada uji reliabilitas ini juga
didapatkan nilai korelasi antar domain yang baik (r > 0,5). Nilai korelasi antar
domain tercantum pada Lampiran 11 dan hasil akhir KDAI pada Lampiran 12.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


92

Gambar 4.6. Hasil Confirmatory Factor Analysis KDAI pada Model 2

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


93

4.1.3 Nilai Validitas, Reliabilitas, dan Penentuan Titik Potong IAT


4.1.3.1 Uji Validitas Transkultural
Kuesioner IAT terdiri atas 20 pertanyaan dalam bahasa Inggris. Proses validasi
mengikuti rangkaian proses validasi menurut WHO dengan mempertimbangkan
aspek transkultural yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

Forward Translation
Kuesioner IAT diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh 2
penerjemah independen bahasa Indonesia.

Diskusi Panel Ahli


Diskusi panel ahli dilakukan pada tanggal 9 April 2018. Panel ahli terdiri atas 3
pakar yaitu 1 orang psikiater adiksi, 1 orang psikolog ahli adiksi dan 1 orang
psikiater anak dan remaja. Diskusi panel ahli mengusulkan beberapa perubahan
pada butir pertanyaan IAT. Istilah online dan offline ditambahkan dengan istilah
bahasa Indonesia yaitu daring (dalam jaringan) untuk online dan luring (luar
jaringan) untuk offline. Kata ‘depresi’ dalam kuesioner asli tetap digunakan karena
sudah dikenal oleh kalangan remaja.

Backward Translation
Kuesioner yang telah direvisi pada diskusi panel ahli diterjemahkan kembali ke
dalam bahasa Inggris oleh penerjemah independen bahasa Inggris yang belum
pernah melihat kuesioner asli. Hasil backward translation diberikan kepada
pembuat kuesioner asli yaitu Young dari Net Addiction, The Center of Internet
Addiction, untuk meminta persetujuan. Pembuat kuesioner asli menyetujui hasil
backward translation. Dalam proses backward translation tidak didapatkan
perbedaan bermakna sehingga tidak dilakukan perubahan pada kuesioner yang
sudah terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

4.1.3.2 Uji Validitas dan Reliabilitas IAT Versi Indonesia


Uji validitas dan reliabilitas IAT versi Indonesia dilakukan melalui 3 tahap yaitu uji
coba awal, uji coba skala penuh, dan uji lapangan. Alur proses uji validitas dan
realibilitas IAT versi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


94

Gambar 4.7. Alur Validitas dan Reliabilitas IAT

Uji Coba Awal IAT Versi Indonesia


Tahap uji coba awal dilakukan pada 15 siswa/i SMA dan 15 siswa/i SMP. Rerata
waktu pengerjaan kuesioner IAT adalah 7 menit 85 detik. Subjek memberikan
masukan terkait istilah dan struktur kata pada FGD. Perubahan terjadi pada semua
pernyataan namun tidak mengubah arti kalimat. Istilah adiksi tidak dikenal oleh
remaja dan mereka memilih istilah kecanduan yang mengkondisikan suatu masalah
serius sehingga remaja perlu waspada. Daring dan luring juga tidak dikenal oleh
remaja. Kata online sebaiknya diganti dengan istilah bermain internet, karena
online belum tentu mengindikasikan seseorang sedang aktif menggunakan internet.
Istilah pasangan tidak sesuai dengan remaja sehingga diusulkan keluarga, teman
atau orang terdekat. Kata hubungan mengarah pada hubungan romantis sehingga
diganti pertemanan. Frasa log in tidak dikenal karena saat ini perangkat elektronik
tidak harus log in terlebih dahulu. Frasa log in diganti online. Frasa menenangkan
juga dikatakan kurang tepat karena bermain internet (bermain permainan daring)
tidak menenangkan namun menyenangkan. Produktivitas kerja tidak sesuai untuk
remaja sehingga diganti prestasi sekolah. Istilah defensif dan berantisipasi tidak
dimengerti remaja sehingga diganti menutupi dan merencanakan. Frasa tidak tidur
diganti begadang karena istilah ini lebih dikenal luas. Berfantasi dan produktivitas
diganti istilah berkhayal dan aktivitas. Frasa beberapa menit diganti sebentar lagi
dan kata gugup menjadi gelisah. Frasa mengecek email diganti membuka email,
dan tidak semua remaja mengetahui email.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


95

Pada analisis validitas konstruk dilakukan uji korelasi Pearson antara setiap
pernyataan dengan skor total dan didapatkan setiap pernyataan memiliki korelasi
yang baik (> 0,3). Uji reliabilitas menghasilkan nilai Cronbach’s alpha 0,913
dengan korelasi antar butir 0,419–0,788. Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas,
seluruh pernyataan IAT dianggap sahih.

Tabel 4.15. Karakteristik Subjek Uji Coba IAT (n = 30)


Karakteristik n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 9 (30,0)
Perempuan 21 (70,0)
Usia
Remaja awal 13 (43,3)
Remaja pertengahan 14 (46,7)
Remaja akhir 3 (10,0)
Pendidikan
SMP 15 (50,0)
SMA 15 (15,0)
Lama Penggunaan Internet
≤ 20 jam / minggu 30 (100,0)
> 20 jam / minggu 0 (0)

Pada karakteristik subjek uji coba awal IAT didapatkan subjek FGD sebagian besar
adalah perempuan (70%) dan remaja pertengahan (46,7%). Tidak ada subjek yang
menggunakan internet > 20 jam / minggu. Karakteristik subjek FGD digambarkan
pada Tabel 4.15.

Diskusi Panel dan Modifikasi Tata Bahasa


Diskusi panel ahli dilakukan setelah uji coba awal. Para ahli terdiri atas psikiater
anak dan remaja, psikiater adiksi dan psikolog adiksi. Hasil diskusi para ahli
mengakomodasi usulan subjek saat FGD. Hasil diskusi ahli berupa perubahan
istilah dicantumkan dalam Tabel 4.16.

Tabel 4.16. Tabel Daftar Perubahan Istilah Setelah Tahap Uji Coba
Kata Awal Hasil Diskusi
Online/daring Bermain internet
Offline Offline
Pasangan Orang-orang terdekat
Log-in Bermain internet
Antisipasi Merencanakan
Defensif Menutupi
Performa/produktivitas Prestasi sekolah

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


96

Setelah diskusi panel dengan para ahli dilakukan konsultasi dengan ahli bahasa
Indonesia dari Fakultas Ilmu dan Bahasa Universitas Indonesia. Terdapat beberapa
modifikasi kalimat sesuai dengan pengertian remaja. Pernyataan dibuat untuk
menekankan gangguan yang berdampak negatif, misalnya kata karena diganti
dengan kata akibat.

Uji Coba Skala Penuh


Subjek pada uji coba skala penuh IAT sama seperti subjek uji skala penuh KDAI.
Pada tahap ini dilakukan uji reliabilitas pada 20 pernyataan kuesioner IAT
(Lampiran 13.). Pada uji reliabilitas, pernyataan nomor 7 “seberapa sering Anda
membuka email sebelum melakukan kegiatan lain yang perlu dilakukan?” memiliki
korelasi < 0,3 sehingga dilakukan penghapusan. Uji reliabilitas dilakukan kembali
dan didapatkan Cronbach’s alpha 0,863 dengan korelasi antar butir 0,316–0,576.

Uji Lapangan
Pada uji lapangan dilakukan analisis validitas konstruk (EFA dan CFA) dan
reliabilitas pada subjek penelitian. Subjek pada uji lapangan IAT sama seperti
subjek uji lapangan KDAI. Pada uji EFA pertama didapatkan pernyataan nomor 5
“seberapa sering orang-orang dalam hidup Anda mengeluh tentang jumlah waktu
yang Anda habiskan untuk bermain internet?” memiliki muatan faktor < 0,4
sehingga dilakukan penghapusan. Pada uji EFA kedua didapatkan 4 domain yang
memiliki eigenvalue lebih dari satu dan secara kumulatif dapat menjelaskan 52,557%
varian. Total variasi 52,557% berarti kuesioner IAT (18 pernyataan) dapat
menerangkan 52,557% variasi gejala pada AI. Nilai KMO 0,876 dan nilai p BTS <
0,001 menunjukkan jumlah subjek dan korelasi antar pernyataan adekuat.

Pengelompokan domain ditentukan berdasarkan butir muatan faktor tertinggi dalam


domain tersebut. Pada uji EFA setiap butir pernyataan IAT memiliki muatan faktor
yang baik (> 0,4). Domain ketiga dihapus karena hanya memiliki 2 pernyataan.
Penghapusan domain dilakukan tanpa menghapus pernyataan di dalamnya.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


97

Hasil uji EFA ketiga adalah IAT 3 domain dan 18 butir pernyataan (Lampiran 14.).
Ketiga domain terdiri atas domain 1 (salience)-7 pernyataan yaitu nomor
3,11,12,13,15,19 dan 20; domain 2 (neglect of duty)-5 pernyataan yaitu nomor 2, 6,
8, 14, dan 17; dan domain 3 (loss of control)-6 pernyataan yaitu nomor 1,4,9,10,16
dan 18. Uji reliabilitas menghasilkan nilai Cronbach’s alpha 0,855 dengan korelasi
antar butir 0,317–0,574. Nilai muatan faktor setiap pernyataan dalam domain dapat
dilihat pada Lampiran 15. Uji CFA dilakukan pada dua model yaitu model pertama
( 20 butir pernyataan) dan model kedua yang merupakan IAT hasil EFA (3 domain
dan 18 pernyataan). Hasil CFA dari kedua model dapat dilihat pada Tabel 4.17.

Tabel 4.17. Indeks Goodness of Fit


Model x2 df x2/df RMSEA CFI AIC SRMR TLI AGFI
Model 1 488,05 152 3,21 0,059 0,97 604,05 0,046 0,97 0,90
(20
pernyataan)
Model 2 479,50 126 3,81 0,066 0,96 596,50 0,048 0,96 0,90
(3 domain 18
pernyataan)
Keterangan: x2 = Chi-Square, df = Degree of Freedom, RMSEA = Root Mean Square Error of
Approximation, CFI = Comparative Fit Index, AIC = Akaike Information Criterion, SRMR =
Standardized Root Mean Square Residual, TLI = Non-Normed Fit Index (NNFI), dan AGFI =
Adjusted Goodness of Fit Index

Berdasarkan indeks goodness of fit kedua model tersebut memperlihatkan bahwa


model 2 lebih baik dibandingkan model 1. Oleh karena itu, uji reliabilitas dilakukan
pada model 2. Hasil CFA dari model 2 dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Pada uji reliabilitas seluruh butir memiliki nilai corrected item total correlation >
0,3 (range 0,317–0,574) dengan nilai Cronbach’s alpha 0,855. Nilai Cronbach’s
alpha dan corrected item total correlation setiap domain dapat dilihat pada
Lampiran 16. Pada uji reliabilitas didapatkan nilai korelasi antar domain yang baik
(r > 0,5). Nilai korelasi antar domain tercantum pada Lampiran 17. dan hasil akhir
IAT versi Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 18.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


98

Gambar 4.8. Hasil Confirmatory Factor Analysis IAT pada Model 2

4.1.3.3 Penentuan Titik Potong IAT Versi Indonesia


Penentuan titik potong IAT versi Indonesia dilakukan dengan menggunakan rumus
sesuai skor IAT 20 pernyataan milik Kimberly Young. Skor kategorisasi IAT versi
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18. Kategorisasi IAT Versi Indonesia Berdasarkan Tren Skor IAT Kimberly Young
Range Skor IAT Rumus Skor Rumus Skor Range Skor IAT
Kategori
Kimberly Young Bawah Atas Versi Indonesia
Normal 0–30 0 30 / 20 x 18 0–27
AI ringan 31–49 31 / 20 x 18 49 / 20 x 18 28–44
AI sedang 50–79 50 / 20 x 18 79 / 20 x 18 45–71
AI berat 80–100 80 / 20 x 18 100 / 20 x 18 72–90

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


99

4.1.4 Penentuan Titik Potong KDAI dengan Pembanding IAT Versi Indonesia
4.1.4.1 Validitas Kriteria KDAI
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui validitas kriteria KDAI. Hasil uji Pearson
KDAI dan IAT menunjukkan bahwa kedua kuesioner tersebut memiliki hubungan
yang bermakna (p < 0,001). Nilai korelasi antar domain KDAI dan IAT > 0,3 kecuali
nilai korelasi antara domain hendaya KDAI dengan salience IAT versi Indonesia.
Nilai korelasi antar domain dapat dilihat pada Tabel 4.19. KDAI dan IAT versi
Indonesia memiliki Cronbach’s alpha yang baik (> 0,7). Nilai Cronbach’s alpha
KDAI lebih besar dibandingkan IAT versi Indonesia, yaitu 0,942.

Tabel 4.19. Korelasi antar Domain KDAI dan IAT Versi Indonesia
IAT Versi Indonesia
KDAI
Salience Neglect of duty Loss of control Total
Withdrawal 0,586* 0,383* 0,451* 0,574*
Kehilangan kontrol 0,539* 0,647* 0,621* 0,715*
Peningkatan prioritas 0,552* 0,402* 0,489* 0,581*
Konsekuensi negatif 0,435* 0,511* 0,364* 0,516*
Modifikasi mood 0,517* 0,339* 0,469* 0,536*
Salience 0,521* 0,362* 0,416* 0,523*
Hendaya 0,288* 0,592* 0,350* 0,474*
Total 0,665* 0,607* 0,611* 0,751*
*p < 0,05

Hasil ini menunjukkan KDAI lebih sahih dan andal dibanding IAT versi Indonesia
sehingga hipotesis 1 diterima.

4.1.4.2 Penentuan Titik Potong KDAI dengan IAT Versi Indonesia sebagai
Pembanding
IAT sudah digunakan secara luas di berbagai negara sebagai alat skrining AI. Oleh
karena itu, IAT versi Indonesia dapat dijadikan penentu untuk mencari titik potong
KDAI. Penentuan titik potong KDAI menggunakan metode ROC.

Kelompok AI ringan pada kategorisasi IAT masih menjadi area abu-abu. Kelompok
AI ringan belum dapat dipastikan apakah termasuk ke dalam kelompok adiksi atau
kelompok normal. Beberapa penelitian membuktikan bahwa skor IAT > 50
dianggap bermakna untuk menentukan AI. Skor IAT > 50 pada IAT Kimberly
Young setara dengan skor IAT > 45 pada IAT versi Indonesia. Skor tersebut
tergolong kategori AI sedang dan berat.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


100

Area abu-abu pada kategorisasi skor IAT menyebabkan pencarian titik potong
KDAI dilakukan dengan membandingkan hasil analisis ROC setiap skor IAT versi
Indonesia. Skor IAT yang digunakan untuk perbandingan dimulai dari skor IAT 28
(batas bawah kelompok AI ringan). Penentuan nilai titik potong KDAI yang
optimal berdasarkan nilai AUC, sensitivitas, dan spesifisitas.

KDAI merupakan kuesioner skrining sehingga dipilih nilai sensitivitas yang lebih
tinggi. Berdasarkan hasil analisis ROC didapatkan titik potong KDAI yang
memiliki nilai sensitivitas optimal adalah skor 108. Nilai titik potong KDAI 108
memiliki nilai AUC 92% (Gambar 4.9.), sensitivitas 91,8% (IK95% = 83,77%–
96,62%), dan spesifisitas 77,8% (IK95% = 74,10%–81,16%). Positive likelihood
ratio KDAI sebesar 4,13 (IK95% = 3,49–4,88). Nilai tersebut menandakan KDAI
memiliki positive likelihood ratio yang fair─very good. Negative likelihood ratio
KDAI sebesar 0,11 (IK95% = 0,05–0,22) dan dikategorikan sebagai excellent. Nilai
positive likelihood ratio yang menjauhi angka 1 dianggap semakin baik karena
probabilitas uji menghasilkan hasil positif asli semakin tinggi. Negative likelihood
ratio yang semakin dekat dengan angka 0 dianggap semakin baik karena
probabilitas tes menghasilkan negatif palsu semakin rendah.

Gambar 4.9. Grafik AUC KDAI dengan Titik Potong 108

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


101

4.2 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi Internet


Menggunakan Pemeriksaan rs-fMRI BOLD
Pemeriksaan rs-fMRI BOLD digunakan untuk mendapatkan gambaran hasil analisis
konektivitas fungsional pada kelompok remaja dengan AI dan remaja tidak AI.
Jenis pemeriksaan yang dilakukan adalah resting state-fMRI BOLD yang
merupakan metode terbaik dalam melihat neurofisiologi otak dan tidak
memancarkan sinar radiasi.

4.2.1 Penelusuran Pustaka Mengenai Penggunaan rs-fMRI BOLD pada


Adiksi Internet
Proses penelusuran pustaka mengenai pemeriksaan rs-fMRI BOLD dan AI
dilakukan melalui pencarian elektronik pada PUBMED®, EBSCO®, dan Proquest®.
Proses dapat dilihat dalam Gambar 4.10. Hasil penulusuran pustaka dapat dilihat
dalam Lampiran 19.

Gambar 4.10. Bagan Alur Penelusuran Pustaka Mengenai rs-fMRI BOLD

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


102

Berdasarkan studi kepustakaan, area otak yang menjadi fokus pemeriksaan rs-fMRI
BOLD pada subjek AI meliputi aktivitas di SN (ACC, anterior insula bilateral,
RPFC bilateral, dan SMG bilateral), DMN (MPFC, LP bilateral dan PCC), CEN
(lateral prefrontal cortex bilateral dan parietal posterior cortex bilateral) serta BGN
(caudate bilateral, putamen bilateral, dan nucleus accumbens bilateral).

Gambar area otak terkait dapat dilihat pada Gambar 4.11.

Gambar 4.11. Gambar Area Otak yang Diperiksa rs-fMRI BOLD138

4.2.2 Pemilihan Subjek untuk fMRI


Subjek terdiri atas kelompok tidak AI dan kelompok AI, masing-masing kelompok
terdiri atas 30 subjek. Pemilihan subjek dilakukan secara simple random sampling,
dilanjutkan dengan purposive sampling. Hal tersebut terkait dengan adanya
kesulitan karena banyak orang tua yang menolak. Akan tetapi, analisis data
dilakukan pada 57 subjek (29 subjek pada kelompok tidak AI dan 28 subjek
kelompok AI). Hal tersebut disebabkan oleh adanya eksklusi pada tahap pre-
processing akibat gerakan kepala melebihi batas yang ditentukan.

Berdasarkan Tabel 4.20. diketahui bahwa kebanyakan remaja yang mengalami AI


adalah remaja laki-laki (16 orang). Subjek kelompok AI dan tidak AI memiliki
rerata usia, kelas, dan usia awitan penggunaan internet yang hampir sama.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


103

Kelompok AI memiliki rerata durasi penggunaan internet (41,2 jam / minggu) lebih
tinggi dibandingkan kelompok tidak AI (31,5 jam / minggu).

Tabel 4.20. Rerata dan Simpang Baku Subjek fMRI Berdasarkan Kelompok Tidak Adiksi
Internet dan Kelompok Adiksi Internet
Tidak AI AI
Variabel
(n = 30) (n = 30)
Jenis kelamin: laki-laki/perempuan 12/17 16/15
Usia 14,5 ± 1,5 14,9 ± 1,7
Kelas 9,1 ± 1,5 9,2 ± 1,7
Durasi penggunaan internet (jam / minggu) 31,5 ± 14,8 41,2 ± 31,2
Usia awitan penggunaan internet 10,3 ± 2,3 9,8 ± 2,6
Citra diri_skor total 17,6 ± 3,4 14,7 ± 4,7*
Novelty seeking_skor total 11,1 ± 1,5 11,9 ± 1,7
Harm avoidance_skor total 9,9 ± 1,1 9,1 ± 1,5*
Reward dependence_skor total 12,0 ± 1,4 12,3 ± 1,7
Pola asuh_skor total 95,8 ± 8,1 103,1 ± 8,7*
Kohesivitas keluarga_skor total 1,4 ± 0,2 1,3 ± 0,3
Masalah emosi_skor total 4,1 ± 2,1 5,7 ± 2,3*
Masalah perilaku_skor total 2,8 ± 1,4 3,6 ± 1,6
Hiperaktivitas_skor total 3,8 ± 1,6 4,6 ± 2,0
Masalah teman sebaya_skor total 2,6 ± 1,2 3,1 ± 1,9
Masalah perilaku prososial_skor total 7,9 ± 2,2 7,1 ± 2,1
Fungsi eksekutif_waktu total 108,7 ± 62,2 107,6 ± 58,1
IAT versi Indonesia_skor total 27,0 ± 5,5 51,3 ± 6,6*
KDAI_skor total 73,3 ± 24,4 143,4 ± 28,1*
*p < 0,05
Pada subjek dilakukan pemeriksaan fungsi eksekutif menggunakan TMT-B.
Kelompok tidak AI memiliki rerata waktu pengerjaan TMT-B 108,7 detik dan
kelompok AI 107,6 detik. Hasil tersebut menunjukkan kedua kelompok memiliki
penurunan fungsi eksekutif.

4.2.3 Pelaksanaan Pemeriksaan rs-fMRI BOLD pada Subjek Penelitian


Pemeriksaan rs-fMRI BOLD dilaksanakan pada setiap hari Minggu di RS Abdi
Waluyo. Pemeriksaan dilakukan oleh 1 orang dokter spesialis radiologi dibantu
oleh 3 orang radiografer. Pemeriksaan fMRI dilakukan 6 kali dari bulan Mei sampai
Juli 2019. Jumlah subjek pada setiap pemeriksaan adalah 9–13 remaja.

4.2.4 Protokol Pemeriksaan rs-fMRI BOLD


Pemeriksaan rs-fMRI BOLD dilakukan selama 32 menit 15 detik untuk setiap
subjek. Pada saat pemeriksaan subjek diinstruksikan untuk sadar, bersikap relaks
dan mengosongkan pikiran. Data struktural MRI didapatkan dari sekuens 3-
Dimension Magnetization Prepared Rapid Gradient Echo (3D-MPRAGE).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


104

Data rs-fMRI BOLD didapatkan secara transversal menggunakan sekuens T2*-


weighted gradient EPI dengan lama pemeriksaan 10 menit dan jumlah fase 300.
Unit MRI yang digunakan adalah Discovery MR750-60cm Bore 3,0 Tesla; General
Electric. Parameter untuk 3D-MPRAGE adalah TR 8200 ms; TE 3,2 ms; FOV 240
mm. Parameter untuk rs-fMRI BOLD adalah TR 2000 ms; TE 3,0 ms; flip angle 90
derajat, FOV 25,6 x 19,2 cm, matrix size 64 x 64 mm, slice thickness 4 mm dengan
space 1 mm dan 30 slices yang diurut secara interleaved bottom up. Protokol
lengkap terlampir dalam Lampiran 1.

4.2.5 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi


Internet Dibandingkan Kelompok Tidak Adiksi Internet
Pada tahap pre-processing dilakukan eksklusi terhadap 3 subjek (1 subjek dari
kelompok tidak AI dan 2 subjek dari kelompok AI) akibat gerakan kepala yang
melebihi batas yang telah ditentukan (> 20% jumlah volume, dengan posisi kepala
memiliki perbedaan 0,5 mm dari volume data fungsional terdekat). Oleh karena itu,
analisis data dilakukan pada 57 subjek (29 subjek pada kelompok tidak AI dan 28
subjek pada kelompok AI).

Dari hasil analisis data didapatkan adanya peningkatan konektivitas fungsional


antara regio LPFC kiri dan anterior insula kiri, penurunan konektivitas fungsional
antara regio LPFC kiri dan LP kanan, dan penurunan konektivitas fungsional antara
regio LPFC kiri dan MPFC pada kelompok AI dibandingkan kelompok tidak AI.
(Tabel 4.21., Gambar 4.12., dan Gambar 4.13.). Perubahan konektivitas fungsional
yang terjadi antara kelompok subjek AI dan kelompok tidak AI menunjukkan nilai
p-FDR yang bermakna (nilai p < 0,05) seperti yang tercantum pada Tabel 4.21.

Tabel 4.21. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada Kelompok dengan
Adiksi Internet Dibandingkan dengan Kelompok Tidak Adiksi Internet

Regio 1 ROI Regio 1 Regio 2 ROI Regio 2 p-FDR


LPFC kiri CEN Anterior insula kiri SN 0,0437
LPFC kiri CEN LP kanan DMN 0,0437
LPFC kiri CEN MPFC DMN 0,0437

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


105

Gambar 4.12. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada Kelompok


dengan Adiksi Internet Dibandingkan dengan Kelompok Tidak Adiksi Internet

Keterangan:
- Garis biru menandakan penurunan konektivitas
fungsional
- Garis merah menandakan peningkatan konektivitas
fungsional

Gambar 4.13. Perubahan Konektivitas Fungsional yang Bermakna pada Kelompok Adiksi
Internet Dibandingkan Kelompok Tidak Adiksi Internet (Potongan Aksial Otak)

Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan konektivitas fungsional bermakna pada


SN, DMN dan CEN antara kelompok remaja AI dan kelompok tidak AI sehingga
hipotesis 2 diterima.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


106

4.2.6 Hubungan antara Skor KDAI dengan Konektivitas Fungsional Otak


Analisis interaksi dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang
bermakna pada korelasi koefisien antara kelompok AI dan kelompok tidak AI.
Hasil analisis menunjukkan interaksi yang bermakna antara skor KDAI dengan
konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan. Interaksi tidak bermakna
didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan
MPFC serta antara LPFC kiri dan anterior insula kiri. Berbeda dengan hasil yang
didapatkan pada KDAI, interaksi antara skor IAT dengan ketiga konektivitas
fungsional yang ada juga menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Hasil analisis
interaksi konektivitas fungsional dengan skor KDAI dan IAT dapat dilihat pada
Tabel 4.22.

Tabel 4.22. Interaksi antara Konektivitas Fungsional dengan Skor KDAI dan IAT
Konektivitas Fungsional Skor KDAI Skor IAT
LPFC kiri dan MPFC 0,109 0,993
LPFC kiri dan LP kanan 0,005 0,094
LPFC kiri dan anterior insula kiri 0,629 0,964

Setelah didapatkan interaksi skor KDAI dengan konektivitas fungsional antara


LPFC kiri dan LP kanan, selanjutnya dilakukan analisis perbandingan rerata dua
kelompok (kelompok AI dan kelompok tidak AI) serta korelasi antara skor KDAI
dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok
tidak AI dan AI secara masing-masing di dalam kelompok tersebut.

Pada uji perbandingan rerata, didapatkan rerata korelasi fungsional antara LPFC
kiri dan LP kanan pada kelompok tidak AI 0,180 (SD: 0,201) dan pada kelompok
AI 0,107 (SD: 0,269). Dengan demikian, kelompok tidak AI memiliki rerata
konektivitas fungsional lebih tinggi daripada kelompok AI, walaupun perbedaan
rerata ini tidak bermakna secara statistik (p = 0,248). Hasil uji T dapat dilihat pada
lampiran 20.

Analisis kedua kelompok dilanjutkan dengan melakukan uji korelasi antara skor
KDAI dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan. Korelasi
positif yang bermakna didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional
antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok tidak AI (p = 0,018, r = 0,437).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


107

Korelasi negatif yang bermakna didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI (p = 0,049, r = -0,375).
Perbandingan korelasi tiap kelompok diilustrasikan pada Gambar 4.14.

Gambar 4.14. Gambaran Korelasi antara Skor KDAI dengan Konektivitas


Fungsional antara LPFC Kiri dan LP Kanan

4.2.7 Analisis Mediasi antara Fungsi Eksekutif dengan Adiksi Internet


Pada penelitian ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional otak pada
regio LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI. Perubahan konektivitas
fungsional otak pada kelompok AI juga dapat dipengaruhi oleh gangguan fungsi
eksekutif. Oleh karena itu, dilakukan analisis mediasi untuk melihat efek tidak
langsung fungsi eksekutif dalam memediasi hubungan antara skor KDAI dengan
perubahan konektivitas fungsional otak pada kelompok remaja dengan AI.

Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa fungsi eksekutif bukan merupakan


prediktor bermakna yang memediasi hubungan antara skor KDAI dengan
konektivitas fungsional otak pada regio LPFC kiri dan LP kanan (IK95% =
-0,0007─0,0009).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


108

Hasil analisis mediasi fungsi eksekutif terhadap hubungan antara skor KDAI
dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri and LP kanan dapat dilihat pada
Gambar 4.15.

Gambar 4.15. Hasil Analisis Mediasi Fungsi Eksekutif terhadap Hubungan antara Skor
KDAI dengan Konektivitas Fungsional antara LPFC Kiri dan LP Kanan

4.3 Prevalensi dan Faktor Risiko Adiksi Internet pada Remaja


4.3.1 Prevalensi Adiksi Internet pada Remaja
Prevalensi remaja dengan AI ditentukan menggunakan KDAI. KDAI diisi oleh 643
subjek. Skor total pengisian KDAI dibagi menjadi dua kategori, yaitu normal (skor
KDAI = 0–107) dan AI (skor KDAI = 108–264). Pada subjek penelitian didapatkan
202 mengalami AI, sehingga disimpulkan bahwa prevalensi AI pada remaja Jakarta
adalah 31,4% (IK95% = 27,8–35,6). Nilai interval kepercayaan menunjukkan
bahwa angka prevalensi yang didapatkan terdapat dalam rentang nilai AI pada
remaja Jakarta. Hal tersebut berarti tingkat AI pada remaja Jakarta memang tinggi.
Nilai interval kepercayaan 95% berarti peneliti percaya 95% bahwa prevalensi AI
pada remaja Jakarta terletak antara 27,8% sampai 36,6% meskipun dilakukan
penelitian dengan cara yang sama berulang kali. Karakteristik subjek berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.23., sedangkan karakteristik subjek
berdasarkan tingkat adiksinya dapat dilihat pada Tabel 4.24.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


109

Tabel 4.23. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin


Laki-laki Perempuan Total
Karakteristik Subjek (n = 298) (n = 345) (n = 643)
n (%) n (%) n (%)
Tingkat Adiksi
Tidak Adiksi Internet 195 (44,2) 246 (55,8) 441 (100)
Adiksi internet 103 (51,0) 99 (49,0) 202 (100)
Usia
Remaja awal 153 (49,8) 154 (50,2) 307 (100)
Remaja pertengahan 110 (43,3) 144 (56,7) 254 (100)
Remaja akhir 35 (42,7) 47 (57,3) 82 (100)
Kepemilikan HP
Ya 284 (45,6) 339 (54,4) 623 (100)
Tidak 14 (70,0) 6 (30,0) 20 (100)
Berlangganan Internet
Ya 278 (45,4) 335 (54,6) 613 (100)
Tidak 20 (66,7) 10 (33,3) 30 (100)
Lokasi Penggunaan Internet
Di rumah 259 (44,2) 327 (55,8) 586 (100)
Di luar rumah 39 (68,4) 18 (31,6) 57 (100)
Durasi Penggunaan Internet
≤ 20 jam / minggu 117 (55,2) 95 (44,8) 212 (100)
> 20 jam / minggu 181 (42,0) 250 (58,0) 431 (100)
Usia Awitan Penggunaan Internet
≤ 8 tahun 73 (55,3) 59 (44,7) 132 (100)
> 8 tahun 225 (44,0) 286 (56,0) 511 (100)
Tujuan Utama Penggunaan Internet
Edukasi 62 (46,3) 72 (53,7) 134 (100)
Hiburan 23 (41,1) 33 (58,9) 56 (100)
Permainan daring 100 (91,7) 9 (8,3) 109 (100)
Media sosial 112 (32,7) 231 (67,3) 343 (100)
Komunikasi 1 (100,0) 0 (0) 1 (100)
Tujuan Bermain Media Sosial
Menjalin pertemanan 70 (48,6) 74 (51,4) 144 (100)
Mengunggah foto 4 (12,9) 27 (87,1) 31 (100)
Mencari perhatian/popularitas 4 (80,0) 1 (20,0) 5 (100)
Mencari informasi 119 (55,6) 95 (44,4) 214 (100)
Memata-matai 3 (30,0) 7 (70,0) 10 (100)
Mengikuti arus zaman 11 (34,4) 21 (65,6) 32 (100)
Mengisi waktu luang 67 (42,1) 92 (57,9) 159 (100)
Lainnya 16 (36,4) 28 (63,6) 44 (100)
Media Sosial yang Sering Digunakan
Facebook© 42 (72,4) 16 (27,6) 58 (100)
Twitter© 3 (42,9) 4 (57,1) 7 (100)
Instagram© 84 (38,2) 136 (61,8) 220 (100)
Aplikasi chatting 160 (46,9) 181 (53,1) 341 (100)
Lainnya 5 (38,5) 8 (61,5) 13 (100)
Tujuan Permainan Daring
Mendapat tantangan/seru 107 (47,3) 119 (52,7) 226 (100)
Memberikan kesempatan untuk 44 (83,0) 9 (17,0) 53 (100)
berkompetensi dengan pemain lain
Membina pertemanan 16 (76,2) 5 (23,8) 21 (100)
Membentuk karakter/kehidupan di 3 (25,0) 9 (75,0) 12 (100)
dalam permainan daring sesuai
keinginan
Mencari kesenangan 88 (50,0) 88 (50,0) 176 (100)
Melepaskan diri dari dunia 23 (47,9) 25 (52,1) 48 (100)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


110

Tabel 4.23. Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin (sambungan)


Laki-laki Perempuan Total
Karakteristik Subjek (n = 298) (n = 345) (n = 643)
n (%) n (%) n (%)
Permainan Daring yang Paling
Sering Dimainkan
MMORPG 54 (55,7) 43 (44,3) 97 (100)
MOBA 123 (75,0) 41 (25,0) 164 (100)
First person shooter 62 (68,9) 28 (31,1) 90 (100)
Lainnya 21 (11,4) 164 (88,6) 185 (100)
Citra Diri
Rendah 53 (35,3) 97 (64,7) 150 (100)
Sedang 238 (49,3) 245 (50,7) 483 (100)
Tinggi 7 (70,0) 3 (30,0) 10 (100)
Novelty Seeking
Lebih rendah 128 (40,6) 187 (59,4) 315 (100)
Sama dengan 56 (45,9) 66 (54,1) 122 (100)
Lebih tinggi 114 (55,3) 92 (44,7) 206 (100)
Harm Avoidance
Lebih rendah 116 (64,4) 64 (35,6) 180 (100)
Sama dengan 79 (53,4) 69 (46,6) 148 (100)
Lebih tinggi 103 (32,7) 212 (67,3) 315 (100)
Reward Dependence
Lebih rendah 130 (53,7) 112 (46,3) 242 (100)
Sama dengan 75 (51,4) 71 (48,6) 146 (100)
Lebih tinggi 93 (36,5) 162 (63,5) 255 (100)
Pola Asuh
Non-exposure 248 (44,6) 308 (55,4) 556 (100)
Exposure 50 (57,5) 37 (42,5) 87 (100)
Kohesivitas Keluarga
Balanced 280 (46,0) 329 (54,0) 609 (100)
Unbalanced 18 (52,9) 16 (47,1) 34 (100)
Masalah Emosi
Close to average 185 (55,6) 148 (44,4) 333 (100)
Slightly raised 43 (44,8) 53 (55,2) 96 (100)
High 31 (31,6) 67 (68,4) 98 (100)
Very high 39 (33,6) 77 (66,4) 116 (100)
Masalah Perilaku
Close to average 176 (42,3) 240 (57,7) 416 (100)
Slightly raised 55 (46,2) 64 (53,8) 119 (100)
High 35 (66,0) 18 (34,0) 53 (100)
Very high 32 (58,2) 23 (41,8) 55 (100)
Masalah Hiperaktivitas
Close to average 244 (46,2) 284 (53,8) 528 (100)
Slightly raised 24 (41,4) 34 (58,6) 58 (100)
High 20 (45,5) 24 (54,5) 44 (100)
Very high 10 (76,9) 3 (23,1) 13 (100)
Masalah Teman Sebaya
Close to average 134 (41,9) 186 (58,1) 320 (100)
Slightly raised 63 (45,0) 77 (55,0) 140 (100)
High 41 (50,6) 40 (49,4) 81 (100)
Very high 60 (58,8) 42 (41,2) 102 (100)
Masalah Perilaku Prososial
Close to average 201 (42,0) 278 (58,0) 479 (100)
Slightly raised 55 (64,7) 30 (35,3) 85 (100)
High 27 (57,4) 20 (42,6) 47 (100)
Very high 15 (46,9) 17 (53,1) 32 (100)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


111

Berdasarkan Tabel 4.23. diketahui bahwa AI lebih banyak terjadi pada kelompok
laki-laki (51,0%). Data demografis secara umum menunjukkan bahwa mayoritas
subjek merupakan remaja awal (47,7%), menggunakan internet di rumah (91,2%),
durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu (67,0%), dan usia awitan penggunaan
internet > 8 tahun (79,5%).

Mayoritas subjek menggunakan internet dengan tujuan membuka media sosial


(53,3%), mencari edukasi (20,8%), dan bermain permainan daring (17,0%). Subjek
perempuan lebih banyak menggunakan internet untuk membuka media sosial
(67,35%). Media sosial yang sering digunakan oleh perempuan adalah aplikasi
chatting (Line©, QQ©, dan Whatsapp©). Subjek laki-laki menggunakan internet
dengan tujuan bermain permainan daring (91,7%). Permainan daring yang sering
dimainkan adalah MOBA, MMORPG (termasuk permainan strategi dan olahraga),
dan first person shooter. Permainan lainnya terdiri atas permainan kasual dan musik.

Tabel 4.24. Karakteristik Subjek Berdasarkan Tingkat Adiksi Internet


Tidak AI AI Total
Karakteristik Subjek (n = 441) (n = 202) (n = 643)
n (%) n (%) n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 195 (44,2) 103 (51,0) 298 (46,3)
Perempuan 246 (55,8) 99 (49,0) 345 (53,7)
Usia
Remaja awal 211 (47,8) 96 (47,5) 307 (47,7)
Remaja pertengahan 174 (39,5) 80 (39,6) 254 (39,5)
Remaja akhir 56 (12,7) 26 (12,9) 82 (12,8)
Kepemilikan HP
Ya 426 (96,6) 197 (97,5) 623 (96,9)
Tidak 15 (3,4) 5 (2,5) 20 (3,1)
Berlangganan Internet
Ya 423 (95,9) 190 (94,1) 613 (95,3)
Tidak 18 (4,1) 12 (5,9) 30 (4,7)
Lokasi Penggunaan Internet
Di rumah 405 (91,8) 181 (89,6) 586 (91,1)
Di luar rumah 36 (8,2) 21 (10,4) 57 (8,9)
Durasi Penggunaan Internet
≤ 20 jam / minggu 171 (38,8) 40 (19,8) 211 (32,8)
> 20 jam / minggu 270 (61,2) 162 (80,2) 432 (67,2)
Usia Awitan Penggunaan Internet
≤ 8 tahun 75 (17,0) 57 (28,2) 132 (20,5)
> 8 tahun 366 (83,0) 145 (71,8) 511 (79,5)
Tujuan Utama Menggunakan Internet
Edukasi 109 (24,7) 25 (12,4) 134 (20,8)
Hiburan 39 (8,8) 17 (8,4) 56 (8,7)
Permainan daring 62 (14,1) 47 (23,3) 109 (17,0)
Media sosial 230 (52,2) 113 (55,9) 343 (53,3)
Komunikasi 1 (0,2) 0 (0) 1 (0,2)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


112

Tabel 4.24. Karakteristik Subjek Berdasarkan Tingkat Adiksi Internet (sambungan)


Tidak AI AI Total
Karakteristik Subjek (n = 441) (n = 202) (n = 643)
n (%) n (%) n (%)
Tujuan Bermain Media Sosial
Menjalin pertemanan 97 (22,1) 47 (23,5) 144 (22,5)
Mengunggah foto 21 (4,8) 10 (5,0) 31 (4,9)
Mencari perhatian/popularitas 1 (0,2) 4 (2,0) 5 (0,8)
Mencari informasi 157 (35,8) 57 (28,5) 214 (33,5)
Memata-matai 4 (0,9) 6 (3,0) 10 (1,6)
Mengikuti arus zaman 110 (3,4) 49 (8,5) 159 (5,0)
Mengisi waktu luang 110 (25,1) 49 (24,5) 159 (24,9)
Lainnya 34 (7,7) 10 (5,0) 44 (6,9)
Media Sosial yang Sering Digunakan
Facebook© 38 (8,7) 20 (10,0) 58 (9,1)
Twitter© 2 (0,5) 5 (2,5) 7 (1,1)
Instagram© 151 (34,4) 69 (34,5) 220 (34,4)
Aplikasi chatting 240 (54,7) 101 (50,5) 341 (53,4)
Lainnya 8 (1,8) 5 (2,5) 13 (2,0)
Tujuan Bermain Permainan Daring
Mendapat tantangan/seru 149 (41,5) 77 (43,5) 226 (42,2)
Memberikan kesempatan untuk 37 (10,3) 16 (9,0) 53 (9,9)
berkompetensi dengan pemain lain
Membina pertemanan 17 (4,7) 4 (2,3) 21 (3,9)
Membentuk karakter/kehidupan di 6 (1,7) 6 (3,4) 12 (2,2)
dalam permainan daring sesuai
keinginan
Mencari kesenangan 122 (34,0) 54 (30,5) 176 (32,8)
Melepaskan diri dari dunia 28 (7,8) 20 (11,3) 48 (9,0)
Permainan Daring yang Paling Sering
Dimainkan
MMORPG 65 (18,0) 32 (18,2) 97 (18,1)
MOBA 110 (30,6) 54 (30,7) 164 (30,6)
First person shooter 55 (15,3) 35 (19,9) 90 (16,8)
Lainnya 130 (36,1) 55 (31,2) 185 (34,5)
Citra Diri
Rendah 100 (22,7) 50 (24,8) 150 (23,3)
Sedang 334 (75,7) 149 (73,8) 483 (75,1)
Tinggi 7 (1,6) 3 (1,5) 10 (1,6)
Novelty Seeking
Lebih rendah 238 (54,0) 77 (38,1) 315 (49,0)
Sama dengan 81 (18,4) 41 (20,3) 122 (19,0)
Lebih tinggi 122 (27,7) 84 (41,6) 206 (32,0)
Harm Avoidance
Lebih rendah 125 (28,3) 55 (27,2) 180 (28,0)
Sama dengan 98 (22,2) 50 (24,8) 148 (23,0)
Lebih tinggi 218 (49,4) 97 (48,0) 315 (49,0)
Reward Dependence
Lebih rendah 174 (39,5) 68 (33,7) 242 (37,6)
Sama dengan 97 (22,0) 49 (24,3) 146 (22,7)
Lebih tinggi 170 (38,5) 85 (42,1) 255 (39,7)
Pola Asuh
Non-exposure 393 (89,1) 163 (80,7) 556 (86,5)
Exposure 48 (10,9) 39 (19,3) 87 (13,5)
Kohesivitas Keluarga
Balanced 423 (95,9) 186 (92,1) 609 (94,7)
Unbalanced 18 (4,1) 16 (7,9) 34 (5,3)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


113

Tabel 4.24. Karakteristik Subjek Berdasarkan Tingkat Adiksi Internet (sambungan)


Tidak AI AI Total
Karakteristik Subjek (n = 441) (n = 202) (n = 643)
n (%) n (%) n (%)
Masalah Emosi
Close to average 252 (57,1) 81 (40,1) 333 (51,8)
Slightly raised 68 (15,4) 28 (13,9) 96 (14,9)
High 55 (12,5) 43 (21,3) 98 (15,2)
Very high 66 (15,0) 50 (24,8) 116 (18,0)
Masalah Perilaku
Close to average 317 (71,9) 99 (49,0) 416 (64,7)
Slightly raised 67 (15,2) 52 (25,7) 119 (18,5)
High 28 (6,3) 25 (12,4) 53 (8,2)
Very high 29 (6,6) 26 (12,9) 55 (8,6)
Masalah Hiperaktivitas
Close to average 373 (84,6) 155 (76,7) 528 (82,1)
Slightly raised 40 (9,1) 18 (8,9) 58 (9,0)
High 23 (5,2) 21 (10,4) 44 (6,8)
Very high 5 (1,1) 8 (4,0) 13 (2,0)
Masalah Teman Sebaya
Close to average 239 (54,2) 81 (40,1) 320 (49,8)
Slightly raised 90 (20,4) 50 (24,8) 140 (21,8)
High 55 (12,5) 26 (12,9) 81 (12,6)
Very high 57 (12,9) 45 (22,3) 102 (15,9)
Masalah Perilaku Prososial
Close to average 345 (78,2) 134 (66,3) 479 (74,5)
Slightly raised 59 (13,4) 26 (12,9) 85 (13,2)
High 22 (5,0) 25 (12,4) 47 (7,3)
Very high 15 (3,4) 17 (8,4) 32 (5,0)

Mayoritas remaja dengan AI menggunakan internet di rumah (89,6%) dengan


durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu (80,2%). Kelompok subjek dengan
AI memiliki tujuan terbanyak untuk media sosial (55,9%) dan permainan daring
(23,3%). Pada kelompok subjek laki-laki yang mengalami adiksi terdapat 43,7%
menggunakan internet dengan tujuan permainan daring. Pada kelompok subjek
perempuan yang mengalami adiksi terdapat 76,8% yang menggunakan internet
untuk bermain media sosial. Tujuan penggunaan media sosial adalah mencari
informasi, menjalin pertemanan, dan mengisi waktu luang. Tujuan permainan
daring adalah mendapatkan tantangan, mencari kesenangan, dan melepaskan penat.
Media sosial yang sering digunakan kelompok AI adalah aplikasi chatting (Line©,
QQ©, dan Whatsapp©). Permainan daring yang sering dimainkan kelompok AI
adalah permainan kasual dan musik, MOBA, serta first person shooter.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


114

Subjek pada kelompok AI memiliki skor temperamen novelty seeking, harm


avoidance, dan reward dependence yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok tidak AI. Subjek laki-laki yang mengalami AI memiliki temperamen
novelty seeking yang tinggi (49,5%). Sebaliknya, temperamen harm avoidance
(62,6%) dan reward dependence (50,5%) yang tinggi dimiliki oleh subjek
perempuan pada kelompok AI. Subjek pada kelompok AI banyak yang memiliki
masalah emosi dan perilaku. Subjek perempuan lebih banyak mengalami masalah
emosi (57,9%) sedangkan laki-laki lebih banyak mengalami masalah perilaku
(56,3%). Mayoritas subjek pada kelompok AI memiliki pola asuh non-exposure
(80,7%) dan kohesivitas keluarga balanced (92,1%).

4.3.2 Hubungan Adiksi Internet dengan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi
Faktor risiko dan proteksi AI pada remaja meliputi masalah emosi dan perilaku,
citra diri, temperamen, pola asuh dan kohesivitas keluarga. Subjek yang ikut serta
sebanyak 643 orang. Hasil analisis uji chi square AI dengan berbagai faktor risiko
dan proteksi menunjukkan adanya beberapa faktor yang bermakna. Faktor risiko
yang bermakna meliputi tujuan penggunaan internet untuk permainan daring dan
media sosial, durasi penggunaan internet > 20 jam per minggu, dan usia awitan
penggunaan internet ≤ 8 tahun. Temperamen yang secara bermakna menjadi faktor
risiko AI adalah novelty seeking yang tinggi. Masalah emosi dan perilaku juga
menjadi faktor risiko AI, meliputi masalah emosi, perilaku, hiperaktivitas, perilaku
prososial, dan masalah teman sebaya abnormal.

Faktor proteksi yang bermakna mencegah terjadinya AI adalah pola asuh dan
kohesivitas keluarga. Pola asuh yang menjadi faktor proteksi adalah pola asuh non-
exposure. Kohesivitas keluarga yang menjadi faktor proteksi adalah jenis
kohesivitas keluarga yang balanced. Hasil analisis berbagai faktor risiko dan faktor
proteksi AI dapat dilihat pada Tabel 4.25.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


115

Tabel 4.25. Hasil Analisis Hubungan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi terhadap Adiksi
Internet
Adiksi Internet
Interval
Ya Tidak Nilai p OR
Kepercayaan
n % n %
Laki-laki 103 51,0 195 44,2 0,130 1,313 0,940–1,833
Jenis Kelamin
Perempuan 99 49,0 246 55,8

Remaja awal 96 47,5 211 47,8 1,000 0,987 0,707–1,378


Remaja
Usia
Pertengahan 106 52,5 230 52,2
& Akhir

Lokasi Di Rumah 181 89,6 405 91,8 0,438 0,766 0,435–1,349


Penggunaan
Internet Di Luar
21 10,4 36 8,2
Rumah

Permainan
Tujuan
Daring dan 160 79,2 292 66,2 0,001* 1,944 1,312–2,880
penggunaan
Media Sosial
internet
Lainnya 42 20,8 149 33,8

> 20 jam /
Durasi 162 80,2 270 61,2 < 0,001* 2,565 1,727–3,809
minggu
Penggunaan
≤ 20 jam /
Internet 40 19,8 171 38,8
minggu

Usia Awitan
≤ 8 tahun 57 28,2 75 17,0 0,002* 1,918 1,293–2,846
Penggunaan
Internet
> 8 tahun 145 71,8 366 83,0

Rendah 50 24,8 100 22,7 0,633 1,122 0,760–1,656


Citra Diri Sedang &
Tinggi
152 75,2 341 77,3

Lebih tinggi 84 41,6 122 27,7 0,001* 1,861 1,313–2,639


Novelty Seeking Lebih rendah
sama dengan
118 58,4 319 72,3

Lebih tinggi 97 48,0 218 49,4 0,804 0,945 0,677–1,319


Harm Avoidance Lebih rendah
sama dengan
105 52,0 223 50,6

Reward
Lebih tinggi 85 42,1 170 38,5 0,446 1,158 0,825–1,625
Lebih rendah
Dependence 117 57,9 271 61,5
sama dengan

Non-exposure 163 80,7 393 89,1 0,006* 0,510 0,322–0,809


Pola Asuh
Exposure 39 19,3 48 10,9

Kohesivitas Balanced 186 92,1 423 95,9 0,067 0,495 0,247–0,991


Keluarga Unbalanced 16 7,9 18 4,1

Abnormal 121 59,9 189 42,9 < 0,001* 1,992 1,419–2,795


Masalah Emosi
Normal 81 40,1 252 57,1

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


116

Tabel 4.25. Hasil Analisis Hubungan Faktor Risiko dan Faktor Proteksi terhadap Adiksi
Internet (sambungan)
Adiksi Internet
Ya Tidak Interval
Nilai p OR
Kepercayaan
n % n %
Masalah Abnormal 103 51,0 124 28,1 < 0,001* 2,660 1,883–3,756
Perilaku Normal 99 49,0 317 71,9

Abnormal 47 23,3 68 15,4 0,021* 1,663 1,097–2,522


Hiperaktivitas
Normal 155 76,7 373 84,6

Masalah Teman Abnormal 121 59,9 202 45,8 0,001* 1,767 1,216–2,478
Sebaya Normal 81 40,1 239 54,2

Masalah Abnormal 68 33,7 96 21,8 0,002* 1,824 1,261–2,638


Perilaku
Prososial
Normal 134 66,3 345 78,2

Total 202 31,4 441 68,6


*p < 0,05

4.3.2.1 Analisis Multivariat Faktor Risiko dan Faktor Proteksi Adiksi


Internet
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui faktor risiko dan proteksi yang
paling berpengaruh terhadap terjadinya AI. Analisis multivariat yang digunakan
adalah analisis regresi logistik dengan metode backward. Variabel yang
dimasukkan dalam analisis regresi logistik sebanyak 12 variabel, yaitu jenis
kelamin, tujuan penggunaan internet, durasi penggunaan internet, usia awitan
penggunaan internet, novelty seeking, pola asuh, kohesivitas keluarga, masalah
emosi, masalah perilaku, hiperaktivitas, masalah teman sebaya, dan masalah
perilaku prososial.

Hasil analisis menunjukkan adanya 7 variabel yang memiliki p < 0,05, yaitu tujuan
penggunaan internet, durasi penggunaan internet, usia awitan penggunaan internet,
pola asuh, masalah emosi, masalah perilaku, dan masalah perilaku prososial.
Analisis terakhir sudah memiliki model yang baik dengan nilai Nagelkerke R2 =
0,206. Nilai ini menunjukkan bahwa ketujuh variabel di atas sudah baik untuk
menjelaskan kejadian AI.139 Nilai Nagelkerke R2 = 0,206 berarti variabel-variabel
tersebut sudah dapat menjelaskan kejadian AI sebesar 20,6%. Pada penelitian sosial
nilai Nagelkerke R2 > 0,14 sudah menggambarkan hubungan kemaknaan antar
variabel yang besar.139 Hasil analisis regresi logistik dapat dilihat pada Tabel 4.26.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


117

Tabel 4.26. Hasil Analisis Regresi Logistik


Variabel Nilai p OR Interval Kepercayaan
Jenis kelamin 0,206 1,284 0,871–1,892
Tujuan penggunaan internet 0,005* 1,826 1,194–2,791
Durasi pengunaan internet < 0,001* 2,889 1,881–4,438
Usia awitan penggunaan internet 0,008* 1,821 1,172–2,829
Novelty seeking 0,310 1,224 0,829–1,808
Pola asuh 0,012* 0,518 0,309–0,867
Kohesivitas keluarga 0,247 1,567 0,732–3,357
Masalah emosi 0,001* 1,918 1,327–2,774
Masalah perilaku < 0,001* 2,539 1,736–3,712
Hiperaktivitas 0,545 1,155 0,725–1,838
Masalah teman sebaya 0,107 1,370 0,934–2,009
Masalah perilaku prososial 0,008* 1,758 1,155–2,675
*p < 0,05

Berdasarkan nilai OR pada Tabel 4.27. dapat dibuat kesimpulan bahwa terdapat 6
variabel yang merupakan faktor risiko dan 1 variabel yang merupakan faktor
proteksi terjadinya AI. Variabel yang memiliki kontribusi terbesar sebagai faktor
risiko terjadinya AI adalah durasi pengunaan internet (OR = 2,889) dan masalah
perilaku (OR = 2,539), sedangkan variabel yang berperan sebagai faktor proteksi
adalah pola asuh (OR = 0,518).

Oleh karena itu, dapat dibuat persamaan regresi logistik untuk melihat peluang
seorang remaja mengalami AI. Nilai indikator persamaan regresi logistik dapat
dilihat pada Tabel 4.27.
y = -2,402 + (0,602*tujuan) + (1,061*durasi) + (0,599*usia_awitan) +
(0,652*masalah_emosi) + (0,932*masalah_perilaku) + (0,564*masalah_prososial)
+ (-0,659*pola_asuh)
Keterangan: tanda * menunjukkan perkalian
(4.1)
Besarnya probabilitas seorang remaja untuk mengalami AI dihitung dengan rumus:
1
𝑝=
1 + 𝑒 −𝑦
(4.2)

Besarnya peluang (RR) seorang remaja yang memiliki faktor risiko untuk
mengalami AI dapat diketahui dengan cara membandingkan probabilitas AI pada
remaja yang memiliki faktor risiko dan probabilitas AI pada remaja tanpa faktor
risiko.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


118

𝑝𝑟𝑜𝑏𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑎𝑑𝑖𝑘𝑠𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑒𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑒𝑚𝑎𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑖 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜


𝑅𝑅 =
𝑝𝑟𝑜𝑏𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑎𝑑𝑖𝑘𝑠𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑒𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑒𝑚𝑎𝑗𝑎 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

(4.3)
Tabel 4.27. Nilai Indikator Persamaan Regresi Logistik
Indikator Nilai
1. Tujuan penggunaan internet
Permainan daring dan media sosial 1
Kegiatan lainnya 0
2. Durasi penggunaan internet
> 20 jam / minggu 1
≤ 20 jam / minggu 0
3. Usia awitan penggunaan internet
 8 tahun 1
> 8 tahun 0
4. Masalah emosi
Ada 1
Tidak ada 0
5. Masalah perilaku
Ada 1
Tidak ada 0
6. Masalah perilaku prososial
Ada 1
Tidak ada 0
7. Pola asuh
Non-exposure 1
Exposure 0

Untuk mengetahui kualitas persamaan regresi logistik di atas dilakukan uji Hosmer
and Lemeshow. Berdasarkan hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa persamaan
di atas terkalibrasi dengan baik.

4.3.2.2 Networking Psychometric Faktor Risiko Adiksi Internet Berdasarkan


Hasil Analisis Regresi Logistik Multivariat
Analisis networking psychometric dilakukan pada tujuh variabel yang bermakna
berdasarkan hasil analisis regresi logistik. Analisis networking psychometric
dilakukan untuk mengetahui besaran hubungan antar variabel dengan AI. Analisis
networking psychometric dilakukan dengan menggunakan program JASP© versi
0.9.2. Bagan networking psychometric faktor risiko AI dapat dilihat pada Gambar
4.16.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


119

= korelasi negatif
= korelasi positif
WM = weight matrix

Gambar 4.16. Bagan Networking Psychometric Faktor Risiko Adiksi Internet

Pada Gambar 4.16. dapat dilihat hubungan antar variabel dengan AI. Node milik AI
berada di posisi tengah menandakan bahwa AI adalah variabel yang menjadi sentral
dari hubungan antar variabel tersebut. Variabel AI memiliki path berwarna biru
dengan setiap variabel di sekelilingnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara variabel-variabel di sekeliling AI dengan AI. Jika dilihat
tebalnya path/garis berwarna biru yang dihasilkan, variabel durasi dan masalah
perilaku memiliki garis yang paling tebal untuk berhubungan dengan AI. Hal
tersebut berarti variabel durasi dan masalah perilaku adalah faktor yang memiliki
kontribusi paling besar untuk memprediksi terjadinya AI. Besarnya hubungan
antara kedua variabel tersebut dengan AI juga dapat tercermin dari nilai weight
matrix (WM).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


120

Pada Gambar 4.16. dapat dilihat bahwa nilai WM antara durasi dengan AI sebesar
0,355 dan nilai WM antara masalah perilaku dengan AI sebesar 0,265. Kedua
variabel ini memiliki nilai WM yang paling besar dibandingkan variabel lainnya.
Hal tersebut sejalan dengan nilai OR pada Tabel 4.28. yang menunjukkan bahwa
durasi penggunaan internet dan masalah perilaku memiliki nilai OR yang paling
besar.

Tabel 4.28. menunjukkan nilai CM variabel-variabel yang ada pada Gambar 4.16.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa AI memiliki nilai betweeness yang paling
besar. Hal tersebut berarti AI merupakan variabel yang paling penting dalam
jaringan hubungan antar variabel tersebut. Nilai kekuatan (strength) AI juga paling
tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa AI merupakan variabel yang kuat
berhubungan secara langsung dengan variabel lainnya.

Tabel 4.28. Nilai Centrality Measures


Variabel Betweenness Closeness Strength
Adiksi Internet 2,047 1,924 1,794
Durasi -0,682 -8,471e -4 0,069
Pola asuh -0,136 -0,130 -0,273
Tujuan -0,682 -1,647 -1,425
Usia awitan -0,136 -0,335 -0,105
Masalah emosi -0,682 -0,471 -1,071
Masalah perilaku -0,682 0,429 0,504
Masalah perilaku prososial 0,955 0,231 0,507

Hasil ini menunjukkan faktor risiko AI meliputi faktor demografis (durasi


penggunaan internet, tujuan penggunaan internet, dan usia awitan), dan faktor
psikologis (masalah emosi, masalah perilaku, dan masalah perilaku prososial)
sehingga hipotesis 3 diterima. Pada penelitian ini juga didapatkan faktor proteksi
AI berupa faktor sosial, yaitu pola asuh orang tua sehingga hipotesis 4 diterima.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Pengembangan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI)


Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengembangkan kuesioner
skrining AI pada remaja di Indonesia. Pengembangan KDAI mengikutsertakan
populasi remaja Indonesia dalam penyusunan domain dan butir pernyataan
sehingga unsur budaya remaja Indonesia terakomodasi dalam setiap butir
pernyataan. Kuesioner lain yang sering digunakan di dunia untuk mendeteksi AI
pada remaja adalah IAT yang dikembangkan oleh Young7 dan CIAS yang
dikembangkan di Taiwan.39

Internet addiction test merupakan kuesioner skrining AI pertama di dunia dan sudah
divalidasi di berbagai negara, sedangkan CIAS adalah kuesioner yang
dikembangkan khusus untuk remaja. Ketiga kuesioner (KDAI, IAT dan CIAS)
tersebut menggunakan pendekatan deduktif dalam pengembangannya.18,39
Pendekatan deduktif dapat dilakukan dengan menggunakan landasan teori dan
pendapat para pakar. Internet addiction test dan CIAS dikembangkan berdasarkan
kesepakatan para ahli dalam DSM-IV, sedangkan KDAI menggunakan rujukan
diagnosis terbaru yaitu DSM-5 dan ICD-11. Kuesioner diagnostik adiksi internet
juga memasukkan pendapat para remaja mengenai AI. Hal tersebut penting karena
remaja merupakan sasaran penggunaan KDAI.

Pendekatan deduktif pada pengembangan KDAI diperkuat dengan menggunakan


teknik Delphi yang tidak dilakukan pada IAT dan CIAS. Penggunaan teknik Delphi
memberikan keunggulan dalam pengembangan kuesioner karena mengikutsertakan
pakar dari berbagai bidang. Para pakar dapat memberikan pendapat yang bervariasi
secara anonim sehingga bersifat objektif tanpa dipengaruhi oleh pakar lainnya.
Pengulangan ronde yang dilakukan pada teknik Delphi memberikan kesempatan
pada para pakar untuk mengevaluasi kembali pemikirannya. Proses di atas
menunjukkan bahwa pernyataan dalam KDAI memiliki konsep dan konstruk yang
lengkap untuk menggambarkan AI pada remaja di Indonesia.

121 Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


122

Kuesioner diagnostik adiksi internet, IAT, dan CIAS menggunakan skala


pengukuran yang sama, yaitu skala Likert.18,39 Penggunaan skala Likert pada studi
sosial mencerminkan variasi perilaku dan memberikan kesempatan pada subjek
untuk memiliki variasi pilihan. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki 7
pilihan jawaban, sedangkan IAT 5 pilihan (1─5) dan CIAS 4 pilihan (1 ─4). Skala
Likert pada KDAI terdiri atas nilai 0─6 dengan nilai 0 sebagai “tidak sesuai”. Skala
Likert dengan jumlah genap lebih baik agar subjek tidak memilih nilai tengah.
Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki skala Likert dengan jumlah genap
dan lebih banyak dari IAT dan CIAS sehingga dapat menangkap variasi perilaku
lebih luas.

Griffith140 menyebutkan kuesioner untuk mengukur AI harus memperlihatkan


keparahan gejala dan durasi waktu, KDAI memenuhi kedua hal tersebut. Kuesioner
diagnostik adiksi internet menggunakan skala Likert yang dapat memberikan
variabilitas pilihan pada subjek untuk mengisi sesuai keparahan kondisinya.
Kuesioner diagnostik adiksi internet juga menggunakan durasi waktu 12 bulan
untuk setiap pernyataan, sesuai dengan kriteria pada DSM-5 dan ICD-11. Internet
addiction test dan CIAS tidak memiliki durasi waktu sehingga remaja merasa tidak
ada pedoman yang jelas saat mengisi kuesioner. Hal tersebut menunjukkan KDAI
sebagai sebuah instrumen memiliki struktur kuesioner yang baik dan objektif.

Pada uji reliabilitas didapatkan nilai Cronbach’s alpha KDAI sebesar 0,942. Nilai
tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan KDAI yang tinggi. Kuesioner
diagnostik adiksi internet dapat memberikan hasil yang sama meskipun dilakukan
pada subjek dan waktu yang berbeda. Nilai Cronbach’s alpha KDAI lebih baik
dibandingkan IAT yang divalidasi oleh Widyanto─IAT versi Inggris18 (0,54─0,82)
dan sama baiknya dengan CIAS (0,94). Hal tersebut menggambarkan KDAI
memiliki keandalan yang lebih baik dibanding kuesioner lainnya.

Sebuah kuesioner juga harus memiliki validitas yang baik. Validitas terdiri atas
validitas internal dan eksternal. Uji validitas internal yang dilakukan pada KDAI
meliputi validitas isi dan konstruk, sedangkan IAT dan CIAS hanya melakukan uji
validitas konstruk. Kuesioner diagnostik adiksi internet melakukan uji validitas isi
yang mengikutsertakan populasi remaja sebagai pengguna kuesioner. Validitas isi

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


123

sangat penting dilakukan untuk menilai tingkat pemahaman subjek terhadap


pernyataan dalam kuesioner.

Pernyataan dalam kuesioner harus mudah dipahami dan tidak menimbulkan


ambiguitas. Pada remaja terjadi peralihan perkembangan kognitif dari fase konkret
ke formal. Oleh karena itu, pemahaman remaja pada konsep abstrak terbatas
sehingga validitas tampang sangat penting dilakukan. Uji validitas konstruk KDAI,
IAT, dan CIAS menggunakan analisis faktor. Akan tetapi, hanya KDAI yang
melakukan analisis faktor dua langkah, yaitu EFA dan CFA. Confirmatory factor
analysis digunakan untuk mendapatkan model yang paling baik sehingga semua
domain menggambarkan konsep AI. Dengan demikian, KDAI memiliki validitas
internal yang lebih baik dibandingkan IAT dan CIAS.

Uji validitas eksternal juga dilakukan dalam pengembangan KDAI. Uji validitas
eksternal pada KDAI meliputi validitas kesejajaran dan prediktif, sedangkan IAT
dan CIAS hanya memiliki uji validitas kesejajaran. Uji validitas kesejajaran pada
CIAS menggunakan wawancara klinis sebagai pembanding, sedangkan IAT
menggunakan kuesioner lain yaitu internet-related problem scale (IRPS). Pada sisi
lain, KDAI menggunakan IAT versi Indonesia (Cronbach’s alpha = 0,855) sebagai
pembanding. Internet addiction test versi Indonesia merupakan instrumen IAT
milik Young yang telah divalidasi pada populasi remaja di Indonesia. Pemilihan
IAT sebagai pembanding dalam uji validitas kesejajaran KDAI disebabkan IAT
merupakan kuesioner skrining AI yang paling sering digunakan di dunia. Kuesioner
IAT juga telah divalidasi di berbagai negara. Hal tersebut sangat sesuai dengan
tujuan pembuatan KDAI sebagai kuesioner skrining AI. Selain itu, konsensus
diagnosis AI juga belum ada sampai saat ini sehingga belum ada standar panduan
wawancara klinis AI. Hasil uji validitas kesejajaran menunjukkan korelasi antara
domain KDAI dan IAT versi Indonesia yang baik (r > 0,3). Hal tersebut berarti
KDAI dan IAT versi Indonesia mengukur hal yang sama, yaitu AI. Kuesioner
diagnostik adiksi internet lebih unggul untuk digunakan dalam mendeteksi AI pada
remaja di Indonesia dibandingkan dengan IAT versi Indonesia karena memiliki nilai
Cronbach’s alpha yang lebih tinggi dan dikembangkan berdasarkan karakteristik
remaja Indonesia.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


124

Saat ini hanya KDAI yang telah mampu menggambarkan perubahan konektivitas
fungsional otak pada remaja dengan AI (validitas prediktif). Hal tersebut
memperlihatkan keunggulan KDAI dibandingkan dengan IAT. Gambaran
perubahan konektivitas fungsional otak dapat menjadi marka biologis AI pada
remaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KDAI memiliki nilai
kepraktisan dan ekonomis yang tinggi karena tidak diperlukan pemeriksaan rs-fMRI
BOLD dengan harga mahal untuk melihat perubahan konektivitas fungsional otak.

Kuesioner diagnostik adiksi internet sebagai instrumen skrining dapat mencegah


diagnosis AI berlebihan pada remaja. Hal tersebut tergambar dari domain-domain
KDAI yang terdiri atas withdrawal, kehilangan kontrol, peningkatan prioritas,
konsekuensi negatif, modifikasi mood, salience, dan hendaya. Domain-domain
tersebut dianggap penting karena merupakan gejala utama AI. Ketujuh domain
KDAI juga selaras dengan kriteria diagnosis gaming disorder pada ICD-11 karena
sudah menghapus domain desepsi dan toleransi. Pada sisi lain, CIAS masih
memiliki domain toleransi dan IAT memiliki pernyataan yang mewakili gejala
desepsi. Domain desepsi dan toleransi dihapus karena memiliki akurasi dan
frekuensi yang rendah untuk mendeteksi AI. Penjelasan lebih lanjut mengenai
alasan penghapusan kedua domain tersebut adalah:
a. Desepsi
Desepsi merupakan gejala yang kontroversial. Remaja merasa tidak perlu
menyembunyikan kegiatan bermain internet karena mereka menganggap perilaku
bermain internet bukan kriminalitas seperti penggunaan NAPZA. Pada penelitian
ini didapatkan sebagian besar remaja menggunakan internet di dalam rumah
(91,1%) sehingga remaja tidak dapat menutupi aktivitas bermain internet dari orang
tua. Perilaku desepsi juga bergantung pada relasi personal antara orang tua dan anak
serta sikap orang tua terhadap aktivitas bermain internet anaknya.140 Bila orang tua
mendukung aktivitas internet anak maka remaja tidak perlu berbohong. Pada sisi
lain, bila orang tua menentang kegiatan bermain internet maka remaja akan
berbohong kepada orang tua. Perilaku berbohong yang dilakukan oleh remaja pada
keadaan ini bukan merupakan gejala desepsi, melainkan sebuah masalah perilaku.
Oleh karena itu, gejala desepsi dapat menimbulkan kerancuan dalam
menggambarkan AI.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


125

b. Toleransi
Efek toleransi biasanya terjadi pada individu yang menggunakan zat karena adanya
desensitisasi pada reseptor sehingga dibutuhkan jumlah zat yang lebih banyak
untuk menimbulkan efek yang diharapkan. Gejala toleransi pada AI sering
digambarkan sebagai peningkatan jumlah waktu dalam bermain internet.

Pada DSM-5 terdapat pertanyaan “apakah dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam
bermain permainan daring untuk mencapai kepuasan yang sama seperti
sebelumnya?” untuk menggambarkan gejala toleransi AI. Pada sisi lain, remaja
dengan AI sudah tidak dapat lagi meningkatkan jumlah waktu bermain internet
karena remaja sudah bermain internet dalam waktu yang sangat banyak. Griffith140
menyatakan bahwa gejala toleransi pada AI dapat berupa peningkatan alat atau jenis
permainan daring untuk mendapatkan kepuasan yang lebih. Akan tetapi, hal
tersebut dapat dibantah karena kondisi tersebut bergantung pada jenis permainan
daring yang dilakukan.140 Bila permainan daring yang dilakukan berorientasi pada
tujuan maka individu akan merasa bosan ketika tujuan sudah tercapai. Oleh karena
itu, gejala toleransi dianggap bukan gejala utama pada AI.

Penghapusan domain desepsi dan toleransi membuat domain-domain dalam KDAI


memiliki akurasi yang tinggi untuk mendeteksi AI. Ketujuh domain dalam KDAI
juga sesuai dengan gejala adiksi perilaku pada DSM-5 dan ICD-11.16,63,141 Bila
dibandingkan dengan CIAS, IAT versi Inggris, dan IAT versi Indonesia maka KDAI
memiliki jumlah domain paling banyak. Hal tersebut menggambarkan validitas
konstruk yang lebih lengkap pada KDAI. Pengguna internet secara sehat dan
patologis dapat dibedakan melalui domain dalam KDAI yaitu domain konsekuensi
negatif dan hendaya. King dkk.142 menyebutkan gejala AI yang memiliki akurasi
tinggi adalah konsekuensi negatif dan hendaya serta ICD-11 dan DSM-5 juga
memasukkan gejala tersebut sebagai kriteria diagnosis gaming disorder.

Domain konsekuensi negatif KDAI terdiri atas konflik interpersonal dan


intrapersonal, sedangkan domain hendaya KDAI meliputi aspek personal, keluarga,
edukasional. Hal tersebut sesuai ICD-11 yang memasukkan hendaya sebagai
kriteria yang perlu dipenuhi untuk diagnosis AI. Pada sisi lain, CIAS memasukkan
hubungan interpersonal sebagai konsekuensi negatif dan tidak memiliki gejala

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


126

hendaya. Internet addiction test memiliki gejala konflik emosional sebagai


konsekuensi negatif dan gejala melalaikan tugas sebagai hendaya. Oleh karena itu,
KDAI menggambarkan gejala konsekuensi negatif dan hendaya yang lebih lengkap
sehingga dapat mencegah diagnosis AI secara berlebihan (overdiagnose). Hal
tersebut juga didukung dengan tidak adanya gejala yang memiliki akurasi rendah
pada KDAI.

Keunggulan KDAI yang selanjutnya adalah KDAI sebagai instrumen skrining


memiliki kegunaan klinis yang baik, ditandai dengan nilai AUC yang tinggi (92%).
Nilai AUC > 90% menunjukkan kemampuan KDAI yang baik dalam membedakan
kelompok sakit dan tidak sakit. KDAI memiliki titik potong 108 setara dengan nilai
adiksi sedang pada IAT versi Indonesia. Skor untuk kategori adiksi ringan pada IAT
dianggap terlalu rendah untuk mengatakan seseorang mengalami AI. Oleh karena
itu, KDAI memiliki titik potong yang presisi sehingga tidak menyebabkan
diagnosis berlebihan. Hal tersebut juga didukung oleh nilai sensitivitas dan negative
likelihood ratio KDAI yang tinggi, yaitu 91,8% dan 0,11. Kuesioner yang ditujukan
untuk keperluan skrining sebaiknya memiliki sensitivitas > 90%.143 KDAI mampu
menunjukkan nilai positif pada 91,8% populasi dengan AI dan hanya 8,2% hasil
KDAI yang merupakan negatif palsu. Nilai negative likelihood ratio KDAI juga
sangat baik yaitu 0,11 sehingga hasil negatif pada KDAI mampu menurunkan
kemungkinan subjek mengalami AI sekitar 45%. Dengan demikian, KDAI sangat
baik untuk skrining AI.

Berdasarkan penjelasan mengenai KDAI yang telah dijabarkan di atas, KDAI


memenuhi unsur instrumen yang baik yaitu unsur validitas, reliabilitas, objektivitas,
praktibilitas dan ekonomis. Validitas yang baik tergambar dari domain-domain
dengan akurasi yang tinggi. Reliabilitas yang baik ditandai dengan nilai Cronbach’s
alpha yang tinggi. Aspek objektivitas ditunjukkan oleh skala Likert yang digunakan
pada KDAI. Skala Likert memberikan batasan yang jelas pada remaja. Pengisian
KDAI juga dapat dilakukan di mana saja tanpa memerlukan alat dan ruangan yang
khusus. Hal tersebut mencerminkan kepraktisan KDAI. Skor KDAI dapat
memprediksi perubahan konektivitas fungsional yang terjadi pada otak sehingga
tidak diperlukan lagi pemeriksaan rs-fMRI BOLD. Dengan demikian, KDAI

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


127

memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kuesioner diagnostik adiksi internet terbukti
lebih sahih dan andal dibanding IAT versi Indonesia sehingga hipotesis 1 diterima.

Kuesioner diagnostik adiksi internet dapat digunakan oleh orang tua dan guru untuk
melakukan deteksi dini AI pada remaja. Skrining AI dengan menggunakan KDAI
secara berkala di sekolah dapat dijadikan bagian dari program pencegahan AI pada
remaja. Skema penggunaan KDAI dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 5.1. Skema Penggunaan KDAI

5.2 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi Internet


Menggunakan Pemeriksaan rs-fMRI BOLD
5.2.1 Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi
Internet Dibandingkan dengan Kelompok Tidak Adiksi Internet
Konektivitas fungsional saat istirahat digunakan dalam mengukur hubungan antar
aktivitas spontan otak beberapa regio otak berbeda yang berperan secara simultan
pada suatu tugas tertentu. Penilaian konektivitas fungsional dilakukan dengan cara
mengukur konektivitas temporal otak yang dapat menggambarkan sinkronisasi
sinyal-sinyal otak dalam suatu sistem. Dengan demikian, konektivitas temporal
dapat dijadikan indeks neurofisiologi suatu perilaku tertentu.144–147 Evaluasi
konektivitas fungsional saat istirahat dapat memberikan gambaran abnormalitas
jaringan otak tertentu pada AI.145,148

Penurunan konektivitas fungsional mengindikasikan adanya kesulitan atau


hambatan dalam memanggil suatu jaringan fungsional otak tertentu ketika
dibutuhkan.149 Adanya penurunan konektivitas fungsional otak berkaitan dengan
adanya penurunan jumlah dopamin pada otak. Deplesi dopamin pada striatum

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


128

menganggu persinyalan cortico-striatal dan menyebabkan peningkatan variabilitas


sinyal yang mengakibatkan penurunan konektivitas fungsional pada regio otak
tersebut.150 Penelitian sebelumnya membuktikan adanya penurunan jumlah reseptor
dopamin D2 dan transporter dopamin pada subjek dengan AI dibandingkan dengan
tidak AI. Penelitian juga menunjukkan adanya keterkaitan antara polimorfisme gen
dopaminergik Taq1A1 dan Val158Met dengan kerentanan terhadap AI.151

Hasil analisis data pada penelitian ini menemukan adanya peningkatan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan anterior insula kiri, penurunan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan, serta penurunan konektivitas fungsional
antara LPFC kiri dan MPFC pada kelompok AI dibandingkan kelompok tidak AI.

Regio LPFC termasuk dalam CEN. Regio anterior insula termasuk dalam SN,
sedangkan Regio LP dan MPFC termasuk dalam DMN.152–154 Oleh karena itu,
perubahan konektivitas fungsional yang didapatkan dalam penelitian ini
menunjukkan adanya gangguan pada tiga jaringan fungsional otak yaitu CEN, SN
dan DMN pada kelompok remaja dengan AI.

Central executive network terdiri dari 4 regio utama yakni DLPFC, ACC, OFC dan
lateral posterior parietal cortex berperan dalam penyelesaian masalah, proses
kognitif, memori kerja, penalaran serta pengambilan keputusan.144 Dalam penelitian
ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional secara spesifik di regio
DLPFC pada kelompok dengan AI. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan
penurunan konektivitas fungsional pada PFC individu dengan AI.155–157

Regio DLPFC berfungsi dalam proses perencanaan, penyelesaian masalah,


pemikiran abstrak, atensi, fungsi verbal, serta dalam kontrol inhibisi. Kontrol
inhibisi yang baik membuat individu mampu membatasi atau menghambat respons
yang tidak adekuat terhadap stimulus. Kontrol inhibisi dapat mengontrol
keterlibatan individu dalam perilaku yang mencari penghargaan (reward-seeking
behavior).13,158 Pada individu dengan AI, gangguan kontrol inhibisi menyebabkan
kesulitan mengontrol perilaku penggunaan internet yang berlebihan.95,159 Individu
dengan perilaku AI akan berdampak pada eksaserbasi impulsivitas yang
dimilikinya sehingga semakin sulit untuk mengontrol penggunaan internet.96

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


129

Default mode network terdiri atas 3 subdivisi yaitu VMPFC, DMPFC serta PCC,
prekuneus dan LP.153 Sistem DMN akan aktif saat individu sedang fokus secara
internal yakni ketika memikirkan tentang diri sendiri (informasi autobiografi,
kesadaran akan emosi yang sedang dirasakan, perencanaan di kemudian hari, dan
penilaian terhadap diri sendiri), dan ketika sedang memikirkan tentang orang lain
(empati, menilai emosi orang di sekitarnya, dan pemahaman moral dari suatu
kejadian).152

Pada penelitian ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional pada


MPFC. Seiring dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya
penurunan konektivitas fungsional dalam MPFC.148 Dari penelitian ini juga
didapatkan adanya penurunan konektivitas fungsional pada regio LP. Fungsi utama
DMPFC scara spesifik adalah penilaian yang berbasis referensi diri sendiri (self-
referential judgment), sedangkan VMPFC berperan dalam penilaian terhadap
perilaku sosial, serta regulasi emosi, atensi dan motivasi. Lateral parietal berfungsi
untuk melakukan rekoleksi pengalaman di masa lalu dan akan digunakan dalam
proses self-referential judgment.153,160 Oleh karena itu, adanya abnormalitas pada
DMN yang melibatkan regio–regio tersebut dapat menyebabkan gangguan pada
atensi dan proses self-referential judgement sehingga berdampak pada terjadinya
adiksi perilaku, dalam kasus ini adalah AI.156

Salience network terdiri dari 2 bagian utama yaitu anterior insula dan dACC yang
berperan dalam proses komunikasi, relasi sosial dan kewaspadaan diri.154 Anterior
insula berfungsi untuk mendeteksi stimulus yang berkaitan dengan perilaku.
Anterior insula juga bertugas mengalihkan atensi dari fokus internal ke eksternal
setelah mendeteksi adanya stimulus eksternal dan dACC berperan setelahnya yakni
dalam pemilihan respons terhadap stimulus tersebut.154,161,162 Dalam penelitian ini
didapatkan perubahan konektivitas fungsional pada regio anterior insula dalam
kelompok AI. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang
menemukan peningkatan konektivitas fungsional antara AI dengan ACC, putamen,
girus angular, dan precuneus pada kelompok dengan adiksi permainan daring.163

Pada penelitian ini didapatkan peningkatan konektivitas fungsional antara SN dan


CEN pada kelompok AI. Penelitian lain juga menemukan perubahan konektivitas

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


130

fungsional antara dua jaringan yang sama pada adiksi kokain. Meskipun arah
perubahan konektivitas fungsional tidak sama, yakni dalam bentuk penurunan
konektivitas fungsional antara ACC (SN) dan DLPFC (CEN), namun hal tersebut
membuktikan bahwa adanya keterkaitan SN dan CEN dalam perilaku adiksi.164

Keterkaitan antara DMN dan CEN juga didapatkan dalam penelitian ini, didapatkan
penurunan konektivitas fungsional yang bermakna antara DMN (MPFC dan LP
kanan) dan CEN (LPFC) pada kelompok AI. Hal tersebut sejalan dengan penemuan
pada kelompok adiksi heroin yang menunjukkan adanya penurunan konektivitas
fungsional antara LPFC dan area parietal.164

Dalam pelaksanaan tugas yang membutuhkan fungsi kognitif, SN dan CEN akan
teraktivasi bersama, sedangkan DMN akan terinaktivasi. Salience network memiliki
peran penting dalam peralihan tugas antara CEN dan DMN yang dijalankan secara
spesifik oleh anterior insula.154,162 Kepustakaan juga menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antara pada SN, DMN dan CEN, dijelaskan sebagai model
triple network. Dalam model tersebut dijelaskan adanya disfungsi pada salah 1
jaringan dapat berdampak pada disfungsi pada 2 jaringan lainnya.148

Penelitian sebelumnya mengenai adiksi nikotin menjelaskan bahwa pemberian


nikotin pada individu dengan adiksi nikotin dapat menekan aktivitas DMN dan
mengaktifkan SN serta CEN sehingga meningkatkan performa dalam pengerjaan
tugas. Namun bila pasien tersebut dalam keadaan abstinens dari nikotin, maka akan
terjadi perubahan konektivitas fungsional antara SN dan DMN. Pada keadaan
abstinens akut, SN mendeteksi adanya perubahan endogen yang besar sehingga
mengaktifkan DMN untuk mengembalikannya ke homeostasis secara internal
dengan meningkatkan dorongan untuk mendapatkan asupan nikotin dan sebaliknya
membuat CEN tidak aktif sehingga individu tersebut akan kesulitan untuk
mengerjakan tugas berbasis kognitif.164

Model gambaran interaksi antara CEN, DMN dan SN pada adiksi nikotin juga dapat
diterapkan pada AI. Interaksi ketiga jaringan fungsional ini selaras dengan hasil
penelitian ini yang mendapatkan adanya penurunan konektivitas fungsional antara
CEN dan DMN pada kelompok remaja dengan AI. Pada AI didapatkan bahwa

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


131

terjadi penurunan fungsi pada CEN sehingga menyebabkan gangguan pada kontrol
inhibisi.95,159 Gangguan juga terjadi pada SN dan DMN sehingga menyebabkan
kontrol yang tidak baik secara internal terhadap preokupasi dan menimbulkan
dorongan kuat untuk menggunakan internet.162

Penemuan lain pada penelitian ini ialah adanya peningkatan konektivitas fungsional
pada CEN dan SN. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan hasil pada penelitian
sebelumnya yaitu penggunaan internet dapat meningkatkan fungsi CEN pada
individu dengan AI terutama saat mengoperasikan program berbasis internet,
namun di sisi lain kontrol inhibisi akan semakin terganggu dan menyebabkan
individu tersebut mengalami kesulitan dalam mengontrol impulsivitasnya.159
Penelitian ini menunjukkan perbedaan konektivitas fungsional bermakna pada SN,
DMN dan CEN antara kelompok AI dan kelompok tidak AI sehingga hipotesis 2
diterima.

5.2.2 Hubungan Adiksi Internet dengan Konektivitas Fungsional Otak


Pada penelitian ini didapatkan adanya perbedaan rerata konektivitas fungsional
antara kelompok AI dan kelompok tidak AI. Rerata konektivitas fungsional antara
LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok tidak AI, namun hal tersebut tidak bermakna secara statistik. Perbedaan
rerata ini tidak dapat diabaikan karena rentang perubahan pada konektivitas
fungsional otak sangat sempit, sehingga perubahan kecil yang tidak bermakna
secara statistik, penting secara klinis. Perbedaan yang penting secara klinis pada
kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa aktivitas otak pada CEN dan DMN
lebih rendah pada kelompok AI dibandingkan kelompok tidak AI. Penurunan
aktivitas otak pada CEN dan DMN menyebabkan kelompok AI secara klinis
memiliki gangguan dalam kontrol impuls dan terus terokupasi dalam menggunakan
internet yang ditandai dengan skor KDAI yang lebih tinggi dari kelompok tidak AI.

Selanjutnya, pada uji korelasi didapatkan korelasi positif yang bermakna antara
skor KDAI dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada
kelompok tidak AI, yang mengimplikasikan bahwa subjek dengan skor KDAI yang
lebih tinggi memiliki tingkat konektivitas fungsional yang lebih tinggi antara CEN

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


132

dan DMN. Korelasi negatif yang bermakna didapatkan antara skor KDAI dengan
konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI, subjek
dengan skor KDAI yang lebih tinggi memiliki tingkat konektivitas fungsional yang
lebih rendah antara CEN dan DMN.

Hasil ini memperlihatkan sebuah tren bahwa semakin tinggi skor KDAI pada
remaja tidak AI menghasilkan konektivitas fungsional antara CEN dan DMN yang
semakin kuat. Akan tetapi, pada remaja AI didapatkan semakin tinggi skor KDAI,
konektivitas fungsional antara CEN dan DMN semakin lemah. Hal tersebut dapat
dijelaskan karena umpan balik positif masih berlangsung pada remaja yang tidak
mengalami AI yaitu dengan terjadinya peningkatan aktivasi CEN dan DMN.
Peningkatan aktivitas tersebut berfungsi sebagai faktor proteksi untuk tidak jatuh
dalam kondisi adiksi. Pada kondisi tersebut, CEN dan DMN meningkatkan kontrol
inhibisi dan proses self referential. Akan tetapi, saat remaja jatuh dalam kondisi AI,
umpan balik tersebut mengalami disfungsi dan sebaliknya terjadi penurunan
aktivitas CEN dan DMN sehingga kontrol inhibisi dan self referential tidak terjadi.

Penurunan fungsi CEN menyebabkan gangguan kontrol inhibisi yang menyebabkan


remaja dengan AI tidak mampu mengontrol penggunaan internetnya, sedangkan
penurunan fungsi DMN menyebabkan gangguan proses self referential sehingga
remaja tersebut terokupasi untuk terus menerus bermain internet.95,159,162 Hasil
pemeriksaan rs-fMRI yang mencerminkan perubahan aktivitas neuronal saat fase
istirahat antara CEN dan DMN dapat dikatakan sebagai marka biologis AI. Dengan
demikian, penelitian ini memperlihatkan skor KDAI mampu mencerminkan hasil
perubahan konektivitas fungsional otak pada kelompok AI dan kelompok tidak AI
dengan menggunakan pemeriksaan rs-fMRI BOLD. Hal tersebut menandakan
bahwa AI bukan hanya masalah psikososial. Perbedaan gambaran konektivitas
fungsional otak antara kelompok AI dan tidak AI dapat menjadi materi edukasi
yang bermakna bagi orang tua dan remaja, karena AI secara nyata juga
menimbulkan dampak biologis yaitu perubahan fungsi konektivitas otak. AI
berdampak pada aspek bio-psiko-sosial yang setara dengan adiksi NAPZA.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


133

Gambar 5.2. Perubahan Konektivitas Fungsional pada Remaja dengan Adiksi Internet

5.2.3 Hubungan Fungsi Eksekutif dengan Adiksi Internet


Penelitian di Korea Selatan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
AI dengan gangguan fungsi eksekutif. Perubahan konektivitas fungsional pada
jaringan CEN juga berhubungan gangguan fungsi eksekutif sebagai dampak
AI.146,165 Akan tetapi, efek gangguan fungsi eksekutif terhadap perubahan
konektivitas fungsional otak pada individu dengan AI belum diketahui.

Penelitian ini melakukan analisis mediasi dan didapatkan bahwa fungsi eksekutif
bukan merupakan faktor yang memengaruhi hubungan antara skor KDAI dengan
konektivitas fungsional LPFC kiri dan LP kanan. Hal tersebut dapat dijelaskan
karena pada penelitian ini baik pada kelompok kontrol maupun adiksi terjadi
gangguan fungsi eksekutif.

Pada penelitian ini didapatkan 80% subjek mengalami gangguan fungsi eksekutif.
Profil subjek yang mengalami penurunan fungsi eksekutif mayoritas adalah usia
10–14 tahun/remaja awal (45,8%), memiliki masalah teman sebaya (60,4%), dan
durasi penggunaan internet lebih dari 20 jam / minggu. Gangguan fungsi eksekutif
pada remaja awal disebabkan oleh adanya proses synaptic pruning/pembabatan
sinaps, terutama pada bagian PFC yang berperan dalam mengatur fungsi eksekutif.
Pembabatan sinaps terjadi pada sinaps yang jarang digunakan. Hal tersebut
bertujuan untuk memberikan ruang pada sinaps yang sering digunakan untuk lebih
berkembang pada proses sinaptogenesis yang terjadi setelah fase remaja awal. Oleh
karena itu, pembabatan sinaps yang terjadi pada PFC menyebabkan gangguan
fungsi eksekutif pada remaja awal.166 Pada sisi lain, PFC remaja juga masih belum
matur sempurna karena proses mielinogenesis masih dalam tahap perkembangan.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


134

Proses mielinogenesis terjadi dimulai dari bagian belakang otak lalu ke bagian
depan otak sehingga PFC menjadi bagian otak yang paling akhir mengalami
maturitas secara sempurna. Proses maturasi otak pada remaja baru akan sempurna
pada usia 25 tahun.167

Pada remaja awal terjadi perkembangan bagian otak yang berhubungan dengan
fungsi sosial. Bagian otak ini menjadi lebih sensitif dalam menilai ekspresi wajah
dan tingkah laku seseorang. Remaja cenderung menafsirkan tanggapan orang lain
terhadap dirinya. Pada sisi lain, kemampuan kognisi sosial pada remaja awal masih
belum berkembang secara sempurna. Hal tersebut menyebabkan remaja lebih
sering mengalami masalah sosial, salah satunya adalah masalah teman sebaya.167
Remaja sering mendapat tekanan dari teman sebayanya. Tekanan ini menjadi
stresor bagi diri remaja. Pada kondisi tersebut terjadi pelepasan hormon kortisol
(glukokortikoid) dan katekolamin.168,169 Pelepasan katekolamin meningkatkan
aktivitas reseptor α1 adrenergik sehingga neurotransmitter (norepinefrin)
meningkat. Peningkatan norepinefrin menyebabkan gangguan fungsi pada PFC
yang dikenal sebagai stres-induced PFC dysfunction.170 Hal tersebut menjelaskan
bahwa reaksi stres dapat menyebabkan gangguan fungsi eksekutif pada remaja.171

Remaja yang mengalami gangguan fungsi eksekutif pada penelitian ini juga
memiliki durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu. Hal tersebut menyebabkan
waktu tidur remaja berkurang. Pengurangan waktu tidur menyebabkan siklus tidur
terganggu. Pada fase Rapid Eye Movement (REM) dan Slow-Wave Sleep(SWS)
terjadi proses konsolidasi memori. Gangguan konsolidasi memori dapat
menyebabkan gangguan fungsi kognitif. Hal tersebut disebabkan konsolidasi
memori diperlukan dalam proses belajar dan mengerjakan tugas.172 Oleh karena itu,
remaja yang menggunakan internet > 20 jam / minggu dapat mengalami gangguan
fungsi eksekutif.

Dengan demikian, fungsi eksekutif remaja tidak perlu diperiksa untuk melihat
perubahan konektivitas fungsional otak pada remaja dengan AI. Perubahan
konektivitas fungsional otak telah terjadi pada AI tanpa dimediasi gangguan fungsi
eksekutif. Skor KDAI mampu menggambarkan perubahan konektivitas fungsional
otak yang terjadi pada AI.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


135

5.3 Karakteristik Subjek, Prevalensi dan Hubungan Adiksi Internet dengan


Berbagai Faktor Risiko dan Proteksi
5.3.1 Karakteristik Subjek
Proporsi subjek laki-laki dan perempuan pada penelitian ini hampir sama
(perempuan: 54% dan laki-laki: 46%). Pada penelitian ini didapatkan 20% remaja
menggunakan internet sejak usia kurang dari 8 tahun. Penggunaan internet dengan
usia awitan yang semakin muda merupakan salah satu faktor risiko terjadinya AI,
terkait dengan perubahan sistem dopaminergik dan struktural korteks prefrontal.173
Kesenjangan maturitas antara limbik dan korteks prefrontal membuat remaja
menjadi labil dari segi emosi, sensitif terhadap stres dan peningkatan kerja reward
system, namun kemampuan metakognisi masih kurang. Hal tersebut menyebabkan
remaja bersikap impulsif dan berisiko mengalami adiksi.35

Pada penelitian ini remaja yang memiliki citra diri rendah sebesar 23,3%, dengan
mayoritas terdiri atas remaja awal dan pertengahan. Hal tersebut sejalan dengan
teori bahwa kelompok remaja awal banyak mengalami penurunan citra diri saat
memasuki masa pubertas.167 Hal tersebut disebabkan remaja merupakan suatu masa
transisi anak-anak menuju dewasa dan terjadi banyak perubahan yang mencakup;
(1) fisik, yang ditandai dengan perubahan bentuk tubuh dan muncul karakteristik
seksual sekunder; (2) kognisi, perubahan pola pikir menjadi formatif; (3) psikologis,
ditandai dengan berkurangnya waktu yang dihabiskan remaja dengan orang tua
dibandingkan dengan teman; (4) akademis, transisi di dunia sekolah juga dapat
menyebabkan stres bagi remaja; (5) perubahan hormon pada masa pubertas
membuat emosi menjadi tidak stabil. Perubahan aspek kehidupan remaja akan
ditanggapi dengan berbagai respons sosial yang dapat menyebabkan remaja rentan
menjadi minder dan tidak percaya diri.174,175

Pada penelitian ini didapatkan remaja perempuan lebih banyak memiliki citra diri
rendah dibandingkan remaja laki-laki. Perempuan pada masa remaja awal
cenderung memiliki citra diri yang lebih rendah dari laki-laki. Citra diri rendah
disebabkan karena remaja perempuan lebih memandang negatif dirinya, merasa
kemampuannya lebih rendah dari teman sebaya dan selalu merasa khawatir teman
sebaya tidak menyukainya. Hal tersebut membuat konsep diri menjadi tidak stabil.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


136

Remaja perempuan juga memperhatikan penampilan fisik lebih banyak


dibandingkan laki-laki. Perempuan mudah berpikiran negatif terhadap penampilan
fisik yang berperan kepada rendahnya citra diri. Hal tersebut banyak terjadi pada
budaya yang sangat menekankan pentingnya penampilan. Era milenial menjadikan
penampilan fisik menjadi fokus perhatian utama pada remaja perempuan.176

Remaja perempuan juga memiliki temperamen harm avoidance dan reward


dependence yang lebih tinggi dari laki-laki. Laki-laki memiliki novelty seeking
yang lebih tinggi dari perempuan. Hubungan AI dan temperamen sangat erat.
Internet sering dijadikan function of their personality bagi remaja dengan
temperamen yang tidak matur. Internet dijadikan auxiliary device untuk
mengkompensasi temperamen yang insecure.173 Temperamen novelty seeking yaitu
rentan untuk mengambil risiko, erat kaitannya dengan AI.177

Pada penelitian ini didapatkan tujuan remaja laki-laki bermain permainan daring
adalah untuk berkompetisi dan menghadapi tantangan. Hal tersebut
menggambarkan temperamen novelty seeking. Remaja perempuan menggunakan
media sosial untuk mengunggah foto dan mereka menikmati pujian dari lingkungan
eksternal. Hal tersebut dapat mengompensasi citra diri yang rendah.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa remaja perempuan lebih banyak memiliki
masalah emosi dibandingkan remaja laki-laki. Hal tersebut serupa dengan
penemuan pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perempuan
cenderung lebih sering untuk menginternalisasi masalah sehingga mengalami
masalah emosi seperti depresi atau ansietas.178,179 Perubahan hormon pada
perempuan pada periode reproduktif tertentu juga dapat menjadi penyebab dari
kerentanan perempuan untuk mengalami masalah emosi.

Pada sisi lain, masalah perilaku pada penelitian ini lebih banyak didapatkan pada
remaja laki-laki. Masalah perilaku pada remaja laki-laki disebabkan oleh
kecenderungan mereka untuk mengeksternalisasi masalah yang dialaminya dengan
melakukan perilaku yang agresif.178,179 Perilaku agresif yang dilakukan seperti
melanggar peraturan atau melalaikan tanggung jawab yang dimilikinya. Hal
tersebut juga sejalan dan dapat menjelaskan penemuan bahwa masalah

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


137

hiperaktivitas lebih banyak didapatkan pada remaja laki-laki pada penelitian ini.
Beberapa penelitian sebelumnya juga mendapatkan bahwa jumlah remaja yang
mengalami GPPH lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki.180 Masalah perilaku
pada remaja dikaitkan dengan citra diri yang rendah. Remaja dengan citra diri yang
rendah akan memiliki kontrol diri yang buruk. Kontrol diri yang buruk membuat
remaja rentan melakukan perilaku yang impulsif dan berisiko, termasuk AI.172

Pada penelitian ini didapatkan remaja laki-laki lebih banyak memiliki masalah
perilaku prososial. Perilaku prososial digambarkan sebagai rasa empati dan
kemampuan menolong orang di sekitarnya. Perilaku prososial membutuhkan
kontrol dan regulasi diri yang baik sebagai dasar konstruksi dimensi agreeableness
dan conscientiousness.181 Dimensi agreeableness ditandai dengan ketulusan
berbagi serta berfokus pada hal positif dari orang lain. Dimensi conscientiousness
ditandai dengan tanggung jawab besar dan kedisiplinan tinggi.182,183 Kedua dimensi
lebih banyak pada remaja perempuan sehingga menjelaskan mengapa remaja laki-
laki lebih rentan memiliki masalah perilaku prososial.181–183

Perilaku prososial juga terbukti memiliki asosiasi dengan hubungan teman sebaya.
Perilaku prososial dapat mencegah terjadinya masalah teman sebaya.133 Dalam
membina relasi, remaja laki-laki akan berorientasi pada kebutuhan yang jelas antara
dirinya dan teman sebayanya. Hal tersebut berbeda dengan remaja perempuan yang
menjadikan hubungan pertemanan sebagai sarana mendapatkan bantuan dan rasa
aman. Oleh karena itu remaja perempuan kerap memiliki pertemanan yang lebih
intim dan berkualitas dibandingkan laki-laki.21

AI bukan hanya dipengaruhi oleh karakteristik subjek namun perilaku disinhibisi


pada media daring juga dipengaruhi oleh konsep psikologis dari internet. Suler172
menjelaskan konsep psikologis internet sebagai berikut, (i) anda tidak mengetahui
saya dan anda tidak melihat saya (you don’t know me and you can’t see me)- konsep
anonimitas menyebabkan remaja cenderung tidak memiliki aturan perilaku yang
jelas; (ii) sampai bertemu nanti (see you later)- remaja menggunakan media daring
untuk memperbaiki perasaan tidak nyaman, dan setelah melakukan perilaku agresif
tidak ada konsekuensi negatif dalam waktu segera; (iii) hanya ada di kepala saya
dan hanya sebuah permainan (it’s all in my head and it’s just a game)- remaja

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


138

merasa dunia daring adalah fantasi sehingga tidak akan menimbulkan keberbahayan
bagi orang lain; (iv) kita semua dalam posisi yang sama dan kita semua teman (we
are all equal and we are all friends)- remaja merasa dirinya memiliki posisi yang
sama dengan semua orang di dunia daring. Hal tersebut mengakibatkan mereka
merasa tidak adanya aturan dalam berinteraksi, sehingga perilaku agresif dapat
terjadi.172

5.3.2 Prevalensi Adiksi Internet pada Remaja


Pada penelitian ini didapatkan angka prevalensi AI pada remaja di Jakarta sebesar
31,4% (IK95% = 27,8─35,6). Populasi remaja di Jakarta berasal dari suku dan
tingkat ekonomi yang beragam sehingga dapat menggambarkan profil remaja
secara komprehensif khususnya pada kota-kota besar di Indonesia. Hasil temuan ini
lebih tinggi dari negara lain di Asia.184 Negara Cina memiliki prevalensi AI 11%
(IK95% = 9─13), Hongkong 26,7%, Filipina 21%, Malaysia 14%, India 8%
(IK95% = 5,9─10,7), Jepang 8,1% (IK95% = 7,9─8,3), Korea Selatan sebesar
6,8%.184,185 Prevalensi AI di Jakarta juga lebih tinggi dari prevalensi AI di Asia
secara keseluruhan, yaitu 7,1% (IK95% = 5,3─8,9).186

Prevalensi AI yang tinggi pada remaja dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Penduduk urban memiliki akses yang lebih mudah terhadap
internet terutama karena jaringan internet 4G lebih mudah didapatkan.186 Pengguna
internet di Jakarta masuk dalam tiga besar penduduk terbanyak pengguna internet
di pulau Jawa. Berdasarkan populasi penduduk, remaja merupakan pengguna
internet terbanyak. Persentase remaja yang menggunakan internet sebesar 22,3%
dari populasi total. Kelompok remaja awal yang menggunakan internet sebesar 85,6%
sedangkan remaja pertengahan dan akhir sebesar 91,8%. Gawai yang secara rutin
digunakan setiap hari adalah telepon pintar. Kepemilikan telepon pintar oleh remaja
didukung oleh pengadaan telepon genggam 4G dengan harga terjangkau oleh
pemerintah.187

Remaja paling sering menggunakan internet untuk tugas sekolah (80%),


berkomunikasi dengan temannya melalui media sosial (70%), mendengarkan musik
(65%), dan menonton video daring (39%). Media sosial yang paling banyak diakses
oleh remaja adalah Instagram©. Kemudahan akses oleh remaja terlihat pada

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


139

gambaran subjek pada penelitian ini. Mayoritas subjek menggunakan internet di


rumah (89,6%), berlangganan internet bulanan (95,3%) dan memiliki telepon
genggam pribadi (96,9%) sehingga menambahkan kemudahan untuk akses internet.
Kepemilikan telepon genggam di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Asia
lainnya seperti Hongkong (87,4%), Jepang (67%) dan Cina (41%).2

Kemudahan akses juga dapat dilihat dari awitan usia subjek menggunakan internet
≤ 8 tahun sebesar 67%. Dampak dari kemudahan akses adalah durasi waktu
penggunaan internet yang memanjang. Subjek pada penelitian ini mayoritas
bermain internet > 20 jam / minggu (66,9%). Penggunaan internet dengan tujuan
media sosial dan permainan daring berkorelasi positif dengan AI. Pada penelitian
ini tujuan utama penggunaan internet adalah media sosial (53,3%). Media sosial
berupa aplikasi chatting dan Instagram© terbanyak digunakan.

Remaja merupakan masa peralihan menuju dewasa dengan diwarnai fase transisi
secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Pada fase remaja terjadi perubahan
perspektif emosional, remaja mulai terlepas dari orang tua dan lebih memilih teman
sebaya sebagai figur yang penting. Remaja bergantung pada teman sebaya untuk
membentuk identitas diri mereka. Oleh karena itu penerimaan dari teman sebaya
sangat penting bagi remaja.167,188,189 Hal tersebut dapat menjelaskan mayoritas subjek
menggunakan internet untuk tujuan bermain media sosial dan permainan daring.

Remaja bermain media sosial dengan tujuan untuk mencari pertemanan (22,5%).
Media sosial yang terbanyak digunakan oleh remaja adalah Instagram©. Kegiatan
yang paling sering dilakukan remaja di media sosial adalah mengunggah foto. Pada
sisi lain, permainan daring yang dilakukan oleh subjek pada penelitian ini bertujuan
untuk mencari tantangan (42,5%) dan berkompetisi (9,9%).

Penggunaan media sosial dan bermain permainan daring pada remaja didasari atas
keinginan remaja untuk mengaktualisasi diri mereka. Remaja ingin selalu terlihat
menarik sehingga disukai oleh teman-temannya. Dengan demikian, remaja merasa
diakui keberadaannya ketika foto yang diunggah disukai oleh banyak teman sebaya.
Remaja juga merasa mendapat pengakuan dari teman sebaya saat ia menang dalam
permainan tersebut.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


140

Permainan daring dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan remaja


berupa keinginan untuk dapat memutuskan sendiri (autonomy), merasa dirinya
kompeten sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dirinya, dan dapat berelasi
dengan orang lain.167 Permainan daring biasanya dilakukan dalam bentuk tim.
Ketika seorang remaja menjadi panutan maka akan meningkatkan citra dirinya dan
selanjutnya akan membentuk identitas diri.167,189 Selain dapat mengunggah foto,
remaja dapat mencari tahu gaya hidup orang lain termasuk idola mereka melalui
media sosial Instagram©. Hal tersebut sangat berperan dalam proses pembentukan
identitas diri yang masih berlangsung pada remaja. Konflik sering terjadi pada
remaja karena adanya keinginan remaja untuk mengaktualisasi dirinya yang
bersamaan dengan kewajiban remaja untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan
keluarga, sekolah dan juga teman sebayanya. Dengan demikian, remaja memilih
untuk mengaktualisasi dirinya di dunia maya.

Pada sisi lain, pencarian identitas diri pada remaja dapat mengarah pada perilaku
yang berisiko termasuk AI. Hal tersebut terjadi karena remaja masih belum dapat
berpikir secara komprehensif akibat peralihan fungsi kognitif dari kongkrit menjadi
abstrak. Remaja juga belum memiliki kemampuan mengambil keputusan yang baik.
Gangguan fungsi eksekutif ini dapat terjadi karena pertumbuhan sinaps dan
mielinisasi belum optimal sehingga fungsi konektivitas antar bagian otak tidak
adekuat. Imaturitas PFC juga berakibat pada fungsi kontrol diri yang belum
maksimal.35,166,167 Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa sebanyak
80% subjek memiliki gangguan fungsi eksekutif yang sangat terkait dengan AI.

Pada fase remaja awal terjadi ketidakseimbangan fungsi limbik dan korteks
prefrontal membuat remaja melakukan perilaku yang impulsif, menjadi lebih
emosional, bereaksi berlebihan terhadap stres, dan sensitif terhadap reward system
yang meningkatkan dopamin. Kondisi ini membuat remaja mencari perilaku yang
dapat meningkatkan dopamin secara berlebihan. Salah satu perilaku tersebut adalah
bermain internet secara eksesif. Dengan bermain internet, remaja mampu
mengaktualisasikan dirinya sehingga menimbulkan rasa euforia memicu pelepasan
dopamin dan aktivasi reward system. Perasaan senang dan kepuasan yang didapat
ini membuat remaja ingin terus menggunakan internet untuk mendapatkan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


141

pengalaman tersebut. Penggunaan yang berulang tersebut menghasilkan


neuroadaptation dan menyebabkan toleransi yang berujung pada AI.35,173

Hal di atas dapat menjelaskan penemuan pada penelitian ini menunjukkan remaja
awal lebih banyak mengalami AI (47,7%) dengan durasi penggunaan internet
mayoritas > 20 jam / minggu. Hal tersebut sejalan dengan penelitian di Italia yang
mendapatkan remaja awal memiliki skor AI yang lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja akhir.190 Pada sisi lain, faktor lain yang membuat remaja awal lebih berisiko
mengalami AI adalah citra diri yang rendah (58%) sehingga remaja menggunakan
media daring untuk membentuk konsep diri yang baik.

Pada remaja di Jakarta stresor paling utama dapat berupa beratnya beban akademis
dan besarnya tekanan antar teman sebaya.191 Populasi remaja di negara Asia
mengalami persaingan akademis yang sangat kompetitif sehingga remaja
menggunakan internet untuk mengurangi stres akibat beban akademik tersebut.192
Pola asuh orang tua di negara Asia berbeda secara kultur dengan negara Barat.
Remaja di negara Asia dituntut untuk memiliki nilai akademik yang baik. Orang
tua memberikan dukungan yang lebih besar namun juga penuh kritik dan tuntutan
yang tinggi. Oleh karena itu remaja sering memandang diri lebih negatif dan
berusaha tampil sebagai anak yang baik di depan orang tua. Kondisi pembelajaran
di sekolah menjadi tantangan sendiri untuk remaja Asia. Guru lebih berfokus pada
kesalahan dan ketrampilan yang lebih diutamakan adalah berhitung.193

Remaja perkotaan juga mengalami tekanan dari teman sebaya yang lebih besar.
Remaja tersebut merasakan adanya suatu tekanan untuk dapat masuk ke dalam
kelompok pertemanan tertentu.194 Perilaku agresi antar teman sebaya juga banyak
terjadi pada remaja yang disebabkan oleh keinginan remaja untuk membuat teman
sebayanya terkesan dan meningkatkan status sosialnya di antara teman-
temannya.189,194 Besarnya tekanan dari teman sebaya tersebut membuat remaja
rentan mengalami gangguan psikologis bila tidak mampu memenuhi ekspektasi dan
menggunakan internet sebagai pelarian dari stres yang dialami.194

Pada penelitian ini didapatkan remaja dengan AI memiliki masalah emosi (46,1%),
masalah perilaku (25,3%), masalah teman sebaya (35,2%) dan masalah perilaku

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


142

prososial (20,8%). Masalah emosi terutama depresi menjadi salah satu prediktor
seorang remaja akan memiliki AI. Masalah depresi yang dialami oleh remaja di
Jakarta (48,2%) lebih tinggi dari di India (41,6%). Masalah perilaku yang dialami
oleh remaja di Jakarta lebih tinggi dibandingkan di Hongkong (1,7%). Rerata skor
masalah emosi dan perilaku remaja di Jakarta juga didapatkan lebih tinggi
dibandingkan remaja di Jepang dan Cina.195,196 Prevalensi penggunaan NAPZA di
Indonesia juga mencapai angka 24–28%. Penggunaan zat memiliki hubungan
dengan AI pada remaja.172,197

Remaja juga dikatakan menjadi sasaran utama dari iklan berbagai produk. Remaja
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mau mencoba produk yang
diiklankan tersebut. Remaja juga kelompok usia yang cenderung menghabiskan
uang dibandingkan kelompok lain. Penelitian di Inggris mendapatkan bahwa 62%
remaja membuka iklan yang ditemuinya di internet dan 57% remaja mengunduh
permainan daring setelah melihat iklannya.189,198 Pemerintah Indonesia belum
memiliki kebijakan yang membatasi penyebaran iklan permainan daring.
Permainan daring banyak diiklankan melalui situs-situs yang mudah dibuka oleh
remaja dan dapat diunggah secara gratis. Iklan permainan daring juga dimuat pada
transportasi publik. Pertumbuhan teknologi yang sangat maju diiringi dengan
kemampuan remaja untuk beradaptasi secara cepat namun sayangnya tidak diiringi
dengan ketrampilan remaja dalam berpikir secara komprehensif untuk mengambil
keputusan. Dengan demikian, remaja menjadi populasi yang sangat rentan
mengalami AI dibandingkan populasi usia lainnya.

Pada era masa kini, orang tua banyak yang “mendukung” penggunaan internet di
rumah karena orang tua merasa lebih tenang jika anak mereka bermain di dalam
rumah dibandingkan di luar rumah. Saat ini sangat dikenal istilah gadget as baby
sitter. Akan tetapi, orang tua kerap membiarkan anaknya bebas bermain internet di
rumah tanpa pengawasan yang baik, mulai dari durasi yang digunakan hingga
konten yang diakses sehingga dapat berujung pada kejadian AI. Pengawasan orang
tua merupakan faktor yang sangat penting terhadap terjadinya AI. Penggunaan
internet di dalam rumah oleh remaja memiliki risiko untuk menjadi AI bila kurang
mendapat pengawasan yang baik dari orang tua.199

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


143

Pada fase remaja awal juga terjadi masa perpisahan psikologis antara anak dengan
orang tua. Perpisahan psikologis ini dapat diperburuk dengan kurangnya perhatian
orang tua pada anak, sehingga menyebabkan keterikatan terhadap internet sebagai
salah satu mekanisme penyesuaian yang dipilih oleh remaja.173 Dengan demikian,
remaja pun menganggap bahwa internet adalah bagian dari hidupnya yang tidak
dapat lepas dari dirinya, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya AI.
Kelompok usia remaja awal juga mendapatkan kebebasan yang besar, semua waktu
serta kegiatan sosial tidak banyak dikontrol oleh orang tua.200 Dengan demikian,
remaja dapat mengalami pajanan internet yang tidak terbatas karena kurangnya
kontrol orang tua.

Subjek pada penelitian ini mayoritas bermain internet di rumah (91,1%). Akses
yang mudah dan tidak dibatasi membuat remaja memiliki durasi bermain internet
> 20 jam / minggu (66%). Pada penelitian ini didapatkan mayoritas subjek yang
mengalami AI memiliki kohesivitas keluarga dan pola asuh yang baik. Kohesivitas
keluarga yang baik sangat mungkin terjadi namun kehidupan kota besar sering
membuat remaja harus ditinggal oleh kedua orang tua untuk bekerja. Pada saat
orang tua bekerja maka remaja memiliki waktu yang lebih banyak bermain internet.
Pengawasan orang tua berkurang karena kesibukan dalam bekerja. Media sosial dan
aplikasi chatting membantu orang tua untuk lebih dekat dengan anak namun
kedekatan lebih bersifat virtual. Kedekatan virtual ini dapat diartikan sebagai
bentuk kohesivitas dan pola asuh yang baik oleh remaja.167

Kuesioner yang digunakan untuk menilai kohesivitas keluarga dan pola asuh pada
penelitian ini hanya diisi oleh remaja sehingga kondisi yang digambarkan subjektif
dari sisi remaja saja. Pada sisi lain didapatkan juga mayoritas pola asuh pada subjek
laki-laki yang mengalami AI adalah pola asuh jenis exposure (61,5%). Orang tua
memberikan dukungan namun penuh kritikan dan ekspektasi yang tinggi. Pola asuh
ini sesuai dengan kultur negara Asia. Pola asuh lain yang didapatkan adalah pola
asuh permisif, orang tua membiarkan remaja bertindak tanpa memberikan aturan
yang jelas. Pola asuh ini yang membuat remaja menjadi rentan untuk mengalami
AI.167,193 Hal tersebut tergambar pada durasi bermain internet > 20 jam dilakukan
oleh sebagian dari subjek laki-laki dan mereka melakukannya di rumah.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


144

Tingginya prevalensi AI pada remaja di Jakarta dikaitkan dengan belum adanya


kebijakan pemerintah untuk membatasi akses remaja pada permainan daring dan
media sosial. Edukasi penggunaan internet secara sehat kepada orang tua juga
masih sedikit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pernah membuat
pedoman pencegahan dan tata laksana adiksi permainan daring serta pornografi
untuk guru pada tahun 2017 namun sampai saat ini belum didiseminasi. Hal tersebut
sangat kontras bila dibandingkan dengan negara lainnya.

Pemerintah Korea Selatan, Cina dan Jepang sudah memberlakukan program


nasional untuk menurunkan prevalensi AI.201,202 Sistem pemblokiran akses untuk
permainan daring dilakukan untuk remaja di bawah 16 tahun dari jam 10 malam
sampai 6 pagi. Pemerintah Cina juga melakukan pembatasan jam buka warung
internet (warnet) untuk tidak melebihi tengah malam dan adanya larangan untuk
adanya warnet dengan jarak 200 meter dari sekolah.203 Pemerintah Indonesia juga
belum menetapkan pajak yang tinggi untuk permainan daring sehingga remaja
dapat menjangkau harga tersebut. Akses internet di warnet juga terbilang murah
dengan harga Rp 8.000,00/jam. Kurangnya kebijakan pemerintah ini ditandai
dengan belum adanya kolaborasi antar departemen yang terkait sehingga membuat
remaja memiliki risiko AI yang lebih tinggi.

Pada penelitian ini proporsi laki-laki yang mengalami AI lebih besar dari proporsi
perempuan (laki-laki: 51% dan perempuan: 49%). Proporsi yang tinggi pada laki-
laki sesuai dengan sebagian besar penelitian sebelumnya.204–207 Jenis kelamin
dikatakan dapat menjadi faktor risiko dalam AI. Salah satu faktor yang berpengaruh
adalah feminisasi di sekolah sehingga laki-laki sulit menjadi sukses dibandingkan
dengan perempuan. Kondisi tersebut membuat remaja laki-laki meregulasi emosi
mereka dengan bermain permainan daring.35,172,173 Perbedaan derajat gejala juga
terjadi pada laki-laki dan perempuan. Pada umumnya, laki-laki datang dengan
gejala AI yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut terjadi
karena perempuan lebih sadar akan gangguan yang dialaminya sehingga mereka
tidak sampai pada derajat yang berat. Oleh karena itu, laki-laki cenderung memiliki
AI lebih tinggi.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


145

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan laki-laki memiliki kecenderungan


menggunakan internet sebagai salah satu strategi untuk menghindar dari interaksi
sosial serta media alternatif untuk menghindari realitas yang penuh tekanan.204
Remaja laki-laki menggunakan permainan daring untuk menghindari kenyataan
hidup dapat disebabkan karena adanya masalah emosi dan perilaku. Secara umum,
remaja laki-laki yang mengalami AI, merasa hidup dalam internet lebih mudah dan
merasa lebih kompeten dalam bersosialisasi. Remaja laki-laki menggunakan avatar
dalam permainan daring untuk meningkatkan citra diri dan modifikasi mood.172,175

Pada penelitian ini didapatkan subjek laki-laki yang mengalami adiksi memiliki
masalah emosi (42,1%) dan perilaku (56,3%). Kondisi berbeda terjadi pada subjek
perempuan yang memiliki lebih banyak masalah emosi (57,9%). Masalah perilaku
memiliki hubungan yang lebih bermakna dengan AI. Hal tersebut dapat
menjelaskan proporsi remaja laki-laki yang mengalami AI lebih tinggi dari remaja
perempuan. Masalah perilaku yang tinggi sejalan dengan bentuk coping dari remaja
laki laki yaitu eksternalisasi. Pada sisi lain, eksternalisasi dalam bentuk perilaku
agresif tidak dapat dilakukan dalam kehidupan nyata sehingga ia menggunakan
permainan daring sebagai bentuk eksternalisasi untuk mengeluarkan agresivitas.181
Hal tersebut sesuai dengan jenis permainan daring yang paling banyak digunakan
adalah jenis MOBA.

Temperamen menjadi salah satu faktor yang mendukung terjadinya AI.


Temperamen yang paling berpengaruh adalah novelty seeking. Pada penelitian ini
didapatkan remaja laki-laki dengan temperamen novelty seeking lebih tinggi dari
perempuan. Remaja laki-laki dan perempuan memiliki mekanisme coping yang
berbeda dalam menghadapi stres. Remaja laki-laki cenderung menghindar untuk
terikat secara emosional dan lebih percaya diri sedangkan remaja perempuan lebih
memilih cara yang melibatkan emosi lebih dalam dan menyenangkan. Mekanisme
coping ini tergambar dari tujuan bermain internet yang didapatkan pada penelitian
ini. Remaja laki-laki cenderung mengalami adiksi permainan daring yang tidak
membutuhkan ketrampilan dalam berkomunikasi (96,7%). Pada sisi lain, remaja
perempuan memiliki kecenderungan untuk adiksi terhadap media sosial yang
membutuhan ketrampilan dalam berkomunikasi (67,3%).172

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


146

Remaja laki-laki cenderung mengalami adiksi permainan daring karena mereka


memiliki aspek kekuatan dan autoritas dalam mengatur suatu hal. Hal tersebut
sejalan dengan fungsi autonomy yang diinginkan oleh remaja. Mereka akan merasa
kuat dan kompeten bila memenangkan permainan tersebut.173 Perlunya pemenuhan
rasa puas (gratifikasi narsisistik) dan bangga terhadap diri sendiri, menyebabkan
remaja laki-laki menghabiskan banyak waktu untuk bermain permainan daring.173
Remaja perempuan memilih media sosial karena adanya aspek komunikasi dan
digunakan untuk mencari identitas diri dengan mengidentifikasi dirinya pada figur
yang ia kagumi. Remaja perempuan juga lebih sering mengunggah foto untuk
mendapatkan apresiasi dari teman sebayanya.

Prevalensi AI yang tinggi pada remaja Indonesia menunjukkan masalah kesehatan


mental baru yang perlu mendapat perhatian khusus di kalangan remaja. Dampak AI
pada remaja dapat menyebabkan kegagalan perkembangan fungsi fisik dan
psikologis. Fase remaja merupakan titik kritis perkembangan individu sehingga
deteksi dini AI dibutuhkan agar tata laksana yang adekuat dapat segera diberikan.
Program pencegahan menjadi salah satu intervensi yang sangat penting. Peran
pemerintah dalam meregulasi penggunaan internet dapat dilakukan, misalnya
dengan menerapkan aturan pada jam operasional warung internet. Edukasi tentang
keberbahayaan AI harus dilakukan melalui media sehingga menjangkau seluruh
populasi. Peran keluarga dan sekolah juga dibutuhkan dalam menciptakan sistem
pencegahan adiksi untuk membatasi waktu bermain internet pada remaja.

5.3.3 Faktor Risiko Adiksi Internet pada Remaja


Hasil analisis multivariat penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa faktor
terbukti menjadi prediktor AI. Faktor risiko dan proteksi AI secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu faktor risiko individu, situasional dan
struktural.173 Pada penelitian ini, faktor risiko individual terdiri atas masalah
perilaku, masalah emosi, dan masalah perilaku prososial. Faktor risiko situasional
terdiri atas durasi penggunaan internet > 20 jam dan usia awitan penggunaan
internet  8 tahun, sedangkan pola asuh non-exposure termasuk faktor proteksi
situasional. Faktor risiko struktural mencakup tujuan penggunaan internet untuk
permainan daring dan media sosial.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


147

Pada penelitian ini juga didapatkan adanya beberapa faktor risiko atau proteksi yang
bermakna pada analisis bivariat, namun tidak bermakna pada analisis multivariat.
Faktor-faktor tersebut antara lain kohesivitas keluarga, masalah teman sebaya, jenis
kelamin, temperamen novelty seeking dan masalah hiperaktivitas.

5.3.3.1 Durasi Penggunaan Internet


Pada penelitian ini diketahui bahwa subjek yang mengalami adiksi lebih banyak
yang menggunakan internet lebih dari 20 jam / minggu (37,5%). Durasi penggunaan
internet lebih dari 20 jam / minggu meningkatkan risiko AI sebanyak 2,9 kali. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian di Hong Kong yang menunjukkan bahwa terdapat
korelasi bermakna antara skor AI dengan durasi penggunaan internet.208

Durasi penggunaan internet yang berlebihan dapat dipengaruhi oleh tujuan


penggunaan internet dan keadaan sosial ekonomi. Individu yang bermain
permainan daring merasa perlu untuk melanjutkan “kehidupannya” di dunia virtual.
Kehidupan dunia virtual dirancang menyerupai kehidupan nyata yang dapat
memenuhi kebutuhan remaja untuk menjalin pertemanan, melakukan aktualisasi
diri dan memiliki autonomi terhadap dirinya sendiri. Remaja dengan citra diri dan
kemampuan komunikasi yang rendah memiliki keterbatasan dalam memenuhi
kebutuhan tersebut pada kehidupan nyata sehingga remaja memiliki preokupasi
untuk terus bermain permainan daring.209,210 Remaja, baik perempuan dan laki-laki,
ingin menampilkannya dirinya secara ideal. Ketidakmampuan remaja menampilkan
dirinya secara ideal di dunia nyata menimbulkan mood negatif sehingga memicu
remaja untuk terus menggunakan media sosial dengan durasi yang lebih
panjang.35,172

Pada penelitian ini didapatkan 24,8% remaja dengan AI memiliki citra diri yang
rendah. Remaja dengan citra diri rendah berusaha untuk terus aktif di dalam dunia
virtualnya sehingga terjadi penggunaan internet secara kompulsif dan berujung
pada peningkatan risiko AI.211 Kecemasan akan timbul ketika remaja melewatkan
kejadian di dunia maya (Fear of Missing Out-FOMO).209,210

Semakin lama remaja bermain internet maka akan terjadi siklus adiksi. Penggunaan
internet untuk permainan daring dan media sosial akan menimbulkan rasa senang

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


148

sehingga memicu pelepasan dopamin yang mengaktifkan reward system. Euforia


membuat remaja terus bermain internet sampai terjadi toleransi. Pada AI, jumlah
transporter dan reseptor dopamin berkurang. Sensitivitas reseptor dopamin
berkurang sehingga menyebabkan penurunan jumlah dopamin intraselular. Dengan
demikian, remaja meningkatkan durasi bermain internet untuk meningkatkan
pelepasan dopamin sehingga terbentuk perilaku desire to stop, inability to stop,
attempting to stop and relapse (DIAR).35,212,213 Peningkatan durasi bermain internet
terjadi karena remaja ingin menghilangkan perasaan tidak nyaman yang terjadi saat
ia berhenti bermain internet (negative reinforcement). Aktivasi reward system juga
membentuk incentive salience sehingga remaja merasa ingin terus menggunakan
internet dan pada akhirnya terbentuk perilaku kompulsif.82

Durasi bermain internet juga semakin bertambah seiring dengan semakin tinggi
keadaan sosial ekonomi seseorang. Remaja dengan keadaan sosial ekonomi orang
tua yang baik berkesempatan membeli permainan daring keluaran terbaru secara
berkala serta membeli barang-barang virtual yang ditawarkan dalam permainan
daring.10 Barang-barang virtual yang dibeli remaja dapat meningkatkan
kemampuan remaja dalam bermain permainan daring sehingga aktualisasi diri
remaja semakin diakui oleh teman sebayanya dan meningkatkan citra diri. Pada
akhirnya remaja memiliki durasi bermain internet yang semakin bertambah.172,173

Pada penelitian ini didapatkan remaja dengan AI memiliki temperamen novelty


seeking yang tinggi (41,6%) sehingga cenderung mencoba permainan daring yang
baru dan meningkatkan durasi bermain. Remaja dengan temperamen novelty
seeking cenderung memiliki perilaku impulsif yang ditandai dengan regulasi diri
yang kurang. Perilaku impulsif menjadi salah satu faktor risiko terjadinya AI.35
Durasi bermain internet juga berhubungan secara bermakna dengan kepemilikan
telepon genggam pintar karena akses yang lebih mudah. Pada penelitian ini remaja
dengan AI mayoritas memiliki telepon genggam (97,5%).214

5.3.3.2 Tujuan Penggunaan Internet


Pada penelitian ini didapatkan tujuan penggunaan internet pada mayoritas remaja
dengan AI adalah permainan daring dan media sosial (79,2%). Tujuan penggunaan
internet untuk permainan daring dan media sosial dapat meningkatkan risiko AI

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


149

sebanyak 1,8 kali. Tujuan penggunaan internet yang semakin interaktif membuat
remaja menjadi lebih rentan terhadap AI.209,210

Tujuan utama penggunaan internet remaja laki-laki pada penelitian ini adalah
permainan daring (95,7%). Motivasi remaja laki-laki untuk bermain permainan
daring adalah mendapatkan tantangan (40,8%), mencari kesenangan (28,2%), dan
berkompetisi (13,6%). Remaja laki-laki lebih menyukai kegiatan yang menantang
dan interaktif yang ditawarkan oleh permainan daring.35 Hal tersebut juga terkait
dengan temperamen novelty seeking yang dimiliki oleh 60,7% remaja laki-laki
dengan AI. Remaja juga dapat memperoleh eksistensi diri melalui permainan daring
yang dapat memenuhi gratifikasi narsisistiknya. Remaja merasa dapat menjadi role
model ketika ia sangat mahir dalam permainan daring, dan hal tersebut dapat
meningkatkan citra dirinya di antara kalangan teman sebayanya.5,6 Selain untuk
mendapatkan tantangan dan kompetisi, remaja juga dapat memiliki relasi dengan
teman sebaya melalui permainan daring. Aspek memiliki relasi menjadi salah satu
kebutuhan remaja dalam aspek psikososial.35

Jenis permainan daring yang berisiko tinggi untuk menimbulkan AI adalah MOBA
dan MMORPG. Hasil penelitian ini menunjukkan 26,7% remaja memilih
permainan MOBA dan 15,8% memilih MMORPG. Pada permainan tersebut remaja
dapat menunjukkan eksistensi dirinya pada komunitas virtual dan mengidentifikasi
diri dengan karakter dalam permainan (avatar). Kondisi ini dapat meningkatkan
citra diri dan kepercayaan diri (self efficacy).172 Pada saat remaja berprestasi dalam
permainan daring, remaja akan merasa dirinya menjadi penting (self important) di
antara teman sebaya. Hal tersebut menjadi motivasi remaja untuk meningkatkan
durasi bermain internet. 35,172

Tujuan penggunaan internet remaja perempuan berbeda dengan remaja laki-laki.


Remaja perempuan lebih memilih bermain media sosial (67,3%). Remaja
perempuan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi yang lebih baik, sehingga
lebih memilih media sosial. Remaja perempuan dapat menampilkan profil diri ideal
di media sosial sehingga meningkatkan citra diri. Remaja juga dapat
mengekspresikan secara anonim pada media sosial tanpa takut dikritik. Gratifikasi
narsisistik pada remaja perempuan dapat terpenuhi bila mereka mendapatkan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


150

banyak pujian dan pengikut.167,172 Pada penelitian ini didapatkan tujuan


penggunaan media sosial adalah untuk menjalin pertemanan, mengunggah foto dan
mencari perhatian. Penggunaan media sosial seperti Facebook©, Twitter©, dan
Instagram© menjadi prediktor yang bermakna bagi AI pada remaja.172 Hal tersebut
sesuai dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini bahwa Instagram©
merupakan media sosial yang paling banyak diakses oleh remaja.

5.3.3.3 Masalah Perilaku dan Emosi


Pada penelitian ini didapatkan bahwa subjek dengan masalah emosi memiliki risiko
hampir sebanyak 1,9 kali lipat lebih besar untuk mengalami AI. Masalah emosi
yang sering terkait dengan AI adalah gangguan cemas, gangguan depresi, dan
kesepian. Rasa kesepian yang tinggi menjadi prediktor utama dari AI.172,215–217

Remaja dengan masalah emosi tersebut lebih memilih komunikasi secara daring
karena remaja dapat mengontrol percakapan verbal dan tidak perlu memperhatikan
aspek nonverbal. Komunikasi daring bersifat tidak sinkron sehingga remaja dapat
merefleksikan dan mengubah yang mereka tulis sebelum mengirimkan lewat media
daring. Hal tersebut membuat remaja melakukan self presentation dalam figur yang
ideal.218 Fungsi kognitif remaja juga akan meningkat saat kecemasan berkurang
sehingga meningkatkan rasa kepercayaan diri remaja.172

Pada remaja dengan gangguan emosi juga didapatkan adanya kemampuan refleksi
diri yang rendah sehingga menyebabkan kehilangan kontrol dalam bermain internet.
Penggunaan internet berdampak pada proses modifikasi mood sehingga remaja
menjadikan internet sebagai pelarian atas masalah yang dihadapinya (self
medication).

Pada sisi lain, remaja tidak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara
matur pada kehidupan nyata sehingga remaja terus menggunakan internet untuk
menghilangkan mood yang negatif.172,173 Penggunaan internet untuk modifikasi
mood berhubungan bermakna dengan durasi bermain internet.217 Pada penelitian ini
didapatkan 60% remaja dengan AI memiliki masalah emosi. Masalah emosi lebih
banyak didapatkan pada remaja perempuan (57,9%). Hal tersebut terkait dengan
mekanisme coping internalisasi yang dilakukan oleh remaja perempuan.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


151

Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa 51% remaja dengan AI memiliki
masalah perilaku dan lebih banyak didapatkan pada remaja laki-laki (56,3%).
Masalah perilaku dapat meningkatkan risiko AI sampai dengan 2,5 kali lipat.
Masalah perilaku sering dialami remaja karena rendahnya kontrol regulasi diri yang
menyebabkan impulsivitas. Regulasi diri yang rendah juga menyebabkan gangguan
pada observasi diri sehingga terbentuk perilaku automatis yang mengarah pada
AI.172 Masalah perilaku juga timbul karena pada masa remaja perkembangan area
limbik lebih matur dari perkembangan area korteks prefrontal. Hal tersebut
mengakibatkan remaja menjadi kebih sensitif secara emosi namun belum memiliki
regulasi diri baik sehingga timbul perilaku yang impulsif.167

Masalah perilaku yang dinilai memiliki korelasi kuat dan dapat dijadikan prediktor
AI adalah perilaku agresif.219 Perilaku agresif semakin meningkat karena sifat
anonimitas pada saat remaja bermain internet. Anonimitas pada dunia maya
membuat remaja merasa tidak perlu bertanggung jawab akan perilakunya. Perilaku
agresivitas terbawa ke dunia nyata akibat adanya deindividuasi.28 Hal tersebut dapat
terjadi karena remaja belum memiliki kapasitas kontrol kognitif yang matur
sehingga moral reasoning remaja masih bersifat konvensional.172 Moral reasoning
konvensional membuat remaja menjadikan norma sosial yang dibentuk oleh teman
sebayanya sebagai landasan utama dalam berperilaku. Remaja cenderung
mengesampingkan nilai pribadi dan nilai dalam keluarga yang dimilikinya. Remaja
umumnya memiliki keinginan untuk dapat masuk ke dalam kelompok-kelompok
pertemanan tertentu sehingga penilaian dari teman sebaya menjadi sangat penting.
Adanya tekanan dari teman sebaya menyebabkan remaja lebih rentan pada perilaku
berisiko seperti penggunaan internet yang berlebihan.

Pada sisi lain, remaja yang tidak mampu mengikuti norma teman sebayanya akan
mengalami penolakan. Hal tersebut menyebabkan remaja kesulitan dalam
membangun relasi di dunia nyata sehingga memilih untuk membangun relasi di
dunia maya yang mengarah pada AI.167,219 Pada dunia maya remaja merasa dapat
melakukan apa saja karena bersifat anonim dan tidak memiliki aturan yang jelas.
Remaja berpikir dunia maya adalah fantasi sehingga tidak ada yang dirugikan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


152

dengan perilakunya (it’s all in my head and it’s just a game). Pada penelitian ini
didapatkan 60% remaja dengan AI memiliki masalah teman sebaya.172

Pada penelitian ini remaja yang memiliki masalah perilaku prososial memiliki
risiko 1,8 kali lipat lebih besar untuk mengalami AI. Remaja dengan masalah
perilaku prososial memiliki rasa empati dan kemauan untuk menolong yang rendah.
Hal tersebut menyebabkan remaja tersebut sulit untuk masuk dalam kelompok
pertemanan. Masalah emosi juga dapat terjadi dengan remaja yang memiliki
masalah perilaku prososial. Dengan demikian, remaja menggunakan internet untuk
bersosialisasi, berinteraksi dan memodifikasi mood.172,215,218 Remaja mendapatkan
dukungan emosional dan psikologis melalui daring. Hal tersebut membuat remaja
takut tersingkir secara sosial dalam dunia virtual sehingga mereka akan daring terus
menerus. Masalah perilaku prososial remaja dapat dipengaruhi oleh pola asuh
dalam keluarga.173 Pola asuh yang bersifat terlalu mengontrol, tidak memfasilitasi
diskusi, dan tidak menanamkan rasa empati kepada orang lain membuat remaja
lebih berisiko mengalami masalah perilaku prososial.

5.3.3.4 Usia Awitan Penggunaan Internet


Pada penelitian ini usia awitan penggunaan internet  8 tahun berhubungan
bermakna dengan AI dan dapat meningkatkan kejadian AI sebanyak 1,8 kali.
Pajanan awal terhadap internet berhubungan secara bermakna dengan penggunaan
internet yang bermasalah.220–222 Pada fase remaja, perkembangan area korteks
prefrontal belum optimal. Semakin awal pajanan internet yang diterima remaja,
maka semakin besar dampak kerusakan yang terjadi pada otak. Kerusakan pada
korteks prefrontal menyebabkan remaja cenderung impulsif dan melakukan
perilaku berisiko seperti penggunaan internet secara berlebihan.

Perubahan sistem dopaminergik sejak usia dini dapat mengubah fungsi sistem
limbik secara permanen. Hal tersebut meningkatkan kerentanan adiksi pada remaja
karena gangguan emosi yang terjadi.167 Remaja yang terpajan dengan internet sejak
usia dini dapat mengalami fiksasi dalam perkembangan psikososial. Remaja tidak
dapat menjalani fase industri secara optimal sehingga perkembangan psikologis
selanjutnya menjadi terganggu.173 Pada penelitian ini didapatkan 28,2% remaja

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


153

dengan AI menggunakan internet saat berusia  8 tahun lebih tinggi dibandingkan


dengan kelompok remaja tidak AI.

5.3.3.5 Pola Asuh


Pola asuh juga memiliki hubungan langsung terhadap kejadian AI. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa pola asuh non-exposure atau yang diharapkan dapat
menjadi faktor proteksi AI dengan menurunkan risiko terjadinya AI sebesar 0,5 kali.
Pola asuh merupakan salah satu pengaruh yang bermakna besar terhadap kejadian
adiksi pada remaja. Pola asuh orang tua menjadi dasar dalam pembentukan
kepribadian, citra diri, fungsi emosi, dan mekanisme menghadapi konflik pada
remaja.167

Pola asuh orang tua non-exposure memberikan autonomi pada remaja dengan
batasan tanggung jawab yang jelas serta memberikan kehangatan pada remaja. Pola
asuh ini lebih berfokus pada usaha dan pencapaian yang diperoleh oleh remaja.
Orang tua juga tidak menekankan rasa bersalah pada remaja sehingga remaja tidak
menginternalisasi masalah yang dialaminya. Internalisasi masalah pada remaja
dapat menyebabkan gangguan depresi, rendahnya rasa tanggung jawab dan masalah
akademis.223 Dengan demikian, remaja mampu memiliki kompetensi untuk
bertahan dalam menghadapi stres yang dialami sehingga tidak perlu menggunakan
internet untuk memodifikasi perasaan negatif.215,224,173

Pada penelitian ini didapatkan bahwa 70,7% remaja pada kelompok kontrol
memiliki pola asuh non-exposure, sedangkan pada kelompok AI hanya 29,3%
remaja dengan pola asuh non-exposure. Respons orang tua terhadap penggunaan
internet remaja sangat berpengaruh terhadap terjadinya AI. Orang tua yang
cenderung melakukan supervisi saat remaja menggunakan internet menjadi faktor
proteksi terjadinya AI. Intervensi orang tua harus disesuaikan dengan usia remaja.
Intervensi orang tua berupa supervisi lebih efektif pada remaja awal.172 Di samping
itu, pola asuh yang berkembang pada era digital ini adalah pola asuh yang
menjadikan gawai sebagai sarana dalam mengasuh anak. Hal tersebut menjadikan
perkenalan anak dengan gawai terjadi pada usia yang sangat dini.220–222 Perkenalan
dengan gawai pada usia dini menjadi faktor risiko anak mengalami AI.172

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


154

5.3.3.6 Kohesivitas Keluarga


Pada penelitian ini kohesivitas keluarga tidak didapatkan menjadi faktor proteksi
atau risiko pada AI. Hal tersebut berbeda dengan penelitian lainnya. Pada penelitian
di Korea selatan menemukan bahwan kohesivitas keluarga balanced atau yang
sehat juga merupakan faktor proteksi terhadap kejadian AI.172 Adanya konflik
dalam keluarga dan dukungan sosial yang rendah dalam keluarga dapat menjadi
penyebab individu mengalami AI. Fungsi keluarga yang baik akan berdampak pada
kepercayaan diri yang lebih tinggi dan juga mengurangi kesepian pada anggota
keluarganya. Hal tersebut berdampak pada berkurangnya kecenderungan individu
untuk mencari dukungan lain secara daring yang dapat menimbulkan potensi
menjadi AI.225–227 Remaja dengan kohesivitas keluarga yang buruk cenderung
bermain internet secara berlebihan untuk mengkompensasi defisiensi dopamin pada
striatal akibat dukungan yang kurang dari orang tua pada kehidupan awal.211

Selain itu pola komunikasi juga memiliki peran penting dalam membentuk
kohesivitas keluarga. Pola komunikasi dalam keluarga terbagi dua yaitu pola
komunikasi yang berorientasi konversasi dan konformitas. Pola komunikasi yang
berorientasi pada konversasi bersifat dua arah dan dapat bersifat proteksi terhadap
AI, sedangkan pola komunikasi konformitas cenderung bersifat satu arah dengan
kontrol dari orang tua sehingga menyebabkan berkurangnya citra diri individu serta
kurangnya dukungan dari keluarga. Hal tersebut pun berdampak pada berkurangnya
kecenderungan individu untuk mencari dukungan lain secara daring yang dapat
menimbulkan potensi menjadi AI.205–207 Lam dkk.172 menemukan bahwa remaja
dengan AI memiliki ketidakpuasan terhadap fungsi keluarga sebanyak dua kali lipat
dibandingkan dengan kelompok remaja tidak AI.

Pada fase remaja, teman sebaya memiliki arti yang sangat penting dibandingkan
dengan orang tua. Remaja merasa lebih senang menghabiskan waktu bersama
teman karena memiliki minat dan pemikiran yang sama sehingga dapat
memberikan dukungan emosional. Oleh karena itu remaja cenderung memiliki
teman sekelompok. Remaja menginginkan autonomi dalam mengambil keputusan
sehingga mereka cenderung menjauh dari orang tua. Proses pencarian identitas diri
remaja membuat mereka cenderung menghabiskan waktu lebih banyak dengan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


155

teman sebayanya. Remaja juga lebih mendengarkan opini teman sebayanya


dibandingkan orang tuanya.167,189

Aktualisasi remaja dalam kelompok teman sebaya sangat penting sehingga mereka
sulit menolak ajakan temannya. Pada penelitian ini didapatkan tujuan utama
menggunakan internet adalah media sosial (53,3%) dan permainan daring (17,0%).
Oleh karena itu, teman sebaya memiliki peran penting bagi remaja dalam
menggunakan internet dengan tujuan media sosial dan permainan daring. Dengan
demikian, teman sebaya memiliki peran yang lebih besar dibandingkan keluarga
dalam terjadinya AI pada remaja.172 Hasil pada penelitian ini juga menunjukkan
92,1% remaja dengan AI memiliki kohesivitas keluarga yang sehat. Hal tersebut
menjelaskan bahwa kohesivitas keluarga bukan merupakan faktor utama terjadinya
AI pada remaja.

Pada sisi lain, remaja mengalami perkembangan autonomi emosi dan perilaku yang
belum matur. Remaja berada dalam proses pencarian identitas diri sehingga remaja
cenderung menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman sebayanya. Remaja
juga lebih mendengarkan opini teman sebayanya dibandingkan orang tuanya.
Remaja merasa teman mampu memberikan dukungan emosional yang lebih
dibandingkan orang tuanya.167,189 Dengan demikian, teman sebaya memiliki peran
yang lebih besar dibandingkan keluarga dalam terjadinya AI pada remaja. Hasil
pada penelitian ini juga menunjukkan 92,1% remaja dengan AI memiliki
kohesivitas keluarga yang sehat. Hal tersebut menjelaskan hasil analisis multivariat
yang mendapatkan kohesivitas keluarga bukan merupakan faktor utama terjadinya
AI pada remaja.

5.3.3.7 Masalah Teman Sebaya


Pada penelitian ini didapatkan masalah teman sebaya tidak menjadi faktor risiko
atau proteksi. Hal tersebut berbeda dengan penelitian lainnya. Penelitian di Yunani
mendapatkan hubungan antara masalah teman sebaya dengan AI.215 Internet dapat
digunakan untuk melawan isolasi sosial yang dialami individu dengan masalah
teman sebaya pada dunia nyata.215,218 Pada penelitian ini 50% remaja dengan AI
tidak mengalami masalah teman sebaya. Hal tersebut terjadi karena pada permainan
daring terutama MMORPG dan MOBA memiliki aspek sosial. Remaja

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


156

mendapatkan tekanan dari teman sebayanya untuk bermain permainan daring.


Sebanyak 41,7% remaja dengan AI pada penelitian ini bermain MMORPG dan
MOBA. Media sosial juga digunakan untuk membangun relasi dengan teman yang
sudah dikenal. Oleh karena itu, remaja juga memiliki tekanan dari teman sebaya
untuk menggunakan media sosial sehingga hubungan dapat menjadi lebih erat.172
Dengan demikian, hal tersebut menjelaskan masalah teman sebaya tidak menjadi
prediktor utama AI pada remaja dalam penelitian ini.

5.3.3.8 Jenis Kelamin


Pada penelitian ini didapatkan jenis kelamin tidak menjadi faktor risiko atau
proteksi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian di Perancis dan Italia yang tidak
mendapatkan adanya hubungan antara jenis kelamin dan AI.48,228 Jumlah remaja
laki-laki dan perempuan yang mengalami AI memiliki proporsi yang hampir
sebanding (51% dan 49%). Pada penelitian sebelumnya di Finlandia dan India
didapatkan laki-laki lebih rentan mengalami AI dibandingkan perempuan.214,215
Akan tetapi, penelitian di Kanada mendapatkan bahwa jumlah perempuan yang
mengalami AI lebih banyak dibandingkan laki-laki.207 Hal tersebut menjelaskan
bahwa AI dapat terjadi pada kedua jenis kelamin.

Perbedaan penggunaan internet antara remaja laki-laki dan perempuan dapat


ditinjau dari tujuan penggunaan internet. Tujuan utama penggunaan internet remaja
laki-laki pada penelitian ini adalah permainan daring (95,7%), sedangkan remaja
perempuan lebih banyak menggunakan internet untuk media sosial (67,3%). Kedua
tujuan berperan sebagai faktor risiko terhadap terjadinya AI.

5.3.3.9 Temperamen Novelty Seeking


Pada penelitian ini 41,6% remaja dengan AI memiliki temperamen NS yang tinggi.
Individu dengan NS tinggi bersifat impulsif, tidak dapat diprediksi, mudah emosi,
dan senang melibatkan diri dalam pengalaman yang baru.230 NS juga berhubungan
dengan temperamen yang ekstrover. Pada individu dengan NS tinggi lebih rentan
terhadap kondisi stres yang meningkatkan kerentanan terhadap AI.231 Pada
penelitian ini temperamen NS tidak menjadi faktor proteksi atau risiko pada AI.
Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya di Indonesia oleh Hanafi dkk.232 Hal
tersebut disebabkan karena remaja dengan NS tinggi memiliki persistensi yang

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


157

rendah dalam melakukan suatu aktivitas. Remaja mudah merasa bosan sehingga
melakukan pergeseran aktivitas secara impulsif. Dengan demikian, remaja tersebut
memiliki kerentanan yang lebih rendah untuk mengalami AI.232

5.3.3.10 Masalah Hiperaktivitas


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan hiperaktivitas tidak menjadi
faktor proteksi atau risiko AI. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya yang mengemukakan bahwa GPPH merupakan salah satu faktor risiko
utama AI.195,233,234 Hubungan penggunaan internet yang berlebihan pada pasien
GPPH dapat dijelaskan karena pasien GPPH memiliki karakteristik cepat bosan dan
mudah teralihkan perhatiannya sehingga menyukai penggunaan internet yang
mampu menyediakan diversitas aktivitas.235 Pada pasien GPPH didapatkan
peningkatan densitas binding site dopamin sehingga terjadi peningkatan kebutuhan
dopamin dalam otak. Kondisi ini menyebabkan pasien GPPH menggunakan
internet secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhan dopamin tersebut.236 Gejala
hiperaktivitas sebagai bagian dari GPPH akan menghilang pada masa remaja,
namun gejala inatensi tetap bertahan. Hal tersebut menjelaskan gejala hiperaktivitas
tidak berkaitan dengan adiksi internet pada penelitian ini.

Proporsi remaja dengan AI yang memiliki masalah hiperaktivitas dalam penelitian


ini sebesar 14,4%. Masalah ini lebih kecil dibandingkan masalah emosi (60%) dan
masalah perilaku (51%) yang dimiliki remaja dengan AI. Dengan demikian,
masalah emosi dan perilaku memiliki peran yang lebih penting sebagai faktor risiko
AI.

5.3.3.11 Aplikasi Penerapan Model Probabilitas Adiksi Internet pada Remaja


Pada penelitian ini didapatkan persamaan regresi logistik dari faktor risiko dan
proteksi AI sebagai berikut:
y = -2,4 + (0,6*tujuan) + (1,1*durasi) + (0,6*usia_awitan) +
(0,7*masalah_emosi) + (0,9*masalah_perilaku) + (0,6*masalah_prososial) + (-
0,7*pola_asuh)
(5.1)
Keterangan: tanda * menunjukkan perkalian

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


158

Persamaan regresi logistik tersebut dapat digunakan untuk menghitung besarnya


peluang seorang remaja mengalami AI oleh tenaga kesehatan. Besarnya peluang
seorang remaja mengalami AI dapat dihitung dengan mengetahui tujuan
penggunaan internet, durasi penggunaan internet, usia awitan penggunaan internet,
ada/tidak adanya masalah emosi, masalah perilaku, masalah prososial, serta pola
asuh orang tua. Penerapan model probabilitas AI pada remaja dapat diilustrasikan
dengan contoh kasus sebagai berikut :

(a) Seorang remaja dengan tujuan penggunaan internet untuk bermain permainan
daring, durasi penggunaan internet 10 jam / minggu, awitan penggunaan
internet pada usia 10 tahun, tidak mengalami masalah emosi, masalah perilaku,
masalah perilaku prososial, dan memiliki pola asuh non-exposure.

Probabilitas remaja yang memiliki satu faktor risiko untuk mengalami AI adalah:
1
𝑝=
1 + 𝑒 −𝑦 dengan y = -2,4 + (0,6*1) + (1,1*0) + (0,6*0) + (0,7*0) +
(0,9*0) + (0,6*0) + (-0,7*1) = -2,5

1
=
1 + 𝑒 −(−2,5)
= 0,075
(5.2)
(b) Seorang remaja dengan tujuan penggunaan internet untuk bermain permainan
daring, durasi > 20 jam per minggu, awitan penggunaan internet pada usia 7
tahun, mengalami masalah emosi (depresi), masalah perilaku (tidak masuk
sekolah), masalah perilaku prososial (tidak ada keinginan untuk menolong
teman) dan memiliki pola asuh orang tua yang exposure.

Probabilitas remaja yang memiliki seluruh faktor risiko untuk mengalami AI adalah:
1
𝑝=
1 + 𝑒 −𝑦 dengan y = -2,4 + (0,6*1) + (1,1*1) + (0,6*1) + (0,7*1) +
(0,9*1) + (0,6*1) + (-0,7*0) = 2,1

1
= = 0,89
1 + 𝑒 −2,1
(5.3)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


159

(c) Seorang remaja dengan tujuan penggunaan internet untuk menonton film, durasi
penggunaan internet 10 jam / minggu, awitan penggunaan internet pada usia 10
tahun, tidak mengalami masalah emosi, masalah perilaku, masalah perilaku
prososial, dan memiliki pola asuh non-exposure.

Probabilitas remaja tanpa faktor risiko untuk mengalami AI adalah:

1 dengan y = -2,4 + (0,6*0) + (1,1*0) + (0,6*0) + (0,7*0) +


𝑝=
1 + 𝑒 −𝑦 (0,9*0) + (0,6*0) + (-0,7*1) = -3,1

1
=
1 + 𝑒 −(−3,1)

= 0,04
(5.4)

Selanjutnya dapat dihitung besarnya peluang remaja yang memiliki faktor risiko
untuk mengalami AI dibandingkan dengan remaja tanpa faktor risiko. Besarnya
peluang seorang remaja untuk mengalami AI digambarkan melalui nilai RR dengan
rumus sebagai berikut:

𝑝𝑟𝑜𝑏𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑎𝑑𝑖𝑘𝑠𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑒𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑒𝑚𝑎𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖𝑘𝑖 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜


𝑅𝑅 =
𝑝𝑟𝑜𝑏𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑎𝑑𝑖𝑘𝑠𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑛𝑒𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑟𝑒𝑚𝑎𝑗𝑎 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

(5.5)

Dengan demikian, peluang remaja (a) dan remaja (b) untuk mengalami AI
dibandingkan remaja (c) adalah:

0,075 0,89
(𝑎) 𝑅𝑅 = = 1,875 (𝑏) 𝑅𝑅 = 0,04 = 22,25
0,04

(5.6)

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peluang remaja untuk mengalami AI
berkisar dari 1,9 sampai 22,3 kali lebih besar dibandingkan remaja tanpa faktor
risiko.

Penemuan pada penelitian ini menggambarkan kontribusi faktor individu,


situasional dan struktural secara komprehensif sebagai faktor risiko terjadinya AI

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


160

pada remaja. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama yang lain. Faktor
individu yang terdiri atas masalah perilaku, masalah emosi dan masalah perilaku
prososial sangat terkait dengan pola asuh orang tua. Pola asuh yang memberikan
autonomi kepada remaja dengan aturan yang jelas serta kehangatan dapat membuat
citra diri remaja meningkat sehingga memiliki mekanisme coping yang baik dalam
bersosialisasi. Remaja dengan mekanisme coping yang baik dapat mengolah
turbulensi emosi saat remaja dengan optimal sehingga masalah emosi dan perilaku
tidak terjadi.

Pola asuh juga memengaruhi perilaku prososial remaja karena orang tua menjadi
role model anak dalam berperilaku. Peran orang tua dan guru sangat penting dalam
mengendalikan faktor situasional dan struktural yaitu usia pertama kali
menggunakan internet, tujuan penggunaan internet dan durasi penggunaan internet.
Tingkat kerusakan di area PFC bertambah besar seiring dengan semakin awal
pajanan internet pada remaja. Penggunaan internet dengan tujuan permainan daring
dan media sosial menimbulkan perasaan euforia yang menyebabkan suatu
reinforcement positif sehingga remaja menggunakan internet dengan durasi yang
lebih panjang. Dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa temperamen tidak
menjadi faktor risiko AI. Hal tersebut membuktikan adanya kontribusi yang besar
dari faktor situasional dan struktural pada terjadinya AI. Faktor individual yang
menjadi faktor risiko adalah masalah emosi dan perilaku, yang dapat dicegah
dengan modifikasi pada faktor situasional (pola asuh). Intervensi lebih mudah
dilakukan untuk memodifikasi kedua faktor ini dengan menerapkan program
pencegahan AI. Program pencegahan dan tata laksana yang adekuat dapat segera
diberikan pada remaja dengan mengenali faktor risiko AI. Program pencegahan AI
dapat dimulai dari rumah dan sekolah. Orang tua dan guru memiliki peran yang
sangat penting dalam program pencegahan AI pada remaja.

Penelitian ini menunjukkan faktor risiko AI meliputi faktor demografis (durasi


penggunaan internet, tujuan penggunaan internet, dan usia awitan), dan faktor
psikologis (masalah emosi, masalah perilaku, dan masalah perilaku prososial)
sehingga hipotesis 3 diterima. Pada penelitian ini juga didapatkan faktor proteksi
AI berupa faktor sosial, yaitu pola asuh orang tua sehingga hipotesis 4 diterima.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


161

5.4 Kelebihan dan Kekurangan Penelitian


Penelitian ini menghasilkan kuesioner yang dapat digunakan untuk mendeteksi AI
pada remaja Indonesia. Kuesioner diagnostik adiksi internet merupakan kuesioner
pertama yang memasukkan aspek budaya remaja Indonesia. Kuesioner diagnostik
adiksi internet dapat digunakan oleh remaja dengan variasi yang luas karena subjek
penelitian berasal dari sekolah yang bervariasi. Dengan demikian, KDAI memiliki
kekayaan psikometri yang baik. Penelitian ini merupakan penelitian pertama di
Indonesia yang menggunakan rs-fMRI BOLD sebagai validasi eksternal sehingga
skor KDAI dapat menggambarkan konektivitas fungsional otak remaja. Hasil dari
penelitian juga menunjukkan adanya faktor risiko dan proteksi AI secara
komprehensif sehingga dapat digunakan sebagai dasar program pencegahan AI
pada remaja.

Subjek pada penelitian ini adalah remaja dari sekolah, sedangkan pada komunitas
terdapat kelompok remaja yang tidak bersekolah. Remaja yang tidak sekolah dapat
memberikan hasil yang berbeda terkait dengan perilaku bermain internet. Oleh
karena itu, selanjutnya dapat dilakukan penelitian dengan mengambil populasi
remaja yang tidak bersekolah.

Pemeriksaan fungsi eksekutif hanya dilakukan sekali pada subjek penelitian


sehingga tidak dapat mengetahui apakah gangguan fungsi eksekutif merupakan
dampak dari AI atau menjadi faktor risiko untuk mengalami AI. Dengan demikian,
penelitian dengan desain kohort dapat dilakukan untuk mengetahui peran fungsi
eksekutif terhadap AI.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


162

5.5 Faktor yang Memengaruhi Kejadian Adiksi Internet pada Remaja

Gambar 5.3. Skema Faktor Risiko dan Proteksi Adiksi Internet pada Remaja

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Penelitian ini menghasilkan KDAI yang dapat digunakan bagi remaja dengan
model yang fit, memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang baik. Skor KDAI dapat
menggambarkan perubahan konektivitas fungsional otak remaja dengan AI.
Beberapa faktor risiko dan proteksi terjadinya AI pada remaja dapat diidentifikasi
pada penelitian ini. Simpulan penelitian disusun berdasarkan tujuan khusus
penelitian ini, sebagai berikut:
1. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki level of agreement yang baik
dengan nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90.
2. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki reliabilitas yang baik dengan
nilai Cronbach’s alpha 0,942 dan nilai corrected item total correlation > 0,3.
KDAI juga memiliki validitas konstruk yang baik dengan nilai muatan faktor
setiap pernyataan > 0,4 dan model goodness of fit sebagai berikut: p-value
< 0,001; RMSEA = 0,069; CFI = 0,95; AIC = 3842,60; TLI = 0,95; SRMR =
0,065.
3. Internet addiction test versi Indonesia memiliki reliabilitas yang baik dengan
nilai Cronbach’s alpha 0,855 dan nilai corrected item total correlation > 0,3.
Internet addiction test versi Indonesia memiliki validitas konstruk yang baik
dengan nilai muatan faktor setiap pernyataan > 0,4 dan model goodness of fit
sebagai berikut: p-value < 0,001; RMSEA = 0,066; CFI = 0,96; AIC = 596,50;
TLI = 0,96; SRMR = 0,048.
4. Nilai titik potong KDAI adalah 108, dengan AUC sebesar 92%, nilai
sensitivitas 91,8% dan spesifisitas 77,8%.
5. Skor KDAI mampu menggambarkan perbedaan konektivitas fungsional otak
antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok remaja AI dan tidak AI. Skor
KDAI berkorelasi positif dengan konektivitas fungsional otak antara LPFC kiri
dan LP kanan pada kelompok remaja AI dan berkorelasi negatif pada kelompok
remaja tidak AI.

163 Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


164

6. Fungsi eksekutif tidak terbukti sebagai faktor yang memediasi efek dari skor
KDAI terhadap konektivitas fungsional otak antara regio LPFC kiri dan LP
kanan pada kelompok AI.
7. Prevalensi AI pada remaja di Jakarta sebesar 31,4%.
8. Faktor risiko AI adalah durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu, masalah
perilaku, tujuan penggunaan internet untuk media sosial dan permainan daring,
masalah emosi, usia awitan penggunaan internet ≤ 8 tahun, dan masalah perilaku
prososial. Faktor proteksi AI adalah pola asuh non-exposure.

6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan maka diajukan saran-saran sebagai
berikut:
6.2.1 Dalam Bidang Kebijakan Nasional
1. Melakukan advokasi lintas sektor yang meliputi Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan
Informatika dan Kementerian Perdagangan dalam menyusun kebijakan
pencegahan AI. Kebijakan tersebut diharapkan memuat edukasi AI dalam
berbagai media, menyediakan fasilitas laboratorium komputer untuk tugas
sekolah yang menggunakan internet sehingga meminimalisasi penggunaan
gawai pribadi di sekolah, regulasi penggunaan internet sesuai usia, dan
menyertakan label bahaya kesehatan pada iklan dan kemasan games/gawai.
2. Melakukan advokasi pada Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan
keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan skrining, diagnosis dan tata
laksana AI pada remaja, serta memasukkan diagnosis AI dalam Jaminan
Kesehatan Nasional agar tata laksana dapat dilakukan secara berkelanjutan.
3. Melakukan advokasi pada Kementerian Komunikasi dan Informatika
mengenai penyusunan kebijakan penggunaan internet yang sehat bagi remaja,
pembatasan konten yang berpotensi negatif, penonaktifan server daring pada
jam tidur malam, pembatasan usia untuk mengakses warung internet, dan
memberlakukan larangan untuk menggunakan anak dan remaja sebagai model
iklan games atau gawai.
4. Melakukan advokasi pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
mengenai penyusunan regulasi pajak untuk games dan gawai pintar.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


165

5. Melakukan advokasi pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk


mengintegrasikan pengetahuan tentang AI ke dalam kurikulum sekolah
termasuk melakukan skrining AI dengan menggunakan KDAI setiap 6 bulan
dan meningkatkan aktivitas fisik dan sosial. Rancangan skema program
pencegahan AI pada remaja secara holistik dan komprehensif dapat dilihat di
Lampiran 21.

6.2.2 Dalam Bidang Klinis dan Layanan Masyarakat


1. Melakukan edukasi mengenai penggunaan internet secara sehat, gejala,
dampak, dan strategi pencegahan AI pada tingkat keluarga dan sekolah melalui
media massa dan elektronik. Model materi edukasi AI dapat dilihat pada
Lampiran 22.
2. Melakukan diseminasi situs KDAI, aplikasi KDAI dan SKAI kepada tenaga
kesehatan sebagai bagian dari upaya kesehatan perorangan maupun
masyarakat.

6.2.3 Dalam Bidang Pengembangan Akademik


1. Mengembangkan modul pelatihan mengenai deteksi dini, diagnosis dan tata
laksana AI untuk tenaga kesehatan.
2. Mengintegrasikan modul adiksi perilaku ke dalam modul adiksi NAPZA dalam
kurikulum pendidikan kedokteran dan dokter spesialis kedokteran jiwa.

6.2.4 Dalam Bidang Pengembangan Penelitian


1. Melakukan penelitian kohort untuk melihat hubungan sebab akibat AI pada
remaja dengan aspek biologis (misalnya fungsi eksekutif), psikologis
(misalnya masalah emosi dan perilaku), dan sosial (misalnya pola asuh dan
kohesivitas keluarga).
2. Melakukan penelitian mengenai prevalensi AI menggunakan KDAI dengan
populasi subjek yang mewakili Indonesia.
3. Melakukan penelitian untuk mengevaluasi efektivitas program pencegahan AI
pada remaja di Indonesia pada wilayah perkotaan dan pedesaan.
4. Melakukan penelitian efek tata laksana farmakologi dan non farmakologi
remaja dengan AI terhadap perubahan konektivitas fungsional otak dengan
menggunakan fMRI BOLD.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


167

RINGKASAN

Latar Belakang
Perkembangan teknologi digital saat ini sangat pesat. Penggunaan jaringan internet
yang luas memberikan keuntungan, namun di sisi lain dapat menimbulkan risiko
jika digunakan berlebihan terutama pada remaja, salah satunya adiksi internet (AI).
Prevalensi AI di dunia berkisar 4,5–19,1% pada remaja dan 0,7–18,3% pada dewasa
muda. Adiksi Internet dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik, psikologis
dan sosial.

Hasil penelitian mengenai AI menggunakan neuroimaging menunjukkan gangguan


di regio frontal otak terutama DLPFC yang bertanggung jawab untuk fungsi
kognitif, motivasi dan pengendalian impuls. Perubahan struktural otak juga terjadi
pada remaja AI berupa penurunan volume substansia grisea di korteks singulat
anterior kiri, korteks singulat posterior kiri, insula kiri, girus lingual kiri, dan
korteks prefrontal dorsalis. Pada rs-fMRI BOLD didapatkan hiperaktivitas di area
DLPFC dan amigdala ketika remaja diperlihatkan gambar AI yang dialaminya.

Pada saat ini, tidak ada baku emas untuk menilai adiksi internet. Instrumen skrining
AI pertama dikembangkan oleh Kimberly Young yang dinamakan internet
addiction test (IAT) dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Akan tetapi,
terdapat kekurangan alat ukur ini yaitu; (a) tidak mencantumkan durasi waktu (b)
kurang sesuai dengan kemajuan jaman digital saat ini; (c) IAT dibuat untuk populasi
dewasa, bukan remaja; (d) tidak dimasukkannya faktor bio-psiko-sosial.

Untuk menjawab tantangan tersebut, maka dilakukan pengembangan alat skrining


yang komprehensif mencakup faktor bio-psiko-sosial serta sesuai dengan konteks
budaya. Selain itu, penilaian prevalensi AI pada remaja dan penelusuran faktor
risiko dan proteksi juga penting untuk pengembangan modalitas pencegahan AI.

Metode Penelitian
Tahap pengembangan KDAI terdiri atas: i) studi pustaka; ii) pengembangan butir
pernyataan KDAI melalui FGD dengan remaja; iii) teknik Delphi; iv) uji validitas
dan reliabilitas. Pengembangan KDAI berdasarkan pustaka didapatkan dari

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


168

penelusuran buku dan jurnal melalui pencarian elektronik. Setelah itu, dilakukan
FGD dengan remaja untuk mendapatkan masukan terkait pernyataan dalam KDAI.
Hasil FGD tersebut kemudian dinilai oleh 14 pakar yang terdiri atas psikiater anak
dan remaja, psikiater adiksi subspesialis adiksi NAPZA, psikiater adiksi
subspesialis adiksi perilaku, psikolog adiksi, dan psikolog ahli psikometri
menggunakan teknik Delphi sebanyak 3 putaran.

Penilaian validitas dan reliabilitas KDAI dilakukan dengan menggunakan uji coba
awal, skala penuh, dan lapangan. Uji coba awal mengikutsertakan 31 subjek. Subjek
pada uji coba awal mengevaluasi setiap pernyataan KDAI dalam FGD. Draft KDAI
dikonsultasikan ke ahli bahasa. Selanjutnya KDAI diberikan pada 385 subjek dalam
uji coba skala penuh. Hasil kemudian dianalisis menggunakan uji EFA dan CFA.
Setelah uji EFA dan CFA dilakukan uji coba skala penuh yang mengikutsertakan
643 subjek. Penilaian reliabilitas juga dilakukan pada KDAI dengan menilai
konsistensi internal yang tergambar dalam nilai Cronbach’s alpha. Penentuan titik
potong KDAI ditentukan menggunakan IAT sebagai pembanding. Penentuan titik
potong dilakukan dengan melihat kurva ROC. Berdasarkan hasil tersebut titik
potong akan ditentukan dengan melihat nilai sensitivitas dan spesifisitas terbaik.

Penilaian validitas prediktif KDAI menggunakan rs-fMRI untuk menilai apakah


KDAI berhubungan dengan perubahan konektivitas fungsional otak. Pemeriksaan rs-
fMRI BOLD dilakukan di RS Abdi Waluyo, Jakarta Pusat. Penelitian dilakukan pada
bulan Juli 2018─Juli 2019. Jumlah subjek yang ikut serta dalam pemeriksaan rs-fMRI
BOLD terdiri atas 30 subjek kelompok AI dan 30 subjek kelompok tidak AI. Pada
tahap pre-processing dilakukan eksklusi terhadap 3 subjek (1 subjek dari kelompok
tidak AI dan 2 subjek dari kelompok AI).

KDAI yang sudah tervalidasi dengan baik dalam tahapan sebelumnya digunakan
untuk mencari prevalensi, faktor risiko dan proteksi AI. Subjek juga diminta untuk
mengisi kuesioner lain yang menilai berbagai faktor risiko dan proteksi yaitu faktor
demografis (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, durasi penggunaan jaringan
internet, tujuan penggunaan internet, lokasi penggunaan jaringan internet, usia
awitan penggunaan internet), faktor psikologis (masalah emosi, masalah perilaku,
gangguan hiperaktivitas, masalah dengan teman sebaya, masalah perilaku prososial,

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


169

citra diri), dan faktor sosial (kohesivitas keluarga, pola asuh orang tua). Penelusuran
faktor risiko dan proteksi dilakukan secara bivariat dan multivariat. Hasil variabel
yang terkait kemudian diikutsertakan dalam analisis networking psychometric
dengan program JASP©.

Hasil dan Pembahasan


Pengembangan KDAI
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengembangkan kuesioner
skrining AI pada remaja di Indonesia dan mengikutsertakan populasi remaja
Indonesia dalam penyusunannya untuk mengakomodasi unsur budaya. Pada
pengembangan KDAI didapatkan 105 pernyataan yang terbagi dalam 12 domain.
Hasil tersebut kemudian dinilai menggunakan teknik Delphi sebanyak 3 putaran
untuk memberikan kesempatan pada pakar mengevaluasi kembali pemikirannya.
Hasil teknik Delphi mendapatkan 56 pernyataan dan 11 domain dengan nilai CVR >
0,51 dan CVI > 0,90.

Penggunaan teknik Delphi pada KDAI memberikan keunggulan dibandingkan


dengan IAT dan CIAS. Dengan teknik Delphi, pakar dapat memberikan pendapat
yang bervariasi secara anonim sehingga bersifat objektif tanpa dipengaruhi oleh
pakar lainnya. Pengulangan ronde yang dilakukan pada teknik Delphi memberikan
kesempatan pada para pakar untuk mengevaluasi kembali pemikirannya. Proses di
atas menunjukkan bahwa pernyataan dalam KDAI memiliki konsep dan konstruk
yang lengkap untuk menggambarkan AI pada remaja di Indonesia.

Pada uji coba awal didapatkan KDAI memiliki validitas dan reliabilitas yang baik
(Cronbach’s alpha 0,964). Kuesioner hasil uji coba awal dilanjutkan ke tahap uji
coba skala penuh yang mengikutsertakan 385 subjek. Uji EFA dan CFA dilakukan
untuk menilai validitas konstruk. Uji EFA sebanyak 4 kali menghasilkan 7 domain
(withdrawal, kehilangan kontrol, peningkatan prioritas, konsekuensi negatif,
modifikasi mood, salience, dan hendaya) yang terdiri atas 44 pernyataan dengan
muatan faktor > 0,4. Selanjutnya dilakukan uji CFA terhadap 643 subjek dan
didapatkan model hasil EFA memiliki goodness of fit yang paling baik (RMSEA
0,069; CFI 0,95; SRMR 0,065; TLI 0,95). Model hasil EFA memiliki nilai

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


170

reliabilitas yang baik (corrected item total correlation > 0,3; Cronbach’s alpha
0,942).

Hasil analisis psikometri KDAI menunjukkan bahwa KDAI memiliki keunggulan


dibandingkan berbagai kuesioner lainnya. Pertama, KDAI sebagai instrumen
skrining dapat mencegah diagnosis AI berlebihan pada remaja karena domain yang
dimasukkan sesuai dengan kriteria diagnosis gaming disorder pada ICD-11.
Beberapa domain yang tidak masuk dalam KDAI, seperti desepsi dan toleransi,
memiliki fungsi prediktif yang baik terhadap AI sehingga tidak dianggap sebagai
gejala utama AI. Kedua, KDAI memiliki nilai reliabilitas yang sangat baik (> 0,9)
dan validitas yang baik (goodness of fit yang baik serta muatan faktor > 0,4).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KDAI merupakan kuesioner skrining
yang sahih dan andal dalam menilai AI.

Selanjutnya dilakukan uji untuk menentukan titik potong dari KDAI. Berdasarkan
kurva ROC, didapatkan titik potong KDAI dengan IAT versi Indonesia paling
optimal pada skor 108 dengan AUC 92 %, sensitivitas 91,8 %, spesifisitas 77,8%,
positive likelihood ratio 4,13 dan negative likelihood ratio 0,11. Instrumen KDAI
terbukti menjadi instrumen skrining AI yang baik dengan nilai sensitivitas > 90%.
Berdasarkan penjelasan mengenai KDAI yang telah dijabarkan di atas, KDAI
memenuhi unsur instrumen yang baik yaitu unsur validitas, reliabilitas, objektivitas,
praktibilitas dan ekonomis.

Gambaran Konektivitas Fungsional Otak pada Kelompok Adiksi Internet


Menggunakan Pemeriksaan rs-fMRI BOLD
Pada tahap pre-processing dilakukan eksklusi terhadap 3 subjek (1 subjek dari
kelompok tidak AI dan 2 subjek dari kelompok AI). Analisis data dilakukan pada
57 subjek penelitian (29 subjek pada kelompok tidak AI dan 28 subjek pada
kelompok AI). Hasil analisis data mendapatkan adanya peningkatan konektivitas
fungsional yang bermakna antara regio LPFC kiri dan anterior insula kiri,
penurunan konektivitas fungsional antara regio LPFC kiri dan LP kanan, dan
penurunan konektivitas fungsional antara regio LPFC kiri dan MPFC pada
kelompok AI dibandingkan kelompok tidak AI (nilai p-FDR < 0,05). Oleh karena
itu, perubahan konektivitas fungsional yang didapatkan dalam penelitian ini

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


171

menunjukkan adanya gangguan pada tiga jaringan fungsional otak yaitu CEN, SN
dan DMN pada kelompok remaja dengan AI.

Regio DLPFC berfungsi dalam proses perencanaan, penyelesaian masalah,


pemikiran abstrak, atensi, fungsi verbal, serta dalam kontrol inhibisi. Kontrol
inhibisi juga dapat membatasi keterlibatan individu dalam perilaku yang mencari
penghargaan (reward-seeking behavior). Pada individu dengan AI didapatkan
gangguan pada kontrol inhibisi sehingga sulit mengontrol perilaku penggunaan
internet berlebihan yang dimilikinya.

Fungsi utama DMPFC untuk penilaian yang berbasis referensi diri sendiri (self-
referential judgment) sedangkan VMPFC berperan dalam penilaian terhadap
perilaku sosial, serta regulasi emosi, atensi dan motivasi. Lateral parietal berfungsi
untuk melakukan rekoleksi pengalaman di masa lalu dan akan digunakan dalam
proses self-referential judgment. Oleh karena itu, abnormalitas pada DMN yang
melibatkan regio tersebut dapat menyebabkan gangguan pada atensi dan proses
self-referential judgement sehingga berdampak pada terjadinya AI.

Anterior insula memiliki fungsi penting dalam mendeteksi stimulus yang berkaitan
dengan perilaku. Anterior insula kemudian bertugas mengalihkan atensi dari fokus
internal ke eksternal setelah mendeteksi adanya stimulus eksternal. Dalam
penelitian ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional pada anterior
insula dalam kelompok AI yang mengindikasikan adanya masalah dalam peralihan
tugas tersebut.

Dalam pelaksanaan tugas yang membutuhkan fungsi kognitif, SN dan CEN


teraktivasi bersama, sedangkan DMN menjadi terinaktivasi. Salience network
memiliki peran dalam peralihan tugas antara CEN dan DMN. Hubungan yang kuat
antara pada SN, DMN dan CEN, dijelaskan sebagai model triple network. Dalam
model tersebut dijelaskan bahwa adanya disfungsi pada salah satu jaringan dapat
berdampak pada disfungsi pada dua jaringan lainnya.

Analisis interaksi kemudian dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan


yang bermakna pada korelasi koefisien antara kelompok AI dan kelompok tidak AI.
Hasil analisis menunjukkan interaksi yang bermakna antara skor KDAI dengan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


172

konektivitas fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan. Selanjutnya, dilakukan


analisis korelasi antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional antara LPFC kiri
dan LP kanan pada kelompok tidak AI dan AI secara masing-masing. Korelasi
positif yang bermakna didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok tidak AI (p = 0,018,
r = 0,437). Korelasi negatif didapatkan antara skor KDAI dengan konektivitas
fungsional antara LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI (p = 0,049, r = -0,375).

Hasil ini memperlihatkan sebuah tren bahwa semakin tinggi skor KDAI pada
remaja tidak AI menghasilkan konektivitas fungsional antara CEN dan DMN yang
semakin kuat. Akan tetapi, pada remaja AI didapatkan semakin tinggi skor KDAI,
konektivitas fungsional antara CEN dan DMN semakin lemah. Hal tersebut dapat
dijelaskan karena umpan balik positif mungkin masih berlangsung pada remaja
yang tidak mengalami AI yaitu dengan terjadinya peningkatan aktivasi CEN dan
DMN. Peningkatan aktivitas tersebut berfungsi sebagai faktor proteksi untuk tidak
jatuh dalam kondisi adiksi. Pada kondisi tersebut, CEN dan DMN meningkatkan
kontrol inhibisi dan proses self referential. Akan tetapi, saat remaja sudah jatuh
dalam kondisi AI, umpan balik tersebut mengalami disfungsi dan sebaliknya terjadi
penurunan aktivitas CEN dan DMN sehingga kontrol inhibisi dan self referential
tidak terjadi lagi. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki keunggulan
dibandingkan dengan kuesioner lain karena validitas prediktif KDAI dapat
memprediksi konektivitas fungsional otak. Pada sisi lain, interaksi antara skor IAT
dengan ketiga konektivitas fungsional yang ada juga menunjukkan hasil yang tidak
bermakna.

Pada penelitian ini didapatkan adanya perubahan konektivitas fungsional otak pada
regio LPFC kiri dan LP kanan pada kelompok AI. Perubahan konektivitas
fungsional otak pada kelompok AI juga dapat dipengaruhi oleh penurunan fungsi
eksekutif. Oleh karena itu, dilakukan analisis mediasi untuk melihat efek tidak
langsung dari fungsi eksekutif dalam memediasi hubungan antara skor KDAI
dengan perubahan konektivitas fungsional otak. Hasil analisis mediasi
menunjukkan bahwa fungsi eksekutif tidak menjadi faktor yang memediasi

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


173

hubungan antara skor KDAI dengan konektivitas fungsional otak pada regio LPFC
kiri dan LP kanan (IK95% = -0,0007─0,0009).

Penurunan fungsi eksekutif pada remaja awal (usia 10–14 tahun) disebabkan oleh
adanya proses synaptic pruning/pembabatan sinaps, terutama pada bagian PFC
yang berperan dalam mengatur fungsi eksekutif. Pada sisi lain, PFC remaja juga
masih belum matur sempurna karena proses mielinogenesis masih dalam tahap
perkembangan. Proses mielinogenesis terjadi dimulai dari bagian belakang otak
lalu ke bagian depan otak sehingga korteks prefrontal menjadi bagian otak yang
paling akhir mengalami maturitas secara sempurna.

Dengan demikian, fungsi eksekutif remaja tidak perlu diperiksa untuk melihat
perubahan konektivitas fungsional otak pada remaja dengan AI. Perubahan
konektivitas fungsional otak telah terjadi pada AI tanpa dimediasi gangguan fungsi
eksekutif.

Prevalensi dan Faktor Risiko AI pada Remaja


Prevalensi remaja dengan AI ditentukan dengan menggunakan KDAI. Kuesioner
diagnostik adiksi internet diisi oleh 643 subjek. Pada subjek penelitian didapatkan
202 subjek mengalami AI, sehingga dapat disimpulkan bahwa prevalensi AI pada
remaja Jakarta sebesar 31,4% (IK95% = 27,8–35,6%). Hasil temuan ini lebih tinggi
dari negara lain di Asia. Prevalensi AI yang tinggi pada remaja dalam penelitian ini
diperkirakan karena jaringan internet di Jakarta lebih baik dan meningkatnya tren
penggunaan telepon pintar. Selain itu, remaja juga merupakan populasi yang rentan
terhadap AI. Hal tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain: i) keinginan remaja
untuk aktualisasi diri; ii) perspektif remaja yang lebih memilih teman sebaya
sebagai figur yang penting; iii) pembentukan identitas diri pada remaja yang masih
berlangsung; iv) perilaku impulsif remaja akibat ketidakseimbangan fungsi limbik
dan korteks prefrontal; v) beban akademis dan tekanan teman sebaya yang tinggi;
vi) rasa ingin tahu yang tinggi pada remaja.

Hasil analisis bivariat AI dengan berbagai faktor risiko dan proteksi menunjukkan
beberapa faktor yang bermakna. Selanjutnya, dilakukan analisis multivariat untuk
mengetahui faktor risiko dan proteksi yang paling berpengaruh terhadap terjadinya

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


174

AI. Hasil analisis menunjukkan model regresi logistik yang baik dan didapatkan 6
variabel yang menjadi faktor risiko yaitu durasi penggunaan internet (OR 2,889;
IK95%: 1,881–4,438), tujuan penggunaan internet (OR: 1,826; IK95%: 1,194–
2,791), usia awitan penggunaan internet (OR: 1,821; IK95%: 1,172–2,829),
masalah emosi (OR: 1,918; IK95%: 1,327–2,774), masalah perilaku (OR: 2,539;
IK95%: 1,736–3,712), dan masalah perilaku prososial (OR: 1,758; IK95%: 1,155–
2,675). Pola asuh (OR: 0,518; IK95%: 0,309–0,867) merupakan faktor proteksi
dalam penelitian ini.

Durasi penggunaan internet > 20 jam / minggu dapat meningkatkan risiko AI


sebanyak 2,9 kali. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan semakin lama seseorang
bermain internet maka akan terjadi suatu siklus adiksi. Penggunaan internet untuk
permainan daring dan media sosial akan mengaktifkan reward system dan memicu
pelepasan dopamin. Peningkatan dopamin secara terus menerus berkaitan dengan
penurunan jumlah transporter dan reseptor dopamin serta desensitisasi reseptor
dopamin. Selain itu, aktivasi reward system juga akan membentuk incentive
salience sehingga remaja merasa ingin terus menggunakan internet dan pada
akhirnya membentuk perilaku kompulsif untuk bermain internet.

Tujuan penggunaan internet untuk memainkan permainan daring dan media sosial
dapat meningkatkan risiko AI sebanyak 1,8 kali. Beberapa permainan seperti
MOBA dan MMORPG membuat remaja semakin rentan mengalami AI. Pada
permainan tersebut remaja dapat menunjukkan eksistensi dirinya pada komunitas
virtual dan mengidentifikasi diri dengan karakter dalam permainan sehingga
meningkatkan citra diri dan self-efficacy remaja. Berbeda dengan remaja laki-laki,
remaja perempuan lebih mengalami adiksi terhadap media sosial. Media sosial
dapat digunakan untuk mencari identitas diri dengan melakukan penggambaran
citra diri mereka sebagai figur yang ia kagumi yang pada akhirnya akan mendapat
reward pada saat teman sebayanya memberikan apresiasi atas unggahan mereka.

Usia awitan penggunaan internet (≤ 8 tahun) berhubungan dengan AI dan dapat


meningkatkan kejadian AI. Pada fase remaja, perkembangan area korteks prefrontal
belum optimal. Semakin awal pajanan internet, maka semakin besar dampak
kerusakan yang terjadi pada otak. Kerusakan pada korteks prefrontal menyebabkan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


175

remaja cenderung impulsif dan menggunakan internet secara eksesif. Perubahan


sistem dopaminergik sejak usia dini dapat mengubah fungsi sistem limbik secara
permanen sehingga remaja rentan mengalami gangguan emosi.

Masalah emosi pada penelitian didapatkan berhubungan dengan AI. Hal tersebut
disebabkan dalam media komunikasi daring, remaja dapat mengontrol percakapan
verbal tanpa memperhatikan aspek nonverbal sehingga membuat remaja melakukan
self-presentation dalam figur yang ideal. Selain itu, remaja dengan gangguan emosi
memiliki kemampuan refleksi diri yang rendah sehingga kontrol terhadap perilaku
bermain internet rendah. Pada penelitian ini, masalah emosi lebih sering terjadi
pada remaja perempuan. Hal tersebut terkait dengan mekanisme coping
internalisasi yang dilakukan oleh remaja perempuan. Berbeda dengan remaja
perempuan, remaja laki-laki pada penelitian ini lebih banyak memiliki masalah
perilaku dan hal tersebut berhubungan dengan AI. Masalah perilaku sering dialami
remaja karena rendahnya kontrol regulasi diri yang menyebabkan impulsivitas dan
gangguan pada observasi diri yang berdampak pada terbentuknya perilaku otomatis
yang mengarah pada AI.

Perilaku agresif meningkatkan risiko AI akibat anonimitas yang diberikan pada saat
remaja bermain internet sehingga remaja merasa tidak perlu bertanggung jawab
akan perilakunya. Selain itu, remaja dengan masalah perilaku prososial juga lebih
rentan mengalami AI. Hal tersebut didasari oleh rasa empati dan kemauan
menolong yang rendah sehingga remaja sulit untuk masuk dalam kelompok
pertemanan sehingga lebih memilih melakukan relasi melalui media daring.

Pola asuh non-exposure didapatkan sebagai faktor proteksi AI. Pola asuh orang tua
menjadi dasar dalam pembentukan kepribadian, citra diri, fungsi emosi, dan
mekanisme menghadapi konflik pada remaja. Pola asuh non-exposure memberikan
autonomy pada remaja dengan batasan tanggung jawab yang jelas serta
memberikan kehangatan pada remaja. Selain itu, orang tua juga tidak menekankan
rasa bersalah pada remaja sehingga remaja tidak menginternalisasi masalah yang
dialaminya. Dengan demikian, remaja berkompeten untuk bertahan dalam
menghadapi stres yang dialami sehingga tidak menggunakan internet sebagai
pelarian untuk memodifikasi perasaan negatif.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


176

Berbagai faktor tersebut memberikan pengaruh dengan muatan yang berbeda-beda


terhadap AI. Berdasarkan hasil regresi logistik, dapat dibuat persamaan untuk
melihat peluang seorang remaja mengalami AI.

y = -2,402 + (0,602*tujuan) + (1,061*durasi) + (0,599*usia_awitan) +


(0,652*masalah_emosi) + (0,932*masalah_perilaku) +
(0,564*masalah_prososial) +
(-0,659*pola_asuh)

SIMPULAN DAN SARAN


Penelitian ini menghasilkan KDAI dengan model yang fit serta memiliki nilai
reliabilitas dan validitas yang baik. Kuesioner diagnostik adiksi internet memiliki
level of agreement yang baik dengan nilai CVR > 0,51 dan CVI > 0,90. Validitas isi
dan konstruk (muatan faktor > 0,4 dengan goodness of fit yang baik) serta
reliabilitas (Cronbach’s alpha 0,942) yang baik juga dimiliki oleh KDAI. Hal
tersebut menjadikan KDAI memiliki atribut psikometri yang baik. Nilai titik potong
KDAI yaitu 108 memberikan nilai AUC, sensitivitas, dan spesifisitas yang tinggi.
Selain memiliki keunggulan psikometri, KDAI juga mampu menggambarkan
perubahan konektivitas fungsional otak yang terjadi pada AI. Dengan demikian,
KDAI memiliki keunggulan dibandingkan dengan kuesioner skrining AI lainnya.

Penelitian ini mendapatkan prevalensi AI yang tinggi pada remaja di Jakarta.


Faktor-faktor yang meningkatkan risiko AI antara lain durasi penggunaan internet,
tujuan penggunaan internet, usia awitan penggunaan internet, masalah emosi,
masalah perilaku dan masalah perilaku prososial. Pada sisi lain, pola asuh non-
exposure menjadi satu-satunya faktor yang berperan sebagai faktor proteksi AI.

Prevalensi AI yang tinggi pada penelitian ini menjadi dasar pembentukan program
pencegahan AI pada remaja. Program pencegahan meliputi deteksi dini AI secara
berkala dengan menggunakan KDAI serta penilaian faktor risiko sehingga
penatalaksanaan dapat dilakukan sedini mungkin. Program pencegahan dalam skala
nasional juga harus melibatkan pemerintah. Penelitian lebih lanjut mengenai AI
juga perlu dilakukan terutama untuk menelusuri penyebab dan modalitas tata
laksana AI yang optimal.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


177

SUMMARY

Background
Technological advancements, including internet use, is escalating quickly at present.
Internet use can cause a risk of internet overuse, particularly in adolescents, and can
lead to internet addiction (IA). The prevalence of IA worldwide varies between 4.5–
19.1% in adolescents and 0.7–18.3% in young adults. IA is influenced by biological,
psychological, and social factors.

Presently many studies regarding neuroimaging have been done. Adolescents IA


are more vulnerable to impulsive behavior because of the impairment in
dorsolateral prefrontal cortex. Structural changes in the brain have also been found
in adolescents with IA; a reduced volume of grey matter in the left anterior cingulate
cortex, left posterior cingulate cortex, left insula, left lingual gyrus, and the
prefrontal dorsolateral cortex. In rs-fMRI BOLD examinations where adolescents
were shown images of the IA they experienced, hyperactivity in the prefrontal
dorsolateral cortex and amygdala was observed.

At this moment there is no gold standard regarding the diagnosis of IA and, hence,
a universal measuring instrument to accurately diagnose IA does not exist. Earliest
screening tools for IA was developed by Kimberly Young named Internet Addiction
Test (IAT). Although IAT has been translated in multiple countries and has good
internal validation, this instrument has a few drawbacks; (a) it does not list the
duration of time, (b) it does not quite correspond with the current advances of the
digital age; (c) the IAT was formed for adult populations; (d) it does not include
bio-psycho-social factors that influence the identification of IA in adolescents.

Therefore, a comprehensive IA diagnostic questionnaire for adolescents that


includes bio-psycho-social factors is required in order to be used as a screening tool
for IA in Indonesia, as well as the rest of the world. A valid and reliable screening
tool can aid in identifying the right diagnosis and, subsequently, the right treatment
can be provided.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


178

Methods
Development KDAI was done through several steps: i) literature study; ii) focus
group discussion (FGD); iii) Delphi technique; iv) validity and reliability testing.
Questions and domains of KDAI were developed from several literature sources,
e.g. books, journals through search engines (PUBMED®, Scopus® dan ProQuest®).
Afterwards, FGD was held in order to accommodate adolescent’s aspirations.
Questions and domains were collected and evaluated by 14 experts (child and
adolescent psychiatrist, addiction psychiatrist, behavioral addiction psychiatrist,
addiction psychologist, and psychometry psychologist) using the Delphi technique.
Delphi technique was conducted for 3 rounds.

Validity and reliability testing were divided into three steps. First, a pilot study with
31 adolescent subjects was conducted. The duration of time in KDAI was 12 months
and corresponded to gaming disorder criteria in DSM-5 and ICD-11. Subsequently,
FGD was conducted to evaluate their attitude and difficulties they experienced
while they were filling KDAI. After consulting with a linguist, KDAI was retested
in a larger population (385 subjects). The results were then analyzed using EFA and
CFA. Using the rule of thumb, subjects were increased to 643 subjects for CFA.
Reliability was evaluated by calculated internal consistency (Cronbach’s alpha)

The cut-off for KDAI was determined by using IAT for comparison. The ROC
curve was created in order to determine the cut-off for KDAI. From the ROC curve,
the cut-off selected by looking at sensitivity, specificity, and Youden index.

Brain Functional Connectivity in Internet Addiction Group by Utilizing rs-


fMRI BOLD
In addition to content and construct validity, predictive validity for KDAI was also
evaluated using rs-fMRI. The purpose of predictive validation was to assess the
alteration of functional connectivity in the IA group compared to the non-addiction
group. This procedure was conducted in RS Abdi Waluyo, Jakarta. It was held for
12 months (July 2018–July 2019) and involving 30 subjects for the addiction group
and 30 subjects for the non-addiction group were recruited. At the pre-processing
stage, 3 subjects were excluded (1 subject from the non-IA group and 2 subjects
from the IA group). Executive functioin examination used TMT-B.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


179

Prevalence and Risk Factor of Internet Addiction


Evaluation of IA and its risk factor was conducted by using validated KDAI. In
addition, subjects were asked to fill other questionnaires in order to assess their
demographic factor (age, gender, level of education, age of onset of internet use,
duration of internet use, place of internet use, purpose of internet usage),
psychologic factor (emotional problems, conducts disorder, hyperactivity disorder,
peer problems, prosocial behavior, self-esteem), and social factor (family cohesion,
parenting style). Bivariate and multivariate analysis was done to evaluate their
relationship with IA. Afterward, networking psychometric analysis between the
correlated variables was analyzed using JASP©.

Results and Discussions


Development of KDAI
This research was the first study that developed an IA screening questionnaire for
adolescents in Indonesia. The development of KDAI involved Indonesian
adolescents to give their opinion for this questionnaire. Thus, KDAI accommodates
cultural aspects of adolescents in Indonesia. From the literature study, 105 questions
divided into 12 domains were obtained. Subsequently, the Delphi technique was
conducted for three rounds in order to give an opportunity for experts to give and
reevaluate their opinion. Additionally, the involvement of 14 experts and the
anonymity of the experts increased the content validity of KDAI. As a result, 11
domains and 56 questions were collected with CVR > 0.51 and CVI > 0.90.

The content and construct validity of KDAI, along with reliability of KDAI in the
pilot study were found to be satisfying, with Cronbach’s alpha 0.964. Afterward,
KDAI was tested in a larger population to be analyzed using EFA and CFA.
Exploratory factor analysis was done 4 times and generated 7 domains (withdrawal,
loss of control, an increase of priority, negative consequence, mood modification,
salience, and impairment) with 44 questions. Furthermore, CFA was conducted
with 643 subjects and the model from EFA had the best goodness of fit (RMSEA
0.069; CFI 0.95; SRMR 0.065; TLI 0.95) and good reliability (Cronbach alpha
0.943). Therefore, KDAI was found to be a valid and reliable instrument to evaluate
IA.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


180

According to the ROC curve, the optimal cut-off for KDAI was 108 with AUC 92%,
sensitivity 91.8%, and specificity 77.8%. The positive likelihood ratio and negative
likelihood ratio of KDAI were 4.13 and 0.11 respectively. Based on the sensitivity
score, KDAI was proven as a good instrument for IA screening. To conclude, KDAI
is not only valid, reliable, and comparable with IAT, but also practical, convenient,
and economical.

Brain Functional Connectivity in Internet Addiction Group by Utilizing rs-


fMRI BOLD
At the pre-processing stage, 3 subjects were excluded (1 subject from the non-IA
group and 2 subjects from the IA group). Data analysis was done to 57 subjects (29
subjects in the non-addiction group and 28 subjects in the IA group). It was found
that there was a significant increase in functional connectivity between left LPFC
and left AI, decrease functional connectivity between left LPFC and right LP, and
decrease functional connectivity between left LPFC and MPFC in IA group
compared to the non addiction group (p-FDR < 0.05). Thus, the functional
connectivity alteration found in this study exhibited dysfunction within three
functional brain network including CEN, SN, and DMN in adolescents with IA.

The DLPFC region plays a role in the planning process, problem-solving, abstract
thinking, attention, verbal function, and inhibition control. Internet addicts have
dysfunction in inhibition control, thus they found difficulties in controlling their
excessive internet use behavior. Individual involvement in continuous IA behavior
will lead to exacerbation of their impulsivity, which makes them harder to control
their internet use.

Specifically, DMPFC has a function in self-referential judgment, while VMPFC


plays a role in social behavior, regulation of emotion, attention, and motivation.
The LP plays a role in the recollection process of past experiences which is
attributed to the self-referential judgment process. Thus, abnormalities in DMN
comprising those regions will result in disruption of attention and the self-
referential process leading to behavior addiction. Anterior insula plays an important
role in switching the attention from internal to external focus after detecting an
external stimulus. Alteration in functional connectivity in this region in the IA
group, indicating that there was a problem in the task switching process.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


181

In the execution process of cognitive-demanding tasks, SN and CEN are activated


together, while DMN remains in an inactive state. The SN works by switching task
between CEN and DMN. There is a strong correlation among SN, DMN dan CEN,
which can be explained as a triple network model. It was described in the model
that the dysfunction of one of the networks will result in dysfunction of two other
networks.

Interaction analysis was then done to determine whether there is a significant


difference in coefficient correlation between internet addicts and the non-addiction
group. The result showed a substantial interaction between KDAI score and
functional connectivity between left LPFC and right LP. Next, correlation analysis
was performed within non-addiction and addiction group. A positive significant
correlation was found between KDAI score and functional connectivity between
left LPFC and right LP in the non-addiction group (p = 0.018, r = 0.437). Negative
correlation was also figured out between KDAI score and functional connectivity
between left LPFC and right LP in the addiction (p = 0,049, r = -0,375).

This result showed a trend that increased KDAI score will lead to stronger
functional connectivity between CEN and DMN in non-addiction group. Yet, the
functional connectivity will become weaker after the adolescents experience IA. A
positive feedback mechanism will occur before the adolescent reaches into an IA
state by inducing activation of CEN and DMN. This enhancement was aimed to
improve the inhibition control and self-referential process, thus protecting
adolescents from IA. However, the compensation mechanism will stop and result
in decreased activity of CEN and DMN when the adolescent has reached the IA
state.

In this research, it was found that there was an alteration of functional connectivity
between left LPFC and right LP in the IA group. The functional connectivity
changes in the brain in the IA group also can be affected by executive function
impairment. Thus, mediation analysis was done to investigate the indirect effects
of executive function in mediating correlation between KDAI score and the
alteration of brain functional connectivity. The mediation analysis result revealed
that the executive function was not a significant predictor in mediating the effect of

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


182

the KDAI score and brain functional connectivity in left LPFC and right LP
(CI95% = -0.001–0.0008).

Executive function impairment in early adolescents happens due to a synaptic


pruning process particularly in PFC that plays a major role in executive function.
Furthermore, the PFC of adolescents has not yet perfectly matured due to the
development of myelogenesis process. The myelogenesis occurs in a back-to-front
pattern so that the PFC becomes the last brain region that undergoes the maturation
process.

To recapitulate, executive function is not necessary to be examined in order to


evaluate the brain functional connectivity alteration in adolescents with IA. The
modification of brain functional connectivity occurred in internet addiction without
any mediation from the executive function impairment. KDAI score is able to
represent an alteration of the brain functional connectivity in the IA.

Prevalence and Risk Factor of Internet Addiction among Adolescents


A total of 643 subjects was included to estimate the prevalence of IA among
adolescents in Indonesia using KDAI. This research found 202 adolescents
experienced IA (31.4%; CI 95%: 27.8–35.6%). It was greater than the prevalence
of IA in several countries in Asia, possibly due to a superior internet network in
Indonesia and a trend of increased smartphone usage. Additionally, adolescents are
a part of the population susceptible to IA due to several reasons: i) adolescents’
desire for self-actualization; ii) adolescent’s perspective toward peer group as
important figure; iii) ongoing process of identity formation in adolescence; iv)
impulsive behavioral in adolescence due to the imbalance of limbic function and
prefrontal cortex; v) high academic expectations and peer pressure; vi) high level
of curiosity in adolescence.

The result from bivariate analysis among IA and risk/protective factors showed
numerous factors that were correlated with IA. Furthermore, multivariate analysis
was performed and showed a good model of logistic regression and included 7
variables that correlated with internet addiction. The risk factors were duration of
internet use (OR 2.889; CI95%: 1.881–4.438), purpose of internet use (OR: 1.826;
CI95%: 1.194–2.791), onset of internet usage (OR: 1.821; CI95%: 1.172–2.829),

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


183

emotional problems (OR: 1.918; CI95%: 1.327–2.774), conduct disorders (OR:


2.539; CI95%: 1.736–3.712), and prosocial behavioral problems (OR: 1.758;
CI95%: 1.155–2.675). Nevertheless, parenting style was discovered as a protective
factor (OR: 0.518; CI95%: 0.309–0.867).

Duration of internet use more than 20 hours / week was proven to correlate with IA.
This phenomenon can be explained as increasing the time of internet usage
precipitates a cycle of addiction. Internet usage, especially for playing games and
social media would activate the reward system and triggered dopamine release. A
persistent increase of dopamine reduces the number of dopamine transporters and
receptors along with desensitizes dopamine receptors. Furthermore, activation of
the reward system creates incentive salience which increases the tendency to use
the internet and triggers compulsive behavior to use the internet.

Internet usage to play games and use social media increases the risk of IA by 1.8.
Boys mainly used the internet for playing online games. In addition, several online
games, e.g. MOBA and MMORPG, increases the risk of IA online games,
adolescents could show their self-existence in a virtual community and identify
their image as the game’s character which increases their self-esteem and self-
efficacy. On the contrary, girls prefer to use the internet for social media and
become addicted to social media due to its communicational aspects and the ability
for social media to provide a platform for them to project their ideal self and receive
rewards when their peer group appreciates them.

The age of onset (< 8 years old) was found to significantly correlate with and
increased the risk of IA. The development of the PFC region is not yet optimal
during adolescents. The earlier the onset of internet exposure, the greater damage
in the brain will be. Damage in PFC leads to impulsive behavior such as excessive
internet use. Alteration of the dopaminergic system from an early age can also alter
the limbic system function permanently. Thus, it increases the tendency of IA due
to emotional problems.

This study found emotional problems correlated with IA. Emotional problems most
often linked to IA were anxiety, depression, and loneliness. This can be due to
online gaming communication media, where adolescents can control verbal

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


184

communications without paying attention to non-verbal aspects hence allowing


them to perform their ideal self-representation. In addition, adolescents with
emotional problems have a decreased ability to self-reflect, hence they have lower
self-control towards internet gaming behaviour. In this study, it was found that
emotional problems occurred more often in adolescent girls, a finding that
correlates to internal coping mechanisms often used by girls.

Conversely, adolescent boys in this study had a higher correlation with conduct
disorder in their IA. Conduct disorder are often found in adolescents due to their
low self-regulation that causes impulsivity and problems in self-observation that
subsequently affects automatic behaviour leading to IA. Specifically, aggressive
behavioural problems heighten the risk for IA due to the anonymity provided by
online games, leading adolescents to believe that they have no responsibilities
towards their behaviour. Moreover, adolescents with prosocial behavioural
problems are also more susceptible to experience IA. This is based on low levels of
empathy and the ability to help, which creates a barrier for adolescents to make
friendships in real life and instead makes them choose online gaming media to
create social connections.

Unlike several factors that correlate with IA, parenting styles with non-exposure
characteristics were found to be protective factors in this study. Parenting styles are
the basis for personality development, self-image, emotional function and conflict-
facing mechanisms in adolescents. Non-exposure parenting styles provide
autonomy, a clear sense of responsibility, as well as warmth to adolescents.
Furthermore, this specific type of parenting does not place guilt on their children
and by doing so avoids internalization of issues in adolescents. Subsequently,
adolescents are more competent to deal with stress and do not use the internet as
escapism to modify negative feelings.

The factors mentioned above influence IA on different levels. Based on the logistic
regression results, a logistical regression equation can be made to predict the
probability of an adolescent to experience internet addiction.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


185

y = -2.402 + (0,602*purpose) + (1.061*duration) + (0.599*age_of_onset) +


(0.652*emotional_problems) + (0.932*conduct_disorder) +
(0.564*prosocial_problems) + (-0.659*parenting_styles)

Conclusion and Recommendations

This study resulted in the instrument of KDAI which has a fit model, good
reliability and validity values, and a good level of agreement with CVR > 0.51 dan
CVI > 0.90. The KDAI also has good validity and construct (loading factor > 0.4
with a good fit) as well as good reliability (Cronbach’s alpha 0.942). These
characteristics result in KDAI having good psychometric scores. The cut-off of
KDAI, 108, provides high AUC scores, sensitivity, and specificity. It can be
concluded that the cut-off of KDAI is appropriate to assess IA in Indonesia.

Aside from having psychometric advantages, KDAI also has a significant


advantage due to its ability to portray a correlation in brain functional connectivity.
Through rs-fMRI examinations and comparing them with KDAI scores, KDAI is
able to represent changes in brain functional connectivity that happens in IA. Thus,
KDAI has substantial superiority compared to other questionnaires used to diagnose
IA. This study also found a high prevalence of internet addiction in adolescents.
Factors found to increase IA include the duration of internet use, purpose of internet
use, emotional problems, conduct disorder, age of onset of internet use, and
prosocial behaviour problems. On the other hand, non-exposure parenting style was
found to be the only protective factor for IA.

Based on this study, a few measures can be implemented. Firstly, the high
prevalence of IA found in this study increases the need for IA risk assessments,
early detection of IA using KDAI, as well as the formation of prevention programs
for IA in adolescents. Secondly, the establishment of a behavioural addiction
module, specifically for IA, is required to provide treatment as early as possible.
Lastly, studies regarding IA need to be made, particularly to find its cause and
optimal treatment for AI.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


187

DAFTAR PUSTAKA

1. International Telecommunication Union, Telecommunication Development


Bureau, ICT Data and Statistics Division. ICT facts and figures: the world in
2015. Geneva (Switzerland): International Telecommunication Union; 2015.
2. Mak KK, Lai CM, Watanabe H, Kim DI, Bahar N, Ramos M, et al.
Epidemiology of internet behaviors and addiction among adolescents in six
asian countries. Cyberpsychology Behav Soc Netw. 2014;17(11):720–8.
3. ITU. Percentage of individuals using the internet: un system data catalog
[Internet]. 2015 Dec 22 [cited 2019 Jul 23]. Available from:
https://undatacatalog.org/dataset/percentage-individuals-using-internet.
4. KOMINFO P. Siaran pers No. 17/PIH/KOMINFO/2/2014 tentang riset
kominfo dan unicef mengenai perilaku anak dan remaja dalam menggunakan
internet [Internet]. 2014 Feb 18 [cited 2019 Sep 11]. Available from:
//kominfo.go.id:443/content/detail/3834/siaran-pers-no-
17pihkominfo22014-tentang-riset-kominfo-dan-unicef-mengenai-perilaku-
anak-dan-remaja-dalam-menggunakan-internet/0/siaran_pers.
5. KOMINFO P. Indonesia peringkat lima pengguna twitter [Internet]. 2012
Nov 02 [cited 2019 Sep 11]. Available from: //kominfo.go.id:443/content/
detail/2366/indonesia-peringkat lima-pengguna-twitter/0/sorotan_media.
6. Brand M, Laier C, Young KS. Internet addiction: coping styles, expectancies,
and treatment implications. Front Psychol [Internet]. 2014 Nov 11 [cited
2019 Jul 6];5. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC4227484/.
7. Young KS. Internet addiction: The emergence of a new clinical disorder.
Cyberpsychol Behav. 1998;1(3):237–44.
8. Yen JY, Ko CH, Yen CF, Wu HY, Yang MJ. The comorbid psychiatric
symptoms of Internet addiction: attention deficit and hyperactivity disorder
(ADHD), depression, social phobia, and hostility. J Adolesc Health Off Publ
Soc Adolesc Med. 2007;41(1):93–8.
9. Esfandiari N, Nouri A, Golparvar M, Yarmohammadian MH. The
relationship between social anxiety and online communication among
adolescents in the city of isfahan, iran. Int J Prev Med. 2013;4(4):390–5.
10. Rafla M, Carson NJ, DeJong SM. Adolescents and the internet: what mental
health clinicians need to know. Curr Psychiatry Rep. 2014;16(9):1–10.
11. Block JJ. Issues for DSM-V: internet addiction. Am J Psychiatry.
2008;165(3):306–7.
12. Brand M, Young KS, Laier C. Prefrontal control and internet addiction: a
theoretical model and review of neuropsychological and neuroimaging
findings. Front Hum Neurosci. 2014;8(375):1–13.
13. Oldrati V, Patricelli J, Colombo B, Antonietti A. The role of dorsolateral
prefrontal cortex in inhibition mechanism: a study on cognitive reflection test

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


188

and similar tasks through neuromodulation. Neuropsychologia.


2016;91:499–508.
14. Kleinrock L. History of the internet and its flexible future. Wirel Commun.
2008;15(1):8–18.
15. Shaffer HJ, Hall MN, Vander Bilt J. “Computer addiction”: a critical
consideration. Am J Orthopsychiatry. 2000;70(2):162–8.
16. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders. 5th ed. Washington, D.C. American Psychiatric
Association; 2013.
17. WHO. Gaming disorder [Internet]. 2018 Sep [cited 2019 Sep 30]. Available
from: http://www.who.int/features/qa/gaming-disorder/en/.
18. Widyanto L, Griffiths MD, Brunsden V. A psychometric comparison of the
internet addiction test, the internet-related problem scale, and self-diagnosis.
Cyberpsychology Behav Soc Netw. 2011;14(3):141–9.
19. Sanou B. MDGs 2000-2015: ICT revolution and remaining gaps. Geneva:
International Telecommunication Union; 2015.
20. Livingstone S, Smith PK. Annual research review: harms experienced by
child users of online and mobile technologies: the nature, prevalence and
management of sexual and aggressive risks in the digital age. J Child Psychol
Psychiatry. 2014;55(6):635–54.
21. Lissitsa S. Life satisfaction in the internet age - changes in the past decade.
Comput Hum Behav. 2016;54:197–206.
22. UKCCIS. Good practice guidance for the providers of social networking and
other user-interactive services [Internet]. 2011 [cited 2019 Jul 23]. Available
from:
https://dera.ioe.ac.uk//1970/3/industry%20guidance%20%20%20social%20
networking.pdf.
23. Young KS. The evolution of Internet addiction. Addict Behav.
2017;64:229–30.
24. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 4th ed. Washington, D.C. American Psychiatric
Association; 1994.
25. WHO. Adolescent health and development [Internet]. 2019 [cited 2019 Jul
23]. Available from: http://www.searo.who.int/child_adolescent/ topics/
adolescent_health/en/.
26. Bordini B, Rosenfield RL. Normal pubertal development: part II: clinical
aspects of puberty. Pediatr Rev. 2011;32(7):281–92.
27. Chulani VL, Gordon LP. Adolescent growth and development. Prim Care
Clin Off Pract. 2014;41(3):465–87.
28. Ragelienė T. Links of adolescents identity development and relationship with
peers: a systematic literature review. J Can Acad Child Adolesc Psychiatry.
2016;25(2):97–105.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


189

29. Branje S. Development of parent–adolescent relationships: conflict interactions


as a mechanism of change. Child Dev Perspect. 2018;12(3):171–6.
30. Koss WA. Development of the adolescent prefrontal cortex and basolateral
amygdala and the effects of puberty and alcohol exposure [dissertation].
Illinois, US): University of Illinois; 2013 [cited 2019 Jul 23]. Available from:
https://pdfs.semanticscholar.org/eff7/
61066fe98c478ad4b87455740ca3073ecce3.pdf
31. Robbins TW, Clark L. Behavioral addictions. Curr Opin Neurobiol.
2015;30:66–72.
32. Karim R, Chaudhri P. Behavioral addictions: an overview. J Psychoactive
Drugs. 2012;44(1):5–17.
33. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders [Internet]. 2013 [cited 2019 Jul 6]. Available from:
https://psychiatryonline.org/doi/book/ 10.1176/appi.books.9780890425596.
34. Young KS, Pistner M, O’Mara J, Buchanan J. Cyber disorders: the mental
health concern for the new millennium. Cyberpsychology Behav Impact
Internet Multimed Virtual Real Behav Soc. 1999;2(5):475–9.
35. Young KS, Abreu CN. Internet addiction: a handbook and guide to
evaluation and treatment. New Jersey: John Wiley & Sons; 2010.
36. Davis RA. A cognitive-behavioral model of pathological Internet use.
Comput Hum Behav. 2001;17(2):187–95.
37. Tao R, Huang X, Wang J, Zhang H, Zhang Y, Li M. Proposed diagnostic
criteria for internet addiction. Addiction. 2010;105(3):556–64.
38. Kuss DJ, Griffiths MD, Karila L, Billieux J. Internet addiction: a systematic
review of epidemiological research for the last decade. Curr Pharm Des.
2014;20(25):4026–52.
39. Chen SH, Weng LJ, Su YJ, Wu HM, Yang PF. Development of a chinese
internet addiction scale and its psychometric study. Chin J Psychol.
2003;45(3):279–94.
40. Jelenchick LA, Becker T, Moreno MA. Assessing the psychometric
properties of the internet addiction test (IAT) in US college students.
Psychiatry Res. 2012;196(2–3):296–301.
41. Watters CA, Keefer KV, Kloosterman PH, Summerfeldt LJ, Parker JDA.
Examining the structure of the internet addiction test in adolescents: a
bifactor approach. Comput Hum Behav. 2013;29(6):2294–302.
42. Widyanto L, McMurran M. The psychometric properties of the internet
addiction test. Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual
Real Behav Soc. 2004;7(4):443–50.
43. Fernández-Villa T, Molina AJ, García-Martín M, Llorca J, Delgado-
Rodríguez M, Martín V. Validation and psychometric analysis of the internet
addiction test in spanish among college students. BMC Public Health.
2015;15:953.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


190

44. Fioravanti G, Casale S. Evaluation of the psychometric properties of the


italian internet addiction test. Cyberpsychology Behav Soc Netw.
2015;18(2):120–8.
45. Barke A, Nyenhuis N, Kröner-Herwig B. The German version of the internet
addiction test: a validation study. Cyberpsychology Behav Soc Netw.
2012;15(10):534–42.
46. Guertler D, Rumpf H-J, Bischof A, Kastirke N, Petersen KU, John U, et al.
Assessment of problematic internet use by the compulsive internet use scale
and the internet addiction test: a sample of problematic and pathological
gamblers. Eur Addict Res. 2014;20(2):75–81.
47. Pontes HM, Patrão IM, Griffiths MD. Portuguese validation of the internet
addiction test: an empirical study. J Behav Addict. 2014;3(2):107–14.
48. Khazaal Y, Billieux J, Thorens G, Khan R, Louati Y, Scarlatti E, et al. French
validation of the internet addiction test. Cyberpsychology Behav Impact
Internet Multimed Virtual Real Behav Soc. 2008;11(6):703–6.
49. Hawi NS, Blachnio A, Przepiorka A. Polish validation of the internet
addiction test. Comput Hum Behav. 2015;48:548–53.
50. Korkeila J, Kaarlas S, Jääskeläinen M, Vahlberg T, Taiminen T. Attached to
the web —harmful use of the internet and its correlates. Eur Psychiatry J
Assoc Eur Psychiatr. 2010;25(4):236–41.
51. Tsimtsiou Z, Haidich A-B, Kokkali S, Dardavesis T, Young KS, Arvanitidou
M. Greek version of the internet addiction test: a validation study. Psychiatr
Q. 2014;85(2):187–95.
52. Boysan M, Kuss DJ, Barut Y, Ayköse N, Güleç M, Özdemir O. Psychometric
properties of the turkish version of the internet addiction test (IAT). Addict
Behav. 2017;64:247–52.
53. Panayides P, Walker MJ. Evaluation of the psychometric properties of the
internet addiction test (IAT) in a sample of cypriot high school students: the
rasch measurement perspective. Eur J Psychol. 2012;8(3):327─351.
54. Lee K, Lee HK, Gyeong H, Yu B, Song YM, Kim D. Reliability and validity
of the korean version of the internet addiction test among college students. J
Korean Med Sci. 2013;28(5):763–8.
55. Lai CM, Mak KK, Watanabe H, Ang RP, Pang JS, Ho RCM. Psychometric
properties of the internet addiction test in chinese adolescents. J Pediatr
Psychol. 2013;38(7):794–807.
56. Lai CM, Mak KK, Cheng C, Watanabe H, Nomachi S, Bahar N, et al.
Measurement invariance of the internet addiction test among hong kong,
japanese, and malaysian adolescents. Cyberpsychology Behav Soc Netw.
2015;18(10):609–17.
57. Guan NC, Isa SM, Hashim AH, Pillai SK, Singh MKH. Validity of the malay
version of the internet addiction test: a study on a group of medical students
in malaysia. Asia Pac J Public Health. 2015;27(2):NP2210–9.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


191

58. Karim AKMR, Nigar N. The internet addiction test: assessing its
psychometric properties in bangladesh culture. Asian J Psychiatry.
2014;10:75–83.
59. Conti MA, Jardim AP, Hearst N, Cordás TA, Tavares H, Abreu CN de.
Avaliação da equivalência semântica e consistência interna de uma versão
em português do internet addiction test (IAT). Arch Clin Psychiatry São
Paulo. 2012;39(3):106–10.
60. Stavropoulos V, Alexandraki K, Motti F. Recognizing internet addiction:
prevalence and relationship to academic achievement in adolescents enrolled
in urban and rural greek high schools. J Adolesc. 2013;36(3): 565─76.
61. Meerkerk GJ, Van Den Eijnden RJJM, Vermulst AA, Garretsen HFL. The
compulsive internet use scale (CIUS): some psychometric properties.
Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual Real Behav Soc.
2009;12(1):1–6.
62. Caplan SE. Problematic Internet use and psychosocial well-being:
development of a theory-based cognitive-behavioral measurement
instrument. Comput Hum Behav. 2002;18:553–75.
63. Caplan SE. Theory and measurement of generalized problematic internet use:
a two-stepapproach. Comput Hum Behav. 2010;26(5):1089–97.
64. Kim DI, Chung YJ, Lee EA, Kim DM, Cho YM. Development of internet
addiction proneness scale-short form (KS scale). Korea J Couns.
2008;9:1703–22.
65. Lopez-Fernandez O, Freixa-Blanxart M, Honrubia-Serrano ML. The
problematic internet entertainment use scale for adolescents: prevalence of
problem internet use in spanish high school students. Cyberpsychology
Behav Soc Netw. 2013;16(2):108–18.
66. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition: DSM-IV-TR®. Washington, D.C:
American Psychiatric Association; 2000.
67. Xu J, Shen L, Yan C, Hu H, Yang F, Wang L, et al. Personal characteristics
related to the risk of adolescent internet addiction: a survey in shanghai, china.
BMC Public Health. 2012;12(1):1106.
68. Beranuy M, Oberst U, Carbonell X, Chamarro A. Problematic internet and
mobile phone use and clinical symptoms in college students: the role of
emotional intelligence. Comput Hum Behav. 2009;25(5):1182–7.
69. Sun P, Johnson CA, Palmer P, Arpawong TE, Unger JB, Xie B, et al.
Concurrent and predictive relationships between compulsive internet use and
substance use: findings from vocational high school students in china and the
USA. Int J Environ Res Public Health. 2012;9(3):660–73.
70. Liu TC, Desai RA, Krishnan-Sarin S, Cavallo DA, Potenza MN. Problematic
internet use and health in adolescents: data from a high school survey in
connecticut. J Clin Psychiatry. 2011;72(6):836–45.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


192

71. Bener A, Al-Mahdi HS, Ali AI, Al-Nufal M, Vachhani PJ, Tewfik I. Obesity
and low vision as a result of excessive internet use and television viewing.
Int J Food Sci Nutr. 2011;62(1):60–2.
72. Mythily S, Qiu S, Winslow M. Prevalence and correlates of excessive
internet use among youth in singapore. Ann Acad Med Singapore.
2008;37(1):9–14.
73. Wölfling K, Müller K, Beutel M. In: Diagnostic measures: scale for the
assessment of internet and computer game addiction (AICAS). In: Mücken
D, Teske A, Rehbein F, te Wildt B, editors. Prevention, diagnostics, and
therapy of computer game addiction. Lengerich: Pabst Science; 2010. p.
212–5.
74. Thatcher A, Goolam S. Development and psychometric properties of the
problematic internet use questionnaire. South Afr J Psychol.
2005;35(4):793–809.
75. Demetrovics Z, Szeredi B, Rózsa S. The three-factor model of internet
addiction: the development of the problematic internet use questionnaire.
Behav Res Methods. 2008;40(2):563–74.
76. Ceyhan E, Ceyhan AA, Gurcan A. The validity and reliability of the
problematic internet usage scale. Educ Sci Theory Pract. 2007;7(1):411–6.
77. Huang Z, Wang M, Qian M, Zhong J, Tao R. Chinese internet addiction
inventory: developing a measure of problematic internet use for chinese
college students. Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual
Real Behav Soc. 2007;10(6):805–11.
78. Bergmark KH, Bergmark A, Findahl O. Extensive internet involvement—
addiction OR emerging lifestyle?. Int J Environ Res Public Health. 2011
Dec;8(12):4488–501.
79. Beutel ME, Brähler E, Glaesmer H, Kuss DJ, Wölfling K, Müller KW.
Regular and problematic leisure-time internet use in the community: results
from a german population-based survey. Cyberpsychology Behav Soc Netw.
2011 May;14(5):291–6.
80. Cho H, Kwon M, Choi JH, Lee SK, Choi JS, Choi SW, et al. Development
of the internet addiction scale based on the internet gaming disorder criteria
suggested in DSM-5. Addict Behav. 2014 Sep;39(9):1361–6.
81. Adrian, Ekowati AL, Suryani E. Gambaran masalah emosi dan perilaku pada
pelajar SMA Regina Pacis Jakarta dengan Adiksi Internet. Damianus J Med.
2014;13:199–207.
82. Koob GF, Arends MA, Le Moal M. Drugs, addiction, and the brain [Internet].
Oxford: Academic Press; 2014 [cited 2019 Jul 24]. Available from:
http://www.myilibrary.com?id= 627103.
83. Kurniasanti KS, Assandi P, Ismail RI, Nasrun MWS, Wiguna T. Internet
addiction: a new addiction? Med J Indones. 2019;28(1):82–91.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


193

84. Galanter M, Kleber HD, Brady K, editors. The american psychiatric


publishing textbook of substance abuse treatment. Fifth edition. Washington,
DC: American Psychiatric Publishing; 2015.
85. Paloyelis Y, Mehta MA, Kuntsi J, Asherson P. Functional magnetic
resonance imaging in attention deficit hyperactivity disorder (ADHD): a
systematic literature review. Expert Rev Neurother. 2007;7(10):1337–56.
86. Ogawa S, Lee TM, Nayak AS, Glynn P. Oxygenation-sensitive contrast in
magnetic resonance image of rodent brain at high magnetic fields. Magn
Reson Med. 1990;14(1):68–78.
87. Huettel SA, Song AW, McCarthy G. Functional magnetic resonance imaging.
2nd ed. Sunderland: Sinauer Associates; 2008.
88. Elliott ML, Knodt AR, Cooke M, Kim MJ, Melzer TR, Keenan R, et al.
General functional connectivity: shared features of resting-state and task
fMRI drive reliable and heritable individual differences in functional brain
networks. NeuroImage. 2019;189:516–32.
89. Petersen SE, Dubis JW. The mixed block/event-related design. NeuroImage.
2012;62(2):1177–84.
90. Dill T. Contraindications to magnetic resonance imaging. Heart.
2008;94(7):943–8.
91. Park CH, Chun J, Cho H, Jung YC, Choi J, Kim DJ. Is the internet gaming-
addicted brain close to be in a pathological state? Addict Biol. 2015;22 (1):
296-205.
92. Kühn S, Gleich T, Lorenz RC, Lindenberger U, Gallinat J. Playing super
mario induces structural brain plasticity: gray matter changes resulting from
training with a commercial video game. Mol Psychiatry. 2014;19(2):265–71.
93. Chu WJ, Delbello MP, Jarvis KB, Norris MM, Kim MJ, Weber W, et al.
Magnetic resonance spectroscopy imaging of lactate in patients with bipolar
disorder. Psychiatry Res. 2013;213(3):230–4.
94. Li B, Friston KJ, Liu J, Liu Y, Zhang G, Cao F, et al. Impaired frontal-basal
ganglia connectivity in adolescents with internet addiction. Sci Rep.
2014;4:5027.
95. Dong G, Devito EE, Du X, Cui Z. Impaired inhibitory control in “internet
addiction disorder”: a functional magnetic resonance imaging study.
Psychiatry Res. 2012;203(2–3):153–8.
96. Sun Y, Ying H, Seetohul RM, Xuemei W, Ya Z, Qian L, et al. Brain fMRI
study of crave induced by cue pictures in online game addicts (male
adolescents). Behav Brain Res. 2012;233(2):563–76.
97. Ko CH, Liu GC, Yen JY, Yen CF, Chen CS, Lin WC. The brain activations
for both cue-induced gaming urge and smoking craving among subjects
comorbid with Internet gaming addiction and nicotine dependence. J
Psychiatr Res. 2013;47(4):486–93.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


194

98. Zhu Y, Zhang H, Tian M. Molecular and functional imaging of internet


addiction. BioMed Res Int. 2015;2015:1–9.
99. Jurado MB, Rosselli M. The elusive nature of executive functions: a review
of our current understanding. Neuropsychol Rev. 2007;17(3):213–33.
100. Sun P, Johnson CA, Palmer P, Arpawong TE, Unger JB, Xie B, et al.
Concurrent and predictive relationships between compulsive internet use and
substance use: findings from vocational high school students in china and the
USA. Int J Environ Res Public Health. 2012;9(3):660–73.
101. Ko CH, Wang PW, Liu TL, Yen CF, Chen CS, Yen JY. Bidirectional
associations between family factors and internet addiction among
adolescents in a prospective investigation. Psychiatry Clin Neurosci. 2015
Apr 1;69(4):192–200.
102. Kim J, Haridakis PM. The role of internet user characteristics and motives in
explaining three dimensions of internet addiction. J Comput-Mediat
Commun. 2009 Jul;14(4):988–1015.
103. Ozturk FO, Ekinci M, Ozturk O, Canan F. The Relationship of affective
temperament and emotional-behavioral difficulties to internet addiction in
turkish teenagers. ISRN Psychiatry. 2013;2013:961734.
104. Strittmatter E, Parzer P, Brunner R, Fischer G, Durkee T, Carli V, et al. A 2-
year longitudinal study of prospective predictors of pathological Internet use
in adolescents. Eur Child Adolesc Psychiatry. 2016;25(7):725─34.
105. Guo J, Chen L, Wang X, Liu Y, Chui CHK, He H, et al. The relationship
between internet addiction and depression among migrant children and left-
behind children in china. Cyberpsychology Behav Soc Netw.
2012;15(11):585–90.
106. Tao Z. The relationship between internet addiction and bulimia in a sample
of chinese college students: depression as partial mediator between internet
addiction and bulimia. Eat Weight Disord. 2013;18(3):233─43.
107. Kandri T, Bonotis K, Floros G, M Maria Z. Alexithymia components in
excessive internet users: a multi-factorial analysis. Psychiatry Res.
2014;220(1-2): 348─55.
108. Rothbart MK. Temperament, development, and personality. Curr Dir
Psychol Sci. 2007;16(4):207–12.
109. Kose S. A psychobiological model of temperament and character: TCI. Yeni
Symp. 2003;41.
110. Kernis MH, Brockner J, Frankel BS. Self-esteem and reactions to failure: the
mediating role of overgeneralization. J Pers Soc Psychol. 1989;57(4):707–
14.
111. Baumeister RF. Self-Esteem: the puzzle of low self-regard. New York:
Springer Science & Business Media; 2013.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


195

112. Strudwicke L. Sense of belonging and self-esteem : what are the implications
for educational outcomes of secondary school students? : a literature review
[Thesis]. Joondalup: Edith Cowan University; 2000.
113. Kim HK, Davis KE. Toward a comprehensive theory of problematic internet
use: evaluating the role of self-esteem, anxiety, flow, and the self-rated
importance of internet activities. Comput Hum Behav. 2009;25(2):490–500.
114. Yang SC, Tung CJ. Comparison of internet addicts and non-addicts in
taiwanese high school. Comput Hum Behav. 2007;23(1):79–96.
115. Douglas AC, Mills JE, Niang M, Stepchenkova S, Byun S, Ruffini C, et al.
Internet addiction: meta-synthesis of qualitative research for the decade
1996–2006. Comput Hum Behav. 2008 Sep 17;24(6):3027–44.
116. Aydın B, Sari S. Internet addiction among adolescents: the role of self-
esteem. Procedia Soc Behav Sci. 2011;15:3500–5.
117. Bozoglan B, Demirer V, Sahin I. Loneliness, self-esteem, and life
satisfaction as predictors of internet addiction: a cross-sectional study among
turkish university students. Scand J Psychol. 2013;54(4):313–9.
118. Cowen P, Harrison P, Burns T. Shorter oxford textbook of psychiatry.
Oxford: OUP; 2012.
119. Jia R, Jia HH. Maybe you should blame your parents: parental attachment,
gender, and problematic Internet use. J Behav Addict. 2016; 5(3):524–8.
120. Galvin KM, Braithwaite DO, Bylund CL. Family communication: cohesion
and change. New York: Routledge; 2015.
121. Olson DH. Circumplex model of marital and family systems. J Fam Ther.
2000;22(2):144–67.
122. Epstein NB, Baldwin LM, Bishop DS. The mcmaster family assessment
device. J Marital Fam Ther. 1983;9(2):171–80.
123. Ratner K. Boundaries: the relationships among family structure, identity
style, and psychopathology [thesis]. Florida: University of Central Florida;
2015.
124. Cacioppo JT, Freberg L. Discovering psychology: the science of mind.
Belmont, CA: Wadsworth; 2013.
125. Karapetsas AV, Fotis A, Zygouris N. Adolescents and internet addiction: a
research study of the occurrence. Encephalos. 2012;49:67–72.
126. Lee JY, Shin KM, Cho SM, Shin YM. Psychosocial risk factors associated
with internet addiction in korea. Psychiatry Investig. 2014;11(4):380–6.
127. Leung L, Lee PSN. The influences of information literacy, internet addiction
and parenting styles on internet risks. New Media Soc. 2012;14(1):117–36.
128. Dogan H, Bozgeyikli H, Bozdas C. Perceived parenting styles as predictor
of internet addiction in adolescence. Int J Res Educ Sci. 2015;1:167.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


196

129. Moazedian A, Taqavi SA, HosseiniAlmadani SA, Mohammadyfar MA,


Sabetimani M. Parenting style and internet addiction. J Life Sci Biomed.
2014;4(1):9–14.
130. He F, Zhou Q, Li J, Cao R, Guan H. Effect of social support on depression
of internet addicts and the mediating role of loneliness. Int J Ment Health
Syst. 2014;8:34.
131. Naseri L, Mohamadi J, Sayehmiri K, Azizpoor Y. Perceived social support,
self-esteem, and internet addiction among students of al-zahra university,
tehran, iran. Iran J Psychiatry Behav Sci [Internet]. 2015 Sep 23 [cited 2019
Jul 25];9(3). Available from: http://ijpsychiatrybs.com/en/articles/421.html.
132. Einolf C. Empathic concern and prosocial behaviors: a test of experimental
results using survey data. Soc Sci Res. 2009;37:1267–79.
133. Lam CM. Prosocial involvement as a positive youth development construct:
a conceptual review. Sci World J [Internet]. 2012 Apr 30 [cited 2019 Jul
25];2012. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC3353316/.
134. Lam LT, Peng ZW. Effect of pathological use of the internet on adolescent
mental health: a prospective study. Arch Pediatr Adolesc Med [Internet].
2010 Aug 1 [cited 2019 Sep 5]; 164(10). Available from:
http://archpedi.jamanetwork.com/article.aspx?doi=10.1001/arch
pediatrics.2010.159.
135. Li M, Deng Y, Ren Y, Guo S, He X. Obesity status of middle school students
in xiangtan and its relationship with internet addiction: obesity and internet
addiction. Obesity. 2014;22(2):482–7.
136. HM J. Pedoman survei kuesioner : mengembangkan kuesioner, mengatasi
bias, dan meningkatkan respon [Internet]. 2014 [cited 2019 Aug 21].
Available from: //fia.ub.ac.id/katalog/index.php?p=show_detail&id=810&
keywords=.
137. Janke KK, Kelley KA, Sweet BV, Kuba SE. A modified delphi process to
define competencies for assessment leads supporting a doctor of pharmacy
program. Am J Pharm Educ. 2016;80(10):1–8.
138. Huey ED, Krueger F, Grafman J. Representations in the human prefrontal
cortex. Curr Dir Psychol Sci. 2006;15(4):167–71.
139. Christiany Suwartono. Regression: Chapter 16. Paper presented at; Atma
Jaya Catholic University of Indonesia; 2019; Jakarta, Indonesia.
140. Griffiths MD, van Rooij AJ, Kardefelt-Winther D, Starcevic V, Király O,
Pallesen S, et al. Working towards an international consensus on criteria for
assessing internet gaming disorder: a critical commentary on petry et al.
(2014). Addict Abingdon Engl. 2016;111(1):167–75.
141. Young KS. Internet addiction: The emergence of a new clinical disorder.
Cyberpsychol Behav. 1998;1(3):237–44.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


197

142. King DL, Delfabbro PH, Zwaans T, Kaptsis D. Clinical features and axis i
comorbidity of australian adolescent pathological internet and video game
users. Aust N Z J Psychiatry. 2013;47(11):1058–67.
143. Gogtay NJ, Thatte UM. Statistical evaluation of diagnostic tests (part 1):
sensitivity, ;specificity, positive and negative predictive values. J Assoc
Physicians India. 2017;65(6):80–4.
144. Seok JW, Sohn JH. Altered functional disconnectivity in internet addicts
with resting-state functional magnetic resonance imaging. J Ergon Soc Korea.
2014;33:377–86.
145. Fujiwara H, Yoshimura S, Kobayashi K, Ueno T, Oishi N, Murai T. Neural
correlates of non-clinical internet use in the motivation network and its
modulation by subclinical autistic traits. Front Hum Neurosci. 2018;12:493.
146. Dong G, Lin X, Potenza MN. Decreased functional connectivity in an
executive control network is related to impaired executive function in
internet gaming disorder. Prog Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry.
2015;57:76–85.
147. Rogers BP, Morgan VL, Newton AT, Gore JC. Assessing functional
connectivity in the human brain by fMRI. Magn Reson Imaging.
2007;25(10):1347–57.
148. Wang L, Shen H, Lei Y, Zeng LL, Cao F, Su L, et al. Altered default mode,
fronto-parietal and salience networks in adolescents with internet addiction.
Addict Behav. 2017;70:1–6.
149. Lin F, Zhou Y, Du Y, Zhao Z, Qin L, Xu J, et al. Aberrant corticostriatal
functional circuits in adolescents with internet addiction disorder. Front Hum
Neurosci. 2015; 9: 356.
150. Shafiei G, Zeighami Y, Clark CA, Coull JT, Nagano-Saito A, Leyton M, et
al. Dopamine signaling modulates the stability and integration of intrinsic
brain networks. Cereb Cortex. 2019;29(1):397–409.
151. Weinstein AM. An update overview on brain imaging studies of internet
gaming disorder. Front Psychiatry. 2017;8:185.
152. Stanislavski K. Neurobiology, creativity, and performing artists. In:
Thomson P, Jaque SV. Creativity and the performing artist: behind the mask,
a volume in explorations in creativity research. London: Academic Press;
2017. p. 79─102.
153. Raichle ME. The brain’s default mode network. Annu Rev Neurosci.
2015;38:433–47.
154. Menon V. Salience network. In: Toga AW. Brain mapping. Philadelphia:
Elsevier; 2015. p. 597─611.
155. Hong SB, Zalesky A, Cocchi L, Fornito A, Choi E-J, Kim HH, et al.
Decreased functional brain connectivity in adolescents with internet
addiction. PLOS ONE. 2013;8(2):e57831.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


198

156. Yuan K, Yu D, Cai C, Feng D, Li Y, Bi Y, et al. Frontostriatal circuits, resting


state functional connectivity and cognitive control in internet gaming
disorder. Addict Biol. 2017;22(3):813–22.
157. Kim J, Kang E. Internet game overuse is associated with an alteration of
fronto-striatal functional connectivity during reward feedback processing.
Front Psychiatry. 2018; 9: 371.
158. Dong G, Potenza MN. A cognitive-behavioral model of internet gaming
disorder: theoretical underpinnings and clinical implications. J Psychiatr Res.
2014;58:7–11.
159. Wang Y, Wu L, Zhou H, Lin X, Zhang Y, Du X, et al. Impaired executive
control and reward circuit in internet gaming addicts under a delay
discounting task: independent component analysis. Eur Arch Psychiatry Clin
Neurosci. 2017;267(3):245–55.
160. Washington SD, VanMeter JW. Anterior-posterior connectivity within the
default mode network increases during maturation. Int J Med Biol Front.
2015;21(2):207–18.
161. Stern ER, Fitzgerald KD, Welsh RC, Abelson JL, Taylor SF. Resting-state
functional connectivity between fronto-parietal and default mode networks
in obsessive-compulsive disorder. PloS One. 2012;7(5):e36356.
162. Menon V, Uddin LQ. Saliency, switching, attention and control: a network
model of insula function. Brain Struct Funct. 2010;214(5–6):655–67.
163. Zhang JT, Yao YW, Li CSR, Zang YF, Shen ZJ, Liu L, et al. Altered resting-
state functional connectivity of the insula in young adults with internet
gaming disorder. Addict Biol. 2016;21(3):743–51.
164. Sutherland MT, McHugh MJ, Pariyadath V, Stein EA. Resting state
functional connectivity in addiction: lessons learned and a road ahead.
NeuroImage. 2012;62(4):2281–95.
165. Park MH, Park EJ, Choi J, Chai S, Lee JH, Lee C, et al. Preliminary study of
internet addiction and cognitive function in adolescents based on IQ tests.
Psychiatry Res. 2011;190(2):275–81.
166. Arain M, Haque M, Johal L, Mathur P, Nel W, Rais A, et al. Maturation of
the adolescent brain. Neuropsychiatr Dis Treat. 2013;9:449–61.
167. Steinberg LD. Adolescence. Eleventh edition. New York: McGraw-Hill
Education; 2017.
168. Blair C, Granger DA, Willoughby M, Mills-Koonce R, Cox M, Greenberg
MT, et al. Salivary cortisol mediates effects of poverty and parenting on
executive functions in early childhood. Child Dev. 2011;82(6):1970–84.
169. Cerqueira JJ, Mailliet F, Almeida OFX, Jay TM, Sousa N. The prefrontal
cortex as a key target of the maladaptive response to stress. J Neurosci Off J
Soc Neurosci. 2007;27(11):2781–7.
170. Arnsten AF. Through the looking glass: differential noradenergic modulation
of prefrontal cortical function. Neural Plast. 2000;7(1–2):133–46.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


199

171. Evans GW. A multimethodological analysis of cumulative risk and allostatic


load among rural children. Dev Psychol. 2003;39(5):924–33.
172. Young KS, Abreu DCN. Internet addiction in children and adolescents: risk
factors, assessment, and treatment. New York: Springer Publishing Company;
2017.
173. Kuss DJ, Griffiths MD. Internet addiction in psychotherapy. London:
Palgrave Macmillan; 2015.
174. Dhillon M. Factors influencing self-esteem of indian female adolescents.
IOSR J Humanit Soc Sci. 2016;21(07):56–63.
175. Bos AER, Muris P, Mulkens S, Schaalma HP. Changing self-esteem in
children and adolescents: a roadmap for future interventions. Neth J Psychol.
2006;62(1):26–33.
176. Bleidorn W, Arslan RC, Denissen JJA, Rentfrow PJ, Gebauer JE, Potter J, et
al. Age and gender differences in self-esteem—a cross-cultural window. J
Pers Soc Psychol. 2016;111(3):396–410.
177. Kim Y, Jeong JE, Cho H, Jung DJ, Kwak M, Rho MJ, et al. Personality
factors predicting smartphone addiction predisposition: behavioral inhibition
and activation systems, impulsivity, and self-control. PLOS ONE.
2016;11(8):e0159788.
178. Syed EU, Hussein SA, Haidry SZ. Prevalence of emotional and behavioural
problems among primary school children in Karachi, Pakistan — multi
informant survey. Indian J Pediatr. 2009;76(6):623–7.
179. Pathak R, Sharma RC, Parvan UC, Gupta BP, Ojha RK, Goel N. Behavioural
and emotional problems in school going adolescents. Australas Med J.
2011;4(1):15–21.
180. Rucklidge JJ. Gender differences in attention-deficit/hyperactivity disorder.
Psychiatr Clin North Am. 2010;33(2):357–73.
181. Pursell GR, Laursen B, Rubin KH, Booth-LaForce C, Rose-Krasnor L.
Gender differences in patterns of association between prosocial behavior,
personality, and externalizing problems. J Res Personal. 2008;42(2):472–81.
182. Eisenberg N, Fabes RA, Spinrad TL. Prosocial development. In: Eisenberg N.
Handbook of child psychology: social, emotional, and personality development,
Vol 3. 6th ed. Hoboken: John Wiley & Sons Inc; 2006. p. 646–718.
183. Ramdhani N. Adaptasi bahasa dan budaya dari skala kepribadian big five. J
Psikol. 2012;39(2):189–205.
184. Mihara S, Osaki Y, Nakayama H, Sakuma H, Ikeda M, Itani O, et al. Internet
use and problematic internet use among adolescents in japan: a nationwide
representative survey. Addict Behav Rep. 2016;4:58–64.
185. Cheng C, Li AY. Internet addiction prevalence and quality of (real) life: a
meta-analysis of 31 nations across seven world regions. Cyberpsychology
Behav Soc Netw. 2014;17(12):755–60.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


200

186. Opensignal. Indonesia, december 2017, state of mobile networks [Internet].


2017 [cited 2019 Sep 7]. Available from: https://www.opensignal.com/
reports/2017/12/indonesia/state -of-the-mobile-network
187. Putri VM. Menkominfo puas penuhi target ponsel 4G murah [Internet]. 2017
Dec [cited 2019 Sep 10]. Available from: https://inet.detik.com/
telecommunication/d-4273491/ menkominfo-puas-penuhi-target-ponsel-4g-
murah
188. Wiguna T, Irawati Ismail R, Sekartini R, Setyawati Winarsih Rahardjo N,
Kaligis F, Prabowo AL, et al. The gender discrepancy in high-risk behaviour
outcomes in adolescents who have experienced cyberbullying in indonesia.
Asian J Psychiatry. 2018;37:130–5.
189. Martin A, Volkmar FR. Lewis’s child and adolescent psychiatry: a
comprehensive textbook. 4th edition. Philadelphia: LWW; 2007.
190. Ballarotto G, Volpi B, Marzilli E, Tambelli R. Adolescent internet abuse: a
study on the role of attachment to parents and peers in a large community
sample. BioMed Res Int. 2018;2018:1–10.
191. Lusiane L, Garvin. Tekanan orang tua, perfeksionisme, dan ketidakjujuran
akademik pada pelajar di jakarta. J Ilm Psikol MIND SET. 2019;9(01):60–77.
192. Yen CF, Yen JY, Ko CH. Internet addiction: ongoing research in asia. World
Psychiatry. 2010;9(2):97.
193. Matsumoto DR, Juang LP. Culture and psychology. Six edition. Boston. MA:
Cengage Learning; 2017.
194. Jarvis PA. Adolescent development and school achievement in urban
communities. 1st edition. Creasey G, editor. New York: Routledge; 2012.
195. Kawabe K, Horiuchi F, Miyama T, Jogamoto T, Aibara K, Ishii E, et al.
Internet addiction and attention-deficit / hyperactivity disorder symptoms in
adolescents with autism spectrum disorder. Res Dev Disabil. 2019;89:22–8.
196. Cao F, Su L. Internet addiction among chinese adolescents: prevalence and
psychological features. Child Care Health Dev. 2007;33(3):275–81.
197. PUSLITDATIN. Penggunaan narkotika di kalangan remaja meningkat
[Internet]. 2019 [cited 2019 Sep 30]. Available from:
https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-remaja-meningkat/.
198. WHO. Tackling food marketing to children in a digital world: trans-
disciplinary perspectives; children’s rights, evidence of impact,
methodological challenges, regulatory options and policy implications for
the WHO European Region [Internet]. 2019. Available from:
http://www.euro.who.int/__data/assets/ pdf_file/0017/322226/Tackling-
food-marketing-children-digital-world-trans-disciplinary-perspectives-
en.pdf.
199. Lin CH, Lin SL, Wu CP. The effects of parental monitoring and leisure
boredom on adolescents’ Internet addiction. Adolescence. 2009;44:993–
1004.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


201

200. Karacic S, Oreskovic S. Internet addiction through the phase of adolescence:


a questionnaire study. JMIR Ment Health. 2017;4(2):e11.
201. Choi J, Cho H, Lee S, Kim J, Park EC. Effect of the online game shutdown
policy on internet use, internet addiction, and sleeping hours in korean
adolescents. J Adolesc Health. 2018;62(5):548–55.
202. Vondráčková P, Gabrhelík R. Prevention of internet addiction: a systematic
review. J Behav Addict. 2016;5(4):568–79.
203. Shao G. Internet law in china. Oxford: Chandos Publishing; 2012.
204. Li G, Hou G, Yang D, Jian H, Wang W. Relationship between anxiety,
depression, sex, obesity, and internet addiction in chinese adolescents: a
short-term longitudinal study. Addict Behav. 2019;90:421–7.
205. Üneri ÖŞ, Tanıdır C. Evaluation of internet addiction in a group of high
school students: a cross-sectional study. Düşünen Adam J Psychiatry Neurol
Sci. 2011;24(4):265–72.
206. Kumar N, Kumar A, Mahto SK, Kandpal M, Deshpande SN, Tanwar P.
Prevalence of excessive internet use and its correlation with associated
psychopathology in 11th and 12th grade students. Gen Psychiatry.
2019;32(2):e100001.
207. Dufour M, Brunelle N, Tremblay J, Leclerc D, Cousineau MM, Khazaal Y, et
al. Gender difference in internet use and internet problems among quebec high
school students. Can J Psychiatry Rev Can Psychiatr. 2016;61(10):663–8.
208. Ngai SS. Exploring the validity of the internet addiction test for students in
grades 5–9 in hong kong. Int J Adolesc Youth. 2007;13(3):221–37.
209. Griffiths M, Davies M, Chappell D. Online computer gaming: a comparison
of adolescent and adult gamers. J Adolesc. 2004;27:87–96.
210. Ko CH, Yen JY, Yen CF, Lin HC, Yang MJ. Factors predictive for incidence
and remission of internet addiction in young adolescents: a prospective study.
Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual Real Behav Soc.
2007;10(4):545–51.
211. Montag C, Reuter M. Internet addiction: neuroscientific approaches and
therapeutical interventions. Springer International Publishing; 2015.
212. Hou H, Jia S, Hu S, Fan R, Sun W, Sun T, et al. Reduced striatal dopamine
transporters in people with internet addiction disorder. J Biomed Biotechnol.
2012;2012:1–5.
213. Tian M, Chen Q, Zhang Y, Du F, Hou H, Chao F, et al. PET imaging reveals
brain functional changes in internet gaming disorder. Eur J Nucl Med Mol
Imaging. 2014;41(7):1388–97.
214. Balhara YPS, Harshwardhan M, Kumar R, Singh S. Extent and pattern of
problematic internet use among school students from delhi: findings from the
cyber awareness programme. Asian J Psychiatry. 2018;34:38–42.
215. Critselis E, Janikian M, Paleomilitou N, Oikonomou D, Kassinopoulos M,
Kormas G, et al. Predictive factors and psychosocial effects of Internet

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


202

addictive behaviors in cypriot adolescents. Int J Adolesc Med Health.


2014;26(3):369–75.
216. Lee JY, Kim SY, Bae KY, Kim JM, Shin IS, Yoon JS, et al. Prevalence and
risk factors for problematic internet use among rural adolescents in korea.
Asia-Pac Psychiatry. 2018;10(2):e12310.
217. Bishop J. Psychological and social implications surrounding internet and
gaming addiction. 1st edition. Hershey: IGI Global; 2015.
218. Valkenburg PM, Peter J. Online communication among adolescents: an
integrated model of its attraction, opportunities, and risks. J Adolesc Health
Off Publ Soc Adolesc Med. 2011;48(2):121–7.
219. Lee JY, Shin KM, Cho SM, Shin YM. Psychosocial risk factors associated
with internet addiction in korea. Psychiatry Investig. 2014;11(4):380–6.
220. Ferrara P, Corsello G, Ianniello F, Sbordone A, Ehrich J, Giardino I, et al.
Internet addiction: starting the debate on health and well-being of children
overexposed to digital media. J Pediatr. 2017;191:281.
221. Ni X, Yan H, Chen S, Liu Z. Factors influencing internet addiction in a
sample of freshmen university students in China. Cyberpsychology Behav
Impact Internet Multimed Virtual Real Behav Soc. 2009;12(3):327–30.
222. Black DW, Shaw M, Coryell W, Crowe R, McCormick B, Allen J. Age at
onset of DSM-IV pathological gambling in a non-treatment sample: early-
versus later-onset. Compr Psychiatry. 2015;60:40–6.
223. Russell ST, Crockett LJ, Chao RK. Asian american parenting and parent-
adolescent relationships. New York: Springer; 2010.
224. Yang CK. Sociopsychiatric characteristics of adolescents who use computers
to excess. Acta Psychiatr Scand. 2001;104(3):217–22.
225. Park HS, Kwon YH, Park KM. Factors on internet game addiction among
adolescents. Taehan Kanho Hakhoe Chi. 2007;37:754–61.
226. Amato PR, Fowler F. Parenting practices, child adjustment, and family
diversity. J Marriage Fam. 2002;64(3):703–16.
227. Shi X, Wang J, Zou H. Family functioning and internet addiction among
chinese adolescents: the mediating roles of self-esteem and loneliness.
Comput Hum Behav. 2017;76: 201─10.
228. Ferraro G, Caci B, D’Amico A, Blasi MD. Internet addiction disorder: an
italian study. Cyberpsychol Behav. 2007;10(2):170–5.
229. Korkeila J, Kaarlas S, Jääskeläinen M, Vahlberg T, Taiminen T. Attached to
the web —harmful use of the internet and its correlates. Eur Psychiatry J
Assoc Eur Psychiatr. 2010;25(4):236–41.
230. Moss AC, Dyer KR. Psychology of addictive behaviour. Macmillan
International Higher Education; 2010.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


203

231. An H, Chung S, Park J, Kim SY, Kim KM, Kim KS. Novelty-seeking and
avoidant coping strategies are associated with academic stress in korean
medical students. Psychiatry Res. 2012;200(2–3):464–8.
232. Hanafi E, Siste K, Wiguna T, Kusumadewi I, Nasrun MW. Temperament
profile and its association with the vulnerability to smartphone addiction of
medical students in Indonesia. PLOS ONE. 2019;14(7):e0212244.
233. Ho RC, Zhang MWB, Tsang TY, Toh AH, Pan F, Lu Y, et al. The association
between internet addiction and psychiatric co-morbidity: a meta-analysis.
BMC Psychiatry. 2014;14(183):1─10.
234. Chen YL, Chen SH, Gau SSF. ADHD and autistic traits, family function,
parenting style, and social adjustment for internet addiction among children and
adolescents in taiwan: a longitudinal study. Res Dev Disabil. 2015;39:20–31.
235. Campbell SB, Stauffenberg C von. Delay and inhibition as early predictors of
ADHD symptoms in third grade. J Abnorm Child Psychol. 2008;37:1–15.
236. Wiguna T, Ismail RI, Winarsih NS, Kaligis F, Hapsari A, Budiyanti L, et al.
Dopamine transporter gene polymorphism in children with ADHD: a pilot
study in indonesian samples. Asian J Psychiatry. 2017;29:35–8

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


205

Lampiran 1. Protokol Lengkap rs-fMRI BOLD

SIEMENS MAGNETOM Trio Syngo MR2004A - GE Discovery MR 750-60 cm Bore 3 Tesla


//USER/head/Psychiatry/DMN/bold_TR2.0_4mm_6min
fMRI TR 2000
Scan time: 10:00 Voxel size: 4.0x4.0x4.0 [mm] Rel. SNR: 1.00 SIEMENS: epi_gRe
(Protocol used was based on this siemens protocol but customized for our GE machine)

Routine
Slice group 1 Adjust volume
Slices 30 Position Isocenter
Dist. Factor 0 [%] Orientation Transversal
Position Isocenter Rotation 0 [deg]
Orientation Axial R >> L 256 [mm]
Phase enc. dir. R >> L A >> P 192 [mm]
Rotation 0 [deg] F >> H 120 [mm]
Phase oversampling 0 [%]
FoV read 256 [mm] Physio
FoV phase 80 [%] 1st Signal/Mode None
Slice thickness 4 [mm]
TR 2000 [ms] BOLD
TE 30 [ms] t-Test 0
Averages 1 Treshold 4.00
Concatenantions 1 Window Growing
Filter None Dynamic t-maps 0
Coil Elements PH1, PH2, PH3, … Starting ignore meas 0
Paradigm size 20
Contrast Meas[1] Baseline
MTC 0 Meas[2] Active
Flip angle 90 [deg] Meas[3] Ignore
Reconstruction Magnitude Meas[4] Ignore
Fat suppr. Fat sat. Meas[5] Ignore
Measurements 190 Meas[6] Ignore
Delay in TR 0 [ms] Meas[7] Ignore
Multiple series 0 Meas[8] Ignore
Meas[8] Ignore
Resolution Meas[9] Ignore
Base Resolution 64 Meas[10] Ignore
Phase Resolution 100 [%] Meas[11] Ignore
Phase partial Fourier Off Meas[12] Ignore
Filter 1 Meas[13] Ignore
Raw filter Off Meas[14] Ignore
Interpolation 0 Meas[15] Ignore
PAT mode None Meas[16] Ignore
Meas[17] Ignore
Geometry Meas[18] Ignore
Multi-Slice mode Interleaved Meas[19] Ignore
Series Interleaved Meas[20] Ignore
Special sat. None Motion corrector 0
Spatial filter 0
System Sequence
Scan at current TP 0 Introduction 0
Scan region position H Averaging mode Longterm
Scan region position 0 [mm] Bandwidth 2004 [Hz/Px]
MSMA S-C-T Free echo spacing 0
Sagital R >> L Echo spacing 0.56 [ms]
Coronal A >> P EPI factor 48

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


206
(lanjutan)

Transversal F >> H RF pulse type Normal


8 Channel Head / PH5 1 Gradient mode Fast*
8 Channel Head / PH6 1
8 Channel Head / PH7 1 Phase per location
8 Channel Head / PH8 1 Phase per location 300
8 Channel Head / PH1 1
8 Channel Head / PH2 1
8 Channel Head / PH3 1
8 Channel Head / PH4 1
Body 0

Shim mode Standard


Adjust with body coil 0
Confirm freq. adjustment 0
Assume Silicone 0
Ref. amplitude [1H] 35.000 [V]

SIEMENS MAGNETOM TrioTim Syngo MR B17 - GE Discovery MR 750-60 cm Bore 3


Tesla
//USER/head/Psychiatry_old_protocols/Schizo_4th_period/gre_field_mapping_mag
fMRI TR 2000
TA: 2:16 Voxel size: 3.0x3.0x3.0 [mm] Rel. SNR: 1.00 SIEMENS:
gre_field_mapping (GRE)
(Protocol used was based on this siemens protocol but customized for our GE machine)

Properties Image filter Off


Prio Recon Off Distortion Corr. Off
Before measurement Prescan Normalize Off
After measurement Normalize Off
Load to viewer On B1 filter Off
Inline movie Off Raw filter Off
Auto store images On Elliptical filter Off
Load to stamp segments Off
Load images to graphic Off Geometry
segments Multi-Slice mode Interleaved
Auto open inline display Off Series Interleaved
Start measurement without On Special sat. None
further preparation
Wait for user to start On System
Start measurement single Body Off
HEA On
Routine HEP On
Slice group 1 Positioning mode FIX
Slices 46 Table position H
Dist. Factor 0 [%] Table position 0 mm
Position Isocenter MSMA S -C -T
Orientation Transversal Sagittal R >> L
Phase enc. dir. R >> L Coronal A >> P
Rotation 90.00 deg Transversal F >> H
Phase oversampling 0 [%] Save uncombined Off
Coil combine Adaptive
FoV read 22.0 mm mode combine
FoV phase 100.0% Autoalign ---
Slice thickness 3.0 mm Auto coil select Default
TR 511 ms Shim mode Standard

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


207

(lanjutan)
TE 1 5.30 ms Adjust with body 0
coil
TE 2 10.60 ms Confirm freq. 0
adjust
Averages 1 Assume Silicone 0
Concatenantions 1 ? Ref. amplitude 35.000 [V]
[1H]
Filter None Adjustment Auto
Tolerance
Coil Elements HEA;HEP Adjust volume
Position Isocenter
Contrast Orientation Transversal
MTC off Rotation 90.00 deg
Flip angle 60 deg A >> P 192 mm
Fat suppr. Fat sat. R >> L 192 mm
Averaging mode Long term F >> H 138 mm
Reconstruction Magnitude
Measurements 1 Sequence
Multiple series Each measurement Introduction On
Dimension 2D
Resolution Asymmetric echo Off
Base Resolution 128 Contrasts 2
Phase Resolution 100 [%] Bandwidth 260 Hz/Px
Phase partial Fourier Off Flow comp. Yes
Interpolation Off RF pulse type Nomal
Matrix Coil Mode Auto (CP) Gradient mode Nomal
RF spoiling On

SIEMENS MAGNETOM Trio Syngo MR2004A - GE Discovery MR 750-60 cm Bore 3 Tesla


//USER/head/Psychiatry/Schizo_3rdperiod_structure/T1_MRPAGE_axial
Scan time: 5:03 Voxel size: 0.9x0.9x1.0 [mm] Rel. SNR: 1.00 SIEMENS: tfl
(Protocol used was based on this siemens protocol but customized for our GE machine)

Routine MSMA S-C-T


Slab group 1 Sagital R >> L
Slabs 1 Coronal A >> P
Dist. Factor 0,5 Transversal F >> H
Position R0.4 A37.9 F3.5 mm 8 Channel Head / PH5 1
Orientation Transversal 8 Channel Head / PH6 1
Frequency A >> P 8 Channel Head / PH7 1
Rotation 90 deg 8 Channel Head / PH8 1
Phase oversampling 0 [%] 8 Channel Head / PH1 1
Slice oversampling 23 [%] 8 Channel Head / PH2 1
Slices per slab 208 8 Channel Head / PH3 1
FoV read 240 ]mm] 8 Channel Head / PH4 1
FoV phase 1.00 Body 0
Slice thickness 1 [mm] Shim mode Tune up
TR 8.2 Adjust with body coil 0
Confirm freq.
TE 3.2 adjustment 0
Averages 1 Assume Silicone 0

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


208

(lanjutan)
Concatenations 1 Ref. amplitude [1H] 35.000 [V]
Filter Elliptical filter Adjust volume
Coil elements PH1, PH2, PH3, … Position Isocenter
Orientation Transversal
Contrast Rotation 0 [deg]
Magn. Preparation Non-sel. IR R >> L 350 [mm]
TI 450 [ms] A >> P 263 [mm]
Flip angle 12 [deg] F >> H 350 [mm]
Reconstruction Magnitude
Fat suppr. None Physio
Water suppr. None 1st Signal/Mode None
Measurement 1 Dark blood 0
Resp. control Off
Resolution Inline
Base Resolution 256 Subtract 0
Phase Resolution 100 [%] Std-Dev-Sag 0
Slice resolution 75 [%] Std-Dev-Cor 0
Phase partial Fourier Off Std-Dev-Tra 0
Slice partial Fourier Off Std-Dev-Time 0
Filter 1 MIP-Sag 0
Raw filter Off MIP-Cor 0
Filter 2 MIP-Tra 0
Large FoV Off MIP-Time 0
Filter 3 Save original images 1
Normalize Off
Filter 4 Sequence
Elliptical filter On Introduction 1
Interpolation 0 Dimension 3D
PAT mode Acceleration Elliptical scanning 0
Accel. Factor PE 2 Averaging mode Longterm
Ref. lines PE 24 Asymmetric echo Allowed
Bandwidth 130 [Hz/Px]
Geometry Echo spacing 9.6 [ms]
Multi-Slice mode Single Shot RF pulse type Fast
Series Ascending Gradient mode Fast*
Excitation Stab-sel
System RF spoiling 1
Save uncombined 0
Scan at current TP 0
Scan region position H
Scan region position 0 [mm]

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


209

(lanjutan)
SIEMENS MAGNETOM Trio Syngo MR2004A - GE Discovery MR 750-60 cm Bore 3 Tesla
//USER/head/Psychiatry/DMN/bold_TR2.0_4mm_6min
Scan time: 4:20 Voxel size: 4.0x4.0x4.0 [mm] Rel. SNR: 1.00
SIEMENS: ep2d_pace (echo planar imaging gradient echo) (fMRI non brainwave)
(Protocol used was based on this siemens protocol but customized for our GE machine)

Routine Shim mode Standard


Slice group 1 Adjust with body coil 0
Confirm freq.
Slices 30 adjustment 0
Dist. Factor 0 [%] Assume Silicone 0
Position Isocenter Ref. amplitude [1H] 35.000 [V]
Orientation Axial
Phase enc. dir. R >> L Adjust volume
Rotation 0 [deg] Position Isocenter
Transversal
Phase oversampling 0 [%] Orientation
FoV read 256 [mm] Rotation 0 [deg]
FoV phase 75 [%] R >> L 256 [mm]
Slice thickness 4 [mm] A >> P 192 [mm]
TR 2000 [ms] F >> H 120 [mm]
TE 30 [ms]
Averages 1 Physio
Concatenantions 1 1st Signal/Mode None
Filter None
PH1, PH2, PH3,
Coil Elements … BOLD
t-Test 0
Contrast Treshold 4.00
MTC 0 Window Growing
Flip angle 90 [deg] Dynamic t-maps 0
Reconstruction Magnitude Starting ignore meas 0
Fat suppr. Fat sat. Paradigm size 20
Measurements 180 Meas[1] Baseline
Delay in TR 0 [ms] Meas[2] Active
Multiple series 0 Meas[3] Ignore
Meas[4] Ignore
Resolution Meas[5] Ignore
Base Resolution
(matrix) 64 Meas[6] Ignore
Phase Resolution 100 [%] Meas[7] Ignore
Phase partial Fourier Off Meas[8] Ignore
Filter 1 Meas[8] Ignore
Raw filter Off Meas[9] Ignore
Interpolation 0 Meas[10] Ignore

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


210

(lanjutan)
PAT mode None Meas[11] Ignore
Meas[12] Ignore
Geometry Meas[13] Ignore
Multi-Slice mode Interleaved Meas[14] Ignore
Series Interleaved Meas[15] Ignore
Special sat. None Meas[16] Ignore
Meas[17] Ignore
System Meas[18] Ignore
Scan at current TP 0 Meas[19] Ignore
Scan region position H Meas[20] Ignore
Scan region position 0 [mm] Motion corrector 0
MSMA S-C-T Spatial filter 0
Sagital R >> L
Coronal A >> P Sequence
Transversal F >> H Introduction 0
8 Channel Head / PH
5 1 Averaging mode Longterm
8 Channel Head / PH 2004 [Hz/P
6 1 Bandwidth x]
8 Channel Head / PH
7 1 Free echo spacing 0
8 Channel Head / PH
8 1 Echo spacing 0.5 [ms]
8 Channel Head / PH
1 1 EPI factor 48
8 Channel Head / PH
2 1 RF pulse type Normal
8 Channel Head / PH
3 1 Gradient mode Fast*
8 Channel Head / PH
4 1
Body 0 Phase per location
Phase per location 104

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


211

Lampiran 2. Instrumen Penelitian

INSTRUMEN PENELITIAN

Mini-International Neuropsychiatric Interview-kid


Mini-international neuropsychiatric interview-kid (MINI KID) adalah instrumen
untuk menilai gangguan jiwa pada anak dan remaja. Kuesioner ini terdiri dari dua
puluh lima modul. Kuesioner ini dapat digunakan untuk menilai modul atau
gangguan jiwa yang dimiliki anak tersebut. Beberapa modul atau gangguan yang
dinilai pada penelitian ini adalah: (1) episode depresi berat; (2) episode (hipo)
manik; (3) gangguan tingkah laku dan; (4) gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH). Pengisian instrumen ini dilakukan dalam waktu 20 menit.

Kuesioner Pola Asuh Anak


Pola asuh anak dapat dinilai dengan beberapa instrumen. Instrumen yang sudah
divalidasi di Indonesia adalah kuesioner pola asuh anak (KPAA). Kuesioner pola
asuh anak adalah sebuah instrumen untuk menilai pola asuh anak. Hasil KPAA
diperoleh dari orang tua (ayah, ibu, atau wali yang tinggal dengan anak) dan
persepsi anak tentang pola asuh yang anak alami. Kuesioner ini dapat diisi selama
20–25 menit. Kuesioner diisi dengan self-report, diisi oleh orangtua, atau dibantu
oleh pewawancara. Uji validitas dan reliabilitas KPAA telah dilakukan pada tahun
2011. Kuesioner ibu maupun ayah memiliki nilai Cronbach’s alpha yang baik,
yaitu 0,8447 untuk yang diisi ibu dan 0,8367 untuk yang diisi ayah. Hasil analisis
korelasi menunjukkan kisaran nilai koefisien antara 0,0014–0,3978. Kuesioner
anak memiliki Cronbach’s alpha 0,8432. Hasil analisis korelasi menunjukkan
kisaran nilai koefisien antara 0,001–0,3891.

Instrumen terdiri dari dua kelompok. Kuesioner kelompok A terdiri dari pertanyaan
inti. Hasil dari pertanyaan ini dianalisis secara sistematik. Pertanyaan pada
kelompok A merupakan pertanyaan untuk memperlihatkan hubungan orangtua
dengan anak setiap hari. Orangtua atau wali mengisi 26 pertanyaan pada kelompok
A dan anak mengisi 54 pertanyaan. Kuesioner kelompok B terdiri dari pertanyaan
tambahan. Hasil dari kuesioner ini dianalisis secara deskriptif. Pertanyaan pada
kuesioner kelompok ini menggambarkan penerapan agama dan budaya pada anak.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


212

(lanjutan)
Orangtua atau wali atau wali mengisi 6 pertanyaan pada kuesioner kelompok B dan
anak mengisi 6 pertanyaan pada kelompok B. Kuesioner diisi dengan menandai
dengan jawaban yang sesuai. Pada orangtua atau wali memberikan alasan untuk
memilih jawaban, sedangkan anak hanya perlu menjawab jawaban yang sesuai
dengan keadaan sehari-hari.

Pola asuh anak dinilai dengan melihat jumlah jawaban untuk pertanyaan. Pola asuh
A adalah pola asuh yang diharapkan. Pola asuh A didapat apabila jawaban A
merupakan jawaban paling banyak. Pola asuh ini adalah pola asuh yang penuh
pertimbangan. Pola asuh B diperoleh apabila jumlah jawaban B merupakan jumlah
yang paling banyak. Pola asuh B merupakan pola asuh orangtua yang penuh
tuntutan dan dominan. Pola asuh C diperoleh apabila jumlah jawaban C lebih
banyak. Pola asuh C adalah pola asuh yang memberikan kebebasan penuh pada
anak dengan intervensi minim. Pola asuh D diperoleh apabila terdapat dua atau tiga
pilihan yang dipilih dengan jumlah nilai sama. Pola asuh A merupakan pola asuh
yang diharapkan (non-exposure) dan pola asuh B, C, dan D merupakan pola asuh
yang tidak diharapkan (exposure). Pengisian KPAA sekitar 5–10 menit.

Kuesioner Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak


Masalah emosi dan perilaku pada anak dapat diukur dengan instrumen Strength and
Difficulties Questionnaire (SDQ). Kuesioner memiliki sensitivitas 85% dan
spesifitas 80%. Kuesioner sendiri telah diterjermahkan ke bahasa Indonesia. SDQ
adalah instrumen untuk mendeteksi masalah emosi dan perilaku pada anak usia 3–
17 tahun. Kuesioner ini dapat diisi oleh anak sendiri, orangtua, dan guru. Kuesioner
ini memiliki 25 pertanyaan yang mencakup lima domain. Domain tersebut adalah
masalah emosi, hiperaktivitas, tingkah laku, teman sebaya, dan prososial. Masing-
masing domain diwakilkan oleh lima pertanyaan. Kuesioner dapat digunakan untuk
evaluasi hasil, penilaian klinis, alat dalam penelitian, epidemiologi, dan deteksi dini
dalam komunitas untuk memprediksi adanya gangguan psikiatri. Pertanyaan
dijawab dengan tiga pilihan jawaban yaitu: (1) tidak benar; (2) agak benar dan; (3)
benar. Tiga pilihan tersebut memiliki nilai yang berbeda. Jawaban tidak benar diberi
nilai 0, agak benar diberi nilai 1, dan benar diberi nilai 2. Nilai tersebut berbeda

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


213

(lanjutan)
pada pertanyaan nomor 7,11,14,21, dan 25; pada pertanyaan tersebut jawaban benar
diberi nilai 0, agak benar diberi nilai 1, dan tidak benar diberi nilai 2.

Hasil dari kuesioner berupa skor yang dijumlahkan untuk mendapatkan skor total.
Skor total pada masing-masing domain memperlihatkan besar masalah pada
domain tersebut. Skor kesulitan didapat dengan menjumlahkan skor pada domain
masalah hiperaktivitas, masalah tingkah laku, masalah emosi, dan masalah teman
sebaya. Skor total kesulitan ini menggambarkan tingkat kesulitan yang dimiliki
anak. Interpretasi skor yang diperoleh disesuaikan dengan interpretasi hasil
kuesioner yang diisi oleh subjek (diri sendiri/orang tua/guru). Skor prososial
menggambarkan kekuatan yang dimiliki anak. Pengisian SDQ sekitar 10 menit.

Family Adaptibility and Cohesion Evaluation Scales IV


Instrumen Family Adaptability and Cohesion Evaluation Scales (FACES) IV
merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Olson dkk. untuk menilai
kohesivitas dan fleksibilitas keluarga. Instrumen ini terus dikembangkan dan
FACES IV merupakan salah satu hasil dari perkembangan tersebut. Kuesioner
FACES IV menggunakan 6 subskala untuk menilai kohesivitas dan fleksibilitas
keluarga. Kuesioner ini telah divalidasi dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
oleh Nelly Hursepuny pada tahun 2006. Nilai reliabilitas konsistensi internal
Cronbach’s alpha 0,935. Validitas rentang dari tiap pertanyaan terhadap total
keseluruhan 0,323–0,639. Kuesioner FACES IV adalah kuesioner self report
dengan 42 pertanyaan. Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang
berhubungan dengan kondisi di dalam keluarga. Pertanyaan tersebut dijawab oleh
subjek dengan enam pilihan jawaban yang diberikan skor untuk masing-masing
jawaban. Jawaban yang diberikan adalah sangat sesuai dengan nilai 1, sesuai
dengan nilai 2, tidak tahu dengan nilai 3, tidak sesuai dengan nilai 4, dan sangat
tidak sesuai dengan nilai 5. Pertanyaan-pertanyaan yang ada menggambarkan enam
subskala kohesi dan adaptabilitas.

Pada kuesioner ini terdapat dua skala yaitu: (1) skala balanced untuk kohesivitas
dan fleksibilitas; (2) skala unbalanced cohesion. Skala balanced memiliki subskala
balanced cohesion dan balance flexibility. Skala unbalanced cohesion mempunyai
subskala enmeshed; too cohesive, disengaged; too distant, chaotic; change too

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


214

(lanjutan)
much, rigid; dan do not change enough. Tipe relasi keluarga dihasilkan dari enam
subskala. Tipe relasi keluarga ada enam tipe, yaitu: (1) Balanced; (2) Rigidly
Balanced; (3) Midrange; (4) Flesibly Unbalanced; (5) Chaotically Disengaged dan;
(6) Unbalanced. Tipe relasi keluarga yang sehat adalah tipe keluarga dengan skor
di atas satu, yaitu tipe relasi balanced dan rigidly balanced. Tipe relasi keluarga
yang tidak sehat adalah tipe relasi keluarga dengan skor di bawah satu, yaitu tipe
relasi keluarga midrange, flexibly unbalanced, chaotically disengaged, unbalanced.
Pengisian FACES IV membutuhkan waktu sekitar 30 menit.

Instrumen Citra Diri (Rosenberg Self Esteem Scale)


Gangguan citra diri dapat dinilai dengan kuesioner Rosenberg. Kuesioner ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan telah divalidasi oleh Tun K.
Bastaman. Instrumen digunakan untuk melakukan penilaian individu terhadap
dirinya sendiri yang telah berlangsung terus menerus dan individu tersebut
mengekspresikannya pada sikap setuju dan tidak setuju. Kuesioner Rosenberg
terdiri dari empat domain, yaitu: (1) domain self-consciousness; (2) domain
stabilitas citra diri; (3) domain self-esteem dan; (4) domain the perceived self.

Domain self consciousness dinilai melalui tujuh pertanyaan. Responden dianggap


memiliki kecenderungan self-consciousness atau self-consciousness menonjol
apabila jumlah nilai melewati batas atau lebih dari tiga. Domain stabilitas citra diri
dinilai melalui lima pertanyaan. Stabilitas citra diri merupakan kemampuan
seseorang untuk memperhitungkan self consciousness pada suatu situasi tertentu.
Apabila responden tidak begitu pasti pada self consciousness pada situasi tersebut,
maka responden kehilangan dasar untuk mengambil keputusan atau tindakan. Batas
nilai untuk dianggap memiliki kecenderungan instabilitas adalah nilai tiga ke atas.
Domain self esteem dinilai melalui enam pertanyaan. Self esteem adalah sikap
individu secara menyeluruh terhadap dirinya. Sikap individu terhadap dirinya dapat
positif atau negatif. Individu dianggap memiliki kecenderungan low self esteem
apabila nilai melebihi batas dua atau lebih. Domain the perceived self terdiri dari
lima pertanyaan. The perceived self adalah persepsi dan penghayatan individu
tentang pandangan orang lain terhadap individu tersebut. Individu dengan nilai dua

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


215

(lanjutan)
ke atas dianggap memiliki kecendurangan negatif the perceived self. Pengisian
RSES sekitar 5 menit.

Alcohol, Smoking, and Substance Use Involvement Screening and Test (WHO
ASSIST V3.0)

Kuesioner digunakan sebagai alat bantu skrining untuk mengenali penggunaan zat
psikoaktif pada individu. WHO ASSIST V3.0 telah divalidasi ke dalam bahasa
Indonesia dengan nilai Cronbach’s alpha untuk tiap-tiap domain di atas 0,90.
Kuesioner memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik, yaitu 100%.
Pada ASSIST didapatkan informasi mengenai: (1) zat yang digunakan oleh
seseorang dalam sepanjang hidupnya; (2) zat yang digunakan dalam tiga bulan
terakhir; (3) masalah yang berhubungan dengan penggunaan zat; (4) risiko saat ini
atau bahaya yang akan datang; (5) adiksi; (6) penggunaan obat dengan injeksi.
Kuesioner diisi melalui wawancara dan membutuhkan waktu 5–10 menit.
Interpretasi skor ASSIST sebagai berikut: (1) risiko rendah < 3 atau < 10 untuk
alkohol; (2) risiko sedang 4–26 atau 11–26 untuk alkohol; (3) risiko tinggi ≥ 27.

Temperament and Character Inventory

Temperament and Character Inventory (TCI) berisi daftar ciri-ciri kepribadian yang
disusun oleh Cloninger et al. Terdapat 7 dimensi kepribadian di dalam TCI, yang
terdiri dari 4 temperamen dan 3 karakter. Temperamen berisi novelty seeeking,
harm avoidance, reward dependence, dan persistence. Sedangkan karakter berisi
self-directedness, cooperativeness, dan self-transcendence. Akan tetapi, pada
penelitian ini hanya digunakan TCI untuk temperamen novelty seeeking, harm
avoidance, reward dependence.

Pada awalnya TCI dibuat menggunakan Bahasa Inggris, tetapi saat ini TCI telah
banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Di
Indonesia, TCI telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia serta telah duji
validitas dan realibilitasnya sebesar 52%. Kuesioner versi bahasa Indonesia
memiliki 23 pertanyaan yang terdiri dari: 9 pertanyaan NS, 6 pertanyaan RD, 8
pertanyaan HA; dan 16 pertanyaan mengenai karakter (10 pertanyaan self-
directedness dan 6 self-transcendence). Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab dengan
jawaban ya (skor 2) atau tidak (skor 1) sesuai dengan kecocokan subjek. Hasil dari

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


216

(lanjutan)
jawaban subjek dijumlah berdasarkan kelompok temperamen. Subjek dianggap
memiliki kecenderungan tipe temperamen tertentu bila skor akhir perkategorinya
lebih tinggi dari rata-rata populasi.

Trail Making Test-B

Trail Making Test-B (TMT-B) merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk


menilai fungsi eksekutif. Pada pemeriksaan TMT-B terdapat beberapa angka dan
huruf yang tersusun secara acak. Subjek ditugaskan untuk menghubungkan angka
dengan huruf berselang-seling tanpa terputus dimulai dari angka 1-A-2-B-dan
seterusnya sampai selesai secara benar. Jika terjadi kesalahan, pemeriksa harus
memberitahu dan subjek mundur kembali pada angka atau huruf yang benar. Fungsi
eksekutif dikatakan terganggu apabila pengerjaan dilakukan lebih dari 66 detik atau
terdapat kesalahan lebih dari 1.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


217

Lampiran 3. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


218

Lampiran 4. Rincian Pustaka yang Digunakan dalam Pembuatan Draft KDAI Awal

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


219

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


220

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


221

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


222

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


223

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


224

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


225

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


226

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


227

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


228

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


229

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


230

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


231

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


232

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


233

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


234

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


235

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


236

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


237

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


238

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


239

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


240

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


241

Lampiran 5. Hasil Akhir Putaran Delphi – 11 Domain 56 Pernyataan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


242

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


243

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


244

Lampiran 6. Daftar 39 Sekolah

SMP Negeri (15) SMP Swasta (7) SMP Keagamaan


(8)
SMPN 79 SMPN 78 SMPK 2 Penabur SMP St. Bellarminus
SMPN 119 SMPN 93 SMPK Anugerah SMPK Kristen
Calvin
SMPN 28 SMPN 269 SMPK 3 Penabur SMPK Karunia
SMPN 60 SMPN 79 SMP Perguruan SMP Strada Pelita
Cikini Pejompongan
SMPN 137 SMPN 183 SMPK 1 Penabur SMP Santa Maria
SMPN 216 SMPN 77 SMP Universal SMP Santa Ursula
SMPN 59 SMPN 76 SMP YP IPPI SMP Al-Jihad
SMPN 18 SMP St. Yoseph

SMA Negeri (5) SMA Swasta (4) SMA SMA Kejuruan


Keagamaan (3) (7)
SMAN 5 SMA At-Taqwa MA Al- SMKN 2
Muddatsiriyah
SMAN 25 SMA Bunda MA Swasta SMK Kartini
Mulia Jakarta Pusat
SMAN 7 SMA Universal SMK 1 Said SMK Taman
Na’um Siswa 2 Jakarta
SMAN 10 SMA Mahatma SMKN 14
Gandhi School
SMAN 27 SMKN 34
SMK Kes Global
Cendekia
SMKN 44

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


245

Lampiran 7. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet 11 Domain 55 Pernyataan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


246

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


247

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


248

Lampiran 8. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet 7 Domain 44 Pernyataan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


249

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


250

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


251

Lampiran 9. Nilai Faktor Muatan Setiap Butir Pernyataan KDAI


Kehilangan Peningkatan Konsekuensi Modifikasi
Pernyataan Withdrawal Salience Hendaya
kontrol prioritas negatif mood
10 0,579
18 0,694
20 0,625
23 0,676
32 0,764
33 0,519
43 0,763
44 0,599
2 0,497
4 0,591
38 0,628
42 0,587
49 0,547
51 0,509
52 0,533
53 0,609
55 0,579
26 0,446
29 0,741
30 0,443
41 0,757
50 0,451
54 0,599
7 0,420
15 0,514
16 0,634
17 0,662
22 0,483
34 0,502
37 0,463
3 0,653
6 0,563
9 0,571
11 0,471
13 0,448
21 0.,74
25 0,439
27 0,582
28 0,441
35 0,539
40 0,540
1 0,447
14 0,725
46 0,625
Eigenvalues 12,89 2,52 1,93 1,76 1,42 1,30 1,23
Persentase
29,29 5,72 4,38 4,00 3,22 2,95 2,80
varians
Reliabilitas 0,874 0,853 0,792 0,789 0,736 0,708 0,616

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


252

Lampiran 10. Koefisien Reliabilitas Domain KDAI


Corrected Item
Jumlah
Domain Alpha SEM Mean SD Total
Item
Correlations
Withdrawal 8 0,874 3,178 15,431 8,952 0,500 – 0,735
Kehilangan 9 0,853 3,899 24,550 10,169 0,486 – 0,657
kontrol
Peningkatan 6 0,792 3,214 12,444 7,047 0,388 – 0,666
prioritas
Konsekuensi 7 0,789 3,272 11,670 7,124 0,485 – 0,577
negatif
Modifikasi 5 0,736 3,101 12,613 6,035 0,437 – 0,569
mood
Salience 6 0,708 2,939 9,571 5,439 0,310 – 0,553
Hendaya 3 0,616 2,176 7,130 3,512 0,270 – 0,523
KDAI 44 0,942 9,040 93,410 37,538 0,390 – 0,651

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


253

Lampiran 11. Korelasi antar Domain KDAI


Kehilangan Peningkatan Konsekuensi Modifikasi Hen-
Withdrawal Salience Total
kontrol prioritas negatif mood daya

Withdrawal 1 0,791**
Kehilangan 0,535** 1 0,837**
kontrol
Peningkatan 0,497** 0,600** 1 0,774**
prioritas
Konsekuensi 0,518** 0,607** 0,523** 1 0,779**
negatif
Modifikasi 0,608** 0,548** 0,533** 0,453** 1 0,754**
mood
Salience 0,518** 0,492** 0,569** 0,540** 0,520** 1 0,735**
Hendaya 0,337** 0,479** 0,337** 0,492** 0,320** 0,343** 1 0,567**

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


254

Lampiran 12. Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet Akhir

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


255

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


256

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


257

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


258

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


259

Lampiran 13. Internet Addiction Test 20 Pernyataan


Penilaian
No. Butir Penilaian
0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda mendapatkan diri Anda
1 bermain internet lebih lama dari yang
direncanakan?
Seberapa sering Anda mengabaikan pekerjaan
2 rumah tangga untuk menghabiskan lebih banyak
waktu bermain internet?
Seberapa sering Anda memilih kesenangan
dengan internet dibandingkan dengan kedekatan
3
bersama keluarga, teman, atau orang terdekat
Anda?
Seberapa sering Anda menjalin pertemanan baru
4
dengan sesama orang yang bermain internet?
Seberapa sering orang-orang dalam hidup Anda
5 mengeluh tentang jumlah waktu yang Anda
habiskan untuk bermain internet?
Seberapa sering nilai-nilai atau tugas sekolah
6 Anda memburuk akibat jumlah waktu yang Anda
habiskan untuk bermain internet?
Seberapa sering Anda membuka email sebelum
7
melakukan kegiatan lain yang perlu dilakukan?
Seberapa sering prestasi sekolah atau tugas Anda
8
memburuk akibat internet?
Seberapa sering Anda menutupi atau bersikap
9 rahasia ketika seseorang bertanya apa yang Anda
lakukan saat bermain internet?
Seberapa sering Anda menutupi pikiran yang
10 mengganggu dengan pikiran yang menyenangkan
mengenai internet
Seberapa sering Anda mendapatkan diri Anda
11
merencanakan kapan akan bermain internet lagi?

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


260

(lanjutan)
Penilaian
No. Butir Penilaian
0 1 2 3 4 5
Seberapa sering Anda takut bahwa hidup tanpa
12 internet akan membosankan, kosong, dan hilang
kegembiraan?
Seberapa sering Anda marah, berteriak atau
13 bertingkah menyebalkan jika seseorang
mengganggu Anda saat bermain internet?
Seberapa sering Anda tidak tidur akibat bermain
14
internet hingga larut malam?
Seberapa sering Anda merasa terus menerus
memikirkan internet ketika sedang tidak bermain
15
internet, atau berkhayal seolah-olah sedang
bermain internet?
Seberapa sering Anda mengatakan “sebentar lagi”
16
saat sedang bermain internet?
Seberapa sering Anda berusaha mengurangi
17 waktu yang Anda habiskan untuk bermain internet
dan kemudian gagal?
Seberapa sering Anda berusaha menyembunyikan
18 berapa lama sebenarnya Anda menggunakan
waktu untuk bermain internet?
Seberapa sering Anda memilih menggunakan
19 waktu lebih lama untuk bermain internet daripada
pergi bersama dengan orang lain?
Seberapa sering Anda merasa depresi, labil atau
20 gugup saat offline dan akan hilang ketika kembali
bermain internet?

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


261

Lampiran 14. Internet Addiction Test 3 Domain 18 Pernyataan


Domain Item Pernyataan
Salience 3 Seberapa sering Anda memilih kesenangan dengan internet
dibandingkan dengan kedekatan bersama keluarga, teman, atau
orang terdekat Anda?
11 Seberapa sering Anda mendapatkan diri Anda merencanakan kapan
akan bermain internet lagi?
12 Seberapa sering Anda takut bahwa hidup tanpa internet akan
membosankan, kosong, dan hilang kegembiraan?
13 Seberapa sering Anda marah, berteriak atau bertingkah
menyebalkan jika seseorang mengganggu Anda saat bermain
internet?
15 Seberapa sering Anda merasa terus menerus memikirkan internet
ketika sedang tidak bermain internet, atau berkhayal seolah-olah
sedang bermain internet?
19 Seberapa sering Anda memilih menggunakan waktu lebih lama
untuk bermain internet daripada pergi bersama dengan orang lain?
20 Seberapa sering Anda merasa depresi, labil atau gugup saat offline
dan akan hilang ketika kembali bermain internet?
Neglect 2 Seberapa sering Anda mengabaikan pekerjaan rumah tangga untuk
of duty menghabiskan lebih banyak waktu bermain internet?
6 Seberapa sering nilai-nilai atau tugas sekolah Anda memburuk
akibat jumlah waktu yang Anda habiskan untuk bermain internet?
8 Seberapa sering prestasi sekolah atau tugas Anda memburuk akibat
internet?
14 Seberapa sering Anda tidak tidur akibat bermain internet hingga
larut malam?
17 Seberapa sering Anda berusaha mengurangi waktu yang Anda
habiskan untuk bermain internet dan kemudian gagal?
Loss of 1 Seberapa sering Anda mendapatkan diri Anda bermain internet
control lebih lama dari yang direncanakan?
4 Seberapa sering Anda menjalin pertemanan baru dengan sesama
orang yang bermain internet?
9 Seberapa sering Anda menutupi atau bersikap rahasia ketika
seseorang bertanya apa yang Anda lakukan saat bermain internet?

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


262

(lanjutan)
Domain Item Pernyataan
10 Seberapa sering Anda menutupi pikiran yang mengganggu dengan
pikiran yang menyenangkan mengenai internet
16 Seberapa sering Anda mengatakan “sebentar lagi” saat sedang
bermain internet?
18 Seberapa sering Anda merasa depresi, labil atau gugup saat offline
dan akan hilang ketika kembali bermain internet?

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


263

Lampiran 15. Nilai Faktor Muatan Setiap Butir Pernyataan IAT Versi Indonesia
Pernyataan Salience Neglect of duty Loss of control
3 0,644
11 0,569
12 0,688
13 0,578
15 0,586
19 0,539
20 0,617
2 0,499
6 0,845
8 0,850
14 0,489
17 0,413
1 0,449
4 0,577
9 0,676
10 0,637
16 0,474
18 0,552
Eigenvalues 5,412 1,708 1,231
Persentase
30,069 9,487 6,836
Varians
Reliabilitas 0.761 0.691 0.686

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


264

Lampiran 16. Koefisien Reliabilitas Total dan Setiap Domain IAT Versi Indonesia
Jumlah Corrected Item
Domain Alpha SEM Mean SD
Item Total Correlations
Salience 7 0,761 2,150 11,465 4,399 0,418 – 0,570
Neglect 5 0,691 1,944 9,073 3,498 0,369 – 0,541
of duty
Loss of 6 0,686 7,054 12,589 4,237 0,313 – 0,480
control
IAT 18 0,855 3,870 33,127 10,165 0,317 – 0,574
Keterangan: SEM = Standard Error of Measurement

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


265

Lampiran 17. Korelasi antar Domain IAT Versi Indonesia


Neglect Loss of
Salience Total
of duty control
Salience 1 0,847**
Neglect of duty 0,461** 1 0,779**
Loss of control 0,613** 0,564** 1 0,876**
** = korelasi signifikan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


266

Lampiran 18. Internet Addiction Test Versi Indonesia Final

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


267

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


268

Lampiran 19. Hasil Penelusuran Pustaka fMRI dan Adiksi Internet

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


269

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


270

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


271

Lampiran 20. Hasil Analisis Uji T Adiksi Internet dengan Konektivitas Fungsional
antara LPFC Kiri dan LP Kanan

Klasifikasi AI n Rerata SD SEM


Tidak AI 28 0,1802 0,20097 0,03798
AI 29 0,1065 0,26942 0,05003

Uji Levene's t-test for Equality of Means


Sig. IK95%
Perbedaan
F Sig. t df (2-
rerata
SEM
Bawah Atas
tailed)
Konektivitas
fungsional
1,893 0,174 1,161 55 0,251 0,074 0,06 -0,05 0,20
LPFC kiri
dan LP kanan

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


272

Lampiran 21. Skema Pengelolaan Adiksi Internet pada Remaja secara


Holistik dan Komprehensif

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


273

Lampiran 22. Model Materi Edukasi Adiksi Internet

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


274

Lampiran 23. Produk Penelitian

1. Produk penelitian pertama adalah buku yang berjudul Kecanduan Internet pada
Remaja. Buku tersebut berisi informasi terkait adiksi internet, pengembangan
kuesioner diagnostik adiksi internet (KDAI), dan lembar pengisian KDAI. Buku
dapat digunakan oleh tenaga kesehatan profesional, guru, orang tua dan remaja
untuk mendeteksi secara dini adiksi internet.

2. Produk penelitian kedua adalah website dengan judul Mengenali Lebih Jauh
Kecanduan Internet pada Remaja dan aplikasi “KDAI” yang dapat diunduh pada
Google Play Store. Website dan aplikasi tersebut berisi informasi mengenai
adiksi internet, kuesioner diagnostik adiksi internet (KDAI) untuk deteksi dini
adiksi internet, kiat-kiat pencegahan, dan tata laksana awal yang bisa dilakukan
oleh guru, orang tua dan remaja.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


275

Lampiran 23. Produk Penelitian

Website dapat diakses melalui www.kdai-online.id atau scan QR code berikut.

Aplikasi KDAI dapat diakses pada Google Play Store dengan kata kunci
“KDAI”.

3. Produk penelitian ketiga adalah aplikasi berjudul SKAI yang dapat diakses pada
Google Play Store dengan kata kunci “SKAI”. Aplikasi tersebut diperuntukkan
bagi tenaga kesehatan profesional untuk menghitung probabilitas remaja
mengalami adiksi internet berdasarkan aspek biologis, psikologis, dan sosial
remaja. Hasil pemeriksaan dapat menjadi materi edukasi bagi orang tua dan
remaja.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


276

Lampiran 24. Bukti Pengunduhan Draft Publikasi

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


277

PUBLIKASI

Psychometric Properties of the Indonesian Version of the Internet Addiction


Test among Adolescents: A Cross-Cultural Analysis

Kristiana Siste1,Christiany Suwartono2, Martina W. Nasrun1, Saptawati Bardosono3, Rini


Sekartini4, Jacub Pandelaki5, Riza Sarasvita6,7, Belinda Julivia Murtani1, Reza
Damayanti1, Tjhin Wiguna1
1
Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangkusumo
Hospital
2
Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia
3
Department of Nutrition, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
4
Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangkusumo
Hospital
5
Department of Radiology, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangkusumo
Hospital
6
IndonesiaNational Narcotics Board
7
Department of Psychology, Soegijapranata Catholic University

Corresponding Author: Tjhin Wiguna


Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia-Cipto Mangkusumo
Hospital, Jalan Salemba Raya 6, Senen, Central Jakarta 10430, DKI Jakarta, Indonesia
Email: twiga00@yahoo.com

Abstract
Internet addiction is a serious problem that can negatively impact both the physical
and mental health of individuals. The Internet Addiction Test (IAT) is the most
common and worldwide used instrument to screen internet addiction. This study
sought to investigate the psychometric properties of an Indonesian version of the
IAT. 643 high school students participated in the study. The IAT questionnaire was
made the focus of forward translation, expert panel discussions, back translation, a
face validity study, a pilot study, and a psychometric properties evaluation. Factor
structure was analyzed by exploratory (EFA) and confirmatory factor (CFA)
analyses, whereas reliability was measured with Cronbach’s alpha coefficient. The
factor analysis revealed that a three-factor model of the Indonesian version of the
IAT identified in the EFA displays better psychometric properties than a one-factor
model of the same. The Cronbach’s alpha score is 0.855. A significant association
was also observed between the level of internet addiction with gender (p = 0.027)
and the duration of internet use per day (p = 0.001). To conclude, the Indonesian
version of the IAT provides good validity and reliability in a three-dimensional
model. Therefore, it can be utilized as a tool for screening internet addiction in the
Indonesian population.
Keywords:
Internet addiction, internet addiction test, psychometric, Indonesian, adolescents

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


278

1. Introduction
The internet has become a necessity in everyday life and is immensely utilized
in almost all aspects of people’s lives. There was a dramatic increase in the
proportion of individuals using the internet from 0.9% in 2000 to 17.1% in 2014.1
Based on data from the Indonesia Internet Service Provider Association, the number
of internet users in Indonesia has reached 143 million people, thereby becoming the
highest number of internet users in South East Asia region.2
Despite the benefits that the internet offers to its users, such as easy access to
unlimited information, limitless communication, and also entertainment, its
excessive use can lead to addiction.3, 4 Internet addiction (IA) is defined as a pattern
of excessive use of internet networks accompanied by poor self-control and
obsessive thoughts to constantly use maladaptive internet networks. The term
‘internet addiction’ was agreed upon for use by psychiatrists given the similarities
between its symptoms and symptoms of addiction caused by substances.5 A
previous study indicated that 6% of the world’s population OR approximately 182
million people experience internet addiction.6 Internet addiction can develop into a
serious problem since it affects both the physical and mental health of individuals.3,4
Thus, prompt diagnosis and immediate treatment should be effectively ensured.
Several instruments have been used for identifying internet addiction, with the
Internet Addiction Test (IAT) being the most common and widely used one. IAT
was created by Kimberly Young in 1998 as an instrument to diagnose internet
addiction.7, 8 It was developed from the pathological diagnosis criteria for gambling
listed in the DSM-IV. This questionnaire consists of 20 questions in English
regarding problematic behaviors that occur due to excessive internet use. It adopts
a Likert scale from 0–5 with Cronbach’s alpha value 0.83–0.91.7, 8 Scores obtained
from the IAT are grouped into four categories: normal (0–30), mild IA (31–49),
moderate IA (50–79), and severe IA (80–100). IAT had been widely translated and
validated by various countries and proved to consist of good internal validation
values.9–17
IAT has also been used in Indonesia; unfortunately, however, the
questionnaire has only been translated into the Indonesian language and has not
been examined for its psychometric properties. Thus, this study seeks to bridge this

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


279

gap by assessing the reliability and validity of the Indonesian version of the IAT by
analyzing its factor structure.

2. Methods
2.1 Participants
This research was conducted at nine randomly selected schools from 39
secondary schools in Jakarta that extensively coorperate with the Department of
Psychiatry, Cipto Mangunkusumo Hospital, Faculty of Medicine University of
Indonesia. The schools consisted of junior high schools (JHS) and senior high
schools (SHS) and were also varied in terms of being public, private, vocational,
and religious schools. Thus, cluster random sampling was used to select the
representative of each group of schools to participate in this research. Various types
of schools were used in this study to represent all possible diversities in student
types.
The number of samples available for the IAT face validity study was 30 (15
JHS students and 15 SHS students). The pilot study of the IAT, however, used 385
subjects (145 JHS students and 240 SHS students) and 643 subjects (333 JHS
students and 310 SHS students) for the psychometric evaluation study.

2.2 Instruments
The instrument used in this study is the Internet Addiction Test (IAT)
developed by Kimberly Young to assess the problems resulting from excessive
internet use. The IAT is a self-report instrument consisting of 20 items and using a
five-point Likert scale. The total scores of IAT are subsequently categorized into
four groups to determine the severity of internet addiction: normal (0 – 30), mild
internet addiction (31 – 49), moderate internet addiction (50 – 79), and severe
internet addiction (80 – 100).7, 8

2.3 Procedures
The IAT was adopted by considering transcultural aspects. The process of this
study was in accordance with the process from the guidelines of the World Health
Organization (WHO).18 The adaptation steps commenced with forward translation,
in which the instrument was translated from English into Indonesian by two
independent translators whose mother tongue is Indonesian. The English version of

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


280

the instrument was subsequently assessed by three experts, including an addiction


psychiatrist, a child and adolescent psychiatrist, and an addiction psychologist in
order to determine whether the translation results’ content it suitable for being
adapted into local conditions. The result was then translated into English (back
translation) by an independent translator whose mother tongue is English. It was
ensured that the translator has not been exposed to the original questionnaire before.
Following this, the result of the back translation was shared with the original
questionnaire creator, Dr. Kimberly Young from Net Addiction, the Center of
Internet Addiction, for reviewing the contents of the questionnaire. The face
validity study was then conducted on 15 JHS students and 15 SHS from seven
selected schools through the focus group discussion method to determine the
comprehensibility and efficiency of the instructions and terms used in the
questionnaire. Experts’ judgment was requested later. Next, a pilot study was
conducted of the instrument produced in the previous stage; in this, the instrument
was distributed among 145 JHS students and 240 SHS students from eight selected
schools. At this stage, the internal consistency value (the value of Cronbach’s
alpha) was obtained from the IAT. Following this, psychometric properties’
evaluation was conducted with 643 students from nine selected schools in a field
test. Exploratory Factor Analysis (EFA) and Confirmatory Factor Analysis (CFA)
were also conducted to examine the factor structure and the appropriateness of the
factors respectively. Additionally, we also posed questions regarding the initial
stages of internet use, the duration of time spent using the internet every day, and
the aims of using internet. Thus, the relationship between the level of internet
addiction that was determined by IAT scores and these factors can be determined as
well.

2.4 Statistical Analysis


The validity of the IAT’s contents was calculated using the internal consistency
value (Cronbach’s alpha) by utilizing the Statistical Package for the Social
Sciences (SPSS) version 22 for Windows software. Meanwhile, the EFA and CFA
were assessed using Linear Structure Relations (Lisrel) version 8.8. In the study,
CFA was conducted to confirm the suitability of the IAT’s factor structures obtained
in the previous EFA. The suitability of the models was based on several parameters

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


281

such as the p-value of the chi-square test > 0.05, Root Mean Square Error of
Approximation (RMSEA) < 0.06, Comparative Fit Index (CFI) ≥ 0.9 and
Standardized Root Mean Square Residual (SRMR) < 0.08.19 Chi-square analysis
was also carried out using SPSS to identify the association between the addiction
level and several factors such as age, gender, onset of internet use, and duration and
aim of internet use. Significant association was determined as p-values  0.05.

3. Results
3.1 Forward Translation, Expert Panel Discussion, and Back Translation
After the IAT questionnaire was translated into Indonesian, it was reviewed by
three experts in a panel discussion. The terms “online” and “offline” that had been
preserved in the English language by the translators were replaced with their
parallel Indonesian counterparts. The term “depression,” however, was retained
since it is a considerably well-known term among teenagers. The revised
questionnaire from the expert panel discussion was translated back into English.
The results of the backward translation were then shared with the original
questionnaire creator, Dr. Kimberly Young from Net Addiction, the Center of
Internet Addiction and approval was obtained.

3.2 Face Validity Study


A face validity study was conducted to gather the construct validity and
reliability of the IAT questionnaire through a focus group discussion (FGD). A total
of 30 students (15 JHS students and 15 SHS) participated in the study. Nine females
and 21 males took part in the study with ages ranging from 12–18 years. The
characteristics of the subjects are listed in Table 1.

Face Validity Pilot Study Psychometric Properties


Variable
Frequency Frequency Evaluation
(%) (%) Frequency (%)
GendergGender
Male 9 (30) 183 (47.5) 298 (46.3)
Female 21 (70) 202 (52.5) 345 (53.7)
Age
Early adolescent 27 (90) 329 (85.5) 561 (87.2)
(11–16 years old)
Late adolescent 3 (10) 56 (14.5) 82 (12.8)
(17–25 years old)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


282

Face Validity Pilot Study Psychometric Properties


Variable
Frequency Frequency Evaluation
(%) (%) Frequency (%)
Education
Junior high school 15 (50) 145 (37.7) 318 (49.5)
Senior high school 15 (50) 240 (62.3) 325 (50.5)
Onset of internet use
≤ 8 years old N/A 362 (94) 132 (20.5)
> 8 years old N/A 23 (6) 511(79.5)
Duration of internet
use
≤ 20 hours / week 9 (30) 83 (21.6) 212 (32.9)
> 20 hours / week 21 (70) 302 (78.4) 431 (66.9)
Aim of using internet
Education 7 (23.3) 148 (23.0) 134 (20.8)
Entertainment 8 (26.7) 124 (19.3) 56 (8.7)
Game online 7 (23.3) 192 (29.8) 109 (17.0)
Social media 8 (26.7) 176 (27.4) 343 (53.3)
Communication 0 (0) 3 (0.5) 1 (0.2)
Internet addiction
Normal 25 (83.3) 323 (83.9) 545(84.8)
(IAT scores < 45 )
Addiction 5 (16.7) 62 (16.1) 98 (15.2)
(IAT scores  45)
Table 1. Characteristics of the research subjects

All participants were asked to fill in the Indonesian version of the IAT that
consisted of 20 items before the FGD. During the FGD, the students made some
suggestions pertaining to the terms used in the questionnaire to make them more
familiar to teenagers. Changes were made in several statements without altering
their intended meaning. The students also did not know about the term “log in”
because currently, electronic devices do not require to be logged into. “Log in” was
therefore changed to “online.” The term “online” was also considered for
replacement with the term “playing internet” since being online does not necessarily
indicate active internet use. The word “couple” is also not suitable for teenagers;
therefore, it was replaced with “family,” “friends,” OR “closest person.” The term
“pasangan” (lit. couple) is also considered to imply a romantic relationship and
therefore was replaced with “orang-orang terdekat” (lit. relatives). “Work

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


283

productivity” is also not applicable for teenagers and was replaced with “academic
achievement.”
The Pearson correlation test was carried out between each item with total score
to assess the validity of the IAT questionnaire. It was observed that all items were
valid since the correlation between items was above 0.3 (ranging from 0.419 to
0.788). The questionnaire also exhibited very good reliability with an α-Cronbach
value of 0.913.
Following the face validity study, the results were discussed by the three
experts. The altered terms are listed in Table 2. Next, a consultation was held with
Indonesian language experts from the Faculty of Literature, University of Indonesia.
Minor modifications were made in some sentences in accordance with adolescents’
understanding level and in order to emphasize the idea better.

3.3 Pilot Study


In the pilot study, the assessment of IAT validity and reliability was conducted
on 385 subjects (145 JHS and 240 HS students). The subjects in the field test were
different from those involved in the focus group discussion. The ratio of male and
female participants was 47.5%:52.5%. The field test revealed that most participants
used the internet anywhere and by using a modem (54.8%). The majority surfed the
internet for 4–8 hours per day (61%); however, 5.7% of the participants used the
internet more than 8 hours per day. The aim of using the internet was mostly to play
online games (81.8%).From 20 items in the IAT questionnaire, the corrected item-
total correction test was conducted. It was revealed that the values for item-total
correlations ranged from (0.206–0.577). Item number 7—“How often do you check
your email before doing the other activities that you need to do?”—was found to
have a correlation value of 0.206, thereby indicating poor reliability. Hence, the
item was deleted. The internal correlation was retested and the result showed good
correlation (above 0.3) for each of the 19 questionnaire items. Values for the item-
total correlations ranged from 0.316 to 0.576. Moreover, the internal reliability
coefficient was 0.862.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


284

3.4 Psychometric Evaluation Study


Following the pilot study, a total of 643 subjects (333 JHS students and 310
SHS students) participated in the field test for the psychometric evaluation study.
The characteristics of the participants are described in Table 1.
An EFA was next performed in the 19-item IAT questionnaire. From the first
EFA, item number 5—“How often do people in your life complain about the amount
of time that you spend to play on the Internet?”—was found to have loading factors
< 0.4, thereby indicating poor validity. This item was hence deleted.
Next, the second EFA for the 18-item IAT was conducted. It showed four
factors OR domains with eigenvalues more than one and explained 52.557% of the
total variance. The grouping of the factors was based on the highest loading factor
within the particular domain with a minimal value of the loading factor equal to OR
more than 0.4. The results showed that each item has a satisfactoryloading factor (>
0.4). However, domain 3 consisted of only two items and did not fulfill the
minimum requirement of three items. Consequently, we performed a re-run of the
analysis and specifically asked for three components.
Subsequently, the third EFA was run. Unlike the first and second EFA,
eigenvalue was not used to determine the domain in the third EFA since the domains
had been decided from the beginning by the determining extract factor. The third
EFA revealed three domains and all items had a loading factor > 0.4. The factor
loads related to the 18 items ranged from 0.449 to 0.850, thereby indicating that
these questions were sufficiently qualified to be included in the test. The three
domains, along with the factor loadings, are listed in Table 2. The three domains
were named salience, neglect of duty, and loss of control.

Neglect of Loss of
Items Salience
duty control
How often do you choose internet enjoyment
3 over intimacy with your family, friends, OR the 0.644
person closest to you?
How often do you find yourself planning when
11 0.569
you will play on the internet again?
How often do you fear that life without the
12 0.688
internet would be boring, empty, and joyless?
How often do you get angry, yell, OR act
13 annoyed when someone disturbs you while you 0.578
are playing on the internet?

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


285

Neglect of Loss of
Items Salience
duty control
How often do you continuously think about the
15 internet while you are not playing on the internet 0.586
OR fantasize about playing on the internet?
How often do you choose to use more time to
19 play on the internet over going out with other 0.539
people?
How often do you feel depressed, unstable, OR
nervous when you are not playing on the internet
20 0.617
and that disappears once you are back to playing
on the internet?
How often do you neglect household chores to
2 0.499
spend more time playing on the internet?
How often do your grades OR school-work
6 suffer due to the amount of time that you spend 0.845
to play on the internet?
How often does your school performance OR
8 0.850
assignment suffer due to the internet?
How often do you not sleep due to playing on the
14 0.489
internet all night long?
How often do you try to reduce the time you
17 0.413
spend playing on the internet and then fail?
How often do you find that you play on the
1 0.449
internet for longer than intended?
How often do you form new friendships with
4 0.577
fellow people who play on the internet?
How often do you close yourself off OR behave
9 in a secretive manner when someone asks you 0.676
what you do when playing on the internet?
How often do you cover disturbing thoughts
10 0.637
with pleasant thoughts about the internet?
How often do you say “just a minute” when
16 0.474
playing on the internet?
How often do you try to hide the amount of time
18 0.552
you really spend playing on the internet?
Eigenvalues 5.412 1.708 1.231
Variance
30.069 9.487 6.836
percentage
Reliability 0.761 0.691 0.686
Table 2. Results of Exploratory Factor Analysis

Cronbach’s alpha coefficient was also calculated to measure the reliability of


the instrument. The reliability of model 2, which consisted of three domains and 18
items, was analyzed. Values for item-total correlations ranged from 0.317 to 0.574
with the internal consistency value of the Cronbach alpha coefficient being 0.855.
The values of the reliability coefficient for each domain are listed in Table 3.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


286

Corrected Item
No. of
Domain Alpha SEM Mean SD Total
Items
Correlations
Salience 7 0.761 2.150 11.465 4.399 0.418 – 0.570
Neglect of duty 5 0.691 1.944 9.073 3.498 0.369 – 0.541
Loss of control 6 0.686 7.054 12.589 4.237 0.313 – 0.480
Total 18 0.855 3.870 33.127 10.165 0.317 – 0.574
SEM = Standard Error of Measurement

Table 3. Reliability Coefficient of Each Domain

Two models were assessed in this study: the first model used the original
version of IAT (one domain, 20 items) while the second model is in accordance with
the EFA results (three domains, 18 items).
CFA’s first model resulted χ2 (df = 152, p < 0.001) = 488.05 and χ2 /df = 3.21
with RMSEA = 0.059, CFI = 0.97, SRMR = 0.046, and AIC = 604.05. While the
second model generated χ2 (df = 148, p < 0.001) = 700.63 and χ2 /df = 4.73 with
RMSEA = 0.076, CFI = 0.95, SRMR = 0.057, and AIC = 784.63 (Table 4). The
results of each model were subsequently compared.

Model x2 df x2/df RMSEA CFI AIC SRMR TLI AGFI

Model 1 488.05 152 3.21 0.059 0.97 604.05 0.046 0.97 0.90
(20 items)
Model 2 479.50 126 3.81 0.066 0.96 596.50 0.048 0.96 0.90
(18 items,
3 domain)
x2 = Chi-Square, df = Degree of Freedom, RMSEA = Root Mean Square Error of
Approximation, CFI = Comparative Fit Index, AIC = Akaike Information Criterion, SRMR =
Standardized Root Mean Square Residual, TLI = Non-Normed Fit Index (NNFI), dan AGFI =
Adjusted Goodness of Fit Index.

Table 4. Comparison of Goodness of Fit Indices in Two Models

The first parameter that should be evaluated is Akaike Information Criterion


(AIC). The more efficient model has a lower AIC score18 and, in this case, was the
second model. Following this, other parameters were also compared and it was
discovered that the second model exhibited a higher value than the first model in
all goodness of fit indices. Hence, the second model was the preferred model in this
study. The results of CFA of the second model are given in Figure 1.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


287

Figure 1. CFA's Result of Model 2

This study also analyzed the relationship between the extent of internet
addiction, age, gender, and onset, duration, and aim of internet use. The level of
internet addiction was determined through IAT scores (normal, mild, moderate, and
severe addiction).7 The cut-off scores for categorizing internet addiction were
formulated in the 18-item Indonesian version of the IAT since it exhibited better
psychometric properties than the 20-item one. We used the same method adopted
by Karim et al. in Bangladesh (2014)19 as a reference to categorize the Indonesian
version of the IAT (Table 5).

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


288

20-item original 18-item Indonesian


Level of internet addiction
version of IAT7 version of IAT
Normal 0–30 0–27
Mild addiction 31–49 28–44
Moderate addiction 50–79 45–71
Severe addiction 80–100 72–90
Upper score of 18-item Indonesian IAT = upper score of 20-item original IAT/20 x 18
Lower score of 18-item Indonesian IAT = lower score of 20-item original IAT/20 x 18
Table 5. Cut-off Scores for 18-Item Indonesian Version of IAT

For our data analysis, the internet addiction level was simplified into two
categories: normal and mild addiction subjects grouped together and moderate
internet addiction group. A severe addiction group was not included since none of
the subjects exhibit severe addiction as per our study.
A significant association was revealed between the extent of internet addiction
and gender (x2(df) = 4.921(1), p = 0.027, OR = 1.669, CI = 1.081–2.577) and
duration of internet use per week (x2(df) = 5.094(1), p = 0.024, OR = 0.545, CI =
0.329-0.905). Meanwhile, no significant association was observed between the
extent of internet addiction and age, aim, and onset of internet use (p > 0.05).

4. Discussions
The primary objective of this study was to examine the psychometric properties
of the Indonesian version of IAT. As a part of the validation process, translation
and cultural adaptation were undertaken at the beginning to ensure that all items in
the Indonesian version of the IAT questionnaire can be understood and effectively
perceived by members of the Indonesian community. All inputs from experts and
respondents were thoroughly considered, resulting in the final version of the
Indonesian IAT that was further exposed to validity and reliability testing.
The first validity and reliability tests were performed in the pilot study. The
test was conducted with 385 subjects. Item number 7, which pertained to how often
the subject checks their email before doing other activities, was subsequently
excluded due to its poor validity (r < 0.3); this was similar to the findings of a prior
study in Spanish and can perhaps be explained by the fact that the subjects of the
study are junior and senior high school students who rarely use their email accounts

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


289

for daily activities such as for academic purposes. Moreover, the behavior of
checking email can be regarded as normal in the current era due to easier access to
email by smartphones—a feature that was not available during the time of the
original IAT questionnaire creation.12
As per the EFA results, item number 5—pertaining to whether people in the
subject’s life complain about the amount of time that the subject spends online—
has a factor loading < 0.4. This result is in accordance with a study conducted in
China that claimed that item number 5 has a low diagnostic accuracy value
compared to the other items.20 This could be because some subjects may continue
browsing the internet without the knowledge of the people surrounding them to
avoid complaints OR prohibition. The majority of respondents in this study live
with their parents and utilize the internet connection available in the house.
Interviews with several subjects’ parents revealed that they did not prohibit their
children from using the internet in the house because they feel safer when the
children stay within the house rather than when they play outside. Previous studies
also revealed that deceptive behavior by adolescents depends on their parents’
attitude towards their playing behavior. An condemning attitude from the parents
tends to make children lie about their internet use.21
Our EFA results suggested that the three-factor model of IAT with 18 items has
a total variance of 46.392%. Hence, in CFA, we compared this three-factor model
with the original version of IAT with a single factor of 20 original items of IAT.
Our analysis revealed that three-dimensional IAT displays better psychometric
properties than the one-factor model. Prior studies indicated that several IAT models
are one-factor to six-factor models.8–17 The variability of the models could be due
to diversity in the subjects’ characteristics and cultural backgrounds.9,11,13 However,
the same results were also found in other populations; the three-factor solution
model was found to be most suitable among Thai, British, Greek, and Iranian
samples.9,17,22–23 For our three-dimensional Indonesian IAT model, internal
reliability was evaluated using Cronbach’s alpha. The internal consistency score
was 0.855 and thereby indicated the high reliability of the questionnaire.
Items within the salience domain in this study mostly covered items included
in the withdrawal symptoms domain in the Thailand study.17 The diversity in this

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


290

domain can be attributed to the variations in respondent characteristics in the study.


However, previous studies indicate a relationship between salience and withdrawal.
Internet addicts have salience symptoms with a pre-occupation with using the
internet. Thus, if they stop browsing the internet, the withdrawal symptoms will
occur within hours to days.21 On the other hand, other studies have shown that the
items belonged to different domains such as the psychological and emotional
conflict domain and time management issue domain in Britain and the
pyschological and emotional conflict and neglected work domain in Greece. In Iran,
the items in the salience domain were included in the emotional and mood disorder
domain and the personal activities disorder domain.9,22 The second domain in this
study is neglect of duty. This result is in accordance with the findings of a previous
study in which the items contained in the neglect of duty domain in the study were
also included under performance problems, neglecting work, and personal activities
disorder.17,22,23 Interestingly, this domain can also be combined with time
management, relationship problems, and social problems.12–14,16,17 The third
domain in the study is loss of control and the items included in it belonged to the
performance problems, relationship problems, and withdrawal symptoms domains
in studies in other countries.16,17 The link between the domains can be explained by
the fact that individuals with internet addiction can also exhibit tolerance and
withdrawal symptoms that result in uncontrolled internet use behavior and can
eventually lead to the neglection of their work and damage interpersonal
relationships.21,24–25
IAT scores were used to assess the severity of internet addiction. There are four
levels of internet addiction based on the IAT scores: normal, mild, moderate, and
severe addiction.7 Previous neuroimaging studies have revealed that there is
significant structural and functional alteration of the brain in moderate OR severe
internet addiction subjects with IAT scores  50.26,27 Thus, in this study, we grouped
the internet addiction level under two categories: IAT scores < 50 (normal and mild
internet addiction) and IAT scores  50 (moderate and severe internet addiction).
Additionally, in this study, we also found a significant association between the
level of internet addiction and both gender and duration of daily internet use. The
association found between the extent of internet addiction and gender was in

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


291

accordance with the conclusion of previous studies. More men were reported in the
internet addiction group.9,28,29 However, in other studies, contrasting results were
suggested.10,11,30,31 The differences in the findings across the studies might be due
to the variability of the subjects’ characteristics in each study.9,11,13
On the other hand, a significant association between IAT scores and the
duration of daily internet use was revealed in this study; this complements previous
research findings.9,11,16,28 We found that 27.5% of the subjects with internet
addiction used internet for more than two hours per day, which exceeds the
recommendations of the American Academy of Pediatrics (AAP) that defined two
hours as the cut-off for excessive daily media use among children and adolescents.32
Whether the longer duration of internet use causes the subject’s internet addiction
OR conversely, whether the subject’s internet addiction results in longer durations
of internet use is still questionable. Thus, further studies are required to determine
the causal point of this relationship.
The mean age of the subjects in this study is 14.5 (SD  1.67) years. No
significant relationship between IAT scores and age was observed, and this is in
accordance with prior studies.9,12,28 The subjects were categorized based on age into
early (11 – 16 years old) and late adolescence (17 – 25 years old) according to the
Indonesian Ministry of Health classification.33 A majority of our respondents
belonged to the early adolescent group, thereby leading to an uneven distribution
of subjects based on age groups. Hence, future research can be conducted with more
even number of participants for both age groups to gauge the efficiency of this
aspect.
A majority of the respondents from the addiction group in the study used the
internet for playing online games and using social media platforms (28.4% and 12.8%
respectively). This trend was similar to a prior study in Finland, which reported that
online gaming is the leading reason for subjects using the internet.10 The study
suggested that people will become more addictive towards online activity that is
challenging and interactive compared to other activities, which in this case can be
represented by online games.34 Furthermore, our study did not find any significant
association between the total IAT scores and the aim of internet use, which was in
contrast with previous research in Finland and Hong Kong.10,16

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


292

The average age at which subjects in the study used internet for the first time
was 10 (SD  2.35) years. This was similar to the findings of studies in European
countries that reported the onset of internet use at 8 years old.35 Such early onset of
internet use has been associated with severe internet addiction.36 Incongruent with
previous findings, the total IAT score in our research did not indicate any significant
association with the onset of internet use.
A limitation of this study is that the subjects all grew into adolescence in one
city—Jakarta. As the capital city of Indonesia, populations in Jakarta can be
considered as the best representative of all of the Indonesian population due to its
diversity. However, in the long run, it would be better if future research is conducted
in other regions of Indonesia as well. However, as per our preliminary
investigations, this study is a novel study that investigated the psychometric
properties of the Indonesian version of IAT.

5. Conclusion
In conclusion, the Indonesian version of the IAT demonstrated good validity
and reliability in the three-dimensional model. The IAT can be used as a tool for
screening internet addiction in the Indonesian population. A significant association
between the level of internet addiction and gender and daily internet use duration
was also revealed in the study.

6. References
1. ITU. Percentage of individuals using the internet: un system data catalog
[Internet]. 2015 Dec 22 [cited 2019 Jul 23]. Available from:
https://undatacatalog.org/dataset/percentage-individuals-using-internet.
2. APJII. Survei APJII: penetrasi internet di indonesia capai 143 juta jiwa
[Internet]. 2018 Mar 22 [cited 2019 May 6]. Available from:
https://apjii.or.id/content/read/104/348/BULETIN-APJII-EDISI-22---Maret-
2018.
3. Valkenburg PM, Peter J. Online communication among adolescents: an
integrated model of its attraction, opportunities, and risks. J Adolesc Health Off
Publ Soc Adolesc Med. 2011 Feb;48(2):121–7.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


293

4. Kuss DJ, van Rooij AJ, Shorter GW, Griffiths MD, van de Mheen D. Internet
addiction in adolescents: prevalence and risk factors. Computers in Human
Behavior. 2013;29(5):1987–96.
5. Mak KK, Lai CM, Watanabe H, Kim DI, Bahar N, Ramos M, et al.
Epidemiology of internet behaviors and addiction among adolescents in six
asian countries. Cyberpsychology Behav Soc Netw. 2014;17(11):720–8.
6. Cheng C, Li A. Internet addiction prevalence and quality of (real) life: a meta-
analysis of 31 nations across seven world regions. Cyberpsychol Behav Soc
Netw. 2014;17(12):755–60.
7. Young KS, Abreu CN. Internet addiction: a handbook and guide to evaluation
and treatment. New Jersey: John Wiley & Sons; 2010.
8. Young KS. Internet addiction: The emergence of a new clinical disorder.
Cyberpsychol Behav. 1998;1(3):237–44.
9. Widyanto L, McMurran M. The psychometric properties of the internet
addiction test. Cyberpsychology Behav Impact Internet Multimed Virtual Real
Behav Soc. 2004 Sep 1;7:443–50.
10. Korkeila J, Kaarlas S, Jääskeläinen M, Vahlberg T, Taiminen T. Attached to
the web —harmful use of the internet and its correlates. Eur Psychiatry J Assoc
Eur Psychiatr. 2010 May;25(4):236–41.
11. Khazaal Y, Billieux J, Thorens G, Khan R, Louati Y, Scarlatti E, et al. French
validation of the internet addiction test. Cyberpsychology Behav Impact
Internet Multimed Virtual Real Behav Soc. 2008 Dec;11(6):703–6.
12. Fernández-Villa T, Molina AJ, García-Martín M, Llorca J, Delgado-Rodríguez
M, Martín V. Validation and psychometric analysis of the internet addiction
test in spanish among college students. BMC Public Health. 2015 Sep
24;15:953.
13. Samaha AA, Fawaz M, Yahfoufi NE, Gebbawi M, Abdallah H, Baydoun SA,
et al. Assessing the psychometric properties of the internet addiction test (IAT)
among lebanese college students. Front Public Health. 2018; 6: 365.
14. Kaya F, Delen E, Young KS. Psychometric properties of the internet addiction
test in turkish. J Behav Addict. 2016 Mar;5(1):130-134.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


294

15. Guan NC, Isa SM, Hashim AH, Pillai SK, Harbajan Singh MK. Validity of the
malay version of the internet addiction test. Asia Pac J Public Health. 2015
Mar;27(2):NP2210-9. doi: 10.1177/1010539512447808.
16. Chang MK, Law SPM. Factor structure for young’s internet addiction test: a
confirmatory study. Comput Hum Behav. 2008;24(6): 2597–2619. doi :
10.1016/j.chb.2008.03.001.
17. Neelapaijit A, Pinyopornpanish M, Simcharoen S, Kuntawong
P, Wongpakaran N, Wongpakaran T. Psychometric properties of a thai version
internet addiction test. BMC Res Notes. 2018 Jan 24;11(1):69. doi:
10.1186/s13104-018-3187-y.
18. World Health Organization. WHO process of translation and adaptation of
instruments [Internet]. 2019 [cited 2019 May 6]. Available from:
https://www.who.int/substance_abuse/research_tools/translation/en/.
19. Hooper D, Coughlan J, & Mullen MR. Structural equation modelling:
Guidelines for determining model fit. Electronic Journal of Business Research
Methods. 2007 Nov;6(1): 53–60.
20. Ko CH, Yen JY, Chen SH, Wang PW, Chen CS, Yen CF. Evaluation of the
diagnostic criteria of Internet gaming disorder in the DSM-5 among young
adults in taiwan. J Psychiatr Res. 2014 Jun;53:103-10. doi:
10.1016/j.jpsychires.2014.02.008.
21. Griffiths MD, van Rooij AJ, Kardefelt-Winther D, Starcevic V, Király O,
Pallesen S, et al. Working towards an international consensus on criteria for
assessing internet gaming disorder: a critical commentary on petry et al. (2014).
Addict Abingdon Engl. 2016 Jan;111(1):167–75.
22. Tsimtsiou Z, Haidich A-B, Kokkali S, Dardavesis T, Young KS, Arvanitidou
M. Greek version of the internet addiction test: a validation study. Psychiatr Q.
2014 Jun;85(2):187–95.
23. Mohammadsalehi N, Mohammadbeigi A, Jadidi R, Anbari Z, Ghaderi
E, Akbari M. Psychometric properties of the persian language version of yang
internet addiction questionnaire: an explanatory factor analysis. Int J High Risk
Behav Addict. 2015 Sep 26;4(3):e21560. doi: 10.5812/ijhrba.21560.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


295

24. King DL, Delfabbro PH, Zwaans T, Kaptsis D. Clinical features and axis I
comorbidity of australian adolescent pathological internet and video game
users. Aust N Z J Psychiatry. 2013 Nov;47(11):1058-67. doi:
10.1177/0004867413491159.
25. Kuss DJ, Griffiths MD, Karila L, Billieux J. Internet addiction: a systematic
review of epidemiological research for the last decade. Curr Pharm Des.
2014;20(25):4026–52.
26. Sepede G, Tavino M, Santacroce R, Fiori F, Salerno R, Di Giannantonio M.
Functional magnetic resonance imaging of internet addiction in young adults.
World J Radiol. 2016 Feb 28; 8(2):210–25. doi: 10.4329/wjr.v8.i2.210.
27. Sharifat H, Rashid AA, Suppiah S. Systematic review of the utility of
functional MRI to investigate internet addiction disorder: Recent updates on
resting state and task-based fMRI. Malays J Med Sci. 2018;14(1):21–3.
28. Ha JH, Kim SY, Bae SC, Bae S, Kim H, Sim M, Lyoo IK, Cho SC. Depression
and internet addiction in adolescents. Psychopathology. 2007;40(6):424-30.
29. Tsai HF, Cheng SH, Yeh TL, Shih CC, Chen KC, Yang YC, Yang YK. The
risk factors of internet addiction—a survey of university freshmen. Psychiatry
Res. 2009 May 30;167(3):294-9. doi: 10.1016/j.psychres.2008.01.015.
30. Ferraro G, Caci B, D’Amico A, Blasi MD. Internet Addiction Disorder: An
Italian Study. Cyberpsychol Behav. 2007 Apr;10(2):170–5.
31. McCabe CJ, Thomas KJ, Brazier JE, Coleman P. Measuring the mental health
status of a population: a comparison of the GHQ-12 and the SF-36 (MHI-5).
Br J Psychiatry. 1996 Oct;169(4):516-21.
32. Chassiakos YR, Radesky J, Christakis D, Moreno MA, Cross C. Children and
adolescents and digital media. Pediatrics. 2016 Nov;138(5): e20162593.
33. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kategori usia. Jakarta: Depkes RI;
2019.
34. Ngai SS. Exploring the validity of the internet addiction test for students in
grades 5–9 in hong kong. Int J Adolesc Youth. 2007 Jan 1;13(3):221–37.
35. Ferrara P, Corsello G, Ianniello F, Sbordone A, Ehrich J, Giardino I, et al.
Internet addiction: starting the debate on health and well-being of children
overexposed to digital media. J Pediatr. 2017 Dec 1;191:281.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


296

36. Black DW, Shaw M, Coryell W, Crowe R, McCormick B, Allen J. Age at onset
of DSM-IV pathological gambling in a non-treatment sample: early- versus
later-onset. Compr Psychiatry. 2015 Jul;60:40–6.

Acknowledgements

The authors would like to thank all of the participants in this study.

Conflict of Interest

All authors declare they have no conflicts of interest.

Funding

This study received financial support from DRPM Grant for TADOK (Grant for
student’s research)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


297

RIWAYAT HIDUP

Nama : dr. Kristiana Siste, SpKJ(K)


NIP : 197512252014122001
Pangkat/Gol : Penata Muda Tk. 1/ IIIB
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat / tanggal lahir : Tangerang, 25 Desember 1975
Agama : Katolik
Jabatan : - Staf Pengajar dan Fungsional Departemen Ilmu
Kedokteran Jiwa FKUI-RSCM
- Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI
Alamat Rumah : Green Garden Blok A12 no 18, Jakarta Barat
Alamat Kantor : Departemen Medik Kesehatan Jiwa
Gedung H – Jalan Diponegoro No 71, Jakarta Pusat
Orang tua : alm. Ambrosius Kurdi
Sannio
Suami : Po Kian Djajasasmita
Email : ksiste@yahoo.com

RIWAYAT PENDIDIKAN
1988 : SD Slamet Riyadi, Tangerang
1991 : SMPN 1 Tangerang
1994 : SMAN 1 Tangerang
2001 : Pendidikan Dokter Umum, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
2007 : Pendidikan Spesialis Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

2013 : Pendidikan Konsultan Psikiatri Adiksi, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia

RIWAYAT ORGANISASI
Sekretaris Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter
2009–2014 :
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
Sekretaris Seksi Psikiatri Adiksi Perhimpunan Dokter
2014–2018 :
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
Anggota International Society of Addiction Medicine
2016–sekarang :
(ISAM)

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


298

International Society for Biomedical Research on


2016–sekarang :
Alcoholism (ISBRA)
2017–sekarang : Anggota WHO Consortium Seksi Addictive Behavior
Wakil Ketua Seksi Psikiatri Adiksi Perhimpunan
2018–sekarang :
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia

RIWAYAT PEKERJAAN
Psikiater PTT – RSUD. dr. Hadrianus Sinaga, Pangururan,
2007–2008 :
Samosir, Sumatera Utara
Koordinator Administrasi dan Keuangan, Departemen Ilmu
2012–2017 :
Kedokteran Jiwa FKUI/RSCM
Ketua Divisi Psikiatri Adiksi, Departemen Ilmu Kedokteran
2015–sekarang :
Jiwa FKUI/RSCM
2017–sekarang : Ketua Departemen Medik Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI

RIWAYAT PENDIDIKAN/PELATIHAN/KURSUS TAMBAHAN


2009 Training on AIDS and Drug Abuse Treatment
2012 Treat Asia Training : Services for Men Sex with Men
population
2012 Treat Asia Training : Psychosocial Support for Children
with HIV
2012 Asian Conference Research of Schizophrenia: The
Neurocognitive Function for Patients with Cannabis Abuse
2013 Mandatory Report for Patients with Addiction
2013 Addiction Training: Substance Abuse and Pathological
Gambling
2014 Counselling for Addiction Patients
2014 HIV Workshop: Pathogenesis, Treatment and Prevention
2014 Motivational Enhancement Therapy
2014 Marital Counselling
2015 14th Academic Development of Psychiatrist
2015 Colombo Plan Training: Counselling Training for Drug
Abuser
2016 Takeda Fellowship in Alcohol and Internet Addiction
2018 International Society of Addiction Medicine (ISAM)
Fellowhip
2019 FMRI Data Analysis Course

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


299

RIWAYAT PENELITIAN
2003 Collaboration with University of South Wales, Genetic research in
Schizophrenia
2006 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, The
Change in Sexual Aspects of Knowledge and Behavior in Patients with
HIV/AIDS after Counselling Sessions at Pokdisus
2007 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Coping
Strategy in Child with Acute Lymphoblastic Leukemia: A Qualitative
Study
2008 Tebet Community Health Center, The Effectiveness of Motivational
Enhancement Therapy (MET) for Patients in Methadone Maintenance
Program
2010 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Quality
of Life in Patients with HIV/AIDS
2010 Pokdisus RSCM, Contributing Factors in The Adherence of Patients
with HIV/AIDS
2012 Addiction Prevention Project for Junior High School: Develop Peers
Support to Prevent Addiction

2012 Pokdisus RSCM, The Effectiveness of Group Therapy to Improve


Depression Symptoms in HIV Patients with Depression Disorder
2012 Pokdisus RSCM, The Long-term Effect of Neuropsychiatric in HIV
Patients with Efavirenz Treatment
2013 Pokdisus RSCM, The Association Between Group Therapy and
Adherence in Patients with HIV
2013 Pokdisus RSCM, The Effectiveness of Group Therapy to Enhance
Adherence in Patients with HIV: A Randomized-Controlled Trial
2014 Cipinang Prison, The Cognitive Disorder of Cannabis Users in
Cipinang Prison, Indonesia
2015 Tebet Community Health Center ,Contributing Factors to The Retention
of Methadone Maintenance Program in Indonesia: A Prognostic Study
2016 Secondary and High Schools in Jakarta, The Development of
Diagnostic Questionnaire for Internet Addiction Among Teenager:
Functional Magnetic Resonance and Internet Addiction Test as Gold
Standard
2016 Secondary and High Schools in Jakarta, Contributing Factors of
Internet Addiction among Teenagers in Indonesia
2017 Prevalence of Suicide Ideation among Patients with HIV/AIDS and
Contributing Factors

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


300

2018 Association between Suicidal Ideation on Psychopathology and other


Determining Factors among HIV/AIDS Patients in Poliklinik Khusus
HIV/AIDS RSCM
2018 Hubungan antara Psikopatologi dengan Ketergantungan Merokok pada
Pasien dengan Gangguan Jiwa di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM
2018 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Internet Addiction Test pada
Siswa di Jakarta
2019 Hubungan antara Psikopatologi, Citra Diri dan Temperamen dengan
Gaming Disorder pada Mahasiswa Kedokteran di Jakarta

PUBLIKASI
1. Schwab SG, Kusumawardhani AAAA, Dai N, Qin W, Wildenauer MDB,
Agiananda F, et al. Association of rs1344706 in the ZNF84A gene with
schizophrenia in case/control sample from Indonesia. Schizophr Res. 2013 Jun;
147(1): 46-52. doi: 10.1016/j.schres.2013.03.022.
2. Faculty of Medicine, University of Indonesia. Domestic violence impact (in
mental health perspective). 2004.
3. Siste K. How to prevent child from HIV/AIDS. Kompas 2011 Desember:
Sect. Hari Aids Sedunia.
4. Lim HM, Kurniasanti KS. Shared decision making and effective physician-
patient communication: the quintessence of patient-centered care. International
Journal of Medical Students. 2015;3(1):7–9.
5. Siste K. Cannabis and cognitive function of prisoners in Cipinang Prison. Paper
presented at: International Society Addiction Medicine; 2014; Yokohama,
Japan.
6. Siste K. Predictor factors of Methadone Maintenance Program in Jakarta. Paper
presented at: World Congress of Asian Psychiatry; 2015; Fukuoka, Japan.
7. Siste K. Internet addiction among adolescent in Indonesia: protective and risk
factors. Paper presented at: 5th International Internet Addiction Workshop;
2016;
8. Ayu AP, Iskandar S, Siste K, De Jong C, Schellekens A. Addiction training for
health professionals as an antidote to the addiction health burden in Indonesia:
Letter to the Editor. Addiction. 2016 Aug;111(8):1498–9.
9. Heryanto L, et al. Efektivitas Terapi Kelompok Suportif Ekspresif terhadap
Peningkatan Kepatuhan Terapi pada Pasien dengan HIV di Posdiksus RSCM
Jakarta. Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia. 2017 Agustus; 1(2): 18-
25.
10. Nugraheni P, Kurniasanti KS. Gangguan Neuropsikiatrik akibat Penggunaan
efavirenz: sebuah tinjauan pustaka. Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa
Indonesia. 2017 Agustus; 1(2): 32-5.
11. Siste K. Substance use and behavioral addiction in Indonesia. Paper presented
at: 5th Asian college of neuropsychopharmacology; 2017; Bali, Indonesia.
12. Siste K. Internet addiction among adolescents in jakarta: a challenging situation
for mental health development. Paper presented at: 2nd Ice on imeri; 2017;
Jakarta, Indonesia.

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


301

13. Husin AB, Siste K. Gangguan Penggunaan Zat. In : Elvira SD, Hadikusanto G,
editors. Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
14. Ismail RI, Siste K. Gangguan Depresi. In : Elvira SD, Hadikusanto G, editors.
Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2017.
15. Kusumadewi I, Siste K. Kedaruratan Psikiatri. In : Elvira SD, Hadikusanto G,
editors. Buku Ajar Psikiatri. 3rd ed. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
16. Siste K. Gangguan terkait penggunaan alkohol dan zat. In : Kusumawardhani
AAAA, Lukman PR, Kaligis F, editors. Crash Course Psikiatri Edisi Indonesia.
1st ed. Elsevier; 2018.
17. Siste K, Wiguna T, Wiwie M, Winarsih NS. Internet Addiction Among
Adolescents in Jakarta: A Challenging Situation for Mental Health
Development. Journal of International Dental and Medical Research. 2018;
11(2): 711-7.
18. Siste K, Nugraheni P, Christian H, Suryani E, Firdaus KK. Prescription drug
misuse in adolescents and young adults: an emerging issue as a health problem.
Current Opinion in Psychiatry. 2019; 32(4): 320-327. doi:10.1097/YCO.
0000000000000520.
19. Siste K, Assandi P, Ismail RI, Nasrun MWS, Wiguna T. Internet addiction: a
new addiction?. Medical Journal of Indonesia. 2019; 28(1): 82-91.
doi:doi.org/10.13181/ mji.v28i1.275

HIBAH DAN PENGHARGAAN


2008 Japanese Society of Psychiatry and Neurology Award
2009 Neso Scholarship for Training on HIV/AIDS
2012 Hibah DRPM UI untuk Pengabdian Masyarakat
2013 Beasiswa Pelatihan Adiksi di Univesitas Flinders, Adelaide
2013 Hibah Penelitian Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
2014 Hibah Penelitian Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
2014 The International Society Addiction Medicine (ISAM) Award for
Young Researcher
2016 Takeda Fellowship Award in Kurihama Medical and Addiction
Center
2016 Hibah Penelitian DRPM untuk Publikasi Terindeks
Internasional untuk Tugas Akhir Mahasiswa UI
2018 International Society Biomedical Research on Alcoholism
Award
2018 Hibah Penelitian DRPM untuk Tugas Akhir Doktoral
2019 Hibah Penelitian dari Kementrian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi Republik Indonesia

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019


302

Universitas Indonesia

Pengembangan kuesioner..., Kristiana Siste, FK UI, 2019

Anda mungkin juga menyukai