Anda di halaman 1dari 17

TRANSEKSI SPINAL KOMPLET

Complete Spinal Transection

Mada Sukma Dytho1, Valda Yulia Annisa’1, Rusnaindah Ifta Firdausi1, Ahmad
Muzayyin2
' Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta
2
Departemen Neurologi, RSUD IR. Soekarno Sukoharjo
Korespondensi: author 1. Alamat email: j510215136@student.ums.ac.id

ABSTRAK
Pendahuluan: Kejadian trauma sumsum tulang belakang lengkap memiliki angka insidensi lebih
tinggi pada laki-laki, dengan kejadian terbanyak pada usia 15-29 tahun dan diatas >50 tahun dengan angka
kejadian diestimasikan 10,4-84 kasus per 1 juta penduduk pertahun. Trauma medula spinalis lengkap dapat
memakan biaya 1,1 hingga 4,6 juta dolar per pasien selama masa hidupnya. Metode: Penulisan artikel
dengan desain Literature Review sehingga memerlukan beberapa sumber database dan penggunaan kata
kunci yang berkaitan yang nantinya akan ditelaah dan dirangkum. Hasil: medula spinalis merupakan
struktur tubuler pada kolumna vertebralis yang merupakan kepanjangan dari batang otak dan berjalan
hingga daerah lumbar. Transeksi spinal komplet merupakan hilangnya kemampuan mengirim impuls
sensorik dan motorik secara lengkap dan permanen atau temporer melalui tingkatan sumsum tulang
belakang yang terpengaruh karena kerusakan secara traumatis maupun non-traumatis. Pemeriksaan fisik
neurologis sensorik maupun motorik berguna untuk menentukan tingkatan lesi. Tatalaksana pada kasus ini
yang dimulai dari stabilisasi pasien hingga pemberian steroid berguna bagi pasien. Simpulan:transeksi
spinal komplet memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang guna menentukan
diagnosis serta tingkat keparahan, penanganan segera diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
serta meningkatkan prognosis dari pasien.

Kata Kunci: Transeksi Spinal Komplet


ABSTRACT
Introduction: The incidence of complete spinal cord trauma has a higher incidence in men, with the
highest incidence at the age of 15-29 years and above >50 years with an estimated incidence of 10.4-84
cases per 1 million population per year.. Complete spinal cord trauma can cost 1.1 to 4.6 million dollars per
patient over his or her lifetime. Method: design of this study is Literature Review so that it requires several
database sources and the use of related keywords which will be reviewed and summarized later. Result: The
spinal cord is a tubular structure in the vertebral column which is an extension of the brain stem and runs to
the lumbar region. Complete spinal transection is the complete and permanent or temporary loss of the
ability to transmit sensory and motor impulses through the affected level of the spinal cord due to traumatic
or non-traumatic damage. Sensory and motor neurologic examination is useful in determining the extent of
the lesion. Management in this case starting from stabilization of the patient to administration of steroids is
useful for the patient. Conclusion: a complete spinal transection requires a history and physical
examination as well as support to determine the diagnosis and severity, immediate treatment is needed to
prevent complications and improve the patient's prognosis.

Keywords: Complete Spinal Transection

PENDAHULUAN vertebra. Trauma medula spinalis merupakan

Medula spinalis merupakan organ kerusakan yang terjadi pada medula spinalis

yang berisi kumpulan saraf yang menjadi karena trauma langsung atau tidak langsung

penghubung susunan saraf pusat dan berjalan yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi

sepanjang kanalis spinalis pada tulang neurologis, diantaranya fungsi motorik,


162
ISSN : 2721-2882
sensorik, otonom, dan refleks, baik terjadi 55% terjadi kelainan neurologis lengkap

secara keseluruhan maupun sebagian. (Wengel et al., 2020). Insidensi trauma

Complete Spinal Transection (Transeksi medula spinalis di Amerika utara sebanyak 39

Medula Spinalis) merupakan kerusakan secara per 1 juta kasus pertahun, di Australia terjadi

total pada medula spinalis karena lesi yang 16 kasus/1 juta penduduk/tahun, dan di eropa

bersifat transversal sehingga menyebabkan barat sekitar 15 kasus per 1 juta penduduk

hilangnya seluruh fungsi neurologis di bawah pertahun dengan penyebab tertinggi adalah

area medulla spinalis yang mengalami lesi kekerasan. Kejadian trauma sumsum tulang

(Alizadeh, Dyck and Karimi-Abdolrezaee, belakang banyak terjadi pada laki-laki (79,8%)

2019) . dibandingkan wanita (20,2%), dengan

Trauma medula spinalis menjadi salah kejadian terbanyak pada usia 15-29 tahun dan

satu penyebab kematian dan kecacatan pada diatas >50 tahun (Ahuja et al., 2017; El Tecle

era modern, dengan kasus sebanyak 8.000- et al., 2018).

10.000 per tahun, dengan angka kejadian Complete Spinal Transection (CST)

trauma medula secara keseluruhan memiliki efek yang merugikan pada pasien

diestimasikan 10,4-84 kasus per 1juta dan keluarganya. CST dapat menyebabkan

penduduk tiap tahun pada setiap negara, gangguan fungsi saraf secara permanen pada

dengan angka kematian langsung 4-17%, usia muda. Pasien dengan CST memerlukan

kematian pada satu tahun pertama 3,6%, dan penyesuaian terhadap berbagai aspek, seperti

tahun kedua 1,2%. Angka kematian meningkat mobilisasi pasien, psikologis, urologis,

ketika tingkat cedera semakin tinggi (kasus pernafasan, kulit, disfungsi seksual, dan

dengan trauma sumsung tulang belakang pada ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan

cervical lebih tinggi daripada bagian lumbal), seperti pada saat sebelum terjadi trauma.

usia yang lebih tua, dan tingkat beratnya Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk

cedera (Ahuja et al., 2017; Stein and Knight, pasien dengan trauma tersebut diestimasikan

2017; El Tecle et al., 2018). mencapai 7 milliar dolar per tahunnya untuk

Trauma pada medula spinalis terbanyak pelayanan kesehatan akut maupun kronis

pada bagian thorak dan servical, dengan 30%- dengan biaya tiap orang selama masa
163
ISSN : 2721-2882
hidupnya 1,1 hingga 4,6 juta dolar (Ahuja et al., 2017; El Tecle et al., 2018). Penyebab

al., 2017; El Tecle et al., 2018). traumatis terjadi ketika adanya dampak

fisik eksternal seperti kecelakaan lalu

lintas, terjatuh, cedera saat berolahraga


METODE
atau kekerasan yang menyebabkan
Penulisan artikel ini menggunakan
terjadinya kerusakan pada sumsung tulang
desain literature review yang merupakan
belakang. Kerusakan akibat non-traumatis
penulisan dengan mengkaji beberapa literatur
dapat disebabkan karena adanya proses
yang telah dipublikasikan oleh peneliti atau
kronis seperti tumor, infeksi, kelainan
akademisi sebelumnya terkait dengan topik
degenerative pada diskus yang
yang diangkat. Pencarian literatur
menyebabkan adanya kerusakan (Ahuja et
menggunakan database dari Google Scholar,
al., 2017; Kang et al., 2017).
PUBMED, NCBI, dan PMC dengan
2. Patofisiologi
menggunakan kata kunci “transeksi spinal
Respon awal pada tubuh setelah
komplet” OR “Complete Spinal Transection”
terjadi trauma adalah stimulasi saraf
OR “Trauma Spinal Kompet”. Hasil akan
simpatis hebat dan dilanjutkan dengan
ditelaah dan dirangkum untuk penulisan artikel
aktivitas reflek parasimpatis dapat
ini.
bertahan bertahan 3 – 4 menit dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
mediasi reseptor alfa-adrenergik, hal ini
1. Definisi
dapat menyebabkan efek hemodinamik
Complete Spinal Transection dapat
seperti severe hypertension, reflek
didefinisikan sebagai hilangnya
bradikardi atau takiaritmia (Alizadeh,
kemampuan untuk mengirim impuls
Dyck and Karimi-Abdolrezaee, 2019).
sensorik dan motorik secara lengkap dan
Setelah respon awal tersebut
permanen atau temporer melalui tingkatan
muncul, defisit fungsi neurologi yang
sumsum tulang belakang yang terpengaruh
disebut spinal shock yang ditandai flaccid
dikarenakan adanya kerusakan secara
paralysis bersamaan dengan
traumatis maupun non-traumatis (Ahuja et
menghilangnya seluruh reflek di bawah
164
ISSN : 2721-2882
tempat trauma termasuk juga reflek (Alizadeh, Dyck and Karimi-Abdolrezaee,

bulbocavernosus. Paralisis flaksid 2019).

gastrointestinal tract dan kandung kemih. Setelah fase shock terjadi, dapat

Hilangnya inervasi pada persarafan diikuti fase spastik pada otot dan

otonom menyebabkan vasodilatasi pada kembalinya reflek spinal (hyperreflexia

area yang terkena. Lesi yang terjadi di atas phase). Awalnya gerakan spastik pada

T5 dapat mengakibatkan terjadinya pasien diinterpretasikan sebagai gerakan

bradikardi dan hipotensi akibat sadar dan menyebabkan kesalahan

terputusnya inervasi simpatis pada diagnosis. Aktifitas hiperefleks ini dapat

jantung. Fase spinal shock ini berlangsung ditandai dengan adanya peningkatan

beberapa minggu dan bisa sampai ekstrim tekanan darah arteri selama

berbulan-bulan. Selain menyebabkan adanya manipulasi pada vesica urinaria

shock spinal, trauma medulla spinalis juga dan saluran gastrointestinya yang

dapat menyebabkan shock neurogenic diakibatkan oleh hilangnya inhibisi dari

yang ditandai dengan kehilangan fungsi aktifitas reflek di daerah di bawah level

dan stimulasi saraf simpatis, dimana saraf lesi (Yılmaz, Turan and Keleş, 2015).

simpatis berfungsi menjaga fungsi tubuh, Patofisiologi kerusakan sel neuron

menguatkan denyut jantung, pada medula spinalis dapat disebabkan

meningkatkan tekanan darah, dan oleh 4 mekanisme cedera primer seperti

membuka saluran nafas sehingga dibawah ini (Yılmaz, Turan and Keleş,

menyebabkan tekanan darah akan turun 2015):

drastis dan dapat mempengaruhi otak, 1. Tumbukan dengan kompresi menetap

jaringan, dan medula spinalis, 2. Tumbukan tanpa kompresi

menyebabkan perfusi jaringan tidak 3. Distraksi

adekuat. Adanya syok neurogenik ditandai 4. Laserasi atau transeksi.

dengan bradikardi, hipotensi, dan Terjadinya laserasi atau transeksi

hipotermia dengan penurunan resistensi adalah bentuk akhir dari mekanisme

kapiler dan penurunan cardiac output utama. Berbagai jenis lesi primer ini
165
ISSN : 2721-2882
menyebabkan hipoksia jaringan dan belakang serta kerusakan tidak langsung

iskemia, yang akhirnya menyebabkan melalui produksi ROS dan RNS, serta

infark substansia grisea. Sel saraf yang perubahan dari fungsi mikrosirkulasi dan

melewati area ini secara fisik terputus dan iskemia sekunder. Neurotransmitter

mengalami penipisan mielin. Konduksi eksitatorik glutamat, dilepaskan secara

sinyal saraf juga akan terganggu seiring berlebihan setelah cedera. Aktivasi

waktu karena microbleeding atau edema reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat) dan

di sekitar area cedera. Dalam satu jam, AMPA (N-metil-D-aspartat)-kainat)

substansia grisea akan rusak dan tidak penting dalam induksi terjadinya iskemia.

dapat kembali lagi, sedangkan substansia Proses ini dikenal sebagai excitotoxicity,

alba terjadi dalam 72 jam (Yılmaz, Turan yaitu aktivasi reseptor glutamat yang

and Keleş, 2015). berlebihan sehingga menyebabkan

Vasokonstriksi dapat terjadi kerusakan saraf, akumulasi awal natrium

disebabkan oleh trauma langsung. intraseluler, sehingga menyebabkan

Trombosis intravaskular juga dapat edema sitotoksik dan asidosis intraseluler.

menyebabkan iskemia pasca-trauma ini. Kegagalan Na-K-ATPase menyebabkan

Reperfusi dapat memperburuk kerusakan akumulasi natrium dan air intraseluler dan

dan kematian sel akibat adanya produksi kehilangan kalium ekstraseluler.

radikal bebas dan produk toksik lainnya Akumulasi kalsium intraseluler ini

(kerusakan sekunder). (Alizadeh, Dyck dianggap sebagai hasil akhir dari kematian

and Karimi-Abdolrezaee, 2019). sel toksik (Alizadeh, Dyck and Karimi-

Gangguan biokimia serta gangguan Abdolrezaee, 2019)

cairan dan elektrolit memainkan peran Setelah cedera, regulasi homeostatik

utama dalam mekanisme cedera sekunder sel glial gagal, menyebabkan asidosis

tulang belakang. Neurotransmitter jaringan dan proses toksik. Aktivitas sel

eksitatorik yang dilepaskan dan glial lain yang ditujukan untuk

terakumulasi, menyebabkan kerusakan menghilangkan debris seluler

langsung pada jaringan sumsum tulang menyebabkan peningkatan enzim oksidatif


166
ISSN : 2721-2882
tertentu dan lisosom yang menyebabkan 2012).

kerusakan sel lebih lanjut. Pada tahap Apabila medula spinalis tiba-tiba

awal, infiltrasi neutrofil mendominasi. mengalami cedera, dapat muncul kelainan

Pelepasan enzim litik dari leukosit dapat seperti (Surgeon, 2012):

memperburuk kerusakan neuron, sel glial, 1. Pergerakan volunter di bawah lesi hilang

dan pembuluh darah. Fase kedua secara mendadak dan bersifat permanen,

melibatkan makrofag untuk memfagosit reflex fisiologis dapat menghilang atau

jaringan yang rusak (Alizadeh, Dyck and dapat meningkat.

Karimi-Abdolrezaee, 2019). 2. Sensasi sensorik terhadap refleks

Mekanisme kematian sel secara fisiologis bisa menghilang atau

ekstrinsik dipengaruhi oleh sinyal TNF meningkat.

(tumor necrosis factor), sedangkan 3. Terjadi kelainan fungsi otonom.


mekanisme kematian sel secara intrinsik Cedera medula spinalis dapat

dipengaruhi oleh sinyal intraseluler ketika memberikan tanda (Surgeon, 2012):

kadar kalsium intraseluler yang tinggi 1. Gangguan sensasi (anastesia,

dengan menginduksi kerusakan hiperestesia, parastesia).

mitokondria, pelepasan sitokrom c dan 2. Gangguan motorik (kelemahan otot-otot

aktivasi caspase (Alizadeh, Dyck and dan reflek tendon miotom).

Karimi-Abdolrezaee, 2019). 3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom

3. Manifestasi Klinis (flaccid dan sapstic blader dan bowel).

Transeksi Medula Spinalis 4. Gangguan fungsi kehidupan sehari-hari

menyebabkan terputusnya jalur sinyal (makan, toileting, berpakaian,

sensoris dari bawah level lesi dan jalur kebersihan diri).

sinyal motoris dari otak. Meskipun 5. Gangguan mobilisasi.

kelainan sensoris terjadi di bawah level 6. Penurunan tanda vital.

lesi, letak lesi sebenarnya dapat diketahui 7. Masalah pada kulit (ulkus dekubitus).

dengan adanya nyeri radikuler atau

parestesia yang segmental (Surgeon,


167
ISSN : 2721-2882
8. Nyeri akut yang menjalar dari lesi gerak.

menuju ke bawah. 4. Pemeriksaan fungsional

9. Paraplegia Pemeriksaan fungsional meliputi

10. Disfungsi autonom berupa penurunan kemampuan pasien dalam beraktifitas

keringat dan tonus vasomotor baik posisi miring kanan-kiri (setiap 2

11. Infertilitas jam), mobilisasi pasien terhadap posisi

4. Pemeriksaan Fisik tidur, duduk, dan berdiri (Ahuja et al.,

Pemeriksaan awal dimulai dengan 2017).

penilaian kondisi airway, breathing, dan 5. Pemeriksaan Khusus

circulation. Pada kasus cedera yang a. ROM (range of movement)

mengenai N. Cervivalis 1 hingga 4 sangat Penilaian terhadap Gerakan

penting diperiksa keadaan jalan nafas dan anggota tubuh menggunakan

pernafasannya. goniometer dan dituliskan dengan

1. Inspeksi menggunakan metode ISOM

bengka anggota gerak tubuh, atropi (International Standar Of

pada otot, warna dan kondisi kulit Measurement).

sekitarnya, kemampuan beraktifitas, alat b. Pemeriksaan nyeri dengan VAS


bantu yang digunakan untuk beraktifitas, (Visual Analog Scale)

posisi pasien. VAS penilaian rasa nyeri

2. Palpasi tergantung dari penilaian pasien

Palpasi dilakukan terutama pada dengan menunjukkan letak nyeri

kulit dan subkutaneus untuk mengetahui dari gambaran ekspresi pasien dan

suhu kulit, bengkak, kekakuan. dibawahnya terdapat nilai 0 hingga

3. Pemeriksaan fungsi gerak 10, dengan nilai 10 merupakan rasa

Penilaian terhadap gerak aktif, nyeri tertinggi.

gerak pasif, dan gerak isometrik. c. Pemeriksaan Sensoris


Penilaian yang dilakukan adalah Pemeriksaan untuk

kekuatan otot, rasanyeri, keterbatasan


168
ISSN : 2721-2882
menentukan sensori level. Sensori 3) C7: Ekstensi siku

level adalah batas paling kaudal dari 4) C8: Fleksi digitorum profundus jari

segment medula spinalis yang tengah

fungsi sensorisnya normal. Tes ini 5) Th1: Abduksi digiti minimi

terdiri dari 28 tes area dermatom 6) L2: Fleksi panggul

yang diperiksa dengan 7) L3: Ekstensi lutut

menggunakan tes tajam tumpul dan 8) L4: Dorso fleksi ankle

sentuhan sinar. 9) L5: Ekstensi ibu jari kaki

d. Pemeriksaan Motorik 10) S1: Plantar fleksi ankle

Pemeriksaan ini digunakan Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan

untuk menentukan level motorik neurologis, temuan yang didapat

yang terjadi lesi. Motorik level selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan

adalah batas paling kaudal dari standar American Spinal Injury Association

segment medula spinalis yang (ASIA) pada klasifikasi lesi medula

fungsi motoriknya normal. Tidak spinalis. The American Spinal Injury

adanya inervasi dari nervus Association Impairment Scale, yang mana

menandakan terjadinya kelemahan merupakan pemeriksaan neurologis standar

dan kelumpuhan. Pemeriksaan yang digunakan oleh tim rehabilitasi untuk

kekuatan otot tersebut bisa menilai tingkat sensorik dan motorik yang

menggunakan pemeriksaan dengan dipengaruhi oleh cedera tulang belakang.

MMT. Skala ini memiliki lima tingkat klasifikasi,

Pada pemeriksaan motorik mulai dari hilangnya fungsi saraf

dengan menggunakan manual sepenuhnya di area yang terkena hingga

muscle testing ini biasanya benar-benar normal. Hasilnya membantu

dilakukan pada daerah myotom, untuk menetapkan tujuan fungsional

antara lain: berdasarkan tingkat cedera neurologis yang

1) C5: Fleksi siku ditentukan. Elemen skala, menurut

2) C6: Ekstensi pergelangan tangan National Institutes of Health, meliputi:


169
ISSN : 2721-2882
(American Spinal Injury Association, no b. B-cross lap digunakan sebagai

date) parameter proses rosorpsi

1. A = Komplet: (penyerapan tulang) untuk

2. B = Inkomplet: Ada fungsi sensorik mengetahui fungsi dari osteoklas.

tanpa fungsi motorik yang c. Pemeriksaan elektrolit.


dipertahankan di bawah level d. Pemeriksaan Darah lengkap
neurologik dan meliputi sakral segmen e. Kimia darah: Gula darah 2 jam
S4 –S5. post prandial dan gula darah puasa.
3. C = Inkomplet: Fungsi motorik 2. Foto Polos Vertebra.
dipertahankan di bawah level Foto polos vertebra adalah langkah
neurologik dan lebih dari setengah otot pertama dalam mendeteksi kelainan
utama di bawah level neurologik yang melibatkan sumsum tulang
memiliki derajat otot kurang dari 3. belakang, tulang belakang, dan jaringan
4. D = Inkomplet: Fungsi motorik di sekitarnya. Pada trauma servikal,
dipertahankan di bawah level pencitraan AP (anteroposterior), lateral,
neurologik, dan sedikitnya setengah dan odontoid dapat dilakukan. Pada lesi
otot utama derajatnya 3 atau lebih. toraks dan lumbal, radiografi AP dan
5. E = Normal.(Ahuja et al., 2017) lateral dilakukan. Foto rontgen polos
5. Pemeriksaan Penunjang dari situs pada tempat yang diduga
Pemeriksaan penunjang yang dapat cedera akan menunjukkan fraktur dan
dilakukan jika menemui kasus trauma dapat disertai dengan dislokasi. Dalam
medula spinalis komplit antara lain kasus cedera tulang belakang leher,
1. Laboratorium (Ahuja et al., 2017). pencitraan mulut terbuka dapat

a. Penilaian osteocalsin, merupakan membantu memeriksa kemungkinan

protein tulang yang disekresi oleh terjadinya fraktur pada vertebra C1-C2.

osteoblast. (Ahuja et al., 2017).

3. CT-scan Vertebra

170
ISSN : 2721-2882
CT- Scan dapat melihat struktur Pemeriksaan mielografi

tulang, dan kanalis spinalis dalam dianjurkan pada penderita yang telah

potongan aksial. CT-Scan merupakan sembuh dari trauma pada daerah

pilihan utama untuk mendeteksi cedera lumbal, sebab sering terjadi herniasi

fraktur pada tulang belakang (Ahuja et diskus intervertebralis (Ahuja et al.,

al., 2017). 2017).

4. MRI Vertebra 6. Tatalaksana

MRI dapat memberikan Penatalaksanaan pada trauma medula

gambaran jaringan lunak secara jelas spinalis dimulai segera setelah terjadinya

dan struktur dari medulla spinalis trauma. Penatalaksanaan tersebut bertujuan

(Ahuja et al., 2017). dalam menentukan prognosis pemulihan

5. Pungsi Lumbal neurologis pasien dengan trauma medula

Berguna pada fase akut cedera spinalis. Langkah pertama yang dapat

tulang belakang. Sedikit peningkatan dilakukan dalam menangani trauma medula

tekanan CSF dan adanya obstruksi spinalis antara lain:

selama prosedur Queckenstedt 1. Evaluasi

menunjukkan tingkat keparahan dari Fase evaluasi meliputi observasi

edema tulang belakang, tetapi harus dan penatalaksanaan dari:

diingat bahwa pungsi lumbal ini harus a. A: Airway maintenance untuk

dilakukan dengan hati-hati, karena patensi jalan napas

fleksi tulang belakang dapat b. B: Breathing dan ventilasi

memperburuk terjadinya dislokasi, yang c. C: Circulation dengan kontrol

sebelumnya telah telah terjadi. perdarahan yang terjadi

Mobilisasi vertebra cervicalis harus d. D: Disabilitas dan pemeriksaan

dihindari jika dicurigai cedera vertebra terhadap status neurologis

cervicalis. (Ahuja et al., 2017). e. E: Exposure / environmental

6. Mielografi control

171
ISSN : 2721-2882
Klasifikasi cedera tulang belakang b. Stabilisasi medis

komplet maupun inkomplet dan serta Stabilisasi medis dilakukan

level cedera dapat ditentukan dengan terutama pada pasien dengan

pemeriksaan motorik dan sensorik. tetraparesis atau tetraplegia.

Pemeriksaan motorik dilakukan secara Stabilisasi medis meliputi:

cepat dengan melakukan beberapa 1) Periksa vital sign

gerakan. Fungsi otonom dinilai dengan 2) Pasang NGT

menguji ada tidaknya retensi urin, 3) Pasang kateter urin

retensi urin, atau tonus sfingter anal. 4) Mempertahankan tanda-tanda

Suhu kulit yang hangat dan kemerahan vital

menunjukkan hilangnya tonus simpatis Pertahankan tekanan

di bawah tingkat cedera darah yang normal dan perfusi

2. .Penatalaksanaan gawat darurat jaringan yang baik. Pada tahap

Penatalaksanaan gawat darurat ini dilakukan Langkah sebagai

dapat dilakukan dengan stabilisasi berikut:

vertebra yaitu: a. Berikan oksigen

a. Imobilisasi b. Monitor produksi urin


Imobilisasi dimulai dari c. Monitor analisa gas darah
tempat kejadian sampai ke unit d. Periksa adanya syok
gawat darurat. neurogenik
1) Imobilisasi dan stabilkan leher c. Mempertahankan posisi normal
dalam posisi normal yaitu vertebra (Spinal Alignment).
cervical collar Bila terdapat fraktur servikal
2) Mencegah agar leher tidak dilakukan traksi (Cruthfield tong
terputar atau GardnerWells tong) dengan
3) Baringkan penderita dalam beban traksi 2.5 kg tiap diskus. Bila
posisi supine dengan terjadi dislokasi traksi diberikan
permukaan keras.
172
ISSN : 2721-2882
dengan beban yang lebih ringan, cidera yang sebelumnya hanya

beban ditambah setiap 15 menit dengan stabilisasi eksternal. Fiksasi

sampai terjadi reduksi. terbuka dilakukan pada pasien

d. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal. dengan trauma spinal disertai defisit

Jika terjadi realignment, hal ini neurologis tanpa tanda pemulihan,

menandakan bahwa telah terjadi atau pada pasien yang mengalami

dekompresi. Realignment dengan cedera tulang atau ligament spinal

cara close manipulation mengalami tanpa defisit neurologis. Selain 2

kegagalan maka dilakukan open alasan diatas, berikut merupakan

reduction dan stabilisasi dengan indikasi dilakukannya operasi:

approach anterior atau posterior 1. Traksi atau manipulasi yang

e. Rehabilitasi gagal pada open reduction

Rehabilitasi fisik pada dislokasi dengan atau tanpa

pasien dengan trauma medula disertai fraktur servical

spinalis harus dikerjakan sedini 2. Fraktur cervical dengan lesi

mungkin. Rehabilitasi yang dapat parsial medula spinalis dengan

dilakukan mencakup bladder fragmen tertutup menekan

training, bowel training, latihan permukaan anterior medula

otot pernafasan, pencapaian optimal spinalis dan telah dilakukan

fungsi-fungsi neurologik dan traksi yang adekuat

program kursi roda bagi pasien 3. Penekanan medula spinalis

dengan paraparesis atau paraplegia. karena adanya herniasi diskus

f. Operasi intervertebralis pada trauma

Intervensi operasi pada cedera servical dengan lesi parsial

medula spinalis bertujuan untuk medula spinalis yang tidak

dekompresi medula spinalis atau tampak adanya fragmen tulang

radiks dorsalis pada dengan pasien 4. Fragmen yang menekan menula

defisit neurologis dan stabilisasi spinalis


173
ISSN : 2721-2882
5. Benda asing atau fragmen pada hipotensi dapat diberikan

tulang yang terjebak dalam vasopressor dan inotrop, seperti

kanalis spinalis Fenilefrin, Norepinefrin, atau Epinefrin.

6. Lesi parsial medula spinalis Menjaga tekanan arteri rerata MAP

yang berangsur-angsur pada 85-90 mmHg selama 7 hari

memburuk setelah dilakukan pertama. Selain itu, perlu dilakukan

penanganan secara konservatif pengobatan terhadap bardikardia yaitu

(Stein and Knight, 2017; dengan atropine, glikopirolat, vasoaktif

Atmadja, Sekeon and Ngantung, dengan kronotropik, vasokonstriktor,

2021) dan sifat inotropic antara lain

3. Terapi kerusakan primer Isoproterenol, Methylxanthines

Cidera pada medula spinalis (teofilin, aminofilin), atau Propantelin.

paling sering menimbulkan shock (Taylor, Wrenn and O’Donnell, 2017).

neurogenik. Pada awalnya, akan terjadi 4. Terapi kerusakan sekunder

peningkatan tekanan darah, detak Terapi ini ditujukan untuk

jantung serta nadi, dan kadar mencegah terjadinya perburukan pada

katekolamin yang tinggi, selanjutnya pasien dengan cedera medulla spinalis.

diikuti kejadian hipotensi serta a. Pemberian metilprednisolon

bradikardia. Apabila pasien dalam Menurut National Acute

kondisi hipotensi harus diobati terlebih Spinal Cord Injury Studies

dahulu untuk mencegah cedera (NASCIS-2) dan NASCIS-3 pasien

sekunder. Pengobatan lini pertama pada cedera medula spinalis dapat

kondisi hipotensi adalah dengan diberikan metilprednisolon. Metil

pemberian resusitasi cairan intravena. prednisolone diberikan jika pasien

Cairan intravena berupa kristaloid datang dalam 3 jam setelah cidera

(0,9% natrium klorida atau ringer dan paling lama 8 jam setelah

laktat) atau Cairan koloid (albumin). cidera. Apabila pasien datang tidak

Sedangkan untuk pengobatan lini kedua melebihi dari 3 jam setelah cidera
174
ISSN : 2721-2882
terjadi dapat diberikan d. Pemberian antidepresen trisiklik

metilprednisolone dapat diberikan Antidepresen trisiklik

dengan dosis 30 mg/kgBB secara digunakan untuk mengobati nyeri

intravena dalam 8 jam, dosis 5,4 kronik, mengurangi insomnia, dan

mg/kg BB tiap jam hingga 24 jam. sakit kepala.

Apabila pasien datang tidak e. Pemberian Thyrotropin-Releasing

melebihi 8 jam setelah cidera metil Hormone (TRH) dan Analog TRH

prednisolone dilanjutkan hingga 48 Thyrotropin-releasing hormone

jam. Metil prednisolon berfungsi (TRH)

mengurangi kerusakan membran Pemberian TRH berfungsi

sel yang, mengurangi inflamasi dan untuk melawan faktor-faktor

menekan aktifitas destruksi oleh pengganggu, seperti opioid

sel-sel imun. Penelitian endogen, platelet activating factor,

menunjukkan akan terjadi peptidoleukotrien, dan asam amino

pemulihan motorik dan sensorik eksitatorik, sehingga akan

dalam 6 minggu, 6 bulan dan 1 menguatkan aliran darah yang

tahun pada pasien yang menerima menuju medulla spinalis,

metilprednisolon. memperbaiki keseimbangan

b. Pemberian Diazepam elektrolit dan mencegah terjadinya

Diazepam diberikan bila degradasi lipid. Pemberian TRH

terjadi kekakuan pada otot. secara intravena dengan dosis awal

Diazepam diberikan dengan dosis 3 0,2 mg/kgBB yang dilanjutkan

x 10 mg/hari. dengan 0,2 mg/ kgBB/jam hingga 6

c. Analgetika golongan NSAIDs jam, dikatakan memberikan hasil

Pemberian analgetika baik, terutama perbaikan motorik

golongan NSAIDs (anti inflamasi) dan sensorik sampai 4 bulan setelah

bertujuan untuk mengobati nyeri injury (Taylor, Wrenn and

pada cedera medula spinalis. O’Donnell, 2017; Atmadja, Sekeon


175
ISSN : 2721-2882
and Ngantung, 2021). Transeksi spinal komplet merupakan

7. Komplikasi hilangnya kemampuan mengirim impuls

Komplikasi pada cedera medula sensorik dan motorik secara lengkap dan

spinalis antara lain: permanen atau temporer melalui tingkatan

1. Ulkus decubitus sumsum tulang belakang yang terpengaruh

2. Osteoporosis dan fraktur karena kerusakan secara traumatis maupun

3. Pneumonia, atelectasis, dan aspirasi non-traumatis. Anamnesis, pemeriksaan fisik

4. Deep vein thrombosis (DVT) neurologis sensorik maupun motorik berguna

5. Cardiovasculer disease untuk menentukan tingkatan lesi, serta

6. Neuropatic pain pemeriksaan penunjang untuk menetukan

7. Kontrol bladder dan bowel terganggu diagnosis serta tingkat keparahan.. Tatalaksana

8. Respon seksual terganggu pada kasus ini yang dimulai dari stabilisasi

9. Menstruasi terhambat (Nulle et al., pasien hingga pemberian steroid berguna bagi

2017). pasien. Penanganan segera diperlukan untuk

8. Prognosis mencegah terjadinya komplikasi serta

Prognosis keseluruhan tergantung meningkatkan prognosis dari pasien

pada tingkat cedera tulang belakang dengan Berhubungan dengan kesimpulan di

menggunakan penilaian ASIA dan respons atas, dapat dikatakan bahwa kesembuhan

terhadap pengobatan. Cedera tulang belakang pasien tidak semata-mata dapat dicapai

dengan defisit neurologis cenderung berdasarkan penatalaksanaan awal yang

memiliki hasil yang buruk. Pasien dengan diberikan ketika pasien tiba di rumah sakit.

cedera tulang belakang komplet memiliki Tetapi, juga terkait dari kesadaran pasien itu

kesempatan kurang dari 5% untuk sendiri mengenai gejala yang diderita bahwa

pemulihan. Pasien dengan cedera tulang membutuhkan penanganan segera di rumah

belakang komplet berlanjut pada 72 jam sakit. Karena penanganan segera diperlukan

setelah cedera maka tingkat kesembuhan nol. untuk mencegah komplikasi dan

(Mazwi, Adeletti and Hirschberg, 2015) meningkatkan prognosis dari pasien.

SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA


176
ISSN : 2721-2882
Ahuja, C. S. et al. (2017) ‘Traumatic spinal Neurorestoratology, Volume 6, pp. 1–

cord injury’, Nature Reviews Disease 9. doi: 10.2147/jn.s143236.

Primers, 3. doi: 10.1038/nrdp.2017.18. Mardjono, M. and Sidharta, P. (2009)

Alizadeh, A., Dyck, S. M. and Karimi- Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian

Abdolrezaee, S. (2019) ‘Traumatic Rakyat.

spinal cord injury: An overview of Mazwi, N. L., Adeletti, K. and Hirschberg, R.

pathophysiology, models and acute E. (2015) ‘Traumatic Spinal Cord

injury mechanisms’, Frontiers in Injury: Recovery, Rehabilitation, and

Neurology, 10(March), pp. 1–25. doi: Prognosis’, Current Trauma Reports,

10.3389/fneur.2019.00282. 1(3), pp. 182–192. doi:

American Spinal Injury Association (no date) 10.1007/s40719-015-0023-x.

International Standards for Nulle, A. et al. (2017) ‘A profile of traumatic

Classification of Spinal Cord Injury spinal cord injury and medical

Motor Score (ISNCSCI, formerly complications in Latvia’, Spinal Cord

ASIA). Series and Cases, 3(1). doi:

Atmadja, A. S., Sekeon, S. A. S. and 10.1038/s41394-017-0002-2.

Ngantung, D. J. (2021) ‘Diagnosis and Sidharta, P. (2005) Tatalaksana Pemeriksaan

Treatment of Traumatic Spinal Cord Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian

Injury’, Sinaps, 4(1), pp. 25–35. Rakyat.

DeJong’s (2013) ‘The Neurologic Stein, D. M. and Knight, W. A. (2017)

Examination’, in The Motor System, ‘Emergency Neurological Life

The Spinal Cord. 7th edn. Support: Traumatic Spine Injury’,

Dewanto, G. et al. (2007) Panduan Praktis Neurocritical Care, 27, pp. 170–180.

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit doi: 10.1007/s12028-017-0462-z.

Saraf. Jakarta: EGC. Surgeon, A. C. of (2012) ‘Spine and Spinal

Kang, Y. et al. (2017) ‘Epidemiology of Cord Trauma’, in Advanced Trauma

worldwide spinal cord injury: a Life Support (ATLS). 9th edn. Chicago,

literature review’, Journal of USA.


177
ISSN : 2721-2882
Taylor, M. P., Wrenn, P. and O’Donnell, A. Wengel, P. V. ter et al. (2020) ‘Complete

D. (2017) ‘Presentation of neurogenic Traumatic Spinal Cord Injury: Current

shock within the emergency Insights Regarding Timing of Surgery

department’, Emergency Medicine and Level of Injury’, Global Spine

Journal, 34(3), pp. 157–162. doi: Journal, 10(3), pp. 324–331. doi:

10.1136/emermed-2016-205780. 10.1177/2192568219844990.

El Tecle, N. E. et al. (2018) ‘The natural Yılmaz, T., Turan, Y. and Keleş, A. (2015)

history of complete spinal cord injury: ‘Pathophysiology of the spinal cord

A pooled analysis of 1162 patients and injury’, Journal of Clinical and

a meta-analysis of modern data’, Experimental Investigations, 5(1), pp.

Journal of Neurosurgery: Spine, 28(4), 131–136. doi:

pp. 436–443. doi: 10.5799/ahinjs.01.2014.01.0378.

10.3171/2017.7.SPINE17107.

178
ISSN : 2721-2882

Anda mungkin juga menyukai