Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang

Penyakit neurologis umumnya memiliki prognosis buruk. Di negara maju

seperti Amerika Serikat (AS), strok merupakan penyebab kecacatan utama dan

kematian ketiga setelah penyakit jantung dan keganasan. (Rosamond et al, 2007)

Dengan peningkatan usia harapan hidup dan makin banyaknya faktor risiko strok,

jumlah penderita strok diperkirakan meningkat menjadi lebih dari 1 juta orang pada

tahun 2050. Penderita strok yang bertahan hidup dengan kecacatan merupakan

beban ekonomi bagi keluarga dan sistem asuransi kesehatan. Biaya pengobatan

dan rehabilitasi pasca strok mencapai US$ 140.000/ pasien atau sekitar 1,4 miliar

rupiah/pasien.(Stephenson, 1998). Sedangkan di Asia, misalnya di Hongkong strok

merupakan penyebab kematian dan kecacatan tertinggi. Berdasarkan Hospital

Authority Statistical Report tahun 2010, hampir 25000 penderita strok terdapat di

Hongkong Health Care System.(Pan LY, 2014)

Berdasarkan penelitian potong lintang multisenter di 28 rumah sakit di

Indonesia dengan subjek sebanyak 2065 orang dari bulan Oktober 1996 hingga

Maret 1997, usia rata-rata strok adalah 56,8 tahun ±13,3 tahun dengan kisaran 18-

95 tahun dan sebanyak 65,8% mengalami kecacatan.(Misbach J, 2011)

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan 2013, strok

merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Prevalensi strok di Indonesia

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per 1000 dan yang

terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per 1000. Jadi, sebanyak

57,9 persen penyakit strok telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan. Prevalensi

1
strok berdasarkan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI

Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per

1000. (Kemenkes, 2013) Di Rumah Sakit Pendidikan Dr Wahidin Sudirohusodo,

strok juga menduduki urutan pertama dari seluruh jumlah pasien yang dirawat di

bangsal neurologi.

Secara umum ada dua jenis strok yaitu strok iskemik (SI) meliputi sekitar 80-

85% dan sisanya berupa strok hemoragik. Strok iskemik terjadi akibat berkurangnya

aliran darah (iskemia) dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah

menyebabkan penurunan perfusi pada suatu bagian di otak. Penurunan perfusi di

otak menyebabkan kerusakan akibat iskemia neuron disertai kebocoran vaskuler,

inflamasi pembuluh darah kecil, dan apoptosis endotel (Purves D, 2004).Pada

daerah serebral yang mengalami iskemia terdapat kolateral di sekitarnya disertai

mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi yang memungkinkan terjadinya

pemulihan fungsi neurologis bila oklusinya kecil. Namun jika sumbatan cukup besar,

menyebabkan daerah iskemik yang luas, maka mekanisme kolateral dan

mekanisme kompensasi dilatasi tidak mampu memulihkan fungsi serebral yang

terganggu, maka timbulah defisit neurologis yang berlanjut. Jadi pada daerah

iskemia terdapat tiga perbedaan tingkat iskemia antara lain: 1) lapisan inti (ischemic

core)pada lapisan ini terjadi kematian neuron (infark). 2) daerah iskemik penumbra

merupakan daerah di sekitar ischemic core. Sel neuron belum mati namun fungsi sel

berhenti. Daerah ini mungkin diselamatkan dengan resusitasi. 3) Daerah di sekeliling

penumbra, pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, kolateral maksimal,

sehingga Cerebral Blood Flow sangat tinggi disebut luxury perfusion. Fenomena

“luxury perfusion syndrome” sesuai dengan penyumbatan sementara, akibat

vasospasme atau embolisasi yang kecil. (Misbach J, 2011). Regenerasi sel neuron

2
jangka panjang memerlukan neurogenesis dengan pengumpulan, proliferasi, dan

diferensiasi neuroblast, serta pemulihan perfusi melalui rekanalisasi pembuluh darah

yang mengalami sumbatan, dan juga pembentukan pembuluh darah baru

(neovaskularisasi) melalui angiogenesis (Purves D et al, 2004). Suatu pengamatan

tentang neovaskularisasi di daerah infark dan periinfark membuktikan bahwa kondisi

neovakularisasi ini berkaitan dengan tingkat keselamatan (prognosis) penderita strok

sehingga dapat disimpulkan bahwa angiogenesis merupakan proses kompensasi

atau proteksi yang sekaligus merupakan target terapi strok. Pada penelitian hewan

model strok (Chen et al, 2006) ditemukan bahwa neovaskularisasi akan terbentuk

dalam kurun waktu yang singkat yaitu satu sampai tiga hari setelah terjadinya

penyumbatan yang menyebabkan iskemia.

Strategi pengobatan strok adalah reperfusi untuk memulihkan aliran darah ke

jaringan saraf yang mengalami iskemik di daerah penumbra. Daerah penumbra ini

yang menjadi target utama terapi pada pasien strok iskemik. Terapi strok iskemik

terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi fisik.Terapi medikamentosa antara

lain:1)pemberian trombolitik (recombinant tissue plasminogen activator), 2)

antitrombolitik, platelet inhibitor, 3)hemoreologik, 4)menurunkan tekanan intrakranial

manitol 20% infus, gliserol 10%, 5)operatif tromboendaterterectomy, PTA

(percutaneus transluminal angioplasty). Neuroprotektor untuk melindungi jaringan

sarafdi daerah penumbra dengan obat-obat yang bekerja pada tahap yang berbeda-

beda dan kaskade iskemik. Obat golongan neuroprotektor antara lain:1)kalsium

antagonis, 2) sodium channel blocker, 3) glutamat antagonis, 4)membrane stabilizer,

5) GABA agonis. Selain terapi medikamentosa juga terdapat terapi yang

mempercepat pemulihan pasien strok yaitu terapi fisik. Terapi fisik meliputi

fisioterapi, terapi wicara (speech therapy), terapi okupasi, dan psikoterapi.

3
Kebanyakan pemulihan terjadi antara 1 minggu dan 6 bulan setelah strok. Dan

kemungkinan pemulihan spontan berkurang setelah 6 bulan.(Sidharta P, 2014)

Strok iskemik maupun strok hemoragik dapat menyebabkan kecacatan

jangka panjang. Kecacatan jangka panjang adalah penyebab tersering akibat

komplikasi dari strok. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan terapi

yang efektif untuk mencegah kecacatan, namun saat ini masih belum optimal, strok

masih menjadi penyebab kecacatan utama dan masalah kesehatan di dunia.

Dibutuhkan pendekatan terapi lain untuk mencegah kecacatan akibat strok.

(Blesneag, 2015) Penemuan neuroscience terbaru mendapatkan fakta bahwa

proses neuroregenerasi dan neuroplastisitas susunan saraf pusat manusia terus

berlangsung sepanjang kehidupan. Cedera otak, seperti strok, akan direspons

dengan membentuk neuron baru (neurogenesis), vaskularisasi baru (angiogenesis),

dan pembentukan hubungan antarneuron baru (sinaptogenesis).(Jin K et al, 2013)

Dasar dari semua rehabilitasi strok adalah asumsi bahwa pasien akan membaik

dengan penyembuhan spontan, belajar, dan latihan.(Lucas et al, 2013) Penelitian

yang dilakukan Kalra et al tahun 2007 menunjukan bahwa reorganisasi otak dapat

terjadi dengan penyembuhan dan belajar serta mengalami perbaikan yang signifikan

dalam keduanya dengan latihan. Rehabilitasi neuron berfokus pada pengalaman

gerakan. Pengalaman ini telah didapatkan pasien sejak kecil. Hal ini membantu

pasien dalam melakukan gerakan berulang saat proses rehabilitasi.(Lucas et al,

2013) Perbaikan motorik setelah strok berkaitan dengan plastisitas, termasuk

berkembangnya interkoneksi neuronal baru, mendapatkan fungsi yang baru, dan

kompensasi dari kerusakan yang ada. Meskipun plastisitas neural terganggu pada

hemisfer yang terkena strok, terapi untuk perbaikan motorik dapat mengkompensasi

fungsi yang hilang akibat hilangnya plastisitas neural. (Murphy et al, 2009)

4
Masalahnya adalah cara-cara tersebut tidaklah cukup untuk memperbaiki

fungsi motorik pada pasien strok iskemik. Terdapat perbaikan fungsional motorik

pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi standar ditambah dengan kombinasi

terapi cermin dan rTMS dibandingkan hanya mereka yang mendapatkan terapi

standar, sehingga diperlukan cara baru untuk mengurangi kecacatan. Akhir-akhir ini

dikembangkan salah satu cara untuk pemulihan perbaikan motorik dengan cara

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). (Jin Hong et al, 2018)

Stimulasi magnetik transkranial (TMS) adalah metode yang efektif digunakan

untuk mendiagnosis dan mengobati banyak gangguan neurologis. Meskipun TMS

berulang (rTMS) telah digunakan untuk mengobati berbagai kondisi patologis serius

termasuk strok, mekanisme patofisiologis yang mendasarinya efek TMS jangka

panjang tetap tidak jelas. Dalam ulasan ini, efek dari rTMS pada neurotransmiter dan

plastisitas sinaptik dijelaskan, termasuk interpretasi klasik efek TMS pada plastisitas

sinaptik melalui long term potentiation dan long term depression.  Efek neurotropik

rTMS pada pertumbuhan dendritik dan sprouting dan faktor neurotropik dijelaskan,

termasuk perubahan konsentrasi faktor neurotropik yang diturunkan dari otak di

bawah pengaruh rTMS. (Dionfisio et al, 2018)

Cara lain yang terbukti juga memperbaiki fungsi motorik lengan atas adalah

terapi cermin.Terapi cermin atau yang disebut juga mirror therapy (MT) dapat

menjadi terapi rehabilitasi alternatif untuk memperbaiki fungsional motorik pada

pasien-pasien dengan hemiparese akibat strok. Selain cepat, mudah, dan murah,

mirror therapy terbukti dapat memperbaiki fungsi motorik pasca strok.(Menon,2010)

Terapi cermin meningkatkan mobilitas anggota tubuh yang hemiparese melalui

rangsangan visual yang disebabkan oleh melihat gerakan anggota badan yang

sehat pada cermin dan tumpang tindih dengan anggota badan dari sisi yang lumpuh.

5
Prinsip mirror neuron dapat dijelaskan oleh teori terapi cermin. Sistem neuron cermin

pertama kali ditemukan di lobus frontal dorsal inferior korteks motorik frontal dan

kemudian juga ditemukan ada di depan lobus parietal inferior. Lobus frontal dan

lobus parietal dihubungkan oleh banyak saraf. Bagian lobus frontal bertanggung

jawab untuk menyediakan perintah motorik dan lobus parietal untuk

mengintegrasikan indera; dengan demikian, saraf yang terhubung lobus frontal dan

lobus parietal mengintegrasikan indera dan gerak. Oleh karena itu, mirror neuron

tidak digambarkan sebagai sel tetapi disebut sebagai sistem mirror neuron karena

itu adalah sistem saraf di mana area motor dari lobus frontal menerima sinyal

sensorik dari lobus parietal. (Braun S et al ,2014)

Dalam banyak penelitian terbaru, terapi cermin telah terbukti meningkatkan

fungsi motorik pada pasien dengan gangguan fungsi ekstremitas atas karena

masalah ortopedi dan neurologis. Yavuzer et al. (2008) melaporkan peningkatan

pada teknik motorik yang berkaitan dengan fungsi motorik tangan dalam percobaan

tugas acak dengan 36 penderita strok iskemik. (Yavuzer, 2008)

Peneliti ingin mengkombinasi dua terapi ini pada penderita strok

iskemik.Dugaan tinggi diharapkan terjadi perbaikan motorik lebih baik dibanding

dengan tanpa terapi tersebut (hanya terapi konvensional).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut: bagaimana perbandingan efek Mirror Therapy dan

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation terhadap perbaikan motorik lengan

pasien strok iskemik akut berdasarkan Action Research Arm Test (ARAT). (Mc

Donnel, 2008)

C. Tujuan Penelitian

6
1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui efek Mirror Therapy dan Repetitive Transcranial Magnetic

Stimulation terhadap perbaikan motorik lengan pasien strok iskemik

berdasarkan Action Research Arm Test (ARAT).

2. Tujuan Khusus

a. Mengukur Skor ARAT sebelum dilakukan terapi standar strok

iskemik disertai dengan terapi cermin dan rTMS

b. Mengukur Skor ARAT sesudah dilakukan terapi standar strok

iskemik disertai dengan terapi cermin dan rTMS

c. Menentukan selisih Skor ARAT sebelum dan sesudah dilakukan

terapi standar strok iskemik disertai dengan terapi cermin dan rTMS

d. Mengukur skor ARAT sebelum dilakukan terapi standar strok

iskemik tanpa disertai terapi cermin dan rTMS

e. Mengukur skor ARAT sesudah dilakukan terapi standar strok

iskemik tanpa disertai terapi cermin maupun rTMS.

f. Menentukan selisih skor ARAT sebelum dan sesudah dilakukan

terapi standar strok iskemik tanpa disertai terapi cermin maupun rTMS.

g. Membandingkan selisih Skor ARAT pada kelompok yang dilakukan

terapi standar strok iskemik yang disertai terapi cermin dan rTMS

dengan kelompok yang mendapat terapi standar tanpa disertai terapi

cermin maupun rTMS.

h. Membandingkan selisih skor ARAT menurut jenis kelamin

i. Membandingkan selisih skor ARAT menurut sisi gangguan motorik.

7
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan. Data penelitian ini juga diharapkan

dapat memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam

tatalaksana pasien strok iskemik akut dengan Mirror Therapy dan

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation.

2. Manfaat praktis

a. Untuk Institusi Rumah Sakit: hasil penelitian dapat digunakan

sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan

rumah sakit terutama mengenai penggunaan Mirror Therapy dan

Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation untuk meningkatkan

fungsi motorik pada pasien strok iskemik akut. Apabila terbukti efektif,

maka dapat dipertimbangkan dan direkomendasikan agar penderita

strok dapat diberikan Mirror Therapydan Repetitive Transcranial

Magnetic Stimulation untuk meningkatkan perbaikan fungsi motoriknya.

b. Untuk Institusi Pendidikan: Sebagai bahan masukan dalam

kurikulum belajar mengajar mengenai Mirror Therapy dan Repetitive

Transcranial Magnetic Stimulation terhadap perbaikan motorik lengan

pada pasien strok iskemik akut.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan Hipotesis

Penelitian yaitu terdapat perbaikan motorik lengan berdasarkan Skor Action

Research Arm Test pada pasien strok iskemik yang mendapatkan Mirror

Therapydan Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Strok Iskemik
1. Epidemiologi

Angka kejadian strok iskemik pada dunia barat berkisar 80-85% dari kasus

strok, dan 15-20% diantaranya akibat perdarahan intraserebral, perdarahan

subaraknoid dan oleh karena sinus trombosis. Di Indonesia berdasarkan penelitian

potong lintang multisenter di 28 rumah sakit dengan jumlah subjek sebanyak 2065

orang pada bulan Oktober 1996 sampai bulan Maret 1997; usia rata-rata strok

adalah 58,8 tahun ± 13,3 tahun, dengan kisaran 18-95 tahun. Usia rata-rata wanita

lebih tua daripada pria (60,4 ±13,8 tahun versus 57,5± 12,7 tahun). Usia kurang dari

45 tahun sebanyak 12,9 % dan lebih dari 65 tahun sebanyak 35,8%. Data dunia

yang banyak dipublikasi adalah data dari studi Framingham, yang merupakan

pengamatan setiap 2 tahun, selama 36 tahun (mulai tahun 1950) pada 5070 pria dan

wanita yang tidak berpenyakit kardiovaskular, berusia 30-62 tahun. Selama

pengamatan tersebut didapatkan kasus strok dan transient ischemic attack (TIA)

sebanyak 693 orang. Menurut Framingham study terlihat korelasi yang bermakna

antara kejadian strok dengan bertambahnya usia. Hal yang agak berbeda dengan

penelitian lainnya adalah di Indonesia kejadian pada wanita lebih banyak dari pria

(53,8% versus 46,2%), sedangkan menurut studi Framingham, kejadian pada pria

rata-rata 2,5 kali lebih sering daripada wanita. (Miscbach J, 2011).

Data di 28 Rumah Sakit, waktu tiba di Rumah Sakit sejak onset serangan

strok antara 1 jam sampai dengan 96 jam. Selama waktu tersebut, yang datang

kurang dari 3 jam sebanyak 21,1%, kurang dari 6 jam 32,7%; kurang dari 12 jam,

44,8% dan sebesar 50,2% datang kurang dari 24 jam. Lama rawat selama rata-rata

9
10,9±9,6 hari dengan kisaran antara 1-96 hari. Bagi yang hidup, rata-rata 11 hari

pada strok iskemik dan 17 hari untuk strok hemoragik. Sebagian besar (88,9%),

rata-rata hari rawat kurang dari 21 hari. Data klasifikasi strok berdasarkan tipe

(iskemik dan perdarahan) serta lokasinya, didapatkan hasil, lakunar 11,7%, non

lakunar sirkulasi anterior 27,0%, non lakunar sirkulasi posterior 4,2%, perdarahan

subarachnoid 4,2%, perdarahan lobar 8,8%, perdarahan ganglia basal 7,1%,

perdarahan batang otak 1,7%, perdarahan serebellum 0,9%. Data ini

memperlihatkan bahwa strok iskemik hampir 2 kali lipat lebih besar (42,9%) dari

strok perdarahan (22,7%). Hasil luaran setelah perawatan: hidup membaik 59,9%;

hidup tidak membaik 1,6%; hidup memburuk 4,3%, hidup dengan status tak tercatat

5,1%; meninggal dunia 23,3% dan tidak ada data atau tidak diketahui sebesar 9,7%

(Misbach J., 2011).

2. Patofisiologi Strok Iskemik

World Health Organization (WHO) mendefinisikan strok sebagai sindrom yang

terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal atau

global (defisit neurologis) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit).

(Ginsberg, 2007) Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan

kematian. Mekanisme vaskular yang menyebabkan strok dapat diklasifikasikan

sebagai infark dan hemoragik. (Ropper, 2005)

Strok Iskemik disebabkan oleh karena oklusi pembuluh darah otak baik intra

maupun ekstrakranial. Oklusi pembuluh darah paling sering dimulai dengan

pembentukan plak arteroklerosis dalam lumen arteri ekstrakranial dan intrakranial

yang besar. Plak ini mengandung campuran lipid, otot polos, jaringan fibrosa, dan

kolagen, makrofag, dan sel-sel inflamasi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya

penyempitan lumen dan bagian terbesar dari penonjolan akan mengubah sifat fisik

10
dan mekanik aliran darah dan membuat turbulensi lokal dan statis. Trombosit

melekat tidak teratur pada permukaan plak.

Pada strok iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan

hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang

berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. Secara

umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat

iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam

waktu singkat jika tak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah

penumbra iskemik. Sel- sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi

sangat berkurang fungsi-fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik.

Tingkat iskeminya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di

luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hyperemic akibat adanya aliran darah

kolateral (luxury perfusion area).

Daerah penumbra iskemik itulah yang menjadi sasaran terapi strok iskemik

akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas

tergantung pada faktor waktu dan jika tak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat

berangsur-angsur mengalami kematian.

Dipandang dari segi biologi molekuler, ada dua mekanisme kematian sel otak.

Pertama proses nekrosis, suatu kematian berupa ledakan sel akut akibat

penghancuran sitoskeleton sel, yang berakibat timbulnya reaksi inflamasi dan proses

fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua adalah proses apoptosis atau

silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami penciutan atau shrinkage tanpa

adanya reaksi inflamasi seluler. (Misbach J, 2007)

Nekrosis seluler dipicu oleh exitotoxic injury dan free radical injury akibat

bocornya neurotransmitter glutamate dan aspartat yang sangat toksik terhadap

11
struktur sitoskeleton otak. Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar

membran lipid dengan segala akibatnya. Kematian apoptotis mungkin lebih

berkaitan dengan reaksi rantai kaskade iskemik yang berlangsung lebih lambat

melalui proses kelumpuhan pompa ion Natrium dan Kalium, yang diikuti proses

depolarisasi membran sel yang berakibat hilangnya kontrol terhadap metabolisme

Kalsium dan Natrium intra seluler. Hal ini memicu mitokondria untuk melepaskan

enzim caspase apoptosis. (Misbach J, 2007)

Jika CBF regional tersumbat secara parsial, maka daerah yang bersangkutan

langsung “menderita”, karena kekurangan O 2. Daerah tersebut dinamakan daerah

iskemik. Di wilayah itu didapati: (1) tekanan perfusi yang rendah, PO 2 turun, (2) CO2

dan asam laktat tertimbun. Akibat penurunan CBF regional suatu daerah otak

terisolasi dari jangkauan aliran darah, yang mengangkut O 2 dan glukosa yang

sangat diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi itu

tidak berfungsi lagi dan karena itu timbullah manifestasi defisit neurologik yang

biasanya berupa hemiparalisis, hemihipestesia, hemiparestesia yang bisa juga

disertai defisit fungsi luhur seperti afasia. Autoregulasi dan kelola vasomotor bekerja

sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan vasodilatasi

maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa

dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat

diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat daerah iskemik itu tidak dapat teratasi oleh

mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor. Di daerah tersebut akan

berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah di bagian

pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehingga berada dalam keadaan

vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos

pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-

12
sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan

pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (edema serebri) merupakan

reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritrosit dan leukosit.

Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai

dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark. (Sidharta P,

2014)

Derajat iskemia yang disebabkan oleh oklusi arteri bervariasi pada zona yang

berbeda yang disuplai oleh arteri tersebut. Di tengah zona, aliran darah adalah

terendah dan kerusakan iskemik yang paling parah. Daerah dengan kerusakan

paling parah ini yang disebut sebagai inti infark. Pada daerah perifer suplai darah,

adanya aliran darah kolateral memungkinkan suplai darah yang terus menerus,

meskipun pada tingkat yang lebih rendah dari biasanya. Metabolisme di pusat,

suplai darah dapat sangat berkurang sehingga memungkinkan menyebabkan

nekrosis sel (nol sampai 10ml/100gr/menit), sedangkan di perifer, pasokan 10-

20ml/100gr/menit mempengaruhi otak, menyebabkan kegagalan listrik tetapi

kerusakan sel tidak permanen. Zona otak disfungsional, tapi tidak mati yang

mengelilingi pusat infark secara tradisional disebut sebagai penumbra iskemik.

Jadi Ischemic Penumbra merupakan bagian yang mengalami hipoperfusi

namun masih potensial menimbulkan aktifitas listrik. Iskemia penumbra menerima

suplai darah yang cukup untuk menerima suplai darah yang cukup untuk bertahan

hidup sementara waktu. Hakim D, 1987 mendefiniskan penumbra sebagai

“fundamentally reversible”ischemic injury tetapi reversibilitas ini waktunya terbatas.

Konsep penumbra merupakan sandaran dasar pada pengobatan strok karena

merupakan manifestasinya terdapat struktur selular neuron yang masih hidup dan

mungkin masih reversible apabila dilakukan pengobatan yang cepat. Usaha

13
pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus tepat waktunya

supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat, sehingga neuron

penumbra tidak mengalami nekrosis. Komponen waktu ini disebut sebagai jendela

terapetik (therapetic window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron

penumbra terjadi dengan melakukan tindakan resursitasi sehingga neuron ini dapat

diselamatkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa daerah penumbra ini sel-

sel neuron masih hidup akan tetapi metabolisme oksidatif sangat berkurang. Pompa-

pompa ion sangat minimal mengalami proses depolarisasi neuronal. Perubahan lain

yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah iskemia sehingga respon

arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen atau karbondioksida

menghilang. Daerah penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya

dicukupi kembali sebelum jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu

singkat. Sedangkan sebagian lesi mengalami kematian setelah beberapa jam atau

hari setelah iskemik otak temporer. Dengan kata lain, di daerah ishemic

corekematian sudah terjadi sehingga mengalami nekrosis akibat kegagalan energi

secara dahsyat merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis

(sitolisis). Sementara pada daerah penumbra jika terjadi iskemia berkepanjangan,

sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya sehingga akan terjadi kematian

sel, yang secara akut timbul melalui proses apoptosis yaitu disintegrasi elemen-

elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding sel yang disebut

programmed cell death. (Misbach J, 2011)

4. Reperfusi Injury

Sepeti pada uraian sebelumnya bahwa faktor pulihnya aliran darah ke daerah

otak yang mengalami iskemik merupakan faktor penentu utama pada pemulihan

fungsi neuron. Namun perbaikan aliran darah otak ke taraf normal tidak selalu

14
memberikan manfaat yang diharapkan. Penelitian pada hewan coba terbukti bahwa

resursitasi atau reperfusi pada terhentinya aliran darah otak mencetuskan beberapa

reaksi kompleks di tingkat mikrosirkulasi iskemia berupa edema jaringan,

vasospasme kapiler/arteriol, penggumpalan sel-sel darah merah, asidosis jaringan,

aliran kalsium masuk ke dalam sel, dan dilepaskannya radikal bebas. Perubahan ini

dapat demikian hebat sehingga disebut sebagai reperfusion injury yang berakibat

munculnya gejala neurologik yang relatif menetap. (Misbach J, 2011).

Meskipun Mewezawa et al, 1992 menjelaskan bahwa umumnya pemulihan

aliran darah hampir selalu mengurangi ukuran infark pada model binatang. Namun

terdapat paling tidak satu studi kontrol yang baik oleh Aronowski et al, (1977)

menunjukan bahwa pada model rat iskemia kortikal, reperfusi setelah oklusi arteri

serebri media selama lebih 90 menit menyebabkan pertambahan volume infark,

dibanding dengan oklusi permanen. Juga adanya bukti klinis dilaporkan oleh Couts

et al, 2003 pada literatur klinik yaitu “hyperperfusion syndrome” yang terjadi hingga

3% pada pasien post carotid endarteterectomy setelah pembukaan lumen stenosis

berat (biasanya oklusi lebih dari 80%) arteri karotis. Piepgras et al, 1988, sindrom ini

dapat bermanifestasi sebagai kejang arteri karotis, edema serebral, dan perdarahan

intraserebral (0,6%) dalam dua minggu setelah operasi pemulihan aliran darah.

Mekanisme molekuler clinical hypoperfusion syndrome ini tidak dipahami dengan

baik, gangguan neuroekstitatori, dan sawar darah otak menyebabkan kejang fokal,

edema serebral, dan perdarahan intraserebral pada area pemulihan aliran darah

telah dihipotesakan berhubungan dengan perubahan reaktivitas vaskuler dan

pemulihan aliran darah ke hipoperfusi hemisfer kronik (Ning M, et al 2009). Banyak

penelitian klinis dalam hal biomarker dan metabolik telah dilaporkan berhubungan

dengan status glikemik darah. Hiperglikemik berhubungan dengan luaran klinis yang

15
buruk pada beberapa penelitian. Secara khusus, hiperglikemik secara tidak

langsung memprediksi perdarahan pada pasien yang mendapat terapi trombolisis.

Angka hemoragik sebanyak 25-35% pada pasien dengan kadar glukosa >200mg/dl.

Penelitian Alvarez-Sabin (2003) mendapatkan volume infark tiga kali lebih besar

pada pasien hiperglikemik, namun hiperglikemik tidak berhubungan dengan

peningkatan ukuran infark pada pasien yang tidak mendapat rekanalisasi dalam 6

jam onset strok. Hal ini diduga bahwa hiperglikemik berperan penting pada reperfusi

injury dini dan dapat memprediksi luaran klinis yang buruk selama tiga bulan pada

pasien yang memiliki kadar glukosa darah lebih dari 140mg/dl (Ning M, et al, 2009)

5. Kematian sel pada strok iskemik

Secara umum kematian sel dapat melalui jalur nekrosis dan apoptosis.

Nekrosis dicirikan dengan perubahan sel menjadi iskemik dan edema. Sedangkan

jalur apoptosis dicirikan dengan sejumlah perubahan morfologi (apopthopic bodies

blebbing), biokimia (DNA laddering) dan karakteristik molekul (aktivasi caspases)

atau melalui autofagositosis, (Endres M, et al 2008). Aktifitas neuron akan terhenti

segera setelah aliran darah berkurang di bawah seperempat dari nilai normal. Jika

kondisi iskemik menetap dalam jangka waktu lama maka kematian primer neuron

segera timbul pada inti iskemik disertai dengan kematian sel sekunder pada

penumbra yang bertambah secara perlahan, selanjutnya terjadi aktivasi berbagai

death pathway. Eksitoksisitas sebagai penyebab utama kematian sel setelah

hipoksik iskemik. Selain itu radikal bebas yang dihasilkan secara primer selama

periode reperfusi diyakini berkontribusi terhadap delayed neuronal death. Juga

terdapat sejumlah bukti menduga bahwa apoptosis atau kematian sel terprogram

merupakan bagian dari kematian sel pada hipoksia iskemik (Gwag B.J.Won S.J.,

Kim D.Y.) . menurut Lipton et al, 1999, kematian sel terdiri atas dua tahap yaitu 1)

16
tahap pertama adalah induksi oleh kegagalan energi, peninggian kalsium

intraseluler, dan pelepasan asam amino eksitatorik. Ini akan memicu aktivitas

pelaku langsung kerusakan oleh iskemia termasuk produksi radikal bebas dan

peroxynitrite, calpain, phospolipase, dan aktivasi poly-ADP ribose polymerase.

Secara bersamaan jalur apoptosis dimulai. Gelombang depolarisasi periinfark lebih

lanjut menyebabkan keseimbangan energi dari neuron iskemik di daerah

penumbra. Adanya inflamasi kemudian memperbesar kerusakan jaringan 2) Tahap

kedua kematian sel melibatkan perubahan jangka panjang makromolekul dan

metabolik utama lainnya. Seluruh kejadian ini merupakan target potensial untuk

intervensi terapi (Endres M, et al 2008).

Glutamat merupakan mediator transmisi sinaptik eksitatorik melalui aktivasi

reseptor inotropik glutamate sensitive terhadap NMDA (N-methyl-D-Aspartate),

AMPA (alfa-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid) atau kainat.

Sebenarya transmisi eksitatorik ini diperlukan dalam proses informasi normal dan

plastisitas neuron, akan tetapi bila terjadi aktivasi reseptor glutamate berlebihan

akan menyebabkan fulminant neuronal death. Kondisi ini disebut sebagai

neurotoxicity atau excitotoxicity. Menurut Siesjo, 1978, Hamsem, 1985, Erenciska

dan Silver, 1989, otak merupakan organ metabolisme aktif dan sangat tergantung

terhadap fosforilasi oksidatif untuk menghasilkan energi. Oleh karena itu otak

sensitif terhadap gangguan suplai oksigen dan glukosa. Stys et al, 1992, setelah

iskemia fokal terdapat deprivasi oksigen dan glukosa. Terdapat bukti menyatakan

bahwa substansia grisea dan substansia alba mengalami kehilangan fungsi dengan

anoksia. Martin et al, 1994, Paschen 2000, dalam hitungan menit sel neuron dan

sel non neuron menjadi terdepolasrisasi (anoxic depolarization) dan pengaktifan

saluran calcium voltage-dependent. Ziplef et al, 1999, depolarisasi juga memicu

17
pelepasan neurotransmitter dari presinaptik terminalis ke dalam celah sinaps.

Khususnya ikatan glutamat terhadap reseptor inotropik NMDA (N-methyl-D-

Aspartate) dan AMPA (alfa-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid)

meningkatkan influks berlebihan kalsium. Chen et al, 1998, Furukawa et al 1997,

Endres et al, 1999, peningkatan kadar kalsium intraselular berubah sebagai

messenger kedua dan ketiga. Untuk memicu susunan fosfolirase dan protease

yang mendegradasi membran dan protein esesial terhadap keutuhan seperti (aktin,

spektrin, laminin, dll). Frederickson, 1989, Weis et al, 1993, Sorensen et al. 1998,

ion kalsium dan ion lain memasuki mitokondria melalui mitochondria permeability

transition pore, menyebabkan disfungsi, dan pembengkakan mitokondria. Selain itu

natrium dan klorida memasuki neuron melalui saluran untuk ion monovalen

(reseptor AMPA) secara pasif, dan menyusul air. Selanjutnya edema intraseluler

(sitotoksik) memberi dampak negatif terhadap perfusi pada regio-periinfark.

Ketidakseimbangan ion lain juga penting seperti sejumlah besar zinc yang disimpan

pada vesikel neuron ekstitatorik dilepaskan pada depolarisasi dan berkontribusi

terhadap kematian sel eksitotoksik (Endres M, et al, 2008). Stress oksidatif diawali

dengan kegagalan energi yang terjadi selama hipoksia. Hal ini akan memicu

depolarisasi membran plasma menyebabkan aktivasi voltage dependent Ca2+

channel dan reseptor glutamat yang Ca2+ permeable. Masuknya Ca2+ ke dalam

neuron dan terjadinya akumulasi dapat menghasilkan radikal bebas melalui aktivasi

prooxidant pathways. Termasuk fosfolipase, sintetase nitiric oxide, oksidase

xanthine, dan hilangnya potensial mitokondria. Selain itu juga terjadi transisi logam

seperti Fe, Cu2+, Zn2+ menyokong pembentukan radikal bebas pada hipoxic-ishemic

injury. Adanya kembali oksigen yang berlebihan ke dalam daerah iskemik menjadi

18
sumber ROS (Reactive Oxygen Synthetase) dan selanjutnya menyebabkan

reperfusion injury. (Sidharta P, 2014)

Dalam keadaan fisiologik jumlah darah yang mengalir ke otak (Cerebral

Blood Flow) atau dikenal sebagai CBF adakah 50-60ml/100 gram jaringan otak per

menit. Jumlah darah untuk seluruh otak yang beratnya antara 1200-1400 gram

adalah kurang lebih 700-840ml per menit. Dari jumlah darah tersebut sebagian

disalurkan melalui arteri karotis interna, serta sebagian lagi oleh susunan

vertebrobasiler. Otak yang berkedudukan di ruang tengkorak merupakan ruang

tertutup mempunyai susunan sirkulasi yang sesuai dengan lokasinya. Konsekuensi

dari kedudukan otak dalam suatu ruang tertutup adalah volume otak ditambah

volume likuor ditambah dengan volume darah merupakan suatu angka yang tetap

(konstan). Hal ini sesuai dengan Hukum Monroe-Kelie. Hukum ini berimplikasi pada

perubahan salah satu unsur tersebut akan menyebabkan perubahan kompensatorik

terhadap unsur-unsur lainnya. (Sidharta P, 2014)

Daerah iskemik menjadi bengkak dan dinamakan edema serebri regional.

Jika tetap tidak ada darah yang mengalir ke daerah itu, maka edema serebri

bertambah. Jika setelah 5 hari tidak terdapat perbaikan, maka pusat daerah itu

menjadi nekrotik. Apabila edema serebri yang serentak berkembang ,dengan

timbulnya manifestasi –manifestasi klinik dari “strok” dapat diperbaiki dengan cepat,

maka jatah darah untuk bagian otak yang iskemik itu akan menjadi besar sesuai

dengan mengurangnya edema. Edema serebri memperbesar volume otak dan

meningkatkan resistensi serebral (CVR). Jika tekanan perfusi masih cukup tinggi,

CBF akan menurun karena CVR meninggi. Apabila edema serebri bisa diberantas

dan tekanan perfusi bisa terpelihara pada tingkat yang cukup tinggi, maka CBF

dapat bertambah. Dalam keadaan demikian, daerah perbatasan lesi vaskular

19
tersebut bisa mendapat sirkulasi kolateral yang cukup aktif. Dari situ, darah akan

mengalir secara pasif ke tempat iskemik oleh karena itu disitu terdapat pembuluh

darah yang berada dalam keadaan vasoparalisis. Melalui mekanisme itu, daerah

iskemik sekeliling pusat yang mungkin sudah nekrotik, masih dapat diselamatkan,

sehingga lesi vaskular dapat diperkecil sampai daerah pusat yang kecil saja, yang

memangnya sudah tidak dapat diselamatkan lagi, karena sudah nekrotik (infark).

Apabila sirkulasi kolateral tidak dimanfaatkan untuk menolong daerah perbatasan

lesi iskemik itu, maka daerah pusatnya yang sudah nekrotik akan meluas, sehingga

lesi ireversibel mencakup juga daerah yang sebelumnya hanya iskemik saja.

Keadaan tersebut berkorelasi dengan cacat fungsional yang menetap, yang dapat

berupa hemiplegi dan afasia.

Daerah yang mengalami iskemia disebut juga sebagai penumbra adalah

lokasi utama yang memproses kompensasi dari hilangnya fungsi plastisitas. Pada

jaringan ini, growing promoting factors yang menstimulasi proses anabolik dari

growth inhibitory protein yang penting dalam pertumbuhan axonal. Gen yang

berperan untuk perbaikan plastisitas adalah NGFI-A (nerve growth factor induced

gene) dan BDNF (brain derived neurotrophic factor) yang teraktivasi secara cepat

setelah iskemia sebagai respon atas kerusakan jaringan. Regenerasi neuronal

setelah strok berhubungan dengan kejadian selular dan molekuler kompleks yang

mempunyai karakteristik berkurangnya molekul growth inhibitory dan aktivasi

growth-promoting genes oleh neuron. (Brown F, 2013)

6. Mekanisme Pemulihan Strok Iskemik

Dalam kasus pasien strok iskemik, meskipun pemulihan tergantung pada

lokasi dan luasnya dari kerusakan, pemulihan dapat dipercepat jika perawatan

diberikan selama 3 bulan awal setelah strok. Kemudian,waktu pemulihan meningkat

20
dengan berlalunya waktu, dan pemulihan neurologis berhenti setelah 1 tahun.

Karena itu,segera memberikan perawatan rehabilitasi setelah strok sangat penting.

Langkah-langkah terapi cermin, pasien duduk dekat meja dengan posisi cermin

tegak lurus dari garis tengah tubuh pasien. Kemudian sisi lengan yang sehat

ditempatkan pada sisi yang berbeda dengan sisi yang sakit dan pasien diminta

melihat gerakan tangan yang sehat melalui cermin, lalu pergerakan pasien

diobservasi.(Machyono, 2017) Kemudian pasien dilakukan rTMS selama kurang

lebih 30 menit hingga 1 jam per sesinya.Jumlah sesi terapi menyesuaikan dengan

tingkat keparahan dan jenis penyakit yang diderita (biasanya 5 hari per minggu,

durasi hitungan minggu - bulan). Saat prosedur berlangsung, pasien diposisikan

duduk dan kumparan elektromagnetik akan dipasangkan didekat kepala pasien.

Kemudian gelombang magnetik tersebut akan bergerak menuju bagian otak yang

dituju dan menginduksi saraf-saraf tertentu. (Saadati et al, 2015)

Gambar 1: Patofisiologi Strok Iskemik (Hadori, 2016)

21
B. Plastisitas

1. Reorganisasi dan Plastisitas Neuron

Berbagai macam metode rehabilitasi pasca strok yang digunakan untuk

perbaikan motorik telah diciptakan berdasarkan teori neuroplastisitas. Terdapat dua

mekanisme neuroplastisitas antara lain: 1) plastisitas homeostatik: Pada tipe

plastisitas ini aktivasi sinaps terlihat dari pelepasan presinaps dan respons post

sinaps terhadap neurotransmitter sehingga dapat memperbaiki aktivitas sinaptik.

Pada beberapa hari (biasanya hari pertama sampai dengan hari ke-3 setelah onset)

atau minggu pertama setelah strok, pola normal aktivitas sinaps pada daerah

penumbra dan beberapa struktur yang terkait di dalamnya telah terputus. Aktivitas

yang berkurang ini dapat terjadi akibat hilangnya input dari jaringan yang mengalami

infark. Beberapa neurotransmitter yang berperan pada efikasi sinaps adalah brain

derived neurotropHic factor(BDNF) yang berperan meningkatkan insersi α-amino-3-

hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) sehingga meningkatkan

aktivitas sinaps. (Endres M et al, 1998) (2) Plastisitas Hebbian; Mekanisme Hebbian

menyebabkan perubahan aktivitas yang berhubungan dengan penguatan sinaps

untuk model learning dan memori. Latihan spesifik berfokus pada latihan rehabilitasi

dapat menghasilkan perbaikan fungsional dan rewiring. Mekanisme hebbian dapat

terlihat pada 7-10 hari setelah onset strok, dan potensasinya memicu sirkuit otak

untuk melakukan perbaikan. (Murphy et al, 2009)

22
Gambar 2. Lokasi sel progenitor neuronal pada susunan saraf pusat (Moe et al,

2005)

2. Reorganisasi dan Plastisitas Neuron pada strok iskemik

Secara umum pengobatan strokiskemik akut dibedakan menjadi

pengobatan yang ditujukan pada sistem vaskuler, meliputi upaya rekanalisasi,

pencegahan pembentukan trombus, dan pembentukan sistem kolateral, serta

pengobatan yang ditujukan pada jaringan saraf, meliputi upaya neuroproteksi

untuk membatasi ukuran infark dan neurorestorasi untuk meningkatkan aktivitas

neurogenesis, angiogenesis,dan sinaptogenesis. Neurorestoratologi adalah sub-

disiplin ilmu neuroscience yang mempelajari regenerasi neuron, perbaikan

struktur saraf, dan neuroplastisitas. (Takeuchi N, 2013)

23
Seorang ahli neuroanatomi asal Spanyol yang memenangkan hadiah

Nobel, Santiago Ramon y Cajal, mengemukakan teori Dogma Sentral yang

menyatakan bahwa sistem saraf pusat manusia dewasa adalah sesuatu yang

permanen dan tidak dapat diubah. Neuron yang mengalami kematian, tidak

dapat beregenerasi. Dogma Sentral sangat mempengaruhi pengembangan terapi

strok dengan prinsip neuroproteksi untuk mencegah perluasan ukuran infark.

Terobosan terbaik saat ini adalah terapi trombolisis menggunakan rtPA

(recombinant tissue plasminogen activator) untuk tujuan reperfusi pada fase strok

akut, sehingga mencegah kematian neuron secara bermakna. Namun, karena

jendela terapi yang sempit serta risiko cukup besar, terapi ini hanya dapat

diterapkan pada sekitar 1-2% penderita strok iskemik akut. (Marler, 1995)

Penemuan bahwa jaringan otak tikus dewasa mampu menghasilkan sel

progenitor neuronal, terutama pada daerah subventricular zone (SVZ) dan girus

dentatus hipokampus, telah mengubah paradigma lama Dogma Sentral; proses

regenerasi ternyata terus berlangsung sepanjang kehidupan hewan tersebut.

Reynolds dan Weiss mampu mengisolasi sel jaringan striatum tikus, dan

pemberian epidermal growth factor mampu menginduksi proliferasi sel tersebut

menjadi neurondan astrosit, di mana neuron yang baru mampu menghasilkan

neurotransmitter sama seperti jaringan otak normal. (Zhang L, 2013). Sel yang

sama juga dapat ditemukan pada jaringan otak manusia dewasa. (Reynolds,

1995). Saat terjadi cedera otak, seperti strok, aktivitas neurogenesis akan

meningkat secara bermakna,dibuktikan dengan peningkatan jumlah neuron

imatur (neuroblast) pada daerah SVZ yang kemudian mengalami migrasi menuju

daerah iskemi penumbra, selanjutnya akan mengalami diferensiasi menjadi

neuron baru menggantikan neuron lama yang telah rusak. (Zhang L, 2013)

24
Neuron baru yang terbentuk harus bersinaps dengan neuron lama di sekitarnya

agar dapat berfungsi baik. Aktivitas sinaptogenesis pada daerah iskemi

penumbra meningkat bermakna dibuktikan dengan peningkatan ekspresi protein

sinaps, sinap top Hysin, dan growth associated protein-43 setelah serangan strok

iskemik akut. (Santacana M et al, 1998)

Meskipun aktivitas neurogenesis dikatakan menurun seiring dengan

penambahan usia, namun peningkatan aktivitas neurogenesis penderita pasca-

strok pada usia lanjut tetap terjadi, terbukti dengan penemuan neuroblast di

daerah iskemik penumbra. (Santacana M et al, 1998). Hal ini sesuai dengan

penemuan pada penelitian preklinik menggunakan hewan percobaan usia tua

yang membuktikan adanya peningkatan aktivitas neurogenesis pada usia lanjut.

Nitric Oxide (NO) dan endothelial derived relaxing factor dihasilkan oleh sel

endotel pembuluh darah dan sel neuron. (Lee JK et al, 2004). Peningkatan

ekspresi NO sintetase neuronal didaerah SVZ penting pada proses neurogenesis

baik selama fase embriogenesis maupun diluar fase tersebut. (Santacana M et

al, 1998). NO merupakan aktivator kuat enzim soluble guanylate cyclase, enzim

pembentuk cyclic guanosine monophosphate (cGMP). (Lee JK et al, 2004).

Pemberian donor NO akan meningkatkan kadar cGMP pada jaringan otak yang

iskemik ataupun yang normal. cGMP merupakan second messenger untuk

mengaktifkan proses neurogenesis, angiogenesis, dan sinaptogenensis. (Murphy

et al, 2009). Kadar cGMP dapat ditingkatkan dengan cara memberikan donor NO

dan meningkatkan produksi cGMP atau dengan menghambat metabolisme

cGMP menjadi GMP melalui pemberian inhibitor enzim phosphodiesterase-5

(PDE-5). (Zhang et al, 2013). Meningkatkan cGMP tanpa mempengaruhi kadar

NO merupakan pilihan terbaik, karena penelitian pada hewan percobaan

25
membuktikan bahwa perubahan kadar NO akan memberikan hasil perbaikan

output strok yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena NO merupakan

vasodilator poten; peningkatan mendadak akan berdampak vasodilatasi dan

menurunkan perfusi ke daerah penumbra, sehingga berpengaruh pada output

strok iskemik. (Zhang et al, 2013). Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)-Akt

merupakan faktor regulasi penting dalam proses neurogenesis; untuk

melanjutkan informasi ke sel progenitor neuronal, ekspresi PI3K-Akt dapat

ditingkatkan melalui pemberian agen farmakologis. (Santacana M et al, 1998)

Aktivasi jalur tersebut juga mempengaruhi sejumlah fungsi seluler lain,

seperti kemampuan neuron untuk bertahan hidup, proliferasi, migrasi, dan

diferensiasi. Pembentukan sistem pembuluh darah serebri terjadi melalui proses

angiogenesis, proses ini akan mengalami penurunan dan akhirnya hilang pada

jaringan otak dewasa normal. (Arvidsson et al, 2012). Namun, proses ini dapat

timbul kembali saat terdapat kondisi patologis, seperti setelah serangan strok.

Pembuluh darah yang baru terbentuk sifatnya sangat permeabel dan akan

menjadi lebih impermeabel saat proses pematangan. Kondisi pembuluh darah

yang impermeabel sesaat setelah pembentukan dapat digunakan sebagai

penanda adanya proses angiogenensis, proses tersebut dapat dideteksi dengan

teknik pencitraan noninvasif, seperti magnetic resonance imaging (MRI).

Penambahan pembuluh darah berlangsung hingga 6 minggu pasca-awitan strok

yang diikuti peningkatan CBF (cerebral bloodflow) pada daerah penumbra,

kondisi ini berdampak positif pada proses neurogenesis dan sinaptogenesis. (Lee

JK et al, 2004). Terdapat korelasi kuat antara jumlah pembuluh darah korteks

serebri dengan harapan hidup, pasien dengan pembuluh darah lebih padat

memiliki harapan hidup lebih baik, dan memiliki output fungsional yang lebih baik.

26
Kemampuan sistem saraf untuk senantiasa berubah dinamakan neuroplastisitas,

kondisi ini terlihat sangat nyata saat perkembangan sistem saraf. Otak manusia

dewasa juga memiliki sebagian kemampuan tersebut untuk mempelajari

ketrampilan baru, membentuk ingatan baru, dan sebagai respons terhadap

cedera otak; kemampuan ini terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia.

( Arvidsson, 2012).

Plastisitas sinaps dikaitkan dengan perbaikan fungsional setelah strok.

(Murphy et al, 2009). Dalam kondisi normal, aktivitas sinaps pada susunan saraf

pusat (SSP) dapat berupa long term potentiation (LTP) dan long term depression

(LTD). Perbedaan kedua jenis aktivitas sinaps ini tergantung aktivitas. Jika

aktivitas makin sering diulang maka akan terbentuk LTP pada hubungan sinaps,

dapat menimbulkan remodelling sinaps bahkan pembentukan sirkuit baru; proses

remodelling ini dapat bersifat sementara, dapat pula menetap. (Khedr et al,

2009). Laporan penelitian pencitraan otak dan neurofisiologi otak membuktikan

bahwa latihan motorik task specific berulang pada lengan atas mampu

mengubah korteks somatosensorik hemisfer bersangkutan. Fakta ini

membuktikan manfaat latihan motorik berulang yang bersifat task specific.

(Saadati et al, 2015).

Berbagai aktivitas neurorestorasi endogen ini tidak pernah optimal,

sehingga proses pemulihan cedera SSP juga tidak pernah sempurna. Berbagai

penyebab turut berperan, antara lain ekspresi gen yang dihasilkan oleh badan sel

untuk memicu proses neuroregenerasi tidak mampu menjangkau lokasi cedera

yang jauh dari badan sel. Selain itu, lingkungan mikro juga harus mendukung

agar proses neurorestorasi dapat berjalan baik; pada cedera SSP, kondisi ini sulit

terjadi karena astrosit dan mikroglia mengalami aktivasi saat terjadi cedera SSP

27
dan sitokin inflamasi yang dihasilkan akan menghambat proses neurorestorasi

tersebut, degradasi mielin dan akson juga memicu proses inflamasi, dan

pembersihan debris tersebut membutuhkan waktu lama. Oligodendrosit pada

lokasi cedera juga menghasilkan protein nogo yang menghambat proses

neurogenesis. (Lee JK et al, 2004)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Plastisitas dan Reorganisasi Neuron

pada Strok Iskemik

Enriched Environment (Lingkungan Kaya Stimulasi)

Lingkungan selama proses rehabilitasi berlangsung juga memegang peranan

penting.Lingkungan yang dapat memberikan kesempatan lebih baik untuk

aktivitas motorik dan yang memberikan motivasi dinamakan enriched

environment..Penelitian menggunakan hewan percobaan membuktikan bahwa

enriched environment memfasilitasi pemulihan motorik dan memicu

neuroplastisitas dibandingkankan dengan standar laboratorium. Secara klinis,

kondisi tersebut dapat dicapai selama perawatan penderita di ruang rawat

multidisiplin, seperti strok unit, agar dapat memenuhi kebutuhan penderita akan

enriched environment termasuk antara lain terapi cermin dan rTMS. (Taub et al,

1999)

28
C. rTMS dan Terapi Cermin

1. Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)

Repetitive transmagnetic stimulation (rTMS) merupakan teknik NIBS

(noninvasive brain stimulation) yang dapat mengubah excitability korteks serebri dan

meningkatkan neuroplastisitas, serta memperbaiki fungsional motorik.(Reynolds et

al, 1992)

Efek dari rTMS pada Neurotransmitter dan Synaptic Plastisitas

TMS berulang mempengaruhi tingkat ekspresi berbagai reseptor dan

neuromediator lainnya.Tikus yang terpapar 5 hari pengobatan dengan radiasi

elektromagnetik (frekuensi 60Hz, 20 G amplitudo) menunjukkan tingkat tinggi Oksida

nitrat (NO) dan guanosin siklik monofosfat (cGMP) di otak korteks, gyri, dan

hippocampus. Namun, jumlah dan morfologi neuron tetap tidak berubah.

Berdasarkan bukti-bukti tersebut, telah diusulkan bahwa peningkatan respon gen

yang bertanggung jawab untuk sintesis dari neuronal NO synthase mungkin

mendasari efek TMS. (Santacana M et al, 1998).

Menurut teori saat ini, efek dari rTMS yang utama ditentukan oleh kombinasi

spesifik stimulasi frekuensi dan intensitas yang digunakan. Sebagai tanggapan

reaksi rTMS, rangsangan saraf berubah disebabkan oleh pergeseran keseimbangan

ion di sekitar kelompok neuron yang dirangsang; pergeseran ini bermanifestasi

sebagai perubahan plastisitas sinaptik. Sebagian besar peneliti percaya bahwa

jangka panjang efek terapi dari rTMS dan efek stimulasi magnetik pada proses yang

dijelaskan di atas berhubungan dengan dua fenomena; potensiasi jangka panjang

(LTP) dan depresi jangka panjang (LTD). Proses ini pertama kali dijelaskan dalam

hippocampus tikus. Potensiasi jangka panjang dan LTD dianggap sebagai

mekanisme kunci yang mendukung perubahan jangka panjang dalam kekuatan

29
sinaptik dan dapat bertahan selama beberapa hari, minggu, atau bulan, sedangkan

hasil LTD dalam pengurangan jangka panjang kekuatan sinaptik. LTP diinduksi oleh

frekuensi tinggi, atau theta-bhurst, rangsangan atau situasi di mana stimulasi neuron

presinaptik diikuti oleh rangsangan atau stimulasi neuron pasca-sinaptik yang diikuti

oleh stimulasi neuron presinaptik dalam beberapa puluh milidetik. (Purves et al,

2004)

Mekanisme molekuler yang terkait dengan perubahan TMS-terinduksi

kemungkinan melibatkan reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) yang terletak pada

membran postsynaptic. Reseptor NMDA mengandung saluran kationik yang diblokir

oleh ion magnesium selama keadaan istirahat, tetapi depolarisasi membran sel

menghilangkan saluran blok ini dan memungkinkan ion kalsium memasuki neuron

postsynaptic; hal ini akhirnya mengarah ke induksi LTP. Ada dua jenis fenomena

LTP: awal dan akhir. LTP awal melibatkan perubahan dalam kekuatan sinaptik,

mengikuti redistribusi mediator, dan aktivitas ion serta berlangsung selama 30-60

menit. Pada sisilain, LTP akhir dikaitkan dengan ekspresi gen yang diubah dan

sintesis protein serta dapat berlangsung selama beberapa jam, hari, atau bahkan

minggu. Aktivasi reseptor NMDA juga melibatkan LTD tetapi dalam cara yang

berbeda. Sedangkan peningkatan ion kalsium yang cepat pasca-sinaptik

menyebabkan LTP, aliran kecil dan lambat ion kalsium menginduksi LTD.(Purves et

al, 2004). Misalnya, stimulasi magnetik pada 1 Hz mengurangi respon otot diinduksi.

Sebaliknya, stimulasi frekuensi tinggi dari korteks motor utama (M1) telah terbukti

meningkatkan aktivitas kortikal.Kombinasi pengobatan TMS dan farmakoterapi juga

telah menghasilkan temuan menarik. Teori tersebut saat ini menjadi teori kerja dari

efek TMS. Peneliti cenderung menggunakan teori ini untuk menafsirkan hampir

30
semua efek rTMS, termasuk perubahan dalam ekspresi gen dan produksi

neuromediator. (Miniussi et al, 2011).

Efek Neurotropik dari rTMS pada Strok Iskemik

Hal ini penting untuk dicatat bahwa stimulasi magnetik tidak harus selalu

menghasilkan hasil yang positif dan efek ini sangat tergantung pada stimulasi.

Dalam kultur sel hippokampus, stimulasi intensitas rendah (1.14T, 1 Hz) hasil di

sprouting dendritik (pertumbuhan akson) meningkatkan kepadatan kontak sinaptik.

Sebaliknya, stimulasi intensitas tinggi (1,55T, 1 Hz) memiliki pengaruh yang sangat

buruk yang menghasilkan penurunan jumlah sinapsis. Para peneliti menyarankan

bahwa hasil ini berkaitan dengan sistem sinyal BDNF-tyrosine kinase B (TrkB).

(Wrann et al, 2013)

Mayoritas penelitian rTMS telah difokuskan pada perubahan fungsi BDNF.

BDNF memiliki berat molekul 27 kDa (Kilodalton) dan pada awalnya berasal dari

otak babi sebagai faktor trofik untuk sel dari akar ganglia dorsal. BDNF juga berasal

dari otak manusia. BDNF dikenal memiliki berbagai fungsi yang meliputi perangkat

tambahan hidup neuronal antara lain kerusakan SSP, neurogenesis, migrasi dan

diferensiasi neuron, pertumbuhan dendrit dan akson, dan pembentukan sinaps.

Studi terbaru menunjukkan bahwa medan magnet eksternal, yang merupakan

konsekuensi dari TMS, dapat mempengaruhi konten BDNF dalam serum dan cairan

serebrospinal (CSF), namun data yang diperoleh dari penilaian tingkat BDNF serum

setelah sesi TMS masih kontroversial. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa

rTMS meningkatkan kadar serum BDNF. Stimulasi frekuensi tinggi meningkatkan

serum BDNF dan afinitas BDNF untuk reseptor TrkB, sedangkan TMS frekuensi

rendah mengurangi tingkat BDNF.( Wrann et al, 2013).

31
Efek yang lama dari rTMS (5 hari dengan 2 hari istirahat 11 minggu) secara

signifikan meningkatkan kadar BDNF mRNA dalam hippocampus dan parietal dan

pyriformis korteks. rTMS memiliki efek induksi pada produksi faktor neurotropik dan

menjelaskan tentang manfaat neuroprotektif dan neuroplastisitas dari rTMS, antara

lain meningkatkan tumbuhnya serat hippocampus. Dengan demikian, BDNF

dianggap pelindung transmisi sinaptik berikut pada cedera strok iskemik. ( Wrann et

al, 2013)

rTMS mempengaruhi produksi BDNF pada daerah otak ”terpencil”. Temuan

ini menawarkan berbagai kemungkinan baru mengenai pilihan terapi untuk pasien

dengan strok iskemik. (Wrann et al, 2013). Efek dari stimulasi magnet

mempengaruhi berbagai faktor termasuk morfologi neuronal; sel glial; neurogenesis;

diferensiasi sel dan proliferasi; mekanisme apoptosis; konsentrasi neuromediators,

ATP, dan faktor neurotropik; metabolisme glukosa; dan ekspresi gen tertentu.

Signifikansi klinis dan efek terapi positif dari rTMS yang mungkin ditentukan oleh

berbagai kombinasi dari faktor-faktor tersebut. (Elritbi et al, 2010).

32
Gambar 3: Gambaran Cara Kerja rTMS di Otak (Cheryakov et al, 2015)

2. Terapi Cermin (Mirror Therapy)

Program rehabilitasi penderita strok idealnya meliputi program latihan yang

bermakna antara lain terapi cermin (mirror therapy) berulang, dan intensif yang

dikerjakan dalam kondisi enriched environment agar neuroplastisitas dapat

meningkat dan diperoleh perbaikan motorikserta fungsional. (Marler et al, 1995)

Mirror Therapy merupakan superimposition bayangan dari gerakan ekstremitas yang

sehat pada ekstremitas yang paresis untuk pasien amati bahwa kedua ekstremitas

dpat bergerak. Sebuah cermin diletakkan midsagital dari pasien sehingga gambaran

sisi ekstremitas yang sehat akan superimposed dari ekstremitas yang paresis. Oleh

karena itu terdapat ilusi visual meningkatnya kemampuan gerak pada sisi yang

paresis. (Menon, 2010) Terdapat dua hipotesis umum yang mendasari mekanisme

mirror therapy yaitu mekanisme korteks motorik primer dan mirror neuron. Pada

33
hipotesis pertama, mirror therapy dipercaya dapat memicu normalisasi

keseimbangan hemisfer setelah strok yang adalah penting pada perbaikan

motorik. (Jin Hong et al, 2018)

Terdapat bukti bahwa aktivitas persepsi dan motorik pada mirror therapy

memodulasi eksitabilitas korteks motorik primer (M1). Pergerakan nyata dari lengan

ipsilateral mengaktivasi M1 ipsilateral dan mengamatan gerakan pada cermin

mengaktivasi M1 kontralateral. Perubahan simultan pada M1 diduga dapat

memfasilitasi reorganisasi kortikal yang sesuai untuk perbaikan fungsional.Hipotesis

yang kedua adalah mirror neuron yang terdapat pada daerah frontotemporal dan

gyrus temporal superior. Mirror neuron diketahui sebagai neuron bimodal yang

teraktivasi ketika seseorang melakukan atau mengobservasi aktivitas motorik.

Mirrorneuron dapat teraktivasi ketika seseorang mengamati, membayangkan, atau

saat melakukan suatu gerakan yang dapat mengakselerasi kemampuan perbaikan

motorik. (Marler et al, 1995).

Gambar 4: Mirror Therapy (Choo et al, 2009)

D.Hubungan rTMS dan Terapi Cermin Terhadap Reorganisasi dan Plastisitas

Neuron

34
1. Hubungan rTMS terhadap reorganisasi dan plastisitas neuron secara

umum

Aspek penting lain dari tindakan TMS adalah dampaknya pada

mekanisme saraf.Para peneliti menyarankan bahwa perubahan makroskopik

kemungkinan besar tergantung pada sinaptogenesis, angiogenesis,

gliogenesis, neurogenesis, peningkatan ukuran sel, dan peningkatan aliran

darah otak. rTMS selama 14 hari dapat meningkatkan neurogenesis pada

gyrus dentatustikus, diferensiasi dan pertumbuhan sel-sel induk saraf dalam

tikus. Tikus yang telah terpapar rTMS menunjukkan diferensiasi neuron di

zona subventricular. Selain itu, jumlah sel yang memproduksi dopamin baru

berkorelasi dengan peningkatan aktivitas motorik. (Marler et al, 1995)

2. Hubungan rTMS terhadap reorganisasi dan plastisitas neuron

padapasien strok iskemik

Beberapa penelitian menggunakan model serangan iskemik transien

dan iskemia berkepanjangan menemukan bahwa rTMS melindungi neuron

terhadap kematian dan mengubah aliran darah dan metabolisme di

otak.rTMS juga membantu dalam pemulihan fungsi saraf otak pada cedera

iskemia, terjadi reperfusi. Untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari

efek ini, para peneliti mengungkapkan efek dari RTMS pada adenosin trifosfat

(ATP) dalam korpus striatum dan ekspresi protein terkait mikrotubulus - 2

(MAP-2) menggunakan model cedera iskemia reperfusi-.rTMS meningkatkan

secara signifikan konten ATP di striatum dari hemisfer serebri yang

mengalami iskemik. Selain itu, ada peningkatan yang signifikan dalam

ekspresi MAP-2 pada bagian otak yang iskemik.rTMS juga memilikki efek

neuroprotektif pada pasien strok iskemik. (Jin Hong et al, 2018).

35
3. Hubungan terapi cermin terhadap reorganisasi dan plastisitas neuron

secara umum

Aktivitas sinaps yang berkurang dapat terjadi akibat hilangnya input

jaringan yang mengalami infark. Terapi cermin dapat meningkatkan plastisitas

dengan cara mengubah sinaps yang masih ada atau dapat membuat koneksi

baru yang dapat meningkatkan level aktivitas neuron yang bermasalah.

Aktivitas yang terjadi adalah aktivitas lambat dan dibuktikan pada otak hewan

pengerat, serta terlihat hanya pada hari 1-3 setelah onset strok dan dianggap

sebagai periode kritikal. Selain tambahan aktivitas sinaps dapat memicu

aktivitas pembentukan. Sinaps baru sebagai kompensasi terhadap hilangnya

sirkuit sehat. Axonal sprouting dan peningkatan produksi dendrit pada area

spinal setelah kejadian strok dianggap sebagai proses homeostatik yang

dapat membantu aktivitas sinaptik setelah strok. Neurotransmitter yang

dianggap berperan pada efikasi sinaps adalah BDNF. (Murphy et al, 2009)

4. Hubungan terapi cermin terhadap reorganisasi dan plastisitas neuron

pada pasien strok iskemik

Melihat stimulasi pada cermin dapat menyebabkan penjalaran sensasi

terhadap tangan yang lain. Dengan melihat ekstremitas yang sehat

melakukan gerakan motorik fungsional motorik di depan cermin seolah-olah

sebagai anggota gerak yang paresis, akan mempertahankan umpan balik

sensoris melalui input visual ke otak sehingga tidak memfasilitasi fenomena

learned nonuse. Persepsi visual dari gerakan mengkativasi korteks parietal

pada sisi lesi, kemudian memproyeksikan informasi visual-motor ke sulcus

anterio intraparietal dari gyrus occipital superior ke cortex parietal posterior.

Dorsal frontal area berperan menyediakan informasi terkait gerakan dan

36
persepsi. Setelah menerima input visual-motorik, korteks somatosensorik

primer pada lokasi lesi terkesitasi. Sesi mirror therapy yang berulang

mereorganisasi daerah premotor bilateral untuk menetapkan komunikasi

fungsional dengan korteks motorik primer kontralateral. Peningkatan

komunikasi callosal dari sisi lesi ke sisi sehat menyeimbangkan inhibisi

interhemisfer. Cerebellum bilateral juga aktif dan meningkatkan kontrol

motorik dan motor learning Mirror therapy berpotensi memicu perbaikan

motorik pada pasien pasca strok. Selain itu mirror therapy juga memicu

perbaikan aktivitas harian. Beberapa penelitian telah menginvestigasi

pengaruh mirror therapy terutama pada ekstremitas atas. (Yavuzer et al,

2008)

Gambar 5: Model mekanisme MT, ilustrasi MT pada hemiparese kiri, subyek

menggerakan lengan kanan dan mempersepsikan sebagai lengan kiri

(Arya KN, 2016)

37
Penilaian Perbaikan Motorik

Terdapat dua buah tes yang dianggap sensitif terhadap perubahan motorik lengan

pada fase akut strok yaitu ARAT dan FMA. Kelebihan menggunakan ARAT yaitu

tingkat kesulitan dari setiap item bertingkat mulai dari yang tersulit sampai yang

termudah sehingga waktu yang dibutuhkan lebih sedikit meskipun kelihatan

kompleks tapi mudah untuk dilakukan.

 Action Research Arm Test (ARAT)

ARAT merupakan tes observasional yang digunakan untuk

menentukan fungsi motorik lengan. ARAT dikembangkan oleh Lyle pada

tahun 1981 sebagai modifikasi dari Upper Extremity Function Test untuk

menilai proses pemulihan pada lengan akibat kerusakan pada tingkat kortikal.

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan ARAT pada penderita strok

sekitar 8-10 menit dan tidak diperlukan latihan khusus maupun peralatan

standar untuk melakukanya. Tes ini terdiri dari 19 item yang dikelompokkan

dalam 4 subtes meliputi grasp, grip, pinch dan gross arm movement. Setiap

item akan dinilai dari 0 sampai 3 sehingga rentang skor ARAT adalah 0-57.

Jika subjek dapat melakukan item yang pertama maka diharapkan subjek

juga dapat melakukan tes berikutnya yang lebih mudah sehingga subjek tidak

perlu melakukan yang berikutnya.Demikian pula jika subjek tidak mampu

melakukan item yang paling mudah, maka subjek juga tidak perlu melakukan

beberapa item lainnya.

Reliabilitas ARAT menurut penelitian Van Lee et al tahun 2001

terhadap penderita strok cukup tinggi yaitu intra-class correlation Convention.

(ICC) >98% dengan 95% CI 0,02- 1,48, reliabilitas intrater (r-0,99) dan

38
retest(r-0,98) dan juga telah memperlihatkan validitas yang sama dengan tes

yang lain seperti Fugl-Mayer Assesment (FMA). (Mc Donnel, 2008).

39
Kerangka Teori

Pelepasan Glutamat

40
Kerangka Konsep

Strok Iskemik
-Usia
Terapi -Jenis Kelamin
standar -Faktor resiko
Reperfusi Memulihkan aliran darah
Strok strok
Neurotropik
Iskemik Memperbaiki fungsi sel
rTMS

Terapi Motor Learning


standar -Reorganisasi Fungsi
Input visual kortikal
strok Motorik
iskemik+ Mirror Neuron -Sinaptogenesis (ARAT)
Mirror -Sprouting akson dan
therapy + Eksitabilitas dendrite
rTMS korteks cerebri -Neuroplastisitas

KETERANGAN

Variabel Tergantung

Variabel Bebas

Variabel Antara

Variabel Kendali

Hubungan Variabel Bebas Hubungan Variabel Antara

Hubungan Variabel Tergantung Hubungan Variabel Kendali

41
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah uji klinis dengan

rancangan randomized pretest-posttest- control group.

1. Subjek Penelitian

a. Populasi penelitian

- Populasi target :Pasien strok iskemik.

- Populasi terjangkau :Pasien strok iskemik yang dirawat di ruang

perawatan neurologi di RS Wahidin Sudirohusodo dan

jejaring RS pendidikan pada bulan ………

b. Sampel Penelitian

Sampel diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi. Sampel diperoleh berdasarkan urutan masuknya ke rumah sakit

(consecutive sampling) selama kurun waktu yang telah ditetapkan sampai

besar sampel minimal terpenuhi.

c. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Penderita strok iskemik dengan onset 1 hari hingga 3 bulan

2. Kekuatan motorik ≥3

3. Berusia 35 sampai 70 tahun

4.Menyatakan tidak berkeberatan disertakan dalam penelitian dengan

menandatangani surat pernyataan persetujuan oleh penderita/ wali penderita.

42
5. Serangan pertama pada satu sisi atau serangan kedua pada sisi yang

berlawanan

d. Kriteria eksklusi

Subjek dikeluarkan dari penelitian bila:

1. Penderita dengan gangguan kesadaran

2. Penderita dengan gangguan pendengaran

3. Penderita dengan gangguan penglihatan

4. Penderita dengan depresi berat

5. Penderita dengan strok pada batang otak

6. Penderita dengan strok emboli

7. Penderita dengan afasia

e. Kriteria drop out

Kriteria tidak dapat dilanjutkan atau DO (drop out) sebagai sampel penelitian

sebagai berikut:

1. Pada saat penelitian berlangsung pasien tidak mengikuti sesi latihan mirror

therapy lebih dari dua kali.

2. Pada saat penelitian berlangsung pasien tidak mengikuti sesi repetitive

Transcranial Magnetic Stimulation.

3. Pasien meninggal dunia.

4. Mengundurkan diri sebagai sampel, karena alasan tertentu.

f. Perkiraan besar sampel

2
n1 =n2 2 (Zα+Zβ)xs

x1-x2

43
Keterangan

n= Besar sampel masing-masing kelompok

s= Simpangan baku

Zα = Kesalahan dalam uji hipotesis (1,960)

Zβ =Kekuatan untuk menolak hipotesis nol (0,842)

X1-X2 = perbedaan yang dianggap berarti

Dengan menggunakan rumus di atas maka besar sampel berjumlah ... orang

(dibulatkan menjadi ... orang. Total sampel ... orang.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo dan jejaring RS pendidikan,

Makassar, dilaksanakan dari…………… sampai …………………..

C. Cara Pengumpulan Data

1. Cara Kerja

- Penelitian dilakukan pada sampel yang memenuhi kriteria inklusi

- Data diperoleh dengan cara primer

- Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisa statistik

2. Alat dan Bahan

a. Formulir informasi untuk subjek penelitian dan surat kesediaan untuk

mengikuti penelitian

b. Formulir identitas dan data pemeriksaan fisik subjek penelitian

c. Seperangkat alat-alat untuk latihan mirror therapy

- Cermin datar ukuran 25x20 inchi

- Meja

- Kursi tanpa sandaran lengan

44
d. Seperangkat alat untuk menilai skor ARAT berupa balok kayu dengan

berbagai ukuran, permen marble, bola, kelereng, gelas, koin, pipa, mur, baut.

e. Seperangkat alat untuk dilakukan repetitive Transcranial Magnetic Stimulation

Gambar 6: Persiapan alat Mirror Therapy dan ARAT

45
Gambar 7: Alat rTMS

3. Cara Latihan:

Mirror Therapy

a. Sebelum melakukan latihan mirror therapy diberikan penjelasan kepada

subjek:

-Pasien akan melakukan latihan dengan bantuan cermin dengan

ukuran 20x25 inchi, selama latihan pasien harus konsentrasi

-Latihan MT terdiri dari 2 sesi, masing-masing 15 menit, dengan

istirahat selama 5 menit diantara sesi.

-Pasien diminta melihat bayangan tangan yang sehat pada cermin,

pasien membayangkan seolah olah tangan yang paresis dapat

bergerak seperti tangan yang sehat. Pasien tidak diperbolehkan

melihat tangan sisi yang sakit di balik cermin.

-Pasien diinstruksikan untuk melakukan gerakan dasar secara simultan

pada kedua anggota gerak atas, gerakan diulang dengan kecepatan

46
konstan 1 detik/ gerakan. Gerakan tangan dapat berupa abduksi-

adduksi, pronasi-supinasi, fleksi-ekstensi tangan.

-Jika pasien tidak bisa menggerakan tangan yang sakit pasien diminta

berkonsentrasi dan membayangkan seolah olah pasien mampu

menggerakan tangan yang sakit dengan melihat bayangan pada

cermin.

b. Posisi pasien saat melakukan mirror therapy pasien duduk di kursi

menghadap meja, kedua tangan dan lengan pasien diletakkan di atas meja.

Cermin diletakkan pada bidang midsagital di depan pasien, tangan sisi

paresis diposisikan di belakang cermin, tangan sisi sehat diletakkan di depan

cermin, sehingga bayangan cermin tampak seolah-olah sebagai tangan yang

sakit.

- Pada hari pertama pasien diajarkan untuk latihan adaptasi, jika sudah

mampu akan diberikan latihan gerak dasar, jika belum bisa, pasien

akan diberikan latihan adaptasi hingga pasien mampu berkonsentrasi

melihat bayangan pada cermin

- Pasien akan diberikan latihan gerak dasar, jika sudah mampu makan

akan diberikan latihan gerakan kombinasi (gabungan gerakan dasar).

- Selama latihan, terapis mengamati respon dan keluhan pasien. Jika

pasien merasa lelah, atau nyeri pada tangan sisi paresis maka latihan

akan dihentikan, dipersilahkan istirahat, dan dilanjutkan latihan pada

sesi berikutnya.

c. Terapis mengajarkan gerakan dengan memberikan contoh langsung sambil

menyebutkan nama gerakan tersebut. Setiap mengajarkan gerakan baru,

terapis duduk di sebelah pasien menghadap cermin, lalu memberikan contoh

47
gerakan bersama instruksi verbalnya, kemudian pasien diminta menirukan

hingga mampu melakukan sendiri

Gambar 8 : Langkah-langkah Mirror Therapy

Prosedur repetitive Transcranial Magnetic Stimulation

- Prosedur ini berlangsung selama kurang lebih 30 menit hingga 1 jam per

sesinya.

- Jumlah sesi terapi menyesuaikan dengan tingkat keparahan dan jenis

penyakit yang diderita (biasanya 5 hari per minggu, durasi hitungan minggu -

bulan). Dalam penelitian ini dilakukan 10 sesi, 30 menit setiap sesi, selama 10

hari

- Saat prosedur berlangsung, pasien diposisikan duduk dan kumparan

elektromagnetik akan dipasangkan didekat kepala pasien.

48
- Kemudian gelombang magnetic tersebut akan bergerak menuju bagian otak

yang dituju dan menginduksi saraf-saraf tertentu

4. Prosedur penelitian

a. Pada hari pertama, peneliti memberikan penjelasan mengenai prosedur

penelitian, juga dilakukan:

- Anamnesa identitas pasien

- Riwayat strok: jenis strok, letak sisi paresis, lama awitan strok

-Pemeriksaan fisik

-Apabila pasien memenuhi syarat dalam kriteria inklusi dan eksklusi, serta

bersedia berperan serta dalam penelitian, disaksikan oleh anggota keluarga dan

peneliti melakukan penilaian awal skor ARAT.

b.Subjek penelitian akan diberikan terapi standar sesuai prosedur dan rTMS+

terapi cermin pada pasien strok iskemik.

c.Pada kelompok penelitian akan diberikan terapi cermin satu kali sehari pada

pagi hari. Terapi cermin dilakukan selama 30 menit dibagi menjadi 2 sesi,

diselingi istirahat selama 5 menit. Terapi diberikan sebanyak 10 kali selama 10

hari.

d.Peneliti akan mengukur nilai ARAT yang kedua kali yaitu pada hari ke 11.

e.Dalam rentang waktu hari ke-11 hingga hari ke-31 diberikan terapi rTMS

selama 2 sesi yaitu sesi pertama selama 5 hari diselingi istirahat selama 2 hari.

Kemudian dilanjutkan sesi ke-2.

f. Peneliti akan mengukur nilai ARAT yang ke-3 yaitu pada hari ke-23 sampai

dengan 43.

g.Data yang didapat dicatat, kemudian dianalisis.

D. Identifikasi Variabel

49
1. Variabel bebas (Independent) adalah

-Terapi standar strok iskemik tanpa terapi cermin dan rTMS

- Terapi standar strok iskemik +terapi cermin + rTMS

2. Variabel tergantung (Dependent) adalah fungsi motorik lengan:

-membaik

-tidak membaik

3. Variabel antara mekanisme perubahan fungsi motorik penderita strok iskemik

akut yang disertai terapi cermin + rTMS dan yang tidak disertai terapi cermin

maupun rTMS.

4. Variabel perancu adalah ukuran lesi dan letak lesi

E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Strok iskemik akut adalah strok yang terjadi akibat penyumbatan/ penyempitan

pembuluh darah otak didiaganosis berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisis

neurologi yaitu ada defisit neurologi terjadi secara tiba-tiba saat istirahat,

kesadaran penderita tetap baik, tidak disertai muntah maupun nyeri kepala, dan

diidentifikasi adanya faktor resiko.

Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan CT Scan kepala yaitu terdapat lesi

hipodens dibedakan atas:

- strok iskemik: bila anamnesis, pemeriksaan fisik, dan CT scan kepala positif

- bukan strok iskemik : bila hanya 1 saja yang positif

2.. Defisit neurologis yaitu terjadi kelemahan/ kelumpuhan separuh badan sisi

kanan atau kiri, terjadi afasia, terjadi gangguan sensorik berupa hemihipesteis,

atau hemianestesia sisi kanan atau kiri diketahui berdasarkan pemeriksaan fisis

neurologi. Dibedakan atas:

- Ada, bila terdapat satu defisit neurologis tersebut

50
- Tidak, bila tidak ditemukan defisit neurologis tersebut

3. Perubahan fungsi motorik adalah perbedaan skor ARAT sebelum dan sesudah

terapi, yang dibedakan dengan:

- Membaik: bila sesudah terapi terjadi peningkatan skor ARAT

- Tidak membaik: bila sesudah terapi skor ARAT tetap atau menurun.

4. ARAT adalah suatu tes untuk mengetahui fungsi motorik pada lengan yang

terdiri dari beberapa subtes meliputi grasp, grip, pinch, dan gross

movementdengan rentang skor 0-57.

5. Mirror therapy adalah latihan yang akan diberikan pada anggota gerak atas

dengan menggunakan cermin, sebagai tambahan terapi rehabilitasi standar.

Sebuah cermin diletakkan di bidang midsangital di depan pasien, tangan sisi

paresis diletakkan di belakang cermin sedangkan sisi yang sehat di depan

cermin. Bayangan tangan yang sehat tampak seolah-olah sebagai tangan

yang sakit yang dapat bergerak. Kemudian pasien diinstruksikan untuk

melakukan latihan pergerakan pada kedua anggota gerak atas berupa fleksi-

ekstensi, pronasi-supinasi, abduksi-adduksi secara simultan dengan

kecepatan konstan, selama tiga puluh menit, satu sekali sehari selama

sepuluh hari.

6. Terapi standar strok iskemik adalah terapi strok iskemik sesuai dengan

protokol pengobatan strok di Departemen Ilmu Penyakit Saraf antara lain

adalah pemberian obat-obatan dan rehabilitasi medik.

7. Repetitive Transcranial magnetic stimulation adalah metode terapi non invasif

untuk stimulasi otak dengan menggunakan magnet yang ditargetkan pada

suatu area tertentu di otak. Pengaplikasian stimulasi berulang dapat

memberbaiki komunikasi antar sel melalui potensiasi jangka panjang. Pada

51
pelaksanaannya tidak dibutuhkan anestesi seperti pada terapi ECT, sehingga

dapat menurunkan efek samping dari obat-obatan dan memiliki risiko yang

jauh lebih rendah. Prosedur ini berlangsung selama kurang lebih 30 menit

hingga 1 jam per sesinya. Jumlah sesi terapi menyesuaikan dengan tingkat

keparahan dan jenis penyakit yang diderita (biasanya 5 hari per minggu,

durasi hitungan minggu - bulan). Saat prosedur berlangsung, pasien

diposisikan duduk dan kumparanelektromagnetik akan dipasangkan didekat

kepala pasien. Kemudian gelombang magnetik tersebut akan bergerak

menuju bagian otak yang dituju dan menginduksi saraf-saraf tertentu.

8. Jenis kelamin adalah identitas diri sampel penelitian sesuai biologis dan

fisiknya, dibedakan atas laki-laki dan perempuan

9. Umur adalah usia sampel penelitian dihitung sejak tanggal lahir tercantum

pada kartu identitas atau rekam medis smapai dengan waktu penelitian

dinyatakan dalam tahun

10.Lokasi lesi adalah lokasi infark pada hemisfer kiri atau kanan berdasarkan

pemeriksaan CT Scan kepala

11. Faktor risiko diabetes mellitus (DM) adalah riwayat dan atau hasil

pemeriksaan kadar gula darah sewaktu plasma vena > 200mg/dl.

Pemeriksaan HbA1C>6,5%. Manifestasi klinis antara lain poliuria, polidipsi,

polofagia, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan dan

pemeriksaan.

a. DM: bila riwayat positif dan GDS >200mg/dl atau riwayat tidak jelas tetapi

GDS>200mg/dl dan HbA1C>6,5%

b. Tidak DM bila tidak ada riwayat, GDS<200mg/dl, HbA1C<6,5

52
12. Faktor resiko Hipertensi diketahui dari anamnesis dan pemeriksaan tekanan

darah yaitu adanya peningkatan atau riwayat peningkatan tekanan darah

sistolik> 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg

a. Ada faktor resiko hipertensi,

- ada riwayat hipertensi dan atau pada pemeriksaan tekanan darah

meningkat

b. Tidak ada hipertensi

- tidak ada riwayat hipertensi dan pada pemeriksaan tidak ada

peningkatan tekanan darah.

F. Analisis Data dan Uji Statistik

Data yang terkumpul diolah melalui analisa statistik menggunakan program

SPSS. Untuk melihat perbandingan hasil terapi diantara kedua kelompok

pelaksanaan digunakan uji T tidak berpasangan dengan batas kemaknaan α=

5% (p<0.05)

G. Izin Penelitian dan Kelaikan Etik

Dalam penelitian ini, semua subjek penelitian diberi penjelasan tentang

maksud, tujuan dan kegunaan penelitian, termasuk resiko yang dapat terjadi.

Setelah mendapat penjelasan, penderita/ walinya menandatangani Surat

Persetujuan Peserta Penelitian dan setiap tindakan dilakukan atas seizin

serta sepengetahuan penderita atau wali melalui lembar informed consent.

53
H. Alur Penelitian
Pasienbaru melalui IGD, bangsal,
konsul antar ruangan

Diagnosis klinis strok, anamnesis, pemeriksaan fisik, CT Scan kepala

Strok Iskemik

Kriteria Inklusi

Kriteria Eksklusi

Skor ARAT 1

Terapi standar dengan mirror therapy10 Terapi standar tanpa terapi cermin maupun rTMS
sesi (30 menit) selama 10 hari

Kriteria Drop Out

Hari ke-11

Skor ARAT 2

Terapi standar + rTMS2 sesi (30 menit) Terapi standar tanpa terapi cermin maupun rTMS
selama 10 hari rentang waktu 3 minggu

Kriteria Drop Out


54
Hari ke-23-43

Skor ARAT 3

Analisis data

BAB IV
Penyajian hasil akhir penelitian
HASIL PENELITIAN

Penelitian telah dilakukan terhadap ... orang penderita strok iskemik akut,

yang terdiri dari ... orang baik pada kelompok penelitian maupun kelompok kontrol.

Untuk variabel jenis kelamin pada kelompok penelitian terdiri dari ... orang laki-laki

dan ... orang perempuan, sementara pada kelompok kontrol terdiri dari ... orang

lakik-laki dan ... orang perempuan. Kelompok usia terbanyak berada pada

kelompok... tahun yaitu sebanyak ... orang. Kelompok onset terbanyak yaitu berada

pada onset ke-...yaitu sebanyak ...orang Seluruh penderita yang jadi sample adalah

orang yang tangkas dengan tangan kanan (right-handed). Secara keseluruhan sisi

kelainan motorik tidak jauh berbeda antara sisi kanan dan sisi kiri (.... sisi kanan, ...

sisi kiri). Pada kelompok penelitian didapatkan ... orang mengalami kelainan motorik

pada sisi kanan dan ...orang pada sisi kiri, pada kelompok kontrol yang mengalami

kelainan motorik pada sisi kanan ... orang dan ... orang pada sisi kiri. Berdasarkan

data menurut pendidikan, hanya .... orang yang tidak pernah sekolah dan selebihnya

... orang pernah sekolah. Untuk mengetahui apakah distribusi data normal atau

tidak, maka digunakan uji normalitas berupa Kolmogorv-Smirnov (sampel lebih dari

50) dan Shapiro-Wilk (sampel kurang dari 50).

Tabel 1: Karakteristik dan Uji Homogenitas Sampel Penelitian

55
Kelompok Penelitian
Variabel Terapi standar+ Terapi standar
terapi cermin+ tanpaterapi cermin Total P
rTMS mapun rTMS
(n= ……) (n=………….)
n % N % N %
Jenis
Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kelompok
Umur
(tahun)
<45
45-54
55-64
>65
Faktor
Resiko
DM
Hipertensi
DM+
Hipertensi
Onset
2
3
4
5
6
Sisi
Gangguan
Motorik
Sisi Kanan
Sisi Kiri
Tingkat
Pendidikan
Tidak
Bersekolah
SD
SMP
SMA
Sarjana
Pada penelitian ini menggunakan Shapiro-Wilk (jumlah sample ...). Tidak ditemukan

perbedaan bermakna secara statistik (p ≥ 0,05) pada keseluruhan karakteristik

umum sampel, yang artinya semua data yang digunakan, bersifat homogen

sehingga pengolahan data dapat dilanjutkan. Terdapat perbedaan selisih rata-rata

56
skor ARAT menurut jenis kelamin antara kelompok penelitian dan kelompok kontrol.

Pada kelompok penelitian, selisih rata-rata Skor ARAT pada laki-laki sebesar ... dan

perempuan sebesar ...., sedangkan rata-rata selisih Skor ARAT pada kelompok

kontrol yaitu sebesar ..... untuk laki-laki dan ... untuk perempuan. Selisih rata-rata

Skor ARATmenurutjeniskelamin ini tidak berbeda secara bermakna secara statistik

(p ≥ 0,05) baik pada kelompok penelitian maupun kelompok kontrol.

Tabel 2. Selisih rata-rata Skor ARAT menurut jenis kelamin


Terapi standar + terapi Terapi Standar tanpa terapi Min
cermin+ rTMS
Variabel cermin + rTMS (n=………..)
(n=…....)
Mean Median Min Max Mean Median Min
(SD) (SD)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Nilai p

Pada kelompok penelitian yang mengalami gangguan motorik sisi kanan selisih rata-

rata Skor ARAT sebesar ...., dan pada sisi kiri sebesar .... Sedangkan pada

kelompok kotrol, selisih rata-rata Skor ARAT dengan gangguan motorik sisi kanan

sebesar...dan pada sisi kiri sebesar .... selisih rata-rata Skor ARAT menurut

gangguan motorik sisi kanan dan kiri tidak bermakna secara statistik (p ≥ 0,05), baik

pada kelompok penelitian maupun kelompok kontrol.

Tabel 3 Selisih rata-rata Skor ARAT menurut sisi gangguan motorik

Terapi standar + terapi Terapi standar tanpa terapi Min


cermin+ rTMS
Variabel cermin maupunrTMS
(n=…....)
(n=………..)
Mean Median Min Max Mean Median Min
(SD) (SD)
Sisi
Kerusakan
Motorik

57
Sisi Kanan
Sisi Kiri
Nilai p

Pada kelompok penelitian maupun kelompok kontrol, gangguan motorik terbanyak


adalah pada sisi kanan dibandingkan sisi kiri, walaupun dengan perbedaan yang
tidak bermakna.

Pada penelitian ini pemeriksaan Skor ARAT dilakukan sebanyak dua kali yaitu
sebelum dan sesudah terapi. Rata-rata Skor ARAT sebelum dan sesudah terapi,
serta persentase tingkat pemulihan motorik pada kelompok terapi standar rTMS
masing-masing sebesar... dan.... atau lebih tinggi...%, sedangkan pada kelompok
mirror therapymasing-masing sebesar.... dan ....

Tabel 4: Skor ARAT pre-therapy dan post-therapy kedua kelompok

Terapi Standar +terapi Terapi Standar tanpa terapi Min


Variabel cermin + rTMS(n=…....) cermin maupunrTMS
(n-…)
Mean Median Min Max Mean Median Min
(SD) (SD)
Waktu
Pre
Post
Nilai p

Skor ARAT sebelum dan sesudah terapi ini bermakna secara statistik (p<0,05), baik

pada kelompok penelitian maupun kelompok kontrol

Grafik 1. Skor ARAT pre dan post terapi pada kelompok mirror therapy

58
Pada grafik 1 menunjukkan selisih skor ARAT pre dan post terapi pada kelompok
yang mendapat mirror therapy, didapatkan nilai mean sebelum terapi adalah ....(...)
dan setelah terapi adalah ... (...) Uji T berpasangan memperlihatkan nilai (p<0,05),
sehingga terdapat perbedaan luaran klinis yang bermakna sebelum dan setelah
terapi standar rTMS dengan mirror therapy.

Grafik 2: Skor ARAT pre dan post terapi pada kelompok terapi standar

Pada grafik 2 menunjukkan selisih Skor ARAT pre dan post terapi pada kelompok
yang mendapat terapi rTMS, didapatkan nilai mean sebelum terapi adalah ... (...)
dan setelah terapi adalah ...(...). Uji T berpasangan memperlihatkan nilai p<0,05
sehingga terdapat perbedaan luaran klinis yang bermakna sebelum dan setelah
terapi standar

Pada kelompok penelitian rata-rata selisih Skor ARAT sebesar... dan pada kelompok
kontrol sebesar ....rata-rata selisih Skor ARAT pada kedua kelompok tersebut dinilai
bermakna secara statistik (p<0,05).

Tabel 5: Perbandingan rata-rata selisih Skor ARAT antara kelompok penelitian dan
kelompok kontrol

Variabel Nilai Selisih ARAT


Nilai
Kelompok Mean (SD) Median Min Max
Terapi
Standarstrok
iskemik +
terapi
cermin+
rTMS (n=)
Terapi
Standar
strok
iskemik

59
tanpa terapi
cermin
maupun
rTMS(n=)

Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok penelitian dan kelompok kontrol

dengan menggunakan uji T tidak berpasangan didapatkan nilai P <0,05 (.....). Pada

kelompok penelitian, selisih rata-rata Skor ARATsebesar ....±... dan pada kelompok

kontrol sebesar ....±....Perbedaan perubahan subitem skor ARAT antara kelompok

terapi standar dan mirror therapy terutama pada subitem grasp dan gross movement

yaitu sebesar ....±..., pada kelompok terapi standar adalah ....±...

Tabel 6: Perbandingan rata-rata selisih skor subitem ARAT antara kelompok

penelitian dan kelompok kontrol

Variabel Terapi Standar strok iskemik Terapi Standar strok iskemik


tanpa terapi cermin maupun
+ terapi cermin+ rTMS(n=) Nilai
rTMS
(n=)
Kelompok Mean (SD) Median Min Max
Sub Item
Grasp
Grip
Pinch
Gross
Movement

60
BAB V

PEMBAHASAN

61
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

1. Terdapat perbaikan luaran klinis penderita strok iskemik dengan terapi

standar disertai terapi cermin dan rTMS(Repetitive Transcranial Magnetic

Stimulation).

2. Terdapat perbaikan luaran klinis penderita strok iskemik dengan terapi

standar tanpa disertai terapi cermin maupun rTMS.

3. Didapatkan perbaikan kekuatan motorik kelompok penderita strok

iskemik yang menggunakan terapi cermin dan rTMS lebih baik

dibandingkan dengan penderita strok iskemik yang hanya mendapatkan

terapi standar tanpa disertai terapi cermin maupun rTMS.

B. Saran

1. Mirror Therapy dan Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation dapat

direkomendasikan sebagai terapi tambahan untuk meningkatkan

perbaikan motorik lengan pada pasien strok iskemik.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi proses pemulihan motorik pada penderita strok antara

lain faktor motivasi, lokasi dan luas lesi, ketangkasan motorik, dan jenis

kelamin

62
DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyid, Soertidewi L. 2007. Unit Stroke: Manajemen Stroke Secara


Komprehensif. Jakarta . Balai Penerbit FKUI.
Arya KN. 2016. Underlying Neural Mechanism of Mirror Therapy: Implications for
motor Rehabilitation in Stroke. Neurol India. Vol 64: 38-44.
Arvidsson A, Collin T, Kirik D, Kokaia Z, Lindvall O. 2012. Neuronal Replacement
from Endogenous Precursors in The Adult Brain After Stroke. Nat Med. 8:963-70.
Bintang AK. 2014. Hubungan Polimorfisme Gen Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF) 936 C > T dan -2578 C > α dengan kadar VEGF Serum dan Luaran Klinis
Penderita Strok Iskemik Akut. Disertasi. Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Blesneag AV, Popa L, et Al. 2015. Non-invasive Brain Stimulation in Early
Rehabilitation after Stroke. Department of Clinical Neurosciences “Iuliu Hatieganu”
University of Medicine and PHarmacy, Cluj-Napoca, Romania. (vol 8), 52-56.
Braun s, Rothgangle AS. 2014.Mirror Therapy: Practical Protokol for Stroke
Rehabilitation; München University. Available
at:https://www.researchgate.net/publication/253235147
Brewer L, Horgan F, Hickey A, Williams D. 2013. Stroke Rehabilitation: Recent
Advances and Future Therapies. QJM. 106(1):11-25.
Brown F. 2013. Regenerative Neurology. The Future(2):13-9.
Chen J, Chopp M. 2006. Neurorestorative Treatment of Stroke: Cell and
Pharmacological Approaches. NeuroRx. 3:466-73.
Chervyakov A V et Al. 2015. Possible mechanisms underlying the therapeutic effects
of transcranial magnetic stimulation. Frontiers in Human Neuroscience Journal :
Moscow. Volume 9: Article 303.
Choo S S, Strafella A. 2009. rTMS of the Left Dorsolateral Prefrontal Cortex
Modulates Dopamine Release in the Ipsilateral Anterior Cingulate Cortex and
Orbitofrontal Cortex. Toronto. August 2009, Volume 4: Issue 8, e6725.journal
pone.
Costa VD, Silviera JC, et Al. 2016. Effects of Mirror Therapy on The Motor and
Functional Recovery of Post-Stroke Paretic Upper Limbs: A Systematic Review.
Brazil.

63
Dionfisio A, Duarte IC, et Al. 2018. The Use of Repetitive Transcranial Magnetic
Stimulation for Stroke Rehabilitation: A Systematic Review.
Elritbi, AE; NahasNE, et Al. 2010. Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation
Treatment in Post Stroke Depression. Neuropsychiatry Department, Faculty of
Medicine, Ain Shams University, Cairo, Egypt.17(1):9-14
Endres M, Dirnagl U, Moskowitz MA. 2008. The ischaemic cascade and mediators of
ischaemic injury. In Fisher M, ed. Handbook of Clinical Neurology. Vol 92 (3 rd
series).
Ginsberg L. 2007. Lecture Notes Neurologi. Edisi kedelapan. Penerbit Erlangga
Medical Series. Jakarta.
Hadori S. 2016. Stroke non Hemoragik case report. Lampung.
Jinhong K, Jongeun Y. 2018. Effects of High-Frequency Repetitive Transcranial
Magnetic Stimulation Combined with Task-Oriented Mirror Therapy Training on
Hand Rehabilitation of Acute Stroke Patients. Medical Science Monitor: Clinical
Research. Seoul. 743-750.
Jin K, Wang X, XieL, Mao XO, Zhu W, Wang Y, et al. 2006.Evidence For Stroke-
Induced Neurogenesis in The Human Brain. Proc Natl Acad Sci USA.
103(35):13198-202.
Kemenkes. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI. Jakarta.
Khedr E M, et al. 2009.Long‐term Effect of Repetitive Transcranial Magnetic
Stimulation on Motor Function Recovery After Acute Ischemic Stroke. Available at:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1600-0404.2009.01195.x
Lee JK, Kim JE, Sivula M, Strittmatter SM.2004. Nogo Receptor Antagonism
Promotes Stroke Recovery by Enhancing Axonal Plasticity. J Neurosci.
24(27):6209-17.
Lucas, TH; Carey JR, et Al. 2013.New Modalities of Brain Stimulation for Stroke
Rehabiliation. Department of Neurosurgery; University of Pennsylvania;
Philadelphia; USA.(224): 335-358.
Machyono. 2017. Efektifitas Mirror TherapyTerhadap Perbaikan Motorik Lengan
Pasien Stroke Iskemik Akut. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanudin.
Makassar.

64
Marler JR, Brott T, Broderick J, Kothari R, O’Donoghue M, Barsan, et al. 1995.
Tissue Plasminogen Activator for Acute Ischemic Stroke. N Engl J Med.
333(24):1581-7.
McDonnel M. 2008. Action Research Arm Test. Aus J Physis, 54.pp 220-1.
Menon A. 2010. MIRROR THERAPY.Available at: www.strokengine.ca
Miniussi C, Rossini PM. 2011.Transcranial Magnetic Stimulation Incognitive
Rehabilitation. Neuropsychological Rehabilitation.21 (5), 579–601. Roma.
Moe MC, Varghese M, Danilov AI. 2005. Multipotent Progenitor Cells from the Adult
Human Brain: Neurophysiological Differentiation to Mature Neurons. Brain. 128(Pt
9):2189-90.
Murphy T, Corbett D. 2009. Plasticity During Stroke Recovery: From Synapse to
behavior. Nature reviews neuroscience. Vol 10: 861-871
NINDS. 1995. Tissue Plasminogen Activator for Acute Ischemic Stroke. The national
institute of neurological disorders and stroke rt-PA stroke study group. N Engl J
Med.333:1581
Pan LY. 2014. “An Evidence-based Guideline of Using Mirror Therapy to Promote
Motor Function Recovery of Upper Limb in Stroke Patient”. Hongkong. 36(4):847-
52.
Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, Hall WC, LaMantia AS, McNamara JO, et al.
2004. Neuroscience. 3rd ed. Sunderland: Sinauer.
Ropper AH, Brown RH. 2005.Adams n Victor’s: Principles of Neurology. Eight
edition. Mc Graw Hill: Medical Publishing Division. USA.
Reynolds BA, Weiss S. 1992. Generation ofNeurons and Astrocytes From Isolated
Cells of the Adult Mammalian Central Nervous System. Science. 255(5052):1707-
10.
Rosamond W, Flegal K, Friday G, Furie K, Go A, Greenlund K, et al. 2007.Heart
Disease and Stroke Statistics – 2007 Update: A Report From The American
Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics
SubcommitteeCirculation.115(5):e69-e171.
Saadati H, Abdollahi I, et Al. 2015. The Effect of rTMS with Rehabilitation on Hand
Function andCorticomotor Excitability in Sub-Acute Stroke. University of Social
Welfare and Rehabilitation Sciences, Tehran: Iranian Rehabilitation Journal.
13(4);46-52.

65
Santacana M, Uttenthal LO, Bentura ML, Fernandz AP, Serrano J, Martinez, et al.
1998. Expression of Neuronal Nitric Oxide Synthase During Embryonic
Development of The Rat Cerebral Cortex.Brain Res Dev Brain Res.111(2):205-22.
Sastroasmoro S, Ismael S. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-
3. Sagung Seto.
Sidharta P, Mardjono M. 2014. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Soertidewi L, Misbach J. 2011. Epidemiology Stroke. Dalam: Misbach J. Stroke
Aspek Diagnosis, Patofisiologi, Manajemen. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. Hal:
1-11.
Soertidewi L. 2011. Pemantauan dengan skala stroke. Dalam: Misbach J. Stroke
aspek diagnosis, patofisiologi, manajemen. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. Hal:
301-15.
Stephenson J. 1998. Rising Stroke Rates Spur Efforts to Identify Risks, Prevent
Disease. J Am Med Assoc. 1998;279(16):1239-40.
Takeuchi N, Izumi SI. 2013. Rehabilitation with Poststroke Motor Recovery: A
Review with a Focus on Neural Plasticity. Stroke Research and Treatment 2013.
Article ID 128641.
Wrann C D, et all. 2013.Exercise Induces Hippocampal BDNF through a PGC-
1α/FNDC5 Pathway. NIH Public Access. Cell Metab. 18(5): 649–659. USA.
Yavuzer G, Selles R, Sezer N et al. 2008.Mirror therapy improves hand function in
subacute stroke: A randomized controlled trial. Arch Phys Med Rehabil, 89(3):
393–98.
Zhang L, Zhang RL, Wang Y, Zhang C, Zhang ZG, Meng H, et al. 2013.Functional
Recovery in Aged and Young Rats After Embolic Stroke: Treatment with a
phosphodiesterase type 5 inhibpra C, Tamaria Sl. Minor Therapy in Stroke
Rehabilitation, New Delhi. 660-2.

66
LAMPIRAN 1
Nama :
ACTION RESEARCH Usia :
ARM TEST (ARAT) Tanggal :

Onset :

Kel.Motorik :

No.RM :

Instruksi

Terdapat 4 jenis subtest. Grasp, Grip, Pinch dan Gross Movement

 Jika subyek dapat melakukan item yang pertama, maka tidak perlu melakukan item
berikutnya dan subyek mendapatkan nilai maksimal.
 Jika subyek gagal melakukan item yang pertama dan kedua, maka subyek mendapat
nilai nol dan tidak perlu melanjutkan ke item berikutnya.
 Hal yang lainnya, subyek melakukan semua item.

Aktivitas Skor Awal Skor Akhir


Grasp
1. Mengangkat sebuah balok kayu berbentuk kubus
ukuran 10cm (jika skor=3, total=18 dan lanjut ke item
Grip)
2. Mengangkat sebuah balok kayu berbentuk kubus
ukuran 2,5cm (jika skor =0, total =0 dan lanjut ke item
Grip
3. Balok kayu, kubus, ukuran 5cm
4. Balok kayu, kubus, ukuran 7,5cm
5. Bola, diameter 7,5cm
6. Batu, ukuran 10x2,5x1cm
Grip
1. Menuangkan air dari satu gelas ke gelas lain (jika skor
=3 total =12 dan lanjut ke item Pinch)
2. Memindahkan sebuah tabung (diameter 2,25cm) dari
satu sisi ke sisi yang lain (jika skor =), total =0 dan lanjut
ke item Pinch)
3. Tabung, diameter 1cm
4. Meletakkan mur terhadap bautnya
Pinch
1. Menjepit sebuah bola ukuran 6 mm, jari manis dan ibu
jari (jika skor =3, total =18 dan lanjut ke item Grossmt)

2. Menjepit sebuah kelereng, jari telunjuk dan ibu jari

67
(jika skor =0, total =0 dan lanjut ke item Grossmt)
3. Bola, ukuran 6mm, jari tengah dan ibu jari
4. Bola, ukuran 6mm, jari telunjuk dan ibu jari
5. Kelereng, jari manis dan ibu jari
6. Kelereng, jari tengah dan ibu jari
Gross Movement (Grossmt)

1. Meletakkan tangan di belakang kepala (jika skor= 3,


total =9, atau jika skor= 0 maka total =0 dan selesai)
2. Meletakkan tangan di puncak kepala
3. Tangan ke mulut

Keterangan:

Skor 3 : Dapat melakukan dengan normal

Skor 2 : Dapat melakukanya dengan sempurna tapi memerlukan waktu yang cukup lama atau
mengalami kesulitan berat

Skor 1 : Dapat melakukan sebagian

Skor 0 : Tidak dapat melakukan

68
LAMPIRAN 2

IDENTITAS RESPONDEN

No RM :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Alamat :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Tangan dominan : kanan/kiri

Onset Strok :

Lokasi Lesi :

Hipertesni : Ya/Tidak

Diabetes Mellitus : Ya/Tidak

69

Anda mungkin juga menyukai