Anda di halaman 1dari 48

KONSENSUS NASIONAL

REHABILITASI STROKE

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS


KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASIINDONESIA
(PERDOSRI)
2012
DAFTAR ISI

Kata Pengantar Ketua PERDOSRI


Tim Penyusun Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke 2004 dan
Tim Revisi Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke 2012
Daftar Isi

I. Latar Belakang
II. Definisi Rehabilitasi Stroke
III. Klasifikasi Stroke
IV. Asesmen dan Diagnosis Fungsional
V. Prognosis
VI. Intervensi Rehabilitasi
VII. Organisasi Pelayanan Rehabilitasi Stroke
VIII. Peran Serta Masyarakat
IX. Daftar Pustaka

Lampiran :
1. Bentuk Pelayanan Institusi
2. Algoritma Rehabilitasi Stroke Fase Akut
3. Algoritma Rehabilitasi Stroke Subakut/Pemulihan
TIM PENYUSUN
KONSENSUS NASIONAL REHABILITASI STROKE 2004

Penasihat:
Dr. S.A Nuhonni M.Jatim, SpRM - K
DR. Dr. Angela Tulaar Ranti, SpRM - K
Pengarah:
DR. Dr. Ferial Hadipoetro Idris, SpRM – K, MS
Dr. Widjaja Laksmi K, SpRM – K, Msc

KELOMPOK KERJA:

Dr. Anita Ratnawati, SpRM


Dr. Deddy Tedjasukmana, SpRM
Dr. Dina Savitri Utomo, SpRM
Dr. Kumara Bakti Hera Pratiwi, SpRM
Dr. Luh Karunia Wahyuni, SpRM
Dr. Maria Eva Dana, SpRM
Dr. Nyoman Murdana, SpRM
Dr. Peni Kusumastuti,SpRM
Dr.Rachmawati, SpRM
Dr. Rosiana Pradanasari Wirawan, SpRM
Dr. Tetty Hutabarat, SpRM
Dr. Tirza Z. Tamin, SpRM
Dr. Yani Damayanti, SpRM
Dr. Zisjkawati, SpRM

TIM REVISI
KONSENSUS NASIONAL REHABILITASI STROKE 2012

Penasihat:
Dr. Luh Karunia Wahyuni, SpKFR-K
Prof. DR. Dr. Angela Tulaar, SpKFR-K

Kelompok Kerja:

Dr. Fanny Aliwarga, SpKFR


Dr. Ira Mistivani, SpKFR
Dr. Rosiana Pradanasari Wirawan SpKFR
Dr. Shely Anggoro, SpKFR
Dr. Vico Lie Bing Hoat, SpKFR
Dr. Virmandiani, SpKFR
Latar Belakang
(latar belakang yang menyebabkan konsensus stroke perlu dilakukan revisi)x
Kecacatan merupakan masalah nasional yang besar. Menurut WHO prevalensi penyandang
cacat diperkirakan sekitar 7-10% dari jumlah penduduk. Tentu saja jumlah ini sangat
mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil penelitian Seamic Health Statistic (Int Med Found Japan
1998) antara tahun 1991 sampai 1995 stroke menjadi penyebab kematian utama di Indonesia dan
sebagai penyebab kecacatan paling banyak pada kelompok usia dewasa.

Insiden stroke di Indonesia memang belakangan ini semakin meningkat. Dengan


bertambah majunya ilmu pengetahuan dan tehnologi di bidang kesehatan, korban stroke yang
dapat bertahan hidup semakin banyak, walaupun dengan gejala sisa yang sangat berat. Akibat pola
makanan yang tidak sehat, pola hidup yang penuh stress serta kurangnya budaya olah raga akibat
kesibukan, maka prevalensi stroke juga bergeser pada kalangan usia produktif.

Upaya rehabilitasi telah terbukti dapat mengoptimalkan pemulihan sehingga penyandang


stroke mendapat keluaran fungsional dan kualitas hidup yang lebih baik. Meningkatnya jumlah
penyandang stroke di Indonesia, merupakan tantangan besar bagi Dokter Spesialis Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi (SpKFR) untuk lebih meningkatkan perannya. Oleh sebab itu dirasakan
perlu adanya Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke guna menyamakan persepsi dan menyatukan
pendapat. Dengan demikian rehabilitasi stroke dapat ditangani dengan prinsip pengelolaan yang
sama, waktu yang efektif, biaya yang efisien serta hasil keluaran fungsional yang optimal sehingga
tercapai kualitas hidup penyandang stroke yang lebih baik.

NOTE : perlu ditambahkan : penjelasan mengenai cara menetapkan guideline stroke ini,
antar lain : kesepakatan bersama melalui diskusi kelompok, telaah kepustakaan, serta pengalaman
klinis
Tambahkan pula mengenai : level rekomendasi serta level bukti
Tambahkan pula mengenai bahwa ini adalah suatu panduan/guideline dalam
memilih assessment tools dan tatalaksana rehabilitasi stroke

Definisi

Rehabilitasi stroke adalah pengelolaan medik dan rehabilitasi yang komprehensif terhadap
disabilitas yang diakibatkan oleh stroke melalui pendekatan neurorehabilitasi dengan tujuan
mengoptimalkan pemulihan dan atau memodifikasi gejala sisa yang ada agar penyandang stroke
mampu melakukan aktivitas fungsional secara mandiri, dapat beradaptasi dengan lingkungan
danmencapai hidup yang berkualitas.

Klasifikasi Stroke

Stroke diklasifikasikan antara lain berdasarkan:


1. Letak lesi anatomis
- Kortikal
- Subkortikal
- Batang otak
2. Gangguan sirkulasi di otak (Bamford Clinical Classification of Stroke)
- Sindroma sirkulasi anterior total (Total Anterior Circulation Syndromes TACS)
- Sindroma sirkulasi anterior parsial (Partial Anterior Circulation Syndromes PACS)
- Sindroma sirkulasi posterior (Posterior Circulation Syndromes POCS )
- Sindroma lakunar (Lacunar Syndromes LACS)
3. Berdasarkan sifat gangguan aliran darah
- Non Haemorrhagik (TIA,RIND, Trombosis, Emboli)
- Haemorrhagik (intra serebral, subarachnoid)
4. Berdasarkan waktu terjadinya
- Stroke in evolution
- Stroke komplit (pertama, berulang)

REHABILITASI STROKE

Tatalaksana Rehabilitasi Stroke dibedakan dalam tiga fase yaitu fase akut, fase subakut dan fase
kronis, dimana pada masing-masing fase mempunyai tujuan dan tatalaksana rehabilitasi yang
berbeda.

A. REHABILITASI STROKE FASE AKUT

Stroke fase akut ditandai oleh kondisi hemodinamis dan neurologis yang belum stabil. Fase ini
dapat berlangsung beberapa hari sampai dengan 2 minggu pasca stroke, tergantung jenis dan
keparahan stroke yang terjadi.

Intervensi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada fase akut ditujukan untuk meminimalkan gejala
sisa dengan membantu perbaikan perfusi otak serta mencegah komplikasi yang dapat terjadi akibat
stroke maupun immobilitassehingga tercapai pemulihan fungsional yang optimal.

Rekomendasi berbasis bukti pada fase akut:


 Pasien stroke akut sebaiknya dirawat di unit stroke dalam penanganan tim stroke multidisiplin yang bekerja
secara terkoordinir (Rekomendasi A)1, 2
 Apabila tidak ada unit stroke, sebaiknya pasien dirawat di ruang rawat rehabilitasi medis (Rekomendasi B)1
 Tim stroke multidispliner terdiri dari dokter spesialis, perawat rehabilitasi, fisioterapis, terapis okupasi,
terapis wicara, serta petugas sosial medis (Rekomendasi B)1
 Pasien dan keluarga juga merupakan bagian dari tim dan diikutsertakan dalam proses rehabilitasi
(Rekomendasi B)1, 2, 3
 Semua pasien stroke yang dirawat di perawatan akut harus mendapat asesmen awal oleh tim rehabilitasi
medik sesegera mungkin setelah masuk (level 1) dalam 24-48 jam pertama (level III) termasuk pada akhir
minggu(Rekomendasi A)6

Asesmen

Asesmen Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dilakukan sejak hari pertama pasien
dirawat di Unit Stroke atau Ruang Rawat. Asesmen fase akut dapat dilengkapi secara bertahap
disesuaikan dengan kondisi stabilitas hemodinamik pasien. Seluruh pemeriksaansebaiknya selesai
dalam 5-7 hari masa rawat.

Tabel 1. Asesmen Fase Akut

Jenis Pemeriksaan Metode Penilaian Penilaian


Tingkat keparahan NIHSS
Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS) Compos mentis/Kesadaran menurun
Tanda vital TD/N/P/S Normal/Tidak normal
Pernafasan Pola pernafasan Normal/Terganggu
Motorik Kemampuan menggerakkan anggota gerak Fungsional/Non fungsional
Sensorik Eksteroseptif dan proprioseptif Normal/Terganggu
Komunikasi dan Kognisi GCS, Mini Mental State Examination (MMSE) Normal/terganggu
Fungsi menelan Bedside Swallowing Screening Test Normal/Terganggu
Fungsi eliminasi Kemampuan kontrol miksi dan defekasi Normal/Terganggu
Faktor resiko Diabetes, hipertensi, penyakit jantung dll. Ada/Tidak
Komorbiditas Fraktur, cedera medula spinalis dll Ada/Tidak

Diagnosis
Penulisan diagnosis mencakup:
 Jenis stroke
 Area sirkulasi yang terganggu
 Lama stroke
 Status Hemodinamik dan Neurologis
 Fungsi yang terganggu

Contoh:
Stroke non-hemoragik/hemoragik, TACS/PACS/POCS/LACS hari ke .....
Neurologis stabil/belum stabil, hemodinamik stabil/belum stabil
dengan gangguan fungsi ............................................

Tatalaksana Rehabilitasi Fase akut

Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada pasien stroke fase akut ditujukan untuk
meminimalkan disabilitas akibat stroke dan mengoptimalkan pemulihan fungsional dengan
memberikan intervensi rehabilitasi medik yang bertujuan membantu perbaikan perfusi otak dan
mencegah komplikasi yang terjadi akibat stroke dan efek immobilitas. Kemampuan menetapkan
mobilisasi pasien sedini mungkin sesuai kondisi medisnya merupakan faktor kritis keberhasilan
rehabilitasi.

Intervensi Rehabilitasi

Jenis Intervensi Rincian Intervensi


Posturingposisi terapeutik  Dilakukan sejak hari pertama perawatan.
Perubahan posisi secara berkala  Perubahan posisi dilakukan minimal 2 jam sekali.
 Pada posisi telentang, tempat tidur bagian kepala dielevasi minimal
300.Posisi ini dapat memperbaiki aliran darahke otak (Level II).1
 Bila kondisi medis stabil sesegera mungkin pasien di posisikan duduk
tegak bersandarkan karena posisi ini memberikan saturasi oksigen
tertinggi dibandingkan dengan posisi lain(Rekomendasi C).1
 Saat berbaring terlentang letakkan lengan yang paresis lebih tinggi dari
level jantung dalam posisi bahu protraksi,siku ekstensi, tangan supinasi
dan seluruh jari-jari ekstensi. Tungkai yang paresis diposisikanlurus dan
hindari rotasi panggul. Foot board hanya boleh digunakan pada tungkai
yang masih flaksid.
 Saat berbaring miring ke sisi batang tubuh tetap lurus dengan panggul dan
lutut posisi fleksi, bahu protraksi, siku ekstensi, pergelangantangan
pronasi dan jari-jari ekstensi.
 Jangan berikan apapun pada telapak tangan sisi paresis yang dapat
menimbulkan rangsangan fleksi jari.
Terapi fisik dada  Terapi latihan pembersihan jalan napas: batuk efektif (huffing dan
coughing), postural drainage, vibrasi, perkusi. Inhalasi diberikan sesuai
kebutuhan.
 Terapi latihan mobilisasi toraks.
 Terapi latihan pernapasan.
Terapi latihan luas gerak sendi  Untuk pasien yang tidak mampu bergerak sama sekali paling sedikit
Terapi latihan peregangan dilakukan 2 kali per hari.
 Terapi latihan peregangan diberikan pada pasien dengan tonus
meningkatkan dan atau telah ada pemendekkan otot.
 Apabila kondisi neurologik dan hemodinamik belum stabil, terapi latihan
ini diberikan secara pasif. Bila sudah stabil maka bertahap terapi latihan
dapat diberikan secara aktif asistif dan atau aktif.
Stimulasi sensoris multimodal  Pada pasien dengan kesadaran menurun dapat diberikan stimulasi sensoris
auditori, taktil, vestibular, dan visual.
 Pemberian stimulasi hendaknya bergantian dan tidak dalam durasi lama,
karena adanya efek adaptasi.
 Pemberian rangsangan taktil tergantung pada arah rangsangan dapat
bersifat relaksasi ataupun stimulasi. Untuk mendapat efek yang lebih baik
dapat dikombinasikan dengan perubahan temperatur, panas atau dingin.
Mobilisasi duduk dan  Mobilisasi ke arah duduk tegak dapat dilakukan sesegera dan sesering
Terapi latihan aktif mungkin (Rekomendasi B).1-5
 Terapi latihan aktif dapat diberikan apabila kondisi neurologik dan
hemodinamik pasien telah stabil dengan:
MAP: Untuk pasien stroke non hemoragik dengan MAP <130 mmHg
sedangkan stroke hemoragik dengan MAP <120 mmHg.
Gula darah: >90 mg% atau <250 mg%
Saturasi oksigen>95%
Terapi latihan perawatan diri  Sudah dapat dimulai bila pasien compos mentis, bisa duduk stabil
Terapi latihan fungsi eksekusi bersandar, dan tidak ada afasia sensorik berat
 Latihan aktivitas sehari-hari disarankan dilatih sejak awal dan merupakan
bagian dari program rehabilitasi stroke rawat inap. (Rekomendasi B)1
 Untuk pasien dengan kelemahan ekstremitas yang berat, terapi latihan ini
bisa dialihkan pada sisi yang sehat, terutama bila prognosis pemulihannya
buruk (sesuai MRI atau CT Scan)
Uji fungsi menelan  Skrining menelan harus segera dilakukan sebelum pasien mendapat
Terapi latihan oromotor dan menelan makanan, minuman atau obat-obatan oral. Skrining dilakukan oleh
personil yang terlatih dengan menggunakan metode khusus yang sudah
tervalidasi (Rekomendasi B).1, 3, 4
 Bila ada gangguan menelan segera atasi dengan pemberian NGT.
 Uji fungsi menelan selanjutnya dilakukan saat pasien sudah compos
mentis, dapat diposisikan duduk tegak bersandar dan dapat memahami
bahasa verbal dan memberikan respons yang adekuat baik verbal atau non
verbal. (tidak ada afasia sensorik)
 Uji fungsi menelan harus menetapkan diagnosis gangguan menelan dan
intervensi yang diperlukan.
 Terapi latihan disesuaikan dengan tipe gangguan dan dengan stimulasi
menelan melalui modifikasi jenis dan kepadatan makanan.
 Pada saat memulai terapi latihan makan sebaiknya makanan yang
diberikan mempunyai tekstur dan kepadatan yang homogen, yang secara
bertahap diubah sampai pasien mampu makan makanan biasa.
 Saat terapi latihan minum, cairan yang diberikan bertahap mulai dari
kekentalan setingkat juice pepaya, juice melon, susu dan akhirnya air.
Kekentalan cairan dapat dimodikasi dengan bubuk pengental cairan.
 NGT dapat dilepas apabila kebutuhan nutrisi pasien secara keseluruhan
dapat dipenuhi baik cariran maupun makanan.
 Pasien dengan disfagia berat mungkin perlu dilakukan uji fungsi lebih
lanjut seperti Endoskopi atau Videofluoroskopi.
Uji fungsi kontrol miksi  Pada perawatan awal dimana kondisi hemodinamik pasien belum stabil
Bladder training dan memerlukan terapi cairan, atau pasien dengan kesadaran menurun
umumnya diperlukan pemasangan dower catheter (DC) untuk menjamin
balans cairan yang adekuat.
 Lakukan penilaian setiap hari apakah DC sudah boleh dilepas karena
tingginya komplikasi pemakaian DC.
 Uji fungsi kontrol miksi dengan memberikan minum secara teratur
sebanyak 125-150cc/jam dan evaluasi adanya sensasi penuh pada kandung
kemih, kemampuan miksi, kontrol sphingter dan residu urin setelah miksi.
Apabila dalam 4 jam tidak terjadi miksi dan tidak ada sensasi penuh pada
kandung kemih, maka pasien memerlukan penanganan kateterisasi
berkala. Apabila pasien mampu miksi spontan, evaluasi segera residu urin
setelah miksi. Bila residu urin >20% dari kapasitas bladder, pasien
memerlukan penanganan kateterisasi berkala.
 Pasien yang tidak dapat mengkontrol sphinkter namun residu urinnya
rendah diberikan latihan berkemih dengan prompt voiding.
Uji fungsi kontrol bowel  Pasien stroke sebagian besar mempunyai kesulitan untuk defekasi karena
Bowel training masukan nutrisi termasuk cairan dan aktivitas gerakberkurang
(imobilisasi). Upayakan defekasi terjadi paling lambat 2 hari sekali, bila
perlu dapat berikan medikamentosa supositoria.
 Untuk pasien yang masih makan makanan cair dan atau lunak diperlukan
laxantiv untuk membantu feses menjadi bulk dan terapimassage untuk
memperlancar defekasi.
 Pasien yang lemah dan belum mampu bergerak seringkali masih
diperlukan bantuan manual evakuasi feses.
 Pada pasien yang tidak mampu mengkontrol defekasi, lakukan training
defekasi pada waktu yang sama setiap hari.
Uji fungsi komunikasi  Gangguan komunikasi terdiri gangguan bahasa maupun bicara.
Stimulasi dan terapi latihan  Evaluasi gangguan bahasa dan bicara secara rinci dapat dilakukan apabila
Pemberian alat bantu komunikasi pasien cukup alert, sebaiknya pasien sudah mampu duduk bersandar
dengan punggung tegak dan kepala dalam kesegarisan dengan punggung.
 Pada pasien afasia sensomotorik stimulasi multisensoris seperti
komunikasi visual, auditoris, maupun taktil dengan sentuhan perlu sedini
mungkin diterapkan agar pasien tenang dan tidak cemas.
 Bila jenis afasia sudah dapat ditetapkan, terapi latihan dapat diberikan
sesuai dengan jenis afasia. Pemberian alat bantu komunikasi sejak awal
memungkinkan pasien tetap mempunyai kemampuan berkomunikasi
dengan keluarga dan lingkungannya.
 Terapi latihan afasia baru efisien apabila pasien mempunyai atensi
ataupun konsentrasi minimal 10-15 menit.
B. REHABILITASI STROKE FASE SUBAKUT

Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi hemodinamik telah stabil dan adanya proses pemulihan
dan reorganisasi pada sistem saraf. Fase pemulihan ini umumnya berlangsung mulai dari 2 minggu
sampai dengan 6 bulan pasca stroke. Fase ini merupakan fase penting untuk pemulihan fungsional.

Pasien stroke fase subakut dapat mengikuti program rehabilitasi medik sebagai pasien rawat jalan
maupun rawat inap. Tabel 1. menunjukan rekomendasi status pasien dalam menjalani rehabilitasi.

Tabel 1. Rekomendasi status pasien dalam menjalani rehabilitasi stroke berdasarkan tingkat keparahan stroke dan
kemampuan fungsional (berdasarkan FIM) dan toleransi terhadap terapi latihan.

Tingkat Keparahan
Berat Sedang Ringan
Status Fungsional
Skor Fungsional awal < 40 40 – 80 >80

Skor Fungsi Motorik < 37 38 – 62 > 62

Toleransi
Durasi Minimal 1 Jam 3 Jam 45 – 60 Menit 45 – 60 Menit

Frekuensi (per minggu) 3 – 5 Kali 5 – 7 Kali 3 – 5 Kali 3 – 5 Kali

Status Pasien Rawat Inap Rawat Inap Home Program Rawat Jalan

Pasien tingkat keparahan berat dengan prognosis fungsionalburuk maka program rehabilitasi difokuskan pada edukasi
pada keluarga/caregivers tentang perawatan pasien, program rehabilitasi paliatif, penyediaan alat bantu atau
aksesibilitas yang mendukung agar tetap tercapai hidup yang berkualitas.

Rekomendasi pada fase subakut


 Seluruh pasien stroke setelah discharge dari rumah sakit harus mendapat asesmen ulang dalam 2 minggu
yang meliputi pemeriksaan medis, fungsional dan kognitif (level 1) 6
 Pasien harus diberikan informasi, saran dan kesempatan untuk berbicara tentang dampak dari penyakit pada
kehidupan mereka (B)1. Kebutuhan psikologis dan sosial harus dinilai (C)1. Pasien harus diskrining untuk
depresi dan kecemasan dalam bulan pertama, dan mood mereka terus dikaji. Karena hal ini akan sangat
menentukan keberhasilan program rehabilitasi
 Tingkat emosional setelah stroke harus dikonfirmasikan di wawancara klinis (B). Pasien dengan tearfulness
berat, persisten atau merepotkan (emosionalism) harus diberikan terapi obat antidepresan, pemantauan
keefektifan dapat berupa frekuensi menangis (A).
 Pasien dengan depresi ringan harus segera dikelola, jika semakin parah atau sudah persisten harus
dipertimbangkan pemberian obat antidepresan (A) . Antidepresan harus dilanjutkan setidaknya selama enam
bulan jika respon yang baik telah dicapai, dengan pengobatan terus dikaji (D). Obat antidepresan tidak boleh
digunakan secara rutin untuk mencegah timbulnya depresi atau meningkatkan hasil lainnya (A).
 Pasien dengan kecemasan harus ditawarkan terapi psikologis, yang diberikan oleh praktisi (B). Pasien dengan
kecemasan ditandai harus dipertimbangkan untuk percobaan antidepresan obat atau benzodiazepin (B).
 Dalam menentukan kemampuan belajar pada penderita stroke seringkali tidak dilakukan dalam satu kali,
sebaiknya dilakukan secara berkala. Ini mungkin akan memerlukan keterampilan khusus dari seorang
psikolog atau neuropsikolog.
 Setiap pasien dengan stroke hemisfer dominan harus dinilai kemampuan bicara dan bahasa kesulitan
menggunakan alat screening yang handal dan valid(B).
 Jika pasien memiliki afasia, tim rehabilitasi dan keluarga harus diberitahu dan dilatih oleh terapi wicara
tentang teknik komunikasi yang sesuai dengan tingkat disabilitasnya (A). setelah goal dapat ditentukan,
pemantauan kemajuan terus diamati dengan memberikan terapi yang tepat(C). Penderita afasia harus
mendapatkan terapi yang sesuai dengan kemampuan bicara dan bahasa mereka. Penelitian menunjukkan
menunjukkan bahwa terapi bicara dan bahasa harus antara dua dan delapan jam perminggu (B). Untuk pasien
dengan afasia jangka panjang, terapi kelompok harus dipertimbangkan (A). Setiap pasien dengan gangguan
komunikasi yang parah harus dipertimbangkan alternatif yang tepat atau penggunaan komunikasi bantu (D)

Asesmen

Asesmen pada fase subakut difokuskan pada masalah disabilitas pasien. Berdasarkan disabilitas
yang ada, dilakukan asesmen gangguan fungsi organ, masalah psikososioekonomi and lingkungan
dimana pasien tinggal untuk menentukan goal rehabilitasi, yang sejalan dengan prognosis
pemulihan fungsional pasien. (lampiran 3)

Jenis Asesmen Metode Penilaian


Fungsi komunikasi bahasa  TokenTestuntuk menentukan ada-tidaknya afasia. Tes ini memeriksa
 Afasia Gobal pemahaman bahasa auditif, dan tidak tergantung pada daya ingat atau
 Afasia Broca intelegensia pasien.
 Afasia Wernicke  Tes Afasia untuk Diagnosis Informasi Rehabilitasi (TADIR)untuk menetapkan
 Afasia Konduksi sindroma afasia dan jenis terapi yang diperlukan.
 Afasia Transkortikal Motoris  Boston Diagnostic Aphasia Examination untuk menetapkan diagnosis sindroma
 Afasia Transkortikal Sensoris afasia dan kemajuan terapi.
 Afasia Anomis  Minnesota Test for Differential Diagnosis of Afasia untuk mengenali semua
modalitas bahasa yang ada sebagai dasar perencanaan terapi. Tes ini dapat
digunakan untuk membedakan dengan apraksia, gangguan persepsi dan disartria.
 Functional Communication Profile untuk memeriksa kemampuan komunikasi
fungsional
 Western Aphasia Battery,
 Halstead Aphasia Screening Test
 Boston Naming Test
 Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada

Fungsi komunikasi bicara Test for Dysartria and Verbal Apraxia (TEDYVA)
 Disartria flaksid  Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
 Disartria spastik
 Disartria ataksik
 Disartria hipokinetik
 Disartria hiperkinetik
 Disartria campuran
 Apraksia verbal
 Apraksia bukofascial

Fungsi kortikal luhur Mini Mental State Examination (MMSE)


 atensi Neurocognitive Status Examination(NCSE)
 konsentrasi Tes Kognitif Serial
 memori Executive Function Performance Test (EFPT)
 judgement  Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
 problem solving
 organisasi / kategorisasi
 visuospasial
 kalkulasi
 emosi
 praksia /eksekusi

Fungsi psikologis Hamilton Rating Scale for Depression


 depresi  Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
 psikiatrik

Fungsi visual
 low vision
 hemianopsia
 visual agnosia

Fungsi auditori

Kemampuan menelan
 tingkat oral Diagnosis gangguan menelanbedside
 tingkat faringeal Videofluoroscopic
 tingkat orofaringeal Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)
 tingkat esofageal  Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
 lain-lain

Kemampuan ambulasi jalan Test Fugl Meyer


 hemiparese/plegia Postural Assessment Scale (PAS)
 hemiestesia Tes visuospatial
 masalah vestibular Tes diadokokinesis dan dysmetria
 Berg Balance Test
 dekondisi Tes jalan 10 m
Gait analysis
 Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada

Kemampuan merawat diri Tes Koordinasi dengan nose finger pointing, heel to shin
dan aktivitas sehari-hari Barthel Index
 hemiparesis/plegia IADL (Instrumental Activity Daily Living)
 hemiestesia Functional Independence Measurement (FIM)
 grasping Executive Function performance Test
 prehension Action Research Arm Test
 postural kontrol  Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
 dekondisi
 persepsi/ eksekusi

Kemampuan miksi Penilaian fungsi penyimpanan dan evakuasi urin
Urodynamic test jika perlu
 Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada

Kemampuan defekasi Penilaian peristaltik usus


Kekuatan sphincter ani
 Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
Diagnosis

Penulisan diagnosis mencakup:


 Jenis stroke
 Area sirkulasi yang terganggu
 Lama stroke
 Masalah medis yang saat ini ada
 Masalah fungsional (disabilitas)
 Gangguan fungsi yang menjadi penyebab disabilitas
Contoh
Stroke non-hemoragik/hemoragis,TACS/PACS/POCS/LACS minggu/bulan ke ..... dengan
 masalah medis
 masalah fungsional

Tatalaksana Rehabilitasi Stroke Fase Subakut

Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada fase sub akut bertujuan untuk
mengoptimalkan pemulihan fungsional sesuai dengan kondisi dan tingkat keparahan stroke
berdasarkan motor learning dan plastisitas otak. Intervensi rehabilitasi diberikan sesuai dengan
kondisi medis, beratnya dampak stroke, medikamentosa yang pasien minum saat itu, kapasitas
fungsional dan kebugaran kardiorespirasi pasien dalam menjalankan program rehabilitasi.

Intervensi rehabilitasi

Masalah Fungsional Intervensi Rehabilitasi


Gangguan komunikasi akibat  Pasien afasia dengan kesadaran compos mentis harus secepat mungkin
afasia: ditetapkan metoda/cara komunikasi sesuai dengan kemampuan yang masih ada,
 Gobal verbal ataupun non verbal.
 Broca (motoris eferen)  Penanganan afasia secara metodik terarah baru diberikan beberapa minggu
 Wernicke (sensoris) pasca stroke, setelah residual menetap dan diagnosis afasia telah ditetapkan.
 Konduksi (motoris aferen)  Afasia adalah suatu gangguan bahasa yang merupakan alat komunikasi
 Transkortikal Motoris manusia. Oleh karena itu tujuan utama penanganan pasien afasia adalah
 Transkotikal Sensoris mengoptimalisasi komunikasi pasien dengan keluarga dan lingkungannya,
 Anomia bukan semata-mata dapat berbahasa/bicara.
 Pada pasien afasia terdapat berbagai aspek komunikasi penting yang masih
tetap utuh seperti isi bahasa, pemakaian bahasa, penggunaan prosodi, kontak
mata, gilir bicara, yamg dapat digunakan untuk melatih pasien.
 Pasien afasia harus dilatih minimal dua kali seminggu sedikitnya selama enam
bulan. (Rekomendasi B)1. Dalam penanganan jangka panjang, terapi wicara
cukup satu kali seminggu, pasien secara aktif melakukan home program.

 Macam-macam penanganan gangguan berbahasa antara lain menggunakan:
o Neuropsikologi kognitif: termasuk fonologi dan semantik, penyusunan
kalimat (menulis dan membaca).(Rekomendasi C)4
o Constraint-induced language therapy. (Rekomendasi B)4
o Bahasa tubuh atau gesture. (Rekomendasi D)4
o Teknik percakapan dengan bantuan, baik dengan alat maupun orang.
(Rekomendasi C)4
o Program terapi melalui komputer. (Rekomendasi C)4
 Penanganan gangguan pemahaman auditif
 Penanganan gangguan penemuan kata
 mmmmm

Gangguan komunikasi akibat


gangguan kognisi
Gangguan komunikasi akibat  Penatalaksanaan disartria sebaiknya dilaksanakan sedini mungkin agar belum
disartria: terbentuk cara bicara adaptif.
 flaksid  Postur pada saat terapi latihan sebaiknya punggung lurus dengan kepala segaris
 spastik dengan punggung dalam keadaan berbaring, duduk ataupun berdiri.
 ataktik  Hasil terapi latihan akan lebih baik bila pasien sadar akan kekurangannya.
 hipokinetik  Tatalaksana disartria secara komprehensif selain penanganan pada gangguan
 hiperkinetik artikulasi, harus juga mengikut-sertakan penanganan pada komponen kelakuan
bicara lainnya seperti pernafasan, fonasi, resonansi dan prosodi.
 Pernafasan adalah motor yang menggerakkan bicara, oleh karena itu terapi
latihan kontrol penghembusan nafas yang teratur menjadi sangat penting.
Pasien diajarkan mengambil nafas separuh penuh dan menghembuskan nafas
teratur dengan mengucapkanfonem yang mudah dikontrol oleh pasien.
Tahapan latihan dimulai dengan mengucapkan fonem dengan hembusan kecil
dan rata, lalu kombinasi dengan berbagai vokal, setelah itu beberapa suku kata
yang membentuk kalimat yang diucapkan dalam satu penghembusan nafas.
 Terapi latihan untuk fonasi terdiri dari kontrol suara, tinggi dan kerasnya
suara.Biofeedback atau pengeras suara untuk mengubah intensitas dan volume
suara.
 Gangguan resonansi sebagian besar akibat hipernasalitas, dimana velum tidak
atau kurang naik. Terapi latihan tergantung penyebab terdiri dari latihan
oromotor, kontrol gerak lidah, stimulasi sensoris velum dan menyuarakan
fonem eksplosif dan vokal rendah bertahap menuju vokal tinggi.
 Penanganan prosodi terdiri dari terapi latihan intonasi (aksen melodis), tekanan
(aksen dinamis) dan waktu istirahat untuk mengambil nafas.
 Dalam terapi latihan disartria lebih baik pasien dilatih mengucapkan suku kata
dan kata-kata yang bermakna dibandingkan fonem-fonem yang terpisah. Latih
pasien untuk bicara lebih lambat sambil menambah penekanan pada suku kata
atau kata. Terapi latihan ini dapat dibantu dengan beberapa strategi khusus
seperti metronom atau dengan pacing board.
Gangguan Komunikasi akibat  Karena produksi suara secara sadar terganggu, pasien dipacu untuk bicara
dispraksia verbal spontan otomatis. Adanya apraksia bucofasial akan meyulitkan pemulihan.
 Penanganan terapi melalui stimulasi terintegrasi dengan modelling, visual
cueing, dan articulatory placement cueing, and prompt therapy. Untuk
meningkatkan kemampuan bicara fungsional dapat ditambahkan modalitas
komunikasi penguat dan atau alternatif, seperti bahasa tubuh atau alat penghasil
suara. (Rekomendasi D)4
 Apraksia verbal yang disebabkan kerusakan menetap dari seluruh area Broca
prognosisnya buruk dan perlu diberikan alat bantu komunikasi (tulisan,
komunikator atau papan abjad) sedini mungkin.Adanya afasia akan
mempersulit penggunaan alat bantu komunikasi.
 Apraksia verbal karena kerusakan sebagian area Broca hanya mengenai
artikulasi tertentu, mulai dari fonem vokal, fonem eksplosif, nasal dan lateral
sampai ke fonem frikatif. Terapi latihan diintegrasikan dalam bicara spontan,
membaca bersuara, menghitung dan mengucap ulang.
 Terapi apraksia verbal karena adanya hambatan pada jaras yang menuju ke area
Brocaberupa stimulasi reorganisasi intersistemis, misalnya melalui terapi
latihan prosodi berlebihan, melodic intonation therapyatau menyanyi.
Gangguan asupan nutrisi  Bila ada gangguan fungsi menelan pada pasien stroke akut, secepatnya harus
akibat disfagia diupayakan bagaimana pasien dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya. Bila ada
 Fase oral gangguan menelan atau keraguan adanya proses menelan yang tidak aman,
 Fase faringeal maka pemasangan NGT merupakan keharusan.
 Fase orofaringeal  Pemantauan status gizi setelah stroke harus mencakup kombinasi parameter
berikut: penilaian biokimia (yaitu low pre-albumin, metabolisme glukosa),
status menelan, penurunan berat badan, penilaian makanan, ADL (makan dan
minum), asupan gizi (Rekomendasi D)1
 Tujuan penanganan disfagia adalah untuk mencegah terjadinya aspirasi dan
mencapai proses menelan yang aman
 Tatalaksana disfagia pada pasien termasuk latihan stimulasi menelan sesuai tipe
gangguan serta modifikasi jenis dan kepadatan makanan

Disfagia
1. Semua pasien dengan disfagia lebih dari satu minggu harus dinilai untuk
menentukan program rehabilitasi menelan yang sesuai . Pertimbangan
pada sifat gangguan menelan yang mendasari dan menyesuaikan dengan
kondisi motivasi dan status kognitif pasien. (Rekomendasi D) 1Pasien
dengan disfagia harus memiliki rehabilitasi menelan orofaringeal
2. Program rehabilitasi yang mencakup latihan restoratif di samping teknik
kompensasi dan modifikasi diet. (Rekomendasi B)1.Strategi kompensasi
menelan, seperti posisi, manuver terapeutik atau modifikasi makanan dan
cairan untuk memfasilitasi proses menelan yang aman mungkin
dibutuhkan pada kasus disfagia. (Level bukti IV)2
3. Pasien stroke dengan gejala-gejala disfagia atau aspirasi pneumonia dapat
diberikan cara menelan yang aman serta konsistensi diet dan cairan yang
akan diberikan. (Rekomendasi A)3
4. Sebuah tunggal RCT yang membandingkan pendekatan kompensasi
standar untuk manajemen disfagia dengan memberikan intervensi terapi
perilaku aktif menunjukkan tren yang konsisten terhadap hasil yang lebih
positif dan terdapat perbaikan fungsi menelan setelah enam bulan pasca
stroke. Ada juga kecenderungan peningkatkan hasil pada pasien yang
diterapi lebih intensif (Level bukti I+)1
5. Metode berikut yang termasuk pilihan terapi untuk disfagia:
a. “Shaker” therapy (resisted exercise) dengan target pada kelompok otot
yang spesifik, yaitu otot supra-hyoid, infra-hyoid dan
sternkleidomastoideus (Level bukti II)2,4 Program penguatan
Suprahyoid memiliki efek pada biomekanik pharyngeal proses menelan
dengan meningkatkan pembukaan esofagus atas, meningkatkan
ekskursi laring anterior dan mengurangi risiko aspirasoi pasca-menelan
(Level bukti I+)1. Latihan lingual menunjukkan efek positif, bahkan
sampai empat tahun pasca stroke (Level bukti 2-)1
b. Stimulasi termo-taktil. (Level bukti II).2,4 Sebuah RCT
memeriksaefektivitas stimulasi oral untuk disfagia setelah stroke tidak
menemukan bukti perubahan fungsional dalam menelan.
c. Stimulasi elektrik. (Level bukti III-3)2,4 Penelitian yang kurang
memuaskan mengkaji efektivitas terapi stimulasi neuromuskuler
(neuromuscular stimulation therapy) pada pasien dengan disfagia pasca
stroke menunjukkan hasil yang masih kontroversi. (Level bukti 1-,2-)1.
Sebuah studi kohort pada pasien dengan disfagia kronis yang stabil,
yang berisiko aspirasi selama enam bulan atau lebih, justru
menimbulkan kekhawatiran tentang potensi efek biomekanis dengan
memburuknya fungsi menelan setelah pemberian stimulasi listrik (perlu
dipikirkan untuk berhati-hati dalam memilih parameter terapi). (Level
bukti 1- dan 2-)1
d. Tidak ada bukti dengan kualitas yang tersedia pada penerapan
biofeedback untuk meningkatkan efektivitas intervensi terapi untuk
disfagia.1
Hidrasi dan Nutrisi
1. Suplementasi cairan dengan metode yang tepat perlu dilakukan untuk
mencegah dan mengatasi dehidrasi. (Level bukti I)2
2. Suplementasi nutrisi perlu diberikan pada pasien dengan status gizi
kurang dan gizi buruk. (Level bukti I)2
3. Pemberian nutrisi enteral di awal perawatan melalui nasogastric tube
dapat digunakan untuk pasien yang membutuhkan metode pemberian
makan alternatif sebagai konsekuensi disfagia. (Level bukti II) 2
4. Nasogastric tube lebih rutin digunakan daripada gastrostomy dalam
bulan pertama pasien pasca stroke dengan gangguan menelan. (Level
bukti II)2

Gangguan ambulasi jalan  Pasien yang belum mampu berjalan harus berlatih jalan dan atau komponen
akibat: jalansesuai dengan kemampuan pasien secara berulang dan sesering mungkin
 hemiparese (Rekomendasi A)4
 hemiaestesia  Dalam terapi latihan sebaiknya dilatih pola jalan yang sesuai dengan prognosis
 gangguan vestibular dan proses pemulihan stroke dengan tujuan memberikan kemampuan ambulasi
 postural kontrol jalan yang stabil dan aman pada pasien bukan pola jalan yang normal.
 gangguan keseimbangan  Terapi latihan untuk ambulasi jalan terdiri dari terapi latihan dasar persiapan
 gangguan persepsi dan jalan, fungsional jalan dan endurance jalan.
kognisi  Terapi latihan dasar persiapan jalan terdiri dari terapi latihan peregangan,
penguatan dan re-edukasi otot. Berbagai metoda terapi latihan penguatan otot
 pola sinergis dan spastisitas
yang terbukti bermanfaat antara lain Progressive Resistance Exercise
 dekondisi
(Rekomendasi B)4electrical stimulation (Rekomendasi B)4, EMG Biofeedback
 gangguan kognisi/dementia
bersama terapi konvensional (Rekomendasi C)4.
 Terapi fungsional jalan dapat dilaksanakan dengan atau dengan alat bantu jalan
( tripod, walker). Dalam penggunaan alat bantu jalan perlu diperhatikan postur
dan kesegarisan tubuh pasien saat berjalan.
 Dengan electromechanical assisted gait training seperti Body Weight Support
Treadmill Training(BWSTT) dan automated mechanical atau roboticpasien
dapat dilatih berjalan dengan pola jalan mendekati normal sedini mungkin
(Rekomendasi B)4BWSTT memperbaiki kemampuan dan endurance jalan
namun tidak akan memperbaiki keseimbangan atau kecepatan jalan pasien
stroke.
 Latihan jalan untuk meningkatkan kecepatan jalan, jarak tempuh dan ambulasi
fungsional harus dilakukan secara berulang dan terus menerus sesuai dengan
kondisi pasien yang aman dan nyaman. (Rekomendasi B)1
 Kecepatan jalan dapat diperbaiki dengan:
o Treadmill trainingpada pasien yang sudah dapat berjalan (Rekomendasi B)1
o Functional electrical simulation untuk memperbaiki kecepatan jalan dan
atau efisiensi energi pada drop-foot. (Rekomendasi C)1
o AFO dapat memperbaiki kecepatan jalan, efisiensi energi (energy
expenditure) dan pola jalan terutama weight bearing saat
menapak(Rekomendasi C)1,3
 Pasien dengan gangguan berjalan seharusnya mempraktikkan pola jalannya
sebanyak mungkin. Selain terapi latihan jalan konvensional berbagai alat bantu
digunakan untuk memperbaiki pola jalan antara lain:
o menggunakan aba-aba berupa irama, instruksi, metronom untuk melatih
irama berjalan (Rekomendasi B)3,4
o Joint position biofeedback (Rekomendasi C)3
o Virtual reality training (Rekomendasi C)3
 Gait-oriented physical fitness trainingdapat dimulai sedini mungkin pada
pasien dengan kondisi medis stabil dan aman secara fungsionaluntuk
memperbaiki ambulasi fungsional. (Rekomendasi A)1
Perawatan diri dan aktivitas Untuk fungsi anggota gerak atas, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut,
sehari-hari akibat antara lain:
 hemiparese 1. Constraint induced movement therapy
 hemiaestesia Constraint induced movement therapy dilakukan pada pasien yang sudah
 grasping dan prehension mampu mencapai ekstensi jari minimal 10 derajat, serta keseimbangan dan
 gangguan vestibular kognisi yang baik. (Rekomendasi A4 dan Rekomendasi B1)
 postural kontrol 2. Mental practice, sebagai terapi adjuvan untuk memperbaiki fungsi anggota
 gangguan persepsi dan gerak atas pasca stroke. (Rekomendasi B4 dan Rekomendasi D1)
kognisi 3. Electromechanical/robotic devices, digunakan untuk memperbaiki fungsi
 pola sinergis dan spastisitas motorik dan kekuatan lengan bila digunakan oleh orang yang profesional.
(Rekomendasi A1 dan Rekomendasi B4)
 apraxia
4. Repetitive task-specific training (Rekomendasi B4)
 dekondisi
5. Mirror therapy (Rekomendasi C)4
 dementia 6. Bilateral training (Rekomendasi C)4
7. Electromyographic (EMG) biofeedback in conjunction with conventional
therapy (RekomendasiC)4
AKTIVITAS

Duduk
Pasien dengan kesulitan duduk disarankan untuk berlatih dengan cara meraih
melebihi panjang lengan (Grade B)3

Bangun
Pasien dengan kesulitan berdiri sebaiknya mempraktekkan bangun berdiri (Grade
A)3
Standing Up
Practising standing up should be undertaken by people who have difficulty
in standing up from a chair. (Grade A)4
Berdiri
Pasien dengan kesulitan berdiri dilatih dengan cara diberi tugas spesifik dengan
umpan balik dapat diberikan untuk pasien dengan kesulitan berdiri (Grade B) 4
Task-specific standing practice with feedback can be provided for people
who have difficulty standing. (Grade B)4

Kontrol Miksi Fungsi Miksi


 Inkontinensia Neurogenik 1. pada pasien dengan gangguan miksi perlu dilakukan pemeriksaan
 Retensio neurogenik rehabilitasi secara menyeluruh termasuk status fungsional. (Level bukti
 Inkontinensia urgensi II2, Rekomendasi D1)
 Dementia
2. Penilaian kontinensia pada setiap pasien dengan inkontinensia harus
meliputi:
 Riwayat berapa lama nkontinensia telah menjadi masalah
 Riwayat BAB dan BAK
 Riwayat persalinan untuk perempuan dan gejala prostat untuk
laki-laki
 Pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi terabanya kandung
kemih
 Pemeriksaan rektal (laki-laki maupun perempuan) adakah
konstipasi, haemorrhoids, fisura dan prolaps
 Pemeriksaan vagina (untuk prolaps, vaginitis dan neoplasia)
 Status kognitif
 Urinalisis (glukosa, protein, darah, sel darah putih)
 Midstream urin jika proteinuria atau hematuria (untuk
mikroskopik dan kultur)
 Urea dan elektrolit
 Voiding Diary selama tiga hari terakhir atau grafik volume dan
frekuensi
 Volume residu urin

3. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa strategi perilaku


(Behavioral strategy) yang biasa digunakan pada pasien non-stroke bisa
efektif pada beberapa pasien stroke. Misalnya: toileting program seperti
waktu berkemih atau diminta untuk berkemih bagi pasien stroke yang
tidak menyadari status kandung kemih mereka atau pasien dengan
gangguan kognitif. Melatih kandung kemihnya (kombinasi dengan
latihan otot dasar panggul). Level bukti 3 dan Rekomendasi D

4. Pada pasien dengan retensi urin:


 Pasien dengan retensi urin perlu dilakukan kateterisasi
intermiten untuk mengosongkan kandung kemih
 Penggunaan DC tidak direkomendasikan; kecuali bila ada
gangguan berat, seperti kondisi medis tidak stabil.
 Pada penggunaan kateterisasi intermiten yang dilakukan di
Rumah sakit, dilaksanakan oleh tenaga medis harus
menggunakan teknik kateterisasi steril (sterile/closed
intermitten catherization) (Level bukti II)2. Jika kateterisasi
intermittent masih diperlukan di rmah, makan dilakukan
intermittent kateterisasi mandiri tehnik bersih (clean
intermittent catheterisation)2

5. Pada pasien dengan urge incontinence:


 Perlu dipikirkan program latihan berkemih terjadwal serta obat
antikolinergik.
 Jika kontinens tetap tidak tercapai, pertimbangkan containment
aids dengan kontinens sosial.

Kontrol Defekasi Fungsi defekasi


 Inkontinensia alvi Pada pasien dengan konstipasi persisten atau bowel incontinence perlu
 Retensio alvi dilakukan program manajemen bowel
 Dementia 1. Pada pasien dengan gangguan defekasi, perlu dilakukan evaluasi
(termasuk pemeriksaan rektal) dan edukasi. (Level bukti II)2
2. Pasien harus diberikan program bowel individual dan penilaiannya harus
mencakup kemampuan fisik, ketersediaan layanan, pengaturan sosial,
masalah klinis, faktor makanan, obat-obatan. Harus disesuaikan dengan
gaya hidup pasien dan preferensi perawatan. Penyediaan informasi,
pendidikan dan dukungan untuk pasien dan perawat
Untuk evakuasi bowel dpat dipakai refleks gastrokolik
Kebugaran kardiorespirasi

FUNGSI KOGNISI
Impairmen cognisi memiliki implikasi yang penting dalam menentukan outcome
rehabilitasi.
Rehabilitasi kognitif dapat digunakan untuk gangguan atensi dan konsentrasi.
(Rekomendasi C4, Level I2)

MEMORI DAN GANGGUAN KONSENTRASI1 Attention and


concentration
Pasien dengan gangguan kesulitan mengingat dapat dibantu dengan menggunakan
isyarat (Level II)2
Setiap pasien dengan penurunan daya ingat yang mengalami kesulitan rehabilitasi
sebaiknya dilakukan assessment menyeluruh tentang kemampuan daya ingatnya.
Dan mendapatkan perawatan dan sesi terapi yang spesifik dengan
 pasien sebaiknya memiliki profil memori tentang gangguan dan
kemampuan yang masih ada, dan setiap keperawatan dan sesi terapi
harus disesuaikan dengan kemampuan pasien yang masih ada misalnya
visualisasi vs verbalisation (D)
 Meningkatkan kemampuan mereka untuk fokus, mempertahankan dan
membagi perhatian (D)
 memerlukan perencanaan yang cermat dari sesi keperawatan dan terapi
untuk meminimalkan tuntutan attentional, misalnya mereka perlu bekerja
untuk jangka pendek, mengambil istirahat, dan menghindari distraksi
visual auditori pada saat kelelahan (D)
 harus menerima terapi (misalnya praktek komputerisasi) untuk
meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan mempertahankan perhatian
(B)
 dapat diajarkan teknik kompensasi untuk mengurangi disabilitas mereka,
seperti menggunakan notebook, buku harian, kaset audio dan
penyelenggara elektronik. Alarm pendengaran mungkin sangat
membantu dalam mendorong tindakan, seperti kepatuhan minum obat
(B)
 dapat diajarkan pendekatan yang bertujuan untuk secara langsung
meningkatkan memori mereka, tetapi bukti klinis tidak cukup untuk
mendukung penggunaan 'pelatihan strategi' dibanding 'pengulangan' (B)
 difasilitasi untuk terlibat aktif dalam rehabilitasi, karena hal ini dapat
meningkatkan memori episodik (A)

FUNGSI EKSEKUSI

Fungsi eksekusi memiliki kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan


(menyelesaikan masalah), memonitor hasil. Pasien dengan gangguan ini dapat
diberikan alat pengingat untuk mengarahkan fungsi ADL. (Rekomendasi C) 4
Pasein dengan gangguan fungsi eksekutif harus diajarkan teknik kompensasi,
seperti menggunakan bantuan elektronik / pager atau daftar tertulis, untuk
meningkatkan kemampuan mereka melakukan kegiatan sehari-hari (B). Bila
perilaku pasien dipengaruhi oleh disfungsi eksekutif , maka harus didiskusikan
dengan, keluarga tim terapi, dan lain-lain yang terlibat (D)

APRAXIA
Pasien yang menunjukkan kesulitan menggunakan benda sehari-hari atau
melakukan kegiatan harus dinilai adanya gejala apraxia bersama-sama dengan
gangguan bahasa
jika ada kesulitan komunikasi (D)
Penilai harus membedakan antara gangguan dalam tindakan volunter
dibandingkan otomatis. Pengkajian harus mencakup sekuensial, gerakan volunter
dan mempertimbangkan gangguan sensori (verbal, visual, taktil) (D) 4
Pasien dengan apraxia harus dilatih dalam penggunaan strategi internal atau
eksternal misalnya verbalisation dan mengikuti urutan tindakan tertulis /
bergambar (A)
GANGGUAN PENGLIHATANmasukan dalam ADL
1. Gangguan Ketajaman penglihatan
Gangguan penglihatan ini termasuk didalamnya
Setiap pasien stroke sebaiknya dilakukan screening untuk gangguan visual dan
ditangani secara tepat (Rekomendasi C)1
Setiap klinisi diharapkan memastikan preskripsi kacamata yang tepat untuk
pasien1

2. GANGGUAN LAPANGAN PANDANG


Pasien dengan gangguan lapangan pandang mempunyai risiko jatuh yang tinggi.
Lapangan pandang juga dapat digunakan sebagai prediktor status fungsional saat
pasien memulai program rehabilitasi1
Pasien dengan hemianopsia harus diperiksa lapangan pandang dengan
kampimetri1
- Visual scanning compensatory training techniques mungkin
efektif untuk memperbaiki lapangan pandang1

Gelas prisma dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi visus pada


homonymous hemianopsia tetapi tidak terbukti bemanfaat untuk memperbaiki
fungsi AKS (level II)2

Latihan visual-restisution dengan komputer dapat dipakai untuk memperbaiki


fungsi pada gangguan lapangan pandang (level II)2
.
3. GANGGUAN GERAKAN BOLA MATA
Pasien dengan gangguan gerak bola mata harus dirujuk untuk asesmen othoptik
dan harus mendapatkan saran atau intervensi dari ahli1
Menutup sebelah mata (bergantian secara regular) sudah sering dipakai 2

4. Visuospatial neglect
Tidak banyak intervensi yang menjanjikan untuk visuospatial neglect dan
yang terbanyak dipakai adalah visual scanning training1
Pasien dengan visuospatial neglect harus dinilai dan diajarkan strategi
kompensasi1

Gangguan Visuospatial/Perceptual

Pasien dengan unilateral spatial neglect dapat diberikan berbagai teapi sebagai
berikut :
1. Visual scanning training (grade c4, level I2
2. Memberikan isyarat sederhana untuk menarik perhatian pada sisi sakit
(GPP)4
3. Prisma adaptasi (grade C4)
4. Menutup mata sehat (grade C4)
5. Latihan mental imagery atau latihan dengan umpan balik trstrujtur
(grade D)4
AMBULASI

Untuk fungsi ambulasi direkomendasikan hal-hal sebagai berikut, antara lain:


1. Ankle foot orthoses
AFO dapat memperbaiki kecepatan jalan, efisiensi energi (energy expenditure) dan pola
jalan terutama weight bearing saat menapak(Rekomendasi C)1
Diperlukan evaluasi penggunaan AFO secara berkala, karena efek penggunaan AFO
jangka panjang belum diketahui1

2. Repetitive task training


Latihan jalan untuk meningkatkan kecepatan jalan, jarak tempuh dan ambulasi fungsional
harus dilakukan secara berulang dan terus menerus sesuai dengan kondisi pasien yang aman
dan nyaman. (Rekomendasi B)1
Pasien yang belum mampu berjalan harus berlatih jalan (atau komponen jalan) yang
sesuai dengan kemampuan secara berulang dan sesering mungkin (Rekomendasi A)4
Sebaiknya dalam melatih irama berjalan digunakan aba-aba (berupa irama, suara,
metronom) (Rekomendasi B)4

3. Penguatan otot dilakukan melalui latihan:


- Progressive Resistance Exercise (Rekomendasi B)4
- Electrical stimulation (Rekomendasi B)
- EMG Biofeedback harus dilakukan bersama terapi konvensional (Rekomendasi C)
- Functional electrical simulation dapat dipergunakan untuk memperbaiki kecepatan jalan
dan/atau efisiensi energi pada drop-foot. (Rekomendasi C)1

4. Electromechanical assisted gait training dengan beberapa metode, antara lain:


- Mechanically-assisted gait dengan treadmill (Body Weight Support Treadmill Training)
- Automated mechanical atau robotic. (Rekomendasi B)4

Treadmill training disarankan untuk memperbaiki kecepatan jalan pada pasien stroke yang
mampu berjalan. (Rekomendasi B)1
BWSTT (Body Weight Support Treadmill Training) atau treadmill training memperbaiki
kemampuan berjalan pasien stroke serta endurans namun tidak memperbaiki keseimbangan
atau kecepatan jalan.
Bagi pasien yang sudah dapat berjalan, treadmill training dapat memperbaiki kecepatan
jalan

5. Gait-oriented physical fitness training


Gait-oriented physical fitness training dilakukan pada pasien dengan kondisi medis yang
stabil dan aman secara fungsional, untuk memperbaiki ambulasi fungsional. (Rekomendasi A)1

FUNGSI ANGGOTA GERAK ATAS


Untuk fungsi anggota gerak atas, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut, antara lain:
8. Constraint induced movement therapy
Constraint induced movement therapy dilakukan pada pasien yang sudah mampu mencapai
ekstensi jari minimal 10 derajat, serta keseimbangan dan kognisi yang baik. (Rekomendasi A4
dan Rekomendasi B1)
9. Mental practice, sebagai terapi adjuvan untuk memperbaiki fungsi anggota gerak atas pasca
stroke. (Rekomendasi B4 dan Rekomendasi D1)
10. Electromechanical/robotic devices, digunakan untuk memperbaiki fungsi motorik dan
kekuatan lengan bila digunakan oleh orang yang profesional. (Rekomendasi A1 dan
Rekomendasi B4)
11. Repetitive task-specific training (Rekomendasi B4)
12. Mirror therapy (Rekomendasi C)4
13. Bilateral training (Rekomendasi C)4
14. Electromyographic (EMG) biofeedback in conjunction with conventional therapy
(RekomendasiC)4

Disartria
1. Latihan oromotor (GPP)4
2. Latihan dengan beberapa strategi khusus, antara lain memperlambat bicara, atau
mengartikulasikan secara berlebih atau dengan bahasa tubuh. (GPP)4
3. Biofeedback atau pengeras suara untuk mengubah intensitas dan volume suara.
(Rekomendasi D)4
4. Latihan intensif untuk meningkatkan volume suara. (Rekomendasi D)4

Dyspraxia of speech
1. PROMPT therapy(Rekomendasi D)4
2. Stimulasi terintegrasi dengan modelling, visual cueing, dan articulatory placement cueing
(Rekomendasi D)4
3. Penggunaan modalitas komunikasi penguat atau alternatif, seperti bahasa tubuh atau alat
penghasil suara untuk aktivitas fungsional. (Rekomendasi D)4

FUNGSI MENELAN & NUTRISI

Pemantauan status gizi setelah stroke harus mencakup kombinasi parameter berikut: penilaian
biokimia (yaitu low pre-albumin, metabolisme glukosa), status menelan, penurunan berat badan,
penilaian makanan, ADL (makan dan minum), asupan gizi (Rekomendasi D)
Disfagia
6. Semua pasien dengan disfagia lebih dari satu minggu harus dinilai untuk menentukan
program rehabilitasi menelan yang sesuai . Pertimbangan pada sifat gangguan menelan yang
mendasari dan menyesuaikan dengan kondisi motivasi dan status kognitif pasien.
(Rekomendasi D) Pasien dengan disfagia harus memiliki rehabilitasi menelan orofaringeal
7. Program rehabilitasi yang mencakup latihan restoratif di samping teknik kompensasi dan
modifikasi diet. (Rekomendasi B). Strategi kompensasi menelan, seperti posisi, manuver
terapeutik atau modifikasi makanan dan cairan untuk memfasilitasi proses menelan yang
aman mungkin dibutuhkan pada kasus disfagia. (Level bukti IV)2
8. Pasien stroke dengan gejala-gejala disfagia atau aspirasi pneumonia dapat diberikan cara
menelan yang aman serta konsistensi diet dan cairan yang akan diberikan. (Rekomendasi A)3
9. Sebuah tunggal RCT yang membandingkan pendekatan kompensasi standar untuk
manajemen disfagia dengan memberikan intervensi terapi perilaku aktif menunjukkan tren
yang konsisten terhadap hasil yang lebih positif dan terdapat perbaikan fungsi menelan
setelah enam bulan pasca stroke. Ada juga kecenderungan peningkatkan hasil pada pasien
yang diterapi lebih intensif (Level bukti I+)
10. Metode berikut yang termasuk pilihan terapi untuk disfagia:
e. “Shaker” therapy (resisted exercise) dengan target pada kelompok otot yang spesifik,
yaitu otot supra-hyoid, infra-hyoid dan sternkleidomastoideus (Level bukti II)2,4 Program
penguatan Suprahyoid memiliki efek pada biomekanik pharyngeal proses menelan dengan
meningkatkan pembukaan esofagus atas, meningkatkan ekskursi laring anterior dan
mengurangi risiko aspirasoi pasca-menelan (Level bukti I+). Latihan lingual menunjukkan
efek positif, bahkan sampai empat tahun pasca stroke (Level bukti 2-)
f. Stimulasi termo-taktil. (Level bukti II).2,4 Sebuah RCT memeriksa efektivitas stimulasi
oral untuk disfagia setelah stroke tidak menemukan bukti perubahan fungsional dalam
menelan.
g. Stimulasi elektrik. (Level bukti III-3)2,4Penelitian yang kurang memuaskan mengkaji
efektivitas terapi stimulasi neuromuskuler (neuromuscular stimulation therapy) pada
pasien dengan disfagia pasca stroke menunjukkan hasil yang masih kontroversi. (Level
bukti 1-,2-). Sebuah studi kohort pada pasien dengan disfagia kronis yang stabil, yang
berisiko aspirasi selama enam bulan atau lebih, justru menimbulkan kekhawatiran tentang
potensi efek biomekanis dengan memburuknya fungsi menelan setelah pemberian
stimulasi listrik (perlu dipikirkan untuk berhati-hati dalam memilih parameter terapi).
(Level bukti 1- dan 2-)
h. Tidak ada bukti dengan kualitas yang tersedia pada penerapan biofeedback untuk
meningkatkan efektivitas intervensi terapi untuk disfagia.

Hidrasi dan Nutrisi


5. Suplementasi cairan dengan metode yang tepat perlu dilakukan untuk mencegah dan
mengatasi dehidrasi. (Level bukti I)2
6. Suplementasi nutrisi perlu diberikan pada pasien dengan status gizi kurang dan gizi buruk.
(Level bukti I)2
7. Pemberian nutrisi enteral di awal perawatan melalui nasogastric tube dapat digunakan
untuk pasien yang membutuhkan metode pemberian makan alternatif sebagai konsekuensi
disfagia. (Level bukti II)2
8. Nasogastric tube lebih rutin digunakan daripada gastrostomy dalam bulan pertama pasien
pasca stroke dengan gangguan menelan. (Level bukti II)2

FUNGSI MIKSI & DEFEKASI


Fungsi Miksi
6. pada pasien dengan gangguan miksi perlu dilakukan pemeriksaan rehabilitasi secara
menyeluruh termasuk status fungsional. (Level bukti II2, Rekomendasi D1)

7. Penilaian kontinensia pada setiap pasien dengan inkontinensia harus meliputi:


 Riwayat berapa lama nkontinensia telah menjadi masalah
 Riwayat BAB dan BAK
 Riwayat persalinan untuk perempuan dan gejala prostat untuk laki-laki
 Pemeriksaan abdomen untuk mendeteksi terabanya kandung kemih
 Pemeriksaan rektal (laki-laki maupun perempuan) adakah konstipasi, haemorrhoids,
fisura dan prolaps
 Pemeriksaan vagina (untuk prolaps, vaginitis dan neoplasia)
 Status kognitif
 Urinalisis (glukosa, protein, darah, sel darah putih)
 Midstream urin jika proteinuria atau hematuria (untuk mikroskopik dan kultur)
 Urea dan elektrolit
 Voiding Diary selama tiga hari terakhiratau grafik volume dan frekuensi
 Volume residu urin

8. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa strategi perilaku (Behavioral strategy) yang
biasa digunakan pada pasien non-stroke bisa efektif pada beberapa pasien stroke. Misalnya:
toileting program seperti waktu berkemih atau diminta untuk berkemih bagi pasien stroke
yang tidak menyadari status kandung kemih mereka atau pasien dengan gangguan kognitif.
Melatih kandung kemihnya (kombinasi dengan latihan otot dasar panggul). Level bukti 3
dan Rekomendasi D

9. Pada pasien dengan retensi urin:


 Pasien dengan retensi urin perlu dilakukan kateterisasi intermiten untuk
mengosongkan kandung kemih
 Penggunaan DC tidak direkomendasikan; kecuali bila ada gangguan berat, seperti
kondisi medis tidak stabil.
 Pada penggunaan kateterisasi intermiten yang dilakukan di Rumah sakit,
dilaksanakan oleh tenaga medis harus menggunakan teknik kateterisasi steril
(sterile/closed intermitten catherization) (Level bukti II)2. Jika kateterisasi
intermittent masih diperlukan di rmah, makan dilakukan intermittent kateterisasi
mandiri tehnik bersih (clean intermittent catheterisation)2

10. Pada pasien dengan urge incontinence:


 Perlu dipikirkan program latihan berkemih terjadwal serta obat antikolinergik.
 Jika kontinens tetap tidak tercapai, pertimbangkan containment aids dengan
kontinens sosial.
Fungsi defekasi
Pada pasien dengan konstipasi persisten atau bowel incontinence perlu dilakukan
program manajemen bowel
3. Pada pasien dengan gangguan defekasi, perlu dilakukan evaluasi (termasuk pemeriksaan
rektal) dan edukasi. (Level bukti II)2
4. Pasien harus diberikan program bowel individual dan penilaiannya harus mencakup
kemampuan fisik, ketersediaan layanan, pengaturan sosial, masalah klinis, faktor makanan,
obat-obatan. Harus disesuaikan dengan gaya hidup pasien dan preferensi perawatan.
Penyediaan informasi, pendidikan dan dukungan untuk pasien dan perawat
5. Untuk evakuasi bowel dpat dipakai refleks gastrokolik setelah makan1 dengan membantu
pasien untuk duduk di toilet dalam posisi yang benar
6. Pada kondisi tertentu dapat dipakai agent constipasting secara regular dan bowel care
dengan enema1
7. Pada inkontinens alvi yang tidak dapat diterapi perlu dipertimbangkan pemakaian
containment aids untuk mencapai kontinens sosial2

FUNGSI KOGNISI
Impairmen cognisi memiliki implikasi yang penting dalam menentukan outcome rehabilitasi.
Rehabilitasi kognitif dapat digunakan untuk gangguan atensi dan konsentrasi. (Rekomendasi C4,
Level I2)

MEMORI DAN GANGGUAN KONSENTRASI1 Attention and concentration


Pasien dengan gangguan kesulitan mengingat dapat dibantu dengan menggunakan isyarat (Level
II)2
Setiap pasien dengan penurunan daya ingat yang mengalami kesulitan rehabilitasi sebaiknya
dilakukan assessment menyeluruh tentang kemampuan daya ingatnya. Dan mendapatkan
perawatan dan sesi terapi yang spesifik dengan
 pasien sebaiknya memiliki profil memori tentang gangguan dan kemampuan yang masih
ada, dan setiap keperawatan dan sesi terapi harus disesuaikan dengan kemampuan pasien
yang masih ada misalnya visualisasi vs verbalisation (D)
 Meningkatkan kemampuan mereka untuk fokus, mempertahankan dan membagi perhatian
(D)
 memerlukan perencanaan yang cermat dari sesi keperawatan dan terapi untuk
meminimalkan tuntutan attentional, misalnya mereka perlu bekerja untuk jangka pendek,
mengambil istirahat, dan menghindari distraksi visual auditori pada saat kelelahan (D)
 harus menerima terapi (misalnya praktek komputerisasi) untuk meningkatkan kewaspadaan
dan kemampuan mempertahankan perhatian (B)
 dapat diajarkan teknik kompensasi untuk mengurangi disabilitas mereka, seperti
menggunakan notebook, buku harian, kaset audio dan penyelenggara elektronik. Alarm
pendengaran mungkin sangat membantu dalam mendorong tindakan, seperti kepatuhan
minum obat (B)4
 dapat diajarkan pendekatan yang bertujuan untuk secara langsung meningkatkan memori
mereka, tetapi bukti klinis tidak cukup untuk mendukung penggunaan 'pelatihan strategi'
dibanding 'pengulangan' (B)
 difasilitasi untuk terlibat aktif dalam rehabilitasi, karena hal ini dapat meningkatkan
memori episodik (A)

FUNGSI EKSEKUSI

Fungsi eksekusimemiliki kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan (menyelesaikan


masalah), memonitor hasil. Pasien dengan gangguan ini dapat diberikan alat pengingat untuk
mengarahkan fungsi ADL. (Rekomendasi C)4
Pasein dengan gangguan fungsi eksekutif harus diajarkan teknik kompensasi,
seperti menggunakan bantuan elektronik / pager atau daftar tertulis, untuk meningkatkan
kemampuan mereka melakukan kegiatan sehari-hari (B). Bila perilaku pasien dipengaruhi oleh
disfungsi eksekutif , maka harusdidiskusikan dengan, keluarga tim terapi, dan lain-lain yang
terlibat (D)

APRAXIA
Pasien yang menunjukkan kesulitan menggunakan benda sehari-hari atau melakukan kegiatan
harus dinilai adanya gejala apraxia bersama-sama dengan gangguan bahasa
jika ada kesulitan komunikasi (D)
Penilai harus membedakan antara gangguan dalam tindakan volunter dibandingkan otomatis.
Pengkajian harus mencakup sekuensial, gerakan volunter dan mempertimbangkan gangguan
sensori (verbal, visual, taktil) (D)
Pasien dengan apraxia harus dilatih dalam penggunaan strategi internal atau eksternal misalnya
verbalisation dan mengikuti urutan tindakan tertulis / bergambar (A)

GANGGUAN PENGLIHATAN
5. Gangguan Ketajaman penglihatan
Gangguan penglihatan ini termasuk didalamnya
Setiap pasien stroke sebaiknya dilakukan screening untuk gangguan visual dan ditangani secara
tepat (Rekomendasi C)1
Setiap klinisi diharapkan memastikan preskripsi kacamata yang tepat untuk pasien1

6. GANGGUAN LAPANGAN PANDANG


Pasien dengan gangguan lapangan pandang mempunyai risiko jatuh yang tinggi.
Lapangan pandang juga dapat digunakan sebagai prediktor status fungsional saat pasien memulai
program rehabilitasi1
Pasien dengan hemianopsia harus diperiksa lapangan pandang dengan kampimetri1
- Visual scanning compensatory training techniques mungkin efektif untuk
memperbaiki lapangan pandang1

Gelas prisma dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi visus pada homonymous hemianopsia
tetapi tidak terbukti bemanfaat untuk memperbaiki fungsi AKS (level II)2

Latihan visual-restisution dengan komputer dapat dipakai untuk memperbaiki fungsi pada
gangguan lapangan pandang (level II)2
.
7. GANGGUAN GERAKAN BOLA MATA
Pasien dengan gangguan gerak bola mata harus dirujuk untuk asesmen othoptik dan harus
mendapatkan saran atau intervensi dari ahli1
Menutup sebelah mata (bergantian secara regular) sudah sering dipakai2

8. Visuospatial neglect
Tidak banyak intervensi yang menjanjikan untuk visuospatial neglect dan yang terbanyak
dipakai adalah visual scanning training1
Pasien dengan visuospatial neglect harus dinilai dan diajarkan strategi kompensasi1

Gangguan Visuospatial/Perceptual

Pasien dengan unilateral spatial neglect dapat diberikan berbagai teapi sebagai berikut :
6. Visual scanning training (grade c4, level I2
7. Memberikan isyarat sederhana untuk menarik perhatian pada sisi sakit (GPP)4
8. Prisma adaptasi (grade C4)
9. Menutup mata sehat (grade C4)
10. Latihan mental imagery atau latihan dengan umpan balik trstrujtur (grade D)4

Agnosia
Adanya agnosia harus dinilai secara tepat oleh personil terlatih dan dibicarakan didalam tim stroke
(GPP)4
Pasien agnosia dapat diberikan tehnik kompensasi untuk meningkatkan kesadaran akan
kekurangannya diikuti dengan latihan untuk mengenali stimulus menggunakan pancaindra atau
kemampuan persepsi yang tetap utuh. Intervensi tersebut misalnya menggunakan petunjuk seperti
label atau velcro yang menempel pada obyek, mengenali wajah dari sosok, suara atau caller ID
untuk pasien dengan phonagnosia (tidak mampu mengenali orang dari suara)2

AKTIVITAS

Duduk
Pasien dengan kesulitan duduk disarankan untuk berlatih dengan cara meraih melebihi panjang
lengan (Grade B)3

Bangun
Pasien dengan kesulitan berdiri sebaiknya mempraktekkan bangun berdiri (Grade A)3
Standing Up
Practising standing up should be undertaken by people who have difficulty in standing up
from a chair. (Grade A
Berdiri
Pasien dengan kesulitan berdiri dilatih dengan cara diberi tugas spesifik dengan umpan balik
dapat diberikan untuk pasien dengan kesulitan berdiri (Grade B)3
Task-specific standing practice with feedback can be provided for people who have difficulty
standing. (Grade B [French

Berjalan
PASien dengan gangguan berjalan sebaiknya diberi kesempatan untuk mempraktekkan pola jalan
(atau komponen jalan) sebanyak mungkin
Salah satu intervensi berikut dapat diberikan sebagai tambahan latihan jalan konvesional:
- Petanda irama langkah (grade B)3
- Mechanically-assisted gait (dengan treadmill or automated mechanical or robotic
device) (Grade B)
- Joint position biofeedback (Grade C)3
- Virtual reality training. (Grade C)3
- Ankle-foot orthoses, dapat diberikan pada kasus drop foot persisten. (Grade C)3

KOMPLIKASI

KOMPLIKASI

Spastisitas Post Stroke Salah datu dari intervensi ini dapat diberikan :
• Botulinum Toxin A; (Level I,)2
• dynamic splinting; (Level III-2)2
Tidak direkomendasikan Penggunaan splinting resting pada
anggota gerak atas untuk mengurangi spastisitas pergelangan
tangan dan fleksi jari setelah stroke (rekomendasi A)1

• vibration; (Level II, )2


• stretch; (Level II, Level III-2,)2
• electromyographic biofeedback. (Level III-2)2
intrathecal baclofen; (Level I, Level II,)2
• Antispastisitas oral: Tidak ada rekomendasi 2
Pertimbangkan tizanidin dan baklofen oral jika spastisitas
disertai nyeri, kebersihan kulit yang buruk dan terjadi
penurunan fungsi. Tizanidin sebaiknya digunakan pada pasien
stroke kronik3

• Functional electrical stimulation : tidak ada bukti yang


1
cukup

Penanganan spastisitas dengan posisi antispastik,


latihan gerak Sendi, stretching dan splinting3

 Diazepam dan benzodizapin lainnya harus dihindari


(rekomendasi D)3
Kontraktur - Untuk mencegah terjadinya kontraktur, otot
diposisikan dalam posisi memanjang (level II)2
- Latihan pulley overhead sebaiknya tidak lakukan2
- Untuk pasien dengan kontraktur, untuk
meningkatkan gerak sendi dapat dilakukan dengan
;

2
i. stimulasiElekstrikal(Level III-3)
2
ii. Casting . (Level I)

- Pertimbangkan Prolonged stretching lingkup sendi secara


aktif dan pasif untuk menurunkan risiko munculnya
kontraktur (night splint, tilting table) pada periode awal
terjadinya stroke (Level I, rekomendasi C)7- p85
- Prolong PROM dan AROM mencegah
kontrkatur, meningkatkan keamanan dan kemandirian
dalam hal aktivitas fungsi (functional activities)7

Prevensi dan tatalaksana


subluksasi bahu - Elektrikal stimulasi
Intramuskular elektrikal stimulasi tidak lebih efektif daripada
pengunaan hemisling untuk menurunkan derajat subluksasi
vertikal (level of evidence 1++)1,2
- Mata analisis dari 3 RCT menyimpulkan bahwa elektrikal
stimulasi memperbaiki fungsi bahu jika digunakan sesegera
setelah stroke (level of evidence 1++)1
- Eletrikal stimulasi pada otot supraspinatus dan deltoid harus
dipertimbangkan sesegera setelah stroke pada pasien dengan
risiko terjadinya subluksasi bahu (Rekomendasi A) 1
- Subluksasi dapat dikurangi dan nyeri dapat berkurang
menggunakan functional elektrikal stimulasi pada sendi bahu
(Level B)7,p29
- PEnggunaan alat supportif yang firm untuk mencegah
subluksasi lebih lanjut (level III-2)2

Prevensi nyeri sendi bahu post - Prevensi subluksasi dan kontrtaktur dapat mencegah
stroke munculnya nyeri bahi. Intervensi yang ditujukan untuk
mengurangi trauma pada bahu, seperti edukasi staff, caregiver
dan pasien sendiri, juga dapat mencegah nyeri bahu. Edukasi
yang diberikan termasuk strategi untuk menjaga bahu saat
manual handling dan transfer serta saran posisioning2,7
- Positioning : Direkomendasikan Positioning dan handling
secara hati-hari pada bahu dan ekstremitas atas yang terkena
(level of evidencfe 1++ dan 1+) 1
- Terapi fisik :
- Tidak ada bukti konklusif untuk penggunaan terapi
muktahir (EMG biofeedback, terapi perilaku atau alat untuk
continous pasive motion ) dibandingkan terapi fisik
konvensional. (level of evidence 1++)1
- Strapping : Bukti yang kurang untuk merekomendasikan atau
menolak penggunaan strapping bahu pada pasien dengan risiko
tinggi ((level of evidence 1++)1
- Sling : Bukti kurang yang mendukung penggunaan sling
untuk mencegah nyeri bahu post stroke (level of evidence 1++)1
- OverheadPulleys : Penggunaan overhead pulley untuk
mencegah nyeri bahu tidak direkomendasikan ( rekomendasi B)
1

- ELektrikalStimulasi : Functional elektrikal stimulasi tidak


direkomendasikan sebagai alat untuk mencegah nyeri bahu
pada pasien dengan kelemahan ekstremitas atas post stroke
(rekomendasi A)1
- Intervensi lainnya :
- Tidak ada RCT yang mengevaluasi intervensi lainnya untuk
mencegah nyeri bahu post
stroke . Intervensi tersebut adalah :
- Clostridium botulinum toxin type A pada pasien
dengan spastisitas bahu tapi tanpa nyer
pada awalnya
. intra-articular steroid injections1
. non-steroidal anti-inflammatory agents1
. ultrasound.1
- Tidak ada penelitian yang mengevaluasi intervensi berikut
untuk mencegah nyeri bahu post stroke :
. intramuscular electrical stimulation1
. complementary therapies compared to standard care in
at-risk individuals1

Tatalaksana Nyeri bahu post


stroke - Terapi Fisik ;Sedikit bukti yang mendukung tehnik Bobath
untuk tatalaksana nyeri bahu post stroke (level of evidence
1++)1
- EMG Biofeedback : Sedikit bukti yang mendukung EMG
Biofeedback untuk tatalaksana nyeri bahu post stroke (level of
evidence 1++)1
- Strapping : Strapping bahu untuk tatalaksana nyeri bahu post
stroke tidak direkomedasikan (level of evidence 1++)1
Strapping dapat menunda onset nyeri tetapi tidak mengurangi
nyeri7
- Slings/wheelchair attachment : Kurangnya bukti yang
menyimpulkan apakah sling dan wheelchair attachment
mengurangi nyeri bahu post stroke (level of evidence 1++)1,7
- Elektrikal Stimulasi : Kurangnya bukti yang
merekomendasikan penggunaan intramuskular elektrikal
stimulasi untuk nyeri bahu post stroke1
- Elektrikal stimulasi memperbaiki lingkup gerak sendi yang
bebas nyeri dan menguranngi intensitas nyeri dan efeknya tetap
berlangsung sampai 1 tahun setelah stimulasi dihentikan7

- Botulinum toxin : Clostridium Botulinum toxin type A


(DYsport or Botox) saat ini tidak direkomendasikan untuk
tatalaksana spastisitas fokal, termasuk masalah pada
ekstremitas atas yang ada hubungannya dengan spastisitas fokal
(level of evidence 1++)1
- Intra-artikular steroid injeksi : Intraartikular sterid
seharusnya tidak diguinakan pada nyeri bahu post stroke tanpa
masalah inflamasi1,7
- Non-steroidal antiinflamasi agent (NSAID): Tidak ada RCT
yang mengevaluasi penggunaan NSAID untuk tatalaksana nyeri
bahu post stroke1
NSAID dapat sebagai bagian dari tatalaksana bersama
analgesik lainnya untuk memperbaiki simptom nyeri bahu post
stroke1
- Ultrasound : Tidak ada RCT yang melakukan evaluasi
ultrasound untuk nyeri bahu post stroke1,7
-Cryotherapy : Tidak banyak bukti yang menyimpulkan
bahwa aplikasi cryotherapy (coldpack) bersama latihan, lebih
buruk daripada latihan menggunakan tehnik Bobath (level of
evidence 1++)1
- Massage : Kurangnya bukti bahwa slow-stroke back massage
memberikan keuntungan dibandingkan tatalaksana perawatan
konvensional pada nyeri bahu post stroke (level of evidence
1+)1
- Akupuncture/akupresur: Kurangnya bukti untuk
merekomendasikan akunktur/akupresur untuk tatalaksana nyeri
bahu post stroke1

Nyeri

Pasien harus dianamnese apakah ada nyeri dan jika ada nyeri
harus dilakukan assessmen (dengan alat ukur nyeri yang
tervalidasi, VAS7) dan ditatalaksana dengan tepat sesegera
mungkin

Nyeri Sentral Post Stroke


- Amitriptilin (dosis titrasi sampai 75 mg) dapat
dipertimbangkan pAda pasien dengan nyeri sentral post stroke
yang tidak responsif pada tatalaksana standar serta pasien dan
klinisi sudah mengetahui efek samping potensial (Rekomendasi
B)1
- Jika amitriptilin tidak efektif atau ada kontra-indikasi, maka
pilihan lamotrigine atau carbamazepin merupakan alternatif
walaupun tingginya insidensi efek samping harus diawasi
(Rekomendasi B)1

Sindrom nyeri kompleks regional (COmpleks Regional Pain


Syndrome = CRPS)
- CRPS merupakan komplikasi yang jarang dan kompleks pada
stroke
- KArena kurangnya bukti ilmiah, efektivitas berbagai terapi
untuk tatalaksana CRPS tidak dapat dibuktikan atau disangkal1

- PAsien dengan CRPS harus dirujuk pada klinisi yang ahli


untuk melakukan tatalaksana kondisi ini1

Fatigue post stroke - Kurangnya bukti rekomendasi intervensi manajemen


fatigue post-stroke1
- Pasien dengan fatigue post stroke harus dilakukan skrining
depresi1
- Kurangnya bukti untuk pemakaian Fluoxetine, trilizad, terapi
perilaku dan modafinil1

Gangguan perilaku mood dan


emosi Rekomendasi
- Rujukan pada pelayanan kesehatan dan psikologi klinis harus
dipertimbangkan pada pasien dan caregiver untuk membantu
penyembuhan yang lebih baik, membantu adaptasi dan
mencegah serta memperbaiki adaptasi abnormal terhadap
konsekuensi stroke1
- Seluruh pasien stroke (termasuk pada pelayanan kesehatan
primer) harus ditapis untuk gangguan mood1
Alat ukur penapisan, misal dengan Stroke Aphasic Depression
Questionnaire (SAD-Q) atau General Health Questionnaire of
12 items (GHQ-12), harus dilakukan sedini mungkin dan
sebaiknya selalu dilakukan sebelum pasien keluar rumah sakit
dam kemudian dilakukan scara regular1
- Penilaian klinis harus dilakukan untuk menilai seberapa sering
harus dilakukan evaluasi ulang kondisi mood pasien 1
- Jika pasien dicurigai ada gangguan mood, mereka harus
dirujuk pada ahli yang terlatih untuk mendapatkan assessmen
secara menyeluruh atau pada anggota tim rehabilitasi uang telah
mendapatkan pelatihan identifikasi distress psikologi1
- Pertimbangkan untuk :
- pemberian antidepresi pada gangguan emosional post-stroke
- program edukasi berdasarkan prinsip psikologi
- antidepresan untuk depresi post-stroke1

- Tidak direkomendasikan antidepresan atau terapi psikologi


untuk mencegah depresi post stroke1
- Kurangnya bukti :
- intervensi psikologi, edukasi pasien, saran atau
support pada gangguan emosional post
stroke1,2
- terapi psikologi (dengan berbicara) untuk terapi
depresi post-stroke1
- terapi psikologi ( yaitu terapi keluarga, psikoterapi
interpersonalm terapi perilaku)1
- Dukung pasien stroke untuk terlibat pada aktivitas fisik dan
atau aktivitas leisure7

Kondisi Emosi Yang Labil


- Pasien dengan gangguan emosi post stroke harus
dipertimbangkan untuk pemberian antidepresan (rekomendasi
B)1. SSRI direkomendasikan pada pasien-pasien ini
(rekomendasi A)7
- Kemungkinan efek samping antidepresan harus dijelaskan
pada pasien sebelum terapi dimulai1
- PASien dan caregiver harus diberikan penjelasan yang
lengkap dan diberikan saran mengenai emosi dan
dipertimbangkan untuk dilakukan terapi psikologi (talking-
based) jika respon terhadap antidepresan tidak baik dan terdapat
bukti stress terhadap kondisimya. Support psikologi, edukasi
dan saran harus disesuaikan dengan kondisi pasien.1

Pencegahan Depresi Post-Stroke


- Peresepan antidepresan secara rutin tidak direkomendasikan
untuk mencegah depresi post-stroke (Level I, rekomendasi A)
1,2

- Terapi psikologi setelah stroke dengan model one-to-one tidak


direkomendasikan untuk mencegah depresi post-stroke
(rekomendasi B)1
- Prinsip psikologi dengan motivasi dan pemecahan masalah
harus dimasukkan dalam program edukasi untuk pasien stroke
(rekomendasi B)1

Terapi Depresi Post-Stroke


- Jika depresi dan gangguan emosi lainnya segera ditangani saat
didiagnosa, akan memberikan perbaikan pada hasil rehabilitasi
(Level A) 3

- Pasien dengan depresi post-stroke harus dipertimbangkan


untuk pemberian antidepresi yang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Klinisi harus memonitor respon terapi, pengecekan
teratur dan harus mengetahui kemungkinan terjadinya efek
samping yang tidak diinginkam, masalah ketaatan pengobatan
dan kemungkinan munculnya gejala kembali (rekomendasi A)1
- Klinisi harus memilih antidepresan berdasarkan kondisi
pasien dengan mempertimbangkan risiko kejang, jatuh dan
delirium1
- Pasien yang gagal berespon terhadap antidepresan, atau tidak
mau minum obat, harus dipertimbangkan untuk terapi
psikologi, dan klinisi harus memonitor hasil terapi1
- Klinisi harus mengetahui faktor lingkungan (misal interaksi
sosial, level kebisingan) kadang memiliki dampak pada mood
dan pertimbangkan apakah faktor tersebut dapat dikurangi pada
pasien depresi post-stroke1
- Antidepresan dan atau intervensi psikologi harus diberikan
pada pasien dengan depresi atau gangguan emosi (Level I)2
- Psikoterapi untuk depresi post stroke memiliki bukti level C
(3)
- ECT dapat dipertimbangkan pada depresi yang tidak dapat
diobati dengan medikamentosa2
- SSRI dan antidepresan tricyclic memiliki efek yang baik pada
depresi, tetapi karena efek samping trisiklik yaitu efek
antikolinergik pada orang tua cukup tinggi, maka
dipertimbangkan SSRI3

Penyesuaian Emosi post-stroke


- Pasien dengan stroke dipertimbangkan untuk memiliki buku
(berisi informasi tentang stroke, penyembuhan, panduan untuk
coping dan manajemen diri)1

Sexuality _ Tenaga kesehatan harus memberikan saran dan


informasi tertulis pada pasien dan pasangan mengenai
hubungan seksual setelah stroke1,2
- Intervensi yang dilakukan harus menuju pada aspek
psikososial dan fungsi fisik2

Infeksi dan pireksia - Stroke unit harus di nilai dan diselidiki adanya
kemunhgkinan penyebaran infeksi pada paru dan saluran
kemih1
- Pasien dengan demam harus diinvestigasi sumbernya (
yaitu infeksi traktus urinarius, trakstus respirasi, kulit dan
tempat penusukan intravena)2
- Terapi antipiretik, terdiri dari parasetamol dan atau
dikompres dingin harus dilakukan secara rutin jika ada
demam2
- Pneumonia merupakan penyebab kematina yang penting
setelah stroke. Biasanya terjadi pada pasien immobilisasi
atau tidak dapat batuk. Adanya demam setelah stroke
harus menjadi acuan untuk mencari tanda pneumonia dam
antibiotik yang tepat harus diberikan dini5
- Infeksi traktus urinarius dan sepsis sekunder terjadi pada
5% pasien stroke. Pemakaian indewlling kateter kadang
diperlukan untuk tatatalaksama inkontinens atau retensi
urin. Pemakaian tersebut harus dihindari jika ada risiko
infeksi. Asidifikasi urine atau kateterisasi intermitent dapat
menurunkan risiko infeksi dan membantu menghindari
pemakaian antinbiotik profilaksis. Antikolinergik dapat
membantu penyembuhan fungsi kandung kemih5

Pencegahan Ulkus dekubitus - Staf kesehatan rumah sakit harus memastikn bahwa
kemampuan perawat, staffing dan perlatan yang ada cukup
untuk mencegah ulkus dekubitus (rekomendasi D)1
- Rumah sakit harus memperbaharui kebijaksanaan untuk
assesment risiko, pencegahan dan tatalaksana ulkus
dekubitus1

- Risiko untuk kerusakan kulit adalah tidak mandiri untuk


mobilisasi, diabetes, periferal vascular disease, inkontinens
urine danbody mass index yang rendah. Assessment
menyeluruh untuk integritas kulit harus dilakukan saat
masuk rumah sakit dan minimal satu kali setiap hari
dilakukan pengecekan (Rekomendasi C)3,7.
- Risiko untuk skin breakdown harus dinilai menggunakan
alat assessment terstandar (seperti Braden Scale) Level of
evidence I7

- Rekomendasi dilakukan Positioning, turning dan tehnik


transfer serta penggunaan barrier sprays, pelumas dan
matras spesial, dressing proteksi dan padding harus
digunakan untuk mencegah cedera kulit (Rekomendasi
C)3,7

Tromboembolisme vena - Tatalaksana medis dini


Aspirin (300mg/hari) harus diberikan pada seluruh pasien
dengan acute ischemic stroke dalam dua minggu pertama
setelah stroke untuk menvegah trombosis vena dalam dan
embolisme paru (jika tidak ada kontra indikasi),
rekomendasi A 1,2
- Aspirin dalam diberikan melalui nasogastric tube atau
melalui (menggunakan suppositoria 300mg) untuk mereka
yang tidak dapat menelan1

- Tatalaksana medis setelah dua minggu dari onset stroke


- dua minggu setelah stroke akut iskemik, dokter harus
melakukan re-assess risiko pasien untuk terjadinya DVT
dan mempertimbangkan tatalaksana medis profilaski
(misal heparin)1

- Graduated Elastic compression stocking


- Tidak direkomendasikan penggunaan above-knee
graduated elastic compresssion stocking untuk mengurangi
risiko trombosis vena dalam (rekomendasi A) 1.2

- Direkomendasikan (rekomendasi A dan B)5 pengunaan


intermittent external compression stockings atau aspirin pada
pasien yang tidak dapat diberikan antikoagulan untuk
mencegah trombosis vena dalam pada pasien yang imobilisasi
5, 7

- Mobilisasi dini
- Saat ini tidak ada data untuk mendukung atau menolak
mobilisasi dini (dalam 48 jam setelah stroke) untuk
mencegah tromboembolisme vena (level of evidence 1++)1,
tetapi sebagai karakteristik dari center stroke yang baik,
disarankan bahwa mobilisasi dini penting untuk mencegah
DVT2

- Kurangnya bukti efektivitas penguunaan pneumatic


compression devices dan electrical simulasi pada otot kaki
untuk mencegah DVT2

Spastisitas Post Stroke

Intervensi untuk spastisitas hanya diberikan pada spastisitas yang mengganggu aktivitas atau
perawatan diri pasien

Salah datu dari intervensi ini dapat diberikan :

• Botulinum Toxin A; (Level I,)2


• dynamic splinting; (Level III-2)2
Tidak direkomendasikan Penggunaan splinting resting pada anggota gerak atas untuk
mengurangi spastisitas pergelangan tangan dan fleksi jari setelah stroke (rekomendasi A)1

• vibration; (Level II, )2


• stretch; (Level II, Level III-2,)2
• electromyographic biofeedback. (Level III-2)2
intrathecal baclofen; (Level I, Level II,)2
• Antispastisitas oral: Tidak ada rekomendasi 2
Pertimbangkan tizanidin dan baklofen oral jika spastisitas disertai nyeri, kebersihan kulit yang
buruk dan terjadi penurunan fungsi. Tizanidin sebaiknya digunakan pada pasien stroke kronik3

• Functional electrical stimulation : tidak ada bukti yang cukup1

Penanganan spastisitas dengan posisi antispastik, latihan gerak Sendi, stretching dan
splinting3

 Diazepam dan benzodizapin lainnya harus dihindari (rekomendasi D)3

Kontraktur
- Untuk mencegah terjadinya kontraktur, otot diposisikan dalam posisi memanjang (level
II)2
- Latihan pulley overhead sebaiknya tidak lakukan2
- Untuk pasien dengan kontraktur, untuk meningkatkan gerak sendi dapat dilakukan
dengan ;

2
i. stimulasiElekstrikal(Level III-3)
2
ii. Casting . (Level I)

- Pertimbangkan Prolonged stretching lingkup sendi secara aktif dan pasif untuk
menurunkan risiko munculnya kontraktur (night splint, tilting table) pada periode awal
terjadinya stroke (Level I, rekomendasi C)7- p85
- Prolong PROM dan AROM mencegah kontrkatur, meningkatkan keamanan
dan kemandirian dalam hal aktivitas fungsi (functional activities)7

Consider active and passive ROM prolonged stretching program to decrease risk of contracture
development (night splints, tilt table) in early period following stroke. [C]
Prolonged PROM and AROM prevent contractures, improves safety and independence with
functional activities

Prevensi dan tatalaksana subluksasi bahu

- Elektrikal stimulasi
Intramuskular elektrikal stimulasi tidak lebih efektif daripada pengunaan hemisling untuk
menurunkan derajat subluksasi vertikal (level of evidence 1++)1,2
- Mata analisis dari 3 RCT menyimpulkan bahwa elektrikal stimulasi memperbaiki fungsi bahu
jika digunakan sesegera setelah stroke (level of evidence 1++)1
- Eletrikal stimulasi pada otot supraspinatus dan deltoid harus dipertimbangkan sesegera setelah
stroke pada pasien dengan risiko terjadinya subluksasi bahu (Rekomendasi A) 1
- Subluksasi dapat dikurangi dan nyeri dapat berkurang menggunakan functional elektrikal
stimulasi pada sendi bahu (Level B)7,p29
- PEnggunaan alat supportif yang firm untuk mencegah subluksasi lebih lanjut (level III-2)2
Prevensi nyeri sendi bahu post stroke
- Prevensi subluksasi dan kontrtaktur dapat mencegah munculnya nyeri bahi. Intervensi yang
ditujukan untuk mengurangi trauma pada bahu, seperti edukasi staff, caregiver dan pasien sendiri,
juga dapat mencegah nyeri bahu. Edukasi yang diberikan termasuk strategi untuk menjaga bahu
saat manual handling dan transfer serta saran posisioning2,7
- Positioning : Direkomendasikan Positioning dan handling secara hati-hari pada bahu dan
ekstremitas atas yang terkena (level of evidencfe 1++ dan 1+) 1
- Terapi fisik :
- Tidak ada bukti konklusif untuk penggunaan terapi muktahir (EMG biofeedback, terapi
perilaku atau alat untuk continous pasive motion ) dibandingkan terapi fisik konvensional. (level
of evidence 1++)1
- Strapping : Bukti yang kurang untuk merekomendasikan atau menolak penggunaan strapping
bahu pada pasien dengan risiko tinggi ((level of evidence 1++)1
- Sling : Bukti kurang yang mendukung penggunaan sling untuk mencegah nyeri bahu post stroke
(level of evidence 1++)1
- OverheadPulleys : Penggunaan overhead pulley untuk mencegah nyeri bahu tidak
direkomendasikan ( rekomendasi B) 1
- ELektrikalStimulasi : Functional elektrikal stimulasi tidak direkomendasikan sebagai alat untuk
mencegah nyeri bahu pada pasien dengan kelemahan ekstremitas atas post stroke (rekomendasi
A)1
- Intervensi lainnya :
- Tidak ada RCT yang mengevaluasi intervensi lainnya untuk mencegah nyeri bahu post
stroke . Intervensi tersebut adalah :
- Clostridium botulinum toxin type A pada pasien dengan spastisitas bahu tapi tanpa nyer
pada awalnya
. intra-articular steroid injections1
. non-steroidal anti-inflammatory agents1
. ultrasound.1
- Tidak ada penelitian yang mengevaluasi intervensi berikut untuk mencegah nyeri bahu post
stroke :
. intramuscular electrical stimulation1
. complementary therapies compared to standard care in at-risk individuals1

Tatalaksana Nyeri bahu post stroke

- Terapi Fisik ;Sedikit bukti yang mendukung tehnik Bobath untuk tatalaksana nyeri bahu post
stroke (level of evidence 1++)1
- EMG Biofeedback : Sedikit bukti yang mendukung EMG Biofeedback untuk tatalaksana nyeri
bahu post stroke (level of evidence 1++)1
- Strapping : Strapping bahu untuk tatalaksana nyeri bahu post stroke tidak direkomedasikan
(level of evidence 1++)1
Strapping dapat menunda onset nyeri tetapi tidak mengurangi nyeri7
- Slings/wheelchair attachment : Kurangnya bukti yang menyimpulkan apakah sling dan
wheelchair attachment mengurangi nyeri bahu post stroke (level of evidence 1++)1,7
- Elektrikal Stimulasi : Kurangnya bukti yang merekomendasikan penggunaan intramuskular
elektrikal stimulasi untuk nyeri bahu post stroke1
Dokter rosi, tetapi dari dari VA/DDO 2010 7
Electrical stimulation improved pain-free shoulder range of motion (Price & Pandyan, 2001) and
reduced pain intensity with benefit lasting for at least one year after stimulation stopped (Van
Peppen et al., 2004; Chae et al., 2005). -> belum diterjemahlan dan belum dimasukkan

- Botulinum toxin : Clostridium Botulinum toxin type A (DYsport or Botox) saat ini tidak
direkomendasikan untuk tatalaksana spastisitas fokal, termasuk masalah pada ekstremitas atas
yang ada hubungannya dengan spastisitas fokal (level of evidence 1++)1
- Intra-artikular steroid injeksi : Intraartikular sterid seharusnya tidak diguinakan pada nyeri
bahu post stroke tanpa masalah inflamasi1,7
- Non-steroidal antiinflamasi agent (NSAID): Tidak ada RCT yang mengevaluasi penggunaan
NSAID untuk tatalaksana nyeri bahu post stroke1
NSAID dapat sebagai bagian dari tatalaksana bersama analgesik lainnya untuk memperbaiki
simptom nyeri bahu post stroke1
- Ultrasound : Tidak ada RCT yang melakukan evaluasi ultrasound untuk nyeri bahu post
stroke1,7
-Cryotherapy : Tidak banyak bukti yang menyimpulkan bahwa aplikasi cryotherapy (coldpack)
bersama latihan, lebih buruk daripada latihan menggunakan tehnik Bobath (level of evidence
1++)1
- Massage : Kurangnya bukti bahwa slow-stroke back massage memberikan keuntungan
dibandingkan tatalaksana perawatan konvensional pada nyeri bahu post stroke (level of evidence
1+)1
- Akupuncture/akupresur: Kurangnya bukti untuk merekomendasikan akunktur/akupresur untuk
tatalaksana nyeri bahu post stroke1

Nyeri

Pasien harus dianamnese apakah ada nyeri dan jika ada nyeri harus dilakukan assessmen (dengan
alat ukur nyeri yang tervalidasi, VAS7) dan ditatalaksana dengan tepat sesegera mungkin

Nyeri Sentral Post Stroke


- Amitriptilin (dosis titrasi sampai 75 mg) dapat dipertimbangkan pAda pasien dengan nyeri
sentral post stroke yang tidak responsif pada tatalaksana standar serta pasien dan klinisi sudah
mengetahui efek samping potensial (Rekomendasi B)1
- Jika amitriptilin tidak efektif atau ada kontra-indikasi, maka pilihan lamotrigine atau
carbamazepin merupakan alternatif walaupun tingginya insidensi efek samping harus diawasi
(Rekomendasi B)1

Sindrom nyeri kompleks regional (COmpleks Regional Pain Syndrome = CRPS)


- CRPS merupakan komplikasi yang jarang dan kompleks pada stroke
- KArena kurangnya bukti ilmiah, efektivitas berbagai terapi untuk tatalaksana CRPS tidak dapat
dibuktikan atau disangkal1
- PAsien dengan CRPS harus dirujuk pada klinisi yang ahli untuk melakukan tatalaksana kondisi
ini1
Fatigue post stroke
- Kurangnya bukti rekomendasi intervensi manajemen fatigue post-stroke1
- Pasien dengan fatigue post stroke harus dilakukan skrining depresi1
- Kurangnya bukti untuk pemakaian Fluoxetine, trilizad, terapi perilaku dan modafinil1

Gangguan perilaku mood dan emosi

Rekomendasi
- Rujukan pada pelayanan kesehatan dan psikologi klinis harus dipertimbangkan pada pasien dan
caregiver untuk membantu penyembuhan yang lebih baik, membantu adaptasi dan mencegah serta
memperbaiki adaptasi abnormal terhadap konsekuensi stroke1
- Seluruh pasien stroke (termasuk pada pelayanan kesehatan primer) harus ditapis untuk gangguan
mood1
Alat ukur penapisan, misal dengan Stroke Aphasic Depression Questionnaire (SAD-Q) atau
General Health Questionnaire of 12 items (GHQ-12), harus dilakukan sedini mungkin dan
sebaiknya selalu dilakukan sebelum pasien keluar rumah sakit dam kemudian dilakukan scara
regular1
- Penilaian klinis harus dilakukan untuk menilai seberapa sering harus dilakukan evaluasi ulang
kondisi mood pasien 1
- Jika pasien dicurigai ada gangguan mood, mereka harus dirujuk pada ahli yang terlatih untuk
mendapatkan assessmen secara menyeluruh atau pada anggota tim rehabilitasi uang telah
mendapatkan pelatihan identifikasi distress psikologi1
- Pertimbangkan untuk :
- pemberian antidepresi pada gangguan emosional post-stroke
- program edukasi berdasarkan prinsip psikologi
- antidepresan untuk depresi post-stroke1

- Tidak direkomendasikan antidepresan atau terapi psikologi untuk mencegah depresi post stroke1
- Kurangnya bukti :
- intervensi psikologi, edukasi pasien, saran atau support pada gangguan emosional post
12
stroke ,
- terapi psikologi (dengan berbicara) untuk terapi depresi post-stroke1
- terapi psikologi ( yaitu terapi keluarga, psikoterapi interpersonalm terapi perilaku)1
- Dukung pasien stroke untuk terlibat pada aktivitas fisik dan atau aktivitas leisure7

Kondisi Emosi Yang Labil


- Pasien dengan gangguan emosi post stroke harus dipertimbangkan untuk pemberian antidepresan
(rekomendasi B)1. SSRI direkomendasikan pada pasien-pasien ini (rekomendasi A)7
- Kemungkinan efek samping antidepresan harus dijelaskan pada pasien sebelum terapi dimulai1
- PASien dan caregiver harus diberikan penjelasan yang lengkap dan diberikan saran mengenai
emosi dan dipertimbangkan untuk dilakukan terapi psikologi (talking-based) jika respon terhadap
antidepresan tidak baik dan terdapat bukti stress terhadap kondisimya. Support psikologi, edukasi
dan saran harus disesuaikan dengan kondisi pasien.1
Pencegahan Depresi Post-Stroke
- Peresepan antidepresan secara rutin tidak direkomendasikan untuk mencegah depresi post-stroke
(Level I, rekomendasi A) 1,2
- Terapi psikologi setelah stroke dengan model one-to-one tidak direkomendasikan untuk
mencegah depresi post-stroke (rekomendasi B)1
- Prinsip psikologi dengan motivasi dan pemecahan masalah harus dimasukkan dalam program
edukasi untuk pasien stroke (rekomendasi B)1

Terapi Depresi Post-Stroke


- Jika depresi dan gangguan emosi lainnya segera ditangani saat didiagnosa, akan memberikan
perbaikan pada hasil rehabilitasi (Level A) 3

- Pasien dengan depresi post-stroke harus dipertimbangkan untuk pemberian antidepresi yang
disesuaikan dengan kondisi pasien. Klinisi harus memonitor respon terapi, pengecekan teratur dan
harus mengetahui kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diinginkam, masalah ketaatan
pengobatan dan kemungkinan munculnya gejala kembali (rekomendasi A)1
- Klinisi harus memilih antidepresan berdasarkan kondisi pasien dengan mempertimbangkan risiko
kejang, jatuh dan delirium1
- Pasien yang gagal berespon terhadap antidepresan, atau tidak mau minum obat, harus
dipertimbangkan untuk terapi psikologi, dan klinisi harus memonitor hasil terapi1
- Klinisi harus mengetahui faktor lingkungan (misal interaksi sosial, level kebisingan) kadang
memiliki dampak pada mood dan pertimbangkan apakah faktor tersebut dapat dikurangi pada
pasien depresi post-stroke1
- Antidepresan dan atau intervensi psikologi harus diberikan pada pasien dengan depresi atau
gangguan emosi (Level I)2
- Psikoterapi untuk depresi post stroke memiliki bukti level C (3)
- ECT dapat dipertimbangkan pada depresi yang tidak dapat diobati dengan medikamentosa2
- SSRI dan antidepresan tricyclic memiliki efek yang baik pada depresi, tetapi karena efek
samping trisiklik yaitu efek antikolinergik pada orang tua cukup tinggi, maka dipertimbangkan
SSRI3

Penyesuaian Emosi post-stroke


- Pasien dengan stroke dipertimbangkan untuk memiliki buku (berisi informasi tentang stroke,
penyembuhan, panduan untuk coping dan manajemen diri)1

Sexuality
_ Tenaga kesehatan harus memberikan saran dan informasi tertulis pada pasien dan
pasangan mengenai hubungan seksual setelah stroke1,2
- Intervensi yang dilakukan harus menuju pada aspek psikososial dan fungsi fisik 2
Infeksi dan pireksia
- Stroke unit harus di nilai dan diselidiki adanya kemunhgkinan penyebaran infeksi pada
paru dan saluran kemih1
- Pasien dengan demam harus diinvestigasi sumbernya ( yaitu infeksi traktus urinarius,
trakstus respirasi, kulit dan tempat penusukan intravena)2
- Terapi antipiretik, terdiri dari parasetamol dan atau dikompres dingin harus dilakukan
secara rutin jika ada demam2
- Pneumonia merupakan penyebab kematina yang penting setelah stroke. Biasanya terjadi
pada pasien immobilisasi atau tidak dapat batuk. Adanya demam setelah stroke harus
menjadi acuan untuk mencari tanda pneumonia dam antibiotik yang tepat harus diberikan
dini5
- Infeksi traktus urinarius dan sepsis sekunder terjadi pada 5% pasien stroke. Pemakaian
indewlling kateter kadang diperlukan untuk tatatalaksama inkontinens atau retensi urin.
Pemakaian tersebut harus dihindari jika ada risiko infeksi. Asidifikasi urine atau
kateterisasi intermitent dapat menurunkan risiko infeksi dan membantu menghindari
pemakaian antinbiotik profilaksis. Antikolinergik dapat membantu penyembuhan fungsi
kandung kemih5

Pencegahan Ulkus dekubitus


- Staf kesehatan rumah sakit harus memastikn bahwa kemampuan perawat, staffing dan
perlatan yang ada cukup untuk mencegah ulkus dekubitus (rekomendasi D)1
- Rumah sakit harus memperbaharui kebijaksanaan untuk assesment risiko, pencegahan
dan tatalaksana ulkus dekubitus1

- Risiko untuk kerusakan kulit adalah tidak mandiri untuk mobilisasi, diabetes, periferal
vascular disease, inkontinens urine danbody mass index yang rendah. Assessment
menyeluruh untuk integritas kulit harus dilakukan saat masuk rumah sakit dan minimal
satu kali setiap hari dilakukan pengecekan (Rekomendasi C)3,7.
- Risiko untuk skin breakdown harus dinilai menggunakan alat assessment terstandar
(seperti Braden Scale) Level of evidence I7

- Rekomendasi dilakukan Positioning, turning dan tehnik transfer serta penggunaan barrier
sprays, pelumas dan matras spesial, dressing proteksi dan padding harus digunakan untuk
mencegah cedera kulit (Rekomendasi C)3,7

Tromboembolisme vena

- Tatalaksana medis dini


Aspirin (300mg/hari) harus diberikan pada seluruh pasien dengan acute ischemic stroke
dalam dua minggu pertama setelah stroke untuk menvegah trombosis vena dalam dan
embolisme paru (jika tidak ada kontra indikasi), rekomendasi A 1,2
- Aspirin dalam diberikan melalui nasogastric tube atau melalui (menggunakan suppositoria
300mg) untuk mereka yang tidak dapat menelan1
- Tatalaksana medis setelah dua minggu dari onset stroke
- dua minggu setelah stroke akut iskemik, dokter harus melakukan re-assess risiko pasien
untuk terjadinya DVT dan mempertimbangkan tatalaksana medis profilaski (misal
heparin)1
- Graduated Elastic compression stocking
- Tidak direkomendasikan penggunaan above-knee graduated elastic compresssion
stocking untuk mengurangi risiko trombosis vena dalam (rekomendasi A) 1.2

- Direkomendasikan (rekomendasi A dan B)5 pengunaan intermittent external compression


stockings atau aspirin pada pasien yang tidak dapat diberikan antikoagulan untuk mencegah
trombosis vena dalam pada pasien yang imobilisasi 5, 7

- Mobilisasi dini
- Saat ini tidak ada data untuk mendukung atau menolak mobilisasi dini (dalam 48 jam
setelah stroke) untuk mencegah tromboembolisme vena (level of evidence 1++)1, tetapi
sebagai karakteristik dari center stroke yang baik, disarankan bahwa mobilisasi dini
penting untuk mencegah DVT2

- Kurangnya bukti efektivitas penguunaan pneumatic compression devices dan electrical


simulasi pada otot kaki untuk mencegah DVT2

C. REHABILITASI STROKE FASE KRONIK

Stroke fase kronis ditandai dengan sudah terbentuknya reorganisasi sistem saraf, dimana
proses pemulihan selanjutnya didasarkan pada adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang
ada. Fase ini umumnya terjadi setelah 6 bulan pasca stroke.

Asesmen

Jenis Asesmen Metode Penilaian Penilaian


Fungsi mental/kognitif Asesmen psikologi (Wechsler
Scale),
Fungsi emosional Hamilton Rating Scale for
Depresion
Fungsi menelan Normal/fungsional
dengan kompensasi/ non
fungsional
Kemampuan Tes Afasia untuk Diagnosis Normal/Terganggu
komunikasi Informasi Rehabilitasi (TADIR)
Kemampuan lokomotor Functional Independence Jalan/jalan dengan alat
(mobilitas/ ambulasi) Measure (FIM) subskala bantu/kursiroda/tidak
lokomotor & mobilitas berjalan?? Nilai FIM 1-7
Kemampuan aktivitas Barthel index, Modifikasi Mandiri/dibantu sebagian
sehari-hari Barthel Index, Instrumental / dibantu penuh
Activity of Daily Living (IADL),
Functional Independence
Measure (FIM)
Kemampuan Functional Independence Normal/kadang-kadang/
mengkontrol BAB/ Measure (FIM) selalu terganggu
BAK
Kemampuan vokasional Kembali ke pekerjaan
semula/kerja di bidang
lain/ tidak bekerja
Ketahanan Timed Up and Go Test (TUG), Nilai TUG Normal/Tidak
kardiorespirasi Nilai Kapasitas fungsional normal
jantung&paru dengan Uji Jalan 6
menit
Kualitas hidup LIFE ware system
Fungsi keluarga Mc Master FAD (Family
Assessment Device)
Hambatan sosialisasi Social Integration Scale (WHO)

Asesmen fase ini untuk menilai kemandirian/ketergantungan pasien secara menyeluruh,


termasuk penilaian mengenai faktor resiko serta penyakit atau kondisi penyulit lain yang
mempengaruhi kemandirian pasien. Pemeriksaan penunjang ulang bila diperlukan.
Note:dalam fase ini dokter rehab harus mampu mengenalikemampuan optimal pasien
(derajat disability dan handicap yang ada) dan mengembalikan peran pasien dalam lingkungan dan
masyarakat

Kemampuan Fungsional Rehabilitasi dibagi dalam 7 kategori :


- Mandiri penuh, kembali ke tempat kerja semula
- Mandiri penuh, kembali kerja namun alih tugas/ paruh waktu
- Mandiri penuh, tidak bekerja
- Aktifitas sehari-hari perlu supervisi
- Aktivitas sehari-hari dibantu sebagian. perawatan diri mandiri
- Perawat diri dibantu sebagian
- Seluruhnya dibantu (ketergantungan total)

Diagnosis
Pasca stroke hemoragik/non-hemoragik akibat gangguan sirkulasi ..........
(TACS/PACS/POCS/LACS) ............................................ (tingkat kemandirian fungsional)

INTERVENSI REHABILITASI FASE LANJUT/KRONIS

Specific task
Cardiorespiratory fitness
Exercise Prevensi stroke ulang

V. Prognosis

Prognosis setelah stroke dibagi dalam :


1. Prognosis ad vitam :
Tergantung pada : Jenis, lokasi dan luas lesi pada stroke, faktor resiko, penyakit
atau kondisi penyulit dan komplikasi yang terjadi.

2. Prognosis ad sanationam :
Dapat berulang.
3. Prognosis ad functionam :
Tergantung pada :
- Luas dan lokasi lesi neuroanatomis
- Penyakit atau kondisi penyulit
- Komplikasi
- Motivasi penderita dan dukungan keluarga
- Sarana dan tenaga profesional rehabilitasi yang tersedia

B.Intervensi komplikasi

Komplikasi Intervensi Rehabilitasi Keterangan


Spastisitas *Pengaturan posisi anti-spastisitas
*Atasi kausa Intervensi dila-
*Terapi latihan fisik kan hanya pada
*Terapi splinting (ortosis) spastisitas yang
*Terapi medikamentosa mengganggu
*Intervensi medik fungsi
Pola sinergistik *Pengaturan posisi selama 24 jam
*Terapi latihan fisik
Nyeri *Tentukan dan atasi kausa
*Elektroterapi
*Terapi medikamentosa
*Intervensi medik
*Terapi latihan fisik
*Terapi relaksasi
Subluksasi bahu *Ortosis
*Terapi latihan fisik
*Elektroterapi
*Biofeedback
Sympathetic *Terapi medikamentosa
dysthrophy *Ortosis
*Intervensi medik
*Elektroterapi
*Terapi latihan fisik
Frozen shoulder *Elektroterapi
*Terapi latihan fisik
*Terapi medikamentosa
*Intervensi medik
Ulcus decubitus *Perawatan luka dan pemberian posisi
yang menghindari tekanan
*Terapi medikamentosa
*Elektroterapi Bekerja sama
*Tindakan debridement dgn disiplin
*Tindakan bedah lain terkait

Infeksi saluran *Cari dan atasi kausa


kemih *Terapi medikamentosa
*Perbaiki drainage dgn metode yang
sesuai
*Bladder spooling
Penyakit *Evaluasi dan atasi kausa yang dapat
degeneratif sendi dikontrol :
- Berat badan berlebihan
- Ketidak-imbangan otot/ spastisitas
- Postur atau pola jalan yang salah
*Elektroterapi
*Ortosis
*Terapi latihan fisik
*Edukasi pasien : ‘joint conservation
tehnique’
Osteoporosis *Evaluasi kausa Bekerja sama
*Terapi medikamentosa dgn disiplin ter-
*Terapi latihan fisik kait.
* Edukasi
Ketahanan *Terapi latihan individu/kelompok Perhatikan
kardiorespirasi *Perbaikan gizi faktor resiko.
*Meningkatkan motivasi Monitor keluhan
*Terapi suportif subjektif dan
tanda vital (TD
dan Nadi)

3. Fase lanjut / fase kronis

Intervensi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada fase ini dititik beratkan pada
mengoptimalkan kemampuan fungsi yang ada, mempertahankan kemampuan fungsional
yang telah dicapai dan upaya pencegahan komplikasi sekunder dan tersier.
Peran keluarga dan lingkungan ditingkatkan.

A. Intervensi Rehabilitasi

Tujuan Intervensi Rehabilitasi Keterangan


Mempertahankan *Aktif dengan jadual aktivitas bervariasi
kemandirian *Latihan rekondisi
*Konseling berkala
Meningkatkan *Latihan kebugaran individu/kelompok
kebugaran fisik *Asupan Nutrisi Konsultasi gizi medik
Mengembalikan ke *Tetapkan aset dan limitasi fungsional Bekerja sama
tempat kerja *Latihan rekondisi dengan institusi asal.
*Latihan pre- dan vokasional
*Pengaturan jadual kerja sesuai
kemampuan Evaluasi berkala
*Konseling berkala
Sosialisasi *Terapi suportif
*Persiapan keluarga dan lingkungan
*Stroke club
Pencegahan *Edukasi
sekunder dan *Terapi latihan fisik
tersier. *Konsultasi gizi medik
*Konseling berkala
Mampu menerima *Konseling dan terapi suportif
kecacatan menetap *Edukasi pasien dan keluarga
* Stroke club
Seksualitas *Tetapkan kausa
*Pilih solusi yang tepat
*Edukasi
*Medikamentosa
*Konseling berkala

B. Penanganan komplikasi

Intervensi Rehabilitasi pada penanganan komplikasi pada fase lanjut/ fase kronis
sesuai dengan intervensi komplikasi fase subakut/fase pemulihan.

Alat ukur evaluasi hasil terapi

Komponen Pengukuran Hasil Domain ICF


Kekuatan otot Extremitas atas: kekuatan genggam dan prehension tangan Body structure and function
Extremitas bawah: isometrik dan kekuatan dinamik otot
fleksor dan ekstensor pergelangan kaki, lutut dan panggul
Fleksibilitas Lingkup Gerak Sendi pasif dan atau pasif Body structure and function
Agilitas Parameter biomekanik pola jalan: panjang langkah, Body structure and function
simetrisitas, waktu kontak.
Time up and go (TUG)
Keseimbangan Berg Balance Scale Activity
Tinetti
Koordinasi Fugl-Meyer test of physical performance after stroke Body structure and function
Activity
Tenaga Tenaga ekstensor tungkai Body structure and function
Endurans 6MWT Body structure and function
Kardiovaskular Kecepatan bersepeda maksimum Body structure and function
Endurans Ekonomi berjalan
VO2 uptake maksimum
Ratio respiratory exchange
Kemandirian Barthel Index Activity
perawatan diri dan
mobilitas
Kemandirian Functional Independence Measure (FIM) Activity
fungsional Participation
Dampak stroke Stroke Impact Scale Body structure and function
Activity
Participation
Kondisi kesehatan Medical Outcomes Study Short Form (SF-36) Body structure and function
Activity
Participation
Nyeri Visual Analogue Scale (VAS) Body structure and function
Activity
Participation (tergantung
bagian yang nyeri)
Mood, kecemasan dan Hospital Anxiety and Depression Scale Personal factor
depresi
Lampiran 1 . Bentuk Pelayanan Institusi

STRATA BENTUK SUMBER DAYA MANUSIA BENTUK


INSTITUSI LAYANAN
MEDIS PARAMEDIS MASYA- REHABILITASI
TERAPIS RAKAT STROKE
Dasar Puskesmas/ Dokter umum *Perawat terlatih Kader *Promotif
RS tipe C terlatih *Fisioterapis *Preventif primer
rehabilitasi umum *Rehabilitasi
dasar
*Sistem rujukan
Sederhana RS tipe C DokterSpKFR *Perawat terlatih Kader *Rehab fase sub-
*Terapis umum akut/pemulihan
-Terapis Fisik *Rehab fase lan-
-TerapisOkupasi jut/kronis
-Terapis Wicara *Rehab faseakut
*Layanan OP *Sistem rujukan
Optimal RS tipe B DokterSpKFR *Perawat Rehab *Rehab fase akut
*Terapis khusus *Rehab fase sub-
-Terapis Fisik akut/pemulihan
-TerapisOkupasi *Rehab fase lan-
-Terapis Wicara jut/kronis
*OP bengkel *Preventif sekun-
sederhana der dan tersier.
*Psikolog *Sistem rujukan
*PSM

Paripurna RS tipe A DokterSpKFR *Perawat Rehab *Rehab fase akut


Neuro Rehab *Terapis khusus *Rehab fase sub-
Divisi Stroke Stroke akut/pemulihan
-Terapis Fisik *Rehab fase lan-
-TerapisOkupasi jut/kronis
-Terapis Wicara *Preventif sekun-
-TerapisVokasio der dan tersier
nal *Rehab masalah
-TerapisRekreasi khusus
*OP bengkel
lengkap
*Psikolog klinis
*PSM
*lain-lain
VIII. Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat ditingkatkan dapat dalam bentuk Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat (RBM) atau aktif berperan sebagai Kader Kesehatan di
bidang penanggulangan stroke.
Diharapkan kemudian masyarakat mampu:
- Mengenali disabilitas akibat stroke
- Menerima kondisi ketunaan/limitasi fungsional akibat stroke
- Memfasilitasi berbagai upaya untuk membantu penyandang stroke dalam
meningkatkan kemampuan fungsional
- Memfasilitasi berbagai upaya untuk membantu penyandang stroke kembali
bersosialisasi dengan masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya.
- Membantu berbagai upaya promosi untuk pencegahan primer, sekunder dan
tersier.

IX. Daftar Pustaka

1. Mead G, van Wijck F. Exercise and Fitness Training After Stroke. Churchill Livingstone
Elsevier, 2013

Anda mungkin juga menyukai