B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis ingin kemukakan adalah (1) Apakah terapi latihan dengan
mekanisme reflek postur dapat menurunkan spastisitas otot secara postural ? (2) Apakah
terapi latihan dapat memperbaiki keseimbangan dan koordinasi ? (3) Apakah terapi latihan
dapat meningkatkan kemampuan motorik fungsional ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang akan dicapai adalah (1) Mengetahui manfaat terapi latihan dengan mekanisme
reflek postur dapat menurunkan spastisitas otot secara postural ? (2) Mengetahui manfaat
terapi latihan dapat memperbaiki keseimbangan dan koordinasi ? (3) Mengetahui manfaat
terapi latihan dapat meningkatkan kemampuan motorik fungsional ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Definisi
Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang mempengaruhi arteri penting yang
menuju ke otak, terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi
menuju otak terblokir oleh bekuan maupun pecahan sehingga otak tidak mendapat darah
yang dibutuhkan sehingga sel-sel otak mengalami kematian [Strokeassociaton, 2006].
Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi kendali sebuah jaringan.
Stroke non haemoragik adalah stroke yang disebabkan peredaran darah ke otak berkurang
karena ada sumbatan seperti trombus dan emboli.
2. Anatomi fungsional
Otak merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron di otak
mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau plastisitas pada otak dalam
situasi tertentu bagian-bagian otak dapat mengambilalih fungsi dari bagian-bagian yang
rusak. Sehingga bagian-bagian otak sepertinya belajar kemampuan baru. Ini merupakan
mekanisme paling penting yang berperan dalam pemulihan stroke (Feigin, 2006).
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf pusat yang mengalami perubahan secara
bertahap dan organ vital yang ikut berpartisipasi dalam mengurus dan melaksanakan
gerakan melalui susunan neuromuskuler volunter. Otak dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu cortex cerebri, ganglion basalis, thalamus serta hypothalamus, mesencephalon,
trunkus cerebri, dan cerebellum (Chusid, 1990). Menurut Sidharta (1997) secara anatomi,
susunan neuromuskulus volunter dibagi menjadi dalam Upper Motor Neuron (UMN) yang
memberi impuls dari kortek presentralis (area 4) hingga di kornu anterior dari substansia
grisea medula spinalis lalu dilanjutkan oleh Lower Motor Neuron (LMN) hingga pada motor
end plate lalu timbul suatu gerakan dari otot itu sendiri tapi secara group otot dapat
menimbulkan gerakan nyata.
a. Kortek serebri
Menurut Chusid (1990) melalui stimulus baik dengan memakai arus listrik maupun dengan
berbagai bahan kimia sudah menghasilkan penetapan lokasisasi fungsional pada daerah
penting di kortek serebri (lihat gambar 2.1):
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis terdiri dari daerah motorik utama di area 4, sirkuit traktus ekstrapiramidalis di
area 6; penggerak mata dan perubahan pupil di area 8; dan daerah asosiasi frontalis di
area 9, 10, 11, dan 12.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis terdiri dari daerah sensoris postcentralis utama di area 3, 1, dan 2; daerah
asosiasi sensoris di area 5 dan 7.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis terdiri dari daerah auditorius primer di area 41; kortek auditorius sekunder
/ asosiasif di area 42; daerah asosiasi di area 38, 40 , 20 , 21, dan 22.
4) lobus oksipitalis
Lobus occipitalis terdiri dari daerah cortek striata di area 17; korteks visual yang utama;
daerah asosiasi visual di area 18 dan 19.
b. Traktus piramidalis
Berasal dari sel yang berada di lapisan V dari kortek presentralis (area 4) yang merupakan
kortek motoris utama. Dimana neuron-neuron tersebut mempunyai hubungan dengan pola
gerak otot tertentu yang dinamakan penataan somatotopik (Sidharta, 1997). Tetapi
beberapa serabut diantaranya berasal dari daerah kortek lobus parientalis (Kahle, 1999).
Lalu serabut berjalan melalui korona radiate dan memusat di kapsula internal. Disini terjadi
perkumpulan serabut secara somatotopik tapi anggota gerak bawah berada dibagian paling
posterior dan daerah wajah serta leher berada dibagian paling anterior. Selanjutnya
melewati batang otak yang terdiri dari mesensefalon, pons ,dan medulla oblongata.
Pada batas antara medulla oblongata dan medulla spinalis, sebagian traktus ini
menyeberang, kira-kira 85% disebut cortico spinalis lateralis dan kira-kira 15% melanjutkan
ke bawah yang disebut traktus cortico spinalis anterior. Tempat persilangan ini disebut
decusatio piramidalis (Sidharta, 1997). Sebagian besar serabut berakhir pada interneuron
yang menyalurkan impuls untuk timbul gerakan volunter (Kahle, 1999) (lihat gambar 2.2).
Gerakan yang ditimbulkan oleh impuls piramidalis adalah gerakan yang halus, jitu, dan
tangkas.
c. Traktus ekstrapiramidalis
Traktus ekstrapiramidalis (lihat gambar 2.3) merupakan mekanisme yang tersusun dari
jalur-jalur dari kortek motoris menuju Anterior Horn Cell (AHC) pada medula spinalis.
Sistem ekstrapiramidalis dapat dianggap sebagai suatu sistem fungsional dengan 3 lapisan
integrasi : cortical, striatal (basal ganglia), dan segmental (mesencephalon) (Chusid, 1990).
Gerakan yang ditimbulkan oleh impuls ekstrapiramidalis adalah gerakan fungsional. Traktus
ekstrapiramidalis memegang peran utama penting dalam hal menentukan kedudukan
(postur) tubuh dan anggota tubuh. Susunan piramidalis dalam melaksanakan fungsinya
selalu bekerjasama dengan susunan ekstrapiramidalis (Ngoerah, 1990). Ketangkasan
gerak ditentukan oleh keadaan piramidalis, tapi susunan ekstrapiramidalis memberi
landasan yang menentukan agar gerakan tangkas itu dapat dilakukan.
Sindroma klinis sistem ekstrapiramidalis, salah satunya terlibatnya capsula interna, seperti
yang sering terjadi pada cerebrovascular accident, misalnya trombosis atau perdarahan
pada arteria lenticulostriata. Dapat mengakibatkan hemiplegi spastika pada sisi tubuh yang
berlawanan (Chusid, 1990).
3. Vaskularisasi otak
Otak merupakan 2% dari berat badan tubuh total (sekitar 1,4 kg) namun otak hanya
menggunakan 20% dari oksigen tubuh dan 50% glukosa yang ada didalam darah arterial
(Feigin, 2006). Otak sangat tergantung suplai darah dari luar, sehingga anatomi pembuluh
darah otak mempunyai struktur yang mendukung tetap tersedianya darah pada otak.
Otak mendapatkan suplai dari dua arteri utama yaitu arteri karotis (kanan-kiri ),
menyalurkan darah ke otak bagian depan atau disebut sirkulasi arteri serebrum anterior dan
sistem vertebrobasilaris menyalurkan darah ke bagian belakang otak atau di sebut sirkulasi
arteri serebrum posterior (Feigin, 2006). Keempat cabang arteri ini akan membentuk suatu
hubungan yang disebut sirkulus willisi (lihat gambar 2.4).
Arteri vertebralis dekstra dan sinistra bersatu dan membentuk arteri basilaris dan berakhir
sebagai arteri serebri posterior dekstra sinistra sedangkan arteri karotis interna kanan dan
kiri masing bercabang dua dan menjadi arteri serebri media dan arteri serebri anterior.
Akhirnya terbentuklah di basis kranii dalam suatu lingkaran anastomosis yang dinamakan
sirkulus arteroisus willisii (Ngoerah ,1990).
Apabila terjadi gangguan peredaran darah ke otak akan menimbulkan gangguan
metabolisme sel-sel neuron. Dimana sel-sel neuron itu tidak mampu untuk menyimpan
glikogen. Oleh karena itu, di susunan saraf pusat untuk keperluan metabolisme
sepenuhnya tergantung dari glukosa dan oksigen yang terdapat di arteri-arteri yang menuju
otak. Maka hidup matinya sel-sel neuron dalam susunan saraf pusat sepenuhnya
tergantung dari perdarahan arteri tersebut.
4. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, stroke dibagi enjadi dua, yaitu stroke haemoragik (stroke dengan
perdarahan) adalah stroke yang terjadi pendarahan karena rusaknya pembuluh darah
diotak dan stroke non haemoragik (stroke iskhemik) adalah stroke yang terjadi karena
adanya penyumbatan yang menyebabkan peredaran darah ke otak berkurang. Apabila
distribusi oksigen dan nutrisi di otak berkurang melalui suplai darah maka akan terjadi
iskhemik dan timbulnya gangguan fungsi pada sel-sel otak yang terkena.
Faktor resiko adalah faktor yang membuat seseorang lebih besar terkena serangan stroke.
Faktor resikonya usia, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat stroke dalam
keluarga, kolesterol, alkohol, aktivitas fisik, penyakit kardiovaskuler, arterosklerosis, gaya
hidup, stress, depresi, dan kontrasepsioral (Feigin, 2006).
5. Patologi
Stroke non haemoragik adalah stroke yang terjadi oleh peredaran darah ke otak yang
membawa nutrisi dan oksigen berkurang karena adanya sumbatan yang berupa trombus
atau emboli.
Trombosis dapat terjadi akibat proses penyempitan lumen pembuluh darah (arterosklerosis)
yang akan berpengaruh terbentuknya trombus. Trombus awalnya terjadi dari kepingan
kepingan darah (trombosit) yang mengendap pada dinding pembuluh darah di tunika intima,
dimana pada dindingnya mengalami beberapa kelainan. Semakin banyak pengumpalan
trombosit dan didalam cairan darah terjadi sejumlah perubahan yang akhirnya terbentuknya
trombus. Trombus yang menyumbat sebagian jalan darah disebut trombus mural,
sedangkan trombus yang menyumbat secara total disebut trombus obstruksi.
Emboli terjadi oleh karena adanya kelainan dari arteria carotis communis. Emboli adalah
penyumbatan pembuluh darah oleh bekuan darah yang terbawa alirah darah dari bagian
tubuh lain ke dalam otak, biasanya dari jantung. Emboli dapat berupa jendalan darah,
kristal kolesterol, deposit metatasis, embolus septik, embolus traumatik (karena trauma),
atau karena gelembung nitrogen (sering terjadi pada penyelam dan penerbang) (Rosjidi,
2007).
Ketidak lancaran aliran darah ke otak akan menyebabkan iskhemik (penurunan aliran darah
ke otak) dan mengalami penurunan fungsi bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi
kehilangan fungsi.
7. Komplikasi
Komplikasi yang akan timbul apabila pasien stroke tidak mendapat penanganan yang baik.
Komplikasi yang dapat muncul adalah abnormal tonus, sindrom bahu dan subluksasi bahu.
a. Abnormal tonus
Mengakibatkan tonus otot yang tinggi bahkan timbul spastisitas. Serta dapat menggangu
gerak dan menghambat terjadinya keseimbangan.
b. Sindrom bahu
Pasien merasakan nyeri dan kaku pada bahu yang lesi.
c. Subluksasi bahu
Karena ada kelemahan dari otot manset rotator yang menyebabkan nyeri.
8. Prognosis
Prognosis stroke sulit dipastikan karena ada yang sembuh dan dapat beraktifitas semula
namun ada yang cacat sisa bahkan ada juga yang meninggal. Prognosis stroke ditentukan
oleh beberapa faktor, antara lain : lokasi dan luas area lesi, umur, tipe stroke, cepat
lambatnya penanganan serta kerjasama tim medis dengan pasien dan keluarga.
Bila pasien bisa mengatasi serangan akut, mempunyai prognosis yang baik dan dengan
rehabilitasi yang aktif, banyak pasien dapat beraktifitas dengan sendiri tanpa
ketergantungan dari orang lain.
9. Diagnosa Banding
Beberapa penyakit yang memiliki gejala mirip dengan stroke antara lain trauma kepala,
meningitis (infeksi otak dan selaputnya), gangguan otak akibat hipertensi, massa
intrakrainal (tumor, darah di otak), serangan kejang dengan gangguan saraf yang bersifat
sementara (paralysis Todds), migrant dengan gangguan saraf sementara, gangguan
metabolik, gannguan psikis, dan syok disertai hipoperfusi saraf pusat (Junaidi, 2006). Untuk
menegakkan dignosa yang lebih spesifik dengan Computerized Tomography Scanning (CT
Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Possitron Emesion Tomography Scanning
(PET Scan).
B. Problematik Fisioterapi
Problematik fisioterapi pada pasien stroke stadium recovery menimbulkan tingkat
gangguan.
1. Impairment
Yang termasuk dalam kelompok impairment adalah terjadi peningkatan tonus bahkan
spastisitas, pola sinergis, dan gangguan koordinasi dan keseimbangan.
2. Functional limitation
Yang termasuk dalam functional limitation adalah terjadi penurunan kemampuan aktifitas
fungsional keseharian. Seperti gangguan dalam melakukan aktifitas dari tidur terlentang, ke
miring maupun berdiri, dari duduk ke berdiri, berjalan, fungsi anggota gerak atas, dan
pergerakan tangan yang terampil.
3. Disability
Yang termasuk dalam disability adalah terjadi ketidakmampuan melakukan aktifitas sosial
dan berinteraksi dengan lingkungan. Seperti gangguan dalam melakukan aktivitas
pertemuan RT / RW, arisan, kerja bakti, bekerja.
Gangguan tonus otot (spastisitas) secara postural pada pasien stroke, dapat
mengakibatkan gangguan gerak. Melalui latihan dengan mekanisme reflek postur
mendekati status normal, maka seseorang akan lebih mudah untuk melakukan gerakan
volunter dan mengontrol spastisitas otot secara postural (Rahayu, 2002).
Konsep dalam melakukan latihan ini adalah mengembangkan kemampuan untuk
mencegah spastisitas dengan menghambat gerakan yang abnormal dan mengembangkan
kontrol gerakan (Rahayu, 2002). Dalam upaya melakukan penghambatan maka perlu
adanya penguasaan teknik pemegangan (Key Point of Control) (Suyono, 2002).
BAB III
RENCANA PELAKSANAAN STUDI KASUS
Dalam bab ini akan dibahas tentang perencanaan studi kasus yang terdiri dari : A. Rencana
Pengkajian Fisioterapi, B. Rencana Pelaksanaan Fisioterapi, dan C. Rencana Evaluasi
Hasil Terapi.
1) Keluhan utama
Keluhan yang membawa pasien kepada fisioterapi. Yaitu apa yang anda rasakan saat ini ?.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang untuk memperinci keluhan utama. Yaitu bagaimana awal
mulanya anda terkena stroke ? (proses kejadiannya ?).
3) Riwayat penyakit penyerta
Riwayat penyakit penyerta ini berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh pasien saat
ini. Yaitu apakah anda memiliki penyakit gula ? atau hipertensi ? (kalau bukan keduanya
maka pasien diminta untuk memberikan jawaban mengenai penyakit apa saja yang pernah
diderita pasien).
4) Riwayat penyakit pribadi
Riwayat penyakit pribadi berhubungan dengan pekerjaan, keluarga, hobi dan kebiasaan
pasien.
5) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit keluarga berhubungan dengan riwayat penyakit yang diturunkan dari
anggota keluarga. Yaitu apakah ada dari keluarga anda memiliki riwayat penyakit seperti
yang anda alami ?.
c. Anamnesis sistem
Data ini berfungsi untuk melengkapi data yang belum tercakup pada anamnesis diatas. Dan
mencoba untuk mengidentifikasi masalah pasien yang belum diceritakan serta
diungkapkan.
7) Muskuloskeletal
Berisi pertanyaan kepada pasien yang berupa apakah ada keluhan rasa nyeri pada sendi ?
otot ? pada bagian mana ?.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah suatau pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan lansung pada pasien. Pemeriksaan ini terdiri dari :
a. Vital sign
Pemeriksaan terdiri dari tekanan darah, denyut nadi (normal 60-90 x/menit), pernapasan
(normal 18-22 x/menit) dan temperature (normal 36-37 oC).
b. Inspeksi
Kondisi pasien yang harus diperhatikan antara lain sikap, bentuk, ukuran, dan adanya
gerak abnormal yang tidak dapat dikendalikan (Lumbantobing, 2006).
c. Palpasi
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengetahui tonus otot dan juga nyeri tekan yang
dilakukan dengan cara meraba, menekan, dan memegang pada bagian tubuh yang lesi
maupun sehat berguna untuk membandingkan.
4. Pemeriksaan khusus
a. Pemeriksaan reflek
1) reflek normal
Reflek adalah gerakan muskuloskleletal yang timbul sebagai jawaban atas rangsangan.
Reflek tendo merupakan reflek otomatis yang timbul atas jawaban terhadap stimulasi tendo.
Pada stroke stadium kronik akan terjadi lesi UMN sehingga timbul hiperrefleksi karena
terputusnya impuls-impuls inhibisi pada ekstrapiramidal maupun piramidal yang berakibat
kepekaan muscle spindel. Reflek tendo yang diperiksa antara lain reflek tendo bicep,
patella dan achiles.
a) Reflek tendo biceps
Reflek tendo biceps positif jika terjadi gerakan fleksi lengan bawah. Dengan cara terapis
memegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari di atas tendo
biceps. Kemudian ibu jari terapis diketok dengan hammer.
b) Reflek tendo patella
Reflek tendo patella positif jika terjadi gerakan ekstensi pada tungkai bawah. Dengan cara
lutut pasien diposisikan fleksi dan digantungkan pada tepi bed (pasien pada posisi duduk)
atau digantungkan pada tangan terapis (pasien pada posisi tidur terlentang). Kemudian
diketok dengan hammer pada tendo bawah atau atas patella.
c) Reflek tendo Achilles
Reflek tendo achilles positif jika terjadi gerak plantar fleksi pada kaki. Dengan cara tungkai
pasien di sangga oleh tangan terapis (posisi tungkai pasien jadi eksorotasi dan semifleksi
lutut). Kemudian tendo achilles diketok dengan hammer.
2) reflek patologis
Lesi UMN juga dapat meningkatkan reflek patologis. Hiperrefleksi sering diikuti oleh klonus
yang ditandai dengan gerak otot reflek torik (reflek tendo) yang bangkit atau timbul secara
berulang-ulang selama perangsangan masih ada.
a) Klonus kaki
Klonus kaki positif bila timbul kontraksi secara berulang-ulang dari otot gastocnemius denga
cara menggerakan ankle ke arah dorsofleksi secara cepat.
b) Klonus paha
Klonus paha positif bila timbul kontraksi secara berulang-ulang dari otot quadriceps femoris
dengan cara menekan dan mendorong patela ke distal.
c) Reflek babinsky
Reflek babinsky positif bila tampak ada respon berupa dorsofleksi ibu jari dan abd jari-jari
kaki dengan cara menggores tumit ke atat dengan melewati bagian lateral telapak kaki dan
setelah sampai kelingking kaki, belok ke medial hingga pangkal jempol kaki.
d) Reflek chaddock
Reflek chaddock positif bila tampak ada respon seperti reflek babinsky dengan cara
menggoreskan kulit dorsum kaki bagian lateral dari bawah ke atas
e) Reflek oppenheim positif bila tampak ada respon seperti reflek babinsky dengan cara
menggoreskan dari proksimal ke distal secara keras terhadap kulit yang menutupi tulang
tibia.
b. Pemeriksaan sensoris
Pemeriksaan sensoris pada pasien stroke stadium recovery meliputi pemeriksaan sentuhan
ringan, pemeriksaan taktil / penekanan, pemeriksaan kinesthesia, dan pemeriksaan
propioseptik (lihat tabel 3.1).
TABEL 3.1 PEMERIKSAAN SENSORIS
Cara dan Tujuan Respon
Pemeriksaan sentuhan ringan
Daerah yang di tes menggunakan jari tangan terapis. Pasien disuruh menjawab ya jika
merasakan dan tidak jika tidak merasakan.
Pemeriksaan taktil / penekanan
Dengan cara melakukan penekan yang kuat pada daerah kulit yang tidak ada rambutnya
dengan ibu jari atau jari-jari terpis. Pasien diminta menerangkan dan menyatakan bila ia
merasakan rangsangan dan diminta pula untuk menjelaskan derajat stimulus (ringan,
moderat, dan tekanan dalam) dan letak stimulus.
Pemeriksaan kinesthesia
Untuk memeriksa persepsi sensasi gerak. Anggota gerak yang diperiksa digerakan secara
pasif pada LGS tertentu dan gerak tertentu. Pasien diminta menjelaskan secara arah dan
LGS yang dirasakan (misalnya : ke atas, ke bawah, menekuk, lurus, ke luar, dsb.).
Pemeriksaan propioseptif
Digunakan untuk menentukan kesadaran tentang perasaan posisi sendi. Terapis
menggerakkan anggota gerak dengan LGS tertentu.
Pasien diminta untuk menirukan gerakan tersebut dengan anggota gerak pada samping
yang lain atau secara verbal menjelaskan arah dan LGS-nya.
(Pudjiastuti, 2003)
c. Pemeriksaan spastisitas
Pemeriksaan dilakukan dengan cara melakukan gerakan pasif berulang-ulang dan palpasi
untuk mengetahui ada tidak peningkatan tonus serta ada tidaknya keterbatasan dalam
gerak sendi. Dilakukan pada anggota tubuh yang lesi, pada umumnya dilakukan pada sendi
siku dan lutut. Dilakukan dengan skala Asworld (lihat table 3.2).
TABEL 3.2 PEMERIKSAAN SPASTISITAS DENGAN SKALA ASWORTH
Grade Keterangan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot.
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terasanya tahanan minimal pada
akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi.
2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian gerakan
pada pertengahan ROM dan diikuti dengan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM.
3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tapi sendi masih
mudah digerakan.
4 Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak pasif sulit dilakukan.
5 Sendi atau ekstremitas kaku atau rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi.
(Setiawan, 2007)
2) pemeriksaan koordinasi
Pemeriksaan koordinasi non-ekuilibrium meliputi jari ke hidung, jari pasien ke jari terapis,
jari ke jari tangan yang lain, menyentuh hidung dan jari tangan bergantian, gerak oposisi jari
tangan, menggenggam, pronasi-supinasi, rebound test, tepuk tangan, tepuk kaki,
menunjuk, tumit ke lutut, tumit ke jari kaki, jari kaki menujuk jari tangan terapis, tumit
menyentuh bawah lutut, menggambar lingkaran dengan tangan, menggambar lingkaran
dengan kaki, mempertahankan posisi anggota gerak atas, dan mempertahankan posisi
anggota gerak bawah. Pemeriksaan dilakukan pada kedua anggota tubuh atas maupun
bawah dan dapat dicatat pada formulir tes dari Sulivan dan Schmitz (lihat tabel 3.4). Dan
juga tiap point mempunyai penilaian dari satu sampai lima dengan kriteria tertentu (lihat
tabel 3.5).
Jari ke hidung
Jari pasien ke jari terapis
Jari ke jari tangan yang lain
Menyentuh hidung dan jari tangan bergantian
Gerak oposisi jari tangan
Menggenggam
Pronasi-supinasi
Rebound test
Tepuk tangan
Tepuk kaki
Menunjuk
Tumit ke lutut
Tumit ke jari kaki
Jari kaki menujuk jari tangan terapis
Tumit menyentuh bawah lutut
Menggambar lingkaran dengan tangan
Menggambar lingkaran dengan kaki
Mempertahankan posisi anggota gerak atas
Mempertahankan posisi anggota gerak bawah
Keterangan
Tambahan :
(Pudjiastuti, 2003)
(Pudjiastuti, 2003)
gambar 3.3
Gerak side fleksi trunk (Davies, 1990)
gambar 3.4
Gerak ekstensi trunk (Davies, 1985)
gambar 3.5
Gerak menghambat spastisitas ekstensor tungkai (Davies, 1985)
gambar 3.6
Gerak menghambat spastisitas ekstensor tungkai (Davies, 1985)
gambar 3.7
Gerak menghambat spastisitas ekstensor tungkai (Davies, 1985)
c. Menghambat spastisitas dengan mengontrol tungkai pada luas gerak sendi (LGS)
tertentu.
Satu tangan terapis berada pada lutut dan tangan yang lain berada di kaki. Terapis
menggerakkan lutut ke arah fleksi dan menggerakkan kaki plus pronasi, pada LGS tertentu
ke dua tangan terapis menghentikan gerakan tersebut dan secara perlahan ke dua tangan
terapis menggurangi pegangan hingga di lepas. Lalu pasien di minta menahan tungkai
pada posisi tersebut tanpa gerakan add dan internal rotasi (lihat gambar 3.8 a). Dan setelah
beberapa saat pasien juga meminta untuk melakukan gerakan ke add dan internal rotasi
secara aktif tapi pada LGS yang kecil (lihat gambar 3.8 b).
gambar 3.14
Latihan duduk ke berdiri (Davies, 1985)