Anda di halaman 1dari 8

JST Kesehatan, Januari 2018, Vol. 8 No.

1 : 95 – 102 ISSN 2252-5416

PENGARUH REPETITIVE TRANSCRANIAL MAGNETIC STIMULATION TERHADAP


LUARAN KLINIS PENDERITA STROKE ISKEMIK

The Effect of Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation on the Clinical Outcomes of the Patients with
Ischemic Stroke

1
Wahyuni Zubeidi, 2Andi Kurnia Bintang, 3Muhammad Akbar
1
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (Email: wahyunizubeidi@gmail.com)
2
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (Email: a.kurnia_b@yahoo.co.id)
3
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar (Email: akbar80fkuh@gmail.com)

ABSTRAK

Strok adalah salah satu penyakit pembuluh darah otak yang terus menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh repetitive transcranial magnetic stimulation terhadap luaran klinis pasien
stroke iskemik dengan menggunakan skor The National Institude of Health Stroke (NIHSS). Penelitian ini
menggunakan desain adalah eksperimental pada 12 subjek penderita stroke iskemik yang rawat jalan di poli di rumah
sakit dr. Wahidin Sudirohusodo dan rumah sakit jejaringnya di Makassar. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni
2016-Februari 2017. Subjek terbagi atas kelompok perlakuan yang mendapat terapi standar disertai rTMS sebanyak 10
subjek dan kelompok kontrol yang hanya mendapat terapi standard sebanyak 10 subjek dengan stimulasi repetitive
transcranial magnetic dilakukan selama 1 menit 50 detik setiap hari selama 10 hari. Penilaian NIHSS dilakukan
sebanyak dua kali, yaitu penilaian sebelum intervensi dan penilaian setelah intervensi. Kemudian, dilakukan
perbandingan perbedaan selisih skor NIHSS pada kedua kelompok tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah 10 hari mendapat stimulasi repetitve transcranial magnetic terdapat perbaikan luaran klinis. Uji wilcoxon
menggambarkan perbaikan luaran klinis secara bermakna pada kelompok perlakuan (p 0,001) dan kelompok kontrol (p
0,000). Uji mann-whitney U menunjukkan perbaikan luaran klinis lebih bermakna pada kelompok perlakuan bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol (p 0,000).

Kata kunci: Stroke iskemik, luaran klinis, repetitive transcranial magnetic stimulation

ABSTRACT

Stroke is one cerebrovascular disease which continues to be a major problem in the health sector. This study aimed to
determine the effect of repetitive transcranial magnetic stimulation on the clinical outcomes of the patients with
ischemic stroke using the National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). The research design was experimental.
The study was conducted on 12 ischemic stroke patients cared for at the poly of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital
and its network hospital in Makassar, from June, 2016 through February, 2017. The subjects were divided into the
treatment group of ten subjects, who received the standard therapy with rTMS and the control group of 10 subjects, who
received only the standard therapy. The repetitive transcranial magnetic simulation was conducted in 1 minute 50
seconds for 10 days. The assessment of NIHSS was carried out twice, i.e. the initial assessment before the intervention
and last assessment after the intervention. Finally, the differences of the NIHSS scores between the two groups were
compared. The research results indicated that 10 days after receiving the repetitve transcranial magnetic stimulation, the
clinical outcomes showed improvement. Wilcoxon test revealed that the treatment group showed a significant
improvement of clinical outcomes (p= 0.001), and so did the control group (p= 0.000). However, Mann-Whitney U test
revealed that the improvement of clinical outcomes was more significant in the treatment group compared to that in the
control group (p = 0.000).

Keywords: Ischemic stroke, clinical outcomes, repetitive transcranial magnetic stimulation

95
Wahyuni Zubeidi ISSN 2252-5416

PENDAHULUAN berulang, perawatan rehabilitasi terbukti


Strok adalah salah satu penyakit meningkatkan pemulihan neurologis. Mayoritas
pembuluh darah otak yang terus menjadi masalah stroke dengan gangguan motorik tidak pulih
utama dalam bidang kesehatan. Stroke (WHO) fungsionalnya, dan tetap ada kebutuhan untuk
adalah manifestasi klinik yang berlangsung perawatan neurorehabilitation untuk
dengan cepat, lebih dari 24 jam dan dapat meminimalkan cacat jangka panjang,
menyebabkan kematian tanpa ditemukan memaksimalkan kualitas hidup, dan
penyebab lain yang jelas selain gangguan mengoptimalkan psikososial. Ditahun terakhir,
vaskular. beberapa terapi baru telah muncul untuk
Strok menjadi penyebab utama kecacatan mengembalikan fungsi motorik pasca stroke, dan
serta menjadi penyebab ketiga kematian di dunia diteliti perawatan tambahan juga menjanjikan. di
setelah penyakit jantung dan kanker. WHO sini yang biasa neurohospitalist dengan
mencatat pada tahun 2012, terdapat 6,2 juta rehabilitasi perawatan motorik untuk pasca
kematian disebabkan oleh penyakit stroke dan stroke. Perawatan rehabilitasi ini mencakup
merupakan penyebab kematian nomor tiga di selektif serotonin reuptake inhibitor medications,
dunia setelah penyakit jantung koroner dan constraint-induced movement therapy, noninvasif
kanker. dan menjadi penyebab kecacatan yang brain stimulation,mirror therapy dan motor
utama dibanding penyakit lainnya. Angka imagery atau mental practice (Edward et al.,
kematian mencapai 50-100.000 populasi setiap 2015).
tahunnya. Data di indonesia menunjukkan Rehabilitasi pada stroke harus di mulai
kecenderungan peningkatan kasus stroke baik sesegera mungkin setelah ditegakkan diagnosis
dalam hal kematian, kejadian maupun kecacatan. stroke dan faktor-faktor resiko telah diatasi.
Angka kematian paling tinggi pada rentang usia Rehabilitasi yang menyeluruh dapat memperbaiki
55-64 tahun yaitu 26,8%, kejadian stroke berkisar kemampuan fungsional penderita strok yang
51,6/100.000 penduduk dan kecacatan yang mengalami defisit neurologik, dan dapat
menetap sebesar 1,6 % dan 4,3 % semakin mengurangi kerugian akibat perawatan yang
memberat. terlalu lama. Rehabilitasi medik mempunyai
Prevalensi strok di Indonesia berdasarkan efek-efek fisiologis yang secara teori dapat
diagnosis tenaga kesehatan, tertinggi di sulawesi mempengaruhi plastisitas otak, dan
utara (10,8%), diikuti DI Yogyajarta (10,3%), mempengaruhi proses rehabi litasi pasca strok
Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing (Johansson, 2011).
9,7%. Sedangkan di Sulawesi Selatan sebanyak Penelitian sebelumnya oleh Emara et al
7,1% (Trihono, 2013). (2010), menemukan bahwa Repetitive TMS
Orang yang menderita stroke, biasanya memiliki efek menguntungkan pada pemulihan
mengalami banyak gangguan fungsional, seperti motorik, hilang sensasi wajah dan extremitas ,
gangguan motorik, psikologis atau perilaku, kesulitan bicara pada perbaikan klinis dan
dimana gejala yang paling khas adalah kecacatan pada pasien pasca stroke memberikan
hemiparesis, hilang sensasi wajah dan extremitas , efek berkelanjutan. Inhibitor dan stimulasi rTMS
kesulitan bicara dan kehilangan penglihatan sesisi sama dalam menghasilkan hipotesis efek
(Irfan, 2010). Data 28 RS di Indonesia, pasien keseimbangan inter-hemispheric dan mendorong
yang mengalami gangguan motorik sekitar 90,5% penelitian lebih lanjut dalam program
(Misbach & Soertidewi, 2011). neurorehabilitasi jangka panjang pada penderita
Untuk meminimalkan angka kecacatan stoke.
pada orang yang menderita stroke maka dapat Tujuan klinis pada rTMS adalah untuk
dilakukan fisioterapi. Selama ini kita mengenal memperbaiki fungsi serta mengurangi gejala
program pemulihan rehabilitasi dengan fisioterapi seperti nyeri, kejang, dan gannguan motorik,
meskipun selama ini di lakukan fisioterapi tetapi sensori fenomena seperti bradikinesia dan
masih memberikan hasil yang belum memuaskan. tinnitus. Meski berbagai aplikasi, mekanisme
Meskipun banyak perawatan yang dasar yang mendasari rTMs mengnduksi
tersedia untuk meningkatkan perfusi serebral plastisitas masih kurang dipahami.
setelah stroke akut dan mencegah stroke

96
Stroke iskemik, luaran klinis, repetitive transcranial magnetic stimulation ISSN 2252-5416

Mengingat bahwa rTMS mempengaruhi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.


suatu range tipe sel dengan sifat eksitabilitas yang Didapatkan 30 kasus strok iskemik yang terdiri
berbeda (misalnya, inhibitor serta excitatory dari 15 sampel kelompok perlakuan yang
neuron, dan juga glial serta endothelial cells), menggunakan rTMS dan 15 sampel kelompok
serta stimulasi pada daerah otak yang berbeda kontrol tanpa rTMS.
menyebabkan hasil akhir yang berbeda (misalnya Metode Pengumpulan Data
cortical vs. Cerebellar stimulation), kemungkinan Setiap pasien yang memenuhi kriteria
bahwa pengetahuan masih terbatas pada induksi inklusi, dicatat data identitas sampel meliputi
dari LTP dan LTD serta cukup untuk dipahami, nama dan alamat lengkap, umur/tanggal lahir,
yang lebih penting, memanipulasi pengaruh penuh pekerjaan, nomor telepon/HP, nama dan alamat
rTMs terhadap otak. Karena metode invasif suami/istri/anggota keluarga terdekat/sebagai wali
diperlukan secara langsung untuk mengetahui serta dokter yang merujuk yang menangani.
adanya pengaruh rTMS pada plastisitas sinaptik Pemeriksaan medis klinis meliputi anamnesis,
serta non-sinaptik (misalnya, biokimia, perubahan pemeriksaan fisik; pemeriksaan penunjang seperti
genetika), Eksperimental dan praklinis dapat elektrokardiografi (EKG); foto thoraks dan
memberikan metode tambahan yang bermanfaat neuroimaging (CT scan/MRI kepala; serta
untuk memahami mekanisme rTMS menginduksi laboratorium yang diperlukan, guna memperoleh
plastisitas. rTMS mencakup (Misalnya, 1 serta 10 diagnosa pasti stroke iskemik beserta faktor
Hz) dan terpola (misalnya, theta burst). rTMS ini resikonya. Setelah semua kriteria inklusi dan
mengidentifikasi arah ke depan yang mungkin eksklusi terpenuhi, maka penderita dinyantakan
memajukan pengetahuan kita tentang mekanisme masuk dalam sampel penelitian, dengan
rTMS. menandatangani surat persetujuan peserta
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian dan informed consent untuk tindakan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui medis. Penilaian dan pencatatan luaran klinis
pengaruh repetitive transcranial magmetic stroke berdasarkan NIHSS dilakukan setelah
stimulation terhadap luaran klinis pasien stroke diputuskan menjadi sampel penelitian dilakukan
iskemik dengan menggunakan skor The National pada saat setelah perawatan.
Institude of Health Stroke Scale (NIHSS). Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul diolah melalui
BAHAN DAN METODE analisa statistik dengan SPSS for windows
Lokasi dan Waktu Penelitian Version 23. Untuk melihat perubahan skor NIHSS
Penelitian dilakukan di Klinik sesudah terapi di gunakan Wilcoxon Signed Rank
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) “Brain” Test.
Jl. Jenderal Hertasningg No. 71 Makassar, mulai
periode Juni 2016 sampai sampel terpenuhi. HASIL
Desain dan Variabel Penelitian Telah dilakukan penelitian experimental
Desain penelitian yang digunakan pada untuk mengetahui pengaruh repetitive transcranial
penelitian ini adalah experimental. Variabel magmetic stimulation terhadap luaran klinis
penelitian terdiri atas: variabel bebas (Terapi pasien stroke iskemik dengan menggunakan skor
standar stroke iskemik + TMS, Terapi standar The National Institude of Health Stroke Scale
stroke iskemik + tanpa TMS), variabel tergantung (NIHSS). Penelitian dilakukan di Klinik
(luaran klinis stroke iskemik), variabel antara Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) “Brain”
(mekanisme perubahan derajat klinis yang Jl. Jenderal Hertasningg No. 71 Makassar, mulai
menderita stroke iskemik yang disertai rTMS dan periode Juni 2016 sampai sampel terpenuhi.
yang tidak), dan variabel kendali (usia, jenis Sampel penelitian terdiri dari 20 laki-laki
kelamin, faktor resiko). (66,7%) dan 10 perempuan (33, 3%). Rerata usia
Populasi dan Sampel kelompok perlakuan adalah 57,33 tahun (
Populasi penelitian adalah semua SD±9,18 tahun) dengan rentang usia 45-65 tahun,
penderita pasca stroke iskemik yang memenuhi sementara rerata usia pada kelompok kontrol
kriteria inklusi (purposive sampling). Sampel adalah 57,13 (SD± 5,07 tahun) dengan rentang
penelitian adalah penderita dari populasi usia 45-60 tahun. Kelompok umur tertinggi 55-64

97
Wahyuni Zubeidi ISSN 2252-5416

tahun yaitu 17 sampel (56,7%). Dari 15 sampel berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur dan
kelompok perlakuan didapatkan jumlah tertinggi skor NIHSS sebelum TMS dan setelah TMS.
pada jenis kelamin laki-laki yakni 11 sampel Hasil uji homogenitas variabel-variabel tersebut
(36,7% ), kelompok umur 55-64 tahun dengan 6 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok
sampel (20%). Distribusi sampel penelitian (p>0,05) (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik dan Uji Homogenitas Sampel Penelitian


Kelompok Penelitian
Perlakuan Kontrol Total
Variabel p
(n) (%) (%) (n) (%)
(n)
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 36,7 9 30 20 66,7 0.439
Perempuan 4 13,3 6 20 10 33,3
Kelompok Umur
< 45 tahun 2 6,7 0 0 2 6,7
45 - 54 tahun 3 10 3 10 6 20 0.135
55 - 64 tahun 6 20 11 36,7 17 56,7
≥ 65 4 13,3 1 3,3 5 16,7
Faktor Risiko
Hipertensi & DM 3 10 1 3,3 4 13,3
0.435
Hipertensi 10 33,3 10 33,3 20 66,7
DM 2 6,7 4 13,3 6 29
NIHSS pengamatan
Hari 1
Ringan 0 0 4 13,3 0 13,3 0.05
Sedang 15 50 10 66,6 25 83,3
Berat 0 0 1 6,7 1 6,7
NIHSS
pengamatan hari 10
Ringan 11 36,7 4 13,3 15 50 0.033
Sedang 4 13,3 10 33,3 14 46,7
Berat 0 0 1 3,3 1 3,3
p diuji Pearson Chi-square
Sumber: Data Primer

Analisis luaran klinis berdasarkan NIHSS yang bermakna sebelum dan setelah terapi dengan
pada kelompok perlakuan menunjukkan bahwa rTMS (kelompok perlakuan). Sebagai informasi
kelompok yang mendapat terapi standar disertai tambahan, pada kelompok perlakuan memiliki
rTMS didapatkan nilai mean sebelum rTMS nilai median NIHSS sebelum terapi rTMS adalah
adalah 10,46 dan setelah terapi dengan rTMS 11,00 dan setelah terapi adalah 4,00 (lampiran,
adalah 4,6. Uji Wilcoxon memperlihatkan nilai P Tabel 2).
0,001, sehingga terdapat perbedaan luaran klinis

Tabel 2. Analisis Luaran Klinis berdasarkan NIHSS pada Kelompok Perlakuan


Nilai NIHSS (n=15)
Variabel p*
Mean (SD) Median Min Maks
Sebelum rTMS 10,46 (1,64) 11,00 8 13
0,001
Setelah rTMS 4,60 (2,32) 4,00 1 9
Nilai P dengan uji Wilcoxon

98
Stroke iskemik, luaran klinis, repetitive transcranial magnetic stimulation ISSN 2252-5416

Analisis luaran klinis berdasarkan NIHSS 10) dengan nilai p 0,000 (<0,05), sehingga
pada kelompok kontrol menunjukkan kelompok disimpulkan terdapat perbedaan bermakna
yang mendapat terapi standar tanpa rTMS hari 1 perbaikan luaran klinis sebelum dan setelah
didapatkan nilai mean untuk perubahan skor terapi standar tanpa TMS (kelompok kontrol).
NIHSS adalah 8,53 (SD±4,48) dan hari 10 adalah Sebagai informasi tambahan, pada nilai median
7,53 (SD±4,29) pada. Uji t berpasangan NIHSS pada kelompok perlakuan adalah 9,00 dan
memperlihatkan hubungan bermakna antara skor kelompok kontrol adalah 8,00 (Tabel 3).
NIHSS awal (hari 1) dan akhir pengamatan (hari

Tabel 3. Analisis Luaran Klinis berdasarkan NIHSS pada Kelompok Kontrol


Nilai NIHSS (n=15)
Variabel p*
Mean (SD) Median Min Maks
Terapi standar 8.53 (4,48) 9,00 3 19
(hari 1)
0,000
Terapi standar 7.53 (4,29) 8,00 2 18
(hari 10)
* = uji t berpasangan

Analisis selisih penurunan skor NIHSS statistik memperlihatkan perbaikan nilai NIHSS
awal dan akhir pengamatan pada kelompok pada kelompok perlakuan secara bermakna
perlakuan dan kontrol menunjukkan nilai mean dibanding kelompok kontrol dengan nilai P 0,000.
perubahan NIHSS kelompok perlakuan dan Sebagai informasi tambahan, pada nilai median
kelompok kontrol. Nilai mean untuk perubahan NIHSS pada kelompok perlakuan adalah 6 dan
skor NIHSS pada kelompok perlakuan adalah kelompok kontrol adalah 1 (Tabel 4).
5,87 dan kelompok kontrol adalah 1,00. Uji

Tabel 4. Analisis Selisih Penurunan Skor NIHSS Awal dan Akhir Pengamatan pada Kelompok Perlakuan
dan Kontrol

Nilai NIHSS (n=15)


Variabel p*
Mean (SD) Median Min Maks
Perlakuan 5,87 (1,72) 6,00 3 8
0,000
Kontrol 1,00 (84) 1,00 0 3
* = uji Mann-Whitney

PEMBAHASAN disimpulkan bahwa variabel-variabel ini tidak


Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah berbeda bermakna pada kedua kelompok. Data
10 hari mendapat stimulasi repetitve transcranial NIHSS terdistribusi tidak merata dengan tes
magnetic terdapat perbaikan luaran klinis. Pada normalitas p < 0,005, sehingga digunakan nilai
uji wilcoxon menggambarkan perbaikan luaran mean serta uji komparatif variabel numerik dua
klinis secara bermakna pada kelompok perlakuan kelompok yang berpasangan dan tidak
(p 0,001) dan kelompok kontrol (P 0,000). berpasangan.
Dengan uji Mann-Whitney U, menunjukkan Sampel penelitian terdiri dari 20 laki-laki
perbaikan luaran klinis lebih bermakna pada (66,7%) dan 10 perempuan (33, 3%). Rerata usia
kelompok perlakuan bila dibanding kelompok kelompok perlakuan adalah 57,33 tahun (SD±9,18
kontrol (p 0,000). tahun) dengan rentang usia 45-65 tahun,
Peneliti mengendalikan variabel jenis sementara rerata usia pada kelompok kontrol
kelamin, kelompok umur, dan faktor risiko pada adalah 57,13 (SD± 5,07 tahun) dengan rentang
kelompok perlakuan dan kontrol. Data demografi usia 45-60 tahun. Kelompok umur tertinggi 55-64
tersebut didapatkan nilai P > 0,05, yang tahun yaitu 17 sampel (56,7%). Dari 15 sampel

99
Wahyuni Zubeidi ISSN 2252-5416

kelompok perlakuan didapatkan jumlah tertinggi kerusakan otak akibat strok. Hal tersebut
pada jenis kelamin laki-laki yakni 11 sampel berkaitan dengan reorganisasi kortikal setelah
(36,7%), kelompok umur 55-64 tahun dengan 6 onset strok. Faktor-faktor yang mempengaruhi
sampel (20%). Hal ini berbeda dengan proporsi luaran diantaranya waktu kejadian strok, lokasi
jenis kelamin pada penelitian Forsblom et al lesi, integritas traktus kortikospinal dan koneksi
(2009), tentang peran terapi rTMS dalam kortikal dan subkortikal (Johansson, 2011). rTMS
rehabilitasi stroke, dijumpai 60% distribusi pada dapat mengaktifkan korteks motorik dan
perempuan dan rentang usia pada 35-72 tahun. premotorik. Studi selanjutnya kemudian
Pada stroke iskemik, penderita laki-laki lebih memperlihatkan bahwa peningkatan kekuatan
banyak dibanding perempuan dan profil usia di sinaps eksitatori umumnya terlokalisir pada
bawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun dendrit proksimal dan telah tervoltasitasi (kanal
54,2 % dan usia di atas 65 tahun sebesar 33,5%. natrium dan kalsium), serta memiliki dependensi
Pada penelitian ini, ukuran dan lokasi lesi terhadap kalsium dan reseptor NMDA. Jika
serta faktor genetik termasuk variabel perancu. diperhatikan secara bersamaan, kedua studi
Hal ini disebabkan sensitivitas CT Scan tersebut sebenarnya telah memperlihatkan adanya
konvensional pada stroke iskemik onset kurang 48 mekanisme dibalik plastisitas yang dipicu oleh
jam bervariasi antara 57-71%, terkadang area rTMS yang mengacu pada fakta bahwa medan
hipodensitas belum jelas tergambar. Tidak magnetik yang diinduksi dari rTMS akan secara
didapatkan hubungan yang bermakna antara lesi simultan menyebabkan depolarisasi dari neuron
pada hemisfer kiri dan kanan ataupun usia pasien presinaps dan postsinaps (Lenz et al., 2015).
terhadap gangguan motorik dan disabilitas pada Penelitian ini pun, didapatkan analisa
onset 7-10 hari maupun 3 bulan pasca strok luaran klinis yang bermakna pada kelompok
iskemik. Damopoli et al (2007), melaporkan kontrol (p 0,000). Tetapi ada perbedaan nilai
terdapat hubungan antara luaran strok iskemik mean pada perubahan skor dimana pada kelompok
dengan volume dan letak teritorri arteri berdasarka perlakuan terdapat perbaikan skor NIHSS
indeks barthel. Pasien mempunyai luaran klinis dibandingkan dengan kelompok kontrol.
yang lebih baik (activity daily living) bila Johansson (2011), menyatakan kombinasi terapi
mempunyai volume lesi infark kecil (< 50 cc) standar, perawatan yang baik dalam hal latihan
pada arteri territori arteri cerebri anterior. Tidak dan adanya motivasi yang baik bermakna pada
terdapat hubungna yanng bermakna antara luaran luaran strok iskemik. Pada kebanyakan pasien
klinis dengan letak topografi (korteks dan strok, derajat klinis umumnya terjadi perbaikan
subkorteks). Penelitian memaparkan faktor pada minggu pertama atau bahkan bulan setelah
genetik yang sering dihubungkan dengan strok onset strok. Penelitian pada hewan coba
iskemik diantaranya polimofirsme gen β- menunjukkan bahwa infark otak dikaitkan dengan
fibrinogen C148→T dan polimorfisme gen pada plastic-growth-related even termasuk didalamnya,
sistem renin angiotensin seperti gen perubahan struktur axon, dendrit dan sinaps,
angiotensinogen, angiotensin converting enzyme peningkatan aktivasi dan migrasi sel-sel stem
(ACE) dan reseptor angiotensin. neural serta perubahan matriks ekstraseluler, sel-
Pada penelitian ini didapatkan luaran sel glia dan pembuluh darah. Pada manusia, area
klinis yang bermakna pada pemberian rTMS (p disekitar infark akan melakukan remapping,
0,001). Perbaikan strok dipengaruhi hilangnya hemisfer kontra lesi dan area lainnya akan
edema cerebri, perbaikan sel saraf, adanya berkoneksi dengan daerah lesi. Pada daerah yang
kolateral dan plastisitas. rTMS erat kaitannya rusak akan terjadi axon sprout new conection,
dengan plastisitas otak. Plastisitas sebagai novel projection pattern dan migrasi neuron
kemampuan struktur otak dan fungsi terkait untuk newly-born immature. Faktor lingkungan
tetap berkembang karena adanya stimulus yang berperan dalam perbaikan klinis setelah strok
mungkin terjadi perubahan struktur jaringan (Sarkamo, 2012; Patel et al., 2010).
dendrit dan koneksi antar sel neuron menjadi lebih Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
kompleks. Plastisitas otak merupakan usaha tubuh melihat perbaikan klinis penderita strok.
beradaptasi terhadap tekanan lingkungan, Perbaikan fungsional lesi otak fokal bergantung
pengalaman, dan perubahan-perubahan termasuk dari plastisitas korteks serebri dan bagian-bagian

100
Stroke iskemik, luaran klinis, repetitive transcranial magnetic stimulation ISSN 2252-5416

lain yang tidak terganggu pada jaringan yang menggunakan rTMS lebih baik dibanding
fungsional. Adanya lesi kecil pada korteks penderita strok iskemik tanpa menggunakan
somatosensorik menyebabkan perubahan rTMS. Peneliti menyarankan agar penggunaan
eksitabilitas yang menyebabkan penurunan rTMS sebagai terapi adjuvant dapat menjadi
reseptor GABA (gamma-aminobutyric Acid) dan pertimbangan dalam perbaikan luaran pasien strok
peningkatan NMDA (N-Methyl-D-aspartate) pada iskemik. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
daerah otak diluar lesi. Perubahan pada tentang efek rTMS terhadap perbaikan luaran
neurotransmitter eksitatorik dan inhibitorik ini strok lainnya atau terhadap penyakit neurologi
mungkin adalah bagian proses adaptif yang lainnya.
terlibat dalam reorganisasi fungsional. Bersamaan
dengan terjadinya perubahan neurotransmitter ini, DAFTAR PUSTAKA
terjadi perubahan struktural dengan adanya Damopoli et al. (2007). Korelasi antara Volume
sprouting dendrit dan pembentukan sinaps pada dan Letak Infark pada CT-Scan Kepala
daerah sekitar hemisfer yang terganggu, tetapi dengan Derajat Klinis Berdasarkan Indeks
juga pada hemisfer kontralateral dari daerah yang Barthel pada Penderita Stroke Iskemik
terganggu. Penelitian dengan repetitive Akut. The Indonesian Journal of Medical
transcranial magnetic stimulation (rTMS) pada Science. 1: 333-42.
penderita strok dengan afasia, menunjukkan pada Edward et al. (2015). Emerging Treatments for
lesi strok unilateral akan mengurangi inhibisi Motor Rehabilitation after Stroke.
transkalosal. Terjadi peningkatan volume aliran Neurohospitalist. 5(2): 77-88.
darah didaerah kontralateral lesi saat pasien afasia Emara et al. (2010). Repetitive Transcranial
berusaha berbicara. Daerah korteks yang berperan Magnetic Stimulation at 1Hz and 5Hz
dalam fungsi bahasa berkaitan dengan serabut- Produces Sustained Improvement in Motor
serabut asosiasi pada daerah korteks lain pada Function and Disability After Ischemic
hemisfer kiri dan kanan. Serabut-serabut asosiasi Stroke. European Journal of Neurology.
ini terdiri dari serabut pendek dan panjang yang 17:1203-1209.
menghubungkan area satu dengan yang lain pada Forsblom et al. (2009). Therapeutic Role of Music
hemisfer yang sama. Serabut komissura Listening in Stroke Rehabilitation. Ann N Y
menghubungkan area satu dengan yang lain pada Acad Sci. 1169: 426-30.
hemisfer yang berbeda, sehingga area korteks Irfan. (2010). Fisioterapi bagi Insan Stroke.
yang jauh dari lesi juga akan mengalami Yogyakarta: Graha Ilmu.
gangguan akibat terganggunya input aferen Johansson. (2011). Current Trends in Stroke
normal dari lesi (Sarkamo, 2012; Patel et al., Rehabilitation A Review with Focus on
2010). Brain Plasticity. Acta Neurol Scand.
rTMS digunakan sebagai terapi pelengkap 123(3): 147-59.
yang bisa memperbaiki luaran pasien strok. Pada Lenz et al. (2015). Ischemic Long-Term-
penelitian ini menemukan bahwa rTMS dapat Potentiation (iLTP): Perspectives to Set the
meningkatkan luaran strok, sehingga dapat Threshold of Neural Plasticity toward
menjadi pertimbangan sebagai terapi adjuvant Therapy. Neural Regeneration Research.
dalam penanganan pasien stroke iskemik. Misbach & Soertidewi. (2011). Epidemiologi
Kelemahan penelitian ini adalah jumlah sampel Stroke. In Aspek Diagnosis, Patofisiologi,
yang kecil dan rentang waktu penelitian yang Manajemen. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
relatif pendek. Patel et al. (2010). Tracking Motor Recovery in
Stroke Survivors Undergoing Rehabilitation
KESIMPULAN DAN SARAN Using Wearable Technology. Conf Proc
Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat IEEE Eng Med Biol Soc.
perbaikan luaran klinis penderita strok iskemik Sarkamo. (2012). Music Listening after Stroke:
dengan terapi standar disertai rTMS. Terdapat Beneficial Effects and Potential Neural
perbaikan luaran klinis penderita strok iskemik Mechanisms. Annals of the New York
dengan terapi standar tanpa disertai rTMS. Academy of Science. 1252: 266-281.
Perbaikan luaran klinis penderita strok iskemik Trihono. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:

101
Wahyuni Zubeidi ISSN 2252-5416

Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

102

Anda mungkin juga menyukai