REHABILITASI STROKE
I. Latar Belakang
II. Definisi Rehabilitasi Stroke
III. Klasifikasi Stroke
IV. Asesmen dan Diagnosis Fungsional
V. Prognosis
VI. Intervensi Rehabilitasi
VII. Organisasi Pelayanan Rehabilitasi Stroke
VIII. Peran Serta Masyarakat
IX. Daftar Pustaka
Lampiran :
1. Bentuk Pelayanan Institusi
2. Algoritma Rehabilitasi Stroke Fase Akut
3. Algoritma Rehabilitasi Stroke Subakut/Pemulihan
TIM PENYUSUN
KONSENSUS NASIONAL REHABILITASI STROKE 2004
Penasihat:
Dr. S.A Nuhonni M.Jatim, SpRM - K
DR. Dr. Angela Tulaar Ranti, SpRM - K
Pengarah:
DR. Dr. Ferial Hadipoetro Idris, SpRM – K, MS
Dr. Widjaja Laksmi K, SpRM – K, Msc
KELOMPOK KERJA:
TIM REVISI
KONSENSUS NASIONAL REHABILITASI STROKE 2012
Penasihat:
Dr. Luh Karunia Wahyuni, SpKFR-K
Prof. DR. Dr. Angela Tulaar, SpKFR-K
Kelompok Kerja:
NOTE : perlu ditambahkan : penjelasan mengenai cara menetapkan guideline stroke ini,
antar lain : kesepakatan bersama melalui diskusi kelompok, telaah kepustakaan, serta pengalaman
klinis
Tambahkan pula mengenai : level rekomendasi serta level bukti
Tambahkan pula mengenai bahwa ini adalah suatu panduan/guideline dalam
memilih assessment tools dan tatalaksana rehabilitasi stroke
Definisi
Rehabilitasi stroke adalah pengelolaan medik dan rehabilitasi yang komprehensif terhadap
disabilitas yang diakibatkan oleh stroke melalui pendekatan neurorehabilitasi dengan tujuan
mengoptimalkan pemulihan dan atau memodifikasi gejala sisa yang ada agar penyandang stroke
mampu melakukan aktivitas fungsional secara mandiri, dapat beradaptasi dengan lingkungan
danmencapai hidup yang berkualitas.
Klasifikasi Stroke
REHABILITASI STROKE
Tatalaksana Rehabilitasi Stroke dibedakan dalam tiga fase yaitu fase akut, fase subakut dan fase
kronis, dimana pada masing-masing fase mempunyai tujuan dan tatalaksana rehabilitasi yang
berbeda.
Stroke fase akut ditandai oleh kondisi hemodinamis dan neurologis yang belum stabil. Fase ini
dapat berlangsung beberapa hari sampai dengan 2 minggu pasca stroke, tergantung jenis dan
keparahan stroke yang terjadi.
Intervensi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada fase akut ditujukan untuk meminimalkan gejala
sisa dengan membantu perbaikan perfusi otak serta mencegah komplikasi yang dapat terjadi akibat
stroke maupun immobilitassehingga tercapai pemulihan fungsional yang optimal.
Asesmen
Asesmen Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi dilakukan sejak hari pertama pasien
dirawat di Unit Stroke atau Ruang Rawat. Asesmen fase akut dapat dilengkapi secara bertahap
disesuaikan dengan kondisi stabilitas hemodinamik pasien. Seluruh pemeriksaansebaiknya selesai
dalam 5-7 hari masa rawat.
Diagnosis
Penulisan diagnosis mencakup:
Jenis stroke
Area sirkulasi yang terganggu
Lama stroke
Status Hemodinamik dan Neurologis
Fungsi yang terganggu
Contoh:
Stroke non-hemoragik/hemoragik, TACS/PACS/POCS/LACS hari ke .....
Neurologis stabil/belum stabil, hemodinamik stabil/belum stabil
dengan gangguan fungsi ............................................
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada pasien stroke fase akut ditujukan untuk
meminimalkan disabilitas akibat stroke dan mengoptimalkan pemulihan fungsional dengan
memberikan intervensi rehabilitasi medik yang bertujuan membantu perbaikan perfusi otak dan
mencegah komplikasi yang terjadi akibat stroke dan efek immobilitas. Kemampuan menetapkan
mobilisasi pasien sedini mungkin sesuai kondisi medisnya merupakan faktor kritis keberhasilan
rehabilitasi.
Intervensi Rehabilitasi
Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi hemodinamik telah stabil dan adanya proses pemulihan
dan reorganisasi pada sistem saraf. Fase pemulihan ini umumnya berlangsung mulai dari 2 minggu
sampai dengan 6 bulan pasca stroke. Fase ini merupakan fase penting untuk pemulihan fungsional.
Pasien stroke fase subakut dapat mengikuti program rehabilitasi medik sebagai pasien rawat jalan
maupun rawat inap. Tabel 1. menunjukan rekomendasi status pasien dalam menjalani rehabilitasi.
Tabel 1. Rekomendasi status pasien dalam menjalani rehabilitasi stroke berdasarkan tingkat keparahan stroke dan
kemampuan fungsional (berdasarkan FIM) dan toleransi terhadap terapi latihan.
Tingkat Keparahan
Berat Sedang Ringan
Status Fungsional
Skor Fungsional awal < 40 40 – 80 >80
Toleransi
Durasi Minimal 1 Jam 3 Jam 45 – 60 Menit 45 – 60 Menit
Status Pasien Rawat Inap Rawat Inap Home Program Rawat Jalan
Pasien tingkat keparahan berat dengan prognosis fungsionalburuk maka program rehabilitasi difokuskan pada edukasi
pada keluarga/caregivers tentang perawatan pasien, program rehabilitasi paliatif, penyediaan alat bantu atau
aksesibilitas yang mendukung agar tetap tercapai hidup yang berkualitas.
Asesmen
Asesmen pada fase subakut difokuskan pada masalah disabilitas pasien. Berdasarkan disabilitas
yang ada, dilakukan asesmen gangguan fungsi organ, masalah psikososioekonomi and lingkungan
dimana pasien tinggal untuk menentukan goal rehabilitasi, yang sejalan dengan prognosis
pemulihan fungsional pasien. (lampiran 3)
Fungsi komunikasi bicara Test for Dysartria and Verbal Apraxia (TEDYVA)
Disartria flaksid Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
Disartria spastik
Disartria ataksik
Disartria hipokinetik
Disartria hiperkinetik
Disartria campuran
Apraksia verbal
Apraksia bukofascial
Fungsi visual
low vision
hemianopsia
visual agnosia
Fungsi auditori
Kemampuan menelan
tingkat oral Diagnosis gangguan menelanbedside
tingkat faringeal Videofluoroscopic
tingkat orofaringeal Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES)
tingkat esofageal Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
lain-lain
Kemampuan merawat diri Tes Koordinasi dengan nose finger pointing, heel to shin
dan aktivitas sehari-hari Barthel Index
hemiparesis/plegia IADL (Instrumental Activity Daily Living)
hemiestesia Functional Independence Measurement (FIM)
grasping Executive Function performance Test
prehension Action Research Arm Test
postural kontrol Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
dekondisi
persepsi/ eksekusi
Kemampuan miksi Penilaian fungsi penyimpanan dan evakuasi urin
Urodynamic test jika perlu
Note : tambahan keterangan/komen untuk yang belum ada
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada fase sub akut bertujuan untuk
mengoptimalkan pemulihan fungsional sesuai dengan kondisi dan tingkat keparahan stroke
berdasarkan motor learning dan plastisitas otak. Intervensi rehabilitasi diberikan sesuai dengan
kondisi medis, beratnya dampak stroke, medikamentosa yang pasien minum saat itu, kapasitas
fungsional dan kebugaran kardiorespirasi pasien dalam menjalankan program rehabilitasi.
Intervensi rehabilitasi
Disfagia
1. Semua pasien dengan disfagia lebih dari satu minggu harus dinilai untuk
menentukan program rehabilitasi menelan yang sesuai . Pertimbangan
pada sifat gangguan menelan yang mendasari dan menyesuaikan dengan
kondisi motivasi dan status kognitif pasien. (Rekomendasi D) 1Pasien
dengan disfagia harus memiliki rehabilitasi menelan orofaringeal
2. Program rehabilitasi yang mencakup latihan restoratif di samping teknik
kompensasi dan modifikasi diet. (Rekomendasi B)1.Strategi kompensasi
menelan, seperti posisi, manuver terapeutik atau modifikasi makanan dan
cairan untuk memfasilitasi proses menelan yang aman mungkin
dibutuhkan pada kasus disfagia. (Level bukti IV)2
3. Pasien stroke dengan gejala-gejala disfagia atau aspirasi pneumonia dapat
diberikan cara menelan yang aman serta konsistensi diet dan cairan yang
akan diberikan. (Rekomendasi A)3
4. Sebuah tunggal RCT yang membandingkan pendekatan kompensasi
standar untuk manajemen disfagia dengan memberikan intervensi terapi
perilaku aktif menunjukkan tren yang konsisten terhadap hasil yang lebih
positif dan terdapat perbaikan fungsi menelan setelah enam bulan pasca
stroke. Ada juga kecenderungan peningkatkan hasil pada pasien yang
diterapi lebih intensif (Level bukti I+)1
5. Metode berikut yang termasuk pilihan terapi untuk disfagia:
a. “Shaker” therapy (resisted exercise) dengan target pada kelompok otot
yang spesifik, yaitu otot supra-hyoid, infra-hyoid dan
sternkleidomastoideus (Level bukti II)2,4 Program penguatan
Suprahyoid memiliki efek pada biomekanik pharyngeal proses menelan
dengan meningkatkan pembukaan esofagus atas, meningkatkan
ekskursi laring anterior dan mengurangi risiko aspirasoi pasca-menelan
(Level bukti I+)1. Latihan lingual menunjukkan efek positif, bahkan
sampai empat tahun pasca stroke (Level bukti 2-)1
b. Stimulasi termo-taktil. (Level bukti II).2,4 Sebuah RCT
memeriksaefektivitas stimulasi oral untuk disfagia setelah stroke tidak
menemukan bukti perubahan fungsional dalam menelan.
c. Stimulasi elektrik. (Level bukti III-3)2,4 Penelitian yang kurang
memuaskan mengkaji efektivitas terapi stimulasi neuromuskuler
(neuromuscular stimulation therapy) pada pasien dengan disfagia pasca
stroke menunjukkan hasil yang masih kontroversi. (Level bukti 1-,2-)1.
Sebuah studi kohort pada pasien dengan disfagia kronis yang stabil,
yang berisiko aspirasi selama enam bulan atau lebih, justru
menimbulkan kekhawatiran tentang potensi efek biomekanis dengan
memburuknya fungsi menelan setelah pemberian stimulasi listrik (perlu
dipikirkan untuk berhati-hati dalam memilih parameter terapi). (Level
bukti 1- dan 2-)1
d. Tidak ada bukti dengan kualitas yang tersedia pada penerapan
biofeedback untuk meningkatkan efektivitas intervensi terapi untuk
disfagia.1
Hidrasi dan Nutrisi
1. Suplementasi cairan dengan metode yang tepat perlu dilakukan untuk
mencegah dan mengatasi dehidrasi. (Level bukti I)2
2. Suplementasi nutrisi perlu diberikan pada pasien dengan status gizi
kurang dan gizi buruk. (Level bukti I)2
3. Pemberian nutrisi enteral di awal perawatan melalui nasogastric tube
dapat digunakan untuk pasien yang membutuhkan metode pemberian
makan alternatif sebagai konsekuensi disfagia. (Level bukti II) 2
4. Nasogastric tube lebih rutin digunakan daripada gastrostomy dalam
bulan pertama pasien pasca stroke dengan gangguan menelan. (Level
bukti II)2
Gangguan ambulasi jalan Pasien yang belum mampu berjalan harus berlatih jalan dan atau komponen
akibat: jalansesuai dengan kemampuan pasien secara berulang dan sesering mungkin
hemiparese (Rekomendasi A)4
hemiaestesia Dalam terapi latihan sebaiknya dilatih pola jalan yang sesuai dengan prognosis
gangguan vestibular dan proses pemulihan stroke dengan tujuan memberikan kemampuan ambulasi
postural kontrol jalan yang stabil dan aman pada pasien bukan pola jalan yang normal.
gangguan keseimbangan Terapi latihan untuk ambulasi jalan terdiri dari terapi latihan dasar persiapan
gangguan persepsi dan jalan, fungsional jalan dan endurance jalan.
kognisi Terapi latihan dasar persiapan jalan terdiri dari terapi latihan peregangan,
penguatan dan re-edukasi otot. Berbagai metoda terapi latihan penguatan otot
pola sinergis dan spastisitas
yang terbukti bermanfaat antara lain Progressive Resistance Exercise
dekondisi
(Rekomendasi B)4electrical stimulation (Rekomendasi B)4, EMG Biofeedback
gangguan kognisi/dementia
bersama terapi konvensional (Rekomendasi C)4.
Terapi fungsional jalan dapat dilaksanakan dengan atau dengan alat bantu jalan
( tripod, walker). Dalam penggunaan alat bantu jalan perlu diperhatikan postur
dan kesegarisan tubuh pasien saat berjalan.
Dengan electromechanical assisted gait training seperti Body Weight Support
Treadmill Training(BWSTT) dan automated mechanical atau roboticpasien
dapat dilatih berjalan dengan pola jalan mendekati normal sedini mungkin
(Rekomendasi B)4BWSTT memperbaiki kemampuan dan endurance jalan
namun tidak akan memperbaiki keseimbangan atau kecepatan jalan pasien
stroke.
Latihan jalan untuk meningkatkan kecepatan jalan, jarak tempuh dan ambulasi
fungsional harus dilakukan secara berulang dan terus menerus sesuai dengan
kondisi pasien yang aman dan nyaman. (Rekomendasi B)1
Kecepatan jalan dapat diperbaiki dengan:
o Treadmill trainingpada pasien yang sudah dapat berjalan (Rekomendasi B)1
o Functional electrical simulation untuk memperbaiki kecepatan jalan dan
atau efisiensi energi pada drop-foot. (Rekomendasi C)1
o AFO dapat memperbaiki kecepatan jalan, efisiensi energi (energy
expenditure) dan pola jalan terutama weight bearing saat
menapak(Rekomendasi C)1,3
Pasien dengan gangguan berjalan seharusnya mempraktikkan pola jalannya
sebanyak mungkin. Selain terapi latihan jalan konvensional berbagai alat bantu
digunakan untuk memperbaiki pola jalan antara lain:
o menggunakan aba-aba berupa irama, instruksi, metronom untuk melatih
irama berjalan (Rekomendasi B)3,4
o Joint position biofeedback (Rekomendasi C)3
o Virtual reality training (Rekomendasi C)3
Gait-oriented physical fitness trainingdapat dimulai sedini mungkin pada
pasien dengan kondisi medis stabil dan aman secara fungsionaluntuk
memperbaiki ambulasi fungsional. (Rekomendasi A)1
Perawatan diri dan aktivitas Untuk fungsi anggota gerak atas, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut,
sehari-hari akibat antara lain:
hemiparese 1. Constraint induced movement therapy
hemiaestesia Constraint induced movement therapy dilakukan pada pasien yang sudah
grasping dan prehension mampu mencapai ekstensi jari minimal 10 derajat, serta keseimbangan dan
gangguan vestibular kognisi yang baik. (Rekomendasi A4 dan Rekomendasi B1)
postural kontrol 2. Mental practice, sebagai terapi adjuvan untuk memperbaiki fungsi anggota
gangguan persepsi dan gerak atas pasca stroke. (Rekomendasi B4 dan Rekomendasi D1)
kognisi 3. Electromechanical/robotic devices, digunakan untuk memperbaiki fungsi
pola sinergis dan spastisitas motorik dan kekuatan lengan bila digunakan oleh orang yang profesional.
(Rekomendasi A1 dan Rekomendasi B4)
apraxia
4. Repetitive task-specific training (Rekomendasi B4)
dekondisi
5. Mirror therapy (Rekomendasi C)4
dementia 6. Bilateral training (Rekomendasi C)4
7. Electromyographic (EMG) biofeedback in conjunction with conventional
therapy (RekomendasiC)4
AKTIVITAS
Duduk
Pasien dengan kesulitan duduk disarankan untuk berlatih dengan cara meraih
melebihi panjang lengan (Grade B)3
Bangun
Pasien dengan kesulitan berdiri sebaiknya mempraktekkan bangun berdiri (Grade
A)3
Standing Up
Practising standing up should be undertaken by people who have difficulty
in standing up from a chair. (Grade A)4
Berdiri
Pasien dengan kesulitan berdiri dilatih dengan cara diberi tugas spesifik dengan
umpan balik dapat diberikan untuk pasien dengan kesulitan berdiri (Grade B) 4
Task-specific standing practice with feedback can be provided for people
who have difficulty standing. (Grade B)4
FUNGSI KOGNISI
Impairmen cognisi memiliki implikasi yang penting dalam menentukan outcome
rehabilitasi.
Rehabilitasi kognitif dapat digunakan untuk gangguan atensi dan konsentrasi.
(Rekomendasi C4, Level I2)
FUNGSI EKSEKUSI
APRAXIA
Pasien yang menunjukkan kesulitan menggunakan benda sehari-hari atau
melakukan kegiatan harus dinilai adanya gejala apraxia bersama-sama dengan
gangguan bahasa
jika ada kesulitan komunikasi (D)
Penilai harus membedakan antara gangguan dalam tindakan volunter
dibandingkan otomatis. Pengkajian harus mencakup sekuensial, gerakan volunter
dan mempertimbangkan gangguan sensori (verbal, visual, taktil) (D) 4
Pasien dengan apraxia harus dilatih dalam penggunaan strategi internal atau
eksternal misalnya verbalisation dan mengikuti urutan tindakan tertulis /
bergambar (A)
GANGGUAN PENGLIHATANmasukan dalam ADL
1. Gangguan Ketajaman penglihatan
Gangguan penglihatan ini termasuk didalamnya
Setiap pasien stroke sebaiknya dilakukan screening untuk gangguan visual dan
ditangani secara tepat (Rekomendasi C)1
Setiap klinisi diharapkan memastikan preskripsi kacamata yang tepat untuk
pasien1
4. Visuospatial neglect
Tidak banyak intervensi yang menjanjikan untuk visuospatial neglect dan
yang terbanyak dipakai adalah visual scanning training1
Pasien dengan visuospatial neglect harus dinilai dan diajarkan strategi
kompensasi1
Gangguan Visuospatial/Perceptual
Pasien dengan unilateral spatial neglect dapat diberikan berbagai teapi sebagai
berikut :
1. Visual scanning training (grade c4, level I2
2. Memberikan isyarat sederhana untuk menarik perhatian pada sisi sakit
(GPP)4
3. Prisma adaptasi (grade C4)
4. Menutup mata sehat (grade C4)
5. Latihan mental imagery atau latihan dengan umpan balik trstrujtur
(grade D)4
AMBULASI
Treadmill training disarankan untuk memperbaiki kecepatan jalan pada pasien stroke yang
mampu berjalan. (Rekomendasi B)1
BWSTT (Body Weight Support Treadmill Training) atau treadmill training memperbaiki
kemampuan berjalan pasien stroke serta endurans namun tidak memperbaiki keseimbangan
atau kecepatan jalan.
Bagi pasien yang sudah dapat berjalan, treadmill training dapat memperbaiki kecepatan
jalan
Disartria
1. Latihan oromotor (GPP)4
2. Latihan dengan beberapa strategi khusus, antara lain memperlambat bicara, atau
mengartikulasikan secara berlebih atau dengan bahasa tubuh. (GPP)4
3. Biofeedback atau pengeras suara untuk mengubah intensitas dan volume suara.
(Rekomendasi D)4
4. Latihan intensif untuk meningkatkan volume suara. (Rekomendasi D)4
Dyspraxia of speech
1. PROMPT therapy(Rekomendasi D)4
2. Stimulasi terintegrasi dengan modelling, visual cueing, dan articulatory placement cueing
(Rekomendasi D)4
3. Penggunaan modalitas komunikasi penguat atau alternatif, seperti bahasa tubuh atau alat
penghasil suara untuk aktivitas fungsional. (Rekomendasi D)4
Pemantauan status gizi setelah stroke harus mencakup kombinasi parameter berikut: penilaian
biokimia (yaitu low pre-albumin, metabolisme glukosa), status menelan, penurunan berat badan,
penilaian makanan, ADL (makan dan minum), asupan gizi (Rekomendasi D)
Disfagia
6. Semua pasien dengan disfagia lebih dari satu minggu harus dinilai untuk menentukan
program rehabilitasi menelan yang sesuai . Pertimbangan pada sifat gangguan menelan yang
mendasari dan menyesuaikan dengan kondisi motivasi dan status kognitif pasien.
(Rekomendasi D) Pasien dengan disfagia harus memiliki rehabilitasi menelan orofaringeal
7. Program rehabilitasi yang mencakup latihan restoratif di samping teknik kompensasi dan
modifikasi diet. (Rekomendasi B). Strategi kompensasi menelan, seperti posisi, manuver
terapeutik atau modifikasi makanan dan cairan untuk memfasilitasi proses menelan yang
aman mungkin dibutuhkan pada kasus disfagia. (Level bukti IV)2
8. Pasien stroke dengan gejala-gejala disfagia atau aspirasi pneumonia dapat diberikan cara
menelan yang aman serta konsistensi diet dan cairan yang akan diberikan. (Rekomendasi A)3
9. Sebuah tunggal RCT yang membandingkan pendekatan kompensasi standar untuk
manajemen disfagia dengan memberikan intervensi terapi perilaku aktif menunjukkan tren
yang konsisten terhadap hasil yang lebih positif dan terdapat perbaikan fungsi menelan
setelah enam bulan pasca stroke. Ada juga kecenderungan peningkatkan hasil pada pasien
yang diterapi lebih intensif (Level bukti I+)
10. Metode berikut yang termasuk pilihan terapi untuk disfagia:
e. “Shaker” therapy (resisted exercise) dengan target pada kelompok otot yang spesifik,
yaitu otot supra-hyoid, infra-hyoid dan sternkleidomastoideus (Level bukti II)2,4 Program
penguatan Suprahyoid memiliki efek pada biomekanik pharyngeal proses menelan dengan
meningkatkan pembukaan esofagus atas, meningkatkan ekskursi laring anterior dan
mengurangi risiko aspirasoi pasca-menelan (Level bukti I+). Latihan lingual menunjukkan
efek positif, bahkan sampai empat tahun pasca stroke (Level bukti 2-)
f. Stimulasi termo-taktil. (Level bukti II).2,4 Sebuah RCT memeriksa efektivitas stimulasi
oral untuk disfagia setelah stroke tidak menemukan bukti perubahan fungsional dalam
menelan.
g. Stimulasi elektrik. (Level bukti III-3)2,4Penelitian yang kurang memuaskan mengkaji
efektivitas terapi stimulasi neuromuskuler (neuromuscular stimulation therapy) pada
pasien dengan disfagia pasca stroke menunjukkan hasil yang masih kontroversi. (Level
bukti 1-,2-). Sebuah studi kohort pada pasien dengan disfagia kronis yang stabil, yang
berisiko aspirasi selama enam bulan atau lebih, justru menimbulkan kekhawatiran tentang
potensi efek biomekanis dengan memburuknya fungsi menelan setelah pemberian
stimulasi listrik (perlu dipikirkan untuk berhati-hati dalam memilih parameter terapi).
(Level bukti 1- dan 2-)
h. Tidak ada bukti dengan kualitas yang tersedia pada penerapan biofeedback untuk
meningkatkan efektivitas intervensi terapi untuk disfagia.
8. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa strategi perilaku (Behavioral strategy) yang
biasa digunakan pada pasien non-stroke bisa efektif pada beberapa pasien stroke. Misalnya:
toileting program seperti waktu berkemih atau diminta untuk berkemih bagi pasien stroke
yang tidak menyadari status kandung kemih mereka atau pasien dengan gangguan kognitif.
Melatih kandung kemihnya (kombinasi dengan latihan otot dasar panggul). Level bukti 3
dan Rekomendasi D
FUNGSI KOGNISI
Impairmen cognisi memiliki implikasi yang penting dalam menentukan outcome rehabilitasi.
Rehabilitasi kognitif dapat digunakan untuk gangguan atensi dan konsentrasi. (Rekomendasi C4,
Level I2)
FUNGSI EKSEKUSI
APRAXIA
Pasien yang menunjukkan kesulitan menggunakan benda sehari-hari atau melakukan kegiatan
harus dinilai adanya gejala apraxia bersama-sama dengan gangguan bahasa
jika ada kesulitan komunikasi (D)
Penilai harus membedakan antara gangguan dalam tindakan volunter dibandingkan otomatis.
Pengkajian harus mencakup sekuensial, gerakan volunter dan mempertimbangkan gangguan
sensori (verbal, visual, taktil) (D)
Pasien dengan apraxia harus dilatih dalam penggunaan strategi internal atau eksternal misalnya
verbalisation dan mengikuti urutan tindakan tertulis / bergambar (A)
GANGGUAN PENGLIHATAN
5. Gangguan Ketajaman penglihatan
Gangguan penglihatan ini termasuk didalamnya
Setiap pasien stroke sebaiknya dilakukan screening untuk gangguan visual dan ditangani secara
tepat (Rekomendasi C)1
Setiap klinisi diharapkan memastikan preskripsi kacamata yang tepat untuk pasien1
Gelas prisma dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi visus pada homonymous hemianopsia
tetapi tidak terbukti bemanfaat untuk memperbaiki fungsi AKS (level II)2
Latihan visual-restisution dengan komputer dapat dipakai untuk memperbaiki fungsi pada
gangguan lapangan pandang (level II)2
.
7. GANGGUAN GERAKAN BOLA MATA
Pasien dengan gangguan gerak bola mata harus dirujuk untuk asesmen othoptik dan harus
mendapatkan saran atau intervensi dari ahli1
Menutup sebelah mata (bergantian secara regular) sudah sering dipakai2
8. Visuospatial neglect
Tidak banyak intervensi yang menjanjikan untuk visuospatial neglect dan yang terbanyak
dipakai adalah visual scanning training1
Pasien dengan visuospatial neglect harus dinilai dan diajarkan strategi kompensasi1
Gangguan Visuospatial/Perceptual
Pasien dengan unilateral spatial neglect dapat diberikan berbagai teapi sebagai berikut :
6. Visual scanning training (grade c4, level I2
7. Memberikan isyarat sederhana untuk menarik perhatian pada sisi sakit (GPP)4
8. Prisma adaptasi (grade C4)
9. Menutup mata sehat (grade C4)
10. Latihan mental imagery atau latihan dengan umpan balik trstrujtur (grade D)4
Agnosia
Adanya agnosia harus dinilai secara tepat oleh personil terlatih dan dibicarakan didalam tim stroke
(GPP)4
Pasien agnosia dapat diberikan tehnik kompensasi untuk meningkatkan kesadaran akan
kekurangannya diikuti dengan latihan untuk mengenali stimulus menggunakan pancaindra atau
kemampuan persepsi yang tetap utuh. Intervensi tersebut misalnya menggunakan petunjuk seperti
label atau velcro yang menempel pada obyek, mengenali wajah dari sosok, suara atau caller ID
untuk pasien dengan phonagnosia (tidak mampu mengenali orang dari suara)2
AKTIVITAS
Duduk
Pasien dengan kesulitan duduk disarankan untuk berlatih dengan cara meraih melebihi panjang
lengan (Grade B)3
Bangun
Pasien dengan kesulitan berdiri sebaiknya mempraktekkan bangun berdiri (Grade A)3
Standing Up
Practising standing up should be undertaken by people who have difficulty in standing up
from a chair. (Grade A
Berdiri
Pasien dengan kesulitan berdiri dilatih dengan cara diberi tugas spesifik dengan umpan balik
dapat diberikan untuk pasien dengan kesulitan berdiri (Grade B)3
Task-specific standing practice with feedback can be provided for people who have difficulty
standing. (Grade B [French
Berjalan
PASien dengan gangguan berjalan sebaiknya diberi kesempatan untuk mempraktekkan pola jalan
(atau komponen jalan) sebanyak mungkin
Salah satu intervensi berikut dapat diberikan sebagai tambahan latihan jalan konvesional:
- Petanda irama langkah (grade B)3
- Mechanically-assisted gait (dengan treadmill or automated mechanical or robotic
device) (Grade B)
- Joint position biofeedback (Grade C)3
- Virtual reality training. (Grade C)3
- Ankle-foot orthoses, dapat diberikan pada kasus drop foot persisten. (Grade C)3
KOMPLIKASI
KOMPLIKASI
Spastisitas Post Stroke Salah datu dari intervensi ini dapat diberikan :
• Botulinum Toxin A; (Level I,)2
• dynamic splinting; (Level III-2)2
Tidak direkomendasikan Penggunaan splinting resting pada
anggota gerak atas untuk mengurangi spastisitas pergelangan
tangan dan fleksi jari setelah stroke (rekomendasi A)1
2
i. stimulasiElekstrikal(Level III-3)
2
ii. Casting . (Level I)
Prevensi nyeri sendi bahu post - Prevensi subluksasi dan kontrtaktur dapat mencegah
stroke munculnya nyeri bahi. Intervensi yang ditujukan untuk
mengurangi trauma pada bahu, seperti edukasi staff, caregiver
dan pasien sendiri, juga dapat mencegah nyeri bahu. Edukasi
yang diberikan termasuk strategi untuk menjaga bahu saat
manual handling dan transfer serta saran posisioning2,7
- Positioning : Direkomendasikan Positioning dan handling
secara hati-hari pada bahu dan ekstremitas atas yang terkena
(level of evidencfe 1++ dan 1+) 1
- Terapi fisik :
- Tidak ada bukti konklusif untuk penggunaan terapi
muktahir (EMG biofeedback, terapi perilaku atau alat untuk
continous pasive motion ) dibandingkan terapi fisik
konvensional. (level of evidence 1++)1
- Strapping : Bukti yang kurang untuk merekomendasikan atau
menolak penggunaan strapping bahu pada pasien dengan risiko
tinggi ((level of evidence 1++)1
- Sling : Bukti kurang yang mendukung penggunaan sling
untuk mencegah nyeri bahu post stroke (level of evidence 1++)1
- OverheadPulleys : Penggunaan overhead pulley untuk
mencegah nyeri bahu tidak direkomendasikan ( rekomendasi B)
1
Nyeri
Pasien harus dianamnese apakah ada nyeri dan jika ada nyeri
harus dilakukan assessmen (dengan alat ukur nyeri yang
tervalidasi, VAS7) dan ditatalaksana dengan tepat sesegera
mungkin
Infeksi dan pireksia - Stroke unit harus di nilai dan diselidiki adanya
kemunhgkinan penyebaran infeksi pada paru dan saluran
kemih1
- Pasien dengan demam harus diinvestigasi sumbernya (
yaitu infeksi traktus urinarius, trakstus respirasi, kulit dan
tempat penusukan intravena)2
- Terapi antipiretik, terdiri dari parasetamol dan atau
dikompres dingin harus dilakukan secara rutin jika ada
demam2
- Pneumonia merupakan penyebab kematina yang penting
setelah stroke. Biasanya terjadi pada pasien immobilisasi
atau tidak dapat batuk. Adanya demam setelah stroke
harus menjadi acuan untuk mencari tanda pneumonia dam
antibiotik yang tepat harus diberikan dini5
- Infeksi traktus urinarius dan sepsis sekunder terjadi pada
5% pasien stroke. Pemakaian indewlling kateter kadang
diperlukan untuk tatatalaksama inkontinens atau retensi
urin. Pemakaian tersebut harus dihindari jika ada risiko
infeksi. Asidifikasi urine atau kateterisasi intermitent dapat
menurunkan risiko infeksi dan membantu menghindari
pemakaian antinbiotik profilaksis. Antikolinergik dapat
membantu penyembuhan fungsi kandung kemih5
Pencegahan Ulkus dekubitus - Staf kesehatan rumah sakit harus memastikn bahwa
kemampuan perawat, staffing dan perlatan yang ada cukup
untuk mencegah ulkus dekubitus (rekomendasi D)1
- Rumah sakit harus memperbaharui kebijaksanaan untuk
assesment risiko, pencegahan dan tatalaksana ulkus
dekubitus1
- Mobilisasi dini
- Saat ini tidak ada data untuk mendukung atau menolak
mobilisasi dini (dalam 48 jam setelah stroke) untuk
mencegah tromboembolisme vena (level of evidence 1++)1,
tetapi sebagai karakteristik dari center stroke yang baik,
disarankan bahwa mobilisasi dini penting untuk mencegah
DVT2
Intervensi untuk spastisitas hanya diberikan pada spastisitas yang mengganggu aktivitas atau
perawatan diri pasien
Penanganan spastisitas dengan posisi antispastik, latihan gerak Sendi, stretching dan
splinting3
Kontraktur
- Untuk mencegah terjadinya kontraktur, otot diposisikan dalam posisi memanjang (level
II)2
- Latihan pulley overhead sebaiknya tidak lakukan2
- Untuk pasien dengan kontraktur, untuk meningkatkan gerak sendi dapat dilakukan
dengan ;
2
i. stimulasiElekstrikal(Level III-3)
2
ii. Casting . (Level I)
- Pertimbangkan Prolonged stretching lingkup sendi secara aktif dan pasif untuk
menurunkan risiko munculnya kontraktur (night splint, tilting table) pada periode awal
terjadinya stroke (Level I, rekomendasi C)7- p85
- Prolong PROM dan AROM mencegah kontrkatur, meningkatkan keamanan
dan kemandirian dalam hal aktivitas fungsi (functional activities)7
Consider active and passive ROM prolonged stretching program to decrease risk of contracture
development (night splints, tilt table) in early period following stroke. [C]
Prolonged PROM and AROM prevent contractures, improves safety and independence with
functional activities
- Elektrikal stimulasi
Intramuskular elektrikal stimulasi tidak lebih efektif daripada pengunaan hemisling untuk
menurunkan derajat subluksasi vertikal (level of evidence 1++)1,2
- Mata analisis dari 3 RCT menyimpulkan bahwa elektrikal stimulasi memperbaiki fungsi bahu
jika digunakan sesegera setelah stroke (level of evidence 1++)1
- Eletrikal stimulasi pada otot supraspinatus dan deltoid harus dipertimbangkan sesegera setelah
stroke pada pasien dengan risiko terjadinya subluksasi bahu (Rekomendasi A) 1
- Subluksasi dapat dikurangi dan nyeri dapat berkurang menggunakan functional elektrikal
stimulasi pada sendi bahu (Level B)7,p29
- PEnggunaan alat supportif yang firm untuk mencegah subluksasi lebih lanjut (level III-2)2
Prevensi nyeri sendi bahu post stroke
- Prevensi subluksasi dan kontrtaktur dapat mencegah munculnya nyeri bahi. Intervensi yang
ditujukan untuk mengurangi trauma pada bahu, seperti edukasi staff, caregiver dan pasien sendiri,
juga dapat mencegah nyeri bahu. Edukasi yang diberikan termasuk strategi untuk menjaga bahu
saat manual handling dan transfer serta saran posisioning2,7
- Positioning : Direkomendasikan Positioning dan handling secara hati-hari pada bahu dan
ekstremitas atas yang terkena (level of evidencfe 1++ dan 1+) 1
- Terapi fisik :
- Tidak ada bukti konklusif untuk penggunaan terapi muktahir (EMG biofeedback, terapi
perilaku atau alat untuk continous pasive motion ) dibandingkan terapi fisik konvensional. (level
of evidence 1++)1
- Strapping : Bukti yang kurang untuk merekomendasikan atau menolak penggunaan strapping
bahu pada pasien dengan risiko tinggi ((level of evidence 1++)1
- Sling : Bukti kurang yang mendukung penggunaan sling untuk mencegah nyeri bahu post stroke
(level of evidence 1++)1
- OverheadPulleys : Penggunaan overhead pulley untuk mencegah nyeri bahu tidak
direkomendasikan ( rekomendasi B) 1
- ELektrikalStimulasi : Functional elektrikal stimulasi tidak direkomendasikan sebagai alat untuk
mencegah nyeri bahu pada pasien dengan kelemahan ekstremitas atas post stroke (rekomendasi
A)1
- Intervensi lainnya :
- Tidak ada RCT yang mengevaluasi intervensi lainnya untuk mencegah nyeri bahu post
stroke . Intervensi tersebut adalah :
- Clostridium botulinum toxin type A pada pasien dengan spastisitas bahu tapi tanpa nyer
pada awalnya
. intra-articular steroid injections1
. non-steroidal anti-inflammatory agents1
. ultrasound.1
- Tidak ada penelitian yang mengevaluasi intervensi berikut untuk mencegah nyeri bahu post
stroke :
. intramuscular electrical stimulation1
. complementary therapies compared to standard care in at-risk individuals1
- Terapi Fisik ;Sedikit bukti yang mendukung tehnik Bobath untuk tatalaksana nyeri bahu post
stroke (level of evidence 1++)1
- EMG Biofeedback : Sedikit bukti yang mendukung EMG Biofeedback untuk tatalaksana nyeri
bahu post stroke (level of evidence 1++)1
- Strapping : Strapping bahu untuk tatalaksana nyeri bahu post stroke tidak direkomedasikan
(level of evidence 1++)1
Strapping dapat menunda onset nyeri tetapi tidak mengurangi nyeri7
- Slings/wheelchair attachment : Kurangnya bukti yang menyimpulkan apakah sling dan
wheelchair attachment mengurangi nyeri bahu post stroke (level of evidence 1++)1,7
- Elektrikal Stimulasi : Kurangnya bukti yang merekomendasikan penggunaan intramuskular
elektrikal stimulasi untuk nyeri bahu post stroke1
Dokter rosi, tetapi dari dari VA/DDO 2010 7
Electrical stimulation improved pain-free shoulder range of motion (Price & Pandyan, 2001) and
reduced pain intensity with benefit lasting for at least one year after stimulation stopped (Van
Peppen et al., 2004; Chae et al., 2005). -> belum diterjemahlan dan belum dimasukkan
- Botulinum toxin : Clostridium Botulinum toxin type A (DYsport or Botox) saat ini tidak
direkomendasikan untuk tatalaksana spastisitas fokal, termasuk masalah pada ekstremitas atas
yang ada hubungannya dengan spastisitas fokal (level of evidence 1++)1
- Intra-artikular steroid injeksi : Intraartikular sterid seharusnya tidak diguinakan pada nyeri
bahu post stroke tanpa masalah inflamasi1,7
- Non-steroidal antiinflamasi agent (NSAID): Tidak ada RCT yang mengevaluasi penggunaan
NSAID untuk tatalaksana nyeri bahu post stroke1
NSAID dapat sebagai bagian dari tatalaksana bersama analgesik lainnya untuk memperbaiki
simptom nyeri bahu post stroke1
- Ultrasound : Tidak ada RCT yang melakukan evaluasi ultrasound untuk nyeri bahu post
stroke1,7
-Cryotherapy : Tidak banyak bukti yang menyimpulkan bahwa aplikasi cryotherapy (coldpack)
bersama latihan, lebih buruk daripada latihan menggunakan tehnik Bobath (level of evidence
1++)1
- Massage : Kurangnya bukti bahwa slow-stroke back massage memberikan keuntungan
dibandingkan tatalaksana perawatan konvensional pada nyeri bahu post stroke (level of evidence
1+)1
- Akupuncture/akupresur: Kurangnya bukti untuk merekomendasikan akunktur/akupresur untuk
tatalaksana nyeri bahu post stroke1
Nyeri
Pasien harus dianamnese apakah ada nyeri dan jika ada nyeri harus dilakukan assessmen (dengan
alat ukur nyeri yang tervalidasi, VAS7) dan ditatalaksana dengan tepat sesegera mungkin
Rekomendasi
- Rujukan pada pelayanan kesehatan dan psikologi klinis harus dipertimbangkan pada pasien dan
caregiver untuk membantu penyembuhan yang lebih baik, membantu adaptasi dan mencegah serta
memperbaiki adaptasi abnormal terhadap konsekuensi stroke1
- Seluruh pasien stroke (termasuk pada pelayanan kesehatan primer) harus ditapis untuk gangguan
mood1
Alat ukur penapisan, misal dengan Stroke Aphasic Depression Questionnaire (SAD-Q) atau
General Health Questionnaire of 12 items (GHQ-12), harus dilakukan sedini mungkin dan
sebaiknya selalu dilakukan sebelum pasien keluar rumah sakit dam kemudian dilakukan scara
regular1
- Penilaian klinis harus dilakukan untuk menilai seberapa sering harus dilakukan evaluasi ulang
kondisi mood pasien 1
- Jika pasien dicurigai ada gangguan mood, mereka harus dirujuk pada ahli yang terlatih untuk
mendapatkan assessmen secara menyeluruh atau pada anggota tim rehabilitasi uang telah
mendapatkan pelatihan identifikasi distress psikologi1
- Pertimbangkan untuk :
- pemberian antidepresi pada gangguan emosional post-stroke
- program edukasi berdasarkan prinsip psikologi
- antidepresan untuk depresi post-stroke1
- Tidak direkomendasikan antidepresan atau terapi psikologi untuk mencegah depresi post stroke1
- Kurangnya bukti :
- intervensi psikologi, edukasi pasien, saran atau support pada gangguan emosional post
12
stroke ,
- terapi psikologi (dengan berbicara) untuk terapi depresi post-stroke1
- terapi psikologi ( yaitu terapi keluarga, psikoterapi interpersonalm terapi perilaku)1
- Dukung pasien stroke untuk terlibat pada aktivitas fisik dan atau aktivitas leisure7
- Pasien dengan depresi post-stroke harus dipertimbangkan untuk pemberian antidepresi yang
disesuaikan dengan kondisi pasien. Klinisi harus memonitor respon terapi, pengecekan teratur dan
harus mengetahui kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diinginkam, masalah ketaatan
pengobatan dan kemungkinan munculnya gejala kembali (rekomendasi A)1
- Klinisi harus memilih antidepresan berdasarkan kondisi pasien dengan mempertimbangkan risiko
kejang, jatuh dan delirium1
- Pasien yang gagal berespon terhadap antidepresan, atau tidak mau minum obat, harus
dipertimbangkan untuk terapi psikologi, dan klinisi harus memonitor hasil terapi1
- Klinisi harus mengetahui faktor lingkungan (misal interaksi sosial, level kebisingan) kadang
memiliki dampak pada mood dan pertimbangkan apakah faktor tersebut dapat dikurangi pada
pasien depresi post-stroke1
- Antidepresan dan atau intervensi psikologi harus diberikan pada pasien dengan depresi atau
gangguan emosi (Level I)2
- Psikoterapi untuk depresi post stroke memiliki bukti level C (3)
- ECT dapat dipertimbangkan pada depresi yang tidak dapat diobati dengan medikamentosa2
- SSRI dan antidepresan tricyclic memiliki efek yang baik pada depresi, tetapi karena efek
samping trisiklik yaitu efek antikolinergik pada orang tua cukup tinggi, maka dipertimbangkan
SSRI3
Sexuality
_ Tenaga kesehatan harus memberikan saran dan informasi tertulis pada pasien dan
pasangan mengenai hubungan seksual setelah stroke1,2
- Intervensi yang dilakukan harus menuju pada aspek psikososial dan fungsi fisik 2
Infeksi dan pireksia
- Stroke unit harus di nilai dan diselidiki adanya kemunhgkinan penyebaran infeksi pada
paru dan saluran kemih1
- Pasien dengan demam harus diinvestigasi sumbernya ( yaitu infeksi traktus urinarius,
trakstus respirasi, kulit dan tempat penusukan intravena)2
- Terapi antipiretik, terdiri dari parasetamol dan atau dikompres dingin harus dilakukan
secara rutin jika ada demam2
- Pneumonia merupakan penyebab kematina yang penting setelah stroke. Biasanya terjadi
pada pasien immobilisasi atau tidak dapat batuk. Adanya demam setelah stroke harus
menjadi acuan untuk mencari tanda pneumonia dam antibiotik yang tepat harus diberikan
dini5
- Infeksi traktus urinarius dan sepsis sekunder terjadi pada 5% pasien stroke. Pemakaian
indewlling kateter kadang diperlukan untuk tatatalaksama inkontinens atau retensi urin.
Pemakaian tersebut harus dihindari jika ada risiko infeksi. Asidifikasi urine atau
kateterisasi intermitent dapat menurunkan risiko infeksi dan membantu menghindari
pemakaian antinbiotik profilaksis. Antikolinergik dapat membantu penyembuhan fungsi
kandung kemih5
- Risiko untuk kerusakan kulit adalah tidak mandiri untuk mobilisasi, diabetes, periferal
vascular disease, inkontinens urine danbody mass index yang rendah. Assessment
menyeluruh untuk integritas kulit harus dilakukan saat masuk rumah sakit dan minimal
satu kali setiap hari dilakukan pengecekan (Rekomendasi C)3,7.
- Risiko untuk skin breakdown harus dinilai menggunakan alat assessment terstandar
(seperti Braden Scale) Level of evidence I7
- Rekomendasi dilakukan Positioning, turning dan tehnik transfer serta penggunaan barrier
sprays, pelumas dan matras spesial, dressing proteksi dan padding harus digunakan untuk
mencegah cedera kulit (Rekomendasi C)3,7
Tromboembolisme vena
- Mobilisasi dini
- Saat ini tidak ada data untuk mendukung atau menolak mobilisasi dini (dalam 48 jam
setelah stroke) untuk mencegah tromboembolisme vena (level of evidence 1++)1, tetapi
sebagai karakteristik dari center stroke yang baik, disarankan bahwa mobilisasi dini
penting untuk mencegah DVT2
Stroke fase kronis ditandai dengan sudah terbentuknya reorganisasi sistem saraf, dimana
proses pemulihan selanjutnya didasarkan pada adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang
ada. Fase ini umumnya terjadi setelah 6 bulan pasca stroke.
Asesmen
Diagnosis
Pasca stroke hemoragik/non-hemoragik akibat gangguan sirkulasi ..........
(TACS/PACS/POCS/LACS) ............................................ (tingkat kemandirian fungsional)
Specific task
Cardiorespiratory fitness
Exercise Prevensi stroke ulang
V. Prognosis
2. Prognosis ad sanationam :
Dapat berulang.
3. Prognosis ad functionam :
Tergantung pada :
- Luas dan lokasi lesi neuroanatomis
- Penyakit atau kondisi penyulit
- Komplikasi
- Motivasi penderita dan dukungan keluarga
- Sarana dan tenaga profesional rehabilitasi yang tersedia
B.Intervensi komplikasi
Intervensi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi pada fase ini dititik beratkan pada
mengoptimalkan kemampuan fungsi yang ada, mempertahankan kemampuan fungsional
yang telah dicapai dan upaya pencegahan komplikasi sekunder dan tersier.
Peran keluarga dan lingkungan ditingkatkan.
A. Intervensi Rehabilitasi
B. Penanganan komplikasi
Intervensi Rehabilitasi pada penanganan komplikasi pada fase lanjut/ fase kronis
sesuai dengan intervensi komplikasi fase subakut/fase pemulihan.
1. Mead G, van Wijck F. Exercise and Fitness Training After Stroke. Churchill Livingstone
Elsevier, 2013