Anda di halaman 1dari 83

SKRIPSI

STUDI LITERATUR HUBUNGAN IBU HAMIL PENDERITA


PREEKLAMPSIA BERAT TERHADAP KEJADIAN Intrauterine Growth
Restriction DI INDONESIA 2018-2019

ELIZABETH
NIM 60117050

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CIPUTRA
SURABAYA
2020

i
SKRIPSI

STUDI LITERATUR HUBUNGAN IBU HAMIL PENDERITA


PREEKLAMPSIA BERAT TERHADAP KEJADIAN Intrauterine Growth
Restriction DI INDONESIA 2018-2019

disusun untuk memenuhi prasyarat akademik


guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Strata Satu
dalam Program Studi S-1 Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra

ELIZABETH
NIM 60117050

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CIPUTRA
SURABAYA
2020

ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya mahasiwa Program Studi Kedokteran Universitas Ciputra Surabaya,

Nama : ELIZABETH
Nomor Induk Mahasiswa : 60117050
Program Studi : Kedokteran

Dengan ini menyatakan bahwa, karya skripsi yang saya buat dengan
judul : “HUBUNGAN IBU PENDERITA PREEKLAMPSIA BERAT
DENGAN Intrauterine Growth Restriction DI INDONESIA TAHUN 2018-
2019”

adalah
a. Dibuat dan diselesaikan sendiri, dengan menggunakan tinjauan lapangan,
tinjauan pustaka, dan jurnal acuan lainnya, seperti yang tertera dalam daftar
pustaka pada skripsi saya.
b. Proposal skripsi yang saya buat ini, bukan merupakan karya duplikasi (baik
sebagian mauapun seluruhnya) dari karya tulis lain yang sudah pernah
diduplikasikan atau yang sudah pernah di pakai untuk mendapatkan gelar di
universitas lain, kecuali pada bagian-bagian sumber informasi yang
dicantumkan (sitasi) dengan cara yang semestinya.
c. Proposal skripsi yang saya buat ini, bukan merupakan karya terjemahan dari
buku atau jurnal acuan yang tertera pada skripsi saya.

Apabila saya terbukti tidak memenuhi apa yang telah saya nyatakan di atas, maka
Proposal skripsi saya ini dinyatakan BATAL

Surabaya, 16 Desember 2020

Elizabeth

3
PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI

STUDI LITERATUR HUBUNGAN IBU PENDERITA PREEKLAMPSIA


BERAT DENGAN Intrauterine Growth Restriction DI INDONESIA TAHUN
2018-2019

Oleh :
Nama : Elizabeth
Nomor Induk Mahasiswa : 60117050
Program Studi : Kedokteran

Telah diperiksa dan disetujui dalam Ujian Proposal guna melanjutkan tahap
penelitian dan penyusunan naskah skripsi berikutnya

Surabaya, 18 Desember 2020


Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing pendamping

( Dr. Hudi Winarso, dr., M.Kes., (Salmon Charles P.T Siahaan, dr., Sp.OG)
Sp.And)

Ketua Program Studi Dekan

(Florence Pribadi, dr., M.Si.) (Dr. Hudi Winarso, dr., M.Kes., Sp.And)

4
PERSETUJUAN TIM PENGUJI SKRIPSI

Pada Hari Selasa, 1 April 2020 telah diselenggarakan ujian proposal, atas nama
Nama : ELIZABETH
Nomor Induk Mahasiswa : 60117050
Program Studi : Kedokteran
Dengan judul proposal :
STUDI LITERATUR HUBUNGAN IBU PENDERITA PREEKLAMPSIA
BERAT DENGAN Intrauterine Growth Restriction DI INDONESIA 2018-
2019
Nama Status Tanda tangan
1. Nama lengkap dan gelar dosen ketua penguji ____________
2. Nama lengkap dan gelar dosen ketua penguji ____________

5
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI

Skripsi ini tidak dipublikasikan, namun tersedia di perpustakaan dalam


lingkungan Universitas Ciputra, diperkenankan sebagai referensi kepustakaan,
tetapi pengutipan harus menyebutkan sumbernya sesuai kebiasaan ilmiah.
Dokumen skripsi ini merupakan hak milik Universitas Ciputra

6
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dari awal
aktivitas kuliah, penelitian, dan penulisan studi literatur dengan judul “STUDI
LITERATUR HUBUNGAN IBU PENDERITA PREEKLAMPSIA BERAT
DENGAN Intrauterine Growth Restriction DI INDONESIA 2018-2019” ini
dapat penulis selesaikan dengan baik sebagai persyaratan akademik dalam
menyelesaikan Program S1 Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas
Ciputra. Penulisan karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan banyak penghargaan dan terima kasih kepada :
1. Dr. Hudi Winarso, dr., M.Kes, Sp.And(K)., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Ciputra, yang juga dosen pembimbing utama saya.
Saya ucapkan terima kasih karena telah banyak membantu dalam
penulisan studi literatur ini dan memberikan banyak inspirasi bagi penulis
serta menyumbang ilmu beliau, baik dalam proses pembelajaran maupun
saat proses penyusunan studi literatur ini mulai awal hingga akhir, serta
masukan beliau sehingga skripsi ini dapat menjadi jauh lebih baik dari
sebelumnya.
2. Florence Pribadi, dr., M.Si., selaku Ketua Program Studi Kedokteran di
Universitas Ciputra, dan dosen wali saya yang telah memberikan semangat
dan motivasi bagi penulis baik saat proses pembelajaran maupun saat
proses pengerjaan skripsi, serta memeriksa dan menyetujui pengajuan
skripsi penulis guna mencapai gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked.) di
Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra Surabaya.
3. Salmon Charles P.T Siahaan, dr., Sp.OG., selaku pembimbing
pendamping saya, yang sudah menyumbang banyak ilmu, kritik dan saran
sehingga studi literatur ini dapat terselesaikan dengan jauh lebih baik.
Penulis juga berterima kasih karena beliau banyak menambah wawasan
penulis baik selama proses pembelajaran maupun proses penyusunan studi
literatur ini.
4. William Sayogo, dr., M.Imun., selaku penguji sidang proposal penelitian,
yang telah banyak membantu memberikan masukan dan saran saat
diselenggarakannya sidang proposal penelitian, serta memberikan motivasi
dan nasihat kepada penulis sehingga proses penyusunan skripsi dapat
berjalan dengan baik.
5. Kedua orang tua saya, baik ibu maupun ayah saya yang telah memanjatkan
doa, serta memberikan dukungan dan motivasi bagi saya, baik secara
moral maupun material.

7
6. Seluruh civitas akademik Universitas Ciputra, yang telah bekerja keras
dalam mengerjakan tugasnya sehingga proses pengerjaan proposal
penelitian hingga skripsi dapat terselenggara dengan baik.
7. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu mendukung saya selama berada di
Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra, yakni Nuridho Akbar Sholeh,
Rizki Hayati Suhud, dan Bella Pitaloka.
8. Semua pihak yang telah berjasa dalam penyusunan skripsi tetapi belum
dapat saya sebutkan satu-persatu.
Penulis sadar bahwa Karya Tulis Ilmiah ini belum mencapai kesempurnaan,
sebagai bekal perbaikan, penulis akan berterima kasih apabila para pembaca
berkenan memberikan masukan, baik dalam bentuk kritikan maupun saran demi
kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Penulis berharap Karya Tulis Ilmiah ini
bermanfaat bagi pembaca .
Surabaya, Desember 2020

Elizabeth

8
ABSTRAK

9
ABSTRACT

10
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN PROPOSAL
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penelitian
1.3 Manfaat Penelitian
BAB 2. PEMBAHASAN

11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kehamilan ibu di Indonesia pada tahun 2015 adalah sebanyak


5.285.759, dengan estimasi 15% dari kehamilan dan persalinan mengalami
komplikasi. (Pusdatin, 2015). Salah satu komplikasi yang menyebabkan tingginya
mortalitas maternal sebanyak 25% adalah preeklampsia, dengan insiden
preeklampsia di Indonesia sebanyak 128.273/ tahun atau sekitar 5.3%. Dalam dua
dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan nyata terhadap jumlah ibu
penderita preeklampsia (PNPK, 2016).

Preeklampsia adalah kelainan multisistemik yang terjadi pada 2-5% ibu


hamil dan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas maternal dan perinatal. Setiap tahun 76.000 ibu hamil dan 500.000 bayi
meninggal di seluruh dunia. Ibu hamil yang tinggal di negara berkembang
memiliki risiko lebih tinggi terserang preeklampsia dibandingkan dengan ibu
hamil di negara maju (FIGO, 2019).

Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di


negara berkembang adalah 1,8% - 16,7% (POGI, 2016). Setiap tahunnya, 10 juta
wanita dapat mengalami preeklampsia di seluruh dunia. Dimana sekitar 76.000
wanita hamil dapat meninggal setiap tahun akibat preeklampsia dan gangguan
hipertensi terkait kehamilan dan jumlah bayi yang meninggal akibat gangguan ini
diperkirakan 500.000 per tahun. Di negara berkembang, insidensi preeklampsia
tujuh kali lebih tinggi dari pada di negara maju, dimana 10-25% dari kasus
preeklampsia ini akan menyebabkan kematian pada ibu (Preeclampsia
Foundation, 2015). Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah
128.273/tahun atau sekitar 5,3% (POGI, 2016).

World Health Organization (2018) memperkirakan setiap hari terdapat 830


wanita meninggal akibat komplikasi terkait kehamilan atau persalinan di seluruh

12
dunia, dimana 99% diantaranya terjadi di negara berkembang. Diperkirakan pada
tahun 2015, sekitar 303.000 wanita meninggal selama kehamilan dan persalinan.
Rasio kematian ibu di negara berkembang di tahun 2015 berkisar 239 per 100.000
kelahiran hidup, sementara di Negara maju angka ini jauh lebih rendah
dibandingkan negara berkembang, yaitu berkisar 12 per 100.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Wibisono, 2015) di


RSUD Abdul Wahab Sjahranie Kalimantan Timur terdapat 484 kasus (9.8%)
preeklampsia berat dari 4955 kelahiran selama periode 2015 hingga 2017. Dimana
dalam kurun waktu 2 tahun tersebut, terdapat peningkatan presentase penderita
preeklampsia berat yaitu sebesar 9.3% pada tahun 2015 dan 10.20% pada tahun
2017. Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
maternal dan janin. Secara global, 10 - 15% kematian maternal secara langsung
diakibatkan oleh preeklamsia dan eklampsia. Preeklamsia diperkirakan menjadi
penyulit kehamilan di negara barat sekitar 3 - 8 % dari seluruh kehamilan.

World Health Organization (WHO) memperkirakan kasus preeklampsia


tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju.
Prevalensi preeklamsia di negara maju sekitar 1,3 - 6%, sedangkan di negara
berkembang sekitar 8 - 18% (HKFM POGI, 2016). Kehamilan dengan
komplikasi seringkali meningkatkan mortalitas maternal hingga 75%. Komplikasi
yang dimaksud yaitu pendarahan, infeksi, preeklampsia, komplikasi persalinan,
dan aborsi yang tidak aman (WHO,2014). Sedangkan di Indonesia, seperti yang
dilansir dari Pusat Kesehatan dan Informasi Kemenkes tahun 2014, penyebab
utama meningkatnya mortalitas ibu dari tahun 2010-2013 adalah pendarahan
(sebanyak 30.3% pada tahun 2013) dan hipertensi (27.1% pada tahun 2013).
Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih
dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di negara
berkembang. Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan salah satu
yang tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per
100.000 kelahiran hidup. Tren AKI di Indonesia menurun sejak tahun 1991

13
hingga 2007, yaitu dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika
dibandingkan kawasan ASEAN, AKI pada tahun 2007 masih cukup tinggi.
(PNPK Preeklampsia, 2016). Tiga penyebab utama kematian ibu adalah
perdarahan (30%), hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). Insiden
preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kedua
morbiditas dan mortalitas perinatal (PNPK Preeklampsia, 2016).

PJT terjadi pada 7 - 10% dari seluruh kehamilan di dunia dan paling
banyak terjadi di Asia, yaitu hampir mencapai 75% dari seluruh kejadian. Ibu
dengan preeklamsia empat kali lebih berisiko mengalami PJT dibanding ibu tanpa
preeklampsia (Mitsui T et al., 2015).

Prevalensi PJT di dunia adalah enam kali lebih tinggi di negara


berkembang, 75% di antaranya berada di Asia, Afrika (20%) dan Amerika latin
(5%). Di Indonesia, prevalensi rata-rata dari 4 pusat kesehatan ibu dan anak
selama periode dari 2004 ke 2005 adalah 4,4%, dengan prevalensi tertinggi
(6,44%) dilaporkan di RS Sardjito Yogyakarta (Sri Sulistyowati, Supriyadi Hari
Respati, Soetrisno, Bambang Triono Cahyadi, 2018). Negara-negara di Asia
Selatan memiliki tingkat Intrauterine growth restriction (IUGR) tertinggi di
dunia. Insiden BBLR akibat IUGR di Bangladesh dilaporkan sebanyak 39% dari
seluruh kelahiran hidup. India dan Pakistan juga memiliki tingkat BBLR akibat
IUGR yang tinggi, yaitu sebanyak 21% dan 18%. Negara Asia lainnya, seperti Sri
Lanka (13%), Kamboja (12%), Vietnam (11%), Filipina (6%), Malaysia (4%),
Thailand (3%), dan China (2%) juga menyumbang angka BBLR akibat IUGR
yang cukup tinggi. Di Amerika Serikat, tingkat IUGR ditemukan lebih rendah
dibandingkan negara-negara di Asia, yaitu sebesar 0,07% (BKKBN, 2018).
Diperkirakan angka PJT di negara maju 6 – 8% dari seluruh kelahiran dan di
negara berkembang 4 – 30%. IUGR asimetris lebih sering ditemukan daripada
IUGR simetris, dengan perbandingan 70-80% :20-30%. IUGR asimetris terjadi
pada trimester akhir dan berisiko lebih besar terhadap terjadinya fetal distress,

14
tindakan operasi dan skor Apgar rendah dibanding IUGR simetris (Resnik et al.,
2014).

Angka mortalitas PJT meningkat 3-8 kali dibandingkan dengan bayi


dengan berat lahir normal. Sekitar dua per tiga PJT berasal dari kelompok
kehamilan yang berisiko tinggi, misalnya hipertensi, perdarahan antepartum,
penderita penyakit jantung, dan kehamilan multipel sedangkan sepertiga lainnya
berasal dari kelompok kehamilan tidak mempunyai risiko (PNPK PJT, 2016).
Prevalensi IUGR di Indonesia meningkat sekitar 30-40%. Angka pasti insiden
IUGR sulit diketahui karena pencatatan tentang usia gestasi tidak tesedia di negara
yang sedang berkembang (WHO, 2013). Insiden intrauterine growth
restriction (IUGR) di Indonesia dilaporkan kira-kira sebesar 4,4% dari seluruh
kelahiran hidup. Anak dengan BBLR yang berhubungan dengan IUGR paling
banyak ditemukan pada provinsi Papua (27%), Nusa Tenggara Timur (20,3%),
dan Sumatera Selatan (19,5%) (Kemenkes, 2018). Sebanyak 7000 bayi baru lahir
di dunia meninggal setiap harinya, dan di Indonesia sebanyak 185 setiap hari
dengan angka kematian neonatal 15/1000 kelahiran hidup.

Tiga penyebab terbanyak kematian bayi yaitu asfiksia, bayi berat badan
lahir rendah (BBLR), dan infeksi (WHO,2018). BBLR tidak hanya terjadi pada
bayi prematur, namun terjadi pula pada bayi cukup bulan yang mengalami
hambatan pertumbuhan selama kehamilan (Kemenkes RI, 2015). Intrauterine
growth restriction (IUGR) merupakan salah satu penyebab kematian perinatal dan
neonatal. Rasio mortalitas perinatal dalam kasus IUGR adalah sebesar 5,4/1000
kelahiran hidup (Sharma D, Shastri S, Sharma P, 2016).

Penelitian yang dilakukan Jelena Miloservic- Stevanovic et al tahun 2016


menyatakan bahwa preeklampsia dapat memicu terjadinya IUGR dengan bukti
insidensi IUGR 63.3% pada penderita preeklampsia.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya keterkaitan kejadian


IUGR dengan preeklampsia. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi literatur

15
mengenai hubungan ibu penderita preeklampsia terhadap kejadian IUGR di
Indonesia 2018-2019

1.2 Tujuan Penelitian


1.2.1 Tujuan Umum
Menganalisa dan menjelaskan hubungan ibu penderita preeklampsia
terhadap kejadian IUGR di Indonesia 2018-2019
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Menjelaskan dan menganalisa penyakit penyerta yang
merupakan faktor risiko kejadian preeklampsia di Indonesia
2018-2019.
1.2.2.2 Menganalisa profil ibu hamil penderita preeklampsia di
Indonesia 2018-2019.
1.2.2.3 Menganalisa dan menjelaskan kehamilan hubungan
preeklampsia dengan angka kejadian IUGR di Indonesia 2018-
2019.
1.2.2.4 Menjabarkan mengenai teori imunologi normal dan patologis
yang mendasari terjadinya preeklampsia pada ibu hamil di
Indonesia 2018-2019.
1.2.2.5 Menjelaskan mengenai konsep teori vaskularisasi plasenta
secara fisiologis dan patologis yang mendasari penyebab
terjadinya IUGR di Indonesia 2018-2019.

1.3 Manfaat Penelitian


1.3.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan informasi serta
menambah wawasan mengenai kejadian preeklampsia berat dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan janin di Indonesia tahun 2018-
2019 dan mendapat pengalaman melakukan studi literatur secara
sistematis.

16
1.3.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai media untuk
menganalisa data etiologi, faktor risiko, patofisiologi, dan komplikasi
terjadinya preeklampsia pada kehamilan dengan kejadian IUGR yang
tercatat dalam berbagai literatur di Indonesia periode 2018-2019.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Kehamilan

2.1.1 Definisi

Berdasarkan International Federation Gynecology and Obstetrics, definisi


kehamilan adalah fertilisasi antara spermatozoa dan ovum, yang dilanjutkan
dengan implantasi. Durasi kehamilan normal akan memakan waktu selama 40
minggu atau 10 bulan atau 9 bulan menurut kalender internasional. Sedangkan
kehamilan sendiri dibagi dalam tiga trimester, yakni trimester 1 yang berlangsung
selama 13 minggu, trimester 2 selama 14 minggu yang dimulai pada minggu ke-
14 hingga ke-27, dan trimester 3 berlangsung 13 minggu dimulai dari minggu ke-
28 hingga minggu ke-40 (Prawirohardjo, 2008).

Kehamilan merupakan penyatuan sel telur dan spermatozoa yang


kemudian dilanjutkan nidasi dan diikuti oleh perubahan baik secara fisiologis
maupun psikologis (Mitayani, 2009).

Definisi kehamilan adalah suatu proses yang berjalan secara


berkesinambungan, dimulai dari ovulasi, perjalanan spermatozoa menuju ke ovum
sehingga terjadi konsepsi yang dilanjutkan dengan implantasi, yang berujung pada
formasi plasenta. Kemudian hasil konsepsi akan berkembang hingga terjadi
persalinan cukup bulan (Kumalasari, 2015).

2.1.2 Anatomi sistem reproduksi wanita

1) Organ genitalia eksterna

17
a. Vulva

Meliputi seluruh bagian eksterna alat reproduksi dimulai dari pubis hingga
perineal, yaitu mons veneris, labia mayora dan labia minora, klitoris, selaput dara
(hymen), vestibulum, muara uretra, dan vaskular.

b. Mons veneris / mons pubis

Merupakan bagian menonjol yang dapat terlihat di atas simfisis dan


tertutup oleh rambut pubis. Pada umumnya, batas atas rambut akan berjalan
melintang hingga ujung atas simfisis, sedangkan ke bawah berjalan sampai
menuju anus dan paha.

c. Labia mayora

Merupakan analog skrotum pada pria, labia mayora berbentuk lonjong


kecil dan menonjol, serta menuju kearah bawah dan terdiri atas dua bagian, yaitu
bagian kanan dan kiri. Penonjolan dapat perlahan berkurang pada wanita
multigravida, dan pada lansia akan mengalami atrofi karena menurunnya kadar
hormon estrogen. Masing-masing bagian terisi oleh jaringan lemak yang sama
dengan yang berasa di mons veneris dan mendapat vaskularisasi dari pleksus
vena. Pada arah bawah bagian belakang akan terjadi pertemuan kedua labia
mayora yang kemudian membentuk struktur bernama kommisura posterior. Pada
batas akhir bagian atas labia mayora, dapat dijumpai suatu ligament bernama
ligamentum rotundum.

d. Labia minora/ nymphae

Merupakan suatu lipatan tipis dari bagian dalam labia mayora. Menuju
arah depan, pada bagian atas klitoris terlihat pertemuan dari kedua labia minora
yang membentuk suatu struktur bernama preputium klitoridis dan bagian
bawahnya disebut frenulum klitoridis. Pertemuan kedua labia minora di bagian
belakang akan membentuk fossa navikulare. Pada umumnya, fossa navikulare
akan nampak cekung dan utuh pada wanita yang belum pernah melahirkan, tetapi
pada wanita yang telah melahirkan akan terlihat menebal dan strukturnya kasar

18
tidak merata. Bagian kulit yang meliputi labia minora mengandung banyak
glandula sebascea dan juga terdapat banyak ujung saraf, menyebabkan labia
minora merupakan suatu bagian genital yang paling sensitive serta mudah
mengembang. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak pembuluh darah serta
otot polos pada jaringan ikat di sekitarnya.

e. Klitoris

Merupakan bagian yang ditutup oleh preputium klitoridis dan terbentuk


atas glands klitoridis, korpus klitoridis, dan dua crura yang menyebabkan klitoris
menggantung pada os pubis. Glands klitoridis sendiri terbentuk atas jaringan yang
mudah mengembang dan memiliki banyak ujung saraf, sehingga sangatlah
sensitif.

f. Vestibulum

Berbentuk lonjong panjang dari depan menuju arah belakang dan bagian
depannya berbatasan dengan klitoris, bagian kiri dan kanannya berbatasan dengan
labia minora dan pada arah belakang berbatasan oleh perineal atau disebut juga
fowrchette. Teletak sekitar 1 - 1,5 cm di bawah klitoris. Dapat ditemukan
orifisium uretra eksterna yang terletak membujur 4 - 5 mm dan terkadang ditutupi
oleh lipatan vagina. Pada bagian kiri dan kanan bawahnya, terlihat dua saluran
Skene atau duktus parauretral, yang merupakan analog kelenjar prostat pria. Pada
bagian kiri dan kanan bawah, tepatnya dekat dengan fossa navikulare, terdapat
kelenjar Bartolin yang berdiameter 1 cm dan posisinya berada di bawah otot
konstriktor kunni. Selain itu kelenjar ini juga memiliki suatu saluran kecil yang
memiliki panjang 1,5 - 2 cm dan bermuara di vestibulum, yang terletak dekat
fossa navikulare.

g. Bulbus vestibuli sinistra et dekstra

Merupakan tempat berkumpulnya vena dan terletak tepatnya di bawah


membrane mukosa vestibulum, dekat dengan ramus ossis pubis. Memiliki panjang
berkisar 3 - 4 cm, lebar 1-2 cm dan tebal 0,5 - 1 cm, bulbus vestibuli terdiri atas

19
pembuluh darah yang sebagian besar tertutup oleh musculus ischio cavernosus
dan musculus constrictor vaginalis.

h. Introitus vagina

Mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Introitus vagina


ditutupi oleh hymen. Hymen sendiri memiliki bentuk dan konsistensi yang
bervariatif, mulai semilunar hingga berlubang-lubang atau memiliki septa, serta
secara konsistensinya, dapat beragam dari sangat kaku hingga sangat lunak.
Hiatus hymenalis memiliki bermacam-macam ukuran dari ujung jari hingga dua
jari. Pada umumnya hymen yang robek karena koitus terjadi pada arah jam 5 atau
jam 7 dan mencapai hymen. Terkadang, pada hymen tidak didapatkan laserasi
walaupun wanita telah melakukan koitus. Sisa dari hymen yang robek disebut
karunkula hymenalis.

i. Perineal

Terletak diantara vulva dan anus, perineal memiliki panjang berkisar 4 cm


dan disangga oleh diafragma pelvis yang terdiri atas musculus levator ani dan
musculus koksigis posterior yang tertutup oleh fascia dan diafragma urogenitalis
yang terletak di bagian eksternal dari diafragma pelvis, tepatnya pada segitiga
diantara tuba ischiadica dan simfisis pubis dan teridi atas musculus transversus
perinei profunda, musculus constrictor uretra dan ditutupi oleh fascia interna dan
eksterna. Vaskularisasinya bersal dari arteri pudenda interna beserta cabangnya
Perineal disarafi oleh nervus pudenda dan cabang-cabangnya. Pertemuan
musculus levator ani kiri dan kanan diantara anus dan vagina diperkuat oleh
tendon central perineal yang menjadi tempat bertemunya musculus
bulbocavernosa, musculus transversal perinei superfisialis, dan sfingter ani
eksterna yang membentuk badan perineal yang berfungsi membantu menyangga
perineal.

20
Gambar 2.1 : Genitalia eksterna
Sumber : Ilmu Kebidanan Sarwono, 2010

Gambar 2.2 : Genital eksterna, kulit dan subkutis kiri diangkat.


Sumber : Ilmu Kebidanan Sarwono, 2010

21
2) Organ genitalia interna

a. Vagina

Terletak sejajar ujung atas simfisis hingga menuju promontorium, vagina


merupakan penghubung introitus vagina dengan uterus. Dinding anterior
memiliki panjang sekitar 6-8 cm dan bagian posterior vagina panjangnya berkisar
teletak 7 - 10 cm, dan masing-masing terletak berdekatan. Pada bagian dalam
terdapat struktur berupa lipatan-lipatan yang disebut rugae yang berfungsi sebagai
bagian lunak jalan lahir, sedangkan bagian medialnya terdapat kolumna rugarum
yang merupakan suatu bagian keras.

Gambar 2.3 : Potongan sagital genitalia eksterna


Sumber : Ilmu Kebidanan Sarwono, 2010

Epitel vagina merupakan epitel squamouse tanpa tanduk, dan pada bagian
inferiornya terlihat jaringan ikat yang mengalami hipervaskularisasi, sehingga
dinding vagina menjadi berwarna kebiruan, yang disebut livide. Di bagian bawah
jaringan ikat terdapat otot yang tersusun seperti usus dengan bagian interna
terdapat musculus circularis dan bagian eksterna terdapat musculus longitudinalis.
Pada bagian luar otot terdapat suatu jarngan ikat berupa fascia yang elastisitasnya

22
cenderung menurun pada wanita lanjut usia. Bagian superior vagina berasal dari
Duktus Mullerian, sedangkan bagian inferiornya dibentuk oleh sinus urogenitalis.
Di sebelah anterior, dinding vagina terletak berbatasan dengan uretra dan kandung
kemih dan dipisahkan oleh septum vesicovaginalis yang merupakan suatu
jaringan ikat biasa. Pada bagian posterior berbatasan dengan septum
rectovaginalis yang merupakan pembatas di antara bagian inferior vagina dan
rektum. 1/4 superior dinding vagina bagian posterior dipisahkan dari rektum oleh
kavum Douglas. Dinding vagina, baik kiri maupun kanan secara langsung
berhubungan dengan musculus levator ani. Pada bagian teratas vagina yang
dipisahkan oleh serviks, terdapat forniks anterior, posterior dan lateral, baik
sebelah kiri maupun kanan. Bagian teratas dari vagina posterior terletak lebih
tinggi dibandingkan dengan anterior, maka fornix posterior memiliki kedalaman
lebih dibandingkan dengan fornix anterior. Sekitar 1,5 cm pada bagian superior
fornix lateralis terdapat parametrium yang berisi ureter yang melintasi tepat pada
bagian inferior dari arteria uterina. Vaskularisasi vagina berasal dari:

(1) Arteri uterina, yang bercabang menuju serviks dan 1/3 superior vagina.

(2) Arteri vesicalis inferior, yang bercabang menuju 1/3 medial vagina.

(3) Arteri hemoroidalis media dan arteri pudenda interna, yang menuju 1/3
inferior vagina.

Darah lalu akan kembali melalui pleksus vena lalu dilanjutkan menuju
pleksus pampiniformis hingga sampai ke vena hipogastrika dan vena iliaka ke
atas. Kelenjar limfa yang berasal dari 2/3 superior vagina akan melalui kelenjar
limfa yang terletak pada vasa iliaca, sedangkan kelenjar limfa yang berasal dari
1/3 inferior akan melalui kelenjar limfa yang terletak di bagian inguinal.

b. Uterus

Berbentuk seperti buah pir yang sedikit gepeng dan berongga dengan
dinding yang terdiri atas susunan otot polos. Memiliki panjang berkisar 7 - 7,5
cm, lebar kira-kira lebih dari 5,25 cm, dengan tebal 2,5 cm, dengan tebal dinding
sekitar 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio

23
yang berarti serviks menuju kearah depan dan membentuk sudut bersamaan
dengan vagina, sedangkan korpus uteri menuju kearah depan dan membentuk
sudut dengan serviks uteri.

Uterus terdiri atas :

(1) Fundus uteri

(2) Korpus uteri

(3) Serviks uteri.

Fundus uteri merupakan bagian proximal uterus yang menjadi lokasi


insersi kedua tuba falopii. Sedangkan korpus uteri merupakan bagian terbesar dari
uterus dan berfungsi sebagai tempat berkembangnya janin pada saat terjadi
kehamilan. Pada korpus uteri dapat ditemukan suatu bentukan ronggan yang
dinamakan cavum uteri. Serviks uteri sendiri terdiri atas pars vaginalis servisis
uteri atau disebut juga porsio dan pars supravaginalis servisis uteri yang
merupakan bagian serviks pada superior vagina.

Gambar 2.4 : Uterus, Tuba Falopii, dan ovarium.


Sumber : Ilmu Kebidanan Sarwono, 2010

24
Canalis cervicalis merupakan saluran yang terletak di bagian dalam
serviks. Kanal ini berfungsi sebagai reseptakulum seminis, serta memiliki bentuk
lonjong dengan perkiraan panjang 2,5 cm. Canalis cervicalis dilapisi oleh suatu
glands serviks serupa dengan sel-sel torak bersilia. Tedapat suatu struktur
berbentuk pintu, terutama pada bagian interna yang disebut ostium uteri interna,
sedangkan pada sisi eksterna terdapat ostium uteri eksterna yang berfungsi
sebagai penilaian jalan lahir dan kemungkinan terjadunya abortus. Secara
histologik dari dalam ke luar, uterus terdiri atas :

(1) Endometrium yang teletak pada korpus uteri

(2) Endoserviks yang terletak pada serviks uteri.

(3) Lapisan serosa, yakni peritoneum visceral.

(4) Otot polos.

Endometrium terdiri atas glands, epitel kuboid, dan jaringan yang


mengalami hipervaskularisasi berkelok. Endometrium melapisi seluruh kavum
uteri dan sebagian besar terkelupas keluar, kemudian tumbuh lagi pada saat
proliferasi diikuti dengan masa sekretorik. Otot polos uterus bagian interna
berbentuk sirkular dan pada bagian eksterna berbentuk longitudinal. Yang
diantaranya terdapat struktur berbentuk seperti anyaman yang merupakan lapisan
otot oblique yang akan berkontraksi pada saat plasenta lahir, yang akan menjepit
pembuluh darah sehingga pendarahan akan berhenti dengan sendirinya. Uterus
difiksasi oleh jaringan ikat dan ligamentum. Ligamentum yang berperan dalam
fiksasi uterus yaitu :

1) Ligamentum kardinal atau Mackenrodt

Terdiri atas dua bagian, yakni kiri dan kanan, ligamentum ini merupakan yang
terpenting dalam memfiksasikan uterus. Ligamentum ini berupa jaringan ikat
tebal yang berjalan dari serviks dan bagian teratas vagina menuju bagian lateral
dari dinding pelvis serta mengandung banyak pembuluh darah, yaitu vena dan
arteria uterina.

25
2) Ligamentum sakro-uterina kiri dan kanan

Ligamentum ini berfungsi menahan uterus agar tidak bergerak dari tepatnya dan
berjalan dari serviks posterior sebelah kiri dan kanan, menuju os sakrum kiri dan
kanan.

3) Ligamentum rotundum kiri dan kanan

Ligamentum ini berfungsi untuk menahan uterus pada saat antefleksi. Dimulai
dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, menuju regio inguinalis kiri dan kanan.
Seringkali ligamentum ini mengalami kontraksi kuat pada saat kehamilan maupun
persalinan sehingga timbul rasa nyeri pada bagian inguinal.

4) Ligamentum latum kiri dan kanan

Ligamentum ini meliputi tuba dan merupakan bagian dari peritoneum visceral
yang terdiri atas dua tuba dan uterus, sehingga membentuk suatu lipatan. Tetapi
tidak memiliki banyak jaringan ikat dan berjalan mulai dari uterus hingga lateral.
Pada bagian dorsal terdapat ovarium sinistrum et dekstrum.

5) Ligamentum infundibulo-pelvikum kiri dan kanan

Merupakan ligamentum yang tediri atas jaringan saraf, saluran limfa, arteri dan
vena ovarika serta berperan sebagai penahan tuba Falloppii serta berjalan dari arah
infundibulum menuju dinding pelvis.

Gambar 2.5 : Vaskularisasi alat genitalia interna dan sekitarnya.


Sumber : Ilmu Kebidanan Sarwono, 2010

26
Di samping ligamentum tersebut pada bagian superior terdapat sudut kiri
dan kanan belakang fundus uteri ligamentum ovarii propria kiri dan kanan yang
berfungsi sebagai penahan ovarium. Ligamentum ovarii proprium ini sama
dengan ligamentum rotundum yang berasal dari gubernakulum. Isthmus adalah
bagian dari uterus yang terletak diantara serviks dan korpus uteri, serta dilapisi
oleh peritoneum visceral yang mudah tergeser pada bagian dasar yang terletak di
sekitar plica vesicouterina. Dinding posterior uterus dilapisi oleh peritoneum
visceral yang pada bagian inferior membentuk suatu kantung yaitu kavum
Douglas, yang akan menonjol apabila terdapat cairan berupa darah atau tumor
yang terletak in situ. Vaskularisasi uterus berasal dari Arteri Uterina kiri dan
kanan dan tersusun atas ramus ascendens dan ramus descendens yang merupakan
cabang dari arteri Iliaca Interna atau arteri Hipogastrika yang kemudian melewati
dasar dari ligamentum latum menembus masuk uterus yang terletak di daerah
serviks sekitar 1,5 cm di atas fornix lateralis vagina. Uterus juga di vaskularisasi
oleh arteri Ovarika kiri dan kanan yang berjalan melewati dinding pelvis bagian
lateral,lalu melewati ligamentum infundibulo-pelvikum, berlanjut menujutuba
Falloppii, yang kemudian akan melakukan anastomosis bersama bagian lateral
dari ramus ascendens arteri uterine, yang merupakan bagian kanan dan kiri uterus.
Selain itu juga terdapat vena yang mengalir menuju vena Hipogastrika dengan
melwati plexus vena. Kelenjar limfa yang berasal dari serviks akan berjalan
menuju region obturatorial dan inguinal, yang dilanjutkan menuju vasa iliaca.
Kelenjar limfa yang berasal dari korpus uteri akan selalu menuju daerah paraaorta
dan paravertebra bagian dalam.

Saraf yang menginervasi uterus sebagian besar tersusun atas sistem saraf
simpatis dan sisanya terdiri atas sistem parasimpatis dan serebrospinal. Sistem
saraf simpatis akan masuk ke rongga panggul melewati plexus hipogastrikus,
yang kemudian menuju bifurkasio aorta dan promontorium hingga ke bawah dan
berakhir pada plexus Frankenhauser yang terdiri atas ganglion berukuran variatif
di ligamentum sakrouterina yang juga menginervasi myometrium dan
endometrium. Sistem saraf, baik simpatis maupun parasimpatis memiliki unsur
sensorik dan motorik yang keduanya bekerja secara antagonis. Saraf simpatis

27
berfungsi dalam kontraksi dan vasokonstriksi, sedangkan saraf parasimpatis
berperan dalam vasodilatasi dan mencegah terjadinya kontraksi.

Sistem parasimpatis sendiri berada di dalam panggul di sebelah kiri dan


kanan os sakrum, yang berasal dari saraf sakral 2, 3, dan 4, yang kemudian masuk
menuju plexus Frankenheuser.

Gambar 2.6 : Inervasi uterus.


Sumber : Ilmu Kebidanan Sarwono, 2010

Saraf sensorik dari uterus berada pada saraf yang berasal dari torakal 11
dan 12, sehingga dapat melanjutkan rasa nyeri dari uterus menuju ke cerebrum
yang merupakan saraf pusat. Sedangkan saraf sensorik dari serviks akan berjalan
dari bagian atas vagina menuju saraf sakral 2, 3, dan 4 dan nervus pudenda dan
nervus ileoinguinalis akan berjalan dari bagian bawah vagina.

28
c. Tuba Falopii

Tuba Falopii sendiri disusun oleh pars interstitial, pars ismika, dan pars
ampullaris. Pars interstitialis merupakan suatu bagian yang terdapat pada dinding
uterus, sedangkan pars ismika merupakan bagian sempit yang terletak pada tengah
tuba. Pars ampullaris merupakan bagian yang agak lebar, dan berfungsi sebagai
saluran serta tempat dimana terjadi fertilisasi. Bagian terakhir dari tuba Falopii
adalah infundibulum. Infundibulum adalah bagian yang memiliki fimbriae,
sehingga berbentuk seperti anemon laut dan merupakan ujung tuba yang terbuka
menuju kea rah abdomen. Fungsi fimbriae adalah menangkap sel telur yang
kemudian masuk ke dalam tuba. Bagian terluar dari tuba dilapisi oleh peritoneum
visceral yang pada hakikatnya adalah bagian dari ligamentum latum dan terdiri
atas otot (dari dalam ke luar), selaput berlipat dengan sel sekresi serta silia yang
berfungsi untuk menyalurkan sel telur maupun zigot menuju kavum uteri dan
bergerak searah dengan getaran silia tersebut, lalu terdapat otot sirkular dan otot
longitudinal.

d. Ovarium

Wanita memiliki 2 ovarium yang terletak di kanan dan kiri. Pada bagian
belakang ligamentum latum kiri dan kanan, ovarium digantung oleh mesovarium.
Memiliki ukuran sebesar ibu jari, dengan panjang berkisar 4 cm, serta lebar dan
tebal 1,5 cm, Hilusnya secara langsung berhubungan dengan mesovarium yang
merupakan lokasi dimana terdapat banyak pembuluh darah dan serabut saraf.
Dengan bagian ujung bawahnya bebas. Permukaan posteriornya menuju ke arah
atas dan belakang, sedangkan permukaan depan menuju bawah dan depan. Bagian
yang terletak di sekitar tuba, yaitu bagian ujung terletak lebih tinggi daripada
bagian ujung lain yang terletak dekat dengan uterus dan biasanya dilapisi oleh
fimbriae yang berasal dari infundibulum. Ujung ovarium yang terletak sedikit ke
bawah secara langsung berhubungan dengan uterus melalui ligamentum ovarii
propria, dimana terjadi penyatuan jaringan otot dengan jaringan otot yang berasal
dari ligamentum rotundum yang kedua ligamentumnya berasal dari
gubernakulum. Embriologik kedua ligamentum berasai dari gubernakulum.

29
Struktur ovarium terdiri atas (1) korteks, bagian luar yang diliputi oleh epitelium
germinatiwm berbentuk kubik dan di dalamnya terdiri atas stroma sena folikel-
folikel primordial; dan (2) medulla, bagian di sebelah dalam korteks tempat
terdapatnya stroma dengan pembuluh-pembuluh darah, serabut-serabut saraf, dan
sedikit otot polos.

Diperkirakan pada perempuan terdapat kira-kira 100.000 folikei primer.


Tiap bulan satu folikel akan keluar, kadang-kadang dua folikel, yang dalam
perkembangannya akan menjadi folikel de Graaf. Folikel-folikel ini merupakan
bagian terpenting dari ovarium yang dapat dilihat di korteks ovarii dalam letak
yang beraneka-ragam dan pula dalam tingkat-tingkat perkembangan yang
berbeda, yaitu dari satu sel telur yang dikelilingi oleh satu lapisan sel-sel saja
sampai menjadi folikel de Graaf yaog matang terisi dengan likuor follikuli,
mengandung estrogen dan siap untuk berovulasi. Folikel de Graaf yang matang
terdiri atas :

(1) Ovum, yakni suatu sel besar dengan diameter 0,1 mm yang mempunyai
nukleus dengan anyaman kromatin yang jelas. sekali dan satu nukleolus pula;

(2) Stratum granulosum, yang terdiri atas sel-sel granulosa, yakni sel-sel bulat
kecil dengan inti yang jelas pada pewarnaan dan mengelilingi ovum; pada
perkembangan lebih lanjut di tengahnya terdapat suatu rongga terisi likuor
follikuli;

(3) Teka interna, suatu lapisan yang melingkari stratum granulosum dengan sel-
sel lebih kecil daripada sel granulosa;

(4) Teka eksterna, di luar teka interna yang terbentuk oleh stroma ovarium yang
terdesak. Pada ovulasi folikel yang matang yang mendekati permukaan ovarium
pecah dan melepaskan ovum ke rongga perut. Sel-sel granulosa yang melekat
pada ovum dan yang membentuk korona radiata bersama-sama ovum ikut dilepas.
Sebelum dilepas, ovum mulai mengalami pematangan dalam 2 tahap sebagai
persiapan untuk dapat dibuahi.

30
Setelah ovulasi, sel-sel stratum granulosum di ovarium mulai
berproliferasi dan masuk ke ruangan bekas tempat ovum dan likuor follikuli.
Demikian pula jaringan ikat dan pembuluh-pembuluh darah kecil yang ada di situ.
Biasanya timbul perdarahan sedikit, yang menyebabkan bekas folikel berwarna
merah dan diberi nama korpus rubrum. Umur korpus rubrum ini hanya sebenrar.
Di dalam sel-selnya timbul pigmen kuning dan korpus rubrum menjadi korpus
luteum. Sel-selnya membesar dan mengandung lutein dengan banyak kapilar dan
jaringan ikat di antararrya. Di tengah-tengah masih terdapat bekas perdarahan.
Jika tidak ada pembuahan ovum, sel-sel yang besar serta mengandung lutein
mengecil dan menjadi atrofik, sedangkan jaringan ikatnya bertambah. Korpus
luteum lambat laun menjadi korpus albikans. Jika pembuahan terjadi, korpus
luteum tetap ada, malahan menjadi lebih besar, sehingga mempunyai diameter 2,5
cm pada kehamilan 4 bulan. (Sarwono, 2010)

Gambar 2.7 : Ovarium dan folikel.


Sumber : Ilmu Kebidanan Sarwono, 2010

31
2.1.3 Fisiologi Kehamilan

Konsepsi menyangkut fertilisasi dan pelekatan embrio pada dinding


uterus. Fertilisasi adalah peleburan inti sel sperma dan inti telur yang terjadi di
saluran telur (oviduk) atau di uterus. Pada saat fertilisasi kepala sel sperma
menembus dinding sel telur sedangkan ekor tertinggal di luar membentuk zigot
(2n) yang terus membelah mitosis menjadi 32 sel (morula). Morula berkembang
menjadi blastula. Bagian dalam blastula akan membentuk janin sedangkan bagian
luarnya membentuk trofoblas (bagian dinding untuk menyerap makanan dan akan
berkembang menjadi plasenta). Pada usia hari ke 4-5 setelah fertilisasi blastula
bergerak ke uterus dan melakukan implantasi (perlekatan) di uterus pada hari ke
enam. Blastula kemudian berkembang menjadi gastrula yang memiliki lapisan
ektodermis, mesodermis, dan endodermis. Selanjutnya gastrula berkembang
menjadi embrio setelah memalui peristiwa difrensiasi, spesialisasi, dan
organogenesis. Ektodermis akan membentuk susunan saraf, hidung, mata,
epidermis, kelenjar kulit. Mesodermis akan membentuk jaringan tulang, otot
jantung, pembuluh darah, limfa, ginjal, kelenjar kelamin. Endodermis akan
membentuk kelenjar gondok, hati, pankreas, kandung kemih, saluran pencernaan,
saluran pernapasan. (Budiyanto, 2009)

2.1.4 Diagnosa Kehamilan

Durasi normal kehamilan yaitu 40 minggu atau 10 bulan atau 280 hari dan
dibagi atass 3 trimester, yaitu trimester 1 antara 0-12 minggu, trimester 2 antara
12-28 minggu, dan trimester 3 antara 28-40 minggu. Tanda kehamilan dibagi
menjadi tanda presumtif, tanda mungkin hamil, dan tanda pasti kehamilan.

1. Tanda presumtif

a. Amenorea (tidak terdapat haid) .

Wanita harus mengetahui tanggal hari pertama haid terakhir (HPHT) agar dapat
memperkirakan umur kehamilan dan tanggal estimasi persalinan yang dihitung
dengan menggunakan rumus dari Naegle :

32
TTP – (HPHT +7) dan (bulan HT+3)

b. Mual dan muntah

Biasanya terjadi saat awal kehamilan hingga akhir trimester satu dan karena sering
terjadi saat pagi hari maka disebut morning sickness. Jika mual muntah terjadi
terlalu sering maka disebut hiperemesis.

c. Mengidam (craving)

Ibu hamil sering meminta makanan atau minuman tertentu, terutama pada
trimester pertama.

d. Pingsan

Dapat terjadi pingsan bila berada di tempat ramai yang sesak dan padat

e. Tidak ada selera makan (anorexia) yang biasanya terjadi pada trimester 1
kehamilan, dan nafsu makan akan kembali setelah melewati trimester 1.

f. Kelelahan (fatigue)

g. Payudara membesar, tegang, dan sedikit nyeri karena hormone estrogen dan
progestron menstimulasi duktus alveoli payudara, Kelenjar Montgomery terlihat
membesar.

h. Miksi sering

Hal ini disebabkan kandung kemih tertekan oleh rahim yang membesar. Gejala ini
akan menghilang pada trimester kedua kehamilan. Pada akhir kehamilan gejala ini
dapat kembali karena kandung kemih tertekan oleh kepala janin.

i. Konstipasi/obstipasi karena tonus otot menurun karena pengaruh hormon


steroid.

j. Pigmentasi kulit pada muka (chloasma gravidarum), aerola payudara, leher, dan
dinding perut (linea nigra) disebabkan oleh hormon kortikosteroid plasenta

k. Epulis (hipertrofi papil gusi)

33
l. Pelebaran vena (varises) pada kaki, betis, dan vulva pada trimester 3

2. Tanda mungkin hamil

a. Perut membesar

Setelah kehamilan 14 minggu, rahim teraba dari luar dan terlihat pembesaran
perut.

b. Uterus membesar dan terjadi perubahan bentuk serta konsistensi rahim

c. Tanda Hegar,

Konsistensi rahim menjadi lunak terutama pada ismus. Pada minggu pertama
ismus uteri hipertrofi seperti korpus uteri, sehingga menjadi panjang dan lunak

d. Tanda Chadwick

Terjadi perubahan warna kebiruan hingga keunguan pada vulva, vagina, dan
serviks yang disebabkan oleh hormone estrogen.

e. Tanda Piscaseck

Uterus mengalami pembesaran yang terkadang tidak merata tetapi daerah telur
nidasi tumbuh lebih cepat, sehingga uterus membesar ke salah satu jurusan.

f. Tanda Braxton-Hicks

Merupakan tanda khas uterus pada saat kehamilan, yaitu mudah terjadi kontraksi
saat dilakukan stimulasi pada uterus. Pada keadaan uterus membesar tanpa
kehamilan misalnya pada mioma uteri, tanda ini tidak ditemukan.

g. Teraba balotemen, yang merupakan fenomena bandul atau pantulan balik dan
merupakan tanda keberadaan janin dalam uterus.

h. Tes kehamilan positif

Merupakan cara khas yang dipakai dengan menentukan kadar human chorionic
gonadotropin pada kehamilan muda yaitu dengan menggunakan air kencing

34
pertama pada pagi hari sehingga dapat menentukan diagnosa kehamilan sedini
mungkin

3. Tanda pasti (tanda positif) :

a. Gerakan janin dapat dilihat, dirasakan, dan diraba pada bagian janin

b. Denyut jantung janin

(1) didengar dengan stetoskop-monoral Laennec

(2) dicatat dan didengar dengan alat Doppler

(3) dicatat dengan feto-elektrokardiogram

(4) dilihat pada ultrasonografi

c. Terlihat tulang janin dalam foto rontgen. (Mochtar, Rustam,1998)

2.1.5 Faktor yang mempengaruhi kehamilan

Faktor yang mempengaruhi kehamilan terdiri atas status kesehatan, gizi,


dan gaya hidup maternal.

1) Status kesehatan

Diklasifikasikan berdasarkan penyakit ibu hamil yaitu berupa komplikasi


langsung kehamilan seperti hypermesis gravidarum, preeklampsia, kehamilan
ektopik, pendarahan anterpartum, dan kelainan plasenta. Sedangkan penyakit atau
kelainan yang tidak berhubungan langsung dengan kehamilan juga dapat
mempengaruhi kehamilan atau diperberat oleh kehamilan seperti penyakit
kardiovaskular dan liver.

2) Status gizi

Kebutuhan gizi ibu hamil secara umum yaitu asam folat, zat besi, kalsium,
vitamin D, dan lain-lain.

3) Gaya hidup

35
Ibu hamil yang merokok akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
persalinan preterm, kelahiran BBLR, kematian perinatal, dan ketuban pecah dini.
Kebiasaan merokok biasanya terjadi pada ibu dengan status sosial-ekonomi
rendah, paritas tinggi, atau memiliki masalah psikologis seperti stress dan depresi.
(Pantikawati dan Saryono, 2010)

2.1.5 Pemantauan Fungsional Janin

A. Nonstress Test (NST)

Non-Stress Test (NST) merupakan sebuah pemeriksaan yang sederhana,


dan tidak invasif yang dilakukan pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu
menggunakan kardiotokografi. Pemeriksaan ini mengukur laju jantung janin
sebagai respon dari pergerakan janin selama 20-30 menit. Jika bayi tidak
bergerak, tidak selalu bahwa selalu ada masalah, tetapi bisa saja bayi dalam
keadaan tertidur, sehingga perawat dapat membangunkan janin dengan
membunyikan lonceng. Cara melakukan uji tersebut adalah dengan menggunakan
sabuk yang memiliki sensor yang sensitif terhadap denyut jantung janin dan
dipasang melingkari perut ibu yang berbaring, kemudian denyut jantung janin
akan direkam oleh mesin yang tersedia. Pemeriksaan ini akan memperlihatkan
gambaran yang abnormal pada janin yang tidak memiliki oksigen yang adekuat
karena masalah pada plasenta atau umbilical cord atau masalah lainnya seperti
distress janin. Hasil pemeriksaan dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Reaktif: menandakan bahwa aliran darah ke janin adekuat. Dikatakan reaktif


jika dalam terdapat dua atau lebih akselerasi laju jantung janin dalam 20 menit,
baik dengan atau tanpa pergerakan yang diarasa oleh ibu. dikatakan akselerasi jika
terdapat 15 denyut per menit (dpm) diatas nilai dasar selama 15 detik jika berusia
melebih 32 minggu,atau 10 dpm dalam 10 detik jika berusia kurang dari 32
minggu.

b) Non reaktif: membutuhkan beberapa pemeriksaan tambahan untuk


membedakan apakah benar penyebab tidak reaktif akibat kurangnya oksigenasi
atau apakah ada alasan lain yang menyebabkan janin tidak reaktif (misalnya pola

36
tidur, riwayat minum obat ibu). Sebuah lokakarya dari National Institute of Child
Health and Human Development (NICHD) tahun 2008 telah menghasilkan
nomenklatur standar untuk definisi dan sistem interpretasi KTG untuk keperluan
strategi penatalaksanaan, prioritas penelitian dalam kaitannya dengan pemantauan
elektronik janin intrapartum. Nomenklatur interpretasi KTG tersebut dibagi
menjadi 3 kategori sebabgai berikut:

Kategori I: Pola normal KTG yang menggambarkan status asam dan basa
janin pada saat observasi dan tidak membutuhkan penatalaksanaan khusus,
meliputi:

• frekuensi dasar: 110-160 dpm

• variabilitas moderat

• tidak adanya deselerasi

• deselerasi dini dapat saja terjadi

• akselerasi dapat terjadi atau tidak

Kategori II: Pola indeterminate, walaupun tidak menggambarkan status


asam-basa janin, tidak dapat diklasifikasikan sebagai kategori I atau III, sehingga
membutuhkan evaluasi dan surveilans berkesinambungan serta reevaluasi. Pola ini
jarang ditemukan pada kondisi klinis dan meliputi gambaran:

• Frekuensi dasar takikardi atau bradikardia tanpa gambaran abnormalitas


variabilitas

• Variabilitas berkurang atau tidak adanya variabilitias yang tidak diikuti dengan
deselerasi berulang

• Tidak adanya akselerasi setelah dilakukan stimulasi janin (seperti stimulasi kulit
kepala janin, stimulasi vibroakustik, pengambilan sampel darah dari kulit kepala
janin, sinar halogen transabdominal)

• Deselerasi episodik atau periodik, yaitu deselerasi variabel berulang diikuti oleh
variabilitas yang berkurang atau sedang, deselerasi memanjang 2 menit dan

37
kurang dari 10 menit, deselerasi lambat berulang dengan variabilitas sedang,
deselerasi variabel dengan karakteristik lainnya seperti lambatnya kembali ke
frekuensi dasar, “overshoots”, atau “shoulders”.

Kategori III: Pola abnormal yang menggambarkan status asam-basa janin


yang abnormal pada saat observasi, sehingga membutuhkan evaluasi segera dan
upaya penanganan segera untuk mengembalikan pola abnormal denyut jantung
janin, seperti pemberian oksigen pada ibu, perubahan posisi ibu, menghentikan
induksi persalinan, menatalaksana hipotensi maternal, dan upaya tambahan
lainnya. Pola ini meliputi:

• Tidak adanya variabilitas denyut jantung janin diikuti dengan deselerasi lambat
berkurang, deselerasi variabel berulang, bradikardia dan pola sinusoid. False
Negative Rate (FNR) NST 2-3 per 1000, NPV 99,8% dan False Positive Rate
(FPR) 80%. Dengan demikian KTG/NST yang dilakukan antenatal untuk melihat
kesejahteraan janin tidak dianjurkan sebagai alat pemantauan tunggal pada janin
dengan PJT (Peringkat bukti II, Rekomendasi A). NST dilakukan setiap minggu,
dua kali perminggu atau setiap hari, tergantung berat ringannya PJT. BPS efektif
untuk memprediksi keluaran perinatal, FNR 0,8 per 1000, NPV 99,9% dan FPR
40%-50%.

B. Indeks Cairan Amnion (ICA)

USG dapat digunakan untuk menilai indeks cairan amnion secara


semikuantitatif yang sangat bermanfaat dalam mengevaluasi PJT. Penilaian
indeks cairan amnion dapat diukur dengan mengukur skor 4 kuadran atau
pengukuran diameter vertikal kantong amnion yang terbesar. Nilai prediksi
oligohidramnion untuk PJT berkisar antara 79-100%. Namun demikian indeks
cairan amnion yang normal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya PJT. Janin PJT dengan oligohidramnion akan disertai
dengan peningkatan angka kematian perinatal lebih dari 50 kali lebih tinggi. Oleh
sebab itu oligohidramnion pada PJT diangap sebagai suatu keadaan emergensi dan
merupakan indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan pada janin viabel.

38
Kemungkinan adanya kelainan bawaan yang dapat menyebabkan terjadinya
oligohidramnion (agenesis atau disgenesis ginjal) juga perlu diwaspadai. ICA <5
cm dan indeks kantong amnion terdalam < 2 cm memiliki LR positif sebesar 2,5
dan LR negatif 0,94 dan 0,97 dalam memprediksi volume air ketuban < 5 promil.
Suatu penelitian meta analisis yang melibatkan 18 penelitian dengan 10.000
pasien melaporkan bahwa ICA <5 berhubungan dengan peningkatan risiko nilai
Apgar 5 menit < 7 (RR:5,2;CI:95%2,4-11,3) (Peringkat bukti: I dan III,
rekomendasi B).

C. Penilaian Kesejahteraan Janin

Dengan mengetahui kesejahteraan janin, dapat dideteksi ada atau tidaknya


asfiksia pada janin dengan PJT. Beberapa cara pemeriksaan yang dapat
dikerjakan, antara lain pemeriksaan skor profil biofisik. Kematian perinatal akibat
asfiksia akan meningkat jika nilai skornya <4. Hasil penelitian metaanalisis
melaporkan bahwa penilaian skor profil biofisik tidak meningkatkan luaran
perinatal. Namun pada kehamilan risiko tinggi penilaian profil biofisik memiliki
nilai prediksi negatif yang baik. Kematian janin lebih jarang terjadi pada
kelompok dengan skor profil biofisik normal (peringkat bukti Ia, rekomendasi
A). Pada pelaksanaanya penilaian skor profil biosfisik ini sangat menyita waktu
dan tidak dianjurkan pada pemantauan rutin kehamilan risiko rendah atau untuk
pemantauan primer janin dengan PJT (Peringkat bukti IB, rekomendasi A).

D. Pengukuran Doppler Velocimetry

PJT tipe II yang terutama disebabkan oleh infusiensi plasenta akan


terdiagnosis dengan baik secara USG Doppler. Peningkatan resistensi perifer dari
kapiler-kapiler uterus (terutama pada kasus hipertensi dalam kehamilan/HDK)
akan ditandai dengan penurunan tekanan diastolik sehingga Sistolik-Diastolik
(S/D) ratio akan meningkat, demikian juga dengan indeks pulsatilitas (IP) dan
indeks resistensi (IR). Saat ini USG Doppler dianggap sebagai metode yang
paling dini untuk mendiagnosis adanya gangguan pertumbuhan sebelum terlihat
tandatandalainnya. Kelainan aliran darah pada pemeriksaan Doppler baru akan

39
terdeteksi dengan pemeriksaan KTG satu minggu kemudian. Hilangnya
gelombang diastolik / absent end diastolic flow (AEDF) akan diikuti dengan
kelainan pada KTG 3-4 hari kemudian. Gelombang diastolik yang terbalik/
reversed end diastolic flow (REDF) akan disertai dengan peningkatan kematian
perinatal dalam waktu 48-72 jam.25 Dengan demikian, pemeriksaan USG
Doppler dapat digunakan untuk mengetahui etiologi, derajat penyakit dan
prognosis janin dengan PJT.

E. Pemeriksaan Pembuluh Darah Arteri

1. Arteri Umbilikalis

Pada kehamilan yang mengalami PJT, maka gambaran gelombang


Dopplernya akan ditandai oleh menurunnya frekuensi akhir diastolik. Pada
preeklampsia dan adanya PJT akan terlihat gambaran gelombang diastolik yang
rendah (reduced), hilang (absent), atau terbalik (reversed). Hal ini terjadi akibat
adanya perubahan-perubahan pada pembuluh darah di plasenta dan umbilikus.
Adanya sklerosis yang disertai dengan obliterasi lapisan otot polos pada dinding
arteriola vili khorialis sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tahanan
perifer pada pembuluh-pembuluh darah ini. Sampai saat ini pemeriksaan arteri
umbilikalis untuk mendiagnosis keadaan hipoksia janin pada kasus preeklampsia
atau PJT masih menjadi cara pemeriksaan yang terpilih karena lebih mudah
pemeriksaannya dan interpretasinya.26 Hilang (AEDF) atau terbaliknya (REDF)
gelombang diastolik arteri umbilikalis berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas perinatal. Walaupun kejadian respiratory distress
syndrome (RDS) dan necrotizing enterocolitis (NEC) tidak meningkat
dengan adanya AEDF/REDF, namun kejadian perdarahan serebral, anemia dan
hipoglikemia akan meningkat (Peringkat bukti Ia, rekomendasi C).14,27 Doppler
Velocimetry pada arteri umbilikalis pada kehamilan risiko tinggi merupakan
peramal luaran perinatal. IP, rasio S/D dan IR masingmasing memiliki sensitifitas
79%, spesifitas 93%, PPV 83%, NPV 91% dan indeks Kappa 73%.27

2. Arteri Serebralis Media (Media Cerebralis Artery / MCA)

40
Sirkulasi serebral pada kehamilan trimester I akan ditandai oleh gambaran
absent of end-diastolic flow, kemudian gelombang diastolik mulai akan terlihat
sejak akhir trimester I. Doppler velocimetry pada serebral janin juga dapat
mengidentifikasi fetal compromise pada kehamilan risiko tinggi. Jika janin tidak
cukup mendapatkan oksigen akan terjadi redistribusi sentral aliran darah dengan
meningkatnya aliran darah ke otak, jantung dan glandula adrenal. Hal ini disebut
brain-sparing reflux atau brain-sparing effect, yaitu redistribusi aliran darah ke
organ-organ vital dengan cara mengurangi aliran darah ke perifer dan plasenta.28
Pada janin PJT yang mengalami hipoksia akan terjadi penurunan aliran darah
uteroplasenter. Pada keadaan ini, gambaran Doppler akan memperlihatkan adanya
peningkatan indeks resistensi atau indeks pulsatilitas arteri umbilikasis yang
disertai penurunan resistensi sirkulasi serebral yang terkenal dengan fenomena
“brain sparing effect” (BSE) yang merupakan mekanisme kompensasi tubuh
untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan organ-organ penting lainnya.
Pada keadaan hipoksia yang berat, hilangnya fenomena BSE merupakan tanda
kerusakan yang ireversibel yang mendahului kematian janin. Velositas puncak
sistolik MCA merupakan indikator yang baik bagi anemia janin dengan
inkompatabilitas rhesus, namun kurang sensitif untuk menegakkan anemia janin
pada janin dengan PJT.

3. Cerebroplacental Ratio (CPR)

Pemeriksaan rasio otak/plasenta/ Cerebroplacental Ratio (CPR) janin


(yaitu nilai IP arteri serebralis media /nilai IP arteri umbilikalis) merupakan
alternatif lain untuk mendiagnosis PJT. Pemeriksaan CPR bermanfaat untuk
mendeteksi kasus PJT yang ringan. Janin yang mengalami PJT akibat insufisiensi
plasenta sebelum kehamilan 34 minggu seringkali disertai dengan gambaran
Doppler arteri umbilikalis yang abnormal. Apabila tejadi gangguan nutrisi setelah
kehamilan 34 minggu, bisa terjadi gambaran Doppler arteri umbilikalis yang
masih normal walaupun respons MCA yang abnormal. Oleh sebab itu nilai CPR
bisa abnormal pada janin dengan PJT yang ringan. Setelah kehamilan 34 minggu,
nilai indeks Doppler MCA atau CPR yang menurun harus dicurigaiakan adanya

41
PJT walaupun indeks arteri umbilikalis masih normal.Pemeriksaan CPR juga
diindikasikan pada janin yang kecil dengan nilai Doppler arteri umbilikalis yang
normal. Apabila sudah ditemukan AEDF/REDF pada arteri umbilikalis, maka
pemeriksaan CPR tidak diperlukan lagi.

F. Pemeriksaan Pembuluh Darah Vena

1. Vena Umbilikalis

Dalam keadaan normal, pada kehamilan trimester I, terlihat gambaran


pulsasi vena umbilikalis sedangkan pada kehamilan >12 minggu gambaran pulsasi
ini menghilang dan diganti oleh gambaran continuous forward flow. Pada keadaan
insufisiensi uteroplasenta, gambaran pulsasi vena umbilikalis akan terlihat
kembali pada trimester II-III dan gambaran ini menunjukkan keadaan hipoksia
yang berat sehingga sering dipakai sebagai indikasi untuk menentukan terminasi
kehamilan.

2. Duktus Venosus (DV)

Apabila terjadi keadaan hipoksia, maka mekanisme sfingter di


percabangan vena umbilikalis ke vena hepatika akan bekerja, sebaliknya akan
terjadi penurunan resistensi DV sehingga darah dari plasenta/vena umbilikalis
akan lebih banyak diteruskan melalui DV langsung ke atrium kanan dan atrium
kiri melalui foramen ovale. Dengan demikian gambaran penurunan resistensi DV
yang menyerupai gambaran mekanisme BSE, merupakan petanda penting dari
adanya hipoksia berat pada PJT. Dalam keadaan normal, gambaran arus darah DV
ditandai oleh adanya gelombang “A” dari takik akhir diastolik, jadi merupakan
gambaran bifasik seperti punggung unta. Puncak yang kedua (gelombang “A”)
merupakan akibat dari adanya kontraksi atrium. Dengan bertambahnya umur
kehamilan maka akan terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut : terjadi
peningkatan pada time averaged velocity, peak systolic velocity, dan peak
diastolic velocity. Sedangkan puncak S/D dengan sendirinya akan menetap. Pada
keadaan hipoksia seperti pada preeklamsia atau PJT, maka akan terjadi
pengurangan aliran darah yang ditandai dengan pengurangan atau hilangnya

42
gambaran gelombang “A”. Pada hipoksia yang berat bisa terlihat gambaran
gelombang A yang terbalik. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pemeriksaan
Doppler DV merupakan prediktor yang terbaik dibandingkan dengan Doppler
arteri uterina dan KTG.

2.1.5 Plasentasi dan Aliran Darah Uteroplasenta

Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan jenis plasenta. Setelah


nidasi embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai. Pada manusia plasentasi
berlangsung sampai 1.2 - 1,8 minggu setelah fertilisasi. Dalam 2 minggu pertama
perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif telah melakukan penetrasi ke
pembuluh darah endometrium. Terbentuklah sinus intertrofoblastik yaitu ruangan-
nrangan yang berisi darah maternal dari pembuluh-pembuluh darah yang
dihancurkan. Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruanganruangan
interviler di mana vili korialis seolah-olah terapung-apung di antara
ruanganruangan tersebut sampai terbentuknya plasen1x13,14,ts. Tiga minggu
pascafertilisasi sirkulasi darah janin dini dapat diidentifikasi dan dimulai
pembentukan vili korialis. Sirkulasi darah janin ini berakhir di iengkung kapilar.
(capillary loops) di dalam vili korialis yang ruang intervilinya dipenuhi dengan
darah ,rri.rri yang dipasok oleh arteri spiralis dan dikeluarkan melalui vena
uterina. Vili korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu
plasenta.

Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kar,um uteri disebut
desidua kapsularis; yang terletak antari hasil konsepsi dan dinding uterus disebut
desidua basalis; di situ pl"senra akan dibentuk. Desidua yang meliputi dinding
uterus yang lain_ adalah desidua parietalis. Hasil konsepsi sendiri diselubungi
oleh jonjot-joniot yang dinama.kan vili iorialis dan berpangkal pada korion. Sel-
sel fibrolas mesodermal tumbuh di sekitar embrio dan melapisi pula iebelah dalam
trofoblas. Dengan demikian, terbentuk chorionic membrane y"ng k.lrk rnenjadi
korion. Selain itu, vili korialis yang berhubungan dengan desidua basalis tumbuh
dan bercabang-cabang dengan baik, di sini korion disebuikorion frondosum, yang
berhubungan dengan desidua kapsularis kurang mendapat makanan, karena hasil

43
konsepsi bertumbuh ke arah kavum uteri sehingga lambat-laun menghilang;
korion yang gundul ini disebut korion laevell.

Darah ibu dan darah janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin
dan lapisan korion. Plasenta yang demikian dinamakan plasenta jenis hemokorial.
Di sini jelas tidak ada percampu.a.t d.rrh antara darah janin dan darah ibu1a. Ada
juga sel-sel desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblas dan sel-sel ini
akhirnya membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika
proses melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch.

Janin dan plasenta dihubungkan dengan tali pusat yang berisi 2 arteri dan
satu vena; vena berisi darah penuh oksigen, sedangkan arteriyang kembali dari
janin berisi darah kotor. Bila terdapat hanya satu aneriada risiko 15 % kelainan
kardiovaskular; ini dapat terjadi pada 1 : 200 kehamilan. Tali pusat berisi massa
mukopolisakarida yang disebut .ieli \Tharton dan bagian luar adalah epitel
amnion. Panjang tali pusat bervariasi, yaitu 30 - 90 cm. Pembuluh darah tali pusat
berkembang dan berbentuk seperti heliks, maksudnya agar terdapat fleksibilitas
dan terhindar dari torsi. Tekanan darah arteri pada akhir kehamilan diperkirakan
70/60 mmHg, sedangkan tekanan vena diperkirakan 25 mmHg. Tekanan darah
yang relatif tinggi pada kapilar, termasuk pada viii maksudnya ialah seandainya
terjadi kebocoran, darah ibu tidak masuk ke janin. Pada kehamiian aterm arus
darah pada tali pusat berkisar 350 ml/menit. Pada bagian ibu di mana aneri spiralis
menyemburkan darah, tekanan relatif rendah yaitu 10 mmHg. Arus darah
uteroplasenta pada kehamilan aterm diperkirakan 500 - 750 ml/menita. Patologi
pada berkurangnya arus darah uteroplasenta, misalnya pada preeklampsia,
mengakibatkan perkembangan janin terhambat (PJT). Konsep yang diterima saat
ini ialah implantasi plasenta yang memang tidak normal sejak awal menyebabkan
model arteri spiralis tidak sempurna (relatif kaku). Hal ini menyebabkan sirkulasi
uteroplasenta abnormal dan berakibat risiko preeklampsia (Sarwono, 2010).

2.2 Konsep Dasar Hipertensi Dalam Kehamilan

44
2.2.1 Definisi

Hipertensi dalam kehamilan terjadi dalam 12-22% kehamilan dan


meningkatkan baik morbiditas maupun mortalitas maternal dan perinatal.
Hipertensi dalam kehamilan dapat di klasifikasikan menjadi :

1. Hipertensi kronis yaitu hipertensi yang muncul sebelum 20 minggu kehamilan.


Hipertensi diklasifikasikan menjadi hipertensi ringan, yaitu ketika tekanan sistolik
≥ 140-180 mm Hg atau tekanan diastolik ≥ 90-100 mm Hg atau keduanya.
Sedangkan hipertensi berat yaitu hipertensi dengan tekanan sistolik ≥180 mmHg
atau tekanan diastolik ≥ 100 mm Hg.

2. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang muncul setelah 20 minggu usia


gestasi tanpa disertai proteinuria dan kembali normal setelah persalinan.

3. Preeklampsia adalah hipertensi pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu yang
disertai dengan proteinuria dan edema. Preeklamsia dikategorikan berat jika
tekanan darah sistolik ≥ 160 mm Hg atau tekanan diastolik ≥ 110 mm Hg pada
pemeriksaan 2 kali dengan jeda waktu 6 jam ketika pasien sedang dalam keadaan
bed rest.

4. Eklampsia adalah preeklamsia yang disertai dengan konvulsi (grand mal


seizures) pada wanita hamil penderita preeklamsia. (Charles RB. Beckmann et al.,
2010)

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penyulit kehamilan dan


merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh
perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non medik dan sistem
rujukan yang belum sempurna. Hipertensi dalam kehamilan dapat dialami oleh
semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan rentang pengelolaan hipertensi
dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga medik baik di
pusat maupun di daerah.

45
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah:

1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20


minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis seteiah umur kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan

2. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan


disertai dengan proteinuria

3. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-keiang dan atau


koma

4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi kronik


disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria

5. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi


yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang
setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia
tetapi tanpa proteinuria. (Sarwono, 2010)

2.2 Konsep Dasar Preeklampsia

2.2.1 Definisi

Preeklampsia adalah kelainan multisistemik yang terjadi pada 2-5% ibu


hamil dan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas maternal dan perinatal, terutama pada early onset. Setiap tahun 76.000
ibu hamil dan 500.000 bayi meninggal di seluruh dunia. Ibu hamil yang tinggal di
negara berkembang memiliki risiko lebih tinggi terserang preeklamsia
dibandingkan dengan ibu hamil di negara maju. (FIGO, 2019)

Preeklamsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai


dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia

46
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan
diatas 20 minggu. Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena
sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilannormal. (POGI, 2014)

Preeklampsia adalah suatu kondisi dimana tekanan darah diastolik pada


ibu hamil berada di atas 90 mmHg dan tekanan sistolik di atas 140 mmHg pada 2
kali pengukuran dengan jeda waktu 6 jam, disertai dengan proteinuria diatas 300
mg pada sampel urin 24 jam yang terjadi pada usia kehamilan diatas 20 minggu
pada wanita dengan tekanan darah normal sebelum kehamilan. (Jelena Milosevic,
Miljam Krstic, Dragana Radovic, 2016)

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai


dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20
minggu. (PNPK Preeklamsia, 2016)

Preeklamsia dapat diklasifikasikan menjadi early onset dan late onset.


Early Onset Preeclampsia (EOPE) adalah preeklamsia yang terjadi sebelum 34
minggu usia gestasi, sedangkan Late Onset Preeclampsia (LOPE) didefinisikan
sebagai preeklamsia yang terjadi setelah 34 minggu usia gestasi. EOPE pada
umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk, dikarenakan terkait pada
pertumbuhan janin terhambat, arteri umbilikalis dan Gelombang Doppler uterus
abnormal, serta luaran perinatal yang buruk. Sedangkan LOPE memiliki
prognosis dan komplikasi yang cenderung lebih ringan dan luaran janin yang
lebih baik. (Gomathy, Kondareddy, 2018)

Preeklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan


proteinuria yang timbul pada usia kehamilan diatas 20 minggu dengan penyebab
yang belum diketahui. Pada kondisi preeklamsia berat dapat menjadi eklamsia
dengan penambahan gejala kejang hingga koma. (Prawirohardjo, 2009)

47
Preeklamsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi
ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi
menjadi preekiampsia ringan dan preeklampsia berat. Pembagian preeklampsia
menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya dua penyakit yang jelas berbeda,
sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia ringan dapat
mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma.

Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending


eclampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut
impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium,
dan kenaikan progresif tekanan darah. Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma
spesifik kehamilan dengan menumnnya perfusi organ yang berakibat terjadinya
vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Sedangkan Preeklamsia berat
ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik > 110 mm Hg disertai proteinuria lebih 5 g/ 24 jam. (Sarwono, 2010)

Preeklamsia berat didefinisikan sebagai tekanan darah di atas 160/110


mmHg pada dua kali pengukuran dengan jeda waktu lebih dari 6 jam, disertai
dengan proteinuria diatas 5 gram/24 jam atau diatas 3+ pada sampel urin, dan
dapat disertai oleh gangguan penglihatan atau serebral, nyeri abdomen, fungsi
liver abnormal, oliguria, edema pulmonal, trombositopenia, dan pertumbuhan
janin terhambat. (Ligia Maria, Maria Regina, Cleide Enoir, 2012)

Preeklamsia berat ditandai dengan tekanan darah sekurang-kurangnya 160


mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama, trombositopenia yaitu kadar trombosit
kurang dari 100.000/ mikroliter, gangguan ginjal yang ditandai dengan serum
kreatinin diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum
pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya, gangguan liver yang
ditandai dengan peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen, edema paru, serta
didapatkan gejala neurologis seperti stroke, nyeri kepala, gangguan visus,

48
gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta,
oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV). (PNPK Preeklamsia, 2016)

2.2.2 Faktor Risiko

Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam


kehamilan, yaitu primigravida, primipaternitas, hiperplasentosis (misalnya : mola
hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar),
umur ekstrim, riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia penyakit ginjal dan
hipertensi yang sudah ada sebelum hamil, dan obesitas. (Sarwono, 2010)

Faktor risiko preeklamsia menurut (Beckmann, 2016) yaitu :

1. Nulipara

2. Gestasi multifetal

3. Usia di atas 35 tahun

4. Riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya

5. Hipertensi kronis

6. Diabetes pregestasional

7. Kelainan vaskular dan jaringan

8. Nefropati

9. Sindrom antifosfolipid

10. Obesitas

12. Ras kulit hitam. (Charles RB. Beckmann et al., 2010)

Sedangkan faktor risiko preeklamsia menurut (Cunningham, et al., 2014) :

1. Obesitas

2. Kehamilan multifetal

49
3. Usia ibu

4. Hiperhomosisteinemia

5. Sindrom metabolik

6. Lingkungan, musim, dan sosioekonomi

2.2.3 Etiologi

Etiologi preeklampsia berdasarkan (Cunningham, et al., 2014) meliputi


implantasi plasenta dengan invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah uterin,
maladaptasi toleransi imun

ologis antara maternal, paternal (plasenta), dan jaringan fetus, maladaptasi


maternal terhadap perubahan kardiovaskular dan inflamasi pada kehamilan
normal, dan faktor genetik seperti gen dengan faktor predisposisi dan pengaryh
epigenetik.

2.2.4 Patofisiologi

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan


jelas, teori-teori yang saat ini dianut adalah :

1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan
otot arteri spiralis, sehingga jaringan matrix di sekitarnya tetap kaku dan keras.
Akibatnya, lumen arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi,
sehingga arteri spiralis mengalami vasokontriksi yang berujung pada kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Plasenta yag mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas) terutama radikal hidroksil yang sangat toksik dan merusak membran sel
yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak,

50
sehingga terjadi kerusakan nukleus dan protein sel endotel dan berujung pada
disfungsi sel endotel yang kemudian menyebabkan :

- Gangguan metabolisme prostaglandin


- Agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang rusak
- Perubahan khas pada epitel kapiler glomerulus
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Peningkatan produksi bahan vasopressor
- Peningkatan faktor koagulasi

3) Teori intoleransi imunologi ibu dan janin

Penurunan ekspresi HLA-G di desidua dan plasenta akan menghambat invasi


trofoblas, sehingga merangsang produksi sitokin dan terjadi inflamasi yang
berakibat terjadinya maladaptasi imun pada preeklampsia.

4) Teori adaptasi kardiovaskular dan genetik

Kehilangan daya refrakter terhadap vasokonstriktor akan menyebabkan kepekaan


terhadap vasopressor meningkat, sehingga daya refrakter pembuluh darah
terhadap vasopressor hilang. Sedangkan pada faktor genetic terdapat faktor
keturunan familial dengan model gen tunggal

5) Teori defisiensi gizi

Konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko
preeklamsia. Hal ini disebabkan karena minyak ikan mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat
aktivasi trombosit, dan mencegah vasokotriksi pembuluh darah. Selain itu
defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya
preeklamsia/eklamsia.

6) Teori strimulus inflamasi

Debris trofoblas dalam sirkulasi merangsang terjadinya inflamasi. Pada


preeklamsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga debris apoptosis dan

51
nekrotik trofoblas meningkat, yang mengakibatkan terjadinya respon inflamasi
yang mengaktivasi sel endotel dan makrofag. (Sarwono, 2010)

Walaupun penyebab preeklamsia belum diketahui secara jelas, tidak ada


keraguan bahwa plasenta adalah organ pemicu perkembangan preeklamsia. Sistem
imun dan juga vascular secara tidak langsung terlibat dalam patogenesis penyakit.

1) Sistem imun

Respon inflamasi dari imunitas innate memiliki peran penting, karena sel
natural killer (NK) memproduksi sitokin, yang mempromosikan infiltrasi arteri
spiral oleh trofoblas dan menyebabkan respon inflamasi pada desidua secara
intens dan sistemik dan terlibat pada disfungsi sel endotel dan aktivasi leukosit.
Preeklampsia disebut juga dengan penyakit 2 fase yang dimulai dengan plasentasi
buruk dan penurunan vaskularisasi uteroplasenta, dan mengakibatkan hipoksia
plasenta. Fase satu ini kemudian akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator,
yaitu faktor pertumbuhan dan soluble receptors, sitokin inflamasi, debris plasenta,
dan produk hasil stress oksidatif. Mediator-mediator ini kemudian akan
menyebabkan disfungsi sel endotel dan sindrom inflamasi sistemik, yang
menyebabkan munculnya manifestasi klinis preeklampsia pada fase dua.

2) Peran stress oksidatif

Stress oksidatif disebabkan oleh ketidakseimbangan antara peningkatan


generasi spesies oksigen reaktif, meliputi radikal bebas dan intermediates yang
berasal dari metabolism mitokondria dan defisiensi mekanisme pada perlindungan
antioksidan. Stress oksidatif plasenta dipercaya berperan sebagai intermediate
pada patogenesis preeklamsia karena mempromosikan peroksidasi lipid pada
membran sel plasenta yang dapat menyebabkan disfungsi sel endotel karena
terjadi peningkatan produksi tromboksan A2, pelepasan produk toksik atau
aktivasi kaskade sinyal intraseluler, dan sekresi soluble factors yang kemudian
dapat mengaktivasi respon inflamasi maternal. Disfungsi nitrit oksida (NO) juga
terlibat dalam patogenesis preeklamsia. NO merupakan vasodilator yang disintesa
oleh sel endotel L-arginine. Disfungsi sel endotel ditandai oleh berkurangnya

52
bioavailabilitas NO melalui penurunan produksi atau peningkatan konsumsi oleh
stress oksidatif karena NO sangat reaktif terhadap radikal bebas. Kadar NO yang
rendah menyebabkan penurunan vasodilatasi pada aliran darah uteroplasenta.

3) Peran faktor angiogenik

Angiogenesis plasenta merupakan proliferasi endotel bifasik pada


pertengahan gestasi disertai dengan remodeling vaskular pada babak kedua
kehamilan. Angiogenesis plasenta diatur oleh berberapa faktor pertumbuhan,
tetapi vascular endothelial growth factor (VEGF) menandakan adanya
pembatasan kritis. Placental growth factor (PIGF) adalah salah satu anggota
VEGF yang dilepaskan oleh sel endotel aktif yang memperbesar respon VEGF.

Transformasi faktor pertumbuhan (TGF)-β dilakukan oleh endoglin


koreseptor yang terekspresi pada sel endotel. Bentuk soluble endoglin (sEng)
memiliki efek angiogenik, yaitu menghambat siklus signaling TGF-β dan bentuk
soluble lain seperti tirosin kinase (sFlt1) yang merupakan antagonis natural
VEGF-A dan PIGF. Kedua faktor angiogenik ini ditemukan meningkat pada
penderita preeklamsia dan berkorelasi dengan berbagai komplikasi, termasuk
abrupsi plasenta, pertumbuhan janin terhambat, dan EOPE. sEng menigkatkan
permeabilitas vaskular dan hipertensi, dan efeknya dapat teramplifikasi dengan
keberadaan sFlt1. (Ligia Maria, Maria Regina, Cleide Enoir, 2012)

2.2.4 Penegakkan diagnosa

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan


sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan preeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:

1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

53
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya

3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau


adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

4. Edema Paru

5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi


uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan
adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat :

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada


preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria
gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau
preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg


diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama

2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan


kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya

4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau


adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

54
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV).

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara


kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin
masif (lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia
(preeklamsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia
ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan
dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat.(PNPK Preeklamsia, 2016)

Kriteria diagnosa preeklamsia berat yaitu tekanan darah sistolik ≥160 mm


Hg dan tekanan diastolik ≥ 110 mm Hg setelah 20 minggu kehamilan dengan 2
kali pemeriksaan dengan jarak waktu 6 jam, proteinuria ≥ 5 g dalam 24 jam,
dengan gejala tambahan seperti sakit kepala hebat yang persisten, gangguan
visual, nyeri epigastrium, oliguria dengan gangguan ginjal, sindrom HELLP
(Hemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platelets), IUGR (Intrauterine growth
restriction), oligohidroamnion, trombositopenia (≤ 100.000), dan enzim liver
meningkat. (Peter S. Uzelac, 2005)

2.2.5 Komplikasi

Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit


kardiovaskular, 4x peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit jantung
iskemik, stroke dan DVT di masa yang akan datang. Risiko kematian pada wanita
dengan riwayat preeklampsia lebih tinggi, termasuk yang disebabkan oleh
penyakit serebrovaskular (PNPK Preeklampsia, 2016)

Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi lainnya


menurut (Wibowo dan Rachimhadhi, 2006) adalah solusio plasenta yang sering
terjadi pada ibu penderita preeklamsia dan hipertensi akut, sedangkan
hipofibrinogemia dan hemolisis lebih sering terjadi pada preeklamsia berat.
Penderita preeklamsia berat biasanya menunjukkan gejala klinis hemolisis berupa

55
ikterus yang belum diketahui secara jelas disebabkan oleh kerusakan sel liver atau
destruksi eritrosit dengan nekrosis periportal liver yang merupakan akibat dari
vasospasme aretiole umum dan merupakan salah satu kelainan khas yang ditemui
pada penderita preeklamsia. Dapat terjadi sindroma HELLP, kelainan
ginjal,edema pulmonal, kehilangan penglihatan sementara dan dapat disertai
dengan pendarahan retina yang merupakan tanda gawat apopleksia serebri.
Komplikasi lainnya meliputi trauma atau fraktur akibat kejang, aspirasi
pneumonia, DIC (disseminated intravascular coagulation), prematuritas,
dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Selain itu juga terjadi pendarahan
otak yang merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal penderita
preeklampsia.

2.3 Konsep Dasar Intrauterine growth restriction (IUGR)

2.3.1 Definisi

Intrauterine growth restriction (IUGR) seringkali mempengaruhi


morbiditas dan mortalitas perinatal, dan mempengaruhi 10-15% wanita hamil.
IUGR didefinisikan sebagai fetus yang gagal mencapai pertembuhan potensial.
Seringkali disamakan dengan antenatal small for gestational age (SGA), yang
merupakan fetus dengan berat badan < 10% dari normal. (RCOG, 2002)

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) merupakan salah satu komplikasi dari


preeklampsia terhadap janin. Janin dengan PJT memiliki resiko yang besar untuk
terjadinya morbiditas dan mortalitas. Bayi yang lahir dengan berat 1500 sampai
2000 gram (persentile < 10) akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas
5-30 kali dibandingkan bayi dengan berat yang sama lahir normal. Pertumbuhan
janin terhambat merupakan salah satu komplikasi dari preeklampsia yang
diakibatkan oleh insufiensi plasenta. Pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim
dapat diprediksi dengan pemeriksaan ultrasonografi. (Made Ayu Suastini,
Ernawati, 2015)

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah kegagalan janin atau bayi


mencapai potensi pertumbuhan genetiknya. Bahaya dari pertumbuhan janin

56
terhambat pada janin meliputi persalinan sewaktu-waktu karena janin mengalami
hipoksia kronik sehingga dapat menyebabkan kematian. Risiko pada janin sendiri,
janin lahir kemungkinan akan mengalami asfiksia saat lahir, hipoglikemia karena
sumber energi seperti lemak kurang, polisitemia yang disebabkan karena hipoksia
intrauterin, hipotermia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Risiko saat anak-
anak, bayi yang terlahir dengan pertumbuhan janin terhambat akan mengalami
kejar tumbuh (catch-up growth), beberapa tetap pendek dan kurus. Anak yang
dilahirkan dengan berat dan pertumbuhan tidak normal akan berdampak setelah
dewasa, misalnya mengalami risiko penyakit NIDDM (non-insulin-dependent
diabetes mellitus) tipe 2, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke
(Lissauer et al., 2009).

Berdasarkan (Campbell, Thoms, 1977), IUGR atau fetal growth restriction


(FGR) diklasifikasikan dengan menggunakan sonografi untuk mengukur head-to-
abdomen circumference ratio (HC/AC) untuk mendifrensiasikan fetus yang
mengalami hambatan pertumbuhan. IUGR simetris berarti memiliki proporsi kecil
secara keseluruhan, sedangkan IUGR asimetris memiliki pertumbuhan abdomen
yang tidak proporsional.

57
Gambar 2.8 : Kurva pertumbuhan janin
Sumber : Creasy and Resnik's maternal-fetal medicine: principles and practice,
2014.

Gambar diatas menunjukkan berat badan, panjang badan, dan lingkar


kepala bayi pada usia kehamilan. Pada setiap kurva terdapat garis persentil yaitu
90%, 50%, dan 10%. Contohnya jika bayi berada pada 10 persentil untuk berat
badan, maka artinya berat badan bayi 10 persen kurang dai normal, yang dapat
dinyatakan bayi mengalami PJT.

Bayi kecil masa kehamilan merupakan masalah tersering dengan


morbiditas dan mortalitas neonatus terutama di negara berkembang. Bayi kecil
masa kehamilan (KMK) disebut juga small for gestational age (SGA) sering
disamakan dengan bayi dengan pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau
intrauterine growth restriction (IUGR). Angka mortalitas PJT meningkat 3-8 kali
dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir normal. Masalah morbiditas
neonatus yang dapat terjadi termasuk terhambat perkembangan neurologis. Secara
klinis PJT dibedakan atas 2 tipe yaitu: tipe I (simetris) dan tipe II (asimetris).
Kedua tipe ini mempunyai perbedaan dalam etiologi, terapi, dan prognosisnya.
PJT simetris adalah janin yang secara proporsional berukuran badan kecil.
Gangguan pertumbuhan janin terjadi sebelum umur kehamilan 20 minggu yang

58
sering disebabkan oleh kelainan kromosom atau infeksi. Sementara itu PJT
asimetris adalah janin yang berukuran badan tidak proporsional, gangguan
pertumbuhan janin terjadi pada kehamilan trimester III, sering disebabkan oleh
isufisiensi plasenta. Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada awal
kehamilan yaitu saat fase hiperplapsia (biasanya akibat kelainan kromosom dan
infeksi), akan menyebabkan PJT yang simetris. Jumlah sel berkurang dan secara
permanen akan menghambat pertumbuhan janin dan prognosis jelek. Penampilan
klinis berupa proporsi tubuh yang tampak normal karena berat dan panjang sama-
sama terganggu, sehingga indeks ponderal normal. Sementara itu, jika faktor yang
menghambat pertumbuhan terjadi pada saat kehamilan lanjut, yaitu saat fase
hipertrofi (biasanya akibat gangguan fungsi plasenta, misal pada preeklampsia),
akan menyebabkan ukuran sel berkurang, menyebabkan PJT asimetris yang
mempunyai prognosis lebih baik. Lingkaran perut kecil, skeletal dan kepala
normal, dan indeks ponderal abnormal. (PNPK PJT, 2016)

Klasifikasi IUGR dibedakan menjadi simetris dan asimetris. IUGR


simetris disebabkan oleh kelainan genetik dan infeksi intrinsik pada fetus, serta
terjadi pada awal gestasi, dan pada pemeriksaan scan antenatal ditemukan head
circumference, abdominal circumference, biparietal circumference, dan femur
length yang mengecil secara proposional dan merata, reduksi berat, panjang, dan
head circumference pada antropometri postnatal, dengan perbedaan antara head-
chest circumference < 3 cm dan tanda klinis malnutrisi kurang menonjol dan
memiliki prognosis buruk, sedangkan IUGR asimetris disebabkan oleh
insufisiensi uteroplasenta, cenderung terjadi pada akhir gestasi dan pada
pemeriksaan scan antenatal ditemukan head circumference, abdominal
circumference, biparietal circumference, dan femur length dalam batas normal,
hanya ditemukanreduksi berat pada antropometri postnatal, dengan perbedaan
antara head-chest circumference > 3 cm dan tanda klinis malnutrisi menonjol dan
memiliki prognosis yang jauh lebih baik. (Deepak Sharma., et al., 2016)

Pertumbuhan janin terhambat berdasarkan (Figueras, F., Gratacos, E.,


2017) di klasifikasikan lagi menjadi early onset dan late onset. Pada early onset,

59
terlihat pola khas deteriorasi berkembang dari peningkatan abnormalitas UA dan
venous Doppler hingga parameter biofisik abnormal yang seringkali merupakan
indikasi persalinan pretermal. Sedangkan pertumbuhan janin terhambat dengan
late onset biasanya dikaitkan dengan penyakit plasenta ringan dengan indeks
Doppler UA normal atau abnormalitas minimal, tetapi ditemukan RJP abnormal
dan tidak terdapat adaptasi kardiovaskular yang jelas di luar sirkulasi serebral.
Digunakan cut-off diagnosa 32 minggu atau 34 minggu saat persalinan
memaksimalkan perbedaan antara FGR early onset dan late onset.

Menurut (Mari G et al., 2007) IUGR diklasifikasikan dalam berberapa


stadium berdasarkan expected fetal weight (EFW), abdominal circumference
(AC). Perubahan kardiovaskular pada ultrasound Doppler, volume cairan amnion,
dan parameter klinis. Klasifikasi ini dapat digunakan untuk semua usia kehamilan.

Stadium 0 : Fetus dengan EFW atau AC < 10 persentile. Doppler UA dan MCA
dalam batas normal.

Stadium 1 : Fetus dengan EFW atau AC < 10 persentile. Terlihat abnormalitas


aliran pada Doppler UA atau MCA.

Stadium 2 : Fetus dengan EFW atau AC < 10 persentile. Tidak terlihat aliran atau
terdapat aliran terbalik pada Doppler UA

Stadium 3 : Fetus dengan EFW atau AC < 10 persentile. Tidak terlihat aliran atau
terdapat aliran terbalik pada Doppler DV.

2.3.2 Faktor risiko

Terdapat berbagai faktor risiko terjadinya bayi dengan Pertumbuhan Janin


Terhambat (PJT). Faktor tersebut berupa umur ibu, tekanan darah (diastolik),
level hematokrit, level hemoglobin, merokok, paritas, ras, penggunaan alkohol,
dan tingkat pendidikan (Kanamori, 2010). Faktor risiko lain yang mengarah
kepada bayi PJT dipengaruhi oleh tiga faktor, faktor ibu, faktor janin dan faktor
plasenta (Resnik, 2002).

Penyebab PJT diantaranya ialah sebagai berikut:

60
1. Hipertensi dalam kehamilan

2. Gemeli

3. Anomali janin/trisomi

4.Sindrom Antifosfolipid

5. SLE

6. Infeksi: rubela, sifilis, CMV

7. Penyakit jantung

8. Asma

9. Gaya hidup: merokok, narkoba

10. Kekurangan gizi-ekonomi rendah

Pada kehamilan 16 - 20 minggu sebaiknya dapat ditentukan apakah ada


kelainan/ cacat janin. Apabila ada indikasi sebaiknya ditentukan adanya kelainan
genetik. (Sarwono, 2010)

Kecurigaan akan PJT ditegakkan berdasarkan pengamatan faktor risiko


dan ketidaksesuaian tinggi fundus uteri dengan umur kehamilan. Beberapa faktor
risiko PJT antara lain lingkungan sosio-ekonomi rendah, adanya riwayat PJT
dalam keluarga, riwayat obstetri yang buruk, dan berat badan sebelum dan selama
kehamilan yang rendah. Diantara faktor risiko tersebut ada beberapa faktor risiko
yang dapat dideteksi sebelum kehamilan dan selama kehamilan. Faktor risiko
yang dapat dideteksi sebelum kehamilan antara lain ada riwayat PJT sebelumnya,
riwayat penyakit kronis, riwayat Antiphsopholipid syndrome (APS), indeks massa
tubuh yang rendah, dan keadaan hipoksia maternal. Sedangkan faktor risiko yang
dapat dideteksi selama kehamilan antara lain peningkatan kadar MSAFP/hCG,
riwayat minum jenis obat-obatan tertentu seperti coumarin dan hydantoin,
perdarahan pervaginam, kelainan plasenta, partus prematur, kehamilan ganda dan
kurangnya penambahan berat badan selama kehamilan. Sekitar dua per tiga PJT
berasal dari kelompok kehamilan yang berisiko tinggi, misalnya hipertensi,

61
perdarahan antepartum, penderita penyakit jantung, dan kehamilan multipel
sedangkan sepertiga lainnya berasal dari kelompok kehamilan tidak mempunyai
risiko. Nutrisi maternal juga berperan penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan janin. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pertumbuhan janin
yang paling rentan terhadap kekurangan nutrisi maternal (contohnya, protein dan
mikronutrien) adalah selama periode peri-implantasi dan periode perkembangan
plasenta yang cepat. (PNPK PJT, 2016)

Berbagai faktor yang menyebabkan PJT terdiri dari faktor janin, faktor
plasenta dan tali pusat, dan faktor ibu. Faktor janin meliputi kelainan kongenital
dan kelahiran multipel. Faktor plasenta dan tali pusat yaitu insufisiensi plasenta,
insersi velamentosa tali pusat, dan vasa previa. Sedangkan faktor ibu meliputi
nutrisi buruk pada ibu, gaya hidup yang buruk, infeksi pada ibu, penyakit
vaskular, penyakit ginjal, dan diabetes pregestasional (Cunningham et al., 2010)

Faktor risiko PJT menurut (Vayssiere C et al., 2015) yaitu riwayat PJT
sebelumnya, usia maternal > 35 tahun, primipara dan grandemultipara, penyakit
hipertensi seperti hipertensi kronis, preeklamsia, dan hipertensi gestasional,
diabetes, perokok berat, konsumsi alkohol dan narkotika, obesitas, berat badan
terlalu rendah, assisted reproductive technology dan status sosial ekonomi rendah.

Faktor risiko PJT di klasifikasikan menjadi factor maternal, fetal, dan


plasenta. Pada maternal terdapat riwayat PJT sebelumnya, berat badan sebelum
kehamilan rendah dan kekurangan nutrisi (<1500 kalori/ hari), status social
ekonomi rendah, perokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, usia
maternal terlalu ekstrim yakni < 16 tahun atau > 35 tahun, assisted reproductive
technology, partner baru pada kehamilan berikutnya, obat-obatan teratogenik
(antikonvulsan, warfarin, methrotexate), penyakit vascular (hipertensi kronis,
diabetes pre-gestasional, sindrom antifosfolipid antibodi, penyakit kolagen
vaskular seperti systemic lupus erythemathosus (SLE), trombofilia, penyakit
ginjal, Crohn’s disease, kolitis ulseratif, hipoksia, anemia termasuk
hemoglobinopati. Faktor fetus meliputi infeksi congenital (cytomegalovirus,
sifilis, rubella, varicella, toxoplasmosis, tuberculosis, HIV, malaria congenital),

62
aneuploida (triplody, trisomi 13,18,21), mikrodelesi 4p-, imprinting (Silver-Russel
syndrome), sindrom genetik dan anomali fetal, gestasi multifetus dengan
gangguan pertumbuhan. Sedangkan faktor plasenta dipengaruhi oleh insufisiensi
aliran uteroplasenta, chorionic separation (abrupsi parsial, hematoma), infark vili
ekstensif, insersi plasenta marginal atau velamentous (chorion regression),
malformasi mayor uterus (unicornuate uterus), mosaik plasenta terbatas, maturasi
plasenta lanjut. (F. Figueras., et al, 2018)

2.3.3 Etiologi

Kurang lebih 80-85% PJT terjadi akibat perfusi plasenta yang menurun
atau insufisiensi utero-plasenta dan 20% akibat karena potensi tumbuh yang
kurang. Potensi tumbuh yang kurang tersebut disebabkan oleh kelainan genetik
atau kerusakan lingkungan. Secara garis besar, penyebab PJT dapat dibagi
berdasarkan faktor maternal, faktor plasenta dan tali pusat, serta faktor janin. Di
RS Dr. Soetomo Surabaya penyebab PJT adalah preeklamsia/ Eklamsi 79%, dan
17%, 3,4% dari kehamilan dengan KMK di empat pusat fetomaternal menderita
cacat bawaan. (PNPK PJT, 2016)

Gambar 2.9: Etiologi PJT


Sumber: PNPK PJT, 2016

63
PJT dapat disebabkan oleh faktor maternal, janin atau plasenta. Sebagian
dapat diketahui intrauterine dan sebagian lagi baru diketahui setelah dilakukan
autopsi. (Resnik dan Creasy, 2014)

Etiologi PJT diklasifikasikan menjadi :

1. Faktor fetal, meliputi kelainan kromosom, malformasi kongenital, kehamilan


multipel.

2. Faktor plasenta

3. Faktor maternal, meliputi nutrisi, infeksi maternal, gangguan vaskularisasi


uteroplasenta, riwayat obstetrik jelek, hipoksia kronis, faktor uterin, kelainan
ginjal, sindrom antifosfolipid, dan lingkungan. (HL Galan., et al., 2015)

Etiologi dari IUGR sangat banyak dan bervariasi. 40% kasus IUGR
disebabkan oleh faktor maternal dan kontribusi genetic fetal dan 60% disebabkan
faktor lingkungan fetal. Kasus infeksi dan kelainan kromosom biasanya terjadi
pada fetus < 3 sentile ketika diagnosa IUGR ditegakkan. Etiologi lain penyebab
IUGR yaitu anomali struktural / kongenital, infeksi kongenital, kehamilan
multipel, nutrisi maternal inadekuat, paparan obat-obatan, faktor plasenta, dan
kelainan vaskular maternal. (John T. Queenan et al, 2015)

2.3.4 Patofisiologi

Ada 3 faktor sebagai penyebab PJT antara lain:

1. Gangguan fungsi plasenta.

2. Faktor ibu: asupan makanan dan oksigen tidak adekuat.

3. Faktor janin: kurangnya kemampuan janin menggunakan asupan.

Gangguan fungsi plasenta bisa berupa pertumbuhan dan perfusi abnormal


dan disfungsi dari villi plasenta. Pada preeklampsi terjadi invasi trofoblat yang
dangkal, sehingga menyebabkan berkurangnya perfusi dan hipoksia plasenta
setempat yang akan mengakibatkan terjadinya PJT. (Bianchi et al.,2010).
Disfungsi villi, yang disebabkan oleh apoptosis pada trofoblas, stress oksidatif,

64
infark dan kerusakan oleh sitokin, akan menyebabkan terjadi angiogenesis tidak
menentu pada plasenta, sehingga menghambat fungsi dari plasenta.Ditemukan
faktor spesifik lain sebagai penyebab terjadinya PJT yaitu insulin dan insuline
growth like factors (IGF) – 1 dan 2 yang merupakan hormon anabolik untuk
pertumbuhan janin. Pada PJT ditemukan kadar IGF-1 rendah dan IGF binding
protein yang tinggi. Hal ini didukung dari suatu penelitian yang melaporkan delesi
parsial pada gen IGF-1 yang ditemukan pada bayi PJT dengan berat badan yang
ekstrim. Disamping itu IGF-1 juga berperan pada invasi dan difrensiasi trofoblas
serta pertumbuhan dari plasenta. (Baschat, 2012)

Gambar 2.10 : Patofisiologi PJT beserta akibat yang ditimbulkan

Sumber : Brodsky dan Christou, 2004

Patofisiologi IUGR dimulai saat terjadi disfungsi uteroplasenta disebabkan


oleh berbagai faktor tertentu. Pada keadaan normal, arteri spiralis akan merespon
sel cryotrofoblas invasif dengan remodeling otot vaskular pada awal kehamilan,
yang kemudian mengubah aliran resisten tinggi menjadi aliran resisten rendah

65
bersamaan dengan terjadinya branching angiogenesis pada trimester 1 dan 2 dan
non-branching angiogenesis pada trimester 2 dan 3 yang bertanggungjawab atas
aliran darah uterin normal. Ketika proses ini mengalami kegagalan, maka
pengiriman nutrisi ke fetus (oksigen, asam amino, karbohidrat, lipid) menjadi
inadekuat, yang mengakibatkan terjadinya hipoksia fetus karena akumulasi zat
asam metabolic yaitu asam laktat, asam urat, dan asam keton sehingga terjadi
acidemia. (John T. Queenan et al., 2015)

2.3.5 Penegakkan diagnosa

Secara klinik awal penumbuhan janin yang terhambat dikenal setelah 28


minggu. Namun, secara ultrasonografi mungkin sudah dapat diduga lebih awal
dengan adanya biometri dan taksiran berat janin yang tidak sesuai dengan usia
gestasi. Secara klinik pemeriksaan tinggi fundus umumnya dalam sentimeter akan
sesuai dengan usia kehamilan. Bila lebih rendah dari 3 cm, patur dicurigai adanya
PJT, meskipun sensitivitasnya hanya 40%. Sebaiknya kepastian PJT dapat dibuat
apabila terdapat data USG sebelum 20 minggu sehingga pada kehamilan 32 - 34
minggu dapat ditentukan secara lebih tepat.Biometri yang menetap temtama
pengawasan lingkar abdomen yang tidak bertambah merupakan petanda awal PJT;
terlebih diameter biparietal yang juga tidak bertambah setelah lebih dari 2
minggu. Pemeriksaan secara Doppler arus darah: a. umbilikai, a. uterina dan a.
spiralis mungkin dapat mencurigai secara awal adanya arus darah yang abnormal
atau PJT. Patut difahami, sekalipun tidak ditemukan kelainan mayor pada USG,
rernyara masih mungkin ditemukan kelainan bawaan sebanyak 20 %. (Sarwono,
2010)

Walaupun tidak ada satupun pengukuran biometri ataupun Doppler yang


benarbenar akurat dalam membantu menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
PJT, namun penapisan PJT penting sekali dilakukan untuk mengidentifikasi janin
yang berisiko tinggi. Penapisan awal berupa adanya faktor risiko terjadinya PJT
perlu dilakukan pada semua pasien dengan anamnesis yang lengkap. Pada
populasi umum penapisan PJT dilakukan dengan cara mengukur tinggi fundus
uteri (TFU), yang dilakukan secara rutin pada waktu pemeriksaan antenatal/

66
antenatal care (ANC) sejak umur kehamilan 20 minggu sampai aterm. Walaupun
beberapa kepustakaan mempertanyakan keakuaratan pengukuran tinggi fundus
tersebut, khususnya pada pasien yang obesitas. Jika ada perbedaan sama atau lebih
besar dari 3 cm dengan kurva standar, perlu dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi. Pada kehamilan yang berisiko terjadi PJT pemeriksaan USG serial
perlu dilakukan. Pemeriksaan dapat dilakukan pertama kali pada kehamilan
trimester I untuk konfirmasi haid pertama yang terakhir (HPHT). Kemudian pada
pertengahan trimester II (18-20 minggu) untuk mencari kelainan bawaan dan
kehamilan kembar. Pemeriksaan USG diulang pada umur kehamilan 28-32
minggu untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan dan fenomena brain sparing
effect (oligohidramnion dan pemeriksaan Doppler velocimetry yang abnormal).
Diagnosis PJT ditegakkan berdasarkan taksiran berat janin atau lingkar
perut/abdominal circumference (AC) yang sama atau kurang dari 10 persentil dari
pemeriksaan USG yang diakibatkan oleh proses patologis sehingga tidak dapat
mencapai potensi pertumbuhan secara biologis. Penapisan PJT dapat dilakukan
jika terdapat satu atau lebih tanda-tanda:

1. Gerak janin berkurang

2. TFU < 3 cm TFU normal sesuai usia kehamilan

3. Pertambahan berat badan < 5 kg pada usia kehamilan 24 minggu atau < 8 kg
pada usia kehamilan 32 minggu (untuk ibu dengan BMI < 30)

4. Taksiran berat janin < 10 persentil

5. HC/AC > 1  

6. Volume cairan ketuban berkurang (ICA < 5 cm atau cairan amnion kantung
tunggal terdalam < 2 cm)

Diagnosis PJT dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1. Palpasi abdomen; akurasinya terbatas namun dapat mendeteksi janin KMK


sebesar 30%, sehingga tidak boleh rutin digunakan dan perlu tambahan
pemeriksaan biometri janin (Peringkat Bukti: III dan IV, Rekomendasi C).

67
2. Mengukur tinggi fundus uteri (TFU); akurasinya terbatas untuk mendeteksi
janin KMK, sensitivitas 56-86%, spesifisitas 80-93%. Dengan jumlah sampel
2941, sensitifitas 27%, spesifisitas 88%. Pengukuran TFU secara serial akan
meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas, sehingga dianjurkan pada kehamilan
diatas usia 24 minggu (Peringkat Bukti: II dan III, Rekomendasi B). Namun
demikian, pengukuran TFU tersebut tidak meningkatkan luaran perinatal
(Peringkat Bukti: Ib).

3. Taksiran berat janin (TBJ) dan abdominal circumference (AC); metode ini lebih
akurat untuk mendiagnosis KMK. Pada kehamilan risiko tinggi dengan AC<10
persentil memiliki sensitifitas 72,9-94,5% dan spesifisitas 50,6-83,8% untuk
mendiagnosis KMK. Pengukuran AC dan TBJ ini dapat memprediksi luaran
perinatal yang jelek (Peringkat bukti: II, Rekomendasi B). Namun pada kehamilan
risiko rendah, dibuktikan dari review sistematis dalam Cohrane database bahwa
pemeriksaan USG setelah umur kehamilan 24 minggu tidak meningkatkan luaran
perinatal. (Peringkat Bukti: Ia, Rekomendasi A).

4. Mengukur indeks cairan amnion (ICA), Doppler, kardiotokografi (KTG) dan


profil biofisik; metode tersebut bersifat lemah dalam mendiagnosis PJT.
Metaanalisis menunjukkan bahwa ICA antepartum < 5 cm meningkatkan angka
bedah sesar atas indikasi gawat janin. ICA dilakukan setiap minggu atau 2 kali
seminggu tergantung berat ringannya PJT (Peringkat bukti: I dan III). USG
Doppler pada arteri uterina memiliki akurasi yang terbatas untuk memprediksi
PJT dan kematian perinatal. (PNPK PJT, 2016)

Penentuan usia gestasi lebih awal dan pengukuran berat badan serta tinggi
fundus uteri (TFU) ibu selama kehamilan sangat membantu mendeteksi
pertumbuhan janin terhambat pada ibu hamil berisiko maupun tidak berisiko
secara sederhana, murah, dan akurat. Pemeriksaan TFU sebaiknya dimulai sejak
usia kehamilan 20 minggu. Jika perbedaan > 3 cm dari normal maka sebaiknya
dilanjutkan dengan pemeriksaan ultrasonografi. (Bamfo dan Odibo,2011 dan
Gardosi., 2012).

68
Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen dan pengukuran tinggi fundus uteri
teraba 3 cm diatas simfisis pubis. Skrining trimester pertama dan kedua dapat
menggunakan serum maternal yaitu PAPP-A, alpha-fetoprotein, diametric inhibin
A, dan hCG total atau bebas. Kadar PAPP-A yang rendah dan kenaikan kadar
alpha-fetoprotein, dimetric inhibin A, dan hCG total atau bebas terkait dengan
IUGR dan preeklamsia. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan cairan amnion
yang dapat dilaporkan dalam maximum vertical pocket atau dengan AFI 4
kuadran. Volume cairan amnion rendah didefinisikan setelah usia kehamilan > 37
minggu dengan AFI < 5 cm atau maximum vertical pocket < 2 cm. Pada
pemeriksaan placental ultrasound terlihat plasenta yang kecil dan tebal, dengan
lesi kistik ekogenik dan jelly-like appearance yang disebabkan formasi abnormal
dari vili. (F.Figueras., et al, 2018)

Volume cairan amnion rendah adalah tanda klinis pertama pada bayi yang
mengalami PJT. Oligohidroamnion didefinisikan sebagai tinggi kuadran terbesar,
dengan cara pengukuran vertical < 2 cm atau ICA (indeks cairan amnion) < 5 cm.
Pada salah satu studi insiden PJT akan meningkat 4 kali dan angka kesakitan
meningkat 2 kali dengan ICA borderline ( 5 – 10 cm). (Bank, dan Miller, 1999)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada bayi baru lahir yang mengalami
IUGR simetris menunjukkan tanda-tanda malnutrisi. Terdapat kepala yang lebih
besar dari badan (brain sparing effect), fontanela anterior besar dan lebar
disebabkan formasi tulang membran kurang baik, tidak terdapat lemak buccal (old
man look), abdomen kecil atau skapoid, tali pusat tipis dan seringkali terdapat
mekonium, massa otot skelet dan jaringan lemak subkutan berkurang, kulit kendor
dan kering serta mudah terkelupas, kuku panjang, tangan dan kaki relatif lebih
besar dari badan, terdapat lipatan kulit kendor pada leher, aksila, inter-skapula,
dan gluteal (lebih dari 3 lipatan), bayi rewel dan tegang, formasi kuncup payudara
abnormal dengan genital imatur. Sedangkan pemeriksaan fisik pada bayi IUGR
asimetris mungkin akan menunjukkan gejala serta tanda klinis berbeda, seperti
fasies dismorfik, anomali congenital sugestif abnormalitas kromosom, paparan
obat intrauterine, dan tanda infeksi virus congenital terutama TORCH

69
(microechepaly, petechiae, blue-berry muffin yaitu lesi kulit ungu karena
eritropoesis dermal, cacat jantung, hepatosplenomegali, kalsifikasi intrakranial,
korioretinitis, dan katarak). Selain itu dapat digunakan indeks ponderal untuk
mengukur derajat malnutrisi fetal dengan rumus (PI=[berat{dalam gram} x
100]÷[panjang {dalam cm}]). Jika PI < 10 persentile, maka fetus dinyatakan
malnutrisi. Sedangkan pada PI< 3 persentile merupakan indikasi severe fetal
wasting. Terdapat Kanawati dan McLaren’s Index yang menghitung rasio mid-
arm circumference dan mid-arm/ head circumference. Rasio normal (MAC/HC)
adalah 0.32-0.33. Rasio < 0.27 mengindikasikan malnutrisi fetus. J Metcoff
menciptakan Clinical Assesment of Nutrition Score (CAN) Score yang terdiri atas
9 parameter yaitu rambut, pipi, leher, dagu, lengan, paha, punggung, bokong,
dada, dan abdomen. Skor maksimum adalah 36 dengan setiap parameter memiliki
poin maksimal 4 dan poin minimal 1, dimana poin 4 menandakan nutrisi baik dan
poin 1 menandakan malnutrisi. Neonatus dengan skor CAN < 25 mengindikasikan
malnutrisi. Diketahui bahwa CAN score lebih efektif dari antropometri, indeks
ponderal, perbandingan umur/ berat badan, MAC/HC dan BMI untuk
mendiagnosa IUGR. Terakhir, dapat digunakan Cephalization Index yang
merupakan rasio head circumference (HC) dengan berat badan. Pada IUGR parah
rasio otak terhadap badan lebih tinggi, dan ketika Cephalization Index tinggi maka
vulnerabilitas otak akan meningkat yang menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya cerebral palsy dan retardasi psikomotor parah. (Deepak Sharma., et al.,
2016)

Hingga kini tidak terdapat baku emas untuk penegakkan diagnosa


pertumbuhan janin terhambat. Diagnosa ditentukan oleh penyimpangan statistik
ukuran janin dari referensi berbasis populasi, dengan ambang batas ke-10, 5, atau
3 sentile yang lebih cocok digunakan untuk mendiagnosa SGA. SGA berbeda
dengan PJT karena mencakup sebagian besar janin yang secara konstitusional
kecil, tetapi berisiko rendah untuk mengalami abnormalitas perinatal. Di sisi lain,
PJT dengan biometri > 10 sentile mungkin tidak tumbuh secara optimal, dan tidak
terdiagnosa walaupun risiko abnormalitas meningkat. (S.J Gordin., et al, 2016)

70
Skrining pada trimester pertama atau kedua dengan menggunakal uterine
Doppler dan gejala maternal dapat mendeteksi pertumbuhan janin terhambat pada
early onset hingga 90%. Penegakkan diagnosa pertumbuhan janin terhambat yang
sejauh ini digunakan adalah berat badan fetus < 10 sentile, atau abdominal
circumference < 10 sentile atau pertumbuhan fetus menurun (lintasan
pertumbuhan melintasi dua kuartil). Pada pemeriksaan uterine artery (UtA)
Doppler pada fase awal pertumbuhan janin terhambat, terlihat insufisiensi
plasenta pada maternal dan insufisiensi plasenta sekunder yang disebabkan
mekanisme patofisiologis lain selain invasi sel trofoblas yang rusak. (Figueras, F.,
Gratacos, E., 2017)

Pengukuran tinggi fundus uteri merupakan salah satu pemeriksaan penting


terutama ketika usia gestasi telah melebihi 22 minggu. Indikator ultrasonic
biometric yang disarankan adalah head circumference (HC), abdominal
circumference (AC) dan femur length (FL) karena memungkinkan perhitungan
perkiraan berat janin dan jika di kombinasikan dengan AC merupakan indicator
terpenting dalam skrining. Umbilical artery Doppler dan fetal cardiography
merupakan pemeriksaan utama untuk monitoring fetus dengan SGA maupun FGR
setiap tiga minggu. Pemeriksaan antifosfolipid meliputi anticardiolipin,
antikoagulan sirkulasi, dan anti-beta2-GP1 disarakan untuk wanita yang memiliki
riwayat FGR parah (< 3 persentile) sebelumnya yang mengalami persalinan
sebelum usia persalinan memasuki 34 minggu. (C.Vayssiere et al., 2015)

Diagnosis IUGR tergantung pada penanggalan usia gestasi yang akurat


yang dimulai dengan menentukan hari pertama haid terakhir (HPHT), lama siklus,
dan penggunaan kontrasepsi hormonal. Pengukuran TFU pada saat antenatal care
(ANC) dapat menjadi metode skrining yang berguna, tetapi sensitivitasnya
bervariasi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk metode pengukuran,
obesitas maternal, kelainan cairan amnion, dan fibroid uterus. Baku emas untuk
menkonfirmasi HPHT dan tanggal estimasi kelahiran tetaplah dengan
menggunakan ultrasonografi, yang kemudian dapat digunakan untuk mendiagnosa
IUGR. Walaupun mean gestational sac diameter (MSD) dapat memberikan

71
gambaran ultrasonografi akurat, tetapi tidak sebaiknya digunakan ketika pangkal
embrio telah prominen pada yolk sac dan crown rump length (CRL) dapat diukur
secara transvaginal ketika berukuran 5 mm atau lebih. Selain pengukuran CRL
dapat digunakan standar pengukuran biometri lain seperti biparietal diameter
(BPD), head circumference (HC), abdominal circumference (AC), dan femur
length (FL). Petunjuk lain yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis IUGR yaitu :

1. Cairan amnion. Volume cairan amnion merupakan pengukuran indirek pada


perfusi renal fetal dan status vaskularisasi. Tetapi pemeriksaan ini sendiri kurang
baik untuk skrining IUGR karena oligohidroamnion biasanya merupakan tanda
keterlambatan diagnosis IUGR.

2. Plasenta. Dapat terjadi penebalan plasenta secara sonografis jika terjadi


aneuploudy atau hidrop fetalis. Fetus kecil disebabkan oleh gangguan aliran
uteroplasenta biasanya memiliki plasenta yang kecil juga. Abnormal plasenta juga
dapat dideteksi melalui ultrasonografi, termasuk plasenta circumvallate yang
terlibat dengan IUGR. Salah satu cirri khas IUGR yang disebabkan oleh
insufisiensi aliran uteroplasenta yaitu terjadi kenaikan resistensi aliran darah pada
plasenta yang dapat terdeteksi dengan Doppler velocimetry ke hulu arteri
umbilikalis. Setelah persalinan fetus IUGR sebaiknya dilakukan biopsi plasenta.

3. Aneuoploidy atau infeksi fetal. Fetal karyotyping dapat dilakukan untuk


mendeteksi early-onset pada IUGR parah atau jika terdapat struktur abnormal
yang terlihat pada pemeriksaan ultrasonografi. Biasanya fetal dengan early-onset
IUGR parah memiliki hasil ultrasonografi sugestif infeksi seperti kalsifikasi hepar
dan periventrikular, ventrikulomegali. (John T. Queenan et al., 2015)

Suspect PJT jika terdapat ≥1 tanda-tanda berikut:

-TFU 3 cm atau lebih di bawah normal

- Pertambahan berat badan ibu < 5 kg pada ubun-ubun kepala (UUK) 24 5 kg


pada UUK 24 minggu atau < 8 kg pada UUK 32 minggu (untuk ibu dengan BMI
< 30)

72
- Estimasi berat badan < 10 persentile

- HC/AC 1 HC/AC >1

- AFI ≤ 5 cm

- Sebelum UUK 34 minggu, plasenta telah memasuki grade 3.

- Ibu merasa gerakan janin berkurang (WL Martin, 2018)

2.3.5 Komplikasi

Pertumbuhan janin terhambat berhubungan dengan berbagai komplikasi


termasuk prematuritas, kematian neonatal, hypoxic ischemic enchepalopathy, dan
cerebral palsy. (Sovio, Uet al., 2015)

Komplikasi terkait dengan pertumbuhan janin terhambat yaitu morbiditas


dan mortalitas yang meningkat, anoksia, iskemia perinatal, hipotermia,
hipoglikemia, dysplasia bronkopulmonal, hipertensi pulmonal, dan enteropathy.
(Vayssiere, C., 2015)

Komplikasi perinatal yang menderita PJT yaitu pada masa antepartum


dapat terjadi prematur, prematur iatrogenik, abrupsi, dan stroke perinatal. Pada
intrapartum dapat terjadi status fetal abnormal, asfiksia, dan stroke perinatal.
Sedangkan pada neonatal komplikasi yang memungkinkan yaitu hipotermia,
hipoglikemia, hipokalemia, polisitemia, sepsis, koagulopati, disfungsi
hepatoseluler, respiratory distress syndrome, necrotizing entercolitis, pendarahan
intraventrikular terutama pada neonatal prematur dengan IUGR < 750 gram, dan
hypoxic-eschemic enchepalopathy. (TA Levine et al.,2015)

2.5 Konsep Dasar Hubungan Preeklampsia dengan IUGR

Pada ibu hamil penderita preeklampsia, akan terjadi vasospasme vaskular


seluruh tubuh yang akan mengakibatkan terjadinya disfungsi vili plasenta.
Disfungsi vili plasenta akan menyebabkan terjadinya apoptosis trofoblas,
sehingga timbul stress oksidatif dilanjutkan dengan stimulasi produksi sitokin
proinflamasi, sehingga terjadi stress inflamasi, yang berakibat pada gangguan

73
angiogenesis plasenta (non-branching angiogenesis). Gangguan angiogenesis
menyebabkan gangguan penyaluran nutrisi berupa oksigen, asam amino,
karbohidrat, dan lipid menuju plasenta, sehingga fetus akan mengalami hipoksia.
Pada fetus yang mengalami hipoksia, terjadi akumulasi zat asam metabolik (asam
laktat, asam urat, dan asam keton) sehingga terjadi acidemia. Acidemia akan
menyebabkan terjadinya pertumbuhan janin terhambat asimetris, dan jika
berlanjut akan terjadi kerusakan tingkat nukleus dan mitokondria, sehingga
produksi radikal bebas akan meningkat dan akibatnya terjadi pertumbuhan janin
terhambat yang simetris.

2.6 Penelitian Terkait

1. Pada penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional


yang dilakukan oleh (Amin Nurokhim, Wiwik Widyaningsih, 2019) di RSUD Dr.
R.Goeteng Tarunadibrata Purbalingga dalam periode tahun 2013-2015, memiliki
sampel terpilih dengan kriteria inklusi ekslusi dari rekam medis yang kemudian
dianalisis menggunakan uji chi square , dengan hasil total sampel sebanyak 175
orang. Sampel terdiri atas 120 ibu melahirkan dengan preeklampsia berat dan 55
ibu melahirkan tidak preeklampsia. Hasil analisis uji chi square menyatakan
adanya hubungan bermakna antara preeklampsia berat (PEB) dengan terjadinya
IUGR (p = 0,025 ; α= 0,05 ). Selanjutnya dilakukan uji korelatif yang
menunjukkan terdapat hubungan positif antara PEB dengan IUGR (P = 0,169).
Analisis regresi logistik menunjukkan usia kehamilan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kejadian IUGR (P = 0,004; α = 0,05). Semakin tua usia
kehamilan, risiko terjadinya IUGR akan menjadi lebih besar ( p = 1,984).

2. Penelitian cross sectional yang dilakukan (Roudatul Hikmah, 2017) di


RSUD Abdoer Rahem Situbondo menggunakan metode penelitian analitik pada
tahun 2015 menggunakan populasi penelitian ibu yang yang mengalami
kehamilan dengan PEB sebanyak 58 responden dengan jumlah sampel 33
responden, dengan metode pengambilan sampel yang digunakan adalah
menggunakan simple random sampling. Analisis data menggunakan fisher exact
dengan tingkat maksimal a=0,05. Sebanyak 33 responden yang mengalami PEB

74
sebanyak 26 orang dengan jumlah persentase 84%, dan yang mengalami
preeklampsia ringan 7 orang responden dengan jumlah persentase 16%, yang
mengalami IUGR dengan jumlah 26 orang dengan Persentase 29%, 7 orang
dengan persentase 16%, sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian ini
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara PEB dengan terjadinya IUGR
pada janin.

3. Penelitian cross sectional yang dilakukan ( Miftakhul Muslichah, Shinta


Prawitasari, Irwan Taufiqur Rachman, 2020) dengan populasi penelitian adalah
pasien preeklamsia dengan janin tunggal yang lahir di RSUP DR. Sardjito
Yogyakarta tahun 2013-2015. Sampel penelitian adalah pasien penderita
preeklampsia berat (PEB) berjumlah 135 subyek, PEB awitan dini 105 subyek,
dan awitan lanjut 30 subyek. Uji chi square digunakan untuk menghitung
prevalensi pertumbuhan janin terhambat (PJT) pada PEB awitan dini dan lanjut.
Stratifikasi mantel-haneszel dilakukan untuk menilai variabel perancu. Multivariat
menggunakan regresi logistik. Ditemukan hasil penelitian ubyek dengan PEB
awitan dini adalah 51 subyek (48,57%) yang mengalami PJT sedangkan awitan
lanjut adalah 7 subyek (23,33%). Subyek dengan PEB awitan dini dan
preeklamsia genuine memiliki prevalensi PJT lebih tinggi RP/relative precision
(Confidence interval/ CI 95%)=2,453 (1,170-5,141) dan p=0,007. Prevalensi PJT
pada PEB awitan dini, OR (CI95%)=3,257 (1,244-8,530) dan p=0,016; usia OR
(CI 95%)=0,488 (0,202–1,178) dan p=0,111; paritas OR (CI 95%)=1,159 (0,461–
2,912) dan p=0,11; jenis PE OR (CI 95%)=0,730 (0,294–1,814) dan p=0,498; dan
derajat proteinuria OR (CI 95%)=0,955 (0,464–1,968) dan p=0,901. Kesimpulan
dari penelitian ini adalah PEB awitan dini memiliki hubungan yang signifikan
dengan PJT.

3. Penelitian analitik observasional dengan rancangan penelitian cross


sectional yang dilakukan (Muhammad, Ryfki S.A, 2015) di RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada periode 1 Januari-31 Desember 2013.  Rerata usia ibu hamil yang
mengalami PEB adalah 30,34 dan rerata usia ibu hamil tanpa PEB adalah 29,78.
Hasil analisis univariat didapatkan Ibu hamil dengan PEB lebih banyak

75
melahirkan bayi dengan IUGR dibandingkan dengan Ibu hamil tanpa PEB. Ibu
yang mengalami PEB melahirkan bayi dengan kondisi IUGR sebanyak 48 bayi
(65,8%) dan kondisi tidak IUGR sebanyak 25 bayi (34,2%). Sedangkan pada ibu
hamil dengan tidak PEB melahirkan bayi dengan kondisi IUGR sebanyak 1 bayi
(1,4%) dan kondisi tidak IUGR sebanyak 72 bayi (98,6%). Berdasarkan analisis
dengan chi square test, terdapat hubungan yang bermakna antara PEB pada
kehamilan dengan IUGR yaitu p = 0,000 (p < 0,05). Kesimpulan dari penelitian
ini terdapat hubungan antara PEB dengan IUGR di RSUP Dr. M. Djamil Padang
periode Januari – Desember 2013.

4. Penelitian studi analitik dengan metode case control yang dilakukan (Lisa
Kusuma Wati, Pinda Hutajulu, Mardhia, 2012) pada tahun 2012. Data
dikumpulkan dari rekam medis 210 ibu yang melahirkan di RSUD dr. Soedarso,
yang diambil secara consecutive sampling untuk 105 kelompok kasus dan
systematic random sampling untuk 105 kelompok kontrol pada periode 1 Januari
2012 hingga 31 Desember 2012. Data dianlisis secara univariat dan bivariat.
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan preeklampsia berat
dengan kejadian IUGR dengan menghitung nilai significancy dan besarnya odds
ratio (OR). Hasil penelitian menujukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
preeklampsia berat dengan kejadian IUGR dengan nilai significancy (P) 0,000
(P<0,05). Ibu yang mengalami preeklampsia berat selama kehamilan memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami IUGR dibandingkan ibu yang tidak
mengalami preeklampsia dengan(OR) sebesar 4,164.

5. Penelitian yang dilakukan (Laila Afiliasi Puji Nuraini, Fathiyatur Rohmah,


2016) di RSKIA Sadewa, Sleman, Yogyakarta dalam periode 1 Januari 2016-31
Desember 2016 Desain yang digunakan dalam penelitian ini merupakan deskriptif
analitikmenggunakan pendekatan waktu retrospektif. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh seluruh pasien masuk rawat inap dengan diagnosa IUGR yang
berjumlah 108 kasus sejak Januari 2016 sampai Desember 2016. Sampel yang
digunakan dalam penelitian yaitu sebanyak 91 kasus IUGR. Karena terdapat 17
kasus IUGR yang masuk kriteria eksklusi, pengambilan sampel dilakukan dengan

76
teknik total sampling. Menurut hasil penelitian, distribusi frekuensi faktor
penyebab IUGR adalah salah satunya preeklampsia berat (20.9%) sebanyak 19
responden, sehingga menyimpulkan adanya keterkaitan antara preeklampsia berat
dengan terjadinya IUGR.

6. Penelitian kohor retrospektif yang dilakukan oleh (Johan Taruna,


Rukmono Siswishanto, Nuring Pangastuti, 2017) di RSUP Dr. Sardjito . Dari data
rekam medis yang diambil dengan metode sampling konsekutif, terdapat 81
sampel. Sebanyak 51 bayi (63%) dari wanita PEB onset dini mengalami IUGR
sedangkan PEB onset lambar hanya 33 bayi (40,7%). Hal ini bermakna secara
statistik dengan risiko 1,54 kali (Interval kepercayaan/ IK 95% 1,13-2,11)
mengalami IUGR. Kesimpulan penelitian adalah preeklampsia berat onset dini
memiliki risiko kejadian IUGR lebih besar dari preeklampsia onset lambat,
sehingga menekankan bahwa terdapat hubungan patofisiologis antara
preeklampsia berat dengan kejadian IUGR.

7. Penelitian deskriptif yang dilakukan (Suryanti S, Budi Wicaksono, Siti


Pariani, 2020) dengan sampel seluruh ibu yang di diagnosis mengalami
pertumubuhan janin terhambat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya menggunakan
data rekam medis tahun 2011-2013, sebanyak 39 sampel ibu dengan diagnosa
PJT. Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dengan analisa data
menggunakan uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan 0,05. Hasil
penelitian menyatakan ibu dengan pertumbuhan janin terhambat sebagian besar
memiliki riwayat penyakit yaitu 71,8%. Dari komplikasi yang ditemukan
sebanyak 48% ibu mengalami preeklampsia berat, 2,6% diabetes mellitus dan
26% penyakit lain seperti thalasemia, hipertiroid, dan multiple sclerosis.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah faktor ibu yang mempengaruhi
pertumbuhan janin terhambat adalah riwayat penyakit, terutama preeklampsia
berat. (P < 0,05).

8. Penelitian analitik observasional dengan case control secara purposive


sampling yang dilakukan (Mita Maulida Rifqiya Faiza, Novia Fransiska Ngo, Ika
Fikriah, 2019) di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarina tahun 2017-2018

77
memiliki 46 sampel khusus ibu hamil dengan diagnosa PEB selama periode 1
Januari 2017- 31 Desember 2018 dan 46 sampel kontrol ibu hamil tanpa diagnosa
PEB selama periode 1 Januari 2017- 31 Desember 2018. Data analisis uji chi
square menunjukkan adanya korelasi antara preeklampsia berat dengan IUGR
(p=0,000).

9. Pada penelitian prospektif deksriptif oleh (Poppy Silvia, 2014) yang


dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Juni 2014-November 2014
dengan jumlah sampel 40 kasus, Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
berasal dari data primer dengan melakukan wawancara kepada ibu hamil yang
didiagnosis preeklampsia berat dan dari data sekunder berupa rekam medis pasien
yang sesuai dengan kriteria inklusi. Data dideskripsikan dalam bentuk tabel
frekuensi. Dari 40 kasus preeklampsia-eklampsia didapatkan jumlah preeklampsia
ringan 10 kasus (25%), preeklampsia berat 26 kasus (65%), dan eklampsia 4 kasus
(10%). Total bayi yang lahir adalah 43 bayi dan tiga di antaranya still birth (lahir

mati). Luaran perinatal meliputi berat bayi lahir rendah (BBLR) 22 kasus
(51,16%), pertumbuhan janin terhambat 7 kasus (16,28%), prematur 23 kasus
(53,49%), asfiksia neonatorum 14 kasus (35%), dan kematian perinatal 4 kasus
(9,3%). Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa sebagian besar bayi
yang dilahirkan oleh ibu preeklamsia-eklamsia merupakan bayi dengan berat lahir
rendah (BBLR) diikuti dengan pertumbuhan janin terhambat.

10. Pada penelitian cross sectional yang dilakukan (Jelena Miloservic-


Stevanovic et al., 2016), terdapat data awal yaitu 30 ibu hamil penderita
preeklampsia berat dibandingkan dengan grup kontrol yaitu 20 ibu hamil tanpa
komplikasi. Dari penelitian, ditemukan 19 ibu penderita preeklampsia berat
mengalami kejadian IUGR. Pada ibu penderita preeklampsia dengan komplikasi
IUGR, ditemukan perubahan arteri spiralis dan invasi trofoblas (70%), nekrosis
fibroid (30%), dan atherosis akut (33.3%) dengan hipermaturitas vili plasenta (P<
0.05) dan terdapat bukti insidensi IUGR 63.3% pada penderita preeklampsia,
sehingga kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan secara patofisiologis
antara preeklampsia berat dan IUGR disebabkan karena perubahan placental bed

78
pada preeklampsia berat diiukuti oleh hipermaturitas vili, sehingga preeklampsia
berat dapat berkembang menjadi IUGR.

11. Penelitian case control yang dilakukan (Srinivas SK, Edlow AG, Neff PM
et al., 2010) dengan 430 variabel kasus adalah pasien penderita preeklampsia
berat dan 568 variabel kontrol adalah pasien yang bukan penderita preeklampsia
berat. Pada penelitian ini ditemukan preeklampsia berat berhubungan dengan
IUGR < 10% (Adjusted odds ratio/ AOR= 1.82 (1.11-2.97), sehingga dapat
disimpulkan terdapat hubungan antara preeklampsia berat dengan perkembangan
kejadian IUGR.

12. Penelitian retrospektif deskriptif dengan menggunakan rekam medis


pasien penderita preeklampsia berat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
periode 1 Januari 2016-31 Desember 2016 yang dilakukan oleh (Chaerul Kalam,
Freddy W Wagey, Suzanna P Mongan, 2016). Pada penelitian ini terdapat sampel
yang merupakan seluruh ibu hamil dengan PEB yaitu sebanyak 65 pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dari total 85 pasien ibu hamil dengan PEB. 20 pasien
lainnya dieksklusi karena terdapat kehamilan ganda atau karena data rekam medis
yang tidak lengkap. Hasil penelitian menyatakan bahwa pada ibu penderita PEB
terdapat luaran perinatal meliputi mortalitas perinatal (4,6%), IUGR (6,2%),
BBLR (35,4%), asfiksia (7,7%), gawat janin (20%) dan prematur (26,2%),
sehingga dapat disimpulkan adanya keterkaitan penyakit preeklampsia berat
dengan kejadian IUGR pada perinatal.

13. Penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan cross sectional


yang dilakukan (Santi Maria Burhanuddin, Sofie Rifayani Krisnadi, Dini
Pusianawati, 2018) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung menggunakan data
rekam medis menggunakan subjek penelitian sebanyak 347 penderita PEB dan
hasil penelitian menunjukkan luaran perinatal ibu penderita PEB meliputi bayi
berat lahir rendah (BBLR) 91 kasus (37%), pertumbuhan janin terhambat 17 kasus
(6,9%), kelahiran preterm 70 kasus (28,3%), asfiksia neonatorum 38 kasus

79
(16,7%), dan kematian perinatal 23 kasus (9,3%), sehingga dapat dinyatakan
adanya keterkaitan preeklampsia berat dengan kejadian pertumbuhan janin
terhambat.

14. Penelitian dengan menggunakan metode case control yang dilakukan


(Nada Ardilla Dwiayu Febrina, Aris Primadi, Bony Wiem Lestari, 2016) di
Departemen Neonatalogi dan Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Dr. Hasan
Sadikin Bandung tahun 2012 menggunakan rekam medis, dengan variabel kasus
149 ibu dengan bayi IUGR dan variabel kontrol 149 ibu dengan berat lahir bayi
normal, didapatkan hasil penelitian prevalensi kejadian IUGR di RSU Dr. Hasan
Sadikin pada tahun 2012 sebanyak 149 kasus (4.69%) yang menyatakan adanya
keterkaitan antara preeklampsia berat dan IUGR dengan odds ratio= 1.72, 95% CI
(1.044-2.836) dengan persentase ibu penderita preeklampsia berat mengalami
IUGR sebanyak 59.3% dengan menggunakan analisa statistik chi square.

15. Penelitian dengan menggunakan metode case control yang dilakukan


(Lucy E, G. Kalanithi MD, Jessica L. Illuzi et al., 2010) menggunakan data
sekunder rekam medis pasien, terdapat ibu hamil dengan kejadian IUGR (n=67)
dan ibu hamil tanpa kejadian IUGR (n=205). Hasil penelitian menyatakan
terdapat kejadian preeklampsia berat pada ibu dengan kejadian IUGR sebanyak
37.3%, sehingga dapat disimpulkan adanya keterkaitan preeklampsia berat
terhadap kejadian IUGR (P<0.001).

16. Penelitian yang dilakukan (Svein Rasmussne, Lorentz M Irgens, 2011)


menggunakan population based study dengan data sekunder medical birth
registry of norway periode 2006-2007 menyatakan pada ibu penderita
preeklampsia berat terdapat risiko terjadinya IUGR dengan OR= 1,8 yang berarti
adanya hubungan antara preeklampsia berat dengan kejadian IUGR.

17. Penelitian dengan metode case control yang dilakukan (Taj Muhammad,
Asmat Ara Khattak, Shafiq Ur Rehman et al., 2010) dengan menggunakan data
sekunder rekam medis Lady Reading Hospital Peshawar Pakistan periode Maret
2008- April 2009 dengan variabel kasus bayi IUGR (n=200) dan variabel kontrol

80
bayi average for gestational age (AGA) (n=200) menyatakan preeklampsia berat
meningkatkan kejadian IUGR dengan OR= 3.8.

18. Penelitian dengan menggunakan studi deskriptif menggunakan data rekam


medis yang dilakukan oleh (Parveen M. Aabidha, Anne G. Cherian, Emmanuel
Paul et al., 2020) terdapat sampel sebanyak 93 ibu hamil penderita preeklampsia
berat yang mengalami kejadian komplikasi perinatal yaitu IUGR sebanyak 9.67%
sehingga dapat disimpulkan adanya hubungan antara preeklampsia berat dengan
kejadian IUGR.

19. Penelitian mengenai komplikasi neonatal pada ibu penderita preeklampsia


berat yang dilakukan (Nona Halmi Surianti, 2017) menyatakan ibu dengan PEB
memiliki peluang untuk melahirkan bayi dengan OR= 4,5, sehingga dapat
disimpulkan terdapat suatu keterkaitan kejadian preeklampsia berat pada ibu
hamil dengan kejadian IUGR.

20. Hasil penelitian (Tammy Hod et al., 2015) menunjukkan bahwa mayoritas
kasus IUGR disebabkan karena preeklampsia dan hipertensi kronis pada maternal.
Pada ibu penderita preeklampsia, janin memiliki OR=3.0 sehingga risiko
terserang IUGR yang mengakibatkan peningkatan mortalitas janin lebih tinggi
pada ibu penderita preeklampsia berat daripada ibu normotensif.

81
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Dari studi literatur yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa


preeklampsia berat memiliki hubungan dengan kejadian Intrauterine growth
restriction (IUGR). Berikut ini adalah sejumlah kesimpulan yang diperoleh dari
studi literatur yang telah dilakukan :

1. Pada ibu hamil penderita preeklampsia, akan terjadi vasospasme


vaskular seluruh tubuh yang akan mengakibatkan terjadinya disfungsi vili
plasenta. Disfungsi vili plasenta menyebabkan terjadinya apoptosis
trofoblas, sehingga timbul stress oksidatif, yang dilanjutkan dengan
stimulasi produksi sitokin proinflamasi, mengakibatkan terjadinya stress
inflamasi, sehingga terjadi maladaptasi imun pada preeklampsia dan
menyebabkan gangguan angiogenesis plasenta (non-branching
angiogenesis) pada trimester 2 dan 3 yang bertanggungjawab atas aliran
darah uterin normal. Gangguan angiogenesis menyebabkan gangguan
penyaluran nutrisi berupa oksigen, asam amino, karbohidrat, dan lipid
menuju plasenta, sehingga fetus akan mengalami hipoksia. Pada fetus
yang mengalami hipoksia, terjadi akumulasi zat asam metabolik (asam
laktat, asam urat, dan asam keton) sehingga terjadi acidemia. Acidemia
akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan janin terhambat asimetris, dan
jika berlanjut akan terjadi kerusakan tingkat nukleus dan mitokondria,
sehingga produksi radikal bebas akan meningkat dan akibatnya terjadi

82
pertumbuhan janin terhambat yang simetris. (John T. Queenan et al, 2015)
.

2. Penurunan ekspresi HLA-G di desidua dan plasenta akan menghambat


invasi trofoblas, sehingga merangsang produksi sitokin dan terjadi
inflamasi yang berakibat terjadinya maladaptasi imun pada preeklampsia.
Preeklampsia disebut juga dengan penyakit 2 fase yang dimulai dengan
plasentasi buruk dan penurunan vaskularisasi uteroplasenta, dan
mengakibatkan hipoksia plasenta (Sarwono,2010).

3.2 Saran

Berikut ini tertulis berberapa saran dari penulis yang mungkin akan
berguna untuk pengembangan lebih lanjut :

83

Anda mungkin juga menyukai