PENDAHULUAN
Myasthenia Gravis dapat menyerang otot volunter, yaitu otot yang mengontrol mata dan
pergerakannya, ekspresi wajah, dan otot untuk menelan. Oleh karena itu dapat ditemui gejala,
seperti kelemahan otot mata yang dapat menyebabkan ptosis dan diplopia, kesulitan menelan,
dan bicara pelo. Selain itu, dapat juga menyebabkan kelemahan pada tangan, kaki, dan leher.
Bila penyakit ini sudah mencapai tahap yang parah, dapat mengenai otot-otot pernapasan.
Kelemahan bersifat fluktuatif dan membaik dengan pemberian asetilkolinesterase inhibitor
sebelumnya (PERDOSSI, 2016).
Gejala awal yang dialami pasien MG adalah kelemahan otot yang dapat bervariasi
(Barber L, 2017). Sekitar 15% pasien MG mengalami ptosis dan diplopia, sementara manifestasi
klinis lainnya terdiri atas kelemahan umum yang mempengaruhi gerakan wajah, mengunyah,
menelan, dan berbicara. Kesulitan bernafas juga dialami oleh penderita MG apabila pasien dalam
posisi terlentang atau membungkuk. Kejadian Myasthenia Gravis kebanyakan tidak disadari oleh
pasien sebelum tingkat keparahannya yang tinggi dan menjadi suatu kegawatdaruratan medis,
yaitu berupa kelemahan otot pernafasan yang membutuhkan intubasi yang disebut Myasthenia
Crisis (FOLA J, 2021). Sebanyak 15 % – 20 % pasien dengan MG setidaknya pernah mengalami
satu kali Myasthenic Crisis. Keluhan kelemahan pada pasien MG dengan riwayat krisis akan
meningkat sepanjang hari (Kamarudin. S., Chairani. L., 2019). Kelemahan dari otot pernapasan
disertai kelemahan pada otot diagfragma dan intrakosta menjadi penyebab terjadinya
ketidakmampuan dalam memelihara jalan nafas, kebebasan sekresi dan pertukaran ventilasi yang
tidak memadai. Keterlambatan penanganan dalam mengelola kelemahan otot yang lebih parah
akan menyebabkan henti nafas atau yang disebut krisis kolinergik dan dapat menyebabkan
kematian (Barber C, 2017).
2.1 Definisi dan Klasifikasi Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun idiopatik yang di mediasi oleh
imunitas humoral, yang ditandai dengan gejala kelemahan abnormal dan progresif pada otot
rangka apabila dipergunakan secara terus-menerus disertai kelelahan saat beraktivitas, tetapi
membaik saat beristirahat. Pada MG, terjadi produksi antibodi berlebihan, yang menurunkan
sejumlah reseptor asetilkolinesterase post-sinap pada Neuromuscular Junction (NMJ) secara
menyeluruh sehingga menurunkan depolarisasi otot, dan merusak membran post-sinap. Apabila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan transmisi sinaps pada NMJ (Kamarudin, S., Chairani, 2019).
Penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada MG mengakibatkan kelemahan pada otot rangka
yang berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan ekstrimitas (NINDS, 2019).
a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa
penyakit selain Myasthenia Gravis, antara lain :
b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis
multipleks.
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Myasthenia
Gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan
terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada Myasthenia Gravis
terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre-
sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin
yang akhirnya sampai ke membran post-sinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan
depolarisasi (Tiara, F., Yanuar, A., Wiratman, W et al 2020).
DAFPUS