Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN AKTIVITAS

Disusun Oleh:

POLTEKKES KEMENKES PALU


PRODI DIII KEPERAWATAN POSO
TAHUN 2022/2023
KONSEP DASAR MOBILITAS FISIK

A. Pengertian
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak dan
melakukan kegiatan secara mudah, bebas dan teratur guna memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari, baik secara mandiri, dengan bantuan orang lain, maupun hanya dengan
bantuan alat (Wulandari, 2018).
Gangguan mobilitas atau imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang tidak
dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas),
misalnya trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan
sebagainya (Wulandari, 2018). Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), gangguan mobilitas
adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan
terarah.

B. Jenis Mobilitas
Kemampuan mobilitas secara umum dibedakan menjadi dua, mobilitas penuh dan
mobilitas sebagian. Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
atau beraktivitas secara bebas tidak terbatas, sehingga dapat melakukan interaksi sosial
dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi dari saraf
motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
Sedangkan mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena adanya gangguan
pada saraf motorik dan sensorik di satu atau lebih ekstremitas tubuhnya. Mobilitas
sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilitas sebagian temporer
Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
2. Mobilitas sebagian permanen
Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal
tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadi
hemiplegia karena stroke, parapelgia karena cedera tulang belakang, poliomielitis
karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik (Widuri, 2010).
C. Jenis Imobilitas
1. Imobilitas Fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan
mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan
hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga
tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas Intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan
daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas Emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika
seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang
paling dicintai.
4. Imobilitas Sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat memengaruhi perannya
dalam kehidupan sosial (Widuri, 2010).

D. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal


1. Tulang (Osteon)
Struktur tulang terdiri atas dua macam yaitu; tulang padat (compact) dan tulang
berongga (spongiosa). Tulang padat biasanya terdapat pada bagian luar semua tulang
sedangkan tulang berongga biasanya terdapat pada bagian dalam tulang, kecuali
bagian yang digantikan oleh sumsum tulang.
Bila tulang diklasifikasikan berdasarkan morfologi (bentuknya), maka dapat
dibagi menjadi lima jenis yaitu ; tulang panjang/tulang pipa (long bone), tulang
pendek (short bone), tulang tipis/pipih (flat bone), tulang tidak teratur (irreguler bone)
dan tulang sesamoid.
Terdapat 11 tulang rangka penyusun tubuh manusia yang apabila dihitung
mencapai 206 tulang. Berikut tabel rinciannya (Purwanto, 2016):
Tabel 1. Tulang Rangka Penyusun Tubuh Manusia
No. Jenis Tulang Rangka Jumlah
1. Tulang tengkorak 6 buah
2. Tulang wajah 14 buah
3. Tulang telinga dalam 6 buah
4. Tulang lidah 1 buah
5. Tulang belakang (ruas tulang belakang) 26 buah
6. Tulang iga 24 buah
7. Tulang dada 1 buah
8. Tulang gelang bahu 4 buah
9. Tulang anggota gerak/badan atas 60 buah
10. Tulang gelng panggul 2 buah
11. Tulang anggota gerak/badan bawah 60 buah
2. Sendi (Artikulasio)
Klasifikasi sendi secara fungsional ada tiga, yaitu sendi yang tidak dapat bergerak
(sinartrosis), sendi yang gerakannya minimal (amfiartrosis) dan sendi yang bergerak
bebas (diartrosis).
Klasifikasi sendi secara struktural ada dua yaitu; sendi fibrosa (dihubungankan
dengan jaringan fibrosa) seperti sutura, sindesmosis, gomfosis, sendi kartilago (sendi
yang dihubungkan dengan jaringan kartilago) seperti sinkondrosis, simfisis, dan 3)
sendi sinovial. Sedangkan berdasarkan tipe gerakkan yang ditimbulkan, sendi sinovial
dapat digolongkan menjadi; sendi datar, sendi engsel, sendi poros, sendi elipsoid,
sendi pelanan, dan sendi peluru (Purwanto, 2016).
3. Ligamen, Otot, Fasia, dan Tendon
Otot dapat dibedakan berdasarkan lokasi, struktur mikroskopis dan kontrol
persyarafannya. Terdapat tiga jenis otot yaitu : otot skelet, otot jantung dan otot polos.
a. Otot Skelet / Otot Rangka / Otot Lurik, dengan karakter:
1) Terdapat pada rangka dan dinamai sesuai dengan tulang yang berhubungan
2) Bergaris
3) Volunter (bekerja dengan pengendalian secara sadar)
b. Otot Jantung
1) Membentuk dinding jantung
2) Bergaris
c. Otot Polos
1) Terdapat pada dinding struktur interna (visera) antara lain: lambung, kandung
kemih, pembuluh darah dll.
2) Tidak bergaris
3) Involunter (bekerja di luar kesadaran)
Secara makroskopis, otot memiliki bagian-bagian antara lain: 1) Origo, yaitu tempat
perlekatan ujung proksimal pada otot rangka, 2) Venter (badan otot), yaitu bagian
tengah dari otot (di antara ujung proksimal dan distal), dan 3) Insersio, yaitu tempat
perlekatan ujung distal otot pada rangka (Purwanto, 2016).
4. Fungsi Pokok Otot
a. Motion
Yaitu fungsi untuk menghasilkan gerakan, baik gerakan seluruh tubuh (berjalan,
lari, dll). Maupun gerakan lokal (memegang, mengangguk, dll)
b. Mempertahankan postur
Yaitu fungsi otot rangka dalam berkontraksi guna mempertahankan tubuh dalam
posisi tetap saimbang, seperti duduk tegak, berdiri, dll.
c. Menghasilkan kalori
Yaitu fungsi untuk mempertahankan suhu tubuh yang normal melalui panas yang
dihasilkan oleh otot rangka saat berkontraksi.
Agar otot dapat berkontraksi, maka diperlukan suatu stimulus. Adapun proses
stimulus adalah sebagai berikut :
a. Stimulus datang dan diterima oleh sel saraf (neuron sensorik) yang selajutnya
diubah menjadi impuls saraf
b. Impuls dilanjutkan oleh neuron motorik menuju otot, melalui myoneura junction
(motor end plate), yaitu pertemuan antara neuron motorik dan otot. Pada tempat
ini terdapat sinapsis, yaitu tempat penyaluran neurotransmitter dari neuron ke otot.
c. Di sinapsis, neurotransmitter meneruskan impuls ke sarkolemma dan akhirnya
kontraksi dimulai (Purwanto, 2016).
5. Fungsi Tendon
Tendon merupakan serabut kolagen yang melekatkan otot ke tulang. Tendon
menyalurkan gaya yang dihasilkan oleh otot yang berkontraksi ke tulang dan dengan
demikian menggerakkan tulang. Sedangkan fungsi ligamen adalah membatasi
pergerakan sendi, karena ligamen adalah taut fibrosa yang kuat antar tulang, biasanya
terletak di sendi (Purwanto, 2016).
6. Fungsi Tulang
Tulang yang matur terdiri dari 30% materi organik dan 70% deposit garam.
Materi organik terdiri dari 90% serabut kolagen dan 10% proteoglikan. Deposit garam
terpenting adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium bikarbonat, dan
ion magnesium.
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh stimulasi hormonal, faktor makanan, dan
stres tulang (keberadaan osteoblas).
Aktivitas osteoblas ditentukan oleh diet, stimulasi hormonal, dan olahraga.
Vitamin D mampu menstimulasi kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja
pada osteoblas, dan secara tidak langsung dengan menstimulasi absorpsi kalsium di
usus. Peningkatan absorpsi kalsium meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang
mendorong kalsifikasi tulang, dengan demikian peranan vitamin D sangat penting.
Tulang memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Kerangka penunjang badan (penopang badan)
b. Pengungkit untuk otot (tempat otot bertumpu)
c. Pelindung alat tubuh tertentu
d. Sebagai tempat pembuatan sel-sel darah (sistem hemopoiesis)
e. Sebagai gudang penyimpanan kalsium dan fosfor (Purwanto, 2016).

E. Pathway
Sistem Muskuloskeletal

Tulang Otot Sendi Gangguan Neuromuskuler

Kerusakan Tendon Kekakuan sendi Kerusakan pusat gerakan


kartilago dari ligamen motorik di lobus frontalis
tulang melemah (hemisper/hemiplagia)
Terbatasnya
gerakan sendi

Hilangnya
kekuatan otot Tirah
Gangguan mobilitas fisik
baring
Resiko cedera

Defisit Resiko kerusakan


perawatan diri integritas kulit
(dekubitus)
F. Etiologi
Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2017), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan mobilitas fisik, adalah sebagai berikut :
1. Penurunan kendali otot
2. Penurunan kekuatan otot
3. Kekakuan sendi
4. Kontraktur
5. Gangguan muskoloskeletal
6. Gangguan neuromuskular
7. Keengganan melakukan pergerakan

G. Manifestasi Klinis
Respon fisiologis dari perubahan mobilisasi yang mungkin muncul, diantaranya :
1. Muskuloskeletal sepeeti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium
2. Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus.
3. Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktifitas.
4. Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium;
dan gangguan pencernaan (seperti konstipasi).
5. Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan
batu ginjal.
6. Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan.
7. Neurosensori: sensori deprivation (Wulandari, 2018).

H. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Saputra (2013) dalam Adha (2017), ada beberapa penatalaksanaan gangguan
mobilisasi secara umum diantaranya, yaitu :
1. Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas dapat disesuaikan
dengan tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent,
lithotomi, dan genu pectoral.
a. Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, di mana bagian kepala
tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
b. Posisi Sim
Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri. Posisi ini dilakukan untuk
memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria).
c. Posisi Trendelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke
otak.
d. Posisi Dorsal Recumbent
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan
memeriksa genitalia serta pada proses persalinan.
e. Posisi Lithotomi
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia
pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
f. Posisi Genu Pectoral
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum
dan sigmoid.
2. Latihan ROM Pasif dan Aktif
Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit, diabilitas, atau trauma
memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi
(2011) dalam Adha (2017) setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya telah
stabil baru diperbolehkan dilakukannya mobilisasi.
Berikut beberapa gerakan latihan ROM yang dilakukan untuk memelihara dan
mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian :
a. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Tangan
b. Fleksi dan Ekstensi Siku
c. Pronasi dan Supinasi Lengan
d. Pronasi Fleksi Bahu
e. Abduksi dan Adduksi
f. Rotasi Bahu
g. Fleksi dan Ekstensi Jari – jari
h. Infersi dan Efersi Kaki
i. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Kaki
j. Fleksi dan Ekstensi Lutut
k. Rotasi Pangkal Paha
l. Abduksi dan Adduksi Pangkal Paha
3. Latihan Ambulasi
a. Duduk diatas tempat tidur
b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di kursi roda
c. Membantu berjalan

I. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan (sekarang dan dahulu)
c. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola pengkajian ADL
a. Pola nutrisi
b. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien tidak akan mampu melakukan aktivitas dan perawatan diri secara
mandiri karena kelemahan anggota gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami
gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan mudah lelah.
Aktivitas fisik yang kurang dapat mempengaruhi frekuensi denyut jantung
menjadi lebih tinggi sehingga otot jantung harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi. Otot jantung yang bekerja semakin keras dan sering memompa, maka
makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat (Adha, 2017).
c. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pasien lebih banyak tidur dan istirahan karena semua sistem
tubuhnya akan mengalami penurunan kerja dan penurunan kesadaran
sehingga lebih banyak diam (Adha, 2017).
d. Pola eliminasi
Kemungkinan terjadi retensi urin dan inkontinensia akibat kurang aktivitas
dan pengontrolan urinasi menurun, dan terjadi konstipasi dan diare akibat
impaksi fekal (Adha, 2017).
4. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian pada mobilisaasi berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan
toleransi aktivitas, serta keseimbangan tubuh. Pemeriksaan fisik pada pasien
dengan ganguan mobilisasi bertujuan untuk menilai adanya fraktur
terbuka/tertutup, dislokasi sendi, paralisis/paresis motorik:
hemiplegia/hemiperesis, kelemahan otot wajah, tangan, gangguan sensorik:
kehilangan sensasi pada wajah, lengan, dan ektermitas bawah, disphagia :
kesulitan mengunyah, menelan, paralisis lidah, dan laring, gangguan visual :
pandangan ganda, lapang padang menyempit, kesulitan berkomunikasi: kesulitan
menulis, kesulitan membaca, disatria ( kesulitan mengucapkan artikulasi/pelo,
cadel), kelemahan, otot wajah, lidah, langitlangit atas, pharing, dan bibir,
kemampuan emosi : perasaan, ekspresi 15 wajah, penerimaan terhadap kondisi
dirinya, memori : pengenalan terhadap lingkungan, orang, tempat, waktu, tingkat
kesadaran, fungsi bladder dan fungsi bowel.
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan mengidentifikasi jika adanya area
perdarahan (biasanya untuk pemakaian darurat) dan MRI (Magnetik Resonance
Imaging) mengidentifikasi lokasi iskemik (Basuki, 2018).

J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul untuk klien dengan gangguan sistem
muskuloskeletal adalah (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :
1. Gangguan mobilitas fisik
2. Defisit perawatan diri
K. RENCANA KEPERAWATAN
Tujuan Keperawatan
No. Diagnosa
dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
DX Keperawatan
1. gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan asuhan Dukungan ambulasi
keperawatan O:
subjektif:
selama .....x24 jam
mobilitas fisik membaik  identifikasi adanya
 mengeluh sulit
dengan kriteria hasil: nyeri atau keluhan
menggerakan
fisik lainnya
ektremitas nyeri saat
 pergerakan
bergerak merasa cemas  -identifikasi
ekstremitas
saat bergerak enggan toleransi fisik
meningkat
melakukan pergerakan melakukan
Obyektif:  kekuatan otot ambulasi
meningkat
 kekuatan otot menurun  -monitor frekuensi
 nyeri menurun jantung dan
 rentang gerak(ROM) tekanan darah
menurun  kecemasan menurun sebelum memulai
abulasi
 sendi kaku
 -monitor kondisi
 gerakan tidak umum selama
koordinasi melakukan
ambulasi
 gerakan terbatas
T:
 fisik lemah
 fasilitasi aktifitas
ambulasi dengan
alat bantu
(tongkat,kruk,dsb)
 -fasilitasi
melakukan
mobilisasi fisik
jika perlu
 -libatkan keluarkan
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
E:
 -jelaskan tujuan
dan prosedur
ambulasi
-anjurkan mobilisasi
dini
 Ajarkan ambulasi
sederhana yang
harus di lakukan
untuk memenuhi
kebutuhan sehari-
hari

2. Defisit perawatan diri Dukungan perawatan


Setelah dilakukan
Subjektif: diri:
asuhan keperawatan
O:
 menolak melakukan selama .....x24 jam
perawatan diri perawatan diri membaik  -identifikasi
objektif: dengan kriteria hasil: kebiasaan aktifitas
perawatan diri
 tidak mampu mandi/  kemampuan mandi
sesuai usia
mengenakan meningkat
pakaian/makan/ketoilet/be  -monitor tingkat
 kemampuan
rhias secara mandiri kemandirian
menggunakan
 minat melakukan pakaian meningkat  -identifikasi
perawatan diri kurang kebutuhan alat
 kemampuan makan
bantu,kebersihan
meningkat
diri,berpakaian,berh
 kemampuan ias,dan makan.
ketoilet(BAB.BAK,) T:
meningkat  Sediakan
lingkungan yang
 ferbalisasi keinginan terapeutik
melakukan
 Siapkan keperluan
perawatan diri
pribadi
 mempertahankan  Dampingi dalam
kebersihan mulut melakukan
perawatan diri
sampai mandiri
 Fasilitasi
untuk
menerima
keadaan
ketergantungan
 Jadwalkan
rutinitas
perawatan diri
E:
 Anjurkan
melakukan
perawatan diri
secara konsisten
sesuai kemampuan

3. Resiko cidera Pencegahan cidera


Setelah dilakukan
Faktor resiko:- ketidak amanan O:
asuhan keperawatan
transportasi
selama .....x24 jam  -identifikasi obat
-kegagalan mekanisme
termogulasi dengan yang menyebabkan
pertahanan tubuh
kriteria hasil: cidera
-perubahan fungsi psikomotor
-perubahan fungsi kognitif  Kejadian cidera  -identifikasi
menurun luka/lecet kesesuaian alas kaki
menurun pada ekstremitas
bawah
 Pendarahan T:
menurun
 sediakan
 Fraktur menurun pencahayaan yang
memadai
 sosialisasikan
pasien dan keluarga
dengan lingkugan
rawat inap
 sediakan alas kaki
anti slip
 sediakan urinal
untuk eliminasi di
dekat tempat tidur
 pastikan barang
pribadi mudah di
jangkau
 tingkatkan
frekuensi observasi
dan pengawasan
pasien sesuai
kebutuhan
E:
 jelaskan alasan
intervensi
pencegahan jatuh
 -anjurkan berganti
posisi perlahan dan
duduk beberapa
menit sebelum
berdiri
DAFTAR PUSTAKA

Adha, S.A. (2017). Asuhan Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik Di IRNA C RSSN Bukittinggi. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Padang.
Basuki, L. penerapan ROM (Range of Motion) Pada Asuhan Keperawatan Pasien Stroke Dengan
Gangguan Mobilitas Fisik Di RSUD Wates Kulon Progo. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik
Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta.
Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC_NOC. Yogyakarta; MediAction.
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan Medikal Bedah
II. Jakarta Selatan; Pusdik SDM Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan
Tindakan Keperaatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definis dan Kriteria
Hasil Keperawatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Widuri, H. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia (Aspek Mobilitas dan Istirahat Tidur). (Riyadi, S,
Ed.) Yogyakarta; Gosyen Publishing.
Wulandari, N.K.V. gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pasca Stroke Non Hemoragik
Dengan Gangguan Pemenuhan Mobilitas Fisik (Di Wilayah Keja UPT Kesmas Sukawati I)
Tahun 2018. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai