1
Prodi Kedokteran, Universitas Pendidikan Ganesha
2
Prodi Kedokteran, Universitas Pendidikan Ganesha
Abstrak
Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah suatu kondisi gangguan pada
medula spinalis atau sumsum tulang belakang dengan gejala fungsi neurologis mulai dari
fungsi motorik, sensorik, dan otonomik, yang dapat berujung menjadi kecacatan menetap
hingga kematian. Gejala dapat bervariasi tergantung tingkat lokasi dan keparahan lesi
cedera yang dapat berupa gejala neurologis seperti nyeri pada bagian tengah dari
punggung, parasthesia, hingga penurunan kesadaran pada pasien. Mekanisme terjadinya
SCI dapat terjadi secara langsung atau cedera primer dan apabila pasien tidak diberikan
penanganan segera dan adekuat, cedera primer akan berlanjut menjadi cedera sekunder.
Informasi yang didapatkan sebelum pasien masuk ke unit gawat darurat penting untuk
didapatkan seperti mekanisme dari terjadinya cedera, dan penanganan pre-hospital.
Penanganan pasien SCI dapat menggunakan teknik ABCD dan dapat dilakukan tindakan
pembedahan darurat apabila pasien memiliki faktor risiko tertentu. Bila pasien tidak
mendapat penanganan intensif dan segera, maka cedera dapat berlanjut menjadi defisit
neurologis serta kecacatan yang menetap hingga akhir hayat pasien. Maka dari itu, penting
bagi kita sebagai seorang klinisi untuk mengetahui dari struktur anatomi dan fisiologi
medula spinalis, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana,
serta prognosis dari SCI, sehingga dapat melakukan pengamatan dan penanganan awal
pada pasien yang terindikasi SCI.
Abstract
Spinal cord injury is a condition with impairment of the spinal cord with a neurological
symptomp from motor, sensory, and autonomic functions, that can lead to permanent
disability and death. Symptoms can vary depending on the location and severity of the
injured lesion. The mechanism of spinal cord injury can occur directly or primary injury and
if the patient is not given prompt and adequate treatment, the primary injury will progress
to a secondary injury. Information obtained before the patient is admitted to the emergency
department is important to obtain such as the mechanism of injury, and pre-hospital
management. The treatment of spinal cord injury is using the ABCD and emergency
surgery can be performed if the patient has certain risk factors. If the patient does not
receive intensive and prompt treatment, the injury can progress to neurological deficits and
disability that persist until the end of the patient's life. Therefore, it is important for clinicians
to know from the anatomical structure and physiology of the spinal cord, epidemiology,
etiology, pathogenesis, clinical symptoms, diagnosis, management, and prognosis of
spinal cord injury, so that early observation and treatment can be do to patients who
indicated spinal cord injury.
GMJ | 103
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
GMJ | 104
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
GMJ | 105
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
pada cervical central cord syndrome yang waktu lebih dari 6 bulan, fase intermediet
terjadi pada pasien lansia saat terjatuh akan berkembang menjadi fase kronis
(Copley et al., 2020). Menurut (Alizadeh et yang menyebabkan pembentukan dari
al., 2019; Patek & Stewart, 2020), cedera syringomyelia atau kista pada tulang
primer memiliki empat mekanisme utama belakang yang saat ini masih dilakukan
antara lain: penelitian lebih lanjut mengenai
1) gangguan kompresi medula spinalis pembentukan tersebut (Ahmed & Lucas,
transien (sementara) 2020; Copley et al., 2020).
2) gangguan kompresi medula spinalis Gejala klinis yang timbul bervariasi
persisten atau terus menerus seperti nyeri, paralisis, paresis,
3) cedera distraksi inkontinensia, tergantung dari 2 faktor yaitu
4) laserasi atau transeksi langsung bedasarkan tingkat keparahan dari SCI
Cedera sekunder merupakan cedera dan bedasarkan letak dari cedera di
lanjutan yang disebabkan oleh eksaserbasi sepanjang medula spinalis (Eckert &
atau lanjutan dari cedera primer. Hasil dari Martin, 2017; Pertiwi & Berawi, 2017).
cedera primer seperti inflamasi dan edema Bedasarkan tingkat keparahannya, SCI
lokal atau sistemik, hipotensi, hipoksemia, dapat dibagi menjadi 2 yaitu cedera komplit
serta perdarahan, memicu dari dan inkomplit. Cedera komplit dan
patofisiologi cascade yang akan inkomplit dapat dibedakan lewat
menghasilkan gangguan perfusi dan karakteristiknya yang dapat dilihat pada
pengiriman oksigen serta aliran darah (Tabel 2) (Pertiwi & Berawi, 2017).
kedalam bagian medula spinalis yang
sedang mengalami kerusakan Karakter- Lesi komplit Lesi
(Christopher et al., 2015; Copley et al., istik inkomplit
2020; Patek & Stewart, 2020). Menurut Motorik (-) disepanjang Sering (+)
(Ahmed & Lucas, 2020; Christopher et al., bagian bawah
2015; Copley et al., 2020), cedera lesi
sekunder dapat dibagi menjadi beberapa Protopatik (-) disepanjang Sering (+)
fase yaitu fase segera (<2 jam), fase awal bagian bawah
akut (<48 jam), dan fase sub akut (<2 lesi
minggu) dengan tanda dan gejala pada Propio- (-) disepanjang Sering (+)
yang dapat dilihat pada (Tabel 1). septik bagian bawah
lesi
Segera Awal Akut Subakut Sacral Negatif Positif
Perdarahan Iskemia Infiltrasi sparing
makrofag Radiologi Fraktur, luksasi, normal
Nekrosis Peningkatan Astrosito- vertebra listesis
seluler edema sis reaktif MRI Perdarahan Edema
Pelepasan Produksi (sering), (sering),
glutamat radikal bebas kompresi, kontusio,
Peningkata Disregulasi ion kontusio normal
n regulasi Eksositosis Tabel 2. Perbedaan lesi pada cedera
sitokin glutaminergik komplit dan inkomplit (Pertiwi & Berawi,
Neurotoksik 2017)
imunologis
Tabel 1. Fase cedera sekunder
bedasarkan onset (Christopher et al.,
2015; Copley et al., 2020)
GMJ | 106
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
GMJ | 107
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
GMJ | 108
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
melakukan pengangkatan C-Collar pada melihat struktur jaringan lunak lebih jauh
pasien yang normal, dan perujukan untuk seperti sumsum tulang, ligamen,
mengambil gambaran radiologis apabila intervertebralis disk, dan paraspinal
pasien memenuhi salah satu dari kriteria sehingga diperlukan pemeriksaan MRI
sebagai berikut: untuk melihat struktur tersebut apabila
1) Ada defisit neurologis dari riwayat dan pasien mengalami defisit neurologis tanpa
pemeriksaan fisik temuan apapun pada X-ray dan CT Scan
2) Terdapat gejala intoksikasi etoh (Copley et al., 2020; Souter, K.H. & J.,
(alkohol) 2017). Penilaian imaging dilakukan untuk
3) Riwayat cedera distraksi ektrem memberikan informasi tambahan terkait
4) Tingkat kesadaran menurun indikasi pasien dalam melakukan
(GCS<15) pembedahan lebih lanjut. Terdapat
5) Tenderness pada tulang belakang berbagai macam cara dalam mengambil
gambar pada pemeriksaan pencitraan
tergantung letak dan lokasi cedera pada
trauma medula spinalis (Gambar 4)
(Copley et al., 2020).
GMJ | 109
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
GMJ | 110
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
GMJ | 111
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
waktu 48 jam karena dapat menyebabkan dengan cedera komplit yang akan menjadi
efek samping lebih lanjut (Copley et al., inkomplit setelah mendapatkan
2020). Bila diberikan dalam kurun waktu <3 penanganan. SCI inkomplit memiliki
jam setelah cedera, terapi dapat prognosis yang lebih baik bedasarkan hasil
dilanjutkan selama 23 jam dengan penelitian dengan kemungkinan >50%
metilprednisolon IV kontinyu dosis pasien dapat berjalan normal bila masih
5,4mg/kgBB/jam. Terapi ini efektif dalam terdapat fungsi sensorik dibawah lesi
meningkatkan fungsi motorik dan sensorik (Pertiwi & Berawi, 2017).
baik pada cedera parsial maupun total Bagaimana pun juga, dalam
dengan masing-masing dalam kurun waktu meningkatkan kualitas hidup dari pasien
pemberian terapi 6 minggu dan 6 bulan diperlukan dukungan secara penuh baik
(Pertiwi & Berawi, 2017). Namun menurut dari dalam diri pasien maupun lingkungan
(Eckert & Martin, 2017; Patek & Stewart, sekitar seperti dukungan dari keluarga dan
2020) menyebutkan bahwa terapi sosial, kesehatan mental, kemampuan
farmakologi jenis steroid tidak ambulasi, peluang dalam mendapat
direkomendasikan setelah dilakukannya uji pekerjaan, dll. Sejauh ini kualitas hidup dari
coba oleh National Acute Spinal cord injury pasien yang terlapor cenderung meningkat
Studies (NASCIS) yang mengalami dari waktu ke waktu setelah mereka
kegagalan terhadap perbaikan fungsi beradaptasi terhadap keadaan (Copley et
neurologis sensorik dan motorik setelah 1- al., 2020).
3 kali percobaan pemberian
metilprednisolon dosis tinggi. Selain itu KESIMPULAN
metilprednisolon juga dapat meningkatkan SCI merupakan ancaman serius
risiko dari sejumlah komplikasi diantaranya yang dapat menyebabkan defisit
infeksi pada luka, pneumonia, dan sepsis. neurologis dan kecacatan menetap pasca
Terapi lainnya dilakukan pada spinal cedera. Kasus traumatis menjadi faktor
cord syndrome yang memiliki tanda dan tersering penyebab SCI mulai dari
gejala yang bervariasi sehingga sering kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan
salah diagnosis saat dilakukannya karena rekreasi, pekerjaan, dsb. Maka,
pemeriksaan neurologis menyeluruh, setiap terjadinya kecelakaan dengan
sehingga diperlukan pengetahuan trauma multiple perlu dicurigai pasien
terhadap spinal cord syndrome yang dapat menderita SCI.
dilihat pada (Eckert & Martin, 2017). Pengamatan dan penanganan dini
Prognosis dapat bervariasi menjadi kunci utama dalam mencegah dari
tergantung pada tingkat, komplit tidaknya cedera sekunder ataupun komplikasi
lesi, cedera yang menyertai, penyakit lainnya yang ditimbulkan setelah cedera.
komorbid, dan umur dari pasien. Walaupun Maka dari itu, penting untuk mengetahui
saat ini sudah terdapat berbagai macam informasi pasien pada pre-hospital seperti
peralatan canggih dan sumber daya mekanisme terjadinya cedera, sudah
manusia yang memumpuni, umur pasien tidaknya pasien diresusitasi, apakah
pasca SCI umumnya lebih pendek pasien sudah dilakukan immobilisasi
daripada masyarakat pada umumnya dengan C-Collar, dan menggunakan
dengan mortalitas sebesar 3,8%. Rata-rata papan keras (backboard) dalam
pasien akan memiliki angka harapan hidup melakukan mobilisasi.
sebesar 18,1 – 88,4% (Copley et al., 2020). Penanganan dengan tindakan
SCI komplit umumnya memiliki yang ABCDE pada primary survey wajib
prognosis buruk, apabila tidak mengalami dilakukan dengan segera setelah pasien
perbaikan dalam 72 jam pertama akan sampai di unit gawat darurat dan tindakan
mengalami defisit neurologi dan atau pembedahan darurat mungkin dilakukan
kecacatan yang menetap. Menurut pada kondisi tertentu. Prognosis pada lesi
penelitian, hanya sekitar 5% pasien yang komplit umumnya buruk dan lesi inkomplit
berhasil mengalami perbaikan fungsi memiliki prognosis yang lebih baik.
neurologis kembali normal (Pertiwi & Peningkatan kualitas hidup pasca cedera
Berawi, 2017). Menurut (Christopher et al., merupakan hal yang krusial dialami pasien
2015), hanya sekitar 10-15% pasien karena harus beradaptasi dengan situasi
GMJ | 112
Ganesha Medicina Journal, Vol 1 No 2 September 2021
GMJ | 113