Anda di halaman 1dari 18

IMOBILISASI PADA LANJUT USIA:

KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN


Oleh :
dr. Nina Karmila, Sp.D
PENDAHULUAN
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan di bidang geriatri yang
cukup besar dan harus mendapatkan perhatian yang serius.Bertambah tingginya
harapan hidup dan peningkatan populasi lanjut usia (lansia) akan berdampak pada
bertambahnya masalah kesehatan pada pasien usia lanjut dan atau geriatri. 1,2 Pada
tahun 2030 mendatang, generasi baby-boom ( mereka yang lahir di Amerika Serikat
antara tahun 1946-1964 ) akan mulai mencapai usia 65. 3 Indonesia sendiri,
berdasarkan data USA-Bureau of the Census, diperkirakan akan mengalami
pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia, antara tahun 1990-2025, yaitu
sebesar 414 %.1 Lansia, khususnya yang menderita penyakit kronik ataupun
disabilitas, lebih rentan terhadap efek buruk dari tirah baring berkepanjangan,
imobilisasi dan inaktivitas. Efek imobilisasi tidaklah terbatas pada satu sistem organ
dalam tubuh saja, tetapi menyebabkan berbagai macam komplikasi. Imobilisasi pada
lansia sering tidak dapat dihindari, namun sebagian besar komplikasinya dapat
dicegah. Bahkan peningkatan mobilisasi dini yang relatif sedikit dapat menurunkan
insidensi dan keparahan komplikasi, meningkatkan kualitas hidup lansia, sekaligus
mengurangi beban berbagai pihak yang terlibat dalam perawatan lansia.4
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengemukakan tinjauan mengenai
imobilisasi pada lansia, komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat kondisi imobilisasi
tersebut, serta bagaimana cara mencegah agar komplikasi itu tidak terjadi.
DEFINISI
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat
perubahan fungsi fisiologik, yang dalam praktik sehari-hari dapat diartikan sebagai
tirah baring lebih dari tiga hari atau ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
mobilitas di tempat tidur, transfer ( perpindahan dari satu posisi ke posisi lain dalam
1

jarak dekat, misalnya transfer dari duduk ke berdiri kemudian duduk di kursi lain ),
atau ambulasi ( bergerak dan berjalan ) .2,5
Dalam praktek kedokteran dan rehabilitasi medik, imobilisasi digunakan untuk
menggambarkan sindroma degenerasi fisiologik yang diakibatkan penurunan aktivitas
dan deconditioning.5
PENYEBAB IMOBILISASI
Berbagai faktor fisik, psikologik dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada lansia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologik. Malnutrisi, tidak
digunakannya otot, anemia dan gangguan elektrolit sering menyebabkan rasa lemah.
Kekakuan otot terutama disebabkan osteoartritis, penyakit Parkinson, artritis
rematoid, gout dan obat-obatan antipsikotik seperti haloperidol. Ketidakseimbangan
dapat disebabkan kelemahan, faktor neurologik (strok, kehilangan refleks tubuh,
neuropati karena diabetes melitus, malnutrisi dan gangguan vestibuloserebral),
hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik, antihipertensi, neuroleptik dan
antidepresan ).2
Faktor lingkungan dan psikologik seperti tidak tersedianya alat bantu,
kekhawatiran keluarga yang berlebihan, rasa takut jatuh, demensia dan depresi juga
dapat menyebabkan imobilisasi.2
Tabel 1. Penyebab imobilisasi
Gangguan muskuloskeletal

Artritis
Osteoporosis
Fraktur ( terutama panggul, femur)
Problem kaki (bunion, kalus)
Lain-lain ( misal : penyakit Paget )

Gangguan Neurologik

Strok
Penyakit Parkinson
Disfungsi serebelar, neuropati

Penyakit kardiovaskuler

Gagal jantung kongestif ( berat )


Penyakit jantung koroner ( nyeri dada
yang sering )
2

Penyakit vaskuler perifer


(klaudikasio yang sering )
Penyakit paru

Penyakit paru obstruktif kronik (berat)

Faktor sensorik

Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut jatuh )

Lingkungan

Imobilisasi yang dipaksakan


( di rumah sakit / panti werdha )

Nyeri akut atau kronik


Lain-lain

Dekondisi (setelah tirah baring lama


pada keadaan sakit akut )
Malnutrisi
Penyakit sistemik berat
(metastase luas pada keganasan )
Efek samping obat
(misalnya kekakuan disebabkan
obat anti psikotik )

Sumber :

Laksmi PW. Imobilisasi. Dalam : Setiati S, dkk, editor. Lima Puluh

Masalah Kesehatan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.


KOMPLIKASI IMOBILISASI
Imobilisasi menimbulkan penyulit yang bersifat sistemik mulai dari sistem
kardiovaskuler hingga kejiwaan, serta masalah sosial dan lingkungan ( tabel 2).5
Tabel 2. Pengaruh Imobilisasi pada berbagai Sistem Organ
Organ/Sistem
Muskuloskletal

Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi


Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot,
penurunan daya tahan (endurance) otot, atrofi otot, kontraktur,
degenerasi

rawan

sendi,

ankilosis,

peningkatan

tekanan

intraartikular, berkurangnya volume sendi


Kardiopulmonal Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard,
dan pembuluh

intoleran

terhadap

ortostatik,

penurunan

ambilan

oksigen

darah

maksimal (VO2 max), deconditioning jantung, peningkatan


volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru,
pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agregasi

Integumen
Metabolik dan

trombosit, dan hiperkoagulasi


Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit
Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan

endokrin

deplesi

natrium,

dislipidemia,

resistensi

serta

insulin

penurunan

(intoleransi

absorbsi

dan

glukosa),

metabolisme

Neurologi dan

vitamin/mineral
Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik,

psikiatri

ganguan keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati

Traktus

kompresi, dan rekrutmen neuromuskuler yang tidak efisien


Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan

gastrointestinal

batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna

dan urinarius

dan distensi kandung kemih, impaksi feses dan konstipasi,


penurunan motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran napas,

Sumber :

dan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal


Laksmi PW. Imobilisasi. Dalam : Setiati S, dkk, editor. Lima Puluh

Masalah Kesehatan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.


1. Kelemahan Otot
Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan kekuatan
otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2 persen sehari. Untuk mengetahui
penurunan kekuatan otot juga dapat dilihat ukuran lingkar otot (muscle
circumference), yang biasanya akan menurun sebanyak 2,1-21 %.2
Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi sering berhubungan dengan
penurunan fungsional, kelemahan dan jatuh. Faktor-faktor yang menyebabkan atrofi
otot termasuk perubahan biologik akibat proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit
akut dan kronik, serta malnutrisi. Massa otot berkurang setengah dari ukuran semula
setelah mengalami dua bulan imobilisasi.2
Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan massa otot;
sebagai

contoh,

imobilisasi

dengan

posisi

telungkup

akan

mengakibatkan

pengurangan otot yang lebih banyak dibandingkan dengan posisi imobilisasi


terlentang ( lurus ).2

2. Kontraktur Otot dan Sendi

Berkurangnya gerakan di jaringan lunak periartikuler, tendon, ligamen atau


otot karena keadaan imobilisasi akan menyebabkan kontraktur. Selama imobilisasi,
jaringan pengikat akan meningkatkan jumlah ikatan silang yang menghasilkan
penurunan gerakan di antara jaringan. Massa otot akan memendek karena penurunan
mikrosirkulasi dan berkurangnya stimulasi saraf tropik, sehingga menyebabkan
degenerasi otot dan proliferasi jaringan ikat serta pemendekan serabut otot.6
Posisi imobilisasi juga akan mempengaruhi kontraktur. Berbaring lama dalam
posisi

tungkai

menekuk

akan

menimbulkan

kontraktur

atau

deformitas

muskuloskeletal sepert drop foot (pergelangan kaki dalam posisi plantar fleksi).5
3. Osteoporosis
Berdasarkan standard apa pun, osteoporosis termasuk masalah yang paling
penting yang ditemui dalam praktik klinik geriatri. Setiap orang akan mengalami
pengurangan / kehilangan massa tulang seiring dengan proses menua, yang akan
mengakibatkan peningkatan kerapuhan tulang. Salah satu faktor utama yang
menyebabkan kehilangan massa tulang selama imobilisasi adalah peningkatan
resorpsi tulang. Sebagai konsekuensi lanjutan dari proses osteoporosis ini, fraktur
akan lebih mudah dan sering terjadi pada lansia.5,7
4. Hipotensi Postural / Ortostatik
Hipotensi postural atau ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik
20 mmHg atau diastolik 10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi duduk atau tegak. 5
Gejala dan tandanya adalah berkeringat, pucat, kebingungan, letih, sering disertai
pusing, pandangan menggelap atau berputar, peningkatan denyut

jantung.

Peningkatan denyut jantung lebih dari 10 kali/ menit menunjukkan adanya hipotensi
postural tipe simpatis sedangkan denyut jantung kurang dari 10 kali/menit adalah tipe
asimpatis. Pada keadaan berat dapat terjadi iskemia serebral, khususnya sinkop.2,7,9
Pada posisi berdiri, 600-800 ml darah dialirkan ke bagian inferior tubuh
terutama tungkai. Hal tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20
%, penurunan volume sekuncup jantung sebanyak 35 %, dan percepatan denyut
jantung sebanyak 30 %. Pada orang normal yang sehat, mekanisme kompensasi
menyebabkan peningkatan denyut jantung yang akan mengakibatkan tekanan darah
menurun. Tekanan darah tidak berubah atau sedikit meningkat pada kondisi bangun
(dari berbaring ke duduk) dengan tiba-tiba. Pada lansia umumnya fungsi baroreseptor
5

menurun. Tirah baring total selama paling sedikit tiga minggu akan mengganggu
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang
sehat, dan hal ini akan lebih terlihat pada lansia.2
5. Ulkus Dekubitus ( Pressure Ulcers )
Ulkus dekubitus terjadi karena kombinasi faktor ekstrinsik ( mekanik ) dan
intrinsik ( kerentanan ). Setiap lansia memiliki risiko yang berbeda untuk terjadinya
kerusakan kulit, sehingga pendekatan untuk pencegahannya haruslah bersifat
individual. Lebih dari 100 faktor risiko ulkus dekubitus telah diketahui, namun
imobilisasi adalah faktor yang paling utama. Dalam sebuah penelitian, diperoleh
bahwa pasien-pasien rawat inap yang melakukan 50 atau lebih gerakan spontan dalam
semalam tidak mengalami luka akibat tekanan, dan 90 % pasien yang bergerak 20
kali atau lebih sedikit lagi, mengalami kerusakan kulit ( Exton-Smith dan Sherwin,
1961). Risiko mendapatkan ulkus dekubitus tampaknya paling tinggi pada pasien
yang baru saja mengalami imobilisasi. Sekitar 50-92 % lansia menderita ulkus
dekubitus dalam dua minggu pertama masa rawatan (Allman dkk, 1995 ), dan 80 %
ulkus dekubitus berlokasi di sakrum, iskhia, trokhanter mayor, lutut dan maleolus
lateralis.8
Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada lansia
berkisar 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau
jaringan lunak dalam waktu yang lama akan menyebabkan kompresi pembuluh darah
kapiler. Kompresi pembuluh darah dalam waktu yang lama akan menyebabkan
trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan
iskemia kulit. Bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh darah
tidak dapat terbuka dan pada akhirnya akan terbentuk luka akibat tekanan.2
Atrofi kulit juga dapat terjadi sebagai akibat nutrisi yang tidak adekuat. Oleh
sebab itu, dianjurkan agar lansia mengkonsumsi diet bergizi dan berptotein tinggi
seperti daging, telur, susu dan kacang-kacangan untuk tetap menjaga kesehatan kulit.9
6. Pneumonia Hipostatik dan Aspirasi
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada
pasien geriatri. Pada posisi berbaring, otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi
dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan
sputum sulit keluar. Bila kondisi ini dibarengi dengan elastic recoil yang sudah
6

berkurang karena proses menua, maka akan terjadi perubahan pada tekanan penutup
saluran udara kecil, kondisi ini akan memudahkan lansia mengalami atelektasis dan
pneumonia.2
Pada sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini di Jepang, yang
membandingkan karakteristik hospital acquired pneumonia dan nursing-home
acquired pneumonia pada lansia yang mengalami imobilisasi, ditemukan bahwa
bakteri penyebab kedua jenis pneumonia tersebut adalah polimikroba, seperti
Staphylococcus aureus ( termasuk Methicillin-ressistant Staphylococcus aureus ) dan
Pseudomonas aeruginosa.10
Di paru, dapat terjadi tromboemboli vena yang dikenal dengan sebutan emboli
paru. Emboli paru dapat berakibat fatal apabila tidak dicegah atau ditatalaksana secara
optimal.5
7.Inkontinensia urin dan Infeksi Saluran Kemih
Inkontinensia urin juga sering terjadi pada lansia yang mengalami imobilisasi,
umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental dan gangguan sensasi kandung kemih. Pengisian kandung
kemih yang berlebihan akan menyebabkan mengembangnya dinding kandung kemih
yang kemudian akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retensi urin. Retensi
urin ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila dibarengi dengan
hiperkalsiuria akan mengakibatkan terbentuknya batu kalsium di ginjal maupun di
saluran kemih.2
8. Konstipasi
Konstipasi adalah keluhan gastrointestinal utama pada pasien lansia, dengan
lebih dari 60% diantaranya melaporkan pemakaian laksatif. Selain disebabkan
perubahan sehubungan dengan proses menua pada fungsi anorektal (termasuk
peningkatan compliance rektum dan gangguan sensasi di rektum) yang menjadi
predisposisi konstipasi pada lansia, keadaan imobilisasi juga menjadi faktor risiko.
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses
tinggal di usus besar maka absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan
menjadi lebih keras, dan dapat terbentuk skibala. Faktor-faktor lain yang mendukung
timbulnya konstipasi pada pasien imobilisasi adalah asupan cairan yang kurang,
dehidrasi dan penggunaan obat-obatan seperti opioid.2,11
7

9. Gangguan Metabolisme Komponen Status Nutrisi


Imobilisasi akan mempengaruhi metabolisme beberapa zat gizi, vitamin dan
mineral. Pasien lansia yang mengalami imobilisasi akan memiliki kadar natrium
serum dan natrium urin yang lebih rendah, serta perubahan keseimbangan kalsium
negatif. Imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin dan
menurunkan metabolisme protein. Akibatnya akan terjadi hipoproteinemia, edema dan
penurunan berat badan. Hipokinesia sebagai akibat atrofi tulang dan otot akan
mempengaruhi metabolisme lemak, berakibat pada peningkatan kadar kolesterol
serum dam penurunan kadar HDL. Inaktivasi otot akan menyebabkan penurunan
penggunaan insulin otot yang kemudian akan menurunkan sensitivitas insulin dan
meningkatkan sekresi insulin. Toleransi glukosa dan hiperglikemia juga akan terjadi.
Penurunan serum magnesium dan seng akan terjadi sebagai akibat peningkatan
ekskresi kedua mineral tersebut dalam urin dan feses, selain itu juga berhubungan
dengan atrofi tulang dan otot.2 Dalam studi dengan subyek lansia penderita strok dan
hemiplegia yang imobil, diketahui bahwa sintesa 1,25 dihidroksivitamin D di ginjal
dan juga konsentrasinya dalam serum menurun secara signifikan.12
Hiperkalsemia akibat peningkatan kadar kalsium karena adanya peningkatan
resorpsi tulang dapat mengakibatkan nyeri dada, mual, muntah, kelemahan otot,
bahkan dapat menyebabkan henti jantung dan kematian.2
10. Trombosis
Imobilisasi secara langsung menyebabkan stasis vena yang akan menghambat
bersihan dan dilusi faktor koagulasi yang teraktivasi sehingga mudah terjadi emboli.
Tromboemboli vena, khususnya emboli paru, dapat berakibat fatal bila tidak dicegah
atau ditatalaksana secara optimal. Tromboemboli vena bermanifestasi sebagai
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT ) atau emboli paru (pulmonary
embolism, PE).5
Pada sebagian besar kasus, tungkai adalah sumber trombus (klot) yang
menyebabkan emboli ke paru. Trombus sering berasal dari vena-vena di paha;
diperlukan pertumbuhan trombus ke arah betis untuk menghasilkan trombus yang
cukup besar.Tempat yang jarang menjadi sumber emboli paru adalah lengan, pelvis,
atau bilik-bilik kanan jantung, namun kombinasi dari beberapa tempat ini dapat
menjadi penyebab sebagian kecil dari emboli paru.13
8

Tiga faktor yang berpotensi menyebabkan tromboemboli vena adalah (1)


perubahan dalam mekanisme koagulasi darah (hiperkoaguabilitas); (2) kerusakan
dinding pembuluh darah,dan (3) stasis atau stagnasi aliran darah.13
11.Efek Terhadap Sistem Saraf, Emosi dan Fungsi Intelektual
Imobilisasi juga dapat memberikan dampak pada sistem saraf, emosi dan
fungsi intelektual. Masalah yang sering dihadapi adalah keterlambatan identifikasi
perubahan kondisi pada lansia, yang biasanya dikarenakan gejala yang non spesifik.
Perubahan-perubahan yang umumnya terjadi meliputi perasaan tidak enak atau tidak
nyaman, merasa lemah dan tidak berdaya, perubahan fungsi kognitif/delirium,
penurunan nafsu makan/anoreksia. Perubahan status mental yang dapat dilihat adalah
kebingungan, letargi (bangun namun kemudian jatuh tertidur kembali dengan sangat
mudah),agitasi, perubahan pola tidur,apatis ataupun gelisah.3
EVALUASI IMOBILISASI
Pengkajian secara komprehensif diperlukan dalam mengevaluasi pasien yang
mengalami imobilisasi, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status
fungsional, status kognitif dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang agar
dapat mengenali faktor risiko imobilisasi dan komplikasi akibat imobilisasi tersebut.5
PENCEGAHAN KOMPLIKASI
1.Penatalaksanaan Umum

Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan


pramurawat (caregiver).5

Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mncegah ketergantungan
pasien dengan menyarankan pasien melakukan aktivitas sehari-hari sendiri,
semampu pasien.5

Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat


menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan jika memungkinkan.5

Pemberian nutrisi yang adekuat dengan memperhatikan pula asupan cairan


dan makanan yang mengandung serat, serta mempertimbangkan pemberian
suplementasi vitamin dan mineral pada pasien yang mengalami hipokinesia.5

Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien yang mengalami sakit
atau dirawat di rumah sakit atau panti werdha untuk mencegah imobilisasi
lebih lanjut. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan medis
terjadi, meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi
(pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan ), latihan penguatan otot-otot (isotonik,
isometrik, isokinetik), latihan koordinasi / keseimbangan (misalnya berjalan
pada satu garis lurus), transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas.5

Tata laksana faktor risiko imobilisasi ( Tabel 1) dan komplikasi akibat


imobilisasi (Tabel 2). Kenali dan tata laksana infeksi, malnutrisi, anemia,
gangguan cairan dan elektrolit serta kondisi penyakit / penyerta lainnya. 5

2. Penatalaksanaan Khusus

Pencegahan kejadian tromboemboli vena dapat dilakukan dengan dua cara


yaitu: metode mekanik (misalnya memakai stoking elastis /elastic wrapping
yang dililitkan pada ekstremitas dengan gradasi ketat menuju ringan, dari
distal ke proksimal) dan metode farmakologik.5 Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa low dose heparin (LDH) merupakan profilaksis yang
aman dan efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi dan risiko trombosis
non-pembedahan terutama strok. Demikian pula dengan pemberian lowmolecular weight heparin (LMWH) yang diperkirakan lebih efektif
dibandingkan LDH untuk pasien geriatri. Pemberian antikoagulan pada pasien
geriatri dipertimbangkan khususnya pada pasien yang berisiko tinggi
mengalami trombosis, namun harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan
dipantau dengan ketat agar tidak terjadi perdarahan. Selain itu, interaksi obat
terutama antara warfarin dengan beberapa analgetik atau NSAID serta
penurunan faal organ ginjal dan hati merupakan beberapa aspek yang perlu
diperhatikan dengan seksama.2

Cegah kontraktur / deformitas, dengan cara mobilisasi bertahap secepatnya


dan proper positioning, serta dapat digunakan static splinting (pemberian foot
board, ankle foot orthosis) agar sendi pergelangan dipertahankan pada posisi

10

fungsional.

Jika telah terjadi kontraktur atau terdapat keterbatasan gerak

sendi, diperlukan latihan gerak sendi ekstermitas aktif dan pasif disertai slow
stretching minimal 1-2 kali sehari untuk menjaga seluruh rentang gerak sendi.
Untuk mempermudah stretching dapat diberikan ultrasound diatermi pada otot
yang hendak dilatih.5

Range of Motion Exercise atau sering disebut latihan ROM adalah suatu
latihan yang ditujukan untuk mencegak kontraktur dan deformitas. Latihan
ROM dapat dilakukan secara aktif (ketika seseorang,dalam hal ini lansia;
dapat melakukannya sendiri) maupun pasif (dilakukan oleh seorang penolong
untuk lansia imobil tersebut karena ia tidak dapat melakukannya sendiri), dan
ada juga yang disebut active assissted ROM exercise, yaitu latihan yang
dilakukan seorang lansia dan seorang penolong. Latihan ROM ini dilakukan
secara berurutan mulai dari kepala sampai ibu jari kaki, meliputi
menggerakkan kepala, menyentuhkan dagu ke dada, menggerakkan bahu ke
atas dan ke bawah, ke samping, rotasi mencakup rotasi bahu, siku,
pergelangan tangan, tungkai, dan juga gerakan menekuk dan membentangkan
(rotation, bending, spread). Semua gerakan ini harus dilakukan dengan lembut
tanpa dipaksa dan perlahan, tidak boleh sampai menimbulkan rasa sakit.14

Mengubah posisi sesering mungkin, yaitu perubahan posisi setiap 1x2 jam,
merupakan metode utama pencegahan ulkus dekubitus. Jika telah terjadi ulkus
dekubitus, sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh AHPCR,
penatalaksanaan meliputi pendekatan sistemik, penggunaan kasur atau matras
khusus, perawatan luka lokal, pembedahan dan terapi eksperimental.5

Proper positioning adalah posisi yang tepat dan selayaknya diterapkan untuk
menghindari terjadinya ulkus dekubitus dan kontraktur otot, sebagaimana
diilustrasikan di bawah ini : 9

11

Gambar 1: Berbaring
-Sangga
bagian
yang
rawan
terkena/imobil dengan bantal, siku
dan jari-jari harus lurus dengan
telapak tangan menghadap ke atas;
-Tempatkan sebuah bantal di bawah
lutut pada sisi yang rawan
terkena/imobil,jagalah agar lutut
hanya sedikit tertekuk.

Gambar 2 : Posisi Telungkup


-Gerakkan kepala menghadap ke satu
sisi untuk menjaga pernafasan normal;
-Letakkan kedua lengan di setiap sisi
kepala;
-Sangga bahu, dada dan pergelangan
kaki dengan bantal tipis pada posisi
relaks.

Gambar 3 : Posisi Lateral


-Gunakan bantal untuk menjaga
kedua lutut dari kontak langsung satu
sama
lain
untuk
mencegah
deformitas;
-Gunakan bantal untuk menyangga
sisi yang rawan/imobil dengan siku
lurus dan lutut sedikit ditekuk.

Gambar 4 : Duduk
-Duduk tegak dengan punggung
disangga dengan baik;
-Sangga ekstremitas atas dengan
bantal atau meja, tempatkan kaki di
lantai atau istirahatkan kaki dengan
lutut fleksi pada sudut 90 (sudut
kanan).

Sumber : Proper positioning for the prevention of pressure sores and muscle
contracture. Dikutip dari: http: //www.elderlyhealthscience.net

12

Cegah hipotensi ortostatik dengan mobilisasi bertahap secepatnya, diutamakan


agar secepatnya dapat duduk di tempat tidur dengan kaki menggantung ke
bawah sambil digerak-gerakkan, serta evaluasi efek samping obat-obatan yang
dikonsumsi dan status hidrasi pasien. Jika telah terjadi hipotensi ortostatik,
dapat dilakukan latihan rekondisi dengan menggunakan tilting table
conditioning atau dengan menegakkan sandaran tempat tidur secara bertahap.5

Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas


yang adekuat bagi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Bila
diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan
ambulasi serta manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan toilet
yang memfasilitasi penegakan postur.5 Contoh alat-alat bantu tersebut adalah :9

Bantal keras dengan ketebalan kira-kira 5-10 cm

Kasur/matras keras

Kursi roda yang dapat membuat punggung dan leher beristirahat


dewngan relaks.

Pilihan kursi :

-lebar kursi = lebar pelvis + 5 cm


-tinggi kursi = 39-50 cm
-kedalaman kursi = panjang paha lansia-5 cm
-kursi tersebut harus kuat dan menyangga dengan baik.

Gambar 5. Pilihan kursi yang tepat sebagai penyangga yang adekuat


Sumber : Proper positioning for the prevention of pressure sores and muscle
contracture. Dikutip dari: http://www.elderlyhealthscience.net

13

Gambar 6. Kursi roda yang dilengkapi matras udara (air mattress)


Sumber : Proper positioning for the prevention of pressure sores and muscle
contracture. Dikutip dari: http: //www.elderlyhealthscience.net

Untuk mencegah konstipasi, lansia harus mendapatkan asupan cairan (hidrasi)


yang cukup, khususnya lansia yang menggunakan diuretik. Makanan berserat
tinggi (contohnya sayuran,kacang-kacangan, beras, gandum ) sering
bermanfaat. Walaupun beberapa orang pada awalnya mungkin merasakan
perut gembung, namun gejala ini biasanya hilang kemudian. Jika pendekatan
diet tidak dapat mencukupi kebutuhan serat (biasanya dibutuhkan 20 g serat /
hari ), suplementasi serat (misal : metilselulosa, psyllium) akan cukup
membantu. Perubahan perilaku meliputi latihan mobilisasi, diperlukan untuk
menstimulasi defekasi dan membantu memperkuat otot-otot abdomen.
Laksansia biasanya direkomendasikan jika pendekatan diet dan perubahan
perilaku (latihan mobilisasi) tidak berhasil atau tidak efektif. Pemilihan
laksansia didasarkan pada penyebab konstipasi. Bagi sebagian besar penderita
konstipasi kronik, laksansia osmotik terbukti efektif dan berisiko paling kecil.
(misal : laktulosa dan sorbitol 7,5-30 ml/hari). Sedangkan bagi konstipasi akut
atau konstipasi yang diakibatkan obat (khususnya opioid), laksansia stimulan (
termasuk senna dan cascara ) adalah yang terbaik. Dapat dikonsumsi secara
oral ataupun rektal sebagai supositoria (contoh : bisacodyl).10

Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih, input dan output cairan
setiap harinya harus disesuaikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pemasangan
kateter intermiten.3

14

Higiene kulit juga harus dijaga, ada beberapa hal penting yang menjadi
perhatian dalam perawatan kulit bagi lansia: 14

Kebersihan : Jagalah kulit tetap bersih dengan mandi teratur dua


kali sehari, terutama bersihkan daerah-daerah seperti ketiak, bagian
selangkangan/genital dan kaki. Jangan sampai kulit basah oleh
keringat dan urine; hal ini perlu untuk mencegah infeksi jamur.

Rasa gatal dan kulit kering : Seiring dengan proses menua, sekresi
minyak pada kulit menurun, menyebabkan kulit kering dan gatal.
Cara mengatasinya adalah dengan menggunakan krim pelembab
berulang-ulang, khususnya setelah mandi 14.

Begitu juga halnya dengan higiene mulut, contohnya dengan berkumur


menggunakan larutan iodine gargle 2 x sehari, dengan tujuan mencegah
pneumonia aspirasi.3

Chest Physical Therapy adalah suatu terminologi yang ditujukan pada


serangkaian terapi yang bertujuan meningkatkan efisiensi pernafasan,
meningkatkan

ekspansi peru, memperkuat

otot-otot

pernafasan, dan

memgeluarkan sekret dari sistem pernafasan. Chest Physical Therapy meliputi


drainase postural, perkusi dada, vibrasi dada, berbalik, latihan bernafas dalam
dan latihan batuk efektif. Rangkaian terapi tersebut biasanya dilakukan
bersamaan dengan terapi lain seperti suction, nebulizer, dan pemberian
ekspektoran.16,17

Weight Bearing Exercise yang meliputi latihan menahan beban tubuh pada
otot-otot tungkai bawah, bangkit dari kursi atau menaiki tangga, dapat
membentuk kondisi yang baik untuk proses transfer, dan meningkatkan fungsi
fisik (keseimbangan, kemampuan lenggang tubuh/gait, kekuatan tungkai
bawah) untuk menjalani aktivitas sehari-hari.18

KESIMPULAN

15

Imobilisasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri,


yang dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan dan masalah psikologik. Imobilisasi akan mengakibatkan penyakit
dan komplikasi lain yang lebih besar pada lansia bila tidak ditangani dengan baik, di
mana komplikasi-komplikasi ini bersifat sistemik, mulai dari sistem kardiovaskuler
hingga

kejiwaan,

serta

masalah

sosial

dan

lingkungan.

Berbagai

upaya

penatalaksanaan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat


imobilisasi. Penatalaksanaan umum dan khusus, farmakologis maupun non
farmakologis, seperti mobilisasi dini dengan latihan jasmani teratur (Range of Motion
exercise, weight bearing exercise), proper positioning dan penggunaan alat bantu
penyangga postur, chest physical therapy, higiene kulit dan mulut, keseimbangan
hidrasi serta pemberian nutrisi yang adekuat sesuai kondisi klinis pasien dapat
menunjukkan hasil apabila dilakukan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA
16

1. Darmojo BR. Teori Proses Menua. Dalam : Darmojo BR, Martono HH,
editor. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Jakarta : Balai
Penerbitan FK UI; 2006. h.3.
2. Setiati S. Imobilisasi pada Usia Lanjut Pencegahan Terjadinya Komplikasi.
Dalam : Alwi I, dkk, editor. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan
Penyakit Dalam 2002. Jakarta : Balai Penerbitan FK UI; 2002. h.147-53.
3. Zwicker CD. The Elderly Patient at Risk. J Am Geriatr Soc. 2003; 26 (3) ;
137-143.
4. Immobility. Available from : http://www.fascrs.org/ascrspppvt/gltreatment.
html.
5. Laksmi PW. Imobilisasi. Dalam : Setiati S, dkk, editor. Lima Puluh
Masalah Kesehatan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
Penerbitan FK UI; 2008. h. 57-63.
6. DAntona G, et al.The Effect of Ageing and Immobilization on Structure
and function of Human Skeletal Muscle Fibres.Physiol. 2003 ; 552 (2),
pp.499-511.
7. Khola S, Melton J III, Riggs BL. Involutional Osteoporosis. Dalam :
Evans JG, Williams TF, editor. Oxford Textbook of Geriatrics. Edisi ke-2.
Oxford University Press; 2000. h. 1173.
8. Mader SL. Orthostatic Hypotension, Dizziness and Syncope. Dalam :
Duthie EH, Katz PR, editor. Practice of Geriatrics. Edisi ke-3. WB
Saunders Publication; 1998. h. 278.
9. Proper Positioning for the Prevention of Pressure Sores and Muscle
Contracture.

Available

from

http:

//www.elderlyhealthscience.net/carerscor.
10. Yoshihiro K, dkk. A Comparative Study on Hospital-Acquired Pneumonia
and Nursing Home-Acquired Pneumonia in the Elderly. Japanese Journal
of Chest Diseases. 2000 ; 59 (7); 545-52.
11. Prather C, Borum M. Constipation, Diarrhea, and Fecal Incontinence.
Dalam : Merck Manual of Geriatrics. New Jersey : Merck and Co,Inc ;
2001. h.809-11.

17

12. Saoto Y, dkk. Influence of Immobilization of bone mass and bone


metabolism in hemiplegic elderly patients with long standing stroke. J
Neurol Sci. 1998 ; 156 (2) ; 206-10.
13. Shea JM, Martinez CM. Pulmonary Embolism and Deep Venous
Thrombosis. Diunduh dari : http : // www. pcca.org/pedvt.html
14. Passive

Range

of

Motion

Exercise.

Available

from

http : //www.drugs.com/carenotes/passrom.html
15. Skin

Care

for

The

Elderly.

Available

from

http : //www.elderlyhealthscience.net/carerscor
16. Chest Physical Therapy.Available from : http://www. healthatoz.net
17. Celli,BR. Chest Physical Therapy.Available from : http://www.merck.com
18. Littbrand H, dkk. A High-Intensity Functional Weight Bearing Exercise
Program for Older People Dependent in Activities of Daily Living and
Living in Residential Care Facilities : Evaluation of the Apllicability With
Focus on Cognitive Function. Journal of Physical Therapy. 2006; 86 (4) ;
489-98.

18

Anda mungkin juga menyukai