Anda di halaman 1dari 58

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gangguan Penglihatan (Katarak)

1. Definisi

Gangguan persepsi sensori mengakibatkan pandangan seseorang

tidak jelas, padangan berkabut, pandangan ganda sehingga dapat

mengganggu seseorang dalam melihat. Seseorang yang mengalami

gangguan persepsi sensori maka akan menghambat aktivitasnya

(Mahmudah A, 2018). Mata adalah salah satu organ sensori manusia yang

berfungsi untuk menangkap stimulus cahaya yang kemudian akan

diinterpretasikan oleh otak menjadi persepsi yang dapat dikenali sehingga

manusia dapat melihat (Ludwig et al, 2019)

Fungsi utama mata adalah mengubah energi cahaya menjadi impuls

saraf, sehingga dapat diterjemahkan oleh otak menjadi gambar visual.

Dalam menghasilkan gambar visual yang tepat dan diinginkan terjadilah

proses yang sangat kompleks di mata. Proses tersebut dimulai adanya

gelombang sinar atau cahaya yang masuk ke mata (Hall, 2006 dalam

Sajiyo, dkk, 2019).

Katarak adalah suatu keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa

mata yang dapat menurunkan fungsi penglihatan seseorang dan penglihatan

seseorang menjadi buram (Mahmudah A, 2018). Katarak adalah cacat mata

yang disebabkan pengapuran pada lensa mata sehingga penglihatan

7
8

menjadi kabur dan daya akomodasi berkurang. Biasanya katarak terjadi

pada usia lanjut (Sajiyo, dkk, 2019).

Katarak adalah tertutupnya lensa mata sehingga pencahayaan dan

fokusing terganggu (retina) katarak terjadi pada semua umur namun yang

sering terjadi pada usia > 55 tahun. Tanda dan gejalanya berupa:

bertambahnya gangguan penglihatan. Pada saat membaca\beraktifitas

memerlukan pencahayaan yang lebih, kelemahan melihat dimalam hari,

penglihatan ganda.

Penurunan penglihatan pada lanjut usia umunya adalah dipengaruhi

oleh beberapa faktor diantaranya progesifitas dan pupil kekuningan pada

lensa mata, menurunnya vitous humor, perubahan ini dapat mengakibatkan

berbagai masalah pada usia lanjut seperti mata kabur, hubungan aktifitas

sosial, dan penampilan, pada usia yang berusia dari 60 tahun lensa mata

akan semakin keruh, beberapa orang tidak mengalami atau jarang

mengalami penurunan penglihatan seiring dengan bertambahnya usia

(Padila, 2018).

2. Klasifikasi Gangguan Penglihatan (Katarak)

Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) klasifikasi katarak ada enam jenis,

yaitu:

a. Katarak kongenitalis

katarak yang ditemukan pada bayi ketika lahir (atau beberapa saat

kemudia). Katarak kongenitalis bisa merupakan penyakit keturunan

(diwariskan secara autosomal dominan) atau bisa disebabkan oleh:


9

1) Infeksi kongenital, seperti campak jerman.

2) Berhubungan dengan penyakit metabolik, seperti galaktosemia.

Faktor resiko terdinya katarak kongenitalis adalah

a) Penyakit metabolik yang diturunkan.

b) Riwayat katarak dalam keluarga.

c) Infeksi virus pada ibu ketika bayi masih dalam kandungan

b. Katarak juvenile

Jenis katarak ini terlihat setelah usia 1 tahun, biasanya kelanjutan

dari katarak kongenital.

c. Katarak senilis

Jenis katarak ini tidak dapat dihindari, muncul karena proses

penuaan. Katarak jenis ini terjadi pada semua orang tanpa terkecuali.

d. Katarak sekunder\traumatik

Katarak ini dapat juga timbul sebagai efek dari cedera langsung

maupun tidak langsung di mata, baik dalam waktu dekat, maupun

bertahun-tahun kemudian.

e. Katarak radiasi

Katarak yang terjadi setelah seseorang menjalani perawatan radiasi

perawatan radiasi untuk kanker (Sumiyati, dkk, 2021)

f. Katarak pada dewasa biasanya berhubungan dengan proses penuaan.

Katarak pada dewasa dikelompokkan menjadi:

1) Katarak immatur: lensa masih memiliki bagian yang jernih.

2) Katarak matur: lensa sudah seluruhnya keruh.


10

3) Katarak hipermatur: bagian permukaan lensa yang sudah

menembus melalui kapsul lensa dan bisa menyebabkan

peradangan pada struktur mata lainnya

Banyak penderita katarak yang hanya mengalami gangguan

penglihatan yang ringan dan tidak sadar bahwa mereka menderita katarak.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya katarak adalah:

a) Kadar kalsium darah yang rendah.

b) Diabetes.

c) Pemakaian kortikosteroid jangka panjang.

d) Berbagai penyakit peradangan dan penyakit metabolic

e) Faktor lingkungan (trauma, penyinaran, sinar ultraviolet)

3. Anatomi dan Fisiologi

Bola mata dibagi menjadi 2 bagian, yaitu struktur ekstraokuler

(struktur diluar bola mata) dan struktur okuler (bola mata dan isinya).

GAMBAR 2.1 Skema Mata Manusia Kontribusi Oleh Pubmed Domain

Sumber: (Ludwig dan Czy, 2019).


11

a. Struktur Ekstraokuler

1) Kelopak Mata

Fungsi kelopak mata adalah untuk melindungi, memelihara,

dan menyokong kornea dan sklera anterior. Kelopak mata dibagi

menjadi 2 lamela, yaitu lamela anterior dan lamela posterior yang

dibatasi oleh garis abu-abu. Lamela anterior tersusun dari lapisan

epitelium dan otot orbikularis okuli, sedangkan lamela posterior

tersusun dari tarsus dan konjungtiva palpebra (Duong HQ, 2017).

2) Orbita

Orbita berbentuk kerucut yang terdiri atas:

a) Bagian dasar (tepi orbita) yang terbuka menuju garis tengah

wajah.

b) Bagian ujung yang mengerucut ke arah posterior (belakang)

kepala.

c) dan bagian yang disusun oleh empat dinding orbita. Pada orang

dewasa, orbita dibentuk oleh tujuh tulang, yaitu: tulang frontal,

tulang zygoma, tulang maksilla, tulang etmoid, tulang sfenoid,

tulang lakrimal, dan tulang palatina. Orbita mata mempunyai

volume sekitar 30 ml dengan ukuran 4 cm horizontal dan 3,5

cm vertikal. Fungsi utama orbita adalah melindungi mata dari

cedera fisik (Duong HQ, 2017).


12

3) Otot Ekstraokuler

Terdapat enam otot ekstraokuler yang mengontrol gerakan

mata, yaitu empat otot rektus (superior, inferior, medial, dan

lateral) dan dua otot oblik (superior dan inferior). Otot

ekstraokular bertanggung jawab untuk pergerakan bola mata dan

untuk sinkronisasi gerakan dari kelopak mata. Semua otot

ekstraokular kecuali otot obliqus inferior berasal dari puncak

(apex) orbita dan mengarah ke anterior. Keempat otot rektus

(superior, medial, lateral, dan rektus inferior) berasal dari

annulus Zinn (Cantor et al., 2016).

4) Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan mukosa tipis dan transparan

yang melapisi bagian paling depan dari sklera dan bagian dalam

kelopak mata. Konjungtiva dibagi menjadi regio limbal, bulbar,

forniks, dan palpebra. Konjungtiva diasosiasikan dengan:

a) sel goblet yang memproduksi mukus

b) kelenjar Krausse di forniks bagian atas

c) kelenjar lakrimal aksesoris Wolfring (Duong HQ, 2017).

5) Kelenjar Lakminal dan Sistem Nasokrimal

Kelenjar lakrimal terdiri atas lobus orbital yang berukuran

lebih besar dan lobus palpebra yang berukuran lebih kecil.

Kelenjar ini terletak di dalam fossa tulang frontal di orbita


13

superotemporal. Saluran dari kedua lobus melewati lobus

palpebral ke forniks konjungtiva superior (Cantor et al., 2016).

b. Struktur Okuler

1) Sklera

Sklera terdiri atas kolagen dan sedikit serat elastis yang

tertanam dalam matriks proteoglikan. Sklera lebih sedikit terhidrasi

dan memiliki susunan serat yang lebih tidak teratur jika

dibandingkan dengan kornea. Sklera memiliki ketebalan yang

berbeda, lapisan paling tipis ada pada belakang insersi otot,

sedangkan lapisan yang lebih tebal berada di posterior ke arah

limbus (Cantor et al., 2016).

Pada bagian depan, ketebalan sklera sekitar 0,6 mm; 0,3 mm

pada area insersi otot rektus; 0,5 mm pada bagian tengah; dan 1,0

mm pada bagian posterior. Sklera dilindungi oleh episklera yang

tersusun dari banyak pembuluh darah (Duong HQ, 2017).

Fungsi sklera yaitu untuk melindungi dan menyokong

penempatan otot mata. Pada bagian posterior, sklera ditembus oleh

saraf optik pada lamina kribrosa. Sklera yang bersifat permeabel

optik pada lamina kribrosa. Sklera yang bersifat permeabel

memungkinkan obat-obatan dimasukkan ke dalam bola mata

dengan cara disuntikkan ke dalam ruang subtenon. Sklera adalah

jaringan yang bersifat hidrofilik. Karakteristik ini menjadi bahan


14

pertimbangan penting dalam melakukan injeksi periokular dari zat-

zat farmakologis (Cantor et al., 2016).

2) Kornea

Kornea adalah penutup tembus pandang di mata yang

berfungsi membiaskan sinar cahaya dan memberikan 65% sampai

75% fokus kekuatan mata. Seiring bertambahnya usia mata, kornea

menjadi buram dan kuning, menganggu arus cahaya keretina.

Perubahan kornea lainnya, seperti akumulasi deposit lipid, bisa

menyebabkan peningkatan penyebaran cahaya dan menimbulkan

efek kabur pada penglihatan. Selain itu, perubahan terkait usia di

kornea mempengaruhi kemampuan refraktif (Ratnawati, 2018).

3) Iris

Iris adalah otot sfingter berpigmen yang melebar dan berfungsi

untuk mengendalikan ukuran pupil dan mengatur jumlah cahaya

yang mencapai retina. Dengan bertambahnya usia, iris menjadi

sklerotik dan kaku serta menyebabkan pupil mengecil. Perubahan

ini mengganggu kemampuan merespon cahaya yang minim dan

mengurangi jumlah cahaya yang sampai ke retina (Ratnawati,

2018).

4) Badan Sillar

Badan siliar merupakan jaringan cincin yang melingkari lensa

mata dan terdiri atas jaringan otot yang mengatur akomodasi mata

serta komponen pembuluh darah yang disebut prosesus siliaris


15

yang memproduksi akuos humor pada bilik mata belakang (Purves

et al., 2001 dalam Sajiyo, dkk, 2019).

5) Lensa mata

Lensa mata terdiri dari lapisan konsentris dan avaskular.

Bagian mata ini tidak memiliki suplai darah, sehingga kondisinya

tergantung pada aqueous humour untuk mendukung fungsi dan

metabolismenya. Serat lensa transparan terus terbentuk tanpa

meluruhkan lapisan sebelumnya. Seperti lapisan baru bentuk

periferal, lapisan tua didorong ke arah dalam, di mana mereka

akhirnya diserap ke dalam inti. Proses ini secara bertahap

meningkatkan ukuran dan kepadatan lensa menyebabkan tiga kali

lipat massanya hingga usia 70 tahun. Dengan demikian, lensa

secara bertahap menjadi lebih kaku, lebih padat, dan lebih buram.

Karena perubahan terkait usia ini, lensa bergerak maju dan kurang

responsif terhadap otot siliaris. Perubahan ini juga mengganggu

transmisi cahaya, menyebarkan sinar yang melewati lensa, dan

mengurangi jumlah cahaya yang mencapai retina. Ilah otot sfingter

berpigmen yang melebar dan mengurangi jumlah cahaya yang

mencapai retina (Ratnawati, 2018).

6) Bilik Mata

Bilik mata dibagi menjadi dua, yaitu bilik mata depan dan

bilik mata belakang. Bilik mata depan terletak di antara kornea

dan lensa, sedangkan bilik mata belakang merupakan ruang yang


16

dibatasi oleh belakang iris, lensa, dan badan silier. Bilik mata terisi

oleh cairan bening yang bernama akuos humor. Sebagian akuos

humor diproduksi oleh badan siliar, sedangkan sisanya merupakan

hasil difusi kapiler-kapiler dari prosesus siliaris. Akuos humor

dialirkan menuju kanalis Schlemm (scleral venous sinus) yang

dikeluarkan melalui trebekulum Meshwork (Duong HQ, 2017).

7) Retina

Proses transmisi cahaya dimulai dari kornea, kemudian bilik

mata depan yang di dalamnya terdapat akuos humor, lalu lensa

mata (melalui pupil), bilik mata belakang yang terisi oleh vitreus

humor, kemudian ditangkap oleh retina, lebih tepatnya di bagian

makula. Retina merupakan lapisan terdalam dari bola mata (Duong

HQ, 2017). Lapisan ini merupakan satu-satunya lapisan pada mata

yang mengandung sel saraf yang peka cahaya (fotoreseptor).

Lapisan ini sangat penting untuk menangkap stimulus dan

mentransmisikannya ke pusat penglihatan di otak (Purves et al.,

2001). Retina hanya dapat dilihat dengan alat bantu yang bernama

oftalmoskop.

8) Koroid

Koroid merupakan lapisan yang terdiri atas pembuluh-

pembuluh kapiler yang berfungsi untuk menyuplai sel-sel

fotoreseptor pada retina (Purves et al., 2001). Darah memasuki

koroid melalui arteri siliaris posterior. Lapisan luar dari pembuluh


17

koroid berukuran relatif tebal (yang dikenal sebagai lapisan

Haller). Pembuluh koroid pada lapisan ini bercabang menjadi

pembuluh yang berdiameter lebih kecil dan arteriol prekapiler

dalam suatu lapisan yang dikenal sebagai lapisan Sattler. Koroid

memiliki ketebalan maksimal di bagian posterior dengan ketebalan

0,22 mm dan menjadi semakin menipis di anterior (ora serrata)

dengan ketebalan 0,1 mm (Cantor et al., 2016).

Terdapat empat lapisan yang menyusun koroid, yaitu (Doung

HQ, 2017):

a) Lapisan epikoroid: merupakan pembatas sklera dan koroid.

b) Lapisan pembuluh darah: mengandung melanosit.

c) Lapisan koriokapiler: dibatasi oleh endotel fenestrasi tipe II

yang menyuplai nutrisi ke bagian luar retina, dan

d) Membran Bruch: merupakan lapisan di antara retina dan

koriokapiler.

4. Etiologi

Menurut Untari (2019) ada beberapa penyebab dari gangguan

penglihatan, yaitu:

a. Presbiopi.

b. Kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang).

c. Kekeruhan pada lensa (katarak).


18

d. Iris mengalami proses degenerasi, menjadi kurang cemerlang dan

mengalami depigmentasi, tampak ada bercak bewarna muda sampai

putih.

e. Pupil kontriksi, refleks lemah.

f. Tekanan dalam mata (intra-okuler) meninggi, lapang pandang

menyempit, yang sering disebut dengan glaukoma.

g. Retina terjadi degenerasi gambaran fundus mata awalnya merah

jingga cemerlang, menjadi suram dan jalur-jalur berpigmen, terkesan

seperti kulit harimau.

h. Radang saraf mata.

5. Patofisiologi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih,

transparan, berbentuk seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi

yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona

sentral terhadap nukleus, diperifer ada korteks, dan yang mengelilingi

keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya

usia, nukleus mengalami perubahan warna menjadi cokelat kekuningan. Di

sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri dianterior dan posterior

nucleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang

paling bermakna nampak seperti cristal salju pada jendela. Perubahan fisik

dan kimia dalam lensa menyebabkan hilangnya transparansi. Perubahan

kimia dan protein lensa dapat menyebabkan penglihatan mengalami

distorsi. Perubahan kimia dan protein lensa dapat menyebabkan kogulasi,


19

sehingga mengaburkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya

ke retina. Katarak biasanya terjadi dilateral, namun mempunyai kecepatan

yang berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistematis,

seperti diabetes. Namun sebenarnya merupakan konsenkuensi dari proses

penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik dan

matang ketika orang memasuki dekade ketujuh. Katarak dapat bersifat

kongenital dan harus diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosis

dapat menyebabkan amblyopia dan kehilangan penglihatan permanen

(Ratnawati, 2018).
20

Pathway Katarak

Katarak

Usia: Penuaan Penyakit sistemik: DM

Lansia secara Korteks


bertahap memproduksi Kadar glukosa Ketidakseimban
kehilangan air serat lensa baru darah meningkat gan
metabolisme
protein mata
Metabolit larut Serat lensa Serbitol menetap Protein dalam
air dengan BM ditekan menuju didalam lensa serabut-serabut
rendah masuk sentral lensa dibawah
ke sel pada
kapsul
nucleus lensa
Distensi lensa mengalami
deturasi
Korteks lensa >
Hilangnya Protein lensa
terhidrasi
transparansi berkoagulasi
daripada
lensa
nucleus lensa

Lensa menjadi Kekeruhan lensa Mata buram


cembung Iris seperti kaca
terpotonng susu
kedepan

Sudut bilik mata Sinar terpantul Blocking sinar


depan sempit kembali yang masuk
kornea
Aliran COA tak Bayangan tidak
lancar sampai keretina Bayangan semu
yang sampai
keretina
TIO meningkat Pandangan >
jelas malam hari
Otak
Komplikasi mempresentasik
glaukoma Ketakutan an sebagai
bayangan
berkabut

Resiko cedera Gangguan Pandangan


resiko infeksi sensori kabur
perceptual
(visual)
21

Daya akomodasi
lensa terganggu
Membentuk Protein lensa
daerah keruh terputus disertai
menggatikan dengan influx
serabut-serabut air kelensa
Pupil kontriksi protein

Sinar tidak
Mata berarir Serabut lensa
tertampung
yang tegang
banyak pada
menjadi patah
siang hari

Transmisi sinar
Blurres vision terganggu

Pandangan > Menghambat


jelas malam hari jalan cahaya
keretina

Pandangan
berkabut

Resiko jatuh

GAMBAR 2.2 Pathway Katarak

Sumber: (Nurarif & Kusuma, 2015).


22

6. Tanda dan Gejala

Menurut buku asuhan keperawatan North American ing Diagnosis

Association (NANDA), Nursing Intervensi Classification (NIC), dan

Nursing Outcome Classification (NOC) (Nurarif & Kusuma, 2015), tanda

dan gejala katarak adalah:

a. Penglihatan akan suatu objek benda atau cahaya menjadi kabur, buram.

Bayangan benda terlihat seakan seperti bayangan semu atau seperti

asap.

b. Kesulitan melihat ketika malam hari.

c. Mata terasa sensitif bila terkena matahari.

d. Bayangan cahaya yang ditangkap seperti sebuah lingkaran.

e. Membutuhkan pasokan cahaya yang cukup terang untuk membaca atau

beraktifitas lainnya.

f. Sering mengganti kacamata atau lensa kotak karena merasa sudah

tidak nyaman menggunakannya.

g. Warna cahaya memudar dan cenderung berubah warna saat melihat,

misalnya cahaya putih yang ditangkap menjadi cahaya kuning.

h. Jika melihat hanya dengan satu mata, bayangan benda atau cahaya

terlihat ganda.
23

7. Penatalaksanaan

Menurut Suprapto, dkk, (2022) ada empat cara penatalaksaan katarak

antara lain:

a. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)

Merupakan tekhnik bedah yang digunakan sebelum adanya bedah

katarak ekstrakapsular. Seluruh lensa bersama dengan pembungkus

atau kapsulnya dikeluarkan. Diperlukan sayatan yang cukup luas dan

jahitan yang banyak (14-15mm). Prosedur tersebut relatif beresiko

tinggi disebabkan oleh insisi yang lebar dan tekanan pada badan

vitreus. Metode ini sekarang sudah ditinggalkan. Kerugian tindakan ini

antara lain, angka kejadian Cystoid macular edema dan retinal

detachment setelah operasi lebih tinggi, insisi yang sangat lebar dan

astigmatisma yang tinggi. Resiko kehilangan vitreus selama operasi

sangat besar.

b. Ekstra Capsular Cataract Surgery (ECCE)

Merupakan tekhnik operasi katarak dengan melakukan

pengangkatan nukleus lensa dan korteks melalui pembukaan kapsul

anterior yang lebar 9-10mm, dan meninggalkan kapsul posterior.

c. Small Incision Cataract Surgery (SICS)

Pada tekhnik ini insisi dilakukan di sklera sekitar 5.5mm-7.0mm.

Keuntungan insisi pada sklera kedap air sehingga membuat katup dan

isi bola mata tidak prolaps keluar. Dan karena insisi yang dibuat
24

ukurannya lebih kecil dan lebih posterior, kurvatura kornea hanya

sedikit berubah.

d. Phacoemulsification

Merupakan salah satu tekhnik ekstraksi katarak ekstrakapsuler

yang berbeda dengan ekstraksi katarak ekstrakapsular standar (dengan

ekspresi dan pengangkatan nukleus yang lebar). Sedangkan

fakoemulsifikasi menggunakan insisi kecil, fragmentasi nukleus secara

ultrasonik dan aspirasi korteks lensa dengan menggunakan alat

fakoemulsifikasi. Secara teori operasi katarak dengan fakoemulsifikasi

mengalami perkembangan yang cepat dan telah mencapai taraf bedah

refraktif oleh karena mempunyai beberapa kelebihan yaitu rehabilitasi

visus yang cepat, komplikasi setelah operasi yang ringan, astigmatisma

akibat operasi yang minimal dan penyembuhan luka yang cepat.

8. Pemeriksaan penunjang

Menurut buku asuhan keperawatan North American ing Diagnosis

Association (NANDA), Nursing Intervensi Classification (NIC), dan

Nursing Outcome Classification (NOC) (Nurarif & Kusuma, 2015),

pemeriksaan diagnostik antara lain:

a. Kartu mata snellen\mesin telebinokuler: mungkin terganggu dengan

kerusakan kornea, lensa, akueus\vitreus humor, kesalahan refraksi,

penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.

b. Lapang Penglihatan: penurunan mungkin karena massa otot, karotis,

glukoma.
25

c. Pengukuran Tonografi: TIO 12-25 mmHg).

d. Pengukuran Gonioskopi: membedakan sudut terbuka dari sudut

tertutup glukoma.

e. Tes Provokatif: menentukan adanya\tipe glaukoma

f. Oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik,

papiledema, perdarahan.

g. Darah lenkap, LED: menunjukkan anemi sistemik\infeksi.

EKG, kolesterol serum, lipid, Tes toleransi glukosa: kontrol DM.

9. Diet

Vitamin A lebih dikenal karena fungsi utamanya dalam penglihatan,

sebagai komponen penting dalam sel-sel penangkap cahaya. Kemampuan

memproduksi vitamin A tidak dapat dilakukan oleh tubuh, sehingga harus

mengandalkan asupan dari luar tubuh. Karenanya, kekurangan vitamin A

adalah penyebab utama kondisi kebutaan di negara berkembang. Vitamin

A dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sehingga individu lebih

rentan terhadap penyakit infeksi (Egbi, 2012).

Terapi utama pada katarak adalah pembedahan dengan mengganti

lensa mata yang baru. Diet tinggi beta karoten, selenium, lutein, omega 3,

vitamin C, dan vitamin E dapat memperlambat perkembangan katarak.

Suatu studi menyebutkan diet tinggi natrium dapat meningkatkan risiko

katarak (Azzaky & Nasution, 2022).


26

B. Konsep Dasar Lansia

Menurut WHO dan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang meyebutkan bahwa umur

60 tahun adalah usia pemulaan tua (Ratnawati, 2018).

Lansia atau lanjut usia merupakan kelompok umur pada manusia yang

telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Pada kelompok yang

dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging process

(Cunningham dan Brookbank, 1988). Lansia adalah seseorang yang berusia

60 tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi

kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya

(Manurung, dkk, 2020).

1. Pengertian Penuaan

Penuaan adalah proses alami perubahan fungsi tubuh, termasuk

perubahan fisiologis dan psikologis yang terjadi seiring bertambahnya usia

dan dapat mempengaruhi kesehatan manusia (Untari, 2016). Setiap

manusia secara alami akan mengalami penuaan, yang ditandai dengan

hilangnya fungsi fisik secara bertahap. Lansia akan menghadapi proses

penuaan yang terus menerus yang ditandai dengan menurunnya daya tahan

fisik seiring bertambahnya usia. Khususnya tubuh, komponen manusia ini

menjadi semakin rentan terhadap penyakit. Hal ini karena struktur, fungsi

sel, jaringan, dan sistem organ dalam tubuh akan berubah seiring

bertumbuhnya usia (Dieny et al., 2019).


27

Menurut World Health Organization (WHO), lanjut usia adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun. Manusia yanng telah

mencapai tahap akhir kehidupan disebut sebagai lanjut usia. Proses

penuaan akan mempengaruhi kelompok yang tergolong lansia. Proses

menua merupakan suatu merupakan suatu siklus hidup yang ditandai

dengan meningkatnya kepekaan tubuh terhadap penyakit yang dapat

menyebabkan kematian, seperti yang menyerang sistem kardiovaskular

dan pembuluh darah, pernapasan, pencernaan, sistem endokrin, dan

sebagainya. Akibatnya akan berdampak pada (Activity of daily living)

aktivitas sehari-hari lansia (Fatimah, 2010 dalam Dewi, dkk, 2022).

2. Teori-Teori Proses Penuaan

Nugroho (2006), mengelompokkan teori proses menua dalam dua

bidang, yakni bologi dan sosiologi.

a. Teori biologi

1) Teori genetik

a) Teori genetic clock

Teori ini merupakan teori instrinsik yang menjelaskan bahwa

ada jam biologis di dam tubuh yang berfungsi untuk mengatur

gen dan menentukan proses penuaan.

b) Teori mutasi somatik

Teori ini meyakini bahwa penuaan terjadi karena adanya

mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk.

Kesalahan yang terjadi terus menerus akhirnya menimbulkan


28

penurunan fungsi organ atau perubahan sel menjadi kanker atau

penyakit. Setiap sel tersebut kemudian akan mengalami mutasi,

seperti mutasi sel kelamin sehingga terjadi penurunan

kemampuan fungsional sel.

2) Teori nongenetik

a) Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory)

Pengulangan mutasi dapat menyebabkan penurunan

kemampuan sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri

(self-recognition) Seperti dikatakan Goldstein (1989) bahwa

mutasi yang merusak membran sel akan menyebabkan system

imun tidak mengenalinya. Hal inilah yang mendasari

peningkatan penyakit auto-imun pada lanjut usia.

b) Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory)

Teori ini terbentuk karena adanya proses metabolisme atau

proses pernapasan di dalam mitokondria. Radikal bebas ini di

anggap sebagai penyebab penting terjadinya kerusakan fungsi

sel. Adapun radikal bebas yang terdapat di lingkungan antara

lain:

1) Asap kendaraan bermotor

2) Asap rokok

3) Zat pengawet makanan

4) Radiasi
29

5) Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan

pigmen dan kolagen pada proses menua.

c) Teori menua akibat metabolisme

Menjelaskan bahwa metabolisme dapat mempengaruhi

proses penuaan.

d) Teori rantai silang (cross link theory)

Teori ini menjelaskan bahwa lemak, protein,

karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen yang bereaksi

dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan. Hal

tersebut menyebabkan adanya perubahan pada membran plasma

yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang

alastis dan hilangnya fungsi pada proses menua (Nugroho,

2006).

e) Teori fisiologi

Teori ini terdiri atas teori oksidasi stress dan teori

dipakai-aus (wear and tear theory).

b. Teori sosiologis

1) Teori interaksi sosial

Kemampuan lansia dalam mempertahankan interaksi sosial

merupakan kunci mempertahankan status sosialnya. Pokok-pokok

social exchange theory menurut Nugroho (2006) antara lain:

a) Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai

tujuannya masing-masing.
30

b) Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan

biaya dan waktu.

c) Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor

mengeluarkan biaya.

2) Teori aktivitas atau kegiatan

Menurut Nugroho (2006), Teori ini menyatakan bahwa lanjut

usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta

dalam kegiatan sosial. Padahal secara alamiah, mereka akan

mengalami penurunan julam kekuatan secara langsung.

3) Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)

Teori ini menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi pada

seorang lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang

dimilikinya (Nugroho, 2006). Menurutnya, ada kesinambungan

dalam siklus kehidupan lansia, di mana dimungkinkan pengalaman

hidup seorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada

saat ia menjadi lansia.

4) Teori pembebesan/penarikan diri (disengagement)

Teori yang pertama kali dianjurkan oleh Cumming dan

Herry (1961) ini menjelaskan bahwa dengan bertambah-lanjutnya

usia, seseorang berangsur-angsur akan mulai melepaskan diri dari

kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya.

Dengan demikian, kondisi ini akan berdampak pada penurunan

interaksi sosial lansia, baik secara kualitas maupun kuantitas


31

sehingga sering lanjut usia mengalami kehilangan ganda (triple

loss):

a) Kehilangan peran (loss of role).

b) Hambatan kontrak social (restriction of contact anda

relationship).

c) Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores

and values) (Ratnawati, 2018).

3. Batas-Batas Lanjut Usia

a. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), ada empat tahapan lanjut

usia yaitu:

1) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.

2) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.

3) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun.

4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.

b. Maryam (2008) mengklarifikasikan lansia antara lain:

1) Pralansia (prasenilis)

Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2) Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3) Lansia Risiko Tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih\ seseorang yang

berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI,

2003).
32

4) Lansia Potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang\jasa (Depkes RI, 2003).

5) Lansia Tidak Potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya

bergantung pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003).

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2015) lanjut usia

dikelompokkan menjadi usia lanjut (60-69 tahun) dan usia lanjut dengan

resiko tinngi (lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan)

(Ratnawati, 2018).

4. Ciri-ciri Lansia

Menurut (Harlock, 1980 dalam Ratnawati, 2018) terdapat empat

ciri-ciri lanjut usia, yaitu:

a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran

Sebagian pemicu terjadinya kemunduran pada lansia adalah faktor

fisik dan faktor psikologis. Dampak dari kondisi ini dapat

mempengaruhi psikologis lansia. Sehingga, setiap lansia membutuhkan

adanya motivasi. Motivasi berperan penting dalam kemunduran pada

lansia. Mereka akan mengalami kemunduran semakin cepat apabila

memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang

kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.


33

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Pandangan-pandangan negatif akan lansia dalam masyarakat sosial

secara tidak langsung berdampak pada terbentuknya status kelompok

minoritas pada mereka.

c. Menua membutuhkan perubahan peran

Kemunduran yang terjadi pada lansia berdampak pada perubahan

peran mereka dalam masyarakat sosial ataupun keluarga. Namun

demikian, perubahan peran ini sebaiknya dilakukan atas dasar

keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perilaku buruk lansia terbentuk karena perlakuan buruk yang

mereka terima. Perlakuan buruk tersebut secara tidak langsung

membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk.

5. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

a. Sel

1. Jumlah sel menurun.

2. Ukuran sel lebih besar.

3. Jumlah cairan tubuh dan cairan intraselular berkurang.

4. Proporsi protein di otak, ginjal, darah dan hati menurun.

5. Jumlah sel otak menurun.

6. Mekanisme perbaikan otak terganggu.

7. Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%.

8. Lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar.


34

b. Sistem Persarafan

1. Menurun hubungan persarafan.

2. Berat otak menurun 10-20% (sel otak setiap orang berkurang

setiap harinya).

3. Respon dan waktu untuk bereaksi lambat, khususnya terhadap

stres

4. Saraf panca-indra mengecil.

5. Kurang sensitif terhadap sentuhan.

6. Defisit memori.

c. Sistem Pendengaran

1. Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama

terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,

sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di atas 65 tahun.

2. Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.

3. Terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkat

keratin.

4. Fungsi pendengaran semakin menurun pada lanjut usia yang

mengalami ketegangan/stres.

5. Tinitus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi

atau rendah, bisa terus-menerus atau intermiten).

6. Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau

berputar).
35

d. Sintem Penglihatan

1. Sfingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar

menghilang.

2. Kornea lebih berbentuk sferis (bola).

3. Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas

menyebabkan gangguan penglihatan.

4. Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi tergadap

kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap.

5. Penurunan/hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi

presbyopia, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi

berkurangnya elastisitas lensa.

6. Lapang pandang menurun: luas pandangan berkurang.

7. Daya membedakan warna menurun, terutama pada warna biru dan

hijau pada skala.

e. Sistem Kardiovaskuler

1. Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

2. Elastisitas dinding aorta menurun

3. Paru kehilangan alastisitas, kapasitas residu meningkat, menarik

nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun

dengan kedalaman bernafas menurun.

4. Ukuran alveoli melebar (membesar secara progesif) dan jumlah

berkurang.
36

5. Berkurannya elastisitas bronkus.

6. Oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmhg.

7. Karbondioksida pada arteri tidak berganti. Pertukaran gas

terganggu.

8. Refleks dan kemampuan untuk batuk berkurang.

9. Sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun.

10. Sering terjadi emfisima senilis.

11. Kemampuan pegas dinding dada dan kekuatan otot pernafasan

menurun seiring bertambahnya usia.

f. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu

termostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu. Kemunduran terjadi

berbagai faktor yang mempengaruhinya. Yang sering ditemui antara

lain:

1. Temperatur tubuh menurun (hipotalamus) secara fisiologis ±35°C

akibat metabolisme yang menurun.

2. Pada kondisi ini, lanjut usia akan merasa kedinginan dan dapat pula

menggigil, pucat dan gelisah.

3. Keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas

yang banyak sehingga terjadi penurunan aktivitas otot.

g. Sistem Pernafasan

1. Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi, kehilangan

kekuatan, dan menjadi kaku.


37

2. Aktivitas silia menurun.

h. Sistem Pencernaan

1. Kehilangan gigi, penyebab utama periodontal disease yang biasa

terjadi setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan

gigi dan gizi yang buruk.

2. Indra pengecap menurun, adanya iritasi selaput lender yang

kronis, atrofi indra pengecap (±80%), hilangnya sensitivitas saraf

pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit.

3. Esofagus melebar.

4. Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun), asam lambung

motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun.

5. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.

6. Fungsi absorpsi melemah (daya absorpsi menurun, terutama

karbohidrat).

7. Hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun, aliran

darah berkurang (Nasrullah, 2016).

6. Tipe-Tipe Lansia

(Maryam, dkk, 2008 dalam Ratnawati, 2018) mengelompokkan lima tipe

lansia, antara lain:

a. Tipe Arif Bijaksana

Tipe ini dilaksanakan pada orang lanjut usia yang memiliki banyak

pengalaman, kaya dengan hikmah, dapat menyesuaikan diri dengan


38

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, ramah, memiliki kerendahan

hati, sederhana, dan dapat bergaul dengan teman.

b. Tipe Mandiri

Tipe lansia sendiri, yaitu mereka yang dapat menyesuaikan

perubahan pada dirinya. Mereka mengganti yang hilang dengan yang

baru, selektif dalam mencari pekerjaan, dan dapat berjaul dengan

teman.

c. Tipe Tidak Puas

Tipe lansia tidak puas adalah lansia yang selalu mengalami konflik

lahir batin. Mereka cenderung menentang proses penuaan sehingga

menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani,

pengkritik, dan banyak menuntut.

d. Tipe Pasrah

Lansia tipe ini memiliki kecenderungan menerima dan menunggu

nasib baik, rajin mengikuti kegiatan agama, dan mau melakukan

pekerjaan apa saja dengan ringan tangan.

e. Tipe Bingung

Lansia tipe ini terbentuk akibat mereka mengalami syok akan

perubahan status dan peran. Mereka mengalami keterkejutan, yang

membuat lansia mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh

tak acuh.
39

7. Karakteristik Lansia

Menurut Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI

(2016), katarakteristik lansia dapat dilihat berdasarkan kelompok berikut

ini.

a. Jenis kelamin

Dari data Kemenkes RI (2015), lansia lebih didominasi oleh jenis

kelamin perempuan. Artinya, ini menunjukkan bahwa harapan hidup

yang paling tinggi adalah perempuan.

b. Status perkawinan

Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI, SUPAS 2015, penduduk

lansia ditilik dari status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin

(60 persen) dan cerai mati (37 persen). Adapun perinciannya yaitu

lansia perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04 persen dari

keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang berstatus kawin

ada 82,84 persen. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan

lebih tinggi dibandingkan dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga

persentase lansia perempuan yang berstatus cerai mati lebih banyak

dibandingkan dengan lansia laki- laki. Sebaliknya, lansia laki-laki yang

bercerai umumnya segera kawin lagi.

c. Living arragement

Angka Beban Tanggungan adalah angka yang menunjukkan

perbandingan banyaknya orang tidak produktif (umur <15 tahun dan >

65 tahun) dengan orang berusia produktif (umur 15-64). Angka tersebut


40

menjadi cermin besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung

penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk usia nonproduktif

Menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016), Angka Beban

Tanggungan Indonesia adalah 48,63 persen, yang artinya setiap 100

orang penduduk yang masih produktif akan menanggung 48 orang tidak

produktif di Indonesia. Angka Beban Tanggungan menurut provinsi,

tertinggi ada di Nusa Tenggara Timur (66,74 persen) dan terendah ada

di Yogyakarta (45,05 persen).

d. Kondisi kesehatan

Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI

(2016) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur

derajat kesehatan penduduk. Angka kesakitan bisa menjadi indikator

kesehatan negatif. Artinya, semakin rendah angka kesakitan

menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang semakin baik. Masih

menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016), angka

kesehatan penduduk lansia tahun 2014 sebesar 25,05 persen, artinya

bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat 25 orang di antaranya

mengalami sakit. Sementara itu, Badan Pusat Statistik melalui Susesnas

2012-2014 dan SUPAS 2015 menyatakan secara umum derajat

kesehatan penduduk lansia mengalami peningkatan dari tahun 2012-

2014.
41

e. Keadaan ekonomi

Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat

berkualitas adalah proses penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial,

dan mental sehingga dapat tetap sejahtera sepanjang hidup dan tetap

berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup sebagai

anggota masyarakat. Berdasarkan data SUPAS 2015 (Pusat Data dan

Informasi Kemenkes RI 2016) sumber dana untuk lansia sebagian besar

pekerjaan/usaha (46,7 persen), anak/menantu (32,1 persen), suami/istri

(8,9 persen) dan pensiun (8,5 persen), selebihnya 3,8 persen adalah

tabungan/deposito, saudara/family lain, orang lain, jaminan sosial.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis

1. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dalam proses keperawatan, yang

meliputi pengumpulan data dan analisa data, sehingga menghasilkan

diagnosis keperawatan. Adapun tujuan dari pengkajian yaitu:

a) Menentukan kemampuan pasien untuk memelihara dirinya sendiri.

b) Melengkapi dasar-dasar rencana perawatan individu.

c) Membantu menghindarkan bentuk dan pandangan pasien.

d) Memberi waktu kepada pasien untuk menjawab.

Pengkajian dilakukan menggunakan pengkajian data terfokus sesuai

dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu berdasarkan

keluhan utama yang menyebabkan indivu mengunjungi layanan

kesehatan. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara, memeriksa


42

keluhan individu dengan metode wawancara dan pemeriksaan fisik

(inspeksi, palpasi, perkusi, serta auskultasi) Menurut Riasmini (2017)

pengkajian difokuskan pada:

1. Pengkajian riwayat kesehatan, mencakup:

a. Respons dan persepsi pasien terhadap status kesehatan.

b. Riwayat penyakit masa lalu.

c. Kemampuan mengatasi masalah.

d. Riwayat penyakit keluarga.

2. Pengkajian lingkungan sosial budaya, mencakup:

a. Status sosial ekonomi.

b. Kondisi tempat tinggal.

c. Ketersediaan sumber-sumber yang dibutuhkan pasien.

d. Tersedianya dukungan keluarga.

e. Faktor budaya yang mempengaruhi kesehatan.

3. Pemeriksaan fisik dan status kesehatan pasien terbaru, serta

4. Pengkajian kemampuan pasien dalam pemenuhan kebutuhan

sehari-hari.

a. Pengkajian fisik

Perawatan dengan pendekatan fisik mencakup perhatian terhadap

kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami pasien lanjut usia semasa

hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh. Tingkat kesehatan yang

masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah
43

atau ditekan progrevitasnya (Nugroho, 2006). Perawatan fisik secara

umum bagi pasien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni:

1. Pasien lanjut usia masih aktif, yakni lansia dengan fisik yang masih

mampu mandiri dalam bergerak sehingga dapat melakukan apapun

sendiri tanpa bantuan orang lain.

2. Pasien lanjut usia pasif, yakni lansia dengan fisik yang mengalami

kelumpuhan atau sakit, sehingga membutuhkan orang lain dalam

melakukan aktivitas sehari-hari.

Kemunduran fisik lansia akibat proses penuaan dapat

mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi

dari luar. Dengan demikian, lansia yang aktif dapat diberikan bimbingan

mengenai kebersihan mulut dan masih gigi, kebersihan kulit dan badan,

kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya,

hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindah dari tempat tidur ke

kursi atau sebaliknya.

Adapun komponen pendekatan fisik yang lebih mendasar adalah

perawat harus dapat memperhatikan, membantu, dan memotivasi para

pasien lanjut usia untuk bernapas dengan lancar, mengonsumsi makanan

yang disajikan, melakuan eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu

berjalan, duduk, mengubah posisi tidur, beristirahat, menjaga kebersihan

tubuh, memakai dan menukar pakaian, mempertahankan suhu badan, dan

melindungi kulit dan kecelakaan.


44

Pemeriksaan fisik umumnya dilakukan dengan cara inspeksi,

palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk mengetahui perubahan sistem tubuh.

a. Inspeksi

Inspeksi adalah teknik pengkajian yang paling serin digunakan.

Untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berguna perawat harus

melakukan inspeksi dengan cermat, tidak tergesa-gesa, memberi

perhatian pada hal- hal mendetail, dan mencoba menarik kesimpulan

logis dari temuan-temuan yang didapat. Oleh karena itu, pada saat

pertama pasien memasuki ruangan, perawat harus memperhatikan

penampilan umum, postur, dan cara berjalan. Saat menjabat tangan

pasien perawat perlu memperhatikan genggaman, mobilitas, kontak

mata, pola pernapasan, warna kulit, bicara, dan pakaian. Inspeksi

berlanjut melalui wawancara dan pengkajian fisik dengan berpedoman

pada hal-hal berikut ini.

1) Penerangan untuk inpesksi warna, ukuran, tekstur, dan mobilitas.

2) Penerangan tangensial untuk kontur dan variasi pada permukaan

tubuh

3) Perhatikan simetri pada tubuh yang diperiksa atau sebaliknya.

4) Observasi secara cermat, perhatian yang detail, dan catat hasil

temuan.

5) Perhatikan pasien dalam mengikuti instruksi dan melakukan

manuver untuk memperoleh data kemampuan fungsional.


45

Inspeksi dapat dilakukan langsung atau tidak langsung. Selama

inspeksi langsung, informasi yang didapatkan sangat bergantung pada

penglihatan, pendengaran, dan penciuman. Selama inspeksi tidak

langsung, perawat menggunakan alat-alat seperti spekulum hidung atau

oftalomoskop untuk membuka jaringan internal atau meningkatkan

penglihatan pada area tubuh tertentu (Morton, 2005). Ketika meng-

inspeksi pasien, perawat harus selalu mempertahankan objektivitas.

Perawat harus selalu berhati-hati pada temuan-temuan yang tidak biasa

dan tidak diharapkan termasuk juga hal-hal.

b. Palpasi

Palpasi adalah pemeriksaan dengan cara meraba. Biasanya melalui

sentuhan karakteristik tekstur tubuh, suhu, ukuran ketajaman, dan

gerakan yang dibedakan dengan bagian tangan dan jari berbeda. Ada

baiknya, perawat memiliki kuku jari yang pendek untuk kenyamanaan

pasien. Perawat harus mengusahakan posisi pasien relaks serta

melakukan palpasi secara lembut dan tenang. Area yang diketahui nyeri

tekan sebaiknya dipalpasi terakhir.

Biasanya, palpasi dilakukan setelah inspeksi sebagai teknik

pengkajian fisik yang kedua. Untuk melakukan pengkajian menyeluruh,

perawat perlu menguasai beberapa teknik palpasi, antara lain:

1) Palpasi ringan, melibatkan penggunaan ujung jari dan bantalan jari

untuk memberikan tekanan ringan pada permukaan kulit.


46

2) Ballotemen, bentuk lain dari palpasi ringan, melibatkan tekanan yang

halus, berulang, dan kuat pada jaringan dengan menggunakan tangan

untuk mengkaji letak atau struktur tubuh yang hanya menempel

sebagian.

3) Palpasi dalam, membutuhkan penggunaan kedua tangan dan tekanan

yang lebih besar.

c. Perkusi

Perkusi adalah cara pemeriksaan dengan menggunakan ketukan

jari. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengkaji ukuran, posisi, dan

densitas struktur dasar. Perkusi terdiri atas ketukan tajam yang

menghasilkan vibrasi dan gelombang bunyi lanjut. Gelombang bunyi

terdengar seperti nada perkusi. Perkusi mengkaji adanya udara atau

cairan serta materi padat dan struktur dasar.

Untuk mengkaji pasien dengan menyeluruh, perawat harus

mampu melakukan tiga teknik perkusi berikut.

1) Perkusi tidak langsung

Untuk melakukan perkusi tidak langsung, perawat bisa

menggunakan jari tengah tangan yang tidak dominan sebagai

pleksi meter dan jari tengah kanan dominan sebagai pleksor (alat

yang digunakan untuk menepuk pleksimeter). Perawat harus

meletakkan jari pleksimeter dengan tegas di permukaan tubuh.

Dengan pergelangan tangan yang difleksikan dengan longgar,

perawat dapat menggunakan ujung jari pleksor untuk memberikan


47

ketukan singkat tepat dibawah sendi distal dari pleksimeter.

Selain itu, perawat harus menahan perpendikular pleksor pada

pleksimeter. Terakhir, perawat harus mengetuk dengan ringan dan

cepat, mengangkat pleksor dengan segera memberi satu kali

ketukan.

2) Perkusi langsung

Untuk melakukan perkusi langsung, perawat bisa

mengetukkan tangan atau ujung jari langsung pada permukaan

tubuh. Metode ini membantu mengkaji sinus orang dewasa akan

adanya nyeri tekan atau suara dalam toraks anak-anak.

3) Perkusi tumpul

Untuk melakukan perkusi tumpul, perawat harus

menyetuhkan permukaan luar kepalan tangan pada permukaan

tubuh. Selain itu, perawat juga dapat menggunakan kedua tangan

dengan meletakkan satu telapak tangan di area yang akan

diperkusi kemudian membuat kepalan dengan tangan yang lain

dan digunakan untuk mengetuk bagian belakang tangan yang

pertama. Kedua teknik tersebut bertujuan untuk menemukan nyeri

tekan diatas organ-organ seperti ginjal, empedu, atau hati.

d. Auskultasi

Auskultasi merupakan proses mendengarkan suara yang

dihasilkan oleh organ dan jaringan tubuh. Teknik ini digunakan

untuk mengkaji jantung, paru, leher, dan abdomen. Auskultasi


48

biasanya membutuhkan lingkaran yang tenang dan konsentrasi

untuk mengidentifikasi bunyi akurat serta karakteristik.

Biasanya, perawat melakukan auskultasi setelah teknik

pengkajian lain dilakukan. Namun, ketika memeriksa abdomen,

auskultasi dilakukan setelah inspeksi, sebelum perkusi dan

palpasi. Perawat dapat mendengar suara tubuh, seperti suara

manusia, mengi yang keras atau suara lambung dengan cukup

mudah. Namun, perawat membutuhkan alat bantu (stetoskop)

untuk mendengarkan suara yang lembut.

b. Pengkajian Psikologi

Perawat dengan pendekatan fisik berperan penting dalam.

mengadakan pendekatan edukatif pada pasien lanjut usia. Di sini perawat

berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang

asing, pendengar yang baik, penyimpan rahasia, dan sebagai sahabat yang

akrab. Untuk itulah hendaknya perawat memiliki kesabaran dan waktu

yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para

lanjut usia merasa puas. Perawat wajib memegang prinsip “Triple S”,

yaitu Sabar, Simpatik, dan Servis.

Pada dasarnya pasien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan

cinta kasih dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan

perawatan. Untuk itu perawat bertugas untuk menciptakan suasana aman,

tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam batas

kemampuan dan hobi yang dimilikinya. Perawat juga harus memberikan


49

motivasi pasien lanjut usia dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus

asa, rasa rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dari

ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya.

Adapun perubahan psikologi yang dialami lansia, antara lain

menurunnya daya ingat, berkurangnya kegairahan, keinginan, peningkatan

kewaspadaan, perubahan pola tidur, dan pergeseran libido. Dengan kondisi

ini, perawat hendaknya dapat menjadi teman yang baik untuk

mendengarkan cerita-cerita masa lalu pasien. Situasi-situasi ini

membutuhkan kesabaran ekstra.

Perawat harus bisa mengubah tingkah laku dan pandangan pasien

terhadap kesehatan dengan perlahan-lahan dan bertahap. Perawat juga

harus dapat mendukung mental lansia ke arah pemuasan pribadi sehingga

seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu

diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan

bahagia.

Untuk melakukan pengkajian psikologis, perawat dapat

menggunakan acuan sebagai berikut.

1. Apakah pasien mengenal masalah-masalah utamanya?

2. Apakah pasien mudah dalam menyesuaikan diri?

3. Apakah lanjut usia sering melakukan kegagalan?

4. Bagaimana sikap pasien terhadap proses penuaan?

5. Apakah pasien merasa dibutuhkan atau tidak?

6. Apakah harapan pasien pada saat ini dan yang akan datang?
50

7. Apakah pasien berpandangan optimis dalam memandang suatu

kehidupan?

8. Bagaimana cara pasien mengatasi stres yang dialami?

9. Selain itu, kajilah mengenai fungsi kognitif, daya ingat, proses pikir,

alam perasaan, orientasi, dan kemampuan pasien dalam penyelesaian

masalah.

c. Pengkajian Sosial Ekonomi

Pendekatan sosial bisa dilakukan dengan cara mengadakan diskusi,

tukar pikiran, dan bercerita. Perawat memberikan kesempatan pasien

untuk berkumpul bersama dengan sesama pasien lansia sehingga

menciptakan sosialisasi di antara mereka. Jadi, pendekatan sosial ini

merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya

adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.

Dalam pendekatan ini, perawat hendaknya memberi keleluasaan

kepada para lanjut usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan

rekreasi, serta rangsangan untuk mengetahui dunia luar, seperti menonton

televisi, mendengarkan radio, atau membaca surat kabar/majalah. Dapat

disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah

pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan

atau ketenangan para pasien lanjut usia.

Pada usia lanjut, pasien rentan terhadap stres dan sulit tidur karena

memikirkan penyakit yang diderita, biaya hidup, keluarga, dan segudang

kecemasan. Untuk menghilangkan rasa negatif tersebut, lansia perlu diberi


51

kesempatan untuk menikmati keadaan di luar, agar merasa masih ada

hubungan dengan dunia luar. Adapun pengkajian aspek sosial ekonomi,

meliputi:

1. Darimana sumber keuangan lanjut usia?

2. Kegiatan organisasi apa yang diikuti lanjut usia?

3. Bagaimana pandangan lanjut usia terhadap lingkungannya?

4. Seberapa sering lanjut usia berhubungan dengan orang lain di luar

rumah?

5. Siapa saja yang mengunjunginya?

6. Apa saja kesibukan lanjut usia dalam mengisi waktu luang?

7. Dengan siapa pasien tinggal?

8. Seberapa besar ketergantungannya? Apakah dapat menyalurkan hobi

atau keinginannya dengan fasilitas yang ada?

d. Pengkajian Spiritual

Pendekatan spiritual menggerakan perawat untuk bisa memberikan

kepuasan batin pasien dalam hubungannya dengan tujuan atau agama yang

dianut. Terlebih jika pasien lansia dalam keadaan sakit atau mendekati

kematian.

Kematian merupakan hal yang menakutkan bagi banyak orang,

yang dapat disebabkan oleh ketidakpastian pengalaman selanjutnya,

adanya rasa sakit yang menyertainya, dan kegelisahan untuk tidak dapat

kumpul dengan orang-orang yang dikasihinya. Biasanya, dalam

menghadapi kematian, setiap pasien lanjut usia akan memberikan reaksi-


52

reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara mereka

menghadapi hidup selama ini. Untuk itu, perawat harus meneliti dengan

cermat di manakah letak kelemahan dan di mana letak kekuatan pasien,

agar perawat selanjutnya akan lebih terarah lagi.

Bentuk pendekatan perawatan dapat berupa dukungan kepada

lansia untuk dapat melaksanakan ibadahnya, atau justru memberikan

bimbingan rohani dengan menganjurkan melaksanakan ibadahnya, seperti

membaca kitab atau membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban

terhadap agama yang dianutnya. Karena agama atau kepercayaan

seseorang merupakan faktor yang penting sekali ketika waktu kematian

mendekati.

Adapun pengkajian aspek spiritual yaitu:

1. Apakah pasien teratur melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan

agamanya?

2. Apakah pasien sering mengikuti kegiatan agamanya?

3. Bagaimana cara lanjut usia menyelesaikan masalah?

4. Apakah lanjut usia terlihat sabar dan tenang? (Ratnawati, 2018).

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan merupakan sebuah keputusan klinik perihal

reaksi dari individu, keluarga, dan masyarakat tentang masalah kesehatan

yang aktual dan potensial, di mana perawat secara akuntabilitas dapat

mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga,

menurunkan, membatasi, mencegah,dan mengubah status kesehatan


53

pasien (Gordon, 1976; Carpenito, 2000). Pada dasarnya diagnosis

keperawatan merupakan satu kesatuan dari sebuah proses keperawatan.

Hal ini merupakan suatu komponen mal dari langkah-langkah analisis, di

mana perawat melakukan identifikasi terhadap reaksi-reaksi individu

terhadap masalah-masalah. Diagnosis keperawatan menjadi landasan

untuk memberikan tindakan yang dibutuhkan. Diagnosis keperawatan

ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data yang diperoleh dari

pengkajian keperawatan pasien.

Informasi yang ditampilkan pada setiap diagnosis keperawatan

mencakup hal-hal berikut:

a. Definisi

Merujuk dari North American Assosiatinal (NANDA) yang digunakan

pada diagnosis-diagnosis keperawatan yang telah ditetapkan tersebut.

b. Kemungkinan Etiologi

Bagian ini menyatakan penyebab-penyebab yang mendorong terjadinya

berbagai masalah yang telah diidentifikasi. Faktor yang berhubungan

langsung atau berisiko diberikan untuk diagnosis yang berisiko tinggi.

c. Batasan karakteristik

Bagian ini mencakup tanda dan gejala yang cukup jelas untuk

mengindikasi keberadaan suatu masalah.

d. Sasaran atau Tujuan

Pernyataan-pernyataan ini ditulis sesuai dengan perilaku pasien yang

sesungguhnya. Sasaran ini harus dapat diukur, dan berupa tujuan jangka
54

panjang dan pendek untuk digunakan dalam mengevaluasi keefektifan

intervensi keperawatan dalam mengatasi masalah yang telah

diidentifikasi. Mungkin akan ada lebih dari satu tujuan jangka pendek

dan bisa juga menjadi semacam "batu loncatan" untuk memenuhi tujuan

jangka panjang.

e. Pada bagian ini, hanya intervensi-intervensi yang sesuai untuk MOR

bagian diagnosis yang ditampilkan. Rasional-rasional yang digunakan

untuk intervensi mencakup memberikan klarifikasi pengetahuan

keperawatan dasar dan untuk membantu dalam menyeleksi intervensi-

intervensi yang sesuai untuk diri pasien.

Label diagnosis keperawatan menurut NANDA (2015-2017) meliputi:

1. Diagnosis Berfokus pada Masalah

Pertimbangan klinis/rasional dari perawat (clinical judgement)

yang menggambarkan respons yang tidak diinginkan pasien terhadap

kondisi kesehatan atau proses kehidupan. Contoh diagnosis ini antara

lain gangguan pola tidur, ketidakefektifan manajemen tram kesehatan,

ketidakseimbangan nutrisi, dan sebagainya.

2. Diagnosis Risiko

Pertimbangan klinis/rasional yang menggambarkan kerentana

pasien yang memungkinkan berkembangnya suatu respons yar tidak

diinginkan dari pasien terhadap kondisi kesehatan/pros kehidupan.

Setiap label dari diagnosis ini diawali dengan ka "risiko". Contoh


55

diagnosis risiko: risiko kekurangan volu cairan, risiko intoleransi

aktivitas, risiko ketidakmampu menjadi orang tua, dan sebagainya.

3. Diagnosis Promosi Kesehatan

Pertimbangan klinis/rasional yang menggambarkan motivasi dan

keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengaktualisasikan

potensi kesehatan pasien. Setiap diagnosis promosi kesehatan diawali

dengan frase "kesiapan meningkatkan". Contoh diagnosis in antara lain

kesiapan meningkatkan komunikasi, kesiapan meningkatkan pembuatan

keputusan, kesiapan meningkatkan pengetahuan, dan sebagainya.

4. Diagnosis Sindrom

Pertimbangan klinis/rasional yang menggambarkan suatu

kelompok diagnosis keperawatan yang terjadi bersama, mengatasi

masalah secara bersama, dan melalui beberapa intervensi yang sama.

Kategori diagnosis sindrom dapat berupa risiko atau masalah. Contoh

diagnosis sindrom antara lain sindrom kelemahan lansia, sindrom

postrauma, sindrom kekerasan, dan sebagainya.

3. Intervensi

Tujuan dari intervensi keperawatan adalah memberikan tindakan

perawatan berdasarkan respons pasien terhadap masalah kesehatannya,

dan mencegah masalah baru yang akan timbul. Perencanaan dan tindakan

keperawatan adalah tahap dalam proses keperawatan berdasarkan masalah

aktual dari pasien. Intervensi juga digunakan sebagai pengantar untuk

mengatur atau mendesain tindakan perawatan berdasarkan respons pasien


56

terhadap masalah kesehatannya, dengan sasaran mencegah,

menghilangkan, atau meminimalkan penyebab yang mempengaruhi status

kesehatan tersebut.

a. Nyeri akut

a) Tujuan: mengatasi masalah

b) Kriteria hasil: pasien melaporkan penurunan nyeri progresif dan

penghilangan nyeri setelah intervensi.

c) Intervensi:

a) Bantu pasien dalam mengidentifikasi tindakan penghilangan

nyeri yang efektif. Hal ini dapat membantu dalam pembuatan

diagnosis dan kebutuhan terapi.

b) Jelaskan bahwa nyeri dapat akan terjadi sampai beberapa jam

setelah pembedahan. Nyeri post op dapat terjadi sampai 6 jam

post op.

c) Lakukan tindakan penghilangan nyeri noninvasif atau

nonfarmakologik sebagai berikut: tinggikan posisi bagian

kepala tempat tidur, berubah-ubah antara berbaring pada

punggung dan pada sisi yang tidak dioperasi. Selain itu

lakukan latihan relaksasi karena beberapa tindakan

penghilangan nyeri noninvasif adalah tindakan mandiri yang

dapat dilaksanakan perawat dalam usaha meningkatkan

kenyamanan pada pasien.


57

d) Berikan dukungan tindakan penghilangan nyeri dengan

analgesik yang diresepkan. Analgesik membantu dalam

menekan respons nyeri dan menimbulkan kenyamanan pada

pasien.

e) Beritahu dokter jika nyeri tidak hilang setelah setengan jam

pemberian obat, jika nyeri disertai mual atau jika diperhatikan

drainase pada pelindung mata. Tanda ini menunjukkan

peningkatan tekanan intaokuil atau komplikasi lain.

b. Risiko tinggi terhadap infeksi

1) Tujuan : infeksi tidak terjadi

2) Kriteria hasil : pasien akan menunjukkan penyembuhan insisi

tanpa tanda gejala infeksi

3) Intervensi :

a) Berikan dorongan untuk mengikuti diet yang seimbang dan

asupan cairan yang adekuat.

b) Instruksikan pasien untuk tetap menutup mata sampai hari

pertama setelah operasi atau sampai diberitahukan. Nutrisi dan

hidrasi yang optimal meningkatkan kesehatan secara

keseluruhan, yang meningkatkan penyembuhan.

c) Gunakan tekhnik aseptik untuk meneteskan tetes mata.

Sebelumnya cucilah tangan terlebih dahulu. Pegang alat

penetes agak jauh dari mata. Ketika meneteskan, hindari

kontak antara mata, tetesan dan alat penates. Ajarkan tekhnik


58

ini pada pasien dan anggota keluarganya. Tekhnik aseptik

meminimalkan masuknya mikroorganisme dan mengurangi

risiko infeksi.

d) Lakukan tindakan untuk mencegah ketegangan pada jahitan.

Ketegangan pada jahitan dapat menimbulkan interupsi

menciptakan jalan masuk untuk mikroorganisme.

e) Beritahu dokter tentang semua drainase yang terlihat

mencurigakan. Drainase abnormal memerlukan evaluasi medis

dan kemungkinan memulai penanganan farmakologi.

c. Risiko Tinggi terhadap Cedera

1) Tujuan : cedera tidak terjadi

2) Kriteria hasil : pasien tidak mengalami cedera atau trauma

jaringan selama dirawat.

3) Intervensi :

a) Orientasikan pasien pada lingkungan ketika tiba. Pengenalan

pasien dengan lingkungan membantu mengurangi kecelakaan.

b) Modifikasi lingkungan untuk menghilangkan kemungkinan

bahaya. Singkirkan penghalang dari jalur berjalan, singkirkan

sedotan, dan pastikan semua pintu dan laci tetap tertutup atau

terbuka secara sempurna.

c) Kehilangan, atau gangguan penglihatan atau menggunakan

pelindung mata juga dapat mempengaruhi risiko cedera yang

berasal dari gangguan ketajaman dan kedalaman persepsi.


59

d) Tinggikan pengaman tempat tidur. Letakkan benda di mana

pasien dapat melihat dan meraihnya tanpa pasien menjangkau

terlalu jauh. Tindakan ini dapat membantu mengurangi risiko

terjatuh.

e) Bantu pasien dan keluarga mengevaluasi lingkungan rumah

untuk kemungkinan bahaya, seperti karpet yang tersingkap,

kabel listrik yang terpapar, perabot yang rendah, binatang

peliharaan dan tangga. Amat penting untuk mempertahankan

lingkungan yang aman dilanjutkan setelah pulang.

d. Risiko Ketidakefektifan Penatalaksanaan Regimen Terapeutik

1) Tujuan : penatalaksanaan regimen terapeutik menjadi efektif

2) Kriteria hasil : pasien dapat mengikuti\melaksanakan aktivitas

yang disarankan. Pasien dapat menyebutkan cara perawatan

dirumah.

3) Intervensi :

a) Diskusikan aktivitas yang diperbolehkan setelah pembedahan

seperti membaca, menonton TV, memasak, melakukan

pekerjaan rumah tangga ringan, serta melakukan mandi siram

atau berendam di bak mandi. Memulai diskusi dengan

menguraikan aktivitas yang diperbolehkan daripada

pembatasan memfokuskan pasien pada aspek positif

penyembuhan daripada aspek negatifnya.


60

b) Pertegas pembatasan aktivitas yang disebutkan dokter yang

mungkin termasuk menghindari aktivitas seperti berbaring

pada sisi yang dioperasi, membungkuk melewati pinggang,

mengangkat beban berat, mandi, mengejan selama defekasi.

c) Pembatasan perlu dilakukan untuk mengurangi gerakan mata

dan mencegah peningkatan tekanan okuler. Pembatasan

diperlukan untuk memgurangi gerakan mata dan mencegah

peningkatan tekanan okuler. Pembatasan yang spesifik

bergantung pada beberapa faktor, termasuk sifat dan luasnya

pembedahan, preferensi dokter, umur, serta status kesehatan

pasien secara keseluruhan. Pemahaman pasien tentang alasan

untuk pembatasan ini dapat mendorong kepatuhan pasien.

d) Tekankan pentingnya tidak mengusap mata atau menggosok

mata dan menjaga balutan serta pelindung protektif tetap pada

tempatnya sampai hari pertama setelah operasi. Mengusap atau

menggosok mata dapat merusak integritas jahitan dan

memberikan jalan masuk untuk mikoorganisme. Menjaga mata

terutup mengurangi risiko kontaminasi oleh mikroorganisme

di udara.

e) Jelaskan informasi berikut untuk tetap setiap obat-obatan yang

diresepkan. Seperti nama, tujuan, dan kerja obat. Juga tentang

jadwal, dosis, teknik pemberian, dan instruksi atau

kewaspadaan khusus. Memberikan informasi yang akurat


61

sebelum pulang dapat meningkatkan kepatuhan dengan

regimen pengobatan dan membantu mencegah kesalahan

dalam pemberian obat .

f) Instruksikan pasien dan keluarga untuk melaporkan tanda dan

gejala seperti kehilangan penglihatan, nyeri pada mata,

abnormalitas penglihatan, kemerahan, drainase meningkat,

suhu meningkat. Melaporkan tanda dan gejala ini lebih awal

memungkinkan intervensi yang cepat untuk mencegah atau

meminimalkan infeksi, peningkatan tekanan intraokular,

perdarahan, terlepas retina, atau komplikasi lain.

g) Instruksi untuk menjaga kebersihan mata (membuang drainase

yang dengan menyeka kelopak mengeras mata yang terpejam

menggunakan bola kapas yang dilembabkan dengan larutan

irigasi mata. Sekresi dapat melekat pada kelopak mata dan

bulu mata. Pembuangan sekresi dapat memberikan

kenyamanan dan mengurangi risiko infeksi dengan

menghilangkan sumber mikroorganisme.

h) Tekankan pentingnya perawatan lanjutan yang adekuat,

dengan jadwal yang ditentukan oleh ahli bedah. Pasien harus

mengetahui tanggal dan waktu jadwal perjanjian pertamanya

sebelum pulang. Perawatan lanjutan memberikan

kemungkinan penyembuhan dan memungkinkan deteksi dini

komplikasi
62

i) Sediakan instruksi tertulis pada waktu pasien pulang. Instruksi

tertulis memberikan pasien dan keluarga sumber informasi

yang dapat merekam rujuk jika diperlukan (Ratnawati, 2018).

4. Implementasi

Perawat melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana

perawatan yang telah dibuat. Perawat memberikan pelayanan kesehatan

yang memelihara kemampuan fungsional lansia dan mencegah

komplikasi serta meningkatkan ketidakmampuan. Tindakan keperawatan

berdasarkan rencana keperawatan dari setiap diagnosis keperawatan yang

telah dibuat dengan didasarkan pada konsep asuhan keperawatan

gerontik.

Tindakan keperawatan yang dilakukan:

a. Menumbuhkan dan membina hubungan saling percaya dengan cara

memanggil nama pasien.

b. Menyediakan penerangan yang cukup: cahaya matari, ventilasi rumah,

hindarkan dari cahaya yang silau, penerangan dikamar mandi, dapur,

dan ruangan lain sepanjang waktu.

c. Memelihara kesehatan: usahakan agar pagar tempat tidur (pengaman)

tetap dipasang, posisi tempat tidur yang rendah, kamar dan lantai tidak

berantakan dan licin, cukup penerangan, bantu untuk berdiri, serta

berikan penyangga pada waktu pada waktu berdiri bila diperlukan.


63

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan

perbandingan yang sistematis dan terencana antara akhir hasil yang

teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan. Ada beberapa tahap evaluasi, antara lain:

a. Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi status dan kemajuan

pasien terhadap pencapaian hasil dari tujuan keperawatan yang telah

ditetapkan sebelumnya.

b. Kegiatan evaluasi meliputi mengkaji kemajuan status kesehatan

pasien, membandingkan respons pasien dengan kriteria hasil dan

menyimpulkan hasil kemajuan masalah dan kemajuan pencapain

tujuan keperawatan pasien.

c. Perawat akan mencatat hasil evaluasi dalam lembar evaluasi atau

dalam catatan kemajuan.

d. Dalam menelaah kemajuan pasien dalam dengan pencapaian hasil,

perawat akan mencatat salah satu dari keputusan berikut, dalam

lembar evaluasi atau dalam catatan kemajuan pada saat ditentukan

untuk melakukan evaluasi :

1) Lanjutkan: diagnosis masih berlaku, tetapi tujuan dan kriteria

standar masih relevan.

2) Direvisi: diagnosis masih berlaku, tetapi tujuan dan tindakan

keperawatan memerlukan perbaikan.


64

3) Teratasi: tujuan keperawatan telah dicapai, dan rencana perawatan

tidak dilanjutkan.

4) Dipakai lagi: diagnosis yang telah teratasi terjadi lagi.

Evaluasi juga dapat disusun dengan menggunakan format SOAPIE

dan SOAPIER. Format ini digunakan apabila implementasi

keperawatan dan evaluasi didokumentasikan dalam satu catatan yang

disebut catatan kemajuan.

S: adalah hal-hal yang dikemukakan oleh pasien secara subjektif

setelah dilakukan intervensi keperawatan.

O: adalah hal-hal yang ditemui oleh perawat secara objektif setelah

dilakukan intervensi keperawatan.

A: adalah analisis dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu pada

tujuan keperawatan dan kriteria hasil terkait dengan diagnosis.

P: adalah perencanaan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisis

respons pasien.

I: adalah implementasi dari perencanaan dengan mencatat waktu

tindakan dan kegiatan tindakan keperawatan.

E: adalah evaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilakukan

dengan mencatat waktu dan hasil kemajuan yang telah dicapai

pasien (Sunaryo, dkk, 2015).

Anda mungkin juga menyukai