Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

Pendahuluan
1.1 latar belakang
Penyakit tulang dan patah tulang merupakan salah satu dari sindrom geriatric, dalam arti
insidens dan akibatnya pada usia lanjut yang cukup significant.
Dengan bertambahnya usia terdapat peningkatan hilang tulang secara linear. Hilang tulang ini
lebih nyata pada wanita dibanding pria. Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5 – 1% per tahun dari
berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria > 70 tahun. Hilang tulang ini lebih
mengenai bagian trabekula dibanding bagian korteks, dan pada pemeriksaan histologik wanita
dengan osteoporosis spinal pasca menopause tinggal mempunyai tulang trabekula < 14% (nilai
normal pada lansia 14 – 24% ) (Peck, 1989).
Sepanjang hidup tulang mengalami perusakan (dilaksanakan oleh sel osteoklas) dan
pembentukan (dilakukan oleh sel osteoblas) yang berjalan bersama-sama, sehingga tulang dapat
membentuk modelnya seseuai dengan pertumbuhan badan (proses remodelling). Oleh karena itu
dapat dimengerti bahwa proses remodelling ini akan sangat cepat pada usia remaja (growth
spurt). Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pengrusakan oleh kedua
jenis sel tersebut. Apabila hasil akhir perusakan (resorbsi/destruksi) lebih besar dari
pembentukan (formasi) maka akan timbul osteoporosis.
Kondisi ini tentu saja sangat mencemaskan siapapun yang peduli, hal ini terjadi karena
ketidaktahuan pasien terhadap osteoporosis dan akibatnya. Beberapa hambatan dalam
penanggulangan dan pencegahan osteoporosis antara lain karena kurang pengetahuan, kurangnya
fasilitas pengobatan, faktor nutrisi yang disediakan, serta hambatan-hambatan keuangan.
Sehingga diperluan kerja sama yang baik antara lembaga-lembaga kesehatan, dokter dan pasien.
Pengertian yang salah tentang perawatan osteoporosis sering terjadi karena kurangnya
pengetahuan.
Peran dari petugas kesehatan dalam hal ini adalah dokter dan perawat sangatlah mutlak
untuk dilaksanakan. Karena dengan perannya akan membantu dalam mengatasi peningkatan
angka prevalensi dari osteoporosis. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan berperan
dalam upaya pendidikan dengan memberikan penyuluhan tentang pengertian osteoporosis,
penyebab dan gejala osteoporosis serta pengelolaan osteoporosis. Berperan juga dalam
meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan serta peningkatan pengetahuan dengan
dilakukan asuhan keperawatan pada pasien yang menderita osteoporosis, sikap dan praktik
pasien serta keluarganya dalam melaksanakan pengobatan osteoporosis. Peran yang terakhir
adalah peningkatan kerja sama dan system rujukan antar berbagai tingkat fasilitas pelayanan
kesehatan, hal ini akan memberi nilai posistif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 KONSEP GERONTIK


2.1.1 DEFINISI

2.1.2 BATASAN LANSIA


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Lanjut Usia meliputi:
a. Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.

2.1.3 PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA


Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua. Dari ujung rambut
sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur.
Menurut Nugroho (2000) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai
berikut:
1. Perubahan Biologis
a. Sel
Jumlah sel menjadi menurun atau lebih sedikit, ukuran sel lebih besar,
berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak;
otot; ginjal; darah dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya
mekanisme perbaikan sel. Otak menjadi atrofi (beratnya berkurang 5-
10%), lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar.
b. Perubahan Sistem Persyarafan
Struktur dan fungsi system saraf berubah dengan bertambahnya usia.
Berkurangnya massa otak progresif akibat berkurangnya sel syaraf yang
tidak bisa diganti. Terjadi penurunan sintesis dan neuro transmitter
utama. Impuls saraf dihantarkan lebih lambat, sehingga lansia
memerlukan waktu yang lebih lama untukmerespons dan bereaksi.
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat
otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga
mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran,
mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu,
ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitif terhadap
sentuhan.
Waktu reaksi yang lama menyebabkan lansia beresiko mengalami
kecelakaan dan cedera. Kehilangan kesadaran atau pingsan dapat terjadi
bila orang tersebut berdiri terlalu cepat dari posisi berbaring atau duduk.
Perawat harus menasehati orang tersebut untuk menunggu waktu
merespons terhadap rangsang dan bergerak lebih pelan. Kebingungan
yang terjadi tiba-tiba mungkin merupakan gejala awal infeksi atau
perubahan kondisi fisik (pneumonia, infeksi saluran kencing, interaksi
obat, dehidrasi dan lainnya).
c. Perubahan Penglihatan
Karena sel-sel baru terbentuk di permukaan luar lensa mata, maka sel
tengah yang tus akan menumpuk dan menjadi kuning, kaku, padat dan
berkabut. Jadi, bagian luar lensa yang masih elastic untuk berubah bentuk
(akomodasi) dan berfokus pada jarak jauh dan dekat.
Lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan gelap dan terang dan memerlukan sinar yang lebih
terang untuk melihat benda yang sangat dekat. Meskipun kondisi visual
patologis bukan merupakan bagian penuaan normal, namun terjadi
peninekatan penyakit mata pada lansia.
Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih suram
(kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya
membedakan warna menurun.
d. Perubahan Pendengaran
Kehilangan kemampuan untuk mendengar nada berfrekuensi tinggi
terjadi pada usia pertengahan. Ini disebabkan karena perubahan telinga
dalam yang irreversible. Lansia sering tidak mampu mengikuti
percakapan karena nada konsonan frekuensi tinggi (huruf f, s, th, ch, sh,
b, t, p) semuanya terdengar sama. Ketidakmampuan berkomunikasi,
membuat mereka terasa terisolasi dari menarik diri dari pergaulan social.
Bila dicurigai ada gangguan pendengaran, maka harus dilakukan kajian
telinga dan pendengaran.
Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara
atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50%
terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran timpani menjadi atrofi
menyebabkan otosklerosis.
Kehilangan pendengaran menyebabkan lansia berespons tidak sesuai
dengan yang diharapkan, tidak memahamin percakapan, dan menghindari
interaksi social. Perilaku ini sering disalahkaprahkan sebagai
kebingungan atau “senile
e. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian pada semua
kelompok umur termasuk lansia. Angka kematian akibat penyakit
kardiovaskuler juga meningkat dengan meningkatnya usia. Perubahan
structural yang normal dari penuaan yang terjadi pada jantung dan system
vascular mengakibatkan kemampuannya untuk berfungsi secara efisien
menurun.
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung menurun
1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan sensitivitas dan
elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenasi perubahan posisi dari tidur ke duduk (duduk ke berdiri)
bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg dan
tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi dari pembuluh
darah perifer, sistole normal ±170 mmHg, diastole normal ± 95 mmHg.
Hipertensi sistolik pernah dipercaya sebagai bagian dari proses penuaan
normal. Hipertensi, merupakan masalah yang banyak ditemui pada
populasi lansia. Hipertensi merupakan faktor resiko yang menonjol bagi
semua kelompok usia terhadap penyakit kardiovaskuler dan stroke.
Pada individu lansia, diagnosis hipertensi diklasifikasikan sebagai
berikut:
1) Hipertensi sistolik saja dimana tekanan sistolik terukur melebihi
160 mmhg, dengan tekanan distolik normal atau mendekati
normal (di bawah 90 mmhg).
2) Hipertensi esensial dimana tekanan diastoliknya lebih besar atau
sama dengan 90 mmhg berapapun tekanan sistoliknya.
3) Hipertensi sekunder atau hipertensi yang dapat disebabkan oleh
penyebab yang mendasarinya.
f. Perubahan Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu
thermostat yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi
beberapa faktor yang mempengaruhinya yang sering ditemukan antara
lain: temperatur tubuh menurun (hipotermi) yang secara fisiologis
keadaan ini akibat metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek
menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga
terjadi rendahnya aktifitas otot. Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa
kedinginan dan dapat pula menggigil, pucat, dan gelisah.
g. Perubahan Sistem Respirasi
Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan usia yang
mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru meliputi yang berikut :
peningkatan diameter anterioposterior dada, kolaps osteoporotic vertebra
yang mengakibatkan kifosis (peningkatan kurvatura konveks tulang
belakang), kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas alveoli.
Peningkatan rigiditas atau hilangnya recoil elastisitas paru
mengakibatkan peningkatan volume residual paru dan penurunan
kapasitas vital.
Paru-paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik
nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun dan
kedalaman nafas turun. Kemampuan batuk menurun (menurunnya
aktivitas silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 arteri tidak
berganti.
h. Sistem Gastrointestinal
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya tetap adekuat sepanjang hidup.
Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan
akibat motilitas yang melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien
pada lansia. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi dan
keluhan utama biasanya berpusat bpada perasaan penuh, nyeri ulu hati,
dan gangguan pencernaan.
Banyak gigi yang tanggal, sensitivitas indra pengecap menurun,
pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu
pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan sering timbul konstipasi,
fungsi absorbsi menurun.
Peningkatan kesehatan untuk sistem gastrointestinal pada lansia dapat
dipandu untuk meningkatkan fungsi gastrointestinalnya untuk mengikuti
praktik peningkatan kesehatan seperti; menggosok gigi setiap hari,
perawatan gigi yang teratur, menghindari aktivitas berat setelah makan,
makan makanan tinggi serat, diet rendah lemak, minum banyak air,
menjaga kebiasaan defekasi secara teratur, dan menghindari laksatif dan
antasida.
i. Sistem Genitourinaria
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun
sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering terjadi
atrofi vulva, selaput lendir mongering, elastisitas jaringan menurun dan
disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse berefek pada seks
sekunder.
Peningkatan kesehatan sistem genitourinaria dilakukan dengan
mengonsumsi cairan yang mencukupi sangat penting untuk mencegah
infeksi kandung kemih dan memelihara keseimbangan caira.
Masalah kontinensia urin dan sering berkemih dapat dikurangi bila
individu lansia mengikuti petunjuk berikut:
1) Selalu dekat dengan fasilitas kamar mandi
2) Berkemih secara teratur
3) Melatih otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul sangat berguna dalam mengurangi gejala
stress dan dorongan inkontinensia. Karena untuk mencapai control
muskulus yang baik diperlukan latihan beberapa minggu, maka individu
lansia harus didorong untuk melakukan latihan secara teratur.
j. Sistem Endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH),
penurunan sekresi hormon kelamin misalnya: estrogen, progesterone, dan
testoteron.
k. Sistem Kulit
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses
keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas
akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan
rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan pada
bentuk sel epidermis.
l. Sistem Muskuloskeletal
Penurunan progresif dan gradual masa tulang mulai terjadi sebelum usia
40 tahun. Kehilangan densitas tulang yang massif akan mengai]kibatkan
osteoporosis. Kondisi ini kebanyakan terjadi pada wanita pasca
menopausedan berhubungan dengan inaktivitas, masukan kalsium yang
tidak adekuat, dan kehilangan estrogen. Perubahan tersebut
mengakibatkan penurunan mobilitas, keseimbangan dan fungsi organ
internal berkurangnya ukuran otot dan kehilangan kekuatan, fleksibilitas,
dan ketahanannya sebagai akibat penurunan aktivitas pada lnsia yang
ditandai dengan nyeri punggung.  
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan pemendekan
tulang, persendian membesar dan kaku, tendon mengkerut dan
mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga gerakan menjadi
lamban, otot mudah kram dan tremor.
Peningkatan kesehatan tulang pada lansia dengan osteoporosis.
Osteoporosis  merupakan masalah yang sering terjadi pada wanita lansia.
Demineralisasi yang terjadi pada osteoporosis dipercepat dengan
hilangnya estrogen, inaktivitas, dan diet rendah kalsium tinggi fosfat.
Perawat dapat menganjurkan:
1) Masukan tinggi kalsium
2) Diet rendah fosfor
3) Olahraga
Peningkatan kesehatan untuk fungsi musculoskeletal dengan
melaksanakan Program olahraga rutin harus dijalankan seumur hidup
atau dimulai pada lansia. Aksioma ”gunakan atau kamu kehilangan”
sangat sesuai dengan kapasitas fisik lansia.
Hambatan terbesar untuk berolahraga adalah perilaku masyarakat secara
keseluruhan dan perilaku negative lansia itu sendiri. Perawat mempunyai
peranan yang sangat penting dengan mmberi semangat dan menantang
lansia untuk berpartisipasi dalam program olahraga dengan teratur.
m. Perubahan Sistem Reproduksi
Perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita antara lain vagina
mengalami kontraktur dan mengecil, ovari menciut, uterus mengalami
atrofi, atrofi payudara, atrofi vulva, selaput lendir vagina menurun.
Sedangkan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria antara lain
ada penurunan secara berangsur-angsur meskipun testis masih dapat
memproduksi spermatzoa, dan sebanyak ±75% pria usia di atas usia 65
tahun mengalami pembesaran prostat.
2.1.4 TUGAS PERKEMBANGAN LANSIA
A.    DEFINISI
Osteoporosis adalah suatu keadaan pengurangan jaringan tulang per unit volume, sehingga
tidak mampu melindungi atau mencegah terjadinya fraktur terhadap trauma minimal. Secara
histopatologis osteoporosis ditandai oleh berkurangnya ketebalan korteks disertai dengan
berkurangnya jumlah maupun ukuran trabekula tulang.(Doengoes, Marilynn E:2000).
Osteoporosis adalah kondisi terjadinya penurunan densitas/matriks/massa tulang,
peningkatan porositas tulang, dan penurunan proses mineralisasi disertai dengan kerusakan
arsitektur mikro jaringan tulang yang mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga
tulang menjadi mudah patah.( R. Boedhi Darmojo:2000)
osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif, sehingga tulang menjadi
rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga
tulang menjadi keras dan padat.( Brunner & Suddarth:2002)
Penurunan Massa tulang ini sebagai akibat dari berkurangnya pembentukan, meningkatnya
perusakan (destruksi) atau kombinasi dari keduanya (Corwn elizabeth. 2001.).
Menurut pembagiannya dapat dibedakan atas : (Brunner & Suddarth:2002) :
1.    Osteoporosis Primer yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit yang lain, yang dibedakan
lagi atas :
a.    Osteoporosis tipe I (pasca menopause), yang kehilangan tulang terutama dibagian
trabekula
b.    Osteoporosis tipe II (senilis), terutama kehilangan Massa tulang daerah korteks
c.    Osteoporosis idiopatik yang terjadi pada usia muda denganpenyebab yang tidak
diketahui
2.   Osteoporosis sekunder yang terjadi pada atau akibat penyakit lain, antara lain hiperparatiroid,
gagal ginjal kronis, arthritis rematoid dan lain-lain.

B.  ETIOLOGI
1.  Determinan Massa Tulang
Massa tulang maksimal pada usia dewasa ditentukan oleh berbagai factor antara lain :
a.    Faktor genetic
Perbedaan genetic mempunyai pengaruh terhadap kepadatan tulang
b.    Faktor mekanik
Beban mekanik berpengaruh terhadap massa tulang, bertambahnya beban akan menambah
massa tulang dan berkurangnya massa tulang. Ada hubungan langsung dan nyata antara massa
otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan respon terhadap kerja mekanik. Beban
mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar.
c.    Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein dan
mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetic yang
bersangkutan

2.    Determinan pengurangan massa tulang


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada usia lanjut yang
dapat mengakibatkan fraktur osteoporosis pada dasarnya sama seperti pada factor-faktor yang
mempengaruhi massa tulang.
a.  Faktor genetic
Factor genetic berpengaruh terhadap resiko terjadinya fraktur. Pada seseorang dengan
tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat resiko fraktur dari seseorang denfan tulang yang
besar.
b. Factor mekanis
Pada umumnya aktifitas fisik akan menurun dengan bertambahnya usia dan karena massa
tulang merupakan fungsi beban mekanik, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan
bertambahnya usia.
c.  Faktor lain
1.)      Kalsium
Kalsium merupakan nutrisi yang penting, dengan masukan kalsium yang rendah dan
absorbsinya tidak baik akan mengakibatkan keseimbangan kalsium yang negatif begitu
sebaliknya.

2.)      Protein
Parotein yang berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan keseimbangan kalsium
yang negatif
3.)      Estrogen
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya
gangguan keseimbangan kalsium, karena menurunnya efisiensi absorbsi kalsium dari
makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium diginjal.
4.)      Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan
penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan kalsium yang rendah.
Mekanisme pengaruh rokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi
kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.
5.)      Alkohol
Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium yang rendah,
disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang pasti belum
diketahui.
E.     MANIFESTASI KLINIS
1.      Nyeri dengan atau tanpa adanya fraktur yang nyata
2.      Nyeri timbul secara mendadadak
3.      Nyeri dirasakan ringan pada pagi hari (bangun tidur)
4.      Nyeri akan bertambah karena melakukan aktifitas atau pekerjaan sehari-hari atau karena
pergerakan yang salah
5.      Rasa sakit karena oleh adanya fraktur pada anggota gerak
6.      Rasa sakit karena adanya kompresi fraktur pada vertebra
7.      Rasa sakit hebat yang terlokalisasi pada daerah vertebra
8.      Rasa sakit akan berkurang apabila pasien istirahat di tempat tidur

D.    PATOFISIOLOGI
Remodeling tulang normal pada orang dewasa akan meningkatkan massa tulang sampai
sekitar usia 35 tahun. Genetik, nutrisi, gaya hidpu (merokok, minum kopi), dan aktifitas fisik
mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan karena usia mulai segera setelah tercapai
puncaknya massa tulang. Menghilangnya estrogen pada saat menopause mengakibatkan
percepatan resorbsi tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca menopause.
Faktor nutrisi mempengaruhi pertumbuhan osteoporosis. Vitamin D penting untuk
absorbsi kalsium dan untuk mineralisasi tulang normal. Diet mengandung kalsium dan vitamin D
harus mencukupi untuk mempertahankan remodelling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium
dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa
tulang dan pertumbuhan osteoporosis.
E.PATHWAY
F. KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS
Terdapat beberapa jenis osteoporosis, yaitu :
1. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer sering menyerang wanita paska menopause (Osteoporosis postmenopausal
) dan juga pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui.
Osteoporosis postmenopausal biasanya terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama
pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul
lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan asia lebih mudah menderita
penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
2. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain, misalnya dengan :
hyperthyroidism, kelainan hepar, kegagalan ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum
alkohol, kelebihan kafein, dan merokok
3. Osteoporosis Anak
Osteoporosis pada anak disebut juvenile idiopathic osteoporosis. Osteoporosis jenis ini
penyebabnya tidak diketahui dan masih diteliti lebih lanjut.
4. Osteoporosis Senilis
Osteoporosis senilis terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia. Hal ini
terkait dengan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang
yang baru. Osteoporosis ini banyak terjadi pada lansia. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di
atas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali
menderitaosteoporosis senilis dan postmenopausal.

G.    PENATALAKSANAAN
a.  Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi sepanjang hidup, dengan peningkatan
asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan dapat melindungi terhadap demineralisasi
tulang
b.  Pada menopause dapat diberikan terapi pengganti hormone dengan estrogen dan progesterone
untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah tulang yang
diakibatkan.
c.    Medical treatment, oabt-obatan dapat diresepkan untuk menangani osteoporosis termasuk
kalsitonin, natrium fluoride, dan natrium etridonat. Efek samping (misal : gangguan
gastrointestinal, aliran panas, frekuensi urin), biasanya ringan dan hanya kadang-kadang
dialami. Natrium florida memperbaiki aktifitas osteoblastik dan pembentukan tulang.
d.  Pemasangan penyangga tulang belakang (spinal brace) untuk mengurangi nyeri punggung

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Osteoporosis teridentifikasi pada pemeriksaan sinar-x rutin bila sudah terjadi demineralisasi
25% sampai 40%. Tampak radiolusesnsi tulang. Ketika vertebra kolaps, vertebra torakalis
menjadi berbentuk baji dan vertebra lumbalis menjadi bikonkaf.
Pemeriksaan laboratorium (missal kalsium serum, fosfat, serum, fosfatase alkalu, ekskresi
kalsium urine, ekskresi hidroksi prolin urine, hematokrit, laju endap darah), dan sinar-x
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis medis lain (missal ; osteomalasia,
hiperparatiroidisme, dlll) yang juga menyumbang terjadinya kehilangan tulang.
Absorbsiometri foton-tunggal dapat digunakan untuk memantau massa tulang pada tulang
kortikal pada sendi pergelangan tangan. Absorpsiometri dual-foton, dual energy x-ray
absorpsiometry (DEXA) , dan CT mampu memberikan informasi mengenai massa tulang pada
tulang belakang dan panggul. Sangat berguna untuk mengidentifikasi tulang osteoporosis dan
mengkaji respon terhadap terapi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
a. Keluhan Utama:
Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan
tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk menanggulanginya.
b.    Riwayat Penyakit Dahulu :
Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit lainnya.
c.    Riwayat Penyakit Keluarga :
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit lainnya.
d.    Riwayat Psikososial :
Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang mengalami stress
yang berkepanjangan.
e.    Riwayat Pemakaian Obat :
Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yangdipakai, atau pernahkah pasien
tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat.

2.      Pemeriksaan fisik


a. B1 (breathing )
Inspeksi : ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang belakang
Palpasi : traktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : pada usia lanjut biasanya didapatkan suara ronki
b. B2 (blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik sering terjadi keringat dingin dan pusing, adanya
pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh darah atau edema yang
berkaitan dengan efek obat

c. B3 (brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis, pada kasus yang lebih parah klien dapat mengeluh
pusing dan gelisah
d. B4 (Bladder)
Produksi urine dalam batas normal dan tidak ada keluhan padasistem perkemihan
e. B5 (bowel)
Untuk kasus osteoporosis tidak ada gangguan eleminasi namun perlu dikaji juga
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses
f. B6 (Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis, klien osteoporosis sering
menunjukkan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Ada
perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi
fraktur yang terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3

B.    DIAGNOSA KEPERAWATAN


Masalah yang biasa terjadi pada klien osteoporosis adalah sebagai berikut :
1.   Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai dengan
klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat
fraktur traumatic pada vertebra, klien tampak meringis.
2.    Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan
skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien mengeluh
kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun,
dan terdapat penurunan tinggi badan.
3.    Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan
ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun,
tulang belakang terlihat bungkuk.
C.     INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra ditandai dengan
klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada pergelangan tangan, terdapat
fraktur traumatic pada vertebra, klien tampak meringis
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil
klien dapat mengekspresikan perasaan nyerinya, klien dapat tenang dan istirahat, klien dapat
mandiri dalam penanganan dan perawatannya secara sederhana.
Intervensi :
• Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi dan karakteristik termasuk
intensitas (skala 1-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan pada tanda vital
dan emosi/prilaku)
R/ Mempengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi
• Ajarkan klien tentang alternative lain untuk mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya
R/ alternative lain untuk mengatasi nyeri misalnya kompres hangat, mengatur posisi untuk
mencegah kesalahan posisi pada tulang/jaringan yang cedera
• Dorong menggunakan teknik manajemen stress contoh relaksasi progresif, latihan nafasa
dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan teraupetik
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa control dan dapat meningkatkan
kemampuan koping dalam manajemen nyeri yang mungkin menetap untuk periode lebih
lama
• Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi
R/ diberikan untuk menurunkan nyeri.

2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder akibat perubahan
skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai dengan klien mengeluh
kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas, stamina menurun,
dan terdapat penurunan tinggi badan
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mampu melakukan mobilitas fisik
dengan criteria hasil klien dapat meningkatkan mobilitas fisik, berpartisipasi dalam aktivitas
yang diinginkan/diperlukan, klien mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari secara
mandiri

Intervensi :
• Kaji tingkat kemampuan klien yang masih ada
R/ sebagai dasar untuk memberikan alternative dan latihan gerak yang sesuai dengan
kemampuannya
• Rencanakan tentang pemberian program latihan, ajarkan klien tentang aktivitas hidup
sehari-hari yang dapat dikerjakan
R/ latihan akan meningkatkan pergerakan otot dan stimulasi sirkulasi darah
• Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas /perawatan diri secara bertahap jika dapat
ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
R/ kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba, memberikan
bantuan hanya sebatas kebutuhan akan mendorong kemandirian dalam melakukan
aktivitas.

3. Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan
ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun,
tulang belakang terlihat bungkuk
Tujuan :
cedera tidak terjadi dengan kriteria hasil klien tidak jatuh dan tidak mengalami fraktur, klien
dapat menghindari aktivitas yang mengakibatkan fraktur
Intervensi :
• Ciptakan lingkungan yang bebas dari bahaya missal : tempatkan klien pada tempat tidur
rendah, berikan penerangan yang cukup, tempatkan klien pada ruangan yang mudah untuk
diobservasi.
R/ menciptakan lingkungan yang aman mengurangi risiko terjadinya kecelakaan.
• Ajarkan pada klien untuk berhenti secara perlahan,tidak naik tangga dan mengangkat beban
berat.
R/ pergerakan yang cepat akan memudahkan terjadinya fraktur kompresi vertebra pada
klien osteoporosis
• Observasi efek samping obat-obatan yang digunakan.
R/ obat-obatan seperti diuretic, fenotiazin dapat menyebabkan pusing, mengantuk dan
lemah yang merupakan predisposisi klien untuk jatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Corwn elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 3, Jakarta, EGC,  2002
Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000
Price, S. A & Wilson, L. Patifisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit; alih bahasa, Brahm
U. Pendit..[et. al]. Edisi 6. Jakarta: ECG.2001
R. Boedhi Darmojo, Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
http://lutfyaini.blogspot.com/2013/09/laporan-pendahuluan-dan-askep.html
https://www.resepbunda.biz/tag/klasifikasi-osteoporosis/

Anda mungkin juga menyukai