Anda di halaman 1dari 27

PEMBERIAN MIRROR TERAPI PADA PASIEN STROKE DENGAN

KELEMAHAN ANGGOTA GERAK di WILAYAH KERJA


PUSKESMAS KENDALSARI

LAPORAN TUGAS AKHIR

MELISSA AGNES AURHEKA


NIM. P17210214113

KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN PRODI D-III KEPERAWATAN MALANG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

terbanyak. Namun, penyakit ini menjadi penyakit yang menyebabkan banyak

kecacatan terutama pada usia lebih dari 60 tahun. Penderitanya banyak yang

mengalami kecacatan dan kelemahan otot, sehingga tidak mampu melakukan

aktivitas sepenuhnya ( Kusgiarti, 2017 ). Penderita mengalami kesulitan saat

berjalan dan menjaga keseimbangan tubuhnya karena mengalami gangguan

pada kekuatan otot dan koordinasi gerak. Kondisi ini disebut dengan

hemiparesis, keadaan dimana hilangnya mekanisme refleks postural normal,

seperti mengontrtol siku bergerak ataupun mengontrol keseimbangan rotasi

tubuh untuk gerek fungsional pada ektermitas ( Ferry Agusman, 2017 ). Pada

pasien stroke sekitar 70% mengalami kelemahan otot pada satu sisi tubuh.

Dan dapat mengalami gangguan fungsi motoric atau kelemahan otot pada

esktermitas bila tidak mendapatkan pilihan terapi yang baik ( Ferry Agusman,

2017 ).

Menurut WHO dari tahun 1990 hingga tahun 2019 terjadi peningkatan

penyakit stroke sebesar 70% dengan peningkatan angka kematian sebesar

43%. Sedangkan peningkatan kecacatan akibat stroke yakni sebesar 143%.

Negara negara yang berpendapatan rendahlah yang mengalami banyak

kejadian stroke, beban yang tidak proporsional mengakibatkan timbulnya

masalah yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi keluarga dengan sumber

daya yang terbatas. Sedangkan menurut data dari RISKESDAS terjadi


peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia setiap tahunnya.

Peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia meningkat dari 7% permil

dan kini menjadi 10,9% permil. Angka kejadian stroke yakni sebanyak 2,9

juta jiwa dari 276,4 juta penduduknya mengalami stroke. Angka terjadinya

stroke mencapai 2,91 juta penduduk pertahunnya atau sekitar 10,9 per 1000

penduduk ( Karlina Risma, 2019 ). Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat

kedua dengan estimasi jumlah pasien stroke terbanyak di Indonesia yaitu

sebanyak 190.449 jiwa atau sekitar ( 6,6% ) mengidap penyakit ini.

Sedangkan di kota Malang menurut dinas Kesehatan kota malang Masyarakat

yang mengidap stroke ini adalah sebanyak 3.142 jiwa atau setara 17,3% kasus

setiap tahunnya.

Menurut Hndayani & Dominica 2018 Penanganan penyakit stroke dapat

dilakukan dengan 2 cara, yaitu terapi farmakologi dan terapi non farmakologi.

Terapi farmakologi pada penderita stroke dapat dilakukan dengan pemberian

obat anti hipertensi dan obat neuroproteptor. Sedangkan terapi non

farmakologis yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan antara

lain terpai konseling, terapi Rohani, terapi wicara, dan terapi fisik. Terapi fisik

yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan Latihan Rome of

Motion ( ROM ). ROM merupakan salah satu metode nonfarmakologis untuk

meningkatkan kemampuan pergerakkan sendi secara alami, dan juga untuk

meningkatkan massa dan tonus otot dan menstimulasi otot. Semakin banyak

motorik yang terlibat maka akan semakin banyak pula kekuatan dalam otot

dan akan meningkatkan mobilisasi pada pasien. Contoh Latihan ROM pada

pasien stroke dapat dilakukan dengan cara seperti mengangguk anggukan


kepala, menaik turunkan bahu, dan mengepal ngepalkan telapak tangan.

Terapi ini digunakan untuk memperaiki fungsi saraf yang terganggu akibat

penyakit stroke ( Kasma, 2021 ).

Intervensi yang dapat dilakukan untuk pasien stroke adalah terapi medikasi

seperti obat-obatan atau dengan fisioterapi atau Latihan rentang gerak

( ROM ), sealin itu bisa menggunakan teapi yang digunakan untuk

meningkatkan status fungsional yang langsung berhubungan dengan system

motoric yang menstimulus ipsilateral atau korteks sensori motoric yang

mengalami lesi yaitu menngunakan media cermin atau mirror therapy ( Aryati

Dwi, 2021 ). Terapi yang dapat digunakan oleh pasien stroke non hemoragic

untuk membantu mengembalikan kekuatan otot selain terapi farmakologis

juga dapat menggunakan terapi non farmakologis, salah satunya adalah

dengan menggunakan terapi alternatif yang dapat diterapkan dan diaplikasikan

pada pasien stroke non hemoragic yaitu menggunakan TERAPI CERMIN atau

mirror therapy yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot pada pasien

stroke dengan kelemahan kekuatan otot. Bentuk bayangan yang terpantul dar

cermin akan memberikan stimulasi visual dan diikuti oleh bangian tubuh yang

terganggu. Terapi cermin atau mirror therapy ini merupakan terapi baru yang

relative murah dan sederhana, dan berfungsi untuk memperbaiki ektermitas

yang terganggu. Terapi cermin melibatkan system mirror neuron yang terdapat

di daerah korteks serebri yang memiliki manfaat untuk penyembuhan motoric.

Penggunaan mirror therapy pada pasien stroke yang dialkukan selama 5 kali

dalam sehari dalam jangka waktu 7 hari dapat membuahkan hasil. Pasien yang

awalnya hanya memiliki kekuatan otot dikisaran 2 setelah mendapatkan


therapy tersebut dapat meningkat hingga menjadi kisaran 4 ( Aryati Dwi, 2021

).

Berdasarkan penjelasan diatas penulis tertarik untuk menerapkan Mirror

Therapy untuk melatih kekuatan otot pada pasien stroke non hemoragic di

Masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah Bagaimana perubahan kekuatan

otot pada pasien stroke dengan kelemahan otot setelah diberikan Mirror

Therapy ?

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kekuatan otot

anggota gerak pada pasien stroke dengan kelemahan anggota gerak setelah

diberikan Mirror Therapy di wilayah kerja Puskesmas Kendalsari Malang.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penenlitian ini diharapkan dapat memperkuat penelitian dahulu

mengenai perubahan kekuatan otot setelah pemberian mirror therapy

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat

Sebagai pengetahuan tentang perubahan kekuatan otot setelah pemberian

mirror therapy pada pasien stroke dengan kelemahan otot yang nantinya

dapat diterpakan pada keluarga pasien dan Masyarakat.

b. Bagi Perawat
Meningkatkan keprofesionalan perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien stroke.

c. Bagi Puskesmas

Sebagai bahan pengetahuan tambahan bagi pemberi pelayanan

keperawatan tentang perubahan otot setelah diberi mirror therapy sehingga

dapat dijadikan untuk meningkatkan kulitas pelayanan keperawatan.

d. Bagi Peneliti lanjutan

Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan untuk memperluar

masalah dalam penelitian mirror therapy dan perubahan kekuatan otot

pada pasien stroke.

e. Bagi peneliti

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait mirror therapy pada

pasein stroke dengan kelemahan otot, dan menjadi pembelajaran untuk

menangani pasein stroke yang akan datang.


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Stroke

2.1.1 Definisi Stroke

Stroke merupakan gangguan fungsional yang tiba tiba terjadi

secara mendadak yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah

ke otak ( Fawwas, 2022 ). Stroke merupakan penyakit yang

menyerang neurologis dan memerlukan penangganan cepat dan

dapat terjadi secara mendadak.

Stroke merupakan sindrom klinis yang proses terjadinya secara

mendadak dan cepat yang berlangsung selama 24 jam dan dapat

menimbulkan kematian dan kecacatan bagi pnderitanya.

Stroke merupakan gangguan dengan meyerang otak secara

mendadak dab berkembang secara cepat selama 24 jam. Sroke

disebabkan oleh terganggunya suplai darah menuju otak yang

umumnya disebabkan oleh penyumbatan dan dapat mempengaruhi

system kinerja otak hingga dapat menyebabkan penurunan

kesadaran. Stroke dengan subatan pada otak ini disebut stroke non

hemoragic. Dalam stroke non hempragic ini tidak terjadi

pendarahan namun terjadi iskemia atau kurangnya suplai darah


dalam otak yang menimbulkan kurangnya asupan oksigen.

( Wijaya & Putri, 2018 ) dalam ().

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi Stroke menurut () dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Stroke Hemoragic

Stroke hemoragic merupakan terjadinya pendarahan

intracranial yang dapat terjadi dalam parenkim otak Ada juga

pendarahan yang terjadi bersamaan pada kedua tempat seperti

pada subaraknoid. Menurut Fawwas stroke hemoragic harus

memerlukan perawatan yang intensive dikarenakan dapat

mengalami perburukan sewaktu waktu dan dapat menyebabkan

kematian.

2. Stroke Non Hemoragic

Stroke hemoragic atau biasa disebut stroke iskemik atau infark

merupakan stroke yang disebabkan oleh adanya sumbatan yang

mengakibatkan kurangnya aliran darah menuju otak, sehingga

otak mengalami suplai darah dan oksigen. Sehinggan berakibat

menurunnya kinerja otak. Stroke non hemoragic banyak

diderita yaitu sekitar 80-85% dan sisanyak menderita stroke

hemoragic ( Fawwaz, 2022 ).

2.1.3 Etiologi

Etiologi stroke menurut ( Nggebu, 2017 ) etiologi stroke antara

lain:
1. Thrombosis Serebri, penyebab ini sering ditemukan pada

pasien stroke. Thrombosis ini sering dikaikan oleh kerusakan

dinding pada pembuluh darah.

2. Emboli Serebri , Emboli Serebri merupakan ururtan kedua

dari etiologi stroke yang banyak ditemui. Emboli serebri

biasanya dikaikan dengan thrombus dalam jantung yang

memiliki masalah.

3. Hemoragi, Hemoragi atau biasa disebut sebagai pendarahan

merupakan salah satu etiologi stroke yang banyak ditemukan.

Pendarahan ini dapat terjadi akibat rupture arteriosklerotik.

Stroke yang disebabkan oleh perdarahan seringkali dapat

menyebabkan iritasi pada jaringan karena darah yang berada

diluar pembuluh darah,

4. Penybab lain, infeksi yang menyebabkan spasme arter

serebral mengakibatkan penurunan aliran darah ke otak yang

disuplai oleh pembuluh darah yang menyempit.

2.1.4 Manisfestasi Klinis

Manisfestasi stroke tergangtung bagian dan sisi mana yang terkena

gangguan. Manisfestasi klinis meliputi :

1. Hemiparesis atau kelumpuhan wajah , biasanya hemiparesis ini

terjadi secara mendadak. Kelumpuhan pada wajah ini disebabkan

oleh kerusakan pada area motoric korteks pada bagian frontal.


2. Gangguan sensibilitas, gangguan ini biasanya terjadi karena

kerusakan saraf otonom dan saraf sensorik.

3. Penurunan Kesadaran, penurunan kesadaran atau biasanya

disebut dengan koma dapat terjadi dikarenakan adanya pendarahan

yang mengakibatkan kerusakan otot yang kemudian terjadi tekanan

pada bagian batang otak yang mengakibatkan terganggunya

metabolic otak.

4. Kesulitan bicara, ( Asfiksia ), kesulitan kemampuan bicara

disebabkan oleh kerusakan pada area pusat bicara yang terdapat

pada hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke dengan

gangguan arteri midle sebelah kiri. Asfiksia terbagi menjadi

asfiksia motoric, sensorik, dan global. Asfiksia motoric adalah

keadaan dimana pasien dapat memahami lawan bicara namun

pasisen kesulitan atau bahkan tidak dapat mengungkapkan

bicaranya. Asfiksia sensorik adalah keadaan dimana pasien tidak

mampu menerima dan menstimuasi pendengaran namun mampu

mengungkapkan pembicaraanya. Asfiksia global adalah keadaan

dimana pasien tidak mampu untuk merespons atau bahkan

menerima atau mengungkapkan pembicaraannya.

5. Pelo, Pelo merupakan gangguan komunikasi yang terjadi pada

pasien stroke, dimana pasien berbicara dengan tidak jelas atau

cadel terutama pada artikulasi. Namu, pasien dapat merspons dan

menerima stimulasi dari lawan bicaranya. Biasanya gangguan ini


terjadi akibat kerusakan pada nervus kranial yang mengakibatkan

kelemahan pada otot bibir, lidah, dan laring.

6. Diplopia, diplopia merupakan gangguan pengihatan pada pasien

stroke yang disebabkan oleh kerusakan pada lobus temporal atau

parietal yang menyebabkan hambatan serat saraf optic pada korteks

okspital.

7. Disfagia, disfagia merupakan kesulitan menelan yang terjadi

akibat adanya kerusakan pada nervus kranial IX.

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Menururt Delima ( 2019 ) dalam Fawwas () pemeriksaan

penunjang yang dilakukan pada pasien stroke adalah sebagai

berikut:

1. Angiografi serebral, pemeriksaan ini membantu menentukan

penyebab penyakit stroke secara spesifik contohnya seperti adanya

ruptur dan mencari sumber pendarahan.

2. Elektro encefalography, pemeriksaan ini membantu untuk

melihat dampak dari jaringan yang mengalami kerusakan yang

menyebabkan menurunnya impuls listrik dalam jaringan.

3. Sinar X, pemeriksaan ini bertujuan untuk menggambarkan

perubahan kelenjar dan untuk mengklasifikasi Persial dimding

aneurisma pada perdarahan sub arachnoid


4. Ultrasonography Doppler, pemeriksaan ini digunakan untuk

mengidentifikasi adanya masalah karotis atau tidak

5. CT-Scan, pemeriksaan ini bertujuan untuk memperlihatkan

adanya edema , adanya iskemia dan menunjukkan letaknya secara

pasti.

6. MRI, Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukkan besarnya

dan luasnya terjadinya pendarahan pada otak.

7. Pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan ini bertujuan untuk

memperlihatkan keadaan jantung apakah ada perbesaran dan

memperlihatkan perubahan kelenjar lempeng pineal.

8. Pemeriksaan Laboratorium, pemeriksaan laboratorium ini terdiri

dari pemeriksaan fungsi lumbal, pemeriksaan darah rutin, dan

pemeriksaan kimia darah. Pemeriksaan fungsi lumbal bertujuan

untuk menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau

intracranial.

2.1.6 Komplikasi

Menurut Nurarif dan Hardhi ( 2015 ) dalam () Komplikasi dalam

stroke dibagi menjadi 3 fase :

1. Dini ( 0-48 jam pertama )

Dapat menyebabkan edema serebri, dan dapat meningkatkan TIK,

terjadinya herniasi, dan akhirnya menyebabkan kematian. Infark

miokard adalah salah satu penyebab kematian mendadak pada

stroke stadium awal.


2. Jangka pendek ( 1-14 )

Dapat terjadinya pneumonia yang diakibatkan mobilisasi yang

lama, emboli paru, cenderung terjadi pada 7-14 haro pasca stroke.

3. Jangka Panjang ( >14 hari )

Dapat terjadinya gangguan penyakit vaskuler perifer, infark

miokard.

2.1.7 Penatalaksanaan Stroke

Penatalaksanaan stroke dapat dibagi menjadi dua yakni terapi

farkologis dan non farmakologis.

Terapi farmakologi pada pasien stroke diantaranya adalah dengan

cara menggunakan Intravunous recombinant tissue plasminogen

activator yang digunakan untuk mencegah referfusi pada pasien

stroke non hemoragic ( Mutiarasari, 2019 ) dalam ().

Selain itu juga dapat dilakukan dengan pemberian Antiplatelet.

Pemberian antipalet ini dapat menurunkan resiko kematian dengan

mengurangi volume kerusakn otak dan mengurangi terjadinya

iskemik ulangan sebesar 25%. Obat antipalet yang biasanya

diberikan adalah aspirin dan clopidogrel.

Selanjutnya adalah terapi farmakologis antikoagulan. Pemberian

antikoagulen diberikan untuk pencegahan sekunder jangka Panjang

pada pasien dengan fibrilasi atrium dan stroke kardioemboli.

Selanjutnya untuk terapi non farmakologis pada pasien stroke

antara lain :
1. Terapi Okupasi, Terapi okupasi merupakan terapi yang

digunakan untuk melatih Gerakan tangan dan integrasi melalui

permainan dan alat- alat yang sesuai

2. Terapi ROM, terapi ini merupakan Latihan digunakan untuk

melatih pergerakan sendi agar sendi tidak mengalami kekakuan

dan untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot.

3. Terapi Cermin, terapi ini merupakan terapi yang digunakan

untuk meningkatkann kekuatan oto dan massa otot. Terapi ini

dapat menstimulasi pasien untuk menggerakan otot.

4. Terapi wicara, Terapi wicara merupakan terapi yang

dilakukan untuk melatih komunikasi pasien stroke.

2.2 Kelemahan Anggota Gerak Pada Pasien Stroke

Stroke merupakan penyakit Neurologis yang terjadi dikarenakan

adanya sumbatan pada otak yang berakibat kurangnya suplai darah

pada otak. Stroke yang terlambat ditangani dapat menyebabkan

kelumpuhan dan gangguan kognitif. Pada pasien stroke dapat terjadi

hemiparesis atau kelemahan otot pada satu sisi tubuh. Dan tak jarang

juga mengalami penurunan otot pada daerah ekstermitas. Kelemahan

otot ini disebabkan karena mekanisme hemiparesis ( Putra, Lita,

Barkah, 2021 ).

Kelemahan otot pada penyakit stroke merupakan salah satu factor

yang menjadi penyebab hilangnya reflek postural untuk mengontrol

siku bergerak , mengontrol keseimbangan, mengontrol gerak kepala,

dan gerak fungsional untuk ekstermitas. Gerak fungsional merupakan


gerak yang harus di stimulasi secara berulang agar terjadi Gerakan

yang terkoordinasi secara disadari dan menjadi reflek secara otomatis

berdasar aktivitas sehari-hari. Hemiparesis yang tidak mendapatkan

penangganan dengan baik akan berakibat kehilangan penuh pada

fungsi ekstermitas yang diserang pada kurun waktu 6 bulan pasca

stroke. Mobilitas yang terganggu dapat berakibat hilangnya daya tahan

tubu, penurunan massa otot, dan penurunan stabilisasi. Kondisi otot

yang terganggu akan berakibat meningkatnya pemecahan protein pada

individu normal dan akan mengalami penurunan massa otot sekitar 3%

setiap harinya.

Menurut Wahdania ( 2019 ) Pasien stroke yang mengalami

kelumpuhan pada area ektermitas akan berdampak pada penurunan

produktivitas dan Sebagian besar akan kehilangan pekerjaannya dan

akan menjadi beban berat bagi keluarga. Pasien yang mengalami

stroke juga harus dapat beradaptasi dengan kondisisnya saat ini, dan

tak banyak juga pasien yang depresi akibat penyakit stroke yang

mengubah kehidupannya 180 derajat.

2.3 Konsep MIRROR TERAPI

2.3.1 Pengertian Mirror Terapi

Mirror terapi atau terapi cermin merupakan salah satu terapi yang

dapat diterapkan pada pasein stroke. Mirror terapi merupakan terapi

menggunakan bayangan atau imajinasi motoric pasien. Cermin akan

memantulkan bayangan pasien yang akan menstimulasi kepada otak


dan saraf untuk melakukan pergerakan anggota ektermitas yang

mengalami gangguan ( Heriyanto, 2018 ) dalam ( Fawwas, 2022 )

Terapi cermin ini akan memberikan stimulasi yang cenderung ditiru

oleh bagian tubuh yang mengalami kelemahan otot. Fokus dari terapi

ini adalah untuk memindahkan gerak anggota badan yang tidak sakit,

terapi cermin ini adalah bentuk dari citra dimana cermin digunakan

untuk menyampaikan rangasangan visual ke otak melalui pengamatan

bagian tubuh seseorang yang tidak terpengaruh karena melakukan

serangkaian Gerakan ( Sengkey, 2017 ) dalam ( Fawwas, 2022 )

2.3.2 Tujuan Mirror Terapi

Tujuan dari Mirror terapi ini adalah untuk meningkatkan kekuatan

otot yang mengalami kelemahan pada pasien stroke dengan cara

menstimulasi pasien untuk menggerakan anggota badan yang

mengalami kelemahan otot ( Micchilisen, M, 2016 ) dalam ( Fawwas,

2022 )

2.3.3 Indikasi Mirrror Terapi

Terapi cermin ini ditunjukkan kepada pasien stroke dengan

kelemahan anggota gerak. Dimana anggota gerak pasien stroke

mengalami kelemahan untuk dapat bermobilisasi seperti biasanya. Dan

dengan diterapkannya terapi cermin ini diharapkan kelemahan anggota

gerak pada pasien stroke dapat berkurang dan pasien dapat melakukan

mobilisasi seperti orang normal.

2.3.4 Kontra Indikasi Mirror Terapi


Kontra indikasi untuk pelaksanaan teraoi cermin ini atau mirror

terapi ini adalah pasien stroke yang mengalami perburukan keadaan.

Contohnya seperti pasien yang mengalami stroke hemoragic

2.3.5 Tatalaksana Mirror Terapi

Pelaksanaan terapi cermin atau mirror terapi ini terbagi menjadi

beberapa sesi di setiap waktuny, yakni sesi per menit dan sesi per minggu. Waktu

unrtuk durasi sesi per menit adalah sekitar 10-15 menit dalam 1x Latihan.

Sedangkan waktu sesi per minggu terapi yang dapat digunakan untuk berlatih

adalah 1-5 hari dengan dalam 1 hari terdapat 1x Latihan dengan waktu 10-15

menit dengan waktu istirahat selama 5 menit. Sedangkan tata cara untuk

pelaksanaan terpi cermin ini sebagai berikut :

1. Memberikan Penjelasan kepada pasien sebelum memberikan terapi :

a) Sekarang kita akan melakukan Latihan menggunakan cermin yang bertujuan

untuk meningkatkan kekuatan otot pada area ekstermitas yang terganggu. Latihan

ini harus memerlukan konsentrasi penuh.

b) Latihan ini terdiri dari dua sesi, dimana tiap sesinya memiliki waktu 15 menit

dengan jeda waktu 5 menit untuk beristirahat di tiap sesinya.

c) Lihatlah pantulan tangan kiri anda dicermin, bayangkan jika oantulan tersebut

adalah tangan kanan anda. Dan anda tidak diperbolehkan untuk melihat tangan

anda yang sakit yang berada dibalik cermin


d) Lakukan Gerakan secara bersamaan pada kedua anggota gerak atas, Gerakan

diulang sesuai dengan instruksi yang ada dan dengan kecepatan yang konstan

yaitu kurang lebih satu detik disetiap Gerakan.

e) Jika anda masih belum mampu untuk menggerakkan tangan anda yang sakit,

maka anda harus lebih berkonsentrasi dan bayangkan seolah olah anda mampu

menggerakkan sambal tetap melihat bayangan yang ada di cermin.

2. Posisi Pasien saat Melakukan Mirror Terapi

Pada saat terai dilakukan posisis pasien adalah duduk dengan posisi tangan dan

lengan diletakkan di atas meja. Dengan sebuah cermin berada diantara kedua

tangan pasiaen, sedangakn posisi tangan yang mengalami kelemahan berada pada

balik cermin dan tangan yang sehat diletakkan di depan cermin agar psien dapat

melihat pantulan tangan yang sehat seolah olah adalah tangan yang sakit. Pada

Latihan hari pertama, pasien diberikan Latihan adaptasi, sedangkan pada

pertemuan berikutnya jika pasien sudah mampu agar lebih berkonsentrasi maka

pasien akan diberikan Latihan gerak dasar. Namun jika pasien masih belum

mampu untuk berkonsentrasi maka akan tetap diberikan Latihan adaptasi terlebih

dahulu sampai pasien mampu berkonsentrasi melihat pantulan bayangan di

cermin. Jika pasien sudah mampu berkonsentrasi maka di setiap sesi Latihan akan

diberikan Latihan gerak dasar, dan jika pasien sudah mampu melakukannya secara

terus menerus maka pasien akan diberikan Latihan variasi. Jika Latihan variasi

sudah dapat dikuasai oleh pasien maka akan diberikan Latihan gerak shaping atau

kombinasi. Selama Latihan berlangsung, perawat harus mengamati bagaimana

respons pasien setiap melakukan Gerakan yang ada. Jika pasien merasa kesemutan
atau nyeri pada daerah yang bermasalah, maka Latihan harus dihentikan terlebih

dahulu dan memberikan pasien waktu 5 menit untuk beristirahat. ()

Berdasarkan protocol Bonner Latihan terapi yang diberikan terbagi menjadi 4,

yaitu Latihan afaptasi, gerak dasar, gerak variasi, dan gerak kombinasi. Pada saat

awal Latihan perawat diharuskan memberi contoh terlebih dahulu pada pasien dan

menyebutkan Gerakan yang sedang dicontohkan

2.3.6 Mirror Terapi Berdasarkan Protokol Bonner

a) Adaptasi, pada awal pelaksanaan terapi pasien biasanya masih kesulitan dalam

berkonsentrasi untuk melihat pantulan bayangan pada cermin. Latihan adaptasi

yang dilakukan yaitu ada dua cara.

1. Berhitung : Dimana kedua tangan berada diatas meja dengan posisi

telungkup, kemudian pasien dianjurkan untuk mengekstensikan jari tangganya

satu persatu atau beberapa dengan jari diangkat sekaligus

2. Abduksi-adduksi : Diamana posisi kedua tangan berada diatas meja dengan

posisi telungkup, kemudian pasien dianjurkan untuk membuka jari secara

bergantian mulai dari ibu jari dan seterusnya.

b) Gerak dasar : Latihan gerak dasar diberikan Ketika pasien sudah mampu

berkonsentrasi melihat pantulan bayangan dari cermin. Latihan ini dibagi menjadii

tiga bagian

1. Fleksi elbow : posisi pertama yaitu kedua lengan diletakkan diatas meja.

Posisi kedua yaitu lengan bawah diangkat 45 derajat dari meja dengan posisi
kedua siku menumpu mejaa. Posisi ketiga yaitu kedua lengan bawah membentuk

sudut 90 derajat terhadap meja.

2. Ektensi elbow : Paisen dianjurkan untuk menggerakan tangannya dengan

Gerakan mendorong

3. Rotasi interna dan eksterna : psosisi pertama yaitu geser lengan bawah

mendekati badan. Posisi kedua yaitu geser lengan bawah Kembali ke Tengah.

Posisi ketiga yaitu geser lengan bawah menjauhi badan lagi.

c) Variasi : Gerakan ini diberikan Ketika pasien sudah mampu untuk melakukan

Gerakan dasar dengan lancar. Macam dari Gerakan variasi yaitu :

1. Pronasi supinasi forearm : Posisi pertama dimana telapak tangan

mengahadap ke bawah. Kemudian posisi yang kedua adalah telapak tangan dibuka

setengah. Kemudian posisi yang ketiga telapak tangan menghadap keatas.

2. Grip dan prehinson : Letakkan kedua tangan diatas meja, kemudian lakukan

Gerakan menggengam dengan ibu jari berada di dalam.

3. Berhitung dengan jari : menunjukkan dengan jari angka satu sampai lima.

4. Oposisi jari jari : Gerakan menyentuhkan ibu jari ke telunjuk, kemudian ke

jari Tengah dan seterusnya.

d) Shaping : Latihan ini dilakukan Ketika pasien sudah mampu melakukan

Gerakan variasi secara terus menerus. Latihan ini memiliki tingkat kesulitan yang

lebih tinggi dibandingkan Gerakan Gerakan yang lalin. Shaping diberikan agar

pasien tidak merasa bosan dan agar pasien tetap dapat berkonsentrasi selama
terapi berlangsung. Instruksi Gerakan yang diberikan merupakan Gabungan dari

Gerakan-gerakan yang sudah diajarkan.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain
penelitian studi kasus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
perubahan kekuatan otot pada pasien stroke dengan kelemahan
anggota gerak setelah diberikan mirror terapi di wilayah kerja
Puskesmas Kendalsari Kota Malang Jawa Timur.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas
Kendalsari Kota Malang penelitian yang mememadai. Waktu penelitian
akan dilaksanakan setelah disetujui pada sidang proposal dan dilaksanakan
selama 2 minggu diperkirakan pada tanggal 8-20 Januari 2024.

3.2 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang
berkunjung atau berobat yang terdiagnosis menderita stroke di
Puskesmas Kendalsari Kota Malang sebanyak … orang penderita
stroke

3.3.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah pasien yang menderita stroke.
menentukan kriteria-kriteria tertentu :
1. Kriteria inklusi yaitu karakteristik umum subjek penelitian
dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan
diteliti.Kriteria Inklusi :
a. Klien bersedia menjadi responden,
b. Pasien yang menderita stroke,

2. Kriteria ekslusi yaitu menghilangkan/mengeluarkan subjek yang


memenuhi negative inklusi dari studi karena berbagai sebab.
Kriteria ekslusi :
a. Klien yang menolak menjadi responden
b. Keluarga (suami/istri/anak) atau orang yang bertangggung
jawab atas pasien yang mengalami cacat fisik atau cacat verbal
yang dapat mengganggu proses pengambilan sampel.
c. Keluarga (suami/istri/anak) yang berusia dibawah 18 tahun
dan di atas 65 tahun

3.3.3 Jumlah sampel dan Teknik Pengambilan sampel


Jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan teknik Accident sampling dengan pengambilan
sampel selama 2 minngu

3.3 Definisi Operasional


Fokus studi merupakan kajian uatama dari permasalahan yang akan
dijadikan titik acuan studi kasus. Dalam studi kasus ini yang menjadi
focus studi adalah Pemberian mirror terapi pada pasien stroke dengan
kelemahan anggota gerak.

3.4 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk
mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati ( Sugiono
2020 ).

Instrumen yang digunakan pada studi kasus ini adalah


menggunakan lembar observasi dan wawancara
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan lembar
obeservasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi kepada
pasien stroke yang diberikan terapi cermin atau mirror terapi selama
kurang lebih 5 hari, dimana setiap harinya peneliti akan mengobservasi
perkembangan pasien tersebut. Adapun langkah-langkah pengambilan data
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengurus surat perizinan studi pendahuluan di Jurusan Keperawatan


Poltekkes Kemenkes Malang.

2. Mengurus surat perizinan pengambilan data dari institusi yang


ditujukan kepada Kepala Puskesmas Kendalsari.

3. Mengurus surat perizinan pengambilan data dari institusi yang telah di


tanda tangan kepala puskesmas Kendalsari yang ditunjukkan kepada
dinas kesehatan.

4. Menemui kepala puskesmas Kendalsari kota Malang dan meminta izin


akan dilakukan pengambilan data di wilayah tersebut.

5. Mendapatkan izin dari kepala puskesmas Kendalsari kota Malang


untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di wilayah tersebut.

6. Peneliti memilih responden berdasarkan kriteria subyek inklusi dan


eklusi

7. Peneliti memberikan penjelasan kepada responden penelitian tentang


maksud dan tujuan penelitian, dengan demikian diharapkan responden
dapat memahami dan mengerti sehingga dapat memberikan informasi
dengan jujur dan kerahasiaan data yang hanya diketahui oleh peneliti.

8. Peneliti melakukan kontrak waktu dengan responden penelitian yang


terpilih untuk melakukan pemberian mirror terapi pada pasien yang
menggalami stroke.
3.6 Prosedur Pengumpulan Data
Adapun prosedur pengumpulan data dibagi menjadi 3 tahap yaitu:

a.Tahap Persiapan

1. Peneliti mengurus surat perizinan pengambilan data dari jurusan


prodi D3 Keperawatan Malang yang ditujukan kepada kepala
puskesmas Kendalsari kota Malang.

2. Peneliti selanjutnya mendapatkan izin kepala puskesmas ra kota


Malang untuk melakukan penelitian.

3. Peneliti mendapatkan subjek sesuai kriteria.

b.Tahap Pelaksanaan

1. Peneliti melakukan kontrak waktu kepada subjek sesuai kriteria.

2. Peneliti memberikan penjelasan kepada subjek tentang maksud


dan tujuan penelitian yang akan dilakukan terhadap subjek.

3. Peneliti melakukan wawancara dan observasi terhadap pasien

4. Data yang diperoleh selanjutnya dicatat dan disimpan untuk diolah


dan dianalisis

3.7 Analisa Data dan Penyajian Data


Analisa data dilakukan sejak peneliti di lapangan saat pengumpulan data
sampai semua data terkumpul. Analisa dari data dari kasus dengan
diagnose dengan cara mememukakan fakta, selanjutnya membandingkan
dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini
pembahasan. Teknik Analisa data yang digunakan dengan cara
menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh dari hasil interpretasi
observasi dan wawancara yang dilakukan untuk menjawab rumusan
masalah. Teknik analisis data menghasilkann data untuk selanjutnya
diinterpretasikan dan dibandingkan dengan teori yang ada. Urutan dalam
analisis data yaitu :

1. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi, dokumen. Hasil
ditulis, dalam catatan lapangan kemudian disalin dalam bentuk transkrip.

2. Mereduksi Data

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan.


Dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data
subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan
diagnostic kemudian dibandingkan nilai normal.

3. Penyajian data

Penyajian data disesuaikan dengan desain studi kasus deskriptif yang


dipilih untuk studi kasus, data disajikan secara narasi dan dapat disertai
dengan cuplikan ungkapan verbal dari subyek studi kasus yang merupakan
data pendukung. Penyaji data juga dapat dilakukan dengan table atau
gambar. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan
indentitas klien.

4. Kesimpulan

Dari data yang disajikan, data kemudian dibahas dan dibandingkan dengan
hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku
Kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data
yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan,
tindakan, dan evaluasi.

3.8 Etika Penelitian


Menurut (Swarjana & SKM, 2012), etika adalah ilmu atau
pengetahuan yang membahas manusia, terkait dengan perilakunya
terhadap manusia lain atau sesamanya. Kode etik penelitian adalah
suatu pedoman etik yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian
yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek
penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil
penelitian tersebut.
1. Informed Consent (Surat persetujuan)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti


dan responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan.
Inform consent tersebut diberikan sebelum penelitian dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan
diberikan inform consent adalah agar subjek mengerti maksut dan
tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia,
maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika
responden tidak bersedia, makapeneliti harus menghormati hak
pasien. Beberapa iformasi yang harus ada dalam inform consent
tersebut antara lain: partisipasi pasien,

tujuan dilakukan tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen,


prosedur pelaksanaan, potensi masalah yang akan terjadi, manfaat
kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi, dan lain-lain. Dalam
hal ini, nantinya sebelum peneliti melakukan penelitian atau
pengambilan data, peneliti memberikan inform consent yang
tujuannya adalah sebagai bukti bahwa responden tersebut bersedia
untuk dilakukan pengambilan data.

2. Anominity (tanpa nama)

Pada saat mengisi butir soal, baik saat uji validitas maupun
penelitian semua responden hanya mencantumkan inisial namanya
saja sehingga identitas responden terjaga.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Semua informasi yang telah dikumpulkan oleh responden


kepada peneliti baik identitas maupun hasil penelitian dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang
dilaporkan pada hasil riset.

Anda mungkin juga menyukai