Anda di halaman 1dari 18

TUGAS GERONTIK

PERUBAHAN SISTEM PERSARAFAN

PADA LANSIA DENGAN STROKE

Pembimbing : Ns. Dwi Widyastuti, M. Kep

DISUSUN OLEH :

FEBY PURNAMASARI 17.11.4066.E.A.0010

FIRDHA PRAMISKA 16.11.4066.E.A.0055

SITI MAISARAH 17.11.4066.E.A.0025

AKADEMIK KEPERAWATAN YARSI SAMARINDA

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu
waktu tertentu, tapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses
alamiah yang berarti telah melalui 3 tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga
tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti
mengalami kemunduran, misalnya pemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memburuk, gerakan lambat, dan postur tubuh tidak profesional.
Jumlah lansia di dunia pada tahun 2015 sebanyak 900,9 juta jiwa dan perkiraan akan
mengalami peningkatan lebih dari 60% di tahun 2030 yaitu menjadi 1402,4 juta jiwa
(united nations, 2016). Negara Indonesia termasuk dalam salah satu dari lima negara
dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia. Berdasarkan sensus penduduk pada
tahun 2010 jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa, pada tahun
2014 jumlah penduduk lanjut usia mencapai 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun
2025 jumlah lansia akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes RI, 2015).
Secara global, 15 juta orang terserang stroke setiap tahunnya, satu pertiga meninggal
sisanya mengalami cacat permanen (Stroke forum, 2015).
Setiap tahun, hampir 700.000 orang Amerika mengalami stroke, dan stroke
mengakibatkan hampir 150.000 kematian. Di Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45
detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke. Menurut
Yayasan Stroke Indonesia, terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penyandang
stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir (Medicastore, 2011).
Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan
stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal sedangkan sisanya mengalami cacat
ringan bahkan bisa menjadi cacat berat (Pudiastuti, 2011).
Berdasarkan data Riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi stroke tertinggi terdapat
di Sulawesi Selatan (17,9). Sementara itu di Sumatera Utara prevalensi kejadian stroke
sebesar 6,3%. Prevalensi penyakit stroke juga meningkat seiring bertambahnya usia.
Kasus stroke tertinggi adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan lebih banyak pria (7,1%)
dibandingkan dengan wanita (6,8%) (Depkes, 2013).
Dampak stroke dapat bersifat meluas dan berlangsung lama. Untuk dapat benar-benar
pulih, penderita harus melakukan rehabilitasi dalamjangka waktu yang cukup panjang.
Namun, sebagian besar penderitastroke sangat sulit untuk bisa pulih sepenuhnya.
Beberapa dampak yangditimbulkan akibat stroke antara lain, dampak fisik serangan
stroke. Adabeberapa dampak fisik yang dapat terjadi akibat serangan stroke, antara lain
kelumpuhan pada salah satu bagian tubuh, terganggunya koordinasidan keseimbangan
tubuh.
Rehabilitasi atau pemulihan adalah suatu program yang disusun untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang mengalami disabilitas fisik dan atau penyakit kronis,
agar mereka dapat hidup atau bekerjasepenuhnya sesuai dengan kapasitasnya (Harsono,
1996). Rehabilitasipasca stroke merupakan suatu upaya rehabilitasi stroke terpadu
yangmelibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran dan merupakan kumpulan program
yang meliputi pelatihan, penggunaan modalitas, alat-alat, dan juga obat-obatan. Makin
dini rehabilitasi dimulai, maka dampaknya akansemakin baik.
Manfaat yang bisa diperoleh antara lain mengoptimalkan pemulihan, menghindari
kontraktur (kekakuan) sendi, mencegahpengecilan otot, dan mencegah komplikasi akibat
tirah baring terlalu lama(seperti luka pada punggung dan area yang mengalami tekanan
terusmenerus di tempat tidur). Sangat dianjurkan untuk sesegera mungkin memulai
langkah-langkah dalam rangka rehabilitasi pasca stroke. Bahkan pada penderita stroke
yang mengalami koma sekalipun, bisa mulaidilakukan latihan gerakan-gerakan secara
pasif (dengan digerakkan oranglain) jika kondisi penderita sudah stabil. Ketika penderita
sudah sadar, bisadilanjutkan dengan latihan aktif oleh penderita itu sendiri.Latihan
geraksendi aktif adalah klien menggunakan ototnya untuk melakukan gerakan(Hoeman,
1996).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja perubahan sistem pada lansia terkait sistem persarafan ?
2. Apa saja faktor resiko yang mempengaruhi sistem persarafan pada lansia ?
3. Bagaimana perubahan patologis pada lansia terkait sistem persarafan ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa saja faktor fisiologi yang terjadi pada lansia terkait dengan sistem
persarafan meliputi SSP serta dampak yang ditimbulkan
2. Mengetahui faktor-faktor resiko yang dapat mempengaruhi sistem persarafan pada
serta menghubungannya dengan kondisi fisiologi yang terjadi
3. Mengetahui perubahan patologis pada lansia terkait sistem sistem persarafan khususnya
saat stroke.
1.4 Metode Penulisan
Penelitian makalah ini menggunakan metode dengan studi literatur dan kajian pustaka
seperti buku, jurnal dan sumber informasi lain terkait perubahan fisiologis, faktor resiko,
pengkajian. Asuhan keperawatan data patologis sistem persarafan pada lansia.
BAB 2

PERUBAHAN SISTEM PERSYARAFAN PADA LANSIA

2.1 SISTEM SARAF PADA LANSIA

Pada lansia, sistem saraf pusat telah mengalami beberapa perubahan, antara lain
sebagai berikut :
a. Otak
Pada Lansia, akibat penuaan, otak kehilangan 100.000 neuron/tahun. Neuron
dapat mengirimkan signal kepada beribu-ribu sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam.
Terjadi penebalan atropi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun.
Secara berangsur angsur tonjolan dendrite dineuron hilang disusul membengkaknya
batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel.
Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di
sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria. RNA, Mitokondria
dan enzyme sitoplasma menghilang, inklusi dialin eosinofil dan badan levy,
neurofibriler menjadi kurus dan degenerasi granulovakuole.Corpora amilasea terdapat
dimana-mana dijaringan otak.
Berbagai perubahan degenerative ini meningkat pada individu lebih dari 60 tahun
dan menyebabkan gangguan persepsi, analisis dan integrita, input sensorik menurun
menyebabkan gangguan kesadaran sensorik (nyeri sentuh, panas, dingin, posisi sendi).
Tampilan sesori motorik untuk menghasilkan ketepatan melambat.
b. Sistem Saraf Otonom
Pusat pengendalian saraf otonom adalah hipotalamus. Beberapa hal yang
dikatakan sebagai penyebab terjadinya gangguan otonom pada usia lanjut adalah
penurunan asetolikolin, atekolamin, dopamine, noradrenalin. Perubahan pada
“neurotransmisi” pada ganglion otonom yang berupa penurunan pembentukan asetil-
kolin yang disebabkan terutama oleh penurunan enzim utama kolin-asetilase.
Terdapat perubahan morfologis yang mengakibatkan pengurangan jumlah reseptor
kolin.Hal ini menyebabkan predisposisi terjadinya hipotensi postural, regulasi suhu
sebagai tanggapan atas panas atau dingin terganggu, otoregulasi disirkulasi serebral
rusak sehingga mudah terjatuh.
c. Sistem Saraf Perifer
1) Saraf aferen
Lansia terjadi penurunan fungsi dari saraf aferen, sehingga terjadi penurunan
penyampaian informasi sensorik dari organ luar yang terkena ransangan.
2) Saraf eferen
Lansia sering mengalami gangguan persepsi sensorik, hal tersebut dikarenakan
terjadinya penurunan fungsi saraf eferen pada sistem saraf perifer.
d. Medulla spinalis
Medulla spinalis pada lansia terjadi penurunan fungsi, sehingga mempengaruhi
pergerakan otot dan sendi di mana lansia menjadi sulit untuk menggerakkan otot dan
sendinya secara maksimal.

2.2 PENUAAN SISTEM NEUROLOGIS

Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan


neuron, dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Distribusi
neuron kolinergik, norepinefrin, dan dopamin yang tidak seimbang, dikompensasi oleh
hilangnya sel-sel, menghasilkan sedikit penurunan intelektual. Peningkatan serotonin dan
penurunan kadar norepinefrin dapat dihubungkan dengan depresi pada lansia. Kehilangan
jumlah dopamin mengakibatkan terjadinya kekakuan dan parkinson.
A. Manifestasi Defisit Neurologi
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan defisit neurologis pada lansia
dipandang dari berbagai perspektif, yaitu :
1) Perubahan fisik
Dampak dari perubahan SSP sukar untuk ditentukan karena hubungan fungsi
ini berkaitan dengan sistem tubuh yang lain seperti : gangguan perfusi,
terganggunya aliran darah serebral, penurunan kecepatan konduksi saraf, reflek
yang melambat, dan perubahan pada pol tidur lansia.
2) Perubahan fungsi
Defisit fungsional pada gangguan neurologis berhubungan dengan penurunan
mobilitas pada lansia yang disebabkan oleh penurunan kekuatan, rentang gerak,
dan kelenturan.Penurunan pergerakan merupakan akibat dari kifosis, pembesaran
sendi, kekejangan, dan penurunan tonus otot.
3) Perubahan kognisi-komunikasi
Perubahan kognisi dan komunikasi dan bervariasi dan berat. Memori mungkin
berubah dalam proses penuaan. Pada umumnya, memori untuk kejadian masa lalu
lebih banyak diretensi dan lebih banyak diingat daripada informasi yang masih
baru.
4) Perubahan psikososial
Defisit neurologis yang menyebabkan penarikan diri, isolasi, dan rasa asing
dapat menyebabkan lansia lebih bingung dan mengalami disorientasi.Hilangnya
fungsi tubuh dan gangguan gambaran diri mungkin turut berperan terhadap
hilangnya harga diri klien. Perubahan fisik dan sosial yang terjadi bersamaan tidak
dapat dipisahkan dari perubahan psikologis selama proses penuaan.

B. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan system neurologis pada lansia


1) Stroke atau cedera cerebrovaskuler
2) Perubahan perfusi jaringan serebral
3) Sakit Kepala
4) Alzheimer atau Demensia

C. Masalah-masalah Akibat Perubahan Sistem Persarafan Pada Lansia


1) Gangguan pola istirahat tidur
Seringkali lansia mengalami perubahan pola tidur atau perbandiangan bangun
dan pengaturan suhu pada lansia.Keluhan utama pada lansia sebenarnya adalah
lebih banyak terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam
tidur.Gangguan pola tidur dan pengaturan suhu terjadi akibat adanya penurunan
pada hypothalamus pada lansia.
2) Gangguan gerak langkah (GAIT)
Pada usia lanjut secara fisiologik terdapat perubahan gerak langkah menjadi
lebih pendek dengan jarak kedua kaki lebih lebar, rotasi pinggul menurun dan
gerak lebih lambat.
Keadaan ini sering diperberat oleh gangguan mekanik akibat penyakit yang
menyertai, antara lain adanya arthritis, deformasi sendi, kelemahan fokal atau
menyeluruh, neuropati, gangguan visual atau vestibuler atau gangguan integrasi di
SSP.
3) Gangguan persepsi sensori
Perubahan sensorik terjadi pada jalur sistem sensori dimulai dari reseptor
hingga ke korteks sensori, merubah transmisi atau informasi sensori.Pada korteks
lobus parietal sangat penting dalam interpretasi sensori dengan pengendaian
penglihatan, pendengaran, rasa dan regulasi suhu.Hilang atau menurunnya sensori
rasa nyeri, temperature dan rabaan dapat menimbulkan masalah pada lansia.
4) Gangguan eliminasi BAB dan BAK
Perubahan sistem saraf pada lansia juga sering terjadi pada sistem pencernaan
maupun pada sistem urinari.Hal ini disebabkan karena pada lansia terjadi
penurunan sistem saraf perifer, dimana lansia menjadi tidak mampu untuk
mengontrol pengeluaran BAB maupun BAK, sehingga bisa menimbulkan
beberapa masalah, seperti konstipasi, obstipasi, inkontinensia urin, dll.
5) Kerusakan komunikasi verbal
Pada lansia sering terjadi kerusakan komunikasi verbal, hal ini disebabkan
karena terjadi penurunan atau ketidakmampuan untuk menerima, memproses,
mentransmisikan dan menggunakan sistem simbol. Adapun yang menjadi
penyebab lain masalah tersebut dikarenakan terjadinya perubahan pada persarafan
di sekitar wajah.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan


keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan yang
tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari pengkajian yang diambil
adalah merupakan respon klien, baik respon biopsikososial maupun spiritual,
kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan untuk menuntun tindakan
perawatan. Dan untuk menilai keadaan klien, diperlukan suatu evaluasi yang merujuk
pada tujuan rencana perawatan klien dengan stroke non hemoragik.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar bagi seorang perawat dalam melakukan
pendekatan secara sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisa,
sehingga dapat diketahui kebutuhan klien tersebut. Pengumpulan data yang akurat
dan sistematis akan membantu menentukan status kesehatan dan pola pertahanan
klien serta memudahkan menentukan status kesehatan dan pola pertahanan klien
serta memudahkan dalam perumusan diagnosa keperawatan (Doenges dkk, 1999).
Adapun pengkajian pada klien dengan stroke (Doenges dkk, 1999) adalah :
1. Aktivitas/ Istirahat
Gejala : merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah, susah
untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot).
Tanda : gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan
umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Gejala : adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural.
Tanda : hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme/ malformasi
vaskuler, frekuensi nadi bervariasi, dan disritmia.
3. Integritas Ego
Gejala : perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda : emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira,
kesulitan untuk mengekspresikan diri
4. Eliminasi
Gejala : perubahan pola berkemih
Tanda : distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.
5. Makanan/ Cairan
Gejala : nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan
sensasipada lidah, dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes,
peningkatan lemak dalam darah.
Tanda : kesulitan menelan, obesitas.
6. Neurosensori
gejala : sakit kepala, kelemahan/ kesemutan, hilangnya rangsang sensorik
kontralateral pada ekstremitas, penglihatan menurun, gangguan rasa
pengecapan dan penciuman.
Tanda : status mental/ tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal
hemoragis, gangguan fungsi kognitif, pada wajah terjadi paralisis, afasia,
ukuran/ reaksi pupil tidak sama, kekakuan, kejang.
7. Kenyamanan / Nyeri
Gejala : sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
Tanda : tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot
8. Pernapasan
Gejala : merokok
Tanda : ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas, timbulnya
pernafasan sulit, suara nafas terdengar ronchi.
9. Keamanan
Tanda : masalah dengan penglihatan, perubahan sensori persepsi terhadap
orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespons
terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam menelan, gangguan dalam
memutuskan.
10. Interaksi Sosial
Tanda : masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
11. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala : adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian
kontrasepsi oral, kecanduan alkohol
B. Diagnosa yang mungkin muncul
1. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neumuskular
2. Gangguan eliminasi urin b.d kelemahan otot pelvis
3. Gangguan menelan b.d paralisis cerebral
C. Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
. keperawatan
1. Gangguan Tujuan : setelah di lakukan perawatan 3x24 jam 1. Identifikasi
mobilitas di harapkan klien dapat meningkatkan keterbatasan
fisik b.d kemampuan pergerakan sendi. pergerakan sendi
gangguan Kriteria Hasil : 2. Monitor lokasi
neumuskular Cukup sdg Cukup ketidaknyamana
n atau nyeri pada
Rahang 1 2 3 4 5 saat bergerak
Leher 1 2 3 4 5 3. Anjurkan
Punggung 1 2 3 4 5 pakaian longgar
Jari kanan 1 2 3 4 5 4. Cegah terjadinya
Jari kiri 1 2 3 4 5 cedera saat

Ibu jari 1 2 3 4 5 latihan rentan

kanan gerak

Ibu jari kiri 1 2 3 4 5 5. Berikan

Pergelangan 1 2 3 4 5 dukungan positif

tangan pada saat latihan

kanan 6. Jelaskan tujuan

Pergelangan 1 2 3 4 5 dan prosedur

tangan kiri latihan

Siku kanan 1 2 3 4 5 7. Anjurkan rentan


gerak aktif sesuai
Siku kiri 1 2 3 4 5
program latihan
Bahu kanan 1 2 3 4 5
8. Kolaborasi
Bahu kiri 1 2 3 4 5
dengan
Pergelangan 1 2 3 4 5
fisioterapis
kaki kanan
mengembangkan
Pergelangan 1 2 3 4 5
program latihan
kaki kiri
Lutut kanan 1 2 3 4 5
Lutut kiri 1 2 3 4 5
Panggul 1 2 3 4 5
kanan
Panggul kiri 1 2 3 4 5
2. Gangguan Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 3x24 1. Identifikasi
eliminasi jam di harapkan klien dapat memanajemen urin tanda dan gejala
urin b.d Kriteria hasil : retensi atau
kelemahan Cukup sdg Cukup inkontinensi
otot pelpis urin
Sensasi 1 2 3 4 5 2. Mengidentifikas
berkemih i faktor yang
Cukup sdg Cukup Cukup menyebabkan
retensi
Urgensi 1 2 3 4 5 3. Catat waktu-
Distensi 1 2 3 4 5 waktu dan
kandung haluaran
kemih berkemih
Berkemih 1 2 3 4 5 4. Batasi asupan
tidak tuntas cairan

Volume 1 2 3 4 5 5. Anjurkan

residu urin mengukur

Urin 1 2 3 4 5 asupan cairan

menetes dan haluaran

Nokturia 1 2 3 4 5 urin

Mengompol 1 2 3 4 5 6. Anjurkan

Disuria 1 2 3 4 5 mengenali tanda


berkemih
Anuria 1 2 3 4 5
7. Anjurkan
minum
secukupnya
8. Anjurkan
mengurangi
minum
menjelang tidur
9. Kolaborasi
pemberian obat
3 Gangguan Tujuan : setelah di lakukan perawatan selama 1. Identifikasi diet
menelan b.d 3x24 jam di harapkan klien dapat memfasilitasi lanjutan
paralisis pemenuhan kebutuhan makan/minum 2. Monitor
cerebral Kriteria hasil : kemampuan
Cukup sdg Cukup menelan
3. Ciptakan
Mempertahankan 1 2 3 4 5 lingkungan
makanan di yang nyaman
mulut selama makan
Reflek menelan 1 2 3 4 5 4. Atur posisi
Kemampuan 1 2 3 4 5 nyaman untuk
mengosongkan makan/minum
mulut 5. Motivasi untuk
Kemampuan 1 2 3 4 5 makan/minum
mengunyah 6. Sediakan
Usaha menelan 1 2 3 4 5 makan/minum

Pembentukan 1 2 3 4 5 yang disukai

bolus 7. Kolaborasi

Cukup sdg Cukup pemberian obat

Frekuensi 1 2 3 4 5
tersedak
Batuk 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5
Refluks lambung 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Regurgitasi 1 2 3 4 5
Cukup sdg Cukup

Produksi Saliva 1 2 3 4 5
Penerimaan 1 2 3 4 5
makanan
Kualitas suara 1 2 3 4 5
BAB 4

PEMBAHASAN

Latihan range of motion (ROM) merupakan salah satu bentuk latihan dalam proses
rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan pasien
dengan stroke. Latihan ini adalah salah satu bentuk intervensi fundamental perawat yang
dapat di lakukan untuk keberhasilan regimen terapeutik bagi pasien dalam upaya pencegahan
terjadinya kondisi cacat permanen pada pasien paska perawatan rumah sakit sehingga dapat
menurunkan tingkat ketergantungan pasien pada keluarga. Semakin dini proses rehabilitasi
maka kemungkinan pasien mengalami defisit kemampuan akan semakin kecil (National
Stroke Association, 2009). Oleh karena itu, untuk menilai latihan ROM aktif dan pasif dapat
meningkatkan mobilitas sendi sehingga mencegah terjadinya berbagai komplikasi.

Dari jurnal yang di dapat metode penelitian merupakan penelitian observasional


analitik dengan pendekatan Pre Ekperimental Pre-post test One Group Design, dengan
sampel pasien di ruang penyakit dalam di RSUD Gambiran kota Kediri tahun 2014. Variable
Independent pada penelitian ini adalah memberikan latihan Range Of Motion (ROM).

Manifestasi klinis stroke akut dapat berupa perubahan status mental, gangguan
penglihatan, afasia, vertigo, mual-muntah, nyeri kepala dan penurunan fungsi motorik
(Mansjoer, 2007). Perubahan tersebut mempengaruhi struktur fisik maupun mentalnya.
Sehingga dengan adanya perubahan mobilisasi penderita stroke akut akan mengalami
kemunduran aktivitas seperti kelemahan menggerakkan kaki, kelemahan menggerakkan
tangan, ketidakmampuan fungsi motorik.

Latihan ROM dapat menimbulkan rangsangan sehingga meningkatkan aktivitas dari


kimiawi neuromuskuler dan muskuler. Rangsangan melalui neuromuskuler akan
meningkatkan rangsangan pada serat saraf otot ekstremitas terutama saraf paasimpatis yang
merangsang untuk produksi asetilcholin, sehingga mengakibatkan kontraksi.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada pengaruh pemberian latihan Range Of
Motion (ROM) terhadap kemampuan motorik pada pasien post stroke di RSUD Gambiran
Kediri tahun 2014. Mengingat bahaya dari penyakit Stroke maka hal yang lebih penting
adalah dengan melakukan pencegahan dengan pengurangan berbagai faktor risiko, seperti
hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok, dan obesitas saat
serangan stroke pertama dapat mencegah serangan stroke berulang demikian diharapkan
Rumah Sakit bisa memberikan layanan keperawatan yang lebih prima dengan meningkatkan
pelaksanaan edukasi secara teratur dengan struktur yang lebih baik terutama dengan
menggunakan media yang bervariasi seperti penggunaan booklet tentang pelaksanaan ROM
dengan demikian kesadaran pasien dan keluarga untuk mau dan mampu melakukan
latihan Range Of Motion (ROM) akan meningkat.
Penelitian ini merekomendasikan perlunya penelitian lebih lanjut dan penggunaan
latihan ini sebagai salah satu intervensi perawat dalam asuhan keperawatan pasien stroke.
BAB 5

PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa ada pengaruh pemberian latihan
Range Of Motion terhadap kemampuan motorik pasien post stroke. Diharapkan Rumah Sakit
bisa memberikan layanan keperawatan yang lebih prima dengan meningkatkan pelaksanaan
edukasi secara teratur dengan struktur yang lebih terutama dengan menggunakan media
bervariasi, dengan demikian kesadaran pasien dan keluarga untuk mau dan mampu
melakukan Range Of Motion (ROM) akan meningkat.

5.2 Saran

1. Bagi perawat dengan adanya penelitian ini dapat memberikan pemahaman bahwa
terapi non farmakolohi juga berpengaruh terhadap pemulihan pasien pasca stroke.
2. Bagi masyarakat agar dapat mengaplikasikan latihan selama dirumah serta bagi
keluarga pasien agar dapat memotivasi sehingga pasien dapat meningkatkan
kemandiriannya.
DAFTAR PUSTAKA

Hanum, Parida, dkk. 2018. Hubungan Karakteristik dan Dukungan Keluarga Lansia dengan

Kejadian Stroke pada Lansia Hipertensi di Rumah Sakit Umum Pusat Hj. Adam

Malik Medan.Diunduh pada 8 Oktober 2019

http://www.jurnal.uinsu.ac.id/index.php/kesmas/article/view/1377.

PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,

Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil

Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Rahayu, Kun Ika Nur. 2015. Pengaruh Pemberian Latihan Range Of Motion (ROM) terhadap

Kemampuan Motorik pada Pasien Post Stroke di RSUD Gambiran. Kediri : Fakultas

Ilmu Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai