Anda di halaman 1dari 120

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN GANGGUAN MENSTRUASI

PADA MAHASISWA KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


(Tesis)

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :

dr. Madona Utami Dewi


Peserta PPDS OBGYN

Pembimbing :
dr. Syahredi SA, Sp. OG (K)
Dr. dr. Hafni Bachtiar, MPH

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2020
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : dr. Madona Utami Dewi

Program Studi : PPDS Obstetri dan Ginekologi

Fakultas : Kedokteran Universitas Andalas

Menyatakan bahwa tesis yang saya tulis dengan judul “Hubungan Tingkat Stres
dengan Ganggun Menstruasi Pada Mahasiswa Kedokteran Univeritas
Andalas” adalah hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari hasil
kerja atau karya orang lain, kecuali kutipan pustaka yang sebelumnya
dicantumkan. Jika kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan

Padang,

dr. Madona Utami Dewi


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘Alamin. Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat


ALLAH Subhanahuwata’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
selama penulis menjalani Pendidikan sampai menyelesaikan tesis ini.
Tesis dengan judul : “HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN
GANGGUAN MENSTRUASI PADA MAHASISWA KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS” disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (SpOG) pada Program Pendidikan Dokter
Spesialis Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas /
RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi isi maupun pembahasannya. Penulis berharap tulisan ini dapat menambah
perbendaharaan ilmiah mengenai hubungan stres dan gangguan menstruasi dan
memberikan masukan kepada stake holder Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas dalam perbaikan sistem pendidikan.
Berbagai pihak telah memberikan semangat, bimbingan dan bantuan baik
moril, materil dan spiritual terhadap penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.
Kepada dr. H. Syahredi SA, SpOG(K), Ketua Bagian / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS Dr. M. Djamil Padang
dan sekaligus pembimbing tesis, penulis menyampaikan terimakasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang memberikan dorongan,
semangat dan nasehat serta menanamkan rasa tanggung jawab baik selama penulis
mengikuti Pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini.
Kepada dr. Bobby Indra Utama, SpOG(K), Ketua Program Studi PPDS
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS Dr. M.
Djamil Padang sekaligus penguji tesis dan konsultan uroginekologi, penulis
menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati
beliau yang memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta menanamkan rasa
tanggung jawab baik selama penulis mengikuti Pendidikan maupun dalam
penyelesaian tesis ini.
Kepada Dr. dr. H. Bachtiar, MPH, pembimbing statistik dan metode
penelitian, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas kebaikan dan
ketulusan hati beliau yang telah meluangkan waktu untuk mengajari dan
membimbing penulis dalam memahami metode penelitian dan analisis statistik.
Dengan dorongan semangat dan nasehat serta rasa tanggung jawab beliau, penulis
akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini.
Kepada dr. Desmiwarti, Sp.OG(K), sebagai penguji, penulis menyampaikan
terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang
memberikan masukan, dorongan, semangat dan nasehat serta menanamkan rasa
tanggung jawab baik selama penulis mengikuti pendidikan maupun dalam
penyelesaian tesis ini.
Kepada dr. Haviz Yuad, SpOG(K), sebagai sekretaris program studi dan
penguji sekaligus konsultan fertilitas endokrinologi reproduksi, penulis
menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati
beliau yang memberikan masukan, dorongan, semangat dan nasehat serta
menanamkan rasa tanggung jawab baik selama penulis mengikuti Pendidikan
maupun dalam penyelesaian tesis ini.
Kepada dr. Syamel Muhammad, Sp.OG(K), sebagai konsultan onkologi
ginekologi dan sebagai penguji, penulis menyampaikan terimakasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang memberikan masukan,
dorongan, semangat dan nasehat serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada
penulis selama mengikuti program pendidikan.
Kepada Prof. Dr. dr. Hj. Yusrawati, SpOG(K), Guru besar di PPDS Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS Dr. M. Djamil
Padang sekaligus konsultan fetomaternal, penulis menyampaikan terimakasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang memberikan masukan,
dorongan, semangat dan nasehat serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada
penulis selama mengikuti program pendidikan.
Kepada Dr. dr. H. Ariadi, SpOG, penulis menyampaikan terimakasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang memberikan masukan,
dorongan, semangat dan nasehat serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada
penulis selama mengikuti program pendidikan.
Kepada dr. Hj. Ermawati, SpOG(K), sebagai konsultan uroginekologi
penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan
hati beliau yang memberikan masukan, dorongan, semangat dan nasehat serta
menanamkan rasa tanggung jawab kepada penulis selama mengikuti program
pendidikan.
Kepada dr. Ferdinal Ferry, SpOG(K), sebagai konsultan obgin sosial penulis
menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati
beliau yang memberikan masukan, dorongan, semangat dan nasehat serta
menanamkan rasa tanggung jawab kepada penulis selama mengikuti program
pendidikan.
Kepada Dr. dr. H. Defrin, SpOG(K), sebagai konsultan fetomaternal penulis
menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati
beliau yang memberikan masukan, dorongan, semangat dan nasehat serta
menanamkan rasa tanggung jawab kepada penulis selama mengikuti program
pendidikan.
Kepada dr. Andi Friadi, SpOG(K), sebagai konsultan onkologi
ginekologi, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan
ketulusan hati beliau yang memberikan masukan, dorongan, semangat dan nasehat
serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada penulis selama mengikuti program
pendidikan.
Kepada Dr. dr. Roza Sri Yanti, SpOG(K), sebagai konsultan fetomaternal
dan pembimbing tampil nasional, penulis menyampaikan terimakasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang memberikan masukan,
dorongan, semangat dan nasehat serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada
penulis selama mengikuti program pendidikan.
Kepada dr. Hudila Rifa Karmia, SpOG, penulis menyampaikan terimakasih
dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang memberikan
masukan, dorongan, semangat dan nasehat serta menanamkan rasa tanggung jawab
kepada penulis selama mengikuti program pendidikan.
Kepada dr. Aladin, SpOG(K), sebagai konsultan obgin sosial, penulis
menyampaikan terimakasih dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati
beliau yang memberikan masukan, dorongan, semangat dan nasehat serta
menanamkan rasa tanggung jawab kepada penulis selama mengikuti program
pendidikan.
Kepada dr. H. Muchlis Hasan, SpOG, dr. H. Helfial Helmi, SpOG, dr. H.
Pelsi Sulaini, SpOG(K)(Alm), Prof. Dr. dr. K. Suheimi, SpOG(K), Dr. dr. Vaulinne
Basyir, SpOG(K), dr. H. Masrizal N, SpOG, dr. Zeino Friedsto, SpOG, dr. Firman
Abdullah, SpOG, dr. Yulia Margareta Sari, SpOG, dr. Benny Oktora, SpOG, dr. H.
Zulhanif Nazar, SpOG, dr. Ori John, SpOG(K), dr. Mutiara Islam, SpOG(K), dr.
Muslim Nur, SpOG(K), dr. Helwi Novira, SpOG(K), dr. Yufi Permana, SpOG,
dr. Dody Faisal, SpOG, dr. Adriswan, SpOG, dr. Syahrial Syukur, SpOG, dr.
Mondale Saputra, SpOG(K), dr. Pom Harry Satria, SpOG(K), dr. Nike Prasamya
Efrina, SpOG, dr. Alam Patria, SpOG, dr. Susanti Apriani, SpOG, dr. Suhadi,
SpOG, dan dr. Efriza Naldi, SpOG sebagai konsulen dan konsultan pada Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS Dr. M.
Djamil Padang dan rumah sakit jejaring, penulis menyampaikan terima kasih yang
tulus dan penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau yang telah
memberikan bimbingan dan nasehat serta menanamkan rasa tanggung jawab dan
disiplin selama penulis mengikuti pendidikan.
Kepada Dr. dr. H. Yusirwan Yusuf, SpB, SpBA, Mars selaku Direktur
Utama RS Dr. M. Djamil Padang, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau menerima dan memberi
kesempatan penulis memanfaatkan fasilitas RS Dr. M. Djamil Padang selama
Pendidikan di Fakultasn Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Kepada Dekan Fakultan Kedokteran Universitas Andalas Padang Dr. dr.
Rika Susanti, Sp.F, beserta seluruh staf, penulis menyampaikan terimakasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau menerima dan memberi
kesempatan penulis menjalani Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
Kepada Kepala ICU Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS
Dr. M. Djamil Padang dr. Liliriawati Ananta Kahar, SpAN KIC dan dr. Emilzon
Taslim, SpAN, KAO, KIC beserta staf, penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan atas kebaikan dan ketulusan hati beliau menerima, memberi
kesempatan dan membimbing penulis selama menjalani stase di bagian ICU.
Kepada sejawat residen peserta PPDS Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas / RS Dr. M. Djamil Padang, penulis menyampaikan terima
kasih dan penghargaan atas kerjasama, bantuan dan pengertian yang telah diberikan
selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini.
Kepada semua paramedik di bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas / RS Dr. M. Djamil Padang, penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas kejasama dan bantuan selama
penulis mengikuti Pendidikan.
Kepada semua staf instalasi Bedah Sentral dan IGD RS. Dr. M. Djamil
Padang, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas kerjasama dan
bantuan selama penulis mengikuti Pendidikan.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pasien Obstetri dan
Ginekologi RS Dr. M. Djamil Padang dan rumah Sakit jejaring yang pernah dalam
perawatan dan pengelolaan penulis selama mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis
dan mohon maaf atas segala kekurangan serta kekhilafan yang pernah terjadi.
Khususnya kepada suamiku tercinta, pendamping setiaku Robert Alektris,
SE, MM, yang dengan penuh kesabaran, keikhlasan, pengertian serta pengorbanan
yang tak ternilai yang merupakan pendorong moril bagi penulis untuk
menyelesaikan pendidikan ini, penulis ucapkan terima kasih teriring rasa cinta dan
kasih sayang yang tak terhingga.
Kepada mama tersayang, Mama Nino yang telah melahirkan, membesarkan
dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan yang tulus dan
ikhlas, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga,
semoga beliau selalu dilimpahkan rahmat dan karunia oleh ALLAH SWT.
Kepada kakak dan kakak ipar tersayang, Amelia Amrina, ST dan
Ariyantrisno, ST, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan
pengorbanan selama penulis mengikuti pendidikan.
Terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah memberikan bantuan moril maupun materil, dorongan semangat
selama penulis mengikuti pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. Semoga ALLAH
SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.
Akhir kata saya bersyukur kepada ALLAH SWT karena atas izin-NYA
maka tesis ini dapat diselesaikan.

Padang, 04 Maret 2020

dr. Madona Utami Dewi


ABSTRACT

Objective: To determine the relationship of stress levels with menstrual


disorders in medical students
Method: This research is a cross sectional study design. The number of
samples was 141 people. The sampling technique is simple random sampling. The
research began in August 2019 until February 2020 in Medical Faculty of Andalas
University and Obstetrics and Gynecology Polyclinic of M. Djamil Central General
Hospital. To find out the stress level of medical students, MSSQ questionnaire was
used, and to find out menstrual disorders using the DSM-IV questionnaire, wrong
Baker scale, Hiferi menstrual disorder table.
Results: A total of 63 respondents (44.7%) were in the severe stress category,
60 respondents (42.6%) were in the moderate stress level, 15 respondents (10.6%)
were in the mild stress level, and 3 respondents (2,1%) with very heavy stress. A
total of 116 respondents (82.3%) with normal menstrual frequency, the majority of
respondents namely 115 respondents (81.6%) experienced regular menstrual
variations, the majority of respondents 129 respondents (91.5%) experienced normal
menstrual duration, as many as 127 respondents (90.1%) with normal blood volume,
more than half, namely 118 respondents (83.7%) experienced PMS and 116
respondents (82%) experienced dysmenorrhea.
Conclusion: There is a significant relationship between stress levels with
dysmenorrhea and PMS. While no significant relationship was found between stress
levels with menstrual frequency, menstrual variations, menstrual duration and
menstrual blood volume
Keywords: Stress level, menstrual disorders

.
ABSTRAK

Tujuan : Mengetahui hubungan tingkat stres dengan gangguan menstruasi


pada mahasiswa kedokteran
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain cross sectional
study. Jumlah sampel sebanyak 141 orang. Teknik Pengambilan sampel adalah
simple random sampling. Penelitian ini dimulai Agustus 2019 sampai dengan
Februari 2020 di Kampus Kedokteran Unand Limau Manis Padang dan di
Poliklinik Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil
Padang. Untuk mengetahui tingkat stress mahasiswa kedokteran digunakan
kuisioner MSSQ, dan untuk mengetahui gangguan menstruasi menggunakan
kusioner DSM-IV, wrong Baker scale, table gangguan menstruasi Hiferi.
Hasil : Sebanyak 63 responden (44,7%) berada pada tingkat stres kategori
berat, 60 responden (42,6%) berada pada tingkat stres sedang, 15 responden
(10,6%) pada tingkat stres ringan, dan 3 responden (2,1%) dengan stres sangat
berat. Sebanyak 116 responden (82,3%) dengan frekuensi menstruasi normal,
sebagian besar responden yaitu 115 responden (81,6%) mengalami variasi
menstruasi reguler, sebagian besar responden yaitu 129 responden (91,5%)
mengalami durasi menstruasi normal, sebanyak 127 responden (90,1%) dengan
volume darah normal, lebih dari separuh yaitu 118 responden (83,7%) mengalami
PMS dan 116 responden (82%) mengalami dismenore.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stres dengan
dismenore dan PMS. Sementara tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara
tingkat stres dengan frekuensi haid, variasi haid, durasi haid dan volume darah haid
Kata Kunci : Tingkat stress, gangguan menstruasi

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ...........................................................................................................i
DAFTAR TABEL.................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN........................................................................................vi
BAB 1 : PENDAHULUAN ....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum..............................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus.............................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................................4
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
2.1 MENSTRUASI..................................................................................................5
2.1.1 Definisi Mesntruasi.........................................................................................5
2.1.2 Anatomi yang Terlibat Dalam Regulasi Menstruasi.......................................6
2.1.3 HPO axis.......................................................................................................11
2.1.4 Siklus menstruasi normal..............................................................................14
2.1.5 Gangguan Mesntruasi....................................................................................23
2.1.5.1 Definisi gangguan menstruasi....................................................................23
2.1.5.2 Epidemiologi Gangguan Menstruasi..........................................................23
2.1.5.3 Klasifikasi Gangguan Mesntruasi..............................................................24
2.2 STRES..............................................................................................................40
2.2.1 Definisi Stres.................................................................................................40
2.2.2 Jenis-Jenis Stresor.........................................................................................41
2.2.3 Klasifikasi Stres............................................................................................43
2.2.4 Tipe Stres......................................................................................................45

3
2.2.5 Aspek Stres.................................................................................................. 45
2.2.6 Faktor Penyebab Stres..................................................................................46
2.2.7 Fisiologi Stres...............................................................................................47
2.2.8 Faktor –Faktor yang mempengaruhi seseorang merespon stres….............49
` 2.2.9 Dampak Stres.......................................................................................50
2.2.10 Pendekatan Probelm Solving Terhadap Stres.............................................50
2.2.11 Kuisioner untuk mengukur tingkat stres.....................................................52
2.3 HUBUNGAN STRES DENGAN GANGGUAN MENSTRUASI.................58
BAB 3 : KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN........65
3.1 Kerangka Konsep.............................................................................................65
3.2 Hipotesis Penelitian..........................................................................................66
BAB 4 : METODE PENELITIAN........................................................................67
4.1 Jenis Penelitian.................................................................................................67
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian..........................................................................67
4.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel.......................................68
4.4 Variabel Penelitian...........................................................................................69
4.5 Definisi Operasional.........................................................................................69
4.6 Alat dan Bahan.................................................................................................71
4.7 Prosedur Penelitian...........................................................................................71
4.8 Pengolahan dan Analisa Data...........................................................................72
4.9 Etika Penelitian......... ......................................................................................73
BAB 5: HASIL PENELITIAN…………………………………...…………...…74
5.1 Karakteristik Responden Penelitian………………………................…..…...74
5.2 Distribusi Tingkat Stres pada Mahasiswa Kedokteran………………............75
5.3 Distribusi Gangguan Menstruasi pada Mahasiswa Kedokteran…..............…76
5.4 Hubungan Tingkat Stres dengan Gangguan Menstruasi pada Mahasiswa
Kedokteran…………………………………………………………………...…..76
BAB 6 PEMBAHASAN………………………………………………………....80
6.1 Karakteristik Responden………………………………...............…….……..80
6.2 Tingkat stress pada mahasiswa kedokteran……………………...…...........…81
6.3 Gangguan Menstruasi pada Mahasiswa Kedokteran.....…………...……….. 82
6.4 Hubungan Tingkat Stres dengan Gangguan menstruasi….........………...…..83

4
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………… 85
7.1 Kesimpulan…………………….........…………………………..………….. 85
7.2 Saran…………………………........………………………………………….85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

5
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menstruasi merupakan salah satu indikator kesehatan reproduksi seorang
wanita yang melambangkan fungsi integral dan biologis wanita sepanjang siklus
kehidupannya. Menstruasi didefinisikan sebagai proses alamiah yang dialami oleh
setiap wanita usia reproduktif dimana terjadi peluruhan endometrium secara
periodik di bawah pengaruh Hypothalamus Pituitary ovarian axis (HPO-axis)
(Mostafa, 2018).
Menstruasi merupakan proses alamiah yang dialami oleh seorang
perempuan mulai sejak menarche sampai dengan masa menepouse. Penelitian yang
dilakukan oleh Alison terhadap wanita yang tidak mengalami menstruasi post
histerektomi merasa bahwa mereka kehilangan identitas sebagai perempuan
(Naszish,2018).
Menstruasi juga dijadikan indikator kesehatan reproduksi seorang wanita.
Dimana menstruasi terjadi karena kerjasama organ di dalam tubuh seorang wanita
mulai dari hipotalamus di otak dan kelenjar hipofisis anterior yang mengirimkan
sinyal ke ovarium untuk menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Rasio
hormon ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan endometrium di rahim, yang
akan meluruh saat fase mentruasi. Sehingga menstruasi dianggap sebagai jendela
untuk menilai hubungan HPO axis dan fungsi organ reproduksi seorang perempuan
(Mostafa,2018)
Oleh karena pentingnya menstruasi bagi seorang perempuan maka ACOG
merekomendasikan siklus menstruasi dimasukkan dalam vital sign seorang
perempuan, dimana setiap wanita yang berobat ke dokter harus menanyakan
mengenai siklus menstruasinya (Reed, 2018)
Gangguan menstruasi merupakan masalah ginekologi yang sering dijumpai
pada pasien di poliklinik rawat jalan, terutama remaja, dimana salah satu sumber
kecemasan bagi wanita dan keluarganya. Hampir 40 % wanita mengalami
gangguan menstruasi seperti hipermenore/hipomenore, mestruasi yang tidak
teratur, amenorea, oligomenorea, polimenorea, prolong menstrual bleeding,

6
shortened menstrual bleeding, dismenore dan sindrom premenstruasi. Penelitian
yang dilakukan oleh Rigon terhadap 4.892 perempuan berusia 18-21 tahun
didapatkan hampir keseluruhan mengalami gangguan menstruasi baik interval,
jumlah, durasi, nyeri dan keluhan premenstrual sindrom (HIFERI,2014).
Penelitian lain yang dilakukan di RS di Manado juga mendapatkan data
serupa bahwa gangguan menstruasi merupakan kasus ginekologi terbanyak
peringkat ke tiga setelah mioma dan tumor ovarium. Penelitian di RS Denpasar
juga mendapatkan data gangguan menstruasi merupakan peringkat ke 2 terbanyak
kasus ginekologi (38,78%) setelah leukorea (53,06%). Gangguan menstruasi harus
dijadikan perhatian khusus oleh dokter khususnya spesialis obstetri dan ginekologi
karena gangguan menstruasi yang diidentifikasi sejak dini dapat mencegah potensi
permasalahan reproduksi di saat dewasa (Reed,2018; Allen,2015; Firman,2015).
Menurut WHO penyebab gangguan menstruasi pada perempuan muda salah
satunya adalah stres. Stres didefinisikan sebagai respon nonspesifik tubuh atau
reaksi terhadap rangsangan, atau terhadap kejadian yang menganggu dalam
lingkungan. Van Harrison menyatakan bahwa stres muncul dari konflik yang
dirasakan antara apa yang diharapkan dengan kemampuan individu untuk
memenuhi kebutuhan tesebut. Menurut World Health Organization (WHO),
prevalensi kejadian stres cukup tinggi dimana hampir 350 juta penduduk dunia
mengalami stes dan stres merupakan penyakit dengan peringkat ke-4 dunia. Stres
menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan antara lain masalah kejiwaan,
kepercayaan diri yang rendah, gangguan tidur, mengurangi konsentrasi, susah
untuk fokus, cynicism dan ketidakpuasan terhadap karir di masa yang akan datang
bahkan meningkatkan keinginan untuk bunuh diri, yang jika diketahui lebih awal
maka bisa diintervensi untuk pencegahan berbagai masalah kehidupan dan
kesehatan di masa depan (F.Gary, 2018).
Mahasiswa merupakan kelompok dengan tingkat stres yang bervariasi.
Sebuah penelitian dilakukan di Malaysia untuk membandingkan tingkat stres
mahasiswa berbagai jurusan dimana didapatkan hasil bahwa mahasiswa kedokteran
mempunyai tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa jurusan lain.
Tingkat stres mahasiswa kedokteran berkisar 30-50%. Dua penelitian di Malaysia
didapatkan hasil bahwa 29,1%-41,9% mahasiswa kedokteran menderita gangguan

7
emosi, penelitian ke dua di universitas swasta di Malaysia 46,2% pada mahasiswa
kedokteran menderita gangguan emosi. Penelitian di Singapore melaporkan 57%
gangguan emosi pada mahasiswa kedokteran dibandingkan 37% pada mahasiswa
jurusan hukum. Penelitian lain di Turki melaoporkan gangguan emosi pada 47,9%
mahasiswa kedokteran berbanding 29,2% pada mahasiswa jurusan ekonomi. Hal
ini memperlihatkan situasi tekanan psikologis pada mahasiswa kedokteran
dibandingkan dengan jurusan lain (Marc,2015).
Gangguan menstruasi akibat stres sebaiknya diketahui sejak awal sehingga
bisa diintervensi lebih dini dan mendapat penanganan yang tepat karena menstruasi
merupakan cerminan fungsi koordinasi otak dengan organ tubuh lain (Marc,2015).
Hubungan stres dan gangguan menstruasi sudah pernah diteliti dimana
terbukti bahwa stres dan gangguan menstruasi mempunyai korelasi yang cukup
signifikan. Namun yang menjadi kekurangan penelitian ini mempunyai bias yang
tinggi karena tidak dikeluarkannya variabel lain yang bisa mempengaruhi hasil
penelitian seperti indeks massa tubuh (obesitas atau underweight), aktivitas fisik
yang berat, diet yang ketat dan faktor ekonomi keluarga. Disamping itu penelitian
terdahulu masih menggunakan kuisioner lama yang tidak bisa menentukan
penyebab stres yang paling kuat pada mahasiswa kedokteran (F.Gary, 2018; Marc,
2015).
Kekurangan penelitian sebelumnya penulis gunakan untuk membuat
penelitian serupa dengan sampel yang berbeda dan menggunakan kuisioner yang
berbeda, dimana penulis menggunakan Medical Student Stressor Questionnaire
(MSSQ) Manual. Kuisiner ini dipandang lebih baik dibandingkan dengan kuisioner
terkait lainnya dimana selain bisa mengukur tingkat stres seseorang, juga bisa
mengetahui domain/ranah penyebab stres paling tinggi, sehingga hasil penelitian
ini bisa menjadi kontribusi rekomendasi kepada mahasiswa dan institusi pendidikan
untuk memasukkan manajemen stres dalam agenda pendidikan sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi, dalam ruang lingkup kecilnya
yaitu mengurangi permasalahan gangguan menstruasi pada mahasiswinya.

8
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara tingkat stres dengan gangguan menstruasi
pada mahasiswa kedokteran

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat stres dengan gangguan menstruasi pada
mahasiswa kedokteran

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui tingkat stres mahasiswa kedokteran
b. Mengetahui gangguan menstruasi pada mahasiswa kedokteran
c. Mengetahui hubungan stres dengan gangguan menstruasi

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu manfaat secara
teoritis (pendidikan) dan praktis (pelayanan). Adapun manfaat penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis (pendidikan)
a. Sebagai bahan literatur dalam kegiatan belajar mengajar mengenai
gangguan menstruasi dan faktor stres yang mempengaruhinya
b. Sebagai informasi dan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat praktis (pelayanan)
a. Institusi pendidikan
Sebagai bahan rekomendasi untuk memasukkan menajemen stres dalam
kurikulum pendidikan kedokteran
b. Bagi Mahasiswa Kedokteran
Pentingnya manajemen stres sebagai salah satu cara untuk terhindar dari
gangguan menstruasi
c. Bagi masyarakat
Pentingnya manajemen stres dalam menurunkan angka gangguan
menstruasi pada wanita

9
d. Bagi penulis
Menyelesaikan salah satu syarat pendidikan di bagian obstetri dan
ginekologi

10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MENSTRUASI
2.1.1 Definisi Menstruasi
Menstruasi adalah suatu peristiwa alamiah keluarnya darah dari uterus melewati
vagina terjadi secara teratur tiap bulan selama masa reproduksi seorang wanita.
Normalnya menstruasi pertama terjadi pada usia 11-14 tahun, dengan lamanya ≤ 7
hari dan siklus normal 21-45 hari dengan rata- rata kehilangan darah 20-80 ml
(F.Gary,2018).
Menurut Reed, menstruasi merupakan proses siklik perubahan endometrium
sebagai respon dari interaksi hormon yang dihasilkan hipotalamus, hipofisis dan
ovarium dimana rata-rata siklus menstruasi adalah 28 hari, interval normal 21-35
hari, dengan rata-rata perdarahan 30- 80 cc (Marc,2015).
Berdasarkan konsensus HIFERI 2013 menstruasi normal adalah suatu proses
fisiologis dimana terjadi pengeluaran darah, mukus (lendir) dan seluler debris dari
uterus secara periodik dengan interval waktu tertentu yang terjadi sejak menars
sampai menopause dengan pengecualian pada masa kehamilan dan menyusui, yang
merupakan hasil regulasi harmonik dari organ-organ hormonal (Backman, 2014).
Batasan parameter menstruasi normal pada usia reproduksi dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2.1 Batasan Parameter Menstruasi Normal pada Usia Reproduksi (Backman,
2014)

GANGGUAN MENSTRUASI INDIKATOR BATAS


KLINIK NORMAL
Frekuensi menstruasi (hari) Sering <21
Normal 21-35
Jarang >35
Keteraturan siklus menstruasi, Tidak ada Tidak ada
variasi dari siklus ke siklus pendarahan
selama 12 bulan (hari) Reguler Variasi ± 2-20 hari

11
Ireguler Variasi >20
Durasi (hari) Memanjang >8
Normal 3 -8
Memendek <3
Volume kehilangan darah Banyak <50 cc (<2
perbulan (ml) pad/hari)
Normal 50-80 cc (3-4
pad/hari)
Sedikit >80 cc (>4
pad/hari)

2.1.2 Anatomi yang Terlibat dalam Regulasi Siklus Menstruasi


2.1.2.1 Hipotalamus

Gambar 2.1 Anatomi Hipotalamus (Hani,2017)


Hipotalamus merupakan area di otak yang terdiri dari beberapa nukleus dengan
fungsi yang berbeda- beda. Hipotalamus berada di atas otak tengah dan di bawah
talamus. Nukleus di hipotalamus dibedakan menjadi 3 bagian :
1. Anterior atau chiasmatic region, terdiri dari : (Hani,2017)
a. Nukleus preoptik medial menghasilkan Gonadotropin Releasing Hormone
(GnRH) yang berperan dalam siklus mestruasi
b. Nukleus supraoptik menghasilkan vasopresin atau hormon anti diuretik dan
oksitosin

12
c. Nukleus paraventrikular menghasilkan corticotropin releasing hormone
(CRH), tyrotropin releasing hormone (TRH), GnRH, growth hormone-
Releasing Hormone (GHRH) dan somatostatin
d. Nukleus hipotalamik anterior berperan dalan termoregulasi dan irama
sirkardian
e. Nukleus suprakiasmatik mengatur irama sirkardian
f. Nukleus preoptik lateral berperan sebagai regulator rasa lapar
2. Median atau tuberal region, terdiri dari :
a. Nukleus ventromedial dan dorsomedial mempunyai peran sebagai regulasi
rasa lapar dan rasa takut
b. Nukleus arkuata memproduksi GHRH dan dopamin
3. Posterior atau mammillary region
a. Nuklues Mamilari berperan sebagai termoregulasi dan pengaturan pusat
kontrol emosi.

Gambar 2.2 Potongan Koronal Hipotalamus (Hani,2017)


Hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus akan memasuki Hypophyseal Portal
System seperti ilustrasi gambar berikut ini.

13
Gambar 2.3 Ilustrasi Hypophyseal Portal System (Hani,2017)

2.1.2.2 Kelenjar Hipofisis atau Kelenjar Pituitari (Allen, 2015)


Kelenjar hipofisis adalah kelenjar endokrin yang berlokasi di dasar otak , disebut
juga sebagai master gland karena kelenjar ini menghasilkan hormon yang
mengatur kegiatan kelenjar lainnya. Kelenjar hipofisis beratnya sekitar 500-900 mg
dan dimensi normalnya pada manusia sekitar 15 x10 x 6 mm. (Hani,2017)
Kelenjar hipofise terdiri atas :
1. Anterior atau adenohypophysis
Berasal dari Rathke’s pouch, invaginasi dari ektoderm oral. 80% kelenjar hipofisis
merupakan adenohypophysis menghasilkan hormon peptida. Adenohipofisis
mendapat aliran darah dari arteri hypophyseal arteries yang berasal dari arteri
karotis interna.

14
Tabel 2.2 Hormon yang dihasilkan Adenohipofisis (Hani,2017)

2. Posterior atau neurohypohysis


Berasal dari infundibulum perpanjangan dari neural ektoderm. Tidak seperti
adenohipofisis, neurohipofisis bukan kelenjar sehingga tidak mensintesis hormon.
Hormon yang dihasilkan hipotalamus diteruskan ke neurohipofisis kemudian
disimpan dan dilepaskan secara langsung ke sistem peredaran darah. Neurohipofisis
mendapat aliran darah dari arteri hypophyseal inferior.

Tabel 2.3 Hormon yang disekresikan oleh Neurohipofisis (Hani,2017)

Secara histokimia kelenjar hipofisis terdiri atas : (Hani,2017)


1. Sel asidofil mengandung hormon polipetida mensekresikan growth hormone
(GH) dan prolaktin (PRL)
2. Sel basofil mengandung hormon glikoprotein
a. Corticotropes : Adenocorticotropic hormone (ACTH)
b. Thyrotropes : Thyroid stimulating hormone (TSH)

15
c. Gonadotropes : Follicle stimulating hormone (FSH) dan Luteinizing hormone
(LH)
3. Sel kromofob minimal atau tidak mengandung hormon

2.1.2.3 Ovarium
Ovarium terletak di fossa ovarii waldeyer, ukuran 2,5-5 cm x 1,5-3 cm x 0,6-1,5
cm. Terdiri dari 2 bagian korteks dan medula. Korteks berisi oosit dan folikel yang
berkembang sedangkan medula terdiri dari jaringan ikat, arteri, vena dan serat otot
polos. Ovarium diperdarahi oleh arteri dan vena ovarika. Vena ovarika kanan
bermuara ke vena cava dan vena ovarika kiri bermuara ke vena renalis sinistra
(Firman, 2015).

Gambar 2.4 Ovarium (Firman,2015)

2.1.2.4 Endometrium
Endometrium adalah lapisan epitel yang melapisi rongga rahim. Permukaannya
terdiri atas selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelejar sekresi mukosa rahim
yang berbentuk invaginasi ke dalam stroma seluler. Kelenjar dan stroma mengalami
perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan dan pertumbuhan baru
setiap 28 hari. (Firman, 2015)

16
Endometrium terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan fungsional dan lapisan basalis.
Lapisan fungsional terdiri dari stratum compactum dan stratum spongiosum.
Lapisan fungsional yang akan mengelupas setiap bulan dan lapisan basal yang tidak
ikut mengelupas. Epitel lapisan fungsional menunjukkan perubahan proliferasi
yang aktif setelah periode haid sampai terjadi ovulasi, kemudian kelenjar
endometrium mengalami fase sekresi. Kerusakan yang permanen lapisan basal akan
menyebabkan amenore (Spheroff,2015).
Perubahan normal dalam histologi endometrium selama siklus haid ditandai
dengan perubahan sekresi dari hormon steroid ovarium. Jika endometrium terus
terpapar oleh stimulasi estrogen endogen atau eksogen akan menyebabkan
hiperplasia (Spheroff, 2015).

2.1.3 Hypothalamic-Pituitary-Gonadal Axis


2.1.3.1 Sekresi Hormon GnRH
Siklus menstruasi diatur oleh interaksi antara hypothalamic-pituitary-ovarian
(HPO) axis dan uterus. Hipotalamus mensekresikan gonadotropin-releasing
hormone (GnRH) secara pulsatil dengan waktu paruh 2-4 menit sehingga kadar
GnRH tidak bisa diperiksa. GnRH mencapai kelenjar pituitary melalui sistem
vaskular portal hipotalamus-pituitari, yang merangsang kelenjar hipofisis untuk
melepaskan secara pulsatil FSH dan LH. Koordinasi pelepasan GnRH distimulasi
oleh berbagai neurotransmiter dan katekolamin serta umpan balik dari hormon
estrogen dan progesteron (Backman, 2014).

17
Gambar 2.5 Interaksi Axis Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium (Backman, 2014)

2.1.3.2 Sekresi Gonadotropin Hipofisis


FSH dan LH merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis
anterior. FSH dan LH disekresikan secara pulsatil sebagai respon sekresi pulsatil
dari GnRH. Kadar FSH dan LH tergantung pada kadar hormon estrogen,
progesteron dan faktor ovarium yang lain seperti inhibin, activin, dan follistatin
(Backman, 2014).
Defisiensi estrogen pada masa folikuler awal akan merangsang sekresi FSH
untuk produksi estrogen di ovarium. Setelah estrogen cukup maka akan diberikan
umpan balik negatif kepada hipofisis anterior untuk menghambat produksi FSH dan
umpan balik positif kepada hipofisis untuk sekresi LH (Backman, 2014).

18
2.1.3.3 Sekresi Hormon Steroid Ovarium
Pada saat lahir, ovarium manusia mengandung 1-2 juta folikel primordial.
Masing-masing folikel primordial berisi satu oosit. Sebagian besar folikel
primordial akan mengalami proses degenerasi yang disebut dengan atresi selama
masa anak, sehingga pada saat menarche hanya 300.000- 500.000 oosit yang tersisa
(Backman, 2014).
Oosit imatur dikelilingi oleh lapisan tunggal sel granulosa, diliputi oleh selapis
membran tipis yang memisahkan folikel dengan stroma ovarium. Maturasi folikel
dipengaruhi oleh homon gonadotropin, proliferasi sel granulosa menjadi beberapa
lapisan. FSH akan berikatan dengan reseptor FSH di sel granulosa untuk
merangsang produksi estrogen. Estrogen akan merangsang proliferasi reseptor LH
di sel teka dan sel granulosa untuk memproduksi androgen. Androgen akan
berdifusi ke dalam sel teka interna untuk dirubah menjadi estrogen. Estrogen akan
memberi umpan balik negatif kepada hipofisis anterior untuk menekan produksi
FSH. Pada petengahan siklus menstruasi, estrogen akan memberi umpan balik
positif kepada hipofisis anterior untuk menghasilkan LH surge, sehingga terjadi
ovulasi. Ovulasi terjadi dalam 30-36 jam peningkatan LH. Setelah folikel matur
dilepaskan, sel teka dan sel granulosa menjadi korpus luteum yang bertransisi untuk
menghasilkan dominan progesteron dan sebagian kecil estrogen. Progesteron yang
tinggi memberikan umpan balik negatif ke hipofisis untuk menekan produksi FSH
dan LH (Backman, 2014).

19
Gambar 2.6 Teori 2 Sel produksi Estrogen (Ling,2014)

Gambar 2.7 Perkembangan Folikel di Ovarium (Ling,2014)

20
2.1.4 Siklus Menstruasi Normal
Siklus menstruasi dibagi menjadi 3 fase :
Fase I : Fase folikuler (0-14 hari)
Hari pertama keluarnya darah menstruasi merupakan hari pertama
siklus menstruasi. Jika tidak terjadi konsepsi, terjadi involusi korpus luteum
sehingga terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Menstruasi
normal lamanya 3-7 hari, dengan kehilangan darah 20-60 ml, tidak berbongkah.
Prostaglandin di dalam sekresi endometium dan darah haid menyebabkan
terjadinya kontraksi uterus yang mengakibatkan iskemia endometrium dan keram
perut. Peningkatan kadar estrogen pada awal fase folikuler menyebabkan
endometrial healing (Ling,2014).
Selama fase folikuler terjadi rangkaian kegiatan yang teratur yang memastikan
adanya folikel dalam jumlah yang tepat yang siap mengalami ovulasi. Dalam
ovarium hasil akhir dari perkembangan folikel ini (biasanya) adalah satu folikel
matur. Proses yang terjadi selama 10 - 14 hari ini menunjukkan gambaran
serangkaian kerja hormon dan peptida autokrinparakrin pada folikel, menyebabkan
folikel yang akan mengalami ovulasi mengalami masa pertumbuhan awal dari suatu
folikel primordial melalui berbagai tahap folikel preantral, antral, dan preovulatorik
(Spherof, 2015).

Folikel Primordial
Sel - sel germ primordial berasal dari dalam endodermis yolk sac, alantois, dan
hindgut embrio, dan pada masa gestasi 5-6 minggu, sel – sel tersebut telah
bermigrasi ke rigi genitalia. Pada kehamilan 16 – 20 minggu, tercapai jumlah oosit
yang maksimal 67 juta pada kedua ovarium. Pembentukan folikel primordial
dimulai pada pertengahan masa kehamilan dan selesai segera setelah melahirkan.
Folikel primordial tidak bertumbuh dan terdiri dari sebuah oosit, yang berhenti pada
tahap diploten dari profase miotik, dikelilingi oleh sebuah lapisan sel - sel granulosa
berbentuk batang. Jumlah folikel primordial saat lahir 12 juta menjadi 300.000
sampai 500.000 pada masa pubertas. Dari reservoir besar ini, sekitar 400 sampai
500 folikel akan mengalami ovulasi selama masa reproduktif seorang wanita
(Spherof, 2015).

21
Folikel yang akan mengalami ovulasi ditarik pada beberapa hari pertama
siklus. Perkembangan dini folikel terjadi selama beberapa siklus menstruasi, tetapi
folikel ovulatorik adalah salah satu kohort yang ditarik pada saat transisi fase luteal-
fase folikuler. Total lamanya waktu untuk mencapai status praovulatorik kurang
lebih 85 hari. Sebagian besar waktu ini (sampai tahap lanjut) melibatkan respon -
respon yang bebas dari regulasi hormonal. Akhirnya, kohort folikel ini mencapai
tahap dimana, kecuali jika ditarik (diselamatkan) oleh follicle-stimulating hormone
(FSH), langkah berikutnya adalah atresia. Karena itu, folikel – folikel terus tersedia
(berukuran 25 mm) untuk respon terhadap FSH. Peningkatan FSH merupakan hal
penting dalam menyelamatkan sebuah kohort folikel dari atresia, hal yang biasanya
dialami kebanyakan folikel, dan akhirnya memungkinkan sebuah folikel dominan
untuk tampil dan masuk kedalam jalur untuk mengalami ovulasi. Disamping itu,
dipertahankannya peningkatan FSH ini untuk waktu yang tertentu adalah penting.
Tanpa ada dan persistensi peningkatan kadar FSH dalam sirkulasi, kohort akan
mengalami proses apoptosis, kematian sel fisiologis terprogram untuk
mengeliminasi kelebihan sel. “Apoptosis” berasal dari bahasa Yunani dan berarti
jatuh, seperti daun gugur dari pohon (Spherof, 2015).
Tanda – tanda nyata pertama perkembangan folikuler adalah peningkatan
ukuran oosit, dan sel - sel granulosa menjadi berbentuk lebih kuboid dan bukan
skuamous. Perubahan – perubahan ini mungkin lebih baik dipandang sebagai suatu
proses maturasi dan bukan pertumbuhan (Spherof, 2015).

Gambar 2.8 Folikel Antral (Spherof, 2015)

22
Dengan multiplikasi sel – sel granulosa kuboidal (sampai kurang lebih 15 sel),
folikel primordial menjadi folikel primer. Lapisan granulosa dipisahkan dari sel –
sel stroma oleh suatu membran basement yang disebut lamina basalis. Sel – sel
stroma disekitarnya akan berdiferensiasi menjadi lapisan- lapisan konsentrik yang
disebut teka interna (paling dekat dengan lamina basalis) dan teka eksterna (bagian
luar). Lapisan teka tampak jika proliferasi granulosa memproduksi 3 – 6 lapisan se-
lsel granulosa (Spherof, 2015).

Folikel Preantral
Setelah pertumbuhan mengalami percepatan, folikel akan masuk kedalam
tahap preantral bersamaan dengan membesarnya oosit dan akan dikelilingi oleh
sebuah membran, yaitu zona pelusida. Sel – sel granulosa akan mengalami
proliferasi multilapis bersama dengan organisasi lapisan teka dari stroma
disekitarnya. Pertumbuhan ini bergantung pada gonadotropin dan berkorelasi
dengan peningkatan produksi estrogen (Spherof, 2015).
Sel – sel granulosa dari folikel preantral memiliki kemampuan mensintesis ke
3 kelas steroid; namun, diproduksi jauh lebih banyak estrogen daripada andogren
ataupun progestin. Suatu sistem enzim aromatase bekerja mengubah androgen
menjadi estrogen dan merupakan sebuah faktor yang membatasi produksi estrogen
oleh ovarium. Aromatisasi diinduksi atau diaktivasi melalui kerja FSH. Pengikatan
FSH pada reseptornya dan aktivasi sinyal yang dimediasi oleh adenilat siklase
diikuti oleh ekspresi mRNA multipel yang mengkode protein yang
bertanggungjawab untuk proliferasi, diferensiasi, dan fungsi sel. Karena itu, FSH
menginisiasi steroidogenesis (produksi estrogen) dalam sel – sel granulosa dan
merangsang pertumbuhan dan proliferasi sel granulosa (Spherof, 2015).
Reseptor – reseptor spesifik untuk FSH tidak terdeteksi dalam sel granulosa
sampai mencapai tahap preantral, dan folikel preantral memerlukan adanya FSH
untuk melakukan aromatisasi androgen dan memproduksi lingkungan mikronya
sendiri yang bersifat estrogenik. Karena itu, produksi estrogen dibatasi oleh
kandungan reseptor FSH. Pemberian FSH akan meningkatkan dan menurunkan
konsentrasi reseptornya sendiri yang terdapat pada sel – sel granulosa (up- dan
down-regulasi) baik in vivo maupun in vitro. Kerja FSH ini dimodulasi oleh growth

23
factor. Reseptor – reseptor FSH segera mencapai konsentrasi sekitar 1500 reseptor
dalam tiap sel granulosa (Spherof, 2015).
Peranan androgen dalam perkembangan folikuler dini merupakan sesuatu yang
kompleks. Reseptor – reseptor androgen spesifik terdapat dalam sel - sel granulosa.
Androgen tidak hanya bekerja sebagai substrat untuk aromatisasi yang diinduksi
oleh FSH, tetapi dalam konsentrasi rendah, dapat semakin memperbaiki aktivitas
aromatase. Jika terpapar pada lingkungan yang kaya androgen, sel – sel granulosa
preantral akan mendukung konversi androgen menjadi androgen terreduksi-5α yang
lebih poten dan bukan menjadi estrogen. Andorgen – androgen ini tidak dapat
diubah menjadi estrogen dan sebenarnya, menghambat aktivitas aromatase.
Androgen – androgen ini juga menghambat induksi pembentukan reseptor LH oleh
FSH, suatu langkah penting lain dalam perkembangan folikuler (Spherof, 2015).

Gambar 2.9 Folikel Preantral (Spherof, 2015)


Folikel Antral
Dibawah pengaruh sinergistik estrogen dan FSH terjadilah peningkatan
produksi cairan folikuler yang terakumulasi dalam ruang antarsel granulosa, dan
akhirnya berkoalesensi membentuk suatu kavitas, bersamaan dengan transisi folikel
kedalam tahap antral. Akumulasi cairan folikuler memberi cara dengan mana oosit
dan sel – sel granulosa disekitarnya dapat diperlihara dalam suatu lingkungan
endokrin spesifik. Sel – sel granulosa yang mengelilingi oosit saat ini disebut
sebagai kumulus ooforus. Diferensiasi sel – sel kumulus diyakini merupakan respon
terhadap sinyal – sinyal yang berasal dari dalam oosit. Steroid yang terdapat dalam
cairan folikuler dapat ditemukan dalam konsentrasi beberapa kali lipat lebih tinggi
daripada steroid dalam sirkulasi dan mencerminkan kapasitas fungsional sel – sel
granulosa dan sel – sel teka disekitarnya (Spherof, 2015).

24
Kejadian – kejadian Kunci dalam Folikel Antral: (Spherof, 2015)
1. Produksi estrogen fase folikuler dijelaskan oleh mekanisme dua sel, dua
gonadotropin, memungkinkan pembentukan penting lingkungan mikro
yang didominasi oleh estrogen.
2. Seleksi folikel dominan terjadi selama hari 57, dan akibatnya, kadar
estradiol perifer mulai menunjukkan peningkatan bermakna pada hari 7
siklus.
3. Kadar estradiol, derivat dari folikel dominan, meningkat tetap dan, melalui
efek umpan balik negatif, memberikan pengaruh supresif yang semakin
besar pada pelepasan FSH.
4. Bersamaan dengan menyebabkan penurunan kadar FSH, peningkatan
estradiol pada fase midfolikuler memberi pengaruh umpan balik positif pada
sekresi LH.
5. Kerja positif estrogen juga meliputi modifikasi molekul gonadotropin,
menyebabkan peningkatan kualitas (bioaktivitas) maupun kuantitas FSH
dan LH pada pertengahan siklus.
6. Kadar LH meningkat tetap selama fase folikuler lanjut, sehingga
merangsang produksi androgen dalam teka dan mengoptimalisasi maturasi
akhir dan fungsi folikel yang dominan.
7. Suatu responsivitas unik terhadap FSH memungkinkan folikel dominan
untuk mempergunakan androgen sebagai substrat dan lebih lanjut
mempercepat produksi estrogen.
8. FSH menginduksi tampilnya reseptor – reseptor LH pada sel – sel granulosa.
9. Respon folikuler terhadap gonadotropin dimodulasi oleh berbagai growth
factor dan peptida autokrin - parakrin.
10. Inhibin-B, yang disekresi oleh sel – sel granulosa sebagai respon terhadap
FSH, secara langsung menekan sekresi FSH pituitari.
11. Aktivin, yang berasal dari pituitari maupun granulosa, memperbaiki sekresi
dan kerja FSH.
12. IGF mendorong semua kerja FSH dan LH.

25
Gambar 2.10 Folikel Antral (Spherof, 2015)

Folikel Preovulatorik
Sel- sel granulosa dalam folikel praovulatorik membesar dan memperoleh inklusi
lipid sedangkan teka mengalami vakuolisasi dan sangat granuler, sehingga folikel
praovulatorik tampak hiperemik. Oosit melanjut mengalami miosis, mendekati
akhir pembelahan reduksinya (Spherof, 2015).
Selama fase folikuler lanjut, pertama – tama estrogen meningkat secara perlahan,
dan kemudian dengan cepat, mencapai puncak sekitar 24 - 36 jam sebelum ovulasi.
Onset peningkatan tajam LH terjadi saat kadar puncak estradiol tercapai (Spherof,
2015).
Kejadian – kejadian Kunci dalam Folikel Praovulatorik: (Spherof, 2015)
1. Produksi estrogen menjadi cukup untuk mencapai dan mempertahankan
konsentrasi ambang batas perifer estradiol yang diperlukan untuk
menginduksi peningkatan tajam LH.
2. Dengan bekerja melalui reseptornya, LH menginisiasi luteinisasi dan
produksi progesteron dalam lapisan granulosa.
3. Peningkatan progesteron praovulatorik memfasilitasi kerja umpan balik
positif estrogen dan mungkin diperlukan untuk menginduksi pemuncakan
FSH pada pertengahan siklus.
4. Terjadi peningkatan androgen lokal dan perifer pada pertengahan siklus,
derivat dari jaringan teka dari folikel – folikel yang gagal dan kurang
berkembang.

26
Gambar 2.11 Folikel preovulatorik (Spherof, 2015)

Fase II : Fase Ovulasi (Hari ke -14)


Folikel praovulatorik, melalui kerjasama estradiol, menyediakan stimulus
ovulatoriknya sendiri. Terdapat variasi yang cukup besar dalam penentuan waktu
dari siklus ke siklus, bahkan pada wanita yang sama. Perkiraan yang masuk akal
dan akurat menempatkan ovulasi kurang lebih 10 – 12 jam setelah LH mencapai
puncak dan 24 – 36 jam setelah kadar puncak estradiol tercapai. Onset peningkatan
tajam LH merupakan indikator yang paling dapat diandalkan sebagai tanda adanya
ovulasi yang akan segera terjadi, yang terjadi 34 – 36 jam sebelum rupturnya
folikel. Sebuah ambang batas konsentrasi LH harus dipertahankan selama
setidaknya 14 – 27 jam agar maturasi penuh oosit dapat terjadi. Biasanya
peningkatan tajam LH berlangsung 48 -50 jam (Spherof, 2015).
Kejadian – kejadian Ovulatori: (Spherof, 2015)
1. Peningkatan tajam LH menginisiasi berlanjutnya miosis dalam oosit,
luteinisasi granulosa, dan sintesis progesteron dan prostaglandin dalam
folikel.
2. Progesteron memperbaiki aktivitas enzim – enzim proteolitik yang, bersama
dengan prostaglandin, bertanggungjawab untuk digesti dan ruptur dinding
folikuler.
3. Peningkatan FSH pada pertengahan siklus yang dipengaruhi oleh
progesteron bertindak membebaskan oosit dari perlekatan folikuler, untuk
mengubah plasminogen menjadi enzim proteolitik, plasmin, dan untuk
memastikan adanya cukup reseptor LH untuk memungkinkan terjadinya
fase luteal normal yang adekuat.

27
Fase III : Fase Luteal (Hari ke 14-28)
Sebelum terjadinya ruptur folikel dan pelepasan ovum, sel – sel granulosa mulai
bertambah besar dan memiliki gambaran bervakuolisasi yang dikaitkan dengan
akumulasi pigmen kuning, lutein, yang mendapatkan namanya dari proses
luteinisasi dan subunit anatomis, korpus luteum. Selama 3 hari pertama setelah
ovulasi, sel- sel granulosa terus membesar. Disamping itu, sel – sel teka lutein dapat
berdiferensiasi dari teka dan stroma disekitarnya untuk menjadi bagian dari korpus
luteum. Disolusi lamina basalis dan vaskularisasi dan luteinisasi cepat
menyebabkan sulitnya membedakan asal sel – sel spesifik (Spherof, 2015;
Lawrence, 2015).
Kejadian - kejadian pada Fase Luteal: (Spherof, 2015)
1. Fungsi luteal normal memerlukan perkembangan folikuler praovulatorik
yang optimal (terutama stimulasi FSH yang adekuat) dan adanya dukungan
FSH tonik secara kontinyu.
2. Fase luteal dini ditandai oleh angiogenesis aktif yang dimediasi oleh VEGF.
Pertumbuhan pembuluh darah baru diatur oleh angiopoietin-1 yang bekerja
melalui reseptornya yaitu Tie-2 pada sel – sel endotel. Regresi korpus
luteum dikaitkan dengan penurunan ekspresi VEGF dan angiopoietin-1 dan
peningkatan aktivitas angiopoietin-2.
3. Progesteron, estradiol, dan inhibin-A bekerja secara sentral untuk menekan
gonadotropin dan pertumbuhan folikuler baru.
4. Regresi korpus luteum dapat melibatkan kerja luteolitik dari produksi
estrogennya sendiri, dimediasi oleh perubahan dalam konsentrasi
prostaglandin lokal dan melibatkan nitrit oksida, endotelin, dan faktor –
faktor lain.
5. Pada masa – masa awal kehamilan, hCG menyelamatkan korpus luteum,
mempertahankan fungsi luteal sampai steroidogenesis plasenta telah terjadi.
Kejadian – kejadian pada Transisi Luteal-Folikuler: (Spherof, 2015)
1. Kerusakan korpus luteum menyebabkan terjadinya kadar nadir estradiol,
progesteron dan inhibin dalam sirkulasi.
2. Penurunan inhibin-A menghilangkan suatu pengaruh supresif pada sekresi
FSH dalam pituitari.

28
3. Penurunan estradiol dan progesteron memungkinkan peningkatan progresif
dan cepat frekuensi sekresi GnRH pulsatil dan penyingkiran pituitari dari
supresi umpan balik negatif.
4. Pembuangan inhibin-A dan estradiol dan peningkatan pulsasi GnRH
bekerja sama memungkinkan sekresi FSH yang lebih besar dibandingkan
dengan LH, disertai dengan peningkatan frekuensi sekresi episodik.
5. Peningkatan FSH bersifat instrumental dalam menyelamatkan kurang lebih
satu kelompok folikel yang sudah siap yang berumur 70 hari dari atresia,
sehingga memungkinkan sebuah folikel yang dominan memulai
kemunculannya.

Gambar 2.12 Siklus Reproduksi (Ling,2014)

29
2.1.5 Gangguan Menstruasi
2.1.5.1 Definisi Gangguan Menstruasi
Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua kelainan haid baik dalam jumlah maupun lamanya.
Manifetasi klinisnya dapat berupa perdarahan dalam jumlah yang banyak dan
sedikit dan haid yang memanjang atau tidak beraturan (Monro,2011).

2.1.5.2 Epidemiologi
Gangguan haid dialami oleh hampir 40% wanita. Terutama dialami oleh wanita
usia muda sehingga mempengaruhi kualitas hidupnya. Dari data didapatkan bahwa
gangguan haid meningkatkan angka absensi pelajar dan mengganggu konsentrasi
belajar siswa tersebut (Mostafa,2018).

2.1.5.3 Klasifikasi Gangguan Haid


A. Klasifikasi Gangguan Haid berdasarkan FIGO
Tabel 2.4 Klasifikasi Perdarahan Uterus Abnormal (FIGO) (Lawrence,2017)

30
1. Gangguan volume
a. Hipermenorea (Menoragia atau Heavy Menstrual Bleeding)
Heavy menstrual bleeding sebelumnya disebut dengan menoragia, didefinisikan
sebagai inteval siklus haid normal tapi terjadi kehilangan darah berlebihan saat
menstruasi, >80 ml (>7 pad/hari) atau interval siklus menstruasi normal tapi
prolong duration (>8 hari) yang dipengaruhi oleh faktor fisik, psikis/emosional,
sosial, materi, kualitas hidup yang terjadi dengan keluhan tunggal atau kombinasi
dengan gejala lain (Nazish,2018; Lawrence,2017).
Perkiraan kehilangan darah selama menstruasi : (Hiferi,2014)
 Perkiraan dari pasien sendiri terhadap perkiraan darah yang hilang
 Menghitung jumlah hari menstruasi
 Menghitung jumlah produk sanitari yang digunakan
 Mengukur kadar hemoglobin
 Tabel penilai kehilangan darah Pictorial (PBACS)
Metode lain untuk memperkirakan kehilangan darah adalah dengan memperkirakan
jumlah darah pada pembalut yang digunakan oleh wanita selama menstruasi. Tabel
penilaian ini disebut Pictorial Blood Assessment Chart (PBAC), pertama kali
diperkenalkan oleh Higham, dkk pada tahun 1990 dalam bentuk inspeksi dengan
nilai skoring. Skot total lebih dari 100 pada setiap siklus menstruasi berarti
kehilangan darah lebih dari 80 ml. Validitas PBAC sudah diteliti dimana
mempunyai tingkat sensitivitas 86% dan spesifisitas 89% (Fitri, 2017).

31
Gambar 2.13 PBACS (Fitri, 2017)
Jansen, dkk medodifikasi tehnik PBAC untuk membuat piktogram menstruasi atau
skala perdarahan dengan menghitung mililiter darah yang tampak pada tisue
sanitari, tampon, bekuan darah, dan bercak darah di celana dalam. Piktogram
menstuasi mempunyai akurasi yang lebih tinggi daripada PBAC untuk setiap
bentuk dan ukuran mempunyai perbedaan tingkat penyerapan pembalut
(Fitri,2017).

32
Gambar 2.14 Piktogram (Hiferi, 2014)
Prediksi kehilangan darah juga bisa digunakan patokan berikut: (Nazish, 2018)

Insiden volume haid berlebihan dialami oleh hampir 1/3 wanita, walaupun
sebagian besar tidak mencari pengobatan (Hiferi,2014).
Keluhan keluar darah menstruasi yang banyak. Pemeriksaan yang dilakukan
antara lain periksa hemoglobin, pemeriksaan tiroid dan koagulopati jika ada
indikasi, dan pemeriksaan ultrasonografi transvagina untuk menilai ketebalan
endometrium, menyingkirkan adanya kelainan anatomis. Ketebalan endometrium
pada premenopause berbeda-beda, tergantung fase pada siklus menstruasi. Pada
fase folikuler tebal endometrium adalah 4 mm, sementara pada fase luteal tebal
endometrium 16 mm. Pemeriksaan salin USG dengan memasukkan 5-15 ml salin
ke dalam rongga uterus melalui serviks meningkatkan diagnosis, terutama untuk
polip dan mioma submukosa (Lawrence, 2017).
Biopsi endometrium dipertimbangkan pada wanita usia di atas 40 tahun dengan
perdarahan yang banyak dari kemaluan, atau dengan perdarahan yang tidak respon

33
dengan medikamentosa, usia lebih muda dengan faktor risiko karsinoma ovarium.
Faktor risiko kanker ovarium pada usia yang lebih muda adalah obesitas, DM,
nulipara, riwayat PCOS dan riwayat keluarga dengan kanker kolorektal poliposis
(Lawrence, 2017).
Terapi lini pertama untuk mengatasi perdarahan adalah progestogen intra
uterin device (LNG-IUS) bagi wanita yang tidak ingin hamil lagi. Bagi wanita yang
ingin hamil maka dipilih terapi lini ke dua yaitu antifibrinolitik seperti asam
tranexamat dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) seperti asam mefenamat.
Pilihan lain adalah pil kontrasepsi kombinasi. Terapi lini ke tiga adalah
progestogens oral dosis tinggi atau injeksi intramuskuler dan gonadotropin
releasing hormone agonist (Lawrence, 2017).
Jika terapi medikamentosa gagal maka dilakukan operatif histeroskopi untuk
polip removal, ablasi endometrium, transcervical resection of fibroid (TCRE),
miomektomi, histerektomi, atau embolisasi arteri (Lawrence, 2017).
b. Hipomenorea
Merupakan perdarahan haid yang lebih pendek (≤ 2 hari)dan atau volumenya lebih
sedikit dari normal(1-49 ml atau <5 pad/hari). Penyebabnya bisa disebabkan oleh
konstitusi penderita, kondisi uterus, gangguan endokrin, dan lain-lain. Terapi
hipomenorea adalah bersifat psikologis untuk menenangkan pasien, kecuali bila
sudah didapatkan penyebab nyata lainnya. Kondisi ini tidak mempengaruhi
fertilitas (Lawrence, 2017).

2. Gangguan Regularitas Siklus Haid


a. Irreguler Menstrual Bleeding (Siklus haid tidak teratur)
Siklus haid tidak teratur adalah Variasi siklus ke siklus lebih 8-20 hari
diklasifikasikan sebagai ireguler sedang, variasi ≥21 hari diklasifikasikan sebagai
sangat ireguler (Nazish,2018).
Etiologi Siklus haid tidak teratur antara lain siklus anovulasi umumnya terjadi pada
usia awal atau atau usia akhir reproduksi (menarche atau sebelum menopause).
Penyebab non malignancy : mioma, polip, adenomiosis, kista ovarium, infeksi
pelvis kronis (Nazish,2018).

34
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan hemoglobin, PAP smear, ultrasonografi, dan biopsi
endomerium (Nazish, 2018).
Medikamentosa merupakan pilihan untuk kasus yang tidak ditemukan kelainan
secara anatomi. IUS atau pil kontrasepsi kombinasi merupakan pilihan terapi lini
pertama. Pil kontrasepsi biasanya menyebabkan perdarahan reguler dan sedikit. Pil
ini dibatasi penggunaannya karena komplikasinya lebih banyak pada pasien yang
lebih tua walaupun dapat digunakan sampai menopause. Jika ada kelainan anatomi
atau terapi medikamentosa gagal maka operatif menjadi pilihan berikutnya
(Lawrence, 2017).

b. Amenore
Amenore adalah tidak adanya menstruasi. Amenore di bagi menjadi : 1) Amenore
primer yaitu ketika menstruasi tidak terjadi sampai usia 16 tahun. Ini merupakan
salah satu manifestasi dari pubertas terlambat dimana tidak ditemui tanda sex
sekunder pada wanita usia 14 tahun. Amenore juga bisa terjadi pada wanita yang
tanda sex sekundernya normal tapi mempunyai masalah dalam aliran keluar darah
menstruasi akibat anomali genitalia seperti himen imperforata, septum vagina
transversal. 2) Amenore sekunder adalah ketika menstruasi sebelumnya normal tapi
tidak datang haid lagi selama 3 bulan berturut-turut untuk siklus hadi normal atau
dalam 3 siklus berturut-turut untuk siklus haid yang tidak normal (Backman, 2014;
Lawrence, 2017).
Faktor penyebab amenorea antara lain : (Backman, 2014)
 Fisiologis
Amenorea fisiologis biasa terjadi selama kehamilan, setelah menopause, dan
selama menyusui
 Obat-obatan : antipsikotik, marijuana, progestogen, GnRH analog
 Prematur menopause, PCOS, dan hiperprolactinemia
 Masalah pada hipotalamus : faktor psikologis, berat badan kurang, anorexia,
latihan fisik yang berlebihan, tumor di hipotalamus
 Masalah pada kelenjar hipofisis : tumor di hipofisis yang menyebabkan
hiperprolaktinemia, Sheehan’s syndrom akibat perdarahan post partum yang

35
menyebabkan nekrosis kelenjar hipofisis sehingga menyebabkan
hipopituitarism.
 Masalah pada kelenjar adrenal atau kelenjar tiroid : hipo atau hiper aktivitas
dari kelenjar tiroid menyebabkan amaenorea, dan hiperrolaktinemia.
 Masalah pada ovarium : PCOS yang menyebabkan amenore dan oligomenore,
bisa menyebabkan menopause dini. Penyebab lain adalah kelainan kongenital
seperti Turner sindrom dan gonadal disgenesis
 Masalah pada aliran keluar menstruasi : himen imperforata, septum vagina
transversal dan atresi vagina, masalah didapat seperti stenosis servikal dan
Asherman sindrom.
Etiologi amenorea berdasarkan American Society Reproductive Medicine:
(Backman, 2014)
1. Defek antomi aliran keluar : MRKH sindrom, resistensi androgen komplit, himen
imperforata, septum vagina transversal, Asherman syndrom, servical
agenesis/disgenesis
2. Primary hipogonadism: gonadal disgenesis, premature ovarian failure
3. Hypothalamic causes : amenorea hipotalamus fungsional, Kallman sindrom
4. Pituitary causes

6.
7.
8.

36
5. Gangguan kelenjar endokrin

6. Penyebab multifaktorial
Penatalaksanaan tergantung etiologi yang mendasarinya. (Spheroff, 2015)

3. Gangguan haid terkait Frekuensi


a. Infrequent menstrual bleeding (Oligomenore)
Oligomenore adalah interval siklus menstruasi lebih dari 38 hari (FIGO,2017).
Definisi lain oligomenore adalah interval siklus menstruasi >35 hari. (Nazish,2018)
b.Frequent bleeding (Polimenorea)
Polimenore adalah interval siklus menstruasi kurang dari 24 hari (FIGO,2017).
Definisi lain polimenore adalah volume haid normal tapi interval <21 hari
(Nazish,2018; Hiferi,2014).

4. Gangguan Haid terkaid Durasi


a. Prolong menstrual bleeding
Prolong menstrual bleeding adalah durasi menstruasi > 8 hari (Nazish,2018;
Hiferi,2014).
a. Shortened menstrual bleeding
Shortened menstrual bleeding adalah durasi menstruasi <3 hari (Lawrence,2017).

5. Gangguan terkait Haid


a. Pra Menstrual Sindrom (PMS)
PMS adalah gejala perilaku, sikap, dan psikologi yang dialami pada fase luteal
siklus menstruasi yang biasanya berakhir setelah menstruasi selesai. PMS dialami

37
hampir 90% wanita, 5% mengalami gejala yang berat. Penyebab PMS belum
diketahui, tapi berhubungan dengan fungsi ovarium dan hormon progesteron.
Progestogen eksogen dikenal sebagai penyebab sindrom PMS (Lawrence,2017).
Gejala PMS antara lain mudah marah, tegang, mudah tersinggung, agresif, depresi,
kehilangan kontrol, mudah lelah. Gejala fisik biasanya masalah pada
gastrointestinal dan nyeri payudara, nyeri otot dan tulang, nyeri perut, udem dan
berat badan meningkat. Tidak ada marker untuk PMS, wanita dianjurkan untuk
mengisi menstrual diari untuk menuliskan suasana hatinya selama minimal 2 siklus
haid (Bogdan, 2017).
Premenstrual sindrom disebabkan oleh fungsi abnormal HPA axis,
ketidakseimbangan hormon, nutrisi, dan faktor lingkungan yang mengakibatkan
penurunan fungsi serotonin sehingga terjadi mood swing (Nazish,2018).
Selective seretonin reuptake (SSRIs) efektif diberikan secara berkelanjutan atau
intermiten pada 14 hari ke dua siklus haid. Karena PMS disebabkan oleh fluktuasi
hormon, pemberian pil kontrasepsi oral dapat digunakan, 100 mikrogram estrogen
HRT patches dapat diberikan. Jika tidak berhasil dan gejala makin parah GnRH
agonis dan tambahan estrogen untuk menginduksi pseudomenopause dapat menjadi
alternatif. Jika berhasil maka pemberian GnRH agonis dengan tambahan estrogen
HRT dapat dilanjutkan. Oovorektomi bilateral merupakan pilihan terakhir
(walaupun HRT atau pil kontrasepsi akan dibutuhkan untuk mempertahankan
tulang dan melindungi endometrium. Peran progesteron masih belum diketahui
(Lawrence,2017).
b. Dismenore
Dismenorea adalah nyeri haid yang disebabkan oleh tingginya kadar prostaglandin
di endometrium sehingga menimbulkan kontraksi dan iskemia uterus. Dismenorea
merupakan masalah menstruasi terbanyak wanita usia muda. 20-90% wanita muda
mengalami dismenorea, 15% mengalami dismeorea berat (Nazish, 2018;
Lawrence, 2017).
Dismenore dibagi menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore primer
adalah ketika tidak ditemukan penyebab organik, dirasakan oleh 50% wanita, 10%
diantaranya merasakan nyeri hebat. Nyeri biasanya respon dengan OAINS atau obat
untuk supresi ovulasi seperti kontrasepsi oral kombinasi. Dismenore sekunder

38
adalah nyeri haid yang disebabkan oleh patologi pelvis seperti mioma uteri,
adenomiosis, endometriosis, tumor ovarium, pelvic inflamatory disease
(Lawrence,2017).
Dismenorea merupakan suatu masalah ginekologis dan sangat umum pada wanita
usia reproduksi. Dismenorea primer biasanya dimulai selama masa remaja, tetapi
hanya setelah ovulasi terjadi; 20–45% remaja perempuan mengalami ovulasi 2
tahun setelah menarche, dan 80% pada 4-5 tahun. 20-90% wanita muda mengalami
dismenorea, 15% mengalami dismeorea berat. Prevalensi keseluruhan Dismenorea
primer pada remaja perempuan adalah antara 60% dan 90% dan menurun dengan
bertambahnya usia. Namun, hanya sekitar 15% anak perempuan remaja mencari
perawatan medis untuk keluhan nyeri haid (Jerome,2019).
Dismenore dibagi menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore primer
adalah ketika tidak ditemukan penyebab organik, dirasakan oleh 50% wanita, 10%
diantaranya merasakan nyeri hebat. Nyeri biasanya respon dengan OAINS atau obat
untuk supresi ovulasi seperti kontrasepsi oral kombinasi. Dismenore sekunder
adalah nyeri haid yang disebabkan oleh patologi pelvis seperti mioma uteri,
adenomiosis, endometriosis, tumor ovarium, pelvic inflamatory disease
(Lawrence,2017).
Faktor risiko dismenorea termasuk indeks massa tubuh kurang dari 20, menarche
dini (sebelum usia 12), interval intermenstrual yang lebih lama dan durasi
perdarahan, aliran yang tidak teratur atau berat, molimina pramenstruasi, sterilisasi
sebelumnya atau riwayat serangan seksual, dan merokok. Kontrasepsi oral,
olahraga, menikah atau dalam hubungan yang stabil, dan lebih tinggi paritas
mengurangi kemungkinan dismenorea. Prevalensi dismenorea meningkat dengan
bertambahnya usia (31,6% untuk usia 12 tahun, 39,5% untuk usia 13 tahun, 50,3%
pada Usia 14 tahun, dan 55% pada usia 15 tahun). Ditemukan bahwa prevalensi
dismenorea lebih kuat terkait dengan usia ginekologis daripada usia kronologis
(Jerome,2019; WHO 2014).
Dismenorea dibagi menjadi dismenorea primer dan sekunder. Dismenorea primer
adalah ketika tidak ditemukan penyebab organik, dirasakan oleh 50% wanita, 10%
diantaranya merasakan nyeri hebat. Nyeri biasanya respon dengan OAINS atau obat
untuk supresi ovulasi seperti kontrasepsi oral kombinasi. Meskipun dismenorea

39
primer tidak mengancam jiwa, tingkat nyeri sangat mempengaruhi kualitas hidup
wanita dan kemampuan untuk bekerja secara normal. Oleh karena itu, studi
perawatan klinis untuk dismenorea primer sangat penting. Dismenorea sekunder
adalah nyeri haid yang disebabkan oleh patologi pelvis seperti mioma uteri,
adenomiosis, endometriosis, tumor ovarium, pelvic inflamatory disease
(Jerome,2019; Annie,2015).
Bukti terakumulasi menunjukkan bahwa dismenorea primer disebabkan oleh
iskemia miometrium ak(ibat kontraksi uterus yang sering dan berkepanjangan.
Penelitian aliran darah uterus menggunakan ultrasonografi Doppler telah
mengungkapkan bahwa resistensi arteri uterus dan arkuata pada hari pertama
menstruasi secara signifikan lebih tinggi pada wanita dengan primer dismenorea
dibandingkan pada wanita tanpa dismenorea, menunjukkan bahwa penyempitan
pembuluh uterus adalah penyebab langsung rasa sakit (Jackson,2014).
Endometrium sekretori mengandung penyimpanan substansial asam arakidonat,
yang diubah menjadi prostaglandin F 2a (PGF2a), prostaglandin E2 (PGE2), dan
leukotrien selama menstruasi. PGF2a selalu merangsang kontraksi uterus dan
merupakan mediator utamad. Konsentrasi endometrium PGF2a dan PGE2
berkorelasi dengan keparahan dismenorea. Pengobatan dengan penghambat
siklooksigenase (COX) menurunkan kadar prostaglandin dalam cairan menstruasi
dan aktivitas kontraktil uterus; kurva respons berkorelasi erat dengan kadar obat
serum (Jerome,2019; WHO,2014).
Secara klasik, dismenorea primer dimulai tepat sebelum atau bersamaan dengan
timbulnya menstruasi dan menurun secara bertahap selama 72 jam berikutnya.
Kram menstruasi adalah intermiten, bervariasi dalam intensitas, dan biasanya
berpusat di daerah suprapubik, meskipun beberapa wanita juga mengalami rasa
sakit di paha dan punggung bagian bawah. Biasanya, polanya konsisten di seluruh
siklus. Sebaliknya, wanita dengan dismenorea sekunder yang berhubungan dengan
patologi pelvis, seperti endometriosis, sering melaporkan nyeri yang semakin
parah, sering terjadi pada pertengahan siklus dan selama seminggu sebelum
menstruasi, di samping gejala dispareunia yang dalam dan dyschezia (gerakan usus
yang menyakitkan). Pada mereka yang mengalami dismenorea sekunder yang

40
berhubungan dengan mioma uterus, nyeri timbul terutama dari menoragia, dengan
intensitas yang berhubungan dengan volume aliran menstruasi (Jerome, 2019).
Dismenorea primer adalah diagnosis klinis, terutama didasarkan pada riwayat
gejala karakteristik dan pemeriksaan fisik yang tidak menghasilkan bukti atau
kecurigaan patologi panggul tertentu seperti endometriosis, adenomiosis, mioma
uterus atau penyakit radang panggul kronis. Pada umumnya, uji laboratorium,
pencitraan dan laparoskopi tidak diperlukan untuk diagnosis (Annie,2015; WHO,
2014).
Anamnesis menstruasi yang cermat harus mencakup usia saat menarche dan saat
dismenorea, interval intermenstrual, volume dan durasi aliran, dan perhatikan
gejala bercak atau pewarnaan antarmenstruasi atau pramenstruasi. Hubungan antara
onset nyeri dan onset aliran, keparahan dan lokasi nyeri, dan adanya mual, muntah,
diare, nyeri punggung, atau sakit kepala yang terkait harus ditentukan. Sejauh mana
rasa sakit mengganggu kegiatan sehari-hari (kerja, sekolah, atau olahraga),
penggunaan obat-obatan dan efektivitasnya, setiap perkembangan dalam tingkat
keparahan dari waktu ke waktu, dan adanya rasa sakit pada waktu-waktu selain
selama menstruasi juga harus didefinisikan. Gambaran historis ini umumnya dapat
membedakan wanita dengan dismenorea primer dengan dismenorea sekunder
(Jerome, 2019; Annie 2015).
Wanita dengan dismenorea primer biasanya memiliki pemeriksaan panggul yang
normal. Pada mereka dengan dismenorea sekunder yang berhubungan dengan
patologi pelvis, pemeriksaan panggul bisa normal tetapi seringkali tidak,
memberikan petunjuk tentang penyebab yang mendasarinya. Diagnosis dismenorea
primer tidak memerlukan tes laboratorium atau pencitraan. Namun, ultrasonografi
transvaginal dapat sangat membantu dalam mengidentifikasi mioma uterus,
endometrioma, dan adenomiosis pada wanita dengan dismenorea sekunder
(Jerome, 2019; Annie 2015; WHO,2014).
Berbagai macam terapi telah diusulkan untuk pengobatan dismenorea. Ini termasuk
penerapan terapi panas, diet dan vitamin atau herbal, olahraga, dan intervensi
perilaku, serta obat-obatan yang lebih tradisional seperti NSAID dan kontrasepsi
oral (Gibney, 2014).
1. Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)

41
NSAID biasanya merupakan terapi lini pertama untuk dismenorea dan harus dicoba
setidaknya selama tiga periode menstruasi. Jika NSAID saja tidak cukup,
kontrasepsi oral dapat dikombinasikan dengannya. NSAID adalah obat yang
bertindak dengan memblokir produksi prostaglandin melalui penghambatan
siklooksigenase, enzim yang bertanggung jawab untuk pembentukan prostaglandin.
NSAIDs umum (Aspirin, Naproxen dan Ibuprofen) sangat efektif dalam
menghidupkan kembali nyeri haid. NSAID mengurangi nyeri sedang hingga berat
pada wanita dengan dismenorea primer. Ada banyak NSAID yang dapat dipilih,
termasuk turunan Asam Proprionat (misalnya Naproxen, Ibuprofen dan
Ketoprofen) dan fenamate (misalnya Asam Mefenamat, Tolfenamat, Asam
Flufenamat dan Meclofenamate); semua sangat efektif (Jerome, 2019; Ginbey,
2014) .
2. Kontrasepsi oral
Hormon kontrasepsi bertindak dengan menekan ovulasi dan tidak menyebabkan
proliferasi endometrium. Pemberian Kontrasepsi oral hampir segera
menghilangkan gejala yang berhubungan dengan menstruasi: menstruasi yang
berat, periode nyeri, dan perdarahan yang tidak teratur. Selain itu, kontrasepsi oral
sering digunakan sebagai obat terapi untuk wanita dengan gejala menorrhagia atau
endometriosis. Efektivitas terapi kontrasepsi oral untuk mengobati dismenorea,
terlepas dari rute pemberian (oral, transdermal, intravaginal, atau intrauterin), telah
terbukti. Penggunaan kontrasepsi oral secara terus menerus dapat dianggap untuk
mengobati dismenorea primer, dengan dua keuntungan utama: pengurangan
gangguan menstruasi terkait dan peningkatan penghilang rasa sakit wanita. Namun,
bukti terbatas mendukung penggunaan kontrasepsi oral sebagai pengobatan standar.
Kontrasepsi oral juga merupakan pengobatan yang efektif untuk dismenorea
(Gibney,2014).
Kontrasepsi oral dapat dianggap sebagai agen lini pertama pada wanita yang aktif
secara seksual yang memerlukan kontrasepsi dan merupakan alternatif logis bagi
mereka yang tidak mentolerir atau mendapatkan bantuan yang cukup dari
pengobatan NSAID. Kemanjuran kontrasepsi oral berasal dari penghambatan
ovulasi mereka, sehingga mengurangi produksi prostaglandin endometrium, dan

42
dari penurunan volume dan durasi aliran yang dihasilkan dari pelemahan
endometrium setelah berbulan-bulan penggunaan (Jerome, 2019).
Wanita yang gagal menanggapi pengobatan dengan NSAID dan / atau kontrasepsi
hormonal dan mereka yang mengalami nyeri berulang atau memburuk perlu
dievaluasi ulang untuk mengecualikan penyebab dismenorea sekunder, seperti
endometriosis. Dalam sebuah studi pada wanita dengan nyeri panggul yang gagal
mendapatkan bantuan yang memadai dari pengobatan dengan NSAID, sebagian
besar memiliki endometriosis yang dapat dibuktikan pada laparoskopi. Pengamatan
ini menunjukkan bahwa wanita dengan dismenorea berat yang gagal merespon
secara memadai terhadap pengobatan dengan NSAID atau kontrasepsi oral adalah
kandidat untuk laparoskopi diagnostik (Jerome,2019).
Berdasarkan Internasional Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
kejadian sensorik serta emosional yang dirasakan tidak menyenangkan, terjadi
akibat kerusakan jaringan aktual maupun potensial, selain itu juga dapat
menggambarkan kondisi terjadinya masalah. Nyeri kronik biasanya didefinisikan
sebagai nyeri yang memiliki durasi 6 bulan atau lebih. Nyeri dapat dibedakan
menjadi akut dan kronik. Nyeri akut biasanya terjadi dalam beberapa detik sampai
6 bulan, sedangkan nyeri kronik berlangsung konstan selama 6 bulan atau lebih
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan (Peterson, 2015).
Penilaian nyeri secara klinis dilakukan dengan 2 cara yaitu dimensi tunggal maupun
multidimensi. Penilaian nyeri dengan cara dimensi tunggal dapat berupa Visual
Analog Scale (VAS), skala numerik verbal dan skala verbal. Penilaian nyeri secara
multidimensi adalah suatu cara menilai tingkat nyeri yang dialami pasien dan aspek
lain seperti perilaku dan emosi. Cara multidimensi memakai catatan harian nyeri,
gambar nyeri, skala wajah nyeri, kuisioner nyeri singkat Winconsin dan kuisioner
nyeri McGrill (Peterson, 2015).
Skala nyeri yang banyak dipakai pada penelitian adalah Wong-Baker FACES Pain
Rating Scale. Dimana skala nyeri diungkapkan oleh pasien berdasarkan skala angka
dari 0 hingga 10. Skala 0 berarti tidak merasakan nyeri sama sekali, 2 berarti nyeri
ringan yang dapat diacuhkan, 4 berarti nyeri sedang yang dapat berkurang saat
melakukan aktifitas, 6 berarti nyeri sedang yang hanya berkurang dengan
berkonsentrasi, 8 berarti nyeri berat yang membuat pasien hanya dapat melakukan

43
kebutuhan dasar dan 10 berati nyeri berat dimana pasien hanya dapat terbaring di
tempat tidur. Skala nyeri ini juga memakai ekspresi wajah dalam penilaiannya
seperti gambar dibawah ini (Carbon, 2015).
VAS merupakan cara terbanyak yang digunakan untuk menilai derajat nyeri. skala
linear ini menggambarkan secara visual tingkat nyeri yang dialami pasien. Rentang
nyeri diwakili satu garis sepanjang 10 cm dengan tanda berupa angka maupun
pernyataan deskriptif pada tiap sisinya (Laura, 2016).

Gambar 2.6 Wong-Baker FACES Pain Rating Scale (Laura,2016)

Berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Art and Science of Endometriosis


Meeting yang diadakan oleh National Institutes of Health (INI) bekerjasama dengan
American Society of Reproductive Medicine (ASRM) tahun 2010 menyatakan
bahwa nyeri harian sebaiknya diukur selama minimal satu bulan sebelum terapi
untuk mendapatkan pengukuran baseline nyeri yang adekuat dan diukur pada waktu
yang sama setiap harinya. Dismenorea dan nyeri pelvik harus diukur secara terpisah
menggunakan skala rasio numerik 11 poin (mulai dari 0 sampai dengan 10), seperti
halnya pada kondisi nyeri kronik lainnya (Peterson, 2015).
Penggunaan skor VAS dipilih karena VAS merupakan instrumen yang tepat dan
telah diterapkan dengan baik untuk mengukur nyeri terkait endometriosis. VAS
adalah skala respon psikometrik dengan menggunakan kuisioner dan merupakan
metode yang sederhana terdiri dari garis datar sepanjang 10 cm, yang dimulai
dengan 0 yang menandakan tidak ada nyeri, sedangkan angka 10 merupakan nyeri
terburuk yang pernah dialami (Laura, 2017).
Terdapat beberapa mekanisme biologis yang menyebabkan sensasi nyeri, yaitu
nosiseptif, inflamasi, neuropati, psikogenik ataupun campuran. Nyeri nosiseptif

44
dimulai saat ada stimulus yang menginduksi jalur tersebut, dimana stimulus akan
ditransduksi menjadi sinyal biokimiawi yang ditransmisikan ke susunan syaraf
pusat (SSP). Di SSP akan terjadi modulasi yang dapat meningkatkan atau
menurunkan intensitas nyeri tersebut. Selanjutnya di korteks serebri akan dibentuk
suatu persepsi nyeri. Nyeri nosiseptif dapat bersifat nyeri somatik maupun nyeri
visceral. Beberapa hal penting mengenai nyeri visceral adalah tidak semua organ
visera dapat menjadi sumber nyeri, berbatas tidak tegas, tidak selalu berkaitan
dengan gangguan fungsi dan bisa terkait dengan nyeri somatik dan nyeri alih.
(Lara,2017)

B. Klasifikasi Gangguan Haid Berdasarkan Jenis Perdarahan (Hiferi,2014)

Gambar 2.15 Klasifikasi PUA (Hiferi,2014)

1. Perdarahan Uterus Abnormal Akut


Didefinisikan sebagai perdarahan haid yang banyak sehingga perlu dilakukan
penanganan segera untuk mencegah kehilangan darah
2. Perdarahan Uterus Abnormal kronik
Didefinisikan sebagai perdarahan uterus abnormal yang terjadi lebih dari 3 bulan.
Perdarahan ini tidak memerlukan penanganan yang segera seperti PUA akut
3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding)
Didefinisikan sebagai perdarahan haid yang terjadi diantara 2 siklus haid yang
teratur. Istilah ini dulu disebut dengan metroragia.

45
C. Klasifikasi Gangguan haid berdasarkan penyebab perdarahan
(Hiferi,2014)

Gambar 2.16 Klasifikasi PUA berdasarkan etiologi (Hiferi,2014)

1. Polip (PUA-P)
Polip adalah pertumbuhan endometrium berlebih yang bersifat lokal mungkin
tunggal atau ganda, berukuran mulai dari beberapa milimeter sampai sentimeter.
Polip endometrium terdiri dari kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium
(Hiferi,2014).
2. Adenomiosis (PUA-A)
Merupakan invasi endometrium ke dalam lapisan miometrium, menyebabkan
uterus membesar, difus, dan secara mikroskopik tampak sebagai endometrium
ektopik, non neoplastik, kelenjar endometrium, dan stroma yang dikelilingi oleh
jaringan miometrium yang mengalami hipertrofi dan hiperplasia. (Hiferi,2014).

3. Leiomioma uteri (PUA-L)

46
Leiomioma adalah tumor jinak fibromuscular pada permukaan
myometrium.Berdasarkan lokasinya, leiomioma dibagi menjadi: submukosum,
intramural, subserosum (Hiferi,2014).
4. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan abnormal berlebihan dari kelenjar
endometrium. Gambaran dari hiperplasi endometrium dapat dikategorikan sebagai:
hiperplasi endometrium simpleks non atipik dan atipik, dan hiperplasia
endometrium kompleks non atipik dan atipik (Hiferi,2014).
5. Coagulopathy (PUA-C)
Terminologi koagulopati digunakan untuk merujuk kelainan hemostasis sistemik
yang mengakibatkan PUA (Hiferi,2014).
1. Ovulatory dysfunction (PUA-
O)
Kegagalan terjadinya ovulasi yang menyebabkan ketidakseimbangan hormonal
yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan uterus abnormal . (Hiferi, 2014).
2. Endometrial (PUA-E)
Pendarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid
teratur akibat gangguan hemostasis lokal endometrium (Hiferi,2014).
3. Iatrogenik (PUA-I)
Pendarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan
hormonal (estrogen, progestin) ataupun non hormonal (obat-obat antikoagulan)
atau AKDR (Hiferi,2014).
4. Not yet classified (PUA-N)
Kategori ini dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit dimasukkan
dalam klasifikasi (misalnya adalah endometritis kronik atau malformasi arteri-
vena) (Hiferi,2014).

2.2 STRES
2.2.1 Definisi Stres
Stres didefinisikan sebagai respon nonspesifik tubuh atau reaksi terhadap
rangsangan, atau terhadap kejadian yang menganggu dalam lingkungan. Ini tidak
hanya suatu stimulus atau respon tapi ini merupakan suatu proses bagaimana

47
meanggapi suatu ancaman dan tantangan. Stress juga didefinisikan sebagai
gangguan emosi atau perubahan yang disebabkan oleh stresor (Saiful, 2014).
Menurut American Institute tahun 2010 disebutkan bahwa tidak ada definisi yang
pasti untuk stres karena setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda terhadap
stres yang sama, sedangkan menurut National of Association of school Psychologist
tahun 2018 disebutkan bahwa stres adalah perasaan yang tidak meyenangkan dan
diinterpretasikan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu yang
lainnya (Saiful, 2014).
Menurut Hans selye stres merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya (Saiful, 2014).

2.2.2 Jenis- jenis Stresor


Berdasarkan Job-Strain model, diperkenalkan oleh Karasek & Theorell tahun 2012,
ada 2 faktor yang mempengaruhi stres; kemandirian dan piskologi. Seseorang yang
mempunyai kontrol terhadap pekerjaannya lebih sedikit stres. Orang ini
menganggap perubahan dan masalah sebagai tantangan bukan ancaman. Stres
paling berat akan dirasakan pada pekerjaan atau situasi yang memerlukan
kebutuhan psikologis yang tinggi dan kemandirian mengambil keputusan yang
rendah, contohnya jurusan kedokteran. Dalam model ini, stres lebih dilihat sebagai
suatu fungsi pekerjaan daripada personal (Saiful, 2014).
Van Harrison menyatakan bahwa stres muncul dari konflik yang dirasakan antara
apa yang diharapkan dengan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Stresor mahasiswa kedokteran dibagi menjadi 6 kategori : (Saiful, 2014)
a. Academic related
Stressor (ARS)
ARS mengacu pada segala kejadian yang berhubungan dengan universitas,
pendidikan yang menyebabkan stres pada mahasiswa, termasuk sistem ujian,
metode penilaian, metode tingkatan, jadwal akademik, ekspektasi individu yang
tinggi, isi mata pelajaran yang padat, sulit memahami isi pelajaran, kurangnya
waktu untuk revisi, kompetisi, tidak bisa menjawab pertanyaan dari dosen. Skor
yang tinggi pada domain ini mengindikasikan masalah akademik sebagai sumber
utama stres pada mahasiswa kedokteran.

48
b. Intrapersonal and Interpersonal Related Stressor (IRS)
IRS mengacu pada stres yang disebabkan oleh hubungan antar individu dan di
dalam individu itu sendiri. Stresor intrapersonal berhubungan dengan diri sendiri
termasuk motivasi pribadi yang kurang dan konflik internal. Sementara stresor
interpersonal berhubungan dengan verbal, fisikal dan kekerasan mental yang
disebabkan oleh orang lain seperti teman, guru dan karyawan lain di lingkunan
kampus. Skor yang tinggi pada domain ini mengindikasikan IRS merupakan stresor
utama mahasiswa.

c. Teaching and Learning Related Stressor (TLRS)


TLRS berhubungan dengan kesesuaian tugas yang diberikan oleh guru, kompetensi
guru dalam mengajar dan mensupervisi mahasiswanya, umpan balik yang diberikan
oleh guru kepada mahasiswanya, dukungan yang diberikan oleh guru kepada
mahasiswanya dan kejelasan tujuan pembelajaran yang diberikan oleh guru kepada
mahasiswanya. Skor yang tinggi pada domain ini mengindikasikan TLRS sebagai
sumber utama stres mahasiswa.

d. Social Related Stressor (SRS)


SRS mengacu pada hubungan komunitas dan sosial yang menyebabkan stres.
Umumnya berhubungan dengan waktu luang dengan keluarga dan teman, waktu
pribadi untuk diri sendiri , gangguan bekerja oleh orang lain dan masalah keluarga,
dan kekurangan finansial. Skor yang tinggi pada domain ini mengindikasikan SRS
merupakan sumber utama stres mahasiswa.

e. Drive and desire Related Stressor (DRS)


DRS mengacu tekanan dari dalam ataupun dari luar yang menpengaruhi sikap,
emosi, pikiran, dan perilaku yang berdampak terhadap stres. Umumnya
berhubungan dengan masuk kedokteran karena terpaksa, salah memilih jurusan,
menjadi tidak termotivasi setelah mengetahui bagaimana sekolah kedokteran yang
sebenarnya, keinginan orangtua untuk masuk kedokteran, atau karena mengikuti

49
teman memilih jurusan kedokteran. Skor yang tinggi pada domain ini mengacu pada
DRS sebagai alasan utama stres.

f. Group activities Related Stressor (GARS)


GARS mengacu pada kejadian dan interaksi kelompok yang menyebabkan stres.
Skor yang tinggi pada domain ini GARS sebagai sumber utama stres.
The Medical Student Stressor Questionaire (MSSQ) dikembangkan untuk
mengidentifikasi stres pada mahasiswa kedokteran dan juga untuk mengukur
intensitas stres yang disebabkan oleh stresor.
Quick dan Quick mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu : (Gaol,2016)
a. Eustress
Yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif
(bersifat membangun). Hal tersebut tersebut termasuk kesejahteraan individu dan
juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan
adaptasi dan tingkat perfomance yang tinggi
b. Distres
Yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan
destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga
organisasi seperti penyakit kardiovaskuler dan tingkat ketidakhadiran yang tinggi
yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan dan kematian.
Pendidikan kedokteran merupakan lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi bagi
mahasiswanya. Dua penelitian di universitas malaysia melaporkan 41,9%
mahasiswa kedokteran mempunyai gangguan emosi, penlitian ke dua di universitas
swasta di Malaysia melaporkan gangguan emosi 46,2% pada mahasiswa
kedokteran. Penelitian di Singapore melaporkan 57% gangguan emosi pada
mahasiswa kedokteran dibandingkan 37% pada mahasiswa jurusan hukum.
Penelitian lain di Turki melaoporkan gangguan emosi pada 47,9% mahasiswa
kedokteran berbanding 29,2% pada mahasiswa jurusan ekonomi. Hal ini
memperlihatkan situasi tekanan psikologis pada mahasiswa kedokteran
(Muhammad, 2014).
Paparan stres jangka panjang mempunyai dampak negatif pada kesehatan mental
dan fisik mahasiswa kedokteran. Gangguan kesehatan fisik salah satunya adalah

50
gangguan menstruasi yang bisa mengakibatkan gangguan reproduksi
(Mostafa,2018).

2.2.3 Klasifikasi Stres


2.2.3.1 Berdasarkan Waktu (Bogdan, 2017)
b. Stres Akut
Merupakan reaksi terhadap ancaman yang segera, umumnya dikenal degan respon
atas pertengkaran. Penyebab stres akut antara lain kebisingan, keramaian,
pengasingan, lapar, bahaya, infeksi, dan bayangan suatu ancaman atau ingatan
terhadap suatu peristiwa berbahaya (mengerikan).
Pada banyak kejadian, suatu waktu ancaman akut telah dialalui, suatu respon
menjadi tidak aktif dan tingkat-tingkat hormon stres kembali normal, suatu kondisi
yang disebut respon relaksasi
c. Stres kronis
Penyebab umum stres kronis antara lain : kerja dengan tekanan tinggi yang terus
menerus, masalah-masalah hubungan jangka panjang, kesepian dan kekhawatiran
finansial yang terus menerus

2.2.3.2 Berdasarkan Tingkatannya (Digilib,2012; Jayanthi,2015)


a. Tidak Stres/Stres normal
Stres normal merupakan bagian alamiah dari kehidupan, misalnya detak
jantung yang lebih cepat setelah aktivitas, kelelahan setelah mengerjakan tugas,
takut tidak lulus ujian
g. Stres Ringan
Stresor yang dihadpi yang berlangsung beberapa menit atau jam. Contohnya
dimarahi dosen, kemacetan. Stresor ini dapat menimbulkan gejala seperti kesulitan
bernafas, bibir kering, lemas, keringat berlebihan, takut tanpa alasan yang jelas dan
merasa lega jika situasi berakhir
h. Stres Sedang
Stres yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Misalnya perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan dengan seseorang. Stres ini dapat menimbulkan gejala

51
yaitu mudah merasa letih, mudah marah, sulit untuk beristirahat, mudah
tersinggung, dan gelisah
i. Stres Berat
Stres kronis yang terjadi dalam beberapa minggu, seperti perselisihan dengan dosen
atau teman secara terus menerus, penyakit fisik jangka panjang dan masalah
finansial. Stres ini dapat menunjukkan gejala seperti merasa tidak kuat lagi untuk
melakukan kegiatan, mudah putus asa, kehilangan minat akan segala sesuatu,
merasa tidak dihargai, merasa tidak ada hal yang bisa diharapkan di masa depan
j. Stres Sangat berat
Situasi kronis yang dapat terjadi beberapa bulan dan dalam kurun waktu yang tidak
dapat ditentukan. Biasanya seseorang untuk hidup cendrung pasrah dan tidak
memiliki motivasi untuk hidup. Seseorang dalam tingkatan stres ini biasanya
teridentifikasi mengalami depresi berat kedepannya.

2.2.4 Tipe- Tipe Stres (Pinel,2009;Carr,2013)


a. Tekanan
Hasil hubungan peristiwa-peristiwa dengan individu. Tekanan mental yang
sederhana dapat menjadi pendorong untuk mencapai tujuan. Namun tekanan mental
yang tinggi dapat menmbulkan masalah sosial dan menganggu kesehatan
b. Frustasi
Yaitu suatu harapan yang diinginkan dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai
dengan yang diharapkan

c. Konflik
Berdasarkan dari bahasa lati configere yang berarti saling memukul . Secara
sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara 2 orang atau lebih
dimana salah satu pihak berusahamenyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya
d. Kecemasan
Kecemasan itu suatu respon atau sinyal menyadarkan seseorang tentang perasaan
khawatir, gelisah, dan takut yang sedang dirasakan. Ini timbul dari emosi seseorang
karena merasa tidak nyaman, tidak aman, atau merasakan ancaman, seringkali

52
terjadi tanpa adanya penyebab yang jelasterhadap situasi yang kelihatannya tidak
menakutkan

2.2.5 Aspek Stres (Pinel,2009; Carr, 2013)


a. Stimulus
Keadaan/situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan
yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stresor
b. Respon
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stresor. Terdapat 2 komponen yang saling
berhubungan, komponen fisiologis dan komponen psikologis. Dimana kedua
respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan. Komponen fisiologis
misalnya detak jantung, sakit perut, keringat. Dan komponen psikologis misalnya
pola berfikir dan emosi.
c. Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stresor dan strain ditambah dengan satu
dimensi yang penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses
ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu yang disebut juga
dengan istilah transaksi antara manusia dengan lingkungan, yang didalamnya
termasuk perasaan yang dialami dan bagaiman orang lain merasakannya.

2.2.6 Faktor-Faktor Penyebab Stres


Stres dapat terjadi karena (Pinel,2009; Gaol,2016):
a. Fisik-biologik
- Penyakit sulit disembuhkan
- Cacat fisik
- Merasa penampilan kurang menarik
b. Psikologi
- Negatif thinking
- Sikap permusuhan
- Iri hati
- Dendam dan sejenisnya
c. Sosial

53
- Kehidupan keluarga yang tidak harmonis
- Faktor pekerjaan
- Iklim lingkungan
d. Pekerjaan “ occupational stres”
- Tuntutan kerja terlalu banyak dan membuat orang bekerja terlalu keras dan
lembur karena keharusan mengerjakannya
- Jenis pekerjaan, misalnya : jenis pekerjaan yang memberikan penilaian atas
penampilan kerja bawahannya (supervisi), guru, dan dosen

2.2.7 Fisiologi Stres


Stres fisik atau emosional mengaktifasi amygdala yang merupakan bagian dari
sistem limbik yang berhubungan dengan komponen emosional dari otak. Respon
emosional yang timbul ditahan oleh input dari pusat yang lebih tinggi di forebrain.
Respon neurologis dari amygdala ditransmisikan dan menstimulasi respon
hormonal dari hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan hormon CRF
(Corticotropin-releasing Factor) yang menstrumulasi respon hormonal dari
hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan hormon CRF yang menstrimulasi
hipofisis untuk melepaskan hormon lainnya yaitu ACTH (Adrenocorticotropic
hormone) ke dalam darah. ACTH sebagai gantinya menstumulus kelenjar adrenal
untuk menghasilkan kortisol, suatu kelenjar kecil yang berada di atas ginjal.
Semakin berat stres, kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol semakin banyak
dan menekan sistem imun (Vishwanath,2014).
Secara simultan, hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem otonom untuk
merangsang respon yang segera terhadap stres. Sistem otonom sendiri diperlukan
dalam menjaga keseimbangan tubuh. Sistem otonom terbagi 2 yaitu : sistem
simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis bertanggung jawab terhadap adanya
stimulasi atau stres. Reaksi yang timbul berupa peningkatan denyut jantung,
perlambatan pernafasan, menigkan aktifitas gastrointestinal. Sementara sistem
parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan
denyut jantung, perlambatan pernafasan, meningkatan aktifitas gastrointestinal.
Perangsangan yang berkelanjutan terhadap sistem simpatis meimbulkan respon
stres yang berulang-ulang dan menempatkan sistem otonom pada

54
ketidakseimbangan. Keseimbangan antara kedua sistem ini sangat penting bagi
kesehatan tubuh. Dengan demikian tubuh dipersiapkan untuk melawan atau reaksi
menghindar melalui satu mekanisme rangkap: satu respon saraf, jangka pendek, dan
satu respon hormonal yang bersifat lebih lama (Bogdan,2017; Vishwanath,2014).

2.2.7.1 Respon Fisiologis Tubuh Terhadap Stres


Hans Selye menyebutkan ada 2 respon fisiologis tubuh terhadap stres, yaitu :
(Gaol,2016; Vishwanath,2014)
a. Local Adaptation Syndrom (LAS)
Tubuh menghasilkan banyak respon setempat terhadap stres. Respon stempat ini
termasuk pembekuan darah dan penyembuhna luka, akomodasi mata terhadap
cahaya dan lain sebagainya. Karakteristik adaptasi lokal :
- Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem
- Respon bersifat adaptif, diperlukan stresor untuk menstimulasikannya
- Respon bersifat jangka pendek dan tidak terus menerus
- Respon bersifat restoratif
b. General Adaptation Syndrom (GAS)
GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Respon yang
terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Dibeberapa
buku teks GAS sering disamakan dengan sistem neuroendokrin. Menurut Selye
dalam fase GAS ada 3 tingktan berbeda dari respon fisik dan mental atau tanggapan
seseorang terhadap stres yaitu peringatan (alarm), perlawanan (resistance), dan
peredaran (exhaustion)
1) Tahap peringatan dini atau alarm merupakan tahapan awal dari reaksi
tubuh saat menyadari adanya suatu tekanan atau stres. Reaksi awal pada
umumnyaterjadi dalam bentuk suatu pesan biokimia yang ditandai dengan
gejala seperti otot menegang, tekanan darah dan denyut jantung
meningkat dan sebagainya
2) Tahap perlawanan yang ditandai dengan adanya gejala ketegangan,
kegelisahan, kelesuan dan sebagainya yang menandakan seorang sedang
melakukan perlawanan terhadap stres. Perlawanan terhadap stres sering

55
menimbulkan terjadinya kecelakaan, pengambilan keputusan yang
kurang baik, dan masalah kesehatan.
3) Tahap peredaan ditandai dengan runtuhnya tingkat perlawanan. Pada
tahap ini akan muncul berbagai macam penyakit seperti tekanan darah
tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gula darah dan sebaginya.
c. Reaksis Psikologis
Reaksi psikologis terhadap stres berupa :
1) Kecemasan
2) Kemarahan dan Agresi
3) Depresi yaitu keadaan yang ditandai dengan hilangnya gairah dan
semangat tekadang disertai rsa sedih yang mendalam dan ingin bunuh
diri

2.2.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Seseorang dalam Merespon Stres


Respon terhadap stresor yang diberikan setiap individu akan berbeda berdasarkan
faktor yang akan mempengaruhi respon tubuh antara lain: (Pinel, 2009)
1) Sifat stresor
Sifat stresor merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
stresor. Sifat stresor ini dapat berupa tiba-tiba atau berangsur-angsur. Sifat ini pada
setiap individu dapat berbeda tergangtung dari pemahaman tentang arti stresor
2) Durasi stresor
Lamanya stresor yang dialami klien akan mempengaruhi respon tubuh, apabila
stresor yang dialami lebih lama maka respon yang dialaminya juaga lebih lama dan
dapat mempengaruhi dari fungsi tubuh yang lain
3) Jumlah stresor
Jumlah stresor yang dialami oleh seseorang dapat menentukan respon tubuh.
Semakin banyak stresor yang dialami oleh seseorang dapat menimbulkan dampak
besar bagi fungsi tubuh, sebaliknya dengan jumlah stresor yang banyak dan
kemampuan adaptasi yang baik maka seseorang akan memiliki kemampuan dalam
mengatasinya.
4) Pengalaman masa lalu

56
Pengalaman ini juga dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap stres yang
dimiliki. Semakin banyak stresor dan pengalaman yang dialami dan mampu
menghadapinya, makasemakin baik dalam mengatasinya sehingga kemampuan
adaptifnya akan semakin baik pula.
5) Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian seseorang juga dapat mempengaruhi respon terhadap stresor.
Apabila seseorang memiliki tipe kepribadian A maka lebih rentan terkena stres
dibandingkan dengan tipe kepribadian B. Tipe kepribadian A memiliki ciri
ambisius, agresif, kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah marah, memiliki
kewaspadaan yang berlebihan, berbicara cepat, bekerja tidak kenal waktu, pandai
berorganisasi, dan memimpin atau memerintah, lebih suka bekerja sendirian bila
ada tantangan, kaku terhadap waktu, ramah, tidak mudah dipengaruhi. Sedangkan
tipe kepribadian B memiliki sikap tidak agresif, ambisi wajar-wajar, penyabar,
senang, tidak mudah tersinggung, tidak mudah marah, cara berbicara tidak tergesa-
gesa, perilaku tidak interaktif, lebih suka bekerjasama, mudah bergaul.
6) Tingkat Perkembangan
Tingkat perkembangan pada individu ini juga dapat mempengaruhi respon tubuh
dimana semakin matang dalam perkembangannya maka semakin baik pula
kemampuan untuk mengatasinya. Dalam perkembangannya kemampuan individu
dalam mengatasi stresor berbeda-beda.

2.2.9 Dampak Stres (Gaol,2016)


a. Pengaruh positif
Stres dapat mendorong orang untuk membangkitkan kesadaran dan menghasilkan
pengalaman baru
b. Pengaruh Negatif
Pengaruh negatif menimbulkan perasaan tidak nyaman, tidak percaya diri,
penolakan, marah, depresi, dan masalah kesehatan.

2.2.10 Pendekatan Problem Solving Terhadap Stres (Pinel,2009; Gaol,2016)


A. Coping

57
Mengelola stres disebut dengan istilah coping. MEnurut RS Lazarus
coping adalah proses mengelola tuntutan (internal atau eksternal) yang diduga
sebagai beban karena diluar kemampuan individu. Coping terdiri atas upaya-upaya
yang berorientasi kegiatan intrpsikis tumtutan internal dan eksternal. Adapun
menurut Weiten dan Llyd coping merupakan upaya-upaya untuk mengatasi,
mengurangi atau mentoleransi beban perasaan yang tercipta karena stres. Faktor
yang mempengaruhi coping :
1) Dukungan sosial. Dukungan sosial dapat diartikan sebagai bantuan dari orang
lain yang memiliki kedekatan (orangtua, suami/istri, saudara atau teman)
terhadap seseorang yang mengalami stres. Dukungan sosial memiliki 4 fungsi :
a. sebagai emotional sup[ort, meliputi pemberian curahan kasih sayang, perhatian
dan kepedulian b. Sebagai appraisal support, meliputi bantuan orang lain untuk
menilai dan mengembangkan kesadaran akan masalah yang dihadapi, termasuk
usaha-usaha mengklarifikasi dan memberikan umpan balik tentang hikmah di
balik masalah tersebut c. Sebagai informational support, meliputi
nasehat/pengarahan dan diskusi tentang bagaimana mengatasi atau memecahkan
masalah d. Sebagai instrumental support , meliputi bantuan materia, seperti
memberikan tempat tinggal, meminjamkan uang dan menyertai kunjungan ke
biro layanan sosial.
2) Kepribadian. Kepribadian seseorang cukup besar pengaruhnya terhadap coping
atau usaha-usaha dalam menghadapi atau mengelola stres. Adapun tipe-tipe
kepribadian yang berpengaruh terhadap coping adalah sebagai berikut : a.
Hardness (ketabahan, daya tahan) yaitu tipe kepribadian yang ditandai dengan
sikap komitmen, internal locus control dan kesadaran akan tantangan b.
Optimisme, yaitu kecendrungan umum untuk mengharapkan hasil-hasil yang
baik atau sesuai harapan c. Humoris

B. Ringkasan penilaian diri


Mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala-gejala yang muncul dari aktivitas respon
stres
C. Mengubah tuntutan

58
Mengukur apa yang trjadi selanjutnya dan beban dan tuntutan apa yang
menyebabkan stres. Selanjutnya menyusun rencana untuk mengatasi masalah
dengan mempertimbangkan akibat yang akan diterima dari tuntutan.
D. Mengubah tuntutan
Mengubah tuntutan dapat dilakukan dengan mengurangi tuntutan atau
meningkatkan tuntutan. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman
terdahulu yang menyebabkan mengurangi tuntutanantara stres. Cara mngurangi
tuntutan : 1. Tetap waspada terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan 2. Membuat
prioritas masalah 3. Menjadi realistis terhadap hal yang ingin dicapai 4.
Menghindari bersikap perfeksionis 5. Mencari bantuan ketika beban semakin berat
6. Menghindari ketidakpastian 7. Menemukan pekerjaan atau kegiatan yang sesuai
dengan kepribadian diri sendiri (Neil,2008).

2.2.11 Kuisioner Untuk Mengukur Tingkat Stres


1. Perceived Stres Scale (PSS) (Mostafa,2018)
PSS merupakan instrumen penilaian stres klasik, dikembangkan tahun 1983,
membantu untuk memahami bagaimana situasi berbeda mempengaruhi perasaan
seseorang. Pertanyaan pada skala ini menanyakan tentang perasaan dan pikiran
seseorang dalam bulan terakhir. Berikut daftar pertanyaan PSS-10: (Bogdan,2017)
Tabel 2.5 Daftar Pertanyaan PSS-10
Keterangan :

59
Pertanyaan 4,5,7,8, ubah skor seperti berikut : 0=4, 1=3, 2=2, 3=1, 4=0 Kemudian
jumlah total skor
Skor 0-13 : tingkat stres rendah
Skor 14-26 : tingkat sres sedang
Skor 27-40 : tingkat stres tinggi

2. Depression Anxiety Stres Scale 42 and 21 (DASS 42 dan21)


DASS merupakan suatu skala untuk mengukur status emosional negatif dari
depresi, stres dan kecemasan yang dibuat oleh Lovibond & Lovibond (1993).
Terdiri dari DASS 42 dan DASS 41 yaitu DASS 42 terdiri dari 42 gejala emosi
negatif sedangkan DASS 21 terdiri dari 21 gejala yang dinilai. Dengan tingkatan
stres yang dinilai yaitu normal, ringan, sedang, berat dan sangat berat. (Gale,2015)

3. The Medical Student Stressor Questionnaire (MSSQ) Manual


MSSQ adalah kuesioner yang dirancang untuk mengetahui tingkatan stres pada
mahasiswa kedokteran. Kuesioner ini terdiri dari 40 pertanyaan yang merupakan
penyebab stres pada mahasiswa kedokteran. MSSQ terdapat enam domain stres
yang diukur, yaitu Academic Related Stressors (ARS), Teaching and Learning
Related Stressors (TLRS), Social Related Stressors (SRS), Intrapersonal and
Interpersonal Related Stressors (IRS), Group Activities Related Stressors (GARS),
Drive and Desire Related Stressors (DRS) seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Tingkatan stres pada kuesioner ini yaitu ringan, sedang, berat dan
sangat berat (Yusoff, 2011)Penyebab stres pada mahasiswa kedokteran terdiri dari
enam dimensi yaitu sebagai berikut: (Muhammad,2014)
a. Academic Related Stressors(ARS)
Merupakan sumber stres utama bagi mahasiswa yaitu stres yang disebabkan karena
akademik seperti kurangnya pengetahuan atau kesulitan dalam memahami konsep
ilmiah, waktu untuk belajar, tidak bisa berkinerja baik dalam ujian dan mencetak
nilai yang kurang.
b. Teaching and Learning Related Stressors(TLRS)
Dalam hal ini terkait dengan stres yang disebabkan oleh tugas yang diberikan staf
pengajar seperti banyaknya tugas yang diberikan

60
c. Social Related Stressors (SRS)
Stres yang berkaitan dengan hubungan sosial seperti hubungan dengan keluarga dan
teman, di tempat kerja dan hubungan dengan masalah yang berkaitan dengan
pasien, seperti saat mengatasi suatu penyakit dan dihadapkan dengan kematian
pasien.
d. Intrapersonal and Interpersonal Related Stressors(IRS)
Yaitu stresor yang berhubungan dengan hubungan antar pribadi maupun antar orang
lain, seperti konflik dengan rekan kerja, staf pengajar, serta dengan diri sendiri
seperti kurangnya motivasi dan kurangnya pandangan individu terhadap dirinya
sendiri.
e. Group Activities Related Stressors(GARS)
Dalam hal ini terkait dengan konflik dalam setiap kegiatan kelompok, kerja
kelompok, persentasi kelompok, dan partisipasi dalam kelompok dapat
menyebabkan stres.
f. Drive and Desire Related Stressors(DRS)
Umumnya berkaitan dengan keengganan untuk mempelajari ilmu kedokteran
karena berbagai alasan seperti bukan termasuk pilihan individu itu sendiri, tekanan
orangtua, atau dengan mengikuti teman-temannya (Haider dan Mehfooz, 2017)
Tabel 2.6 Daftar Pertanyaan MSSQ
Bagian A
No. Pernyataan 0 1 2 3 4
1 Tes/ujian
2 Berbicara dengan pasien terkait masalah pribadi
pasien (*)
3 Konflik dengan mahasiswa lain
4 Sistem ujian
5 Kekerasan verbal atau fisik dari mahasiswa lain
6 Keinginan orangtua untuk kuliah di jurusan
kedokteran
7 Keinginan untuk melakukan sesuatu dengan
baik (aku pasti bisa)

61
8 Materi perkuliahan kurang tersedia dengan baik
(buku terbatas, slide dosen sulit didapat)
9 Konflik personal atau dengan diri sendiri
10 Beban tugas yang berat
11 Berpartisipasi dalam diskusi
12 Jadwal perkuliahan yang padat
13 Partisipasi dalam presentasi di kelas
14 Kurangnya bimbingan dari dosen
15 Merasa tidak mampu dalam suatu hal
16 Ketidak pastian dalam diri (mampukan aku
menjadi dokter?) (*)
17 Kurang latihan keterampilan klinis
18 Kurangnya waktu untuk bersama keluarga dan
teman
19 Kompetisi yang ketat dengan mahasiswa lain
20 Kurangnya kemampuan mengajar para dosen
(cara mengajar yang membosankan)
Bagian B
No. Pernyataan 0 1 2 3 4

21 Tidak bisa menjawab pertanyaan dari pasien (*)


22 Tugas yang tidak menyenagkan
23 Kesulitan memahami materi kuliah
24 Mengadapi penyakit yang diderita pasien atau
kematian pasien (*)
25 Mendapat nilai yang jelek
26 Kurangnya motivasi untuk belajar
27 Kurangnya waktu untuk membahas kembali apa
yang telah dipelajari
28 Kekerasan verbal atau fisik dari dosen

62
29 Seringnya gangguan pekerjaan/belajar dari
orang lain
30 Tidak bisa menjawab pertanyaan dari dosen
31 Konflik dengan dosen
32 Tidak ingin kuliah di fakultas kedokteran
33 Merasa banyak hal yang harus dipelajari
34 Harus melakukan sesuatu dengan baik
(misalnya kerja kelompok tapi orang lain tidak
pernah bekerja dan hanya anda yang bekerja dan
anda merasa harus mengerjakan itu dengan
baik)
35 Dosen tidak memberikan masukan (feeback)
yang cukup selama kuliah
36 Pemberian nilai ujian yang tidak adil (teman
yang biasa-biasa saja mendapat nilai bagus)
37 Kurangnya apresiasi/ tidak dihargai atas
pekerjaan yang telah anda selesaikan dengan
dengan baik)
38 Menegerjakan sesuatu dengan komputer
39 Kekerasan verbal atau fisik dari diri sendiri
40 Beban tanggung jawab dalam keluarga
Untuk pertanyaan yang ditandai (*), artinya jika belum masuk tahap preklinik
(koas/dokter muda), bayangkan saja jika sedang berada dalam kondisi seperti itu.
Keterangan :
0 : tidak menimbulkan stres
1 : sedikit menimbulkan stres
2 : cukup menimbulkan stres
4 : sangat banyak menimbulkan stres
Cara penilaian MSSQ secara keseluruhan adalah semua item ditambahkan total
skornya kemudian di bagi 40, kemudian hasilnya disesuaikan dengan tabel dibawah
ini :

63
64
Untuk mengetahui masing-masing dimensi atau domain penyebab stres pada
mahasiswa kedokteran maka dimensi stres di hitung per item, seperti tabel dibawah
ini :

Keterangan :
I. Academic Related Stressors (ARS) :
1,4,7,10,12,17,19,23,25,27,30,33,36
II. Intrapersonal and interpersonal related stressor (IRS) : 3,5,9,26,28,31,39
III. Teaching and Learning Related Stressors (TLRS) : 8,14,16,20,22,35,37
IV. Social Related Stressor : 2,18,21,24,29,38
V. Drive and Desire Related Stressors (DRS) : 6,32,40
VI. Group Activities Related Stressors (GARS) : 11,13,15,34
Dari bebera digunakan pada penelitian kali ini karena MSSQ merupakan instrumen
yang valid dan dapat diandalkan serta telah diujicobakan pada 761 mahasiswa
fakultas kedokteran dengan berbagai macam etnis, kultur dan agama di Malaysia.

65
Serta dapat mengidentifikasi jenis stressor dan intensitas stres pada mahasiswa
kedokteran (Yusoff, 2011)

2.3 HUBUNGAN STRES DENGAN GANGGUAN MENSTRUASI


Bagian sentral respon stres diperankan oleh corticotropin relesing hormone (CRF).
CRF merupakan regulator endokrin yang penting kelenjar hipofisis dan kelenjar
adrenal. Neurotransmiter terlibat dalam aktivitas sistem syaraf otonom,
metabolisme dan perilaku. Pada kasus stres akut berat hipereksitabilitas dari
Sympathetic Nervouse System (SNS) mempengaruhi hypothalamic-pituitary
adrenal axis dengan meghasilkan hormon glukokortikoid dalam jumlah yang
banyak, menyebabkan gangguan di dalam tubuh, efek jangka pendek antara lain
hipoglikemia, palpitasi, infark miokard, stroke sementara efek jangka panjang
antara lain disfungsi beberapa sistem (syok psikologis, post traumatic Stress
Disorder). Stres menyebabkan aktivasi SNS merangsang medula kelenjar adrenal
untuk menghasilkan epinefrin (adrenalin) yang akan menghambat pengeluaran
GnRH. (Bogdan,2017)
Limbik di otak akan merespon stresor dengan memberikan signal ke paraventrikuler
nucleus (PVN) hipotalamus, selanjutnya hipotalamus akan mensekresikan
Adenocorticotropin Homone (ACTH), ACTH akan merangsang korteks adrenal
untuk menghasilkan glucocorticoid (kortisol), glukokortikoid mempunyai
mekanisme aksi terhadap organ yang mempunyai reseptor glukokortikoid (GR)
yaitu pada hipotalamus, ovarium dan limbik. Di otak, area yang paling banyak
glucocorticoid receptor (GR) adalah di area limbik. Limbik diketahui merupakan
area untuk mengatur perilaku manusia. Ikatan glukokortikoid dengan reseptornya
di limbik akan mengaktifkan jalur hypothamus pituitary adrenal axis sehingga
menjadi siklus yang terus berulang. Di samping itu limbik juga akan mempengaruhi
syaraf simpatis dimana akan meningkatkan denyut jantung (palpitasi), berkeringat,
dan peristaltik usus meningkat. Sementara ikatan glukokortikoid dengan
reseptornya di hipotalamus akan menyebabkan produksi Gonadotropin Releasing
Hormone ditekan. sehingga hipofisis mendapat pengaruh sekunder dengan
ditekannya produksi GnRH, dimana produksi FSH dan LH akan berkurang,

66
sehingga produksi homon estrogen dan progesteron akan menurun dan bisa
mengakibatkan hypogonadotropic hypogonadism. (Vishwanath,2014)
Sistem limbik berhubungan erat dengan emosi, kegiatan motorik dan sensorik
bawah sadar serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan kesenangan. Bagian
utama dari sistem limbik adalah hipotalamus. Selain berperan mengatur perilaku,
area ini juga mengatur banyak kondisi internal dari tubuh, seperti pengaturan
dorongan makan minum dan berfungsi sebagai pengatur berat badan. Rangsangan
pada hipotalamus menimbulkan berbagai sekresi neurohormonal melalui HPA-
axis. Pengaruh emosi sendiri diperoleh melalui amigdala. Amigdala ini menerima
signal neuronal dari semua bagian korteks lobus temporal, parietal dan oksipital
terutama dari area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual. Hubungan yang
multipel ini dari amigdala disebut “ jendela” yang dipakai oleh sistem limbik untuk
melihat kedudukan seseorang di dunia. Dan dalam gerakan sebaliknya ia
menjalarkan sinyal kembali kepada area korteks yang sama, hipokampus, septum,
talamus dan secara khusus kepada hipotalamus.12
Perangsangan pada amigdala dapat menyebabkan efek yang hampir serupa dengan
efek akibat perangsangan hipotalamus. Efek yang dijalarkan melalui hipotalamus
meliputi peningkatan atau penurunan tekanan arteri, peningkatan frekuensi jantung,
defekasi dan miksi, dilatasi pupil, piloereksi, sekresi hormon hipofisis anterior
terutama hormon gonadotropin dan kortikotropik. Perangsangan amigdala dapat
meinumbulkan berbagai macam pergerakan involunter pergerakan tonik,
melingkar, marah, melarikan diri, rasa senang, ereksi, ejakulasi, ovulasi, aktivitas
uterus, persalinan prematur. Pengaruh emosi terhadap amigdala dan sistem
endokrin dapat digambarkan sebagai berikut : (Reichlin,2012)

67
Gambar 2.17 Anatomi Sistem Limbik (Reichlin,2012)

Gambar 2.18 Pengaruh Emosi terhadap Amigdala (Reichlin,2012)


Korteks adrenal terdiri dari 3 zona yaitu glomerolusa (bagian luar), fasciculata
(bagian tengah) dan retikularis (penghasil kortisol dan androgen). Antara
hipotalamus dan korteks adrenal terdapat jalur efferen yang memungkinkan stres
dapat merangsang sekresi CRH oleh hipotalamus, CRH akan merangsang sekresi
ACTH oleh hipofisis anterior. ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk
memproduksi kortisol. Kortisol yag tinggi akan masuk ke sirkulasi menekan
pertumbuhan sel imun tubuh dan mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter
adrenalin yang mengakibatkan blokade sekresi GnRH sehingga terjadi gangguan
produksi FSH dan LH dan mengakibatkan gangguan menstruasi (Reichlin, 2012).

68
Gambar 2.19 Produksi Kortisol (Reichlin,2012)

Penelitian sebelumnya menunjukkan ada hubungan antara stres dengan gangguan


menstruasi. Penelitian observasional cross sectional dilakukan di Romania tehadap
678 mahasiswi melalui quisioner yang pertanyaannya dibagi menjadi 4 bagian,
bagian pertama pertanyaan mengenai data demografi partisipan, bagian kedua
mengenai tingkat stres partisipan, bagian ketiga mengenai gangguan menstruasi
yang dialami partisipan, dan bagian keempat mengenai keluhan Premenstruation
syndrom (PMS). Hasil dari penelitian ini 91,9% partisipan mempunyai tingkat stres
yang tinggi, berdasarkan PSS-10 (Perceived Stress Scale), 5,8% mempunyai
tingkat stres medium, dan 1,8% mepunyai tingkat stres yang rendah. 59,9 %
mempunyai gangguan perdarahan uterus abnormal derajat sedang, 39,4%
mempunyai keluhan ringan. 64,2% mempunyai keluhan PMS, 3,5% gangguan
disforik pramenstuasi (Monro,2011).
Penelitian cross sectional lainnya mengenai hubungan stres dengan gangguan
menstruasi dilakukan oleh Nazif bulan Februari 2015 sampai Februari 2016 yang
melibatkan 1200 pelajar dari berbagai jurusan di Saudi Arabia. Kriteria inklusi yang
digunakan adalah pelajar usia 18 - 25 tahun sementara kriteria ekslusi adalah wanita
dengan masalah kesehatan kronis, masalah psikiatri, terdiagnosis patologi pelvik
(fibroid, penyakit inflamasi pelvik), tes kehamilan positif, dan ibu menyusui. 738
pelajar yang memenuhi kriteria inklusi diberikan quisioner data demografik,
gangguan pola menstruasi (usia menarche, lama siklus haid, durasi menstruasi, dan
keteraturan siklus haid) dan PSS-10. Hasil dari penelitian ini adalah 91% pelajar
mengalami gangguan menstruasi seperti tabel berikut: (Nazish, 2018). Hasil survei

69
pada populasi menunjukkan 79% remaja putri berusia 18 tahun memiliki riwayat
nyeri saat menstruasi, dan 21% remaja putri berusia 16 tahun tidak bisa keluar
rumah karena mengalami nyeri menstruasi (Yamamoto, 2009). Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nagma et al (2015) dimana terdapat
hubungan antara tingkat stres dengan PMS, dan tidak terdapat hubungan stres
dengan durasi haid atau lama siklus haid. Penelitian yang dilakukan terhadap
mahasiswa Jepang oleh Yamamoto et al (2009) diketahui mahasiswa yang
mengalami PMS, nyeri saat menstruasi, dan riwayat siklus haid yang tidak teratur
memiliki skor stres yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tidak
mengalami hal tersebut (Yamamoto, 2009; Nagma, 2015).
Hasil penelitian Yudita et al (2017) menunjukkan bahwa tingkat stres tidak
berhubungan dengan pola siklus menstruasi. Tingkat stres seseorang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan menerka timbulnya kejadian
stres, kemampuan dalam mengendalikan jangka waktu kejadian yang penuh stres,
kemampuan untuk mengevaluasi suatu kejadian stres, kepercayaan diri atas
kemampuan untuk menanggulangi stres, dan adanya dukungan orang lain (Yudita,
2017).

Tabel 2.6 Gangguan Menstruasi (Nazish,2018)

Tabel 2.7 Hubungan stres dengan gangguan menstruasi (Nazish,2018)

70
Dari
tabel
di atas
tampak tidak ada hubungan stres dengan iregular bleeding dan amenore.
Kemungkinan terjadi akibat prolong activation HPO axis oleh stres yang
menyebabkan perubahan hormon sehingga menganggu ovulasi normal dan siklus
menstruasi (Nazish,2018).
Patofisiologi yang menjelaskan hubungan dismenorea dan gangguan menstruasi
adalah stres menyebabkan aktivasi sirkuit stres di hipotalamus yang menyebabkan
hiperalgesia melalui aktivasi syaraf nyeri. (Nazish,2018)
Sementara hubungan stres dengan premenstrual sindrom dikarenakan fungsi
abnormal HPO axis, ketidakseimbangan hormon, nutrisi dan faktor lingkungan
menyebabkan penurunan serotonin mengakibatkan memburuknya gangguan mood
(Nazish,2018).
Kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh Nazish ini adalah sampel yang
kurang dan adanya faktor lain yang mempengaruhi ganggun menstruasi seperti
indeks masa tubuh, penggunaan kontrasepsi oral, kurang tidur, status ekonomi
keluarga. Selain itu data diambil hanya berdasarkan quisioner tidak disertai dengan
pemeriksaan fisik. Rekomendasi dari penelitian ini adalah dilakukan penelitian lain
yang mengeliminasi faktor penyerta seperti indeks masa tubuh, penggunaan pil
kontrasepsi, kurang tidur dan status sosial ekonomi keluarga, aktifitas fisik, diet
ketat, dan tanpa penunjang USG untuk menyingkirkan kelainan anatomis
(Nazish,2018).
Sementara dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sood dkk dan Willey dkk
pada mahasiswa kedokteran menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat stres
dengan gangguan menstruasi. Adanya kesenjangan hasil penelitian ini memerlukan
penelitian lain dengan sampel yang lebih banyak (Nazish,2018).

71
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Stres

Epinefrin

- Emosional Respon Sistem Limbik Hipotalamus GnRH <

- Behavior blokad
e
- Autonomic
CRH
- Endocrine

- Hipofisis FSH <


LH<
-

ACTH

Kelenjar Adrenal Folikulogenesis di


Ovarium terganggu

estrogen <
progesteron <

Endometrium
terganggu

Gangguan terkait menstruasi:


PMS
Gangguan menstruasi
Dismenore

Gambar 3.1 Hubungan stres dengan gangguan menstruasi

72
Dasar pemikiran penelitian ini adalah stres mempengaruhi PVN hipotalamus untuk
menghasilkan Corticotropin Releasing Hormone (CRH), CRH akan merangsang
hipofise anterior untk menghasilkan ACTH. ACTH selanjutnya akan merangsang
korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol. Kortisol selanjutnya akan berikatan
dengan reseptornya di amigdala/sistem limbik untuk menghasilkan neurotransmiter
epinefrin yang akan memblokade produksi GnRH oleh hipotalamus, sehingga
produksi FSH dan LH menurun akibatnya terjadi gangguan folikulogenesis dan
gangguan produksi estrogen dan progesteron yang menyebabkan gangguan
menstruasi.
Kortisol juga mempengaruhi sitem limbik yang merupakan pusat perilaku, respon
emosional dan autonomik. Sehingga ketika kortisol meningkat karena stress maka
akan terjadi respon emosi yang irritable atau mudah marah, cepat lelah dan
berbagai gejala terkait gangguan menstruasi seperti PMS.

3.2 Hipotesis Penelitian


- Ada hubungan tingkat stres dengan gangguan menstruasi pada mahasiswa
kedokteran

73
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


4.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

4.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2019

4.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


4.3.2 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswi fakultas kedokteran
Sampel yang digunakan adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi penelitian, sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
1) Sudah menstruasi
2) Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani
informed consent.
b.Kriteria Eksklusi
1) Wanita dengan Cushing’s syndrome (gumpalan lemak antara
bahu,wajah bulat,stretch mark berwarna pink atau ungu
2) Tidak pernah didiagnosis Policystic Ovaian Syndrom (PCOS)
3) Wanita dengan anoreksia nervosa
4) Alkoholik
5) Obesitas, IMT ≥ 30
6) Underweight jika IMT <18,5
7) Latihan Fisik berat : >60 menit/ sehari

74
8) Tidak pernah didiagnosa tumor ginekologi oleh dokter (mioma,
polip endometrium, adenomiosis)
9) Mahasiswi yang sedang melakukan diet ketat (diet tanpa
karbohidrat dan makan <1x/hari, minum obat diet)

4.3.3 Sampel Penelitian


Untuk menentukan besar sampel digunakan rumus :
n = Zα2 PQ
d2
Keterangan :
n = besarnya sampel
α = tingkat kemaknaan
Pada penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0,05
Dan interval kepercayaan 95%
Dari tabel diperoleh zα = 1,96
P = proporsi gangguan menstruasi (90 %)
Q = 1 – P = 0,1
d = Tingkat ketepatan absolut.
Pada penelitian ini digunakan tingkat ketepatan absolut 10%.
Jadi jumlah sampel minimal adalah :
n =(1,96)2 x 0,9 x 0,1
(0,05 )2
n = 138

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel


1. Sampel penelitian diambil secara simpel random sampling.
2. Pengambilan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi
yang sebelumnya diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat
penelitian ini.
3. Bagi yang bersedia mengikuti penelitian ini dilakukan informed
concent.
4. Melakukan anamnesa dan melengkapi data yang diperlukan.

75
4.5 Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independen) : Tingkat stres
2. Variabel tergantung (dependen) : Gangguan
menstruasi
4.6 Definisi Operasional
1. Stres
a. Definisi : respon non spesifik tubuh atau reaksi
terhadap rangsangan, kejadian yang mengganggu
dalam lingkungan
b. Cara ukur : Anamnesis
c. Alat ukur : Kuisioner MSSQ
d. Hasil ukur :
- Stres ringan skor : >0-1,00
- Stres sedang : 1,01-2,00
- Stres berat : 2,01-3,00
- Stres sangat berat : 3,01-4
- Tidak stres :0
e. Skala ukur : Ordinal

2. Gangguan interval
a. Definisi : interval menstruasi kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari
b. Cara ukur : Anamnesis
c. Alat Ukur : Kuisioner
d. Hasil Ukur
- Oligomenore : Interval perdarahan lebih dari 21 hari
- Polimenore : Interval perdarahan kurang dari 35 hari
- Normal : interval haid 21-35 hari
e. Skala ukur : Ordinal

3. Keteraturan siklus/Variasi

76
a. Definisi : Variasi siklus ke siklus >20 hari
b. Cara ukur : Anamnesis
c. Alat ukur : Kuisioner
d. Hasil ukur
- Siklus menstruasi teratur : variasi siklus ke siklus < 20 hari
- Siklus menstruasi tidak teratur : variasi siklus ke siklus > 20 hari
e. Skala ukur : nominal
4.Gangguan durasi
a. Definisi : menstruasi yang kurang dari 3 hari atau lebih dari 8 hari
b. Cara ukur : anamnesis
c. Alat ukur : Kuisioner
d. Hasil ukur :
- Prolong menstrual bleeding : menstruasi lebih dari 8 hari
- Shortened menstrual bleeding : menstruasi kurang dari 3 hari
- Normal : mesntruasi 3-8 hari
e. Skala ukur : Ordinal

5. Jumlah darah menstruasi


a. Definisi : Kehilangan
darah berlebihan saat
menstruasi, >80 ml
(>5 pembalut)
b. Cara ukur : anamnesis
c. Alat ukur : kuisioner
d. Hasil ukur
- Hipermenore : >5 pad/hari
- Hipomenore : <2 pad/hari
- Amenore : tidak keluar menstruasi dalam 3 bulan terakhir
- Normal : 2-5 pad/hari
e. Skala ukur : Ordinal

6. Premenstrual Syndrom (PMS)

77
a. Definisi : gejala perilaku, sikap, dan psikologi yang dialami pada fase luteal silkus
menstruasi yang biasanya berakhir setelah menstruasi selesai
b. Cara Ukur : Ananmesis
c. Alat ukur : Kuisioner
d. Hasil ukur :
- Tidak PMS : skor 22
- PMS : skor 23-88
e. Skala ukur : Nominal

7. Dismenorea
a. Definisi : Dismenorea adalah nyeri spasmodik di daerah hipogastrik
dan lumbal antara, sebelum dan selama menstruasi dimana tidak
ditemukan penyebab organik yang berlangsung selama minimal 6
bulan.
b. Cara ukur : Anamnesis
c. Alat ukur : Skala nyeri Wong Baker
d. Hasil ukur
- Dismenorea : skor >2
- Tidak Dismenorea : skor <2
e. Skala ukur : Nominal

4.6 Alat dan Bahan


a. Lembar persetujuan penelitian dan formulir penelitian.
b. Timbangan berat badan pijak merek Zeta (alat ukur berat badan/kg).
c. Alat ukur tinggi badan (cm) merek Xenical dengan cara ditempelkan
ke dinding dan subjek penelitian menyandar ke dinding dan diukur
dari atas ke bawah
d. Ultrasonografi (USG) merek Voluson P6
e. Kuisioner penelitian

4.7 Prosedur Penelitian

78
Mahasiswi baru fakultas kedokteran tahun ke 2 diberikan penjelasan secara
terperinci mengenai maksud, tujuan, prosedur dan manfaat penelitian. Setelah
diberi penjelasan dan dimengerti, kemudian diminta kesediaannya menjadi subjek
penelitian dengan menandatangani blanko pernyataan bersedia ikut penelitian dan
informed consent tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun.
Bagi mahasiswi yang bersedia menjadi subjek penelitian dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Sampel mengisi formulir penelitian.
2. Bagi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dilanjutkan untuk
pemeriksaan klinis dan penunjang (USG)
3. Mahasiswi diberikan kuisioner dengan jujur
Kuesioner merupakan alat ukur berupa angket dengan beberapa pertanyaan,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner mampu menggali hal-hal
yang bersifat rahasia. Pembuatan kuesioner ini mengacu pada parameter yang sudah
dibuat oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang sesuai dengan penelitian yang akan
dilakukan. Adapun kuesioner ini dibagi dalam tiga bagian:
a. Bagian pertama tentang data demografi meliputi: nama (inisial), usia, alamat dan
usia menarche.
b. Bagian kedua tentang gangguan menstruasi yang bertujuan untuk mengetahui
bagaimana menstruasi yang dialami mahasiswi yang akan diteliti
c. Bagian ketiga tentang tingkat stres, yang bertujuan untuk mengambarkan
bagaimana tingkat stres yang dialami mahasiswi. Tingkat stres diukur dengan
menggunakan kuisioner MSSQ. Semua data yang telah terkumpul ditabulasi dan
diolah secara statistik untuk melihat korelasi antar variabel dengan uji statistik
korelasi-regresi.

4.8 Pengolahan dan Analisis Data


4.8.1 Pengolahan Data
Teknik pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan penghitungan
komputerisasi program SPSS (Statistical Package of Social Science ) versi 20.0.
Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data (Editing)

79
Data yang dibutuhkan diperiksa kelengkapannya, kejelasan tulisannya, kejelasan
maknanya, dan keseragaman kesatuan data tersebut
b. Membuat Kode (Coding)
Data yang telah didapat dibuat dalam bentuk kode agar analisis dan penyimpanan
data lebih mudah.
c. Penyajian Data (Entering)
Data dimasukkan ke dalam program SPSS (Statistical Package of Social Science)
secara single entry
d. Pembersihan Data (Cleaning)
Memastikan kembali data yang telah didapat tidak terdapat kesalahan dalam
pengkodean ataupun pembacaan kode dengan memeriksa kembali.

4.8.2 Analisis Data


Data yang diperoleh akan diolah dengan program komputer yaitu, SPSS versi 20.0,
dengan tahapan :
a. Data karakteristik sampel dianalisis secara deskriptif dan akan disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
b. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan analisis bivariat untuk
menganalisa hubungan variabel dependen (stres) dan variabel independen
(gangguan menstruasi). Analisis dilakukan menggunakan uji X2 atau uji chi-
square dengan derajat kemaknaan 0,05. Bila nilai p ≤ α (0,05) berarti hasil
perhitungan statistik bermakna.

4.9 Etika Penelitian


Penelitian dilakukan setelah ethical clearance keluar atau setelah mendapat
persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang.

80
BAB 5
HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian terhadap 141 responden yang merupakan mahasiswa


kedokteran untuk mengetahui tingkat stres dan gangguan menstruasi pada
mahasiswa kedokteran.

5.1 Karakteristik Responden Penelitian


Karakteristik responden penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut:
Tabel 5.1 Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik Mean ± SD f (%)
1 2 3
Umur 19,2 ± 0,86
BMI 22,3 ± 3,04
Konsumsi alkohol
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)
Riwayat trauma
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)
Riwayat cushing
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)
Riwayat anoreksia
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)
Riwayat gangguan haid
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)
Organisasi
- Tidak aktif 39 (27,7%)

81
- Aktif 102 (72,3%)
Kelainan ginekologi
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)
Kelainan hasil USG
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)

1 2 3

Diet ketat
- Ya 0 (0%
- Tidak 141 (100%)
Olahraga berat
- Ya 0 (0%)
- Tidak 141 (100%)

Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa rerata umur responden 19,2 ± 0,86 tahun,
rerata BMI 22,3 ± 3,04, tidak ada responden yang mengkonsumsi alkohol (0%),
tidak ada yang memiliki riwayat trauma (0%), tidak ada dengan riwayat cushing
(0%), tidak ada dengan riwayat anoreksia (0%), tidak ada dengan riwayat gangguan
haid (0%), lebih dari separuh yaitu 102 responden (72,3%) aktif dalam kegiatan
organisasi, tidak ada responden yang memiliki kelainan ginekologi (0%), tidak ada
responden yang menunjukkan adanya kelainan organik berdasarkan hasil USG
(0%), tidak ada responden yang melakukan diet ketat (0%), tidak ada responden
yang melakukan olahraga berat (0%).

82
5.2 Distribusi Tingkat Stres pada Mahasiswa Kedokteran
Distribusi tingkat stres mahasiswa kedokteran dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut:
Tabel 5.2 Distribusi Tingkat Stres pada Mahasiswa Kedokteran
Karakteristik (f) (%)
Tingkat stres
- Ringan 15 10,6
- Sedang 60 42,6
- Berat 63 44,7
- Sangat berat 3 2,1

Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa sebanyak 63 responden (44,7%) berada


pada tingkat stres kategori berat, 60 responden (42,6 % berada pada tingkat stress
sedang, 15 responden (10,6%) berada pada tingkat stress ringan, dan 3 responden
(2,1%) berada pada tingkat stress sangat berat.

5.3 Distribusi Gangguan Menstruasi pada Mahasiswa Kedokteran


Distribusi gangguan menstruasi yang dialami oleh mahasiswa kedokteran dapat
dilihat pada Tabel 5.3 berikut:
Tabel 5.3 Distribusi Gangguan Menstruasi pada Mahasiswa Kedokteran
Karakteristik (f) (%)
Gangguan interval
- Oligomenore 9 6,4
- Polimenore 16 11,3
- Normal 116 82,3
Keteraturan siklus/ Variasi Haid
- Ireguler 26 18,4
- Reguler 115 81,6
Gangguan Durasi Haid
- Prolong 8 5,7
- Shortened 4 2,8
- Normal 129 91,5
Jumlah darah haid

83
- Hipermenore 2 1,4
- Hipomenore 12 8,5
- Normal 127 90,1
PMS
- PMS 118 83,7
- Tidak PMS 23 16,3
Dismenore
- Dismenore 116 82
- Tidak dismenore 25 18

Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa sebanyak 116 responden (82,3%) dengan
interval menstruasi normal, sebagian besar responden yaitu 115 responden (81,6%)
mengalami variasi menstruasi teratur, sebagian besar responden yaitu 129
responden (91,5%) mengalami durasi menstruasi normal, sebanyak 127 responden
(90,1%) dengan volume darah normal, 118 responden (83,7 %) mengalami PMS
dan 116 responden (82%) mengalami dismenore.

5.4 Hubungan Tingkat Stres dengan Gangguan Menstruasi pada Mahasiswa


Kedokteran
Hubungan tingkat stres dengan interval atau frekuensi haid dapat dilihat pada Tabel
5.4 berikut:

Tabel 5.4 Hubungan Tingkat Stres dengan Interval atau Frekuensi Haid
Interval Haid
Tingkat Stres p-value
Oligomenore Polimenore Normal
Ringan 1 (6,7%) 4 (26,7%) 10 (66,7%) 0,51
Sedang 3 (5%) 5 (8,3%) 52 (86,7%)
Berat 5 (7,9%) 7 (11,1%) 51 (81%)
Sangat berat 0 (0%) 0 (0%) 2 (100%)

84
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa pada tingkat stres ringan sebanyak 10
responden (66,7%) dengan frekuensi haid normal, sebagian besar responden dengan
tingkat stres sedang yaitu 52 responden (86,7%) mengalami frekuensi haid normal,
sebanyak 51 responden (81%) dengan frekuensi haid normal, dan semua responden
dengan tingkat stres sangat berat yaitu 3 responden (100%) mengalami frekuensi
haid normal. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna
antara tingkat stres dengan frekuensi haid dengan p-value 0,51 (p>0,05).
Hubungan tingkat stres dengan variasi haid dapat dilihat pada Tabel 5.5 berikut:
Tabel 5.5 Hubungan Tingkat Stres dengan variasi haid
Variasi Haid
Tingkat Stres p-value
Ireguler Reguler
Ringan 3 (20%) 12 (80%) 0,71
Sedang 13 (21,7%) 47 (78,3%)
Berat 10 (15,9%) 53 (84,1%)
Sangat berat 0 (0%) 3 (100%)

Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa sebagian besar responden dengan tingkat
stres ringan yaitu 12 responden (80%) mengalami variasi haid reguler, pada tingkat
stres sedang sebanyak 47 responden (78,3%) dengan variasi haid reguler, pada
tingkat stres berat 53 responden (84,1%) dengan variasi haid reguler, dan pada
tingkat stres sangat berat 3 responden (100%) dengan variasi haid reguler. Hasil uji
statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat stres
dengan variasi haid dengan p-value 0,71 (p≤0,05).
Hubungan tingkat stres dengan durasi haid dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut:

Tabel 5.6 Hubungan Tingkat Stres dengan Durasi Haid


Durasi
Tingkat Stres p-value
Memanjang Memendek Normal
Ringan 1 (6,7%) 2 (13,3%) 12 (80%) 0,06
Sedang 4 (6,7%) 1 (1,7%) 55 (91,7%)
Berat 2 (3,2%) 1 (1,6%) 60 (95,2%)
Sangat berat 1 (33,3%) 0 (0%) 2 (66,7%)

85
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa sebagian besar responden dengan tingkat
stres ringan yaitu 12 responden (80%) memiliki durasi haid normal, sebagian besar
responden dengan tingkat stres sedang yaitu 55 responden (91,7%) mengalami
durasi haid normal, sebanyak 60 responden (95,2%) dengan tingkat stres berat
mengalami durasi haid normal, dan 2 responden (66,7%) dengan tingkat stres
sangat berat memiliki durasi haid normal. Hasil uji statistik menunjukkan tidak
terdapat hubungan bermakna antara tingkat stres dengan durasi haid dengan p-value
0,06 (p>0,05).
Hubungan tingkat stres dengan volume darah dapat dilihat pada Tabel 5.7 berikut:
Tabel 5.7 Hubungan Tingkat Stres dengan Volume Darah
Volume Darah
Tingkat Stres p-value
Hipermenore Hipomenore Normal
Ringan 0 (0%) 3 (20%) 12 (80%) 0,23
Sedang 0 (0%) 2 (3,3%) 58 (96,7%)
Berat 2 (3,2%) 7 (11,1%) 54 (85,7%)
Sangat berat 0 (0%) 0 (0%) 3 (100%)

Berdasarkan Tabel 5.7 diketahui bahwa sebagian besar responden dengan tingkat
stres ringan yaitu 12 responden (80%) memiliki volume darah haid normal, hampir
seluruh responden dengan tingkat stres sedang yaitu 58 responden (96,7%)
memiliki volume darah normal, sebagian besar responden dengan tingkat stres berat
yaitu 54 responden (85,7%) memiliki volume darah haid normal, dan semua
responden dengan tingkat stres sangat berat yaitu 3 responden (100%) memiliki
volume darah haid normal. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan
bermakna antara tingkat stres dengan variasi haid dengan p-value 0,23 (p<0,05).
Hubungan tingkat stres dengan kasus PMS dapat dilihat pada Tabel 5.8 berikut:
Tabel 5.8 Hubungan Tingkat Stres dengan PMS
PMS
Tingkat Stres p-value
PMS Tidak PMS
Ringan 8 (53,3%) 7 (46,7%) 0,008
Sedang 53 (88,3%) 7 (11,7%)

86
Berat 54 (85,7%) 9 (14,3%)
Sangat berat 3 (100%) 0 (0%)

Berdasarkan Tabel 5.8 diketahui bahwa pada tingkat stres ringan sebanyak 8
responden (53,3%) mengalami PMS, pada tingkat stres sedang 53 responden
(88,3%) mengalami PMS, pada tingkat stres berat 54 responden (85,7%) dengan
PMS, dan pada tingkat stres sangat berat 3 responden (100%) mengalami PMS.
Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara tingkat stres
dengan kejadian PMS dengan p-value 0,008 (p≤0,05).
Hubungan tingkat stres dengan kasus dismenore dapat dilihat pada Tabel 5.9
berikut:
Tabel 5.9 Hubungan Tingkat Stres dengan Dismenore
Dismenore
Tingkat Stres p-value
Dismenore Tidak Dismenore
Ringan 6 (40%) 9 (60%) 0,0001
Sedang 45 (75%) 15 (25%)
Berat 62 (98,4%) 1 (1,6%)
Sangat berat 3 (100%) 0 (0%)

Berdasarkan Tabel 5.9 diketahui bahwa pada tingkat stres ringan sebanyak 9
responden (60%) tidak mengalami dismenore, pada tingkat stres sedang 45
responden (75%) mengalami dismenore, pada tingkat stres berat 62 responden
(98,4%) dengan dismenore, dan pada tingkat stres sangat berat 3 responden (100%)
mengalami dismenore. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan
bermakna antara tingkat stres dengan kejadian dismenore dengan p-value 0,0001
(p≤0,05).

87
BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Responden


Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rerata umur responden yaitu 19,2 ±
0,86 tahun dan rerata BMI berada dalam rentang normal yaitu 22,3 ± 3,04.
Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini tidak memiliki riwayat trauma,
tidak ada riwayat cushing, riwayat anoreksia, riwayat gangguan haid, kelainan
ginekologi, kelainan dari hasil USG, tidak melakukan diet ketat, serta tidak
melakukan olahraga berat.
6.2 Tingkat Stres pada Mahasiswa Kedokteran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 63 responden (44,7%) memiliki tingkat
stres kategori berat dan 60 responden (42,6%) berada pada tingkat stres kategori
sedang. Stres diinterpretasikan dengan cara yang berbeda antar individu. Hal ini
senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Monro tahun 2011 terhadap
mahasiswa kedokteran dimana didapatkan 91,9% mahasiswa mempunyai tingkat
stress yang tinggi, 5,8% mempunyai tingkat stres sedang dan 1,8% mempunyai
tingkat stres rendah.
Hasil yang sama juga pada penelitian di Saudi Arabia terhadap 1200 mahasiswa
kedokteran dimana 47,9% mengalami stres berat, sementara penelitian di Malaysia
50% mahasiswinya mengalami stress berat (Nazish, 2018).
6.3 Gangguan Menstruasi pada Mahasiswa Kedokteran
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden tidak
mengalami gangguan menstruasi. Dari frekuensi haid 82,3% menunjukkan
frekuensi normal, berdasarkan variasi haid sebanyak 81,6% reguler, sebanyak
91,5% dengan durasi haid normal, dari segi volume darah 90,1% menunjukkan
volume normal, akan tetapi untuk PMS sebanyak 83,7% responden mengalami
PMS dan 82% mengalami dismenorea.
Hal ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rafique (2018) dimana
lebih dari separuh responden (65,8%) dengan volume darah normal, sebanyak
70,8% dengan durasi haid normal, variasi haid regular ditemukan pada 71,1%

88
responden, akan tetapi PMS tidak melebihi dari separuh responden seperti yang
ditemukan dalam penelitian ini yaitu 46,7% dan 87,9% mengalami dismenore.
Begitu juga dengan hasil penelitian Yudita et al (2017) dimana 92% mahasiswa
mengalami siklus haid normal (Yudita, 2017; Rafique, 2018).
Sejumlah hasil penelitian mengemukakan bahwa wanita pada usia reproduksi
mengalami masalah yang berhubungan dengan menstruasi seperti PMS, nyeri saat
menstruasi, dan siklus menstruasi yang tidak teratur. Diperkirakan sekitar 40%
wanita mengalami PMS ringan, dan 40% lainnya mengalami PMS berat hingga
membutuhkan pertolongan medis. Hasil survei pada populasi menunjukkan 79%
remaja putri berusia 18 tahun memiliki riwayat nyeri saat menstruasi, dan 21%
remaja putri berusia 16 tahun tidak bisa keluar rumah karena mengalami nyeri
menstruasi (Yamamoto, 2009).
Beberapa literatur menyatakan bahwa pola hidup seperti merokok, konsumsi
alkohol, olahraga berat, kebiasaan diet, faktor fisik seperti BMI dan faktor-faktor
yang berkaitan dengan menstruasi (usia menarche, durasi menstruasi) berhubungan
dengan PMS, nyeri menstruasi, dan siklus menstruasi yang tidak teratur. Di
samping faktor-faktor tersebut stres psikososial juga dapat mempengaruhi masalah
yang berkaitan dengan menstruasi (Yamamoto, 2009).
6.4 Hubungan Tingkat Stres dengan Gangguan Menstruasi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat stres memiliki hubungan yang
bermakna dengan PMS dan dismenore. Sedangkan gangguan menstruasi terkait
frekuensi haid, durasi haid, dan volume darah tidak dipengaruhi oleh tingkat stres
secara statistik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nagma et al
(2015) dimana terdapat hubungan antara tingkat stres dengan PMS, dan tidak
terdapat hubungan stres dengan durasi haid atau lama siklus haid. Penelitian yang
dilakukan terhadap mahasiswa Jepang oleh Yamamoto et al (2009) diketahui
mahasiswa yang mengalami PMS, nyeri saat menstruasi, dan riwayat siklus haid
yang tidak teratur memiliki skor stres yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa
yang tidak mengalami hal tersebut (Yamamoto, 2009; Nagma, 2015).
Hasil penelitian Yudita et al (2017) menunjukkan bahwa tingkat stres tidak
berhubungan dengan pola siklus menstruasi. Tingkat stres seseorang dapat

89
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan menerka timbulnya kejadian
stres, kemampuan dalam mengendalikan jangka waktu kejadian yang penuh stres,
kemampuan untuk mengevaluasi suatu kejadian stres, kepercayaan diri atas
kemampuan untuk menanggulangi stres, dan adanya dukungan orang lain (Yudita,
2017).
Suatu hasil penelitian menyatakan bahwa stres berhubungan dengan nyeri
menstruasi. Namun penelitian lain menemukan bahwa stres memiliki pengaruh
yang sedikit terhadap gangguan menstruasi. Dalam penelitian (Yamamoto 2009)
walaupun mahasiswa yang mengalami nyeri menstruasi memiliki skor stres yang
lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tidak mengalami nyeri, skor stres dalam
analisis multivariat tidak berhubungan dengan nyeri menstruasi. Dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa usia menarche merupakan prediktor yang signifikan
terhadap nyeri menstruasi. Dimana usia menarche yang lebih awal berisiko
meningkatkan peluang seseorang mengalami nyeri menstruasi (Yamamoto, 2009).
Stresor merupakan faktor pencetus dari berbagai penyakit atau masalah kesehatan.
Salah satu efek yang ditimbulkan yaitu terjadinya gangguan pada menstruasi.
Dalam mempengaruhi menstruasi stres melibatkan sistem neuroendokrinologi yang
berperan dalam sistem reproduksi wanita. Korteks adrenal terdiri dari 3 zona yaitu
glomerolusa (bagian luar), fasciculata (bagian tengah) dan retikularis (penghasil
kortisol dan androgen). Antara hipotalamus dan korteks adrenal terdapat jalur
efferen yang memungkinkan stres dapat merangsang sekresi CRH oleh
hipotalamus, CRH akan merangsang sekresi ACTH oleh hipofisis anterior. ACTH
akan merangsang korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Kortisol yag tinggi
akan masuk ke sirkulasi menekan pertumbuhan sel imun tubuh dan mempengaruhi
pengeluaran neurotransmiter adrenalin yang mengakibatkan blokade sekresi GnRH
sehingga terjadi gangguan produksi FSH dan LH yang mengakibatkan gangguan
menstruasi. Disamping itu stress juga mempengaruhi system limbik yang
merupakan pusat perilaku dan respon emosional seseorang terhadap rangsangan.
Ketika seseorang berada dalam stress berat maka hormone kortisol didalam tubuh
akan meningkat dan akan mempengaruhi sitem limbik untuk menekan produksi
hormone endorphin yang dikenal sebagai hormone kebahagiaan, sehingga

90
seseorang tersebut akan mudah marah, mudah lelah dan mudah putus asa (Reichlin,
2012).

91
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
1. Sebanyak 63 responden (44,7%) berada pada tingkat stres kategori berat, 60
responden (42,6%) berada pada tingkat stres sedang, 15 responden (10,6%)
pada tingkat stres ringan, dan 3 responden (2,1%) dengan stres sangat berat.
2. Sebanyak 116 responden (82,3%) dengan frekuensi menstruasi normal,
sebagian besar responden yaitu 115 responden (81,6%) mengalami variasi
menstruasi reguler, sebagian besar responden yaitu 129 responden (91,5%)
mengalami durasi menstruasi normal, sebanyak 127 responden (90,1%)
dengan volume darah normal, lebih dari separuh yaitu 118 responden
(83,7%) mengalami PMS dan 116 responden (82%) mengalami dismenore.
3. Tingkat stres tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan interval atau
frekuensi haid, variasi haid, durasi haid, dan volume darah. Akan tetapi
tingkat stres memiliki hubungan yang bermakna dengan PMS dan
dismenore.

7.2 Saran
1. Diperlukan pemeriksaan hormonal untuk mengkonfirmasi
hubungan stress dengan PMS dan dismenore
2. Mahasiswa kedokteran perlu diberikan konseling psikologi dan
konseling ginekologi sedini mungkin untuk menghindari komplikasi
penyakit di masa yang akan datang

92
DAFTAR PUSTAKA

Allen Foulad. Pituitary Gland Anatomy. 2015. Publisher : Medscape


www.medscape.com/Pituitary Gland Anatomy- diakses tanggal 12 Oktober 2018
Annie E.Newell-Fugate, Jessica N.Taibl, Muhammad Allosh. Effects of obesity and
Metabolic Syndrome on stereogenesis and folliculogenesis in te female ossabaw
mini pig.PLOS ONE. Spain ; 2015. p.1-18
Backman & Lings (2014 a). Amenorrhea and Abnormal Uterine Bleeding. In
Obstetrics and Gynecology text book. 8th edition. Philadeplia : Walters Kluwer;
Chap.39 p-808-20
Backman & Lings(2014 b). Reproductive cycle in Reproductive Endocrinology
and Infertility. In Obstetrics and Gynecology text book. 8 th edition. Philadeplia :
Walters Kluwer Chap.37 p-781-805
Bogdan F. Covaliu, Norina Predescu, Sebastian M. Armean, Costin minoiu. Stress
as a risk factor for menstrual disorders. HVM Bioflux. Romania : HVM;
2017.Vol.9 p.6-10
Carbon RJ: The Female Athlete dalam Textbook of Science and Medicine in Sport.
Edited by : Bloomfield, J, Fricker, Fitch, Blackwell Scientific Publication.2015.p-
467-87
Carr,D.Umberson,D.The Social psycological of Stress, health, and coping. In
DeLameter,J& Ward,A. Handsbook of Social Psychology.2013. Nederland;
Springer: p.465-87
Efthimios Deligeoroglou, Nikolaos Athanasopoulos, Pandelis Tsimaris,
Konstantinos D Dimopoulos. Evaluation and Management of Adolescent
amenorrhea. Acad.Sc. NY; 2010
Firman F Wirakusumah, Johannes C Morse, Sofie, et al. Anatomi Organ Genitalia
interna. Jakarta. Publisher : EGC; 2015 p.7-20
Gary Cunningham, Leveno, BloomHAuth, Rouse, Spong. Williams Obstetrics. 25 th
edition. Philadelpia. McGraw Hill : 2018; Chap.3; p.37-7
Gale,Laura. Anxiety and Depression Assessment : Using the Depression
Anxiety Stress Scale.2015.Cinahal: CA;p1-5

93
Gaol, Lumban. Teori Stres : Stimulus, Respon, dan Transaksional. 2016. Buletin
psikologi; Taiwan: Vol.24 No.1, p1-11
Gibney, Michael J, Margetts, Barrie M, Kearney, John M, Arab, Lenore. Gizi
Kesehatan Masyarakat. Jakarta. EGC; 2014
Greenspan, Francis S, Gardner,David G. Basic clinical endocrine. 7 th edition. San
Fransisco : McGrow-Hill; 2014p-515-34
Hani Rimiawi. Hypothalamus Anatomy. 2017. Medscape
www.medscape.com/hypothalamus anatomy-diakses tanggal 12 Oktober 2018
HIFERI. Konsensus tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal Karena Efek
Samping Kontrasepsi. Jakarta : POGI; 2014
Jackson Nteeba, Shanthi Ganesan, Aileen F Keating. Progressive obesity alters
ovarian folliculogenesis with impact on pro inflammatory and stereogenic
signaling. In Female mice. ISSN Society for Study of Reproduction; 2014. article
86
Jayanthi, P, Thirunavukarsu,M &Rajkumar. Academic stress and depression among
adolescents: A cross sectional study. 2015. Indian Pediatrics : 52(3) p 217-9
Jerome F.Strauss, Garret. Steroid Hormones and Other Lipid Molecules Involved.
In Human Reproduction in textbook Yen & Jafee’s Endocrinology Reproduction.
8th edition. Philadelpia : Elsevier; 2019.Chap.4 P-75-93
Laura M Gottschlich. Craug C Young, dkk. Female Athlete Triad. 2017.
www.Medscape/Female Athlet Triad - diakses tanggal August 24
Laura Stefani, Giogia Galanti, Silvia Lorini, Giada Beni, Metella Dei, Nicola
Matfulli. Female athlete and menstrual disorder a pilot study. 2016.
Muscle,ligament and tendons Hournal : 6(2); p.183-87
Lawrence Impey. The menstrual cycle and its disorders. In Obstetrics &
Gynaecology Text book. 5th edition. 2017. UK: John Willey Chap.2 p-9-21
Leon Speroff. Menstrual Cycle Regulation. In Clinical Gynecologic Endocrinology
and Fertility. Eight edition. Philadelpia: Walters Kluwer; 2015 Chap. 6
Marc A. Fritz, Leon Spheroff. Regulation of Menstrual Cycle in text book Clinical
Gynaecology Endocrinology and Infertility. 8th edition. Philadelpia : Lippincot
Walters Kluwer; 2015. Chap.6 : p.200-30.

94
Monro MG, Fraser IS. The FIGO Classification of causes of abnormal uterine
bleeding in reproductive years. Fertility and sterility; 2011. (95)7
Mostafa Rad, Marzieh, Zahra. Association Between Menstrual Disorder and
Obesity- Related Anthropometric Indices in Female High School Students : A
Cross-Sectional Study. Int J School Health. 2018; 5(2) p.1-8
Muhammad Saiful. The Medical Student Stressor Questionner (MSSQ) Manual.
2014.
Nagma S. Kapoor,G Bharti, R. Batra, A, Aggarwal, A. & Sablok, A. To Evaluate
the Effect of Perceived Stress on Menstrual Function. Journal of Clinical and
Diagnostic Research, 9, QC01-QC03.
Nazish Rafique, Mona. Prevalence of menstrual problems and their association with
psychological stress in young female students studying health sciences. Saudi Med
J. 2018; Vol.39(1) p.67-73
Neil Schneiderman, Gail Ironson & Scott D. Siegel. Stress & Health :
Psychological, behavioral & biological determinants. Annu Rev Clin Psychol.
2008.
Peterson DH, Jones GR, Rice CL. Aging and Physical Activity : Evidence to
Develop Exercise Recommendations for Older Adults. Applied Physiology,
Nutrition and Metabolism. 2015
Philip Bannet. Endocrinology In Basic science in Obstetrics & Gynaecology a
textbook for MRCOG part 1. 4th edition. Totonto: Elsevier;.2010 Chap.11 p-232-
45
Pinel, J. P. J. 2009. Biopsikologi.Ed. 7. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hal 557-565
Rafique, N. & Al-Sheikh, M.H. 2018. Prevalence of menstrual problems and their
association with psychological stress in young female students studying health
sciences. Saudi Med J, 39, 67-73.

Reed BG, Carr BG. The normal Menstrual cycle and the control of Ovulation.
Philadelpia. Publisher : Mc. Graw-Hills; 2018 www.Researchgate/MSSQ-diakses
tanggal 120 November 2018
S.Reichlin. Hypothalamus and Pituitary Neuroendocrine textbook. WB. Sander
Company; 2012. p.135-205

95
Tombokan, K.C., Pangemanan, D.H.C & Engka, J.N.A. 2017. Hubungan antara
Stres dan Pola Siklus Menstruasi pada Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Madya (co-
assistant) di RSUP Prof.Dr.R.D. Kandou Manado Jurnal e-Biomedik, 5, 1-7.
Vishwanath. Hormone export not mediated by membrane vesicle. In Basic &
Clinical Endocrinology.7th editon. Philadelpia. Lippincot; 2014. p.53-8
Yamamoto, K., Okazaki,A.SakamotoA, Y.& Funatsu. 2009. The Relationship
between Premenstrual Symptoms, Menstrual Pain, Irregular Menstrual Cycles, and
Psychosocial Stress among Japanese College Students J Physiol Anthropol, 28,
129-136.
Yudinita, N.A., Yanis A & Iryani.2017. Hubungan antara Stres dengan Pola Siklus
Menstruasi Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Jurnal Kesehatan
Andalas, 6, 299-304.
WHO. Physical Activity In Guide to Community Preventive Service World Health
Organization. 2014 www.WHO/Physical Activity In Guide to Community
Preventive Service.com- diakses tanggal 29 November 2018

96
Lampiran 1

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :................................................................................
Umur :................................................................................
Setelah mendapatkan keterangan sepenuhnya dan memahami penelitian yang
berjudul :

HUBUNGAN STRES DENGAN GANGGUAN MENSTRUASI PADA


MAHASISWA KEDOKTERAN

Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dan bersedia berperan serta dalam


penelitian tersebut diatas dan bila suatu waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk
apapun, saya akan mengundurkan diri dan membatalkan persetujuan ini.
Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran tampa unsur
paksaan atau tekanan apapun.
Padang, ...............................
2019
Peneliti Yang menyatakan

(dr. Madona Utami Dewi) ( )

Saksi

1..................................... 2...............................................

97
Lampiran 2
Formulir Penelitian
HUBUNGAN STRES DENGAN GANGGUAN MENSTRUASI PADA
MAHASISWA KEDOKTERAN

No. Penelitian :
Identitas :
 Nama :
 Umur :
 Semester :
 No. HP :
 Tanggal periksa :
 Alamat :
 Tinggi badan : ………….. cm
 Berat badan : …………. kg
 BMI : ………….
 Alkoholik : Ya / Tidak
 Riwayat trauma akut : Ya / Tidak
 Riw. Cushing syndrome : Ya / Tidak
 Pernah dinyatakan PCOS oleh dokter : Ya / Tidak
 Riw. Anoreksia nervosa : Ya / Tidak
 Gangguan siklus haid : Ya / Tidak
 Kegiatan organisasi yang diikuti :
 Pernah didiagnosis kelainan ginekologi : Ya/Tidak
 Apakah sedang diet ketat (makan besar 1x/hari, minum obat diet) :
Ya/Tidak
 Aktivitas Fisik berat (>60 menit/hari) : Ya/Tidak
 HPHT
 Hasil Pemeriksaan Fisik (diisi dokter) :

98
Lampiran 3
Pernyataan di dalam kuisioner ini menyatakan keadaan mana yang dapat
menyebabkan stres pada anda. Terdapat 4 jawaban untuk setiap pertanyaan yaitu :
0 : tidak menimbulkan stres
1 : sedikit menimbulkan stres
2 : cukup menimbulkan stres
4 : sangat anyak menimbulkan stres
Untuk pertanyaan yang ditandai (*), artinya jika belum masuk tahap preklinik
(koas/dokter muda), bayangkan saja anda sedang berada dalam kondisi seperti itu.
Bagian A
No. Pernyataan 0 1 2 3 4
1 Tes/ujian
2 Berbicara dengan pasien terkait masalah pribadi
pasien (*)
3 Konflik dengan mahasiswa lain
4 Sistem ujian
5 Kekerasan verbal atau fisik dari mahasiswa lain
6 Keinginan orangtua untuk kuliah di jurusan
kedokteran
7 Keinginan untuk melakukan sesuatu dengan
baik (aku pasti bisa)
8 Materi perkuliahan kurang tersedia dengan baik
(buku terbatas, slide dosen sulit didapat)
9 Konflik personal atau dengan diri sendiri
10 Beban tugas yang berat
11 Berpartisipasi dalam diskusi
12 Jadwal perkuliahan yang padat
13 Partisipasi dalam presentasi di kelas
14 Kurangnya bimbingan dari dosen
15 Merasa tidak mampu dalam suatu hal
16 Ketidak pastian dalam diri (mampukan aku
menjadi dokter?) (*)

99
17 Kurang latihan keterampilan klinis
18 Kurangnya waktu untuk bersama keluarga dan
teman
19 Kompetisi yang ketat dengan mahasiswa lain
20 Kurangnya kemampuan mengajar para dosen
(cara mengajar yang membosankan)
Bagian B
No. Pernyataan 0 1 2 3 4

21 Tidak bisa menjawab pertanyaan dari pasien (*)


22 Tugas yang tidak menyenagkan
23 Kesulitan memahami materi kuliah
24 Mengadapi penyakit yang diderita pasien atau
kematian pasien (*)
25 Mendapat nilai yang jelek
26 Kurangnya motivasi untuk belajar
27 Kurangnya waktu untuk membahas kembali apa
yang telah dipelajari
28 Kekerasan verbal atau fisik dari dosen
29 Seringnya gangguan pekerjaan/belajar dari
orang lain
30 Tidak bisa menjawab pertanyaan dari dosen
31 Konflik dengan dosen
32 Tidak ingin kuliah di fakultas kedokteran
33 Merasa banyak hal yang harus dipelajari
34 Harus melakukan sesuatu dengan baik
(misalnya kerja kelompok tapi orang lain tidak
pernah bekerja dan hanya anda yang bekerja dan
anda merasa harus mengerjakan itu dengan
baik)

100
35 Dosen tidak memberikan masukan (feeback)
yang cukup selama kuliah
36 Pemberian nilai ujian yang tidak adil (teman
yang biasa-biasa saja mendapat nilai bagus)
37 Kurangnya apresiasi/ tidak dihargai atas
pekerjaan yang telah anda selesaikan dengan
dengan baik)
38 Menegerjakan sesuatu dengan komputer
39 Kekerasan verbal atau fisik dari diri sendiri
40 Beban tanggung jawab dalam keluarga

101
Lampiran 4
TIPE GANGGUAN SIKLUS MENSTRUASI
GANGGUAN INDIKATOR BATAS NORMAL KONDISI
MENSTRUASI KLINIK PASIEN
Frekuensi menstruasi Sering <21
(hari) Normal 21-35
Jarang >35
Keteraturan siklus
menstruasi, variasi dari Reguler Variasi ± 2-20 hari
siklus ke siklus selama 12 Ireguler Variasi >20
bulan (hari)
Durasi (hari) Memanjang >8 hari
Normal 3-8 hari
Memendek <3 hari
Volume kehilangan darah Sedikit <50 cc (<2
perbulan (ml) pembalut/hari)
Normal 50-80 cc (52-3
pembalut/hari)
Banyak >80 cc (>5
pembalut/hari)

NB : Kolom kondisi pasien di centang

102
Lampiran 5
Kuisioner untuk penilainan PMS dengan DSM-IV

Instruksi :
Di bawah ini adalah gejala yang akan terjadi sebelum menstruasi (7-10 hari
menjelang menstruasi) dan berakhirnya pada waktu menstruasi
1= gejala tidak dirasakan
2= keluhan ringan namun tidak menganggu
3= Keluhan sedang dan agak menganggu
4= Keluhan berat dan sangat menganggu

Pernyataan 0 1 2 3 4
Perasaan tertekan, tak berguna, pikiran rendah diri
yang nyata :
1. Saya tiba-tiba merasa sedih dan putus asa
menjelang haid
2. Rasanya saya makhluk yang [aling tak berguna
Kecemasan ata ketegangan yang nyata, perasaan
terasingkan atau terpinggirkan
3. Saya merasa cemas dan tegang
4. Menjadi tidak tenang dan gelisah
Perubahan afek yang bermakna
5. Tiba-tiba merasa sedih dan ingin menangis
6. Saya menjadi mudah tersinggung
Iritabilitas yang nyata dan persisten atau
meningkatnya konflik interpersonal
7. Saya mudah marah dan jengkel
Penurunan ketertarikan pada aktivitas rutin
(pekerjaan, sekolah, teman dan hobi
8. Saya merasa enggan melakukan apapun
9. Saya sulit berkonsentrasi

103
Kelemahan badan, cepat merasa lelah atau tidak
bertenaga
10. Mudah lelah
Perubahan nafsu makan atau minum yang nyata,
keinginan berlebihan makan/minum sesuatu
11. Kurangnya nafsu makan
12. Nafsu makan meingkat
13. Merasa ingin makan sesuatu (ngidam)
Hipersomnia (banyak tidur) atauinsomnia (sulit tidur
14. Tidur lebih lama
15. Sulit tidur
Perasaan subjektif lepas kontrol
16. Merasa ingin berteriak-teriak
17. Ingin membanting benda disekitarnya karena
jengkel
Keluhan fisik
18. Sakit kepala
19. Sakit pinggang
20. Nyeri payudara
21. Perut terasa kembung
22. Nyeri sendi
(Suparman,2011)

Keterangan :
Tidak PMS skor 22
PMS skor 23-88

104
Lampiran 6
VISUAL ANALOG SCALE

Keterangan :
Skala 0 berarti tidak merasakan nyeri sama sekali, 2 berarti nyeri ringan yang dapat
diacuhkan, 4 berarti nyeri sedang yang dapat berkurang saat melakukan aktifitas, 6
berarti nyeri sedang yang hanya berkurang dengan berkonsentrasi, 8 berarti nyeri
berat yang membuat pasien hanya dapat melakukan kebutuhan dasar dan 10 berati
nyeri berat dimana pasien hanya dapat terbaring di tempat tidur.
SKALA NYERI PASIEN : .........................
Lampiran 7
LEMBAR PEMBACAAN USG
Uterus :

Adnexa kiri :

Adnexa kanan :
Interpretasi :
Padang, ................................2019
Pemeriksa

dr. Madona Utami Dewi


Lampiran 8
MATRIX WAKTU PENELITIAN

KEGIATAN AUG- SEPT- OKT- NOV- DES- JAN- FEB-


19 19 19 19 19 20 20
Sarpus 
Proposal 
Pengumpula  
Data
Pengolahan Data  
Presentasi Akhir 
Tesis

ii
Lampiran 9
ANGGARAN DAN BIAYA PENELITIAN

NO. Jenis Anggaran Total Biaya Keterangan


1 Perbanyakan makalah 10 x @ 30.000 Rp. 300.000
proposal
2 USG 5.000.000 Rp. 5.000.000
3 Perbanyakan makalah 10 x @ 30.000 Rp. 300.000
tesis
4 Konsumsi dan 500.000 Rp. 500.000
transportasi
Total Rp. 6.100.000

iii
SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya,


Nama : dr. Madona Utami Dewi
Meyatakan bahawa tesis yang saya buat sudah dilakukan pemeriksaan similarity
dengan Turnitin.

Demikian surat pernyataan ini saya buat. Saya ucapkan terima kasih

Padang,

dr. Madona Utami Dewi

iv
2

Anda mungkin juga menyukai