Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK


DIRUANGAN MAWAR
RSUD RAA. SOEWONDO PATI

Disusun guna memenuhi tugas Program Profesi Ners


Stase Keperawatan Keperawatan Dasar

Disusun Oleh :

Puput Puji Rahayu


NIM : 82021040069

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN GANGGUAN MOBILITAS FISIK

A. Konsep Gangguan Mobilitas Fisik


Pengertian Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau
lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan mobilitas fisik
atau immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).
Ada lagi yang menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik merupakan suatu kondisi yang
relatif dimana individu tidak hanya mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya
kehilangan tetapi juga kemampuan geraknya secara total (Ernawati, 2012).
Kemudian, Widuri (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik atau imobilitas
merupakan keadaan dimana kondisi yang mengganggu pergerakannya, seperti trauma tulang belakang,
cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya. Tidak hanya itu, imobilitas atau
gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh baik satu maupun lebih ekstremitas secara mandiri
dan terarah (Nurarif A.H & Kusuma H, 2015).

B. Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas
fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik,
penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan,
kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, indeks masa
tubuh di atas persentil ke-75 usia, efek agen farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri, kurang
terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan
pergerakan, dan gangguan sensoripersepsi. NANDA-I (2018) juga berpendapat mengenai etiologi
gangguan mobilitas fisik, yaitu intoleransi aktivitas, kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat,
penurunan ketahanan tubuh, depresi, disuse, kurang dukungan lingkungan, fisik tidak bugar, serta gaya
hidup kurang gerak. Pendapat lain menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam Setiati, Alwi,
Sudoyo, Stiyohadi, dan Syam, 2014) mengenai penyebab gangguan mobilitas fisik adalah adanya rasa
nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis, kelainan postur, gangguan
perkembangan otot, kerusakan sistem saraf pusat, atau trauma langsuung dari sistem muskuloskeletal dan
neuromuskular.
C. Patofisiologi
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan saraf sangat
mempengaruhi mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena adanya kemampuan otot
berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem pengungkit. Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu
isotonik dan isometrik. Peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek pada kontraksi
isotonik. Selanjutnya, pada kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot
tetapi tidak terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk
latihan kuadrisep.
Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksiisotonik dan kontraksi
isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya peningkatan energi, seperti peningkatan kecepatan
pernapasan, fluktuasi irama jantung, dan tekanan darah yang dikarenakan pada latihan isometrik
pemakaian energi meningkat. Hal ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit
seperti infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian dan suasana hati seseorang
digambarkan melalui postur dan gerakan otot yang tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan
otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan kelompok otot tergantung tonus otot dan aktivitas dari otot
yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot sendiri merupakan suatu
keadaan tegangan otot yang seimbang. Kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot
dapat mempertahankan ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot menjadi
berkurang.
Rangka pendukung tubuh yang terdiri dari 12 empat tipe tulang, seperti panjang, pendek,
pipih, dan irreguler disebut skeletal. Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi 13 organ
vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah
(Potter dan Perry, 2012).
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon fisiologis pada sistem otot rangka.
Respon fisiologis tersebut berupa gangguan mobilisasi permanen yang menjadikan keterbatasan
mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan otot sebagai akibat dari penurunan
masa otot, atrofi dan stabilitas. Pengaruh otot akibat pemecahan protein akan mengalami kehilangan
masa tubuh yang terbentuk oleh sebagian otot.
Oleh karena itu, penurunan masa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Selain itu, juga terjadi gangguan pada metabolisme kalsium dan mobilisasi
sendi. Jika kondisi otot tidak dipergunakan atau karena pembebanan yang kurang, maka akan terjadi
atrofi otot. Otot yang tidak mendapatkan pembebanan akan meningkatkan produksi Cu, Zn.
Superoksida Dismutase yang menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya catalase,
glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida dismutase, yaitu sistem yang akan
memetabolisme kelebihan ROS.
ROS menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya ekspresi myosin, dan
peningkatan espresi komponen jalur ubiquitine proteolitik proteosome. Jika otot tidak digunakan
selama beberapa hari atau minggu, maka kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin dan
myosin) lebih tinggi dibandingkan pembentukkannya, sehingga terjadi penurunan protein kontraktil
otot dan terjadi atrofi otot. Terjadinya atrofi otot 14 dikarenakan serabut-serabut otot tidak
berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan mengecil dimana terjadi
perubahan antara serabut otot dan jaringan fibrosa. Tahapan terjadinya atrofi otot dimulai dengan
berkurangnya tonus otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi otot melalui penghambatan pada
proses translasi protein sehingga menurunkan kecepatan sintesis protein. NF-κB menginduksi atrofi
dengan aktivasi transkripsi dan ubiquinasi protein. Jika otot tidak digunakan menyebabkan
peningkatan aktivitas transkripsi dari NF-κB. Reactive Oxygen Species (ROS) pada otot yang
mengalami atrofi. Atrofi pada otot ditandai dengan berkurangnya protein pada sel otot, diameter
serabut, produksi kekuatan, dan ketahanan terhadap kelelahan. Jika suplai saraf pada otot tidak ada,
sinyal untuk kontraksi menghilang selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi perubahan degeneratif pada
otot yang disebut dengan atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi degeneratif terjadi penghancuran
serabut otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan lemak. Bagian serabut otot yang tersisa adalah
membran sel dan nukleus tanpa disertai dengan protein kontraktil. Kemampuan untuk meregenerasi
myofibril akan menurun. Jaringan fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki
kecenderungan untuk memendek yang disebut dengan kontraktur (Kandarian (dalam Rohman, 2019)).
D. Tanda dan gejala
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI
(2017) yaitu :
a. Tanda dan gejala mayor Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu
mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala mayor objektifnya, yaitu
kekuatan otot menurun, dan rentang gerak menurun.
b. Tanda dan gejala minor Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri
saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat bergerak. Kemudian, untuk tanda
dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik
lemah.
NANDA-I (2018) berpendapat bahwa tanda dan gejala dari gangguan mobilitas fisik, antara lain
gangguan sikap berjalan, penurunan keterampilan motorik halus, penurunan keterampilan motorik kasar,
penurunan rentang gerak, waktu reaksi memanjang, kesulitan membolak-balik posisi, ketidaknyamanan,
melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, dispnea setelah beraktivitas, tremor akibat
bergerak, instabilitas postur, gerakan lambat, gerakan spastik, serta gerakan tidak terkoordinasi

E. Dampak yang ditimbulkan


Menurut Widuri (2010) gangguan mobilitas fisik akan mengakibatkan individu mengalami
immobilisasi yang dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti :
a. Perubahan metabolisme Kecepatan metabolisme dalam tubuh akan turun dengan
dijumpainya basal metabolisme rate (BMR) yang akibatnya energi yang digunakan untuk perbaikan
sel-sel tubuh berkurang sehingga dapat mempengaruhi gangguan oksigenasi sel. Dampak lainnya
seperti anabolisme akan menurun sedangkan katabolisme akan meningkat yang berisiko meningkatkan
gangguan metabolisme. 17
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang akan
mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang yang dapat
mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Selain itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskuler
menuju interstisial dapat menyebabkan edema.
c. Gangguan pengubahan zat gizi Pemasukan protein dan kalori yang menurun dapat
menyebabkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel menurun sehingga tidak cukup untuk
melaksanakan aktivitas metabolisme.
d. Gangguan fungsi gastrointestinal Makanan yang dicerna akan menurun sehingga dapat
menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, serta nyeri lambung yang berdampak pada proses
eliminasi.
e. Perubahan sistem pernapasan Dampak yang ditimbulkan pada sistem pernapasan, antar lain
kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan otot mengalami kelemahan yang
mengganggu proses metabolisme.
f. Perubahan kardiovaskular Perubahan pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi artostatik,
meningkatnya kerja jantung, serta terjadi pembentukan trombus. 18
g. Perubahan sistem muskuloskeletal Dampak yang ditimbulkan, antara lain gangguan
muskular yang berupa menurunnya massa otot yang menyebabkan turunnya kekuatan otot serta atropi
pada otot, gangguan skeletal berupa kontraktur sendi serta osteoporosis.
h. Perubahan sistem integumen Pada sistem integumen akan terjadi penurunan elastisitas kulit,
terjadi iskemia serta nekrosis jaringan superfisial ditandai dengan adanya luka dekubitus akibat
tekanan dan sirkulasi ke jaringan menurun.
i. Perubahan eliminasi Kurangnya asupan dan penurunan curah jantung mengakibatkan
penurunan jumlah urine.
j. Perubahan perilaku Seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan
yang berdampak ke perilaku yang ditimbulkan, seperti rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional
yang tinggi, depresi, siklus tidur berubah, serta penurunnya mekanisme koping. Kemudian, menurut
Potter & Perry (dalam Uda H.D.H, Muflih, Amigo T.A.E, 2016)
selain pada sistem muskuloskeletal, gangguan mobilitas fisik juga memberikan dampak pada
sistem kardiovaskuler, pernapasan, metabolik, perkemihan, pencernaan, dan integumen berupa
penurunan kemampuan atau fungsi jantung, pembuluh darah, paru-paru, 19 tergangguanya
metabolisme tubuh, gangguan fungsi ginjal, kerusakan kulit, serta gangguan pada proses pencernaan.
Dampak psikososial dari gangguan mobilitas sendiri yaitu respon emosional yang bervariasi, seperti
frustasi dan penurunan harga diri, apatis, menarik diri, regresi, dan marah serta agresif. Menurunnya
kemampuan menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan, gangguan pada perkembangan sosial,
yaitu terjadi hambatan dalam interaksi dengan orang lain maupun lingkungan dikarenakan kurangnya
stimulasi intelektual.

F. Komplikasi
Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016) gangguan mobilitas fisik dapat
menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein thrombosis, serta
kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi adalah pembekuan darah yang mudah terbentuk pada
kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian, juga menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalir ke paru. Selanjutnya
yaitu dekubitus. Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila
memar ini tidak dirawat akan menjadi infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu
komplikasi dari gangguan mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi.
Komplikasi lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra cranial, kontraktur, gagal nafas, dan
kematian (Andra Wijaya, Putri , 2013).

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan mobilitas fisik
yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Latihan rentang gerak yang dapat diberikan salah
satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM) yang merupakan latihan gerak sendi dimana
pasien akan menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara pasif
maupun aktif. Range of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan
maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat
melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga.
Kemudian, untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan latihan yang dilakukan sendiri oleh
pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga.
Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan atau memelihara kekuatan
otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter
& Perry, 2012). Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan mobilitas fisik,
antara lain : 21 a. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti memiringkan
pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi trendelenburg, posisi genupectoral, posisi dorsal recumbent,
dan posisi litotomi. b. Ambulasi dini Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara
melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan yang lainnya.
c. Melakukan aktivitas sehari-hari. Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan,
ketahanan, dan kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta mingkatkan fungsi kardiovaskular. d.
Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.
PATHWAY
Pengkajian sectio caesarea
Pengkajian yaitu tahap awal dari proses keperawatan dan
merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien.
1. Identitas pasien
a. Nama
Ditanyakan nama dengan tujuan agar dapat mengenal atau
memanggil penderita,dan menjaga kemungkinan bila ada klien
yang namanya sama(Christine, 2006).
b. Usia pasien
Untuk mengetahui keadaan ibu, apakah termasuk resiko tinggi atau
tidak, dan untukmenggolongkan klien termasuk golongan
reproduksi sehat atau tidak.
c. Agama
Berhubungan dengan perawatan penderita, misalnya ada beberapa
agama yangmelarang untuk makan daging sapi. Dalam keadaan
yang gawat ketika memberikanpertolongan dan memberikan
perawatan dapat diketahui kepada siapa harusberhubungan
misalnya: Kyai, Pendeta, dll (Cristine, 2006).
d. Kebangsaan
Ditanyakan untuk mengadakan statistik kelahiran mungkin juga
untuk prognosapersalinan dengan milihat keadaan panggul
(Christina, 2006).
e. Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien dan penangkapan
terhadap informasiyang diberikan misalnya: Tenaga kesehatan
memberikan konseling terhadappenderita dengan pendidikan
rendah berarti tenaga kesehatan harus menggunakanbahasa yang
sederhana sehingga pasien tersebut dapat mengerti apa yang
dijelaskanoleh tenaga kesehatan tersebut (Cristine, 2006).
f. Pekerjaan
Untuk mengetahui apakah kiranya pekerjaan klien dan untuk
mengetahui tingkat sosial ekonomi agar nasehat kita sesuai.
Kecuali itu, untuk mengetahui apakahpekerjaan itu akan
mengganggu kelahiran atau tidak(Cristine, 2006).
g. Alamat untuk mengetahui ibu tinggal dimana
serta mempermudah tenaga kesehatan
untukkunjungan rumah (Cristine, 2006).
2. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang dirasakan klien saat dilakukan pengkajian.
Pada pasien post section caesarea keluhan utamanya berupa nyeri pada
area abdomen yaitu luka operasi
3. Riwayat keluhan utama
Merupakan informasi mengenai hal-hal yang menyebabkan klien
mengalami keluhan hal apa saja yang mendukung dan mengurangi,

20
kapan, dimana dan berapa jauh keluhan tersebut dirasakan klien. Hal
tersebut dapat diuraikan dengan metode PQRST sebagai berikut:
a. Palliative/provokatif: Apa yang menyebabkan
terjadinya nyeri pada abdomen faktor
pencetusnya adalah post op section caesarea
a/i letak lintang.
b. Qualitative/quantitas: Bagaimana gambaran
keluhan yang dirasakan dan sejauh mana
tingkat keluhannya seperti berdenyut, ketat,
tumpul, atau tusukan.
c. Region/radiasi: Lokasi keluhan yang dirasakan dan
penyebarannya.
d. Scale/serverity: Intensitas keluhan apakah
sampai menganggu atau tidak. Pada kasus
section caesarea nyeri selalu menganggu
dengan skala 7-8 (0-10).
e. Timing: Kapan waktu mulai terjadi keluhan dan
berapa lama kejadian ini berlangsung biasanya
pada luka section caesarea dirasakan secara
terus menerus.
4. Riwayat kesehatan yang lalu
Biasanya klien belum pernah menderita penyakit yang sama atau klien
tidak pernah mengalami penyakit yang berat atau suatu penyakit
tertentu yang mungkin akan berpengaruh pada kesehatan sekarang.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Dalam pengkajian ini ditanyakan tentang hal keluarga yang dapat
mempengaruhi kehamilan langsung ataupun tidak langsung seperti
apakah dari keluarga klien yang sakit terutama penyakit yang menular
yang kronis karena dalam kehamilan daya tahan ibu tidak menurun bila
ada penyakit menular dapat lekas menular kepada ibu dan
mempengaruhi janin dan sectio caesareaini biasanya tidak tergantung
dari keturunan.
6. Riwayat obstetri dan ginekologi
21
1. Riwayat obstetri
a. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas
yang lalu yang terdiri dari tahun
persalinan, jenis kelamin bayi serta
keadaan bayi.

22
b. Riwayat kehamilan sekarang yang perlu
dikaji seberapa seringnya memeriksa
kandungan serta menjalani imunisasi.
c. Riwayat persalinan sekarang yang perlu
dikaji adalah lamanya persalinan, BB bayi
(Mansjoer,2000).
2. Riwayat ginekologi
a. Menstruasi yang perlu dikaji adalah usia
pertama kali haid, siklus dan lamanya haid,
warna dan jumlah HPHT dan tafsiran
kehamilan.
b. Riwayat perkawinan yang perlu dikaji adalah
usia saat menikah dan usia pernikahan,
pernikahan keberapa bagi klien dan suami.
c. Riwayat keluarga berencana yang perlu
dikaji adalah jenis kontrasepsi yang
digunakan sebelum hamil, waktu dan lamanya
serta masalah selama pemakaian alat
kontrasepsi, jenis kontrasepsi yang
digunakan setelah persalinan.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: Klien dengan sectio caesarea
dan mengalami kelemahan.
b. Kesadaran: Pada umumnya composmentis
c. Tanda-tanda vital: Hal-hal yang dilakukan
pada saat pemeriksaan tanda-tanda vital
pada klien post sectio caesarea biasanya
tekanan darah menurun, suhu meningkat, nadi
meningkat dan pernapasan meningkat
d. Sistem pernapasan: Kaji tentang bentuk
hidung, ada tidaknya secret pada lubang
hidung, ada tidaknya pernapasa cuping
hidung, gerakan dada pada saat bernapas
apakah simetris atau tidak, frekuensi
napas.
e. Sistem indra: Yang perlu dikaji pada sistem
ini adalah adanya ketajaman penglihatan,
pergerakan mata, proses pendengaran dan
kebersihan pada lubang telinga, ketajaman
penciuman dan fungsi bicara serta fungsi
pengecap.
f. Kardiovaskular: Yang perlu dikaji adalah
tentang keadaan konjugtiva, keadaan warna
bibir, ada tidaknya peninggian vena
jugularis, auskultasi bunyi jantung pada
daerah dada dan pengukuran tekanan darah
serta pengukuran nadi.
g. Sistem pencernaan: Kaji tentang keadaan
mulut, gigi, lida dan bibir, peristaltik
usus, keadaan atau bentuk abdomen ada atau
tidak adanya massa atau nyeri tekan pada
daerah abdomen
h. Sistem muskuloskeletal: Kaji tentang
keadaan derajat range of mention pada
tangkai bawah, ketidaknyamanan atau nyeri
pada waktu bergerak, sertakeadaan tonus dan
kekuatan otot pada ekstremitas bagian bawa
dan atas.
i. Sistem persyarafan: Kaji tentang adanya
gangguan-gangguan yang terjadi pada ke12
sistem persyarafan.
j. Sistem perkemihan: Kaji adanya yang terjadi
pada kandung kemi, warna urin, bau urin,
serta pengeluaran urin
k. Sistem reproduksi: Yang perlu dikaji adalah
tentang bentuk payudara, puting susu, ada
tidaknya pengeluaran ASI serta kebersihan
pada daerah payudara, kaji adanya
pengeluaran darah pada vagina, warna darah,
bau serataada tidaknya pemasangan kateter
l. Sistem integumen: Kaji tentang keadaan
kulit, rambut dan kuku, turgor kulit,
pengukuran suhu serta warna kulit dan
penyebaran rambut
m. Sistem endokrin: Yang perlu dikaji adalah
tentang ada tidaknya pembesaran kelenjar
tyroid, bagaimana refleks menelan serta
pengeluaran ASI dan kontraksi.
n. Sistem imun: Yang peru dikaji pada sistem
ini adalah tentang keadaan kelenjer limfe
apakah, mengalami pembesan pada kelenjar
limfa.
4. Pola aktivitas sehari-hari
Perlu dikaji pada aktivitas klien selama dirumah sakit dan pola
aktivitas klien selama dirumah.
a. Nutrisi: Kaji adanya perubahan dan
masalahdalam memenuhi kebutuhan nutrisi
karena kurangnya nafsu makan, kehilangan
sensasi pengecap, menelan, mual dan muntah.
b. Eliminasi (BAB dan BAK): Bagaimana pola
eliminasi BAB dan BAK apakah ada perubahan
selama sakit atau tidak.
c. 2Istirahat/tidur: Kesulitan tidur dan
istirahat karena adanya nyeri dan kejang
otot
d. Personal hygiene: Klien biasanya melakukan
bantuan orang lain untuk memenuhi Kebutuhan
perawatan dirinya.
e. Aktivitas gerak: Kaji adanya kehilangan
sensasi atau paralise dan kerusakan dalam
memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-
harinya karena adanya kelemahan.
5. Data psikologis
a. Status emosi: Klien menjadi iritable atau
emosi yang labil terjadi secara tiba-tiba
klien menjadi mudah tersinggung.
b. Konsep diri:
1) Body image: Klien memiliki persepsi dan
merasa bahwa bentuk tubuh dan penampilan
sekarang mengalami penurunan berbeda
dengan keadaan sebelumnya
2) Idel diri: Klien merasa tidak dapat
mewujudkan cita-cita yang diinginkan
3) Harga diri: Klien merasa tidak berharga
lagi dengan kondisinya yang sekarang,
klien merasa tidak mampu dan tidak
berguna serta cemas dirinya akan selalu
memerlukan bantuan orang lain
4) Peran: Klien merasa dengan kondisinya
yang sekarang dia tidak dapat melekukan
peran yang dimilikinya baik sebagai
orang tua, istri atupun seorang pekerja.
5) Identitas diri: Klien memandang dirinya
berbeda dengan orang lain karena kondisi
badannya yang disebabkan oleh
penyakitnya.
c. Pola koping: Klien biasanya tampak menjadi
pendiam atau menjadi tertutup.
6. Data sosial: Klien dengan sectio
caesareacenderum tidak mau bersosialisasi
dengan orang lain yang disebabkan oleh rasa
malu terhadap keadaannya.
7. Data spiritual: Perlu dikaji keyakinan klien
tentang kesembuhannya yang dihubungkan dengan
agama yang dianut klien dan bagaimana
persepsi klien tentang penyakitnya. bagaimana
aktivitas spiritual klien selama menjalin
perawatan dirumah sakit dan siapa yang
menjadi pendorong dan memotivasi bagi
kesembuhan klien.
8. Data penunjang: Kaji pemeriksaan darah Hb,
Hematokrit ibu, leokosit dan USG.
9. Perawatan dan pengobatan
a. Terapi: Pada pasien yang post sectio
caesarea biasanya diberikan obat analgetik
serta antiuretik serta pemberian cairan
perinfus dan elektrolit harus cukup.
b. Diet: Pemberian sedikit minuman sudah boleh
diberikan 6-10 jam post operasi berupa air
putih atau teh manis setelah cairan infus
dihentikan diberikan makan bubur sering
selanjutnya secara bertahap boleh makan
biasa.
c. Kateterisasi: Biasanya dilepas 12 jam post
operasi atau keesokan harinya, kemampuan
selanjutnya untuk mengosongkan vesika
urinaria sebelum terjadi distensi yang
berlebihan harus dipantau.
Pengelompokan data adalah pengelompokan data-data klien
atau keadaan tertentu
7. Klasifikasi data
Pengelompokan data adalah pengelompokan data-data klien atau
keadaan tertentu dimana klien mengalami permasalahn kesehatan atau
keperawatan berdasarkan kriteria permasalahannya. Setelah dapat
dikelompokan maka perawat dapat mengidentifikasi masalah
keperawatan klien dengan merumuskannya. Adapun data-data yang
muncul diklisifikasikan dalam data subyektif dan obyektif. Data
subyektif adalah data yang diperoleh langsung melaluiungkapan atau
keluhan dari klien sedangkan data obyektif adalah data yang diperoleh
dari hasil observasi (Nursalam,2001).
8. Analisa Data
Analisa data adalah proses intelektual yaitu kegiatan
mentabulasi, menyelidiki, mengklasifikasi dan mengelompokan data
serta mengaitkannya untuk menentukan kesimpulan dalam bentuk
diagnosa keperawatan yang biasanya ditemukan data subyektif dan
obyektif(Carpenito,2002). Dalam analisa data mengandung tiga
komponen utama yaitu:
a. Problem atau (masalah), merupakan gambaran
keadaan dimana tindakan keperawatan dapat
diberikan.
b. Etiologi (penyebab), keadaan ini menunjukan
penyebab keadaan atau masalah kesehatan yang
memberikan arah terhadap terapi keperawatan.
c. Sigen dam symptom (tanda dan gejala), adalah
ciri, tanda atau gejala yang merupakan suatu
informasi yang diperlukan untuk merumuskan
suatu diagnosa keperawatan.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan
respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang
perawat mempunyai izin dan berkopeten dan mengatasinya. Respon aktual
dan potensial klien didapatkannya dari data dasar pengkajian, tinjauan
literatur yang berkaitan catatan medis klien masalalu dan konsultasi
dengan profesional lain yang kesemuanya dikumpul selama pengkajian
(Potter,2005).
Menurut Bobak (2004). Diagnosa keperawatan yang dapat muncul
pada kasus section caesarea a/i letak lintang antara lain:
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan akibat tindakan
pembedahan.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan
fisik

3. Kurang pengetahuan tentang cara perawatan payudara

berhubungan dengan kurangnya informasi

i. Intervensi keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan
keperawatan yang dilaksanakan untuk menangulangi masalah dengan
diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhinya
kebutuhan pasien (Nursalam,2001).
Perencanaan keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan klien
post opsection caesarea yang ditegakkan antara lain:
1. Nyeri berhubungan dengan
terputusnya komunitas
jaringan. Tujuan: Nyeri
yang dirasakan klien
dapat berkurang /
teratasi. Kriteria
hasil:
1) Ekspresi wajah klien tidak meringgis.
2) Klien tidak

mengeluh nyeri

Intervensi:

a. Pantau tingkat atau lokasi nyeri yang dirasakan klien


R/ Membantu menentukan tingkat dan lokasi nyeri yang dirasakan
klien sehingga memudahkan intervensi selanjutnya
b. Observasi tanda-tanda vital
R/ Tanda-tanda vital bisa berubah akibat rasa nyeri dan merupakan
indikator untuk menilai perkembangan penyakit.
c. Anjurakan klien untuk napas dalam secara
teratur dan perlahan-lahan bila nyeri muncul
R/ Penariakan napas dalam secara perlahan-lahan dapat terjadi suatu
relaksasi dan melancarkan aktivitas suplai O2 dan nutrisi ke jantung
sehingga nyeri berkurang.
d. Anjurkan klien untuk melakukukan mobilisasi secara
bertahap
R/ Motivasi untuk mobilisasi bertahap akan meningkatkan
vascularisasi sehingga suplai O2 dan nutrisi kejaringan meningkat.
e. Kolaborasi pemberian analgetik
R/ Analgetik dapat menghambat pengiriman impuls nyeri kekorteks
serebri sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
2. Gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan
kelemahan fisik Tujuan:
Mobilitas klien dapat
teratasi dengan baik
Kriteria hasil:
1. Keadaan umum baik
2. Klien dapat beraktivitas seperti semula
3. Dapat bergerak
secara mandiri
Intervensi:
a. Kaji tingkat kelemahan fisik klien
R/ Mengidetifikasi kemampuan intervensiyang dibutuhkan
b. Bantu klien dalam latihan gerak
R/ Melakukan latihan gerak dapat menghindari kekakuan pada otot
c. Anjurkan keluarga untuk membantu klien dalam
melakukan latihan gerak
R/ Bantuan dari keluarga dapat memotivasi klien untuk melakuakn
gerak
d. Anjurkan klien untuk menghindari aktivitas fisik yang
berlebihan
R/ Aktivitas yang berlebihan dapat menyebabkan kelemahan fisik
serta membantu mencegah terjadinya resiko injuri
e. Berikan penyuluhan kesehatan pada klien dan
keluarga tentang pentingnya melakukan latihan
gerak
R/ Penyuluhan kesehatan dapat memberikan pemahaman kepada
klien dan keluarga

4. Kurang pengetahuan tentang cara perawatan payudara

berhubungan dengan kurangnya informasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 jam

Pasien mampu melakukan perawatan payudara sendiri dengn

kriteria hasil

1. Keluar asi

2. Pasien mampu melakukan perawatan payudara

Intervensi keperawatan

a. Kaji tingkat pengetahuan ibu tentang cara perawatan payudara

b. Lakukan breast care pada ibu.

c.Beri pendkes tentang cara perawatan payudara


ii. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditunjukkan pada perawat untuk membuat klien
dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh karena itu rencan tindakan
yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien. Tujuan dari pelaksaan adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan pemulihan (
Nursalam,2001).
iii. Evalusi keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk
melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan
dan pelaksanaan yang sudah berasil di capai. Melalui
evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor yang
terjadi selama tahap pengkajian, analisa data, perencanaan
dan pelaksanaan tindakan. Evaluasi adalah tahap akhir
dari proses keperawatan yang menyediakan nilai
informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah
direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil
yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada
tahap perencanaan (Nursalam,2001).
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan SOAP sebagai pola pikir yaitu sebagai
berikut:
S: Respon subyektif klien terhadap intervensi
yang dilaksanakan. O: Respon obyektif klie
terhadap intervensi yang dilaksanakan
A: Analisa ulang atas data subyektif dan data obyektif
untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau
ada masalah baru atau mungkin terhadap data yang
dikontradiksi dengan masalah yang ada.
P: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil
analisa data pada respon.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Dewie. 2012. Laporan Pendahuluan SC Sectio Caesaria.


Diakses : 19-06- 2014. http://dewie-amalia.blogspot.com
/2012/01/ laporan pendahuluan scsectio caesaria. html.
Doengoes, M E. 2000. Rencana Askep Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta: EGC. Hudaya,
prasetya. 2002. Dokumentasi Persiapan Praktek Profesional
Fisioterapi. Surakarta: Jurusan Fisioterapi Polteknik
Kesehatan. Kisner, Caroline and Lynn Allentolby. 1996.
Therapeutic Exercise Foundation and Tecnique Third Edition. T.
A. Davis Company: Philadelpia. Mardiman, Sri. 2002.
Dokumentasi Persiapan Praktek Profesional Fisioterapi.
Surakarta: Jurusan Fisioterapi Polteknik Kesehatan. Mochtar,
Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid 2, Edisi ke 2. Jakarta:
EGC. Oxorn, Harry dan William R. Forte. 2010. Ilmu Kebidanan
Patologi dan Persalinan, Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika.
Pudjiastuti, SS & Budi Utomo. 2003. Fisioterapi pada Lansia,
EGC, Jakarta. Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Buku Panduan
Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sugeng, Jitowiyono
dan Weni Kristiyanasari. 2012. Asuhan Keperawatan Post
Operasi, Yogyakarta: Nuha Medika. Widianti, Anggriyana Tri dan
Atikah Proverawati. 2010. Senam Kesehatan, Yogyakarta: Nuha
Medika.

Anda mungkin juga menyukai