Anda di halaman 1dari 11

Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

The Overview of Spinal Cord Injury

I Gede Surya Dinata1, Anak Agung Gede Wira Pratama Yasa2

1
Prodi Kedokteran, Universitas Pendidikan Ganesha
2
Prodi Kedokteran, Universitas Pendidikan Ganesha

e-mail: surya.dinata@undiksha.ac.id, anak.agung.wira@undiksha.ac.id

Abstrak

Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah suatu kondisi gangguan pada
medula spinalis atau sumsum tulang belakang dengan gejala fungsi neurologis mulai dari
fungsi motorik, sensorik, dan otonomik, yang dapat berujung menjadi kecacatan menetap
hingga kematian. Gejala dapat bervariasi tergantung tingkat lokasi dan keparahan lesi
cedera yang dapat berupa gejala neurologis seperti nyeri pada bagian tengah dari
punggung, parasthesia, hingga penurunan kesadaran pada pasien. Mekanisme terjadinya
SCI dapat terjadi secara langsung atau cedera primer dan apabila pasien tidak diberikan
penanganan segera dan adekuat, cedera primer akan berlanjut menjadi cedera sekunder.
Informasi yang didapatkan sebelum pasien masuk ke unit gawat darurat penting untuk
didapatkan seperti mekanisme dari terjadinya cedera, dan penanganan pre-hospital.
Penanganan pasien SCI dapat menggunakan teknik ABCD dan dapat dilakukan tindakan
pembedahan darurat apabila pasien memiliki faktor risiko tertentu. Bila pasien tidak
mendapat penanganan intensif dan segera, maka cedera dapat berlanjut menjadi defisit
neurologis serta kecacatan yang menetap hingga akhir hayat pasien. Maka dari itu, penting
bagi kita sebagai seorang klinisi untuk mengetahui dari struktur anatomi dan fisiologi
medula spinalis, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana,
serta prognosis dari SCI, sehingga dapat melakukan pengamatan dan penanganan awal
pada pasien yang terindikasi SCI.

Kata kunci: cedera medula spinalis, epidemiologi, etiologi, diagnosis, tatalaksana

Abstract

Spinal cord injury is a condition with impairment of the spinal cord with a neurological
symptomp from motor, sensory, and autonomic functions, that can lead to permanent
disability and death. Symptoms can vary depending on the location and severity of the
injured lesion. The mechanism of spinal cord injury can occur directly or primary injury and
if the patient is not given prompt and adequate treatment, the primary injury will progress
to a secondary injury. Information obtained before the patient is admitted to the emergency
department is important to obtain such as the mechanism of injury, and pre-hospital
management. The treatment of spinal cord injury is using the ABCD and emergency
surgery can be performed if the patient has certain risk factors. If the patient does not
receive intensive and prompt treatment, the injury can progress to neurological deficits and
disability that persist until the end of the patient's life. Therefore, it is important for clinicians
to know from the anatomical structure and physiology of the spinal cord, epidemiology,
etiology, pathogenesis, clinical symptoms, diagnosis, management, and prognosis of
spinal cord injury, so that early observation and treatment can be do to patients who
indicated spinal cord injury.

Keywords: spinal cord injury, epidemiology, etiology, diagnose, treatment

GMJ | 103
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

PENDAHULUAN dan kualitas hidup pasien dapat semakin


Spinal cord injury (SCI) atau cedera meningkat pada SCI.
medula spinalis adalah suatu kondisi
gangguan pada medula spinalis atau METODE
sumsum tulang belakang dengan gejala Penulisan artikel ini bedasarkan
fungsi neurologis mulai dari fungsi motorik, metode literature review dari artikel
sensorik, dan otonomik, yang dapat penelitian terkait dengan diagnosis dan
berujung menjadi kecacatan menetap tatalaksana Cedera Medula Spinalis yang
hingga kematian. Menurut WHO, SCI sudah terpublikasi. Artikel penelitian
diperkirakan terjadi sebanyak 40-80 kasus didapatkan bedasarkan hasil penelusuran
per 1 juta penduduk dalam setahun. Ini pada platform PubMed, Science Direct,
artinya terjadi sekitar 300.000 – 600.000 dan Google Scholar dengan memasukan
kasus SCI yang ada di seluruh dunia setiap kata kunci yang telah ditentukan sesuai
tahunnya. Hal ini tentunya tidak terlepas dengan judul artikel. Artikel yang
dari risiko terjadinya kejadian SCI yang digunakan merupakan artikel yang
sebagian besar disebabkan oleh karena dipublikasi dalam 10 tahun terakhir
kasus traumatik (90%), meliputi
kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), HASIL DAN PEMBAHASAN
olahraga atau kecelakaan akibat pekerjaan Medula spinalis berada didalam
(10%) (Pertiwi & Berawi, 2017). Hasil studi tulang belakang dan memiliki struktur serta
lainnya menunjukkan bahwa lebih dari 70% jaringan kompleks yang berfungsi untuk
pasien SCI juga akan mengalami beberapa menyalurkan informasi dan instruksi dari
cedera lainnya yang menjadi bukti bahwa otak ke berbagai bagian tubuh dan
kejadian SCI pada kasus traumatik yang sebaliknya. Struktur dari tulang belakang
sangat tinggi. Sehingga setiap terdiri atas 7 tulang servikal, 12 tulang
ditemukannya kejadian trauma yang torakal, 5 tulang lumbar, 5 tulang sacrum,
mengakibatkan cedera multipel baik 5 tulang coccygea. Setiap tulang belakang
dengan defisit neurologis ataupun tidak, akan mengalirkan sejumlah serabut saraf
harus dipertimbangkan adanya SCI. yang berfungsi secara neurologis yang
Penelitian pada negara maju mengatur dalam setiap fungsi sensorik dan
menyatakan bahwa pada pasien yang motorik sesuai dengan dermatom yang
menderita tetraplegia dan paraplegia dapat dilihat pada (Gambar 1). Sekitar 55%
memiliki tingkat harapan hidup 91,2% dan kejadian SCI terjadi pada bagian servikal
95,9%, walaupun tidak menjamin pasien dan diikuti oleh torakal (15%), torakolumbal
dapat kembali normal secara utuh tanpa (15%), dan lumbosakral (15%) (ATLS,
kecacatan sama sekali (Alizadeh, Dyck, & 2018). Menurut penelitian sekitar 80%
Karimi-Abdolrezaee, 2019). Hal ini dapat pasien SCI yang mengenai bagian servikal,
terjadi karena sekitar 5% pasien masih sebagian besar akan meninggal di tempat.
mendapat penanganan kegawatdaruratan Selain karena tingkat lesi cedera yang
yang salah seperti manipulasi berlebih dan tinggi, bagian servikal memiliki mobilitas
immobilisasi tulang belakang yang tidak dan tingkat eksposur yang tinggi sehingga
adekuat mengakibatkan pasien mendapat terjadinya distrupsi pada organ pasien
gejala neurologis tambahan dan atau akan semakin mudah. SCI bagian torakal
gejala yang semakin buruk setelah lebih jarang terjadi karena adanya
perawatan (ATLS, 2018). Selain itu, mobilitas yang lebih sederhana dan
penanganan yang telat juga dapat terlindungi oleh tulang rusuk, namun kasus
menyebabkan risiko komplikasi dan ini tidak dapat dikesampingkan karena
kecacatan menetap pada pasien semakin pasien dapat menderita kesulit bernapas
meningkat. Melihat dari hal tersebut, akibat paralisis dari otot interkosta dan atau
tentunya kejadian SCI perlu menjadi diafragma.
perhatian bagi kita sebagai seorang klinisi
untuk mengetahui epidemiologi, etiologi,
faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, dan
tatalaksana sehingga menghasilkan
prognosis berupa angka harapan hidup

GMJ | 104
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

al., 2015). Selanjutnya, Jatuh dari


ketinggian merupakan kasus traumatik
paling umum kedua setelah kecelakaan
lalu lintas. Di negara maju, hal ini dapat
terjadi oleh karena faktor degenerasi dari
kelompok lansia usia 60 tahun yang saat ini
populasinya sedang meningkat, sehingga
biasanya terjadi secara low fall (jatuh
dengan ketinggian < 1 meter). Sedangkan
pada negara berkembang, tingkat kejadian
akibat jatuh biasanya disebabkan oleh
karena jatuh dari ketinggian atau high fall,
yang menjadi cerminan konstruksi di
negara berkembang yang masih belum
merata dalam memenuhi standar
Gambar 1. Dermatom pada manusia keamanan (Christopher et al., 2015).
(Whitman PA, 2020) Degenerative Cervical Myelopathy
(DCM) merupakan SCI non-traumatis
Kebanyakan pasien yang menderita paling umum ditemukan yang disebabkan
SCI merupakan laki-laki usia remaja – oleh penyakit degeneratif progresif dari
dewasa muda dengan kasus utama oleh kompresi pada tulang belakang secara
karena kecelakaan lalu lintas. Namun, dari kronis, yang ditandai dengan tonjolan pada
hasil penelitian yang diadakan di negara diskus intervertebralis posterior dan
jepang ditemukan juga kasus dari hipertrofi atau invaginasi ligamen flavum,
kelompok lansia yang saat ini mengalami yang disertai dengan kerusakan medula
peningkatan populasi dengan rata-rata spinalis bagian servikal. Penyakit ini sering
sebagian besar kasus lansia mengalami asimptomatik, dengan onset bulan hingga
SCI yang disebabkan oleh karena jatuh tahun, dengan ditemukannya mielopati
(41%) dengan usia rata-rata 50-59 tahun. pada serviks oleh proses degenerasi yang
Hal ini juga tidak terlepas dari penyakit mengakibatkan penurunan fungsi motorik
degeneratif dan juga kongenital yang dan sensorik (David et al., 2019).
menyebabkan pengapuran pada bagian Mekanisme dari bagaimana
servikal dari tulang belakang sehingga terjadinya SCI dapat terjadi bedasarkan
menjadikan kelompok usia lansia menjadi onsetnya menjadi 2 yaitu cedera primer
rentan terkena cedera tulang belakang dan cedera sekunder. Cedera primer
(Copley et al., 2020). merupakan cedera awal yang bersifat akut
Etiologi dari SCI secara garis besar, dan tiba-tiba, disebabkan oleh faktor
SCI dapat dibedakan menjadi 2 yaitu mekanis seperti kasus traumatis yang
traumatik dan non-traumatik. Kasus memiliki gaya tekan dan transformasi
traumatik memiliki tingkat kejadian yang energi tinggi, sehingga akan menyebabkan
lebih banyak (90%) ketimbang non- kegagalan struktur integritas biomekanis
traumatik (10%) dengan kasus traumatik dari tulang belakang (Copley et al., 2020;
paling sering antara lain kecelakaan lalu Patek & Stewart, 2020).
lintas, diikuti oleh jatuh, olahraga atau Cedera primer dapat terjadi secara direk
kecelakaan akibat pekerjaan dan rekreasi, maupun indirek (Copley et al., 2020).
serta kekerasan (Christopher, Witiw, & Cedera direk atau langsung disebabkan
Fehlings, 2015; Pertiwi & Berawi, 2017). oleh karena gangguan kompresi medula
Kecelakaan lalu lintas terutama spinalis transien dan persisten, distraksi,
kendaraan bermotor paling sering terjadi laserasi akibat akselerasi-deselerasi dan
pada sebagian besar wilayah di seluruh transeksi, yang akan mengakibatkan
dunia. Letak geografis seperti dataran gangguan integritas struktur pendukung
tinggi diperkirakan menjadi penyebab seperti ligamen dan tulang. Sedangkan
utama kasus kecelakaan (Christopher et cedera indirek atau tidak
langsung dapat terjadi karena adanya adanya kerusakan struktur seperti fraktur.
transmisi kinetik lewat jaringan saraf, tanpa Contohnya ialah cedera hiperekstensi

GMJ | 105
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

pada cervical central cord syndrome yang waktu lebih dari 6 bulan, fase intermediet
terjadi pada pasien lansia saat terjatuh akan berkembang menjadi fase kronis
(Copley et al., 2020). Menurut (Alizadeh et yang menyebabkan pembentukan dari
al., 2019; Patek & Stewart, 2020), cedera syringomyelia atau kista pada tulang
primer memiliki empat mekanisme utama belakang yang saat ini masih dilakukan
antara lain: penelitian lebih lanjut mengenai
1) gangguan kompresi medula spinalis pembentukan tersebut (Ahmed & Lucas,
transien (sementara) 2020; Copley et al., 2020).
2) gangguan kompresi medula spinalis Gejala klinis yang timbul bervariasi
persisten atau terus menerus seperti nyeri, paralisis, paresis,
3) cedera distraksi inkontinensia, tergantung dari 2 faktor yaitu
4) laserasi atau transeksi langsung bedasarkan tingkat keparahan dari SCI
Cedera sekunder merupakan cedera dan bedasarkan letak dari cedera di
lanjutan yang disebabkan oleh eksaserbasi sepanjang medula spinalis (Eckert &
atau lanjutan dari cedera primer. Hasil dari Martin, 2017; Pertiwi & Berawi, 2017).
cedera primer seperti inflamasi dan edema Bedasarkan tingkat keparahannya, SCI
lokal atau sistemik, hipotensi, hipoksemia, dapat dibagi menjadi 2 yaitu cedera komplit
serta perdarahan, memicu dari dan inkomplit. Cedera komplit dan
patofisiologi cascade yang akan inkomplit dapat dibedakan lewat
menghasilkan gangguan perfusi dan karakteristiknya yang dapat dilihat pada
pengiriman oksigen serta aliran darah (Tabel 2) (Pertiwi & Berawi, 2017).
kedalam bagian medula spinalis yang
sedang mengalami kerusakan Karakter- Lesi komplit Lesi
(Christopher et al., 2015; Copley et al., istik inkomplit
2020; Patek & Stewart, 2020). Menurut Motorik (-) disepanjang Sering (+)
(Ahmed & Lucas, 2020; Christopher et al., bagian bawah
2015; Copley et al., 2020), cedera lesi
sekunder dapat dibagi menjadi beberapa Protopatik (-) disepanjang Sering (+)
fase yaitu fase segera (<2 jam), fase awal bagian bawah
akut (<48 jam), dan fase sub akut (<2 lesi
minggu) dengan tanda dan gejala pada Propio- (-) disepanjang Sering (+)
yang dapat dilihat pada (Tabel 1). septik bagian bawah
lesi
Segera Awal Akut Subakut Sacral Negatif Positif
Perdarahan Iskemia Infiltrasi sparing
makrofag Radiologi Fraktur, luksasi, normal
Nekrosis Peningkatan Astrosito- vertebra listesis
seluler edema sis reaktif MRI Perdarahan Edema
Pelepasan Produksi (sering), (sering),
glutamat radikal bebas kompresi, kontusio,
Peningkata Disregulasi ion kontusio normal
n regulasi Eksositosis Tabel 2. Perbedaan lesi pada cedera
sitokin glutaminergik komplit dan inkomplit (Pertiwi & Berawi,
Neurotoksik 2017)
imunologis
Tabel 1. Fase cedera sekunder
bedasarkan onset (Christopher et al.,
2015; Copley et al., 2020)

Fase ini dapat berlanjut menjadi fase


intermediet atau fase menengah, dimana
terjadi gliosis yang berkembang dalam
kurun waktu kurang dari 6 bulan yang
menyebabkan timbulnya jaringan parut
pada akson (Copley et al., 2020). Dalam

GMJ | 106
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

Karakteristik Central cord Brown sequard Anterior Posterior


syndrome syndrome cord cord
syndrome syndrome
Kejadian Sering Jarang Jarang Sangat
jarang
Biomekanis Hiperekstensi penetrasi hiperfleksi Hiperekstensi
Motorik Bervariasi, Paresis Paralisis Bervariasi
paralisis ipsilateral komplit
komplit bilateral
jarang
Protopatik Bervariasi Kontralateral Hilang Bervariasi,
dan tidak hilang total total, biasanya
khas bilateral ringan
utuh
Proprioseptik Jarang Ipsilateral hilang Utuhterganggu
gangguan total
Perbaikan Nyata dan fungsi buruk Paling nyata
cepat pada ipsilateral, buruk
independensi
baik
Tabel 3. Jenis Spinal cord syndrome (Pertiwi & Berawi, 2017)
Cedera komplit adalah cedera neurologis baik motorik dan sensorik
dengan keadaan gangguan kegagalan disepanjang tulang belakang pasien.
fungsi neurologis secara absolut dimana Pemeriksaan akan dilakukan
pasien tidak dapat merasakan sensasi dan menggunakan tusuk jarum atau pin prick
maupun menggerakan fungsi motorik test dan sensasi sentuhan untuk mengukur
dibawah tingkat cedera pada tulang respon sensorik yang disesuaikan dengan
belakang (Eckert & Martin, 2017; Pertiwi & dermatom.
Berawi, 2017). Sedangkan cedera
inkomplit adalah cedera dengan Tingkat Gangguan yang berpotensi
penurunan fungsi neurologis baik sensorik Cedera
dan motorik dibawah bagian dari cedera C2-C3 Bersifat fatal, adanya
tulang belakang sehingga tidak dapat kerusakan pada
melakukan fungsi maksimal, biasanya pernapasan diafragma
masih dapat berfungsi utuh hingga sedikit C4 Kuadriplegia dengan
namun tidak sampai gagal fungsi (Eckert & gangguan saraf diafragma
Martin, 2017; Pertiwi & Berawi, 2017). dan otot dinding dada yang
Walaupun memiliki gejala dan prognosis menyebabkan sulit
lebih baik daripada cedera komplit, cedera bernapas
inkomplit dapat menyebabkan berbagai C5 Kuadriparesis dengan
gejala neurologis yang disebut spinal cord gangguan fungsi pada bahu
syndrome. Spinal cord syndrome sering dan siku yang disertai
kali tidak terdeteksi ataupun salah gangguan saraf diafragma
terdiagnosis pada saat pemeriksaan dan otot dinding dada yang
neurologis karena memiliki gejala yang menyebabkan sulit
bervariasi tergantung letak dan tingkat bernapas
keparahannya (Tabel 3) (Gambar 3) C6 Kuadriparesis dengan
(Copley et al., 2020; Pertiwi & Berawi, gangguan fungsi pada
2017). bahu, siku, pergelangan
Bedasarkan letak cedera SCI yang tangan yang disertai
digolongkan bedasarkan letak cedera akan gangguan saraf diafragma
menghasilkan gejala neurologis yang dan otot dinding dada yang
bervariasi (Tabel 4) yang dapat ditentukan menyebabkan sulit
melalui pengukuran dan penilaian fungsi bernapas

GMJ | 107
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

C7 Kuadriparesis dengan neurologis pasien normal hingga grade A


gangguan fungsi pada (fungsi motorik dan sensorik hilang lebih
bahu, siku, pergelangan dari 3 tingkat dibawah lesi cedera
tangan, dan fungsi tangan- (termasuk daerah dubur) (Copley et al.,
jari yang buruk (hanya dapat 2020).
ekstensi jari)
C8 Kuadriparesis dengan
lengan berfungsi normal
namun pada carpal lemah
T1-T6 Paraplegia dengan fungsi
bagian bawah dada tengah
hilang namun masih dapat
mengontrol lengan
T7-T12 Paraplegia dengan fungsi
pada pinggang kebawah
hilang dan gangguan
kontrol pada trunkus
L1-S5 Paraparesis pada otot kaki
tergantung tingkatan

Tabel 4. Gangguan neurologis


bedasarkan tingkat cedera pada tulang
belakang (Copley et al., 2020)

Dalam melakukan penegakkan


diagnosis terhadap kasus trauma medula
spinalis, tentunya harus didahului oleh
melakukan initial assesment and
resucitation sebelum melakukan
serangkaian pemeriksaan penunjang yang
bertujuan untuk menegakkan diagnosis Gambar 2. Lembar Penilaian ASIA SCI
ataupun mengeleminasi dari diagnosis Scoring (Eckert & Martin, 2017)
kerja. The American Spinal cord injury
Association (ASIA) Scoring saat ini Setiap pasien yang mengalami kasus
menjadi sebuah aspek skoring yang sering traumatik dengan indikasi tertentu akan
digunakan dan merupakan standar mendapatkan perlindungan dengan C-
internasional dalam melakukan pengkajian Collar yang digunakan pada leher atau
terhadap tingkat keparahan dan klasifikasi servikal pasien pada saat pengaktifan
SCI (Gambar 2) (Eckert & Martin, 2017). emegercency medical service (EMS).
Penilaian melalui skoring ini dimulai Setelah pasien dilakukan penilaian dan
pemeriksaan dari bagian paling distal otot resusitasi awal, kuisioner Canadian C-
ke proksimal (termasuk pemeriksaan light Spine Rule (CCR) (Gambar 3) dan the
touch, pin prick test, dan rectal toucher) National Emergency X-Radiography
yang sesuai dengan dermatome dan Utilization Study (NEXUS) akan berperan
idealnya selesai dalam 72 jam pasca dalam menentukan apakah pasien dapat
cedera (Copley et al., 2020; Eckert & melepaskan C-Collar atau pasien
Martin, 2017). Nilai yang didapat memerlukan pemeriksaan pencitraan lebih
bedasarkan seberapa besar sensasi yang lanjut.
bisa pasien rasakan di beberapa titik tubuh Pada sebuah penelitian yang
(sensorik) dan tes fungsi motorik. Setelah dilakukan oleh (Souter, K.H. & J., 2017)
pemeriksaan akan ditentukan dalam mengukur tingkat temuan klinis
penggolongan pasien sesuai dengan menggunakan penilaian NEXUS memiliki
gangguan bedasarkan grade (kelas) yang tingkat akurasi 99,8% sehingga
dimulai dari grade E dimana fungsi pemeriksaan ini menjadi standar dalam

GMJ | 108
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

melakukan pengangkatan C-Collar pada melihat struktur jaringan lunak lebih jauh
pasien yang normal, dan perujukan untuk seperti sumsum tulang, ligamen,
mengambil gambaran radiologis apabila intervertebralis disk, dan paraspinal
pasien memenuhi salah satu dari kriteria sehingga diperlukan pemeriksaan MRI
sebagai berikut: untuk melihat struktur tersebut apabila
1) Ada defisit neurologis dari riwayat dan pasien mengalami defisit neurologis tanpa
pemeriksaan fisik temuan apapun pada X-ray dan CT Scan
2) Terdapat gejala intoksikasi etoh (Copley et al., 2020; Souter, K.H. & J.,
(alkohol) 2017). Penilaian imaging dilakukan untuk
3) Riwayat cedera distraksi ektrem memberikan informasi tambahan terkait
4) Tingkat kesadaran menurun indikasi pasien dalam melakukan
(GCS<15) pembedahan lebih lanjut. Terdapat
5) Tenderness pada tulang belakang berbagai macam cara dalam mengambil
gambar pada pemeriksaan pencitraan
tergantung letak dan lokasi cedera pada
trauma medula spinalis (Gambar 4)
(Copley et al., 2020).

Gambar 4. Hasil pencitraan fraktur pada


bagian servikal medula spinalis, hasil
pemeriksaan X-ray pada pasien dengan
fraktur jefferson (disrupsi fraktur anterior
Gambar 3. Canadian C-Spine Rule dan posterior C1 dengan pergeseran di
guidelines (ATLS, 2018) lateral) dan hasil pemeriksaan CT-Scan
pada pasien dengan fraktur odontoid
Pemeriksaan diagnostik berupa (fraktur pada bagian basal dens) (ATLS,
pencitraan dapat dilakukan setelah pasien 2018).
mendapat penilaian dan resusitasi awal
serta jika pasien memenuhi kriteria pada Tujuan utama dalam melakukan
kuisioner CCR dan NEXUS. Tes penatalaksanaan trauma medula spinalis
pencitraan yang dapat dilakukan dapat akut adalah melakukan terapi yang
berupa X-ray, Computerized Tomography menyebabkan SCI primer dan mencegah
(CT) Scan, dan Magnetic Resonance cedera lanjutan atau sekunder pada SCI
Imaging (MRI). CT-scan saat ini dengan pelaksanaan A (airway), B
direkomendasikan dalam melakukan (breathing), C (circulation), D (disability), E
evaluasi dan memberikan hasil mendetail (exposure) jika pasien dalam kondisi gawat
terkait jenis dan lokasi tulang belakang darurat. Bila ditemukan pasien mengalami
dalam struktur anatomi. Pada pasien nyeri pada bagian punggung tengah, sulit
dalam keadaan tidak sadar atau berbicara, penurunan kesadaran, motorik
mengalami trauma multipel disarankan dan sensorik pada ekstremitas, maka patut
untuk melakukan pemeriksaan CT pada dicurigai pasien menderita trauma medula
area kepala, leher, dada, perut, dan spinalis (Sjamsuhidajat & Jong, 2019;
panggul dengan view koronal dan sagital Souter, K.H. & J., 2017). Informasi pada
(Souter, K.H. & J., 2017). pre-hospital merupakan hal yang krusial
Meski begitu terdapat kekurangan untuk diketahui mulai dari informasi
dari CT-scan yang masih belum dapat

GMJ | 109
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

mengenai mekanisme cedera teruama perdarahan pada jaringan, yang


pada pasien yang memiliki gangguan menyebabkan obstruksi jalan napas
neurologis seperti penurunan kesadaran parsial, dan perlu dilakukan pemberian
dan defisit sensorik berupa paralisis atau terapi airway definitif segera (ATLS, 2018).
parasthesia serta pasien yang memiliki Penanganan dapat berupa obat-obatan
trauma multipel. Tentunya, apabila pasien ataupun peralatan patensi jalur napas
mengalami cedera multipel wajib halnya dengan teknik yang sudah familiar
melakukan pengamatan dan dilakukan oleh klinisi. Kerja sama tim
mendahulukan penanganan terhadap dalam penanganan ini merupakan kunci
tanda dan gejala lain dari pasien yang utama, dimana dalam penanganan patensi
mengancam jiwa seperti airway, jalan napas dapat membutuhkan minimal 2
pneumothoraks, hemothoraks, perdarahan orang untuk melakukan serangkaian
berat (Souter, K.H. & J., 2017). Diperlukan tindakan anastesi, intubasi, dan menjaga
mobilisasi yang minimal saat pelaksanaan tulang belakang tetap immobilisasi (Patek
survei primer pada pasien dengan & Stewart, 2020).
menggunakan C-Collar pada leher, blok, Dalam manajemen breathing, pasien
dan tape (pita perekat), serta penggunaan yang mengalami SCI pada bagian servikal
manuver log rolling, dan backboard hingga toraks terutama diatas T8, biasanya
sebagai tempat pasien (Copley et al., memiliki gangguan pada fungsi otot
2020; Souter, K.H. & J., 2017). Bila tidak diafragma dan atau interkorta yang akan
memiliki peralatan C-Collar maka menyebabkan kegagalan napas sehingga
diusahakan kepala pasien menghadap ke diperlukan tindakan supportif berupa
depan dan tetap ditengah dengan pemberian ventilasi napas. Pasien dengan
penambahan penyangga leher berupa ancaman gagal napas dapat dilakukan
bantal atau gulungan kain agar tulang penatalaksanaan berupa intubasi
belakang tetap intak saat pengangkutan endotrakeal tube dan ventilator mekanik
(Sjamsuhidajat & Jong, 2019). (Souter, K.H. & J., 2017). Kesulitan dalam
Dalam manajemen Airway, melakukan pemasangan ventilator pada
memberikan oksigenasi yang adekuat pasien dengan SCI sering ditemukan
sangatlah penting untuk mencegah dari terutama pada pasien yang mengalami
iskemia dan cedera sekunder medula SCI lengkap pada servikal, sehingga
spinalis. Pasien yang memiliki gejala pada penanganan dengan trakeostomi
pernapasan seperti sesak, takipnea, sulit direkomendasikan (Copley et al., 2020).
berbicara, ataupun penurunan kesadaran Pasien yang memiliki lesi komplit pada C2
dapat dilakukan penilaian awal terhadap keatas memerlukan ventilator jangka
pernapasan baik patensi jalan napas dan panjang. Pada pasien yang memiliki lesi
oksigenasi yang adekuat (Patek & Stewart, pada C3-C5 yang memiliki inervasi ke
2020). Pemeriksaan airway umumnya diafragma langsung memiliki tindakan
dilakukan manuver “head tilt - chin lift - jaw yang bervariasi namun memerlukan
thrust” pada pasien yang mengalami intubasi segera. Lesi pada C5 kebawah
penurunan kesadaran, namun manuver ini dipertimbangkan pemberian ventilator
tidak direkomendasikan pada pasien yang jangka panjang oleh karena otot interkosta
suspek trauma medula spinalis yang yang dapat berpotensi memunculkan
memerlukan pembatasan manipulasi. Saat spasme otot.
ini manuver yang direkomendasikan pada Dalam manajemen circulation, The
pasien suspek trauma medula spinalis American Society of Anesthesiologists
yaitu “jaw thrust – open mouth”. merekomendasikan monitoring tanda-
Penanganan terhadap jalan napas tanda vital pasien dengan SCI seperti
biasanya dilakukan pada pasien dengan denyut jantung, elektrokardiogram,
berbagai penyebab seperti obstruksi akibat tekanan darah, oksimetri nadi, kapnografi,
benda asing, darah, ataupun muntahan dan suhu. Pasien yang mengalami SCI
pasien. Pada pasien yang mengalami traumatik umumnya mengalami
cedera pada servikal pada kasus traumatik perdarahan hebat yang dapat berujung
kemungkinan dapat menyebabkan pada keadaan syok hipovolemik yang akan
distrupsi pada laring dan trakea ataupun menyebabkan hipotensi (SBP <90 mmHg).

GMJ | 110
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

Pada kondisi ini, pasien memerlukan Setelah pasien stabil pasca


pemberian cairan segera untuk resusitasi resusitasi ABCD, maka tahapan
agar kembali menjadi euvolemik (Souter, selanjutnya yaitu melakukan terapi
K.H. & J., 2017). Namun, pada kondisi lanjutan. Tujuan dari terapi lanjutan yakni
tertentu, pasien yang sudah diberikan mencegah lesi transversa, mempercepat
cairan namun masih tetap hipotensi, dapat resolusi dan revalidasi, rehabilitasi aktif,
dicurigai pasien menderita syok serta mempermudah dan mempercepat
neurogenik. dalam proses perawatan dan fisioterapi
Syok neurogenik biasanya terjadi secara aktif (Patek & Stewart, 2020;
pada pasien yang mengalami SCI diatas Sjamsuhidajat & Jong, 2019). Tindakan
T6 yang akan menyebabkan vasodilatasi, lanjutan yang dapat dilakukan yaitu
bradikardi, dan hipotensi serta dapat terjadi pembedahan dan atau farmakologi dengan
bradikardia berat atau asistol saat pertimbangan dari pemeriksaan
dilakukan tatalaksana yang menstimulasi radiodiagnostik dan sejumlah kuisioner
refleks vagal seperti laringoskopi atau lainnya yang mengindikasikan apakah
suctioning (Patek & Stewart, 2020; Souter, pasien perlu dilakukan tindakan bedah
K.H. & J., 2017). Penanganan pada pasien atau hanya konservatif (Copley et al.,
syok neurogenik memerlukan obat-obatan 2020). Namun, tidak menutup
vasopressor seperti Noradrenalin, kemungkinan untuk dilakukannya tindakan
fenilefrin, atau metaraminol, dan dopamin pembedahan darurat pada pasien dengan
inotropik positif direkomentasikan untuk kondisi-kondisi tertentu seperti (1) pasien
menangani tonus vaskular yang mencegah yang mengalami luka tembus oleh karena
cedera sekunder (Patek & Stewart, 2020; peluru, penikaman, dan senjata tajam, (2)
Souter, K.H. & J., 2017). acute spinal cord syndrome, (3) gangguan
Direkomendasikan melakukan monitoring neurologis progresif akibat penekanan.
terhadap tekanan darah menggunakan Pembedahan yang dapat dilakukan berupa
arterial line dan kateter vena sentral untuk reposisi dan stabilisasi jika mengalami
melakukan pemberian obat sekaligus dislokasi, dan dekompresi pada pasien
monitoring tekanan vena sentral (Patek & yang mengalami tanda-tanda kompresi
Stewart, 2020). medula spinalis akibat deformitas, fragmen
Dalam manajemen disability, tuang, hematoma, dan perlukaan
pemeriksaan neurologis lengkap harus (Sjamsuhidajat & Jong, 2019).
segera dilakukan dan dapat dilakukan Farmakologi pada pasien trauma
secara simultan dengan pemeriksaan medula spinalis masih menjadi sebuah
lainnya untuk menilai tingkat lokasi dan perdebatan hingga saat ini. Farmakologi
keparahan defisit neurologis. Pemantauan yang saat ini menjadi rekomendasi yaitu
terhadap pemeriksaan neurologis dapat kortikosteroid jenis metilprednisolon
dinilai menggunakan American Spinal dengan dosis 30mg/kgBB bolus IV yang
Injury Association Spinal cord injury (ASIA berguna dalam mencegah terjadinya
SCI) scoring (Gambar 4) yang dapat inflamasi dan menekan migrasi netrofil
melihat fungsi neurologis motorik dan serta meningkatkan permeabilitas vaskular
sensorik pasien secara menyeluruh. (Pertiwi & Berawi, 2017). Menurut hasil
Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan penelitian yang dilakukan oleh Surgical
berupa pemeriksaan punggung dan rectal Timing in Acute Spinal cord injury Study
toucher yang dilakukan setelah pasien (STASCIS), menunjukkan bahwa pasien
terlepas dari log roll untuk meminimalisir yang diberikan metilprednisolon dalam
dari mobilisasi (Patek & Stewart, 2020; kurun waktu <24 jam setelah cedera dapat
Souter, K.H. & J., 2017). Pemeriksaan menurunkan komplikasi lanjutan dibanding
lanjutan yang diberikan ialah penilaian dengan pasien yang tidak diberikan terapi
menggunakan assesment kuisioner seperti kortikosteroid sama sekali (Copley et al.,
NEXUS dan CRR untuk mengevaluasi 2020). Pemberian dosis tinggi
apakah pasien perlu tindakan lanjutan metilprednisolon direkomendasikan pada
dengan melakukan pemeriksaan pasien <8 jam setelah cedera pertama dan
radiodiagnostik atau tidak. tidak direkomendasikan untuk melakukan
pemberian metilprednisolon dalam kurun

GMJ | 111
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

waktu 48 jam karena dapat menyebabkan dengan cedera komplit yang akan menjadi
efek samping lebih lanjut (Copley et al., inkomplit setelah mendapatkan
2020). Bila diberikan dalam kurun waktu <3 penanganan. SCI inkomplit memiliki
jam setelah cedera, terapi dapat prognosis yang lebih baik bedasarkan hasil
dilanjutkan selama 23 jam dengan penelitian dengan kemungkinan >50%
metilprednisolon IV kontinyu dosis pasien dapat berjalan normal bila masih
5,4mg/kgBB/jam. Terapi ini efektif dalam terdapat fungsi sensorik dibawah lesi
meningkatkan fungsi motorik dan sensorik (Pertiwi & Berawi, 2017).
baik pada cedera parsial maupun total Bagaimana pun juga, dalam
dengan masing-masing dalam kurun waktu meningkatkan kualitas hidup dari pasien
pemberian terapi 6 minggu dan 6 bulan diperlukan dukungan secara penuh baik
(Pertiwi & Berawi, 2017). Namun menurut dari dalam diri pasien maupun lingkungan
(Eckert & Martin, 2017; Patek & Stewart, sekitar seperti dukungan dari keluarga dan
2020) menyebutkan bahwa terapi sosial, kesehatan mental, kemampuan
farmakologi jenis steroid tidak ambulasi, peluang dalam mendapat
direkomendasikan setelah dilakukannya uji pekerjaan, dll. Sejauh ini kualitas hidup dari
coba oleh National Acute Spinal cord injury pasien yang terlapor cenderung meningkat
Studies (NASCIS) yang mengalami dari waktu ke waktu setelah mereka
kegagalan terhadap perbaikan fungsi beradaptasi terhadap keadaan (Copley et
neurologis sensorik dan motorik setelah 1- al., 2020).
3 kali percobaan pemberian
metilprednisolon dosis tinggi. Selain itu KESIMPULAN
metilprednisolon juga dapat meningkatkan SCI merupakan ancaman serius
risiko dari sejumlah komplikasi diantaranya yang dapat menyebabkan defisit
infeksi pada luka, pneumonia, dan sepsis. neurologis dan kecacatan menetap pasca
Terapi lainnya dilakukan pada spinal cedera. Kasus traumatis menjadi faktor
cord syndrome yang memiliki tanda dan tersering penyebab SCI mulai dari
gejala yang bervariasi sehingga sering kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan
salah diagnosis saat dilakukannya karena rekreasi, pekerjaan, dsb. Maka,
pemeriksaan neurologis menyeluruh, setiap terjadinya kecelakaan dengan
sehingga diperlukan pengetahuan trauma multiple perlu dicurigai pasien
terhadap spinal cord syndrome yang dapat menderita SCI.
dilihat pada (Eckert & Martin, 2017). Pengamatan dan penanganan dini
Prognosis dapat bervariasi menjadi kunci utama dalam mencegah dari
tergantung pada tingkat, komplit tidaknya cedera sekunder ataupun komplikasi
lesi, cedera yang menyertai, penyakit lainnya yang ditimbulkan setelah cedera.
komorbid, dan umur dari pasien. Walaupun Maka dari itu, penting untuk mengetahui
saat ini sudah terdapat berbagai macam informasi pasien pada pre-hospital seperti
peralatan canggih dan sumber daya mekanisme terjadinya cedera, sudah
manusia yang memumpuni, umur pasien tidaknya pasien diresusitasi, apakah
pasca SCI umumnya lebih pendek pasien sudah dilakukan immobilisasi
daripada masyarakat pada umumnya dengan C-Collar, dan menggunakan
dengan mortalitas sebesar 3,8%. Rata-rata papan keras (backboard) dalam
pasien akan memiliki angka harapan hidup melakukan mobilisasi.
sebesar 18,1 – 88,4% (Copley et al., 2020). Penanganan dengan tindakan
SCI komplit umumnya memiliki yang ABCDE pada primary survey wajib
prognosis buruk, apabila tidak mengalami dilakukan dengan segera setelah pasien
perbaikan dalam 72 jam pertama akan sampai di unit gawat darurat dan tindakan
mengalami defisit neurologi dan atau pembedahan darurat mungkin dilakukan
kecacatan yang menetap. Menurut pada kondisi tertentu. Prognosis pada lesi
penelitian, hanya sekitar 5% pasien yang komplit umumnya buruk dan lesi inkomplit
berhasil mengalami perbaikan fungsi memiliki prognosis yang lebih baik.
neurologis kembali normal (Pertiwi & Peningkatan kualitas hidup pasca cedera
Berawi, 2017). Menurut (Christopher et al., merupakan hal yang krusial dialami pasien
2015), hanya sekitar 10-15% pasien karena harus beradaptasi dengan situasi

GMJ | 112
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021

kecacatan pasca cedera, sehingga 0270-5


membutuhkan dukungan baik secara fisik, Eckert, M. J., & Martin, M. J. (2017).
mental, dan sosial dari dalam diri pasien Trauma: Spinal cord injury. Surgical
maupun pihak lainnya di lingkungan Clinics of North America, 97(5), 1031–
pasien. 1045.
https://doi.org/10.1016/j.suc.2017.06.
DAFTAR PUSTAKA 008
Ahmed, A. I., & Lucas, J. D. (2020). Spinal Patek, M., & Stewart, M. (2020). Spinal
cord injury: pathophysiology and cord injury. Anaesthesia and Intensive
strategies for regeneration. Care Medicine, 21(8), 411–416.
Orthopaedics and Trauma, 34(5), https://doi.org/10.1016/j.mpaic.2020.
https://doi.org/10.1016/j.mporth.2020. 05.006
06.003 Pertiwi, G. M. D., & Berawi, K. (2017).
Alizadeh, A., Dyck, S. M., & Karimi- Diagnosis dan Tatalaksana Trauma
Abdolrezaee, S. (2019). Traumatic Medula Spinalis Diagnosis and
spinal cord injury: An overview of Management of Spinal cord injury.
pathophysiology, models and acute Medical Proffession Journal of
injury mechanisms. Frontiers in Lampung, 7(2), 48–52.
Neurology, 10(March), 1–25. Sjamsuhidajat, R., & Jong, D. (2019). Buku
https://doi.org/10.3389/fneur.2019.00 Ajar Ilmu Bedah Ed 4, Vol 3. jakarta
282 Souter, K.H., K. L., & J., M. (2017). Spinal
ATLS. (2018). Advanced trauma life cord injury. Challenging Topics in
support. Anaesthesia (Vol. 48). Neuroanesthesia and Neurocritical
https://doi.org/10.1111/j.1365- Care, 1–339.
2044.1993.tb07025.x https://doi.org/10.1007/978-3-319-
Attal, N. (2020). Spinal cord injury pain. 41445-4
Revue Neurologique, 0–6. Whitman PA, A. (2020). Anatomy, Skin,
https://doi.org/10.1016/j.neurol.2020. Dermatomes
07.003
Christopher, D., Witiw, & Fehlings, michael
g. (2015). Acute spinal cord injury.
Spinal Disord Tech, 28(6), 202–210.
https://doi.org/10.1002/97811191294
00.ch23
Copley, P. C., Jamjoom, A. A. B., & Khan,
S. (2020). The management of
traumatic spinal cord injuries in adults:
a review. Orthopaedics and Trauma,
34(5), 255–265.
https://doi.org/10.1016/j.mporth.2020.
06.002
Darwish, S., Tsirikos, A. I., & Maguire, S.
(2020). Rehabilitation following spinal
cord injury. Orthopaedics and
Trauma, 34(5), 315–319.
https://doi.org/10.1016/j.mporth.2020.
06.009
David, G., Mohammadi, S., Martin, A. R.,
Cohen-Adad, J., Weiskopf, N.,
Thompson, A., & Freund, P. (2019).
Traumatic and nontraumatic spinal
cord injury: pathological insights from
neuroimaging. Nature Reviews
Neurology, 15(12), 718–731.
https://doi.org/10.1038/s41582-019-

GMJ | 113

Anda mungkin juga menyukai