Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SINDROM GERIATRI GANGGUAN KESEIMBANGAN

Dosen pembimbing

Ns. Sofia Rhosma Dewi, S. Kep., M.Kep

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Tugas


di Stase Keperawatan Gerontik

Oleh :

Nevi Lia Elvi Andhy, S. Kep


2201031043

PROOGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN KESEIMBANGAN

A. Definisi
Gangguan keseimbangan adalah keadaan yang terjadi pada saat seseorang merasa
tidak stabil. Proses menua menyebabkan terjadi perubahan komponen keseimbangan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan (Noohu et al,
2014).
Pada lansia terjadi perubahan fisiologis pada sistem vestibular, sematosensoris,
visual, dan muskuloskeletal karena terjadi gangguan keseimbangan pada lansia.
Dalam menjaga kontrol postur keempat kompenen tersebut sangan berperan penting
dalam tubuh. Fungsi dari kontrol postur adalah untuk menjaga tubuh agar tidak
mudah jatu saat beraktivitas atau bergerak (Darmojo, 2011).

B. Etiologi
Soto – Varela et al (2016) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi
keseimbangan yaitu adanya gangguan pada sistem saraf pusat, gangguan pada sistem
sensorik, dan gangguan pada sistem muskuloskeletal. Fungsi dari sistem saraf pusat
adalah memodifikasi sistem sensorik dan motorik agar dapat mempertahankan
stabilitas dengan kondisi yang berubah-rubah, sedangkan sistem sensorik menerima
infomasi mengenai posisi tubuh terhadap gravitasi dan lingkungan. Gangguan sistem
sematosensoris, visual, dan vesitibular merupaka gangguan pada sistem sensorik.
Beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya jatuh adalah sebagai berikut:
a. Faktor risiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas
badan ditentukan atau dibentuk oleh:
1) Sistem sensorik, yang berperan di dalamnya adalah: visus, pendengaran, fungsi
vestibuler, dan proprioseptif. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lanjut usia,
diduga karena perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati
perifer dan penyakit degeneratif leher dapat menganggu fungsi proprioseptif.
2) Sistem saraf pusat (SSP), SSP akan memberikan respon motorik untuk
mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson,
hidrosefalus dengan tekanan normal, yang diderita oleh lanjut usia akan
menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap
input sensorik.
3) Kognitif, pada beberapa penelitian demensia diasosiasikan dengan
meningkatnya risiko jatuh.
4) Muskuloskeletal, faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor
yang spesifik milik lanjut usia, dan berperan besar terhadap terjadinya jatuh.
Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi
akibat proses menua tersebut antara lain di sebabkan oleh:
a) Kekakuan jaringan penghubung.
b) Berkurangnya massa otot.
c) Perlambatan konduksi saraf.
d) Penurunan visus/lapang padang.
e) Kerusakan proprioseptif.
b. Faktor penyebab
1) Faktor intrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel – variabel yang menentukan mengapa
seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi yang
sama mungkin tidak jatuh (Gardner, 2000). Faktor intrinsik tersebut antara lain
adalah gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan gangguan gaya
berjalan, kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope yaitu
kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh berkurangnya
aliran darah ke otak dengan gejala lemah, penglihatan gelap, keringat dingin,
pucat dan pusing. Faktor ini terjadi akibat faktor resiko yang dialami lansia
sendiri dan tidak ada pengaruh atau paparan dari luar.
2) Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya)
diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung
benda – benda. Faktor – faktor tersebut antara lain lingkungan yang tidak
mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin,
tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak di bawah,
tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang diminum
dan alat-alat bantu berjalan yang kurang memadai sehingga menyebabkan
terjatuh (Darmojo, 2009).
3) Faktor situasional
a) Aktifitas fisik
Aktivitas fisik dapat terjadi dalam kehidupan sehari – hari, seperti berjalan,
naik atau turun tangga, melakukan hobi, rekreasi dan olahraga. Kategori
aktivitas fisik dapat dibagi berdasarkan tiper, frekuensi, durasi dan
intensitas.
b) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit kronis yang diderita lansia selama bertahun – tahun
biasanya menjadikan lansia lebih mudah jatuh seperti penyakit stroke,
hipertensi, hilang fungsi penglihatan, dan sinkop yang sering menyebabkan
jatuh (Darmojo, 2014).

C. Patofisiologi
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor
di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem
saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada system muskuloskeletal. Informasi
mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem
sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen
motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang
berubah-rubah. Gangguan pada system sensorik meliputi gangguan pada sistem
visual, vestibular, dan somatosensoris. Lansia juga mengalami penurunan dalam
kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol
neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem
muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya
atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah,
sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih
lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada
kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang
percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan
tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut.
Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan
motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla
spinalis, otak, dan serebelum. Oleh karena itu, penurunan fungsi setiap sistem pada
lansia akan menyebabkan penurunan pada keseimbangan.
D. WOC
Proses Menua

Perubahan fungsi anatomi


Perubahan Biologis Perubahan psikologis

Degenerasi system pyramid agen


Penurunan aktivitas cedera neuron di SSP Psikologis tidak stabil

Penurunan sel sel & fungsi otot Keadaan emosi mudah


Tremor otot berubah ubah
Gangguan system muskuloskeletal
Nyeri sendri kontraktur
Bertambahnya usia
yang semakin tua
Tendon mengalami sklerosis
Nyeri Kronis

Hentakan tendon berkurang Ansietas

Refleks berkurang dan lambat


Atrofi dan penurunan
jumlah serabut otot
Resiko Jatuh

Penurunan massa otot dan Kesukaran makan,


kekuatan pergerakan secara berdandan, toileting,
keseluruhan mandi

Kelemahan secara umum Defisit Perawatan Diri

Hambatan Mobilitas
Fisik
E. Manifestasi Klinis
Akibat dari gangguan keseimbangan adalah jatuh dan sering mengarah pada
injuri, kecacatan, kehilangan kemandirian dan kurangnya kualitas hidup (Nevid,et
al,1989). Jatuh merupakan kejadian yang tidak disengaja sebagai konsekuensi dalam
mempertahankan pukulan yang keras, kurangnya kesadaran, serangan paralisis yang
tiba-tiba pada struk atau serangan epilepsy (Kelong International Working Grup,1987
dalam Lord,et al,2007).
Jatuh mengakibatkan akibat keterbatasan fisik,mengurangi kapasitas untuk
melaksanakan aktivitas sehari- hari, kegagalan sistem pernapasan dan muskuloseletal,
kerusakan fisik, fraktur pada panggul radius, ulna, humerus, kaki, leher, injuri seperti
luka memar, lecet dan terkilir, subdural hematoma, hospitalisasi, peningkatan biaya
perawatan dan bahkan mortalitas (Johston,2001;Lord et al,2007). Resiko kejadian
jatuh dapat dikurangi dengan cara meningkatkan keseimbangan (Shing,2000)

E. Pengukuran Keseimbangan
Kemampuan keseimbangan dapat menggunakan Time Up and Go Test. Time Up
and Go Test digunakkan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam
mempertahankan keseimbangannya saat posisi dinamis dan untuk mengetahui risiko
jatuh. Time Up and Go Test adalah pemeriksaan yang sangat komplek dan juga
melibatkan kemampuan kognitifnya (Herma et al, 2011).
Cara pengukurannya responden diminta untuk duduk bersandar dikursi, tetapi
sebelum respondeng diukur keseimbangannya, peneliti diminta untuk mencontohkan
terlebih dahulu kepada responden untuk menghindari kesalahan yang terjadi. Saat
peneliti mengatakan “mulai” maka respon diminta berdiri dari kursi, kemudian
berjalan sejauh 3 meter, lalu pasien diminta untuk berbalik ke posisi semula dan
duduk kembali. Sebelum melakukan pengukuran juga peneliti harus memberikan
batasan agar responden tahu watunya berbalik. Waktu dihitung dari saat peneliti
mengatakan “mulai” sampai responden duduk kembali. Normalnya pada lansia rata –
rata waktu tempuh dibutuhkan 8,5 detik.
Jacob dan Fox (2008) menyatakan jika skor < 14 detik dikatakan normal, dan
jika skor ≥ 14 detik dikatakan tidak normal atau mengalami gangguan keseimbangan
yang dapat menyebabkan risiko jatuh.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk tiap kasus karena
perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan
penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, lebih sederhana, dan langsung
bisa menghilangkan penyebab jatuh secara efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh
karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga diperlukan terapi gabungan antara
obat, rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lanjut usia itu. Pada
kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya
pembatasan bepergian/aktivitas fisik, penggunaan alat bantu gerak. Untuk penderita
dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan fungsional terapi
difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot sehingga memperbaiki
fungsionalnya. Sering terjadi kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat
sewaktu penderita mengalami jatuh. Padahal terapi ini diperlukan secara terus-
menerus sampai terjadi peningkatan kekuatan otot dan status fungsional.
Terapi untuk penderita dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan
untuk mengatasi penyebab/faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam
program gait training dan pemberian alat bantu berjalan. Biasanya progam rehabilitasi
ini dipimpin oleh fisioterapis. Penderita dengan dizziness syndrom, terapi ditujukan
pada penyakit kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat-obat yang
menyebabkan hipotensi postural seperti beta bloker, diuretic dan antidepresan. Terapi
yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah/tempat kegiatan
lanjut usia seperti tersebut di pencegahan jatuh (Darmojo, 2009).

H. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama, jenis kelamin, alamat, agama dan pendidikan
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
1) Sumber kecelakaan: penyebab dari sumber masalah
2) Gambaran yang mendalam bagai mana resiko jatuh itu terjadi: pasien
dapat menceritakan bagaimana ia dapat mengalami jatuh tersebut
3) Faktor yang mungkin berpengaruh seperti alcohol, obat-obatan
4) Keadaan fisik disekitar
5) Peristiwa yang terjadi saat belum terjatuh sampai terjadinya jatuh
6) Beberapa keadaan lain yang memperbeat berjalan
b. Riwayat penyakit dahulu
Penting untuk menentukan apakah pasien mempunyai penyakit yang
merubah kemampuan gaya berjalan yang menyebabkan resiko jatuh pada
kelien rematoid atritis
c. Riwayat jatuh
1) Seputar jatuh: mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung,
berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang
makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin.
2) Gejala yang menyertai: nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba,
vertigo, pingsan, lemas, sesak nafas.
3) Kondisi komorbid yang releven: pernah stroke, penyakit jantung, sering
kejang, rematik, depresi, deficit sensorik.
4) Riview obat-obatan yang diminum: antihipertensi, diuretic, autonomic
bloker, antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik
3. Pemeriksaan fisik
a. Tanda Vital:
Nadi, Tekanan darah, respirasi, suhu badan akan menjadi data penunjang lain
terkait dari penyebab jatuh ataupun dampak dari jatuh yang terjadi.
b. Kepala dan leher:
Penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus, gerakan yang
menginduksi ketidakseimbangan.
c. Jantung :
Aritmia dan kelainan katup
d. Neurologi:
Perubahan status mental, defisit lokal, neuropati perifer, kelemahan otot dan
tremor.
e. Muskuloskeletal:
Perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki, dan deformitas
f. Pengkajian Nutrisi:
Berat badan, tinggi badan, berat badan ideal, LILA, BMI
g. Pengkajian Fungsi Keseimbangan:
Keseimbangan normal, berisiko tinggi jatuh, membutuhkan bantuan untuk
ADL
h. Pengkajian Status Fungsional:
ADL: Ketergantuangan total, penuh, moderat ringan.
IADL
i. Pengkajian Fungsi Kognitif
MMSE : normal, gangguan kognitif berat, sedang ,ringan.
SPMQ : fungsi intelektual utuh, intelektual ringan, sedang dan berat.
j. Pengkajian Psikologis:
Normal, depresi berat, depresi ringan.
k. Pengkajian Spiritual

I. Prioritas Diagnosis
Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien rheumatoid arthritis yaitu
gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot ditandai
dengan mengeluh susah menggerakkan ekstremitas, rentang gerak menurun (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
1. Nyeri akut
2. Risiko jatuh
3. Gangguan mobilitas fisik

J. Perencanaan keperawatan
Diagnosa : Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan sistem musculoskeletal
Tujuan : Nyeri kronis klien dapat berkurang setelah diberi asuhan keperawatan selama
5x kunjungan
a. Kriteria Hasil :
1) Skala nyeri 1- 4
2) TUG 18 detik
3) Ekspresi wajah rileks
4) Intensitas nyeri berkurang
5) Tidak terdapat nyeri tekan
6) Klien mengungkapkan secara verbal penurunan nyeri yang dirasakan
7) Nyeri dapat terkontrolIntervensi
b. Intervensi
1) Ajarkan senam lansia khususnya pada daerah lutut
2) Ajarkan teknik distraksi relaksasi
3) Anjurkan kompres hangat/dingin pada daerah yang nyeri
4) Ajarkan terapi pijat pada daerah nyeri
5) Anjurkan klien untuk menghindari stress
6) Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri
7) Tingkatkan tidur maupun istirahat yang cukup

Diagnosa : Risiko jatuh berhubungan dengan lingkungan tidak aman

Tujuan : Klien tidak beresiko jatuh setelah diberikan asuhan keperawatan selama 5x
kunjungan
a. Kriteria Hasil :
1) Keamanan lingkungan rumah memadai (lantai kasat air, pencahayaan terang)
2) Morse fall scale <40
3) Langkah kaki dan kemampuan keseimbangan terkoordinasi
4) Tidak ada kejadian jatuh
5) Klien memahami alas kaki yang tepat
6) TTV dalam batas normal (sistole 110-140mmHg, diastole 80-90mmHg)
7) Dapat berjalan tanpa berpegangan
b. Intervensi
1) Anjurkan modifikasi ruangan pada klien dan keluarga untuk mengurangi resiko
jatuh
2) Hitung resiko jatuh menggunakan morse fall scale
3) Anjurkan lantai selalu kasat air dan pencahayaan selalu terang
4) Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin
5) Anjurkan menempatkan barang-barang yang mudah dijangkau
6) Ajarkan selalu berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan tubuh saat berjalan
7) Ajarkan melebarkan jarak kedua kaki untuk meningkatkan keseimbangan saat
berdiri

K. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari rencana asuhan keperawatan dengan
melakukan identifikasi sejauh mana pencapaian tujuan dari asuhan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat. Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena
kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan
harus diakhiri, dilanjutkan, atau diubah. Evaluasi berjalan kontinu, evaluasi yang
dilakukan ketika atau segera setelah mengimplementasikan program keperawatan
memungkinkan perawat segera memodifikasi intervensi (Kozier et al., 2010).Dalam
melakukan evaluasi perawat menggunakan format SOAP yang meliputi:
1. S: Data Subyektif
Merupakan keluhan yang masih dirasakan oleh pasien setelah dilakukan tindakan
keperawatan
2. O: Data Obyektif
Merupakan hasil pengamatan perawat secara langsung kepada pasien
3. A:Analisis
Merupakan masalah keperawatan yang masih terjadi pada pasien atau masalah
baru akibat perubahan status kesehatan pasien
4. P:Planning
Merupakan rencana keperawatan yang akan dilanjutkan, dimodifikasi, ditambah
atau dihentikan dari rencana yang ditentukan sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Kozier, et al. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik Edisi
7. Jakarta: EGC
Widuri, Hesti. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Lanjut Usia Ditatanan Klinik. Yogyakata:
Penerbit Fitramaya
Potter, & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan
Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC
BBPK ( Balai Besar Pelatihan Kesehatan). (2017). Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan
Gangguan Keseimbangan dan Resiko Jatuh. Rabu, 19 Juli.
Fauziah, R. N., Setiawan, & Widyawati. (2019). Intervensi Perawat Dalam Penatalaksanaan
Resiko Jatuh Pada Lansia di Satuan Pelayanan RSLUGarut. Jurnal KeperawatanBSI, Vol.
7No. 2September 2019.

Anda mungkin juga menyukai