Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

“IMOBILISASI LANSIA”

Disusun oleh
Sekar Galuh R A P1337420121026
Alden Arkaprabaswara P1337420121032
Fidayanti P1337420121049
Maulia firnanda P1337420121081
Elok gemilang P1337420121082

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES KEMENKES SEMARANG
2024

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan di bidang geriatri yang cukup
besar dan harus mendapatkan perhatian yang serius.Bertambah tingginya harapan hidup
dan peningkatan populasi lanjut usia (lansia) akan berdampak pada bertambahnya masalah
kesehatan pada pasien usia lanjut dan atau geriatri. Pada tahun 2030 mendatang, generasi
baby-boom ( mereka yang lahir antara tahun 1946-1964 ) akan mulai mencapai usia 65.
Indonesia sendiri, berdasarkan data USA-Bureau of the Census, diperkirakan akan
mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia, antara tahun 1990-2025,
yaitu sebesar 414 %. Lansia, khususnya yang menderita penyakit kronik ataupun disabilitas,
lebih rentan terhadap efek buruk dari tirah baring berkepanjangan, imobilisasi dan
inaktivitas. Efek imobilisasi tidaklah terbatas pada satu sistem organ dalam tubuh saja,
tetapi menyebabkan berbagai macam komplikasi. Imobilisasi pada lansia sering tidak dapat
dihindari, namun sebagian besar komplikasinya dapat dicegah. Bahkan peningkatan
mobilisasi dini yang relatif sedikit dapat menurunkan insidensi dan keparahan komplikasi,
meningkatkan kualitas hidup lansia, sekaligus mengurangi beban berbagai pihak yang
terlibat dalam perawatan lansia.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengemukakan tinjauan mengenai imobilisasi
pada lansia, komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat kondisi imobilisasi tersebut, serta
bagaimana cara mencegah agar komplikasi itu tidak terjadi.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada asuhan keperawatan lansia dengan imobilisasi
b. Mampu merumuskan diagnosis keperawatan pada asuhan keperawatan lansia
dengan imobilisasi
c. Mampu membuat rencana keperawatan pada asuhan keperawatan lansia dengan
imobilisasi
d. Mampu melakukan implementasi pada asuhan keperawatan lansia dengan
imobilisasi
e. Mampu melakukan evaluasi pada asuhan keperawatan lansia dengan imobilisasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat perubahan
fungsi fisiologik, yang dalam praktik sehari-hari dapat diartikan sebagai tirah baring lebih
dari tiga hari atau ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tempat tidur,
transfer ( perpindahan dari satu posisi ke posisi lain dalam jarak dekat, misalnya transfer
dari duduk ke berdiri kemudian duduk di kursi lain ), atau ambulasi ( bergerak dan berjalan ).
Dalam praktek kedokteran dan rehabilitasi medik, imobilisasi digunakan untuk
menggambarkan sindroma degenerasi fisiologik yang diakibatkan penurunan aktivitas dan
“deconditioning”.

B. Penyebab Imobilisasi
Berbagai faktor fisik, psikologik dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada lansia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologik. Malnutrisi, tidak digunakannya otot, anemia
dan gangguan elektrolit sering menyebabkan rasa lemah. Kekakuan otot terutama
disebabkan osteoartritis, penyakit Parkinson, artritis rematoid, gout dan obat-obatan
antipsikotik seperti haloperidol. Ketidakseimbangan dapat disebabkan kelemahan, faktor
neurologik (strok, kehilangan refleks tubuh, neuropati karena diabetes melitus, malnutrisi
dan gangguan vestibuloserebral), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik,
antihipertensi, neuroleptik dan antidepresan ).
Faktor lingkungan dan psikologik seperti tidak tersedianya alat bantu, kekhawatiran
keluarga yang berlebihan, rasa takut jatuh, demensia dan depresi juga dapat menyebabkan
imobilisasi.

Tabel 1. Penyebab imobilisasi


Gangguan muskuloskeletal Artritis
Osteoporosis
Fraktur ( terutama panggul, femur)
Problem kaki (bunion, kalus)
Lain-lain ( misal : penyakit Paget )
Gangguan Neurologik Strok

3
Penyakit Parkinson
Disfungsi serebelar, neuropati
Penyakit kardiovaskuler Gagal jantung kongestif ( berat )
Penyakit jantung koroner ( nyeri dada
yang sering )
Penyakit vaskuler perifer
(klaudikasio yang sering )
Penyakit paru Penyakit paru obstruktif kronik (berat)
Faktor sensorik Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut jatuh )
Lingkungan Imobilisasi yang dipaksakan
( di rumah sakit / panti werdha )
Nyeri akut atau kronik
Lain-lain Dekondisi (setelah tirah baring lama
pada keadaan sakit akut )
Malnutrisi
Penyakit sistemik berat
(metastase luas pada keganasan )
Efek samping obat
(misalnya kekakuan disebabkan
obat anti psikotik )
Sumber : Laksmi PW. Imobilisasi. Dalam : Setiati S, dkk, editor. Lima Puluh Masalah
Kesehatan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.

C. Komplikasi Imobilisasi
Imobilisasi menimbulkan penyulit yang bersifat sistemik mulai dari sistem
kardiovaskuler hingga kejiwaan, serta masalah sosial dan lingkungan ( tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh Imobilisasi pada berbagai Sistem Organ
Organ/Sistem Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi
Muskuloskletal Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot,
penurunan daya tahan (endurance) otot, atrofi otot, kontraktur,
degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan
intraartikular, berkurangnya volume sendi

4
Kardiopulmonal Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard,
dan pembuluh intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen
darah maksimal (VO2 max), deconditioning jantung, peningkatan
volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru,
pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agregasi
trombosit, dan hiperkoagulasi
Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit
Metabolik dan Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan
endokrin deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa),
dislipidemia, serta penurunan absorbsi dan metabolisme
vitamin/mineral
Neurologi dan Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, ganguan
psikiatri keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi, dan
rekrutmen neuromuskuler yang tidak efisien
Traktus Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan
gastrointestinal batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna
dan urinarius dan distensi kandung kemih, impaksi feses dan konstipasi,
penurunan motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran napas,
dan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal
Sumber : Laksmi PW. Imobilisasi. Dalam : Setiati S, dkk, editor. Lima Puluh Masalah
Kesehatan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.

1. Kelemahan Otot
Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan kekuatan
otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2 persen sehari. Untuk mengetahui
penurunan kekuatan otot juga dapat dilihat ukuran lingkar otot (muscle circumference),
yang biasanya akan menurun sebanyak 2,1-21 %.
Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi sering berhubungan dengan
penurunan fungsional, kelemahan dan jatuh. Faktor-faktor yang menyebabkan atrofi
otot termasuk perubahan biologik akibat proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit
akut dan kronik, serta malnutrisi. Massa otot berkurang setengah dari ukuran semula
setelah mengalami dua bulan imobilisasi.

5
Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan massa otot;
sebagai contoh, imobilisasi dengan posisi telungkup akan mengakibatkan pengurangan
otot yang lebih banyak dibandingkan dengan posisi imobilisasi terlentang ( lurus ).

2. Kontraktur Otot dan Sendi


Berkurangnya gerakan di jaringan lunak periartikuler, tendon, ligamen atau otot
karena keadaan imobilisasi akan menyebabkan kontraktur. Selama imobilisasi, jaringan
pengikat akan meningkatkan jumlah ikatan silang yang menghasilkan penurunan
gerakan di antara jaringan. Massa otot akan memendek karena penurunan
mikrosirkulasi dan berkurangnya stimulasi saraf tropik, sehingga menyebabkan
degenerasi otot dan proliferasi jaringan ikat serta pemendekan serabut otot.
Posisi imobilisasi juga akan mempengaruhi kontraktur. Berbaring lama dalam
posisi tungkai menekuk akan menimbulkan kontraktur atau deformitas muskuloskeletal
sepert drop foot (pergelangan kaki dalam posisi plantar fleksi).

3. Osteoporosis
Berdasarkan standard apa pun, osteoporosis termasuk masalah yang paling
penting yang ditemui dalam praktik klinik geriatri. Setiap orang akan mengalami
pengurangan / kehilangan massa tulang seiring dengan proses menua, yang akan
mengakibatkan peningkatan kerapuhan tulang. Salah satu faktor utama yang
menyebabkan kehilangan massa tulang selama imobilisasi adalah peningkatan resorpsi
tulang. Sebagai konsekuensi lanjutan dari proses osteoporosis ini, fraktur akan lebih
mudah dan sering terjadi pada lansia

4. Hipotensi Postural / Ortostatik


Hipotensi postural atau ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20
mmHg atau diastolik ≥ 10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi duduk atau tegak.5
Gejala dan tandanya adalah berkeringat, pucat, kebingungan, letih, sering disertai
pusing, pandangan menggelap atau berputar, peningkatan denyut jantung. Peningkatan
denyut jantung lebih dari 10 kali/ menit menunjukkan adanya hipotensi postural tipe
simpatis sedangkan denyut jantung kurang dari 10 kali/menit adalah tipe asimpatis.
Pada keadaan berat dapat terjadi iskemia serebral, khususnya sinkop.
Pada posisi berdiri, 600-800 ml darah dialirkan ke bagian inferior tubuh
terutama tungkai. Hal tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20 %,

6
penurunan volume sekuncup jantung sebanyak 35 %, dan percepatan denyut jantung
sebanyak 30 %. Pada orang normal yang sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
peningkatan denyut jantung yang akan mengakibatkan tekanan darah menurun.
Tekanan darah tidak berubah atau sedikit meningkat pada kondisi bangun (dari
berbaring ke duduk) dengan tiba-tiba. Pada lansia umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit tiga minggu akan mengganggu
kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang
sehat, dan hal ini akan lebih terlihat pada lansia

5. Ulkus Dekubitus ( Pressure Ulcers )


Ulkus dekubitus terjadi karena kombinasi faktor ekstrinsik ( mekanik ) dan
intrinsik ( kerentanan ). Setiap lansia memiliki risiko yang berbeda untuk terjadinya
kerusakan kulit, sehingga pendekatan untuk pencegahannya haruslah bersifat
individual. Lebih dari 100 faktor risiko ulkus dekubitus telah diketahui, namun
imobilisasi adalah faktor yang paling utama. Dalam sebuah penelitian, diperoleh bahwa
pasien-pasien rawat inap yang melakukan 50 atau lebih gerakan spontan dalam
semalam tidak mengalami luka akibat tekanan, dan 90 % pasien yang bergerak 20 kali
atau lebih sedikit lagi, mengalami kerusakan kulit ( Exton-Smith dan Sherwin, 1961).
Risiko mendapatkan ulkus dekubitus tampaknya paling tinggi pada pasien yang baru
saja mengalami imobilisasi. Sekitar 50-92 % lansia menderita ulkus dekubitus dalam
dua minggu pertama masa rawatan (Allman dkk, 1995 ), dan 80 % ulkus dekubitus
berlokasi di sakrum, iskhia, trokhanter mayor, lutut dan maleolus lateralis.
Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada lansia
berkisar 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau
jaringan lunak dalam waktu yang lama akan menyebabkan kompresi pembuluh darah
kapiler. Kompresi pembuluh darah dalam waktu yang lama akan menyebabkan
trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen mempertahankan
iskemia kulit. Bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh darah
tidak dapat terbuka dan pada akhirnya akan terbentuk luka akibat tekanan.
Atrofi kulit juga dapat terjadi sebagai akibat nutrisi yang tidak adekuat. Oleh
sebab itu, dianjurkan agar lansia mengkonsumsi diet bergizi dan berptotein tinggi
seperti daging, telur, susu dan kacang-kacangan untuk tetap menjaga kesehatan kulit.

7
6. Pneumonia Hipostatik dan Aspirasi
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien
geriatri. Pada posisi berbaring, otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan
baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar. Bila kondisi ini dibarengi dengan elastic recoil yang sudah berkurang
karena proses menua, maka akan terjadi perubahan pada tekanan penutup saluran udara
kecil, kondisi ini akan memudahkan lansia mengalami atelektasis dan pneumonia.
Pada sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini di Jepang, yang
membandingkan karakteristik hospital acquired pneumonia dan nursing-home
acquired pneumonia pada lansia yang mengalami imobilisasi, ditemukan bahwa bakteri
penyebab kedua jenis pneumonia tersebut adalah polimikroba, seperti Staphylococcus
aureus ( termasuk Methicillin-ressistant Staphylococcus aureus ) dan Pseudomonas
aeruginosa.
Di paru, dapat terjadi tromboemboli vena yang dikenal dengan sebutan emboli
paru. Emboli paru dapat berakibat fatal apabila tidak dicegah atau ditatalaksana secara
optimal.

7. Inkontinensia urin dan Infeksi Saluran Kemih


Inkontinensia urin juga sering terjadi pada lansia yang mengalami imobilisasi,
umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental dan gangguan sensasi kandung kemih. Pengisian kandung
kemih yang berlebihan akan menyebabkan mengembangnya dinding kandung kemih
yang kemudian akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retensi urin. Retensi
urin ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila dibarengi dengan
hiperkalsiuria akan mengakibatkan terbentuknya batu kalsium di ginjal maupun di
saluran kemih.

8. Konstipasi
Konstipasi adalah keluhan gastrointestinal utama pada pasien lansia, dengan
lebih dari 60% diantaranya melaporkan pemakaian laksatif. Selain disebabkan
perubahan sehubungan dengan proses menua pada fungsi anorektal (termasuk
peningkatan compliance rektum dan gangguan sensasi di rektum) yang menjadi
predisposisi konstipasi pada lansia, keadaan imobilisasi juga menjadi faktor risiko.
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses

8
tinggal di usus besar maka absorbsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi
lebih keras, dan dapat terbentuk skibala. Faktor-faktor lain yang mendukung timbulnya
konstipasi pada pasien imobilisasi adalah asupan cairan yang kurang, dehidrasi dan
penggunaan obat-obatan seperti opioid.

9. Gangguan Metabolisme Komponen Status Nutrisi


Imobilisasi akan mempengaruhi metabolisme beberapa zat gizi, vitamin dan
mineral. Pasien lansia yang mengalami imobilisasi akan memiliki kadar natrium serum
dan natrium urin yang lebih rendah, serta perubahan keseimbangan kalsium negatif.
Imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin dan menurunkan
metabolisme protein. Akibatnya akan terjadi hipoproteinemia, edema dan penurunan
berat badan. Hipokinesia sebagai akibat atrofi tulang dan otot akan mempengaruhi
metabolisme lemak, berakibat pada peningkatan kadar kolesterol serum dam penurunan
kadar HDL. Inaktivasi otot akan menyebabkan penurunan penggunaan insulin otot
yang kemudian akan menurunkan sensitivitas insulin dan meningkatkan sekresi insulin.
Toleransi glukosa dan hiperglikemia juga akan terjadi. Penurunan serum magnesium
dan seng akan terjadi sebagai akibat peningkatan ekskresi kedua mineral tersebut dalam
urin dan feses, selain itu juga berhubungan dengan atrofi tulang dan otot.2 Dalam studi
dengan subyek lansia penderita strok dan hemiplegia yang imobil, diketahui bahwa
sintesa 1,25 dihidroksivitamin D di ginjal dan juga konsentrasinya dalam serum
menurun secara signifikan.
Hiperkalsemia akibat peningkatan kadar kalsium karena adanya peningkatan
resorpsi tulang dapat mengakibatkan nyeri dada, mual, muntah, kelemahan otot, bahkan
dapat menyebabkan henti jantung dan kematian.

10. Trombosis
Imobilisasi secara langsung menyebabkan stasis vena yang akan menghambat
bersihan dan dilusi faktor koagulasi yang teraktivasi sehingga mudah terjadi emboli.
Tromboemboli vena, khususnya emboli paru, dapat berakibat fatal bila tidak dicegah
atau ditatalaksana secara optimal. Tromboemboli vena bermanifestasi sebagai
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT ) atau emboli paru (pulmonary
embolism, PE).
Pada sebagian besar kasus, tungkai adalah sumber trombus (klot) yang
menyebabkan emboli ke paru. Trombus sering berasal dari vena-vena di paha;

9
diperlukan pertumbuhan trombus ke arah betis untuk menghasilkan trombus yang
cukup besar.Tempat yang jarang menjadi sumber emboli paru adalah lengan, pelvis,
atau bilik-bilik kanan jantung, namun kombinasi dari beberapa tempat ini dapat
menjadi penyebab sebagian kecil dari emboli paru.
Tiga faktor yang berpotensi menyebabkan tromboemboli vena adalah (1)
perubahan dalam mekanisme koagulasi darah (hiperkoaguabilitas); (2) kerusakan
dinding pembuluh darah,dan (3) stasis atau stagnasi aliran darah.

11. Efek Terhadap Sistem Saraf, Emosi dan Fungsi Intelektual


Imobilisasi juga dapat memberikan dampak pada sistem saraf, emosi dan fungsi
intelektual. Masalah yang sering dihadapi adalah keterlambatan identifikasi perubahan
kondisi pada lansia, yang biasanya dikarenakan gejala yang non spesifik. Perubahan-
perubahan yang umumnya terjadi meliputi perasaan tidak enak atau tidak nyaman,
merasa lemah dan tidak berdaya, perubahan fungsi kognitif/delirium, penurunan nafsu
makan/anoreksia. Perubahan status mental yang dapat dilihat adalah kebingungan,
letargi (bangun namun kemudian jatuh tertidur kembali dengan sangat mudah),agitasi,
perubahan pola tidur,apatis ataupun gelisah

D. Pencegahan Komplikasi
1. Penatalaksanaan Umum
a. Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan
pramurawat (caregiver).
b. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mncegah ketergantungan
pasien dengan menyarankan pasien melakukan aktivitas sehari-hari sendiri,
semampu pasien.
c. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan
jika memungkinkan.
d. Pemberian nutrisi yang adekuat dengan memperhatikan pula asupan cairan dan
makanan yang mengandung serat, serta mempertimbangkan pemberian
suplementasi vitamin dan mineral pada pasien yang mengalami hipokinesia.
e. Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien yang mengalami sakit atau
dirawat di rumah sakit atau panti werdha untuk mencegah imobilisasi lebih lanjut.

10
Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan medis terjadi, meliputi
latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif
dengan bantuan ), latihan penguatan otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik),
latihan koordinasi / keseimbangan (misalnya berjalan pada satu garis lurus), transfer
dengan bantuan, dan ambulasi terbatas.
f. Tata laksana faktor risiko imobilisasi ( Tabel 1) dan komplikasi akibat imobilisasi
(Tabel 2). Kenali dan tata laksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan
elektrolit serta kondisi penyakit / penyerta lainnya.

2. Penatalaksanaan Khusus
a. Pencegahan kejadian tromboemboli vena dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
metode mekanik (misalnya memakai stoking elastis /elastic wrapping yang
dililitkan pada ekstremitas dengan gradasi ketat menuju ringan, dari distal ke
proksimal) dan metode farmakologik.5 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
low dose heparin (LDH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien
geriatri dengan imobilisasi dan risiko trombosis non-pembedahan terutama strok.
Demikian pula dengan pemberian low-molecular weight heparin (LMWH) yang
diperkirakan lebih efektif dibandingkan LDH untuk pasien geriatri. Pemberian
antikoagulan pada pasien geriatri dipertimbangkan khususnya pada pasien yang
berisiko tinggi mengalami trombosis, namun harus dilakukan dengan sangat hati-
hati dan dipantau dengan ketat agar tidak terjadi perdarahan. Selain itu, interaksi
obat terutama antara warfarin dengan beberapa analgetik atau NSAID serta
penurunan faal organ ginjal dan hati merupakan beberapa aspek yang perlu
diperhatikan dengan seksama.
b. Cegah kontraktur / deformitas, dengan cara mobilisasi bertahap secepatnya dan
proper positioning, serta dapat digunakan static splinting (pemberian foot board,
ankle foot orthosis) agar sendi pergelangan dipertahankan pada posisi fungsional.
Jika telah terjadi kontraktur atau terdapat keterbatasan gerak sendi, diperlukan
latihan gerak sendi ekstermitas aktif dan pasif disertai slow stretching minimal 1-2
kali sehari untuk menjaga seluruh rentang gerak sendi. Untuk mempermudah
stretching dapat diberikan ultrasound diatermi pada otot yang hendak dilatih.
c. Range of Motion Exercise atau sering disebut latihan “ROM” adalah suatu latihan
yang ditujukan untuk mencegak kontraktur dan deformitas. Latihan ROM dapat
dilakukan secara aktif (ketika seseorang,dalam hal ini lansia; dapat melakukannya

11
sendiri) maupun pasif (dilakukan oleh seorang penolong untuk lansia imobil
tersebut karena ia tidak dapat melakukannya sendiri), dan ada juga yang disebut
active assissted ROM exercise, yaitu latihan yang dilakukan seorang lansia dan
seorang penolong. Latihan ROM ini dilakukan secara berurutan mulai dari kepala
sampai ibu jari kaki, meliputi menggerakkan kepala, menyentuhkan dagu ke dada,
menggerakkan bahu ke atas dan ke bawah, ke samping, rotasi mencakup rotasi bahu,
siku, pergelangan tangan, tungkai, dan juga gerakan menekuk dan membentangkan
(rotation, bending, spread). Semua gerakan ini harus dilakukan dengan lembut
tanpa dipaksa dan perlahan, tidak boleh sampai menimbulkan rasa sakit.
d. Mengubah posisi sesering mungkin, yaitu perubahan posisi setiap 1x2 jam,
merupakan metode utama pencegahan ulkus dekubitus. Jika telah terjadi ulkus
dekubitus, sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh AHPCR, penatalaksanaan
meliputi pendekatan sistemik, penggunaan kasur atau matras khusus, perawatan
luka lokal, pembedahan dan terapi eksperimental.
e. Proper positioning adalah posisi yang tepat dan selayaknya diterapkan untuk
menghindari terjadinya ulkus dekubitus dan kontraktur otot, sebagaimana
diilustrasikan di bawah ini :
Gambar 1: Berbaring
-Sangga bagian yang rawan
terkena/imobil dengan bantal, siku
dan jari-jari harus lurus dengan
telapak tangan menghadap ke atas;
-Tempatkan sebuah bantal di bawah
lutut pada sisi yang rawan
terkena/imobil,jagalah agar lutut
hanya sedikit tertekuk.

Gambar 2 : Posisi Telungkup


-Gerakkan kepala menghadap ke satu
sisi untuk menjaga pernafasan normal;
-Letakkan kedua lengan di setiap sisi
kepala;
-Sangga bahu, dada dan pergelangan
kaki dengan bantal tipis pada posisi
relaks.

12
Gambar 3 : Posisi Lateral
-Gunakan bantal untuk menjaga kedua
lutut dari kontak langsung satu sama
lain untuk mencegah deformitas;
-Gunakan bantal untuk menyangga
sisi yang rawan/imobil dengan siku
lurus dan lutut sedikit ditekuk.

Gambar 4 : Duduk
-Duduk tegak dengan punggung
disangga dengan baik;
-Sangga ekstremitas atas dengan
bantal atau meja, tempatkan kaki di
lantai atau istirahatkan kaki dengan
lutut fleksi pada sudut 90º (sudut
kanan).

Sumber : Proper positioning for the prevention of pressure sores and muscle
contracture. Dikutip dari: http: //www.elderlyhealthscience.net

f. Cegah hipotensi ortostatik dengan mobilisasi bertahap secepatnya, diutamakan agar


secepatnya dapat duduk di tempat tidur dengan kaki menggantung ke bawah sambil
digerak-gerakkan, serta evaluasi efek samping obat-obatan yang dikonsumsi dan
status hidrasi pasien. Jika telah terjadi hipotensi ortostatik, dapat dilakukan latihan
rekondisi dengan menggunakan tilting table conditioning atau dengan menegakkan
sandaran tempat tidur secara bertahap.
g. Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang
adekuat bagi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Bila diperlukan,
sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi serta
manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan toilet yang memfasilitasi
penegakan postur. Contoh alat-alat bantu tersebut adalah :
1) Bantal keras dengan ketebalan kira-kira 5-10 cm
2) Kasur/matras keras
3) Kursi roda yang dapat membuat punggung dan leher beristirahat dewngan
relaks.

13
4) Pilihan kursi :
a) lebar kursi = lebar pelvis + 5 cm
b) tinggi kursi = 39-50 cm
c) kedalaman kursi = panjang paha lansia-5 cm
d) kursi tersebut harus kuat dan menyangga dengan baik.

Gambar 5. Pilihan kursi yang tepat sebagai penyangga yang adekuat


Sumber : Proper positioning for the prevention of pressure sores and muscle
contracture. Dikutip dari: http://www.elderlyhealthscience.net

Gambar 6. Kursi roda yang dilengkapi matras udara (air mattress)


Sumber : Proper positioning for the prevention of pressure sores and muscle
contracture. Dikutip dari: http: //www.elderlyhealthscience.net

h. Untuk mencegah konstipasi, lansia harus mendapatkan asupan cairan (hidrasi) yang
cukup, khususnya lansia yang menggunakan diuretik. Makanan berserat tinggi
(contohnya sayuran,kacang-kacangan, beras, gandum ) sering bermanfaat.
Walaupun beberapa orang pada awalnya mungkin merasakan perut gembung,
namun gejala ini biasanya hilang kemudian. Jika pendekatan diet tidak dapat

14
mencukupi kebutuhan serat (biasanya dibutuhkan 20 g serat / hari ), suplementasi
serat (misal : metilselulosa, psyllium) akan cukup membantu. Perubahan perilaku
meliputi latihan mobilisasi, diperlukan untuk menstimulasi defekasi dan membantu
memperkuat otot-otot abdomen. Laksansia biasanya direkomendasikan jika
pendekatan diet dan perubahan perilaku (latihan mobilisasi) tidak berhasil atau tidak
efektif. Pemilihan laksansia didasarkan pada penyebab konstipasi. Bagi sebagian
besar penderita konstipasi kronik, laksansia osmotik terbukti efektif dan berisiko
paling kecil.(misal : laktulosa dan sorbitol 7,5-30 ml/hari). Sedangkan bagi
konstipasi akut atau konstipasi yang diakibatkan obat (khususnya opioid), laksansia
stimulan ( termasuk senna dan cascara ) adalah yang terbaik. Dapat dikonsumsi
secara oral ataupun rektal sebagai supositoria (contoh : bisacodyl).
i. Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih, input dan output cairan setiap
harinya harus disesuaikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pemasangan kateter
intermiten.
j. Higiene kulit juga harus dijaga, ada beberapa hal penting yang menjadi perhatian
dalam perawatan kulit bagi lansia:
1) Kebersihan : Jagalah kulit tetap bersih dengan mandi teratur dua kali sehari,
terutama bersihkan daerah-daerah seperti ketiak, bagian selangkangan/genital dan
kaki. Jangan sampai kulit basah oleh keringat dan urine; hal ini perlu untuk
mencegah infeksi jamur.
2) Rasa gatal dan kulit kering : Seiring dengan proses menua, sekresi minyak pada
kulit menurun, menyebabkan kulit kering dan gatal. Cara mengatasinya adalah
dengan menggunakan krim pelembab berulang-ulang, khususnya setelah mandi 14.
k. Begitu juga halnya dengan higiene mulut, contohnya dengan berkumur
menggunakan larutan iodine gargle 2 x sehari, dengan tujuan mencegah pneumonia
aspirasi.
1) Chest Physical Therapy adalah suatu terminologi yang ditujukan pada
serangkaian terapi yang bertujuan meningkatkan efisiensi pernafasan,
meningkatkan ekspansi peru, memperkuat otot-otot pernafasan, dan
memgeluarkan sekret dari sistem pernafasan. Chest Physical Therapy meliputi
drainase postural, perkusi dada, vibrasi dada, berbalik, latihan bernafas dalam
dan latihan batuk efektif. Rangkaian terapi tersebut biasanya dilakukan
bersamaan dengan terapi lain seperti suction, nebulizer, dan pemberian
ekspektoran.

15
2) Weight Bearing Exercise yang meliputi latihan menahan beban tubuh pada
otot-otot tungkai bawah, bangkit dari kursi atau menaiki tangga, dapat
membentuk kondisi yang baik untuk proses transfer, dan meningkatkan fungsi
fisik (keseimbangan, kemampuan lenggang tubuh/gait, kekuatan tungkai
bawah) untuk menjalani aktivitas sehari-hari.

E. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala : nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk dengan stres pada sendi,
kekakuan pada pagi hari, biasanya terjadi bilateral dan simetris. Limitasi fungsional
yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan, keletihan.
Tanda: Malaise, keterbatasan rentang gerak, atrofi otot, kulit, kontraktor/kelainan
pada sendi.
b. Kardiovaskular
Gejala: Fenomena Raynaud jari tangan/kaki (misalnya pucat intermitten, sianosis,
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal.
c. Integritas Ego
Gejala : Faktor-faktor stres akut/kronis, misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, faktor-faktor hubungan, keputusan dan ketidakberdayaan (situasi
ketidakmampuan), ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi
(misalnya ketergantungan pada orang lain).
d. Makanan/Cairan
Gejala : Ketidakmampuan untuk menghasilkan/mengkonsumsi makanan/cairan
adekuat seperti mual, anoreksia, kesulitan untuk mengunyah.
Tanda : Penurunan berat badan, kekeringan pada membran mukosa.
e. Hygiene
Gejala : Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi,
ketergantungan.
f. Neurosensori
Gejala : Kebas, semutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
Tanda : Pembengkakan sendi simetris.

16
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Fase akut dari nyeri (mungkin tidak disertai oleh pembengkakan jaringan
lunak pada sendi).
h. Keamanan
Gejala : Kulit mengkilat, tegang, nodul subkutan, lesi kulit, ulkus kaki. Kesulitan
ringan dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga. Demam ringan
menetap, kekeringan pada mata dan membran mukosa.
i. Interaksi Sosial
Gejala : Kerusakan interaksi sosial dengan keluarga/orang lain, perubahan peran,
isolasi.
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan destruksi sendi.
Kriteria hasil:
- Menunjukkan nyeri hilang/terkontrol
- Terlihat rileks, dapat tidur/beristirahat dan berpartisipasi dalam aktivitas sesuai
kemampuan.
- Mengikuti program farmakologis yang diresepkan.
- Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program
kontrol nyeri.
Intervensi dan rasional:
- Kaji nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0-10). Catat faktor-faktor yang
mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal.
Rasional : Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan
keefektifan program.
- Berikan matras/kasur keras, bantal kecil. Tinggikan linen tempat tidur sesuai
kebutuhan.
Rasional : Matras yang lembut/empuk, bantal yang besar akan mencegah
pemeliharaan kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan stress pada sendi yang
sakit. Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang
terinflamasi/nyeri.
- Libatkan dalam aktivitas hiburan yang sesuai untuk situasi individu.
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, memberikan stimulasi, dan
meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan sehat.
- Kolaborasi pemberikan obat-obatan sesuai petunjuk.

17
Rasional : Sebagai anti inflamasi dan efek analgesik ringan dalam mengurangi
kekakuan dan meningkatkan mobilitas.
- Berikan es kompres dingin jika dibutuhkan.
Rasional : rasa dingin dapat menghilangkan nyeri dan bengkak selama periode
akut.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
Kriteria hasil :
- Mempertahankan fungsi posisi dengan tidak hadirnya/pembatasan kontraktur.
- Mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan dan fungsi dari dan/atau
konpensasi bagian tubuh.
- Mendemonstrasikan tehnik/ perilaku yang memungkinkan melakukan aktivitas.
Intervensi dan Rasional:
- Pertahankan istirahat tirah baring/duduk jika diperlukan jadwal aktivitas untuk
memberikan periode istirahat yang terus menerus dan tidur malam hari yang
tidak terganggu.
Rasional : Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi akut dan seluruh fase
penyakit yang pentin untuk mencegah kelelahan mempertahankan kekuatan.
- Bantu dengan rentang gerak aktif/pasif.
Rasional : Mempertahankan/meningkatkan fungsi sendi, kekuatan otot dan
stamina umum.
- Dorong pasien mempertahankan postur tegak dan duduk tinggi, berdiri, dan
berjalan.
Rasional : Memaksimalkan fungsi sendi dan mempertahankan mobilitas.
- Berikan lingkungan yang aman, misalnya menaikkan kursi, menggunakan
pegangan tangga pada toilet, penggunaan kursi roda.
Rasional : Menghindari cidera akibat kecelakaan/jatuh.
- Kolaborasi : konsul dengan fisoterapi.
Rasional : Berguna dalam memformulasikan program latihan/aktivitas yang
berdasarkan pada kebutuha individual dan dalam mengidentifikasikan alat.
c. Kurang perawatan diri berhubungan dengan nyeri pada waktu bergerak.
Kriteria hasil :
- Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan
kemampuan individual.

18
- Mendemonstrasikan perubahan teknik/gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri.
- Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi/komunitas yang dapat memenuhi
kebutuhan perawatan diri.
Intervensi dan rasional :
- Diskusikan tingkat fungsi umum (0-4) sebelum timbul awitan/eksaserbasi
penyakit dan potensial perubahan yang sekarang diantisipasi.
Rasional : Mungkin dapat melanjutkan aktivitas umum dengan melakukan
adaptasi yang diperlukan pada keterbatasan saat ini.
- Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan.
Rasional : Mendukung kemandirian fisik/emosional.
- Kaji hambatan terhadap partisipasi dalam perawatan diri. Ientifikasi/rencana
untuk modifikasi lingkungan.
Rasional : Menyiapkan untuk meningkatkan kemandirian yang akan
meningkatkan harga diri.
- Kolaborasi : Konsul dengan ahli terapi okupasi.
Rasional : Berguna untuk menentukan alat bantu untuk memenuhi kebutuhan
individual. Misalnga memasang kancing, menggunakan alat bantu memakai
sepatu, menggantungkan pegangan untuk mandi.

19
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Imobilisasi merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri, yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal terutama rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan dan masalah psikologik. Imobilisasi akan mengakibatkan penyakit dan
komplikasi lain yang lebih besar pada lansia bila tidak ditangani dengan baik, di mana
komplikasi-komplikasi ini bersifat sistemik, mulai dari sistem kardiovaskuler hingga
kejiwaan, serta masalah sosial dan lingkungan. Berbagai upaya penatalaksanaan dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat imobilisasi. Penatalaksanaan
umum dan khusus, farmakologis maupun non farmakologis, seperti mobilisasi dini dengan
latihan jasmani teratur (Range of Motion exercise, weight bearing exercise), proper
positioning dan penggunaan alat bantu penyangga postur, chest physical therapy, higiene
kulit dan mulut, keseimbangan hidrasi serta pemberian nutrisi yang adekuat sesuai kondisi
klinis pasien dapat menunjukkan hasil apabila dilakukan secara optimal.

B. Saran
Pada kesempatan ini kelompok akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan
masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan
yang akan datang, diantaranya :
1. Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat mengetahui atau mengerti tentang
rencana keperawatan pada pasien dengan gangguan mobilisasi, pendokumentasian
harus jelas dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan klien dan keluarga.
2. Dalam rangka mengatasi masalah resiko injuri pada klien dengan gangguan mobilisasi
maka tugas perawat yang utama adalah sering mengobservasi akan kebutuhan klien
yang mengalami gangguan mobilisasi.
3. Untuk perawat diharapkan mampu menciptakan hubungan yang harmonis dengan
keluarga sehingga keluarga diharapkan mampu membantu dan memotivasi klien dalam
proses penyembuhan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo BR. Teori Proses Menua. Dalam : Darmojo BR, Martono HH, editor. Buku Ajar
Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Jakarta : Balai Penerbitan FK UI; 2006. h.3.
Zwicker CD. The Elderly Patient at Risk. J Am Geriatr Soc. 2003; 26 (3) ; 137-143.
Immobility. Available from : http://www.fascrs.org/ascrspppvt/gltreatment.html
Laksmi PW. Imobilisasi. Dalam : Setiati S, dkk, editor. Lima Puluh Masalah Kesehatan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbitan FK UI; 2008. h. 57-63.
Shea JM, Martinez CM. Pulmonary Embolism and Deep Venous Thrombosis. Diunduh dari :
http://www.pcca.org/pedvt.html
Doenges, Marlynn E. (2000) Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta
Nugroho, Wahyudi. (1996) Perawatan Lanjut Usia. Penerbit Buku Kedokteran. EGC : Jakarta
Stanley, Mickey, dkk. (2006) Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC : Jakarta

21

Anda mungkin juga menyukai