Anda di halaman 1dari 48

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Hambatan Mobilitas Fisik

1. Pengertian

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik

tubuh satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah. Batasan

karakteristik yaitu penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak-balik posisi

tubuh, mengganti aktivitas lain sebagai pengganti pergerakkan, dyspnea saat

beraktivitas, perubahan cara berjalan, pergerakkan menyentak, keterbatasan

keterampilan dalam melakukan keterampilan motorik halus, keterbatasan

keterampilan dalam melakukan motorik kasar, keterbasan rentang gerak

sendi, tremor akibat pergerakan, ketidakstabilan postur tubuh, pergerakkan

lambat, dan pergerakkan tidak terkoordinasi (NANDA, 2015)

Menurut Wilkinson, 2016, hambatan mobilitas fisik adalah

keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh satu

ekstremitas atau lebih. Sedangkan menurut Nasrullah Dede, 2016, hambatan

mobilitas fisik adalah pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan

mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan seperti pada pasien

dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah

paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi

tekanan.
2. Anatomi Fisiologi

Menurut Mustikawati, 2017, musculoskeletal terdiri dari kata muskulo

yang berarti otot dan kata skeletal yang berarti tulang.

a. Otot ( Muskulus / Muscle )

Otot merupakan organ tubuh yang mempunyai kemampuan

mengubah energi kimia menjadi energi mekanik/gerak sehingga dapat

berkontraksi untuk menggerakkan rangka, sebagai respon tubuh terhadap

perubahan lingkungan. Otot disebut alat gerak aktif karena mampu

berkontraksi, sehingga mampu menggerakkan tulang. Semua sel-sel otot

mempunyai kekhususan, yaitu; sebagai pergerakan, penopang tubuh serta

mempertahankan postur dan produksi panas.

1) Jenis-jenis otot

Berdasarkan letak dan struktur selnya, dibedakan menjadi;

a) Otot Rangka ( Otot Lurik)

Otot rangka merupakan otot lurik, volunteer (secara sadar

atas perintah dari otak), dan melekat pada rangka, misalnya yang

terdapat pada otot paha, otot betis, otot dada. Kontraksinya sangat

cepat dan kuat.


Gambar 2.1 Otot Lurik ( Brainly.co.id )

b) Otot Polos

Otot polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter

(bekerja secara tak sadar). Jenis otot ini dapat ditemukan pada

dinding berongga seperti kandung kemih dan uterus, serta pada

dinding tuba, seperti pada system respiratorik, pencernaan,

reproduksi, urunarius, dan sistem sirkulasi darah. Kontraksinya

kuat dan lambat.

Gambar 2.2 Otot Polos ( IPA pelajaran.co.id )


4

c) Otot Jantung

Otot jantung juga otot serat lintang involunter, mempunyai

struktur yang sama dengan otot lurik. Otot ini hanya terdapat pada

jantung. Bekerja terus menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot

jantung juga mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut.

2) Berdasarkan gerakannya dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Otot Antagonis

Yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya bertolak

belakang/ tidak searah, menimbulkan gerak berlawanan. Dan otot

Sinergis, yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya saling

mendukung/ bekerjasama, menimbulkan gerakan searah.

b) Rangka (skeletal)

Sistem rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang,

sendi, dan tulang rawan (kartilago) sebagai tempat menempelnya

otot dan memungkinkan tubuh untuk mempertahankan sikap dan

posisi. Tulang sebagai alat gerak pasif karena hanya mengikuti

kendali otot. Akan tetapi tulang tetap mempunyai peranan penting

karena gerak tidak akan terjadi tanpa tulang. Fungsi rangka yaitu:

sebagai penyangga berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-

ligamen, otot, jaringan lunak serta organ, sebagai penyimpanan

mineral (kalsium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow), sebagai

pelindung, membentuk rongga melindungi organ yang halus dan


lunak, dan sebagai penggerak, dapat mengubah arah dan kekuatan

otot rangka saat bergerak karena adanya persendian.

Adapun jenis-jenis tulang yaitu: Berdasarkan jaringan

penyusun dan sifat-sifat fisiknya, tulang rawan (kartilago), tulang

rawan Hyalin: kuat dan elastis terdapat pada ujung tulang pipa,

tulang rawan fibrosa: memperdalam rongga dari cawan-cawan

(tulang panggul) dan rongga glenoid dari scapula, dan tulang rawan

Elastik: terdapat dalam daun telinga, epiglottis dan faring.

Sedangkan berdasarkan jenisnya tulang, yaitu: Tulang Sejati

(osteon); tulang bersifat keras dan berfungsi menyusun berbagai

sistem rangka.

Berdasarkan matriksnya tulang dibagi menjadi, yaitu: tulang

kompak, yaitu tulang dengan matriks yang padat dan rapat dan

tulang dengan matriksnya berongga. Berdasarkan bentuknya, yaitu:

Ossa longa (tulang pipa/panjang) yaitu: tulang yang ukuran

panjangnya terbesar (misal, os humerus dan os femur). Ossa brevia

(tulang pendek), yaitu tulang yang ukurannya pendek (misal, tulang

yang terdapat pada pangkal kaki, pangkal lengan, dan ruas-ruas

tulang belakang). Ossa plana (tulang pipih), yaitu tulang yang

ukurannya lebar. (Misal, os scapula (tengkorak), tulang belikat,

tulang rusuk), Ossa irregular (tulang tak beraturan), yaitu tulang

dengan bentuk yang tak tentu (Misal, os vertebre (tulang belakang),

dan Ossa pneumatica (tulang berongga udara).


6

3. Etiologi

Hambatan mobilitas yang diakibatkan oleh perubahan patologis pada

sistem musculoskeletal berupa penurunan kekuatan dan ketangkasan otot,

kontraktur yang membatasi mobilitas sendi., kekakuan dan nyeri sendi.

Perubahan patotologis pada sistem mukuloskeletal seperti rheumatoid

arthritis, gout arthritis, osteoarthritis, dan osteoporosis (Uda, Hermina.

Muflih, dan Thomas A,2016)

Sebagian besar lansia mengalami hambatan mobilitas fisik dengan

berbagai macam penyebab. Seperti tingkat aktivitas yang kurang dari

mobilitas normal. Serta keletihan dan kelemahan otot menjadi penyebab

yang sering terjadi (Nasrullah Dede, 2016)

Adapun menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017 penyebab

hambatan mobilitas fisik yaitu: kerusakan integritas struktur tulang,

perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot,

penurunan massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan

perkembangan otot, kekakuan sendi, kontraktur, malnutrisi, ganggauan

musculoskeletal, gangguan neuromuscular, efek agen farmakologis,

program pembatasan gerak, nyeri, kuramg terpapar informasi tentang

aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan

pergerakan, dan gangguan persepsi sensori.

4. Patofisiologi

Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon fisiologis

pada sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa gangguan


mobilisasi permanen yang menjadikan keterbatasan mobilisasi.

Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan otot sebagai akibat

dari penurunan massa otot, atrofi dan stabilitas. Pengaruh otot akibat

pemecahan protein akan mengalami kehilangan masa tubuh yang terbentuk

oleh sebagian otot.

Oleh karena itu, penurunan massa otot tidak mampu

mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu, juga

terjadi gangguan pada metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika

kondisi otot tidak dipergunakan atau karena pembebanan yang kurang,

maka akan terjadi atrofi otot. Otot yang tidak mendapatkan pembebanan

akan meningkatkan produksi Cu, Zn. Superoksida Disnutase yang

menyebakan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunnya catalase,

glutathione peroksidase, dan mungkin Mn, superoksida dismutase, yaitu

sistem yang akan memetabolisme kelebihan Reactive Oxygen Species

(ROS). ROS menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya

ekspresi nyosin, dan peningkatan espresi komponen jalur ubiquitin

proteolitik proteasome.

Jika otot tidak digunakan selama beberapa hari atau minggu, maka

kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin dan myosin) lebih

tinggi dibandingkan pembentukannya, sehingga terjadi penurunan kontraktil

otot dan terjadi atrofi otot. Terjadinya atrofi otot dikarenakan serabut-

serabut otot berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan
8

akan mengecil dimana terjadi perubahan antara serabut otot dari jaringan

fibrosa.

Jaringan fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki

kecenderungan umtuk memendek yang disebut dengan kontraktur

(Kandarian, 2008 dalam Rohman, 2019)

Gangguan
Penurunan stabilitas Kontraktur Sendi
muskuloskeletal

Krusakan Sendi Tidak Dapat


Imobilisasi Mempertahanan
Muskuloskeletal
Rentang Gerak Dengan
Penuh
Penurunan Massa
Kekakuan Otot
Otot
Hambatan Mobilitas

Gambar 2.3 pathway Hambatan Mobilitas Fisik (Nasrullah Dede, 2016)

5. Tanda dan Gejala

Menurut Wilkinson (2016), tanda dan gejala dari hambatan mobilitas

fisik yaitu: penurunan waktu rekreasi, kesulitan membolak-balik posisi

tubuh, asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (misal,

peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain, perilaku

mengendalikan, berfokus pada kontrol sebelum sakit), dyspnea saat

beraktivitas, perubahan cara berjalan, kesulitan untuk memulai berjalan

(misal, penurunan aktivitas dan kecepatan berjalan, kesulitan untuk memulai

berjalan, langkah kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat berjalan
kaki mengayun kesamping), pergerakan menyentak, keterbatasan

kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus atau kasar,

keterbatasan rentang pergerakan sendi, tremor yang diinduksi oleh

pergerakan, ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan nrutinitas

aktivitas kehidupan sehari-hari), melambatnya pergerakan, dan gerakan

tidak teratur atau terkoordinasi.

Adapun tanda dan gejala pada hambatan mobilitas fisik menurut Tim

Pokja SDKI DPP PPNI (2017) yaitu:

a. Tanda dan gejala mayor

Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,

yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda

dan gejala mayor objektifnya, yaitu kekuatan otot menurun dan rentang

gerak menurun.

b. Tanda dan gejala minor

Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,

yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan dan merasa

cemas saat bergerak. Kemudian, untuk tanda dan gejala minor

objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, ger/akan

nterbatas, dan fisik lemah.

6. Manifestasi Klinis

Menurut Nasrullah Dede (2016), terjadinya hambatan mobilitas fisik

dapat berpengaruh pada sistem tubuh seperti:

a. Perubahan metabolic
10

Perubahan metabolism hambatan mobilitaas fisik dapat

mengakibatkan proses anabolisme mnurun dan katabolisme meningkat.

Proses hambatan mobilitas fisik dapat juga menyebabkan penurunan

eksresi urin dan peningkatan nitrogen. Pada umumnya keadaan ini dapat

dijumpai pada pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik pda hari

kelima dan keenam.

b. Perubahan sistem respirasi

Pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik berisiko tinggi

pada terjadinya komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling

umum adalah atalektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atalektasis,

bronkiolus menjadi tertutup karena adanya sekresi dan kolpas alveolus

sistal karena udara yang diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi.

Bronkus utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya

atalektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup.

c. Perubahan sistem kardiovaskuler

Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada pasien hambatan

mobilitas fisik terkait sistem kardiovaskuler, yaitu: Hipotensi ortostatik,

adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolic 10

mmHg ketika pasien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi

berdiri. Pada pasien hambatan mobilitas fisik terjadi penurunan sirkulasi

volume cairan, pengumpulan darah ekstremitas bawah, dan penurunan

respons otonom. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran


balik vena, diikuti oleh penurunan tekanan darah. Perubahan lainnya

yaitu peningkatan beban kerja jantung dan pembentukan thrombus.

d. Perubahan sistem musculoskeletal

Pengaruh hamabatan mobilitas fisik pada sistem musculoskeletal

meliputi hambatan mobilitas fisik permanen. Keterbatsan mobilisasi

mempengaruhi otot melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa

otot, atrofi, dan penurunan stabilitas.

e. Perubahan sistem integument

Perubahan sistem integument yang terjadi berupa penurunan

elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat hambatan

mobilitas fisik dan terjadinya iskemia serta anoksia jaringan.

f. Perubahan eliminasi urin

Pada keadaan hambatan mobilitas fisik, pasien dalam kondisi

rekumben atau datar, ginjal atau ureter membentuk garis datar seperti

perawat ginjal yang membentuk urin harus masuk ke dalam kandung

kemih melawan gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak

cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sbelum

urin masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urin dan

meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.

7. Komplikasi

Menurut Garisson (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016) gangguan

mobilitas fisik dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus,


12

orthostatic hypotension, deep vein thrombosis, serta kontraktur. Kontraktor

diartikan sebagai sebagai hilangnya atau menurunnya rentang gerak sendi,

baik dilakukan secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis

jaringan penyokong, otot dan kulit.

8. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Lukman, 2009 pemeriksaan diagnostic pada pasien hambatan

mobilitas fisik, yaitu:

a. Sinar – X

Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi dan perubahan

hubungan tulang. Sinar-X multiple diperlukan untuk pengkajian

paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X korteks tulang dapat

menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan dan tanda iregularitas.

Sinar-X sendi dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas,

penyempitan, dan perubahan struktur sendi.

b. CT Scan (Computed Tomografi Scan)

Menunjukkan rincian bidang tertentu dan dapat memperlihatkan

tumor jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon. CT Scan

digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di

daerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan

bisa dengan atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu jam.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan

magnet, gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan


abnormalitas, misal tumor atau penyempitan jaringan lunak. Klien yang

mengenakan implant logam atau pacemaker tidak bisa menjalani

pemeriksaan ini. Perhiasan harus dilepas, klien yang klaustrofobia

biasanya tidak mampu menghadapi ruangan tertutup tanpa penenang.

d. Indeks Kemandirian Katz

Pengkajian status fungsional ini meliputi pengukuran pemampuan

seseorang dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, penentuan

kemandirian, mengidenfikasi kemampuan dan keterbatasan klien, serta

menciptakan intervensi yang tepat (Sunaryo, dkk, 2016).

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada hambatan mobilitas fisik yang terjadi pada

lansia dapat diatasi dengan memberikan penanganan berupa latihan range

of motion, kontraksi otot isometric dan isotonic, kekuatan/ketahanan,

senam, dan mengatur posisi tubuh. Latihan range of motion adalah

latihan pergerakan maksimal yang dilakukan oleh sendi. Latihan range of

motion menjadi salah satu bentuk latihan yang berfungsi dalam

pemeliharaan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot pada lansia.

Penanganan tersebut dapat diberikan karena kondisi hambatan mobilitas

fisik juga ditandai dengan penurunan kekuatan otot dan rentang gerak

yang merupakan masalah pada otot dan sendi.

Latihan range of motion juga harus disertai dengan penanganan

lainnya dengan pengaturan waktu latihan yang teratur dan penambahan

aktivitas sehari-hari juga dapat membantu meningkatkan otot lansia


14

(Ardiani & Sari, 2019). Menurut Martono, 2009 (dalam Ayu D &

Bambang, 2012), untuk mencegah hambatan mobilitas fisik pada lansia

dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik seperti senam lansia, berjalan

dan lain-lain.

B. Konsep Dasar Lansia

1. Pengertian Lansia

Lansia atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam

kehidupan manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya

dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.

Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui

tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, deawasa dan tua. Memasuki usia tua

berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik, yang ditandai

dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong ,

pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat

dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nasrullah Dede, 2016).

Menua bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan proses yang

berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang akumulatif, merupakan

proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari

dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Padila, 2017).

Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur

seseorang. Manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya

umur tersebut. Semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi

organ tubuh (Sunaryo dkk, 2016).


2. Batasan-Batasan Lanjut Usia

Ada beberapa tentang pembagian batasan lanjut usia, yaitu: Menurut

WHO (1990) menjelaskan batasaan lansia adalah, usia lanjut (eldery) antara

60-74 tahun, usia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) >90

tahun. Sedangkan menurut Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan

lansia dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: usia lanjut prasenilis yaitu antara

usia 45-59 tahun, usia lanjut yaitunusia 60 tahun ke atas, dan usia lanjut

berisiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan

masalah kesehatan (Kholifah, Siti Nur, 2016).

3. Teori Proses Menua

Menurut Nasrullah Dede, (2016), teori proses menua terdiri dari :

a. Teori Biologi

1) Teori genetik clock

Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya

program genetic didalam nuclei. Jam ini berputar dalam jangka waktu

tertentu dan jika jam ini sudah habis putarannya maka akan

menyebabkan berhentinya proses miosis. Hal ini ditunjukkan oleh

hasil penilitian, dari teori itu ditunjukkan dengan adanya teori

membelah sel dalam kultur dengan umur spesies mutase somatic (teori

errorcatastrophe).

2) Teori eror
16

Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh penumpukan

berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia akibat

kesalahan tersebut akan berakibat kerusakan metabolism yang dapat

mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan.

3) Teori autoimun

Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca

translasi yang dapat mengakibatkan kurangnya kemampuan sistem

imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan

makin bertambahnya prevelensi antibody pada lanjut usia. Dalam hal

lain sistem imun tubuh sendiri daya bertahannya mengalami

penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap antigen

menjadi menurun, sehingga sel-sel patologis meningkat sesuai dengan

meningkatnya umur.

4) Teori free radikal

Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal

bebas dalam tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa: Suproksia

(02), radikal hidroksil, dan H2O2, radikal bebas sangat merusak karena

sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein dan

asam lemak tak jenuh. Makin tua umur makin banyak terbentuk

radikal bebas sehingga proses perusakan harus terjadi, kerusakan

organ sel makin banyak akhirnya sel mati.

5) Teori kolagen
Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel tubuh rusak.

Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan

kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan.

b. Teori Psikososial

Ada delapan teori psikososial pada lansia, antara lain :

1) Activity theory : penuaan mengakibatkan penurunan jumlah

kegiatan secara langsung.

2) Continitas theory : adanya suatu kepribadian berlanjut yang

menyebabkan adanya suatu pola perilaku yang mningkatkan stress.

3) Dissaggement theory : putusnya hubungan dengan luar seperti dengan

masyarakat, hubungan dengan individu lain.

4) Teori strafisikasi usia : Karena orang yang dogolongkan dalam usia

tua mempercepat proses penuaan.

5) Teori kebutuhaan manusia : orang yang bisa menncapai aktualisasi

menurut penelitian 5% dan tidak semua orang mencapai kebutuhan

yang sempurna.

6) Jung Theory : Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam

perkembangan kehidupan.

7) Course of human life theory : Seseorang dalam hubungan dengan

lingkungan ada tingkat maksimum.

8) Development task theory : Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas

perkembangan sesuai dengan usianya.

c. Teori Sosiologis
18

1) Teori interaksi social

Teori ini menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu

situasi tertentu, yaitu asas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat.

Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi social

merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan

kemampuannya bersosialisasi. Pokok-pokok social exchange theory

antara lain: masyarakat terdiri atas actor social yang berupaya

mencapai tujuan masing-masing. Dalam upaya tersebut, terjadi

interaksi social yang memerlukan biaya dan waktu. Untuk mencapai

tujuan yang hendak dicapai, seseorang actor mengeluarkan biaya.

2) Teori aktivitas atau kegiatan

Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah

mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan social. Lanjut

usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan

mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin. Ukuran optimum

(pola hidup) dilanjutkan pada acara hidup lanjut usia.

3) Teori kepribadian berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut

usia. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada lansia

sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini

mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan

lansia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang pada suatu saat

merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini


dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku dan harapan seseorang ternyata

tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.

4) Teori pembebasan / penarikan diri (Disengagement Theory)

Teori ini membahas putusnya pergaulan atau hubungan dengan

masyarakat dan kemunduran individu dengan individu lainnya. Teori

ini pertama diajukan oleh Cumming dan Henry (1961). Teori ini

menyatakan bahwa dengan bertambahnya lansia, apalahi ditambah

dengan adanya kemiskinan, lansia secara berangsur-angsur mulai

melepaskan diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari

pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi social

lansia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga

sering lansia mengalami kehilangan ganda (triple loss) yaitu:

kehilangan peran (loss of role), hambatan kontak social (restriction of

contact and relationship) dan berkurangnya komitmen (reduced

commitment to social mores and values)

C. Konsep Keperawatan Gerontik

1. Pengertian Gerontik

Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan professional

yang didasarkan ilmu dan kiat keperawatan gerontik yang berbentuk

biopsiko-sosial-kultural dan spiritual yang komperehensif, ditujukan pada

lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat (Sunaryo dkk, 2016).


20

Depkes RI, 1999 (dalam Sunaryo dkk, 2016) mengatakan, geriatric

adalah cabang ilmu dari gerontology dan kedokteran yang mempelajari

kesehatan lanjut usia dalam berbagai aspek, yaitu promotif, preventif, dan

rehabilitative.

Dapat disimpulkan bahwa keperawatan gerontik adalah suatu bentuk

pelayanan professional yang didasarkan ilmu dan kiat/teknik keperawatan

gerontik yang berbentuk bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual yang

komperehensif, ditujukan pada lanjut usia baik sehat maupun sakit pada

tingkat individu, keluarga, kelompok, dan komunitas/masyarakat.

2. Tujuan Keperawatan Gerontik

Menurut Sunaryo dkk (2016), tujuan perawatsn lanjut usia sebagai

berikut :

a. Meningkatkan kemandirian dalam Activity Daily Living (ADL) dengan

upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif.

b. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan kemampuan lansia

dalam melakukan pencegahan dan perawatan.

c. Memabantu mempertahankan serta membesarkan daya hidup atau

semangat hidup klien lanjut usia..

d. Menolong dan merawat klien lansia yang menderita penyakit atau

mengalami gangguan tertentu.

e. Mempertahankan kebebasan yang maksimal dengan meningkatkan

kemandirian.

f. Membantu memahami individu terhadap perubahan usia lanjut.


g. Memotivasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

hidup lansia.

h. Merangsang para petugas kesehatan, khususnya perawat, untuk dapat

mengenal dan menegakkan diagnosis yang tepat dan dini apabila

mereka menjumpai suatu kelainan tertentu.

3. Model Pelayanan Keperawatan Gerontik

Model pelayanan keperawatan gerontik menurut Maryam, R. Siti

(2008) (dalam Muhith, A & Sandu, 2016), sebagai berikut :

a. Promotif (peningkatan)

Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak

langsung untuk meningkatkan derajat dan mencegah penyakit. Upaya

promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk

meningkatkan dukungan pasien, tenaga professional, dan masyarakat

terhadap praktik kesehatan yang positif menjadi norma-norma social.

Upaya promotif dilakukan untuk membantu orang-orang untuk

mengubah gaya hidup mereka dan bergerak kea rah keadaan kesehatan

yang optimal serta mendukung pemberdayaan seseorang untuk

membuat pilihan yang sehat tentang perilaku hidup mereka.

b. Preventif (pencegahan)

Pada upaya preventif (pencegahan), terdiri dari : Pencegahan

primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat faktor risiko,

tidak ada penyakit, dan promosi kesehatan. Pencegahan sekunder,

meliputi pemeriksaan terhadap penderita tanpa gejala, dari awal


22

penyakit hingga terjadi gejala penyakit belum tampak secara klinis, dan

mengidap faktor risiko.

Pencegahan tersier, dilakukan sesudah terdapat gejala penyakit

dan cacat, mencegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta

perawatan bertahap (perawatan di rumah sakit, rehabilitasi pasien rawat

jalan, dan perawatan jangka panjang).

c. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan pengobatan).

Diagnosis dini dapat dilakukan oleh lansia sendiri atau petugas

professional dan petugas institusi.

d. Disability limitation (pembatasan kecacatan).

Langkah-langkah yang dilakukan adalah : pemeriksaan

(assement), identifikasi masalah (problem idenfication), perencanaan

(planning), pelaksanaan (implementation), dan penilaian (evaluation).

e. Rehabilitatif (pemulihan)

Pelaksana rehabilitasi dalam tim rehabilitasi (petugas media,

petugas paramedic, serta petugas nonmedis). Sifat pelayanan

keperawatan gerontik adalah : independent (mandiri) interdependent

(kolaborasi), humanistic (manusiawi), dan holistic (menyeluruh).

4. Peran Keperawatan Gerontik

Menurut Siti Maryam R, (2008) dalam (Muhith, Abdul & Sandu,

2016) peran keperawatan gerontik yaitu:


a. Sebagai care giver, artinya memberikan asuhan keperawatan pada

lansia yang meliputi intervensi, observasi, pendidikan kesehatan, dan

menjalankan tindakan medis dengan pendelegasian yang diberikan.

b. Sebagai edukator (pendidik), artinya perawat membantu lansia

meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang

terkait dengan keperawatan dan tindakan medik yang diterima sehingga

pasien/keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang

diketahuinya.

c. Sebagai motivator, artinya perawat memberi motivasi kepada lansia.

Perawat memberikan dukungan positif atas keadaan yang dialami

lansia.

d. Sebagai advokasi, artinya perawat berfungsi sebagai penghubung antara

pasien dengan tim kesehatan lain, membela kepentingan pasien, dan

membantu pasien memahami semua inrormasi dan upaya kesehatan

yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional

maupun professional.

e. Sebagai konselor, artinya perawat sebagai pemberi

bimbingan/konseling. Perawat memberikan konseling kepada pasien,

keluarga, dan masyarakat tentang maslah kesehatan sesuai prioritas.

D. Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Hambatan Mobilitas Fisik

1. Pengkajian

Pengkajian pada pasien hambatan mobilitas fisik menurut

Nasrullah Dede, (2016) yaitu:


24

a. Identitas pasien

Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur,status

perkawinan, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit/panti.

b. Riwayat penyakit sekarang

Pengkajian meliputi alasan pasien yang menyebabkan terjadi

keluhan hambatan mobilitas fisik, seperti adanya nyeri, kelemahan otot,

kelelahan, tingkat hambatan mobilitas, daerah terganggunya karena

hambatan mobilitas dan lama terjadinya hambatan mobilitas.

c. Riwayat penyakit yang pernah diderita

Pengkajian meliputi riwayat penyakit pasien, seperti adanya

riwayat penyakit sistem neurologis (kecelakaaan cerebrovascular, trauma

kepala, peningkatan tekanan intrakarnial, dan lain-lain), riwayat penyakit

sistem kardiovaskuler (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat

penyakit sistem musculoskeletal (osteoporosis, fraktur, artrutis), riwayat

penyakit sistem pernafasan (riwayat paru obstruksi menahun, pneumonia,

dan lain-lain).

d. Pemeriksaan fisik

1) Sistem metabolik

Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan

pengukuran antropometri untuk mengevaluasi atrofi otot,

menggunakan pencatatan asupan dan haluran serta data laboratorium

untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit maupun kadar serum


protein, mengkaji asupan makanan dan pola eliminasi pasien untuk

menentukan perubahan fungsi gastrointestinal.

2) Sistem respiratori

Pengkajian pada sistem respiratori harus dilakukan minimal

setiap dua jam pada klien yang mengalami keterbatasan aktivitas.

Pengkajian pada sistem respiratori, meliputi:

a. Inspeksi : pergerakan dinding dada selama siklus inspirasi-ekspirasi

penuh. Jika pasien mempunyai area atelectasis, gerakan dadanya

menjadi simetris.

b. Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi

gangguan suara nafas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus

berfokus pada area paru-paru yang tergantung karena sekresi paru

cenderung menumpuk di area bagian bawah.

3) Sistem kardiovaskuler

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler meliputi:

a. Memantau tanda-tanda vital

b. Mengevaluasi nai apeks dan nadi perifer. Pada sebagian lansia,

jantung tidak dapat mentoleransi peningkatan beban kerja, dan

berkembang menjadi gagal jantung. Memantau nadi perifer

memungkinkan perawat mengevaluasi kemampuan jantung

memompa darah.), edema


26

c. Observasi tanda-tanda adanya statis vena (misal, edema dan

penyembuhan luka yang buruk mengeidentifikasikan

ketidakmampuan jantung menangani peningkatan beban kerja. Jika

jantung tidak mampu mentoleransi peningkatan beban kerja, maka

area tubuh perifer seperti tangan, kaki, hidung, dan daun telinga

akan lebih dingin dari area pusat tubuh.

4) Sistem musculoskeletal

Kelainan musculoskeletal utama dapat diidentifikasi selama

pengkajian meliputi penurunan tonus otot, kehilangan massa otot, dan

kontarktur. Gambaran pengukuran antropometri mengidentifikasikan

kehilangan tonus dan massa otot. Pengkajian rentang gerak adalah

penting data dasar yang mana hasil pengukuran nantinya

dibandingkan untuk mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi.

Rentang gerak diukur dengan menggunakan goniometer. Pengkajian

rentang gerak dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan,

panggul, dan kaki.

5) Sistem integument

Perawat harus terus menerus mengkaji kulit pasien terhadap

tanda-tanda kerusakan. Kulit harus diobservasi ketika pasien bergerak,

diperhatikan higienisnya, atau dipenuhi kebutuhan eliminasinya.

Pengkajian minimal harus dilakukan dua jam.

6) Sistem eliminasi
Sistem eliminasi pasien harus dievaluasi setiap shift, dan total

asupan dan pengeluaran dievaluasi setiap 24 jam. Perawat harus

menentukan bahwa pasien menerima jumlah dan jenis cairan melalui

oral atau parental dengan benar. Pengkajian status eliminasi juga

meliputi frekuensi dan konsistensi pengeluaran feses.

e. Pengkajian status fungsional

Pengkajian status fungsional ini meliputi pengukuran kemampuan

seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari, penentuan

kemandirian, mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien, serta

menciptakan pemilihan intervensi yang tepat. Instrument yang biasa

digunakan dalam pengkajian status fungsional adalah:

1) Indeks Katz

Pengkajian ini digunakan untuk menentukan tingkat

kemandirian dalam hal : mandi, berpakaian, ke kamar kecil,

berpindah, kontinen dan makan (Sunaryo,dkk, 2016)

Tabel 2.1 Indeks Kemandirian Katz (Sunaryo dkk, 2016)

No Aktivitas Mandiri Tergantung

1 Mandi

Mandiri: bantuan hanya pada satu

bagian mandi (seperti punggung

atau ekstremitas yang tidak

mampu) atau mandi sendiri

sepenuhnya.

Tergantung: bantuan mandi lebih

dari satu bagian tubuh, bantuan


28

masuk dan keluar dari bak mandi

serta tidak bisa mandi sendiri

2 Berpakaian

Mandiri: mengambil baju dari

lemari, memakai pakaian,

melepaskan pakaian,

mengancing/mengikat pakaian.

Tergantung : tidak dapat memakai

baju sndiri

3 Ke kamar kecil

Mandiri : masuk dan keluar dari

kamar kecil kemudian

membersihkan genetalia sendiri

Tergantung : menerima bantuan

untuk masuk ke kamar kecil dan

menggunakan pispot

4 Berpakaian

Mandiri : berpindah dan duduk

lalu bangkit sendiri

Tergantung :

Bantuan dalamnaik atau turun dari

tempt tidur atau kursi, tidak

melakukan sesuatu atau

perpindahan

5 Kontinen

Mandiri : BAB & BAK

seluruhnya dikontrol sendiri


Tergantung :

Inkontinensia parsial atau total,

penggunaan kateter, enema, dan

pembalut (pampers)

6 Makan

Mandiri : mengambil makanan

dari piring dan menyuapinya

sendiri

Tergantung :

Bantuan dalam hal mengambil

makanan dari piring dan

mmenyuapinya, tidak makan

sama sekali, dan makan parental

(NGT)

Keterangan :

Beri tanda (v) pada point yang sesuai kondisi klien

Analisa hasil :

Nilai A : kemandirian dalam hal makan, kontinen (BAB/BAK),

berpindah, kekamar kecil, mandi dan berpakaian.

Nilai B : kemandirian dalam semua hal kecuali dari fungsi ersebut

Nilai C : kemandirian dalam semua hal kecuali mandi dan satu fungsi

tambahan

Nilai D : kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian,

dan fungsi tambahan


30

Nilai E : kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian,

kekamar kecil dan fungsi tambahan

Nilai F : kemandirian dalam semua hal kecuali mandi, berpakaian,

kekamar kecil, berpindah dan fungsi tambahan

Nilai G : ketergantungan pada keenam fungsi tersebut

2) Mini-Mental State Exam (MMSE)

Pengkajian ini digunakan untuk menguji aspek kognitif dari

fungsi mental : orientasi, registrasi, perhatian, kalkulasi, mengingat

kembali, dan bahsa (Sunaryo dkk,2016)

Tabel 2.2 MMSE (Sunaryo dkk,2016)

Nilai Pasien Pertanyaan

Maksimum

Orientasi

5 5 (Tahun, musim, tanggal, hari, bulan apa sekarang?)

5 5 Dimana kita : (Negara bagian mana, wilayah, kota, rumah

sakit, lantai berapa?)

Registrasi

3 3 Sebutkan nama 3 objek : 1 detik untuk mengatasi masing-

masing. Beri 1 poin untuk setiap jawaban yang benar

Perhatian dan

kalkulasi

5 2 Seri 7’s 1 poin untuk setiap kebenaran berhenti setelah 5

jawaban. Berganti eja “kata” ke belakang

Mengingat

3 3 Meminta untuk mengulang ketiga objek diatas, berikan 1


poin untuk setiap kebenaran

Bahasa

9 9 Nama pensil dan melihat (2poin)

Mengulang hal berikut : tidak ada jika, dana tau tetapi (1

poin)

Skor :

24-30 : Normal

17-33 : Probable gangguan kognitif

0-16 : Definitif gangguan kognitif

3) Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)

Pengkajian ini digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat

kerusakan intelektual. Instrument SPMSQ terdiri dari 10 pertanyaan

tentang orientasi, riwayat pribadi, memori dalam hubungannya dengan

kemampuan perawatan diri, memori jauh dan kemampuan matematis

(Sunaryo dkk, 2016).

Tabel 2.3 SPMSQ (Sunaryo dkk,2016)

Benar Salah Nomor Pertanyaan

1 Tanggal berapa hari ini?

2 Hari apa sekarang?

3 Apa nama tempat ini?

4 Dimana alamat anda?

5 Berapa anak anda?

6 Kapan anda lahir?


32

7 Siapakah presiden Indonesia saat ini?

8 Siapakah presiden Indonesia sebelumnya?

9 Siapakah nama Ibu anda?

10 Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari

setiap angka baru semua secara menurun

Jumlah

Interpretasi :

Salah 0-3 : Fungsi intelektual utuh

Salah 4-5 : Fungsi intelektual kerusakan ringan

Salah 6-8 : Fungsi intelektual kerusakan sedang

Salah 9-10 : Fungsi intelektual kerusakan berat

4) Geriatric Depression Scale (GDS)

Geriatric Depression Scale (GDS) merupakan instrument yang

disusun secara khusus untuk memeriksa depresi. Instrument ini terdiri

dari 30 atau 15 pertanyaan dengan jawaban YA atau TIDAK (Sunaryo

dkk, 2016).

Tabel 2.4 Skala Depresi Geriatrik (Sunaryo dkk, 2016)

NO PERTANYAAN

1 Apakah anda sebe2narnya puas dengan kehidupan anda?2 TIDAK

2 Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan YA

minat / kesenangananda/

3 Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? YA

4 Apakan anda merasa bosan? YA

5 Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat? TIDAK


6 Apakah anda merasa takut sesuatu yang buruk akan terjadi YA

pada anda?

7 Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup TIDAK

anda?

8 Apakah anda merasa sering tidak berdaya? YA

9 Apakah anda lebih sering dirumah daripada pergi keluar YA

dan mengerjakan sesuatu hal yang baru?

10 Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan YA

daya ingat anda dibandingkan kebanyakan orang?

11 Apakah anda pikir bahwa kehidupan anda sekarang TIDAK

menyenangkan?

12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda YA

saat ini?

13 Apakah anda merasa penuh semangat? TIDAK

14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada YA

harapan?

15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya YA

daripada anda?

Setiap jawaban yang sesuai mempunyai skor “1”

Skor 5-9 : Kemungkinan depresi

Skor 10 atau lebih : Depresi

2. Diagnosa

Menurut Wilkinson (2016), diagnosa keperawatan dari mobilitas fisik

adalah:

a. Hambatan Mobilitas Fisik


34

Definisi : Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada

tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (sebutkan tingkatnya) :

Tingkat 0 : Mandiri total

Tingkat 1 : Memerlukan bantuan dari orang lain untuk

pertolongan, pengawasan, atau pengajaran

Tingkat 2 : Membutuhkan bantuan dari orang lain dan

peralatan atau alat bantu.

Tingkat 3 : Ketergantungan, tidak berpartisipasi dan aktivitas.

b. Hambatan Berkursi Roda

Definisi : Keterbatasan mengoperasikan kursi roda secara mandiri pada

lingkungan tertentu.

c. Hambatan Mobilitas di Tempat Tidur

Definisi : Keterbatasan kebebasan bergerak diatas tempat tidur dari satu

ke posisi yang lain.

3. Intervensi

a. Hambatan Mobilitas Fisik

1) Hasil NOC

Ambulasi : kemampuan untuk berjalan dari suatu tempat ke

tempat lain secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu.

Keseimbangan : kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan

tuuh. Peforma mekanika tubuh : tindakan personal untuk

mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat dan untuk mencegah

ketegangan otot skeletal. Pergerakan sendi : rentang pergerakan sendi


dengan inisiatif sendiri. Mobilitas : kemampuan untuk bergerak secara

bertujuan dalam lingkungan sendiri dengan atau tanpa alat bantu.

Fungsi skeletal : kemampuan tulang untuk menyokong tubuh dan

memfasilitasi pergerakan. Performa berpindah : kemampuan untuk

mengubah letak tubuh scara mandiri dengan atau tanpa alat bantu.

2) Tujuan / Kriteria hasil

Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator (berat,

sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan), keseimbangan,

koordinasi, performa posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot, berjalan,

dan bergerak dengan mudah. Memperlihatkan penggunaan alat bantu

secara benar dengan pengawasan. Meminta bantuan untuk aktivitas

mobilisasi jika diperlukan. Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari

secara mandiri dengan alat bantu. Menyangga berat badan. Berjalan

menggunakan langkah-langkah yang benar. Berpindah dari satu

tempat ke tempat lain.

3) Intervensi NIC

Promosi mekanika tubuh : memfasilitasi penggunaan postur dan

pergerakan dalam aktivitas sehari-hari untuk mencegah keletihan dan

ketegangan atau cedera mukuloskeletal. Promosi latihan fisik :

memfasilitasi aktivitas fisik teratur untuk mempertahankan atau

meningkatkan ke tingkat kemampuan dan kesehatan yang lebih

tinggi . promosi latihan fisik : Latihan kekuatan : Memfasilitasi


36

pelatihan otot resistatif secara rutin iuntuk mempertahankan atau

meningkatkan kekuatan otot.

Terapi latihan fisik : ambulasi : meningkatkan dan membantu

dalam berjalan untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi

tubuh autonom dan volunteer selama pengobatan dan pemulihan dari

kondisi sakit atau cedera. Terapi latihan fisik keseimbangan:

Menggunakan aktivitas, postur, dan gerakan tertentu untuk

mempertahankan, meningkatkan, atau memulihkan keseimbangan.

Terapi latihan fisik: Mobilitas sendi : menggunakan gerakan tubuh

aktif dan pasif untuk mempertahankan atau mengembalikan

fleksibilitas sendi. Terapi latihan fisik : Pengendalian otot :

menggunakan aktivitas tertentu atau protokol latihan yang sesuai

untuk meningkatkan atau mengembalikan gerakan tubuh yang

terkendali. Pengaturan posisi : mengatur posisi pasien atau bagian

tubuh pasien secara berhati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan

fisiologis atau psikologis.

4) Aktivitas Keperawatan

Pengkajian merupakan proses yang kontinu untuk menentukan

tingkat performa hambatan mobilitas pasien.

a) Aktivitas Keperawatan Tingkat 1

Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan

dirumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan

lama. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu


mobilitas (misal, tongkat, walker, kruk, atau kursi roda). Ajarkan

dan bantu pasien dalam proses berpindah (misal, dari tempat tidur

ke kursi). Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan.

Berikan penguatan positif selama aktivitas. Bantu pasien

untuk menggunakan alas kaki antiselip yang mendukung untuk

berjalan. Pengaturan posisi (NIC) : Ajarkan pasien bagaimana

menggunakan postur dan mekanika tubuh yang benar saat

melakukan aktivitas. Pantau ketetapan pemasangan traksi.

b) Aktivitas Keperawatan Tingkat 2

Kaji kebutuhan belajar pasien. Kaji kebutuhan terhadap

bantuan pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan dirumah dan

alat kesehatan yang tahan lama. Ajarkan dan dukung pasien dalam

latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan atau

meningkatkan serta mempertahankan kekuatan ekstremitas atas.

Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman.

Innstruksikan pasien untuk menyangga barat badan. Instruksikan

pasien untuk memerhatikan kesejajaran tubuh yang benar. Gunakan

ahli terapi fisik dan okupusi sebagai suatu sumber untuk

mengembangkan perencanaan dan mempertahankan atau

meningkatkan mobilitas. Berikan penguatan positif selama

aktivitas. Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien, jika

diperlukan. Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan

ambulasi atau berpindah.


38

c) Aktivitas Keperawatan Tingkat 3 dan 4

Tentukan tingkat motivasi pasien untuk mempertahankan

atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot. Gunakan ahli terapi

fisik dan okupusi sebagai sumber dalam perencanaan aktivitas

perawatan pasien. Dukung pasien dan keluarga untuk memandang

keterbatasan dengan realistis. Berikan penguatan positif selama

aktivitas. Berikan analgesic sebelum memulai latihan fisik. Susun

rencana yang spesifik, seperti : tipe alat bantu, posisi pasien

ditempat tidur atau kursi, cara memindahkan dan mengubah posisi

pasien, jumlah personel yang dibutuhkan untuk memobilisasi

paasien, peralatan eliminasi yang diperlukan (misal, pispot, urinal,

dan pispot fraktur).

Pengaturan posisi (NIC) : pantau pemasangan alat traksi

yang benar, letakkan matras atau tempat tidur terapeutik dengan

benar, atur posisi pasien dengan kesejajaran tubuh yang benar,

letakkan pada posisi terapeutik (misal, imobilisasi atau sangga

bagian tubuh yang terkena), ubah posisi pasien yang imobilisasi

minimal setaip dua jam, berdasarkan jadwal spesifik, letakkan

tomnol pengubah posisi tempat tidur dan lampu pemanggil dalam

jangkauan pasien, dukung latihan ROM aktif atau pasif jika

diperlukan.

5) Perawatan di Rumah
Kaji lingkungan rumah terhadap kendala dalam mobilitas

(misal, anak tangga, lantai tidak rata). Rujuk untuk mendapat layanan

bantuan kesehatan di rumah dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Rujuk ke pelayanan fisioterapi untuk memperoleh latihan kekuatan,

keseimbangan, dan cara berjalan. Anjurkan untuk berlatih bersama

anggota keluarga atau teman. Ajarkan cara bangun dari tempat tidur

secara perlahan.

Untuk lansia pantau komplikasi imobilitas (misal, pneumonia,

ulkus dekubitus), yang terjadi lebih cepat pada individu lansia.

Evaluasi adanya depresi dan gangguan kognisi. Pantau hipotensi

ortostatik : saat membantu klien bangun dari tempat tidur, minta klien

untuk duduk, menjuntaikan kakinya sebelum berdiri.

b. Hambatan Berkursi Roda

1) Hasil NOC

Ambulasi : kursi roda : kemampuan untuk berpindah dari satu

tempat ke tegmpat lain menggunakan kursi roda. Keseimbangan :

Kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Gerakan

terkoordinasi : Kemampuan otot bekerja bersama secara volunteer

dalam menghasilkan gerakan yang bertujuan. Mobilitas : Kemampuan

untukbergerak secara bertujuan dalam lingkungan sendiri secara

mandiri dengan atau tanpa alat bantu. Performa berpindah :

kemampuan untuk mengubah letak tubuh secara mandiri dengan atau

tanpa alat bantu.


40

2) Tujuan / Kriteria Hasil

Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator

(sebutkan 1-5 gangguan eksterm, berat, sedang, ringan atau tidak

mengalami gangguan). Keseimbangan, koordinasi, dan peforma posisi

posisi tubuh. Performa berpindah. Memperlihatkan ambulasi : Kursi

roda : yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5 :

gangguan eksterm, berat sedang, ringan, atau tidak mengalami

gangguan). Menggerakkan kursi roda dengan aman. Mendorong kursi

roda dalam jarak dekat/sedang/jauh.

3) Intervensi NIC

Promosi latihan fisik : Latihan kekuatan : Memfasilitasi

pelatihan otot resiatif secara rutin untuk mempertahankan atau

meningkatkan kekuatan otot. Terapi latihan fisik : keseimbangan :

Menggunakan aktivitas, postur, dan gerakan tertentu untuk

mempertahankan, meningkatkan, atau mengembalikan keseimbangan.

Terapi latihan fisik. Pengendalian otot : Menggunakan aktivitas

spesifik atau protokol latihan yang sesuai untuk meningkatkan

kenyamanan, meningkatkan integritas kulit, dan mendukung

kemandirian. Bantuan perawatan diri : Berpindah : Membantu

individu untuk mengubah lokasi tubuh.

4) Aktivitas Keperawatan

Kaji kebutuhan belajar pasien tentang penggunaan kursi roda.

Kaji mobilitas sendi dan kekuatan otot. Kaji kemampuan kognitif.


Tentukan tingkat motivasi pasien untuk menggunakan kursi roda.

Pengaturan posisi : Kursi roda (NIC): Cek posisi pasien dikursi roda

saat pasien duduk dengan bantalan tertentu dan menggunakan alas

kaki yang tepat. Pantau ketidakmampuan pasien untuk

mempertahankan sikap tubuh yang benar di kursi roda. Penyuluhan

untuk pasien/keluarga, ajarkan pasien dalam latihan latihan untuk

meningkatkan kekuatan tubuh bagian atas, jika diperlukan. Ajarkan

bagaimana menggunakan kursi roda, jika diperlukan.

Aktivitas Kolaboratif : kolaborasikan dengan ahli terapi

fisk/okupusi jika diperlukan (misal, untuk memastikan ukuran dan tipe

kursi roda yang sesuai untuk pasien). Aktivitas lain : Berikan

penguatan positif selama aktivitas. Awasi penggunaan kursi roda di

trotoar atau jalanan menurun. Dukung pasien dan keluarga u ntuk

memandang keterbatasan secara realistis. Pengaturan posisi : Kursi

roda (NIC) : Periksa bahwa kaki diletakkan minimal 5 cm dari

permukaan lantai. Pastikan bahwa jarak ujung depan kursi roda

minimal 5 sampai 7,5 cm dari bagian belakang lutut. Lakukan

modifikasi atau berikan peralatan tambahan pada kursi roda untuk

memperbaiki permasalahan pasien atau kelemahan otot.

Perawatan di rumah : Semua intervensi yang dibahas

sebelumnya sesuai diterapkan dalam perawatan rumah. Lihat juga

intervensi perawatan dirumah untuk hambatan mobilitas fisik. Kaji

kebutuhan untuk memperoleh bantuan dari layanan kesehatan rumah


42

dan kebutuhan untuk memodifikasi khusus pada kursi roda (misal,

dilengkapi motor penggerak). Untuk lansia, lihat intervensi dan

hindari menggunakan restrain untuk menahan agar pasien tetap dikursi

roda.

c. Hambatan Mobilitas di Tempat Tidur

1) Hasil NOC

Pengaturan posisi tubuh : Kemauan sendiri : kemampuan untuk

mengubah sendiri posisi tubuh secara mandiri dengan atau tanpa alat

bantu. Gerakan terkoordinasi : kemampuan obat untuk bekerja sama

secara volunteer dalam menghasilkan suatu gerakan yang terarah.

Mobilitas : kemampuan untuk bergerak secara terarah dalam

lingkungan sendiri secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu.

2) Tujuan / Kriteria hasil

Menacapai mobilitas di tempat tidur, yang dibuktikan oleh

Pengaturgan posisi tubuh : kemauan sendiri, gerakan terkoordinasi,

dan mobilitas yang memuaskan. Mendemonstrasikan mobilitas, yang

dibuktikan oleh indikator, (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem, berat,

sedang, ringan atau tidak mengalami gangguan): koordinasi, performa

posisi tubuh dan pergerakan otot dan sendi.

3) Intervensi NIC

Perawatan tirah baring : meningkatkan kenyamanan dan

kemanan serta pencegahan komplikasi untuk pasien yang tidak

mampu bangun. Promosi mekanikan tubuh : memfasilitasi


penggunaan postur dan pergerakkan dalam aktivitas sehari-hari untuk

mencegah keletihan dan ketegangan atau cedera mukuloskeletal.

Promosi latihan fisik : latihan kekuatan : memfasilitasi pelatihan otot

resistif secara rutin untuk mempertahankan atau meningkatkan

kekuatan otot.

Terapi latihan fisik: Mobilitas sendi : menggunakan gerakan

tubuh aktif atau pasif untuk mempertahankan atau mengembalikan

fleksibilitas sendi. Terapi latihan fisik : Pengendalian otot :

menggunakan aktivitas spesifik atau protokol latihan menggunakan

aktivitas spesifik atau protokol latihan yang sesuai untuk

meningkatkan atau mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali.

Pengaturan posisi : Mengatur penempatan atau bagian tubuh pasien

secara berhati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan fisiologis dan

psikologis. Bantuan perawatan diri : Membantu orang lain dalam

melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari

4) Aktivitas keperawatan

Lakukan pengkajian mobilitas pasien secara terus menerus. Kaji

tingkat kesadaran. Kaji kekuatan otot dan mobilitas sendi. Penyuluhan

untuk pasien/keluarga : Latih rentang gerak pergerakkan sendi aktif

dan pasif untuk memparbaiki kekuatan dan daya tahan otot. Latih

teknik membalik dan memperbaiki kesejajaran tubuh.

Aktivitas kolaboratif: Gunakan ahli terapi fisik/okupusi sebagai

sumber dalam penyusunan rencana untuk mempertahankan dan


44

meningkatkan mobilitas di tempat tidur. Aktivitas lain : Tempatkan

tombol atau lampu pemanggil bantuan di tempat yang mudah diraih.

Berikan alat bantu (misal, trapeze). Berikan penguatan positif selama

aktivitas. Lakukan tindakan pengendalian nyeri sebelum memulai

latihan atau terapi fisik. Pastikan rencana perawatan mencakup jumlah

personel yang dibutuhkan untuk membalik posisi pasien.

Aktivitas dirumah : Intervensi diatas juga tepat untuk perawatan

dirumah. Kaji kemampuan pemberian asuhan untuk menggerakkan

dan membalikkan posisi klien. Kaji pentingnya bantuan dari agen

layanan kesehatan rumah. Kaji kebutuhan penggunaan alat medis

dalam jangka waktu yang lama. Gunakan tempat tidur pasien yang

biasanya jika memungkinkan. Beri saran memindahkan tempat tidur

pasien ke area di dalam rumah yang mudah dicapai dan pasien dapat

berinteraksi dengan keluarga.

4. Implementasi

Menurut Padila (2014), implementasi rencana asuhan keperawatan

yaitu melaksanakan apa yang telah direncanakan, isinya berupa intervensi-

intervensi keperawatan yang telah ditetapkan.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah proses menilai apa yang telah dicapai dan bagimana

yang telah dicapai. Merupakan identifikasi sejauuh mana tujuan dari rencana

keperawatan tercapai atau tidak. Jenis evaluasi, yaitu evaluasi formatif :

respon hasil / respon segera setelah melakukan intervensi, evaluasi sumatif :


rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada waktu

tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan evaluasi.

BAB III

METODE PENULISAN

A. Desain Penulisan

Studi kasus ini adalah studi mngeksplorasi Asuhan Keperawatan Lanjut Usia

Pada Pasien dengan Hambatan Mobilitas Fisik di Desa Paya Bujok Seulemak

Kecamatan Langsa Baro.

B. Batasan Istilah

` Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan professional yang

didasarkan ilmu dan kiat keperawatan gerontik yang berbentuk biopsiko-sosial-

kultural dan spiritual yang komperehensif, ditunjukkan pada pasien lanjut usia

baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok/masyarakat

(Yuli, 2014).

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri

dan terarah pada tubuh satu ekstremitas atau lebih (Wilkinson, 2016)

C. Lokasi dan Waktu Penulisan

Lokasi di Desa Paya Bujok Seulemak Kecamatan Langsa Baro.

Direncanakan pada bulan Mei tahun 2022 selama sebanyak 4-6 kali kunjungan.

D. Teknik Pengumpulan Data


46

1. Wawancara (hasil anamnesis berisi tentang identitas pasien, riwayat penyakit

sekarang, dahulu, keluarga, dan lain-lain). Sumber data dari pasien, keluarga

perawat lain menggunakan format pengkajian sesuai dengan permintaan.


2. Observasi dan pemeriksaan (dengan IPPA : inspeksi, palpasi, perkusi,

auskultasi) pada sistem tubuh pasien.

3. Studi dokumentasi dan angket (hasil pemeriksaan diagnostic dan data lain yang

relevan).

E. Analisa data

Analisa data disaat penilitian di lapangan, sewaktu pengumpulan data

sampai semua terkumpul. Analisa data di lakukan dengan cara mengemukakan

fakta, selanjutnya membandingkan teori yang ada dan selanjutnya di tuangkan

dalam opini pembahasan.

Teknik analisa yang digunakan dengan cara menarasikan dengan jawaban yang di

peroleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam yang dilakukan untuk

menjawab rumusan masalah. Teknik anaisis yang digunakan dengan cara

observasi oleh peniliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk

selanjutnya di interpretasikan dan dibandingkan dengan teori yang ada sebagai

bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Adapun urutan

dalam analisa data adalah:

1. Pengumpulan data

Data hasil wawancara, observasi, dan dokumen hasil ditulis dalam

dokumentasi keperawatan.

2. Mereduksi Data
Data hasil wawancara yang terkumpul dikrlompokkan menjadi data

subjektif dan objektif di analisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostic

kemudian dibandingkan dengan normal

3. Penyajian Data

Penyajian data dapat dilakukan dengan table, gambar, bagan maupun teknik

relatif. Kerahasiaan dari pasien dijamin dengan jalan menggabungkan identitas

pasien.

4. Kesimpulan

Data yang disajikan kemudian di bahas lalu di bandingkan dengan hasil-

hasil proposal terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan. Penarikan

kesimpulan dapat dilakukan dengan metode induksi. Data yang dikumpulkan

terkait pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi.

Anda mungkin juga menyukai