Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN MOBILITAS FISIK PADA NY. “R”


DI RUANG LAVENDER BAWAH WANITA
RSUD KARDINAH TEGAL
LAPORAN PENDAHULUAN MINGGU KE 1 (SATU)

Oleh:
NAMA : DEVIA PUTRI RATNA SARI
NIM : 200104014

PRAKTIK PROFESI NERS STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2021
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Menurut
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan mobilitas fisik
atau immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010)
Kemudian, Widuri (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik
atau imobilitas merupakan keadaan dimana kondisi yang mengganggu pergerakannya,
seperti trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan
sebagainya. Tidak hanya itu, imobilitas atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan
fisik tubuh baik satu maupun lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif
A.H & Kusuma H, 2015).
Gangguan mobilitas fisik adalah suatu kondisi yang relatif, pasien tidak saja
kehilangan kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas dari
kebiasaan normalnya (Ernawati, 2012). Penyebab gangguan mobilitas fisik karena terjadi
trauma pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan gangguan pada otot dan skeletal.
Pengaruh otot terjadi karena pemecahan protein terus menerus sehingga kehilangan massa
tubuh di bagian otot. Penurunan massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Massa otot semakin menurun karena otot tidak dilatih sehingga
menyebabkan atrofi sehingga pasien tidak mampu bergerak terus menerus. Pasien yang
mengalami tirah baring lama beresiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak
digerakkan.
Fraktur yang disebabkan oleh trauma akan menyebabkan perubahan jaringan sekitar
tulang tersebut serta terjadi kelainan dan trauma pada sistem muskuloskeletal yang
bermanifestasi dari bentuk yang abnormal dari ekstremitas atau batang tubuh dengan
perubahan bentuk pada tulang maka fungsi ekstermitas akan terganggu serta dapat mengenai
tulang yang dapat menimbulkan gangguan mobilitas fisik (Price & Wilson, 2014).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut, aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi
pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstermitas. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartement (Brunner, 2015).

B. Anatami dan fisiologi


Struktur tulang jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% BB dan otot
menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan dan baiknya sistem muskulus skeletal sangat
tergantung pada sistem tubuh. Struktur tulang memberikan perlindungan terhadap
organ vital termasuk otak, jantung, dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka
yang kuat untuk menjaga struktur tubuh otot yang melekat ke tulang memungkinkan
tubuh bergerak. Sistem Muskulus skeletal merupakan sistem tubuh yang terdiri dari
otot (muskula) dan tulang-tulang yang membentuk rangka (skeletal). Otot adalah
fungsi tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah energi kimia menjadi energi
mekanik.

Gambar 1.1 Os Femur Anterior view (atas) dan Posterior View (bawah)

1. Tulang
Tulang terdiri dari tiga jenis sel antara lain adalah osteoblast, osteosit, dan
osteoclast. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang fungsi utamanya adalah
membentuk tulang baru. Oosteoblas merupakan suatu sel yang terbentuk dari
mesenchymal stem cells.
Tulang terdiri dari tiga jen. Osteoblast memptoduksi beberapa substansi meliputi
osteocalcin, TGF, macrophage colony stimulating factor,dan beberapa zat lain.
Osteoblas aktif pada permukaan luar tulang yang mempentuk suatu sel
dengan lapisan tunggal. Saat fungsi osteoblast telah sempurna, maka komponen
tulang ini akan berubah menjadi osteosit yang tertanam pada tulang.
Osteosit akan berkoordinasi dengan sel tulang yang lain dan mengatur osteoblas
serta osteoclast terkait waktu dan tempat untuk membentuk dan menyerap
tulang. Osteoclast merupakan sel tulang utama yang berperan dalam
penyerapan tulang dalam rangka remodeling (McCance & Huether, 2014).
Tulang terdiri dari dua jenis jaringan tulang yaitu tulang kompak(cortical
bone) dan Tulang spons(cancellous bone). Tulang kompakmembentuk sekitar
85% dari rangka dan sisanya adalah tulang spons yaitu 15%. Kedua jenis
tulang ini terdiri dari elemen yang sama. Perbedaan utama dari kedua jenis
jaringan tulang ini adalah pada susunan masing-masing elemen. Tulang
kompak memiliki matriks yang padat dan rapat, sedangkan tulang spons
memiliki matriks yang berongga-rongga. Seluruh tulang ditutupi oleh jaringan
ikat double-layered yang disebut periosteum. Lapisan terluar dari periosteum
terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Lapisan dalam periosteum mengikat
tulang dengan serat-serat kolagen (Sharpey Fiber). Sharpey fiber juga berperan
dalam mempertahankan tendon dan ligament pada tulang periosteum(McCance &
Huether, 2014).Rangka manusia terdiri dari 206 tulang yang menyusun
rangka aksial dan apendikular. Rangka aksial terdiri dari 80 tulang yang
menyusun tengkorak, tulang vertebra dan thorax. Sedangkan rangka apendikular
terdiri dari 126 tulang yang menyusun ekstremitas atas, ekstremitas bawah,
bahu dan pelvis. Rangka berkontribusi terhadap 14% berat badan orang
dewasa. Tulang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan
karakteristiknya yaitu tulang panjang, pipih, pendek (cuboid), atau ireguler.
Tulang panjang terdiri dari narrow tubular midportion (diafisis) yang menyatu
dengan broader neck (metafisis) dan bagian ujung (epifisis) (McCance &
Huether, 2014).
2. Sendi
Sendi adalah celah antara dua tulang atau lebih yang berdampingan. Istilah
lain yang sering digunakan untuk sendi adalah articulation. Fungsi utama sendi
antara lain adalah untuk memberikan pergerakan dan fleksibilitas tubuh
(Ignatavicious & Workman, 2013). Sendi dikelompokkan menjadi tiga
jenis yang meliputi Synarthrodial, Amphiarthrodial, Diarthrodial (Synovial).
Synarthrodial adalah sendi yang tidak bisa bergerak sama sekali contohnya
persendian pada tulang tengkorak. Sendi Amphiarthrodial adalah sendi yang
dapat bergerak namun hanya sedikit contohnya pada persendian pelvis.
Sedangkan sendi Diarthrodial adalah sendi yang pergerakannya bebas contoh
pada persendian siku dan lutut. Sendi Diarthrodial atau synovial adalah
satu-satunya sendi yang memiliki synovium yaitu suatu membrane yang
mengeksresikan cairan synovial yang berfungsi sebagai pelumas dan shock
absorbant. Sendi Synovialinilah yang paling sering mengalami masalah akibat
cedera maupun penyakit (Ignatavicious & Workman, 2013).
3. Otot Skeletal
Otot skeletal atau otot rangka merupakan otot volunteer yang pergerakannya
dikontrol oleh sistem saraf pusat dan perifer. Hubungan antara saraf motorik
perifer dan sel otot disebut motor end plate. Seratotot menempel pada
jaringan ikat dalam bentuk fasciculi. Seluruh otot dikelilingi oleh fascia yang
terdiri dari pembuluh darah, limfe, dan saraf (Ignatavicious & Workman, 2013).
Fungsi utama otot rangka untuk pergerakan tubuh dan bagian-bagiannya.
Ketika tulang, sendi dan struktur penunjang lain mengalami masalah karena
penyakit atau cedera, jaringan otot disekitarnya juga terkena dampak sehingga
mengakibatkan imobilitas. Saat proses penuaan, serat otot mengecil dan
berkurang jumlahnya. Artropi dapat terjadi jika otot tidak dilatih secara teratur
dan akan memburuk jika tidak digunakan (Ignatavicious & Workman, 2013).
Jaringan penunjang sistem muscular sangat rentan terhadap cedera.
Jaringa tersebut antara lain adalah tendon dan ligament. Tendon adalah
jaringan fibrosa yang menghubungkan tulang dan otot. Sedangkan
ligament berfungsi menghubungkan tulang dengan tulang yang lainnya atau
dengan persendian (Ignatavicious & Workman, 2013).

C. Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab terjadinya
gangguan mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang, perubahan
metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan massa otot,
penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur,
malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, indeks masa tubuh
di atas persentil ke-75 usia, efek agen farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri,
kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif,
keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan sensoripersepsi. NANDA-I (2018)
juga berpendapat mengenai etiologi gangguan mobilitas fisik, yaitu intoleransi
aktivitas, kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat, penurunan ketahanan
tubuh, depresi, disuse, kurang dukungan lingkungan, fisik tidak bugar, serta gaya
hidup kurang gerak.
Pendapat lain menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam Setiati, Alwi,
Sudoyo, Stiyohadi, dan Syam, 2014) mengenai penyebab gangguan mobilitas fisik
adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah
psikologis, kelainan postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan sistem saraf
pusat, atau trauma langsuung dari sistem muskuloskeletal dan neuromuskular.

D. Patofisiologi
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago,
dan saraf sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena
adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem
pengungkit. Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan
tekanan otot menyebabkan otot memendek pada kontraksi isotonik. Selanjutnya, pada
kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak
terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk
latihan kuadrisep. Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi
isotonik dan kontraksi isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya peningkatan
energi, seperti peningkatan kecepatan pernapasan, fluktuasi irama jantung, dan
tekanan darah yang dikarenakan pada latihan isometrik pemakaian energi meningkat.
Hal ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit seperti infark
miokard atau penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian dan suasana hati seseorang
digambarkan melalui postur dan gerakan otot yang tergantung pada ukuran skeletal
dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan kelompok otot tergantung
tonus otot dan aktivitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan
gravitasi. Tonus otot sendiri merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.
Kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan
ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot menjadi berkurang.
Rangka pendukung tubuh yang terdiri dari empat tipe tulang, seperti panjang, pendek,
pipih, dan irreguler disebut skeletal. Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan,
melindungi organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam
pembentukan sel darah merah (Potter dan Perry, 2012).
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon fisiologis pada
sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa gangguan mobilisasi permanen
yang menjadikan keterbatasan mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan
mempengaruhi daya tahan otot sebagai akibat dari penurunan masa otot, atrofi dan
stabilitas. Pengaruh otot akibat pemecahan protein akan mengalami kehilangan masa
tubuh yang terbentuk oleh sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan masa otot tidak
mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu, juga
terjadi gangguan pada metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot
tidak dipergunakan atau karena pembebanan yang kurang, maka akan terjadi atrofi
otot. Otot yang tidak mendapatkan pembebanan akan meningkatkan produksi Cu, Zn.
Superoksida Dismutase yang menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan
menurunya catalase, glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida
dismutase, yaitu sistem yang akan memetabolisme kelebihan ROS. ROS
menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya ekspresi myosin, dan
peningkatan espresi komponen jalur ubiquitine proteolitik proteosome. Jika otot tidak
digunakan selama beberapa hari atau minggu, maka kecepatan penghancuran protein
kontraktil otot (aktin dan myosin) lebih tinggi dibandingkan pembentukkannya,
sehingga terjadi penurunan protein kontraktil otot dan terjadi atrofi otot. Terjadinya
atrofi otot dikarenakan serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam waktu yang
cukup lama sehingga perlahan akan mengecil dimana terjadi perubahan antara serabut
otot dan jaringan fibrosa. Tahapan terjadinya atrofi otot dimulai dengan berkurangnya
tonus otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi otot melalui penghambatan pada
proses translasi protein sehingga menurunkan kecepatan sintesis protein. NF-κB
menginduksi atrofi dengan aktivasi transkripsi dan ubiquinasi protein. Jika otot tidak
digunakan menyebabkan peningkatan aktivitas transkripsi dari NF-κB. Reactive
Oxygen Species (ROS) pada otot yang mengalami atrofi. Atrofi pada otot ditandai
dengan berkurangnya protein pada sel otot, diameter serabut, produksi kekuatan, dan
ketahanan terhadap kelelahan. Jika suplai saraf pada otot tidak ada, sinyal untuk
kontraksi menghilang selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi perubahan degeneratif
pada otot yang disebut dengan atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi degeneratif
terjadi penghancuran serabut otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan lemak.
Bagian serabut otot yang tersisa adalah membran sel dan nukleus tanpa disertai
dengan protein kontraktil. Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun.
Jaringan fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki kecenderungan
untuk memendek yang disebut dengan kontraktur (Kandarian (dalam Rohman,
2019)).

E. Tanda gejala
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim Pokja
SDKI DPP PPNI (2017) yaitu :
1. Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu mengeluh
sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala mayor
objektifnya, yaitu kekuatan otot menurun, dan rentang gerak menurun
2. Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat bergerak.
Kemudian, untuk tanda dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan
tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.

NANDA-I (2018) berpendapat bahwa tanda dan gejala dari gangguan


mobilitas fisik, antara lain gangguan sikap berjalan, penurunan keterampilan
motorik halus, penurunan keterampilan motorik kasar, penurunan rentang gerak,
waktu reaksi memanjang, kesulitan membolak-balik posisi, ketidaknyamanan,
melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, dispnea setelah
beraktivitas, tremor akibat bergerak, instabilitas postur, gerakan lambat, gerakan
spastik, serta gerakan tidak terkoordinasi.

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan mobilitas fisik


Menurut Potter & Perry (2010), faktor – faktor yang mempengaruhi gangguan mobilitas
fisik adalah sebagai berikut:
1. Gangguan muskuloskeletal biasanya dipengaruhi oleh beberapa keadaan tertentu yang
mengganggu pergerakan tubuh seseorang yaitu:
a) Pengaruh otot, akibat pemecahan proteinpasien mengalami kehilangan massa tubuh
yang membentuk sebagian otot, maka penurunan massa otot tidak mampu
mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot menurun akibat
metabolisme dan tidak digunakan. Gangguan mobilitas fisik berlanjut dan otot tidak
dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan yang bisa
menyebabkan atropi yang merupakan suatu keadaan yang dipandang secara luas
sebagai respons terhadap penyakit dan penurunan aktivitas sehari-hari, seperti pada
respons gangguan mobilitas fisik.
b) Pengaruh skeletal, yang menyebabkan dua perubahan terhadap skeletal yaitu
gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Gangguan mobilitas fisik
berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat dan
terjadi osteoporosis yang beresiko terjadinya fraktur patologis. b. Gangguan sistem
pernapasan, pasien post operasi berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi paru-
paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum terjadi adalah atelektasis dan
pneumonia hipostatik, pada atelektasis bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya
sekresi dan kolaps alveolus distal karena udara yang diabsorbsi, sehingga
menghasilkan hipovenstilasi. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru
akibat statisnya sekresi
2. Gangguan sistem pernapasan, pasien post operasi berisiko tinggi untuk mengalami
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum terjadi adalah atelektasis
dan pneumonia hipostatik, pada atelektasis bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya
sekresi dan kolaps alveolus distal karena udara yang diabsorbsi, sehingga menghasilkan
hipovenstilasi. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya
sekresi.

G. Kondisi klinis terkait


Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) kondisi terkait yang dapat
mengalami gangguan mobilitas fisik, yaitu stroke, cedera medula spinalis, trauma,
fraktur, osteoarthritis, ostemalasia, dan keganasan. Selain itu, menurut NANDA-I
(2018) kondisi terkait yang berisiko mengalami gangguan mobilitas fisik, antara lain
kerusakan integritas struktur tulang, gangguan fungsi kognitif, gangguan
metabolisme, kontraktur, keterlambatan perkembangan, gangguan muskuloskeletal,
gangguan neuromuskular, agens farmaseutika, program pembatasan gerak, serta
gangguan sensoriperseptual.

H. Dampak yang ditimbulkan


Menurut Widuri (2010) gangguan mobilitas fisik akan mengakibatkan
individu mengalami immobilisasi yang dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti :
1. Perubahan metabolisme
Kecepatan metabolisme dalam tubuh akan turun dengan dijumpainya basal
metabolisme rate (BMR) yang akibatnya energi yang digunakan untuk perbaikan
sel-sel tubuh berkurang sehingga dapat mempengaruhi gangguan oksigenasi sel.
Dampak lainnya seperti anabolisme akan menurun sedangkan katabolisme akan
meningkat yang berisiko meningkatkan gangguan metabolisme.
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang akan mengakibatkan persediaan protein
menurun dan konsentrasi protein serum berkurang yang dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh. Selain itu, berkurangnya perpindahan cairan dari
intravaskuler menuju interstisial dapat menyebabkan edema.
3. Gangguan pengubahan zat gizi
Pemasukan protein dan kalori yang menurun dapat menyebabkan pengubahan zat-
zat makanan pada tingkat sel menurun sehingga tidak cukup untuk melaksanakan
aktivitas metabolisme.
4. Gangguan fungsi gastrointestinal
Makanan yang dicerna akan menurun sehingga dapat menyebabkan keluhan,
seperti perut kembung, mual, serta nyeri lambung yang berdampak pada proses
eliminasi.

5. Perubahan sistem pernapasan.


Dampak yang ditimbulkan pada sistem pernapasan, antar lain kadar hemoglobin
menurun, ekspansi paru menurun, dan otot mengalami kelemahan yang
mengganggu proses metabolisme.
6. Perubahan kardiovaskular
Perubahan pada sistem kardiovaskuler berupa hipotensi artostatik, meningkatnya
kerja jantung, serta terjadi pembentukan trombus.
7. Perubahan sistem muskuloskeletal
Dampak yang ditimbulkan, antara lain gangguan muskular yang berupa
menurunnya massa otot yang menyebabkan turunnya kekuatan otot serta atropi
pada otot, gangguan skeletal berupa kontraktur sendi serta osteoporosis.
8. Perubahan sistem integumen
Pada sistem integumen akan terjadi penurunan elastisitas kulit, terjadi iskemia serta
nekrosis jaringan superfisial ditandai dengan adanya luka dekubitus akibat tekanan
dan sirkulasi ke jaringan menurun.
9. Perubahan eliminasi
Kurangnya asupan dan penurunan curah jantung mengakibatkan penurunan jumlah
urine.
10. Perubahan perilaku
Seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan yang
berdampak ke perilaku yang ditimbulkan, seperti rasa bermusuhan, bingung,
cemas, emosional yang tinggi, depresi, siklus tidur berubah, serta penurunnya
mekanisme koping.

Kemudian, menurut Potter & Perry (dalam Uda H.D.H, Muflih, Amigo T.A.E,
2016) selain pada sistem muskuloskeletal, gangguan mobilitas fisik juga
memberikan dampak pada sistem kardiovaskuler, pernapasan, metabolik,
perkemihan, pencernaan, dan integumen berupa penurunan kemampuan atau fungsi
jantung, pembuluh darah, paru-paru, tergangguanya metabolisme tubuh, gangguan
fungsi ginjal, kerusakan kulit, serta gangguan pada proses pencernaan. Dampak
psikososial dari gangguan mobilitas sendiri yaitu respon emosional yang
bervariasi, seperti frustasi dan penurunan harga diri, apatis, menarik diri, regresi,
dan marah serta agresif. Menurunnya kemampuan menyelesaikan masalah dan
mengambil keputusan, gangguan pada perkembangan sosial, yaitu terjadi hambatan
dalam interaksi dengan orang lain maupun lingkungan dikarenakan kurangnya
stimulasi intelektual.

I. Komplikasi
Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016) gangguan mobilitas
fisik dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus, orthostatic
hypotension, deep vein thrombosis, serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat
terjadi adalah pembekuan darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian, juga menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalir
ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus. Bagian yang biasa mengalami memar adalah
pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan menjadi
infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi dari gangguan
mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi. Komplikasi
lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra cranial, kontraktur, gagal nafas,
dan kematian (Andra, Wijaya, Putri , 2013).

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan
mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Latihan rentang gerak
yang dapat diberikan salah satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM)
yang merupakan latihan gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-
masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif. Range
of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan maupun
otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat
melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Kemudian, untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan
latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang
sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter & Perry, 2012).
Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan mobilitas
fisik, antara lain :
1. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti memiringkan
pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi trendelenburg, posisi genupectoral, posisi
dorsal recumbent, dan posisi litotomi.
2. Ambulasi dini Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa
dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat
tidur, bergerak ke kursi roda, dan yang lainnya.
3. Melakukan aktivitas sehari-hari
Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan, ketahanan, dan
kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta mingkatkan fungsi kardiovaskular.
4. Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.

K. Prinsip penanganan fraktur


Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi
serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi fraktur
adalah dengan reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk
mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya. Kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat dilakukan
untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnaya traksi disesuaikan dengan spasme
otot yang terjadi. Fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahapan selanjutnya setelah fraktur
direduksi adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang dapat dilakukan dengan
mempertahankan reduksi dan imobilisas. Pantau status neurovaskular, latihan isometrik dan
memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri
(Rosyidi, 2013).

L. Pathway

Patologis (penurunan densitas Trauma langsung / tidak


langsung Stress / tekanan yang berulang
tulang karena tumor,
osteoporosis)

Jar. Tidak kuat/tidak dapat


menahan kekuatan dari luar
Konservatif

Konservatif Fraktur Operatif (ORIF,


OREF)

Eksternal fixation
Perubahan letak Kerusakan Kerusakan
fragmen kontinuitas bagianbagian
(deformitas) tulang lunak
Traksi Gips

Kehilangan Kelemahan/ketidak Kerusakan jar.


fungsi normalan mobilitas syaraf
& krepitasi

Impuls nyeri
Keterbatasan gerak
Imobilitas dibawa ke otak

Imobilitas Gangguan
Nyeri akut
pemenuhan
kebutuhan
Penekanan pada (ADL)
bagian yang Gangguan
menonjol mobilitas fisik
Sirkulasi perifer
berkurang

Gangguan
Nekrosis integritas
Ischemia jaringan jaringan
(Sumber: Reeves, 2001 : 255; Elizabeth, 2000:298)

M. Proses keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalahmasalah pasien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantung pada tahap ini (Rosyidi, 2013). Pengkajian pada
masalah gangguan mobilitas fisik menurut (Hidayat Alimul, 2009), adalah sebagai
berikut:
1. Identitas pasien
Identitas pasien yang harus dikaji pada pasien fraktur meliputi nama, jenis kelamin,
umur, alamat, agama, suku, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, nomor registrasi, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa dirasakan pada pasien post operasi fraktur yaitu gangguan
mobilitas fisik.
3. Riwayat penyakit dahulu
Perawat menanyakan pada pasien adanya riwayat penyakit sistem muskuloskeletal
(osteoporosis, fraktur, artritis) sebelumnya.
4. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebutkan terjadi
keluhan atau gangguan mobilitas fisik seperti adanya kelemahan otot, kelelahan,
daerah yang mengalami gangguan mobilitas fisik, lama terjadinya gangguan mobilitas
fisik.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Monitor tanda-tanda vital
c. Kulit dan kuku
d. Kepala
e. Mata
f. Telinga
g. Mulut dan tenggorokan
h. Leher
i. Payudara
j. Dada dan tulang belakang
k. Pernapasan
l. Kardiovaskuler
m. Gastrointestinal
n. Muskuloskeletal
1) Inspeksi
a) Lesi kulit
b) Tremor
2) Palpasi
a) Tonus otot dan esktremitas atas
b) Tonus otot dan esktremitas bawah
c) Kekuatan ekstremitas atas
d) Kekuatan ekstremitas bawah
e) Rentang gerak
f) Edema kaki
g) refleks bisep
h) Refleks trisep
i) Refleks patella
j) Refleks achilles
k) Deformitas sendi
l) Nyeri ekstremitas
m) Temuan / keluhan klien lainnya
o. SSP (NI-XII)
p. Sistem endokrin
q. Genetalia dan anal
6. Kemampuan fungsi motorik dan fungsi sensorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri
untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan atau spastis.
7. Kemampuan mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak
ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa bantuan. Kategori tingkat
kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Kemampuan Mobilitas


Tingkat aktivitas atau mobilitas Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan pengguanaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang
lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain
dan peralatan
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan
atau berpartisipasi dalam perawatan
(Sumber: Hidayat, Aziz Alimul. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. 2009)

8. Kemampuan rentang gerak


Pengkajian rentang gerak dilakukan pada daerah tertentu seperti: leher, bahu, siku,
pergelangan tangan, tangan dan jari, pinggul, lutut dan kaki.
9. Kekuatan otot dan gangguan koordinasi
Derajat kekuatan otot dapat ditentukan dengan: Perubahan intoleransi aktivitas
Pengkajian intoleransi yang berhubungan sistem kardiovaskuler seperti nadi dan
tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer, adanya trombus, serta perubahan tanda
vital setelah melakukan aktivitas atau perubahan posisi.
10. Perubahan psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan mobilitas
fisik antara lain: perubahan perilaku, peningkatan emosi, perubahan dan mekanisme
koping.

N. Pemeriksaan diagnostik
Menurut (Lukman & Ningsih, 2013), pemeriksaan diagnostik pada pasien fraktur
yaitu:
1. Pemeriksaan Rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan/MRI: memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga
dapat untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskular
4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma).
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel atau
cedera hati.

O. Rencana Keperawatan

1. Diagnosa Keperawatan, NIC, dan NOC

Tabel 1. Rencana keperawatan gangguan mobilitas fisik SLKI dan SIKI.


Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan a. Identifikasi adanya nyeri
berhubungan dengan keperawatan dukungan atau keluhan fisik lainnya.
gangguan muskuloskeletal. mobilisasi selama … kali b. Identifikasi toleransi fisik
(SDKI D.0054, 2017) pertemuan, diharapkan melakukan pergerakan.
mobilitas fisik pasien c. Monitor frekuensi jantung
meningkat dengan kriteria dan tekanan darah sebelum
hasil : memulai mobilisasi
a. Pergerakan ekstremitas d. Fasilitasi melakukan
meningkat. pergerakan.
b. Kekuatan otot cukup e. Jelaskan tujuan dan
meningkat prosedur mobilisasi.
c. Rentang gerak (ROM) (SIKI I.05173, 2018)
meningkat.
d. Nyeri menurun .
e. Kekakuan sendi cukup
menurun.
f. Kelemahan fisik cukup
menurun.
g. Kecemasan menurun.
h. Gerakan terbatas cukup
menurun.
i. Gerakan tidak
terkoordinasi cukup
menurun.
(SLKI I.05042, 2019)

2. Implementasi
Pada proses ini perawat merealisasikan tindakan untuk mencapai tujuan.
Kegiatan dalam implementasi meliputi pengumpulan data berkelanjutan, observasi
respon pasien, serta menilai data baru. Selain itu, perawat harus mendokumentasikan
setiap tindakan yang telah diberikan kepada pasien (Kozier B, 2010).

3. Evaluasi keperawatan
Pada proses ini, intervensi keperawatan harus ditentukan apakah intervensi
tersebut harus diakhiri, dilanjutkan, dimodifikasi, ataupun dirubah. Evaluasi dilakukan
secara continue dimana evaluasi dilakukan segera setelah implementasi dilaksanakan
sehingga memungkinkan perawat untuk segera merubah atau memodifikasi intervensi
keperawatannya. Evaluasi tidak hanya dilaksanakan segera setelah implementasi
dilakukan, namun juga dilaksanakan pada interval tertentu 48 untuk melihat
perkembangan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Kozier B, 2010). Setelah
dilakukan tindakan keperawatan dengan program yang sudah ditentukan pada setiap
masalah keperawatan yang terdapat pada pasien, maka dilakukan evaluasi pada setiap
tindakan keperawatan mengacu pada tujuan yang sudah ditetapkan. Evaluasi yang
dilakukan pada masalah keperawatan gangguan mobilitas fiisk mengacu pada tujuan,
yaitu mobilitas fisik meningkat dengan kriteria pergerakan ekstremitas meningkat,
kekuatan otot cukup meningkat, rentang gerak (ROM) meningkat, nyeri menurun,
kekakuan sendi cukup menurun, kelemahan fisik cukup menurun, kecemasan
menurun gerakan terbatas cukup menurun, serta gerakan tidak terkoordinasi cukup
menurun (SLKI, 2019) dan pergerakan pasien dapat meningkat (NOC, 2016) dengan
kriteria gerakan sendi sedikit tergang, gugerakan otot sedikit terganggu, koordinasi
sedikit terganggu, serta keseimbangan sedikit terganggu. Kemudian, evaluasi pada
masalah keperawatan risiko jatuh melihat pada tujuannya, yaitu tingkat jatuh pasien
menurun (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Selanjutnya, pada masalah keperawatan
gangguan integritas kulit atau jaringan dengan tujuan integritas kulit dan jaringan
meningkat (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Evaluasi yang terakhir yaitu pada masalah
keperawatan kesiapan peningkatan pengetahuan dengan tujuannya, yaitu tingkat
pengetahuan membaik (SLKI, 2019) dan pengetahuan perilaku kesehatan meningkat
(NOC, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Aziz Alimul. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. 2009)
Http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/394/3/BAB%20II.pdf (Diakses pada Selasa, 2
Februari 2021)
Https://pdfslide.tips/documents/anatomi-os-femur.html (Diakses pada Rabu, 3 Februari 2021)
Http://eprints.ums.ac.id/16698/2/BAB_I.pdf (Diakses pada Rabu, 3 Februari 2021)
Moorhead, et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima. Singapore:
Elsevier.
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik,
Volume 2, Edisi 4. Jakarta: EGC
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai