Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

Myasthenia gravis (MG) merupakan suatu penyakit autoimun idiopatik yang ditandai


dengan kelemahan yang progresif pada otot-otot rangka secara fluktuatif memberat pada saat
beraktivitas dan membaik saat pagi hari dan setelah istirahat, karena terdapat penurunan reseptor
asetilkolinesterase pada neuromuscular junction. Jumlah reseptor asetilkolin yang menurun
menyebabkan amplitudo potensial end plate berkurang, dengan akibat tidak timbulnya potensial
aksi (Lotisna, B.E., 2021).

Myasthenia Gravis dapat menyerang otot volunter, yaitu otot yang mengontrol mata dan
pergerakannya, ekspresi wajah, dan otot untuk menelan. Oleh karena itu dapat ditemui gejala,
seperti kelemahan otot mata yang dapat menyebabkan ptosis dan diplopia, kesulitan menelan,
dan bicara pelo. Selain itu, dapat juga menyebabkan kelemahan pada tangan, kaki, dan leher.
Bila penyakit ini sudah mencapai tahap yang parah, dapat mengenai otot-otot pernapasan.
Kelemahan bersifat fluktuatif dan membaik dengan pemberian asetilkolinesterase inhibitor
sebelumnya (PERDOSSI, 2016).

MG merupakan penyakit yang cukup jarang ditemui. Diperkirakan angka kejadiannya


berkisar 5.3 per satu juta orang pertahun dan prevalensi rata-rata 77.7 per satu juta orang.
Myasthenia gravis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan yang
mengalami myasthenia gravis cenderung pada usia dewasa muda, sedangkan pada laki-laki
biasanya ditemukan pada usia lebih dari 50 tahun (Pouwels, 2013). Prevalensi MG sekitar 1
kasus dalam 10.000-20.000 orang. MG lebih sering terdapat pada orang dewasa, dapat juga pada
anak dan bisa timbul segera setelah lahir atau sesudah umur 10 tahun. Wanita lebih sering
terkena pada usia dekade kedua dan ketiga, dan laki-laki lebih sering pada usia dekade kelima
dan keenam. Angka kematian MG berkisar antara 0,06- 0,89 per 1.000.000 orang per tahun
(Kamarudin, S., Chairani, 2019).

Gejala awal yang dialami pasien MG adalah kelemahan otot yang dapat bervariasi
(Barber L, 2017). Sekitar 15% pasien MG mengalami ptosis dan diplopia, sementara manifestasi
klinis lainnya terdiri atas kelemahan umum yang mempengaruhi gerakan wajah, mengunyah,
menelan, dan berbicara. Kesulitan bernafas juga dialami oleh penderita MG apabila pasien dalam
posisi terlentang atau membungkuk. Kejadian Myasthenia Gravis kebanyakan tidak disadari oleh
pasien sebelum tingkat keparahannya yang tinggi dan menjadi suatu kegawatdaruratan medis,
yaitu berupa kelemahan otot pernafasan yang membutuhkan intubasi yang disebut Myasthenia
Crisis (FOLA J, 2021). Sebanyak 15 % – 20 % pasien dengan MG setidaknya pernah mengalami
satu kali Myasthenic Crisis. Keluhan kelemahan pada pasien MG dengan riwayat krisis akan
meningkat sepanjang hari (Kamarudin. S., Chairani. L., 2019). Kelemahan dari otot pernapasan
disertai kelemahan pada otot diagfragma dan intrakosta menjadi penyebab terjadinya
ketidakmampuan dalam memelihara jalan nafas, kebebasan sekresi dan pertukaran ventilasi yang
tidak memadai. Keterlambatan penanganan dalam mengelola kelemahan otot yang lebih parah
akan menyebabkan henti nafas atau yang disebut krisis kolinergik dan dapat menyebabkan
kematian (Barber C, 2017).
2.1 Definisi dan Klasifikasi Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis adalah suatu penyakit autoimun idiopatik yang di mediasi oleh
imunitas humoral, yang ditandai dengan gejala kelemahan abnormal dan progresif pada otot
rangka apabila dipergunakan secara terus-menerus disertai kelelahan saat beraktivitas, tetapi
membaik saat beristirahat. Pada MG, terjadi produksi antibodi berlebihan, yang menurunkan
sejumlah reseptor asetilkolinesterase post-sinap pada Neuromuscular Junction (NMJ) secara
menyeluruh sehingga menurunkan depolarisasi otot, dan merusak membran post-sinap. Apabila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini
timbul karena adanya gangguan transmisi sinaps pada NMJ (Kamarudin, S., Chairani, 2019).
Penurunan jumlah reseptor asetilkolin pada MG mengakibatkan kelemahan pada otot rangka
yang berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan ekstrimitas (NINDS, 2019).

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Myasthenia Gravis


diklasifikasikan menjadi 4 kelas. Kelas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada
saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. Kelas II, adanya kelemahan ringan pada
otot-otot lain selain otot okular, otot okular mengalami kelehaman dalam berbagai derajat. Kelas
III, adanya kelemahan tingkat sedang pada otot-otot lain selain otot okular, otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas IV, adanya kelemahan dalam derajat yang
berat pada otot-otot selain otot okular, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat. Kelas V, pada kelas ini penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi
mekanik (MGFA, 2017).
Gambar 2.1 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Myasthenia Gravis
Sumber : Setiawan, M., Sumada, I. 2021. 
2.2 Diagnosis Banding Myasthenia Gravis

Beberapa diagnosis banding dari Myasthenia Gravis, antara lain :

a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa
penyakit selain Myasthenia Gravis, antara lain :

o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

o Paralisis pasca difteri

o Pseudoptosis pada trachoma

b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis
multipleks.

c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Myasthenia
Gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan
terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada Myasthenia Gravis
terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre-
sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin
yang akhirnya sampai ke membran post-sinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan
depolarisasi (Tiara, F., Yanuar, A., Wiratman, W et al 2020).
DAFPUS

1. Barber, C. (2017). Diagnosis and management of myasthenia gravis. Nursing Standard,


31(43), 42–47
2. FOLA, J., 2021. Peranan Terapi Asetilkolinesterase Inhibitor Pada Myasthenia Gravis
(Studi In Vivo dan Uji Klinis) (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
3. Kamarudin, S. and Chairani, L., 2019. Tinjauan Pustaka: Miastenia
Gravis. Syifa'MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 10(1), pp.62-70.
4. Lotisna, B.E., 2021.  KARAKTERISTIK DEMOGRAFIS DAN GAMBARAN
EPIDEMIOLOGI PASIEN DENGAN MYASTHENIA GRAVIS (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
5. Myasthenia Gravis Foundation of America. The MGFA clinical classification [serial
online] 2017 (diunduh Desember 2021). Tersedia dari:
http://www.myasthenia.org/LinkClick.aspx?fileticket=slitErMYbkA%3d&tabid=125
6. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. (2019). Myastenia Gravis Fact
Sheet. Retrieved from : https://www.ninds.nih.gov/disorders/patient-caregiver-
education/fact-sheets/Myastenia-gravis-fact-sheet. Diakses tanggal 12 Desember 2021
7. Pouwels. 2013. Fracture rate in patients with myasthenia gravis: the general practice
research database. Osteoporos Int., 24, hal.467-476.
8. Setiawan, M., Sumada, I. 2021. Infeksi COVID-19 pada pasien myasthenia gravis:
sebuah tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis 12(1): 285-289.
DOI:10.15562/ism.v12i1.991
9. Tiara, F., Yanuar, A., Wiratman, W., Indriawati, L.A., Budikayanti, A. and Octaviana, F.,
2020. HUBUNGAN KADAR ANTIBODI RESEPTOR ASETILKOLIN DENGAN
DERAJAT KEPARAHAN PENYAKIT MIASTENIA GRAVIS DI RS CIPTO
MANGUNKUSUMO. Neurona (Majalah Kedokteran Neuro Sains Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia), 37(3).

Anda mungkin juga menyukai